Ceritasilat Novel Online

Panah Kekasih 16

Panah Kekasih Karya Gu Long Bagian 16


Jalan raya dipagi hari terasa sepi dan hening, hanya suara keleningan yang terdengar makin nyaring.
"Mau menginap" Atau melanjutkan perjalanan?" tanya Tian Mong-pek tiba tiba.
"Lanjutkan perjalanan." sahut Ui Hau lantang.
Kemudian setelah menghela napas, lanjutnya: "Begitu memasuki wilayah Suchuan, hati siaute bagaikan terbakar api, kalau bisa detik ini juga aku bisa bertemu Ho bersaudar a." Tian Mong-pek menghela napas sedih, dia tutup dan tidak berbicara.
Setelah tarik napas panjang, sambil menggertak gigi kembali Ui Hau berkata: "Kalau tak bisa bertemu Ho bersaudara, dengan cara apa pun kita harus temukan musuh besar itu dan mencincangnya hingga hancur berkeping." "Setelah memasuki wilayah Suchuan, jejak musuh pasti akan bermunculan .
. . . . . .." Belum selesai bicara, terlihat ada dua ekor kuda berlarian kencang melewati jalanan dihadapan mereka.
Kedua orang penunggang kuda itu berpakaian ketat, menggembol golok dipinggang, mengenakan topi rumput lebar dan wajahnya penuh berdebu.
Kontan Ui Hau berkerut kening, tampaknya segera akan mengumbar hawa amarah.
Diam diam Tian Mong-pek mencegahnya mengumbar amarah, terlihat kedua orang itu, satu dari kiri, yang lain dari kanan, dengan cepat melintas lewat dari sisi kuda Tian Mong-pek, sementara empat mata yang tersembunyi di balik topi lebar, tiada hentinya mengamati wajah Tian Mong-pek serta Ui Hau.
Menanti kedua ekor kuda itu sudah melintas lewat, tak tahan Ui Hau mengumpat: "Bangsat, akhirnya muncul juga, hm, kalau bisa, ingin kutarik mereka dari kudanya dan menghajar habis habisan, kenapa toako mencegahku?" Biarpun usianya lebih tua, tapi panggilan "toako" tak pernah dapat berubah.
Dengan suara berat sahut Tian Mong-pek: "Ke dua orang itu tak lebih hanya pencoleng kecil pencari berita, tidak pantas bagi kita berdua untuk menghajarnya." "Paling tidak kita bisa melampiaskan rasa dendam kita." "Sebelum orang lain mencari kita, lebih baik kita jangan turun tangan dulu, toh sekarang kita sudah berada di wilayah Suchuan, masa takut tak ada orang datang mencari gara gara?" Akhirnya Ui Hau menghela napas panjang, katanya: "Bila toako berkata begitu, baiklah kita lakukan seperti kehendakmu!" Tian Mong-pek tersenyum dan tidak bicara lagi.
saat inilah, dari belakang tubuh mereka kembali terdengar suara derap kaki kuda.
Ternyata ke dua orang penunggang kuda tadi balik kembali, sewaktu melewati disamping Tian Mong-pek berdua, salah seorang diantaranya kembali berpaling mengamati pemuda itu sekejap.
II "Lihat apa, minta dihajar .
. . . .. umpat Ui Hau sambil siap mengejar.
"Perubahan sudah didepan mata, tak lama pasti ada orang mencari gara gara, kita musti lebih waspada, kenapa musti terburu napsu?" cegah Tian Mong-pek dengan suara dalam.
Dia tetap duduk tenang di pelananya dan sama sekali tidak bereaksi.
"Toako, kau benar benar tenang." Bisik Ui Hau sambil tertawa getir.
"Baru saja kupelajari ketenangan semacam ini." sahut Tian Mong-pek tertawa.
Belum lama mereka berdua melanjutkan perjalanan, tiba tiba muncul lagi empat ekor kuda, semua penunggang kuda berbaju ketat, menggembol golok dan mengenakan topi lebar yang dikenakan rendah.
Hanya saja mereka menjalankan kudanya perlahan-lahan, bahkan selalu mengintil di belakang mereka berdua.
"Toako . . . . . .." bisik Ui Hau. "Tunggu lagi." Kembali mereka melanjutkan perjalanan berapa saat.
Suatu ketika, Tian Mong-pek mendengar suara desisan kuda dari tepi jalan, menanti mereka sudah lewat, dari tepi jalan belakang pepohonan muncul lagi empat ekor kuda yang mengintil di belakang mereka berdua.
Kali ini Ui Hau menahan diri untuk tidak bicara.
Semakin jauh mereka melanjutkan perjalanan, suara derap kaki kuda yang ada dibelakang semakin banyak dan makin panjang.
Walaupun selama ini Ui Hau berusaha untuk tidak berpaling, namun ia sudah tak sanggup duduk tenang lagi diatas pelananya.
Menyaksikan Tian Mong-pek masih tetap bersikap begitu tenang, akhirnya Ui Hau menghela napas, katanya: "Toako, kalau dibilang ilmu menenangkan dirimu baru saja dipelajari, aku rasa terlalu cepat kau berhasil mempelajarinya." Tian Mong-pek segera tersenyum, katanya: "Bila kau sudah tak kuat menahan diri, kenapa tidak mencoba menengok ke belakang?" Belum habis dia berkata, Ui Hau sudah berpaling, tapi dengan cepat dia tarik napas dingin.
Ternyata rombongan yang mengintil di belakang kuda mereka berdua sudah mencapai dua puluhan ekor lebih, diantara debu yang beterbangan, tak terlihat seorangpun diantara mereka yang buka suara.
"Toako," bisik Ui Hau kemudian, "sudah mendekati tiga puluh orang, masih belum cukup?" "Hingga kini mereka belum turun tangan, itu berarti pentolan mereka belum datang, kita tak boleh bertindak gegabah, pura pura tidak melihat." "Aaai," Ui Hau menghela napas, "biarpun siaute berusaha berlagak tidak melihat, sejujurnya aku tak memiliki kesabaran seperti ini, moga moga saja piau-pacu mereka secepatnya muncul, kalau tidak siaute bisa gila lantaran cemas." Ketika secara diam diam ia mencoba melirik lagi ke belakang, ternyata kibaran kincir merah pada gagang golok rombongan itu sudah bertambah lebih banyak.
Pada saat itulah didepan sana muncul sebuah tenda dengan panji bertuliskan arak, tempat nongkrong minum arak.
"Didepan sana ada kedai arak, mari kita minum barang tiga cawan dulu." Ajak Tian Mong-pek.
"Tapi..... tapi . . . . .." tak tahan kembali dia berpaling.
Tian Mong-pek segera tertawa.
"Bukankah lebih bagus kalau kita bertarung dengan perut kenyang?" katanya.
Dia segera turun dulu dari kudanya dan masuk ke dalam kedai, terpaksa Ui Hau mengikuti dari belakang.
Tanpa mengurusi kudanya, Tian Mong-pek sengaja berteriak keras: "Pelayan, kudaku itu adalah seekor kuda jempolan, kau harus merawatnya secara baik baik." Mendengar itu Ui Hau tertawa getir, pikirnya: "Dalam kedai sekecil ini, mana ada pelayan yang mengurusi kuda" Sudah jelas perkataan itu sengaja ditujukan kepada kawanan begal itu dan untuk membuktikan apa benar mereka bermaksud merampas kuda itu." Sewaktu menengok keluar, betul saja, tatapan mata kawanan lelaki kekar itu sedang tertuju kearah kuda jempolan itu, hanya sayang wajah mereka tersembunyi dibalik topi yang lebar sehingga tak jelas bagaimana perubahan mimik muka mereka.
Bab 37. Peristiwa diluar dugaan. Tak lama kemudian arak dan hidangan telah dihantar, puluhan lelaki berkuda itu masih berhenti diseberang jalan, walaupun ada yang telah turun dari kuda, namun tatapan mata mereka masih tetap diarahkan kemari.
Tian Mong-pek berlagak seolah tak ada manusia disekelilingnya, dia mulai bersantap dengan lahapnya, seakan dia anggap puluhan orang lelaki kekar itu sebagai orang mati saja.
II "Toako, ujar Ui Hau tergagap, "bukan siaute takut, tapi kalau suruh aku bersantap dibawah tatapan puluhan pasang mata, sejujurnya siaute tak mampu untuk menelannya." "Bila kau anggap mereka sebagai kucing atau anjing, sudah pasti dapat bersantap dengan nikmat." Kata Tian Mong-pek tertawa.
Ui Hau tertegun, tiba tiba sahutnya sambil tertawa tergelak: "Hahaha, betul, betul sekali .
. . . . . .." Diapun angkat cawannya dan meneguk isinya hingga habis, setelah itu bisiknya lagi: "Toako begitu gagah perkasa, siaute tak boleh bikin malu dirimu!" "Saudara yang hebat." Puji Tian Mong-pek sambil tertawa nyaring.
"Dengan kepandaian siaute sekarang, bukan persoalan untuk menghadapi puluhan orang lelaki macam begitu, tapi dalang mereka sudah pasti tak bisa dibandingkan dengan mereka." Kembali Tian Mong-pek tertawa.
"Jika tak mampu melawan, apa salahnya menggunakan batok kepala ini untuk memberi selamat atas kesetiakawanan Ho toako, kalau tidak minum arak sekarang, kenapa kita musti bermuram durja terus?" "Hahaha, betul, betul sekali .
. . . .." Ui Hau angkat cawannya dan kembali meneguk secawan.
Sejak kapan pemilik kedai pernah menyaksikan manusia-manusia aneh semacam ini" Sejak awal mereka sudah terpaku kaku lantaran ketakutan, apalagi setelah melihat kehadiran puluhan orang lelaki kekar yang mengawasi dari seberang jalan, mereka merasa lututnya jadi lemas dan tak sanggup berdiri lagi.
Hingga puas dengan minuman araknya, Tian Mong-pek baru berjalan keluar dari kedai, langsung menatap tajam wajah para lawannya.
Serentak puluhan orang lelaki kekar itu berpaling ke arah lain.
Melihat itu, Tian Mong-pek segera berseru sambil tertawa nyaring: "Hahaha, jagoan semacam itu mah tak pantas bagi ku untuk melayani, saudaraku, ayoh jalan, tontonan bagus masih ada di depan sana, buat apa kita lama menunggu di tempat ini?" Ditengah gelak tertawa nyaring, Tian Mong-pek dan Ui Hau segera melompat naik keatas kudanya dan meneruskan perjalanan.
Dengan kemampuan ke dua ekor jempolan itu dalam berlari, hanya dalam waktu sekejap, mereka sudah berada berapa kaki dari tempat semula.
Serentak kawanan lelaki itu berlompatan naik ke atas kuda masing masing, lalu diiringi suara suitan, mereka melarikan kudanya untuk mengejar dari belakang.
Lari kuda Tian Mong-pek ibarat naga terbang di langit, tidak sampai setengah jam kemudian, ia sudah meninggalkan kawanan lelaki kekar itu jauh di belakang, bukan saja membuat mereka bermandikan keringat, kuda kuda tunggangan pun ikut berbuih.
Menanti kawanan lelaki kekar itu sudah tak mungkin menyusul, sambil tersenyum Tian Mong-pek baru memperlambat lari kudanya.
Tak lama kemudian terdengar suara gulungan ombak di depan sana, ternyata mereka telah tiba di pantai timur sungai Kiam-kang.
Ditepi pantai berlabuh sebuah perahu, berapa orang lelaki kekar duduk berkumpul diujung perahu, ketika mendengar suara keleningan yang nyaris, paras muka mereka serentak berubah, sambil melompat bangun, perhatian mereka dialihkan ke arah timur.
Saat inilah Tian Mong-pek dan Ui Hau sudah tiba ditepi pantai, lelaki diujung perahu segera berteriak: "Silahkan kalian berdua naik ke atas perahu, sudah lama kami menantikan kedatangan kalian." "Hati hati toako," bisik Ui Hau dengan suara berat, "besar kemungkinan dalam perahu sudah disiapkan sesuatu yang tak beres." Tian Mong-pek tertawa tergelak, katanya: "Hahaha, apa yang perlu ditakuti" Sekalipun harus mendaki bukit golok menyeberangi lautan api, aku tetap akan melewatinya.
Masa sumgai Kiam-kang yang begitu cetek dapat menenggelamkan kita berdua?" Sambil melompat turun, dia tuntun kudanya naik ke atas perahu.
Sorot mata berapa orang itu mengawasi terus manusia dan kuda itu tanpa berkedip.
Dengan wajah berubah, tegur Tian Mong-pek: "Lihat apa" Ayoh cepat jalankan perahumu." Tampaknya kawanan lelaki itu dibikin terperanjat, serentak mereka membubarkan diri.
Tak lama setelah Ui Hau naik ke atas geladak, perahu itu sudah bergerak meninggalkan pantai, sementara puluhan lelaki penunggang kuda telah tiba pula ditepi pesisir.
Terdengar pemimpin dari penunggang kuda itu berteriak keras: "Saudaraku yang ada di perahu, kami telah menghantar tamu agung sampai disini, urusan selanjutnya menjadi tanggung jawab kalian." Seorang lelaki berjenggot hitam yang ada diatas perahu segera menggapaikan tangannya seraya menyahut: "Tak usah kuatir saudaraku, kami tak akan melakukan kesalahan, lagipula di seberang sana sudah siap orang orang yang bertugas menyambut kedatangan tamu agung kita!" Pemimpin para penunggang kuda itu tertawa sambil manggut-manggut, dari dalam sakunya tiba tiba ia mengeluarkan sebuah tabung besar, ketika dibuka penutupnya, seekor merpati pos segera terbang keluar dan meluncur ke pantai seberang.
Berubah paras muka Ui Hau, serunya dengan gusar: "Jumawa betul kawanan bajingan itu, ternyata tanpa tedeng aling aling, mereka berani berbincang dihadapan kita berdua." Tian Mong-pek tertawa dingin, dengan tangan kanan menggenggam gagang pedang, tangan kiri memegang tali les kuda, dia berdiri tanpa bergerak.
Sementara itu kawanan lelaki kekar yang berada diatas perahu tiada hentinya mencuri pandang kearah manusia dan kuda itu, tidak jelas apa yang mereka bisikkan.
Perlu diketahui, Ui Hau dibesarkan di wilayah utara yang jauh dari sungai, dia sama sekali tak mengerti ilmu berenang.
Ketika menyaksikan gulungan ombak di sungai, tiba tiba kepalanya terasa pening, perasaan hatinya jadi tegang sekali.
Tiada hentinya dia mencoba menghibur diri sendiri, gumamnya: "Untung toako pandai berenang, kalau tidak .
. . . . .." "Darimana kau tahu kalau aku pandai berenang?" tanya Tian Mong-pek sambil tersenyum.
Sambil tertawa paksa kata Ui Hau: "Bila toako tak pandai berenang, kenapa bisa bersikap begitu tenang?" "Dugaanmu keliru besar." Ui Hau tertegun, diam diam ia merasa semakin terkejut hingga tanpa sadar keringat dingin membasahi tubuhnya.
II "Toako, besar amat nyalimu, gumamnya, "tahu begini, mungkin aku benar-benar tak berani naik ke atas perahu.
Seandainya kita sampai dibuang orang ke dalam sungai, mungkin manusia yang akan mengurusi layon kita pun tak ada." Tian Mong-pek tersenyum, ujarnya dengan suara dalam: "Coba kau lihat berapa orang lelaki kekar itu, siapa diantara mereka yang begitu bernyali berani turun tangan dihadapan kita berdua?" Ui Hau masih merasa agak deg degan, ketika mencoba memandang sekelilingnya, dia saksikan perahu itu telah menyeberangi tengah sungai dan kini sedang melaju ke tepi pantai.
Dipantai seberang, diantara pita merah yang berkibar terhembus angin, betul saja, terlihat dua puluhan orang penunggang kuda bersenjata golok yang sedang menunggu kedatangan mereka.
Begitu perahu berlabuh, dua orang lelaki diatas perahu segera berjalan mendekat, tampaknya ingin membantu Tian Mong-pek untuk menuntunkan kudanya.
Berkilat sorot mata Tian Mong-pek, hardiknya: "Kalian sangka kamu berhak untuk memegang kuda ini" Cepat mundur!" Dua orang itu saling bertukar pandang, akhirnya tanpa bicara mereka mengundurkan diri.
Melihat itu, dengan bangga Ui Hau tertawa terbahak-bahak, teriaknya: "Hahaha .
. . . .. sekarang kalian baru melihat keangkeran toako ku bukan?" Setelah menepuk bahu lelaki itu, diiringi gelak tertawa nyaring dia melangkah ke tepi pantai.
Begitu kakinya menginjak daratan, perasaan hati pun ikut menjadi lega.
Begitu melihat mereka berdua menginjak daratan, salah seorang dari penunggang kuda itu kembali melepaskan seekor burung merpati pos.
Seorang lagi diantaranya segera berjalan ke hadapan Tian Mong-pek, membungkuk memberi hormat dan berkata: "Silahkan tamu agung naik kuda, sudah lama cayhe menanti disini dan siap membawa jalan untuk kalian berdua." "Hmm, sungkan amat majikan kalian." Dengus Tian Mong-pek sambil tertawa dingin.
Lelaki itu tundukkan kepalanya tidak berani bicara.
Ui Hau semakin keheranan, pikirnya: "Tak disangka orang orang ini bersikap begitu hormat kepadaku, dibalik kesemuanya ini, entah rencana busuk apa yang sedang mereka siapkan?" Terdengar Tian Mong-pek membentak lirih: "Berangkat!" Sambil bicara, dia melompat naik keatas kudanya.
Diantara hembusan angin yang kencang, ke dua puluhan orang penunggang kuda itu tetap berjalan mengelilingi Tian Mong-pek berdua dengan radius jarak tertentu.
Setelah berjalan berapa saat, tak tahan Ui Hau mengayunkan cambuknya sambil membentak gusar: "Minggir, memang kau sangka tuanmu bakal kabur?" Campuknya melayang ke depan, menghajar tubuh orang yang berada disisinya.
Terkena hajaran dibahunya, lelaki itu hanya tertawa getir tanpa membalas, cepat dia menarik kudanya berjalan sedikit lebih jauh.
Pada saat inilah, dari arah depan muncul seekor kuda yang dilarikan kencang.
Ditengah debu yang beterbangan, terlihat kuda itu berbulu hitam pekat tanpa warna lain, si penunggang kuda pun mengenakan baju berwarna hitam.
Ketika menyaksikan kejadian tadi, tiba tiba dia menekan pelana kudanya sambil melambung ke udara, bentaknya: "Siapa yang begitu berani bersikap kurangajar terhadap saudara kami?" Sepasang lengannya dipentangkan dan langsung menerkam ke arah Ui Hau.
Menyaksikan datangnya serangan, Ui Hau segera tertawa keras.
"Hahaha.... kenapa sekarang baru datang" sudah lama yaya mu menunggu!" Sepasang kakinya manggapet diatas kuda, sambil berdiri diatas pelana, dia balas melancarkan satu pukulan kearah manusia berbaju hitam itu.
Begitu sepasang tangan saling beradu, kedua belah pihak sama sama meluncur turun ke tanah.
"Bocah keparat, besar amat tenagamu." Teriak Ui Hau dengan kening berkerut.
Manusia berbaju hitam itu bercambang lebat, beralis tebal dan bermata besar, sambil melotot sekejap kearah Ui Hau, teriaknya pula nyaring: "Rasakan sebuah pukulanku lagi." Sambil mengayun kepalan, dia langsung sodok dada Ui Hau.
Sementara itu kawanan penunggang kuda itu telah berhenti, paras muka Tian Mong-pek ikut berubah.
Terdengar lelaki yang termakan cambuk tadi merentangkan lengannya sambil berteriak keras: "Toaya, harap hentikan seranganmu, mereka berdua adalah tamu agung ji-kongcu serta nona ke tiga." Manusia berbaju hitam itu tertegun, dia segera menarik kembali serangannya sambil melompat mundur, sesudah mengamati Tian Mong-pek berdua dari atas hingga ke bawah, tanyanya: "Apakah mereka berdua?" Lelaki itu manggut manggut dan tidak menjawab.
Kembali manusia berbaju hitam itu mendengus, sekali lagi dia melompat keatas kudanya sambil berkata ketus: "Melihat wajah adikku, kuampuni dirimu kali ini." "Apa katamu?" umpat Ui Hau gusar, "siapa yang kenal dengan adikmu?" Meskipun dia sudah siap melancarkan serangan balasan, namun lelaki berbaju hitam itu sudah berada diatas punggung kudanya, diiringi suara bentakan, dia larikan kudanya meninggalkan tempat itu.
"Apa apaan kamu?" kembali Ui Hau memaki, "siapa yang kenal dengan majikanmu?" "Apakah kalian berdua belum tahu kalau majikanku adalah .
. . . . .." Belum sempat lelaki itu menjelaskan, sekonyong-konyong dari arah depan sana terdengar lagi suara derap kaki kuda disertai debu yang beterbangan.
"Tampaknya majikanku telah datang!" seru lelaki itu lagi sambil tertawa.
Tian Mong-pek maupun Ui Hau merasakan hatinya bergetar, tanpa sadar mereka meraba gagang senjata masing masing.
Ke dua puluhan orang penunggang kuda itupun serentak menyingkir ke dua sisi jalan, membuka sebuah jalan tembus dibagian tengah.
Sekilas pandang, terlihat kedua sisi jalan dijepit oleh kawanan lelaki kekar bersenjata golok, didepan terlihat debu beterbangan, sedang dibagian belakang pun tampak ada puluhan ekor kuda sedang bergerak mendekat.
Merasa dirinya terkepung ditengah ratusan orang jago bersenjata golok, Tian Mong-pek merasa darah panas dalam rongga dadanya bergolak, baru saja dia siap mencabut pedangnya untuk bertarung mati matian melawan musuh besar yang telah membunuh Ho bersaudara .
. . . .. sekonyong-konyong dari balik debu yang beterbangan didepan sana, terdengar seseorang berseru nyaring: II "Ji-kongcu tiba .
. . . . . . .. Serentak semua penunggang kuda melompat turun dari pelananya.
Ditengah sorak sorai yang gegap gempita, terlihat seseorang melarikan kudanya makin mendekat.
Dia mengenakan baju sutera yang mahal, ilmu berkudanya amat mahir, sedari kejauhan dia sudah berdiri diatas pelana dan pentangkan sepasang tangannya seraya berseru: "Apakah saudara Tian yang datang" Kau sungguh membuat siaute menunggu dengan hati menderita." Sementara Tian Mong-pek masih tertegun, dengan keheranan Ui Hau sudah bertanya: "Kenapa dia adalah sahabat toako?" Dalam waktu singkat, orang berbaju sutera itu sudah meluncur tia persis dihadapan Tian Mong-pek.
Begitu melihat wajah si pendatang, kontan Tian Mong-pek berseru: "Wah, ternyata saudara Tong." Ternyata penunggang kuda berbaju sutera itu tak lain adalah Hek-yan-cu dari keluarga Tong di Siok-tiong (Suchuan), satu kejadian yang sama sekali diluar dugaan, membuat pemuda itu untuk sesaat tak mampu bicara.
Terlihat Hek-yan-cu rentangkan sepasang tangannya dan berseru sambil tertawa nyaring: "Sejak berpisah di padang rumput, hingga kini dua, tiga bulan sudah lewat, saudara Tian, kehadiranmu memang sedikit agak terlambat." Belum sempat Tian Mong-pek bicara, Ui Hau sudah melompat ke hadapan Hek-yan-cu dan membentak: "Jangan membuat hubungan dulu dengan toako, apakah Lau-san-sam-gan terluka ditangan anak buahmu?" "Betul, tapi .
. . . . . .. Sambil membentak, Ui Hau lontarkan satu pukulan ke depan, hardiknya: "Bocah keparat, sekalipun kau adalah sahabat toako, kali ini aku tak dapat mengampuni dirimu." Dengan cekatan Hek-yan-cu berkelit dari pukulan itu, serunya sambil goyangkan tangannya berulang kali: "Hengtai jangan menyerang dulu, saat ini tiga bersaudara Ho berada di Il rumahku dan dalam keadaan baik baik .
. . . . . .. "Hengtai jangan menyerang dulu, saat ini tiga bersaudara Ho berada di rumahku dan dalam keadaan baik baik .
. . . . . .." "apa" Kau bilang mereka belum mati?" teriak Ui Hau sambil menghentikan serangan.
Kembali Hek-yan-cu tertawa.
"Sejak siaute mendapat tahu kalau kuda Ci-ki-lin (Kilin ungu) berada ditangan saudara Tian, aku telah menganggap Ho-heng dan Kim toako sebagai tamu agung, sedikit pun tak berani kurang adat." "Jadi kuda ini sebetulnya milik keluargamu?" tanya Ui Hau agak tertegun.
"Hahaha, kalau sejak dulu tahu kalau Tian-heng yang ambil, tak bakal ada urusan seperti ini." "Kalau kuda ini milik keluargamu," teriak Ui Hau, "bisa saja kalian memintanya kembali, karena hal ini merupakan perbua tan yang benar dan terbuka, kenapa kamu semua harus kasak kusuk mencurigakan dan main sembunyi?" Hek-yan-cu si walet hitam tertawa getir.
"Sejujurnya, dibalik kuda ini terdapat sebuah rahasia yang tak boleh diketahui orang lain, itulah sebabnya anggota perguruan kami mengenakan kain kerudung hitam, tampaknya mereka sudah membuat kesalahan terhadap hengtai?" Ui Hau tertawa dingin.
"Tak heran kalau jurus ilmu silat yang mereka gunakan berasal dari satu aliran, ternyata mereka adalah anggota perguruan keluarga Tong yang tersohor di kolong langit, andaikata aku tidak kabur lebih cepat, mungkin aku .
. . . . . .." Dalam pada itu Tian Mong-pek sudah turun dari kudanya, dia tak ingin perdebatan berlangsung lebih jauh, tukasnya sambil tertawa: "Saat itu siaute sedang memburu waktu, sehingga tanpa sadar telah merampas kuda milik saudara Tong, tindakanku ini benar benar keterlaluan." Lalu sambil menyerahkan tali les kudanya, dia melanjutkan: "Sekarang kukembalikan kuda ini kepada sang pemilik, harap saudara Tong II memaafkan kesalahanku .
. . . . .. Hek-yan-cu tertawa terbahak-bahak.
"Hahaha, kita adalah saudara sendiri, kenapa musti dipilah sedetil itu" Dalam istalku masih terdapat banyak kuda jempolan yang melebihi CQFKZJJZ, silahkan saudara Tian tetap menunggangnya." Mendadak dia menghentikan tertawanya dan berbisik: "Tapi kedatangan saudara Tian memang terlalu lambat, bukan saja membuat tiga bersaudara keluarga Ho jadi panik, siaute pun ikut tak enak badan." "Apakah ada sesuatu urusan yang hendak saudara Tong sampaikan kepada siaute?" Hek-yan-cu memandang sekejap sekeliling tempat itu, kemudian katanya: "Tempat ini tak cocok untuk bicara, setibanya dirumahku nanti, siaute pasti akan sampaikan." seperti tak sengaja, dia terima tali les kuda dari tangan Tian Mong-pek dan menambahkan seraya tertawa: "Kuda tunggangan siaute itu belum tentu berada dibawah kemampuan C2FEiJ1b, saudara Tian tak usah menampik, silahkan diterima." Ketika ia memberi tanda, seorang lelaki segera menuntun kuda tunggangan miliknya, sementara dia sendiri sudah melompat naik keatas punggung Ci-kilin milik Tian Mong-pek.
Menyaksikan hal ini, kembali Tian Mong-pek berpikir: "Bila ditubuh kuda ini tidak tersimpan rahasia besar, mustahil Hek-yan-cu akan memintanya kembali secepat itu .
. . . . . .." Ingatan lain kembali melintas, pikirnya: "Sebetulnya antara aku dan dia tak bisa dibilang punya hubungan, tapi kalau dilihat dari mimik mukanya sekarang, kelihatan kalau dia mempunyai urusan besar yang ingin disampaikan kepadaku, kejadi an aneh apa lagi yang bakal terjadi?" Sementara dia masih melamun, terdengar Ui Hau sudah berteriak berulang kali: "Cepat jalan, cepat jalan, kalau sampai ke tiga orang Ho toako mengalami sesuatu, kaupun jangan harap bisa hidup tenang." Hek-yan-cu tersenyum.
"Rumahku berada tak jauh dari sini, sebentar lagi hengtai bakal bertemu dengan tiga bersaudara Ho." Tak sabar menanti, Ui Hau telah mencemplak kudanya lari menuju ke depan.
Puluhan orang lelaki kekar itu serentak naik kuda dan bergerak maju, baik waktu melompat turun dari kuda, maupun sewaktu naik, mereka tidak menimbulkan suara kegaduhan apapun, hal ini membuktikan kalau disiplin anggota perguruan keluarga Tong memang bukan nama kosong.
Sepanjang jalan, Hek-yan-cu jalan bersanding disamping Tian Mong-pek, wajahnya selalu dihiasi senyuman, biarpun Ui Hau berulang kali menyulut amarahnya, dia seakan tidak memasukkannya ke dalam hati.
Melihat ini, Tian Mong-pek merasa makin tercengang, pikirnya: "Tempo hari, Hek-yan-cu menunjukkan sikap yang be gitu congkak dan jumawa, kenapa hari ini berubah begitu sungkan" Sebenarnya karena urusan apa dia minta bantuanku?" Rombongan kuda bergerak ke depan, debu beterbangan di angkasa diiringi suara derap kuda yang ramai, meski pelbagai kecurigaan menyelimuti pikiran Tian Mong-pek, untuk sesaat dia merasa tak leluasa untuk mengajukan pertanyaan.
Setelah berjalan lebih kurang satu jam kemudian, orang yang berlalu lalang sepanjang jalan bertambah banyak dan ramai, wajah mereka rata rata gagah dan angker, nyaris hampir sebagian besar merupakan jago-jago persilatan.
Tatkala bertemu Hek-yan-cu, mereka segera menjura dan menyapa dari jauh, ada pula yang melirik Tian Mong-pek berapa kejap kemudian berbisik-bisik.
Dari dialek mereka, bisa diketahui kalau rombongan jago itu berasal dari empat penjuru.
Tak tahan Tian Mong-pek berkata: "Baru sekali ini siaute datang kemari, tak disangka wilayah Suchuan begitu ramai." "Teman-teman datang kemari karena ingin kondangan dan memberi selamat." "Perkawinan siapa?" "Berapa hari lagi siaute akan menikah." Jawab Hek-yan-cu sambil menghela napas panjang.
"Waah, kionghi, kionghi." Seru Tian Mong-pek sambil menjura, tapi sesaat kemudian tak tahan tanyanya lagi, "hari perkawinan hengtai sudah didepan mata, semestinya kau merasa gembira, kenapa malah menghela napas panjang?" Sekali lagi Hek-yan-cu menghela napas panjang, tiba tiba dia menghampiri Tian Mong-pek dan berbisik: "siaute berharap saudara Tian bisa membantuku." "Soal apa?" "Ikatan perkawinan ini terjadi karena paksaan yang membuat siaute sukar bicara, padahal siaute sudah punya tambatan hati lain, bila saudara Tian mau bersimpatik kepada siaute, semestinya bicaralah sedikit untukku." "Urusan ini adalah urusan keluarga hengtai, mana mungkin siaute bisa bicara banyak?" kata Tian Mong-pek keheranan.
Hek-yan-cu segera tertawa lebar, katanya: "Jangan lupa, tak sampai setengah bulan lagi, saudara Tian juga bakal .
. . . . . . . . .." Mendadak terdengar suara derap kaki kuda yang ramai berkumandang dari arah depan.
Seseorang dengan suara yang nyaring berseru: "Lo-cou-cong (kakek moyang) ingin segera bertemu Tian siangkong, tolong tanya Ji-kongcu, kenapa kau tidak segera membawa Tian siangkong pulang." Dengan wajah berubah sahut Hek-yan-cu: "Lapor Lo-cou-cong, Tian siangkong segera tiba." Sambil berpaling, tambahnya: "Kita harus segera jalan, kalau sampai terlambat, siaute tak sanggup memikul tanggung jawab ini." Tian Mong-pek berkerut kening, rasa keheranan semakin mencekam hatinya.
Terlihat rombongan berkuda itu telah mempercepat larinya, diantara awan yang menggelayut di angksa, lamat lamat terlihat bayangan tanah perbukitan nan hijau.
Kembali mereka melakukan perjalanan selama setengah jam lebih, tiba tiba didepan sana mulai tampak sebuah bangunan prasasti yang dihiasi kain merah, tinggi bangunan itu mencapai tiga kaki.
Saat itu senja telah tiba, empat penjuru bangunan prasasti itu dihiasi lentera berwarna merah, cahaya yang terang menerangi huruf huruf besar yang tertera pada prasasti itu: "Perkawinan keluarga Tong dan keluarga Chin." Sesudah melewati bangunan prasasti, disepanjang jalan tampak tersedia meja dengan air teh dan handuk, disampingnya berjajar pula lelaki berbaju panjang yang siap melayani tamu.
Sewaktu melihat Hek-yan-cu dan Tian Mong-pek lewat dihadapan mereka, orang orang itu segera saling berbisik, bersamaan itu sekulum senyuman misterius pun tersungging dibibir mereka.
Tian Mong-pek tahu, perguruan keluarga Tong yang tersohor di wilayah Suchuan berada di depan mata.
Biarpun sudah lama ia mendengar pelbagai cerita tentang keheranan keluarga ini, namun belum pernah mendengar ada orang persilatan yang menyinggung tentang bentuk senjata rahasia andalan mereka.
Setelah tiba disini, tanpa terasa dia mulai merasa sedikit tegang.
Terlihat sebuah aliran sungai kecil meliuk dari atas tebing beraakhir di sebuah alur sungai yang deras, warna air terlihat kuning dan diantara arus yang bergerak, lamat lamat mengeluarkan segulung hawa panas.
Baru saja Tian Mong-pek merasa terheran-heran, sambil menuding Hek-yan-cu telah menjelaskan sambil tertawa: "Inilah yang disebut sumber air panas, apakah Tian-heng baru melihatnya pertama kali?" Sambil menuding sebuah gua besar dikejauhan, kembali katanya: "Ditempat itulah kami memproduksi senjata rahasia, memoles senjata rahasia dengan air yang berasal dari sumber air hangat merupakan rahasia perguruan kami." Ketika mengetahui bahwa senjata rahasia beracun dari perguruan keluarga Tong yang begitu menggetarkan sukma orang persilatan ternyata dibuat disitu, paras muka Tian Mong-pek tampak sedikit berubah.
Terdengar Hek-yan-cu berkata lebih jauh: "Kecuali murid langsung perguruan, bahkan telah angkat sumpah berat, siapa pun dilarang memasuki tempat pembuatan senjata rahasia.
Bila sempat nanti, tak ada salahkan kalau Tian-heng berkunjung ke sana." Kembali Tian Mong-pek tertegun, pikirnya: "Berulang kali dia mengatakan kalau tempat pembuatan senjata rahasia itu tak boleh dilihat orang, kenapa dia hendak mengajakku berkunjung ke sana?" Dalam pada itu Ui Hau sudah celingukan sambil berseru: "Sebenarnya tiga bersaudara Ho berada di mana" Kenapa hingga sekarang belum berjumpa dengan mereka?" Sambil tertawa Hek-yan-cu menuding kearah depan, sahutnya: "Setelah berada disini, bukan saja hengtai dapat berjumpa Lau-san- sam-gan, mungkin kau pun dapat bertemu dengan banyak jago dan orang gagah lain." Mengikuti arah yang ditunjuk, Tian Mong-pek serta Ui Hau segera menengok kesana.
Terlihat sebuah bangunan rumah terbuat dari batu yang sangat besar berdiri angker dibawah cahaya matahari senja, pepohonan lebat tumbuh mengelilingi bangunan itu, tampilannya luar biasa.
Didalam hutan pun dipenuhi lentera berwarna merah, seorang gadis berbaju merah berdiri tegak didepan hutan, begitu melihat kehadiran Tian Mong-pek bertiga,ia segera membalikkan badan dan beranjak pergi.
Sambil tersenyum Hek-yan-cu melompat turun dari kudanya, kepada seorang lelaki disisinya dia membisikkan sesuatu, lelaki itupun menuntun kuda Ci-kilin masuk ke dalam hutan.
Dalam pada itu suara gelak tertawa lamat lamat terdengar bergema dari balik rumah batu.
Sambil mengganteng tangan Tian Mong-pek, ujar Hek-yan-cu sambil tersenyum: "Saat ini, gedung utama rumahku sudah dipenuhi tamu undangan, mereka semua sedang menanti untuk menyaksikan kegagahan saudara Tian." Sambil bicara, dia sudah menarik tangan Tian Mong-pek dan masuk ke dalam gedung batu itu dengan langkah lebar.
Sambil mendengus seru Ui Hau: "Hmm, kau tidak biarkan aku pergi, aku tetap akan mengikuti dirimu." Ternyata bangunan batu itu tak ada dinding pagar, yang ada hanya sebuah serambi panjang yang mengelilingi empat penjuru, batu pilar yang besar sebagai penyangga bangunan memperlihatkan kalau gedung itu sudah amat kuno.
saat itu, bukan hanya serambi luar yang dihias indah, ruangan dalam gedung pun bermandikan cahaya lentera.
Delapan orang lelaki berjubah panjang berdiri berjajar didepan pintu, menyambut kedatangan tamu dengan penuh senyuman, begitu melihat Hek-yan-cu muncul dengan langkah lebar, serentak mereka berteriak: "Ji-kongcu tiba." Suara hiruk pikuk dalam ruangan pun seketika mereda dan menjadi hening.
Tian Mong-pek yang diseret Hek-yan-cu, tanpa terasa ikut melangkah masuk, dia merasa ada berapa ratus pasang mata serentak tertuju kearahnya, dalam gugup dan bingungnya, dia pun tundukkan kepala.
Lantai yang dilalui merupakan selembar permadani merah yang luar biasa panjangnya, langsung menghubungkan ujung ke ujung ruangan yang luas, sementara dikedua sisi penuh berdesakan manusia, tidak jelas ada berapa banyak jago silat yang hadir disitu.
Tatkala Hek-yan-cu menarik Tian Mong-pek melewati diatas permadani merah, lelaki berbaju hitam yang bermata besar tadi tampak datang menyambut mengiringi seorang kakek berusia lima puluh tahunan.
Tampak kakek berjubah panjang itu mengamati Tian Mong-pek dengan sorot matanya yang lebih tajam dari kilat, kemudian manggut manggut, berdiri berpangku tangan dan tidak bicara lagi.
Walaupun gerak geriknya lembut dan amat sopan, namun mimik mukanya menunjukkan keangkuhan yang luar biasa, khususnya sorot matanya yang lebih tajam dari pisau.


Panah Kekasih Karya Gu Long di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Sambil busungkan dada, Tian Mong-pek langsung menatap sorot matanya dan
Tampak kakek berjubah panjang itu mengamati Tian Mong-pek dengan sorot matanya yang lebih tajam dari kilat, kemudian manggut manggut, berdiri berpangku tangan dan tidak bicara lagi.
Walaupun gerak geriknya lembut dan amat sopan, namun mimik mukanya menunjukkan keangkuhan yang luar biasa, khususnya sorot matanya yang lebih tajam dari pisau.
Sambil busungkan dada, Tian Mong-pek langsung menatap sorot matanya dan sedikitpun tidak surut, dalam hati pikirnya: "Mungkinkah orang inil adalah ciangbunjin perguruan yang tersohor karena kehebatan senjata rahasianya?" Tiba tiba dia merasa ujung bajunya ditarik Hek-yan-cu, terdengar rekannya itu berkata sambil tertawa paksa: "Dia adalah ayahku." Tian Mong-pek segera menjura, serunya lantang: "Aku Tian Mong-pek dengan mengajak sute ku, Ui Hau sengaja datang kemari, pertama minta maaf karena telah mencuri kuda milik anda, kedua untuk menjenguk Lau-san-sam-gan tiga bersaudara Ho." Paras muka kakek berjubah panjang itu berubah hebat, sambil mengebaskan ujung bajunya, dia berpaling kearah lain, sedang pemuda berbaju hitam bermata besar itu mendelik besar, wajahnya kelihatan marah sekali.
"Tian-heng, kenapa kau tidak berlutut didepan ayah sambil memohon?" "Berlutut" Memohon apa?" paras muka Tian Mong-pek ikut berubah gusar.
Hek-yan-cu segera menghentakkan kakinya berulang kali, katanya: II "Aaai, Tian-heng, kau .
. . . .. apakah kau . . . . . .. Tiba tiba terdengar Ui Hau berseru sambil tertawa tergelak: "Saudara Ho, Kim toako, ternyata kalian benar-benar belum mati, benar benar berada disini, bikin siaute panik saja." Ketika Tian Mong-pek membalikkan badan, ia saksikan Lau-san-sam-gan serta Kim Eng sedang berjalan keluar dari kerumunan orang, sementara Ui Hau diiringi gelak tertawa nyaring telah maju memeluk.
Walaupun wajah mereka berempat menunjukkan rasa kaget bercampur girang, namun jelas kelihatan layu bercampur letih, ini menunjukkan kalau mereka baru sembuh dari luka parah, khususnya si Angsa liar perak Ho Kun-hiap, paras mukanya kuning kepucat-pucatan.
Tian Mong-pek maju sambil menggenggam tangan Ho Kun-hiap, dia tak tahu harus merasa terkejut, girang atau terharu, tenggorokannya terasa sesenggukan hingga tak sepatah kata pun sanggup diucapkan.
Sebaliknya Ho Kun-hiap malah tertawa tergelak, serunya: "Hahaha, saudara Tian tak usah kuatir, berkat menebeng nama besar saudara Tian, selama berada disini kami cukup makan, cukup tidur, kehidupan kami nyaman sekali." "Tapi .
. . . .. tapi . . . . . .." Kembali Ho Kun-hiap menepuk bahunya dan berkata seraya tertawa: "Saudara Tian tak perlu mengatakan apa pun, justru ada satu kejadian mengagetkan yang hendak siaute sampaikan kepada Tian-heng." Tidak sampai Tian Mong-pek mengajukan pertanyaan, setengah berbisik katanya: "Saudara Tian, tahukah kau putri siapa yang bakal jadi pengantin saudara Tong?" Tian Mong-pek menggeleng.
"Perkawinan saudara Tong pun baru hari ini siaute ketahui." "Hahaha, Saudara Tian tak bakal menduga, ternyata pengantin wanita dari keluarga Tong tak lain adalah Chin Ki, putri tunggal si Tabib sakti Chin Siu-ang." Baru saja Tian Mong-pek melengak, Hek-yan-cu telah datang menarik bajunya sambil berbisik: "Sekarang ayahku sudah marah, saudara Tian, kenapa kau .
. . . .. II "Kalau ayahmu sampai marah, apa pula yang bisa siaute lakukan?" sahut sang pemuda.
Hek-yan-cu tertegun, dengan mata melotot dan wajah berubah, tanyanya: "Saudara Tian, kau benar-benar sudah lupa?" il "Lupa apa" Aku .
. . . . . . .. Belum sempat menyelesaikan perkataannya, tiba tiba dari belakang gedung batu terdengar seseorang berseru: II "Lo-cou-cong tiba .
. . . . . .. Lo-cou-cong tiba . . . . . . . . .. Suara teriakan itu bergema susul menyusul, dari tempat kejauhan beralih semakin dekat.
Suasana dalam gedung seketika berubah senyap, Hek-yan-cu ayah anak semuanya tundukkan kepalanya.
Terdengar seseorang dengan suara yang serak serak tua berseru: "Dimana, dimana .
. . . . . .." Menyusul kemudian terlihat Hui-hong-hong yang berbaju merah menyala dengan mendorong sebuah kereta beroda yang indah, muncul dari belakang gedung.
Kereta roda itu beralas bantal yang empuk, diatasnya duduk seorang kakek berambut putih berbaju indah yang kurus kering tinggal kulit pembungkus tulang, tangannya yang kurus bagai cakar ayam tiada hentinya menepuk sandaran tangan diatas kereta roda, membuat tumpukan gula gula ditangannya tergetar hingga berceceran sebagian.
"Dimana . . . . . .. dimana . . . . . . .." terdengar kakek itu bertanya berulang kali.
Hui-hong-hong segera bungkukkan badan, membisikkan sesuatu ke sisi telinga kakek itu, kemudian dia mendongak, memandang Tian Mong-pek sekejap sambil tersenyum, kemudian tundukkan lagi kepalanya.
Sementara itu si kakek berjubah panjang tadi telah membungkukkan badan memberi hormat dan menyapa sambil tertawa: "Lo-cou-cong, kenapa kau ikut keluar?" Kakek berambut putih itu sama sekali tidak memandang kearahnya barang sekejap pun, dia hanya sibuk mengambil gula gula dan dimasukkan ke dalam mulutnya, sementara sorot matanya menatap Tian Mong-pek tanpa berkedip.
Walaupun seluruh badan orang ini tidak memancarkan hawa kehidupan, namun sorot matanya begitu tajam hingga membuat Tian Mong-pek merasa wajahnya berubah jadi merah padam, kendatipun begitu, dia tetap tak mau menunduk.
Terdengar kakek berambut putih itu bertanya: "Jadi kau yang telah merampas kuda Ci-kilin?" "Benar." Jawab Tian Mong-pek lantang.
"Setelah mencuri kuda milik keluarga kami, kau siap bagaimana?" Sementara Tian Mong-pek masih termenung, Hek-yan-cu sudah menjatuhkan diri berlutut sambil memohon: II "Lo-cou-cong, kalau tak tahu itu tak salah, dia .
. . . . . .. "Enyah, enyah," teriak kakek berambut putih itu gusar, "kau tak usah banyak mulut, makin jauh menggelinding dari sini makin baik." Paras muka Hek-yan-cu pucat pias bagai kertas, betul saja, ia segera mengundurkan diri.
Sambil busungkan dada sahut Tian Mong-pek lantang: "Aku orang she-Tian akan menanggung semua kesalahan karena mencuri kuda, tapi urusan ini tak ada sangkut pautnya dengan tiga bersaudara Ho, bagaimana pula tanggung jawabmu setelah kalian melukai mereka?" Kakek berambut putih itu menatapnya berapa saat, mendadak ia tertawa terkekeh, lagi lagi diambilnya gula gula dan dimasukkan ke mulut, serunya sambil manggut-manggut: "Bagus .
. . . . . .. bagus . . . . . .." Sekonyong-konyong dia membentak nyaring: "Kena!" Tidak melihat tangannya melakukan gerakan apapun, tahu tahu muncul lima desingan angin tajam yang mengancam lima buah jalan darah penting ditubuh Tian Mong-pek.
Desingan angin tajam bagai jarum, cepat bagai sambaran kilat, nyaris semuanya itu tak dapat diikuti dengan pandangan mata.
Dalam terperanjatnya Tian Mong-pek buang bahu putar badan, menghindari dua titik yang menyambar tiba, kemudian sebuah tendangan menghalau satu titik dari bawah, sedang sepasang tangannya dengan disertai tenaga dalam penuh menyambut dua titik senjata rahasia terakhir.
Begitu cepat tubuhnya bergerak, reaksi yang dia lakukan pun sukar diikuti dengan pandangan mata.
Semua orang hanya merasakan pandangan mata jadi kabur, dua desingan angin tajam telah menyambar lewat dari sisi tubuh Tian Mong-pek, meluncur cepat melewati gedung utama dan terjatuh jauh diluar pintu.
Saat itu, Tian Mong-pek sudah menghimpun segenap tenaga Lak-yang-cinkang nya dalam telapak tangan, dia merasa tangannya jadi basah basah lengket, ternyata senjata rahasia yang disambit tak lain adalah lima potong gula-gula.
"Wah, hebat sekali ilmu melepaskan senjata rahasia yang dimiliki kakek II ini.
Pikirnya dengan terkesiap.
Dalam pada itu, para hadirin yang memenuhi ruangan pun merasa berubah paras mukanya, pikir mereka: "Seandainya aku berganti Tian Mong-pek, mungkin sulit untuk menghindari serangan ke lima potong gula gula itu." Terdengar kakek berambut putih itu tertawa terkekeh kekeh.
"Bagus, bagus sekali, dengan ilmu silat semacam itu, cucu perempuanku tak bakal menjanda.....
bagus, bagus!" Tian Mong-pek tertegun, dengan perasaan kaget serunya: II "Cianpwee, ini .
. . . . .. ini . . . . . . .. Sekarang pemuda ini baru teringat kalau Hui-hong-hong pernah suruh dia datang melamar, untuk sesaat dia jadi bingung dan tak tahu bagaimana harus membantah.
Sementara itu, si kakek berjubah panjang telah membungkukkan badan dan berkata sambil tertawa paksa: "Biarpun pemuda ini bagus, sayang wataknya kelewat jumawa, kelewat kurangajar, Lo-cou-cong tak perlu kelewat cepat mengambil keputusan." Mendadak kakek berambut putih itu menarik muka, sambil memukul sandaran keretanya berulang kali, umpatnya penuh amarah: "Sejak kapan kau yang mengambil keputusan atas urusan di keluarga Tong?" "Ananda tak berani .
. . . . . . .." "Kalau akau bilang baik tetap baik, siapa suruh kau banyak mulut, selama aku belum mati, akulah yang memutuskan semua persoalan di keluarga Tong ini, kalau ingin ambil keputusan, sumpahilah aku agar cepat mati." Orang tua berjubah panjang itu mundur berulang kali, katanya dengan kepala tertunduk: "Ananda tidak berani .
. . . . . . .." Sekalipun dia sudah berusia lanjut, tapi dihadapan orang tua ini, sikapnya tak ubah seperti anak kecil yang sedang dimarahi ayahnya.
Kakek berambut putih itu berpaling dan memandang lagi kearah Tian Mong-pek sambil tertawa terkekeh, tiba tiba ia menggapai sambil serunya: "Bocah muda, kau bagus sekali, cepat kemari makan gula gula." Tian Mong-pek masih tertegun, berdiri kebingungan.
"Kemari, ayoh kemari .
. . . . .." kembali kakek berambut putih itu menggapai.
Belum sempat Tian Mong-pek menjawab, Hek-yan-cu yang berdiri dibelakangnya sudah diam diam mendorong, tanpa terasa pemuda itu maju ke depan, terpaksa dia terima gula gula itu dan dimasukkan ke dalam mulut.
Kembali kakek berambut putih itu tertawa terkekeh.
"Hahaha..... budak Hong, lihatlah, Lo-cou-cong mu sayang dirimu bukan," katanya, "dia sudah makan gula gula itu, dan kaupun tak usah gelisah lagi." ll "Lo-cou-cong, kau orang tua .
. . . . . .. seru Hui-hong-hong sambil tertawa manja, tiba tiba ia berpaling kearah Tian Mong-pek, serunya lagi sambil tertawa, "coba kau lihat dirimu, kenapa tidak menyembah dihadapan Lo-cou- cong." Sebenarnya gadis ini ingin sekali berlagak malu malu kucing, apa mau dikata karena kelewat gembira, untuk sesaat dia jadi tak tahu apa yang harus diperbuat.
Merah padam wajah Tian Mong-pek seperti kepiting rebus, dia gelisah bercampur gusar, serunya tergagap: "Ini .
. . . .. ini . . . . . .." Makin gusar hatinya, semakin susah bagi pemuda ini untuk berkata kata.
Gelak tertawa pun bergema diseluruh ruangan, para tamu mulai bersorak memberi selamat.
Ui Hau yang tidak tahu apa yang terjadi, tentu saja ikut datang sambil memberi selamat: "Kionghi toako .
. . . . . .." Waktu itu Tian Mong-pek sedang merasa amat mendongkol, hatinya makin jengkel setelah mendengar ucapan itu, teriaknya: "Minggir semua." Bentakan ini membuat Ui Hau kebingungan, tak habis mengerti, pikirnya: "Memang salah aku memberi selamat kepadanya?" Dipihak lain, kakek berambut putih itu sudah berkata sambil tertawa terkekeh: "Hahaha, biasa, anak kecil, takut malu, kenapa musti bersujud kepadaku." Lalu setelah menggapaikan tangannya ke empat penjuru, katanya lagi sambil tertawa: "Dua hari lagi, sesudah menikmati arak kegirangan cucuku, jangan lupa untuk menunggu sampai meneguk arak kegirangan cucu perempuanku sebelum pergi." Setelah memasukkan sepotong gula gula ke dalam mulut, lanjutnya: "Budak Hong, ayoh jalan, kau tidak malu untuk tetap menunggu di sini?" Hui-hong-hong mengiakan, cepat dia dorong kereta beroda itu dan kabur ke belakang gedung.
Serentak para tamu bangkit berdiri sambil berseru: "Kionghi Lo-cou-cong!" Saat itulah Tian Mong-pek seakan baru mendusin dari impian, dengan cemas teriaknya: "Locianpwee, harap tunggu sebentar." Sambil menggerakkan badan, dia siap melakukan pengejaran.
Tiba tiba bayangan manusia berkelebat lewat, orang tua berjubah panjang itu sudah menghadang jalan perginya sambil menegur: "Urusan perkawinan sudah ditetapkan, buat apa kau masih ingin mengejarnya?" Saking cemasnya, keringat membasahi seluruh badan Tian Mong-pek, katanya tergagap: "Aku.....
aku sama sekali belum pernah mengajukan lamaran, sejak kapan perkawinan ini ditentukan?" Orang tua itu tertawa dingin.
"Hmm, anggap saja rejeki mu baru membaik hingga Lo-cou-cong tertarik kepadamu, huuh, sudah keenakan dirimu, masih mau jual mahal?" "Apa maksud perkataanmu?" tegur Tian Mong-pek gusar.
Orang tua berjubah panjang itu menarik wajahnya.
"Jangan lupa, Tong Hong adalah putriku, dihadapan ayah mertua berani amat kau bicara begini?" Sekali lagi Tian Mong-pek tertegun.
Dalam pada itu para hadirin telah maju mengerumun, teriakan pun mulai
Sekali lagi Tian Mong-pek tertegun.
Dalam pada itu para hadirin telah maju mengerumun, teriakan pun mulai berkumandang: "Ayoh, menantu harus memberi hormat kepada Gak-hu tayjin....." Ada pula yang berteriak: "Cepat undang keluar Tong hujin, agar ibu mertua ikut menonton calon menantu yang ganteng dan gagah." Berada dalam keadaan begini, Tian Mong-pek benar benar dibuat gelisah tak bisa, marah pun tak mungkin, dia jadi serba salah, apalagi gelak tertawa dan sorak sorai dalam gedung pada hakekatnya tidak memberi kesempatan kepadanya untuk berbicara.
Pemuda berbaju hitam bermata besar itu ikut menepuk bahunya dan berkata sambil tertawa terbahak-bahak: "Aku adalah Thiat-pa-cu (macan tutul baja) Tong Pa, selanjutnya kita adalah famili sendiri." Sekali lagi gelak tertawa hadirin menggema diseluruh ruangan.
Menggunakan kesempatan ini, Hek-yan-cu menghampiri ayahnya sambil berbisik: "Kenapa tidak mengundurkan hari pernikahan ananda selama berapa hari, agar bisa dilangsungkan bersama adik?" Dengan gusar tegur kakek berjubah panjang itu: "Toako mu baru saja pulang melamar dari kota Hangciu, kini, pengantin wanita sedang dalam perjalanan, memang kau sangka hari perkawinan bisa diubah semau sendiri" Hm, dasar pikun!" Sambil menghela napas, Hek-yan-cu tertunduk lemas, wajahnya kelihatan amat sedih dan menderita.
Tiba tiba muncul seorang lelaki membawa sepucuk surat berwarna merah masuk ke dalam ruangan, katanya kemudian: "Didepan hadir Tu lo-enghiong yang memberi sumbangan sepuluh tahil dan datang untuk menyampaikan selamat." Kakek berjubah panjang itu menyambut kartu nama dan dibaca, wajah yang semula dingin kaku seketika terhias senyum kegirangan.
"Diapun telah datang?" serunya, "cepat undang masuk, cepat undang masuk.." Baru selesai dia berkata, dari luar pintu gedung sudah terdengar seseorang berteriak nyaring: "Li-huan-ciam Tu loenghiong dari tujuh tokoh ternama dunia persilatan hadir .
. . . . . . . .." "Wah Tu lo-enghiong pun ikut hadir!" serentak semua jago berpaling dengan hati bergetar.
Kakek berjubah panjang itu segera maju menjura sambil katanya: "Tidak tahu kalau Tu locianpwee telah hadir, maaf bila tidak menyambut dari jauh." Terlihat seorang kakek jangkung berbaju biru berjalan masuk diiringi para jago.
Walaupun senyuman menghiasi ujung bibirnya, namun sikap maupun mimik wajahnya kelihatan serius, mukanya kelihatan jauh lebih kurus dan tua daripada tahun berselang.
Tian Mong-pek merasa keheranan ketika dilihatnya orang tua itu datang seorang diri dan tidak tampak putri kesayangannya Tu Koan mendampingi.
Dengan langkah lebar dia maju mendekat, sapanya sambil memberi hormat: "Locianpwee." Begitu melihat pemuda itu, sekilas rasa girang melintas diwajah Tu Hun-thian yang murung, buru buru dia maju memapaki, katanya tertawa: "Tian lote, ternyata kaupun berada disini, apakah Koan-ji jalan bersamamu?" "Selama ini cayhe belum pernah bertemu nona Tu." Sahut Tian Mong-pek tertegun.
Senyuman diwajah Tu Hun-thian lenyap seketika, dia mengiakan lalu berjalan mengikuti kakek berjubah panjang itu dengan wajah murung, sama sekali tidak berpaling lagi ke arah Tian Mong-pek.
Menyaksikan tingkah lakunya yang menyerupai orang kehilangan sukma, Tian Mong-pek merasa makin kaget dan keheranan, tiba tiba dari belakang tubuhnya terdengar suara orang mendeham, ternyata Hek-yan-cu telah datang menghampiri.
Semenjak kehadiran Tu Hun-thian, paras muka Hek-yan-cu seketika berubah jadi tegang dan panik, saat inilah dia tarik ujung baju rekannya sambil berbisik: "Saudara tian, harap ikut aku." Tian Mong-pek memang ingin sekali berbincang dengannya, tanpa banyak bicara dia segera mengikuti di belakangnya.
Waktu itu, perhatian semua tamu yang hadir nyaris tersedot oleh kehadiran Tu Hun-thian, sehingga tak seorangpun yang memperhatikan mereka.
Hanya Ui Hau yang segera bertanya sambil tertawa get ir: "Toako, kenapa secara mendadak kau seperti orang kebingungan?" Sambil tertawa sela Ho Kun-kiat: "Biasanya, kalau orang sedang menghadapi kejadian yang menggembirakan, sikapnya pasti rada aneh.
Ayoh kita pergi minum arak, tak usah gubris dia lagi, biarkan saja mereka berdua berbincang bincang." Waktu itu, meja perjamuan telah dipersiapkan, Lau-san-sam-gan serta Kim Eng dan Ui Hau sekalian yang sudah lama terjun ke dunia persilatan, mempunyai teman lama yang cukup banyak.
Dengan cepat mereka sudah diseret untuk minum arak.
Tu Hun-thian ditempatkan pada meja utama, namun sikap dan gerak geriknya tetap serius, sinar matanya berulang kali bergerak kian kemari, seakan sedang mencari sesuatu.
Tian Mong-pek ditarik Hek-yan-cu menuju ke halaman belakang, saat itu malam sudah menjelang tiba, bintang bertaburan di angkasa.
Ternyata halaman belakang gedung keluarga Tong merupakan sebidang hutan yang amat lebat.
Hek-yan-cu menarik Tian Mong-pek masuk ke balik gunung-gunungan, kemudian ujarnya dengan nada ketakutan: "Saat ini, nyawa siaute sudah berada diujung tanduk, harap Tian-heng bersedia menolongku." "Bagaimana cara siaute menolongmu"' tanya Tian Mong-pek keheranan.
Setelah menghela napas panjang, kata Hek-yan-cu: II "siaute tidak boleh menikah dengan Chin Ki .
. . . . . .. Tergerak hati Tian Mong-pek, tanyanya tanpa sadar: "Jarak keluarga kalian berdua terpisah sejauh ribuan li, dihari biasa pun amat jarang berhubungan, kenapa secara tiba tiba bisa terjalin ikatan perkawinan?" Hek-yan-cu menghela napas panjang.
"Kelihatannya Chin Siu-ang ada butuh dengan keluargaku, maka berulang kali dia utus orang untuk mengajukan pinangan, ayahku tahu kalau dia merupakan satu satunya orang yang bisa memunahkan racun ganas akibat panah kekasih, tampaknya beliau pun berniat memperalat dirinya, maka ikatan perkawinan pun disetujui.
Tapi hal ini justru membuat siaute susah jadi orang." Tian Mong-pek tertawa getir, katanya: "Padahal saat inipun siaute merasa susah jadi orang, sewaktu adikmu minta aku datang melamarnya tempo hari, siaute masih menganggapnya sebagai II gurauan, siapa sangka .
. . . . . .. "Kini, urusan perkawinan hengtai sudah jadi kepastian, apa yang dikatakan Lo-cou-cong selamanya tak pernah dirubah.
Jadi dalam hal ini harap hengtai tak usah kuatir!" Tian Mong-pek tertegun, diam diam ia tertawa getir, pikirnya: "Bagaimana orang ini" Perkataanku tidak didengar secara baik baik, sekarang malah minta aku tak usah kuatir.
Apa bukan ingin aku jadi gila?" Tapi ingatan lain segera melintas, pikirnya lebih jauh: "Bagaimana pun, perkawinan ini hanya merupakan keinginan sepihak dan belum jadi kenyataan, paling kalau urusan jadi tak teratasi, aku bisa kabur secara diam diam dan memberi penjelasan lagi dikemudian hari." Berpikir sampai disini, tanpa terasa dia pun menjadi sedikit lebih lega.
Terdengar Hek-yan-cu berkata lebih lanjut: "Padahal siaute sudah mempunyai tambatan hati lain, bahkan sudah .
. . . .. aaai, sudah mengikat diri untuk sehidup semati .
. . . . .." "Siapakah nona ini" Apakah ayahmu tahu?" "Aaai, siaute bertemu dengan nona ini secara tak sengaja, kami jatuh cinta pada pandangan pertama, hingga kini, tak seorangpun anggota II keluargaku yang tahu .
.

Panah Kekasih Karya Gu Long di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

. . . . .. "Kalau memang begitu, dengan cara apa siaute dapat membantu hengtai?" "Saudara Tian kenal juga dengan nona ini." "Siapa?" tanya Tian Mong-pek terperanjat.
Hek-yan-cu menghela napas panjang.
Il "Aaai, dia adalah putri Tu Hun-thian .
. . . . .. "Tu Kuan?" jerit Tian Mong-pek makin kaget.
Sambil menghela napas Hek-yan-cu manggut-manggut, dia tundukkan kepalanya tidak menjawab.
Tian Mong-pek segera menghentakkan kakinya berulang kali, serunya: "Bagaimana .
. . . .. bagaimana jadinya sekarang" Kini dia berada di mana?" Ketika terbayang kembali bagaimana Tu Koan jadi kehilangan kesadarannya gara gara jatuh cinta kepadanya, pemuda ini merasa cemas bercampur gelisah, dia pun mengambil keputusan, bagaimana pun, urusan ini harus diselesaikan hingga tuntas.
Dengan wajah merengek kata Hek-yan-cu: "Karena kuatir orang lain mengetahui kejadian ini, maka kusembunyikan dirinya didalam ruang rahasia kamar bacaku, hingga kini sudah hampir tiga bulan lamanya." "Cepat! Cepat bawa aku kesana." Seru Tian Mong-pek sambil menghentakkan kakinya berulang kali.
"Lusa adalah hari pernikahanku, pengantin wanita pun sedang dalam perjalanan, saudara Tian, bagaimanapun kau .
. . . . .. kau harus mencarikan akal." Sementara pembicaraan berlangsung, dia sudah mengajak Tian Mong-pek melewati gunung-gunungan.
Meskipun diluar Tian Mong-pek mengiakan berulang kali, padahal perasaan dan pikirannya amat kalut, dengan menghadapi persoalan semacam ini, bagaimana mungkin ia bisa temukan cara untuk menyelesaikannya" Ditengah kegelapan yang mencekam halaman, lentera merah memancarkan cahayanya di empat penjuru.
Para pelayan yang menyajikan hidangan dan arak silih berganti berjalan melewati jalan setapak itu.
Tian Mong-pek dengan mengintil di belakang Hek-yan-cu, menggunakan pepohonan sebagai tempat persembunyian, berjalan tanpa arah dalam halaman itu.
Dia merasa bangunan itu amat luas seakan tak bertepian, tidak jelas seberapa luas tempat ini" Setelah menghela napas, kembali ujar Hek-yan-cu: "Untung didepan sedang ada keramaian, kalau tidak, tidak seleluasa ini kita berjalan dalam halaman bangunan ini." Agak terkejut pikir Tian Mong-pek: "Sungguh tak disangka perguruan keluarga Tong di wilayah Siok-tiong memiliki pondasi yang begitu kokoh, dia bisa menjadi tenar selama hampir seratus tahunan, hal ini benar benar bukan diraih karena keberuntungan." Sementara mereka berbincang, kedua orang itu sudah berjalan hampir dua, tiga perminum teh lamanya.
Didepan mata terbentang sebuah kolam, disisi kolam tumbuh pepohonan liu yang rindang, diantara kerindangan pepohonan terlihat ada tiga empat buah bangunan mungil.
Pemandangan disana sungguh bagaikan sebuah lukisan.
"Disinilah tempatnya." Ucap Hek-yan-cu sambil masuk lebih dulu.
Dalam bangunan itu tiada cahaya api, yang ada hanya dua lentera yang digantung diluar pintu dan bergoyang terhembus angin.
Hek-yan-cu mendorong pintu, mengambil sebuah lentera dan melangkah masuk.
Perabot dalam ruangan indah dan mewah, disisi kiri merupakan sebuah ruang baca yang mungil dan tertata apik.
Ketika Hek-yan-cu menyulut lentera dalam ruangan, Tian Mong-pek ikut melangkah masuk.
Tapi ruangan itu kosong, tak tampak sesosok bayangan manusia pun.
"Dimana dia?" tanya Tian Mong-pek agak gugup.
Hek-yan-cu tersenyum. ll "Dalam ruangan ini masih ada sebuah ruang rahasia.....
Sambil berkata dia dorong sebuah rak buku dan dibaliknya muncul lagi sebuah pintu.
Cahaya lampu dibalik pintu amat lembut, sinar yang lembut menyinari sebuah tempat tidur yang indah, bau harum lamat lamat tersiar di udara, jelas kamar tidur seorang gadis.
Tiba tiba terdengar Hek-yan-cu menjerit kaget, tubuhnya mundur sempoyongan.
Tian Mong-pek ikut terkejut, tanyanya gugup: "Ke.....
kenapa dia?" Ketika Hek-yan-cu berpaling, paras mukanya tampak pucat pias, bisiknya gemetar: "Paaa....
pagi tadi, ketika siaute keluar, dia masih berada disini, sekarang.....
kenapa dia menghilang?" Tian Mong-pek mencoba melongok ke dalam, selimut dan seprei diranjang tampak amat kalut, gula gula, aneka buah berserakan dimana mana, namun tak terlihat bayangan Tu Kuan.
Pemuda itu semakin terperanjat, sambil mencengkeram bahu Hek-yan-cu, serunya: "Mung....
mungkinkah lantaran kesal ditempat ini, dia keluar untuk jalan jalan?" "Tidak mungkin, selama hampir dua bulan lebih berada disini, dia belum pernah keluar dari ruangan, saban hari dia hanya .
. . . . . . .." Bicara sampai disini, air matapun jatuh berlinang.
Menyaksikan mimik wajahnya yang mengenaskan, tanpa terasa Tian Mong-pek mengendorkan cengkeramannya.
Terdengar Hek-yan-cu berkata lebih lanjut: "Siaute hanya kuatir jejaknya ketahuan ayahku, kalau sampai begitu.....
mungkin dia..... dia....." "Apa jadinya kalau sampai ketahuan ayahmu?" tanya Tian Mong-pek dengan wajah berubah.
Air mata berlinang semakin deras, kata Hek-yan-cu: "Hari perkawinan siaute sudah didepan mata, bila dia sampai ketahuan ayah, sudah pasti ayah tak akan membiarkan kehadirannya menggagalkan II perkawinan siaute .
. . . . .. "Betul," seru Tian Mong-pek terkejut, "ayahmu kejam dan telengas, kekejiannya sudah tersohor di seantero dunia, kau.....
mungkin saat ini kau hanya bisa memohon ayahmu, moga moga saja belum terlambat." "Mungkin Tian-heng belum tahu tabiat ayahku," ucap Hek-yan-cu dengan kepala tertunduk, "masih mendingan kalau siaute tidak pergi memohon, kalau sampai merengek kepadanya, mungkin apa yang dia lakukan akan jauh lebih keji." "Kalau kau tak berani, biar aku yang pergi bertanya." "Bila ayahku bersikeras menyangkal, apa pula yang akan Tian-heng lakukan?" Dengan perasaan panik bercampur gelisah, Tian Mong-pek hanya bisa menghentakkan kakinya berulang kali sambil menghela napas panjang.
"Andaikata terjadi sesuatu dengan dirinya, bagaimana mungkin aku Tian Mong-pek bisa menghadapi Tu Hun-thian?" "Hingga kini, kesadarannya masih .
. . . . .. masih kabur . . . . . .." kata Hek-yan-cu dengan air mata berlinang.
Mengetahui kalau gadis itu belum tersadar dari linglungnya, Tian Mong-pek merasa hatinya semakin sakit bagaikan diiris, kembali dia cengkeram bahu Hek-yan-cu sambil hardiknya: "Masa kau sama sekali tak punya akal?" Tiba tiba Hek-yan-cu jatuhkan diri berlutut, ujarnya: "siaute hidup dalam keluarga yang sarat dengan peratusan, sejujurnya aku tak bebas bergerak, tak bebas mengemukakan pendapat." Kemudian sambil menyeka air mata, lanjutnya: "Sekarang, selisih jarak dengan pernikahanku tinggal dua hari, mohon Tian-heng dalam dua hari ini berusaha untuk menemukan dirinya." "Kau suruh aku pergi ke mana untuk mencarinya?" "Dengan kedudukan Tian-heng dalam keluargaku saat ini, apalagi disukai Lo-cou-cong, gerak gerikmu pasti tak akan terikat peraturan, jika Thian mau menolong, siapa tahu kau dapat menemukannya kembali." Tian Mong-pek menghela napas panjang, pikirannya semakin kalut.
Sebenarnya dia ingin secepatnya terlepas dari urusan perkawinan yang membuatnya menangis tak bisa tertawapun tak dapat ini, tapi sekarang, Hek-yan-cu justru berharap dia menggunakan statusnya sebagai calon menantu untuk menemukan jejak Tu Kuan.
Sekalipun dia berniat menampik, namun bila teringat linglungnya Tu Kuan gara gara dirinya, jika gadis itu berpikiran waras, mana mungkin bisa terjadi peristiwa semacam ini" Untuk sesaat dia jadi serba salah, tapi urusan sudah jadi begini, keadaan memojokkan dirinya dan membuat ia tak punya pilihan lain, terpaksa untuk sementara dia harus menerima perkawinan yang menggelikan ini dan melanjutkan statusnya sebagai calon menantu kesayangan.
Kalau tak punya status istimewa ini, bagaimana mungkin dia bisa bergerak sembarangan didalam bangunan yang luas bagaikan samudra ini dan menemukan jejak Tu Kuan"
Bab 38. Perkawinan orang gagah dari dunia persilatan.
Sampai lama, lama kemudian, Tian Mong-pek baru mendongakkan kepalanya menghela napas panjang.
"Bila aku berhasil menemukan dia, tapi kau bersikap kejam lagi terhadapnya, apa yang akan kau lakukan?" "Tian-heng," teriak Hek-yan-cu girang, "jadi kau.....
kau bersedia membantu?" "Bersedia, tapi bila dikemudian hari kau sia-siakan dia lagi, biar harus mengejarmu sampai ke ujung langit, aku orang she-Tian tetap akan membunuhmu diujung pedangku." "Baik, baik, bila siaute tetap menyia-nyiakan dia, biar aku mati disambar geledek." "Bagus !" Sambil bangkit berdiri kembali Hek-yan-cu berkata: "Sebetulnya dalam halaman ini dipasang banyak perangkap dan jebakan, tapi dalam dua hari belakangan penjagaan akan diperlonggar, hanya ada satu tempat yang tak boleh Tian-heng kunjungi." "Mana?" Hek-yan-cu berjalan keluar dari ruangan, sambil menunjuk cahaya lentera ditempat ketinggian katanya: "Disana terdapat berapa buah bangunan yang merupakan tempat tinggal Lo-cou-cong, belakangan meski separuh badannya lumpuh hingga susah berjalan sendiri, namun ketajaman mata dan pendengarannya melebihi orang biasa.
Ilmu sakti It-jiu-ngo-am-gi (satu tangan lima senjata rahasia) yang pernah membawanya jadi tenar dikolong langit pun masih dikuasahi dengan sempurna, sehingga bila Tian-heng berada dalam radius tiga, lima kaki diseputar sana, kau musti lebih berhati-hati." "Apakah dia orang tua adalah Kim-pit-hud (Buddha berlengan emas) Tong Siong, Tong Bu-im yang telah mendirikan perguruan keluarga Tong pada lima puluh tahun berselang dan berhasil merobohkan Kanglam-su-kiam seorang diri?" tanya Tian Mong-pek terperanjat.
"Benar, memang dia orang tua.
Belakangan tabiat dia orang tua bertambah aneh, sekalipun ayahku sendiri, bila bertemu dia orang tua pun .
. . . . . .." Mendadak dari luar hutan Liu berkumandang suara tertawa merdu, lalu terdengar seseorang berseru: "Hei, kenapa kalian berdua kasak kusuk disana" Apakah sedang membicarakan persoalan yang tak boleh didengar orang lain?" Tian Mong-pek maupun Hek-yan-cu sama sama terperanjat, tampak Hui-hong-hong dengan memegang sapu tangan merahnya berjalan masuk ke dalam hutan.
Diam-diam Hek-yan-cu menyeka kering air matanya dan menjawab sambil tertawa paksa: "Hei pengantin baru, baru jadi pengantin masa kau sudah mengintil ketat suamimu" Bagaimana jadinya dikemudian hari?" "Kalau benar lantas kenapa" Matamu jadi merah?" sahut Hui-hong-hong sambil tertawa cekikikan.
Tian Mong-pek tertegun, sambil tertawa getir pikirnya: "Tak kusangka muka perempuan ini begitu tebal, ternyata berani mengakui secara terang terangan." Melihat Hui-hong-hong sedang mengerling kearahnya, buru buru dia melengos kearah lain.
Hui-hong-hong tertawa terkekeh, dengan goyangan pinggulnya yang genit, dia berjalan menuju ke depan Hek-yan-cu, kemudian katanya: "Kau tak perlu merah mata, sebentar lagi pengantin baru mu juga akan tiba." "Kau sudah minum arak." Tegur Hek-yan-cu dengan kening berkerut.
Il "Wah, tajam amat hidungmu .
. . . . .. sambil menutup bibirnya, Hui-hong-hong tertawa cekikikan.
Tiba tiba dia menggeleng, kembali ujarnya sambil tertawa, "Nah, hampir saja kelupaan, aku harus menyampaikan urusan penting kepadamu." "Urusan penting apa?" "Ayah sedang mencarimu dimana mana, katanya hendak dikenalkan dengan Li-hian-ciam (panah lepas dari busur) Tu locianpwee, kalau tidak segera kesana, hati hati makan gebukan." Berubah paras muka Hek-yan-cu, sambil balik badan dan menjura, serunya: "Panggilan ayah tak berani kubangkang, siaute segera ke sana." Diam diam ia memberi kerdipan mata kearah Tian Mong-pek kemudian buru buru berlalu.
"Hengtai, tunggu aku." Seru Tian Mong-pek gelisah.
Baru berjalan berapa langkah, ujung bajunya telah ditarik Hui-hong-hong.
Sambil menarik muka, Tian Mong-pek segera menegur: "Nona, jangan main tarik baju, kalau sampai ketahuan orang dan menjadi bahan pembicaraan, apa jadinya nanti?" "Hahaha, kalau ada orang luar, aku tak bakalan menggubris dirimu!" sahut Hui-hong-hong sambil tertawa cekikikan.
Setelah mengerling sekejap sekeliling tempat itu, kembali ujarnya sambil tertawa: "Sekarang, sekeliling tempat ini tak ada orang lain, kitapun sudah jelas statusnya, aku .
. . . . . .. aku tak tega untuk tidak datang mengurusimu." "Kalau begitu, silahkan nona bersikap lebih tega." Sambung Tian Mong-pek cepat.
Kontan Hui-hong-hong tertawa cekikikan.
"Aku tahu, kau kangen aku bukan" Maka sengaja aku beri kesempatan kepadamu untuk bermesrahan, daripada perasaan hatimu tergelitik gatal terus .
. . . . .." "Aku sangat nyaman, sama sekali tidak menderita." "Hihihi, kau ini memang .
. . . . .." kembali Hui-hong-hong tertawa cekikikan, "tak usah keras dimulut, memang aku tak tahu apa yang sedang kau pikirkan di dalam hati?" Tian Mong-pek tertegun, dia betul-betul dibuat tertawa tak bisa, menangispun tak dapat, pikirnya: "Dasar perempuan yang lagi mabuk asmara, cari penyakit buat diri sendiri, mungkin didunia ini tak ada orang kedua macam dirimu ini." Sementara itu Hui-hong-hong sudah cengkeram bajunya dengan tangan kiri dan menarik pergelangan tangannya dengan tangan kanan, ajaknya seraya tertawa genit: "Ayohlah ! " Dia mulai melangkah masuk ke dalam bangunan mungil itu.
"Mau apa nona?" tanya Tian Mong-pek melengak.
"Kita adalah calon suami istri, semisal mau bermesraan pun tidak jadi masalah, mau diketahui orang lain juga bukan urusan, kenapa kau musti takut?" Tak kuasa Tian Mong-pek ikut masuk ke dalam ruangan, berada dalam keadaan begini, dia tak bisa mengajaknya ribut atau mengumbar amarah, terlebih tak mungkin turun tangan menyakiti gadis itu, dalam hati dia hanya bisa mengeluh.
Dibawah cahaya lentera, paras muka Hui-hong-hong yang merah terlihat jauh lebih genit, jauh lebih merangsng daripada dihari biasa.
Kelihatannya gadis itu tujuh puluh persen berada dalam pengaruh arak, dia langsung tarik Tian Mong-pek masuk ke dalam kamar, ketika secara tiba tiba menyaksikan ruang rahasia dibalik rak buku, sambil tertawa geli serunya: "Alamak, tak disangka jiko memiliki tempat sebagus ini, ayoh kita duduk di dalam sana." Sambil merangkul tubuh Tian Mong-pek erat-erat, dengan sempoyongan ia berjalan masuk ke dalam ruang rahasia.
Peluh sebesar kacang kedele bercucuran membasahi wajah Tian Mong-pek, dia cemas bercampur panik.
II "Lepas tanganmu, pintanya, "aku janji tak akan pergi dari sini." Hui-hong-hong mengerlingnya berulang kali, lagi-lagi dia tertawa cekikikan.
"Aku mah tak kuatir kau bakal pergi, memang kau rela pergi begitu saja?" serunya.
Perlahan, dia pun melepaskan rangkulannya.
Diam-diam Tian Mong-pek menghembuskan napas lega.
Tampak Hui-hong-hong berjalan menuju ke depan cermin, disitu ia menoleh ke kiri dan kanan lalu tertawa lebar, setelah itu sambil berkerut kening dia pandang tubuh sendiri sambil merintih.
Menyaksikan tingkah laku gadis itu, Tian Mong-pek hanya bisa tertawa getir sambil gelengkan kepalanya berulang kali, baru saja akan ngeloyor pergi .
. . . . .. Tiba tiba terdengar Hui-hong-hong menghela napas panjang, sembari mengerling katanya: "Kau bisa mempersunting gadis semacam aku, sesungg uhnya terhitung rejeki mu memang bagus, bukan begitu?" "Betul, betul sekali, hokki ku memang sangat bagus." "Menurut kau, bagaimana paras mukaku?" tanya Hui-hong-hong lagi sambil picingkan mata.
"Cantik, amat cantik, hakekatnya cantik bagaikan burung hong." Sedang dalam hati, batinnya: "Apalagi kalau mulutmu lebih moncong, semakin mirip dengan seekor burung." Hui-hong-hong tertawa lebar, diambilnya sisir dari sisi cermin lalu menyisir rambutnya, mendadak seolah teringat akan sesuatu, teriaknya: "Aduhh.....
jangan jangan jiko menyembunyikan perempuan ditempat ini?" Tergerak hati Tian Mong-pek, cepat sahutnya: "Benar, ada seorang wanita." Kontan saja Hui-hong-hong tertawa cekikikan.
"Hihihi, tidak kusangka jiko yang penampilannya begitu sopan dan pakai aturan, ternyata perbuatannya begitu tak jujur, ke mana perginya perempuan itu" Aku jadi ingin sekali membandingkan wajahnya, bagaimana kalau dibandingkan aku?" "Tertinggal jauh kalau dibandingkan dirimu." "Sungguh?" seru Hui-hong-hong sambil melotot lebar dan tertawa, "darimana kau bisa tahu?" "Paras mukanya bukan saja sangat bersahaja, bahkan rada linglung." Hui-hong-hong melotot semakin lebar, teriaknya keras: "Darimana kau bisa tahu sejelas itu" Jangan jangan kau kenal dia" Terus terang beritahu aku, siapakah perempuan itu" Dimana ia sekarang?" Sengaja Tian Mong-pek menghela napas panjang.
"Aaai, padahal perempuan itu adalah saudara tua dalam suku ku, tapi sekarang aku sendiripun tak tahu kemana dia pergi?" "Jadi usianya lebih tua daripada dirimu?" "Tentu saja." I "Kalau begitu aku tak perlu kuatir,' seru Hui-hong-hong tertawa, "tak mungkin kau bisa menyukai seorang nenek." Kembali Tian Mong-pek menghela napas.
"Orang tua ku telah meninggal, didunia ini hanya dia seorang yang terhitung sanakku, bila dia bersedia hadir dalam perkawinan kita nanti, ooh, alangkah baiknya." "Itu mah gampang, akan kucari dirinya." "Ke mana akan kau cari?" "Asal dia masih berada dalam kebun ini, tanggung aku pasti akan menemukannya." "Sungguh?" seru Tian Mong-pek kegirangan, "hanya saja.....
hanya saja kalau lo-cou-cong sampai ikut tahu tentang hubungannya dengan kakakmu, urusan bisa semakin berabe." "Itu bukan masalah," janji Hui-hong-hong tertawa, "begitu ketemu, secara diam diam akan kuajak kemari, kau tak usah kuatir, dalam kebun ini, kecuali Lo-cou-cong, siapa pun aku tak takut." Tak tahan Tian Mong-pek tertawa lebar, pujinya: "Aku sudah tahu kalau kau memang seorang li-enghiong yang tak takut langit tak takut bumi, kecuali Lo-cou-cong, tak seorang pun bisa mengurusi dirimu." Dengan tatapan penuh rasa cinta Hui-hong-hong mengawasi wajah pemuda itu, tiba tiba ujarnya lagi sambil menghela napas: "Tapi.....
aku rada takut melihat sepasang matamu itu, sewaktu menatap aku, seolah kau melihat langsung tembus ke dalam hati." Tian Mong-pek mendeham berulang kali, cepat dia berpaling ke arah lain.
Tiba tiba Hui-hong-hong mulai melepaskan kancing baju sendiri, serunya sambil tertawa cekikikan: "Panas amat .
. . . . . . . . .." Lalu sambil menggapai kearah pemuda itu, ujarnya lagi manja: "Pinggangku agak linu, mau bukan pijitkan aku sebentar?" Sambil bicara, diapun merebahkan diri keatas ranjang.
Dibawah cahaya lentera, terlihat bajunya sebagian terbuka hingga tampak kulit badannya yang putih halus, sementara kerlingan matanya yang nakal, berulang kali menatap anak muda itu, sepasang pipinya berubah semerah gincu.
Buru buru Tian Mong-pek berpaling kearah lain, katanya: "Ini .
. . . . .." "Bagaimana pun, toh tinggal sehari lagi, bukan begitu?" rayu si nona sambil tertawa ringan.
Lagi-lagi dia melepas kancing bajunya, dengus napasnya mulai memburu.
"Ibu sering bilang, badanku lebih putih dari batu pualam, sepantasnya aku dipanggil Giok-hong-hong (burung hong pualam), bagaimana menurut kau?" Tian Mong-pek semakin tak berani berpaling, katanya dengan suara dalam: "Nona, disini .
. . . . . . .." Sekonyong-konyong dari kejauhan terdengar seseorang berteriak memanggil: "Tian siangkong, dimana kau" Ada banyak tamu sedang mencari mu untuk minum arak .
. . . . . .. Teriakan itu makin lama semakin mendekat, suaranya makin tambah nyaring.
Bagaikan mendapat pengampunan, buru buru Tian Mong-pek menyeka keringat sambil berkata: "Sudah kau dengar nona, terpaksa aku harus pergi." Hui-hong-hong membalikkan tubuh sambil bangkit berdiri, dengan jengkel ia mendepakkan kakinya berulang kali sambil menjerit manja: "Dasar setan berumur pendek, bukan tadi, bukan nanti, justru datang pada saat sekarang, bikin kacau semua urusanku." II "Tidak masalah, tidak masalah, masih ada kesempatan, sahut Tian Mong-pek cepat, "nona, jangan lupa dengan pesan yang kutitipkan padamu." Selesai berkata diapun berlarian keluar dari ruangan, sedikitpun tak berani menoleh.
Kini tinggal Hui-hong-hong seorang berdiri didepan cermin, mengawasi dirinya dengan termangu, gumamnya: "Setelah melihat tubuhku, masa dia tidak tertarik" Tidak tergerak hatinya?" Tiba tiba dia ambil cermin itu dan membantingnya keras keras ke lantai, dengan sempoyongan dia berjalan keluar dari ruangan, ketika terhembus angin sejuk, hawa arak pun memuncak ke otak, diiringi suara tertawa cekikikan, tubuhnya roboh terkapar di lantai.
Angin malam berhembus lewat, menyingkap bajunya yang terbuka, memperlihatkan dadanya yang putih mulut, birahi cinta yang sudah lama tersimpan, kini sudah tak mampu dibendung lagi.
Pada saat itulah, dari balik pepohonan terdengar suara langkah kaki manusia yang ringan.
Lalu terdengar seorang pemuda, dengan nada jengkel berkata: "Tian Mong-pek si bajingan cilik ini benar-benar dapet rejeki, sungguh menjengkelkan, kemanapun ku pergi, kenapa selalu bertemu dia" Bahkan setiap kali harus bersembunyi dan tak berani diketahui olehnya." "Kenapa harus gelisah?" sahut seseorang dengan suara yang tua serak, "cepat atau lambat ayah pasti akan carikan menantu yang bagus untukmu, agar kaupun bisa bergaya." "Aku sangka nona dari keluarga Tong ini sombong dan lagi tak cantik, pasti tak ada yang mau, melihat status keluarganya yang luar biasa, dengan susah payah aku menyusul kemari untuk manggaetnya, siapa tahu lagi lagi kedahuluan bajingan she-Tian itu.
Ayah, kenapa hal yang begitu sulit bagi kita untuk mendapatkannya, dia justru memperoleh tanpa membuang tenaga?" "Sabar.....
aaaai, tak usah gelisah .
. . . . .." Sementara pembicaraan berlangsung, dari balik hutan muncul dua sosok bayangan manusia, seorang tua dan seorang muda, mereka berdua mengenakan pakaian perlente.
Ternyata mereka tak lain adalah Hong Sin dan Hong It, ayah beranak.
Setelah diusir Siau Man-hong, kedua orang ini hidup bergelandangan dalam dunia persilatan, mencari kesempatan dimana-mana.
Kali ini, sebenarnya tujuan mereka datang ke sana adalah untuk meminang Hui-hong-hong, siapa sangka begitu kehadiran Tian Mong-pek, kesempatan itupun hilang dengan begitu saja.
Mereka tak berani muncul dihadapan Tian Mong-pek, takut jejaknya ketahuan pemuda itu, karenanya selama ini hanya bersembunyi kesana kemari.
Begitu mendengar Tian Mong-pek diundang ke depan untuk minum arak, kedua orang itupun segera menyelinap ke halaman belakang.
Kini, Hong sin yang bermata tajam telah menemukan tubuh Hui-hong-hong yang tergeletak setengah telanjang dibawah cahaya lentera, ketika menyaksikan dada si nona yang putih mulus, kontan sepasang mata Hong It melotot besar.
Hong Sin kembali celingukan kian kemari, yakin tak ada orang lain disitu, secepat kilat dia melompat maju ke depan dan memeriksa wajah si nona.
Begitu tahu siapa yang tergeletak disitu, dengan kaget bercampur girang teriaknya: "Aaah, nona Tong." "Kelihatannya nona cilik ini sedang mabuk," ucap Hong It sambil tertawa mesum, "tak nyana meski paras mukanya tidak cantik, namun perawakan tubuhnya begitu putih mulus dan montok." Satu ingatan melintas dalam benak Hong Sin, ujarnya kemudian sambil tertawa: "Ternyata Thian masih berpihak padaku, anak It, kesempatanmu telah tiba, tampaknya calon menantu keluarga Tong sudah bukan menjadi milik Tian Mong-pek." Setelah memeriksa lagi seputar tempat itu, perintahnya dengan suara
Setelah memeriksa lagi seputar tempat itu, perintahnya dengan suara dalam: "Cepat bopong dia masuk ke dalam hutan." Waktu itu Hong it sudah berjongkok dan siap menggerayangi tubuh si nona, mendengar perintah itu, dia mendongak sambil bertanya: "Buat apa dibopong?" "Buat apa?" umpat Hong Sin sambil tertawa, "masa untuk berbuat begituan pun musti ayah ajari?" Hong it jadi kegirangan setengah mati, serunya tertahan: "Ooh, aku tahu, aku tahu .
. . . .." "Baguslah kalau sudah tahu, ayoh cepat sedikit." II "Tapi....
urusan dikemudian hari . . . . . .. "Urusan dikemudian hari akan ayah atur sebaiknya, cepat lakukan, ayah akan menjaga untukmu...." Demi putranya, perbuatan apapun halal dia lakukan.
Dengan cepat Hong It membopong tubuh Hui-hong-hong dan lari menuju ke dalam hutan.
Hui-hong-hong yang tubuhnya dibopong seseorang, segera membuka sedikit matanya dan mendesis genit: "Aaah.....
kau sudah kembali?" Sambil pejamkan mata, tangannya mulai merangkul tubuh Hong It dan memeluknya erat erat.
Memandang bayangan tubuh kedua orang itu lenyap dibalik pepohonan, Hong Sin menghembuskan napas panjang, gumamnya sambil gelengkan kepala dan tertawa: "Anak It, bocah dungu ini, tampaknya siklus rejekinya sudah mulai membaik." Tak lama kemudian, dari balik hutan terdengar suara napas terengah engah diikuti jeritan Hui-hong-hong: "Mong-pak, kau pintar sekali.....
addduh! Sakit . . . . . . . .." Menyusul kemudian terdengar gadis itu menjerit lagi: "Kau.....
kau bukan Tian . . . . . .. aduuuh!" Terdengar Hong It tertawa puas, dengan napas tersengkal katanya: "Kini, nasi sudah jadi bubur, kau sudah menjadi milikku, buat apa mencari dia lagi?" Yang terdengar kemudian adalah suara rintihan Hui-hong-hong, rintihan kesakitan, gadis itu sudah tak mampu berbicara lagi.
Sekulum senyuman puas tersungging diwajah Hong sin yang licik dan keji.
Oo0oo Sungai Tiang-kang, arus yang deras menghantar sampan dan perahu berlalu lalang.
Setelah senja hari itu, terlihat sebuah perahu berlayar menuju ke hilir lalu bersandar di bandara Pa-sian.
Sepanjang pesisir bandar Pa-sian, berjajar perahu nelayan dan perahu penyeberang, tapi perahu itu berbeda sekali, hampir semua kayunya baru, cat nya jelas dan mencolok, sehingga sekilas pandang sudah terlihat perbedaannya.
Ruang perahu tertata apik dan mewah, korden yang halus dengan manik manik disana sini menunjukkan kalau perahu itu milik seorang hartawan yang kaya.
Waktu itu belasan buah lampu tembaga, memancarkan cahayanya menerangi seluruh ruangan.


Panah Kekasih Karya Gu Long di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Seorang kakek berambut putih yang berwajah aneh, dengan mengenakan jubah yang lebar dan nyaman, sedang duduk disisi meja sambil bersantap dengan lahapnya.
Aneka macam hidangan yang lezat dan mewah memenuhi seluruh permukaan meja, begitu banyaknya hidangan yang berlimpah, boleh dikata belasan orang lelaki pun tak akan habis dimakan, tapi kakek itu menikmatinya seorang diri.
Dengan tangan kiri menggenggam paha ayam, tangan kanan memegang cawan, tiba tiba ujarnya sambil tertawa tergelak: "Lam-yan, anak Uh hanya berlatih silat dan tak ingin bersantap, apakah kaupun sedang menemaninya untuk berpuasa?" Baru selesai perkataan itu, dari balik tirai terdengar seseorang menyahut sambil tertawa merdu: "Biarpun anak Uh ingin secepatnya menguasahi ilmu silat, tapi masih butuh juga nasi untuk makan." Diantara goyangan tirai, terendus bau harum semerbak, dari balik ruangan muncul seorang wanita separuh baya berbaju putih yang cantik menggandeng seorang gadis cantik yang berdandan seperti seorang pria.
Tampak gadis itu memegang sejilid buku, ujung bajunya digulung tinggi tinggi, jari tangannya putih lentik, pada jari manisnya terlilit sebuah cincin pualam sebesar kelengkeng, dia tak lain adalah Siau Hui-uh.
Sedangkan kakek berambut putih dan wanita cantik itu tak lain adalah Kim Hui dan Lam-yan suami istri.
Setelah meninggalkan bukit Kun-lun, Kim Hui yang sudah lama merasakan penderitaan dan siksaan yang tiada batas merasakan hatinya amat lega, sepanjang jalan dia pun pusatkan perhatiannya untuk menikmati semua kemewahan duniawi.
Setelah mengambil harta karun peninggalan Tiong-tiau-jit-oh maka sebagian harta itu dijualnya .....
dengan harta yang berlimpah, bagaimana mungkin Kim Hui yang sudah lama hidup terasing, tidak manfaatkan kesempatan ini untuk menikmatinya" Terdengar Lam-yan berseru sambil tertawa: "Coba kau lihat tampangmu sewaktu makan." "Hahaha," Kim Hui tertawa tergelak, "sudah dua puluh tahun aku hidup kelaparan, kalau sekarang tidak menikmatinya dengan baik, bukankah aku jadi manusia paling tolol di dunia ini." Lam-yan yang duduk disampingnya tiba tiba menghela napas panjang, ujarnya: "Tapi uang yang kau gunakan berasal dari harta karun yang disembunyikan tujuh manusia jahat dari Tiong-tiau, bagaimana pun hatiku merasa tidak enak." Dengan mata mendelik dan wajah bersungguh-sungguh, ujar Kim Hui: "Kalau harta karun ini tidak kumanfaatkan, masa disuruh membiarkan saja terbengkalai ditengah gunung terpencil" Lagipula nama Tiong-tiau-jit-ok dimasa lalu meski busuk, tapi harta yang mereka rampok bukan berasal dari harta yang tak halal, terlebih pada saat ini, kecuali aku seorang yang bisa menikmati, siapa lagi yang bisa menggunakan harta tersebut?" II "Aaai, perkataanmu selalu mencari menangnya sendiri .
. . . . .. gumam Lam-yan sambil gelengkan kepala dan menghela napas.
Siau Hui-uh yang mengikuti pembicaraan tersebut segera bertepuk tangan, katanya sambil tertawa: "Perkataan dari engku memang selalu paling benar.
Semisal aku jadi engku pun, aku tetap akan melakukan hal yang sama." II "Aah kamu ini, omel Lam-yan tertawa geli, "kalau begitu terus gaya dan sepak terjangmu macam laki-laki, aku kuatir Tian siangkong betul betul tak berani meminangmu." Merah dadu sepasang pipi Siau Hui-uh, teriaknya dengan mulut cemberut: "Kalau dia tak mau aku, memang aku mau sama dia" A-ie, kalau kau menyinggungnya sekali lagi, aku tak bakal menggubris dirimu lagi." "Hahahaha," Kim Hui mendongak dan tertawa terbaha k-bahak, "bibi tak akan menyinggung, kuatirnya justru kau yang bakal mengungkit dia." Tiba tiba dari luar pintu terdengar suara langkah manusia, Kim Hui segera menegur: "Apakah Ong Sam yang beli arak sudah kembali" Kenapa lama sekali" Ayoh cepat, cepat suruh masuk." Belum habis berkata, seorang lelaki berbaju hijau sudah melangkah masuk.
Sambil membawa seguci arak, kata orang itu: "Bukannya hamba tidak segera kembali, hanya saja sulit mencari tempat II yang menyediakan arak.....
"Apa" Kota sebesar inipun susah mencari arak?" teriak Kim Hui gusar, "kau ingin menipu ku?" "Sebetulnya gampang untuk membeli arak disini," kata lelaki berbaju hijau itu sambil tertawa, "tapi belakangan, keluarga Tong yang tinggal di selatan Un-swan sedang menyelenggarakan pesta perkawinan, jadi semua arak dikota telah mereka borong." "Keluarga Tong dari Siok-tiong adakan pesta perkawinan" Darimana kau tahu?" Kembali lelaki berbaju hijau itu menjawab sambil tertawa: "Sebenarnya akan mengawinkan putra mereka, tapi kemarin datang lagi seorang pemuda dari.....
dari marga Tian, maka putri mereka pun akan dikawinkan." Tergerak hati Siau Hui-uh, serunya tanpa sadar: "Tian apa?" "Konon dia adalah seorang enghiong muda yang ganteng dan gagah, disebut II bernama Tian.....
Tian apa Mong . . . . . . . .. "Tian Mong-pek"' berubah paras Siau Hui-uh.
"Betul, betul, Tian Mong-pek .
. . . . .." sekujur badan Siau Hui-uh bergetar keras, sedemikian terpukul hatinya hingga kitab yang dipegang pun ikut terjatuh ke tanah, sesudah termangu-mangu cukup lama, mendadak dia tertawa kalap sambil berteriak: "Bagus sekali! Tian Mong-pek, ternyata kau akan menikah?" Kemudian setelah berhenti tertawa, dengan ganas dia mendelik kearah Ong Sam sambil berteriak: "Apa yang kau tertawakan?" Saking kagetnya Ong Sam segera meletakkan guci arak ke meja lalu tergopoh gopoh mengundurkan diri.
Lam-yan menghela napas panjang, baru saja akan menghibur, Kim Hui telah mencegahnya.
Tampak Siau Hui-uh dengan mata melotot berjalan mondar mandir dalam ruang perahu.
Kim Hui berlagak tidak melihat, pun tidak menggubris, dia hanya asyik minum arak.
Tampak Siau Hui-uh seperti orang gila, sebentar tertawa dingin, sebentar menggerutu, gumamnya: Il "Bagus, bagus, paling bagus kau segera menikah .
. . . . . .. Tiba tiba ia menubruk ke pangkuan Lam-yan dan mulai menangis tersedu- seduh, jeritnya: "Tidak bisa, tidak bisa, dia tak boleh menikah dengan orang lain!" Sambil memeluk kencang Lam-yan, air matanya jatuh bercucuran dengan deras.
Dengan sedih Lam-yan menghela napas, bujuknya sambil membelai rambut gadis itu: "Anak Uh, kau .
. . . . . . .." Akhirnya tak sepatah katapun bisa diucapkan karena air mata sendiri sudah ikut bercucuran.
Tiba tiba terdengar Kim Hui tertawa terbahak-bahak.
"Hahaha, menggelikan, benar-benar menggelikan!" "Orang lain sedang sedih, kenapa kau malah mengatakan menggelikan?" tegur Lam-yan gusar.
"Kalau kekasih hati kabur ikut orang, seharusnya berusahalah untuk merebutnya kembali, kalau Cuma menangis, biar menangis sampai mati pun tak bakal kembali.
Sekarang kalian hanya tahunya menangis, bukankah hal ini sangat menggelikan?" "Kalau tidak menangis, memangnya masih ada cara lain?" "Tentu saja ada caranya, hanya sayang anak Uh kita tak suka orang menyinggung soal Tian Mong-pek, berarti dia pasti tak menyukai dirinya, kenapa aku musti repot repot pergi memikirkannya?" "Siapa bilang aku tidak menyukainya"' tiba tiba Siau Hui-uh mendongak sambil berteriak.
Kontan Kim Hui tertawa terbahak-bahak.
"Hahaha, oooh.. oooh begitu rupanya, ternyata kau menyukai dirinya." Dari menangis Siau Hui-uh jadi tertawa, ujarnya: "Aku menyukainya, sangat menyukainya, bukankah engku pengen aku mengucapkan perkataan itu" Aku sudah mengatakannya sekarang, aku memang tak tahu malu!" Lam-yan ikut tertawa.
"Dasar budak bodoh, masa dia ingin mendengar pengakuanmu, kau lantas berkata jujur" Eei, apa akalmu" Cepat katakan." "Anak Uh, angkat wajahmu, aku ingin tanya, jika kitab pusaka ilmu silat yang kutulis direbut orang, apa yang akan kau lakukan?" "Tentu saja merebutnya kembali." "Hahaha, tepat sekali, andalkan kepandaianmu dan rebut kembali.
Begitu dengan buku, begitu pula dengan manusia.
Jangan lagi Tian Mong-pek belum naik ke pelaminan, biar sudah naik pelaminan pun, kau tetap harus merebutnya kembali.
Coba bayangkan saja bibimu diwaktu itu, bukankah diapun nyaris direbut orang" Kalau bukan aku merebutnya cepat, hehehe...
II mungkin . . . . . .. II "Aduh mak, kau . . . . .. kau.... dasar edan, umpat Lam-yan sambil tertawa, "masa perkataan semacam inipun kau ucapkan" Tapi anak Uh adalah anak gadis, mustahil bisa binal macam kau." Kim Hui melotot besar, teriaknya: "Bila ingin mencintai seseorang, cintailah secara blak-blakan, toh perbuatan semacam ini sah sah saja, apa bedanya antara lelaki dan wanita?" Siau Hui-uh tertegun berapa saat, tiba tiba diapun berseru dengan nada keras: "Betul! Bagaimana pun, aku tak akan membiarkan dia kawin dengan orang lain, aku bersumpah akan merebutnya kembali." "Hahaha, betul, betul sekali," sambil bertepuk tangan K im Hui tertawa tergelak, "begitu baru perkataan seorang wanita sejati, kalau bisanya hanya menangis tersedu, kau bukanlah Siau Hui-uh kami." Lam-yan hanya bisa gelengkan kepala meski gembira dihati kecil, tak tahan ujarnya sambil tertawa: "Hanya orang sejahat kau yang bisa menemukan ide gila macam begini, hei, kapan kalian akan berangkat!" "Sekarang juga." Jawab Siau Hui-uh.
Kembali Lam-yan tertawa geli.
'I' n "Waah.... kenapa jadi begitu terburu napsu "Hahaha," ujar Kim Hui pula sambil tertawa tergelak, "memang seharusnya berangkat sekarang juga, begini baru menghebohkan.
Bocah gadis macam anak Uh begitu cantik dan menawan, aku sendiripun sampai ikut menyukai, kalau Tian Mong-pek bukan orang tolol, dia seharusnya lari mendekat setelah bertemu anak Uh." Setelah meneguk habis tiga cawan arak, sambil menggebrak meja tambahnya: "Kalau dia tetap goblok, biar lohu memenggal batok kepalanya." Lam-yan hanya bisa gelengkan kepala sambil tertawa.
"Kalau anak Uh bergaul terus dengan dirimu, kelihatannya dia bakal berubah jadi latah dan sinting macam kau." Setelah menghela napas, dia bangkit berdiri dan berkata: "Kelihatannya, akupun terpaksa harus menemani kalian berdua untuk berkunjung ke sana." "Siapa suruh kau jadi bibiku dan bininya?" kata Siau Hui-uh tertawa.
"Dasar budak edan, sekarang sudah senang?" Dengan langkah lebar Kim Hui berjalan menuju ke ujung perahu, disana dia mulai menggeliat.
Ketika angin malam berhembus lewat, dia merasa semangatnya bangkit kembali, pikirnya: "Setelah bermalasan banyak hari, kalau tidak segera menggerakkan badan, mungkin tulang belulangku bakal kaku semua." Tiba tiba dari kejauhan terdengar suara ujung baju tersampok angin, walaupun suaranya amat lirih, namun dalam pendengaran Kim Hui dapat terdengar dengan sangat jelas.
Sebagaimana diketahui, sudah dua puluh tahun dia terjerumus dalam kawah berlumpur, dalam jangka waktu yang begitu lama, dia merasakan kesepian yang luar biasa, dalam kesepian yang mencekam itulah ia justru berhasil melatih ilmu mendengaran yang tajam.
Biar suara serangga yang berada puluhan kaki jauhnya pun, ia dapat mendengar dengan jelas, apalagi si pejalan malam ini meski bergerak sangat hati-hati, namun ilmu meringankan tubuh yang dimiliki belum terlalu tinggi.
Terdengar si pejalan malam itu menghentikan langkahnya setelah tiba ditepi sungai, lalu bergumam lirih: "Nona, aku hanya melaksanakan tugas, setelah mati, kau jangan salahkan aku." "Permainan sandiwara apa itu?" batin Kim Hui dengan kening berkerut.
Sebagaimana diketahui, saat ini semangatnya sedang bangkit, dia memang ingin sekali mencampuri urusan orang.
Tanpa banyak bicara dia menggerakkan tubuhnya dan siap meluncur ke depan.
ll "Engku, kau . . . . .. seru Siau Hui-uh. "Sstt, jangan berisik," kata Kim Hui, "ayoh ikut aku melihat keramaian." Sementara berbicara, dia sudah meluncur ke depan dengan kecepatan tinggi.
Terdorong rasa ingin tahu, Siau Hui-uh segera mengintil dari belakang.
Ilmu meringankan tubuh yang dimiliki kedua orang ini sangat luar biasa, dalam sekejap mata mereka sudah meluncur sejauh puluhan kaki lebih.
Tampak ditepi sungai yang sepi dan terpencil, tampak berdiri seseorang.
," kata Kim Hui, "ayoh ikut aku melihat keramaian." sementara berbicara, dia sudah meluncur ke depan dengan kecepatan tinggi.
Terdorong rasa ingin tahu, siau Hui-uh segera mengintil dari belakang.
Ilmu meringankan tubuh yang dimiliki kedua orang ini sangat luar biasa, dalam sekejap mata mereka sudah meluncur sejauh puluhan kaki lebih.
Tampak ditepi sungai yang sepi dan terpencil, tampak berdiri seseorang.
Kim Hui dan siau Hui-uh segera menyembunyikan diri dan mengamati gerak gerik orang itu dengan seksama.
Dipunggung orang itu terlihat sebuah buntalan yang amat besar, saat itu dia sedang membuka buntalan itu, ternyata didalamnya berisikan seorang gadis berbaju sutera yang terikat kencang kencang.
Orang itu menatap gadis itu sekejap lalu menghela napas panjang, sambil menggeleng dan tertawa, katanya: "suruh aku menenggelamkan gadis secantik bidadari macam kau, sejujurnya aku merasa amat tak tega." sementara berbicara, dia telah mengumpulkan berapa buah batu besar dan dimasukkan ke dalam buntalan itu, kemudian gumamnya lebih lanjut: "Tapi toaya ingin melenyapkan dirimu, jadi aku pun tak berdaya lagi." Gadis itu tidak bersuara, sepasang matanya yang terbelalak lebar mengawasi taburan bintang di langit dengan termangu, dia pada hakekatnya tidak memikirkan mati hidup sendiri.
"Gadis itu aneh sekali .
. . . . .." bisik Kim Hui keheranan.
"Ayoh jalan, kita tengok ke sana." Ajak Siau Hui-uh.
"Hahaha, kelihatannya kau jauh lebih suka mencampuri urusan orang ketimbang aku." Dalam terawanya, dia sudah melesat maju dengan kecepatan luar biasa.
Ternyata bayangan manusia itu adalah seorang lelaki berbaju hitam yang berusia tiga puluh tahunan, saat itu dia siap menjejalkan tubuh si nona ke dalam buntalan ketika secara tiba tiba mendengar suara desingan angin muncul dari langit.
Dalam kagetnya, belum sempat membalikkan badan, urat nadinya sudah dicengkeram oleh telapak tangan sekuat baja, kontan seluruh tenaganya lenyap tak berbekas.
Mimpi pun dia tak menyangka kalau di dunia ini terdapat orang yang bisa menyerang secepat itu, dalam kagetnya dia membalikkan badan.
Tampak sepasang mata yang dingin menyeramkan bagaikan mata binatang buas sedang melotot kearahnya dengan garang.
Dalam ngerinya dia turunkan pandangan matanya, terlihat telapak tangan yang sedang mencengkeram urat nadinya itu penuh ditumbuhi bulu bulu panjang berwarna abu abu, tak ubahnya seperti cakar siluman iblis.
Kim Hui tertawa geli menyaksikan lelaki itu ketakutan, tegurnya dengan suara dalam: "siapa kau" Mengapa hendak mencelakai gadis itu?"\ Peluh dingin membasahi seluruh badan lelaki berbaju hitam itu, saking takutnya, sepasang giginya saling gemerutukan, seruny a tergagap: "Masalah ini .
. . . . .. masalah ini tak ada sangkut pautnya dengan hamba, hamba hanya melaksanakan perintah toaya." "siapa toaya mu?" "Tong .
. . . .. Tong..... Ti . . . . .. si tangan pencabut nyawa Tong Ti." "Apakah dia adalah anggota perguruan keluarga Tong?" tanya Kim Hui dengan kening berkerut.
sebagaimana diketahui, sudah lama ia tinggalkan dunia persilatan, kalau tidak, tak mungkin dia tidak mengenali nama orang tersebut.
"Dia adalah ciangbunjin perguruan keluarga Tong saat ini." Lelaki berbaju hitam itu menerangkan.
"siapa pula gadis ini" Mengapa Tong Ti hendak membunuhnya?" "Gadis ini punya hubungan gelap dengan sauya kami dan ketahuan loya, padahal sauya kami akan menikah, maka loya perintahkan hamba untuk membawanya ke tempat jauh dan menghilangkan jenasahnya, daripada kehadiran dia akan mengacaukan perkawinan sauya." sebetulnya dia termasuk orang yang cukup punya nyali, kalau berada dihari biasa, tak mungkin segampang itu dia mengaku, kalau bukan begitu, mana mungkin si Tangan pencabut nyawa Tong Ti menyerahkan urusan yang begini rahasia kepadanya" Tapi ditengah kegelapan malam yang begitu dingin, kemunculan Kim Hui yang bertubuh dan berwajah bagaikan binatang buas ini seketika membuatnya keder, seluruh keberaniannya hilang lenyap tak berbekas.
Oleh sebab itulah setiap pertanyaan yang diajukan Kim Hui, selalu dijawab secara jujur.
siau Hui-uh berdiri di belakang Kim Hui dan mengamati gadis itu lekat- lekat.
Ditengah kegelapan malam, terlihat nona itu memandang ke langit dengan wajah linglung, dia tidak berpaling, pun tidak memandang lawannya, seolah-olah semua yang terjadi saat itu sama sekali tak ada hubungan dengan dirinya.
Tergerak hati siau Hui-uh, tiba tiba jeritnya kaget: "Aah, rupanya dia." "Kau kenal gadis ini?" tanya Kim Hui seraya berpaling.
"Gadis ini adalah putri Tu Hun-thian, sewaktu berada dalam hutan bunga di Liu-tan-yan tempo hari, aku sempat berjumpa sekali dengannya.
Kenapa ayahnya tidak terlihat" sebetulnya gadis ini amat mencintai Tian Mong-pek, kenapa malah menjalin cinta gelap dengan keturunan keluarga saking kaget dan tercengangnya, dia hanya bergumam seorang diri tanpa memperhatikan perubahan wajah Kim Hui, dia tak tahu kalau sorot mata engku nya itu sudah berubah jadi beringas dan buas.
Menyaksikan mimik muka Kim Hui, lelaki berbaju hitam itu semakin ketakutan, bulu romanya bangkit berdiri.
sebaliknya Tu Kuan yang terikat kencang telah menurunkan pandangannya dan menatap Siau Hui-uh sekejap, tiba tiba sekulum senyuman menghiasi wajahnya.
"Tian Mong-pek, kau pun kenal dia?" tanyanya.
siau Hui-uh menghela napas sedih, ucapnya sambil tertawa getir: "Rupanya kaupun sudah lupa, hari itu .
. . . . . . .." Mendadak kembali Tu Kuan menghela napas panjang, air mata jatuh berlinang membasahi pipinya, dengan kepala tertunduk ia berbisik: "Tian Mong-pek .
. . . . .. aku tak akan bertemu kau lagi .
. . . . .." Menyaksikan air mata yang membasahi pipinya, timbul perasaan iba dalam hati siau Hui-uh, ujarnya sambil tertawa sedih: "Kini, kami telah selamatkan dirimu, kau masih berkesempatan untuk bertemu lagi dengan dirinya." "Aku tahu .
. . . . . .." Tu Kuan tertawa pedih, "tapi aku .
. . . .. aku sudah tak pantas untuk bertemu lagi dengan dirinya, aku.....
kini aku telah bersuami, sayang suamiku pun akan mengawini orang lain." siau Hui-uh tertegun, perasaan hatinya semakin sedih.
Membayangkan nasib tragis yang menimpa Tu Kuan, tiba tiba saja semangat menegakkan keadilan tumbuh kembali dihatinya, dengan lantang serunya: "Tidak masalah, aku akan membantu untuk merebut kembali suamimu." Tiba tiba terdengar Lam-yan berkata sambil tertawa: "Bagus sekali, kau bukan saja akan merebut kembali suami sendiri, bahkan akan membantu orang lain untuk merebut kembali suaminya....." Merah padam paras muka Siau Hui-uh, tiba tiba ia saksikan Kim Hui berdiri disitu dengan wajah mengerikan, dengan kaget jeritnya: "Engku!" sekujur tubuh Kim Hui bergetar, mendadak ia mendongakkan kepala dan tertawa seram.
"Tu Hun-thian wahai Tu Hun-thian, kau telah mencelakai diriku hingga mati tak bisa hiduppun susah, setelah lewat dua puluh tahun, tak disangka hari ini Thian memberi kesempatan kepadaku, membiarkan putrimu jatuh ke tanganku .
. . . . .." sepasang lengannya segera direntangkan, diantara suara ruas tulang yang gemerutuk, dia pentang ke sepuluh jari tangannya dan dihujamkan keatas batok kepala Tu Kuan.
secepat kilat siau Hui-uh menghadang jalan perginya sambil berteriak ngeri: "Engku, tidak boleh .
. . . .." "Kenapa tak boleh?" Kim Hui mencak mencak kegusaran, "ayahnya telah mencelakai aku, kenapa aku tak boleh mencelakainya?" Il "Tapi.....
tapi . . . . . .. "Biarpun ayahnya punya dendam dengan dirimu," ucap Lam-yan pula, "namun tak ada sangkut pautnya dengan gadis ini, jika kau berani menyentuhnya, sekarang juga aku akan mati dihadapanmu." Kim Hui tertegun, tiba tiba dia mencak mencak bagaikan hewan liar, rambutnya ditarik dan dijambak bagai orang gila, jeritnya: "Dua puluh tahun, dua puluh tahun, aku benciiiii .
. . . . . .." Walaupun wataknya beringas dan buas, namun sama sekali tak berani membangkang perkataan Lam-yan, dan dikolong langit saat ini, mungkin hanya Lam-yan seorang yang mampu membujuknya.
"Jika kau benci, seharusnya carilah Tu Hun-thian." Teriak Lam-yan keras.
sementara itu lelaki berbaju hitam tadi sudah berdiri terperangah, melongo seperti orang bodoh, selama hidup belum pernah ia jumpai lelaki sejelek ini tapi berilmu silat tinggi.
Biarpun pergelangan tangannya telah dilepas, namun tubuhnya tetap berdiri mematung, seakan sudah lupa untuk kabur, saat itulah tanpa sadar ia berteriak: II "Tu Hun-thian ada di keluarga Tong.....
Kembali tubuh Kim Hui bergetar keras, ia menghentikan mencak mencaknya dan berdiri melongo, kemudian sambil tertawa kalap jeritnya: II "Bagus, bagus sekali .
. . . . . .. sambil menuding Tu Kuan, lanjutnya: "Akan kubawa perempuan ini kehadapannya, akan kusuruh dia mengetahui semua keburukan yang dilakukan putrinya.
Hahaha... selama hidup tua bangka itu selalu bersih dan saleh, akan kulihat apa jadinya setelah II mengetahui keadaan putrinya .
. . . . . .. Tiba tiba dia cengkeram tangan lelaki berbaju hitam itu, bentaknya: "Kau ingin mati?" "Dirumah....
hamba.... hamba masih punya ibu yang tua .
. . . . .." jawab lelaki itu dengan wajah kecut.
"Hahaha, bila tak ingin mati, sekembalinya nanti jangan bilang kalau telah bertemu lohu, inipun demi kebaikanmu sendiri, kalau tidak, Tong Ti pun tak bakalan melepaskan dirimu." "setelah kembali nanti, akau hamba laporkan kalau nona Tu sudah mati .
. . . . .." "Begitu baru pintar, pergilah!" Pergelangan tangannya diayun, tubuh lelaki berbaju hitam itu seketika terlempar sejauh tiga kaki lebih dan bergulingan ditanah, buru buru dia merangkak bangun lalu melarikan diri terbirit birit.
Oo0oo Malam sudah kelam, bintang bertaburan diangkasa.
sebuah tiang bambu berdiri tegak diatas tanah lapang, bambu itu panjangnya mencapai tiga kaki dan disebut orang Ban-cu-lam-pian, cambuk selatan selaksa kaki.
Petasan yang panjang dipasang dari ujung tiang hingga mencapai permukaan tanah, ketika terhembus angin, petasan bergoyang tiada hentinya.
Dara Getting Married 2 Satria Lonceng Dewa 4 Dewi Tangan Jerangkong Dunia Yang Sempurna 1

Cari Blog Ini