Ceritasilat Novel Online

Panah Kekasih 14

Panah Kekasih Karya Gu Long Bagian 14


"Siapa sangka, baru lewat setengah jalan, tiba tiba pinceng mengendus bau harum yang aneh, bahkan tidak sempat berteriak, tahu tahu sudah roboh tak sadarkan diri." Saat itu, Tian Mong-pek sudah mengepal kencang sepasang tinjunya karena tegang, jantungnya berdebar keras, melihat pendeta itu menghentikan ceritanya, buru buru dia mendesak: "Bagaimana selanjutnya?" Pendeta berjubah abu itu menghela napas sedih.
"Menanti pinceng tersadar kembali, ternyata aku sudah dikurung didalam sebuah peti berukuran satu meter persegi, seluruh tubuhku melingkar, sama sekali tak mampu bergerak.
"Dalam peti itu hanya terdapat sebuah lubang kecil sebagai saluran napas, pinceng berusaha menggunakan tenaga dalam untuk menjebol peti itu, tapi II siapa sangka .
. . . . . . .. Diantara wajahnya yang lesu terbesit perasaan sedih, gusar dan dendam yang luar biasa, terusnya: "Ternyata semua otot kaki pinceng telah dicabut dan diputus orang." "Betul-betul satu perbuatan yang keji." Umpat Tian Mong-pek dengan perasaan terkejut.
Pendeta itu menghela napas sedih, katanya: "Perasaan hati pinceng saat itu bukan saja kaget dan ngeri, bahkan gusar bercampur sedih, tak kuasa lagi akupun mulai berteriak sambil mencaci maki.
Sampai lama kemudian, dari luar peti baru kedengaran seseorang menanggapi.
"Yang terdengar adalah suara yang dingin menyeramkan, katanya: "Jika kau tak ingin banyak menderita, mengaku saja terus terang, hmm! Jika berani bicara ngacau, jangan salahkan kalau bakal lebih tersiksa.".
pinceng betul-betul dibikin kebingungan tak habis mengerti, pincengpun bertanya apa yang harus kuakui" Pinceng tanya, antara aku dengan dia tak punya dendam apa pun, mengapa dia siksa pinceng seperti ini" "Orang itu segera menjawab sambil tertawa dingin: "Kami memang tidak terikat dendam kesumat apa pun, yang kami inginkan hanya surat sampul hitam yang kau pungut dari dalam kamar hongtiang mu.".
waktu itu pinceng semakin yakin kalau surat tersebut pasti menyimpan rahasia amat besar, kalau tidak, mustahil mereka bersikap demikian kepadaku, maka sengaja aku bertanya, surat apa yang dia maksud" "Siapa tahu belum selesai pinceng bicara, tiba tiba peti itu sudah terangkat ke udara kemudian "Blaam!" dibanting keras keras keatas lantai." "Sungguh keji .
. . . . . . .." berubah paras muka Tian Mong-pek.
Pendeta berjubah abu-abu itu pejamkan mata sambil tertawa pedih, terusnya: "Waktu itu, rasa pusing dan penderitaan yang pinceng derita benar benar tak dapat dilukiskan dengan ucapan manusia manapun.
"Lewat berapa saat kemudian, disaat pinceng baru saja dapat mengendalikan pikiran sementara telapak kakiku masih sakitnya luar biasa, dari luar peti kembali terdengar suara tertawa yang dingin, keji dan menyeramkan.
"Sesudah tertawa berapa saat, suara itu baru membentak dingin: "Mau mengaku tidak?"." Dengan gemas Tian Mong-pek menyela: "Waktu itu, kau sudah mengetahui semua rahasia mereka, biar mengaku pun, jangan harap mereka bakal membebaskan dirimu dengan begitu saja, kau tak boleh mengaku." Pendeta berjubah abu-abu itu menghela napas, ujarnya: "Tapi waktu itu, pinceng masih punya keinginan untuk melanjutkan hidup, tujuanku adalah asal masih hidup maka ada kesempatan bagiku untuk mengetahui siapa saja kawanan iblis itu.
Maka pinceng pun berlagak tidak tahan siksaan dan beritahu kepada mereka kalau surat itu memang pinceng temukan dan disembunyikan didalam tambur tembaga." "Mana boleh kau akui?" teriak Tian Mong-pek sambil menghentakkan kakinya dengan gemas, "dengan begitu, bukankah....." "Padahal surat itu tidak kusembunyikan dalam tambur tembaga." tukas pendeta itu.
Tian Mong-pek tertegun, kembali katanya setelah menghela napas: "Kalau memang tidak berada disitu, kau lebih-lebih tak boleh berkata begitu, masa kau ingin membohongi mereka agar membebaskan dirimu terlebih dulu?" "Pinceng juga tahu, tak bakal kawanan iblis busuk itu akan membebaskan pinceng terlebih dulu.
Aku berbuat demikian karena tahu kalau tambur tembaga merupakan benda mustika perguruan kami yang dijaga secara ketat, jika mereka ingin merebutnya, pasti harus melalui sebuah pertempuan besar.
Dengan kekuatan perguruan kami yang beratus orang jumlahnya, mungkin saja mereka dapat dikalahkan.
Saat itu bukan saja pinceng dapat hidup kembali, bahkan dapat menuntut balas!" Tian Mong-pek merasa tidak leluasa untuk memberi tanggapan, dia hanya mengangguk berulang kali, sedang dalam hati pikirnya setelah menghela napas: "Biarpun apa yang kau pikirkan masuk akal, namun aku rasa kelewat kekanak-kanakan." Terdengar pendeta berjubah abu-abu itu bicara lebih lanjut: "Ketika pinceng selesai berbicara, dari luar peti segera terdengar suara lain berkata: "Tambur tembaga merupakan benda mustika perguruan mereka, penjagaan disana pasti sangat ketat, kita hanya boleh mengambil dengan akal, bukan okol (kekuatan).".
mendengar sampai disini, hati pinceng langsung bergidik, dapat kurasakan bukan saja kawanan iblis itu memiliki organisasi yang ketat, cara kerja yang keji dan telengas, bahkan berotak encer dan pintar, jelas mereka bukan manusia manusia sembarangan.
"Bila sekawanan manusia cerdas yang keji dan buas bergabung jadi satu, sudah pasti ambisi mereka amat besar, tujuan yang diincar pun pasti menakutkan sekali.
"Semakin berpikir, pinceng merasa semakin bergidik.
Terdengar suara orang itu berkata lagi sambil tertawa terkekek: "Memang seharusnya menggunakan akal, bukankah kau bisa menyamar jadi wajah Hui-bin taysu untuk naik gunung dan mengambilnya?".
Orang yang lain segera menimpali sambil tertawa: "Betul, betul, toh kita memiliki jagoan nomor wahid dalam hal ilmu menyaru muka ditempat ini, sudah sepantasnya kalau dipergunakan." Mendengar sampai disini, sekali lagi Tian Mong-pek merasakan hatinya tergetar keras, serunya: "Ooh ternyata begitu, tahukah kau, apa yang telah kau perbuat justru telah mencelakakan ciangbun suheng mu sendiri." "Apa maksud ucapanmu itu?" tanya pendeta itu dengan wajah berubah.
Tian Mong-pek menghela napas, katanya: "Orang itu benar-benar telah menyamar jadi kau dan berhasil mendapatkan tambur tembaga dan ikat pinggang kumala dari tangan hongtiang suheng mu.
Kelihatannya hongtiang suheng mu segera tahu akan intrik jahat ini sehingga sampai matipun tak mau menyerahkan benda mustika itu.
Didalam gusar dan paniknya, orang itupun membunuh hongtiang suhengmu dengan menggunakan panah kekasih .
. . . .." Sukma kehidupan sang pendeta yang sesungguhnya sudah lemah itu tiba tiba mendapat lagi satu pukulan batin yang berat, dengan melongo dia awasi kabut diangkasa, sampai lama sekali tak mampu berbicara.
Ujar Tian Mong-pek lagi dengan jengkel: "Bukan saja kawanan iblis itu telah menjatuhkan tuduhan dosa besar ini atas namamu, bahkan membiarkan orang lain mengira kau telah mati karena takut diganjar hukuman berat.
"Sudah pasti mereka pun telah menangkap seorang padri dari kuil Kim-san-sie, mengubah wajahnya menjadi wajahmu lalu membunuhnya di paviliun Liu-hun-teng dan sengaja membiarkan orang lain melihatnya.
"Maka semua umat persilatan menyangka kau telah bunuh diri karena membunuh ciangbun suheng, atau mati karena dibunuh rekan seperguruannya.
Mereka sengaja mengatur siasat ini dan menciptakan jadi satu kenyataan,
"Maka semua umat persilatan menyangka kau telah bunuh diri karena membunuh ciangbun suheng, atau mati karena dibunuh rekan seperguruannya.
Mereka sengaja mengatur siasat ini dan menciptakan jadi satu kenyataan, dengan demikian bukan saja orang lain tak dapat melacaknya karena orang mati tak bisa jadi saksi, dapat pula meredam kecurigaan orang lain.
Coba kalau hari ini aku tidak bertemu dirimu, bukan saja penasaranmu selamanya bakal tenggelam didasar samudra, intrik dan rencana keji mereka pun selamanya tak bakal ketahuan orang lain." "Masa saudara seperguruanku tak ada yang bisa mengenali?" gumam pendeta itu bimbang.
Tian Mong-pek termenung berapa saat, kini dia semakin paham dengan duduknya perkara, serunya sambil bertepuk tangan: "Betul, sehebat apapun ilmu menyaru muka yang mereka miliki, belum tentu kemampuan mereka dapat membohongi saudara seperguruanmu yang telah hidup dan berkumpul banyak tahun." Sekulum senyuman sedih terhias diwajah pendeta itu, selanya: "Sudah pasti ciangbun suheng mengetahui akan penyamaran mereka, itu berarti biarpun mati, dia tak bakal menyalahkan aku." Selama puluhan tahun, dia selalu membahasai diri dengan sebutan "Pinceng", hal ini dikarenakan hal tersebut sudah menjadi kebiasaan yang mengakar, hingga sampai tadi belum pernah mau mengubahnya.
Tapi sekarang, ketika seluruh semangat hidupnya sudah runtuh, sudah hancur, pikiran dan kesadarannya mulai pudar, tana disadari diapun telah \\ II kehilangan kendali akan diri sehingga membahasai diri sebagai aku Seringkali, ketika seseorang sedang mengalami pukulan batin yang berat, hal semacam ini bisa menimpa dirinya.
"Tapi suhengmu telah mati." Ucap Tian Mong-pek sambil menghela napas panjang.
"Bagaimana dengan yang lain?" "Kawanan iblis busuk itu, kelicikan dan kebusukan hatinya sungguh menakutkan, setelah tahu kalau hongtiang kalian mengetahui akan penyamaran tersebut, mereka pasti menduga kalau saudara seperguruanmu yang lain pasti tahu juga.
"Tapi jika ketika dia membunuh suhengmu tidak diketahui orang lain, darimana orang lain bisa tahu kalau perbuatan tersebut dilakukan olehmu" Maka dia sengaja membiarkan para tamu dan pendatang menyaksikan pertarungan tersebut." Setelah menghela napas panjang, lanjutnya: "Kawanan manusia itu hanya bisa melihat raut muka mu tanpa ada kesempatan mengetahui rahasia penyamaran, dengan sendirinya mereka akan segera menyebarkan kabar bahwa kaulah yang telah membunuh ciangbun suheng.
Sungguh menggelikan Hoa-san-sam-ing, mereka sangka ilmu meringankan tubuhnya lihay dan mampu bersembunyi tanpa diketahui orang, darimana mereka bisa sangka kalau dirinya telah digunakan menjadi boneka oleh orang lain." "Tentunya mayatku itu dapat dikenali bukan!" kata sang pendeta sambil tertawa sedih.
Tian Mong-pek tertunduk sambil menghela napas.
"Aaai, akulah yang telah menemukan "mayat" mu itu, terlebih aku, sudah pasti tak akan mengetahui rahasia dibalik kesemuanya ini, menanti saudara seperguruanmu hendak mengurusi layon, kembali mereka sembunyikan mayatmu ke tempat lain.
Masih belum cukup mereka membohon gi aku satu kali, ketika diatas perahu penyeberangan, lagi lagi mereka unjuk kebolehan, membuat aku bukan saja tak habis mengerti dan kebingungan, bahkan semakin membuat aku jauh dari kenyataan sesungguhnya.
Coba kalau hari ini tidak bertemu dirimu, mungkin rahasia besarmu ini bakal kau bawa masuk ke dalam peti mati." Pendeta itu termenung cukup lama, kemudian sambil tertawa sedih katanya perlahan: "Setelah bertemu aku hari ini, kau masih akan menemukan sebuah rahasia lain yang jauh lebih besar." Tian Mong-pek tertegun, satu ingatan mendadak melintas, teriaknya: "Aah betul! Mereka mempunyai banyak panah kekasih untuk melakukan kejahatan, jangan jangan surat itu merupakan rahasia besar dari panah kekasih?" Ia merasa luapan emosi yang membara, darah panas menggelora, nada suara pun ikut gemetar.
II "Dengarkan ceritaku ini .
. . . . . . . .. ujar pendeta itu, "sejak aku mendengar mereka bercerita tentang cara mengambil mustika dihadapanku, aku sudah sadar, bagaimana pun, orang orang itu tak bakalan membebaskan diri.
"Entah lewat berapa saat kemudian, benar saja, orang itu muncul kembali dan berteriak gusar: "Didalam tambur itu kosong tak ada isinya, berani amat kau membohongi aku" Hmm, kelihatannya sudah bosan hidup?".
"Begitu tahu kalau mereka berhasil memeriksa tambur tembaga, walaupun masih belum tahu kalau suheng telah terbunuh, namun perasaan hatiku sedih sekali.
"Tapi justru karena itu, harapan dan keinginanku untuk tetap hidup semakin kuat, sambil tertawa keras akupun berkata: "Sekalipun aku telah membohongimu, tidak mungkin kau berani membunuh aku." "Orang itu segera tertawa dingin dan berkata: "Nyawamu sudah berada dalam cengkeramanku, setiap saat aku dapat mencabut nyawamu, siapa bilang tak berani?" "Aku ikut tertawa dingin, kataku: "Rahasia kalian pun masih berada dalam genggamanku, bila aku terbunuh, bakal ada orang yang akan menyebarkan rahasia itu ke seluruh dunia persilatan." "Tampaknya orang itu kubuat tertegun, sampai lama kemudian ia baru menghela napas panjang dan berkata dengan nada lebih lembut: "Ya sudah, anggap saja kau yang menang, sebenarnya kau simpan surat itu dimana?" "Begitu mendengar ada harapan untuk hidup, aku jadi kegirangan, teriakku: "Bila aku tidak bicara, sampai seribu tahun lagi pun tak bakal ada orang yang mengetahui tempatku untuk menyimpan surat itu." Tian Mong-pek segera menghentakkan kakinya sambil berteriak gegetun: "Kalau kau bicara begitu, urusan jadi rusak semua." Kakek itu menghela napas panjang.
"Benar, begitu selesai berbicara, aku segera sadar kalau telah salah bicara, tapi keadaan sudah terlambat.
"Benar saja, orang itu segera berkata sambil tertawa terbahak-bahak: "Hahaha, kalau surat itu tak bakal ditemukan siapa pun, mana mungkin bisa disebar luaskan ke dalam dunia persilatan" Hampir saja aku tertipu." "Begitu sadar kalau telah salah bicara, akupun hanya bisa pejamkan mata menunggu kematian, aku tak sanggup berbicara apa apa lagi.
Kudengar orang itu hendak menenggelamkan diriku ke dalam sungai.
"Siapa sangka saat itulah terdengar seseorang berkata dengan nada dingin: "Bagaimana pun, surat itu tak boleh sampai terjatuh diluaran, biar tubuh orang ini bakal dihancur lumatkan jadi abu, mulutnya tetap harus dipertahankan untuk mengatakan dimana dia sembunyikan surat tersebut." "Andaikata aku mati pada saat itu juga, mungkin banyak siksaan dan penderitaan yang bisa kuhindari, dengan perkataan orang itu, nasib tragisku pun sudah ditentukan, aku benar benar dibikin mati tak bisa, hiduppun menderita." Tian Mong-pek merasa merinding, tanpa sadar bulu kuduknya pada bangun berdiri.
Sesudah lewat berapa saat, terdengar kakek berjubah abu abu itu berkata sepatah demi sepatah kata: "Mula mula mereka melepas puluhan ekor semut putih beracun melalui lubang kecil diatas kotak .
. . . . . . .." "Tolong jangan kau lanjutkan!" sambil pejamkan mata Tian Mong-pek berteriak keras.
Dia tak bisa membayangkan betapa tersiksanya seseorang yang urat kakinya sudah dibetot lepas hingga tak mampu bergerak dalam peti, harus merasakan gigitan berpuluh ekor semut beracun.
Kakek itu tertawa sedih, terusnya: "Seketika itu juga aku merasakan siksaan dari gigitan semut beracun, bukan saja sakit, gatalnya bukan kepalang.
Sekalipun siksaan semacam ini sukar dilukiskan dengan kata kata, namun masih kalah jauh bila dibandingkan dengan siksaan yang kuterima disini." "Bagaimana tersiksanya di tempat ini?" tanya Tian Mong-pek gemetar.
Kakek itu kembali menghela napas.
"Kau menggembol obat mustajab, sudah pasti tak akan merasakan siksaan itu, tapi aku .
. . . .. aaai! Oleh karena aku tetap tutup mulut walaupun sudah merasakan segala penderitaan dan siksaan, maka merekapun mengirim aku kemari, bisa kau bayangkan sendiri, siksaan yang ada ditempat ini jauh lebih keji dan kejam daripada siksaan manapun di dunia.
Andaikata dari pembicaraan mereka aku tidak mendapat tahu kalau rahasia itu ada hubungannya dengan panah kekasih, mungkin aku sudah tak tahan untuk mengakuinya." Sebagaimana diketahui, panah kekasih memang kelewat beracun dan keji, tak ada umat persilatan yang tidak membenci dan mendendamnya, sebagai seorang bertemperamen keras, begitu tahu kalau urusan itu ada hubungannya dengan panah kekasih, kakek itupun pertaruhkan nyawanya untuk tidak mengaku.
Apalagi diapun amat sadar, sekalipun mengakui, dia tak akan terlepas dari kematian tragis, daripada begitu, lebih baik tidak mengaku sama sekali, biarpun tak sampai mendapat nama harum karena perbuatannya, paling tidak ia masih bisa mempertanggung jawabkan diri terhadap liangsim sendiri, bisa mati dengan mata meram.
Sambil menggigit bibir ujar Tian Mong-pek sedih: "Taysu, ketabahanmu menghadapi penderitaan dan tekadmu menghadapi siksaan, khususnya keberanianmu menghadapi semuanya ini sungguh membuat II cayhe merasa kagum .
. . . . . .. Sesudah menghembuskan napas panjang, lanjutnya: "Terus terang taysu, akupun mempunyai dendam kesumat sedalam lautan dengan panah kekasih, dapatkah taysu membeberkan rahasia dibalik surat itu kepadaku?" "Tanyakan saja!" kakek itu mengangguk.
Tian Mong-pek merasakan semangatnya bangkit, tanyanya: "Sebenarnya apa saja yang tertulis didalam surat itu?" "Sewaktu melihat berapa nama orang terkenal serta jumlah nominal duit, aku masih belum tahu rahasia apakah itu, tapi setelah tahu kalau surat ini termasuk rahasia panah kekasih, kemudian teringat dengan berita yang tersiar dalam dunia persilatan kalau panah kekasih bisa dibeli dengan uang, aku segera dapat menebak kalau nama nama orang itu pastilah para pemesan panah kekasih, sedang jumlah uang yang tertera merupakan tawaran harga yang mereka ajukan." "Bedebah!" sumpah Tian Mong-pek, "bukankah uang bisa diperoleh dari tempat manapun" Kenapa mereka justru menggunakan cara yang demikian keji" Lebih gampang jadi bandit atau perampok." Kakek berjubah abu itu menghela napas.
"Tampaknya organisasi mereka selain rahasia juga amat besar, sudah pasti tujuan utama mereka bukan pada pengumpulan duit, pasti masih ada rencana busuk lainnya yang lebih besar." "Tapi rencana apa?" "Sang pembuat anak panah pasti mempunyai ambisi yang besar, dia pasti berniat menumpas kekuatan lain yang ada untuk merajai kolong langit dan memimpin dunia persilatan.
"Oleh sebab itu dia ciptakan panah kekasih untuk menciptakan gelombang dahsyat yang belum pernah ada dalam dunia persilatan, agar setiap umat persilatan gentar dan ketakutan, berubah wajah setiap membicarakan panah.
"Diapun menambahkan pelbagai warna warni yang misterius pada panah kekasih itu, panah pun dibuat sepasang seolah merupakan pasangan kekasih, ditambah lagi kemunculannya selalu disaat bulan purnama.
"Dapat dipastikan kesemuanya ini sengaja dia tiupkan dan dia siarkan dengan niat agar kehadiran panah kekasih dalam dunia persilatan menjadi satu misteri besar, agar orang persilatan merasa takut dan ngeri atas kehadirannya.
"Kemudian dia gunakan perselisihan dan dendam kesumat antar manusia untuk menawarkan secara rahasia panah kekasih.
"Ada sementara sampah persilatan yang sadar kalau kekuatannya tak cukup untuk menghadapi musuh besarnya, sudah pasti akan menggunakan segala akal dan cara untuk membeli panah kekasih dan memakainya untuk balas dendam.
"Perlu diketahui, bila dia ingin membangun satu usaha raksasa, sudah pasti dibutuhkan beaya pengeluaran yang maha besar, butuh sumber keuangan yang bagus, bila dia dapatkan dari mencuri atau merampok, perbuatannya pasti akan memancing perhatian orang lain, bahkan bisa kehilangan kesempatan dan rusak nama besarnya, bukan saja proyek raksasanya gagal, mungkin dia akan diburu banyak orang.
"Sejak dulu, entah sudah ada berapa contoh seperti ini.
Tapi dengan berjualan panah kekasih, bukan saja tak usah membuang banyak tenaga, orang lain justru datang berbondong bondong untuk menyetorkan uang kepada nya, bukankah hal ini jauh dari segala resiko besar" "Selain itu, orang yang telah membeli anak panah, lantaran kuatir rahasianya terbongkar, setelah berhasil balas dendam, otomatis mereka akan melaksanakan setiap perintahnya dengan sukarela, bukankah tanpa sadar mereka telah menjadi anak buahnya" "Ilmu silat yang dimiliki orang ini pasti tinggi, nama besarnya dihormati banyak orang, setelah sekarang mendapat sumber keuangan tanpa bersusah payah, mendapat pula anak buah yang mau berkomplot, sudah pasti struktur organisasi nya makin lama semakin besar dan rahasia.
"Tapi orang persilatan tak ada yang tahu siapakah orang itu, karena tak tahu, tentu saja tiada seorangpun yang membuat perhitungan dengan dirinya.
"Menunggu sampai semua kekuatan yang dia kuatirkan sudah tersingkirkan habis, diapun dapat menggoyang badan dan berubah jadi asal usulnya yang sejati, saat itu bahkan mungkin secara sengaja dia akan membongkar rahasia panah kekasih.
"Maka orang persilatan pun merasa sangat kagum kepadanya, mengelukan dia sebagai pemimpin dunia persilatan sejati, mentaati semua perintahnya dan posisinya bakal tak tergoyahkan, jauh melebihi seorang bengcu yang sebetulnya hanya nama kosong.
"Semua golongan hitam maupun golongan putih akan mendukungnya, semua wilayah dikolong langit akan jatuh kedalam kekuasaannya, saat itu dia akan menjadi manusia paling terhormat, sementara keluarga korban pembunuhan panah kekasih pun tak bakal mengetahui rahasia ini, mereka ll tetap akan menuruti dan mentaati semua perintahnya .
. . . . . . .. Selama berbicara, terkadang dia menghela napas, terkadang tertawa keras, jelas terlihat betapa bergolaknya perasaan hati orang ini.
Tian Mong-pek melongo, terperangah, ia merasakan jantungnya berdebar
Selama berbicara, terkadang dia menghela napas, terkadang tertawa keras, jelas terlihat betapa bergolaknya perasaan hati orang ini.
Tian Mong-pek melongo, terperangah, ia merasakan jantungnya berdebar keras.
Lama, lama kemudian Tian Mong-pek baru menghela napas panjang, katanya: "Sejak kemunculan panah kekasih, entah berapa banyak analisa, kesimpulan dan dongeng yang beredar dalam dunia persilatan, namun tak satu pun yang bisa membeberkan latar belakangnya sejelas keterangan taysu, setelah mendengarkan pembicaraan hari ini, aku seolah merasa sudah hidup sepuluh tahun lebih lama." "Hampir saban hari aku harus menerima siksaan yang luar biasa ditempat ini, rasa benciku terhadap pemilik panah kekasih sudah merasuk hingga tulang sumsum, hampir setiap detik setiap waktu, aku selalu berusaha untuk menggali rahasia mereka.
"Semakin dalam penderitaan yang kuterima, semakin tajam jalan pikiranku, aku yakin tak satupun manusia didunia ini yang jauh lebih menderita dan tersiksa oleh ulah panah kekasih ketimbang aku." Tian Mong-pek menghela napas sedih, perlahan dia tundukkan kepalanya, tapi apa yang kemudian terlihat membuat hatinya tergoncang keras, jeritnya tergagap: "Taysu, kau .
. . . ..kau . . . . . .." Wajahnya berubah pusat pasi, nada suaranya gemetar, untuk sesaat sulit baginya untuk melanjutkan pembicaraan.
Kakek itu ikut menunduk, bukan sedih dia malah mendongakkan kepala dan tertawa keras.
"Hahaha, bagus, bagus, akhirnya aku telah berhasil melewatkan lagi penderitaan setengah hari, kini aku bisa merasakan kenyamanan selama setengah hari." Ternyata air rawa telah surut separuh bagian sehingga ditepi rawa terlihat sebuah batu karang seluas setengah meter, sementara kakek berjubah abu itu berdiri diatas batu karang.
Ketika air rawa pasang, kedalaman air mencapai paha, dan begitu air surut maka sepasang kakinya terlihat jelas.
Ternyata kulit dan daging sepasang kakinya sudah dimakan habis ular dan binatang air hingga kini hanya tersisa dua kerat tulang kaki yang mengerikan bentuknya.
sedemikian seram dan ngeri bentuk kaki itu, jangan lagi manusia berdarah daging, manusia besi pun tak akan tahan untuk melihatnya.
Tian Mong-pek merasakan lambungnya bergolak, seluruh isi perutnya tertumpah keluar, bahkan air pahit pun ikut muntah keluar lewat tenggorokan.
Terdengar kakek itu tertawa sedih, katanya: "Air rawa rawa akan pasang disaat senja dan surut disaat fajar, disaat air pasang, aku harus merasakan penderitaan karena siksaan hawa dingin yang menusuk tulang, aku pun harus merasakan siksaa n karena gigitan ular dan binatang air.
Untung saja belakangan kulit dan dagingku sudah tak tersisa, hingga ular ular berbisa itu .
. . . . . .." Tian Mong-pek berteriak keras, air mata berlinang membasahi pipinya, serunya: "Taysu .
. . . . .. sudah.... sudah berapa lama kau merasakan penderitaan dan siksaan yang tak berperi kemanusiaan ini?" "Kalau dihitung hitung, mungkin sudah dua bulanan." "Dua bulanan.....?" sekujur tubuh Tian Mong-pek gemetar, "taysu, kau.....
mengapa kau . . . . . .." "Kau ingin bertanya mengapa aku belum mati bukan?" sela kakek itu sedih.
Setelah mendongakkan kepala dan tertawa seram, katanya: "Aku bukannya enggan mati, tapi mereka tak pernah membiarkan aku mati, bukan saja mereka paksa aku menelan pelbagai obat penawar racun, agar aku dapat melawan racun ular dan racun hawa dingin, bahkan setiap hari tak lupa memaksaku untuk makan, mengisi perut, agar aku hidup tak bisa, matipun tak dapat, melanjutkan siksaan hidup ditempat ini." Suara tertawanya yang memedihkan hati, benar benar membuat siapa pun yang mendengar merasakan hatinya seperti diiris pisau.
Api amarah memancar dari balik mata Tian Mong-pek, sumpahnya penuh dendam: "Bila bertemu dengan kawanan iblis yang tidak berperi kemanusiaan itu, aku pasti akan mencincang tubuh mereka jadi bubur, akan kubalaskan sakit hatimu ini .
. . . . . . .." Saking gusar dan dendamnya, tanpa sadar air mata ikut berlinang.
Kakek berjubah abu abu itu termenung berapa saat, tiba tiba katanya: "Mungkin masih belum terlambat." Sekujur tubuh Tian Mong-pek bergetar keras, dia angkat wajahnya, pancaran sinar matanya seketika diliputi pengharapan, ditatapnya wajah kakek itu tak berkedip.
Dengan suara berat ujar kakek itu: "Dipunggung tebing ini terdapat sebuah gua, sepanjang tahun dalam gua itu bersembunyi anak buah panah kekasih." Dengan semangat berkobar Tian Mong-pek mendongakkan kepalanya, tampak kabut menyelimuti seluruh lembah bukit, dinding tebing diempat penjuru tegak lurus bagai golok, jangan lagi manusia, burung pun susah untuk melewati tempat seperti ini.
Terdengar kakek itu berkata lagi dengan pancaran sinar mata lebih hangat: "Hingga hari ini aku belum mati karena setiap satu-dua hari, dari dalam gua itu akan muncul seseorang yang turun kemari dengan menggunakan keranjang, mereka datang membawa hidangan dan minuman, memaksaku untuk menelannya.
Kini tubuhku ibarat makhluk cacat, mereka tak akan pandang sebelah matapun terhadapku, karenanya setiap datang hanya terdiri satu orang, bahkan penjagaannya kendor dan ceroboh sekali.
Dengan kedatanganmu sekarang, bukankah berarti .
. . . . .." Betapa girangnya Tian Mong-pek setelah mendengar penjelasan itu, tak tahan selanya: "Dengan kedatanganku sekarang, bukankah berarti saat kematian bajingan itu sudah tiba." "Betul, saat kematian mereka sudah tiba." Diataw wajah si kakek yang sayu, kini benar benar dihiasi senyuman gembira yang muncul dari lubuk hatinya, pipi yang semula pucat pun berubah jadi semu merah.
Setelah berhenti sejenak, terusnya lagi: "Kau bisa bersembunyi didalam air rawa, bila dia turun kemari berarti tak bakal lolos lagi, gunakan kesempatan itu untuk naik keatas keranjang dan keluar dari sini." "Moga moga orang yang menarik keranjang diatas sana tidak menaruh curiga ketika keranjang masih ditengah jalan." Kakek itu tertawa.
"Setiap kali turun kemari, bukan saja orang itu mengenakan pakaian berlapis lapis, kepala pun ditutup dengan keranjang anyaman, asal kau tanggalkan semua pakaian yang dia kenakan, siapa yang bakal kenali dirimu?" Tian Mong-pek jadi sangat kegirangan, katanya: "Siapa suruh kawanan penjahat itu tak berani tampil dengan wajah asli, hal ini bakal menguntungkan aku." Kakek itu kembali menghela napas, ujarnya: "Mereka tahu kalau aku tak bakal tinggalkan tempat ini, karenanya mereka mengenakan pakaian berlapis dan mengenakan keranjang anyaman bukan disebabkan tak berani bertemu aku dengan wajah asli." "Lantas karena apa" Masa untuk menghindari racun hawa dingin?" tanya Tian Mong-pek keheranan.
"Biarpun air ini mengandung hawa dingin beracun, mereka tidak perlu turun ke dalam air." "Lantas kenapa" Aku semakin tak mengerti." Ucap Tian Mong-pek semakin keheranan.
Berkilat sepasang mata kakek itu, katanya: "Bila dugaanku tak keliru, besar kemungkinan di dalam gua itulah mereka membuat panah kekasih." Sementara Tian Mong-pek masih tercekat, terdengar kakek itu berkata lebih lanjut: "Kemungkinan besar air dingin dari rawa rawa ini merupakan salah satu bahan penting untuk membuat panah kekasih, oleh sebab itulah mereka tak segan menyerempet bahaya dengan tetap menetap didalam gua ini." "Apakah dugaan taysu ini berdasarkan sesuatu bukti?" tergerak hati pemuda itu.
"Benar, setiap kali ada orang turun kemari, mereka selalu membawa pulang dua tong air rawa, padahal air rawa ini tak bisa diminum, kalau bukan untuk menempa panah, lalu apa gunanya air tersebut?" Setelah berhenti sejenak, kembali lanjutnya: "Kalau hanya bermaksud menutupi identitas asli, mereka cukup mengenakan topeng kulit, kenapa musti bersusah payah mengenakan pakaian berlapis dan kerudung anyaman?" "Aku memang merasa heran dengan hal ini." "Oleh karena itulah, menurut analisaku pakaian berlapis dan keranjang anyaman yang mereka kenakan itu bertujuan untuk melawan hawa racun yang tersebur ketika membuat panah." Ujar kakek itu dengan wajah serius.
Tian Mong-pek tertegun berapa saat lamanya, kemudian dia baru mendongakkan kepala dan menghela napas panjang.
"Entah berapa banyak penderitaan dan siksaan yang telah kuterima demi melacak rahasia panah kekasih, sungguh tak disangka usahaku yang bersusah payah dimasa lampau justru ditebus dengan begini mudahnya, tampaknya aku benar benar harus berterima kasih kepada orang yang telah mencelakaiku, seandainya dia tidak menipuku datang kemari, bagaimana mungkin aku bisa temukan rahasia panah kekasih" Boleh dibilang kejadian yang menimpa diriku sekarang adalah rejeki karena bencana." Entah bagaimana perasaan hati Yo Swan andaikata ia dapat mendengar perkataan itu," Kakek berjubah abu-abu itu kembali menatapnya berapa saat, kemudian ujarnya dengan suara dalam: "Diatas batu itu masih terdapat tempat untuk berdiri, naik dan beristirahatlah sejenak sebelum kita bicara lebih jauh." Tian Mong-pek menurut dan naik keatas batu selebar satu meter itu dan duduk dibawah kaki si kakek.
Dengan wajah serius dan bersungguh-sungguh, kakek itu kembali berkata: "Apabila kau dapat lolos dari sini dan tetap hidup, segera berangkatlah ke kuil Kim-san-si dan ambil surat berkulit hitam itu." "Aku memang ingin bertanya kepada taysu, kau simpan dimana surat rahasia itu?" "Lohu telah menyusupkan surat itu ke dalam kasur samadi yang ada didalam ruang hongtiang kuil Kim-san-si." Sesudah menghela napas panjang, lanjutnya: "Setelah mendapatkan surat rahasia itu, kau tak boleh bertindak secara gegabah, himpun seluruh umat persilatan, bentuk satu kekuatan besar kemudian baru kau bongkar rahasia yang bakal menggetarkan seluruh kolong langit ini." "Taysu telah menyerahkan tugas berat ini kepadaku, tentu cayhe tak bakal bertindak gegabah, taysu tak usah kuatir." Janji Tian Mong-pek dengan muka serius.
"Aku tahu, kau bertemperamen tinggi, berani mati, tekadnya besar, tapi mulai sekarang harus selalu ingat bahwa dirimu telah memikul satu beban dan tanggung jawab besar, mati hidupmu akan mempengaruhi nasib seluruh umat persilatan, karena itu, bila harus mati, matilah setelah kau bongkar rahasia panah kekasih." Oo0oo
Bab 31. Batu pemutus usus. "Sejak kini, aku pasti akan bertindak lebih hati hati, lebih menyayangi jiwa ragaku." Janji Tian Mong-pek sungguh sungguh.
Kakek berjubah abu-abu itu kembali tertawa sedih, ujarnya perlahan: "Aku telah menyampaikan semua yang kuketahui kepadamu, apakah kau pun bersedia melaksanakan dua hal untukku?" "Biar pun harus pertaruhkan nyawa, pasti akan kulaksanakan." Kakek berjubah abu-abu itu mengangkat kepala memandang angkasa, kemudian katanya: "Sekembali ke kuil Kim-san-sie, kau harus membersihkan namaku sebagai pembunuh suheng, jangan biarkan aku mati dengan penasaran." "Tak usah taysu katakan pun, cayhe pasti akan melakukannya." "Permintaanku yang kedua lebih mudah lagi." Kata si kakek setelah termenung lama.
"Katakan saja taysu." Tiba tiba terpancar sinar tajam dari balik mata kakek berjubah abu abu itu, ditatapnya wajah Tian Mong-pek lekat-lekat, kemudian katanya: "Setelah kau berhasil membunuh orang yang turun dengan keranjang itu, segera bunuhlah aku." Tian Mong-pek terkesiap, dengan hati terguncang serunya: "Taysu! Kau .
. . . .. kau . . . . . .." Kakek berjubah abu-abu itu tertwa ewa, ujarnya: "Rahasiaku telah kubeberkan kepadamu, namaku yang dirusak orang pun akan kau rehabilitasi, itu berarti sudah tak ada lagi yang perlu kukenang, itulah sebabnya aku mohon kebebasan darimu." "Taysu tak boleh memaksakan kehendak .
. . . . . .." "Jadi kau tega membiarkan aku hidup tersiksa ditempat semacam ini?" tukas kakek itu gusar.
"Selama aku bisa tinggalkan tempat ini dalam keadaan hidup, biar harus pertaruhkan nyawa pun aku tetap akan selamatkan taysu dari tempat ini, tak akan kubiarkan taysu hidup tersiksa seorang diri ditempat ini." "Coba lihatlah keadaanku sekarang, sekalipun bisa tinggalkan tempat ini, belum tentu bisa hidup lebih lanjut." Kata si kakek sedih.
Tian Mong-pek merasakan hatinya sangat sedih, ia tertunduk lemas.
Kembali kakek itu berkata: "Saat ini, selain mulutku masih bisa berbicara, mataku masih dapat melihat, bagian yang lain tak ubahnya seperti sesosok mayat, mengapa kau tidak bersedia membiarkan aku mati dengan perasaan lega dan puas?" Tiba tiba Tian Mong-pek mendongakkan kepalanya dan berteriak keras: II "Tapi taysu, kau .
. . . . . .. Kakek berjubah abu itu tertawa aneh, tukasnya: "Aku tak pernah menyesal atau penasaran karena harus mati ditempat ini, karena sejak jaman dulu, sudah ada banyak jago sakti yang berilmu sepuluh kali lipat dari kepandaianku yang terkubur ditempat ini, asal kau baca tulisan diatas batu itu, segala sesuatunya akan menjadi jelas." Tanpa sadar Tian Mong-pek menundukkan kepalanya untuk membaca.
Benar saja, diatas batu berwarna hitam yang selama ini tenggelam dibawah air rawa-rawa, tertera goresan tulisan, ada tulisan yang dalam sekali goresannya, ada pula yang cetek, ada yang besar, ada pula yang kecil, tapi yang mengagetkan adalah semua tulisan itu digores dengan menggunakan tenaga jari tangan.
Dari sini dapat disimpulkan kalau orang yang meninggalkan tulisan itu pasti memiliki tenaga dalam tinggi, mereka semua merupakan jago jago persilatan yang maha sakti.
Diantara goresan itu, dibagian tengah batu tertera satu baris kalimat yang goresannya mencapai kedalaman tiga inci, tulisnya: "Ki Siong-lam dari Cu-tang, dicelakai kaum kurcaci dan tewas ditempat ini!" Tian Mong-pek terkesiap, sewaktu masih kecil dulu ia pernah dengar orang bercerita bahwa Ki Siong-lam adalah seorang pendekar besar yang tersohor pada lima puluh tahunan berselang, selama masa itu dia telah melakukan banyak sepak terjang yang gagah berani dan menyelamatkan banyak orang gagah.
Siapa sangka, disaat masa jayanya itulah tiba tiba ia lenyap tak berbekas, dalam dunia persilatan pun tersiar pelbagai berita, bahkan ada yang mengatakan dia sudah jadi dewa, pergi ke barat dengan menunggang bangau sakti.
Tapi siapa sangka, ternyata dia telah dicelakai orang dan mati mengenaskan di tempat ini.
Menyaksikan nama tersebut, Tian Mong-pek merasa sedih dan murung.
Disekeliling nama pendekar tadi, tertera pula banyak nama lainnya, diantara nama-nama itu, ada yang pernah didengar Tian Mong-pek, ada pula yang meski belum pernah diketahui, namun bisa dipastikan mereka adalah tokoh tokoh sakti yang pernah menggetarkan sungai telaga.
Ditinjau dari tulisan yang ditinggalkan, dapat diketahui bahwa para enghiong hohan itu hampir semuanya dicelakai orang dan mati mengenaskan disana.
Pikir Tian Mong-pek kemudian dengan sedih: "Aaai, siapa yang menyangka kalau didasar rawa rawa yang terpencil ini ternyata bersemayan begitu banyak nyawa penasaran kaum enghiong hohan?" Sementara masih termenung, tiba tiba sinar matanya tertarik oleh sederetan tulisan yang persis berada dibawah kaki kakek berjubah abu abu itu.
Tulisan itu berbunyi: "Wahai orang she-Kat, biarpun kau telah celakai diriku, toh tak ada yang bisa kau peroleh, hahaha!" Dibawah tulisan itu tertera cap tujuh jari tangan, inilah tanda pengenal dari seorang pencuri budiman yang pernah menggetarkan dunia persilatan tempo hari, Jit-ci-sian, si dewa tujuh jari, Pek Hong-jin.
Tian Mong-pek pernah mendengar tentang segala sepak terjang pencuri budiman ini, tapi dia tak bisa menebak apa makna sebenarnya dari tulisan yang tak ada ujung pangkalnya itu.
Tak tahan diapun mendongakkan kepalanya seraya bertanya: "Taysu, sudah kau baca tulisan yang ditinggalkan Dewa tujuh jari?" Kakek berjubah abu-abu itu menghela napas.
"Aaai, setiap kali sedang menganggur, aku selalu tundukkan kepala untuk membaca tulisan-tulisan itu, aku rasa para pendekar kenamaan itupun telah mengalami nasib tragis yang sama seperti aku, setiap kali perasaanku jadi gundah dan sedih." "Kalau taysu telah membacanya, tahukah kau apa maksud dari tulisan itu?" "Pasti ada seorang begundal dari marga Kat yang mengincar sebuah benda mustika miliki dewa tujuh jari, gara gara itu dia telah mencelakainya hingga tewas disini." "Tapi sampai pada akhirnya, orang dari marga Kat itu tetap tak berhasil mendapatkan benda mustika tersebut, bisa dibayangkan sewaktu dewa tujuh jari meninggalkan tulisan itu, meski hatinya penuh rasa bangga, namun dia pun merasa amat sedih." Baru selesai dia bicara, tiba tiba dari atas tebing curam berkumandang suara gemerincing.
Suara itu menggaung di angkasa dan menggema ke empat penjuru.
"Apakah mereka datang?" bisik Tian Mong-pek dengan wajah berubah.
Kakek berjubah abu itu turut merasa tegang, sahutnya dengan suara berat: "Cepat kau masuk ke dalam air, begitu mendengar ada suara tong menggayung air, cepat munculkan diri dan mencabut nyawanya." Tian Mong-pek mengiakan, cepat tubuhnya meluncur turun dari batu dan menyelam ke dalam air rawa, dengan tenaga dalam yang dimiliki sekarang, biarpun harus menyelam selama setengah hari pun, hal ini bukan masalah barinya.
Berada dalam air rawa, benar saja, pemuda itu merasakan hawa dingin yang menusuk tulang.
Tian Mong-pek menahan napas sambil menyelam ke dasar rawa rawa, biarpun tekanan dalam air amat besar, ia masih sanggup menanggulanginya, tapi kegelapan yang menyelimuti tempat tersebut sungguh membuatnya susah bertahan.
Dia mencoba berjalan berapa langkah di dasar rawa, pi kirnya: "Orang lain bisa membuka matanya didalam air, kenapa aku tak bisa" Masa aku tak mampu melebihi orang lain?" Berpikir begitu, dia pun memaksakan diri untuk buka mata, pada mulanya mata terasa pedas, disusul kemudian terlihat pemandangan yang kabur, tapi akhirnya dia dapat menyaksikan pemandangan yang berada diseputar sana.
Pemandangan didasar rawa benar benar merupakan satu pemandangan luar biasa yang belum pernah disaksikan sebelumnya.
Terlihat aneka batu karang yang berbentuk aneh tersebar di empat penjuru, diantara batu karang tumbuh sejenis rumput air yang lebat, diantara rerumputan air terlihat banyak sekali ikan berbentuk aneh yang tak diketahui namanya berenang kian kemari.
Kawanan ikan itu bukan saja bentuknya berbeda-beda, ada yang berbentuk runcing bagai gurdi, ada yang bulat pendek bagai pentungan, ada yang bulat pipih seperti kue, tubuhnya pun berwarna warni, indah dan mengagumkan.


Panah Kekasih Karya Gu Long di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Kelihatannya kawanan ikan itu dikejutkan oleh kehadiran tamu asing pertama yang muncul dalam air rawa, serentak mereka kabur ke empat penjuru dan bersembunyi diantara rerumputan dan batu karang.
Di belakang kawanan ikan itu, terlihat juga aneka jenis ular berbisa berbentuk aneh, kecepatan gerak mereka ibarat anak panah yang terlepas dari busur, begitu cepat dan kilat, jauh melebihi gerak serangan jago kenamaan dunia persilatan.
Dalam terkejutnya, baru Tian Mong-pek hendak berkelit, siapa tahu begitu kawanan ular berbisa itu tiba dihadapannya, bagaikan secara tiba tiba tersengat api, serentak mereka mundur kembali dengan kecepatan tinggi.
Gerak tubuh kawanan ular itu betul-betul mengerikan, dalam waktu singkat kawanan binatang melata itu sudah hilang lenyap tak berbekas, yang tersisa kini hanya rumput air yang bergoyang dimainkan riak ombak, persis seperti rambut seorang gadis yang dihembus angin sepoi.
Tian Mong-pek sama sekali tidak menyangka, dibawah air rawa yang hitam pekat, ternyata memiliki pemandangan aneh yang mimpipun tak pernah dibayangkan orang daratan, hal ini benar benar membuatnya menghela napas kagum.
Begitulah, selangkah demi selangkah dia berjalan menelusuri dasar rawa, sekali lagi dia jumpai, diantara batu karang tersebar aneka jenis senjata yang telah berkarat serta tulang belulang manusia.
Mungkin mereka adalah para jago yang tewas begitu tercebur ke dalam air, bahkan belum sempat meninggalkan pesan terakhir, mayat mereka sudah menjadi santapan ular berbisa.
Dengan hati gundah Tian Mong-pek berdiri didepan tumpukan tulang belulang itu dan berdoa untuk arwah mereka yang gentayangan, mendadak satu kejadian aneh dijumpai diantara tumpukan batu karang itu.
Rupanya diatas sebuah batu karang disisi sebelah kiri, tertancap sebilah pedang hingga tinggal gagangnya, kalau senjata lainnya berserakan didasar rawa, maka pedang itu justru menembusi batu karang hingga tinggal tersisa gagangnya saja.
Selain itu, kalau senjata lainnya sudah berkarat dan tak karuan bentuknya, maka pedang ini meski berwarna hitam pekat tanpa cahaya, namun dari atas hingga ke bawah sama sekali tak ada tanda tanda karat.
Yang lebih istimewa lagi adalah pada gagang pedang itu terikat dua lembar batu, batu hijau yang menjepit gagang pedang, seketika timbul perasaan ingin tahu dihati kecil Tian Mong-pek, dia segera menyentuh batu tersebut.
Tali pengikat batu sudah lama lapuk, baru disentuh anak muda itu, potongan batu itu sudah terjatuh ke tangannya.
Batu itu penuh dengan goresan, tampaknya merupakan satu rangkaian tulisan.
Tapi susah bagi Tian Mong-pek untuk melihat jelas tulisan itu di dalam air, sementara berpikir, tiba tiba satu ingatan melintas, meskipun mata tak bisa digunakan untuk membaca tulisan, bukankah dengan rabaan jari, dia tetap bisa membaca goresan tulisan itu" Maka jari tangannya mulai meraba goresan tulisan itu, ternyata kalimat itu berbunyi begini: "Ambil bila melihat pedang, balik tangan bila meraba bunga." Tian Mong-pek sangat keheranan, pikirnya: "Maksud dari kalimat pertama sangat jelas, tapi apa arti kalimat ke dua" Sungguh membingungkan." Maka diapun mulai meraba batu kedua, disana tertulis: "Tanpa syarat kuhadiahkan pedang ini untukmu, akupun tak menginginkan banyak tuntutan darimu.
Sepanjang hidup sudah sering kuambil barang milik orang lain, jadi paling tidak akupun harus memberi hadiah satu kali ini." Goresan tulisan diatas batu ini lebih banyak dan hurufnya lebih kecil, Tian Mong-pek butuh banyak waktu untuk menyelesaikan pembacaan itu, meski tidak tertulis pemilik pedang, namun secara lamat lamat dapat ditebak kalau pedang itu kemungkinan besar milik Dewa tujuh jari.
Semua goresan tulisan ini bukan saja nadanya sama seperti tulisan yang ditinggalkan Dewa tujuh jari diatas batu, gaya tulisannya pun sangat mirip.
Tian Mong-pek tertegun berapa saat, tapi akhirnya tak tahan dia mendekati pedang itu dan mencabutnya keluar.
Dalam perkiraannya, pedang yang sudah menancap diatas batu karang itu pasti susah dicabut, siapa tahu begitu tangannya menyentuh gagang pedang, mata pedang pun ikut bergerak, bebatuan cadas yang keras bagai besi itu seketika retak dan hancur berantakan.
Dalam kagetnya, sekali lagi Tian Mong-pek mengayunkan pedang itu, dimana mata senjata melintas, batu karang seketika terbelah jadi dua.
Tak tahan lagi serunya dengan perasaan kaget: "Sungguh tajam pedang mustika ini!" Ketika diperiksa, terlihat pedang itu berwarna hitam pekat tanpa pantulan cahaya, lagipula bentuknya sangat aneh, sama sekali tak ada bagian yang tampak menarik hati, hanya saja meski berada dalam air, namun terasa cukup berat.
Kembali Tian Mong-pek berpikir: "Bisa jadi pedang ini ditimpuk masuk ke dalam air oleh Dewa tujuh jari menjelang ajalnya, karena mengenai batu karang, maka senjata itu tertancap disitu." Sesudah termangu berapa saat, pikirnya lebih jauh: "Pedang ini tajamnya luar biasa, jangan jangan benda inilah yang dimaksud dewa tujuh jari sebagai mestika yang diincar manusia bermarga Kat itu?" Sesudah menggenggam pedang itu, dia merasa langkah kakinya bertambah mantab dan stabil, baru saja akan melanjutkan perjalanan, tiba tiba ia mendengar muncullnya gelombang suara aneh dari permukaan air.
Satu ingatan segera melintas: "Aah, sudah tiba saatnya." Tidak sempat berpikir lebih jauh, sepasang lengannya mendayung ke depan dan tubuhnya menyelinap ketepi batu karang disisi rawa rawa.
Kembali seekor ular berbisa kabur karena kaget, tapi Tian Mong-pek tidak sempat lagi mempedulikan hal tersebut, dengan menempel karang, diam diam dia mengapungkan diri ke atas permukaan.
Pemuda itu sadar, situasi saat ini sangat gawat dan berbahaya, ia tak boleh bertindak gegabah, sebab sedikit saja teledor, bukan saja akan mencelakai diri sendiri, bahkan akan mencelakai juga orang lain.
Maka dia mencoba menahan napas dan mengendap dibalik bebatuan.
Betul saja, dari atas tebing curam terlihat seutas tali panjang terurai ke bawah, ujung tali berada dibalik kabut tebal, sementara ujung yang lain terikat pada sebuah keranjang yang muat untuk menampung dua orang.
Kini diatas batu karang dimana kakek berjubah abu itu berdiri, telah bertambah dengan seseorang.
Orang itu mengenakan pakaian ketat berwarna hitam mengkilat, tangannya mengenakan sarung tangan hitam yang terbuat dari kulit ikan hiu, kepalanya tertutup keranjang hitam yang terbuat dari anyaman.
Hampir boleh dibilang dari ujung kepala hingga ke ujung kaki, tak seinci pun terlihat kulit tubuhnya.
Bentuk dan dandanan tersebut bukan saja tampak aneh dan menakutkan, bahkan ibarat setan gentayangan.
Betul saja, ditangan orang itu tergenggam dua tong air rawa, saat itu dia sedang berkata dengan dingin: "Semua kata kata baik maupun buruk telah kusampaikan, benarkah kau tetap tak mau mengaku?" Kakek berjubah abu-abu itu hanya mendengus, sama sekali tak menjawab.
Manusia berkerudung hitam itu segera tertawa dingin, ujarnya lagi: "Bagus sekali, apa pun yang toaya katakan, ternyata hanya kau tanggapi dengan dengusan, anggap saja kau memang bernyali." "Hmm!" kembali kakek itu mendengus.
Manusia berkerudung hitam itu tertawa dingin, ejeknya: "Kau begitu keras kepala menuruti suara hati sendiri, sesungguhnya hal ini hanya mencari penyakit buat diri sendiri, hmm, akan kulihat seberapa keras tulang belulangmu itu dan mau bertahan sampai kapan?" Pada saat dia berpaling sambil berbicara itulah, secara diam diam Tian Mong-pek menyusup ke belakang tubuhnya, mendadak dia muncul dari balik air, mengayun pedangnya dan menggorok leher manusia berbaju hitam itu.
Sewaktu masih berada dalam air, pedang itu tidak terasa kelewat berat, kini dia baru menyadari bahwa pedang hitam itu ternyata beratnya luar biasa, dia harus mengerahkan tenaga dalam sebelum bisa mengangkatnya.
Mimpipun manusia berbaju hitam itu tidak mengira kalau disitu masih hadir orang lain, dia sama sekali tidak menyadari akan datangnya sergapan.
Terlihat dimana mata pedang melintas lewat, tanpa menimbulkan suara apapun batok kepala manusia berbaju hitam itu sudah rontok ke tanah, begitu gampang, begitu mudah seperti mengiris tahu, semuanya lewat dengan begitu saja.
Pada saat itulah tangan kiri Tian Mong-pek sudah menerima keranjang kayu dari kepalanya, sedang badannya yang melompat naik ke atas batu, membopong tubuh manusia berbaju hitam itu agar tidak tercebur ke air.
Semburan darah segar segera berhamburan ke empat penjuru, mengotori pakaiannya, "Plunggg!" batok kepala itupun tercebur ke dalam air.
Sejak mengayunkan pedang, membunuh, menerima keranjang kayu, naik ke batu sampai memeluk mayat, ke lima gerakan itu dilakukan bersamaan waktu, belum sampai batok kepala itu tercebur ke air, semuanya telah selesai dilakukan, nyaris secepat kilatan petir.
Kelihatannya kakek berjubah abu-abu itupun dibuat terperangah, sesudah tertegun berapa saat, dia baru memuji sambil menghela napas: 'I' I "Sungguh cepat gerakanmu, sungguh tajam mata pedangmu Tiba tiba seperti teringat sesuatu, kembali teriaknya:
a tahu memaksa aku serahkan panah, tapi tidak mau ikut memikirkan bagaimana cara penyelesaiannya.
Aaaai, kalian boleh pergi!" Setelah mengulapkan tangannya, dia balik badan dan berjalan masuk.
Selama ini, si laba-laba maupun si katak tak berani bersuara, bernapas keras pun tidak berani, sekarang bagaikan mendapat pengampunan dosa, cepat mereka mengundurkan diri dari situ.
Tian Mong-pek merasa senang bercampur menyesal, dia gembira karena tempat ini ternyata memang tempat untuk membuat panah kekasih, dengan keberhasilannya memasuki tempat ini, berarti tidak sulit untuk membongkar rahasia dibalik kesemuanya itu.
Dia menyesal karena manusia berjubah hitam itu ternyata bukan otak dari panah kekasih, bila ingin balas dendam, kesempatan yang ada terasa masih jauh dan minim.
Begitulah, ke tiga orang itu dengan jalan pikiran masing masing berjalan keluar dari pintu berlambang serigala.
Setelah berada diluar, dengan suara setengah berbisik kata si laba-laba: "Belakangan, watak dari kepala kita makin berangasan dan cepat marah, dibandingkan saat baru datang dulu, dia seakan telah berubah jadi orang lain." Dengan suara lirih kata si katak pula: "Siapa pun yang sepanjang tahun terkurung ditempat semacam ini, wataknya pasti akan berubah.
Kini kita pun dipaksa masuk ke tempat ini, kecuali pasrah pada nasib, apa lagi yang bisa kita lakukan?" Baru selesai pembicaraan itu, mendadak terlihat seseorang dengan keranjang kayu berlambang ular melintas lewat dari sisi mereka, terdengar orang itu menghardik: "Apa yang sedang kalian bicarakan?" "Tidak ada." Jawab laba-laba ketakutan.
"Kurangi bicara, perbanyak bekerja, cepat kembali ke kamar untuk beristirahat!" bentak orang berlambang ular lagi.
Ke tiga orang itu mengiakan berulang kali dan berpisah ke tujuan masing- masing.
Tian Mong-pek mulai bingung dan ragu, dia tak tahu harus berjalan menuju ke arah mana, pikirnya: "Biarpun tak boleh bertindak gegabah, aku harus berhasil mencari tahu rahasia di tempat ini kemudian baru turun tangan, dengan begitu tak perlu menghantar nyawa dengan percuma.
Tapi bila jejakku saat ini ketahuan, terpaksa aku harus menghabisi mereka terlebih dulu, berapa yang bisa kubantai, akan kubantai berapa." Berpikir begitu, tanpa terasa jari tangannya menyentuh gagang pedang dibalik pakaiannya.
Kini, dia benar-benar terjerumus ke dalam keadaan yang sulit, pertama dia tak tahu harus beristirahat di ruang yang mana, kedua diapun tak bisa celingukan melihat ke sana kemari tanpa tujuan yang pasti.
Padahal sedikit saja dia melakukan tindakan yang mencurigakan, rahasia penyamarannya bakal terbongkar.
Selama berada dalam gua yang penuh diliputi hawa pembunuhan ini, setinggi apapun ilmu silat yang dimiliki, belum tentu dia dapat menjebol kepungan yang berlapis, sekalipun bertarung mati matian, pada akhirnya nyawa sendiri pun bakal hilang disini.
Untunglah disaat yang kritis, sorot matanya terbentur dengan sesuatu benda, dijung pintu tembaga sebelah kiri, terdapat sebuah pintu dengan lambang ukiran seekor capung.
Berada dalam keadaan begini, dia tak sempat berpikir panjang lagi, tanpa ragu dia melangkah menuju ke depan pintu dan menekan mata capung diatas dinding pintu.
Benar saja dugaannya, mata capung itu hidup, begitu ditekan, pintu itu segera terbuka lebar.
"Ooh.... syukurlah!" pekik pemuda itu.
Tanpa berani berpaling lagi, dia menyelinap masuk ke dalam ruangan, secara otomatis pintu tembaga itu segera menutup kembali.
Terhindar dari bahaya, Tian Mong-pek bersandar di pintu sambil menghembuskan napas lega, tapi belum sempat ia perhatikan keadaan di seputarnya, tiba tiba terdengar seseorang menegur sambil menghela napas: "Kenapa sampai sekarang baru balik?" Suara itu merdu dan lembut, ternyata suara seorang nona muda, dengan terperanjat Tian Mong-pek melompat ke sudut ruangan lalu berpaling .
. . . . . .. Terlihat perabot yang tersedia dalam ruang batu itupun sangat indah dan mewah, selain berapa buah almari, terdapat pula sebuah ranjang berukiran indah dengan seprei berwarna cerah.
Seorang gadis berwajah putih pucat, dengan rambut yang terurai panjang terlihat sedang duduk diatas ranjang yang empuk itu.
Dengan tangan kirinya si nona menutupi sebagian tubuhnya, sementara tangan kanannya sedang membetulkan rambutnya yang kusut, dia mengerling genit ke arah Tian Mong-pek dan memperlihatkan sepasang bahunya yang putih dan indah.
Saking kagetnya Tian Mong-pek hanya bisa tertegun, sampai lama sekali tak sanggup bergerak.
Terdengar nona berambut panjang itu tertawa malas, sapanya: "Kau sudah kembali" Kenapa tidak lepas pakaian?" Tian Mong-pek makin terperanjat, tanpa sadar lagi-lagi dia beringsut mundur.
Sekali lagi nona itu mengerlingnya genit, katanya sambil tertawa cekikikan: "Hei, ada apa dengan dirimu hari ini" Dibikin kaget diluaran sana" Baiklah, kalau begitu biar aku membantumu untuk lepas pakaian." Tiba tiba ia melompat turun dari ranjang, dibawah sinar lentera berwarna semu merah, ternyata gadis itu telanjang bulat tak mengenakan sehelai benangpun, tubuhnya yang putih mulus tak ubahnya seperti bayi yang baru lahir.
Diiringi tertawa merdu, ia menghampiri Tian Mong-pek.
Terkejut bercampur gusar, tanpa berpikir panjang lagi Tian Mong-pek mengayunkan sepasang tangannya, angin pukulan yang kuat seketika menggetarkan gadis bugil itu hingga terhuyung mundur lalu terjatuh kembali diatas ranjang.
Nona itu menjerit kaget, tiba tiba paras mukanya berubah, serunya dengan "Kau .
. . . .. kau bukan siau Phoa, siii.....
siapa kau" Kenapa bisa sampai ke tempat ini?" Dengan satu lompatan, Tian Mong-pek melompat ke depan gadis itu, menarik selimut dan ditutupkan keatas tubuhnya, setelah itu baru ujarnya: Il "Nona, jangan berteriak, kalau tidak, kau bakal kehilangan nyawa.....
Jangan dilihat gadis itu bertubuh kecil mungil, ternyata nyalinya cukup besar, sambil mengerdipkan matanya dia balik bertanya: "Kau yang bakal kehilangan nyawa, ataukah diriku?" Tian Mong-pek tertegun, cepat dia lepas tangan.
Sambil membetulkan rambutnya yang kusut, kembali gadis itu berkata sambil tertawa dingin: "Hmm, rupanya kau si bocah muda ingin mencuri kenikmatan" Hehehe.....
kau sudah salah perhitungan, biarpun nonamu bukan gadis suci bersih, bukan berarti aku bisa memakai diriku sekehendak hati." II "Nona, jangan salah paham, aku hanya .
. . . . . . .. Belum selesai dia berkata, gadis itu sudah tertawa terkekeh.
Sambil picingkan matanya dan tertawa genit, kata gadis itu: "Tapi kaupun tak usah takut, toh nonamu sedang risau dan gundah, asal kau lepas kerudungmu dan nona merasa wajahmu cocok dengan selera ku, tak ada II salahnya bila kau .
. . . . . . .. "Kentut!" umpat Tian Mong-pek gusar, dengan satu ayunan tangan, dia hajar wajah gadis itu.
Siapa sangka gadis itu sama sekali tidak takut, malah sambil duduk makinya: "Bocah keparat, sudah berani mencuri masuk kemari, masih berlagak sok suci .
. . . . . . . .." Kembali Tian Mong-pek mengayun tangannya, menghajar gadis itu sampai jumpalitan.
Bukannya takut, gadis itu makin nekad, dia melompat bangun lalu merangkul Tian Mong-pek sambil merayu: "Orang ganteng, jangan pukul aku lagi, sudahlah, aku kabulkan keinginanmu .
. . . . . . .." Belum selesai dia berkata, Tian Mong-pek telah merentangkan sepasang lengannya, membuat gadis itu kembali jatuh terjengkang.
Biarpun jalang dan genit, kelihatannya gadis itu belum pernah bertemu dengan lelaki keras kepala macam begini, sekarang dia mulai takut, bisiknya gemetar: "Kau .
. . . . .. mau apa kau?" "Tutup tubuhmu dengan selimut!" perintah Tian Mong-pek.
Kali ini gadis tersebut sangat menurut, dia menyusup ke balik selimut dan tidak berani bersikap jalang lagi.
Kembali Tian Mong-pek menghardik: "Setiap pertanyaan yang kuajukan, harus kau jawab sejujurnya, kalau berani bohong, hmm, akan kubuat hidupmu lebih tersiksa daripada mati." "Toa .
. . . .. toaya, kau bukan anggota tempat ini?" tanya nona berambut panjang itu gemetar.
Tian Mong-pek melepas kerudung kayu yang menutupi wajahnya, dengan sorot mata setajam sembilu ditatapnya gadis itu tampa berkedip.
Menyaksikan hawa pembunuhan yang menyelimuti wajah pemuda itu, tak tahan si nona bergidik, ia bersin berulang kali.
"Berapa jumlah orang yang ada disini?" tanya Tian Mong-pek kemudian.
Gadis itu mulai menggigil ketakutan, sepasang giginya saling beradu keras, sambil menarik selimutnya makin rapat, sahutnya gemetaran: "Aku sendiripun tak jelas, mungkin sekitar dua sampai tiga puluhan orang." "Mereka berasal dari mana" Bagaimana dengan ilmu silatnya?" "Diantara mereka ada yang berasal dari rimba hijau, ahli dalam menggunakan senjata rahasia beracun, tapi ada pula yang tukang jamu yang kepandaiannya pas pasan." II "Benar juga, pikir Tian Mong-pek, "mereka adalah tenaga kasar yang diperlukan untuk membuat panah kekasih, baguslah kalau hanya bangsa kurcaci." Maka tanyanya lagi: "Siapa kau?" "Aku hanya seorang perempuan baik baik yang diculik dan dibawa kemari II untuk .
. . . . . . .. nona itu tampak sangat ketakutan.
Tian Mong-pek tertawa dingin, tukasnya: "Mana ada perempuan baik-baik bertampang macam kau" Cepat jawab, mengapa mereka membawamu kemari?" "Diantara kawanan manusia itu, ada yang lantaran tak punya tempat untuk berteduh lagi sehingga secara sukarela datang bergabu ng, tapi ada pula yang dipaksa untuk datang kemari.
Agar mereka bisa bekerja dengan tenang ditempat ini, maka pemimpin menculik perempuan perempuan dari luar, agar II mereka .
. . . . .. Tian Mong-pek enggan mendengarkan lebih lanjut, tukasnya: "Sudah tahu, siapa pentolan tempat ini?" "Kami semua dipaksa datang kesini, darimana bisa tahu siapa pentolan mereka"' rengek perempuan muda itu, "tayhiap, kumohon, ampunilah diriku!" Tian Mong-pek tertawa dingin, katanya: "Bila kau benar benar perempuan baik, mereka tak akan datang mencarimu lagi, kau tak usah kuatir, selama tidak banyak ulah, aku tak akan mengganggu nyawamu." Waktu itu, tubuh gadis itu sudah mundur hingga melingkar disudut ranjang, mendadak ujarnya sambil tertawa dingin: "Aaah, betul sekali, nonamu memang bukan berasal dari keluarga baik baik." "Kau .
. . . . . . . .." dengan kening berkerut hardik Tian Mong-pek gusar.
"Tutup mulut," hardik gadis itu sambil tertawa dingin, "tombol rahasia dibelakangku tersambung ke bel tanda bahaya diseluru h gua ini, asal kutekan tombol itu, kau segera akan mampus." Tian Mong-pek merasa tubuhnya tergoncang keras, tanpa sadar dia mundur tiga langkah.
II "Hahaha, betul sekali, seharusnya mundur teratur, kata gadis itu lagi sambil tertawa terkekeh, "selama kau penurut, urusan semacam apapun dapat II dirundingkan, malah siapa tahu .
. . . . . .. Sambil mengerling genit, ia tertawa jalang.
Tian Mong-pek marah sekali, pikirnya: "Biar harus mati pun, aku tak bakal menuruti perintah perempuan sundal ini!" Seketika dia merasakan darah panas ditubuhnya menggelora, dalam keadaan begini, dia tidak berpikir panjang lagi.
Dalam pada itu, si nona sedang merasa bangga dengan keberhasilnya menggertak lawan, serunya lagi sambil tertawa merdu: "Hei anak muda, katakan padaku, kau adalah .
. . . . . . .."\ Sekonyong-konyong Tian Mong-pek membentak gusar, tubuhnya bagaikan seekor harimau buas menerkam ke muka.
Kelihatannya gadis itu tak pernah mengira kalau dikolong langit benar benar terdapat manusia nekad yang tak maui nyawa sendiri, seketika wajahnya pucat kehijauan, buru buru tangan kirinya menekan tombol tanda bahaya, sementara tangan kanannya mencabut sebilah pisau belati dari bawah bantal.
Tian Mong-pek teramat gusar, dia maju sambil bacok tenggorokan gadis itu, memakai kesempatan tersebut, pisau belati si nona pun dihujamkan ke dada lawan, ternyata dalam gusarnya, pemuda itu lupa menjaga diri.
Sesaat sebelum putus nyawa, sekulum senyum kepuasan menghiasi bibir nona itu, dia sangka musuhnya telah tewas oleh tusukan pisau belatinya.
Siapa sangka begitu pisau belati itu menusuk ke dada lawan, tahu tahu telapak tangannya terasa getaran keras, mata pisau sudah patah jadi dua bagian.
Darimana nona itu tahu kalau dibalik baju Tian Mong-pek tersimpan sebilah pedang baja kuno yang luar biasa tajamnya, baru merasa kaget, nyawanya sudah meninggalkan raga, tubuh yang telanjang bulat pun roboh terjungkal dan terkapar bugil diatas ranjang.
Baru saja Tian Mong-pek melompat turun dari ranjang, suara tanda bahaya telah bergema nyaring.
Suara keleningan yang nyaring menggema dan menyebar ke balik keheningan, menyusul kemudian terdengar suara teriakan kaget dan suara langkah manusia yang terburu-buru menuju ke ruang batu itu.
Tian Mong-pek tarik napas dalam-dalam, sambil busungkan dada ia berdiri tegak didepan pintu, dalam keadaan begini mati hidupnya sudah tak dipikirkan lagi, dengan menghimpun segenap kekuatan yang dimiliki, dia siap bertarung habis habisan melawan kawanan iblis itu.
Siapa tahu, saat itulah dari luar ruangan terdengar lagi seruan seseorang dengan nada nyaring: "Jangan turun tangan dulu, lepas asap beracun, biar bajingan itu mati keracunan didalam sana." Terkejut bercampur gusar, sekuat tenaga Tian Mong-pek menarik pintu tembaga itu, siapa tahu pintu tersebut sama sekali bergeming.
Saat itulah, dari atap ruangan, dari balik lubang hawa, tersebar gumpalan asap berwarna putih, asap tebal yang disertai bau busuk seperti kayu lapuk.
Cepat Tian Mong-pek menutup pernapasannya, rasa gusar bercampur kaget mencekam perasaan hatinya, dia lebih suka mati dalam pertempuran daripada mati keracunan diruangan itu.
Dalam waktu singkat, kabut putih telah menyelimuti seluruh ruangan itu.
Tian Mong-pek segera menghimpun segenap tenaga dalam yang dimiliki dan menghantam pintu tembaga, "Blaaaam!" suara benturan nyaring bergema kemana-mana, namun pintu itu sama sekali tak bergerak, geser sedikitpun tidak.
Umpatan, caci maki dan suara ejekan berkumandang dari luar pintu, Tian Mong-pek merasa sedih bercampur marah, sepasang matanya merah membara, dengan satu tarikan, dia robek baju yang dikenakan, tiba tiba tangannya menyentuh pedang baja hitam.
Sebagaimana diketahui, pedang itu baru saja diperoleh, jadi tak heran kalau dalam keadaan gusar bercampur panik, dia sudah melupakan senjata mustika itu.
Kini, setelah menyentuh pedang hitam, satu ingatan segera melintas, cepat dia cabut keluar senjata itu.
Sekali lagi dia himpun segenap tenaga yang dimiliki, kemudian dengan satu ayunan, pedang hitam itu dengan membawa cahaya kehitaman meluncur keatas pintu tembaga yang tebal.
"Creeet!" bagai membelah kayu lapuk, pedang hitam itu langsung tembus ke balik dinding pintu dan menciptakan sebuah lubang yang cukup lebar.
Tian Mong-pek merasa semangatnya berkobar, dia cabut pedang itu diikuti satu bacokan lagi dilontarkan, sementara kakinya melepaskan satu tendangan ke arah celah yang terbentuk.
"Braaakl" sebuah lubang yang besar pun segera terbentuk.
Jeritan kaget, teriakan panik seketika berkumandang dari luar pintu.
Dengan pedang hitam melindungi dada, Tian Mong-pek melompat keluar dari balik pintu.
Tampak cahaya hitam menyelimuti luar pintu, bayangan manusia berjajar disana sini.
Secepat kilat pemuda itu menerobos keluar, teriakan kager, jeritan panik bergema makin ramai.
Bab 32...hilang/gak ada...cerita agak melompat sedikit....
Bab 33. Naik kereta menuju Kanglam.
"Waah..... menarik sekali . . . . . .." seru Tian Mong-pek kegirangan, "tapi .
. . . . .." Tiba tiba ia teringat dengan kasur samadi dalam kuil Kim-san-sie, dia tak boleh menunda masalah ini, rahasia dibalik kasur samadi harus segera diungkap, tapi diapun merasa berat hati untuk melepas kesempatan menonton pertarungan sengit ini.
Melihat perubahan mimik muka pemuda itu, Lan Toa-sianseng kembali bertanya: "Apakah kau masih ada urusan lain, yang tidak dapat ditunda lagi?" "Benar." sahut Tian Mong-pek sambil menghela napas.
"Urusan apa yang begitu penting?" "Cayhe harus .
. . . . . . . .. tugas yang akan kulaksanakan ini akan cianpwee ketahui dimasa mendatang." sebagai seseorang yang berjiwa muda, sewaktu teringat pertaruhannya dngan kakek bungkuk, dia merasa tidak seharusnya dia ungkap keadaan yang sesungguhnya dihadapan orang tua ini.
Berputar biji mata Lan Toa-sianseng, rupanya diapun dapat melihat kesulitan pemuda ini, tiba tiba katanya sambil tertawa: "Kalau ada urusan, cepatlah pergi, toh pertarungan kali ini tak bakal seseru pertarungan tempo hari." "Kalau memang begitu," kata Tian Mong-pek setelah termenung sejenak, "aku .
. . . . . .. aku akan menanti kedatangan kalian berdua di kuil Kim-san-sie, tapi cianpwee jangan lupa, dibawah sana masih menunggu sekawanan .
. . . .." "Tak usah kuatir, lohu tak bakal lupa." Sahut Lan Toa-sianseng sambil tertawa.
"Kalau begitu cayhe pergi dulu." "Pergi sana, pergi sana," umpat si bungkuk baja, "lohu tahu, kau pasti ada suatu rahasia yang sengaja kau tutupi dihadapanku, coba lihat, sampai tua bangka Lan ikutan bermimik mencurigakan." "Hahaha, dasar tua bangka licik." Lan Toa-sianseng tertawa terbahak.
Tian Mong-pek tak ingin banyak bicara lagi, dia segera membalikkan badan dan beranjak pergi.
Mendadak Lan Toa-sianseng kembali memanggilnya, ketika pemuda itu berpaling, tanya kakek ini: "Hampir saja lohu lupa menanyakan sesuatu kepadamu, siapa si kakek berjubah kuning itu?" "Kokcu dari lembah Kaisar." Sahut Tian Mong-pek sambil tersenyum.
Lan Toa-sianseng termenung seketika, sampai lama kemudian dia baru menggeleng dan berkata sambil tertawa: "Ternyata memang dia, ternyata memang dia.....
baiklah saudara cilik, cepatlah pergi, kita ketemu lagi di kuil Kim-san-sie." Tian Mong-pek mengiakan dan segera beranjak pergi.
Dari kejauhan ia mendengar si bungkuk baja sedang berteriak: "Kalau dia sampai terluka ditanganku, batal rencana kepergiannya.
Perjalanan yang dilakukan Tian Mong-pek kali ini, boleh dibilang hanya berlangsung berapa hari, tapi pengalaman yang dijumpai, justru tak terhingga banyaknya.
Sambil menuruni bukit, pelbagai pikiran berkecamuk dalam benaknya: "Entah bagaimana keadaan kuil Kim-san-sie sekarang" Berhasilkah aku membongkar rahasia panah kekasih dalam perjalanan kali ini?" Makin dipikir dia merasa hatinya makin ruwet, semakin gelisah dan tak tenang, kalau bisa dia ingin tiba di kuil Kim-san-sie dalam sekali jangkauan.


Panah Kekasih Karya Gu Long di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Tapi kuil Kim-san-sie terletak sejauh ribuan li dari sana, tidak diketahui berapa lama dia harus menempuh perjalanan ini" Mungkinkah akan muncul banyak rintangan dan persoalan sepanjang perjalanan ini" "Aku memang termasuk orang yang banyak urusan," demikian ia berpikir, "dalam perjalanan kali ini, sekalipun aku tidak pergi mencari masalah, mungkin orang lain yang akan datang mencari gara-gara dengan aku." Setelah berpikir bolak balik, akhirnya ia mendapat satu akal: "Lebih baik aku menyewa sebuah kereta, dengan duduk dalam kereta dan menutup rapat tirai, sudah pasti tak akan terjadi gara gara lagi." Berpikir begitu, langkah kakinya makin cepat, tiba di kaki gunung, tempat dia meninggalkan kudanya, ia mulai perlambat langkahnya dan celingukan kesana kemari.
Ternyata kuda itu memang kuda pilihan, tak lama kemudian lamat lamat ia mendengar ada suara ringkikan kuda.
Dengan perasaan girang pemuda itu meluncur kearah mana berasalnya suara tadi, tampak kuda jempolan itu sedang merumput dengan tenangnya disana.
Dengan hati girang Tian Mong-pek segera menepuk leher sang kuda sambil serunya: "Kuda wahai kudaku, tak disangka kau benar-benar menungguku disini .
. . . . .." Dengan riang gembira pemuda itu melompat naik ke punggung kuda dan melarikannya.
"Mari kita berangkat!" Diiringi suara ringkikan panjang, kuda itupun mulai berlari kencang menelusuri tanah perbukitan.
Tak sampai sepertanak nasi, mereka telah tiba di sebuah dataran rumput yang luas.
Satu ingatan mendadak melintas lewat, pikir pemuda itu: "Sekarang aku sudah punya kuda, berarti tidak perlu kereta lagi, kalau suruh kuda ini menghela kereta, aku pun merasa keberatan, lalu bagaimana baiknya?" Setelah berpikir bolak balik, satu ingatan melintas: "Kenapa tidak kutitipkan kuda ini ke sebuah pengawalan barang dan minta mereka mengirimnya sampai di kuil Kim-san-sie" Paling juga memberi mereka II sedikit uang.....
Teringat soal uang, diam diam pemuda itu mengeluh: "Aduh, mati aku!" Untuk sesaat pemuda itu berdiri tertegun.
Rupanya sewaktu tercebur ke dalam rawa-rawa pelumat sukma, seluruh uang miliknya sudah hilang didasar air, atau dengan perkataan lain, kini dalam sakunya sudah tak ada uang sepeserpun.
Tentu dia tak akan mencuri, diapun tak bakal merampok, sekalipun niatan untuk menyewa kereta bisa diurungkan, toh mustahil dia harus menahan lapar hingga tiba di kuil Kim-san-sie yang berjarak ribuan li.
Persoalan yang selama ini bukan masalah baginya, saat ini justru telah menjadi problem yang serius.
Sambil menghela napas, pikirnya: "Dengar dengar ada pegadaian yang khusus menerima kuda, bagus juga kalau kuda ini dapat kugadaikan, kalau tidak .
. . . . .. aaai, sejujurnya aku tak tega untuk menjualnya." Tak selang berapa saat kemudian, Tian Mong-pek telah tiba disebuah kota, kalau dilihat dari bangunan yang berjajar sepanjang jalan, tampaknya ini kota besar.
Biarpun pikirannya sedang kusut, terutama perutnya yang keroncongan, tapi pemuda ini tetap duduk tegak diatas pelana kudanya.
Banyak orang sepanjang perjalanan yang berpaling dan menatap kagum kearahnya, apalagi menyaksikan parasnya yang ganteng dan kudanya yang gagah.
Diam diam Tian Mong-pek tertawa getir, pikirnya: "Pikir mereka aku gagah, padahal siapa yang tahu kalau sakuku kosong melompong?" Saat itu tengah hari telah menjelang, aneka hidangan tampak berjajar dalam kedai makan, walaupun hanya berupa hidangan sederhana, akan tetapi dalam pandangan Tian Mong-pek merupakan hidangan yang sangat mewah.
Ditambah lagi bau harum yang menyebar dari balik dapur rumah makan, benar-benar membuat dia harus menelan air liur.
Sambil tertawa getir pikir pemuda itu: "Heran, mengapa semakin miskin seseorang, semakin cepat perutnya terasa lapar" Diwaktu biasa, biar seharian tidak bersantap pun, rasanya belum pernah selapar ini." Setelah berpikir bolak balik, akhirnya dia putuskan untuk menggadaikan kudanya kemudian menyewa kereta untuk melanjutkan perjalanan.
Tapi dia asing dengan situasi kota itu, bahkan nama kota pun tidak diketahui, ke mana harus mencari pegadaian kuda" Setelah menuntun kudanya menelusuri jalanan dalam kota, pemuda itu merasa perutnya semakin lapar, sementara diapun enggan untuk mengucapkan kata akan "menjual kuda"nya, darimana orang lain bisa mengetahui niatnya itu" Setelah berjalan sekian lama, akhirnya tibalah pemuda ini didepan sebuah rumah makan besar disisi timur kota.
Bangunan rumah makan itu besar, tamunya ramai dan didepan rumah makan tersedia istal dengan puluhan ekor kuda sedang merumput disana.
Kembali Tian Mong-pek berpikir: "Biar aku berteriak akan menjual kuda disepanjang jalan, belum tentu ada yang tertarik untuk membelinya, aku lihat rumah makan ini sangat ramai, siapa tahu diantara tamunya ada yang tahu kualitas kuda ku?" Berpikir begitu, diapun menuntun kudanya mendekati rumah makan, seorang pelayan segera menyambut kedatangannya dengan senyuman yang dibuat buat: "Silahkan masuk kek-koan, serahkan saja kuda ini kepada hamba." Tian Mong-pek hanya tertawa getir sambil gelengkan kepalanya berulang kali.
Kembali pelayan itu berkata sambil tertawa: "Kek-koan, tempat dibawah sini kurang bersih, silahkan naik ke atas loteng." Dengan wajah jengah sahut Tian Mong-pek agak tergagap: "Aku hanya berniat menjual kuda .
. . . .." "Ooh . . . . .." tanpa buang waktu pelayan itu segera ngeloyor pergi, senyuman diwajah pun ikut lenyap tak berbekas.
Diam-diam Tian Mong-pek menghela napas, baru saja dia akan berteriak "Jual kuda", tiba tiba satu ingatan melintas, bagaimana jadinya kalau bertemu teman atau orang yang dikenalnya ditempat itu" Baru saja akan mengundurkan diri, tiba tiba terdengar seseorang berteriak: "Mana si penjual kuda?" Ternyata pelayan warung yang ingin dapet persen telah mewartakan orang dibawah loteng, kalau ada orang hendak menjual kudanya.
Ketika berpaling, terlihat dua orang lelaki berbaju sutera yang sedang mabuk, naik keatas loteng dengan langkah lebar.
Karena merasa tak kenal dengan orang ini, Tian Mong-pek menghentikan langkahnya.
"Kau yang akan menjual kuda?" tanya lelaki berbaju sutera itu setelah mengamati berapa saat.
Orang ini berperawakan tinggi besar, suaranya nyaring bagai genta, agaknya seorang jago gwakang.
"Betul, memang cayhe." Sahut Tian Mong-pek sambil mengangguk.
Rekannya, seorang lelaki berperawakan kurus jangkung sama sekali tidak berpaling, dia justru amati kuda jempolan itu berapa saat, setelah itu baru katanya: "Benar, memang kuda jempolan." Orang ini bukan Cuma badannya yang kurus kering, waktu bicarapun seolah tak punya tenaga, dia tampak lebih kelaparan ketimbang Tian Mong-pek, Cuma dandanan dan pakaiannya seperti seorang kongcu hidung bangor.
Terlihat lelaki berbaju sutera itu tertawa terbahak bahak dan berkata: "Hahaha, kalau toako bilang kuda ini jempolan, sudah pasti memang kuda jempolan.
Hei, kuda ini mau dijual berapa perak?" Tian Mong-pek memang tidak berjiwa pedagang, pikirnya: "Kalau harga yang kutawarkan kelewat rendah, mereka pasti tak akan Il memberi kesempatan kepadaku untuk menebusnya kembali.....
Berpikir begitu, dia pun memperlihatkan ke lima jari tangannya.
"Lima puluh . . . . . . . . .." seru lelaki berbaju sutera itu.
Tiba tiba ia merasa ujung bajunya ditarik orang, seketika ia berhenti bicara.
Tampak lelaki kurus jangkung itu berkata perlahan: "Lima tahil perak" Yaa sudahlah." Sebetulnya Tian Mong-pek hendak mengajukan harga lima ratus tahil, begitu melihat mimik muka orang ini, dia jadi mendongkol, teriaknya tiba tiba: "Tidak bisa kurang, seribu tahil perak." "Apa" Minta berapa?" teriak lelaki berbaju sutera itu terperanjat.
Perlu diketahui, nilai uang pada saat itu tinggi sekali, dengan lima tahil perak, kau sudah bisa memperoleh seekor kuda kurus.
"Seribu tahil pas, itupun bukan dijual kepadamu, hanya kugadaikan sementara waktu, dalam tiga bulan, aku akan membawa uang untuk menebusnya kembali." Lelaki berbaju sutera itu mengamati lawannya berapa saat, lalu sambil gelengkan kepala, dia tertawa terbahak-bahak.
"Tampaknya orang ini sudah edan saking kerenya, toako, tak usah ambil peduli lagi, ayoh kita naik ke loteng minum arak!" Tapi lelaki kurus kering itu tak bergerak, ujarnya perlahan: "Bagaimana kalau kubayar lima puluh tahil!" "Lima puluh tahil" Huh, beli ekornya saja belum cukup." Tiba tiba lelaki jangkung itu melotot, jengeknya sambil tertawa dingin: "Kalau tidak dijual, hadiahkan saja kepadaku." Tian Mong-pek merasakan ketajaman mata orang ini menggidikkan hati, diam-diam ia terkejut, tapi diluar, sahutnya sambil tertawa tergelak: "Hadiahkan kepadamu" Kenapa harus kuhadiahkan padamu?" Karena tak ingin mencari gara-gara, diapun menuntun kudanya siap tinggalkan tempat itu.
Siapa sangka lelaki itu justru menahan pelana kuda da n ejeknya sambil tertawa dingin: "Jite, seharusnya kita akan menikmati arak ditempat ini, siapa sangka bajingan ini telah mempermainkan kita, masa harus dibiarkan pergi begitu saja?" Lelaki berbaju sutera itu termenung sejenak, mendadak sahutnya pula dengan suara keras: "Betul, mana ada kuda senilai seribu tahil perak" sudah jelas bangsat ini ingin mempermainkan kita berdua, jangan biarkan dia pergi." "Mau apa kau?" tiba tiba Tian Mong-pek membalikkan badan.
"Kuberi lima puluh tahil perak dan kau tinggalkan kuda itu." Tian Mong-pek berkerut kening, perlahan dia pererat genggamannya pada tali les kuda, kemudian tantangnya: "Bila kau berhasil merebut kuda ini dari tanganku, akan kuhadiahkan kuda ini untukmu." "Hahaha," lelaki berbaju sutera itu tertawa tergelak, "rupanya bangsat ini ingin menjajal kemampuan kami, baik, ludah yang sudah diluarkan tak akan dijilat kembali, jangan menyesal nanti." "Bagaimana kalau gagal?" ejek Tian Mong-pek lagi dingin.
"Kalau tidak berhasil, kami akan bersujud dihadapanmu ." Betul saja, dengan kecepatan tinggi lelaki berbaju sutera itu maju menyerang, dengan sepasang tangannya yang besar, dia cengkeram kepalan lawan.
Orang ini tersohor karena kekuatan raksasanya, disangkanya dengan satu serangan saja dia akan berhasil merampas kuda lawan.
Betul saja, dengan kecepatan tinggi lelaki berbaju sutera itu maju menyerang, dengan sepasang tangannya yang besar, dia cengkeram kepalan lawan.
Orang ini tersohor karena kekuatan raksasanya, disangkanya dengan satu serangan saja dia akan berhasil merampas kuda lawan.
Siapa sangka, walaupun seluruh tenaga telah dikerahkan keluar, jangan lagi merampas kuda itu, menggeser sebuah jari tangan lawan pun tak mampu.
Orang yang menonton keramaian mulai mengerumuni sekeliling tempat itu, ketika melihat Tian Mong-pek yang lemah lembut berdiri tenang seolah tak terjadi masalah, sementara lelaki tinggi besar bagai seekor kerbao itu justru merah padam wajahnya, diam diam mereka tert awa geli, terutama lelaki kurus kering itu, terlihat paras mukanya telah berubah jadi pucat pias.
"Pergi!" tiba tiba lelaki kekar itu membentak, satu tendangan dilontarkan kearah dada Tian Mong-pek.
Siapa sangka anak muda itu sudah menduga sampai ke situ, tangan kirinya mendayung keatas, langsung menangkap tungkai kakinya.
Lelaki kekar itu melotot semakin besar, jeritnya: "Kau .
. . . .. kau . . . . . .. aku akan beradu jiwa denganmu." Sepasang tangannya direntang, dia cengkeram wajah lawan.
Tian Mong-pek mendengus, dia dorong tungkai kaki lawan ke samping sambil bentaknya: "Enyah dari sini!" Benar saja, lelaki kekar itu tak sanggup berdiri tegak, tubuhnya roboh terjengkang.
Melihat itu, para penonton ada yang berteriak sambil tertawa: "Wah, ternyata orang ini penurut sekali." Lelaki kurus kering itu sadar kalau telah bertemu lawan tangguh, dia cabut setangkai kipas lipat dari sakunya, lalu menyelinap dari bawah perut kuda langsung menghampiri anak muda itu.
Dalam pada itu para tamu di loteng rumah makan sudah ikut melongok ke bawah untuk menonton keramaian.
"Sobat," tegur lelaki kurus kering itu, "kau sudah menanam bibit bencana." "Hahaha, aku orang she-Tian selama hidup tak pernah takut menghadapi bencana." Sahut Tian Mong-pek sambil tertawa keras.
"Hmm, kau jangan sombong dulu," tegur lelaki kurus kering itu sambil tertawa dingin, "tahukah siapa aku?" Tiba tiba pergelangan tangannya membalik, dia pentang kipasnya didepan pemuda itu.
Diatas lapisan kipas yang terbuat dari kain berwarna ungu, terlihat sulaman seekor burung elang emas dengan mata cembung dan pentangan sayap yang gagah, sulamannya indah bagaikan hidup, dapat diduga kalau ia mempunyai asal usul luar biasa.
Siapa sangka Tian Mong-pek tidak doyan dengan cara semacam itu, bentaknya gusar: "Aku tidak peduli siapa dirimu." Tangan kanannya masih memegang tali les kuda, sedang tangan kirinya secepat kilat mencengkeram pergelangan lawan.
Cepat lelaki kurus kering itu menarik tangannya ke bawah, kipas itupun mengancam urat nadi di pergelangan Tian Mong-pek, sedang lima jari tangan kirinya mengancam punggung tangan lawan.
Desingan angin tajam menderu, ternyata ilmu yang digunakan adalah ki-na- jiu-hoat aliran murni.
"Wah, ilmu Ki-na-jiu yang cepat!" tergerak hari Tian Mong-pek, timbul semangat tempurnya dihati, cia lepas tali les kudanya dan melepaskan satu pukulan tinju dengan jurus Sik-po-thian-keng (batu pecah langit terkejut).
Dia sangka kungfu lawan sangat tangguh, maka dalam pukulan kali ini, dia sertakan tenaganya sebesar tujuh puluh persen.
Lelaki jangkung itu merangsek lebih ke depan, sepasang tangannya sekali lagi mencengkeram urat nadi lawan, meski serangannya cepat, sayang tenaga dalamnya ketinggalan jauh.
Belum sempat cengkeramannya menyentuh kepalan lawan, tubuhnya sudah terpental jauh ke belakang.
Peristiwa ini kontan membuat Tian Mong-pek termangu, belum sempat lelaki kekar itu maju kembali, mendadak terdengar bentakan keras bergema dari atas loteng, diikuti tiga sosok bayangan manusia meluncur turun dengan kecepatan tinggi.
"Hahaha, bagus, bagus sekali," lelaki kekar itu segera bertepuk tangan sambil tertawa tergelak, "kali ini kau si bajingan jangan harap bisa kabur lagi." Menyaksikan betapa cepat dan gesitnya gerakan tubuh ke tiga sosok bayangan manusia itu, Tian Mong-pek sadar kalau ginkang mereka sangat tangguh, seketika itu juga dia tingkatkan kesiapaannya, menyilangkan tangan didepan dada sambil mundur tiga langkah.
Siapa sangka, begitu meluncur tiga, ke tiga orang itu serentak memberi hormat kepadanya .
Lagi-lagi Tian Mong-pek dibuat tertegun, sesudah diamati, diapun tertawa lebar.
"Hahaha, rupanya kalian yang telah datang." Ternyata ke tiga orang itu bukan lain adalah Lau-san-sam-gan, tiga angsa liar dari Lau-san.
Tertegun lelaki tinggi besar itu, serunya tergagap: "Kau.....
kau kenal dengan dia?" "Siapa bilang tidak kenal." Jawab Cuan-hun-gan (angsa liar penembus awan) Ho Kun-hiong.
Lelaki kurus kering itupun merasa amat terperanjat, tapi dia tak mau mengaku kalah, sindirnya sambil tertawa dingin: "Hmm, tidak disangka ternyata Lau-san-sam-gan berteman dengan begal kuda." Ciong-siau-gan (angsa liar penembus awan) Ho Kun-kiat tidak menjadi gusar karena ucapan itu, dia tahu, orang ini mendongkol lantaran melihat mereka tiga bersaudara tidak membantu dirinya.
"Kim toako," ujarnya sambil tersenyum, "kau jangan mengumpat kami tiga bersaudara, tanya dulu siapakah dia!" "Peduli amat siapa dia," sahut lelaki berbaju sutera itu gusar, "kalian telah mengundang kedatangan kami di sini, tidak seharusnya membiarkan kami dianiaya orang tanpa membantu." "Tapi orang ini berbeda sekali dengan orang lain." Kata Gin-gan (angsa perak) Ho Kun-hiap sambil tertawa tergelak.
"Dimana bedanya" Aku lihat alis matanya tidak tumbuh dibawah mata, hidungpun hanya ada satu." "Hahaha, dialah Tian Mong-pek." Tiba tiba lelaki berbaju sutera itu berseru tertahan, mundur tiga langkah dan berdiri terperangah, matanya mendelong, mulutnya melongo, sampai lama sekali dia awasi Tian Mong-pek tanpa berkedip.
Kelihatannya, lelaki kurus jangkung itupun tertegun dibuatnya, lewat berapa saat kemudian, tiba tiba mereka berdua berebut maju kemudian jatuhkan diri berlutut sambil memberi hormat.
Tian Mong-pek jadi gelagapan, serunya panik: "Apa....
apa apaan kalian berdua?" Setelah memberi hormat tiga kali, lelaki berbaju sutera itu melompat bangun duluan, ditatapnya Tian Mong-pek berapa saat, lalu sambil gelengkan kepala dan tertawa, katanya: "Aku tidak kenal dia, tentu tak bisa salahkan diriku." "Hahaha, perkataanmu selalu membuat orang susah memahami." Seru Ho Kun-hiap tertawa.
"Apa susahnya dipahami?" teriak lelaki berbaju sutera itu melotot, "dalam anggapanku, Tian Mong-pek yang dibilang gagah perkasa, seharusnya tampil gagah dan kekar, siapa sangka dia begitu lembut seperti seorang pelajar?" "Hahaha, jadi kau anggap setiap enghiong hohan harus berdandan semacam dirimu?" kata Ho Kun-hiap sambil tertawa tergelak, setelah berhenti sesaat, terusnya, "Kau masih mendingan, kenapa sampai Kim-eng si elang emas pun bisa salah menilai orang hari ini" Seorang enghiong sudah II dianggapnya sebagai begal kuda .
. . . .. Lelaki tinggi kurus itu tertawa jengah.
"Elang emas?" gumam Tian Mong-pek sambil termenung.
"Gi-pak-kim-eng (elang mas dari Gi-pak), bintang diantara para opas." Ho Kun-hiap menerangkan.
Wilayah Gi-pak adalah wilayah utara perbatasan dimana merupakan padang rumput dan merupakan daerah peternakan, termasuk peternakan kuda.
Seakan baru sadar, Tian Mong-pek segera menyahut sambil tertawa: "Hahaha, tak heran kalau nama ini begitu kukenal, ternyata anda adalah Opas sakti Kim Eng, opas Kim yang tersohor di seantero dunia persilatan, maaf, maaf." Sementara dihati kecilnya dia berpikir: "Tidak heran kalau cara berbicara orang ini tegas, matanya tajam dan sikapnya berbeda dengan orang lain, ternyata dia adalah opas kenamaan dalam dunia persilatan.
Ilmu Ki-na-jiu-hoat yang dia miliki pun hebat, meski jauh bila dipakai menghadapi jago silat, tapi lebih dari cukup untuk menangkap penyamun dan begal, mungkin karena itulah dia jadi tersohor dikalangan penegak hukum." Dipihak lain, Kim Eng telah menyimpan kembali kipasnya, memberi hormat dan berkata: "Nama ku bukan seberapa, lagipula sudah lama mengundurkan diri sebagai penegak hukum.
Bila Tian tayhiap masih menyebutku sebagai opas, ini bisa bikin malu diriku.
Sejujurnya, bila bukan diundang Ho toako sekalian, aku sudah tak berani bergerak lagi dalam dunia persilatan." "Saudara Kim kelewat merendah." Seru Tian Mong-pek sambil tertawa.
"Apa yang dikatakan Kim-heng bukan ucapan merend ah," sela Ho Kun-hiong serius, "justru lantaran ingin menyelidiki kasus panah kekasih yang sebenarnya, siaute sekalian sengaja mengundangnya turun gunung." "Sudah lama aku dengar tentang kehebatan Kim-heng, apalagi sepak terjangmu di sepanjang sungai Huang-ho dimasa lalu, mana ada kaum bandit yang bisa lolos dari tanganmu?" Setelah menjura, lanjutnya: "Bisa mendapat bantuan Kim-heng kali ini, benar-benar satu keberuntungan bagiku." Buru buru Kim Eng balas memberi hormat.
Saat inilah lelaki berbaju sutera itu berteriak: "Nyawa kami bersaudara pun telah kau selamatkan, apalah artinya bekerja untukmu!" Tian Mong-pek melongo, pikirnya keheranan: "Kapan aku telah selamatkan nyawa mereka?" Setelah menghela napas, ujar Kim Eng: "Sewaktu masih bekerja di pengadilan, aku memang terlalu banyak membuat permusuhan dengan orang lain, ketika berada di Thio-ke-ko, andaikata Tian tayhiap tidak datang menolong, bukan hanya aku saja yang sudah tewas, bahkan saudaraku lainnya akan turut sengsara.
Hanya sayang jejak Tian tayhiap ibarat naga yang tak nampak ekornya, walaupun hari itu kami telah ditolong Tian tayhiap, namun tidak sempat bersuka muka.
Sungguh beruntung hari ini kita telah bersua, kalau tidak, sampai matipun aku akan menyesal." "Aaah betul," seperti sadar akan sesuatu, batin Tian Mong-pek, "sudah pasti inipun hasil karya orang lain yang diam-diam menyamar jadi aku." Untuk sesaat dia jadi kebingungan dan tak tahu bagaimana harus memberi penjelasan.
Terlihat seorang lelaki setengah umur berwajah merah, membubarkan kerumunan orang yang menonton keramaian, lalu sambil menjura katanya: "Bagaimana kalau kita bicara diatas loteng." Walaupun mimik mukanya mirip orang Mongol, namun logat bicara dialek Han orang ini sangat lancar.
"Hahaha, betul," kata Ho Kun-hiong sambil tertawa tergelak, "saking girangnya setelah bertemu saudara Tian, aku jadi melupakan segala galanya." Dia segera memperkenalkan Tian Mong-pek dengan orang itu, rupanya lelaki setengah umur itu adalah hartawan setempat yang amat tersohor namanya, Pian-gwa-beng-siong (Beng Siong dari tepi perbatasan) Hu Tiong-peng.
Dari namanya, Tian Mong-pek tahu kalau orang ini suka bergaul, tanpa terasa sikapnya jadi amat ramah, sebaliknya Hu Tiong-peng pun tampak sangat gembira karena pertemuan ini.
Setelah berada diatas loteng, perjamuan segera diselenggarakan, sambil mengisi perut, tak tahan Tian Mong-pek bertanya: "Sejak berpisah di kota Hangciu, lama sekali tak mendengar kabar berita kalian, kenapa kamu bertiga bisa tiba disini?" Ho Kun-hiong menghela napas, katanya: "Waktu itu .
. . . .. aaaai, waktu itu kami tiga bersaudara meski marah dan mendongkol, namun sadar kalau kekuatan kami sangat terbatas, maka dengan membawa si tombak baja Yo Seng yang terluka parah, pada malam itu juga meninggalkan kota Hang-ciu." Terbayang kembali peristiwa dimasa lalu, perasaan sedih dan marah berkecamuk dalam hatinya, perlahan ia letakkan kembali sumpitnya dan tak sanggup melanjutkan makannya.
Terdengar Ho Kun-hiong melanjutkan: "Terhajar oleh pukulan Mo-siau-to Go Jit, luka yang diderita saudara Yo sangat parah, sampai belasan hari kemudian luka itu baru sembuh, tapi rasa sedih dan gusarnya belum juga mereda.
"Tak hentinya kami bersaudara menghibur dan membujuknya, walaupun dia mengiakan tapi sepasang keningnya masih berkerut kencang, saban hari isinya hanya mengumpat atau berkeluh kesah, hal ini membuat kamipun ikut terseret dalam kepedihannya.
"Siapa sangka suatu hari, tiba tiba ia pergi tanpa pamit, diapun tidak meninggalkan pesan apa apa kecuali coretan sebilah tombak panjang diatas meja, gaya tulisannya dalam dan kuat, rasanya tidak mirip lukisan tangannya.
"Kami tiga bersaudara sadar, tak mungkin bisa temukan jejaknya lagi, disamping itu kamipun merasa putus asa untuk berkelana lagi dalam dunia persilatan, karenanya kami ambil keputusan untuk pulang ke rumah dan tidak mau bikin masalah lagi dengan orang lain." Diam-diam Tian Mong-pek menghela napas, pikirnya: "Lau-san-sam-gan terhitung jago silat generasi muda, kalau mereka pun timbul keinginan untuk mengundurkan diri, tak aneh jika banyak tokoh kenamaan yang cuci tangan dan tak mau mengurusi urusan dunia persilatan lagi." Terdengar Ho Kun-hiong melanjutkan kembali kisahnya: "Siapa sangka, ditengah jalan kami tiga bersaudara justru telah berjumpa dengan Say-sang-tayhiap, pendekar dari perbatasan Lok Tiau-yang serta
Terdengar Ho Kun-hiong melanjutkan kembali kisahnya: "Siapa sangka, ditengah jalan kami tiga bersaudara justru telah berjumpa dengan Say-sang-tayhiap, pendekar dari perbatasan Lok Tiau-yang serta jago muda dari Bu-tong, Ci Hun-seng.
"Kedua orang ini sedang melakukan perjalanan dengan tergesa-gesa, walaupun wajahnya kotor oleh debu, namun semangatnya besar dan mukanya berseri, rupanya mereka sedang menuju ke utara.
Begitu bertemu, mereka ajak kami tiga bersaudara untuk bekerja sama membongkar rahasia panah kekasih dan melacak dalangnya, merekapun mengabarkan kalau penguntitan yang dilakukan telah membuahkan hasil." Tian Mong-pek menghela napas sedih, ujarnya: "Sudah lama kudengar Ci Hun-seng dari Bu-tong-pay berilmu tinggi, sayang aku tak berkesempatan untuk bertemu dengannya." Ho Kun-hiong tersenyum, lanjutnya: "Semangat kami bertiga segera terbangkit oleh bujukannya, begitu aku menyetujui, otomatis saudaraku yang lain pun tak bisa menghindar.
"Maka Lok tayhiap perintahkan kami untuk menuju ke barat-laut, menghubungi semua orang gagah dan menghimpun kekuatan.
Begitu menghadapi masalah pelacakan, sudah pasti kami tak akan melupakan kehebatan si opas sakti Kim Eng." Ho Kun-kiat menambahkan pula sambil tertawa: "Kami asing dengan wilayah barat-laut, tidak banyak jago yang kami kenal, kalau bukan mendapat bantuan dari Kim-heng dan Ui-heng, bagaimana mungkin bisa berkenalan dengan begitu banyak jago dari luar perbatasan." "Padahal semuanya ini berkat bantuan dari Ui ji-te ku ini." Kata Kim Eng merendah.
Lelaki berbaju sutera itu segera tertawa terbahak-bahak.
"Hahaha, kalau dibilang pahalaku, anggap saja memang pahalaku, kalian harus menghormati aku dengan secawan arak." Tiba tiba Tian Mong-pek teringat akan sesuatu, katanya sambil tertawa: "Sewaktu masih berada di Kanglam dulu, sudah kudengar kalau di utara perbatasan terdapat seorang yang bernama Ui Kim-hau, konon selain kaya raya, dia pun berjiwa ksatria, jangan jangan kau lah orangnya?" "Hahaha, namaku memang Ui Hau, gara gara mereka yang suka mencari urusanlah, namaku ditambahkan dengan kata Kim." "Hengtai memang memiliki banyak mas, tak salah kalau namamu ditambahi kata Kim." Ucap Hu Tiong-peng sambil tertawa.
Ditengah gelak tertawa, Ho bersaudara menanyakan pengalaman Tian Mong-pek selama ini.
Tidak mungkin bagi Tian Mong-pek untuk mengisahkan semua pengalaman yang dialaminya selama ini, dia hanya bercerita secara ringkas dan menyampaikan niatnya untuk menukar kuda dengan kereta.
"Hahaha, itu mah gampang sekali!" seru Ui Hau kemudi an sambil tertawa tergelak, "hanya saja saudara Tian memang aneh, kenapa bukannya menunggang kuda jempolan, sebaliknya malah pilih naik kereta?" II "Sejujurnya, keputusan ini dikarenakan terpaksa .
. . . . . . .. sambil tertawa getir Tian Mong-pek mengemukakan alasannya, dia berharap bisa tiba di Kim-san-sie secepatnya.
"Hahaha, betul, betul sekali," kata Ui Hau sambil bertepuk tangan, "terlalu banyak urusan dunia persilatan yang perlu ditangani, kalau harus begini, sampai tiga tahun pun belum tentu kau bisa tiba di tempat tujuan." Kim Eng menyela sambil tersenyum.
"Saudara Hu adalah pentolan wilayah ini," katanya, "lebih baik urusan ini .
. . . . . .." "Sudah sepatutnya kalau cayhe yang lakukan." Sambung Hu Tiong-peng cepat.
"Agar saudara Tian tidak merasa kesal dalam perjalanan, lebih baik kau hias dekorasi kereta dengan lebih indah." Ui Hau menambahkan.
"Cayhe paham, boleh tahu rencananya kapan Tian tayhiap akan berangkat?" "Aaai, hatiku gundah dan gelisah, tentu saja makin cepat makin baik." sahut Tian Mong-pek sambil menghela napas.
"Kalau begitu cayhe segera laksanakan tugas ini." Setelah maksud hatinya tercapai, Tian Mong-pek menghela napas lega, katanya kemudian dengan kening berkerut: "Saudara Ho, dapatkah kau utus orang untuk menghantar kuda tungganganku ini ke gunung Kim-san-sie?" "Itu mah gampang, selesai urutan di barat-laut, kamipun akan menuju ke Kanglam, apa susahnya membawa serta kudamu ini?" sahut Ho Kun-hiap tertawa.
"Kalau begitu terima kasih banyak." "Hahaha, belum pernah kulihat saudara Tian berterima kasih kepada orang, tampaknya kuda ini merupakan kesayanganmu, pasti akan kurawat baik baik." "Hahaha, kalau begitu biar aku yang tunggangi," sela Ui Hau sambil tertawa tergelak, "dalam hal lain mungkin siaute tak becus, tapi sejak dilahirkan ibuku, aku paling suka naik kuda, tak bakal salah kalau serahkan kuda itu kepadaku." Sementara semua orang masih bersantap sambil berbincang, Hu Tiong-peng sudah muncul kembali sambil berseru: "Beruntung kereta sudah siap, silahkan Tian tayhiap berangkat esok pagi." "Esok pagi .
. . . . . . . .." Tian Mong-pek berkerut kening.
"Kenapa Tian-heng musti ribut soal setengah hari," tukas Ho Kun-hiap sambil tertawa, "lagipula sudah cukup lama kita tak bersua, mari kita tenggak susu macan sampai pagi, besok toh saudara Tian bisa tidur didalam kereta." "Hahaha, aku pun sudah banyak hari tak pernah minum sepuasnya.....
tapi kalau besok pagi aku masih mabuk, kalian harus bantu aku naik ke atas kereta." "Hahaha, sampai waktunya, mungkin siaute pun ikutan mabuk." Kata Ho Kun-hiap sambil tertawa.
"Kalian tak usah kuatir," ucap Hu Tiong-peng, "dijamin sampai waktunya pasti ada orang yang menghantar Tian tayhiap naik ke dalam kereta." Pesta minum pun segera dimulai, semua orang bergembira, semua orang berusaha membuang jauh masalah dan pikiran .
. . . .. Oo0oo Kabut pagi masih menyelimuti permukaan tanah.
Sebuah kereta besar berlarian menembus kabut pagi, menerjang keluar dari kota Thong-tek-shia.
Sang kusir adalah seorang lelaki berambut putih yang memakai baju warna hijau dan setengah memejamkan matanya, tapi kemampuannya mengendalikan kuda sangat hebat, seakan biar dalam keadaan tidurpun, dia dapat melarikan kereta kuda itu dengan aman.
Padahal orang ini memang separuh hidupnya berada dibelakang kereta, cambuk ditangannya bisa dimainkan semahir Lan Toa-sianseng menggunakan martil.
Kereta kuda itu tampak luarnya kuno dan tidak menarik, tapi perabot didalamnya sangat indah dan jarang dijumpai dalam dunia persilatan.
Tatkala kereta sudah berjalan hampir enam jam, Tian Mong-pek yang berada dalam kereta baru terjaga dari tidurnya.
Dia merasa mulutnya kering, kepalanya sakit bagai mau pecah, matanya tak sanggup dibuka kembali, yang teringat adalah tegukan air kata kata yang mengalir ke dalam perutnya bagaikan air mengisi guci.
Sewaktu mendengar suara putaran roda, ia merasa lega sekali, pemuda itu tahu kalau dia sedang berada dalam kereta.
Tiba tiba bibirnya terasa dingin, lalu terendus bau harum yang sangat aneh.
Dengan perasaan terkejut dia buka matanya, terlihat seorang nona cantik sedang mengawasi dirinya sambil tertawa malu.
Tian Mong-pek mencoba mengawasi seputar kereta, ternyata gadis itu tidur berdampingan dengan dirinya, rasa kaget yang menghentak jantungnya tak terkirakan.
Cepat pemuda itu meronta bangun, lalu tegurnya: "Nona.....
kenapa kau..... kau berada disini?" Gadis itu memakai baju berwarna merah muda, ditangannya menggenggam cawan teh yang terbuat dari porselen, dia tidak menjawab pertanyaan itu, hanya ujarnya sambil tertawa: "siangkong baru sadar dari mabuk, silahkan minum teh untuk menghilangkan dahaga." Setelah berhasil menenangkan diri, Tian Mong-pek mencoba memperhatikan keadaan disekeliling tempat itu, ternyata lantai kereta dilapisi selimut dan kain seprei yang indah, mirip kamar tidur seorang gadis remaja, disisi meja buku terdapat sebuah meja rias kecil, disamping meja rias ada pula sebuah lemari makanan, kemudian sebuah poci teh hangat, setumpuk pakaian baru, sebuah papan catur, sebuah khiem, tiga buah buli buli merah, ada pula selembar lukisan pemandangan yang indah tergantung didinding.
Sejauh mata memandang, ruang kereta itu amat indah dan penuh perabot, tak ditemukan tempat kosong.
Masih mending bila Tian Mong-pek tidak melihat, begitu dipandang ia semakin terkejut bercampur heran, tentu saja selain rasa terharu dan terima kasih.
Sama sekali tak disangka hanya satu ucapan dari Ui Hau, ternyata Hu Tiong-peng harus mengeluarkan begitu banyak beaya.
Tiba tiba ia jumpai selembar surat tertindih diatas meja rias, sewaktu dibaca, ternyata isinya berbunyi begini: "Mempersembahkan kereta harum wanita cantik, untuk menghilangkan kepenatan dan kesepian Tian tayhiap sepanjang perjalanan." Dibawahnya tertulis: "Dipersembahkan oleh: Hu Tiong-peng dari kota Thong-tek." Membaca sampai disini, Tian Mong-pek pun mengerti apa yang telah terjadi, pikirnya sambil tertawa getir: "Ternyata perempuan ini dipersiapkan bagiku untuk menghilangkan pekenatan II dan kesepian .
. . . . .. Dalam keadaan begini, dia tak tahu harus mendongkol atau geli, lama sekali dia termangu dan tak tahu bagaimana caranya mengusir gadis itu dari dalam kereta.
Akhirnya sambil menjura katanya: II "Nona .
. . . . . .. Selama ini si nona hanya mengawasi pemuda itu dengan pandangan bodoh, mendengar panggilan, diapun tertunduk malu sambil menjawab: "Aku bernama Ping-ji, silahkan siangkong memanggilku sebagai Ping-ji." II "Nona....
nona Ping-ji . . . . . . .. panggil Tian Mong-pek sambil tertawa getir, dia tak tahu apa yang harus dikatakan, tiba tiba sambil balik badan teriaknya, "hei kusir, bagaimana kalau hentikan kereta mu?" Kereta itu segera memperlambat jalannya, namun tidak berhenti sama sekali, si kakek melongok dari luar jendela seraya bertanya: "Ada.....
ada urusan apa?" II "Nona ini .
. . . . . . . . .. Kusir kereta itu segera menunjuk kearah telinga sendiri sambil geleng kepala, pertanda ia tidak mendengar dengan jelas.
Terpaksa Tian Mong-pek perkeras suaranya sambil berteriak: II "Nona ini .
. . . . . . . . . .. Siapa tahu kakek itu kembali goyangkan tangan sambil menjawab: "Hu toa .


Panah Kekasih Karya Gu Long di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

. . . .. Hu toaya hanya berpesan begitu.....
aku..... aku si tua bangka hanya .
. . . .. hanya mengurusi kereta, urusan lain tidak tahu menahu .
. . . . .." Habis bicara, dia tarik kembali kepalanya.
Tian Mong-pek benar-benar dibuat menangis tak bisa tertawa pun susah, melihat kakek itu gagap dan setengah tuli, ia sadar, tak mungkin bisa bicara jelas dengan dirinya, untuk sesaat ia jadi termangu.
Kembali Ping-ji menyuguhkan secawan air teh, terpaks a Tian Mong-pek menerimanya.
"siangkong baru mendusin dari mabuk, bagaimana kalau Ping-ji memijit punggungmu?" kembali Ping-ji berkata.
"Tidak perlu." Berputar sepasang biji mata Ping-ji, kembali katanya sambil tertawa ringan: "Pepatah berkata: gunakan arak untuk menghilangkan pengaruh arak, perlukah Ping-ji siapkan arak untuk siangkong?" "Tidak perlu." "Apakah siangkong ingin Ping-ji membawakan lagu" Atau Ping-ji temani siangkong bermain catur?" "Tidak perlu! Tidak perlu!" Ping-ji mulai berkerut kening, pipinya berubah jadi semu merah, agak tertunduk malu bisiknya: II "Apakah .
Bunga Di Batu Karang 28 Aerial Karya Sitta Karina Seruling Sakti 2

Cari Blog Ini