Ceritasilat Novel Online

Panah Kekasih 17

Panah Kekasih Karya Gu Long Bagian 17


Kemudian sumbu pun disulut api.
serentetan suara letusan mercon pun bergema menggetarkan langit.
Hari ini adalah malam menjelang perkawinan si walet hitam Tong Yan.
semakin larut malam, perkampungan keluarga persilatan yang tersohor dikolong langit karena senjata rahasia beracunnya ini tampak semakin ramai, diluar gedung batu telah didirikan puluhan barak panjang khusus untuk menampung tamu yang berdatangan dari empat penjuru.
sepanjang radius satu li, terlihat kereta berlalu lalang tiada putus, hal ini membuktikan bahwa ketenaran keluarga persilatan ini tak pernah surut semenjak ratusan tahun berselang.
sekeliling bangunan batu yang kuno, disetiap pelosok halaman.....
hampir setiap sudut tempat dipenuhi kawanan jago yang bersendang gurau, bau harum arak memenuhi angkasa.
Makin larut malam itu, bau harum arak semakin kental, suara tertawa dan canda pun makin ramai.
Namun dibalik perkampungan yang luas ini, ada dua tempat yang selalu hening, tiada suara hiruk pikuk.
Yang satu adalah gua batu yang lebar dan luas ditepi tebing, walaupun tak seorangpun dapat melihat keadaan dalam gua itu, tapi setiap orang tahu kalau tempat itu merupakan tempat paling penting bagi keluarga Tong untuk membuat senjata rahasia.
Didepan gua batu terlihat enam belas orang murid yang melakukan patroli dan ronda, wajah mereka serius dan keren, biarpun tidak membawa senjata tajam, namun dipinggang mereka, dibalik jubah panjangnya tampak kantung senjata rahasia yang besar.
Bisa ditebak isi kantung itu adalah senjata rahasia paling beracun dari keluarga Tong.
Dengan begitu ketatnya penjagaan, siapa pula yang berani mengusik misai harimau dengan memasuki gua tersebut" Tempat kedua adalah berapa buah bangunan yang berada diatas tebing, walaupun tempat ini tak terlihat orang meronda, namun suasana disitu benar benar amat hening.
Tempat ini tak lain adalah tempat tinggal Lo-cou-cong, Kim-pit-hud sang Buddha berlengan emas sudah amat tersohor dijagad raya, siapa yang berani datang mengganggu" Malam sudah larut, bangunan yang megah itu sudah terbenam dibalik cahaya bintang, dari balik jendela terbias cahaya lentera yang nyaman, keramaian dan suara hiruk pikuk duniawi telah tersingkir diluar jendela.
Pada saat inilah, ditengah daerah terlarang keluarga Tong tampak sesosok bayangan manusia sedang bergerak mendekat.
Dia berjalan menerobos pepohonan, langkahnya tidak menimbulkan suara, tapi sorot matanya lebih tajam dari cahaya bintang, orang itu tak lain adalah Tian Mong-pek.
Disisi hutan terlihat pula sesosok bayangan manusia yang sedang mengendap dibalik pohon, ia sentilkan jari tangannya berulang kali.
"saudara Tong disana?" tanya Tian Mong-pek.
Baru selesai bicara, Hek-yan-cu sudah melompat kehadapannya, menggenggam erat tangannya sambil bertanya: "Bagaimana saudara Tian, apakah sudah mendapat kabar tentang dia?" Tian Mong-pek menghela napas.
"sebenarnya aku telah berhasil membujuk adikmu untuk bantu mencari, siapa tahu dalam semalam, diapun tak terlihat bayangan tubuhnya." "Mungkin dia pun tahu malu sehingga sepanjang hari bersembunyi dalam rumah, saudara Tian, apakah kau sudah mencari di tempat lain?" Kembali Tian Mong-pek mengangguk.
"siaute telah berusaha mencari disetiap pelosok, tinggal tempat ini." "Jangan sekali kali kau masuk kemari." Cegah Hek-yan-cu dengan wajah berubah.
"Dengarkan baik-baik," ujar Tian Mong-pek dengan wajah serius, "sebentar lagi, diluar sana bakal menyulut rentengan mercon, tadi siaute sudah mencoba, suara mercon yang panjang baru berhenti setelah hitungan ke dua puluh satu, bahkan suara itu mendengung sampai disini.
Dalam waktu sekian ini, sudah cukup bagiku untuk melakukan pemeriksaan atas lima buah bangunan, dengan suara mercon yang mengacaukan pendengaran lo-cou-cong, asal langkahku lebih berhati hati, rasanya jejakku tak bakal sampai ketahuan." "Tapi .
. . . .. tapi . . . . .. hal ini kelewat bahaya." Kata Hek-yan-cu bermandikan keringat dingin.
Baru selesai dia berkata, dari kejauhan sana sudah terdengar suara rentetan bunyi mercon.
"Aku pergi dulu . . . . .." bisik Tian Mong-pek, tubuhnya seringan asap menyusup ke bawah wuwungan rumah.
Dengan bermandikan keringat, Hek-yan-cu pentangkan matanya lebar lebar sembari menghitung: II "Satu, dua, tiga .
. . . . . . .. Menanti hitungan mencapai angka dua puluh satu, betul saja, suara rentetan mercon telah berhenti.
sementara itu Tian Mong-pek sudah bergerak ke depan, menyusup diantara bangunan yang ada.
Tapi semua jendela tertutup rapat, hingga hitungan ke tiga belas, ia belum berhasil menemukan apapun.
sementara hatinya sedang gelisah, tiba tiba dari balik jendela terdengar suara kakek itu berteriak: "Omong kosong .
. . . .. ambilkan gula gula . . . . .. hal semacam ini tidak boleh dilakukan." Menyusul kemudian terdengar suara kakek berjubah panjang itu.....
si Tangan pencabut nyawa Tong Ti berkata dengan suara rendah" "Tapi ikatan perkawinan ini sangat menguntungkan pihak kita, tapi dia bersikeras minta rumput pelumat impian sebagai mas kawin, ananda pun kehabisan daya." Waktu itu suara letusan mercon telah berhenti, Tian Mong-pek yang mendengar kata rumput pelumat impian, seketika menghentikan semua gerakannya, dia siap menyerempet bahaya untuk mendengarkan lebih lanjut.
Terdengar kakek itu berkata lagi: "Apapun yang terjadi, kita tak bisa menyerahkan rumput pelumat impian kepadanya, urusan lain bisa dirunding, tapi yang ini tidak! sudah tahu .
. . . . . . . .. ambilkan gula gula." ' seru Tong Ti.
Bab 39. Untuk melepas keleningan, carilah orang yang mengikatnya.
Kakek itu masih tetap mengunyah gula-gula, namun nada ucapannya semakin gusar.
"Tapi kenapa" Sumber bahan rumput pelumat impian sudah sangat minim, sedang senjata rahasia perguruan kita sangat membutuhkan bahan itu, buat apa orang she-Chin memerlukan rumput tersebut?" "Konon dia membutuhkan rumput itu untuk membuat obat pemunah Panah kekasih," sahut Tong Ti, "seandainya kita tidak berikan rumput itu, kemungkinan besar dia akan membatalkan urusan perkawinan." "Mau batal, biarkan saja batal." Teriak kakek itu gusar, "senjata rahasia merupakan darah dari perguruan kita, nyawa perguruan kita, urusan perkawinan terhitung apa" Kentut anjing, kentut anjing!" Semakin berbicara, dia semakin emosi: "Walaupun umat persilatan saat ini menganggap panah kekasih sebagai senjata rahasia paling hebat, namun kesemuanya itu hanya ilmu sihir dari golongan kiri, hanya pasir beracun dan sit-li beracun dari keluarga Tong merupakan nenek moyangnya segala jenis senjata rahasia beracun.
Nenek moyang sesungguhnya! Urusan apa pun yang ada dalam perguruan, harus mengutamakan senjata rahasia.
Inilah peraturan yang turun temurun dari nenek moyang kita, soal urusan perkawinan bocah, biarkan mereka urus sendiri." "Tapi para tamu undangan telah hadir .
. . . . . . . .." bisik Tong Ti tergagap.
"Tamu undangan, tamu undangan kentut, amgi! Amgi! Hanya senjata rahasia kita yang paling penting, tanpa senjata rahasia, apa artinya segala macam tamu undangan setan?" "Benar, benar .
. . . .. ayah, silahkan makan gula gula .
. . . . .." "Tidak mau, hmmm, hmmm, kau sangka orang she-Chin itu benar benar berani membatalkan perkawinan" Kalau dia berani mengatakan batal, akan kusuruh dia rasakan pasir beracunku." "Baik, baik .
. . . . . . .." "Bagus, semua perkataanku telah selesai, pergilah, Tian Mong-pek, masuk Il kau.
Tian Mong-pek terperanjat, hampir saja ia terjatuh dari atap rumah, mimpi pun dia menyangka dalam keadaan gusar, kakek itu masih dapat melacak jejaknya.
"Kreeek!" daun jendela terbuka, cahaya lentera memancar keluar dari dalam ruangan.
Sambil menggigit bibir dan mengeraskan kepala, Tian Mong-pek melompat masuk lewat daun jendela.
Ternyata kamar itu luas sekali, tapi dalam ruangan yang luas itu hanya terdapat sebuah balai tidur yang besar, sebuah meja pendek dan tumpukan gula gula diatas meja itu.
Tong Ti benar benar sudah pergi dari situ.
Kakek berambut putih itu duduk santai diatas tempat tidurnya, dengan mata setajam kilat dia awasi Tian Mong-pek dan teriaknya keras: "Hahaha, besar amat nyalimu, suruh kau masuk, kau langsung saja masuk." Tian Mong-pek tertawa getir.
"Biar tidak berani masuk pun, tetap harus masuk kemari." sahutnya.
"Sudah kuduga sejak akal kalau kau bakal kemari.
Aku dengar kau sedang kasak kusuk dengan cucu kecil ku itu, apakah kau sedang membantunya menemukan kembali perempuan itu?" Tian Mong-pek terperanjat, pikirnya: "Tajam amat pikiran orang tua ini." Belum sempat menjawab, kakek itu kembali berteriak: "Benar tidak" Cepat katakan, benar tidak?" "Benar." Jawab Tian Mong-pek lantang.
Agaknya kakek itu yang dibikin tertegun, lama sekali dia melototi pemuda itu, mendadak jeritnya: "Hahaha, bocah muda, kau berani mengaku, ternyata kau berani mengakui?" "Kenyataan memang begitu, kenapa tak berani mengaku?" Sorot mata kakek itu semakin garang, bentaknya: "Tahukah kau, dosa apa yang telah kau langgar dengan sembarangan mengintip ruanganku ini?" "Apa pun dosanya, akan kupikul seorang diri." "Seandainya kau kemari karena dipaksa dia, mungkin hukumanmu dapat diperingan, kalau tidak.....
hhmm, hhhm....." Sambil membusungkan dadanya jawab Tian Mong-pek: "Aku datang secara sukarela, sama sekali tak ada hubungannya dengan dia, bila aku tak mau kemari, siapa pun tak ada yang bisa memaksa diriku." Sekali lagi kakek itu melotot dengan garang, mendadak ia tertawa terbahak-bahak.
"Hahaha, anak muda, ambilkan gula gula.....
cepat, kau pun makan sepotong." Tanpa berpikir panjang Tian Mong-pek mengambilkan gula gula untuk kakek itu kemudian mengambil lagi sepotong untuk dirinya.
"Jangankan gula gula," demikian ia berpikir, "biar racun yang mematikan pun tetap akan kumakan." Dengan cepat dia jejalkan gula gula itu ke dalam mulut, mengunyahnya lalu ditelan.
Tampak kakek itu pejamkan matanya sambil asyik mengunyah gula gula, sembari mengunyah, dia mengangguk berulang kali, seakan sudah lupa kalau Tian Mong-pek masih berada didepan mata.
Tian Mong-pek berusaha tetap sabar, diapun tidak berbicara.
Angin berhembus masuk lewat jendela, menggoyangkan lidah api lentera diatas meja.
Mendadak kakek itu angkat tangannya dan mengayun perlahan, tidak terasa ada hembusan angin, tahu tahu kedua belah daun jendela itu sudah menutup sendiri.
"Wah, sempurna amat tenaga dalam yang dimiliki kakek ini." Pikir Tian Mong-pek sambil menarik napas dingin.
Kalau berbicara soal kedahsyatan tenaga pukulan, tentu saja Lan Toa-sianseng orangnya, tapi pukulan kakek ini tidak menimbulkan suara, tatapan matanya seperti tak bertenaga, kelembutan serangannya belum pernah disaksikan Tian Mong-pek selama ini.
Tampaknya kakek itu sedang dirundung banyak masalah, setelah menutup jendela, kembali dia termenung sambil bergumam: "Rumput pelumat impian, kenapa dia buru buru menginginkan rumput pelumat II impian .
. . . . . . .. Tian Mong-pek kebingungan, mendengar gumaman itu, dia tak mampu menjawab.
Setelah jendela ditutup, dari dalam ruangan mulai terendus bau amis darah yang tawar, dalam kagetnya pemuda itu memandang sekejap sekeliling ruangan.
Ia segera menemukan kalau diatas sepasang kaki kakek itu terbungkus selapis kulit berbulu, kalau dilihat dari warnanya, kulit itu seolah baru saja disayat hidup hidup dari tubuh kambing atau anjing.
Hanya saja karena kakek itu duduk bersila, maka kalau tidak diperhatikan, susah ditemukan hal itu.
Kelihatannya sepasang kaki kakek itu sudah terserang rematik yang parah sehingga sama sekali tak mampu bergerak.
Sementara dia masih berpikir, tiba tiba terdengar kakek itu menghela napas seraya berkata: "Saat minum obat sudah tiba." Sepasang tangannya segera bertepuk perlahan, demikian perlahan sampai Tian Mong-pek yang berdiri dihadapannya pun mendengar suara itu lembut sekali.
Meski kedengaran lembut dan perlahan, ternyata suara itu terdengar hingga tempat yang jauh sekali.
Tak lama kemudian terdengar suara derap kaki kuda makin mendekat, lalu terlihat tirai disingkap orang, diluar pintu telah berdiri Hui-hong-hong yang sepanjang hari ini tak pernah tampilkan diri.
Dia menuntun tali les kuda, tapi begitu melihat Tian Mo ng-pek, gadis itu seketika menghentikan langkahnya.
"Dasar budak bodoh," umpat kakek itu sambil tertawa, "dia sudah menjadi orang sendiri, kenapa masih ingin menghindar?" Diam diam Tian Mong-pek tertawa getir, namun mau tak mau dia harus menyapa sambil tertawa.
Siapa tahu Hui-hong-hong langsung berjalan masuk, gadis itu sama sekali tidak melirik kearahnya.
Tian Mong-pek sangat keheranan, tapi dia lebih tercengang ketika melihat kuda yang dituntun gadis itu ternyata tak lain adalah kuda Ci-kilin.
Hanya saja kuda jempolan ini sama sekali tak bersemangat, semua kegagahannya dimasa lalu kini sudah sirnqa, ketika bertemu Tian Mong-pek, agaknya kuda itu masih mengenalnya hingga meringkik lirih.
Dengan perasaan tak habis mengerti pikir Tian Mong-pek: "Orang tua ini mau minum obat, kenapa dia datang menuntun kuda?" Terlihat Hui-hong-hong dengan tangan kiri membawa baki kumala, tangan lain mencabut tusuk konde dari rambutnya, tiba tiba dia tusuk pantat kuda itu dalam-dalam.
Kelihatannya kuda itu sudah dibikin hilang rasa sakitnya dengan obat bius, ternyata tusukan itu tidak menimbulkan kesakitan, setelah cabut keluar tusuk kondenya, dengan baki kumala Hui-hong-hong menerima cucuran darah yang mengalir keluar dari pantat kuda.
Tak lama kemudian, baki kumala itu sudah dipenuhi dengan darah segar.
Kembali Hui-hong-hong mengambil selembar koyo dan "Plakk!" ditempelkan diatas mulut luka di pantat kuda, sedang baki penuh berisikan darah itu dihantar ke hadapan si kakek.
Dengan segera orang tua itu menerima baki kumala itu dan dengan sekali tegukan, dia minum habis semua darah segar itu.
Menyaksikan kejadian ini, Tian Mong-pek berdiri tertegun dengan mata terbelalak, untuk sesaat dia tak mampu bersuara, pikirnya: "Tak heran kalau cahaya kuda ini semakin layu dan kusut, tapi....
kenapa orang tua ini harus minum darah kuda?" Terdengar orang tua itu berseru sambil tertawa terbahak-bahak: "Hahaha, kuda, wahai kuda, terpaksa aku harus menyiksa mu." Kemudian sambil berpaling kearah Tian Mong-pek, tanyanya: "Kau merasa agak sakit hati bukan?" "Betul, kau memiliki begitu banyak kuda, kenapa harus minum darah kuda ini?" "Hahaha, anak kecil tahu apa" Aku orang tua membutuhkan waktu tiga tahun untuk memelihara kuda ini menjadi kuda obat, kalau tidak kuminum darahnya, lantas darah itu untuk apa?" "Kuda obat?" tanya Tian Mong-pek tercengang.
"Selama tiga tahun terakhir, rerumputan yang dimakan kuda ini merupakan obat mujarab yang mimpi pun orang biasa tak mungkin mendapatkannya, setelah menikmati kemanjaan selama tiga tahun, sepantasnya kalau sekarang sedikit agak menderita." Tian Mong-pek segera tersadar tentang apa yang terjadi, pikirnya: "Tak heran kalau semua anggota keluarga Tong memandang kuda ini begitu berharga dan berusaha untuk merebutnya kembali, aku rasa kakek ini pasti mengalami cau-hwe-jit-mo sewaktu berlatih semacam ilmu berhawa dingin sehingga latihan yang berlebihan membuat hawa racun menyusup ke dalam tulang.
Kini, dia berusaha dengan segala cara untuk mengusir hawa dingin dalam kakinya.
Tapi... kalau memang kuda ini adalah kuda obat, mengapa dibiarkan berlarian di jalan raya?" Terdengar kakek itu berkata lagi dengan suara keras: "Sepanjang hari kau berlalu lalang dalam dunia persilatan, pernah dengar tentang wilayah dalam kangouw yang disebut Hui-pun(baskom api)?" "Belum pernah." "Ditengah wilayah baskom api, hidup seorang tabib yang bernama Leng Yok-su, pernah dengar?" Kembali Tian Mong-pek menggeleng.
Kakek itu segera tertawa terbahak-bahak, ujarnya: "Hahaha, ternyata pengetahuanmu cupat sekali, masa sampai tokoh manusia yang begitu hebat dan wilayah yang begitu hebat pun belum pernah tahu." Sesudah berhenti sejenak, tiba tiba tanyanya lagi: "Kalau rumput pelumat impian tentunya sudah pernah mendengar bukan?" Tergetar hati Tian Mong-pek mendengar pertanyaan itu, tanyanya tanpa sadar: "Apa hubungannya rumput pelumat impian dengan wilayah Baskom api?" Kakek Tong tertawa.
"Yang disebut wilayah baskom api jauh berada di daerah Sinkiang, orang luar menyebutnya sebagai negeri Turfan, tempat itu selain rendah bahkan panas sekali, biar sudah berendam dalam air dingin pun kau masih bisa berkeringat, bagi orang awam, mungkin hidup sehari pun sudah tak tahan, tapi semangka dan anggur yang dihasilkan wilayah ini manisnya bagai madu, bila teringat soal ini, aku si orang tua akan menelan air liur." "Klukukl" betul saja, orang tua ini benar-benar menelan air liur.
Sesaat kemudian baru lanjutnya: "Thian memang maha agung, setiap ciptaannya selalu aneh dan sukar diterima dengan nalar, walaupun rumput pelumat impian merupakan benda beracun bersifat dingin, tapi tumbuhan ini justru tumbuh dan hidup di wilayah terpaling dan terkering, tapi kalau tiada Leng Yok-su si manusia aneh ini yang menanam dan memeliharanya, mungkin berapa tahun lagi rumput tersebut akan menjadi barang langka." "Tokoh macam apa pula Leng Yok-su itu?" kembali Tian Mong-pek merasakan hatinya tergerak.
Kakek itu tertawa terbahak.
"Orang ini bermarga Leng bernama Tam, sesuai dengan namanya, dia adalah batu arang dingin dibawah baskom api, selain keras, anehnya bukan kepalang.
Kalau orang lain selalu mencari tempat tinggal yang nyaman, maka dia justru hidup di Baskom api yang merupakan wilayah terendah, wilayah terpanas.
Kalau orang lain memelihara bunga yang indah, dia justru menanam rumput pelumat impian yang paling beracun dan paling jelek.
Dia pun tak pernah berhubungan dengan orang persilatan, tapi asal ada orang berani mengacau di wilayah baskom api, tanggung tak satu pun yang bisa keluar dari situ dalam keadaan hidup." "Karena apa dia menanam rumput pelumat impian?" tanya Tian Mong-pek terheran-heran.
"Tujuannya tidak membiarkan orang lain pergi menanamnya, kalau orang memintanya, jangan harap dia akan memberi.
Sekalipun orang ini aneh, tapi justru cocok sekali dengan seleraku, oleh karena itu setiap kali keluarga Tong kami membutuhkan rumput pelumat impian, walaupun terkadang banyak terkadang sedikit, namun aliran pengirimannya tak pernah putus, bukan hanya begitu, setelah dia tahu kakiku terserang racun hawa dingin, dia pun menanam kembali berapa jenis obat obatan di wilayah Baskom api untuk mengobati sakitku.
"Hanya sayangnya, bahan obat obatan tersebut bukan saja tak bisa tumbuh ditanam ditanah, bahkan akan menjadi layu setelah terhembus angin, begitu layu, semua kasiatnya akan lenyap.
"Akhirnya dia pun mendapat ide untuk mengkonsumsikan bahan obat obatan itu kepada kuda, agar kuda itu berubah jadi kuda obat, kemudian oleh utusan yang kukirim, kuda obat itu dituntun balik kemari.
Hahaha, kalau bukan gara gara kuda obat ini, mungkin hari ini kau si bocah muda pun tak bakal bisa bertemu aku si orang tua." Dia bercerita dengan begitu bangganya, tapi setelah berbicara sampai disini, napasnya mulai tersengkal.
Tak seorangpun yang tahu, napas yang tersengkal itu memang disengaja atau napasnya memang putus" Tian Mong-pek sendiripun tergerak hatinya oleh kisah cerita itu, pelbagai ingatan berkecamuk dalam benaknya, hanya saja yang dia pikirkan adalah sangkut paut antara panah kekasih, rumput pelumat impian dengan Leng Yok-su.
Tiba tiba terdengar kakek itu bergumam: "Sayangnya, Leng Yok-su sudah enggan menanam rumput itu lagi, tampaknya dikemudian hari, rumput pelumat impian benar-benar akan menjadi barang langka yang tak ternilai harganya .
. . . . . . .." "Kecuali Leng Yok-su, apakah tak ada orang lain yang menanam rumput ini?" mendadak Tian Mong-pek bertanya.
"setahuku, masih ada satu orang lagi yang menanam." "Siapa?" tanya Tian Mong-pek dengan perasaan tegang.
Sebagaimana diketahui, tanpa rumput pelumat impian, tak mungkin panah kekasih bisa dibuat, itu berarti orang yang menanam rumput itu pasti mempunyai hubungan yang luar biasa dengan pembuat panah kekasih.
Kakek itu tertawa. "Menyinggung tentang orang ini, diapun terhitung makhluk aneh, sebetulnya dia merupakan sepasang saudara kembar yang lahir pada saat yang sama, namun setelah tumbuh dewasa, watak dan perangai mereka berbeda, apa mau dikata mereka pun pada saat yang sama jatuh cinta pada seorang wanita yang sama.
"Ceritanya, perempuan itupun terhitung seorang mak hluk aneh, hatinya keji, telengas dan buas, perbuatan jahat apapun sanggup dia lakukan.
Gara gara perempuan ini, dua bersaudara itu boleh dibilang sudah kenyang menderita, tapi pada akhirnya mereka berhasil membuat perempuan itu terharu, namun kesulitan dan masalah masih muncul terus sepanjang tahun." Dia seakan berbicara sangat asyik hingga kisah itu ditutukan tanpa jedah.
"Bayangkan saja, perempuan itu hanya mempunyai satu badan, mana mungkin bisa mengawini dua bersaudara sekaligus" Akhirnya sang lotoa bersedia mengalah, siapa tahu sang loji tetap bersikeras menampik.
"Karena dua bersaudara itu saling mengalah, akhirnya tak seorangpun diantara mereka yang menikahinya, tapi mereka pun tak rela membiarkan perempuan itu kawin dengan orang lain, maka mereka pun membawa kabur perempuan ini.
"Dimasa lalu, biarpun perempuan ini akan romantis, tapi saat inipun dia sudah matikan perasaan, secara sukarela hidup bersama dua bersaudara itu, selama dua puluh tahunan belum pernah turun gunung selangkahpun.
"Tapi para musuh perempuan itu berhasil juga melacak tempat persembunyian mereka, rombongan demi rombongan berdatangan menyatroni dua bersaudara itu.
"Sayang ilmu silat yang dimiliki dua bersaudara ini kelewat tinggi, tak seorangpun musuh yang menyatroni berhasil pulang dengan selamat.
Namun "Sayang ilmu silat yang dimiliki dua bersaudara ini kelewat tinggi, tak seorangpun musuh yang menyatroni berhasil pulang dengan selamat.
Namun belakangan, kabar berita mereka bertiga sudah mulai sirna dari dunia persilatan, mungkin sudah tak ada yang berani naik gunung mencari gara gara." Tiba tiba satu ingatan melintas lewat dalam benak Tian Mong-pek, tanyanya tanpa sadar: "Apakah perempuan itu gemar mengenakan gaun merah" Apakah dua bersaudara itu adalah Kun-lun-siang-coat?" Kakek Tong tertegun, tapi segera tertawa tergelak.
"Hahaha, tidak nyana dengan usiamu yang masih muda, tak sedikit Bu-lim cianpwee yang kau ketahui, bahkan sampai kisah tentang si ular merah bergincu pun tahu dengan jelas." Bayangan bukit Kun-lun, tingkah laku serta setiap ucapan perempuan berbaju merah itu, dengan cepat melintas kembali dalam benak Tian Mong-pek.
"Aah benar," demikian ia berpikir, "kalau memang dimasa lampau perempuan itu mempunyai julukan si ular merah bergincu, tentu saja Kun-lun- siang-coat menyangka akupun termasuk keturunan dari para musuh besar perempuan itu dimasa lampau yang datang mencari balas ketika aku bertanya kepada mereka untuk minta seekor ular beracun berwarna merah, beruntung sekali .
. . . . . . ..aaai! sudah pasti Yo Swan sudah tahu tentang pantangan dari dua bersaudara itu hingga sengaja mengajarkan perkataan itu kepadaku, agar aku membuat gusar mereka." Biarpun dia sudah sadar tentang intrik busuk Yo Swan, namun bila teringat perhatian dan kasih sayang Yo Swan kepadanya, terlepas pura pura atau sungguhan, hatinya tetap menaruh perasaan terima kasih kepadanya.
Tampaknya kakek itu kembali terjerumus ke dalam kenangan lama, dengan wajah senyum tak senyum gumamnya: "Entah sampai dimana kehebatan Lak-yang-ciang-hoat milik Kongsun Thian-heng saat ini?" Seolah memahami akan sesuatu, tanya Tian Mong-pek: "Apakah rumput pelumat impian sama sepergi bunga seruni Giok-hu-han-kiok, dibutuhkan tenaga Kun-lun-lak-yang-ciang agar bisa tumbuh ditanah?" "Betul, darimana kau bisa tahu?" "Aaai," Tian Mong-pek menghela napas, "tak lama berselang, boanpwee sempat bertemu dengan mereka." Berkilat sepasang mata kakek itu, kelihatannya dia jadi tertarik, sambil tepuk tangan katanya: "Tidak gampang untuk berjumpa dengan mereka, apakah hingga kini mereka bertiga masih tinggal bersama?" "Mereka bertiga membuat pondok masing masing diwilayah yang sama," sahut Tian Mong-pek, "tapi ketiga buah bangunan itu hanya memiliki satu pintu masuk, jadi mereka bertiga pun hanya bisa masuk keluar melalui satu pintu." "Hahaha, betul, dua bersaudara itu sembari saling mengalah, mereka pun saling bersiaga, kuatir ada satu pihak yang berhubungan lebih mesra, tak nyana kedua orang ini sampai tua pun tak bisa mengubah perangi muda nya." Setelah tertawa terbahak-bahak, mendadak tanyanya lagi: "Sejak dulu, Kongsun Thian-heng dengan si ular bergincu adalah sepasang kekasih yang sering ribut, apakah sampai sekarang pun belum pudar perselisihan mereka?" Kembali Tian Mong-pek terbayang bagaimana perempuan berbaju merah itu minta dia untuk menghancurkan ladang bunga seruni milik Kongsun Thian-heng, tak kuasa sahutnya sambil tertawa keras: "Tampaknya, bukan saja belum mereda, bahkan pertikaian mereka semakin menghebat." "Betul, betul," seru si kakek sambil bertepuk tangan, "si ular bergincu gemar warna merah, paling benci warna kuning, karen a itulah Thian-heng si tua bangka itu sengaja menanam bunga seruni kuning untuk membuatnya mendongkol." Agaknya kakek itu sedang mengenang kembali kejadian masa lalu yang menggembirkan, sekali lagi ia tertawa terbahak bahak.
Mendadak sambil menghela napas dengan nada berat, katanya: "Moga-moga saja kecuali menanam bunga seruni, diapun tidak lupa menanam rumput pelumat impian." "Rasanya belum pernah kulihat dia menanam rumput pelumat impian." Kata Tian Mong-pek setelah berpikir sejenak.
"Hahaha, bocah cilik tahu apa, sekalipun si tua bangka itu sudah tanam rumput pelumat impian, dapat dipastikan dia tak akan membiarkan bocah cilik macam kau untuk melihatnya." Tian Mong-pek berpikir: "Karena ada orang kedua yang bisa menanam rumput ini, berarti semua suplay rumput pelumat impian yang dipakai untuk membuat panah kekasih, belum pasti seluruhnya diperoleh dari Leng Yok-su." Kalau dilihat dari mimik muka kakek ini kemudian dipikirkan dengan seksama, terasa kalau diantara Kun-lun-siang-coat, si ular bergincu, Lan Toa-sianseng, kokcu lembah Kaisar, Leng Yok-su, Tiau-yang hujin, Liat-hwe-hujin serta kakek dari keluarga Tong seolah mempunyai ikatan yang rumit dan ikatan rumit ini sedikit banyak menyangkut rahasia Panah kekasih, hanya saja hubungan tersebut kelewat ruwet dan rumit sehingga untuk sesaat sulit dipilah.
Apalagi dalam hubungan yang amat pelik ini, ditambahkan pula budi dendam dengan Tujuh manusia terkenal serta satu-satunya orang yang bisa memunahkan racun panah kekasih, Chin Siu-ang.
Untuk sesaat dia merasa pikirannya sangat kalut, tiba tiba teriaknya: "Lo-cou-cong, tahukah kau siapa lagi yang bisa mendapat rumput pelumat impian hasil tanam Leng Yok-su?" Sambil tertawa kakek Tong menggeleng.
"Orang ini aneh sekali wataknya, dia hanya mempunyai lohu seorang teman." "Bagaimana kalau minta secara halus tak bisa, diambil secara paksa?" "Hahaha, hanya dewa yang bisa merebut barang miliknya, dia lebih suka melumat dan memunahkan seluruh rumput pelumat impian daripada membiarkan orang lain berhasil merebut sebatang." Tian Mong-pek jadi sangat terperanjat, gumamnya: "Aneh, sungguh aneh, kalau begitu rumput pelumat impian yang digunakan untuk membuat panak kekasih, berasal dari tempat tinggal Kun-lun-siang- coat?" Dia begumam dengan nada tak jelas, kakek itu hanya sempat mendengar kata aneh, segera teriaknya: "Apa yang aneh" Hei, apa yang kau katakan?" "Soal ini .
. . . .. soal ini . . . . . .." Selama ini Hui-hong-hong hanya berdiri ditepi ranjang tanpa menyela, saat itulah dia tertawa ringan seraya berkata: "Lo-cou-cong, hari ini kau terlalu banyak bicara, sudah waktunya untuk beristirahat!" Kakek itu tertegun, lalu gumamnya: "Betul, betul, sudah waktunya beristirahat." Memandang Tian Mong-pek sambil tersenyum, ucapnya: "Tak disangka, berbicang dengan kau si bocah cilik, justru mengingatkan aku dengan banyak sahabat lama." Sesudah menggeliat dan mengulapkan tangan, terusnya: "Pergilah, bila ada waktu jangan lupa datang mencari aku si orang tua." Setelah pejamkan mata, diapun merebahkan diri dan tidak bicara lagi.
Didalam hati meski Tian Mong-pek masih ada banyak persoalan yang ingin ditanyakan, namun sekarang, terpaksa dia harus memberi hormat sambil mengundurkan diri.
Keluar dari kamar, dia tertawa getir sambil berpikir: "Sama sekali tak kusangka, walaupun tujuan kedatanganku tidak tercapai, namun tanpa sengaja telah mendengar banyak rahasia, terlebih tak mengira kalau meski aku belum bertemu Tiau-yang hujin, tapi ditempat ini telah mendengar kisah cerita tentang Kun-lun-siang-coat dengan si ular bergincu." Tiba tiba ia mendengar seseorang memanggil dari belakang tubuhnya, ketika berpaling, Hui-hong-hong telah berjalan menghampiri.
Dengan girang pemuda itu bertanya: Il "Nona, apakah urusan yang kutitipkan kepadamu .
. . . . . .. Dengan cepat Hui-hong-hong menukas: "Tak usah kau tanyakan lagi masalah perempuan itu, kedatanganku kemari hanya ingin beritahu kepadamu, dia sudah pergi ke tempat yang jauh, siapa pun tak bakal menemukannya lagi." Nada suaranya dingin dan kaku, sama sekali hilang kelembutan dan kemsrahannya dimasa silam.
"Tapi . . . . . . .." Tian Mong-pek gelisah.
"Tapi apa" Hmm!" gadis itu mendengus sambil beranjak pergi dari sana.
"Aneh, sungguh aneh...." Tian Mong-pek tertawa getir, "kenapa perempuan ini berubah?" Sewaktu berjalan kembali ke balik pepohonan dimana Hek-yan-cu menunggu, bayangan tubuh rekannya itu sudah hilang tak berbekas.
Melihat itu ia jadi geli sendiri, pikirnya: "Biarpun si walet hitam ini bukan termasuk orang jahat, tapi jadi orang sangat penakut, tak punya wibawa, mungkin melihat aku tak kunjung kembali, saking takutnya dia sudah kabur duluan." Teringat Tu Kuan si gadis yang cantik dan lugu itu ternyata bisa menjalin hubungan dengan si walet hitam, bahkan hingga kini kabar beritanya tak jelas, dalam hati dia sangat menyesal.
Dengan statusnya sebagai calon menanti, dia dapat berjalan ke manapun dalam halaman gedung keluarga Tong, para tamu yang melihat dirinya, ada yang segera berbisik bisik, ada pula yang menyapa sambil tertawa.
Terlihat dari belakang gunung-gunungan berjalan keluar dua sosok bayangan manusia, tapi begitu melihat Tian Mong-pek, mereka segera menarik badan, sayang Tian Mong-pek sedang dirundung masalah sehingga sama sekali tidak menaruh perhatian atas hal ini.
Kedua orang yang berada dibelakang gunung-gunungan itu tak lain adalah Hong Sin dan Hong It ayah beranak.
Menyaksikan tingkah laku Tian Mong-pek yang tidak bersemangat, ujar Hong It sambil tertawa dingin: "Biasanya bangsat ini selalu bersemangat macam seekor naga, kenapa hari ini lemas mirip kucing penyakitan?" "Bisa jadi hatinya terluka bercampur keheranan gara gara nona Tong tidak lagi menggubrisnya, sayang diapun tak dapat menebak kenapa bisa jadi begitu?" kata Hong Sin tertawa.
"Tapi kita pun belum pernah bertemu nona Tong!" Hong Sin segera tertawa tergelak.
"Hahaha, tentu saja dia sangat malu untuk bertemu dengan mu, tak usah kuatir nak, kita tunggu saja sampai keluarga Tong menyelenggarakan pesta perkawinan, setelah tiba saat upacara nanti, ayahmu sudah punya cara untuk memaksa bajingan dari marga Tian itu untuk menyerahkan posisinya kepadamu, agar kaulah yang menjadi pengantin lelaki." Semakin dipikir dia merasa semakin bangga, akhirnya orang tua itu tertawa terbahak-bahak.
"Kuatirnya sampai waktu itu, keadaan sudah terlalu terlambat." Kembali Hong Sin tertawa.
"Dasar anak bodoh, sampai saatnya nanti, asal aku umumkan didepan para enghiong dari seluruh kolong langit tentang hubungan cintamu dengan Tong Hong, masa Tian Mong-pek masih punya muka untuk melanjutkan perannya sebagai pengantin lelaki?" Sesudah tertawa terbahak-bahak, lanjutnya: "Hahaha, waktu itu nasi sudah jadi bubur, sekalipun Tong Ti lihay, terpaksa dia harus kawinkan putrinya denganmu, kenapa musti panik?" Hong It kegirangan setengah mati, pujinya: "Ayah memang pantas jadi Cukat Liang hidup, kalau orang macam bajingan Tian itu ingin memusuhi dirimu, dia pasti akan ketimpa sial besar." "Selama ini kau sudah banyak meraih keuntungan, sepanjang jalan, apa yang kau lakukan sudah cukup bagi Tian Mong-pek untuk memikul semua nama busuk." Mendengar itu, Hong It tertawa keras, tapi kemudian katanya dengan benci: "Yang paling menjengkelkan adalah mereka yang mencatut nama Tian Mong-pek untuk melakukan perbuatan baik, ayah, dapat kau tebak siapakah mereka?" "Kalau dilihat dari sepak terjang orang-orang itu, sudah pasti ilmu silatnya amat tinggi, bisa jadi itu semua hasil perbuatan Tu Hun-thian, Thian-ma hwesio atau Mong-mo si tua bangka sialan itu!" II "Betul-betul tua bangka yang pantas mampus, umpat Hong It, "kenapa sudinya orang orang itu merugikan diri sendiri dengan melakukan perbuatan yang tak bermanfaat, dasar tua bangka goblok, pikun, edan." "Pikun mah belum, hanya saja dimasa lampau mereka pernah salah menuduh Tian Mong-pek, kemudian mereka pun sudah tak berminat mencari nama besar, karena itu sepak terjang mereka pun dilakukan atas nama Tian Mong-pek." "Hmm, dasar berjiwa kere, sampai tua hampir mampus pun tak pernah bisa mengubah wataknya." Oo0oo Tian Mong-pek sudah kembali ke gedung halaman yang disiapkan keluarga Tong bagi dirinya, waktu itu Ui Hau dan Lau-san-sam-gan sekalian sedang meneguk arak ditengah ruangan.
Setiap kali berjumpa orang orang ini sedang minum arak, Tian Mong-pek selalu merasa girang bercampur takut, girang karena bertemu sahabat karib dan bakal minum arak lagi, takut kalau tak bisa lolos sebelum mabuk.
Melihat kehadirannya, Ui Hau sekalian segera maju mengerumun, seru mereka: "Kini Tian-heng adalah bakal menantu keluarga Tong, sudah sepantasnya kalau minum barang dua cawan." Tian Mong-pek hanya bisa mengeluh dalam hati, mau bicara tak ada gunanya, mau menampik pun tak mungkin, terpaksa cawan demi cawan arak masuk ke dalam perutnya, menjelang tengah malam, semua orang sudah tujuh-delapan puluh persen dipengaruhi air kata-kata.
Ui Hau mulai mengigau tak karuan, sedang Tian Mong-pek dalam keadaan mabuk pun sudah pergi tidur.
Menjelang fajar inilah tiba tiba anggota keluarga Tong membawa dua orang tamu untuk mereka.


Panah Kekasih Karya Gu Long di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Ho Kun-hiong dan Kim Eng yang usianya lebih tua selalu bertindak lebih hati-hati, biarpun mereka berdua pun ikut meneguk arak, namun selalu menjaga takaran.
Ketika mendengar suara, mereka segera maju menyambut.
Terlihat Tong Hok, pengurus rumah tangga gedung keluarga Tong berdiri
im Eng yang usianya lebih tua selalu bertindak lebih hati-hati, biarpun mereka berdua pun ikut meneguk arak, namun selalu menjaga takaran.
Ketika mendengar suara, mereka segera maju menyambut.
Terlihat Tong Hok, pengurus rumah tangga gedung keluarga Tong berdiri didepan undak-undakan dan berkata dengan hormat: "Kedua orang tuan ini datang secara terburu-buru dan bersikeras ingin bertemu Tian toaya, hamba tak berani membangkang hingga membawa mereka kemari." Dibawah cahaya lentera, Ho Kun-hiong serta Kim Eng menyaksikan ada dua orang lelaki tinggi kurus bagaikan bambu berdiri dihadapan mereka.
Perawakan tubuh kedua orang itu kurus kering tinggal kulit pembungkus tulang, rambutnya yang panjang dan kacau nyaris menutupi separuh muka mereka, yang terlihat hanya sepasang matanya yang berputar tajam.
Mimik muka kedua orang ini dingin kaku, sedikitpun tak menunjukkan perasaan, baju yang dikenakan adalah jubah kain blaco yang besar dan lebar.
Ho Kun-hiong dan Kim Eng bertukar pandangan sekejap, diam-diam mereka bergidik, meski sudah cukup lama berkelana dalam dunia persilatan, belum pernah dijumpai manusia macam begini.
Bagaimana pun Kim Eng adalah seorang opas kenamaan, matanya tajam, tangannya lincah, biarpun hati kecilnya kaget, dia tetap maju menyambut sambil tertawa.
"Boleh tahu siapa nama kalian berdua?" Tidak menunggu hingga pertanyaan itu selesai, lelaki berbaju blaco yang disisi kiri sudah menukas: "Mana Tian Mong-pek?" "Ada urusan apa kalian mencarinya?" "Mana Tian Mong-pek?" ulang orang itu.
Kim Eng melongo, sambil tertawa paksa ujarnya: "Jelaskqan dulu maksud kedatangan kalian berdua, dengan begitu aku baru bisa memberi jawaban." "Mana Tian Mong-pek?" ulang orang itu.
Kedua orang ini selain berwajah dingin kaku, setiap ucapan yang keluarpun kaku dan dingin, bolak balik berbicara, yang diutarakan pun hanya "mana Tian Mong-pek", tiada perubahan mimik muka, apalagi senyuman.
Sekalipun Kim Eng bermata tajam, untuk sesaat sulit baginya untuk menebak asal usul mereka berdua, diapun tak bisa membedakan apakah kedua orang itu musuh atau sahabat, dia jadi melongo dan berdiri terperangah.
Tiba tiba satu ingatan melintas dalam benak Ho Kun-hio ng, dia maju mendekat dan bisiknya: II "Busur empat senar .
. . . . . .. Kim Eng tergetar hatinya, tanpa sadar tubuhnya mundur dua langkah, sambil menatap kedua lawan, pikirnya: "jangan jangan memang dia yang datang?" Dalam pada itu dua orang lelaki berbaju blaco itu sudah berjalan melintas, Kim Eng ingin sekali maju menghadang, tapi sepasang lututnya terasa amat lemas, menanti ia melongok kembali, kedua orang itu sudah berjalan masuk ke ruang tengah.
Ho Kun-hiong segera menyelinap masuk, ibu jari dan jari tengah kanannya menyentil ke depan, "Pluuuk!" Ho Kun-kiat dan Ho Kun-hiap yang sedang meneguk arak pun segera menggebrak meja sambil melompat bangun.
Selama ini, mereka bertiga selalu menggunakan sentilan jari sebagai pertanda bila bertemu musuh, biarpun saat itu Ho Kun-kiat dan Ho Kun-hiap sudah dalam keadaan mabuk, tapi begitu mendengar suara sentilan, merekapun segera tersadar tiga puluh persen dari mabuknya.
Dengan gerakan cepat, dalam waktu singkat mereka bertiga sudah mengepung dua orang lelaki itu ditengah arena.
Ho Kun-kiat yang paling mabuk, tanpa banyak bertanya lagi, tangan kanannya langsung menyambar sebuah bangku dan ditimpuk kearah lelaki berbaju blaco itu.
Baru saja Ho Kun-hiap ikut menyambar bangku, tiba tiba tangannya terasa dingin, rupanya secara diam-diam Kim Eng telah selipkan sebilah golok panjang kepadanya.
Dengan senjata ditangan, dia ibarat harimau yang tumbuh sayap, sambil membentak tubuhnya menerjang ke muka.
Siapa sangka lelaki berbaju blaco itu sama sekali tak menengok kearah mereka, yang seorang menyambut datangnya sambitan bangku, sedang yang lain langsung berjalan menghampiri Ui Hau yang masih bersenandung.
Dalam senandungnya, tiba tiba Ui Hau mendongakkan kepalanya lalu tertawa terbahak-bahak.
"Hahaha, rupanya kalian pun sudah datang!" Luput dengan bacokan pertama, Ho Kun-hiap segera menghentikan serangan berikut setelah mendengar gelak tertawa itu.
Ho Kun-kiat ikut tertegun, teriaknya kemudian: "Engkoh Ui Hau, apakah kau kenal dengan mereka berdua?" "Hahaha, kenal, kenal, kenal sekali, Li toako, Tio toako, cepat kemari, biar kuhormati kalian dengan tiga cawan arak." Sambil bicara dia angkat poci arak, sayang isinya segera tumpah diatas meja.
Ho Kun-hiap ikut tertawa terkekeh, katanya: "Kelihatannya toako pun sudah ikut mabuk, sembarangan mengirim tanda bahaya, tak disangka takaran minum toako masih kalah jauh dibandingkan siaute!" Ditengah gelak tertawa, dia ikut roboh ke lantai.
Il "Hahaha, ternyata kau pun sudah mabuk.....
seru Ho Kun-kiat sambil tepuk tangan, tiba tiba ia merasa ada bangku menyambar datang, begitu ditangkap bangku itu, tubuhnya pun ikut terjungkal ke lantai.
Dalam pada itu, sebenarnya Tong Hok sudah siap untuk minta bantuan, tapi setelah melihat rombongan orang mabuk itu, dia hanya bisa tertawa getir sambil gelengkan kepala.
"Ternyata tuan tuan ini sudah mabuk berat sampai kawan sendiripun tidak kenal?" Tanpa bicar lagi, diapun beranjak pergi.
Ho Kun-hiong dan Kim Eng hanya bisa saling bertukar pandangan.
Seusai mengembalikan lemparan bangku ke arah Ho Kun-kiat, dua orang lelaki berbaju belacu itu duduk disamping Ui Hau.
Lelaki yang disebelah kiri berkata: "Ui Hau, kau sudah mabuk, mana Tian Mong-pek?" "Hahaha, siapa bilang aku mabuk?" jawab Ui Hau sambil tertawa keras, "hei saudaraku, mari biar kuperkenalkan kalian dengan para sahabat, kedua II orang ini adalah .
. . . .. adalah . . . . .. Setelah memukul benak sendiri, teriaknya: "Hahaha, sudah teringat sekarang, Li toako adalah Siong-hong-kiam (pedang angin pohon siong), sedang Tio toako adalah Tiam-cong-kiam, ayoh kalian harus meneguk secawan arak." Begitu mendengar nama itu disebut, baik Ho Kun-hiong maupun Kim Eng sama-sama terperanjat.
Mereka segera maju memberi hormat, kata Kim Eng sambil menjura: "Sungguh tak disangka kalian berdua adalah Li Siong-hong, Li tayhiap dan Tio Beng-teng, Tio tayhiap, lama mendengar nama besar kalian, sungguh beruntung hari ini kita bisa saling berjumpa." Li Siong-hong yang ada disebelah kiri berkata: "Ui Hau sudah mabuk, mana Tian Mong-pek?" nada suaranya tetap dingin kaku.
Menyaksikan kelakuan tamnya, diam diam Kim Eng berpikir: "Padahal nama besar mereka amat tersohor, kenapa sikapnya begitu tak tahu diri?" Darimana dia tahu kalau kedua orang ini sudah banyak tahun terjebak dalam lingkaran kematian dihutan penyesat, rasa lapar dan dahaga yang harus diderita sepanjang hari membuat mereka sudah melupakan sama sekali tata kesopanan dan cara pergaulan.
Disisi lain, Ui Hau masih meneguk arak dengan buasnya, ketika menghabiskan lagi dua teko arak, dia terjatuh keatas meja lalu tertidur pulas.
Dalam keadan begini, dia tak sempat bertanya kenapa kedua orang itu tiba tiba meninggalkan hutan penyesat dan datang kesana.
Kim Eng tertegun, sewaktu mendongakkan kepala, dia jumpai kedua orang itu sedang menatap mukanya sambil menunggu jawaban, terpaksa sahutnya sambil tertawa getir: "Saudara Tian ikut mabuk." Li Siong-hong mendengus, dengan kaku dia duduk kembali.
"Apakah kalian berdua ada urusan penting?" kembali Kim Eng bertanya, "apa perlu kubangunkan dia?" "Memang orang mabuk bisa diajak bicara?" kata Li Siong-hong ketus.
Tiba tiba Tio Beng-teng bertanya: "LOfLjQ, sudah berapa lama kau tak pernah minum arak?" "Delapan belas tahun enam bulan delapan hari." "Kalau aku sudah sembilan belas tahun tiga bulan." Sebagaimana diketahui, sewaktu berada dalam hutan, kehidupan mereka benar benar tersiksa, sehari bagaikan setahun, tak aneh bila berlalunya sang waktu dapat mereka ingat dengan jelas sekali.
Kim Eng maupun Ho Kun-hiong tak pernah tahu tentang kedua orang ini, tak heran kalau mereka jadi tertegun dan melongo saking kaget dan herannya.
Menyaksikan mimik muka Tio Beng-teng meski tanpa ekspresi, namun matanya yang menatap cawan arak seolah begitu kesemsem, Kim Eng segera tahu kalau dimasa lalu, orang ini pastilah seorang setan arak, buru buru katanya sambil tertawa: "Setelah tidur sejenak, saudara Tian segera akan mendusin, bagaimana kalau cayhe temani kalian berdua minum arak sekedar buang waktu?" Cepat dia sediakan guci arak dan memenuhi teko yang tersedia.
"LOfLj, dimasa lalu kau bisa meneguk berapa banyak?" tanya Tio Beng-teng kemudian.
"Kalau sedang senang bisa satu guci, kalau lagi tak suka hati bisa dua guci." Jawab Li Siong-hong.
"Bisa menghabiskan dua guci sudah terhitung lumayan." Diam-diam Kim Eng tertawa geli, tanpa bicara lagi dia siapkan empat guci arak.
Maka mereka berempat pun duduk kembali sambil minum arak, Li Siong-hong maupun Tio Beng-teng tidak banyak bicara, terpaksa Ho Kun-hiong serta Kim Eng harus menemani mereka.
Sesungguhnya kedua orang ini sudah enam puluh persen mabuk, apalagi ditambah berapa cawan arak lagi, kepala mereka terasa mulai pening dan mual, tapi kuatir ditertawakan orang, maka mereka paksakan diri untuk tetap meneguk.
Tampak Li Siong-hong dan Tio Beng-teng meneguk arak dengan lahapnya, cawan demi cawan terkirim masuk ke perut, begitu seguci arak habis, guci berikut segera menyusul.
Kim Eng mulai berpikir: "Mereka berdua bisa minum seguci lebih sedikit, tapi bagaimana kami berdua dapat menandingi mereka?" Diam-diam dia lempar kerlingan kearah Ho Kun-hiong, maka setiap kali dua orang tamunya menghabiskan secawan, mereka berdua pun meneguk satu cicipan.
Terlihat Li Siong-hong makin minum wajahnya makin menghijau, sedang Li Beng-teng makin minum mukanya semakin merah, hingga matahari terbit, dari lima guci yang tersedia kini tinggal dua guci arak.
Saat itu Kim Eng sudah merasakan matanya berkunang-kunang, apalagi Ho Kun-hiong, tubuhnya sudah gontai siap roboh.
Pada saat itulah Tio Beng-teng baru buka suara: "Lo-lie, kau sudah minum berapa banyak?" "Mungkin tiga guci." Jawab Li Siong-hong.
"Aku pun minum tiga guci." Kim Eng yang mendengarkan agak tertegun, tiba tiba ia mendongak dan tertawa tergelak.
"Apa yang kau tertawakan?" tanya Tio Beng-teng.
Ujar Kim Eng sambil tertawa keras: "Disini hanya tersedia lima guci arak, tapi kalian berdua .....
menghabiskan enam guci! Hahaha.....
hahaha . . . . . .." Ho Kun-hiong sambil menggigit bibir ikut tertawa, tampak Tio Beng-teng dan Li Siong-hong saling berpandangan, tapi akhirnya semua orang tertawa tergelak.
Melihat itu, pikir Kim Eng: "Ternyata diantara sekian banyak orang, hanya takaran minumku yang paling Il II bagus..." dia angkat cawannya dan berseru, ayoh kita bersulang .
. . . . . .. Tiba tiba arak itu dia tuang ke lubang hidung.
Ho Kun-hiong tak kuasa menahan diri lagi, mereka berempat rebah dimeja sambil tertawa keras, begitu kerasnya hingga mangkut cawan ikut berdentingan.
Makin lama suara tertawa mereka makin lirih, akhirnya ke empat orang itu sama-sama tak bergerak lagi.
Menanti Tian Mong-pek mendusin dari mabuknya, ia saksikan dalam ruangan dipenuhi para pemabuk yang tidur tumpang tindih.
Sambil tertawa geli dia pun berjalan keluar dari kamar, siap mencari air dingin untuk mengusir dahaga.
Tapi begitu sampai didepan pintu, seketika dia hentikan langkahnya sambil bergumam: "Kenapa bisa bertambah dua orang?" Sesudah diteliti, baru diketahui mereka adalah Tio Beng-teng dan Li Siong-hong.
Saat ini, walaupun kepalanya terasa pening dan lidahnya terasa kering, namun pikirannya sudah segar kembali, begitu tahu siapa yang datang, ia jadi amat terperanjat, bila dalam hutan penyesat tidak terjadi perubahan, kenapa kedua orang itu bisa muncul disana" Dia mencoba membangunkan Tio Beng-teng, tapi orang itu hanya mengigau, dia coba lagi membangunkan Li Siong-hong, namun lelaki itupun hanya mendengkur, rupanya mereka sudah begitu mabuk hingga tak mungkin diajak berbincang.
Pelbagai kecurigaan berkecamuk dalam benaknya, den gan gelisah pemuda itu berjalan mondar mandir dalam ruangan, pikirnya: "Kenapa dengan suhu" Kenapa mereka berdua bisa sampai di sini?" Tiba-tiba terdengar Tio Beng-teng merintih: "Air .
. . . .. air . . . . . . .." Tian Mong-pek kegirangan, cepat dia membalik tubuh rekannya sambil memanggil: "Saudara Tio, saudara Tio!" Tio Beng-teng membuka sedikit matanya yang sipit lalu tertawa bodoh: II "Hehehe....
kau disini rupanya, arak bagus....
arak wangi..... Sambil bergumam, tangannya kembali mengqeravanq c awan arak.
"Kenapa dengan suhu" Kenapa mereka berdua bisa sampai di sini?" Tiba-tiba terdengar Tio Beng-teng merintih: "Air .
. . . .. air . . . . . . .." Tian Mong-pek kegirangan, cepat dia membalik tubuh rekannya sambil memanggil: "Saudara Tio, saudara Tio!" Tio Beng-teng membuka sedikit matanya yang sipit lalu tertawa bodoh: "Hehehe....
kau disini rupanya, arak bagus....
arak wangi..... Sambil bergumam, tangannya kembali menggerayang cawan arak.
Buru buru Tian Mong-pek mencekal tangannya sambil berseru: "suhu .
. . . . .." "Suhu minta aku beritahu kepadamu.....
soal panah kekasih...." "Ada apa dengan panah kekasih?" "Untuk.....
untuk melepas keleningan .
. . . . .. carilah orang.... orang yang mengikatnya . . . . . . . .." Tian Mong-pek tertegun.
"Untuk melepas keleningan, cari orang yang mengikatnya" Untuk melepas keleningan, cari orang yang mengikatnya .
. . . . . . . .." Mendadak hatinya tercekat, peluh dingin membasahi tubuhnya.
Ketika memandang lagi kearah Tio Beng-teng, orang itu sudah roboh terkapar.
Tian Mong-pek tidak menggubris dirinya lagi, sambil bergendong tangan dia berjalan mondar mandir, sebentar memukul dada sendiri, sebentar tertawa keras, gumamnya: "Betul, betul, sudah pasti dia." Ho Kun-hiap yang mabuk duluan, kinipun sadar paling awal, melihat sikap pemuda itu, sambil mengucak mata dia berseru: "Tian.....
Tian-heng, kau sudah edan?" Tian Mong-pek melompat sambil mencengkeram bahunya, sambil tertawa keras serunya: "Saudara Ho.....
berita gembira..... berita gembira..... berita paling gembira . . . . . . . .." "Wah, ternyata mau jadi pengantin pun bisa begitu gembira?" Ho Kun-hiap tertawa tergelak.
"Pengantin apa, aku sudah tahu siapa pemilik panah kekasih itu." Tak terlukiskan rasa kaget Ho Kun-hiap, kontan semua mabuknya tersapu bersih, sambil melompat bangun dan melotot besar, jeritnya: "Siapa" Siapa" Siapa?" "Chin Siu-ang." Kontan Ho Kun-hiap jatuh terduduk.
"Dari..... darimana kau bisa tahu?" tanyanya.
"Waktu itu, pendeta berbaju abu dari kuil Kim-san-sie menemukan sejilid kitab rahasia yang berisikan catatan transaksi panah kekasih, dan orang yang berada di kamar hongtiang hari itu hanya Chin Siu-ang seorang, sudah pasti Chin Siu-ang yang kehilangan catatan rahasia itu sehingga dia mondar mandir diatas bukit dan tak mau pergi dari situ." "Kemudian?" "Dia sangat berkeinginan untuk mendapatkan rumput pelumat impian sehingga tak segan ditukar dengan putrinya, hal ini dikarenakan rumput pelumat impian merupakan bahan terpenting dalam pembuatan panah kekasih." "Hah, aku tak pernah tahu tentang hal ini, masih ada yang lain?" seru Ho Kun-hiap semakin terperanjat.
"Selain itu, Lim Luan-hong sebetulnya adalah pengikut dia, tapi secara tiba tiba pergi ke luar perbatasan untuk merampok dua bersaudara keluarga Tong, aaai .
. . . . . .. jejak lain masih terlalu banyak dan tak mungkin bisa dijelaskan satu per satu, pada mulanya aku hanya curiga, tak berani memastikan, tapi perkataan tadi telah menyadarkan aku, membuat aku jadi paham dan mengerti dengan semua permasalahan yang terjadi." "Perkataan apa?" "Untuk melepas keleningan, carilah orang yang mengikatnya.
Bangsat itu dapat menciptakan panah kekasih, sudah pasti hanya dia yang tahu bagaimana memunahkan racun panah kekasih." Peluh dingin mulai meleleh membasahi tubuh Ho Kun-hiap, ujarnya gemetar: "Betul-betul manusia berhati keji, dengan berbuat begitu, dia ingin membuat orang lain selamanya tak akan menduga ke dia, bahkan berusaha melindungi keselamatan jiwanya." "Bila kita pikirkan lebih seksama, hampir semua orang yang dia tolong adalah orang orang tak penting yang sama sekali tak menyangkut dirinya, sementara ayahku .
. . . . .. dia sengaja tak mau menolong ayahku, dia....
dia hanya manfaatkan kesempatan itu untuk menciptakan sandiwara, menciptakan dalang dibalik layar yang membingungkan semua orang, kapan dia berniat menolong orang" Sungguh kasihan, ada sementara umat persilatan yang tolol justru berusaha melindungi dan selamatkan nyawanya." "Sebentar lagi dia .
. . . .. dia akan datang kemari, Tian-heng, kau harus.....
harus lebih berhati-hati, jangan gugup, jangan sampai hilang kendali .
. . . . .." Dengan penuh kebencian sahut Tian Mong-pek: "Aku tahu, hari ini .
. . . . . . .." Sekonyong-konyong dari halaman luar terdengar ada orang berseru sambil tertawa keras: "Hahaha, saudara Tian, tak disangka kau sudah mabuk begitu hebat hingga ll sampai sekarang pun masih berjongkok di lantai .
. . . .. Dengan hati terperanjat Tian Mong-pek balik badan sambil berpaling, tampak Tong Pa sudah muncul sambil tertawa nyaring.
ll "Hahaha.... bagus, bagus sekali, serunya, "semua orang sudah mabuk hingga roboh, kelihatannya mereka tak bisa minum arak kegirangan hari ini." Lalu sambil menarik lengan Tian Mong-pek, dia menambahkan: "Beruntung saudara Tian masih sanggup berdiri, banyak tamu diluar sedang menunggumu!" Gelak tertawa orang ini amat nyaring, jauh berbeda dengan saudara saudaranya.
"siaute memang berniat keluar." Jawab Tian Mong-pek sambil tertawa paksa.
"Kalau begitu mau tunggu apa lagi, ayoh jalan! Saudara Ho, apakah kau masih mampu berjalan?" Buru buru Tian Mong-pek memberi tanda kerdipan mata kepada Ho Kun-hiap.
Sambil tertawa sahut Ho Kun-hiap: "Biarlah siaute tetap disini untuk merawat rekan rekan yang mabuk." "Hahaha, bagus, bagus sekali, belum lagi menikmati arak kegirangan, kalian sudah pada roboh .
. . . .." dengan menarik lengan Tian Mong-pek, pemuda itu segera beranjak pergi.
Diluar halaman yang luas dan lebar telah didirikan barak barak tenda yang besar, nyaris seluruh pelosok tempat telah dipenuhi para tetamu.
Bila ingin mencari orang ditengah kerumunan begitu banyak tamu, mungkin jauh lebih susah daripada mencari jarum di dasar samudra.
Para jago dan tokoh silat pelbagai wilayah yang tiba ditempat ini, segera merasakan bahwa status mereka sungguh amat kecil, ini dikarenakan terlalu banyak nama tenar yang tersebar ditempat itu.
Si tangan pencabut nyawa Tong Ti, ciangbunjin perguruan keluarga Tong, dengan pakaian yang indah menjumpai setiap tamu yang datang memberi selamat.
Tapi dari pihak pengantin wanita, si tabib sakti Chin Siu-ang nyaris tak pernah munculkan batang hidungnya, padahal ada begitu banyak tamu yang berharap bisa menjumpai wajahnya, ingin tahu sehebat apakah tabib sakti yang merupakan satu satunya tabib yang mampu memunahkan racun Panah kekasih itu.
Perlu diketahui, dunia persilatan waktu itu sudah dibikin ketakutan karena kemunculan panah kekasih, bagi mereka yang pernah menyaksikan kehebatan racun panah kekasih, walaupun takut, keadaan mereka masih mendingan, tapi bagi orang orang yang belum pernah melihat kehebatan panah kekasih, nyaris semua berita sensasi yang tersebar ditelan mentah mentah, hal ini membuat rasa takut dan horor mereka terhadap panah kekasih bertambah mengental.
Ketika mendapat surat undangan yang dibagikan Tong Ti, sebenarnya banyak diantara tamu yang tak berani hadir, namun berhubung pada surat undangan tercantum pula nama si Tabib sakti Chin Siu-ang, dalam hati merekapun berpikir, sekalipun keracunan, paling tidak masih ada yang akan mengobati, kenapa harus gugup dan sangsi" Karena itulah semua orang pun berbondong bondong menghadiri pesta perkawinan ini, kalau bukan begitu, mana mungkin gedung keluarga Tong dipenuhi begitu banyak tamu" Oleh sebab itu kehadiran si Tabib sakti Chin Siu-ang justru merupakan pusat perhatian dari semua jago yang hadir.
Tapi kini, tengah hari sudah lewat, bayangan tubuh Chin Siu-ang masih belum terlihat.
Tiba tiba terjadi kegaduhan ditengah para tetamu, entah siapa, ada yang berseru sambil menuding: "Coba lihat, orang yang datang bersama Thiat-pacu adalah calon menantu keluarga Tong, Tian Mong-pek." Ada pula yang segera berteriak: "Tian Mong-pek" Wah, belakangan nama orang ini amat terkenal dalam dunia persilatan, hanya saja perangainya susah ditangkap, terkadang baik terkadang jahat, perbuatan macam apa pun pernah dia lakukan." Kemudian terdengar pula ada yang berkata sambil tertawa: "Sobat, mungkin kau belum tahu, sesungguhnya Tian Mong-pek adalah seorang lelaki sejati, semua perbuatan jahat yang terjadi sesungguhnya dilakukan orang lain." Ditengah hiruk pikuknya suara pembicaraan, sorot mata semua orangpun sama sama tertuju kearah Tian Mong-pek.
Tian Mong-pek sendiri dengan sorot mata yang tajam berusaha menemukan jejak Chin Siu-ang, tapi setelah tahu kalau orang yang dicari belum tiba, bahkan tandu pengantin wanita pun belum muncul, perasaan hatinya jadi sedikit kecewa.
Biarpun begitu, rasa tegang masih menyelimuti hatinya, karena setiap saat sebuah serangan mematikan mungkin akan terjadi.
Tong Pa menarik pemuda itu menuju ke depan Tong Ti, setelah memberi hormat, diapun menariknya berkeliling ruangan untuk diperkenalkan kepada semua hadirin, jelas pemuda ini ikut merasa bangga karena kepopuleran calon adik iparnya ini.
Berada ditengah kerumunan tetamu, Tian Mong-pek berusaha tampil dengan senyuman dikulum, padahal perasaan hatinya murung dan berat, nyaris kata kata pujian dari orang lain, tak satupun yang sempat mampir ditelinganya.
Tiba tiba dari tengah kerumunan orang banyak muncul sebuah tangan, dengan cepat cakar besinya mencengkeram pergelangan tangannya, dalam kagetnya tak kuasa tubuh Tian Mong-pek terseret keluar dari kerumunan.
Setelah berjalan berapa langkah, dia baru tahu kalau orang itu adalah Tu Hun-thian.
Padahal ada begitu banyak jago yang ingin berbincang dengan pemuda ini, tapi siapa pula yang berani mencegah ulah si panah lepas dari busur ini" Tampak paras muka Tu Hun-thian sedingin salju, setelah menarik Tian Mong-pek kesudut ruangan yang sepi, tegurnya dengan nada ketus: "Apakah kau akan menikah?" "soal ini .
. . . .." Tian Mong-pek tertawa getir.
"Karena akan menikah maka kau sudah tidak menggubris anak Kuan?" lanjut Tu Hun-thian.
Teringat kalau hingga kini kabar berita Tu Kuan masih belum jelas, Tian Mong-pek tertunduk sedih, tak mampu bicara.
Kembali Tu Hun-thian berkata: "Gara gara mencari kau, malam-lama anak Kuan minggat dari sisiku, hingga kini kabar beritanya tak jelas, mati hidupnya tak diketahui, bila dalam keadaan begini kau tetap ingin menikah, bukankah perbuatanmu lebih rendah dari seekor binatang?" Kontan Tian Mong-pek mengerutkan dahinya, hawa amarah timbul dalam hati, tapi begitu teringat kalau dirinya memang ikut bertanggung jawab atas kejadian ini, ujarnya setelah menghela napas panjang: "Siapa bilang aku akan menikah?" Tu Hun-thian tertegun.
"Tapi Tong . . . . . . . .." "Selama hidup, aku orang she-Tian tak bakal menikah dengan nona Tong." Tegas sang pemuda.


Panah Kekasih Karya Gu Long di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Dengan termangu Tu Hun-thian mengawasi wajah anak muda itu, meski timbul rasa heran, tapi dia tahu pemuda ini selalu pegang setiap perkataannya, apa yang telah diucapkan, sampai mati pun tak akan berubah.
Ketika dia mengatakan tak akan menikah dengan Tong Hong, biarpun ada golok atau kapak yang menempel ditepi kepalanya pun, jangan harap orang bisa memaksanya kawin dengan Tong Hong.
Berpikir begitu, sekulum senyuman kembali tersungging dibibir Tu Hun-thian, tiba tiba ia mengeluarkan secarik kertas dan katanya: "Ambillah." Ketika diterima, terbaca diatas kertas itu bertuliskan: "Hang Beng suami istri dari perkampungan Hang-ke-cung kota Un-ciu, pada malam bulan tiga tanggal dua belas nyaris tewas dikerubuti kawanan laknat, istri Tio Tiang-hong dari Che-tong kota Ka-heng, pada bulan II limanyaris mati .
. . . . . . . .. Dibawahnya tertera rentetan catatan nama, waktu dan kejadian yang menimpa seseorang.
Membaca kesemuanya itu, Tian Mong-pek jadi keheranan, tanyanya: "Apa itu?" "Mereka yang tercatat namanya disana adalah orang orang yang pernah kau selamatkan jiwanya, bila suatu waktu kau membutuhkan mereka, asal diperintah, mereka siap terjun ke lautan api naik ke bukit golok untuk membantumu." "Tapi....
tapi aku belum pernah berjumpa dengan orang orang itu, apakah cianpwee tidak keliru?" Sewaktu mendongak kembali, Tu Hun-thian sudah pergi meninggalkan dirinya.
Lama sekali pemuda ini berdiri termangu, akhirnya diapun paham dengan duduknya persoalan, pikirnya: "Sudah pasti Tu locianpwee dengan mencatut namaku telah selamatkan nyawa II orang orang itu .
. . . . . .. Tiba tiba terjadi lagi kegaduhan, terlihat berapa orang berteriak sambil bertepuk tangan: "Pengantin perempuan, cepat keluar, kalau malu malu, sampai kapan urusan baru selesai?" Sorak sorai itu bergema amat nyaring, tepuk tangan dan teriakan berkumandang saling menyusul.
Dalam waktu singkat terdengar orang orang dalam gedung berteriak: II "Pengantin perempuan, cepat keluar.....
mau sampai kapan . . . . . . .. Rupanya para tamu sudah tak sabar menanti kehadiran pengantin wanita sehingga kegaduhan mulai terjadi.
Bab 40. Kado perkawinan orang gagah dunia persilatan.
So-hun-jiu, si tangan pencabut nyawa Tong Ti dan Thiat-pa-cu (macan tutul baja) Tong Pa ayah dan anak berunding beberapa saat, mendadak Tong Pa melompat naik keatas meja, sambil rentangkan sepasang lengannya dia berseru: "Saudara sekalian .
. . . . . . . .." Pada dasarnya suara orang ini memang nyaring, begitu berteriak, suara gaungannya seketika menggetarkan seluruh ruangan.
Betul saja, begitu dia berteriak, para tamu pun mulai tenang kembali, terdengar seseorang berseru dari kejauhan: "Kalau Tong toako masih tetap menyembunyikan pengantin wanita, apakah hal ini tidak kelewatan?" Kembali para tamu tertawa terbahak-bahak.
Dengan suara keras teriak Tong Pa: "Hingga sekarang pengantin wanita belum datang, masa ji-te ku saja tidak gelisah, kalian justru yang gelisah duluan.
Bukankah hal ini sama artinya sang kaisar tidak panik, si thaykam mati dulu lantaran gelisah?" Kembali ada orang berteriak: "Kelihatannya Tong toako sedang bikin ulah, sudah jam berapa sekarang, masa pengantin wanita belum tiba" Jangan jangan sang mertua yang tidak tega melepaskan anak putrinya?" Kali ini gelak tertawa semakin nyaring, orang orang diluar gedung pun berdesakan berusaha masuk ke dalam.
Tong Pa goyangkan tangannya berulang kali, serunya: "Pengantin wanita betul-betul belum tiba, siaute sudah utus orang untuk menyusul, baiklah, begitu pengantin wanita datang nanti, pasti akan kuatur untuk bertemu kalian lebih dulu." Dengan adanya janji ini, suasana pun menjadi reda kembali.
Rupanya Chin Siu-ang meski sudah tiba di wilayah Suchuan, tapi lantaran jam baik untuk pertemuan belum tiba, pengantin laki dan pengantin wanita pun harus tinggal terpisah, maka keluarga Tong telah memborong rumah penginapan Kun-te dikota keresidenan sebagai tempat tinggal mereka.
Kini, sekalipun suasana dalam gedung telah berhasil diatasi, namun orang yang paling gelisah masih tetap Tian Mong-pek.
Dia berniat untuk membongkar rahasia Chin Siu-ang dihadapan para jago dari seluruh kolong langit, kemudian membunuhnya untuk melampiaskan rasa dendam kesumatnya, untuk itu, dia telah sembunyikan pedang baja nya dibalik jubah panjang yang dikenakan.
Tanpa terasa saat menyulut lentera dalam gedung pertemuan telah tiba.
Kasak kusuk dan suara bisikan mulai tersebar diantara para jago, semua orang berusaha menebak apa sebab pengantin wanita belum juga muncul.
Maka kembali ada orang berteriak keras: "Kalau pengantin wanita belum datang, suruh pengantin laki keluar dan minum arak dulu dengan kami." Walaupun nama besar Tong Ti amat tersohor dalam dunia persilatan, namun saat ini diapun dibikin tak berdaya, terpaksa sambil meredakan kegelisahan para tetamunya, dia perintahkan orang untuk memanggil Tong Yan.
Pikir Tian Mong-pek: "Jika Hek-yan-cu adalah seorang lelaki sejati, dia seharusnya menemukan Tu Kuan lebih dulu, kemudian meski harus kawin lari, dia pun harus siap II melakukannya .
. . . . . .. Siapa tahu belum selesai dia berpikir, Tong Yan dengan pakaian pengantin dan wajah amat jengah, ditemani Tong Pa sudah muncul ditengah ruangan.
Para tamu pun mulai menyapa dan menghormati arak kepadanya.
Tiba tiba terlihat seorang lelaki berbaju sutera berlarian masuk dengan tergesa gesa dan langsung menuju ke hadapan Tong Ti.
"Apakah pengantin wanita sudah berangkat?" Tong Ti segera bertanya.
Mendengar pertanyaan itu, para hadirin segera jadi tenang kembali dan memasang telinga dengan seksama.
Siapa tahu lelaki itu setelah celingukan kesana kemari, akhirnya dia tempelkan bibirnya disisi telinga Tong Ti dan membisikkan sesuatu, paras muka Tong Ti berubah seketika, tergopoh gopoh dia berjalan menuju ke ruang belakang.
Para jago makin tercengang, makin gaduh, sementara Tong Pa dan Tong Yan hanya menjura ke empat penjuru, sedang Tian Mong-pek mengernyitkan alis matanya dengan perasaan kuatir.
Dengan langkah cepat si Tangan pencabut nyawa Tong Ti berlarian menuju ke ruang belakang, disitu Buddha berlengan emas Tong Bu-im yang duduk di kursi roda sedang memukul pegangan keretanya dengan wajah penuh amarah.
sedemikian gusarnya orang tua ini, sampai makan gula gula pun lupa, begitu melihat Tong Ti muncul, kontan umpatnya: "Apakah orang dari marga Chin itu sedang mengajak kita bergurau" Kenapa tandu pengantin belum juga tiba" Bila ia benar benar akan membatalkan perkawinan ini, Hmm! Hmm!" Tangannya diayun, gula gula yang berada dipegangan kursi pun rontok semua ke lantai.
Biarpun Tong Ti menjagoi dunia persilatan, namun setelah melihat ayahnya gusar, terpaksa ia berdiri sambil tahan napas, tak berani lagi bersuara.
Lewat berapa saat kemudian, Tong lojin kakek Tong baru berkata lagi dengan suara dalam: "Ada urusan apa lagi, cepat katakan!" Dengan kepala tertunduk ujar Tong Ti: "Menurut laporan dari keluarga Chin sana, tandu pengantin sudah berangkat sejak tadi, namun saudara kita yang berputar disekitar tempat itu tak pernah melihat ada bayangan dari tandu pengantik." "Apa?" teriak Tong lojin gusar, "memangnya tandu pengantin itu bisa naik ke langit atau masuk ke dalam bumi" Hmm, hmm, sudah pasti lantaran kita menolak memberi rumput pelumat impian, tua bangka Chin telah membawa kabur putrinya." "Tapi .
. . . .." "Tapi apa" Kaulah yang menentukan urusan perkawinan ini, dalam keadaan begini, bagaimana kita akan memberi pertanggungan jawab kepada para tamu" Betul betul bikin malu saja." Tong Ti semakin tak berani buka suara.
"Selewat hari ini," kembali Tong lojin berkata, "kalian ayah beranak tiga orang segera membawa delapan belas orang murid pergi mengejar orang she-Chin itu, biarpun harus mengejar sampai ke ujung langit atau ke dasar samudra pun kalian tetap harus mengejar, kalau gagal menemukan, termasuk kau pun tak usah kembali." "Ananda terima perintah." Tong lojin mendengus dingin, tiba tiba panggilnya: "Hong-ji .
. . . . .. Hong-ji . . . . . . .." Tong Hong dengan wajah murung berjalan keluar, kelihatan kalau dia baru saja menangis, air mata masih membasahi ujung matanya, sayang Tong lojin tidak terlalu perhatian, sambil menepuk sandaran tangan, perintahnya: "Cepat, dorong aku keluar." Waktu itu para tamu undangan yang hadir dalam ruangan sedang gaduh, tiba tiba terdengar seseorang berseru keras: "Lo-cou-cong tiba!" Seketika suasana jadi hening kembali.
Perlu diketahui, posisi dan status Buddha berlengan emas dalam dunia persilatan amat tinggi dan terhormat, bicara soal tingkatan diantara para jago, sebagian besar dari mereka masih terhitung anak murid atau cucu muridnya, dapat dipastikan, tak seorangpun berani bikin gaduh setelah mengetahui kemunculannya.
Dengan sorot mata yang tajam Tong lojin menyapu sekejap seputar ruangan, para jago segera merasakan mata yang tajam dari orang tua itu seakan sedang melotot kearahnya, tanpa sadar semua orang menunduk dan tak berani beradu pandangan.
Terdengar Tong Lojin berkata lagi: "Pengantin wanita tak bakal datang." Para jago sama-sama terperanjat, mereka tak kuasa menahan diri lagi, kegaduhan kembali terjadi.
"Apa yang diributkan?" bentak Tong Lojin lagi, "tenang, tenang, biarpun pengantin perempuan tak jadi datang, kalian masih bisa menikmati arak kegirangan, duduk semua dengan tenang." Ada orang yang tak tahan berteriak: "Kalau pengantin perempuan tak datang, arak kegirangan siapa yang mau diminum?" Tong Lojin mendongakkan kepala dan tertawa terbahak bahak.
"Hahaha, gagal minum arak kegirangan dari Tong Yan, arak kegirangan dari Tong Hong pun sama sekali, toh cucu menantu lohu sudah tiba sejak awal." Ketika mendengar Chin Siu-ang dan putrinya gagal datang, sebetulnya Tian Mong-pek sudah terperanjat, kini dia semakin gelagapan.
Tong Yan sendiri berdiri mematung, entah dia sedang terkejut atau gembira.
Sebaliknya paras muka Tong Hong berubah hebat, sorot matanya berputar kian kemari memandang kawanan jago.
"Bagus, bagus," teriak para tamu sambil bertepuk tangan dan tertawa keras, "arak kegirangan dari nona Hong pasti jauh lebih wangi...." Hong Sin yang berada jauh ditengah kerumunan para tamu segera menjawil putranya sambil berbisik: "Sudah waktunya, kau boleh tampil keluar!" Hong It tertegun, belum sempat dia mengucapkan sesuatu, tiba tiba dari kejauhan terdengar seseorang berteriak keras: "Tandu pengantin wanita tiba." Kembali terjadi kekalutan diantara para tamu undangan, ayah beranak dari keluarga Tong saling bertukar pandangan, Tong Hong menundukkan kepalanya, sementara Tian Mong-pek menghembuskan napas lega, tangannya mulai meraba gagang pedang.
Terlihat kawanan jago mulai menyingkir ke samping dan membuka sebuah jalan tembus.
Delapan orang lelaki bertelanjang dada yang hanya mengenakan kaus singlet terbuat dari serat emas dan memperlihatkan otot badannya yang kekar, menggotong sebuah tandu kecil dan berlari masuk.
Dibawah cahaya lampu yang terang benderang, terlihat tubuh ke delapan orang lelaki itu bersinar keemasan dengan sepatu yang berkilauan, dandanannya aneh tapi indah.
Tandu itupun sangat indah dengan warna emas yang mencolok, dibalik tirai yang terbuat dari untaian mutiara, duduk seorang wanita cantik dengan kopiah yang indah.
silau mata para hadirin ketika menyaksikan kesemuanya itu, pikir mereka: "Royal amat Chin Siu-ang." secara diam diam Tian Mong-pek mulai menggeser, mendesak ke depan kerumunan dan menanti kemunculan dari musuh besarnya, Chin Siu-ang.
Dengan suara keras teriak Tong Lojin: "Terhitung peraturan apa ini, masa ada tandu yang langsung digotong ke tengah ruangan, hmm, hmmm, berontak, benar benar berontak, ayoh cepat berhenti, bimbing keluar pengantin wanitanya." Empat orang dayang segera maju ke depan, menyingkap tirai dan membimbing keluar sang pengantik wanita, biarpun mukanya tertutup kain merah sehingga tak jelas raut mukanya, tapi dari potongan badannya yang ramping, tinggi semampai, bisa diduga dia pastilah seorang wanita cantik.
"Cepat menyembah langit dan bumi, upacara perkawinan segera dimulai." Perintah Tong Lojin.
"Tapi mana Cin-ge-ang (besan)?" tanya Tong Ti tergagap.
"Salah sendiri kalau tidak datang, memang begitu banyak orang harus menunggu dia seorang?" "Betul, betul, cepat menyembah langit dan bumi." Teriak para tamu sambil bertepuk tangan.
Ada berapa orang tamu segera mendorong Tong Yan agar berdiri berjajar dengan pengantin wanita, dengan pakaian mereka yang indah dan perawakan tubuh yang serasi, kedua orang ini memang merupakan pasangan sejoli yang pas.
Para jago mulai bersorak memuji, wajah Tong Lojin mulai dihiasi senyum gembira, hanya Tong Yan yang berdiri tertunduk dengan sikap acuh tak acuh.
Tian Mong-pek ikut menjadi gusar setelah melihat itu, pikirnya: "Kalau sekarang dia menikah, lantas bagaimana dengan Tu Kuan?" Tapi untuk sesaat diapun tak tahu apa yang harus dilakukan.
Tiba tiba terdengar ada orang berteriak keras: "Bagaimana pun, perkawinan nona Hong telah terjadwal, kenapa tidak dirayakan sekalian pada hari yang sama?" Usul itu seketika mendapat tanggapan dari seluruh hadirin, tempik sorak kembali bergema gegap gempita.
"Hahaha, itupun bagus.....
itupun bagus." sahut Tong Lojin sambil tertawa tergelak.
Setiap perkataan orang tua itu ibarat titah seorang kaisar yang tak boleh dibantah, begitu selesai bicara, sambil tertawa tergelak Tong Pa segera menarik tangan Tian Mong-pek.
Dalam kagetnya, pemuda itu hanya bisa berdiri tertegun.
Belum sempat bereaksi, orang orang yang berada disekitarnya telah merubung maju dan menyeretnya keluar.
Perlu diketahui, kawanan jago silat ini sudah terbiasa bertindak latah, tidak pakai aturan dan bertindak semau sendiri, karena itu dalam masalah tata cara perkawinan pun, mereka tak pakai aturan, terlebih Lo-cou-cong sudah setuju.
Karena itulah tak heran semua orang ingin menggunakan kesempatan itu untuk menciptakan suasana yang lebih ramai.
Tian Mong-pek merasa terkejut bercampur gusar, tahu tahu badannya sudah diseret orang hingga tampil ke depan.
Buru buru Hong Sin mendorong putranya sambil berseru: "Cepat, cepat, kenapa kau masih belum keluar." Biarpun Hong It berwatak bajingan dan banyak melakukan perbuatan laknat, tak urung sepasang kakinya terasa lemas juga setelah menghadapi kejadian ini, bisiknya ragu: "Ke.....
keluar....." apakah tidak apa apa .
. . . ..?" "Dasar bocah goblok," umpat Hong Sin gusar, "siapa yang berani makan itik yang sudah matang dikukus?" Dia tarik tangan Hong It dan siap menerobos keluar dari kerumunan orang.
Tiba tiba terdengar dua bentakan bergema di angkasa, suara bentakan itu hampir bersamaan, tapi satu berasal dari timur, yang lain berasal dari barat, satu adalah suara kakek tua, yang lain adalah suara yang merdu dan bening.
Kedua orang itu sama-sama membentak: "Tian Mong-pek tidak boleh menikah." Lagi-lagi para jago dibuat terperanjat.
"Siapa yang berani mengacau?" bentak Tong Lojin gusar.
Terlihat kerumunan tamu yang ada disebelah timur tiba tiba bertumbangan ke kiri kanan dan terbuka sebuah jalan lewat.
Begitu pula dari sebelah barat, terlihat kerumunan manusia bertumbangan dan buru buru memberi jalan lewat.
Ditengah kekalutan, tampak seorang kakek berwajah saleh melompat keluar dari tengah kerumunan manusia sebelah timur, begitu meluncur ke depan lilin pengantin, bentaknya: "Tian Mong-pek, apakah ucapanmu masih bisa dipercaya?" Kawanan jago yang mengenali kakek itu kontan menjerit: 'I, u "Aaah, panah yang lepas dari busur Nama besar yang cukup menggetarkan sukma ini seketika menghisap perhatian semua hadirin, dengan begitu orang jadi melupakan orang yang berada disebelah barat.
Tong Lojin ikut melongo ketika melihat orang yang tampil adalah Tu Hun-thian, kemudian sambil tertawa dingin tegurnya: "Tua bangka Tu, dengan susah payah aku si orang tua menyelenggarakan pesta perkawinan, apakah merah matamu?" Tu Hun-thian tidak menggubris, dia hanya mengawasi Tian Mong-pek dengan mata melotot.
Sepintar apa pun, tertegun juga Tian Mong-pek menghadapi perubahan situasi ini, untuk berapa saat dia tak tahu harus berkata apa" "Sebelum menemukan putriku, jangan harap kau bisa menikah." Kembali Tu Hun-thian berseru.
Tak terkirakan rasa gusar Tong Lojin, teriaknya: "Bagus, kau .
. . . .. kau . . . . .. berani betul kau merampas calon cucu menantuku?" Sekonyong-konyong terdengar pengantin perempuan itu berteriak keras: "Ayah!" Kemudian ia menubruk ke dalam pelukan Tu Hun-thian.
Perubahan ini semakin diluar dugaan siapa pun, saking kagetnya, kawanan jago itu sampai tak mampu bersuara, mereka hanya bisa berdiri dengan mata terbelalak mulut melongo sambil menunggu perkembangan selanjutnya.
Gemetar tubuh Tong Lojin menyaksikan semua adegan itu, teriaknya: "Seee...
sebenarnya apa yang terjadi?" Tu Hun-thian sendiripun merasa kejadian ini diluar dugaan, sementara dia masih tertegun, pengantin wanita itu telah menarik lepas kain cadarnya sehingga terlihat wajah aslinya, ternyata dia tak lain adalah Tu Kuan.
Dengan tubuh bergetar Tong Yan mundur tiga langkah, wajahnya pucat pias.
Sedang Tong Lojin segera berteriak: "Tu Hun-thian, sebetulnya pengantin wanita ini putrimu atau putrinya tua bangka Chin?" Tu Hun-thian tidak ambil peduli, dia peluk Tu Kuan erat erat, dengan air mata berlinang bisiknya: "Kuan-ji .
. . . .. Kuan-ji..... ke mana saja kau selama ini, tahukah kau....
II ayah sangat merindukan dirimu .
. . . . .. "Bagus sekali," teriak Tong Lojin, "putrimu bukan saja ingin menyamar sebagai cucu menantuku, kaupun ingin merebut cucu menantu laki ku, akan kulihat apa yang kau andalkan?" Berkerut alis mata Tu Hun-thian, sambil mendorong Tu Kuan, katanya dengan nada berat: "Anak Kuan, sebenarnya apa yang terjadi, kenapa kau duduk dalam tandu pengantin orang lain?" Tu Kuan tertawa linglung, belum sempat dia menjawab, dari arah barat sudah terdengar seseorang berteriak: "Lohu yang menghantar kemari." Suaranya rendah tapi nyaring, membuat kendang telinga semua orang terasa sakit.
Kerumunan tamu yang ada disebelah barat serentak menyingkir ke samping, seorang kakek berjubah sutera, seorang wanita cantik berbaju indah dan seorang gadis cantik berdandan lelaki berjalan masuk dengan langkah lebar.
Gadis itu mengenakan jubah ungu yang halus dan indah, rambutnya dikonde dengan tusuk konde kumala, sebilah kipas emas berada ditangannya, mata yang bening, hidung yang mancung, bibir yang mungil membuat kecantikannya bak bidadari dari kahyangan.
Biarpun para jago cukup lama berkelana dalam dunia persilatan, namun selama ini belum pernah berjumpa dengan gadis yang begini cantik, untuk sesaat semua orang memandang dengan bodoh, bahkan sampai ayah beranak dari keluarga Tong pun ikut terperana hingga lupa bicara.
Tak terlukiskan rasa kaget dan girang Tian Mong-pek setelah menyaksikan
Biarpun para jago cukup lama berkelana dalam dunia persilatan, namun selama ini belum pernah berjumpa dengan gadis yang begini cantik, untuk sesaat semua orang memandang dengan bodoh, bahkan sampai ayah beranak dari keluarga Tong pun ikut terperana hingga lupa bicara.
Tak terlukiskan rasa kaget dan girang Tian Mong-pek setelah menyaksikan kehadiran ke tiga orang ini.
Dengan hati tergetar Tu Hun-thian ikut berteriak: "Hah, nona Siau, ternyata kau." Tiga orang yang barusan muncul tak lain adalah manusia tak berusus Kim Hui suami istri serta Siau Hui-uh.
Melihat gelagat tidak menguntungkan, Tong Yan jadi keder dan ketakutan, diam diam ia berusaha kabur dari situ.
"Berhenti!" tiba tiba terdengar suara bentakan nyaring, suara itu bagaikan guntur yang membelah bumi.
Bersamaan dengan menggemanya suara bentakan, Kim Hui sudah melambung ke udara dan menerkam Tong Yan.
Dalam takutnya cepat tong Yan mengayun tangannya ke belakang, siapa tahu belum sempat serangannya dilontarkan, pergelangan tangannya sudah dicengkeram orang, rasa sakit yang luar biasa membuat anak muda itu menjerit keras.
"Hei sii..... siapa orang ini" Hajar dia." Teriak Tong Lojin sambil bertepuk tangan.
Tanpa banyak bicara, Tong Pa melontarkan satu pukulan mengancam belakang lengan Kim Hui.
Siapa tahu belakang punggung Kim Hui seakan tumbuh mata, satu kebasan ke belakang membuat Tong Pa tak sanggup berdiri tegak, dia merasa ada satu kekuatan besar menghantamnya, membuat dia terhuyung lalu roboh terjungkal.
Menyaksikan betapa dahsyatnya kekuatan lawan, bahkan dalam satu pukulan berhasil merobohkan si macan tutul baja yang terhitung hebat diantara jago muda, tak kuasa para jago berseru memuji: "Ilmu silat hebat .
. . . . .." Tapi begitu Kim Hui berpaling dan memperlihatkan sinar matanya yang buas bagai binatang serta wajahnya yang mengerikan, terutama gigi runcingnya seakan hendak menggigit mangsanya, para jago kembali merasa bergidik, sorak sorai pun seketika terhenti sampai tengah jalan.
Kim Hui menyeret tubuh Tong Yan ke hadapan Tong Lojin serta Tu Hun-thian, kemudian teriaknya: "Hei orang she-Tu, bukankah kau ingin bertanya kepada lohu kenapa menghantar putrimu dalam tandu pengantin?" "Benar!" Tu Hun-thian dan Kim-pit-hud serentak menjawab.
"Hahaha," Kim Hui tertawa keras, "ini dikarenakan putrimu sudah punya hubungan pribadi dengan bocah she-Tong itu, kalau lohu tidak menghantar naik tandu pengantin, lantas siapa yang akan naik?" "Omong kosong!' kembali Tu Hun-thian dan Tong Lojin berteriak hampir berbareng.
"Hahaha, kalau kalian berdua tak percaya, tuh, yang laki maupun yang perempuan sudah hadir disini, tanyakan saja kepada mereka." "Anak Kuan, kau?" tanya Tu Hun-thian.
"Tong Yan, kau?" teriak Tong Lojin pula.
Ternyata suara Tong Bu-im jauh lebih lantang, maka Tu Hun-thian pun tutup mulut.
Terdengar Tong Lojin bertanya lagi: "Benarkah kau telah melakukan perbuatan ini?" Paras muka tong Yan pucat bagai mayat, sepasang kakinya menggigil takut, sahutnya terbata bata: "A.....
ananda . . . . .." "Tak usah dilanjutkan, kelihatannya kejadian ini memang benar." Kembali Tong Lojin menukas.
"Ti.... tidak . . . . .." "Tidak apa?" hardik Kim Hui sambil memperkencang cengkeramannya.
"Aduuuh...." seketika Tong Yan kesakitan setengah mati, "tidak...
tidak salah . . . . .." Para jago merasa terkejut, keheranan bercampur gembira, sebaliknya si Tangan pencabut nyawa Tong Ti merasa kehilangan muka, tak kuasa dia tampar wajah Tong Yan keras keras.
"Hei, kenapa kau memukulnya?" tegur Tong Lojin.
sekujur tubuh Tong Ti gemetar keras saking gusarnya.
"Binatang..... binatang, kau telah membuat malu keluarga Tong, akan kuhajar kau hingga mampus." Kembali tangannya melayang, siap menggampar wajah putranya.
"Tahan!" tiba tiba Tong Lojin membentak.
"Ayah," seru Tong Ti tertegun, "kau.....
kau . . . . .. Sambil tertawa terbahak-bahak kata Tong Lojin: "Putri tua bangka Tu jauh lebih bagus ketimbang putri si tua bangka Chin, bocah ini bisa memperistri nona Tu, hal ini merupakan rejekinya, kenapa II harus kau pukul?" Tong Ti melengak, Tong Yan melongo, apalagi para jago yang hadir.
Sebaliknya Tian Mong-pek segera mengacungkan jempolnya dan diam diam memuji: "Orang tua ini memang manusia hebat, cara kerjanya tegas dan bijaksana." Kembali Tong Lojin berkata sambil tertawa tergelak: "Tu Hun-thian, kita salah biarlah salah, bagaimana kalau dari kesalahan kita bina hubungan keluarga" Cucu keluarga tong rasanya tak akan membuat putrimu jadi malu." Tu Hun-thian memandang wajah Tu Kuan, melihat putrinya tertawa dengan air mata mengembang di mata, diapun menghentakkan kakinya dengan gemas sambil mengeluh: "Yaa sudahlah!" Kembali Tong Lojin tertawa terbahak bahak.
"Yan-ji, kenapa tidak segera bersujud memberi hormat?" perintahnya.
Tong Yan terkejut bercampur girang, dengan penuh rasa takut ditengoknya wajah sang ayah sekejap.
Si Tangan pencabut nyawa Tong Ti termenung berapa saat, akhirnya dia pun berkata sambil menghentakkan kakinya: "Terlalu enakan buat kau si bocah tak tahu diri." Tong Yan amat girang, buru buru dia menjatuhkan diri berlutut dan benar benar bersujud tiga kali.
Tu Hun-thian menghela napas panjang, dia hanya bisa pejamkan mata dan tidak lagi menengok kearahnya.
Saat inilah para tamu baru bisa tertawa keras, dalam waktu singkat suasana pun jadi hiruk pikuk.
"Tu Hun-thian, apakah kau masih punya anak perempuan?" tiba tiba Tong Lojin bertanya sambil tertawa.
Tu Hun-thian melengak, tapi segera jawabnya sambil tertawa ewa: "Satu pun sudah lebih dari cukup." Biarpun tadi ia diliputi rasa gusar dan kaget yang luar biasa, tapi bila teringat keadaan putrinya saat ini, bisa menjadi menantu keluarga Tong sesungguhnya sudah merupakan satu berkah yang luar biasa, maka perasaan hati pun mulai menjadi tenang kembali.
Terdengar Tong Lojin tertawa terbahak-bahak.
"Bagus, bagus, untung kau hanya punya seorang anak gadis, itu berarti kau 'I' a tak bakal merebut calon cucu menantu laki ku Gelak tertawanya penuh diliputi rasa bangga, jelas orang tua ini sangat menyukai Tian Mong-pek.
Siapa tahu belum habis dia tertawa, kakek berbaju sutera itu sudah tertawa pula, serunya: "Mungkin si tua bangka Tu tak akan merebut, sayangnya masih ada orang lain yang akan merebutnya." Gelak tertawanya lebih nyaring ketimbang Tong Bu-im, lebih bangga.
"Siapa yang berani merebut cucu menantuku?" tanya Tong Lojin dengan wajah berubah.
Tampak perempuan cantik berdandan pria itu berjalan mendekat sambil tersenyum, setelah menjura, jawabnya: "Aku!" Satu gelombang baru reda, gelombang lain kembali timbul, para jago merasa terkejut bercampur tercengang, Tian Mong-pek kaget bercampur girang, sedang Tong Ti si Tangan pencabut nyawa kaget bercampur gusar, hanya Kim Hui yang tertawa terbahak-bahak, tertawa penuh rasa bangga.
Setelah melengak berapa saat, tanya Tong Lojin sambil tertawa tergelak: "Kau" Kau akan merebut calon cucu menantuku" Hahaha .
. . . .." Mungkin saking gelinya, dia tertawa sampai terbungkuk-bungkuk.
"Betul, memang aku." Tandas Siau Hui-uh sambil tersenyum.
"Hahahaha, aku orang tua hidup sampai delapan puluh tahun, baru pertama kali ini kujumpai kejadian semacam ini, hei nona cilik, berapa usiamu tahun ini?" "Diatas sepuluh tahun, dibawah enam puluh tahun." "Hahaha, masih begitu muda belia sudah ingin buru buru kawin" Lebih baik pulang saja, orang semacam kau tak perlu takut tidak laku kawin." "Baik," kata Siau Hui-uh sambil tersenyum, "kami akan pulang, tapi calon cucu menantu mu akan pulang bersama kami." Belum pernah para jago menjumpai gadis muda selatah itu, selain heran, mereka pun geli, tiba tiba terdengar seseorang berseru sambil tertawa keras: "Nona, lebih baik pulang saja ikut aku!" Siau Hui-uh tertawa dingin.
"Siapa yang ingin mengajak aku pergi" Silahkan keluar." Para jago tertawa terbahak-bahak, tak ada yang menjawab.
"Ayoh keluar," kembali Siau Hui-uh berseru, "kenapa musti malu?" Terlihat seorang lelaki berbaju indah didorong orang hingga tampil ke depan.
Gelak tertawa kembali bergema dari empat penjuru, teriak orang orang itu: "Ong Beng, kemana kau simpan nyalimu dihari hari biasa" Ayoh keluar!" II "Kemari, cepat kemari, biar kulihat macam apa wajahmu.
Kata si nona. Orang itu mengenakan baju sutera yang indah, wajahnya putih pucat, jenggotnya pendek, matanya berputar kian kemari dengan liar, bisa diduga dihari biasa dia memang orang yang romantis.
Saat ini dengan andalkan nyali karena mabuk, ia benahi bajunya lalu berjalan keluar dan memandang Siau Hui-uh sambil cengengesan.
"Siapa namamu?" tanya si nona.
"Hehehe, aku Ong Beng, berkat perhatian dan sanjungan sahabat dunia persilatan, mereka memanggilku Hong-liu-phoa-an, padahal aku tak berani menerima kata romantis." Maksudnya dia suka sekali disamakan dengan Phoa An, seseorang yang dianggap sebagai lelaki paling ganteng dimasa lalu.
Tong Lojin hanya menonton dengan senyum dikulum, sedang Tian Mong-pek tahu, orang itu bakal merasakan pil getir ditangan si nona, tapi setelah melihat bentuk wajah orang ini, dia tahu orang seperti itu biasanya bukan tergolong orang baik, maka diapun tidak berusaha untuk mencegah.
Terdengar Siau Hui-uh berkata: "Padahal gampang sekali bila ingin jalan bersama aku .
. . . .." Perlahan dia membuka tangannya, melepaskan cincin kumala hijau dari jari tangan dan diletakkan diatas telapak, katanya: "Asal kau dapat mengambil cincin ini dari telapak tanganku, aku pun akan ikut kau." Melihat jari tangannya yang putih bersih bagai salju, dalam hati para jago berpikir: "Orangnya begitu lembut, mana mungkin tangannya begitu bertenaga" Jangan jangan dia sudah tertarik dengan Ong Beng sehingga sengaja bicara begitu." Seketika Ong Beng merasakan hatinya gatal saking girangnya, sambil cengar cengir tegasnya: "Sungguh?" "Tentu saja sungguh," hardik Kim Hui, "tak usah banyak bicara lagi, cepat lakukan!" Agak merinding hati Ong Beng melihat wajahnya yang seram, tapi setelah memandang lagi jari tangan Siau Hui-uh yang lentik, tak tahan diapun berjalan mendekat sambil mengulurkan tangannya.
"Cepat!" seru Siau Hui-uh tertawa.


Panah Kekasih Karya Gu Long di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Tiba tiba Ong Beng melancarkan satu cengkeraman, gerak geriknya lincah dan enteng, serangan itupun dilakukan cepat dan tepat sasaran, dia tahu pihak lawan pasti akan menggunakan ki-na-jiu untuk menghadapi serangannya.
Siapa sangka pandangan matanya tiba tiba jadi kabur, si nona yang ada dihadapannya mendadak hilang tak berbekas, baru saja hatinya terkesiap, dari arah belakang sudah terdengar seseorang berkata sambil tertawa merdu: "Cincin nya berada disini, apa yang sedang kau comot?" Sambil tarik napas Ong Beng berputar badan secara tiba tiba, siapa tahu si nona sudah menyelinap lagi ke belakang tubuhnya, kejadian ini berlangsung berulang kali, betapa pun dia mencoba bergerak lebih cepat, jangan lagi merampas cincin itu, menjawil ujung baju lawanpun tak mampu.
Dalam waktu singkat semua jago dibuat terkesiap, siapa pun tidak menyangka kalau gadis lemah lembut itu ternyata memiliki ilmu meringankan tubuh yang luar biasa.
Senyuman diwajah Buddha berlengan emas Tong Bu-im pun hilang lenyap seketika.
Orang tua ini dijuluki orang sebagai tanpa bayangan, bisa diduga ilmu meringankan tubuhnya dimasa lalu luar biasa hebatnya, tapi setelah menyaksikan ginkang gadis itu, dia baru kaget karena kehebatannya sedikitpun tidak berada kehebatannya dimasa muda dulu.
Tiba tiba Ong Beng menghentikan langkahnya, sambil tertawa getir ia berseru: II "Nona, aku mengaku .
. . . . .. Tahu tahu tubuhnya gontai dan "Bruuuk!" roboh terjungkal ke tanah.
Ternyata sejak berputar kesana kemari tadi, kepalanya sudah terasa pening dan matanya berkunang, tak heran begitu ia berhenti berputar, badannya langsung terjerembab ke tanah.
"Hahaha, jangan sungkan sungkan, kenapa malahan bersujud?" ejek Siau Hui-uh sambil tertawa.
Perlahan-lahan Ong Beng merangkak bangun, dalam ke adaan begini mana berani banyak bicara lagi, dengan sempoyongan ia segera melarikan diri.
Para hadirin pun saling berpandangan tanpa bicara, bahkan bernapas keraspun tak berani.
Terdengar Tong Lojin menghela napas panjang, katanya: "Gadis yang begini cantik, pintar dan gagah betul-betul jarang dijumpai, coba kemari, biar kulihat lebih cermat." "Mau dilihat silahkan saja melihat." Dengan langkah santai Siau Hui-uh berjalan menghampiri.
"Aaai, dasar mata tua, sudah semakin rabun, coba majulah lebih dekat, biar aku dapat melihat lebih jelas." Pinta kakek itu.
Kembali Siau Hui-uh bergerak maju, katanya sambil tertawa: "Kau orang tua sudah mempunyai cucu menantu, apalagi yang hendak kau Il lihat.....
toh cucu menantu mu jauh lebih cantik daripada diriku.....
Tiba tiba terlihat kakek itu menggerakkan tangannya, tidak tampak gerakan itu sangat cepat, tahu tahu telapak tangan Siau Hui-uh sudah berhasil ditangkap.
Kembali para jago dibuat kaget, padahal gerakan tubuh Siau Hui-uh sudah terhitung sangat cepat, tapi kenyataannya dia gagal menghindari serangan si kakek cacat itu hingga tertangkap.
Dalam gusarnya, Kim Hui siap menerjang maju, tapi begitu melihat Siau Hui-uh ditangkap, dia kuatir orang tua itu melukainya, maka niat untuk maju pun segera diurungkan.
Siau Hui-uh sendiripun diam-diam merasa terperanjat, tapi paras mukanya sama sekali tak berubah, katanya sambil tertawa enteng: "Ooh, rupanya kau orang tua pun ingin pergi ikut aku" Kalau tidak, kenapa ikutan merebut cincinku?" "Siapa yahg perintah kau datang kemari?" hardik Tong Lojin sambil tarik muka.
"Aku datang sendiri, masa harus disuruh orang?" "Lohu sudah hidup hampir delapan puluh tahun, belum pernah mataku kemasukan pasir, kalau minta aku percaya bahwa kau si nona cilik datang untuk merebut cucu menantuku, mungkin hanya orang buta yang percaya." Para jago yang hadir ikut kasak kusuk membicarakan masalah ini, mereka merasa ketajaman mata orang tua itu luar biasa, sudah pasti gadis muda ini datang karena perintah seseorang dan sengaja he ndak mencari gara gara dengan keluarga Tong.
Perlu diketahui, masyarakat masa itu masih sangat kolot dalam hal hubungan antara lelaki dan wanita, sekalipun dia anggota persilatan, tak mungkin ada gadis muda yang begitu latah, berani datang untuk merebut suami orang, tak heran kalau semua orang tak percaya.
Siau Hui-uh memandang sekejap sekeliling tempat itu, tiba tiba serunya sambil tertawa: "Tian Mong-pek, kemari kau." Tian Mong-pek tertegun, akhirnya dia menyahut dan tampil ke depan.
"Coba jawab, benarkah kita .
. . . . . . .." tiba tiba Siau Hui-uh melancarkan sebuah pukulan ke arah Tong Lojin, sekalipun tangan kanannya dicengkeram, namun tangan kirinya masih bisa digunakan sekehendak hati.
Waktu itu pandangan mata Tong Lojin sudah terpecah oleh penampilan Tian Mong-pek, sedikit saja lengah, sebuah telapak tangan yang putih mulus telah muncul dihadapannya, sekalipun tenaga pukulannya tidak berat, namun dengan status dan posisinya sekarang, mana boleh ia biarkan serangan itu mengenai sasaran"
Waktu itu pandangan mata Tong Lojin sudah terpecah oleh penampilan Tian Mong-pek, sedikit saja lengah, sebuah telapak tangan yang putih mulus telah muncul dihadapannya, sekalipun tenaga pukulannya tidak berat, namun dengan status dan posisinya sekarang, mana boleh ia biarkan serangan itu mengenai sasaran" Diiringi bentakan keras, pergelangan tangannya digetarkan, tubuh Siau Hui-uh seketika dilemparnya ke depan, melewati batok kepala para jago dan meluncur ke depan.
Sungguh hebat tenaga lemparan orang tua itu, kuatir kejatuhan tubuh Siau Hui-uh, tergopoh gopoh para jago menyingkir ke samping.
Siapa tahu . . . . . .. "Wesss!" orang merasa pandangannya silau, tahu tahu Siau Hui-uh sudah terbang balik kehadapan orang tua itu, ujarnya sambil tertawa: "Kalau kau mampu menangkapku lagi, anggap saja kau memang hebat." Padahal tenaga bantingan itu sangat dahsyat, dalam kenyataan, si nona bukan saja tak terbanting, tubuhnya malahan meluncur balik ke posisi semula.
Sambil tertawa dingin seru Tong Ti: "Ilmu ginkang yang hebat, biar aku orang she-Tong menjajal kemampuanmu." Siapa sangka belum sempat dia melangkah, Tong Bu-im kembali sudah tertawa keras, serunya: "Bagus, bagus, ternyata putri dari lembah kaisar, nyaris lohu salah lihat." Rupanya ilmu meringankan tubuh Ing-hong-hui-liu (menyongsong angin membalik pohon liu) yang baru saja digunakan Siau Hui-uh tak lain adalah ilmu simpanan lembah kaisar, di kolong langit dewasa ini, tiada perguruan lain yang sanggup menggunakannya.
Terperanjat juga Siau Hui-uh begitu tahu orang tua itu berhasil menebak asal usulnya hanya dalam sekali pandangan, teriaknya: "Betul, tapi kedatanganku kali ini adalah atas inisiatip aku sendiri, sama sekali tak ada sangkut pautnya dengan ayahku." Setelah mendengar "lembah kaisar" disinggung, para jago semakin tak berani bersuara.
Kembali orang tua itu tertawa dingin, katanya: "Siau Ong-sun wahai Siau Ong-sun, kau telah merebut kekasih hati lohu dimasa lalu, apakah hari ini kau masih ingin merampas cucu menantuku?" Tiba tiba dengan suara lantang dia berseru: "Tian Mong-pek, kau segera melakukan akad nikah dengan anak Hong, barang siapa berani mengacau, hadiahkan senjata rahasia perguruan kita kepadanya, anak Ti, siap." "Siapkan senjata rahasia!" bentak Si Tangan pencabut nyawa Tong Ti, tubuhnya mundur selangkah, tangannya menyingkap jubah panjang, ternyata dibaliknya merupakan pakaian ringkas, lima buah kantung kulit macan tergantung dipinggangnya.
Ditengah bentakan tadi, dari empat penjuru segera bermunculan delapan belas orang lelaki kekar, mereka semua mengenakan pakaian ringkas warna hitam, dipinggang masing masing pun tergantung empat-lima buah kantung kulit.
Begitu melihat kesiagaan keluarga Tong meski dalam pesta perkawinan, bahkan menunjukkan reaksi yang begitu cepat, para jago baru sadar bahwa nama besar keluarga Tong yang bisa bertahan selama banyak tahun, ternyata memang bukan nama kosong.
Ke delapan belas orang lelaki kekar itu tak lain adalah Tong-bun- cap-pwe-hong (delapan belas tawon dari keluarga Tong), kini mereka bersiaga di empat penjuru gedung, biarpun belum melakukan suatu tindakan, namun tak seorangpun dari para jago yang berani bertindak sembarangan.
Siau Hui-uh sendiripun tidak menyangka urusan bakal berubah sedrastis itu, diapun tak mengira kalau antara orang tua ini masih terikat dendam lama dengan ayahnya.
"Waah.... dengan perbuatanku hari ini, bukankah sama halnya menambah kesulitan bagi ayah?" demikian dia berpikir, untuk sesaat diapun ikut berdiri mematung.
Sejak Tong Ti mempersiapkan serangan hingga kini, semua berlangsung hanya dalam waktu singkat.
"Tian Mong-pek," bentak Kim Hui, "cepat jawab, kau ingin menjadi menantunya keluarga Siau atau menantunya keluarga Tong" Katakan saja, tak usah takut." Belum sempat Tian Mong-pek menjawab, sambil tertawa dingin Tong Lojin telah berkata: "Tian Mong-pek sudah pasti akan jadi menantu keluarga Tong kami, budak Hong, ayoh keluar, siap siap upacara pernikahan." Dengan kepala tertunduk Hui-hong-hong berjalan keluar, tiba tiba ujarnya sambil angkat kepala: "Aku tak akan menikah dengan dia." "Kau.....
kau sudah gila?" hardik Tong Bu-im gusar.
"Aku tak akan menikah dengan dia." Kembali Hui-hong-hong mengulang, tatapan matanya lurus, mimik mukanya kaku tanpa ekspresi, tapi hampir setiap orang yang hadir seolah tidak menyangka kalau dia bakal berkata begitu.
"Kenapa . . . . .. kenapa . . . . . .." tanya Tong Bu-im.
Dari balik kerumunan orang banyak terdengar seseorang menyahut sambil tertawa ringan: "Mungkin dalam hal ini hanya cayhe yang bisa jelaskan." Hong Sin sambil menggandeng tangan Hong It berjalan keluar dari balik kerumunan tamu.
Begitu melihat siapa yang tampil, baik Lam-yan maupun Siau Hui-uh sama sama berseru kaget: "Hah, kalian berdua pun berada disini?" Hong Sin segera memberi hormat kepada mereka berdua dan ujarnya seraya tertawa: "Selamat bertemu hujin, selamat berjumpa nona." Dia tarik tangan Hong It menuju ke hadapan Tong Bu-im, lalu katanya: "Anak It, cepat bersujud dihadapan Lo-cou-cong." "Manusia macam apa kau?" bentak Tong Bu-im gusar, "siapa yang menjadi Lo-cou-cong mu?" Hong Sin tertawa, katanya: "Putraku Hong It lah yang sesungguhnya menjadi cucu menantu cianpwee, mereka berduapun sudah mengikat janji untuk hidup bersama, karena itu pula nona Hong tak bakal mau menikah dengan orang lain, bukan begitu nona Hong?" "Kentut .
. . . .. kentut..... budak Hong, kau . . . . . .." Tapi begitu melihat Tong Hong hanya berdiri tertunduk dengan air mata berlinang, bergetar perasaan hatinya, dia tahu dibalik kejadian ini pasti sudah terjadi sesuatu, rasa kaget, mendongkol, cemas, gusar membuat telapak tangannya tertahan di udara.
Begitu pula dengan si Tangan pencabut nyawa, paras mukanya pucat pasi bagai mayat.
Kawanan jago yang hadir dalam ruangan pun terperangah, melongo, tercengang, suasana jadi hening, sepi sekali.
Akhirnya Tong Bu-im menghela napas panjang, ujarnya perlahan: "Baik, baiklah .
. . . .. pasangan yang kalut, pasangan yang kacau..." "Ayah, ini .
. . . . . . .." paras muka Tong Ti berubah.
Tong Bu-im mengulapkan tangannya.
"Kau sangka aku tidak kenal dengan ayah beranak dua orang ini?" tanyanya ketus.
Tong Ti tak berani menyahut, tapi paras mukanya yang pucat kini telah menghijau, jelas amarahnya sudah memuncak.
II "Budak Hong, kemari kau.
Panggil Tong Bu-im. Burung Hong api Tong Hong berjalan mendekat dengan tubuh kaku.
"Kau pun kemari." Undang kakek itu lagi.
Hong Sin segera mendorong tubuh Hong It sambil bisiknya: "Lo-cou-cong memanggilmu, cepat kesana." Rasa girang sudah menghiasi raut mukanya, dalam sa ngkaan dia, kali ini dia berhasil menggaet burung hong untuk putranya.
"Budak Hong," kembali Tong Bu-im berkata, "apakah kau bersedia kawin dengan dia?" Air mata bercucuran membasahi wajah Tong Hong, tapi akhirnya dia mengangguk.
"Bagus," ucap Tong Bu-im, "Hong It, kemari kau.....
coba lebih dekat lagi . . . . . .." Tiba tiba tangannya menyambar ke depan, bayangkan saja, sambaran yang sedemikian cepatnya sampai Siau Hui-uh pun tak sanggup berkelit, bagaimana mungkin Hong It dapat menghindar" Baru saja hatinya bergidik, sepasang tangannya sudah jatuh dalam cengkeraman orang tua itu.
Kembali Buddha berlengan emas mengebaskan tangannya, tubuh Hong It seketika mencelat ke tengah udara.
Tapi sebelum tubuhnya melambung, sepasang kakinya kembali sudah terjatuh ke dalam cengkeraman Tong Bu-im, lalu .
. . . .. "Kraaak! Kraaak!" Hong It menjerit kesakitan, tahu tahu sepasang kakinya sudah dipatahkan orang tua itu.
"Kau..... Kau . . . . . .." jerit Hong Sin kaget.
Tong Hong ikut menjerit, tubuhnya langsung roboh terkulai ke tanah, tak sadarkan diri.
Dengan wajah kaku tanpa ekspresi, ujar orang tua itu ketus: "Wajah putramu penuh kelicikan dan buas, dikemudian hari bisa mati dibantai orang, sekarang aku sengaja menghancurkan sepasang kakinya, asal dikemudian hari bisa jaga kelakukan dan tidak lagi berbuat jahat, meski cucu perempuanku kawin dengan orang cacat, rasanya jauh lebih baik daripada masih muda sudah menjanda." Biarpun nada suaranya dingin kaku, namun kedengaran agak gemetar.
Saat itu para jago sudah dibuat tertegun atas kekejian orang tua ini, tak seorangpun yang bisa menangkap niat baik dibalik tindakan tegasnya itu.
Hanya Tian Mong-pek dan Tu Hun-thian sekalian yang diam diam kagum, biarpun mereka berdua amat membenci kebusukan hati ayah beranak itu, tapi kini hanya bisa berpikir sambil menghela napas: "Asalkan dikemudian hari mau bertobat, yaa sudahlah." Tiba tiba mereka teringat kalau apa yang dilakukan orang tua itu, bukankah bermaksud agar para musuhnya bersedia mengampuni kesalahannya dan tidak mencari balas" Teringat hal ini, mereka merasa makin kagu, dia tahu inilah tindakan yang dilakukan orang tua itu untuk melindungi cucu perempuannya.
Harpa Iblis Jari Sakti 12 The Heroes Of Olympus 1 Pahlawan Yang Hilang Lost Of Hero Gerhana 10

Cari Blog Ini