Ceritasilat Novel Online

Si Walet Hitam 4

Si Walet Hitam Karya Kho Ping Hoo Bagian 4


bahwa perwira raksasa ini bertenaga besar sekali, maka ia lalu berseru keras dan menyerang lebih hebat
mempergunakan kelincahan dan ginkangnya. Akan tetapi, lagi-lagi ia menjadi terkejut, oleh karena perwira
yang tinggi besar inipun, lalu bergerak cepat hingga sukar dipercaya bahwa tubuh yang kaku dan besar itu
dapat bergerak sedemikian lincahnya.
Lui Tik Kong tidak tinggal diam saja lalu maju mengeroyok.
Lee Ing diam-diam mengeluh, oleh karena menghadapi perwira tinggi besar ini saja ia telah merasa
kewalahan, apalagi ditambah dengan Tik Kong yang juga memiliki kepandaian. Maka ia lalu putar-putar
pedangnya dengan cepat sekali dan tiba-tiba melompat mundur untuk melarikan diri!
Can Kok In tertawa bergelak-gelak.
"Kejar dan tangkap dia!" bentak Lui Tik Kong, akan tetapi Can Kok In berkata.
"Lui-ciangkun untuk apa kita mengejar seorang perempuan" Memalukan sekali. Kalau orang lain melihatnya,
bukankah kita akan menjadi bahan ejekan?"
"Tapi ia jahat dan berbahaya sekali. Kalau kali ini kita tidak membasminya, tentu lain kali ia menimbulkan
bencana!" kata Lui Tik Kong.
"Kalau ia datang, biarlah, serahkan saja kepadaku untuk menghadapinya. Akan tetapi untuk mengejarnya, ah,
aku malu, Lui-ciangkun!"
"Kau ini memang orang aneh, Can-ciangkun." kata Lui Tik Kong yang terpaksa menahan rasa mendongkolnya.
Kemudian ia lalu masuk ke dalam benteng itu bersama Can-ciangkun dan mengambil keputusan untuk istirahat
beberapa lama di benteng itu sebelum kembali ke bentengnya sendiri.
Can Kok In berjanji hendak memberi barisan pengawal untuk mengantarnya pulang ke Le-hu-tin, markas Lui
  Tik Kong di Bong-kee-san. Tik Kong mendapat ganti pakaian sebagai perwira lagi dan nampak gagah.
Kembalilah kegagahannya yang dulu, sungguhpun di dalam hatinya ia merasa berkhawatir sekali kalau
mengenangkan segala perbuatannya yang menimbulkan akibat hebat itu.
Sambil membawa lari pedang rampasannya yang ia gantungkan di pinggang, Lee Ing merasa gemas sekali.
Lagi-lagi ia gagal dan lagi-lagi penjahat she Lui itu mendapat pembela yang berkepandaian tinggi!
Akan tetapi Lee Ing telah mengambil keputusan tetap untuk mengejar terus. Ia maklum bahwa selama
pemuda itu bersembunyi di dalam benteng yang dilindungi oleh banyak sekali anggauta tentara dan juga oleh
perwira raksasa muda yang tangguh itu, ia tidak berdaya sama sekali.
Akan tetapi, tidak mungkin kalau Tik Kong akan bersembunyi selamanya di situ! Lee Ing bersembunyi di sekitar
itu dan menanti saatnya Tik Kong keluar dari benteng dan apabila hal ini terjadi, ia akan menyerang!
"Y" Lo Sin dengan hati marah sekali setelah mengamuk dan mengacau rumah Nyo Tiang Pek, mengejar dengan
menunggang kudanya Pek-liong-ma, akan tetapi oleh karena ia tidak tahu jurusan mana yang diambil oleh Lui
Tik Kong ketika melarikan diri, terpaksa ia harus mencari jejak pemuda itu dengan teliti.
Ia turun dari Bong-ke-san dan bertanya-tanya kepada para penduduk dusun di sekitar bukit itu barangkali
diantara mereka ada yang melihat ke mana berlarinya perwira muda yang dikejar-kejar oleh seorang gadis.
Biarpun andaikata ada yang melihat Lui Tik Kong dan Lee Ing, namun orang itu tentu takkan berani
menceritakannya kepada Lo Sin, maka usaha pemuda itu sia-sia belaka. Kemudian Lo Sin mendapat akal. Ia
bertanya kepada serombongan kanak-kanak yang sedang bermain-main dan benar saja, seorang diantara
anak-anak yang tidak tahu apa-apa ini, de ngan sejujurnya menceritakan bahwa tadi ia melihat N yo-siocia yang
telah amat dikenal itu berlari cepat ke jurusan timur.
Lo Sin menjadi girang sekali dan ia lalu mengaburkan kudanya menuju ke timur.
Namun, ternyata bahwa kudanya mengambil jalan yang berlainan sekali dengan jalan yang ditempuh oleh Tik
Kong dan Lee Ing yang berkejaran, hingga hati pemuda itu menjadi penasaran dan kecewa ketika ia tak
melihat bayangan dua orang yang dicarinya itu, biarpun ia telah mengejar sehari penuh. Terpaksa pada malam
hari itu ia bermalam di sebuah kampung dan pada keesokan harinya, ia melanjutkan perjalanannya mencaricari Lui Tik Kong dan juga mencari Lee Ing.
Ia merasa berduka kalau memikirkan gadis ini dan juga merasa berdosa. Bukankah ia telah menghancurkan
kebahagiaan gadis yang hendak menikah dan gagal oleh karena perbuatannya itu" Dan apabila ia
mengenangkan segala peristiwa yang ter jadi di rumah Nyo Tiang Pek, diam-diam Lo Sin merasa bergidik!
Alangkah akan marahnya Nyo Tiang Pek, dan Coa Giok Lie! Tentu kedua orang tua itu membenci sekali
padanya, yang tentu dianggap pengacau rumah tangga!
Bukan tak mungkin bila Nyo Tiang Pek mengejarnya, atau bahkan mencari orang tuanya untuk mengadukan
perbuatannya itu. Lo Sin menghela napas dengan penuh rasa menyesal apabila mengingat akan hal ini.
Semenjak kecil ia rindu dan ingin sekali bertemu dengan Nyo Tiang Pek dan Coa Giok Lie yang seringkali
disebut-sebut ayah ibunya itu. Dan sekarang, begitu bertemu ia bertempur dengan mereka, bahkan membuat
mereka marah, mendatangkan nama buruk dan mencemarkan kehormatan dan nama keluarga Nyo!
Akan tetapi, Lo Sin mengangkat dada. Biarlah! Biar aku yang tanggung jawab. Kalau Nyo-pehpeh marah, biar ia
marah kepadaku. Aku rela binasa di bawah tangannya daripada Lee Ing menjadi isteri si bangsat Tik Kong!
Dengan ini, Lo Sin merasa terhibur, karena ia berpendapat bahwa ia melakukan sesuatu yang benar, oleh
karenanya ia tidak takut menghadapi akibat-akibatnya yang mungkin terjadi.
Lo Sin terus mengaburkan kudanya ke Timur dan pada suatu hari ia bermalam di dusun Ki-ciang yang cukup
besar dan ramai. Yang menarik perhatian Lo Sin ialah bahwa di dusun itu kelihatan beberapa orang tentara
berkeliaran. Ia memang telah mendengar tentang gerakan suku bangsa Turki yang mencurigakan dan bahwa
kini pemerintah telah memperkuat barisan pertahanannya dan bahkan mencari banyak anggauta barisan suka
rela, maka ia tidak perdulikan pemandangan yang memang agak ganjil ini, karena jarang terjadi di sebuah
dusun nampak anggauta tentara.
Lo Sin berpakaian seperti biasa apabila melakukan perjalanan, yakni baju yang ringkas warna biru kehitamhitaman dengan ikat pinggang dan topi berwarna kuning emas. Hiasan burung walet hitam di kepalanya
menambah kegagahannya dan pedangnya tergantung di pinggang dihias dengan ronce-ronce merah. Sulingnya
terselip di punggung. Melihat sekelebatan saja, orang akan dapat mengetahui bahwa dia adalah seorang pendekar perantau yang
memiliki ilmu kepandaian silat. Oleh karena itu, banyak mata memandangnya dengan kagum, karena memang
Lo Sin kelihatan gagah dan cakap sekali. Apalagi karena ia menunggang kudanya yang berbulu putih dan tinggi
besar itu, hingga kuda dan penunggangnya merupakan pasangan yang sedap dipandang dan menimbulkan
kagum. Ketika Lo Sin melompat turun dari kudanya dan memberikan kuda itu kepada pelayan rumah penginapan, ia
tidak tahu bahwa banyak pasang mata memandang kudanya dengan kagum dan iri. Lo Sin lalu memilih
sebuah kamar dan setelah makan malam, ia lalu beristirahat.
Malam hari itu menjelang pagi, tiba-tiba Lo Sin dikejutkan oleh suara kudanya meringkik keras. Ia mengenal
suara kuda Pek-liong-ma, maka cepat ia membereskan pakaiannya melompat keluar, langsung menuju ke
kandang kuda. Alangkah terkejutnya ketika mendapat keny
ataan bahwa kudanya telah lenyap dari tempat itu! Lo Sin cepat
melompat ke atas genteng memperhatikan sekeliling tembok itu. Tiba-tiba ia mendengar ringkik kudanya dari
jauh, di arah selatan, maka ia lalu cepat melompat turun lagi bagaikan seekor burung walet hitam melayang,
lalu berlari mengejar! Ia merasa marah sekali. Siapakah yang begitu kurang ajar berani mencuri kudanya"
Dengan mengerahkan ilmu berlari cepat, Lo Sin mengejar ke arah suara itu, karena gin-kangnya memang
sudah mencapai tingkat tinggi, sebentar saja ia telah hampir menyusul. Ia mendengar suara kaki kuda berlari
cepat di sebelah depan, dan diantara kabut tebal ia melihat bayangan orang-orang berkuda dengan cepat
sekali meluncur ke depan!
"Pencuri kuda yang hina dina?" Lo Sin menegur dan memaki, "Kalian hendak berlari ke mana?"
Melihat bahwa di belakang mereka terdapat seorang pemuda yang berlari luar biasa cepa tnya mengejar,
ketiga orang penunggang kuda itu lalu memecut kuda masing-masing dan membalap makin cepat. Lo Sin
melihat bahwa kudanya berada di tengah-tengah, ditunggangi oleh seorang yang bertubuh tinggi kurus,
sedangkan dua orang lain yang menunggang kuda di kanan kiri berpakaian sebagai pelayan-pelayan
pembesar. "Hai, berhenti!" Lo Sin menegur lagi akan tetapi ketiga orang itu bahkan mempercepat jalannya kuda dan kini
mereka menghampiri sebuah benteng yang menghadang di depan!
Kuda Pek-liong-ma yang ditunggangi orang kurus itu maju lebih dulu dan masuk melalui pintu gerbang benteng
yang terbuka, sedangkan dua orang yang berpakaian pelayan itu menanti di depan pintu benteng sambil
memutar tubuh kuda mereka.
Ketika Lo Sin datang dekat, mereka berdua membentak.
"Kau ini siapakah dan mengapa berani lancang mengejar kami sampai ke benteng kami" Apakah kau tidak
tahu bahwa benteng ini adalah markas tentara?"
Lo Sin tercengang dan juga marah sekali. "Tak perduli tempat apa adanya ini, akan tetapi siapakah yang berani
mencuri kudaku tadi" Hayo suruhlah dia keluar dan membawa kudaku untuk dikembalikan kepadaku!"
Seorang diantara mereka tersenyum mengejek dan berkata. "Jangan sembarang menuduh orang, kawan.
Tahukah kau siapa orang kurus yang kami iringkan tadi" Dia adalah Hwee-ma-ong (Raja Kuda Terbang) yang
terkenal kaya dan memiliki banyak sekali kuda baik. Mana dia mau melihat kudamu?"
Lo Sin terkejut dan tercengang. Ia pernah mendengar nama Hwee-ma-ong ini yang bernama Lie Cit Un,
seorang hartawan besar yang terkenal sekali karena kepandaiannya yang tinggi, akan tetapi juga terkenal
sebagai pemilik kuda-kuda bagus hingga kaisar sendiri sampai memesan kuda dari hartawan ini. Akan tetapi,
iapun maklum bahwa Raja Kuda Terbang ini tak segan-segan untuk mencuri kuda baik apabila ia tidak bisa
mendapatkannya dengan jalan baik.
"Siapa adanya dia. Hwee-ma-ong si Raja Kuda Terbang, maupun Raja Kuda Setan, ia harus keluar dan
mengembalikan kudaku."
Akan tetapi, pada saat itu, dari dalam benteng keluarlah banyak sekali anggauta tentara yang segera
menerjang keluar dan mengeroyok Lo Sin. Pemuda ini menjadi marah sekali dan ia lalu memutar pedangnya
menangkis serangan ini. Terdengar seruan-seruan kaget karena sekali saja ia memutar-mutar pedangnya,
beberapa buah golok dan pedang para pengeroyoknya telah terbabat putus.
Tiba-tiba terdengar bentakan keras yang menyuruh semua perajurit mundur dan dari pintu gerbang itu
melompat keluar seorang perwira tinggi besar seperti raksasa dengan pedangnya yang besar mengerikan di
tangan perwira yang bukan lain orang adalah Can Kok In sendiri ini, lalu membentak sambil memutar-mutar
sepasang matanya yang lebar.
"Eh, eh, orang gagah darimanakah datang-datang membikin kacau di bentengku?""
Sebelum Lo Sin dapat menjawab, dari pintu gerbang itu keluar pula seorang tinggi kurus berwajah pucat
kuning dan ia kenali orang ini sebagai penunggang kudanya tadi. Maka ia lalu menuding kepada orang itu.
"Kaukah yang bernama Lie Cit Un berjuluk Raja Kuda Terbang dan yang telah mencuri kudaku?"
Lie Cit Un tertawa bergelak sambil menca but keluar pedangnya.
"Bangsat bermulut lancang. Apa buktinya kau berani menuduh aku sebagai pencuri kudamu?"
Juga Can Kok In merasa heran mendengar ini, lalu berkata. "Jangan sembarangan menuduh. Orang ini adalah
Lie-wangwe yang menjadi sahabat baikku dan tak mungkin ia mencuri kuda. Ketahuilah, ia ini adalah seorang
pemilik banyak kuda-kuda jempolan, mana ia sudi mencuri kudamu?"
Lo Sin merasa kurang baik untuk berlaku kasar, maka sambil menekan kemarahannya, ia berkata. "Kuda yang
kau tunggangi itu adalah kudaku Pek-liong-ma yang kaucuri dari rumah penginapan."
"Gila!" teriak Si Raja Kuda Terbang. "Kuda itu adalah kudaku sendiri!" lalu ia memberi tanda kepada dua orang
pelayannya tadi untuk mengambil kuda itu.
"Coba ambil kuda putihku itu ke sini!"
Dua orang pelayan itu lalu berlari ke dalam dan tak lama kemudian mereka menuntun kuda putih yang Lo Sin
kenali bukan lain adalah kudanya sendiri.
"Nah, kau lihatlah, apakah tandanya bahwa kuda ini kudamu?" Si kurus menantang.
Lo Sin tersenyum. "Jangan kau pergunakan akal bangsat. Kuda ini adalah kudaku dan ia tentu menurut segala
omonganku. Lihat!" Lo Sin lalu berkata kepada kudanya itu.
"Pek-liong! Kau ke sinilah!"
Akan tetapi aneh, kuda itu hanya menggunakan kaki depannya untuk mencakar-cakar tanah hingga debu
mengebul, akan tetapi tidak menurut perintah Lo Sin.
Pemuda ini membelalakkan mata dengan heran sekali. Belum pernah kudanya ini membantah perintahnya. Ia
memandang lagi dengan penuh perhatian dan ternyata bahwa kuda ini benar-benar adalah kudanya Pek-liongm a. "Pek-liong! Siapa yang mengganggumu" Berlututlah!"
Akan tetapi kuda itu tetap berdiam dan menggaruk-garuk tanpa memperdulikan suara perintah Lo Sin.
"Ha-ha-ha!" Lie Cit Un tertawa geli. "Maling kecil, jangan kau memperlihatkan lelucon busuk di sini. Terang
bahwa kuda itu tidak menurut perintahmu. Bukti apa lagi yang dapat kauperlihatkan bahwa kuda ini benarbenar kudamu?" Can Kok In juga memandang marah. "Sobat, kau seorang berpakaian begini indah dan sikapmu gagah.
Mengapa kau tidak malu mengaku kuda orang lain sebagai kudamu?"
Lo Sin menjadi pucat dan serba salah. Ia sungguh-sungguh tidak mengerti mengapa Pek-liong-ma kali ini tidak
mau mentaati perintahnya. Ia lalu berkata. "Entah apa yang terjadi dengan kudaku ini. Akan tetapi, orang she
Lie. Kau berkukuh mengaku bahwa kudaku ini adalah kudamu, apa pula tanda-tandanya?"
"Ha-ha-ha! Kau hendak mempergunakan senjata yang kukeluarkan" Aku tidak sedungu kau, sobat. Lihatlah ini!"
Sambil berkata demikian, ia menunjuk ke arah paha kiri kuda putih itu dan Lo Sin menjadi terkejut dan marah
sekali ketika melihat bahwa kulit paha kuda itu terdapat tanda cap huruf "Lie", tanda yang selalu terdapat pada
paha semua kuda milik Lie Cit Un.
Pemuda ini memandang terheran-heran. Bagaimanakah hal ini bisa terjadi" Mengapa kudanya telah
mempunyai tanda cap itu dan mengapa pula Pek-liong-ma tidak mau menurut perintahnya" Ia memutar-mutar
otak, akan tetapi tidak mendapat jawaban.
Tentu saja ia tidak berdaya menghadapi Lie Cit Un, penggemar dan pemelihara kuda yang telah
berpengalaman dan mempunyai banyak sekali akal bulus itu. Kuda Pek-liong-ma dicap olehnya pada saat ia
mencurinya dari rumah penginapan itu dan karena ia memang mahir sekali dalam hal menjinakkan kuda,
maka ia mempunyai semacam obat yang apabila dimakan oleh seekor kuda, binatang itu menjadi jinak dan
penurut. Obat ini pulalah yang membuat Pek-liong-ma lupa akan suara perintah majikannya.
"Bangsat, kau telah menyihir kudaku tiba-tiba Lo Sin berkata sambil menggerakkan pedangnya. Akan tetapi
pedang panjang besar di tangan Can Kok In berkelebat dan menangkis pedangnya hingga Lo Sin terkejut
karena tenaga perwira raksasa itu benar-benar mengagumkan. Ia hendak mengamuk, akan tetapi, merasa
bahwa ia tentu akan dianggap keterlaluan karena sudah nyata bahwa kuda itu ada tanda-tanda memang
benar milik orang she Lie.
Tiba-tiba Can Kok In dapat melihat perhiasan burung walet hitam di kepala Lo Sin. Matanya yang sudah lebar
itu makin melebar dan ia lalu berkata,
"Hai! Bukankah kau ini si Walet Hitam?"
Ketika Lo Sin mengangguk, Can Kok In melanjutkan. "Aneh. Aku mendengar bahwa Ouw-yan-cu si Walet
Hitam adalah seorang gagah perkasa, akan tetapi tidak tahunya ia sekarang datang mengacau bentengku dan
hendak merampas kuda orang. Bukankah ini aneh sekali" Atau, barangkali kau ini Ouw-yan-cu palsu?"
07.18. Tiupan Suling Membawa Bahagia
Lo Sin menjadi serba salah dan maklum bahwa keadaan makin sulit. Hendak menggunakan kekerasan, selain
menghadapi banyak lawan tangguh dan keroyokan ratusan tentara, juga ia merasa betapa pihaknya akan
mendapat kesan buruk sekali.
Peristiwa ini tentu akan tersebar luas dan nama Walet Hitam akan menjadi rusak sebagai seorang maling kuda
hina dina. Ia lalu menjura kepada Can Kok In dan berkata.
"Maafkanlah semua kekasaranku tadi. Mungkin aku telah keliru sangka dan mungkin sekali kuda ini memang
mempunyai persamaan luar biasa dengan kudaku yang hilang. Nah, selamat tinggal!"
"Ouw-yan-cu, nanti dulu! Telah lama aku mengagumi namamu, maka sudilah kau mampir sebentar agar kita
bisa bercakap-cakap sambil minum arak!" teriak Can Kok In.
Akan tetapi, Lo Sin yang merasa amat malu, penasaran dan menyesal itu tentu saja tidak sudi menerima
undangan ini. Sambil mengucapkan terima kasih, tubuhnya lalu berkelebat cepat dan meninggalkan tempat itu.
"Sayang?"" kata Can Kok In sambil menggeleng-gelengkan kepalanya yang besar, "aku ingin sekali mencoba
kepandaiannya." Mereka lalu menutup pintu benteng dan kembali ke dalam benteng untuk menjamu tamunya yang baru
datang, yakni Lie Cit Un si Raja Kuda Terbang!
Dengan tubuh terasa lemas, Lo Sin meninggalkan benteng itu. Hatinya berduka dan pikirannya kacau balau. Ia
amat sayang kepada kudanya dan kini tahu-tahu kuda itu lenyap, atau bukan lenyap melainkan berubah hebat
sekali. Ia tidak merasa ragu-ragu lagi bahwa kuda yang berada di dalam benteng itu pasti kudanya Pek-liongma, sungguhpun ia sama sekali tidak mengerti mengapa kudanya bisa berubah seperti itu!
Sementara itu, fajar telah berganti pagi dan dengan hati tidak karuan dan pikiran ruwet, Lo Sin berjalan sambil
menundukkan kepala. Ia berjalan perlahan dan tiba-tiba ia menahan tindakan kakinya. Ia teringat akan
sesuatu dan wajahnya yang tampan itu berseri menyinarkan harapan baru.
Mengapa ia begitu bodoh dan tidak ingat akan hal ini" Ia harus mempergunakan sulingnya!
Semenjak kuda Pek-liong-ma masih muda, binatang itu senang sekali mendengar suara sulingnya, bahkan ia
mempunyai semacam lagu yang khusus untuk kuda Pek-liong-ma! Dan setiap kali, ia menyuling dan
memainkan lagu Pek-liong-ma itu, kudanya pasti akan datang menyusulnya, di manapun ia berada.
Pernah ia dan kedua orang tuanya mencoba dan mengikat kuda itu erat-erat di kandang, lalu ia pergi ke
tempat yang cukup jauh lalu menyuling lagu Pek-liong-ma dan kuda itu dengan nekad lalu memberontak,
memutuskan tali ikatan dan mengejar ke tempatnya.
Teringat akan hal ini, Lo Sin lalu berdiri di atas sebuah batu besar dan mencabut keluar sulingnya. Ia
menenteramkan hatinya dan mengatur pernapasannya agar pikirannya yang ruwet menjadi tenang, karena
apabila pikirannya ruwet, ia takkan dapat meniup suling dengan baik.
Kemudian ia menempelkan ujung suling itu pada bibirnya dan ditiupnya perlahan suling itu. Maka terdengarlah
bunyi suling yang merdu di pagi hari itu. Burung-burung pagi yang tadinya ramai berkicau di pohon-pohon dekat
tempat Lo Sin berdiri, tiba-tiba berhenti bernyanyi seakan-akan mereka ikut menikmati bunyi suling yang ditiup
Lo Sin. Pemuda ini memang pandai sekali bersuling hingga suara sulingnya terdengar melengking nyaring dan
terdengar sampai jauh. Ia merasa yakin bahwa suara sulingnya pasti terdengar sampai di dalam benteng di
mana Pek-liong-ma berada.
Ia menyuling terus memainkan lagu Pek-liong-ma yang sengaja dimainkan untuk menarik perhatian kudanya.
Ia dapat membayangkan bahwa sebagaimana biasanya, kudanya itu tentu akan mengamuk, memutuskan tali
pengikatnya dan sebentar lagi berlari mendatangi ke tempat ini, maka wajah Lo Sin berseri girang dan meniup
sulingnya makin kuat. Akan tetapi, sudah habis lagu itu ditiupnya, belum juga ia mendengar kaki kudanya berlari datang. Ia mulai
gelisah dan kecewa, dan pada saat ia mengharap-harapkan kedatangan kudanya Pek-liong-ma, tiba-tiba
terdengar kaki orang berjalan ke arahnya dari kanan.
Lo Sin mengerling dan tiba-tiba suara sulingnya berhenti. Suara sulingnya yang diharapkan akan datangnya
Pek-liong-ma itu, ternyata telah mendatangkan mahluk lain yang sama sekali tak pernah diduganya akan ia
lihat di situ. Yang datang ini bukan lain ialah Lee Ing.
Lo Sin berdiri seperti patung, kedua tangan masih memegang suling dan ujung suling masih berada di dekat
mulutnya. Ia menengok ke kanan dan tak berani bergerak, seakan-akan takut kalau pandangan ini akan
lenyap jika ia menggerakkan tubuhnya. Ia melihat Lee Ing dengan cantik dan gagah sekali datang ke arahnya
dengan tindakan kaki tetap dan lenggang menggiurkan.
Alangkah gagahnya gadis ini, alangkah manisnya, alangkah cantik jelita. Tangan kiri Lee Ing berada di gagang
pedang yang tergantung di pinggang dan biarpun wajah dara ini nampak agak pucat dan kurang tidur namun
kecantikannya tidak berkurang, bahkan nampak sewajarnya. Gadis itu datang menghampiri dengan mata
menatap wajah Lo Sin yang bengong bagaikan patung batu itu.
"Kau...... kau?"?" akhirnya Lo Sin hanya dapat menegur, tak lebih dari pada itu.
Sedangkan Lee Ing ketika melihat betapa pandang mata pemuda itu memancarkan cahaya aneh seperti dulu
ketika mula-mula bertemu di bawah hujan badai, merasa sebal sekali. Ia telah dapat merasakan pandang
mata itu dan kembali ia menjadi marah, karena sebagai seorang yang telah beristeri, Lo Sin tidak berhak
memandang dia dengan pandang mata seperti itu.


Si Walet Hitam Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Lee Ing lalu menundukkan muka, tak berani menentang pandang mata Lo Sin, lalu katanya sambil cemberut,
"Musuh berada di dekat, d
an kau enak-enakan meniup suling. Bukankah kau sedang mencari bangsat rendah
Lui Tik Kong?" Mendengar disebutnya nama ini, Lo Sin merasa betapa kepalanya seakan-akan disiram air dingin. Lenyaplah
lelah dan lesunya, dan tiba-tiba terlupa sama sekali olehnya akan peristiwa yang menimpa kudanya.
Segera seluruh urat di tubuhnya menegang dan ia siap untuk menerkam Tik Kong. Inilah sifat yang diwarisinya
dari ibunya. "Mana......" Mana penjahat hina dina itu?" tanyanya dengan mata tajam hingga Lee Ing memandang kagum.
Sama benar mata pemuda ini dengan mata Ang Lian Lihiap kalau ia sedang marah.
Dengan singkat Lee Ing lalu menuturkan betapa ia mengejar-ngejar Tik Kong sampai di tempat ini dan betapa
Lui Tik Kong bersembunyi dan berlindung di dalam benteng itu.
"Apa?"" Lo Sin memandang heran dan terkejut. "Di benteng itu?""
Lee Ing merasa heran melihat sikap Lo Sin ini. "Apakah kau takut menghadapi perwira raksasa yang lihai itu"
Memang di sana banyak terdapat orang-orang pandai!" katanya menyindir.
Lo Sin menggeleng-geleng kepalanya. "Untuk menangkap bangsat she Lui itu, jangankan baru ada benteng
yang melindunginya, biar ia lari ke neraka sekalipun, aku tidak takut untuk mengejarnya."
"Kau...... kau agaknya sangat benci kepadanya," kata Lee Ing.
"Apakah kau juga tidak benci padanya?" jawab Lo Sin. "Dia seorang rendah dan jahat, dia telah menganiaya
Kong peh-peh. Ini masih belum hebat, akan tetapi, dia?" dia berani sekali hendak menipu ayahmu dan
hendak?" mengawini kau!" kata-kata ini terdengar penuh kemarahan.
"Kalau begitu, hayo kita pergi! Mau tunggu apalagi?" kata gadis itu dan Lo Sin lalu selipkan suling di
punggungnya dan keduanya lalu berjalan cepat menuju ke benteng.
"Dengar...... Nyo-siocia (nona Nyo)?"!"
"Jangan sebut aku siocia. Bukankah kau ini putera Lo-siokhu (paman Lo)?" tegur Lee Ing hingga Lo Sin menjadi
ma kin gugup. "Baiklah, Ing-moi. Biar selanjutnya aku menyebutmu Ing-moi saja. Kau juga tahu bahwa bangsat she Lui itu
takut sekali kepadaku maka apabila aku ikut masuk ke dalam benteng tentu ia akan menyembunyikan dirinya
dan tidak berani muncul. Kalau ia tidak mau muncul, bagaimana kita bisa mencarinya di dalam benteng yang
besar dan yang didiami ratusan tentara itu" Lebih baik kau masuk seorang diri dulu dan aku diam-diam
mengikutimu. Kalau dia sudah keluar, barulah aku turun tangan. Setujukah kau?"
Lee Ing merasa setuju dan menganggap akal ini amat cerdik. Gadis ini dengan gagahnya lalu menghunus
pedang dan menerjang pintu benteng sambil berseru keras.
"Bangsat Tik Kong pengecut besar! Apakah kau benar-benar tidak berani keluar dan sembunyi seperti seekor
tikus busuk?" Beberapa orang penjaga lalu mengurungnya, akan tetapi sambil memutar pedangnya, Lee Ing membuat
mereka ini mundur dengan jerih dan gadis ini dengan cepat dan berani sekali melompat masuk ke dalam
benteng. "Bangsat perempuan tak tahu diri! Kau benar-benar datang mencari mampus!" teriak Tik Kong yang telah
melompat keluar dengan pedang di tangan.
Sesungguhnya ia maklum bahwa kepandaian pedang gadis ini lihai sekali, namun karena ia berada di dalam
benteng di mana terdapat banyak sekali kawan-kawannya, ia tidak merasa takut dan menyerang dengan
gagahnya. Can Kok In juga sudah keluar bersama Lie Cit Un dan mereka juga membawa pedang. Perwira raksasa itu
menggeleng-gelengkan kepalanya yang besar.
"Sungguh seorang gadis yang keras hati dan berkepala batu! Alangkah beraninya ia memasuki benteng ini!"
Ia selalu melarang anak buahnya yang hendak mengeroyok Lee Ing dan hanya berdiri sambil menonton
pertempuran yang terjadi antara Lee Ing dan Tik Kong. Akan tetapi, dalam kemarahannya, Lee Ing berkelahi
dengan nekad dan ia mengerahkan seluruh kepandaiannya hingga baru bertempur kurang lebih tigapuluh jurus
saja, Tik Kong sudah terdesak hebat dan ujung pedang Lee Ing menyambar-nyambar mengarah jiwanya.
"Ganas, ganas!" seru Can Kok In yang melompat maju dan menangkis dengan pedangnya yang panjang dan
berat. Tik Kong melompat mudur dengan wajah pucat sedangkan Lee Ing yang melihat betapa perwira tinggi besar
itu kembali membantu Tik Kong, lalu mengertak gigi dan melawan dengan nekad. Akan tetapi, kepandaian dan
tenaga Can Kok In benar-benar mengagumkan.
Dengan tangkisan yang tepat dan yang dilakukan dengan keras, ia berhasil membuat pedang Lee Ing terlepas
dari pegangan. Akan tetapi, perwira raksasa ini hanya tertawa besar dan tidak mau menyerang Lee Ing.
Pada saat itu, dari atas tembok benteng melayang turun bayangan hitam yang berseru. "Can-ciangkun tak baik
menghina orang!" Can Kok In cepat memandang dan ia terkejut sekali melihat bahwa yang datang ini adalah Lo Sin si Walet
Hitam yang kemarin datang mengacau hendak merampas kuda.
"Ouw-yan-cu! Apakah kau datang lagi hendak merampas kuda orang?" bentaknya.
Lo Sin tertawa geli. "Perwira she Can! Kau hanya besar tubuhmu saja, akan tetapi pikiranmu sempit sekali.
Kuda itu adalah kudaku sendiri yang harus kuambil kembali, dan kedatanganku tidak saja hendak memberi
hajaran kepada maling kuda yang kaulindungi, akan tetapi juga menawan bangsat rendah Lui Tik Kong yang
ternyata kaulindungi pula."
Sementara itu, melihat kedatangan Lo Sin, Lui Tik Kong menjadi pucat dan hendak melarikan diri, akan tetapi
tiba-tiba Lee Ing yang biarpun telah bertangan kosong, melompat dengan cepat sambil menyerangnya dan
membentak. "Bangsat pembunuh hina dina! Jangan kau mencoba hendak lari!"
Terpaksa Lui Tik Kong mengelak dan membalas menyerang dengan pedangnya. Ia dapat menetapkan hatinya
oleh karena di saat it u terdapat banyak kawannya yang tentu akan menghalangi Lo Sin menyerangnya, maka
ia lalu mainkan pedangnya dengan tetap.
Sedangkan Can Kok In ketika melihat betapa Lee Ing menghadapi Tik Kong dengan tangan kosong saja,
merasa lega dan ia tidak perlu menguatirkan keadaan Tik Kong. Ia yakin bahwa menghadapi gadis yang
bertangan kosong itu, Tik Kong takkan kalah.
Akan tetapi, tetap saja Tik Kong merasa gugup dan takut. Ia juga kuatir kalau-kalau Lee Ing membongkar
rahasianya, dan ia maklum bahwa biarpun seorang perwira, namun Can Kok In adalah seorang jujur dan
raksasa muda itu amat mengagumi Kong Sin Ek.
Kalau sampai Can-ciangkun tahu bahwa ia telah menyiksa dan membunuh si Dewa Arak itu, tentu keadaannya
akan menjadi berbahaya sekali karena bantuan raksasa itu takkan dapat diharapkan. Maka ia lalu membentak.
"Lee Ing, gadis liar! Tidak baik kita mengacaukan benteng. Kalau kau memang gagah, mari kita bertempur
mati-matian di luar benteng!"
"Tik Kong bangsat rendah! Kaukira aku jerih kepadamu" Keluarlah dan kau akan kubinasakan di luar benteng!"
Tik Kong melompat keluar dari pintu gerbang, diikuti oleh Lee Ing dan setelah tiba di luar, Tik Kong terus berlari
menjauhi benteng itu. "He, pengecut, hendak lari ke mana?" seru Lee Ing yang mengejar terus.
Sementar itu, Lo Sin lalu berkata kepada Can Kok In. "Can-ciangkun, sekarang harap kau suka mengembalikan
kudaku. Sekarang aku ingat bahwa ketika kuda itu terjatuh, ia mendapat luka di lehernya dan kurasa luka itu
sampai sekarang masih ada, tertutup oleh bulunya. Silakan periksa kalau kau tidak percaya."
Can Kok In memang seorang jujur, maka ia lalu menyuruh orang mengeluarkan kuda itu dan ketika ia sendiri
memeriksa kulit leher kuda dan menyingkap bulu-bulu yang halus dan gemuk itu, ternyata benar bahwa di situ
terdapat bekas luka. Perwira raksasa ini memandang kepada si Raja Kuda Terbang dengan muka penuh pertanyaan, akan tetapi Lie
Cit Un tersenyum mengejek sambil menggerak-gerakkan pedangnya.
"Ouw-yan-cu hanya ngawur saja dan mengatakan hal yang kebetulan atau ia memang sudah tahu
sebelumnya hingga mengeluarkan bukti palsu! Sudah jelas bahwa kuda ini kudaku, maka semua desakannya
berarti menghinaku! Aku tantang Ouw-yan-cu untuk menentukan hak milik atas kuda ini dengan bertanding
pedang!" "Maling kuda! Tanpa ditantang akupun ingin sekali mengajar adat kepadamu!" bentak Lo Sin sambil mencabut
pedangnya. "Bagus! Lihat pedang!" Lie Cut Un berseru dan menyerang dengan cepat. Ia menggunakan ilmu pedang Pek-hokiam-hwat (Ilmu Pedang Burung Ho Putih) dari cabang persilatan Thai-san-pai, gerakannya cukup kuat dan
cepat. Akan tetapi Lo Sin yang merasa marah sekali kepada maling kuda yang curang ini, segera berseru nyaring
sekali dan tubuhnya melompat, maka pedangnya terputar cepat menangkis pedang lawan lalu pemuda ini
mengeluarkan ilmu pedang Hwie-sian-liong-kiam-sut yang hebat!
Lie Cit Un menjadi berkunang-kunang matanya ketika melihat betapa sinar pedang lawannya berkelebatan
dan tubuh pemuda itu lenyap dari depannya. Ia mencoba untuk memutar pedangnya dengan gerak tipu Dalam
Hujan Membuka Payung, sebuah gerakan mempertahankan diri dari serangan lihai hingga pedangnya terputar
merupakan payung yang menjadi perisai dan yang melindungi tubuhnya. Akan tetapi ia tidak kenal akan
kelihaian ilmu pedang Hwie-sian-liong-kiam-sut apabila ia mengira bahwa ia akan mudah saja menghadapi
ilmu pedang dengan gerakan Dalam Hujan Membuka Payung.
Tiba-tiba pedangnya yang diputar cepat itu berhenti gerakannya seakan-akan menempel pada sesuatu yang
kuat sekali dan ternyata bahwa pedangnya telah menempel dengan pedang di tangan Lo Sin, dan betapapun
ia membetot dan menarik pedangnya tak dapat terlepas.
Saat itu tangan kiri Lo Sin meluncur ke depan dan dua jari tangan pemuda itu dengan cepatnya menotok jalan
darah twi-hai-hiat hingga tubuhnya menjadi kaku dan ia berdiri tak dapat bergerak bagaikan patung dengan
pedang masih di tangannya.
"Ha, ha, maling kuda yang jahat. Apakah sekarang kau masih mau merampas kudaku?"
"Lihai sekali!" tiba-tiba Can Kok In berseru keras dan perwira raksasa ini melompat maju dan dengan tangan
kiri ia menepuk pundak Lie Cit Un dan dengan tangan kanannya ia menampar ke arah Lo Sin.
Si Walet Hitam melihat datangnya tamparan yang amat kerasnya itu, sengaja tidak berkelit dan bahkan iapun
memukulkan tangan kirinya dengan kepalan terbuka untuk menyambut datangnya tamparan tangan Kok In.
Dua telapak tangan bertemu hebat sekali dan akibatnya adalah Lie Cit Un yang menderita celaka.
Ternyata bahwa Can Kok In yang memiliki tenaga gwakang (tenaga luar) luar biasa besarnya itu, tadinya
memandang rendah dan mengira bahwa biarpun ilmu pedangnya membuat ia kagum, akan tetapi tenaga
pemuda itu tentu tidak berapa hebat, maka ia membagi tenaganya menjadi dua. Yang sebagian kecil ia
gunakan melalui tangan kiri untuk membebaskan Lie Cit Un dari pengaruh totokan Lo Sin, sedangkan sebagian
pula yang terbesar ia gunakan untuk menampar Lo Sin.
Akan tetapi, ketika Lo Sin yang mengerahkan tenaga dalamnya menerima pukulan ini dengan tangan hingga
dua tenaga raksasa ini bertemu dengan hebat. Can Kok In merasa terkejut dan tenaga pukulannya membalik.
Untuk menjaga agar ia jangan mendapat luka di dalam, perwira raksasa ini menyalurkan tenaga yang kembali
itu melalui tangan kirinya masih terpentang dan akibatnya terdengar suara "krek!!" dan patahlah tulang pundak
Lie Cit Un karena tekanan tangan kiri Kok In yang berat dan keras.
Si Raja Kuda Terbang yang telah terbebas dari totokan, akan tetapi bahkan menderita tulang patah ini, menjerit
kesakitan dan jatuh sambil memegang-megang pundaknya yang sakit sekali.
Can Kok In terkejut dan heran. Tak pernah di sangkanya bahwa Ouw-yan-cu selihai itu hingga tidak saja dapat
menghadapi tamparannya, bahkan dapat pula mengembalikan tenaga pukulan itu hingga tanpa disengaja ia
telah melukai si Raja Kuda Terbang. Mukanya menjadi merah dan sepasang matanya mengeluarkan cahaya
penasaran. Ia lalu mencabut pedangnya yang panjang dan besar, dan membentak.
"Ouw-yan-cu! Kau benar-benar lihai sekali. Biarlah aku mencoba sampai di mana ketajaman pedangmu."
Akan tetapi Lo Sin yang merasa bahwa ia telah terlalu lama berada di dalam benteng, sedangkan si pencuri
telah mendapat bagiannya dan kudanya telah kembali, dan ia ingin sekali melihat bagaimana keadaan Lee Ing
dan Tik Kong, maka ia lalu menjura dan berkata.
"Can-ciangkun, tenagamu hebat sekali. Biarlah lain kali saja kita bermain-main lagi!" Ia lalu melompat ke atas
kudanya dan melarikan kuda itu keluar dari pintu benteng.
Para anggauta tentara hendak mengejar, akan tetapi Can Kok In membentak.
"Jangan bergerak, biar aku sendiri yang mengejar!" Iapun lalu melompat ke atas seekor kuda yang besar dan
mengejar keluar. 07.19. Teratai Tumbuh Dalam Lumpur
Lui Tik Kong yang melarikan diri sengaja memancing Lee Ing ke sebuah tempat sunyi di mana terdapat batubatu karang dan banyak rumput. Setelah berada jauh dari benteng itu, tiba-tiba Lui Tik Kong memutar tubuh
dan menyerang. "Lee Ing perempuan tak tahu diri! Kau menghina suamimu sendiri!"
Marahlah wajah Lee Ing. Ia berkelit ke kiri sambil memaki. "Bangsat rendah bermulut kotor! Siapa sudi menjadi
isterimu" Kita belum melangsungkan perkawinan, maka janganlah mulutmu yang sebentar lagi akan
kuhancurkan itu menyebut-nyebut tentang suami isteri. Cis, anjing tak tahu malu!"
Kebetulan sekali mereka berkelahi tempat di mana kedua orang pelayan si Raja Kuda Terbang berada. Mereka
ini sedang mencari rumput gemuk atas perintah majikan mereka untuk diberikan kepada kuda putih hasil
curian itu! Melihat dua orang bertempur mati-matian, mereka berdiri diam tak berani bergerak bagaikan patung
dan hanya memandang dengan hati berdebar.
Lui Tik Kong menyerang dengan penuh kegemasan dan mainkan pedangnya dengan cepat sekali, akan tetapi
Lee Ing biarpun bertangan kosong, berkat gin-kangnya yang sempurna dapat mengelak dengan cepat dan
membalas dengan serangan-serangannya. Ia mempergunakan kedua tangannya untuk membalas dengan
totokan-totokan maut, bahkan kakinya juga selalu mencari kesempatan untuk mengirim tendangan maut
kepada pemuda yang amat dibencinya ini.
Mereka bertempur mati-matian sampai limapuluh jurus lebih dan tiba-tiba Lee Ing teringat akan ilmunya Ginsan-ciang atau Pukulan Bubuk Perak yang lihai. Melihat bahwa dengan tangan kosong ia sukar sekali
mendesak Tik Kong, tiba-tiba ketika Tik Kong menusuk dengan gemas dan ia berjongkok hingga ujung pedang
lewat di atas kepalanya, dari bawah Lee Ing memukul dengan kedua tangan ke arah dada pemuda itu! Biarpun
kedua tangannya tidak menyentuh dada lawan, namun tenaga Gin-san-ciang yang hebat itu telah
menghantam dada Tik Kong dengan tepat!
Lui Tik Kong memekik ngeri dan tubuhnya terpental hingga kepalanya terbentur batu dan ia roboh pingsan
sambil mengeluarkan darah dari mulutnya!
Dengan gemas dan girang, Lee Ing memungut pedangnya yang tadi dipakai oleh Tik Kong untuk
menyerangnya, dan dengan pedang di tan gan ia melangkah maju untuk mengirim tusukan maut! Akan tetapi,
pada saat itu terdengar suara kaki kuda dan terdengar seruan Lo Sin.
"Ing-moi, tahan!"
Lo Sin cepat melompat turun dan menghampiri gadis itu yang memandangnya heran. Mengapa pemuda ini
mencegahnya membunuh pemuda jahat itu"
"Ing-moi, aku hendak membawa bangsat ini ke Pek-ma-san, agar ia suka membuka pengakuan di depan
makam Kong-pehpeh!" kata Lo Sin sambil memeriksa luka Tik Kong akibat pukulan Gin-san-ciang dari Lee Ing.
Lo Sin menggeleng-geleng kepala dan berkata.
"Hebat sekali pukulanmu, Ing-moi. Kalau kau sudah melatih pukulan Gin-san-ciang itu dengan matang, kau
akan menjadi lihai sekali!"
Keadaan Tik Kong memang payah. Untung baginya bahwa Lee Ing memang belum matang betul latihannya
dalam ilmu pukulan ini hingga ia hanya menderita luka dalam yang hebat akan tetapi yang tidak
membahayakan keselamatan jiwanya.
Pada saat itu, terdengar suara kaki kuda dan nampak Can Kok In si perwira raksasa itu mendatangi dan
melompat turun dari kudanya.
"Ouw-yan-cu! Kau telah menyerang dan melukai seorang perwira kerajaan. Sudah menjadi kewajibanku untuk
menangkapmu karena kau telah memberontak!" Sambil berkata demiklan, Kok In mencabut pedangnya.
"Can-ciangkun! Aku kenal namamu sebagai seorang perwira yang gagah perkasa dan jujur. Kau tahu bahwa
aku dan adikku ini terhadap Lui Tik Kong, terdapat permusuhan yang besar sekali. Aku tidak menyerang dan
menangkap seorang perwira kerajaan, akan tetapi aku menangkap seorang penjahat besar bernama Lui Tik
Kong. Lihat!" Kedua tangan Lo Sin bergerak cepat sekali dan tahu-tahu topi perwira dan tanda pangkat di dada baju Lui Tik
Kong telah dicabut dan dirobek-robek, lalu dilempar ke atas tanah. "Nah, bukankah dia sekarang Lui Tik Kong
penjahat biasa saja dan bukan seorang perwira?"
Can Kok In memutar-mutar sepasang matanya yang bundar dan bulat, kemudian ia mengangguk-angguk. "Aku
memang tidak suka mencampuri urusan pribadi orang lain. Akan tetapi, aku masih ingin sekali mengadu ilmu
kepandaian dengan putera Ang Lian Lihiap yang tersohor!"
"Kalau kita berdua masih sama-sama hidup, lain kali aku pasti akan mencarimu untuk bermain-main sebentar,
Can-ciangkun. Akan tetapi sekarang ini aku dan saudaraku ini mempunyai urusan besar yang penting sekali.
Maafkan kami!" setelah berkata demikian, Lo Sin lalu menangkap leher Tik Kong, menaikkan tubuh yang sudah
lemas itu ke punggung Pek-Iiong-ma, lalu ia mengajak Lee Ing pergi dari tempat itu.
Can Kok In hanya menggelengkan kepala saja sambil memandang sampai bayangan Lo Sin dan Lee Ing
lenyap di sebuah tikungan, kemudian ketika melihat dua orang pelayan si Raja Kuda Terbang yang masih
berdiri seperti patung, ia melompat ke depan mereka dengan pedang di tangan.
"Hayo katakan sebetulnya! Kalau kalian membohong, pedangku takkan mengenal ampun! Sebetulnya, kuda
putih itu milik siapakah?"
Dengan tubuh gemetar kedua pelayan itu lalu berterus terang, menceritakan bahwa kuda itu benar-benar
kepunyaan Lo Sin yang dicuri oleh majikan mereka dari rumah penginapan.
Setelah mendengar ini, Kok In dorong kedua orang pelayan itu sampai terguling-guling, lalu melompat ke atas
kudanya dan cepat kembali ke dalam benteng. Dan pada saat itu juga ia mengusir keluar Lie Cit Un dari
bentengnya! "Y" Sekarang kita ikuti perjalanan An
g Lian Lihiap dan Hwee-thian Kim-hong yang mengikuti Mei Ling untuk melihat
keadaan Kong Liang yang terluka oleh tendangan Bong Cu Sianjin yang lihai.
Dengan hati penuh kekhawatiran, Ang Lian Lihiap dan suaminya lalu mengajak Song Mei Ling untuk
mempercepat perjalanan mereka dengan gadis cantik itu membawa mereka ke sebuah kelenteng yang
terletak di luar kota Bun-ciang.
Song Kong Liang rebah di atas balai-balai dan mendapat perawatan kepala hwesio di kuil itu. Ketika melihat
kedatangan Lian Hwa dan Cin Han, Kong Liang mencoba untuk bangun dan memberi hormat, akan tetapi Lian
Hwa dan suaminya buru-buru mencegahnya dan mereka duduk di dekat pembaringan pemuda itu.
Wajah yang tampan itu nampak pucat sekali, akan tetapi setelah suami isteri pendekar itu memeriksa luka
pada dadanya, mereka merasa lega, oleh karena biarpun tendangan itu amat hebat hingga mematahkan
sebuah tulang rusuk, namun berkat keuletan dan kekuatan tubuh Kong Liang, maka pemuda ini terhindar dari
bahaya maut. Apalagi ia cepat mendapat pertolongan pengobatan dan perawatan dari kepala hwesio yang
mengerti tentang ilmu pengobatan, maka sekarang ia telah hampir sembuh, hanya tinggal menanti
tersambungnya tulang rusuk yang patah.
"Jangan khawatir, Kong Liang," kata Ang Lian Lihiap. "Kita pasti akan membalaskan lukamu ini dan memberi
hajaran kepada Bong Cu yang ternyata belum mau merobah adatnya yang buruk."
"Dia lihai sekali, suci," kata Kong Liang. "Biarpun ia telah buntung kedua lengannya, akan tetapi tendangannya
hebat sekali dan sukar dilawan."
Lian Hwa dan Cin Han tentu saja dapat memaklumi hal ini oleh karena sebelum terbuntung kedua lengannya,
memang kepandaian Bong Cu amat hebat dan lihai, bahkan lebih tinggi tingkatnya daripada kepandaian Song
Cu Ling nenek kedua anak kembar itu. Dan dulu ketika Cin Han turun tangan dibantu oleh Lian Hwa dan Tiang
Pek, barulah mereka bertiga dapat mendesak Bong Cu! Maka kini tidak mengherankan apabila pertapa buntung
itu masih dapat mempergunakan kedua kakinya untuk merobohkan Kong Liang!
Beberapa hari kemudian luka di dada Kong Liang telah sembuh sama sekali dan mereka berempat lalu
beramai-ramai naik ke Hoa-mo-san untuk mencari Bong Cu Sianjin dan memenuhi tantangannya! Sebenarnya,
Cin Han dan Lian Hwa terlalu sembrono dan gegabah berani naik ke bukit ini, karena betapapun juga, harus
diketahui bahwa di puncak bukit itu selain ada Bong Cu Sianjin yang lihai, dan ada pula anak murid Bong Cu
Sianjin dan anak murid Lan Bwee Niang-niang, juga si pertapa wanita yang amat tinggi ilmu kepandaiannya ini
masih berada di situ pula!
Dulu pernah mereka mengalami sendiri betapa hebatnya ilmu kepandaian Lan Bwee Niang-niang dan apabila


Si Walet Hitam Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tidak keburu datang Beng San Siansu maka tentu di pihak mereka tidak ada yang sanggup menghadapi
pertapa wanita ini. Akan tetapi, Ang Lian Lihiap memang terkenal tabah dan pemberani sekali. Melihat betapa
Kong Liang terluka, hati nyonya ini telah menjadi demikian marahnya hingga ia tidak mengadakan perhitungan
lagi dan mendesak kepada suaminya untuk naik ke Hoa-mo-san!
Cin Han juga mengerti akan kelihaian lawan yang berada di puncak Hoa-mo-san, akan tetapi pendekar pedang
inipun tidak merasa jerih, oleh karena setelah kini ia memiliki ilmu Hwie-sian-liong-kiam-sut, gabungan ilmu
pedangnya dan ilmu pedang Lian Hwa dan kini keduanya pergi bersama, apalagi yang harus ditakuti"
Kalau saja pada waktu itu Bong Cu Sianjin kebetulan berada di puncak bukit, pasti akan terjadi pertempuran
yang dahsyat dan hebat sekali. Akan tetapi, kebetulan sekali Bong Cu Sianjin dan Hek Li Suthai serta Bi Mo-li
baru kemarin turun gunung untuk mencari tahu tentang musuh-musuh mereka, karena Bong Cu merasa
penasaran mendengar betapa berkali-kali Hek Li Suthai mengalami kekalahan dari Ang Lian Lihiap dan Hweethian Kim-hong, bahkan telah dikalahkan pula oleh si Walet Hitam putera Ang Lian Lihiap, kemudian kalah juga
menghadapi Pat-chiu Koai-hiap Oei Gan yang sebetulnya tidak mempunyai permusuhan apa-apa dengan dia.
Ketika Cin Han dan isterinya beserta sepasang muda-mudi kembar itu tiba di kuil Teratai Putih di puncak bukit
Hoa-mo-san, kuil itu nampak sunyi. Di depan kuil ini nampak seorang pemuda berusia kurang lebih sebaya
dengan Kong Liang, pemuda bertubuh tinggi besar berkulit kehitam-hitaman dan pakaiannya seperti seorang
petani sederhana. Memang ia seorang petani tulen, terbukti dari kecakapannya mengayun cangkul yang pada saat itu
dikerjakannya untuk mencangkul tanah di depan kuil. Agaknya pemuda petani itu hendak menanam sayur dan
sedang bekerja dengan penuh perhatian hingga ia tidak melihat kedatangan empat orang tamu itu.
Ketika Cin Han dan kawan-kawannya sudah datang dekat, barulah ia mendengar suara mereka dan ia segera
menunda pekerjaannya dan menengok. Pada wajahnya yang gagah dan tampan itu nampak sepasang
matanya yang memandang heran dan sekali lihat saja Cin Han dapat mengetahui bahwa ia berhadapan
dengan seorang yang berhati polos dan jujur. Ia lalu menjura kepada petani muda itu sambil bertanya.
"Saudara yang baik, dapatkah kau memberitahu kepada kami di mana adanya Lan Bwee Niang-niang dan
Bong Cu Sianjin?" Wajah petani muda itu tiba-tiba berubah dan terang bahwa ia merasa terkejut dan heran. Sepasang matanya
yang bersinar terang itu memandang ke arah tamu-tamu itu seorang demi seorang dan secara sopan ia segera
mengalihkan pandang matanya ketika ia menatap wajah Mei Ling, hingga diam-diam Lian Hwa merasa suka
kepada petani muda yang tahu akan kesopanan ini.
Petani muda ini membalas memberi hormat ketika ia menjawab, "Maaf, siauwte yang muda berlaku lancang
menjadi wakil tuan rumah, kare
g yang telah ditambah oleh pelajaran dan petunjuk dari Lian
Hwa, maka ilmu pedangnya ini amat cepat dan gesit gerakannya! Akan tetapi, ketika Bun Gai mempermainkan
kebutan yang mengeluarkan angin menyambar, baik Cin Han maupun Lian Hwa menjadi kagum sekali.
Mereka dapat menaksir bahwa ternyata Bong Cu Sianjin yang telah buntung tangannya itu telah menurunkan
ilmu kepandaiannya kepada pemuda tani ini. Mudah mereka duga bahwa Mei Ling bukanlah lawan pemuda ini
dan benar saja, setelah bertempur tigapuluh jurus lebih, pedang Mei Ling sama sekali tak berdaya dan bahkan
beberapa kali pedang itu telah terlibat oleh ujung kebutan dan tak dapat dilepaskan!
Akan tetapi, tiap kali Mei Ling sudah merasa bingung dan gemas, Bun Gai sengaja melepaskan libatan
kebutannya dan kembali Mei Ling menyerang dengan sia-sia, karena tak sebuahpun serangannya berhasil
menyentuh ujung baju Bun Gai! Dan seperti juga tadi, Bun Gai sama sekali tidak mau membalas menyerang.
Hal ini membuat Mei Ling penasaran dan mendongkol sekali hingga hampir saja ia menangis!
"Kalau kau memang jantan, kau balaslah!" teriaknya sengit dan dengan isak hingga Lian Hwa dan Cin Han
diam-diam geli. Orang sudah mengalah dan tidak mau membalas, akan tetapi gadis itu bahkan minta dibalas!
"Kita tidak bermusuh, mengapa aku harus membalas?" jawab Bun Gai sambil menyampok tusukan gadis itu
dengan ujung kebutannya. "Pengecut! Balaslah?" balaslah kalau kau memang laki-laki!" teriak Mei Ling dan kini mengeluarkan dua butir
air mata dari matanya. Ia merasa gemas dan sakit hati sekali karena merasa betapa pemuda tani itu
mempermainkannya seperti seekor kucing mempermainkan tikus.
Entah mengapa, tiba-tiba Bun Gai mengendurkan gerakan kebutannya dan ketika pedang Mei Ling menusuk ke
arah dadanya, pemuda ini hanya mengelak sedikit. Terdengar suara kain robek dan dari pundak pemuda ini
mengalir darah! Ternyata bahwa kulit pundaknya telah kena tergores pedang!
Melihat ini, tiba-tiba Mei Ling terkejut sekali dan melompat mundur. Gadis yang tadinya merasa gemas sekali
ini, tak pernah menyangka bahwa ia akan melukai lawannya dan tahu-tahu sebuah serangan yang demikian
sembarangan saja telah dapat melukai pundak pemuda tani itu. Ia seakan-akan dapat menduga bahwa
pemuda itu sengaja memberikan kulit pundaknya tergores pedang.
Bun Gai menjura kepada Mei Ling dan tersenyum sambil berkata. "Nona lihai sekali, aku Yap Bun Gai yang
bodoh mengaku kalah."
Cin Han dengan kagum sekali melangkah maju dan berkata. "Saudara Yap, kepandaianmu benar-benar hebat
dan pantas sekali kau menjadi murid Bong Cu Sianjin yang lihai. Kami memang tidak mempunyai permusuhan
sesuatu dengan kau, dan apabila memang ada oleh karena kau mempunyai hubungan dengan suhumu, namun
sikapmu ini cukup untuk menghapus semua sikap bermusuh yang ada di dalam dada kami. Sekarang tolong
kau beritahukan kepada suhumu tentang kedatangan kami."
"Maaf, terpaksa siauwte tak dapat memberitahukan di mana adanya suhu karena suhu telah pergi turun
gunung kemarin bersama dengan suci Hek Li Suthai dan muridnya, entah ke mana tidak memberitahukan
kepada siauwte, sedangkan Niang niang yang cuwi cari itu sedang bersamadhi di dalam kuil."
"Agaknya kau tidak mau mengganggu Lan Bwee Niang-niang. Baiklah biar aku sendiri yang memanggilnya
keluar." Setelah berkata demikian, Lian Hwa lalu mengerahkan tenaga khikang pada suaranya lalu memanggil
ke arah kuil itu. 07.20. Penipu Busuk! Kau Sudah Beristeri . . . . .
"Lan Bwee Niang-niang!! Aku Ang Lian Lihiap telah datang menghadap! Kalau Niang-niang suka menerima kami,
silakan keluar!" Yap Bun Gai terkejut sekali mendengar suara ini yang mengandung tenaga dalam demikian hebatnya. Untung
bahwa pendekar wanita ini tadi tidak turun tangan, kalau turun tangan ia merasa tak sanggup melawannya.
Tiba-tiba berkesiur angin dari dalam kuil dan mendengar suara halus. "Siancai!" Dan tahu-tahu tubuh Lan Bwee
Niang-niang telah berada di depan mereka dengan tasbeh di tangan kiri dan kebutan di tangan kanan. Semua
orang memandang kagum dan Cin Han serta isterinya maklum bahwa ilmu kepandaian pertapa wanita tua ini
hebat sekali. Cin Han berkata sambil menjura, "Niang-niang, apakah semenjak kita berpisah, Niang-niang selalu dalam
keadaan baik?" Pertapa wanita itu tertawa dengan suara ketawanya yang halus dan merdu. "Hwee-thian Kim-hong! Makin tua
kau makin gagah dan isterimu juga masih cantik saja. Kau belum berubah dan masih tetap sopan santun
seperti dulu, ha, ha!"
"Maaf, Niang-niang," kata Lian Hwa. "Kami datang memenuhi undangan Bong Cu Sianjin pada beberapa hari
yang lalu ketika ia melukai adikku ini dengan tendangannya."
Lan Bwee Niang-niang memandang kepada Kong Liang, lalu berkata, "Undangan apakah yang kaumaksudkan,
Ang Lian Lihiap?" "Dia menantang kami."
Lan Bwee Niang-niang menghela napas, "Memang Bong Cu masih berdarah panas. Pinni makin tua makin
bernasib buruk hingga masih saja terbawa-bawa dan tersangkut oleh urusan permusuhan yang menjijikkan
ini." "Hek Li Suthai juga sudah memberi penghormatan dan berkunjung di tempat kami!" kata Ang Lian Lihiap
dengan suara tegas karena ia bermaksud bahwa dari pihak Lan Bwee Niang-niang masih ada sikap
bermusuhan itu. Kembali Lan Bwee Niang-niang menarik napas panjang.
"Ya, ya, memang aku tahu dan aku harus mempertanggungjawabkan segala sepak terjang mereka. Akan
tetapi, Bong Cu yang mengundang kalian, kebetulan sedang turun gunung. Kalau kalian bertemu dengan dia
atau dengan muridku di jalan dan terjadi pertempuran, aku orang tua yang sudah hampir mati tidak mau ambil
perduli. Sebaliknya kalau kalian tetap hendak mengadakan pertandingan di atas puncak Hoa-mo-san ini,
sekarang akulah yang mengundangmu dan datanglah di sini tiga bulan lagi pada saat bulan sedang purnama!"
Setelah berkata demikian, pendeta wanita yang tua sekali itu lalu menganggukkan kepala tanda memberi
salam, lalu berjalan kembali memasuki kuil dengan perlahan.
Cin Han dan Lian Hwa saling memandang, kemudian mereka turun gunung setelah mengucapkan terima kasih
kepada Bun Gai. Pemuda tani ini berkata, "Siauwte juga merasa berduka sekali dengan adanya permusuhan-permusuhan yang
tidak sehat ini. Mengapa orang harus bermusuhan" Apakah kita mempelajari sedikit ilmu kepandaian hanya
untuk saling melukai dan saling membunuh?"
Sambil berkata demikian, ia melirik ke arah Mei Ling dengan pandangan mata yang jujur sehingga gadis itu
menundukkan kepala dengan wajah merah.
Cin Han berkata, "Saudara Yap, kau memang baik sekali dan kamipun akan merasa gembira dan beruntung
apabila suhumu memiliki kejujuran dan kemuliaan hati seperti kau! Dalam hal ini, agaknya kau harus menjadi
guru dari Bong Cu!" Bun Gai tercengang dan ia memandang kepada empat orang itu sampai keempatnya lenyap di bawah gunung.
Pemuda ini berdiri termenung dan bayangan Mei Ling yang manis serta gagah itu terbayang di depan matanya.
Entah mengapa, selama hidupnya baru kali ini ia tertarik dan suka sekali kepada seorang gadis! Ia berdiri
termenung lama sekali, kemudian ia mengambil cangkulnya dan mencakul tanah demikian kerasnya seakanakan ia merasa gemas terhadap sesuatu, sehingga air lumpur memercik ke atas dan mengotori pakaiannya
namun tidak dihiraukannya sama sekali!
"Y" Setelah berhasil menawan Tik Kong, Lo Sin bersama Lee Ing pergi meninggalkan perwira raksasa Can Kok In,
lalu berhenti di sebuah jalan perempatan dan Lo Sin berkata kepada Lee Ing,
"Ing-moi, sekarang kita harus berpisah. Kau harus segera pulang dan menuturkan segala pengalamanmu
kepada orang tuamu. Aku hendak mengantar bangsat ini ke Pek-ma-san agar ia mengakui semua
perbuatannya di depan makam Kong-pehpeh. Setelah itu, jangan khawatir, aku tentu akan pergi menghadap
Nyo-pekhu untuk memohon maaf dan aku akan menerima saja apabila Nyo-pekhu hendak memberi hukuman
kepadaku." Akan tetapi Lee Ing memandangnya dengan matanya yang indah dan gadis ini menggeleng kepala.
"Ing-moi, jangan begitu. Kau pulanglah. Tidak kasihankah kau kepada ayah-ibumu" Mereka tentu merasa
berkhawatir sekali karena kau pergi tanpa pamit. Lebih baik kau pulang sekarang juga agar mereka merasa
tenteram dan girang."
Kembali gadis itu menggeleng kepala, kali ini keras-keras dan sambil menggigit bibirnya.
"Eh, kenapa Ing-moi?" tanya Lo Sin den gan heran sekali.
Pertanyaan yang diucapkan dengan suara halus dan mengandung penuh perhatian ini merupakan dorongan
terakhir bagi Lee Ing sehingga gadis ini tidak kuat lagi menahan tangisnya! Ia berdiri dengan tubuh bergoncanggoncang dan kedua tangannya menutupi muka. Dari celah-celah jari tangannya, butiran-butiran air mata
menitik turun. Lo Sin terkejut sekali dan ia mendiamkan saja kudanya yang makan rumput sedangkan Tik Kong masih
pingsan dan rebah melintang di atas punggung kuda bagaikan seikat kayu. Pemuda ini merasa kasihan sekali
dan ia tidak dapat menahan hatinya melihat gadis ini menangis demikian sedihnya dan tak terasa lagi kedua
tangannya lalu terulur ke depan dan memegang kedua pundak gadis itu dengan sentuhan mesra.
"Ing-moi...... jangan menangis, Ing-moi?" ak?" aku tidak tahan melihatmu"..."
Mendengar suara ini dan merasa betapa pundaknya terpegang dengan mesra, entah mengapa, Lee Ing merasa
hatinya seperti diremas-remas dan tangisnya makin menghebat lagi. Ia menangis sampai tersedu-sedu dan
tubuhnya menjadi lemas dan kakinya menggigil karena perasaan hatinya yang menggelora. Ia merasa berduka
sekali walaupun pada saat itu ia sendiri tidak mengerti mengapa ia merasa demikian sengsara dalam hatinya!
"Ing-moi...... diamlah, Ing-moi...... tenangkanlah hatimu?"" bisik Lo Sin dan ia mendekap kepala itu ke dadanya!
Untuk beberapa lama Lee Ing tidak bergerak dan menangis di atas dada pemuda itu. Ia merasa amat senang,
aman dan sentausa dalam dekapan pemuda itu seakan-akan seorang anak kecil dipeluk ibunya.
Tiba-tiba ia tersentak kaget dan merenggu tkan kepalanya dari dada Lo Sin. Ia melangkah mundur dua tindak
dan ketika melihat pandang mata Lo Sin yang mesra dan penuh perasaan itu, ia membelalakkan mata seperti
seekor kelinci melihat ular! Bencinya timbul seketika terhadap pemuda ini.
"Kau?" kau?" orang kurang ajar. Laki-laki tidak sopan?"!" Jari telunjuknya menuding ke arah muka Lo Sin
dan jari itu gemetar. Lo Sin terkejut sekali. "Ing-moi...... mengapa kau begitu marah" Apakah salahku terhadapmu?"
"Kau?" kau?" laki-laki kurang ajar! Kau mempergunakan kelemahan hatiku untuk berbuat kurang ajar dan
memelukku! Lo Sin, kau seorang suami yang tidak setia! Kau mengkhianati dan mencurangi isterimu!" Gadis ini
lalu menutup mukanya dan menangis lagi.
Tentu saja Lo Sin menjadi bengong dan memandang ke arah gadis itu dengan khawatir. Gilakah gadis ini
karena kesedihannya" Ia melangkah maju dan mendekati.
"Ing-moi, tenanglah dan sadarlah kau! Aku tidak mengerti apa arti kata-katamu tadi. Suami tidak setia"
Mencurangi isteri" Apa...... apa maksudmu?"
"Penipu busuk! Kau masih mau bersandiwara di depanku?" gadis itu memandang dengan mata merah.
"Bukankah kau sudah beristeri" Dan kau masih memandang padaku dengan mata seperti itu" Cih, tidak tahu
malu!" Lo Sin merasa seakan-akan ada pedang tajam ditodongkan ke dadanya. Tak terasa lagi ia melangkah mundur
dua tindak. Matanya terbelalak menatap wajah Lee Ing.
"Ing-moi, apa maksudmu" Siapakah yang sudah beristeri" Dari siapa kau mendengar berita gila ini" Aku belum
pernah beristri! Apa kau mengimpi?"
Kini Lee Ing yang merasa terheran sehingga ia lupa untuk menangis.
"Apa" Kau belum beristeri" Dan?" dan surat orang tuamu dulu?"?"
Kini tahulah Lo Sin bahwa tentu terjadi sesuatu yang tidak beres. Ia melangkah maju dan berkata dengan
suara sungguh-sungguh. "Ing-moi, apakah yang kau baca dalam, surat orang tuaku?"
Setelah menelan ludah beberapa kali, gadis ini berkata, "Dulu orang tuamu mengirim surat kepada orang tuaku,
malah A-kwi, pesuruh kami itu terbunuh oleh perampok akan tetapi surat orang tuamu itu berhasil ditemukan
oleh Tik Kong?" dan......"
Tiba-tiba Lee Ing menjadi pucat sekali dan memandang dengan mata terbelalak, ke arah tubuh Tik Kong yang
masih menggantung di punggung kuda. Kemudian, tiba-tiba gadis ini tertawa bergelak-gelak dengan keras
sehingga Lo Sin harus menangkap tangannya dan membentak.
"Lee Ing! Diamlah! Kau seperti mayat tertawa!"
Lee Ing masih menahan geli hatinya dan dengan air mata masih bercucuran, ia mendekap mukanya lagi dan
suara ketawanya masih terdengar.
"Aku tahu...... ha, ha, aku tahu sekarang?" ha, ha?" alangkah bodohnya kita?" ha-ha......"
"Ing-moi, sabarlah dan ceritakan padaku dengan tenang!!"
"Ah, Sin-ko?" kami sekeluarga ternyata telah menjadi korban pengkhianatan dan kejahatan bangsat rendah
itu! Dulu kami menyuruh A-kwi untuk memberi surat kepada orang tuamu, kemudian A-kwi pulang sambil
membawa surat orang tuamu sebagai balasan. Dan A-kwi terbunuh oleh perampok, yakni menurut cerita
bangsat itu, dan surat orang tuamu itu dibawa oleh Tik Kong. Dan?" dan isi surat itu menyatakan bahwa
kau?" kau telah beristeri."
Lo Sin tiba-tiba melepaskan lengan Lee Ing dan ia membanting-banting kaki.
"Keparat busuk! Jahanam besar!! Kalau saja tidak hendak membawanya ke Pek-ma-san, sekarang juga
kuhancurkan kepala jahanam ini! Dengarlah, Ing-moi! Kau belum mengetahui semuanya. Di dalam surat orang
tuaku sama sekali tidak disebut bahwa aku telah beristeri, bahkan ayah ibuku telah mengajukan...... lamaran
padamu! Dapat kaubayangkan betapa menyesal hati ayah dan ibu ketika surat lamaran itu tidak dibalas oleh
orang tuamu, bahkan tahu-tahu datang surat undangan bahwa kau?" akan menikah! Memang jahat benar Lui
Tik Kong ini, tentu dia yang telah membunuh A-kwi dan telah mengubah isi surat orang tuaku!"
Keduanya diam untuk beberapa lama, memikirkan kecurangan yang jahat dari perwira she Lui itu, yang telah
berhasil membuat Nyo Tiang Pek tertipu. Akhirnya dengan wajah kemerah-merahan Lee Ing ber tanya.
"Tidak?" tidak salahkah kata-katamu tadi?"
"Kata-kata yang mana?"
"Bahwa?" bahwa keluarga Lo?" melamar aku?"?" Ia menundukkan muka dan tidak berani menentang
pandang mata Lo Sin yang memandangnya dengan tersenyum.
"Mengapa salah" Agaknya tidak ada kebahagiaan yang lebih besar bagi ayah, terutama bagi ibu, untuk
berbesan dengan Nyo-pehpeh dan menjodohkan aku dengan kau!"
Lee Ing mengerling tajam tanpa berani memandang langsung.
"Dan kau sendiri?"
"Lebih-lebih aku! Ing-moi?" aku?" aku......" Lo Sin merasa betapa hatinya berdebar, mulutnya kering dan ia tak
kuasa menggerakkan bibirnya lebih lanjut.
"Kau?" apakah, Sin-ko"
Teruskan kata-katamu!"
"Aku suka kepadamu, Ing-moi," akhirnya Lo Sin berbisik perlahan.
Lee Ing menundukkan kepala makin dalam hingga dagunya menempel di dada dan wajahnya makin merah
sampai ke telinganya. "Mungkinkah putera Ang Lian Lihiap yang gagah perkasa, putera pendekar besar yang terkenal pandai, suka
kepada seorang bodoh, berkepandaian rendah dan bermuka buruk seperti aku?" bisiknya.
Lo Sin melangkah maju dan memegang kedua tangan gadis itu.
"Ing-moi," bisiknya dengan suara gemetar karena penuh perasaan, "aku tidak perduli kau ini siapa dan puteri
siapa, yang terpenting bagiku ialah kau sendiri, pribadimu yang menarik hatiku, semenjak aku melihatmu di
dalam hujan badai itu sungguhpun aku belum tahu siapa adanya kau, aku?" aku telah yakin?""
"Teruskan, Sin-ko," bisik Lee Ing tanpa berani mengangkat muka.
"Aku?" aku telah yakin bahwa kaulah orangnya, bahwa kau seoranglah dan bukan gadis lain, yang patut
menjadi pujaanku?""
Mengalirlah air mata di kedua pipi dara itu, karena hatinya merasa terharu, girang, berduka, dan amat
berbahagia. Tanpa terasa lagi, jari-jari tangannya membalas pegangan tangan Lo Sin hingga jari-jari tangan
sepasang anak muda ini saling menekan dengan erat dan mesra.
Pada saat mereka saling memandang dengan mesra dan penuh rasa cinta kasih, tiba-tiba mereka dikejutkan
oleh suara bentakan keras,
"Bangsat muda kurang ajar! Kau mencemarkan nama orang tuamu!" Dan tiba-tiba Nyo Tiang Pek dengan mata
liar karena marahnya dan pedang di tangan telah berdiri di dekat mereka. Kemesraan tadi telah membuat Lo
Sin dan Lee Ing tidak tahu dan tidak mendengar akan kedatangan orang tua gagah ini!
"Ayah?"!" seru Lee Ing dengan wajah pucat dan tubuh menggigil.
"Jangan menyebut ayah kepadaku, anak yang membikin cemar nama orang tua!" katanya dan dua butir air
mata mengalir dari kedua mata si Garuda Kuku Emas ini.
Kemudian ia memandang kepada Lo Sin seakan-akan hendak menelan pemuda itu bulat-bulat lalu berseru.
"Lo Sin, kau mengandalkan kepandaianmu dan kegagahan orang tuamu untuk menghina dan merendahkan
aku! Kau telah melukai calon mantuku, merusak nama baikku dan kini kau menggoda puteriku! Bagus, hari ini
kalau bukan kau tentu aku Nyo Tiang Pek yang mati di ujung pedang!" Setelah berkata begitu, ia menerkam
maju, melakukan serangan kilat dengan pedangnya ke arah dada pemuda itu.
"Nyo-pehpeh, tahan dulu!" seru Lo Sin dengan terkejut sekali dan cepat mengelak.
"Siapa sudi menjadi peh-pehmu?" seru Nyo Tiang Pek yang menyerang lagi lebih hebat.
"Nyo-pehpeh!" teriak Lo Sin dengan bingung sekali, akan tetapi ia cepat melompat jauh menghindarkan
serangan yang hebat dan berbahaya itu. Akan tetapi, Nyo Tiang Pek dengan marah yang meluap-luap
mengejar dan menyerangnya lagi.
"Ayah?"!" Lee Ing berteriak ngeri sambil menangis.
Akan tetapi, Nyo Tiang Pek yang sudah seperti gila karena marahnya, mendengar teriakan puterinya ini,
menjadi makin marah dan terus menyerang makin hebat.
Lo Sin sibuk juga menghadapi serangan ini dengan tangan kosong, dan untuk mencabut pedangnya, ia tidak
berani, karena maklum bahwa hal ini bahkan akan menambah kebencian orang tua ini kepadanya. Sambil
mengelak cepat ia lalu berseru.


Si Walet Hitam Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Nyo-pehpeh, dengarlah keteranganku!"
"Tutup mulut dan cabutlah pedangmu kalau kau memang gagah!" Si Garuda Kuku Emas mendesak terus.
"Ayah?"! Aku?" aku cinta padanya"..." kata Lee Ing tanpa disadarinya dengan suara memilukan.
Nyo Tiang Pek tersentak kaget. Tangannya menjadi lemas dan ia berhenti menyerang, memandang kepada
puterinya dengan wajah pucat.
"Apa......" Anak durhaka, anak put-hauw (tidak berbakti)! Kau memalukan orang tua! Kau?" kau tergila-gila
kepada seorang yang sudah beristeri" Jahanam rendah...... ah, Tiang Pek...... dosa apakah yang telah kaulakukan
dulu......?" Pendekar ini menundukkan kepala dengan wajah sedih sekali.
"Nyo-peh-peh, dengarlah...... aku...... belum......"
"Diam kau, diam!! Jangan membuka mulutmu yang busuk dan penuh tipu muslihat! Pergilah kau!" Ia menuding
kepada Lee Ing dan membentak marah. "Pergi kau dari padaku. Pergi!!"
"Ayah?"!" Lee Ing menjerit lagi.
"Cukup?"!" Pergi lekas, kalau tidak, akan terjadi ayah membunuh anaknya!"
"Marilah, Ing-moi." Lo Sin menghampiri gadis itu dan menarik tangannya. "Marilah kita pergi saja dulu. Tak ada
jalan lain......" Sambil terisak-isak Lee Ing menurut saja tangannya ditarik pergi oleh Lo Sin.
Nyo Tiang Pek berdiri tak bergerak, memandang ke bawah seperti patung.
Tiba-tiba terdengar rintihan dan suara lemah, "Gak-hu (ayah mertua)?""
Pendekar tua ini menengok dan pada saat itu, Lui Tik Kong yang sudah siuman kembali lalu mencoba untuk
bergerak, akan tetapi karena tubuhnya lemah sekali, ia bahkan terguling dari atas punggung kuda.
"Tik Kong...!" seru Nyo Tiang Pek perlahan dan ia memburu kepada pemuda itu.
Sedangkan Pek-liong-ma ketika merasa betapa beban di punggungnya telah lenyap dan melihat Lo Sin pergi
meninggalkan tempat itu, lalu meringkik dan tiba-tiba ia berlari mengejar ke arah majikannya yang telah pergi
jauh. Sementara itu, Lee Ing yang ditarik tangannya oleh Lo Sin, berkali-kali menoleh dan memandang ayahnya
dengan muka pucat dan mata penuh air mata. Tiba-tiba ia membetot tangannya hendak berlari kembali
kepada ayahnya, akan tetapi Lo Sin memegang lengannya erat-erat dan pemuda ini menghi bur.
"Jangan kau ganggu dia, Ing-moi. Ayahmu sedang marah sekali dan kemarahan telah menggelapkan
pikirannya. Biarkanlah dulu, kelak kalau ia telah sadar dan dapat melihat duduknya persoalan, tentu dia akan
menyesal dan akan mencarimu."
Karena sedihnya melihat betapa ayahnya tadi memaki-makinya, memandangnya dengan penuh kebencian,
bahkan lalu mengusirnya, Lee Ing berseru perlahan dengan hati hancur dan roboh pingsan.
Lo Sin cepat memeluk dan memondong tubuhnya. Pada saat itu, Pek-liong-ma berlari mendatangi dan Lo Sin
sambil memondong tubuh Lee Ing lalu melompat ke atas kudanya dan melarikan kuda itu secepatnya
meninggalkan tempat itu. Dengan hati marah sekali dan sakit hatinya kepada Lo Sin makin besar, Nyo Tiang Pek menolong Tik Kong,
kemudian ia mempergunakan kepandaiannya untuk mengobati luka di dada Tik Kong. Oleh karena luka ini
terjadi karena pukulan Gin-san-ciang yang dilakukan oleh Lee Ing, maka tentu saja Nyo Tiang Pek tahu cara
pengobatannya. Telah dua kali dengan sekarang ini Lui Tik Kong terkena pukulan Gin-san-ciang dari Lee Ing, akan tetapi kali ini
amat hebat hingga biarpun telah diobati oleh Nyo Tiang Pek, pemuda ini tetap saja harus digendong ketika Nyo
Tiang Pek membawanya pulang.
08.21. Kekaguman Hati Kim-gan-eng
Nyo Tiang Pek membawa perwira muda itu kembali ke Bong-kee-san dan ia disambut oleh isterinya dengan
khawatir. Ketika dengan marah sekali Nyo Tiang Pek menceritakan kepada isterinya betapa ia telah
mendapatkan Lee Ing dan Lo Sin yang telah melukai Lui Tik Kong dan menceritakan pula betapa telah mengusir
Lee Ing karena gadis itu dengan cara tidak tahu malu telah mengaku akan cintanya kepada si Walet Hitam.
Giok Lie menangis tersedu-sedu.
"Mengapa kau sekejam itu......?" tegurnya kepada suaminya. "Kau mengusir anak kita, ke mana aku harus
mencarinya......?" ia menangis dengan sedih sekali.
"Biarlah, dia lebih cinta kepada bangsat rendah itu daripada kepada kita! Dia pergi melarikan diri dengan Lo Sin,
pemuda liar itu! Kalau aku bertemu lagi dengan mereka, akan kubunuh kedua-duanya! Jahanam benar!!" Nyo
Tiang Pek murka sekali dan kedua matanya menjadi merah.
Coa Giok Lie memandang kepada suaminya dan ketika melihat betapa dari ke dua mata suaminya itu turun
menitik dua butir air mata dan melihat betapa dibalik kemarahan itu terbayang kedukaan yang maha hebat
dan yang membuat mukanya menjadi nampak tua, tiba-tiba ia memeluk suaminya dan menjatuhkan mukanya
di dada suami itu sambil menangis tersedu-sedu!
Nyo Tiang Pek mendekap kepala isterinya dan iapun menangis dan menyembunyikan mukanya di rambut
isterinya. "Nasib kita yang buruk, Giok Lie......" bisiknya.
Giok Lie tidak menjawab, hanya menangis terisak-isak, akan tetapi di dalam lubuk hati nyonya ini, terdapat
rasa girang dan puas yang aneh sekali, yang merupakan nyala lampu yang menerangi keadaan yang gelap.
Perasaan ini timbul ketika ia mendengar bahwa anaknya mencinta Lo Sin, dan bahwa anaknya pergi bersama
pemuda putera Lian Hwa itu!
Nyo Tiang Pek merawat luka Tik Kong dengan telaten. Ia merasa kasihan sekali melihat Lui Tik Kong yang
bernasib malang. Ia menganggap pemuda ini telah disakitkan hatinya oleh Lee Ing, akan tetapi tak sepatahpun
kata penyesalan pernah diucapkan oleh pemuda itu kepadanya.
Tik Kong hanya berkali-kali menghela napas dan kelihatan sedih. Bahkan Giok Lie juga tertipu oleh sikap Tik
Kong ini dan nyonya inipun timbul perasaan iba di dalam hatinya kepada pemuda ini.
Setelah sembuh dari lukanya, Nyo Tiang Pek lalu memberi pelajaran silat kepada pemuda itu. Ia menganggap
bahwa Tik Kong patut dikasihani dan oleh karena ilmu kepandaian pemuda itu masih belum sempurna hingga
berkali-kali ia mengalami kekalahan dan penghinaan, maka Nyo Tiang Pek lalu menurunkan ilmu kepandaian
pedang dan juga Gin-san-ciang kepada pemuda ini.
Tik Kong merasa girang sekali dan ia melatih diri dengan giat. Oleh karena ia memang telah mempunyai dasar
kepandaian yang cukup, maka ia dapat menerima pelajaran itu dengan mudah dan cepat.
Sebulan kemudian, Lui Tik Kong berpamit karena ia hendak kembali dan mengurus tugasnya sebagai perwira
penjaga dan ia menyatakan bahwa ia akan keluar dari pekerjaan itu untuk pergi mencari Lo Sin dan membalas
dendamnya. "Baik, kau pergilah, Tik Kong!" kata Nyo Tiang Pek. "Dan mungkin sekali kau masih belum dapat melawan Lo
Sin yang berkepandaian tinggi, akan tetapi jangan khawatir, orang yang benar tentu akan menang."
Nyo Tiang Pek yang merasa kasihan dan terharu melihat keadaan pemuda ini, bahkan lalu memberikan
pedangnya Ceng-lun-kiam yang tak pernah terpisah dari tubuhnya itu kepada Tik Kong. Tentu saja Lui Tik Kong
merasa girang sekali dan ia pergi turun gunung dan setelah menyerahkan kembali tugasnya sebagai perwira
kepada perwira lain, pemuda ini lalu pergi mulai dengan perantauannya untuk membalas dendam kepada Lo
Sin. Padahal sebenarnya ia merasa jerih sekali kepada si Walet Hitam dan ia bukan hendak membalas dendam
dengan tangan sendiri, akan tetapi mau mencari kawan-kawan untuk bersekutu dan kemudian baru bersamasama mencari dan mengeroyok Lo Sin si Walet Hitam yang gagah.
Pada suatu hari, Tik Kong tiba di dalam sebuah dusun yang ramai. Pemuda ini kini telah bebas dari tugas
sebagai perwira, telah memiliki kepandaian tinggi karena pelajaran yang diterima dari Nyo Tiang Pek, bahkan
kini memiliki pedang Ceng-lun-kiam yang ampuh, maka timbullah kembali nafsu jahatnya.
Ia merasai bahwa ia kini menjadi seorang gagah yang tidak takut kepada siapapun juga. Dan ia merupakan
seekor burung alap-alap yang garang dan buas.
Ketika ia sedang lewat di depan sebuah rumah seorang hartawan itu, tiba-tiba ia melihat seorang gadis
menjenguk dari jendela loteng rumah itu. Hatinya berdebar karena wajah gadis itu amat cantiknya. Gadis itu
ketika melihat bahwa di bawah ada seorang pemuda tampan dan gagah sedang memandangnya, ia lalu cepat
menarik kepalanya dari tirai jendela dengan wajah berubah merah.
Pemandangan ini sudah cukup untuk menggelorakan darah di dalam tubuh Lui Tik Kong dan menimbulkan
pikiran jahat dalam kepalanya. Ia tidak jadi melanjutkan perjalanannya, bahkan lalu mencari rumah
penginapan di dusun itu. Dan pada malam harinya, ketika suasana menjadi sunyi, ia lalu mempergunakan
kepandaiannya melompat ke atas genteng dan menuju ke rumah hartawan di mana terdapat gadisnya yang
cantik itu. Ia sama sekali tak pernah menduga bahwa di dalam rumah gedung itu pada malam hari itu sedang menerima
tiga orang tamu yang lihai yakni tiga orang tosu dari Kun-lun-san. Seorang diantara tosu ini adalah kakak
daripada tuan rumah. Maka, bukan main terkejutnya ketika baru saja ia mencari-cari di atas genteng, tiba-tiba dari bawah berkelebat
bayangan yang gesit sekali dan tahu-tahu seorang tosu berdiri di depannya sambil membentak.
"Penjahat dari mana berani da
tang main gila?" Dalam gugupnya, Tik Kong lalu mencabut Ceng-lun-kiam dan menyerang tosu itu. Karena keadaan pada malam
hari itu gelap sekali, maka ia tidak dapat melihat muka orang dengan jelas, demikian pun tosu itu tidak tahu
sedang menghadapi siapa. Melihat berkelebatnya pedang yang bersinar hijau itu, tosu ini menjadi terkejut dan
cepat-cepat mencabut pedangnya dan menangkis. Akan tetapi begitu pedangnya bertemu dengan Ceng-lunkiam, pedang itu menjadi patah.
Tik Kong memang berhati kejam sekali. Melihat hasil ketajaman pedangnya ini, ia lalu menusuk dengan
serangan maut ke arah dada lawannya. Tosu itu terkejut dan mengelak sambil mengangkat kaki menendang.
Tik Kong amat gesit dan dengan mudahnya ia dapat pula mengelak, lalu tiba-tiba ia berseru keras sambil
mengayun tangan kirinya ke arah dada musuh.
Inilah pukulan Gin-san-ciang yang baru saja dipelajarinya. Namun, pukulan ini cukup lihai karena tubuh tosu
dari Kun-lun-san itu terhuyung, setelah ia mengeluarkan seruan kaget. Dan pada saat tubuhnya terhuyung ke
belakang, Tik Kong melangkah maju dan pedang Ceng-lun-kiam lalu menusuk tepat ke dada tosu itu hingga
tembus! Si tosu berteriak mengerikan dan mencoba untuk mencengkeram tangan Tik Kong yang memegang
pedang. Tik Kong terkejut sekali karena ia tidak menyangka bahwa dalam keadaan dada tertembus pedang, tosu itu
masih sempat menggunakan ilmu Houw-jiauw-kang (Cengkeraman Kuku Harimau). Terpaksa pemuda ini
melepaskan pegangannya pada gagang pedang, untuk menghindarkan cengkeraman hebat itu dan tubuh tosu
itu lalu jatuh menggelinding ke bawah genteng dengan pedang masih tertancap di dadanya.
Lui Tik Kong merasa menyesal sekali mengapa ia melepaskan pedangnya dan ia lalu cepat melompat turun
untuk mengambil pedang itu dari tubuh tosu yang telah tewas itu. Akan tetapi, pada saat itu, dari dalam rumah
berkelebat keluar dua orang tosu lain dengan pedang di tangan.
Tik Kong terkejut sekali karena melihat betapa gerakan dua orang tosu ini bahkan lebih hebat dan cepat dari
pada gerakan tosu yang ia bunuh tadi, maka tanpa dipikir panjang lagi ia melarikan diri.
Ia mendengar seruan-seruan kaget dan menduga bahwa kedua orang tosu itu tentu mendapatkan kawan
mereka yang mati, maka ia lalu melarikan diri lebih cepat lagi menuju ke rumah penginapannya, mengambil
barang-barangnya dan malam itu juga ia pergi melarikan diri keluar dari dusun itu. Hatinya menyesal sekali
karena baru beberapa hari saja pedang Ceng-lun-kiam pemberian Nyo Tiang Pek itu telah ia bikin hilang.
Sementara itu, kedua orang tosu setelah mencari-cari Tik Kong dengan sia-sia, lalu memeriksa keadaan saudara
mereka yang tewas. Ketika melihat luka di dada bekas- pukulan Gin-san-ciang, dan terutama melihat pedang
Ceng-lun-kiam, tosu-tosu terkejut sekali.
"Hei! Bukankah ini perbuatan Nyo Tiang Pek si Garuda Kuku Emas?" teriak Cu Bin Tosu, kakak tuan rumah.
Kawannya, Cu Gi Tosu. Mengangguk-angguk sambil mengerutkan kening.
"Tak salah lagi," katanya, "pukulan Gin-san-ciang dan pedang Ceng-lun-kiam ini adalah bukti-bukti nyata. Hanya
aku merasa heran sekali mengapa Nyo Tiang Pek memusuhi kita orang-orang Kun-lun" Hal ini harus kita
laporkan segera kepada su-couw!"
Dan pada keesokan harinya, kedua tosu dari Kun-lun-pai ini setelah mengurus jenazah kawannya, segera
membawa pedang Ceng-lun-kiam kembali ke Kun-lun-san dan berita itu disambut oleh seluruh pendeta Kun-lun
dengan marah! Mereka mengambil keputusan untuk membalas dendam ini kepada Nyo Tiang Pek!
"Y" Sementara itu, dengan menyesal sekali Lui Tik Kong melanjutkan perjalanannya. Ia mengunjungi sahabatsahabatnya yang banyak terdapat di tiap kota besar dan ia bertanya-tanya dan mencari-cari Hek Li Suthai.
Memang Tik Kong mempunyai maksud hendak bersekutu dengan to-kouw yang lihai itu. Akhirnya, ia dapat
mencari to-kouw itu dan bertemu dengan Hek Li Suthai dan Bi Mo-li yang menjadi girang sekali karena Setan
Cantik ini memang merasa suka kepada Tik Kong, yang muda dan tampan.
Lui Tik Kong merasa berbesar hati oleh karena melihat bahwa Bong Cu Sianjin, pertapa buntung itupun berada
bersama Hek Li Suthai. Ia telah mendengar tentang kelihaian kakek buntung ini dan dari Kong Sin Ek dulu
seringkali ia mendengar tentang permusuhan yang ada antara kakek buntung ini dengan Ang Lian Lihiap dan
kawan-kawannya. Kalau ia mendekati kakek ini, berarti ia mendapat seorang pembela yang tangguh, bahkan seorang yang
menjadi musuh Ang Lian Lihiap, hingga dengan sendirinya Lo Sin juga menjadi musuh mereka.
Ia kini tak perlu merasa takut lagi, bahkan ia pergunakan kepandaiannya untuk menarik dan mengambil hati
Bong Cu Sianjin. Dan betul saja, baru saja beberapa hari berkumpul, Bong Cu Sianjin, seperti juga Kong Sin Ek,
Nyo Tiang Pek dan yang lain-lain, telah terpikat oleh sikap Tik Kong yang pandai membawa diri dan mengambil
hati hingga Bong Cu Sianjin merasa senang sekali dan bahkan melatih pemuda ini dengan berbagai ilmu silat.
Tentu saja Tik Kong merasa girang dan ilmu kepandaiannya makin maju. Dan dengan berterang ia lalu menjadi
kekasih Bi Mo-li, hingga hubungan mereka makin erat saja. Hek Li Suthai yang tidak perdulikan sama sekali
tentang hal ini, juga menaruh kepercayaan kepada Tik Kong dan menganggap pemuda ini sebagai orang
sendiri. Bong Cu Sianjin dan Hek Li Suthai mempergunakan sebuah kuil kosong dan kuno sebagai tempat tinggal
sementara. Dengan pandai, Tik Kong lalu menuturkan perihal permusuhannya dengan Lo Sin, berpura-pura tidak
tahu akan permusuhan yang ada antara mereka dengan keluarga Lo.
Tentu saja ketiga kawannya makin suka dan percaya kepadanya, dan mereka lalu bermufakat untuk m
encari dan membalas dendam kepada si Walet Hitam.
Pada suatu hari mereka berempat bertemu dengan Kim-gan-eng Coa Bwee Hwa, gadis perantau yang perkasa
itu. Kim Gan Eng sedang berjalan seorang diri karena ia hendak mencari Lee Ing, kawan barunya yang menarik
hatinya itu. Ia lalu mendengar bahwa Lee Ing tinggal di Bong-kee-san dengan ayahnya, Nyo Tiang Pek yang tersohor,
maka ia lalu mengambil keputusan untuk berangkat ke Bong-kee-san mencari Lee Ing dan sekalian bertemu
dengan si Garuda Kuku Emas yang telah lama ia kagumi namanya.
Akan tetapi, ketika lewat di dalam hutan, tak tersangka-sangka ia berhadapan dengan Tik Kong, Hek Li Suthai,
Bi Mo-li, dan seorang pendeta buntung.
Tentu saja Kim-gan-eng terkejut sekali oleh karena ia maklum bahwa mereka ini adalah, orang-orang jahat
musuh Lee Ing yang lihai sekali. Maka ia lalu bermaksud hendak melarikan diri, akan tetapi, Hek Li Suthai
melompat dan mencegatnya, sambil tersenyum iblis dan berkata.
"Kim-gan-eng. Gurumu dulu menghinaku dan sekarang kaulah yang harus menebus penghinaan itu!!'
Dalam keadaan terjepit, Bwee Hwa timbul ketabahannya dan ia berlaku nekad, lalu mengeluarkan pedangnya
dan membentak. "To-kouw jahat! Kau takut menghadapi suhuku, dan hendak mendesak aku! Boleh, boleh! Apa kaukira aku,
takut kepadamu?" Lalu ia menubruk dan menyerang dengan hebat.
Ilmu kepandaian Bwee Hwa sudah maju pesat sekali setelah perjumpaannya dengan gurunya akhir-akhir ini
karena Pat-chiu Koai-hiap Oei Gan telah melatihnya lagi dengan ilmu-ilmu silat yang tinggi, maka serangannya
juga luar biasa berbahayanya. Hek Li Suthai terkejut dan cepat mengeluarkan ilmu sepasang pedangnya yang
lihai dan membalas serangan Bwee Hwa dengan tak kalah serunya.
Mereka lalu bertempur ramai dan biarpun Bwee Hwa masih kalah setingkat ilmu kepandaiannya apabila
dibandingkan dengan Hek Li Suthai, namun kegesitan dan kenekadannya membuat Hek Li Suthai sukar sekali
untuk dapat mengalahkannya.
Melihat hal ini, Lui Tik Kong yang tertarik oleh kecantikan Bwee Hwa, menjadi tidak sabar dan ia lalu melompat
maju hendak mengeroyok, akan tetapi Bong Cu Sianjin lalu menegurnya.
"Jangan main keroyokan, memalukan aku saja!" kemudian, kakek buntung ini berseru kepada Hek Li Suthai.
"Ceng Hwa, kau mundurlah dan biarkan aku menangkap gadis ini."
Mendengar seruan ini, Hek Li Suthai lalu melompat mundur dan tiba-tiba Bwee Hwa melihat berkelebatnya
bayangan yang luar biasa gesitnya dan tahu-tahu kakek buntung itu telah berdiri di depannya dengan senyum
lebar! Ia maklum bahwa kakek ini adalah Bong Cu Sianjin yang ternama sekali karena lihai dan jahatnya maka
tanpa banyak cakap lagi ia lalu menyeran g dengan pedangnya. Betapapun lihainya, masa ia akan kalah oleh
kakek yang sudah tidak bertangan ini, pikirnya! Akan tetapi, tiba-tiba ia terkejut sekali oleh karena kaki kiri
Bong Cu Sianjin melayang ke atas dan menendang pergelangan tangannya yang memegang pedang! Hampir
saja pergelangan tangannya kena tendangan, sedangkan angin tendangan itu saja sudah menggetarkan
tangannya! Ia berlaku hati-hati dan menyerang lagi dengan mengeluarkan ilmu pedangnya yang lihai. Akan tetapi, tanpa
pindah dari tempatnya sambil masih tetap tersenyum, lagi-lagi Bong Cu Sianjin menggerakkan kakinya
menendang ke arah pergelangan gadis itu.
Dengan perlawanan begini saja, Bwee Hwa sudah tak berdaya oleh karena setiap serangannya selalu
dipecahkan oleh tendangan kaki yang benar-benar hebat itu. Selagi ia merasa sibuk, tiba-tiba tubuh Bong Cu
Sianjin bergerak maju cepat sekali dan kakinya digerakkan berganti-ganti mengirim tendangan-tendangan kilat!
Tentu saja Bwee Hwa menjadi sibuk sekali, ia mencoba untuk memutar pedangnya membabat kaki yang
mengancamnya itu, akan tetapi ketika pedangnya terbentur oleh kaki itu, pedangnya melayang karena
terlepas dari pegangannya, dan sebelum ia dapat mengelak, ujung kaki kiri Bong Cu Sianjin telah melayang ke
atas dan tahu-tahu ujung kaki itu telah dapat menotok jalan darahnya hingga ia roboh tak dapat bergerak lagi!
Bi Mo-li segera melangkah maju dengan pedang di tangan. Ia bermaksud membunuh Kim-gan-eng, akan tetapi
tiba-tiba Hek Li Suthai mencegahnya.
"Bi-niang jangan kau bunuh dia! Pat-chiu Koai-hiap tidak pernah mengganggu kita, hanya menghinaku sedikit.
Kitapun harus membalas hinaan itu dan untuk sementara waktu menahan Kim-gan-eng sampai Oei Gan datang
menolong muridnya ini!"
Biarpun hatinya merasa gemas karena cemburu melihat betapa Tik Kong selalu menujukan pandang matanya
dengan penuh gairah kepada gadis itu, namun Bi Mo-li tidak berani membantah perintah gurunya, maka ia
mengeluarkan sabuk suteranya dan mengikat kedua tangan Kim-gan-eng dengan sabuk itu.
Pada saat itu, dari jauh berlari-lari datang dua bayangan yang cepat sekali larinya seakan-akan terbang.
Setelah dua orang itu datang dekat, mereka terkejut juga karena yang datang adalah dua orang saudara
kembar she Song, yakni Kong Liang dan Mei Ling!
Bagaimana kedua saudara kembar bisa kebetulan datang di tempat itu" Ternyata bahwa setelah mereka
berdua bersama suami isteri Cin Han dan Lian Hwa turun dari Hoa-mo-san karena gagal menjumpai dan
mencari Bong Cu Sianjin, Lian Hwa dengan sedih menuturkan tentang surat Nyo Tiang Pek. Mendengar hal ini,
kedua saudara kembar itu terkejut sekali.
"Jangan khawatir suci, kami berdua akan pergi menemui Nyo-twako dan mendamaikan urusan ini," kata Kong
Liang. "Benar, cici, ini adalah kewajiban kami berdua. Kesalahpahaman ini harus dibereskan dan diterangkan," kata
Mei Ling. Maka berangkatlah kedua saudara kembar ini dengan t
ergesa-gesa karena mereka merasa gelisah sekali
menghadapi urusan yang ruwet itu. Dan ketika mereka tiba di hutan, mereka melihat betapa Bong Cu Sianjin,
Hek Li Suthai, Bi Mo-li dan seorang pemuda tampan sedang menawan seorang gadis cantik dan gagah. Tentu
saja melihat musuh besarnya ini, Kong Liang dan Mei Ling menjadi marah sekali.
"Bagus sekali, Bong Cu. Kami mencarimu di Hoa-mo-san, akan tetapi kau tidak berada di sana. Tidak tahunya
kau berada di sini melakukan perbuatan sewenang-wenang."
Melihat Kong Liang, Bong Cu Sianjin tertawa bergelak. "Ha, ha, ha. Kong Liang, kau masih belum mampus"
Majulah, anak muda agar kau dapat berkenalan untuk kedua kalinya dengan sepasang sepatuku!"
Kong Liang menjadi marah sekali, akan tetapi Mei Ling yang merasa sakit hati karena kakaknya pernah terluka
oleh pendeta buntung ini, mendahuluinya dan menyerang dengan pedangnya sambil berseru.
"Pendeta rendah budi. Lihat pedang!"


Si Walet Hitam Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Bong Cu Sianjin maklum akan kelihaian Mei Ling, maka ia cepat mengelak dan balas menyerang dengan
tendangan kakinya yang lihai.
Sementara itu, ketika melihat Kim-gan-eng rebah di atas tanah dengan tangan dan kaki diikat, dan melihat
betapa gadis yang cantik jelita itu memandangnya dengan mata memohon pertolongan, tergeraklah hati Kong
Liang. Secepat kilat ia lalu mencabut pedangnya dan menyerang Bi Mo-li yang sedang mengikat kaki Bwee
Hwa. Bi Mo-li terkejut sekali dan melompat jauh karena ia telah mengenal lihainya pemuda ini yang pernah
mengalahkan gurunya. Dan ketika Hek Li Suthai melangkah maju hendak menyerang, Kong Liang telah
menggerakkan pedangnya dan sekali babat saja putuslah ikatan tangan dan kaki Bwee Hwa.
Melihat bahwa gadis ternyata lemas tak dapat bergerak, Kong Liang maklum bahwa gadis ini tentu terkena
totokan, maka ia lalu mencabut keluar saputangannya dan dengan menggunakan kain ini ia mengebut ke arah
pundak Bwee Hwa. Seharusnya untuk membebaskan totokan, orang harus mempergunakan ujung jari
tangannya, akan tetapi agaknya Kong Liang merasa malu-malu dan sungkan untuk menyentuh pundak Kimgan-eng dengan jari tangannya, maka sebagai pengganti jari tangan, ia mempergunakan ujung
saputangannya, yang digerakkan dengan lweekang.
Perbuatan ini amat mengagumkan hati Bwee Hwa, oleh karena tidak saja memperlihatkan kelihaian Kong
Liang, akan tetapi juga menunjukkan bahwa pemuda yang tampan dan gagah itu ternyata berwatak sopan.
08.22. Lolos Dari Tahanan Bong Cu Sianjin
Kong Liang menolong Bwee Hwa bukan hanya karena ia merasa kasihan, akan tetapi juga karena terdorong
oleh kecerdikannya. Ia telah maklum akan kelihaian Bong Cu Sianjin dan Hek Li Suthai, maka dengan
menolong gadis yang kelihatan gagah itu, berarti di pihaknya akan bertambah seorang pembantu lagi.
Memang benar dan tepat dugaannya, karena begitu terbebas dari totokan, Bwee Hwa memandangnya dengan
penuh pernyataan terima kasih, kemudian, tanpa berkata apa-apa, Bwee Hwa lalu memungut pedangnya yang
tadi terlempar ke atas tanah, lalu membantu Mei Ling mengeroyok Bong Cu Sianjin!
Sementara itu, Hek Li Suthai, Bi Mo-li dan Tik Kong lalu maju mengeroyok Kong Liang! Pertempuran hebat
terjadi dan kedua pihak berkelahi mati-matian. Bong Cu Sianjin yang berlengan buntung, biarpun dikeroyok
oleh Mei Ling dan Bwee Hwa, namun ia dapat bergerak cepat, bahkan kakinya yang lihai itu dapat mendesak
kedua orang gadis itu. Sebaliknya, Kong Liang juga merasa sibuk menghadapi keroyokan ketiga lawannya, terutama Tik Kong dan
Hek Li Suthai. Tik Kong telah mendapat kemajuan hebat dalam ilmu silatnya, berkat latihan-latihan yang
diterimanya dari Nyo Tiang Pek dan baru-baru ini dari Bong Cu Sianjin, dan desakan-desakannya membuat
Kong Liang terheran-heran, karena ia mengenal ilmu pedang Nyo Tiang Pek.
Ia menduga-duga siapa adanya pemuda tampan ini, akan tetapi ketiga orang lawannya tak memberi
kesempatan padanya untuk banyak bertanya atau menaruh perhatian kepada Tik Kong seorang saja. Terpaksa
ia mempergunakan ginkang yang hebat untuk menghadapi ketiga orang lawan yang amat tangguh ini.
Lebih dari seratus jurus mereka bertempur seru dan di dalam hutan yang sunyi itu hanya terdengar suara
senjata mereka berdua pihak. Tiba-tiba terdengar Bong Cu Sianjin tertawa berkakakan dan ketika Kong Liang
melihat, ia menjadi terkejut sekali karena untuk kedua kalinya, Bwee Hwa telah roboh terkena tiam-hwat
(ilmu totokan) ujung kaki Bong Cu Sianjin yang benar-benar lihai.
Melihat betapa Bwee Hwa telah dirobohkan, Mei Ling menjadi marah sekali, dengan gerak tipu Naga Sakti
Mengebut Ekor ia menusuk dengan pedangnya ke arah tenggorokan Bong Cu Sianjin. Kakek buntung yang lihai
ini, tiba-tiba berjongkok hingga tusukan pedang gadis lewat di atas kepalanya dan dari bawah Bong Cu lalu
menyerampang kedua kaki Mei Ling dengan kaki kirinya.
Sabetan kaki ini cepat dan kuat sekali hingga Mei Ling menjadi terkejut. Gadis ini lalu mempergunakan
ginkangnya dan ketika ia mengenjot tubuhnya melayang ke atas hingga ia berhasil menghindarkan diri dari
serampangan kaki lawan. Akan tetapi, tak tersangka sama sekali, tubuh Bong Cu Sianjin yang tadi masih
berjongkok, tahu-tahu telah melompat ke atas pula dan kaki kanannya bergerak cepat menendang ke arah
lambung Mei Ling. Mei Ling berseru keras dan menggunakan tangan kiri menolak tendangan ini, akan tetapi, kaki kiri kakek
buntung itu telah menyusul dan dengan tepat menotok iganya hingga sambil mengeluh Mei Ling lalu roboh tak
dapat bergerak lagi. Kembali Bong Cu Sianjin tertawa bergelak.
"Ha, ha, ha! Kita tawan mereka, kita tahan keduanya, biar Ang Lian Lihiap sendiri datang menolong mereka!"
kata Bong Cu Sianjin. Tadinya Kong Liang hendak berlaku nekad dan mengamuk karena melihat betapa kedua orang gadis itu telah
dirobohkan dan tertawan, akan tetapi ketika mendengar ucapan ini, ia mendapat pikiran lain. Ia maklum
bahwa ia tentu takkan dapat menghadapi semua lawan ini seorang diri saja, terutama Bong Cu Sianjin yang
amat kosen itu, maka ia lalu melompat mundur dan melarikan diri, diikuti oleh suara tertawa dari Bong Cu
Sianjin yang mengejek! Kedua orang gadis yang tertotok itu lalu diikat kaki tangannya dan dibawa ke kuil, dimasukkan dalam sebuah
kamar dan dijaga. Mereka ini tak berdaya sama sekali.
Untung bagi mereka bahwa yang menawan mereka bukan Tik Kong sendiri. Kalau saja mereka itu terjatuh
dalam tangan Tik Kong, maka keadaan mereka berbahaya sekali. Akan tetapi, biarpun Tik Kong merasa girang
dan hatinya tergila-gila melihat kecantikan dua orang tawanan ini, namun di situ ada Hek Li Suthai dan Bi Mo-li
yang membuat ia tidak berani bermain gila dan tidak berani mengganggu Mei Ling atau Bwee Hwa.
Kong Liang dengan hati bingung sekali masih berada di dalam hutan itu. Ia tidak melarikan diri jauh dan
dengan hati marah dan berduka melihat dari tempat persembunyiannya betapa adiknya dan gadis gagah itu
diikat kaki tangannya dan dibawa ke dalam sebuah kuil tua.
Di dalam hatinya ia sedikit merasa lega oleh karena maklum bahwa keadaan kedua orang gadis itu untuk
sementara waktu tidak sangat mengkhawatirkan oleh karena agaknya Bong Cu Sianjin hendak
mempergunakan mereka sebagai orang-orang tawanan atau umpan untuk memancing datangnya Ang Lian
Lihiap dan Hwee-thian Kim-hong!
Akan tetapi, sampai berapa lamakah keselamatan kedua gadis itu terjamin" Untuk kembali ke Tit-lee dan
mengabarkan hal ini kepada Ang Lian Lihiap dan suaminya, terlalu lama.
Ia tidak tega untuk meninggalkan adiknya dalam tangan orang-orang jahat itu. Akan tetapi, untuk turun tangan
menolong, juga sukar baginya oleh karena hal ini takkan berguna, bahkan besar kemungkinan ia sendiri akan
roboh! Kalau ia sendiri sampai roboh di tangan Bong Cu Sianjin atau terluka dan tertawan, akan lebih buruk lagi
keadaan mereka dan akan lebih tipis harapan untuk menolong.
Maka ia duduk di dalam hutan itu sambil termenung dan berduka. Ia Memutar-mutar otaknya mencari jalan,
akan tetapi agaknya tidak ada jalan lain kecuali nekad menyerbu seorang diri atau cepat-cepat pergi ke Tit-lee
mengabarkan dan minta pertolo
ngan kepada Ang Lian Lihiap dan suaminya.
Sementara itu, hari telah menjelang senja dan keadaan telah mulai gelap. Kong Liang telah mengambil
keputusan tetap, untuk pergi ke Tit-lee, ia tidak tega meninggalkan adiknya lama-lama di tangan musuh-musuh
itu. Maka ia mengambil jalan kedua, yakni setelah hari menjadi gelap, ia hendak menyerbu dan mencoba
menolong mereka. Lebih baik mati bersama adiknya daripada adiknya terganggu oleh mereka dan ia tidak
berdaya menolong. Pada saat ia masih duduk dengan bengong, tiba-tiba terdengar suara orang menegur, "Song taihiap, mengapa
kau duduk di sini seorang diri?"
Kong Liang merasa terkejut dan tak terasa pula ia melompat berdiri sambil mencabut pedangnya. Akan tetapi
ketika melihat siapa yang berdiri dihadapannya ia mengurungkan maksud hendak mencabut pedang, dan
dimasukkan lagi pedang yang sudah tercabut setengahnya itu.
"Kau di sini?" tanyanya dan memandang kepada wajah Yap Bun Gai dengan tajam.
Ternyata bahwa yang berdiri di depannya itu adalah pemuda petani yang dulu dijumpainya di puncak Hoa-mosan, yakni pemuda murid Bong Cu Sianjin yang lihai. Biarpun ia tahu bahwa pemuda ini berhati baik, namun
betapapun juga pemuda ini adalah murid Bong Cu Sianjin, maka Kong Liang bersikap dingin kepadanya.
"Song taihiap, ada terjadi apakah" Kau pucat dan kelihatan khawatir sekali. Apakah kau telah berkelahi lagi
dengan suhu?" Tentu saja Kong Liang merasa malu untuk mengakui betapa ia dan adiknya kembali dikalahkan oleh Bong Cu
Sianjin, maka ia lalu menjawab dengan ketus, "Kau boleh ikut bergirang hati. Gurumu yang gagah dan baik itu
telah dapat menawan adikku dan seorang gadis lain."
Tiba-tiba berubah wajah Bun Gai yang tampan dan jujur. "Adikmu tertawan" Ah......" hanya demikian ia berkata
dan kemudian ia cepat hendak pergi dari situ, seakan-akan ia tergesa-gesa sekali.
"Hai, kau hendak ke mana?" tegur Kong Liang yang merasa heran juga me-lihat pemuda ini tiba-tiba muncul di
situ. Bun Gai menahan langkah kakinya. "Aku diperintah oleh Niang-niang untuk menemui suhu di kuil dalam hutan
ini." Kemudian setelah menjura tanpa berkata apa-apa lagi pemuda itu lalu melompat pergi dengan cepat sekali.
Kong Liang menghela napas panjang. Celaka, pikirnya. Kini pihak mereka kedatangan seorang yang tangguh
lagi. Ia telah mengetahui kelihaian pemuda tani ini yang dengan mudah dulu telah mempermainkan Mei Ling.
Ia tahu bahwa ilmu kepandaian pemuda ini lebih lihai dari Mei Ling dan bahkan mungkin sekali lebih lihai dari
kepandaiannya sendiri. Biarpun pemuda itu dulu memperlihatkan sikap baik, namun apabila berhadapan
dengan suhunya, terpaksa pemuda itu tentu harus membantu suhunya.
Kong Liang merasa makin khawatir dan harapannya untuk dapat menolong adiknya makin menipis. Akan
tetapi, hal ini tidak berarti bahwa ia menjadi takut. Bahkan mengambil keputusan nekad untuk mengadu jiwa.
Sementara itu dengan rasa hati tidak keruan, Yap Bun Gai berlari cepat sekali ke kuil di mana Bong Cu dan
yang lain-lain berada. Melihat kedatangan muridnya, Bong Cu tertawa lebar dan bertanya.
"Bun Gai, mengapa kau menyusul ke sini" Apakah kau disuruh oleh suci?"
Sambil berlutut di depan suhunya, Bun Gai menjawab, "Betul, suhu. Niang-niang telah memerintahkan kepada
teecu untuk menghadap kepada suhu yang telah dicari oleh Ang Lian Lihiap dan Hwee-thian Kim-hong naik ke
Hoa-mo-san." Kemudian ia menceritakan semua hal yang terjadi di Hoa-mo-san, akan tetapi ia tidak menceritakan
pertempurannya dengan Mei Ling.
Ketika mendengar bahwa Lan Bwe Niang-niang telah mengundang Ang Lian Lihiap untuk datang bersama
suaminya ke Hoa-mo-san tiga bulan lagi, Bong Cu Sianjin tertawa bergelak-gelak.
"Bagus, bagus!" katanya. "Suci memang cerdik sekali. Dia telah mengundang datang Ang Lian Lihiap untuk tiga
bulan lagi di puncak Hoa-mo-san dan sementara itu, aku dapat mencari kawan-kawan untuk membantuku
nanti." "Dan Niang-niang berpesan supaya suhu dan saudara-saudara lain jangan turun tangan atau mengganggu
pihak musuh sebelum tiba waktu itu, oleh karena Niang-niang khawatir kalau-kalau pihak kita akan dianggap
tidak memegang teguh perjanjian." Bun Gai berkata kembali, dan kali ini yang diucapkan adalah kata-kata
menurut suara hatinya. "Tentu, tentu!" kata Bong Cu Sianjin sambil mengangguk-anggukkan kepala. "Kita juga orang-orang gagah yang
dapat menghargai nama sendiri. Bun Gai ketahuilah aku menawan dua orang musuh-musuh kita dan karena
hendak menjaga nama baiklah maka sehingga saat ini kedua orang musuh itu tidak kubinasakan."
Kemudian dengan suara sombong sekali Bong Cu Sianjin memamerkan kepada muridnya betapa dengan
mudah ia menjatuhkan dan menawan Mei Ling dan Bwee Hwa.
Bun Gai sengaja memperlihatkan muka tidak mengacuhkan sama sekali. Biarpun di dalam dadanya,
jantungnya berdebar ketika mendengar betapa Mei Ling, gadis jelita yang secara aneh sekali telah membuat ia
serba salah, makan tak sedap tidur tak nyenyak dan wajah gadis itu semenjak pertempuran dulu itu
terbayang-bayang di depan matanya bahkan muncul tiap malam di alam mimpinya.
Malam hari itu, Kong Liang datang menyerbu. Ia meloncat ke atas genteng kuil dan tentu saja kedatangannya
ini telah diketahui oleh Bong Cu Sianjin dan kawan- kawannya yang segera melompat ke atas untuk
menyambutnya. Tiba-tiba, kuil di sebelah kiri nampak terbakar hingga Bong Cu Sianjin menjadi terkejut sekali. Ia mengira
bahwa Kong Liang datang berkawan maka cepat ia memberi perintah.
"Hai, kau Tik Kong dan Bi-niang menjaga di sebelah kiri dan kau Ceng Hwa, kau menjaga di belakang kuil. Biar
aku sendiri menghadapi pemuda i
ni. Bun Gai, kau menjaga di bawah dan awas jangan sampai ada musuh
menyerobot ke dalam dan merampas tawanan kita."
Semua orang melakukan tugas yang diperintahkan oleh kakek buntung itu. Tak seorangpun menyangka bahwa
pembakaran di sebelah kiri kuil tadi dilakukan oleh Bun Gai yang telah dapat tahu lebih dulu akan serbuan
Kong Liang membarengi aksi pemuda itu dengan membakar kuil.
Kebetulan sekali ia diberi tugas menjaga di bawah, maka ia lalu cepat meruntuhkan pintu kamar tahanan Mei
Ling dan Bwee Hwa. Ketika Mei Ling melihat siapa orangnya yang datang dengan pedang di tangan, tiba-tiba
Api Di Bukit Menoreh 17 Bumi Cinta Karya Habiburrahman El Shirazy Geger Perawan Siluman 3

Cari Blog Ini