Si Walet Hitam Karya Kho Ping Hoo Bagian 6
lancang......?" Bwee Hwa memeluk tubuh Lee Ing dan menangis dengan bingung.
Lo Sin merasa terharu sekali dan ia lalu menggunakan kepandaiannya untuk menotok pundak Lee Ing dan
membuat gadis itu siuman kembali. Ketika sadar dari pingsannya dan melihat Lo Sin berlutut di dekatnya, Lee
Ing mengeluarkan keluhan dan menubruk pemuda itu, memeluknya lalu menangis terisak-isak.
"Sin-ko...... aku lebih rela mati di tanganmu daripada daripada mati oleh ayah atau oleh ibumu......"
Lo Sin mendekap kepala kekasihnya pada dadanya dan pemuda inipun tidak dapat menahan pula air matanya
yang keluar menitik turun ke atas pipinya.
"Jangan begitu, Ing-moi. Mana kegagahanmu" Mana sifatmu yang gembira dan hatimu yang tabah" Tidak
pantas kau bersikap begini, Ing-moi. Apakah tiba-tiba kau menjadi seorang gadis yang lemah dan penakut" Di
sini masih ada aku, Ing-moi, dan mati-hidup kita akan selalu bersama!"
Ucapan ini membuat Bwee Hwa merasa terharu sekali, akan tetapi bagaikan api yang disiram air, tiba-tiba
lenyap pula keraguan dan kehancuran semangat yang tadi mempengaruhi Lee Ing. Ia melepaskan diri dari
pelukan dan berkata dengan gagah.
"Terima kasih, Sin-ko. Hampir saja aku tersesat oleh kelemahan sendiri. Kau benar! Biar mereka semua
membenci kita. Biar mereka semua mengutuk memusuhi kita. Kita akan hadapi bersama, mati atau hidup!"
Melihat kasih sayang yang demikian besar antara kedua orang muda itu, diam-diam Bwee Hwa merasa kagum
dan amat terharu dan mengingatkan ia kepada Kong Liang yang gagah dan tampan. Tak terasa pula tangannya
lalu meraba-raba dan mengusap-usap pedang pemberian Kong Liang yang tergantung di pinggangnya.
Lo Sin yang melihat hal ini dan matanya yang tajam lalu mengenal pedang itu. "Hei! Bukankah yang kaubawa
itu pedang panjang paman kecil Kong Liang?" teriaknya dengan heran. Juga Lee Ing yang sudah kering pula air
matanya itu lalu maju memeriksa.
"Betul, betul, akupun kenal pedang ini! Lihat di gagangnya terukir huruf Kong dan Liang! Cici yan
g baik, bagaimana pedangnya bisa terjatuh dalam tanganmu"'! tanyanya sambil memandang heran pula.
Dihujani pertanyaan dari kedua muda mudi ini, tiba-tiba wajah Bwee Hwa menjadi merah sekali seperti
kepiting direbus. "Cici?" Lian Hwa menukarkan pedangku dengan?" pedang ini," katanya sambil menundukkan kepala.
Lee Ing yang tadi bersedih, menangis, bahkan sampai jatuh pingsan, kini tertawa dan memeluk dan menciumi
Bwee Hwa! Gadis ini girang sekali dan sambil menepuk-nepuk pundak Bwee Hwa ia berkata.
"Ah, bagus sekali, cici! Kau memang cocok menjadi isteri paman kecil Kong Liang! Kiong-hi, kiong-hi (Selamat,
selamat)?"!" Juga Lo Sin lalu menjura dan berkata, "Kiong-hi, kiong-hi!"
Mereka bertiga lalu bercakap-cakap dengan girang dan baik Bwee Hwa maupun Lo Sin terpengaruh oleh sikap
Lee Ing yang sungguh-sungguh mengherankan, karena gadis ini telah bisa tertawa dan bersendau gurau
dengan gembira sekali! Diam-diam Lo Sin merasa kagum karena ia lagi-lagi melihat persamaan yang luar biasa
dalam tabiat kekasihnya ini dengan sifat ibunya, Ang Lian Lihiap!
Dan ia merasa bersyukur sekali karena ia sendiri pun tidak suka melihat sifat seorang gadis yang terlampau
mudah berputus asa dan berduka.
Kemudian, setelah menyatakan janjinya bahwa iapun akan berusaha membujuk kedua orang tua Lee Ing dan
Lo Sin agar mereka suka berdamai, Bwee Hwa lalu melanjutkan perjalanannya mencari suhunya dan
meninggalkan kedua anak muda itu.
Setelah Bwee Hwa pergi, Lee Ing dan Lo Sin teringat lagi akan keadaan orang tua masing-masing dan diamdiam mereka merasa khawatir juga. Mereka agaknya mengetahui perasaan masing-masing tanpa
mengeluarkan kata-kata dan sampai malam tiba, keduanya tidak banyak bicara.
erlatih pedang Hwie-sian-liong-kiam-sut yang ia pelajari dari Lo Sin.
Pemuda ini memberi petunjuk-petunjuk dan mereka berlatih dengan rajin.
Lo Sin girang mendapat kenyataan bahwa gadis itu mendapat kemajuan pesat dan ternyata bahwa Lee Ing
mempunyai otak yang tajam dan cerdik hingga mudah mengingat bagian-bagian yang sulit dan penting dari
ilmu pedang yang luar biasa ini.
Tanpa terasa lagi mereka berlatih silat sampai pagi! Dan setelah mendengar ayam hutan berkeruyuk dan
burung-burung pagi berkicau, Lee Ing menghentikan latihannya dengan lelah dan mengantuk sekali sehingga
ketika ia merebahkan diri di atas rumput yang kering oleh karena api unggun itu mengusir embun yang
mendekat, ia terus saja tidur pulas!
Melihat keadaan Lee Ing ini, Lo Sin tersenyum geli. Ia melepaskan mantelnya dan menyelimuti tubuh gadis itu
dengan penuh rasa kasih sayang dan kasihan. Kemudian ia sendiri duduk bersila di dekat api dan bersamadhi
untuk melepaskan lelahnya.
Ketika matahari telah naik tinggi, Lee Ing terbangun dari tidurnya. Ia menggeliat dengan enaknya dan melihat
bahwa tubuhnya diselimuti mantel oleh Lo Sin. Ketika ia menengok, ia mendapatkan pemuda itu masih duduk
bersila tanpa bergerak dan dengan mata terpejam, maka maklumlah ia bahwa pemuda kekasihnya itu sedang
beristirahat, akan tetapi dalam keadaan duduk itu biarpun tubuh dan pikiran Lo Sin "tidur", ia masih sadar dan
suara sedikit saja sudah cukup untuk menyadarkan Lo Sin dari samadhinya.
Maka ia lalu bangun duduk dengan perlahan dan menggigil, karena biarpun matahari sudah naik tinggi, namun
kabut embun masih tebal dan api unggun telah padam sejak lama tadi. Ketika ia menengok ke arah kuda Pekliong-ma, ternyata bahwa kuda hitam itu masih berdiri di situ dan kedua ekor kuda itu membanting?banting
kaki depannya seakan-akan tidak sabar sekali melihat betapa kedua majikan mereka masih belum berangkat
membawa mereka berlari! Mereka telah merasa bosan berdiri dan menanti sampai semalam suntuk.
Biarpun Lee Ing bergerak dengan hati-hati dan perlahan, namun tetap saja Lo Sin dapat mendengarnya dan
pemuda ini membuka mata samhil tersenyum dan bertanya. "Kau sudah bangun" Enakkah tidurmu?"
"Ah, aku terlalu sekali, Sin-ko, tidur sepanjang malam dan membiarkan kau berjaga terus sampai siang!"
"Kau baru tidur setelah fajar menyingsing, mana bisa disebut sepanjang malam" Dan kebetulan sekali tadi
datang sendiri makanan pagi untuk kita."
Lee Ing terheran. "Makanan pagi datang sendiri?"
Lo Sin tersenyum dan dengan tangan kirinya ia mengambil seekor kelinci dan memegang pada telinganya
tinggi-tinggi ke atas. "Lihat ini, tadi pagi datang dan berkata. Tangkaplah aku untuk sarapan pagi!"
Lee Ing tertawa geli dan tiba-tiba melihat kelinci yang gemuk itu perutnya mulai berkeruyuk lapar. Cepat-cepat
ia lalu menguliti kelinci itu, sedangkan Lo Sin lalu membuat api. Sambil bersendau gurau keduanya lalu
memanggang daging kelinci yang bergajih itu dan segera tercium bau sedap daging panggang. Keduanya lalu
makan dengan sedap dan enaknya.
Melihat keadaan mereka, orang yang melihat mereka malam tadi berduka, tentu akan merasa terheran-heran.
Mereka ini memang orang-orang muda berbahagia dan, tak ada kedukaan yang dapat membuat mereka
murung sepanjang waktu. Kuda hitam itu ternyata seekor kuda yang baik dan kuat hingga keduanya merasa girang sekali. Oleh karena
sudah biasa dan kenal dengan Pek-liong-ma, maka Lee Ing lalu minta agar Lo Sin yang menunggang kuda
hitam itu sedangkan dia sendiri lebih suka menunggangi Pek-liong-ma yang jinak dan menurut serta mengerti
segala perintah yang dikeluarkannya.
"Sin-ko, mari kita melanjutkan perjalanan melalui hutan sebelah timur itu, barangkali saja kita akan dapat
bertemu dengan pemilik kuda hitam ini. Betapapun juga, tak enak sekali kalau kelak kita bertemu dengan
pemiliknya dan dituduh menjadi pencuri kuda!"
Lo Sin setuju dan sehabis makan pagi, mereka lalu naik kuda dan memasuki hutan cemara itu. Akan tetapi,
baru saja mereka tiba di luar hutan tiba-tiba dari jurusan timur mendatangi lima orang penunggang kuda yang
melarikan kuda mereka cepat sekali. Lo Sin dan Lee Ing menahan kuda masing-masing dan menanti
kedatangan mereka. Ketika kelima orang penunggang kuda itu sudah datang dekat, maka ternyata oleh Lee Ing dan Lo Sin bahwa
mereka ini adalah serombongan pemburu yang bertubuh tinggi besar dan kuat. Mereka ini membawa senjatasenjata lengkap. Busur dan anak panah tergantung di punggung, pedang di pinggang kiri, di pin ggang kanan
tergantung tali-tali yang kuat sedangkan tangan mereka memegang tombak panjang yang tajam dan runcing.
Ketika mereka melihat kuda yang ditunggangi oleh Lo Sin, segera mereka membentak nyaring.
"Itu kuda Bu-ko!"
Seorang diantara mereka yang tertua lalu menuding dengan tombaknya kepada Lo Sin dan berseru. "Hai!
Maling kuda, berani sekali kau mencuri kuda kawan kami! Hayo lekas turun dan serahkan kembali kuda itu
kepada kami, baru kami mau memberi ampun."
Kalau Lo Sin masih bersikap tenang menghadapi tuduhan ini, Lee Ing sebaliknya menjadi marah sekali dan ia
lalu majukan Pek-liong-ma kehadapan pemburu itu dan balas membentak.
"Orang hutan yang kasar! Jagalah sedikit lidahmu dan jangan sembarangan kau memaki orang! Kaukira kami
takut kepada orang-orang hutan seperti kalian ini?"
Pemburu-pemburu itu memang orang-orang kasar yang tidak biasa memakai banyak peradatan. Kini melihat
sikap Lee Ing dan mendengar makian gadis manis ini, mereka menjadi marah. Pemimpin pemburu itu lalu maju
dan membentak, "Gadis kurang ajar! Kau tidak tahu sedang berhadapan dengan siapa" Biar aku bikin kau terpelanting dari
kudamu, baru kau tahu rasa!" Sambil berkata demikian, ia majukan ku
danya dan cepat memutar balik
tombaknya dan menggunakan gagang tombak untuk mendorong Lee Ing jatuh dari kudanya!
Tentu saja kemarahan Lee Ing meluap. Ia membiarkan gagang tombak itu meluncur sampai dekat, dan tibatiba ia miringkan tubuh di atas kudanya dan cepat menangkap gagang tombak itu lalu menyendalnya keraskeras! Pemburu itu adalah seorang yang hanya mengandalkan tenaga besar saja. Kini ia mempergunakan tenaga dan
karena dorongannya mengenai tempat kosong dan kemudian ditarik dengan tiba-tiba dan keras oleh Lee Ing,
tidak ampun lagi ia terbawa oleh tarikan itu dan tubuhnya melayang dari atas kuda!
Lee Ing mentertawakan. "Pemburu kasar! Kaulihat siapakah yang terpelanting dari kuda?"
Empat orang pemburu lainnya menjadi marah sekali dan dengan tombak terangkat mereka menghampiri Lee
Ing, seakan-akan mereka sedang menyerang seekor harimau betina. Akan tetapi, dengan tenang Lee Ing
mencabut pedangnya dan menanti serangan mereka, sementara Lo Sin hanya memandang saja dengan siap
sedia membantu Lee Ing apabila gadis berada dalam bahaya. Melihat gerakan empat orang itu, Lo Sin tidak
mengkhawatirkan keadaan Lee Ing.
Tiba-tiba sambil berseru keras, empat orang itu majukan kuda dan berbareng menusuk dengan tombaknya,
hendak menyate tubuh Lee Ing dengan empat batang tombak mereka! Lee Ing berseru keras dan
menggerakkan pedangnya yang diputar sedemikian rupa hingga dengan mengeluarkan suara keras, tahu-tahu
keempat tombak itu telah terpotong kepalanya.
Dan selagi keempat orang pemburu itu merasa terkejut sekali, tahu-tahu mereka merasa tubuh mereka
diangkat dari kuda dan dibanting ke atas tanah. Ternyata bahwa yang melakukan hal ini adalah Lo Sin dan
sambil menarik tubuh pemburu-pemburu itu dan membantingnya ke atas tanah ia berseru.
"Orang-orang kasar berhati kejam!"
Tentu saja hal ini membuat semua pemburu itu merasa terkejut dan ketakutan. Mereka maklum bahwa
mereka sedang menghadapi dua orang pandai, maka segera mereka berlutut minta ampun, bahkan kepala
pemburu yang menyangka bahwa Lo Sin dan Lee Ing adalah perampok-perampok besar, lalu berkata. "Tai-ong,
mohon jiwi ampunkan jiwa kami yang tidak berharga!"
Melihat sikap mereka yang kini ketakutan itu, Lo Sin tersenyum dengan hati merasa geli. Ia lalu berkata,
"Kalian bangkitlah! Kami bukan perampok-perampok seperti yang kalian kira, juga bukan maling kuda. Lain kali,
hendaknya kalian bisa berlaku lebih sabar dan sebelum kalian bertindak dengan kekerasan, selidikilah dulu
duduknya persoalan! Kami sama sekali tidak mencuri kuda hitam ini. Malam tadi ketika kami berada di padang
rumput, tiba-tiba kuda ini datang dari arah hutan cemara ini. Oleh karena inilah maka kami berdua sengaja
hendak memasuki hutan untuk mencari pemilik kuda hitam. Tidak tahunya kalian datang-datang memaki dan
menyerang." Mendengar ini, tidak saja mereka merasa menyesal dan minta maaf, akan tetapi mereka juga terkejut sekali.
"Taihiap tadi bilang bahwa kuda ini datang dari hutan cemara?" sambil berkata demikian, pemimpin pemburu
itu memandang ke arah hutan cemara dengan mata terbelalak dan muka pucat.
"Kalau tidak salah, karena kuda ini memang lari dari jurusan ini."
"Celaka, jangan-jangan Bu-ko menjadi korban Hek-koai-coa!"
Mendengar ucapan ini, kawan-kawannya juga menjadi pucat dan sikap mereka ketakutan.
"Siapakah Hek-koai-coa ini?" tanya Lee Ing. "Agaknya kalian takut sekali kepadanya. Apakah ia seorang
penjahat besar?" "Bukan, lihiap, Hek-koai-coa bukan nama julukan orang, akan tetapi benar-benar seekor siluman ular hitam
yang dahsyat!" Terkejutlah Lee Ing dan Lo Sin mendengar keterangan ini. "Di mana adanya ular itu?" tanya Lo Sin.
"Di dalam hutan inilah!" jawab kepala pemburu.
"Hayo kalian antar kami ke tempat ular jahat itu!"
Karena maklum bahwa Lo Sin dan Lee Ing memiliki kepandaian tinggi, maka dengan girang para pemburu itu
lalu mengantar kedua orang muda itu memasuki hutan cemara. Di sepanjang jalan kepala pemburu itu
menuturkan tentang ular yang ditakutinya itu.
Menurut penuturannya, ular itu adalah seekor ular bersisik hitam yang besar dan yang telah banyak makan
orang, hingga tidak saja merupakan gangguan bagi para pemburu bahkan ular itu apabila telah lama tidak
makan orang, berani menyerang kampung-kampung yang berdekatan dengan hutan! Telah berulang kali para
pemburu dan orang-orang kampung berusaha mengusir atau membunuhnya, akan tetapi, usaha ini bukannya
berhasil, malahan setiap kali mereka menyerbu, selalu jatuh korban di pihak mereka!
"Ular itu benar-benar jahat dan lihai," katanya kepada Lo Sin dan Lee Ing, "sisiknya demikian keras hingga ia
tidak dapat dilukai dengan senjata tajam!"
Masih banyak lagi kata-kata yang menyeramkan diucapkan oleh pemimpin pemburu itu. Untung saja bahwa
Lee Ing dan Lo Sin memang memiliki hati yang luar biasa tabahnya, hingga kalau tidak, tentu sebelum bertemu
dengan ular itu, mereka telah merasa takut dan ngeri!
Tiba-tiba dari arah depan terdengar suara "Kaaak...... kaaak...... kaaak?"!" Suara ini nyaring sekali hingga
bergema di seluruh hutan.
"Nah, itu dia!" bisik kepala pemburu dengan wajah pucat dan ketika Lee Ing memandang kepada mereka yang
telah menahan kuda, ternyata bahwa ke lima orang pemburu yang tinggi besar itu telah menggigil seluruh
tubuhnya! Lo Sin dan Lee Ing lalu majukan kuda masing-masing dan menghampiri arah suara yang keras dan
yang bunyinya seperti suara burung gagak itu.
Ketika mereka tiba di tikungan sebelah depan, maka terlihatlah oleh mereka Hek-koai-coa yang diceritakan
oleh pemburu-pemburu tadi. Ular itu memang besar sekali dan panjangnya tidak kurang dari empat tombak.
Kulitnya bersisik hitam dan mengkilat karena cahaya
mata hari. Pada saat itu, ular hitam yang besar itu sedang berjemur di atas cabang pohon cemara yang tinggi. Tubuhnya
membelit cabang itu dan kepalanya tergantung ke bawah, bergerak-gerak ke kanan kiri sambil mengeluarkan
bunyi berkakak itu. Setelah melihat ular itu, Lo Sin dan Lee Ing tahu bahwa ular itu adalah ular biasa, hanya memang besar sekali
dan nampaknya liar dan ganas. Ketika binatang itu melihat dua orang muda menghampiri tempatnya,
kepalanya berhenti bergerak dan ia memandang kepada mereka tanpa bergerak dan dari mulutnya keluar lagi
teriakan-teriakan dahsyat itu.
Kuda hitam yang ditunggangi Lo Sin meronta-ronta dan hendak kabur, akan tetapi Lo Sin cepat melompat turun
dan menambatkan kuda itu erat-erat pada sebatang pohon cemara. Pek-liong-ma meringkik-ringkik marah,
akan tetapi kuda yang telah dilatih menghadapi segala macam bahaya ini tidak nampak takut bahkan marah
sekali seakan-akan hendak melawan suara jahat yang datang dari atas pohon itu.
Lee Ing merasa agak ngeri melihat ular yang besar dan panjang itu, akan tetapi hatinya juga gembira
menghadapi pertempuran ini. Gadis ini dengan sikap garang lalu melompat turun dari atas kudanya pula dan
sambil berdiri di dekat Lo Sin, ia mencabut pedangnya dan berteriak ke atas.
"He, siluman ular hitam! Lekaslah kau turun untuk menerima kematian!"
Ular itu berada di tempat yang tinggi sekali dan melihat sikap kedua orang yang agaknya tidak takut sama
sekali kepadanya itu, ia menjadi ragu-ragu dan tetap diam tanpa bergerak sambil memandang dengan
sepasang matanya yang merah. Hanya lidahnya yang runcing dan merah itu saja yang bergerak keluar masuk
dari mulutnya. Pek-liong-ma berlari ke dekat kuda hitam dan kuda ini tetap meringkik-ringkik sambil mencakar-cakar tanah
dengan kedua kaki depannya. Lo Sin tetap tenang saja dan ia tersenyum melihat lagak Lee Ing, karena ia
maklum bahwa betapapun juga, gadis ini merasa ngeri dan jijik.
10.29. Pertarungan lawan Ular dan Setan Sakti
Ketika melihat betapa ular itu diam saja tidak bergerak, Lee Ing menjadi marah. Ia memungut sebuah batu
kerikil dan dilemparkannya batu itu ke arah kepala ular yang menggantung ke bawah. Lemparannya tepat
sekali, akan tetapi tiba-tiba kepala ular itu mengelak ke samping hingga batu yang hendak membentur
kepalanya itu mengenai tempat kosong. Kemudian ia mendesis dan dari mulutnya keluar uap hitam.
"Awas, Lee Ing, ular itu beracun dan lihai juga! Ia mulai marah!" kata Lo Sin.
"Aku tidak takut padanya!" jawab Lee Ing, biarpun ia merasa betapa bulu tengkuknya berdiri. Ia mengambil
sebuah batu kecil lagi dan melontarkan sepenuh tenaga ke arah kepala ular itu.
Kali ini ular itu tidak mengelak, bahkan ia lalu membuka mulutnya yang lebar dan cepat sekali ia menggigit
batu itu yang terus ditelannya. Melihat hal ini, bukan main terkejutnya Lee Ing dan baru ia percaya bahwa ular
itu memang lihai. Sementara itu, binatang yang merasa betapa dirinya diganggu itu, menjadi marah juga dan mulai turun dari
cabang pohon itu. Turunnya aneh sekali bukannya merayap melalui batang pohon seperti ular lain, akan tetapi
ia menggantung diri makin ke bawah hingga kepalanya mencapai cabang pohon yang lebih rendah.
Kemudian ia menggigit cabang itu dan melepaskan tubuhnya yang masih melingkar di atas dan demikianlah,
cabang demi cabang ia turuni dengan cepat sekali hingga akhirnya ia tiba di atas tanah dengan mengeluarkan
suara berdebuk keras dan tanah mengebulkan debu, menandakan bahwa tubuhnya itu berat sekali.
Setelah ular itu tiba di atas tanah di depan mereka, barulah tampak nyata bahwa ia memang besar dan
panjang sekali. Melihat ini, Lee Ing lalu melompat ke belakang tubuh Lo Sin.
Lo Sin yang maklum bahwa ular ini berbahaya sekali, lalu mencabut pedangnya dan berdiri dengan tenang
akan tetapi waspada. Tiba-tiba ular itu mendesis lagi dan uap hitam menyambar ke arah Lo Sin. Pemuda ini
cepat melompat jauh ke samping sambil membetot tangan Lee Ing.
"Ing-moi, biarkan aku yang menghadapi ular siluman ini. Menyingkirlah!"
Lee Ing memang sudah merasa ngeri, maka ia lalu menurut dan berlari ke bawah sekelompok pohon siong
yang besar di sebelah kanan. Lo Sin lalu menghadapi ular itu dengan pedang Kim-hong-kiam di tangan. Ular itu
mendesis-desis lagi lalu tiba-tiba kepalanya meluncur ke depan dengan mulut terbuka lebar, menyerang ke
arah leher Lo Sin! Pemuda ini mengelak ke samping lalu mengirim bacokan dengan pedangnya, tepat di leher ular itu, akan tetapi
alangkah kagetnya ketika pedangnya itu meleset seakan-akan membacok sesuatu yang amat licin dan keras!
Ia terkejut sekali dan cepat menyingkir.
Akan tetapi, ular itu memang liar dan ganas, ketika merasa betapa lehernya diserang, ia sengaja tidak mau
berkelit akan tetapi membarengi dengan sabetan ekornya! Sabetan ini bukan main kerasnya, dan agaknya
akan celakalah Lo Sin kalau kena tersabet!
Namun pemuda ini lebih gesit lagi. Dengan mudah ia melompat tinggi dan dari atas ia melihat betapa leher ular
yang dibacoknya tadi mengeluarkan lendir yang berminyak hingga tentu saja kulit yang keras itu menjadi licin!
Ketika ular itu menyerang, Lo Sin hanya bergerak ke sana ke mari menghindarkan diri dari terkaman mulut ular
dan dari semburan hawa beracun.
Ia memandang dengan penuh perhatian dan akhirnya melihat betapa sisik ular itu bertumpuk-tumpuk ke
belakang hingga kalau diserang dengan sabetan biasa takkan dapat terluka. Ia lalu menyerang lagi dan kini ia
meneruskan pedangnya dari arah belakang dan benar saja, serangannya berhasil baik!
Ujung pedangnya ambles ke bawah sisik dan melukai kulit ular itu. Ular hitam menjadi marah sekali dan
kesakitan, tubuhnya lalu melingkar dan cepat sekali kepala dan ekornya menyerang dari dua jurusan!
Lo Sin berlaku waspada. Ia melompat ke atas menghindarkan dua serangan itu dan ketika ular itu meluncurkan
kepalanya ke atas untuk menggigit kakinya, pemuda ini berjumpalitan di tengah udara dan menusukkan
pedangnya pada mulut ular yang ternganga itu!
Pedang Kim-hong-kiam amblas sampai di leher ular itu dan menembus leher! Uap hitam yang berbau amis
sekali menyambar, akan tetapi Lo Sin dengan cepat telah menarik kembali pedangnya dan melompat jauh
hingga terhindar dari semburan hawa berbisa.
Si Walet Hitam Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Ular itu berkelojotan dan menggeliat-geliat menyemburkan uap bisa hingga tanah di sekitarnya penuh dengan
bisa hitam yang amat berbahaya. Makin lama gerakannya makin lemah dan untuk mengakhiri penderitaan
binatang itu, Lo Sin melompat lagi dari belakang ular itu dan menggerakkan pedangnya ke arah leher binatang
itu. Kini sekali menabas saja putuslah leher ular itu!
Melihat bahwa ular itu telah binasa. Lo Sin lalu menggosok-gosokkan pedangnya pada kulit ular untuk
menghilangkan bekas darah yang mungkin berbisa, kemudian ia melompat untuk menghampiri Lee Ing yang
masih berdiri di bawah pohon siong dengan pedang di tangan, siap menghadapi kalau-kalau ada kawan-kawan
ular itu datang! Hatinya tadi ngeri dan cemas sekali melihat betapa ular itu benar-benar lihai dan ia takut kalaukalau kekasihnya akan terkena bisa ular.
Akan tetapi pada saat Lo Sin berlari menghampiri Lee Ing dari atas pohon tiba-tiba melayang turun bayangan
hitam dan gerakan yang amat cepat dan gesit ini membuat Lo Sin tercengang juga. Ternyata bahwa yang
berdiri di hadapannya adalah seorang yang kurus kering dan pendek hingga tubuhnya kelihatan kecil dan kate.
Laki-laki ini usianya sebaya dengan ayah Lo Sin, dan rambutnya masih hitam. Jenggotnya tebal dan panjang,
sedangkan rambutnya diikatkan ke atas dengan sebuah selampai putih, ikat pinggangnya juga putih. Akan
tetapi seluruh pakaiannya berwarna hitam, hingga sama benar dengan warna pakaian Lo Si
n. Selagi Lo Sin memandang heran, dan juga Lee Ing yang berada agak jauh dari situ memandang heran pula,
tiba-tiba laki-laki setengah tua itu mengangkat kedua tangan dan menjura sambil berkata.
"Benar-benar gagah perkasa si Walet Hitam!"
Lo Sin terkejut sekali ketika merasa bahwa dari kedua kepalan tangan yang diangkat menghormatnya itu
menyambar angin yang kuat dan dingin, memukul ke arah mukanya! Dengan heran dan terkejut Lo Sin
mengangkat tangan kiri ke depan dan melangkahkan kaki kiri ke belakang.
Gerakan tangan kirinya dapat menangkis angin pukulan yang lihai itu. Ia lalu memasukkan kembali pedang
yang masih dipegangnya ke dalam sarung pedang, lalu ia bertanya kepada laki-laki kecil yang datang-datang
menyerangnya dengan pukulan gelap dan keji itu.
"Sahabat siapa dan datang dari manakah maka memberi penghormatan demikian besarnya kepada siauwte
yang muda?" Sementara itu, Lee Ing yang juga sudah menyimpan pedangnya, lalu melompat menghampiri dan berdiri di
dekat Lo Sin, memandang kepada laki-laki kecil yang aneh ini. Ia tidak tahu bahwa tadi Lo Sin telah mendapat
serangan gelap dari kedua kepalan laki-laki ini.
Laki-laki itu tertawa bergelak dan suara ketawanya berbeda benar dengan tubuhnya yang kecil. Siapakah lakilaki yang aneh ini" Laki-laki ini adalah seorang begal tunggal yang amat terkenal di sepanjang Sungai Huang-ho sebelah barat,
oleh karena ilmu silatnya yang tinggi dan lihai. Sebenarnya laki-laki ini masih terhitung adik seperguruan Bong
Cu Sianjin sendiri oleh karena dia ini adalah murid tunggal dari Kheng To Siansu. Sedangkan Kheng To Siansu
adalah adik seperguruan dari guru Bong Cu dan Lan Bwee Niang-niang, yang bernama Kheng Kong Siansu.
Semenjak mudanya, Kheng To Sianjin merantau ke dunia barat dan lama sekali tinggal di India. Setelah
kembali ke daratan Tiongkok dan merantau di Go-bi-san, ia lalu mengambil seorang murid yang bertubuh kecil
ini dan yang bernama Khu Mo In.
Setelah suhunya meninggal dunia, Khu Mo In lalu menjadi seorang berandal dan merajalela di sepanjang
Sungai Huang-ho sebelah barat hingga ia dijuluki orang Hek-siauw-mo atau Setan Kecil Hitam karena selain
tubuhnya kecil dan pendek, iapun paling suka mengenakan pakaian hitam!
Karena sudah lama ingin sekali bertemu dengan saudara-saudara seperguruan, maka pada suatu hari Heksiauw-mo Khu Mo In merantau ke timur dan hendak mencari Lan Bwee Niang-niang dan Bong Cu Sianjin di
puncak Hoa-mo-san, tetapi di jalan ia bertemu dengan Bong Cu Sianjin yang telah buntung kedua tangannya
dan yang kebetulan sekali memang sedang mencari kawan-kawan untuk menghadapi Ang Lian Lihiap pada
bulan ketiga nanti. Pertemuan ini menggirangkan hati kedua pihak dan ketika mendengar bahwa Bong Cu Sianjin telah menjadi
buntung dalam pertempuran melawan Ang Lian Lihiap dan kawan-kawannya. Khu Mo In lalu menjadi marah
dan ingin membalas dendam.
Bong Cu Sianjin maklum akan kelihaian sutenya ini, maka ia sengaja mengobrol dan membikin panas hati adik
seperguruan ini yang berjanji hendak membantu pada bulan ketiga nanti di puncak Hoa-mo-san! Bong Cu
Sianjin juga menceritakan tentang kelihai an putera Ang Lian Lihiap dan menceritakan bagaimana macam dan
pakaian pemuda itu. Karena masih ada dua bulan lagi sampai tiba waktu perjanjian pertempuran di Hoa-mo-san, maka Khu Mo In
lalu melanjutkan perantauannya dan menunda kepergiannya ke Hoa-mo-san sampai bulan ketiga. Ia lalu
merantau dan menikmati pemandangan alam di timur yang jauh bedanya dengan di bagian barat ini.
Akhirnya pada hari itu, kebetulan sekali ia melihat pertempuran antara Lo Sin dan seekor ular hitam yang
ganas. Ia lalu melompat ke atas pohon dan diam-diam menonton pertempuran itu. Ketika memperhatikan
pakaian dan bentuk badan Lo Sin, teringatlah ia akan cerita Bong Cu Sianjin tentang putera Ang Lian Lihiap
yang berjuluk Ouw-yan-cu, maka ketika Lo Sin sudah berhasil membinasakan ular hitam itu, ia sengaja
mencegat pemuda ini dan menyerangnya dengan kepalan yang diangkat sebagai pemberian hormat.
Khu Mo In terkejut dan kagum juga melihat betapa dengan tangan kirinya pemuda itu dapat menolak
serangannya. Kini mendengar Lo Sin dengan hormat bertanya tentang namanya, ia tertawa bergelak hingga
mengejutkan Lee Ing yang segera menghampiri Lo Sin.
"Kau ingin tahu namaku" Nanti dulu sobat, bukankah kau ini yang berjuluk Ouw-yan-cu si Walet Hitam" Dan
siapa pulakah gadis gagah ini?"
Lo Sin merasa mendongkol juga melihat sikap yang amat sombong dan memandang rendah ini. Akan tetapi
karena maklum bahwa ia sedang berhadapan dengan orang yang berkepandaian tinggi, maka ia menjawab
juga sambil menekan kemarahannya.
"Memang benar. Siauwte bernama Lo Sin dan dijuluki orang Ouw-yan-cu, sedangkan nona ini adalah Nyosiocia." Khu Mo In sudah mendengar dari Bong Cu Sianjin bahwa diantara musuh-musuhnya terdapat pula Nyo Tiang
Pek si Garuda Kuku Emas, maka kini mendengar bahwa nona ini she Nyo, ia lalu bertanya lagi. "Apa bukan
puteri Garuda Kuku Emas Nyo Tiang Pek?"
Kembali Lo Sin dan Lee Ing memandang heran. Bagaimana orang yang sama sekali tak mereka kenal ini dapat
menduga tepat dan mengetahui nama mereka dan nama Nyo Tiang Pek"
"Sahabat, kau ternyata bermata awas. Dugaanmu memang betul, karena nona ini adalah puteri Nyo Tiang
Pek." "Dan kau tentu putera Ang Lian Lihiap dan Hwee-thian Kim-hong?" tanya Khu Mo In lagi.
"Sekali lagi benar," jawab Lo Sin. "Dan siapakah kau yang agaknya mengenal baik orang tua kami itu?"
"Ha, ha, ha! Apa gunanya kalian ketahui" Kuberitahukan juga kalian takkan mengenalku, jangankan kalian,
bahkan orang-orang tuamu pun takkan mengenalku, karena aku datang dari tempat jauh! Dengarlah, aku
bernama Khu Mo In dan di barat orang mengenalku dengan nama poyokan Hek-siauw-mo!"
Tiba-tiba Lee Ing tertawa geli mendengar ini hingga Lo Sin dan Khu Mo In ini memandangnya dengan heran.
"Mengapa kau tertawa?" tanya Khu Mo In penasaran.
"Karena lucu!" jawab Lee Ing sambil menahan suara ketawanya.
"Apanya yang lucu?"
"Nama julukanmu itu! Hek-siauw-mo atau Setan Kecil Hitam, sungguh cocok sekali dengan orangnya!"
Khu Mo In menjadi marah sekali.
"Nona kecil, jangan kau main-main, biarpun namaku kecil, akan tetapi telah tak terhitung banyaknya orang
gagah yang bernama besar kujatuhkan dengan kedua lenganku ini!"
Mendengar orang itu menyebut kedua lengannya, maka Lo Sin teringat lagi akan serangan orang itu tadi.
"Hek-siauw-mo, mengapa kau tadi datang-datang menyerang dengan pukulan gelap?" tanyanya.
"Aku mendengar dari Bong Cu suheng bahwa dua bulan lagi akan diadakan pibu di atas Hoa-mo-san. Kabarnya
kau juga akan datang ke sana, maka sebelum pibu itu diadakan, ingin sekali aku melihat sampai di mana
kelihaian calon lawan-lawanku. Kalau kepandaiannya masih rendah, untuk apa aku harus bersusah payah naik
ke Hoa-mo-san" Melelahkan dan menjemukan saja!"
Lo Sin maklum bahwa orang ini biarpun agaknya berkepandaian tinggi namun mempunyai watak yang
sombong sekali dan memandang rendah orang lain, maka diam-diam ia merasa mendongkol sekali.
"Hek-siauw-mo, kalau kau hendak membantu Bong Cu Sianjin, lebih baik kau pulang dulu dan belajar lagi
barang sepuluh tahun, agar kau tidak akan mendapat kekecewaan dan malu besar di puncak Hoa-mo-san."
Lo Sin sengaja mengeluarkan ucapan yang merendahkan ini untuk memanaskan hati Setan Hitam itu. Benar
saja, walaupun mulut Khu Mo In masih tersenyum, namun kulit mukanya berubah merah dan sepasang
matanya berkilat. "Ha, ha, Walet Hitam, baru saja dapat mengalahkan seekor ular yang tidak ada artinya, kau sudah berani
berlaku sombong di depanku?" Sambil berkata demikian Khu Mo In melangkah maju dan mengirim pukulan
dengan tangan kirinya. Lo Sin telah bersiap-sedia, maka ia lalu miringkan tubuh dan menggunakan tangan kanan untuk menyampok
pergi pukulan itu. Ketika tangannya bertemu dengan lengan tangan Khu Mo In, maka maklumlah Lo Sin bahwa
lawannya adalah seorang ahli lweekeh yang memiliki ilmu lweekang yang tangguh sekali, maka diam-diam ia
menjadi terkejut dan bergerak dengan hati-hati sekali.
Khu Mo In tertawa menghina dan menyerang lagi lebih cepat. Angin pukulannya menyambar-nyambar hingga
Lee Ing yang berada di situ menjadi terkejut dan cepat menyingkir agak jauh. Lo Sin maklum bahwa dalam hal
lweekang, mungkin lawan ini lebih tangguh darinya, maka ia tidak mau mencoba-coba, karena menghadapi
seorang lawan yang mempunyai tenaga lweekang yang seimbang atau bahkan lebih tangguh, adalah
berbahaya sekali untuk mengandalkan tenaga itu untuk mengadu jiwa.
Ia lalu mempergunakan kegesitannya yang berdasarkan ginkang yang tinggi, dalam hal ginkang atau ilmu
meringankan tubuh, ternyata ia masih menang setingkat. Tubuh Lo Sin berkelebat pergi datang hingga
merupakan burung walet hitam yang menyambar-nyambar dari segala jurusan. Ia tidak berlaku sungkan lagi
dan membalas setiap serangan Khu Mo In dengan gerak tipu yang hebat.
Kini terkejutlah Khu Mo In. Ketika untuk pertama kalinya Lo Sin menangkis, ia tahu bahwa dalam hal tenaga, ia
tak usah merasa kalah, maka ia masih memandang rendah sekali dan bertempur sambil tertawa mengejek.
Akan tetapi setelah Lo Sin mengeluarkan ginkangnya yang luar biasa, benar-benar Khu Mo In menjadi heran
dan kagum. Belum pernah ia bertemu de ngan seorang lawan yang memiliki ginkang yang demi kian sempurna.
Di daerah barat selama ia menjelajah dan malang-melintang di daerah Sungai Hoang-ho, belum pernah ia
dikalahkan dalam hal ginkang. Tak pernah disangkanya bahwa di daerah timur ia akan bertemu dengan
seorang lawan muda yang berhasil membuat ia menjadi bingung karena cepatnya gerakannya.
Ia lalu mengeluarkan ilmu kepandaiannya yang diandalkan, yakni ilmu gerakan Gajah Putih Mengamuk
semacam ilmu silat Tionghoa yang telah dikombinasikan dengan ilmu gumul dari India. Ia menggunakan kedua
tangannya untuk menyerang dengan tenaga lweekang sepenuhnya hingga kedua tangan itu dapat
diumpamakan dua buah gading yang amat kuat dan tajam, sedangkan tiap kali ia memukul, selalu pukulan itu
diakhiri dengan cengkeraman tangan yang seolah-olah merupakan belalai gajah dan celakalah lawan yang
dapat tertangkap oleh tangan yang kuat ini.
Serangan-serangan berbahaya ini masih ditambah lagi dengan tendangan kedua kaki yang tidak kalah
berbahayanya dan lihainya daripada kedua tangannya. Benar-benar ilmu silat ini merupakan serangan yang
amat berbahaya karena datangnya serangan bertubi-tubi yang kesemuanya disertai tenaga raksasa hingga tak
memberi kesempatan kepada lawan untuk membalas menyerang.
Selama ia mengembara di barat, apabila ia menghadapi lawan tangguh dan mengeluarkan ilmu silat ini, belum
pernah ada lawan yang kuat menghadapinya lebih lama daripada duapuluh jurus.
Akan tetapi ia sekarang menghadapi putera tunggal dari Ang Lian Lihiap pendekar wanita gagah perkasa yang
memiliki ilmu kepandaian ginkang tinggi sekali, dan putera tunggal dari Hwee-thian Kim-hong, seorang tokoh
besar yang memiliki kepandaian ilmu pedang tertinggi di kalangan persilatan. Lo Sin maklum akan
berbahayanya serangan-serangan lawannya ini, bahkan Lee Ing yang berdiri di bawah pohon, terkejut sekali
melihat gerakan Setan Kecil Hitam yang luar biasa dahsyatnya itu. Hingga ia diam-diam mengaku bahwa kalau
ia yang menghadapi serangan seperti itu, tentu ia takkan sanggup bertahan lebih lama kecuali
mempergunakan ginkang untuk melompat jauh.
Akan tetapi Lo Si n merasa malu kalau harus melompat pergi seakan-akan gentar menghadapi ilmu silat lawan
ini. Ia berlaku hati-hati sekali dan mempergunakan ginkangnya untuk melompat ke kanan kiri dan tangan
kakinya tiada hentinya bergerak mengimbangi gerakan lawan untuk menyampok pergi tiap pukulan dan
tendangan yang datang. Ia maklum bahwa karena tenaga orang ini besar sekali, maka perbuatannya ini amat berbahaya. Akan tetapi
Lo Sin mengandung suatu maksud, ia pikir bahwa Khu Mo In ini kelak akan merupakan lawan yang tangguh di
puncak Hoa-mo-san, maka dalam kesempatan ini, ia hendak mencoba dengan mengalami serangan dari ilmu
silatnya yang terlihai agar kelak kalau menghadapinya di puncak Hoa-mo-san, ia takkan mudah dikejutkan
oleh ilmu-ilmu silat itu!
Setelah bertempur limapuluh jurus lebih dan belum dapat juga merobohkan lawan, sebaliknya pemuda itu
dengan tenangnya mengelak, dari semua serangan dan memandang semua gerakannya dengan penuh
perhatian, tiba-tiba Khu Mo In menjadi sadar dan dapat menangkap maksud Lo Sin, maka ia segera
menghentikan serangannya dan melompat mundur.
"Hebat! Benar-benar kau gagah sekali, Ouw-yan-cu!"
"Mengapa tidak kau lanjutkan seranganmu, Hek-siauw-mo?" Lo Sin sengaja tersenyum mengejek.
"Ia memang licik!" tiba-tiba Lee Ing berseru dari bawah pohon. "Kalau diteruskan, pasti ia akan kalah maka
lebih baik ia mundur teratur daripada roboh tersungkur!"
Merah muka Khu Mo In mendengar sindiran-sindiran itu. Inilah yang dikehendaki oleh Lo Sin agar ia dapat
mengukur kepandaian orang ini.
"Ouw-yan-cu, aku mendengar bahwa kau adalah ahli pedang yang lihai, nah, sekarang cobalah kaulawan
pedangku!" Lo Sin dan Lee Ing merasa heran karena si kate kecil itu tidak kelihatan membawa pedang. Akan tetapi Khu
Mo In berseru keras dan mencabut sesuatu dari dalam bajunya dan ketika ia menggerakkan tangan kanannya,
benda yang digenggamnya itu barulah menjadi sebatang pedang yang amat tipis yang berkilau saking
tajamnya! Ini adalah semacam pedang yang sukar didapat. Pedang ini demikian tipisnya hingga dapat digulung dan
disimpan di dalam kantung baju! Baja yang tak dapat patah dan mudah digulung menunjukkan logam yang
masih murni dan baik, maka Lo Sin maklum bahwa pedang tipis itu tentulah berbahaya sekali.
"Nah, kaucobalah menahan serangan pedangku!" teriak Khu Mo In yang segera maju menyerang. Lo Sin
memperhatikan gerakan pedang dan ia menjadi kagum. Oleh karena tipisnya, maka ketika digerakkan dan
sengaja digetarkan dengan tenaga lweekang, pedang itu seakan-akan berubah menjadi lima atau enam
batang, yang menyerang dengan berbareng dan sukar sekali dilihat manakah pedang yang asli dan mana yang
hanya bayangan saja! Ia lalu mengangkat Kim-hong-kiam ke atas dan menangkis dan tiba-tiba ia berseru
kaget karena hampir saja ia mendapat celaka.
11.30. Tantangan Raja Jingar Khan
Ternyata ketika bertemu, pedang yang tipis itu dapat melengkung dan ujungnya langsung menusuk ke arah
lengan tangan yang memegang pedangnya! Baiknya Lo Sin berlaku hati-hati hingga ia masih dapat melihat
berkelebatnya ujung pedang yang tiba-tiba melipat dan menyerang tangannya itu dan keburu menarik pedang
dan tangannya. Dan ia merasa bersyukur dan lega bahwa dalam gebrakan pertama Khu Mo In telah memperlihat kan kelihaian
pedangnya ini hingga selanjutnya ia dapat berlaku hati- hati, karena kalau sedang dalam pertempuran matimatian, akal ini mungkin sekali akan dapat berhasil baik dan lengan tangannya akan terluka!
Pedang di tangan Khu Mo In ini ringan sekali dan karenanya maka gerakannya juga luar biasa cepatnya hingga
ketika si kate kecil itu memutar-mutarnya dengan cepat dalam penyerangannya, maka yang nampak hanyalah
sinar pedangnya yang berwarna putih bergulung-gulung bagaikan asap! Biarpun dengan tenaga lweekangnya
yang besar Khu Mo In dapat mengeluarkan tenaganya hingga pedang yang lemas itu dapat menjadi kaku dan
dapat dipergunakan untuk mengirim serangan menusuk, akan tetapi Khu Mo In maklum bahwa ia menghadapi
lawan yang juga memiliki tenaga yang tidak lemah, maka ia tidak mau menyerang dengan tusukan, akan
tetapi selalu menggunakan pedangnya untuk membabat dan pedang yang tajam pada kedua mukanya itu
menyambar-nyambar ganas sekali.
Lo Sin tidak berani berlaku sembrono dan ia lalu mengeluarkan ilmu pedang Hwie-sian-liong-kiam-sut bagian
mempertahankan diri, yakni gerakan Naga Sakti Mandi di Air. Gerakan ini sempurna sekali dan terkenal
merupakan benteng baja yang tak mudah ditembus, akan tetapi menghadapi ilmu pedang yang aneh dari Khu
Mo In, ia harus berlaku hati-hati sekali. Ia sengaja belum mau membalas karena memang ia hen dak mengukur
sampai di mana kelihaian lawan!
Bukan main kagumnya Khu Mo In menyaksikan kepandaian istimewa dari si Walet Hitam ini, maka ia lalu
berseru keras dan tiba-tiba ia menambahi serangan pedangnya dengan pukulan-pukulan tangan kiri yang
berdasarkan tenaga lweekang dan khikang! Kepalan kirinya tak usah mengenai tubuh lawan, karena anginnya
saja cukup melukai lawan yang tangguh!
Lee Ing yang berdiri menonton pertempuran, menjadi terkejut sekali karena melihat bahwa gerakan ilmu
pukulan tangan kiri ini hampir sama dengan gerakan pukulan Gin-san-ciang! Maka tak terasa pula ia berseru.
"Sin-ko, hati-hatilah terhadap tangan kirinya!"
Sebetulnya tak perlu lagi Lo Sin diperingatkan, karena pemuda yang memang berlaku hati-hati sekali ini telah
maklum akan kehebatan serangan lawan, maka tiba-tiba gerakan pedangnya dirobah dan kini ia memainkan
ilmu pedang bagian menyerang, yakni gerakan Naga Sakti Mandi di Api! Sinar pedangnya berkelebat hebat
sekali dan angin pedangnya mendatangkan hawa panas!
Angin pedang yang luar biasa ini otomatis dapat menolak serangan pukulan tangan kiri Khu Mo In hingga si
kate kecil ini merasa terkejut luar biasa! Tak terasa lagi ia berseru memuji dan kini dialah yang menjadi pihak
terserang karena menghadapi Hwie-sian-liong-kiam-sut bagian menyerang ini, ia sama sekali tidak diberi
kesempatan untuk menyerang lagi! Pedang Lo Sin bagaikan telah berubah menjadi seekor naga sakti yang
menyambar-nyambar dan menyemburkan hawa panas dari mulutnya!
Namun Khu Mo In benar-benar lihai sekali. Biarpun terdesak hebat namun ia tetap dapat mempertahankan
dirinya dengan memutar pedang tipisnya itu yang merupakan tembok baja yang teguh dan kuat. Juga tenaga
lweekangnya yang amat tinggi itu merupakan pertahanan yang sukar ditembus oleh Lo Sin. Menyaksikan
kehebatan ini, diam-diam Lo Sin merasa kagum sekali karena ia maklum bahwa lawan ini memiliki ilmu
kepandaian yang masih lebih tinggi dari ilmu kepandaian Bong Cu Sianjin tingkatnya!
Khu Mo In maklum bahwa kalau dilanjutkan, akhirnya ia akan kalah juga, maka ia memikir lebih baik
mengundurkan diri untuk lebih giat melatih diri mengadakan persiapan menghadapi musuh tangguh ini di
puncak Hoa-mo-san kelak! Maka ia lalu melompat mundur sambil berseru.
"Cukup Ouw-yan-cu! Kepandaianmu cukup memenuhi syarat dan mendatangkan kegembiraanku untuk kelak
ikut bertanding di puncak Hoa-mo-san!"
Melihat betapa si kate kecil itu kuat menghadapi serangan Lo Sin sampai hampir seratus jurus, maka Lee Ing
menjadi kagum sekali dan gadis ini tidak berani mengejeknya lagi.
Lo Sin hanya tersenyum saja dan tidak menjawab kata-kata Khu Mo In yang cepat melompat pergi
meninggalkan tempat itu. Lima orang pemburu yang tadi menyaksikan bagaimana Lo Sin dengan gagahnya membunuh ular siluman,
menjadi girang sekali dan beramai datang melihat bangkai ular. Akan tetapi ketika Lo Sin diserang oleh
seorang kate kecil, mereka merasa terkejut sekali. Apalagi ketika melihat betapa dua orang itu bertempur
sedemikian hebatnya hingga bagi mata mereka yang nampak hanyalah gulungan sinar pedang yang luar biasa,
maka mereka hanya berdiri berkumpul dan menonton dari tempat jauh.
Kini melihat bahwa orang kate lihai itu telah pergi, beramai-ramai mereka menghampiri Lo Sin dan
menjatuhkan diri berlutut di depan pemuda itu.
Lo Sin cepat-cepat menyuruh mereka itu bangun.
"Taihiap yang gagah perkasa sungguh membuat kami merasa kagum sekali dan berterima kasih. Ular jahat ini
sekarang telah terbunuh hingga kami dapat berburu di hutan ini tanpa khawatir lagi dan dengan terbunuhnya
siluman itu, berarti sakit hati kawan kami telah terbalas pula."
Lo Sin tersenyum dan mengucapkan kata-kata merendahkan diri. Kemudian ketika ia mengajak Lee Ing
melanjutkan perjalanan dan hendak mengembalikan kuda hitam itu kepada para pemburu, mereka menolak
keras dan berkata dengan suara memohon.
"Ta ihiap, biarlah kuda ini ji-wi pakai saja, karena pemiliknya telah tewas oleh ular siluman."
"Jangan begitu, kawan-kawan. Kami berdua melakukan pertolongan bukan untuk mengharapkan hadiah dan
Si Walet Hitam Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
kami melakukan dengan hati tulus ikhlas dan sukarela, karena memang sudah menjadi kewajiban setiap
manusia untuk menolong sesama hidup di dunia ini."
Mendengar ucapan itu, kelima orang pemburu itu menjadi terharu sekali, bahkan pemimpin pemburu itu sampai
mengalirkan air mata ketika ia berkata.
"Taihiap, ucapanmu tadi hanya menambah kagum dan tunduk kepada kami orang-orang bodoh dan kasar. Ji-wi
telah menolong kami, bahkan menolong seluruh penduduk di sekitar tempat ini. Ji-wi sudah pula membalaskan
sakit hati kawan kami dan sakit hati banyak kurban yang telah menjadi mangsa siluman ular. Kami berlima
tidak dapat membalas apa-apa untuk menyatakan terima kasih kami, maka biarlah kuda mendiang kawan
kami itu yang mewakili kami dan membantu sedikit kepada ji-wi di dalam perjalanan. Anggaplah kuda ini
sebagai kami sendiri yang ingin sekali membalas budi!"
Lo Sin dan Lee Ing terharu juga mendengar pernyataan orang-orang kasar tapi jujur dan polos hatinya ini.
Terpaksa mereka menerima kuda hitam itu dan menyatakan terima kasih. Kemudian mereka berdua lalu
melanjutkn perjalanan menuju ke utara.
"Y" Suku bangsa Turki setelah menyerbu dan menaklukkan suku bangsa Yujan lalu bergerak menembus tembok
besar dan menduduki beberapa puluh dusun dan kota di sebelah dalam tembok besar. Rakyat pedalaman
Tiongkok melakukan perlawanan hebat, akan tetapi oleh karena tentara negeri terlambat datangnya, maka
rakyat dapat dipukul mundur oleh para pemberontak dan pengacau itu. Banyak bangsa Han dibunuh, diculik
dan harta benda mereka habis dirampok oleh suku bangsa Turki.
Pemimpin para pemberontak ini bernama Jingar Khan yang selain pandai mengatur barisan dan pandai sekali
menunggang kuda, juga memiliki ilmu kepandaian silat Mongol yang amat tinggi. Selain ini, Jingar Khan juga
mempunyai banyak anak buah yang berkepandaian tinggi.
Dengan mudahnya, Jingar Khan memimpin barisannya menembus tembok besar dan menjajah makin dalam.
Beberapa kelompok pasukan negeri yang bertugas menjaga di utara, telah dihancurkannya dengan mudah.
Ribuan rakyat berbondong-bondong mengungsi ke selatan, melarikan diri dari serbuan pengacau yang ganas
dan kejam itu. Setelah para pengacau sudah maju jauh, barulah kaisar mengerahkan pasukan negeri untuk mengusir musuh.
Usaha pemerintah ini mendapat bantuan sepenuhnya dari para patriot yang gagah berani. Orang-orang gagah
dari seluruh pelosok, tanpa diminta, telah datang dan membantu dengan suka rela untuk melawan para
pemberontak yang merusak dan mencelakakan rakyat.
Ketika Lo Sin dan Lee Ing yang merantau menuju ke utara mendengar tentang kekejaman pengacau-pengacau
suku bangsa Turki itu, keduanya tidak mau tinggal diam dan cepat melarikan kuda menuju ke Lok-sin-chung di
mana pemberontak sedang mengamuk dan sedang terjadi pertempuran terus-menerus antara mereka dan
tentara negeri. Pada waktu itu, Lok-sin-chung menjadi pusat pertempuran dan kedua pihak mengerahkan selu ruh tenaga
mereka di tempat ini. Agaknya perebutan daerah inilah yang akan menentukan menang atau kalahnya pihak
pemberontak. Jingar Khan sendiri bahkan datang pula di daerah itu untuk memimpin sendiri pasukannya! Semua perwiranya
juga berkumpul di tempat itu untuk memperkuat pasukan Turki.
Sedangkan di pihak tentara negeri, yang memimpin adalah seorang panglima besar yang datang dari kota raja,
seorang ahli perang bernama Kwee Ong. Kwee-ciangkun ini selain pandai ilmu perang, juga bertenaga besar
dan ilmu silatnya cukup tinggi.
Oleh karena Kwee-ciangkun bersikap baik dan ramah terhadap para eng-hiong (orang-orang gagah) yang
datang membantu dengan sukarela, maka para eng-hiong itu amat menghargainya dan tunduk akan
perintahnya. Kwee-ciangkun lalu membagi-bagi tenaga orang-orang gagah ini untuk diperbantukan pada tiap
pasukan negeri, membantu pekerjaan kepala pasukan.
Pertempuran telah berjalan dua pekan lebih, kadang-kadang bertempur seru, kadang-kadang berhenti dan
saling menjaga. Berkat bantuan para orang gagah, maka selama diadakan pertempuran, tentara negeri berhasil
memukul mundur pihak pengacau.
Kedatangan Lo Sin dan Lee Ing disambut oleh Kwee-ciangkun dengan gembira dan girang sekali. Panglima tua
ini telah mendengar akan kegagahan si Walet Hitam, maka tentu saja ia menerima bantuan Lo Sin dan Lee Ing
dengan senang. Setelah bercakap-cakap dengan ramah-tamah, Lo Sin dan Lee Ing lalu mengundurkan diri dari
depan pembesar itu untuk melihat-lihat keadaan dan berkenalan dengan kawan-kawan dan perwira lain.
Ketika mereka sedang berjalan keluar dari markas besar Kwee-ciangkun, tiba-tiba terdengar suara keras
memanggil, "Ouw-yan-cu!"
Lo Sin dan Lee Ing cepat menengok dan mereka melihat seorang perwira yang gagah perkasa dan bertubuh
tinggi besar seperti raksasa sedang memandang mereka dengan wajah berseri.
"Can Kok In ciang-kun!" seru Lo Sin dengan gembira pula.
Dengan tindakan kaki lebar Kok In si perwira raksasa itu sambil tersenyum-senyum lalu menghampiri Lo Sin
dan Lee Ing dan memberi hormat dengan gagah cara militer!
"Bagus sekali kau datang juga, Ouw-yan-cu!" kata Kok In. "Dengan adanya bantuanmu di sini, sebentar saja
pengacau-pengacau itu akan kita pukul hancur. Dan terutama sekali, yang lebih baik lagi, dengan adanya kau
di sini, aku tidak usah pergi mencari-carimu lagi."
"Ada perlu apakah kau mencari-cariku, Can-ciangkun?"
Kok In tertawa. "Aku sudah bertemu dengan ibumu dan sudah menerima kehormatan dari pendekar wanita
itu, benar-benar ibumu luar biasa lihainya! Ak
an tetapi dengan kau aku masih belum mendapat kesempatan
mengukur tenaga!" Lo Sin tersenyum juga, dan berpikir bahwa perwira raksasa ini benar-benar jujur dan kasar. "Kalau tugas kita
telah selesai dengan baik, tiada salahnya kita main-main sebentar, Can-ciangkun," jawabnya singkat.
Ketika Lo Sin dan Lee Ing melanjutkan perjalanannya melihat-lihat keadaan, tak terduga sama sekali, mereka
bertemu dengan Kong Liang dan Mei Ling di tempat itu! Ternyata bahwa kedua saudara kembar ini dalam
perantauan mereka mencari Lo Sin atau Cin Han, telah mendengar pula tentang pemberontakan para pengacau
dan semangat kegagahan mereka membuat keduanya segera pergi ke situ untuk membantu usaha mengusir
para pengacau. Telah empat hari kedua saudara ini berada di situ dan mereka berjasa banyak dalam pertempuranpertempuran karena kegagahan mereka membuat setiap lawan yang menghadapi mereka roboh tak berdaya
atau lari tunggang-langgang!
Ketika dua saudara kembar ini melihat Lo Sin dan Lee Ing, bukan main girangnya hati mereka. Kong Liang
melompat dan memeluk pundak Lo Sin, sedangkan Mei Ling dan Lee Ing lalu saling menubruk dan saling peluk
sambil bertangis-tangisan! Mei Ling merasa terharu sekali ketika melihat Lee Ing menangis terisak-isak di
dadanya, dan diam-diam Mei Ling dan Kong Liang mengakui bahwa Lee Ing dan Lo Sin tepat sekali kalau
dijodohkan. Banyak sekali hal yang mereka bicarakan, akan tetapi sebagian besar peristiwa yang mereka alami telah
mereka ketahui. Ketika Mei Ling dan Kong Liang mendengar tentang kecurangan Tik Kong dan tentang
pemalsuan surat Ang Lian Lihiap hingga menimbulkan kesalah-pahaman dan persoalan yang ruwet itu, Kong
Liang dan Mei Ling merasa gemas dan marah sekali!
"Kalau penjahat busuk itu terjatuh ke tanganku, pasti aku takkan memberi ampun padanya!" kata Kong Liang
sambil mengepal tinju. Baik Kong Liang maupun Mei Ling, tidak meragukan lagi akan hubungan cinta kasih yang terjalin di hati Lo Sin
dan Lee Ing, dan hal ini mudah sekali dilihat dari sikap dan pandang mata kedua anak muda itu. Diam-diam
mereka merasa girang sekali dan berjanji kepada diri sendiri bahwa mereka akan membantu sedapat mungkin
untuk membela kedua orang ini dihadapan orang tua masing-masing.
Selain Mei Ling dan Kong Liang ternyata di situ masih terdapat beberapa orang gagah lain yang menjadi
pembantu suka rela. Diantara mereka itu, ada juga yang dikenal oleh Lo Sin, dan yang boleh dianggap
berkepandaian tinggi di antara mereka San-tung Siang-hiap (Sepasang Pendekar dari San-tung) bernama Lim
Pok dan Lim Cauw, seorang pendeta tosu bernama Souw Hong Kiat berjuluk Houw-san Lojin (Orang Tua dari
Houw-san), dan masih ada beberapa ora ng lagi.
Pada senja hari itu, kembali terjadi pertempuran hebat yang dimulai dari sebelah barat Lok-sin-chung. Agaknya
Jingar Khan mengerahkan tenaga barisannya karena yang datang menyerbu adalah pasukan yang besar
jumlahnya dan yang dipimpin para perwira yang gagah perkasa!
Lo Sin dan Lee Ing tidak mau ketinggalan. Bersama pendekar-pendekar lain, mereka maju menyerbu. Pedang
mereka bergerak dengan ganas dan mengamuk hebat mendatangkan kerugian besar di pihak musuh. Setelah
senja terganti malam yang gelap, pertempuran ditunda dan pihak pemberontak mengundurkan diri dengan
menderita banyak kerugian.
Semenjak serangan pada senja hari itu, selama tiga hari tidak ada pertempuran, hanya bentrokan-bentrokan
kecil di sana-sini tidak berarti. Agaknya pihak pemberontak mulai ragu-ragu karena maklum bahwa pihak
tentara negeri, mendapat bantuan-bantuan orang-orang gagah dan kedudukannya kuat sekali.
"Y" Pada hari ketiga, pagi-pagi sekali, seorang suku bangsa Turki yang menunggang kuda besar dan gagah,
memasuki Lok-sin-chung. Karena ia memegang bendera tanda utusan, maka tak ada yang mau
mengganggunya. Orang ini lalu dibawa menghadap kepada panglima Kwee, dikawal oleh beberapa orang
perwira dengan pedang terhunus di tangan, menjaga kalau kalau utusan musuh ini melakukan serangan gelap.
Utusan itu hanya menyerahkan sesampul surat kepada Kwee-ciangkun dan tanpa menanti jawaban, ia lalu
pergi lagi ke tempat pasukannya sendiri.
Setelah membaca surat yang dikirim oleh Jingar Khan ini Kwee-ciangkun lalu memanggil semua eng-hiong yang
membantu dengan suka rela hingga mereka merasa heran sekali. Belum pernah Kwee-ciangkun berlaku begini
sungguh-sungguh dan mengumpulkan mereka untuk merundingkan sesuatu yang agaknya penting sekali.
Setelah semua orang gagah berkumpul, Kwee-ciangkun mengeluarkan surat dari Jingar Khan dan berkata
dengan suaranya yang tenang dan besar.
"Cuwi Eng-hiong sekalian! Kami telah menerima sebuah surat dari Jingar Khan yang maksudnya merupakan
tantangan bertempur antara saudara sekalian melawan jago-jago dari bangsa Turki. Menurut isi surat Jingar
Khan, ia menuduh kita berlaku curang dengan mengajukan orang-orang yang berkepandaian untuk
menghadapi anak buah tentara yang tak pandai bersilat.
"Oleh karena itu, agar dapat diambil ketentuan siapa di antara mereka dan kita yang lebih pandai, besok pagipagi di sebelah barat hutan di luar dusun ini, ia menantang kita untuk melakukan pertempuran antara jagojago kita dan jago-jago mereka, pertempuran seorang lawan seorang dan bukan keroyokan! Bagaimana
pendapat saudara sekalian, terserah!"
Houw-san Lojin menjawab dengan suaranya yang tenang sekali. "Oleh karena Kwee-ciang kun yang menjadi
pemimpin di sini, maka menurut pendapat pinto, segala keputusan terserah di tangan Ciang-kun."
"Memang betul! Pendapat Souw Suhu ini," kata Kwee-ciangkun, "akan tetapi harus diingat bahwa tantangan
dari Jingar Khan ini semata-mata ditujukan kepada Cuwi sekalian. Adapun tugasku sebagai panglima hanyalah
memimpin barisanku menghadapi barisan pemberontak, sedangkan tantangan musuh sekarang ini bukanlah
merupakan perang antara barisan, akan tetapi lebih merupakan urusan pribadi yang terpisah daripada urusan
perang. Maka diterima atau tidaknya tantangan ini, tak lain saya hanya menyerahkan kepada Cuwi sendiri."
"Kwee-ciangkun," tiba-tiba Lo Sin berkata, "maafkan pendapatku yang bodoh karena sesungguhnya aku kurang
paham tentang siasat peperangan. Akan tetapi, tantangan Jingar Khan ini sedikitnya mendatangkan curiga
dalam hatiku. Apakah ini bukan merupakan siasat memancing harimau keluar dari gua" Bagaimana kalau dia
sengaja memancing para eng-hiong keluar dari Lok-sin-chung dan kemudian ia melakukan serangan besar di
sini pada saat kami sedang bertempur menghadapi jago-jago mereka?"
Mendengar uraian ini, semua orang menganggukkan kepala menyatakan setuju, sedangkan Kwee-ciangkun
sendiri memandang kepada Lo Sin dengan kagum.
"Pandangan taihiap ini menunjukkan bahwa kau tidak saja lihai dalam ilmu silat, akan tetapi juga memiliki
pandangan luas. Sesungguhnya, akupun telah mempunyai dugaan seperti itu. Akan tetapi, menurut
pendapatku, lebih baik kita penuhi tantangannya itu.
"Pertama kalau kita menolak, mereka tentu mempunyai alasan untuk menghina kita dan menganggap kita
tidak berani menghadapi jago-jago mereka.
"Kedua, untuk menantang Cuwi sekalian, tentu saja Jingar Khan akan mengajukan jago-jagonya, hingga
biarpun kami di sini cuwi tinggalkan, akan tetapi sebaiknya pihak mereka juga ditinggalkan jago-jago mereka
yang harus menghadapi cuwi.
Selain daripada itu, kami juga masih mempunyai perwira-perwira yang cukup boleh diandalkan."
Para eng-hiong itu kembali menyatakan setuju karena mereka maklum bahwa diantara para perwira memang
banyak terdapat ahli-ahli silat tinggi, seperti Can Kok In dan beberapa orang perwira lain lagi. Memang mereka
juga merasa malu dan rendah kalau sampai tantangan pibu dari Jingar Khan itu ditolak. Maka setelah
menyatakan persetujuan bulat untuk memenuhi tantangan itu, mereka lalu memilih pemimpin rombongan
yang hendak menghadapi jago-jago dari pihak Turki.
11.31. Pertarungan Jagoan Dua Negara
Banyak orang memilih Lo Sin atau Kong Liang yang berkepandaian tinggi, akan tetapi kedua orang muda ini
berkeras memilih Souw Hong Kiat, yakni Houw-san Lojin yang tertua diantara mereka dan yang lebih banyak
memiliki pengalaman. Demikianlah, pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali, rombongan orang gagah itu di bawah pimpinan Houwsan Lojin, berangkat menuju ke tempat yang ditentukan untuk mengadu kepandaian dengan pihak musuh.
Mereka ini dikawal oleh sepasukan tentara untuk menambah kegagahan dan bendera-bendera beraneka
warna yang dipegang oleh para anggauta tentara dan yang ditulisi dengan huruf?huruf besar.
"Orang-orang gagah pembasmi pemberontak"
itu berkibar-kibar dengan megahnya! Rombongan orang gagah itu terdiri dari Houw-san Lojin, Kong Liang, Mei
Ling, Lo Sin, Lee Ing, San-tung Siang-hiap, dan orang gagah lain, semuanya berjumlah sebelas orang.
Ketika mereka tiba di tempat terbuka dekat hutan yang ditentukan itu, benar saja, di situ telah menanti
rombongan musuh dengan gagahnya. Di depan sekali kelihatan Jingar Khan sendiri, duduk di atas punggung
kuda dengan sikap dan pakaian perang yang gagah.
Pemimpin pemberontak ini berusia kurang lebih empatpuluh tahun, bertubuh tinggi kurus dan bersikap gagah
sekali. Sepasang matanya yang kebiru-biruan itu mengeluarkan sinar tajam. Di kanan kirinya, berdiri dengan
kedua kaki terpentang ke kanan kiri dan senjata golok dan lain-lain di pinggang, terdapat belasan orang yang
melihat sikap mereka dapat diduga bahwa mereka inilah jago-jago mereka itu!
Juga di belakang mereka berdiri pasukan tentara Turki yang membawa bendera dan diantara bendera-bendera
itu ada yang ditulisi "Jago-jago pilihan dari Barisan Langit!"
Mereka ini memang menyebut barisan sendiri sebagai barisan langit!
Setelah rombongan Houw-san Lojin tiba di depan mereka, Jingar Khan menyapa para eng-hiong itu dengan
sinar matanya, kemudian ia bertanya dalam bahasa Han yang cukup lancar. "Siapa pemimpin kalian?"
Houw-san Lojin melangkah maju dan menjawab tenang. "Pintolah yang menerima kehormatan menjadi ketua
kawan-kawan ini!" Sekali lagi mata Jingar Khan menyapu ke arah para eng-hiong yang berdiri dengan gagahnya dihadapannya itu.
Agak lama ia menatap wajah Kong Liang, Mei Ling, Lo Sin dan Lee Ing. Terutama sekali ia memandang Lo Sin
dengan penuh perhatian. Agaknya ia telah mendapat keterangan tentang semua pendekar yang berdiri dihadapannya dan telah
mendengar pula tentang sepak terjang keempat anak muda itu. Kemudian ia kelihatan girang dan puas, lalu ia
berkata lagi kepada Houw-san Lojin.
"Oleh karena kami melihat bahwa Kwee-ciangkun sendiri tidak hadir, maka sudah sepatutnya kalau kami
mengundurkan diri pula dan mengangkat seorang wakil untuk mengepalai rombongan jago ini!"
Jingar Khan lalu menunjuk seorang bangsa Turki yang bertubuh gemuk sekali hingga tubuhnya nampak bulat.
"Kaulah yang kuangkat menjadi pemimpin!" Orang itu lalu menjatuhkan diri berlutut dengan penuh hormat.
Setelah itu, Jingar Khan menarik kendali kudanya dan mengundurkan diri. Berdebarlah hati para eng-hiong,
karena timbul dugaan macam-macam pada pikiran mereka. Jingar Khan itu jelas kelihatan amat cerdik dan
berbahaya sekali, maka mereka tak dapat menduga apa yang dilakukan oleh pemimpin pemberontak itu.
Pemimpin jago-jago Turki yang dipilih Jingar Khan ini adalah seorang yang berwatak sombong sekali. Ia adalah
seorang bangsa Turki barat yang bernama Hwa Yung dan menjadi seorang diantara tiga orang jago terbesar
dalam barisan Turki. Dua orang gagah lain ialah Thai-yong dan Kinaka. Yang lain-lain adalah jago-jago yang
ilmu kepandaiannya cukup tinggi, akan tetapi masih berada di bawah tingkat mereka.
"Pendeta tua!" katanya kepada Houw-san Lojin, "karena pertandingan ini dilakukan seorang lawan seorang dan
di pihakmu ada sebelas orang, maka akupun akan mengeluarkan sebelas orang jagoku. Kita hitung saja,
apabila di dalam sebelas kali pertempuran ini pihakku yang menang lebih banyak, maka pihakmu dianggap
kalah dan demikian sebaliknya. Tidak boleh diadakan pengeroyokan atau bermain curang, dan seorang jago
hanya boleh maju satu kali saja!"
"Baiklah, sobat," kata Houw-san Lojin dengan tenang. "Majukanlah jagomu yang pertama!"
Harus diketahui bahwa dalam pertandingan ini, pihak Turki telah mendapat keuntungan besar, yakni mereka
telah tahu siapa yang tangguh diantara para jago jago Han karena mereka telah memperhatikan dan mencatat
sepak terjang para jago-jago ini, sedangkan di pihak Houw-san Lojin, tidak ada yang mengenal atau tahu akan
tingkat kepandaian mereka itu.
Hwa Yung si gemuk itu lalu mengajukan seorang jagonya yang bertubuh tinggi sekali tetapi kurus hingga
seperti rangka hidup. Houw-san Lojin lalu mengajukan seorang pendekar yang bernama Tan Kong. Keduanya
lalu bertempur dengan tangan kesong dan ternyata bahwa pihak lawan memiliki ilmu berkelahi dari ilmu silat
Mongol, yakni yang mengutamakan gerakan membanting dan mencengkeram.
Sebenarnya untuk menghadapi ilmu silat seperti ini, orang harus menjaga diri dan berusaha jangan berkelahi
secara dekat, akan tetapi mempergunakan kecepatan dan kegesitan untuk menyerang dan menjauhkan diri
agar jangan sampai tertangkap. Akan tetapi, Tan Kong terlalu memandang rendah lawannya oleh karena baru
beberapa jurus saja ia telah berhasil memukul pundak lawan ini hingga roboh terguling-guling.
Akan tetapi, ternyata bahwa tubuh si tinggi kurus itu kuat sekali. Begitu jatuh, ia terus melompat dan berseru
keras lalu menubruk dan menyerang secara membabi buta.
Tan Kong menangkis dengan lengannya dan inilah kesalahannya. Lengan kanannya kena ditangkap dan
sebelum ia dapat menarik lengan itu, lawannya telah me
nggunakan gerakan cepat dan tak terduga, begitu
tubuhnya memutar dan membungkuk sambil menarik lengan Tan Kong, tidak ampun lagi Tan Kong kena
terbanting keras sekali hingga tidak dapat bangun lagi!
Sorak sorai riuh rendah terdengar pecah di atas para tentara Turki yang berdiri menonton di satu pihak,
sedangkan di pihak tentara Han terdengar keluhan-keluhan kecewa.
Biarpun mendapat kekalahan dalam pertandingan pertama, namun hal ini menjadi pengala man baik bagi para
eng-hiong yang lainnya. Kini mereka sedikitnya telah mengetahui di mana letak kelihaian ilmu silat para lawan
mereka. Jago kedua maju dan Houw-san Lojin juga mengajukan jago kedua.
Mereka berdua kini mempergunakan senjata golok dan bertempur dengan hebat! Akan tetapi, setelah
bertempur tigapuluh jurus lebih, kembali jago pihak Han kena terbacok pundaknya dan roboh mandi darah.
Terdengar lagi sorakan hebat dan wajah Hwa Yung berseri-seri gembira, sebaliknya pihak Houw-san Lojin
nampak terkejut sekali. "Mengapa Totiang mengajukan kawan-kawan yang paling lemah lebih dulu?" bisik Lo Sin menegur Houw-san
Lojin. "Kekalahan-kekalahan melemahkan semangat kawan-kawan lain."
Akan tetapi Houw-san Lojin hanya tersenyum. "Baru dua kali kalah, tidak apa."
Ketika jago ketiga dari pihak lawan maju, kembali Houw-san Lojin mengajukan jago ketiga, akan tetapi kali ini
ia menyuruh Lim Pok, seorang diantara San-tung Siang-kiap untuk menghadapi lawan. Lim Pok yang sudah
merasa gatal tangan itu merasa gembira sekali dan ia segera melompat maju. Akan tetapi, baru sepuluh jurus
saja, dengan mudah Lim Pok telah berhasil merobohkan lawannya dengan sebuah tendangan kilat! Lim Pok
bersungut-sungut dan ia merasa tidak puas sekali.
"Curang, curang!" teriaknya sambil menuding ke arah Hwa Yung yang berdiri dengan senyum mengejek. "Kau
mengajukan seekor cacing tanah untuk melawanku!"
"Seorang sekali sudah cukup!" kata Hwa Yung memperingatkan hingga Lim Pok makin marah dan hendak
maju menyerang Hwa Yung, akan tetapi Houw-san Lojin membentaknya hingga terpaksa ia melompat mundur
dengan mendongkol sekali.
Memang, orang yang menjadi lawannya tadi berkepandaian biasa saja dan jauh lebih rendah daripada dua
orang yang maju lebih dulu. Pihak Houw-san Lojin maklum pula akan kelicikan ini dan mereka tahu bahwa
Hwa Yung sengaja memutarbalikkan kedudukan jago-jagonya untuk mencari kemenangan!
Untuk menghemat tenaga yang boleh diandalkan, maka Houw-san Lojin mengajukan jago-jago yang lebih
Si Walet Hitam Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
rendah tingkat kepandaiannya dan ternyata kedua jagonya yang lain telah dikalahkan pula! Bahkan seorang
diantara jagonya telah terpukul binasa! Keadaan mereka kini menjadi empat satu untuk kemenangan pihak
Turki Tentara Turki bersorak girang sekali karena dua kali lagi saja mendapat kemenangan berarti bahwa pihak
mereka akan menang! Pertandingan kelima dimulai dan Houw-san Lojin kini mengajukan Mei Ling sebagai jagonya! Di pihak nampak
ada keributan karena agaknya para jago itu berebut untuk diperbolehkan menghadapi nona yang cantik manis
ini, akan tetapi mereka terpaksa tunduk terhadap keputusan Hwa Yung yang mengajukan seorang jagonya
yang lihai, yakni adik seperguruannya sendiri bernama Thai Yong, seorang laki-laki pendek berusia tigapuluh
tahun lebih dan sikapnya yang tenang dan pendiam itu membuat Mei Ling tidak berani memandang rendah
kepadanya. Mei Ling tak mau berlaku sungkan lagi, maka setelah meloncat maju ia lalu mencabut pedangnya yang tajam.
Tadinya Thai Yong bermaksud hendak berkelahi dengan tangan kosong dan mengandalkan ilmunya yang lihai,
yakni semacam Houw-jiauw-kang atau Ilmu Cengkeraman Harimau yang ganas, akan tetapi melihat bahwa
gadis itu mencabut pedang, ia yang telah mendengar akan kelihaian Mei Ling, lalu mengambil senjatanya,
yakni sebatang tombak yang besar dan berat.
Mei Ling lalu maju dan mendahului menyerang yang dapat ditangkis dengan baik oleh tombak Thai Yong.
Keduanya lalu bertempur seru. Akan tetapi, ilmu ginkang Mei Ling ternyata jauh lebih tinggi daripada lawannya
hingga sebentar saja tubuh gadis ini dengan lincahnya menyambar bagaikan seekor kupu-kupu berterbangan
mengitari bunga. Thai Yong terkejut sekali dan mencoba untuk memutar-mutar tombaknya menjaga diri, akan tetapi ternyata
Mei Ling terlalu gesit baginya. Setelah menyerang bertubi-tubi dengan gerakan cepat dan lincah hingga Thai
Yong merasa bingung dan pening, akhirnya ujung pedang Mei Ling berhasil membabat lengan Thai Yong hingga
lengan kanan lawannya ini terbabat putus dan dengan teriakan mengerikan Thai Yong roboh mandi darah dan
pingsan! Sorak-sorai terdengar di pihak tentara Han dan tubuh Thai Yong bersama potongan lengan tangannya lalu
diangkat oleh kawan-kawannya.
Kekalahan ini membuat keadaan menjadi empat dua dan Hwa Yung menjadi marah sekali. Di pihaknya tinggal
dua orang lagi yang boleh diandalkan, yakni dia sendiri dan Kinaka. Karena di pihaknya telah mendapat
kemenangan empat kali, maka ia mengharapkan untuk mendapat dua buah kemenangan lagi, yakni dia sendiri
dan Kinaka, maka ia mulai memutar otak.
Lima pertandingan lagi harus diadakan dan ketika pihak Han keluar Lee Ing sebagai jago, ia lalu mengeluarkan
Kinaka. Ia menganggap kepandaian Lee Ing tentu takkan lebih tinggi dari kepandaian Mei Ling, maka oleh
karena ia percaya akan ketangguhan Kinaka, ia sengaja menggunakan saat ini untuk memperoleh sebuah
kemenangan lagi. Lee Ing mencabut pedangnya dan ketika Kinaka mengeluarkan senjatanya. Lo Sin diam-diam merasa khawatir
sekali. Kinaka yang bertubuh tinggi besar itu ternyata bersenjata cambuk panjang dan besar, dan cambuk itu
penuh dipasangi duri-duri yang kehitam-hitaman, agaknya mengandung racun.
Lo Sin merasa menyesal se
kali mengapa justeru Lee Ing yang harus menghadapi lawan tangguh ini dan
dengan hati berdebar ia memandang ke arah kekasihnya. Akan tetapi, Lee Ing nampak tenang-tenang saja.
dan memegang pedang yang dilintangkan di dadanya dengan sikap gagah!
Setelah memandang lawannya dengan mata tajam, Kinaka lalu berseru keras, memutar-mutar cambuk yang
mengerikan itu di atas kepala, lalu menerjang maju! Lee Ing menggunakan kegesitan tubuhnya untuk
mengelak dan balas menyerang. tiba-tiba saja pedang gadis itu berkelebat dengan hebatnya karena ia telah
mempergunakan Hwie-sian-liong-kiam-sut yang belum lama dipelajarinya dari Lo Sin!
Melihat permainan pedang ini, Kong Liang dan Mei Ling terkejut sekali dan mereka lalu memandang kepada Lo
Sin, akan tetapi pemuda ini hanya tersenyum saja dan memperhatikan permainan kekasihnya dengan penuh
harapan. Ia melihat betapa Kinaka dapat dibikin bingung oleh gerakan pedang Lee Ing yang selain cepat dan
ganas, juga mengandung hawa panas, walaupun tidak sehebat permainan Lo Sin karena gadis itu belum
paham benar. Lo Sin merasa khawatir melihat betapa daya serang Lee Ing masih jauh daripada sempurna, hingga Kinaka
dapat bertahan dengan baiknya bahkan mengirim serangan balasan yang berbahaya. Tidak usah terkena
pukulan cambuk dengan hebat, baru sebuah duri cambuk saja apabila mengenai tubuh Lee Ing, maka gadis itu
pasti akan kalah karena pengaruh racun!
Kinaka agaknya juga dapat menduga bahwa ilmu pedang gadis ini walaupun luar biasa sekali, namun gadis itu
belum matang benar permainannya, maka dengan sabar ia hanya memutar cambuknya untuk membela diri,
menanti sampai gadis itu menghabiskan permainannya sehingga menjadi bingung sendiri. Oleh karena ini,
maka berpuluh jurus lebih telah lewat tanpa ada yang kalah, dan benar saja, Lee Ing mulai merasa bingung
karena ternyata bahwa ilmu pedang yang diandalkannya itu ternyata tidak mampu mengalahkan lawannya
yang tangguh ini! Ia lalu merobah gerakan pedangnya dan kini mainkan ilmu pedang warisan ayahnya yang juga hebat sekali
karena ia telah melatih ilmu ini dengan baiknya! Namun, Kinaka benar-benar lihai. Ia kini tidak hanya
menangkis saja, akan tetapi mulai menyerang dengan hebat bagaikan seekor harimau liar mengamuk!
Lee Ing mulai terdesak mundur oleh hebatnya sambaran cambuk itu dan keadaannya benar-benar berbahaya.
"Air!" tiba-tiba Lo Sin berseru dan mendengar ini, Lee Ing lalu mengubah lagi permainan pedangnya dan kini
kembali ia menggunakan ilmu pedang Hwie-sian-liong-kiam-sut bagian membela diri, yakni Naga Sakti Mandi di
Air! Benar saja, setelah mainkan ilmu pedang ini, ia dapat menahan serangan cambuk lawan dan biarpun masih
terdesak hebat, namun ia tidak usah mempertahankan diri sambil mundur!
Kinaka yang tadinya telah merasa girang karena yakin bahwa pasti akan dapat segera merobohkan lawannya,
tiba-tiba merasa seperti menghadapi benteng baja yang kuat ketika gadis itu merobah gerakan pedangnya!
Biarpun untuk sementara waktu Lee Ing terlepas dari bahaya, namun sampai berapa lama ia dapat bertahan"
Keringatnya mulai mengucur dan gerakan pedangnya menjadi lemah.
Lo Sin merasa khawatir sekali dan ia mengasah otak bagaimana untuk menolong kekasihnya itu. Ia tidak
berani dan tidak mau berlaku curang dengan turun tangan membantu, akan tetapi melihat keadaan Lee Ing
yang terkurung hebat oleh duri-duri cambuk yang berbahaya itu, ia merasa gelisah sekali. Tiba-tiba ia teringat
akan sesuatu dan cepat ia berseru lagi.
"Gin-san-ciang!"
Lee Ing memang sedang berpikir untuk membalas serangan lawan dengan Gin-san-ciang, maka mendengar
anjuran kekasihnya ini ia merasa girang sekali. Ia sengaja memperlambat permainan pedangnya. Sejak tadi ia
tahu bahwa apabila pedangnya sampai terlibat oleh cambuk lawan, maka pedang itu akan kena dirampas dan
ia selalu menjaga dengan hati-hati sekali agar pedangnya jangan sampai terlibat cambuk.
Akan tetapi, setelah teringat akan Gin-san-ciang, yakni kepandaiannya memukul dengan ilmu itu, ia sengaja
memperlambat gerakan pedangnya hingga Kinaka yang menyangka bahwa ia telah lelah, dengan cepat lalu
membuat gerakan cepat dan tahu-tahu ujung cambuknya telah melilit pedang Lee Ing bagaikan ular!
Lee Ing sengaja membetot dengan keras dan untuk sesaat mereka saling betot. Tiba-tiba Lee Ing melepaskan
gagang pedang dari tangan kanannya dan dengan bentakan nyaring sekali ia merendahkan diri dan memukul
dengan tangan kirinya dan mengerahkan seluruh tenaga Gin-san-ciang yang telah dipelajarinya!
Berbareng dengan terbetotnya pedang Lee Ing dan bentakan gadis itu, Kinaka memekik keras sekali dan
tubuhnya terlempar jauh lalu roboh dan bergulingan hingga duri-duri itu menusuk seluruh tubuhnya! Ia masih
memekik ngeri untuk beberapa kali, kemudian ia rebah tak berkutik dan nyawanya telah melayang
meninggalkan badannya! Pukulan Gin-san-ciang yang tepat mengenai dadanya itu sebetulnya tidak sampai
membinasakan karena tubuhnya telah memiliki kekebalan, akan tetapi tusukan banyak duri berbisa dari
cambuknya yang membuat ia tewas seketika.
Lee Ing cepat menjemput pedangnya dan menghampiri Lo Sin dengan wajah pucat. Dengan girang Lo Sin
memegang tangan kekasihnya yang memandangnya dengan penuh perasaan terima kasih.
Hwa Yung marah sekali melihat bahwa kawannya yang diandalkan telah roboh binasa. Kemudian berturutturut jagonya roboh oleh Kong Liang dan Lim Ciauw hingga keadaan menjadi empat lima untuk kekalahannya!
Ia menjadi tidak sabar lagi dan meloncat maju!
Majunya ini disambut oleh Lo Sin sendiri, akan tetapi berbareng dengan majunya pemimpin rombongan jago
Turki itu, tiba-tiba seluruh tentara Turki yang tadinya hanya berdiri menonton, lalu menyerbu hebat! Inilah
kecurangan Jingar Khan yang sengaja memancing l
awan untuk kemudian dikeroyok! Jumlah tentara Turki jauh
lebih besar daripada jumlah tentara pengawal rombongan itu.
"Pengecut yang curang!" Lim Pok dan Lim Ciauw membentak dan pertempuran hebat terjadi dengan ramainya.
Lo Sin mencabut pedang dan mendesak Hwa Yung dengan hebat sekali. Si gemuk itu hanya dapat bertahan
selama tigapuluh jurus saja, dan akhirnya ia roboh dengan paha tertusuk pedang! Lo Sin lalu mengamuk
membantu kawan-kawannya yang dikepung dan dikeroyok. Tubuh lawan bergelimpangan terkena senjata
para eng-hiong itu, tiba-tiba Lo Sin teringat, lalu berteriak.
"Hayo kita kembali! Kembali ke Lok-sin-chung!"
Kawan-kawannya mengerti maksudnya dan setelah mengamuk hebat sehingga para pengeroyok mundur
dengan jerih, mereka lalu melarikan diri kembali ke Lok-sin-chung dan benar saja. Dari jauh mereka sudah
mendengar suara perang yang sedang berlangsung dengan hebatnya!
Kalau saja mereka tidak lekas kembali, entah bagaimana dengan nasib Lok-sin-chung! Akan tetapi ketika
mereka ikut menyerbu, mereka melihat bahwa selain para perwira yang melawan dengan gagah berani di
bawah pimpinan Kwee-ciangkun dan Can Kok In yang mengamuk bagaikan seorang raksasa keluar dari gua, di
situ terdapat seorang gagah luar biasa yang mengamuk lebih hebat lagi daripada si raksasa itu.
Ketika mereka melihat, ternyata bahwa yang mengamuk itu adalah seorang pemuda yang tampan, bertubuh
tegap dan berpakaian petani. Ilmu silatnya benar-benar lihai sekali dan dengan kedua tangannya ia
menangkap-nangkapi lawan dan melempar-lemparkan ke kanan kiri seperti melempar ayam saja!
"Yap Bun Gai!" teriak Mei Ling dan Kong Liang hampir berbareng.
Mendengar namanya disebut orang, Bun Gai berpaling dan mukanya tiba-tiba berubah merah dan kedua
matanya bersinar dan berseri ketika ia melihat Mei Ling.
"Song-siocia!" katanya perlahan.
Karena girangnya, Mei Ling tanpa disadarinya lalu berlari menuju ke dekat pemuda itu dan segera
membantunya melawan musuh! Kong Liang tersenyum dan bersama Lo Sin dan Lee Ing ia juga segera
menyerbu musuh hingga sebentar saja pihak lawan menjadi kacau balau karena datangnya bantuan yang
hebat dan lihai di pihak lawan ini!
Setengah hari pertempuran berlangsung dan akhirnya tentara Turki dapat dihancurkan dan dipukul mundur.
Jingar Khan melarikan diri beserta sisa anak buahnya, meninggalkan banyak sekali tentara yang tewas.
Dengan gembira dan terharu semua orang mengerumuni Can Kok In, perwira raksasa yang dalam amukannya
telah terkena anak panah yang menyambar tepat pada ulu hatinya! Raksasa ini rebah tak berdaya akan tetapi
biarpun ia belum tewas, tak sepatahpun keluar keluhan dari mulutnya. Ketika ia melihat Lo Sin berlutut di
dekatnya, ia memandang dan tersenyum dengan bibirnya yang mengalirkan darah.
11.32. Kemelut Dua Keluarga Pendekar
"Ouw-yan-cu?" sayang?" kita belum mengukur tenaga?"" kemudian tewaslah perwira yang gagah berani ini,
meninggalkan kesan yang mendalam dan mengharukan di hati Lo Sin.
Kwee-ciangkun menghaturkan terima kasih dengan kata-kata yang mengharukan kepada semua eng-hiong
yang telah membantu pemerintah untuk mengusir para pengacau dan semua orang gagah itu lalu pulang ke
tempat masing-masing. Lo Sin, Lee Ing, Kong Liang, Mei Ling dan Bun Gai berdiri di luar kampung Lok-sin-chung. Lo Sin berkata kepada
mereka. "Kalau tidak salah, tak lama lagi kita harus naik ke Hoa-mo-san untuk menghadapi Bong Cu dan kawankawannya yang jahat! Kita harus bersiap sedia."
Tiba-tiba Mei Ling menjadi pucat dan Kong Liang juga kelihatan tidak enak sekali. Sedangkan Yap Bun Gai yang
mendengar ini, buru-buru berkata dengan muka merah. "Maaf, maaf, terpaksa siauwte yang rendah harus
pulang lebih dulu. Song-siocia, terima kasih atas pertolonganmu dulu itu. Takkan terlupa olehku!" Pemuda ini lalu
menjura dan membalikkan tubuh terus lari dengan cepat.
Mei Ling melangkah maju dengan kedua tangan digerakkan ke depan seakan-akan hendak menahan pemuda
itu, akan tetapi niat ini diurungkan dan ia lalu bertindak perlahan menjauhi kawan-kawannya dan duduk di
bawah sebatang pohon, nampaknya sedih sekali.
Lo Sin merasa heran sekali karena ia belum diperkenalkan dengan Yap Bun Gai yang disangkanya kawan Kong
Liang dan Mei Ling. "Lo Sin, kau tidak tahu. Pemuda itu adalah murid Bong Cu Sianjin!"
Bukan main terkejut dan herannya Lo Sin mendengar ini dan ketika Kong Liang menuturkan semua
pengalaman dan kebaikan hati pemuda pihak musuh itu serta menyindirkan keadaan Yap Bun Gai serta
hubungannya dengan Mei Ling.
Lo Sin merasa menyesal sekali. Ingin ia memukul mulut sendiri karena tanpa disengaja ia telah menyinggung
hati Bun Gai dan membuat Mei Ling berduka. Akan tetapi, apakah yang hendak dikatakan"
Pada saat itu, dari jauh nampak bayangan dua orang yang datang dengan cepat sekali dan ketika mereka itu
sudah tiba dekat, semua orang merasa terkejut dan girang karena yang datang ini bukan lain ialah Ang Lian
Lihiap dan Hwee-thian Kim-hong!
"Ayah?"! Ibu?"!" Lo Sin berseru girang dan segera menyambut mereka.
"Sin-ji! Bagus sekali perbuatanmu! Kau mencemarkan nama baik, orang tuamu!"
Mendengar ucapan ibunya ini, Lo Sin sudah maklum bahwa yang dimaksudkan tentulah perhubungannya
dengan Lee Ing, maka tanpa ragu-ragu lagi ia lalu membalikkan diri, berlari ke arah Lee Ing lalu memegang
tangan gadis itu. Kemudian ia menarik tangan Lee Ing dan diajak berlari menghampiri Ang Lian Lihiap dan
Hwee-thian Kim-hong yang berdiri dengan marah.
Setelah berhadapan dengan kedua orang tuanya dengan Lee Ing di sebelahnya sambil bergandengan tangan,
Lo Sin lalu berkata dengan suara nyaring dan tetap.
"Ibu?" ayah...... anak berdua telah bersumpah lebih baik mati daripada berpisah. Kalau ayah dan ibu hendak
berkeras, bunuhlah kami berdua, lebih baik mati bersama daripada hidup berpisah!" lalu Lo Sin menjatuhkan diri
berlutut, juga Lee Ing lalu berlutut sambil menangis.
"Sin-ji, kau dianggap pengacau rumah tangga orang, dituduh seorang laki-laki mata keranjang yang memikat
anak gadis orang! Tidak malukah kau" Nyo Tiang Pek telah menghina kita sesuka hatinya, dan kau masih
merendahkan diri dengan membawa lari anak gadisnya" Di manakah harga dirimu" Apakah tidak ada lain
gadis selain anak perempuan Nyo Tiang Pek?" Dalam marah dan keangkuhannya Ang Lian Lihiap lupa diri dan
memarahi anaknya. Mendengar ucapan ini, pucatlah wajah Lee Ing dan ia merasa seakan-akan mukanya kena tampar! Dengan
isak tangis mengharukan gadis ini tiba-tiba melompat berdiri dan berlari cepat meninggalkan tempat itu sambil
menangis! Lo Sin terkejut sekali dan iapun melompat dan mengejar sambil berseru memanggil-manggil, "Ing-moi?" Ingmoi?" !" Akan tetapi Lee Ing terus berlari cepat tanpa menoleh lagi. Lo Sin juga terus mengejar secepatnya
sambil memanggil?manggil. Ia tidak perdulikan suara ibunya yang memanggil namanya.
Ang Lian Lihiap marah sekali dan hendak mengejar, akan tetapi tiba-tiba suaminya memegang tangannya.
"Sabarlah dan jangan kau hancurkan hati kedua anak muda yang bernasib malang itu."
Mei Ling dan Kong Liang juga menyabarkan hati Ang Lian Lihiap, bahkan Mei Ling lalu berkata, "Cici, biarpun
Nyo twako memang benar terlampau keras hati dan terburu nafsu, akan tetapi kau tidak tahu, sebetulnya Nyotwako telah kena tipu yang curang sekali!"
Mei Ling lalu menuturkan tentang surat dari Cin Han untuk Tiang Pek yang dipalsukan oleh Tik Kong
sebagaimana yang ia dengar dari Lee Ing dan Lo Sin. Pucatlah wajah Ang Lian Lihiap dan Hwee-thian Kim-hong
mendengar penuturan ini karena mereka amat marah kepada Lui Tik Kong. Kedua sinar mata mereka seakanakan mengeluarkan cahaya berapi.
"Pantas, pantas! Pantas sekali Nyo-twako tidak menjawab lamaran kita," kata Cin Han. "Bangsat rendah itu
telah berlaku keji sekali!"
"Kasihan Lee Ing?"" kata Ang Lian Lihiap sambil menghela napas dan ia merasa betapa malang nasib anak
gadis yang baru saja menerima tikaman batin dari ucapannya terhadap Lo Sin itu dan diam-diam Ang Lian
Lihiap merasa menyesal. "Bagaimanapun juga kita harus pergi menjumpai Nyo-twako untuk merundingkan persoalan ini. Ia harus
diinsyafkan akan tipu daya curang dari pemuda keparat itu."
Demikianlah, Cin Han dan Lian Hwa, dengan diikuti oleh Mei Ling dan Kong Liang, segera menuju ke Bong-keesan untuk mencari Nyo Tiang Pek.
"Y" Sementara itu, dengan hati hancur dan perasaan terluka, Lee Ing melarikan diri secepatnya. Ketika ia
mendengar betapa suara panggilan Lo Sin makin dekat mengejarnya, gadis ini tiba-tiba lalu menghunus
pedangnya dan menggerakkan pedang itu untuk ditabaskan ke arah leher sendiri. Lo Sin melihat gerakan ini
akan tetapi oleh karena jarak antara dia dan Lee Ing masih jauh, ia tidak berdaya, hanya memekik ngeri.
"Ing-moi?"!!"
Tiba-tiba bayangan seorang laki-laki yang cepat sekali gerakannya melompat turun dari atas pohon dan tahutahu pedang di tangan Lee Ing telah terampas. Bayangan itu adalah Pat-chiu Koai-hiap Oei Gan, pendekar aneh
guru Kim-gan-eng Bwee Hwa yang datang tepat pada waktunya itu.
Lo Sin tidak sempat menghaturkan terima kasih kepada orang tua itu, akan tetapi ia lalu menubruk Lee Ing
sambil menangis dan berkata.
"Ing-moi?" Ing-moi?" kau ampunkanlah ibuku, aku?" aku takkan dapat hidup lebih lama lagi kalau kau
mengambil keputusan pendek. Ing-moi, tidak kasihankah kau kepadaku?"" Lee Ing menjatuhkan kepala di
pundak Lo Sin dan menangis tersedu-sedu.
Terdengar elahan napas Pat-chiu Koai-hiap. "Hmm, terbuktilah ucapan orang-orang tua bahwa cinta kasih orang
muda lebih banyak mendatangkan air mata daripada senyum. Anak-anak muda, berlakulah gagah
sebagaimana layaknya pendekar yang memiliki kepandaian. Apakah terhadap derita hidup yang demikian
kecilnya saja kalian sudah tunduk dan menerima kalah" Tidak ada urusan di dunia ini yang tidak dapat
dibereskan!" Lee Ing dan Lo Sin mengangkat muka dan ketika melihat orang tua itu, Lee Ing lalu menjura dan memberi
hormat. Ia mengenali guru Bwee Hwa ini.
"Terima kasih atas nasihatmu yang berharga, lo-enghiong," katanya menahan isak. "Dan terima kasih atas
pertolonganmu tadi." Kemudian ia berkata kepada Lo Sin. "Sin-ko, ini adalah Pat-chiu Koai-hiap Oei Gan, suhu
dari cici Bwee Hwa."
Lo Sin lalu memberi hormat dan juga mengucapkan terima kasih karena kalau tidak orang tua ini yang
bertindak cepat, entah bagaimana dengan nasib Lee Ing, gadis yang keras hati itu.
Setelah mendengar penuturan kedua anak muda itu, Oei Gan lalu menyatakan hendak menyusul Ang Lian
Lihiap untuk membantu meredakan ketegangan ini dan sekalian membicarakan tentang ikatan jodoh antara
muridnya, Bwee Hwa, dengan Kong Liang. Ia memberi banyak nasihat kepada Lo Sin dan terutama Lee Ing dan
minta supaya kedua anak muda itu bersikap tenang dan jangan putus harapan, karena ia yakin bahwa sebagai
pendekar-pendekar gagah, akhirnya orang-orang tua itu tentu akan dapat bertindak bijaksana.
Setelah itu mereka berpisah, Oei Gan menyusul Ang Lian Lihiap dan rombongannya, sedangkan Lo Sin dan Lee
Ing melanjutkan perantauan mereka sambil menanti sikap kedua orang tua mereka.
"Y" Dengan cepat dan tergesa-gesa Ang Lian Lihiap dan rombongannya menuju ke Bong-kee-san dan kedua
saudara kembar she Song itu menjadi penunjuk jalan. Ketika mereka tiba di Bong-kee-san, Cin Han berkata.
"Lebih baik kau pergi lebih dulu mendapati Giok Lie, karena kurasa lebih mudah bicara dengan Giok Lie
daripada dengan Nyo-twako. Dan dalam hal ini aku percaya bahwa kau lebih pandai bicara daripada aku. Biar
aku menanti di sini apabila keadaan sudah beres, barulah aku menyusulmu."
Ang Lian Lihiap menggoda suaminya. "Eh, eh, takutkah kau?"
Cin Han mengangguk. "Memang, memang aku takut kalau-kalau Nyo-twako dan aku akan sama-sama naik
darah hingga kita tidak dapat menahan nafsu lagi. Kau dan Giok Lie lain lagi, karena kalian seakan-akan
saudara sendiri sehingga akan lebih mudah merundingkan sesuatu."
Terpaksa Lian Hwa lalu meninggalkan suaminya yang menanti di luar kampung, lalu bersama Mei Ling dan
Kong Liang, ia menghampiri rumah Giok Lie. Ketika mereka tiba di tanah tinggi sehingga rumah Nyo Tiang Pek
sudah kelihatan dari atas, tiba-tiba mereka melihat seorang wanita yang diikuti oleh dua orang pelayan, lakilaki dan perempuan, sedang berdiri di depan pintu rumah.
Tiba-tiba pelayan laki-laki itu menuding ke arah Lian Hwa dan kedua saudara kembar itu, agaknya pelayan itu
Si Walet Hitam Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
mengenal dua saudara kembar yang memang tidak asing lagi bagi mereka. Giok Lie menengok dan ketika ia
melihat siapa yang datang bersama Kong Liang dan Mei Ling, ia berseru girang sekali dan buru-buru
menyambut, diikuti kedua orang pelayannya!
Ang Lian Lihiap tersenyum dan sambil menengok kepada Mei Ling yang berjalan di belakangnya, ia berkata,
"Lihatlah, Giok Lie begitu lemah-lembut ramah tamah, bagaimana aku bisa menaruh perasaan permusuhan
dengan orang seperti dia itu?"
Setelah berkata demikian, Ang Lian Lihiap lalu melompat dan berlari turun. Dari jauh kedua orang wanita ini
sudah saling mengulurkan kedua tangan dengan mata mengalirkan air mata!
Kemudian mereka saling menubruk, saling merangkul dan mencium muka masing-masing sambil menangis.
Terutama sekali Giok Lie. Wanita ini menangis terisak-isak di pundak Lian Hwa.
"Cici?" kau ampunkanlah aku?" kau ampunkanlah suamiku?""
"Tidak begitu, Giok Lie, akulah yang datang mintakan ampun untuk puteraku yang kurang ajar!" jawab Lian
Hwa dan dengan saling mengucapkan kata-kata ini, lenyaplah segala rasa tidak enak hati yang masih ada di
antara mereka. "Di mana suamimu" Aku ingin sekali bicara dengan secara hati terbuka agar jangan sampai ada salah paham
terjadi antara kita!" kemudian Lian Hwa berkata setelah agak reda perasaan terharu karena pertemuan ini.
Mendengar ini, Giok Lie makin sedih tangisnya. "Cici?" dia?" tidak mau pulang dan tinggal saja di dalam
gua......" Lian Hwa terkejut. Lalu ia bertanya tentang hal itu.
Giok Lie menarik tangan Lian Hwa dan mengajak Kong Liang serta Mei Ling masuk ke dalam rumah. Setelah
semua orang duduk, dengan sedih Giok Lie menceritakan pengalamannya.
Ternyata beberapa hari kemudian semenjak Nyo Tiang Pek didata
ngi oleh Lui Siok Tojin dan dua orang
kawannya yang datang-datang menuduhnya membunuh seorang anak murid Kun-lun-san dengan pukulan Ginsan-ciang sehingga akhirnya ia dan Lui Siok Tojin bertempur dan berhasil mengalahkan tosu itu, pada waktu
pagi datanglah seorang tosu tua bersama Lui Siok Tojin menemuinya.
Nyo Tiang Pek terkejut melihat tosu tua ini, karena tosu ini adalah ketua dari Kun-lun-pai yang bernama Liong
In Tosu dan menjadi paman guru Lui Siok Tojin, maka ilmu kepandaiannya tentu amat tinggi sekali. Akan tetapi
Nyo Tiang Pek tidak merasa takut dan setelah menjura dan memberi hormat, ia lalu berkata,
"Selamat datang di tempatku yang buruk ini, ji-wi totiang. Apakah kedatangan ji-wi ini hendak memberi
hajaran kepadaku yang jahat dan suka membunuh orang?"
Liong In Tosu tersenyum mendengar sindiran ini dan ia berkata dengan sabar. "Nyo-taihiap, bersabarlah sedikit.
Pinto minta maaf atas kelancangan Lui Siok kemarin dulu itu, karena sesungguhnya, pinto sendiripun kurang
percaya bahwa Nyo-taihiap menjadi pembunuh yang bersikap pengecut dan yang tidak berani
mempertanggung jawabkan perbuatannya. Akan tetapi, sungguh terjadi hal yang aneh, taihiap. Kenalkah kau
kepada pedang ini?" Sambil berkata demikian Liong In Tosu mengeluarkan sebatang pedang dan ketika Nyo Tiang Pek memandang,
ia kaget sekali karena pedang itu adalah Ceng-lun-kiam, pedang yang dulu ia berikan kepada Tik Kong!
"Pedang ini adalah pedangku, totiang, akan tetapi telah kuberikan kepada orang lain."
"Nah, apa kataku?" tiba-tiba Liong In Tosu menegur Lui Siok Tojin. "Sekarang tidak salah lagi. Ketahuilah, Nyotaihiap, anak murid kami itu tidak saja terluka oleh pukulan Gin-san-ciang, akan tetapi juga terbunuh oleh
pedang ini yang menancap dan tertinggal di dadanya. Siapakah orangnya yang kauberi pedang ini?"
Pucatlah wajah Nyo Tiang Pek mendengar ini. Jadi Tik Kong lah pembunuhnya" Dengan suara lemah ia
menjawab. "Pedang itu kuberikan kepada seorang pemuda bernama Lui Tik Kong."
"Muridmukah?" tanya Liong In Tosu sambil memandang tajam.
"Bukan, aku tidak pernah punya murid selain anakku sendiri. Dia bukan muridku sungguhpun aku pernah
memberi pelajaran sedikit kepandaian kepadanya," jawab Nyo Tiang Pek singkat, karena ia tidak bisa
menceritakan bahwa pemuda itu adalah "calon mantunya".
"Jadi kalau kami mencari lalu menangkap pemuda yang bernama Lui Tik Kong ini, kau tidak akan tersinggung,
Nyo-taihiap?" Untuk beberapa lama Nyo Tiang Pek tidak dapat menjawab, hanya berdiam sambil menggigit-gigit bibirnya.
Bagaimana ia bisa membela orang yang berdosa" Akhirnya ia menjawab dengan tegas.
"Kalau memang dia telah melakukan pembunuhan, bagaimana aku bisa mencampuri urusan ini" Carilah dan
selidikilah sesuka hatimu."
Biarpun ia menganggap urusan ini seperti bukan urusannya sendiri, namun hati Nyo Tiang Pek terasa perih dan
hancur. Ia telah keliru memilih orang, telah salah, menjatuhkan kepercayaannya kepada orang.
Lui Tik Kong yang dianggap emas murni itu, tidak tahunya hanya tembaga tak berharga! Lalu pikirannya
melayang kembali memikirkan peristiwa yang sudah lalu. Bagaimana kalau dia yang bersalah dalam semua
urusan itu" Setelah Liong In Tosu dan Lui Siok Tojin meninggalkannya, Nyo Tiang Pek lalu meninggalkan rumah dan bertapa
di dalam sebuah gua. Isterinya datang membujuk-bujuknya, akan tetapi tetap saja Nyo Tiang Pek hanya
menundukkan kepala dengan kelihatan sedih sekali dan tidak mau keluar!
Semua ini diceritakan oleh Giok Lie kepada Ang Lian Lihiap sambil menangis hingga Lian Hwa menjadi terharu
sekali. "Memang suamimu salah sangka dan terburu nafsu, akan tetapi, semua ini adalah gara-gara pemuda keparat
Lui Tik Kong itu! Kau masih belum tahu semua Giok Lie, belum tahu betapa jahatnya pemuda itu."
Kemudian, dengan panjang lebar Lian Hwa menceritakan betapa dulu ketika pesuruh yang bernama A-kwie itu
datang, mereka mengirim surat ke Bong-kee-san yang maksudnya melamar Lee Ing, dan betapa Tik Kong telah
membunuh A-kwie dan memalsu surat itu, bahkan menulis bahwa Lo Sin telah kawin!
Setelah Ang Lian Lihiap selesai menuturkan semua itu, Giok Lie memandang dengan wajah pucat dan bibir
gemetar. "Aduh?" kalau begitu, benar puteramu itu, cici! Aduh, kasihan anakku?" Ing-ji?" Ing-ji?""
"Tidak hanya anakmu, Giok Lie, akan tetapi puteraku pun menderita karena perbuatan biadab dari Tik Kong ini,"
kata Lian Hwa dan ia lalu menceritakan pula betapa ia tadinya marah sekali mendengar segala laporan tentang
kemarahan Nyo Tiang Pek dan bahwa ia telah memarahi puteranya hingga kembali kedua anak muda itu
melarikan diri. Ketika Giok Lie mendengar dari Lian Hwa betapa Lo Sin dan Lee Ing menyatakan lebih baik mati daripada
hidup saling berpisah, wanita ini lalu memeluk Lian Hwa sambil menangis, bukan karena sedih, akan tetapi
karena terharu dan juga girang! Memang semenjak dulu ia bercita-cita untuk menjodohkan anaknya dengan
anak Lian Hwa, dan ternyata sekarang bahwa kedua anak itu saling mencinta!
"Kalau begitu, biarlah aku sekarang pergi menemui Nyo-twako!" kata Lian Hwa. "Di mana guanya?"
"Di sebelah timur itu, di bukit yang berbatu-batu," kata Giok Lie, kemudian disambungnya dengan khawatir.
"Akan tetapi cici?""
"Ada apa?" tanya Lian Hwa.
"Dia...... dia sedang marah sekali. Harap kau suka bersabar dan ampunkanlah dia, cici?"" kata nyonya itu
sambil menyusuti air matanya.
Lian Hwa menepuk-nepuk pundak Giok Lie dan berkata. "Jangan khawatir, adikku. Sekarang aku sudah tahu
bahwa Nyo-twako marah karena tertipu!"
Kemudian Ang Lian Lihiap lalu cepat pergi menuju ke bukit itu, dikejar oleh Kong Liang dan Mei Ling, sedangkan
Giok Lie hanya duduk saja menangis.
Ketika tiba di bukit yang penuh batu-batu besar dan hitam itu, senja telah berganti malam akan tetapi keadaan
tidak sangat gelap oleh karena bulan menyinarkan cahayanya dan langit nampak bersih. Lian Hwa mencari-cari
dan akhirnya ia melihat sebuah gua yang hitam dan besar serta melihat pula bayangan orang duduk di dalam
gua itu. 12.33. Penyesalan Hati Seorang Ayah
"Nyo-twako!" ia memanggil sambil menghampiri gua itu.
Bayangan di dalam gua bergerak dan tiba-tiba terdengar seruan marah dari dalam gua itu.
"Kau?" Kau berani datang hendak menghinaku?" dan tiba-tiba bayangan itu melompat keluar dengan pedang di
tangan. Ang Lian Lihiap terkejut melihat wajah Nyo Tiang Pek yang pucat dan yang memperlihatkan kemarahan besar
itu. "Nyo-twako, aku datang bukan hendak bertempur, akan tetapi hendak merundingkan perkara yang timbul di
antara kita dengan kepala dingin. Simpanlah pedangmu dan marilah kita bicarakan dengan tenang."
"Bohong! Kau tentu datang hendak membalas puteramu dan hendak membela bangsat muda itu! Kau seorang
ibu yang tidak dapat mengajar anak, membiarkan anakmu menghina aku!"
"Diam! Jangan kau menuruti hati marah dan yang bukan-bukan, Nyo-twako!" jawab Ang Lian Lihiap yang
memang berdarah panas dan tidak tahan mendengar kata-kata keras.
"Ha-ha-ha! Kau bisa bilang bahwa aku menuruti hati dan bicara tidak karuan" Coba kau dengarkan anakmu
dulu memaki-maki dan mencemarkan nama baik keluargaku dimuka umum. Coba kau bayangkan betapa dia
merusak dan menghalangi perkawinan anakku, bahkan dia berani melarikan anakku di depan mataku sendiri,
berani melawanku mengandalkan kepandaiannya! Kaukira aku takut padamu" Tidak, Ang Lian Lihiap,
betapapun gagahnya kau, akan tetapi untuk membela nama baikku, aku bersedia mati di ujung pedangmu.
Cabutlah pedangmu kalau kau benar-benar seorang gagah!"
Sambil berkata demikian, Nyo Tiang Pek melintangkan pedangnya di depan dada dengan sikap menantang
sekali. "Nyo-twako, kau tersesat!" Sambil berkata demikian, Lian Hwa mencabut pedangnya, akan tetapi bukan untuk
menyerang, hanya pedang itu diletakkan di atas batu besar. "Lihat, aku menyimpan pedangku, karena bukan
maksudku hendak berkelahi dengan kau yang picik dan dangkal pandangan ini! Kalau memang kau telah
berubah pikiran dan menjadi gila, kau seranglah aku. Aku hendak merampas pedangmu yang jahat itu dengan
tangan kosong!" Sambil berkata demikian, Lian Hwa melompat ke arah Nyo Tiang Pek dengan kedua tangan terulur ke depan,
siap hendak merampas pedang dari tangan si Garuda Kuku Emas.
"Ang Lian Lihiap, mundur kau! Hmm, kupenggal batang lehermu nanti!" Akan tetapi kata-kata ini hanya
merupakan ancaman belaka, oleh karena nyatanya, Nyo Tiang Pek mengelak dari serangan Lian Hwa ini dan
melompat ke atas batu lain.
Lian Hwa tidak menjadi jerih karena ancaman ini bahkan melompat dan mengejar!
"Awas, sekarang benar-benar aku akan menyerangmu!" kata Nyo Tiang Pek sambil mengangkat pedangnya ke
atas dengan lagak mengancam, akan tetapi dari sebuah batu besar Lian Hwa melompat lagi dengan gerakan
Naga Putih Menyambar Awan. Tubuhnya yang gesit itu melompat dan menerkam ke arah Nyo Tiang Pek!
Pada saat itu, Cin Han muncul dari balik batu karang. Ia menjadi terkejut sekali ketika melihat betapa Ang Lian
Lihiap mengejar-ngejar Nyo Tiang Pek untuk merampas pedang, sedangkan Nyo Tiang Pek yang memegang
pedang itu hanya mengelak dan berpindah-pindah tempat, seakan-akan merasa jerih menghadapi Lian Hwa
dan sama sekali tidak mau menyerang dengan pedangnya.
"Tahan!" kata Cin Han sambil mengangkat kedua tangannya ke atas. "Sudah gilakah kalian ini" Tua bangka
masih mau main kejar-kejaran seperti kanak-kanak! Nyo-twako, kaudengarlah keterangan kami dulu, kalau
kau sudah mendengarkan, barulah terserah kepadamu mau berbuat apa! Kalau kau memang tidak berubah
dan masih seperti Kim-jiauw-eng yang kukenal sebagai seorang pendekar yang gagah dan m enjunjung tinggi
Kuda Besi 3 Fear Street - Mimpi Buruk Bad Dreams Suling Emas Dan Naga Siluman 26
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama