Ceritasilat Novel Online

Panah Kekasih 6

Panah Kekasih Karya Gu Long Bagian 6


"Jadi kau..... kau tidak menolongnya?" tanyanya dengan gemetar.
Istri pemilik perahu itu menyeringai, pikirnya: "Bocah muda itu mengenakan pakaian dekil dan penuh lubang, mau ditolongpun percuma, toh tak bisa mengganti perahuku" Mendadak ia tidak menjumpai suaminya, dengan hati kebat kebit segera teriaknya: II "Suamiku....
suamiku . . . . .. II "Enso gendut, tak usah kuatir hibur rekannya, "imlu berenang dari Gou toako sangat hebat, tak ada yang mampu menandinginya diseputar sini, dia tak mungkin celaka" "Betul" sambung yang lain, "kalau Gou toako sampai celaka, dari dulu kami semua sudah tidur didasar telaga" Dipihak lain, Siau Hui-uh yang termangu segera berusaha merangkak ke tepi perahu dan siap terjun ke air.
Melihat itu, buru buru istri pemilik perahu berteriak: "Eei, mau ke mana kau?" Yang dia pikirkan hanya bagaimana perahunya yang tenggelam diganti dengan yang baru.
Waktu itu kekuatan tubuh Siau Hui-uh belum pulih, dia berusaha meronta namun gagal, akhirnya diapun berseru: "Kalau suamimu pandai berenang, sementara dia....
dia tak tahu air . . . . . .." Lalu dengan air mata berlinang teriaknya: "Kalau kau tidak lepaskan aku, akan kubunuh kalian semua!" Sejak kapan para nelayan itu pernah bertemu dengan gadis segalak ini, ada yang diam.diam mengumpat, ada pula yang segera lepas pakaian dan berseru: "Nona, tunggulah disini, kami akan pergi mencari" Siau Hui-uh duduk termangu, yang dipikirkan sekarang hanya Tian Mong-pek seorang, dia seolah sudah melupakan Kiong Ling-ling yang semula berada dalam pelukannya dan kini lenyap tak berbekas.
Tiba tiba terdengar seseorang berteriak keras: "Coba lihat, apa itu?" Semua orang segera berpaling, diantara pusaran air telaga yang hijau tiba tiba mengalir percikan air berwarna merah, kemudian tampak pusaran air keras diikuti munculnya tubuh seseorang dari dalam air, dia tak lain adalah Tian Mong-pek.
Terkejut bercampur girang, Siau Hui-uh segera berteriak: "Cepat, cepat bopong dia naik!" Sebaliknya sang istri pemilik perahu memperhatikan lelaki lain yang saat itu sedang mendorong tubuh Tian Mong-pek keluar dari air, lengannya tampak terluka dan masih mengucurkan darah segar, sementara dua lelaki lain berjaga disisinya.
"Gou toako" teriaknya sambil menangis, "kau baik baik bukan?" "Tentu saja baik" jawab Gou toako sambil tertawa keras, "akhirnya aku berhasil juga menangkap tamu itu dan memaksanya untuk bayar ganti guri" Begitu tiba diatas perahu, tiba tiba saja ia jatuh terjerembab dan tidak sadarkan diri.
Ternyata tadi, Tian Mong-pek diseret ke dalam air oleh Hong Sin dan putranya, sebetulnya Hong It masih ingin mencari Siau Hui-uh, tapi berhubung para nelayan sudah terjun ke air, terpaksa mereka berdua membawa Tian Mong-pek untuk kabur.
Tak tahunya Gou toako sudah mengincar Tian Mong-pek karena akan dipaksa bayar ganti rugi perahunya yang karam, begitu melihat jejak mereka, dia langsung melakukan pengejaran.
Sekalipun Hong Sin dan putranya mengerti ilmu dalam air, namun kemampuannya tak seberapa, bagaimana mungkin mereka sanggup menandingi si kerbau air itu.
Biarpun Hong It berhasil menusuk si kerbau air, namun dia sendiripun nyaris ditenggelamkan lawan.
Mereka tidak tahu bagaimana nasib Siau Hui-uh waktu itu, namun kedua orang itupun tak berani muncul dipermukaan, terpaksa sambil bertahan didalam air, mereka enggan lepaskan Tian Mong-pek dengan begitu saja.
Sampai akhirnya datang bala bantuan dari para nelayan, kedua orang itu baru sadar kalau rencana busuknya pada hari ini gagal total, sambil bersumpah serapah meka pun melepaskan Tian Mong-pek dan melarikan diri.
Ketika para nelayan melihat si kerbau air sudah terluka, maka tak ada yang melakukan pengejaran lagi.
Si kerbau air hanyalah seorang nelayan biasa, setelah berhasil selamatkan nyawa orang, apalagi bisa mendapatkan orang yang mau membayar ganti rugi perahunya, dengan perasaan bangga diapun menarik Tian Mong-pek keatas perahu.
Tapi karena kehilangan banyak darah, pada akhirnya dia ikut jatuh tak sadarkan diri.
Setelah diberi air jahe hangat, akhirnya Tian Mong-pek pun tersadar kembali dari pingsannya.
Begitu buka mata, pada pandangan pertama ia saksikan Siau Hui-uh sedang menatapnya dengan sedih, dalam waktu sekejap, pelbagai pikiran berkecamuk dalam benaknya, ia tak tahu harus sedih atau gembira.
Siau Hui-uh segera menggenggam tangannya erat erat, meski ingin tersenyum namun air matanya tak menurut perintah, butir demi butir meleleh membasahi pipinya.
Lama kemudian, Tian Mong-pek baru menghela napas, bisiknya: "Apakah.....
apakah Ling-ling sudah sadar?" Tiba-tiba sekujur tubuh Siau Hui-uh gemetar keras, cepat ia lepaskan genggamannya.
Agak terperanjat tanya Tian Mong-pek: "Bagaimana dengan dia?" II " C C C C - C C C C C - C C Ketika semua orang mendengar masih ada seorang lagi yang belum tertolong, perasaan girang yang semula meluap pun seketika padam separuh.
Siau Hui-uh berlarian menuju ke tepi perahu, tiba tiba terasa ada orang menumbuknya dari belakang, ternyata Tian Mong-pek i kut menyusul ke situ sambil bertanya: "Jadi dia belum tertolong?" Sambil bicara, ia siap terjun ke dalam air.
Untung berapa orang segera mencegahnya sambil membujuk: "Jangan panik, dibicarakan dulu baik baik" "Lepaskan aku, lepaskan aku" teriak Tian Mong-pek, "aku telah melakukan kesalahan terhadap Kiong locianpwee, lebih baik mati saja untuk menebus kesalahan ini" "Sobat" seorang lelaki gemuk datang mendekat sambil menepuk bahu Tian Mong-pek, "sekalipun kau mati, lalu apa gunanya" Karena kami telah bersusah payah menolongmu, tentu tak akan biarkan kau mati dengan begitu saja.
Asal kita ramai ramai mencarinya, percayalah, temanmu pasti akan ditemukan.
Coba jelaskan dulu, macam apa temanmu itu?" "Dia adalah seorang bocah peremuan" jawab Tian Mong-pek sedih, "dia __u Belum selesai dia berteriak, terdengar seseorang berteriak: "Jangan ribut dulu, lihat, didepan sana ada orang terapung" Semua orang merasakan semangatnya bangkit, buru buru mereka menengok kearah yang ditunjuk.
Terdengar pemuda tadi berteriak lagi: "Aaah, betul, dia seorang bocah perempuan!" Tidak menunggu ucapan itu selesai, Tian Mong-pek segera melompat ke dalam air sambil berteriak: "Ling-ling jangan takut, paman datang menolongmu!" "Hei, kau tak bisa berenang!" jerit Siau Hui-uh kaget, tanpa sadar ia turut terjun ke air.
Untung para nelayan segera terjun ke air menyelamatkan kedua orang itu sehingga mereka lolos dari kematian.
Tubuh yang terapung diatas permukaan air ternyata memang seorang bocah perempuan, saat itu si bocah sudah tak bergerak, si ikan hiu, pemilik perahu yang terjun menolong segera dapat merasakan kalau jantung bocah perempuan itu masih berdetak, cepat cepat ia menariknya keatas perahu.
Dalam pada itu Tian Mong-pek serta Siau Hui-uh sudah tersadar kembali, tak terlukiskan rasa girang mereka setelah tahu kalau Kiong Ling-ling tetap sehat dan hidup.
Sambil menepuk bahu Tian Mong-pek, ujar si ikan hiu seraya tertawa: "Hengtai, aku tak ingin menyalahkan dirimu, hanya satu perlu kukatakan, kalau tak mengerti ilmu berenang, lebih baik jangan terjun ke air" "Aku sendiripun tak mengerti kenapa bisa berbuat begitu" sahut Tian Mong-pek tersipu, "kulakukan semuanya itu tanpa sadar" Si ikan hiu segera mengacungkan jempolnya.
"Saudaraku, kau memang seorang enghiong hohan" pujinya, "hanya seorang enghiong yang mampu menolong orang tanpa memikirkan keselamatan sendiri" "Nona inipun berani terjun ke air walau tak menguasahi ilmu berenang" istri pemilik perahu ikut menimpali, "kalau ingin memuji, jangan memuji lelaki saja, memangnya tak ada enghiong diantara kaum wanita?" "Betul sekali" seseorang berseru, "mereka memang merupakan pasangan enghiong" "Mereka berdua memang sejoli yang hebat!" Biarpun Siau Hui-uh latah, tak urung saat ini ia tundukkan kepalanya dengan wajah tersipu, hatinya terasa hangat, ketika melihat Tian Mong-pek maupun Kiong Ling-ling berada disampingnya, ia merasa sangat bahagia, kebahagiaan yang tak terlukiskan dengan perkataan.
Terdengar si ikan hiu kembali berkata: "Hei kerbau air, jasamu hari ini sungguh luar biasa, hanya sayang kita gagal membekuk dua orang keparat itu untuk diberi pelajaran" "Ayoh kita kejar" seru berapa orang pemuda, "masa dia bisa kabur ke ujung dunia" Kalau berhasil ditangkap, kita bunuh saja" Mendengar itu Siau Hui-uh menghela napas panjang, cegahnya: "Tak usah dikejar, toh....
toh mereka gagal mencelakai kami" Coba kalau berganti waktu biasa, mungkin dialah orang pertama yang melakukan pengejaran, tapi sekarang perasaan hatinya sedang diliputi kemesraan dan kehangatan, dia sama sekali tak berhasrat untuk membunuh orang.
Dalam perkiraan Tian Mong-pek, dia mengira gadis itu bakal berkata begini: "Toh mereka tak bakal lolos dari cengkeramanku", siapa tahu jawabannya sangat berbeda, hal ini membuat hatinya tercengang hingga tanpa terasa berpaling.
Seketika itu juga dilihatnya gadis itu sedang menatapnya dengan begitu kelembutan, seakan dia telah berubah jadi orang lain.
Tentu saja dia tak paham kenapa bisa begitu, hingga untuk sesaat pemuda itupun termangu.
Menyaksikan Tian Mong-pek menatapnya dengan termangu, paras muka Siau Hui-uh berubah jadi merah karena jengah, segera ujarnya lembut: "Kami sama sekali tidak cedera, justru perahu itu tenggelam, jadi kami harus membayar ganti rugi" Sekarang, ia justru menaruh perasaan terima kasih terhadap Hong Sin berdua, sebab tanpa peristiwa hari ini, iapun tak dapat mengurai kesalah pahamannya terhadap Tian Mong-pek.
"Ganti rugi apa?" terdengar si ikan hiu berteriak, "kalau kalian tetap akan membayar ganti rugi, itu sama artinya tidak pandang mata terhadap kami sebagai penghuni telaga Tay-ou" "Betul sekali" teriak si kerbau air yang saat itu sudah mendusin, II "sebagai persaudaraan telaga Tay-ou .
. . . . .. Tiba tiba ia merasa bininya sedang melotot gusar kearahnya, cepat iapun telan kembali perkataan yang belum selesai.
Si ikan hiu segera tertawa terbahak-bahak.
"Hahaha.... enso Gou tak usah gelisah" serunya, "asal kita bisa melewati malam ini, besok kita masih tetap bisa hidup di telaga Tay-ou ini.
Paling banter kami akan bekerja keras selama berapa hari untuk membelikan perahu baru bagi kalian.
Kalau jadi orang picik, sekalipun memiliki delapan puluh perahu pun tak ada gunanya" Siau Hui-uh merasa terharu sekali, pikirnya: "Kusangka dalam dunia persilatan jarang terdapat orang baik, siapa tahu diantara rakyat jelata pun terdapat banyak orang gagah" Diam diam dia lepas cincin zamrud yang dikenakan dijari tangannya lalu disodorkan kehadapan Gou toaso.
Biarpun Gou toaso tidak mengerti kwalitas barang, namun dari sinar hijau yang terpancar dari cincin itu, dia tahu kalau benda itu pasti tak ternilai harganya.
Dengan perasaan jengah dan rikuh, serunya: "Nona, ini .
. . . .." "Anggap saja sebagai harga perahumu" tukas Siau Hui-uh sambil tersenyum.
Melihat itu, seorang nelayan segera berteriak sambil tertawa: "Gou toaso, tadi saja kau tanpa sungkan sungkan menuntut ganti rugi, bahkan sempat pelototi si kerbau air, sekarang kenapa jadi rikuh sendiri?" "Hahaha, tidak disangka Gou toaso tahu merah pipi karena malu" goda yang lain sambil tertawa, "tahu apa artinya sungkan" Gelak tertawa pun segera meledak memecah keheningan.
Tiba tiba Tian Mong-pek berseru dengan lantang: "Teman teman sekalian, aku orang she-Tian tak akan banyak bicara karena hari ini telah menerima kebaikan kalian, toh kita sama sama lelaki, yang penting bisa saling memaklumi" "Hahaha, nah begitu baru betul!" seru si ikan hiu sambil tertawa nyaring, "Tian Mong-pek, hari ini aku si ikan hiu bisa berkenalan dengan enghiong hohan macam kau, biar matipun tak akan menyesal" Dengan wajah serius kembali Tian Mong-pek berkata: "Kalian harus berterus terang kepadaku, benarkah pada malam nanti, telaga Tay-ou bakal terjadi sesuatu?" Begitu selesai ia berkata, gelak tertawa para nelayan seketika terhenti, seakan tiba tiba teringat akan sesuatu, paras muka mereka berubah jadi serius.
Dengan sorot mata yang tajam, Tian Mong-pek mengawasi wajah orang orang itu, dari perubahan mimik muka mereka, dia semakin yakin kalau malam ini pasti akan terjadi suatu peristiwa di telaga Tay-ou.
Si ikan hiu pun sedang mengawasinya dengan tatapan tajam, lelaki gagah ini tiba tiba saja berubah jadi begitu sensitip dan cekatan.
Angin berhembus lewat menggoyangkan riak air, setelah terdiam lama sekali, ikan hiu baru berkata: "Setelah kau mengetahui kejadian ini, aku percaya, mau suruh kalian pergi dari sini bukanlah urusan gampang" Perkataan itu sama artinya telah mengungkap pikiran Tian Mong-pek, mengungkap pula wataknya yang asli.
Dengan serius pemuda itu menyahut: "Tepat sekali!" Sedang dihati kecilnya membatin: "Lelaki semacam ini memang tak malu menjadi pemimpin kaum lelaki sejati di telaga Tay-ou" ll "Peristiwa yang bakal terjadi malam nanti menyangkut mati hidup kata si ikan hiu kemudian, "itu berarti, bila kau melibatkan diri maka sulit bagimu untuk melepaskan diri lagi" "Bukan masalah" "Bagus sekali!" Kedua orang ini saling menanggapi dengan cepat, setelah saling menatap sekejap, ujar si ikan hiu: "Kalau begitu istirahatlah dulu, bila tiba saatnya nanti, aku akan membangunkan kau" Tian Mong-pek segera berpaling dan memandang Siau Hui-uh sekejap, cepat gadis itu menjawab: "Akupun berpendapat sama dengan dirimu" Mereka berdua tidak banyak bicara lagi, si ikan hiu pun menghantar mereka masuk ke ruang perahu.
"Kalau bisa tidur, tidurlah sejenak, yang penting harus menghimpun kekuatan" pesan ikan hiu.
"Baik!" tanpa banyak bicara, Tian Mong-pek segera merebahkan diri dan tidur.
Siau Hui-uh sendiripun tidak banyak bicara, dia tahu, watak lelaki memang begitu, kalau sudah merasa cocok satu dengan lainnya, biar urusan yang menyangkut keselamatan jiwa pun, biasanya diputuskan tanpa banyak bicara.
Ketika terjaga dari tidurnya, Tian Mong-pek menyaksikan Kiong Ling-ling sudah berganti pakaian bersih dan berbaring disisinya, diatas meja ia jumpai dua biji jeruk yang telah dikupas, dibawah jeruk tertindih secarik kertas yang berbunyi bergini: "Paman, jeruk yang satu dikupas bibi sedang jeruk yang lain Ling-ling yang kupas, kau makan semuanya yaa" Bibi sudah suruh aku tidur lagi.
Ling-ling" Membaca surat itu Tian Mong-pek tersenyum lega, diapun melahap jeruk yg terkupas itu, meski rasa jeruk kecut namun perasaan hatinya justru amat manis.
Ketika keluar dari ruang perahu, ia saksikan cahaya bintang bertaburan di angkasa, lentera telah dipasang menerangi seluruh perahu, sementara puluhan perahu nelayan yang lain berjajar ditepi pantai.
Lentera yang tergantung di perahu-perahu itu ibarat bintang dilangit, tersebar dan menerangi jagad.
Tay-sah-hi atau si ikan hiu sedang berdiri dibawah lentera, melihat kehadirannya, ia segera menyapa sambil tertawa: "Sudah mendusin" Nyenyak bukan tidurmu?" Sambil tersenyum Tian Mong-pek manggut-manggut.
"Bagus sekali!" seru si ikan hiu, dia menatap Tian Mong-pek sekejap, lalu setelah tertawa sedih, terusnya, "aku sedang menanti kedatangan seseorang, tapi hingga kini dia belum.muncul juga, mungkin saja ia tak bakalan datang lagi" "Siapa?" Si ikan hiu menghela napas.
"Disinggungpun belum tentu kau kenal.
Tian-heng, coba kau lihat air telaga yang begitu bening dan tenang, aku kuatir sebelum fajar menyingsing esok, air yang bening ini bakal berubah jadi merah, merah karena bercampur darah"
Bab 12. Hujan badai menerpa jagad.
Mendengar itu Tian Mong-pek merasa amat terkesiap, sebenarnya dia ingin bertanya, apa yang bakal terjadi, namun melihat si ikan hiu tidak menjelaskan, diapun merasa segan untuk banyak bertanya.
Waktu berlalu bagai rangkakan siput, bergerak lambat sekali ditengah kegelapan yang sunyi.
Entah berapa lama sudah lewat, akhirnya terdengar suara derap kaki kuda yang bergema semakin mendekat.
Terlihat empat ekor kuda putih dengan empat lelaki berbaju putih berhenti ditepi telaga, ke empat orang itu mengenakan baju putih, kaus putih dan kain kerudung berwarna putih, sebuah topi kain putih berbentuk kerucut dikenakan dikepala mereka.
Begitu melompat turun dari kudanya, mereka bergerak menuju keatas perahu, gerak geriknya ringan bagaikan setan yang sedang gentayangan.
Tiada suara lain diatas perahu kecuali langkah kaki ke empat lelaki berbaju putih itu.
Tak lama kemudian mereka telah berdiri berjajar dihadapan ikan hiu, empat orang delapan mata menatap lelaki itu dengan sinar setajam sembilu.
"Bagaimana jawabanmu" Cepat katakan!" lelaki yang ada ditengah segera menegur dingin.
"Apakah kau masih menunggu jawaban?" dengus si ikan hiu.
Lelaki berbaju putih itu tertawa dingin dan tidak bicara lagi.
Sesudah tertawa keras, kata si ikan hiu: "Baik! Kalau begitu akan kuberikan jawaban dari semua lelaki gagah telaga Tay-ou!" Dengan satu lompatan, tubuhnya yang tinggi besar segera melompat naik ke atap ruang perahu, teriaknya lantang: "Bila ada orang minta kita menyerahkan telaga Tay-ou kepadanya, apa jawaban dari semua lelaki penghuni Tay-ou?" "Kami akan beradu nyawa dengannya!" serentak dari empat penjuru bergema suara jawaban yang gegap gempita.
Si ikan hiu tertawa keras, serunya: "Sudah kau dengar" Itulah jawaban dari semua lelaki penghuni Tay-ou, bila kau menginginkan tempat ini, singkirkan dulu semua mayat dari lelaki telaga Tay-ou" Ke empat orang lelaki berbaju putih itu saling bertukar pandangan sekejap, kemudian setelah tertawa dingin, tanpa mengucapkan sepatah kata pun segera melompat naik keatas kudanya dan beranjak pergi dari situ.
Dalam waktu singkat ke empat titik bayangan putih itu sudah lenyap dibalik kegelapan.
II "Saudara Tian kata si ikan hiu kemudian, "inilah persoalan yang memaksa kami harus beradu nyawa, sekalipun nyawa harus melayang, kami tak sudi membiarkan hasil karya saudara saudara telaga Tay-ou dirampas oleh penyamun yang tak jelas asal usulnya.
Hanya sayang... aii, selama dua puluhan tahun, kami orang orang Tay-ou hanya hidup dari menangkap ikan, sudah lama kami tidak berlatih silat, sedang aku .
. . . . . .. aaai! Sejak kecil sudah tak pernah giat berlatih, kalau bukan begitu, hari ini kitapun tak perlu ketakutan" Dari gerakan tubuhnya tadi, Tian Mong-pek sudah tahu kalau ilmu silat yang dimiliki si ikan hiu cukup tangguh, tapi karena mereka hidup dengan menangkap ikan, maka kehebatan mereka sama sekali tak dikenal dalam dunia persilatan.
Berapa saat berlalu dalam keheningan, mendadak terlihat paras muka si ikan hiu berubah, mengikuti arah yang dipandang, dari kegelapan dikejauhan sana tiba tiba muncul seutas sinar putih, makin lama cahaya putih itu semakin membesar dan akhirnya berubah jadi bayangan putih.
Sesaat kemudian bergema suara langkah kaki yang ramai, bayangan putih yang semakin mendekat segera menjelma jadi puluhan manusia berbaju putih, berkaok putih, berkerudung putih serta mengenakan topi segitiga warna putih.
Serentak mereka muncul dari kegelapan dan mendekat dengan langkah lebar.
Suara langkah mereka makin lama makin jelas, makin lama semakin berat .
. . . . .. Ditengah keheningan malam yang semakin mencekam, mendadak terdengar suara gembrengan dibunyikan bertalu-talu, puluhan lelaki yang berada diperahu, dengan bertelanjang dada dan bersenjata trisula, sama-sama bermunculan diatas geladak.
Rombongan manusia berbaju putih itu serentak menghentikan langkahnya berapa depa dari tepi pantai, dari balik rombongan muncul dua orang lelaki yang beda dandanan maupun pakaiannya.
Kedua orang ini mengenakan topi segitiga yang lebih tinggi dari lainnya, mereka yang seorang berperawakan tinggi sedang yang lain bertubuh gemuk pendek.
Lelaki yang jangkung segera berseru: "Silahkan piau-pacu kalian tampil untuk berbicara" Dengan suara nyaring sahut si ikan hiu: "Kami kaum lelaki sejati dari telaga Tay-ou bukan begal, bukan kaum Liok-lim, darimana datangnya seorang piau-pacu?" "Kalau bukan Piau-pacu, siapa pula dirimu?" "Aku adalah juru bicara" Il "Hmm, baguslah kalau kau memang juru bicara kata lelaki gemuk pendek itu ketus, "kalian enggan serahkan wilayah telaga Tay-ou kepada kami, lalu apa maumu?" "Hahaha, apa yang kalian andalkan sehingga memaksa kami untuk serahkan wilayah ini?" "Andalkan apa?" dengus lelaki jangkung itu, "masa kau belum paham" Sekarang apa mau kalian" Berduel satu lawan satu" Atau main keroyok" Silahkan kalian pilih sendiri" "Kami tak akan berduel, juga tak akan bertempur secara keroyokan" Sementara kawanan manusia berbaju putih itu melengak, si ikan hiu telah berkata lebih jauh: "Berhubung sebagian besar saudara kami tak mengerti ilmu silat, terpaksa kami hanya akan beradu nyawa.
Kami kaum lelaki gagah dari telaga Tay-ou tidak mengerti bagaimana merampok, tidak mengerti bagaimana cari nama dengan andalkan kepandaian, tapi beradu nyawa merupakan kelebihan kami, kalau tak percaya, silahkan saja dicoba!" Nada suaranya keras, penuh mengandung hawa pembunuhan, bikin hati bergidik bagi siapapun yang mendengar.
\\ "Beradu nyawa?" ejek lelaki berbaju putih itu sambil tertawa dingin, apa gunanya beradu nyawa" Kami anggota Po-kie-bun (perguruan panji kain) merupakan kumpulan jago pilihan dari empat penjuru, ilmu silat kami nomor wahid dikolong langit.
Kunasehati . . . . . . .." "Tunggu sebentar!" dengan perasaan tercekat bentak Tian Mong-pek, dia maju ke sisi si ikan hiu, kemudian teriaknya keras, "jadi sahabat sekalian adalah anggota Po-kie-bun?" "Betull" manusia berbaju putih itu segera melengos kearah lain, seolah-olah tak ingin bertatap mata dengan sinar mata Tian Mong-pek yang tajam.
"Kau adalah ciangbunjin?" kembali pemuda itu bertanya.
"Ciangbunjin kami suka berlanglang buana ke empat samudra dan tidak jelas jejaknya, konon berapa waktu berselang, dia telah berangkat ke langit barat.
Kami berdualah yang memimpin perguruan Po-kie-bun sekarang." "Hmm, kalau begitu kalian berdua adalah ciangbunjin baru perguruan Po-kie-bun bukan" Tampaknya aku harus mengucapkan selamat untuk kamu berdua" sindir Tian Mong-pek sambil tertawa dingin.
II "Tidak berani, asal teman-teman dari telaga Tay-ou .
. . . . .. Tiba tiba Tian Mong-pek menarik muka, bentaknya nyaring: "Kalau memang kalian adalah ciangbunjin baru, mana panji kain putih itu?" Lelaki berbaju putih itu tampak terperanjat, tapi segera sahutnya sambil tertawa dingin: "Kau tidak berhak minta aku memperlihatkan panji kain putih.
Memang kau anggap sembarangan orang dapat menyaksikan lambang suci itu?" "Hmm, jika kau ingin mengambil alih wilayah telaga Tay-ou dengan mengatas namakan perguruan Po-kie-bun, sudah sepantasnya bila perlihatkan dulu lambang panji suci itu.
Bila kau sanggup menunjukkan panji itu, semua lelaki gagah dari telaga Tay-ou pasti akan menyerahkan wilayah mereka kepadamu" Ucapan itu sontak membuat semua yang hadir tertegun, bahkan si ikan hiu sempat melengak dengan wajah kaget.
"Kau dapat memutuskan soal ini?" kembali manusia berbaju putih itu bertanya.
"Tentu saja aku dapat memutuskan!" Untuk kesekian kalinya semua yang hadir berdiri tertegun, rasa tercengang dan kaget yang menghiasi wajah si ikan hiu semakin mengental.
Manusia berbaju putih itu melirik sekejap sekeliling tempat itu, begitu melihat mimik muka para jago, sambil tertawa seram katanya: "Kau mengatakan dapat memutuskan, aku kuatir orang lain tak akan membiarkan kau mengambil keputusan!" "Tentu saja aku dapat mengambil keputusan, karena panji kain putih berada ditanganku!" Begitu perkataan itu diucapkan, ibarat batu besar yang diceburkan ke dalam telaga, segera terjadi reaksi yang luar biasa.
Bukan saja para jago menjadi gempar, lalaki jangkung serta pendek itupun merasakan hatinya bergetar keras.
Sementara dari kelompok manusia berbaju putih, kecuali belasan orang yang berada dibarisan depan, puluhan orang yang berada dibagian belakang sama sekali tidak menunjukkan reaksi apapun, sudah jelas disiplin yang diterapkan dalam perguruan Po-kie-bun sangat keras dan ketat.
Dengan perasaan girang seru si ikan hiu: "Tian-heng, be....benarkah itu?" Sementara itu manusia berbaju putih tadi telah berhasil mengendalikan diri, ejeknya pula sambil tertawa dingin: "Betulkah" Coba perlihatkan!" "Sebelum menghembuskan napas terakhir, Chin locianpwee, ciangbunjin Po-kie-bun telah menyerahkan panji kain putih itu kepadaku, mana mungkin bisa keliru?" Lelaki jangkung dan pendek itu saling bertukar pandangan sekejap, sikap dan gerak gerik mereka nampak mulai gugup dan panik.
Akhirnya terdengar lelaki jangkung itu berseru: "Percuma kalau bicara tanpa bukti, coba buktikan kalau memang panji itu berada ditanganmu!" "Walaupun sekarang tidak kubawa, namun dalam sehari saja aku sanggup membuktikan dihadapanmu" Manusia berbaju putih itu segera merasakan semangatnya bangkit, setelah tertawa keras, katanya: "Kusangka kau benar-benar memiliki panji itu, ternyata tak lebih hanya taktik mengulur waktu, minta aku menunggu selama berapa hari" Hm, hmm!" "Aku tak pernah bicara bohong!" seru Tian Mong-pek gusar.
Manusia berbaju putih itu tertawa semakin keras.
"Aku tak ambil peduli apapun yang hendak kau katakan" serunya, "pokoknya malam ini juga kalian harus serahkan wilayah Tay-ou kepada kami" Bersamaan dengan ucapan tersebut, suasana ditempat itupun berubah jadi amat tegang.
Si ikan hiu memandang sekejap musuh-musuhnya, mendadak ia membentak nyaring: "Hentikan tertawamu!" Bentakan ini keras bagaikan guntur yang membelah bumi, benar saja, seketika semua orang berdiri tertegun.
Kembali si ikan hiu berkata dengan suara nyaring: "Tian-heng berani jamin bisa menunjukkan panji kain putih, hal ini membuktikan kalau kalian berdua sama sekali tidak memiliki panji kain ll putih .
. . . . .. II "Kentut, siapa yang bilang .
. . . . . . .. umpat manusia berbaju putih itu gusar.
"Jika kalian berdua memiliki panji kain putih, sudah sejak tadi kalian berdua akan menuduh kalau ucapan Tian-heng bohong" ujar si ikan hiu lebih lanjut, "tapi berhubung kalian tidak memiliki panji tersebut, karena itulah kalian jadi sangsi dan ragu, setengah percaya setengah tidak, teori ini sangat gamblang dan siapapun memahmi, memang kalian sangka masih bisa membohongi kami semua?" "Siapa bilang tidak punya" teriak lelaki pendek itu, "aku justru tak akan perlihatkan kepada kalian" Dari alis mata yang terlihat dibalik kain kerudung putih yang dikenakan orang itu, lalu dari nada suara serta perawakan tubuhnya, tiba tiba Tian Mong-pek teringat akan seseorang, segera bentaknya: "Ternyata kau!" "Siapa orang ini?" tanya si ikan hiu dengan wajah berubah.
'I' n "Dia adalah See-ou-liong-ong, raja naga dari telaga barat, Lu Tiang-lok "Hahaha, betul sekali" sahut lelaki pendek berbaju putih itu sambil tertawa tergelak, "tak heran sering kudengar orang berkata kalau ketajaman mata Tian si-heng amat menakutkan, terbukti ucapan tersebut memang bukan isapan jempol" "Hmm, sejak kapan kau menjadi anggota perkumpulan Pek-po-kie" Kenapa baru sekarang aku mengetahuinya" Atau jangan-jangan kau hanya mencatut nama Pek-po-kie untuk membuat keonaran" Padahal harta kekayaan yang kau miliki tak habis dipakai tiga keturunan, buat apa kau hendak merampas lagi wilayah Tay-ou" Memangnya benar benar ingin menjadi raja naga dari telaga ini?" "Anak murid Po-kie-bun tersebar di seantero jagad, jangan lagi orang lain sukar mengenali setiap anggota perguruan, terkadang sesama anggota pun tidak saling mengenal" "Betul, aku memang sudah mendengar kalau perguruan Po-kie-bun merupakan aliran partai yang paling aneh, tapi akupun mendengar kalau Po-kie-bun merupakan aliran perguruan yang paling lurus, tidak pernah berulah aneh apalagi melakukan kejahatan, lalu bagaimana penjelasanmu tentang tindakan yang kalian lakukan hari ini?" Rupanya perguruan Po-ki-bun merupakan perkumpulan dari pelbagai umat persilatan yang sealiran dan satu tujuan, jangan harap ada anggotanya yang bisa mempelajari ilmu silat dari sang ketua.
Sejak didirikan, belum pernah Po-kie-bun melakukan kejahatan, tapi mereka justru memiliki kekuatan tersembunyi yang luar biasa.
Siapa tahu, hari ini perguruan Po-kie-bun yang selalu bersih, ternyata berniat merampas wilayah kekuasaan orang lain, kejadian ini benar-benar aneh sekali.
Terdengar Lu Tiang-lok berkata: "Ciangbunjin partai kami telah berganti orang lain, jadi tindak tanduk serta sepak terjang kami berbeda dengan yang dulu, inilah penjelasan dari cayhe" "Buat apa harus memberi penjelasan kepadanya" tukas lelaki jangkung itu, "sekarang kentongan ketiga sudah lewat, kalau kalian tidak segera menyerahkan wilayah ini, kami semua akan segera turun tangan" "Keponakan Tian" ujar Lu Tiang-lok kemudian, "turuti nasehatku, jangan ikut campur dalam urusan ini" Kemudian tanpa berpaling lagi kearah Tian Mong-pek, ia membalikkan tubuh sambil membentak keras: "Siap-siap turun tangan!" "Tiga tepukan tanganku sebagai batas waktu terakhir" si jangkung menambahkan.
"Plokl" dia pun bertepuk tangan untuk pertama kalinya.
Mendengar itu, dengan suara lantang seru si Ikan hiu: "Mau bertepuk tangan tiga ratus kalipun percuma, kami semua sudah siap menghadapi serangan kalian" Serentak para jago menyahut, hawa pembunuhan pun seketika menyelimuti seluruh wilayah pantai.
"Tian-heng" kembali si ikan hiu berkata, "kau harus mengurusi sendiri si bocah perempuan itu" "Biar diawasi nona Siau" sela Tian Mong-pek.
"Jadi kau benar benar akan hidup semati dengan kami, orang orang telaga Tay-ou?" "Kalau urusan ini sudah menyangkut perguruan Po-kie-bun, itu berarti akupun punya tanggung jawab" "Hahaha, bila hari ini kita bisa menangkan pertarungan, besok aku akan mengajakmu minum sampai puas" seru si ikan hiu sambil tertawa keras.
"Sreet!" ia loloskan sebuah cambuk baja yang memancarkan kilauan cahaya tajam.
Tian Mong-pek merasa darah panas mendidih dalam tubuhnya, ia menyapu sekejap sekeliling tempat itu, tampak para lelaki gagah dari telaga Tay-ou telah bersiap siap sambil memperlihatkan mata garang, sebaliknya para anggota Po-kie-bun justru berdiri mematung bagai mayat hidup.
Melihat itu pikirnya: "Walaupun ilmu silat mereka tidak bisa menandingi kehebatan orang orang Po-kie-bun, namun dari semangat juang mereka yang begitu tinggi, bahkan puluhan kali lipat melebihi mereka, apa lagi yang harus aku kuatirkan dengan pertarungan hari ini?" Berpikir begitu, semangatnya ikut berkobar, dia ingin menggunakan pertempuran hari ini untuk melampiaskan semua kekesalan yang dialaminya selama ini.
Ia sadar, bila seseorang memiliki semangat juang yang tinggi serta keberanian, walaupun berada dipihak yang lemah pun dapat menghadapi yang kuat.
Suara tepuk tangan bergema untuk kedua kalinya, pertempuran berdarah segera akan meledak.
Tian Mong-pek berdiri tegar diujung perahu, sepasang kepalannya menggenggam kencang, ditatapnya wajah Raja naga dari See-ou Lu Tiang-lok tanpa berkedip.
Ditatap seperti ini, bergidik juga perasaan Lu Tiang-lok, tanpa sadar ia mundur berapa langkah.
Tiba-tiba dari tengah kerumunan manusia berbaju putih itu berkumandang suara pekikan nyaring, menyusul kemudian tampak sesosok bayangan manusia melambung setinggi tiga kaki ke tengah udara, kemudian bersalto beberapa kali dan melayang turun diujung perahu.
Ilmu meringankan tubuh yang dimiliki orang itu lihay sekali, membuat para jago terkesiap.
"Benarkah didalam perguruan Po-kie-bun terdapat jagoan selihay ini?" pikir Tian Mong-pek dengan perasaan tercekat, "itu berarti pertarungan yang bakal berlangsung hari ini .
. . . . . . . .." Diam-diam ia menghela napas dan tidak berpikir lebih jauh.
Tampak orang itu berteriak dengan suara lantang: "Sebelum pertempuran berdarah dimulai, terlebih dulu aku ingin bertanya kepada sahabat she-Tian ini" Biarpun suaranya parau, namun penuh bertenaga.
"Apa yang ingin kau tanyakan?" tanya Tian Mong-pek tertegun.
"Apakah kau binatang?" Sekali lagi Tian Mong-pek tertegun, tapi segera teriaknya gusar: "Apa kau bilang?" Lu Tiang-lok saling bertukar pandangan dengan rekannya, terlihat mereka menunjukkan perasaan terkejut bercampur keheranan.
Para jago pun sama sekali tidak menyangka, dalam situasi seperti ini ternyata orang itu mengajukan pertanyaan yang aneh, kontan suasana jadi heboh, umpatan dan caci maki pun bergema dari seluruh arena.
Tampak manusia berbaju putih itu kembali bertanya sambil tertawa dingin: "Sekali lagi aku bertanya kepadamu, benarkah kau binatang?" Tian Mong-pek membentak gusar, ia langsung menyerbu ke ujung perahu.
Ia sadar, orang ini pasti punya dendam pribadi dengan dirinya, karena itu dalam gusarnya, tanpa pedulikan lagi siapakah orang itu, ia langsung merangsek maju, pukulan demi pukulan dilancarkan secara bertubi-tubi.
Dengan cekatan manusia berbaju putih itu menghindar sejauh satu tombak, tapi bagaikan bayangan, Tian Mong-pek merangsek maju terus.
"Siapa orang ini?" diam-diam Lu Tiang-lok berbisik, "kau kenal dengannya?" "Peduli siapakah orang itu" jawab si jangkung, "yang penting dia berpihak ke kita.
Bisa jadi orang itu adalah orang kepercayaan sia tua bangka, lebih baik kita jangan menyinggung perasaan hatinya, biarkan saja ia bertarung lebih dulu" Sementara pembicaraan berlangsung, Tian Mong-pek telah melancarkan pukulan jurus pukulan bagai titiran air hujan, tapi dengan mengandalkan kelincahan tubuhnya, orang berbaju putih itu hanya berkelit kian kemari tanpa melepaskan serangan balasan.
Lambat laun tubuh mereka berdua telah bergeser ke buritan perahu, saat itulah terdengar orang berbaju putih itu membentak: "Orang she-Tian, aku sudah mengalah sepuluh jurus untukmu, hati hatilah, serangan balasan segera akan kulancarkan" "Siapa suruh kau mengalah?" teriak Tian Mong-pek gusar.
Tiba tiba tampak orang berbaju putih itu mengerdipkan matanya sambil berbisik: "Hei, Tian Mong-pek, masa kau belum tahu siapa aku?" Tian Mong-pek terkesiap, hampir saja ia jatuh semaput saking kagetnya.
Terdengar orang berbaju putih itu berbisik lagi: "Ayoh, seranglah terus, jangan berhenti, makin gencar seranganmu semakin baik" Kembali Tian Mong-pek melancarkan dua pukulan berantai, kemudian bisiknya pula: "Kau.....
kau . . . . .. sebenarnya apa yang telah terjadi" Kenapa kau..., kau....." "Sewaktu kau sudah tidur tadi, diam diam aku lakukan pemeriksaan II diseputar sana dan menemukan orang orang itu bisik orang berbaju putih itu, "maka kutotok salah seorang diantaranya, melepas pakaiannya dan menyusup ke dalam rombongan itu.
Kemudian merekapun datang kemari, disaat orang orang itu tidak menaruh perhatian, aku pun menyelinap ke tempat II lain .
. . . . .. Ternyata orang berbaju putih itu tak lain adalah Siau Hui-uh.
Tian Mong-pek yang mendengar penuturannya jadi kaget, keheranan dan merasa kagum.
Meski begitu, serangannya tetap dilancarkan secara bertubi tubi.
Siau Hui-uh sendiri sama sekali tidak membalas, setiap jurus serangan yang tiba selalu berhasil dihindari dengan gampang, bahkan gerak tubuhnya selalu berhasil menyusup diantara celah angin pukulan lawan.
Deruan angin pukulan telah menutupi pembicaraan mereka yang lirih, dilihat dari kejauhan, pertarungan mereka berlangsung seru, jurus dibalas jurus, serangan dibalas serangan, untuk berapa saat pertempuran berlangsung seimbang.
Menyaksikan hal ini, dengan kening berkerut ujar lelaki jangkung itu: "Sungguh tak disangka kungfu yang dimiliki orang she-Tian itu sangat lihay, jurus pukulan yang digunakan pun aneh dan hebat, coba lihat, serangan balasan rekan kita sama sekali tak berhasil menyentuh ujung bajunya" "Aku pun merasa terheran-heran dengan kejadian ini" sahut Lu Tiang-lok pula, "sepintar lalu, ilmu pukulan yang dimiliki Tian Mong-pek kacau balau tak beraturan, sungguh tak nyana hanya dalam puluhan hari, dia telah berhasil menguasahi jurus pukulan yang sakti dan tangguh, aku rasa Tian Hua-uh sendiripun sudah tak sanggup menandingi kehebatannya.
Lebih baik kita bertindak lebih hati-hati" "Aaai!" lelaki jangkung itu menghela napas, "masih untung ada saudara kita yang berhasil membendung keganasan orang she-Tian itu, kalau tidak, mungkin kita berdua pun bukan tandingannya" Begitulah, mereka berdua menahan napas sambil mengawasi jalannya pertarungan, perasaan keheranan dan kagum berkecamuk dalam perasaan hatinya, mereka menyesal kenapa ilmu silat yang dipelajari tak mampu mencapai tingkat setangguh itu.
Dipihak lain, sembari menyerang bertubi-tubi, tegur Tian Mong-pek keheranan: "Hei, kenapa kau bergeser terus?" Siau Hui-uh tertawa ringan, sahutnya: "Dimulai dari ujung sebelah kiri hingga ujung sebelah kanan, tanpa disadari siapa pun aku telah menotok jalan darah ke tujuh puluh empat orang itu, kecuali sepuluh orang yang berada pada barisan terdepan, kini,orang orang yang berada dibarisan belakang telah berdiri kaku bagai mayat hidup, jangan harap mereka mampu bergerak lagi" Kontan saja Tian Mong-pek merasa terkejut bercampur kegirangan, sekarang dia baru mengerti apa sebabnya anak buah Po-kie-bun tidak ikut bersorak sorai tadi melainkan hanya berdiri kaku bagaikan patung.
Tadinya dia malah menyangka perguruan Po-kie-bun memiliki peraturan dan disiplin tinggi sehingga anak buahnya tidak berani bergerak secara sembarangan.
"Biarpun sebagian besar sudah kutotok jalan darahnya" ujar Siau Hui-uh lagi, "namun kita tak boleh pandang enteng sisanya, karena bila sungguh terjadi pertarungan, kemungkinan besar masih ada banyak saudara telaga Tay-ou yang bakal terbunuh" "Lantas bagaimana baiknya sekarang?" Siau Hui-uh tertawa, sahutnya: "Dalam pandangan orang lain, caramu bertarung sekarang pasti mengundang decak kagum, mereka pasti sangka ilmu pukulanmu luar biasa.
Sebentar, kau harus kalahkan aku kemudian robohkan ke tujuh puluhan orang jago yang sudah kutotok jalan darahnya itu, dengan begitu, tindakanmu ini pasti akan menghebohkan semua orang, mereka pasti mengira kungfumu sangat menakutkan sehingga tak ada lagi yang berani turun tangan" II "Bagus, siasat yang bagus kata Tian Mong-pek kegirangan.
ll "Cuma keenakan buat dirimu kata Siau Hui-uh sambil tertawa, "nanti kau hajar aku dengan satu pukulan!" Sementara pembicaraan berlangsung, tubuh mereka berdua kembali bergeser.
Tiba tiba saja Tian Mong-pek tertawa keras, serunya: "Huh, hanya mengandalkan kungfu semacam inipun berani bertarung melawanku.
Sudah cukup lama aku menemanimu bermain, sekarang aku tak akan sungkan sungkan lagi, hati-hati, dalam tiga jurus aku bakal menghajar bahu kirimu" Mendengar perkataan itu, berkerut dahi lelaki jangkung itu, umpatnya: "Latah betul manusia she-Tian ini, mau menyerangpun sudah ditunjukkan sasarannya, apalagi akan dilakukan dalam tiga gebrakan, hmm! Aku jadi .
. . . . .." Belum selesai umpatannya, tampak Tian Mong-pek menggerakkan tangan kanannya ke belakang, sementara tangan kirinya sesudah dikebaskan berulang kali, mendadak ia lepaskan satu pukulan kilat.
Sebetulnya jurus pertahanan yang dilakukan Siau Hui-uh sangat ketat, ibarat hujan angin pun sulit tembus, tapi disaat dia menggerakkan tangannya, secara kebetulan terbuka satu titik kelemahan, pukulan yang dilepaskan Tian Mong-pek pun segera menghajar telak diatas bahu kirinya.
Siau Hui-uh seketika berpura pura menjerit kaget, badannya mencelat setinggi satu tombak lebih sebelum terjatuh ke tanah.
Peristiwa ini terjadi sangat tiba tiba, semua jago jadi terbelalak dengan mulut melongo, siapa pun tak mampu berbicara.
Begitu pula lelaki jangkung itu, dia tak mampu melanjutkan lagi kata umpatannya.
Malah si ikan hiu pun ikut terperangah dan berdiri mendelong.
Tian Mong-pek segera memandang sekejap sekeliling tempat itu, bentaknya lagi: "Siapa lagi yang ingin menjajal kepandaianku?" Semua jago terbungkam, berkutik pun tidak.
Perlahan-lahan Tian Mong-pek menggeser kakinya, selangkah demi selangkah ia maju kearah kawanan manusia berbaju putih itu, cepat Lu Tiang-lok berdua bergeser ke samping.
Sambil tertawa dingin Tian Mong-pek menuju ke tengah kerumunan manusia berbaju putih itu, karena jalan darah mereka sudah tertotok, tentu saja tak seorangpun bergeser dari posisinya.
Dengan suara lantang Lu Tiang-lok segera berteriak: "Rekan-rekan semua, ayoh maju bersama, ringkus dulu bajingan itu!" Orang ini bernyali kecil tapi paling gemar main keroyokan, kalau minta dia turun tangan sendiri, hal itu mustahil akan dilakukan, apalagi setelah menyaksikan kehebatan ilmu silat yang dimiliki Tian Mong-pek, dia berharap dengan andalkan jumlah banyak mampu merobohkan anak muda itu.


Panah Kekasih Karya Gu Long di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Siapa sangka kembali Tian Mong-pek bergerak cepat, sepasang kepalannya diayunkan berulang kali kesana kemari, sungguh kasihan kawanan manusia berbaju putih yang sudah tertotok lebih dulu jalan darahnya, begitu tersambar angin pukulannya, tubuh mereka langsung roboh bergelimpangan seperti balok kayu.
Dalam waktu singkat, ke tujuh puluhan orang jago itu sudah roboh terkapar ditanah.
Sebetulnya para jago dari telaga Tay-ou sudah bersiap siap untuk membantu, tapi setelah menyaksikan peristiwa itu, mereka jadi terbelalak hingga tak tahu harus berbuat apa.
Terlebih Lu Tiang-lok sekalian, mereka jadi terkesiap dan gugup setengah mati.
Sambil tertawa keras, bentak Tian Mong-pek: "Lu Tiang-lok, apa lagi yang akan kau katakan?" II "Keee...
keponakan . . . . . . .. keponakan Tian . . . . . . .. saking takutnya, Lu Tiang-lok gemetaran hingga gigipun saling beradu, "dalam kejadian hari ini, bukan kehendak siaute berbuat begini" "Berarti ide kamu?" dengus Tian Mong-pek sambil membentak nyaring.
Lelaki jangkung itu sama sekali tak berbicara, tiba tiba saja dia melejit kemudian kabur terbirit birit meninggalkan tempat itu.
"Tunggu aku" teriak Lu Tiang-lok gelisah.
"Kau masih ingin melarikan diri?" ejek Tian Mong-pek sambil menghadang jalan perginya.
Kontan saja Lu Tiang-lok merasakan sepasang kakinya jadi lemas, pintanya memelas: "Tian.....
Tian si-heng, selama ini hubungan kita cukup bagus, apalagi siaute harus menghidupi orang tua dan anak .
. . . . .. "Dasar budak anjing yang tak bernyali" maki si ikan hiu gusar, "sikapmu
Kontan saja Lu Tiang-lok merasakan sepasang kakinya jadi lemas, pintanya memelas: "Tian.....
Tian si-heng, selama ini hubungan kita cukup bagus, apalagi siaute harus menghidupi orang tua dan anak .
. . . . .." "Dasar budak anjing yang tak bernyali" maki si ikan hiu gusar, "sikapmu bikin malu semua lelaki didunia ini, buat apa manusia seperti kau dibiarkan hidup terus didunia?" ll "Tian si-heng, benar-benar bukan keinginanku .
. . . . . .. jerit Lu Tiang-lok ketakutan.
"Lalu siapa yang menjadi dalang dari kesemuanya ini?" tergerak hati Tian Mong-pek.
Lu Tiang-lok betul-betul ketakutan setengah mati, giginya saling beradu, sorot matanya jadi suram, ia tak sanggup lagi berdiri tegak.
"Cepat katakan!" kembali Tian Mong-pek menghardik.
"Kalau tak mau bicara, bunuh saja!" si ikan hiu menimpali.
"Dalangnya adalah . . . . .. adalah . . . . . . .." Tiba tiba terlihat tiga titik cahaya perak meluncur datang dari belakang tubuh Tian Mong-pek, ke tiga cahaya itu serentak menghajar ditubuh Lu Tiang-lok.
Tidak sempat lagi meneruskan perkataannya, sambil memegangi dada sendiri, Lu Tiang-lok menjerit kesakitan.
"Dirumah aku . . . . . . . . .." Belum habis ucapan itu, tubuhnya telah roboh terjungkal ketanah.
Sekalipun dia merasa berat hati untuk meninggalkan harta kekayaannya, meski berat hati untuk meninggalkan semua posisi dan martabatnya, namun nyawanya tetap melayang meninggalkan raga.
"Siapa!" bentak Tian Mong-pek sambil membalikkan tubuh.
Terlihat belasan sosok bayangan manusia berbaju putih itu sedang melarikan diri kearah kegelapan dengan kecepatan tinggi.
Si ikan hiu segera mengejar sambil teriaknya: "Cepat kejar!" "Jangan dikejar!" tiba tiba sesosok bayangan manusia berbaju putih meluncur turun tepat dihadapannya.
Si ikan hiu terperanjat, cepat dia mengayunkan senjata ruyungnya melancarkan serangan.
Dengan cekatan manusia berbaju putih itu menghindar ke samping, serunya sambil tertawa: "Masa kau sudah tidak kenali aku?" Sambil berkata, ia lepaskan kain kerudung putih yang menutupi wajahnya, ternyata dia tak lain adalah Siau Hui-uh.
Si ikan hiu ama terperanjat, untukberapa saat ia sampai berdiri tertegun dan tak tahu harus berbuat apa, selama ini dia sangka Siau Hui-uh masih berada dalam ruang perahu dan menjaga keselamatan Kiong Ling-ling.
Tampak Tian Mong-pek dengan senyum dikulum ikut berjalan mendekat.
Si ikan hiu menatap sekejap kearah Siau Hui-uh, kem udian menatap pula Tian Mong-pek, akhirnya setelah menghela napas, ia tertawa terbahak- bahak, serunya: "Aku benar-benar takluk kepada kalian berdua" Dalam pada itu para jago dari telaga Tay-ou telah bersorak sorai menyambut kemenangan yang berhasil diraih, mereka mengerumuti ke tiga orang itu dan memuji tiada hentinya.
"Bagaimana kita selesaikan kawanan bandit itu?" tanya seorang lelaki.
"Ceburkan saja ke dalam telaga!" segera sahut rekannya.
Baru saja para jago akan melakukan seruan itu, mendadak Tian Mong-pek membentak keras: "Tunggu sebentar!" II "Kalau mereka harus dibunuh, akupun merasa tidak tega kata si ikan hiu, "tapi membiarkan mereka tetap hidup, pada akhirnya toh membuat keonaran lagi, mending biarkan saja mereka berbaring disitu, ayoh kita meneguk dulu berapa cawan arak sembari merundingkan persoalan ini" Dia menarik tangan Tian Mong-pek lalu diajak naik keatas perahu besar.
"Silahkan masuk!" kata si ikan hiu sambil membuka pintu ruangan perahu.
Tidak sungkan-sungkan lagi Tian Mong-pek serta Siau Hui-uh segera melangkah masuk.
Siapa tahu belum lagi kakinya melangkah masuk, ia sudah menjerit kaget seraya berseru: "Kemana perginya Ling-ling?" Rupanya Kiong Ling-ling yang semula berbaring diatas ranjang, kini sudah hilang lenyap tak berbekas.
"Padahal tadi aku telah menotok jalan darah tidurnya" seru Siau Hui-uh pula dengan perasaan kaget, "mana.....
mana mungkin dia bisa pergi dari sini?" Ia mencoba periksa selimut dan ranjang, ternyata masih terasa hangat, itu berarti nona kecil itu belum lama pergi dari tempat tidurnya.
Dengan perasaan tercekat semua orang saling berpandangan mata, pikirnya: "Jangan jangan nona itu diculik anak buah perguruan Po-kie-bun?" Tiba-tiba dari balik ruang perahu terdengar seseorang berkata sambil tertawa dingin: "Oh, ternyata kau sudah datang" Silahkan duduk, silahkan duduk!" Suara tertawanya lembut, tajam dan menyeramkan, tidak jelas bersumber darimana, tapi semua orang merasakan hatinya bergidik hingga tanpa sadar mundur setengah langkah.
Kembali terdengar orang itu berkata sambil tertawa dingin: "Ooh, sudah mau pergi" Tidak kuhantar, tidak kuhantar!" Dibarengi suara bentakan nyaring, Tian Mong-pek serta si ikan hiu segera menyerbu masuk ke ruang perahu.
Siapa tahu suara tertawa dingin itu kembali berkumandang dari belakang tubuh mereka.
"Hehehe, aku berada disini kata orang itu sambil tertawa seram.
Dengan kecepatan luar biasa Tian Mong-pek sekalian membalikkan tubuh, namun suara tertawa dingin itu seolah berkumandang datang dari empat arah delapan penjuru.
Ditengah gema suara tertawa dingin, pintu ruang perahu pelan-pelan menutup sendiri.
Dari balik pintu terlihatlah seseorang, ia berdiri menempel dinding, pakaiannya berwarna putih, sambil melompat selangkah demi selangkah menghampiri mereka semua.
Tian Mong-pek merasa terkejut bercampur gusar, tanpa banyak bicara ia lancarkan satu pukulan dahsyat.
Siapa sangka orang itu sangat cekatan, belum lagi angin pukulan menghampiri tubuhnya, dia sudah mengigos ke samping.
"Siapa yang berlagak macam setan, aku tak percaya tidak dapat membengkuk kalian" seru Siau Hui-uh.
Baru selesai ia berteriak, dua orang sudah tertawa nyaring, ternyata mereka tak lain adalah Mo Mok-ngo serta Thian-ma hwesio.
Seru Mo Mok-ngo sambil tertawa tergelak: "Hahaha, melihat kalian pinter sekali menipu orang lain, aku jadi gatal tangan untuk ikut menakut-nakuti kalian." "Aaah, ternyata kau" teriak Siau Hui-uh jengkel, "sudah tua masih tak genah" Pada saat itulah terlihat Tu Hun-thian sambil membopong Kiong Ling-ling ikut munculkan diri.
Tian Mong-pek berdiri tertegun, untuk sesaat dia tak tahu harus berbuat apa.
Tampak si ikan hiu segera maju memberi hormat kepada Thian-ma hwesio sambil berseru: "Paman, kalau tahu kau sudah datang sejak tadi, akupun tak perlu merasa kuatir" Rupanya orang yang sedang dia tunggu tak lain adalah Thian-ma Hwesio.
"Hahaha, sebetulnya aku tak ingin datang terlambat, kalau ingin menegur, tegur saja dia" seru Thian-ma Hwesio sambil menuding kearah Tian Mong-pek.
Dengan lantang Tian Mong-pek segera berseru: "Permintaan apapun dari cianpwee, pasti akan kukabulkan, tapi panji Il Pek-po-kie adalah milik Chin .
. . . . . . .. Satu ingatan mendadak melintas dalam benaknya, segera serunya lagi: "Cianpwee, jangan jangan kau menginginkan panji kain putih karena hendak digunakan untuk persoalan ini?" "Hahaha, betul sekali!" jawab Thian-ma Hwesio sambil tertawa tergelak, "kalau bukan gara gara urusan keponakanku yang bodoh itu, buat apa pinceng menginginkan gombal jelek itu" Biarpun belakangan pinceng banyak makan daging dan minum arak, tapi belum pernah membiarkan orang lain berdarah, pincengpun sadar, kekuatanku seorang tak mungkin bisa mengendalikan setan-setan cilik itu, karena itulah timbul keinginanku untuk menggunakan panji kain putih untuk menakut-nakuti mereka, tak disangka kerja sama kalian berdua sudah cukup membuat orang orang itu kabur ketakutan" Dengan penjelasan tersebut, semua teka teki yang semula penuh misteri pun segera terkuak.
Ujar Thian-ma Hwesio lagi dengan wajah serius: "Walaupun urusan hari ini dapat teratasi, namun bibit bencana dikemudian hari belum tertumpas, sejak kematian Chin Mo-cuan dari Pek-po-kie, hampir sebagian besar anggota perkumpulan telah dikumpulkan oleh seseorang, orang itu punya ambisi yang sangat besar, meski gara gara memandang enteng lawan, jago yang terkirim hari ini tidak banyak, tapi aku yakin dia tak akan rela lepas tangan dengan begitu saja." "Betul" seru si ikan hiu sambil bertepuk tangan, "tadi, orang she-Lu itupun mengaku kalau dibelakang layar masih ada dalangnya, sayang sebelum ia menjelaskan siapakah orang itu, dia sudah keburu mampus" Dengan kening berkerut Tian Mong-pek berpikir berapa saat, katanya kemudian: "Apakah cianpwee tahu kalau Chin locianpwee dari Pek-po-kie telah tewas oleh panah kekasih" Jangan-jangan peristiwa ini ada sangkut pautnya dengan panah kekasih" Atau mungkin pemilik panah kekasih ingin mengendalikan perguruan Pek-po-kie, maka diapun menghabisi nyawa Chin locianpwee?" "Aku orang tuapun curiga begitu" kata Mo Mok-ngo, "karena itulah begitu Thian-ma Hwesio menyinggung masalah ini, kami pun segera menyusul kemari" "Hanya Kuan-ji yang masih tinggal disana merawat mereka yang terluka" Tu Hun-thian menambahkan, "aaai.....
bocah ini sebenarnya baik, hanya sayang kelewat bodoh" Perkataan itu sudah jelas ditujukan kepada Tian Mong-pek, tapi anak muda itu tidak tahu bagaimana harus menanggapi, melihat kesedihan yang menyelimuti wajah Tu Hun-thian, diapun ikut merasa pedih.
Tiba tiba dengan kening berkerut si ikan hiu lari keluar ruang perahu, tak lama kemudian ia muncul kembali sambil menyeret dua orang lelaki berbaju putih.
Tian Mong-pek segera menghampiri sambil membuka kain kerudung wajahnya, tampak yang seorang beralis tebal, berkumis tebal dengan wajah penuh keriput, sedangkan yang lain berjenggot tipis tapi terawat rapi, cepat dia totok bebas jalan darahnya dan menginterogasi dengan suara nyaring.
Bagaikan baru tersadar dari impian, kedua orang itu tampak ketakutan setengah mati.
Setelah dibentak berulang kali, akhirnya lelaki yang lebih muda itu berkata: "Hamba tidak tahu apa-apa, dulunya hamba hanya seorang pengemis didepan kuil Leng-in-sie, karena memiliki tenaga besar, entah kenapa tertanya Lu tayya tertarik denganku, dia memberi hamba uang dan suruh aku mengenakan pakaian ini, kemudian minta hamba ikut datang berkelahi.
Kemampuan hamba memang berkelahi, karena ada janji hadiah maka hamba pun bersedia" Ketika mengetahui kalau orang ini tak lebih hanya seorang pengemis bandit yang biasa mangkal didepan kuil, semua orang jadi kecewa, mendongkol bercampur geli.
Sementara itu rekannya kelihatan agak sangsi, tapi kemudian setelah menghela napas panjang katanya: "Cayhe sebenarnya bekerja di perusahaan ekspedisi, jelek jelek begini pun punya sedikit nama, belasan tahun berselang karena kenal dengan seorang sahabat dari Po-kie-bun, akhirnya akupun ikut bergabung.
Belasan tahun berlalu tanpa kejadian apa pun, selama ini kami hanya berkumpul sambil minum berapa cawan arak, hingga bulan berselang .
. . . . . . .." Ketika tahu kalau orang ini anggota Po-kie-bun, semangat semua orangpun segera bangkit, desaknya: "Bagaimana dengan bulan berselang" Siapa yang mengumpulkan kalian ditempat ini?" Tampak orang itu agak ragu sejenak, kemudian setelah menghela napas terangnya: "Belakangan, pengeluaranku bulanan bertambah besar sementara pemasukan makin sedikit, dalam kondisi demikian akupun datang ke Hang-ciu mencari sahabatku dari Po-kie-bun.
Suatu hari tiba tiba ia datang memberiku uang dalam jumlah banyak, katanya Po-kie-bun akan mengadakan pertemuan akbar.
Meski dihati kecilku merasa keheranan, namun aku tidak banyak bertanya, ketika tiba saat yang ditentukan, semua orang diwajibkan mengenakan baju putih dengan kerudung muka putih, tampaknya sang pemimpin sudah tua karena terdengar suaranya yang serak, namun kami tak bisa melihat raut mukanya, karena itu akupun bertanya kepada temanku itu, dia sendiri hanya tahu kalau si pemberi uang adalah Lu Tiang-lok, sedang si kakek bertubuh jangkung itu tetap misterius, tak ada yang tahu identita snya" Thian-ma Hwesio memperhatikan sekejap lelaki itu, dia tahu, sudah pasti orang itu gemar minum arak dan berjudi hingga akhirnya jatuh pailit, karena itu begitu ada tawaran dengan bayaran tinggi, diapun melakukan tugas itu tanpa dipikir panjang.
Dari sikap serta mimik muka mereka berdua, hwesio itu sadar bahwa apa yang mereka katakan memang tidak bohong.
Ujar Thian-ma Hwesio kemudian: "Bisa jadi lantaran susah untuk mengumpulkan semua anggota Po-kie-bun yang tersebar, maka tua bangka itu mencari kaum berandal untuk menyamar jadi anggota perguruan" "Tapi siapakah orang itu?" tanya Tian Mong-pek dengan kening berkerut.
II "Jika ditinjau dari penuturan mereka kata Mo Mok-ngo, "kemungkinan besar kecuali Lu Tiang-lok serta rekannya, orang lain tak bakal tahu identitas tua bangka itu yang sebenarnya, aku tahu, kau pasti menyangka tua bangka itu ada hubungannya dengan panah kekasih hingga perasaan hatimu gelisah, tapi dengan kepandaian silat yang kau miliki sekarang, sekalipun berhasil membongkar kedok dari tua bangka itu, apa pula yang bisa kau lakukan" Aku rasa lebih baik perdalam dulu ilmu silatmu, sementara kami akan melakukan pelacakan secara diam diam" Tian Mong-pek merasa hatinya amat masgul, ketika menyaksikan Siau Hui-uh sedang menatapnya dengan sorot mata penuh pengharapan, akhirnya dia menghela napas panjang dan menundukkan kepalanva.
"Hahaha, dia sudah bersedia" teriak Siau Hui-uh cepat dengan hati girang.
Melihat itu, Mo Mok-ngo segera berpaling ke arah Tu Hun-thian dan katanya sambil tertawa: "Coba kau lihat, disini pun terdapat seorang budak bodoh" Tu Hun-thian termangu-mangu sesaat, kemudian setelah memandang Tian Mong-pek sekejap lalu menengok Siau Hui-uh, dia menghela napas sedih, sambil bangkit dan tertawa paksa, ujarnya: "Selamat keponakan Tian, kau berhasil mendapat guru pandai, semoga setelah ini reputasi mu semakin menanjak, lohu .
. . . .. aaai, lebih baik aku pergi ke hutan bunga tho .
. . . . . . .." Mo Mok-ngo tertawa tergelak, selanya: "Tu loji, kenapa perkataanmu begitu kecut rasanya, hahaha...
jangan pergi dulu, jangan pergi dulu .
. . . . .. aku si orang tua akan menyertaimu" "Baiklah, kalian berdua berangkatlah duluan" ujar Thian-ma Hwesio pula sambil tertawa, "selesai membereskan setan-setan cilik ini, pinceng segera menyusul kalian, toh kawanan manusia itu hanya jual nyawa demi uang, biar kudemonstrasikan sedikit kemampuanku untuk mengusir mereka semua dan memaksa mereka jangan berani datang mencari urusan lagi" Tiba tiba ia cengkeram kedua orang manusia berbaju putih itu lalu diangkat ke tengah udara, bentaknya: "Betul bukan perkataanku?" Kedua orang manusia berbaju putih itu gemetar keras karena ketakutan, dengan gigi saling beradu sahutnya: II "Bee.....benar .
. . . .. Diiringi gelak tertawa nyaring, Thian-ma Hwesio segera menenteng kedua orang itu dan beranjak pergi.
Tu Hun-thian pun menjura kepada semua orang kemudian berlalu dengan menerobos jendela.
"Aku orang tua pun ikut pergi dulu" kata Mo Mok-ngo cepat, "nah, kau segera pulang, jangan buang waktu lagi" "Siau supek .
. . . . . .." teriak Siau Hui-uh cemas.
Tapi Mo Mok-ngo sudah meluncur keluar dari ruang perahu dan melayang keatas sampan kecil, rupanya mereka bertiga datang dengan menumpang sampan.
Sekali dayungan, sampan itu sudah melesat sejauh berapa tombak lebih.
Dari kejauhan terdengar Mo Mok-ngo berseru: "Jika Tian Mong-pek gadungan itu belum pergi, suruh ayahmu patahkan dulu sepasang kaki anjingnya" Menyaksikan kepergian para cianpwee itu, Tian Mong-pek menghela napas panjang, katanya: "Sepak terjang para cianpwee itu ibarat bangau liar yang terbang di angkasa, begitu bebas, begitu santai, sama sekali tak terikat oleh urusan apapun" II "Meski mereka suka kebebasan, namun wataknya aneh sekali kata Siau Hui-uh, "ambil contoh siau-supek ku itu, meski hubungannya dengan ayahku sangat kental, namun ayah tidak mengetahui asal usulnya dulu, sebetulnya aku merasa kagum dengan kebebasan mereka, tapi terkadang setelah melihat rasa kesepian yang menyiksa batinnya, akupun merasa amat menakutkan" Kini malam sudah semakin kelam, mengawasi awan yang tergerak di angkasa, Tian Mong-pek menghela napas panjang.
"Aaai, sejak dulu hingga kini, enghiong mana yang tidak merasa kesepian?" "Apakah kau....
kau pun kesepian?" "Aku .
. . . . . . . ?" Tiba tiba terdengar si ikan hiu berseru sambil tertawa tergelak: "Hahaha, walaupun aku tak berani menahan mereka bertiga, tapi Tian-heng semestinya mau bukan tinggal berapa hari disini" "Betul, harus tinggal selama berapa hari" sambung para jago lainnya.
Atas desakan para hohan yang penuh keramahan, akhirnya Tian Mong-pek berdiam satu hari, tapi justru gara-gara tinggal lebih lama disana, persoalan yang mungkin bisa berjalan lancar telah berubah jadi tidak lancar, kehidupan yang tenang pun berubah dengan be rbagai persoalan .
. . . . . .. Begitulah, setelah berpisah dengan para jago dari telaga Tay-ou, berangkatlah Tian Mong-pek, Siau Hui-uh dan Kiong Ling-ling yang butuh dituntun karena lukanya makin sembuh, naik ke pantai utara telaga Tay-ou.
Tiba di kota Tin-kang, mereka bertiga beristirahat disebuah penginapan kecil dikaki bukit Siong-san.
Sambil bersandar ditengah halaman kecil berlapis batu cadas, dengan sedih ujar Siau Hui-uh: "Walaupun sudah cukup lama aku tiba di wilayah Kanglam, namun baru sekarang benar-benar merasakan indahnya pemandangan alam ditempat ini, maklumlah, berapa waktu berselang, nyaris hampir tiap hari harus duduk dalam kereta, betul betul suasana yang amat menjemukan" Tian Mong-pek membungkam tanpa menjawab.
Agaknya Siau Hui-uh sudah terbiasa dengan sikap pemuda itu, kembali ujarnya: "Jarang sekali umat persilatan bertemu dengan ayahku, mereka semua mengira ayahku aneh, padahal walaupun kemampuan ayahku setingkat melebihi orang lain, namun tabiatnya .
. . . . . .." Tiba-tiba terlihat Tian Mong-pek melompat bangun kemudian menyingkir ke tempat lain.
"Kenapa kau enggan mendengar kisah mengenai ayahku?" tegur Siau Hui-uh cepat.
Tanpa berpaling sahut Tian Mong-pek: "Aku hanya bersedia ikut kau pulang ke rumahmu, bisa belajar silat atau tidak, aku tak ambil peduli, tapi yang pasti aku tak bakalan angkat ayahmu sebagai guruku" Siau Hui-uh tampak tertegun, setelah menghela napas katanya lagi: II "Buat apa kau selalu teringat kalau bibi ke tiga .
. . . . . . .. Tiba tiba terdengar isak tangis Kiong Ling-ling bergema memecah keheningan.
Dengan kening berkerut Tian Mong-pek segera berlarian menghampiri sumber tangisan, tampak Kiong Ling-ling dengan tubuh yang kurus lemah sedang bersandar disebuah pohon liu sambil menangis terisak, walaupun suara tangisannya tidak terlalu keras, namun tubuhnya kelihatan gemetar keras, bergetar bagai sekuntum bunga yang diterpa hujan gadai.
Sambil menghela napas panjang tegur Tian Mong-pek: "Kenapa kau menangis nak?" Lewat berapa saat kemudian Kiong Ling-ling baru berpaling, sahutnya sambil tertawa paksa: "Paman, aku tidak menangis" Sekalipun dia sudah menyeka air matanya secara diam-diam, namun sepasang matanya yang besar telah berubah jadi merah lantaran habis menangis, apalagi senyuman yang dipaksakan, terlihat makin membuat hati jadi kecut.
"Ling-ling" ujar Tian Mong-pek sambil menghela napas, "kau tak usah membohongi paman, katakan terus terang, apakah kau menangis karena teringat yaya mu?" Cepat Kiong Ling-ling menggeleng, sahutnya sambil menundukkan kepala: "Tidak, aku tidak teringat akan dirinya" "Kenapa?" "Ling-ling tak mau mengingat dia karena.....
karena diingat pun tak ada gunanya" Sewaktu mengucapkan perkataan itu, butiran air mata kembali berlinang.
Sementara Tian Mong-pek merasakan hatinya bergetar keras, terdengar Kiong Ling-ling kembali berkata: "Biarpun paman tidak pernah beritahu kepada Ling-ling, tapi Ling-ling tahu kalau yaya dia orang tua telah .
. . . .. telah mati" Tian Mong-pek tertegun, lama kemudian baru ujarnya: "Bukan paman enggan beritahu kepadamu, tapi.....
aaai, kau tak pernah bertanya tentang dia orang tua" "Aku tahu, paman berbuat begini lantaran Ling-ling, karena kuatir Ling-ling sedih maka tidak beritahu kepadaku, karena itu, bila Ling-ling tetap bertanya, bukankah paman akan merasa sedih" Paman dan bibi begitu baik kepadaku, mana boleh aku membuat paman dan bibi bersedih hati?" Bicara sampai disini, isak tangis yang semula tak bersuara berubah jadi tangisan keras.
Tian Mong-pek ikut merasakan hatinya kecut, untuk sesaat dia tak tahu bagaimana harus menghibur.
Lambat laun isak tangis Kiong Ling-ling semakin meredah, akhirnya sambil menyeka air mata katanya: "Ling-ling tidak akan menangis lagi, Ling-ling mau tidur, paman, pergilah tidur!" Diiringi senyuman sedih, ia beranjak melalui samping tubuh pemuda itu.
Dibawah sinar rembulan, bayangan tubuh Ling-ling tampak makin lama semakin memanjang, semakin buram sebelum akhirnya lenyap dari pandangan, ketika Tian Mong-pek mendongakkan kepala, tampak rembulan persis berada ditengah awang awang.
Ditengah keheningan malam, tiba tiba pemuda itu menyaksikan sekilas bayangan hitam yang melayang turun dari belakang tubuhnya bagaikan selembar daun.
Ketika diperhatikan, ternyata bayangan hitam itu hanya selembar kertas undangan berwarna merah, tapi ditengah kartu undangan tertera sebuah lukisan tengkorak berwarna hitam.
"Undangan malaikat kematian!" Sementara Tian Mong-pek masih terkejut, mendadak terdengar lagi dua desingan angin tajam melesat dari belakang tubuhnya, langsung mengancam pinggang kiri dan pinggang kanannya, desingan angin itu tajam dan menakutkan.
"Panah kekasih!" Dalam terperanjatnya, buru-buru Tian Mong-pek menjatuhkan diri ke tanah.
"Sreet, sreeet" dua desingan tajam menyambar lewat persis dari atas punggungnya dan "Tuuk, tukk!" menancap pada batang pohon liu.
Terlihat jelas, panah itu adalah sepasang anak panah pendek berwarna merah dan hitam.
Dengan gerakan cepat Tian Mong-pek bergulingan ke samping lalu melompat bangun, ia sempat menyaksikan sesosok bayangan hitam kabur dari situ dengan kecepatan bagaikan asap.
Lupa dengan perasaan takut dan terbakar api dendam, ia membentak keras, dengan mengerahkan segenap tenaga ia lakukan pengejaran.
Pemuda itu rela tewas diujung panah kekasih daripada membiarkan musuh besar pembunuh ayahnya kabur dari hadapan matanya.
Ternyata ilmu meringankan tubuh yang dimiliki orang itu sangat lihay, tapi api dendam sudah membara dihati Tian Mong-pek, menyulut segenap kekuatan yang dimilikinya.
Tampak tubuhnya bergerak bagaikan sambaran kilat, selisih jaraknya dengan bayangan hitam itu kian lama kian bertambah dekat.
Terlihat bayangan hitam itu kabur menuju ke bukit Siang-san, keadaan medan kian lama kian bertambah terjal dan sepi, ditambah hembusan angin malam yang dingin, membuat perasaan bergidik mencekam perasaan.
Mendadak satu ingatan melintas dalam benaknya, pikir pemuda itu: "Jika panah kekasih begitu gampang dikejar orang, mana mungkin ada begitu banyak jago persilatan yang tewas oleh senjata tersebut?" Tapi dalam keadaan seperti ini, dia tak berminat untuk berpikir lebih mendalam, dia hanya tahu mengejar terus dengan sekuat tenaga.
Tak lama kemudian, bayangan hitam itu sudah tiba dipunggung bukit, menanti Tian Mong-pek menyusul ke situ, bayangan tadi sudah hilang tak berbekas.
Waktu itu, sinar rembulan tertutup oleh awan gelap, bayangan bukit bagaikan segerombol iblis yang menghimpit dadanya, dengan bimbang pemuda itu mengawasi sekeliling sana, ditengah kegelapan, ia mengepal tinjunya erat erat, membenci diri sendiri, marah kepada diri sendiri, mengapa larinya tak bisa lebih cepat, mengapa kemampuan miliknya tak bisa lebih tangguh, dia pun tahu perasaan tersebut terdorong oleh kegagalan dan rasa kecewa, tapi ia tak ambil peduli, tubuhnya menerjang terus ke atas.
Siapa tahu, baru saja tubuhnya bergerak, tiba tiba dari arah belakang terdengar seseorang menyapa sambil tertawa ringan: "Tian Mong-pek, aku berada disini!" Dengan perasaan terkejut Tian Mong-pek berpaling, terlihat dari balik bebatuan berjalan keluar sesosok bayangan tubuh bertubuh kurus kering.
Ditengah kegelapan malam, bayangan itu bagaikan kemunculan sukma gentayangan.
Tak lama kemudian bayangan itu sudah semakin mendekat, ternyata dia tak lain adalah Hong Sin.
"Rupanya kau!" bentak Tian Mong-pek gusar.
"Berapa hari tak bersua, baik-baikkah kau saudara Tian?" ucap Hong Sin sambil tertawa.
"Berulang kali kau mencelakai aku" seru Tian Mong-pek gusar, "terakhir ditengah telaga Tay-ou pun kau berniat membunuh aku, walau perbuatanmu tak berhasil .
. . . . . .." "Eei, apa maksud perkataanmu itu" teriak Hong Sin seakan melengak, "sekalipun aku bukan orang baik, belum pernah aku bersikap jahat terhadapmu, kapan aku berniat mencelakai saudara Tian?" "Ketika berada di telaga Tay-ou .
. .

Panah Kekasih Karya Gu Long di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

. . . . .." "Aaai....." Hong Sin menghela napas, "kapan aku pernah bertemu Tian-heng di telaga Tay-ou" Yaa, maklumlah, namaku memang busuk dikalangan persilatan, sehingga tak bisa disalahkan jika Tian-heng menuduhku" Penampilannya yang sungguh-sungguh membuat Tian Mong-pek tertegun, ujarnya kemudian: "Baiklah, kita jangan singgung persoalan itu, aku mau tanya, apakah kau yang barusan melepaskan panah kekasih?" "Benar .
. . . . .." Tian Mong-pek membentak gusar, sepasang tinjunya langsung dihantam ke depan.
Cepat Hong Sin mengigos, serunya sambil goyangkan tangannya berulang kali: "Tian-heng, jangan menyerang dulu, coba dengarkan dulu perkataanku" "Sudah begitu banyak jago silat yang tewas ditanganmu" ujar Tian Mong-pek gusar, "bahkan mendiang ayahku mati juga ditanganmu, apa lagi yang hendak kau katakan" Kini hanya ada kita berdua, hari ini, kalau bukan kau yang mati, akulah yang bakal mampus, tak ada pilihan lain bagimu." Perkataan itu diucapkan dengan tegas, sebab dia sudah memutuskan, sekalipun bukan tandingan lawan pun dia tetap akan beradu nyawa dengan Hong Sin.
Perempuan cantik itu segera menepuk bahu Tian Mong-pek dan katanya sambil tertawa merdu: "Hei anak muda, sudah mendengar semuanya" Sekarang tentunya kau tak perlu mencampuri urusan ini lagi bukan!" Paras muka Tian Mong-pek hijau membesi, untuk berapa saat dia hanya bisa berdiri mematung.
"Hong Sin" kembali perempuan cantik itu berkata sambil menghela napas, "kau memang kelewat pintar .
. . . . .." Sambil membenahi rambutnya dengan jari tangan yang lentik, dia menambahkan lembut: "Apa yang harus kulakukan terhadap orang yang pintar .
. . . . . .." Tiba tiba ia berpaling dan katanya sambil tertawa: "Ji-moay, pernah tahu bagaimana rasanya daging manusia" Belakangan, aku ingin sekali mencicipinya!" Paras muka Hong Sin kontan berubah jadi pucat pasi, sementara sinar mata berapi karena gusar memancar dari balik mata Tian Mong-pek.
"Jangan panik" kembali perempuan cantik itu mengerling genit, "biar sudah kubunuh pun, aku tak bakalan mau mencicipi daging manusia macam kau" Biarpun ia sedang mengucapkan perkataan yang paling sadis, paling kejam, namun senyuman manis tetap tersungging diujung bibirnya yang mungil.
Kontan saja Siau Hui-uh berkerut kening, teriaknya: "Hei Siau Man-hong, sebenarnya apa yang hendak kau lakukan terhadap orang ini" Kalau ingin dibunuh, segera bunuhlah, kalau tak ingin dibunuh, bebaskan" "Ji-moay" tegur perempuan cantik itu sambil tertawa, "dapatkah kau II memanggilku sebagai cici .
. . . . . .. Kemudian setelah berhenti sejenak, tiba tiba dia menggapai ke belakang seraya katanya: "Hei, kau jangan pergi dulu, cepat balik kemari" Ternyata tanpa berpaling pun, ia dapat mengetahui semua kejadian di belakang tubuhnya dengan jelas.
Ternyata secara diam-diam Hong It berusaha melarikan diri, namun setelah ditegur, dengan perasaan takut dia pun berjalan kemba li.
"Anak pintar" kata Siau Man-hong lagi, "ayahmu pun sudah berlutut, masa kau malah berdiri" Apakah tidak merasa malu?" Belum selesai dia berkata, Hong It telah menjatuhkan diri berlutut, persis dihadapan ayahnya, Hong Sin.
"Kalau dibunuh, rasanya kurang baik, dibebaskan juga kurang pas, bagaimana baiknya" .
. . . . .. baiklah, begini saja, yang satu dibunuh, yang II satu lagi dibebaskan .
. . . . . .. "Siapa yang kau.... kau bebaskan"' tanya Hong It ketakutan.
"Baiknya bebaskan siapa .
. . . . . .." begini saja, kalian saling menampar sebanyak dua puluh kali, siapa yang tamparannya paling keras, aku akan membebaskan dia!" Mendengar perkataan itu Tian Mong-pek berkerut kening, serunya gusar: "Kau .
. . . . . . " Siapa sangka belum sempat dia bicara, Hong It telah mengayunkan tangannya dan menampar ayahnya kuat kuat.
Hong Sin tampak agak ragu sejenak, tapi akhirnya diapun ikut balas menampar.
Sekalipun wajahnya diliputi kebencian namun ia tak berani melawan, meski sinar matanya penuh kegusaran namu n tamparannya tidak berat.
Begitulah, kedua orang itu saling menampar hampir dua puluhan tamparan, makin menampar, Hong Sin menampar makin perlahan sebaliknya Hong It justru menampar makin kuat.
"Cukup" seru Siau Man-hong tiba-tiba, "Hong Sin, kau boleh pergi!" II "Tapi....
tapi aku telah menampar sangat keras .
. . . .. seru Hong It dengan wajah berubah dan suara gemetar.
"Hahahaha, menampar dengan keras" Mungkin tadi kau salah dengar, aku bilang, siapa yang menampar dengan keras, dialah yang akan kubunuh!" II "Aku.....
aku ringan . . . . . . . .. "Bagus sekali" tukas Siau Man-hong, "kau menampar dengan ringan bukan" Kaulah yang akan kubunuh!" Dengan tubuh gemetar, Hong It mematung tanpa bergerak.
Siau Hui-uh tak kuasa menahan rasa gusarnya lagi, umpatnya gusar: "Anak jahanam semacam ini tidak pantas dibiarkan hidup, lebih baik dibantai saja!" Hong Sin menghela napas panjang, pintanya dengan air mata berlinang: "Jika tuan putri berniat membunuh untuk melampiaskan rasa kesal, lebih baik bunuhlah aku.
Usiaku sudah uzur, aku sudah hidup cukup, sementara Il dia masih muda .
. . . . . .. "Hong Sin wahai Hong Sin" kata Siau Man-hong sambil gelengkan kepalanya, "walaupun kau bukan orang baik, tapi putramu itu berapa ratus kali lipat lebih jahat ketimbang dirimu, tapi coba bayangkan sendiri, mana mungkin aku bakal membunuhmu" Memandang wajah Hong Jit-nio, akupun tak bakal membunuhmu.
Hanya saja, kalau aku tidak menyiksa manusia bejad macam kalian, siapa yang bakal menyiksa kalian" Inilah yang disebut orang jahat disiksa orang jahat, mengerti" Baiklah, silahkan menggelinding, kalian berdua sama-sama menggelinding dari hadapanku!" Dengan wajah bermandikan keringat dingin, buru buru Hong It merangkak bangun.
Hong Sin sendiripun sambil menggigit bibir menahan diri segera melompat bangun.
"Kunasehati kalian berdua, lebih baik selanjutnya jangan berkunjung lagi ke lembah Tee-ong-kok.
Paling baik lagi bila jauh menghindar dari hadapanku, mengerti?" kata perempuan itu, kemudian sambil mengulapkan tangannya, dia menambahkan: "Silahkan, silahkan, silahkan menggelinding dari hadapanku" Buru-buru Hong Sin memberi hormat lalu beranjak pergi, sementara anak durhakanya sudah kabur sedari tadi.
"Bagus, bagus sekali" puji Siau Hui-uh kemudian sambil bertepuk tangan, "Siau Man-hong, perbuatanmu hari ini terhitung satu perbuatan yang sangat menyenangkan, aku sangka kau akan turun tangan sendiri, siapa tahu .
. . . . . .." "Adikku, akupun takut mengotori tanganku" ujar Siau Man-hong tertawa, ll "mana mungkin aku bisa turun tangan sendiri .
. . . . .. Belum lagi dia menyelesaikan perkataannya, Tian Mong-pek sudah berdiri tepat dihadapannya.
Dengan wajah dingin dan mata tajam, katanya ketus: "Tian Mong-pek berada disini!" "Aku toh tidak buta" kata Siau Man-hong sambil tertawa, "masa tidak melihat kalau ada seorang lelaki besar berdiri disitu?" "Aku orang she-Tian tidak terbiasa mempermainkan orang, pun tidak terbiasa mempermainkan orang, kalau memang berniat membunuhku, sekarang juga boleh turun tangan" "Tian....
Tian kongcu" teriak Siau Hui-uh, "kau tak boleh mempercayai perkataan Hong Sin, Siau Man-hong tak punya dendam denganmu, kenapa harus membunuh ?" "Hal ini harus ditanyakan kepadanya" jawab Tian Mong-pek sambil tertawa dingin.
ll "Tidak mungkin, dia tidak mungkin .
. . . . . .. seru Siau Hui-uh. "Tidak, aku bisa membunuhnya" tukas Siau Man-hong tertawa.
"Kau . . . . . . . " Siau Man-hong segera goyang tangannya dan berkata sambil tertawa: "Tian kongcu, Hong Sin tidak berbohong, adikku yang sedang berbohong, begitu Hong Sin beritahu aku kalau adikku akan mengajak seorang lelaki yang dekil lagi bau untuk pulang bersama ke lembah Tee-ong-kok, maka secara diam-diam akupun ingin membunuhmu, semua yang dia katakan memang betul, aku tak bakal membohongi dirimu" "Aku orang she-Tian sudah siap menanti" teriak Tian Mong-pek marah.
"Tapi sekarang . . . . . . .. aaai, aku tak bisa membunuhmu sekarang, tahukah kau mengapa?" tanya Siau Man-hong sambil tertawa.
Tian Mong-pek tertawa dingin, dia hanya berdiri melotot tanpa bicara.
"Aku beritahu" kata Siau Man-hong lagi, "aku tak ingin membunuhmu sekarang karena kini adikku sudah tahu kalau aku ingin membunuhmu, bila aku benar-benar turun tangan, dia bakal membenciku sepanjang masa" "Siau Man-hong, kau .
. . . . .." bentak Siau Hui-uh.
Namun Siau Man-hong seolah tidak mendengar suara bentakan itu, katanya lebih lanjut sambil tertawa: "Tian kongcu, bukankah kau menganggap dirimu seorang lelaki sejati" Masa seorang lelaki masih butuh perlindungan dari seorang w anita" Masa kau tidak malu?" Tian Mong-pek mengepal sepasang tinjunya kencang-kencang, paras mukanya hijau membesi karena gusar, pada dasarnya dia memang tak pandai bicara, kini pemuda itu semakin tak mampu berbicara lagi.
"Ei, hati-hati kalau bicara" tegur Siau Hui-uh dengan nada serius.
"Baik, adikku yang baik" sahut Siau Man-hong sambil tertawa genit, "bicaraku sudah cukup berhati-hati, jika ia betul-betul seorang lelaki, balaslah sendiri dendamnya bila ingin balas dendam, belajarlah silat bila ingin belajar, buat apa dia musti merecoki dirimu terus" Memangnya dia tidak tahu kalau lembah Tee-ong-kok tak akan membiarkan lelaki sembarangan untuk masuk?" "Dia memang bukan lelaki sembarangan" teriak Siau Hui-uh semakin gusar, "bukankah tadi kau masih mengatakan kalau dia benar-benar seorang lelaki" II Kenapa sekarang .
. . . . . .. "Tentu saja aku tahu kalau dia lelaki tulen" potong Siau Man-hong sambil tertawa, "akupun tahu kalau dia bukan perempuan yang menyamar jadi lelaki, tapi .
. . . . . .. ai, sudah terlalu banyak lelaki semacam ini yang kuj umpai" Sembari berkata, ia memandang Tian Mong-pek dengan senyum dikulum, dari balik sinar matanya, terpancar pandangan menghina dan memandang rendah.
"Siau Man-hong, jika kau berani bicara sekali lagi....." tak terlukiskan rasa gusar Siau Hui-uh.
Siau Man-hong sama sekali tak menggubris ucapan tersebut, masih tetap tertawa menghina, katanya lagi: "Sudah kau lihat Tian kongcu" Gara gara lelaki macam kau, kami kakak beradik sudah mulai ribut, masa kau masih begitu tebal muka untuk ikut kami balik ke lembah Tee-ong-kok" Bila mukamu setebal itu, aku harus menaruh rasa kagum padamu" Tiba-tiba Tian Mong-pek mendongakkan kepalanya lalu tertawa kalap.
"Baik, baik, hari ini aku Tian Mong-pek telah mendapat satu pelajaran lagi" teriaknya.
Ditengah suara tertawanya yang kalap, dia putar badan lalu berlari meninggalkan tempat itu.
II "Tian kongcu . . . . . . .. jerit Siau Hui-uh kaget. Baru saja dia hendak melakukan pengejaran, dengan satu gerakan cepat Siau Man-hong telah mencengkeram urat nadi pergelangan tangan kanannya, sementara mulutnya tetap berseru: "Oh, kau akan pergi dari sini Tian Kongcu" Maaf aku tidak menghantar lagi.
Ingat baik baik, selain adikku, masih banyak perempuan lain didunia ini, jadi kau tak usah kuatir tak bisa mendapat bini." Gemetar keras sekujur tubuh Siau Hui-uh saking gusarnya, dengan suara parau teriaknya: "Lee.....
lepaskan aku!" "Adikku, aku tak akan melepaskan dirimu" jawab Siau Man-hong sambil tertawa genit.
Sambil membentak gusar Siau Hui-uh mengayunkan tangan kanannya menghajar dada Siau Man-hong, sayang urat nadinya masih dicengkeram, hal ini membuat badannya lemas tak bertenaga, meskipun pukulan itu mengenai sasaran, namun sama sekali tak bertenaga.
"Wah..... enak, enak sekali" ejek Siau Man-hong sambil tertawa, "ayoh pukul lagi .
. . . . .." "Kecuali selama hidup kau tak akan melepaskan aku, kalau tidak, aku tak bakal mengampunimu .
. . . . .. tak bakal mengampunimu!" Sambil menghela napas panjang, Siau Man-hong gelengkan kepalanya berulang kali, katanya: "Adikku, tahukah kau, aku berbuat begini demi kebaikanmu" Jika kau mengajak pulang lelaki semacam itu .
. . . . . .." "Apa jeleknya dia?" tukas Siau Hui-uh gusar, "paling tidak ia masih beribu kali lebih hebat daripada suamimu Hoa Hui.
Kenapa kau membuatnya marah hingga pergi dari sini?" "Aaai, betapapun baiknya lelaki itu, kau tetap tak boleh membawanya balik ke lembah Tee-ong-kok" kata Siau Man-hong sambil menghela napas.
"Kenapa?" "Karena ayah telah menjodohkan dirimu" sekujur tubuh Siau Hui-uh gemetar keras, setelah tertegun berapa saat, tiba tiba teriaknya: "Aku tak mau dijodohkan, biar mati pun aku tak mau .
. . . . .." Air mata bercucuran membasahi pipinya.
Sambil menghela napas panjang kembali ujar Siau Man-hong: "Tahukah kau, belakangan ayah dia orang tua kurang baik perasaannya, mulai sekarang dia orang tua akan menutup diri selama satu tahun, karena itulah aku baru tinggalkan rumah.
Bila kau adalah seorang putri yang berbakti, turuti perkataannya, apalagi soal jodoh seorang gadis memang seharusnya ditentukan orang tua" Siau Hui-uh berusaha keras menggigit bibirnya agar air mata tidak meleleh keluar, tanyanya kemudian: "Sii.....
siapakah le.... lelaki itu?" "Kau tidak usah kuatir adikku" hibur Siau Man-hong sambil tertawa, "pria itu muda, tampan bahkan cerdas, tak bakal memalukan dirimu" "Siapakah dia sebenarnya?" tanya Siau Hui-uh penuh kebencian, sementara dihati kecilnya ia berpikir: "Begitu tahu namanya, aku akan mencari dan membunuhnya" Siau Man-hong tertawa, katanya: "Orang itu tak lain adalah putra kandung Siau Sam A-ie, dia datang ke lembah .
. . . . . " "Putra bibi ke tiga?" jerit Siau Hui-uh, "dari....
darimana kau tahu kalau dia adalah putra bibi ke tiga?" "Bukan hanya tahu, aku malah pernah bertemu dengannya!" "Kau bertemu dengannya?" Siau Hui-uh tertawa dingin, "hmm, hmm .
. . . . . . .." Tiba tiba dia tertawa keras, serunya lagi: "Aku beritahu, Tian Mong-pek itulah putra bibi ke tiga yang sebenarnya, sementara orang itu gadungan"
Siau Man-hong tertegun, sampai lama sekali dia tak mampu mengucapkan sepatah katapun.
Oo0oo Malam yang gelap menyelimuti seluruh tanah perbukitan, kegelapan yang melebihi gelapnya warna tinta.
Tian Mong-pek dengan membawa perasaan gusar dan sedih, berlarian ditengah kegelapan malam, kalau bisa, dia ingin lari ke ujung dunia, kabur dari kehidupan duniawi, lari dari keramaian hidup, tak mau menginjakkan kakinya lagi di dunia manusia.
Ejekan dan sindiran dari Siau Man-hong seolah masih mendengung disisi telinganya, sudah terlalu sering dia difitnah orang, dicemooh orang, tapi baru malam ini dia dihina habis habisan.
Ketika tiba di puncak bukit, suasana terasa makin sepi, makin hening.
Ditengah hembusan angin yang menggoyangkan rerumputan, tiba tiba ia teringat akan Kiong Ling-ling, pikirnya: "Aku hidup sebatang kara pun selalu dihina dan dicemooh orang, untuk mengurusi diri sendiripun tak mampu, mana mungkin bisa kulindungi Ling-ling" Mungkin jauh lebih baik bila membiarkan Ling-ling tetap ikut mereka!" Ingatan tersebut membuat perasaan hatinya semakin gundah, semakin masgul, seandainya disana ada arak, mungkin dia akan meneguk hingga mabuk, bila disana ada teman, mungkin dia akan melampiaskan semua kekesalan hatinya.
Tapi jagad raya begitu hening, darimana datangnya arak" Mana mungkin ada teman yang menemani" Yang ada hanya keheningan dan kesepian.
Baru saja dia hendak duduk bersila sambil menikmati kesepian, tiba tiba dari arah bukit yang lebih tinggi berkumandang suara helaan napas panjang.
Dari balik helaan napas itu, terkandung perasaan sedih dan masgul yang mendalam, persis sama seperti perasaan hatinya sekarang.
Dengan bimbang dia mengawasi sekejap sekeliling tempat itu, akhirnya dengan pikiran hampa ia berjalan menghampiri asal suara helaan napas tadi.
Ketika seseorang yang sedang dilanda kesedihan, bila bertemu orang yang senasib maka ibarat besi semberani yang saling menghisap dengan logam, dengan cepat ia tertarik untuk mendekatinya.
Ternyata suara helaan napas itu berasal dari atas sebuah tebing karang.
Dibawah cahaya bintang yang redup, terlihat sesosok bayangan manusia sedang duduk bersila diatas batu cadas sambil menerawang angkasa.
Tian Mong-pek mendaki keatas puncak tebing, terasa angin berhembus kencang, sedemikian kencangnya hingga membuat tubuh orang itupun ikut bergoyang.
Sambil mendeham Tian Mong-pek segera menegur: "Angin gunung begitu kencang, sobat, kenapa kau harus duduk ditepi tebing" Tidak kuatir terbawa hembusan angin?" "Minggir kau!" tanpa berpaling sahut orang itu.
Tian Mong-pek melengak, cepat dia menghentikan langkahnya.
Ditengah terpaan angin, kabut tebal mulai menyelimuti permukaan, Tian Mong-pek merasa tubuhnya seolah sedang melayang, sedang berbaring ditengah awan.
Menyaksikan kesendirian yang dialami orang itu, tanpa terasa ia membayangkan kembali nasib sendiri, hal mana membuat pemuda itu menyadari bahwa kesendirian dan kesepian merupakan sesuatu yang susah ditahan.
Entah berapa saat sudah lewat, tiba-tiba terdengar orang itu kembali menghela napas panjang.
Kali ini Tian Mong-pek tak kuasa menahan diri lagi, tegurnya: "Sobat, kau berulang kali menghela napas, apakah ada asalah yang membuatmu sedih?" Orang itu tetap tidak berpaling maupun menjawab, Tian Mong-pek pun berjalan menghampirinya, setiap maju selangkah, dia mendeham untuk mencoba reaksi, hingga ia tiba disisinya, orang itu tetap tidak menyuruhnya pergi, maka sambil duduk disamping orang tadi, ujarnya: "Merasakan kesedihan seorang diri merupakan kejadian yang paling II mengenaskan, sobat, kenapa kau .
. . . . . . .. Perlahan orang itu berpaling, setelah menatapnya sekejap, dia menukas: "Kau masih muda, ternyata mengerti juga bagaimana rasanya kesedihan?" Diam-diam Tian Mong-pek ikut menghela napas, sahutnya sambil tertawa getir: "Sedih tidaknya seseorang tidak dibedakan oleh usia .
.

Panah Kekasih Karya Gu Long di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

. . . .." Ketika mendongakkan kepala, ia jumpai orang itu berwajah pucat keabu- abuan, mtanya sayu seolah tiada sinar kehidupan, ia mengenakan sebuah jubah berwarna kuning tawar.
Perlahan orang berbaju kuning itu mengalihkan tatapan matanya ke balik kegelapan yang tiada ujung pangkal, katanya: "Kalaupun kau sedang dilanda kesedihan, buat apa harus mencampuri kesedihan orang lain?" Tian Mong-pek melengak, tapi segera sahutnya sambil menghela napas: "Aku sendiripun tak tahu mengapa, begitu melihat kesedihan orang lain, aku jadi melupakan kesedihan sendiri, tanpa disadar" II "Tanpa disadari .
. . . . . .. tanpa disadari . . . . . .. gumam orang berbaju kuning itu setelah termenung sejenak, "mungkin dikarenakan tanpa disadari itulah.
banyak orang mencari kesulitan bagi diri sendiri," Selanjutnya kedua orang itu sama-sama tidak berbicara lagi, masing masing terjerumus ke dalam permasalahan sendiri.
Entah berapa lama sudah lewat, akhitnya dari balik awan muncul secerca cahaya kuning keemas-emasan.
Saat itulah orang berbaju kuning itu menengadah sambil bersenandung.
Tian Mong-pek tidak berbicara, dia hanya ikut mendengarkan nyanyian orang itu dengan termangu.
Terdengar orang itu kembali berkata sambil menghela napas: "Sepuluh tahun sudah lewat sejak terakhir menginjakkan kaki di Kanglam, biarpun panorama masih tetap seperti sediakala, namun manusia telah berubah .
. . . . . . .." Perlahan ia tundukkan kepalanya, butir air mata pun mulai mengembang dan membasahi sepasang matanya yang kelabu.
Sampai lama sekali dia tertunduk tanpa bicara, dalam keadaan begini, Tian Mong-pek tak ingin mengusiknya.
Matahari semakin tinggi di angkasa, cahaya kuning menerangi seluruh jagad, mendadak dari bawah tebing terdengar suara keleningan, suara itu dari jauh makin lama semakin mendekat, bahkan kecepatannya luar biasa.
Tiba-tiba manusia berbaju kuning itu membuka matanya dan berseru kegirangan: "Sudah datang!" Baru selesai ia bicara, terlihat seekor burung merpati putih terbang turun dari atas bukit, setelah berputar satu lingkaran diatas kepala kedua orang itu, burung tadi merapatkan sayapnya dan melayang turun diatas tangan orang berbaju kuning itu.
Dari bawah kaki burung merpati itu, dia lepaskan sebuah tabung surat lalu mengeluarkan secarik kertas, kertas itu kusut lagi kotor, seolah baru saja dipungut dari tong sampah, tapi orang berbaju kuning itu memandangnya begitu serius.
Cepat dia rentangkan kertas itu, ternyata diatas kertas yang kumal tadi hanya tertera dua huruf besar: "Segera datang!" Gaya tulisannya jelek, kaku, seperti tulisan kanak-kanak, tapi paras muka manusia berbaju kuning itu justru berseri, seolah-olah baru saja dia peroleh barang yang sudah lama dinantikan.
Dengan perasaan keheranan, tak tahan Tian Mong-pek bertanya: "Apakah kau sedang menunggu orang?" "Inilah yang sedang kutunggu." Jawab orang itu sambil menunjukkan kertas kumal itu.
"Apa itu?" Tian Mong-pek makin keheranan.
"Apa itu" Yaa inilah, tak lama lagi kau akan segera tahu" sambil menjawab, dengan penuh kasih sayang orang berbaju kuning itu membelai bulu merpati putih itu.
Sekalipun rasa ingin tahu menghantui pikiran Tian Mong-pek, namun wataknya memang tak suka merepotkan orang, karena manusia berbaju kuning itu tidak menerangkan, diapun tidak bertanya lagi.
Waktu berlalu sangat lambat, kini tengah hari telah menjelang tiba, pemuda itu mulai merasa kelaparan, semangatnya mulai loyo dan lemah, ketika mencoba berpaling, ia saksikan manusia berbaju kuning itu masih duduk bersila tanpa bergerak, sikap maupun semangatnya sama sekali tak berubah, seakan baginya, mau duduk selama delapan, sepuluh hari pun bukanlah masalah serius.
Terpaksa Tian Mong-pek menggigit bibir sambil berusaha menahan diri, sampai matahari condong ke barat, Tian Mong-pek sudah mulai berkunang matanya karena kelaparan, tapi karena orang berbaju kuning itu belum juga bergerak, maka diapun ikut tidak bergerak.
Tiba tiba orang berbaju kuning itu bertanya: "Ada sesuatu yang kau inginkan?" Tian Mong-pek agak tertegun, tapi rasa mendongkol segera menyelimuti pikirannya, dengan lantang dia berseru: "Selama hidup aku tak pernah minta tolong orang, apalagi aku tidak kenal dengan dirimu, kenapa harus minta sesuatu darimu?" "Kalau memang tiada sesuatu yang kau inginkan dariku, kenapa sampai kelaparan setengah mati pun, kau tetap duduk menemani aku" Tidak bicara, pun tidak pergi mencari makanan.
Jika aku duduk delapan, sepuluh hari lagi, bukankah kau bakal mati kelaparan ditempat ini" Hehe, sampai waktunya, kau jangan salahkan aku." "Biar mati kelaparanpun aku ikhlas, tak bakal salahkan dirimu, kau tak usah kuatir." Seru Tian Mong-pek gusar, ia berpaling dan semakin tak mau pergi.
"Masih muda, perangainya sudah berangasan, gampang marah, keras kepala, memangnya dimana kau dipermainkan orang?" jengek orang itu dingin.
"Aku sudah terbiasa dipermainkan orang, tak usah kau tanyakan lagi." Mendadak orang berbaju kuning itu tersenyum, ujarnya: "Aku sedang menunggu untuk berkelahi, kaki tangan tak bermata, kalau sampai waktunya kau terluka, jangan salahkan kalau aku tidak peringatkan dirimu lebih dulu." "Memang kau anggap tanah perbukitan ini milik pribadimu?" Tian Mong-pek semakin berang, "aku bebas duduk ditempat ini, mau hidup, mau mati, kau tak usah ikut campur." Pemuda itu semakin gusar, sikap orang berbaju kuning itu semakin lembut, kembali ujarnya sambil tersenyum: "Siapa namamu" Sudah berapa lama belajar silat?" "Siapa pula namamu" Sudah berapa lama belajar silat?" II "Hahaha, satu pertanyaan yang tepat .
. . . . . . . .. manusia berbaju kuning itu tertawa terbahak-bahak.
Belum sempat ia menyelesaikan perkataannya, tiba tiba dari bawah bukit terdengar seseorang mengumpat gusar: "Makhluk tua, kaukah yang sedang tertawa?" Ketika Tian Mong-pek berpaling, tahu-tahu dibelakang tubuhnya telah bertambah dengan seorang kakek tinggi besar berjubah pendeta warna biru sepanjang lutut yang dekil penuh tambalan, berambut awut awutan dan bersepatu rumput yang kotor.
Begitu bertemu orang berbaju kuning itu, kembali umpatnya: "Kusangka rasa mendongkolmu belum hilang, karena itu jauh jauh datang kemari menemanimu berkelahi, siapa tahu kau malah berbicara dan bergurau dengan seorang pemuda tak genah diatas gunung, memangnya kau sangka aku tak ada urusan lain?" Orang berbaju kuning itu hanya tersenyum, sama sekali tak marah, sebaliknya Tian Mong-pek dengan penuh amarah bentaknya: "Pemuda mana yang kau anggap tidak genah?" Kakek berjubah biru itu termangu, dia seakan akan terperangah dibuatnya, lalu sambil menuding hidung sendiri, tanyanya: "Jadi kau tak tahu siapakah aku ini?" Tian Mong-pek makin gusar.
"Peduli kau Thio Sam, Li Su atau Ong burik, aku tak ambil peduli, tapi kalau ingin mengumpat aku, tanya dulu hingga jelas." "Kalau sudah jelas lantas kenapa?" "Kalau sudah jelas, aku akan bertarung melawanmu." sahut pemuda itu berang.
"Kalau tak mampu mengungguli aku"' "Biar tak bisa mengungguli pun, aku tetap akan menantangmu berkelahi." Manusia berbaju kuning yang masih duduk dilantai itu tiba tiba tertawa terbahak.
"Hahaha, bagus sekali, bagus sekali .
. . . . . . .." "Apanya yang bagus?" kakek berjubah biru itu mendelik, dia awasi Tian Mong-pek sampai setengah harian lamanya tanpa berkedip.
Tian Mong-pek tak mau kalah, dia balas melotot, mengawasi lawannya dengan mendelik, tanpa berkedip.
Sampai lama sekali mereka berdua saling melotot, tiba tiba kakek berjubah biru itu menjerit pula sambil tertawa: II "Bagus sekali, bagus sekali .
. . . . .. "Apanya yang bagus?" kali ini orang berbaju kuning itu yang balik bertanya.
"Sudah hampir puluhan tahun lamanya lohu belum pernah bertemu dengan pemuda yang begini temperamen, tak disangka hari ini aku telah bertemu dengan seorang pemuda yang berwatak lebih berangasan daripada diriku, bagus, bagus, sobat kecil, anggap saja aku telah salah bicara, bagaimana kalau kucabut kembali perkataanku itu?" Tian Mong-pek tertegun, hawa amarah yang membara didada pun seketika lenyap tak berbekas, kalau orang mengumpatnya, biar matipun dia akan mengajak adu nyawa, tapi kalau orang bicara baik baik, dia malah rikuh dengan sendirinya.
Dengan agak gelagapan sahutnya kemudian: "Padahal dengan usiamu yang lanjut, bukan masalah kalau memakiku berapa patah kata." Kakek berjubah biru itu kembali tertawa terbahak-baha k.
"Hahaha, sobat cilik, kau memang menarik sekali," katanya, "tapi makhluk tua itu bukan orang baik-baik, sejak empat puluh tahun berselang dia berkelahi denganku, sejak itu pula dia selalu menjadikan aku sebagai sasarannya, setiap kali sedang mendongkol atau tak suka hati, dia selalu mencariku untuk diajak berkelahi, selama puluhan tahun, tangan lohu jadi
Kakek berjubah biru itu kembali tertawa terbahak-baha k.
"Hahaha, sobat cilik, kau memang menarik sekali," katanya, "tapi makhluk tua itu bukan orang baik-baik, sejak empat puluh tahun berselang dia berkelahi denganku, sejak itu pula dia selalu menjadikan aku sebagai sasarannya, setiap kali sedang mendongkol atau tak suka hati, dia selalu mencariku untuk diajak berkelahi, selama puluhan tahun, tangan lohu jadi ikut gatal, kurang mantab kalau berkelahi dengan orang lain, makanya, setiap kali dia ajakku berkelahi, lohu pun akan melayani dengan senang II hati, hanya sayangnya .
. . . .. "Hanya sayang kenapa?" tanpa sadar tanya Tian Mong-pek.
"Sayang orang ini tidak terlalu gampang marah, setelah lewat tujuh, delapan tahun, dia baru akan mencariku satu kali, sejujurnya lohu mulai tak sabar lagi, terkadang akupun mencari orang lain sebagai sasaran, sayang mereka kelewat bodoh, gentong nasi, setiap pertarungan tak dapat II membuatku puas, benar benar menjengkelkan hati .
. . . . .. "Kenapa kau tidak mencarinya?" kembali sela anak muda itu.
"Jangan lagi siapa namanya, dia dari marga apa pun tidak jelas, kau suruh aku mencarinya dimana?" "Masa tak ada orang persilatan yang kenal dengannya?" "Coba kau lihat tampangnya, mata ikan, muka mayat, masa kau tidak bisa melihat kalau ia sedang mengenakan topeng kulit manusia" Terkadang aku ingin sekali mencopot topengnya, tapi dia selalu berhasil menggagalkan niatku itu" "Jadi hanya dia yang boleh mencarimu, sedang kau tak boleh pergi mencarinya" Betul betul tidak adil." Protes Tian Mong-pek, tiba tiba saja ia merasa wataknya cocok sekali dengan orang itu sehingga tanpa terasa dia ikut merasa tak adil.
Kakek berjubah biru itu segera tertawa terbahak-bahak.
"Hahaha, betul, betul sekali, memang sangat tidak adil." II "Anak muda, coba dengarkan dulu penjelasanku, ujar orang berbaju kuning itu sambil tersenyum, "bukan aku tak adil, tapi dia sendiri yang rela berbuat begitu, dia selalu paksa aku membawa seekor burung merpati miliknya sambil berpesan, bila setiap kali hatiku sedang masgul atau mendongkol, lepaskan burung merpatinya itu maka dia akan datang untuk mengajakku berkelahi, kuatir merpatinya mati, setiap tahun dia selalu membawa merpati baru untuk menggantikan yang lama, coba kalau bukan gara gara perawakan tubuhnya kelewat besar hingga tak bisa menunggang dipunggung merpatinya, kalau tidak, setiap kali dia pasti akan datang mencariku dengan menunggang burung itu." Melihat kakek yang sedang sedih itu mulai tertawa, Tian Mong-pek merasa hatinya ikut gembira, katanya sambil tertawa: "Kini, rasa gusar kalian berdua telah sirna, rasanya kalian pun tak perlu berkelahi lagi." "Tidak bisa, tidak bisa," bentak kakek berjubah biru itu, "kali ini aku harus menunggu sepuluh tahun sebelum bertemu dengannya, sejak dulu aku sudah tak sabar menunggu saat seperti ini, sudah jauh jauh menempuh perjalanan ribuan li, mana boleh tidak berkelahi" Sobat kecil, duduklah lebih dulu sambil menonton kami berkelahi." Sambil bicara, dia rentangkan sepasang tangannya kemudian melepaskan satu pukulan ke tubuh manusia berbaju kuning itu.
Angin pukulan yang meluncur keluar kencang dan dahsyatnya bukan kepalang.
Sambil tertawa seru orang berbaju kuning itu: "Masa kau tidak sabar menunggu sampai aku bangkit berdiri?" Walaupun angin pukulan dahsyat itu hampir mengenai tubuhnya, ternyata dia tidak mencoba menghindar maupun berkelit.
Melihat angin pukulan itu segera akan menghajar batok kepala lawan, tak tahan Tian Mong-pek menjerit kaget.
Siapa sangka disaat yang kritis itulah, tiba tiba kakek berjubah biru itu menarik kembali ancamannya sambil membentak: "Ayoh, bangun berdiri!" Begitu serangannya ditarik, angin pukulan yang maha dahsyat itupun seketika hilang lenyap tak berbekas.
Tampaknya dia telah berhasil melatih angin pukulannya seolah benda tak berwujud yang bisa dikendalikan sekehendak hati, suatu kepandaian yang menakutkan dan belum pernah terdengar sebelumnya.
"Siapa gerangan kedua orang itu?" Terlihat orang berbaju kuning itu perlahan-lahan bangkit berdiri, sesudah menepuk debu yang menempel dibajunya, ia berkata: "Rupanya kali ini kau ingin bertanding ilmu pukulan, sama sekali tak kusangka." "Hahaha, menjajal tangan kosong lebih dulu, kemudian baru menjajal senjata." Kata kakek berjubah biru itu seraya tertawa keras.
Ditengah gelak tertawa, lagi-lagi sebuah pukulan dilontarkan ke depan.
Cepat orang berbaju kuning itu menarik tubuhnya lalu mundur sejauh satu tombak ibarat aliran awan di angkasa, serunya sambil menggoyangkan tangannya berulang kali: "Tunggu sebentar, tunggu sebentar, apakah kali inipun kita akan bertarung sampai tak sanggup menggerakkan tangan?" "Hahaha, makhluk tua, tepat sekali tebakanmu." Kakek berjubah biru itu tertawa tergelak.
"Baiklah!" Baru saja perkataan itu meluncur keluar, tahu-tahu badannya sudah melayang maju, satu pukulan segera dilontarkan menepuk bahu kakek berjubah biru itu, serunya sambil tertawa ringan: "Tosu tua, lagi-lagi kau tertipu." Dalam berapa patah kata yang singkat, dia sudah melepaskan puluhan jurus pukulan, tampak bayangan tangan menyelimuti angkasa bagaikan jaring laba-laba, dalam sekejap mata dia sudah mengurung seluruh tubuh kakek berjubah biru itu.
Perlu diketahui, yang paling penting bagi dua orang jago tangguh yang sedang bertarung adalah menggunakan peluang dengan sebaik baiknya.
Dalam waktu singkat kakek berjubah biru itu sudah menarik kembali senyumannya, mula mula tampak paras mukanya berubah amat serius, kemudian tampak dia balas melancarkan serangan bertubi tubi yang membuat lapisan cahaya menyelimuti seluruh tubuhnya, kini tidak terlihat lagi bagaimana perubahan mimik mukanya.
Dalam berapa ratus gebrakan kemudian, tubuh kakek berjubah biru itu seolah terjerat dibalik jaring laba-laba yang sangat tebal, sedemikian ketatnya sampai ilmu pukulannya sama sekali tak berkembang.
Ada kalanya sebuah pukulan tampak akan segera menembusi kepungan, tapi begitu sampai ditengah jalan, tahu tahu serangan itu sudah mental balik.
Menyaksikan kesemuanya itu, diam diam Tian Mong-pek terkesiap, dia tak tahu bagaimana harus menghadapi ancaman tersebut andaikata dia yang sedang bertempur.
Terlihat lingkaran angin pukulan dari orang berbaju kuning itu makin lama semakin mengecil, lambat laun berubah jadi lapisan bayangan yang amat tipis dan mengurung di sekeliling tubuh kakek berjubah biru yang tinggi besar itu.
Mendadak terdengar suara bentakan yang menggelegar, sekuat tenaga kakek berjubah biru itu melepaskan satu pukulan, diiringi desingan angin tajam langsung menghantam dada lawan.
Tian Mong-pek menghembuskan napas panjang, serangan itu membuat dadanya yang sesak ikut terasa lega kembali.
"Kau kenal dengan jurus serangan ini?" terdengar kakek berjubah biru itu membentak.
Paras muka orang berbaju kuning itu berubah amat serius, dia tidak berkata sepatah kata pun.
Semangat kakek berjubah biru itu makin berkobar, sepasang kepalan bajanya ibarat burung yang terlepas dari sangkar, segera terbang melintang di angkasa dan balas mengancam tubuh lawan.
Kutukan Bangsa Titan 5 Emptiness Of The Soul Karya Andros Luvena Pendekar Aneh Dari Kanglam 2

Cari Blog Ini