Ceritasilat Novel Online

Api Di Bukit Menoreh 16

03 Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintardja Bagian 16


Agung Sedayu tidak mempunyai pilihan lain. Meskipun ia
sudah berusaha menghindari pertengkaran, namun ia tidak
berhasil. Karena itu, maka ia pun segera mempersiapkan dirinya. Ia
tidak tahu, seberapa jauh kemampuan Ranajaya. Karena itu,
ia tidak ingin terpelanting pada sasaran pertama.
Ranajaya yang benar-benar telah tidak dapat
mengendalikan dirinya, melangkah semakin lama semakin
mendekat. Matanya seakan-akan telah menyala. Seakan-akan
ia benar-benar berhadapan dengan seorang petugas sandi
dari Mataram yang berhasil menyusup di antara pasukan
Pajang. Demikianlah bagi Ranajaya, Agung Sedayu memang
mencurigakan. Sebenarnya ia sudah mendengar nama itu
beberapa lama. Bahkan ia telah berhasil mengetahui serba
sedikit tentang Agung Sedayu.
Masih terngiang di telinganya pesan seorang Tumenggung
dari Pajang, "Kau harus mencari keterangan tentang
sepasang anak-anak muda yang bersenjata cambuk. Salah
seorang dari mereka adalah adik Untara."
Sebenarnya bagi Agung Sedayu sendiri, pengenalan
Ranajaya atas dirinya itu pun agaknya menumbuhkan tekateki.
Tetapi ia tidak sempat bertanya, dan ia yakin bahwa
Ranajaya tidak akan mau mengatakannya.
"Agaknya cukup banyak prajurit Pajang yang mengenal aku
sejak di Sangkal Putung, sampai pecahnya padepokan
Tambak Wedi," katanya di dalam hati. "Tetapi ternyata
Ranajaya telah mencari hubungan keakrabanku dengan
Raden Sutawijaya saat itu dengan kedatangan dari Mataram
sekarang. Apalagi aku memang pernah pergi ke Alas
Mentaok, sebelum daerah itu dibuka justru bersama-sama
dengan Raden Sutawijaya."
Agaknya peristiwa-peristiwa itulah yang telah dijalin oleh
Ranajaya menjadi suatu kesimpulan, bahwa kedatangannya
kali ini adalah atas perintah dan tugas dari Sutawijaya.
"Untunglah, bahwa Kakang Untara mengenal aku dengan
baik, sehingga ia tidak mudah percaya dengan ceriteraceritera
itu," katanya pula di dalam hatinya.
Namun sementara itu. Ranajaya telah berdiri beberapa
langkah saja di hadapannya. Sambil menggeram ia menunjuk
wajah Agung Sedayu, "Jangan ingkar. Aku sudah banyak
mendengar perananmu, peranan orang-orang bercambuk di
Alas Mentaok. Aku kira tidak banyak jumlahnya, orang-orang
yang bersenjata cambuk seperti senjatamu dan gurumu."
"Siapa yang menyampaikan hal itu kepadamu?"
"Tidak ada gunanya kau mengerti," Ranajaya
membelalakkan matanya. "Apakah kau mengaku?"
"Aku mengaku, bahwa aku mempunyai senjata cambuk.
Hanya itu." "Persetan," Ranajaya agaknya sudah tidak sabar lagi.
Selangkah lagi ia maju, sehingga karena itu, Agung Sedayu
pun telah siap menghadapi serangannya yang pertama.
Agung Sedayu tidak perlu menunggu terlalu lama. Namun
masih terdengar Ranajaya berkata, "Kau akan terpaksa
mengatakannya, Anak Gila."
Agung Sedayu tidak menjawab. Tetapi matanya yang tajam
segera melihat kaki Ranajaya terangkat. Cepat sekali, seperti
anak panah yang meloncat dari busurnya.
Tetapi Agung Sedayu tidak tinggal diam. Dengan cepat
pula ia bergeser dan melingkar di atas tumit satu kakinya,
sehingga kaki Ranajaya terjulur sejengkal di sisi lambungnya.
Bahkan dengan cepat pula, Agung Sedayu memukul
pergelangan kaki itu dengan sisi telapak tangannya. Namun
agaknya Ranajaya dapat bergerak sangat tangkas. Sebelum
tangan Agung Sedayu mengenai pergelangan kakinya,
Ranajaya telah melingkar, melontarkan kakinya itu menjauhi
Agung Sedayu. Dan begitu kaki yang terjulur itu melekat di
atas tanah, maka dengan sebuah loncatan kecil, Ranajaya
melenting menyerang Agung Sedayu dengan kakinya yang
lain. Agung Sedayu mengerutkan keningnya. Ranajaya benarbenar
seorang perwira yang lincah. Tetapi ia tidak
membiarkan tubuhnya disakiti. Dengan tangkasnya Agung
Sedayu merendahkan dirinya. Tiba-tiba saja kakinya
melingkar mendatar, hanya sejengkal di atas tanah menyapu
satu kaki Ranajaya, sementara satu kakinya masih terjulur.
Dengan perhitungan yang tepat, maka pada saat kaki yang
terlonjak sedikit itu menginjak tanah, sedang yang lain masih
terjulur lurus, kaki Agung Sedayu telah mengenainya.
Gerakan Agung Sedayu yang cepat itu sama sekali tidak
terduga-duga oleh Ranajaya. Karena itu, ketika kakinya yang
menginjak tanah itu terlempar, maka ia pun jatuh pula
terbanting. Tetapi Ranajaya tidak membiarkan serangan berikutnya.
Dengan cepat pula ia berguling beberapa kali menjauh.
Kemudian melenting seperti seekor bilalang yang meloncat.
Kemudian dengan lincahnya ia jatuh di atas kedua kakinya
yang renggang, langsung bersiap menghadapi setiap
kemungkinan. Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Itulah
sebabnya Ranajaya menjadi sombong. Ia ternyata seorang
perwira yang benar-benar tangkas dan perkasa. Sentuhan
pada bagian tubuhnya, memberikan sedikit petunjuk bagi
Agung Sedayu, bahwa lawannya adalah seorang yang tidak
saja lincah dan cepat, tetapi juga seorang yang kuat.
Sehingga dengan demikian, maka Agung Sedayu pun menjadi
semakin berhati-hati menghadapi kemungkinan-kemungkinan
mendatang. Sejenak keduanya berdiri tegak di tempatnya. Namun
kemudian hampir berbareng keduanya bergeser mendekat.
Memang agaknya tidak ada jalan penyelesaian yang lain
daripada kekerasan. Dan Agung Sedayu memang tidak akan
menghindar lagi. Demikianlah, maka sejenak kemudian keduanya telah
terlibat dalam perkelahian yang seru. Masing-masing adalah
seorang yang tangkas, cepat dan memiliki ilmu kanuragan
yang tinggi. Para prajurit yang ada di luar arena hanya dapat melihat
perkelahian itu dengan hati yang berdebar-debar.
Sekali-sekali wajah mereka menegang, namun kemudian
sebuah senyum tampak membayang di bibir mereka. Tetapi
sejenak kemudian kening mereka menjadi berkerut-merut.
Para prajurit yang mengikuti Ranajaya hampir berbareng
bersorak, ketika mereka melihat Agung Sedayu terlempar
beberapa langkah, karena hempasan kaki Ranajaya yang
tepat mengenai lambungnya. Namun Agung Sedayu tidak
terjatuh. Ia masih sempat mengelak ketika serangan
berikutnya mengarah pelipisnya.
Japa mengikuti perkelahian itu dengan tegang pula. Tetapi
tampaknya ia tetap tenang, seolah-olah ia tidak terseret ke
dalam suasana yang semakin lama menjadi semakin panas
itu. Ranajaya yang merasa dirinya seorang perwira yang
terkemuka di medan-medan perang, merasa heran, bahwa
Agung Sedayu tidak segera dapat dikalahkan. Ia sadar, bahwa
Untara, adalah seorang prajurit linuwih. Tetapi apakah dengan
demikian, dengan sendirinya Agung Sedayu juga menjadi
seorang yang perkasa"
Karena itu, maka Ranajaya pun segera mengerahkan
segenap kemampuannya. Ia ingin segera memaksa Agung
Sedayu menyerah, dan menjawab semua pertanyaannya
tentang Mataram, tentang Alas Mentaok dan tentang tugas
yang dibebankan kepadanya oleh Sutawijaya. Jika ia berhasil,
maka ia akan mengejutkan seluruh Jati Anom dan Untara
sendiri, bahwa adiknya ternyata adalah telik sandi yang
diselusupkan oleh Sutawijaya ke belakang garis pertahanan
Pajang. Tetapi Agung Sedayu pun semakin lama menjadi semakin
panas pula. Semula ia memang tidak memeras
kemampuannya, karena ia masih mempunyai perasaan segan
dan hormat kepada prajurit Pajang, apalagi seorang perwira.
Tetapi karena tubuhnya semakin sering dikenai seranganserangan
Ranajaya dan menjadi semakin terasa sakit,
akhirnya Agung Sedayu pun tidak mau mengekang diri lagi.
"Aku harus bersungguh-sungguh," katanya di dalam hati,
"apa pun akibatnya. Kalau tidak, maka aku akan benar-benar
menjadi bengkak-bengkak."
Dengan demikian, maka perkelahian itu pun semakin lama
menjadi semakin seru. Agung Sedayu pun kemudian
mengerahkan segenap kemampuan yang ada padanya. Ia
tidak lagi mencoba menghindarkan kemungkinan yang pahit
bagi perwira itu. Ia tidak lagi menghiraukan, apakah perwira itu
akan menjadi sangat malu, apabila ia tidak dapat
memenangkan perkelahian itu, atau setidak-tidaknya tidak
dikalahkan oleh Agung Sedayu.
Kalau semula Agung Sedayu tidak ingin mengalahkan
lawannya dengan semena-mena di hadapan prajuritprajuritnya,
maka pikiran itu pun semakin lama menjadi
semakin kabur, karena serangan Ranajaya yang semakin
menyakiti badannya. Sejak itulah, maka tampak perubahan pada keseimbangan
perkelahian itu. Karena Agung Sedayu pun kemudian
mengerahkan segenap kemampuannya, maka justru
Ranajaya yang semakin bernafsu untuk segera memenangkan
perkelahian itulah yang menjadi semakin terdesak.
Hampir tidak masuk akal lagi Ranajaya, bahwa ia merasa
semakin lama semakin berat melawan tandang Agung
Sedayu. Ternyata anak muda itu memiliki kemampuan yang
jauh melampaui kemampuan yang diperkirakannya. Meskipun
demikian, Ranajaya adalah seorang perwira yang
berpengalaman,. Karena itulah, maka meskipun sekali-sekali
ia tampak terdesak, tetapi ia masih mampu melakukan
perlawanan sebaik-baiknya. Serangan-serangannya bahkan
sekali-sekali masih juga dapat mengenai sasarannya.
Tetapi kini serangan Agung Sedayu mulai mengenai
tubuhnya. Sambaran tangan Agung Sedayu bagaikan ayunan
sekeping besi yang berat. Dan tangan itu telah menyentuhnya.
Tidak hanya satu kali, dua kali. Tetapi beberapa kali.
Perkelahian itu pun semakin lama benar-benar menjadi
semakin dahsyat. Agung Sedayu kini mulai berusaha
menguasai lawannya. Langkahnya semakin lincah dan cepat,
sehingga seakan-akan ia berada di segala arah bagi
lawannya. Perlahan-lahan perkelahian itu pun bergeser menepi.
Begitu dahsyatnya sehingga tanpa mereka sadari, mereka
telah berdiri tepat di pinggir tanggul sawah yang sedang
digenangi air. Sebuah serangan Ranajaya yang cepat dan tidak terdugaduga,
ternyata berhasil menyusup pertahanan tangan Agung
Sedayu langsung mengenai dadanya. Terasa pukulan tangan
Ranajaya itu bagaikan memecahkan dinding dadanya,
sehingga Agung Sedayu terdorong surut. Sedang di belakang
Agung Sedayu adalah sawah yang basah berlumpur.
Tetapi Agung Sedayu tidak mau terlempar sendiri ke dalam
genangan lumpur itu. Dengan tangkasnya ia masih berhasil
menangkap pergelangan tangan Ranajaya, sehingga
keduanya bagaikan terlempar ke dalam air yang berwarna
coklat kehitam-hitaman. Para prajurit yang menyaksikan perkelahian itu, seakanakan
telah membeku di tempatnya. Tetapi ketika mereka
melihat keduanya terjatuh ke dalam lumpur, maka mereka pun
hampir serentak meloncat maju, dan berdiri tegak di pinggir
pematang. Tertatih-tatih keduanya berusaha meloncat berdiri. Tetapi
ternyata lumpur yang kotor, yang telah melumuri seluruh tubuh
dan pakaian, membuat hati mereka semakin panas. Sehingga
perkelahian selanjutnya adalah benar-benar perkelahian yang
menentukan, meskipun keduanya masih tidak bersenjata.
Dalam pada itu, para prajurit yang berdiri di pinggir sawah,
tidak sampai hati membiarkan perwiranya berkelahi
berlumuran lumpur tanpa berbuat apa-apa. Apalagi mereka
melihat setiap kali keduanya terlempar jatuh, bangun lagi
dengan lumpur yang semakin tebal.
Sejenak mereka termangu-mangu. Namun sejenak
kemudian salah seorang berdesis, "Apakah kita dapat
membantu?" "Tunggu. Kita harus mendapat perintah atau ijin dahulu.
Kalau tidak, kita akan justru dimarahinya."
Kawannya menjadi termangu-mangu. Namun setiap kali
keningnya berkerut-merut. Lumpur yang melumuri seluruh
tubuh Ranajaya dan Agung Sedayu semakin lama menjadi
semakin tebal pula. Apalagi ketika menjadi semakin jelas bagi
para prajurit, bahwa Ranajaya selain harus bergulat melawan
lumpur, ternyata juga bahwa ia menjadi semakin terdesak.
Agung Sedayu yang merasa, bahwa tubuhnya menjadi
sangat kotor dan menjadi pedih-pedih karena air, berniat untuk
segera mengakhiri perkelahian. Karena itu, maka ia berkelahi
semakin garang, meskipun ia masih juga berada di dalam
lumpur. Ternyata, bahwa Ranajaya tidak mampu mengimbangi
kemampuan Agung Sedayu. Meskipun Ranajaya seorang
prajurit yang berpengalaman, tetapi Agung Sedayu pernah
mengalami medan yang bermacam-macam, sehingga karena
itu, maka ia telah berhasil benar-benar menguasai lawannya,
seorang perwira pasukan Pajang.
Dengan demikian, maka prajurit-prajuritnya benar-benar
tidak dapat tinggal diam. Salah seorang bergerak maju sambil
berkata, "Ijinkan kami ikut menangkap telik sandi itu."
Perwira Pajang yang sedang berkelahi itu tidak segera
menjawab. Ia masih dibayangi oleh sifat keperwiraannya,
sehingga karena itu, ia tidak segera membenarkan prajuritprajuritnya
ikut di dalam perkelahian itu.
Kerena Ranajaya tidak menyahut, maka seorang prajurit
yang lain berteriak pula, "Apakah kami diijinkan untuk ikut
menangkap anak itu?"
Masih tidak ada jawaban. Dan sekali lagi prajurit di pinggir sawah itu berkata, "Kami
minta ijin itu." Tetapi perwira yang sedang berkelahi itu tidak memberikan


03 Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

jawaban apa pun. Ia tidak ingin berkelahi dengan curang.
Sebagai seorang perwira ia masih mempunyai harga diri yang
cukup, sehingga ia tidak mengiakan permintaan prajuritprajuritnya
itu. Sikap itu ternyata menumbuhkan perasaan hormat pada
Agung Sedayu. Agung Sedayu yang menyadari, bahwa
sebentar lagi ia pasti akan menguasai lawannya sepenuhnya,
merasa kagum, bahwa meskipun Ranajaya termasuk seorang
perwira yang bengal, tetapi ia tidak mau bertempur bersama
prajurit-prajuritnya untuk melawan Agung Sedayu.
Tetapi prajurit-prajuritnyalah yang menjadi gelisah. Karena
Ranajaya tidak menyahut, maka mereka pun akan mengambil
sikap sendiri. Salah seorang berkata, " Ki Ranajaya tidak
melarang, meskipun tidak mengiakan."
"Kita bertindak sendiri," sahut yang lain.
Tetapi yang lain lagi berkata, "Tetapi ia adik Ki Untara."
Sejenak prajurit-prajurit itu menjadi ragu-ragu. Namun
kemudian, "Kalau benar ia telik sandi, meskipun adiknya Ki
Untara, kita memang harus menangkapnya."
Kawannya termangu-mamgu sejenak, namun kemudian,
"Tanggung jawab ada pada Ki Ranajaya. Marilah, kita berbuat
sesuatu." Sejenak prajurit-prajurit itu bimbang. Namun sejenak
kemudian mereka beringsut maju.
Tetapi ketika mereka benar-benar akan terjun ke dalam
lumpur, mereka terhenti, karena Japa yang ada di belakang
mereka berkata, "He, apakah kalian akan ikut campur?"
"Kami akan menangkap petugas sandi dari Mataram itu."
"Jangan. Ki Ranajaya akan marah kepada kalian. Kau telah
minta ijin kepadanya, tetapi ia tidak menjawab. Kau tahu harga
diri seorang satria?"
Ketiga prajurit itu mengerutkan keningnya.
"Biarkanlah perkelahian itu."
Ketiga prajurit itu merenung sejenak. Namun salah seorang
dari mereka berkata, "Soalnya bukan perang tanding. Tetapi
kami akan menangkap seorang telik sandi bersama-sama."
"Tuduhan itu tidak beralasan sama sekali. Kalian harus
tahu, bahwa Ki Ranajaya adalah seorang yang sangat
membenci Sutawijaya. Aku tidak tahu sebabnya. Karena
itulah, maka penilaiannya terhadap kawan Raden Sutawijaya
juga tidak longgar lagi. Seakan-akan semua orang yang
pernah berkenalan dengan Raden Sutawijaya adalah musuh
Pajang. Bahkan kita belum yakin, apakah Raden Sutawijaya
sendiri memusuhi Pajang?"
Ketiga prajurit itu menjadi semakin bimbang. Dan Japa
berkata, "Biarlah keduanya menyelesaikan persoalan mereka.
Soalnya bukan Mataram atau Pajang. Bukan telik sandi atau
prajurit yang setia. Keduanya adalah anak-anak yang masih
muda. Yang satu tidak mau tersinggung oleh yang lain. Itu
saja. Karena itu, marilah kita sekedar menjadi saksi."
"Ah. Kau berpikir terlampau pendek. Ki Ranajaya tidak
sekedar berpikir tentang dirinya sendiri. Ia menyadari
kedudukan Pajang di hadapan Mataram yang sedang
tumbuh." "Itu adalah omong kosong. Percayalah, bahwa mereka
keduanya adalah anak-anak muda yang sombong, angkuh
dan terlampau memuja harga diri, sehingga hatinya mudah
tersinggung. Itulah sebabnya, mereka berkelahi. Bukan apaapa.
Jangan dihubungkan dengan soal-soal yang tidak kita
mengerti." "Persetan," sahut seorang prajurit, "tetapi kita harus berbuat
sesuatu." Japa menggelengkan kepalanya, "Jangan. Aku tidak
sependapat." "Tetapi kami tidak dapat membiarkan hal ini terjadi."
"Biar sajalah."
"Kau sama sekali tidak mau membantu seorang perwira
atasannya yang sedang menjalankan tugas."
"Aku dari pasukan berkuda. Bukan dari pasukanmu. Aku
memang harus hormat kepada perwira yang mana pun. Tetapi
tidak mencampuri persoalan pribadinya. Apa lagi ia memang
agak terlampau mudah tersinggung."
"Terserah. Tetapi kami akan membantunya."
Tetapi Japa menggeleng, "Jangan. Kau tahu arti katakataku
ini" Biarkan saja apa yang akan terjadi."
Ketiga prajurit itu menjadi termangu-mangu sejenak. Sekali
dipandanginya wajah Japa yang berkerut-merut, namun
kemudian mereka berpaling kepada Ranajaya yang semakin
sering jatuh, terbanting ke dalam lumpur.
Sebenarnyalah, prajurit-prajurit itu menjadi ragu-ragu.
Mereka bertiga telah mengenal prajurit dari pasukan berkuda
yang bernama Japa itu. Ia mempunyai beberapa kelebihan
dari kawan-kawan prajuritnya. Beberapa orang justru
mengatakan, bahwa ia mempunyai aji welut putih, sehingga
dalam keadaan yang bagaimanapun sulitnya, namun lawanlawannya
tidak akan dapat menangkapnya. Bahkan sekaligus
mempunyai aji lembu sekilan, sehingga seakan-akan ia
menjadi kebal, meskipun oleh kekuatan yang dapat
melampaui daya tahan aji lembu sekilannya, ia dapat juga
dikenainya. Tetapi sejenak kemudian Japa itu pun berkata, "Dengarlah
kata-kataku. Aku yakin, bahwa aku sependapat dengan Ki
Ranajaya." "Kau lihat, Ki Ranajaya kini terdesak. Apakah kau dapat
membayangkan, bagaimana tanggapannya terhadap kami
yang sekedar menonton di sini. Kalau kami mengatakan,
bahwa kaulah yang mencegah kami, maka kau akan menjadi
sasaran kemarahannya. Meskipun kau mempunyai aji welut
putih dan lembu sekilan sekalipun, kau tidak akan dapat
melawan Ki Ranajaya."
"He, siapa yang mengatakan bahwa aku mempunyai aji
welut putih dan apalagi lembu sekilan" Sama sekali tidak.
Kalau aku mencegah kalian, itu adalah karena aku yakin, Ki
Ranajaya akan membenarkan sikapku. Kalau ikut campur,
maka itu akan berarti, bahwa kau telah menurunkan sikap
satrianya. Seandainya kalian berempat berhasil mengalahkan
Agung Sedayu, itu sama sekali bukan kebanggaan. Besok
kalian pasti akan dihukum oleh Ki Ranajaya, karena kalian
telah menghinanya, seolah-olah perwira itu tidak dapat
mengatasi persoalannya, atau tidak dapat bersikap seperti
seorang laki-laki yang sebenarnya."
Ketiga prajurit itu menjadi bingung. Tetapi salah seorang
dari mereka berkata, "Lalu apa gunanya kami dibawanya
serta?" "Maksudnya, kalian akan menjadi saksi apa yang telah
terjadi. Seandainya terjadi kecelakaan dalam perkelahian itu,
maka itu adalah akibat yang tidak dapat dihindari. Yang lain
tidak dapat dituntut, karena keduanya telah berhadapan
sebagai laki-laki atas kehendak masing-masing."
Ketiga prajurit itu menjadi termangu-mangu. Tetapi kini ia
melihat Ranajaya terlempar beberapa langkah dan jatuh
terlentang di dalam lumpur. Hampir seluruh tubuhnya
terbenam di dalam air yang kotor di sela-sela tanaman padi
muda, yang menjadi porak-poranda dan bosah-baseh.
Dengan susah payah ia berusaha berdiri. Tetapi Agung
Sedayu telah berkeputusan untuk mengakhiri perkelahian itu,
sehingga begitu Ranajaya tegak, maka ia pun segera
menyerang dengan dahsyatnya. Sebuah pukulan yang tidak
terelakkan telah mengenai dagunya.
Sebenarnyalah, bahwa tenaga Ranajaya telah susut.
Karena itu pukulan Agung Sedayu itu terasa begitu
dahsyatnya, sehingga kepala Ranajaya terangkat dan sekali
lagi ia terhuyung-huyung. Tetapi kali ini Agung Sedayu
memburunya. Sebuah pukulan berikutnya mengenai perutnya.
Ranajaya membungkuk kesakitan. Tetapi ia tidak
mempunyai kesempatan lagi. Sekali lagi Agung Sedayu
mengayunkan tangannya. Kali ini mengenai bagian bawah
telinganya. Terasa kepala Ranajaya bagaikan terputar. Kini ia
terlempar dan tanpa dapat menjaga keseimbangannya lagi, ia
pun terjatuh menelentang.
Tenaga perwira muda itu bagaikan telah terhisap habis.
Kepalanya menjadi pening, dan pandangan matanya seakanakan
berputaran. Awan yang terbang di langit bagaikan runtuh
menimpa dadanya. Tetapi Ranajaya tidak pingsan, meskipun ia tidak dapat lagi
bangkit berdiri. Ia hanya dapat mengangkat kepalanya dan
duduk di dalam lumpur yang basah.
Agung Sedayu berdiri tegak dengan kaki renggang.
Dipandanginya wajah Ranajaya yang pucat, namun
memancarkan kemarahan yang tiada taranya.
"Kau memang gila," perwira itu menggeram, "aku akan
membunuhmu, pengkhianat."
Agung Sedayu tidak menjawab. Dibiarkannya Ranajaya
mengumpat-umpat. Tetapi dada Agung Sedayu menjadi berdebar-debar, ketika
tangan Ranajaya meraba hulu kerisnya yang kotor oleh
lumpur itu. Dengan suara yang bergetar ia berkata, "Aku
benar-benar akan membunuhmu. Segores luka di kulitmu
telah cukup untuk membuatmu tidak dapat lari lagi dari tangan
maut." Agung Sedayu memandang tangan Ranajaya dengan dada
yang berdebar-debar. Perwira itu benar-benar menjadi mata
gelap, sehingga ia tidak lagi dapat berpikir bening. Keris
bukannya sekedar barang mainan, yang dapat dipergunakan
setiap saat yang disukainya. Tetapi keris akan langsung
berhubungan dengan jiwa seseorang, apabila dipergunakan.
"Apakah aku juga akan mempergunakan senjata?"
pertanyaan itu telah mengetuk hatinya.
Meskipun Ranajaya telah menjadi semakin lemah, tetapi
keris di tangannya akan langsung berbahaya bagi jiwanya.
Apalagi keris itu adalah keris seorang perwira. Sudah barang
tentu kalau keris itu bukanlah keris kebanyakan yang dijajakan
di pasar-pasar. Sejenak Agung Sedayu jadi membeku. Keragu-raguaan
yang dahsyat telah mencekam dadanya.
Dalam pada itu, Ranajaya agaknya benar-benar akan
menarik keris dari wrangkanya. Sejenak ia masih memandang
Agung Sedayu sambil menggeram, "Kau akan menyesal. Kau
tidak akan melihat matahari terbenam, apalagi sampai ke
Sangkal Putung pada waktunya."
Agung Sedayu benar-benar menjadi bingung. Ia tidak
menyangka, bahwa Ranajaya benar-benar telah kehilangan
pegangan, sehingga tidak lagi dipertimbangkan, bahwa
kerisnya akan mungkin merenggut nyawa seseorang.
Namun dalam pada itu, selagi Agung Sedayu termangumangu,
mereka yang ada di sekitar arena perkelahian itu,
terkejut oleh derap kuda, yang semakin lama menjadi semakin
mendekat, sehingga hampir berbareng mereka berpaling.
Tangan Ranajaya yang telah melekat di hulu kerisnya,
perlahan-lahan terkulai. Wajahnya yang pucat itu menegang,
ketika ia melihat orang yang berkuda paling depan dari
beberapa orang penunggang kuda yang mendekati arena.
Orang itu adalah Untara. Para prajurit yang berdiri di tepi sawah itu pun menjadi
termangu-mamgu. Mereka tidak menyangka, bahwa Untara
akan sampai ke tempat itu juga.
Dalam pada itu, ketika Untara dan beberapa orang
pengiringnya menjadi semakin dekat, tiba-tiba saja telah
meledak suara tertawanya, seolah-olah ia sedang melihat
suatu permainan yang lucu sekali. Bahkan Untara yang
tertawa terbahak-bahak itu, terpaksa memegangi perutnya
yang berguncang-guncang. Demikian kudanya sampai di pinggir sawah berlumpur itu,
ia pun segera meloncat turun diikuti oleh para pengiringnya.
Namun ia masih saja tertawa berkepanjangan.
Para pengiringnya yang semula menjadi tegang, itu pun
ikut pula tertawa melihat kedua orang yang berlumuran
dengan lumpur yang basah itu.
"He, apakah kerja kalian di sana?" bertanya Untara sambil
berdiri di pematang. Agung Sedayu yang memang sudah mengerti, bahwa
kakaknva akan menyusul segera melangkah menepi. Kakinya
terbenam sampai di atas mata kakinya itu.
"Kemarilah, kemarilah. Apakah kalian termasuk golongan
kerbau yang sedang berkubang?" bertanya Untara di sela-sela
suara tertawanya. Kedua orang itu tidak menjawab. Ranajaya pun kemudian
melangkah pula menepi. Tetapi karena tenaganya memang
sudah susut, serta kakinya yang membenam agak dalam,
maka langkahnya pun tampaknya menjadi sangat berat.
Sejenak kemudian keduanya telah berdiri di atas pematang
di tepi sawah yang berlumpur itu. Tetapi keduanya
menundukkan kepala mereka dalam-dalam.
"He, apakah yang telah kalian lakukan?" bertanya Untara
masih sambil tertawa. Keduanya tidak menjawab. "Apakah kalian mencoba berkubang, atau mandi di air yang
sangat dangkal ini, atau kalian mempunyai kesibukan lain,
misalnya mencari belut?"
Keduanya masih terdiam. "Kenapa kalian diam saja?" suara Untara menurun, dan
tertawanya pun sudah mereda. "Lihat, tanaman padi yang
hijau itu menjadi rusak. Pakaian kalian yang bagus itu kini
mempunyai warna yang lain. Apakah sebenarnya yang telah
kalian lakukan?" Ranajaya dan Agung Sedayu masih tetap berdiam diri.
Untara pun kemudian berpaling kepada prajurit-prajurit
yang berdiri berjajar sambil menundukkan kepala mereka
pula, "He," bertaka Untara, ternyata kalian mendapat tontonan
yang mcnyenangkan. Sayang, aku datang terlambat."
Tidak seorang pun yang berani mengangkat kepalanya.
Bahkan kepala-kepala itu menjadi semakin tunduk. Hanya
Japa sajalah yang meskipun menundukkan kepalanya pula,
tetapi ia sempat tersenyum di dalam hati.
Dalam pada itu, Untara berkata selanjutnya, tetapi dalam
nada yang berbeda, "Nah, setelah kalian puas dengan sikap
jantan kalian, apakah yang kalian peroleh?"
Masih tidak ada jawaban. "Kepuasan" Kebanggaan atau apa?"


03 Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Agung Sedayu menarik nafas. Ketika ia mencoba
memandang Ranajaya dengan sudut matanya, dilihatnya
perwira itu masih tetap menunduk.
"Adi Ranajaya," berkata Untara kemudian, "memang itukah
yang kau kehendaki?"
Ranajaya menggigit bibirnya.
"Baiklah," berkata Untara kemudian, "kalian tentu tidak
akan mengatakan apa-apa. Tetapi aku sudah dapat menduga,
apa yang baru saja terjadi di sini. Perkelahian karena masingmasing
tidak mau sedikit saja tersinggung perasaannya. Atau
barang kali karena kebencian yang tidak mempunyai dasar
alasan, tetapi sudah berkobar membakar urat nadi. Inilah yang
kalian temukan sekarang. Sakit, kotor, dan apalagi ada orang
yang melihat, memalukan sekali. Untunglah, bahwa saat-saat
menjelang senja, hampir tidak ada orang lagi di sawah dan
tidak ada orang yang kebetulan lewat di jalan ini."
Tetapi belum lagi Untara terdiam, di kejauhan dilihatnya
seseorang berjalan merunduk menjauhi tempat itu.
"He, ternyata ada juga yang menonton perkelahian ini dari
jauh. Tetapi mereka pasti tidak akan berani melerai, karena di
sini berdiri beberapa orang prajurit. Apalagi melerai, mendekat
pun tidak berani." Semua berpaling ke arah tatapan mata Untara. Tetapi
mereka tidak melihat apa pun lagi, karena orang itu sudah
bersembunyi di balik hijaunya batang padi yang tumbuh agak
lebih besar. Sambil merangkak orang itu pergi menjauh, agar
ia tidak terlibat di dalam perkelahian yang terjadi itu.
"Tentu tidak hanya seorang itu," berkata Untara, "karena
itu, jadikanlah hal ini pengalaman, bahwa seorang prajurit
tidak akan berselisih di sembarang tempat dan di sembarang
waktu, karena sembarang persoalan."
Ranajaya hanya menundukkan kepalanya saja tanpa
berkata sepatah kata pun. Usahanya untuk memaksa Agung
Sedayu mengaku, bahwa ia seorang petugas sandi dari
Mataram telah gagal, meskipun ia masih tetap berpendapat
demikian, ia masih tetap menganggap bahwa justru karena
Agung Sedayu itu adik Untara, senapati yang bertugas di
daerah Selatan ini, maka ia akan dapat melakukan tugasnya
dengan baik tanpa dicurigai. Dan agaknya Untara memang
tidak menaruh curiga sama sekali kepada adiknya itu.
"Tetapi," berkata Untara, "jika sudah terjadi demikian, kalian
telah menjadi puas. Kalian telah melepaskan gejolak di dalam
hati, meskipun akibatnya barangkali tidak pernah kalian
bayangkan sebelumnya. Apakah kata para prajurit dan para
perwira, jika mereka melihat seorang Ranajaya dalam
pakaiannya yang aneh sekarang ini" Dan apa kata Ki Demang
di Sangkal Putung, terlebih-lebih Sekar Mirah, jika mereka
melihat Agung Sedayu yang baru keluar dari kubangan?"
Tidak seorang pun yang menyahut.
"Nah, sekarang bagaimana dengan kalian berdua?"
Keduanya tidak segera menjawab.
"Apakah kalian akan tetap memakai pakaian itu, atau kalian
akan berganti pakaian di sini?"
(***) Buku 63 MASIH tidak ada jawaban. Untara menarik nafas dalam-dalam. Tetapi ia kini justru
harus menahan kegelian yang hampir meledak, melihat dua
orang anak muda yang berdiri tegak seperti tikus di dalam
kubangan. "Baiklah. Terserah apa yang akan kalian lakukan.
Aku akan kembali," tetapi Untara menjadi ragu-ragu,
apakah kalau keduanya ditinggalkan di tempat itu, mereka
tidak akan terlibat lagi dalam perkelahian" Meskipun jelas
baginya, bahwa Ranajaya tidak akan dapat mengimbangi
kemampuan Agung Sedayu. Tetapi bahwa tangan
Ranajaya telah melekat di hulu kerisnya, menjadi
pertimbangan yang berat bagi Untara.
Karena itu, maka katanya kemudian, "Adi Ranajaya.
Marilah kita kembali. Sebaiknya kau meminjam baju salah
seorang prajuritmu. Biarlah ia tidak mengenakan baju."
Sejenak Ranajaya termangu-mangu, sedang ketiga
prajuritnya menjadi berdebar-debar.
"Marilah," desak Untara.
Ranajaya yang mengenal sifat dan tabiat Untara, tidak
dapat membantah lagi. Ia tahu, bahwa Untara ingin
memisahkannya dari Agung Sedayu, supaya perkelahian itu
tidak terulang kembali, selain Ranajaya memang harus
mengakui, bahwa ia tidak akan dapat mengalahkan adik
senapati itu. Namun demikian, Ranajaya masih juga
termangu-mangu. Tetapi ketika Untara mendesaknya sekali
lagi, maka katanya kepada salah seorang prajuritnya, "Berikan
bajumu." "Tetapi, apakah aku tidak berbaju?"
"Bukankah hampir setiap saat kau tidak berbaju?"
"Tetapi di pondok kami. Tidak di sini."
"Berikan baju itu."
"Apakah juga kain panjang dan celana?"
"Tidak. Hanya bajumu. Kain panjang dan celana tidak
begitu menarik perhatian."
Prajurit itu ragu-ragu sejenak. Namun sebelum ia melepas
bajunya, Untara berkata, "Yang seorang lagi, berikan bajumu
kepada Agung Sedayu. Besok baju itu akan dikembalikan,
atau ditukar dengan yang baru."
Kawannya pun menjadi berdebar-debar juga. Apakah
mereka harus memasuki padukuhan tanpa baju" Meskipun
sehari-hari mereka memang biasa tidak mengenakan baju,
tetapi tidak berkuda di sepanjang jalan.
Karena keragu-raguan itu, maka Untara pun berkata,
"Kalian berdua yang tidak berbaju, tinggallah di sini. Kawanmu
yang seorang akan kembali lagi kemari membawa baju kalian.
Ia akan mengambilnya di padukuhan."
Kedua prajurit itu mengangguk-angguk. Agaknya itu
memang lebih baik. Demikianlah, sejenak kemudian Ranajaya telah berpacu
bersama Untara kembali ke padukuhan Jati Anom. Meskipun
kain panjang dan celana Ranajaya basah kuyup dan kotor
oleh lumpur, namun tidak akan menarik perhatian, seperti
seandainya bajunyalah yang berlumuran dengan lumpur yang
coklat kehitam-hitaman. Dalam pada itu, Agung Sedayu pun sudah mengenakan
baju prajurit pengiring Ranajaya yang masih tinggal. Sejenak
ia mengamat-amati baju yang agak terlampau sempit dan
pendek. Tetapi itu lebih baik daripada memakai baju yang
basah dan kotor. "Bagaimana dengan kau?" bertanya Agung Sedayu
kepada Japa. Japa merenung sejenak, lalu berkata perlahan-lahan sekali,
"Aku sudah terlanjur mengatakan, bahwa aku akan menengok
keluargaku. Aku akan terus."
Agung Sedayu mengangguk-anggukkan kepalanya. Sesaat
ia memandang kedua prajurit yang masih berdiri termangumangu.
"Tinggallah di sini," berkata Japa kemudian, "kami akan
melanjutkan perjalanan."
Kedua prajurit itu memandangnya dengan tatapan mata
yang aneh, sedang Japa justru malahan tersenyum sambil
berkata, "Jangan menyesal. Kalian tidak akan kedinginan,
karena sebentar lagi kawanmu itu akan datang."
"Kenapa bukan bajumu saja yang dipakainya?" berkata
salah seorang dari kedua prajurit itu.
Japa yang kemudian tertawa menjawab, "Agaknya
memang lebih baik bajumu daripada bajuku. Apalagi aku akan
pergi menengok keluargaku."
"Persetan!" prajurit itu mengumpat.
Japa tidak menghiraukannya lagi, meskipun ia masih juga
tertawa. Sekali ia berpaling, namun kemudian kudanya pun
berlari bersama kuda Agung Sedayu yang merasa sudah agak
lambat. Tetapi Japa tidak mengikuti Agung Sedayu sampai ke
Sangkal Putung. Karena ia sudah terlanjur meninggalkan Jati
Anom, maka ia pun kemudian benar-benar pergi menengok
keluarganya, meskipun ia akan segera kembali.
Karena itu, maka Agung Sedayu pun segera berpacu
sendiri. Semakin lama semakin cepat, karena langit pun
menjadi semakin suram. Warna-warna merah senja menjadi
pudar ketika bayangan malam mulai turun.
"Swandaru pasti sudah menunggu kedatanganku,"
katanya kepada diri sendiri. "Bahkan mungkin anak-anak
muda yang tidak sabar itu, telah menjadi ribut di halaman
kademangan. Mungkin mereka sama sekali tidak berpikir
untuk menunggu kedatanganku."
Dan Agung Sedayu pun menarik nafas dalam-dalam.
Memang ia tidak yakin bahwa anak-anak muda Sangkal
Putung memerlukannya. Mereka barangkali sama sekali tidak
menghiraukan lagi, apakah ada Agung Sedayu atau tidak di
halaman kademangan senja itu. Tetapi yang pasti baginya,
keluarga Ki Demang sendiri pasti sudah menunggunya.
Apalagi Sekar Mirah dan juga Kiai Gringsing.
"Aku tidak peduli, apakah anak-anak muda Sangkal Putung
memerlukan aku," katanya di dalam hati, "tetapi
aku harus segera sampai di kademangan."
Dalam pada itu, di Kademangan Sangkal Putung, anakanak
muda sudah mulai berdatangan. Bahkan mereka tidak
sabar lagi untuk menunggu sampai senja. Sejak matahari
condong, beberapa orang sudah berada di gardu di regol
halaman. Tetapi Swandaru tidak keluar dari gandok. Bahkan
ia pun kemudian tidur mendekur di dalam biliknya.
Tetapi Swandaru tidak mengingkari janjinya. Ia sudah minta
kepada ayahnya untuk memotong kambing. Kawan-kawannya
akan datang menemuinya dan Agung Sedayu.
"Nanti sore?" bertanya ibunya ketika ia mendengar
permintaan itu. "Ya." "Bagaimana aku harus menyiapkan?"
"Panggil semua tetangga untuk membantu Ibu," jawab
Swandaru sambil mengerutkan keningnya.
"Tidak mungkin," sahut Sekar Mirah. "Besok saja."
"Aku sudah berjanji. Ayah dapat memanggil juru masak
yang baik. He, apakah Pak Ranu masih ada?"
"Ya." "Panggil saja Pak Ranu. Ia pasti akan dapat
menyiapkannya sore nanti."
Ibunya menarik nafas. Jika demikian, ia tidak akan dapat
menunda lagi. Bahkan Sekar Mirah pun berkata, "Biarlah Pak
Ranu dipanggil, Ibu. Ia agaknya akan dapat
menyelenggarakannya. Ia mempunyai beberapa orang
pembantu yang cekatan."
Demikianlah, maka ketika senja turun, Pak Ranu benarbenar
sudah dapat menyiapkan hidangan yang akan
disuguhkan pada anak-anak muda yang akan datang
menemui Swandaru di pendapa kademangan.
Setelah Swandaru bangun dan membersihkan diri serta
berganti pakaian, maka ia pun segera turun ke halaman.
Demikan ia tampak, maka anak-anak muda yang sudah ada di
gardu pun segera mendapatkannya. Semakin lama semakin
banyak. "Marilah, naiklah ke pendapa," berkata Swandaru.
Di pendapa, seseorang telah membentangkan tikar hampir
sepenuh pendapa itu. Swandaru sendiri tidak mengetahui,
berapa orang kawan-kawannya yang bakal datang. Mungkin
tidak begitu banyak, tetapi mungkin banyak sekali. Sehingga
karena itu pulalah, maka ibu Swandaru menahan Ranu agar
tidak pulang dahulu ke rumah, meskipun ia sudah selesai
menyiapkan hidangan. "Bukankah tinggal menghidangkannya saja, Nyai
Demang?" berkata Ranu.
"Tunggu sampai kita pasti, bahwa hidangan ini tidak
kurang." Ranu tersenyum. Jawabnya, "Seandainya kurang, apakah
kami harus menyiapkan kekurangan itu?"
"Tentu." "Tetapi itu tidak mungkin lagi."
"Tentu mungkin. Kau dapat berbuat apa saja, karena kau
mempunyai pengalaman yang cukup. Kau tentu lebih tahu
daripada kami, apa yang harus kita lakukan. Misalnya, kita
harus menangkap beberapa ekor ayam atau apa pun yang
segera dapat dilakukan."
Ranu mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi ia
memenuhi permintaan Nyai Demang.
Ketika senja menjadi semakin gelap, maka anak-anak
muda semakin banyak berdatangan. Tetapi di antara mereka
masih belum tampak Agung Sedayu.
Swandaru menjadi gelisah. Meskipun ia dapat menerima
kawan-kawannya seorang diri, dan menjawab pertanyaanpertanyaan
mereka yang pasti akan sangat beraneka macam,
namun Swandaru benar-benar mengharap kedatangan Agung
Sedayu. Tetapi yang lebih gelisah daripadanya adalah Sekar Mirah.
Setiap kali ia mengintip dari sela-sela daun pintu, apakah
Agung Sedayu sudah datang dan langsung duduk di pendapa.
Tetapi sampai saatnya bayangan hitam turun menyelubungi
Sangkal Putung, Agung Sedayu masih belum tampak.
Kiai Gringsing dan Sumangkar, yang duduk di serambi
gandok pun menjadi gelisah pula. Mungkin Agung Sedayu
diminta oleh Untara untuk bermalam. Tetapi mungkin juga
sesuatu dapat terjadi di perjalanan.
"Kakang Agung Sedayu selalu ingkar janji," Sekar Mirah
menggerutu sendiri. Bahkan ia telah datang menanyakannya
kepada Kiai Gringsing. "Aku belum melihatnya," jawab Kiai Gringsing.
"Ia selalu ingkar," desis Sekar Mirah.
"Bukan selalu," sahut Sumangkar, "berapa kali ia ingkar."
Sekar Mirah tidak menyahut. Namun ia pun kemudian
meninggalkan gandok itu. Dalam pada itu, pendapa Kademangan Sangkal Putung,
semakin lama menjadi semakin banyak anak-anak muda yang
berdatangan. Seperti yang diduga oleh Swandaru, maka
selain anak-anak muda dari induk padukuhan di Kademangan
Sangkal Putung, ada juga satu dua orang yang datang dari
padukuhan-padukuhan yang lain. Namun jumlah mereka


03 Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

ternyata masih belum mencemaskan ibunya yang sedang
menyiapkan hidangan di belakang.
"Swandaru," berkata salah seorang dari anak-anak muda,
"sekarang kau berdiri di ujung. Kau mulai berceritera tentang
perjalananmu. Kemudian barulah kau mengucapkan sokur
bahwa kau telah selamat kembali di Sangkal Putung. Kami
akan menyertaimu." "Itulah yang penting," sahut seorang anak muda yang lain.
Hampir berbareng anak-anak muda itu tertawa.
"Kita masih menunggu," sahut Swandaru kemudian.
"Siapa lagi yang kita tunggu" kita tidak mengundang siapa
pun, sehingga kita tidak tahu, siapa yang belum datang
sekarang ini. Kami berdatangan atas kehendak kami sendiri."
"Bukan kawan-kawan yang lain. Ayah akan hadir di
pendapa ini juga. Selain ayah, juga Ki Tanu Metir dan Ki
Sumangkar. Kalau saatnya pertemuan ini akan kita mulai, aku
akan mengundang mereka."
"Panggillah sekarang. Aku ingin segera mendengar
ceriteramu tentang daerah yang kau jelajahi."
"Kemudian segera ingin mendengar kau menyatakan sokur
dan kami akan mengantar ucapan sokur itu bersama-sama."
"Bukan itu. Yang penting, syarat ucapan sokur itu."
"Ya, ya. Segera akan kita mulai. Sebentar lagi. Aku masih
menunggu." "Siapa lagi?" "Kakang Agung Sedayu."
"O," anak-anak muda itu saling berpandangan. Sambil
mengangguk-anggukkan kepalanya, mereka saling berbicara
di antara mereka sendiri.
"Agung Sedayu, adik Senapati Untara. Apakah kau sudah
lupa" Anak muda yang berjasa di saat-saat Tohpati masih
berkeliaran di sekitar daerah ini. Tanpa Agung Sedayu,
entahlah apa jadinya Sangkal Putung sekarang ini."
Kawannya mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya,
"O, ya. Aku ingat sekarang. Anak muda yang berkelahi
melawan Sidanti." "Ya, agaknya Sidanti memang berkhianat. Ia sudah berani
melawan Untara di alun-alun."
Kawannya mengerutkan keningnya.
"Ketika diadakan lomba memanah. Bukankah saat itu, saat
hadirnya Untara di daerah ini?"
"Ya, ya. Aku ingat sekarang. Sidanti bukan saja berani
melawan Untara, tetapi Sekar Mirah memang membuat
hatinya menjadi panas. Bukankah sebelum datang Agung
Sedayu, Sekar Mirah tampaknya begitu dekat dengan
Sidanti?" "Di mana Sidanti sekarang?"
"Tidak seorang pun yang tahu. Ketika ia terusir dari
Sangkal Putung, bukankah ia pergi ke padepokan gurunya di
Tambak Wedi" Tetapi akhirnya Tambak Wedi dihancurkan
oleh Untara, yang disertai pula oleh Agung Sedayu dan
Swandaru. Dan Sidanti pun terusir lagi dari Tambak Wedi."
"Ia kembali ke Menoreh," sahut kawan yang duduk di
sebelahnya. Lalu, "Dan desas-desus yang kami dengar,
Sidanti telah terbunuh di rumah sendiri."
"Siapa yang membunuhnya?"
"Dengar ceritera Swandaru nanti. Bukan aku. Aku juga
tidak tahu pasti, apa yang terjadi."
Anak-anak muda yang mendengarnya menganggukanggukkan
kepalanya. Tetapi, karena Agung Sedayu belum juga datang, maka
mereka pun menjadi gelisah. Rasa-rasanya sudah satu hari
satu malam mereka duduk di pendapa. Bahkan lampu sudah
dinyalakan di segenap sudut rumah Ki Demang. Beberapa
obor telah dipasang di halaman. Tetapi Agung Sedayu belum
juga datang. "Ia tidak akan datang," berkata salah seorang dari anakanak
muda yang tidak sabar lagi.
"Ia tentu datang," jawab Swandaru.
Dalam kegelisahan itu mereka pun kemudian dikejutkan
oleh derap kaki seekor kuda, yang berlari langsung memasuki
halaman kademangan. Serentak anak-anak muda yang
berada di pendapa itu pun berpaling. Mereka melihat di dalam
cahaya obor, seorang anak muda yang langsung meloncat
dari punggung kuda yang berhenti di depan gandok.
"Ia telah datang," berkata Swandaru lantang.
"Ya, Agung Sedayu telah datang," sahut yang lain.
"Nah, sekarang ia benar-benar telah datang!" teriak
beberapa orang hampir berbareng.
Agung Sedayu terkejut mendengar anak-anak muda itu
menyambut kedatangannya. Seolah-olah ia merupakan orang
yang sangat penting bagi mereka.
Tetapi Agung Sedayu pun kemudian sadar, bahwa bukan
karena ia dianggap orang yang penting di Sangkal Putung.
Tetapi sambutan itu adalah ledakan dari kejemuan mereka,
setelah mereka menunggu beberapa lama di pendapa.
"Kemarilah," Swandaru pun kemudian turun dari pendapa
menyongsongnya, "pergilah langsung ke pendapa. Kami
menunggu kedatanganmu."
"Aku akan berganti pakaian dahulu."
"Ah. Tidak usah. Tidak perlu. Marilah," Swandaru menarik
lengan Agung Sedayu. Tetapi Agung Sedayu menggelengkan kepalanya. Katanya,
"Lihat kain panjangku."
"Kenapa?" "Rabalah." Swandaru terkejut ketika teraba olehnya kain panjang
Agung Sedayu yang basah dan kotor oleh lumpur.
Dengan wajah yang bertanya-tanya ditatapnya Agung
Sedayu yang termangu-mangu, sehingga sejenak mereka
saling berdiam diri. Kiai Gringsing beserta Sumangkar yang
juga melihat kehadiran Agung Sedayu pun mendekatinya pula
sambil bertanya, "Kenapa kau, Sedayu?"
Agung Sedayu memandang gurunya sejenak, kemudian
katanya, "Sedikit rintangan di perjalanan, Guru?"
Gurunya mengangguk-anggukkan kepalanya. Ia melihat
baju Agung Sedayu, bukanlah baju yang dipakainya ketika ia
berangkat. Baju ini agaknya kurang sesuai dengan badan
Agung Sedayu. "Kau berganti baju?" bertanya Kiai Gringsing.
"Ya. Bajuku juga basah dan kotor oleh lumpur," berkata
Agung Sedayu sambil mengambil bajunya yang kotor, yang
disangkutkan di kudanya. "Apa yang sudah terjadi?" bertanya Swandaru.
"Sudahlah," potong gurunya, "nanti sajalah kau berceritera.
Sekarang cepat berganti pakaian. Anak-anak muda itu sudah
menjadi gelisah menunggu kedatanganmu."
"O," Agung Sedayu mengangguk-anggukkan kepalanya,
"baiklah. Aku akan segera berganti pakaian."
Setelah mengikat kendali kudanya, maka Agung Sedayu
pun segera masuk ke biliknya bersama Swandaru. Sambil
berbisik ia bertanya, "Swandaru, apakah kalian sudah lama
menunggu" Dan apakah, apakah ?"?"
"Sekar Mirah maksudmu?"
Agung Sedayu mengangguk. "Sejak sore tadi ia marah-marah saja. Dikiranya kau tidak
akan kembali hari ini."
Agung Sedayu menarik nafas. "Ada sesuatu. Nanti aku
ceriterakan. Aku akan pergi ke pakiwan saja dahulu."
"Cepat. Aku menunggu di pendapa. Aku akan
mempersilahkan ayah dan guru bersama Ki Sumangkar, untuk
duduk meskipun hanya sekedar menunggui pertemuan ini.
Anak-anak itu pasti tidak akan telaten duduk terlampau lama.
Tetapi waktu yang pendek itu pasti mereka pergunakan untuk
bertanya tentang masalah yang aneh-aneh, yang barangkali
tidak pernah kita pikirkan."
Agung Sedayu mengangguk-angguk.
"Kalau bau makanan sudah menyentuh hidung mereka,
mereka pasti akan segera diam."
"Baiklah. Aku akan mandi sebentar. Kembalilah ke
pendapa." Swandaru pun kemudian kembali naik ke pendapa setelah
ia mempersilahkan Ki Demang, Kiai Gringsing, dan Ki
Sumangkar untuk duduk bersama anak-anak muda di
pendapa itu. Dalam pada itu Agung Sedayu pun dengan tergesa-gesa
pergi ke pakiwan sambil menjinjing pakaian kering. Ia harus
segera mandi dan berganti pakaian, karena agaknya anakanak
muda itu sudah lama menunggu.
"Tentu Swandaru yang menyuruh mereka menunggu.
Bukan atas kehendak mereka sendiri, karena mereka tidak
lagi mengenal aku, atau mereka tidak lagi mempedulikan aku."
Tetapi ketika Agung Sedayu sudah sampai di mulut pintu
pakiwan, langkahnya tertegun ketika didengarnya suara Sekar
Mirah, "Sebelum senja aku akan datang."
Agung Sedayu berpaling. Dilihatnya Sekar Mirah berdiri di
pintu butulan yang langsung masuk ke dapur.
"Ada persoalan yang menghambat perjalananku, Mirah,"
jawab Agung Sedayu. "O, tentu ada persoalan itu. Dan persoalan itu dapat datang
setiap saat, kapan saja diperlukan untuk membuat alasan."
"Ah, kau selalu aneh-aneh saja. Lihat, pakaianku kotor
sekali." Sekar Mirah mengerutkan keningnya. Selangkah demi
selangkah ia maju mendekat. Sambil berjalan ia berkata,
"Siapa pun dapat mengotori pakaiannya. Apakah kau akan
mengatakan bahwa kau terjatuh dari kuda?"
"Tidak. Tetapi lihatlah."
Sekar Mirah sudah berdiri di hadapan Agung Sedayu.
"Lihatlah kain panjangku."
Sekar Mirah meraba kain panjang yang kotor dan basah itu.
"Kau terperosok ke dalam parit?"
Tiba-tiba saja Agung Sedayu teringat, ketika ia dengan
sengaja masuk ke dalam parit karena Alap-alap Jalatunda
mengejarnya selagi ia memenuhi perintah kakaknya, Untara.
"Ya, kau jatuh ke dalam parit?"
"Tidak. Nantilah aku berceritera, anak-anak muda itu
menunggu aku." "O, jadi kau dengan tergesa-gesa kembali dan dengan
tergesa-gesa pergi ke pakiwan karena anak-anak muda itu?"
"Bukankah mereka sudah lama menunggu" Meskipun
mereka tidak memerlukan aku, tetapi agaknya Swandaru
minta mereka menunggu."
"O, jadi itulah yang kau ingat selama perjalananmu"
Seandainya anak-anak itu tidak menunggumu, maka kau tidak
peduli lagi kepada rumah ini?"
Agung Sedayu menjadi bingung.
"Ya" Begitu" Berkatalah bahwa kau datang untuk anakanak
itu. Bukan untuk yang lain."
Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Barulah ia
mengerti, bahwa ia telah menyinggung perasaan gadis itu.
Perasaannya yang memang agak mudah tersinggung.
"Mirah. Tentu bukan itu. Ada hal yang lain yang memaksa
aku kembali ke rumah ini. Apakah artinya anak-anak muda itu
buatku, karena sebenarnya mereka pun tidak memerlukan
aku." "Kenapa kau tergesa-gesa sekali untuk menemui mereka?"
"Ini hanyalah sekedar sopan-santun. Kadang-kadang kita
mengesampingkan kepentingan kita sendiri untuk memenuhi
hasrat banyak orang. Kau mengerti" itu bukan berarti bahwa
mereka lebih penting dari yang lain."
"Omong kosong. Kalau kau lebih mementingkan orangorang
itu, silahkan. Aku memang bukan orang penting
bagimu." Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Ditatapnya
wajah Sekar Mirah yang murung. Ternyata Sekar Mirah
mempunyai kepentingannya sendiri, tanpa menghiraukan
anak-anak muda yang sudah berkumpul di pendapa.
"Baiklah, Sekar Mirah," berkata Agung Sedayu kemudian,
"biarlah Swandaru menemui anak-anak muda itu. Aku akan
mandi dahulu. Nanti sesudah mandi, aku juga tidak akan
menemui mereka, karena agaknya mereka tidak banyak
mempunyai kepentingan dengan aku."
"Huh," Sekar Mirah mencibirkan bibirnya, "kau merajuk.
Kau sengaja tidak mau hadir karena aku, begitu?"
"Bukan begitu. Bukankah kau menganggap bahwa aku
lebih mementingkan anak-anak itu daripada kau" Karena itu
baiklah, aku sebenarnya memang tidak mempunyai
kepentingan apa-apa dengan mereka. Karena itu, aku dapat
saja membuat alasan. Pening, lelah atau apa saja."
"Tetapi kau hanya berpura-pura saja. Sekedar untuk
memenuhi keinginanku," Sekar Mirah menyahut. "Tidak.
Pergilah kepada mereka. Aku tidak mempunyai kepentingan
apa-apa. Kalau kau tidak datang kepada mereka, apa yang
akan kau lakukan atasku?"
"Ah," Agung Sedayu mengeluh. Ia tidak mengerti apa yang
sebaiknya dilakukan. Karena itu, sejenak ia berdiri termangumangu.
Selagi Agung Sedayu masih berdiri di muka pintu pakiwan,
terdengar seseorang berjalan dengan tergesa-gesa di dalam
dapur dan langsung muncul di pintu butulan.
"He, kau masih berdiri saja di situ, Kakang Sedayu. Anakanak
itu sudah menunggumu."
"O," Agung Sedayu masih kebingungan, "tetapi, aku belum
mandi." "Cepat mandilah."
"Mulailah saja pertemuan itu. Nanti aku akan menyusul."
"Ah, aneh-aneh saja kau. Sudah sekian lama mereka
menunggu. Kalau pertemuan itu dapat dimulai tanpa kau, pasti
sudah aku mulai sejak sore tadi. Ayah, guru dan Paman
Sumangkar juga sudah duduk di pendapa. Cepat sedikit."
"Tetapi ?""
"Ah, cepatlah." Swandaru itu pun lalu berpaling kepada
Sekar Mirah, "Kau jangan menunggui di situ, Mirah. Kakang
Agung Sedayu agaknya masih merasa malu. Tinggalkanlah,
biarlah ia mandi." "Apa kau bilang" Kau sangka aku menunggui Kakang
Agung Sedayu" Buat apa aku menungguinya. Biarlah ia
mandi dan pergi mendapatkan anak-anak muda itu. Itu sama
sekali bukan urusanku."
Swandaru mengerutkan keningnya. Perlahan-lahan ia


03 Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

berdesis, "Agaknya anak ini kurang sajen. Apa kau memang
akan memandikannya?"
Sekar Mirah menjadi semakin jengkel. Tiba-tiba saja
diraihnya siwur dari batok kelapa di atas gentong air, dan
dilemparkannya ke arah Swandaru.
Untunglah Swandaru melihat siwur itu melontar ke arahnya
sehingga ia sempat mengelak.
Namun siwur itu ternyata menghantam tiang pintu sehingga
pecah berkeping-keping. Swandaru benar-benar terkejut melihat lemparan adiknya
yang keras itu. Kalau saja siwur itu mengenainya, maka ia
pasti akan menjadi kesakitan.
Tetapi bukan saja Swandaru, Agung Sedayu pun terkejut
pula. Bahkan Sekar Mirah sendiri terkejut bukan buatan.
"Mirah," berkata Agung Sedayu kemudian, "kau sekarang
bukan kau dahulu. Kau pernah melempar Swandaru dengan
mangkuk tanah dan bahkan dengan sebuah kendi berisi air.
Tetapi itu dahulu. Sekarang kau sudah lain. Kalau
lemparanmu mengena, akibatnya pun akan berbeda dengan
lemparanmu dahulu." Wajah Sekar Mirah menjadi merah. Sementara itu ibunya
bertanya, "Apakah yang pecah itu, Mirah?"
"Siwur, Ibu, terjatuh."
"Ah, hati-hatilah," tetapi ibunya tidak bertanya lagi. Dalam
pada itu, Sekar Mirah merasa menyesal sekali, bahwa ia
masih saja kurang mengamati perasaannya. Kini ia sudah lain.
Tangannya adalah tangan yang sudah mengalami latihan olah
kanuragan, sehingga tenaganya pun sudah berlipat.
Sejenak ia memandang Swandaru yang masih berdiri di
depan pintu. Anak yang gemuk itu menjadi marah pula.
Lemparan itu benar-benar berbahaya baginya.
Tetapi Sekar Mirah segera mendekatinya sambil berkata,
"Maaf, Kakang. Aku masih saja kehilangan pengamatan diri.
Aku tidak sengaja menyakitimu. Aku benar-benar tidak ingat
lagi. Aku masih saja menyangka bahwa aku, masih aku yang
dahulu." Swandaru menarik nafas dalam-dalam. Ditepuknya kepala
Sekar Mirah sambil berdesis, "Aku kira kau sudah kepanjingan
demit. Hati-hatilah, Mirah. Kalau kau tidak berhasil menguasai
dirimu, kau akan terjerat dalam bahaya. Bukan kau sendiri,
tetapi dapat terjadi pembantu-pembantumu, atau kelak anakanakmu."
"Ah." "Sudahlah. Sekarang pergilah. Atau kau akan menunggui
Kakang Agung Sedayu mandi" Atau kau justru akan
memegang obor untuk menerangi pakiwan?"
"Ah kau, itulah yang menyebabkan aku sering lupa diri. Aku
ingin melempar kau dengan batu bata."
Swandaru tersenyum. Tetapi ia pun kemudian melangkah
masuk sambil bergumam, "Cepatlah sedikit Kakang Agung
Sedayu. Mirah, tolonglah Kakang Agung Sedayu biar cepat
selesai." Sekar Mirah masih akan menjawab. Tetapi Swandaru
segera berlari masuk ke dalam. Sekar Mirah pun menyusulnya
dengan tergesa-gesa. Tetapi Swandaru telah masuk ke ruang
dalam dan hilang di balik pintu pringgitan.
Agung Sedayu yang tertinggal di pakiwan menarik nafas
dalam-dalam. Sampai saat ini, ia masih belum dapat mengikuti
jalan pikiran Sekar Mirah dengan baik.
Ternyata Sekar Mirah masih seorang gadis yang manja dan
melihat berbagai masalah dari sudut pandangan sendiri. Ia
lebih mementingkan dirinya sendiri dari anak-anak muda yang
sudah lama berada di pendapa rumahnya.
"Mudah-mudahan ia segera menemukan kesadaran, bahwa
pusaran persoalan pada diri sendiri kurang menguntungkan di
dalam pergaulan yang luas. Sebab dengan demikian, maka
setiap orang yang memandang kepentingan diri sendiri di atas
kepentingan orang banyak, akan saling berbenturan tanpa ada
pendekatan sama sekali," berkata Agung Sedayu kepada diri
sendiri. Namun ia pun sadar, bahwa ia harus mengatakannya
kepada Sekar Mirah. "Kapan saja ada kesempatan. Ia cepat menjadi salah
paham," desis Agung Sedayu pula.
Dalam pada itu, setelah ia selesai mandi dan berpakaian,
maka ia pun segera pergi ke pendapa. Dengan kepala tunduk
ia berjalan terbongkok-bongkok mendekati gurunya dan
Swandaru. Di sebelah mereka telah duduk pula Ki Demang
dan Ki Sumangkar. Bahkan ada beberapa orang bebahu
kademangan yang kebetulan saja datang, ikut pula duduk di
antara mereka, di antaranya adalah Ki Jagabaya.
Setelah Agung Sedayu duduk di antara mereka, maka
barulah Swandaru mau memulai pertemuan itu. Dengan
sikapnya yang lucu, masih seperti dahulu, ia pun berdiri di
muka pintu pringgitan. Setelah menebarkan pandangan
matanya sejenak, ke segenap kawan-kawannya yang hadir,
maka mulailah ia berbicara.
"Maaf. Aku terpaksa berdiri," katanya mula-mula.
"Apakah kau perlukan ancik-ancik, supaya kau menjadi
lebih tinggi sedikit?" bertanya seseorang.
Swandaru mengerutkan keningnya. Tetapi ia pun kemudian
tertawa ketika kawan-kawannya tertawa pula.
Sejenak kemudian, mulailah Swandaru berceritera. Sejak ia
meninggalkan Sangkal Putung. Ia berceritera tentang sebuah
perjalanan. Mula-mula ke Tanah Perdikan Menoreh, kemudian
kembali dan singgah sebentar di Alas Mentaok.
Justru beberapa hal yang lucu-lucu sajalah yang
diceriterakan. Bagaimana mereka pernah kehabisan bahan
makan. Bagaimana mereka menjadi gembala kambing, tetapi
kambingnya hampir habis disembelihnya. Tetapi Swandaru
sengaja menghindari persoalan-persoalan yang berat dan
berkesan dalam. Ia tidak menceriterakan pertentangan antar
keluarga yang terjadi di Menoreh. Ia tidak menceriterakan
korban yang berjatuhan di dalam pertentangan di antara
keluarga sendiri itu. Demikian juga, ia tidak menceriterakan
keterlibatannya di dalam persoalan Menoreh, karena
usahanya menemukan dan menyelesaikan masalahnya
dengan Sidanti, agar tidak berkesan bahwa mereka telah
didorong oleh dendam yang membara di dalam hati.
"Anak itu sudah agak mengendap," berkata Kiai Gringsing
di dalam hatinya. "Sokurlah kalau ia menyadari, bahwa hal-hal
lain yang bersifat kekerasan tidak ada manfaatnya diceritakan
di hadapan banyak orang."
Tetapi tiba-tiba saja di antara anak-anak muda yang duduk
di pendapa itu, ada yang bertanya, "Bagaimanakah berita
Sidanti?" Swandaru mengerutkan keningnya. Sejenak ia terdiam.
Tanpa sesadarnya ia berpaling kepada Agung Sedayu. Tetapi
Agung Sedayu ternyata tidak sedang memandang kepadanya.
Namun Swandaru yang gemuk itu tiba-tiba saja berkata,
"Aku sudah terlampau banyak berceritera. Bertanyalah kepada
Kakang Agung Sedayu."
Agung Sedayu terkejut. Sebenarnya ia tidak begitu banyak
mendengar ceritera Swandaru, karena ia sedang asyik
merenungi dirinya sendiri dan mencoba menerawang tabiat
dan sifat-sifat Sekar Mirah. Karena itu, ia menjadi agak
terkejut mendengar namanya disebut-sebut.
"Kakang Agung Sedayu," berkata Swandaru, "aku sudah
banyak berceritera tentang perjalanan kita. Tiba-tiba saja ada
yang bertanya tentang Sidanti. Biarlah kau saja yang
menjawabnya." "Ah, kenapa aku" Jawablah sama sekali."
Tetapi Swandaru tidak menghiraukannya. Ia pun segera
duduk di samping Agung Sedayu. Sambil mendorong Agung
Sedayu ia berkata, "Anak-anak muda Sangkal Putung tentu
masih ingat, bahwa kau adalah adik Untara. Bahwa kau
adalah anak muda yang pernah berjasa atas Sangkal Putung.
Dan mereka pasti masih ingat, kau mempunyai persoalan
tersendiri dengan Sidanti."
Agung Sedayu mengerutkan keningnya. Tetapi ia berdesis,
"Kau mau enakmu sendiri."
Swandaru tidak menghiraukan. Sambil tertawa, sekali lagi
ia mendorong Agung Sedayu agar berdiri.
Agung Sedayu pun kemudian berdiri dengan ragu-ragu.
Tetapi ia pun sadar, bahwa kekerasan tidak ada manfaatnya
diuraikan di pertemuan itu. Karena itu, maka jawabnya
singkat, "Sayang sekali. Umur Sidanti tidak terlampau
panjang. Tetapi itu adalah suatu kebetulan yang tidak
disengaja." "Kenapa?" seorang yang lain mendesak.
Bahkan terdengar seseorang bertanya, "Kaukah yang
membunuhnya?" "Bukan. Bukan aku. Di Menoreh selain menggembala
kambing, kami memelihara kambing kami sebaik-baiknya.
Sehingga pada suatu saat, kami terkejut melihat jumlah
kambing kami yang meningkat dengan cepat."
"He," potong yang lain, "bukankah Swandaru hampir setiap
hari memotong kambing-kambing itu, sehingga hampir habis
karenanya?" Agung Sedayu terkejut. Ternyata ceriteranya agak berbeda,
karena ia tidak begitu mendengarkan ceritera Swandaru.
Namun sambil tersenyum Agung Sedayu menyahut,
"Demikianlah pada mulanya. Tetapi aku mengancam, kalau ia
terus-menerus memotong kambing-kambing itu, aku tidak
akan mau ikut memeliharanya lagi. Aku akan menjualnya dan
menukarkannya dengan beberapa ekor lembu. Biarlah ia
coba-coba memotong lembu setiap hari satu."
Anak-anak yang mendengarkan ceritera Agung Sedayu itu
tertawa, tetapi Swandaru sendiri bersungut-sungut sambil
bergumam, "Ada-ada saja. Ternyata ia tertidur ketika aku
berceritera, sehingga ia terpaksa mengarang ceritera sendiri."
Demikianlah, pertemuan itu menjadi pertemuan yang
sangat meriah. Swandaru dan Agung Sedayu berceritera
berganti-ganti. Namun seperti berjanji, mereka selalu
menghindari ceritera-ceritera tentang kekerasan dan apalagi
yang langsung menyinggung usaha pembukaan hutan
Mentaok dengan hantu-hantunya. Mereka menyinggung saja
beberapa hal yang tidak akan melihatkan mereka ke dalam
kesulitan, karena suasana yang kurang baik antara Mataram
dan Pajang, di antara anak-anak muda itu pasti ada satu dua
yang pernah berhubungan dengan orang-orang Pajang atau
orang-orang Mataram, sehingga persoalan yang menyangkut
keduanya akan dapat menimbulkan persoalan tersendiri.
Karena itu, terlebih-lebih Swandaru, menceriterakan saja
tentang dirinya sendiri. Namun masih ada juga yang teringat, bahwa pertanyaan
tentang Sidanti masih belum terjawab sepenuhnya, sehingga
ia bertanya di antara suara riuh kawan-kawannya, "He,
bagaimana dengan kematian Sidanti itu?"
Agung Sedayu mengerutkan keningnya. Setelah merenung
sejenak, maka jawabnya, "Kadang-kadang hukum Tuhan
tampak dengan jelas. Tetapi kadang-kadang hanya samarsamar
saja apabila kita tidak memperhatikannya dengan
sungguh-sungguh." Agung Sedayu berhenti sejenak. Lalu,
"Demikian agaknya dengan Sidanti. Ia meninggal karena
hukum itu dengan tegas berlaku atasnya."
"Siapakah yang membunuhnya?"
"Tidak ada yang sengaja membunuhnya. Tetapi ia
meninggal oleh goresan senjata adiknya sendiri tanpa di
kehendakinya. Tegasnya, suatu kecelakaan justru pada saat
Sidanti menyadari kesalahan-kesalahan yang pernah
dilakukan. Baik terhadap tanah ini, maupun terhadap
keluarganya." Tetapi keterangan Agung Sedayu itu tidak memuaskan
mereka, sehingga justru hampir berbareng beberapa orang
bertanya, "Kenapa kecelakaan itu terjadi?"
Agung Sedayu menarik nafas. Ia kini berada dalam
kesulitan untuk menghindari ceritera yang panjang dan
Sidanti. Tetapi tiba-tiba saja Swandaru berkata lantang, "He, kita
tunda dahulu ceritera perjalanan ini. Ternyata dari balik
dinding aku mendapat isyarat, bahwa kita harus menyediakan
waktu sejenak. Bukan saja dirantau aku selalu memotong
kambing, di sini pun aku melakukannya juga."
Tiba-tiba saja pendapa itu menjadi riuh. Beberapa orang
berkata, "Bagus. Semakin cepat semakin baik."
Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Ternyata
Swandaru telah berhasil membebaskannya dari kesulitan.
Agung Sedayu mengharap, bahwa kemudian anak-anak itu
tidak akan sempat bertanya-tanya lagi, apabila mereka mulai
menyuapi mulut mereka dengan nasi hangat dan daging
kambing. Sementara itu, ternyata Sekar Mirah yang mendengarkan
pertemuan itu dari balik dinding pun menjadi geli sendiri.
Kadang-kadang ia terpaksa tertawa sendiri mendengarkan
pertanyaan-pertanyaan yang aneh-aneh dan jawaban
Swandaru atau Agung Sedayu yang sama sekali tidak didugaduganya.
Serba sedikit Sekar Mirah sendiri melihat apa yang
telah terjadi di Tanah Perdikan Menoreh. Karena itu, ia
kadang-kadang harus menahan suara tertawanya dengan
telapak tangannya apabila jawaban-jawaban yang diberikan
sama sekali tidak menyinggung persoalan yang sebenarnya
telah terjadi. Bahkan kadang-kadang jawaban Swandaru dan
Agung Sedayu menjadi bersimpang-siur.
Kiai Gringsing dan Sumangkar pun harus menahan
kegelian mereka mendengarkan Swandaru yang seolah-olah
begitu saja berkicau tanpa ujung dan pangkal. Namun kadangkadang
hati mereka pun menjadi berdebar-debar apabila
keterangan kedua anak muda itu mulai bersilang.
Tetapi ternyata hidangan yang kemudian mulai mengalir,
telah menghentikan segala macam pertanyaan anak-anak
muda di pendapa yang kadang-kadang memang terasa
tegang. Mereka lebih tertarik kepada hidangan itu daripada
ceritera Swandaru dan Agung Sedayu.
Namun dalam pada itu, selagi anak-anak muda Sangkal
Putung sibuk menikmati hidangan itu sambil berkelakar, maka
seorang anak muda yang duduk di sudut yang agak jauh dari
lampu minyak, berdesis kepada kawan yang duduk di
sampingnya, "Jadi inikah putera Ki Demang Sangkal Putung
itu?" "Ya, itulah yang bernama Swandaru."
"Gambaranku tentang putera Ki Demang itu ternyata keliru.


03 Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Karena itu aku memerlukannya hadir untuk melihat tampang
anak muda yang seakan-akan menjadi buah bibir orang-orang
sekademangan, seolah-olah hanya ia sendirilah laki-laki di
Sangkal Putung ini."
"He, kenapa kau?"
"Tidak apa-apa. Aku hanya menyesali diriku sendiri.
Kenapa selama ini aku membayangkan putera Ki Demang
sebagai seorang anak muda yang gagah, berwibawa dan
bermata tajam." "Bukankah kau tahu bahwa Swandaru itu sejak dahulu
segemuk itu. Ini pun ia telah agak susut sedikit."
"Aku belum pernah melihatnya. Aku tinggal pada paman di
Sangkal Putung, setelah ia pergi bertualang."
"O," kawan di sampingnya mengangguk-angguk, "sejak
dahulu demikianlah bentuk Swandaru."
"Aku sangat terpengaruh oleh wujud adiknya, Sekar Mirah.
Ternyata Sekar Mirah sama sekali tidak pantas mempunyai
seorang kakak seperti itu. Gemuk, tidak cukup tinggi dan
sama sekali tidak berwibawa. Buat apa ia tertawa-tertawa
seperti orang yang tidak waras?" anak muda itu berhenti
sejenak. Lalu, "Jadi yang seorang itu kawannya?"
"Kau belum kenal dengan keduanya. Sebaiknya kau
memperkenalkan dirimu. Swandaru adalah pimpinan pasukan
pengawal yang terdiri dari anak-anak muda. Pasukan itu
dibentuk terutama untuk membantu menghadapi Tohpati saat
itu." Anak muda itu mengangguk-anggukkan kepalanya. Hampir
tidak berkedip ia menatap Swandaru dengan sifat-sifatnya
yang sudah dikenal baik oleh kawan-kawannya. Ia adalah
anak muda yang banyak tertawa dan senang bergurau,
meskipun kadang-kadang hatinya melonjak apabila ia
mempunyai suatu keinginan. Meskipun bibirnya selalu
tersenyum, namun hatinya dapat menjadi sekeras batu.
"Pada suatu saat aku akan mengenalnya juga," berkata
anak muda itu, "mudah-mudahan aku kerasan tinggal
bersama paman, sehingga aku sempat menilai apakah
pemimpin pasukan pengawal Sangkal Putung, yang sekaligus
adalah putera Ki Demang itu benar-benar seorang anak muda
yang pantas menjadi seorang pemimpin pengawal."
Kawannya berbicara mengerutkan keningnya. Tiba-tiba
saja tangannya berhenti menyuapi mulutnya. Dengan
sungguh-sungguh ia berkata, "Ia adalah anak yang sangat
kuat, tangkas, dan baik."
Anak muda itu mengangguk-anggukkan kepalanya. Sambil
menarik sudut bibirnya ia bertanya, "Dan kawannya itu?"
"O, anak muda itu adalah adik Untara. Tentu ia seorang
yang memiliki kemampuan hampir seperti Untara sendiri."
"Kenapa ia berada di sini?"
"Ia berada di sini sejak Tohpati masih memimpin
pasukannya. Ia termasuk salah seorang yang berjasa bagi
Sangkal Putung." "Ya, tetapi bukankah ia bukan anak Sangkal Putung?"
"Ia anak Jati Anom. "
"Kenapa ia tidak kembali ke Jati Anom" Bukankah Jati
Anom tidak begitu jauh?"
"Ia baru saja datang dari Jati Anom."
"Aku tahu. kita dipaksa untuk duduk di sini sekedar
menunggunya. Aku menjadi jemu. Kalau aku tidak mengingat
sopan santun, aku sudah pergi sejak tadi. Tetapi kenapa ia
datang juga kemari dan bermalam di rumah ini" Tidak di Jati
Anom, di rumahnya sendiri?"
Kawannya yang duduk di sampingnya menarik nafas
dalam-dalam. Ia agak segan untuk mengatakannya. Namun
dengan terpaksa ia menjawab, "Ada hubungan yang lain pada
keduanya. Keduanya mempunyai seorang guru yang sama.
Dan agaknya ada hubungan yang lain pula pada Agung
Sedayu itu dengan adik Swandaru."
"Huh, itulah agaknya," anak muda itu berhenti. Lalu, "Yang
mana yang kau maksud dengan gurunya?"
"Apakah ia berada di sini juga?"
"Ya. Orang tua yang duduk di sampingnya."
"O, orang tua yang selalu terangguk-angguk itu" Pantas ia
tertawa-tertawa juga seperti murid-muridnya. Agaknya
ketiganya memang orang-orang yang kurang waras."
"Kenapa kau berkata begitu?"
"Bukankah lain perbawa yang tampak di wajah Ki Demang"
Tenang dan mantap. Tanpa tertawa-tawa seperti orang kurang
sajen" Memang sekali-sekali ia tertawa untuk memuaskan
anaknya. Tetapi sikapnya mantap. Sangat berbeda dengan
orang tua yang sakit-sakitan itu. Ia memang pantas untuk
menjadi seorang penggembala. Jika gurunya demikian,
bagaimanakah kira-kira dengan muridnya?"
Kawannya yang duduk di sampingnya tidak menyahut lagi.
Agaknya anak muda itu tidak senang melihat sikap Swandaru.
Ia terlampau bersikap dalam dan bersungguh-sungguh
menanggapi setiap persoalan sehingga ia tidak biasa
bergurau dan berkelakar. "Kelak ia akan mengerti," berkata anak Sangkal Putung itu
di dalam hatinya, "ia orang baru di sini. Mungkin kebiasaan
dan pergaulannya di tempatnya yang lama masih sangat
berpengaruh." Dengan demikian, maka ia tidak lagi menghiraukan sikap
dan perasaan anak muda itu. Dibiarkannya saja anak muda itu
duduk dengan tegangnya. Makanan yang dihidangkan
kepadanya, hampir tidak disentuhnya. Memang ada juga ia
makan sesuap dua suap. Tetapi itu pun telah di paksakannya.
"Aku hampir tidak tahan lagi," geramnya kemudian, "aku
menjadi muak melihat sikapnya. Benar-benar di luar
dugaanku. Sebenarnya aku ingin ikut mengaguminya sebagai
seorang putera Demang di Sangkal Putung dan sebagai kakak
Sekar Mirah. Tetapi benar-benar mengecewakan."
"Ah," kawannya berbicara berdesah. Ia pun jemu
mendengar anak muda itu selalu mencela sikap Swandaru
dan Agung Sedayu. "Kalau kau memang tidak tahan, lebih
baik kau tidak menghiraukan lagi. Sikapnya, juga ceriteranya.
Makan sajalah. Sebentar lagi pertemuan ini akan selesai."
"Kau sangka aku hanya mencari makan, datang ke
pendapa kademangan ini?"
"Tentu tidak. Tetapi karena makan itu sudah dihidangkan,
marilah kita makan."
Tetapi anak muda itu meenggeleng. Sekali-sekali ia masih
memandang Swandaru dan Agung Sedayu yang masih saja
berceritera berganti-ganti di sela-sela tangannya yang masih
saja menyuapi mulutnya. Tetapi ceriteranya sudah berkisar
jauh dari ceritera tentang Sidanti.
Akhirnya anak muda yang duduk di sudut itu benar-benar
tidak tahan lagi menunggu pertemuan itu selesai. Maka tanpa
minta diri, ia pun menyelinap dan meninggalkan pendapa itu.
Untunglah Swandaru dan Agung Sedayu tidak begitu
menghiraukannya, sehingga mereka acuh tidak acuh saja,
meskipun mereka melihat juga seseorang yang melintas di
halaman. Mereka hanya menyangka bahwa orang itu pasti
salah seorang yang kebetulan sedang bertugas di gardu.
Bahkan Swandaru itu pun tiba-tiba ingat dan bertanya, "He,
apakah masih ada yang tinggal di gardu?"
"Tidak," seseorang menjawab, "akulah yang sebenarnya
bertugas meronda malam ini. Tetapi aku lebih senang duduk
di sini bersama tiga orang kawan daripada di gardu yang
gelap dan tanpa semangkuk air panas dan nasi hangat."
Kawan-kawannya pun tertawa.
Namun tiba-tiba mereka terkejut. mendengar kentongan
yang tiba-tiba saja berbunyi keras sekali memecah heningnya
malam. Pendapa yang riuh itu tiba-tiba menjadi hening. Semula
orang seakan-akan telah dicengkam oleh suara kentongan itu.
Namun sejenak kemudian mereka menarik nafas sambil
berkata, "Dara muluk."
"Aku kira ada sesuatu yang terjadi selagi kita duduk di sini,"
desis yang lain. Namun Swandaru mengerutkan keningnya sambil berkata,
"Kenapa kentongan itu dipukul dengan nada dara muluk"
Apakah kini kita telah sampai pada tengah malam?"
Seorang yang duduk di pinggir pun kemudian meloncat
keluar. Sambil berpegangan sebatang pohon ia mencoba
melihat bintang Gubug Penceng di ujung Selatan.
"Masih belum tengah malam. Masih agak jauh," berkata
anak muda yang mengamati bintang Gubug Penceng itu.
"Jadi siapakah yang telah membunyikan kentongan belum
waktunya itu?" "Entahlah." Seorang anak muda yang duduk dengan orang baru itu
mulai curiga. Anak muda yang jemu melihat pertemuan itulah
agaknya yang telah membuat gaduh. Tetapi karena ia belum
yakin, maka ia tidak mengatakan apa-apa.
"Coba lihatlah, siapakah yang telah membunyikan
kentongan itu. Mungkin ia baru saja terbangun dari tidurnya.
Atau barangkali justru dalam keadaan tidak sadar," berkata
Swandaru, "kemudian ajaklah ia kemari, kita selesaikan
pertemuan ini sebentar."
"Baiklah," berkata anak muda itu.
"Tunggu," berkata Ki Jagabaya, "marilah. Aku ikut
bersamamu. Anak-anak muda mudah menjadi salah paham.
Tetapi mungkin juga seseorang ingin memperingatkan, bahwa
justru kita semua berada di sini, keamanan dapat terganggu."
"Daerah ini sudah aman," berkata Ki Demang, "hampir tidak
pernah terjadi kejahatan apa pun. Apalagi yang sekarang
berkumpul adalah anak-anak muda yang sebaya dengan
Swandaru. Orang tua-tua masih tetap berada di rumah
masing-masing, dan barangkali sekelompok berada juga di
pojok desa atau di gardu-gardu."
Ki Jagabaya mengangguk-anggukkan kepalanya. Namun
kemudian ia berkata, "Baiklah. Tetapi aku ingin melihat orang
yang sedang ngelindur itu."
Ki Jagabaya pun kemudian turun dari pendapa itu pula, dan
pergi ke gardu di simpang tiga, di tengah-tengah induk
kademangan. Mereka kenal betul bahwa suara kentongan itu
adalah kentongan yang berada di gardu itu.
Ketika Ki Jagabaya beserta dua orang anak muda yang
mengiringinya sampai ke tempat itu, mereka menjadi
termangu-mangu. Mereka tidak melihat seorang pun. Anakanak
muda maupun orang-orang tua.
"Kosong," desis Ki Jagabaya.
"Tetapi kentongan ini masih bergoyang. Tentu seseorang
baru saja membunyikannya. Lalu ditinggalkannya pergi."
"Apakah maksudnya" Kalau ia mempunyai sesuatu
keinginan, ia tentu tinggal di sini dan menunggu satu atau dua
orang datang, karena pertanda yang dibunyikan memang
bukan pertanda di saat yang biasa, yang hanya di-bunyikan di
tengah-tengah malam."
"Aku kira, orang itu benar-benar orang yang sedang
ngelindur. Ia terbangun selagi ia tertidur di gardu ini. Dengan
serta-merta ia memukul kentongan sebelum ia sadar
sepenuhnya. Baru ketika ia menyadari dirinya ia merasa telah
membuat kesalahan dan dengan diam-diam meninggalkan
gardu ini." Ki Jagabaya mengangguk-anggukkan kepalanya, "Pasti
hanya suatu kesalahan," katanya di dalam hati, "kalau ada halhal
yang mencurigakan, seseorang tidak akan memukul
kentongan. Apalagi dalam nada dara muluk yang memang
mempunyai arti yang khusus. Di malam hari dara muluk
menjadi pertanda tengah malam, sedang di siang hari
mempunyai artinya tersendiri pula. Sedangkan apabila benarbenar
ada bahaya, tentu mereka memukul pertanda yang
khusus pula. Dua ganda, tiga ganda, atau titir."
"Sudahlah, Ki Jagabaya. Biarlah saja orang bingung itu.
Marilah kita kembali ke kademangan. Barangkali Swandaru
masih mempunyai hidangan."
"Ah, kau. Semua hidangan sudah dikeluarkan ke pendapa.
Apa lagi yang kau cari" Nagasari, wajik ketan, hawug-hawug
dan nasi panas dengan daging kambing" Apalagi yang akan
kau tunggu?" Anak-anak muda itu tersenyum. Tetapi mereka tidak
menyahut. Mereka mengikuti saja ketika Ki Jagabaya
melangkah kembali ke kademangan. Tetapi langkah mereka
tiba-tiba tertegun. Mereka benar-benar terheran-heran, ketika
mendengar sekali lagi suara kentongan dalam nada dara
muluk. "He, apakah ada orang gila di padukuhan ini?" bertanya Ki
Jagabaya. "Kentongan di simpang empat ke kuburan," desis seorang
dari kedua anak muda. "Ya," sahut Ki Jagabaya.
"Aku akan ke sana," desis salah seorang dari kedua anak
muda itu pula. "Marilah." "Aku akan mendahului," dan tanpa menunggu jawaban Ki
Jagabaya salah seorang dari keduanya telah berlari
mendahului. Anak itu mengambil jalan memintas, bahkan
kadang-kadang menyusup halaman-halaman kosong yang
terbuka. Tetapi sekali lagi ia menjadi kecewa. Sekali lagi ia
hanya menemukan kentongan yang masih bergoyang, tetapi
tidak seorang pun yang dilihatnya.
"Apakah ada setan dari kuburan itu yang bangkit dan
membuat gaduh?" anak muda itu menggeram. Tetapi ia
benar-benar tidak melihat apa pun. Jalan ke kuburan itu
seakan-akan menjadi semakin gelap pekat dan menakutkan.
Sejenak kemudian, Ki Jagabaya dan anak muda yang
seorang lagi telah datang pula ke tempat itu. Mereka pun
terheran-heran pula melihat kentongan yang masih bergoyang
dan gardu yang kosong. "Apakah bukan kau yang menyentuh kentongan itu?"
bertanya Ki Jagabaya, "Bukan, bukan aku," jawab anak muda yang telah datang
lebih dahulu. "Aku menemukan kentongan ini sudah
bergoyang." Lalu tanpa sesadarnya ia memandang jalan yang
menuju ke kuburan. Ki Jagabaya seolah-olah mengerti apa yang terlintas di
kepala anak muda itu, sehingga katanya, "Tentu bukan demit
dari kuburan itu. Tetapi siapa dan apa maksudnya?" Sejenak
mereka merenung. Namun tiba-tiba saja salah seorang dari


03 Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kedua anak-anak muda itu bergumam, "Sudahlah. Biar saja ia
memukul seluruh kentongan yang ada di padukuhan induk ini.
Asal ia tidak memukul dalam nada titir atau tiga ganda. Jika
demikian, maka padukuhan ini akan benar-benar menjadi
kacau." "Ya dan tentu hanya gardu-gardu kosong sajalah yang ia
datangi, selagi anak-anak muda berada di kademangan.
Tetapi ketika aku berangkat ke kademangan, aku melihat
beberapa orang tua yang melepaskan lelah setelah bekerja
sehari penuh, duduk dan saling berceritera di simpang tiga, di
pinggir desa, di sebelah gardu. Satu dua ada juga yang
berbaring di dalamnya. Mungkin di gardu di pojok desa pun
ada isinya juga," berkata Ki Jagabaya.
"Jika demikian marilah, kita kembali saja."
Ketiganya pun kemudian kembali ke kademangan,
meskipun mereka tidak dapat melepaskan pertanyaan yang
membelit hati. "Apakah maksudnya?"
Tetapi sekali lagi mereka terkejut. Jauh di ujung lorong,
terdengar pula suara kentongan dalam nada dara muluk.
Namun Ki Jagabaya berkata, "Biarlah. Meskipun ini pasti
bukan kerja orang ngelindur, kita tidak akan berlari-lari ke
ujung desa untuk melihat kentongan yang bergoyang-goyang."
Kedua anak-anak muda itu mengangguk-nganggukkan
kepalanya. "Tetapi kita tidak akan membiarkannya."
"Jadi?" kedua anak-anak muda itu menjadi bingung.
Kita pergi ke gardu-gardu yang kosong. Kita tahu, urutan
perjalanan anak atau orang atau siapa pun yang
membunyikan kentongan itu. Mula-mula yang dibunyikan
adalah kentongan di gardu di simpang tiga di bawah pohon
aren, kemudian di simpang empat ke kuburan. Kini kentongan
di ujung lorong. Nah, kalian dapat membayangkan jalan yang
dilaluinya. Menurut perhitunganku, ia akan berjalan lewat jalan
kecil di pinggir desa ini, dan ia akan sampai ke gardu di
sebelah kelokan parit itu. Jika gardu itu tidak ditempati
beberapa orang yang sedang duduk-duduk melepaskan lelah,
ia pasti akan memukul kentongan itu pula."
"Jadi, apakah kita akan langsung pergi ke sana?"
"Ya. Kita pilih jalan memintas. Mungkin kita dapat
mendahuluinya." Demikianlah, mereka dengan tergesa-gesa pergi ke gardu
di kelokan parit di pinggir desa. Mereka memperhitungkan,
bahwa orang yang sengaja membuat gaduh itu, akan sampai
pula ke tempat itu dan memukul kentongan yang ada di gardu
itu pula. Ternyata ketika mereka sampai ke gardu itu, mereka masih
belum mendengar bunyi kentongan, dan kentongan di gardu
itu masih belum bergoyang.
"Kita bersembunyi," berkata Ki Jagabaya, "kita tunggu
sejenak. Orang itu akan segera sampai kemari. Untunglah
gardu ini pun kebetulan kosong, sehingga kita akan dapat
menangkap orang yang memukul kentongan tanpa kita
ketahui maksudnya itu."
Ki Jagabaya dan anak-anak muda yang mengikutinya itu
pun kemudian bersembunyi di balik semak-semak. Sejenak
mereka menunggu dengan sabar, bahwa orang yang mereka
cari akan datang ke tempat itu pula.
"Lama sekali," desis anak muda yang seorang, "menurut
perhitungan, ia pasti sudah sampai ke gardu ini jika ia
memang pergi kemari."
"Mungkin ia tidak langsung berjalan ke gardu ini."
Mungkin ia singgah sebentar di mana pun atau barangkali
ia duduk-duduk sebentar di pematang," jawab yang lain.
"Mungkin kita akan berhadapan dengan seorang yang tidak
waras. Tetapi siapakah orang di kademangan ini yang tidak
waras ingatannya dan sering bermain-main dengan
kentongan?" "Ssst," desis Ki Jagabaya. Mereka memang mendengar
sebuah desir yang lembut. Namun ternyata bukan seseorang.
"Seekor kadal."
"Atau ular. Aku takut sekali kepada ular."
"Tidak, tentu bukan ular. Diamlah. Supaya orang itu tidak
mengurungkan niatnya," desis Ki Jagabaya.
Mereka pun kemudian terdiam. Dengan dada yang
berdebar-debar mereka menunggu. Mereka tidak
menghiraukan gigitan nyamuk yang gatal di tubuh mereka.
Namun mereka hampir terlonjak, ketika mereka mendengar
kentongan berbunyi. Tetapi sama sekali bukan kentongan di
gardu itu. Bukan kentongan yang mereka intai sekian
lamanya. "Setan alas!" salah seorang dari anak muda itu mengumpat
sambil meloncat berdiri. "Aku sudah gatal-gatal, digigit
nyamuk. Ternyata ia tidak berbelok ke kiri ketika ia berada di
ujung lorong tetapi berbelok ke kanan menyelusur jalan
pematang itu." "Gila," yang lain ikut pula mengumpat, "agaknya ia memang
orang gila." Ki Jagabaya menarik nafas dalam-dalam sambil menekan
punggungnya yang gatal. Katanya, "Hampir sesak nafasku
duduk di balik semak-semak itu, ternyata orang itu tidak
menempuh jalan ini. Benar, ia pasti berbelok ke kanan di
ujung lorong itu. Dan kita sudah kehilangan kesempatan."
Salah seorang dari kedua anak muda itu pun mengumpatumpat,
sedang yang lain berkata, "Kita kembali saja ke
kademangan." Ki Jagabaya masih berdiri termangu-mangu. Ternyata, ia
telah salah hitung, sehingga beberapa saat lamanya mereka
menjadi umpan nyamuk dengan sia-sia.
"Baiklah," berkata Ki Jagabaya kemudian, "kita kembali ke
kademangan." "Sejak tadi aku sudah mengajak, kita kembali ke
kademangan. Di sana ada minuman hangat. Sedang yang kita
lakukan adalah tidak ada artinya."
"Hus!" bentak Ki Jagabaya. "Kita berusaha, apakah usaha
kita berhasil atau tidak, itu tergantung pada keadaan. Tetapi
kita memang harus berusaha."
Anak muda itu mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi
ia tidak menjawab. Namun Ki Jagabaya sendirilah yang
kemudian menggerutu, "Agaknya orang itu memang orang
gila. Tetapi kalau ia membunyikan kentongan dengan nada
yang lain, tiga atau dua ganda misalnya, maka Sangkal
Putung akan dibuat kacau olehnya."
Kedua anak-anak muda yang mengikutinya menganggukanggukkan
kepalanya. Tetapi mereka sudah tidak berminat
lagi untuk mencari dan mencegah orang yang mereka anggap
kurang waras itu. Di perjalanan kembali ke kademangan, mereka bertemu
dengan tiga orang yang berjalan menyusuri jalan padukuhan,
yang ternyata juga sedang mencari orang yang membunyikan
kentongan dengan cara yang aneh itu.
"Kami tidak menemukannya," berkata Ki Jagabaya.
"Aneh sekali," berkata salah seorang dari ketiga orang itu,
"kami yang sedang duduk di pojok desa menjadi terheranheran.
Bunyi kentongan itu sendiri tidak aneh bagi kami, tetapi
saat-saat yang tidak sesuai dan apalagi sampai terulang
beberapa kali, membuat kami bertanya-tanya."
Ki Jagabaya mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya,
"Kami berada di kademangan ketika kentongan itu mula-mula
dibunyikan. Kami sudah mencoba mencari sampai ke ujung
lorong." "Aku akan berkeliling terus," berkata salah seorang dari
ketiga orang itu, "mungkin ada sesuatu yang tidak wajar.
Bukankah anak-anak muda sedang berkumpul di
kademangan?" "Ya. Tetapi dalam keadaan yang aneh ini, sebagian dari
mereka harus pergi ke gardu-gardu. Setidak-tidaknya untuk
mencegah agar orang itu tidak membunyikan kentongan
semalam suntuk." Ketiga orang itu mengangguk-angguk. Dan mereka pun
kemudian minta diri untuk meneruskan usaha mereka,
menemukan orang yang aneh itu.
Dalam pada itu, anak muda yang duduk di samping
kawannya yang baru itu menjadi semakin curiga ketika ia
mendengar kentongan berbunyi untuk kedua dan apalagi
ketiga kalinya. Tetapi ia tidak dapat mengatakannya pada
orang lain, karena ia masih belum meyakinkannya. Karena itu,
maka selagi orang di pendapa itu menjadi termangu-mangu, ia
pun mengajak salah seorang kawannya untuk meninggalkan
pertemuan itu. "Kemana?" bertanya kawannya.
"Kita cari anak itu," jawabnya.
"Siapa?" "Anak baru yang tinggal pada pamannya itu."
"Wita maksudmu?"
"Ya. Wita." "Kenapa dengan Wita?"
"Kita mencarinya."
Kawannya termangu-mangu sejenak. Lalu, "Aku kira
pertemuan ini pun akan segera berakhir."
"Mungkin belum. Nanti, apabila keadaan sudah tenang,
mereka akan melanjutkannya. Mereka akan berkelakar
semalam suntuk." "Baiklah. Marilah. Nanti kita kembali."
Keduanya pun kemudian turun dari pendapa tanpa minta
diri kepada siapa pun. Mereka berniat untuk segera kembali
lagi, apabila keadaan menjadi tenang. Apabila tidak ada lagi
bunyi kentongan yang gila itu.
Baru ketika mereka sudah berada di luar halaman, anak
muda yang duduk di sebelah Wita itu berceritera tentang sikap
dan tingkah laku Wita. "Aku tidak begitu menghiraukannya," sahut kawannya,
"tetapi menilik sikapnya sehari-hari memang mungkin sekali ia
berbuat demikian. Tetapi apakah maksudnya, ia memukul
kentongan di beberapa tempat?"
"Untuk melepaskan kejengkelannya. Tetapi aku kira ia
memang ingin membubarkan pertemuan yang dianggapnya
menjemukan ini." Kawannya mengangguk-anggukkan kepalanya.
Langkah mereka kemudian tertegun ketika mereka bertemu
Ki Jagabaya yang justru akan kembali ke kademangan.
"Mau kemana, kalian?" bertanya Ki Jagabaya.
"Kami ingin menemukan orang yang bermain-main dengan
kentongan itu." "O, pergilah," berkata Ki Jagabaya, "apakah pertemuan
sudah bubar?" "Belum, dan sebaiknya Ki Jagabaya menganjurkan agar
mereka tidak usah tergesa-gesa membubarkan diri. Biarlah
mereka berkelakar semalam suntuk. Kami berdua berharap
dapat segera menemukan orang itu."
"Bukan hanya kau berdua. Kami bertiga, orang-orang tua
yang semula duduk-duduk di pojok desa dan barangkali masih
ada lagi. Tetapi kami belum menemukannya."
"Mungkin kami berdua akan menemukannya."
"Mudah-mudahan," desis Ki Jagabaya sambil meneruskan
langkahnya kembali ke kademangan.
Dalam pada itu, kedua anak-anak muda itu pun berjalan
semakin lama semakin cepat. Mereka berharap dapat
menemukannya sebelum ia sempat membunyikan kentongan
berikutnya. Seperti Ki Jagabaya, keduanya memperhitungkan juga
arah jalan yang kira-kira ditempuh oleh anak muda yang
dicarinya. Seperti setiap orang di padukuhan itu, keduanya
pun mengenal ciri-ciri bunyi kentongan di setiap gardu,
sehingga karena itu, maka keduanya pun dapat
memperhitungkan pula kemana kira-kira orang yang dicarinya
itu pergi. "Ia pulang ke rumah pamannya," berkata salah seorang
dari mereka. "Ya, meskipun agak melingkar."
"Tetapi di antara gardu di simpang tiga dan di jalan ke
kuburan itu ada sebuah gardu lagi. Kenapa ia tidak memukul
kentongan yang ada di gardu itu?"
"Mungkin gardu itu ada orangnya."
"Orang-orang itu tentu mencurigainya."
"Kalau ia tahu di gardu itu ada orang maka ia akan
menghindar. Atau kemungkinan lain, kedua gardu itu
dianggapnya terlampau dekat, sehingga ia tidak merasa perlu
memukul kentongannya."
Kawannya hanya mengangguk-anggukkan kepalanya.
Tetapi, tanpa mereka sadari, langkah mereka menjadi
semakm cepat. Bahkan kadang-kadang mereka meloncati
pagar-pagar rendah dan melintas di halaman.
Sejenak kemudian mereka pun telah sampai ke regol
sebuah halaman yang luas. Halaman rumah seorang yang
kaya. Orang itu adalah paman Wita. Dan di rumah itu pula
Wita tinggal, selama ia berada di Sangkal Putung.
Kita tunggu sebentar. Mungkin ia belum sampai.
Sebaiknya kita menyongsongnya. Masih ada satu gardu
sebelah tikungan itu. Kalau kita dapat mendahuluinya, dan
ternyata gardu itu kosong, kita mengharap ia akan
membunyikannya pula. Kawannya tidak menjawab, tetapi kepalanya teranggukangguk.
Keduanya pun kemudian berjalan dengan tergesa-gesa ke
tikungan, beberapa puluh langkah saja dari regol halaman
rumah itu. Mereka mengharap, bahwa mereka akan dapat
mendahului Wita yang agaknya mengambil jalan melingkar.
Tetapi sebelum mereka sampai di tikungan, mereka
terkejut. Ternyata dari gardu itu telah terdengar suara
kentongan dalam nada dara muluk.
"Ia sudah di sana. Marilah, cepat sedikit."
Keduanya pun segera berlari-lari kecil. Tetapi ketika
mereka sampai tepat di sudut tikungan, maka mereka pun
segera meloncat masuk ke dalam halaman. Dari halaman
itulah mereka merayap mendekati gardu.
Tepat seperti yang mereka duga. Yang membunyikan
kentongan itu adalah Wita. Dengan penuh nafsu ia
mengayunkan alat pemukul kentongan itu, dan membuat nada
dara muluk sekeras-kerasnya.
"Gardu itu ternyata kosong."
"Ya. Anak-anak yang seharusnya berada di gardu ini masih


03 Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

berada di halaman kademangan."
"Tetapi, bukankah seharusnya bukan hanya anak-anak
muda saja yang meronda" Tetapi juga orang tua-tua?"
"Mereka menjadi segan apabila anak-anak muda tidak ada
di gardu. Apalagi setelah keadaan menjadi semakin baik.
Yang selalu berada di gardu-gardu itu setiap malam hanyalah
anak-anak muda saja."
Yang seorang tidak menyahut. Nada dara muluk itu sudah
mulai menurun. Sebentar lagi kentongan itu akan berhenti.
"Kita mendekat."
"Biarlah ia meletakkan pemukulnya, supaya bukan
kepalamu yang kemudian menjadi sasaran."
Yang lain mengangguk-anggukkan kepala, sehingga
dengan demikian mereka masih tetap berada di tempat sambil
berdiam diri. Baru sejenak kemudian, suara kentongan itu berhenti.
Dengan tergesa-gesa Wita meletakkan pemukul kentongan di
sudut gardu. Kemudian dengan tergesa-gesa pula ia
melangkah meninggalkan gardu itu.
Tetapi langkahnya tertegun, ketika tiba-tiba saja kedua
anak-anak muda yang sejak tadi mengintainya itu meloncat di
hadapannya dari balik dinding batu halaman di sudut tikungan.
Wita mundur selangkah. Namun kemudian ia lebih senang
mendahului bertanya, "Apa kerjamu di sini?"
Salah seorang dari kedua anak-anak muda itu melangkah
maju. Ia sama sekali tidak menjawab pertanyaan Wita, bahkan
ia pun bertanya pula, "Kenapa hal itu kau lakukan, Wita?"
Wita tidak segera menjawab. Dipandanginya kedua anakanak
muda itu berganti-ganti. Namun kemudian ditebarkannya
pandangan matanya ke sekelilingnya, seolah-olah sedang
mencari seseorang di dalam gelapnya malam.
"Kami hanya berdua," desis salah seorang dari kedua anak
muda itu. Lalu, "Kau belum menjawab. Kenapa hal itu kau
lakukan, Wita?" Wita memandang anak muda itu dengan tajamnya.
Kemudian jawabnya, "Tidak apa-apa."
"Tetapi bukankah kau sudah mengetahui, bahwa pokalmu
itu dapat menimbaikan kegelisahan?"
"Aku membunyikan kentongan dalam nada dara muluk.
Tidak ada orang yang akan menjadi gelisah."
"Tentu ada. Pertama, kau membunyikan kentongan
sebelum waktunya. Lihat, bintang Gubug Penceng belum di
tengah. Kedua, kau memukul kentongan di beberapa tempat
berturut-turut. Bukankah hal itu dapat menggelisahkan, selagi
anak-anak muda berada di halaman kademangan?"
"Itulah salah mereka."
"Yang mana?" "Kenapa mereka berada di halaman kademangan dan
membiarkan gardu-gardu menjadi kosong" Memang ada satu
dua gardu yang berisi. Tetapi hanya beberapa orang-orang
tua yang tidak berani apa-apa apabila terjadi sesuatu di
padukuhan ini." Kedua pemuda itu saling berpandangan sejenak. Namun
mereka menyadari, bahwa bukan itulah alasan Wita yang
sebenarnya, sehingga karena itu, salah seorang dari mereka
pun kemudian berkata, "Kademangan Sangkal Putung pada
saat ini dalam keadaan aman. Meskipun demikian kita tidak
lengah sama sekali. Di beberapa gardu masih ada orangorang
yang kau sebut orang-orang tua yang tidak berarti apaapa.
Tetapi mereka masih akan mampu membunyikan tanda
bahaya apabila terjadi sesuatu."
"Apakah bahaya itu akan lenyap dengan sendirinya hanya
karena suara kentongan dua ganda atau tiga ganda, bahkan
titir sekalipun?" "Tentu tidak. Tetapi kau juga tahu, bahwa anak-anak muda
sekarang sedang berkumpul di kademangan. Apabila ada
tanda bahaya itu, maka mereka pun akan segera dapat
bertindak. Bahkan serentak, karena mereka telah berkumpul."
"Dan bahaya itu harus menunggu sampai anak-anak muda
itu bersiap?" "Tentu tidak, Wita. Tetapi, bukankah sampai saat ini tidak
terjadi apa-apa, selain kericuhan yang timbul karena suara
kentonganmu?" "Aku hanya ingin membuktikan bahwa banyak gardu-gardu
yang kosong. Kalau aku seorang penjahat, aku sudah dapat
berbuat apa pun dengan leluasa."
"Tetapi kau tahu, bahwa aku berhasil menemukan kau."
Wajah Wita menjadi merah. Tetapi katanya, "Kembalilah ke
kademangan. Aku jemu melihat pertemuan itu. Swandaru
menjadi aleman dan merasa dirinya orang terbesar di seluruh
Sangkal Putung." "Pertemuan itu akan berlangsung semalam suntuk."
"Bodoh sekali. Itu sangat memuakkan."
"Kalau kau tidak senang pada pertemuan itu, kau boleh dan
ternyata sudah meninggalkannya. Tetapi jangan ganggu
ketenangan kademangan ini."
"Aku tidak mau melihat seorang anak muda yang aleman,
yang merasa dirinya menjadi orang penting dan dihormati oleh
anak-anak muda seluruh Sangkal Putung."
"Kami memang menghormatinya."
"Aku tidak mau."
"Itu terserah kepadamu. Dan kau memang bukan anak
Sangkal Putung." Jawaban itu benar-benar membuat Wita tersinggung.
Jawabnya, "Aku memang bukan anak Sangkal Putung. Aku
tidak peduli apa yang terjadi di sini. Aku tidak peduli apakah
anak-anak itu akan terganggu oleh suara kentonganku."
"Tetapi kau mengganggu ketenangan Sangkal Putung. Itu
tidak boleh terjadi. Kau boleh tidak sependapat dengan kami,
bahkan menjadi muak terhadap sikapkami, karena kami
menyambut salah seorang kawan kami bahkan pemimpin dari
anak-anak muda Sangkal Putung. Itu adalah hak kami, orang
di luar lingkungan kami tidak akan dapat menghalangi kami
dan tentu tidak akan kami biarkan membuat keributan di sini.
Kami menghormati tamu yang datang di daerah kami, tetapi
kami tidak akan merelakan perbuatan yang dapat
mengganggu ketenangan kami."
"Ah. Kalian memang penjilat-penjilat yang dungu."
"Wita!" tiba-tiba salah seorang dari kedua anak muda itu
maju semakin dekat. Ia benar-benar menjadi marah meskipun
ia masih berusaha menahan diri, "Jangan menghina kami. Kau
dapat membuat keadaanmu menjadi sulit di sini meskipun aku
tahu, bahwa pada suatu saat kau akan meninggalkan Sangkal
Putung. Tetapi kesulitan itu akan memercik kepada pamanmu
yang sebenarnya tidak tahu menahu dan kami hormati di sini."
"Persetan! Apa sebenarnya maumu" Aku memang ingin
membuat pertemuan yang memuakkan itu menjadi
berantakan. Aku muak. Muak sekali melihat Swandaru dan
Agung Sedayu yang seakan-akan dua orang pahlawan yang
pulang dari medan perang membawa kemenangan. Apakah
sebenarnya yang telah mereka lakukan, sehingga kalian
menjadi seperti orang yang terbius di dalam suatu sikap yang
rendah" Katakanlah mereka adalah dua orang anak-anak
muda yang perkasa semasa perang melawan sisa-sisa
pasukan Jipang. Tetapi yang menjadi pahlawan bukan kedua
anak-anak itu, tetapi Untara. Meskipun Agung Sedayu itu adik
Untara, tetapi ia bukan apa-apa bagiku."
"Sudahlah, Wita, kalau kau ingin pulang, pulanglah. Tetapi
jangan kau ulangi lagi perbuatan itu."
"Apa pedulimu. Sebenarnya sejak tadi aku memang mau
pulang. Tetapi kau berdua menghalangi jalanku. Nah, kalian
mau apa?" Telinga kedua anak-anak muda itu menjadi panas. Karena
itu salah seorang dari mereka berkata, "Aku masih berusaha
memperingatkan kau, Wita. Jangan membuat persoalan yang
menyulitkan keadaanmu di sini."
"Aku tidak takut," sahut Wita, "aku adalah seseorang yang
biasa menghadapi kesulitan. Aku tidak gentar menghadapi
apa pun. Kasar atau halus."
"Tetapi kau berada di lingkungan lain dari lingkunganmu
sendiri." "Jadi kalian mau mengeroyok aku" Silahkan, silahkan.
Panggil Swandaru dan Agung Sedayu. Bahkan guru mereka
sama sekali. Biarlah mereka mengeroyok aku. Apakah kalian
sangka aku takut" Kalau perlu aku dapat memanggil anakanak
padukuhanku. Aku tidak berdiri sendiri, meskipun
tampaknya sekarang aku memang sendiri. Tetapi itu tidak
perlu. Aku dapat melawan kalian bersama Swandaru dan
Agung Sedayu sekaligus."
"Kau belum mengenal Swandaru dan Agung Sedayu."
"Persetan. Panggil mereka kemari!"
"Aku tidak akan memanggil siapa pun," salah seorang dari
kedua anak muda itu akhirnya kehabisan kesabaran. "Aku
sudah memperingatkan kau, jangan membuat gaduh di sini."
Tetapi ternyata, Wita adalah orang yang keras kepala. Ia
sama sekali tidak mau surut. Bahkan dengan dada tengadah
ia berkata, "Kau tidak dapat menakut-nakuti aku. Aku seorang
yang dikagumi di padukuhanku. Lebih dari Swandaru dan
Agung Sedayu. Aku adalah pelindung dari setiap orang. Siapa
yang berani menentang aku, mereka akan menyesal. Aku
tidak pernah berbuat apa pun di sini karena aku menghormati
kalian sebagai tuan rumah. Tetapi kalian ternyata sangat
memuakkan. Dan karena itu, maka aku tidak perlu lagi
menahan diri untuk berbuat sesuatu. Aku pernah berbuat apa
saja terhadap orang yang menentang aku. Bukan sekedar
berkelahi, aku juga pernah membunuh orang yang keras
kepala." Anak muda Sangkal Putung itu pun ternyata tidak juga mau
mundur. Sebagai anak muda yang pernah mengalami
pergolakan pada masa-masa Tohpati masih mempunyai
kekuatan, dan yang pernah mengikuti dan mengalami
pertempuran-pertempuran yang menegangkan urat syaraf,
maka ia pun tidak gentar sama sekali.
"Kau terlalu sombong," ia menggeram, "aku akan
mencegahmu kalau kau tetap berkeras hati untuk membuat
keributan di daerah ini."
"Persetan. Ayo, panggil kawan-kawanmu."
Anak muda Sangkal Putung itu tidak menyahut. Selangkah
ia maju, sedang kawannya memperhatikannya dengan hati
yang tegang. Tiba-tiba saja keduanya telah siap untuk berkelahi. Tidak
ada yang berusaha memisahkan mereka. Anak muda Sangkal
Putung yang seorang, yang berdiri beberapa langkah dari
keduanya pun tidak berbuat apa pun juga.
Demikianlah maka sejenak kemudian keduanya sudah
terlibat dalam perkelahian. Semakin lama semakin sengit.
Masing-masing tidak lagi mengekang diri, sehingga dengan
demikian mereka telah berkelahi sekuat-kuat tenaga mereka.
Namun ternyata bahwa Wita memang mempunyai
kelebihan. Setiap kali anak muda Sangkal Putung itu pun
terlempar beberapa langkah dan terbanting jatuh. Semakin
lama semakin sering, sehingga kemudian ternyata bahwa
keadaannya menjadi terlalu payah.
Tetapi ia pun ternyata seorang anak muda yang keras hati.
Ia sama sekali tidak mau mundur. Bagaimanapun juga ia tetap
berkelahi sejadi-jadinya.
Namun tenaganya memang terbatas juga. Sehingga pada
suatu saat, tenaganya sudah tidak memungkinkan lagi untuk
melawan dengan baik. Bertubi-tubi pukulan lawannya
mengenainya, sehingga setiap kali ia terdorong dan terbanting
jatuh. "Ia sudah tidak dapat melawan. Kami mengakui
kemenanganmu," berkata anak muda Sangkal Putung yang
seorang. "Kenapa kau berdiri saja?" Wita membentak dengan
sombongnya, "Kenapa kau tidak berkelahi bersama-sama?"
"Bukan kebiasaan kami. Sekarang, dengan jujur kami
mengakui bahwa kau menang. Tetapi hentikan pukulanpukulanmu
yang gila itu. Agaknya kau memang tidak
berperikemanusiaan."
"Aku tidak peduli. Ia harus mendapat ajaran dari
kesombongannya." Ternyata Wita benar-benar tidak menghiraukan peringatan
anak muda Sangkal Patung itu. Bahkan ia menarik baju
lawannya yang sudah menjadi sangat lemah. Mengangkatnya
berdiri dan sekali lagi memukul perutnya, sehingga anak muda
itu terbungkuk sesaat. Namun tangan Wita yang lain telah
menyambar dagunya sehingga lawannya itu terangkat dan
jatuh menelentang. Wita ternyata masih belum puas. Hampir saja ia menginjak
dada lawannya, seandainya anak muda yang lain itu tidak
melangkah mendekat sambil berkata, "Kau tidak ubahnya
seperti binatang buas. Hentikan atau aku akan ikut campur."
"O, kau akan ikut serta" Apakah kau ingin mengalami nasib
yang serupa?" "Aku tidak peduli. Tetapi tingkah lakumu memang
keterlaluan. Aku terpaksa sekali ikut campur, meskipun itu
bukan kebiasaan kami."
"Persetan! Ayo, kita coba. Apakah kau akan mengalami
nasib yang justru lebih buruk dari kawanmu itu."
Anak muda Sangkal Putung itu menggeretakkan giginya. Ia
sadar bahwa lawannya memang mempunyai kelebihan. Tetapi
sudah tentu ia tidak dapat membiarkannya berbuat sewenangwenang
terhadap kawannya yang sama sekali tidak mampu
lagi untuk melawan. Demikianlah, keduanya telah berhadapan dan saling
bersiap. Tetapi Wita ternyata kini tidak lagi setegang semula.
Bahkan sambil tertawa ia berkata, "Besok pagi setiap orang
pasti akan mempercakapkan kalian berdua. Tetapi aku
memang tidak ingin membunuh kali ini, karena aku
menghormati kalian, tuan rumah di Sangkal Putung ini. Dan
aku akan menunggu siapa saja yang merasa tersinggung oleh
perbuatanku ini. Aku tidak akan lari."
"Persetan!" anak muda Sangkal Putung itu menggeram.
Tetapi sebelum perkelahian itu berlangsung mereka
terkejut karena mereka mendengar suara tertawa pula.
Kemudian dari balik dinding batu, seorang anak muda yang
gemuk meloncat dan berdiri beberapa langkah di samping
Wita. "Swandaru," desis anak muda Sangkal Putung itu.


03 Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Swandaru tertawa. Katanya, "Orang tua-tua yang mencari
bunyi kentongan itu sempat mengintai kalian berkelahi. Tetapi
mereka tidak berani berbuat apa-apa, karena mereka memang
sudah terlalu tua untuk berkelahi. Namun mereka sempat
menyampaikan ceritera itu kepadaku lengkap dengan alasanalasan
yang didengarnya selama kalian bertengkar.
Maksudku, tamu kita ini dengan kawan kita yang sudah tidak
mampu bangkit itu." "Persetan! Kalau kau akan mengeroyok aku, lakukanlah,"
geram Wita. Swandaru masih saja tertawa. Ia berpaling ketika Agung
Sedayu, Kiai Gringsing, Sumangkar, dan beberapa orang
bermunculan pula di tempat itu.
Wita memandang mereka di dalam keremangan dengan
wajah yang menjadi tegang kembali. Namun sejenak
kemudian, ia berkata dengan nada tinggi dan wajah yang
tengadah, "Hah, bukankah usahaku sudah berhasil?"
"Aku memang ingin membubarkan pertemuan yang
memuakkan itu. Pertemuan yang seolah-olah menyambut
seorang pahlawan besar, yang datang dari medan membawa
kemenangan." Tetapi Swandaru menggelengkan kepalanya. Katanya,
"Tidak. Pertemuan itu berlangsung terus. Anak-anak muda itu
masih ada di kademangan. Di dapur, para juru masak sedang
menyiapkan suguhan baru yang hangat bagi mereka, karena
kami akan berada di pendapa kademangan itu semalam
suntuk untuk menghormati kedatanganku, pemimpin pengawal
Kademangan Sangkal Putung, putera laki-laki satu-satunya
dari Ki Demang dan yang baru pulang di sebuah petualangan,
yang pernah menjadi senapati pasukan Sangkal Putung
melawan pasukan Tohpati yang bergelar Macan Kepatihan."
"Persetan!" teriak Wita.
"Nanti dulu, aku belum selesai," sahut Swandaru. "Sampai
di mana tadi aku sesumbar" O, ya. Aku adalah senapati
pasukan Sangkal Putung yang pernah dua atau tiga kali
dipukul oleh Sidanti tanpa berani membalas."
"Ah," tanpa sesadarnya Agung Sedayu berdesah, sedang
Kiai Gringsing dan Sumangkar hanya menggeleng-gelengkan
kepalanya saja. "Ternyata dugaanku benar!" Wita benar-benar berteriak,
"Aku memang berhadapan dengan orang yang tidak waras."
"Jangan berteriak-teriak," potong Swandaru, "kau dapat
membangunkan orang-orang yang tinggal sebelahmenyebelah."
Tetapi ternyata bahwa, orang-orang itu ada yang memang
sudah terbangun sejak suara kentongan bernada dara muluk
yang pertama berbunyi. Karena itu, ketika mereka mendengar
ribut-ribut di tikungan, mereka mencoba mengintip dari selasela
dinding rumah mereka. Tetapi yang mereka lihat ada-lah
kehitaman malam yang kelam. Mereka sama sekali tidak
keluar dari rumah mereka, meskipun lamat-amat mereka
mendengar suara orang di tikungan, karena keadaan yang
mereka hadapi sama sekali tidak jelas. Tetapi kini mereka
mendengar suara teriakan-teriakan yang keras, sehingga mau
tidak mau, mereka pun ingin melihat apa yang telah terjadi
sebenarnya. Bukan saja yang terbangun karena suara
kentongan, tetapi teriakan-teriakan Wita itu pun telah
menimbulkan kegaduhan. Mereka yang semula tidak
menghiraukan suara kentongan dara muluk yang tidak pada
waktunya dan berulang kali itu, sehingga jatuh tertidur
kembali, kini tidak lagi dapat acuh tidak acuh, ketika mereka
mendengar teriakan-teriakan yang keras, yang telah
membangunkan mereka pula.
Satu dua di antara penghuni di sekitar tikungan itu pun
mencoba untuk mendengarkan lebih jelas lagi. Ternyata yang
mereka dengar adalah suara bentakan-bentakan, sehingga
mereka pun kemudian dengan hati-hati keluar pula dari
rumahnya, dan pergi ke tikungan.
Dalam pada itu, Wita menjadi semakin marah melihat sikap
Swandaru. Ternyata Swandaru berbeda sekali dari kedua
anak-anak muda Sangkal Putung yang terdahulu. Namun
demikian, Wita menganggap bahwa sikap itu adalah bentuk
dari sikap aleman dan manja saja, sehingga karena itu maka
katanya dengan kasar, "Swandaru. Kau kira aku menjadi
kagum atau heran atau kemudian lilih kemarahanku
mendengar kau berkicau" Kau kira aku lalu mengurungkan
tuntutanku agar pertemuan yang memuakkan itu bubar,
bahkan tertawa-tertawa karena kau mencoba melucu" Tidak.
Aku tidak peduli pada sikapmu itu. Bahkan aku menganggap
sikapmulah yang membuat pertemuan itu memuakkan, seperti
sikap yang baru saja kau perlihatkan."
Sepercik warna merah melonjak di wajah Swandaru. Ia
bukan seorang anak muda yang berhati lapang selapang
lautan. Namun demikian, ia masih mencoba untuk tersenyum.
Katanya, "Kenapa kau marah-marah seperti kejatuhan sarang
semut" Jangan cepat menjadi mata gelap. Kau sudah
memukuli seorang kawanku sampai hampir pingsan. Lihat,
tanpa ditolong oleh kawannya, ia tidak akan dapat bangkit dan
menepi. Apakah kau masih kurang puas?"
"Persetan. Bukankah kalian berdatangan untuk
mengeroyok aku" Mari, mari, lakukanlah. Aku sudah sedia.
Aku tidak akan lari."
"Tidak," berkata Swandaru, "besok kau akan kembali ke
padukuhanmu dan membawa kawan-kawanmu menyerang
Sangkal Putung. Itu tidak bijaksana."
Wita menggeretakkan giginya. Katanya, "Tidak. Aku tidak
akan melakukannya, kalau kalian menjadi ketakutan."
"Benar begitu?"
"Benar. Aku bukan pengecut yang licik."
"Bagus. Marilah anak ini kita tangkap beramai-ramai,"
Swandaru berhenti sejenak. Lalu, "Tetapi niat kami hanyalah
menghentikan agar kau tidak lagi memukul setiap kentongan
di Sangkal Putung." "Aku tidak peduli. Cepat. Kalau kalian akan berkelahi
berbareng." Swandaru mengerutkan keningnya. Anak semacam ini
memang perlu diperingatkan. Tetapi agaknya Wita memang
seorang anak muda yang mempunyai kelebihan. Karena itu,
Swandaru pun merasa bahwa ia harus berhati-hati. Belum lagi
ia sempat mentertawakan Agung Sedayu karena pakaiannya
yang basah kuyup dan yang belum sempat diceriterakan
seluruhnya apa sebabnya, ternyata di padukuhan ini pun
timbul pula masalah yang hampir serupa, meskipun
landasannya berbeda. Swandaru terperanjat ketika tiba-tiba saja Wita berteriak,
"Ayo, siapa yang dahulu?"
Swandaru menarik nafas dalam-dalam. Selangkah ia maju
mendekat sambil berkata, kali ini dengan bersungguhsungguh,
"Wita, apakah kau benar-benar akan berkelahi?"
"Apakah kau takut, meskipun kalian datang bersama sekian
banyak orang?" Swandaru harus berusaha untuk tetap dapat
mengendalikan dirinya, agar ia tidak berbuat sesuatu yang
dapat membuat kesulitan di kemudian hari. Namun sikap Wita
benar-benar telah membuatnya marah, meskipun ia masih
belum berbuat apa-apa. "Wita," berkata Swandaru, "kita belum berkenalan secara
pribadi. Kenapa tiba-tiba saja kita sudah bermusuhan seolaholah
kita pernah terlibat dalam persoalan yang gawat?"
"Jangan banyak bicara. Kalau kalian mau mengeroyok aku,
cepat lakukan. Aku sudah mulai mengantuk."
Pendekar Pemanah Rajawali 36 Piramida Bangsa Astek Karya Dr. Karl May Memanah Burung Rajawali 30

Cari Blog Ini