Ceritasilat Novel Online

Panah Kekasih 3

Panah Kekasih Karya Gu Long Bagian 3


Tampak nona berbaju hijau itu berdiri dihadapannya sambil bercekak pinggang, bentaknya gusar: "Apa kau bilang?" Matanya melotot besar, penuh cahaya amarah.
Ditengah bentakan gusar Li Koan-eng melompat bangun, tangannya bergetar, pisau belati dalam genggamannya ibarat titiran hujan menusuk ke tubuh nona itu.
Kalau tadi dia terkena pukulan gara gara ceroboh dan gegabah, kini cahaya pisaunya berkilauan bagaikan lapisan kabut berwarna perak yang menyelimuti seluruh tubuhnya.
Tu Kuan bertekuk pinggang sambil mundur empat langkah, sejak kecil dia sudah berlatih silat dari ayahnya, kemampuan yang dimiliki meski ampuh, sayang pengalamannya bertarung masih minim, tanpa terasa pikirannya jadi kalut setelah menghadapi sergapan itu.
Sambil tertawa seram kembali Li Koan-eng berkata: "Kalau tahu diri, cepat mundur ke samping, akan kubereskan dulu manusia cabul yang tak tahu malu itu!" "Kau masih berani menuduh yang bukan bukan!" bentak Tu Kuan gusar, tangannya diayunkan ke muka, lagi lagi sebuah serangan maut dilancarkan.
Mendengar orang lain menghina jagoan idolanya, timbul hawa amarah yang membara dalam hati kecil nona ini, secara beruntun dia lancarkan tiga buah pukulan dan lepaskan satu tendangan kilat, mengarah pisau belati dalam genggaman lawan.
Tendangan ini muncul tanpa bayangan, Li Koan-eng hanya merasakan pergelangan tangannya kesemutan, pisau belati dalam genggamannya disertai kilasan cahaya perak sudah mencelat masuk ke balik hutan.
Ia terkesiap, tanpa sadar tubuhnya mundur sejauh tujuh depa, sayang Tu Kuan tidak tahu manfaatkan kesempatan itu untuk mengejar.
Seebun Ho yang menyaksikan kehebatan gadis itu, diam diam merasa kaget juga, setelah berpikir sejenak, hardiknya: "Nona, sebelum tahu masalahnya, kenapa kau sembarangan menyerang orang" Tahukah kau, apa yang telah dilakukan bangsat she-Tian itu?" "Aku hanya tahu dia tak bakalan melakukan perbuatan bejad, kalau kalian tidak segera berhenti menyerang, aku.....
aku . . . . .." sebagai gadis yang lembut dan polos, dia tak tega mengucapkan perkataan yang kasar dan kotor.
Tian Mong-pek sangat terharu, bagaimana pun juga, ternyata dikolong langit masih ada orang yang menaruh kepercayaan terhadap dirinya.
Dengan mata mendelik teriak Li Koan-eng: "Orang she-Tian telah mencuri biniku, apakah perbuatan semacam itu bukan perbuatan bejad?" Tu Kuan agak tertegun, tapi cepat serunya: "Binimu toh bukan orang mati, mana mungkin bisa dicuri dan dibawa kabur olehnya!" Seebun Ho tahu kalau nona muda ini tidak mengerti bahasa kasar, tanpa menghentikan gerak serangan, jelasnya: "Yang dimaksud adalah orang she-Tian itu telah berselingkuh dengan istrinya Li toako, masa kau masih membelai manusia semacam itu?" Kali ini Tu Kuan mengerti, lagi-lagi ia tertegun, tapi segera teriaknya: "Aku tidak percaya!" "Hmm, orang she-Tian sendiri sudah mengakui, masa kau masih belum percaya?" jengek Seebun Ho tertawa dingin.
Gemetar keras sekujur badan Tu Kuan, jeritnya: II "Tian kongcu .
. . . . . .. "Kalau tidak pernah berbuat, kenapa dia beradu jiwa dengan kami berdua" lanjut Seebun Ho.
Hijau membesi paras muka Tian Mong-pek, ia gigit bibir menahan gejolak emosinya yang meluap, tanpa ambil perduli jurus serangan lawan, "wesss!" satu pukulan maut langsung dilontarkan ke depan, membuat tubuh Seebun Ho terpental ke samping, namun tulang bahu sendiri terhantam pula oleh senjata pit lawan.
"Tian kongcu" teriak Tu Kuan lagi, "kau.....
kau terluka!" "Aku adalah manusia jahat, kau tak usah perdulikan aku!" ujar Tian Mong-pek gusar.
Tanpa memperhatikan keadaan lukanya, dia putar badan kabur meninggalkan tempat itu, dia pergi dengan membawa api amarah yang berkobar, sekalipun semua dosa dan kesalahan dilimpahkan ketubuhnya seorang, dia tak ambil perduli, dia tak ingin memberi penjelasan apa pun.
Tu Kuan memandang sekejap sekitar arena, tiba tiba dia mengejar sambil menjerit: "Tian kongcu .
. . . . . . .." Tanpa berpaling Tian Mong-pek kabur masuk ke balik hutan, biarpun tubuhnya terluka namun tidak terlalu parah, justru luka hatinya yang berdarah darah, bila Thian punya mata, mengapa Ia diperlakukan seperti ini" Li Koan-eng tertegun berapa saat, bentaknya kemudian: "Bajingan cabul, mau kabur ke mana kau!" Dia menggerakkan badan siap melakukan pengejaran, tiba tiba Seebun Ho menarik lengannya sambil menegur: "Li toako, apa lagi yang akan kau lakukan?" "Sebelum dapat mencincang tubuh bajingan cabul itu hingga hancur berkeping, rasanya aku belum dapat menghilangkan rasa benci dan dendamku" sahut Li Koan-eng gusar.
Seebun Ho tertawa dingin, ujarnya perlahan: "Kau tak perlu membunuhnya dengan tangan sendiri, toh dia tak bakal bisa hidup melebihi satu jam!" "Apa?" teriak Li Koan-eng kaget.
Perlahan Seebun Ho mengangkat senjata poan-koan-pitnya, diujung senjata pit itu terlihat bekas darah yang belum mengering, ujarnya sambil menyeringai seram: "Barusan aku berhasil menghantam pundaknya dengan ujung pena, kau tahu bukan, senjataku mengandung racun yang sangat hebat, semisal dia duduk tak bergerak, mungkin jiwanya masih bisa bertahan selama berapa saat, tapi kini dia justru kabur dari sini, begitu hawa racun menyebar, hmm! Hmmm!" Setelah mendengus dingin berulang kali, dia tidak melanjutkan lagi kata katanya.
Li Koan-eng tertegun sejenak, kemudian mendongak dan tertawa seram.
Kembali Seebun Ho berkata dengan nada dingin: "Kini si lelaki selingkuh udah mampus, toako tak usah pusingkan perempuan cabul itu lagi, paling lama sebulan, paling cepat sepuluh hari, siaute pasti akan menenteng batok kepalanya untuk dipersembahkan kepadamu!" "Seebun-heng, kau selalu membantu orang yang sedang dalam kesulitan, selalu setia kawan, demi urusan siaute pun rela bersusah payah, aai .
. . . .. biarpun keluarga siaute tertimpa masalah, namun bisa bersahabat dengan seorang teman macam Seebun-heng, boleh dibilang inilah keuntungan diantara ketidak beruntungan!" "Hahaha....
itu mah tak terhitung seberapa" sela Seebun Ho sambil tertawa, "mari, mari! Kita habiskan berapa cawan arak untuk meredakan hawa amarah Li-heng!" Oo0oo Angin gunung berhembus kencang, hujan kembali turun dengan derasnya, suara hujan yang menimpa pepohonan membiaskan ira ma sedih yang memilukan hati.....
Secepat asap ringan nelayan To meloncat turun ke tengah arena, pikirnya: "Hukum langit memang selalu menjebak manusia berdosa, coba kalau bukan karena tindakan losu, bukankah terlalu keenakan buat manusia bejad itu! Hahaha.....
selama sepuluh tahun terakhir, baru hari ini aku merasa puas sekali!" Orang tua ini memang tak bedanya seperti sifat jahe, makin tua semakin pedas, pada empat puluh tahun berselang tindak tanduknya ceroboh, gegabah dan terburu napsu, tak disangka empat puluh tahun kemudian, wataknya sama sekali tak berubah.
"Tian kongcu, hendak kemana kau?" "Apa urusannya denganmu?" sahut pemuda itu gusar, kembali dia melanjutkan perjalanan.
"Tian kongcu, bagaimana keadaan lukamu?" kembali Tu Kuan bertanya.
"Biar matipun apa urusannya dengan kalian!" teriak Tian Mong-pek makin keras.
Sepatu yang dikenakan kini sudah robek, berlubang besar, setiap kali kakinya menginjak tanah yang becek, segera timbul suara mencicit yang nyaring.
ll "Tian kongcu kembali Tu Kuan membujuk sambil menghela napas sedih, "kenapa kau tak mau pulang" Buat apa menderita disini" Masih banyak orang di kota Hangciu yang.....
yang merindukan dirimu" "Hmm!" Tian Mong-pek hanya mendengus tanpa menjawab, langkahnya makin dipercepat, entah berapa jauh ia sudah berjalan, dia hanya mendengar dengusan napas lirih dari belakang tubuhnya, Tu Kuan masih mengintil terus dengan ketat.
Waktu itu Tian Mong-pek merasakan tubuh bagian atasnya semakin panas, kepalanya makin pening dan pikirannya semakin kalut, sambil berpaling segera bentaknya: "Hei, kau toh seorang gadis muda, buat apa mengintil terus dibelakang seorang lelaki ditengah malam buta begini?" Tu Kuan menunduk sedih, sahutnya sambil menahan air matanya yang ingin meleleh keluar: "Aku.....
aku sendiripun tak tahu mengapa?" "Tahukah kau, manusia macam apa diriku" Aku adalah penjahat cabul, seorang manusia laknat, kalau tidak segera pergi, hati hati kalau kumakan dirimu" Baru berjalan berapa langkah, merasa Tu Kuan masih mengintil terus, tiba tiba Tian Mong-pek membentak gusar, membalikkan badan sambil cengkeram bahu gadis itu.
Siapa tahu Tu Kuan sama sekali tak melawan, sambil mendesah lirih bisiknya: "Tian kongcu .
. . . . . . . .." Tiba tiba ia menyaksikan cahaya merah membara yang muncul dari kulit tubuh Tian Mong-pek, sebagai seorang gadis yang sejak kecil sudah belajar ilmu, dalam sekali pandang saja ia segera tahu kalau warna tersebut merupakan gejala keracunan.
"Racun . . . . . . .." jeritnya keras. "Racunl" Tian Mong-pek menyeringai seram, "baru sekarang kau tahu kalau aku adalah manusia sejahat racun?" Tu Kuan merasa kaget bercampur takut, secara lamat lamat diapun dapat merasakan hawa panas yang muncul dari telapak tangan Tian Mong-pek, merayap ke dalam tubuhnya.
Untuk sesaat dia merasakan jantungnya berdebar keras, kembali bisiknya: "Kau .
. . . . . . kau . . . . . . . . " Semenjak kecil hingga dewasa, belum pernah ia bersentuhan dengan tubuh lelaki, kini dia hanya merasakan bibirnya kering, tak sepatah katapun sanggup diucapkan.
Tergoncang hati Tian Mong-pek menyaksikan keadaan gadis itu, tanpa terasa dia kendorkan cengkeramannya, tanpa sadar ia peluk gadis itu erat erat.
Mendadak ia terbayang kembali semua kejadian yang menimpa dirinya selama ini, rasa gusar bercampur sedih kembali muncul dari hat i kecilnya.
"Pergi kau!" hardiknya keras, dia dorong tubuh Tu Kuan hingga jatuh terduduk, kemudian membalikkan badan dan beranjak pergi dari situ.
Untuk sesaat Tu Kuan duduk tertegun, tapi segera dia melompat bangun sambil berteriak: "Tian kongcu, kau tak boleh bergerak lagi, kau .
. . . .. kau sudah keracunan" Tian Mong-pek sama sekali tak berpaling, dalam paniknya kembali Tu Kuan menggenggam bahu pemuda itu.
"Lepaskan tanganmu!" hardik Tian Mong-pek.
"Tian kongcu" rengek Tu Kuan, "kumohon, janganlah begitu, biarkan aku memeriksa keadaan lukamu .
. . . . . . . .." "Aku sengaja tak mau!" teriak Tian Mong-pek gusar, sekuat tenaga dia meronta namun gagal melepaskan diri.
Kini hawa racun dalam tubuhnya mulai bekerja, pemuda itu merasakan sekujur badannya panas bagai terbakar, sambil meraung dia bergulingan diatas tanah.
Perlu diketahui, disaat seseorang keracunan hebat, biasanya dia memiliki kekuatan yang luar biasa.
Biarpun Tu Kuan memiliki ilmu silat tinggi, saat ini dia tak sanggup melawan kekuatan pemuda itu, tak ampun tubuh mereka berdua pun bergulingan bersama ditanah, semakin besar nona itu menggunakan tenaga, semakin kuat Tian Mong-pek meronta.
Kini napas mereka berdua telah tersengkal, tubuh mereka kotor dan basah karena bergulingan ditanah pecomberan.
Tu Kuan tiada hentinya merengek, memohon, tapi Tian Mong-pek seolah tidak mendengar.
Oo0oo Begitu mendengar ucapan Sun Giok-hud, Tu Hun-thian tahu kalau dia telah salah menuduh orang baik, dalam panik bercampur cemas, dia berlarian naik keatas bukit dengan langkah cepat.
Sebagaimana diketahui, orang tua ini berangasan dan tak sabaran namun berjiwa kasatia, tak tahan dia bergumam seorang diri: "Kalau dia sampai mati membawa penasaran, akulah yang harus bertanggung jawab atas kesalahan ini, kalau sampai terjadi begitu, apakah aku masih punya muka bertemu umat persilatan" Apakah aku masih punya muka bertemu 'II arwah bapaknya dialam baka .
. . . . . . .. Walau melihat Tan Cia-li kabur turun gunung, dia sama sekali tak ambil peduli.
Dalam waktu singkat ia sudah tiba dipuncak gunung, suasana disitu hening, sepi, tak nampak bayangan manusia, diapun tidak menemukan jenasah Tian Mong-pek, hal ini sedikit membuat hatinya lega, maka sambil berhenti berlari, dia mulai melakukan pencarian di sekeliling tempat itu.
Kecepatan gerakan tubuhnya sungguh luar biasa, dalam waktu singkat dia telah menggeledah seluruh bukit, namun jejak Tian Mong-pek tetap gagal ditemukan.
Sementara dia masih mencari dengan gelisah, tiba tiba dari balik hujan dan angin terdengar suara seseorang menjerit keras: II "Tian kongcu, kumohon, jangan begitu .
. . . . . .. Suara merdu merayu itu ternyata suara dari putri kesayangannya.
Kemudian ia mendengar suara Tian Mong-pek berteriak: "Aku sengaja mau berbuat begini!" Menyusul kemudian terdengar suara orang meronta serta jeritan putri kesayangannya yang memilukan hati.
Tak ayal lagi, hawa amarah kembali berkobar dalam dada Tu Hun-thian, kontan makinya: "Tian Mong-pek wahai Tian Mong-pek, kusangka aku telah salah menuduhmu, tak disangka ternyata kau memang bajingan cabul yang biadab dan terkutuk!" Dengan kecepatan paling tinggi dia melesat ke arah sumber suara itu, dari balik kegelapan malam, betul saja, ia saksikan ada dua sosok bayangan manusia sedang bergumul diatas lumpur.
Merah membara sepasang mata Tu Hun-thian, sambil merangsek maju, bentaknya: "Bajingan cabul!" Begitu mengincar Tian Mong-pek, dia cengkeram tubuhnya lalu melempar sejauh satu tombak ke depan.
Buru buru Tu Kuan merangkak bangun, dengan badan berpelepotan lumpur, dia berdiri tertegun dengan pandangan ketakutan.
Betapa sakit perasaan Tu Hun-thian menyaksikan keadaan putri kesayangannya, cepat dia peluk nona itu sambil hiburnya: "Kuan-ji, tak usah takut, ayah telah datang .
. . . . . .." "Ayah, kau.....
lepaskan pelukanmu . . . . . .." teriak Tu Kuan gugup bercampur mendongkol.
"Kuan-ji, tenangkan hatimu, kalau kau merasa dihina dan dilecehkan, cepat laporkan kepada ayah, biar kucincang bajingan cabul itu hingga hancur berkeping!" Tu Kuan semakin cemas, teriaknya lagi: "Ayah, kau keliru, kau keliru, kalian semua keliru, Tian kongcu, dia.....
dia adalah orang baik!" Tu Hun-thian terperangah, berdiri melongo, tanpa sadar dia kendorkan pelukannya dan bertanya kebingungan: "Dimana kesalahan ayah?" Tu Kuan tidak menjawab, cepat dia menubruk ke hadapan Tian Mong-pek.
Tampak pemuda itu tak sadarkan diri dengan gigi terkatup dan wajah sepucat kertas.
"Sebenarnya apa yang telah terjadi?" tegur Tu Hun-thian lagi sambil menghentakkan kakinya.
Sambil menutup wajahnya menangis tersedu, secara ringkas Tu Kuan menceritakan semua kejadian yang telah dialaminya, tambahnya: "Tian kongcu, akulah yang telah mencelakaimu .
. . . . . .." Tu Hun-thian berdiri mematung, untuk sesaat dia tak mampu berkutik, perasaan hatinya campur aduk tak karuan, semula dia mengira Tian Mong-pek telah melecehkan putri kesayangannya, siapa tahu bukan demikian kenyataannya, dia berniat menolong, tak tahunya Tian Mong-pek justru semakin menderita, karena harus menerima tuduhan yang sesungguhnya tak pernah dilakukan.
"Ayah, bagaimana sekarang?" rengek Tu Kuan dengan air mata berlinang, \\ apa .
. . . ..apakah kita biarkan dia mati dengan begitu saja" Jika dia mati, akupun tak ingin hidup .
. . . . .." Tu Hun-thian jongkok disamping Tian Mong-pek dan mencoba memeriksa denyut nadinya, terasa detak jantung pemuda itu sangat lemah, napasnya tinggal satu dua, kondisinya sangat mengenaskan.
Sebagaimana diketahui, sudah berapa hari Tian Mong-pek kelaparan, keletihan dan dahaga, ditambah lagi tubuhnya saat ini keracunan, bagaimana mungkin dia sanggup menahan satu pukulan Tu Hun-thian dalam keadaan gusar" Biar Tu Hun-thian memiliki ilmu pertabiban yang hebatpun, sulit baginya untuk melakukan pertolongan.
"Apa . . . . . .. apakah dia masih bisa tertolong?" tanya Tu Kuan gemetar.
"Aku..... aku rasa . . . . . . . . .." rasa duka tersirat diwajah tua Tu Hun-thian yang penuh keriput.
Dari perubahan mimik muka ayahnya, Tu Kuan tahu apa yang terjadi, meledaklah isak tangisnya, ia segera menubruk badan Tian Mong-pek dan memeluknya erat erat.
Tu Hun-thian mengepal sepasang tinjunya kuat kuat, walau kuku yang tajam telah melukai kulitnya, dia tak ambil peduli, keluhnya sambil memandang angkasa: "Tu Hun-thian wahai Tu Hun-thian, apa yang akan kau lakukan?" Ketika membuka kepalannya, darah segar meleleh keluar membasahi bajunya.
Suara tangisan Tu Kuan bertambah lirih, tiba tiba dia membangunkan Tian Mong-pek dan membiarkan pemuda itu bersandar dalam pelukannya, kemudian sambil membelai rambut anak muda itu katanya: "Tahukah kau" Sejak kecil aku selalu memperhatikan dirimu, terutama sewaktu berdiri diujung perahu, bergerak mondar mandir, membiarkan angin ll meniup bajumu, sejak kecil aku sudah mencintaimu....
Tu Hun-thian terkesiap, apalagi sewaktu melihat wajah putri kesayangannya berubah jadi begitu kesemsem, seperti lagak orang idiot, dengan perasaan kaget teriaknya: II "Kuan-ji .
. . . . . . . .. Tu Kuan sama sekali tak ambil peduli, tetap membelai rambut Tian Mong-pek, katanya lagi: "Kau pasti sangat lelah, tidurlah! Besok akan kumasakkan telur untukmu, sekarang, tidurlah dalam pelukanku, tak bakal ada orang berani II mengganggumu lagi .
. . . . . . . .. "Kuan-ji, kenapa kau?" teriak Tu Hun-thian makin panik.
Tu Kuan tertawa bodoh. "Ayah" jawabnya, "kau tak boleh memukulnya lagi, kini, dia sudah menjadi menantumu .
. . . . . . . .." Sambil berkata, dia bopong tubuh Tian Mong-pek dan berjalan menuju ke balik kegelapan hutan.
Baru saja Tu Hun-thian akan mengejar, tiba tiba Tu Kuan membalikkan badan sambil berseru: "Ayah, kau jangan ikuti aku, malam ini adalah malam pengantin kami berdua, masa kau ingin menonton kami bermesraan?" "Kuan-ji .
. . . . . . . .." kembali orang tua itu maju selangkah.
Mendadak Tu Kuan mencabut sebilah pisau belati dari sakunya dan mengancam: "Ayah, kalau kau berani maju lagi, aku segera akan bunuh diri dihadapanmu!" Tu Hun-thian tertegun, ia merasa gejolak hawa darah dalam dadanya, riak kental teraasa tak dapat dimuntahkan keluar, setelah mendengus berat, tubuhnya roboh terjungkal ke tanah, setengah pingsan lantaran mendongkol.
Tu Kuan tak ambil peduli, kembali dia melanjutkan langkahnya menuju ke balik kegelapan.
Akhirnya dia baringkan Tian Mong-pek diatas tanah, lalu menutup tubuh pemuda itu dengan banyak ranting dan daun, katanya lagi: "Tidurlah disini sayang, tak akan ada orang yang berani mengganggu kita lagi .
. . . . . .." Tiba tiba ia merasakan ketiaknya kesemutan, tubuhnya tak sanggup bergerak lagi.
Tampak seorang kakek kurus pendek bermata tajam muncul dari balik kegelapan dan menghampiri Tian Mong-pek, katanya sambil tertawa menyeramkan: "Mencari sampai jebol sepatu tanpa hasil, siapa sangka akhirnya diperoleh dengan begitu gampang, orang ini telah memperoleh kitab pusaka Po-kie- pit-kip milik tua bangka Chin, namun tak tahu melatihnya, siapa sangka dia justru hantarkan diri ke tangan lohu" Seorang pemuda berbaju hijau, berwajah pucat, berhidung betet dan bermata tajam menyusul datang dari balik pepohonan, sahutnya sambil tertawa tergelak: "Hahaha.....
itu namanya Thian memang punya mata dan memastikan ananda menjadi ketua perguruan Po-ki-bun!" Mata yang cabul segera dialihkan ke tubuh Tu Kuan dan mengawasinya dari atas hingga kebawah.
Perlu diketahui, saat itu sekujur tubuh Tu Kuan basah kuyup sehingga potongan tubuhnya yang matang dan montok kelihatan jelas sekali.
Kedua orang ini tak lain adalah Hong Sin dan Hong It ayah beranak, dari mulut pelayan losmen mereka mendapat tahu kalau Chin Mo-cuan dan Siau Sam-hujin telah meninggal, mereka pun mulai melacak jejak Tian Mong-pek.
Kedua orang ini tak lain adalah Hong Sin dan Hong It ayah beranak, dari mulut pelayan losmen mereka mendapat tahu kalau Chin Mo-cuan dan Siau Sam-hujin telah meninggal, mereka pun mulai melacak jejak Tian Mong-pek.
Hari itu mereka melakukan pencarian dimulai dari depan kuburan Chin Mo-cuan hingga ke atas bukit, akhirnya dari balik kegelapan mereka menangkap suara manusia, ternyata dugaan mereka tak salah, sasaran yang dicari berhasil ditemukan disana.
Dengan cepat Hong Sin mencengkeram tubuh Tian Mong-pek lalu menggeledah seluruh badannya, tapi dengan cepat berubah paras mukanya.
"Pek-po-kie maupun kitab pusaka milik tua bangka Chin tidak berada dalam sakunya" "Hahaha...
jangan jangan berada disaku nona itu" seru Hong It sambil tertawa cabul, "biar ananda menggeledahnya!" Cepat dia tangkap tubuh Tu Kuan dan mulai menggerayangi sekujur badannya.
"Lepas tangan!" hardik Hong Sin ketus, dia menotok bebas jalan darah Tu Kuan, lalu bentaknya lagi, "apakah kau yang telah mengambil barang barang disaku Tian Mong-pek?" "Barang apa?" tanya Tu Kuan sambil tertawa bodoh, dia seolah tak punya rasa kaget atau ketakutan, "kami sedang menikmati malam pengantik, apakah kau datang untuk meneguk arak kegirangan" Sayang disini tidak ada!" Dengan tajam Hong Sin menatapnya berapa saat, akhirnya sambil menghela napas kecewa gumamnya: "Ternyata perempuan idiot!" "Kalau memang idiot, biarlah ananda nikmati dulu kehangatan tubuhnya!" sela Hong It sambil tertawa, sambil bicara lagi lagi dia mulai menggerayangi sekujur badan gadis itu.


Panah Kekasih Karya Gu Long di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Tiba tiba Hong Sin membalikkan tangan, menyingkirkan tangan Hong It yang sedang menggerayang.
"Ayah, jangan jangan kaupun tertarik dengan perempuan ini?" jerit Hong It sambil melompat mundur, dengan kecewa dia awasi wajah ayahnya sementara kehangatan dan kepatuhannya hilang sama sekali.
Tampaknya Hong Sin sudah jenuh dan muak melihat sikap putranya, kembali ia berkata ketus: "Masih banyak waktu bila kau ingin bersenang senang, saat ini kita harus mencari tahu lebih dulu dimana ia sembunyikan Pek-po-kie tersebut" "Orang itu sudah mampus, sementara gadis itu idiot, kita harus bertanya kepada siapa?" Hong Sin memeriksa denyut nadi Tian Mong-pek, jawabnya dingin: "Siapa bilang dia sudah mati! Bangsat ini hanya terkena racun jahat, ditambah pula isi perutnya terluka parah, kalau tidak bertemu lohu, dia baru mati beneran!" Dari sakunya dia mengeluarkan sebuah kotak kumala hijau, ketika dibuka, bau harum semerbak segera tersebar di udara.
"Kau hendak menolongnya dengan menggunakan soat-lian (teratai salju)?" teriak Hong It dengan wajah berubah.
"Benarl" "Dengan susah payah kita baru berhasil mendapatkan soat lian itu dari dalam istana kaisar, benda mestika itupun kita persiapkan untuk menghadapi serangan panah kekasih, kenapa kau justru memakainya untuk selamatkan nyawa bajingan itu?" protes Hong It gusar, sambil pentang cakar pemuda itu mencak mencak seperti orang gila, dipandang dari balik kegelapan malam, tingkah lakunya tak ubah seperti setan iblis.
"Kau ingin jadi ciangbunjin Po-kie-bun atau tidak?" tanpa berpaling tegur Hong Sin.
"Tentu saja . . . . . . .." "Kecuali menolongnya hingga sadar, kemudian mencari tahu jejak benda benda itu, memangnya kau masih punya cara lain yang lebih bagus?" Hong It tampak tertegun, tapi kemudian tertawa terbahak bahak.
"Hahahaha . . . . .. betul, tepat sekali, cepat kita cekokkan soat lian itu, ayah memang benar, ananda mengaku salah!" Senyum licik kembali menghiasi bibirnya, saat ini dia seakan telah berganti lagi menjadi seseorang yang lain.
Dengan mata terbelalak lebar, Tu Kuan mengawasi tingkah laku ayah beranak itu, tiba tiba dia rentangkan tangannya menghadang didepan Tian Mong-pek, teriaknya keras: "Dia adalah suamiku, dia sudah tidur, kalian tak boleh mengganggunya!" Dengan wajah sedingin es, Hong Sin melancarkan satu serangan kilat, menotok jalan darah ciong-tay-hiat ditubuh gadis itu.
Biarpun saat ini Tu Kuan mengalami pukulan batin yang sangat berat hingga kesadarannya agak hilang, bukan berarti ilmu silatnya punah, menghadapi datangnya ancaman, cepat pergelangan tangannya berputar, dengan ujung ke lima jari tangannya dia balas mengancam urat nadi Hong Sin.
Jurus serangan ini dilancarkan begitu mendadak dan menggunakan kecepatan bagaikan petir, sasaran yang dituju pun amat telak, inilah intisari ilmu silat Li-huan-cian andalan Tu Hun-thian.
Hong Sin tahu lihay, cepat dia tarik kembali tangannya sambil mundur selangkah, serunya dengan wajah berubah: "Perempuan ini punya asal usul luar biasa, jangan jangan dia keturunan tokoh silat?" "Aku adalah putri Tu Hun-thian" Tu Kuan menerangkan, "sedang dia adalah menantu Tu Hun-thian, kalian jangan mencoba menganiaya kami, sebentar lagi ayahku akan muncul disini" Bergetar sekujur tubuh Hong Sin ayah beranak, tanpa sadar jeritnya: "Aaah, Li-huan-cian!" Tapi setelah menengok sekitar sana dan tidak melihat bayangan manusia, perasaan hati mereka jadi tenang kembali.
Setelah berpikir sejenak, bisik Hong Sin ditepi telinga putranya: "Kita ayah dan anak memang sedang beruntung, dapat bertemu perempuan ini .
. . . . . .." Setelah merandek sejenak, dengan wajah penuh senyuman, katanya kepada Tu Kuan: "Tahukah kau, suamimu sudah meninggal?" Tu Kuan termangu, dalam kebingungan dia teringat kalau Tian Mong-pek memang benar benar sudah mati, bisiknya: "Apakah dia sudah mati" Dia sudah mati .
. . . . . . .." Sambil menutup wajahnya, diapun menangis tersedu sedu.
ll "Sudah, tak usah menangis bujuk Hong Sin, "biarpun dia sudah mati, aku sanggup menghidupkannya lagi" "Sungguh?" teriak Tu Kuan dengan mata terbelalak.
"Tentu saja sungguh" Hong Sin tertawa licik, "Cuma, kalau aku dapat menghidupkannya kembali, kau tak boleh bersamanya lagi, kau harus kawin dengan putraku" Tu Kuan berpikir cukup lama sebelum akhirnya tertawa dan manggut manggut.
"Baik, baik, asal dia hidup, aku akan kawin dengan putramu....
mau kawin dengan kaupun boleh saja" Dalam keadaan setengah sadar, yang dia pikirkan sekarang hanya bagaimana cara menghidupkan kembali Tian Mong-pek, sementara urusan lain sama sekali tak dimasukkan ke dalam hati.
Hong Sin jadi sangat kegirangan, serunya: "Kita sepakat dengan janji ini, Cuma kau tak boleh menyesal!" "Baik!" Hong Sin segera menjulurkan tangannya, "Plaak!" Tu Kuan memukul tangannya kuat kuat, meski sakit ditangan, diam diam kakek ceking ini merasa kegirangan.
Hong It kontan berkerut kening, teriaknya keras: "Perempuan ini idiot, aku hanya ingin menikmati kehangatan tubuhnya, II suruh dia jadi biniku" Tidak, tidak mau .
. . . . .. Belum selesai bicara, tiba tiba Hong Sin mengayunkan tangannya dan menghajar pemuda itu hingga jatuh jumpalitan.
Sambil memegang pipinya yang bengkak, dengan marah Hong It menjerit: "Kalau kau ingin kawin dengannya, kawini saja, kalau aku ogah, jangan paksa aku, kalau tidak .
. . . . . . .." "Jika ingin menjabat ketua perguruan Po-kie-bun, kawini dulu putri dari Li-huan-cian, setelah itu siapa lagi yang berani mengganggu dan mengusikmu?" tukas Hong Sin dingin.
"Soal ini . . . . . . . .." Hong It tampak tertegun.
"Sampai waktunya, kalau kau muak dengannya, bisa saja pergi mencari perempuan lain untuk bersenang-senang, waktu itu siapa lagi yang bakal mengurusimu" Siapa pula yang sanggup mengurusi perbuatanmu?" "Betul, betul sekali" teriak Hong It kegirangan, "lagi lagi ayah yang benar, ananda yang salah" Lalu sambil tertawa terbahak bahak dia mulai menggerayangi lagi sekujur badan Tu Kuan, panggilnya: "Biniku .
. . . . . . . .." "Sekarang, jangan kau sentuh dirinya lebih dulu" cegah Hong Sin sambil menarik muka.
"Kenapa?" "Kelihatannya, hubungan perempuan ini dengan orang she-Tian itu sangat akrab, bila orang she-Tian itu sadar dan melihat gadisnya kau lecehkan, memang dia bersedia membeberkan rahasia itu?" Setelah berhenti sejenak, lanjutnya sambil tertawa dingin: "Tapi, setelah orang she-Tian itu membeberkan rahasia tentang kitab pusaka Po-kie-pit-kip .
. . . . .. hehehe . . . . . .!" Sambil membuat gaya mengiris dengan tangannya, ia menambahkan: "Saat itu, dia adalah milikmu" Mendadak terdengar suara gesekan bergema dari balik hutan, Hong Sin sangka Tu Hun-thian telah datang, teriaknya dengan wajah berubah: "Cepat kabur! " "Kalian jangan bopong suamiku!" teriak Tu Kuan, perlahan dia bopong tubuh Tian Mong-pek.
Maka dengan dikawal Hong Sin ayah beranak, kaburlah mereka menuju ke bawah bukit.
Senja hari ke dua, tibalah mereka di kota Go-hing, biarpun kota Go-hing tidak terlalu besar, namun merupakan persimpangan jalan penting di wilayah Kanglam.
Menjelang senja, cahaya lampu bertebaran menerangi seluruh pelosok kota, banyak orang yang berlalu lalang di jalan raya.
Penampilan berapa orang itu segera menarik perhatian banyak orang, Hong Sin tahu, dandanan mereka pasti telah menimbulkan kecurigaan dan perhatian orang, maka tidak sampai pemilik losmen buka mulut, dia segera menjejalkan sekeping uang perak untuk menutup mulutnya.
Selama dalam perjalanan, berulang kali Hong Sin melolohkan teratai salju ke mulut Tian Mong-pek, meski benda itu merupakan barang langka yang luar biasa, namun berhubung Tian Mong-pek dua kali mengalami luka parah, ditambah pula dia telah keracunan hebat, setelah muntah berapa kali, kondisinya tetap berada dalam keadaan tak sabarkan diri.
Sepanjang jalan, pemuda itupun sama sekali tak makan apapun, akibatnya benda yang dimuntahkan dari perutnya lebih banyak air berwarna hijau daripada benda lain, sampai akhirnya tak ada lagi benda yang dapat dimuntahkan keluar.
Saat itulah luka merah bengkak dibahunya mulai luntur dan kempis, melihat itu sambil bertepuk tangan seru Hong Sin: "Bagus, bagus sekali, dia sudah sembuh .
. . . . . . . .." Waktu itu Hong It sedang berjalan mondar mandir dalam ruang kamar dengan hati gelisah, tubuh Tu Kuan yang putih mulus betul betul telah membangkitkan hawa napsu birahinya, kalau bisa, ingin sekali dia peluk tubuh gadis itu, menggerayangi seluruh badannya kemudian menyalurkan hasratnya.
Tak heran kalau dia amat girang setelah mendengar ucapan itu, teriaknya: "Jadi dia telah sembuh?" "Tak sampai satu jam kemudian, dia akan sadar kembali" Dengan cepat Hong It menyambar tangan Tu Kuan lalu diendusnya sekujur badan nona itu, katanya sambil tertawa: "Tidak sampai satu jam lagi, kau akan menjadi milikku" Dengan pandangan bodoh Tu Kuan mengawasi Tian Mong-pek, dia seolah tidak merasa kalau tangannya sedang digenggam, bahkan dia sama sekali tidak mendengar semua perkataan Hong It, tiba tiba sambil menarik kembali tangannya dan tertawa cekikikan, serunya: "Aaah, geli sekali" Bergolak napsu birahi Hong It, ia tertawa terbahak.
"Hahaha.... geli yaa" Ooh tahu geli .
. . . . . .. kalau begitu akan kubuat kau II kegelian .
. . . . . . . .. Sambil pentang tangan, lagi lagi dia siap menubruknya.
"Aaah, menjengkelkan kamu!" seru Tu Kuan sambil tertawa, biar matanya masih mengawasi Tian Mong-pek, tangannya diayun ke muka melepaskan satu dorongan.
Jangan dilihat dorongan itu dilakukan sembarangan, namun mengandung kekuatan tenaga murni yang luar biasa.
Waktu itu Hong It sudah dikendalikan napsu birahi yang berkobar, mana dia tahan menghadapi pukulan yang maha dahsyat itu" "Blaaaaml" satu pukulan telak bersarang didadanya membuat pemuda itu mencelat dan roboh disudut ruangan.
Dalam terkejut bercampur gusar Hong Sin melompat bangun, bentaknya: "Kenapa kau memukulnya" Masa kau tidak kuatir suamimu mati terhajar?" "Masa aku melukainya?" seru Tu Kuan sambil tertawa bodoh, "aduh mak, II maaf, maaf .
. . . . .. Sambil berkata dia ambil keluar selembar saputangan dan menyeka noda darah diujung bibir Hong It.
Tak terlukiskan amarah Hong It diperlakukan begitu, n amun melihat tingkah laku si nona yang bodoh, hawa amarahnya malah tak sanggup dilampiaskan.
"Nih, ambil!" kembali Tu Kuan berseru.
Tanpa terasa Hong It menerima saputangan itu untuk menyeka noda darah diujung mulutnya, padahal saputangan itu selain bau, kotor sekali, bagaimana mungkin noda darahnya bisa diseka hingga bersih" Melihat itu Tu Kuan segera tertawa cekikikan.
Pada dasarnya nona ini memang berparas ayu, biarpun sedang berada dalam keadaan idiot, namun sama sekali tidak mengurangi kecantikan wajahnya.
Senyuman manis itu begitu membetot sukma, membuat Hong It termangu mangu, untuk sesaat dia hanya bisa berdiri tertegun dengan mata melotot besar.
Tiba tiba terdengar Hong Sin mendengus dingin.
"Hmm, sudah cukup menyekamu?" tegurnya.
Hong It seolah tidak mendengar, tiba tiba teriaknya seperti orang kalap: "Aku sudah tidak tahan.....
aku sudah tidak tahan . . . . . .." Tanpa banyak bicara lagi dia sambar tubuh Tu Kuan, membopongnya lalu menerjang keluar dari pintu ruangan.
Berkerut alis mata Hong Sin, biarpun dia ganas, buas dan telengas, namun kelihatannya tak berdaya menghadapi ulah putranya, dalam keadaan begini dia hanya bisa menghela napas sambil bergumam: II "Binatang....
dasar binatang . . . . . . . .. Bab 6. Menantu kaisar yang romantis.
Terdengar Tian Mong-pek merintih sambil membuka kembali matanya, setelah memandang sekejap sekeliling tempat itu, dengan perasaan kaget dia meronta dan siap bangkit.
Cepat Hong Sin menahan badannya dan berkata sambil pura pura tertawa: "Kau keracunan hebat, baru saja kutolong nyawamu dengan soat-lian seribu tahun, biarpun saat ini hawa racun telah buyar namun luka dalammu belum sembuh, jadi lebih baik jangan bergerak dulu" Mendusin dari pingsannya, Tian Mong-pek seolah baru saja kembali dari dunia lain, perasaan heran, kaget, curiga kini berkecamuk dalam benaknya, agak melengak bisiknya: "Jadi kau....
kau telah selamatkan nyawaku .
. . . . . .." Ternyata orang itu yang telah selamatkan nyawanya, satu peristiwa yang membuatnya nyaris tak percaya.
"Coba bukan lohu yang telah selamatkan nyawamu, mungkin saat ini nyawa mu sudah berada di alam baka" kembali Hong Sin menerangkan.
Tian Mong-pek tertegun, semua kejadian sesaat sebelum pingsan pun terlintas kembali dalam benaknya, ia merasa terkejut, keheranan disamping berterima kasih, pikirnya: "Biarpun sepak terjang Hong Sin tidak lurus, tapi tindakannya selamatkan nyawa orang yang sedang terancam bahaya merupakan tindakan yang jauh lebih terhormat dan mengagumkan daripada ulah kaum pendekar yang tak bisa membedakan mana benar mana salah" Hanya saja sebagai orang yang polos, meski banyak yang ingin diucapkan, namun pernyataan terima kasih toh tak mampu diutarakan keluar.
Hong Sin adalah seorang tokoh silat yang sangat berpengalaman, dari sikap pemuda itu, dia segera tahu apa yang sedang dipikirkan, sambil tertawa kembali ujarnya: "Sekarang, lebih baik kau beristirahat dulu, setelah kondisi tubuhmu membaik nanti, lohu baru akan berbincang lagi denganmu" Tian Mong-pek merasa semakin berterima kasih, dia merasa Hong Sin betul betul seorang yang baik.
Untuk menarik simpatiknya, kembali Hong Sin mengambilkan secawan kuah jinsom dan menyuapi pemuda itu, sementara hati kecilnya merasa sangat gelisah, dia berharap dalam keadaan begini putranya jangan sampai kembali sambil membopong Tu Kuan, tapi diapun berharap putranya cepat kembali, jangan sampai menjumpai masalah lain.
Sementara perasaan hatinya masih kebat kebit, mendadak terdengar suara desingan angin diikuti sesosok bayangan manusia melompat turun dari atap wuwungan rumah, dia berambut putih, berwajah dingin dan masuk sambil menenteng tubuh seseorang.
Ternyata orang itu tak lain adalah Tu Hun-thian.
Begitu bertemu orang ini, pecah nyali Hong Sin, saking takutnya dia sampai jatuh terduduk dibangku.
Tadi, terbakar oleh hawa napsu birahinya, Hong It segera membopong Tu Kuan dan membawanya jauh jauh, dia tak ingin perbuatannya dicegah ayahnya, karena itu pemuda bejad ini berencana meniduri nona itu secepatnya.
Sementara Tu Hun-thian yang tersadar kembali setelah pingsan lantaran dadanya tersumbat hawa amarah, merasa panik bercampur gelisah setelah gagap menemukan jejak putrinya, dia segera turun gunung dan mencari berita sepanjang jalan.
Untung sekali Hong Sin dan rombongannya kelewat menyolok mata sehingga tanpa bersusah payah, Tu Hun-thian berhasil melacak jejak orang orang itu.
Walaupun dia belum bisa menduga siapa gerangan Hong Sin dan putranya, tapi dia yakin kalau nona yang berada dalam rombongan itu pasti putrinya, maka diapun menyusul ke kota Go-hing.
Menjelang tengah malam tibalah dia dikota Go-hing, waktu itu suasana kota sudah sepi, sulit bagi Tu Hun-thian untuk mencari kabar dari penduduk sekitar sana.
Sementara dia sedang bingung dan berencana akan menggeledah setiap losmen yang ada, mendadak ia saksikan ada sesosok bayangan manusia sedang bergerak cepat diatas atap rumah, semula dia mengira bayangan itu adalah manusia berjalan malam yang baru selesai melakukan kejahatan.
Sempat merasa sangsi untuk melakukan pengejaran, saat itulah Tu Kuan yang secara tiba tiba teringat akan Tian Mong-pek menjerit keras: "Lepaskan aku, lepaskan aku, aku mau menengok suamiku!" Begitu mendengar jeritan itu, Tu Hun-thian segera melakukan pengejaran.
Waktu itu Hong It hanya merasakan sesosok bayangan manusia berkelebat dihadapannya, belum sempat melihat jelas raut mukanya, tahu tahu ia merasa tengkuknya sudah dicengkeram orang hingga tak mampu berkutik, sedangkan Tu Kuan hanya mengawasinya sambil tertawa bodoh.
Tak terlukiskan rasa sedih Tu Hun-thian memnyaksikan keadaan putri kesayangannya itu.
Kembali ke losmen, Tu Hun-thian saksikan cahaya lampu menerangi sebuah kamar, dengan cepat dia melesat masuk ke dalam, tapi begitu menjumpai Hong Sin, dengan gusar segera bentaknya: "Ternyata kau!" dengan satu lemparan, dia buang tubuh Hong It ke sudut ruangan.
Hong Sin tertawa serak, sapanya: "Lama tak bersua, tak disangka Tu thayhiap tetap gagah dan menawan" Dalam pada itu Hong It telah merangkak bangun sambil berteriak keras: "Kenapa kau mempermainkan aku" adalah putrimu sendiri yang bersedia kawin denganku, buat apa kau ikut campur?" "Tutup mulut!" bentak Tu Hun-thian gusar.
Buru buru Hong Sin berkata sambil tertawa: "Putraku tidak tahu adat, harap Tu thayhiap sudi memaafkan, tapi apa yang dia katakan memang semuanya jujur dan benar, kalau tak percaya, tanyakan sendiri ke putrimu" Waktu itu, Tu Kuan telah berjalan menghampiri Tian Mong-pek, begitu mendengar ucapan tersebut, Tu Hun-thian segera berpaling ke arah putrinya sambil menegur: "Benarkah itu?" "Benarl" jawab Tu Kuan sekenanya, sedang tangannya mulai membelai rambut Tian Mong-pek dengan penuh kasih sayang.
Sebenarnya Tu Hun-thian sedang tertegun oleh ucapan putrinya, ketika melihat orang yang berbaring di ranjang ternyata Tian Mong-pek, dia semakin tercengang dibuatnya, dengan perasaan kegirangan segera teriaknya: "Ternyata kau belum mati!" Tian Mong-pek tertawa dingin, dengan kasar dia lepaskan diri dari belaian Tu Kuan, bentaknya lagi: "Aku tak berani merepotkan Tu thayhiap dan tuan putri, cayhe tak bakalan mampus!" Karena sedang gembira, Tu Hun-thian tak ingin bersikap kasar lagi terhadap Hong Sin ayah dan anak, segera bentaknya lagi: "Hari ini kuampuni nyawamu" Lalu dengan langkah lebar berjalan menghampiri Tian Mong-pek, katanya lagi sambil tertawa minta maaf: "Tempo hari lohulah yang kurang awas sehingga salah menuduh hiante .
. . . . . .." "Tidak berani, tidak berani" tukas Tian Mong-pek sambil tertawa dingin, "aku hanya penjahat cabul, mana berani menerima panggilan hiante dari Tu thayhiap" Lebih baik ampunilah diriku!" Merah jengah selembar wajah Tu Hun-thian, katanya lirih: "Hiante, lebih baik ikutlah aku pulang ke rumah, biar kutembusi semua nadimu yang tersumbat dengan tenaga dalam, anggap saja apa yang kulakukan sebagai penebus dosaku" "Hmm, biar aku orang she-Tian punya nyali besar pun tak bakal berani ikuti Tu thayhiap pulang .
. . . . . . . .." Berulang kali pemuda ini difitnah orang, nyawa pun berhasil diselamatkan dari ujung tanduk, walau perasaan sedih dan gusar berkecamuk dalam benaknya, namun dia tak berani mengucapkan perkataan tajam yang menyinggung perasaan orang.
Sesudah terengah-engah, dia angkat tangannya seraya berkata: "Silahkan, silahkan, cayhe tak berani merepotkan diri thayhiap!" Andaikata dia mencaci maki dengan kata kasar, mungkin Tu Hun-thian masih merasa agak mendingan, tapi ucapannya sekarang justru membuat pendekar itu jadi serba salah dan kikuk.
II "Hiante" serunya tergagap, "masa kau enggan .
. . . . . . . .. Tian Mong-pek tidak menanggapi perkataan itu, tiba tiba ia berpaling sambil bertanya: "Hong cianpwee, kaukah yang menyewa kamar ini?" "Betul!" sahut Hong Sin dengan mata berkilat.
"Tidak pantas rumah sekecil dan sejelek ini untuk menampung kehadiran Tu thayhiap, harap kau segera menghantar pulang thayhiap ini, hati hati, jangan sampai kaupun dihajar sampai muntah darah" Hong Sin tertawa terkekeh, sambil memberi hormat kepada Tu Hun-thian, katanya: "Tian lote baru sembuh dari keracunan, dia belum boleh marah, bila Tu thayhiap tak ingin Tian lote mati karena kambuhnya luka beracun, silahkan .
. . . . . . . .." Dia tertawa terbahak-bahak dan tidak melanjutkan perkataannya.
Untuk sesaat Tu Hun-thian hanya bisa berdiri melengak dengan wajah pucat kehijauan, selama hidup belum pernah dia diperlakukan orang dengan cara begini, akhirnya setelah menghela napas sedih katanya: "Kuan-ji, mari kita pergi!" Tu Kuan menggeleng, tampiknya sambil tertawa bodoh: "Tidak, aku tak mau pergi, orang ini telah menghidupkan kembali suamiku, aku berjanji akan kawin dengan putranya" Baru saja Tian Mong-pek merasakan hatinya tergerak, Tu Hun-thian telah membentak keras: "Apa" Kau hendak kawin dengannya?" Sambil berkata, cepat dia berpaling dan melotot ke a rah Hong It.
Hong Sin segera menangkap hawa napsu membunuh yang terpancar dari matanya, bergidik hati kecilnya, agak gugup serunya sambil tertawa: "Jangan kau anggap serius perkataan itu, kami hanya bergurau saja, lagipula putrimu cantik bak bidadari, mana mungkin putraku pantas mendampinginya?" Biarpun dihati kecilnya Hong It merasa sangat tak puas, namun melihat mimik muka Tu Hun-thian yang mengerikan, diapun ikut ketakutan hingga tak berani angkat muka.
Kembali Tu Hun-thian mendengus, sekali sambar dia cengkeram tangan Tu Kuan lalu menariknya pergi dari sana.
II "Aku tak mau pergi .
. . . . .. aku tak mau pergi . . . . . . .. rengek Tu Kuan dengan memelas, namun sayang dia tak mampu melepaskan diri dari cengkeraman.
Memandang hingga bayangan punggung kedua orang itu lenyap dari pandangan, diam diam Tian Mong-pek menghela napas panjang, sementara Hong It mulai mencaci maki sambil mendepakkan kakinya berulang kali: "Dasar makhluk sialan, tua bangka celaka .
. . . . . .." "Jangan sampai kedua orang itu datang mengusik kita lagi, lebih baik segera kita pindah ke tempat lain" tukas Hong Sin cepat.
Tanpa membuang waktu lagi, dia bopong tubuh Tian Mong-pek lalu melompat keluar lewat jendela.
Semula Tian Mong-pek menyangka mereka akan berpindah losmen, siapa tahu Hong Sin justru meninggalkan kota Go-hing pada malam itu juga, rasa terima kasih anak muda itu terhadap Hong Sin jadi semakin tebal, hanya saja perasaan tersebut tidak sampai diungkap keluar.
Tiba diluar kota, terlihat bintang bertaburan di angkasa, suasana di malam hari itu sangat cerah.
Hong Sin mencari sebuah hutan pohon liu dan meletakkan tubuh Tian Mong-pek dibawah pohon, melihat orang tua itu menggendongnya sepanjang perjalanan, dengan perasaan haru katanya: "Cianpwee, kau begitu baik kepadaku, cayhe tak tahu bagaimana harus membalas kebaikanmu itu?" Mendengar perkataan tersebut, Hong Sin segera tertawa terbahak bahak.
"Hahaha . . . .

Panah Kekasih Karya Gu Long di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

.. gampang sekali bila kau ingin membalas budi kebaikanku" Sementara Tian Mong-pek masih tertegun, terdengar Hong Sin telah berkata lagi sambil tertawa: "Untuk selamatkan nyawamu, aku memang sudah membuang banyak waktu, tenaga dan harta, bahkan soat lian yang kuperoleh dengan pertaruhkan nyawa pun telah kuberikan untukmu, aku tidak berharap balas jasa lain, asal kau serahkan Po-kie-pit-kip yang diperoleh dari Chin Mo-cuan untuk kami, itu sudah lebih dari cukup.
Toh benda tersebut bukan milikmu, rasanya pantas bukan bila ditukar dengan nyawamu?" Tergerak perasaan Tian Mong-pek, seakan baru sadar, pikirnya: "Ternyata mereka ayah dan anak menolongku karena bermaksud mendapatkan kitab pusaka itu" Ingatan lain segera melintas kembali dalam benaknya: "Bagaimana pun juga, dialah yang telah selamatkan nyawaku, tidak pantas bila aku berpikiran begitu, hanya saja .
. . . .. sebelum meninggal, berulang kali Chin locianpwee berpesan wanti wanti agar aku melindungi kitab pusaka itu dengan sebaik-baiknya, mana boleh kuserahkan pusaka itu untuk II orang yang semasa hidupnya paling dibenci .
. . . . . . .. Sementara dia masih sangsi dan bingung, Hong It sudah melompat bangun sambil mengumpat: "Bajingan tengik yang tak punya budi, air susu dibalas air tuba, coba tak ada kami, nyawamu sudah melayang sejak dulu.
Sekarang kami hanya minta kau serahkan barang yang bukan milikmu, tapi berulang kali kau tolak, hmm! Kalau kau tetap membangkang, jangan salahkan kalau sauya akan mencopot celanamu .
. . . . . . . .." Umpatan berikut sangat kotor, pada hakekatnya tidak pantas untuk ditulis disini.
Berkerut sepasang alis mata Tian Mong-pek, ujarnya gusar: "Budi pertolongan yang kalian berdua berikan, pasti akan kubayar suatu saat nanti, tapi kalau suruh aku serahkan benda pusaka peninggalan Chin locianpwee kepada manusia macam dirimu, hmmm! Tak usah bermimpi disiang hari bolong" "Tidak mau" Kau bilang tidak mau?" Hong It berjingkrak marah, "sekali II lagi kau berani mengatakan tak mau, segera kujagal dirimu, aku .
. . . . . . .. Dalam waktu singkat, semua umpatan paling kotor yang ada dikolong langit telah diutarakan keluar.
Paras muka Tian Mong-pek berubah sedingin es, ujarnya ketus: "Aku memang berhutang budi kepada kalian, mau suruh aku terjun ke lautan api atau kuali minyak, pasti akan kulaksanakan tanpa berkedip mata, tapi kalau suruh aku menyerahkan pusaka dari Po-kie-bun .
. . . . . . . .." Tiba tiba Hong It mencabut keluar sebilah pisau belati dari balik laras sepatunya, diantara cahaya tajam yang berkilauan, ia tusuk tenggorokan Tian Mong-pek dengan ujung pisau tersebut, bentaknya: "Bajingan, kujagal kau!" "Silahkan!" tantang Tian Mong-pek tanpa berubah wajah.
"Kau benar benar menampik?" ancam Hong It sambil menekankan ujung pisaunya, darah segar segera mengucur keluar dari tenggorokan Tian Mong-pek yang terluka.
"Kalau ingin membunuh, bunuhlah, tak ada gunanya banyak bicara" Hong It membentak nyaring, mata pisaunya menyambar ke bawah, satu luka memanjang segera muncul diada Tian Mong-pek.
Pemuda itu sama sekali tak bergerak, wajahnya tetap kaku tanpa ekspresi, bahkan kelopak mata pun tidak berkedip.
Tergerak hati Hong Sin melihat itu, tiba tiba ia lepaskan satu pukulan membuat pisau ditangan Hong It miring ke samping.
"Kau . . . . . .." teriak Hong It gusar.
Kembali Hong Sin mendorong tubuhnya hingga mencelat sejauh satu kaki dan terjatuh dibelakang sebatang pohon liu, hardiknya: "Binatang!" Kembali satu pukulan dilancarkan, hanya saja serangan dari tangan kanannya itu beradu dengan telapak tangan kiri sendiri, "Plaaak!" tampaknya dia memang sengaja memperdengarkan suara benturan itu agar disangka Tian Mong-pek, dia telah menghajar putra sendiri.
Baru Hong It merasa tertegun, terdengar Hong Sin telah berkata lagi: "Dasar goblok, orang ini berwatak keras dan sukar ditekuk, biar kau bunuh diapun jangan harap dia mau mengaku" "Lantas?" Cepat Hong Sin mendekap mulutnya seraya berbisik: "Biasanya orang yang berwatak keras, hati kecilnya justru amat lembek, asal kita menipunya habis habisan, suatu saat dia pasti akan termakan oleh tipu muslihat kita.
Sekarang, biarpun hawa racunnya sudah bebas, namun secara diam diam aku telah menyumbat aliran hawa darahnya, bila tidak segera dibebaskan, hawa murni dan kekuatan tubuhnya tak bakalan pulih, ke empat anggota badannya bakal lemas seperti bayi, dalam keadaan begini, memangnya dia bisa lolos dari cengkeraman kita?" Berseri wajah Hong It mendengar penjelasan itu.
Kembali Hong Sin menambahkan: "Asal kita berlagak baik hati memperlakukan dia, lama kelamaan hatinya pasti bakal lembek .
. . . .. sekarang, cepat teriak kesakitan!" Kembali sepasang tangannya saling memukul berulang kali, sedang mulutnya mengumpat terus menerus: "Dasar binatang, dasar binatang .
. . . . . .." Kemudian sambil berjalan ke hadapan Tian Mong-pek dan menjura dalam dalam, katanya: "Bila putraku tak tahu diri, mohon hengtai sudi memaafkan dan tidak memasukkan ke dalam hati, masalah Po-kie lebih baik tak usah kita singgung lagi, bila kekuatan tubuh hengtai sudah pulih dan ingin tinggalkan tempat ini, silahkan saja pergi, tak usah kau kuatirkan lagi bila kami berniat menghalangi" Sekali lagi Tian Mong-pek dibuat tertegun, biarpun dia termasuk pemuda yang pintar, namun sayang bagaimanapun juga masih merupakan seseorang yang baru terjun ke dalam dunia persilatan, darimana dia tahu akan kelicikan dan kebusukan manusia" Perasaan hatinya jadi tak tenang sesudah mendengar ucapan tersebut, ujarnya agak tergagap: II "Cianpwee telah selamatkan nyawaku, budi kebaikan ini seharusnya .
. . . . . .. "Hahahaha.... jadi kau anggap aku menanti balas budi karena pertolonganku itu?" tukas Hong Sin sambil tertawa tergelak, "hengtai, lebih baik tak usah kau singgung lagi masalah ini, beristirahatlah dulu, tempat ini sangat tenang, cocok bagimu untuk memulihkan kesehatan dan kekuatan tubuh" Hong It dengan wajah yang dibuat buat segera menyampaikan pula permintaan maafnya, bahkan dibarengi dengan senyuman menyesal.
Tian Mong-pek segera merasakan hatinya lega, dia tak menyangka kalau ayah beranak itu bisa bersikap begitu perhatian terhadap dirinya.
Selesai membubuhkan lagi obat dimulut luka bacokan diatas dada Tian Mong-pek, Hong Sin berkata lagi: "Aku mempunyai seorang teman di wilayah Kang-im yang memiliki tempat tinggal tenang, lebih baik hengtai beristirahat di sana saja" Waktu itu, Tian Mong-pek memang merasakan ke empat anggota badannya lemas tak bertenaga, darimana dia tahu kalau hal tersebut akibat ulah Hong Sin yang mengerjainya secara diam diam, kini dia sangat berterima kasih sekali, maka tanpa membantah, berangkatlah mereka bertiga melakukan perjalanan.
Betul saja, sepanjang perjalanan penampilan watak Hong It mengalami perubahan besar, cara berbicaranya sopan, tingkah laku ayah beranak itupun sangat halus, ramah dan menunjukkan perbuatan seorang kuncu.
Bahkan mereka menyewa pula sebuah kereta kuda yang cukup besar, agar Tian Mong-pek dapat berbaring nyaman didalamnya.
Selama berapa hari, Tian Mong-pek menemukan kalau kondisi tubuhnya sama sekali tak berubah, tenaga badan pun tak pernah pulih kembali, meski dia sangat keheranan, namun diam diam pikirnya: "Tak disangka luka racunku begitu parah sehingga sampai hari inipun belum dapat sembuh, untung ada mereka berdua, aaai, tidak tahu bagaimana aku harus membalas budi pertolongan ini" Melihat perubahan sikap Hong It, dia pun merasa sangat lega, pikirnya pula: "Padahal anak muda ini bukan orang jahat benaran, baiklah, biar kuamati berapa hari lagi, andaikata dia memang baik, apa salahnya kuwariskan kitab pusaka Po-kie-pit-kip itu kepadanya" Hong Sin yang diam diam mengawasi perubahan tersebut merasa sangat kegirangan, diapun segera memberi petunjuk kepada putranya: "Kau harus hati hati bersikap, jangan sampai kau perlihatkan ekor rase mu, bersabarlah berapa hari lagi, menanti dia telah serahkan kitab pusaka itu, biar kucincang tubuhnya hingga hancur berkeping sebagai pelampiasan rasa dendam kita" Hong It pun mengiakan berulang kali, betul saja, penampilannya jauh lebih sopan dan halus, tingkah laku kedua orang licik ini secara perlahan tapi pasti, menyeret Tian Mong-pek terjebak dalam perangkap mereka berdua.
Kuatir jejaknya ketahuan orang persilatan, Hong Sin ayah beranak pun ikut duduk didalam kereta, hari ini tibalah mereka dikota Mo-sik, tujuanpun sudah semakin mendekat.
Ketika Tian Mong-pek melongok dari balik jendela, ia saksikan kota tersebut sangat ramai, banyak toko dan kedai penjual barang kelontong, manusia yang berlalu lalangpun amat banyak, tak malu disebut kota kenamaan di wilayah Kanglam.
Mereka bertiga mencari sebuah warung makan yang agak sepi untuk menangsal perut.
Setelah meneguk berapa cawan arak dan menyaksikan pemandangan alam diluar jendela, Tian Mong-pek merasakan dadanya sangat lega, sementara Hong Sin berdua tiada bosannya membujuk pemuda itu untuk meneguk arak, tujuan mereka, begitu anak muda itu terloloh mabuk, merekapun akan mulai memancingnya hingga mengatakan rahasia dari po-kie-pit-kip.
Siapa tahu, biarpun usia Tian Mong-pek masih muda, namun takaran minumnya luar biasa, meski sudah menenggak tiga sampai lima kati arak, wajahnya sama sekali tak berubah.
Sebaliknya Hong It justru mabok lebih duluan, sambil mengetuk cawan dengan sumpitnya, dia pun mulai bersenandung: "Budak cilik usia tujuh, delapan belas, siang malam memikirkan perkawinan, suatu hari bertemu nona cantik, diapun memeluk dan memboyongnya ke rumah .
. . . . . . . .." Nada maupun syair lagunya selain kasar bahkan porno, kontan suasana dalam rumah makan jadi heboh.
Berkerut sepasang alis mata Hong Sin, segera bentaknya: "Kau sudah mabuk, jangan menyanyi lagi!" Hong It tertawa terbahak-bahak.
"Hahahaha.... kenapa" Memangnya suara nyanyianku tidak enak didengar?" serunya.
Dengan langkah yang limbung dia mulai berdiri dan berjalan meninggalkan meja nya, kembali dia berteriak: "Siapa yang bilang kalau suaraku jelek .
. . . . . .." Tiba tiba ia cengkeram dada seorang tamu yang duduk dimeja sampingnya, lalu membentak: "Jadi kau yang mengatakan?" Melihat tampang buas dari pemuda itu, tamu tadi ketakutan setengah mati, dengan wajah pucat, badan gemetar sahurnya berulang kali: II "Bagus, bagus sekali .
. . . . .. Hong It kembali tertawa tergelak, dia banting tamu itu hingga terduduk kembali ke bangkunya.
Tiba tiba terdengar suara seruling mengalun dari bawah loteng, kemudian terlihatlah seorang gadis berusia sebelas, dua belas tahunan muncul dimulut loteng sambil menuntun seorang kakek buta.
Bocah perempuan itu kurus lagi kecil, wajahnya kuning kepucatan, ketika menaiki anak tangga, dia batuk tiada hentinya.
Sedangkan si kakek berbaju dekil dengan wajah kuyu, dia seakan seseorang yang baru sembuh dari sakit parah, tapi seruling yang dimainkan menghasilkan irama lagu yang sangat menawan.] Setiba diatas loteng, dengan napas terengah ujar kakek itu: "Ling-ling, hiburlah para tuan yang berada disini" Dengan cepat gadis cilik itu memberi hormat, lalu berkata: "Bila nyanyianku kurang bagus, harap tuan sekalian mau memaafkan, bila nyanyianku bagus, berilah persen berapa rence uang untuk hidup kami kakek dan cucu berdua" Suaranya lembut, lemah dan sangat mengenaskan, membuat Tian Mong-pek ikut merasa iba.
Terdengar nona kecil itu mulai menyanyi .
. . . . . .. Tiba tiba Hong It menggebrak meja sambil membentak: "Jelek, jelek, nyanyianmu jelek, biar toaya ajari kau .
. . . ..!" Ling-ling menghentikan nyanyiannya dengan wajah berubah, belum lagi dia melakukan sesuatu, Hong It telah merangsek maju sambil merampas seruling ditangan kakek buta itu.
Menyaksikan kejadian ini, banyak diantara tetamu yang merasa tak tega, ada berapa orang merasa gusar, tapi ada pula yang diam diam ngeloyor pergi dari situ.
"Tahan saudara Hong!" teriak Tian Mong-pek pula dengan wajah berubah.
"Kau manusia macam apa, berani amat mengurusi diriku!" umpat Hong It sambil berpaling.
Tangannya tetap melanjutkan sambarannya merampas seruling itu, siapa tahu meski incarannya sudah tepat sasaran, ternyata sambaran tersebut mengenai sasaran kosong.
"Binatang!" maki Hong Sin pula cemas bercampur gusar, "cepat kembali" Hong It berlagak tidak mendengar, lagi-lagi bentaknya: "Tua bangka, cepat serahkan .
. . . . . . .." Belum selesai teriaknya, mendadak ia roboh terjungkal ke tanah dan tak mampu bergerak lagi.
Kakek buta itu masih tetap berdiri dengan wajah kaku, katanya perlahan: "Rupanya tuan ini sedang mabuk, Ling-ling, mari kita pergi saja!" Sambil berkata, dia bergerak siap turun dari loteng.
Berubah paras muka Hong Sin, dengan cepat dia melompat ke depan dan menghadang jalan pergi kakek itu, ujarnya sambil tertawa dingin: "Lotiong, hebat sekali gerakan tubuhmu, tampaknya putraku tak tahu diri, dia tak melihat kalau lotiong adalah seorang jago kosen" "Apa kau bilang?" tanya kakek buta itu kaku.
Sementara Hong Sin masih tertawa dingin, Tian Mong-pek telah berjalan menghampiri kakek itu sembari berkata: "Barusan, temanku telah melakukan kesalahan, biar cayhe mewakilinya minta maaf kepada lotiong" "Apa kau bilang?" kakek buta itu tetap berdiri dengan wajah kaku.
Menyaksikan mimik muka kakek itu, tercekat perasaan Hong Sin, cepat dia periksa keadaan putranya, tampak Hong It tergeletak kaku bagaikan sesosok mayat, sepasang matanya yang melotot gusar sama sekali tak berkedip.
Dia mencoba memeriksa sekujur badannya, namun gagal untuk menemukan cara untuk membebaskan pengaruh totokan itu, dengan perasaan terkesiap ia segera berpaling dan serunya agak tersipu: "Lotiong .
. . . . . .." Tiba tiba terdengar lagi suara orang menaiki tangga, tampak seorang lelaki tinggi besar muncul di mulut loteng dengan langkah cepat.
Begitu melihat wajah orang itu, baik Tian Mong-pek maupun Hong Sin sama sama merasa terperanjat.
Dengan cepat lelaki kekar itu memandang Hong Sin dan Tian Mong-pek sekejap, kemudian dengan wajah berseri dia menjura sambil serunya: "Hong Ku-bok menyampaikan salam untuk Kiong locian pwee!" Tian Mong-pek keheranan, pikirnya: "Aneh, kenapa Hong Ku-bok menyebutku Kiong locianpwee?" Tampak paras muka kakek buta itu berubah hebat, kini pemuda itu baru tahu, walaupun sepasang mata Hong Ku-bok menengok ke arahnya, padahal kakek buta itulah yang sedang diajak bicara, tapi lantaran kakek itu buta, maka pandangan mata Hong Ku-bok tak perlu menengok ke arahnya.
"Siapa kau?" tegur kakek buta itu dengan wajah berubah, "siapakah Kiong locianpwee?" Hong Ku-bok tersenyum.
"Tentu saja cianpwee tak akan kenal dengan hamba" sahutnya, "karena hamba hanya ingin menyampaikan pesan dari majikan, dipersilahkan Kiong locianpwee mampir di gedung diluar kota" "Siapa majikanmu?" kembali kakek itu membentak.
"Majikan hanya menitahkan hamba untuk sampaikan kepada Kiong locianpwee, bahwa seorang sahabat lama penunggang kuda dari luar perbatasan ingin sekali bersua dengan Kiong locianpwee" Mendadak sekujur badan kakek buta itu bergetar keras, sesudah termangu berapa saat, tanyanya: "Berada dimana dia sekarang?" "Hamba segera akan menghantar cianpwee" Kakek buta itu segera mengelus rambut si nona kecil yang berada disampingnya dan berkata: "Ling-ling, bebaskan totokan jalan darah ditubuh pemuda bangor itu" Ling-ling mengiakan, dia segera menepuk tubuh Hong It satu kali.
Hong It segera batuk dan muntahkan riak kental, kemudian dia melompat bangun dan berdiri menjublak seperti orang bloon, dalam keadaan begini mabuknya langsung hilang tak berbekas.
Dengan gemas Hong Sin melotot sekejap ke arah putranya, kemudian bisiknya kepada Hong Ku-bok: II "Sute, orang ini .
. . . . . .. Cepat Hong Ku-bok menggoyangkan tangannya mencegah dia berbicara lebih jauh, kepada Tian Mong-pek ujarnya sambil tersenyum: "Tian kongcu, bagaimana ceritanya sehingga kau jalan bersama samko ku" Mana Siau Sam-hujin?" Tian Mong-pek menghela napas sedih, belum sempat menjawab tiba tiba terdengar kakek buta itu berseru: "Kita berangkat!" Tanpa menunggu dia langsung turun dulu dari loteng, biar matanya buta, langkah kakinya ringan dan cepat, sama sekali berbeda dengan langkahnya sewaktu muncul tadi.
"Siapa orang ini?" kembali Hong Sin bertanya dengan kening berkerut, "kenapa aku tak ingat dengan namanya?" "Orang ini tak lain adalah Kiong Gim-bit!" jawab Hong Ku-bok serius.
"Aaah!" Hong Sin menjerit kaget, "jadi orang inilah yang dimasa lalu disebut "Wajah bagai lelaki lembut hati sekeras baja" Jian-hong-kiam (pedang bermata seribu) Kiong Gim-bit" Kenapa penampilannya berubah jadi begini rupa?" Sementara Tian Mong-pek berpikir dalam hati: "Tujuh tokoh ternama yang jarang sekali muncul dalam dunia persilatan, ternyata berhasil kujumpai seorang lagi pada hari ini" Terdengar Hong Ku-bok menjawab agak terburu buru: "Kalau orang sudah tua, tampang mukanya gampang berubah, dia sudah turun loteng, lebih baik kita segera menyusul!" "Kami ikut juga?" tanya Hong Sin setelah termenung sejenak.
"Tak usah kuatir, mana mungkin cukong meninggalkan lembah" Aku tak lebih hanya mewakili Ji-huma (menantu kaisar) dengan mencatut nama cukong untuk menipu kedatangan Kiong Gim-bit, tentu saja kau harus ikut" "Bagaimana pendapat Tian kongcu?" tanya Hong Sin kemudian.
Sesungguhnya perasaan Tian Mong-pek waktu itu diliputi rasa ingin tahu, dia ingin sekali melihat bagaimana tampang orang orang yang mereka sebut Il sebagai "Cukong dan "Huma", apalagi kawanan manusia itu memang dalam kenyataan mempunyai hubungan yang akrab dengan kehidupan ibunya, maka diapun segera mengiakan.
Berangkatlah ke empat orang itu menuruni anak tangga, dibawah tangga tampak Kiong Gim-bit berdiri sambil berpangku tangan, dibawah sinar rembulan, lamat lamat masih tampak sisa kegagahannya dimasa lampau, sementara si nona dengan matanya yang bulat besar sedang melihat kian kemari, ia langsung tersenyum dan menunduk setelah bertemu Tian Mong-pek.
Terdengar Hong Ku-bok bersuit panjang, dari ujung jalan segera muncul suara kereta, ditengah ringkikan kuda, sebuah kereta besar yang dihela delapan ekor kuda berlarian mendekat.
Dalam sekilas pandang Tian Mong-pek dapat melihat kalau kereta itu mewah dan megah, mirip tumpangan seorang raja muda, diam diam ia jadi terkejut bercampur keheranan.
semua orangpun naik ke dalam kereta, Kiong Gim-bit duduk jauh disudut ruangan, sikapnya angkuh, kelihatan sekali kalau dia tak sudi duduk berbareng dengan orang lain.
Hong It yang mengira kakek itu buta, tiada hentinya melotot kesana dengan pandangan sinis dan penuh rasa muak.
Melihat itu, kembali Tian Mong-pek berpikir: "Orang ini memang parah benar, sudah tak bisa diobati lagi kelakuan busuknya, hampir saja aku tertipu oleh kelicikannya" Melihat sikap anak muda itu terhadap putranya, lamat lamat sekulum senyuman dingin tersungging diujung bibir Hong Sin.
Ke delapan ekor kuda itu bukan saja berbulu sama, langkah kaki pun tertib dan teratur, delapan ekor kuda angkat kaki bersama, melompat bersama dengan empat ekor didepan, empat ekor di belakang.
Sewaktu berbelok pada tikungan, ruang kereta pun tidak merasakan goncangan yang luar biasa, hal ini membuktikan kalau kuda kuda itu sudah memperoleh didikan dan latihan kemiliteran yang ketat dan penuh disiplin.
Tian Mong-pek sekalian yang duduk dalam kereta, merasa seolah duduk dalam ruangan, tenang, anteng dan tak banyak gejolak.
Tak lama kemudian kereta telah meninggalkan kota, pepohonan liu yang tumbuh sepanjang jalan terasa tumbang bagai terhembus angin kencang, satu demi satu roboh ke sisi tubuhnya.
Tak lama kemudian terlihat perbukitan muncul secara lamat lamat didepan sana, kuda kuda itupun mulai meringkik panjang.
"Sudah sampai!" kata Hong Ku-bok sambil tertawa.
Turun dari kereta, tampak sebuah bangunan kuil berdiri ditengah sebuah dataran, walaupun bangunan kuil itu besar dan luas, sayang dindingnya sudah bobrok, jelas sudah lama bangunan itu terbengkalai.
Dalam kuil, cahaya lampu menerangi setiap sudut ruangan namun tak terdengar suara apa pun.
Sambil melangkah masuk ke dalam ruang kuil, Hong Ku-bok segera berseru lantang: "Kiong lo-sianseng tiba!" Pintu kuil tampak terbuka, dua baris lelaki berbaju indah dengan mengangkat tinggi lampu lentera, satu demi satu berjalan keluar.
Semua orang pun berjalan masuk ke dalam ruangan menerobos hutan lentera itu, tampak sebuah permadani merah terpasang rapi di lantai, dari pintu masuk hingga keatas undak undakan batu menuju ruang utama, diujung undakan itu berdiri seorang pemuda berbaju indah dan mewah.
Tampak nona kecil itu memegang erat ujung baju kakeknya, dia tampak sangat tegang, sedangkan Tian Mong-pek, meski berasal dari keluarga persilatan, diapun belum pernah menjumpai keadaan seperti ini.
Tampak Kiong Gim-bit melangkah masuk ke dalam ruangan dengan langkah lebar, biarpun pakaiannya compang camping seperti pengemis, tindak tanduknya justru mirip seorang raja, tegurnya dengan suara dalam: "Mana Siau siangkong?" Dibawah cahaya lentera, hanya pemuda berbaju indah itu yang berdiri seorang diri diujung undakan batu, begitu melihat kehadiran tamunya, tanpa turun dari undangan, ia tertawa angkuh sambil berkata: "Silahkah Kiong lo sianseng!" Dengan langkah lebar Kiong Gim-bit berjalan naik ke atas undakan batu, sementara Hong Ku-bok serta Hong Sin ayah beranak telah jatuhkan diri berlutut.
"Hong Sin menjumpai Hun-ho!" Perlu diketahui, istilah "Hun-ho" sebetulnya sama artinya dengan "Hu-ma" atau menantu raja.
Ketika melihat seorang jago silat ternyata menyebut diri sebagai Huma, Tian Mong-pek selain mendongkol, dia merasa geli juga, tapi melihat kegagahan anak muda itu, diam diam timbul juga perasaan simpatiknya.
"Bagus!" terdengar pemuda berbaju indah itu manggut manggut, "rupanya kaupun ikut datang!" Kemudian dia menyapu sekejap Tian Mong-pek yang berdiri disamping, tegurnya lagi sambil menarik muka: "Siapa pula orang ini" Siapa yang mengajaknya kemari?" "Orang ini bernama Tian Mong-pek" jawab Hong Sin ketakutan, "dia adalah II "Dia adalah sauya dari sam-hujin!" sambung Hong Ku-bok cepat.
Berubah paras muka pemuda berbaju indah itu, ditatapnya Tian Mong-pek berapa kejap, namun setelah melihat pakaiannya yang kusut dan wajahnya yang layu, katanya sambil tertawa angkuh: "Silahkan masuk! Baik baikkah sam-hujin?" Kemudian dia balik badan berjalan masuk ke dalam ruangan dan tidak lagi memandang ke arah anak muda itu.
Kontan Tian Mong-pek berkerut kening, hawa amarahnya berkobar, tapi ingatan lain kembali melintas, dengan dandanannya sekarang, memang tak bisa disalahkan kalau orang pandang hina dirinya, maka sesudah menghela napas perlahan dia ikut berjalan masuk ke dalam ruangan.
Patung Buddha diruang utama telah diturunkan, lentera indah bergantungan disegala penjuru dinding, menerangi kertas dinding yang tertempel disetiap sudut ruang, membuat ruang kuil yang sebetulnya bobrok tampak indah dan megah.
Tiada tersedia meja kursi ditempat itu, tapi ada puluhan lembar kulit hewan yang digelar diatas lantai sebagai permadani dihiasi berapa buah meja pendek.
Waktu itu Kiong Gim-bit telah duduk disitu, sementara Ling-ling menempel ketat dibelakang tubuhnya.
Pemuda berbaju indah itu sama sekali tidak mempersilahkan Tian Mong-pek sekalian untuk mengambil tempat duduk, ia langsung duduk diatas permadani, bertepuk tangan seraya serunya: "Hidangkan arak!" Dalam waktu singkat muncul tujuh, delapan orang bocah tampan berusia enam belas tahunan berbaju indah, bersepatu merah, melangkah masuk ke dalam ruang utama dan menghidangkan arak di meja meja pendek.
Peralatan minum yang disediakan hampir semuanya indah dan mewah.
Kembali pemuda berpakaian indah itu berkata: "Aku tidak terbiasa menginap di losmen, karena itu terpaksa meminjam kuil terbengkelai ini sebagai tempat tinggal, bila persiapan kurang memadahi, harap Kiong lo-sianseng sudi memaklumi" "Mau indah mau tidak, toh losu tak dapat melihatnya" sahut Kiong Gim-bit ketus, "asal ucapanmu tidak kelewat jumawa dan lohu enak mendengarnya, itu sudah lebih dari cukup" Pemuda perlente itu tertegun, paras mukanya kontan berubah hijau membesi.
Kembali Kiong Gim-bit berkata: "Sudah cukup lama lohu sampai disini, kenapa tuan rumah belum datang juga?" "Sejak tadi tuan rumah sudah datang" sahut pemuda perlente itu dengan suara berat.
"Dimana?" "Akulah orangnya" "Hmm, siapa kau" Memang pantas mengundang lohu datang kemari?" seru Kiong Gim-bit gusar.
"Cayhe Hoa Hui, mendapat perintah dari mertuaku untuk berpesiar ke Kanglam, mertuaku pernah berpesan, bila bertemu Kiong lo-sianseng, cayhe diminta menyampaikan salam" II "Ooh..
jadi kau adalah menantunya Siau.....
Siau siangkong kata Kiong Gim-bit dengan wajah membeku, "sungguh tak disangka dua puluhan tahun kemudian, dia masih belum melupakan lohu" Mendengar sampai disini, diam diam Tian Mong-pek berpikir: "Manusia macam apakah Siau siangkong itu" Kenapa menantunya dipanggil orang sebagai Huma" Untuk melakukan perjalanan jauh pun tak lupa mengusung begitu banyak peralatan" Setiap ucapan Kiong Gim-bit tajam dan angkuh, tapi, kenapa ia tak berani menyebut langsung nama orang itu?" Tanpa terasa timbul rasa ingin tahunya terhadap tokoh aneh itu.
Terdengar Hoa Hui tertawa terbahak-bahak.
"Hahahaha.... mana mungkin mertuaku melupakan Kiong lo-sianseng" Apalagi selama dua puluh tahun, ilmu pedang yang Kiong locianpwee miliki tentu maju sangat pesat .
. . . . . .. Tiba tiba dia mengalihkan pokok pembicaraan, serunya: II "Silahkan, silahkan, mari kita minum arak sambil berbincang....
Sambil berkata, dia ambil cawan dihadapannya dan meneguk isinya dalam sekali tegukan.
Ling-ling dengan wajah kagum mengawasi terus hidangan yang tersedia dihadapannya, ia memandang semua hidangan itu dengan mata melotot besar lagi bulat.
Sambil membelai rambut cucunya, ujar Kiong Gim-bit seraya bertawa: "Ling-ling, kau sudah lama tak pernah makan daging, mumpung ada orang mengundang makan, sana, makanlah sedikit lebih banyak" Dengan rasa takut-takut Ling-ling menyuap sepotong daging, biarpun ia merasa malu, namun nona kecil itu merasa sayang kalau tidak ikut makan banyak.
Melihat itu, pikir Tian Mong-pek sambil menghela napas: "Kiong Gim-bit memiliki ilmu pedang yang lihay, bila ingin kaya raya, rasanya hal itu dapat diraih semudah membalikkan tangan, sungguh tak disangka hidupnya justru terlunta-lunta, aaai, orang ini pasti angkuh dan tinggi hati, sebab itulah hidupnya jadi miskin" Mendadak terdengar Hoa Hui berseru sambil tertawa nyaring: "Sahabat Tian, kenapa tidak ikut bersantap" Kita toh orang sendiri, tak ada salahnya kalau kau pun ikut makan" Dalam hati Tian Mong-pek merasa amat gusar, sahutnya sambil tertawa dingin: "Tentu saja tak masalah!" Dia segera mengambil sumpit dan mulai bersantap dengan lahap, padahal belum lama dia menangsal perut, andaikata bukan terbakar emosinya oleh ulah serta sindiran Hoa Hui, mungkin dia tak bakal ikut bersantap.
Melihat cara pemuda itu bersantap, sambil menundukkan kepala Ling-ling tertawa geli, tapi diapun ikut bersantap tanpa canggung lagi.
Untuk berapa saat suasana jadi hening, semua orang seolah menggunakan kesempatan itu untuk mengisi perut sebanyak-banyaknya.
Kawanan bocah berbaju indah yang berada disamping, melayani kebutuhan semua tamunya dengan cekatan, tapi ada pula yang melongo melihat tingkah laku orang orang itu, berapa orang diantaranya bahkan berbisik bisik sambil tertawa geli: "Heran, kenapa Huma bisa mengundang kawanan setan kelaparan?" Tak selang berapa saat kemudian, Kiong Gim-bit bersama cucunya telah menyapu ludas semua hidangan dihadapannya, bahkan meneguk tujuh belas poci arak kelas satu, setelah itu sambil menyeka mulut ia baru berkata: "Arak bagus, hidangan lezat, bila kau undang lohu hanya bermaksud menyiapkan hidangan, lohu segera akan pergi dari sini" Hoa Hui tertawa terbahak-bahak.
"Hahahaha..... kenapa lotiong musti terburu buru?" serunya, "biarlah aku orang she-Hoa menyulang lotiong dengan secawan arak" Sambil membawa poci arak, ia tinggalkan tempat duduknya menuju ke hadapan Kiong Gim-bit, katanya lagi: "Biarlah aku penuhi cawan lotiong dengan arak!" "Hahaha .
. . . .. mau penuhi seribu cawan pun apa salahnya?" sahut Kiong Gim-bit sambil tertawa tergelak.
Tian Mong-pek tahu disaat menuang arak nanti, kedua orang itu pasti akan beradu tenaga dalam, maka diapun pusatkan perhatian untuk mengawasi gerak gerik mereka berdua.
Tampak Hoa Hui mengangsurkan poci araknya dengan gerakan lambat, sama sekali tak membawa desingan angin, sambil tertawa dingin Kiong Gim-bit mengangkat cawannya menempel ke mulut poci, gerakannya begitu jitu, seakan dia memiliki mata yang tajam.
Berkerut kening Hoa Hui, tiba tiba poci araknya bergeser sejauh 30 senti ke samping, dengan wajah tak berubah cawan ditangan Kiong Gim-bit segera mengikutinya.
Hoa Hui kembali mengangkat tinggi tangannya, Kiong Gim-bit tak mau kalah, dia mengekor terus dengan ketat.
Melihat itu Hoa Hui segera menggerakkan pocinya semakin cepat, sebentar ke atas sebentar ke bawah, sebentar ke kiri sebentar ke kanan, semuanya dilakukan dengan kecepatan bagaikan petir.
Tapi cawan arak dalam genggaman Kiong Gim-bit tak pernah lepas dari mulut poci, mau bergerak ke manapun, dia mengikuti terus dengan ketat.
Dibawah sinar lentera, tampak kilauan cahaya menari kian kemari, membuat semua orang tertegun dan melongo.
Tiba tiba Kiong Gim-bit membentak nyaring: "Bajingan tengik, kau berani mempermainkan karena mataku buta?" Lengannya berhenti kaku dan tidak bergerak lagi, sementara poci arak ditangan Hoa Hui justru melekat ditepi cawan dan ikut tak mampu bergerak pula.
Tampak paras mukanya makin lama berubah makin serius, otot hijau pada lengannya pada menonjol keluar, ruas jarinya semakin memucat sedang sepasang kakinya seolah terpantek diatas lantai, sol sepatunya yang semula tebal pun makin lama berubah semakin tipis, ternyata kedua belah kakinya sudah terbenam ke dalam tanah.
"Tak heran pemuda ini begitu congkak dan jumawa, ternyata ilmu silat yang dimilikinya sangat tangguh" pikir Tian Mong-pek.
Suasana dalam ruang utama pun sepi, hening, tak kedengaran suara lain kecuali suara dengusan napas.
Tiba-tiba..... "Kraaak!" mulut poci arak yang berada dalam genggaman Hoa Hui patah jadi dua bagian, menyusul kemudian tubuhnya sempoyongan dan mundur berapa langkah, "Traaang!" poci arak itupun terbanting ke lantai.
Kiong Gim-bit mendongakkan kepala, meneguk habis isi cawannya, lalu sambil membuang cawan ke lantai dan tertawa tergelak, ujarnya: "Biarpun Kiong Gim-bit sudah tua lagi buta, bukan berarti orang lain boleh mempermainkan seenaknya" "Benarkah begitu?" hawa napsu membunuh mulai menyelimuti wajah Hoa Hui.
"Hmm, kalau tak percaya, silahkan saja untuk dicoba" Perlahan Hoa Hui berjalan balik ke tempat duduknya, dalam ayunan kakinya, rasa angkuh, jumawa dan percaya diri kembali pulih menyelimuti wajahnya.
II "Dua puluh tahun berselang katanya, "sewaktu berada diluar perbatasan, ayah mertua ku pernah menyambut sebuah tusukan Kiong Lo-sianseng secara tergesa gesa, saat itu dia sering berkata, diantara jago pedang yang ada dalam daratan Tionggoan, Kiong lo-sianseng lah yang paling hebat.
Biarpun cayhe kurang pengalaman, namun sering mendengar orang persilatan berkata bahwa "Pedang bagai bermata seribu, cepat bagai sambaran kilat", aku rasa ilmu pedang yang Kiong lo-sianseng miliki pasti luar biasa hebatnya" Tiba tiba saja sikapnya berubah jadi sangat menghormat.
"Heran" tegur Kiong Gim-bit sambil tertawa, "apa maksudmu sombong dulu, hormat kemudian?" Il "Hmm, itu mah kejadian masa lalu kata Hoa Hui lagi, "saat mata Kiong lo-sianseng belum buta, tapi kini .
. . . . .. kini..... hehehe...

Panah Kekasih Karya Gu Long di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kini sudah bukan yang lalu lagi" Hilang lenyap senyuman dibibir Kiong Gim-bit, ujarnya gusar: "Intisari dari Ilmu pedang bukan terletak pada perbedaan antara lurus dan sesat, tapi terpusat dalam pikiran dan perasaan, biarpun sepasang mata lohu sudah buta, aku yakin ilmu pedangku sama sekali tidak menjadi lemah" Hoa Hui tertawa dingin.
"Mata merupakan jendela hati, kalau jendela hati tertutup, ilmu pedang pun akan mengalami hal yang sama.
Hehehe.... terus terang, cayhe memang tidak percaya" "Kau tahu apa?" bentak Kiong Gim-bit gusar, "lohu ogah banyak bicara Il denganmu .
. . . . . . .. "Betul, betul sekali" tukas Hoa Hui, "hanya bicara tanpa bukti memang tak ada gunanya, bila Kiong lo-sianseng berharap cayhe percaya, lebih baik buktikan dengan kenyataan"
Dari sikap Hoa Hui, Tian Mong-pek bisa menduga kalau semua perbuatannya itu pasti dilandasi niat busuk, hanya saja dia tak tahu dimana letak niat busuknya itu, selain itu, dia sendiripun ingin sekali menyaksikan sampai dimana kehebatan ilmu pedang yang dimiliki jagoan tersohor ini.
Tampak Kiong Gim-bit menekan tangannya ke lantai, tubuhnya segera melambung ke udara, diantara berkelebatnya bayangan hitam, bentaknya nyaring: "Bawa kemari pedangmu!" Dengan wajah kegirangan, Hoa Hui segera bertepuk tangan sambil berseru: "Bawakan pedang!" Seorang bocah berbaju indah buru buru muncul sambil membawa sebilah pedang dengan sarung terbuat dari kulit ikan hiu dan gagang terbuat dari emas murni, ornamen pada pedang itu kelihatan indah dan mahal.
Kiong Gim-bit segera menggenggam gagang pedang dan mencabutnya keluar, "Criiiing!" begitu pedang dicabut, dia cengkeram badan pedang dengan ibu jari dan jari tengah tangan kirinya, lalu dengan jari tengah dia sentil badan senjata.
Dentingan nyaring kembali bergema di seluruh ruangan, kali ini Kiong Gim-bit pasang telinga dan mendengarkan dengan seksama, seolah sedang menikmati irama musik dari surga.
"Bagaimana dengan pedang ini?" tanya Hoa Hui kemudian.
Tian Mong-pek terhitung orang yang suka pedang dan mengerti tentang pedang, tak tahan dia turut memuji: "Pedang bagus!" Perlu diketahui, bagi orang yang suka pedang menjumpai pedang bagus, sama seperti orang yang suka minum arak menjumpai arak wangi, atau seperti orang yang suka perempuan, melihat wanita cantik, imannya pasti tergoyah dan tanpa sadar kehilangan kontrol.
Hoa Hui melirik sekejap ke arahnya dan mengejek sambil tertawa hambar: "Rupanya kaupun mengerti pedang?" Dari nada suara serta mimik mukanya, dapat dilihat betapa menghina dan pandang rendahnya orang ini terhadap anak muda tersebut.
Kembali hawa amarah berkobar dalam benak Tian Mong-pek, tapi dia tetap menahan diri, pikirnya: "Setelah ini, bila ilmu pedangku tak bisa mengungguli dirimu, Tian Mong-pek bersumpah tak akan jadi manusia!" "Nguunggg .
. . . .. begitu Kiong Gim-bit menggetarkan tangannya, pedang yang berada dalam genggaman seketika berubah jadi beribu-ribu bayangan pedang yang menyilaukan mata.
Kiong Gim-bit menarik pedangnya ke belakang, dalam waktu singkat Tian Mong-pek merasakan angin pedang memekak telinga, cahaya senjata menyelimuti angkasa, hawa pedang seakan sudah mendesak hingga ke depan mata, tubuh kakek buta itu sendiri telah terbungkus dibalik cahaya pedang, hingga ditengah ruang utama seolah tersisa segumpal cahaya hijau yang menggulung kian kemari.
Semua yang hadir merasakan pandangan jadi kabur dan berkunang kunang.
"Bagus, bagus sekali" kembali Hoa Hui berkata sambil tertawa dingin, "kau memang tak malu disebut pedang bermata seribu.
Tapi, bermain pedang seorang diri tentu berbeda jauh bila dibandingkan sewaktu berhadapan dengan musuh, bukankah begitu Kiong lo-sianseng?" Baru selesai dia berkata, bayangan pedang telah sirap, Kiong Gim-bit dengan pedang terhunus telah berdiri angker dihadapannya.
"Jadi kau ingin menantang lohu untuk bertarung?" ujarnya ketus.
Dibawah cahaya lampu, tampak begitu memegang pedang ditangan, kakek itu seolah telah berganti jadi orang lain, semua ketuaan dan kelayuan yang semula menempel pada dirinya, kini hilang lenyap tak berbekas, penampilannya sekarang sungguh gagah dan perkasa.
Melihat itu, diam-diam Hoa Hui terkesiap, tapi diluar ia menyahut sambil tertawa terbahak-bahak: "Hahahaha....betul sekali, cayhe memang ingin melihat apakah kegagahan Kiong lo-sianseng sewaktu menghadapi musuh, masih setegar dan segagah tempo hari?" Berkerut kening Kiong Gim-bit, hawa pembunuhan lamat-lamat menyelimuti wajahnya, sepatah demi sepatah kata ujarnya: "Tahukah kau, hingga kini belum ada seorang manusia pun yang bisa hidup didunia ini setelah bertarung melawan lohu?" "Hahaha...
bagaimana pula jika orang lain dapat melukai lotiong?" ejek Hoa Hui sambil tertawa.
"Bagus!" seru Kiong Gim-bit sambil tertawa seram, tiba tiba ia duduk bersila dilantai, "terserah berapa macam senjata yang akan kalian gunakan, lohu akan melayani semua seranganmu itu dengan cara begini!" Lengannya segera direntangkan, ujung pedang sedikit mendongkel ke atas, bagaikan sebuah patung batu ia duduk bersila tanpa bergerak.
Angin berhembus lewat dari luar pintu ruangan, menggoyangkan jenggot dan rambutnya yang memutih.
Berkilat sepasang mata Hun-ho Hoa Hui, perlahan ia bangkit berdiri, memberi kode tangan lalu berjalan menuju ke belakang ruangan, ke delapan bocah berbaju perlente serta Hong Ku-bok ikut mengintil di belakangnya.
Tak selang berapa saat kemudian, mereka bersama muncul kembali, Hong Ku-bok masih mengenakan jubah panjangnya, sementara kawanan bocah berbaju perlente tadi telah berganti dengan pakaian ringkas, dalam genggaman mereka mencekal sebilah pedang baja, begitu muncul ditengah ruangan, segera orang orang itu mengepung Kiong Gim-bit ditengah arena.
Terkesiap perasaan Tian Mong-pek setelah menyaksikan kejadian itu, dilihat dari posisi pengepungan, sudah jelas bukan barisan untuk beradu kepandaian, tapi lebih mirip pertarungan melawan musuh besar.
Belum lagi ingatan lain melintas, Hong Ku-bok telah muncul di belakang tubuhnya dan berkata sambil tersenyum: "Maaf z " Jari tangannya disodok ke muka, ia totok jalan darah ditubuh Tian Mong-pek.
Betapa gusar dan kagetnya anak muda itu, sayang dia sudah tak mampu bersuara lagi.
Terlihat cahaya perak berkelebat lewat, dengan enteng Hoa Hui telah melayang turun lebih kurang satu setengah meter didepan Hong Ku-bok, kini dia telah berganti dengan baju ringkas seorang busu yang terbuat dari benang perak.
Begitu ketat pakaiannya sehingga tertera potongan badannya yang tinggi tegap, sementara sepasang tangannya memegang sebilah pedang dan sebilah pisau belati.
Pedang ditangan kanannya bersinar hijau bagaikan riak air dimusim gugur, sekilas pandang pun dapat diketahui kalau senjata itu jauh lebih tajam dan berharga daripada pedang ditangan Kiong Gim-bit.
Sedangkan pisau belati ditangan kirinya memancarkan sinar jauh lebih tajam, hal ini membuktikan kalau senjata inipun termasuk sebilah senjata mustika.
Hoa Hui melintangkan pedang ditangan kanannya didepan dada, sedang pisau belatinya disembunyikan dibalik siku, ditatapnya Kiong Gim-bit dengan pandangan tajam, tegurnya: "Kiong lo-sianseng, kau sudah siap?" Kiong Gim-bit mendengus tanpa bergerak, Hoa Hui segera memberi kode kerdipan mata, dengan cepat ke delapan orang bocah berpakaian ringkas itu memutar senjata ditangan mereka, namun kakinya sama sekali tak bergeser.
Terdengar deruan angin pedang menembus hingga ke seluruh ruang utama, tapi semua orang seolah berdiri terpaku.
Tian Mong-pek tahu, orang orang itu memang sengaja menggunakan siasat tersebut untuk mengacaukan pendengaran Kiong Gim-bit, tanpa terasa dia mulai menguatirkan keselamatan orang tua itu.
Sebagaimana diketahui, Kiong Gim-bit telah kehilangan penglihatannya, untuk menghadapi musuh dia hanya mengandalkan ketajaman pendengaran, begitu pendengaran kalut, pada hakekatnya susah bagi dia untuk menentukan dari arah mana datangnya serangan musuh, bila jurus serangan lawan pun sukar dikenali, bukankah sama artinya dia hanya menunggu datangnya saat kematian" Tiba tiba Hoa Hui menyilangkan kakinya bergeser sejauh tiga inci ke samping, namun Kiong Gim-bit masih duduk bersila tanpa bergerak, sedang tatapan mata Hoa Hui pun sama sekali tak berkedip.
Dalam waktu singkat sudah tujuh langkah Hoa Hui bergeser kesamping, setiap langkah dia bergeser, hawa pembunuhan yang menyelimuti ruang utama bertambah tebal, begitu tebal dan beratnya membuat setiap orang seakan merasakan dadanya sesak dan sukar bernapas.
Kiong Ling-ling tampak sangat ketakutan, wajahnya pucat dicekam rasa ngeri yang luar biasa, makin cepat angin pedang menderu, makin tebal perasaan panik dan takut diwajahnya, ketika Hoa Hui menggetarkan pedangnya, tak tahan Kiong Ling-ling menjerit kaget: "Yaya!" Bagaimanapun juga dia masih seorang kanak kanak, mana mungkin ia sanggup menghadapi situasi setegang ini" Wajahnya yang bulat kecil, kini sudah berubah sepucat mayat.
Tiba tiba Hoa Hui mendengus sambil mengulapkan tangannya: "Tak usah bertanding lagi!" Kawanan bocah berbaju ringkas itu menyahut dan menghentikan gerakan, suasana hening pun kembali menyelimuti ruang utama.
"Kenapa?" tanya Kiong Gim-bit dengan wajah berubah.
Sambil tertawa dingin sahut Hoa Hui: "Meskipun sepasang mata Kiong lo-sianseng telah buta, namun masih ada sepasang mata lain yang melakukan pengamatan, setiap menjumpai bahaya, ll asal dia berteriak memperingatkan .
. . . . .. Dengan penuh amarah bentak Kiong Gim-bit: "Ling-ling, kemari kau!" "Baik!" dengan rasa takut dan suara gemetar sahut Kiong Ling-ling.
"Apakah kau putri dari Kiong It-liau, cucu dari Kiong Gim-bit?" bentak kakek itu lagi.
"Benar, yaya!" "Tahukah kau, apa penyebab kematian ayahmu?" Dengan sedih Kiong Ling-ling mengangguk, matanya kembali memerah.
Kembali Kiong Gim-bit berkata dengan suara keras: "Demi nama baik keluarga Kiong, ayahmu bertempur hingga titik darah penghabisan, meski mati dalam bacokan senjata, sampai menjelang ajal pun tak pernah mengeluh maupun merintih, itulah sebabnya hingga sekarang, semua orang persilatan menaruh hormat dan salut setiap kali menyebut nama Kiong It-liau .
. . . . . . . .." Bicara sampai disini, terlintas rasa sedih diwajah tuanya, tapi segera lanjutnya: "Kau maupun aku adalah keturunan keluarga Kiong, kita tak boleh tunjukkan kelemahan dihadapan orang, hari ini, sebelum pertarungan yaya menunjukkan hasil akhir, biar kau musti mati tertembus pedang pun tak boleh bersuara atau mengeluh, mengerti?" Suaranya keras tapi tandas dan tegas.
Dengan sedih Kiong Ling-ling mengiakan, selangkah demi selangkah dia mundur dari arena.
"Bagus!" seru Hoa Hui kemudian dengan kening berkerut.
Pedangnya disontek kedepan, ke delapan bilah pedang lain pun ikut bergerak, terdengar.....
"Wuusss!" angin serangan muncul dari empat penjuru, tiba tiba Hoa Hui merangsek maju, sekilas cahaya pedang langsung menusuk tenggorokan Kiong Gim-bit.
Kiong Gim-bit seolah tidak merasa, tapi baru saja pedang Hoa Hui menyerang tiba, pedangnya sudah digetarkan dan.....
"Tringgl" tahu tahu ujung pedang lawan sudah digiring ke samping, lalu dengan menempel ditubuh senjata, kakek itu menebas ke bawah.
Serangan ini betul betul cepat bagai kilat, bahkan menggunakan kesempatan itu dia bendung ancaman dari Hoa Hui ke luar tubuhnya.
Tampaknya ke lima jari tangan Hoa Hui segera akan terpapas kutung, saat itulah pisau belati ditangan kiri pemuda itu, tanpa menimbulkan sedikit suara pun menusuk ke dada lawan.
Waktu itu Tian Mong-pek tak mampu berkutik, jantung nya terasa berdetak kencang, sepasang matanya melotot besar saking tegangnya.
Begitu pula dengan Kiong Ling-ling, sepasang matanya terbelalak besar lagi bulat, giginya terkantup kencang menggigit ujung bibirnya hingga berdarah, namun diapun tak dapat bersuara.
Menggunakan kesempatan itu, dua orang bocah berbaju ketat, tanpa menimbulkan suara menggeser tubuhnya ke samping lalu pedang mereka membacok bahu serta punggung Kiong Gim-bit.
Biarpun gerakan tubuh kedua bocah ini cepat, namun gerak serangannya lambat lagi tenang, sama sekali tidak disertai desiran angin tajam.
Mendadak Kiong Gim-bit membentak keras, pedangnya bergetar, mementalkan tusukan Hoa Hui, kemudian gagang senjatanya ditarik ke bawah, "Triiing!" dia hantam ujung pisau belati ditangan kiri Hoa Hui, membuat pergelangan tangan pemuda itu bergetar keras hingga berdarah.
Kemudian Kiong Gim-bit menyodok tangan kirinya lewat bawah ketiak, dengan ibu jari, telunjuk serta jari tengahnya dia jepit ujung pedang dari bocah disebelah kiri, kemudian digetarkan sambil mendorong, gagang senjata itu langsung menghantam dada bocah itu.
Sedangkan pedang ditangan kanannya sama sekali tak berhenti bergerak, kembali dia bacok ke bawah, diantara kilatan cahaya, pedang ditangan bocah sebelah kanan sudah digetar hingga terlepas, manfaatkan kesempatan ini kembali senjatanya membacok ke bawah.
Tak ampun tubuh bocah itu, dari batas ketiak kanan hingga ke bahu kirinya terbelah oleh bacokannya, mampuslah bocah tersebut dengan badan terbelah dua.
Ditengah jeritan kaget, dua kali jeritan ngeri bergema di angkasa, bocah sebelah kiri muntahkan darah segar, tubuhnya mencelat ke udara, isi perutnya hancur dan mampus pula dia secara mengerikan.
Bocah sebelah kanan yang tubuhnya terbelah jadi dua, bagian atas badannya mencelat keluar lalu jatuh menindih diatas sebuah meja pendek, kucuran darah segera berbaur dengan tumpahan arak, sementara separuh tubuh bagian bawahnya, maju lagi selangkah sebelum roboh terjungkal disamping Kiong Gim-bit, semburan darahnya seketika membasahi sekuj ur badan kakek buta itu.
Pedang milik Hoa Hui terpental oleh getaran pedang Kiong Gim-bit dan .
. . . .. "Traaak!" menancap persis diatas tiang penglari, saking kaget dan ngerinya, cepat cepat pemuda perlente itu mundur sejauh tujuh langkah dengan wajah pucat pias.
Bab 7. Siapa jago pedang terkuat" Delapan orang yang berada dalam ruangan merasakan hatinya bergetar keras, apalagi sesudah menyaksikan pembunuhan yang baru saja terjadi, mereka merasa matanya berkunang, seolah terperana, seolah tertegun, bahkan Hong It yang sedang mabok pun segera tersadar kembali, peluh dingin membasahi jidatnya, ia bersyukur karena tadi tak sampai mati konyol ditangan kakek buta itu.
"Sebuah ilmu pedang yang amat ganas, sebuah perbuatan yang kejam dan telengas" pikir Tian Mong-pek pula dengan hati tercekat.
Hanya dalam sekali tebasan, Kiong Gim-bit telah membantai dua orang bocah, kini dia masih tetap duduk bersila, pedangnya sudah kembali ke posisi semula, sikapnya begitu tenang seolah tak pernah terjadi sesuatu peristiwa pun.
Suasana hening mencekam ruang utama, berapa saat kemudian enam orang bocah yang tersisa kembali memainkan pedangnya, hanya saja kekuatan yang terpancar sudah tidak setangguh tadi lagi.
Hun-ho Hoa Hui menggenggam pedangnya kencang kencang, hawa membunuh terpancar dari matanya, selangkah demi selangkah dia mundur terus, ternyata ia bergeser ke samping Kiong Ling-ling.
Waktu itu Kiong Ling-ling sudah ketakutan setengah mati, ia pejamkan matanya rapat rapat karena takut melihat potongan mayat yang berpelepotan darah.
Siapa tahu secara tiba tiba Hoa Hui membuang pedangnya lalu mencengkeram tubuh nona cilik itu, dengan sepenuh tenaga dia lempar tubuh Kiong Ling-ling yang kurus kecil itu langsung ke hadapan Kiong Gim-bit.
Bersamaan dengan lemparan itu, pisau belatinya disambitkan pula mengarah ulu hati Kiong Gim-bit, melihat itu Tian Mong-pek terkesiap.
Tampak wajah Kiong Ling-ling dicekam rasa takut yang luar biasa, namun dia tetap gigit bibir tak mau mengeluarkan sedikit suara pun.
Tian Mong-pek dengan perasaan ngeri bercampur takut diam diam mengumpat: "Dasar watak kerbau, ayoh orang she-Kiong, cepat bersuara....." Belum habis ingatan tersebut melintas, sambil tertawa dingin Kiong Gim-bit telah membacokkan pedangnya ke depan, mementalkan pisau belati yang mengancam tubuhnya, lalu menusuk dada cucu perempuannya yang lemah, kurus lagi lembut itu.
Dengan cepat tusukan itu menembusi dada si nona, dalam keadaan begini, seorang lelaki kekar pun tak sanggup menahan diri, apalagi Kiong Ling-ling, seorang bocah perempuan yang kurus lagi lemah, tak kuasa lagi dia menjerit ngeri.
Berubah paras muka Kiong Gim-bit, teriaknya keras: "Ling-ling!" Dengan sekali sambar, dia peluk tubuh Ling-ling dan mendekapnya erat erat, lalu sambil meraba mulut luka didada cucunya itu, bisiknya gemetar: "Ling-ling, kau .
. . . . .. kaukah?" Paras muka Kiong Ling-ling pucat keabu-abuan, dia membuka sedikit matanya lalu menjawab lirih: "Yaya, aku.....
aku tak bersuara, kau.....
kau orang tua jang....jangan memukul aku .
. . . . . . .." Tersirap darah panas dalam benak Kiong Gim-bit, hatinya sakit bagai diiris-iris, sahutnya: II "Ling Ling.....
yaya . . . . . . . .. Sambil meraba tubuh cucu perempuannya, tiba tiba terlintas semua kepedihan hati yang dialaminya sepanjang hidup, tanpa terasa air mata meleleh keluar dari matanya yang buta, membasahi pipinya yang berkeriput.
Tian Mong-pek yang menyaksikan adegan itu merasa terkejut, ngeri, sedih bercampur gusar, air mata turut meleleh membasahi pipinya, dia hanya bisa benci pada diri sendiri, benci karena harus menyaksikan tragedi itu berlangsung didepan mata tanpa sanggup mencegah, bukan saja tak mampu bergerak, bicara pun tak mampu, untuk sesaat rasa bencinya merasuk hingga ke tulang sumsum.
Hampir semua yang hadir terkesiap, sementara Hoa Hui telah berdiri dikejauhan dan mengejek sambil tertawa seram: "Samakah hasilnya" Samakah hasil dari seorang buta dan tidak buta?" Biarpun wajahnya tampan, hatinya jauh lebih busuk dan jahat daripada kalajengking, kalau bisa, Tian Mong-pek ingin mencincang tubuh orang itu hingga hancur berkeping.
Kiong Gim-bit meraung kalap, sambil melompat bangun, umpatnya: "Dasar binatang .
. . . . . .." "Hahaha....
jangan sembarangan bergerak" kembali Hoa Hui mengejek sambil tertawa seram, "dalam ruang utama ini, aku telah siapkan dua puluh jago pedang dan lima puluh buah busur bertenaga pegas, asal kau berani bergerak, akan kucabut nyawamu!" Biarpun dia menggertak dengan wajah serius, sayang Kiong Gim-bit tak dapat melihatnya, sambil menggetarkan pedang, kembali kakek buta itu siap menubruk ke muka.
Tiba tiba ia seperti teringat dengan tubuh cucu perempuannya yang masih berada dalam pelukan, umpatnya kemudian dengan penuh rasa dendam: "Binatang, serigala bertubuh manusia, aku .
. . . .. ada permusuhan apa diantara kau dengan aku .
. . . . . . . .." Saking bencinya, rambutnya yang beruban seolah berdiri tegak bagai landak, tapi demi cucu perempuannya, dia tak berani maju ke depan untuk beradu nyawa dengan Hoa Hui.
"Permusuhan?" seru Hoa Hui sambil tertawa keras, "ada permusuhan apa" Tua bangka, masih ingat dengan Hoa Peng suami istri yang tewas diujung pedang kalian ayah beranak pada enam belas tahun berselang" Masih ingat dengan bocah perempuan kecil yang ada bersama mereka" Terus terang kukatakan, akulah putra Hoa Peng, bocah perempuan itu adalah cici ku, demi membalas dendam kesumat ini, dengan susah payah kulacak dan kucari dirimu, ternyata Thian memang punya mata, akhirnya aku dapat menyaksikan dengan mata kepala sendiri akan pembalasan ini!" Suaranya begitu menyeramkan, pada hakekatnya seperti bukan suara yang muncul dari mulut manusia.
Berubah hebat paras muka Kiong Gim-bit.
Terdengar Hoa Hui berkata lagi sambil tertawa seram: "Sepanjang hidup, hatimu lebih keras dari baja, belum pernah ada korban yang hidup dibawah pedangmu, aku ingin tanya, bagaimana rasanya membunuh manusia" Hari ini, kau telah membunuh cucu perempuanmu dengan tangan sendiri, bagaimana pula rasanya?" "Siapa bilang aku telah membunuhnya" Siapa bilang dia sudah mati .
. . . . .." jerit Kiong Gim-bit, tapi begitu tangannya meraba tangan cucu perempuannya yang mulai mendingin, tubuhnya bergetar keras, dadanya seakan terhantam geledek, untuk sesaat dia berdiri mematung, tak berbicara tak bersuara, paras mukanya berubah jadi be gitu tawar, berubah tanpa ekspresi.
Lalu, perlahan dia membaringkan tubuh cucu perempuannya ke lantai, perlahan bangkit berdiri, sekonyong-konyong suasana dalam ruang utama berubah jadi sepi, jadi hening, lebih hening daripada tanah pekuburan .
. . . . . . .. Tak ada orang bergerak, tak ada manusia bersuara, bahkan dengus napas pun seolah punah, cahaya dari belasan lentera seolah semuanya menyinari tubuh si kakek dengan rambutnya yang putih.
Hawa pembunuhan yang berat mulai menyelimuti ruangan, seakan hembusan angin yang masuk melalui jendela, menggoyangkan api lentera .
. . . . . .. Seorang bocah yang berdiri paling dekat dengan Kiong Gim-bit, benar-benar tak sanggup menahan tekanan berat itu, baru saja kakinya bergeser, tampak cahaya pedang berkelebat, membabat dari atas menuju ke bawah.
Dalam kagetnya cepat dia angkat pedangnya untuk menangkis, namun baru setengah gerakan dilakukan, pedang dalam genggaman Kiong Gim-bit telah membelah dadanya, membuat darah segar menyembur keluar.
Seorang bocah yang lain menjerit takut, dia langsung putar badan melarikan diri.
Lagi lagi Kiong Gim-bit menggetarkan pedangnya, tidak nampak dia menggerakkan tubuh, "Sreeeet!" satu babatan maut telah membelah belakang tengkuk bocah itu hingga tembus tulang dadanya.
Diiringi jeritan ngeri dan sembuaran darah segar, bocah itu tergelepar ke tanah, mati konyol.
Dengan menempelkan ujung pedangnya dilantai, perlahan Kiong Gim-bit memutar badan, ketika sinar lentera menerangi tubuhnya, pedangnya bahkan rambutnya yang telah beruban, terlihat noda darah membasahi seluruh bagian tubuhnya, penampilannya sekarang tak ubahnya seperti setan iblis penghisap darah.
semua orang merasa ketakutan, merasa ngeri, tubuh mereka mulai gemetar, gigi mereka saling beradu, namun semua orang berusaha menggigit bibir, tidak membiarkan giginya beradu, tidak membiarkan giginya bersuara, terutama Hong It, dia sudah terkapar lemas ditanah, tergeletak ketakutan.
Tian Mong-pek merasakan pula hatinya bergidik, terasa telapak tangannya mulai gatal, gatal karena basah oleh peluh dingin, untung jalan darahnya dalam keadaan tertotok, membuat pemuda ini sama sekali tak mampu bergerak.
Kawanan lelaki berbaju perlente yang sejak semula berdiri diluar ruang utama, kini berdiri makin menjauh, menyingkir sejauh-jauhnya dari tempat bencana, sedangkan mereka yang berdiri lebih dekat, mulai merasakan pecah nyali.
Tiba tiba salah seorang diantara mereka merasakan celananya jadi dingin, ternyata ia sudah terkencing kencing saking takutnya.
'Il "Traaaaang . . . . . .. sebilah pedang terjatuh ke lantai, salah satu bocah berbaju perlente itu roboh terjungkal ke tanah, jatuh tak sadarkan diri.
Mendadak . . . . . .. kembali Kiong Gim-bit menggerakkan pedangnya secepat aliran arus lahar, langsung menusuk ke sasaran terdekat.
Seorang bocah yang berdiri paling dekat dengan pintu ruang, kontan membalikkan diri kabur keluar, apalagi setelah melihat Kiong Gim-bit menghampirinya.
Siapa tahu pandangan matanya terasa kabur, tahu tahu Kiong Gim-bit telah muncul dihadapannya, belum lagi kakek itu turun tangan, si bocah sudah menjerit ngeri sambil roboh ke tanah, ternyata nadinya pecah lantaran ketakutan.
Semua peristiwa berlangsung dalam waktu singkat, secara beruntun Kiong Gim-bit telah melukai enam orang, wajahnya tampil semakin dingin, pedangnya dilintangkan didepan dada, sambil berjaga jaga di pintu keluar, ujarnya perlahan: "Kalian telah mencelakai cucu perempuanku, jangan harap seorangpun lolos II dari sini dalam keadaan hidup .
. . . . . . . .. "Maju semua!" bentak Hoa Hui nyaring, "mari kita beradu nyawa dengan bajingan tua ini" Sambil berteriak, dia sambar sebuah bangku pendek lalu dilemparkan ke depan, ujung pedangnya mencongkel, lagi lagi dia mencongkel sebuah bangku pendek, sepasang kakinya menendang beruntun, menendang dua buah bangku lainnya, kini ada empat buah bangku pendek meluncur ke arah Kiong Gim-bit.
Dengan cekatan kakek buta itu mengibaskan pedangnya, diantara kilatan cahaya, ke empat buah bangku itu sudah terpapas kutung jadi berapa bagian, kini tubuhnya merangsek maju ke hadapan Hoa Hui.
Mendadak Hong Sin menyambar ujung baju putranya, dengan satu pukulan dia hancurkan daun jendela lalu melepaskan tujuh buah titik cahaya bintang ke arah lawan, "wesss!" menggunakan kesempatan itu dia kabur dari tempat itu.
Hong Ku-bok nampak tertegun, tapi cepat dia rentangkan tangannya melindungi diri, kemudian ikut merat dari situ.
Suasana pun berubah jadi gempar, melihat ada orang melarikan diri, kawanan lelaki dalam ruangan pun ikut membubarkan diri dan melarikan diri terbirit birit.
Lampu lentera berjatuhan ke tanah, membakar rumput-rumput kering diseputarnya, tak lama kemudian kobaran api pun membumbung tinggi ke angkasa.
Dengan kecepatan tinggi Hoa Hui berlarian mengelilingi ruangan, pedangnya berulang kali mencongkel, sepanjang jalan dia mencongkel bangku bangku yang ditemukan dan ditimpukkan ke arah Kiong Gim-bit, namun kakek buta itu seakan ulat penempel tulang, menempel terus secara ketat ke manapun dia pergi.
Hoa Hui mencoba membaca situasi, ia saksikan didalam ruang utama itu, kecuali Tian Mong-pek serta mayat yang berserakan, hanya tersisa dirinya serta dua orang bocah yang berdiri mematung karena ketakutan.
Tanpa terasa dia jadi gugup bercampur panik, peluh sebesar kacang mulai bercucuran membasahi jidatnya, masih untung Kiong Gim-bit tak punya mata, biarpun ilmu meringankan tubuhnya sangat tangguh, untuk sesaat kakek itupun tak mampu menyusulnya.
Jodoh Rajawali 17 Joko Sableng 33 Dewa Cadas Pangeran You Are My Happines 3

Cari Blog Ini