Ceritasilat Novel Online

Terkoyaknya Raja Digdaya 3

Prabu Siliwangi : Bara Di Balik Terkoyaknya Raja Digdaya Karya E. Rokajat Asura Bagian 3


"Kau tidak menangis?"
Nini Indangayu mengangguk.
"Kau menipuku, Indangayu!"
Nini Indangayu menggeleng.
"Apa kata ayahmu ketika mendengar laporan kau tadi?" tanya Walangsungsang mengalihkan masalah.
"Nanti malam ayahku akan bicara!"
"Ya... pasti! Jangankan malam, sepanjang hari ini juga pasti bicara. Maksudku yang ada hubungan nya dengan
omongan kita tadi..."
"Lupa!" "Ya, ampun, Indangayu, berhentilah mempermainkanku!"
"Aku tidak mempermainkan Kakang Prabu!"
"Terus apa ini maksudnya?"
"Maksudnya aku tadi tidak laporan pada ayahku!"
"Jadi kau dua kali membohongiku sore ini?"
Nini Indangayu mengangguk.
"Apa maksudmu?"
"Seneng saja melihat Kakang Prabu cemas..."
"Darimana kau tahu aku cemas?"
"Dari sorot matanya!"
"Kau bisa membaca sorot mata orang lain?"
"Membaca bisikan hati juga bisa!"
"Kau tahu apa yang ada dalam hatiku?"
"Sebenarnya tahu, tapi aku tak mau menebak urusan isi hati orang lain. Aku takut aku merasa telah menguasai
sebagian dari rahasia dunia ini. Aku khawatir nkan membuatku jadi angkuh, Kakang Prabu!"
"Hem... kalau begitu, kau juga pasti tahu kata-kata yang kumaksud tadi!" gumam Walangsungsa ng.
Nini Indangayu mengangguk.
"Kenapa tidak langsung kau jawab, sehingga tidak perlu menunggu aku cemas?"
"Aku takut Kakang Prabu!"
"Takut salah?" "Aku takut kecewa, karena mendahului rasa keinginanku. Takut tak sesuai dengan maksud Kakang Prabu!"
Prabu Anom Walangsungsang mengangguk takzim. Ia seperti baru sadar sedang berhadapan dengan siapa
sesungguhnya. Ah, Nini Indangayu putri Eyang Danuwarsih, tentu saja punya kemampuan lebih dibanding
kemampuan perempuan kebanyakan. Beberapa saat ia diam. Menimbang-nimbang apa yang baru saja terjadi,
sampai suatu saat kembali ia melihat barisan burung yang terbang di atas kepalanya.
"Kau lihat burung itu, Indangayu!"
"Selalu berbaris membentuk sudut tertentu!" balas Nini Indangayu.
"Kau tahu kenapa?"
"Dengan terbang berbaris seperti itu, burung-burung itu akan punya kekuatan yang lebih besar dibanding
terbang sendiri!" "Persis! Tepat apa yang kau katakan, Indangayu!" Prabu Anom Walangsungsang memuji atas kecerdasan putri
cantik di hadapannya. "Kau juga pasti sudah tahu bagaimana jika salah satu dari burung itu terbang keluar dari kelompoknya..."
"Yang itu aku belum tahu...."
"Sungguh?" "Ya, Prabu!" Nini Indangayu menggangguk membenarkan. Kini ia tak pura-pura lagi.
"Kau perhatikan saja! Burung yang keluar dari kelompoknya itu akan mengalami kesulitan karena daya tekan
udara yang tinggi. Diperlukan kekuatan yang lebih besar. Sehingga biasanya ia akan kembali berkelompok dan
kembali membentuk sudut seperti semula..."
"Aku sering memperhatikan burung-burung itu, Kakang Prabu. Sesekali aku melihat kepala kelompoknya
mundur, mungkin karena kecapekan..."
"Persis! Jika ketua kelompok kelelahan, ia akan berpindah ke ujung formasi, sementara yang lain maju ke
depan mengambil posisi itu! Mereka kemudian terbang kembali dengan bentuk formasi seperti semula..."
"Dan bersuara... bernyanyi!"
"Ya, suara yang serempak itu mungkin dimaksudkan sebagai komando, memberi semangat satu sama lain dan
mungkin juga agar terbang dalam kecepatan yang sama sehingga tidak ada yang tertinggal..."
Nini Indangayu tersenyum manis. Ia menunduk dan bersemu malu. Baru saja ia menatap pada lelaki trah
Pajajaran yang sedang bicara penuh semangat itu. Ia bisa bebas menatap karena pandangan Prabu Anom
Walangsungsang sedang memperhatikan kelompok burung yang berputar-putar di atas kepalanya.
"Ketika kelompok burung itu tiba-tiba ada yang sakit, kau tahu apa yang terjadi, Kakang Prabu?" pancing Nini
Indangayu sesaat setelah melihat Prabu Anom Walangsungsang terpaku. Mungkin melamun atau sedang
takjub karena ada keselarasan ketika burung-burung itu terbang dengan apa yang baru saja mereka
perbincangkan. "Kakang Prabu!"
"Ya, Indangayu! Kenapa?"
"Kau tak mendengar pertanyaanku tadi?"
"Tentu saja mendengarnya, Indangayu!"
"Kenapa tidak langsung menjawab?"
"Ada saatnya untuk segera dijawab, tapi ada kalanya kita harus memikirkannya terlebih dahulu agar tidak
menjawab sekenanya. Jawaban yang salah tidak saja merugikan dan mengecewakan kita hari ini, tapi buat
mereka di waktu yang akan datang...."
"Nyindir aku ya" Karena tak langsung menjawab ditanya ada matahari kedua" Padahal aku tahu..."
Prabu Anom Walangsungsang tersenyum.
"Sekarang jawablah pertanyaan itu, jika kau sudah memikirkannya!"
"Setahuku ketika burung itu ada yang sakit, dia akan keluar dari kelompoknya, diikuti oleh beberapa ekor
burung lain untuk mengawal burung yang sakit itu sampai bisa terbang kembali atau jatuh sama sekali karena
mati. Sementara kelompok yang ditinggalkannya akan mengatur bentuk kelompok terbangnya, kembali
membentuk sudut tertentu dalam ukuran lebih kecil..."
"Pelajaran apa yang bisa kita dapatkan dari burung-burung itu sore ini ya?"
"Banyak! Banyak sekali, Indangayu!"
Nini Indangayu kemudian merapatkan kedua tangannya di dada, matanya terpejam. Prabu Anom
Walangsungsang memperhatikannya. Sedang mensyukuri dari apa yang didapatkan sore ini" Sedang
memikirkan masalah lain" Prabu Anom Walangsungsang hanya diam sampai Nini Indangayu kembali ke sikap
semula, membuka matanya diiringi senyum yang menawan dan ditujukan hanya pada lelaki di hadapannya.
"Nanti malam ayahku mau bicara, Kakang Prabu!"
"Tentang apa?" "Jangan paksa aku untuk menebaknya!"
Nini Indangayu berdiri, dengan gerakan matanya memberi isyarat sudah waktunya masuk ke dalam pondok.
Angin gunung mulai terasa menggamit kulit. Prabu Anom Walangsungsang mengangguk, tapi ia tidak segera
beranjak. Pikirannya masih berputar-putar mencari jawaban kira-kira apa yang akan dibicarakan kyang
Danuwarsih nanti malam. *
Ketegangan mengambang pada setiap jengkal tanah di Keraton Pakuan kali ini. Seorang prajurit ambruk ke
tanah, tak kuat lagi karena panas akibat dari ujung cambuk beracun yang mendera punggungnya. Tak terlihat
derai airmata meski rasa sakit yang membuncah. Langit muram. Hujan rintik membasahi bumi semakin terasa
sendu. Petir menyambar-nyambar menimbulkan loncatan bunga api yang menerangi petala langit. Juga
menerangi wajah-wajah yang terbalut kalut dan amarah.
Sri Maharaja Prabu Siliwangi dibakar marah yang tak terkira. Kehilangan dua orang putra-putrinya dalam waktu
hampir bersamaan, sama sekali tak bisa dibenarkan. Ia tak mengira jika goncangan itu terjadi bukan karena
kedatangan musuh perkasa. Jauh di lubuk hatinya ia merasa ada keteledoran yang terstruktur dan seperti
disengaja. Tapi siapa yang berani merencanakan aib ini. Luka karena kepergian Prabu Anom Walangsungsang
saja ibaratnya belum kering, kini muncul petaka kedua, Nyimas Rarasantang lenyap dari kamar kaputren
padahal malam itu dijaga dua orang prajurit persis di depan pintu kamarnya, dan belasan prajurit lain di
tempat-tempat strategis. "Duh... Hyang Jaga Nata, kesalahan apa yang telah aku perbuat sehingga harus menerima cobaan seperti?"
keluh batin Sri Maharaja Prabu Siliwangi.
Siapa gerangan yang sengaja menyelimuti Nyimas Rarasantang sehingga keluar dari kamar kaputren sama
sekali tak ketahuan, tak bisa terlacak padahal puluhan prajurit tetap siaga. Sri Maharaja Prabu Siliwangi
meninggalkan tempat itu dengan wajah merah memendam marah. Tak ada seorang pun yang berani
menghalangi. Ia berjalan cepat ke arah Keraton Suradipati. Hatinya gundah. Mata batinnya seolah tumpul.
Diam-diam di antara ketegangan yang memuncak, beberapa orang patih dan penasihat kerajaan berkumpul,
mengatur siasat agar kemarahan Sri Maharaja Prabu Siliwangi tidak berlarut-larut.
"Tanah Pajajaran akan terbelah kalau Gusti Prabu terus-terusan dibalut marah. Kita harus bertindak cepat
sebelum diminta pendapat," Patih Argatala membuka pertemuan itu.
Ki Nalaraya yang kemarin tak kuasa memboyong kembali Pra
bu Anom Walangsungsang ke Keraton Pakuan
angkat bicara. Ia menilai suasana makin kacau jika misi yang mereka rencanakan itu kembali gagal.
"Siapkan segera prajurit pinilih, minta bantuan para dedemit dan makhluk halus, segera temukan Nyimas
Rarasantang!" usul Ki Nalaraya.
"Itu pasti, Ki! Sekalipun kita masih dibayang-bayangi kegagalan!" seru peserta pertemuan yang lain.
"Kenapa" Jangan berpikir gagal sebelum bertindak, karena itu berarti setengahnya sudah gagal..." bentak
Argatala. "Betapa tidak, Argatala! Dua orang prajurit jaga di depan kamar kaputren, puluhan prajurit lain siaga di
beberapa tempat, kau tahu apa yang terjadi" Nyimas Rarasantang lolos dengan gemilang!"
"Apa maksud didi Ngaing tak mau gagal!" Ki Argatala makin emosi.
Ki Nalaraya mencoba meredam kemarahan itu dengan bicara lemah-lembut. "Berpikir gagal, memang tak baik.
Tapi waspada tetap harus kita lakukan. Kau mengira ada kekuatan gaib yang mengatur semua ini?" tanya Ki
Nalaraya pada seorang prajurit senior yang tadi mengemukakan kekhawatirannya.
"Kalau bukan itu, lalu apa lagi?" jawabnya diplomatis.
"Apa strategi yang akan kita lakukan?" tanya Ki Nalaraya.
"Menyusuri setiap tempat yang memungkinkan dipakai jalan kabur Nyimas Rarasantang, dari berbagai penjuru,"
jelas Argatala. "Kita siapkan prajurit kalau begitu, lalu minta izin pada Gusti Prabu, lalu kerjakan!" tambah Ki Nalaraya.
"Ya, begitulah yang aku maksud!"
Lalu mereka menyusun rencana, memilih para prajurit yang bisa diandalkan baik dari pasukan berkuda maupun
pasukan lain. Setelah dirasa cukup, Patih Argatala dan Ki Nalaraya menghadap Sri Maharaja Prabu Siliwangi.
Rapat belum ditutup ketika terdengar teriakan melengking tinggi, menggelegar membahana. Semua prajurit
dan abdi dalem tergopoh-gopoh menuju Balairung.
"Darengekeun! Ngaing teu suka, lamun dia kabeh dek kumawula, siar ku dia kabeh Nyimas Rarasantang! Jig
geura narindak, ulah balik mun can hasil. Siar ku dia ka kulon, ka kidul, ka kaler, ka wetanl" perintah Sri
Maharaja Prabu Siliwangi. (Dengarkan! Aku tak suka, kalau kalian mau tetap mengabdi, cepat cari Nyimas
Rarasantang! Cepat bertindak, jangan pulang sebelum berhasil. Cari ke barat, selatan, utara dan timur!).
Semua yang hadir mengangkat tangan dan berseru sebagai tanda mereka akan selalu setia. Terdengar suara
gemuruh karena mereka saling bicara dengan temannya. Sri Mahaprabu Siliwangi menghentak bumi, maka
bergetarlah tempat itu sehingga beberapa orang terpelanting, barang-barang berjatuhan. Semua menunduk
takut. Patih Argatala angkat bicara:
"Semua ini memang kesalahan kami, Gusti Prabu. Tapi kami mohon jangan tibankan hukuman kepada kami
sebelum kami melakukan pencarian. Kakulah nanti kami gagal menemukan Putri Nyimas Rarasantang, maka
hukumlah kami untuk kelalaian itu."
Sri Maharaja Prabu Siliwangi hanya bergumam. Sorot matanya tajam menelanjangi Patih Argatala. Patih yang
telah tumbuh rambut putih di dekat telinganya itu tak bergeming. Ia terus menatap ke arah depan tanpa berani
beradu tatap dengan Prabu Siliwangi. Ia paham benar bahwa sesungguhnya sebagai seorang pemimpin
baginya tak melihat ada cacat pada diri Prabu Siliwangi, mengayomi, tegas dalam bertindak, sakti mandraguna.
Kalau hari-hari ini gampang tersulut amarah, karena secara beruntun harus ditinggalkan putra-putrinya justru
dalam keadaan Keraton Pakuan aman dan seluruh prajurit dalam keadaan siaga.
"Kemarahan yang bisa dipahami," gumam sebelah hati Patih Argatala, sementara sebelah hati yang lain
mencerca. Dipati Siput menambahkan sesaat setelah suasana sedikit reda dari ketegangan yang menghantuinya.
"Apa yang dikatakan Kakang Argatala memang benar. Baru saja kami melakukan pertemuan rahasia, Gusti
Prabu, untuk menentukan sikap yang akan segera kami ambil."
"Apa yang akan kalian lakukan?"
"Tentu saja kami akan mencari Putri Nyimas Rarasantang sampai dapat, tidak saja melibatkan pasukan khusus,
tapi kami juga telah sepakat untuk meminta bantuan kepada para dedemit dan makhluk halus lainnya, agar
bersama-sama mencari ke mana larinya tuan putri, Gusti Prabu!"
Sri Maharaja Prabu Siliwang sedikit terhibur.
"Sekarang carilah putra-putriku, suruh kembali ke keraton jangan sampai tidak terbawa. Kalian jangan pulang
dulu, sebelum berhasil!"
Pertemuan diakhiri. Prabu Siliwangi melangkah gontai keluar dari balairung, sementara puluhan prajurit
berhamburan keluar, derap langkah kuda terdengar riuh, melesat ke berbagai penjuru kota, menyusuri
perkampungan, sebagian lagi masuk ke belantara Parahyangan. Beberapa orang penasihat kerajaan juga ikut
serta menjadi pengawal para makhluk halus yang dimintai bantuannya. Tapi pencarian itu cukup menyulitkan
terutama karena Nyimas Rarasantang seperti terlindungi awan tipis yang mengaburkan keadaan di
sekelilingnya sehingga tidak bisa dengan pasti menentukan keberadaannya.
Di dalam Keraton Pakuan, Ratu Subanglarang berurai airmata. Kepergian putrinya, Nyimas Rarasantang, benarbenar telah menghanyutkan segala harap dan angannya. Saat Prabu Anom Walangsungsang meninggalkan
keraton, sedikit banyak Ratu Subanglarang masih bisa menghibur diri, karena ia tahu persis bagaimana tekad
putranya itu untuk mempelajari ajaran Kanjeng Muhammad. Tapi apa sebenarnya yang melatarbelakangi
kepergian putrinya sekarang ini. Benarkah hanya karena kangen dengan sang kakak" Apakah benar hasil
penelitian Ki Nalaraya tentang desakan dan hubungan yang tidak harmonis dengan saudara-saudara
seayahnya" Beberapa hari lalu Ratu Subanglarang telah mengumpulkan beberapa orang emban, juru masak
dan para prajurit jaga untuk menelisik apa sesungguhnya yang sedang terjadi. Tapi Ratu Subanglarang tak
menemukan ada tanda-tanda yang bisa dijadikan pegangan tentang hubungan yang tidak harmonis putraputrinya dengan saudara seayahnya itu.
"Ampunilah aku, Kaka, karena tak bisa menjaga putriku sendiri," jelas Ratu Subanglarang ketika Prabu Siliwangi
masuk ke tempat peristirahatan permaisurinya tersebut. Di depan Sri Maharaja Prabu Siliwangi, ia sungkem dan
menunjukkan penyesalan yang luarbiasa. Pelan Prabu Siliwangi merengkuh, memegang dagu Ratu
Subanglarang, lalu pelan diangkat sedikit sehingga Ratu Subanglarang agak mendongak. Terlihat bagaimana
mata Ratu Subanglarang yang memerah, berurai airmata menunjukkan rasa duka yang mendalam. Melihat hal
itu Sri Maharaja Prabu Siliwangi ikut sedih pula. Ia tak kuasa melihat kesedihan istrinya. Pelan kemarahan yang
menyala-nyala sampai ke ubun-ubun seperti ia tunjukkan tadi di balairung sirna, digantikan kesedihan. Ia
memalingkan muka. Ksatria itu merasakan desakan aneh di dadanya dan ada yang tersekat di tenggorokan.
"Sudahlah, jangan terus menangis, aku semakin duka dibuatnya, Nyi!" jelas Prabu Siliwangi parau.
"Tapi bagaimana dengan putri kita, Kaka?"
"Itulah yang sedang aku pikirkan. Tapi Patih Argatala, Dipati Siput dan seluruh wadyabaladnya sedang mencari
ke berbagai penjuru. Kita berdoa saja kepada Hyang Widi, agar segala cobaan ini cepat berlalu. Ki Nalaraya
juga ikut serta memimpin para dedemit."
Menjelang senja seluruh pasukan yang mencari Nyimas Rarasantang masih terus mencari. Peluh membasahi
tubuh mereka, rasa lelah telah pula menghantuinya tapi tak ada seorang pun yang menyerah. Mereka terus
mencari dan mencari. Namun entah kenapa, sekalipun dibantu oleh para dedemit dan makhluk halus lainnya,
pencarian itu tidak pula menemukan hasil. Nyimas Rarasantang seperti disembunyikan di dalam perut bumi.
Prabu Siliwangi tersentak kaget. Tubuh Ratu Subanglarang yang ada dalam pelukannya didorong agak keras,
membuat Ratu Subanglarang terhenyak. Ia mengira Prabu Siliwangi kecewa karena menemuka n keanehan
dalam tubuhnya. Sesungguhnya tidak demikian. Prabu Siliwangi tersentak kaget karena melihat pusaran
cahaya putih di hadapannya. Dalam pusaran cahaya itu ia melihat Nyimas Rarasantang dan Prabu Anom
Walangsungsang sedang berjalan bergandengan tangan. Prabu Siliwangi menepis lamunannya. Pasti melamun.
Saking terlalu kuatnya lamunan itu, sampai mempengaruhi alam bawah sadarku, gumam Sri Maharaja Prabu
Siliwangi. Tubuhnya tiba-tiba bergetar hebat. Ratu Subanglarang langsung mendekapnya. Tak pernah
sebelumnya mendekap tubuh suaminya yang gugup seperti ini.
"Ada apa, Ka" Kaka eling...nyebut..." gugup suara Ratu Subanglarang. Rasa khawatir mendera hebat.
"Cahaya, Nyi! Cahaya...cahaya itu..." Prabu Siliwangi seperti meraban. Ratu Subanglarang terus mendekapnya.
Dari arah luar kaputren, Nyai Kentring Manik Mayang Sunda memperhatikan dari balik kipas kecilnya, di antara
payung hijau bertiang gading berpuncak emas, yang dibawa para emban, untuk melindungi dari sengatan
cahaya matahari. Rasa cemburu mendesir di balik dadanya.
*
TANGKUBAN PARAHU Nyimas Rarasantang menyandarkan kepalanya pada sebatang pohon. Lelah memberangus setiap sendisendinya. Sebagai perempuan yang tak biasa berjalan jauh, perjalanan hari ini betapa dirasakannya sangat
berat. Tapi ia tak mau menyerah. Pandangan jatuh pada langit biru cerah. Hanya ada sedikit awan putih
berkelompok kecil-kecil mengambang tak menyentuh biru langit yang tak tergapai itu. Semilir angin menerpa
wajah dan ujung-ujung rambut yang tak sempurna terbungkus kain segitiganya.
Dari tempat duduk selonjorannya itu pandangannya bisa terus ke bawah, di sebelah kiri terlihat hamparan
tanah pertanian dalam petak-petak berjauh, sebagian diselingi pepohonan yang menghijau. Di sebelah kanan
gelap dengan pepohonan tinggi, tak terlihat bagian tanah pertanian atau gubuk-gubuk penduduk karena
rapatnya jarak pepohonan itu. Kalaupun ia harus turun dari perbukitan ini, maka ke sebelah kiri itul ah yang
kemungkinan besar bisa cepat menemukan perkampungan. Awan menjauh dari tempat Nyimas Rarasantang
duduk, sehingga biru cerah langit itu benar-benar mempesona tak terhalang apa pun kini. Ia mulai larut dalam
lamunannya. Dalam penggalan lamunannya, tiba-tiba ia teringat ibunya. Jantung Nyimas Rarasantang berdegup
kencang. Rasa bersalah karena kabur dari Keraton Pakuan menyergapnya, membuat jalan napasnya terasa
sempit. Ia tersengal, bernapas pendek-pendek.
Pemandangan dari atas Gunung Tangkuban Parahu yang sebenarnya indah, terlupakan sudah. Nyimas
Rarasantang terbawa angan-angannya. Dekat dalam telingannya, ia mendengar derap langkah kuda dan derak
roda-roda kereta kencana menginjak bebatuan. Ia mengira sepasukan prajurit istana mengiringi ibundanya
datang ke tempat ini. Tapi ketika ia menggosok matanya, kembali pada pemandangan semula. Hanya
bebatuan dan tanaman-tanaman sejenis perdu yang tumbuh di ketinggian. Langit masih biru, tak ada tandatanda akan turun hujan selain dari batinnya yang mulai terasa mendung, dililit rasa bersalah dan rasa kangen
yang membuncah pada ibundanya di Keraton Pakuan. Ia merenungkan kembali perjalanannya, kenekatan
yang baru pertama kali dilakoni karena terdorong rasa ingin bertemu sang kakak, Prabu Anom
Walangsungsang. "Di manakah kau berada, Kakang, aku sendirian disini. Berilah petunjuk agar aku bisa segera menemuimu,"
gumam Nyimas Rarasantang. Ia menunduk. Terpejam kuat menahan matanya yang tiba-tiba terasa perih.
Kesedihan begitu gampang datang saat-saat seperti ini. Angin berhembus kencang membawa suara. Tidak.
Bukan mimpi lagi. Tapi benar-benar ada yang bicara, gumam Nyimas Rarasantang.
"Putriku cantik, siapa engkau ini dan kenapa duduk sendirian dan menangis di puncak gunung ini?" terdengar
suara seorang perempuan tua, di antara angin sayup-sayup. Nyimas Rarasantang mengira ada yang bicara
dalam jarak yang cukup jauh, sehingga tak gampang terlihat siapa gerangan yang bicara. Nyimas Rarasantang
mengedarkan pandangannya, tak juga menemukan sosok yang dicari. Tak ada jawaban. Lalu ia berusaha
berdiri, mengedarkan pandangan, tak ada apa pun selain asap yang berputar-putar memudarkan pandangan ke
bawah dari puncak gunung tersebut. Kesedihan kembali menjeratnya.
"Aku sepi sendirian di sini..."
"Dari mana kau ini sebenarnya, Putri?"
"Aku adalah putri Pajajaran, dari Jeng ibu Ratu Subanglarang, Nyimas Rarasantang namaku. Siapa eyang ini"


Prabu Siliwangi : Bara Di Balik Terkoyaknya Raja Digdaya Karya E. Rokajat Asura di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Aku duduk di sini istirahat karena terlalu lelah, mencari kakaku Walangsungsang yang tak juga ditemukan..."
Angin berpusar persis di depan Nyimas Rarasantang, tapi anehnya pusaran itu tak menerbangkan tanah juga
pohon-pohon kecil bahkan ia sendiri yang duduk selonjoran tak merasa tersedot oleh pusaran ang in tersebut.
Selang beberapa saat kemudian pusaran angin itu terlihat menjadi gumpalan putih dan lama kelamaan
menjelma menjadi sosok berwibawa. Pakaiannya serba putih, sorot mata teduh tapi tajam. Senyum
tersungging di bibirnya. Sosok perempuan tua tapi terlihat masih kokoh berdiri.
"Akulah Indang Sukati, Putri! Datang untuk menolongmu..." jelas sosok berpakaian putih itu. Lalu ia mendekati
Nyimas Rarasantang yang berurai airmata. Nyai Indang Sukati berlutut, memegang kaki Nyimas Rarasantang.
Sekali elusan memberi dampak yang luarbiasa, tak ada letih lagi, tak terasa sakit-sakit bekas berjalan jauh.
Nyimas Rarasantang merasakan tubuhnya segar kembali.
"Terima kasih, Eyang, tubuhku segar kembali sekarang."
"Bersyukurlah pada yang patut menerima segala syukur, pada yang memberi segala nikmat itu, Putri!"
Pertemuan yang menyenangkan itu membuat Nyimas Rarasantang merasa punya teman sekaligus bisa
dimintai pertolongan. Ingin segera ia tahu ke arah mana jalan yang harus ditempuh, jalan yang bisa
mempertemukan dengan kakaknya, Walangsungsang. Untuk kedua kalinya Nyimas Rarasantang tersentak
kaget ketika mendengar Nyai Indang Sukati bicara. Ia seperti bisa mendengar bisikan hatinya.
"Luruskan dulu niatmu, Putri. Agar setiap langkah tak sia-sia. Apa sesungguhnya yang mendorongmu lari dari
Keraton Pakuan itu" Sekadar ingin bertemu kakakmu" Atau ingin mencari guru sejati seperti juga yang sedang
dilakukan kakakmu?" jelas Nyai Indang Sukati. Nyimas Rarasantang menunduk malu. Ya, benar, hampir saja ia
melupakan keinginan mencari guru sejati seperti yang dilakukan kakaknya, Walangsungsang. Ia menunduk,
wajahnya terasa panas kini.
"Maafkan aku, Eyang, rasa kangen kepada kakakku sendiri telah hampir mengalahkan akal sehatku. Aku jauhjauh pergi dari Keraton Pakuan dengan melukai kedua orang tuaku, hanya ingin bertemu dengan kakakku.
Betapa bodohnya aku ini...." urai Nyimas Rarasantang mengutuki diri sendiri.
"Sudahlah, tidak perlu kau mengutuki diri seperti itu. Pergi dari keraton sekalipun tanpa restu kedua orang
tuamu, untuk mencari guru sejati, bukanlah langkah sia-sia, Putri."
Nyimas Rarasantang mengangguk pelan. Pada bening mata telaga Nyai Indang Sukati, Nyimas Rarasantang
menemukan kedamaian. Ia menunduk makin dalam, memilin ujung baju atasan bersemu malu, merasa tak
perlu disembunyikan lagi apa yang ada dalam hatinya, karena toh Nyai Indang Sukati telah mengetahuinya.
Menatap wajah polos Nyimas Rarasantang yang sedang pilu, benar-benar telah menggugah Nyai Indang Sukati.
Ia berjanji - sekalipun tidak dilisankan - untuk menolong putri Pajajaran ini.
"Sekarang, terimalah baju Sang Dewa Mulya ini, Putri, Cucuku. Pakaian ini akan menyebabkan siapa saja yang
memakainya bisa berjalan secepat angin, tidak panas di dalam api dan tidak basah di dalam air, akan selamat
dari bahaya yang menghadang. Menurut Hyang Jaga Nata, kaulah yang pantas mengenakan pakaian ini, Cu."
Heran bercampur girang mendengar ucapan Nyai Indang Sukati tersebut, Nyimas Rarasantang hanya menutup
mulut dengan tangan kanannya. Matanya penuh binar cahaya. Jika memang diizinkan, dengan pakaian tersebut
bisa mempercepat langkahnya. Angan-angan pun telah jauh mendahului jasadnya. Angan-angan itu berkelana
mencari sang kakak yang telah jauh pergi dari istana. Sama sekali Ratu Mas Rarasantang tidak tahu apa yang
terjadi dengan Prabu Anom Walangsungsang sekarang ini.
"Pakailah pakaian ini, Cu!"
Pakaian yang disodorkan Nyai Indang Sukati sepintas seperti terlalu longgar, tapi Nyimas Rarasantang
menerimanya dengan sukacita. Anehnya pakaian itu cocok benar dengan ukuran tubuh Nyimas Rarasantang
yang tinggi semampai. sp; "Pas sekali dengan ukuran tubuhmu, Cu!" jelas Nyai Indang Sukati. Nyimas Rarasantang mengangguk pelan.
Kebahagiaan terpancar dari bola matanya.
"Terima kasih banyak, Eyang. Tak terbayang bagiku untuk membalas segala kebaikan Eyang ini!"
"Sudahlah, jangan terlalu dipikirkan, sekarang segera pergi agar tidak terlalu jauh tertinggal langkah kakakmu
itu, Cu." "Ehm, ke mana aku harus pergi, Eyang?"
Ditanya seperti itu Nyai Indang Sukati diam sejenak, memusatkan konsentrasinya. Ketika matanya terpejam,
tergambar jelas dalam bayangannya bagaimana gerak-gerak Prabu Anom Walangsungsang. Nyai Indang
Sukati kemudian bicara. "Temui Ajar Sakti, bermukim di Gunung Liwung. Dari sanalah kau akan mendapat jalan selanjutnya, Cu!"
Ungkapan yang keluar dari mulut Nyai Indang Sukati terasa masih berupa simbol-simbol. Tapi untuk bertanya
kembali, Nyimas Rarasantang tak punya keberanian. Ia tak ingin terlalu merepotkan. Setelah mencium
tangannya, Nyimas Rarasantang pun undur diri. Dengan mengenakan baju Sang Dewa Mulya, ia bertekad
untuk meneruskan perjalanan.
"Aku pamit dan mohon restu, Eyang!"
"Pergilah, Cu!"
Nyimas Rarasantang tak merasa perubahan yang berarti setelah mengenakan pakaian Sang Dewa Mulya
tersebut. Tapi sesungguhnya kalau terlihat orang biasa, Nyimas Rarasantang berjalan cepat laksana angin,
sehingga terlihat lebih cepat dari kelebatan bayangannya sendiri. Tidak mengherankan kalau dalam sekejap
telah berhasil sampai ke Gunung Liwung di hadapan Ki Ajar Sakti.
"Bangun dan tegakkan kepalamu, Cu!" jelas Ki Ajar Sakti yang linuwih dan waspada penglihatannya, begitu di
hadapannya bersimpuh putri trah Pajajaran, Nyimas Rarasantang. Dengan kesaktian sak durung winarahnya, Ki
Ajar Sakti telah mengetahui apa maksud dan tujuan Nyimas Rarasantang datang ke tempat mukimnya
tersebut. "Ketahuilah, Cu, kakakmu itu, Prabu Anom Walangsungsang trah Pajajaran sekarang ini sudah beristri,
Indangayu namanya, putri Eyang Danuwarsih, di Gunung Maraapi mukimnya. Sebaiknya engkau menyusul ke
sana. Tapi sebelum meninggalkan tempat ini, untuk keselamatanmu sendiri, mulai saat ini kau harus mengganti
namamu. Aku beri nama kau Ratnaeling. Gunakanlah nama itu sampai kau memperoleh apa yang kau
inginkankan. Menurut penglihatanku, kelak kau akan punya seorang putra lelaki pinilih. Semoga saja
penglihatanku ini tidak meleset, Cu!"
Nyimas Rarasantang berterima kasih, lalu segera pamit. Ia yang telah berubah nama menjadi Nyai Ratnaeling
terus berjalan menuju Gunung Maraapi. Keanehan demi keanehan mulai datang menghampirinya, terkadang ia
sendiri tidak menyadari sepenuhnya. Seperti juga tidak selalu sadar dengan pakaian Sang Dewa Mulya yang
dikenakannya. *
Puncak Gunung Maraapi. Malam belum terlalu tua. Bulan menghilang di balik awan melahirkan malam yang tenang. Dari sebuah pondok
semburat cahaya api dari sela-sela bilik, agak redup tersamarkan kabut malam yang mulai naik menjadikan
cahaya yang berkilauan dalam temaram. Prabu Anom Walangsungsang sedang mendapat gemblengan ilmu
kanuragan dari Eyang Danuwarsih, yang kini telah jadi mertuanya. Nyai Nini Indangayu mengamati dari jarak
agak jauh. Berkali-kali ia senyum-senyum sendiri menyaksikan lelaki pujaan hatinya sedang berlatih. Sesekali
ia tengadah melihat langit yang makin menghitam, dihiasi satu dua kerlip bintang. Ia tertegun melihat luasnya
langit. Nini Indangayu menguap. Kantuk menyerangnya. Tapi ia tidak meninggalkan tempat duduknya sebelum Prabu
Anom Walangsungsang selesai berlatih. Begitulah hari-hari belakangan ini, ada yang baru dalam kehidupannya,
kadang senang tapi tak jarang seperti terkaget-kaget seolah baru bangun dari mimpinya. Betapa tidak,
kehadiran seorang lelaki asing yang dalam waktu singkat begitu saja menjadi bagian tak terpisahkan dari
kehidupannya. Nyai Nini Indangayu menguap lagi. Angin yang semilir semakin menambah rasa kantuk,
akhirnya ia tertidur di tempat duduknya.
Sementara itu Prabu Anom Walangsungsang dan Eyang Danuwarsih masih belum ada tanda-tanda akan
menyudahi latihannya. Seiring malam makin larut, angin mulai tidak bersahabat, dingin menusuk-nusuk kulit, gemintang di langit
malam makin semarak, berkelompok-kelompok besar dan kecil. Dari sekian banyak kelompok, ada satu
bintang yang cahayanya paling terang. Persis ketika bintang yang jaraknya paling jauh itu seperti mendekat ke
arah puncak gunung, Prabu Anom Walangsungsang dan Eyang Danuwarsih baru selesai semedi. Bintang terang
itu makin lama makin dekat seperti turun ke puncak gunung. Eyang Danuwarsih tengadah sehingga wajahnya
terlihat berkilauan pantulan dari cahaya bintang terang tersebut. Prabu Anom Walangsungsang berdecak
kagum dengan pemandangan malam itu. Begitupun Nyai Nini Indangayu terbangun dari tidur ketika matanya
merasakan silau diterpa cahaya bintang yang sangat terang. Bintang terang itu seperti mengambang di atas
puncak gunung, di atas kepala Eyang Danuwarsih persisnya, jauh dari langit malam.
Terdengar Eyang Danuwarsih bicara dengan mata masih terpejam.
"Malam inilah saat yang baik untuk memberikan cincin pusaka turunan dari Dipati Suryalaga, Nak!" ujar Eyang
Danuwarsih. Suaranya terdengar agak aneh. Prabu Anom Walangsungsang menatap Nini Indangayu, meminta
pertimbangan apa yang harus dilakukannya. Ditatap seperti itu Nini Indangayu malah tersenyum menggoda,
lalu mengangguk, membuat Prabu Anom Walangsungsang semakin tidak mengerti.
"Baik, Kek!" Eyang Danuwarsih memicingkan mata. Ia melihat dengan jelas bagaimana salah tingkahnya Prabu Anom
Walangsungsang saat itu. Ia kini benar-benar membuka matanya, lalu merogoh sesuatu dari balik kampret
putihnya, satu buah kanjut kundang. Kantong itu ditimbang-timbangnya. Angin tiba-tiba menebak kencang dari
arah belakang Prabu Anom Walangsungsang, membuat pakaiannya meriap-riap t erterpa angin, begitupun
rambut panjangnya yang malam itu dibiarkan tergerai. Rambutnya itu menutup matanya sekarang. Ia
menyibakkan rambutnya ke belakang, tapi angin menerpanya kembali. Nyai Nini Indangayu diam-diam
mendekat, lalu menyodorkan selendang. Dengan selendang itulah rambutnya yang meriap-riap itu diikat.
"Terima kasih, Indangayu!" ucap Prabu Anom Walangsungsang. Nyai Nini Indangayu mengangguk lalu mundur
menjauh dan duduk kembali di tempatnya semula.
"Kau tahu apa kegunaan cincin ini, Nak?"
Walangsungsang menggeleng.
"Dengan cincin ini kau bisa menerawang untuk mengetahui isi jagat dan tujuh lapis langit. Seperti petunjuk
yang empunya cincin ini, kau bisa memasukkan apa pun ke dalamnya sebanyak yang kau punya, bahkan bisa
memuat laut dan gunung," jelas Eyang Danuwarsih. Prabu Anom Walangsungsang tercengang mendengarnya.
"Sungguh luarbiasa! Bagaimana aku bisa membawanya, Kek!"
"Kau tinggal memakainya karena ini telah menjadi bagian hidupmu. Mudah-mudahan dengan perantaraan
cincin ini, apa yang kau kehendaki dan rencanakan bisa terlaksana, juga memperdalam ilmu Islam, kecuali
keinginan yang berhubungan dengan Rama Prabu, seantara lagi kau sendiri akan mengetahuinya. Prabu Anom
Walangsungsang mengangguk takzim, sekalipun ia belum mencerna semua ucapan mertuanya itu. Ia tidak
paham dengan kata-kata "seantara lagi kau akan mengetahuinya". Mengetahui apa" Mengetahui ajaran Islam"
Lalu apa hubungannya dengan
Rama Prabu" "Ajian ini hanya pelengkap saja, Nak, untuk menolak bala agar kau tidak terpengaruh ilmu asihan dan ilmu
pengabaran orang lain," tambah Eyang Danuwarsih. Prabu Anom Walangsungsang menerima semua pemberian
mertuanya tersebut diiringi tatapan sang istri, Nyai Nini Indangayu.
___ (Ilmu pengasihan atau ilmu pelet dalam khazanah dunia supranatural adalah ilmu atau ajian untuk
mempengaruhi kesadaran orang lain, sehingga bisa tunduk dan mencintai secara berlebihan pada
pengirim pengasihan tersebut.
Di dunia kanuragan atau dunia persilatan, Ilmu pengabaran termasuk salah satu ilmu yang banyak dicari,
karena bisa meluluhkan orang lain hanya dengan tatapan
____
Serah terima ilmu dan ajian itu selesai tepat ketika langit di sebelah timur mengibarkan cahaya fajar pertama
berwarna merah muda pucat, menampakkan undak-undakan perbukitan dan pucuk belantara. Ketiganya masih
tetap terjaga, tak sedikit pun ada tanda-tanda terserang kantuk. Seperti sudah disepakati bahwa ketiganya
akan menunggu di tempat itu sampai fajar menyingsing. Udara mengalir tenang membawa suara-suara
binatang hutan dan suara lain yang entah berasal dari mana. Mungkin suara air nun jauh di bawah sana. Atau
suara binatang malam yang mengucapkan selamat tinggal karena pagi akan datang menjelang. Sayup-sayup
parau terdengar suara burung gagak. Seperti kelelahan setelah mengembara sepanjang malam.
Ketika fajar menyingsing dan matahari merambat naik, langit di sebelah timur terlihat bermandi cahaya
keperakan yang lembut, menerpa daun-daun, juga bebatuan dan wajah ketiganya. Nyai Nini Indangayu
menatap pada Prabu Anom Walangsungsang dengan mata penuh minat. Seperti juga penuh minatnya seorang
perempuan muda yang sedang bergegas menuju puncak gunung, jauh di bawah sana. Kadang la ngkahnya
seperti lebih cepat dari kelebatnya sendiri. Nyimas Rarasantang alias Nyai Ratnaeling perempuan itu.
Nyai Nini Indangayu bersingsut masuk ke dalam pondok, sebentar kemudian datang membawa nampan berisi
tiga cangkir dari batu berisi air minum yang telah diembunkan. Air seperti ini dipercaya akan memberi kekuatan
dan membuang racun-racun dari dalam tubuh.
"Minumlah, Nak, terlalu banyak keringat yang keluar sejak tadi malam," jelas Eyang Danuwarsih
mempersilakan Walangsungsang minum, setelah ia sendiri meneguk minumannya hampir tinggal setengah.
"Segar sekali, Kek!" puji Walangsungsang sungguh-sungguh. Eyang Danuwarsih melirik ke arah putrinya.
"Istrimu yang mempersiapkan semua ini!"
"Terima kasih, Indangayu!"
"Sama-sama, Kakang Prabu Anom Walangsungsang!" candanya dengan serta-merta menyebut nama lengkap
suaminya. Keduanya lalu tertawa disaksikan Eyang Danuwarsih yang juga ikut terkekeh.
Suasana penuh canda tawa di pagi yang cerah itu terhenti dengan kehadiran tamu.
"Sampurasun!" sapa tamu itu, suara lembut dan cukup jelas menandakan seorang perempuan, tapi tamu ini
bukan perempuan biasa. Ketiganya melirik ke arah datangnya suara. Dalam jarak dua tumbak, seorang
perempuan cantik berpakaian jawara, dengan ikat kepala yang sembarangan berdiri kukuh. Sorot matanya
tajam tapi tidak mengurangi kecantikan dan kelembuatannya.
"Rampes, Putri!" jawab Eyang Danuwarsih diikuti oleh Walangsungsang dan Nini Indangayu yang sama-sama
memperhatikan pada tamu yang baru datang. Eyang Danuwarsih berdiri dan matanya tak lepas dari pakaian
yang dikenakan perempuan itu. Ia hafal benar bahwa pakaian yang dikenakan tamunya itu adalah baju sang
dewa mulya. Sementara Walangsungsang pun sama-sama tak lepas menatap wajah perempuan itu, ia seperti
sedang mengingat-ingat sesuatu. Wajah perempuan itu terlalu akrab baginya, hanya saja pakaian dan tingkah
lakunya yang agak mengaburkan kesejatiannya.
"Dari mana Putri ini dan hendak ke mana?" selidik Eyang Danuwarsih. Sebelum tamu itu menjawab, terdengar
Prabu Anom Walangsungsang bergumam:
"Nyimas" Rarasantang?"
"Kakang!" Tak tahan menahan rasa kangen, tanpa mempedulikan Eyang Danuwarsih dan Nyai Nini Indangayu - sedari
tadi hanya menatap penuh tanda tanya bahkan sempat berdesir rasa cemburu manakala suaminya tak lepas
menatap perempuan di hadapannya itu - Nyimas Rarasantang alias Nyai Ratnaeling langsung menghambur,
merangkul kakaknya. Melihat pemandangan seperti itu, kini Nyai Nini Indangayu benar-benar dibakar api
cemburu. "Adikku, Rarasantang!"
"Kakang!" jerit bahagia Nyai Ratnaeling, memeluk erat kakaknya. Tangis pun meledak berderai-derai. Tangan
Walangsungsang tak henti mengusap kepala adiknya. Airmata terus berderai saling susul-menyusul setiap Nyai
Ratnaeling menyekanya dengan ujung selendang. Baru kali ini mengerti bahwa tangisan itu sesungguhnya
nikmat yang tidak terkira. Rasa kangen yang membuncah di dada dan rasa lelah yang membungkus sekujur
tubuhnya, begitu saja lenyap saat ia bertemu kakaknya dan bisa menumpahkan airmata. Tidak. Sama sekali
tidak malu dilihat Eyang Danuwarsih dan Nyai Nini Indangayu. Nyai Ratnaeling pun seperti tidak peduli dengan
kehadiran mereka berdua, sekalipun ia sadar bahwa dirinyalah yang datang sebagai tamu.
"Kenapa kau bisa sampai di sini?" tanyanya haru. Tak pernah terpikir sedikit pun bahwa adiknya yang selama
ini tak pernah jauh dari kaputren, secara mencengangkan tiba-tiba bisa menempuh perjalanan yang sangat
jauh tanpa ditemani seorang pun prajurit kerajaan.
Sejenak Walangsungsang dan Nyai Rat naeling tenggelam dalam kesedihan sekaligus kerindua n, mereka
berdua tidak berkata apa-apa. Kakak beradik kandung itu hanya mampu menangis hingga akhirnya
Walangsungsang melepaskan dekapannya. Nyai Ratnaeling masih saja memegang erat tangan kakaknya.
Bibirnya bergerak-gerak berusaha untuk berkata sesuatu. Akan tetapi, ia tidak berhasil melisankan satu kata
pun karena setiap akan bicara, desakan dari dalam dadanya itu selalu berontak dan memancing airmata untuk
terus berderai. Walangsungsang tersenyum dan menepuk-nepuk pundak adiknya sambil memberi isyarat
dengan gerakan matanya, bahwa mereka di sini tidak berdua, sejatinya saling berkenalan terlebih dahulu.
Walangsungsang juga khawatir ketika melirik istrinya yang hanya menghentak-hentakkan kakinya ke tanah,
tampak ia masih dibakar api cemburu. Hanya saja Nyai Nini Indangayu tidak langsung menghambur ke dalam
pondok melihat suaminya berpelukan dengan perempuan lain tersebut. Nyai Ratnaeling mengangguk. Ia hanya
mampu melukis sesungging senyum kecil lalu mundur ke samping memberi kesempatan kepada kakaknya
untuk memutar tubuhnya, menghadap kepada Eyang Danuwarsih.
"Maafkan aku, Kek, perkenalkan ini adalah adikku, Nyimas Rarasantang namanya. Tak bisa aku bayangkan ia
berjalan sendiri dari keraton hingga sampai di tempat ini..." jelas Prabu Anom Walangsungsang. Ia lebih senang
memanggil kakek sebagai penghormatan pada Eyang Danuwarsih sekalipun statusnya bapak mertua. Eyang
Danuwarsih mengangguk sambil bicara:
"Sudah kuduga sejak semula," katanya; "dari paras wajahnya aku melihat ini bukan perempuan biasa. Kau
cantik sekali, Nak, tapi juga memiliki kekuatan."
Dipuji seperti itu Nyai Ratnaeling hanya menunduk bersemu malu, lalu menghormat pada Eyang Danuwarsih,
merapatkan kedua tangan di dada sambil merendahkan kepala. Sementara Prabu Anom Walangsungsang
berjalan ke arah Nyai Nini Indangayu, merentangkan kedua tangannya begitu ad
a di hadapannya. Nyai Nini
Indangayu menunduk malu. Ia tahu sekarang bahwa perempuan cantik yang sempat dicemburuinya tadi
adalah adik iparnya sendiri.
"Kemarilah, Indangayu!" goda Walangsungsang diiringi senyum mengembang. Nyai Nini Indangayu mundur
selangkah dengan wajah seperti ketakutan. Eyang Danuwarsih hanya tersenyum melihat lagak putrinya itu,
lalu menatap pada Nyai Ratnaeling dan mengembangkan tangan memberi isyarat agar keduanya cukup
menonton saja. Nyai Ratnaeling mengangguk diiringi senyum penuh penghormatan.
"Kemarilah!" Nyai Nini Indangayu menggelengkan kepala.
"Ayo, akan aku perkenalkan pada adikku bahwa inilah istriku yang cantik!"
Nyai Nini Indangayu menggeleng makin kencang tapi bibirnya bergerak-gerak seperti menahan tawa.
Tanpa menunggu terlalu lama, dengan gerakan sangat cepat dan di luar dugaan mereka bertiga, dengan sekali
rengkuhan, Prabu Anom Walangsungsang mengangkat tubuh istrinya lalu dibawanya ke hadapan Nyai
Ratnaeling dan Eyang Danuwarsih. Nyai Nini Indangayu hanya bisa meronta-ronta beberapa saat, lalu diam dan
menghambur pada Nyai Ratnaeling begitu ia turun dari pangkuan suaminya. Keduanya kemudian saling
berpelukan, layaknya dua orang sahabat yang lama terpisahkan jarak dan waktu.
"Salam hormat buatmu, Kak!" ujar Nyai Ratnaeling.
"Terima kasih adikku! Siapa namamu?"
"Rarasantang, Kak, tapi sekarang aku sudah ganti nama seperti diajarkan guru. Aku memakai nama
Ratnaeling!" jelas Nyai Ratnaeling.
"Panggil aku Indangayu!"
Keduanya melepas pelukan dan hanya saling berpegangan, saling menatap. Tangan Nyai Nini Indangayu refleks
mengucek-ucek kepala adik iparnya penuh sayang sampai selendang yang dipakai mengikatnya terbuka, jatuh
ke pundaknya. Keduanya kemudian tertawa.
Sambil melepas lelah, Nyai Ratnaeling dijamu alakadarnya. Di pondokan di puncak Gunung Maraapi ini, tentu
saja Eyang Danuwarsih tak bisa menghormat sebagaimana biasanya penghormatan di Keraton Pakuan untuk
setiap tamu yang datang. Tapi dengan penerimaan yang tulus, justru semuanya terasa menyenangkan. Nyai
Ratnaeling pun mulai kerasan dan hanya menyerahkan pada nasib apa yang akan terjadi kemudian. Setelah
bertemu dengan Prabu Anom Walangsungsang, ia bertekad akan mengikuti jejak langkahnya untuk bersamasama mempelajari ilmu Islam. Tidak ada harapan selain itu.
"Aku bahagia kau bisa sampai ke tempat ini dengan selamat, Rarasantang, adikku. Tapi apa sesungguhnya
keinginanmu sehingga mau meninggalkan kesenangan tinggal di keraton?" tanya Prabu Anom Walangsungsang
setelah adiknya itu cukup beristirahat. Ditemani Nyai Nini Indangayu mereka bercakap-cakap di tengah lapang,
di depan pondokan sambil duduk di batu datar yang terlihat hitam mengkilat. Mendapat pertanyaan seperti itu,
Nyai Ratnaeling tak segera menjawab. Matanya mengerjap-ngerjap seperti membayangkan kembali


Prabu Siliwangi : Bara Di Balik Terkoyaknya Raja Digdaya Karya E. Rokajat Asura di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

perjalanan kaburnya dari Keraton Pakuan.
"Aku merasa kehilangan kau, Kakang! Itu yang pertama. Kedua aku mendapat petunjuk lewat mimpi..." jelas
Nyai Ratnaeling kemudian menceritakan perjalanan menegangkan dan melelahkan itu. Prabu Anom
Walangsungsang mendengarkan dengan saksama. Begitu pula Nyai Nini Indangayu. Bahkan seb agai sesama
perempuan, mendengar cerita adik iparnya itu, berkali-kali Nyai Nini Indangayu berdecak kagum.
"Luarbiasa, aku kagum dengan keteguhan hatimu, Rarasantang!"
"Nyai Ratnaeling!" Nyai Nini Indangayu mengingatkan suaminya.
Walangsungsang tersenyum. "Ya, Nyai Ratnaeling!" katanya kemudian. "Bagaimana dengan Kanjeng ibu" Rama
Prabu?" Nyai Ratnaeling menggelengkan kepala. K esedihan tiba-tiba bergelayut kembali di pelupuk matan ya. Ia
menunduk haru. Rasa kangen kepada ibu dan ayahandanya di Keraton Pakuan serta-merta menyergap. Seperti
juga rasa kangen yang dirasakan Ratu Subanglarang dan Sri Maharaja Prabu Siliwangi saat itu.
"Aku tak tahu, Kakang!" jelas Nyai Ratnaeling kemudian tersedu; "terakhir kali aku melihat Kanjeng ibu saat aku
berdua mengobrol sehari sebelum kepergian tiga prajurit ke arah timur menjemput utusan dari Kandang Wesi,
karena beberapa minggu terlambat mengirimkan upeti."
"Kau juga tak tahu kabar Rama Prabu?" selidik Walangsungsang. Nyai Ratnaeling mengangguk. Hanya dengan
satu kedipan, airmata yang sudah menggelayut di sudut matanya itu jatuh berderai ke pipi. Nyai Nini
Indangayu menyikut suaminya agar tak meneruskan pertanyaan-pertanyaan yang menggugah kesedihan adik
iparnya tersebut. Untuk beberapa saat keheningan tercipta. Nyai Ratnaeling dibiarkan beristirahat ditemani Nyai Nini Indangayu,
sementara Prabu Anom Walangsungsang terus mempelajari kitab-kitab kuno dalam lembaran-lembaran kulit
tentang berbagai ilmu, baik dalam bentuk syair maupun ungkapan-ungkapan simbolik. Dalam mempelajari
sesuatu Prabu Anom Walangsungsang bisa lebih mudah menyerap. Keteguhan memegang prinsip dan
semangat pantang menyerah itulah sesungguhnya yang sejak kecil sudah terlihat menonjol pada Prabu Anom
Walangsungsang. Hal ini pula yang membuat Sri Maharaja Prabu Siliwangi merasa yakin, Prabu Anom
Walangsungsanglah sebagai penerus tahta Pajajaran kelak.
Terlalu banyak berharap pada Prabu Anom Walangsunsang itu pula yang membuat Sri Maharaja Prabu
Siliwangi begitu terpukul manakala mengetahui putranya itu memilih keluar dari istana daripada mengikuti
perintahnya agar tidak macam-macam dalam memilih keyakinan. Untuk Sri Maharaja Prabu Sili wangi, ajaran
Jati Sunda sudahlah sempurna.
"Kalaulah ajaran Selam itu adalah bagian dari kepercayaan leluhurku atau akan memperteguh keberadaan
leluhurku, tentu saja untuk mempelajari ajaran baru itu, putra mahkotaku tak harus meninggalkan istana. Tapi
karena ia akan mencari guru sejati sekaligus mempelajari agama baru itulah, wahai Hyang Jaga Nata, aku tak
rela," gumam Sri Maharaja Prabu Siliwangi suatu hari dalam kebimbangannya.
Sri Maharaja Prabu Siliwangi tak bisa membayangkan jika kepergian calon putra mahkotanya untuk
mempelajari ajaran baru tersebut, juga kelak akan menerima dampak yang lebih besar lagi. Sejarah kemudian
mencatat kelak bagaimana pasukan Prabu Siliwangi harus terlibat dalam beberapa peperangan melawan
tentara bodas dari pasukan Selam Demak.
(Sri Maharaja Prabu Siliwangi menyebut agama Islam dengan kata Selam atau tentara Islam dengan sebutan
"tentara bodas" [tentara putih], seperti didapatkan dalam naskah Carita Parahyangan.)
Prabu Anom Walangsungsang yang cerdas, telah menarik perhatian Eyang Danuwarsih. Pandangan orangtua
suci ini demikian yakin bahwa dialah seorang pangeran yang cocok sebagai pemimpin untuk dirinya, keluarga
dan masyarakat. Suatu hari saat mereka berkumpul, Eyang Danuwarsih bicara:
"Aku senang sekali kalian bisa cepat akrab, Nak. Tapi jangan sekali-kali kalian lupa dengan t ugas masingmasing. Aku cuma mau mengingatkan waktu itu seperti gurita, kalau tidak hati-hati kita akan terjerat oleh
tangan-tangannya." "Ya, Ayah! Terima kasih sudah diingatkan!" jelas Nyai Nini Indangayu diamini Nyai Ratnaeling.
"Sebaiknya segera persiapkan jiwa dan raga kalian, karena sebentar lagi kalian harus meninggalkan tempat ini.
Kalian harus berguru kepada sang guru sejati yang berada di Gunung Ciangkup. Bergurulah kalian kepada
Eyang Nanggo," jelas Eyang Danuwarsih kemudian. Mendengar kata-kata itu ketiganya tersentak kaget. Tak
pernah mengira kalau keberadaan di Gunung Maraapi hanya untuk istirahat sejenak, seperti musafir yang
berteduh sebelum akhirnya meneruskan perjalanan lagi yang entah di mana akan berhenti lagi atau siapa tahu
justru tak akan pernah berhenti lagi. Siapa yang tahu!
*
CINCIN AMPAL Prabu Anom Walangsungsang hanya tertegun. Perjalanan menuju Gunung Ciangkup serasa di depan mata. Tapi
berbeda dengan saat pergi meninggalkan Keraton Pakuan, Prabu Anom Walangsungsang kini merasakan
langkahnya tak sebebas dulu. Bagaimana dengan istri dan adiknya" Kalau memang harus dibawa, tentu
langkahnya akan semakin terasa terbatasi. Betapapun ilmu kesaktian telah digenggamnya, baik Nyai Nini
Indangayu maupun Nyai Ratnaeling, tetap sesosok perempuan yang berbeda dengan dirinya. Ada
keterbatasan-keterbatasan tertentu yang menjadi fitrahnya sekuat apa pun penolakan pada fitrah tersebut.
Walangsungsang makin terlihat bingung. Hari masih gelap kala itu.
"Ada apa denganmu, Nak" Seperti berat sekali kelihatannya. Telah berkurangkah semangat dalam hatimu
untuk mencari guru sejati, yang akan mengantarkan kau pada ajaran Kanjeng Muhammad itu?" selidik Eyang
Danuwarsih. "Tentu saja tidak, Kek! Tapi sesungguhnya secara jujur perjalanan ini lebih berat dibanding ketika aku pergi dari
Keraton Pakuan!" jelas Walangsungsang.
"Karena kehadiran adik dan istrimu, maksudmu?" tebak Eyang Danuwarsih. Ia memang telah menduga apa
yang dipikirkan murid sekaligus menantunya itu.
Walangsungsang tersentak kaget tapi mencoba menyembunyikan di balik senyumnya yang mengembang.
Luarbiasa, puji dalam hatinya, keluhuran ilmu Eyang Danuwarsih memang bertingkat-tingkat di atasku.
Gemblengan dari Eyang Danuwarsih bukan hanya gerak fisik atau memperhalus ilmu bela diri. Selama ada di
pondok ini, Prabu Anom Walangsungsang diasah masalah rasa dan hatinya sehingga menjadi lebih terbuka.
Selain itu Walangsungsang sendiri dibiarkan mempelajari kitab-kitab yang lebih menitikberatkan pada
pencarian jati diri sesungguhnya. Untuk beladiri silat Gulung Maung telah dikuasai Walangsungs ang dengan
sempurna, dan hal ini dalam pandangan Eyang Danuwarsih cukup ampuh untuk menjaga diri dari serangan
musuh baik perorangan maupun berkelompok. Jurus bela diri yang tertutup bagi kalangan luar istana ini
memang telah terbukti dapat diandalkan. Hanya saja jurus silat yang memegang prinsip kembangna cilaka,
buahna pati (bunganya celaka, buahnya mati) ini bagi Eyang Danuwarsih terlalu buas, sehingga salah satu cara
untuk meredamnya adalah dengan memperhalus rasa sehingga membuahkan karsa yang halus pula.
"Sedikit banyak memang ada pengaruhnya, Kek!" jelas Walangsungsang pada akhirnya. Tidak merasa perlu lagi
untuk menyembunyikan apa yang ada dalam hatinya, oh seringkali bisikan-bisikan hati malah telah tertangkap
oleh lelaki sakti di hadapannya itu.
"Seharusnya kau bersyukur, Nak, karena bisa berkumpul dengan adikmu dan ditemani istrimu. Inilah kekuatan
yang tak bisa tertandingi oleh kekuatan apa pun. Bersatunya rasa dua orang saudara dan seorang istri dalam
sebuah keluarga, untuk satu tujuan yang mulia, tak akan ada kekuatan yang bisa menghentikannya selain
mereka sendiri berniat menghentikannya. Kuharap kau tidak memilih yang terakhir itu, Nak!"
"Semoga saya bisa mempersatukan rasa itu, Kek!"
"Harus! Kau harus bisa mempersatukan rasa itu agar menjadi kekuatan yang hebat!"
"Sekalipun barangkali langkahku akan sed ikit terganggu!" jawab Walangsungsang masih sedikit k hawatir.
Mendengar hal itu, Eyang Danuwarsih terkekeh, memperlihatkan gigi-giginya yang putih dan masih rapi
sekalipun usia tak bisa disembunyikan dari gurat-gurat tajam pada sudut mata dan keningnya.
"Apa kau berpikir jasmani akan mengalahkan kekuatan ruhani" Kau tak menemukan sedikit pun pelajaran dari
kitab-kitab tua yang kau pelajari selama ini?"
"Maksud Kakek?"
"Jasmani tak akan pernah kalah oleh ruhani, Nak! Ketika jasmani ditinggalkan ruhani, maka ia menjadi mayat
yang tak bergerak dan gampang dikerubuti dan dihancurkan cacing. Tapi ketika jasmani masih berisi ruhani,
kekuatan cacing kehilangan daya hancurnya..."
"Maksud kakek ruhani lebih penting dari jasmani?"
"Tidak! Aku tidak bermaksud mengatakan seperti itu. Tapi bahwa sumber kekuatan manusia terletak pada rasa
yang terasah yang bersumber pada kekuatan ruhani, itu memang tak bisa disangkal lagi...." jelas Eyang
Danuwarsih yang telah menambah cara pandang yang baru bagi Walangsungsang tentang rasa. Di belakang
tempat duduknya dalam jarak satu tumbak, Nyai Nini Indangayu dan Nyai Ratnaeling bersimpuh. Keduanya
mendengar perbincangan itu tanpa mengganggu.
"Kalau begitu dengan rasa dan kekuatan ruhani itulah aku harus membawa Indangayu dan adikku, Ratnaeling,
Kek?" simpul Walangsungsang.
Eyang Danuwarsih mendongak melihat langit yang masih pekat. Ada yang membuat terpaksa menahan
senyum mendengar keluguan menantu serta muridnya ini. Gemintang bersembunyi di balik awan sehingga
kerlipnya terlihat makin samar. Angin semilir dari arah bukit mempermainkan lidah api dari obor yang ditempel
dekat dinding pondok dan beberapa obor lainnya diletakkan pada batang bambu setinggi pundak, di empat
sudut halaman depan pondok. Satu di antaranya pada tiang di belakang tempat duduk Nyai Nini Indangayu
dan Nyai Ratnaeling bahkan telah padam, sehingga cahaya di sekitar terlihat lebih redup.
"Kau rupanya telah lupa dengan anugerah yang diberikan Yang Mahakuasa kepadamu, Nak! Dengan kekuatan
yang ada padanya kau tak perlu mengerahkan rasa dan kekuatan ruhanimu..."
"Maksud Kakek?"
"Kau tak ingat dengan cincin Ampai yang ada di jari manismu?"
Prabu Anom Walangsungsang tersentak. Segera ia meraba jari manis sebelah kirinya. Masih melingkar cincin
Ampai di jarinya itu. Dari bentuknya tak ada yang istimewa dengan cincin itu. Namun ketika dibacakan amalan
tertentu, maka cincin itu menjadi perantara terpancarnya kekuatan dari Yang Mahakuasa sumber segala
kekuatan. "Bacalah amalan itu, Nak! Dengan izin Yang Mahakuasa, kau akan mampu memasukkan apa pun yang besar
ke dalam cincinmu itu..."
"Indangayu dan adikku juga bisa masuk ke dalamnya, Kek?"
"Lebih dari itu pun bisa!"
"Tapi bacaan apa yang harus aku amalkan itu, Kek?"
"Ah, kau rupanya masih tetap berkutat dengan kekuatan jasmani. Kekuatan lahir cincin Ampal itu tak ada
bedanya dengan cincin-cincin lainnya. Kau tak bisa mengharap terlalu banyak pada kekuatan jasmani cincin itu,
Walangsungsang!" "Maaf, Kek, karena memang aku belum mendapatkan bacaan pembukanya!"
"Mendekatlah!" Prabu Anom Walangsungsang mendekat. Kini mereka duduk bersila berhadapan, lutut mereka saling bertemu.
Pada saat itulah Walangsungsang merasakan angin berhembus lebih dingin dari biasanya.
"Serahkan dirimu pada Yang Mahakuasa, karena sekali-kali kau tak punya kuasa sedikit pun, juga pada dirimu
sendiri..." bisik Eyang Danuwarsih. Napasnya berhembus mengikuti angin malam. Kini Walangsungsang mulai
merasakan getaran yang menjalar dari lut ut naik ke atas sehingga di luar kendalinya tangannya i kut bergetar.
Semakin kuat memegang lutut, semakin kuat pula getaran yang dirasakan sehingga kini badannya bergerakgerak di luar kendalinya. Nyai Nini Indangayu dan Nyai Ratnaeling saling pandang.
"Kenapa Kakakku?" bisik Nyai Ratnaeling lalu menggigit bibir agar tak keluar suara. Ia tak ingin
mengganggunya. Juga tak ingin beranjak dari tempat itu sekalipun dingin mulai terasa menyelusup ke balik
kebayanya. "Mungkin sedang diisi bacaan pembuka aura!"
"Ceuceu pernah mengalaminya?"
Nyai Nini Indangayu menggeleng. "Tidak!" katanya hampir berupa desahan.
Sementara Eyang Danuwarsih masih juga dalam posisi semua, duduk bersila dengan kedua tangan memegang
lutut. Punggungnya terlihat tegak berdiri seperti patok bambu menembus bumi. Ia sedang mengalirkan energi
bumi kepada dirinya untuk kemudian dialirkan kepada tubuh Walangsungsang. Putra Pajajaran itu kini
merasakan pengalaman yang fantastik. Tidak saja tubuhnya bergerak-gerak sendiri di luar kendalinya, tapi juga
merasakan bagaimana aliran udara dingin mengalir dari lututnya yang beradu dengan lutut Eyang Danuwarsih.
Aliran udara dingin itu lalu terasa mengalir melalui aliran darahnya dan menyebar ke seluruh tubuhnya,
kemudian perlahan menghangatkan sekujur tubuhnya. Inilah yang tidak ia mengerti. Seperti juga tidak
dimengertinya cara Eyang Danuwarsih yang katanya mau mengajarkan bacaan untuk membuka cincin
Ampainya. Prabu Anom Walangsungsang terus konsentrasi dan menyerahkan dirinya pada Yang Mahakuasa, sehingga ia
bergerak di luar kehendaknya bergerak, ia mengatupkan bibir di luar keinginannya untuk mengatupkan bibir.
Pada saat-saat seperti itulah ia merasa tubuhnya mengecil dan semakin kecil, lalu melayang entah di mana
adanya. Hanya satu hal yang ia rasakan hembusan-hembusan napas dari mulut Eyang Danuwarsih.
Pengalaman batin yang sedang menyelimuti Walangsungsang itu, juga membuat decak kagum Nyai
Ratnaeling. Di Keraton Pakuan memang ia sering melihat bagaimana para prajurit yang melayang-layang
terbang baik ketika naik kuda maupun saat mempermainkan pedang. Tapi bahwa tubuh yang terangkat dari
tempat duduknya sedikit demi sedikit tanpa keinginan si pemilik tubuh, baru dilihatnya malam ini. Refleks
tangannya memegang tangan kakak iparnya manakala tubuh Walangsungsang benar-benar terangkat ke
udara lebih dari lima jengkal. Lalu tubuh itu diam dalam posisi melayang untuk beberapa saat sebelum
akhirnya secara perlahan turun kembali.
"Bukalah matamu, Nak!" perintah Eyang Danuwarsih. Walangsungsang membuka mata. Ia kembali merasakan
seluruh kesadarannya, duduk bersila berhadapan dan kedua lutut saling beradu.
"Rasakan bahwa kau sekarang bisa mengendalikan dirimu sendiri!"
Walangsungsang mulai menggerakan tangannya ke depan, ke samping, berhenti, menekuknya dan
menyimpannya kembali di atas lutut sesuai dengan keinginannya.
"Apa yang kau rasakan?"
"Aku bisa kembali mengendalikannya, Kek!"
"Bagus!" "Sekarang lafalkan bacaan itu!"
"Bacaan mana, Kek?"
"Bacaan untuk membuka tirai cincin Ampalmu!"
Walangsungsang sejenak berpikir. Kini ia merasa ingatannya seperti sedang mencari-cari sesuatu dalam gelap,
lalu menemukan sumber cahaya. Cahaya itu yang kemudian menggerakkan bibirnya untuk melafalkan sesuatu
yang selama ini belum pernah dipelajarinya.
"Sekarang lihatlah cincinmu itu, Walangsu ngsang!"
Walangsungsang kemudian melihat cincin Ampalnya yang melingkar di jarinya. Sinar kebiruan berkilauan dari
emas dengan sebutir batu safir bersinar terang. Semakin dipandang maka sinar yang ada dalam batu itu
semakin terang, berputar-putar membentuk pusaran dan semakin dalam menunjukkan sebuah rongga yang
besar. Rongga mirip terowongan itu kini terlihat jelas dari sebentuk cincin yang selama ini dipakainya.
Walangsungsang mengusap-usap batu safirnya sehingga sinarnya semakin terang dan menjadi satu-satunya
sumber penerangan di tempat itu mengalahkan kerlip bintang dan cahaya obor. Batu safir itu seolah bersinar
sendiri di dalam tempat itu menyerupai bentuk lampu mercusuar. Walangsungsang benar-benar berdecak
kagum, ia seperti bermandi cahaya kebiruan. Begitu juga Nyai Nini Indangayu dan Nyai Ratnaeling, sementara
Eyang Danuwarsih hanya tersenyum lembut.
"Cincin Ampal ini dibuat oleh kekuatan batin seorang guru sejati, memahatkan batu yang jatuh dari langit itu
selama bertahun-tahun. Ia tidak saja telah mengorbankan jiwa raganya untuk membuat cincin itu.
Berbahagialah kau yang telah mendapat kesempatan mengenakannya," urai Eyang Danuwarsih di antara
decak kagum ketiga orang yang sedang larut dalam pesona mencengangkan itu. Walangsungsang menatapnya
dengan kagum. Ia telah mendengar tentang guru-guru sejati zaman kakek buyutnya dahulu, yang selalu
membuat senjata dengan segenap jiwa dan raganya untuk dipergunakan sang raja agar bisa menumpas
segala bentuk kezaliman di dunia ini. Kini ia melihat sendiri mahakarya leluhurnya itu dalam sebentuk cincin
Ampai. Hanya sebuah cincin, sekalipun belum pernah melihat ada yang seindah itu.
Eyang Danuwarsih berdiri, mengarahkan pandangannya pada Nyai Nini Indangayu, lalu memberi isyarat agar
mendekat. Nyai Nini Indangayu berdiri lalu bergegas berjalan ke arah ayahnya meninggalkan Nyai Ratnaeling.
"Berdirilah, Anakku!" katanya kemudian. Nyai Nini Indangayu berdiri di hadapan ayahnya.
"Pusatkan perhatianmu bahwa kau kecil dan lebih kecil dari segala prasangka yang ada dalam dirimu!"
Nyai Nini Indangayu terpejam dan memusatkan segala perhatiannya sambil berkali-kali menggumamkan katakata; "aku kecil dari apa pun yang ada... aku kecil dari segala prasangka yang ada dalam diriku... aku kecil...
kecil... dan keciillll.... "
Eyang Danuwarsih menatap, lalu memberi isyarat pada Walangsungsang.
Walangsungsang menggerakkan tangannya ke depan, mengarahkan cincin Ampalnya itu ke arah tubuh Nyai
Nini Indangayu. Sinar kebiruan itu memancar makin kuat lalu membungkus tubuh Nyai Nini Indangayu. Ia
semakin terpana ketika tubuh Nyai Nini Indangayu tersedot cahaya biru lalu masuk ke dalam terowongan
pusaran cahaya di dalam cincinnya. Cahaya biru itu kemudian meredup dan hilang sama sekali, sehingga
tempat itu kembali meremang karena hanya disinari tiga cahaya obor di tiga sudut lapangan itu serta remang
cahaya dari obor yang menempel di dinding pondok.
"Indah dan luarbiasa kesaktiannya," gumam Walangsungsang setelah sadar bahwa istrinya telah benar-benar
lenyap dari tempatnya, besemayam dalam cincin Ampalnya. Benar-benar hanya dalam sebuah cincin.
"Kau tak salah, Nak. Cincin itu indah dan kesaktiannya luarbiasa," jelas Eyang Danuwarsih. Kini Nyai Ratnaeling
bergabung dengan mereka, membentuk segitiga samakaki dengan titik tempat berdiri Eyang Danuwarsih
sebagai puncaknya; "tetapi juga paling berbahaya jika berada pada orang yang salah. Apa pun bisa masuk ke
dalamnya tanpa bisa diketahui oleh siapa pun kecuali yang memakai cincin itu sendiri. Cincin itu telah
ditakdirkan lahir ke dunia ini lengkap dengan kehebatan dan kelemahannya. Tapi ada satu keindahan dan
kesaktian yang sama sekali tak punya kelemahan."
"Apa itu, Guru?"
"Itulah tugas kau untuk mencarinya, Nak! Temukan kesejatian keindahan dan kesaktian yang sama sekali tak
punya kelemahan!" "Jadilah kau orang hebat yang bisa menemukan kesajatian itu!"
"Orang hebat" Adakah orang hebat di dunia ini, Kek?"
"Ada! Dunia telah melahirkan mereka orang-orang hebat untuk masa dan lingkungannya masing-masing. Kau
tahu salah satu ciri orang hebat?"
"Mungkin tahu, tapi adakah yang lebih sempurna dari jawaban seorang yang memberi pertanyaan itu sendiri?"
Eyang Danuwarsih terkekeh.
"Orang hebat adalah orang yang selalu bisa tersenyum saat semuanya berantakan. Dia bisa menyelesaikan
kesulitan. Kesulitan akan datang setiap hari, jadi jangan menyerah menghadapi kesulitan...." jelas Eyang
Danuwarsih, lalu tanpa diminta memutar tubuhnya, menengadah ke langit yang mulai ada bias keperakan di
ufuk timur sana. Ia melangkah meninggalkan kedua kakak beradik itu, masuk ke dalam pondok.
Walangsungsang menghela napas panjang. Malam itu tertancap dalam hati dan pikirannya tiga hal yang
luarbi asa: kehebatan cincin Ampal yang telah melumat sosok istrinya sendiri; ada satu sumber keindahan dan
kesaktian yang tak memiliki kelemahan; dan menjadi orang hebat.
Entah apa yang ada di benak Nyai Ratnaeling saat ini. Keduanya masih berdiri seperti patok bambu menembus
bumi. *
BASILAT Kecurigaan Patih Argatala bahwa ada musuh dalam selimut di Pajajaran semakin tak terbantahkan. Ia mulai
mencium bau busuk itu sekarang. Ia mengedarkan pandangan pada belasan prajurit terpilih yang
menyertainya, yang sedang duduk berselonjor di atas rumput, sebagian hilir-mudik, dan beberapa orang duduk
di atas batu dekat kuda-kuda mereka yang diikat pada pohon-pohon sambil diberi makan. Satu demi satu
wajah para prajurit itu diperhatikannya. Tak menemukan sesuatu yang bisa mengurangi desakan
kecurigaannya selain wajah-wajah kuyu dan lelah, seperti juga dirinya dan kuda-kuda itu, karena sudah
melewati dua malam Jumat tapi pencarian belum juga membawa hasil. Musuh dalam selimut" Patih Argatala
terhenyak. Siapa musuh siapa" Ia menggeleng. Batinnya tak bisa bohong.
"Ki Adi, Dipati Siput!" teriak serak Argatala. Ia berdiri dengan gamang.
"Aku, Kaka Argatala!" Dipati Siput mend ekat dan berdiri di samping Argatala yang dililit gundah.
"Dua malam Jumat kita lewati di belantara mencari Nyi Putri! Dan sekarang kita ketemu malam Jumat ketiga.
Aku hampir kehabisan akal, ke mana kita harus mencari?" gumam Argatala.
"Aku juga merasakan hal yang sama, Ka! Tapi jangan sampai rasa putus asa itu ketahuan oleh para prajurit


Prabu Siliwangi : Bara Di Balik Terkoyaknya Raja Digdaya Karya E. Rokajat Asura di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

yang menyertai kita!"
"Kau benar! Tapi aku sungguh tak bisa mengerti, kenapa setiap penerawangan kita menemuk an titik terang,
tiba-tiba saja tirai hitam sekonyong-konyong menutupinya, sehingga kita kembali kehilangan jejak..." gerutu
Argatala. Ia berdiri dengan cemas. Ia khawatir. Matanya semakin melebar seolah ingin menegaskan bahwa ia
masih bisa menerawang sesuatu dari jarak jauh. Dipati Siput menimpali.
"Aku mengira ada pemilik aji halimunan tingkat tinggi yang menjadi pelindungnya, Kaka! Sehingga
penerawangan kita tak mampu menembusnya..."
Argatala mengangguk takzim. Tiba-tiba ia menyeringai. Ucapan Dipati Siput mengingatkannya pada seseorang.
Diakah musuh itu. Ia menggeleng. Siapa musuh siapa"
"Aku juga mengira begitu!" tapi siapa"
"Aku tahu sumbernya!" jelas Argatala tiba-tiba. Dipati Siput melirik tak percaya. Argatala diam sejenak sebelum
meneruskan kembali ucapannya dengan sangat antusias; "Aji Halimunan itu sumbernya dari Keraton Pakuan
sendiri. Setahuku baik Prabu Anom Walangsungsang maupun Nyimas Rarasantang, belajar ilmu itu di dalam
lingkungan keraton. Aku yakin dari sana pula yang menyebabkan kita selalu kalah untuk menembusnya."
Dipati Siput menatapnya. Sebuah senyum penuh percaya diri menyembul dari wajah Argatala. Senyuman yang
hari-hari belakangan ini lenyap dari wajah lelahnya.
"Apa yang akan kau lakukan, Kaka?" selidik Dipati Siput setelah keduanya terdiam sejenak. Argatala
menghembuskan napas beratnya. Tapi mata itu kini terlihat memerah. Rasa sakit hati dan kecewa membuncah
hingga ubun-ubunnya. Argatala memegang erat Kujang pendek yang terselip di pinggangnya. Dipati Siput
melihat dengan jelas bagaimana lelaki gagah di sampingnya ini sedang dilingkupi bara. Bahkan ia kini tak
melihat sosok Argatala lagi melainkan kobaran api yang menjilat-jilat angkasa.
"Diam-diam aku akan kembali ke keraton. Kau jaga pasukan dan teruskan pencarian sampai aku kembali. Beri
tanda setiap kau menemukan jalan bercabang, agar aku tak kehilangan jejak jika nanti menyusulmu. Tapi jika
malam Jumat keempat kau tak menemukan Nyimas Rarasantang atau Prabu Anom Walangsungsang, dan aku
tak berhasil menyusulmu, bawalah kembali pastikan ke istana melalui jalan yang kau lalui sebelumnya..." jelas
Argatala. Suara itu terdengar bergetar menahan yang mendesak-desak dari dalam dadanya. Dipati Siput
merasakan suara itu bahkan seperti diliputi rasa tidak percaya diri yang kembali menyergapnya. Selama ini tak
pernah ia dapatkan Argatala segugup itu ketika akan melakukan sesuatu.
"Ada baiknya kau ditemani seorang prajurit, Kaka! Pilihlah yang menurutmu baik. Aku akan melakukan tugas
menggantikanmu di sini. Percayalah, semuanya akan berjalan baik seperti juga yang kau lihat selama tiga
malam Jumat kita bersama-sama...." jawab Dipati Siput membuat Argatala berbangga hati. Ia menepuk-nepuk
pundak sahabatnya itu, lalu keduanya berpelukan. Pemandangan itu sempat membuat penasaran beberapa
prajurit yang menyaksikannya. Dua orang sahabat berpelukan, tanda berdamai, padahal sebelumnya tak
pernah berselisih paham. "Aku percaya padamu, Dipati Siput!"
"Seperti juga kepercayaanku padamu yang tak pernah pupus, Kaka Argatala!"
Patih Argatala menepuk tangan memberi isyarat. Seorang prajurit datang menghampiri menuntun kuda
tunggangan Argatala. Argatala memegang tali kendali, lalu meloncat ke atas kuda. Menepuk-nepuk leher kuda
lalu melecutnya. Argatala melesat dengan kudanya menuju Keraton Pakuan ke arah barat, diikuti seorang
prajurit. Keduanya melesat di atas jalan setapak meninggalkan jejak kabut debu yang mengambang,
mengaburkan pandangan puluhan prajurit yang ditinggalkannya di belakang. Perjalanan melelahkan yang akan
ditempuh dalam beberapa hari ke depan. Tapi wajah Argatala yang kuyu karena jarang tidur itu kini sedikit
cerah, karena ia sedang menyongsong harapan lain. Sekalipun harapan itu masih juga berselimut kabut, siapa
sebenarnya yang memburu dan sedang diburu. Tapi ia yakin. Sangat yakin. Ia sekarang ada di posisi aman.
Merapat ke salah satu sudut, bukan berkhianat.
*
Duka itu adalah duka semua.
Ratu Subanglarang terbaring lemah di pembaringan. Dadanya naik turun tak beraturan. Kabut gelap merayap
menutupi orang-orang di Keraton Pakuan. Sri Maharaja Prabu Siliwangi hilir mudik di kaputren tempat Ratu
Subanglarang dirawat. Beberapa orang tabib telah dikerahkan, berbagai ramuan telah dicoba, berbagai jampijampi tak kalah gencar terus menyembur dari mulut-mulut orang pintar itu. Tapi sejauh ini tak ada tanda-tanda
Ratu Subanglarang akan sembuh.
Tak kehabisan akal untuk berupaya menyembuhkan sang istri, Prabu Siliwangi mengeluarkan maklumat agar
mengedarkan pemberitahuan kepada seluruh penjuru negeri "barang siapa bisa menyembuhkan Ratu
Subanglarang, akan mendapat imbalan yang setimpal". Empat orang prajurit berkuda melesat ke empat
penjuru angin untuk menyebarkan maklumat tersebut. Mereka menemui ketua-ketua kampung, menemui
kerumunan orang dan juga tempat-tempat ibadah.
Seorang prajurit yang bertugas ke arah timur, di persimpangan sempat berpapasan dengan Patih Argatala. Tapi
prajurit yang membawa maklumat itu terus melesat ke arah timur, tak peduli dengan tanda-tanda yang
diberikan Argatala, Argatala mengernyit dan menduga-duga ada apa gerangan di istana sehingga prajurit tadi
melecut kudanya seperti kesetanan.
"Ada yang tidak beres barangkali, Ki Patih!" seru prajurit yang menemaninya ketika melihat Argatala masih
terbengong-bengong menatap punggung prajurit pembawa maklumat yang hampir tidak kelihatan lagi selain
kabut debu yang ditimbulkan hentakan kaki-kaki kuda pada tanah.
"Ya, barangkali begitu!" gumam Argatala. Lalu ia memberi isyarat agar mempercepat laju, keduanya melesat ke
arah barat. Butuh waktu setengah hari tanpa berhenti sebelum akhirnya Argatala dan seorang prajuritnya
memasuki gerbang kota pertama, lalu masuk ke dalam kota, melesat di jalanan di antara rumah-rumah abdi
dalem keraton dan jejeran tenda-tenda yang biasa digunakan untuk berdagang dan pasar malam. Derak roda
gerobak dan kereta di antara para pejalan kaki mewarnai kota. Tak ada yang berubah dan tak menunjukkan
ada suasana gawat di istana. Tapi apa yang terjadi dengan prajurit pembawa maklumat tadi"
Argatala dan prajurit yang menyertainya sedikit memperlambat laju kuda. Pemandangan tampak normal dan
damai. Dari jarak cukup jauh ia mendengar suara pandai besi bekerja, suara hentakan dan pukulan dua logam
berat itu menimbulkan suara nyaring hingga terdengar dari jarak jauh. Menuju ke gerbang keraton, Argatala
melihat penjaga-penjaga di atas tembok kota. la tersenyum dan melambaikan tangan atas kesiapsiagaan
mereka menjaga kota dan Keraton Pakuan. Sebuah tombak menjulur tanda penghormatan dari penjaga kota
karena mengetahui yang datang adalah Patih Argatala.
Argatala melewati jalan menanjak dan terlihat jejeran Keraton Pakuan di atas bukit menjulang, atap-atap dan
menaranya tersiram cahaya matah
ari sore keemasan, memantulkan kilau kekuningan. Semua diam dan tak
ada gerakan yang menimbulan kecurigaan. Samar-samar asap putih tipis terlihat membubung dari cerobong
dapur keraton, lalu memudar saat mencapai ketinggian tertentu berbaur dengan kabut sore yang mulai turun.
Pintu gerbang besar yeng merupakan pintu terakhir sebelum masuk ke areal keraton itu terkuak perlahan dan
sebuah pengunci gerbang tinggi hitam berderak naik. Penjagaan di sini terlihat lebih rapat dibanding penjaga
pintu gerbang kota. Satu kompi kecil prajurit dari beberapa kesatuan tampak siaga berbaris berbanjar. Mereka
mengangkat pedang menghormat kepada Argatala.
"Selamat datang kembali di istana, Ki Patih!" seru ketua regu. Argatala mengangguk. Mata prajuritnya yang
telah terlatih meneliti keadaan setiap inci di areal keraton ini. Tak ada yang mencurigakan juga ia sangat yakin
tak ada yang berubah, selain beberapa po hon yang belum dipangkas rapi.
"Ada apa dengan prajurit yang berpapasan di persimpangan tadi?" gumam Argatala masih terganggu bayangan
prajurit pembawa maklumat. Ia terus berjalan di atas kuda. Suara batu terinjak kaki kuda terdengar berderak.
Rasa penasaran itu terjawab manakala ia melihat ke sebelah kanan, ke arah Keraton Suradipati. Kain hitam
seukuran bendera yang dipasang pada tiang pilar depan terlihat berkibar-kibar lesu. Perasaan duka begitu saja
menyelimutinya, mata lelahnya terlihat berubah redup kini.
"Siapa gerangan yang sakit?" gumamnya bertanya-tanya. Ia melecut kudanya, memutar ke arah belakang ke
arah istal-istal kuda berada. Dari penjaga istal itulah ia mendapat kabar bahwa Keraton Pakuan sedang
berduka, permaisuri Ratu Subanglarang sedang menderita sakit.
"Berapa lama beliau sakit?" selidik Ki Argatala.
"Tak lama setelah Ki Patih pergi mencari Nyimas Ratu Rarasantang!" jelas penjaga istal. Argatala terdiam.
Dadanya tiba-tiba terasa sesak. Ada beberapa hal yang menyebabkan ia terdesak pada dinding kokoh saat itu.
Tirai hitam meluncur turun dari langit menghalangi pandangan di depannya. Ia lunglai seperti telah menciptakan
kekalahannya sendiri dengan tangannya sendiri. Kelemahan itu datang menciptakan ketakutan luarbiasa. Tak
ada sedikit pun ruang untuk sekadar menanamkan khayalan. Argatala melangkah gontai. Dengan nyata
kakinya gemeteran saat itu. Ia menjadi gamang pada posisinya kini. Ia malah mulai ragu. Sudah tepatkah
posisi yang aku pilih, gumamnya.
Bukan waktu yang tepat jika melaporkan kegagalannya mencari Nyimas Rarasantang pada Prabu Siliwangi
sekarang ini. Sejak kepergian Prabu Anom Walangsungsang dari istana, diikuti berbagai kejadian kecil yang
mengerucut pada kepergian Nyimas Rarasantang, jelas bukan kejadian tanpa sebab dan bukan pula kejadian
alami yang terjadi begitu saja. Argatala mencium ada yang sengaja mengatur semuanya, dan untuk meneliti
itulah ia pulang ke Keraton Pakuan sekalipun melanggar sumpahnya sendiri, pulang sebelum membawa
Nyimas Rarasantang. Desak-desakan perasaan itulah yang membuat ia melangkah gontai.
Malam merambat naik dan terasa lebih tua dari yang seharusnya. Cahaya obor-obor yang terpasang di
beberapa tempat strategis dan juga di depan pilar-pilar keraton, terlihat meliuk-liuk tertiup angin malam,
membuat suasana semakin terasa sendu. Argatala duduk terpaku. Segelas minuman mengepul di hadapannya,
tapi tak tertarik untuk menyentuhnya. Ia terlihat duduk gugup menunggu di ruang depan Keraton Punta.
Setelah menunggu dengan gelisah di antara degup jantung yang tak beraturan, akhirnya pintu ruang tengah itu
berderak. Pandangan mata Argatala menyipit memperhatikan siapa yang datang. Sekujur tubuhnya tiba-tiba
lemas ketika yang datang adalah Nyai Ratu Kentring Manik sendiri. Ia nekat menemuinya karena tak mungkin
bisa bertemu dengan Prabu Siliwangi.
Nyai Ratu Kentring Manik lalu duduk dalam jarak tertentu di hadapan Patih Argatala yang duduk bersila.
Pemandangan yang ganjil seorang permaisuri menemui patihnya sendiri, malam-malam pula tanpa ditemani
para penjaganya. "Bicaralah, Ki Patih! Kenapa kau pulang sebelum tugasmu selesai!" suara Nyimas Ratu Kentring Manik
meluluhlantakkan lamunan Ki Argatala yang sedari tadi menguasai.
"Maafkan aku, Gusti Ratu!"
"Bicaralah! Tak baik aku sendiri menemuimu di sini, malam-malam pula!"
Lalu Ki Patih Argatala menceritakan temuan-temuan saat mencari jejak Nyimas Rarasantang. Tak lupa ia pun
menceritakan kecurigaan-kecurigaannya yang belakangan terasa semakin mengganggu. Selesai bicara ia
menunduk menunggu perintah.
"Kecurigaanmu adalah juga kecurigaanku, Ki Patih! Lakukan apa yang menurutmu baik, sebelum ada kejadian
yang lebih buruk lagi!" jelas Nyimas Kentring Manik memberi perintah, sama sekali di luar dugaan Ki Argatala.
Kerlingan matanya menjilat angin. Ada senyum tersembunyi.
"Bagaimana dengan Gusti Prabu?"
"Mustahil Gusti Prabu bisa menerimamu dalam keadaan berduka seperti sekarang, bahkan kedatanganmu ke
keraton pun bisa dipastikan beliau tidak mengetahuinya jika para penjaga gerbang tak sengaja
melaporkannya. Tapi tak perlu kau cemas benar, biarlah putraku Surawisesa yang akan menyelesaikannya. Ia
memang belum cukup umur, masih berusia belasan, tapi jangan kira tak bisa menyelesaikan tugas itu.
Menurutku ini suasananya darurat! Sekarang apa yang akan kau lakukan, Ki Patih!"
Ditanya seperti itu untuk beberapa saat Ki Argatala termenung.
"Argatala, apa kau tak mendengar pertan yaanku?" hardik Nyimas Ratu Kentring Manik. Artagala t erperanjat.
Kaget. "Maafkan, Gusti Ratu! Aku akan pergi kembali menemui prajuritku di belantara Parahyangan. Tapi aku butuh
bantuan!" "Bantuan apa?" "Izinkan aku ditemani Ki Nalaraya!" Kendati berat akhirnya Ki Argatala bicara juga.
"Kenapa harus dia?"
"Hambatan kami di belantara adalah tak bisa menembus aji halimunan tingkat tinggi, Paduka Ratu! Dan
beliaulah orang yang tepat..." jelas Argatala mengemukakan alasannya. Nyimas Ratu Kentring Manik menahan
senyum, bibirnya membentuk garis lurus. Ia mengerling ke arah kiri, seolah sedang melihat sesuatu di sana.
Gerak-gerik seperti ini sama sekali tak diperhatikan Ki Argatala yang duduk menunduk.
"Lakukanlah!" "Tanpa harus diketahui Gusti Prabu?"
"Kau tidak memerlukan izin beliau, Argatala!" bentak Nyi Mas Kentring Manik. Ia seperti tersinggung ketika
untuk kedua kalinya Ki Argatala mengajukan pertanyaan yang sama; "Bagiku ini darurat, Argatala! Tidak peduli
apakah cara-cara ini melanggar aturan atau tidak. Saat keadaan darurat dalam sebuah perang, seorang prajurit
yang sakit, bisa saja dibunuh agar tidak mengganggu prajurit yang lain. Kau tahu itu?" Nyimas Kentring Manik
bersipongang di hadapan Patih Argatala.
"Baiklah, Gusti Ratu!" jawab Argatala lalu menyembah dan meminta diri. Keluar dari Keraton Punta tempat
Nyimas Kentring Manik berada, perasaannya sedikit lega. Satu tugas berat baru saja ia laksanakan. Ia berjalan
bergegas menuju tempatnya beristirahat, sama sekali tak curiga jika sepasang mata terus memperhatikan
sejak ia masuk ke Keraton Punta sampai ketika ia keluar kembali. Sepasang mata yang terus
memperhatikannya itu jelas bukan mata prajurit jaga.
Ki Nalaraya baru saja keluar dari Keraton Suradipati, menemani seorang tabib yang datang dari jauh untuk
membantu menyembuhkan penyakit Ratu Subanglarang. Tabib itu diantarkan pada kereta yang akan
membawanya keluar keraton. Di kota di luar tembok keraton, penginapan untuk para tabib telah disediakan
lengkap dengan berbagai keperluan sebagai penghormatan Sri Maharaja Prabu Siliwangi kepada para tamunya.
Selesai mengantarkan tabib itu, Ki Naralaya bermaksud kembali ke Keraton Suradipati, menemani Sri Maharaja
Prabu Siliwangi. Tapi langkahnya terhenti ketika di sudut tembok keraton terhalang popohonan setinggi
pinggang orang dewasa, sebuah kerikil mengenai bahu kanannya. Lemparan yang tepat. Ki Nalaraya memutar
langkahnya, menuju ke arah datangnya lemparan kerikil tadi. Di balik pepohonan dekat tembok batu yang
kokoh, seorang prajurit kerajaan berjongkok. Ki Nalaraya mengedarkan pandangannya. Tempat itu cukup
gelap, tak ada sinar obor yang langsung mengarah ke sana. Ki Nalaraya berjongkok.
"Ada apa?" tanyanya berbisik.
" Sesuai dengan dugaan engkau, Ki! Ki Patih Argatala baru saja keluar dari Keraton Punta, menemui Gusti Ratu!"
"Kau yakin beliau sendiri yang menerimanya?"
Prajurit itu mengangguk yakin.
"Ada yang bisa kau dengar?"
"Tak begitu jelas karena terganggu suara-suara lain. Padahal jarakku berdiri tak terlalu jauh."
"Ada sedikit informasi yang bisa kita pegang?" selidik Ki Nalaraya seperti tak yakin dengan kata-kata
prajuritnya itu. "Ki Argatala menyebut-nyebut nama engkau, Ki!"
Ki Nalaraya mengangguk-anggukkan kepala. Ia seperti telah menduga ke arah mana rencana yang sedang
disusun Ki Argatala itu. Kecurigaannya selama ini sedikit demi sedikit mulai terjawab. Hem, siapa memburu
siapa, batinnya. "Persiapkan segala sesuatunya. Ada dua rencana yang telah kita persiapkan. Kau ingat itu?"
Prajurit itu lagi-lagi hanya mengangguk.
"Kalau besok pagi aku pergi bersamanya, maka gunakan rencana kedua! Hati-hati jangan sampai ada yang
mengetahui. Jangan pernah kau berkeyakinan semua orang baik dan jangan pula kau berprasangka bahwa
semua orang jahat..."
"Baik, Ki!" Ki Nalaraya mengedarkan pandangannya kembali. Ketika suasananya benar-benar aman, ia berdiri lalu berjalan
menuju Keraton Suradipati. Selama berdiri mematung menunggu perintah dari Sri Maharaja Prabu Siliwangi, ia
tampak terus berpikir. Terus mereka-reka apa yang akan dilakukan Ki Argatala besok pagi. Tapi semuanya
masih gelap, segelap malam ini di luar keraton.
Di luar kebiasaan dan aturan yang berlaku, wanci haneut moyan, Sri Maharaja Prabu Siliwangi memanggil
beberapa orang dari bagian dapur umum, keamanan dan bagian lain. Tentu saja panggilan yang mendadak ini
membuat mereka yang dipanggil datang tergopoh-gopoh, diliputi perasaan yang tak menentu. Dari bagian
dapur yang kebanyakan perempuan malah belum apa-apa airmata telah mengambang duluan. Dengan
gerakan sedikit saja yang menyentuh perasaannya, airmata yang membuncah itu akan jatuh berderai-derai.
Tak terkecuali dengan yang lain, tak ada seorang pun yang bisa duduk dengan tenang manakala ada di dalam
satu ruangan di belakangan keraton. Wajah-wajah mereka gemetar dengan gerakan yang tak beraturan. Ini
juga di luar kebiasaan. Manakala raja akan memerintah atau menyampaikan sesuatu yang sifatnya darurat,
mereka semua akan dikumpulkan di balairung. Hal inilah yang membuat perasaan mereka tertekan jauh di luar
jangkauan daya tahannya. Bahkan Ceuk Srinten, yang sehari-harinya menjaga dapur, sejak masuk ruangan
terus menekan selangkangan dengan kedua tangannya, bibirnya menyeringai menakutkan dengan mata
mengerjap-ngerjap. Ia sedang berusaha mengumpulkan kekuatannya agar tidak terkencing-kencing.
____
Wanci haneut moyan: ukuran waktu dalam tradisi masyarakat Sunda kira-kira jam 8-9 pagi, yang artinya
saat-saat paling enak untuk berjemur badan.
____
"Kalian tenang saja," ucap Sri Maharaja Prabu Siliwangi membuka percakapan; "tak ada yang salah dengan
kalian dan tak ada yang akan menerima hukuman. Tapi jika kalian macam-macam, jika kalian tidak jujur
misalnya, tentu saja kalian tahu akibat apa yang kalian terima."
Suara Prabu Siliwangi yang tenang dan menggema itu tak sedikit pun mengurangi ketegangan. Sekalipun
Prabu Siliwangi tersenyum sehingga kumis besarnya membentuk garis lurus melebar ke pinggir, tak cukup
ampuh untuk menularkan ketenangan.
"Tadi malam ngaing bermimpi. Ada sepasukan hitam yang menyerang keraton. Anehnya pasukan hitam itu
bersekutu dengan prajurit-prajurit ngaing. Coba dia bicara, ada yang tahu artinya apa?"
Ditanya seperti itu tak ada yang berani bersuara. Semuanya diam. Mematung. Hanya dalam batin saja yang
ramai, bercakap-cakap dengan dirinya sendiri, suara-suara itu jika disatukan tentu akan bergemuruh
mengalahkan suara deru mesin kapal saat angkat sauh meninggalkan pelabuhan.
___ *Ngaing atau aing (bahasa Sunda) yang artinya aku atau kami.
* Dia: kamu atau kalian. Panggilan ini sampai sekarang masih dipergunakan dalam percakapan sehari-hari
masyarakat Lebak terutama di Baduy luar dan Baduy dalam, yang dianggap satu komunal dari para
pengikut Sri Maharaja Prabu Siliwangi yang berangkat ke arah Barat. Kisah ini akan terungkap dalam
Novel kedua dari Dwilogi Prahara di Pajajaran tentang wangsit Siliwangi.
____
Ada seorang yang berani angkat tangan untuk meminta waktu bicara, tapi ketika Sri Maharaja Prabu Siliwangi
mempersilakannya bicara, lidahnya mendadak kelu, tak ada satu patah kata pun keluar dari mulut yang
ternganga itu. Lama-kelamaan karena tercekat rasa takut melihat kharisma Mahaprabu, yang keluar dari mulut
ternganga itu hanya ludah yang berderai-derai menemani airmatanya yang telah lebih dahulu membasahi pipi,
seperti anak-anak penderita down syndrom. Ia tidak menangis hanya saja air-air itu keluar spontan saja,
seperti juga air yang membasahi bagian selangkangannya. Melihat pemandangan seperti itu, Sri Maharaja
Prabu Siliwangi tidak marah. Ia malah dengan senyuman menghiasi wajahnya, dan sorot matanya dibuat
sejinak mungkin, melanjutkan bicara:
"Ngaing paham dengan yang dimaksud Ki Sanak!" ujarnya; "dia itu sedih menafsirkan mimpi ngaing. Jika mimpi
itu benar jadi kenyataan, memang sangat menyedihkan..."
Semua yang hadir menunduk, pelan tawa pun pecah mendengar ungkapan Sri Maharaja Prabu Siliwangi
tersebut. Prabu Siliwangi membiarkannya semua itu berlangsung. Dan anehnya setelah tawa itu pecah,
perlahan ketenangan merambat datang sampai akhirnya benar-benar mereka siap untuk bicara.
"Kita harus waspada, Gusti Prabu! Seperti yang sering paduka Prabu sampaikan. Yang baik itu tak selamanya
baik dan akan benar-benar menjadi baik, seperti juga yang jelek tak akan selamanya jelek dan akan benarbenar menjadi jelek. Siapa tahu yang baik itu pada akhirnya jelek, dan yang jelek itu bisa saja menjadi baik,"
cetus seorang prajurit. Semua mata terpaku memandangnya atas keberanian yang dinilainya luarbiasa itu. Sri
Maharaja Prabu Siliwangi mengangguk dan mengangkat jempol tangan kanannya, aplaus untuk sang prajurit
yang telah berani bicara jelas dan tepat. Hal ini menimbulkan aura positif sehingga yang lain punya keberanian
untuk bicara atau setidak-tidaknya tertantang untuk bisa bicara. Acungan jempol diiringi senyum dari seseorang
yang dikagumi dan dihormati melewati penghormatan kepada siapa pun juga, adalah sebuah hadiah luarbiasa
yang akan menimbulkan kenangan dan kesenangan sepanjang hayatnya. Mungkin kebahagiaan itu akan


Prabu Siliwangi : Bara Di Balik Terkoyaknya Raja Digdaya Karya E. Rokajat Asura di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dirasakan pula saat terlelap tidur atau kelak ketika dikenang oleh anak cucunya.
"Siapa tahu memang ada pengkhianat, Gusti Prabu!" celetuk Ceuk Srinten akhirnya angkat bicara.
Sri Maharaja Prabu Siliwangi mengernyit. "Kenapa dia bicara seperti itu" Apa dia pernah melihat seseorang
yang berkhianat?" selidik Sri Maharaja Prabu Siliwangi.
Ditanya seperti itu Ceuk Srinten tergagap. Ia melirik kiri dan kanan meminta bantuan atau setidak-tidaknya
dibantu agar ia bisa bicara lagi. Tapi anehnya tak seorang pun yang membalas lirikannya. Ia merasa sendirian
kini. Lalu menunduk dalam-dalam. Sebuah siksaan begitu saja membayang di pelupuk matanya,
menggerakkan airmata dari sudut matanya untuk keluar. Tapi ia tidak berlarut-larut. Airmata yang berderai itu
cepat dibendungnya, ia seka dengan ujung selendangnya. Dadanya yang berguncang-guncang menahan
desakan perasaan dicoba ditenangkan sendiri. Ia seperti kepalang tanggung, maka Ceuk Srinten yang gembrot
yang sebelumnya hanya tahu bumbu masakan itu, berubah menjadi singa betina yang mengaum-ngaum dan
cakar-cakarnya siap mencabik-cabik siapa pun yang menghalangi langkahnya. Ia tumbuh menjadi sosok
perempuan pemberani di hadapan Sri Maharaja Prabu Siliwangi tanpa kehilangan rasa hormat dan
kekagumannya. "Maafkan Gusti Prabu! Kepergian Raden Anom Walangsungsang, diikuti Nyimas Rarasantang, dan kini Gusti Ratu
Subanglarang terbaring sakit..." jelasnya terbata-bata.
Sri Maharaja Prabu Siliwangi mengangguk membenarkan. Anggukan itu cukup membuatnya semakin percaya
diri. "Teruskan!"
"Tak ada seorang pun yang bisa menemukan Raden Anom Walangsungsang! Tak ada yang bisa menyingkap di
mana keberadaan Nyimas Rarasantang! Tak ada
yang bisa menyembuhkan Gusti Ratu Subanglarang... Hamba
sedih sekali, Gusti Prabu. Apa artinya kalau bukan ada seseorang yang berkhianat di sini..."
Semua tertegun. Diam. Mematung. Tak ada yang mengira Ceuk Srinten bisa bicara seperti itu. Tapi bagi Sri
Maharaja Prabu Siliwangi justru hal inilah yang sedikit demi sedikit mulai membuka tabir hitam itu.
"Apa yang dikatakan dia, memang benar. Ngaing sudah menduga hal itu. Sekarang siapa lagi yang mau bicara.
Siapa tahu dia pernah melihat ada yang aneh di sini atau merasa ada yang tidak beres. Bicaralah! Jangan takut,
kalau dia tidak merasa salah!"
Semua diam. Juga Ceuk Srinten. Dadanya terlihat turun naik seperti sedang merasakan desakan-desakan kuat
yang sejak tadi ditahannya. Setelah menunggu beberapa saat tanpa ada seorang pun yang mau
menambahkan, pertemuan itu dibubarkan dengan diberi wejangan terlebih dahulu bahwa Prabu Siliwangi
sebagai pemimpin akan menyelesaikan masalah-masalah yang timbul di Pajajaran dengan caranya sendiri.
Mereka mengira bahwa pertemuan itu selesai sampai di situ dan masing-masing diperintahkan untuk tidak
saling memberi tahu siapa pun tentang isi pertemuan itu. Mereka keluar ruangan dengan beban di pundak yang
ternyata dirasakan lebih berat daripada ketegangan saat masuk ruangan itu. Tapi saat semua hampir terlelap
selain para prajurit yang kebagian jaga, Ceuk Srinten dijemput dari rumahnya. Secara khusus kemudian
perempuan gembrot itu ditelisik dan ditanya berbagai hal. Sampai akhirnya ia mengaku dan menuding
seseorang yang ketahuan sering keluar masuk Keraton Punta. Pengakuan yang mencengangkan itu memang
langsung ditindaklanjuti. Ceuk Srinten diamankan ke satu tempat rahasia. Tapi berita yang beredar justru
berbeda, Ceuk Srinten dibuang dari keraton karena telah lancang bicara dengan Sri Maharaja Prabu Siliwangi.
Desas-desus ini sengaja dibesar-besarkan sehingga memunculkan ketegangan yang luarbiasa. Seorang prajurit
dengan prajurit lainnya saling curiga, begitu pula antara sesama juru masak atau antara juru masak dengan
prajurit. Menanggapi hal itu Sri Maharaja Prabu Siliwangi seperti tidak mau ambil peduli. Perhatiannya sekarang tercurah
bagaimana mencari kesembuhan untuk permaisuri yang dicintainya, Ratu Subanglarang dan upaya menemukan
putra-putrinya. Tapi sekalipun demikian masalah keamanan tetap menjadi prioritas. Ketika Patih Argatala
ketahuan membawa Ki Nalaraya dalam pencarian putra-putrinya untuk kali kedua, Sri Maharaja Prabu Siliwangi
sama sekali tak melarangnya. Dalam tepekurnya sendiri, Sri Mahaprabu Siliwangi seperti mulai disadarkan dari
mimpi. Ia mengaku belakangan instuisi dan mata hatinya seperti mendadak tumpul, sehingga tak kuasa
mengurai tabir hitam di Keraton Pakuan.
*
Siang tak begitu terik ketika kuda-kuda yang ditunggangi Ki Nalaraya, Argatala diikuti tiga orang pendamping di
belakang, memasuki belantara Parahyangan. Kuda Ki Nalaraya dan Argatala berjalan berdampingan dalam
posisi sejajar, hanya sesekali saja satu di antaranya saling mendahului ketika jalannya terlalu sempit. Debudebu jalan musim kemarau yang ditimbulkan sepatu-sepatu kuda yang melesat itu bergumpal-gumpal lalu
mengambang di udara. Terlihat sesekali Argatala melirik Ki Nalaraya, lirikannya tajam dengan seringai wajah
mengerikan. Tapi Ki Nalaraya pura-pura tidak melihat lirikan itu, ia terus memacu kudanya. Seperti juga tidak
pedulinya tiga orang prajurit pendamping di belakang bahwa sesungguhnya ada tiga orang prajurit pula di
belakang dalam jarak cukup jauh mengikuti ke mana mereka pergi. Dan Ki Nalaraya percaya ketiga prajurit
yang mengikuti dari jarak jauh itu tak akan kehilangan jejak, juga tak akan mengecewakannya karena pada
jarak-jarak tertentu tanpa sepengetahuan Ki Argatala dan tiga orang prajurit yang mengikutinya, Ki Nalaraya
menjatuhkan batu yang sebelumnya telah dicelupkan kedalam larutan akar dan daun-daunan, sehingga
berubah menjadi merah menyala.
Pada sebuah tanah datar di dalam belantara Parahyangan, Argatala teriak seperti memberi isyarat untuk
memacu kudanya dan mendahului kuda Ki Nalaraya. Ketika Ki Nalaraya akan menyusulnya tiba-tiba kudanya
mengerang sambil mengangkat kedua kaki depannya tiba-tiba, tubuh Ki Nalaraya terlempar sementara
kudanya langsung ambruk. Ki Nalaraya baru saja bangkit dan mendekati kudanya ketika ia diserang puluhan
anak panah dari ketiga prajurit yang mengikutinya dari belakang. Ia tak bisa menghindari selain jumpalitan di
udara menghindari sergapan anak panah beracun itu. Berkali-kali ia berhasil menghindari namun pada akhirnya,
sebuah anak panah berhasil menembus pangkal tangan kanan yang tak terlindungi baju kulitnya. Cress! Anak
panas itu menembus kulit diikuti darah merah yang berubah kehitaman keluar dari luka itu. Ki Nalaraya
mengaduh seraya memegang tangan kanannya. Cress! Anak panah kedua menembus betisnya, ia mengaduh
dan menjatuhkan tubuhnya. Dengan kekuatan yang tersisa ia mencabut anak panah itu dari tangan dan
betisnya, darah mengucur deras, ia terus berguling-guling ke arah semak-semak. Tanpa merasa kasihan anakanak panah lainnya masih terus memburunya sekalipun tak ada yang mengenai tubuh untuk ketiga kalinya.
Saat mendengar tepukan dari Argatala, tiga prajurit pengiring itu memacu kudanya meninggalkan Ki Nalaraya
yang diyakini dalam waktu singkat akan menghembuskan napas terakhir. Keyakinan itu berdasarkan bukti
bahwa kuda yang perkasa itu pun terlihat tidak bergerak lagi dalam waktu singkat, padahal hanya dengan
satu anak panah. Anak panah beracun itu memang terkenal sangat membahayakan. Racunnya akan menjalar
ke sekujur tubuh begitu mengenainya, lalu menyebar mengikuti darah dan melumpuhkan susunan syaraf
korban. Sebelum memacu kudanya, Argatala terlihat turun menambat tali kendalinya ke pohon. Ia berjalan gagah
kearah semak-semak dan dengan geram melihat tubuh Ki Nalaraya yang terbujur kaku. Dengan kaki kirinya ia
memastikan bahwa tubuh itu sudah tidak bergerak lagi. Wajahnya gemetar, lalu dengan segenap kekuatannya
ia meludah ke arah Ki Nalaraya diikuti bibirnya yang mencibir. Ia memberi isyarat pada ketiga prajurit setianya
kemudian naik ke atas kudanya dan melesat masuk makin dalam ke belantara Parahyangan. Untuk
melenyapkan Ki Nalaraya dengan langsung berhadap-hadapan, Argatala mengakui akan memerlukan waktu
lama sekalipun dengan dikeroyok empat orang. Ia tahu benar bahwa Ki Nalaraya menguasai ilmu batara
karang yang akan sulit dilumpuhkan. Dalam beberapa pertempuran, Argatala melihat sendiri semakin didesak
musuh semakin bertambah kuatlah Ki Nalaraya.
Setelah Argatala dan ketiga prajuritnya melesat masuk ke dalam hutan dan kecil kemungkinan untuk kembali,
ketiga prajurit yang mengikuti dari belakang keluar dari persembunyiannya. Ketiganya menambatkan tali
kendali kuda pada jarak agak jauh dari tempat kejadian. Salah seorang memeriksa kuda tunggangan Ki
Nalaraya yang ternyata sudah terbujur kaku, dengan anak panah yang masih menancap kuat di paha
belakangnya. Sementara kedua orang prajurit lainnya memburu ke dalam semak-semak, menggotong tubuh Ki
Nalaraya dibawa ke tempat datar. Keduanya memeriksa luka dan nadi Ki Nalaraya. Masih terasa ada denyut
sekalipun sangat lemah. Luka di tangan kiri Ki Nalaraya ditoreh ujung pedang sehingga darah makin banyak
keluar, lalu menaburkan bubuk putih penawar racun dan mengikatnya dengan sobekan kain dari pakaian Ki
Nalaraya. Demikian pula dengan luka di paha Ki Nalaraya diperlakukan sama.
"Mudah-mudah masih bisa tertolong!" jelas seorang prajurit yang baru selesai membalut luka Ki Nalaraya di
pangkal paha. "Kudanya sendiri sudah mati!"
"Ya, karena kuda itu tak punya penawar racun. Kita masih berharap penawar racun yang ada dalam tubuh Ki
Nalaraya masih lebih kuat dibanding racunnya!" jawab temannya.
Ketiganya menggotong tubuh kaku itu dan dibawa menjauh. Tubuh Ki Nalaraya kemudian didudukkan di atas
Kuda, sehingga ketika kuda itu bergerak tubuh Ki Nalaraya pun terlihat berguncang-guncang. Mereka berjalan
perlahan ke arah barat meninggalkan tempat yang menjadi saksi bagaimana liciknya Ki Argatala. Tanah ini
akan menjadi saksi yang tak akan pernah berubah, bahwa di sini pernah tercecer darah Ki Nalaraya.
Ketiga prajurit itu pun semakin sadar. Ternyata orang sebaik Argatala tiba-tiba bisa berubah. Mereka menjadi
gamang, di posisi mana harus berdiri jika kedua orang kepercayaan Sri Maha Prabu Siliwangi sudah jelas-jelas
berseberangan, untuk tujuan yang belum bisa dipahami.
*
PALINTANG Hasil dari latihan lahir dan batin itu telah membuahkan hasil. Kekuatan Prabu Anom Walangsungsang
meningkat berlipat-lipat dibanding saat ia meninggalkan Keraton Pakuan. Hal ini ditunjukkan bagaimana tidak
pernah lelahnya ia meneruskan perjalanan, meneruskan mencari guru sejati sesuai dengan petunjuk Eyang
Danuwarsih. Di sebuah saung yang tak terawat, Prabu Anom Walangsungsang sejenak beristirahat. Ia berharap akan ada
petani yang lewat atau pengrajin
lahang, untuk menghilangkan rasa haus. Ia baru saja mengibas-ibas
tubuhnya yang berkeringat ketika ada suara tanpa kelihatan wujudnya, menyapa.
__ Minuman tradisional yang bening seperti air kelapa, hasil penyadapan dari pohon Nira, rasanya segar.
___ Prabu Anom Walangsungsang tersentak.
"Istirahatlah sepanjang kau suka, Prabu Walangsungsang trah Pajajaran," kata suara tanpa rupa itu diiringi
tawa melengking tinggi. Walangsungsang berdiri. "Siapa kau sesungguhnya, tunjukan rupamu jika kau memang mau bicara denganku!" teriak Walangsungsang.
"Memangnya kenapa, Prabu" Apakah untuk tertawa harus meminta restu darimu?" jelas suara itu lagi. Kini
Prabu Walangsungsang mulai waspada. Tentu orang ini - kalau memang dia wujud manusia - bukan orang
sembarangan. Ia tak ingin langkahnya terganggu kelak hanya karena tak bisa menata hati.
"Sudahlah! Tak ada gunanya kita berdebat masalah ini. Kalau memang kau ada perlu denganku, tunjukkan
wujudmu! Kalau tidak, tolong jangan ganggu aku, biarkan aku istirahat sejenak sebelum melanjutkan kembali
perjalananku...." Suara tanpa wujud itu kembali terdengar tertawa. Tapi kini tak melengking tinggi seperti sebelumnya.
"Aku minta maaf karena tadi tak minta izin untuk duduk di tempat ini," jelas Prabu Anom Walangsungsang
meminta maaf. Ia memang sadar, berada di tempat orang lain tentu saja harus bisa menempatkan diri.
"Tidak perlu meminta maaf kepadaku, Prabu Walangsungsang, minta maaflah pada yang punya saung itu!"
"Kaukah pemilik saung ini" Aku minta maaf karena duduk tanpa meminta izin darimu!"
"Bukan! Aku bukan pemilik saung itu!"
"Siapakah pemilik saung ini agar aku bisa meminta maaf padanya!"
"Tempatnya jauh! Jauh sekali. Kau butuh seharian berjalan dari tempat ini!"
Jawaban The Answer 3 Monster Di Danau Strawberry Klub Ilmuwan Edan The Mad Scientists Club Karya Bertrand R. Brinley Radio Jojing 3

Cari Blog Ini