Ceritasilat Novel Online

Panah Kekasih 11

Panah Kekasih Karya Gu Long Bagian 11


Diam diam tojin berjubah biru itu menghela napas, pikirnya: "Sudahlah, tak nyana gadis inipun begitu keras kepala, kelihatannya dia pun bakal mengalami penderitaan." Sepasang matanya segera dipejamkan, dia tak tega menyaksikan lebih jauh.
Tian Mong-pek jauh lebih gelisah, tapi diapun tak dapat berbuat apa apa.
Terdengar makhluk aneh berbulu putih itu berseru sambil tertawa keras: "Hahaha, bagus, bagus sekali, setelah kujagal putrinya, tidak kuatir bapaknya tetap menyembunyikan diri." Gelak tertawanya dipenuhi rasa benci dan dendam yang sangat dalam, serangan balasan segera dilontarkan.
Kalau selama ini dia hanya menghindar tanpa membalas serangan pun, Siau Hui-uh sudah tak mampu berbuat banyak terhadap dirinya, apalagi saat ini dia menyerang dengan penuh kebencian, sudah barang tentu gadis itu semakin tak mampu melawannya.
Kelihatan sekali kalau makhluk aneh berbulu putih itu sangat membenci keluarga Siau, hal ini terlihat pula dibalik setiap gerak serangannya yang diliputi dendam, tak ada satupun dari jurus serangannya yang tidak tertuju ke bagian mematikan ditubuh nona itu.
Dengan sepasang tangan menahan tanah, Tian Mong-pek mencoba untuk merangkak bangun, kemudian sambil berpegangan pada tongkat besi yang mengganjal punggungnya, tiba tiba ia berteriak keras: "Serang iga kirinya." Dia tahu, Siau Hui-uh sudah pasti bukan tandingan makluk tua itu, karenanya dia mulai memperhatikan jalannya pertarungan sambil mencoba mengawasi titik kelemahan dari jurus serangan, ia berharap bisa membantu gadis itu.
Tampak Siau Hui-uh tertawa dingin, secepat kilat ia lepaskan dua serangan dahsyat yang secara sengaja menyerang iga kanan musuh, sudah jelas nona ini enggan menerima kebaikan pemuda itu.
Dia abaikan titik kelemahan musuh dengan menerobos ketajaman serangan lawan, akibatnya baru saja serangan dilancarkan, tahu tahu sepasang tangannya sudah terkunci oleh makhluk aneh itu, urat nadinya terasa kesemutan dan ia kehilangan seluruh kekuatan tubuhnya.
Menyaksikan gadis itu roboh terjungkal, Tian Mong-pek berbisik sambil menghela napas panjang: "Buat .
. . . .. buat apa kau berbuat begitu" Benarkah kau merasa benci terhadap dirimu sendiri?" "Kau tak usah ikut campur," teriak Siau Hui-uh, "biar sehebat apapun ilmu silatmu, kau tak lebih .
. . . . . .." Belum selesai berkataan itu, tiga buah jalan darah pentingnya telah ditotok makhluk aneh itu, membuat si nona tak mampu bersuara lagi.
Saat itulah, dari balik tebing dikejahuan sana terdengar suara teriakan memanggil: "Hui-uh .
. . . . .. Siau Hui-uh . . . . . . .. turuti perkataan bibi, cepatlah kembali!" Sekilas perasaan sedih terlintas diwajah Siau Hui-uh.
"Dia sedang memanggilmu?" tanya makhluk aneh itu sambil menatap si nona.
Dengan penuh kebencian Siau Hui-uh menatap wajahnya, semburan api seolah memancar keluar dari balik matanya.
Melihat itu kembali makhluk aneh berbulu putih itu tertawa keras.
"Hahaha.... seorang anggota keluarga Siau lagi yang datang kemari." Maka dengan suara lantang teriaknya: "Siau Hui-uh berada disini, dia sudah locu tangkap." Suara panggilan dikejauhan sana agak terhenti sejenak, tapi segera terdengar teriakan kaget: "Siapa yang berani menganiaya Siau Hui-uh" Sudah bosan hidup rupanya." Tampaknya orang itu sedang berlarian mendekat dengan sepenuh tenaga.
Siau Hui-uh tahu, bibinya masih bukan tandingan makhl uk aneh berbulu putih itu, dalam hati ia merasa terperanjat, apa mau dikata dia tak mau berteriak.
Gadis ini berwatak sama seperti Tian Mong-pek, lebih suka mengorbankan jiwa sendiri daripada melihat orang lain datang menyerempet bahaya, tak heran kalau dia amat gelisah.
Tapi sekarang, terlambat sudah untuk mencegah maupun menghalanginya berbicara.
Terlihat sesosok bayangan putih meluncur tiba dengan kecepatan bagaikan sambaran kilat, sambil bergerak mendekat, bentaknya keras: "Hui-uh, Hui-uh, dimana kau" Siapa yang menganiaya dirimu?" "Ada disini!" bentak makhluk aneh itu.
Belum selesai suara bentakan itu, bayangan manusia berwarna putih itu sudah muncur dihadapannya.
Tapi begitu melihat tampang makhluk aneh itu, agak tertegun tegurnya: "Makh.....
makhluk macam apa dirimu itu?" Orang itu berbaju putih bersih bagaikan salju, rambutnya kusut, wajahnya sayu, dia tak lain adalah perempuan berjubah putih yang pernah bertarung melawan Tian Mong-pek dalam kebun Ban-hoa-wan.
Tampaknya perempuan itu melakukan pengejaran karena kepergian Siau Hui-uh yang tiba tiba, kini, dalam keadaan panik bercampur gelisah, tanpa pedulikan lagi musuhnya manusia atau setan, dia langsung berlarian menuju ke hadapan Siau Hui-uh.
Sambil memeluk kencang tubuh gadis itu, serunya dengan suara gemetar: "Hui-uh, Hui-uh, apakah kau terluka" Cepat beritahu bibi." Betapa terharunya Siau Hui-uh menyaksikan perhatian perempuan itu terhadap dirinya, meski tak mampu berbicara, air mata berlinang membasahi pipinya.
Dalam pada itu Tian Mong-pek merasa sangat keherananm dia tidak habis mengerti kenapa makhluk aneh berbulu putih itu tidak berusaha mencegah perempuan itu memeluk Siau Hui-uh, terlebih ke empat murid dari Siau-lim serta Bu-tong, kejadian ini benar-benar membuat mereka tertegun.
Tampaknya makhluk aneh berbulu putih itu seakan dibuat tertegun, untuk berapa saat dia hanya mengawasi perempuan berjubah putih itu dengan pandangan bodoh, lama kemudian ia baru membentak keras, sambil pentangkan tangannya tiba tiba ia mendekati perempuan itu sambil berusaha memeluknya.
Tak terkirakan rasa kaget perempuan berjubah putih itu, serta merta dia lancarkan satu pukulan.
Serangan itu sesungguhnya dilancarkan dengan gerakan reflek, siapa tahu justru menghantam wajah makhluk aneh itu dengan telak, anehnya lagi, ternyata makhluk aneh itu tidak berusaha membalas serangannya.
Peristiwa ini bukan saja membuat Tian Mong-pek sekalian tercengang, Siau Hui-uh pun tampak termangu karena kaget.
Tampak makhluk aneh berbulu putih itu masih berdiri melongo, mengawasi perempuan berjubah putih itu sambil membelai wajahnya yang terpukul, dari tatapan matanya terlihat bahwa dia merasa amat sayang, kagum dan tergolak hatinya.
Dengan rasa heran pikir Siau Hui-uh: "Aneh benar sikap makhluk itu" Jangan jangan ia jatuh cinta pada bibi?" Sementara itu paras muka perempuan berjubah putih itu telah berubah jadi merah padam, malu bercampur gusar, ia tak berani balas menatap wajah makhluk aneh itu, tapi segera bentaknya: "Kalau berani mandekat selangkah lagi, jangan salahkan kalau kucabut nyawamu." Makhluk aneh berbulu putih itu sama sekali tidak gusar atau mendongkol, malah sembari pentangkan sepasang tangannya ia berbisik gemetar: "Lam-yan .
. . . .. kau . . . . .. masa kau sudah tak mengenali diriku lagi?" Tiba tiba saja tubuh perempuan berjubah putih itu gemetar keras, rasa kaget bercampur ngeri terlintas diwajahnya, sambil mendongakkan kepala, tanyanya gemetar: "Sii .
. . . .. siapa kau?" "Ternyata kau sudah tidak mengenali aku .
. . . . .. ternyata kau sudah tidak II mengenali aku .
. . . . . .. gumam makhluk aneh itu sambil selangkah demi selangkah berjalan mendekat.
Kedengaran jelas kalau emosinya bergolak keras.
Perempuan berjubah putih itu mundur sempoyongan, perasaan kaget bercampur ngeri semakin kentara terpancar dari wajahnya.
II "Jangan mendekat .
. . . .. jangan mendekat . . . . . .. tidak kenal dirimu . . . . .. tidak kenal . . . . . . . . .." "Tidak aneh bila kau tidak mengenali diriku lagi," kata makhluk aneh serunya gemetar, "aku berbulu putih itu sambil tertawa sedih, "selama dua puluh tahun terakhir, aku telah merasakan semua penderitaan dan siksaan hidup yang tak akan II tertahankan oleh siapa pun .
. . . . . . . . .. Agak emosi terusnya: "Selama dua puluh tahunan, nyaris aku tak tahu bagaimana rasanya garam, karena tak pernah makan garam, sekujur badanku ditumbuhi bulu berwarna putih."
Semakin bicara emosinya semakin tak terkendali, tiba tiba saja dia mulai menggaruk bulu di wajahnya, bulu bulu putih itu seakan terbakar, seketika rontok dan berguguran.
Tiba-tiba perempuan berjubah putih itu membelalakkan matanya, rasa ngeri bercampur kaget terpancar dari matanya, agak parau jeritnya: "Ternyata kau .
. . . .. ternyata kau . . . . . . .. ternyata kau belum mati...." "Benar, aku belum mati, aku memang belum mati....." kata makhluk aneh itu gemetar, "kau sudah kenali aku .
. . . . . . . .." Mungkin karena luapan rasa girang yang tak terkendali, makhluk itu tak sanggup melanjutkan kata katanya.
Mendadak perempuan berjubah putih itu menangis tersedu-sedu, sambil menangis menubruk ke depan, merentangkan lengannya dan merangkul tengkuk makhluk itu erat-erat.
Makhluk aneh berbulu putih itu balas memeluk, memeluk erat-erat, dengan air mata membasahi wajahnya yang jelek, gumamnya: "Tidak kusangka .
. . . .. tidak kusangka . . . . .. akhirnya aku bertemu dengan kau .
. . . . .." Tian Mong-pek, Siau Hui-uh, para tojin Bu-tong-pay maupun para hwesio Siau-lim-pay, sama sama melongo dengan mata terbelalak, mimpi pun mereka tidak menyangka kalau peristiwa itu dapat berubah jadi begitu.
Sampai lama, lama kemudian, perempuan berjubah putih itu baru mengendorkan pelukannya dan berkata: "Beritahu aku, beritahu aku, selama banyak tahun, ke mana saja kau pergi?" Makhluk aneh berbulu putih itu menghela napas panjang, katanya: "Kau masih ingat dengan kejadian saat itu" Aku dipojokkan Lan Thian-jui dan Tu Hun-thian hingga tak punya tempat untuk bersembunyi .
. . . . . . .." "Kau takut menyengsarakan kami maka secara diam-diam pergi tanpa pamit," sela perempuan berjubah putih itu, "dikemudian hari kami baru tahu kalau kau sudah dihajar mereka hingga celaka." Dengan wajah penuh kebencian lata makhluk aneh berbulu putih itu: "Setelah terluka oleh pukulan Lan Thian-jui, aku dihajar Tu Hun-thian hingga terjatuh ke dalam jurang yang sangat dalam.
Selama ini orang persilatan mengira aku sudah mati, mereka sangka Tiong-tiau-jit-ok tujuh orang jahat dari Tiong-tiau sudah terbasmi habis dan tak tersisa seorangpun, siapa sangka aku justru masih tetap hidup, hahaha....
bila orang persilatan mengetahui kejadian ini, tak bisa kubayangkan bagaimana perubahan mimik muka mereka semua Mendengar itu, Tian Mong-pek merasa amat terkesiap, pikirnya: "Ternyata orang ini adalah Bu-jiong-kun si manusia tanpa usus Kim Hui, ternyata Kim Hui benar-benar belum mati!" Tanpa terasa ia terbayang kembali kejadian di puncak gunung Huang-san, sewaktu Sun Giok-hud menyamar sebagai manusia tak berusus Kim Hui, waktu itu dia tidak pernah menyangka kalau pada suatu hari ia benar-benar akan berhadapan muka dengan Kim Hui yang sebenarnya.
Tampak si manusia tanpa usus Kim Hui mendongakkan kepalanya dan tertawa seram.
"Aku sudah menunggu dua puluh tahunan, aku berusaha menyimpan napasku yang penghabisan agar bisa menyaksikan perubahan mimik muka mereka." Kemudian sambil memegang bahu perempuan berjubah putih itu, lanjutnya: "Kau tentu masih ingat bukan, aku pernah bersumpah akan balas dendam, kini saatku untuk membalas dendam telah tiba." Perlahan perempuan berjubah putih itu menundukkan kepalanya, terbungkam dalam seribu bahasa.
Kembali manusia tanpa usus Kim Hui berkata: "Ketika terjatuh ke dalam jurang waktu itu, kusangka aku pasti mati, siapa tahu dasar jurang adalah rawa rawa, ketika tubuhku terjatuh ke dalam rawa rawa berlumpur, walaupun nyawaku berhasil diselamatkan, namun luka yang kuderita amat parah, tampaknya aku bakal mati kesakitan, mati kelaparan didasar jurang berlumpur itu.
Siapa tahu lumpur rawa rawa itu memiliki kasiat obat yang mustajab, setelah berbaring selama berapa hari didasar lumpur itu, bukan saja nyawaku tidak melayang, sebaliknya luka yang kuderita berangsur pulih kembali." "Apa yang telah terjadi?" tanya perempuan berjubah putih itu keheranan.
"Sebetulnya aku sendiripun tidak habis mengerti, itulah sebabnya selama dua puluh tahun aku mencoba putar otak memikirkan persoalan ini, akhirnya aku berhasil menemukan rahasianya." "Aku tidak mengerti .
. . . . .." "Ternyata pada kedua dinding tebing yang sangat curam dan tinggi itu tumbuh pelbagai jenis bahan obat obatan, hanya sayang keadaan medan yang curam dan berbahaya, dimana burung pun susah terbang lewat, maka tak seorang manusiapun dapat mencapai tempat tersebut.
Maka bahan obat obatan yang tumbuh diatas dinding jurang pun rontok dan jatuh ke dasar jurang, lama kelamaan tumpukan guguran bahan obat obatan itu mengubah rawa rawa dibawahnya menjadi sebuah kolam obat.
Bisa dibayangkan betapa luar biasanya kasiat obat obatan dalam rawa itu, separah apapun luka yang kau derita, asal berendam berapa hari disana maka lukamu segera akan sembuh." Semakin didengar, semua orang merasa makin tercengang bercampur kagum, siapa pun tidak menyangka ada kejadian yang begitu aneh didunia ini.
Diam-diam pikir Tian Mong-pek: "Tenaga pukulan Lan Toa-sianseng maha dahsyat, setelah dihajar Lan Toa-sianseng lalu terkena panah li-sian-ciam hingga jatuh ke dasar jurang dan terluka parah, ternyata luka semacam itu dapat dia sembuhkan karena mengandalkan kasiat lumpur dari rawa-rawa.
sepantasnya kalau kejadian semacam ini disebut kejadian langka." Sebagaimana diketahui, dalam lumpur rawa rawa itu telah berkumpul beratus jenis obat obatan yang rontok dari dinding jurang, setelah diramu hampir ratusan tahun, bisa dibayangkan betapa mujarabnya bahan obat yang teramu disitu.
Dengan sedih perempuan berjubah putih itu menghela napas panjang, ujarnya lirih: "Jadi selama dua puluh tahun, kau hidup ditengah rawa rawa berlumpur?" Tiba-tiba sekujur badan manusia tak berusus Kim Hui gemetar keras, dia seakan teringat kembali penderitaannya semasa hidup ditengah rawa-rawa, lama kemudian baru sahutnya perlahan: "Benar, selama dua puluh tahun aku selalu hidup disana, tidur ditengah lumpur, ketika mendusin pun berada ditengah lumpur, yang kumakan hanya cacing dan kadal, yang kuminum adalah air berlumpur, selama ini hanya satu yang kupikir yakni balas dendam, setiap kali terbayang soal balas dendam, cacing dan kadal pun berubah jadi hidangan lezat, air lumpur terasa arak wangi." Merinding seluruh tubuh Tian Mong-pek sehabis mendengar ucapan itu, tanpa terasa ia bersin berulang kali, terlebih Siau Hui-uh, saking gemetarnya, nyaris gadis itu muntah-muntah.
Tampak perempuan berjubah putih itu pejamkan sepasang matanya, air mata meleleh membasahi pipinya, sambil membelai telapak tangan Kim Hui, bisiknya: \\ II .
. . . . .. Kau..... kau sungguh menderita.......
Tian Mong-pek yang melihat adegan tersebut makin tercengang dibuatnya, dia tak habis mengerti, kenapa bibi Siau Hui-uh bisa bersikap begitu mesra dan hangat terhadap makhluk aneh itu, sebab apa yang terjadi sekarang jauh diluar dugaan siapa pun.
Tampak Kim Hui tertawa sedih, sahutnya: II "Penghidupan semacam itu tak cukup dilukiskan sebagai "menderita lagi, karena kehidupanku saat itu pada hakekatnya jauh lebih terpuruk ketimbang kehidupan seekor anjing." Tiba-tiba sambil busungkan dada teriaknya keras: "Tapi aku justru berhasil melatih ilmu silat maha sakti ditengah rawa-rawa itu, aku tak percaya dikolong langit saat ini masih ada orang yang sanggup menandingi kemampuanku." Seolah baru sadar, pikir Tian Mong-pek: "Tak heran kalau gerak tubuhnya begitu lincah dan enteng, ibarat naga sakti ditengah awan, ternyata semua itu dia peroleh dengan pengorbanan yang amat besar." seperti diketahui, orang ini sepanjang tahun bergerak ditengah lumpur, berlatih silat ditengah lumpur, sesudah berlatih giat hampir dua puluh tahun lamanya, tak heran kalau gerakan tubuhnya jadi gesit dan cepat begitu bergerak diluar jeratan lumpur.
Dengan perkataan lain, bila ingin memperoleh ilmu silat semacam ini, siapa pun harus membayar dengan pengorbanan yang sangat besar.
Sambil menghela napas sedih kata perempuan berjubah putih itu lagi: "Terima kasih Thian, akhirnya kau berhasil lolos dari cengkeraman maut." Kim Hui tertawa getir, ujarnya: "Aku butuh pengorbanan hampir dua puluh tahun lamanya sebelum berhasil menembus sebuah jalan lewat untuk lolos dari jurang beribu kaki itu." "Dalam dua puluh tahun ini .
. . . . .. dua puluh tahun....." kata perempuan berjubah putih itu gemetar, "meskipun tak dapat bertemu kau, tapi aku bisa membayangkan tekadmu saat itu serta semua penderitaan dan siksaan II yang kau alami .
. . . .. ll "Jangan lagi dua puluh tahun lamanya, sela Kim Hui sedih, "biar hanya II satu jam pun sudah merupakan siksaan yang sukar dirasakan .
. . . . .. "Aku tahu . . . . .." air mata makin deras meleleh diwajah perempuan itu.
"Tebing karang itu tingginya puluhan kaki, rumput obat yang tumbuh didinding tidak cukup kuat untuk dijadikan tempat pijakan, terpaksa aku harus melubangi dinding karang sebagai tempat pijakan.
Tapi dinding itu puluhan ribu kaki tingginya, batu karangpun keras dan kuat, susahnya membuat tempat pijakan nyaris membuat aku putus asa, berapa kali hampir saja kutinggalkan usaha ini, waktu itu aku berpikir lebih baik mati saja didasar jurang.
Tapi rasa dendam kesumatku yang merasuk ke tulang, rasa rindu ku terhadap kalian, membuat aku akhirnya bertekad untuk mengatasi keputus asaan itu dan berusaha lolos dari jurang maut itu." Diam-diam Tian Mong-pek menghela napas, pikirnya: "Mengalami siksaan dan penderitaan yang begitu berat, bahkan harus pertaruhkan nyawa demi lolos dari lubang jarum, bila aku jadi dia, mungkin sudah keburu gila sebelum berhasil." Berpikir sampai disitu, tanpa terasa dia pun memaafkan semua tingkah laku orang itu terhadap dirinya tadi, sebab walaupun dia berhati sekeras baja namun pikirannya jernih dan peluh welas kasih.
Dengan sedih ujar perempuan berjubah putih itu: II "Hari yang penuh siksaan telah berlalu, kau .
. . . . .. "Aku akan balas dendam," teriak Kim Hui keras, "orang pertama yang akan kucari adalah Siau Ong-sun." "Kau.....
dendam apa yang terjalin antara kau dengan dirinya?" tanya perempuan berjubah putih itu terperanjat.
"Begitu muncul dalam dunia persilatan, aku telah mendengar kalau Siau II Ong-sun telah mengangkangi adikku, bahkan kau....
kau..... Setelah meraung kalap, lanjutnya: "Begitu mendengar berita itu, aku segera menyusul kemari, sayang aku gagal menemukan jalan masuk menuju ke dalam lembah, kalau tidak, saat ini mungkin bangsat itu sudah mampus ditanganku." Lalu dengan mata berapi api penuh kebencian, ia tuding Siau Hui-uh sambil serunya: "Bukan saja akan kucincang Siau Ong-sun hingga hancur berkeping, akupun akan bunuh perempuan rendah ini." "Kau.....
kau ingin membunuhnya?" teriak perempuan berjubah putih itu gemetar, "tahukah kau siapa dia?" "Aku tahu, dia adalah putri Siau Ong-sun." "Betul," kata perempuan berjubah putih itu sambil mengangguk sedih, "dia II memang putri Siau Ong-sun .
. . . . . .. Tiba tiba dia melayangkan satu tempelengan, yang membuat Kim Hui mundur sempoyongan.
Untuk sesaat Kim Hui berdiri tertegun, tak sanggup mengucapkan sepatah kata pun.
"Tahukah kau," jerit perempuan berjubah putih itu lagi, "dia pun putri adik kandungmu" Bukan saja kau ingin membunuh tuan penolong kita, bahkan ingin membunuh keponakan sendiri." "Apa.....
apa kau bilang?" bisik Kim Hui terbelalak.
Perubahan yang sama sekali diluar dugaan ini kembali membuat Tian Mong-pek, tojin berjubah biru serta murid Siau-lim terbelalak dengan mulut melongo, khususnya Siau Hui-uh, wajahnya pucat pias dengan peluh dingin membasahi tubuhnya, siapa sangka kalau makhluk aneh itu ternyata engkunya.
Terdengar perempuan berjubah putih itu kembali berkata sedih: "Semenjak tersiar berita tentang kematianmu dalam dunia persilatan, kami jadi manusia gelandangan yang tak punya tempat tinggal, setiap hari harus melarikan diri kesana kemari untuk selamatkan diri." "Kenapa?" tanya Kim Hui sedih.
"Sejak kau terjun ke dalam dunia persilatan, sepasang tanganmu sudah banyak berpelepotan darah, sudah mengikat tali permusuhan dengan banyak orang, setelah kematianmu, bagaimana mungkin mereka tidak datang untuk mencari balas?" Kim Hui tertunduk sedih, bisiknya: "Akulah yang telah mencelakai kalian semua .
. . . .

Panah Kekasih Karya Gu Long di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

. .. "Tadi kau bilang kau.....
kau mengandung?" tanya Kim Hui lagi dengan suara gemetar .
II "Benar, perempuan berjubah putih itu tertunduk sedih, "sebulan setelah kepergianmu, aku mendapat tahu tentang hal ini." Lagi-lagi Siau Hui-uh merasa terperanjat, dia tak menyangka kalau `makhluk aneh' dihadapannya ternyata tak lain adalah suami bibinya.
Tampak Kim Hui mengepal kencang sepasang tinjunya, dengan suara parau teriaknya: "Di .
. . . . .. dimana anakku itu sekarang?" Tiba tiba perempuan berjubah putih itu mendongakkan kepala, ujarnya lantang: "Andaikata Siau Ong-sun tidak turun tangan selamatkan bocah itu, sekarang aku ibu beranak sudah mati." "Jadi dia.....
dia telah selamatkan anakku?" bisik Kim Hui jatuh terduduk diatas tanah.
"Bukan saja dia telah selamatkan anakmu, bahkan telah selamatkan juga adikmu." "Thian.....
oooh Thian, sebenarnya apa yang telah terjadi?" keluh Kim Hui sambil memandang langit.
Perempuan berjubah putih itu menghela napas sedih, katanya: "Waktu itu kami tak lebih hanya seseorang yang sedang sakit, seorang wanita lemah, seorang perempuan hamil yang sedang dikejar kejar musuh II besar dan melarikan diri ke bukit Kun-lun-san .
. . . . .. II "Sepanjang jalan, kalian.....
kalian pasti amat menderita .
. . . .. "Kami sangka dengan kabur ke gunung Kun-lun-san maka keadaan yang aman, siapa sangka Kim-leng-sam-kiat (tiga orang gagah dari Kim-leng) serta Lan-kang-siang-hi (sepasang ikan dari sungai Lan-kang) mengejar terus ll hingga ke atas gunung Kun-lun .
. . . .. "Benar-benar manusia keji." Sumpah Kim Hui sambil menggertak gigi.
"Memangnya kau tidak pernah keji terhadap mereka?" tukas perempuan berjubah putih itu sambil menghela napas sedih.
Berubah paras muka Kim Hui, tapi sebentar kemudian ia sudah tundukkan kepalanya.
"Bagaimana selanjutnya?" "Bagaimana mungkin kami perempuan lemah sanggup menandingi mereka" Bukan saja kami berhasil dipojokkan hingga tak punya jalan mundur lain, bahkan saat itu akupun sudah siap melahirkan." "Siapa .
. . . . .. siapa yang telah selamatkan kalian?" tanya Kim Hui sambil mendongakkan kepala dan menghela napas.
Sejujurnya, ia sudah menduga kalau pemilik lembah kaisar lah yang telah selamatkan mereka, tapi perasaan hatinya tak dapat menerima kenyataan tersebut hingga tanpa sadar ia ajukan pertanyaan itu.
"Disaat keadaan amat kritis dan nyawa kami terancam inilah, tiba tiba Siau Ong-sun munculkan diri, bukan saja berhasil pukul mundur Kim-leng- sam-kiat sekalian, bahkan membawa kami masuk ke dalam lembah." Kisah perempuan berjubah putih itu.
Dengan sedih Kim Hui termenung berapa saat, tiba tiba serunya lagi dengan suara keras: "Kalau memang melepas budi kepadaku, tidak seharusnya dia minta imbalan untuk budinya dengan memaksa pat-moay .
. . . .. memaksa pat-moay menjadi gundiknya." "Aai, lagi-lagi kau keliru besar," kata perempuan berjubah putih itu sambil menghela napas, "pat-moay sendiri yang jatuh cinta kepadanya, karena tak tega menolak, akhirnya terpaksa dia mengawini pat-moay jadi istri mudanya, bahkan dipinang secara resmi." "Bee.....benarkah begitu?" "Bukan saja dia amat menyayangi pat-moay, bahkan sikapnya terhadap lak-ko maupun kepadaku sangat baik, kalau bukan begitu, dengan tabiat lak-ko yang temperamen, mana mungkin dia mau tinggal di dalam lembah?" Mendengar sampai disini, diam-diam Tian Mong-pek menghela napas panjang, pikirnya: "Sama sekali tak kusangka kalau Thiat-tou adalah saudara kandungnya." Dalam pada itu Kim Hui sudah tertunduk sedih, gumamnya berulang kali: "Keliru .
. . . .. keliru . . . . . . .." "Yaa, memang keliru, keliru besar, sejak awal sudah keliru, kau tidak seharusnya bergabung dengan Tiong-tiau-jit-ok untuk bantu mereka melakukan kejahatan, terlebih tidak seharusnya kau menuduh orang baik tanpa membedakan mana yang benar dan mana yang salah." Seolah-olah orang bodoh, untuk berapa saat Kim Hui hanya berdiri melongo sambil bergumam: II "Keliru....
keliru besar . . . . . . . .. Sekulum senyuman segera tersungging menghiasi wajah perempuan berjubah putih itu, katanya: "Kalau sudah tahu salah, tidak seharusnya kau mencari dia untuk balas dendam, kaupun tidak perlu berkelana lagi dalam dunia persilatan." Dalam pandangan matanya seolah-olah terlintas pemandangan indahnya semasa kanak kanak dulu, ujarnya lebih jauh: "Kita pergi mencari sebuah tempat yang tenang, melewatkan sisa hidup kita dalam kedamaian, urusan apa pun tak usah dicampuri lagi." "Tapi....
bagaimana dengan putriku?" teriak Kim Hui tiba tiba sambil mendongakkan kepalanya, "dimana dia saat ini" Aku.....
aku..... selama hidup belum pernah kujumpai dirinya, aku kuatir dia masih belum tahu kalau ia memiliki seorang ayah macam diriku?" Mendadak sekujur badan perempuan berjubah putih itu gemetar keras, bisiknya tergagap: II "Dia c c c c c c c a c c c c c J c a a "Kenapa dia?" berubah paras muka Kim Hui.
Dengan air mata bercucuran kata perempuan berjubah putih itu: "Sejak kecil aku sudah hidup tanpa ayah ibu, aku tak ingin dia menjadi anak yatim sejak kecil, karena itu begitu lahir, aku pun....." "Apa yang kau lakukan?" bentak Kim Hui nyaring.
"Aku telah serahkan dia kepada Siau Ong-sun untuk dijadikan putrinya," kata perempuan berjubah putih itu sambil menunduk, "bukan saja dia tak tahu tentang dirimu sebagai ayahnya, diapun tidak tahu kalau aku .
. . . .. aku adalah i.....ibu kandungnya." Dengan perasaan terkejut pikir Siau Hui-uh: "Ternyata enci Man-hong bukan dilahirkan toa-hujin, melainkan anak bibi II dengan .
. . . . . .. dengan orang ini . . . . . . .. seperti tersambar geledek disiang hari bolong, untuk berapa saat manusia tak berusus Kim Hui berdiri tertegun, sampai lama kemudian ia baru berkata sedih: "Aku mengerti .
. . . .. aku mengerti . . . . .." "Mengerti apa?" "Aku tahu, namaku dalam dunia persilatan terlalu jahat, kau tak ingin dia memiliki ayah macam aku, karena itu lebih suka diberikan kepada orang lain!" Paras muka perempuan berjubah putih itu berubah pucat pasi, ia tertunduk tanpa menjawab.
Tiba tiba terdengar Kim Hui berteriak lagi: "Tapi aku tak rela putriku diberikan kepada orang lain, biarpun harus pertaruhkan nyawa, aku akan merebutnya kembali."
Bab 24. Bernyali baja berjiwa ksatria.
Ditengah bentakan keras, dia sudah membalikkan tubuh dan siap berlalu dari situ.
"Dia sudah tidak berada dalam lembah kaisar lagi." Teriak perempuan berjubah putih itu keras.
"Kemana dia pergi?" seketika Kim Hui menghentikan langkahnya.
"Dia sudah menikah, pergi mengikuti suaminya." "Mengapa kau tidak pergi mengikutinya" Bila dikemudian hari dia dianiaya orang, bagaimana kau bisa tahu" Apa kau tega membiarkan ia hidup tersiksa?" Air mata bercucuran membasahi wajah perempuan berjubah putih itu, jelas ia merasa amat sedih, tapi diluaran teriaknya lantang: "Kenapa aku harus kuatir?" ll "Kau tidak kuatir, justru aku yang kuatir, sahut Kim Hui gusar, "cepat kembalikan putriku kepadaku, bila dia terluka sedikit saja, aku akan.....
II akan . . . . . .. "Mau apa kau?" bentak perempuan berjubah putih itu sambil membesut air matanya.
Untuk berapa saat Kim Hui berdiri tertegun, akhirnya dia mendongakkan kepala sambil menghela napas panjang, katanya: "Lam-yan, kita sudah berpisah hampir dua puluh tahun lamanya, setelah bertemu, apakah kita harus warnai dengan keributan?" Dengan sedih perempuan berjubah putih itu tertunduk lesu, sahutnya kemudian: "Kau tidak usah kuatir, dengan kecerdasan dan kepandaian silat yang dimiliki, tidak gampang orang lain menganiaya dirinya, itulah sebabnya aku tidak mengikuti dia, tapi kemari mencari Hui-uh." Hingga sekarang, dia baru seolah teringat akan kehadiran orang lain ditempat itu, sambil berpaling, katanya dengan nada penyesalan: "Hui-uh, saking gembiranya, hampir saja bibi melupakan kehadiranmu." Dengan cepat dia membebaskan totokan jalan darah Siau Hui-uh dan membimbingnya untuk bangun, katanya lagi sambil menghela napas: "Anak bodoh, persoalan apa yang membuat pikiranmu buntu hingga secara diam diam kabur dari rumah?" Siau Hui-uh tidak menjawab.
Sambil membelai bahunya, kembali bujuk perempuan berjubah putih itu: II "Lebih baik pulanglah bersamaku, ayahmu .
. . . . . .. "Aku tak mau pulang." Teriak Siau Hui-uh tiba tiba.
"Tidak mau pulang?" perempuan itu berkerut kening, "masa kau...
kau . . . . .." Setelah melirik Tian Mong-pek sekejap, terusnya: "Masa kau ingin pergi mengikutinya?" "Aku ingin pergi mengikuti kau dan engku." Jawab nona itu tanpa berpikir panjang.
Sementara perempuan berjubah putih itu masih tertegun, sambil tertawa tergelak Kim Hui telah menimpali: "Hahaha, bagus, bagus sekali, kau boleh ikut kami.
Setelah kehilangan putriku, kini aku mendapat kembali seorang yang lain, hahaha...
hitung hitung aku tidak terlalu rugi." "Bibi, kau setuju bukan?" ucap Siau Hui-uh lagi.
Perempuan berjubah putih itu menghela napas ringan, sahutnya: "Tentu saja bibi setuju, tapi.....
tapi..... apakah kau tidak memikirkan ayah ibumu" Mereka pasti akan kesepian karena kehilangan kau." "Kita sudah kehilangan putri, memangnya kita tak akan kesepian?" teriak Kim Hui.
Kembali perempuan berjubah putih itu menghela napas.
"Aai, bagaimana pun, kita seharusnya balik dulu ke lembah kaisar dan beritahu persoalan ini kepada ayahnya, kaupun sekalian menjenguk lak-ko dan pat-moay." Kim Hui tertawa sedih, katanya: "Pat-moay telah kawin dengan Siau Ong-sun, buat apa aku menjenguknya" Memangnya kau suruh aku bersujud dihadapan Siau Ong-sun dan berterima kasih karena budi kebaikannya?" Kemudian setelah berhenti sejenak, dengan wajah sedih bercampur murung, lanjutnya: "Terlebih lo-liok, dia tak akan sudi bertemu aku, sejak kecil dia sudah bermusuhan denganku, jadi aku pun tak ingin bertemu dengan dirinya." "Bagaimana pun, dia tetap saudara kandungmu, walaupun dalam penampilan sikapnya kurang ramah, dalam hati kecilnya dia selalu menguatirkan dirimu." Kim Hui tertawa dingin.
"Walaupun dia adalah saudara kandungku, bukan hanya satu kali dia berniat membunuhku, selama ini aku selalu harus waspada terhadap dirinya, hatiku selalu ketakutan setengah mati menghadapinya." Tiba tiba ia mendongakkan kepalanya tertawa seram, terusnya: "Tapi mulai sekarang, aku tak perlu takut lagi kepadanya, mungkin mimpi pun dia tak menyangka kalau kungfu ku sepuluh kali lipat lebih tangguh dari kemampuanku dulu." Berputar sepasang biji mata Siau Hui-uh, mendadak selanya: "Engku, bersediakah kau mewariskan ilmu silatmu kepadaku?" "Hahaha, tentu saja akan kuwariskan, andaikata aku tak bersedia, mungkin kaupun enggan pergi mengikuti kami bukan begitu keponakanku?" Terbongkar rahasia hatinya, kontan selembar wajah Siau Hui-uh berubah jadi merah padam, kepalanya tertunduk rendah, sambil menarik ujung baju perempuan berjubah putih itu, katanya: "Kalau engku enggan masuk lembah, mari kita pergi!" "Sekarang mana boleh pergi?" kata perempuan itu.
"Kenapa sekarang tak boleh pergi?" protes Kim Hui lantang, "pepatah mengatakan, kawin dengan ayam ikut ayam, kawin dengan anjing ikut anjing, sekarang aku tak mau masuk ke dalam lembah, masa kau tetap akan kembali ke lembah?" Kembali perempuan berjubah putih itu menghela napas panjang.
"Aaai, sekalipun tidak kembali ke lembah, aku pun tak boleh membiarkan berapa orang yang terluka itu tetap tinggal disini." "Tak usah kuatir," bentak Kim Hui, "mereka tak bakalan mampus!" Tiba tiba cahaya napsu membunuh kembali terlintas dari balik matanya, katanya lagi: "Tapi aku masih ada sebuah perjanjian disini, menanti dia sudah datang, II kita segera pergi .
. . . . .. Baru berbicara sampai disitu, mendadak bentaknya: "Sudah datang!" semua orang berpaling mengikuti arah yang dituju, terlihat sesosok bayangan manusia meluncur tiba dari balik kegelapan, tapi begitu melihat keadaan disitu, ia segera menghentikan langkahnya.
Ditengah kegelapan, tampak orang itu berpakaian perlente dengan kumis dan jenggot yang terpelihara rapi, dia tak lain adalah si Bintang langit Sun Giok-hud.
Hawa amarah kontan membara dihati Tian Mong-pek begitu bertemu orang ini.
Tampak Sun Giok-hud tertegun sejenak, meski rasa heran bercampur kaget menghiasi wajahnya, ia tetap bertanya sambil tertawa paksa: "Apakah Kim locianpwe berhasil menemukan jalan masuk menuju lembah?" "Belum." sahut Kim Hui singkat.
Sun Giok-hud memang cerdas dan licik, sekalipun dia tak tahu kalau perempuan berjubah putih itu adalah istri Kim Hui, namun secara lamat lamat dia sudah merasakan gelagat yang tidak beres.
Dengan tetap bersikap hormat dan tertawa, ujarnya lagi: "Setelah berputar satu lingkaran disebelah sana, boanpwee pun gagal menemukan jalan masuk menuju ke dalam lembah, tapi lantaran kuatir cianpwee menunggu terlalu lama, maka buru buru boanpwee balik kemari." Paras muka Kim Hui sama sekali tak berubah, sengaja katanya sambil menghela napas panjang: "Sekarang, dalam hati kecilku mulai tumbuh kecurigaan, aku mulai ragu, apa benar semua yang kau katakan selama ini.....
aku lihat Siau Ong-sun tidak mirip orang jahat." "Tapi semua yang boanpwee katakan merupakan kejadian sesungguhnya," kata Sun Giok-hud serius, "boanpwee mendapat tahu kalau Siau Ong-sun benar benar telah memperkosa hujin serta adik cianpwee." Kemudian setelah berhenti sejenak dan menghela napas panjang, lanjutnya: "Setelah mendapat kabar ini, boanpwee ikut merasa gusar dan penasaran, boanpwee pernah mendatangi puncak bukit Siong-san serta mengundang Lan Toa-sianseng untuk membuat perhitungan." Mendengar sampai disini, Tian Mong-pek benar benar naik pitam, pikirnya: II "Ternyata dialah yang menyiarkan berita bohong itu .
. . . . .. Kim Hui hanya mendengarkan semua pembicaraan itu tanpa menjawab.
Terdengar Sun Giok-hud berkata lebih lanjut setelah menghela napas dan gelengkan kepalanya berulang kali: "Siapa tahu, bukan saja enggan turun tangan, sebaliknya malah mengusir aku keluar dari perguruan, dalam gusar dan sedih, boanpwee pun lari turun gunung, siapa sangka dikaki bukit bertemu cianpwee, terlebih tak disangka, bukan saja cianpwee belum mati malah berhasil mempelajari ilmu silat maha sakti.
Aaai, hukum Thian memang akan menjerat siapapun yang bersalah, mungkin Siau Ong-sun sudah terlalu banyak melakukan kejahatan hingga Thian menuntun boanpwee bertemu dengan cianpwee." "Tampaknya kau memang seorang hohan." Puji Kim Hui.
"cianpwee kelewat memuji." Buru buru sahut Sun Giok-hud sambil menundukkan kepalanya.
"Tahukah kau siapa gadis itu?" tanya Kim Hui kemudian sambil menuding kearah Siau Hui-uh.
Sun Giok-hud mendongakkan kepala dan mengamatinya berapa kejap, lalu sahutnya: "Cayhe merasa asing dengan orang ini." "Dia adalah putri Siau Ong-sun!" ujar Kim Hui ketus.
Tiba tiba saja paras muka Sun Giok-hud berubah hebat, tanpa sadar dia mundur dua langkah.
Kemudian sambil menunjuk perempuan berjubah putih itu, kembali tanya Kim Hui: "Apakah kau kenal siapakah dia?" "Boanpwee .
. . . .. boanpwee . . . . . . .." paras muka Sun Giok-hud saat itu lebih pucat dari mayat.
"Dialah istriku!" tegas Kim Hui.
Sambil tertawa paksa bisik Sun Giok-hud: II "Hujin.....
hujin..... kau . . . . . .. Tiba tiba Kim Hui membentak keras, dengan penuh amarah teriaknya: "Dasar budak sialan, berani amat kau mengarang cerita bohong untuk menipu lohu" Memangnya kau sudah bosan hidup?" Dengan wajah basah oleh keringat, sahut Sun Giok-hud: "Bisa jadi .
. . . . .. bisa jadi boanpwee salah dengar .
. . . . . .." Sekonyong-konyong dia membalikkan tubuh kemudian melarikan diri dari situ.
"Hmm, biar punya sayap pun jangan harap bisa lolos dari cengkeramanku." Ejek Kim Hui tertawa dingin.
Ditengah bentakan, tubuhnya sudah meluncur dengan kecepatan tinggi.
Sun Giok-hud hanya merasakan desingan angin bergema, tahu tahu manusia tanpa usus Kim Hui sudah berdiri kaku dihadapannya.
Ia mulai bergidik, merinding, bulu kuduknya bangun berdiri, bahkan mulai bersin berulang kali, sepasang lututnya lemas gemetaran, selangkah demi selangkah tubuhnya mundur terus, tapi senyuman dipaksakan menghiasi bibirnya.
"Cianpwee, kalau toh tidak percaya, boanpwee .
. . . .." "Berlutut!" hardik Kim Hui gusar.
Sun Giok-hud betul-betul cerdas, sadar kalau kungfunya bukan tandingan orang, ia segera menjatuhkan diri berlutut, bersujud tanpa ragu.
"Mau bunuh diri atau paksa aku yang turun tangan?" kembali hardik Kim Hui.
Peluh bercucuran membasahi tubuh Sun Giok-hud, masih berlutut mohonnya gemetar: "Boanpwee.....
biarpun boanpwee bersalah, tapi .
. . . . . . .." Tiba-tiba sesosok bayangan manusia melintas lewat dari belakang Kim Hui.
Tak terkirakan kecepatan gerak bayangan itu, dilapisi kilatan cahaya pedang berwarna hijau kebiru-biruan, secepat bianglala meluncur kehadapan mereka.
Begitu melirik, Sun Giok-hud sudah tahu siapa yang tiba, semangatnya seketika bangkit, teriaknya lantang: "Kalau ingin bunuh, bunuhlah aku serta semua murid Bu-tong dan Siau-lim, tak bakalan aku berkerut kening." Sementara Kim Hui masih tertegun, dari belakang tubuhnya terdengar seseorang berkata dingin: "Dia tak akan mampu turun tangan." Ketika Kim Hui berpaling, terlihat seorang tojin telah berdiri dihadapannya dengan tatapan dingin, sebilah pedang tergenggam ditangannya.
Tojin berjubah biru yang digantung terbalik seketika menjerit kegirangan: "Suhu, kau benar-benar telah datang." Agak terkejut tanya Kim Hui: "Kau adalah ciangbunjin Bu-tong-pay?" Berkilas sorot mata Giok-ki Cinjin setajam sembilu, sambil menyiapkan pedangnya ia berkata: "Silahkan." "Cinjin, tunggu sebentar .
. . . .." buru-buru perempuan berjubah putih itu berseru.
"Cianpwee, terjadi kesalah pahaman dalam kejadian ini....." teriak Tian Mong-pek pula.
Mendengar itu Sun Giok-hud ikut berteriak: "Murid cianpwee sudah terluka parah, kalau terlambat bisa tak keburu lagi." Sejak mengetahui muridnya terluka parah karena disiksa, hawa amarah telah berkobar dalam dada Giok-ki Cinjin, kini hawa napsu membunuh telah menyelimuti wajahnya.
"Kau belum mau turun tangan?" tegurnya ketus.
"Cinjin..... " teriak lantang perempuan berjubah putih itu, "dalam kejadian ini .
. . . . . . .. "Tanpa mengetahui sebab musabatnya, dia paksa untuk turun tangan, memangnya locu takut kepadanya?" tukas Kim Hui sambil meraung gusar, II "hidung kerbau tua, hati hati kau .
. . . . . .. Ditengah bentakan, sepasang tangannya melancarkan serangan bersama.
Giok-ki Cinjin segera menggetarkan pedangnya sambil bergeser dari kiri ke kanan, baru setengah lingkaran, tiba tiba pedangnya disabet ke arah bahu lawan dengan kecepatan luar biasa.
Dengan cekatan Kim Hui berputar ke belakang tubuh lawan, sepasang tangannya diayunkan bersama, dalam sekejap mata ia sudah melancarkan tujuh jurus serangan yang semuanya dilancarkan dengan kekuatan penuh.


Panah Kekasih Karya Gu Long di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Tak heran begitu latah, ternyata hebat juga ilmu silat yang dimiliki." Kata Giok-ki Cinjin dengan suara dalam.
Sembari membalikkan tubuh, satu sayatan pedang ibarat titik bunga pedang memancar ke tengah angin pukulan.
Dalam waktu singkat terlihat hawa pedang memancar menembusi angkasa, sinar yang menyilaukan mata mengubah serangan itu bagaikan ada ribuan batang pedang yang menyerang bersama.
Kim Hui sama sekali tak gentar, gerakan tubuhnya tetap cepat dan lincah walau berada ditengah kepungan hawa pedang, sedemikian cepatnya membuat Giok-ki Cinjin merasa terperanjat.
Dia tidak tahu ilmu silat aliran mana yang digunakan lawannya, setiap gerak serangan dilancarkan terbuka tapi ganas, gerakan tubuhnya cepat dan lincah dalam perubahan, suatu kepandaian yang belum pernah dijumpai sebelumnya.
Tak berani bertindak gegabah, terpaksa Giok-ki Cinjin mengeluarkan tujuh puluh dua jurus ilmu pedang berantainya untuk melindungi diri, sedemikian rapat pertahanan yang dilakukan, ibarat guyuran air pun susah untuk menembusi pertahanan tersebut.
Begitulah, kedua orang itu sama-sama bergerak dengan kecepatan tinggi, dalam waktu singkat puluhan gebrakan sudah lewat.
Berkilat sepasang mata Kim Hui, dalam setiap jurus serangannya disertakan napsu serta ambisi liar yang sukar dilukiskan dengan perkataan, ibarat hewan buas yang berkeliaran ditengah hutan.
Giok-ki Cinjin dengan cahaya pedang menyapu kian kemari, meski bergerak terus namun penampilannya tetap gagah dan penuh wibawa.
Dalam pada itu rasa gelisah bercampur gusar menyelimuti perasaan wanita berjubah putih itu, dia sadar, bila pertarungan itu dibiarkan berlangsung, sulit untuk memisahkan mereka berdua.
Padahal bila dua harimau bertarung, salah satu pasti terluka.
Siapa pun yang bakal terluka, yang jelas akan menimbulkan peristiwa yang serius dan gawat.
Terlihat permainan pedang Giok-ki Cinjin makin lama semakin bertambah cepat, belum habis serangan pertama, tusukan berikut telah menyusul, hingga pada akhirnya pedang dan tubuhnya menyatu, mengurung rapat rapat Kim Hui ditengah arena.
Sorot mata Sun Giok-hud berkeliaran liar, menggunakan kesempatan disaat perhatian semua orang tertuju ke jalannya pertarungan, diam-diam ia berencana untuk kabur.
Biarpun sedang berkonsentrasi menghadapi pertarungan seru, ternyata ketajaman pendengaran Kim Hui sama sekali tak berkurang, tiba tiba bentaknya: "Hendak kabur ke mana kau?"
Sambil miringkan badan, ia menerobos keluar dari tengah kepungan cahaya pedang lawan.
Rasa benci dan dendamnya terhadap Sun Giok-hud sudah merasuk ke dalam tulang, tentu saja dia enggan membiarkan dia melarikan diri.
Siapa sangka Giok-ki Cinjin dengan jurus siau-ci-thian-kong (sambil tertawa menuding cahaya langit) membentuk lapisan sinar pedang yang menghadang jalan perginya, diikuti lagi-lagi ia lepaskan tiga serangan berantai.
"Idung kerbau busuk, kau berani menghalangi aku." Bentak Kim Hui gusar.
Dalam keadaan gusar, tiba tiba telapak tangan kirinya dibalik, dengan ke lima jarinya seperti kaitan, ia cengkeram mata pedang lawan, sementara telapak tangan kirinya dengan menempel ditubuh pedang, langsung menghantam dada Giok-ki Cinjin.
Melihat datangnya ancaman, serta merta Giok-ki Cinjin mengayunkan tangan kanannya untuk menyongsong datangnya serangan itu.
"Blaaam!" ketika sepasang tangan saling beradu, tubuh kedua orang itu seketika bergetar sambil roboh ke belakang, "Traaang!" pedang pun rontok ke tanah.
Giok-ki Cinjin mundur sejauh berapa langkah dengan sempoyongan, punggungnya bersandar pada dinding tebing, wajahnya pucat pias bagai mayat, jelas ia sudah menderita luka dalam.
Kim Hui sendiri berdiri terpantek ditanah, tubuhnya hanya tergoyang ke belakang untuk segera berdiri tegak lagi, serunya sambil tertawa keras: "Hidung kerbau, kau .
. . . . . .." Tiba tiba dia buka mulutnya dan muntahkan darah segar.
Padahal asal tubuhnya mau mundur, niscaya ia dapat memunahkan sebagian tenaga pukulan yang dilancarkan Giok-ki Cinjin, sekalipun tetap akan terluka, luka yang diderita tak bakal separah itu.
Apa mau dikata orang ini keras kepala, dia sambut datangnya serangan itu dengan keras lawan keras, isi perut yang sesungguhnya sudah tergoncang pun seketika bertambah parah, darah panas bergelora dalam dadanya, akibatnya disaat dia tertawa latah itulah, darah segar menyembur keluar dari mulutnya.
Dengan perasaan terperanjat buru-buru perempuan berjubah putih itu memayangnya.
"Duduk, cepat duduk dan atur pernapasan," bisiknya gemetar, "kalau tidak .
. . . .. luka akan bertambah parah." "Siapa yang kesudian duduk," teriak Kim Hui gusar, sambil menyeka noda darah dari bibirnya, ia merangsek maju, "mari, mari, mari, hidung kerbau tua, kalau punya nyali, ayoh kita bertarung tiga ratus gebrakan lagi." Dengan pandangan mendelong Giok-ki Cinjin mengawasi pedangnya yang tergeletak ditanah, sedih dan pilu menyelimuti wajahnya, dia seakan tidak mendengar semua pembicaraan itu.
Setelah melepaskan diri dari tangan perempuan berjubah putih itu, kembali Kim Hui berkata sambil tertawa keras: "Kusangka ilmu silat yang dimiliki ciangbunjin perguruan kaum lurus sangat menakutkan, ternyata tak lebih hanya begitu saja." Belum selesai gelak tertawanya, dari kejauhan terdengar seseorang berseru: "Siapa yang sedang berbicara disana?" Suara itu serak tua tapi nyaring, rasanya berasal dari Thian-huan taysu.
Ketika diperiksa, ternyata Sun Giok-hud telah manfaatkan situasi sedang kalut untuk melarikan diri dari situ, sementara dari kejauhan terlihat tiga sosok bayangan manusia bergerak mendekat.
Begitu mendengar suara tertawa, dua sosok bayangan manusia diantaranya seketika bergerak makin cepat, bagaikan hembusan angin mereka meluncur datang, sementara sesosok bayangan manusia yang lain, meski memiliki ilmu ginkang yang hebat namun terlihat ketinggalan jauh.
"Hahaha, bagus, bagus sekali, lagi lagi kedatangan dua orang." Seru Kim Hui sambil tertawa seram.
Baru selesai dia berkata, kedua sosok bayangan manusia itu sudah muncul dihadapannya, seorang berjubah abu-abu dan seorang yang lain berjubah kuning, mereka tidak lain adalah Thian-huan taysu serta kokcu lembah kaisar.
Jarak sejauh berapa puluh kaki seolah mereka lalui dengan satu langkah.
Ketika menyaksikan mimik wajah Giok-ki Cinjin, paras muka Thian-huan taysu berubah hebat, ditatapnya Kim Hui dengan sinar mata tajam.
"Kau yang melukainya?" ia menegur.
"Hahaha, kecuali lohu, siapa lagi yang sanggup melukai ciangbunjin Bu-tong-pay?" sahut Kim Hui sambil tertawa seram.
Menyusul dibelakang Thian-huan taysu serta Siau Ong-sun tak lain adalah pemuda tampan berjubah biru itu, dia adalah murid istana Au-sian-kiong yang pernah dijumpai Tian Mong-pek dalam biara Siau-lim.
Dia seolah tidak percaya dengan pendengaran sendiri ketika selesai mendengar perkataan Kim Hui, Giok-ki Cinjin yang menjagoi dunia persilatan dengan kesaktian ilmu pedangnya terluka ditangan orang lain" Satu kejadian yang sulit untuk dipercaya.
Paras muka Thian-huan taysu berubah amat serius, segenap tenaga murninya telah dihimpun dalam ke dua tangannya.
Dengan kening berkerut tegur kokcu lembah kaisar: "Kalau dilihat kemampuanmu yang sanggup melukai Giok-ki Cinjin, jelas asal usulmu luar biasa, boleh tahu siapa namamu?" "Kau sudah tidak mengenali aku lagi?" teriak Kim Hui sembari menghentikan tertawanya, "aku tak lain adalah .
. . . . .." "Dia adalah suamiku." Sela perempuan berjubah putih itu sambil menghela napas panjang.
Mimik muka kokcu lembah kaisar yang selalu tenang pun tak urung berubah hebat setelah mengetahui akan hal ini.
Persahabatan Thian-huan taysu dengan kokcu lembah kaisar cukup akrab, rupanya diapun mengetahui rahasia peristiwa itu, dengan wajah berubah segera serunya: "Jadi dia adalah manusia tanpa usus Kim Hui?" Perempuan berjubah putih itu mengangguk perlahan, kesedihan yang luar biasa membuatnya tak sanggup berkata-kata.
Perlahan Thian-huan taysu mengalihkan pandangannya ke empat penjuru, ia saksikan kepedihan yang menghiasi wajah Giok-ki Cinjin, menyaksikan siksaan serta penderitaan yang dialami anak muridnya, menjumpai Tian Mong-pek yang terluka parah .
. . . . . . .. Bersamaan itu, diapun menyaksikan Siau Ong-sun yang berdiri serba salah, melihat perempuan berjubah putih dengan wajahnya yang pucat pasi serta Siau Hui-uh yang berdiri dengan mata terbelalak lebar.
Kini, walaupun dia masih belum mengetahui perubahan tersebut secara terperinci, namun apa yang terpapar dihadapannya sudah cukup menambah beban berat dalam hati pendeta ini.
Sampai lama, lama kemudian, padri agung yang selalu memikirkan keselamatan umatnya ini baru menghentakkan kakinya berulang kali dan menghela napas panjang.
"Kim sicu, pergilah cepat!" ujarnya kemudian.
"Pergi ke mana?" Paras muka Thian-huan taysu berubah jadi berat dan serius, sedingin bongkahan salju, sepatah demi sepatah kata ujarnya: "Bila kau tidak segera pergi, kuatirnya bakal terlambat bila pinceng berubah pikiran." "Memangnya kau anggap aku tak mampu pergi dari sini bila kau berubah pikiran?" teriak Kim Hui gusar.
Jenggot panjang Thian-huan taysu bergetar keras, sekuat tenaga pendeta ini mengendalikan hawa amarah yang berkobar, kembali ujarnya perlahan: "Hanya sampai disini perkataan pinceng, mau pergi atau tidak, terserah kau sendiri." "Aku tak mau pergi." Tantang Kim Hui garang.
Tiba tiba perempuan berjubah putih itu memungut pedang yang tergeletak ditanah, dengan wajah pucat pasi katanya: "Bila kau tak bersedia mendengarkan bujukan Thian-huan taysu, sekarang juga aku akan mati dihadapanmu." Kim Hui tertegun, serunya kemudian: "Kenapa kau minta aku menuruti perkataan orang lain?" "Jadi kau benar benar ingin aku mati" Baik, aku akan mati dihadapanmu." Ujar perempuan itu sedih.
Tiba tiba ia membalikkan pedangnya dan langsung menggorok tenggorokan sendiri.
"Lam-yan! Kau . . . . .. kau . . . . . .." bentak Kim Hui ketakutan.
"Jadi kau bersedia mengabulkan permintaannya?" perempuan berbaju putih itu menempelkan mata pedang diatas lehernya.
Lama sekali Kim Hui berdiri mematung, akhirnya dia menghela napas panjang, teriaknya sambil tertawa keras: "Pergi ya pergi....
siapa kesudian tetap tinggal disini." Setelah berjalan menjauhi tempat itu, serunya lagi: "Kalau ingin pergi, ayoh segera pergi." Perempuan berjubah putih itu menyerahkan pedang tadi ketangan Thian-huan taysu, serunya sambil bersujud: "Terima kasih taysu telah mengabulkan permintaan kami." "Tidak perlu berterima kasih, cepatlah pergi!" kata Thian-huan taysu dengan wajah penuh kesedihan.
Seandainya bukan dikarenakan perasaan cinta dan dendam dibalik keruwetan tersebut, sejujurnya, saat ini dia enggan membebaskan Kim Hui dengan begitu saja.
Perlahan perempuan itu menuju ke hadapan Siau Ong-sun, bisiknya dengan kepala tertunduk: "Kokcu .
. . . . . . .." "Tidak perlu kau sampaikan pun, aku sudah mengetah ui apa yang ingin kau katakan," kata kokcu lembah kaisar dengan muka sedih, "kalau toh dia sudah datang, sudah sewajarnya kalau kau pergi mengikutinya." "Selama dua puluh tahun, terima kasih atas pertolongan kokcu, kau....
kau . . . . . .." tiba tiba ia menutup wajahnya yang basah oleh air mata dan berlalu dari situ.
Tiba tiba Siau Hui-uh berjalan menuju ke hadapan Tian Mong-pek, katanya: "Karena kau telah mewarisi ilmu silat dari ayahku, sudah menjadi kewajibanmu untuk merawat dia orang tua." "Kau benar-benar akan pergi mengikuti mereka?" tanya Tian Mong-pek sambil menghela napas.
Tanpa menengok lagi kearah pemuda itu, Siau Hui-uh berlalu mengikuti Kim Hui dan perempuan berjubah putih itu, tak seorangpun yang melihat kalau di saat itu butiran air mata telah membasahi paras mukanya.
Paras muka kokcu lembah kaisar berubah hebat, dia menggerakkan kakinya seolah hendak mengejar.
Sementara Thian-huan taysu dengan nada terperanjat telah berseru: "Kenapa putrimu ikut pergi" Biar pinceng membujuknya untuk kembali." Siapa sangka baru saja pendeta itu akan bergerak, mendadak kokcu lembah kaisar menahannya dan berkata sambil menghela napas panjang: "Bocah itu keras kepala, kalau sudah bertekad ingin mempelajari kungfu dari Kim Hui, biarkan saja keinginannya terkabul!" Kemudian sesudah tertawa sedih, lanjutnya: "Hanya saja, watak bocah ini kelewat latah, kalau pelajari pula ilmu II silat Kim Hui yang buas dan liar, kuatirnya.....
aaai . . . . . . .. Dia tutup ucapannya dengan helaan napas.
"Kalau seseorang memiliki sifat mencari menangnya sendiri, pada akhirnya banyak umat manusia yang akan menjadi korban." Kata Thian-huan taysu sambil menghela napas.
Bicara sampai disitu diapun membalikkan tubuh dan berjalan menuju ke hadapan Giok-ki Cinjin, ia menghampirinya sambil membawa pedang suci penakluk iblis.
Dengan pandangan kosong Giok-ki Cinjin mengawasi rekannya itu, katanya kemudian sambil menghela napas sedih: "Luapan air tak mungkin ditampung, senjata yang terlepas tak mungkin diambil.
Kini senjata tersebut sudah terlepas dari genggaman, mana mungkin pinto bisa menerimanya kembali?" "Tooheng," tegur Thian-huan taysu serius, "apakah dengan hasil latihanmu selama puluhan tahun, kau masih sama seperti keponakan perempuan kita, tak bisa melepaskan napsu ingin menangmu?" sekujur tubuh Giok-ki Cinjin bergetar keras, seolah baru tersadar dari impian, segera dia sambut pedangnya dan menjawab dengan serius: "Terima kasih atas putunjuk taysu, pinto tak berani membangkang!" Thian-huan taysu tersenyum.
"Hanya dalam satu ingatan tooheng dapat tersadar kembali dari kesalahan, lolap benar-benar merasa kagum!" Sambil bicara, ia pun memberi hormat.
Dalam pada itu, pemuda berbaju biru itu telah berjalan menuju ke hadapan Tian Mong-pek dan menegur sambil tersenyum: "Menurut perhitungan suhu, janji setahun sudah hampir tiba waktunya, siaute diperintahkan untuk datang menyambut kedatangan hengtai." "Hengtai terlalu sungkan." sahut Tian Mong-pek sambil berusaha bangkit, sementara dalam hati ia kegelian, watak Lan Toa-sia nseng benar benar temperamen.
Sambil tersenyum kembali ujar pemuda berbaju biru itu: "Biarpun siaute sedang melaksanakan tugas, namun apabila bukan mendapat petunjuk dari Tiau-yang hujin, mungkin selama hidup jangan harap bisa menemukan letak lembah kaisar." Tian Mong-pek melirik kokcu lembah kaisar sekejap, kemudian tanyanya: "Saat ini Tiau-yang hujin berada dimana?" "Hujin segera berlalu setelah menghantar siaute sampai di mulut lembah, tapi sebelum pergi, hujin meninggalkan pesan, katanya dia akan mencari hengtai." Ternyata ketika pemuda berbaju biru itu tiba dalam lembah, Tian Mong-pek telah pergi, maka kokcu lembah kaisar pun membawanya menelusuri jalan pintas untuk menyusul, tapi mereka justru bertemu Thian-huan taysu.
Kokcu lembah kaisar sangat hapal dengan daerah seputar sana, ia tahu tempat yang berbahaya selalu terletak dibagian yang tertutup dan rahasia, karena itu diapun menyusul sampai disana, coba kalau bukan begitu, entah bagaimana penyelesaian dalam peristiwa ini.
Dalam pada itu, Thian-huan taysu dan Giok-ki Cinjin telah membebaskan murid mereka dari belenggu.
Biarpun luka yang diderita ke empat orang itu cukup parah, namun semangat mereka justru berkobar, secara ringkas orang orang itu mengisahkan pengalamannya selama ini.
Selesai mendengar penuturan itu, sambil menghela napas puji kokcu lembah kaisar: "Murid perguruan ternama benar-benar memiliki nyali baja dan jiwa ksatria." Kepada Thian-huan taysu dan Giok-ki Cinjin tambahnya: "Kini, murid kalian sudah terluka sangat parah, mustahil bagi mereka untuk menempuh perjalanan jauh, lebih baik ikuti aku ke dalam lembah, agar mereka dapat merawat lukanya." "Kami memang berniat mengganggu." sahut Thian-huan taysu cepat.
Berpaling kearah Tian Mong-pek, tanya kokcu lembah kaisar: "Bagaimana dengan kau, saudara cilik?" "Sekarang juga boanpwee akan mengikuti saudara ini untuk pergi menjumpai Lan Toa-sianseng, agar tak sampai boanpwe mengingkari janji setahun dengannya." Sahut pemuda itu penuh hormat.
Kokcu lembah kaisar segera tersenyum.
"Bila kau tidak segera ke sana, kuatirnya dia justru akan datang kemari untuk mencari dirimu.
Hanya saja . . . . .. kau sudah terluka parah, apakah masih sanggup melakukan perjalanan?" "Hanya luka ringan, tidak terhitung seberapa." sahut Tian Mong-pek sambil tertawa.
Kembali kokcu lembah kaisar tersenyum.
"Aku lihat, bukan saja nyalimu sekeras baja, bahkan tubuh pun lebih keras dari besi baja, otot kawat tulang besi .
. . . . . . .." Sementara Tian Mong-pek masih bingung dan tak tahu bagaimana harus berterima kasih, pemuda berbaju biru itu telah membimbingnya bangun dan berkata sambil tertawa: "Suhu sudah menunggu dengan gelisah, biar boanpwee mohon diri terlebih dulu." "Bila bertemu gurumu nanti, jangan lupa sampaikan salam dari lolap sekalian." Kata Thian-huan taysu sambil tertawa.
Sambil tersenyum pemuda berbaju biru itu mengiakan, lalu sambil menuntun Tian Mong-pek berjalan menuju ke arah cahaya senja.
Tiba tiba kokcu lembah kaisar menarik kembali senyumannya sambil memanggil: II "Saudara cilik .
. . . . .. "Ada apa cianpwee?" tanya Tian Mong-pek seraya berpaling.
Kembali kokcu lembah kaisar menghela napas, katanya: "Bila bertemu lagi dengan Hui-uh, kau....
kau . . . . . . .." Sekalipun dia terhitung orang cerdas yang berjiwa besar, tapi setelah bertemu masalah yang menyangkut darah daging sendiri, sulit juga baginya untuk buka suara.
II "Boanpwee sudah paham dengan maksud hati cianpwee, sahut Tian Mong-pek serius, "terlepas apakah nona Siau berhasil menguasahi ilmu silat hebat atau tidak, cayhe tak bakal bertarung melawan dirinya."
Kokcu lembah kaisar menghela napas panjang, dia seakan masih ingin mengatakan sesuatu, tapi akhirnya sambil mengulapkan tangan, katanya: "Pergilah, sampai waktu jangan lupa datang menengokku." Hingga bayangan tubuh pemuda berbaju biru yang me nuntun Tian Mong-pek lenyap dibalik bukit, Thian-huan taysu sekalian masih belum mengalihkan pandangan mata mereka.
Akhirnya terdengar Giok-ki Cinjin berkata sambil menghela napas: "Pemuda itu betul-betul seorang lelaki langka, tak aneh bila Lan Toa-sianseng pun menjadi sahabat karibnya." "Dia telah mewarisi segenap ilmu silat yang dimiliki saudara Siau," ujar Thian-huan taysu pula, "bila digembleng Lan Toa-sianseng lagi, mungkin sepuluh tahun kemudian, kita semua sudah bukan tandingannya lagi." "Aku rasa tidak sampai sepuluh tahun." Kokcu lembah kaisar menambahkan dengan senyuman dikulum.
Tojin berjubah biru dari Bu-tong-pay yang selama ini membungkam, kini tak sanggup menahan diri lagi, timbrungnya: "Terlepas soal ilmu silat, cukup menyinggung keberanian serta ketegasannya, tecu sekalian sudah merasa kagum dan takluk." "Bermental baja bernyali harimau, baik keberanian maupun kesetiakawanan nya sangat mengagumkan, hanya sayang Hui-uh .
. . . . . .." tiba tiba kokcu lembah kaisar menghela napas panjang, tambahnya: "Mari kita balik ke dalam lembah." Oo0oo Ditepi sungai kecil dipunggung bukit, pemuda berbaju biru itu sedang membantu Tian Mong-pek membersihkan mulut luka dan membubuhinya dengan obat mujarab dari istana Au-sian-kiong.
Dibawah sinar matahari, wajah Tian Mong-pek tampak lebih cerah dan bersinar, ujarnya sambil tersenyum: "Hengtai, kau tak segan membalut luka siaute yang kotor dan bau, hal ini membuat siaute merasa berterima kasih sekali." Pemuda berbaju biru itu segera tersenyum, sahutnya: "Siaute bernama Yo Swan, harap selanjutnya hengtai menyebut namaku saja." "Hahaha, kau selalu menyebutku hengtai, sementara melarangku memanggilmu sebagai hengtai, apakah ucapanmu tidak kelewat egois?" "Ternyata hengtai suka berbicara blak blakan, siaute semakin kagum dengan kehebatan hengtai." "Hahaha, lagi lagi menyebutku hengtai .
. . . .." Tian Mong-pek tergelak.
Ditengah gelak tertawa, Tian Mong-pek pun semakin menaruh simpatik terhadap pemuda ini, bahkan semua kejadian ngeri yang barusan dialami pun seolah sama sekali sudah terlupakan.
Tiba tiba Yo Swan menghentikan tertawanya, setelah menghela napas ujarnya: "Sejak kecil siaute hidup sebatang kara, derajatku amat rendah, aaai.....
II itulah sebabnya aku tak berani berangan angan kelewat tinggi...
Dia seperti ingin mengatakan sesuatu tapi niat itu kemudian diurungkan, sudah jelas kalau orang ini berniat angkat saudara dengan Tian Mong-pek, tapi dia tak berani mengemukakan niatnya itu.
Kontan saja Tian Mong-pek berkerut kening, teriaknya: "Seorang enghiong tidak persoalkan derajat manusia, bila kau bersedia menghargai aku, tentu saja akupun menghargai dirimu.
Kalau berani bicara begitu lagi, kau pantas untuk dihukum." Yo Swan kegirangan setengah mati, cepat katanya: "Bila siaute bisa angkat saudara dengan lelaki macam hengtai, tidak sia-sia hidupku kali ini." "Hahaha, mengapa tidak?" Tian Mong-pek tertawa nyaring, "kita tak usah banyak adat lagi, bagaimana kalau ditempat ini juga kita angkat saudara?" Dengan wajah berseri tanya Yo Swan" "Berapa usia hengtai tahun ini?" "Kurang lebih dua puluh tahunan, aku sendiripun tidak terlalu jelas." "Aah, siaute justru sudah berusia dua puluh dua tahun .
. . . . . .." Sambil menepuk bahu Yo Swan dan tertawa tergelak, seru Tian Mong-pek: "Hahaha, karena kau sudah berusia dua puluh dua tahun, berarti kau adalah toako ku, jika berani menyebut siaute lagi, kau pantas dihukum." Maka kedua orang itupun berlutut ditepi sungai dengan ranting sebagai pengganti hio untuk angkat saudara.
Tian Mong-pek yang selama ini hidup sebatang kara, merasakan betapa gembiranya ketika berhasil mendapat seorang saudara angkat.
Dari dalam sakunya Yo Swan mengeluarkan sebuah kantung sutera, dalam kantung itu terdapat berapa lembar kertas serta sepotong arang, katanya kemudian sambil mengeluarkan selembar kertas: "Bagaimana kalau kita tulis diatas kertas ini?" "Hahaha, tak disangka dalam saku toako tersedia benda benda semacam ini." Ujar Tian Mong-pek sambil tertawa keras.
"Aku selalu melakukan perjalanan seorang diri, setiap kali berjumpa dengan tempat dengan pemandangan indah, selalu tak tahan untuk membaca berapa bait syair, benda benda itulah merupakan perlengkapanku bila ingin menulis syair ditengah jalan." "Wah toako memang seorang seniman." maka kedua orang itupun menuliskan riwayat keluarga masing masing diatas kertas yang tersedia, karena Yo Swan menulis dengan seksama, otomatis Tian Mong-pek tak ingin menuliskan secara sembarangan.
Selesai membalut luka, kembali Yo Swan mengeluarkan ransumnya untuk memulihkan kekuatan, tanpa sungkan Tian Mong-pek pun menghabiskan ransum yang disodorkan.
Dengan dasar kekuatan tubuhnya yang prima, ditambah lagi belakangan tenaga dalamnya peroleh kemajuan pesat, sesudah beristirahat berapa saat, semua kekuatannya telah pulih kembali, dia pun mengajak rekannya untuk melanjutkan perjalanan.
Pegunungan Kun-lun-san merupakan rangkaian pegunungan yang luas, biarpun sudah cukup lama mereka turun gunung, namun jalan yang dilalui tetap curam dan berbahaya, dalam keadaan begini, sekalipun Tian Mong-pek ingin menempuh perjalanan dengan cepat, namun Yo Swan membujuknya agar berjalan lebih lambat.
Setelah menempuh perjalanan berapa saat, dihadapan mereka muncul sebuah bukit yang menjulang tinggi ke angkasa, bukit itu membelah jalan jadi dua bagian, satu jalan setapak menuju ke atas bukit dan sebuah jalan lain yang lebih datar menembus ke bawah gunung.
Tiba ditempat itu, tiba tiba Yo Swan menghentikan langkahnya dan mengawasi jalan setapak itu dengan termangu, lambat laun perasaan sedih dan marah menghiasi wajahnya.
Menyaksikan hal ini Tian Mong-pek jadi keheranan, sapanya: "Toako .
. . . . . . .." "Aaai..... aku benci, . . . . .. aku amat benci!" keluh Yo Swan sambil menghela napas panjang.
"Toako, apa yang kau dendamkan?" Tian Mong-pek semakin tercengang.
Sambil menunjuk keatas bukit, ujar Yo Swan penuh rasa dendam: "Tahukah kau, mengapa kokcu lembah kaisar Siau Ong-sun tak berani berkelana dalam dunia persilatan, mengapa harus besembunyi terus didalam lembah disaat usia senja nya?" Tian Mong-pek menggeleng, serunya makin tercengang: "Masa dalam hal inipun terdapat rahasia besar?" "Aaai, tentu saja ada rahasianya!" Yo Swan menghela napas panjang, "Siau kokcu .
. . . . . .." Bicara sampai disini, tiba tiba ia membungkam dan tidak melanjutkan kembali kata-katanya.
"Toako, mengapa tidak kau lanjutkan?" Tian Mong-pek semakin penasaran.
Yo Swan menghela napas panjang.
"Bukannya aku enggan bicara, takutnya setelah kukatakan .
. . . .. aai, jite, kau terlalu setiakawan, jadi lebih baik tak usah kau tahu tentang hal ini." "Toako, bila tidak kau katakan, hal ini justru tidak pandang sebelah mata terhadapku." Lama sekali Yo Swan berpikir, kemudian baru katanya sambil menghela napas: "Siau Ong-sun bersembunyi terus sepanjang tahun, hal ini tak lain dikarenakan tiga orang tua yang tinggal dalam sebuah rumah aneh diatas puncak bukit itu." "Dengan ilmu silat yang dimiliki Siau kokcu, masa dia bisa dibikin ketakutan?" gumam Tian Mong-pek dengan kening berkerut, "manusia macam apakah ke tiga orang itu?" Kembali Yo Swan menghela napas.
"Ke tiga orang tua itu keji, telengas dan berwatak aneh, bahkan pandai sekali melukai orang dengan menggunakan ilmu tenung, karena tidak waspada, Siau Ong-sun sudah terkena racun tenung yang mereka sebar." "Aah, masa ada kejadian seperti ini?" seru Tian Mong-pek gusar.
"Gara-gara urusan ini, sepanjang tahun Siau Ong-sun merasa makan tak enak, tidur tak nyenyak .
. . . .. aaai, sayang tak ada seorang pemuda pun yang bernyali besar untuk bantu dia menyelesaikan persoalan ini." "Apa yang harus dilakukan agar beliau terlepas dari penderitaan?" tanya Tian Mong-pek kemudian.
"Harus ada seorang pemuda bernyali besar, berhati sekeras baja yang tidak takut menghadapi kesulitan untuk naik ke atas gunung, menemukan ke tiga orang tua itu dan minta .
. . . . . .." Ia melirik Tian Mong-pek sekejap, tiba tiba perkataannya dihentikan lagi.
"Minta apa?" desak pemuda itu.
Cepat Yo Swan menggeleng.
"Tidak akan kukatakan, aku kuatir kau akan naik gunung setelah mengetahuinya." "Katakan saja toako, siaute berjanji tak akan naik gunung." Kembali Yo Swan menghela napas.
"Bukannya aku enggan bicara," katanya, "justru karena perjalanan ini sangat berbahaya, bukan saja orang yang naik ke gunung harus bernyali besar dan berilmu tinggi, yang paling penting adalah bisa mengendalikan segala pengaruh dan bujukan, begitu dalam perjalanan, terlepas akan bertemu dan melihat apapun, tak sekalipun boleh berpaling lagi, jika kau bisa langsung menemukan bangunan rumah aneh itu, maka akan kau jumpai ke tiga orang tua itu, minta kepada mereka untuk serahkan seekor ular beracun berwarna merah darah, asal Siau Ong-sun menelan darah racun itu, maka pengaruh racun yang mengendalikan dirinya selama inipun bakal jebol." "Apa sulitnya berbuat begitu?" "Ilmu silat yang dimiliki ke tiga orang tua itu sangat lihay, mereka pandai sekali berbohong, kalau tidak, dengan kehebatan macam Siau Ong-sun pun akhirnya terjebak juga, apalagi bagi seorang pemuda yang belum genap berusia dua puluh?" "Apa maksudmu pemuda yang belum genap berusia dua puluh?" "Karena Siau Ong-sun pernah bersumpah, hanya pemuda dibawah usia dua puluh yang bisa mewakilimya mintakan pemunah racun itu." Setelah menghela napas panjang, lanjutnya: "Bayangkan saja, ke tiga orang itu sudah sedemikian sakti melebihi siluman, orang mati pun bisa dibohongi, apa lagi seorang pemuda yang belum genap berusia dua puluh tahun?" "Aah, belum tentu begitu," teriak Tian Mong-pek lantang, "aku justru sengaja ingin menjajal." Berubah paras muka Yo Swan.
"Bukankah kau berjanji tak akan ke sana?" serunya, "kenapa sekarang berubah pikiran?" "Aku banyak berhutang budi kepada Siau kokcu, sebaliknya aku justru banyak menaruh kesalah pahaman terhadapnya, setelah mendengar kejadian yang menimpanya hari ini, bila aku tetap berpangku tangan, bukankah diriku ini lebih rendah dari hewan?" "Tapi kau tak boleh ke sana." "Kenapa tak boleh?" Sekali lagi Yo Swan menghela napas.
"Penampilanmu saja tegar dan keras, padahal hatinya lembek, bila sampai dibohongi mereka, bukankah .
. . . ..

Panah Kekasih Karya Gu Long di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kau akan menghantar nyawa dengan percuma?" "Toako tak usah kuatir," seru Tian Mong-pek dengan suara lantang, "apapun yang bakal dikatakan ke tiga orang tua ini, aku tak bakal masuk perangkap, akan kuanggap perkataan mereka hanya kentut busuk." "Kau benar benar dapat berbuat begitu?" "Siaute betekad akan merebut ular beracun warna merah itu dalam perjalananku kali ini, tak ada yang bisa menghalangi niatku ini lagi." "Tapi luka mu .
. . . . . . . .." Sambil menggerakkan lengan dan kakinya, seru Tian Mong-pek sambil tertawa tergelak: "Hahaha, obat luka dari istana Au-sian-kiong memang sangat manjur, kini siaute sudah sehat kembali." Yo Swan menghela napas.
"Karena dihalangi oleh peraturan yang melarang dua orang naik gunung bersama, kalau tidak, kita bisa berangkat bersama.....
aaai! Kau harus lebih berhati hati...." "Toako tidak usah kuatir, tunggu saja ditempat ini, paling lama satu hari, paling cepat setengah hari, siaute pasti sudah bawa turun ular berbisa warna merah itu." "Bila kau tidak turun gunung, aku pun enggan kembali." Bisik Yo Swan sedih.
"Baik!" dengan langkah lebar Tian Mong-pek meninggalkan tempat itu.
Memandang hingga bayangan punggung pemuda itu lenyap di balik bukit, tiba tiba sekulum senyuman licik yang menakutkan tersungging dibibir Yo Swan, gumamnya: "Setelah naik keatas bukit ini, hehehe...
memang kau anggap masih bisa turun lagi dalam keadaan selamat?" Kemudian setelah menarik napas dalam-dalam, lanjutnya: "Tian Mong-pek wahai Tian Mong-pek, jangan salahkan kalau aku harus mencelakaimu, seandainya kau berhasil mencapai istana Au-sian-kiong, tak nanti Lan Thian-jui akan mewariskan ilmu silatnya kepadaku, padahal aku telah bersusah payah untuk mencapai kedudukan dalam istana Au-sian-kiong seperti hari ini, mana mungkin posisi ini bisa kuserahkan dengan begitu saja kepadamu." Diambilnya surat perjanjian angkat saudara yang belum lama dibuat, kemudian disimpan dengan hati-hati, terusnya sambil tertawa dingin: "Dengan adanya tanda bukti ini, siapa pun tak bakal ada yang curiga kalau akulah yang telah mencelakaimu." Setelah tertawa terkekeh kekeh, katanya lagi: "Sampai waktunya nanti, aku akan sengaja berlagak sedih dan mendorong Lan Thian-jui untuk mencari ke tiga makhluk aneh itu guna menuntut balas .
. . . .. hahaha . . . . . .." Suara tertawanya makin lama semakin nyaring, mendadak satu ingatan melintas lewat, pikirnya lagi: "Tidak sampai senja nanti, dia bakal mati konyol, sampai saatnya aku harus naik gunung untuk mengambil mayatnya, hahaha.....
bukankah tindakanku ini akan lebih bagus lagi?" Kemudian sambil bertepuk tangan dan tertawa keras, terusnya: "Betul, aku harus berbuat begitu, sampai waktunya, asal sikapku terhadap ke tiga makhluk aneh itu sangat menghormat dan merendah, sudah pasti mereka tak akan menyusahkan diriku." Sambil bergumam, dia mengeluarkan bekal ransumnya dan duduk diatas batu sambil bersantap, ransum kasar yang dihari biasa susah ditelan itu, kini terasa begitu lezat dan harum.
Oo0oo Dengan perasaan amat berterima kasih atas perhatian saudara angkatnya, Tian Mong-pek melangkah naik menuju ke puncak bukit, pikirnya: "Sungguh tak disangka, belum lama kita angkat saudara, dia sudah begitu memperhatikan diriku." Sejauh mata memandang, jalan setapak terlihat makin sempit, menanjak dan susah dilalui.
Akhirnya tibalah pemuda itu di tanah perbukitan dengan bebatuan berbentuk aneh, bukan saja tiada tumbuhan yang hidup di sana, hembusan angin gunung terasa makin kencang, tapi saat ini, darah panas masih mendidih dalam rongga dadanya, ia sama sekali tidak merasakan keanehan tersebut.
Setelah berjalan kurang lebih sepertanak nasi, tanah perbukitan yang semula gersang, kini dipenuhi dengan aneka tanaman bunga berwarna merah darah, putik bunga besarnya seperti mangkuk, tidak jelas jenis bunga apakah itu" Diantara awan dan kabut yang menggelayut di angkasa, bunga merah disepanjang jalan itu membentang hingga ke ujung langit, sekilas pandang, pemandangan ditempat itu bagaikan jalan menuju surgawi.
Tiba tiba sebuah bangunan monumen yang terbuat dari batu hijau muncul persis dihadapannya.
Diatas monumen itu tergantung sebuah papan nama dengan tulisan yang amat besar: "Dilarang masuk" Dikedua sisi monumen tertera dua deret tulisan yang berbunyi: "Cepat kembali, jangan memasuki pintu ini!"
Bab 25. Sepasang manusia sakti dari Kun-lun.
Tian Mong-pek tertawa dingin, dia langsung menerjang keatas melewati bangunan monumen itu.
Tiba tiba muncul seorang perempuan berbaju merah yang berperawakan ramping melintas lewat dari balik tanaman bunga.
Bunga berwarna merah, begitu juga dengan perempuan itu, berbaju merah membara, apalagi ketika angin gunung berhembus lewat dan menghembus ujung bajunya, dia seolah perempuan berbaju merah yang baru turun dari kahyangan.
Tian Mong-pek tercengang bercampur kaget, kenapa bisa muncul perempuan muda ditempat dan suasana semacam ini" Dia melanjutkan perjalanan dengan langkah lebar, sengaja memperberat langkahnya agar kedengaran lawan, siapa tahu gadis berbaju merah itu seolah tidak merasa, berpaling untuk menengok pun tidak.
Gadis itu berjalan sangat lamban, dalam sekejap mata Tian Mong-pek telah melampauinya, tampak nona berbaju putih itu miringkan kepalanya hingga pemuda itu tetap tak dapat melihat raut muka aslinya.
Dalam keadaan begini, dia jadi teringat dengan pesan Yo Swan: "sepanjang I jalan, jangan berpaling.'.
karena itulah, kendatipun rasa ingin tahu berkecamuk dalam benaknya, dia paksakan diri untuk tidak berpaling.
Baru berjalan berapa langkah, tiba-tiba terdengar suara perempuan tua yang serak berteriak dari belakang tubuhnya, minta tolong: "Tolong .
. . . .. anak muda, cepat tolong aku .
. . . . . .." Tian Mong-pek merasa hatinya tercekat, sepanjang perjalanan naik gunung, selain nona berbaju merah itu, ia tak pernah melihat bayangan manusia lainnya, lalu berasal dari mana suara teriakan minta tolong perempuan tua itu" Dia tak tahan ingin berpaling, tapi ingatan lain segera melintas lewat, akhirnya sambil berusaha menahan diri pikirnya: "Jangan-jangan teriakan inipun merupakan tipu muslihat lawan agar aku berpaling" Tidak, aku tak boleh masuk perangkap." Tapi teriakan minta tolong yang berasal dari belakang tubuhnya bergema makin keras, bahkan makin lama semakin mengibakan hati.
Seketika itu juga Tian Mong-pek merasa darah panas dalam dadanya menggelora, pikirnya sambil menghentikan langkah: "Apa pun yang bakal terjadi, aku Tian Mong-pek tak boleh berpeluk tangan membiarkan orang lain celaka." Berpikir begitu, akhirnya dia membalikkan badan, tapi suasana ditempat itu kembali dicekam dalam keheningan, bayangan tubuh gadis berbaju merah itu ikut lenyap tak berbekas.
Tak tahan Tian Mong-pek bergidik, ia segera meneruskan perjalanannya, tapi baru berapa langkah, suara teriakan minta tolong kembali berkumandang dari belakang tubuhnya.
Sambil membalikkan badan bentak Tian Mong-pek: "Siapa disitu" Berada dimana kau?" "Disini .
. . . .. disini . . . . . .." kali ini jawaban muncul dari tepi tebing curam.
Tanpa sangsi Tian Mong-pek berlarian menuju ke arah sumber suara itu, entah kenapa, ternyata nona berbaju merah itu telah terjatuh ke dalam jurang ditepi tanaman bunga merah, hanya sepasang tangannya masih berpegangan disisi tebing, sementara pasir dan batu berguguran ke dasar jurang.
Dalam keadaan seperti ini, asal dia bergerak sedikit saja, niscaya tubuhnya akan terjatuh ke dalam jurang.
Tak tahan Tian Mong-pek menarik napas dingin, sambil memantekkan kakinya ditengah tanaman bunga, serunya dengan suara dalam: II "Jangan bergerak dulu, aku segera datang menolong .
. . . .. Perlahan dia bungkukkan badan, mengulurkan sepasang tangannya dan menangkap pergelangan tangan gadis itu, lalu dengan menghimpun segenap tenaga dalam yang dimiliki, dia tarik tubuh gadis itu keatas.
Terlihat bayangan merah berkelebat lewat, tubuh si nona yang ramping telah ditarik naik ke atas.
Seru Tian Mong-pek kemudian sambil menghembuskan napas lega: "Sudah .
. . . . . .." Siapa sangka belum selesai dia berbicara, mendadak terasa segulung tenaga besar membetotnya hingga menerjang maju ke muka, dalam kagetnya ia tak mampu lagi berdiri tegak.
Padahal dihadapannya terbentang jurang yang tak tampak dasarnya, dengan sempoyongan dia maju berapa langkah dan jatuh ke bawah .
. . . . .. Dalam keadaan yang kritis itulah seluruh badannya berputar kencang, tiba tiba terlihat seutas tali meluncur tiba, cepat dia pegang tali itu dan mencekalnya erat erat.
Terdengar nona berbaju merah itu berkata dengan dingin: "Setelah memasuki pintu yang dilarang dimasuki, paling tidak kau harus mendapat teguran, sekarang jangan sembarangan bergerak, sampai waktunya bakal ada orang yang datang menolongmu .
. . . . . .." "Dengan niat baik aku menolongmu, siapa sangka kau justru membalas air II susu dengan air tuba .
. . . . . . .. umpat Tian Mong-pek gusar.
Tiba tiba ia merasa tubuhnya kembali terperosok ke bawah, ternyata uluran tali itu sudah meluncur berapa depa ke bawah Terdengar nona berbaju merah itu berkata lagi dengan suara dingin: "Jika kau berani mengumpat sekali lagi, segera kupotong tali itu." Hingga detik ini, dia belum pernah muncul dengan wajah aslinya, tapi kedengaran sekali kalau suaranya sangat tua.
Biarpun selembar nyawanya berada dalam genggaman orang lain, keberanian Tian Mong-pek sama sekali tidak menyurut karenanya, dengan penuh amarah teriaknya lagi: "Kalau ingin dipotong, silahkan saja dipotong, memang kau sangka aku takut kepadamu?" Perempuan berbaju merah itu kelihatan agak tertegun, serunya kemudian: "Bocah keparat, kau sangka aku tak berani?" "Hahaha, sejak awal aku sudah tak memikirkan keselamatanku sendiri, jadi keliru besar bila kau ingin mengancamku dengan menggunakan urusan mati hidup." "Karena tidak takut mati lantas kau anggap dirimu pemberani?" ejek perempuan berbaju merah itu sambil tertawa dingin, "hm, hmmm, padahal orang semacam kau tak lebih hanya manusia kasar yang tak berotak .
. . . . . . .." "Siapa yang berkata begitu?" tukas Tian Mong-pek gusar.
"Kau sangka dengan mati maka semua urusan bakal beres" Hmm, hmm, aku rasa kau tak lebih hanya ingin menggunakan kematian untuk melepaskan diri dari semua tanggung jawab." Ketajaman ucapan perempuan itu bagaikan lecutan keras yang mencabik hatinya.
Dalam waktu singkat pelbagai ingatan melintas dalam benaknya, ia terbayang kembali semua budi dendamnya, membayangkan Yo Swan yang masih menunggu dibawah bukit, terbayang pula tujuan kedatangannya keatas bukit .
. . . . . . .. Begitu semua ingatan melintas lewat, akhirnya pemuda itupun menghela napas panjang, gumamnya dalam hati: "Benar, aku memang tak boleh mati .
. . . . . . .." Sementara dia masih berpikir, mendadak tubuhnya terasa terangkat ke tengah udara, lalu terdengar perempuan berbaju merah itu berkata sambil tertawa: "Hei pemuda yang pingin mati, aku tak bakal menginginkan nyawamu." Baru selesai suara tertawa perempuan itu, Tian Mong-pek merasa sepasang kakinya telah menginjak kembali di permukaan tanah, membayangkan kembali situasi kritis yang baru dialami, tanpa terasa jantungnya berdebar keras.
Setelah mengamati wajah Tian Mong-pek berapa saat, kembali perempuan berbaju merah itu berkata dengan suara dingin: "Anak muda, bagaimana pun aku telah selamatkan nyawamu, akupun tidak pernah mengampunimu, jadi....
beranikah kau mewakiliku melakukan satu pekerjaan?" Sekarang, Tian Mong-pek baru dapat melihat jelas wajah perempuan itu, walaupun tubuhnya tetap ramping, rambutnya tetap hitam berkilat, namun wajahnya yang cantik tampak sudah tua sekali, kulit mukanya sudah dihiasi keriput yang dalam.
Sekilas memandang, pemuda itu menghela napas, katanya: "Kau telah membokong aku, tapi selamatkan pula jiwaku, mana mungkin aku bersedia membantumu melakukan satu pekerjaan" Tapi aku tetap berterima kasih karena kau tak pernah menyuruhku minta ampun." Perlu diketahui, tadi ia sudah berniat mencari selamat, andaikata perempuan berbaju merah itu menyuruhnya minta ampun dulu sebelum membebaskan dirinya, bisa jadi dia akan melakukan seperti apa yang diinginkan.
Sekulum senyuman segera menghiasi wajahnya yang dingin, tanyanya perlahan: "Jadi kau bersedia membantu aku melakukan pekerjaan itu?" "Pekerjaan apa?" "Kalau kau berjalan lurus keatas puncak gunung, akan terlihat tiga buah bangunan rumah yang aneh, disebelah kiri bangunan itu terdapat kebun bunga seruni, beranikah kau merusak kebun bunga itu?" Kontan saja Tian Mong-pek tertawa terbahak-bahak.
I "Hahaha, aku memang berniat mencari gara gara diatas gunung,' sahutnya, "jangankan suruh aku mengobrak abrik kebun bunga seruni itu, suruh aku bongkar bangunan rumah itupun tidak masalah." "Memangnya kau punya dendam sakit hati dengan mereka" Kenapa berniat mencari gara gara?" tanya perempuan berbaju merah itu dengan kening berkerut.
"Masa kau tidak tahu" Dalam rumah aneh itu berdiam tiga orang tua, mereka kejam, buas dan jahat, bahkan senang melepas tenung untuk mencelakai orang." "Benarkah begitu?" perempuan berbaju merah itu terbelalak lebar, "kau dengar dari siapa?" "Tentu saja aku tahu, kedatanganku kali ini adalah untuk meminta seekor ular berbisa berwarna merah dari mereka, ular itu akan kugunakan untuk selamatkan nyawa orang." Berkilat sepasang mata perempuan berbaju merah itu, dia seakan keheranan, kembali tanyanya: "Ular berbisa" Ular berbisa apa?" Tian Mong-pek menghela napas panjang.
"Aai, aku sendiripun kurang jelas, yang pasti semua itu merupakan peralatan ilmu hitam, konon ular berbisa itulah yang mereka gunakan untuk menenung orang lain." Untuk berapa saat perempuan berbaju merah itu berdiri tertegun, tiba tiba saja ia tertawa tergelak, serunya: "Hahaha, benarkah ada kejadian seperti itu" Bagus, bagus sekali, kalau begitu kau cepat pergi!" Tampaknya dia tertawa penuh keriangan, yang membuat Tian Mong-pek ikut tertegun, tapi segera ujarnya sambil menjura: "Hujin tak usah kuatir, cayhe pasti akan mengobrak abrik kebun bunga seruni itu." "Hahaha, bagus, bagus, semakin hancur semakin bagus." Agak kebingungan Tian Mong-pek mengawasi perempuan itu, tapi ia segera membalikkan badan untuk berlalu, sejujurnya ia sempat dibuat kebingungan oleh ulah orang itu, tidak jelas berasal dari manakah perempuan berbaju merah itu" Dengan perasaan bimbang dia melanjutkan perjalanan, sejauh mata memandang, hanya kabut putih yang menyelimuti permukaan tanah, dikejauhan sana, lamat lamat terlihat bayangan rumah yang berdiri kokoh ditengah lautan bunga.
Setelah tiba ditempat tujuan, pemuda itu merasa hatinya bergetar keras, sekuat tenaga ia menerobos naik ke atas.
Hanya dalam berapa kali lompatan, bayangan rumah yang semula buram, lambat laun berubah semakin nyata dan jelas.
Tapi apa yang terlihat membuat anak muda ini kembali tertegun.
Ternyata bangunan rumah itu aneh sekali bentuknya, bangunan yang berada dipaling kanan berwarna serba merah, dari atap hingga dinding, semuanya berwarna merah darah, cahaya terang menghiasi atap bangunan itu, persis seperti sebuah pagoda.
Bangunan disebelah tengah berbentuk serba bulat, atapnya bulat, bangunannya bulat, dindingnya dicat warna merah dan kuning, satu jalur merah, satu jalur lagi kuning, persis seperti sebuah gangsingan.
Yang lebih aneh lagi adalah kedua bangunan itu tak berpintu tak berjendela, sementara bunga merah yang berbentuk aneh menjalar diseputar bangunan dan nyaris merambat disepanjang dinding.
Sementara bangunan yang ada disebelah kiri terbuat dari gubuk berwarna kuning tua.
Ke tiga buah bangunan itu berdiri berjajar, walaupun dua bangunan berbentuk aneh tapi sangat indah dan megah, hanya bangunan rumah gubuk itu yang tampak kasar dan sederhana, tak ubahnya seperti bangunan rumah orang desa.
Benar saja, didepan rumah gubuk itu terdapat sebuah kebun bunga seruni, ratusan pot bunga seruni yang berwarna kuning tua dan sebesar mangkuk tumbuh ditempat itu, dari bentuk serta warnanya, dapat diduga kalau bunga itu merupakan jenis bunga langka.
Ditengah lautan bunga berwarna merah, muncul sebuah kebun bunga seruni, dibalik merah menyala dihiasi setitik warna kuning, satu perpaduan warna yang amat mencolok.
Tanpa berpikir lebih jauh, Tian Mong-pek langsung menyerbu masuk, kaki tangannya bergerak cepat, dalam waktu singkat ratusan pot bunga seruni yang tak ternilai harganya itu sudah porak poranda tak karuan.
Makin lama pemuda itu semakin gembira dan bersemangat, tiba tiba satu tendangan membuat sebuah pot bunga seruni mencelat sejauh tiga tombak dan hancur berantakan ditanah.
Sekonyong-konyong terdengar suara bentakan keras, seorang kakek penuh bercambang yang bertubuh tinggi, gemuk, besar dan mengenakan pakaian belacu telah melompat keluar dari balik rumah gubuk.
Sekalipun perawakan tubuhnya bebal, tidak mengurangi kecepatan geraknya bagaikan seekor burung rajawali, dalam waktu sekejap dia telah tiba dihadapan Tian Mong-pek sambil membentak kalap: "Bocah keparat, kau sudah edan?" Dengan cekatan tianmonpek melompat mundur sejauh berapa tombak, sambil menatap orang itu dengan termangu, pikirnya keheranan: "Dengan melihat tampang serta penampilan orang semacam ini, masa ia sanggup menipu orang lain?" Dalam pada itu si kakek sudah menubruk keatas tanah bagaikan orang gila, teriaknya sambil membelai kuntum bunga yang hancur berantakan itu: "Anakku yang patut dikasihani, kalian.....
kalian . . . . . .." Belum selesai ucapan itu diutarakan, dia sudah menangis tersedu sedu.
Tian Mong-pek semakin terperangah, untuk sesaat dia hanya mampu mengawasi kakek itu dengan melongo, tak sanggup mengucapkan sepatah kata pun.
Sesudah menangis berapa saat, tiba tiba kakek itu melompat bangun sambil meninju tubuh Tian Mong-pek, teriaknya keras: "Bocah edan, siapa yang suruh kau berbuat begini?" Tanpa menjawab Tian Mong-pek menghindarkan diri dari serangan itu, ia merasa, jurus serangan yang digunakan kakek itu meski bersahaja, tiada keanehan apa pun, namun kecepatan geraknya susah diikuti dengan pandangan mata.
Kembali kakek itu melancarkan berapa jurus serangan, tiba tiba ia menghentikan gerakannya dan kembali berteriak: "Dilihat dari aliran jurusmu, apa hubunganmu dengan Siau Ong-sun dan Lan Thian-jui?" "Darimana kau bisa tahu?" balik tanya pemuda itu tertegun.
"Bagus sekali," teriak kakek itu semakin gusar, "ternyata mereka yang suruh kau berbuat begini." "Siapa bilang kalau mereka yang suruh?" balas bentak Tian Mong-pek tak kalah gusarnya.
"Kau masih ingin menyangkal?" Baru saja tubuhnya siap bergerak kembali, mendadak dari balik rumah aneh terdengar seseorang berkata: "Tunggu sebentar toako, coba siaute tanyakan dulu hingga jelas." Biarpun perkataannya lembut penuh kedamaian, namun nadanya begitu tajam, suara yang berasal dari kejauhan itu kedengaran seolah berasal dari sisi telinga.
Kendatipun sedang naik pitam, namun kakek tinggi besar itu menghentikan gerakan tubuhnya seketika.
Tampak seorang kakek berjenggot panjang muncul dari balik rumah.
Sekalipun situasi ditempat itu amat kacau, langkah kaki kakek itu sama sekali tidak gugup, tampaknya sudah tiada masalah didunia ini yang dapat membuatnya risau.
Angin gunung berhembus lewat, menggoyangkan ujung bajunya yang rapi, menggerakkan pula rambutnya yang hitam lagi tersisir rapi.
Pikir Tian Mong-pek sambil tertawa dingin:
Kendatipun sedang naik pitam, namun kakek tinggi besar itu menghentikan gerakan tubuhnya seketika.
Tampak seorang kakek berjenggot panjang muncul dari balik rumah.
Sekalipun situasi ditempat itu amat kacau, langkah kaki kakek itu sama sekali tidak gugup, tampaknya sudah tiada masalah didunia ini yang dapat membuatnya risau.
Angin gunung berhembus lewat, menggoyangkan ujung bajunya yang rapi, menggerakkan pula rambutnya yang hitam lagi tersisir rapi.
Pikir Tian Mong-pek sambil tertawa dingin: "Kalau dilihat tampangnya, orang ini mah cocok sebagai seorang penipu .
. . . . .." Setibanya dihadapan anak muda itu, kakek tadi menatapnya berapa kejap lalu tanyanya sambil tertawa: "Anak muda, sepanjang perjalanan, apakah kau telah bertemu seseorang?" "Bukan urusanmu." Jawab Tian Mong-pek setelah tertegun sesaat.
Senyuman kembali menghiasi wajah kakek itu, ternyata ia sama sekali tidak naik darah, kembali ujarnya sambil tertawa: "Apakah kau telah bertemu seorang perempuan berbaju merah" Diakah yang suruh kau mengobrak abrik bunga seruni itu?" Pertanyaan ini seketika membuat Tian Mong-pek tertegun, keheranan, untuk berapa saat dia tak sanggup berbicara.
Sambil tersenyum kakek itu segera berpaling, katanya lagi: "Toako, masa tidak terpikir olehmu, seandainya pemuda ini berniat mencari gara gara, kenapa dia hanya merusak kebun serunimu dan sama sekali tak menyentuh bunga merah?" "Bukankah lohu sudah berkata, siapapun dilarang datang kemari," teriak kakek tinggi besar itu keras, "kalau tidak berniat menc ari gara gara, mau apa dia naik kemari?" Biarpun kedua orang tua itu saling menyebut sebagai saudara, namun bicara soal perangai, cara berpakaian serta sikapnya terhadap orang lain ternyata sama sekali bertolak belakangan, yang satu dekil lagi kasar, sementara yang lain bersih dan penuh kesopanan.
Sekali lagi kakek berjenggot itu tersenyum, katanya: "Hei anak muda, tahukah kau bahwa tempat ini merupakan daerah terlarang bagi umat persilatan, siapa pun dilarang datang kemari?" "Terus mau apa kalian bila aku sudah sampai disini?" tantang Tian Mong-pek.
Tidak memberi kesempatan kepada "toako" nya untuk menanggapi, kembali kakek itu berkata: "Kalau kedatanganmu tanpa sengaja, urusan selesai sampai disini, Il sebaliknya bila kau memang berniat .
. . . . .. ll "Tentu saja aku berniat kemari.
Tukas sang pemuda. Kali ini si kakek berjenggot itu mengernyitkan dahinya, tapi dia tetap menjawab dengan lembut: "Begitu berani kau bicara kasar dihadapan kami dua bersaudara, jangan jangan kau memang tidak mengetahui siapa kami berdua?" "Tahu atau tidak, sama saja bagiku." Kakek itu menghela napas panjang, katanya: "Kau pernah mendengar tentang Kun-lun-siang-coat (sepasang manusia sakti dari Kun-lun)?" "Kun-lun-siang-coat merupakan nama yang diketahui setiap umat persilatan, aku toh tidak tuli, tentu saja pernah mendengar tentang nama ini." "Kalau sudah mengetahui nama dari kami dua bersaudara, II seharusnya .
. . . . . .. Tiba tiba Tian Mong-pek tertawa keras, serunya: "Hahaha.....
kau tidak kuatir angin besar akan mengiris lidahmu" Kalau toh ingin membohongi orang, tidak seharusnya menipu dengan cara begitu.
Jika kau adalah Kun-lun-siang-coat, berarti akulah kaisar Giok-huang- thay-tee, sauya sarankan kepadamu, lebih baik cepat tutup mulut, karena apapun yang kau katakan, tak bakalan bisa membuat aku percaya." Kelihatannya kakek tinggi besar itu sudah tak tahan lagi, setelah berteriak aneh, bentaknya: "Betul-betul membuat lohu jengkel, kau sangka ada Kun-lun-siang-coat di dunia ini?" ll "Hmm, persis amat lagaknya, pikir Tian Mong-pek sambil tertawa dingin, "sayang, sampai matipun aku tetap tak percaya." Berpikir begitu, sahutnya ketus: "Baiklah, anggap saja kalian berdua memang Kun-lun-siang-coat, tapi hari ini, bagaimana pun kalian harus serahkan ular racun berwarna merah itu kepadaku." Begitu ucapan tersebut diutarakan, paras muka kakek berjenggot itupun ikut berubah.
Kakek tinggi besar itu melotot makin besar, dengan mara memerah dia tertawa seram.
"Bagus, bagus sekali, ternyata kedatanganmu lantaran benda tersebut." "Betul, memang karena benda itulah aku datang kemari." sahut Tian Mong-pek lantang.
"Kalau kedatanganmu karena benda itu, jangan berharap bisa pulang dengan selamat .
. . . . . .." bentak kakek tinggi besar itu gusar.
Dengan sorot mata berapi-api, dia melangkah maju mendekati anak muda itu.
Tampaknya kakek berjenggot itupun ikut naik darah, ia sama sekali tak berniat mencegah rekannya.
Sambil membusungkan dada, Tian Mong-pek menghadapi datangnya ancaman.
Tampak kakek tinggi besar itu melangkah maju dengan lambat, setiap dia melangkah, sebuah bekas kaki yang dalam muncul diatas permukaan tanah, dalam dan jelas bagaikan diukir dengan pisau.
Perlahan kakek tinggi besar itu mengangkat sepasang lengannya, terdengar suara rentetan letupan dari setiap ruas tulangnya, dia hanya awasi lawannya tanpa berkedip, biarpun sepasang lengan sudah siap melancarkan serangan, namun tak satu pukulan pun yang dilepaskan.
II "Ayoh cepat serang, ejek Tian Mong-pek, "mengingat kau sudah uzur, biar aku mengalah tiga jurus." Mendadak sorot mata kakek tinggi besar itu berubah jadi merah membara, kulit tangan serta kakinya ikut berubah pula jadi merah darah, seluruh tubuhnya seolah telah berubah jadi merah semua, ibarat bara api yang menyala.
Kini Tian Mong-pek baru terkesiap, cepat dia siapkan sepasang tangannya, tenaga dalam disalurkan penuh, ia sudah siap bertarung mati matian melawan kakek itu.
II "Tahan toako . . . . . . .. sekonyong-konyong terdengar seseorang berteriak dari kejauhan.
Tampak sesosok bayangan merah melintas datang dengan kecepatan tinggi.
Berubah paras muka kakek berjenggot itu, teriaknya: "Adik Bwee telah datang, pasti sudah terjadi salah paham dalam kejadian ini." Tiba tiba dia angkat sebuah batu besar yang ada ditepi kebun seruni lalu sekuat tenaga dilempar ke arah kakek tinggi besar itu.
Batu raksasa itu punya diameter yang cukup lebar dengan bobot mencapai lima ratus kati, begitu dilontarkan ke depan, kehebatannya bagaikan bukit karang yang longsor.
"Apa yang telah terjadi?" pikir Tian Mong-pek keheranan.
Belum habis dia berpikir, terdengar kakek tinggi besar itu mendengus tertahan, sambil menggetarkan sepasang tangannya, dia sambut datangnya sambitan batu raksasa itu.
"Blaammmm!" Diiringi suara getaran keras, batu raksasa itu hancur berkeping dan berhamburan bagaikan hujan gerimis, ternyata batu raksasa yang besar dan sekeras baja itu sudah hancur lebur termakan pukulan dahsyat kakek itu.
Saking kagetnya, untuk sesaat Tian Mong-pek hanya bisa berdiri termangu.
Dengan sepasang kaki terbenam hampir setengah depa dalam tanah, kakek tinggi besar itu mengawasi perempuan berbaju merah yang baru meluncur turun dari udara, tanyanya penuh amarah: "Sebenarnya apa yang telah terjadi?" "Berbahaya, sungguh berbahaya!" gumam perempuan itu sambil menggeleng dan menghela napas.
Kepada Tian Mong-pek lanjutnya: "Coba kalau dia tidak tahu kalau pukulan Lak-yang-ciang dari toako tak bisa ditarik kembali setelah dilancarkan, sehingga dia memapaki pukulan itu dengan batu raksasa, memang kau anggap saat ini masih bisa hidup?" "Lak-yang-ciang?" gumam Tian Mong-pek, "masa dia benar benar adalah Kun-lun-siang-coat?" Kembali perempuan berbaju merah itu menghela napas.
"Biarpun usiamu masih muda, semestinya tahu bukan kalau selain Kongsun Thian-heng, tak ada orang lain yang mampu melatih ilmu Lak-yang-sin-cang hingga demikian hebatnya?" Berputar biji mata Tian Mong-pek, ujarnya sambil menggeleng: "Aku dengar Kun-lun-siang-coat ibarat tubuh dan bayangan, mereka adalah saudara kembar, mana mungkin wajah mereka berbeda?" "Coba kau amati sekali lagi." Kata perempuan berbaju merah itu.
Tian Mong-pek memperhatikan dengan lebih seksama, terlihat olehnya, walaupun diantara kedua orang itu yang satu rapi sedang yang lain jorok, yang seorang kasar sedang yang lain halus, namun jika dilihat lebih teliti, ternyata mereka memiliki raut muka yang sangat mirip.
Menyaksikan perubahan wajahnya, sambil tersenyum tanya perempuan berbaju merah itu: "Sudah kau lihat lebih jelas?" "Jika mereka berdua betul-betul Kun-lun-siang-coat, semakin tak patut menenung orang dengan menggunakan siasat busuk kaum hitam yang tersesat." Kata Tian Mong-pek dengan kening berkerut.
Kakek tinggi besar itu agak termangu, kemudian teriaknya gusar: "Siapa bilang kaki main tenung?" "Bukankah kau telah mencelakai kokcu lembah kaisar hingga membuat dia orang tua tak berani berkelana dalam dunia persilatan sepanjang masa, masih mau menyangkal?" Kali ini, kakek tinggi besar itu yang memutar biji matanya, mendadak ia mendongakkan kepalanya dan tertawa keras.
"Hahaha, Siau Ong-sun adalah sahabat karib kami berdua selama ini, buat apa lohu mencelakainya" Hei bocah tolol, kau sudah ditipu orang!" Sambil tersenyum ujar kakek berjenggot itu pula: "Siau Ong-sun enggan berkelana dalam dunia persilatan karena dia harus mentaati peraturan yang berlaku didalam lembahnya sejak dulu, buat apa kami mencelakainya?" II "Cayhe tetap tidak percaya, masa .
. . . . . . .. Kakek berjenggot itu kembali menukas: "Pemilik lembah kaisar dimasa lalu adalah keturunan kaisar, lantaran terjadi pertukaran dinasi dan pemerintahan, beliau pun hidup mengasingkan diri didalam lembah itu dengan berganti nama dan menurunkan peraturan yang melarang keturunannya berkelana dalam dunia persilatan.
Setelah melewati berapa generasi, peraturan itu kian lama kian mengendor, saat itulah orang persilatan baru mengetahui asal usul mereka, karena itulah lembah itu disebut orang sebagai lembah kaisar.
"Kendatipun demikian, kokcu lembah itu tetap tak ingin menampakkan diri dalam dunia persilatan, kebiasaan itu berlangsung hingga masa kini!" Tian Mong-pek tertegun, lama kemudian ia baru berkata: "Kalau begitu, aku benar-benar telah salah berprasangka!" "Tentu saja kau yang salah," jawab kakek tinggi besar itu keras, "kau sudah sembarangan mengacau dirumah orang, menuduh orang dengan semena-mena, jangan harap dengan mengakui kesalahan itu maka kami akan bebaskan dirimu dengan begitu saja." "Apa yang telah kulakukan, pasti akan kutanggung akibatnya, mau apa kau?" seru Tian Mong-pek sambil membusungkan dada.
II "Hahaha, masih begitu muda, tak nyana besar amat nyalimu .
. . . . ..

Panah Kekasih Karya Gu Long di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

seru kakek tinggi besar itu sambil tertawa.
Tiba tiba perempuan berbaju merah itu menghela napas sambil menyela: "Anak muda ini ada sedikit hubungan dengan diriku, toako, serahkan semua urusan ini kepadaku." Kontan kakek tinggi besar itu mendelik, teriaknya: "Kau sudah menyuruh dia mengobrak abrik kebun seruniku, urusan ini belum kubuatkan perhitungan, jadi lebih baik tak usah mencampuri urusanku." Setelah berhenti sejenak, ia berpaling ke arah Tian Mong-pek dan bentaknya: "Bocah tolol, jika kau memang bernyali, tunggu lohu disini.
Setiap saat aku akan datang mencarimu untuk membuat perhitungan!" "Biar kau akan bunuh akupun, aku tak bakalan pergi!" "Bagus, kau memang bernyali." Dengan langkah lebar kakek tinggi besar itu berlalu dari sana.
Kini perempuan berbaju merah itu berpaling kearah kakek berjenggot itu, katanya: "Sekarang, kaupun sudah seharusnya pergi!" Kakek berjenggot itu tertawa hambar.
"Bila toako benar benar sudah naik darah, tak seorangpun sanggup menghalanginya, anak muda, kau harus lebih berhati-hati!" II "Kau tak usah ikut campur.
Omel perempuan berbaju merah itu.
Sambil tersenyum kakek berjenggot itu membalikkan badan dan berlalu.
Tian Mong-pek dapat melihat, bukan saja kakek ini sedikit rada takut terhadap perempuan berbaju merah itu, bahkan sikapnya amat mesra dan sayang, hal ini membuatnya semakin keheranan.
Jika perempuan berbaju merah itu istrinya, kenapa dia diminta datang kemari untuk merusak kebun bunga seruni" Dalam pada itu, perempuan berbaju merah itu telah menariknya ke samping, sambil menepuk batu cadas disamping kebun, katanya: "Duduk dulu disini, mari kita berbincang." Perempuan itu duduk duluan, dengan senyuman menghiasi wajahnya, ia berkata lebih lanjut: "Tabiat Kongsun Tee-im paling lembut dan halus, ada urusan apa yang membuat dia pun ikut naik darah?" "Karena aku menagih seekor ular racun berwarna merah kepada II mereka .
. . . . .. "Nah itulah dia," sela perempuan itu tertawa, "tahukah kau, perkataan itu merupakan pantangan mereka berdua yang paling ditabuhkan, selama banyak tahun, entah sudah berapa banyak orang yang tewas gara gara perkataan itu." "Kenapa?" tanya Tian Mong-pek keheranan.
"Mungkin masalah ini harus kau tanyakan langsung kepada Tiau-yang hujin." "Darimana kau tahu kalau aku kenal dia?" tanya Tian Mong-pek terperanjat.
Perempuan berbaju merah itu tersenyum, dari sakunya dia ambil keluar sebuah kantung sutera, sambil digoyangkan, tanyanya tertawa: "Kau kenal dengan kantung sutera ini?" Tian Mong-pek segera meraba ke dalam sakunya, tapi cepat teriaknya kaget: "Kantung sutera itu hadiah Tiau-yang hujin kepadaku, kenapa bisa terjatuh ke tanganmu?" Jawab perempuan berbaju merah itu sambil tersenyum: "Sewaktu kau terjatuh ke dalam jurang tadi, kantung sutera itu terjatuh ke tanah, coba kalau bukan lantaran melihat kantung tersebut, belum tentu akan kutolong jiwamu." Makin didengar Tian Mong-pek merasa makin bingung, tapi dia tidak bertanya lebih lanjut.
Terdengar perempuan berbaju merah itu berkata lagi: "Begitu menyaksikan kantung sutera itu, aku segera tahu kalau kau pasti mempunyai hubungan istimewa dengan Tiau-yang hujin, apalagi sesudah II melihat kau polos, jujur, hebat kungfunya .
. . . . . . .. Sesudah melemparkan satu senyuman, terusnya: "Andaikata berganti orang lain, mustahil mereka akan berbalik untuk menolongku, sesudah kucelakai, tak mungkin mereka enggan minta ampun kepadaku, tapi yang terpenting adalah kau tidak marah atau mendendam kepadaku disaat aku menolongmu, sebaliknya berterima kasih karena tidak memaksamu untuk minta ampun.
Sudah terlalu banyak orang yang kujumpai, tapi belum pernah kujumpai lelaki berjiwa besar macam dirimu, tentu saja aku tak tega membiarkan kau mati dibunuh gara gara orang lain." "Hingga kini, aku masih tetap tak percaya." "Apa lagi yang membuatmu tidak percaya?" perempuan berbaju merah itu menghela napas, "anak bodoh, tahukah kau orang yang membohongimu agar naik ke gunung ini berniat mencelakaimu" Coba kalau kau tidak memiliki watak seperti ini, lagipula tidak bertemu aku ditengah jalan, dan kebetulan akupun kenal dengan Tiau-yang hujin, memang kau sangka saat ini masih bisa hidup?" Tian Mong-pek termangu berapa saat, tiba tiba dia beranjak pergi sambil berkata: "Aku akan turun gunung sejenak, satu jam kemudian segera akan balik kemari." Il "Pergilah setelah aku selesai bicara, cegah perempuan itu, "karena setelah meninggalkan tempat ini, jangan mencoba untuk balik kemari lagi, ketimpang toa-pek itu sewot dan mencari gara gara lagi." Tapi sayang Tian Mong-pek enggan menuruti nasehat perempuan itu, dia sudah berlarian meninggalkan tempat tersebut.
Omerta 4 Putri Berdarah Ungu Karya Citra Rizcha Maya Samurai Berdarah 2

Cari Blog Ini