Ceritasilat Novel Online

Api Di Bukit Menoreh 28

03 Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintardja Bagian 28


terbuka itu. Namun sebelum mereka mencapai tepi dari
tempat yang terbuka, mereka menemukan suatu tanda, bahwa
mereka harus berhenti. "Sepotong ranting yang menyilang ini," berkata Pandan
Wangi, "memaksa kita untuk bersiaga."
"Kita harus berhenti di sini," gumam Prastawa.
"Tentu ada sesuatu yang penting. Jika tidak, kita tidak
usah berhenti di sini."
Prastawa tidak menyahut. Yang kemudian berbicara
adalah Swandaru, "Di hadapan kita adalah suatu daerah yang
terbuka." Agung Sedayu yang juga melihat tanda itu, merayap
beberapa langkah maju. Namun tiba-tiba ia berdesis, "Mereka
berada di sana. Di tempat yang terbuka itu."
Pandan Wangi mengerutkan keningnya. Namun ia pun
menyusup beberapa langkah maju bersama beberapa orang
yang lain. Dan mereka pun melihat, bahwa Raden Sutawijaya
masih berada di tengah-tengah tempat terbuka itu.
"Mereka tampaknya sedang kebingungan mencari
sesuatu," berkata Prastawa.
"Ya," sahut Agung Sedayu, "tampaknya mereka kehilangan
jejak." "Mustahil," sahut Swandaru, "lihat, jejak itu jelas sekali.
Kita dapat mengikutinya tanpa kesulitan apa pun di tempat
terbuka itu. Batang ilalang yang patah-patah dan bekas-bekas
kaki yang jelas." "Tetapi jejak itu agaknya hilang di tengah-tengah."
Swandaru mengerutkan keningnya. Tetapi menilik sikap
beberapa orang pengiring Sutawijaya dan Sutawijaya sendiri,
mereka memang sedang mencari sesuatu. Dan agaknya
mereka memang telah kehilangan jejak itu.
Ternyata bahwa anak-anak muda yang berada di dalam
kelompok kedua itu cukup cerdas. Hampir berbareng Agung
Sedayu dan Swandaru berkata, "Ternyata kita benar-benar
berada di dalam jebakan."
Dan Swandaru meneruskan, "Apa pun yang terjadi dengan
jejak itu, kita benar-benar harus berhati-hati."
"Ya," sahut Pandan Wangi, "jejak itu dengan sengaja
memancing Raden Sutawijaya ke tempat terbuka itu. Dengan
demikian, maka jika benar tempat itu merupakan jebakan,
akan datang serangan dari sekeliling tempat terbuka itu,
termasuk dari tempat ini."
"Kau benar," berkata Agung Sedayu, "setidak-tidaknya dari
beberapa arah. Dan kita harus berhati-hati menghadapi
mereka. Bahkan mungkin kita akan bertempur lebih dahulu
dari kelompok yang terjebak di tengah-tengah tempat terbuka
itu." "Jika mereka mengambil arah ini, agaknya memang
demikian. Tetapi mungkin mereka mengambil arah yang lain."
Agung Sedayu tidak menyahut. Tetapi dari sela-sela
dedaunan, ia memperhatikan apa yang dilakukan oleh
Sutawijaya dan para pengiringnya.
Namun bagi Agung Sedayu dan kawan-kawannya, sikap
Sutawijaya cukup mengherankan. Seharusnya mereka tidak
menjadi kebingungan, karena sejak semula mereka
menyadari, bahwa mereka sedang menelusuri jejak yang
mereka duga sebagai suatu jehakan. Seharusnya mereka
bersiaga menghadapi setiap kemungkinan yang bakal datang
dari segala arah. Bahkan mereka sempat memberikan tanda
kepada kelompok kedua ini, agar mereka berhenti sebelum
sampai ke tempat terbuka itu.
Namun Agung Sedayu pun kemudian berkata, "Tentu
mereka pun sedang berusaha memancing lawannya dengan
sikap yang pura-pura itu. Meskipun mungkin mereka benarbenar
menjadi bingung karena kehilangan jejak, tetapi mereka
tentu tidak akan bingung menghadapi jebakan itu."
Swandaru, Pandan Wangi, dan Prastawa pun
mengangguk-anggukkan kepalanya. Mereka sadar, bahwa jika
benar Raden Sutawijaya sudah terada di tengah-tengah
jebakan, sebentar lagi tentu akan terjadi perkelahian.
Di luar sadarnya, Agung Sedayu pun berpaling ke arah
Rudita yang menjadi semakin pucat seperti kapas.
Sebenarnyalah, bahwa Radita telah benar-benar menjadi
ketakutan. Ia pun menyadari, bahwa pembicaraan Agung
Sedayu dengan kawan-kawannya itu membayangkan bahaya
yang dapat menerkam mereka. Jika jebakan itu benar-benar
telah di persiapkan, maka apakah mereka dapat keluar dari
jebakan itu" Karena itu, sejenak kemudian dengan lutut gemetar ia
mendekati Pandan Wangi sambil berkata, "Pandan Wangi.
Bukankah kau yang akan memimpin kelompok ini" Sebaiknya
kau mengambil keputusan untuk kembali saja."
Pandan Wangi memandang Rudita sesaat. Ia memang
merasa terganggu dengan kehadiran anak muda itu, karena
Rudita itu adalah tamunya. Jika terjadi sesuatu, maka ialah
yang pertama-tama akan dibebani dengan tanggung jawab.
Tetapi di dalam keadaan serupa itu, sudah barang tentu
bahwa mereka tidak akan dapat kembali, selagi kelompok
yang dipimpin oleh Sutawijaya itu berada di dalam kesulitan.
"Pikirkan baik-baik, Pandan Wangi," desak Rudita, "apakah
gunanya kita ikut bersusah payah memburu orang yang tidak
kita kenal itu?" Pandan Wangi menarik nafas dalam-dalam. Katanya,
"Rudita. Sudah tentu kita pun berkepentingan. Daerah ini
adalah daerah Tanah Perdikan Menoreh. Kita pun wajib
membersihkan daerah ini dari orang-orang yang tidak kita
kehendaki." "Tetapi sasaran mereka adalah Mataram. Sama sekali
bukan Menoreh." "Dan Menoreh dijadikannya landasan mereka untuk
mengganggu Mataram. Bukankah dengan demikian akan
dapat timbul salah paham antara Menoreh dan Mataram.
Apalagi jika saat ini kita lepaskan Raden Sutawijaya itu
terjebak." "Tetapi kenapa kita harus mengorbankan diri sendiri?"
"Siapa yang mengorbankan diri sendiri?"
"Kita. Jika kita mati, tumpas, maka semua akan menyesal.
Kau adalah anak satu-satunya. Jika kau mati, tidak ada lagi
garis keturunan paman Argapati. Dan jika aku mati, maka
ayah bundaku akan meratap sepanjang sisa umurnya."
Tetapi Pandan Wangi menyahut, "Marilah kita tidak
menyerah untuk mati. Meskipun hidup dan mati seseorang
tidak tergantung pada diri kita masing-masing, tetapi kita wajib
berusaha. Dan jika kita berusaha dengan bersungguhsungguh,
maka Yang Menciptakan kita pun akan menolong
kita, selama kita berbuat dengan niat yang baik."
"Apakah kau dapat mengatakan, yang baik bagimu apakah
tentu baik bagi orang lain?"
"Ah," jawab Pandan Wangi, "dalam keadaan ini, kita
jangan berbantah tentang sikap dan pandangan hidup. Aku
tahu, bahwa yang baik itu mempunyai artinya masing-masing."
"Dan kau akan mencoba memilih sekedar baik bagimu."
"Rudita," Pandan Wangi menjadi jengkel, "sudahlah. Besok
kita mempersoalkan batasan antara yang baik dan yang
buruk. Kita sekarang menghadapi kenyataan ini. Jika kau
takut, baiklah kau tetap bersembunyi di sini. Kita harus
berbuat sesuatu. Kita semuanya sekarang harus bersembunyi
di sini. Jika orang-orang yang menjebak itu datang
menyerang, kita akan tetap menunggu. Sampai saatnya
mereka memerlukan bantuan kita, kita akan meloncat ke luar
dari tempat ini dan melibatkan diri di dalam pertempuran itu."
Rudita mengerutkan keningnya. Namun kemudian
matanya menjadi berkaca-kaca."
"Kenapa kita bersembunyi?" tiba-tiba ia bertanya.
Pandan Wangi tidak mengerti maksud pertanyaan itu.
Sejenak ia memandang Rudita yang pucat. Kemudian
jawabnya, "Kita merupakan tenaga cadangan. Setiap saat kita
akan menyerang mereka tanpa diduga-duga."
"Bagaimana jika oran-orang yang kita sangka menjebak
Raden Sutawijaya itu mengetahui kehadiran kita di sini?"
"Usaha kita akan gagal. Mereka akan bersiap menghadapi
kita juga. Mereka tidak akan dapat kita sergap."
"Jika kita menyatakan kepada mereka, bahwa kita tidak
ikut campur?" "Ah, tentu tidak mungkin. Kita sudah melibatkan diri."
Rudita merenung sejenak. Dan tiba-tiba saja ia berkata,
"Aku sudah mengambil keputusan. Kita tidak usah turut
campur. Akulah yang akan meneriakkan kepada orang-orang
yang barangkali masih bersembunyi, bahwa kita tidak ikut
campur. Karena itu, mereka jangan memusuhi kita."
"Rudita," kening Pandan Wangi Jadi berkerut-merut.
"Itu keputusanku."
"Jangan berbuat bodoh sekali," terdengar suara Agung
Sedayu, "jika kau berteriak, maka rencana Raden Sutawijaya
akan kacau." "Aku tidak peduli."
"Dan kita akan berganti lawan," desis Swandaru, "kita akan
dianggap memusuhi Mataram, karena Raden Sutawijaya
adalah pimpinan tertinggi Mataram."
"Aku tidak peduli, tetapi aku tidak mau dibantai oleh orang
yang tidak aku kenal di sini. Dan kalian sebaiknya mendengar
keputusanku ini." "Gila," Prastawa menggeram.
Namun di luar dugaan mereka, agaknya Rudita benarbenar
ingin berteriak. Ia benar-benar tidak ingin terlibat di
dalam perkelahian yang mungkin akan terjadi. Ia Ingin
meneriakkan suatu pernyataan, bahwa ia tidak akan ikut
campur di dalam persoalan antara Mataram dan orang-orang
yang tidak di ketahui itu.
Sambil melingkarkan kedua telapak tangannya di
mulutnya, Rudita berdiri tegak sambil menengadahkan
kepalanya. "Rudita, jangan gila," cegah Pandan Wangi yang berdiri di
sampingnya. Meskipun suara Pandan Wangi tidak begitu keras, namun
Rudita berpaling juga sejenak. Tetapi tidak ada tanda-tanda,
bahwa ia akan mengurungkan niatnya. Ternyata sekali lagi ia
menengadahkan kepalanya dan siap untuk berteriak.
Tetapi ketika suaranya hampir saja meloncat dari
mulutnya, sekali lagi tertahan karena Pandan Wangi
mengguncangnya sambil berdesis, "Jangan kau lakukan."
"Jangan mencegah semua yang sudah aku putuskan untuk
aku lakukan. Seperti kau sama sekali tidak mendengarkan
pendapatku, aku pun berhak berbuat serupa."
"Ada perbedaannya. Aku tidak bergantung kepadamu.
Tetapi kau bergantung kepadaku di dalam keadaan ini. Bukan
maksudku menyombongkan diri. Tetapi aku ingin kau
menyadari kedudukan kita masing-masing di saat ini. Akulah
pimpinan kelompok ini."
"Aku sedang berusaha untuk tidak bergantung lagi
kepadamu. Tetapi jika suaraku didengar oleh mereka, dan kita
tidak akan mendapat kesulitan apa-apa, maka kaulah yang
bergantung kepadaku nanti."
"Jangan kau lakukan. Aku tidak mengijinkan kau berbuat
gila itu." Rudita memandang Pandan Wangi sejenak. Tetapi tibatiba
saja sekali lagi ia melingkarkan kedua telapak tangannya
sambil menengadahkan kepalanya.
Ketika sekali lagi Pandan Wangi menggamitnya, maka ia
pun mengibaskan tangan Pandan Wangi.
Tetapi ketika suaranya hampir saja meloncat dari
mulutnya, Rudita itu terkejut bukan kepalang. Bahkan
kemudian ia terdorong surut sambil menyeringai kesakitan.
Ternyata di dalam keadaan ysng gawat itu, Pandan Wangi
tidak dapat berbuat lain daripada memaksa Rudita untuk diam.
Sebuah tamparan yang cukup keras telah terayun menyentuh
pipi Rudita. Dengan wajah yang tegang, Rudita kemudian
memandangi Pandan Wangi dengan sorot mata yang aneh.
Dari sela-sela bibirnya terdengar ia berdesis, "Kau memukul
aku, Pandan Wangi." "Maaf, Rudita. Aku terpaksa melakukannya."
Mata Rudita itu pun kemudian menjadi basah dan
suaranya seakan-akan tersangkut di kerongkongan, "Kenapa
kau melakukannya, Pandan Wangi?"
"Aku tidak ingin kita bersama-sama binasa di sini. Aku
tahu, bahwa hatimu bersih dan damai. Kau menganggap
orang lain bersikap seperti kau. Jika seseorang tidak
memusuhinya, maka tidak akan timbul permusuhan. Tetapi
kita tidak dapat bersikap seperti itu terhadap orang-orang yang
sedang kita cari sekarang ini. Apa pun yang akan kita lakukan,
maka sikap mereka akan cukup tegas. Membinasakan kita
yang terperosok ke dalam perangkapnya. Termasuk kita."
Setitik air mengambang di pelupuk mata anak muda itu.
Katanya di sela-sela sedu-sedannva yang tidak dapat
ditahankannya, "Ternyata hatimu tidak ada bedanya dengan
orang-orang lain, Pandan Wangi. Berbeda dengan namamu,
maka kau sama sekali bukan sehelai daun pandan yang
wangi. Kau terlampau berprasangka dan bersikap
bermusuhan, justru dengan orang-orang yang sama sekali
tidak kau kenal. Kau sudah kehilangan kepercayaan kepada
sesama, sehingga kau selalu menaruh curiga. Dengan
demikian, maka hidupmu akan selalu dikotori dengan sikap
bermusuhan dan tanpa kedamaian. Prasangka, curiga, dan
kehilangan kepercayaan."
Pandan Wangi memandang wajah Rudita yang merah. Air
mata yang kemudian mengalir di pipinya. Dan wajah yang
basah itu sama sekali tidak membayangkan wajah seorang
laki-laki. Tetapi Pandan Wangi tidak menyahut lagi karena tiba-tiba
saja Prastawa menggamitnya. Katanya, "Pandan Wangi, lihat.
Raden Sutawijaya sudah bersiaga sepenuhnya. Tentu ia
sudah melihat sesuatu di sekitarnya."
"Untunglah, bahwa orang-orang itu tidak menyerang dari
jurusan ini. Jika demikian, maka kita akan berkelahi lebih
dahulu daripada Raden Sutawijaya." Pandan Wangi terdiam
sejenak, lalu sambil berpaling kepada Rudita ia berkata,
"Rudita. Kau tetap bersembunvi di sini. Jika kau muncul juga
di arena jika kita nanti terlibat di dalam perkelahian, maka kau


03 Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

akan mengalami kesulitan. Ingat, jika kau masih ingin tetap
hidup, bersembunyilah dan diamlah. Jika kau ribut, maka kau
akan mati. Sebuah pedang akan menembus dadamu, dan kau
akan menggeliat tanpa dapat berbuat sesuatu. Mayatmu
kemudian akan terkapar dengan ujung pedang masih tetap
menembus sampai ke jantung. Kau mengerti?"
Mengerikan sekali. Air mata Rudita semakin deras
mengalir. Tetapi ia mengangguk ketakutan yang sangat telah
memaksanya untuk tidak membantah lagi.
Ternyata seperti yang dikatakan oleh Prastawa, di tengahtengah
tempat yang terbuka itu. Raden Sutawijaya sudah
menyiapkan diri. Tombak pendeknya sudah merunduk dan
orang-orangnya sudah menghadap ke beberapa arah. Dengan
demikian, maka kelompok Pandan Wangi pun segera
mengetahui, dari arah manakah kira-kira lawan itu akan
datang. Sebenarnyalah Raden Sutawijaya telah melihat sesuatu
yang bergerak-gerak di sekitar tempat yang terbuka itu.
Penglihatannya yang tajam, dilengkapi dengan firasat yang
menyentuh perasaannya, maka Raden Sutawijaya pun
mengetahui dari arah manakah lawan-lawannya akan datang.
Agung Sedayu dan Swandaru pun menjadi tegang pula
karenanya. Di dalam hati mereka berharap, agar orang-orang
yang berusaha menjebak kelompok-kelompok itu tidak
mengetahui bahwa sekelompok kecil masih tersembunyi di
balik rimbunnya dedaunan.
Demikianlah, sejenak kemudian perhitungan Raden
Sutawijaya itu pun ternyata benar. Beberapa orang bersenjata
telah muncul dari balik gerumbul-gerumbul perdu yang rimbun.
Dengan demikian, maka orang-orang yang berada di
tengah-tengah tempat terbuka itu pun menempatkan diri
mereka masing-masing untuk menyongsong orang-orang
yang bermunculan dari balik dedaunan, semakin lama menjadi
semakin banyak. Raden Sutawijaya menjadi berdebar-debar melihat
kehadiran orang-orang itu. Karena itu, maka ia pun telah
bersiaga sepenuhnya menghadapi setiap kemungkinan.
"Nah," tiba-tiba salah seorang dari orang-orang yang
mengepung para pengawal dari Mataram itu berkata, "baru
sekarang kita berhasil bertemu muka."
Raden Sutawijaya mencari di antara orang-orang yang
mengepungnya itu. Namun tiba-tiba dadanya berdesir, ketika
ia melihat seseorang yang pernah dikenalnya. Sambil tertawa
orang itu melangkah maju mendekatinya.
"Raden," berkata orang itu, "di tempat ini terpaksa aku
menunjukkan diri." "Paman Daksina?"
"Ya, Raden. Tentu Raden tidak lupa kepadaku."
"Apa artinya ini, Paman?"
"Apakah Raden heran melihat kehadiran kami di sini?"
"Aku tidak mengerti."
Terdengar suara tertawa orang yang disebut Daksina itu.
Katanya, "Aku memang berada di antara orang-orang yang
barangkali tidak kau senangi, Raden. Orang-orang yang kau
anggap selama ini mengganggu Mataram."
Raden Sutawijaya mengerutkan keningnya.
"Barangkali Raden memang tidak menyangka, bahwa aku
ada di antara mereka. Tetapi inilah kenyataan itu. Aku adalah
salah seorang dari mereka yang tidak senang melihat
Mataram berkembang. Aku akui, bahwa di antara kami masih
terdapat kepentingan yang berbeda. Namun kami telah
berusaha menemukan sikap dan menyesuaikan diri kami
masing-masing menghadapi Mataram. Tetapi satu hal yang
bersama-sama kami sepakati tanpa ragu-ragu, yaitu
menangkap Raden Sutawijaya hidup atau mati."
Raden Sutawijaya menggeram. Katanya, "Pihak-pihak
yang manakah yang kau sebut berbeda kepentingan di antara
kalian?" Orang itu mengerutkan keningnya. Kemudian katanya,
"Apakah ada gunanya kau mengerti?"
"Mungkin ada." "Menjelang kematianmu?"
"Jika benar demikian, maka setidak-tidaknya sebelumi aku
mati, aku sudah mengerti persoalan yang sebenarnya aku
hadapi. Dan jika ada satu dua orang anak buahku yang hidup
dan berhasil keluar dari tempat ini, maka akan datang saatnya
Ayahanda Pemanahan yang mendengar laporannya, akan
bertindak tepat." Orang yang disebut bernama Daksina itu tertawa
berkepanjangan. Katanya, "Coba perhatikan di sekelilingmu,
Raden. Aku mempunyai jumlah orang yang lebih banyak. Dan
aku yakin, bahwa Raden tidak akan dapat menang melawan
aku seorang lawan seorang meskipun aku belum sesakti
ayahanda Raden, Ki Gede Pemanahan dan Ayahanda Sultan
Pajang. Tetapi untuk kepentinganku kali ini mencukupilah
kiranya." "Paman akan membunuh aku?"
"Jika mungkin, aku ingin menangkapmu hidup-hidup."
"Buat apa sebenarnya Paman menangkap aku?"
"Pertanyaanmu aneh, Raden. Yang penting bukan untuk
apa, tetapi yang penting bagi kami adalah Mataram tidak
boleh berdiri seperti bentuknya sekarang."
"Siapakah sebenarnya yang berkeberatan" Paman belum
menyebut pihak-pihak yang kau katakan."
"Baiklah, Raden. Sebelum Raden terbunuh di tempat yang
memang sudah kami pilih ini, biarlah aku menyebutnya. Yang
pertama adalah pihakku dan beberapa orang perwira prajurit
Pajang. Sultan Pajang terlampau berbaik hati menyerahkan
Mataram kepada Ki Gede Pemanahan yang sebenarnya dapat
disebut meninggalkan tugasnya tanpa ijin sultan sendiri."
"Hanya itu?" "Tidak. Tetapi masih ada kelanjutan dari cita-cita kami
yang besar. Bukan sekedar persoalan Alas Mentaok."
"Katakan jika kau memang ingin digantung oleh Ayahanda
Sultan atau Ayahanda Pemanahan."
Jangan sombong. Tidak akan ada orangmu yang akan
tetap hidup. Nah, dengarlah. Bagi kami, baik Mataram maupun
Pajang, sekarang tidak ada gunanya lagi. Kami harus
membentuk suatu pemerintahan baru yang lebih baik dari
sekarang. Kami mencoba mengirimkan beberapa orang
utusan kepada para adipati di pasisir Utara untuk mengetahui
keinginan mereka yang sebenarnya."
Raden Sutawijaya mengangguk-anggukan kepalanya.
Katanya, "Jadi inilah usaha kalian di Istana Pajang. Sebagian
aku sependapat, bahwa Pajang harus dibersihkan.
Dibersihkan dari orang-orang seperti Paman dan beberapa
orang perwira yang Paman katakan, meskipun Paman belum
menyebut namanya." "He?" Daksina mengerutkan keningnya. Namun ia pun
kemudian tertawa. Katanya, "Kau akan kecewa. Untara yang
ragu-ragu itu, justru ia memiliki kekuasaan tertinggi di daerah
Selatan, sebentar lagi tidak akan menentang kehendak kami.
Sampai saat ini ia masih tetap seorang prajurit. Prajurit yang
bodoh, karena otaknya terpancang di ujung senjatanya. Tetapi
sebentar lagi pasukannya akan menaikkan panji-panji, rontek,
dan umbul-umbul di dalam gelar-gelar perang yang besar
melanda Mataram yang sudah kehilangan Sutawijaya. Maka
Mataram akan segera tenggelam dan hancur sama sekali
sampai tumbuhnya Mataram yang lain dalam kesatuan negara
baru yang lain. Karena itu, baik Pajang maupun Mataram tidak
akan berarti apa-apa lagi bagi kami."
"Begitu mudahnya?"
Daksina mengerutkan keningnya. Ternyata Sutawijaya
masih tetap tenang meskipun ia sudah mengatakan beberapa
persoalan tentang rencana dan angan-angannya.
Sebenarnyalah, bahwa setelah terkejut sejenak, maka
Sutawijaya berhasil menguasai perasaannya kembali. Ia
memang tidak menyangka, bahwa di tempat yang sepi itu ia
akan bertemu dengan Daksina, salah seorang senapati di
Pajang. Seorang yang pernah ikut membina Pajang bersama
Ki Gede Pemanahan, Ki Penjawi, dan beberapa orang lainnya.
Ia adalah orang yang dekat dengan Ki Manca yang juga
berkedudukan penting di Pajang. Namun nama Daksina tidak
sebesar Ki Gede Pemanahan, Ki Penjawi, atau Ki Juru
Martani. Meskipun demikian, kehadiran Daksina di tempat yang
sepi itu benar-benar telah menggetarkan dada Sutawijaya.
Namun dalam kesulitan itu ia berhasil menguasai dirinya,
sehingga nampaknya ia masih saja tetap tenang.
Tetapi Sutawijaya sadar, bahwa Daksina yakin akan dapat
menjebak dan menangkapnya, hidup atau mati, sehingga ia
tidak segan-segan menampilkan dirinya tanpa aling-aling. Dan
apalagi dengan berterus terang mengatakan gambaran yang
diinginkannya atas Pajang dan Mataram.
"Raden," berkata Daksina kemudian, "kau memang berjiwa
besar dan tabah menghadapi kesulitan. Tetapi bagaimanapun
juga, kebesaran jiwa dan ketabahan tidak akan dapat
menolong kesulitan yang memang melampaui batas
kemampuan seseorang. Yang dapat kau lakukan hanyalah
sekedar memberikan kekaguman kepada kami, bahwa sampai
saat matinya Sutawijaya tidak mengenal takut dan menyerah.
Hanya itu. Tetapi kau tetap akan berada di dalam kekuasaan
kami, hidup atau mati."
"Begitulah. Aku memang berharap, seandainya aku mati,
maka orang yang terakhir mengagumiku hendaknya adalah
musuh-musuhku. Tetapi katakan sama sekali, siapakah
golongan kedua yang menghendaki Pajang dan Mataram
hancur bersama-sama."
Ki Daksina memandang anak buahnya sejenak. Kemudian
katanya, "Aku kali ini yakin, bahwa kau tidak akan dapat lepas
dari tangan kami. Sejauh-jauh dapat kau jangkau, tetapi
ilmuku pasti masih berada di atas kemampuanmu membela
diri, sedang anak buahku lebih banyak dari anak buahmu.
Karena itu, baiklah, agar matimu agak lebih mudah karena
tidak dibebani oleh teka-teki itu." Daksina terhenti sejenak,
lalu, "Golongan yang satu lagi adalah sekelompok orang di
bawah pimpinan panembahan yang menyebut dirinya
Panembahan Agung Cahyakusuma. Ingat, namanya memang
agak berlebih-lebihan. Panembahan yang Agung."
Sutawijaya mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya,
"Kenapa kau tidak senang kepada nama itu?"
"Siapa yang mengatakan bahwa aku tidak senang pada
nama itu" Nama itu bagus sekali. Dan Panembahan Agung itu
adalah pasangan yang setia di dalam rencana ini. Kami
bersama-sama ingin menghancurkan Mataram dan Pajang."
Namun tiba-tiba saja Raden Sutawijaya tertawa. Katanya,
"Sekarang kau dapat berkata begitu. Tetapi tentu kalian kedua
belah pihak sama-sama menyakini, bahwa apabila kalian telah
berhasil, maka akan timbul pertengkaran baru di antara kalian.
Baik kau, atau barangkali di belakangmu masih ada orang lain
yang lebih tinggi kedudukannya, maupun Panembahan Agung
itu, tentu ingin duduk di atas kedudukan yang paling tinggi.
Kalian terpaksa saling bertempur dan saling membunuh."
"Kau salah, Raden," berkata Daksina, "kita sudah saling
bersetuju, bahwa kami akan mendapat kedudukan kami
masing-masing. Di antara kami tentu tidak akan ada
pertengkaran sama sekali."
"Jangan membohongi diri sendiri," jawab Sutawijaya, lalu,
"tetapi seandainya demikian, maka para adipati di pesisir tentu
akan merupakan persoalan yang rumit bagi kalian. Siapakah
yang sudi menyerahkan kepercayaan kepadamu atau kepada
panembahan yang tidak dikenal itu" Padahal para adipati di
pesisir memiliki kekuatan yang jauh melampaui pengaruh
kalian. Kau sangka adipati-adipati itu sama sekali tidak
mempunyai sikap terhadap pimpinan pemerintahan" Apakah
kau sangka mereka akan menundukkan kepalanya dengan
memejamkan matanya" Tentu tidak. Aku telah mengenal
mereka seorang demi seorang. Dan mereka adalah prajuritprajurit
yang berpendirian." Daksina mengerutkan keningnya. Tetapi kemudian
katanya, "Baiklah, itu akan kami pikirkan kemudian. Mungkin
aku memang harus menyerahkan persoalannya kepada orang
yang memiliki pengaruh lebih besar daripadaku. Mungkin
memang orang-orang yang namanya dikenal seperti Ki Juru
Martani. Tetapi yang penting bagiku sekarang adalah
membunuhmu?" "Apakah tidak ada lagi yang akan kau katakan tentang
dirimu, atau tentang nama-nama lain yang ada sangkut
pautnya?" "Tidak perlu." Daksina berhenti sejenak, lalu, "Tetapi
apakah kau ingin juga berpesan sesuatu kepada kami.
Mungkin dapat kami sampaikan kepada keluargamu atau
bahkan kepada ayahandamu, Sultan Pajang?"
"Tidak. Aku tidak ingin berpesan apa pun. Kecuali jika kau
memang ingin digantung."
Daksina tertawa. Lalu katanya, "Apakah kau tidak
memberikan pesan terakhir kepada gadis itu?"
Wajah Sutawijaya menjadi semburat merah.
"Jangan kau sangka, bahwa tidak ada orang yang
mengerti, bahwa kau sudah berhubungan dengan gadis itu"
Dan ini akan menjadi salah satu alasan, bahwa Sultan Pajang
tidak akan mencarimu, apalagi menuntut kematianmu, jika kau
hilang dari Mataram."
"Jangan mengigau, Paman," suara Sutawijaya menjadi
berat. "Ha," desis Daksina, "kau mulai menjadi pucat. Jangan
menyesal." Terdengar Raden Sutawijaya menggeram. Lalu, "Persetan
dengan igauanmu itu. Aku tidak peduli."
Tetapi Daksina tertawa. Bahkan untuk beberapa lamanya
ia melepaskan suara tertawanya, sehingga berkumandang
memenuhi seluruh tempat yang terbuka itu.
Dalam pada itu, Agung Sedayu dan kawan-kawannya
sampat mendengarkan pembicaraan yang tidak begitu jelas.
Namun sepatah dua patah kata mereka dapat menangkap
pembicaraan Sutawijaya dengan orang yang disebutnya Ki
Daksina itu. Bahkan Agung Sedayu dan kawan-kawannya
mendengar, bahwa Daksina telah menyebut tentang seorang
gadis. Sementara itu, di sela-sela suara tertawanya Daksina


03 Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

berkata, "Raden Sutawijaya, memang seorang gadis tentu
akan memilih Raden daripada Sultan Pajang yang sudah
menjelang saat-saat senja hari itu. Tetapi pada suatu saat,
persoalan itu akan sangat menguntungkan bagi kami.
Seandainya Sultan masih ingin memaafkan Raden di dalam
persoalan Mataram, namun persoalan gadis dari Kalinyamat
itu tentu akan membuka persoalan baru yang menentukan,
yang meskipun mula-mula tidak mempunyai hubungan sama
sekali dengan usaha Ki Gede Pemanahan membuka Alas
Mentaok, tetapi justru persoalan itulah yang akan
menggagalkan semua impian bagi berdirinya suatu negeri
yang di sebut Mataram."
Wajah Raden Sutawijaya menjadi semakin tegang. Dan
dengan suara yang bergetar oleh kemarahan yang menyesak
di dadanya ia berkata, "Jangan banyak berbicara. Jika kau
akan menangkap Sutawijaya hidup atau mati, lakukanlah. Kau
tidak usah menyinggung persoalan-persoalan yang kau sendiri
tidak mengetahuinya."
"Baiklah. Jika Raden memang tidak ingin berpesan apa
pun terhadap gadis itu. Tetapi Raden harus menyadari,
sepeninggal Raden, Mataram akan segera terhapus. Sebuah
benturan bersenjata akan segera terjadi antara Mataram dan
Pajang. Kami menyadari, bahwa Ki Gede Pemanahan adalah
seorang prajurit. Sepeninggal Raden, Ki Gede Pemanahan
tentu akan berbuat sesuatu. Kesaktiannya yang hampir
sempurna seperti juga Sultan Pajang sendiri, akan membuat
kedua kekuasaan itu hancur."
"Cukup! Sekarang, marilah kita mulai. Jangan terburu-buru
mimpi. Pada saatnya kau akan dicincang oleh para adipati dari
daerah Pesisir dan Bang Wetan."
Tetapi Daksina masih saja tertawa berkepanjangan.
Namun suara tertawanya itu tiba-tiba terputus ketika ujung
tombak Raden Sutawijaya hampir saja menyentuh mulutnya,
sehingga Daksina itu terkejut. Ternyata ia telah lengah,
sehingga hampir saja ujung tombak pendek anak muda itu
tergores di wajahnya. Ternyata Sutawijaya tidak ingin menunda-nunda lagi. Ia
pun segera memberikan perintah kepada orang-orangnya
untuk segera menyerang. Sejenak kemudian, di tengah-tengah tempat yang terbuka
itu, telah terjadi pertempuran yang seru. Untuk beberapa saat
pertempuran itu masih belum mapan. Beberapa orang masih
berusaha mencari lawan masing-masing.
Namun dalam pada itu, ternyata bahwa anak buah
Daksina memang lebih banyak dari anak buah Sutawijaya,
sehingga dengan demikian, maka beberapa orang
daripadanya harus melawan lebih dari seorang.
Hal itu agaknya disadari sepenuhnya oleh para pengawal
dari Mataram. Karena itu, pada loncatan yang pertama
mereka telah berusaha dengan tiba-tiba saja untuk
mengurangi jumlah lawannya. Begitu mereka mulai, mereka
telah langsung menusukkan senjata mereka ke dada lawan.
Satu dua orang dari mereka ternyata telah berhasil. Tetapi
sebagian terbesar mengalami kegagalan, karena lawan-lawan
mereka pun sudah bersiap pula menghadapi setiap
kemungkinan. Sejenak kemudian, barulah pertempuran itu menjadi lebih
mapan pada pihak masing-masing. Di antara mereka adalah
Sutawijaya yang bertempur melawan Daksina.
Ternyata pada benturan yang pertama, Daksina telah
dikejutkan oleh kemampuan Raden Sutawijaya yang tidak
terduga-duga. Daksina tahu sepenuhnya, bahwa Raden
Sutawijaya-lah yang telah berhasil membunuh Arya
Penangsang, Adipati Jipang. Sultan Pajang sendiri akan
memerlukan waktu yang panjang untuk berperang tanding dan
membinasakan Arya Penangsang. Kekalahan Arya
Penangsang dari Sutawijaya juga disebabkan karena kudanya
yang tiba-tiba saja menjadi binal dan tidak dapat dikuasainya,
sehingga Sutawijaya mendapat kesempatan untuk
menusukkan tombak pusaka Pajang ke lambung Arya
Penangsang itu. Tetapi menurut perhitungannya waktu itu, kemampuan
Sutawijaya sendiri adalah jauh di bawah kesaktian Arya
Penangsang yang memiliki keris pusaka yang dinamakannya
Kiai Setan Kober. Kini, ketika senjatanya membentur tombak Radan
Sutawijaya, bahkan bukan tombak pusaka yang
dipergunakannya untuk melukai lambung Arya Penangsang
itu, ternyata terasa tangannya bergetar.
"Setan manakah yang telah manjing pada diri anak muda
ini sehingga ia memiliki kekuatan yang begitu besar?"
bertanya Daksina di dalam hatinya.
Meskipun demikian, ketika pertempuran itu sudah berjalan
beberapa lamanya, ternyata bahwa kemampuan Raden
Sutawijaya yang sudah meningkat dengan cepatnya itu, masih
belum dapat mengimbangi kemampuan Daksina, seorang
Senapati Pajang yang berpengalaman, meskipun belum
sedahsyat Ki Gede Pemanahan.
"Raden," berkata Daksina setelah mereka berkelahi
beberapa lamanya, "apakah Raden tidak mempertimbangkan,
bahwa sebaiknya Raden menyerah saja?"
"Paman adalah seorang prajurit," jawab Sutawijaya,
"Paman tentu tahu pendirian seorang prajurit di peperangan."
Daksina mengerutkan keningnya. Ternyata jawaban
Raden Sutawijaya itu adalah benar-benar jawaban seorang
keturunan prajurit dan dibesarkan di dalam lingkungan
keprajuritan. Karena itu, maka katanya, "Baiklah, Raden. Jika demikian,
maka kitalah yang akan berusaha. Menangkapmu hidup atau
mati." "Kalian hanya dapat menyentuhku, apabila nyawaku telah
terpisah dari badanku."
"Jawaban jantan. Tetapi agaknya kami memerlukan kau
hidup." "Dan kau akan mempergunakan aku untuk memeras
Ayahanda Pemanahan agar langsung memusuhi Pajang.
Dalam pertentangan antara Pajang dam Mataran itulah kalian
akan mengail keuntungannya."
"Kau memang cerdas," desis Daksina yang tiba-tiba saja
telah meneriakkan aba-aba, "bunuh semua anak buahnya dan
tangkap Raden Sutawijaya hidup-hidup."
Tetapi anak buah Sutawijaya pun bukan sekedar anakanak
cengeng. Meskipun mereka menyangka, bahwa jumlah
mereka telah cukup banyak, dan ternyata perwira Pajang yang
durhaka itu memiliki anak buah yang lebih banyak, namum
mereka sama sekali tidak gentar.
Mereka telah berjuang dengan sekuat tenaga untuk
mempertahankan dirinya. Apalagi mereka tidak dapat
mengharap bantuan dari siapa pun. Bagi mereka, anak-anak
Menoreh dan Sangkal Putung yang belum begitu mereka
kenal itu tidak akan banyak memberikan bantuan. Meskipun
demikian, seandainya mereka berani hadir, tentu akan dapat
setidak-tidaknya memecah perhatian anak buah Daksina.
Dalam pada itu, Raden Sutawijaya masih juga, mencoba
bertahan dengan kemampuan sendiri, meskipun semakin
lama semakin disadarinya kenyataan, bahwa ia dan anak
buahnya telah terdesak ke dalam lingkaran yang lebih sempit.
Sementara itu, di pinggir tempat terbuka itu, Agung Sedayu
dan kawan-kawannya menjadi semakin tegang. Mereka
melihat keadaan Raden Sutawijaya dan anak buahnya
menjadi semakin gawat. Namun demikian mereka tidak dapat
mendahului isyarat yang akan diberikan oleh Sutawijaya itu.
Jika mereka memberanikan diri mendahului isyarat itu, maka
Sutawijaya yang berjiwa prajurit dan mempunyai harga diri
yang besar itu akan merasa tersinggung karenanya.
Selagi dengan tegang mereka menyaksikan pertempuran
yang semakin menyempit itu. Swandaru sempat bertanya,
"He, kau tahu gadis manakah yang telah disebut-sebut oleh
orang yang bernama Daksina, yang ternyata salah seorang
perwira dari Pajang itu sendiri?"
"Aku tidak tahu. Tetapi rasa-rasanya aku mendengar
seseorang menyebut Kalinyamat."
"Gadis itu dari Kalinyamat?"
Agung Sedayu mengerutkan keningnya. Namun kemudian
ia menjawab, "Aku tidak tahu. Apakah ada hubungannya
antara Kalinyamat dan gadis itu."
"Aku juga tidak begitu mendengarnya. Tetapi yang jelas,
agaknya ada seorang gadis di dalam istana.
Agung Sedayu tidak menjawab lagi. Dipandanginya
perkelahian itu dengan tegangnya, dan Sutawijaya menjadi
semakin terdesak karenanya.
Dalam kesulitan itu, Sutawijaya tidak dapat berbuat lain.
Seperti yang memang sudah direncanakan, bahwa pasukan
kecilnya telah dipecah dua untuk menjawab jebakan yang
mungkin dijumpai di perjalanannya. Dan kini ia benar-benar
telah terjebak, sehingga kelompok kecil yang ditinggalkan di
pinggir tempat terbuka ini harus diberi isyarat agar mereka
segera dapat ikut terjun di dalam perkelahian ini.
Dengan sebuah suitan nyaring, Raden Sutawijaya
berusaha memanggil kelompok kecil yang menurut
perhitungannya pasti sudah berada di sekitar tempat terbuka
itu. Karena itu, maka ia berharap bahwa Agung Sedayu atau
salah seorang dari mereka akan dapat mendengar isyaratnya
itu, tanpa panah sendaren.
"Raden Sutawijaya memanggil kita," desis Prastawa.
"Ya. Aku sudah mendengar isyaratnya," sahut Swandaru.
"Aku menunggu pemimpin kelompok," berkata Agung
Sedayu. Pandan Wangi memandang pertempuran itu sejenak.
Agaknya isyarat Raden Sutawijaya telah menumbuhkan
pertanyaan pada setiap dada lawannya. Karena itu, mereka
menjadi berdebar-debar sejenak. Namun firasat mereka telah
mengatakan, bahwa mereka akan mendapatkan lawa-lawan
yang baru. Tetapi bagi beberapa orang pengawal Raden Sutawijaya,
isyarat itu tidak banyak menumbuhkan harapan. Mereka tidak
dapat mengharapkan banyak dari orang-orang Menoreh itu.
Namun biarlah mereka ikut menambah jumlah mereka di
medan yang semakin sesak itu.
Sejenak kemudian maka terdengar Pandan Wangi berkata,
"Marilah. Mereka sudah menunggu kita."
"Aku ikut bersamamu Pandan Wangi," desis Rudita yang
ketakutan. "Bersembunyilah di sini," sahut Pandan Wangi.
"Aku ikut bersamamu. Aku tidak berani kau tinggalkan
sendiri di sini." "Jangan ganggu aku. Kau dapat terbunuh di peperangan
itu." "Jangan tinggalkan aku."
Pandan Wangi menjadi jengkel. Tiba-tiba saja pedangnya
telah teracu di dada Rudita. Terdengar ia menggeram, "Jika
kau ikuti aku selangkah saja, maka aku akan membunuhmu
sendiri daripada kau dibunuh oleh orang-orang yang menjebak
Raden Sutawijaya itu."
Wajah Rudita yang pucat menjadi semakin pucat.
Tubuhnya menjadi gemetar dan matanya yang berkaca-kaca
bagaikan bendungan yang mulai retak. Titik air mata mengalir
dari pelupuknya membasahi pipinya.
Sepercik perasaan iba mencengkam hati Pandan Wangi.
Tetapi menurut perhitungan gadis itu, yang paling baik bagi
Rudita di dalam saat yang gawat itu adalah bersembunyi saja
di dalam semak-semak. Karena itu betapa pun hatinya
bergejolak, namun ia masih tetap mengacukan pedang nya
sambil berkata, "Kau tetap di sini, kau dengar?"
Rudita tidak tidak dapat menjawab. Hanya kepalanya
sajalah yang terangguk-angguk lemah.
Dalam pada itu, Pandan Wangi pun kemudian berkata
kepada kawan-kawannya, "Marilah. Pertempuran itu menjadi
semakin gawat." Dan Swandaru menyahut, "Beberapa orang telah terluka.
Bahkan ada yang menjadi parah."
"Bersiaplah. Kita segera memasuki arena."
Demikianlah, maka sejenak kemudian Pandan Wangi telah
meloncat keluar dari gerumbul-gerumbul perdu dengan
pedang di tangan, diikuti oleh Swandaru, Agung Sedayu,
Prastawa, dan para pengiring yang menyertainya.
Kehadiran mereka telah mengejutkan Daksina dan
kawannya. Sejenak mereka memandang beberapa orang
yang berlari-lari ke tengah-tengah tempat yang terbuka itu.
Namun sejenak kemudian Daksina pun tertawa, "Ha, kau
ternyata cakap juga bersiasat. Kau tinggalkan beberapa orang
kawan-kawanmu di dalam gerumbul-gerumbul itu. Tetapi
agaknya kau terlambat memberikan isyarat. Beberapa
pengawalmu telah terluka, dan baru sekarang mereka
muncul." Sutawijaya tidak menyahut. Tetapi ia berharap bahwa
kehadiran kawan-kawannya itu akan dapat menyelesaikan
pertempuran itu. "Marilah," berkata Daksina, "kalian tidak usah segan-segan
lagi. Beberapa orang kawan-kawanmu telah menitikkan
darah." Pandan Wangi tidak menyia-nyiakan waktu. Ia pun segera
terjun ke dalam arena perkelahian yang bergeser karena
hadirnya orang-orang baru.
"He," berkata Daksina kemudian, yang masih saja
bertempur seorang melawan seorang dengan Raden
Sutawijaya, "ternyata ada seorang gadis yang luar biasa."
Daksina berhenti sejenak, lalu, "tidak ada duanya di daerah
ini. Tentu kaulah yang disebut bernama Pandan Wangi, anak
satu-satunya dari Ki Gede Menoreh. Yang pada beberapa
saat yang lampau telah berhasil membunuh kakak
kandungnya sendiri karena memberontak terhadap ayahnya."
Pandan Wangi tidak menjawab. Tetapi ia segera
melibatkan diri semakin sengit di dalam perkelahian itu.
Yang menjawab justru Prastawa yang sudah mulai
bertempur pula, "Ya. Ia adalah Pandan Wangi. Atas nama
Kepala Tanah Perdikan Menoreh, seharusnya kalian
menyerah kepada kami."
Daksina memandang Prastawa sejenak. Kemudian ia
justru tertawa, "Kau menyenangkan sekali anak muda.


03 Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Siapakah kau?" "Tidak ada artinya bagimu."
Daksina mengerutkan keningnya. Bahkan kemudian ia
meloncat surut karena serangan Raden Sutawijaya tiba-tiba
saja menjadi semakin dahsyat.
Karena itu, untuk beberapa saat kemudian, Daksina tidak
sempat memperhatikan lawan-lawannya yang baru. Namun
tiba-tiba saja ia telah dikejutkan oleh sebuah ledakan di dalam
arena itu. Dan ketika ia menghindari lawannya sejenak dan
mencoba melihat salah seorang lawan yang baru saja
memasuki arena, ia terkejut karenanya. Ternyata di antara
mereka terdapat dua orang yang bersenjata cambuk.
"Orang-orang bercambuk itu," desisnya.
Dalam pada itu Agung Sedayu dan Swandaru telah terlibat
di dalam perkelahian pula. Dengan cambuknya mereka
mempertahankan diri dari serangan para pengikut Daksina.
Sejenak Daksina sempat merenungi cambuk yang
meledak-ledak itu. Bahkan kemudian terbersit kata-katanya,
"Jadi kalian ada di Menoreh?"
"Siapa?" bertanya Sutawijaya.
"Orang-orang bercambuk itu."
"Apa salahnya. Apakah kau sudah mengenal mereka?"
Daksina tidak menjawab. Tetapi ia mendengar, bahwa
orang-orang bercambuk itu memang sedang menuju ke
Menoreh beberapa hari yang lampau, ketika orang-orang yang
berada di bagian Timur dari Tanah Mataram itu
menjumpainya. Bahkan orang yang paling dipercaya di dalam
lingkungannya tidak berhasil mengalahkan orang-orang
bercambuk itu. "Tetapi tentu bukan anak-anak muda ini," berkata Daksina
di dalam hatinya. "Menurut pendengaranku, di antara mereka
ada seorang yang sudah tua. Agaknya anak-anak muda ini
adalah muridnya." Namun kemudian tumbuh pertanyaan,
"Tetapi kenapa mereka dapat bertemu dengan Sutawijaya
yang sedang mengikuti jejak kami?"
Dalam kebimbangan itu, Daksina mulai melihat perubahan
yang terjadi di dalam pertempuran itu. Orang-orangnya mulai
mengerahkan segenap kemampuannya. Pedang Pandan
Wangi, Prastawa, dan para pengiringnya ternyata merupakan
tekanan yang berat bagi mereka. Apalagi di sela-sela dentang
senjata itu, masih juga terdengar cambuk meledak-ledak.
"Gila," berkata Daksina di dalam hatinya. Ia kini menyadari
bahwa perhitungannya ternyata keliru. Selama ini dengan
tekun orang-orangnya selalu mengamat-amati Sutawijaya di
dalam tugasnya. Orang-orangnya sempat menghitung berapa
orang pengawal Sutawijaya yang selalu dibawanya di dalam
tugas-tugas pencahariannya terhadap orang-orang bersenjata
yang telah mengganggu Tanah Mataram yang sedang tumbuh
itu. Menurut perhitungannya, orang-orangnya kali ini sudah
lebih dari cukup untuk menjebak Sutawijaya. Tetapi ternyata
ada sesuatu di luar perhitungannya itu.
Sebuah penyesalan telah membersit di hati Daksina. Ia
telah sedemikian yakinnya, bahwa ia akan dapat
membinasakan Sutawijaya, sehingga ia sudah menyebut
beberapa buah rencana yang sedang dipersiapkannya.
Namun Daksina itu mencoba untuk menenteramkan
hatinya sendiri. "Keterangan-keterangan itu hanyalah sekedar
keterangan-keterangan yang tidak penting. Tentu Sutawijaya
sudah menduganya. Dan aku tidak menyebut nama-nama lain
yang terlibat selain Panembahan Agung itu. Sedangkan
Sutawijaya tentu tidak mengetahui siapakah sebenarnya
orang yang menyebut dirinya Panembahan Agung itu."
Dalam pada itu, perkelahian itu pun menjadi semakin seru.
Para pengawal Raden Sutawijaya ternyata menjadi heran
melihat orang-orang Menoreh itu berkelahi. Ternyata gadis
puteri Ki Ageng Menoreh itu pun memiliki kemampuan yang
luar biasa. Bahkan melampaui kemampuan para pengawal itu
sendiri. Semakin lama, maka semakin jelas bagi Daksina, bahwa
ia telah gagal menjebak Raden Sutawijaya. Bahkan ialah yang
agaknya telah terjebak. Dengan meninggalkan bekas jejak
dari tempat penyeberangan terus sampai ke tempat ini, ia
berharap dapat menangkap anak muda yang berani itu dan
mempergunakannya untuk memeras Ki Gede Pemanahan.
Tetapi ternyata, bahwa usahanya itu tidak akan dapat berhasil
di dalam keadaan yang demikian. Daksina tidak dapat ingkar,
bahwa orang-orang bercambuk itu memang memiliki banyak
kelebihan. "Apalagi gurunya," berkata Daksina di dalam hatinya.
Dan memang ternyata kemudian, bahwa anak buah
Daksina tidak lagi mampu untuk bertahan lebih lama lagi.
Setiap kali terdengar keluhan tertahan jika ujung cambuk
Agung Sedayu dan Swandaru mengenai lawannya. Apalagi
apabila ujung-ujung pedanglah yang menusuk ke dalam tubuh
seseorang. Prastawa, anak yang masih terlalu muda itu
bertempur dengan garangnya. Sebagai seorang kemanakan
Ki Argapati, maka Prastawa berhasil menunjukkan
kemampuannya. Meskipun belum terlampau tinggi, tetapi ia
memiliki bekal yang cukup di dalam pertempuran itu.
Kedatangan Pandan Wangi beserta kelompoknya, ternyata
telah berhasil menentukan akhir dari pertempuran itu.
Meskipun jumlah anak buah Daksina masih lebih banyak,
namun mereka tidak berdaya menghadapi senjata anak-anak
Menoreh dan ujung cambuk Agung Sedayu dan Swandaru.
Demikianlah, maka Daksina pun harus mengambil
keputusan. Ia tidak akan dapat menyelesaikan rencananya.
Tetapi ia tidak ingin bertempur benar-benar seperti seorang
prajurit yang pantang meninggalkan arena.
"Jika aku mundur kali ini, bukan berarti bahwa aku kalah,"
berkata Daksina di dalam hati. Meskipun ia sendiri berhasil
selalu mendesak Raden Sutawijaya, tetapi anak buahnya
semakin lama menjadi semakin susut. Dan Daksina pun
sadar, bahwa pada suatu saat orang-orang yang bercambuk
itu setelah mengalahkan lawan-lawan mereka, maka mereka
pasti akan membantu Raden Sutawijaya.
"Gila," Daksina mengumpat. Ialah yang justru terjebak oleh
kekhilafannya. Ia dengan tidak berhati-hati telah mengatakan
beberapa rahasia yang seharusnya hanya boleh diketahui
oleh lingkungannya. Sekali lagi ia menggeram di dalam dadanya, "Untunglah
aku belum menyebut nama-nama lain."
Demikianlah maka tidak ada pilihan lain bagi Daksina
untuk menyingkir dari arena, sehingga dengan demikian,
maka ia pun segera meneriakkan sebuah aba bagi anak
buahnya untuk menghindar dari pertempuran itu.
Dengan demikian, ketika anak buahnya mendengar
perintah yang meloncat dari mulut Daksina itu pun, mereka
segera berloncatan mundur dari arena.
Ternyata mereka adalah orang-orang yang cukup terlatih.
Meskipun mereka bukan semuanya prajurit-prajurit Pajang
seperti Daksina, namun mereka mampu menempatkan diri
mereka dalam ikatan seperti sekelompok prajurit. Mereka
ternyata tidak berlari bercerai-berai. Tetapi mereka sempat
mengatur pasukan sambil menarik diri.
Sudah barang tentu bahwa Sutawijaya tidak melepaskan
mereka, terutama Daksina. Namun usaha untuk
menangkapnya bukan usaha yang mudah, apalagi anak
buahnya dengan sengaja telah melindunginya.
Meskipun di dalam gerakan surut itu beberapa orang di
antara mereka telah jatuh, namun mereka sempat mencapai
daerah hutan yang agak lebat. Demikian mereka mencapai
daerah yang berpohon-pohon besar dan bergerumbul lebat,
barulah mereka seakan-akan terpecah.
Beberapa langkah Sutawijaya masih berusaha mengejar
Daksina. Tetapi ternyata medan menjadi sangat berbahaya,
sehingga ia pun kemudian terpaksa menghentikan pengejaran
itu dan memberikan isyarat kepada anak buahnya untuk
berkumpul. Di dalam hutan perdu yang semakin dalam menjadi
semakin lebat, bahkan kemudian berhubungan dengan hutan
yang masih liar, akan sangat berbahaya bagi anak-buah
Sutawijaya. Mereka masih belum mengenal medan, dan
mereka tidak tahu, di manakah sebenarnya sarang lawan
mereka. "Jika sarang itu tidak begitu jauh lagi dari tempat ini, kitalah
yang kemudian benar-benar terjebak," berkata Raden
Sutawijaya. "Tentu," desis Agung Sedayu, "orang itu tidak akan tinggal
diam. Jika yang disebut Panembahan Agung itu adalah orang
yang menyebut dirinya panembahan tidak bernama, maka kita
benar-benar menghadapi bahaya.
"Atau bahkan orang lain yang lebih tinggi kedudukannya di
dalam susunan mereka," sahut Swandaru.
"Itu perlu kita pertimbangkan," desis Raden Sutawijaya.
Untuk beberapa saat, anak-anak muda itu termangumangu.
Juga Pandan Wangi tidak segera menyatakan
pendapatnya. Ternyata mereka tidak sekedar menghadapi
orang-orang yang tidak dikenal, tetapi di daerah yang terpencil
itu justru menjadi jalur yang meskipun belum mereka ketahui
dengan pasti. Tetapi agakmya mempunyai hubungan yang
erat dengan sarang orang-orang yang tidak dikenal itu.
"Ada beberapa yang dapat kita tangkap dari perburuan ini,"
berkata Sutawijaya. "Kita tahu pasti, bahwa memang ada
orang di Istana Pajang yang dengan sengaja telah
mengaburkan hubungan antara Pajang dan Mataram."
"Ya," sahut Agung Sedayu, "kita sudah lama menduga.
Tetapi kini kita sudah menemukan beberapa orang dari antara
mereka. Bukankah yang bernama Daksina itu seorang perwira
prajurit Pajang seperti juga kakang Untara dan mertuanya?"
"Ya," jawab Raden Sutawijaya, "bahkan orang ini memiliki
kelebihan dari Untara. Umurnya lebih tua dan kemampuannya
pun agaknya tidak kalah dari Untara, karena pengalamannya.
Tetapi ia mempunyai sifat yang kurang baik. Dan kini ternyata,
bahwa ia telah berkhianat, karena tindakannya sama sekali
sekedar untuk kepentingan sendiri. Berbeda dengan Untara.
Seandainya pada suatu saat ia datang ke Mataram dengan
prajurit segelar sepapan, itu tentu karena ia seorang senapati
yang sedang menjalankan tugas."
Yang mendengarkan keterangan Sutawijaya itu saling
berpandangan sejenak. Agung Sedayu menganggukanggukkan
kepalanya tanpa disadarinya. Jika terjadi demikian,
maka ia akan menghadapi persoalan yang rumit. Untara
adalah kakak kandungnya. Sedang ia tidak dapat ingkar,
bahwa hatinya lebih condong untuk melihat Mataram yang
berkembang daripada mempertahankan kehadiran Pajang.
"Baiklah," berkata Sutawijaya kemudian, "kita masih
mempunyai waktu untuk berbicara. Marilah kita kembali ke
perkemahan itu. Kita beristirahat sejenak, dan pada saat itu
mungkin kita dapat menemukan langkah-langkah yang
sebaiknya kita lakukan."
"Baiklah," sahut Pandan Wangi, "kita memang memerlukan
banyak pertimbangan bagi tindakan selanjutnya, yang
mungkin tidak akan dapat kita lakukan sendiri. Aku harus
melaporkan hal ini kepada ayah."
"Ada baiknya. Tetapi jika aku masih dapat mengatasi
persoalannya, aku akan melakukannya," berkata Raden
Sutawijaya. "Tetapi daerah ini adalah daerah Tanah Perdikan
Menoreh," jawab Pandan Wangi. "Kita tidak tahu, di manakah
sarang mereka. Namun yang terjadi ini adalah di tlatah
Menoreh. Dan ayah adalah Kepala Tanah Perdikan Menoreh.
Kamilah yang lebih berhak dan lebih dari itu, lebih
berkewajiban untuk menyelesaikannya, kecuali jika mereka
telah melarikan diri ke seberang Timur Kali Praga."
Raden Sutawijaya mengerutkan keningnya. Namun
kemudian ia menarik nafas dalam-dalam. Katanya, "Ya. Kau
benar. Memang daerah ini adalah daerah Tanah Perdikan
Menoreh. Tetapi bagi Pajang maka perburuan semacam ini
sama sekali bukan suatu pelanggaran, selama dipandang
perlu bagi pengamanan Pajang di dalam keseluruhan."
"Jika Raden bertindak atas nama putera Sultan Pajang.
Tetapi ternyata bahwa apa yang kita hadapi adalah berbeda.
Mungkin Daksina itu dapat juga menyebut dirinya bertindak
atas kepentingan Pajang di dalam keseluruhan, seandainya ia
tidak terlanjur menyebut usaha perlawanannya dan bahkan
permusuhan terhadap Pajang dan sekaligus Mataram," sahut
Pandan Wangi. Terasa sesuatu bergejolak di dada Raden Sutawijaya. Ia
merasakan sindiran yang tajam itu. Bahkan Agung Sedayu
dan Swandaru pun menjadi berdebar-debar.
Tetapi Raden Sutawijaya tidak ingin membuat persoalan
yang tidak dikehendakinya dengan tlatah Menoreh, yang akan
bersentuhan batas dengan Mataram. Apalagi Mataram
memang belum memiliki bentuknya yang pasti. Karena itu,
maka katanya kemudian, "Baiklah. Memang seharusnya Ki
Argapati mengetahuinya apa yang sudah terjadi dan apa yang
berada di atas Tanah Perdikannya. Mudah-mudahan Tanah
Perdikan Menoreh tidak selalu diganggu oleh pihak-pihak
yang bersengketa seperti sekarang ini."
"Tetapi usaha bersama seperti yang sedang kita lakukan
adalah menguntungkan sekali," potong Agung Sedayu.
"Mungkin aku tidak berhak untuk berbicara tentang Tanah
Perdikan Menoreh dan tentang Tanah Mataram yang baru
tumbuh. Tetapi demikianlah agaknya."
Pandan Wangi menarik nafas dalam-dalam. Ia pun tidak
menghendaki pembicaraan itu menjadi semakin mendalam,
dan yang bahkan mungkin dapat menumbuhkan salah paham.
Karena itu maka katanya kemudian, "Baiklah, kita akan
berbicara kemudian. Kita akan kembali ke perkemahan.
Demikianlah, kelompok-kelompok itu kembali sambil
membawa kawan-kawan mereka yang terluka. Bahkan
dengan wajah yang tunduk Raden Sutawijaya merenungi dua
orang kawannya yang gugur, sedang beberapa orang terluka.
"Kita bawa mereka kembali ke Mataram. Sedang mayat
orang-orang yang tidak dikenal itu, biarlah diurus oleh kawankawan
mereka sendiri, yang tentu akan kembali lagi kemari."
Maka dengan demikian, mereka pun segera meninggalkan
tempat itu kembali ke perkemahan.
Namun sesuatu telah menggetarkan hati mereka. Rudita
yang bersembunyi, ternyata tidak ada di tempatnya lagi.


03 Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Rudita, Rudita," Pandan Wangi memanggilnya dengan
cemas. "Rudita," Prastawa mengulang lebih keras. Tetapi mereka
tidak mendengar seseorang menyahut suaranya itu.
Sejenak orang-orang yang menjadi kebingungan itu berdiri
termangu-mangu. Mereka mencoba untuk melihat, barangkali
mereka menemukan jejak atau semacam petunjuk yang dapat
dipergunakannya untuk mengetahui, setidak-tidaknya untuk
menduga, ke manakah kiranya Rudita itu pergi.
Tetapi mereka tidak melihat sesuatu.
"Bagaimana dengan Rudita?" Pandan Wangi menjadi
sangat cemas. "Akulah yang menyuruhnya bersembunyi di
sini. Tetapi tiba-tiba anak itu hilang."
"Apakah ia pergi ke perkemahan?" desis Swandaru
"Ia tidak akan berani pergi ke tempat itu sendiri."
"Mungkin karena ia tidak tahan lagi disiksa oleh
ketakutannya yang lain, ketika ia melihat perkelahian di tempat
terbuka itu, apalagi ketika dilihatnya beberapa orang sudah
terluka dan bahkan terbunuh."
"Suatu kemungkinan," sahut Prastawa. Namun dalam pada
itu Agung Sedayu dan Raden Sutawijaya masih berusaha
untuk menemukan jejak seseorang. Mereka berdua ternyata
mempunyai dugaan yang kuat bahwa Rudita telah mengalami
bencana sehingga mau tidak mau mereka harus ikut memikul
tanggung jawab atas hilangnya anak itu. Apalagi mereka telah
dipengaruhi pula oleh perasaan iba dan kasihan. Terlebihlebih
lagi Agung Sedayu yang pernah mengalami, betapa
tersiksanya dicengkam oleh perasaan takut.
Keduanya tertegun ketika mereka melihat sesuatu. Mereka
melihat beberapa helai daun yang bertebaran. Bukan helaihelai
daun kuning, tetapi helai-helai daun yang masih hijau.
Bahkan tangkai-tangkainya tampak betapa daun-daun itu telah
direnggut dari batangnya.
"Kau mempunyai pendapat tentang daun-daun itu?"
bertanya Sutawijaya. "Tentu direnggut dengan paksa. Dan ini adalah satusatunya
jejak yang dapat kita lihat."
"Maksudmu Rudita telah pergi karena ketakutan?"
"Bukan begitu. Tentu seseorang telah memaksanya, dan ia
berpegangan apa saja yang dapat digenggam."
"Satu kemungkinan. Tetapi tentu ada jejak yang lain."
"Itulah yang membuat aku berdebar-debar. Tentu
seseorang yang memiliki ilmu yang tinggi yang dapat
melakukannya seandainya begitu. Ia berhasil menghilangkan
jejak, kecuali daun-daun yang bertebaran itu, yang barangkali
tidak sempat diperhatikannya."
"Ya, Rudita tentu meronta-ronta."
"Tetapi kenapa tidak berteriak?"
"Mulutnya mungkin disumbat. Atau dengan cara-cara yang
lain." Dalam keasyikan itu, mereka ternyata telah mengikuti jejak
beberapa langkah masuk ke dalam gerumbul-gerumbul.
Meskipun pendek, tetapi mereka dapat menduga ke arah
mana Rudita itu dibawa. Agaknya untuk memudahkan orang
itu, Rudita telah dibuatnya diam.
Pandan Wangi, Swandaru, dan Prastawa pun ternyata
kemudian mulai memperhatikan kedua orang itu. Perlahanlahan
mereka mendekatinya dan mengamati apakah yang
sedang mereka kerjakan. "Rudita agaknya telah dibawa orang dengan paksa,"
berkata Agung Sedayu kemudian.
"Kau menemukan jejaknya?" bertanya Pandan Wangi.
Agung Sedayu dan Sutawijaya pun kemudian
menunjukkan beberapa helai daun yang masih hijau dan
nampaknya direnggut begitu saja dari tangkainya dan jatuh
bertebaran. "O," desis Pandan Wangi, "apakah daun-daun itu dapat
dijadikan petunjuk?"
"Agaknya demikian, meskipun sekedar kemungkinan. Dan
orang yang membawa anak itu tentu bukan orang
kebanyakan." Pandan Wangi menjadi pucat. Bukan karena ketakutan
mendengar orang yang memiliki kelebihan itu, tetapi ia
menjadi sangat cemas akan nasib Rudita. Apalagi apabila
Rudita jatuh ke tangan orang-orang yang tidak dikenal itu.
"Kita memang berhadapan dengan sekelompok orang
yang tangguh, tetapi licik. Itulah yang menyulitkan," berkata
Sutawijaya. "Tetapi Rudita adalah anak yang tidak tahu apa-apa. Ia
justru seorang anak muda yang sama sekali tidak menyukai
kekerasan meskipun sikapnya agak sombong dan tinggi hati."
"Aku tahu. Tetapi ia tidak dapat ingkar menghadapi
kenyataan yang keras dan kasar."
Pandan Wangi menganggukkan kepalanya. Tetapi hatinya
kian menjadi berdebar-debar.
"Kita harus segera kembali ke perkemahan. Kita baru
menduga-duga. Masih ada kemungkinan lain, yaitu Rudita
dengan ketakutan lari ke perkemahan itu," berkata Agung
Sedayu. "Marilah," desis Pandan Wangi, "jika ia tidak ada di sana
kita harus memperhitungkan langkah-langkah berikutnya."
Demikianlah, maka mereka pun segera kembali ke
perkemahan sambil membawa korban yang jatuh. Yang
terluka dan yang gugur. Dengan demikian, mereka tidak dapat
berjalan terlalu cepat. Mereka harus mengingat kemampuan
orang-orang yang sudah hampir kehabisan darah yang
mengalir dari luka. Namun akhirnya mereka sampai juga ke perkemahan.
Mereka melihat para pengiring Pandan Wangi sudah duduk
melepaskan lelahnya bersandar pada sebatang pohon.
Ketika mereka melihat orang-orang yang datang itu,
mereka terkejut bukan buatan. Segera mereka meloncat
berdiri dan berlari-lari menyongsongnya.
"Apa yang terjadi?" hampir berbareng mereka bertanya.
Dan pertanyaan itu telah menggetarkan dada Panaan
Wangi dan kawan-kawannya. Dengan demikian maka seakanakan
mereka telah memberitahukan, bahwa Rudita tidak
datang kepada mereka. Meskipun demikian, dengan nafas yang seakan-akan
mengalir semakin lambat Prastawa bertanya, "Apakah Rudita
datang ke mari seorang diri?"
Para pengiring yang tinggal di perkemahan itu menjadi
termangu-magu. Mereka pun menjadi heran mendengar
pertanyaan itu. Salah seorang dari mereka bertanya,
"Maksudmu Rudita yang pergi bersamamu?"
"Ya." Pengiring itu menggelengkan kepalanya. Katanya, "Tidak.
Ia tidak datang ke mari."
Prastawa menjadi semakin cemas. Dan Pandan Wangi
pun bertambah pucat. Katanya, "Jadi, anak itu tidak datang ke
mari?" "Tidak," jawab salah seorang pengiring yang kemudian
justru bertanya, "Tetapi, apakah yang sudah terjadi?"
"Kita bertemu dengan yang kita cari. Kita telah bertempur."
"O," Para pengiring itu mengerutkan keningnya. Di
pandanginya beberapa orang yang terluka, bahkan yang
terbunuh di pertempuran. Tetapi kebanyakan dari mereka
adalah orang-orang yang datang dari seberang Kali Praga.
Sedang orang-orang Menoreh sendiri tidak begitu parah
keadaannya, meskipun ada dua orang yang terluka. Tetapi
tidak berat. "Pandan Wangi," berkata Raden Sutawijaya, "ternyata kita
tidak sedang bermain-main dan sekedar berburu kelinci. Kita
di hadapkan pada lawan yang perlu mendapat perhatian yang
sungguh-sungguh." "Ya," jawab Pandan Wangi, "hilangnya Rudita membuat
keadaanku menjadi sulit. Jika kemudian timbul persoalan
antara ayah Rudita dan ayahku, maka akulah yang menjadi
sebab. Apalagi Rudita adalah sanak dari saluran darah ibuku.
Bukan ayahku." "Mudah-mudahan kita dapat menemukan," jawab
Sutawijaya, "aku tidak akan tinggal diam. Aku pun ikut
bertanggung jawab atas hilangnya anak itu, karena akulah
yang menyebabkan kalian berburu orang-orang bersenjata
yang semula tidak kita kenal itu, tetapi yang ternyata adalah
orang-orang yang dikendalikan oleh para perwira Pajang
sendiri yang ingin berkhianat di samping ada orang-orang lain
yang sengaja memancing di air keruh."
"Jadi, apakah yang akan Raden lakukan?"
"Aku akan menghadap Ki Argapati. Biarlah para
pengawalku membawa kawan-kawannya yang gugur dan
terluka kembali ke Mataram dan menyampaikan persoalan ini
kepada Ayahanda Ki Gede Pemanahan. Aku memerlukan
sepasukan pengawal pilihan. Kita bersama-sama mencari
Rudita. Bukan sekedar Rudita, tetapi aku juga mempunyai
pamrih yang lain. Aku harus masuk ke dalam sarang
Panembahan Agung itu, agar aku dapat memadamkan apinya,
bukan sekedar asapnya. Kemudian aku tinggal
memperhitungkan lawan yang ada di Istana Pajang."
Pandan Wangi mengangguk-anggukkan kepalanya.
Katanya, "Baiklah, Raden. Kita dapat segera berangkat. Kita
tidak boleh kehilangan waktu."
"Ya, kita harus segera berangkat, sebelum kita justru yang
akan terjebak di sini."
"Ya. Aku kira Daksina tidak akan tinggal diam. Apalagi
menurut pendengaranku, ia sudah mengatakan beberapa hal
mengenai rencananya."
"Ia yakin dapat membunuh aku. Dan itu tentu terjadi jika
kalian tidak datang membantuku."
"Ah, hanya suatu kebetulan."
Demikianlah, maka mereka pun segera mengatur diri. Para
pengawal dari Mataram diperintahkan untuk segera kembali
ke Mataram saat itu juga, sedang yang lain berserta Raden
Sutawijaya akan pergi ke Menoreh. Persoalannya tidak dapat
dihentikan sampai sekian, apalagi agaknya Rudita benarbenar
telah dibawa oleh salah seorang dari mereka.
"Kita tidak boleh terjebak di sini oleh kekuatan yang lebih
besar lagi dari Daksina dan yang barangkali akan datang
bersama-sama dengan orang yang disebutnya Panembahan
Agung itu. Daksina tentu masih berusaha untuk membungkam
mulutku untuk selama-lamanya," berkata Sutawijaya kepada
para pengawalnya. "Dan lebih dari itu, jika ia berhasil
menangkap aku hidup-hidup, maka aku akan dapat
dijadikannya alat untuk memeras Ayahanda Ki Gede
Pemanahan untuk memenuhi tuntutan-tuntutan mereka."
"Baiklah, Raden," sahut pengawal yang tertua, yang
diserahi untuk memimpin kawan-kawannya, "kami akan
segera berangkat." "Kalian tidak perlu menerobos hutan liar itu. Lebih baik
kalian melingkar sedikit, tetapi perjalanan kalian akan lebih
lancar dan cepat." "Baiklah, Raden."
"Sebentar lagi matahari akan terbenam. Mudah-mudahan
kalian tidak mengalami kesulitan. Jika Daksina berusaha
mencari kalian dengan menelusuri jejak kalian, maka malam
yang akan segera turun akan membantu kalian."
"Ya, Raden." "Meskipun demikian, kita akan berusaha menyesatkan
jejak itu. Kita yang akan pergi ke Menoreh, akan memberikan
kesan agar jejak kita lebih jelas dari jejak kalian yang akan
pergi ke Mataram. Kita berharap, bahwa perhatian mereka
akan tertarik pada jejak yang lebih jelas itu. Untuk beberapa
puluh langkah, kalian harus berusaha menyamarkan jejak
kalian sejauh dapat kalian lakukan."
"Baiklah, Raden."
"Nah, kita harus melakukannya sekarang," dan sambil
berpaling kepada Pandan Wangi Sutawijaya berkata, "kita
harus cepat berkemas."
Pandan Wangi menganggukkan kepalanya. Ketika ia
memandang berkeliling dilihatnya Agung Sedayu, Swandaru,
Prastawa, dan para pengiringnya memperhatikan
pembicaraan itu dengan saksama. Bahkan kemudian
Prastawa berkata, "Kita harus secepatnya meninggalkan
tempat ini." Meskipun tidak ada yang menyahut, namun setiap hati
telah sependapat dengan kata-kata Prastawa itu. Mereka
mempunyai perhitungan yang sama, bahwa Daksina akan
membawa pasukan yang lebih kuat untuk membinasakan
Sutawijaya yang sudah mendengar beberapa dari rahasia
Daksina, yang dengan sombong dikatakannya. Selain
daripada itu, Daksina dan kawan-kawannya memang
memerlukan Sutawijaya yang akan dapat dipakainya untuk
memeras Ki Gede Pemanahan.
Dengan mempergunakan nama Ki Gede Pemanahan,
maka kedudukan seseorang akan menjadi kuat di mata para
adipati pesisir dan Bang Wetan.
"Marilah," berkata Sutawijaya sambil menunggu mereka
yang dengan tergesa-gesa mengemasi peralatan yang
mereka bawa, terutama orang-orang Menoreh. "Para
pengawal dari Mataram sebaiknya segera berangkat. Mungkin
Daksina akan mencegat perjalanan kalian. Karena itu, kalian
harus mencari jalan lain. Sedang apabila mereka menempuh
cara mengikuti jejak kalian, kami akan mencoba
menyesatkannya. Di ujung hutan itu, kalian harus mencoba
menyamarkan jejak kalian sejauh-jauhnya."
Demikianlah, maka para pengawal dari Mataram itu pun
berangkat mendahului orang-orang Menoreh. Mereka
membawa kawan-kawan mereka yang terbunuh dan yang
terluka. Seperti pesan Raden Sutawijaya mereka menempuh jalan
yang lain, yang tidak usah menerobos hutan liar itu, seperti
jalan yang akan dilalui oleh Sutawijaya dan orang-orang
Menoreh kemudian. Setelah para pengiring Pandan Wangi selesai mengemasi
peralatannya, maka mereka pun segera berangkat
meninggalkan perkemahan itu. Karena Raden Sutawijaya
tidak membawa kuda sendiri, maka salah seorang pengawal
Pandan Wangi telah meminjamkan kudanya.
Sampai di ujung hutan, ternyata bahwa para pengawal dari
Mataram itu berusaha menyamarkan jejaknya. Dengan hatihati


03 Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mereka maju dan menghindari tempat yang gembur dan
sentuhan pada ranting-ranting perdu, sementara seseorang
menyapu jejak mereka dan menaburkan daun-daun kering
untuk menyesatkan perhatian.
Dalam pada itu, para pengiring Pandan Wangi justru
menegaskan jejak mereka yang berbelok kejurusan lain.
Bekas kaki-kaki kuda dan beberapa macam benda yang
sengaja mereka jatuhkan, menunjukkan arah perjalanan
mereka, ke pusat pemerintahan Tanah Perdikan Menoreh.
Ketika matahari kemudian terbenam, Sutawijaya menjadi
berdebar-debar. Ada dua kemungkinan yang sama besar bagi
para pengawalnya. Jika orang-orang Daksina benar-benar
mencarinya, dan menyelusuri jejak perjalanan para
pengawalnya, mereka akan menemui kesulitan karena gelap
yang pekat. Tetapi jika mereka menempuh jalan lain dan
berhasil mencegat para pengawal itu di tempat yang tepat,
maka para pengawalnya tidak akan banyak memberikan
perlawanan. Tetapi para pengawal dari Mataram itu pun ternyata adalah
orang yang cukup berpengalaman. Mereka tidak
menyeberangi Kali Praga melalui jalan yang biasa, tetapi
mereka menempuh jalan-jalan memintas yang jarang dilalui
orang. Meskipun mereka agak kesulitan mencari getek-getek
penyeberangan, tetapi karena ada di antara mereka yang
sudah mengenal orang-orang yang memiliki getek-getek
semacam itu, maka dengan sedikit penjelasan, mereka pun
berhasil meminjam dari mereka dan membawa getek itu dari
tempat penyeberangan yang biasa, ke tempat yang lain untuk
menghindari orang-orang Daksina yang mungkin mengejar
mereka atau mencegat di tempat penyeberangan yang
mereka perhitungkan. Sementara itu, Sutawijaya dan kawan-kawannya beserta
para pengiring dari Tanah Perdikan Menoreh pun berpacu
secepat-cepatnya untuk segera dapat mencapai induk Tanah
Perdikan. Bukan karena mereka ketakutan dikejar oleh
Daksina, tetapi karena mereka dicemaskan oleh nasib Rudita.
Mereka harus segera dapat berhubungan dengan orang-orang
tua seperti Ki Argapati, Kiai Gringsing, dan Sumangkar. Tanpa
mereka, maka usaha untuk menemukan Rudita adalah sulit
sekali. Dan selain daripada itu, tusukan langsung ke sarang
orang yang menyebut dirinya Panembahan Agung itu tentu
akan sangat berguna bagi Mataram dan juga Menoreh.
Dalam pada itu, sebenarnyalah Daksina yang melarikan
diri dari arena, berusaha untuk mendapatkan bantuan
secukupnya. Dengan orang-orangnya yang baru dan seorang
yang menyebut dirinya Putut Nantang Pati, dari padepokan
yang tersembunyi, Daksina berusaha menyusul Raden
Sutawijaya. "Apakah kita tidak menghadap Panembahan Agung lebih
dahulu ke Padepokan Medang?" bertanya Putut Nantang Pati.
"Kita akan kehilangan mereka, terutama Raden
Sutawijaya. Perjalanan ke Padepokan Medang akan
memerlukan waktu, jarak antara padepokanmu ini sampai ke
padepokan Panembahan Agung sama jauhnya dengan
menyelusuri jejak Sutawijaya sampai ke tepi Kali Praga."
"Apakah kita akan menyelusuri jejaknya, atau kita akan
langsung menunggunya di Kali Praga."
"Ada beberapa tempat penyeberangan. Kita tidak dapat
menentukan, penyeberangan yang mana yang dipilihnya."
"Kita akan menemui kesulitan untuk menyelusuri jejak di
malam hari." "Kita akan berusaha. Mereka tentu berjalan lambat, karena
mereka membawa kawan-kawan mereka yang terluka."
Dengan membawa beberapa obor mereka pun dengan
tergesa-gesa berusaha menyusul Sutawijaya. Tetapi mereka
memerlukan waktu, selama mereka menyiapkan diri dan
mengumpulkan orang-orangnya. Meskipun demikian, mereka
pun tidak mengurungkan niatnya. Menurut perhitungan
Daksina, mereka akan dapat menyusul orang-orang Mataram
itu. Dengan cahaya obor mereka berusaha menyelusuri jejak
orang-orang Mataram dan orang-orang Menoreh. Sejak dari
arena perkelahian sehingga bekas tempat perkemahan
mereka tidak menemukan kesulitan apa pun.
"Mereka belum lama meninggalkan tempat ini," berkata
Daksina. "Ya," jawab Putut Nantang Pati, "perapian ini masih
hangat." "Tentu setelah mereka kembali dari arena itu."
"Mereka sempat mengemasi barang-barang mereka."
"Karena itu, tentu mereka belum terlalu jauh."
"Bagaimana kalau kita menempuh jalan yang kau pasang
kemarin" Jejak yang berhasil menyeret Sutawijaya sampai ke
jebakan yang kau pasang?"
"Mereka tentu tidak akan menempuh jalan itu."
"Sayang, jebakanmu tidak mengena."
"Tentu bukan sekedar menyesali diri. Kita harus
menyusulnya. Jalan yang paling baik adalah menyelusuri jejak
mereka." Putut Nantang Pati tidak menyahut lagi. Ia pun kemudian
memandang ke dalam gelap. Cahaya obor yang kemerahmerahan
seakan-akan membuat bayangan yang bergerakgerak
di pepohonan. "Marilah," berkata Daksina.
Demikianlah, mereka pun berjalan menyusuri jejak yang
dapat mereka lihat di dalam cahaya obor. Beberapa orangKang
Zusi - http://kangzusi.com/
orang berpengalaman mengenai jejak berjalan di paling
depan. Dengan ketajaman mata mereka, maka mereka dapat
mengikuti jejak yang sengaja tidak disembunyikan.
"Apakah mereka akan menjebak kita seperti kita menjebak
mereka" Apakah mereka dengan sengaja meninggalkan
bekas agar kita terjerumus ke dalam jerat seperti kita
lakukan?" gumam Daksina.
"Tentu tidak," sahut Putut Nantang Pati, "bukankah mereka
dengan tergesa-gesa meninggalkan perkemahan" Tentu
mereka memperhitungkan juga, bahwa kau akan menyusul
Raden Sutawijaya, karena bagimu Sutawijaya adalah orang
yang sangat penting dan sekaligus orang yang sudah
mendengar beberapa hal tentang rencana yang sebenarnya
masih merupakan rahasia."
"Ya." "Nah, marilah. Yakinlah, bahwa kita tidak akan terjebak.
Mereka tidak akan sempat mengumpulkan orang-orang lebih
banyak lagi seperti yang dapat kita lakukan. Seandainya ada
satu dua orang yang semula menunggui perkemahan ini, itu
tidak akan berarti apa-apa."
Daksina tidak menjawab. Mereka maju dengan hati-hati
menyusup hutan perdu. "Orang-orang Menoreh agaknya membawa kuda.
Jumlahnya tidak begitu banyak," berkata seorang yang
berpengalaman mengenali jejak.
"Ya. Di antara jejak kuda masih ada jejak kaki."
Daksina mengangguk-anggukkan kepalanya. Tentu para
pengiringnya mempergunakan kuda, sedang para
pengawalnya berjalan kaki, atau yang sekelompok berkuda,
sedang kelompok yang lain berjalan kaki.
Untuk beberapa saat lamanya mereka mengikuti jejak itu.
Namun pada suatu saat orang yang ada di paling depan
berhenti sejenak. Sambil merendahkan obornya ia berkata,
"Aku melihat sesuatu yang aneh di sini."
"Ya, mereka berbelok ke Menoreh. Semuanya. Tidak ada
bekas yang lain." "Belum tentu jika mereka pergi ke Menoreh."
"Jurusan itu adalah jurusan ke Menoreh. Apalagi di antara
mereka terdapat orang-orang Menoreh. Agaknya mereka akan
merawat orang-orang mereka yang terluka, atau mungkin
menguburkan yang terbunuh."
Namun tiba-tiba salah seorang dari mereka yang mengerti
jejak itu berkata, "Tidak. Tidak semuanya pergi ke Menoreh."
"Maksudmu?" bertanya Nantang Pati. "Tidak ada jejak
yang lain kecuali jejak yang berbelok menuju ke induk Tanah
Perdikan Menoreh." "Tetapi hanya jejak mereka yang berkuda sajalah yang
menuju ke Menoreh. Tidak ada jejak kaki. Mereka yang
berjalan kaki tentu tidak akan pergi ke Menoreh."
"Lalu, ke manakah jejak kaki yang mengikuti jejak kuda
itu?" "Jejak itu hilang."
Daksina mengerutkan keningnya. Katanya, "Mereka akan
membalas menjebak kita seperti yang sudah aku lakukan.
Apakah mereka juga melangkah surut seperti kita di tempat
terbuka itu?" Sejenak mereka yang mengamati jejak itu ragu-ragu.
Namun tiba-tiba salah seorang berkata, "Tidak. Inilah jejak
mereka. Mereka menaburkan dahan-dahan kering atau
dedaunan yang hijau di atas bekas kaki mereka, agar jejak itu
tidak menarik perhatian. Agaknya mereka berusaha agar jejak
mereka tidak kita ketahui."
"Jika demikian, inilah jalan yang dilalui Raden Sutawijaya.
Marilah kita ikuti. Mereka tidak akan dapat menyamarkan
jejaknya untuk perjalanan yang panjang. Pada suatu saat,
jejak mereka akan menjadi jelas."
"Marilah, kita percepat perjalanan ini."
"Tetapi ternyata sulit untuk menemukan jejak yang kita
ikuti. Kita benar-benar harus meneliti, seakan-akan sehelai
daun demi sehelai." "Baiklah, tetapi kita maju terus."
Orang-orang yang sedang mengamati jejak itu tidak
menjawab. Setapak demi setapak mereka maju juga.
Namun akhirnya mereka berhasil melampaui daerah
penyamaran jejak. Setelah itu, maka jejak itu pun dapat
dikenal dengan mudah. Daksina dan Putut Nantang Pati menjadi semakin
bernafsu. Mereka yakin bahwa jalan yang mereka temukan
adalah jalan yang benar, sehingga mereka akan segera dapat
menyusul dan menangkap Raden Sutawijaya.
"Apalagi agaknya orang-orang Menoreh itu sudah
memisahkan diri, termasuk orang-orang bercambuk itu,"
berkata Daksina kemudian.
"Darimana kau tahu?" bertanya Putut Nanntang Pati.
"Mereka datang bersama orang-orang Menoreh. Agaknya
mereka memang menjadi tamu Ki Argapati."
Putut itu tidak menyahut lagi. Dengan obor di tangan orang
yang berjalan di paling depan menjadi semakin lama semakin
cepat, karena ia pun mengharap untuk dapat menyusul Raden
Sutawijaya. "Ternyata mereka memilih jalan yang tidak terduga-duga
sebelumnya. Jika kita tidak mengerti jejaknva, kita tidak akan
menyangka, bahwa mereka memilih jalan yang agak sulit ini,
sedangkan di bagian lain terdapat jalan yang lebih lapang,"
berkata Daksina. "Mereka adalah orang-orang yang cukup berpengalaman,"
sahut Putut Nantang Pati.
Daksina hanya menganguk-anggukkan kepalanya saja.
Namun harapan di dadanya menjadi semakin berkembang
ketika mereka sudah melalui jalan yang berbatu-batu padas
dan agak sulit dilalui iring-iringan yang membawa orang-orang
yang terluka dan apalagi beberapa sosok mayat, tidak akan
dapat berjalan terlalu cepat.
"Mereka akan menunggu di pinggir Kali Praga," desis salah
seorang pengikut Daksina.
"Kenapa?" "Tidak ada getek di daerah ini. Aku tahu pasti."
"Tetapi mereka dapat mencari getek itu di tempat
penyeberangan yang lain."
"Belum tentu di malam hari seperti ini. Kebanyakan mereka
yang memiliki getek tidak ada di atas geteknya. Mereka
biasanya pulang dan tidur di rumah, karena tidak banyak
orang menyeberang di malam hari."
Daksina tidak menyahut. Kemungkinan-kemungkinan yang
bermacam-macam memang dapat saja ditemuinya di dalam
perjalanan ini. Dan dalam kegelisahan itulah, maka ia pun
kemudian memerintahkan orang-orangnya berjalan lebih cepat
lagi. Dalam pada itu orang-orang yang akan menyeberang ke
Mataram itu pun ternyata dapat bekerja dengan cepat. Kawankawan
mereka, para pemilik getek itu pun dengan senang hati
berusaha membantu, sehingga mereka tidak memerlukan
waktu terlalu lama untuk menunggu.
Namun demikian getek-getek itu lepas dari tepi sebelah
Barat, orang-orang yang ada di atasnya menjadi terkejut
karenanya. Mereka melihat beberapa buah obor menyusur
jalan sempit yang baru saja mereka lalui.
"Sapakah mereka?" desis salah seorang pengawal dari
Mataram yang sudah mulai mengarungi derasnya arus Kali
Praga. Kawan-kawannya pun memperhatikan obor yang
mendekati dengan cepat itu. Namun mereka tidak segera
dapat mengetahui siapakah mereka.
"Tentu bukan Raden Sutawijaya dan orang-orang Menoreh
itu," berkata pemimpin pengawal itu kemudian, "mereka
datang dengan tergesa-gesa dan tidak berada di punggung
kuda." "Apakah orang-orang itulah yang dimaksud oleh Raden
Sutawijaya akan segera menyusul kita?" desis yang lain.
"Mungkin. Mungkin sekali," lalu katanya kepada para
pendayung, "percepat sedikit."
Salah seorang pendayung itu tersenyum sambil menjawab,
"Mereka tidak akan dapat mencapai kalian setelah kalian
terpisah dari tepian."
"Tetapi mereka dapat mencari getek-getek semacam ini."
"Mereka memerlukan waktu. Mereka harus pergi ke
penyeberangan yang lain dan kemudian menyeberang dengan
getek-getek itu jika ada orang yang mendayungnya."
"Mereka dapat membangunkan para pendayung itu seperti
kami membangunkan kalian."
"Dan itu memerlukan waktu lebih banyak lagi. Sementara
itu kalian sudah sampai di tepian," tetapi pendayung itu
kemudian bertanya. "Tetapi apakah masih ada kemungkinana


03 Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mereka menyusul kalian di daratan seberang Kali Praga?"
Ternyata pertanyaan itu menimbulkan persoalan bagi para
pengawal. Meskipun mereka berhasil mencapai seberang, dan
mendahului orang-orang yang membawa obor itu, namun
memang masih ada kemungkinan orang-orang itu dapat
menyusul mereka di atas tlatah Tanah Mataram itu sendiri, di
daerah yang masih belum berpenghuni.
"Jika demikian," tiba-tiba pemimpin pengawal itu berkata,
"Kita tidak langsung menyeberang di sini. Kita akan mengikuti
arus air dan menepi di daerah penyeberangan yang sudah
memiliki gardu-gardu pengawas. Setida-tidaknya jumlah kita
akan bertambah dengan para pengawas itu. Sementara itu,
satu dua orang penghubung berkuda, dapat memanggil
bantuan pada gardu-gardu terdekat."
"Tepat sekali," sahut seorang pengawal.
"Beri isyarat kepada getek yang lain."
Demikianlah, getek itu tidak langsung memotong arus
sungai dan mencapai tepian di seberang. Mereka mengikuti
arus Kali Praga, dan berusaha untuk menepi di daerah
terdekat dengan gardu pengawas.
Dalam pada itu, Daksina dan orangnya yang sudah
mencapai tepian menumpat-umpat tidak habis-habisnya.
Mereka hanya dapat melihat di dalam keremangan malam,
tiga getek yang menyeberangi Kali Praga yang deras arusnya
itu. "Kita mencari getek serupa," desis Daksina.
"Di mana?" bertanya seorang pengikutnya.
"Di jalan penyeberangan. Jika para pemiliknya tidak ada,
kita dapat mendayungnya sendiri menyusul mereka."
Beberapa orang pengiringnya menjadi termangu-mangu.
Sementara itu Putut Nantang Pati justru tertawa sambil
berkata, "Kita hanya akan membuang waktu tanpa arti.
Selama kita mencari getek di tempat penambatan, mereka
sudah menjadi semakin jauh, dan bahkan mereka sudah akan
meloncat ke darat." "Kita masih mempunyai kesempatan. Kita kejar mereka di
atas tanah mereka sendiri. Mereka tidak akan dapat berbuat
apa-apa. Sekarang aku membawa orang lebih banyak lagi dari
yang telah menjebak Raden Sutawijaya tetapi gagal itu,
karena kehadiran orang-orang Menoreh dan orang-orang
bercambuk. Tetapi tanpa mereka, orang Mataram itu tidak
akan dapat melawan kita."
Tetapi Putut Nantang Pati menggelengkan kepalanya.
Katanya, "Tidak ada gunanya. Tentu ada gardu-gardu peronda
di seberang sungai. Mereka akan naik ke tepian di tempat
yang mereka anggap paling aman. Lihat, mereka tidak
langsung melintas sungai ini. Tetapi mereka mengkuti arus
untuk beberapa saat. Tentu hal itu dilakukan dengan maksud
tertentu." Daksina mengangguk-anggukkan kepalanya. Sebagai
seorang prajurit ia pun dapat mengerti pertimbangan Putut
Nantang Pati. Namun sebenarnya ia masih mempunyai
harapan. Menurut perhitungannya, seandainya ada juga gardu
pengawas, namun tentu di dalam gardu itu tidak akan ada
sepasukan prajurit yang siap untuk bertempur. Seandainya
para pengawas itu sempat membunyikan isyarat, namun
agaknya Daksina akan mempunyai waktu yang cukup untuk
menangkap Sutawijaya. Namun ternyata bahwa Putut Nantang Pati tidak
sependapat. Karena itu, maka Daksina pun tidak meneruskan
niatnya. "Kita akan segera kembali," berkata Putut Nantang Pati
kemudian, "adalah berbahaya sekali kita mencoba untuk
menangkap Sutawijaya di atas tanah yang selama ini
dipertahankannya mati-matian."
"Baiklah," berkata Daksina, "tetapi kali ini aku benar-benar
mengalami kegagalan. Aku tidak dapat menangkap Raden
Sutawijaya. Aku tidak dapat meneruskan rencanaku untuk
menguasai Ki Gede Pemanahan, seperti jika Sutawijaya ada
di tanganku. Dan sudah barang tentu, jalan ke Pajang bagiku
akan menjadi sangat berbahaya. Mungkin sekali Raden
Sutawijaya akan mengirimkan utusan untuk menghadap
Sultan, seandainya Sutawijaya masih segan datang sendiri.
Sutawijaya dapat melaporkan semua perbuatanku dan
ceriteraku kepadanya."
"Kau memang kurang berhati-hati," berkata Putut Nantang
Pati, "kau seharusnya belajar dari kegagalan-kegagalan yang
pernah terjadi. Orang-orang bercambuk itu seakan-akan ada
di seluruh pelosok Mataram dan sekitarnya di setiap waktu.
Seakan-akan setiap ada usaha yang kita lakukan orang-orang
bercambuk itulah yang menggagalkannya. Usaha mengusili
para pendatang dan membuka Tanah Mataram dengan hantuhantuan
itu pun gagal. Kemudian usaha menghancurkan
Mataram lewat tangan Untara di Jati Anom, itu pun gagal
karena orang-orang bercambuk itu pun ternyata ada di dalam
rumah yang biasanya dipergunakan oleh para perwira.
Kemudian usaha menutup Mataram dengan menyumbat
semua jalur jalan ke Mataram itu telah dipecah pula oleh
orang-orang bercambuk itu di mulut Alas Tambak Baya,
padahal usaha itu nampaknya perlahan-lahan akan berhasil."
Daksina mengangguk-anggukkan kepalanya. Kegagalankegagalan
itu memang terasa sangat pahit. Namun ia masih
tetap berharap untuk dapat menghancurkan Mataram. Ia
masih mengharap, bahwa pertentangan antara Pajang dan
Mataram tidak akan dapat dihindarkan lagi.
"Baiklah," berkata Daksina kemudian, "aku memang
kurang berhati-hati kali ini. Aku menganggap bahwa, usahaku
akan berhasil, sehingga aku mengatakan sebagian dari
rahasia yang seharusnya tetap tersimpan. Namun aku masih
mengharap, bahwa gadis Kalinyamat itu akan dapat
membakar hubungan antara ayah angkat dan anaknya yang
memang sudah mulai retak."
"Kau dapat membuktikan hubungan itu" Sekedar ceritera
tentang hubungan Raden Sutawijaya dengan gadis sengkeran
Sultan Pajang itu tidak akan berarti apa-apa."
"Sebentar lagi Sultan akan dapat mengetahuinya tanpa
ada orang lain yang mengatakannya."
"Maksudmu?" "Menurut penyelidikan terakhir, gadis itu ternyata sudah
mengandung." "He?" Putut Nantang Pati mengerutkan keningnya. Namun
ia pun tertawa berkepanjangan. Katanya kemudian, "Ternyata
Sultan Pajang dan anak angkatnya itu tidak ada bedanya.
Sutawijaya sudah terpengaruh oleh cara hidup ayah
angkatnya, bukan oleh ayahnya sendiri. Jika benar gadis itu
sudah mengandung, maka persoalannya akan menjadi
semakin cepat. Tetapi apakah Panembahan Agung sudah
mengetahuinya?" "Aku sudah mengatakannya."
Putut Nantang Pati mengangguk-anggukkan kepalanya.
Katanya, "Jika demikian kita tidak usah cemas. Marilah kita
kembali ke padepokanku."
"Tetapi, apakah kau tidak mempertimbangkan, bahwa
mungkin sekali Raden Sutawijaya akan kembali dengan
membawa pasukan segelar sepapan?"
"Mereka belum melihat padepokanku. Dalam pada itu, aku
akan menempatkan beberapa orang pengawas. Yang sudah
ada dapat diperbanyak untuk beberapa waktu lamanya. Tetapi
aku kira Raden Sutawijaya tidak akan berbuat dengan
tergesa-gesa, sehingga aku masih akan mempunyai waktu
untuk memikirkan. Setidak-tidaknya kita mempunyai jalan
untuk melarikan diri dengan aman seandainya yang datang
menurut perhitungan kami tidak terlawan."
Daksina mengangguk-angguk. Katanya kemudian, "Aku
akan menjadi penghuni padepokanmu, karena aku tidak dapat
kembali ke Pajang." Putut Nantang Pati memandang Daksina sejenak. Sambil
mengerutkan keningnya ia bertanya, "Kau tidak berani kembali
ke Pajang, karena menurut dugaanmu Sutawijaya melaporkan
kelakuanmu?" "Ya." "Tentu tidak. Sultan Pajang tidak akan mempercainya,
karena bagi Pajang, Sutawijaya sudah tidak mendapat
kepercayaan lagi. Namun kau harus berhati-hati. Kau dapat
kembali ke Pajang, tetapi untuk sementara kau tinggal di
rumah kawan-kawanmu yang terpercaya, apabila sudah
sampai waktunya kau harus kembali."
"Masih ada waktu beberapa pekan. Aku mendapat ijin
meninggalkan tugasku untuk waktu yang cukup panjang."
Daksina menarik nafas, kemudian, "Tetapi jika orang-orang
Pajang tahu, bahwa ternyata aku mempergunakan waktuku
untuk kepentingan ini?"
"Jangan pikirkan sekarang. Mari kita kembali."
"Ke padepokanmu atau langsung ke padepokan
Panembahan Agung itu?"
"Ke padepokanku."
Daksina mengangguk-anggukkan kepalanya. Namun ia
masih berpaling memandang arus Kali Praga. Namun getekgetek
yang membawa orang Mataram itu sudah menjadi
semakin jauh. Pada saat Daksina, Putut Nantang Pati, dan kawankawannya
meninggalkan tanggul Kali Praga, maka pada saat
itu, beberapa ekor kuda berpacu menuju ke padukuhan induk
dari Tanah Terdikan Menoreh. Bersama mereka adalah
Raden Sutawijaya yang bergelar Mas Ngabehi Loring Pasar.
Namun yang kemudian lebih senang bekerja keras membuka
Alas Mentaok yang liar dan ganas untuk membangun sebuah
negeri yang besar. Derap kaki-kaki kuda itu mengejutkan orang-orang yang
sedang tidur nyenyak. Beberapa orang tergagap bangun.
Namun, derap kaki-kaki kuda itu pun sudah menjadi semakin
jauh. Para peronda yang ada di gardu-gardu dengan tergesagesa
berloncatan bangun dengan menggenggam senjata
masing-masing. Apalagi sebagian dari mereka pernah
mendengar, bahwa kadang ada orang-orang bersenjata yang
tidak dikenal berkeliaran di sisi sebelah Timur dari Tanah
Perdikan Menoreh. (***) Buku 73 NAMUN ketika para peronda itu berusaha menghentikan
iring-iringan kuda itu, maka mereka pun berloncatan minggir,
karena mereka mendengar suara Pandan Wangi yang
berkuda di paling depan, "Aku. Akulah yang akan lewat.
Pandan Wangi." Seseorang sempat bertanya keras-keras, "Malam-malam
begini?" "Aku dari hutan perburuan," sahut Pandan Wangi sambil
berderap menjauh. Para peronda itu menarik nafas dalam-dalam. Bahkan
salah seorang dari mereka berdesis, "He, kau yakin bahwa
suara itu suara Pandan Wangi."
"He, apakah kau mengigau. Bukankah kita bersama
melihat ia berada di punggung kudanya."
"Aku tidak melihatnya begitu jelas. Obor itu tidak begitu
terang." "Dan di belakangnya adalah Prastawa."
"Ya, ya. Di belakangnya Prastawa. Di antara mereka
terdapat kedua anak-anak muda itu, yang dahulu pernah
berada di Tanah ini, ketika berkecamuk pertengkaran di antara
kita." "Ya. Tetapi siapakah yang seorang lagi?"
"Tamu Pandan Wangi yang manja itu."
"Rudita?" orang itu ragu-ragu. Lalu, "Bukan, tentu bukan
Rudita." "Tetapi Rudita ikut di dalam perburuan itu."
"Ya, tetapi anak muda itu bukan Rudita. Rudita tidak
membawa sebatang tombak pendek."
"Kau lihat kuda tanpa penunggang, sedangkan yang lain
dibebani oleh dua orang?"
"Tetapi dimuati dengan beban yang cukup banyak.
Meskipun agaknya tidak terlalu berat, tetapi cukup memenuhi
seluruh punggungnya."
Kawannya tidak menyahut. Tetapi hal itu ternyata telah
menarik perhatiannya. Namun agaknya orang-orang di gardu peronda itu tidak
mengetahui, bahwa di punggung kuda yang tidak
berpenumpang itu tersangkut sehelai kulit seekor ular naga
yang besar, selain beberapa perlengkapan berburu yang lain.
Karena itulah, maka kuda itu sengaja tidak dibebani oleh
seorang pun, meskipun bebannya sebenarnya lebih berat dari
seseorang. Demikianlah, maka mereka pun kemudian memasuki
padukuhan induk Tanah Perdikan Menoreh. Seperti setiap
padukuhan yang lain, yang mereka lalui, maka derap kaki-kaki
kuda itu pun telah mengejutkan mereka yang tinggal di
sebelah-menyebelah jalan dan terutama para peronda di
gardu-gardu. Namun para peronda itu pun kemudian menarik
nafas dalam-dalam ketika mereka melihat Pandan Wangi dan
kawan-kawannya lewat. Mereka mengerti, bahwa Pandan
Wangi baru kembali dari hutan perburuan.
Demikian juga, ketika derap kaki-kaki kuda itu memasuki
halaman rumah Ki Argapati. Para peronda di regol halaman itu
pun terkejut, meskipun memang kadang-kadang terjadi
Pandan Wangi pulang dari hutan perburuan di malam hari.
Derap kaki kuda yang memasuki halaman itu pun telah
membangunkan Ki Argapati dan tamu-tamunya dari Sangkal
Putung. Mereka hampir berbareng telah turun ke halaman,
menyambut mereka yang baru datang dari daerah perburuan.
Namun kuda yang tidak berpenumpang itu memang
menarik perhatian. Sehingga Ki Argapati pun segera bertanya,
"Siapakah yang tidak ada di antara kalian?"
Pandan Wangi menjadi berdebar-debar. Sejenak ia
memandang berkeliling. Tetapi karena ayah dan ibu Rudita
belum nampak di antara mereka, maka ia pun segera berbisik
kepada ayahnya, "Ada yang kosong Ayah, tetapi ada yang
terpaksa membawa dua orang di satu punggung kuda."
Ki Argapati mengerutkan keningnya. Namun kemudian ia
berkata sambil mengangguk-anggukkan kepalanya, "Jadi
sengaja kuda yang seekor itu kalian muati dengan barangbarang


03 Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dan alat-alat berburu?"
"Sebagian benar," sahut Pandan Wangi.
Ki Argapati tidak segera menangkap maksud anaknya.
Ketika ia kemudian memandang berkeliling, semua
penunggang kuda telah berloncatan turun.
"Kuda itu juga membawa sehelai kulit seekor naga
raksasa." "He, naga raksasa. Di mana kau mendapatkannya?"
Pandan Wangi tidak menjawab pertanyaan ayahnya, tetapi ia
berkata, "Ada yang lebih menarik dari sehelai kulit naga
raksasa itu." "Apa?" "Rudita hilang, Ayah."
"He," kata-kata itu benar-benar telah mengejutkan Ki
Argapati dan tamu-tamunya dari Sangkal Putung, sehingga
dengan serta-merta Ki Gede Menoreh berkata, "Berkatalah
yang benar." "Benar, Ayah. Dan di antara kami sekarang adalah Raden
Sutawijaya." "He, apakah yang kau katakan itu. Kau belum memberi
penjelasan tentang Rudita, sekarang kau menyebut nama
Raden Sutawijaya." "Ia ada di antara kami."
"Apakah kau mengigau?"
Pandan Wangi tidak menjawab. Ia memberi kesempatan
seorang anak muda yang bersenjata tombak pendek
melangkah maju mendekati Ki Gede Menoreh, "Ya, Paman.
Aku datang bersama dengan Pandan Wangi dan
pengiringnya." "Raden Sutawijaya?"
Beberapa orang melihat anak muda itu menyibak para
pengiring Pandan Wangi dan seleret sinar obor jatuh di atas
wajahnya. Sambil tersenyum, Sutawijaya berkata selanjutnya,
"Ternyata bahwa selama berburu di hutan liar itu, Pandan
Wangi dan orang-orangnya banyak menjumpai ujian yang
berat." Ki Argapati mengangguk-angguk. Katanya kemudian,
"Tetapi marilah, Raden, kita naik ke pendapa. Aku belum
mengucapkan selamat datang kepada Raden."
"Baiklah, Paman. Tetapi sebaiknya Paman mendengarkan
dahulu ceritera tentang anak muda yang disebut bernama
Rudita itu." "O, bagaimana dengan Rudita" Apakah benar hilang?"
"Biarlah Pandan Wangi menceriterakannya."
Ki Argapati memandang Pandan Wangi sejenak, ia pun
bertanya, "Bagaimanakah sebenarnya yang terjadi?"
Maka Pandan Wangi pun segera menceriterakan tentang
Rudita yang ditinggalkannya sendiri, karena semula ia
mengkhawatirkan keselamatannya. Namun justru kemudian
Rudita itu hilang tanpa jejak, selain hanya beberapa ciri yang
memberikan sekedar tanda-tanda yang kurang jelas."
"Hilang, jadi Rudita benar-benar hilang?" desis Ki Argapati.
"Ya, Ayah." Wajah Ki Gede Menoreh menjadi tegang. Namun
kemudian ia pun menarik nafas dalam-dalam sambil berkata,
"Suatu cobaan yang berat bagi kita, Pandan Wangi."
"Aku mengerti, Ayah," Pandan Wangi menunduk wajahnya,
"tetapi yang terjadi adalah di luar kemampuanku. Ia sangat
manja dan apalagi penakut. Aku mengalami kesulitan
membawanya serta di dalam perburuan."
Ki Argapati pun kemudian berpaling memandang Kiai
Gringsing, Ki Sumangkar, dan Ki Demang yang berdiri di
antara mereka. Mereka tidak sempat mengucapkan selamat
datang kepada Raden Sutawijaya, karena Pandan Wangi tidak
memberinya kesempatan. Namun Pandan Wangi tidak dapat
lagi mengingat adat sopan-santun itu lagi, karena kegelisahan
yang meluap di dalam hatinya.
"Kiai, kita kehilangan seorang tamu," desis Argapati.
"Memang menyulitkan sekali," sahut Kiai Gringsing. Lalu,
"Apakah kau juga menyaksikan peristiwa itu Raden?" bertanya
Kiai Gringsing kepada Raden Sutawijaya.
Barulah Raden Sutawijaya sadar, bahwa ia berhadapan
dengan Kiai Gringsing, Ki Sumangkar, dan Ki Demang
Sangkal Putung. "O, maaf, Kiai. Aku belum sempat mengucapkan selamat
bertemu lagi." "Selamat, Ngger. Tetapi kedatangan Angger kali ini
ternyata membawa berita yang sangat mengejutkan."
"Nanti aku akan menceriterakan semua yang telah teriadi,
Kiai, sehingga Kiai akan mendapat gambaran tentang
peristiwa itu." Kiai Gringsing, Ki Sumangkar, dan Ki Demang Sangkal
Putung hanya mengangguk-anggukkan kepala saja.
Namun Ki Argapati-lah yang kemudian mempersilahkan
tamunya, "Marilah, duduklah dahulu."
Raden Sutawijaya itu pun kemudian duduk di pendapa
bersama orang-orang Menoreh dan Sangkal Putung. Mereka
memperbincangkan setiap kemungkinan yang dapat terjadi
atas Rudita. "Benar-benar kita dihadapkan pada suatu kesulitan."
"Ayah," pinta Pandan Wangi, "aku tidak sampai hati
mengatakan hal ini kepada Paman dan Bibi. Rudita adalah
anak satu-satunya bagi orang tuanya. Jika ia tidak dapat
diketemukan dalam keadaan selamat, maka ayah dan ibunya
akan mengalami kejutan yang sepanjang hidupnya tidak akan
dapat dilupakan. Dan mereka pun akan menjadi sangat marah
pula kepadaku." Ki Argapati tidak segera dapat menyahut.
"Ayah. Biarlah Ayah saja yang menyampaikan kepada
ayah dan ibu Rudita, diikuti dengan permohonan maaf."
Ki Argapati menarik nafas dalam-dalam. Sejenak ia
memandang pintu gandok di seberang longkangan yang
masih tertutup. Di gandok itulah, ayah dan ibu Rudita
bermalam selama ia berada di Tanah Perdikan Menoreh.
"Baiklah," berkata Ki Argapati kemudian, "aku akan
mengatakannya, meskipun aku menyadari, bahwa hal ini akan
sangat mengejutkan mereka, terutama ibunya. Rudita adalah
satu-satunya anak mereka yang sangat mereka manjakan.
Jika Rudita itu benar-benar hilang, maka aku dapat
menggambarkan, betapa pedihnya hati mereka."
"Tetapi Ayah dapat menjelaskan, bahwa kami akan
mencarinya. Kami akan membawa pengawal lebih banyak
lagi, karena ternyata di daerah ujung dari Tanah Perdikan kita,
terdapat sebuah padepokan yang agaknya dipergunakan oleh
seseorang yang menamakan dirinya Panembahan Agung itu."
"Mungkin masih di batas telatah Menoreh, tetapi mungkin
pula di seberang," desis Sutawijaya menyela, "kau masih
belum tahu pasti letak padepokan itu. Bahkan mungkin bukan
sebuah padepokan, tetapi hanya sekedar sarang yang mereka
pergunakan untuk sementara."
"Mungkin, memang mungkin. Mencari Rudita bukannya
pekerjaan yang mudah," desis Ki Argapati, "namun
bagaimanapun juga kita bertanggung jawab atas hilangnya
anak itu. Anak yang sama sekali tidak pernah menyiapkan
dirinya menghadapi kekerasan, meskipun ayahnya seorang
yang memiliki banyak kelebihan. Bukan saja kanuragan, tetapi
menurut pendengaranku, ia memiliki ilmu yang jarang dimiliki
oleh seseorang. Selain pandangannya yang tajam dan jauh,
yang mampu menembus batas waktu kini, yang sudah lampau
dan yang akan datang, namun ia juga memiliki kemampuankemampuan
lain yang bukan sekedar kasat mata."
Raden Sutawijaya mengangguk-anggukkan kepalanya.
Teringat olehnya pemomongnya di masa kanak-kanak yang
kini seakan-akan telah hilang dari lingkungan Istana Pajang, Ki
Gilingwesi, yang menurut pendengarannya terakhir bertapa di
atas Gunung Merapi. Orang itu pun menurut pendengarannya
memiliki ilmu yang gaib. Dalam pada itu, Kiai Gringsing pun menarik nafas dalamdalam.
Sejenak dipandanginya Ki Argapati yang ikut
berprihatin atas hilangnya Rudita. Tetapi pembicaraan
mengenai ilmu yang gaib itu telah menyentuh perasaannya.
Sebenarnyalah balwa Kiai Gringsing pernah
mempelajarinya. Tetapi ilmu itu disimpannya rapat-rapat di
dalam dirinya. Ilmu yang seakan-akan memiliki kemampuan
jauh di luar jangkauan akal itu sebenarnya tidak banyak
berpengaruh. Namun di dalam saat-saat tertentu, ilmu
semacam itu memang dapat dipergunakannya. Meskipun Kiai
Gringsing sadar, bahwa ilmu yang gaib semacam itu, tidak
hanya ada satu atau dua jenis, tetapi ada bermacam-macam,
sehingga yang satu tidak sama dengan yang lain. Demikian
juga ilmu yang pernah dipelajari oleh Kiai Gringsing itu jauh
berbeda dengan ilmu yang dimiliki oleh ayah Rudita. Kiai
Gringsing tidak sanggup untuk melihat menembus batas
waktu, apalagi yang cukup jauh. Ia hanya dapat
memperhitungkan berdasarkan pengalaman, kenyataankenyataan
yang pernah terjadi dan kemungkinankemungkinan
yang akan dihadapinya. Perhitungan demikian
memang tidak selamanya tepat, tetapi apabila ia yakin, maka
dapat juga agaknya dijadikan pegangan.
Keyakinan itulah yang menjadi dasar ilmu Kiai Gringsing.
Ia tidak dapat membakar hutan dengan tatapan matanya. Ia
tidak dapat menjadikan dirinya kebal tanpa dapat dilukai
senjata. Dan ia tidak dapat menciptakan bentuk-bentuk
bayangan yang seakan-akan menjadi suatu kenyataan.
Namun Kiai Gringsing memiliki ilmu yang disebutnya
sekedar sebuah perisai. Itulah yang memberikan kemantapan
pada pribadinya. Selain perisai dalam bentuk olah kanuragan,
namun ia memiliki kemampuan menyadari kediriannya,
kepribadiannya. Dengan demikian, maka Kiai Gringsing tidak
mudah ditembus oleh ilmu yang gaib dari orang lain. Ia tidak
mudah dapat dipengaruhi dengan cara yang betapapun juga.
Panca inderanyalah yang seakan-akan menjadi kebal dari
pengaruh ilmu gaib itu. Dan ilmu itulah ilmu gaib yang dimiliki
oleh Kiai Gringsing. Ilmu yang karena keyakinannya atas
dirinya di dalam hubungannya dengan Penciptanya, dengan
kemurnian indera dan angan-angan, sehingga ia dapat
membebaskan dirinya dari pengaruh gaib yang lain.
"Tetapi agaknya ayah Rudita memiliki ilmu yang lain,"
berkata Kiai Gringsing di dalam hatinya, "selain
kemampuannya menembus waktu, agaknya ia mampu
berbuat sesuatu. Tetapi ia orang baik. Dan itulah kelebihannya
yang paling berharga."
Demikianlah, maka pertemuan yang tiba-tiba itu agaknya
telah menegangkan hati. Apalagi Ki Argapati, yang kakinya
masih belum dapat pulih sama sekali, meskipun ia masih tetap
seorang yang memiliki kelebihan dari orang lain.
"Besok aku akan mengatakannya," desis Ki Argapati tibaKang
Zusi - http://kangzusi.com/
tiba. "Tetapi apakah mereka tidak akan terbangun mendengar
kita berbicara di pendapa ini?" bertanya Pandan Wangi.
"Ternyata mereka tidak juga keluar."
"Terserah kepada Ayah. Sebentar lagi fajar akan segera
menyingsing." "Sekarang, beristirahatlah. Aku akan berbicara dengan
orang-orang tua." Pandan Wangi dan anak-anak muda yang lain pun segera
meninggalkan pendapa itu. Yang tinggal hanyalah orangorang
tua yang masih tetap mencari jalan, bagaimana mereka
akan berbuat untuk menyelamatkan Rudita.
Namun dalam pada itu, sebenarnyalah ayah Rudita sudah
terbangun. Sebuah getaran yang dahsyat telah menggetarkan
dadanya. Karena itulah, maka justru ia sedang mencoba
mengetahui apakah maknanya.
Dengan daya penglihatan batinnya, ayah Rudita ingin
mengetahui getaran apakah sebenarnya yang telah
mengguncang jantungnya itu.
Perlahan-lahan ayah Rudita itu berhasil melihat di dalam
isyarat yang gaib, peristiwa yang menimpa anaknya. Meskipun
ia tidak melihat pasti, apakah yang sudah terjadi, tetapi ia
melihat, bahwa anaknya sedang dicengkam oleh bahaya yang
mengancam nyawanya. Ayah Rudita itu pun menarik nafas dalam-dalam. Sebagai
seorang ayah, ia menjadi sangat cemas. Namun di dalam
penglihatannya, ia masih mempunyai harapan untuk
menemukan anaknya, karena sampai saat itu, anaknya masih
dianggapnya selamat. "Tetapi apakah yang dapat aku lakukan?" berkata laki-laki
itu di dalam hatinya. "Jika ibunya mengetahui, maka aku akan
lebih banyak dicengkam oleh kebingungan, sehingga
penglihatanku akan menjadi kabur. Namun bagaimanapun
juga, adalah kuwajibanku untuk menemukannya."
Tanpa membangunkan isterinya, laki-laki itu pun bangkit
dari pembaringan dan melangkah keluar. Derit pintu gandok
agaknya terdengar dari pendapa, sehingga orang-orang yang
ada di pendapa itu pun berpaling kepadanya.
Terasa dada Ki Argapati menjadi berdebar-debar. Ia sadar,
bahwa orang tua Rudita dapat menuntut pertanggungan jawab
Pandan Wangi. Namun agaknya yang terjadi itu adalah di luar
kemampuan anak gadisnya dan kawan-kawannya.
Perlahan-lahan ayah Rudita mendekati Ki Argapati. Sekilas
ia tersenyum. Kemudian ia pun menyapanya, "Ki Gede masih
juga berjaga-jaga di pendapa menjelang fajar?"
Ki Argapati pun masih mencoba tersenyum dan
mempersilahkan laki-laki itu duduk.
Sejenak ia menjadi termangu-mangu. Namun kemudian ia
berkata dengan suara yang tertahan-tahan, "Pandan Wangi
telah datang dari daerah perburuannya."
"O," laki-laki itu mengangguk-angguk. Dan ia pun mulai
merasakan kebenaran getaran isyarat di dalam dirinya. Jika
Pandan Wangi telah datang, dan Rudita tidak besertanya,
maka ia benar-benar telah dicengkam oleh bahaya.
"Tetapi," suara Ki Argapati menjadi bertambah dalam,
"Rudita tidak datang bersamanya."
Laki-laki itu menarik nafas dalam-dalam. Dalam sekali.
Perlahan ia bertanya, "Di manakah anak itu?"
Ki Argapati pun kemudian menceriterakan apa yang sudah
terjadi atas Rudita, betapapun beratnya.
"Tetapi Pandan Wangi bersedia untuk mencarinya. Ia akan


03 Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

segera menyiapkan pengawal yang lebih banyak. Dan sudah
barang tentu, kami tidak akan membiarkan anak-anak itu
berkeliaran tanpa pengawasan kami setelah peristiwa ini
terjadi." Ayah Rudita itu termenung sejenak. Terbayang di rongga
matanya, bagaimanakah terkejut isterinya jika ia
mendengarnya. Namun ia pun sadar, bahwa ia tidak dapat
mempersalahkan siapa pun juga. Yang terjadi adalah seolaholah
sebuah kecelakaan bagi Rudita, dan dalam persoalan itu,
tidak akan dapat menyalahkan orang lain.
"Besok, jika pasukan pengawal terpilih sudah siap, ia akan
segera berangkat. Tetapi kami pun harus berhati-hati, agar
kami tidak terjebak, dan tidak sebagai serangga menjelang
api. Karena sebenarnyalah kami tidak mengetahui, betapa
besar pasukan orang-orang yang tidak kita kenali itu. Kita
masih harus memperhitungkan, apakah Daksina, seorang
perwira dari Pajang itu hanya seorang diri di daerah yang
masih buas itu atau ia membawa sepasukan prajurit
bawahannya dari Pajang."
Ayah Rudita mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya,
"Memang semuanya harus diperhitungkan. Dan aku
mengucapkan terima kasih atas kesediaan Pandan Wangi
mencari anak itu. Dan apalagi dengan orang-orang yang
mendapat kepercayaan Ki Gede."
"Aku sendiri akan pergi," berkata Ki Gede.
"Tetapi?"" sahut ayah Rudita.
"Kakiku sudah berangsur menjadi semakin baik. Meskipun
perlahan-lahan sekali, namun semakin lama terasa
kemajuannya, karena aku membiasakan mempergunakannya.
Mungkin kakiku tidak bertambah baik. Tetapi akulah yang
menjadi biasa dengan kaki yang cacat ini."
"Tetapi sebaiknya Ki Argapati tetap di rumah. Biarlah aku
mengikuti anak-anak itu mencari Rudita."
"Tidak ada salahnya aku ikut. Aku ingin melihat padepokan
orang yang menyebut dirinya Panembahan Agung."
"Panembahan Agung," ayah Rudita mengerutkan
keningnya. Lalu sambil mengangguk-angguk ia berdesis, "Aku
pernah mendengar nama itu. Atau nama yang mirip dengan
itu. Seorang yang menyebut dirinya Panembahan Panjer
Bumi. Tetapi mungkin juga orangnya lain. Panembahan Panjer
Bumi adalah seorang yang diliputi rahasia dan berkeliaran di
sebelah Utara pegunungan kapur itu."
"Memang ada banyak orang yang menyebut dirinya
panembahan," sahut Kiai Gringsing. "Aku juga pernah bertemu
dengan seseorang yang menyebut dirinya panembahan tanpa
nama." Ayah Rudita menarik nafas dalam-dalam. Namun ia masih
diterangi oleh sebuah harapan meskipun samar-samar. Tetapi
sampai kapan harapan itu dapat dipegangnya. Jika saatnya
terjadi atas Rudita, maka harapan itu pun akan segera padam.
"Memang tidak ada jalan lain kecuali segera mencarinya.
Aku tidak kuasa untuk mencegah sesuatu yang mungkin
terjadi atasnya dengan kemampuanku dari rumah ini," katanya
di dalam hati. "Ki Argapati," berkata ayah Rudita kemudian, "aku pun
akan mempersiapkan diri. Barangkali sudah sepantasnya aku,
ayahnya, ikut mencarinya. Mungkin ada suatu yang dapat aku
lakukan untuk menyelamatkannya."
Ki Argapati tidak akan dapat menolak. Tentu orang tua
Rudita itu pun dicengkam oleh kegelisahan. Meskipun ia
memiliki ilmu untuk menembus batas waktu dan tempat,
namun ia tidak akan dapat berbuat sesuatu atas yang terjadi
selain menangkap isyaratnya. Dan isyarat yang gelap akan
membuat hatinya menjadi semakin gelap.
"Kadang-kadang beruntung juga rasanya, bahwa aku tidak
mengetahui apa yang terjadi, meskipun hanya sekedar isyarat
yang samar-samar. Dengan demikian usaha, dan ihtiar tidak
akan dilemahkan oleh isyarat-isyarat itu, apalagi apabila kita
salah mengurai arti dari isyarat itu," berkata Ki Argapat di
dalam hatinya, karena ia sadar bahwa yang terjadi itu akan
tetap terjadi, ada atau tidak ada isyarat. "Tetapi," ia
melanjutkan, "kadang-kadang isyarat memang menjadi
pendorong untuk berbuat sesuatu."
Dalam pada itu, maka malam pun menjadi semakin lama
semakin tipis. Cahaya kemerah-merahan mulai membayang di
langit. Dan cahaya kemerah-merahan itu adalah isyarat akan
datangnya fajar, disambut oleh kokok ayam jantan yang
bersahut-sahutan. "Baiklah aku berkemas," berkata ayah Rudita, "bukankah
kita akan segera berangkat mencari Rudita?"
"Memang semakin cepat semakin baik. Jejaknya mungkin
masih membekas, dan kemungkinan-kemungkinan yang tidak
kita harapkan barangkali masih dapat dihindarkan," sahut Ki
Argapati. "Jika fajar menjadi semakin terang, aku akan
memerintahkan para pengawal bersiap. Para pengawal
pilihan, karena kita akan menjelang suatu daerah yang belum
pernah kita jajagi."
Demikianlah, maka ayah Rudita itu pun kemudian
meninggalkan pendapa itu. Ia pun sebenarnya bukan saja
dibingungkan oleh hilangnya Rudita, tetapi juga untuk
menemukan cara mengatakan hal itu kepada isterinya.
Dalam pada itu, selagi Ki Argapati masih duduk di pendapa
bersama Kiai Gringsing, Ki Sumangkar, dan Ki Demang
Sangkal Putung, maka Pandan Wangi pun telah berada di
dalam biliknya. Beberapa saat lamanya ia duduk merenung.
Kadang-kadang hatinya menjadi kelam. Bagaimanapun juga ia
sangat terpengaruh oleh hilangnya Rudita, seolah-olah
segenap pertanggungan jawab ada di atas pundaknya.
Sementara itu, di gandok yang lain, Agung Sedayu dan
Swandaru duduk bersama Raden Sutawijaya dan Prastawa.
Mereka pun masih juga dibayangi oleh peristiwa yang baru
saja terjadi. "Jika kalian tidak bertemu dengan kami, maka anak itu
tidak akan hilang," desis Raden Sutawijaya.
"Kita tidak dapat mencari kesalahan pada diri kita masingmasing,
Raden," sahut Agung Sedayu. "Kita semuanya
bersalah. Yang penting, bagaimana kita akan dapat
menemukannya kembali."
"Aku mengharap, hari ini pasukan yang lebih kuat akan
datang langsung kemari. Orang-orangku yang membawa
Kemelut Di Telaga Dewa 2 Pendekar Rajawali Sakti 179 Patung Dewi Ratih Perawan Lembah Wilis 23

Cari Blog Ini