Ceritasilat Novel Online

Terkoyaknya Raja Digdaya 4

Prabu Siliwangi : Bara Di Balik Terkoyaknya Raja Digdaya Karya E. Rokajat Asura Bagian 4


"Sudahlah, kalau begitu, aku tak perlu meminta maaf. Pemilik saung ini juga tak akan mengetahui aku duduk
di sini!" "Tapi ada yang tahu kau duduk di situ, Walangsungsang!"
"Kau maksudnya?"
"Bukan!" "Lalu siapa?" "Yang tak pernah tidur waktu malam, tak juga waktu siang! Kekuatan yang tak pernah alpa dan tak pernah
keliru!" jelas suara itu lagi.
Prabu Anom Walangsungsang makin mengernyit. Siapa sosok yang tak kelihatan ini" Ia bukan sedang iseng
dan sengaja ingin mengganggu rupanya.
"Ya, aku paham sekarang! Sekalipun saung ini tanpa pemilik, aku tetap harus meminta izin, setidaknya pada
pemilik tanah yang terhampar ini dan langit yang memayungi di atas sana!" jelas Prabu Anom
Walangsungsang. Ia lalu duduk tepekur. Ia baru saja melakukan kekeliruan yang seharusnya tak dilakukan.
Suara itu tak terdengar lagi. Langit tiba-tiba gelap. Makin lama gelap itu seperti turun ke bumi, mengambang
menghalangi pandangan. Walangsungsang menunduk menyadari kekeliruannya itu. Ia memohon pada
Kekuatan Yang Mahakuat, ia berdoa pada kekuasaan Yang Mahakuasa.
Selesai berdoa tiba-tiba di hadapannya terlihat jalan lurus dikelilingi cahaya. Cahaya itu terlihat terangbenderang karena sekelilingnya gelap gulita. Cahaya yang berputar-putar itu seperti pusaran air yang akan
menyedot apa saja yang ada di sekelilingnya.
"Inilah jalan yang harus aku tempuh?" gumam Prabu Anom Walangsungsang.
Cahaya putih terang-benderang itu berhenti berputar dan awan hitam di sekelilingnya seperti menyingkir. Kini
langit kembali cerah, dan kejadian menakjubkan terhampar di hadapannya. Tak ada awan gelap yang
mengambang, tak ada pusaran cahaya yang berputar-putar selain jalan setapak persis di hadapannya. Padahal
seingatnya, tadi sebelum ia duduk di saung itu, di hadapannya hanya hutan lebat yang masih tak terjamah.
"Inikah jalan yang harus aku tempuh?" teriak Prabu Anom Walangsungsang.
Suara tanpa wujud itu kini terdengar lagi. "Tanyalah hatimu sendiri, karena hati akan tahu jawabannya
sebelum hati itu terkotori..."
"Ya, aku yakin. Inilah jalan yang harus aku tempuh!"
Prabu Anom Walangsungsang berdiri. Kekuatan telah meliputi sekujur tubuhnya kini. Ia terus berjalan sampai
akhirnya tiba di kediaman Sanghyang Nanggo.
Di tempat inilah kembali Prabu Anom Walangsungsang ditempa berbagai ilmu. Sanghyang Nanggo punya
harapan lebih pada pemuda trah Pajajaran ini. Selesai satu tahap pelajaran, dilanjutkan tahap kedua, begitulah
seterusnya sehingga Walangsungsang merasa seolah pelajaran itu tak akan ada hentinya. Inilah yang
belakangan agak mengganggu pikirannya.
"Untuk mempelajari ilmu Islam dan bertemu dengan guru sejati," jelas Sanghyang Nanggo yang bermukim di
Gunung Ciangkup itu menjawab rasa kepenasaran muridnya; "sesungguhnya tidak mudah, Nak. Rintangan
akan menghadang siapa saja yang berjalan ke arahnya. Bahkan ketika kau akan berjalan ke arah salah saja,
Nak, jangan harap kau bebas dari rintangan. Untuk itulah aku akan tetap mengajarimu ilmu sampai kau
menemukan hakikatnya..."
Prabu Anom Walangsungsang mengangguk membenarkan. Tak ada satu kata pun yang patut untuk disanggah.
"Dengan ilmu itulah kau akan menghadapi rintangan itu dengan sukacita, seperti seorang petani yang tak bisa
melihat dunia ini selain pemandangan langit biru, pergantian musim yang terus silih berganti, dinanti atau tidak
sama sekali. Ketika kau telah bisa menempatkan diri pada keadaan di mana seharusnya kau berada, maka kau
akan melakukan sesuatu seperti matahari yang terbit waktu fajar di ufuk timur, dan terbenam dengan
semburat warna merah memulas langit barat. Pernahkah kau menyaksikan matahari tiba-tiba tidak terbit
hanya karena para petani menolak kehadirannya?"
"Tentu saja tidak, Guru!"
"Sekarang kau ulangi ilmu yang terakhir tadi, Nak!"
Tanpa banyak bicara Pangeran Walangsungsang melakukan gerakan-gerakan dengan sangat cepat yang
merubah gerakan itu menjadi pusaran tenaga meliuk-liuk seperti ular kobra mencari korban. Gerakan itu
semakin mematikan ketika dikombinasikan dengan jurus Gulung Maung yang telah dikuasai sebelumnya.
Sanghyang Nanggo pun demikian terpesona melihat cara Prabu Anom Walangsungsang mengkombinasikan
beberapa jurus yang ia ajarkan digabung dengan jurus yang telah dikuasai Walangsungsang sebelumnya.
Kalau saja ada orang di dekatnya pasti akan tersedot. Gerakan-gerakan itu dilakukan secara terus-menerus dan
baru setelah kira-kira satu jam, Pangeran Walangsungsang berhenti.
"Bagaimana guru?"
"Bagus... luarbiasa kemampuanmu ini. Tak kusangka kau bisa mengkombinasikan dua jurus dari dua aliran yang
berbeda," puji Sanghyang Nanggo. "Tapi hati-hatilah kau mengkombinasikan dengan jurus Gulung Maung itu.
Tidak selamanya kau berhadapan dengan musuh untuk dimusnahkan. Kalau memang bisa ditaklukkan
kemudian diajak berteman, kenapa harus dimusnahkan!"
"Baik, Guru!" "Mungkin yang merintangi jalanmu itu ada dalam kegelapan. Apa yang sebenarnya ia cari?"
"Cahaya, Guru!"
"Persis! Jika kau bisa menemukan sekerlip bintang untuk menerangi kegelapan, tak perlu kau bawa matahari,
karena panas matahari akan membinasakannya. Berilah musuhmu itu untuk menikmati sekerlip bintang,
sampai ia merasa dan bisa membayangkan bagaimana cahayanya bisa menerangi kegelapan."
Prabu Anom Walangsungsang mengangguk untuk kesekian kalinya, sambil mengusap wajahnya yang
berkeringat dengan telapak tangan. Ia semakin menyadari kenapa perjalanan telah menakdirkan harus ketemu
beberapa guru secara estafet, selesai dari guru yang satu disuruh menemui guru kedua, begitu seterusnya
sampai ia tidak bisa membayangkan guru ke berapa yang akan mengajarkan Islam padanya kelak. Apakah
dia berada dalam maqam paling tinggi dari guru-guru yang pernah ditemuinya" Ataukah pelajaran yang akan
diterimanya jauh lebih sulit, sehingga memerlukan kesiapan fondasi yang kokoh" Semakin dipikirkan semakin
terasa ia kecil sehingga tak bisa menentukan apa yang akan terjadi kemudian. Walangsungsang pasrah pada
apa yang akan terjadi atau tidak terjadi sama sekali. Semakin hari semakin merasa bagaimana dirinya yang
lemah tak punya daya apa pun.
Ketika mendinginkan badan di bawah pohon, Nyai Nini Indangayu mendekatinya, membawa minuman untuk
suaminya. "Minumlah, Kakang, agar cepat segar kembali!" Nyai Nini Indangayu menyodorkan kendi berisi air yang telah
diembunkan. Walangsungsang tersenyum bangga, meraih kendi itu lalu menengadah dan mendekatkan leher
kendi sambil agak dimiringkan, mengalirkan air dingin menyegarkan, mendinginkan kerongkongannya. Dua tiga
kali tegukan, barulah Walangsungsang memberikan kendi itu.
"Segar sekali, Indangayu!" katanya
seraya mengusap mulutnya.
"Syukurlah, mudah-mudahan bisa mengembalikan tenaga, Kakang!"
"Terima kasih, Indangayu!"
Nyai Nini Indangayu mengangguk, tersipu, membekaskan rona merah di pipinya. Prabu Anom Walangsungsang
selalu bergairah manakala melihat istrinya bersemu malu seperti itu.
"Adikku di mana, Nyai?" Walangsungsang seperti baru ingat pada Nyai Ratnaeling.
"Seperti halnya Kakang, Ratnaeling pun sedang menghaluskan jurus-jurusnya, Kakang!"
"Syukurlah kalau memang masih terus berlatih! Aku merasa perjalanan untuk menemui guru sejati akan
ditempuh dalam waktu tidak lama lagi."
"Lakukan terus, Kakang, jangan sampai patah di tengah jalan. Terlalu banyak yang telah Kakang korbankan,
sayang jika sampai gagal! Aku akan terus ada di sampingmu, Kakang!"
Mendengar kata-kata istrinya seperti itu, Walangsungsang benar-benar merasa bangga. Ia tahu betul bahwa
istrinya tidak sedang main-main. Segala pengorbanan dan perhatiannya selama ini telah dirasakannya.
**
Penyakit Ratu Subanglarang semakin mengkhawatirkan. Beberapa orang tabib dan dukun, tak berhasil
mengungkap tabir penyakit apa yang sebenarnya diderita Ratu Subanglarang. Setiap harinya dari pagi sampai
malam dan datang pagi kembali, Ratu Subanglarang hanya menatap kosong ke atas langit-langit, tidak mau
makan, tidak minum dan tidak juga mau tidur. Karena itulah dalam waktu singkat tubuhnya terlihat kuyu,
mengkhawatirkan. "Apa dia telah memaksanya agar Ratu mau makan, Emban?" tanya Sri Maharaja Prabu Siliwangi ketika
mendapat laporan dari emban kepala.
"Sudah, Gusti Prabu, kami telah berusaha dengan berbagai cara, tapi Gusti Ratu tetap saja tidak berkenan untuk
makan." "Digoda dengan masakan yang paling enak?"
"Tidak berhasil, Gusti Prabu! Bahkan beber apa, hari ini bicara pun tidak mau selain dengan isyarat. .."
"Bagaimana kalian bisa tahu kalau Ratu tidak mau makan?"
"Ya...dari bahasa isyarat itu, Gusti Prabu!"
"Bahasa isyarat, aneh juga kedengarannya! Dia tahu dan bisa menerjemahkan bahasa isyarat Ratu?"
"Puji syukur, Gusti Prabu, ada rekan kami yang bisa menerjemahkan bahasa isyarat Gusti Ratu!"
Merasa tertarik dengan perkembangan terakhir itu, Prabu Siliwangi memanggil emban yang bisa
menerjemahkan bahasa isyarat Ratu Subanglarang.
"Sekarang dia punya tugas baru, coba tanyakan apa yang dirasakan Ratu! Dia juga harus tanya apa yang
diinginkan Ratu, paham?"
"Baik, Gusti Prabu, aku mengerti!"
Lalu emban itu melaksanakan segala perintah Prabu Siliwangi. Sri Maharaja Prabu Siliwangi merasa tak habis
pikir kenapa permaisurinya bisa menderita sakit seperti itu, padahal para penasihat spiritual kerajaan tentu
selalu melaksanakan tugasnya dengan baik, menghalau segala serangan jahat, baik yang datang dengan
terang-terangan maupun dengan cara halus.
"Ampun, Hyang Jaga Nata, aku telah berlaku bodoh karena tidak tahu bagaimana menyembuhkan istriku
sendiri," gumam Prabu Siliwangi seraya menahan kekesalannya. Geliginya gemeretak, sinar mata merah
menyala-nyala. Lalu ia teringat kedua putra-putrinya yang sampai hari ini - entah berapa purnama telah
terlewati - tapi tak ada jawaban pasti di mana mereka berada. Laporan dari Argatala yang mengatakan tidak
mendeteksi keberadaan putra-putrinya itu sungguh sangat mengecewakannya. Perhatian terhadap tugas
kerajaan pun jadi terbengkalai, sampai-sampai Ki Nalaraya menghilang pun luput dari perhatian Prabu Siliwangi
saat itu. Belakangan Mahaprabu pun sulit untuk bisa berkonsentrasi, memusatkan hati dan pikirannya.
Antara sakit permaisuri dengan kehilangan putra-putrinya, Prabu Siliwangi mulai melihat keterkaitannya.
Terdorong rasa penasaran, maka dibantu emban yang bisa menerjemahkan bahasa isyarat Ratu Subanglarang,
ia menemuinya. Ia menjelaskan bahwa dirinya menduga sakitnya Ratu Subanglarang karena tekanan batin
dan bukan sakit karena kiriman orang.
"Bilang pada permaisuriku, jangan banyak pikiran! Dalam waktu dekat Prabu Anom Walangsungsang dan Nyai
Rarasantang akan kembali!" Prabu Siliwangi memberi perintah pada emban. Lalu emban itu menyampaikan
dengan bahasa isyarat. Selesai menyampaikan isyarat, kini giliran Ratu Subanglarang yang memberi isyarat.
Matanya berbinar bahagia, tapi sejurus kemudian mata itu kembali meredup bahkan menitikkan airmata.
"Apa katanya?" "Gusti Ratu memohon ampun dan maaf, karena keberadaannya telah membuat Gusti Prabu repot. Gusti Ratu
sangat bahagia jika Raden Walangsungsang dan Nyimas Rarasantang bisa kembali . Tapi tetap akan sedih
mengenang keduanya, jika tak juga bisa kembali..."
Jawaban itu cukup menguatkan dugaan Prabu Siliwangi tentang sakit istrinya. Sekalipun diyakini menderita
tekanan batin, tapi upaya mengundang beberapa tabib masih terus dilakukan. Menyebar pengumuman pun tak
juga dihentikan. Tentu saja Prabu Siliwangi akan menempuh cara apa pun untuk kesembuhan permaisurinya
itu. Selesai bercakap-cakap dengan Ratu Suba nglarang melalui bantuan seorang emban, Sri Maharaja Prabu
Siliwangi melanjutkan semedinya dan meminta jangan diganggu sampai selesai. Saat melakukan semedi itulah
secara tiba-tiba petir menyambar diikuti dengan suara menggelegar. Kilatan petir itu bahkan menyisakan bau
hangus, entah dari mana sumbernya. Tapi Prabu Siliwangi sama sekali tidak terganggu, bahkan dengan gelegar
petir lebih besar dari itu sekalipun.
_ Ilmu Kidang Kancana salah satu ilmu yang membuat orang bisa berjalan cepat secepat larinya Kijang
__ Gelegar petir itu tak juga mengganggu perjalanan Nyai Ratnaeling saat itu. Dengan menggunakan ilmu kidang
kancana, ia bisa berjalan cepat, melesat seperti kidang bahkan lebih cepat dari gerakan anak panah yang
keluar dari busur. Kelebatannya tidak bisa diikuti oleh mata orang biasa. Kecepatan yang luarbiasa dari ilmu
yang luarbiasa dan hanya bisa diperdalam oleh orang-orang luarbiasa pula. Apalagi buat Nyai Ratnaeling yang
selalu mengenakan baju Sang Dewa Mulya yang diantaranya juga bisa menyebabkan pemakainya berjalan
sangat cepat serta bisa tahan panas api. Dua kekuatan yang menyatu dalam diri Nyai Ratnaeling ini sangat sulit
untuk dibendung lawan. Nyai Ratnaeling terus melesat ke arah barat, menuju Keraton Pakuan. Rasa kangen yang luarbiasa kepada sang
ibu, ditambah dengan hasil penerawangan Prabu Anom Walangsungsang bahwa sekarang ini ibundanya
sedang terbaring sakit. "Tunggulah ibu, sebentar lagi aku pasti sampai!" gumam Nyai Ratnaeling sambil terus berjalan melesat secepat
kidang. Senja saat matahari menyapu menara dan tembok-tembok Keraton Pakuan menjadi merah jambu, Nyai
Ratnaeling terpaku di balik satu tembok batu tak jauh dari gerbang masuk ke keraton. Rasa ragu menyergap
membuatnya keluar keringat dingin. Padahal saat itu ia sudah melakukan penyamaran yang sempurna. Ia
mengenakan jubah berwarna merah yang panjangnya sampai setengah betis, menenggelamkan tubuh
rampingnya. Kepala diikat kain merah senada, menyembunyikan rambut hitamnya yang panjang. Kumis yang
melintang hitam dan tebal, mulai mengaburkan wajahnya yang cantik
ngadaun seureuh, kecuali sorot mata
beningnya bagi yang mengenal dekat sulit untuk disamarkan. Suaranya pun terdengar berat dan logat yang
agak aneh untuk pendengaran orang Pajajaran saat itu. Sekilas tak akan ada yang menyangka bahwa dia
adalah Nyai Ratnaeling alias Nyimas Rarasantang.
Ia perlu menunggu matahari sampai benar-benar tenggelam di ufuk barat dan malam berselimut gelap,
sebelum berani masuk ke Keraton Pakuan.
"Penyamaran ini bukan dimaksudkan untuk menipu siapa pun, selain untuk melepas rasa kangen," gumam Nyai
Ratnaeling; "kalau cara ini salah, aku mohon ampun wahai Yang Murbeng Alam! Tapi kalau cara ini bisa
dibenarkan, kabulkan segala keinginanku. Aku belum berani untuk datang terus-terang. Perjalanan mencari
guru Islam belum selesai, dan jika aku datang tidak dengan menyamar, pasti akan sulit untuk bisa keluar dari
Keraton Pakuan ini lagi. Kasihan kakang Walangsungsang!"
Saat malam benar-benar mulai gelap dan hanya lidah api dari obor yang jadi sumber pencahayaan, Nyai
Ratnaeling keluar dari persembunyiannya. Ia berjalan gagah mendekati penjaga pintu istana, tangan kirinya
memegang kantong kain, sementara tangan kanannya memegang tongkat dari rotan yang telah mengkilat.
"Sampurasun Ki Sanak!" Nyai Ratnaeling menyapa penjaga yang berdiri dengan pandangan mata curiga, kedua
tangannya siaga memegang lembing dan tombak, yang memercikkan sinar silau manakala terkena cahaya
obor. "Siapa gerangan Andika ini?" seorang prajurit jaga memeriksa.
"Raden Alang-Alang namaku! Dari timur jauh asalku. Aku adalah tabib terkenal yang datang untuk
menyembuhkan Ratumu!" jelas Nyai Ratnaeling dengan suara yang nyaris sempurna sebagai suara seorang
laki-laki sakti dan gagah.
"Di kantong kainmu itu?"
"Ini berisi resep-resep dari akar dan dedaunan yang telah dikeringkan, Ki Sanak! Barangkali Ratumu itu perlu
ramuan untuk mempercepa t kesembuhannya.... Kalau tak percaya, silakan diperiksa!"
"Baiklah! Tunggu sebentar kami akan meminta izin apakah andika bisa masuk atau tidak! Tapi kami akan
senang jika memang andika bisa menyembuhkan Ratu kami!"
Kedua prajurit jaga itu melaporkan pada seorang prajurit lain yang berada di dalam pos. Prajurit terakhir itu
kemudian dengan sangat cekatan loncat ke atas kuda dan langsung melecutnya. Ia perlu melaporkan
kedatangan tamu yang akan mengobati ratu. Nyai Ratnaeling menunggu dengan gelisah takut tak ada izin
untuk masuk. Ia diam seribu bahasa menghindari percakapan dengan kedua prajurit jaga itu.
"Duduklah dulu! Perlu beberapa saat sebelum kau mendapat izin masuk atau tidak!"
"Terima kasih!"
"Andika tidak membawa kuda?"
"Aku naik gerobak bersama dua orang sahabatku yang sedang berniaga di pasar!"
Prajurit yang melapor telah kembali. Ia membawa kabar bahwa tabib itu diperkenankan masuk dan sekarang
ditunggu di Keraton Suradipati. Sebuah kereta telah dipersiapkan untuk menjemputnya. Tapi Nyai Ratnaeling
menolaknya. "Keraton Suradipati ada di ujung paling barat, perlu beberapa waktu dari sini apalagi andika jalan kaki! Naiklah
ke kereta kuda itu!"
"Terima kasih, biarlah aku berjalan kaki saja!"
"Baiklah, terserah andika. Selamat datang di Pakuan, semoga andika benar-benar bisa menyembu hkan Ratu
kami!" "Semoga kita semua diperkenankan!" jawab Nyai Ratnaeling lalu berjalan kaki diikuti prajurit berkereta kuda.
Baru beberapa langkah prajurit yang berkereta itu tercengang dibuatnya karena ternyata langkah kaki
tamunya itu lebih cepat dari laju kereta, bahkan ketika ia memacu kudanya pun tetap tak bisa menyusulnya,
bahkan untuk mengimbanginya saja kesulitan. Padahal sekilas sosok yang di hadapannya itu berjalan seperti
biasa dengan langkah-langkah pendek. Prajurit berkuda itu berdecak kagum, ia semakin percaya bahwa sosok
lelaki gagah yang ada di hadapannya itu bukan orang sembarangan. Ia banyak berharap, tabib inilah yang
akan bisa menyembuhkan ratunya.
Tiba di depan Keraton Suradipati, Nyai Ratnaeling alias Raden Alang-Alang disambut dua orang prajurit lain yang
siap mengantarkan ke hadapan Prabu Siliwangi.
Nyai Ratnaeling tiba-tiba saja merasakan getaran hebat manakala kakinya menjejak kembali Keraton
Suradipati yang telah ditinggalkan cukup lama ini. Tapi ia cepat menguasai diri agar tidak ada gerak-gerik yang
membuat orang lain curiga. Di depan kamar tempat Ratu Subanglarang terbaring, Prabu Siliwangi duduk pada
kursi berukir emas yang terlihat menyala-nyala manakala tertimpa sinar obor.
"Selamat datang Raden Alang-Alang, kau telah sudi memenuhi undangan kami! Dari mana gerangan andika
datang?" sapa Prabu Siliwangi, ia berdiri dan merentangkan tangannya tanda penghormatan kepada tamu yang
datang. Nyai Ratnaeling mengangguk takzim beberapa saat, padahal sesungguhnya ia sedang menata hati agar
jangan sampai beradu tatap dengan pandangan mata ayahandanya.
"Kami datang bertiga dari lembah Gunung Kumbang, dari Padepokan Sukmajati, Paduka Raja! Dua temanku
sedang berniaga di pasar menunggu aku yang akan lancang mengobati Gusti Ratu!" jelas Nyai Ratnaeling, suara
penyamarannya nyaris sempurna. Prabu Siliwangi tertawa senang.
"Justru itulah yang aku harapkan, jadi sama sekali bukan perbuatan lancang!"
"Terima kasih, Paduka Raja!"
"Ya...ya...aku melihat kau ini lebih mirip seorang resi daripada seorang tabib! Silakan masuk!"
Saat Prabu Siliwangi memutar tubuhnya membelakangi, Nyai Ratnaeling mengangkat kepalanya. Ia lalu
berjalan masuk ke dalam kamar sehingga tak saling pandang dengan Prabu Siliwangi. Nyai Ratnaeling masuk
ke dalam kamar, sementara Prabu Siliwangi kembali duduk di tempatnya semula.
Suara kokok ayam terdengar dari kejauhan saat Nyai Ratnaeling alis Raden Alang-Alang selesai mengobati
Ratu Subanglarang. Hasilnya memang mencengangkan. Saat itu juga Ratu Subanglarang sembuh dari sakitnya
dan langsung bisa berbincang-bincang seperti sedia kala.
Raden Alang-Alang hanya mengangguk takzim ketika Ratu Subanglarang menceritakan bagaimana cara ia
mengobati dirinya sehingga dalam tempo singkat bisa kembali sehat. Prabu Siliwangi lagi-lagi memandang
takjub. Tapi dipandang oleh Prabu Siliwangi, Nyai Ratnaeling benar-benar gugup. Beruntung ia masih bisa
menutupi penyamarannya. "Sudah aku duga sebelumnya kalau Raden Alang-Alang ini memang memiliki ilmu yang luarbiasa. Terima kasih,
Raden, istriku sekarang sudah sehat seperti sedia kala," puji Prabu Siliwangi.
"Pujian Paduka Raja terlalu berlebihan. Sesungguhnya semua itu hanya kebetulan semata, karena sebenarnya
bukan aku yang menyembuhkan, melainkan Yang Mahakuasa," jawab Nyai Ratnaeling merendah; "aku hanya


Prabu Siliwangi : Bara Di Balik Terkoyaknya Raja Digdaya Karya E. Rokajat Asura di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

menjadi perantara saja, Paduka Raja!"
"Ya, ya, sekalipun andika yang jadi perantara, aku tetap harus mengucapkan terima kasih atas pertolonganmu
itu. Sebagai penghormatan dan tanda terima kasih, tunggulah di sini sampai besok siang, aku mengundang
makan di istana. Mohon andika jangan menolak budi baik kami ini," jelas Prabu Siliwangi kemudian. Sejenak
Nyai Ratnaeling berpikir. Tadinya ia ingin segera keluar dari istana agar penyamarannya tidak cepat diketahui.
Ia khawatir jika pertemuan itu makin lama, dengan kesaktiannya Prabu Siliwangi bisa cepat membongkar
penyamarannya itu. "Ada apa, andika ini terus melamun" Apa keberatan dengan tawaranku?" Nyai Ratu Subanglarang
membuyarkan lamunan Nyai Ratnaeling.
"Ya, kenapa andika ini?" selidik Sri Maharaja Prabu Siliwangi.
"Bukan, Paduka Raja, sama sekali bukan karena aku keberatan atas undangan itu. Tapi aku harus cepat
meninggalkan istana ini karena ada tugas yang tidak bisa ditinggalkan. Kalau terlalu lama di sini, khawatir akan
terjadi hal-hal yang tidak diinginkan dengan murid-muridku, Paduka Raja!"
"Bukankah dua orang temanmu masih berniaga di pasar?"
"Betul, Paduka!"
"Pasar baru ditutup besok sore, tak ada alasan andika untuk cepat kembali!"
"Kedua temanku bisa saja menyusul, karena niat mereka memang untuk berniaga. Tapi kedatanganku ke sini
adalah untuk membantu mengobati Gusti Ratu, dan tugas itu sudah selesai sekarang!"
"Apa tidak mungkin menunggu barang sebentar, untuk mempersiapkan jamuan makan?" Sri Maharaja Prabu
Siliwangi tetap bersikukuh ingin menyam but tamunya. Dipaksa seperti itu Nyai Ratnaeling tetap menolak.
Akhirnya Sri Mahaprabu Siliwangi yang mengalah.
"Baiklah, kalau memang andika tidak bisa menunggu sampai malam. Tapi sebelum meninggalkan istana ini,
tolong aku ramalkan untuk satu masalah yang sedang dihadapi!"
"Apa itu Paduka?"
"Sudah hampir setengah tahun kedua putra-putriku meninggalkan istana. Keduanya pergi entah ke mana untuk
menimba ilmu agama. Dicari ke mana pun tidak pernah ketemu, padahal aku telah mengerahkan prajurit tidak
saja dari Pakuan, tapi juga dari negeri jin. Tapi hasilnya tetap gagal. Tolonglah barangkali andika bisa melihat di
mana kedua putra-putriku berada. Paling tidak aku perlu tahu, Raden, apakah mereka sehat atau justru sedang
sakit?" tanya Prabu Siliwangi lagi.
Ditanya seperti itu betapa kagetnya Nyai Ratnaeling. Ia bingung bukan alang kepalang. Bagaimanapun juga
kalau jawabannya terlalu detail, tidak mustahil ia sendiri yang akan menuai badai. Kalau tidak dijawab ia
khawatir jangan-jangan semua ini hanya siasat Sri Maharaja Prabu Siliwangi semata untuk menjebaknya.
"Aku sama sekali tidak punya kepandaian meramal, Paduka Raja!"
"Percaya, aku sangat percaya, Raden, seperti mempercayaimu ketika andika akan mengobati istriku itu."
"Apa yang harus aku jawab, Paduka, karena memang tidak tahu apa-apa," Nyai Ratnaeling tetap bertahan.
"Katakan, Raden, katakan apakah putra-putriku itu sehat atau justru sedang sakit."
Merasa tak punya pilihan lain, akhirnya Nyai Ratnaeling menjawab juga. Tapi tetap jawabannya secara
diplomatis. Sejenak ia mengatur napas dan mulai konsentrasi. Kedua tangannya di dada. Sementara Sri
Maharaja Prabu Siliwangi juga melakukan hal yang sama.
"Kedua putra dan putri Gusti sekarang sedang berpisah, Gusti!"
"Maksud Andika?"
"Dulu memang keduanya selalu bersama-sama, tapi sekarang putra Gusti terus mencari guru sejati, sementara
putri Gusti sedang berangkat ke negeri lain."
"Artinya keduanya sehat?"
"Begitulah, Gusti!"
"Andika bisa menunjukan di mana mereka berada?"
"Maaf, Gusti, tempatnya tidak bisa terlihat."
Sri Maharaja Prabu Siliwangi terus menatap Nyai Ratnaeling alias Raden Alang-Alang. Sebelum Nyai Ratnaeling
terus melanjutkan ramalannya, serta-merta Prabu Siliwangi memegang tangan Raden Alang-Alang lalu
menariknya sehingga membuat tubuh Nyai Ratnaeling terlihat oleng. Ia kaget luarbiasa. Masih untung tidak
menjerit sehingga penyamarannya tidak langsung ketahuan.
"Hentikan semua penyamarannmu ini, aku sudah tahu siapa sebenarnya kau ini, Alang-Alang!" gelegar suara
Prabu Siliwangi seraya mengirimkan salah satu jurus pembuka penyamaran musuh. Namun sebelum se
muanya terbongkar, dengan sangat cepat Nyai Ratnaeling memutar tubuhnya seperti gasing, lalu melesat kabur.
"Setan alas, kenapa aku bisa dibodohi bocah ingusan itu," bentak Prabu Siliwangi diikuti lengkingan tinggi
menyuruh seluruh prajurit mengejar Raden Alang-Alang. Seperti mendapat serangan musuh dadakan, semua
prajurit pontang-panting melakukan pengejaran. Prabu Siliwangi bersipongang di halaman keraton dan
langsung mengirimkan jurus sapu jagat, tapi anehnya tak berhasil menghentikan langkah Raden Alang-Alang,
selain membabat para prajuritnya sendiri yang langsung tersungkur diiringi lengkingan tinggi kesakitan. Prabu
Siliwangi benar-benar dibakar amarah, sehingga sudah tidak bisa berpikir sehat lagi. Ia membabi-buta
melepaskan kemarahannya. Gagal menghentikan langkah Raden Alang-Alang, Prabu Siliwangi yang masih dibakar kemarahan, langsung
mendobrak pintu Keraton Suradipati dan melangkah panjang-panjang. Di dalam keraton, Ratu Subanglarang
duduk dengan gelisah. "Kenapa kau tidak bicara terus terang kalau si Alang-Alang itu anak kita sendiri, Nyai?" Sri Maharaja Prabu
Siliwangi menumpahkan kemarahannya kepada sang istri yang dianggapnya bersekongkol.
Ratu Subanglarang menunduk tak berani mengangkat kepala. "Maafkan aku, Kaka!"
"Bagaimana kau bisa, Nyai! Aku telah lama menunggu kesempatan untuk bertemu putra-putri ku! Tapi kenapa
ketika putri kita ada di sini, kau tak membantuku" Kenapa hanya kau sendiri yang melepaskan kangen pada
anak kita" Kau kira aku tidak merasakan hal serupa, Nyai?" Prabu Siliwangi masih diselimuti kemarahan,
hampir-hampir tidak bisa mengontrol diri. Ia bersipongang di ruangan itu. Kedua tangannya diapit di belakang,
sesekali ia menendang tembok keraton.
"Aku tidak bisa melakukannya, Kaka!"
"Kenapa kau jadi begitu lemah, Nyai?"
Ratu Subanglarang terus menunduk. Ia membayangkan kembali pertemuan dengan putrinya beberapa saat
yang lalu. Pertemuan yang membangkit semangat untuk hidup, kembali menatap hari-hari ke depan dengan
rasa bahagia. Ia ingat sekarang dalam tempo singkat itu, keduanya tenggelam dalam kerinduan yang
memuncak, sehingga tak bisa berkata-kata selain saling menumpahkan airmata. Ratu Subanglarang kembali
membayangkan saat ia terus memegang erat tangan Nyimas Rarasantang sekalipun putrinya itu kembali
menata diri, kembali dalam penyamarannya.
"Aku tak bisa memaafkan kau dalam persekongkolan ini, Nyai! Pantas selama ini aku begitu lemah. Hatiku
tumpul, naluriku mandul. Ternyata semua ini akibat..." gelegar suara Prabu Siliwangi diiringi memutar tubuhnya,
dengan masih terbalut kemarahan ia meninggalkan Ratu Subanglarang sendirian.
"Kaka!" jerit Ratu Subanglarang menyesal dengan apa yang telah diperbuatnya. Matanya memerah. Prabu
Siliwangi tidak peduli. Ia membanting pintu sekuat-kuatnya dengan tinju yang masih terkepal. Ia benar-benar
tenggelam dalam marah. Ratu Subanglarang masih tersedu, duduk seraya berurai airmata, larut dalam tangis.
Hingga matanya terlihat sembab. Tak ada seorang pun yang menolong atau menghibur, tidak juga para emban.
Dalam marah, pandangannya gelap.
Sementara itu para prajurit kerajaan masih terus memburu Raden Alang-Alang alias Nyai Ratnaeling. Kendati
Nyai Ratnaeling menggunakan ilmu kidang kencana, tapi banyak di antara para prajurit yang bisa
mengejarnya. Di tanah lapang bekas tanah perkebunan rakyat yang ditinggalkan, di dalam belantara
Parahyangan, akhirnya Nyai Ratnaeling bisa tersusul. Nyai Ratnaeling tersentak. Ternyata dengan kebohongan
yang telah diperbuatnya - kendati dengan niat baik untuk menemui ibunya - ajian kidang kancana dan baju
sang dewa mulya, tidak berfungsi optimal sehingga langkah pelariannya bisa tersusul.
Saat Nyai Ratnaeling masih kebingungan karena ternyata bisa tersusul beberapa orang prajurit Pajajaran, di
tengah lapang itu ia malah sudah terkepung dari berbagai penjuru. Prajurit Pajajaran siaga dengan tombak dan
kujangnya, mereka sama sekali tak mengira bahwa Raden Alang-Alang adalah penyamaran dari Nyimas
Rarasantang alias Nyai Ratnaeling. Para pr ajurit itu terus merangsek, memegang erat tombak di t angan kiri,
kujang di tangan kanan, tidak memberi kesempatan pada Nyai Ratnaeling untuk berpikir.
"Hidup atau mati, aku akan membawamu ke hadapan Gusti Prabu, Setan Alas!" teriak seorang prajurit memberi
komando. Nyai Ratnaeling waspada. Sebelum para prajurit itu terus merangsek, maka ia memutar tubuhnya
makin lama makin kencang seperti gangsing. Para prajurit siaga, menunggu kesempatan untuk melemparkan
tombak. Saat tubuh Nyai Ratnaeling melesat ke atas, dua orang prajurit mengikutinya, ketiganya lalu menapak
pada angin dan mulai saling menyerang. Gerakan-gerakan gesit Nyai Ratnaeling diiringi tongkat yang terus
berputar membentuk baling-baling itu, tak menyurutkan keberanian dua orang prajurit. Keduanya terus
menyerang dengan tombak dan kujang dari arah kiri dan kanan. Dalam satu gerakan salto, tongkat yang
dipegang Nyai Ratnaeling berhasil memukul pinggang prajurit Pajajaran.
"Awwww...." prajurit itu mengaduh lalu hilang keseimbangan dan melayang jatuh ke bawah. Tap! Ia berdiri di
atas tanah tak jauh dari teman-temannya berdiri. Sementara yang bertarung di angkasa kini satu lawan satu.
Pertarungan semakin seru. Nyai Ratnaeling beberapa kali berhasil memukul kaki prajurit Pajajaran, sementara
ia sendiri lengan kirinya tergores kujang yang tajamnya tak terkira. Darah dibiarkan merembes keluar dari luka
yang menganga. Dengan memegang luka itu, Nyai Ratnaeling terus melakukan serangan. Seorang gurunya
pernah menegaskan bahwa sesungguhnya pertahanan diri terbaik adalah dengan melakukan penyerangan.
Ketika mendapatkan kesempatan, Nyai Ratnaeling meludahi lukanya lalu menggosoknya. Saat itu juga
langsung kering, tak ada lagi darah merembes. Namun pada saat itulah sebuah pukulan telak mengenai
pinggangnya. "Awwwww...!" Nyai Ratnaeling menjerit. Ia meluncur turun ke bawah, diikuti oleh prajurit yang ternyata
kesaktiannya itu bisa diandalkan. Di tanah lapang, kembali Nyai Ratnaeling dikepung dari berbagai penjuru oleh
para prajurit dengan tombak dan kujang mengarah padanya. Tak ada jalan lain kecuali menggunakan jurus
pamungkas. Nyai Ratnaeling memusatkan pikiran dan hatinya, lalu ia merangkak untuk siap-siap menggunakan
jurus Gulung Maung. "Gulung maung!" gumam para prajurit tersentak kaget.
"Kembangna cilaka, buahna pati!" sambung prajurit lain. Mereka mulai keder, langkahnya menjadi setengah
hati. Semua prajurit Pajajaran hafal betul bagaimana buasnya gerak Gulung Maung, tapi tak semua akan
mendapat jurus itu kecuali kalangan orang dalam keraton. Inilah yang membuat para prajurit itu miris dan
kalah sebelum bertanding. Lebih kaget lagi manakala dalam satu gerakan cepat. Nyai Ratnaeling membuka
selendang yang mengikat rambutnya. Rambut hitam itu dibiarkan tergerai indah, namun tetap tak mengurangi
sorot matanya yang mulai terlihat liar seiring mulai merangseknya kekuatan jurus Gulung Maung di dalam
tubuhnya. "Ayo maju!" teriak Nyai Ratnaeling, kini dengan suara yang asli, sehingga menambah kekagetan para prajurit
yang mematung, bingung. Bertambah bingunglah mereka manakala Nyai Ratnaeling mencabut kumis palsunya.
"Nyimas Rarasantang!" serempak para prajurit sambil menjatuhkan diri, menghormat pada putri Prabu Siliwangi
ini. "Ya, aku memang Rarasantang! Ayo maju kalau kalian bermaksud membawaku ke Pakuan, hidup atau mati!"
"Ampun, Nyimas, kami tak bermaksud mencelakakan Nyimas!" seorang prajurit yang tampaknya paling senior
meminta maaf. Tapi hal ini tak menggoyahkan Nyai Ratnaeling. Ia tetap dalam posisi siaga dalam jurus Gulung
Maung. Seorang prajurit tampaknya berpikir lain. Ia mengira akan dinobatkan jadi pahlawan manakala bisa membawa
Nyimas Rarasantang alias Raden Alang-Alang dalam keadaan mati ataupun hidup. Dalam satu kesempatan,
prajurit yang berada di belakang Nyai Ratnaeling itu dengan tombak di tangan, langsung menyerang dengan
kekuatan penuh. Prajurit lain tampak tersentak dan agak mundur menjauh.
"Siaaaatttt....!!!" seru prajurit itu seperti kerbau edan.
Tapi dengan satu gerakan ringan, Nyai Ratnaeling memutar tubuhnya, lalu menyergap prajurit yang menyerang
dengan kekuatan penuh itu. Dengan satu gerakan yang sangat cepat, tiba-tiba terlihat prajurit tadi meregang
dengan luka yang menganga di lehernya. Darah segar menyembur diiringi suara mengerikan. Dalam hitungan
detik sudah meregang nyawa. Mata Nyai Ratnaeling terlihat makin liar. Ia menatap satu persatu prajurit yang
sedang terkesima. Dengan satu gerakan cepat, Nyai Ratnaeling menyergap lagi seorang prajurit yang ada di
hadapannya. Prajurit itu terjengkang tertindih tubuh Nyai Ratnaeling.
"Awwwww....!" teriak prajurit itu dengan darah menyembur dari dadanya. Seperti kawannya, dalam hitungan
detik ia pun meregang nyawa. Sebelum kejadian buruk terjadi, lima prajurit yang masih tersisa langsung lari
terbirit-birit. Nyai Ratnaeling tertegun. Ia menatap dua orang prajurit yang sudah tidak bergerak. Rasa penyesalan
menyergapnya. Ia tak berniat menumpahkan darah kalau saja para prajurit Pajajaran itu tak berniat
mengancam keselamatannya. Ia berdiri lalu melangkah gontai ke arah para prajurit yang sudah tidak bergerak.
Ia berdeku, dengan berurai airmata ia memohon maaf.
"Maaf aku, Ki sanak! Aku tak bermaksud membuat kalian celaka! Aku benar-benar terdesak!" isak Nyai
Ratnaeling. Matanya memerah. Airmatanya berderai melukis garis berliku di wajah kuning langsatnya. Dengan
menggunakan kujang para prajurit yang baru saja berkalang nyawa, ia memotong daun-daun jati, lalu dipakai
menutup tubuh-tubuh yang terbujur kaku. Setelah mendoakan kepergiannya, ia pun menjauh dari tempat itu.
Tapi baru beberapa langkah, ia berhenti, melihat ke belakang, pemandangan yang baru saja terjadi benarbenar menghantui. Kesadaran kembali penuh, ia bisa membayangkan bagaimana prajurit-prajurit itu mengaduh
dengan darah menyembur dari luka yang menganga. Nyai Ratnaeling mengusap wajahnya. Matanya terasa
semakin perih. Akhirnya ia ambruk, tak kuasa terdesak rasa bersalah yang menghantui.
*
GUNUNG CANGAK Kepergian Nyai Ratnaeling ke Keraton Pakuan yang juga belum kembali, sedikit banyak telah mengganggu
ketenangan Prabu Anom Walangsungsang. Berbagai prasangka menjejal menguasai pikirannya.
"Aku jadi mengkhawatirkan adikku, Ratnaeling, Indangayu!" keluh Walangsungsang saat istirahat sebelum
meneruskan perjalanan menuju Gunung Cangak.
"Kekhawatiran yang beralasan, Kakang! Tapi menurutku jangan sampai mengganggu perjalanan kita. Langkah
kita harus terus maju, jangan surut lagi ke belakang, Kakang!"
"Menurutmu bagaimana keadaan adikku, Indangayu?"
"Banyak hal tentu saja yang dihadapi Nyai Ratnaeling, Kakang!"
"Maksudmu?" "Siapa yang tak tahan untuk melepas rasa kangen ketika bisa bertemu dengan Kanjeng ibu. Tapi itu bisa terjadi
jika penyamarannya berlangsung sempurna. Aku malah khawatir, Kakang, ketika penyamaran Nyai Ratnaeling
berhasil dengan baik, tapi akhirnya akan terbongkar manakala tidak bisa menahan diri untuk melepas rasa
kangen ketika mengobati Kanjeng ibu!" jelas Nyai Nini Indangayu. Apa yang dikatakan istrinya itu ada
benarnya juga. Walangsungsang mengangguk membenarkan. Ia pun sempat memikirkan hal itu.
"Jangan-jangan karena alasan itulah yang membuat adikku tidak segera kembali, Nyai Indangayu!" jelas Prabu
Anom Walangsungsang, rasa khawatirnya semakin membuncah, terlihat jelas dari sorot matanya.
"Mungkin juga, Kakang! Sayang yang punya ilmu terawangan hanya adik kita, Nyai Ratnaeling!" gumam Nyai
Nini Indangayu seperti menyesal. Andai saja ilmu itu dikuasainya juga, tentu ia bisa menerawangnya sehingga
akan mengetahui apa yang terjadi dengan adik iparnya itu.
"Kita doakan saja, mudah-mudahan adikku Ratnaeling akan segera kembali bersama-sama kita," harap Prabu
Anom Walangsungsang. Ia sedang menghadapi dilema memang, apakah meneruskan langkahnya menuju
Gunung Cangak atau mencari tahu keberadaan adiknya terlebih dahulu.
Nyai Ratnaeling yang sedang dikhawatirkan Prabu Anom Walangsungsang, saat itu baru saja membuka
matanya. Sinar matahari yang menembus lewat lubang-lubang bilik menyilaukan matanya. Perlahan ia bangkit.
Lengan kirinya terasa berat dan ada luka yang terasa perih. Nyai Ratnaeling memeriksa. Ia mengernyit ketika
mengetahui lengan kirinya dibalut kulit kayu, pembungkus ramuan untuk menyembuhkan lukanya. Pikirannya
berputar-putar mengingat kembali kejadian terakhir yang dialaminya. Pertarungan di tanah datar dalam hutan.
Ya, kejadian itulah yang aku alami terakhir, gumamnya. Ia duduk dengan menopang lengan kiri dengan tangan
kanannya. "Tapi aku ada di mana?" tanyanya pada diri sendiri. Ia mengedarkan pandangan. Ruangan itu terasa pengap
dan panas. Cahaya matahari hanya masuk dari sela-sela lubang bilik yang tidak terlalu besar. Cahaya yang
menyembur berupa garis-garis putih keperakan itu pula yang jadi penerangan di ruangan ini. Nyai Ratnaeling
memeriksa tempat yang baru saja dipakainya tidur. Hanya bambu-bambu yang terikat dengan kulit kayu yang
dilinting. Tidak ada apa-apa selain samar di sudut ruangan ia melihat kendi tempat air dan tongkat rotan. Itu
milikku, gumamnya. Ia mencoba berdiri. Sekujur tubuhnya terasa linu-linu. Pertarungan melawan prajurit
Pajajaran tadi telah menguras cukup banyak tenaganya. Akhirnya ia duduk lagi sambil berpikir apa yang akan
dilakukannya kemudian. Saat termenung itulah ia mendengar dua orang berbincang-bincang, agak samar
dengan suara tertahan. Seorang perempuan dengan seorang laki-laki sepertinya, terka Nyai Ratnaeling.
Suara perbincangan yang terdengar samar itulah yang memaksa Nyai Ratnaeling untuk berdiri. Ia merapatkan
tubuhnya di pintu bambu itu dengan hati-hati dan menajamkan pendengarannya. Kini suara perbincangan laki
dan perempuan itu semakin jelas terdengar.
"Jangan sampai Nyimas pulang kembali ke Pakuan, Ki! Aku khawatir dengan keselamatannya. Dua orang
prajurit yang perlaya tadi, mungkin saja dibunuh oleh Nyimas, tapi mana mungkin bisa melakukan itu kalau
tidak sedang terdesak..."
"Aku paham! Kalaupun ia memaksa, aku akan berusaha menahannya. Percayalah!" suara laki-laki itu. Nyai
Ratnaeling tak bisa menerka siapa mereka itu. Ia masih berdiri di sana dan tetap menajamkan
pendengarannya. "Apa lukanya cukup serius?"
"Sabetan kujang itu selalu serius kalau tidak diberi penawar racunnya. Sekecil apa pun luka yang ditimbulkan
kujang itu tetap akan serius, karena racun itu akan cepat tersebar ke seluruh tubuh...."
Mendengar si lelaki membicarakan bahayanya luka akibat sabetan kujang, serta-merta Nyai Ratnaeling
memegang lengan kirinya. Dipegangnya sedikit, rasa sakit masih terasa. Ia jadi memikirkan luka itu sekarang.
Andai luka itu belum diberi penawar racun, tentu racunnya akan menyebar cepat ke seluruh tubuh untuk
kemudian melumpuhkannya. Ia tersenyum sekilas mengingat tubuhnya masih bisa berdiri sekalipun terasa
agak limbung. Artinya ia sudah diberi penawar racun. Ya, Nyai Ratnaeling berharap banyak bahwa ramuan
yang dibalurkan ke atas luka sebelum diikat kulit kayu itu, benar-benar sudah diberi penawar racun.
"Kau periksa Nyimas! Siapa tahu sudah bangun. Tapi kalau belum, biarkan saja sampai bangun sendiri. Luka di
lengannya dan tenaga yang terkuras dalam pertarungan itu memerlukan istirahat beberapa lama...." terdengar
suara si lelaki bicara lagi. Nyimas Rarasantang semakin menajamkan pendengarannya dan mencoba memutar
ingatannya, menerka-nerka siapa gerangan laki-laki yang sedang bicara tersebut juga perempuan yang
diajaknya bicara. Tapi terlalu banyak suara-suara yang akrab didengar ketika ia di Keraton Pakuan dulu,
sehingga tidak ada suara seorang pun yang benar-benar menempel dan gampang diingat selain suara ayah
dan ibunya, juga suara Walangsungsang.
Tiba-tiba Nyai Ratnaeling tertegun teringat kepada Walangsungsang dan Nyai Nini Indangayu yang
ditinggalkannya. Dihitung-hitung sudah dua hari ia meninggalkan mereka. Tentu saja akan sangat
mengkhawatirkannya. "Maafkan aku, Kakang, karena tak bisa cepat kembali!" gumam Nyai Ratnaeling sedih sekali. Ia hampir
terduduk dari berdiri kalau tidak saja terdengar langkah menuju ke arahnya. Ia cepat-cepat kembali berbaring
di tempat tidurnya, menutup matanya rapat-rapat, dan mengatur napas agar terlihat benar-benar masih tidur.
Pintu bambu itu berderit terbuka, cahaya lebih besar terasa menyerbu masuk ruangan yang gelap dan pengap
itu. Nyimas Ratnaeling tetap pada posisinya sehingga tak lama kemudian pintu bambu itu terdengar berderit,
ditutup kembali diikuti makin bertambah gelapnya di ruangan itu.
*
Seperti petunjuk Eyang Danuwarsih, perjalanan itu lurus ke arah timur. Gunung Cangak yang jadi tujuan. Prabu
Anom Walangsungsang terus berjalan dan setiap menghadapi jalan bercabang, ia membuat ciri dengan
menancapkan ranting sebagai petunjuk. Dengan ciri itulah, ia berharap manakala Nyimas Ratnaeling sampai ke
tempat itu, akan segera mengikutinya. Ia terus berjalan tanpa menengok ke belakang, seperti petunjuk yang
diwanti-wanti oleh Eyang Danuwarsih. Jika ia berhasil tidak melanggar aturan itu, maka dalam waktu singkat
akan bertemu dengan guru sejati yang akan mengajarkan Islam. Tapi sebaliknya manakala dilanggar, tak akan
mendapat apa-apa selain tangan hampa. Prabu Anom Walangsungsang terlihat hanya berjalan sendirian,
karena Nyai Nini Indangayu dimasukkan ke dalam cincin Ampalnya.
Perjalanan menuju Gunung Cangak ditempuhnya malam hari agar tidak terlalu menguras tenaga akibat
sengatan sinar matahari. Tapi sekalipun perjalanan ditempuh dengan menggunakan ilmu kidang kancana,
sebagai manusia biasa Prabu Anom Walangsungsang tetap saja didera lelah dan ngantuk. Untuk mengurangi


Prabu Siliwangi : Bara Di Balik Terkoyaknya Raja Digdaya Karya E. Rokajat Asura di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

beban dan agar ada teman bicara, Prabu Anom Walangsungsang mengeluarkan Nyai Nini Indangayu dari
dalam cincin Ampal. Tapi herannya bukannya merasa ditemani malah menambah beban. Nyai Nini Indangayu
tidur sambil bergelayut di pundaknya. Berkali-kali Walangsungsang diserang kantuk, ia menguap dan
menggosok matanya. Saat menemukan batu yang datar dan cukup besar, disanalah Nyai Nini Indangayu
dibaringkan dan selang beberapa saat Walangsungsang pun ikut terlelap.
Baru beberapa saat terlelap, tiba-tiba Walangsungsang terbangun karena tertindih tubuh istrinya.
Walangsungsang menggosok matanya berkali-kali. Disinari cahaya bulan purnama, ia melihat dengan jelas kain
yang dikenakan istrinya tersingkap. Darah kelelakiannya berdesir. Ketika ia merangkak tibatiba berkelebat bayangan hitam. Walangsungsang tersentak kaget. Dengan satu gerakan ia meloncat ke udara, kemudian
melakukan salto dan berdiri persis di samping tubuh istrinya. Kain itu masih tersingkap. Ketika tangannya
bergerak akan menarik kain itu, berdengung kembali suara Eyang Danuwarsih yang mengingatkan bahwa
selama di perjalanan sebelum sampai ke tujuan, jangan sekali-kali melakukan hubungan intim. Teringat akan
pesan gurunya tersebut, Walangsungsang langsung menghentakkan tubuh istrinya hingga terbangun.
"Apa yang Kakang lakukan" Teganya membangunkan istri sendiri sekasar itu," keluh Nyai Nini Indangayu. Ia
tidak mengetahui apa yang sesungguhnya terjadi.
"Maaf, Nyai Indangayu, bukan maksudku untuk mengagetkanmu. Tapi ingat pesan guru, kita tidak boleh... tidak
boleh melakukan itu, Nyai!" jawab Walangsungsang agak gugup tanpa bisa menjelaskan lebih detail apa yang
dimaksudnya. Nyai Nini Indangayu tetap terlihat marah.
"Tapi tidak harus sekasar itu, Kakang!"
"Sekali lagi aku minta maaf! Aku tidak mau perjalanan kita gagal hanya karena terganggu urusan duniawi,
Nyai Indangayu!" Nyai Nini Indangayu masih marah, tapi Walangsungsang tidak mau terpancing. Ia yakin ruh kejahatan akan
terus membujuk dan merayu agar niat suci gagal di tengah jalan. Prabu Anom Walangsungsang bersimpuh di
atas tanah memohon kekuatan, agar bisa meneruskan perjalanan menuju Gunung Cangak. Saat mereka akan
meneruskan perjalanan, sayup-sayup dari kejauhan terbawa angin malam, terdengar suara kokok ayam tanda
fajar pertama telah tiba. Walangsungsang menyesal dibuatnya, karena dalam semalam tak bisa berjalan
sejauh yang ia bisa. Ketika hampir subuh, Walangsungsang dan Nyai Nini Indangayu tiba di pinggir sungai yang airnya sedang
meluap. Tak ada jembatan atau apa pun yang bisa dipergunakan untuk menyeberang. Satu-satu cara yang bisa
dilakukan adalah berjalan di atas air sungai yang meluap-luap itu.
"Kau bisa berjalan di atas air tanpa tenggelam, Nyai Indangayu?"
"Kita coba saja Kakang!" ucap Nyai Nini Indangayu. Ia konsentrasi dan memusatkan pikirannya, bahwa di
hadapannya itu terbentang jalan bukan air yang sedang meluap. Beberapa saat kemudian Nyai Nini Indangayu
bergerak berjalan di atas permukaan air. Sudah hampir di tengah sungai saat itu ketika Prabu Anom
Walangsungsang akan melakukan hal yang sama. Namun beberapa saat ketika akan menyeberangi, ia melihat
tubuh Nyai Nini Indangayu oleng.
"Indangayu?" teriak Walangsungsang seraya melayang loncat ke tengah sungai untuk menyelematkan istrinya.
Tapi takdir menentukan lain, tangan Walangsungsang gagal memegang tangan istrinya, sehingga tubuh Nyai
Nini Indangayu hanyut terbawa arus sungai yang meluap. Walangsungsang kembali ke pinggir sungai,
menyusuri ke arah hilir untuk mencari Nyai Nini Indangayu. Hingga matahari sepenggalah, Nyai Nini Indangayu
belum juga ditemukan. Rasa frustasi dan menyesal karena telah berlaku bodoh menyergapnya. Ia
sempoyongan mencari jasad istrinya. Di pinggir sungai yang airnya sedikit lebih tenang, tubuh Walangsungsang
ambruk mencium tanah. Saat itulah terdengar suara Eyang Danuwarsih bicara.
"Walangsungsang, putra Pajajaran, kau terlalu jauh menyusuri sungai. Istrimu, Indangayu, tidak terseret sejauh
ini. Sekarang kembali ke tempat semula. Carilah ranting pohon Jati yang tidak terganggu arus sungai. Di
sanalah sebenarnya Indangayu berada!"
Prabu Anom Walangsungsang terperanjat kaget lalu berdiri dan kembali melangkah ke tempat semula, dengan
langkah lebar-lebar dan penuh semangat. Saat kembali ke tempat semula, benar saja ia segera menemukan
ranting pohon Jati yang anehnya tidak terpengaruh oleh arus sungai. Kendati arus di sekitarnya demikian kuat,
tapi ranting kayu Jati itu seperti tembok beton berdiri menantang arus. Lalu, Pangeran Walangsungsang turun
ke sungai, menelusuri ranting itu dengan sangat hati-hati. Ketika menelusuri ranting itu, tiba-tiba tubuhnya
seperti tersedot oleh sebuah kekuatan mahadahsyat. Tubuh Pangeran Walangsungsang tenggelam ke dasar
sungai. Kejadian lebih aneh lagi kini terhampar di depan mata.
Di dasar sungai itu, terlihat ada sebuah pintu terbuat dari batu permata berkilauan. Setiap terkena sinar yang
entah dari mana sumbernya, batu permata itu berkilauan memantulkan cahaya kehijauan. Walangsungsang
berdiri terpaku menyaksikan pemandangan yang menakjubkan tersebut. Semakin dipandang semakin nyatalah
bahwa tempat itu merupakan pintu masuk ke sebuah tempat yang lebih megah lagi. Serta-merta ia lupa
bahwa tempat itu ada di dalam sungai.
"Bukalah dengan Ilmu Pemuput Bayu, Nak!" jelas sebuah suara yang mirip-mirip suara Eyang Danuwarsih.
"Baiklah, Kek!"
Prabu Anom Walangsungsang menggunakan ilmu pemuput bayu yakni ajaran yang bisa melihat tabir-tabir
yang menghalangi pandangan. Saat menggunakan ilmu ini pula, Prabu Siliwangi bisa melihat dengan jelas
penyamaran Raden Alang-Alang yang tidak lain Nyimas Rarasantang, sehingga dengan cepat i a memegang
tangan putrinya itu. Benar dugaan Walangsungsang tadi. Setelah dilihat dengan ilmu pemuput bayu, pintu gerbang tersebut adalah
gerbang masuk ke sebuah kerajaan. Keanehan demi keanehan terus dialami Walangsungsang. Ketika ia
sampai di Gunung Cangak misalnya, Walangsungsang melihat burung Bangau hinggap di dekat pohon Beringin.
Saking banyaknya burung-burung itu, sampai-sampai Walangsungsang sendiri merasa bingung menentukan
mana sebenarnya yang menjadi ratunya. Ia memang tidak paham bahwa semua itu mengandung simbolsimbol tertentu. Kembali ia teringat ucapan Sanghyang Nanggo bahwa sebelum bisa bertemu dengan guru
sejati yang akan mengajarkan Islam, akan banyak ditemukan rintangan-rintangan menghadang, untuk menguji
sejauhmana kesungguhan mencari sumber kebenaran dan keselamatan itu.
Walangsungsang hanya tertegun melihatnya. Seperti juga yang dialami Nyai Ratnaeling saat itu. Ia tertegun
ketika melihat dua orang yang sangat dikenalnya.
"Aku tak pernah mengira kalau tempat ini adalah pondok tempat paman berada!" jelas Nyai Ratnaeling seraya
menatap tajam ke arah Ki Nalaraya. Lalu Ki Nalaraya menjelaskan bahwa pondok ini adalah tempat
persembunyiannya, yang terletak di bibir jurang di bawah bukit batu yang menjorok, sehingga sepintas dari
arah atas tak akan terlihat kalau di bawah batu itu ada pondok. Tapi sebenarnya tempat ini tidak benar-benar
aman, toh ketika memasak atau menyalakan api, asapnya akan membumbung ke atas dan akan cepat
ketahuan kalau di sini ada kehidupan. Tapi bagi Nyai Ratnaeling hal itu tidak dipikirkan benar, seperti juga ia
tidak memikirkan apa sesungguhnya yang dimaksud tempat persembunyian oleh Ki Nalaraya tadi. Apakah
benar-benar Ki Nalaraya sedang dalam bahaya sehingga ia memerlukan tempat persembunyian" Lalu, kalau
memang sedang terancam, sebenarnya Ki Nalaraya itu bersembunyi dari siapa" Siapa yang mengancamnya
sehingga perlu bersembunyi"
"Puji syukur ternyata Nyimas Putri ini bisa sehat kembali! Paman sempat khawatir jangan-jangan nyawa
Nyimas tidak akan tertolong lagi, mengingat luka yang menganga di lengan kiri Nyimas cukup besar, sehingga
racun-racun itu tentu akan cepat pula menularnya..." jelas Ki Nalaraya seraya menyodorkan air lahang dalam
batok kelapa. Nyimas Ratnaeling mengambil air lahang itu, lalu meminumnya. Segar dan nikmat. Kesegaran itu
langsung terasa menyebar ke seluruh tubuhnya.
"Segar sekali, Paman!"
"Sudah beberapa malam diembunkan, Nyimas Putri! Baik untuk kesehatan..."
Obrolan mereka terhenti karena dari arah bawah muncul Ceuk Srinten, membawa bakul. Untuk kedua kalinya
Nyimas Rarasantang alias Nyai Ratnaeling tertegun. Ia menatap tak berkedip.
"Embi (bibi)?" katanya terlolos begitu saja. Ceuk Srinten mengangguk pelan seraya tertawa lebar seperti
biasanya. Tubuh gembrotnya terlihat agak kesulitan untuk naik ke atas saung.
"Syukurlah Nyimas Putri Rara sudah sehat! Mbok bawakan makanan alakadarnya...." seraya duduk di pinggir
dipan dengan susah payah. Ia mengeluarkan ubi bakar dan kelapa yang telah dipotong-potong, lalu
menyimpannya dalam daun jati yang telah licin karena sering dipakai.
"Hehehe... makanan orang sengsara..." komentarnya seraya menggeser makanan itu ke dekat Nyimas
Rarasantang. "Dari mana semua ini, Embi?"
"Dari dalam hutan sana... embi sengaja membakar di sana, karena kalau di sini bisa saja para prajurit
mengetahui keberad aan embi dan Ki Nalaraya ini...."
"Lho...memangnya ada apa dengan prajurit-prajurit itu, Mbi?"
Ditanya seperti itu Ceuk Srinten hanya saling pandang dengan Ki Nalaraya. Ki Nalaraya mengangguk pelan.
Akhirnya Ceuk Srinten mulai menjelaskan apa yang terjadi selama ini. Nyimas Rarasantang tertegun. Sama
sekali tak pernah mengira jika kepergian kakaknya dan dia sendiri dari Keraton Pakuan, pengaruhnya menjalar
ke mana-mana. "Maafkan aku, Mbi, Paman! Aku tak pernah mengira jika akibatnya akan seperti ini!"
"Tak ada yang salah dengan Nyimas Putri! Yang salah adalah mereka orang-orang berhati dengki yang kini ada
di keraton!" "Embi tahu siapa mereka?"
"Embi tak berani menyebutkannya Nyimas Putri! Embi sengaja dibuang ke sini juga agar nyawa Embi selamat.
Ini semua berkat sih piwelasnya Gusti Prabu, Nyimas Putri!"
"Kalau begitu Kanjeng Rama sudah mengetahuinya?"
"Pasti! Pasti sudah, Nyimas Putri! Tapi demi keamanan kerajaan, tentu saja tidak bisa gegabah mengambil
tindakan! Semua harus ketahuan hitam putihnya dulu!" Ki Nalaraya menambahkan. Nyai Ratnaeling
mengangguk paham. Sebagai orang yang luhur ilmunya, Mahaprabu tentu tahu di balik tabir itu. Ia sama sekali
tak mengira jika ayahandanya itu juga manusia yang penuh kelemahan.
"Ki Nalaraya juga sama dibuang ke sini?"
"Kalau aki lain lagi ceritanya...." jelas Ki Nalaraya sambil terkekeh memperlihatkan giginya yang masih putih dan
lengkap, sekalipun usianya sudah tidak muda lagi.
Benang-benang hitam itu ternyata tak gampang terurai. Nyimas Rarasantang terus mencari tahu tentang
keadaan di keraton setelah kepergiannya. Baik Ceuk Srinten maupun Ki Nalaraya tampak sangat hati-hati
memberi penjelasan. Hal ini yang membuat Nyimas Rarasantang agak kesulitan.
*
Kesulitan Walangsungsang menentukan mana Ratu Bangau itu ternyata tidak bertahan lama. Walangsungsang
lalu mengeluarkan wadah berisi ikan deleg. Wadah itu diletakkan di pohon beringin tempat rombongan Bangau
bertengger. Sebelum bisa menjebak Bangau-bangau itu, tiba-tiba datang angin besar dari arah belakang tempat
Prabu Anom Walangsungsang berdiri. Anehnya angin itu hanya menerpa tubuhnya dan tidak menerpa semua
yang berada di sekelilingnya, bahkan Bangau-bangau itu tetap bertengger dengan tenang.
"Wahai penunggang angin, jangan mengganggu perjalananku!" teriak Walangsungsang seraya berusaha
menepis serangan angin itu.
"Jangan terganggu dengan hal-hal yang tidak perlu, Nak!" terdengar suara Eyang Danuwarsih; "bukankah
perjalanan masih panjang. Kalau tidak bisa memegang teguh keinginan, kapan kau akan bertemu dengan guru
sejati itu, Nak?" Walangsungsang tersentak kaget. Betapa bodohnya aku, selalu teralihkan dengan gangguan-gangguan kecil,
gerutunya. "Eyang Danuwarsih kah itu?" tanya Prabu Anom Walangsungsang.
"Tak perlu kau tahu siapa aku sebenarnya. Dari guru sejati itulah nanti kau akan menerima hakikat kebenaran.
Sekarang dengarlah apa yang menjadi hak pendengaranmu, jangan bertanya siapa yang berbicara. Karena
mungkin penglihatan bisa saja mempengaruhi penilaianmu," jelas suara itu lagi.
Prabu Anom Walangsungsang tak menyangkalnya. Tak ada yang salah dengan ucapan sosok tanpa rupa itu.
Walangsungsang kemudian berkonsentrasi lagi. Dengan menggunakan aji panurutan, tanpa diminta Ratu
Bangau segera turun dari atas dahan pohon beringin. Ia bertubuh besar dibanding bangau-bangau lainnya, ikan
yang disediakan dalam wadah perangkap itu langsung dipatuk Ratu Bangau dan pada saat itu pula dengan
gerak cepat Walangsungsang menangkap leher Ratu Bangau tersebut. Merasa tak akan bisa lepas dari
cengkeraman Walangsungsang, Ratu Bangau itu langsung meminta ampun.
"Aku mengaku kalah, manusia. Biarkan aku hidup. Kalau kau membiarkan kaum kami hidup, nanti akan
kuhadiahkan pusaka warna tiga, piring panjang, pendil dan bende" janji Ratu Bangau tersebut.
Setelah berjanji dan mengaku kelebihan manusia dibanding kaumnya, Walangsungsang melepaskan Ratu
Bangau dari cengkeramannya. Ratu Bangau itu pun melesat terbang ke angkasa seraya bicara pada
Walangsungsang. "Wahai manusia susullah aku di puncak gunung," teriaknya.
Walangsungsang segera menyusulnya. Ia semakin yakin bahwa sesungguhnya Ratu Bangau itu sengaja
menghalangi jalan untuk menjajal kesaktian dirinya. Walangsungsang terus mengejarnya namun Ratu Bangau
itu terbang sangat cepat sehingga Walangsungsang beberapa kali kehilangan jejak. Ketika sampai di puncak
gunung bertambah bingunglah Walangsungsang, karena di sana sama sekali tak menemukan Ratu Bangau. Ia
lenyap seperti ditelan bumi.
"Wahai Ratu Burung, bukankah kau mengaku kekalahanmu" Sebelum aku berubah pikiran, segera tunjukan di
mana kau berada," teriak Walangsungsang.
Tak ada tanda-tanda Ratu Burung akan menampakkan dirinya. Walangsungsang mengulangnya beberapa kali.
Pada ancaman ketiga sebuah kejadian menakjubkan terjadi. Pohon Beringin yang semula dipakai bertengger
ratusan burung Bangau itu, kini berubah menjadi sebuah keraton yang sangat indah, bertabur emas dan berlian.
Lantainya mengkilat dari batu pualam yang tak pernah dilihatnya sekalipun di Keraton Pakuan.
"Guru, apa yang terjadi dengan semua ini?" gumam Walangsungsang sambil matanya tak berkedip menikmati
keindahan keraton yang berdiri megah di hadapannya. Ia bahkan teringat istri dan adiknya untuk diajak
berbagi menikmati keindahan yang tak terkira tersebut. Tapi dipanggil beberapa kali, istrinya tak juga datang.
Walangsungsang mengernyit. Tertinggal di manakah Nyai Nini Indangayu, gumam Walangsungsang.
"Ah, ternyata semuanya telah diatur, Eyang. Biarkan aku sendirian menikmati keindahan ini. Aku tak percaya
apakah ini keraton buatan tangan manusia atau para siluman. Bangunan keraton yang belum pernah aku lihat
sebelumnya, tak pula sebanding dengan keindahan Pakuan," gumam Walangsungsang tak henti menikmati
keindahan yang tersaji di depan matanya tersebut.
"Jangan suka membanding-bandingkan dengan sesuatu yang pernah kau cela, Nak. Dulu kau mengagumi
Pakuan yang megah, tapi kenapa sekarang membanding-bandingkan dengan keraton yang ada di hadapanmu
ini?" Walangsungsang tertegun, tak mengira kalau Eyang Danuwarsih terus mengikutinya. Ia menunduk, tepekur.
Betapa mudah manusia yang merasa pintar, tergelincir pada hal-hal kecil.
"Tidak, tidak sama sekali, Kek. Aku tidak bermaksud untuk membanding-bandingkan dua keraton ini. Ini semua
karena kekagumanku semata," Walangsungsang meminta maaf atas kekeliruannya. Ia semakin mengerti
sekarang bahwa untuk menemukan sebuah kebenaran akan selalu dihadang dengan berbagai persoalan dan
rintangan. Beruntunglah dirinya setiap menghadapi rintangan, dengan cepat diingatkan. Tapi bagaimana dengan
mereka yang tak mendapatkan pencerahan" Mereka telah ditakdirkan untuk menjadi tumbal kehidupan atau
mereka itulah sebenarnya sumber pengetahuan bagi yang lainnya" Walangsungsang menggeleng.
Belum sirna rasa kagumnya, tiba-tiba muncul 40 orang anak berkulit albino (berkulit putih/bule),
menghidangkan jamuan sambil mempersilakan Walangsungsang menikmatinya. Ia dipersilakan duduk di atas
permadani berlapiskan emas murni yang menyemburatkan warna kekuningan menyilaukan.
"Selamat menikmati sajian kami ini, Putra Pajajaran. Nikmatilah sepanjang Tuan menyenanginya," begitulah
ungkap salah seorang dari empat puluh anak tersebut.
"Terima kasih atas kebaikan kalian semua. Aku bersyukur karena tanpa diminta bisa sampai di tempat yang
indah ini," ungkap Walangsungsang lalu duduk di salah satu permadani emas tersebut. Ia mulai menikmati
makanan yang tersaji. Luarbiasa lezatnya makanan-makanan itu hingga ia selalu merasa lapar. Semakin
ditambah makanan, semakin terbit rasa laparnya.
"Ingatlah selalu, Nak, jangan melakukan sesuatu dengan nafsu. Makan dan minumlah seperlunya, karena
sesungguhnya yang terlalu banyak makan dan minum akan dilemahkan pikirannya!"
Entah untuk keberapa kalinya Walangsungsang tersentak kaget. Ia kembali disadarkan sebelum mengikuti
nafsunya menikmati sajian makanan yang tersaji. Namun ia belum bisa mengungkap teka-teki yang
dialaminya selama ini. Satu pelajaran yang ia temukan adalah ternyata banyak yang dapat dirasakan tapi tidak
selalu dapat dilihat. Banyak sekali yang tidak dapat ia pahami, seperti ilusi yang ada di hadapannya. Ia merasa
semakin bodoh, karena ternyata seringkali merasa dirinya sendiri yang dapat memahami hal-hal itu dan
bersikukuh untuk menggambarkan agar orang lain memahaminya. Padahal ternyata hal-hal yang ia bersikukuh
menganggap sebagai sesuatu yang besar, seringkali menjadi sangat kecil saat pengetahuan bertambah
setelahnya. Walangsungsang semakin dibenturkan pada tembok ilusi, sedikit sekali ia tahu pada apa yang diketahuinya,
lebih banyak tidak tahu dari apa yang diketahuinya dan luarbiasa banyak tidak tahu tentang apa yang tidak
dia ketahui. *
Langit terlihat muram. Sesekali kilat menerangi petala langit. Bendera dukacita menghiasi langit
Pajajaran. Semua menunduk lesu. Kabut pelan merayap menutupi mata orang-orang yang hadir di istana
maupun yang jauh dari istana. Menunduk. Kabar kematian Ratu Subanglarang menyebar lebih cepat dari
gerakan angin. Airmata tumpah ruah di mana-mana, ada yang meraung dan yang tersengal tak bisa berkatakata mengiringi kepergian Ratu Subanglarang yang mereka cintai dan hormati. Derai airmata mengalir di
wajah-wajah duka hingga beberapa hari ke depan. Para peziarah terus berduyun-duyun menyemut, mengisi
pinggir-pinggir jalan sekalipun mayat Ratu Pajajaran itu sudah di- kebumikan.
Berita itu terdengar juga oleh Ki Nalaraya. Ia menunduk lesu. Lama tak bisa berkata-kata membuat Ceuk
Srinten terselimuti rasa penasaran. Ki Nalaraya tak kuasa menyampaikan berita itu, apalagi tak jauh darinya
ada Nyimas Rarasantang. Tapi ketika terus didesak akhirnya Ki Nalaraya mau juga mengatakan kejadian sebenarnya. Mendengar berita
yang sangat mengejutkan itu, Nyimas Rarasantang menjerit. Teriakan pilu memecah keheningan di tempat
terpencil itu. Airmatanya segera membasahi pandangannya. Terguncang oleh kejadian itu membuat dirinya
lemah hingga berkali-kali pingsan. Badannya terkulai lemas. Ki Nalaraya dan Ceuk Srinten hanya bisa merenda
tangis, tersedu, takdir kehidupan telah digariskan demikian.
"Kasihan Nyimas, Ki, terpaksa harus jadi piatu!" gumam Ceuk Srinten ketika baru saja Nyimas Rarasantang
siuman. Ki Nalaraya menempelkan telunjuknya di bibir, isyarat agar jangan terlalu banyak bicara. Ceuk Srinten
mengangguk pelan. "Jangan tinggalkan aku, ibu! Masih banyak yang harus Kanjeng ibu ceritakan padaku!" Nyimas Rarasantang
tersedu. Airmatanya kembali berderai. Ceuk Srinten mengusap-usap kaki Nyimas Rarasantang.
"Kenapa kita bisa terlambat mendengar berita ini?" protes Nyimas Rarasantang, lalu cepat berdiri dan
menghambur ke luar pondok. Ki Nalaraya dan Ceuk Srinten sigap berdiri dan ikut keluar pondok.
"Sabar, Nyimas! Sabar!" Ki Nalaraya terus meredam emosi Nyimas Rarasantang yang terlihat tidak stabil
tersebut. Ny mas Rarasantang tertunduk, punggungnya terguncang diikuti sesenggukan. Ceuk Srinten cepat
menghibur, tubuh majikannya itu dirangkulnya erat. Nyimas Rarasantang menumpahkan kekesalan dan
kesedihan melalui airmata.
Kabar kematian Ratu Subanglarang secara langsung tidak sampai ke telinga Prabu Anom Walangsungsang, tapi
perasaannya tak bisa dibohongi. Beberapa hari lamanya ia dilanda rasa tidak enak dan sekujur tubuhnya terasa
lemas. Ia mengira hal itu karena rasa kangen yang tak tersalurkan kepada istri dan adiknya.
Akhirnya melalui perantaraan sebuah cincin Combong, ia menyalurkan kekuatannya untuk menarik adik dan
istrinya. Dalam waktu singkat tanpa diketahui bagaimana jalannya, Nyai Nini Indangayu bisa berkumpul
kembali. Tapi anehnya ketika memanggil Nyimas Rarasantang selalu gagal, ada saja halangannya.
Walangsungsang pun akhirnya menyerah dan betul-betul menyerahkan pada garis takdir, apa pun yang akan
terjadi. Jika memang adiknya itu telah punya jalan sendiri, biarlah menjalaninya sendiri. Tapi jika ditakdirkan
untuk kembali bersama-sama, maka ia yakin dalam waktu dekat akan berkumpul kembali.
"Sudahlah tidak perlu kau bersedih seperti itu, kita kan sudah berkumpul," hibur Walangsungsang ketika
melihat istrinya terus-menerus menangis.
"Aku mengkhawatirkan keselamatanmu, Kakang," jelas Nyai Nini Indangayu.
"Nggak apa-apa atas izin dan kuasa Yang Mahakuasa, kita bisa berkumpul kembali," jawab Walangsungsang.
Setelah berhasil mengalahkan ribuan Bangau yang akan menyesatkan penglihatannya itu, akhirnya Prabu
Anom Walangsungsang dan istrinya diperkenankan untuk duduk di atas permadani yang terbuat dari emas,


Prabu Siliwangi : Bara Di Balik Terkoyaknya Raja Digdaya Karya E. Rokajat Asura di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

menikmati kembali jamuan. Permadani itu berkilau menyilaukan mata. Namun ketika diduduki bukan main
nikmatnya. Selesai melepas lelah, tiba-tiba keduanya dikejutkan kedatangan seorang lelaki tua.
"Siapa gerangan engkau ini, Kek" Kedatanganmu yang tiba-tiba benar-benar mengejutkan kami!" selidik
Walangsungsang memeriksa.
"Terima kasih, Putra Pajajaran, Andika langsung memeriksa. Aku sesungguhnya Sanghyang Bangau yang telah
membangun keraton di Gunung Cangak ini," jelas Sanghyang Bangau. Walangsungsang dan istrinya terkejut
bukan main. "Maafkan aku, Sanghyang Bangau, telah lancang memeriksa tuan rumah sendiri," Walangsungsang
menyampaikan permohonan maaf.
"Tak apa-apa, tak perlu kau risau memiki rkan hal itu," jawab Sanghyang Bangau; "sekarang kau telah berada
di sini. Seperti yang telah termaktub dalam takdirmu, tugasku sekarang adalah untuk menyerahkan jimat
pusaka yang warna tiga, yang terdiri dari pendil, bende dan piring panjang, yang ketiganya memiliki maksud
dan perbawa yang berbeda."
"Terima kasih, Kek, kalau boleh tahu sudikah Kakek memberi tahu apa manfaat dan watak masing-masing
pusaka itu?" "Baiklah, Putra Pajajaran, itu memang sudah jadi tugasku. Piring panjang, Nak, wataknya akan bisa mengisi
tanpa perlu diisi, sehingga kalian bisa makan tanpa perlu memasaknya terlebih dahulu. Piring panjang ini juga
yang akan membawa sifat padamu, kelak akan selalu bisa memenuhi kebutuhan semua orang sehingga
rakyat cukup sandang, pangan dan papan.
"Kalau pendil ini, Kek?"
"Pendil ini berwatak jika nasinya dikeruk akan bisa memberi makan dua tiga negara," jelas Sanghyang Bangau;
"dan bende ini ketika kau pukul akan mengeluarkan air bah, suaranya akan membingungkan musuh. Jika kau
dalam keadaan bahaya, maka segera pukullah bende ini, atas izin YangMahaperkasa, segera akan datang air
bah yang bisa menghalangi musuh. Jika suatu hari kau dikejar-kejar musuh, suara bende yang dipukul ini
membuat musuh kebingungan dan kehilangan jejak." Prabu Anom Walangsungsang menerima semua jimat itu
dengan sukacita. Ketika Sanghyang Bangau tidak ada dari hadapannya, Prabu Anom Walangsungsang menemui kembali istrinya.
Pada saat itulah ia mendengar suara tanpa kelihatan yang menyuruh agar siap-siap untuk meneruskan
perjalanan. Sebelum meneruskan perjalanan, Prabu Anom Walangsungsang disuruhnya terlebih dahulu
menengok Keraton Pakuan sendirian, sementara istrinya disarankan dimasukkan ke dalam cincin Ampal.
"Ada apa gerangan aku harus kembali ke Pakuan, Kek?" jawab Walangsungsang tak paham
"Awan gelap sedang menyelimuti Pakuan, pergilah ke sana, tengok ada apa sesungguhnya di sana!"
"Baiklah!" jawab Walangsungsang. "Tapi kenapa istriku harus aku sembunyikan?"
"Itu akan lebih baik buatmu, Putra Pajajaran!"
Sebelum meninggalkan Gunung Cangak, Walangsungsang melakukan semedi untuk memasukkan Nyai Nini
Indangayu ke dalam cincin Ampal. Setelah itu ia bergegas turun gunung. Nanti, setelah menengok ke Pajajaran,
Prabu Anom Walangsungsang akan meneruskan perjalanan menuju Amparan Jati. Satu tempat sesuai dengan
petunjuk impian sebelum meninggalkan Keraton Pakuan dulu.
Nyai Nini Indangayu tidak mengetahui saat itu kalau ia dibawa berjalan ke arah barat menuju Keraton Pakuan.
Takdir telah menggariskan bagaimana Prabu Anom Walangsungsang bisa mengatasi rintangan, juga bisa
mengatasi jarak dan waktu. Ia bisa datang berkunjung ke Keraton Pakuan saat tempat ia dibesarkan tersebut
masih dalam suasana berduka. Di sepanjang jalan yang ia lalui, orang-orang hanya terlihat memanjatkan doa
untuk kepergian ratu yang mereka sayangi.
Dari orang-orang desa yang ditemui, Walangsungsang mengetahui bahwa yang meninggal dunia adalah
ibundanya sendiri. Betapa sedihnya ia. Inginnya menumpahkan airmata tanda sedih dan menyesal. Namun
mengingat bahwa ia sedang membawa Nyai Nini Indangayu, perasaan itu coba ditekan agar tidak
menimbulkan kecurigaan. Ia mengetahui persis bahwa siapa saja yang ada di dalam cincin Ampai, bisa
merasakan apa yang dirasakan oleh pemakai cincin itu.
Prabu Anom Walangsungsang termenung di pinggir jalan. Rasa sesal semakin membuncah. Ia menyesal karena
datang terlambat sehingga tidak bisa melihat wajah ibunya untuk yang terakhir kali.
"Ada apa, Kakang?" tanya Nyai Nini Indangayu dari dalam cincin Ampai. Walangsungsang tersentak. Ya,
rupanya Nyai Nini Indangayu menangkap kegelisahan yang sedang aku rasakan, gumam Walangsungsang.
"Tidak apa-apa, Nyai Indangayu!"
"Syukurlah kalau memang tidak ada apa-apa! Aku pikir Kakang terlalu capek sehingga banyak melamun!"
Walangsungsang tersenyum mendengar ucapan istrinya tersebut. Apakah aku harus terus terang menceritakan
kejadian yang sesungguhnya" Walangsungsang menggeleng pelan.
Matanya kembali nanar melihat sepanjang jalan bendera-bendera tanda berkabung terpasang, juga wajahwajah duka masih menyelimuti. Betapa durhakanya aku, gumam Walangsungsang, tak bisa mengabdi dan
balas budi pada ibunda, walau untuk yang terakhir kali. Lalu ia tepekur berdoa. Ia yakin ibunya ak an mendapat
tempat mulia di alam sana. Terdesak rasa sesal dan sedih yang terus menekan-nekan dadanya, pandangan
Walangsungsang membasah dengan airmata. Berkali- kali ia menyekanya, tapi air itu terus berdarai.
"Kakang, ada apa?"
"Tidak ada apa-apa, Nyai!" serak suara Walangsungsang.
Sepanjang jalan masih terlihat orang-orang berdoa.
Walangsungsang teringat sepenggal pertemuan dengan ibunya sebelum ia pergi meninggalkan Keraton Pakuan.
Seorang yang meninggal dunia akan mengalami proses kalepasan, melepaskan ruh dari raganya. Ia akan
meninggalkan alam hidup manusia yang disebut alam madyapada, menuju alam sesuai dengan amal kebaikan
atau kualitas tapanya selama hidup. Jika ia berhasil berbuat baik sepanjang hidupnya, maka ia akan menuju
alam saptabuwana yang berlapis tujuh, di atasnya ada alam lain yang suasananya makin hening sampai yang
paling tinggi yang disebut alam Kahyangan tempat bersemayam Hyang. Perjalanan ruh menuju alam
Kahyangan ketika proses kalepasan dilewati dengan tenang diikuti kemudian moksa melalui alam
saptabuwana. Orang-orang itu tentu terus mendoakan agar Ratu Subanglarang juga akan segera moksa dan ruhnya menuju
kahyangan. Sedikit sekali saat itu yang mengetahui bahwa sebenarnya Ratu Subanglarang adalah seorang
muslim. Walangsungsang semakin terjerat rasa sesal karena perjalanan mencari guru sejati yang akan
mengajarkan Islam belum selesai, sehingga ia tidak bisa meluruskan orang-orang ini, orang-orang yang
melakukan upacara dan doa untuk kesenangan dan ketenangan ratunya di alam sana.
Ki Nalaraya tertegun melihat seorang lelaki tampan duduk termenung di pinggir jalan. Mata tuanya memang
sudah kurang awas, tapi ia tak akan salah melihat kalau yang sedang termenung di pinggir jalan itu Prabu
Anom Walangsungsang. Ia segera menghentikan langkahnya, segera mendekatinya.
"Sampurasun, Raden, kenapa termenung di sini" Dari keraton apa hendak ke sana?" tanya Ki Nalaraya lalu
menunduk hormat dan mencari tempat duduk agar berjarak dari hadapan Walangsungsang. Kedua pasang
mata saling menatap. Tak banyak kata-kata selain pancaran mata yang terbalut rasa kangen.
"Ki Nalaraya?" tergugup Walangsungsang saat itu. Ki Nalaraya mengangguk pelan.
"Telah lama waktu memisahkan kita, tapi aku tak akan salah melihat, Raden. Memang ada perubahan
dibanding saat Raden keluar dari keraton. Lebih kurus dan rambutnya lebih panjang!" komentar Ki Nalaraya.
Walangsungsang tersenyum geli. Selama ini jarang sekali ia memotong rambutnya.
Pertemuan mengharukan itu dilanjutkan dengan saling bercerita yang penting-penting saja. Dari Ki Nalaraya,
Walangsungsang tercenung lesu ketika mengetahui bahwa ayahandanya tak bisa diajak bicara oleh siapa pun.
Sehari-harinya setelah Ratu Subanglarang meninggal, kerjanya hanya mengurung diri.
"Ketika adik Raden, Nyimas Rarasantang ke sana, tak bisa banyak bicara. Ia gagal bertemu dengan Gusti Prabu,
selain bertemu kerabat keraton dan saudara- saudaranya yang lain!" jelas Ki Nalaraya.
Walangsungsang makin menunduk. Mendung kembali bergelayut di wajahnya.
"Di mana sekarang adikku, Ki?"
"Nyimas Rarasantang lebih memilih diam di pondok bersama Ceuk Srinten, daripada tinggal di keraton, Raden!"
"Kenapa?" "Tidak betah katanya!"
"Masak tidak betah tinggal di rumah sendiri?"
"Tentu saja banyak yang terjadi ketika Raden pergi meninggalkan keraton," jelas Ki Nalaraya.
Dari cara ia bicara, Walangsungsang bisa menangkap terlalu banyak yang ingin diungkapkan lelaki yang dulu
jadi penasihat kerajaan itu.
"Sekarang Raden hendak ke mana?"
"Tadinya aku akan ke keraton, Ki, ingin ketemu Kanjeng Ibu dan Kanjeng Rama! Tapi takdir ternyata bicara lain.
Dengan kondisi Kanjeng Rama seperti, rasanya aku memilih untuk mengurungkan niat pergi ke sana daripada
harus menambah dukanya. Masih beruntung kalau kehadiranku di keraton, dijadikan tempat berbagi, tapi
bagaimana jadinya jika kehadiranku di sana, justru akan membangkitkan kembali rasa sakit hatinya karena
aku meninggalkan keraton dulu...." jelas Walangsungsang.
Ki Nalaraya mengangguk membenarkan. Pemikiran Walangsungsang seperti itu dinilainya lebih masuk akal dan
bijaksana. "Raden bisa datang kapan saja kalau ingin melihat pusara Kanjeng Ratu!"
"Aku pikir juga begitu, Ki! Sekarang antarkan aku untuk menemui Nyimas Rarasantang, adikku!"
"Tentu, Raden! Kita akan bersama ke sana! Karena aku sendiri tinggal bersama mereka!" jelas Ki Nalaraya.
"Lho, memangnya Ki Nalaraya tidak tingg al di lingkungan keraton lagi?"
Ditanya seperti itu, Ki Nalaraya hanya menunduk dalam.
"Terlalu panjang ceritanya, Raden!" jelasnya. Walangsungsang mengernyit, tidak paham. Tapi ia tak bertanya
terlalu jauh, ketika dilihatnya Ki Nalaraya bangkit dari tempat duduk. Ia hanya berharap suatu hari nanti seiring
berputarnya waktu, semua teka-teki ini akan terjawab dengan sendirinya.
Keduanya berjalan ke arah selatan, berbelok ke arah timur, meninggalkan pasar dan akhirnya tiba di
perkampungan. Perlu ditempuh beberapa jam sebelum akhirnya masuk ke belantara Parahyangan. Tapi Ki
Nalaraya memperkirakan, sebelum cahaya kemerahan memulas langit barat, mereka sudah sampai di tujuan,
pondok persembunyian Ki Nalaraya, yang sebenarnya sudah tidak perlu bersembunyi lagi karena ternyata para
prajurit Pajajaran tidak pernah mengejar-ngejar lagi. Begitu pula ketika beberapa kali bertemu mereka di pasar
tanpa harus menyamar, para prajurit itu juga tidak peduli.
Sepanjang jalan yang dilalui, mereka pun ketemu beberapa kali dengan prajurit Pajajaran yang sedang patroli.
Tapi mereka tak memeriksa juga tidak melakukan penghormatan sekalipun yang berjalan di pinggir Ki
Nalaraya adalah putra mahkota Pajajaran. Dan jika mereka merasa tidak mengenalinya lagi, sepertinya alasan
yang terlalu mengada-ada. Begitu pula ketika bertemu dengan masyarakat kampung, hanya satu dua orang
yang menghormat, selebihnya tidak peduli karena mereka lebih khusyuk dalam berdoa untuk kesenangan dan
ketenangan Ratu Subanglarang di alam sana. Pemandangan yang menyakitkan jika dipikir, tapi
Walangsungsang malah merasa senang, setidaknya ia bisa berjalan dengan tenang tanpa gangguan.
"Belantara ternyata lebih ramah untuk kita daripada di rumah sendiri, Kakang!" cerita Nyimas Rarasantang.
Prabu Anom Walangsungsang yang baru saja mengeluarkan Nyai Nini Indangayu dari dalam cincin Ampainya
mencoba untuk menghibur. "Mungkin mereka kecewa dengan kita, Nyimas!"
"Kalau saudara seayah kecewa, bolehlah! Tapi bagaimana dengan para prajurit itu, Kakang" Mereka telah...."
Nyimas Rarasantang tak meneruskan kata-kata melihat isyarat dari kakaknya. Walangsungsang memang tak
menginginkan urusan itu diketahui oleh Nyai Nini Indangayu yang ada di antara mereka.
"Takdir sudah menggariskan kita harus terus melakukan perjalanan, Nyimas! Untuk sejenak lupakan rasa sakit
hati dan kecewa itu, jangan sampai mengganggu niat lurus kita untuk menemukan guru sejati yang akan
mengajarkan kita ilmu Islam itu!"
Nyimas Rarasantang mengangguk seraya melirik pada kakak iparnya. "Sampai kapan kita akan tetap di sini?"
tanya Nyimas Rarasantang kemudian.
"Sampai Ki Nalaraya mau menjelaskan kenapa dia harus ada di sini?" jawab Walangsungsang.
Ketenangan mereka harus terganggu, karena tiba- tiba dari arah atas terjatuh bongkahan batu diikuti suara
bergemuruh. Mereka berkumpul semakin merapat ke sisi dalam jurang.
Batu-batu terus berjatuhan diiringi suara gemuruh dan debu yang menggumpal menyesakkan dada. Ki Nalaraya
terus berdoa, sementara Walangsungsang melindungi istri dan adiknya agar jangan sampai terkena lemparan
batu yang entah darimana sumbernya itu. Ceuk Srinten menggigil ketakutan tak jauh dari tempat Nyimas
Rarasantang berdiri. Makin lama debu yang mengkabut itu makin tebal sehingga menghalangi pandangan.
Mereka benar- benar dicekam ketakutan. Mereka bertiga seperti kelinci percobaan, tak menemukan jalan yang
  benar. Kabut debu makin tebal sehingga sulit mencari ruang untuk menemukan udara segar. Mereka mulai
terlihat gemetaran. "Kalian tetap di sini dan jangan lakukan apa pun selain berdoa!" teriak Walangsungsang ketika hujan batu yang
tercurah dari atas itu tidak kunjung mereda. Ia mengira ada orang yang sengaja menjatuhkan batu-batu itu
dari atas untuk menghancurkan pondok yang berada di bawah cekungan jurang itu.
"Kakang mau ke mana?"
"Aku mau ke atas!" jawab Walangsungsang dan dengan gerakan cepat ia merangkak seperti akan melakukan
jurus gulung maung, lalu melesat loncat ke depan menembus kabut debu.
Mereka terpekik melihatnya karena mengira Walangsungsang akan jatuh ke dasar jurang. Tapi dengan satu
hentakan menembus udara, ia memutar tubuhnya melakukan beberapa kali salto di udara, lalu melesat ke
atas. Sungguh pemandangan yang menakjubkan. Ki Nalaraya tersenyum kagum melihat kemahiran
Walangsungsang melakukan jurus-jurus tersebut.
Diam-diam Nyai Nini Indangayu sendiri begitu takjub. Ia bersyukur telah menjadi istri dari seorang lelaki yang
tak hanya memiliki kekuatan fisik, tapi juga kecakapan dan keluhuran budi pekerti.
Walangsungsang menyaksikan pemandangan yang mengejutkan. Di pinggir jurang itu serombongan pekerja
sedang menumpahkan berpuluh-puluh roda berisi batu dan kerikil. Dari jarak agak jauh dari para pekerja itu,
Walangsungsang bisa menyaksikan pemandangan ganjil tersebut.
Ia sama sekali tak mengerti untuk apa para pekerja kasar itu menumpahkan batu berpuluh-puluh roda ke
bawah jurang tepat pada cekungan tempat pondok Ki Nalaraya berada. Keheranannya itu mulai menemukan
titik terang ketika dari arah belakang terdengar derap langkah kaki kuda. Walangsungsang langsung
bersembunyi. Sesaat kemudian dua orang prajurit Pajajaran sampai di tempat itu. Secara persis ia tidak
mengenal siapa kedua prajurit itu, tapi dari kuda dan kelengkapan pakaian, Walangsungsang tak meragukan
lagi bahwa kedua orang itu adalah prajurit Pajajaran.
Sebelum ada kejadian yang tidak diinginkan, Walangsungsang langsung keluar dari persembunyiannya dan
menghadang kedua prajurit itu.
"Berhenti, Ki Sanak! Apa maksud kalian membuang- buang batu itu ke dalam jurang?" hardik Walangsungsang.
Dua orang prajurit itu sesaat tertegun. Mereka tahu yang menghadang bukan perampok bukan pemuda
kampung yang suka bikin onar, tapi Prabu Anom Walangsungsang, putra mahkota.
"Jangan halangi para pekerja itu, Raden!" seorang prajurit memberanikan diri menjawab.
"Untuk apa tanyaku!" tanya Walangsungsang dengan suara tinggi, sehingga para pekerja itu tampak
ketakutan. Mereka untuk sementara menghentikan pekerjaannya.
"Ini tugas kerajaan, Raden!"
"Tugas kerajaan katamu" Untuk apa" Untuk menutup jurang itu, hah?" Walangsungsang tertawa mengejek,
membuat kedua prajurit itu tersinggung. Mereka tahu sedang berhadapan dengan putra mahkota Pajajaran,
tapi mereka juga tak mau disalahkan atau akan kehilangan muka di hadapan para pekerja dan Patih Argatala.
"Ya, menumpas para pengkhianat adalah tugas kerajaan Raden!"
"Ya...ya...ya...aku baru tahu masalah itu. Siapa yang kau sebut pengkhianat itu sehingga layak dihujani batu!
Dan kenapa batu-batu itu diterjunkan ke jurang?"
"Ah, jangan pura-pura tidak tahu, Raden! Di bawah sana ada saung tempat bersembunyi para pengkhianat itu!
"Kalau tahu di bawah sana ada saung, kenapa tidak kalian kepung, lalu seret pengkhianat itu, daripada
menghujaninya dengan batu. Beruntung kalau pengkhianat itu ada di dalam, tapi bagaimana jika ia sedang
tidak ada di tempat" Bukankah batu puluhan roda yang kalian buang ke jurang ini sia-sia belaka?"
"Kujang dan tombak ini terlalu suci, Raden, kalau harus dipergunakan membunuh pengkhianat itu. Darahnya
akan mengotori senjata suci ini juga badan- badan kami!"
"Betapa angkuhnya kalian ini! Merasa diri suci bahkan senjata kalian yang hanya terbuat dari kayu dan besi itu
pun demikian kalian bangga-banggakan! Lemparkan tombak itu ke sini, biar aku tunjukkan bahwa senjata suci
kalian itu tak lebih dari kayu dan besi!"
Kedua prajurit itu hanya saling pandang, sementara para pekerja yang mendorong roda mengangkut batu itu
makin menjauh, mereka hanya menyaksikan dan menunggu dengan cemas apa yang akan terjadi kemudian.
"Ayo cepat!" hardik Walangsungsang. Dengan tergopoh-gopoh seorang di antaranya menyerahkan tombaknya.
Walangsungsang menerimanya, lalu ia mengacungkan senjata andalan itu ke angkasa.
"Kalian lihat bahwa ini bukan senjata, kecuali kayu dan besi!" teriak Walangsungsang. Dua prajurit itu
menunggu cemas, juga wajah-wajah para pekerja yang tak berkedip sejak dari tadi. Walangsungsang
memegang tombak itu, lalu tanpa bersusah-payah dan tak perlu mengeluarkan tenaga, ujung tombak yang
terbuat dari besi baja dicampur mantra-mantra dan racun itu, ia patahkan menjadi beberapa bagian. Begitupun
gagang tombak yang terbuat dari kayu pilihan itu, dipatahkan menjadi beberapa bagian. Decak kagum dan
rasa heran menyelimuti pandangan para pekerja dan dua orang prajurit itu.
"Kalian lihat sendiri, senjata ini tak lebih dari besi dan kayu!" teriak Walangsungsang, membuang patahpatahan besi dan kayu itu ke sampingnya; "tak ada alasan untuk kalian bangga-banggakan, kalian hormati
lebih dari menghormati diri kalian sendiri. Jangan sampai perkakas ini yang akan menggelincirkan kalian karena
mempertuhankannya!" Menyaksikan senjata andalannya diperlakukan seperti itu, prajurit tadi bangkit rasa marahnya. Ia tidak melihat
lagi bahwa yang di hadapannya adalah putra mahkota Pajajaran. Dengan sekuat tenaga ia menyerang dengan
kujang disodorkan di depan.
Walangsungsang berdiri kukuh, tidak menangkis tidak pula kelihatan pasang kuda-kuda. Ia berdiri tenang
seperti semula menunggu prajurit yang melesat menyerang itu. Beberapa mili sebelum kujang itu menembus
bagian dada Walangsungsang, prajurit itu terpental seperti bola sepak membentur tembok. Prajurit itu
terpelanting beberapa tombak jauhnya, lalu berguling-guling. Kedua kaki mengejang sebentar lalu diam, tak
bergerak lagi. Melihat temannya tersungkur seperti itu, dengan gerakan cepat prajurit yang satunya lagi loncat ke atas kuda
dan menarik kendali. Dalam bayangannya ia memacu kudanya itu melesat ke arah barat, tapi sesungguhnya
yang terlihat oleh para pekerja, kuda itu hanya jalan di tempat sekalipun prajurit tadi terus melecutnya agar
bertambah cepat. Walangsungsang hanya tersenyum disaksikan para pekerja yang mulai riuh bertepuk tangan.
Walangsungsang melihat ke arah pekerja yang sedang bersukacita. Lalu ia memanggil salah seorang di
antaranya. "Coba ke sini, Kang!" tunjuk Walangsungsang pada seorang lelaki yang terlihat paling tua. Lelaki itu dengan
takut-takut beringsut mendekati Walan gsungsang, lalu menunduk.
"Siapa yang kalian hujani dengan batu di bawah sana"
Ditanya begitu tukang batu itu tak langsung menjawab, ia melirik kiri dan kanan, lalu matanya menatap ke
arah prajurit yang terlihat terus memacu kudanya sekalipun tak beranjak dari tempat semula. Seperti punya
keberanian tambahan, lelaki itu berani bicara.
"Seorang pengkhianat, katanya, Raden! Ki Nalaraya namanya! Juga seorang perempuan juru masak kerajaan!"
"Darimana kalian tahu?"
Laki-laki itu menunjuk ke arah prajurit dengan sopan.
"Sudahlah! Tolong urus dengan sempurna mayat prajurit itu, dan jangan bilang siapa-siapa!
"Baik, Raden!" Lalu tanpa harus diminta dua kali, para pekerja itu meninggalkan roda mereka, lalu mengangkut prajurit yang
sudah meninggal, dimasukkan ke dalam roda yang telah kosong, dan meninggalkan Walangsungsang ke arah
kampung. Walangsungsang sendiri turun ke lereng jurang menuju pondok, meninggalkan seorang prajurit yang
masih memacu kudanya dan tak beranjak dari tempat semula.
Awan debu yang tadi menggumpal perlahan sudah menghilang. Mereka yang berada di dalam saung bisa
kembali bernapas lega. Walangsungsang masuk.
"Ada apa di atas sana, Raden?" Ki Nalaraya langsung bertanya untuk menghilangkan kepenasarannya.
"Dua orang prajurit kerajaan dan puluhan orang mendorong grobak berisi batu-batu besar dan kerikil...."
"Apa maksud mereka, Kakang!" tanya Nyai Nini Indangayu.
"Katanya mereka akan menghancurkan para pengkhinat kerajaan!"
"Pengkhianat kerajaan?"
"Benar, Ki! Mereka meyakini di bawah jurang ini ada saung tempat para pengkhianat
kerajaan bersembunyi!"
"Kalau begitu mereka menganggap kami ini para pengkhianat kerajaan," gumam Ki Nalaraya. Melirik ke arah


Prabu Siliwangi : Bara Di Balik Terkoyaknya Raja Digdaya Karya E. Rokajat Asura di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Ceuk Srinten. "Kau dan aku, Srinten, ternyata masih dianggap pengkhianat kerajaan. Kalau memang aku ini pengkhianat
kerajaan, kenapa tidak mereka binasakan ketika bertemu di pasar atau di tempat-tempat lain ketika aku ke
keraton!" "Aki mau tahu kenapa mereka tidak membunuh aki dan Ceuk Srinten ketika bertemu di pasar atau di
keraton?" Walangsungsang balik bertanya.
"Itulah yang tidak bisa kami pahami, Raden!" "Karena mereka beranggapan, pedang, tombak dan kujang
mereka terlalu suci kalau harus dipakai membunuh para pengkhianat! Senjata-senjata suci mereka tak sudi
terperciki darah kotor para pengkhianat katanya!"
Ki Nalaraya mengangkat tangannya menengadah ke atas, matanya mendadak sembab, sementara Ceuk
Srinten hanya menunduk malu.
"Betapa kotornya diriku ini ya, Allah!" gumam Ki Nalaraya sendu. Ceuk Srinten, Nyai Nini Indangayu maupun
Nyimas Rarasantang tersentak mendengar kata- kata Ki Nalaraya. Ada yang aneh di telinga mereka, kecuali
Prabu Anom Walangsungsang yang pernah diajarkan melafalkan kata-kata itu oleh mendiang ibunya sekalipun
belum sampai kepada pemahaman tentang hakikat dibalik huruf-huruf itu.
Tapi ketika Ki Nalaraya melafalkan kata-kata itu, Walangsungsang pun mulai berpikir macam-macam. Apakah
mendiang ibu sudah memperkenalkan pemahaman baru pada Ki Nalaraya, pikir Walangsungsang. Ataukah ada
orang lain yang memperkenalkannya" Ini pulalah yang membuat dirinya disebut pengkhianat" Pikiran-pikiran
itu terus berkecamuk di dalam kepalanya.
"Apa sesungguhnya yang terjadi, Ki, sampai mereka menganggap Aki sebagai pengkhianat?" tanya
Walangsungsang setelah beberapa saat kekakuan mengambang di antara mereka. Yang lain hanya
mendengarkan dengan kecamuk pikiran masing-masing.
Ki Nalaraya menghela napas panjang. Walangsungsang menunggu penasaran.
"Sebelum Raden meninggalkan keraton, aku sering bertemu dengan mendiang Gusti Ratu!" jelas Ki Nalaraya.
"Bahkan jauh sebelum itu, ketika aku mulai melihat persengkongkolan antara Patih Argatala dengan Gusti Ratu
Mayang Sunda!" "Persengkongkolan" Maksudnya?" Nyimas Rarasantang kini tak bisa lagi diam. Ia lebih senang memilih
memanggil paman daripada aki seperti yang dilakukan kakaknya. Ki Nalaraya mengangguk pelan.
"Disadari atau tidak, Nyimas, ketika Gusti Prabu sudah menetapkan bahwa Raden Walangsungsang sebagai
putra mahkota, permaisuri Gusti Prabu yang lain tentu saja ada yang cemburu. Hal yang lumrah bagi setiap
manusia sebenarnya, tapi iri dengki itu menjadi masalah ketika ada niat menghalangi kesuksesan dan
kebahagiaan saingannya. Itulah yang terjadi di Pakuan, Raden. Sejak saat itulah mulai dilancarkan cara-cara
agar Raden dan Nyimas tidak betah berada di keraton! Tapi rupanya cara-cara itu gagal, karena baik Raden
maupun Nyimas, sepertinya tidak menyadari dengan gesekan- gesekan yang sengaja diciptakan itu!"
Walangsungsang saling pandang dengan Nyimas Rarasantang, sementara Nyai Nini Indangayu terus
mendengarkan karena bagi dirinya semua informasi itu benar-benar baru.
"Sungguh tak kusangka, kebaikan ibu Ratu ternyata ada maksud-maksud lain!" gumam Walangsungsang.
"Lanjutkan, Paman!" Nyimas Rarasantang yang selama ini dikenal sebagai perempuan temperamental, tapi kini
terlihat demikian sabar menunggu.
"Ketika Raden benar-benar meninggalkan keraton, malam itu Gusti Ratu Subanglarang baru saja bertemu
denganku di dalam satu ruang rahasia, membicarakan masalah kenapa Raden bersikeras untuk meninggalkan
istana. Saat itulah aku menjelaskan pada Gusti Ratu, mungkin kesabaran Raden sudah mencapai puncaknya,
tak tahan lagi dengan gesekan-gesekan dengan saudaranya sendiri. Tapi anehnya Gusti Ratu menyangkalnya.
Tidak, Ki, katanya!". Lalu Gusti Ratu menjelaskan bahwa Raden pergi dari istana karena ingin menemukan guru
sejati yang bisa mengajari ilmu Islam. Gusti Ratu bicara "sebenarnya aku sendiri bisa mengajarkan ilmu itu,
karena sesungguhnya aku juga seorang muslim yang dua tahun mondok di Pesantren Quro, ilmuku cukup
untuk mengajarinya. Tapi ilmu yang didapat dari ibunya sendiri dengan ilmu yang didapat dari hasil mencari
sendiri, tentu hasilnya akan lain. Aku yakin, Paman, selama perjalanan mencari guru sejati itu, tak sedikit
rintangan yang akan dihadapinya. Hal itulah menurutku yang akan memberi pemahaman dan pengaruh yang
berbeda pada ilmu yang kelak diperolehnya"."
Ki Nalaraya berhenti sejenak, meneguk minuman yang baru saja disediakan Ceuk Srinten. Teman senasib dan
seperjuangannya itu memang selalu paham apa yang dibutuhkan orang lain. Sementara Nyimas Rarasantang
menunduk, tepekur mendengar cerita Ki Nalaraya tersebut. Ia saat itu seperti mendengar kembali suara merdu,
pelan tapi jelas dari ibunya tercinta, Ratu Subanglarang. Terbayang kembali kenangan-kenangan indah
bersamanya. Gambaran-gambaran itulah yang menggerakkan setetes airmata yang menggenang diam di mata
Nyimas Rarasantang. Nyai Nini Indangayu menggenggam tangan adik iparnya erat, seolah ingin memastikan
bahwa ada dirinya di sampingnya kini, yang siap untuk berbagi.
Setelah menelan ludah dan berusaha mengusir yang tercekat di kerongkongannya, Ki Nalaraya melanjutkan
cerita dengan nada terputus-putus.
Akhirnya Raden benar-benar pergi meninggalkan istana, meninggalkan duka dan kemarahan pada Gusti Prabu,
tapi meninggalkan rasa lega dan penuh harap pada Gusti Ratu. Kalian tahu apa yang diucapkan Gusti Ratu
padaku, saat aku diutus untuk mencari Raden kembali?"
Semua menggeleng, karena tak seorang pun yang mengetahui.
"Gusti Ratu bicara dengan nada penuh harap "anakku benar-benar pergi, Paman, aku harap ia benar- benar ada
di jalan Allah, menemukan hakikat dirinya, menemukan ilmu yang bisa membawanya menemukan jalan lurus".
Pamit, Gusti Ratu, aku diutus untuk mencari dan membawa pulang Raden Walangsungsang, kataku. Gusti Ratu
tersenyum, "carilah, Ki, temukan di mana dia berada Kalau dia sehat, Ki Nalaraya tentu tahu apa yang harus
dilakukan". Kata-kata itulah yang membuatku dililit kebingungan yang luarbiasa. Andai bisa menemukan Raden
nanti, mana yang harus aku pegang" Perintah Gusti Prabu, membawa Raden kembali ke istana atau harapan
Gusti Ratu, agar aku membiarkan Raden pergi meneruskan perjalanan mencari guru sejati itu?"
"Kenapa Ki Nalaraya berpikiran seperti itu?" pancing Walangsungsang. Nyimas Rarasantang masih
menyandarkan kepalanya di pundak kakak iparnya, matanya sembab. Ceu Srinten menunduk sendu, hanya
sesekali melihat pada nampan dan batok-batok tempat minum, siapa tahu sudah kosong dan tugasnya untuk
mengisinya kembali. "Kata-kata Gusti Ratu "kalau dia sehat, Ki Nalaraya tentu tahu apa yang harus dilakukan" sangat jelas bagiku,
Raden, jika aku menemukan Raden, artinya aku harus membiarkan Raden di tempat itu, kecuali kalau
menemukan Raden dalam keadaan sakit, aku bisa saja membawa Raden ke istana atau membawa ke
seorang tabib untuk diobati...."
"Terima kasih, Ki Nalaraya, tanpa kau mungkin langkahku akan terhambat..." jelas Walangsungsang.
"Kenapa Raden bicara seperti itu?"
Kini giliran Walangsungsang yang menjadi pusat perhatian. Ia meneguk lahang yang disediakan Ceuk Srinten.
Segar di kerongkongan. "Aku jadi ingat sekarang. Ketika aku beristirahat sehabis menolong seorang perempuan yang ternyata siluman
ular, aku mendengar derap langkah kuda mendekat, aku cepat-cepat sembunyi..."
Ki Nalaraya mengangguk-anggukkan kepala, ia seperti sedang melihat rekaman kejadian itu lagi.
"Ih, kok dipotong sih, Kakang! Kalau cerita itu harus dituntaskan biar tidak gantung dangueunAA," Nyimas
Rarasantang penasaran. Walangsungsang tersenyum, Ki Nalaraya malah terlihat terkekeh kini.
"Aku benar-benar khawatir dan dilanda ketakutan yang luarbiasa, ketika Ki Nalaraya dan dua orang prajuritnya
menghentikan kudanya. Lebih gugup lagi manakala Ki Nalaraya menatap ke arah semak-semak tempatku
bersembunyi. Sorot matanya itu seperti sedang menelanjangiku. Tapi anehnya, kenapa Ki Nalaraya meneruskan
perjalanan" Aku yakin saat itu Aki bisa melihat aku sembunyi di balik semak-semak itu?" tanya
Walangsungsang penasaran. Ki Nalaraya mengangguk.
"Saat itulah aku teringat kembali kata-kata Gusti Ratu. Aku menatap tajam ke arah Raden, hanya untuk
memastikan bahwa Raden ini sehat tak kurang apa-apa. Tapi aku benar-benar gugup setelah jarak belasan
langkah meninggalkan Raden, tiba-tiba seorang prajurit yang menemaniku memutar kudanya dan kembali ke
depan semak-semak itu. Aku khawatir Raden sudah keluar dari persembunyian..."
"Ki Nalaraya tahu apa yang dilakukan prajurit itu?" Ki Nalaraya menggeleng.
"Ia menatap ke arah semak-semak seperti yang dilakukanmu, Ki Nalaraya. Aku kira dia mengetahui sesuatu di
sini. Tapi setelah melirik kiri dan kanan, ia turun dari kudanya, mendekati semak-semak itu dan buang hajat di
situ... sampai bajuku terkena percikan air kencingnya..." jelas Prabu Anom Walangsungsang menahan tawa. Kini
ia memang bisa tertawa mengenang kejadian itu. Tak dinyana mendengar cerita Walangsungsang tersebut,
meledaklah tawa. Masih banyak cerita yang belum terungkap, tapi malam sudah hampir larut, dan tak ada cahaya selain kerlip
bintang sebagai penerangan. Mereka diam dalam gelap, tak berani untuk menyalakan obor sebagai
penerangan. Seperti juga di belakang Keraton Punta, Nyimas Kentring Manik Mayang Sunda malam itu. Ia
sedang bicara serius dengan Patih Argatala.
Kepergian Gusti Ratu Subanglarang, tak semuanya menyisakan duka tapi juga menumbuhkan
sebuah harap. Sekelompok orang yang selama ini diam-diam menjadikannya rival, kini mulai terang-terangan
menunjukkan sikapnya. Dua tokoh di balik itu bahkan sangat jelas bagaimana mereka bersikap. Harapan yang selalu dipelihara agar
Raden Surawisesa menjadi putra mahkota, mengemuka kini. Dan Argatala yang memancing di air keruh
merasa saatnya untuk unjuk diri. Tapi Prabu Siliwangi tak begitu peduli dengan kerikil- kerikil tajam yang bisa
saja melukai telapak kakinya itu. Rasa duka yang mengkristal, rasa cinta yang berlebihan, ternyata
membuatnya membisu. Diam seribu bahasa. Ia pun seringkali semedi, tapi dengan setengah hati.
Dulu, ketika berbagai upaya menemukan kembali Prabu Anom Walangsungsang yang pergi dari istana selalu
gagal, Prabu Siliwangi menaruh sangkaan pada Ki Nalaraya yang bekerja tak sepenuh hati.
Tapi ketika Ki Nalaraya dinyatakan hilang dari istana, toh Walangsungsang tidak juga serta-merta bisa
ditemukan sekalipun silih berganti beberapa kelompok prajurit mencarinya. Lalu ia kemudian mengingat-ingat
betapa besar jasa Ki Nalaraya untuk kerajaan dan keberlangsungan kepemimpinannya.
Maka pada akhirnya noda hitam yang dituduhkan pada Ki Nalaraya itu dicabut kembali. Ia kembali
memandang Ki Nalaraya sebagai penasihat kerajaan yang tak ada duanya.
Saat Prabu Anom Walangsungsang meninggalkan istana mengikuti keinginannya untuk mempelajari ajaran
Islam, lalu dalam tempo singkat diikuti oleh kaburnya Nyimas Rarasantang, Prabu Siliwangi juga pernah
menaruh curiga pada permaisurinya sendiri, Ratu Subanglarang. Ia diingatkan bahwa permaisurinya tersebut
berbeda keyakinan dengannya.
Sesuatu yang selama ini tak pernah diungkit-ungkit itu terasa menjadi duri dalam daging. Tapi pada saat
Ikat Pinggang Kemala 6 Animorphs - 11 Petualangan Di Dua Dunia Durjana Dan Ksatria 8

Cari Blog Ini