Ceritasilat Novel Online

Pukulan Hitam 7

Pukulan Hitam Hek-tjiang Karya S. D. Liong Bagian 7


kasihan, tidak punja peri-kemanusiaan. Ketjuali
manusia jang berhati Hek-sim, tentulah takkan berbuat
sedemikian!" Sasterawan itu tertawa menjeringai: "Tetapi
hatimupun hitam djuga!"
"Masih djauh tingkatannja!" sahut Giok-lo-sat.
"Tidak!" sahut sasterawan itu, "misalnja dalam
peristiwa tadi. Asal kau mau membantu tentu dapat
menolong djiwa seseorang. Tetapi kau menolak getas!"
"Dia tak mempunjai ikatan budi dengan aku,
mengapa aku harus menolooginja" Bukankah hal itu tak
sesuai dengan hatiku jang hitam?" balas Giok-lo-sat.
Sepasang mata sasterawan itu ber-kilat2
memandang Giok-lo-sat dengan tadjam. Beberapa saat
kemudian ia mendengus dingin.
"Mengapa kau mendengus?" tegur Giok-lo-sat.
Djawab sasterawan setengah tua dengan nada
dingin: "Djika ditilik sepak terdjangmu selama tiga bulan
terachir ini, pembunuhan2 jang kaulakukan itu mungkin
lebih ganas dari tindakanku!"
Wadjah sidara buta jang aju tersembul kerut kerut
kemurkaan. Serempak hatinjapun berkobar
permusuhan. Namun ia berusaha keras untuk menindas
perasaannja dan berkatalah dengan tawar: "Tetapi
mereka memang pantas menerima nasib itu!"
Kawanan durdjana dan bangsa pendjahat memang
harus dibasmi. Tetapi tjaranja membunuh mereka itu
terlalu kedjam sekali. Apalagi kau seorang perawan
dara." Bagaikan lahar gunung, meletuslah kemarahan
Giok-lo-sat: "Bukan tidak ada sebabnja kubunuh
mereka!" "Apa" Kau mempunjai dendam dengan mereka?"
sasterawan itu berteriak kaget.
"Ja, merekalah jang membuat aku sengsara dan
menderita kenistaan hidup... tiba2 dara itu merasa
kelepasan omong. Seketika ia diam.
"Dendam permusuhan apa?" desak sasterawan.
"Suka" kuberitahukan!"
"Kalau begitu kau bukan termasuk orang jang
berhati hitam." Giok-lo-sat penasaran, serunja dengan geram:
"Masakan kau djuga manusia berhati hitam?"
"Mengapa tidak!" tiba2 sasterawan setengah tua itu
menghela napas. Katanja dengan nada penuh
penjesalan: "Aku adalah Hek-sim-djin Thia Tat-hu! Kau
tak kenal?" Se-konjong2 wadjah Giok lo-sat mengerut lelap,
bentaknja: "Thia Tat-hu, memang sudah lama aku
hendak mentjarimu!" "Mengapa mentjari aku!" seru Hek-sim-djin.
Singkat sekali Giok-lo sat mendjawab: "Membunuhmu!"
Hek-sim-djin Thia Tat-hu tertawa mengekeh: "Kau
mempunjai permusuhan?"
"Selamanja aku tak membunuh tanpa alasan!"
sahut Giok-lo-sat. "Kita tak saling kenal, mengapa mempunjai
dendam permusuhan?" Dengan murka Giok-lo-sat berseru: "Dengan
menahan derita kehinaan, aku tetap bertahan hidup
sampai sekarang. Tudjuanku tak lain hanjalah untuk
membunuhmu sadja!" Djawab Hek-sim-djin Thia Tat"hu keheranan: "Tak
dapat kuingat permusuhan apa jang terdjadi diantara
kita!" Giok-lo-sat berteriak njaring: "Dendam sebesar
bengawan. Hinaan seluas telaga. Kau masih tak
mengerti. Tak apalah. Nanti kalau sudah keachirat boleh
kau tanjakan pada radja Achirat!"
Mendengar kata2 sinona jang sedemikian menusuk
perasaan, marahlah Hek-sim-djin: "Biasanja tanpa kenal
kasihan ku-bunuh2i orang2 jang tak bersalah padaku.
Apalagi kini kau hendak membunuhku, lebih tak dapat
memberimu ampun lagi!"
"Malam ini darahmu tentu akan menjiram rimba
ini!" seru Giok-lo sat jang setjepat kilat terus menjerang
dada Hek-sim-djin. Melihat orang menjerang dengan djurus jang amat
ganas, Hek-Sim-djinpun angot penjakitnja. Ia djuga
mengeluarkan djurus jang istimewa.
Ditengah malam jang gelap tampak dua sosok
bajangan ber-gulung2 laksana dua ekor kupu2. Suara
bentakan diseling deru angin pukulan, membuat daun2
pohon jang berada disekeliling 5 tombak djauhnja
berhamburan ketanah. Jang seorang, seorang dara sakti jang tengah
dilanda kebentjian dendam. Jang satu seorang manusia
berhati hitam jang tega membunuh guru dan merebut
kitab pusaka sang guru. Keduanja saling mengeluarkan
djurus2 jang luar biasa. Keduanja hanja mentjurahkan perhatian untuk
menghantjurkan lawan. Mereka tak menjadari bahwa
seorang tak dikenal telah melajang turun dari sebatang
pohon dan melihat pertempuran itu.
37 Tabib hitam Orang itu diam2 kagum atas djurus2 serangan jang
digunakan Giok-lo-sat. Walaupun Hek-sim-djin dapat
mengimbangi tetapi dalam waktu singkat tak mungkin ia
dapat mengalahkan sinona,
Se-konjong2 sepasang tangan Hek-sim-djin
diangkat keatas dan didorongkan se-kuat2nja. Seketika
itu Giok-lo-sat dihambur oleh gulung2 sinar hitam.
Tetapi rupanja telinga sidara buta itu luar biasa
tadjamnja. Seolah2 dapat melihat antjaman itu, gunakan
gerak penjesat untuk menghindari, lalu balas menjerang.
Tetapi kali ini Gok lo sat berhadapan dengan
seorang tokoh Hek sim-djin jang sakti, ia memberondong
sinona dengan hamburan sinar2 hitam.
Untunglah mata Giok-lo-sat buta hingga tak gentar
melihat hamburan sinar hitam. Ia terhujung-hujung dua
langkah kebelakang dan muntahkan segumpal darah
segar. Buru-buru ia mengulum mustika Giok-tju
kedalam mulutnja. Mustika Giok-tju merupakan benda adjaib jang
dapat menjembuhkan segala matjam ratjun. Tak berupa
lama Giok-lo-satpun pulih tenaga dalamnja.
"Thia Tat-hu, ilmumu Pukulan Hitam tak berguna
malam ini!" serunja mengedjek. Untuk membuktikan
pernjataannja, segera ia lepaskan sebuah pukulan jang
penuh tenaga-dalam. Hek-sim-djin terkedjut sekali, pikirnja: "Hm, budak
perempuan ini benar2 sakti. Karena sesuatu sebab
dalam tubuhku, aku hanja dapat mempeladjari ilmu
Pukulan Hitam sampai tiga bagian sadja. Sekalipun
begitu banjak sudah djago2 sakti jang kukalahkan.
Boleh dikata selama ini tiada seorang djago persilatan
jang mampu menandingi aku. Tetapi tjelaka, hari ini aku
benar2 ketemu batu!"
Kiranja ilmu Pukulan Hitam itu harus dijakinkan
dengan tjara jang istimewa. Jalah harus dipeladjari oleh
seorang kemudian orang itu harus menjalurkan seluruh
tenaga-dalamnja kepada orang kedua. Setelah itu
barulah kesaktian Pukulan Hitam dapat dikembangkan
dengan sempurna. Sekalipun hatinja gentar namun sifat2 tjongkak
dan ganas dari Hek-sim-djin melarangnja pantang
mundur. Dengan kedua tangannja ia ber-turut2
melepaskan 7-8 serangan. Rupanja orang jang melajang turun dari pohon tadi
mengetahui tanda2 kekalahan Hek sim-djin sudah
hampir mendekati. "Berhenti!" tiba2 ia membentak keras.
Kedua orang jang bertempur itupun segera lontjat
mundur. Orang itu melangkah madju dan memberi hormat.
"Tjudjin (madjikan), pertempuran baik disudahi
sampai sekian sadja!" kata orang itu.
Giok lo-sat mendengus dingin: "Thia Tat-hu, tidak
gampang kau hendak melarikan diri!"
Hek-sim-djin mengerut bengis: "Siapa kau"
Mengapa mentjampuri pertempuran ini?"
Kata orang itu dengan tenang: "Masakan tjudjin
lupa pada hamba Tio Sam si Mulut-besi?"
Hek-sim-djin memandang tadjam orang itu lalu
mendengus: "Aku tak peduli kau Tio Sam si Mulut-besi
atau Mulut-lumpur, pokoknja enjahlah!"
Orang jang mengaku dirinja Tio Sam si Mulut-besi
itu heran mengapa tuannja tak kenal padanja. Katanja:
"Harap tjudjin suka mengingat-ingat lagi. Dua puluh
tahun jang lalu hamba pernah melajani tjudjin beladjar
kitab!" Serentak Hek-sim-djin membentak: "Aku tak kenal
padamu, djangan merengek-rengek sanak kadang."
Orang itu tetap tenang. Hanja ia heran sekali
mengapa Hek-sim-djin jang pernah mendjadi
madjikannja lupa sama sekali kepadanja. Dipandangnja
Hek-sim-djin dengan lamat2. "Ah, benar," katanja dalam
hati, dia adalah madjikanku. Mengapa lupa padaku?"
"Dahulu siang malam aku selain melajanimu,
mengapa tjudjin lupa sama sekali?" katanja.
Giok-lo-sat sebal melihat pertjakapan mereka,
bentaknja: "Thia Tat-hu, malam ini kita harus selesai
siapa jang berhak hidup dan siapa jang harus mati..." kata2 itu diserempeki dengan sebuah gerak menutup
kedua tangan kedada dan melangkah madju.
Tiba2 orang jang menjebut dirinja Tio Sam si
Mulut-besi itu segera melangkah menghadang Giok"losat.
"Nona, idjinkan aku berkata sepatah," katanja.
"Lekas katakan!" djawab Giok-lo-sat ringkas.
"Dia bukan Thia Tat-hu!"
Giok-lo-sat terkesiap tetapi tjepat2 berseru: "Tidak
mungkin! Dia sendiri mengaku sebagai Hek-sim-djin
Thia Tat-hu, mengapa kau mengatakan bukan?"
"Nona, dia benar2 bukan Thia Tat-hu!" seru orang
itu. "Hm, kalau bukan habis siapakah dia?"
Orang jang mengaku sebagai Tio Sam si Mulut-besi
itu merenung sedjenak lalu berseru : "Dia jalah jang
digelari orang sebagai Tjian...."
Baru orang itu mengutjap begitu, se-konjong2 HekSim-djin menghantamnja: "enjah kau!"
Karena tak menjangka sama sekali bakal menerima
serangan, orang jang menjebut dirinja sebagai Tio Sam
itu terpental beberapa belas langkah dan membentur
sebatang pohon, ia rubuh tak dapat bangun lagi...
Giok-lo-sat tertawa mengikik.
Hek-sim djin memandangnja dengan bengis: "Apa
itu tjudjin, tuan besar Hek-sim-djin Thia Tat"hu segala
matjam tetek bengek. Kau hendak mengganggu aku
hendak mentjemoohkan namamu dengan segala matjam
sebutan. Ngatjo belo!"
Orang jang mengaku Tio Sam itu menahan
kesakitan, serunja: "Tjudjin, mengapa kau bersusah
pajah mengaku sebagai durdjana?"
Dengan murka sekali si Hek-sim-djin menghampiri.
"Berhenti!" tiba2 Giok-lo-sat berseru
membentaknja. Hek-sim-djin berpaling: "Api maksudmu mentjegah
aku?" "Ksatrya besar, orang gagah perwira, tak
seharusnja membunuh orang lemah jang sudah kalah
dengan kita!" sahut Giok-lo-sat
Hek-sim djin malu hati. Tiba2 ia berputar tubuh
dan batalkan niatnja hendak melabrak orang jang
menjebut dirinja sebagai Tio Sam itu.
"Apakah kau sungguh2 Hek-sim-djin Thia Tat-hu?"
seru Giok-lo-Sat dengan rada bersungguh.
Dengan nada jang girang, mendjawablah jang
ditanja: "Seorang lelaki selalu tak mau mengganti nama.
Hek-sim-djin Thia Tat-hu tak pernah bertindak tjara
gelap2an. Dulu Hek-sim-djin sekarangpun tetap Heksim-djin. Si Tio Sam bermulut lumpur itulah jang mengaku2 tak keruan hendak merusak namaku."
Seru Giok-lo sat dengan nada sarat: "Djika benarbenar kau Hek-sim-djin, aku tak dapat memberimu
ampun lagi!" "Aku Hek-sim-djin masakan takut padamu!" seru
Hek-sim-djin dengan murka.
Kaki Giok-lo-sat berkisar dan tiba2 tanganpun
diangkat: "Sambutlah ini!" - wut.... berbareng tangan
memukul terdengarlah deru angin kuat menjambar Heksim-djin.
Hek-sim-djin tjepat2 menangkis. Tetapi ia rasakan
angin pukulan Giok-lo-sat itu terlalu kuat sehingga ia
terhujung mundur sampai 3 langkah. Tubuhnja terhujung2.
Giok-lo-sat merangsang lagi. Dengan sekuat tenaga
Hek-sim-djin lontarkan Pukulan Hitam tetapi tak mampu
mentjegah badai pukulan jang dilepas Giok-lo-sat.
Dalam sekedjap mata petjah lagilah pertempuran
dahsjat antara kedua orang itu. Mereka tetap hendak
melandjutkan pertempuran jang belum selesai tadi.
Tio Sam si Mulut-besi terluka parah. Beberapa saat
kemudian baru ia dapat bangkit. Rupanja ia tak sakit
hati karena dipukul tuannja tadi. Bahkan ia merasa
gelisah atas keadaan tuannja jang mulai terdesak lawan
itu. Pelahan-lahan ia menghampiri. Rupanja ia hendak
memberi bantuan kepada Hek-sim-djin. Tetapi deru
angin dahsjat dan kedua tokoh jang sedang bertempur
mati2an itu merupakan lingkaran badja jang
menghalangi ia madju. Se-konjong2 terdengar lengking teriakan njaring
dan tubuh Hek-sim-djin bagaikan sebuah bola melajang
keudara. Bum..... Hek-sim-djin djatuh beberapa tombak
djauhnja....

Pukulan Hitam Hek-tjiang Karya S. D. Liong di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Dengan tjemas Tio Sam ber-gegas2 lari
menghampiri untuk memberi pertolongan. Tetapi ia
kalah tjepat dengan Giok-lo-sat jang sekali lontjat sudah
tiba dihadapan Hek-sim-djin. Tangan nona buta itu
menggenggam Bak-tim, benda beratjun jang paling ganas
didunia. Dipandangnja wadjah Hek-sim-djin lekat2, serunja:
"Akan kusuruh kau menikmati betapa rasanja bendu
ini!" " Tjet, setjepat kilat ia segera susupkan Bak-kim
kemulut Hek-sim djin. "Kau, kau ganas sekali!" Hek-sim djin menggeliat
dan mendampratnja. Giok-lo sat menarik kembali Bak-kim, katanja
dengan geram: "Kubunuhmu bukanlah sukar.... Pek
Hay-tju, kau kenal padanja?"
Wadjah Hek-sim djin berobah seketika, serunja
kaget: "Kau... kau... kau..."
Pada saat Hek-sim-djin ter-gagap2, Giok-lo-sat
sudah ajunkan tubuh melesat beberapa tombak.
Terdengar ia tertawa njaring, makin lama makin djauh....
Saat itu si Tio Sampun sudah tiba disamping Heksim-djin. Tampak wadjah Hek-sim-djin mulai berwarna
hitam. "Tjudjin, mengapa kau bersusah pajah mengaku
sebagai durdjana Hek-sim-djin!" seru Tio Sam dengan
sedih. Saat itu Hek sim-djin sedang pedjamkan mata
menjalurkan peredaran darah. Mendengar seruan Tio
Sam, ia segera membuka mata.
"Kau siapa" Mengapa tak henti2nja menjebut aku
sebagai tuanmu!" serunja dengan geram.
Tio Sam si Mulut-besi setengah merintih berkata:
"Tjudjin, kau..."
"Aku terang Hek-sim-djin, mengapa kau selalu..."
belum habis Hek-sim-djin berkata ia pingsan. Hawa
amarah telah menjerang hulu hati dan membeku.
Ditambah pula dengan ratjun Bak-kim jang mulai
bekerdja, gemetarlah tubuhnja dan ia djatuh pingsan tak
ingat diri lagi! Dengan mengerahkan sisa tenaganja, orang jang
menjebut dirinja Tio Sam si Mulut-besi itu segera
mengangkat tubuh Hek Sim djin. Dengan langkah terhujung2 ia membawanja kedalam hutan.
Fadjar mulai menebar, menjibak kegelapan malam.
Tiba2 dari balik sebaran2 pohon besar, muntjul seorang
gadis muda, itulah Giok-lo-sat. Rupanja dia belum
meninggalkan tempat itu. Tergerak hatinja melihat perbuatan orang jang
mengaku sebagai Tio Sam si Mulut besi, katanja seorang
diri: "Ah, benar2 seorang budjang setia!"
Masih ia tak mengerti mengapa budjang jang
menjebut diri sebagai Tio Sam si Mulut besi itu
menjatakan Hek sim djin madjikannja. Dan menurut
keterangan budjang itu, Hek-sim-djin itu ternjata bukan
Hek-sim djin jang aseli..
Antara kedua orang itu timbul perselisihan. Tio
Sam mengaku Hek-sim-djin itu tuannja tetapi Hek sim
djin merasa tak kenal dengan si Tio Sam. Bukankah
suatu kegandjilan" Tetapi achirnja Giok-lo-sat membuang hilang
peristiwa2 aneh itu. - menganggap hal itu tak ada
hubungan dengan dirinja. "Aku harus melandjutkan pembunuhan sampai
kawanan manusia2 itu lenjap didunia!" achirnja ia
menetapkan keputusan. Segera ia ajunkan langkah menjongsong mentari
pagi jang telah menembus halimun pagi. Ia terkesiap dan
berhenti. Walaupun buta tetapi ia merasa silau djuga
terkena sinar matahari. Pada lain saat ketika ia hendak melandjutkan
perdjalanan tiba2 sesosok bajangan melajang diudara.
"Tunggu dulu nona!"
Demi mendengar suara orang itu, tergetarlah hati
Giok-lo-sat. Walaupun ia tak dapat melihat namun
telinganja tadjam sekali. Tentulah segera ia tahu siapa
pendatang itu. Tetapi tjepat sekali Giok-lo-sat menekan getaran
hatinja dan berseru dengan nada dingin: "Bukankah kau
ini Ko sauhiap, Ko Tjian-hong?"
Memang pendatang itu bukan lain adalah Ko Tjian
hong jang menderita pukulan beratjun Tjhit-im-tok-hiattjiang dari Sin-tjiu-it-kiam. Pemuda itu lontjat
kehadapan Giok-lo-sat. Wadjahnja tampak putjat lesi.
"Benar, aku Ko Tjian hong," serunja.
"Perlu apa kau memanggil aku?" tegur Giok-lo-sat
dengan nada tawar. Tjian hong kerutkan dahi: "Hatimu jang hitam,
sepak terdjangmu jang ganas, benar2 membuat orang
menggigil ngeri!" geram Tjian hong.
"Itu bukan urusanmu!" djawab Giok-lo-sat.
"Djika nona hanja karena hendak mengisi nama
Giok-lo-sat supaja benar2 sesuai lalu bertindak
menggegerkan dunia persilatan, tak boleh tidak aku
terpaksa bertanja!" kata Tjian hong.
Djawab Giok lo sat: "Tiga bulan jang lalu, memang
segala sepak terdjangku kutudjukan untuk mengangkat
nama itu. Tetapi setelah itu pembunuhan jang
kulakukan terhadap beberapa durdjana itu, sama sekali
bukan karena mentjari kemasjhuran nama!"
Tjian hong terkesiap2. "Kalau begitu, tindakan nona sekarang ini
mempunjai lain tudjuan lagi," seru Tjian-hong.
Giok-lo-sat mengangguk. Tetapi kerut wadjahnja
menampilkan kegelisahan dan kerawanan.
"Apakah kau mempunjai permusuhan dengan
mereka?" tanja Tjian hong heran.
"Permusuhan" Tidak!" sahut Giok-lo-sat.
Tjian hong meregangkan alis, serunja dengan
dingin: "Kau..."
Giok-lo-sat tjepat membentaknja: "Hal ini
menjangkut suatu hinaan besar...." ia berputar tubuh
membelakangi Tjian hong. Diam2 ia mengusapkan
udjung badju kematanja jang bertjutjuran air mata.
"Aku akan membunuh orang supaja benar2 lajak
mendjadi seorang durdjana wanita jang bergelar Giok-losat," udjarnja geram.
Mendengar itu menggigillah hati Tjian hong,
udjarnja dalam hati: "Hm, benar2 berbahaja sekali
angan2nja itu!" "Beberapa tahun terachir ini tak seorangpun jang
memperhatikan diriku. Dunia ini hampa bagiku. Tak
pernah aku mendapat kasih sajang orang. Dan akupun
memang tak mengharap orang akan mentjintaiku...."
"Kau salah nona. Didunia ini kita dapat
memperoleh kasih sajang di-mana2..." buru2 Tjian-hong
menghiburnja. Tiba2 Giok lo sat berputar tubuh menghadapi
Tjian-hong lagi, serunja: "Kasih sajang" Apa perlunja
kasih sajang. Hidup tanpa menikmati tjinta, hanjalah
seperti ikan tanpa air atau burung jang kehilangan
kebebasannja. Apakah artinja hidup begitu?"
Ketika memandang akan ketjantikan Giok-lo-sat
jang sedemikian menondjol, diam2 Tjian hong tergetar
hatinja. "Enjahlah kau, enjahlah jang djauh!" tiba2 Giok-losat memekik keras.
"Nona, harap tenangkan hatimu..." budjuk Tjian
hong dengan iba. "Sudah tjukup aku hidup dalam kesunjian dan
kegelapan. Djika kau tak mau pergi terpaksa akan
kubunuhmu djuga!" teriak Giok-lo-sat seperti orang
kalap. Sudah tentu Tjian hong makin tak mau pergi. Dan
memang tudjuannja mentjari Giok lo-sat itu jalah
hendak meminta kembali mustika milik Hantu-majat
jang dirampas nona itu. Saat itu luka dalam tubuh Tjian
hong mulai terasa. Dahinja mengutjurkan butir2
keringat sebesar kedele. Mengapa Tjian hong tahu2 dapat menjusul Giok-lo
sat kesitu" Bukankah ia dalam keadaan tak sadar sedjak
menerima pukulan Tjhit-im-tok-hiat-tjiang"
Kiranja setelah diminumi pil Siok-beng tan oleh
Kang ou djo li, serta disaluri tenaga-murni oleh wanita
itu, Tjian hong dapat tersadar. Tetapi djiwanja hanja
dapat hidup tak lebih dari 12 djam.....
"Kau, kau benar2 tak mau enjah?" bentak Giok-lo
sat dengan bengis. Setjertjah keangkuhan gadis itu,
membertik dalam sanubarinja.
Dan sampai saat itu, Tjian-hong masih sungkan
untuk mengutarakan maksud kedatangannja kepada
nona itu. Ia berkomak-kamik hendak bitjara tetapi
sepatahpun tak dapat mengeluarkan kata-kata.
"Kalau hendak omong, lekas katakan atau segera
kugebahmu pergi!" kembali Giok-lo-sat berseru dingin.
Merahlah wadjah Tjian-hong.
"Aku hendak memindjam mustika Giok-tju pada
nona," achirnja Tjian hong memberanikan diri berkata.
"Takkan kupindjamkan padamu!" kata Giok lo-sat
dengan getas. Mau tak mau Tjian hong terkesiap djuga
mendengar perkataan begitu getas. Rasa malu
membakar mukanja. "Apakah nona benar2 tak mau memberi pindjam?"
serunja dengan nada keras.
"Masakan tak memindjamkan ada jang tak
sungguh2?" lengking Giok-lo-sat.
"Mustika Giok-tju dan Bak-kim itu adalah milik
supehku (paman guru). Bagaimana nona hendak
mengangkanginja?" seru Tjian hong.
"Benda itu memang ada padaku. Apa kau mampu
merebutnja?" edjek Giok-lo-sat.
"Kalau terpaksa, apa boleh buat!" sambut Tjianhong.
Giok-lo-sat tertawa hina: "Kepandaian jang kau
miliki, masih djauh dari kurang!"
Seketika berobahlah wadjah Tjian hong, serunja:
"Sekalipun bukan tandingan nona, namun aku tetap
hendak mentjobanja. Harap nona menerima seranganku
ini!" " Tjian hong menutup kata2nja dengan sebuah
gerakan memukul dengan tangan kanan.
Gok-lo-sat menghindar lalu balas memukul. Tjian
hong kagum2 heran atas gerakan sinona jang luar biasa
anehnja. Namun dia djuga seorang pemuda jang keras
kepala. Dengan sepenuh tenaga, ia lantjarkan djurus
Membelah-langit-menutup bumi jani djurus jang
istimewa dari ilmu Pukulan Hitam.
Angin menderu keras, meng-gontjang2kan rambut
Giok-lo-sat. Tiba2 nona itu melengking: "Kau tjari mati!"
Tjian-hong rasakan pandangannja gelap dan tahu2
siku lengannja dicengkeram Giok-lo-sat. Tjian hong tersipu2 malu. la menghela napas dan tundukkan kepala.
Giok-lo-sat mendengus dan lemparkan tangan
sipemuda: "Enjahlah!"
Tjian hong ter-hujung2 sampai 4-5 langkah.
Malunja bukan kepalang. "Ksatrya sedia dibunuh tetapi djangan dihina.
Bunuhlah aku..." Djilid 10 38 Indahnja surja Tjian-hong hendak menjerang tetapi Giok-lo-sat
mendorongnja: "Hm, kau bukan tandinganku... Djika
kau menghendaki mustika itu, harus meluluskan
sebuah sjarat!" "Sjarat apa?" Tiba2 wadjah Giok-lo-sat merah. Ia melangkah
beberapa langkah kemuka. Mulutnja hendak ber-kata2
tetapi tak djadi. Beberapa saat kemudian ia menghela
napas. "Ah, kau... kau tak mengerti?"
"Nona tak mengatakan, bagaimana aku mengerti?"
Kembali Giok-lo-sat menghela napas ketjewa. Tiba2
ia berganti nada: "Djika kau dapat menjembuhkan
mataku, segera mustika ini kuserahkan padamu!"
Tjian hong kerutkan dahi.
"Tempo hari nona pernah mengatakan, hanja kalau
mendapatkan sepan?g bidji mata burung garuda Thianeng, barulah mata nona dapat disembuhkan. Tetapi
dimanakah terdapat burung itu" Apalagi djiwaku hanja
tinggal beberapa djam sadja," serunja.
Kata giok-lo-sat: "Djika tak dapat mentjari Thianeng asal dapat mentjari seseorang pun boleh djuga!"
"Siapa" Siapkah jang mempunyai kepandaian
mengobati mata nona?" Tjian-hong berseru gegas.
Djawab Giok-lo-sat dengan tawar: "Pernahkah kau
mendengar tentang sepasang durdjana Hek-sim-songtjiat?"
Tjian-hong tergetar hatinja. i
"Kau maksudkan sitabib Hek-sim Hoa To?"
Giok lo-sat mengangguk: "Kabarnja Hek-sim Hoa To
mempunjai kepandaian jang sakti. Dapat menghidupkan
lagi orang jang sudah meregang djiwa. Kukira dia tentu
mampu menjembuhkan mataku. Apalagi mataku ini
bukan buta sedjak lahir. Hanja karena berduka dan
terlalu banjak mengutjurkan airmata..." - tiba2 ia
berhenti. Rupanja ia merasa bitjara terlalu djauh.
Tjian-hong tertarik oleh nasib malang jang
menimpa nona itu. Seketika timbullah pula rasa
kasihannja. "Penderitaan nona menang membuat orang ikut
perihatin..." "Siapa mengharap kasihanmu!" tiba2 Giok-lo-sat
memutus, "djika kau tak mampu mentjari Hek-sim Hoa
To, djangan harap mendapat mustika Giok-tju!"
Tjian-hong gugup, serunja: "Aku bersumpah tentu
mentjari obat untuk nona. Tetapi aku sendiri terantjam
maut. Mohon nona suka memberi pindjam mustika
itu..." Giok lo sat tertawa dingin: "Kau kira aku botjah
ketjil" Apabila Giok-tju berada ditanganmu, masakan
aku masih dapat mengharap kau bakal mentjarikan


Pukulan Hitam Hek-tjiang Karya S. D. Liong di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tabib Hek-sim Hoa To itu?"
Tjian hong terkesiap. "Mengapa nona mengukur
diriku dengan ukuran seorang siau djin (orang rendah)?"
"Huh, huh, huh, ja kau memang seorang ksatrya
dan aku seorang siaudjin. Sudahlah tak usah kau minta
pindjam padaku," Giok-lo sat melengking marah.
Tahu kalau kesalahan bitjara, Tjian-hong tergagap2 hendak memberi pendjelasan. Tetapi makin
gugup makin tak dapat ia mengeluarkan kata2.
"Tak peduli seorang ksatrya atau seorang rendah,
djika menginginkan mustika itu kau harus mentjari
tabib Hek-sim. Ka1au tidak, djangan harap lagi!"
Habis berkata nona buta itu segera melangkah
pergi. Tjian-hong ter-sipu2 bingung. Ketika hendak
memanggil tiba2 terdengar seseorang berseru lantang:
"Nona berhenti dulu!"
Tjian-hong terbeliak. Seorang tua berbadju kelabu
muntjul dari balik sebatang pohon. Kedjut Tjian-hong
tak terkira ketika dikenalinja orangtua itu bukan lain
jalah Jap Tjeng. Giok-lo-sat berhenti tetapi tanpa berpaling kepala
ia berseru: "Siapa kau" Mengapa kau mentjegah aku?"
Jap Tjeng menjahut dengan tenang: "Bukankah
nona hendak mentjari aku?"
"Kau siapa" Mengapa aku hendak mentjarimu?"
seru Giok-lo-sat. "Aku si orangtua ini adalah Jap Tjeng, nama jang
kupakai beberapa tahun terachir ini. Dengan maksud
dimulainja suatu penghidupan baru. Tetapi dahulu aku
mempunjai sebuah gelaran jang tjukup sedap didengar,
tetapi djuga menggetarkan hati."
Serempak berputarlah Giok-lo-sat, tegurnja:
"siapakah ini, hai?"
Masih tenang2 sekali Jap Tjeng menjahut:
"Perangai nona kelewat mandja. Djika menurut watakku
tempo dulu, dikuatirkan...."
Saat itu Tjian-hong segera menghampiri Jap Tjeng
dan memberi hormat: "Mungkin kalau tak salah tjianpwe
ini jalah Hek sim Hoa To?"
Mendengar itu terkesiaplah Giok-lo-sat.
"Benarkah kau Hek-sim Hoa To?" serunja tegang.
Dengan nada bersungguh, Jap Tjeng mendjawab:
"Kalau nona suka membajar dengan mustika Giok-tju,
aku pertjaja tentu dapat mengobati matamu!"
Mendengar orangtua itu djuga memburu Giok-tju,
guguplah Tjian-hong. Buru2 ia hendak mentjegah tetapi
didahului Giok lo-sat: "Benarkah kau ini Hek-sim Hoa
To?" "Soal itu tak perlu kiranja nona mengurus
pandjang lebar!" sahut Jap Tjeng.
Giok-lo sat menjingkap rambutnja jang terkulai
dibahu, udjarnja, "Tetapi aku pertjaja kau untuk sekali
ini!" Ia mengeluarkan mustika sebesar bidji kelengkeng
dan diserahkan pada Jap Tjeng. Tjian hong tegang sekali.
Tetapi Jap Tjeng rupanja tak menghiraukan. Malah
mustika itu diberikan padanja seperti tak terdjadi
sesuatu. Tjian-hong makin kaget. Tak berani ia buru2
menerimanja. "Tjianpwe, apa artinja ini"
Djawab Jap Tjeng dengan sarat: "Lekas kulum
mustika itu kedalam mulutmu dan segera salurkan
napasmu!" Tjian hong tegang sekali. Perintah orangtua jang
penuh wibawa itu membuatnja tak dapat menolak.
Segera mustika itu dikulumnja dan iapun duduk bersila
menjalurkan peredaran darah untuk mengeluarkan
ratjun jang terbenam dalam tubuhnja.
Kemudian Jap Tjengpun berpaling kepada Giok-losat, serunja: "Marilah mulai kuobati mata nona!"
Giok lo sat mengangguk. Jap Tjeng menjinggungkan lengan badju dan
dengan gerakan jang tjepat, ia tusukkan telundjuk
djarinja kepada Giok-lo sat. Begitu nona itu rubuh terus
disambuti dan diletakkan dibawah sebatang pohon
rindang. Tabib itu dengan lihaynja segera mulai bekerdja.
Tjepat sekali laksana ular memagut djari orangtua itu
menutuki 39 djalan darah Giok lo sat. Kemudian
mengambil sebotol obat tjair diteteskan kemata sinona.
Dalam pada itu keadaan Tjian hongpun mengalami
saat2 jang kritis (tegang). Dahinja mengutjurkan keringat
deras. Beberapa saat kemudian tiba2 ia berdiri dan
muntahkan Giok-tju. Segera ia menghampiri ketempat
Jap Tjeng. Tampak orangtua misterius itu tegak dengan
mendekap tangan. "Budi pertolongan lo-tjianpwe ini takkan kulupakan
se-lama2nja," katanja menghaturkan terima kasih.
"Tak perlu berterima kasih, lekas berikan mustika
itu kepadaku!" sahut Jap Tjeng. Setelah menerima
mustika dari Tjian hong, Jap Tjeng berkata pula:
"Belasan tahun jang lalu aku pernah terkena ratjun dari
Hek-sim tok ong. Untung aku ditolong Si Kiok-tjiang.
Demi untuk membinasakan Hek-sim-tok-ong, terpaksa
mengambil mustika Giok tju ini!"
Jap Tjeng memandang Giok-lo-sat, udjarnja:
"Kuobati mata nona itu adalah karena memandang muka
ajahnja!" Sampai saat itu Tjian-hong belum djelas akan asal
usul sinona buta Giok lo sat. Mendengar keterangan Jap
Tjeng, ia menanjakan lebih landjut: "Siapakah ajahja?"
Sahut Jap Tjeng singkat: "Tang hay ki-hiap." Tiba2
orang tua aneh itu melesat beberapa tombak djauhnja:
"Rawatlah dia baik2. Dia seorang dara jang bernasib
malang!" - Tahu2 orangtua aneh itu melesat djauh....
Tjian hong terkedjut tetapi orangtua itu sudah
lenjap. Kini ia alihkan perhatiannja kepada Giok lo sat,
Dilihatnja wadjah nona itu mengulum senjum berseri.
Dalam keadaan demikian, nona ini semakin tampak
tjantik sekali. Pikiran Tjian hong melajang djauh. Tanpa disadari
ia menjingkap rambut sinona jang menutup mukanja.
Tiba2 Giok-lo-sat membuka mata. Sepasang
matanja memantjarkan sinar berkilat memandang Tjianhong - "Kau siapa?" tiba2 nona itu berseru kaget.
Tjian-hongpun kaget djuga. Tjepat2 ia menarik
kembali tangannja dan wadjahnjapun merah. Ia
menjurut mundur, mulutnja ter-gagap2 tak dapat
bitjara. Giok-lo-sat bangun - "Apakah kau ini Ko sau-hiap?"
serunja dengan nada jang djauh lebih lunak dan lembut.
"Begitulah," Tjian-hong segera memberi hormat,
"kuhaturkan selamat atas kesembuhan nona!"
Giok lo-sat memandang kian kemari, tanjanja "Heksim Hoa To?"
"Sudah pergi!" "Pergi" Mengapa tak tunggu sampai mataku sudah
sembuh baru pergi" Apakah dia jakin mataku sudah
pasti sembuh?" seru Giok-lo-sat.
Dia mempunjai kejakinan begitu!"
"O, makanja digelari sebagai tabib Hoa To jang
hidup lagi!" kata Giok-lo sat.
Hoa To adalah seorang tabib sakti jang hidup
didjaman Sam Kok. Tabib itulah jang pernah melakukan
operasi tangan seorang pahlawan (Kwan Kong) jang
terkena panah beratjun. Dalam pada ber-tjakap2 itu Tjian-hong tak
berkedip memandang wadjah sinona. Nona jang
beberapa saat berselang masih buta, kini telah memiliki
sepasang gundu mata jang memantjarkan sorot bening.
Wadjah tjantik dari Giok-lo-sat makin bertambah tjantik
ketika memiliki sepasang mata jang indah. Dara itu
bagaikan sekuntum bunga mawar berseri dihari pagi....
Namun Tjian-hong masih belum tahu djelas asal
usul dara itu. Tak dapat lagi ia menahan diri, tanjanja:
"Bolehkah aku mengetahui nama nona jang sebenarnja?"
Giok lo-sat tertawa riang: "Bukankah kau telah
memberikan nama Giok lo sat kepadaku" Panggillah
dengan nama itu sadja. Nama toh hanja suatu tanda,
mengapa kau begitu mementingkan?"
Tjian-hoog tertawa hambar: "Nama Giok-lo-sat itu
sebenarnja bukan kehendakku jang sesungguhnja...."*
"Tidak, nama itu memang bagus. Aku suka sekali."
"Tetapi nama Lo-sat itu tak sesuai, "seru Tjianhong.
Tiba2 wadjah Giok-lo-sat mengerut: "Asal aku
dapat bertindak sebagai Lo-sat, itulah tjukup!"
Diam2 Tjian hong bergidik melihat pendirian nona
jang penuh ber-angan2 pembunuhan itu; Tak berani ia
mengungkit soal nama lagi dan segera adjukan
pertanjaan: "Dimanakah rumah nona?"
Giok-lo sat berkata dengan tawar: "Djauh sekali."
Kembali hati Tjian hong bergetar. Teringat ia akan
utjapan Jap Tjeng tadi bahwa ajah Giok-to sat itu jalah
Tang-hay ki hiap atau pendekar aneh dari laut Tang hay.
Benarkah itu" "Apakah ajah nona bukan tokoh Tang-hay-ki-hiap?"
segera hal itu ditanjakan djuga.
Mendengar itu serentak berobahlah wadjah Gioklo-sat. Sorot matanja jang bening segera berobah rawan.
Tjian hong tertegun. "Bagaimana kau mengetahui?" tanja Giok-lo-sat.
Suatu pertanjaan jang mengandung nada pengakuan
atas pertanjaan Tjian-hong tadi.
Tjian-hong terkedjut, serunja: "Kalau begitu Pek
Hay-tju itu adalah ibumu?"
"Djangan menjebut namanja! se-konjong2 Giok-losat membentaknja. Wadjahnja penuh kerut2
pembunuhan. Tjian hong kaget dan menjurut dua langkah.
Dipandangnja nona ini lekat2.
Tiba2 mata Giok-lo-sat mengitjup dan pada lain
kedjapan berubah menjesal, malu. Ter-sipu2 ia
menundukkan kepala. Dengan mara pelahan ia berkata
seorang diri: "Aku, aku tak sepadan mentjintaimu."
Tjian-hong tersirap kaget. Dendam asmara jang
terpendam dalam kalbunja serentak bergelora. Ia madju
mentjekal kedua lengan nona itu, serunja mesra:
"Apakah kau djuga mentjintai aku" Ketahuilah, pertama
kali berdjumpa padamu, diam2 aku sudah mentjintaimu.
Tetapi aku merasa rendah diri tak berani mengutarakan
isi hatiku..." "Tetapi aku tak sesuai, tak sesuai menerima
tjintamu.... Memang sewaktu aku masih buta,
mendengar suaramu sadja aku sudah djatuh hati. Tetapi
kau begitu keras kepala, angkuh sehingga setiap kali
aku terpaksa membikin susah padamu!"
Dua insan jang sebenarnja saling tjinta ternjata
selama itu tak berani menumpahkan isi hatinja. Suatu
hal jang menjedihkan. "Tetapi sekarang kita sudah mengetahui isi hati
kita masing2, kita dapat saling mentjintai dengan
sepenuh hati!" kata Tjian-hong.
Tiba2 mata Giok-lo-sat membelalak, sahutnja
dingin: "Tidak, kita sukar saling mentjintai!"
"Mengapa?" Tjian-hong terbeliak.
"Kelak kau tentu mengetahui sendiri!"
"Tidak, aku menghendaki keteranganmu sekarang!"
Dipandangnja anakmuda itu dengan penuh
kemesraan, udjarnja: "Tjian-hong idjinkanlah aku
memanggilmu dengan sebutan itu. Kutahu kaupun
mentjintai aku, hatiku puas sudah. Tak berani aku
melangkah lebih djauh untuk mendapat tjintamu itu!"
"Tidak! Tidak! Tidak! Aku tjinta padamu!" seru
Tjian-hong , "Tetapi aku adalah puteri dari Pik Hay-tju," Giok-lo
sat gelengkan kepala. Tjian-hong tak mengerti apa jang dimaksud dengan
kata2 sinona itu: "Apa halangannja" Seseorang tentu
mempunjai itu!" Airmata Giok lo sat bertjutjuran: "Tetapi dia
berlainan dengan wanita lain!"
"Tidak!" bantah Tjian-hong, "ibu2 didunia ini
mempunjai sifat2 kebesaran jang sama!"
"Dia tak berharga menerima pudjianmu...."
Tiba2 Giok-lo-sat berhenti berkata. Ia merasa
keliwat garis, buru2 ia beralih: "Kelak bila sudah
mengetahui, kau tentu dapat memaklumi sendiri!"
"Tidak, aku tetap tjinta padamu. Apapun jang
terdjadi tak nanti dapat menghalangi tjintaku padamu!"
Tjian-hong memberi pernjataan tegas. Diusapnja mata
sidara dengan udjung badjunja.
Giok-lo sat menghela napas rawan: "Tetapi aku tak
dapat, tak mungkin...."
Mulailah timbul keheranan Tjian-hong terhadap Pik
kuy-tju, ibu Giok-lo-sat itu. Ia duga tentu terdjadi
sesuatu diantara ibu dan puterinja. Tetapi ia tak
mengerti bagaimana persoalannja.
Tiba2 Giok-lo-sat mendorong tubuh Tjian-hong
serunja: "Aku harus pergi atau aku nanti akan menderita
kedukaan lebih besar."
"Tjintaku padamu takkan luntur walaupun oleh
gangguan apa sadja!" seru Tjian-hong.
Sahut Gok-lo-sat penuh keheranan: " Kata2mu itu
akan kuukir dalam hatiku. Djika lain kali kudengar kau
masih mau menjatakan begitu, kita nanti mempunjai
harapan untuk menikah!"
"Pendirianku pasti teguh, sekarang, kelak dan selama2nja! seru Tjian-hong dengan tegas.
"Djangan keburu mengutjapkan ikrar dulu atau
kelak kau akan menjesal. Selamat tinggal!" sambil
melambaikan tangan, melangkahlah dara itu dengan
kaki sarat. Beberapa saat kemudian ia lenjap di-antara
kabut pagi Tjian-hong ter-longong2 seperti kehilangan
sesuatu. Tiba2 ia berputar tubuh dan membentak: "Hai,
siapakah jang berada diatas pohon itu?"
Sesosok tubuh melajang turun dari atas pohon.


Pukulan Hitam Hek-tjiang Karya S. D. Liong di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Bukan kepalang kedjut Tjian-hong ketika mengetahui
bahwa jang muntjul itu adalah Tio sam Mulut-besi.
Teringat bahwa gerak geriknja dengan Giok-lo-sat tadi
tentu diketahui Tio Sam, merahlah muka Tjian-hong.
Rupanja Tio Sam tahu djuga akan perasaan sianakmuda, buru2 ia berkata: "Siau-tjudjin, aku Tio
Sam!" "Apa?" Kau memanggil aku siau-tjudjin?" teriak
Tjian-hong kaget. Siau-tjudjin artinja madjikan ketjil.
"Benar, aku memang budjang ajahmu."
"Kau tadi melihat aku dengan Giok-lo-sat?" tanja
Tjian-hong dengan likat. Tio Sam mengangguk. Tjian-hong tahu bahwa budjang itu mempunjai
pengalaman luas didunia persilatan. Mungkin ia dapat
mengorek keterangan tentang diri Giok"lo"sat.
"Kenalkah kau dengan Giok-lo-sat?" tanjanja.
Tio Sam balas bertanja: "Kau tahu dia anak dari Pik
Hay-tju?" "Tahu!" "Kau tahu orang apa Pik Hay-tju itu?"
Dari mulut Kui-mo tempo hari aku pernah
mendengar sedikit tentang wanita itu, katanja: "Pik Haytju adalah puteri dari Bu Yu lodjin, isteri dari Tang-hayki-hiap. Menurut tjeritanja pada duapuluh tahun jang
lalu, Pik-hay-tju tinggalkan pulau kediamannja dan
kemudian tak djelas djedjaknja."
"Kau hanja tahu riwajatnja, tetapi tak tahu
keadaannja, setelah ia menghilang dari pergaulan
ramai." Tjian hong mengangguk. "Kau sangat mentjintai Giok-lo-sat?" tanja Tio Sam.
"Benar, tjinta itu sudah bersemi semendjak lama
sekali," sahut Tjian-hong.
Tio Sam menghela napas: "Ah, seharusnja kau
segera menarik kembali tjintamu itu!"
Tjian-hong lototkan mata: "Tidak, tjinta itu tak
bersjarat. Walaupun apa jang terdjadi, aku tetap
mentjintainja!" "Siau-tjudjin, hal itu benar2 suatu pertjintaan jang
menjedihkan!" "Menjedihkan?" Berkata Tio Sam dengan pelahan: "Apabila sudah
kau ketahui riwajat Pik Hay tju setelah mengembara,
kau tentu takkan mentjintai Giok-lo sat lagi... tahukah
kau apa sebab Pik Hay-tju meninggalkan pulau Sian-li
ki?" Pulau Sian li-ki itu sebuah pulau jang indah subur.
Suatu tempat jang menjenangkan. Ja, mengapa Pik Hay
tju meninggal pulau indah itu dan berketjimpung dalam
masjarakat jang kotor"
Bertanja Tjian-hong dengan heran: "Mengapa" Aku
tak tahu!" Tio Sam menghela napas pandjang.
"Lebih baik kau djangan tahulah!"
"Mengapa?" tanja Tjian-hong.
Tio sam sedjenak merenung, udjarnja: "Agak dalam
hatimu masih terhuni impian jang indah!"
"Tidak, aku inqin mengetahui!" seru Tjian hong
dengan mantap. Tio Sam memandang anakmuda itu dengan tadjam.
Achirnja ia memutuskan memberi pendjelasan.
39 Bertemu untuk berpisah
"Pik-Hay-tju tak betah tinggal dipulau jang
tenteram. Rupanja ia bosan dengan kehidupan sesunji
itu. Dan jang lebih tjelaka lagi ialah ternjata wanita itu
tak puas dengan suaminja Tang-hay-ki-hiap. Tang-hayki-hiap seorang lelaki jang mengutamakan
keperwiraan...." Tjian-hong heran, tanjanja: "Seorang lelaki perwira
toh seorang suami jang baik, mengapa Pik Hay tju masih
kurang puas?" Tio Sam merenung sedjenak lalu berkata dengan
tak malu2: "Dengan lain perkataan, Pik Hay-tju itu
seorang wanita jang besar nafsunja. Seorang wanita jang
tak puas dengan suami jang kurang perangsang!"
"Ngatjo!" bentak Tjian-hong.
"Ini memang suatu kenjataan. Djika kau tak
senang mendengarkan, tak perlu kulandjutkan tjerita ini
lebih landjut!" djawab Tio Sam.
Tjian-hong gugup dan mendesak: "Ja, ja,
teruskanlah tjeritamu! Dari pulaunja Pik Hay-tju
menudju kemana?" Kedaratan Tiong-goan!"
"Lalu?" Tio Sam tak segera menjahuti tetapi melandjutkan
tjeriteranja setjara teratur: "Daratan Tiong-goan
merupakan sebuah negeri jang kaja makmur. Pik Hay-tju
tersengsem melihat keindahan Tiong-guan. Apalagi
seorang wanita sematjam ia. Dengan mudah ia terpikat
oleh peristiwa jang tak senonoh. Apalagi ia seorang
wanita jang berkepandaian tinggi dan djuga membawa....
kitab Bu-dji-thian-su milik ajahnja...."
"Hih, apakah kitab itu kemudian hilang?" tak dapat
lagi Tjian-hong mengendalikan keinginannja tahu.
"Telah kukatakan Pik Hay-tju itu seorang wanita
jang bernafsu besar. Setelah didaratan Tiong-goan ia
makin binal, ia mempersolek diri makin menjala. Disana
sini ia memuaskan nafsunja dengan lelaki. Dan jang
paling tak dapat dimaafkan, dia pun berhubungan djuga
dengan Sik-long si Serigala-paras-tjantik...."
"Sik-long sudah lama mati dibawah Pukulan
Hitam!" seru Tjian hong.
Tio Sam gelengkan kepala: "Tidak semudah itu
tuan. Selain berilmu tinggi, Sik-long djuga seorang
manusia jang memiliki ketjerdasan lebih. Dia pandai
mengatur siasat tipu. Dia tidak mati!"
Tjian hong benar2 tak pertjaja. Namun ia tak mau
menanjakan. Berkata Tio Sam lebih landjut: "Setelah
berhubungan dengan Sik-long, atas andjurannja,
mulailah Pik Hay tju merentjanakan untuk mendirikan
sebuah partai persilatan jang menggetarkan dunia
persilatan. Tetapi pendirian itu tak semudah jang
dimimpikan. Banjaklah musuh2 jang tangguh. Achirnja
Pik Hay-tju mengganas anak buah Te-gak-bun.
Pada saat itu Ko Ko-hong baru mendjadi mempelai
baru dengan Tiang li Hoa Siao-lan puteri djelita dari
ketua partai Thian-tong-bun (Nirwana). Dan setelah
menikah, Ko Ko-hongpun menerima djabatan sebagai
ketua Te gak bun. Melihat wadjah tuan Ko, terpintjutlah
hati Pik Hay-tju. Dengan berbagai siasat ditjobanja
untuk memikat tetapi tuan Ko, seorang lelaki jang
berhati teguh. Tak sedikitpun hatinja gojah menerima
budjukan ular tjantik itu.
Pik Hay-tju minta bantuan Sik-long, Sik-long
sedang mempersiapkan suatu ramuan obat jang disebut
Kiong-sin-tan (pil pemikat). Diam2 obat itu
diselundupkan kedalam makanan tuan Ko..."
"Apakah pil itu" Bagaimana gunanja?" tanja Tjianhong.
"Pil Kiong-sin-tan merupakan obat bius penghilang
ingatan jang ganas. Barang siapa memakannja, ia tentu
akan kehilangan kesadaran pikirannja dan menurut
sadja jang diperintahkan Sik-long!"
Mata Tjian-hong ber-kilat2 sinar pembunuhan.
"Tuan Ko dikuasai mereka dan didjebloskan dalam
pendjara dibawah tanah," kata Tio Sam lebih landjut.
"Pik Hay-tju dan Sik-long lalu mengadakan pembersihan.
Banjak anakbuah Te-gak-bun jang dibunuh. Aku dan
njonja Ko berhasil lolos tetapi ditengah djalan kami
tertjerai berai." "Apakah ajah sekarang ini masih dikurung dalam
pendjara Neraka-19-lapis?" teriak Tjian-hong dengan
marah. "Hm," Tio Sam menggeram, "tiga bulan setelah
dimasukkan dalam pendjara, Pik Hay-tju mulai
melaksanakan hasratnja. Karena dalam keadaan tak
sadar, tuan Ko menuruti rajuan wanita itu. Kemudian
hal itu diketahui Sik-long. Dia marah dan memaksa tuan
Ko berganti nama lalu menjuruhnja berguru pada
Hantu-majat (Si-sin). Setelah tiba saatnja, Sik-long
mengatur penjergapan pada Hantu-majat dan pada saat
Hantu-majat dalam bahaja, tuan Ko diam2 mentjuri
kitab ilmu Pukulan Hitam dan membawanja lari...."
Tjian-hong tersentak kaget sekali.
"Ajah berganti nama apa?" serunja tegang.
"Hek-sim djin.... Thia Tat-hu... "
Seketika gemetarlah tubuh Tjian-hong. Wadjahnja
putjat lesi! "Kemudian puteri Pik Hay-tju jang bernama Gioklo-sat menudju ke Tiong-goan mentjari ibunja. Tetapi
ketika mendengar perbuatan mamahnja jang senista itu,
dara itu malu dan gusar sekali. Ia bersumpah untuk
membunuh semua orang jang pernah berzinah dengan
Pik Hay-tju!" "Oh, maka ia telah membunuh sekian banjak
djiwa!" seru Tjian-hong.
Tio Sam menghela napas, udjarnja: "Tak diketahui
dari mana nona itu dapat memiliki Ba kim benda jang
paling beratjun didunia. Suatu sendjata jang menambah
keganasannja. Dan tadi tuan Ko pun berdjumpa dengan
Giok-lo-sat. Wadjah Tjian-hong makin putjat. Dadanja sesak
sekali. Kata Tio Sam lebih djauh: "Meskipun telah
mejakinkan ilmu Pukulan Hitam, tetapi ilmu mempunjai
tjiri jang istimewa. Seorang jang sudah mempeladjari
ilmu itu harus lebih dulu menjalurkan tenaga-dalamnja
kepada orang kedua. Setelah itu barulah ia dapat
mengembangkan tenaga-dalam Pukulan Hitam dengan
sempurna, Giok-lo sat kedua matanja buta, ia tak
merasa terkena pantjaran ilmu Pukulan Hitam. Karena
itu maka kalahlah tuan Ko dan terkena ratjun Bakkim...."
Tjian-hong ter-hujung2 gemetar. Kepalanja serasa
dihantam palu besi. "Dimanakah ajah sekarang ini?" serunja.
"Setelah terkena ratjun Bak-kim, tuan Ko malah
mendapat keuntungan jang tak terduga. Pengaruh pil
Kiong-sim-tan (pelenjap djiwa), hilang terkena Bak-kim.
Dan pulihlah kesadarannja. Dia menjadari
kesalahannnja selama ini. Tetapi karena ia tak
menginsjafi bahwa kesadarannja itu karena terkena
ratjun Bak kim, maka ia tak menjalurkan sebagaimana
mestinja agar dapat mengusir daja chasiat ratjun Kiongsim-tan. Ratjun Bak-kim mendjalar kekepala dan djalan
darah ditubuh, kini djiwa tuan Ko dalam bahaja."
"Bawa aku kesana!" serentak Tjian-hong
mentjengkeram bahu budjang itu.
"Aduh, siau-tjudjin, lepaskanlah!" Tio Sam
mendjerit kesakitan. Tjian-hong melepaskan tjengkeramannja tetapi
keringat berkerumun didahi. Ia gelisah sekali
memikirkan keadaan ajahnja. Walaupun sedjak ketjil tak
pernah melihat wadjah ajahnja tetapi hubungan darah
antara ajah dan anak, tak dapat dihapus. Tjian-hong
gugup sekali ketika mendengar ajahnja terkena ratjun
Bak-kim. "Mari!" Tio Sam segera melangkah pergi, Tjianhongpun mengikuti.
Dengan ilmu lari tjepat dalam sekedjab sadja kedua
orang itu sudah melintasi sebuah rimba dan langsung
menudju ketebing karang. Tak berapa lama tibalah
keduanja disebuah goha karang.
Ketika Tio Sam berhenti, Tjian-hongpun lambatkan
langkah. Tiba2 ia mendengar suara rintihan. Tjepat
sekali Tjian-hong menerobos masuk ke dalam goha.
Djuga Tio Sam tegang sekali. Suara rintihan itu adalah
suara Ko Ko-hong. Setelah membiluk sebuah tikungan, tibalah Tjianhong disebuah ruang. Diatas sebuah tempat tidur batu
terdapat seorang sasterawan setengah tua sedang rebah.
Tjian-hong pernah berdjumpa dengan orang itu jani
seorang berkerudung muka jang mengenakan badju
warna kelabu. Orang jang mengaku dirinja Hek-sim-djin
Thia-Tat-hu. Serta merta Tjian-hong segera berlutut didepan
randjang batu itu: "Jah, jah, aku adalah Ko Tjian-hong,
puteramu..." Ikatan batin antara ajah dan anak membuat Tjianhong menangis ter-sedu2. Tampak Ko Ko-hong kitjupkan
mata. Dengan sorot mata jang suram dipandangnja
anakmuda itu. Tangannja gemetar menarik tubuh
puteranja: "Kau Hong-dji.... ah, anak kasihan...."
"Jah, aku benar Hong-dji!"
"Ah, dapat melihatmu sekali sadja, puaslah
hatiku....." tiba2 Ko Ko-hong berganti nada:
"Mamahmu?" "Mamah?" Tjian-hong mengedipkan mata. Air-mata
membandjir deras. "Bagaimana" Apakah mamahmu mengalami nasib
malang?" Ko Ko-hong mulai tegang.
Tjian-hong mengangguk. "Siapa jang membunuhnja?"
Ibu Tjian-hong atau Kang-ou-bi-djin binasa
dibawah pedang Tui-hun-kiam (Sambar-njawa) milik Ko
Ko-hong. Sukarlah bagi Tjian-hong untuk mendjawab
pertanjaan ajahnja. "Hong-dji, siapakah jang membunuh ibumu?" Ko
Ko-hong mengulang pertanjaannja lagi.
Dengan ter-kait2 Tjian-hong berkata, "Pedang
Sambar... njawa..." Djantung Ko Ko-hong seperti dipalu. Ia katupkan
matanja dan berdiam diri. Sampai lama baru ia
meluntjurkan beberapa patah kata: "Kedji sekali!"
Tiba2 Ko Ko-hong membuka mata lagi dan
memandang Tjian-hong: "Hong-dji, apakah kau
mentjurigai ajah jang membunuh mamahmu?"
"Tidak..." Ko Ko-hong menghela napas rawan, udjarnja: "Itu
benar2 suatu siasat litjik jang disebut Bi-djin-ke!"


Pukulan Hitam Hek-tjiang Karya S. D. Liong di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Bi-djin-ke artinja siasat mentjari umpan wanita
tjantik. Suatu perkawinan politik atau siasat untuk
menguasai musuh dengan ikatan perkawinan.
"Lagi2 tingkah laku Pik Hay-tju!" Tjian-hong
menggeram. Ko Ko-hong gelengkan kepala: "Bukan, Pik Hay-tju
hanja alat, dia dikuasai oleh seseorang."
"Siapakah biang keladinja itu"
"S i k - l o n g !"
"Dia?" teriak Tjian-hong dengan gigi gemerutuk.
"Apakah dia belum mati?"
"Belum," kata Ko Ko-hong, "aku termakan pil Kongsim-tan buatannya sehingga hilang kesadaran pikiranku
dan melakukan kedjahatan2. Dan kuadjarkan djuga
kepadanya ilmu pedang Tui-hun-kiam. Hm, sungguh tak
njana dia menggunakan ilmu itu untuk membunuh
Sian-Lan, kedji, kedji!"
Serentak Tjian hongpun mengutjapkan sumpah:
"Anak bersumpah pasti akan mentjutji bersih dendam
sakithati itu!" Kulit maka Ko Ko hong sudah mulai menebar
warna hitam, dengan nada lemah ia berkata: "Ah, aku
sudah tak ada harapan. Setelah terkena ratjun Bak-kim
anak Perempuan itu memang pengaruh Kiong-sim-tan
dapat dibujarkan tetapi akupun tak terluput dari
kematian. Sebelum mati, aku harus memberitahukan
kepadamu tentang siasat2 kedji jang mereka
persiapkan..." "Siapakah, jah" Tjian-hong terkedjut.
"Sik long, Pik Hay-tju dan Tok-ho-tjui!"
"Mereka tergolong durdjana2 besar!" Tjian-hong
berseru kaget. Ko Ko-hong mendjelaskan: "Tetapi jang mendjadi
biangkeladi utama jalah Sik-long. Dialah jang menguasai
Pik Hay-tju dan Tok-ho-tjui!"
Tjian-hong diam2 heran mengapa Pik Hay tju dan
Tok-ho-tjui (Air beratjun) dapat dikuasai Sik long.
Padahal kedua tokoh itu memiliki kepandaian sakti.
Rupanja Ko Ko-hong mengerti djuga keheranan
puteranja. Sebelum Tjian-hong bertanja, ia sudah
mendahului berkata: "Kepandaian Pik Hay tju dan Tokho-tjui itu djauh lebih tinggi dari Sik-long. Tetapi
mengapa kedua wanita itu dapat dikuasai Sik-long" Hal
itu tak lain karena kedua wanita itu merupakan wanita
tjabul jang besar sekali nafsunja!"
"Wanita tjabul" Apakah mereka mengumbar
nafsunja?" "Benar," sebut Ko Ko-kong, "Sik-long mahir sekali
dalam ilmu menggauli wanita. Pik Hay-tju dan Tok-hotjui mendapat kepuasan dan rela menurut perintahnja!"
Tiba2 Tjian-hong teringat sesuatu, tanjanja: "Jah,
siapakah wanita jang disebut Tok-ho-tjui itu?"
"Dia?" Tjian-hong memperhatikan kerut dahi ajahnja
menampil kesakitan jaag hebat. Beberapa saat kemudian
baru Ko Ko-hong membuka mulut: "Berbitjara tentang
Tok-ho-tjui sabenarnja masih ada sangkut pautnja
dengan ajahmu. Masa itu ajahmu baru mengembangkan
pengasuh partai Te-gak-bun didunia persilatan. Tiba2
muntjullah wanita Tok-ho-tjui itu tetapi kuhalaunja
pergi. Dia sakit hati dan pergi membawa dendam
kesumat. Kemudian ia dapat menguasai partai Thian
tong-bun. Sedjak itu Thian-tong bun berbalik arah,
bersikap memusuhi Te-gak-bun."
Kini Tjian-hong makin djelas. Memang waktu
berada didalam Neraka-dua-lapis, orangtua jang
didjebloskan disitu pernah mengatakan bahwa Tok-hotjui itu merupakan wanita kedua jang menguasai Te-gakbun.
Betapa besarlah pengarah tjinta terhadap
seseorang! Tjian-hong mengeluarkan piagam Te-gak leng.
"Jah, Te-gak-leng sudah berada dltangan anak!"
katanja. Wadjah Ko Ko-hong menampil seri kegirangan,
udjarnja: "Kau harus baik2 menjimpan benda itu dan
usahakanlah se-kuat2nja untuk membangun partai Tegak-bun..." " dipegangnja tangan sang putera dengan
erat. Beberapa saat kemudian kedengaran Ko Ko-hong
berkata dengan pelahan: "Aku harus menjalurkan
tenaga-dalam Pukulan Hitam kepadamu. Kalau tidak,
kau tentu tak dapat menandingi kesaktian ketiga iblis
laknat itu." Tjian-hong terkedjut. Dengan tjara itu ajahnja
tentu kehabisan tenaga. Tetapi sebelum ia dapat
menolak, tiba2 kedua tangan ajahnja sudah melekat didjalan darah Ki-bun-hiatnja: "Lekaslah lakukan
pernapasan dan sedotlah hawa murni!"
Seketika Tjian-hong rasakan serangkum hawa
panas menghambur ketubuhnja. Terpaksa ia menurut
perintah ajahnja. Dikala ajah dan puteranja sedang menjalurkan
tenaga-dalam Pukulan Hitam, diluar goha Tio Sam
sedang mondar mandir mendjaga goha itu. Tiba2 sesosok
bajangan putih muntjul ber-lari2an menudju goha situ.
Tio Sam tegang dan ber-siap2 dengan pengerahan
tenaga-dalam. Tjepat sekali bajangan putih sudah tiba dimuka
goha serempak dengan seruan menegur: "Tio Sam, masih
kenal dengan oraag lama?"
Tio Sam terbelalak kaget. Memandang kemuka
dilihat seorang wanita pertengahan umur tegak berdiri.
Girangnja bukan kepalang setelah tahu siapa wanita itu.
"O, kiranja nona Kiok!" serunja.
Memang jang muntjul itu bukan lain jalah Hoa
Sian-kiok, adik dari Hoa Sian-lan. Wanita itu berkata:
"Sjukur kau tak lupa padaku!"
"Ah, sudah berselang 20 tahun, rambut kitapun
sudah putih," sahut Tio-sam.
Sian-kiok menghambur helaan napas, kemudian
bertanja: "Kudengar tjihu (kakak ipar) terkena ratjun
Bak-kim, benarkah itu?"
Tio Sam mengiakan. "Dimana dia sekarang?"
Tio Sam menundjuk kedalam goha: "Didalam!"
"Antarkan aku kesana," kata Sian-kiok.
Tio Sam segera membawa wanita itu masuk
kedalam goha. Didalam goha tampak Tjian-hong sedang
duduk dengan meramkan mata. Sedangkan Ko Ko-hong
menggeletak lunglai dipembaringan batu.
Rupanja masih tadjam djuga pendengaran Ko Kohong. Ketika mendengar langkah orang masuk, segera ia
menegur: "Siapa?"
Nadanya terdengar lemah. Segera Hoa Sian-kiok
tahu bahwa keadaan kakak iparnja sudah pajah sekali.
Hidung Sian-kiok segera lembab dengan getaran isak.
Segera ia lari kehadapan Ko Ko-hong : "Tjihu, apakah
kau ingat Sian-kiok?"
Tergetar tubuh Ko Ko-hong mendengar utjapan itu.
Kedua mata membelalak, serunja gemetar: "Benarkah
kau, kau... Sian-kiok?"
Sian-kiok mentjutjurkan airmata, menjahut dengan
iba: "Tjihu, ah, tidak! Idjinkanlah aku memanggilmu
dengan sebutan engkoh Ko-hong!"
Ko Ko-hong menghela napas: "Ah, duapuluh tahun
telah lampau dan kita telah sama2 mendjundjung uban.
Sian-kiok maafkanlah aku. Selama duapuluh tahun itu
aku benar2 tenggelam dalam lembah kemasjgulan..."
"Tidak, pilihanmu sudah tepat, Tatji dapat
memberimu kebahagiaan..."
"Sian-kiok," buru2 Ko hong alihkan kata2, "apakah
senang hidupmu selama ini" Sudah berapa anakmu
sekarang?" Hati Sian-kiok seperti disajat sembilu, sahutnja
penuh rawan: "Tidak, aku masih sendirian...."
Hati Ko-hongpun seperti ditusuk belati. Darah
bertjutjuran dalam hatinja.
"Sian-kiok, mengapa kau rela menyiksa diri begitu
hebat" serunja. "Dalam hidupku, gerbang hatiku hanya pernah
terketuk olehmu. Kaulah pria satu2nja jang membekas
kenangan disanubariku. Kenangan itu takkan hilang
selama-lamanja. Takkan lapuk sepandjang masa..."
"Ah, Sian kiok, aku benar2 menjiksa kau."
"Tidak, engkoh Ko hong. Kutahu kaupun mentjintai
aku. Tetapi kau lebih tjinta pada tatji. Tatjipun tjinta
sekali padamu. Aku rela mengorbanku diriku sendiri."
"Tetapi..." tiba2 wadjah Ko Ko-hong berobah hitam.
Tak dapat ia melandjutkan kata2nja lagi. Hanja
sepasang matanja tetap melekat pada wadjah adik
iparnja. Hoa Sian-kiok jang pernah ditjintainja itu....
"Engkoh Ko-hong...." Sian-kiok segera memeluk Ko
Ko-hong. Tiba2 kedua mata Ko Ko-hong memedjam dan
putuslah djiwanja. Hoa Sian kiok mendjerit. Ia menangis
seperti orang kalap..... Tak berapa lama Tjian-hongpun selesai
mendjalankan penjaluran tenaga-murni Pukulan Hitam
jang diterima dari ajahnja. Serentak ia berbangkit. Demi
melihat ajahnja meninggal, iapun menangis seperti anak
ketjil.... Mendengar suara ribut2 didalam goha, Tio Sam
segera menerobos masuk. Apa jang disaksikan dalam
ruang goha, membuatnja menangis djuga. Seketika
ruang goha diliputi oleh lengking tangis jang menjajat
hati.... Beberapa saat kemudian Hoa Sian-kiok mengusap
airmata dan berbangkit. "Walaupun kita tangisi jang mati takkan hidup lagi.
Kita sudah tjukup menumpahkan kedukaan. Masih ada
lain urusan jang lebih penting jang mendjadi beban kita,"
katanja kepada Tjian-hong.
Mendengar kata2 bibinja, Tjian hong berhenti
menangis. Tanjanja: "Urusan apa?"
Sahut Sian-kiok: "Ikut aku, nanti kau tentu tahu
sendiri. Waktu tak mengidjinkan kita banjak bitjara.
Atau kalau terlambat pasti akan menimbulkan bentjana
dendam kesumat jang besar!"
Tjian-hong memandang kearah djenazah ajahnja,
serunja: "Bagaimana dengan djenazah ajah?"
Siaa-kiok merenung sedjenak: "Suruh Tio Sam
mengurusnja...!" Tjepat sekali Sian-kiok sudah menjambar tangan
kemenakannja terus diadjak lari keluar dari goha.
Mereka berlari-larian menudju ketimur.
Tjian-hong tak tahu apa maksud bibinja dan
kemana ia hendak diadjak. Tetapi ia pertjaja bahwa
bibinja tentu akan membantu kepentingannja.
Hoa Sian-kiok tak mau menerangkan api2 kepada
Tjian-hong. Rupanja ia sedang ber-gegas2 menudju
kesuatu tempat. Menilik sikapnja, tentu mengenai suatu
peristiwa jang penting sekali.
Setelah kedua orang itu pergi, gohapun kembali
sunji senjap. Hanja tinggal Tio Sam seorang jang diserahi
mengurus djenazah Ko Ko-hong. Ko Ko-hong jang kini
menggeletak tak bernjawa itu sebenarnja ketua dari Te
gak bun. Seorang lelaki tjakap dan sakti tetapi achirnja
harus mengalami nasib jang sedemikian mengenaskan.
Namun walaupun bagaimana djuga, dalam detik2
kematiannja ia masih sempat bertemu dengan puteranja,
menuturkan riwajatnja selama ini dan meninggalkan
seluruh tenaga-dalam ilmu Pukulan Hitam.
Dihadapan ajahnja, Tjian-hong telah mengutjapkan
djandjinja hendak menuntut balas pada Sik-long.
40 Antara dua iblis wanita.
Dua buah puntjak jang mendjulang menjusup kedalam mega, dikelilingi oleh hutan belantara jang lebat
dan didjaluri oleh sebuah lembah jang memandjang dan
ber-lingkar2 matjam ular. Dihuni oleh chewan galak jang
selalu siap menerkam setiap insan manusia jang datang.
Seram, seram sekalilah keadaan markas Te-gak-bun jang
disebut Neraka-19-lapis. Pada udjung lembah terdapat sebuah tanah jang
luas, penuh dengan rumah2 gubuk jang dibangun pada
dinding gunung. Saat itu disebuah puntjak karang jang tinggi
tampak tegak seorang wanita jang berpakaian indah. Dia
tegak menjongsong hembusan angin. Pakaiannja berkibar2 tertiup angin. Matanja memandang kemulut
lembah se-olah2 sedang menunggu kedatangan
seseorang. Rupanja ia tampak tak sabar lagi karena sudah
terlalu lama menunggu. "Tok-ho-tjui, djika hari ini kau tak berani datang
kelembah Te-gak-ko, aku Pik Hay-tju pasti akan
mentjarimu di Thian-tong-bun! Akan kuhantjurkan
sarangmu!" serunja menggeram.
Setjertjah angin meniup rambutnja. Dan Pik Hay
tju rupanja tak marah dengan angin djail itu. Dikemasi
rambutnja supaja rapi lagi. Dia memang seorang wanita
jang mendjundjung kerapian. Ia gemar bersolek karena
menurut anggapannja seorang wanita harus memelihara
wadjahnja agar menarik. Walaupun sebenarnja ia tak terlalu tjantik, tetapi
berkat kesukaannja merawat diri, sehingga kekurangan2
diwadjahnja itu dapat ditebus. Apalagi ia mempersolek
tubuhnja dengan pakaian2 jang indah, wadjahnjapun
makin menarik. Lembah Te-gak-koh tetap sunji senjap. Tak
seorangpun jang tampak ketjuali dia seorang.
Sedemikian sunji senjapnja sehingga daun2 kering jang
gugur ketanahpun dapat didengar.
Pik Hay-tju kerutkan alis, serunja geram: " Aku Pik
Hay-tju djika mendapatkan seorang pria, tentu kumiliki
sendiri. Siapa sudi membaginja kepadamu, Tok-ho-tjui!
Djika kau tak datang, aku tetap akan mentjarimu djuga!"
Tiba2 pikirannja terlintas akan seorang lelaki jang
bertubuh tinggi kekar. Pik Hay-tju mengingau seorang


Pukulan Hitam Hek-tjiang Karya S. D. Liong di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

diri: " Sik long, ah, kau Sik-long! Namamu sungguh
sesuai... Hanja kaulah jang dapat memuaskan
keinginanku .... Apa itu si Sam tian-bin, siang2 sudah
kulempar lelaki itu. Hanja kau Sik-long satu-satunja
lelaki jang mendjadi idam-idamanku. Kalau saat ini
kutempur Tok-ho-tjui adalah semata-mata karena
kau...." Teringat ia akan kenikmatan jang diberikan oleh
Sik-long jang pandai melajani keinginannja, makin
gemaslah Pik Hay-tju terhadap Tok-ho-tjui jang hendak
merebut lelaki itu. Tiba2 ia teringat pada pulau Sian-li-ki, pada
suaminja Tang-hay ki-hiap dan puterinja....
"Ah, anak itu kini tentu sudah remadja... dahulu
ketika kutinggal dia baru berumur setengah tahun..."
Hanja sekedjab ia merintih tetapi setjepat kilat ia
sudah menghapus segala kenangan kepada pulau Sianli-ki dan penghuninja.
Tiba2 ia mendengar daun2 pohon bergojang. Tjepat
ia lontarkan pandangannja memperhatikan dan seketika
terkedjutlah ia. "Hai, siapa itu?" serunja.
Memang saat itu ditengah-tengah lembah
menerobos sesosok bajangan putih.
"Hai, siapakah jang berani mati masuk ke Neraka19 lapis sini" Sungguh mau tjari mati!" teriak Pik-Haytju dengan murka.
Sosok putih itu makin lama makin membesar.
Diam-diam Pik Hay-tju terkedjut: "Melihat ilmunja
meringankan tubuh, orang itu tentu berkepandain tinggi.
Tak boleh dipandang ringan."
Tjepat sekali bajangan putih itu menerobos kedalam lembah. Seorang nona tjantik jang berpakaian
serba putih tetapi wadjahnja dingin dan saju.
Nona itu gesit sekali. Tiba2 seorang wanita
berpakaian indah melesat menghadangnja.
Nona tjantik itu tjepat berputar tubuh dan hendak
membentak tetapi didahului siwanita setengah umur:
"Budak perempuan dari mana berani mati masuk
kedalam Neraka-19-lapis sini!"
Nona itu kitjupkan ekor matanja dan balas
menegur: "Lekas suruh ketuamu keluar!"
"Ketua" Siapa jang kau maksudkan?" wanita itu
balas bertanja. "Seorang wanita jang memakai she Pik!"
Mendengar itu siwanita tertawa njaring. Dia sendiri
sebenarnja Pik Hay-tju. "Pik Hay-tju?" serunja.
Nona itu marah sekali: "Sudah tahu mengapa
masih bertanja lagi?" bentaknja.
Sahut Pik Hay-tju: "Ketua kami tak mudah
menerima orang luar. Tetapi apa maksudmu
mentjarinja" Djika kau mau mendjelaskan dengan terus
terang, mungkin aku dapat membantumu!"
"Hm, meskipun kau tak mau menjampaikan
akupun dapat masuk mentjarinja sendiri!" sinona
menggeram. Habis berkata ia terus berkisar dan lontjat
melesat.... Gerakan nona itu tjepat sekali tetapi Pik Hay-tju
pun lebih tjepat. Dengan sebuah ajunan tubuh, Pik Haytju sudah dapat menghadang dimuka nona itu.
Melihat gerakan orang sedemikian hebatnja, mau
tak mau nona itu terkesiap djuga. Tetapi nona itu
seorang nona jang keras kepala. Dia membantah dan
lepaskan tamparan. "Bagus!" seru Pik Hay-tju demi menjaksikan
pukulan nona itu mengandung tenaga dalam jang besar.
Segera ia menangkis. Nona itu terkedjut sekali, ia tersurut mundur dua
langkah. Wadjahnja agak putjat dan tegak ter-mangu2...
Pik Hay-tju tertawa melengking: "Nona ketjil
katakanlah baik2 mungkin masih ada harapan kau
bertemu dengan ketua kami. Tetapi djika menggunakan
kekerasan, mungkin kau bakal mengalami kesulitan!"
Nadanja jang penuh edjekan itu memuakkan hati
sinona. Tetapi nona itupun menginsjafi bahwa ia kalah
sakti, ia kerutkan alis dan tegak mematung.
Pik Hay-tju memandangnja lekat2. Tiba2 ia
bertanja: "Nona siapakah namamu?"
Nona itu tetap diam. "Eh, mengapa kau diam sadja?" Pik Hay-tju
mengulangi pertanjaannja.
"Giok-lo sat!" achirnja nona itu menjahut dengan
tawar. Pik Hay-tju terkesiap, udjarnja: "Giok-lo-sat, Gioklo-sat .... agaknja tak pernah terdengar nama sematjam
itu...." "Belum lama dari seberang lautan, apalagi seorang
jang tak ternama, sudah tentu tak pernah dikenal
orang!" sahut Giok-lo-sat.
"Apa" Kau berasal dari seberang lautan?" Pik haytju berseru kaget.
Giok-lo-sat kisarkan kepala dan menjahut dingin:
"Orang dari seberang lautan toh djuga manusia.
Mengapa kau harus merasa kaget?"
Tetapi diam2 Pik Hay-tju kutjurkan keringat dingin.
Hatinja berdebar keras. Diam2 ia membatin: "Seberang
lautan, djangan2 pulau Sian-li-ki. Apakah anak ini..."
memikirkan sampai disitu darah Pik Hay-tju menjalur
kentjang. Dipandangnja Giok-lo-sat dengan lekat. Dan makin
putjatlah wadjahnja. Nona itu mempunjai ketjantikan
jang gilang-gemilang. Alis dan mulutnja menjerupai
dirinja.... "Apakah kau berasal dari pulau Sian-li-ki di
seberang lautan?" achirnja ia menegas.
Kali ini Giok-lo-aat jang terkesiap.
"Mengapa kau tahu?" serunja.
Penjahutan itu berarti suatu pengakuan. Seketika
Pik Hay-tju rasakan kepalanja seperti disambar petir.
Tetapi setjepat itu segera ia membentaknja dengan
murka: "Mengapa kau datang kedaratan Tiong-goan?"
"Mentjari orang!" djawab Giok-lo-sat.
"Mentjari ibumu?" Pik Hay-tju makin madju dalam
menjelidiki nona itu. "Tidak! Dia tak berharga mendjadi ibuku!" diluar
dugaan Giok-lo-sat memberi penjahutan jang muak.
Pik Hay-tju tertawa hambar: "Lalu siapakah jang
hendak kau tjari?" Hati Giok-lo-sat pedih sekali. Sahutnja:
"Kedatanganku hanja hendak memintanja..." sudah
belasan tahun ajahku menderita sakit karena kepergian
ibuku itu. Ajah terbaring ditempat tidur, siang malam
mengerang kesakitan..." tiba2 ia berganti nada. Tegurnja:
"Siapakah kau?"
Pik Hay-tju berputar tubuh, dengusnja: "Pik Haytju!"
Mendengar itu gemetarlah tubuh Giok-lo-sat.
"Mah..." serunja tegang.
Serempak Pik Hay-tju berputar menghadapi Gioklo-sat lagi. Wadjahnja dingin sekali. Bentaknja:
"enjahlah, aku Pik Hay-tju tak mempunjai anak!"
Kembali Giok-lo-sat menggigil dan menjurut mundur
beberapa langkah. Darahnja bergolak keras, dan penuh
sesak sehingga beberapa saat tak dapat bitjara
sepatahpun djuga. Pik Hay tju menuding hidung Giok-lo sat:
"Pulanglah kepulau kosong itu. Bilang pada ajahmu,
djangan mengharap-harap jang tak mungkin lagi. Suruh
dia lenjapkan harapannja. Mengharap Pik Hay-tju
pulang hanja dapat terlaksana apabila matahari terbit
dari setelah barat, hm..."
Airmata Giok-lo-sat bertjutjuran deras, serunja:
"Kau... kau... begini kedjam..."
Pik Hay-tju tertawa dingin: "Kedjam" Dialah jang
lebih kedjam. Dia hendak mengurung aku dalam pulau
jang sepi. Hidup setjara begitu tawar, akan
memperpendek umurku sadja...."
Dengan masih mengulum isak, berkatalah Giok-losat: "Tetapi kau harus mengingat bahwa dia sudah pajah
sekali sakitnja!" "Bah, dia seorang lelaki jang tak berguna!"
Gemetarlah Giok-lo-sat. Kata Pik Hay-tju pula: "Hidup bersama dengan
ajahmu, bagaikan melewati kehidupan hampa. Tiada
kebahagiaan sama sekali, tak dapat memuaskan
keinginanku!" Giok-lo-sat ter-sipu2 tundukkan kepala serunja:
"Harap djangan mengutjapkan kata2 begitu!"
"Hm, kau tak suka mendengarkan" Lekaslah
tinggalkan lembah ini!" seru Giok-lo-sat. Sedikitpun
tiada rasa keibuan. Tiada kasih sajang.
"Mah.... ketika kau tinggalkan pulau Sian-li-ki, aku
masih baji. Setelah aku dewasa dan mengerti urusan
dunia, tiap hari aku mengharap-harap kedatanganmu
sadja. Tiap pagi dan sore aku berdiri ditepi pesisir,
kuarahkan pandanganku kedaratan Tiong-goan. Tetapi
dari hari ke hari, tiada djuga kudengar sebertik
beritamu. Kusertai doa harapanku itu dengan tjutjuran
air mata. Tahun berganti tahun, genaplah sudah l0
tahun lamanja aku menangis sehingga mataku sampai
buta. Tetapi... tetapi kau tetap tak kundjung pulang.
Penjakit ajah makin hari makin berat. Aku bingung dan
nekad. Tanpa menghiraukan suatu apa, segera kupergi
ke Tiong-goan. Tetapi, tetapi saat ini... " - nada Giok-lo
sat makin lama makin keras dan tadjam. Tetapi dikal a
mentjapai klimaksnja, tiba2 ia berhenti. Ia menjadari
berhadapan dengan orangtuanja. Tak mau ia
mengutjapkan kata2 jang tadjam!
Tetapi kata2 itu sudah membuat Pik Hay-tju marah
sekali, bentaknja: "Kau, kau, kau Giok lo-sat. Giok-lo sat
jang dalam waktu terachir ini membunuh berpuluh
tokoh2 persilatan dan menggetarkan dunia persilatan...
Oh, kutahu.... tindakanmu membunuh-bunuhi mereka
itu dikarenakan diriku...."
"Mah....." Giok-lo sat terisak.
Plak... sekonjong-konjong Pik Hay-tju menampar
muka Giok lo-sat dua kali, bentaknja: "Enjah, lekas
enjah dari sini. Memandang hubungan ibu dan anak,
kali ini kuampuni djiwamu!"
Giok-lo-sat tak marah mendapat tamparan itu.
Bahkan dengan merintih ia meminta lagi: "Mah, harap
suka pulang mendjenguk ajah..."
"Hm, dia sudah kehilangan harga sebagai seorang
lelaki. Djangan mengharap lagi aku pulang kepulau
kosong itu!" tukas Pik Hay-tju.
"Tetapi..." Pik Hay-tju ajunkan tangannja: " Djika masih
membangkang dan tak enjah, djangan harap kau dapat
berdjalan!" Pukulan Pik Hay tju itu menimbulkan angin
dahsjat. Giok-lo-sat tak sempat menghindar lagi.
Seketika ia rasakan dadanja seperti petjah darah bergolak2 hebat dan meluntjurlah darah dari mulutnja.
Giok-lo-sat mengusap darah dimulutnja dengan
lengan badju. Serunja: "Kau... kau... memutuskan tali
ikatan kasih dengan ajah!"
Pik Hay tju makin marah, serunja: "Ketahuilah,
aku tak dapat hidup tanpa lelaki. Pun daratan Tionggoan itu djauh lebih kaja daripada pulau Sian li ki!"
Se-konjong2 terdengar suitan njaring memetjah
angkasa. Pik Hay tju tertegun, ia memandang keudara,
serunja: "Tok-ho-tjui datang!"
Seketika wadjah Pik Hay-tju mengembang hawa
pembunuhan. Ketika Giok-lo-sat berpaling arah, tampak
sebuah tandu dihias indah meluntjur ditengah lembah.
Suitan njaring itu berasal dari tandu itu
Tjepat sekali tandu itu sudah tiba dimuka Pik Haytju dan serempak dengan itu keluarlah seorang wanita
tua. "Hm, tidaklah mengherankan kalau Sik-long kena
dirajunja.... Tok-ho-tjui sudah berumur 70-an tetapi
tampaknja masih seperti wanita berumur 30-an tahun.
Wadjah dan suaranja masih tampak seperti wanita
muda," diam2 Pik Hay-tju menimang.
Saat itu Tok-ho-tjuipun sudah manghampiri,
udjarnja: "Pik Hay tju, hari ini kita mengadu mati atau
hidup!" "Tok-ho-tjui, djika kau masih ingin hidup
lepaskanlah Sik-long!" teriak Pik Hay-tju.
"Hm, suruh lepaskan Sik-long berarti
membunuhku. Sehari tanpa dia aku tak dapat hidup. Pik
Hay-tju, didunia toh banjak lelaki, mengapa kau
berkeras menghendaki Sik-long sadja" Pilihlah lain
orang, tetapi djangan Sik-long. Dia adalah milikku!"
"Mengapa tak kau sadja jang mentjari lain lelaki"
Mengapa kau suruh aku?" balas Pik Hay-tju.
"Hm, kalau begitu kita harus menentukan siapa
jang berhak atas Sik-long!"
Dari perdebatan itu tahulah Giok-lo-sat bahwa
ibunja dan wanita pesolek itu tengah memperebutkan
Sik-long. Bukan main malu Giok-lo-sat.
"Mah, marilah kita pulang kepulau Sian-li-ki jang
indah!" achirnja Giok-lo-sat membudjuk ibunja.
Tiba2 Pik Hay tju ajunkan tangannja: "Enjahlah!"
Serangkum angin dahsjat menerdjang Giok-lo-sat. Nona
itu terhujung-hujung sampai beberapa belas langkah
dan muntah darah. Tok ho tjui mendengus dingin: "Pik-Hay-tju, betapa
ganas hatimu..." "Tutup mulutmu!" bentak Pik-Hay-tju, "aku
kepingin menerima pelajaran ilmu jang kau dapatkan
dari Kitab Kuning!" "Aku pun djuga ingin berkenalan dengan gerakan
Sian-li ki-poh jang termasjhur...."
Sekedjab sadja terdengarlah deru angin men-deru2
dahsjat. Tetapi Giok lo-sat benar2 hantjur hatinja. Tanpa
berpaling kearah pertempuran, ia segera ajunkan
langkah tinggalkan lembah Te-gak-koh. Dia benar2
muak dan malu terhadap perbuatan ibunja. Benar2
seorang wanita jang sudah hilang harga dirinja. Seorang
ibu jang sudah hilang keibuannja. Huak.... ia muntah
darah, sekudjur pakaiannja berlumuran darah....


Pukulan Hitam Hek-tjiang Karya S. D. Liong di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Mati, ja hanja kematianlah jang dapat mentjutji
kenistaanku....." terlintas pikiran pendek pada benak
Giok-lo-sat. Dan serempak dengan itu teringatlah ia
akan benda Bak-kim jang beratjun. Tjepat benda itu
dimasukkan kedalam mulutnja: "Mati, mati adalah bebas
dari penderitaan..."
Dengan tenang nona itu ajunkan langkah sambil
menunggu kedatangan malaikat maut.
Tiba2 disebelah muka melesat dua sosok bajangan
jang dengan tjepat sekali sudah tiba dihadapannja.
"Ah, Giok-lo sat!" salah seorang dari pendatang itu
berseru kaget. Sebenarnja Giok lo sat sudah djemu bertemu
orang. Tetapi demi mengenal nada suara orang itu
tahulah ia siapa jang datang, ia terhenti dan tegak
sandarkan diri dibatu karang.
Kiranja jang datang itu adalah Ko Tjian-hong dan
Hoa Sian-kiok. "Nona..." Tjian-hong menghampiri dan tak
landjutkan tegurannja ketika melihat nona itu
pedjamkan mata. "Apakah nona dari lembah Te-gak-koh?" srru Hoa
sian-kiok. Tanpa membuka mata, Giok-lo-sat hanja
mengangguk. "Apakah kau mengetahui Tok-ho tjui sudah masuk
kedalam lembah?" tanja Hoa Sian-kiok pula.
"Ja," sahut Giok-lo sat ringkas.
Hoa Sian kiok makin gugup, tanjanja: "Bukankah
dia bertempur dengan Pik Hay tju?"
Tergetar hati Giok-lo sat. Setiap pertanjaan jang
menjangkut diri ibunja, ia pasti merasa. sebagai seorang
anak jang ibunja berkelakuan nista, Giok lo sat selalu
menanggung rasa malu. "Mati, ja hanja kematianlah jang akan dapat
melenjapkan penderitaan batinku ini... pikirnja.
Melihat nona itu diam sadja, Hoa Sian-kiok
menegurnja pula: "Nona, apakah kau melihatnja... "
Belum lagi Hoa Sian kiok melandjutkan kata2nja tiba2
Tjian-hong berteriak: "Nona.... ah.... kau...."
Melihat pipi Giok-lo sat berwarna hitam, tjepat2
Tjian hong menamparnja dan menghamburlah Bak kim
keluar. "Mengapa kau melakukan itu, oh, Giok-lo-sat..."
serta merta Tjian-hong memeluk tubuh nona itu erat2:
"Aku, aku tjinta padamu...."
Utjapan itu bagai kilat menjambar kepala Giok-losat. Nona itu terkesiap dan membuka mata. Tetapi
sudah terlambat. Ulu hatinja terasa sakit sekali dan
kembali ia pedjamkan mata....
"Sudah terlambat.... " bisiknja.
"Tidak, tidak! Akan kutjari Giok tju untuk
mengobati ratjun ditubuhmu!" kata Tjian hong dengan
bersemangat. Giok lo sat tersenjum rawan: "Pertjuma, aku dapat
mati ditanganmu sudah merupakan kebahagiaan. Kukira
kau tak tjinta padaku. Bahwa ternjata kau tjinta padaku,
sudah suatu berkah. Mengapa aku takut pada
kematian?" Tjian-hong bingung. Dipeluk nona itu makin
kentjang dan ditjiumnja dengan penuh kemesraan: "Giok
lo sat, aku tjinta padamu...."
Giok-lo-sat menjungging senjum kebahagiaan. Pada
lain saat, djiwanjapun melajang. Nona itu mati dengan
tersenjum bahagia karena mati dalam pelukan pemuda
jang dikasihinja.... Tjian-hong seperti orang gila. Dipeluk dan ditjiumi
dara tjantik itu. Air matanja bertjutjuran mentjurah
diwadjah sidara.... Melihat itu Hoa Sian-kiok menghiburinja: "Tjian
hong, djanganlah kau kelewat berduka. Kau harus
menerima nasib dengan dada lapang. Betapapun ia
merasa bahagia karena mati dalam pelukanmu..."
kemudian ia alihkan pembijaraan: "Kita harus lekas2
ketempat pertempuran itu. Terlambat sedikit sadja tipu
muslihat Sik long tentu berhasil. Kitab Kuning dan kitab
Bu-dji-thian-keng tentu djatuh ketangan manusia
durdjana itu. Dan habislah sudah riwajat dunia
persilatan." Tjian hong menjadari pentingnja urusan itu.
Setelah meletakkan djenazah Giok-lo-sat dalam semak2
jang rindang, segera ia mengikuti bibinja.
Lembah Te-gak-bun sedang berlangsung suatu
pertempuran dahsjat antara dua wanita jang diadu
domba oleh Sik-long. Apabila Sik-long berhasil
melaksanakan rentjananja, dunia persilatan tentu akan
berada dalam tjengkeramannja...
XLI Kabut tersingkap. Pertempuran antara Pik Hay-tju lawan Tok-ho-tjui
benar2 merupakan peristiwa besar jang djarang terdjadi
didunia persilatan. Karena pertempuran itu berlangsung
dilembah Te-gak-bun jang sepi, tak seorangpun jang
menjaksikan. Tetapi diluar pengetahuan kedua wanita
jang sedang adu djiwa itu, diam2 sepasang mata jang
bersembunji diantara semak2, mengikuti pertempuran
itu dengan tersenjum girang.
Tok-ho-tjui mengeluarkan ilmu sakti dari Kitab
Kuning. Pik Hay-tju mengeluarkan ilmu aneh Sian-li-kipoh. Kedua-duanja merupakan ilmu jang djarang
terdapat didunia persilatan.
Dimana dua buah aliran ilmu sakti beradu maka
pandjang dan dahsjatlah djalannja pertempuran.
Duaratus djurus telah berlangsung. Masing2 telah
mengeluarkan seluruh kepandaiannja, tetapi sampai
saat itu belum djuga tampak kesudahannja.
Mereka makin kalap. Duaratus djurus kembali
berlalu. Kedua wanita itu se-olah2 bergabung djadi satu,
sukar dibedakan mana Pik Hay-tju mana Tok-ho-tjui.
Tiba2 dari segerombol semak2 muntjul seorang
berbadju kelabu dan mengenakan kerudung muka.
Kerudung muka tiba2 disingkapnja dan dengan tertawa
menjeringai, ia berdjalan menghampiri ketempat
pertempuran. "Kalian boleh berhenti dulu," serunja. Mendengar
itu Pik Hay-tju dan Tok-ho tjui segera menarik pulang
serangannja dan masing2 mundur dua langkah.
Kedua wanita itu memandang orang itu dengan
penuh kemesraan. Orang itu jang bukan lain jalah Sik
long menengadah tertawa njaring.
"Djika kalian ingin hidup, harus segera
menjerahkan kitab pusaka!"
Tok ho tui terkesiap: "Kitab Kuning?"
Pik Hay-tju djuga terkedjut, serunja: "Kitab Bu-djithian-keng?"
Sik-long mendjawab penuh kesinisan: "Ja! Kalau
tidak, sekali kugerakkan djari, djangan harap kalian
mampu hidup lagi!" Memang benar, To-ho-tjui dan Pik Hay-tju sudah
kehabisan tenaga. Apabila Sik-long menghadjarnja,
mereka pasti remuk. Kedua wanita itu serempak berseru: "Sik-long
bukankah kau tjinta padaku?"
Sih long tertawa gelak2. "Fui! Djika aku Sik long tjinta pada wanita
masakan sudi mentjintai seorang djanda laju dan
seorang nenek kempot sematjam kalian" Terus terang,
jang kutjintai jalah kitab pusakamu itu!"
Kedua wanita itu terbeliak.
Kata Sik-long lebih landjut: "Terus terang
kuberitahukan pada kalian. Pertempuran jang kalian
lakukan tadi adalah siasatku djuga. Memang aku
sengadja membakar hati kalian supaja saling iri. Kuatur
sedemikian rupa supaja kalian saling tjakar-tjakaran..."
Betapa marah kedua wanita itu sukar dilukiskan.
Serempak Pik Hay-tju dan Tok-ho-tjui lepaskan pukulan
tetapi dengan sekali dorong, Sik-long telah membuat
mereka tersurut sampai dua tiga langkah.
"Lekas berikan kitab itu....!" bentaknja.
Dorongan itu membuat Tok ho-tjui dan Pik Hay-tju
djatuh terduduk. Buru2 mereka bersemedhi hendak
menjalurkan napas. Begitu tenaganja pulih, mereka
hendak menghadjar Sik-long!
Tetapi mereka tadi benar2 telah menghabiskan
tenaganja. Tenaganja itu tak mungkin dapat pulih dalam
waktu jang singkat. Sik long sirase litjik, dapat menangkap isi hati
kedua wanita itu. Serunja mengedjek: "Belasan tahun
kutekan derita kenistaan, hanjalah untuk mengharapharap saat seperti ini. Lekas serahkan kitab pusaka itu
dan memandang sekelumit hubungan jang pernah kita
djalin, aku dapat memberi kelonggaran untuk
membiarkan majat kalian utuh!"
Tok-ho-tjui dan Pik Hay-tju tundukkan mata.
Keduanja diam sadja dan terus menjalurkan napas.
Sik-long tertawa iblis: "Ho, djangan harap kalian
mampu memulihkan tenaga lagi. Sebelum rentjanamu
berhasil, akan kusuruh menikmati dulu suguhanku ini!
Sik-long menutup kata2nja dengan lontjat
kehadapan Tok-ho-tjui. Ia totok djalan darah didada
wanita tua itu dan tertawa seram: "Tok-ho-tjui,
bagaimana rasanja?" Dahi Tok-ho-tjui bertjutjuran keringat. Wadjahnja
putjat lesi. "Serahkan kitab Kuning itu!" bentak Sik-long. Tokho-tjui tetap membisu.
Sik long geram sekali. Segera ia ulurkan tangan
hendak merogoh kebadju Tok-ho-tjui. Tok-ho-tjui terhujung2 berbangkit. Dia mengeluarkan sebuab kitab
ketjil berwarna kuning. Sebelum Sik-long mengerti apa
maksudnja, se-konjong2 terdengar suara kertas dirobek2. Tok-ho-tjui telah me-robek2 kitab itu mendjadi
beberapa keping dan ditaburkan ke-udara....
Bukan main kaget dan gusarnja Sik-long. Dengan
wadjah sengeri iblis ia lontjat madju dan menghantam,
Tok-ho-tjui tak sempat menghindar lagi. Dadanja
terpukul dan bagaikan sebuah lajang2 putus tali,
tubuhnja melajang sampai beberapa tombak. Bum....
wanita itu terbanting ditanah. Mulutnja menjembur
darah segar. Masih Sik-long belum puas. Ia lontjat lagi dan
menjusuli sebuah tendangan dahsjat. Tanpa dapat
sesambat, Tok-ho-tjui terkapar ditanah. Djiwanja
melajang..... Sik-long seorang manusia serigala jang buas.
Pada saat Sik-long sedang mengerdjai Tok ho-tjui,
Pik Hay-tjupun berusaha keras untuk menjalurkan
djalan darahnja. Tetapi karena tenaga-dalamnja benar2
terperas dalam pertempuran dengan Tok-ho-tjui tadi,
dalam waktu jang sesingkat dikehendaki, ia gagal untuk
mentjapai pemulihan tenaga itu.
Sik-longpun lontjat kehadapannja.
"Pik Hay-tju, mengingat hubungan kita selama ini,
baiklah kau serahkan kitab itu dengan baik2, Marilah
kita bersama-sama memimpin partai Thian-tong"bun
dan Te-gak-bun untuk menguasai dunia persilatan!" kata
Sik-long. Pik Hay-tju kerutkan alis, sahutnja: "Djangan
mimpi kau!" "Apakah kau benar2 tak tahu gelagat?" bentak Siklong dengan gusar.
"Hm, apakah setelah kuserahkan kitab Bu-djithian-keng kau nanti mau mengampuni djiwaku" Hebat
benar siasatmu sehingga tak kusangka bahwa
pertempuranku dengan Tok-ho-tjui itu kau jang
mengatur. Kalau tidak, ha, mungkin salah satu diantara
kami tentu tjukup untuk menghantjurkan tubuhmu!"
"Memang benar," sahut Sik-long, "tetapi
kesemuanja itu sudah terlambat sekarang!"
Pik Hay-tju tertawa dingin "Belum tentu. Asal tak
kuserahkan kitab itu kaupun tentu tak berani
membunuhku!" "Hm, belum tentu," dengus Sik-long, "djika kau dan
Tok-ho-tjui sudah mati, Ko Ko-hongpun sudah kukuasai
dengan pil Kiong sim-tan. Walaupun aku tak berhasil
mendapatkan ketiga kitab pusaka itu, tetapi kitab itupun
tak ada lagi didunia. Aku tjukup kuat untuk menguasai
dunia persilatan, ha, ha... ha, ha.... Pik Hay-tju.... kau
harus menginsjafi hal itu... heh, heh..."
Pik Hay-tju gemetar, ia berbangkit. Tiba2 dari luar
lembah tampak dua sosok bajangan lari menjusup
kedalam. Seketika berobahlah wadjah Sik"long. Tak
tahu siapakah kedua orang jang lari mendatangi itu.
Apabila mereka kawan Pik Hay-tju, ah, runjam sekali.
Untuk mendjaga suatu perobahan jang tak
menguntungkan, Sik-long segera bertindak.
Dilontarkannja sebuah pukulan dahsjat!
Dipihak Pik Hay-tju, karena muntjulnja dua sosok
bajangan, walaupun belum diketahui siapa, tetapi ia
mulai merangkum harapan. Seketika semangatnja
timbul. Ditangkisnja pukulan Sik-long. Ah... seketika
mengeluhlah mulutnja. Ternjata gerakan tangannja itu
tak bertenaga sama sekali. Tenaga-dalamnja sudah habis
diperas dalam pertempuran dengan Tok-ho tjui. Saat itu
arus tenaga pukulan Sik-long melandanja. Dess.... Pik
Hay-tju terdampar mundur beberapa langkah. Darahnja
ber-golak2 dan djatuhlah ia ketanah lagi.
Sik-long lontjat menghampiri. Ditjengkeramnja
tubuh Pik Hay tju. "Kau hendak mengambil kitab Bu dji-thian-keng"
Ha, ha.... djauh hari setelah selesai mempeladjari kitab
itu segera kuhantjurkan..." Pik Hay-tju tertawa
mengedjek. Bukan main marah Sik-long. Ia tertipu mentah2.
Seketika dihantamnja kepala Pik Hay-tju. Pik Hay-tju
mendjerit ngeri, kepalanja remuk dan menggeleparlah
wanita jang besar nafsunja itu ketanah.
Demikian tamatlah riwajat seorang wanita jang lari
meninggalkan suami dan anak hanja karena hendak
memburu kesenangan, mengumbar nafsu. Dengan


Pukulan Hitam Hek-tjiang Karya S. D. Liong di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

matinja wanita itu habislah djuga sebuah adjaran ilmu
silat jang djarang terdapat didunia persilatan.
Sik-long tegak berdiri dengan tegang. Ia masih
marah atas hasil rentjananja. Baik Tok-ho-tjui maupun
Pik Hay-tju telah menolak untuk menjerahkan Kitab
Kuning dan kitab Bu-dji-thian-keng, dua diantara tiga
buah kitab pusaka didunia persilatan.
Saat itu muntjullah dua sosok bajangan tadi. Siklong memperhatikan kedua orang itu. Seketika
berubahlah wadjahnja. Ia banting2 kaki dan buru2
hendak ngatjir pergi. "Hai, Sik-long, djangan harap kau dapat lolos!"
tiba2 salah seorang dari pendatang itu berteriak.
Sesosok bajangan berkelebat dan Tjian-hong sudah
menghadang dihadapan Sik-long. Memang jang datang
itu Tjian hong dengan bibinja Hoa Sian kiok.
"Hm, kiranja orang berbadju kelabu dan
berkerudung muka itu kau sendiri, hai djahanam!" teriak
Tjian hong dengan geram. "Benar!" sahut Sik-long dengan ringkas.
"Kaukah jang membunuh ibuku Hoa Sian-lan":
tanja Tjian-hong pula. "Dia mati dibawah pedang Sambar-njawa!" bantah
Sik-long. "Sik-long, djangan mengira kau sendiri jang pintar,"
dengus Tjian-hong, "memang benar pedang Sambarnjawa itu sendjata ajahku. Tetapi Ilmu pedang ajah telah
kau paksanja supaja mengadjarkan padamu. Hm, apa
kau masih menjangkal?"
Sik-long terdiam beberapa saat. Ia mengangkat
kepala berseru: "Kau pintar djuga!"
"Dengan begitu gurukupun mati ditanganmu!"
"Hantu-majat?" ulang Sik-long.
"Hm..." "Benar, djika tak kubunuh dia tentu dia
membunuhku." "Tetapi mengapa itu waktu kau sengadja
memberitahukan aku bahwa guruku mati karena
sendjata rahasia Kui-piau?"
Sik-long tertawa dingin: "Itu siasat tjutji tangan
namanja." "Kau..." "Tetapi siasatku itu achirnja botjor djuga.
Walaupun sebenarnja Hantu majat itu kubunuh dengan
pedang Sambar-njawa, tetapi diam2 kuganti dengan
sendjata Kui-piau. Siapa tahu, pemilik piau itu jani Kuibo telah mengedjar djedjakku. Diambilnja piau Kui-piau
dan ditinggalnja pedang Sambar-njawa..."
"Tanganmu berlumuran darah. Hari ini merupakan
hari kiamatmu!" teriak Hoa Sian-kiok dengan murka.
"Belum tentu!" "Tjobalah sadja!"
Sebelum Hoa Sian-kiok bertindak, Tjian-hong
sudah mendahului melangkah madju, serunja: "Bibi,
idjinkanlah aku jang menghabisi djiwanja!"
Sebelum menunggu penjahutan, Tjian hong sudah
lepaskan serangan. Kedua tindjunja didorongkan
kemuka kearah dada Sik-long.
Sik-long tertawa mengedjek. Tetapi karena melihat
gerakan anakmuda tjepat sekali dan penuh hamburan
tenaga-dalam dahsjat, tjepat2 iapun menjongsong
dengan pukulan djuga. Darrr.... terdengar letupan keras dari dua buah
pukulan jang dahsjat. Debu berhamburan memenuhi
udara. Tiba2 Sik-long ajunkan tangannja. Tiga batang
pedang Sambar-njawa serempak ditimpukkan kearah
Tjian-hong. Tetapi dengan tamparan kedua tangannja, Tjianhong membuat ketiga pedang pandak itu terpental
djatuh. Demikian kedua musuh bebujutan itu saling
berhantam sengit sekali. Dalam beberapa kedjab sadja
mereka sudah melangsungkan 60-an djurus. Walaupun
begitu, belum djuga tampak siapa kalah siapa menang.
Rupanja Sik-long sudah menginsjafi gawatnja
suasana saat itu. Ia melihat gelagatnja tak baik. Diam2
ia merentjanakan untuk lolos.
Tiba2 ia membuat gerakan mengajunkan tangan
seraja berseru: "Lihat piau!"
Tjian-hong terkedjut. Buru2 ia lontjat menghindar
kesamping. Tetapi ah, tiada suara aum terdengar
diudara, tiada benda berkilat menjambar. Keparat benar
Sik-long. Demikian Tjian-hong mengumpat tjatji ketika
tahu dirinja ditipu. Dan saat itu Sik-long sudah melesat belasan
tombak djauhnja .... Tetapi Tjian-hong sudah mengambil putusan untuk
melenjapkan musuh besarnja itu. Ia ajunkan tubuh
melesat kemuka. Sik-long tertjekat melihat gerakan anak
muda jang sedemikian gesitnja. Dan lebih tjelaka pula
ketika tahu2 Hoa Sian kiok menghadang di tengah
djalan. Njali Sik-long makin runtuh.
Namun Sik-long bukan si Serigala-wanita kalau
menghadapi antjaman begitu ia sudah kuntjup. Dengan
buas, ia lepaskan sebuah pukulan dahsjat.
Tjian-hong murka. Dengan menggembor sedahsjat
guntur, ia lontarkan Pukulan Hitam!
Seketika Sik long melihat segumpal sinar hitam
melandanja. Pandangannja mendjadi gelap. Tak dapat ia
melihat disekelilingnja lagi. Berobahlah wadjah durdjana
itu putjat seperti majat. Serempak dengan itu dadanja
seperti dihantam palu godam. Duk.... tak dapat ia
mempertahankan keseimbangan tubuhnja lagi. Bagaikan
sebuah lajang2 putus tali, melajanglah tubuhnja
keudara. Bum.... "Hari ini kau harus menghadap radja Achirat!"
teriak Tjian-hong. Pada saat Sik-long djatuh terhampar
ketanah, saat itupun Tjian-hong sudah lontjat dan
menjusuli pula sebuah hantaman maut.
Pjur.....tubuh Sik-long hantjur berantakan
mendjadi sewalang-walang.
Demikian kemarahan seorang pemuda jang
dirangsang dendam kesumat!
Demikian nasib seorang durdjana jang hidupnja
penuh berlumuran darah. Membunuh, memfitnah,
merusak wanita, telah mendjadi darah daging hidup Siklong; Ambisi seorang jang ingin menguasai dunia
persilatan, telah mendjadikan Sik-long seorang serigala
jang buas. Sebenarnja dia seorang bakat jang hebat.
Tetapi karena bakat itu disalahkan pada maksud
tudjuan jang djahat, achirnja ia harus menebus dosa.
Majatnja tiada tempat berkubur.
Hukum Karma selalu menuntut setiap perbuatan
jang manusia lakukan.....
"Tjian-hong, hari ini benar2 merupakan hari jang
bahagia bagimu. Kau berhasil menumpas musuhmusuhmu, manusia2 durdjana jang mengotori dunia!"
Hoa Sian-kiok menghampiri keponakannja dengan
tersenjum girang. Hanja sekilas wadjah Tjian-hong berseri terang
karena pada lain saat ia teringat akan nasib kedua
orangtuanja jang sudah tiada itu. Sedjak ketjil mula baru
sebesar itu ia melihat wadjah ajahnja. Dan pertemuan
dengan ajahnja itu merupakan pertemuan jang pertama
dan terachir. Betapa ia pilu mengenangkan peristiwa
itu... Tiba2 Hoa Sian-kiok mengeluarkan sebuah lentjana
dan diberikan kepada Tjian-hong.
"Inilah lentjana lambang kepemimpinan partai
Thian-tong bun. Terimalah dan peganglah pimpinan
partai itu..." kata Hoa Sian-kiok.
Tjian hong tergagap: "Tidak..."
"Penjerahan ini tak dapat kau tolak. Hidup matinja
partai Thian-tong-bun terletak pada kesanggupanmu
saat ini. Kau harus terima, Hong-dji..."
Melihat kesungguhan sang bibi, terpaksa Tjianhong menerimanja djuga.
"Dan bagaimana dengan bibi sendiri?" tanjanja.
Hoa Sian-kiok termenung beberapa saat.
"Aku... aku..." ia menengadah memandang ke
angkasa raja. Awan berarak-arak bagaikan bajang2
kenangan dalam benak wanita jang dihempas badai
asmara. Hantjur ber-keping2 lebur dalam kehampaan
hidup. "Minjak dan pelita, kitab dan kesunjian akan
menemani sisa hidupku," bisik Hoa Sian-kiok dengan
suara lemah. Airmatanja bertjutjuran membasahi tjelah
pipinja. Hoa Sian-kiok hendak menghabiskan sisa hidupnja
mendjadi rahib. Dia tetap setia tjinta kepada kakak
iparnja Ko Ko hong (ajah Tjian-hong). Dia tetap hidup
dalam keperawanan sutji. Dia hendak mengabdikan diri
kepada kesutjian dan kesempurnaan hidup.
"Nak, selamat tinggal..." achirnja Hoa Sian-kiok
mengutjap kata2 perpisahan dengan anak
keponakannja. Tjian-hong termangu-mangu memandang bajangan
sang bibi jang berdjalan dengan langkah pelahan-lahan
itu. Utjapan perpisahan Hoa Sian kiok tak disahut.
Tjian-hongpun seperti seorang jang kehilangan
semangat..... Lama, lama sekali baru Tjian hong tampak
beringsut. Dia melangkah keluar dari lembah neraka itu.
Apa jang diketemukan jang per-tama2 jalah djenazah
Giok-lo-sat. Tjian-hong ter-longo2 memandang majat dara aju
itu. Pikirannja djauh melajang-lajang....
Angin pegunungan menghembus, meniup badju
pemuda jang kehilangan segala-galanja itu. Airmatanja
mentjutjur deras djatuh membasahi tubuh Giok-losat.....
Tjian-hong seperti hidup didunia lain. Hidup dalam
dunia kehampaan, lautan penderitaan jang tiada udjung
dan achir.... Tiba2 ia mengeluarkan dua buah lentjana dari
badjunja. Jang satu lentjana tanda ketua partai Te-gakbun. Jang satu lentjana tanda kepemimpinan partai
Thian-tong-bun. Sekali remas kedua buah benda itu hantjur
lebur.... Se-konjong2 sesosok bajangan melesat datang.
Tetapi Tjian-hong tak menghiraukan. Dia masih
mengepal se-kuat2nja kedua lentjana itu.
"Engkoh Hong! Engkoh Hong dimana kau...! tibatiba bajangan jang mendatangi itu berteriak memanggilmanggil namanja.
Namun Tjian-hong tak menghiraukan. Ia tetap
menundukkan kepala. Teriakan itu berkumandang menggema keseluruh
lembah. "Engkoh Hong, engkoh Hong, dimana kau... !"
Tjian-hong menebarkan genggaman tangannja.
Kedua lentjana Te-gak-bun dan Thian-tong-Bun itu
berhamburan mendjadi bubukan, bertebaran keangkasa,
melajang-lajang kesegenap udjung lembah....
Tiba2 Tjian-hong menengadahkan kepala dan
tertawa gelak2. Sebuah tertawa jang pandjang dan
njaring. Penuh dengan nada kerawanan, kedukaan dan
penderitaan. Penuh dengan alunan getar penderitaan
dan kehampaan... "Engkoh Hong... Engkoh Hong.... dimana kau...."
samar2 suara itu masih me-ngiang2 memenuhi lembah.
Angin meniup... Tawa mengaum... Seruan melengking... Memang dunia itu penuh dengan peristiwa jang
beraneka ragam. Kehidupan penuh dengan kedukaan,
penderitaan, kebentjian, ketjintaan, kasih sajang,
kedjahatan dan kebaikan. Roda penghidupan berputar dengan membawa
umat manusia kedalam Karma-hidup menurut jang
dikehendaki manusia itu sendiri...
Tamat When World Yours 2 Pendekar Naga Putih 78 Tinju Topan Dan Badai Undangan Maut 2

Cari Blog Ini