Ceritasilat Novel Online

Panah Kekasih 10

Panah Kekasih Karya Gu Long Bagian 10


Setelah berada didepan bangunan itu, Tian Mong-pek merasa hatinya setegang tali senar khiem yang sedang dipetik, sebab mati hidup dan semua kehormatannya segera akan dipertaruhkan ditempat itu.
Lama sekali dia berdiri mematung didepan pintu, segenap tenaga murni telah disalurkan ke seluruh tubuh, dia sudah siap melancarkan serangan dengan sepenuh tenaga, dia akan pertaruhkan semuanya dalam pertarungan ini.
Dari dalam saku ia keluarkan surat titipan dari orang berbaju kuning, kemudian sambil memukul gelang pintu, teriaknya: "Tian Mong-pek datang berkunjung .
. . . . . .." Belum selesai ia berteriak, pintu sudah buka dengan sendirinya.
Selembar karpet berwarna merah terbentang dari mulut pintu hingga kekejauhan sana, panjangnya mencapai sepuluh tombak, diujung jalan merupakan sebuah tangga batu sebanyak puluhan trap lalu muncul lagi selapis pintu.
Ternyata bangunan itu terhubung hingga ke perut bukit, walaupun kelihatannya kecil dari luar, namun bagian dalamnya luas sekali.
Lentera bergelantungan sepanjang dinding, namun suasana sangat hening, tak terlihat sesosok bayangan manusia pun.
Baru saja Tian Mong-pek melangkah masuk, secara otomatis pintu gerbang menutup sendiri, sudah jelas semua sudut dalam lembah kaisar telah dilengkapi dengan peralatan rahasia yang canggih.
Permadani tebal lagi empuk, sewaktu diinjak sama sekali tidak menimbulkan suara, keheningan yang mencekam terselip hawa pembunuhan yang kental, bikin hati siapa pun bergidik.
"Ada orangkah disini?" teriak Tian Mong-pek sambil menerjang naik.
Begitu tiba diujung undakan batu, pintu gerbang kembali terbuka secara otomatis.
Dibalik pintu merupakan sebuah gedung utama yang sangat megah dengan tiang penyangga bagaikan naga sakti, ditengah ruang terdapat pula tiang yang besar, diantara tiang raksasa terlihat pula selembar permadani merah yang panjang.
Ujung permadani merupakan undakan batu, diatas undakan terdapat sebuah meja raksasa, dibelakang meja merupakan bangku raksasa, semua perabot itu berukirkan naga sakti dan berwarna kuning keemas-emasan.
Walaupun ruangan itu megah dan mewah, namun justru diliputi hawa pembunuhan yang mengerikan.
Tian Mong-pek tidak pecah nyali karena keadaan tersebut, sambil berdiri ditengah ruangan, kembali teriaknya lantang: "Dimana orangnya?" "Tian Mong-pek, mau apa kau datang kemari?" tiba tiba dari balik bangku yang berlapis kelambu panjang, terdengar seseorang menegur dengan suara berat.
"Aku tidak terbiasa bicara dengan orang yang beraninya main sembunyi, tampil dulu ke hadapanku, pasti akan kujawab maksud kedatanganku." Sahut Tian Mong-pek lantang.
Suasana pun hening selama berapa saat, tampaknya orang itu tidak menyangka kalau pemuda ini bernyali begitu besar.
Kembali Tian Mong-pek membentak: "Jika kau tidak segera keluar, aku yang akan menerjang masuk ke dalam." Betul saja, tirai panjang perlahan-lahan terbuka, dengan cepat Tian Mong-pek melewati meja kursi, langsung menerjang masuk ke dalam.
Tampak sebuah hiolo setinggi manusia berada ditengah aula, asap harum mengepul memenuhi angkasa.
Disamping hiolo duduk bersila tiga orang, wajah mereka tertutup oleh kain kelambu kuning yang menutupi ruangan, sehingga yang tampak hanya kasur
Disamping hiolo duduk bersila tiga orang, wajah mereka tertutup oleh kain kelambu kuning yang menutupi ruangan, sehingga yang tampak hanya kasur tempat duduk mereka serta lutut.
Tian Mong-pek menyapu sekejap sekeliling tempat itu, kemudian tegurnya dengan suara dalam: "Siapakah kokcu lembah kaisar?" "Aku." Jawab salah seorang diantaranya.
Tian Mong-pek segera melemparkan surat dalam genggamannya ke samping kaki orang itu, katanya lagi: "Seorang pendekar sakti berbaju kuning menitipkan sepucuk surat untuk disampaikan kepadamu, cepat diperiksa." "Tentu akan kulihat isinya!" "Masih ada pertanyaan lagi yang ingin kusampaikan." "Kau punya nyali masuk kemari, tanyakan saja!" "Tiau-yang hujin bertanya, apakah kau merasa kesepian?" "Sudah lama hidup kesepian, bagiku sudah terbiasa." "Itukah jawabanmu?" tanya Tian Mong-pek setelah tertegun berapa saat.
"Kalau bukan jawaban, buat apa harus kukatakan." Tian Mong-pek termenung berapa saat, tapi akhirnya tak tahan untuk berteriak: "Sudah jelas ia mengajukan pertanyaan itu, karena dia ingin datang menemanimu, masa kau tidak tahu?" "Kalau sudah terbiasa hidup kesepian, apa gunanya ditemani orang?" Diam-diam Tian Mong-pek menghela napas, mendadak teriaknya lagi: "Cepat kau baca isi surat itu." "Kehidupan manusia bagaikan dalam impian, kenapa harus terburu-buru?" "Bila kau selesai membaca surat itu, aku akan beradu nyawa dengan dirimu." Teriak Tian Mong-pek gusar.
"Diantara kita berdua tak ada dendam tak ada sakit hati, kenapa harus beradu nyawa?" "Memangnya panah kekasih bukan hasil karyamu?" "Aku tak pernah menciptakan benda yang bisa mencelakai umat manusia." "Selain kau, siapa lagi yang bisa berbuat begitu?" Tian Mong-pek bertambah gusar.
"Ada begitu banyak manusia yang hidup di dunia ini, kenapa kau justru menuduh dia?" tiba tiba sela orang yang duduk disebelah kiri.
Tian Mong-pek segera berpaling, teriaknya: "Aku sudah menyimpulkan demikian, biar kalian mau bicara apa pun, aku tak bakalan percaya." "Selama hidup pinceng tak pernah berbohong." Tergerak pikiran Tian Mong-pek, tegurnya: "Siapa kau?" Dari balik kelambu kuning muncul seorang pendeta berjenggot putih yang berwajah alim, dia tak lain adalah Thian-huan taysu, ciangbunjin dari Siau-lim-pay.
"Taysu, kenapa kau .
. . . .. kau..... bisa muncul disini?" tanya Tian Mong-pek terperanjat.
Thian-huan taysu tersenyum.
"Kedatangan lolap bermaksud untuk menjadi saksi bagi Siau kokcu, sekalipun Tian sicu tidak mempercayai lolap, seharusnya percaya dengan dia bukan!" Ketika Tian Mong-pek berpaling, kain kelambu disebelah kanan perlahan-lahan tersingkap.
Dibalik kain kelambu duduk seorang tojin berwajah penuh wibawa, dia bagaikan seorang malaikat saja, membuat setiap orang menaruh rasa hormat.
"Nama besar Giok-ki toheng sudah tersohor di seantero jagad, kau percaya dengannya bukan?" kata Thian-huan taysu sambil tertawa.
"Apakah cianpwee adalah ciangbun cinjin dari Bu-tong-pay?" tanya Tian Mong-pek agak gugup.
Sambil tertawa tojin itu manggut-manggut.
"Pinto Giok-ki, jauh jauh datang kemari bertujuan untuk menjadi saksi bahwa kokcu lembah kaisar bukanlah pemilik panah kekasih." Setelah tertegun berapa saat, akhirnya Tian Mong-pek jatuh terduduk, ujarnya sambil membesut keringat: "Untung kalian datang kemari, kalau tidak, cayhe pasti telah melakukan kesalahan besar." Giok-ki cinjin manggut-manggut.
"Andaikata pinto dan Thian-huan suheng tidak kemari, kau pasti sudah menganggap Siau kokcu sebagai pemilik panah kekasih, dan tak mau percaya lagi dengan perkataan orang lain." "Aaai, kecuali kalian berdua, memang tak ada orang lain yang kupercayai perkataannya." Tian Mong-pek mengakui sambil menghela napas.
Tiba-tiba Giok-ki cinjin menarin muka dan berkata dengan nada serius: "Sudah lama pinto bersahabat dengan ayahmu, karenanya hari ini pinto ingin menyampaikan berapa pesan kepada Tian sicu." "Boanpwee siap mendengarkan." Buru-buru Tian Mong-pek jatuhkan diri berlutut.
"Bencana karena ceroboh merupakan bencana paling fatal, bila kau sudah menyadari akan kesalahanmu hari ini, pinto harap kau bisa merubah sifat ceroboh mu itu." Dengan bermandikan keringat dingin, Tian Mong-pek berlutut tanpa bicara maupun bergerak.
Sekulum senyuman kembali tersungging diujung bibir Giok-ki cinjin, ujarnya lagi: "Mau merubah kesalahan sendiri merupakan tindakan seorang yang bijaksana, sekarang bangunlah!" "Kalau tahu akan kesalahan sendiri, kau sepantasnya minta maaf kepada Siau kokcu .
. . . . .." Thian-huan taysu menambahkan.
"Benar, sudah seharusnya begitu." Giok-ki cinjin manggut manggut.
Tiba-tiba Tian Mong-pek melompat bangun kemudian tanpa mengucapkan sepatah kata pun lari keluar meninggalkan ruangan.
"Mau ke mana kau?" dengan perasaan kaget Thian-huan taysu dan Giok-ki cinjin membentak bersama.
Terdengar orang yang berada dibalik kelambu menghela napas panjang dan berkata: "Biarkan dia pergi, dihati kecilnya dia masih mendendam karena urusan ibunya dengan aku, selama persoalan ini tidak dibikin jelas, dia tak bakal minta maaf kepadaku, untung saja ia sudah datang kemari, cepat atau lambat persoalan yang sebenarnya pasti akan dia ketahui, jadi tak perlu tergesa-gesa!" "Siancay, siancay," Thian-huan taysu segera merangkap tangannya di depan dada, "bibit kebaikan yang sicu tanam, pasti akan memetik buah kebaikan pula, lolap dan Giok-ki toheng akan melihat dulu hasil dari persoalan ini sebelum pergi." Sambil tersenyum ujar Giok-ki cinjin pula: "Taysu tak segan menempuh perjalanan ribuan li dengan mengajak pinto datang kemari, tentu saja pinto tak akan pergi sebelum menyaksikan akhir dari masalah ini." "Aai, tapi kepergiannya kali ini, pasti akan mendatangkan banyak penderitaan bagi dirinya." Kata orang dibalik kelambu sambil menghela napas.
Oo0oo Tian Mong-pek lari meninggalkan ruang utama, melewati permadani panjang, kembali pintu terbuka secara otomatis.
Ia merasa hatinya kalut, udara dingin diluar pintu pun tak dapat mententeramkan hatinya yang bergolak, dia bahkan tidak tahu apa yang harus dilakukan.
Ia merasa tak punya muka untuk bertemu dengan orang-orang lembah kaisar, bahkan dia tak ingin orang lain tahu kalau Siau Sam-hujin adalah ibu kandungnya.
Tapi justru disaat seperti itulah, ia mendengar pertanyaan yang menusuk luka hatinya: "Jadi kaukah putra Siau sam-hujin?" Tian Mong-pek mendongakkan kepalanya, memeriksa sekeliling tempat itu, namun tak nampak sesosok bayangan manusia pun.
"Lihat apa" Aku berada disini." Dari kejauhan kembali terdengar seseorang berkata.
Tanpa sangsi lagi Tian Mong-pek bergerak menuju ke sumber suara itu, tampak disisi sebuah meja batu samping hutan pohon siong, duduk seorang perempuan tua berambun uban yang membawa sebuah tongkat.
Biarpun wajahnya kurus kering dan tua, namun memiliki sepasang mata yang tajam bagaikan mata elang, mata dengan cahaya penuh wibawa yang membuat hati orang keder.
Hoa Hui serta Siau Man-hong berdiri berdamping di belakang tubuhnya dengan kepala tertunduk, bahkan Siau Man-hong yang biasanya genit pun, kini menunjukkan sikap hormat.
Tian Mong-pek langsung menerjang ke hadapan ke tiga orang itu, ia tidak berusaha melengos ke arah lain, tapi justru balas menatap sorot mata perempuan tua yang tajam itu.
Sambil tertawa dingin kembali perempuan tua berambut putih itu berkata: "Benar, memang mirip sekali dengan dia, tak heran kalau kokcu membiarkan kau masuk.
Aku ingin tahu, apa maksudmu pergi mencarinya?" Begitu mendengar orang lain menyinggung tentang ibunya, rasa sedih bercampur gusar seketika berkecamuk dalam benak Tian Mong-pek, teriaknya keras: "Siapa kau" Buat apa mencampuri urusanku?" Berubah paras muka Siau Man-hong, ia kerdipkan matanya berulang kali memberi tanda, seakan minta pemuda itu jangan bicara kasar, namun Tian Mong-pek pura pura tidak melihat.
"Orang she-Tian," hardik Hoa Hui pula, "tahukah kau sedang berbicara dengan siapa" Berani amat bicara kurangajar, ayoh cepat berlutut minta ampun." "Beginilah sikap aku orang she-Tian bicara dengan siapa pun." "Dia adalah ibuku," tak tahan Siau Man-hong berseru, "kau....." "Aku adalah istri tua Kokcu lembah kaisar," tukas perempuan berambut putih itu dingin, "sekalipun ibumu, diapun harus memberi salam bila bertemu aku." Tian Mong-pek tertegun, tanpa terasa tubuhnya gemetar keras, teriaknya: "Jika kau berani mempermalukan mendiang ibuku, aku akan beradu nyawa denganmu." "Apakah perkataan inipun terhitung mempermalukan?" perempuan tua itu tertawa dingin, "hm,dia .
. . . .." "Tutup mulut!" bentak Tian Mong-pek gusar.
Sambil menarik muka seru perempuan berambut putih itu: "Hui-ji!" "Keponakan berada disini." Sahut Hoa Hui sambil memberi hormat.
Ternyata Hoa Hui adalah putra kakak sulung kokcu hujin, karena itu dia menyebut diri sebagai keponakan.
"Bajingan ini tidak sopan." "Keponakan segera akan memberi pelajaran kepadanya." Dengan geram teriak Tian Mong-pek: "Dengan siasat busuk kau telah membunuh Kiong locianpwee, bahkan ingin mencabut rumput hingga seakar-akarnya, aku memang sedang mencarimu untuk membuat perhitungan." Dengan wajah menghina Hoa Hui tertawa dingin berulang kali, perlahan dia tampil ke depan, menjinjing ujung bajunya dan menge jek: "Kemarilah, sauya ingin sekali memberi pelajaran kepadamu!" "Hui-ji," seru perempuan berambut putih itu, "ampuni selembar jiwanya, memandang wajah bibi ke tiga mu yang mengenaskan, jangan kau habisi nyawanya." "Siapa yang kesudian kau ampuni?" teriak Tian Mong-pek marah.
Perempuan berambut putih itu tertawa seram.
"Kau sendiri yang berkata begitu," ujarnya, "jadi kalau sampai dilukai, jangan salahkan orang lain, bila sampai mampus pun harus terima nasib." "Bagaimana kalau aku yang berhasil melukainya?" "Kau sanggup melukainya?" perempuan berambut putih itu tertawa dingin tiada hentinya, "hm, hm, bila kau sanggup melukainya, aku tak bakal minta orang lain untuk membantunya." "Bagus!" hardik Tian Mong-pek, sepasang kepalannya langsung disodok ke depan.
Jurus ini merupakan jurus Ming-hau-jut-ga (harimau ganas lepas dari kerangkeng), sebuah jurus serangan biasa.
Hoa Hui memiliki ilmu silat tingkat tinggi, dia anggap kemampuan yang dikuasahi sudah menjagoi dunia persilatan, tentu saja tak menganggap sebelah mata atas serangan tersebut, sambil ulapkan tangan dan tertawa dingin, ejeknya: "Serangan semacam inipun kau anggap jurus serangan?" Tapi belum selesai bicara, paras mukanya telah berubah hebat.
Dalam waktu singkat, ternyata Tian Mong-pek telah melancarkan tujuh jurus serangan berantai.
Biarpun semua serangan yang dilancarkan tiada kehebatan apapun, namun kekuatan pukulannya ibarat angin badai yang menerpa hutan, bukan sesuatu yang mudah untuk membendungnya.
Tujuh gebrakan kemudian, Hoa Hui sudah dipaksa mundur berapa langkah.
Siau Man-hong kontan berkerut kening, entah lantaran kaget atau merasa gembira.
Dengan sepasang matanya yang tajam, perempuan berambut putih itu mengamati terus gerak serangan dari Tian Mong-pek, tapi mimik mukanya kelihatan sangat tenang, seolah dalam hati sudah mempunyai perhitungan.
Setelah mundur berapa langkah, tiba-tiba Hoa Hui melangkah ke samping, meloloskan diri dari ancaman pukulan lawan, kemudian sikutnya ditekuk, dia lepaskan satu serangan balasan dari samping.
Jurus balasan yang digunakan ternyata mengandung perubahan yang tak terhingga, tidak jelas ke arah mana serangan itu tertuju.
Tian Mong-pek melangkah ke depan, sepasang kepalannya disodok bersama, gerak serangannya tetap melebar dan terbuka, seakan disampingnya tiada orang lain.
"Dasar goblok, pengen mampus!" batin Hoa Hui sambil tertawa dingin.
Sambil menekuk pergelangan tangannya, tiba tiba arah serangannya berganti sasaran, kini angin pukulannya langsung menyodok dada Tian Mong-pek, sedemikian cepat perubahanan yang dilakukan, ibarat angin puyuh yang menyapu padang rumput.
Siapa sangka ketika serangannya mencapai tengah jalan, mendadak Tian Mona-Dek menekuk sepasang sikunva lalu
Siapa sangka ketika serangannya mencapai tengah jalan, mendadak Tian Mong-pek menekuk sepasang sikunya lalu menghantam dari arah luar ke dalam, dengan jurus Sin-soh-pok-liong (tali sakti mengikat naga), ia cengkeram lengan musuh.
Dalam serangannya kali ini, dari sebuah gerak pukulan yang keras dan bertenaga positip, berubah jadi satu ki-na-jiu-hoat yang lembek dan bertenaga negatip, bukan saja perubahannya cepat, bahkan sangat rapat ibarat sebuah bendungan.
Didalam kagetnya buru buru Hoa Hui melempar badannya ke belakang, lengannya ditarik ke samping berusaha meloloskan diri.
"Breeet!" terdengar suara robekan, ternyata ujung bajunya sudah dicengkeram Tian Mong-pek hingga robek besar.
Seketika itu juga kesombongan hatinya lenyap, karena kehilangan posisi, ia jadi malu, menyesal bercampur kesal.
Saat itulah sambil menarik kembali serangannya, ejek Tian Mong-pek dengan nada dingin: "Lepas dulu bajumu sebelum dilanjutkan." Dengan wajah hijau membesi, Hoa Hui melepas baju luarnya, kemudian dengan tangan kiri disilangkan didepan dada, tangan kanan melancarkan bacokan, kembali dia maju menyerang.
Biarpun kesombongan hatinya sudah padam, jurus serangan yang digunakan tetap ganas dan telengas.
Dalam waktu singkat kedua orang itu sudah terlibat dalam pertarungan seru, tubuh mereka berdua bergerak ditanah lapang dengan kecepatan bagaikan kilat, angin pukulan yang menderu membuat daun pohon siong berguguran ibarat hujan deras.
Kini, perempuan berambut putih itu sudah kehilangan ketenangan hatinya, dia mulai gelisah dan tak tenang, gumamnya berulang kali: "Siapa yang mengajarkan ilmu itu kepadanya" Siapa yang mengajarkan ilmu itu .
. . . . . . .." "Aku sendiripun merasa heran, siapa yang mengajarkan ilmu itu kepadanya?" terdengar seseorang menimbrung dari samping.
Rupanya kakek bungkuk itupun telah menyusul ke situ.
"Apakah sekarang sudah dapat kau tebak?" tanya perempuan berambut putih itu.
"Belum, belum ketahuan." Sahut kakek bungkuk itu sambil menggeleng.
Setelah berhenti sejenak, kembali katanya: "Aku rasa lebih baik kau suruh Siau-hui menghentikan serangan, selama ini orang menganggapnya sebagai pasangan latihan, apa gunanya pertarungan semacam ini dilanjutkan?" Rupanya sejak awal Tian Mong-pek sudah merebut posisi diatas angin, hanya saja ia tidak melancarkan serangan mematikan.
"Bagus!" seru perempuan berambut putih itu gusar, "dasar bungkuk, bukannya membela orang sendiri yang kalah, sebaliknya malah bantu orang lain, watak busukmu memang tak ubahnya seperti wat ak adik perempuanmu." Berubah wajah kakek bungkuk itu, serunya pula marah: "Guci cuka, kau bilang siapa yang bungkuk?" "Siapa pula yang guci cuka (pencemburu)?" saking marahnya, jari tangan perempuan berambut putih itu sampai gemetar keras, "cepat jawab.....
cepat katakan..... kalau tidak kau jelaskan, aku....." Tiba tiba kakek bungkuk itu mendongakkan kepala dan tertawa terbahak.
"Hahaha, baiklah, mengingat selama banyak tahun kau hidup kesepian, lagian adikku juga ogah pedulikan dirimu, biarlah aku mengalah saja." Pucak pasi paras muka perempuan berambut putih itu saking kesalnya, untuk berapa saat dia sampai tak mampu mengucapkan sepatah kata pun.
"Tapi kau musti ingat baik-baik," kembali kakek bungkuk itu berkata, "adikku masuk ke dalam keluarga ini karena dilamar secara resmi, digotong masuk ke rumah ini dengan tandu besar yang digotong delapan orang, jadi, boleh saja kalau kau ingin mempermainkan orang lain, tapi jangan mencoba mengusik kami dua bersaudara, tunggu saja sampai keponakan kesayanganmu itu dihajar orang!" "Lak-siok, tolong, kurangi perkataanmu, mau bukan?" mohon Siau Man-hong sedih.
"Hahaha, baik..... baik." Belum selesai dia bicara, mendadak terdengar Tian Mong-pek membentak keras, diikuti Hoa Hui menjerit kaget, tubuhnya mundur sempoyongan dan.....
"Bruuk!" jatuh terduduk di tanah.
Sambil melompat bangun karena kaget, jerit perempuan berambut putih itu: "Hoa-ji .
. . . . . . . .." Dengan wajah pucat Hoa Hui merangkak bangun, noda darah membasahi ujung bibirnya.
Sambil menjerit kaget Siau Man-hong segera menghampiri lelaki itu dan berniat membantunya bangkit berdiri, siapa tahu sambil mengebaskan tangannya, teriak Hoa Hui keras-keras: "Minggir kau, siapa suruh bantu aku?" Lalu sambil membesut mulutnya yang berdarah, teriaknya lagi: "Orang she-Tian, ayoh kita bertarung lagi tiga ratus gebrakan." "Huh, lebih baik rawat dulu luka mu .
. . . . . .." ejek Tian Mong-pek dingin.
Dengan sekali tutulan, perempuan berambut putih itu sudah melampaui tubuh Hoa Hui, serunya: "Hui-ji, minggir dulu kamu, biar aku beri pelajaran kepadanya." Gerakan tubuhnya enteng, lincah dan cepat, bagaikan seekor burung walet yang menyusup diantara pepohonan, tahu-tahu perempuan itu sudah melompat ke depan.
Menyaksikan hal itu, Tian Mong-pek segera mendongakkan kepala dan tertawa keras: "Hahaha....
katanya saja, biar dia terluka pun tak bakal memberi bantuan.
Huhh! Tampaknya ada orang sudah melupakan kata-kata sendiri." "Memangnya kenapa?" teriak perempuan berambut putih itu gusar, "kalau aku sengaja akan memberi pelajaran kepadamu, mau apa kamu?" Tian Mong-pek tertawa dingin.
"Mengingat usiamu sudah uzur, biarlah aku mengalah tiga jurus untukmu." Ejeknya.
Sambil berkata, ia memberi hormat lalu bersiap siaga menghadapi serangan.
"Tunggu sebentar!" tiba tiba terdengar seseorang membentak keras.
Tahu-tahu kakek bungkuk itu sudah melompat ke hadapan perempuan berambut putih itu, katanya lagi: "Benarkah tadi kau pernah berkata tak akan membantu?" "Kalau betul, ada apa kamu?" jawab perempuan berambut putih itu.
"Lembah kaisar tidak memperkenankan anggotanya menjilat ludah sendiri," bentak kakek bungkuk itu lantang, "jika kau pernah berkata begitu, tidak seharusnya kau menjilat ludah sendiri." "Memangnya kau akan mencampuri urusanku?" tantang perempuan itu gusar.
"Biar enggan mencampuri pun, hari ini aku tetap akan mengurusinya." Kedua orang itu sudah saling berhadapan, situasi makin tegang, siapa pun enggan mengalah atau mundur.
Buru-buru Siau Man-hong melompat ke depan, serunya: "Lak-siok, ibu .
. . . . . .." Belum selesai ia berkata, dari balik hutan terdengar seseorang menanggapi: "Benarkah kalian berdua ingin berkelahi?" Menyusul perkataan itu, tampak dua sosok bayangan manusia meluncur datang.
Orang yang berjalan didepan adalah seorang wanita berusia empat puluh tahunan yang mengenakan pakaian sutera halus, bersanggul tinggi, mengenakan ikat pinggang emas dipinggang dan mahkota emas dikepalanya.
Sementara dibelakangnya mengikuti Siau Hui-uh, dandanan gadis ini mirip sekali dengan dandanan wanita cantik didepannya, bahkan wajahpun banyak kemiripan.
Dalam sekilas pandangan Tian Mong-pek sudah dapat menebak kalau wanita cantik itu pastilah ibu kandung Siau Hui-uh, yakni adik kandung si kakek bungkuk.
Begitu melihat kemunculan wanita itu, sekulum senyuman segera menghiasi wajah si kakek bungkuk.
"Lak-ko," dengan mata melotot wanita cantik itu segera menegur, "kau sudah uzur, masa watakmu masih seperti kanak-kanak" Bila kau benar-benar ingin menghajarnya, lebih baik sekalian menghajar diriku." "Hahaha, siapa bilang aku mau berkelahi?" jawab kakek bungkuk sambil tertawa terkekeh, "aku tak lebih hanya menakuti dirinya saja." Selama hidup dia paling pantang mengalah kepada orang lain, tapi terhadap ucapan adiknya ini selalu menurut dan tak pernah membantah.
Sambil menghela napas panjang kata wanita cantik itu lagi: "Bagaimana dengan kau, toaci?" Dengan gusar teriak wanita berambut putih itu: ll "Pemuda itu sudah melukai Hui-ji, aku .
. . . . . . . .. "Biarkan saja mereka anak muda bertarung, buat apa kita harus mencampurinya?" sela wanita cantik itu.
Wanita berambut putih itu semakin gusar.
"Bila Hui-uh mu yang dihajar orang, memangnya kau hanya akan berpeluk tangan saja?" teriaknya.
"Kalau dia sampai dihajar orang, sekembalinya ke rumah, aku pasti akan memberi hajaran kepadanya, siapa suruh ilmu silat belum berhasil dikuasai sudah berani mencari masalah." Wanita berambut putih itu tertegun sesaat, kemudian teriaknya lagi: "Baik, aku tak mampu berdebat denganmu, Hui-ji, Man-hong, kita pergi." Sembari menghentakkan tongkatnya ke tanah, ia beranjak pergi lebih dahulu.
"Toaci tak usah marah," kembali wanita cantik itu berseru, "kalau gampang marah bisa cepat tua." Waktu itu perempuan berambut putih itu sudah pergi jauh, meskipun ia mendengar perkataan itu dengan jelas, namun pura pura berlagak tidak mendengar.
Hoa Hui bagaikan anjing kena gebuk, dengan lunglai mengikuti di belakangnya.
Siau Man-hong tampak sedikit ragu, tapi akhirnya setelah melempar sekulum senyuman, dia pun ikut berlalu.
Sepeninggal orang orang itu, si kakek bungkuk baru menghela napas lega, katanya: "Pat-moay, kau memang hebat, kecuali kau seorang, memang tak ada orang kedua yang sanggup menghadapi hujin ini." Setelah menyapu sekejap sekitar tempat itu, tiba tiba ujarnya lagi dengan kening berkerut: "Hui-uh, kenapa pula kau ikutan bermuram durja" Memangnya ada yang berani menganiaya dirimu?" Benar saja, terlihat Siau Hui-uh berdiri dengan wajah murung, ketika mendengar ucapan itu, sahutnya: "Dia.....
dia telah menghilang." "Siapa?" tanya si kakek bungkuk, "apakah Siau-lan si budak cilik itu" Sudah pasti budak itu takut karena telah membohongi lohu sehingga secara diam diam sudah melarikan diri." Kemudian setelah mendongakkan kepala dan tertawa terbahak bahak, lanjutnya: "Tapi dia keliru besar, lohu justru sangat gembira karena ada orang mampu membohongi lohu.
Saudara Tian, kaupun tak usah kuatir, lohu tak bakal menyalahkan dirimu." Dengan cemas Siau Hui-uh menggelengkan kepalanya berulang kali, seruny: "Bukan, bukan, tidak masalah bila Siau-lan yang pergi, tapi dia.....
dia . . . . .." Sambil menengok sekejap kearah Tian Mong-pek, ia tundukkan kepala dan tidak bicara lagi.
"Maksudmu Ling-ling telah menghilang?" tanya Tian Mong-pek dengan wajah berubah.
II "Benar, ujar perempuan cantik itu sambil menghela napas, "memang bocah itu, meski usianya masih kecil namun dia tinggi hati, bahkan telah II meninggalkan sepucuk surat, katanya .
. . . .. Sesudah berhenti sejenak, sambil berpaling lanjutnya: "Hui-uh, apa kata surat itu?" "Dia bilang, cepat atau lambat pasti akan datang mencari balas dengan Hoa Hui, karena itu dia enggan mempelajari ilmu silat lembah kaisar, diapun bilang.....
selama hidup tak akan melupakan kita." Ia mengerdipkan matanya, membiarkan air mata jatuh bercucuran, kemudian tambahnya: "Akulah yang bersalah, tidak seharusnya kuberitahu jalan keluar lembah kepadanya, menanti kulakukan pengejaran, aku tak berhasil menyusulnya." Tian Mong-pek berdiri kaku berapa saat, mendadak ia mendongakkan kepala dan tertawa keras.
"Hahaha, bagus, Ling-ling, kau memang punya harga diri, aku yakin kau pasti berhasil mempelajari ilmu silat tinggi dan membalaskan dendam bagi Kiong locianpwee." Dengan tenang wanita cantik itu mengawasi Tian Mong-pek berapa saat, mendadak dia mengulapkan tangannya sambil berkata: "Hui-uh, ayahmu telah selesai menutup diri, tak ada salahnya kau beritahukan hal ini kepadanya." Siau Hui-uh mengiakan, dia angkat wajahnya memandang Tian Mong-pek sekejap lalu berjalan menuju ke sebuah bangunan berwarna kuning emas, kepada kakek bungkuk serunya: "Lak-siok, temani aku." Mereka berdua sama-sama menembusi hutan pohon siong.
Tian Mong-pek tertegun, kini didalam hutan tinggal dia dan wanita cantik itu, maka cepat dia menjura seraya berseru: "Cayhe mohon diri." "Kau hendak kemana?" tanya wanita cantik itu sambil tertawa.
"Ke mana.....?" Tian Mong-pek agak bimbang, "tentu saja keluar lembah." "Kau datang dengan tergesa-gesa, sekarang pun ingin pergi dengan terburu-buru, sebetulnya apa maksudmu menyerempet begitu banyak masalah?" Tian Mong-pek menghela napas panjang, dia tak mampu menjawab barang sepatah kata pun.
Setelah menghela napas, kembali wanita cantik itu berkata: "Sesudah tiba disini, masa kau tak ingin mengunjungi tempat yang pernah didiami ibumu, melihat barang peninggalannya?" Tiba-tiba saja Tian Mong-pek merasa hawa panas menggelora dalam dadanya, dengan lantang teriaknya: "Tidak, aku tak mau lihat!" Ia membalikkan badan dan menerjang keluar dari hutan itu.
Bab 22. Antara cinta dan benci. Wanita cantik itu mengebaskan ujung bajunya, bagaikan segumpal asap tipis, tahu-tahu ia sudah menghadang jalan pergi Tian Mong-pek, ujarnya lagi lembut: "Nak, kau tidak seharusnya membenci ibumu." Tian Mong-pek menggigit bibir sambil kepalkan tinjunya, tak sepatah kata pun diucapkan.
Kembali wanita cantik itu berkata: "Bukankah kau membencinya karena dia tega meninggalkan kalian ayah dan anak dan selama belasan tahun berada disini, sama sekali tidak memberi kabar?" Setelah menghela napas ringan, terusnya: "Tapi dalam hati kau masih mencintainya, coba lihat, air mata telah membasahi kelopak matamu, aku tahu betapa sedih dan pedihnya perasaan hatimu." Tian Mong-pek ingin sekali menahan air matanya, apa mau dikata air matanya justru meleleh keluar.
Dengan lembut perempuan cantik itu menepuk bahunya dan berkata: "Nak, lebih baik ikuti aku, coba kau lihat dulu barang-barang peninggalannya, mungkin setelah itu kau tak akan membencinya lagi." Dibalik perkataannya yang lembut seolah mengandung daya pengaruh yang luar biasa, membuat Tian Mong-pek tanpa sadar menuruti ajakannya dan mengintil tanpa membantah.
Sambil berjalan meninggalkan tempat itu, kembali perempuan cantik itu berkata sambil tersenyum: "Berapa hari berselang, ada seseorang yang datang kemari dengan mencatut namamu, tahukah kau siapa dia?" Dengan bimbang Tian Mong-pek menggeleng.
Kembali perempuan cantik itu berkata: "Orang itu berwajah tampan, gerak geriknya lembut dan penuh sopan santun, kokcu amat menyukainya, bukan saja mewariskan ilmu silat kepadanya bahkan menjodohkan pula Hui-uh kepadanya." "Ooh .
. . . . . . .." saat ini pikiran Tian Mong-pek sedang dipenuhi masalah pelik, sehingga dia enggan banyak bicara.
"Siapa tahu setelah mendapat kitab pusaka ilmu silat, secara diam-diam ia melarikan diri, saat itu kami semua merasa panik, kemudian baru tahu kalau dia adalah gadungan." "Ooh!" "Kenapa kau tidak bicara?" "Tak ada yang bisa dibicarakan." "Bukan saja dia mengetahui semua persoalan mengenai keluarga Tian, bahkan tahu juga untuk pergi menghubungi Mok-mong-ngo, bukankah hal ini sangat aneh?" "Memang aneh sekali." "Menurut dugaanku, dia pastilah orang yang mempunyai hubungan erat dengan dirimu, bahkan pesan terakhir ibu mu pun dia ketahui dengan jelas, bisa kau tebak siapakah orang itu?" Tiba tiba satu ingatan melintas dalam benak Tian Mong-pek, pikirnya: "Kecuali aku, hanya So Kin-soat yang mengetahui pesan terakhir ibuku, jangan jangan orang itu dikirim olehnya?" Walaupun berpikir begitu, dimulut sahutnya hambar: "Aku benar benar tak bisa menebaknya." Terdengar wanita cantik itu berkata lagi sambil menghela napas: "Bocah yang tidak suka bicara biasanya banyak pikiran, bocah yang banyak pikiran, sudah pasti tak jujur." "Benarkah begitu?" Wanita cantik itu tertegun, katanya lagi: "Banyak kejadian didunia ini memang sangat aneh, orang bilang kau adalah bocah lelaki, tapi aku bilang kau adalah bocah perempuan." "Benarkah begitu?" Dengan perasaan terkejut bercampur keheranan perempuan itu menatapnya berapa kejap, tiba tiba ia tertawa lebar.
"Biarpun aku paling suka berdebat, tapi kebanyakan akal juga setelah bertemu bocah macam dirimu." Kemudian setelah tersenyum, lanjutnya: "Tahukah kau, baru saja dirimu terlepas dari satu kesulitan" Coba kau menjawab sepatah kata saja tadi, mungkin berdebat sehari semalam pun tak akan ada habisnya." Kembali Tian Mong-pek merasakan hatinya tergerak, pikirnya: "Ternyata dialah orang kedua yang paling susah dihadapi dalam lembah ini." Berbicara sampai disitu, tak tahan dia menghela napas panjang.
"Kenapa kau menghela napas?" tanya wanita cantik itu.
"Sudah pasti hujin amat kesepian." "Siapa yang bilang?" tanya wanita itu setelah termenung berapa saat.
"Bila hujin tidak kesepian, kenapa selalu mencari orang untuk diajak berdebat?" Kembali wanita cantik itu termenung berapa saat, ujarnya kemudian sedih: "Ada baiknya juga kalau sudah terbiasa kesepian." "Aku lihat, setiap orang yang hidup dalam lembah ini sangat kesepian, oleh karena itu setiap orang mengidap watak aneh, aai! Daripada suruh aku hidup kesepian, lebih baik hidup gelandangan dalam dunia persilatan." "Manusia mana yang rela hidup kesepian?" sekilas perasaan murung melintas diwajah perempuan itu, "kadangkala keadaanlah yang memaksa orang harus menerimanya." Setelah menghela napas panjang, katanya kepada Tian Mong-pek: "Dikemudian hari kau bakal mengerti sendiri." Sementara pembicaraan berlangsung, mereka telah tiba didepan sebuah hutan bambu, Tian Mong-pek pernah salah mendatangi tempat itu tadi.
ll "Aku tinggal disini, ujar perempuan cantik itu, "ibumu juga pernah tinggal disini." Setelah tertegun sejenak, Tian Mong-pek mengikutinya masuk ke dalam.
Saat itu ada berapa orang dayang sedang bermain catur didalam kamar, melihat kedatangan majikannya, serentak mereka memberi hormat, tapi berapa pasang mata yang bening, secara diam-diam melirik kearah pemuda itu.
Dengan senyum dikulum, perempuan cantik itu mengajak Tian Mong-pek melewati ruang utama, melalui kamar baca menuju ke sebuah serambi panjang dibagian belakang gedung, dikedua sisi serambi merupakan kebun bunga yang penuh ditumbuhi bunga seruni.
Dibalik kebun bunga, ditepi kolam dengan air yang jernih, terdapat berapa buah bilik yang sederhana dikelilingi pagar bambu, kesederhanaan tempat ini berbeda mencolok dengan kemewahan dibagian depan sana.
Berjalan sampai disini, tiba-tiba Tian Mong-pek menghentikan langkahnya dan berdiri termangu.
Hal ini dikarenakan kebun seruni maupun bangunan yang dikelilingi pagar bambu, tidak jauh berbeda dengan kebun belakang rumahnya di kota Hangciu, dalam waktu sekejap dia seolah terjerumus ke dalam alam mimpi, balik ke desa kelahirannya.
Ia pernah mendengar dari ayahnya yang mengatakan berulang kali, semasa ibunya masih dirumah, ia tinggal di bilik berpagar bambu di halaman belakang, dia pun tahu kalau ibunya sangat menyukai bunga seruni.
Kini, setelah tiba ditempat ini, tanpa dijelaskan pun dia tahu kalau tempat inilah tempat tinggal ibunya .
. . . .. tak tertahan lagi, air mata kembali bercucuran.
Diluar pagar bambu tergantung sebuah keleningan kecil, keleningan itu berbunyi ketika terhembus angin.
Terdengar wanita cantik itu berkata: "Semasa ibumu tinggal disini, siapa pun yang akan datang kemari, harus menggoyangkan dulu keleningan, tapi sekarang .
. . . . .." Ia menghela napas sedih, mendorong pintu pagar bambu dan masuk ke dalam ruangan.
Ruangan ditempat itu tampak bersih tanpa debu, jendela, meja, semuanya dalam keadaan terawat dan bersih, jelas seringkali dibersihkan orang.
Pada ke empat dinding ruangan terlihat rak-rak buku, disudut ruangan terlihat sebuah khiem sedang disamping khiem terdapat sebuah meja catur.
Selain itu terdapat pula berapa lembar lukisan yang belum selesai dilukis, berserakan disudut meja gambar.
Setelah menyapu sekejap sekeliling ruangan itu dan menghela napas sedih, kata wanita cantik itu: "Semua barang yang berada ditempat ini, dipertahankan letaknya sejak kepergian ibumu, belum ada yang digeser dari posisinya semula." Dengan langkah gemetar Tian Mong-pek berjalan masuk ke dalam ruangan, menyapu sekeliling tempat itu dengan gemetar.
Ia teringat dengan ruang berpagar bambu di belakang kebun rumahnya, bentuk maupun benda yang berada disana, tetap dipertahankan posisinya sejak ditinggalkan ibunya, selama belasan tahun belum pernah ada yang digeser.
Diapun terbayang kembali ayahnya, setiap senja telah tiba, ia pasti akan masuk ke dalam bilik itu secara diam-diam, meraba dan membelai setiap barang yang ditinggalkan ibunya.
Ketika terbayang kembali cahaya senja sang surya yang menyinari rambut uban ayahnya .
. . . . . . .. Tiba tiba ia merasa darah panas menggelora, tak tahan lagi ia menangis tersedu.


Panah Kekasih Karya Gu Long di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Ujar wanita cantik itu dengan sedih: "Kalau dibilang kesepian, ibu mu adalah orang yang paling kesepian, selama lima belas tahun, ia tak pernah tinggalkan tempat ini, hanya seorang dayang yang menemaninya." "Ayah ku lah orang yang paling kesepian, dia pun harus menahan derita karena istrinya direbut orang." Kata Tian Mong-pek sambil menangis.
Dalam sedih dan gusarnya, dia telah mengucapkan kata-kata yang paling tak tega untuk diutarakan, disaat ucapan tersebut telah meluncur keluar, diapun merasa perkataan itu bagaikan sebuah lecut yang mencambuk tubuhnya.
Tiba tiba wanita cantik itu menarik bahu Tian Mong-pek, menariknya hingga berhadapan dengan dirinya, dengan suara keras dia menjerit: "Angkat kepalamu, pandang diriku .
. . . . . .." Air mata telah membasahi pula pipinya Tian Mong-pek mendongakkan kepala, langsung menatap wajah perempuan itu Sepatah demi sepatah kata ujar perempuan cantik itu: "Selama lima tahun, pemilik lembah kaisar Siau Ong-sun belum pernah datang seorang diri ke dalam kamar ini." Kembali Tian Mong-pek merasakan tubuhnya bergetar keras, seketika itu juga dia menghentikan isak tangisnya.
Dengan suara berat dan dalam kembali wanita cantik itu berkata: "Setiap kali dia datang mengajak ibumu bermain catur atau mendengarkan ibumu memetik khiem, aku selalu mendampingi kehadirannya." Tiba tiba ia berteriak lebih keras: "Dia tak lebih hanya sahabat karib ibumu, dia.....
mereka tidak berhubungan seperti apa yang kalian bayangkan." Setelah berhenti sejenak, kembali ujarnya dengan suara gemetar: "Entah berapa besar penderitaan dan siksaan yang harus ia rasakan sebelum akhirnya dapat melebur cinta kasih itu menjadi sebuah cinta yang suci, II perasaan tersebut begitu tinggi, begitu dalam .
. . . .. Tiba tiba perempuan itu menubruk keatas meja lukis dan menangis tersedu-sedu, sebab lelaki yang sangat ia cintai ternyata jauh lebih mencintai orang lain .
. . . . . . .. Tian Mong-pek berdiri mematung, sekujur tubuhnya terasa mati rasa .
. . . . . .. Sampai lama kemudian, mendadak dia menjerit keras, membalikkan badan dan kabur keluar.
"Hei, mau apa kau?" jerit wanita cantik itu kaget.
"Dua kali aku salah paham kepadanya, aku akan minta maaf kepada dirinya." Teriak Tian Mong-pek.
Ketika mengucapkan perkataan terakhir, tubuhnya sudah lenyap dari pandangan wanita cantik itu.
Menelusuri jalan beralas batu granit, Tian Mong-pek balik menuju ke bangunan kecil beerwarna kuning emas.
Ia tidak berteriak, tidak mengetuk pintu, langsung saja menerjang masuk.
Ketika melongo ke dalam, pintu disitupun dalam keadaan terbuka, permadani merah memanjang menembusi pintu, melapisi hingga ke lantai ruang utama.
Entah datang dari mana, enam belas orang busu berpakaian baja warna emas, dengan tombak terhunus berdiri berjajar dikedua sisi permadani, dibawah pantulan cahaya lentera, tampak sinar keemasan amat menyilaukan mata.
Kakek bungkuk serta perempuan berambut putih ikut berdiri serius diujung undakan, wajah mereka berdua amat tegang dan serius, siapa pun tak ada yang buka suara.
Hoa Hui, dengan rambut awut-awutan tak karuan berlutut dilantai, dari rambutnya yang bergetar, nampak jelas ia sedang berlutut dengan tubuh gemetar keras.
Siau Man-hong, dengan kepala tertunduk, ikut berlutut disampingnya.
Baru saja Tian Mong-pek menggerakkan tubuhnya siap menerjang masuk, mendadak.....
"Traaang!" enam belas bilah tombak emas itu telah disilangkan ditengah jalan, menghadang jalan perginya.
Busu yang berada dipaling depan, seorang lelaki bermuka hitam berjenggot lebat berseru dengan nada berat: "Kokcu segera akan memasuki aula, siapa pun dilarang maju selangkah pun." Tianmingpek tak ingin ribut dengan pihak lembah kaisar, karena itu tanpa berkata-kata dia mundur dua langkah, tapi sorot matanya tetap memandang lurus ke depan, mengawasi semua gerak gerik yang ada.
Lewat berapa saat kemudian, terlihat Siau Hui-uh dengan kepala tertunduk berjalan keluar dari balik kelambu kuning dan berlutut disamping Siau Man-hong, selama ini dia hanya menundukkan kepalanya sehingga tak terlihat jelas perubahan mimik mukanya.
Menyusul kemudian tampak dua orang bocah berbaju kuning muncul sambil menggotong dua buah bangku yang diletakkan disamping meja utama, kedua orang itu mempunyai dandanan yang sama dan berwajah mirip satu dengan lainnya.
Sekonyong-konyong terdengar suara lonceng bergema menembus keheningan.
Ditengah dentangan lonteng yang bertalu, Giok-ki cinjin dan Thian-huan taysu muncul dari balik kelambu kuning, tanpa mengucapkan sepatah kata pun mereka duduk di bangku yang telah disediakan.
Tian Mong-pek tahu, sebentar lagi Tee-ong kokcu atau pemilik lembah kaisar segera akan tampilkan diri, tanpa terasa jantungnya berdetak keras, dia ingin melihat bagaimanakah tampang asli tokoh sakti dari dunia persilatan itu.
Tampak kalin kelambu kuning disingkap orang, seorang kakek berjubah kuning, berwajah pucat dan bermata setajam petir, perlahan-lahan munculkan diri.
Perlahan suara lonceng mulai mereda, suasana disekeliling tempat itupun berubah jadi hening dan serius.
Terdengar bocah berbaju kuning yang ada disisi kiri berseru lantang: "Ketua pengadilan harap mendengarkan pengumuman." Kakek bungkuk itu segera tampilkan diri dan menyahut sambil memberi hormat: "Thiat-tou (unta baja) terima perintah!" Dengan suara lembut ujar kokcu lembah kaisar: "Melukai orang dengan siasat busuk, melawan angkatan tua, menganiaya perempuan lemah, membunuh dan membuat cacat orang tanpa perikemanusiaan, apakah semua perbuatan ini akan merusak nama baik lembah kita?"
"Bukan saja mempermalukan nama perguruan, juga menodai nama baik diri sendiri!" jawab unta baja tegas.
"Apa hukumannya?" "Yang parah akan dihukum mati, yang ringan diusir keluar dari lembah." Mendengar sampai disini, paras muka perempuan berambut putih dan Siau Man-hong seketika berubah hebat.
Dengan suara gemetar ujar Hoa Hui: "Lapor ayah baginda, oleh karena ananda tahu kalau Kiong Gim-bit ada sedikit permasalahan dengan ayah baginda, maka kubunuh dirinya, mohon ayah baginda .
. . . . .." "Tutup mulut!" tukas Tee-ong kokcu cepat.
Biarpun suaranya tidak begitu nyaring, namun nadanya yang rendah dan serius membuat ucapan tersebut amat berwibawa.
Hoa Hui berlutut dengan tubuh gemetar keras, air mata telah membasahi wajahnya, saat ini dia tak berani bicara lagi.
Terdengar kokcu lembah kaisar kembali berkata: "Mulai hari ini, Hoa Hui harus tinggalkan lembah ini dan tak boleh menyebut nama lembah kaisar lagi, bila berani melanggar, akan kukejar batok kepalamu." "Kau .
. . . .. kau . . . . . .." seru perempuan berambut putih itu gemetar.
"Peraturan dari leluhur tak berani kulanggar, silahkan hujin menyingkir dari sini." Tukas Tee-ong kokcu.
"Terima perintah." Ujar Hoa Hui kemudian setelah menyembah tiga kali.
Setelah bangkit berdiri, ia mundur tiga langkah dan bisiknya sedih: "Bibi, keponakan .
. . . . . . . .." Tidak sampai menyelesaikan perkataannya, ia sudah balik badan siap berlalu dari situ.
"Tunggu aku." Tiba tiba Siau Man-hong berseru.
Berpaling menatap wajah ayahnya, dengan air mata berlinang katanya lebih lanjut: "Putrimu tak berbakti, tak bisa membalas budi ayah maupun ibu .
. . . . . .." "Kau pun akan ikut pergi?" tanya Tee-ong kokcu sambil membuka matanya.
"Putri telah menikah dengan Hoa Hui, telah menjadi bagian dari keluarga Hoa, biarpun Hoa Hui telah melakukan kesalahan, namun ia masih tetap suamiku .
. . . . . .." Kokcu lembah kaisar termenung sejenak, akhirnya dia mengulapkan tangannya seraya berkata: "Baiklah, kau boleh pergi!" Kembali Siau Man-hong menyembah sebanyak tiga kali, kemudian mundur tiga langkah, menggandeng tangan Hoa Hui dan dengan kepala tertunduk berjalan keluar dari ruang aula.
"Bagus," tiba tiba perempuan berambut putih itu berteriak keras, "toh selama ini ayahmu sudah tidak menganggap aku sebagai istrinya lagi, tetap tinggal disinipun tak ada artinya lagi." Sesudah menghentakkan tongkatnya ke lantai, dia berseru: "Hui-ji, Man-hong, aku akan pergi bersama kalian." Secepat kilat dia keluar dari ruang aula, menyusul Hoa Hui berdua.
"Hujin . . . . . . .." teriak Tee-ong kokcu.
Tanpa berpaling, teriak perempuan berambut putih itu: "Biar tempat ini tak dapat ditinggali, sudah pasti ada tempat lain yang bisa didiami.
Biarpun kami bertiga harus hidup ditempat lain, kami akan hidup dengan gembira, kau tak usah kuatir." Sementara pembicaraan berlangsung, mereka bertiga telah melewati pasukan pengawal bersenjata tombak, sewaktu melewati samping Tian Mong-pek, perempuan berambut putih itu segera meludah ke tanah.
Sambil menggigit bibir Tian Mong-pek menahan hawa amarah dan tidak sampai mengumbar emosi.
Hingga ke tiga orang itu selesai melewati permadani merah dan keluar dari pintu, lama, lama sekali, tak seorangpun dalam ruang aula yang berkutik.
Semua orang menunjukkan wajah serius, perasaan sedih.
Kokcu lembah kaisar duduk mematung diatas bangkunya, pandangan mata orang ini kosong tak bercahaya.
Kakek yang kesepian itu, mulai sekarang sudah pasti akan bertambah kesepian.
Ketika suara lonceng kembali berdentang, perlahan-lahan dia meninggalkan tempat duduknya.
Tiba-tiba Tian Mong-pek berteriak keras, dengan melewati permadani merah sepanjang sepuluh tombak, ia jatuhkan diri berlutut seraya berkata: "Tian Mong-pek menjumpai kokcu, mohon kokcu sudi memaafkan kelancangan cayhe." "Tadi, kau enggan minta maaf, mengapa sekarang justru berlutut dihadapanku?" terdengar kokcu lembah kaisar bertanya dengan nada serius.
"Tadi cayhe belum takluk, tapi sekarang cayhe sudah menyadari akan kebodohanku, bila tidak memohon maaf kepada kokcu, rasanya aku tak bisa makan dan tidur dengan nyenyak." Baru selesai dia berkata, terasa bahunya sudah ditepuk orang, bagaikan segumpal asap ringan, kokcu lembah kaisar telah berada dihadapannya seraya berkata: "Bangunlah." Ketika Tian Mong-pek mendongakkan kepalanya, tampak sekulum senyuman telah menghiasi wajah tokoh sakti itu.
"Saudara cili, masa kau sudah tidak kenali aku?" tanyanya.
Suara itu walaupun lamban dan serius tapi secara tiba tiba terasa amat dikenalnya.
Tian Mong-pek merasakan tubuhnya bergetar keras, setelah termangu berapa saat, serunya: "Ternyata kau.....
kau adalah cianpwee." Hatinya sangat terkejut, mimpi pun dia tidak menyangka kalau kokcu lembah kaisar ternyata tak lain adalah manusia berbaju kuning.
Dalam waktu sekejap, semua teka teki yang membingungkan hati pun terpecahkan.
Tak heran kalau ilmu silat yang dimiliki orang berbaju kuning itu sangat lihay dan asal usulnya begitu misterius, ternyata dia tak lain adalah tokoh paling sakti dari dunia persilatan, kokcu lembah kaisar! Tidak heran kalau orang berbaju kuning itu hapal diluar kepala semua jalanan didalam lembah kaisar, karena ternyata dialah pemilik lembah itu.
Tidak aneh pula kalau semua jurus silat yang diwariskan kepadanya merupakan ilmu tandingan dari kungfu orang orang lembah kaisar, karena semua ilmu silat tersebut merupakan hasil ciptaannya, tentu saja dia pun dapat mematahkan .
Tidak heran pula kalau dia bersikeras mengunjungi biara Siau-lim terlebih dulu, rupanya dia ingin mengundang Thian-huan taysu dan Giok-ki cinjin untuk menjadi saksi bahwa dia sama sekali tak ada hubungannya dengan panah kekasih.
Ketika bertemu Tiau-yang hujin, diapun berlagak tidak kenal bahkan sengaja salah menganggapnya sebagai Liat-hwee hujin, tujuannya tak lain agar Tiau-yang hujin percaya kalau mereka belum pernah kenal.
Dalam waktu singkat pelbagai ingatan berkecamuk dalam benak Tian Mong-pek, membuat dia tak mampu berbicara banyak.
Terlebih Siau Hui-uh, dia merasa bingung dan tercengang, tidak habis mengerti kenapa pemuda itu bisa kenal akrab dengan ayahnya.
Saat itulah, sambil tersenyum ujar Thian-huan thaysu: "Kini, semua persoalan sudah menjadi jelas, siapa menanam kebajikan akan memetik buah kebajikan, sudah saatnya lolap mohon diri." II "Benar, sambung Giok-ki cinjin, "murid pinto masih menunggu diluar gunung, kuatirnya mereka berempat sudah tidak sabar menunggu." "Aai," kokcu lembah kaisar menghela napas panjang, "gara-gara urusanku, II kalian berdua harus menempuh perjalanan jauh .
. . . .. "Hahaha, buat apa kokcu bicara begitu" Lolap tidak sanggup menerimanya," Thian-huan thaysu tertawa tergelak, "tiga puluh tahun berselang, jika bukan bantuan dari kokcu, mungkin kami partai Siau-lim serta Bu-tong sudah .
. . . . . .." "Urusan yang sudah lewat tak perlu taysu ungkit lagi." Tukas kokcu lembah kaisar sambil tertawa.
Thiat-tou si kakek bungkuk yang selama ini hanya membungkam, tiba tiba ikut menimbrung sambil tertawa keras: "Hahaha, kokcu, baru hari ini aku benar-benar takluk kepadamu, ternyata setiap kali bilang hendak menutup diri, rupanya kau telah melakukan perjalanan jauh." Setelah tertawa tergelak, tambahnya: "Tadi aku masih terheran-heran, darimana datangnya taysu dan cinjin" Padahal aku berjaga terus di mulut lembah, masa mereka berdua bisa jatuh dari langit" Sekarang aku baru mengerti, sudah pasti di perut gunung terdapat lorong rahasia lain, dan setiap kali keluar masuk, kokcu pasti melalui lorong tersebut." "Hahaha, cepat atau lambat, akhirnya tak bisa mengelabuhi dirimu." Sambil menuding kearah Tian Mong-pek, kembali ujar Thiat Tou: "Ternyata kaupun sudah menerima seorang murid hebat, mengajarkan ilmu silat kepadanya, agar dia bisa menghajar kami, tak aneh jika Hui-uh pun keok ditangannya." Kokcu lembah kaisar menghela napas panjang.
"Aai, Hui-uh sudah belasan tahun belajar ilmu silat dariku," katanya, "tapi saudara cilik hanya belajar berapa bulan saja, Hui-uh, tampaknya kau harus berlatih lebih tekun." Siau Hui-uh tertunduk sedih, diam-diam ia harus menelan semua kegetiran hatinya.
Sekalipun gadis ini tidak berbicara, namun dalam hati berpikir: "Sejak kapan kau ajarkan jurus silat yang kau ajarkan kepadanya pada diriku" Begitu masih bilang aku harus berlatih lebih tekun .
. . . . .." sebagai gadis yang keras kepala, ucapan itu justru memancing rasa ingin menangnya, diam diam gumamnya: "Cepat atau lambat, aku pasti akan tunjukkan kepada kalian bahwa aku mampu mengalahkan dirinya." Diam diam ia membalikkan tubuh dan pergi dari situ, alasannya hendak pergi mencari ibunya.
Melihat itu Thiat Tou segera berseru: "Kelihatannya bocah itu jadi sewot .
. . . .." "Aaai, kalau wataknya tidak dirubah, lambat laun akan menderita sediri," kata kokcu lembah kaisar sambil menghela napas, "saudara cilik, melihat wajah lohu, kau harus baik-baik menjaganya." Sudah jelas perkataan itu mengandung maksud mendalam, dengan kepala tertunduk Tian Mong-pek mengiakan.
Maka sekali lagi Thian-huan taysu dan Giok-ki cinjin berpamitan, tiba tiba Tian Mong-pek mendongakkan kepala sambil berkata: "Rasanya saat perjanjian dengan Lan Toa-sianseng telah tiba." "Saudara cilik, apakah kaupun akan pergi?" tanya kokcu lembah kaisar setelah termenung sesaat.
"Bila semua urusan telah selesai, tecu pasti akan balik kemari untuk menemani kau orang tua." Kokcu lembah kaisar tertawa sedih, katanya: "Yang kau pikirkan selama ini hanya ingin menuntut balas, aku kuatir setibanya di tempat Lan Toa-sianseng, kau tak bakalan datang menemani aku lagi.
Moga-moga saja dendamu segera terbalas dan datang kembali kesini untuk menemani aku." Tian Mong-pek tertunduk tanpa menjawab, sedang dihati kecilnya berpikir: "Kau orang tua telah melepas budi seberat bukit kepadaku, meski harus membalas dendam, akupun harus membalas budi kebaikanmu itu." Tiba tiba terdengar Thiat Tou bertanya dengan suara keras: "Saudara cilik, siapakah musuh besarmu?" "Musuhku adalah musuh semua umat persilatan yang ada dikolong langit," sahut Tian Mong-pek sambil menghela napas, "tapi belum ada seorang manusiapun yang tahu siapa gerangan orang itu." "Hei, apa maksud perkataanmu itu?" tanya Thiat Tou tertegun.
Secara ringkas Tian Mong-pek pun menuturkan kisahnya tentang panah kekasih.
Selesai mendengar penuturan itu, Thiat Tou termenung dan berpikir sejenak, mendadak serunya: "Kau berani bertaruh denganku?" "Bertaruh bagaimana?" "Bertaruh siapa yang duluan berhasil melacak rahasia pemilik panah kekasih." "Apa yang dipertaruhkan?" "Kalau aku yang menang, selama hidup kau harus menghabiskan separuh dari waktumu untuk tinggal dalam lembah kaisar, sebaliknya bila kau yang menang, aku .
. . . .. terserah apa maumu!" "Baik, kita putuskan dengan perkataan ini!" sahut Tian Mong-pek lantang.
Kedua orang itupun saling bertepuk tangan sebagai tanda setuju.
Menyaksikan hal ini, sambil tertawa ujar Thian-huan taysu: "Biarpun Thiat sicu gemar bertaruh, namun taruhannya masih pakai aturan, sekalipun lolap adalah pendeta, tapi kali ini bersedia menjadi jurinya." "Dengan Siau-lim ciangbunjin sebagai jurinya, pertaruhan kalian ini boleh dibilang sebuah pertaruhan luar biasa yang belum ada keduanya di kolong langit." Seru Giok-ki cinjin sambil tersenyum.
Thiat Tou segera membalikkan badan seraya berseru: "Kokcu, tiga hari kemudian, siaute pun akan melakukan perjalanan keluar lembah .
" "Bagus," kata Tian Mong-pek pula, "tiga hari kemudian cayhe pun akan mulai melakukan pencarian." II "Dasar bocah muda, seru Thiat Tou sambil tertawa tergelak, "mencari untung selama tiga hari pun tak sudi, kau memang tak malu dipanggil saudara cilik oleh kokcu toako serta aku Thiat Tou-cu." Tian Mong-pek segera membungkukkan badan memberi hormat, ujarnya: "Tolong kokcu bisa mewakili tecu menyampaikan kepada hujin serta nona bahwa aku mohon pamit, sekarang juga tecu akan per gi bersama taysu serta cinjin." Biarpun senyuman masih menghiasi wajah kokcu lembah kaisar, namun tidak menutupi rasa sedih dihatinya.
Setelah melewati hiolo tembaga, dibagian belakang merupakan sebuah ruangan indah dengan perabot yang antik, berada disudut mana pun dalam ruangan ini, tak nampak sedikit debu pun.
Dalam ruangan itu lagi-lagi terdapat sebuah hiolo tembaga kecil, tampak kokcu lembah kaisar memutar penutup hiolo itu ke samping, hiolo itu segera bergeser ke samping dan muncullah mulut mas uk sebuah lorong bawah tanah.
Biarpun kokcu lembah kaisar bermaksud akan menghantar hingga ke mulut lembah, namun niatnya dicegah Thian-huan taysu maupun Giok-ki cinjin,
Biarpun kokcu lembah kaisar bermaksud akan menghantar hingga ke mulut lembah, namun niatnya dicegah Thian-huan taysu maupun Giok-ki cinjin, maka pintu lorong bawah tanah pun segera ditutup kembali.
Sekalipun pintu sudah tertutup, suasana dalam lorong rahasia tetap terang benderang, ini dikarenakan pada kedua belah dinding terdapat cahaya muatiara.
Menyaksikan kesemuanya ini, Giok-ki cinjin mau tak mau berdecak kagum, katanya: "Siau kokcu memang tak malu disebut seorang tokoh luar biasa, bila tidak menyaksikan dengan mata kepala sendiri, pinto tak percaya kalau dikolong langit terdapat sebuah tempat semacam lembah kaisar.
" Langkah kaki kedua orang tokoh silat ini enteng bagaikan hembusan angin, masih untung Tian Mong-pek mampu mengikuti dari belakang.
Biarpun lorong rahasia itu amat panjang dan berliku, pada akhirnya tibalah mereka bertiga di ujung lorong.
Ternyata mulut lorong tertutup rapat oleh tumbuhan rotan sehingga orang luar sulit untuk menemukan tempat itu, didepan tumbuhan rotan terdapat pula sebidang tanah yang dipenuhi tanaman bambu, dibawah sebatang pohon siong terdapat sebuah batu hijau, diatas batu terdapat sebuah keranjang bambu dengan berapa macam hidangan, tapi tak nampak sesosok bayangan manusia pun disana.
Thian-huan taysu yang melompat keluar lebih dulu dari lorong bawah tanah, menyaksikan sekeliling tempat itu, dengan wajah berubah serunya: "Kenapa mereka berempat tidak berada disini" Jangan-jangan telah terjadi sesuatu di tempat ini?" "Terjadi apa?" tanya Tian Mong-pek.
Dengan wajah ikut berubah, kata Giok-ki cinjin pula: "Bila tidak terjadi sesuatu, mereka berempat pasti tak berani meninggalkan tempat ini, walau harus menunggu setahun pun." Perlu diketahui, peraturan yang berlaku dalam biara Siau-lim maupun Bu-tong sangat keras dan ketat, para murid yang melakukan perjalanan bersama ketua nya, benar benar akan mentaati peraturan dan berdisiplin tinggi, mereka tak berani sembarangan meninggalkan rombongan.
"Jangan jangan mereka pergi ke kamar kecil .
. . . .." kata Thian-huan taysu dengan kening berkerut.
Tapi belum selesai bicara, tiba tiba wajahnya berubah hebat.
Mengikuti arah yang dipandang, Giok-ki cinjin serta Tian Mong-pek segera menjumpai sebuah kutungan tangan yang masih berdarah tergeletak dibalik semak belukar dibawah pohon siong.
Sebuah kutungan tangan kiri dengan jari tangan yang lebar dan pendek, telapak tangannya dipenuhi kulit tebal.
Memeriksa sebentar kutungan itu, ujar Giok-ki cinjin kemudian: "Kutungan ini sudah pasti bukan tangan muridku, ilmu yang kami pelajari adalah ilmu Bian-ciang (pukulan lembek) dari Bu-tong, sebaliknya pemilik tangan ini kasar, jelas dari seseorang yang berlatih ilmu Il gwakang .
. . . . . .. Dia melirik Thian-huan taysu sekejap dan tiba tiba menghentikan perkataannya.
"Muridku Bu-sim kebetulan mempelajari ilmu tenaga luar." Kata Thian-huan taysu dengan wajah berubah.
"Tapi empat murid utama dari biara Siau-lim merupakan jago-jago silat II kelas satu, ujar Giok-ki Cinjin, "lagipula ilmu silat murid muridku juga cukup tangguh, jadi sangat mengherankan bila mereka berempat telah mengalami suatu peristiwa." Paras muka Thian-huan taysu berubah amat serius, katanya perlahan: "Jika tenaga gabungan mereka berempat pun masih tak mampu menandingi kemampuan lawan, tak bisa dibayangkan tokoh macam apakah pihak lawan." Mereka cukup mengerti akan kehebatan ilmu silat yang dimiliki murid masing-masing, kemampuan mereka berempat sudah mencapai tingkat yang luar biasa dan jarang yang bisa menandingi, tapi kini mereka hilang lenyap, Bu-sim pun kehilangan telapak tangannya.
Perubahan yang mengejutkan ini kontan saja menimbulkan perasaan bergidik bagi kedua orang ketua partai ini, mereka tidak menyangka kalau ditengah tempat yang terpencil begini bisa terdapat gembong iblis yang begitu hebat.
Dengan wajah serius ujar Giok-ki Cinjin: "Leng-hong, Leng-sik adalah orang orang yang jujur dan polos, mereka tak pernah membuat keonaran maupun permusuhan dalam dunia persilatan .
. . . . .." "Terlebih murid-muridku," sela Thian-huan taysu, "murid-muridku jarang melakukan perjalanan dalam dunia persilatan, jadi mustahil ada orang mencari balas terhadap mereka .
. . . . .. aai, banyak bicara tak ada gunanya, mari secara terpisah kita lakukan pencarian." Giok-ki Cinjin mengebaskan ujung bajunya sambil meraba gagang pedangnya, dengan nada keras ujarnya: "Sudah banyak tahun pinto tak pernah mencampuri urusan dunia, hari ini tampaknya aku harus menjajal ketajaman mata pedangku." Jago pedang penakluk iblis yang sudah puluhan tahun tersohor dalam dunia persilatan ini tampaknya betul-betul sudah dibuat naik pitam, dari balik sorot matanya yang tajam, terlintas hawa napsu membunuh yang amat tebal.
"Kelihatannya lolap harus melanggar juga pantangan untuk membunuh." Kata Thian-huan taysu perlahan.
Ketika menyaksikan kutungan tangan murid kesayangannya, meski diwajah tetap tenang namun bara api amarah telah menggelora dalam dadanya.
Angin gunung berhembus kencang, menggoyangkan ujung baju kedua orang itu.
Menyaksikan sikap kedua orang ciangbunjin itu, tanpa terasa Tian Mong-pek merasa hawa darahnya ikut bergelora, serunya: "Bolehkah boanpwee menyumbangkan tenaga?" "Baik," kata Giok-ki Cinjin, "kita bertiga lakukan penelusuran secara terpisah, begitu menemukan jejak musuh, segera bersuit panjang tanda bahaya, pinto berangkat duluan." Begitu selesai bicara, ia segera melesat pergi meninggalkan tempat itu, hanya dalam berapa kali lompatan, bayangan tubuhnya telah lenyap dikejauhan.
Thian-huan taysu menghela napas panjang, katanya: "Kegagahan Giok-ki Cinjin sama sekali tidak berkurang dari kegagahan dulu, kini rasul pedang penakluk iblis telah muncul kembali dalam dunia persilatan, para kurcaci bakal mengalami pembantaian secara besar- besaran." Lalu sesudah mengebutkan jubahnya, ia menambahkan: "Hati-hati bertindak, lolap pergi dulu." Hanya terdengar hembusan angin menyambar lewat, bayangan tubuhnya sudah tinggal setitik cahaya dikejauhan.
Suasana kembali dicekam keheningan, yang terdengar hanya suara angin yang menggoyangkan dedaunan.
Tian Mong-pek merasa semangatnya berkobar, dia tak ambil peduli selihay apa gembong iblis yang bersembunyi dibalik kegelapan, selama kaki tangannya masih bisa digunakan, dia ingin bertarung habis habisan dengan gembong iblis itu.
Dengan langkah lebar dia menelusuri semak belukar, matanya yang tajam mengawasi sekeliling tempat itu, memperhatikan gerak gerik yang ada di empat penjuru.
Lambat laun langit semakin gelap, matahari senja telah tenggelam dibalik pegunungan.
Dari kejauhan hanya terdengar suara jangkrik serta dedaun yang bergoyang, seluruh jagad seolah tercekam dalam suasana penuh hawa pembunuhan.
Hembusan angin gunung terasa makin dingin, Tian Mong-pek mempercepat langkahnya, mendadak.....
sekilas cahaya api berkilat dari balik pepohonan didepan sana, ditengah gunung yang begitu sepi dan hening, lintasan cahaya itu bagaikan api setan yang bergerak.
Tanpa terasa Tian Mong-pek merasa semangatnya bangkit, cepat dia menyusul ke depan, dengan berapa kali lompatan dia menghampiri sumber cahaya itu.
Lagi-lagi sinar api berkelebat, sebentar muncul sebentar lenyap, bergerak dan mengalir dibalik pepohonan.
Ditengah kegelapan yang mencekam, gerakan cahaya api itu menambah suasana menyeramkan diseputar sana, membuat orang seolah lupa kalau ia masih berada di alam manusia.
Tapi Tian Mong-pek sama sekali tak jeri, sambil tahan napas ia bergerak mengikuti sumber cahaya itu.
Entah berapa saat kemudian, tibalah pemuda itu diujung hutan, sebuah bukit menghadang jalan selanjutnya.
Cahaya api itu bergerak meninggalkan pepohonan, kini Tian Mong-pek baru dapat melihat dengan jelas, ternyata cahaya api itu berasal dari sebuah obor yang dipegang sesosok makhluk aneh menyerupai manusia yang memiliki bulu panjang berwarna putih.
Dipandang dari arah belakang, ternyata makhluk aneh itupun memiliki tangan dan kaki, selembar kulit macan tutul melilit dipinggangnya, dengan tangan kiri ia membawa obor, tangan kanannya menenteng seekor serigala gunung yang berpelepotan darah.
Biarpun Tian Mong-pek bernyali pun, tak urung dia bermandikan peluh dingin setelah bertemu makhluk aneh menyerupai mayat hidup ditengah gunung yang sunyi ini.
Makhluk aneh itu mempunyai lebar satu meter dengan tinggi satu setengah meter, biarpun bentuknya menyerupai kotak namun gerak geriknya enteng dan lincah, seakan dia bergerak karena mengikuti hembusan angin.
Dengan satu gerakan yang enteng, makhluk itu menyusup masuk ke dalam sebuah gua yang berada di dinding bukit.
Tian Mong-pek harus menenangkan sejenak pikirannya sebelum mempertimbangkan langkah berikut, saat itulah terlihat cahaya api memancar keluar dari balik gua, tampakhnya makhluk aneh itu sudah membuat api unggun didalam ruang gua.
Begitu cahaya menerangi gua itu, mendadak berkumandang suara tertawa yang aneh, suara tertawa itu serak lagi rendah, kedengaran seperti suara auman harimau.
Sewaktu didengarkan lebih cermat, terdengar kalau dibalik suara tertawanya tersisip pula rintihan penderitaan yang memedihkan.
Kontan saja Tian Mong-pek merasakan jantungnya berdebar keras, pikirnya terperanjat: "Jangan-jangan murid Thian-huan taysu serta Giok-ki Cinjin sudah ditangkap makhluk aneh itu?" Dia melompat ke tepi hutan lalu melongok keluar dari balik kegelapan.
Betul saja, didalam gua terdapat seonggok api unggun, dibawah cahaya api terlihat dua orang tosu berjubah biru tergantung disisi kiri, sementara murid Siau-lim digantung disisi kanan api unggun.
Sekujur tubuh keempat orang itu berlumuran darah, lengannya terkulai lemas, meskipun tak bisa terlihat mimik wajah mereka, namun dapat diketahui kalau mereka sudah mengalami siksaan yang berat hingga kehabisan tenaga.
Sementara itu makhluk berbulu putih itu telah merobek selembar daging serigala yang kemudian dipanggang diatas api, bau hangus yang amis membuat perut terasa mual.
Ternyata wajah makhluk itupun dipenuhi bulu putih yang panjang, tapi sepasang matanya memancarkan sinar setajam mata pisau, berkilat diantara bulu putihnya.
Diam-diam Tian Mong-pek merasa bergidik, dia tak tahu makhluk aneh itu termasuk manusia" Hewan" Atau bangsa siluman" Untuk berapa saat ia tak berani bergerak secara sembarangan.
Makhluk berbulu putih itu melahap separuh bagian daging serigala itu, kemudian katanya sambil tertawa aneh: "Hei hwesio cilik, tosu cilik, kalian mau makan juga?" Biarpun suaranya tidak enak didengar, namun jelas sekali kalau suara manusia.
Mendengar suara aneh makhluk berbulu itu, Tian Mong-pek merasa makin bergidik, tanpa terasa bulu kuduknya pada bangun berdiri.
Terdengar makhluk aneh itu berkata lagi sambil tertawa keras: "Ooh, aku tahu, hwesio dan tosu pantang makan barang berjiwa, mana boleh ikutan mencicipi daging serigala?" Setelah menghentikan tertawanya, ia membentak: "Tapi kalau perut sudah lapar, apapun akan dimakan, tahukah kalian, aku pernah makan cacing, katak .
. . . . . . .

Panah Kekasih Karya Gu Long di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

.." Nada ucapannya dipenuhi rasa benci dan dendam, mendadak ia jejalkan daging serigala yang berada ditangannya, ke mulut seorang tosu berjubah biru yang berada disisinya.
"Makan, ayoh makan, kalau tidak akan kujagal dirimu." Bentaknya.
Ingin sekali Tian Mong-pek memuntahkan isi perutnya, tapi makhluk berbulu putih itu justru tertawa keras sambil menari-nari didepan api unggun, mengawasi tosu berjubah biru yang sedang muntah hingga keluar cairan pahitnya dengan penuh rasa bangga.
"Kee..... kenapa kau tidak membunuh kami saja?" rintih salah seorang tosu berjubah biru itu.
"Hahaha, bunuh kalian berempat?" ejek makhluk berbulu putih itu sambil tertawa seram, "memangnya kau anggap aku mau memberi keringanan untuk kalian" Hehehe.....
akan kusiksa dulu kalian dengan segala penderitaan, tak nanti kubiarkan kalian mati begitu saja." II "Apa dendam sakit hati kami berempat dengan dirimu, kenapa kau .
. . . . . .. "Tak ada dendam sakit hati?" tukas makhluk berbulu putih itu keras, "hehehe, selama puluhan tahun, aku harus merasakan segala penderitaan dan siksaan, kesemuanya itu tak lain hasil pemberian manusia macam kalian." Kemudian setelah tertawa kalap, lanjutnya: "Kau tahu bagaimana rasanya cacing hidup" Mari, biar locu suruh kalian ikut mencicipinya .
. . . . .." Tiba tiba ia bungkukkan badan dan mulai menggali tanah.
Memandang ke tiga orang rekannya yang sudah tergantung lemas, mendadak tojin berjubah biru itu berteriak: "Baik, lepaskan dulu mereka semua, akan kukatakan kepadamu." Makhluk berbulu putih itu segera melompat bangun, sahutnya: "Katakan dulu, kemudian aku baru akan membebaskan mereka.
Tapi kau harus menjawab dengan sejujurnya, sepatah kata saja ada yang berbohong, akan kusuruh kalian merasakan siksaan hidup." "Tanyalah." Kata tojin berjubah biru itu sambil menghela napas panjang.
"Hahaha, selama tiga puluh tahun terakhir, belum pernah kujumpai orang yang benar-benar bisa menyimpan rahasia, sedari tadi aku sudah tahu, kau pasti akan buka suara." Setelah menghentikan tertawanya, ia membentak nyaring: "Di mana letak lembah kaisar?" "Dalam bukit Kun-lun ini."
"Di mana letak lembah kaisar?" "Dalam bukit Kun-lun ini." "Dimana mulut masuk menuju lembah" Bagaimana caranya lewat?" Belum sempat tojin berjubah biru itu menjawab, tojin yang berada disisinya telah menjerit keras, teriaknya: "Suheng, kau.....
kau tak boleh bicara, bila .
. . . . .." Belum selesai ia berkata, makhluk berbulu putih itu sudah menampar wajahnya keras-keras, diiringi percikan darah segar, tosu itu jatuh tak sadarkan diri.
Api amarah seperti sinar mata binatang buas terpancar dari balik mata makhluk berbulu putih itu, sambil menyeringai seram katanya: "Jika ada yang berani buka suara lagi, akan kupanggang dia dan kumakan dagingnya." Kini, Tian Mong-pek sudah tak sanggup menahan diri lagi, secepat asap dia melompat keluar dari tempat persembunyiannya.
Baru saja makhluk aneh itu tertawa seram, sekonyong-konyong dari belakang tubuhnya terdegar seseorang menghardik: "Cepat berpaling, aku tak sudi membokongmu dari belakang." Seketika makhluk aneh itu menghentikan gelak tertawanya, perasaan tegang menyelimuti wajahnya, agak parau tegurnya: "Giok-ki si hidung kerbau, rupanya kau pun sudah datang?" Nada suaranya kering dan kaku, jelas dia sedang merasa amat tegang, sepasang tangannya kembali diletakkan diatas lutut, namun ia tetap tidak berpaling.
"Hmm, aku seorang pun sudah cukup untuk membunuhmu, tak perlu Giok-ki Cinjin datang sendiri." Jawab Tian Mong-pek sambil tertawa dingin.
"Ooh, rupanya Thian-huan si keledai gundul yang datang!" kata makhluk berbulu putih itu dingin.
Sambil berbicara secara diam-diam ia menghimpun tenaga dalamnya, makhluk ini tahu, orang lain tak bakal melancarkan serangan bokongan, oleh sebab itu sebelum persiapannya matang, dia tak akan berpaling.
"Thian-huan taysu pun tidak datang, yang kemari hanya sauya mu seorang." Jawab Tian Mong-pek.
Tiba-tiba makhluk berbulu putih itu membalikkan badan, sorot matanya bagaikan hewan buas menatap tajam seluruh wajah Tian Mong-pek, kemudian perasaan kaget bercampur keheranan terpancar dari balik matanya.
Tampaknya dia sama sekali tidak mengira kalau orang yang dapat menyelinap ke belakang tubuhnya tanpa menimbulkan suara, ternyata hanya seorang pemuda biasa.
Sesudah termangu berapa saat, bentaknya: "Siapa kau?" "Makhluk apa pula dirimu?" balas Tian Mong-pek tak kalah kerasnya.
Kontan saja makhluk berbulu putih itu perlihatkan gigi taringnya yang tajam lalu menyeringai seram.
"Locu adalah raja iblis yang datang dari neraka, khusus datang untuk mencabut nyawa kalian manusia manusia jadah." Lidah api yang bergoyang menimbulkan suara gemeretak, ibarat api iblis dari neraka, menyinari giginya yang putih, mata yang merah serta bulu badannya yang lebat, menambah seramnya tampilan makhluk tersebut.
Wajah jelek semacam ini teramat langka untuk dijumpai, walau hanya dalam alam mimpi pun, apalagi kini tampil jelas didepan mata, ditanggung orang biasa bakal pecah nyali bila menyaksikannya.
Siapa tahu bukannya ketakutan, tiba tiba saja Tian Mong-pek tertawa keras, sambil tertawa kalap serunya: "Kalau kau adalah raja iblis, maka akulah orang yang khusus datang untuk membekuk kaum siluman macam dirimu, memang kau sangka sauya takut kepadamu?" Mendadak tubuhnya merangsek maju, sebuah pukulan tinju dilontarkan langsung mengarah wajah makhluk aneh itu.
Bagi pemuda nekat ini, biar dihadapannya betul betul muncul raja iblis beneran pun, dia tetap akan menantangnya untuk bertarung.
"Bocah keparat, besar amat nyalimu, berani bertarung melawan aku?" makhluk aneh itu menyeringai seram.
Menghadapi datangnya ancaman dari pemuda itu, bukan saja tidak membalas, ternyata berkelit pun tidak.
Tatkala kepalan Tian Mong-pek hampir mengenai tubuh lawan, secara tiba tiba dia tarik kembali serangan itu lalu bergeser mundur sejauh tiga depa.
"Hahaha, ternyata kau takut kepadaku." Ejek makhluk aneh itu sambil tertawa keras.
"Siapa bilang aku takut?" bentak Tian Mong-pek.
"Kalau tidak takut, kenapa tak berani memukul aku?" "Hahaha, selama hidup sauya belum pernah menghajar orang yang tak berani balas melancarkan serangan, biarpun kau adalah setan hidup, aku tak sudi mengambil keuntungan ini." "Bocah keparat, kau memang bernyali." Seru makhluk berbulu putih itu sambil tertawa keras.
Belum selesai berbicara, dia sudah melontarkan satu pukulan kearah Tian Mong-pek, belum tiba serangan itu, angin pukulan yang maha dahsyat sudah menggulung tiba, satu kekuatan yang belum pernah dijumpai pemuda itu sebelumnya.
Bahkan Lan Toa-sianseng yang memiliki ilmu silat maha dahsyat pun, angin pukulannya belum sampai mencapai tingkatan semacam ini.
Tian Mong-pek terkesiap, dia buang tubuhnya ke belaka ng sambil melepaskan satu tendangan ke arah urat nadi lawan.
"Hahaha, ternyata hanya bisa ilmu silat pasaran." Ejek makhluk aneh berbulu putih itu sambil tertawa tergelak.
Dia membalik tangannya membacok kaki pemuda itu, perubahan jurus dilakukan sangat cepat dan menakutkan.
Siapa tahu Tian Mong-pek justru menggunakan peluang itu untuk berjumpalitan ditengah udara sambil melancarkan pukulan dengan kedua kepalannya, menembusi titik kelemahan makhluk aneh itu dengan menghajar dada dan lambungnya.
Kalau pada serangan yang pertama dia menggunakan jurus yang bersahaja, kali ini perubahan jurusnya cepat dan aneh, sama sekali diluar dugaan makhluk aneh itu.
Sambil berpekik aneh, makhluk itu menyelinap ke belakang tubuh Tian Mong-pek lalu serunya sambil tertawa keras: "Mau kulihat, kau akan kabur kemana untuk menghindari serangan ini." Biarpun hanya sepatah kata yang singkat, secara beruntun dia telah melepaskan lima buah pukulan berantai.
sekonyong-konyong Tian Mong-pek membalikkan badan kemudian melepaskan lima buah serangan bagaikan amukan badai, semua serangan merupakan ancaman nyata, keras lawan keras, tidak menghindar tidak berkelit, dia sambut ke lima serangan lawan dengan kekerasan.
Terdengar suara benturan keras bergema silih berganti, suara benturan yang begitu keras ibarat gelegar guntur yang memekakkan telinga.
Diam-diam murid Siau-lim serta Bu-tong yang digantung diatas dinding tebing merasa terperanjat, mereka sangka Tian Mong-pek tak akan mampu mempertahankan diri sesudah terjadi bentrokan tersebut.
Siapa sangka, bukan saja Tian Mong-pek tidak berhasil dihajar, sebaliknya makhluk aneh berbulu putih itu yang dipaksa mundur setengah langkah oleh angin pukulan lawan, dari balik sorot matanya yang menyeramkan, terbesit garis-garis panjang berwarna merah darah, diiringi bentakan keras, lagi-lagi dia melepaskan lima buah serangan dahsyat.
Dia sangka Tian Mong-pek pasti tak berani keras lawan keras setelah menyaksikan kedahsyatan angin pukulannya tadi, karena itu dalam ke lima serangannya tadi, dia hanya menyertakan tiga bagian tenaga dalamnya.
Siapa tahu Tian Mong-pek yang bernyali dan selama hidup tidak pernah gentar menghadapi lawannya, ternyata berani menerima ke lima buah serangannya dengan keras lawan keras.
Kini api amarah dan napsu membunuhnya telah berkobar, sewaktu kedua kalinya melancarkan lima buah serangan, ia telah sertakan segenap tenaga dalam yang dimiliki.
Ditengah deruan angin pukulan, bentaknya keras: "Coba sekali lagi kau sambut ke lima buah seranganku ini!" "Memangnya aku takut?" sahut Tian Mong-pek ketus.
Belum selesai ucapan itu, lagi lagi lima benturan keras berkumandang ditengah udara, kali ini Tian Mong-pek merasakan tubuhnya bergetar keras, setelah berjumpalitan ditengah udara, tubuhnya terlempar ke sisi api unggun.
Tojin berjubah biru yang berada disisi api unggun buru buru berseru: "Kau bukan tandingan makhluk aneh itu, cepat gunakan kesempatan ini untuk melarikan diri!" "Terima kasih totiang." "Jalan masuk menuju ke lembah kaisar terletak di .
. . . . . .." Tampaknya tojin berjubah biru itu ingin mengalihkan perhatian makhluk aneh berbulu putih itu, agar Tian Mong-pek punya kesempatan untuk melarikan diri.
Siapa sangka belum selesai ia berkata, Tian Mong-pek sudah melompat maju lagi sambil berteriak keras: "Makhluk tua, rasakan juga ke lima jurus pukulanku ini." Dalam waktu singkat sepasang tangannya tampak berubah jadi bayang bayang semu, sebentar menyabet sebentar menyodok, dalam waktu sekejap diapun sudah melancarkan lima buah serangan berantai.
Dari ke lima jurus serangan itu, dua jurus merupakan ilmu pukulan dari Thian-jui tojin, dua jurus ilmu silat ajaran kokcu lembah kaisar dan satu jurus hasil ciptaan sendiri.
Untuk berapa saat makhluk aneh berbulu putih itu tampak tertegun, serunya kemudian: "Bocah keparat, darimana kau pelajari jurus-jurus serangan itu?" Sementara berbicara, dia melancarkan pula lima buah serangan.
"Tak usah bertanya darimana jurusku itu, nikmati saja kehebatanku ini." sahut Tian Mong-pek.
Setelah menyaksikan siksaan dan penderitaa yang dialami ke empat orang murid Siau-lim dan Bu-tong, api amarah telah berkobar dalam dadanya, kini bukan saja jurus serangannya bertambah aneh dan sakti, angin pukulan yang dihasilkan pun makin dahsyat Dengan mata tak berkedip makhluk aneh berbulu putih itu mengawasi terus gerakan tangan musuh, setiap jurus dipatahkan dengan jurus, setiap gerakan dihadapi dengan gerakan, jurus serangan yang digunakan meski semuanya bersifat keras, namun gerakan tubuhnya justru gesit dan lincah bagaikan seekor ular berbisa.
Diam-diam Tian Mong-pek berpikir: "Kusangka jago lihay dikolong langit, selain Siau dan Lan dua orang tokoh sakti itu, sudah tak ada orang lain lagi, ternyata masih ada seorang makhluk aneh semacam ini." Walaupun sadar kalau dirinya bukan tandingan lawan, hal ini tidak membuatnya jadi takut hingga mengundurkan diri, dengan menggabungkan jurus serangan yang diperoleh dari kokcu lembah kaisar serta Lan Toa-sianseng, dia memberikan perlawanan dengan gigih dan sepnuh tenaga.
Tampak jurus serangannya mencakup kekuatan positip maupun negatip, bahkan semakin bertarung, jurus yang digunakan makin aneh dan dahsyat.
Ternyata makhluk aneh itu jauh lebih hebat, ilmu silat yang digunakan pun makin rumit dan aneh.
Ke empat murid Siau-lim dan Bu-tong yang menonton jalannya pertarungan itu jadi terkesiap, mereka menonton dengan mata terbelalak dan mulut melongo, walaupun mereka adalah murid perguruan kenamaan, namun belum pernah menyaksikan jurus silat seaneh ini.
Untuk sesaat mereka seolah lupa kalau dirinya masih digantung orang.
Bab 23. Cinta dendam si Tanpa usus.
Dalam waktu singkat, kedua orang itu kembali bertarung sebanyak puluhan gebrakan.
Diam-diam Tian Mong-pek keheranan, pikirnya: "Kelincahan makhluk aneh ini sama sekali tidak dibawah kokcu lembah kaisar, keampuhan tenaga pukulannya terasa masih diatas kemampuan Lan Toa-sianseng, tapi dalam pandanganku, dia masih bukan tandingan Lan Toa-sianseng maupun kokcu lembah kaisar, aneh, kenapa bisa begitu?" Sementara berpikir, tangan kanannya membabat lengan kiri makhluk aneh itu dari atas ke bawah, ketika makhluk itu mengigos ke kiri, tidak menunggu sampai lawan melancarkan serangan balasan, pukulannya kembali disodok dari bawah ke atas.
Kemudian pemuda itu menekuk sikutnya sambil sedikit membongkok, tangannya dengan jurus kim-si-ga-lian (menggunting serat emas) mencakar urat nadi lawan dengan jari tangan bagaikan cakar maut.
Jurus serangan yang digunakan kedua orang itu sama-sama ganas dan dahsyat, biarpun hanya dua orang yang sedang bertarung, namun angin serangan yang dihasilkan ibarat ada puluhan orang sedang bertempur.
Dalam waktu singkat puluhan gebrakan kembali sudah berlalu.
Mendadak Tian Mong-pek seakan menyadari akan sesuatu, pikirnya: "Aah, betul.
Biarpun ilmu silat yang dimiliki makhluk aneh ini sangat lihay, namun dia tidak memiliki kecerdasan kokcu lembah kaisar, tidak memiliki pula kegarangan Lan Toa-sianseng, oleh sebab itu biar ilmu silatnya lebih hebat pun, belum tentu ia mampu mengungguli mereka berdua." Dengan kecerdasan pemuda ini, begitu memahami keadaan yang sesungguhnya, banyak kekuatiran pun segera tersapu lenyap dari benaknya.
Tubuh mereka berdua bergeser terus tiada hentinya, lambat laun balik kembali ke sisi api unggun.
Mendadak terdengar tojin berjubah biru yang berada ditepi api unggun berkata dengan suara dalam: "Tampaknya makhluk aneh ini merupakan musuh besar Lan Toa-sianseng serta kokcu lembah kaisar, hengtay harus lebih berhati hati." Untuk berapa saat Tian Mong-pek tak dapat menangkap maksud dari ucapan itu, tanyanya: "Totiang, apa maksud perkataanmu itu?" "Hidung kerbau cilik," teriak makhluk aneh itu pula gusar, "berani banyak bicara lagi, segera kujagal dirimu." Tian Mong-pek segera berdiri menghadang didepan tojin berjubah biru itu, sama sekali tak bergerak.
Terdengar tojin berjubah biru itu berkata lagi: "Kelihatannya makhluk aneh ini dapat melihat kalau ilmu silat mu berasal dari Lan Toa-sianseng serta kokcu lembah kaisar, karena itulah ia tidak melancarkan serangan mematikan." Tian Mong-pek segera sadar, serunya: "Oh, rupanya dia ingin meraba kehebatan ilmu silat kedua orang cianpwee dari permainanku, hingga ketika bertarung melawan mereka, ia sudah mempunyai gambaran?" Belum sempat tojin berjubah biru itu mengiakan, makhluk aneh berbulu putih itu telah berseru: "Betul sekali!" "Hahaha, untuk melawan aku pun, kau sudah kewalahan, apalagi melawan kedua orang cianpwee yang ilmu silatnya berapa ribu kali lebih hebat dariku, jangan mimpi disiang hari bolong." "Selama puluhan tahun terakhir, locu khusus melatih ilmu silat yang dapat menghadapi kepandaian silat mereka berdua, locu tidak percaya tak dapat mengungguli mereka berdua." Teriak makhluk tua itu sewot.
Mendengar ucapan tersebut, Tian Mong-pek jadi keheranan, pikirnya: "Kenapa makhluk aneh ini pada saat yang bersamaan bisa bermusuhan dengan Lan Toa-sianseng serta kokcu lembah kaisar" Sebenarnya siapakah orang ini?" Berpikir begitu segera teriaknya keras: "Huh, biar berlatih sepuluh tahun lagipun, kau tetap bukan tandingan mereka." "Kentut!" jerit makhluk aneh berbulu putih itu gusar.
Ditengah bentakan, tiba tiba permainan jurusnya berubah, gerakan tubuhnya makin lama bergerak makin cepat, gerak serangan pun makin berat dan penuh bertenaga, sepuluh gebrakan kemudian ia berhasil meraih posisi diatas angin.
Terlihat tubuh Tian Mong-pek seolah sudah berada ditengah kepungan angin pukulan dan bayangan setannya.
Melihat itu, sambil menghela napas ujar tojin berjubah biru itu: "Aai, tadi masih ada peluang untuk kabur, tapi sekarang..., rasanya susah untuk melarikan diri." "Kalian berempat pun tak sudi tunduk dan takluk kepada orang lain, memang kalian anggap aku takut mati dan pengen kabur" Tolong totiang jangan menyebut lagi kata "kabur" dihadapanku." Biarpun saat ini kemampuannya untuk bertahan sudah makin memudar, namun sama sekali tidak mengurangi kegagahan serta semangat tempurnya.
Tojin berjubah biru itu menghela napas panjang, katanya: "Bila kau termasuk orang yang takut mati, mustahil akan datang kemari, tapi kelewat sayang dan penasaran bila kita berlima harus tewas ditangan makhluk aneh ini dengan percuma!" Terkesiap perasaan Tian Mong-pek sesudah mendengar perkataan itu, pikirnya: "Celaka, kenapa aku lupa memberi peringatan kepada Thian-huan taysu serta Giok-ki Cinjin" Jangan sampai urusan besar terbengkalai." Berpikir sampai disitu, diapun segera bersuit panjang.
Tadi, terdorong kobaran api kegusaran, dia hanya ingin berduel mati-matian melawan makhluk aneh itu tanpa berusaha minta bantuan, tapi kini, setelah tenaga dalamnya melemah, suitan panjangnya pun ikut melemah hingga tak dapat berkumandang lebih jauh.
Lambat laun suara pekikannya mereda, situasi yang dihadapi Tian Mong-pek semakin kritis, walaupun ia sudah tidak memikirkan keselamatan sendiri, namun diapun tak ingin menyaksikan kematian ke empat orang itu gara-gara keteledorannya.
Karena gelisah bercampur panik, jurus serangannya semakin kacau tak karuan.
"Hei, apa yang kau jeritkan?" ejek makhluk aneh berbulu putih itu sambil tertawa dingin.
"Kau tak usah ikut campur." "Huh, kematian sudah didepan mata pun masih berani bicara ketus!" Kendatipun sedang berbincang, jurus serangannya sama sekali tidak mengendor, kelincahan serta kecepatan geraknya semakin mengagetkan, ibarat bayangan setan, sebentar tubuhnya berada di depan, sebentar di belakang, lalu ke kiri kemudian ke kanan.
Seketika itu juga Tian Mong-pek menyaksikan munculnya bayangan tubuh orang itu dari empat arah delapan penjuru, ia jadi bingung dan tak tahu dari arah mana serangan musuh berasal.
Setelah bertempur mati-matian dalam lembah kaisar, sesungguhnya pemuda ini sudah kelaparan dan dahaga setengah mati, kini pandangan matanya mulai berkunang, yang bisa dia lakukan hanya sekuat tenaga melindungi keselamatan sendiri, sama sekali tak punya kekuatan lagi untuk balas menyerang.
Diam-diam tojin berjubah biru itu menghela napas panjang, ia pejamkan matanya dan tidak tega untuk menyaksikan lebih jauh.
Tiba-tiba terdengar jeritan kaget, tak tahan dia membuka kembali matanya, tampak tubuh Tian Mong-pek sudah roboh terkapar ditanah, dibawah sinar api, terlihat noda darah membasahi ujung bibirnya.
Makhluk aneh berbulu putih itu berdiri dihadapannya sambil bertolak pinggang, ejeknya sambil tertawa dingin: "Kalau punya nyali, ayoh bangkit berdiri, kita bertarung lagi." Belum selesai ucapan itu, Tian Mong-pek sudah membentak keras sambil melompat bangun, sambil menggigit bibir, sepasang kepalannya kembali melepaskan pukulan.
Dengan mudah sekali makhluk aneh itu berkelit ke samping, mendadak satu tendangan dilontarkan.
Sekuat tenaga Tian Mong-pek berkelit dari tendangan itu, tapi bahunya kembali termakan satu pukulan.
Tubuhnya mundur dengan terhuyung dan sempoyongan, tapi akhirnya roboh kembali ke tanah.
"Masih mau dilanjut pertarungan ini?" kembali makhluk aneh itu mengejek sambil tertawa dingin.
Tanpa mengucapkan sepatah kata pun Tian Mong-pek bergulingan ditanah, menggunakan kesempatan itu dia melompat bangun seraya melancarkan serangan, sayang tenaganya sudah melemah, pukulannya sama sekali tak mampu lagi melukai lawannya.
Tanpa menggerakkan tangannya kembali makhluk aneh itu menghindar dari serangan lawan, satu tendangan untuk kesekian kalinya merobohkan pemuda itu.
Siapa tahu tanpa sangsi pemuda itu segera merangkak bangun dan melancarkan kembali serangannya.
Pada akhirnya sekujur tubuh pemuda itu sudah berpelepotan darah bercampur lumpur, tapi dia tetap bangkit berdiri, sambil menggertak gigi menerjang kearah lawan dan melepaskan lagi serangkaian pukulan.
Dalam keadaan begitu, hanya dengan satu ayunan tangan, makhluk aneh itu berhasil merobohkan lawannya.
"Masih ingin bertarung terus?" tegurnya dengan suara dalam.
Walau sepatah kata yang sama dengan ucapannya tadi, namun kini nada suaranya telah berbeda.
Sekalipun hatinya kejam dan telengas, tak urung hatinya dibuat tercekat juga oleh kenekatan serta kegagahan pemuda itu, terlebih ke empat orang murid dari Siau-lim serta Bu-tong, mereka betul betul dibuat terkesiap bercampur tak tega.
Dengan mulut berpelepotan darah, perlahan-lahan Tian Mong-pek bangkit berdiri kembali.
"Masih mau bertarung terus" Memang kau anggap kebal pukulan?" dengus makhluk aneh itu.
"Huh, tidak segampang itu bila ingin menghajar mampus diriku." Teriak Tian Mong-pek.
Tojin berjubah biru itu betul-betul tidak tega, serunya sambil menghela napas: "Buat apa kau bertarung terus" Sudah jelas makhluk aneh itu berniat mempermainkan dirimu, itulah sebabnya dia enggan membunuh dirimu." "Selama dia belum membunuh diriku, akan kulawan terus hingga titik darah penghabisan." Sahut Tian Mong-pek.
Ditengah teriakannya yang parau, terselip semangat serta keberaniannya yang pantang menyerah.
"Bagus!" kata makhluk aneh itu kemudian, "akan kulihat sampai dimana kemampuanmu untuk bertahan." Mendadak dia lepaskan satu pukulan ke dada Tian Mong-pek, membuat tubuh pemuda itu terpental ke udara dan terjatuh ke tepi api unggun.
Begitu mencium tanah, kali ini pemuda itu tak sanggup bergerak lagi.
"Ayoh bangun, cepat bangun," ejek makhluk aneh berbulu putih itu sambil tertawa dingin, "ayoh bertarung tiga ratus gebrakan lagi melawan locu." Sambil berkata perlahan ia maju mendekat dan melepaskan satu tendangan ke bahu pemuda itu.
Siapa tahu saat itulah tiba tiba Tian Mong-pek membalikkan badan, memeluk kakinya lalu berguling kearah onggokan api unggun.
Biarpun hebat ilmu silat makhluk aneh berbulu putih itu, namun kejadian tersebut sama sekali diluar dugaan, tubuhnya terhuyung lalu ikut terjatuh ke tengah api unggun.
sebagai pemuda yang keras kepala, bagi Tian Mong-pek lebih baik mati daripada dihina, sejak awal sudah berniat adu nyawa, maka begitu tercebur ke dalam jilatan api, dia semakin kencang memeluk kaki kanan lawannya.
Sebagaimana diketahui, makhluk aneh itu dipenuhi bulu putih disekujur badannya, begitu terjilat api, bulunya langsung terbakar, biar badannya sekeras baja pun, saat ini mulai tak kuasa menahan diri.
Terdengar ia menjerit kesakitan, suaranya tinggi, tajam menakutkan, ibarat seekor serigala yang sedang melolong.
Ditengah teriakan kesakitan, tubuhnya melambung ke tengah udara, tapi Tian Mong-pek tetap memeluk kakinya kencang kencang, kini pakaian serta rambut pemuda itu ikut terjilat api.
Kegagahan dan kenekatan pemuda itu membuat murid murid Siau-lim maupun Bu-tong jadi bergidik, paras muka mereka berubah, dalam keadaan begini mereka malah lupa dengan rasa sakit yang diderita.
Berada ditengah udara makhluk aneh itu salto berapa kali kemudian bagaikan gumpalan bola api meluncur turun diluar onggokan api, sambil bungkukkan badan ia totok jalan darah Ci-ti-hiat di sikut anak muda itu.
Begitu cengkeraman Tian Mong-pek mengendor, ia segera menggelinding ke samping untuk memadamkan kobaran api ditubuhnya, setelah itu serunya sambil menyeringai seram: "Bocah keparat, tampaknya kau memang sudah bosan hidup." Dengan gemas dia tenteng tubuh Tian Mong-pek sambil mendekati api unggun, tambahnya: "Akan kupanggang tubuhmu hidup hidup, kemudian akan kusuruh mereka mencicipi rasanya daging manusia." Kini, sekujur badannya sudah terbakar hingga hitam hangus, ditambah lagi suara tertawa seramnya yang menusuk pendengaran, pada hakekatnya makhluk aneh ini sudah tidak mirip manusia lagi, tapi menyerupai setan hidup.
Untungnya, belakangan tenaga dalam Tian Mong-pek telah mengalami kemajuan pesat, hingga kini dia belum sampai jatuh pingsan, seandainya pemuda itu semaput, mungkin keadaannya jauh lebih mendingan, paling tidak ia tak usah merasakan penderitaan lagi.
Tapi ini pikiran maupun kesadarannya masih jernih, tapi siksaan dan penderitaan yang dirasakan amat luar biasa.
Matanya melotot besar, giginya terkatup rapat, jangankan berteriak, merintih pun tidak.
"Bocah keparat, kau memang hebat," ujar makhluk aneh itu kemudian sambil tertawa seram, "selama hidup, belum pernah locu menyaksikan manusia macam kau." Perlahan dia angkat tangannya dan berkata lebih lanjut: "Hei bocah keparat, asal kau bersedia minta ampun, locu segera akan membebaskan dirimu." "Kentut!" menghimpun segenap sisa tenaga yang dimiliki, Tian Mong-pek berteriak keras.
"Bagus!" sambil tertawa seram makhluk aneh itu mengambil sebuah tongkat besi yang penuh dengan duri dan noda darah dari dalam gua.
Tampaknya tongkat besi itu biasanya digunakan untuk membunuh hewan buas, tapi sekarang ia gunakan untuk menggantung Tian Mong-pek.
Perlahan makhluk aneh itu mendorong tongkat besi itu keatas api unggun, lalu sambil tertawa seram kembali ujarnya: "Sekalipun nyalimu terbuat dari baja, locu tetap akan membakarnya hingga melumer." Tempat itu merupakan tanah pegunungan yang terpencil dan sepi, gua itupun merupakan tempat yang paling pojok, dimana sepanjang tahun tak pernah kedatangan manusia, mana mungkin ada orang yang akan datang menolong" Tampaknya Tian Mong-pek segera akan mati terpanggang.
Murid murid Siau-lim-pay yang menyaksikan kejadian itu jadi sangat tak tega, diam diam mereka mengucurkan air mata, salah seorang diantaranya bahkan berseru dengan gemetar: "Wahai anak muda yang gagah berani, pergilah, pinceng akan mendoakan dirimu agar lebih cepat reinkarnasi." Sementara tojin berjubah biru itu dengan wajah ngeri berteriak keras: "Aku bersedia mengatakan apa pun, asal kau bersedia membebaskan dulu dirinya." "Lebih baik kau bicara dulu .
. . . . .." sahut makhluk aneh itu sambil merendahkan tongkatnya hingga dekat jilatan api.
"Dekat tempat kami beristirahat tadi terdapat sebuah .
. . . . . .." Belum selesai tojin berjubah biru itu bicara, sambil menggigit bibir Tian Mong-pek telah berteriak: "Bila kau katakan, mati pun aku tak meram!" Tojin berjubah biru itu menghela napas panjang, katanya: "Asal dapat selamatkan jiwamu, pinto tak segan naik ke bukit golok, terjun ke kuali minyak mendidih, sekalipun harus melanggar pesan guru, pinto pun tak akan ambil peduli." Perlu diketahui, nyali Tian Mong-pek yang sekeras baja, keberaniannya bagaikan kobaran api, bukan saja telah merangsang gejolak darah panas dalam dada mereka, membangkitkan pula semangat mereka untuk melakukan perlawanan.
Kini, murid murid perguruan kenamaan yang selamanya tak sudi tunduk kepada orang lain, benar benar telah takluk kepada pemuda ini, asal Tian Mong-pek memberikan perintah sekarang, mereka tak segan untuk melakukannya, bahkan bersedia mati demi anak muda itu.
Tampaknya tojin berjubah biru itu telah bulatkan tekad, asal dapat selamatkan nyawa Tian Mong-pek, apa pun akan dia lakukan.
Teriaknya lebih lanjut: "Ditempat itu terdapat .
. . . . . .." Belum sempat ia menyelesaikan perkataannya, tiba tiba terlihat sesosok bayangan manusia meluncur tiba.
Dalam kondisi tergantung balik, sulit bagi tojin itu untuk melihat jelas wajah sang pendatang, apalagi dibawah sinar api unggun yang redup, tapi dengan luapan rasa girang segera teriaknya: "Bagus, bagus, akhirnya ciangbun suhu datang juga." "Di mana?" bentak makhluk aneh berbulu putih itu sambil melepaskan Tian Mong-pek dan membalikkan badan.
Sekalipun dia latah dan tinggi hati, tak urung hatinya gugup juga setelah mengetahui kehadiran ciangbunjin dari Bu-tong-pay.
Murid-murid Siau-lim serta Bu-tong merasa sangat kegirangan, bahkan Tian Mong-pek sendiripun tiba tiba merasa harapan hidupnya tumbuh kembali.
Tanpa terasa ke enam orang itu sama-sama mengalihkan pandangan matanya, tampak bayangan manusia itu bergerak cepat, dalam waktu singkat telah muncul ditepi api unggun, ternyata dia tak lain adalah Siau Hui-uh.
saat ini pakaian yang dikenakan sudah bukan baju halus berbahan mewah lagi, tapi sebuah dandanan lelaki dengan celana dan baju berwarna coklat, sebuah bungkusan kecil berwarna biru tergembol dipunggungnya.
Kelihatannya gadis itu sedang siap meninggalkan rumah hingga berdandan begitu, tapi dunia luar begitu luas, ke mana ia hendak pergi sehingga tersesat ke tempat itu" Betapa kecewanya tojin berbaju biru itu ketika mengetahui sang pendatang bukan guru mereka, melainkan seorang pemuda yang laki bukan laki, perempuan pun bukan perempuan, tak tahan dia menghela napas panjang.
Tian Mong-pek sendiripun merasa terkesiap setelah melihat kehadiran gadis itu.
Dalam pada itu Siau Hui-uh telah menghentikan langkahnya dan mengawasi makhluk aneh berbulu putih itu dengan termangu, walaupun rasa kaget dan tercengang menghiasi wajahnya, namun sama sekali tak ada perasaan takut, tampaknya memang tidak banyak masalah yang dapat membuat gadis ini ketakutan.
Makhluk aneh berbulu putih itupun mengawasinya berapa saat, tiba tiba tegurnya sambil tertawa: "Hei anak muda, sebetulnya kau lelaki atau perempuan" Kenapa berkeliaran ditengah malam begini?" Sudah jelas dia sangka Siau Hui-uh sama sekali tak ada hubungannya dengan lembah kaisar, karena itu nadanya tidak buas dan galak, hanya saja, kendatipun ia sudah bersikap ramah, namun ditengah kegelapan malam, penampilannya tetap menakutkan orang.
Dengan sinar mata yang tajam Siau Hui-uh mengawasi lawannya berapa saat, lalu tegurnya pula dengan suara keras: "Kau setan atau manusia" Ditengah malam buta begini, apa yang sedang kau lakukan dengan bersembunyi disini?" "Hahaha," makhluk aneh itu tertawa tergelak, "kalau dil ihat kulit tubuhmu yang putih halus, tak nyana besar juga nyalimu, berani berbicara seperti itu dihadapan locu." "Locu macam apa dirimu itu?" dengan kening berkerut Siau Hui-uh membentak gusar, "nonamu baru locu mu!" Tatapan matanya sama sekali tidak bergeser ke arah lain, diapun sama sekali tidak memandang kearah Tian Mong-pek sekalian.
Makhluk aneh berbulu putih itu tertawa terkekeh-kekeh.
"Hahaha, baru pertama kali ini locu menjumpai kejadian yang begini aneh, sudah mengakui sebagai nona, mau jadi locu (bapak) orang pula, II aneh....aneh .
. . . . .. "Jadi anakku pun kau tak pantas, masih berani mengaku sebagai locu" Hmm, kalau bukan melihat tampangmu yang manusia bukan manusia, setan bukan setan, nona pasti akan memberi pelajaran setimpal kepadamu." Gadis ini memang sudah terbiasa bicara bebas, bukan saja perkataannya tidak tedeng aling-aling, bahkan sikapnya santai, sama sekali tidak melakukan persiapan.
"Bajingan ini . . . . . .. kau cepat kabur." Teriak Tian Mong-pek tiba tiba dengan suara parau.
Sebenarnya dia ingin berkata begini: "Bajingan ini punya dendam dengan ayahmu .
. . . . . .." Tapi kuatir makhluk aneh berbulu putih itu bakal bertindak telengas setelah mengetahui kalau dia adalah putri kokcu lembah kaisar, maka perkataannya yang baru setengah segera ditelan kembali.
Sekarang Siau Hui-uh baru mengetahui kehadiran Tian Mong-pek, dengan perasaan terperanjat teriaknya: "Kau .
. . . .. kenapa kau?" Belum sempat dia bergerak maju, makhluk aneh itu telah menghadang dihadapannya dan menegur sambil tertawa terbahak bahak: "Hahaha, bagus, bagus sekali, ternyata kaupun kenali dia." "Jadi kau yang melukainya?" hardik Siau Hui-uh.
"Coba lihat, begitu gelisah hatimu setelah melihat keadaannya, memang dia suamimu" Aaai, sayang! Sayang sekali! Masih begitu muda sudah bakal menjanda." "Kentut!" umpat Siau Hui-uh gusar, satu pukulan segera dilontarkan.
"Buat apa kau bertarung melawan dia" Cepat melarikan diri!" teriak Tian Mong-pek gelisah.
"Kau tak usah kuatir, aku tak bakalan melarikan diri." sahut Siau Hui-uh tak kalah kerasnya.
Dengan satu gerakan cepat dia merangsek maju, secara beruntun empat buah pukulan dilancarkan, semuanya mengarah empat buah jalan darah penting didepan dada lawan.
Makhluk aneh berbulu putih itu tertawa keras, katanya: "Kalian berdua memang sepasang sejoli yang serasi, berwatak busuk dan keras kepala.
Baik, locu akan penuhi keinginan kalian, biar kamu berdua mati bersama." Tanpa menggeser tubuhnya, secara gampang ia sudah lolos dari ke empat serangan itu.
"Urusan ini sama sekali tak ada hubungannya dengan dia, biarkan dia pergi." Teriak Tian Mong-pek.
"Hahaha, diapun sama seperti kau, tak bakal bisa kabur dari sini." Ejek makhluk aneh itu sambil tertawa seram.
Tiba-tiba ia putar badan, dengan kecepatan luar biasa dia berputar kencang dan mengurung Siau Hui-uh ditengah arena.
"Makhluk busuk, ternyata hebat juga ilmu silatmu!" seru Siau Hui-uh.
Biarpun ia berbicara dengan enteng, sesungguhnya rasa kaget yang mencekam hatinya amat besar, sambil menghimpun segenap semangat yang dimiliki, sepasang tangannya melancarkan bacokan berulang kali, dalam waktu sekejap ia sudah melancarkan tujuh buah serangan.
Kembali makhluk aneh berbulu putih itu berseru sambil tertawa terbahak- bahak: "Hahaha, nona cilik, hebat juga ilmu silatmu." Dengan cekatan dia mengigos kesana kemari tanpa melancarkan serangan balasan, lagi lagi ejeknya sambil tertawa aneh: "Tapi sayang kungfu mu masih belum dapat menandingi kehebatan suamimu, apalagi dibandingkan kepandaian locu." Siau Hui-uh semakin sewot ketika dibilang kungfunya masih kalah jauh dari kemampuan Tian Mong-pek, dengan geram bentaknya: "Akan kusuruh kau saksikan kehebatan ilmu silat nonamu." Ditengah bentakan, sekuat tenaga ia lepaskan tiga buah pukulan, jurus serangan yang digunakan aneh tapi dahsyat, betul saja, seketika memaksa makhluk aneh berbulu putih itu mundur sejauh satu meter lebih.
"Hahaha, bagaimana .
. . . . . .." Belum selesai suara ejeka Siau Hui-uh, terlihat sinar buas memancar dari balik mata makhluk aneh itu, seakan iblis jahat yang siap menerkam korbannya.
Dengan suara keras Tian Mong-pek segera berteriak: "Dia sudah mengenali aliran silatmu, cepat kabur!" "Sebenarnya siapakah dia?" dengan tubuh gemetar tanya Siau Hui-uh.
Sementara berbicara, matanya menatap makhluk aneh itu tanpa berkedip.
"Kau pun anggota lembah kaisar?" terdengar makhluk aneh itu bertanya.
Setiap kata yang diucapkan seolah menerobos keluar melalui sela giginya.
"Kalau benar kenapa" Kalau bukan kenapa pula?" ejek Siau Hui-uh.
"Kalau benar, akan kujagal dirimu." "Benar!" sambil busungkan dada jawab gadis itu.
"Apa hubunganmu dengan Siau Ong-sun?" "Makhluk busuk macam kau tak pantas menyebut nama besar dia orang tua." Bentak Siau Hui-uh sambil membanting buntalannya ke tanah, kemudian menerjang maju dengan garang.
Dengan ringan makhluk aneh berbulu putih itu menghindari tiga buah serangan yang ditujukan ke tubuhnya, sambil tertawa dingin ejeknya: "Kalau didengar dari nada pembicaraanmu, apakah dia adalah ayahmu?" Tanpa menghentikan gerak serangannya, sahut Siau Hui-uh dengan suara lantang: "Selain dia orang tua, manusia mana lagi yang pantas menjadi ayahku." Lagi-lagi tujuh buah pukulan dilontarkan, tapi semua ancaman itu mengenai sasaran kosong.
Rahasia 180 Patung Mas 8 Roro Centil 26 Sukma Kala Wrenggi Hijaunya Lembah Hijaunya 4

Cari Blog Ini