Ceritasilat Novel Online

Terkoyaknya Raja Digdaya 6

Prabu Siliwangi : Bara Di Balik Terkoyaknya Raja Digdaya Karya E. Rokajat Asura Bagian 6


air dalam cupu hijau itu. Air wangi tersebut membuat ia semakin kehilangan akal sehatnya.
"Minumlah air itu..."
"Jangan!" "Minum...kau akan merasakan kesegaran luarbiasa..."
"Minumlah..." " Jangan... " "Minum..." Suara-suara itu terus datang silih berganti. Menggoda. Mendera. Ia hampir menangis dibuatnya. Tapi semakin
ditahan keinginan itu semakin besar pula desakan untuk melakukan sensasi pelanggaran itu.
"Apa pun yang terjadi, aku harus meminumnya. Hanya dengan cara itu aku tidak akan merasa penasaran lagi,"
tekad Nyai Rarasantang akhirnya. Ia meneguk air itu. Sekali teguk saja, air dalam cupu hijau itu langsung
tandas. Setelah airnya habis, cupu hijau itu ditutup kembali dan dimasukkan ke dalam tas. Belum juga menutup
tas yang tergeletak di tempat tidur, Nyimas Rarasantang diserang kantuk yang hebat. Dalam hitungan detik
saja ia langsung terkulai lemas dan tidur, diikuti kemudian suara dengkur.
Kehadiran Prabu Anom Walangsungsang dan Nyimas Rarasantang di Pajajaran, meninggalkan duka di hati
Prabu Siliwangi. Rasa cinta yang menggunung
ternyata membuatnya lalai. Ia selama ini terlalu percaya kepada Argatala sebesar kepercayaannya kepada Ki
Nalaraya. Ia mencintai mendiang Ratu Subanglarang sebesar rasa cintanya pada kedua putra-putrinya itu. Tapi
siapa sangka rasa percaya itu ternyata begitu mudah dikhianati, sebesar rasa cinta yang ternyata berakhir
duka. Pertemuan amat singkat itu dengan gemilang membuka mata hati Sri Maharaja Prabu Siliwangi. Kini ia mulai
merasakan kemesraan tumbuh menjadi rasa cinta pada Nyai Kentring Manik Mayang Sunda. Tapi agak sulit
untuk menyejajarkannya dengan Ratu Subanglarang. Buah cintanya dengan Nyai Kentring Manik, telah tumbuh
sempurna pemuda tampan, Surawisesa. Pemuda inilah yang akan menggantikan posisi Prabu Anom
Walangsungsang yang telah memilih jalan sendiri.
Suatu hari Prabu Siliwangi mengajak Argatala berburu. Lain dari kebiasaannya, kegemaran berburu itu hanya
dilakukan berdua. Prabu Siliwangi melarang yang lain ikut serta. Bagi Argatala hal ini dianggap sebagai
perlakuan istimewa. Jelas, ia sangat tersanjung dan sama sekali tak punya sangkaan lain selain mendapatkan
kehormatan. Ia semakin yakin, kedekatannya dengan Mayang Sunda berbuah manis. Ia tidak saja dekat tapi
mendapat perlakuan istimewa dari Prabu Siliwangi. Argatala merasakan hatinya kian mekar.
Perburuan dilakukan di hutan tak terlalu jauh dari Keraton Pakuan. Di tempat itu hewan hutan semacam kijang,
akan gampang ditemui. Saat embun bening masih bergelayut malas pada ujung-ujung rumput, keduanya telah
berangkat. Saat matahari sepenggalah sudah sampai di tempat tujuan.
"Lama tak pernah berburu, gampang capek, Argatala," seru Prabu Siliwangi dan memperlambat laju kudanya.
Argatala melakukan hal yang sama, sehingga posisinya hampir sejajar.
"Istirahat saja dulu, Gusti Prabu. Siang masih panjang. Dua tiga kijang cukup."
"Ya, lebih baik memang istirahat dulu," jelas Prabu Siliwangi, mengarahkan kudanya ke arah tanah datar di
bawah pohon yang rindang. Prabu Siliwangi turun dari kuda dengan loncatan ringan, menambatkan tali kendali
di pohon. Argatala pun melakukan hal serupa. Ia turun dari kuda, menuntunnya mendekati kuda Prabu
Siliwangi, menambatkan tali kendali di pohon lain. Prabu Siliwangi bersipongang, menghirup udara hutan yang
segar dengan aroma pinus dan pohon-pohon tua. Bau tanah lumut yang agak basah menambah suasana khas
belantara. "Dulu setiap aku berburu, Ki Nalaraya selalu menyertai!"
"Benar, Gusti Prabu!"
"Kau tahu sebenarnya dia belum meninggal?"
"Benar, Gusti Prabu!"
"Kenapa kau tidak melaporkan keadaannya" Kau sendiri yang bilang, Ki Nalaraya kecelakaan di hutan saat
mencari putra-putriku..."
"Hamba, Gusti Prabu!" Argatala menunduk malu. Ia mulai waswas.
"Kau tahu di mana sekarang ia tinggal?"
"Hamba, Gusti Prabu! Tidak tahu...."
"Di bawah tepi jurang hutan Parahyangan. Sayang, aku tak tahu di mana persisnya. Tapi kabar terakhir ada
yang mengatakan kalau dia tertimbun puluhan gerobak batu. Tak masuk akal memang, buat apa batu-batu itu
dibuang ke dalam jurang. Bagaimana menurutmu?"
Tubuh Argatala tiba-tiba bergetar hebat. Ia tak bisa menyembunyikan rasa kagetnya. Prabu Siliwangi
mengerling dengan sinar mata tajam, seperti harimau yang mengancam korban. Hati Argatala yang berbunga
mendadak ciut. "Kau tak menjawab?"
"Ampun, Gusti Prabu, aku belum mendengar berita itu... "
"Kau tahu siapa yang menyuruh tukang batu menumpah batu-batu itu ke bawah jurang?"
"Ampun, Gusti Prabu, tidak tahu!"
"Sebagai patih, apa yang kau ketahui, Argatala?" Argatala diam seribu bahasa. Ia menunduk seperti perempuan
ditanya-orangtua atas kesiapannya menerima pinangan. Ia benar-benar telah kehilangan jati dirinya sebagai
seorang laki-laki. Tubuhnya terasa ringan. Melayang.
Prabu Siliwangi membuka ikatan tali kendali, lalu meloncat ke atas kuda. Tali kendali ditarik, kuda itu memutar
berlawanan arah, menghadap pada Argat ala yang masih berdiri lunglai.
"Temukan Ki Nalaraya sebelum senja!" teriak Prabu Siliwangi menahan amarah yang mulai memuncak. Sorot
matanya yang tajam telah mencabik-cabik perasaan Argatala. Ketika Argatala mengangkat wajah, Prabu
Siliwangi telah melesat kembali ke keraton, meninggalkan bekas pijakan kuda dan awan debu yang
mengambang. Argatala benar-benar mati kutu. Ia melangkah gontai. Hampir ambruk.
Ki Nalaraya saat itu menuntun kuda yang ditunggangi Ceuk Srinten, lurus ke arah timur menantang matahari.
Langkahnya berderap seiring langkah kuda, penuh semangat sekalipun tak pernah tahu di mana ia akan
berhenti. Hanya berbekal keyakinan bahwa di arah timur, di suatu tempat, ia akan bisa bertemu dengan Prabu
Anom Walangsungsang. Ketika senja mengambang Argatala benar-benar putus asa. Dari beberapa tempat sesuai dengan laporan anak
buahnya telah ia jajaki, tapi tak menemukan saung tempat Ki Nalaraya dan Ceuk Srinten tinggal. Bahkan tak
ditemukan bekas-bekasnya. Akhirnya ia memutuskan untuk kembali ke keraton seiring di ufuk barat terlihat
sinar kemerahan memulas langit.
Apa pun hukuman yang akan diberikan, aku akan menerima, gumamnya. Ia memacu kudanya ke arah barat
tak peduli keadaansekelilingnya. Ia terus memacu seolah sedang berlomba dengan waktu. Berkelebat rupa Nyi
Ratu Mayang Sunda. Akankah ia juga menolongnya saat kepepet, seperti yang selama ini ia lakukan" Entah
kenapa Argatala dilanda keraguan yang pekat. Ia mendekati dan mau bersekongkol dengan Nyi Ratu Mayang
Sunda semata untuk menjaga posisi di hadapan Sri Maharaja Prabu Siliwangi, agar tak tergantikan Ki Nalaraya.
Argatala merasa wajahnya menyengat mengingat nama itu. Dadanya terasa sesak. Ia ingat benar ketika Ki
Nalaraya mendapatkan kepercayaan karena kedekatannya dengan Ratu Subanglarang, berb uah manis dengan
mendapat perhatian dari Prabu Siliwangi. Ia ingin melakukan hal yang sama, tapi tidak pada orang yang sama.
Saat itulah ia melihat peluang terbuka pada diri Mayang Sunda. Tapi kini, langit terasa menghimpitnya.
Argatala teriak kencang dari atas kudanya minta dibukakan pintu gerbang begitu sampai ke areal keraton.
Teriakan itu menggema ke mana-mana menjadi teror yang menakutkan. Prajurit penjaga pintu tergopohgopoh. Ia berhasil membuka pintu sebelum kuda yang ditunggangi Argatala berhenti. Tapi kerja kerasnya itu
hanya berbuat umpatan dan cacian, yang meluncur deras dari mulut Argatala.
"Setan alas, membuka pintu saja tidak becus!" hardik Argatala; "tutup gerbang itu sebelum kau diserang ayan."
Prajurit penjaga pintu tahu persis kalau Argatalasedang marah. Ia tak banyak bicara selain melaksanakan
tugas sebaik mungkin. Protes saja sebuah temparan akan mendarat sukses di pipi.
Dua lecutan di punggung menjalarkan rasa panas dan sakit tak terkira. Argatala mengerang tapi tidak
tumbang. Ia masih berdiri bahkan siap menerima hukuman lebih keras dari itu, karena ia telah gagal
membawa Ki Nalaraya sementara senja sudah benar- benar tenggelam.
********
Air cahaya itu membuat gelisah Ki Gedeng Alang-alang. Ia bermimpi didatangi seorang lelaki suci.
Pertemuan yang membuatnya bergetar. Mimpi yang tak pernah disangka-sangka.
"Kau tahu apa isi tas tersebut?" tanya laki-laki itu. Tubuhnya terselimuti cahaya.
"Tidak, wahai junjungan kami. Aku sama sekali tidak mengetahui apa isi tas seorang santri yang dititipkan
kepada kami tersebut," jawab Ki Gedeng Alang-Alang penuh rasa hormat.
"Di dalam tas tersebut ada cupu hijau berisi air cahaya. Sekarang bawa ke mari tas itu, aku ingin melihatnya."
"Baiklah, aku akan mengambilnya...." jawab Ki Gedeng Alang-Alang. Lalu ia mundur sambil menunduk penuh
rasa hormat. Ia ingin secepatnya mengambil tas tersebut. Namun ketika dicari di mana-mana, Ki GedengAlangAlang sama sekali tidak menemukannya. Saking capek dan kesalnya, ia tertunduk sedih. Jangan-jangan tas itu
tidak ada lagi di tempatnya. Ia tersentak, bangun dari mimpinya. Ki Gedeng Alang-Alang bangkit dan berniat
mengambil tas itu dari Nyimas Rarasantang. Namun karena hari masih malam, Ki Gedeng Alang- Alang
mengurungkan niatnya. Malam yang sama Nyimas Rarasantang pun bermimpi. Ia dikejar-kejar harimau. Anehnya harimau itu terus
mengejarnya ke mana pun ia pergi. Bahkan ketika ia masuk ke dalam lubang kecil sekalipun, harimau itu bisa
juga mengikutinya. Sebuah mimpi yang aneh.
"Aneh, kau sebenarnya siapa" Mustahil jika kau harimau, bisa mengikuti terus ke mana aku melangkah," protes
Nyimas Rarasantang kepada harimau yang ada di hadapannya.
"Aku adalah bayangan dirimu, Rarasantang," jelas harimau itu. Nyai Rarasantang tersentak, lho kok bisa
bayangan beda dengan yang aslinya, pikirnya.
"Kau jangan mengganggu, aku tak suka, enyahlah dari sini sebelum aku benar-benar marah," ancam Nyimas
Rarasantang. "Tidak. Tidak mungkin aku bisa meninggalkanmu, karena aku adalah bayanganmu sendiri, Rarasantang."
"Baiklah. Sekarang apa maumu?"
"Aku hanya ingin dikembalikan kepada wujud semula sebagai bayanganmu, tidak seperti dalam wujud
sekarang ini," jelas harimau tersebut.
"Aku tak paham!"
"Bertaubatlah, Rarasantang, karena kau telah melakukan kesalahan, meminum air cahaya bukan milikmu.
Setelah kau bertaubat, aku akan kembali ke wujud semula. Tapi kalau tidak, kau akan terus diikuti oleh
wujudku ini ke mana pun kau lari," jelas harimau itu lagi. Nyimas Rarasantang tertegun. Ia baru ingat bahwa
tadi telah meminum air dari cupu hijau itu.
"Jadi, yang kuminum itu tadi sebenarnya air cahaya?"
"Begitulah..." "Apa manfaatnya meminum air itu?"
"Aku sendiri tidak tahu, tanyalah Ki Gedeng Alang- Alang."
"Ki Gedeng Alang-Alang" Guruku?"
"Ya!" Lagi-lagi Nyimas Rarasantang tertegun. Ia benar- benar ketakutan ketika teringat bahwa tas berisi cupu hijau
itu sebenarnya titipan Ki Gedeng Alang-Alang, yang menyuruh untuk menjaganya. Menyesal dengan apa yang
telah dilakukannya, ia menangis sejadi-jadinya.
"Menangis saja tidak cukup, Rarasantang, karena menangis tidak menyelesaikan masalah," sindir harimau yang
mengaku sebagai bayangan diri Nyai Rarasantang itu.
"Aku menangis karena sadar aku ini manusia paling bodoh."
"Kalau kau merasa bodoh, apalagi aku...Makanya jangan suruh aku untuk meninggalkan wujudmu," protes
harimau itu lagi. Nyimas Rarasantang diam. Ia memerhatikan harimau itu terus-menerus sehingga pada
akhirnya hilang dari pandangannya. Seiring dengan itu Nyimas Rarasantang terbangun dari tidurnya.
Menjelang subuh saat itu. Tak jauh dari tempat ia tidur, tas titipan santri itu masih tergolek belum ditutup. Ia
ingat kembali kesalahannya. Tiba-tiba Nyimas Rarasantang merasa sekujur tubuhnya bergetar hebat. Jeratan
rasa bersalah mulai menghantuinya lagi.
Belum juga pulih rasa bersalahnya, tiba-tiba saja pintu kamarnya diketuk.
"Siapa?" "Aku, Gedeng Alang-Alang, Nak!"
"Aki?" "Ya!" "Maaf, Ki, aku akan segera bangun."
"Selesai shalat nanti, aku tunggu di padepokan," ungkap Ki Gedeng Alang-Alang.
"Baik, Ki!" jawab Nyimas Rarasantang gugup, suaranya terdengar parau. Sambil menatap cupu hijau,
tenggorokannya tiba-tiba terasa tercekat. Ia tidak bisa membayangkan apa yang akan terjadi nanti. Kesalahan
itu terus menghantuinya. Keceriaan dan sikap kritisnya yang ditunjukkan selama ini, benar-benar lenyap. Ia
seperti melayang-layang terselimuti rasa malu luarbiasa ketika berhadapan dengan Ki Gedeng Alang-Alang. Tak
pernah sebelumnya ia dililit rasa malu seperti ini.
"Kau sengaja aku panggil kemari, karena tadi malam aku mimpi, Putri Pajajaran," jelas Ki Gedeng Alang- Alang
membuka percakapan. "Iya, Ki!" "Begini..." lanjut Ki Gedeng Alang-Alang lalu menceritakan kejadian mimpi tadi malam. "Sekarang bawalah
kemari tas itu!" "Maaf, Ki, tas itu memang saya simpan," jelas Nyimas Rarasantang; "tas itu berisi air cahaya. Aku malu sekali,
Guru, karena tas itu aku buka."
"MasyaAllah, tas itu kau buka" Lalu cupu itu bagaimana?"
"Cupu itu...aku buka juga..." jawab Nyimas Rarasantang menunduk makin dalam. Ki Gedeng Alang- Alang
menatap tajam. Ia menggelengkan kepala tak percaya dengan apa yang diperbuat perempuan di hadapannya.
Sejak pertama ketemu, Nyimas Rarasantang tergolong lain dibanding Nyai Nini Indangayu dan Cakrabumi, ia
kritis dan sedikit temperamental. Tak pernah mengira jika perempuan ini tak amanah.
"Air cahaya itu gimana, Nak?" Ki Gedeng Alang- Alang terdengar serak.
"Aku minum, Ki!"
Nyimas Rarasantang kemudian tersungkur, ia menangis sesenggukan. Ki Gedeng Alang-Alang menatap langitlangit dengan pandangan nanar. Tak pernah ia mengira bahkan tidak untuk sekadar membayangkan, Nyimas
Rarasantang akan senekat itu.
"Aku akan menerima apa pun hukuman yang diberikan, Ki!" kata Nyimas Rarasantang di antara sedu sedannya.
Ki Gedeng Alang-Alang diam untuk beberapa saat. Ia kecewa luarbiasa. Tapi apa mau dikata, dimarahi dan
dihukum seperti apa pun, toh air cahaya itu tak akan pernah bisa kembali.
"Sekarang bawa kemari tas itu!" perintah Ki Gedeng Alang-Alang dengan nada sedih. Tanpa menunggu waktu
lagi Nyimas Rarasantang yang matanya terlihat sembab, undur diri. Ia masuk ke dalam kamar, membawa tas
itu lalu menyerahkannya kepada Ki Gedeng Alang- Alang. Dengan pandangan nanar, Ki Gedeng Alang- Alang
melihat bagaimana cupu itu telah kosong.
"Kau telah meminum semua air cahaya itu?"
Nyimas Rarasantang mengangguk pelan tanpa berani mengangkat wajah.
"Tak perlu kau menangis lagi, tinggalkan a{Jendirian," pinta Ki Gedeng Alang-Alang. Nyai Rarasantang mohon
diri. Ki Gedeng Alang-Alang pun beringsut masuk ke dalam kamarnya. Saat di dalam kamar sendiri, ia
menunduk haru, airmata yang sejak tadi membayang itu kini benar-benar menitik. Tapi ia cepat menyekanya.
Menahan napas lalu menghembus- kannya pelan, membuang yang tersekat di tenggorokan. Kesedihan terus
membayang. Bagaimana jadinya jika tiba-tiba santri itu datang kemudian menanyakan tas yang tempo hari
dititipkan kepadanya. Tapi terus menyalahkan Nyimas Rarasantang pun rasanya sia-sia, tokh tanpa dimarahi
gadis itu sudah demikian memperlihatkan penyesalannya.
"Aku tak mungkin berbohong. Kalaupun bohong, pasti suatu hari nanti akan ketahuan juga. Ya, Allah,
bagaimana aku bisa menghadapi kenyataan ini," gumam Ki Gedeng Alang-Alang. Jerit batin itu terus meng?
angkasa. Ia tak bisa menenangkan pikirannya, selalu saja tercurah pada kejadian itu. Sekalipun ia sendiri
belum bertemu dengan santri yang menitipkan tasnya itu, bahkan bisa saja tidak ketemu lagi. Tapi kesalahan
itu terus menyeretnya membuat tak berdaya. Batinnya terus bergolak, perang antara bisikan-bisikan itu
menggelora, silih berganti dengan wajah Nyimas Rarasantang yang menunduk malu.
Beberapa hari selanjutnya setelah mulai terserang sakit-sakitan, Ki Gedeng Alang-Alang meninggal dunia. Tentu
saja kejadian tersebut membuat seluruh warga Dukuh Cirebon kaget. Mereka berbondong-bondong melayat
tokoh yang mereka hormati dan cintai tersebut. Melihat para pelayat yang membludak, Ki Cakrabumi
merasakan saat yang tepat untuk menya mpaikan sesuatu kepada masyarakat. Di halaman depa n menghadap
kepada para pelayat, Ki Cakrabumi bicara.
"Terima kasih kepada seluruh warga Dukuh Cirebon yang saya hormati,yang telah menyempatkan diri untuk
melayat sepuh kita bersama. Untuk selanjutnya kami atas wakil dari keluarga menyatakan bahwa beliau akan
dikebumikan secara Islam. Karena itulah keyakinan dan kepercayaan kami."Di luar dugaan satu per satu para
pelayat itu meninggalkan halaman rumah Ki Gedeng Alang-Alang. Sesuatu yang terdengar masih asing di
telinga orang-orang itu. "Mereka tidak setuju kalau sepuh kita dimakamkan secara Islam. Tapi kita tetap memerlukan tenaga mereka
untuk menggali kubur. Untuk itulah umumkan segera kepada seluruh masyarakat, siapa saja yang bersedia
membantu membuat liang lahat untuk Ki Gedeng Alang-Alang, akan diberi uang 35 sen per orang dan satu
bungkus nasi lengkap dengan lauk-pauknya," jelas Ki Cakrabumi kepada beberapa orang kepercayaannya.
Saat itu juga mereka menyebarkan informasi tersebut. Dalam waktu singkat telah terkumpul beberapa orang
untuk menggali kubur. Selesai dimandikan dan dishalatkan, jenazah Ki Gedeng Alang-Alang dibawa untuk
dikebumikan. Tapi begitu diturunkan ke liang lahat, mereka terhenyak kaget bahkan ada yang langsung naik,
tak dinyana dalam keranda itu kini tinggal kain kafan yang mengeluarkan bau harum. Agar tak terjadi salah
paham, Ki Cakrabumi menerangkan dengan singkat.
"Atas kehendak Allah, begitulah apabila seseorang yang masuk Islam dengan ikhlas, matinya akan sempurna,
amalannya akan sempurna. Jasad menjadi tidak ada artinya ketika ruh meninggalkan untuk selamanya," jelas
Ki Cakrabumi. "Apa kami bisa mencapai kesempurnaan seperti Ki Gedeng Alang-Alang, Guru?" tanya seorang warga "Tentu.
Siapa pun yang mengamalkan Islam dengan baik, menjalani semuanya dengan ikhlas, matinya akan
sempurna. Jangan kata berkepribadian seperti Ki Gedeng Alang-Alang, yang membantu menguburkan orang
saleh saja bisa mendapat berkah."
"Benarkah?" "Ya, benar! InsyaAllah!"
"Kalau kami membantu, kami juga akan mendapat berkah?"
"Insya Allah!" Akhirnya kain kafan Ki Gedeng Alang-Alang yang telah ditinggalkan jasadnya tanpa diketahui ke mana
lenyapnya, dikuburkan dengan baik. Masyarakat Dukuh Cirebon saling membantu, bahu-membahu. Setelah
selesai pemakaman, kemudian masyarakat yang membantu menguburkan jasad Ki Gedeng Alang-Alang
berkumpul, menikmati makanan yang dihidangkan. Dalam pembicaraan satu sama lain mereka akhirnya
sepakat bahwa yang meneruskan sebagai kuwu Cirebon adalah Ki Cakrabumi. Berangsur-angsur setelah
kejadian dengan bermacam pendekatan, penduduk dukuh Cirebon banyak yang masuk Islam.
Sekali pun telah berhasil membangun dukun Cirebon " bahkan beberapa saat kemudian pemerintah Rajagaluh
menetapkannya sebagai desa - Ki Cakrabumi selalu merasa ada yang kurang. Pikirannya sering tercurah pada
Pajajaran. Ketika ia berhasil mengajak banyak penduduk desa Cirebon masuk Islam, hatinya justru miris,
bagaimana dengan ayahandanya sendiri" Bagaimana dengan saudara dan kerabat di Keraton Pakuan" Ia tak
pernah berpikir bahkan tidak untuk sekadar mengkhayalkannya bahwa kelak suatu hari ia akan berhadapan
dengan ayahandanya sendiri dalam urusan ini.
"Wahai adik dan istr'ku, kalian tentu bisa melihat bahwa desa kita bisa berkembang dengan cepat.
Pertambahan penduduk dan babad alas terus terjadi sehingga dalam waktu sangat singkat wilayah desa kita
semakin luas. Para penganut Islam pun berkembang dengan pesat. Tapi apakah - terutama kau Nyimas pernah terlintaskan tentang Keraton Pakuan?" tanya Ki Cakrabumi yang telah memperoleh gelar Pangeran
Cakrabuana dari pemerintah Rajagaluh. Wajahnya tiba- tiba terlihat sendu. Rasa kangen sekaligus khawatir itu
kian membuncah. Nyimas Rarasantang tak menemukan jawab. Ia sendiri masih gamang, haruskah ia senang dengan semua
yang diperolehnya selama ini atau justru sedih" Ya, Nyimas Rarasantang mengerti betul dalam waktu singkat
telah banyak yang mengikuti jejak langkahnya, menyatakan diri membaca dua kalimat syahadat, satu-satunya


Prabu Siliwangi : Bara Di Balik Terkoyaknya Raja Digdaya Karya E. Rokajat Asura di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

pintu untuk masuk ke ruang dalam Islam. Tapi tak terbayangkan apa yang kini terjadi di Keraton Pakuan.
"Aku bisa mengerti rasa kangen Kakang dan Nyimas
Rarasantang, adikku, ke Keraton Pakuan, kepada ayahanda, saudara-saudara kita di sana. Banyak hal yang
tidak kita ketahui tentang perkembangan terakhir di Pajajaran. Kita semua hanyut dengan urusan masingmasing, sekalipun tidak sekadar mengurus urusan sendiri. Menurutku, Kakang, luangkanlah waktu sejenak
untuk setidak-tidaknya mengetahui bahwa mereka tetap rukun, damai dan sejahtera seperti yang selalu dicitacitakan ayahanda, Gusti Prabu!" Nyai Nini Indangayu ikut bicara. Ia bisa merasakan bagaimana rasa kangen
yang menyebabkan ada sesuatu yang hilang dalam hati dan pikiran suami dan adiknya itu.
"Kau benar, Nyai! Tapi tentu kita tidak bisa berlama- lama, karena di sini banyak hal yang harus kita
selesaikan!" "Bukankah Kakang telah mendapatkan semua ilmu sejak perjalanan dari Pajajaran sampai terakhir kita
bertemu dengan berguru pada Ki Gedeng Alang-Alang almarhum?" Nyai Nini Indangayu mengingatkan.
Pangeran Cakrabuana mengernyit.
"Maksud Ceuceu?" Nyimas Rarasantang menimpali.
"Ilmu yang didapatkan oleh Kakang dari guru-guru tempat Kakang dulu singgah, justru sekaranglah saatnya
untuk dipergunakan. Kenapa harus gundah dengan urusan jarak dan waktu?"
Pangeran Cakrabuana menunduk, terkekeh, ia seperti baru terjaga dari mimpinya. Kenapa harus menahan rasa
rindu yang semakin membuncah, karena kapan saja bisa datang ke Pajajaran tanpa harus direpotkan dengan
jarak dan waktu. "Alhamdulillah kau telah menyadarkanku, Nyai Nini Indangayu!" Pangeran Cakrabuana tersenyum bangga.
"Aku juga baru sekarang mendapatkan hikmahnya, ternyata inilah dibalik semua kejadian yang telah Allah
takdirkan harus dijalani. Aku sadar sekarang, Nyai, kenapa dalam perjalanan itu aku harus bertemu dengan
Eyang Danuwarsih. Kau tahu kenapa?"
Nyai Nini Indangayu menggeleng. Nyimas Rarasantang tak paham. Ia menunggu kelanjutan cerita kakaknya.
"Karena aku akan dipertemukan dengan seorang perempuan yang tidak saja cantik, saleh, sabar juga pintar!"
Nyai Nini Indangayu menunduk tersipu. Pipinya merona. Nyimas Rarasantang membuang muka. Tersenyum
geli. "Pada saat lain dalam perjalanan hidupku itu, aku juga pernah akan menolong perempuan cantik yang kakinya
terjepit batu. Di samping kasihan melihat kakinya mengucurkan darah, aku tertarik sekali melihat wajah
sempurnanya, sehingga terdorong untuk cepat menolongnya. Kalian tahu apa yang terjadi?"
Nyai Nini Indangayu tersentak. Mendongak sedikit. Wajah putihnya itu kini merona terbakar api cemburu.
Nyimas Rarasantang menunduk, tak kuasa melihat perempuan di sampingnya yang sedang cemburu.
Pangeran Cakrabuana meneruskan ceritanya sebelum magma dari dalam diri Nyai Nini Indangayu benar-benar
termuntahkan. "Suara tanpa rupa mengingatkan bahwa aku harus hati-hati. Ternyata ketika langkah ini terhenti, perempuan
cantik yang minta tolong itu berubah menjadi seekor ular besar. Rupanya ia siluman perempuan yang sengaja
mengganggu perjalanan dan keinginan lurusku. Dari situ aku juga diingatkan betapa kecantikan bisa
menjerumuskan seseorang pada jalan salah. Kecantikan seseorang ketika menjadi daya dorong untuk
melakukan sesuatu, maka kita sama halnya dengan bermanja-manja pada ular siluman yang tidak saja
berbahaya tapi persekutuan yang kotor!"
"Heh..." Nyai Nini Indangayu mendelik. Nyimas Rarasantang kini tersenyum lagi. Geli. Betapa gampang perasaan
itu diombang-ambing. "Dalam perjalananku," Nyimas Rarasantang tak mau ketinggalan; "aku ditakdirkan untuk bertemu Nyai Indang
Sukati. Kalian tahu kenapa?"
"Karena kau akan menerima baju Sang Dewa MulyaV" jawab Pangeran Cakrabuana. Nyimas Rarasantang
menggeleng. "Lalu?" "Karena kaki-ku pegal-pegal!" jawab Nyimas Rarasantang dengan senyum mengembang.
Nyai Nini Indangayu pun ikut tersenyum. Lucu melihat tingkah laku adik iparnya itu."Kalau itu sudah sunatullah,
Ny"mas! Siapa pun yang berjalan jauh, pasti akan pegal-pegal. Bukan hikmah yang harus dikaji lagi!"
"Sebentar, kan belum beres bicaranya!" sanggah Nyimas Rarasantang. "Karena kakiku pegal-pegal itulah aku
diusap beliau dan kakiku langsung sembuh. Coba kalau kakiku tidak pegal, apa mungkin bisa ketemu Nyai
Indang Suka i dan diber i baju Sang Dewa Mulya" Baju ini akan menyebabkan siapa saja yang memakainya
bisa berjalan secepat angin, tidak panas di dalam api dan tidak basah di dalam air, akan selamat dari bahaya
yang menghadang. Apa coba hikmahnya, Kakang?" Nyimas Rarasantang kini malah balik bertanya.
"Itu artinya kau akan cocok kalau jadi juru masak! Karena dengan baju itu kau bisa tahan air, tahan panas dan
terhindar dari bahaya menghadang. Bahaya menghadang "kan artinya api. Lengkap sudah, bukan?" Pangeran
Cakrabuana bercanda. Tapi Nyimas Rarasantang malah langsung meradang. Watak temperamentalnya
langsung muncul. "Enak saja, begitu jauh perjalanan yang aku lakukan, begitu banyak jurus yang aku selesaikan, begitu lama
aku mengaji, masak iya hanya untuk jadi juru masak!"
"Apa jadi juru masak itu tidak terhomat, Nyimas?" Nyai Nini Indangayu menggoda. Nyimas Rarasantang masih
meradang. Terbayang kembali bagaimana ia heran bercampur girang mendengar ucapan Nyai Indang Sukati
waktu itu sesaat setelah memberikan baju Sang Dewa MuIya, dan sama sekali dengan manfaatnya baju itu,
tak terbayangkan untuk jadi seorang tukang masak. Melihat adiknya masih marah, Pangeran Cakrabuana
melanjutkan bicaranya. "Dalam sepenggal perjalanan hidupku setelah itu..."
"Aku bertemu dengan..." sergah Nyimas Rarasantang dengan suara tinggi, tapi Pangeran Cakrabuana
mengimbangi, tak mau kalah. Nyai Nini Indangayu terheran-heran melihat kelakuan kakak beradik ini.
"Aku bertemu dengan Syaikh Nurjati..."
"Aku juga..." balas Nyimas Rarasantang.
"Dari beliaulah..."
"Aku juga...." sambung Nyimas Rarasantang makin tinggi. Tak mau kalah. Benar-benar kembali kepada watak
aslinya. Nyai Nini Indangayu tutup kuping.
"Sudah-sudah! Bagaimana kita bisa mendalami hikmah kalau terus berantem, tak mau saling mengalah..."
Nyimas Rarasantang mendelik ke arah kakaknya, sorot matanya tajam dan liar. Tapi cepat-cepat ia menunduk
ketika melihat Pangeran Cakrabuana menatap tajam, dingin dengan bibir nyaris membentuk garis lurus. Baru
saja sesungguhnya Pangeran Cakrabuana menggunakan ajian pangabaran dan Nyimas Rarasantang belum
sempat menggunakannya. Beberapa saat suasana mengambang, sebelum PangeranCakrabuana meneruskan
menyambung pembicaraannya.
"Sekarang saatnya menemui Syaikh Nurjati sebelum pergi ke Pajajaran!"
"Untuk apa, Kakang?" Nyai Nini Indangayu tak paham.
"Tidak semata-mata guru kita itu menyuruh membangun sebuah desa, babad alas untuk menyediakan lahan,
kalau tidak ada maksud tertentu. Dan semua itu sekarang sudah tercapai. Setelah itu barulah kita tentukan
siapa yang harus ke Pajajaran, kita bagi tugas saja!" jelas Pangeran Cakrabuana. Sekilas ia melihat adiknya
tiba-tiba murung ketika menyebutkan nama gurunya itu.
"Kenapa rupanya kau, Nyimas, adikku?"
"Aku bingung Kakang," jawab Nyai Rarasantang.
"Bingung" Bingung kenapa?"
"Tentu Kakang sebenarnya telah tahu. Sewaktu orangtua kita, Ki Gedeng Alang-Alang masih ada, aku pernah
melanggar larangannya yaitu meminum air cahaya yang aku ambil sendiri dari cupu yang disimpan dalam tas
milik santri itu, Kakang?"
"Lalu maksudmu?"
"Santri pemilik tas itu bicara mau menemui Syaikh Nurjati, guru kita, sekalipun tak pernah kembali sampai
sekarang. Aku malu sekaligus takut, kalau di sana aku bertemu santri itu. Apa jadinya aku di hadapan guru
kita, Kakang?" urai Nyimas Rarasantang, dengan wajah memelas. Tapi Pangeran Cakrabuana tentu saja tak
gampang terpengaruh sekalipun adiknya itu memasang wajah pilu dan akan segera turun hujan airmata di
wajahnya. "Aku sendiri tidak paham. Tapi menurut hematku, kalau memang kesalahan itu harus dihukum, apa pun kau
harus menerimanya. Sebagai putri Pajajaran, kau tentu tidak akan merasa takut dengan hukuman itu," jelas
Pengeran Cakrabuana membesarkan hati adiknya, tapi juga sekaligus membuat hati adiknya itu ciut.
"Setiap detik yang kita lalui bahkan lebih singkat dari itu, yang kita sadari dan tidak kita sadari, yang kita
harapkan atau kita tolak kehadirannya, selalu berbuah h'kmah, sekalipun hikmah selalu datang belakangan.
Kau yakin itu, Nyimas, Adikku?" Nyai Nini Indangayu menghibur adik iparnya, memegang erat kedua tangannya
yang terasa sedingin es itu, mengalirkan kehangatan yang hakiki dari seorang kakak.
Nyimas Rarasantang mengangguk pelan, lalu mendongak sedikit ketika jemari Nyai Nini Indangayu menariknya
untuk saling bertatap. Ah, dengan getaran kecil saja, cukup untuk menggerakan setetes airmata yang
menggenang sejak tadi. Dengan tersedu-sedu Nyimas Rarasantang larut dalam tangis, kedua matanya terlihat
sembab. Nyai Nini Indangayu menarik kepala adiknya itu, didekapnya erat, sementara ia mengerdip pada suaminya
memberi isyarat agar menyudahi pembicaraan itu. Pangeran Cakrabuana mengangguk.
"Aku telah gagal..." serak suara Nyimas Rarasantang. Ia menggigil bibirnya, sambil berkata dengan rintihan
yang membuat perasaan Pangeran Cakra buana bergetar.
Nyimas Rarasantang meneruskan kata-katanya dengan nada terputus-putus; "Kalau Kakang berhasil mengatasi
godaan dari siluman ular itu, maka aku tak bisa mengalahkan desakan dari dalam diriku sendiri untuk sesuatu
yang menurutku tak ada gunanya. Aku mengingkari amanah yang telah aku sanggupi untuk memikulnya."
Nyimas Rarasantang tiba-tiba terdiam. Ia menatap pada kakaknya, Pangeran Cakrabuana. Tak ditemukan
jawaban di sana, pada kebeningan mata itu, selain suasana yang makin terasa kaku dan pilu.
Ya, Ki Nalaraya merasa suasana kaku juga terhampar di hadapannya. Ia bingung menjelaskan pada Ceuk
Srinten, kapan akan segera berhenti dari langkah panjang yang tak berujung ini. Ia tak melihat air itu jernih
kini. Awan gemawan terasa berjalan lebih cepat dengan warna yang semakin gelap pekat. Tapi Ki Nalaraya
sebagai pemimpin, sebagai calon suami, juga sebagai pengatur ritme perjalanan melelahkan ini harus tetap
terlihat kuat dan kokoh, langkah-langkah itu harus senantiasa tegak sekalipun sesungguhnya mulai tergopoh.
"Kau lihat di depan sana cahaya kemilau itu, Srinten?" Ki Nalaraya bermaksud menghibur pada calon istrinya,
yang terlihat lesu, ia membungkuk di atas kuda tunggangan. Tak kuasa untuk bicara.
"Cahaya itu akan mempertemukan kita dengan tanah lapang, sebuah bukit harapan, di sampingnya tak jauh
dari rumput yang menghijau, di antara bebatuan cadas dan lereng bukit, mengalir air jernih dari gunung. Kau
bisa melakukan apa saja, Srinten! Kau bisa minum sepuasnya, kau bisa berendam atau bermain air jika kau
mau. Kau juga bisa tiduran di atas rumput yang hijau terhampar, seperti permadani yang terpasang pada jalan
yang menuju tempat istirahat Gusti Prabu! Kau ingat itu"
Ceuk Srinten mengangguk. Matanya mengerjap- ngerjap, ingin sekali bisa melihat pemandangan yang baru
saja dijelaskan Ki Nalaraya tersebut. "Jika ternyata cahaya itu hanya keluar dari berjejalnya pepohonan, artinya
kita akan terus-menerus menghadapi jalan seperti ini! "
"Kuharap hal itu tidak terjadi!"
"Aku juga!" "Tapi sebentar!" Ki Nalaraya memberi isyarat. Sayup- sayup ia mendengar derap kuda. Ceuk Srinten berusaha
bangkit. "Ada apa?" "Aku mendengar derap kuda!" jelasnya. Suaranya mengisyaratkan ia mulai dicekam rasa khawatir. Tentang
banyak hal. Juga-tentang kuda yang ditunggangi calon istrinya ini, yang entah dari mana diperolehnya.
"Jangan-jangan prajurit Pajajaran, Ki! Tamat riwayat kita..." Ceuk Srinten mulai terlihat gugup. Ki Nalaraya tak
bicara, selain langsung naik ke atas pohon agar bisa melihat ke tempat yang lebih jauh. Laksana seekor
monyet, Ki Nalaraya memanjat dengan cekatan, cepat dan terlihat ringan sekali tubuhnya. Setiap senti
langkahnya diikuti dengan saksama oleh pandangan mata Ceuk Srinten.
"Ada?" teriaknya ketika melihat Ki Nalaraya tak meneruskan memanjat. Ki Nalaraya menggeleng dan memberi
isyarat jangan teriak, karena gema itu bisa memantul dan didengar kembali, lalu memantul dan terdengar ke
tempat yang lebih jauh. Ceuk Srinten memberi isyarat, mengangkat tangannya bergerak-gerak ke atas, agar Ki
Nalaraya terus memanjat. Suara derap langkah kuda makin jelas, tapi Ki Nalaraya tetap tak bisa melihat ke
arah belakang untuk memastikan siapa yang datang. Ia akhirnya bergegas turun. Suara derap langkah kuda
benar-benar serasa di belakang k
epalanya, tapi Ki Nalaraya tak berani menoleh. Tak juga berani memutar
pandangannya karena khawatir salah melangkah. Suara derap langkah kuda terdengar cepat lalu tiba-tiba
melambat. Ia tiba-tiba disergap rasa takut dan menghentikan langkahnya begitu terdengar Ceuk Srinten
histeris, menjerit kencang diikuti suara kuda yang mengerang menahan sakit.
"Tolooongggg Kiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiii!!"
Ki Nalaraya memeluk dahan pohon itu, ia baru berani memutar kepala. Di bawah dalam jarak beberapa
tumbak, terlihat kuda tunggangan menendang-nen- dangkan kakinya, tergolek menahan rasa sakit, sementara
tak jauh darinya, Ceuk Srinten tengkurap tak bergerak dengan anak panah menancap di punggung. Ki Nalaraya
bergerak turun dengan cepat. Tapi langkahnya kembali terhenti saat satu anak panah menancap beberapa mili
di samping paha kanannya. Ia diam tak bergerak, tak berani terus turun juga tak berani menole h ke belakang.
"Tak berani turun pahlawan Pajajaran?" teriak seseorang. Ia kenal suara itu. Sangat kenal.
Ki Nalaraya masih diam. Ia menunggu. Menunggu untuk menemukan kesempatan turun, menunggu reaksi
prajurit Pajajaran itu. Sesaat tak ada anak panah lagi, selain ringkik kuda. Beberapa kuda. Mungkin ia
memutar-mutar di bawah. Tak pasti ada berapa kuda jumlahnya. Ki Nalaraya masih memeluk pohon. Pelan
tangan kanannya agak diluruskan ke atas. Rupanya prajurit Pajajaran di bawah tak melihatnya. Dari gelang
perak di tangannya, ia mencoba memantau keadaan di bawah. Samar dari bening gelang itu ia melihat
beberapa orang prajurit, tetap berdiri gagah di atas kuda-kudanya. Kuda meringkik, berkeliling, menunggu.
Seorang di antaranya terus menengadah ke atas. Memerhatikanku, gumam Ki Nalaraya. Apa yang harus aku
lakukan ya, Allah" "Sampai kapan kau menempel seperti haphap di sana, pahlawan Pajajaran?" teriak prajurit lain. Ki Nalaraya
tak bergerak. Keringat dingin membasahi tubuhnya. Ki Nalaraya masih diam selain memerhatikan prajuritprajurit itu dari kilau gelang peraknya. Seorang prajurit mencabut anak panah, memasangnya pada busur,
merentangkannya dan...slep! Anak panah itu menempel persis beberapa mili di sisi tangan kanannya.
Ki Nalaraya tersentak. Lalu ia menggelusur turun seolah kaget dengan anak panah itu, mengorbankan dada dan
perutnya yang menempel di pohon hingga terluka. Muslihatnya berhasil, prajurit-prajurit Pajajaran itu tergelak
kesenangan. Dari bening gelang peraknya, Ki Nalaraya bisa memastikan mereka tidak terlalu penuh konsentrasinya. Saat
itulah dengan gerakan ringan dan sangat terukur laksana monyet, Ki Nalaraya melakukan salto beberapa kali di
udara sebelum menapak di tanah. Melihat pemandangan seperti itu prajurit-prajurit Pajajaran yang berjumlah
enam orang terperangah. Tak mengira Ki Nalaraya akan nekat loncat.
Keadaan itulah yang dimanfaatkan Ki Nalaraya. Dengan jurus maung lapar ia menerkam seorang prajurit
hingga terjengkang bersama tubuhnya. Beberapa saat kemudian prajurit itu terlihat tak bergerak dengan luka
menganga di sekeliling 51lehernya. Kejadian itu cukup membuat lima prajurit lain kalang-kabut, tak mengira
dengan apa yang akan terjadi. Secara membati buta mereka menyerang Ki Nalaraya dengan tombak. Situasi
inilah yang dikehendaki Ki Nalaraya.
Dengan beberapa gerakan salto ia menjauhi tempat itu, mencari tanah lapang. Lima prajurit itu terpancing
mengikutinya. Padahal Ki Nalaraya menjauhi tempat untuk menghindari agar pertarungan tak dilakukan dekat
Ceuk Srinten. Ia masih sedikit memelihara keyakinan dan harapan bahwa Ceuk Srinten belum meninggal.
"Di sinilah tempat kita!" teriak Ki Nalaraya, suaranya terdengar bergema, lalu memantul dan gema itu yang
terdengar lima prajurit yang mengepungnya.
Mereka terlihat seperti kebingungan mendengar gema itu, kudanya berputar-putar tak karuan. Seorang prajurit
loncat dari kudanya lalu menyerang Ki Nalaraya. Dengan ringan Ki Nalaraya menghindar setiap sergapan
prajurit Pajajaran yang sangat terlatih bertempur di darat itu. Berbagai jurus tingkat tinggi mereka
pertontonkan. Pertarungan lima lawan satu itu terlihat seru, karena masing-masing tahu kelemahan dan
keunggulan jurus- jurus itu. Masing-masing paham bagaimana cara menghindari sergapan jurus itu. Pada satu
kesempatan Ki Nalaraya merapatkan kaki dengan dua tangan lurus rapat di atas kepala seperti gerakan abaaba seorang perenang. Ki Nalaraya lalu berputar...berputar dan berputar semakin kencang seperti gasing.
Lima prajurit Pajajaran itu terlihat kebingungan, lalu mereka menyerbu secara bersama-sa ma dengan kujang di
tangan. Tapi anehnya mereka seperti kesulitan menembusnya.
Berkali-kali menyerang, berkali-kali pula mereka terjengkang ke belakang terdorong kekuatan tenaganya
sendiri seperti menabrak dinding karet. Jurus ini memang belum dipelajari oleh semua prajurit Pajajaran. Pada
satu kesempatan seorang prajurit menjerit mengaduh dan menutup kedua matanya. Darah mengalir deras dari
sela-sela jarinya, tombak dan kujang terlempar jauh. Rupanya Ki Nalaraya telah berhasil menotok mata prajurit
itu. Mengetahui dua orang temannya telah menjadi korban, empat prajurit lainnya mulai melakukan perhitungan.
Mereka tak mau konyol, mati dengan sia- sia. Keempatnya seperti dikomando, menjauhi tempat mengepung Ki
Nalaraya yang masih terus berputar. Dalam posisi berbaris ke samping, keempat prajurit itu memasang busur
dan secara serempak menghujani Ki Nalaraya dengan anak panah. Cara ini ternyata lebih ampuh. Panah
berkecepatan tinggi itu melesat bersamaan dan sempat merepotkan Ki Nalaraya. Pusaran angin yang tadi
mengelilingi tubuhnya setiap ia berputar, kini malah bisa ditembus anak-anak panah itu.
Slep! Satu anak panah berhasil mengenai paha Ki Nalaraya. Ia terlihat mengaduh, lalu dengan cepat
mencabutnya, darah menetes. Ki Nalaraya tak peduli. Dengan tenaga sisa, giliran ia yang menyerang membabi
buta. Dengan menggunakan jurus sapu jagat, ia menyapu habis empat prajurit itu hingga berjatuhan mencium
tanah, busur-busurnya terlepas.
Dengan gerakan sangat cepat Ki Nalaraya berhasil menotok urat nadi keempat prajurit itu hingga pingsan. Ki
Nalaraya berdiri limbung, racun dari anak panah di paha kirinya mulai bereaksi. Matanya mulai berkunangkunang. Ia berjalan sempoyongan mendekat satu pohon. Dengan sisa-sisa tenaganya ia memotong kulit pohon,
getah yang menetes ia tempelkan pada luka yang menganga.
Terlihat menyeringai menahan rasa perih. Menegang!
Beberapa saat kemudian pandangannya mulai normal kembali. Ia jalan sempoyongan mencari akar dan daundaunan yang biasa dijadikan obat. Setelah didapat ia mengunyahnya lalu menempelkan di luka bekas anak
panah itu, membalutnya dengan kulit kayu yang masih muda. Badannya terasa lebih segar kini. Ia bergegas
mendekati tubuh Ceuk Srinten, membali kkannya, meraba nadi.
Masih terasa berdenyut sekalipun sangat lemah. Anak panah yang masih menancap di punggungnya dicabut
hati-hati. Darah kehitaman kembali menetes, la menekan sisi-sisi luka itu, mengurutnya agar racun-racun bisa
keluar. Ia meneteskan getah pohon seperti yang dilakukan sebelumnya.
Ceuk Srinten terlihat bergerak tapi sangat lemah. Menyeringai menahan perih. Luka yang menganga itu lalu
dirapatkan, diberi ramuan daun dan akar yang baru saja ia kunyah, lalu ditutup dengan kulit kay u. Selendang
yang selalu dikenakan Ceuk Srinten disilangkan kebagian depan tubuh perempuan gembrot ini, agar kulit
pohon penutup luka tidak lepas.
Ki Nalaraya kini memeriksa kuda tunggangannya tapi ternyata sudah tewas, demikian pula prajurit yang jadi
korban jurus maung lapar, juga sudah tak bergerak lagi.
"Maafkan aku, Ki Sanak! Keadaanlah yang memaksa!" ujar Ki Nalaraya sambil mengusap muka prajurit itu. Ia
berdiri bertepuk tangan beberapa kali. Kuda tunggangan yang dipergunakan prajurit yang telah meninggal itu,
berlari dari kejauhan mendekati Ki Nalaraya. Ia menuntunnya.
Tubuh Ceuk Srinten yang gembrot itu diangkatnya ke atas kuda, ia sendiri loncat ke atas, duduk di depan Ceuk
Srinten yang oleng karena tak berdaya menahan tubuhnya. Tangan kiri Ki Nalaraya memegang tubuh Ceuk
Srinten, dan tangan kanannya memegang tali kendali. Perlahan tapi pasti kuda yang ditunggangi Ki Nalaraya
meringkik, berjalan meninggalkan tempat itu, melewati empat prajurit yang masih pingsan dan satu prajurit
yang masih menjerit-jerit dengan darah menetes dari kedua matanya. Ki Nalaraya hanya menatapnya nanar,
tak bisa berbuat apa-apa.
"Maafkan aku, Ki Sanak! Keadaanlah yang memaksa!" ulang Ki Nalaraya, menatap nanar untuk terakhir kalinya,
memutar kepalanya lurus ke depan dan menepuk leher kuda agar berjalan lagi. Ia terus bergerak ke arah
timur dengan beban yang menggunung.
*****
Pangeran Cakrabuana berdiri menatap ke arah pondok Syaikh Nurjati, bergerak mendekat beberapa
langkah. Rasa haru menyergapnya. Pondok yang menjadi saksi saat ia ditempa pertama kali tentang Islam,
masih tetap sama. Hidungnya mencium bau aroma rerumputan dan bunga-bunga yang tumbuh di dataran


Prabu Siliwangi : Bara Di Balik Terkoyaknya Raja Digdaya Karya E. Rokajat Asura di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tinggi. Rumah panggung yang dikelilingi kebun itu, selalu membuatnya damai Pangeran Cakrabuana sering
duduk berlama-lama di atas batu hitam mengkilat di halaman luas itu. Batu itu pun masih tetap di tempatnya,
sekalipun dengan keluhuran ilmunya, Syaikh Nurjati bisa saja memindahkan batu itu ke tempat lain jika mau.
Rumah itu selalu menyebarkan wangi kayu jati, angin menghembus, seperti juga yang selalu dirasa?kannya
dulu. Tapi kini semilir angin yang membawa aroma tanah basah itu telah berhasil melambungkan anganangannya. Angan-angan yang sangat abstrak sesungguhnya, karena tidak pernah ia merasa puas dari apa
yang diangankan itu. Pangeran Cakrabuana memutar tubuhnya, menatap ke arah bawah pada kehijauan pohon-pohon yang teratur
menata diri. Pada batang sungai yang mengalir?kan bening airnya jauh di antara rimbunnya pepohonan,
bahkan menatap jauh ke arah barat tempat matahari dilumat garis cakrawala. Ia kini sedang membayangkan
menara-menara tinggi Keraton Pakuan, tembok tinggi dari batu yang kokoh, bangunan keraton dari batu
pualam yang memantulkan sinar keperakan manakala terterpa matahari pagi yang selalu memantulkan riak
gemintang mengambang. Tentu saja ia sedang menyapa sosok lelaki tegap berwajah agak persegi, dengan
tulang rahang menonjol kuat sekuat kepribadiannya, Sri Maharaja Prabu Siliwangi. Ia selalu mengenang sorot
mata elangnya yang terakhir kali terlihat lusuh dan keruh, saat desakan-desakan dari dalam dirinya tak bisa
lagi disembunyikan. Pangeran Cakrabuana mengusap wajah ketika terasa sudut matanya perih. Suatu hari aku
harus kembali, gumamnya, untuk menyelamatkan kegundahan hati Kanjeng Rama, seperti yang pernah aku
rasakan selama bertahun-tahun.
Pangeran Cakrabuana tak bisa terus berdiri, karena desakan-desakan kenangan itu demikian kuat menekannekan. Ia khawatir akan kehilangan keseimbangan batinnya dan hanya memperturutkan ilusi. Awan putih
bergerak mendekat. Ia memutar tubuhnya, menatap sekilas pondok di depannya, lalu berjalan mendekati
dengan langkah pasti. Kini aroma bunga, aroma kayu jati dan tanah basah makin terasa membuncahkan rasa
kangen yang mengisi sesak dadanya. Ia berdiri di depan pintu dan mengetuknya. Suara langkah kaki terdengar
makin mendekat, pintu terkuak, Syaikh Nurjati me?nyambutnya sebagai seorang teman yang pulang setelah
lama pergi, sehingga mereka merasakan kegembiraan luarbiasa. Hal serupa yang dirasakan Pangeran
Cakrabuana. Tapi keduanya punya cara sendiri-sendiri mengekspresikannya.
"Assalamualaikum, Eyang!"
"Waalaikum salam, anakku, Somadullah!" senyum mengembang dari keduanya.
Syaikh Nurjati mengembangkan tangan, Pangeran Cakrabuana menyambutnya, memeluk erat orangtua
sekaligus gurunya itu. Sesaat mereka hanyut dalam rasa kangen yang mendesak-desak.
"Kau ternyata telah berhasil membangun Desa Cirebon. Ketahuilah, kelak pada satu masa desa itu akan
menjadi besar, akan menjadi sebuah negara tempat berkumpulnya para wali...." urai Syaikh Nurjati sebelum
Pangeran Cakrabuana menerangkan perkembangannya. Ia menunduk hormat takjub dengan kebeningan hati
gurunya itu, sehingga pandangan hatinya lebih tajam dari ujung kujang. Ia bisa melihat yang tidak bisa
dilakukan orang kebanyakan. Ia bisa mendengar tidak seperti kebanyakan orang menggunakan
pendengarannya. Keduanya duduk santai melepas kangen, sampai akhirnya suasana itu dikejutkan suara ringkik kuda.
Pemandangan yang sangat jarang terjadi. Pangeran Cakrabuana begitu saja terkesiap. Ringkik kuda itu dengan
cepat melambungkan angan-angannya pada kedekatan Keraton Pakuan. Syaikh Nurjati dan Pangeran
Cakrabuana saling pandang.
"Seperti ringkik kuda!"
"Periksalah, Nak, ringkiknya terdengar kesakitan," ungkap Syaikh Nurjati.
Pangeran Cakrabuana bergegas keluar ha laman memeriksa suara ringkik kuda siapa yang datan g. Begitu pintu
berderak terbuka, sungguh pemandangan mengharukan terpapar di hadapannya.
Kuda yang kelelahan itu terduduk dengan dua kaki depan menekuk, dan dari mulutnya deras keluar ludah
dengan suara menggeram kesakitan. Tak jauh dari kuda itu, seorang pria telungkup dan agak ke belakang
sosok perempuan juga telungkup.
Pangeran Cakrabuana segera berlari memeriksa. Pertama ia memeriksa nadi perempuan bertubuh gembrot itu,
kelihatannya paling parah, detak jantungnya sangat lemah, dari sela-sela kulit kayu yang terbalut selendang di
punggungnya, masih terlihat tetes darah dan di antara darah yang mengering. Dengan kekuatan penuh,
Pangeran Cakrabuana membopong perempuan itu dibawa ke teras pondok. Saat membopong itulah ia
berpapasan dengan Syaikh Nurjati.
"Masya Allah...ada apa ini?" Syaikh Nurjati setengah meloncat memburu sosok lelaki yang masih telungkup di
halaman. Seperti yang dilakukan Pangeran Cakrabuana ia memeriksa denyut jantungnya. Matanya tertuju pada balutan
luka di pangkal lengan kanan lelaki itu. Ia pun membopong laki-laki itu dibawa ke teras, dibaringkan tak jauh
dari sosok perempuan gembrot itu.
Pangeran Cakrabuana terpekik begitu melihat wajah lelaki yang pingsan itu.
"Ki Nalaraya?" Syaikh Nurjati meliriknya. "Kau mengen alnya, Nak!"
Pangeran Cakrabuana mengangguk pelan. "Prajurit Pajajaran!" gumamnya lesu.
"Biar aku yang periksa, kau lihat saja kuda itu! Siapa tahu masih bisa diselamatkan!"
Pangeran Cakrabuana kembali ke halaman, sesekali melirik ke arah Ki Nalaraya yang masih pingsan.
Kenangan-kenangan itu kembali datang silih berganti sebelum akhirnya tirai hitam terbentang di hadapannya.
Ia mengusap wajahnya yang terasa panas.
Setelah mengetahui bahwa kuda itu hanya kelelahan, Pangeran Cakrabuana tersenyum senang. Ia mengingatingat kebiasaan prajurit di Pakuan saat memelihara kuda yang kelelahan. Ia ingat sekarang bagaimana
perlakuan para prajurit Pajajaran memelihara kuda. Sekalipun berkali-kali dilarang, Walangsungsang kecil selalu
memaksa untuk bermain ke istal. Sekarang, pengalaman batin masa kecil itu terbukti ada manfaatnya. Dengan
cara seperti itulah ia memperlakukan kuda tunggangan Ki Nalaraya. Tak perlu menunggu terlalu lama, kuda itu
sudah terlihat bisa berdiri lagi. Pangeran Cakrabuana tersenyum untuk kedua kalinya. Ia menuntun kuda itu ke
pinggir halaman, tempat rerumputan tumbuh subur. Selesai menambatkan tali kendali, ia kembali k?""ras.
Syaikh Nurjati terlihat masih mengurus Ceuk Srinten, sementara di sampingnya Ki Nalaraya terlihat duduk
dengan wajah masih terlihat pucat. Tapi mata lelahnya itu terlihat berbinar ketika di hadapanny a berdiri
Pangeran Cakrabuana. "Raden...." katanya tersengal, haru.
"Alhamdulillah, kau telah siuman kembali, Ki!"
Mata Ki Nalaraya semakin mengerjap-ngerjap terlalu banyak yang ingin diceritakan ketika Pangeran
Cakrabuana duduk di sampingnya. Suasana semakin mengharu-biru ketika Ceuk Srinten terlihat membuka
mata. Melirik kiri dan kanan, lalu terpejam lagi. Tapi kini bibi nya yang kering itu terlihat dijilatnya. Ia sedang
mengumpulkan kesadarannya. Ketika membuka mata untuk kedua kalinya, terlihat binar penuh harap. Semua
mata menatap sosok itu dengan pikiran masing-masing, membayangkan apa sesungguhnya yang ada dal
am pikiran Ceuk Srinten. Semua punya kisah sendiri-sendiri dan seperti menunggu giliran untuk saling diungkapkan.
Saat malam berselimut gelap, Syaikh Nurjati,Pangeran Cakrabuana, Ki Nalaraya dan Ceuk Srinten, duduk di
masjid sambil menunggu azan isya.
Pada saat itulah mereka ngobrol, dan terfokus pada perjalanan Ki Nalaraya yang mencengangkan hingga bisa
sampai ke puncak gunung, tempat pondok Syaikh Nurjati berada.
"Perjalanan yang menegangkan ya, Ki!" komentar Pangeran Cakrabuana.
"Ya...begitulah, Raden!" Ki Nalaraya tersenyum lalu menunduk. Ia masih belum bisa melepaskan dari suasana
haru ketika berada di lingkungan barunya ini. Seperti mimpi saja apa yang diangankannya bisa terkabul,
bertemu dengan putra Pajajaran yang dianggapnya punya tekad sekeras baja, untuk mencari jalan hak. Apa
yang dikhawatirkan mendiang Gusti Subanglarang, kini jelas tidak terbukti. Dan Ki Nalaraya untuk kedua
kalinya menjadi saksi hidup.
"Ketika kita menyadari dari ujung rambut sampai ujung kaki, tak punya hak untuk memiliki, bahkan juga
hembusan napas, pada saat itulah akan muncul kepasrahan. Kalau sudah pasrah, menyerahkan hanya pada
kekuatan Yang Ahad, kekhawatiran jelas datangnya dari setan. Ki Nalaraya barangkali sudah
mem?buktikannya sehingga saat ia pasrah, dalam keadaan terluka parah, langkah kuda telah membawanya
ke sini! Bisa bertemu dengan kita semua, alhamdulillah!" komentar Syaikh Nurjati. Untuk kesekian kalinya
mereka mengucap syukur. Suara adzan isya berkumandang dari masjid Syaikh Nurjati. Suara merdu Pangeran Cakrabuana tersebut
menggema ke seantero masjid, bahkan terbawa angin mengawang-awang, menyapa alam dan pengisinya.
Dengan lagu mengkiblat ke Makah, suara azan itu terasa syahdu, menggetarkan perasaan siapa saja yang
mendengarnya. Demikian pula Nyimas Rarasantang dan Nyai Nini Indangayu, untuk beberapa saat terpaku di
halaman depan pondok Syaikh Nurjati sampai ku?mandang adzan selesai. Keduanya berdecak kagum dengan
kemerduan suara Pangeran Cakrabuana tersebut. Di desa C rebon sendiri, Pangeran Cakrabuana memang
jarang sekali terdengar mengumandangkan azan.
Selesai shalat suasana semakin semarak dengan kehadiran Nyimas Rarasantang dan Nyai Nini Indangayu.
Ceuk Srinten berkali-kali tersedu tak kuasa menahan haru saat bertemu dengan Nyimas Rarasantang. Rasa
kangen yang membuncah itu tak terlisankan selain dengan derai airmata. Keduanya hanyut dalam suasana
yang mengharu biru. Nyimas Rarasantang benar-benar bahagia setelah Ceuk Srinten dan Ki Nalaraya bisa
menyelamatkan diri dari rentetan teror yang dilancarkan para prajurit Pajajaran. Sekarang, di tempat ini,
Nyimas Rarasantang merasa yakin keduanya akan bisa berkaktivitas normal kembali.
Sebelum meneruskan perjalanan ke negeri Cempa, Pangeran Cakrabuana diizinkan untuk mampir beberapa
saat ke Keraton Pakuan, sementara Nyimas Rarasantang tetap bersama dengan Syaikh Nurjati, ditemani Ki
Nalaraya dan Ceuk Srinten, yang telah bersepakat untuk memperdalam ajaran Islam sekaligus membantu
Syaikh Nurjati. Nyai Nini Indangayu sendiri ditugaskan oleh Pangeran Cakrabuana atas persetujuan Syaikh
Nurjati untuk kembali ke desa Cirebon dan sementara mengambil alih tugas suaminya sebagai kuwu di sana.
Sebelum kepergian ke Pakuan, Pangeran Cakrabuana juga masih menyaksikan proses akad nikah yang
dilakukan oleh Syaikh Nurjati, menikahkan secara Islam antara Ki Nalaraya dengan Ceuk Srinten disaksikan
Nyimas Rarasantang. Syaikh Nurjati bertindak sebagai wali untuk keduanya. Kebahagiaan melingkupi keduanya. Sekalipun sudah
lama bertemu dan bersama- sama di saung menghindari kejaran prajurit-prajurit Pajajaran, tapi masing-masing
baru kali itulah merasakan kedamaian dan ketenangan. Serasa ada angin sepoi, halus menggetarkan perasaan.
Sebagai suami istri, mereka merasa lebih leluasa lagi untuk bersama-sama meng?abdikan diri pada Syaikh
Nurjati. Di suatu tempat rahasia beberapa ratus tumbak dari Keraton Pakuan, Pangeran Cakrabuana berdiri kukuh
seperti patok menembus bumi. Di sampingnya berdiri sosok gagah, Sri Maharaja Prabu Siliwangi.
Dalam beberapa saat keduanya tidak saling bicara. Dua pasang mata itu masih menetap ke arah selatan,
tempat Keraton Pakuan berada. Keduanya ada di tempat itu tanpa seorang pun yang mengetahui, juga tanpa
pengawalan ketat para prajurit Pajajaran. Prabu Siliwangi seperti dikatakan pada putranya itu, ingin bicara dari
hati ke hati sehingga merasa perlu menjauhi keraton yang penuh dengan seremonial.
Sosok ayah dan anaknya itu berdiri dipayungi awan yang menggumpal mengambang di atasnya, tapi tidak
menjadi hujan. Angin mempermainkan pakaian mereka yang terlihat meriap-riap. Sebuah pemandangan
kontras. Prabu Siliwangi mengenakan pakaian kebesaran sebagai seorang raja, sementara Pangeran
Cakrabuana hanya mengenakan gamis putih setengah lutut, ikat kepala hij au, dan tangannya tak henti
menghitung butiran tasbih, menimbulkan suara gemeretak teratur antara biji- bijinya.
Keduanya masih diam, tak ada yang berani membuka percakapan. Pandangan keduanya menjilati hamparan
kompleks Keraton Pakuan, jalan yang berkelok menuju dayeuh, atap ijuk jongko-jongko pasar menghitam
bergunduk-gunduk, berjejer rapi, bahkan dari tempat ini bisa pula melihat keelokan sungai Cipakancilan yang
mengular membelah kompleks Keraton Pakuan. Andaikan saat itu ada yang memerhatikannya, tentu akan bisa
melihat bagaimana wajah ayah dan anak ini terlihat dingin dan kaku. Menegang.
Mereka berdiri kukuh berdampingan tapi perasaan dan pikirannya entah sedang mengembara ke mana.
Mungkin juga keduanya sedang saling jajal ilmu kebatinan masing-masing, sehingga tak perlu harus keluar
suara, lidah tak perlu ikut mengucap, karena dengan saling meneropong keduanya sudah otomatis saling
bicara. "Kau tak dikejar waktu lagi, Walangsungsang?" akhirnya mulut yang lama terkunci itu bergerak, mengeluarkan
suara yang bergetar, datar, tapi cukup mengaburkan lamunan Pangeran Cakrabuana. Lalu terlihat terkatup lagi.
Diam. "Waktu menjadi lebih bersahabat setelah aku berhasil mengendalikannya, Kanjeng Rama!"
"Syukurlah! Mungkin akan banyak yang bisa kita bicarakan..."
"Bukan sedikit atau banyaknya yang perlu kita bicarakan, Kanjeng Rama, menurutku yang lebih penting adalah
bagaimana menjadikan masing-masing di antara kita mengerti...." Pangeran Cakrabuana seperti meralat
omongan ayahandanya. Prabu Siliwangi mengerling dengan sudut matanya. Tajam. Tapi Walangsungsang tak
goyah. Tanpa terlihat pongah, putra Pajajaran yang telah mengembara sekian lama itu, lebih bisa menata diri.
Parabu Siliwangi batuk-batuk kecil. Sesungging senyum merubah garis bibirnya. Pangeran Cakrabuana tak
melihatnya, selain merasakan aura panas yang mulai menguasai. Jemari tangan kanannya tetap teratur
menghitung biji-biji tasbih dari kayu dewadaru yang mengkilat, mengikuti zikir di dalam hatinya.
"Kau telah pintar!"
Sedikit sekali, Kanjeng Rama. Air yang menetes di ujung jari ketika jari dicelupkan ke lautan, itulah ilmuku. Tak
ada istimewanya..." "Di mana ilmuku sendiri, Walangsungsang" Di ujung jari dan menetes pula ilmuku?" Prabu Siliwangi seperti
dilanda kegamangan. Miris.
"Persisnya aku tak tahu, Kanjeng Rama, karena menurutku ilmu sesungguhnya ada dalam diri, bukan saat
ditanya berbagai hal dan bisa menjawabnya melebihi pertanyaan itu. Hanya Allah yang tahu seberapa banyak
ilmu yang terserap seorang manusia!
" Untuk kedua kalinya sesungging senyum menghiasi wajah dingin dan kaku Prabu Siliwangi. Kini, Pangeran
Cakrabuana melihatnya. Ia mengernyit.
"Ada yang aneh, Kanjeng Rama?"
"Tidak!" "Dan senyum Kanjeng Rama itu pertanda apa kalau bukan melihat atau mendengar sesuatu yang aneh?" "Aku
jadi malu dengan diriku sendiri, karena selalu banyak masalah yang tidak tahu ketika semakin aku ingin
meninggalkan masalah itu..."
"Itulah menurutku hakikat pengetahuan, Kanjeng Rama! Sangat sedikit sekali kita tahu apa yang kita tahu,
sedikit di atasnya kita tahu apa yang tidak kita tahu, dan bagian terbesar dari hakikat pengetahuan adalah kita
tidak tahu apa yang kita tidak tahu..." tambah Pangeran Cakrabuana. Diam-diam Prabu Siliwangi mengangguk
setuju. Tak ada yang keliru. Betapa bangganya ia kini dengan putranya. Tapi desir rasa itu tak ia pelihara,
khawatir mengkristal jadi kekaguman.
"Lalu di mana kita sekarang" Pada keberadaan manakah kita saat sedang bicara sekarang ini,
Walangsungsang?" "Mungkin dalam fase ketiga, Kanjeng Rama!" jawab Pangeran Cakrabuana. Prabu Siliwangi diam-diam
melafalkan hakikat pengetahuan dalam phase ketiga kita tidak tahu apa yang kita tidak tahu.
"Buat apa kita bicara kalau kita tidak tahu apa yang kita tidak tahu?" Sri Maharaja Prabu Siliwangi seolah
sangsi dengan caranya ia berada di tempat itu.
"Karena di sanalah kita perlu bicara!"
Keduanya diam kembali. Suasana dibiarkan menggantung. Prabu Siliwangi mendekati pinggir ruangan. Kedua
tangannya mencengkeram terali pembatas yang terbuat dari besi. Pangeran Cakrabuana tetap berdiri di
tempatnya. Sesekali ia memerhatikan sosok yang kini ada di hadapannya itu. Sosok yang selalu membuat
dirinya kagum. Bukan karena ia seorang raja, tapi karena kharismanya. Ia sosok harimau bermata tajam, yang
perlu bertahun-tahun latihan hanya untuk menundukkan kilau tajam matanya itu, dan belum tentu bisa
berhasil. Puas dengan memandangi areal yang ada di bawahnya, Prabu Siliwangi memutar tubuhnya. Kini keduanya
saling menatap. Sorot mata Prabu Siliwangi menyala-nyala seperti lidah api yang siap menyambar dan
menghanguskannya. Tapi lidah api itu kehilangan pamornya ketika bertatapan dengan sorot mata teduh
Pangeran Cakrabuana. "Kudengar kau berhasil membangun desa Cirebon, Walangsungsang?" tanya Prabu Siliwangi dan sorot mata
yang mulai meredup, tak menjilat-jilat seperti lidah api lagi; "Dengan pengetahuankah atau dengan ketidak
tahuanmu, membangun desa itu?"
"Dengan kekuasaan Allah ditambah sedikit penge?tahuan yang aku peroleh dan ceceran hikmah yang
kutemukan saat aku menempuh perjalanan, Kanjeng Rama!"
"Kebodohan yang nyata baru saja kau tunjukkan kepadaku, Walangsungsang!" cibir Prabu Siliwangi. Matanya
tiba-tiba menyala-nyala kembali, tapi tidak sedang melihat Pangeran Cakrabuana. Mata itu kini melihat ke alam
jauh dan masa yang akan datang. Tiba- tiba ia menekan dada kirinya. Pangeran Cakrabuana memerhatikan
dengan saksama setiap perubahan sikap ayahandanya itu.
"Sakitkah yang kau rasakan sekarang, Kanjeng Rama?" selidik Pangeran Cakrabuana.
"Sakit! Sakit sekali, Walangsungsang!" serak suara Prabu Siliwangi tak henti menekan dada; "kau berusah
payah membangun desa, dan hanya sebuah desa, tidak lebih dari sebuah desa! Setelah berkelana sekian lama.
Sementara sebuah kerajaan, kau tinggalkan dengan senang hati. Inilah yang aku rasakan sakit kali ini,
Walangsungsang!" "Membangun sebuah desa bahkan lebih kecil dari itu, banyak hikmah yang bisa aku petik, Kanjeng Rama!"
"Apakah kau akan kehilangan hikmah pula mana?kala kau meneruskan menjadi raja di Pajajaran,
Walangsungsang?" "Membangun tentu berbeda dengan meneruskan, Kanjeng Rama!"
"Benarkah hanya untuk urusan kepuasan dan mencari hikmah, Walangsungsang?"
Pangeran Cakrabuana tak segera menjawab. Pertemuan ini tak ingin gagal hanya karena ayahandanya
tersinggung. "Ah, kau mengingatkanku pada kejadian sebelum kau meninggalkan Pajajaran, Walangsungsang. Apakah
sekarang kau juga akan bicara, membenarkan dan tidak membenarkan, bukan tugas seorang bodoh seperti
kau ini" Seperti waktu itu kau juga bilang, biarlah kebenaran itulah yang akan membenarkannya, sehingga
akan terlihat di mana letak tidak benarnya tanpa harus menyalahkan?"
Pangeran Cakrabuana mengangkat wajah. Didapatinya wajah ayahandanya sedang senyum dikulum, mungkin
menertawakan, maksudnya. "Membangun sebuah desa menurutku sebuah sarana, dan bukan sebuah tujuan. Jadi tak perlu ditanyakan
sebenarnya apa yang aku dapat ketika membangun desa tersebut, Kanjeng Rama, karena semakin lama
membangun akan semakin banyak yang bisa aku dapatkan, sehingga akan kehabisan waktu dan kata-kata
untuk menuliskannya...." jawab Pangeran Cakrabuana kemudian.
Prabu Siliwangi tercenung. Betapa dalam kata-kata anak semata wayang yang ada di hadapannya kini. Ya,
bagi Prabu Siliwangi, Pangeran Cakrabuan a atau Prabu Anom Walangsungsang tetap saja anak s emata
wayang. "Kalau membangun desa itu hanya sebuah sarana, lalu di mana tujuannya kau letakkan, Walangsungsang?"
"Tujuannya ada di sini, Kanjeng Rama," jelas Pangeran Cakrabuana seraya menempelkan telapak tangannya di
dada; "ada dalam hati, yaitu untuk menegakkan kalimat hak yang bersumber dari Allah aza Wajala!"
Prabu Siliwangi kembali tercenung. Apalagi yang kau bicarakan ini, Walangsungsang, gumamnya.
"Kalimat hak?" "Benar, Kanjeng Rama!"
"Ajaran leluhur yang telah turun-temurun maksudmu?"
"Lebih dari sekadar itu, Kanjeng Rama!"
"Ajaran dalam agama kita, agama Jati Sunda?"
"Islam, Kanjeng Rama!"
"Selam" Kau berkata apa?" hardik Prabu Siliwangi. "Apa kalimat hak hanya ada dalam agama barumu itu?"
"Kalimat hak berasal dari satu zat yang tidak awal dan tidak ada akhir, Kanjeng Rama!"
"Itulah Hyang Jaga Nata, anakku!" urai Prabu Siliwangi; "Hyang Jaga Nata adalah kekuatan yang tidak awal
dan tidak akhir, dia bersemayam di kahyangan, di atas bumi kita ini, Walangsungsang, Anakku. Satu kekuatan
yang mengatur dan menguasai seluruh pengisi bumi ini. Tak ada bedanya dengan agama barumu itu."
"Siapa yang menciptakan kahyangan itu sendiri, Kanjeng Rama, seperti juga siapa yang membangun bumi dan
seisinya kalau Hyang Jaga Nata adalah kekuatan yang mengatur tapi tidak menciptakan..."
"Yang menciptakan adalah juga yang memelihara tentu saja, Walangsungsang, dialah Batara Tunggal, dzat
yang tak terlihat mata tapi terasa, tak teraba tapi ada. Itulah yang belum kau selami dalam hakikat ajaran Jati
Sunda, Anakku!" jelas Prabu Siliwangi seraya menatap tajam ke arah putranya itu. Ia tak ingin kehilangan


Prabu Siliwangi : Bara Di Balik Terkoyaknya Raja Digdaya Karya E. Rokajat Asura di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

untuk kedua kalinya hanya karena terlalu menganggap bahwa sang putra selalu ada di bawah ketiaknya.
Ketika Walangsungsang menyodorkan bahwa Allah Maha Berkehendak, jika menghendaki sesuatu "jadi, maka
jadilah ia". Prabu Siliwangi pun menyodorkan tentang Nu Ngersaketm. Dalam ajaran Jati Sunda diyakini ada satu kekuatan
yang Maha Berkuasa dan Berkehendak.
"Kalau zat yang dituju adalah sama, kemudian kenapa harus dipermasalahkan ketika beda mendekatinya,
Walangsungsang?" gugat Prabu Siliwangi mencoba untuk menyelami sejauhmana keinginan Walangsungsang
saat itu. "Karena ada cara yang telah ditentukan bagaimana mendekatinya, Kanjeng Rama! Saat Kanjeng Rama
menentukan bahwa cara untuk menemui Kanjeng
Rama harus melalui pintu gerbang depan, lapor ke petugas
jaga, lalu ada seseorang yang datang dengan loncat pagar dari arah barat, apakah Kanjeng Rama tetap akan
menerimanya karena sama-sama berniat ingin menemui Kanjeng Rama?"
Di tanya seperti itu Prabu Siliwangi tak segera menjawab. Pangeran Cakrabuana, putranya, telah memberi
analogi yang membingungkan. Apakah memang sekaku itukah Batara Tunggal itu" Bagaimana dengan nenek
moyangnya dulu, yang mungkin saja menggunakan pintu lain, apakah akan sia-sia selama hidupnya" Prabu
Siliwangi menggeleng kencang. Ia tidak bisa menerima analogi seperti itu.
"Menurutku, Walangsungsang, ajaran kesejatian hidup tidak sekaku itu," sergah Prabu Siliwangi setelah
beberapa saat termenung; "bagiku seseorang akan mencapai kesejahteraan dan kebahagiaan apabila ia dapat
menggunakan dasa indra, secara baik dan benar sesuai fungsi yang sesungguhnya dan ajaran agama. Akan
tetapi, bila dasa indra itu difungsikan kepada hal-hal yang buruk dan tak sesuai dengan fungsi sesungguhnya,
maka orang itu akan mengalami kesengsaraan dan kehinaan."
Pangeran Cakrabuana mengangguk membenarkan. Secara maknawi hal itu tidak ada yang perlu dibantah.
"Bagiku, Walangsungsang, Putraku, ceuli ulah barang denge mo ma nu sieup didenge keunana dora bancana,
sangkan urang nemu mala na lunas papa naraka; hengan lamun kapahayu ma sinengguh utama ti
pangreungeu tambah Prabu Siliwangi yang menyatakan bahwa telinga jangan mendengarkan yang tidak layak
didengar karena menjadi pintu bencana, penyebab kita mendapat celaka di dasar kenistaan neraka, namun
kalau telinga terpelihara, kita akan mendapat keutamaan dalam pendengaran.
"Tapi sudahlah, ada yang lebih penting yang harus kita bicarakan sekarang, Walangsungsang!"
"Apa itu Kanjeng Rama?"
"Aku tentu saja memerlukan seorang penerus, Walangsungsang, untuk meneruskan kejayaan Pajajaran ini.
Kau tentu masih ingat apa yang aku katakan pada pertemuan kita terakhir. Bukan begitu, Walangsungsang?"
Mata Pangeran Cakrabuana terlihat mengerjap- ngerjap mengingat-ingat sesuatu, apa yang dimaksud
ayahandanya tentang kata-kata terakhir pada pertemuan terakhir itu. Ia menganggukkan kepala ketika
sepenggal kalimat hinggap dalam ingatannya. Ia lalu merapalkan kata-kata dalam kalimat itu.
"Apa pun yang terjadi, pintu ini selalu terbuka untuk kalian. Dan jika suatu saat benar-benar tertutup, aku
harap kalian sudah ada di dalamnya. Tidak berdiri di luar pintu ini dengan tujuan untuk saling menghinakan!"
Sri Maharaja Prabu Siliwangi tersenyum, kebahagiaan terpantul dari sorot mata tajamnya. Pangeran
Cakrabuana telah dengan sempurna mengulang kata-kata apa yang pernah ia katakan pada pertemuan
terakhir dengan putranya itu.
"Sekarang pintu sudah ditutup, Walangsungsang, tapi aku bahagia karena kau sudah ada di dalamnya. Aku
yakin kau berdiri di depanku, kita saling menatap dan saling bicara, bukan untuk saling menghinakan," jelas
Prabu Siliwangi lagi. Pangeran Cakrabuana mematung. Tak pernah menyangka jika kalimat yang dia rapalkan tadi, ternyata masih
ada kelanjutannya. Dan kalimat lanjutannya itulah yang terasa menjerat kakinya.
"Kenapa kau melamun?"
"Memang pintu sudah ditutup, Kanjeng Rama! Tapi sebagai seorang anak sekaligus tamu, tentu saja Kanjeng
Rama tak akan menahan langkahku manakala aku pamit," sergah Walangsungsang.
"Dan kau benar-benar akan melaksanakannya, Putraku?"
"Bukankah seseorang selalu dihadapkan pada pilihan ganda, Kanjeng Rama?"
"Ya! Begitu pula dalam ajaran Jati Sunda! Seseorang selalu diberi kesempatan untuk memilih salah satu dari
dua jalan yang ada. Jika memilih jalan yang benar, ia akan memetik buah kebahagiaan hidup di dunia dan di
alam nanti, Walangsungsang. Sebaliknya, jika yang dipilih itu jalan yang salah, ia akan merasakan
kesengsaraan dan penyesalan hidup di dunia dan terutama di alam setelahnya."
"Dan aku akan memilih salah satu jalan itu, ketika pintu benar-benar sudah ditutup!" jelas Pangeran
Cakrabuana seperti kembali menemukan jalan.
Prabu Siliwangi mengerinyit, mata elangnya itu menyipit. Ia kembali menelanjangi Pangeran Cakrabuana
dengan caranya yang khas. Tapi Pangeran Cakrabuana tak merasa miris. Ia tetap berdiri kukuh, seperti pasak
menembus bumi. "Kau akan memilih jalan mana, Walangsungsang?" "Jalan yang berbeda, ketika jalan yang sama hanya akan
menjerat kakiku, Kanjeng Rama, agar aku bisa bergerak lagi!"
"Kau sudah ada di tempat yang benar, pada saat yang benar dan untuk tujuan yang benar pul a,
Walangsungsang! Kenapa kau masih saja berkeinginan untuk lari dari hadapanku?"
"Kalau keberadaanku sekarang di tempat yang benar, pada saat yang benar dan untuk tujuan yang benar, tapi
tidak membuatku menjadi benar, apakah Kanjeng Rama masih akan menahannya?"
"Aku akan menahanmu karena itu artinya kau memilih jalan yang salah!"
"Jalan yang salah tapi yang akan mengantarkanku pada jalan menuju kebenaran, Kanjeng Rama!"
Prabu Siliwangi mengangguk. Keteguhan hati Walangsungsang ternyata semakin tak tergoyahkan. Ia memutar
tubuhnya melihat hamparan pepohonan di bawah sana. Semuanya terlihat meranggas. Ternyata air yang
diharapkan menghidupkan kembali pepohonan itu, semakin terasa menjauh.
"Ketika kau melihat pohon meranggas, apa yang akan kau lakukan, Walangsungsang?" katanya kemudian.
"Di mana letak pohon itu, Kanjeng Rama" Kalau di tengah jalan, pasti aku akan sekalian menebangnya..."
"Sekalipun di bawahnya ada orang yang berteduh?"
Pangeran Cakrabuana menggangguk pasti.
"Mengusir seorang yang berteduh, menurutku lebih baik daripada menunggu pohon itu tumbang, Kanjeng
Rama, karena korbannya bisa lebih banyak lagi..."
Prabu Siliwangi berbalik. Menatap tajam pada Pangeran Cakrabuana. Dengan kecepatan tinggi, ia mencabut
senjata kujang dari pinggangnya. Senjata itu mengeluarkan sinar berkilat-kilat, sangat tajam. Dengan satu
gerakan halus tapi sangat cepat dan terukur, kujang itu telah menempel di leher Pangeran Cakrabuana.
Prabu Siliwangi menatap tajam tanpa berkedip. Pangeran Cakrabuana diam, tak bergerak tidak untuk sekadar
membuang napas. Menegang. Satu gerakan saja salah dilakukan, ujung kujang itu akan menembus lehernya.
"Jika pohon yang meranggas itu adalah kerajaan kita dan yang sedang berteduh di bawahnya adalah ayahmu,
Walangsungsang, apa kau juga akan tetap menumbang?kan pohon itu?" bentak Prabu Siliwangi, dadanya
turun naik tak biasanya. Kemarahan sepertinya sedang membakar hatinya saat itu. Pangeran Cakrabuana tetap
tak bergeming. Tidak juga mengeluarkan suara walau sebentuk desahan.
Hening! Tak ada suara selain desahan napas Prabu Siliwangi yang menghembus panas pada wajah Pangeran
Cakrabuana. Meletup-letup. Membakar .
*****
Jalan panjang itu sebagian telah hampir dijejak.
Berbuku-buku harus telah disiapkan jika akan mencoba untuk menuliskannya. Tapi Pangeran Cakrabuana
merasa selalu kehabisan bahan untuk menulisnya, jauh sebelum tangan lelah menuliskannya.
Pangeran Cakrabuana dan Nyimas Rarasantang meninggalkan desa Cirebon menuju Negeri Cempa pada satu
penggalan waktu, menemui Syaikh Maulana Ibrahim. Jauh sebelum keduanya menjejak tanah baru bernama
Negeri Cempa itu, Syaikh Nurjati telah memberitahukannya pada Syaikh Maulana Ibrahim.
Dari Syaikh Malik Ibrahim inilah putra-putri Pajajaran itu menimba berbagai ilmu tarekat. Sementara dari Syaikh
Bayan dan Syaikh Abdullah, keduanya mendapat wejangan ilmu syariat, tarekat, hakikat dan makrifat, sesaat
setelah menunaikan haji. Lembaran itu terus terisi tanpa lelah.
Sultan Mahmud Syarif Abdullah sedang dirundung duka setelah istri tercintanya dipanggil Allah
Subhanahuwataala. Agar sultan tak terus berduka, disebarlah pengumuman bahwa sultan sudah merasa perlu
mencari pendamping. Kota Makah yang mempertemukan utusan Sultan Mahmud Syarif Abdullah " setelah melakukan doa bersama
selama berhari-hari " dengan santri Syaikh Bayan, seorang putri cantik dari Pajajaran, Nyimas Rarasantang
alias Syarifah Mudaim. Pangeran Cakrabuana yang telah berganti nama menjadi Abdullah Iman tak menolak
memberi restu. Lembaran itu terus diisi sesaat setelah melipat lembaran sebelumnya.
Rasa kangen yang menggunung kepada Nyai Nini Indangayu yang mengurus desa Cirebon, memaksa Abdullah
Iman kembali ke tanah Jawa.
Telah tergariskan bahwa saat itu Syarifah Mudaim telah mengandung 3 bulan. Selama berhari-hari menembus
laut berlayar. Ia teringat kembali saat bermain air di sungai belantara Parahyangan. Dua telapak kaki yang
direkatkan membelah air sungai yang menderas. Kini kedua kaki itu adalah kapal layar yang membawa dirinya
membelah gelombang di laut lepas.
Singgah sebentar di Kesultanan Aceh, Abdullah Iman meneruskan perjalanannya menuju Gunung Jati.
Kedatangan Pangeran Cakrabuana ke tanah hasil babakyasa sebelumnya ini, disambut luarbiasa oleh penduduk
desa Cirebon. Mereka berkumpul di dermaga, di sepanjang jalan menuju Gunung Jati untuk memberi hormat sekaligus
meminta berkah dari seseorang yang telah dianggap sebagai tokoh utama masyarakat Cirebon saat itu.
Abdullah Iman Bayanullah sendiri mengabulkan segala permintaan masyarakat, mendoakan mereka agar tetap
sehat dan berada dalam lindungan Allah Swt. Masyarakat yang kebetulan saat itu bersalaman langsung dengan
Abdullah Iman Bayanullah banyak yang merasa telah mendapatkan berkah. Ketika hal ini diketahui oleh
Abdullah Iman, cepat-cepat ia mengingat kan.
"Jangan mengagung-agungkan aku, karena aku khawatir, dengan cara seperti itu akan menjauhkan aku dari
ridha Allah," jelas Haji Abdullah Iman Bayanullah atau Pangeran Cakrabuana.
Tanggal 12 Maulud, Syarifah Mudaim atau Nyimas Rarasantang melahirkan putra yang tampan dan
memancarkan cahaya. Beberapa ulama mendoakan kelahiran bayi yang kelak akan dikagumi banyak orang ini.
Bayi tampan ini diberi nama Syarif Hidayatullah.
Di Cirebon Nyai Nini Indangayu pun melahirkan seorang bayi perempuan yang jelita, diberi nama Ratu Mas
Pakungwati. Selang setahun lahir bayi laki-laki yang diberi nama Pangeran Carbon.
Beberapa bulan setelah kelahiran Pangeran Carbon, Cirebon yang semula sebuah desa berubah menjadi
sebuah negeri yang dipimpin Pangeran Cakrabuana atau Haji Abdullah Iman bergelar Sri Mangana, berdiam di
Keraton Pakungwati. Pada saat itulah Prabu Siliwangi dari Pajajaran mengakui keberadaan negeri Cirebon dan mengakui pula
Pengeran Cakrabuana sebagai Sri Mangana. Hubungan pun terajut kembali.
Tapi Pangeran Cakrabuana tetap tak bisa menghilangkan gundah hati. Rasa gundah itu selalu menekan-nekan.
Menegang. Mengerang. "Perjalanan masih panjang, Nyai Nini Indangayu!" jelas Prabu Anom Walangsungsang atau Pangeran
Cakrabumi bergelar Sri Mangana pada sepenggal waktu.
"Sekalipun Pajajaran sudah mengakui keberadaanmu, Kakang?"
"Pengakuan dari Pajajaran bukan tujuanku, Nyai Nini Indangayu!"
"Apa gerangan yang masih mengganggu pikiranmu, Kakang?"
"Mengalirkan kalimat tauhid ke seluruh tempat secara merata, seperti meratanya air sungai, Nyai! Kau pernah
melihat air sungai yang terus mengalir menuju muara kembali" Sekalipun di banyak jalan dibelokkan para
petani, air itu akan terus mengalir, menyebar merata ke seluruh tanah rendah, lalu berk umpul kembali di paritparit kecil. Parit-parit itulah yang akan mengalirkan air sungai kembali ke sungai, lalu bersama-sama ke
muara..." "Tapi itu tak bisa Kakang lakukan sendiri!" Nyai Nini Indangayu mulai dilanda rasa cemas, mengingat suaminya,
Putra Pajajaran ini tak bisa menolak bertambahnya usia.
"Itulah maksudku, Nyai!"
"Aku tak paham!"
"Aku akan membuat parit-parit di mana saja, agar ketika ada air yang dibelokkan petani, telah siap untuk
menampungnya, agar setelah membasahi sawah dan tanah perkebunan, air itu sudah tersedia
penampungnya!" Nyai Nini Indangayu terdiam. Mata indahnya bergerak-gerak, seperti sedang mencari sesuatu. Pangeran
Cakrabumi meliriknya, lalu ia tersenyum. Berdiri dari tempatnya duduknya, lalu berjongkok di hadapannya
istrinya. "Matamu itu aku temukan beberapa waktu ke belakang setiap aku akan meninggalkanmu, Nyai!"
Nyai Nini Indangayu membuang muka, dengan tersenyum simpul. Selalu saja tak ada kekuatan untuk sekadar
beradu tatap dengan putra Pajajaran itu, jauh sebelum hari ini. Terkembang potongan-potongan kenangan
dalam ingatannya. Matanya terlihat mengerjap-ngerjap kini, sementara Pangeran Cakrabuana justru sedang memikirkan yang lain.
Entah kenapa ia teringat kembali kata-kata Prabu Siliwangi, ayahandanya.
" Apa pun yang terjadi, pintu ini selalu terbuka untuk kalian. Dan jika suatu saat benar-benar tertutup,
aku harap kalian sudah ada di dalamnya. Tidak berdiri di luar pintu ini dengan tujuan untuk saling
menghinakan!" Dalam sepenggal kisah kelak, Pangeran Cakrabuana tak punya pilihan lain selain harus berhadapan dengan
Prabu Siliwangi, ayahandanya sendiri, sekalipun hal itu sama sekali tidak dimaksudkan sedikit pun untuk saling
menghinakan. ** Tamat Dibalik Keheningan Salju 7 Pendekar Mabuk 02 Pusaka Tuak Setan Bocah Tanpa Pusar 3

Cari Blog Ini