03 Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintardja Bagian 29
korban kawan-kawannya itu pasti sudah sampai di tlatah
Mataram jika mereka tidak terjebak oleh Daksina. Dan mereka
akan mengatakan semuanya kepada Ayahanda Ki Gede
Pemanahan. Dan ayahanda akan mengetahui, apakah yang
sebaiknya dilakukan buat aku dan terlebih-lebih buat
Mataram." Agung Sedayu, Swandaru, dan Prastawa menganggukangguk.
Sejenak mereka berdiam diri, namun tiba-tiba saja di
luar dugaan Swandaru bertanya, "Tetapi Raden, barangkali
pertanyaanku tidak menyenangkan. Namun karena aku sendiri
sedang dipengaruhi oleh suasana yang serupa, maka
agaknya aku ingin bertanya, apakah mungkin ancaman
Daksina itu dapat dilakukannya, karena ia menyebut seorang
gadis yang tersangkut di dalam persoalan antara Mataram dan
Pajang?" "Ah," desis Raden Sutawijaya yang tiba-tiba menjadi
tersipu-sipu. Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Tetapi
agaknya ia tertarik juga pada pertanyaan Swandaru itu.
Meskipun demikian ia tidak mengatakan sesuatu. Bahkan
Prastawa-lah yang seakan-akan tanpa disadari pula
mendesak, "Ah, agaknya Raden memang sudah saatnya
untuk kawin." Wajah Sutawijaya menjadi semakin merah. Meskipun
demikian ia menjawab, "Tidak ada persoalan apa-apa.
Agaknya aku memang sudah terlibat dalam hubungan dengai
seorang gadis. Tetapi bukankah itu wajar" Jika Daksina
mencoba memeras dengan ceriteranya yang bukan-bukan, itu
sama sekali bukan kebenaran."
"Tetapi apakah salahnya jika Raden Sutawijaya memang
sebenarnya berhubungan dengan seorang gadis seperti juga
Swandaru sekarang?" sahut Prastawa. "Ia datang untuk
melamar Pandan Wangi. Bukankah itu wajar?"
Raden Sutawijaya mengangguk-anggukkan kepalanya.
Tetapi menilik sikapnya ada sesuatu yang sengaja
dirahasiakannya. Karena itu maka katanya kemudian,
"Sudahlah, kita berbicara tentang persoalan lain."
Prastawa tersenyum. Katanya, "Baiklah, kita berbicara
tentang soal lain. Tetapi jika pada saatnya Raden benar-benar
menemukan seorang gadis, maka kami mengharap agar
Raden bersedia menerima kedatangan kami, diundang atau
tidak diundang." Raden Sutawijaya hanya tersenyum saja. Tetapi ia
kemudian berkata, "Sebaiknya kita berbicara tentang Rudita.
Begitu pasukanku tiba, kita akan berangkat. Pasukan yang
aku minta adalah pasukan pengawal yang terpilih. Tidak
hanya sepuluh sampai duapuluh orang. Tetapi paling sedikit
aku harus membawa tigapuluh orang. Kita akan mengepung
sarang gerombolan orang-orang yang telah mengambil Rudita
itu. Dan barangkali di antara mereka terdapat prajurit-prajurit
Pajang selain Daksina."
"Tetapi Raden," Agung Sedayu bertanya, "apakah Raden
pasti bahwa yang mengambil Rudita itu termasuk golongan
Daksina dan kawan-kawannya. Apakah tidak mungkin ada
pihak lain yang melakukannya dengan tujuan yang tidak ada
hubungannya dengan Daksina?"
"Itu memang mungkin terjadi," berkata Sutawijaya, "tetapi
di dalam keadaan itu, agaknya tentu orang-orang Daksina
yang melakukannya dengan maksud-maksud tertentu."
Yang mendengarkan keterangan Sutawijaya itu
mengangguk-anggukkan kepalanya. Mereka pun
berpendapat, bahwa yang mengambil Rudita tentu orangorang
di pihak Daksina, meskipun mereka kadang-kadang
juga disentuh oleh pertanyaan, bahwa ada pihak lain yang
mengambil keuntungan. "Tetapi siapa?" pertanyaan lain menyusul, dan di susul
pula oleh sebuah dugaan, "Barangkali ayah Rudita
mempunyai lawan atau saling bersaing."
Dalam pada itu, ternyata perintah Ki Gede Menoreh untuk
mengumpulkan para pengawal terpilih telah berpencar ke
segenap padukuhan yang termasuk tlatah Tanah Perdikan
Menoreh. Setiap padukuhan wajib mengirimkan dua atau tiga
orang yang paling baik di antara para pengawal yang ada di
padukuhan itu. Namun ternyata, bahwa para pengawal yang membawa
perintah itu harus menjelaskan, bahwa yang diperlukan hanya
dua atau tiga orang. Bukan sepuluh orang.
Beberapa orang pengawal menjadi kecewa, bahwa
mereka tidak mendapat kesempatan kali itu. Namun mereka
harus tunduk kepada setiap pemimpin kelompok yang
menunjuk orang-orang terbaik di lingkungan mereka.
"Ada persoalan yang cukup gawat," berkata utusan Ki
Gede Menoreh itu kepada para pengawal. "Seorang tamu Ki
Gede ternyata telah hilang. Kita bersama-sama wajib
mencarinya." Para pengawal mengangguk-angguk.
"Selain yang pergi bersama kami, maka yang tinggal pun
harus bersiaga di padukuhan masing-masing. Jika kalian
melihat orang-orang yang mencurigakan, apalagi membawa
tamu Ki Gede itu, kalian harus cepat bertindak. Mungkin orang
yang membawa tamu itu seorang yang sakti. Tetapi jika kalian
sempat membunyikan isyarat, maka pengawal dari padukuhan
di sekitar kalian akan datang. Betapa saktinya seseorang,
tetapi kemampuannya pasti terbatas. Jika jumlah kita cukup
banyak, maka mereka pun tentu akan dapat kita kuasai."
Demikianlah, maka para pengawal itu pun mulai berkumpul
di halaman rumah Kepala Tanah Perdikan Menoreh.
Pada saat di halaman mulai berdatangan beberapa orang
pengawal, maka ibu Rudita menangis di dalam biliknya.
Anaknya yang sangat dikasihinya itu tiba-tiba telah hilang.
"Apakah sengaja, Pandan Wangi dan anak-anak muda dari
Sangkal Putung itu meninggalkan Rudita di hutan?" desis ibu
Rudita di antara isaknya.
"Tentu tidak. Yang datang malam tadi bukan saja Pandan
Wangi dan anak-anak muda Sangkal Putung itu, tetapi juga
Raden Sutawijaya, putera angkat Sultan Pajang, yang
sebenarnya adalah anak laki-laki Ki Gede Pemanahan."
"Tetapi nampaknya anak-anak Sangkal Putung itu iri
melihat kehadiran Rudita di sini. Apalagi anak yang datang
untuk melamar Pandan Wangi. Mungkin anak itu sudah
dibakar oleh perasaan cemburu."
Tetapi suaminya menggelengkan kepalanya, "Tentu tidak.
Yang terjadi adalah sebuah kecelakaan."
"Kau yakin?" Laki-laki itu menganggukkan kepalanya. Meskipun ia tidak
dapat melihat sampai ke soal yang sekecil-kecilnya di dalam
pandangan indera gaibnya, namun untuk meyakinkan isterinya
ia berkata, "Ya. Aku dapat membedakan getar di dalam diriku.
Sebenarnyalah aku sudah merasa, bahwa sesuatu terjadi atas
Rudita. Dan aku merasa, bahwa yang terjadi adalah suatu
kecelakaan." Isterinya tidak membantah lagi. Ia percaya kepada
suaminya, bahwa ia memiliki kemampuan melihat. Namun
demikian, sebenarnya ada kecurigaan juga padanya, bahwa
suaminya tidak berkata sebenarnya seperti yang dilihatnya.
Tetapi ibu Rudita itu tidak mendesaknya lagi.
Sementara itu, halaman rumah Ki Gede Menoreh semakin
lama menjadi semakin sibuk. Para pengawal terpilih dari
beberapa padukuhan telah datang dengan perlengkapan
perang menurut kebiasaan masing-masing. Ada yang
membawa tombak pendek, pedang, perisai dan ada pula yang
membawa bindi bergerigi. Sutawijaya dan anak-anak muda dari Sangkal Putung
menyaksikan kesibukan itu dari serambi gandok. Sementara
itu Prastawa telah sibuk menyiapkan semua kelengkapan
yang diperlukan untuk melakukan perburuan yang lebih besar
itu. "Ki Demang," berkata Ki Argapati kepada Ki Demang
Sangkal Putung, "aku minta maaf, bahwa pembicaraan kita
terpaksa diselingi dengan persiapan perang seperti ini. Aku
terpaksa minta diri beberapa saat untuk menemukan tamu
yang hilang itu. Jika tidak, maka akan dapat terjadi salah
paham antara aku dan orang tua Rudita, terutama ibunya
yang sangat mengasihinya. Biarlah Ki Demang tinggal di sini
beberapa saat lamanya. Aku mengharap, bahwa kami tidak
memerlukan waktu terlampau lama."
"Tetapi menurut pendengaranku, Kiai Gringsing dan Ki
Sumangkar akan ikut serta dengan pasukan pengawal ini."
"Ya. Mereka akan pergi bersama kami, juga ayah Rudita
akan pergi." "Anakku pun akan pergi. Karena itu, biarlah aku pergi
juga." "Sebaiknya Ki Demang tetap tinggal di sini."
"Biarlah aku pergi. Aku ingin melihat apa yang akan terjadi.
Apalagi Swandaru pun akan ikut pula bersama Angger
Pandan Wangi." "Ya. Pandan Wangi merasa bertanggung jawab."
"Raden Sutawijaya merasa bertanggung jawab pula."
"Ya. Kami akan pergi bersama-sama," Ki Gede berhenti
sejenak, lalu, "aku masih mengharap Ki Demang tinggal di
rumah ini." "Terima kasih Ki Gede. Tetapi aku mohon diijinkan ikut
serta." Gede menarik nafas dalam-dalam. Tetapi ia tidak
mencegahnya lagi. Demikianlah, persiapan itu menjadi semakin lengkap.
Karena itu, maka Ki Gede pun kemudian memanggil Raden
Sutawijaya ke pendapa bersama tamu-tamunya. Termasuk
ayah Rudita. "Kita sudah bersiaga," berkata Ki Argapati, "kita
akan segera berangkat mencari Rudita. Ternyata semuanya
kita akan berangkat. Memang sebenarnya kita mengharap,
bahwa ada yang tinggal. Ada yang mengharap aku tinggal,
tetapi aku sendiri mengharap Ki Demang yang tinggal, yang
lain mengharap orang lain lagi. Namun agaknya kita bersamasama
ingin mencari Rudita. Bagi Raden Sutawijaya dan bagi
Menoreh, tentu ada juga alasan-alasan lain. Bukan saja
mencari Rudita, tetapi ada sangkut pautnya juga dengan
keamanan bagi Mataram dan Menoreh untuk selanjutnya."
"Apakah kita akan segera berangkat?" bertanya Raden
Sutawijaya. "Ya. Kita sudah siap. Aku akan memberikan beberapa
petunjuk. Dan aku akan minta seseorang yang aku anggap
sudah mengenal daerah di sekitar tempat kejadian itu untuk
memberikan beberapa keterangan mengenai daerah yang
masih dapat kita anggap asing itu."
"Tetapi aku berharap agar keberangkatan ini dapat ditunda
beberapa saat saja."
"Kenapa?" tiba-tiba ayah Rudita memotong.
"Aku sudah mengirimkan orang-orangku kembali ke
Mataram dengan pesan, agar Ayahanda Ki Gede Pemanahan
memerintahkan beberapa puluh pengawal terpilih untuk
mengikuti aku pergi ke sarang Daksina dan orang-orangnya.
Kita tidak tahu, apakah di sana ada sepasukan prajurit Pajang
yang berpihak kepada Daksina. Karena itu, maka kita harus
berhati-hati. Pasukan kita harus pasukan yang kuat. Jika kita
terpaksa menghadapi kekuatan yang besar. Kecuali jika kita
sempat mengirimkan seseorang atau dua untuk menyelidiki
daerah itu terlebih dahulu."
"Tetapi itu akan memakan waktu Raden," berkata ayah
Rudita. "Maksudmu, apakah kita tidak dapat menunggu pasukan
pengawal dari Mataram?"
Ayah Rudita menjadi termangu-mangu, demikian juga Ki
Gede Menoreh. Karena itu, maka untuk beberapa saat mereka
tidak segera dapat mengambil keputusan.
"Ki Gede," berkata Sutawijaya, "menilik kelengkapan
orang-orang yang di bawa oleh Daksina, ada suatu kelompok
yang teratur di bawah satu perintah. Menurut dugaanku,
Daksina bukan orang tertinggi. Baik di dalam lingkungan
orang-orang bersenjata itu, maupun perwira Pajang yang
sengaja ingin melihat Pajang menjadi semakin lemah dan
apabila mungkin hancur bersama Mataram. Karena itu, kita
harus memperhitungkan kekuatan mereka baik-baik, agar
bukan kitalah yang bagaikan serangga masuk ke dalam api.
Ki Gede Menoreh menarik nafas dalam-dalam. Ia mengerti
apa yang dikatakan oleh Sutawijaya. Dan ia pun sudah
berpikir seperti itu, Namun Ki Gede Menoreh dipengaruhi oleh
tanggung jawabnya atas hilangnya Rudita, sehingga karena
itu, maka ia menjawab, "Kami tidak berkeberatan menunggu
pasukan pengawal dari Mataram. Semakin kuat kita, itu
semakin baik. Tetapi kita tidak boleh terlambat, sebab yang
ingin kita selamatkan adalah nyawa seseorang."
Raden Sutawijaya mengangguk-anggukkan kepalanya.
Sejenak ia berpikir, lalu katanya, "Ki Gede, bagaimana jika kita
membagi pasukan. Bagaimana jika Ki Gede berangkat dahulu.
Dengan demikian, maka apabila ada kesempatan Ki Gede
dapat segera bertindak, Tetapi jika keadaan tidak
memungkinkan Ki Gede dapat menunggu kedatanganku
bersama pasukanku. Aku berharap, bahwa hari ini mereka
akan sampai. Mereka akan menuju ke induk tanah perdikan ini
dengan tanda-tanda damai dari Mataram, agar tidak
menimbulkan salah paham dengan para pengawal Menoreh,
apabila mereka belum sempat mendengar berita tentang
kedatangan pasukan pengawal dari Mataram itu, yang
sebenarnya aku harap pagi ini dapat diberitahukan kepada
pengawal di sepanjang Kali Praga."
Pendapat Sutawijaya itu agaknya merupakan jalan tengah
yang baik. Sejenak Ki Gede Menoreh memandang ayah
Rudita yang kecemasan. "Ki Gede," berkata ayah Rudita, "pendapat Raden
Sutawijaya itu adalah pendapat yang baik. Kita berangkat
lebih dahulu. Sementara itu kita berjanji untuk bertemu di
tempat yang kita tentukan."
Ki Argapati ternyata sependapat. Katanya, "Baiklah. Kami
akan berangkat lebih dahulu Raden. Kami akan mencoba
mendekati tempat yang pernah Raden kunjungi bersama
Pandan Wangi itu. Namun kami pun tidak akan dapat sampai
sebelum kami mengirimkan satu dua orang untuk mengamati
keadaan. Tetapi sementara itu, kami sudah berada di dekat
03 Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
tempat itu." "Baiklah. Biarlah kami segera menyusul," Raden
Sutawijaya berhenti sejenak, lalu, "tetapi jika diperkenankan,
biarlah Agung Sedayu dan Swandaru pergi bersamaku,
sementara Pandan Wangi dan Prastawa akan dapat menjadi
penunjuk jalan bagi Ki Gede."
Ki Gede Menoreh memandang kedua anak-anak muda
Sangkal Putung itu sejenak, kemudian dipandanginya Kiai
Gringsing, Ki Sumangkar, dan Ki Demang Sangkal Putung.
"Biarlah ia pergi bersama Raden Sutawijaya," berkata Kiai
Gringsing, "tetapi untuk melepaskan anak-anak itu pergi tanpa
pengawasan agaknya meragukan juga. Karena itu, kita yang
tua-tua pun sebaiknya membagi tugas. Biarlah Adi Sumangkar
pergi bersama Ki Gede, sedang aku dan Ki Demang akan
menyusul bersama Raden Sutawijaya."
Ki Argapati mengangguk-anggukkan kepalanya. Ia pun
sadar, bahwa yang akan mereka amati bukannya sekedar
orang kebanyakan. Dengan demikian maka mereka pun bersepakat untuk
membagi pasukan mereka menjadi dua kelompok. Pasukan
Mataram di bawah pimpinan Sutawijaya akan berangkat
kemudian, bersama dengan Agung Sedayu dan Swandaru
disertai oleh Kiai Gringsing dan Ki Demang Sangkal Putung
yang tidak sampai hati melepaskan Swandaru pergi, meskipun
sebenarnya bahaya yang akan dihadapi akan menjadi lebih
besar bagi Ki Demang daripada Swandaru sendiri apabila
mereka benar-benar berhasil, menemukan sarang orang yang
menyebut dirinya Panembahan Agung itu.
Dalam pada itu kelompok yang lain, yang terdiri dari
pengawal terpilih Tanah Perdikan Menoreh mendahului di
bawah pimpinan Ki Argapati sendiri yang kakinya masih belum
pulih sama sekali. Dalam kelompok itu akan berangkat pula
ayah Rudita, Ki Sumangkar dan Pandan Wangi serta
Prastawa. "Nah," berkata Ki Argapati, "kita membagi kerja. Kita akan
bertemu di kaki bukit padas itu. Kita sudah menentukan isyarat
yang harus kita ketahui jika kita terlibat dalam pertentangan di
malam hari." "Ya, Ki Gede. Kami akan segera menyusul demikian
pasukan Raden Sutawijaya datang," sahut Kiai Gringsing.
"Sebenarnyalah bahwa kita harus berhati-hati. Selama ini aku
sudah menjumpai beberapa orang yang pilih tanding. Pada
masa Mataram dibayangi oleh hantu-hantuan, maka kami
mengenal orang-orang yang bernama Kiai Damar dan Kiai
Telapak Jalak. Kemudian kami mengenal orang-orang yang
luar biasa menyerang para perwira Pajang di Jati Anom. Dan
di perjalanan ke Menoreh kami bertemu dengan seseorang
yang menyebut dirinya panembahan tidak bernama. Bahkan
mungkin masih ada nama-nama lain yang berada di sudut
yang lain dari Mataram dan Pajang, itulah sebabnya, maka
tidak mustahil bahwa di dalam sarang mereka terdapat orangorang
semacam itu, ditambah dengan perwira-perwira Pajang
yang mungkin terlibat."
Ki Argapati mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya,
"Ternyata persiapan mereka cukup lama. Tetapi sayang,
bahwa mereka tidak dapat menyalurkan kemampuan sekian
banyak orang untuk tujuan yang lebih baik dari pamrih
pribadi." "Ya. Dan untunglah, bahwa mereka tidak dapat
mengerahkan kemampuan mereka dalam saat yang tepat,
atau barangkali mereka salah menilai lawan-lawannya,
sehingga seorang demi seorang pemimpin-pemimpin mereka
yang mumpuni itu terbunuh," jawab Kiai Graigsing. "Namun
mungkin juga ada pertentangan yang terpendam di antara
mereka sendiri, sehingga kadang-kadang yang segolongan
sengaja membiarkan golongan yang lain menjadi semakin
lemah." "Kita masih diliputi oleh teka-teki. Baiklah, kita sekarang
berpisah. Agaknya pasukan Menoreh telah benar-benar siap
untuk berangkat." "Ki Gede," potong Raden Sutawijaya, "aku berharap agar
Ki Gede memberitahukan para pengawas, bahwa pasukan
Mataram akan datang."
"Baiklah, Raden. Pada saat kita berangkat, maka akan aku
memerintahkan dua orang pengawal untuk menghubungi para
pengawas." "Terima kasih, Ki Gede," sahut Sutawijaya, "dengan
demikian, maka agaknya kita sudah dapat melakukan tugas
kita masing-masing sesuai dengan perjanjian."
Demikianlah, maka Ki Gede memeriksa para pengawal itu
untuk terakhir kalinya. Kemudian dipesankannya kepada para
pengawal yang tinggal untuk mengawasi keadaan sebaikbaiknya.
Mereka mendapat gambaran ke mana Ki Argapati
akan pergi. Jika terjadi sesuatu di Tanah Perdikan itu, maka
mereka akan dapat segera menghubungi Ki Argapati. Di
beberapa tempat, Ki Gede akan memberikan isyarat dan
tanda-tanda bagi orang-orang yang akan mencarinya.
Sebaliknya, jika Ki Gede Menoreh memerlukan, maka
pasukan cadangan harus sudah siap. Dalam keadaan
mendesak, Ki Argapati akan mengirimkan penghubung
berkuda, dan pasukan cadangan itu harus menyusul.
Sebagian dari mereka adalah pasukan berkuda yang harus
mencapai sasaran lebih cepat, sementara yang lain menyusul.
Ketika semuanya sudah siap, maka pasukan pengawal
Menoreh itu mulai berangkat. Sesaat Ki Gede berpaling ke
gandok. Dilihatnya ibu Rudita menangis tersedu-sedu berdiri
di muka pintu memandang suaminya dengan sepenuh harap.
"Aku akan membawanya kembali," berkata ayah Rudita
yang sudah siap untuk berangkat.
Isterinya hanya menganggukkan kepalanya saja.
"Berdoalah. Semua peristiwa yang terjadi tergatung
kepada keputusan Yang Maha Kuasa. Kini aku sedang
berusaha sebagai suatu kenyataan permohonanku dan
permohonanmu. Mudah-mudahan dikabulkan."
Sekali lagi isterinya mengangguk.
KI Gege Menoreh menarik nafas dalam-dalam, sedang
Pandan Wangi menundukkan kepalanya. Ia mengerti, betapa
sedihnya hati perempuan itu.
Demikianlah, setelah semua perjanjian dan pesan
dianggapnya sudah cukup, berangkatlah pasukan pengawal
terpilih dari Tanah Perdikan Menoreh. Mereka mendapat
keterangan dari orang-orang yang dianggap mengerti tentang
daerah yang akan mereka datangi, ditambah dengan
keterangan Prastawa dan Pandan Wangi.
Bersamaan dengan itu, maka dua orang pengawal
berkuda telah pergi ke perbatasan di pinggir Kali Praga untuk
memberitahukan, bahwa pasukan Mataram akan datang.
Tetapi sama sekali tidak akan mengganggu Tanah Perdikan
Menoreh, sebab mereka berniat untuk menemukan sarang
orang-orang bersenjata yang sering mengganggu
perkembangan Mataram dengan segala macam cara.
Sementara itu, Kiai Gringsing, kedua muridnya, Ki Demang
Sangkal Putung, dan Raden Sutawijaya masih berada di induk
Tanah Perdikan Menoreh. Ketika matahari memanjat semakin
tinggi mereka menjadi gelisah, karena pasukan Mataram
masih belum datang. Tetapi mereka pun sadar, bahwa perjalanan dari Mataram
ke Tanah Perdikan Menoreh memang memerlukan waktu.
Seandainya orang-orang yang mengikuti Raden Sutawijaya itu
selamat sampai ke Mataram dan menghadap Ayahanda Ki
Gede Pemanahan, maka tentu diperlukan waktu untuk
menyiapkan sepasukan pengawal pilihan. Pasukan yang
terlatih baik untuk menghadapi segala macam medan.
Menghadapi perang, dan menghadapi keragu-raguan rakyat di
sepanjang daerah yang sedang dibuka.
Sementara itu, maka kedatangan para pengawal Mataram
tanpa Raden Sutawujaya memang mengejutkan sekali.
Apalagi mereka membawa beberapa sosok mayat dan orangorang
yang terluka. Keterangan yang diberikan oleh para pengawal yang
kembali ke Mataram telah menimbulkan kecemasan di hati Ki
Gede Pemanahan. Ia sadar, bahwa yang dihadapi Sutawijaya
tentu sekelompok orang-orang yang pilih tanding, sehingga
dengan demikian maka wajarlah, apabila Sutawijaya
memerlukan sepasukan pengawal yang kuat.
Sementara Ki Gede Pemanahan memerintahkan
menyiapkan sepasukan pengawal yang kuat, maka ia sendiri
telah dicengkam oleh kebimbangan yang tajam. Sebagai
seorang ayah dan sebagai seorang pemimpin ia tidak akan
dapat membiarkan Sutawijaya pergi sendiri. Tetapi untuk
meninggalkan Mataram yang sedang berkembang dan sedang
digoncang oleh berbagai macam keadaan itu. Ki Gede pun
tidak sampai hati pula. Ada banyak persoalan yang dapat
tumbuh dengan tiba-tiba di Mataram. Sikap Pajang yang
meragukan dan mungkin justru goncangan dari dalam. Jika
orang yang dengan sengaja ingin mengurungkan berdirinya
Mataram, melihat bahwa Mataram sedang kosong, maka ada
saja yang dapat terjadi. Apalagi pasukan-pasukan terpercaya
juga sedang berada di luar.
Dalam kebimbangan itulah Ki Gede Pemanahan
memerlukan berbicara dengan seorang tua yang selalu dekat
dengan dirinya. Orang tua yang sangat bijaksana dan
mempunyai berbagai macam ilmu yang mapan di dalam olah
kajiwan dan kanuragan, yang kebetulan berada di Mataram.
"Ki Juru Martani, persoalan ini sangat meragukan. Aku
ingin pergi, tetapi aku juga ingin tetap menunggui Mataram,"
berkata Ki Gede Pemanahan.
"Siapa saja yang telah pergi?"
"Aku tidak tahu. Tetapi Sutawijaya memerlukan sepasukan
prajurit terkuat. Di daerah Tanah Perdikan Menoreh ia
bertemu dengan Daksina, yang ternyata telah berkhianat
terhadap Pajang dan menghendaki Pajang dan Mataram
hancur bersama-sama."
"Daksina," ulang Ki Juru Martani, "sikapnya memang tidak
meyakinkan. Tetapi siapa saja yang ada di pihak Sutawijaya
selain para pengawal Mataram" Apakah ia bekerja bersama
dengan orang-orang Menoreh?"
"Hampir secara kebetulan. Bahkan hampir saja terjadi
salah paham. Untunglah, bahwa akhirnya mereka bekerja
bersama dengan baik. Namun ternyata bahwa menurut
perhitungan Sutawijava, ia tidak akan mampu memasuki
daerah orang-orang bersenjata itu tanpa kekuatan yang lebih
besar. Ia masih menyangsikan, apakah Daksina itu tidak
dibayangi oleh kekuatan yang jauh lebih besar lagi."
"Apakah ia bertemu dengan Ki Gede Menoreh?"
"Waktu itu belum. Tetapi ia akan menemuinya. Yang ikut
bersama Sutawijaya waktu itu adalah anak gadisnya. Pandan
Wangi. Anak gadis yang aneh, yang mempunyai kemampuan
seperti seorang anak muda vang terlatih baik. Di samping itu
di antara mereka terdapat anak-anak muda bercambuk."
"Siapakah mereka?"
"Murid dari seseorang yang menyebutnya Kiai Gringsing."
"Nama itu memang pernah aku dengar. Apakah kau
pernah bertemu dengan orang itu?"
"Ia selalu menghindar. Sejak kekalahan Tohpati ia sudah
berada di antara pasukan Pajang pada waktu itu. Aku sendiri
datang mengambil sisa-sisa pasukan Jipang yang menyerah.
Tetapi orang itu tidak aku jumpai. Mungkin kita bertemu
selintas, tetapi tidak dalam waktu yang cukup untuk
mengenalnya." "Apakah ada sesuatu yang dirahasiakannya?"
"Aku tidak tahu. Tetapi Sutawijaya juga tidak percaya
bahwa, Kiai Gringsing yang juga disebut Ki Tanu Metir itu
benar-benar hanya seorang dukun padesan. Ia memiliki ilmu
yang hampir sempurna."
"Itu bukan pertanda."
"Ya. Memang ada juga orang-orang yang hidup terpencil
tetapi memiliki kemampuan keprajuritan yang tinggi. Tetapi
ada alasan Sutawijaya untuk menganggapnya bahwa ia bukan
orang kebanyakan." "Apakah orang itu ada di Menoreh?"
"Ya. Dan murid-muridnya sudah terlibat."
"Jika demikian, kau dapat percaya kepadanya untuk
sementara. Biarlah ia ikut pergi. Setidak-tidaknya ia akan
mengamat-amati muridnya."
"Sudah berulang kali ia berbuat sesuatu untuk kepentingan
Mataram," berkata Ki Gede Pemanahan. Kemudian
diceriterakannya apa yang didengarnya dari laporan-laporan
yang diterimanya tentang orang bercambuk itu.
"Jika demikian, kau tidak usah cemas lagi. Menurut
perhitunganku, Ki Argapati dan Kiai Gringsing itu tentu akan
melibatkan dirinya jika lawan anak-anak itu terlampau kuat.
Bukan berarti kau dapat melepaskan tanggung jawabmu atas
anakmu, tetapi Mataram memang tidak dapat kau tinggalkan.
Untuk mengimbanginya, kau harus mengirimkan sepasukan
prajurit yang benar-benar kuat. Jika orang-orang itu tidak ada
di antara pasukan pengawal Mataram nanti, maka pasukan itu
sendiri dapat dipercaya untuk menyelesaikan masalahnya,
setidak-tidaknya melindungi diri sendiri.
Ki Gede Pemanahan mengangguk-anggukkan kepalanya.
Apa yang dikatakan oleh Ki Juru Martani itu sebenarnya
memang sudah dipikirkannya. Namun dengan demikian, ia
menjadi semakin yakin, bahwa ia memang harus tetap berada
di Mataram. Bahayanya sangat besar bagi daerah yang
sedang tumbuh ini apabila ia pergi meninggalkannya dalam
keadaan yang belum mantap itu.
Demikianlah, maka Ki Gede Pemanahan pun segera
mengirimkan sepasukan pengawal yang paling kuat. Agar
mereka segera sampai ke tujuan, maka Ki Gede Pemanahan
memerintahkan agar mereka pergi berkuda. Ki Gede juga
mendengar laporan, bahwa di antara anak-anak muda dari
Tanah Perdikan Menoreh ada yang telah hilang. Dan
hilangnya Rudita itu memberikan gambaran kepada Ki Gede
Pemanahan, bahwa lawan yang dihadapi memang bukan
lawan yang ringan. Di antara perwira yang pergi di dalam pasukan itu adalah
Ki Lurah Branjangan. Ia adalah perwira yang berpengalaman.
Dan Ki Lurah Branjangan telah mengenal dengan baik perwira
Pajang yang berada di tlatah Tanah Perdikan Menoreh dan
bernama Daksina itu. Di samping Ki Lurah Branjangan, Ki
03 Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Gede Pemanahan juga mengirimkan pengawal-pengawal
kepercayaannya. "Jagalah anak itu baik-baik," pesan Ki Gede Pemanahan
kepada Ki Lurah Branjangan dan kawan-kawannya, "kalian
akan masuk ke dalam sarang harimau. Dan kalian tidak tahu,
ada berapa ekor harimau yang ada di dalam sarang itu. Aku
berharap bahwa orang bercambuk itu dapat di bawa bekerja
bersama. Setidak-tidaknya tidak menghalangi kalian."
"Aku percaya kepadanya, Ki Gede," berkata Ki Lurah
Branjangan. "Aku pernah melihat pengabdiannya di Jati Anom.
Benar-benar tanpa pamrih."
Ki Gede Pemanahan mengangguk-anggukkan kepalanya.
Katanya, "Hati-hatiah. Kalian merupakan pasukan berkuda
terkuat yang pernah disusun oleh Mataram yang muda ini."
"Mudah-mudahan Mataram tetap tidak goyah sepeninggal
pasukan terkuat ini jika terjali sesuatu, Ki Gede."
"Tentu tidak. Aku sudah mengatur keseimbangan kekuatan
yang kita miliki." Demikianlah, maka pasukan berkuda itu pun segera
berangkat meninggalkan Mataram. Mereka menyusur jalan
yang langsung menuju ke induk Tanah Perdikan Menoreh.
Beberapa orang tukang perahu terkejut melihat pasukan
itu. Bahkan ada yang menduga, bahwa terjadi perselisihan
antara Mataram dan Menoreh.
"Tentu tidak. Pasukan itu terlalu kecil untuk mengatasi
perselisihan dengan Menoreh," berkata salah seorang tukang
perahu itu. "Pasukan ini hanya terdiri oleh kira-kira tigapuluh
atau tigapuluh lima orang."
Kawan-kawannya mengangguk-anggukkan kepalanya.
Mereka mengerti, bahwa pasukan itu memang terlalu kecil jika
benar-benar terjadi perselisihan dengan Menoreh yang lebih
tua dan cukup kuat itu. Dengan beberapa buah perahu, maka pasukan pengawal
itu menyeberangi sungai beserta kuda-kuda mereka. Di
sebelah Barat Kali Praga, maka pasukan itu pun segera
menyusun diri dan meneruskan perjalanan.
Namun, mereka terhenti ketika mereka bertemu dengan
empat orang pengawal berkuda dari Tanah Perdikan
Menoreh. Ki Lurah Branjangan yang memimpin pasukan kecil
itu pun segera menemui para pengawal dari Menoreh itu.
Tetapi sebelum Ki Lurah Branjangan bertanya sesuatu,
salah seorang pengawal itu berkata, "Kami sudah menerima
perintah untuk menerima pasukan pengawal dari Mataram.
Kami persilahkan pasukan ini lewat. Raden Sutawijaya sudah
terlalu lama menunggu. "Terima kasih, Ki Sanak." jawab Ki Lurah Branjangan.
Demikianlah, maka pasukan berkuda itu pun segera
berpacu menuju ke induk Tanah Perdikan. Di sepanjang jalan,
derap kaki kuda itu menghambur-hamburkan debu di atas
jalan berbatu-batu. Namun demikian, orang-orang Menoreh
sudah banyak yang mendengar akan kedatangan pasukan
pengawal dari Mataram dalam usahanya untuk
menenteramkan Tanah yang sedang tumbuh itu dan bekerja
bersama dengan Ki Argapati.
"Selain usaha itu tidak merugikan Menoreh, dan bahkan
menguntungkan, Ki Argapati sudah dipaksa oleh hilangnya
Rudita," berkata seorang pengawal Tanah Perdikan Menoreh
kepada kawan-kawannya. Kawan-kawannya hanya mengangguk-anggukkan
kepalanya saja. Tetapi ia sependapat, bahwa orang-orang
bersenjata yang berkeliaran itu memang harus dipagari. Jika
mereka gagal mengganggu Mataram, maka mereka akan
menjadi segerombol orang-orang bersenjata yang berbuat
tanpa tujuan. Dan itu akan menjadi sangat berbahaya bagi
Tanah Perdikan Menoreh. Selama ini gerakan gerombolan itu
lebih di arahkan untuk menghancurkan Mataram. Tetapi arah
itu dapat berkembang, bahkan juga dapat berkisar dari arah
semula. Dalam pada itu, pasukan pengawal berkuda itu pun
menjadi semakin lama semakin dekat dengan induk Tanah
Perdikan Menoreh. Dan mereka pun sadar, bahwa Raden
Sutawijaya sedang menunggu dengan gelisah.
Sebenarnyalah, bahwa Sutawijaya sudah menjadi sangat
gelisah. Bukan saja karena matahari sudah sampai ke puncak
langit, tetapi ia juga menjadi cemas, bahwa orang-orangnya
yang kembali ke Mataram itu tidak akan pernah mencapai
tujuannya. Karena itu maka dalam kegelisahannya ia berkata
kepada Agung Sedayu dan Swandaru, "Jika perlu aku akan
menjemput pasukan itu ke Mataram. Aku akan pergi dari
Mataram langsung ke tempat itu, ke tempat yang sudah kita
janjikan dengan Ki Gede Menoreh. Aku harus bertindak lebih
cepat daripada menunggu saja."
"Tetapi bagaimana jika kita berselisih jalan."
Sutawijaya menarik nafas. Memang kemungkinan itu dapat
saja terjadi. Dengan demikian, maka waktunya akan menjadi
semakin panjang. Tetapi jika ia menunggu saia, dan pasukan itu tidak
kunjung datang, maka ia pun akan banyak sekali kehilangan
waktu. Namun demikian, menurut perhitungan Kiai Gringsing,
pasukan pengawal yang dipimpin oleh Ki Argapati sendiri
cukup kuat untuk mempertahankan diri apabila mereka
bertemu dengan pasukan lawan di perjalanan. Tetapi untuk
menembus masuk ke daerah yang kurang dikenal itu, mereka
pasti memerlukan pasukan Mataram yang kuat sekali. Karena
daerah itu hampir masih belum dikenal sama sekali.
Tetapi ternyata bahwa Raden Sutawijaya tidak usah
menjadi semakin gelisah, karena sejenak kemudian dua orang
Pengawal Tanah Perdikan Menoreh melaporkan, bahwa
mereka sudah melihat pasukan Mataram datang.
"Bagus," desis Raden Sutawijaya, "kita akan segera
berangkat." "Biarlah mereka beristirahat dahulu," berkata Kii Gringsing.
"Mereka baru saja menempuh perjalanan yang jauh."
"Mereka berkuda," sahut pengawal Tanah Perdikan
Menoreh yang melihat kehadiran para pengawal dari Mataram
itu. "Tetapi mereka tentu lelah dan haus. Biarlah mereka
beristirahat sebentar untuk makan dan minum. Kita akan
segera menyusul pasukan pengawal Tanah Perdikan ini."
Demikianlah maka pasukan Pengawal Tanah Perdikan itu
pun kemudian menyongsong pasukan berkuda yang baru
datang. Mereka dibawa langsung ke rumah Ki Gede Menoreh
yang ditunggui oleh bebeapa orang kepercayaan Ki Gede,
karena Ki Gede sendiri justru sudah berangkat mendahului.
Seperti yang dikatakan Kiai Gringsing, maka mereka masih
sempat untuk minum seteguk air dan makan sepotong
makanan. Kemudian mereka sudah harus berkemas lagi.
"Sesudah kuda-kuda itu beristirahat sejenak, minum dan
makan pula, kita akan berangkat," berkata Sutawijaya. "Kita
harus menyusul pasukan Ki Argapati yang sudah lebih dahulu
berangkat. Secepat mungkin."
Ki Lurah Branjangan mengangguk-anggukkan kepalanya.
Dipandanginya Kiai Gringsing sambil tersenyum. Katanya
kemudian, "Baiklah, Raden. Kita akan berangkat. Apakah Kiai
Gringsing itu juga akan ikut serta?"
"Ya. Kiai Gringsing dan kedua muridnya. Bahkan dengan
Ki Demang Sangkal Putung pula."
Ki Lurah Branjangan masih saja mengangguk-angguk.
Katanya pula, "Setiap kali Kiai Gringsing tentu ada di antara
kami. Wanakerti pernah berceritera tentang Kiai, dan di Jati
Anom aku menyaksikan sendiri. Kemudian laporan dari para
petugas tentang orang yang menyebut dirinya panembahan
tanpa nama. Dan sekarang Kiai berada di antara kami pula."
"Dan yang telah mendahului kita adalah Ki Gede Menoreh,
puterinya Pandan Wangi, ayah dari anak yang hilang itu dan
Ki Sumangkar." "O," desis Ki Lurah Branjangan, "jadi Ki Sumangkar pergi
juga?" "Ya." "Sebenarnya kita sudah cukup lengkap. Mudah-mudahan
Daksina tidak menyimpan sederetan nama orang-orang yang
memiliki kemampuan seperti pemimpin-pemimpin di golongan
mereka yang pernah dikalahkan oleh Kiai Gringsing."
"Mudah-mudahan," berkata Raden Sutawijaya, "meskipun
seandainya demikian, kita akan berusaha melakukan tugas
kita sebaik-baiknya."
Dalam pada itu, maka beberapa orang yang memberikan,
makan dan air kepada kuda-kuda itu pun telah selesai pula.
Sejenak mereka masih menunggu. Kemudian Raden
Sutawijaya pun berkata, "Aku kira kita tidak akan dapat
berbuat banyak hari ini. Jika kita sampai di tempat tujuan,
maka hari tentu sudah gelap. Apalagi kita masih mencari
hubungan dan beberapa keterangan tentang daerah yang
masih belum kita kenal itu."
"Seakan-akan kita akan meloncat ke dalam gelap," berkata
Ki Lurah Branjangan. "Tepat. Dan kita tidak tahu, apakah yang ada di balik
kegelapan itu. Kengerian atau kegelapan yang pekat tanpa
batas." "Atau kita akan mendapatkan apa yang kita cari."
"Ada seribu kemungkinan. Tetapi kita harus
menempuhnya." Demikianlah, maka selelah semuanya siap, maka Raden
Sutawijaya pun minta diri kepada orang-orang yang diserahi
pimpinan atas Tanah Perdikan Menoreh selama Ki Argapati
tidak ada di tempat. Demikian juga Kiai Gringsing dan muridmuridnya
serta Ki Demang Sangkal Putung. Kiai Gringsing
masih sempat memperingatkan pesan-pesan yang diberikan
oleh Ki Argapati. Pasukan pengawal cadangan harus selalu
siap. Lebih-lebih pasukan berkuda yang meskipun jumlahnya
tidak banyak, namun akan dapat membantu dengan cepat.
Sedangkan apabila ada kesulitan, sebaiknya segera mencari
hubungan dengan Ki Argapati di tempat-tempat yang sudah
ditentukan atau tanda-tanda yang diketemukan.
Meskipun mereka sadar, bahwa hari itu mereka tidak akan
dapat segera bertindak langsung, namun mereka pun
berangkat juga, karena mereka mengerti bahwa Ki Gede
Menoreh dan ayah Rudita tentu sudah menunggu. Apalagi
apabila mereka sudah diketahui oleh beberapa orang
pengawas yang dipasang oleh Daksina, karena Daksina pun
pasti mempunyai perhitungan, bahwa akan datang beberapa
orang yang akan mencarinya. Dan pasukan yang akan datang
itu tentu lebih kuat dari pasukan Sutawijaya.
Sutawijaya yang ada di paling depan dari pasukan
pegawalnya, sekali-sekali memandang langit yang menjadi
kemerah-merahan. Awan yang putih keabu-abuan bergumpal
di ujung cakrawala. Hampir tidak ada seorang pun yang saling berbicara di
dalam iring-iringan itu. Seakan-akan semuanya sedang
dicengkam oleh angan-angan, tentang apakah kira-kira yang
akan mereka jumpai di perjalanan.
Kiai Gringsing pun agaknya segan untuk mulai berbicara.
Ia duduk sambil menunduk di atas punggung kudanya, sedang
Agung Sedayu dan Swandaru hanya kadang-kadang saling
berpandangan. Berbeda dengan mereka, maka agaknya di dalam
kegelisahannya, Ki Demang sempat memperhatikan air yang
mengalir di parit-parit yang membujur lurus membelah tanah
persawahan. Sambil mengangguk-anggukkan kepalanya ia
berkata di dalam hatinya, "Menoreh memang maju di bidang
pertanian. Parit-parit mengalir deras dan tersalur ke segenap
bagian bulak yang luas itu. Tidak terlalu banyak pematang
yang silang menyilang, dan cara bertanam padi yang cermat."
Tetapi Ki Demang tidak dapat memperhatikan sawah itu
terlampau lama. Setiap kali dadanya berdesir jika teringat
olehnya, bahwa perjalanan itu akan menuju ke tempat yang
tidak menentu untuk menyelamatkan Rudita.
"Ada seribu kemungkinan dapat terjadi," katanya di dalam
hati, "dan ada seribu kemungkinan pula yang dapat terjadi
atas Swandaru dan Pandan Wangi."
Tetapi Ki Demang berusaha untuk menyembunyikan kesan
itu, sehingga karena itu, ia pun duduk saja sambil berdiam diri
di atas kudanya. Iring-iringan itu pun semakin lama menjadi semakin dekat.
Tetapi langit pun menjadi semakin suram.
"Kita akan bermalam di tempat yang sudah ditentukan.
Kemudian kita mencari hubungan dengan pasukan Ki
Argapati," berkata Sutawijaya.
Kiai Gringsing mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi
ia tidak menyahut sepatah kata pun.
Dalam pada itu, pasukan Ki Argapati yang mendahului
pasukan dari Mataram itu pun menjadi semakin dekat dari
sebuah tempat terbuka yang menjadi arena pertempuran
antara Raden Sutawijaya dengan Daksina.
"Kita sudah hampir sampai," berkata Pandan Wangi.
"Sampai di mana?"
"Arena pertempuran itu. Di pinggir arena itulah Rudita
semula bersembunyi. Tetapi ia tidak dapat aku ketemukan
kembali." Ki Argapati mengangguk-anggukkan kepalanya. Sejenak
kemudian mereka melihat sebuah tempat yang terbuka, yang
dikatakan oleh Pandan Wangi, daerah yang menjadi ajang
perkelahian antara pasukan pengawal Mataram dan Menoreh
melawan Daksina dan anak buahnya.
"Kita berhenti di pinggir daerah terbuka itu," Desis Ki
Argapati. "Ya. Kita sudah berjanji bertemu di tempat Rudita hilang."
"Di tempat Rudita hilang, atau di ujumg pegunungan itu."
Pandan Wangi memandang pegunungan di hadapannya.
Masih beberapa ratus patok lagi.
"Kita berhenti di tempat Rudita itu hilang. Kita sempat
berbicara untuk menentukan sikap, sementara kita dapat
melihat tempat itu, barangkali kita menemukan sesuatu."
Pandan Wangi mengangguk-anggukkan kepalanya.
Dilecutnya kudanya, sehingga ia berada di paling depan.
Sejenak ia berpaling memandang hutan liar di sebelah jalan
yang dilaluinya. Hutan tempat mereka berburu seekor ular
raksasa. Tetapi kini mereka tidak memasuki hutan liar itu, tetapi
03 Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
menyelusur di sebelahnya dan langsung pergi ke tempat
pertempuran itu terjadi. Beberapa saat kemudian, mereka pun segera sampai di
tempat yang mereka tentukan sebagai titik pertama pertemuan
dengan pasukan pengawal Mataram.
Ketika Pandan Wangi meloncat dari punggung kudanya
disusul oleh Prastawa, maka yang lain pun segera turun pula.
Mereka mengikat kuda masing-masing pada pohon-pohon
perdu di sekitarnya. "Jangan di tempat Rudita itu terakhir kali kau lihat," berkata
Ki Argapati. Pandan Wangi mengangguk-anggukkan kepalanya. Maka
dibawanya kudanya agak menjauh. Agaknya ayahnya masih
akan mencoba menemukan jejak yang barangkali dapat
dipergunakannya untuk menjadi petunjuk.
Sejenak kemudian Ki Argapati, Ki Sumangkar, dan ayah
Rudita itu pun segera menyelidiki tempat Rudita yang terakhir
kali diketahui oleh Pandan Wangi.
Tetapi seperti Pandan Wangi dan anak-anak muda
sebelumnya, mereka tidak menemukan jejak apapun juga
selain dugaan yang sama, bahwa Rudita sempat meronta dan
tangannya menggapai dedaunan di sekitarnya. Setelah itu
maka ia pun tidak dapat berbuat apa-apa lagi.
"Kita hanya dapat mengetahui beberapa langkah dari jejak
ini," berkata Ki Argapati.
"Ya. Kita hanya mengetahui arah. Dan kita pun
mengetahui, bahwa yang membawa Rudita adalah orang yang
memiliki kemampuan yang tinggi."
Ki Argapati mengangguk-angguk. Dipandanginya saja
tempat itu seakan-akan ia masih mencoba mencarinya.
Dalam pada itu, ayah Rudita pun segera maju ke depan.
Dengan suara gemetar ia berkata, "Ki Gede, biarlah aku
mencoba mengetahui, ke manakah Rudita itu dibawa. Kita
memang mengetahui arahnya, tetapi hanya beberapa
langkah. Dan mudah-mudahan aku menemukan arah yang
sebenarnya." Ki Argapati mengerutkan keningnya. Namun kemudian
dibiarkannya ayah anak yang hilang itu memusatkan
inderanya. Sejenak orang-orang yang ada di sekitar ayah Rudita itu
pun terdiam. Seakan-akan mereka ikut terhempas ke dalam
suatu suasana yang asing. Mereka melihat ayah Rudita itu
berdiri tegak sambil menyilangkan tangannya di dadanya.
Kepalanya tertunduk, sedang matanya menjadi redup
setengah terpejam. Ki Argapati dan Ki Sumangkar, yang memiliki pengalaman
lahir dan batin yang luas, merasakan getar di dalam diri
masing-masing, sehingga dengan demikian mereka mengerti
sepenuhnya, bahwa ayah Rudita itu sedang mencari
hubungan dengan anaknya dengan caranya. Tetapi menilik
keadaan Rudita, maka sentuhan dengan getaran ayahnya itu
tentu agak sulit. Anak itu terlampau ringan untuk ditemukan
oleh getar indera karena justru keadaannya. Dan itulah
anehnya kehidupan. Seorang anak tidak selalu berhasil
dibentuk seperti kehendak orang tuanya karena berbagai
sebab. Justru bagi Rudita adalah sebab yang ada di dalam
keluarganya sendiri. Ibunya hampir tidak pernah mau
mengerti, bahwa Rudita pun memerlukan perjuangan bagi hari
depannya. Ia tidak akan dapat selalu bersandar kepada orang
tuanya. Tetapi ayahnya masih tetap berusaha. Dengan
memusatkan segenap tenaga lahir dan batinnya, ia berusaha
untuk mendapat sedikit petunjuk tentang anaknya yang hilang
itu, meskipun pangkal bertolaknya pun terlampau kecil,
sekedar arah dan kemungkinan saat-saat Rudita hilang.
Ki Argapati dan Ki Sumangkar pun menjadi semakin
tegang. Apalagi Pandan Wangi, Prastawa, dan para
pengiringnya ketika mereka melihat wajah ayah Rudita itu
meniadi merah padam. Tetapi ia masih tetap berdiri tegak sambil menyilangkan
tangan di dadanya, serta kepalanya masih saja tertunduk dan
matanya redup setengah terpejam.
Orang-orang yang ada di sekitarnya menjadi semakin
berdebar-debar ketika mereka melihat tubuh itu menjadi
gemetar, sesaat wajahnya menjadi seakan-akan kelam. Pekat,
dan mata itu benar-benar telah terpejam.
Ayah Rudita sudah sampai pada puncak pencapaian
dengan ilmunya. Seakan-akan tubuhnya itu telah dihisap oleh
suasana yang tidak dapat diraba dari luar kediriannya.
Dan itulah yang terjadi padanya. Ayah Rudita seakan-akan
telah terpisah dari wadagnya dan mencapai suatu keadaan
tanpa bentuk, selain isyarat-isyarat yang lembut yang hanya
dapat dikenal oleh ilmu yang khusus.
Namun itulah sebenarnya hakekat dari ilmunya.
Pengenalan pada isyarat-isyarat yang dapat disentuh dengan
perasaannya, yang sebenarnya ada pada diri setiap orang.
Namun kebanyakan orang tidak menyediakan diri sampai ke
pusat penangkapan inderanya serta tidak mempelajari bentuk,
jenis dan makna isyarat-isyarat itu.
Sejenak kemudian, setiap gerak di dalam tubuh ayah
Rudita itu pun berhenti selain, urat-urat yang tiada terkuasai
oleh kehendak. Nafasnya pun seolah-olah terputus, dan
matanya seakan-akan terpejam semakin rapat.
Namun dalam pada itu, Ki Argapati dan Ki Sumangkar
menarik nafas dalam-dalam. Mereka mengerti, bahwa ayah
Rudita itu sudah selesai dengan usahanya.
Dan sebenarnyalah, bahwa sejenak kemudian ayah Rudita
itu membuka matanya. Wajahnya sudah menjadi seperti
biasa, meskipun masih tampak keletihan membayang disorot
mata itu. Ayah Rudita itu pun menarik nafas dalam-dalam. Tidak
hanya sekali, tetapi tiga kali.
Ki Gede Menoreh pun kemudian mendekatinya sambil
bertanya, "Apakah kau menemukan isyarat."
Laki-laki itu mengangguk lemah. Katanya, "Isyarat itu
lemah sekali, Ki Gede. Tetapi aku mengharap bahwa Rudita
masih selamat. Rasanya aku memang dapat menyentuhnya."
"Apakah kau dapat mengatakan, bagaimana dengan arah
yang kita tempuh dan keadaan Rudita sekarang?"
"Samar-samar aku dapat menemukan arah itu. Dan kita
sudah berjalan di jalan yang benar. Aku akan mencoba
merabanya lagi setelah kita ada di ujung pegunungan itu.
Rasa-rasanya ia ada di sana." Ayah Rudita itu berhenti
sejenak, lalu, "Tetapi aku pun menemukan sesuatu yang
mendebarkan jantung."
"Apakah itu?" "Isyarat seperti yang pernah aku sentuh beberapa tahun
yang lalu. Bahkan di sekitar sepuluh tahun yang lalu" Saat
Rudita masih kanak-kanak."
"Apakah isyarat itu?"
"Sentuhan pertama saat aku mendengar nama
Panembahan Agung, aku tergetar oleh nama yang pernah aku
dengar, yaitu Panembahan yang menamakan dirinya Panjer
Bumi. Kini tiba-tiba terasa, bahwa sentuhan itu seakan-akan
memperkuat dugaan kita, bahwa di belakang semua
persoalan yang tumbuh di Mataram ini berdiri Panembahan
yang menyebut dirinya Panjer Bumi itu, meskipun ia dapat
menyebut dirinya dengan seribu nama."
"Bagaimana kau sampai pada dugaan itu?"
"Getaran dan isyarat yang tersentuh selagi aku mencari
Rudita. Bahkan aku menduga, bahwa yang membawa Rudita
itu adalah Panembahan Panjer Bumi atau orang-orangnya
yang terpercaya. Namun agaknya Panembahan Panjer Bumi
tidak mengetahui, bahwa Rudita itu adalah anakku. Jika ia
mengetahui, maka ia akan memagarinya sehingga aku sama
sekali tidak akan dapat menyentuhnya. Dengan demikian aku
akan kehilangan segala arah untuk menemukannya dengan
ilmuku. Tetapi ternyata bahwa Tuhan masih berkenan
memberikan sedikit petunjuk, di manakah anak itu berada."
Ki Argapati menarik nafas dalam-dalam. Ketika ia
berpaling kepada Sumangkar, dilihatnya orang tua itu
mengangguk-anggukkan kepalanya.
"Kita akan selalu berdoa," berkata Ki Sumangkar, "mudahmudahan
kita berhasil menemukannya."
"Mudah-mudahan," berkata ayah Rudita, "namun jika
rabaanku benar, dan orang itu benar-benar Panembahan yang
pernah menyebut dirinya bernama Panjer Bumi, kita memang
harus berhati-hati. Ia mempelajari semacam ilmu dari daerah
asing, sehingga ia memiliki kemampuan menciptakan barangbarang
semu yang dapat membingungkan bagi mereka yang
menjumpainya." Orang-orang yang mendengar keterangan ayah Rudita itu
mengerutkan keningnya. Bahkan Pandan Wangi pun
bertanya, "Apakah maksud dengan barang-barang semu itu?"
"Benda-benda yang sebenarnya tidak ada, tetapi ada pada
mata kita. Ia mempengaruhi langsung pusat syaraf kita di
seberang indera penglihatan kita dengan ilmunva, sehingga
kadang-kadang indera penglihatan kita terganggu karenanya
di dalam tangkapan pusat kedirian kita yang wadag."
Prastawa pun mendesak maju sambil bertanya, "Jadi kita
seakan-akan dapat melihat sesuatu bentuk yang sebenarnya
tidak ada?" "Ya." "Dan bagaimana dengan indera pendengar dan peraba?"
"Semuanya dapat terpengaruh seperti juga indera
penglihatan kita. Getaran ilmunya akan langsung
mempengaruhi kita di seberang rangsang pada indera kita,
sehingga seakan-akan kita dapat melihat, mendengar dan
meraba. Bahkan mencium bau dari benda-benda yang
sebenarnya tidak ada. Tetapi tentu hal itu karena pengenalan
kita. Seandainya yang terbentuk itu benda semu yang di
dalam bentuknya yang benar kita belum pernah melihatnya,
dan belum pernah mengenal dan mendengar tentang benda
itu, maka yang langsung dapat dipengaruhi adalah sekedar
indera penglihatan menurut rekaan khayali kita sendiri, yang
barangkali tidak sama bagi setiap orang. Kemudian barulah
berkembang pada indera kita yang lain yang seperti juga
indera penglihatan maka tangkapan pusat syaraf dan kedirian
kita akan berbeda." Prastawa mengerutkan keningnya. Ia masih belum dapat
menangkap seutuhnya kata-kata ayah Rudita itu, sehingga
ayah Rudita itu perlu menjelaskannya, "Misalnya. Aku ingin
mempengaruhi kau untuk menciptakan bentuk sebuah
binatang yang di sebut gajah. Sedangkan seandainya orangorang
yang ingin kita pengaruhi dengan ilmu kita itu belum
pernah melihat gajah. Maka yang akan tercipta sebagai
bentuk semu, yang satu dengan yang lain akan berbeda.
Hanya bentuk dalam keseluruhan tentu saja mirip seperti yang
dilontarkan oleh orang yang memiliki ilmu itu. Tetapi di dalam
bagian-bagian kecilnya akan terdapat perbedaan. Jika kita
bersama-sama meraba, maka yang seorang tidak mendapat
kesan vang sama dengan orang yang lain. Yang seorang
menganggap kulitnya licin seperti belut, yang lain agak kasar
seperti seekor kerbau. Bahkan mungkin yang menganggap
bulu-bulunya kasar seperti bulu landak."
Mereka yang mendengarkannya mengangguk-anggukkan
kepalanya. Mereka menyadari bahwa mereka akan
berhadapan dengan orang yang aneh di dalam pandangan
mereka. "Karena itu," berkata ayah Rudita, "kita harus bersiap
menghadapi kemampuan yang dahsyat itu."
"Mengagumkan. Jika benar demikian, kita akan
menghadapi rintangan yang berat sekali. Apalagi aku. Tentu
aku tidak akan dapat mengenal, manakah benda-benda yang
asli dan manakah yang semu."
"Memang sulit," sahut ayah Rudita, "jika kau melihat
sebuah rakit di tepi sungai yang sedang banjir. Sedang
sebenarnya rakit itu adalah benda semu karena pengaruh
seseorang pada pusat syarafmu, maka mungkin sekali kau
akan tertipu. Kau akan turun ke dalam rakit itu. Untuk sekejap
kau memang merasa berada di atas sebuah rakit. Tetapi
kemudian kau akan menyadari bahwa kau telah hanyut di
bawa banjir. Biasanya kesadaran yang demikian datang
terlambat setelah kau tidak mampu berbuat sesuatu."
"O," beberapa orang menjadi berdebar-debar.
"Karena itu, pengamanan yang paling mudah bagi kalian
adalah, tidak berbuat apa-apa. Jika kau dicengkam oleh
suasana semu jangan berbuat apa-apa, meskipun dapat
berakibat buruk bagi kalian, karena kediaman kalian itu akan
memberi kesempatan bagi musuh-musuhmu untuk berbuat
sesuatu." "Jadi bagaimana mengatasinya."
"Sulit sekali. Yang paling mungkin adalah, memusatkan
kehendak kita untuk tetap melihat bentuk yang sebenarnya
dari yang kau hadapi. Jika di pinggir kali itu tidak ada rakit,
maka meskipun rakit itu tampak padamu namun kau dapat
membedakan tangkapan semu itu dan tangkapan indera
penglihatanmu. Jika keduanya menjadi baur dan seakan-akan
bertumpuk, kau memang harus memilih. Dan manakah yang
paling mungkin ada disesuaikan dengan keadaan dan
kemungkinan di sekitarmu."
Yang mendengarkan penjelasan itu menjadi termangumangu.
Namun ayah Rudita itu kemudian berkata, "Jangan
menjadi ragu-ragu. Keragu-raguan adalah tanda-tanda
kekalahan di dalam persoalan ini. Kalian harus cepat
mengambil keputusan tanpa ragu-ragu. Namun itu sulit sekali,
dan akibatnya dapat sangat berbahaya. Mudah-mudahan
kalian berhasil di dalam taraf yang paling dangkal."
"Baiklah," tiba-tiba Prastawa menyahut, "aku akan
mencoba. Aku akan mencoba melihat kebenaran indera
penglihatanmu. Mudah-mudaan aku berhasil."
Dalam pada itu, maka ayah Ruditapun berkata, "Jika
demikian apakah kita akan berangkat terus?"
Ki Argapati menjadi ragu-ragu sejenak. Ia harus
memikirkan setiap kemungkinan yang akan terjadi. Jika
Panembahan Agung dan yang disebut oleh ayah Rudita itu
bernama Panembahan Panjer Bumi itu benar-benar memiliki
ilmu yang dahsyat itu, maka kedudukan pasukannya tentu
akan menjadi sulit. Panembahan itu dapat mempengaruhi
penglihatan dalam pengertian khayali pada pengawalKang
03 Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Zusi - http://kangzusi.com/
pengawalnya. Dan bahkan dapat membuat mereka saling
tidak mengenal dan bahkan bertentangan satu sama lain,
karena sebagian dari mereka akan berubah menjadi lawanlawannya.
Panembahan itu sama sekali tidak perlu
mempunyai pasukan. Pasukan lawannyalah yang akan
menjadi pasukannya, karena pengaruh ilmunya yang
membuat orang lain menjadi bingung.
Ayah Rudita mengetahui keragu-raguan itu. Karena itu,
maka ia pun berkata, "Ki Gede. Kita masih agak jauh dari
padepokan itu. Menurut dugaanku, kita masih dapat maju lagi
seperti yang kita rencanakan. Kita memberi tanda di tempat ini
kepada Raden Sutawijaya agar jika mereka datang, mereka
pun akan menyusul kita sampai ke ujung pegunungan itu."
Ki Argapati mengerti, betapa kegelisahan mencengkam
hati ayah dari anak yang hilang itu. Karena itu, maka ia pun
kemudian menganggukkan kepalanya sambil berkata,
"Baiklah. Kita akan maju sampai tempat terakhir dari
persetujuan kita dengan pasukan yang akan menyusul."
Demikianlah, setelah memberikan tanda-tanda yang
diperlukan seperti yang sudah mereka bicarakan dengan
Raden Sutawijaya, maka mereka pun kemudian bergerak
maju. Mereka melintasi lapangan terbuka yang menjadi ajang
pertempuran antara para pengawal Mataram dengan anak
buah Daksina. Dan ternyata, bahwa mayat orang-orang
Daksina yang berserakan telah tidak ada lagi di tempatnya.
Tidak ada bekasnya bahwa mayat itu menjadi mangsa
binatang. Karena itu maka mereka pun menduga, bahwa
mayat-mayat itu telah disingkirkan oleh kawan-kawan mereka.
Perlahan-lahan pasukan itu maju. Semakin lama semakin
dekat dengan ujung pegunungan yang tidak begitu tinggi.
Namun dalam pada itu, maka langit pun menjadi kemerahmerahan
oleh matahari yang semakin rendah. Tetapi mereka
berusaha untuk sampai ke tujuan sebelum daerah itu menjadi
gelap pekat. Dalam pada itu, Raden Sutawijaya pun telah mendekati
daerah hutan liar. Mereka dengan segera dapat mengenal
bekas kaki-kaki kuda dari pasukan yang mendahului mereka.
Tetapi ternyata kuda pasukan Mataram adalah kuda yang jauh
lebih baik dari kuda yang dipergunakan oleh para pengawal
Menoreh. Sebagian dari para pengawal itu mempergunakan
kuda yang sebenarnya kurang tegar. Tetapi bagi perjalanan
mereka agaknya sudah cukup memadai. Dan sudah barang
tentu, bahwa para pemimpin Menoreh yang mempergunakan
kuda yang lebih baik, menyesuaikan diri dengan para
pengawalnya. Dengan demikian maka jarak antara kedua pasukan itu
menjadi semakin dekat. Meskipun perjalanan berikutnya
adalah perjalanan yang agak sulit, tetapi kuda-kuda mereka
dapat maju terus mengikuti jejak pasukan sebelumnya,
melewati pinggiran hutan yang liar.
Tetapi ketika mereka sampai di sebelah arena perkelahian
di tempat terbuka itu, matahari telah menjadi merah. Mereka
masih sempat melihat tanda-tanda yang dibuat oleh pasukan
sebelumnya, namun sejenak kemudian maka senja menjadi
gelap. "Kita terpaksa berhenti di sini," berkata Sutawijaya
perjalanan di malam hari tidak menguntungkan bagi kita.
Selain kita membawa kuda dan perbekalan yang lain, maka
kita harus memperhitungkan juga pasukan tersembunyi yang
setiap saat dapat menyergap dan menghilang. Dalam
perjalanan di malam hari kita akan menjadi sasaran yang
menguntungkan mereka."
Kiai Gringsing mengangguk-anggukkan kepalanya. Ia
sependapat dengan Raden Sutawijaya. Dan menurut
dugaannya, maka pasukan yang dibawa oleh Ki Argapati tentu
sudah tidak terlalu jauh lagi di hadanan mereka. Apalagi
agaknya pasukan itu cukup lama berhenti di tempat itu untuk
menyelidiki keadaan yang akan mereka hadapi.
Malam itu kedua pasukan dari Menoreh dan Mataram itu
berhenti di tempat yang berbeda. Pasukan Mataram
mengetahui, bahwa pasukan Menoreh berada tidak begitu
jauh lagi dari mereka, tetapi sebaliknya pasukan Menoreh
menjadi agak gelisah, bahwa mereka belum mendapat
hubungan dengan Raden Sutawijaya.
"Apakah Mataram benar akan mengirimkan pasukannya?"
bertanya Prastawa kepada Pandan Wangi.
"Aku kira demikian. Tetapi mereka memang memerlukan
waktu." "Seandainya tidak, maka Kiai Gringsing, Ki Demang
Sangkal Putung dan kedua anak-anak muda itu akan
menyusul kita," desis seorang pengawalnya.
Pandan Wangi hanya mengangguk-anggukkan kepalanya
saja. Namun di dalam hatinya ia berkata, "Seandainya mereka
tidak datang sama sekali, kita harus tetap maju mencari anak
itu. Mungkin kita akan menghadapi seorang panembahan
yang sakti, tetapi betapa pun saktinya, ia tentu mempunyai
kelemahan di dalam kesalahan yang pernah dilakukannya.
Jika ia orang yang sempurna lahir dan batinnya, tentu ia tidak
akan mempergunakan kesaktian yang ada padanya untuk
tujuan-tujuan yang sekedar memanjakan nafsu diri dan
ketamakan saja. Sedang perbuatan yang demikian
bertentangan dengan kebenaran. Dan apalagi dengan
pancaran kasih Penciptanya. Karena itu, seakan-akan ada
suatu keyakinan di dalam hati, bahwa akan datang saatnya
orang itu harus menyerah kepada hukum keadilan. Hukum
yang tertinggi yang tidak dibuat oleh tangan manusia."
Demikianlah, malam itu dilampaui dengan selamat. Tidak
ada perapian, tidak ada pembicaraan. Mereka makan sekedar
bekal yang mereka bawa. Dan di malam yang sepi itu ayah
Rudita sempat mencoba menangkap keadaan anaknya.
Seperti yang pernah dilakukan, maka ternyata bahwa
ternyata isyarat yang ditangkapnya, Rudita masih tetap
selamat. Dan ia masih berharap, bahwa orang yang
mengambil Rudita itu bukan orang yang pernah menyebut diri
Panembahan Panjer Bumi. Seandainya Panembahan Agung
juga Panembahan Panjer Bumi, maka ia mengharap agar
orang itu tidak mengetahui, bahwa Rudita adalah anaknya.
Sebab dengan demikian, ia akan dapat menutup setiap
usahanya untuk mengadakan sentuhan dengan anaknya itu di
dalam getaran pribadinya.
Dalam pada itu, ketika fajar mulai mewarnai langit,
Sutawijaya sudah mulai bersiap dengan seluruh pasukannya.
Menjelang matahari terbit, maka pasukan berkuda itu pun
mulai maju dan menyusuri daerah terbuka seperti yang dilalui
oleh pasukan pengawal dari Menoreh.
Apalagi ketika kemudian matahari mulai terbit dan warna
merah di langit pun seakan-akan mulai menyibak. Maka jejak
kaki kuda yang mendahului pasukan pengawal dari Mataram
itu menjadi tampak semakin jelas.
"Kita harus segera menyusul mereka, sebelum terjadi
sesuatu," desis Sutawilaya, "supaya kita sempat mengadakan
pembicaraan lebih jauh."
Ternyata bahwa Ki Argapati memang menunggunya.
Karena itu, maka seperti yang direncanakan, kedua pasukan
itu pun dapat bertemu. Dengan singkat Ki Argapati mengatakan kepada Kiai
Gringsing, bahwa usaha ayah Rudita untuk mengetahui serba
sedikit tentang anaknya sudah berhasil. Tetapi sudah barang
tentu apa yang berada di rentangan jarak antara ayah Rudita
itu dengan anaknya tidak diketahuinya. Mungkin pasukan
segelar sepapan. Mungkin tebing yang curam dan tinggi.
Mungkin padang rumput yang penuh dengan ular berbisa, dan
masih banyak lagi kemungkinan yang dapat terjadi.
"Apakah Rudita ada di sarang Daksina?" bertanya Raden
Sutawijaya "Masih belum aku ketahui, Raden," jawab ayah Rudita,
"aku hanya berhasil mengetahui bahwa Rudita masih hidup.
Hanya itu. Dan sedikit petunjuk tentang arahnya. Selain itu
gelap." Raden Sutawijaya mengangguk-anggukkan kepalanya,
lalu, "Tetapi menurut perhitungan nalarku, bukan ilmu peraba
seperti ilmu yang kau miliki itu. Daksina tentu tidak berada
jauh dari tempat ini. Ia berani menjebak pasukanku di daerah
terbuka itu. Tentu ia mempunyai suatu keyakinan tentang
medan, selain pasukannya. Karena itu maka aku yakin, bahwa
Daksina telah mengenal tempat ini dengan baik, dan itu berarti
ia berada tidak jauh dari tempat ini. Kecuali jika ia sedang
berada di Pajang. "Perhitungan itu sesuai," sahut Pandan Wangi, "aku juga
berpendapat demikian."
"Perhitungan nalarku pun dapat mengerti, bahwa kita
sudah dekat dengan sarang orang-orang bersenjata itu," sahut
ayah Rudita, "bahkan kurang sesuai dengan sentuhan ilmuku.
Menurut penglihatanku, Rudita masih berada di tempat yang
agak jauh. Jika Rudita berada di sarang orang yang bernama
Daksina itu, maka ia pun pasti berada di tempat yang tidak
terlampau jauh. Sehingga dengan demikian maka ada dua
kemungkinan. Kita salah hitung tentang sarang Daksina, atau
Rudita memang tidak ada di sarang itu, tetapi di tempat yang
lain." "Masih ada satu kemungkinan lagi," berkata Sutawijaya.
"Apa Raden?" "Dugaanmu tentang Rudita menurut sentuhan ilmumu itu
keliru." Ayah Rudita mengerutkan keningnya. Namun kemudian ia
mengangguk-angguk. Katanya, "Itu pun mungkin sekali,
Raden. Mungkin aku salah mengurai isyarat yang aku terima
dari Rudita tanpa sesadarnya itu."
"Nah, jika demikian, marilah kita segera menentukan sikap.
Apakah yang sebaiknya kita lakukan?"
"Untuk sementara kita belum dapat berbuat apa-apa. Kita
maju beberapa patok lagi. Kemudian kita akan menilai
keadaan dan jika perlu mengirimkan pengawas untuk melihatlihat
suasana," jawab Ki Gede Menoreh.
Sutawijaya mengangguk-anggukkan kepalanya. Lalu
katanya, "Sebaiknya sejak kini dua orang pengawas akan
mendahului kita. Kemudian dua lagi mengiringinya. Jika
mereka melihat sesuatu yang mencurigakan maka mereka
harus memberikan isyarat."
Demikianlah, maka kedua pasukan nengawal itu menunjuk
empat orang yang akan mendahului perjalanan mereka. Dua
orang yang terdepan adalah seorang dari Mataram dan
seorang dari Menoreh yang dianggap sedikit banyak
mengetahui daerah yang terasing itu. Sedang kedua orang
berikutnya pun terdiri dari pengawas Mataram dan Menoreh.
Keempat orang itu berjalan kaki mendahului pasukan
mereka. Sedang kuda-kuda mereka berada di dalam iringiringan
pasukan pengawal di belakang mereka.
Setelah beberapa patok mereka maju, mereka tidak
menemukan sesuatu yang mencurigakan. Daerah itu
tampaknya sebagai suatu daerah yang tidak pernah disentuh
kaki. "Tetapi rasa-rasanya ada penghuni di daerah sekitar
tempat ini," desis pengawal dari Menoreh yang berjalan di
paling depan. "Kenapa?" bertanya yang lain.
"Sekedar firasat. Tetapi aku melihat jalur jalan di lereng
bukit itu." "Ya. Tetapi tidak ke jurusan ini."
"Memang sulit untuk sampai ke jalur jalan kecil itu. Tetapi
kita harus mencapainya."
"Tentu tidak mungkin bagi mereka yang berkuda."
"Kita akan melihatnya."
Kedua orang itu pun kemudian maju lebih jauh lagi diikuti
oleh kedua yang lain. Ternyata bahwa jalan memang semakin
lama semakin sulit, sehingga setiap kali mereka harus
berhenti dan menilai, apakah jalan itu masih dapat dilalui
kuda. "Kuda-kuda itu memang harus ditinggalkan di sini," berkata
yang seorang. "Tidak," jawab yang lain, "biarlah pasukan itu berhenti di
sini. Kita akan menyelidiki lebih jauh."
Kawannya berpikir sejenak, lalu, "Baik. Itu pikiran yang
baik. Biarlah kedua pengawas di belakang kita itu berhenti
memberitahukan kepada Ki Argapati dan Raden Sutawijaya."
"Biarlah keduanya pergi di belakang kita. Jika terjadi
sesuatu atas kita, mereka dapat menyampaikan laporan.
Sementara kita dapat memberikan tanda dan isyarat agar
pasukan itu berhenti."
Demikianlah maka, kedua orang pengawas di paling depan
itu pun kemudian memberikan isyarat agar pasukan di
belakang mereka itu pun berhenti. Tetapi kedua pengawas itu
masih memerlukan kedua pengawas yang mengikuti mereka,
sehingga sejenak mereka masih harus menunggu dan
berbicara di antara mereka berempat.
"Kami membawa panah sendaren," berkata pengawas dari
Mataram. "Kita mungkin memerlukannya jika perlu. Tetapi suara
panah sendaren segera menarik perhatian. Dan isyarat
dengan panah sendaren kadang-kadang langsung
memberikan isyarat kepada lawan sekaligus."
"Apa salahnya jika mereka memang sudah melihat kita.
Kita dapat melontarkan panah sendaren ke arah yang tidak
tepat, sehingga meskipun suaranya dapat ditangkap oleh
kawan-kawan kita, tetapi arah panah itu tidak memberikan
petunjuk kepada lawan di mana pasukan kita yang
sebenarnya." "Ya. Kita akan mempergunakannya," sahut yang lain,
"yang penting, kita harus dapat mencapai jalur jalan yang
menuju ke Utara di lereng sebelah itu. Aku menduga bahwa
ada padukuhan yang berpenghuni."
Kawan-kawannya mengangguk-anggukkan kepalanya.
Daerah ini benar-benar daerah terpisah dari Tanah Perdikan
Menoreh, karena hubungan yang dilakukan oleh orang-orang
di lereng pegunungan itu adalah dengan daerah di seberang
pebukitan. "Daerah itu dilingkari oleh hutan yang lebat, dibatasi oleh
pegunungan dan sangat terpencil," berkata salah seorang
pengawas dari Mataram. "Aku tidak tahu kenapa seseorang
03 Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
membangun padukuhan atau padepokan di tempat yang
sangat terasing ini."
Yang lain hanya menggeleng-gelengkan kepalanya saja.
Namun ternyata yang seorang berdesis, "Memang sulit
diduga. Tetapi aku kira, mereka sengaja mengasingkan diri
untuk mematangkan ilmu mereka. Baru kemudian mereka
akan turun dari padepokan ini untuk melakukan rencananya.
Tentu sebuah rencana yang besar."
"Memang mungkin. Tetapi sebaiknya kita melihatnya.
Apakah padepokan itu sudah sudah cukup lama berada di
tempat itu, atau sekedar sebagai tempat persembunyian, atau
katakan sebagai alas perjuangan mereka."
Demikianlah, maka para pengawas itu pun mulai maju lagi
melalui jalan yang sulit. Tebing yang curam dan kadangkadang
rumpil. "Kita tentu salah jalan," berkata salah seorang pengawas
itu, "jika Daksina dapat membawa pasukan lewat jalan ini, kita
tentu akan dapat menemukan bekas kaki mereka."
"O, alangkah bodohnya kita. Kenapa kita tidak mencari
jejak mereka saja?" "Dan kembali lagi sampai ke tempat terbuka itu?"
Kawannya terdiam. Namun kini mereka mulai tertarik
kepada setiap kemungkinan untuk menemukan jejak kaki
seseorang atau sekelompok orang.
Tetapi usaha itu tidak segera berhasil. Mereka tidak segera
menemukan jejak kaki seseorang.
Namun tiba-tiba salah seorang dari kedua pengawas yang
berada di paling depan itu tertegun sejenak. Diamatinya tebing
yang ada di sampingnya. Lalu katanya, "Kau lihat batu-batu
kerikil bercampur padas itu?"
"Ya, kenapa?" "Seakan-akan meluncur dari atas tebing itu."
"Ya." "Mungkin ada sentuhan kaki di atas batu-batu padas itu,
sehingga batu-batu kerikil dan batu-batu padas itu meluncur
turun meskipun tidak begitu banyak."
"Mungkin angin, mungkin binatang liar. Tetapi kita dapat
mencoba. Kita memanjat tebing itu dan melihat apakah ada
jejak di atas." Keduanya pun kemudian memanjat tebing yang agak
terjal, sehingga untuk beberapa saat mereka seolah-olah
berada di tempat terbuka melekat pada lereng pegunungan.
Kedua pengawas yang berada di belakang mereka dapat
melihat keduanya dengan jelas.
"Kita tunggu sehingga keduanya hilang," desis salah
seorang pengawas yang berada di belakang mereka. "Barulah
kemudian kita memanjat."
Namun di luar pengetahuan mereka, sepasang mata
tengah memandang kedua pengawas yang sedang memanjat
itu. Ketika keduanya sudah berada hampir di bibir lereng itu,
maka orang itu pun bergeser beberapa langkah. Kemudian ia
meloncat berdiri sambil meraih anak panah dari endongnya
dan melekatkannya pada tali busurnya.
Perlahan-lahan ia menarik tali busur itu. Pengawas yang
sedang memanjat itu merupakan sasaran yang baik, meskipun
keduanya selalu bergerak-gerak tidak menentu.
Sejenak orang itu masih membidik. Tetapi rasa-rasanya
masih saja terganggu oleh dedaunan yang bergerak disentuh
angin. Karena itu maka ia bergeser maju lagi. Ia tidak perlu
lagi bersembunyi karena sasarannya sedang memanjat
tebing, sehingga mereka tidak akan dapat memberikan
perlawanan. Tetapi sekali-sekali ia masih saja mengumpat, karena
kedua orang itu seakan-akan tidak mau juga diam. Mereka
merayap dan kadang-kadang bergeser ke samping.
Namun kemudian busur itu pun semakin merenggang. Dan
sesaat kemudian sebuah anak panah telah meluncur dengan
derasnya. Yang terdengar kemudian adalah, sebuah keluh tertahan.
Anak panah itu ternyata telah mengenai sasarannya,
meskipun tidak tepat di punggung, karena justru ketika anak
panah itu meluncur maka sasarannya telah bergerak ke
samping. Meskipun demikian, anak panah itu ternyata telah
menancap pada lengan tangan kanannya
Pengawas itu kehilangan keseimbangan. Sejenak ia masih
bertahan. Namun kemudian perlahan-lahan ia meluncur turun.
Bahwa anak panah itu tidak tepat mengenai punggung dan
langsung membunuhnya, orang yang melepaskannya itu pun
menggeram. Tangannya sekali lagi mencabut anak panah dari
endongnya dan sejenak kemudian anak panah itu pun sudah
melekat di tali busurnya. Yang kemudian akan menjadi
sasarannya adalah justru pengawas yang seorang lagi, yang
karena kawannya telah meluncur turun, ia pun berusaha untuk
meluncur pula, karena ia pun mengira bahwa orang yang
melontarkan anak panah itu tentu sedang membidiknya pula.
Tetapi sementara itu, selagi kedua pengawas yang
terdahulu dicengkam oleh kecemasan, maka kedua pengawas
yang berada di belakang mereka, dan yang sedang
mengamati bagaimana keduanya memanjat, tebing itu pun
terkejut bukan buatan. Mereka juga melihat anak panah itu
menancap di lengan kawannya. Dan mereka melihat
kawannya itu kesakitan dan meluncur turun disusul oleh yang
seorang lagi. Naluri keprajuritan mereka segera menggerakkan mereka.
Yang seorang memang membawa busur dan anak panah
meskipun terutama akan dipergunakan untuk memberikan
isyarat. Tetapi agaknya kini busur itu harus dipergunakan
untuk kepentingan yang lain.
Dengan cepatnya tangannya meraih sebatang anak panah
dan sejenak kemudian anak panah itu telah siap diluncurkan.
Demikianlah, maka mereka tidak terlampau sulit mencari
sasarannya. Ternyata orang yang melepaskan anak panah itu
kini berdiri tegak dengan tali busur yang renggang. Ia masih
berusaha membidik kedua pengawas yang berusaha
bersembunyi di balik dedaunan yang hanya beberapa lembar
di lereng pegunungan. "Tidak ada tempat untuk bersembunyi," orang itu masih
sempat menggeram. Kini tangannya menarik tali busurnya
semakin renggang. Kedua pengawas yang menjadi sasaran itu pun telah
melihat lawannya yang berdiri di atas tebing di sebelah
pepohonan. Tetapi mereka tidak mendapat tempat yang baik
untuk bersembunyi. Yang ada hanya batang-batang perdu
yang tipis. Apalagi mereka sudah tidak dapat meluncur lebih
jauh lagi. Jika mereka berusaha untuk turun lagi, maka
mereka akan berada di tempat yang terbuka sama sekali
meskipun di bawah tebing itu mereka akan menemukan
gerumbul-gerumbul yang agak rimbun.
Tiba-tiba terdengar suara tertawa. Orang yang menarik
busur itu membidik sambil berkata, "Kali ini aku akan
mengenai lehermu. Bukan sekedar tanganmu. Aku terlalu
tergesa-gesa, sehingga bidikanku yang pertama meleset. Dan
itu tidak pernah terjadi."
Pengawas yang seorang, yang tidak terluka oleh anak
panah itu pun segera menarik pedangnya. Tidak ada cara lain
daripada berusaha menangkis anak panah itu apabila
mungkin. "Jangan gila. Jangan mencoba menangkis anak panahku.
Seandainya yang pertama kau berhasil, namun anak panahku
kemudian akan datang beruntun seperti hujan. Dan kalian
berdua tentu segera mati terbunuh."
Kedua pengawas itu tidak menjawab. Yang seorang masih
saja menyeringai menahan sakit, sedang yang lain bersiap
untuk mencoba melakukan perlawanan.
Namun dalam pada itu, karena perhatian orang yang
memegang busur itu tertuju kepada kedua pengawas yang
seakan-akan sudah tidak akan dapat lari lagi dari maut itu,
maka ia sama sekali tidak menduga, bahwa sebuah anak
panah yang lain sedang dibidikkan ke arahnya.
Demikianlah, maka sejenak kemudian suasana dicengkam
oleh ketegangan. Ketika orang yang berada di atas tebing di
sebelah itu benar-benar ingin melepaskan anak panahnya,
tiba-tiba saja terdengar ia memekik keras-keras. Tubuhnya
menjadi gemetar, dan anak panah di tangannya pun lepas
tanpa menyentuh sasarannya. Bahkan kemudian para
pengawas yang merasa sudah tidak akan dapat melepaskan
diri dari maut itu melihat sebuah anak panah menancap di
dada orang itu. "Curang, curang," orang itu masih berteriak, "ada orang
lain yang ikut campur."
Sama sekali tidak ada jawaban. Tetapi keemnat pengawas
itu melihat orang itu terhuyung-huyung dan kemudian jatuh
terjerembab tepat di pinggir tebing pegunungan, sehingga
tubuhnya itu pun kemudian meluncur turun beberapa langkah
dan terhenti karena menyangkut pohon-pohon perdu di lereng
pegunungan itu. Barulah kemudian kedua pengawas yang hampir saja
disentuh oleh maut itu menyadari, bahwa seorang kawannya
tidak saja membawa busur dan anak panah sendaren. Tetapi
di dalam endongnya terdapat juga anak panah yang lain, yang
kemudian ternyata telah menyelamatkannya.
Sejenak mereka termangu-mangu. Namun sejenak
kemudian mereka pun menyadari, bahwa agaknya mereka
telah masuk ke dalam daerah pengawasan lawan.
Karena itu, maka yang pertama-tama mereka lakukan,
bukannya melepaskan anak panah yang menancap di lengan.
Tetapi orang yang kesakitan itu ternyata masih mampu
berpikir bening, sehingga sambil menyeringai ia berkata, "Kita
turun. Mungkin ada orang lain yang akan membidik kita di
sini." Demikianlah keduanya pun kemudian meluncur turun.
Untunglah bahwa mereka sempat mencapai tempat yang
ditumbuhi oleh pepohonan yang rimbun, karena pada saat
yang bersamaan, seorang yang mendengar orang yang
memanah pengawas dari Mataram itu mengaduh, segera
berlari mendekatinya. Dari tempat yang tersembunyi, keempat orang yang
mendahului pasukan dari Mataram dan Menoreh itu melihat
seseorang yang agaknya sedang mencari kawannya. Sejenak
ia termangu-mangu, namun sejenak kemudian ia mendengar
kawannya itu menggeram di tebing pegunungan dan
tersangkut pada pohon-pohon perdu.
"He, kenapa kau?" ia bertanya.
Tetapi tidak ada jawaban selain erang kesakitan.
"Apakah kau terjerumus?"
Masih tidak ada jawaban. Namun agaknya orang itu pun kemudian melihat darah.
Ketika orang yang terluka itu menggeliat, tampaklah di
dadanya masih terbenam sebuah anak panah.
Orang itu terkejut bukan kepalang. Dengan wajah yang
tegang ia berdiri memandang berkeliling. Namun dengan
demikian ia menjadi sasaran yang pasti bagi pengawas dari
Mataram itu. Sesaat kemudian ketika orang itu mulai menyadari bahwa
ia berada dalam bahaya dan bergerak surut, maka sekali lagi
terdengar sebuah pekik kesakitan. Namun kini orang itu
dengan sadar telah memberikan isyarat kepada kawannya.
Bahkan ketika ia mulai terhuyung-huyuung dan menghilang di
pepohonan, masih terdengar ia bersuit nyaring meskipun anak
panah telah menembus dadanya.
"Sekarang, kitalah yang harus melarikan diri," desis
pengawal dari Mataram itu, "mereka akan segera berdatangan
dan mengepung kita."
"Marilah. Kita harus segera memberikan laporan."
"Tetapi anak panah ini?"
Kawan-kawannya termangu-mangu sejenak. Namun
kemudian mereka pun berusaha mencabut anak panah itu.
Pengawal yang terluka itu mengatupkan giginya rapatrapat
untuk menahan sakit. Namun ia masih juga mengaduh
tertahan. Rasa-rasanya sakit di lengannya itu menjalar sampai
keubun-ubunnya. Dengan dibalut ikat kepala, maka mereka pun kemudian
berusaha menahan darah yang mengalir dari luka itu.
Sementara itu maka mereka pun berusaha untuk menarik diri
dan kembali kepada induk pasukan mereka.
Sambil menyeringai kesakitan, ditolong oleh kawankawannya,
maka pengawas yang terluka itu menyingkir dari
daerah yang berbahaya. Dalam pada itu, ternyata isyarat yang dipekikkan oleh
pengawas yang dadanya tertembus anak panah itu pun telah
didengar oleh beberapa orang. Dengan tergesa-gesa mereka
pun segera berlari-larian mendapatkannya.
Dengan nafas yang terengah-engah pengawas yang
terluka itu masih sempat mengatakan apa yang terjadi dan
apa yang dilihatnya di tebing, bahwa seorang kawannya
terbaring dan terluka tersangkut pada pepohonan perdu.
"Siapakah yang telah melukaimu?" bertanya salah seorang
dari mereka. Pengawas yang terluka itu menggeleng. Suaranya menjadi
semakin lambat, "Aku tidak tahu."
Kawan-kawannya menjadi termangu-mangu sejenak. Lalu,
"Cepat, bawa orang ini menghadap ke padepokan. Mudahmudahan
ia masih sempat diobati."
"Tentu orang Mataram yang kita temui di tempat terbuka
dan yang telah gagal kita jebak itu. Mereka tentu datang
kembali dengan pasukan yang lebih besar seperti yang kita
duga." "Kita sudah menyiapkan jebakan yang lebih baik. Cepat
bawa orang ini ke padepokan sekaligus melaporkan apa yang
terjadi. Kita akan mengambil kawan kita yang tersangkut di
lereng itu." Dua orang di antara mereka telah membawa kawan
mereka yang terluka itu, sedang yang lain pun kemudian pergi
ke tebing sebelah. "Lindungi kami," desis salah seorang dari mereka, "kami
akan mencoba mengambilnya."
Demikianlah, beberapa orang berdiri berderet di atas
tebing dengan anak panah yang siap pada tali busur,
sementara dua orang yang lain dengan hati-hati menuruni
tebing untuk mengambil kawannya yang tersangkut di pohon
03 Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
perdu. Namun ketika mereka meraba orang itu, ternyata orang itu
sudah tidak bernyawa lagi.
"Ia sudah mati," desis salah seorang dari keduanya.
"Gila," geram yang lain, "pembunuhan yang tidak dapat
dimaafkan. Marilah kita bawa naik dan kita bawa kembali ke
padepokan. Kita memang harus sudah siap menghadapi
segala kemungkinan."
Demikianlah, maka mayat itu pun segera dibawa kembali
ke padepokan. Sementara itu, penjagaan di lereng pebukitan
itu justru diperketat. "Sudah kita duga, mereka akan menempuh jalan ini. Kita
sudah siap menyambut mereka. Dan kita akan
menghancurkan mereka sebelum mereka sampai di pintu
padepokan." "Tetapi yang datang tentu bukan sekedar lima belas
orang." "Mungkin tiga puluh. Bahkan lima puluh orang pun akan
kami persilahkan." Kawannya mengerutkan keningnya. Namun ia pun
kemudian mengangguk-anggukkan kepalanya. Yang
dikatakan itu agaknya memang tidak berlebih-lebihan.
Beberapa orang yang tersebar di beberapa tempat untuk
kepentingan yang sama, menahan perkembangan Mataram,
telah ditarik. Apalagi di antara mereka terdapat beberapa
orang yang datang dari Pajang. Orang-orang yang
sependapat dengan Daksina. Bahkan ada di antara mereka
adalah prajurit-prajurit seperti Daksina sendiri.
"Kita memang sudah siap," desisnya kemudian, "prajuritprajurit
yang lepas dari kesatuannya itu pun merupakan
kekuatan yang harus diperhitungkan oleh orang-orang
Mataram." Tetapi seorang yang bertubuh kecil kekurus-kurusan
mencibirkan bibirnya sambil berkata, "Kita tidak memerlukan
mereka sekarang. Bahkan mereka akan mendatangkan
kesulitan saja pada kita. Lihat, apakah rencananya menjebak
Sutawijaya itu berhasil" Kita telah kehilangan beberapa orang
kawan kita." Ia berhenti sejenak, lalu, "Apalagi apabila prajuritprajurit
yang meninggalkan kesatuannya itu sempat
menimbulkan kecurigaan di antara mereka sendiri. Maka
Pajang pun tentu tidak hanya akan tinggal diam. Ia sudah
kehilangan seorang perwira. Beberapa orang prajurit. Maka
kecurigaan itu akan memaksa Pajang meneliti seorang demi
seorang. Nah, kau tahu, bahwa hal itu sangat merugikan."
Kawannya mengerutkan keningnya. Lalu, "Tetapi tanpa
mereka kita tidak cukup kuat. Apalagi jika benar-benar terjadi
usaha yang besar itu."
"Sst," desis yang lain, "jangan didengar oleh anak-anak liar
itu. Mereka tidak akan dapat menahan rahasia jika mereka
terbentur pada kesulitan."
Kawannya mangangguk-anggukkan kepalanya.
Dipandanginya beberapa orang pengawas yang ada di
sekitarnya. Mereka adalah orang-orang yang tidak banyak
mengerti tentang dirinya. Kenapa mereka berada di dalam
lingkungan yang tersembunyi itu. Mereka tidak menyadari,
apakah sebenarnya yang sedang mereka lakukan. Yang
mereka inginkan hanyalah kemungkinan yang jauh lebih baik
bagi hari-hari depan mereka tanpa mengetahui alasan dan
tindakan yang sekarang ini mereka perbuat.
"Tetapi," berkata salah seorang dari mereka, "usaha untuk
menyingkirkan kekuasaan Pajang sekarang ini memerlukan
mereka. Memerlukan prajurit-prajurit dan perwira-perwira
Pajang itu sendiri."
"Tetapi tidak sekarang. Tidak dalam keadaan seperti ini.
Dan bagi kita, mereka hanya kita perlukan untuk sementara."
Kawannya tertawa kecil. Sambil memandang orang yang
berkeliaran di sekitarnya ia berkata, "Bukan hanya kita
berpendapat demikian. Orang terpenting di Pajang yang tentu
ada, meskipun kita sendiri belum mengetahuinya, tentu
berpendapat, bahwa kita pun hanya mereka perlukan untuk
sementara. Dengan demikian, kita saling menyadari, bahwa
pada saatnya kita akan menentukan, siapakah yang lebih
besar pengaruhnya." Beberapa orang yang termasuk orang-orang penting di
dalam lingkungan sebuah gerombolan yang besar, yang selalu
membayangi perkembangan Mataram itu pun terdiam, ketika
mereka melihat sekelompok orang mendekati mereka.
"Daksina," desis salah seorang dari mereka.
Yang datang itu adalah Daksina. Seorang perwira Pajang
yang tidak dapat kembali lagi kepada pasukannya, karena ia
menyangka bahwa Sutawijaya tentu akan membuat laporan
tentang dirinya kepada para Panglima di Pajang. Karena itu,
maka ia pun harus tetap menetap di tempat itu, meskipun ia
masih akan selalu berhubungan dengan perwira-perwira
Pajang yang lain, yang telah menyiapkan suatu rencana yang
besar bagi perkembangan pemerintahan di atas Pulau yang
manis ini. Ketika Daksina mendekati mereka, maka mereka pun
mengangguk hormat. Salah seorang berkata, "Pengawasan
cukup baik. Mereka tidak akan berhasil melewati daerah ini
tanpa sepengetahuan kita."
Daksina mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya,
"Terima kasih. Tetapi kita sudah menyusun pertahanan.
Daerah ini bukan garis terakhir yang harus kita pertahankan.
Salah seorang telah menghadap Panembahan Agung
menyampaikan laporan tentang perkembangan keadaan."
"Apakah laporan semacam itu diperlukan," bertanya salah
seorang. "Kenapa tidak?" bertanya Daksina. "Aku telah mengirimkan
laporan kepada pimpinanku di Pajang pula seperti yang kami
sampaikan kepada Panembahan Agung."
"Mungkin laporan ke Pajang itu perlu. Tetapi bukankah
Panembahan Agung mempunyai kemampuan untuk melihat
apa yang tidak dilihat oleh indera wadagnya?"
"O," Daksina mengangguk-anggukkan kepalanya,
"memang begitu. Tetapi tidak setiap persoalan dapat
diketahuinya dengan pasti sampai kepada bagian-bagiannya.
Mungkin Panembahan Agung kini sudah mengetahui, bahwa
ada semacam bahaya yang sedang merayap mendekati
padepokannya. Tetapi selebihnya masih harus didengar
laporan-laporan. Panembahan Agung tidak dapat melihat
seolah-olah ia berdiri di bibir bumi dan mengetahui segala
isinya, seperti kita melihat segerombolan cengkerik di dalam
kotak aduan." "Begitu?" salah seorang dari orang-orang yang
mendengarkan itu mengerutkan keningnya. Lalu, "Mungkin
kau benar. Tetapi mau tidak mau kita harus mengakui, bahwa
Panembahan Agung mempunyai kelebihan bukan saja secara
wadag, misalnya olah kanuragan. Tetapi juga secara halus."
"Aku percaya," sahut Daksina, "tetapi kemampuan itu pun
terbatas. "Dan kelebihan apakah yang dimiliki oleh panglimamu di
Pajang?" tiba-tiba seseorang bertanya dengan nada tinggi.
Daksina mengerutkan keningnya. Dipandanginya orang itu
dengan tajamnya sambil menahan nafasnya.
Sejenak suasana justru menjadi tegang. Daksina dan
beberapa orang prajurit Pajang yang mengiringinya
memandang orang-orang yang berada di sekitarnya itu
dengan tatapan mata yang tajam. Namun demikian, Daksina
masih berusaha untuk menahan diri. Karena itu, maka sambil
menarik nafas dalam-dalam ia berkata, "Apakah kita akan
membuat perhitungan untung rugi dari ikatan yang kita adakan
ini?" Para pengikut Panembahan Agung itu tidak segera
menjawab. Terasa bahwa Daksina masih berusaha menahan
perasaannya. Karena itu, maka sebagian dari mereka pun
berusaha untuk menahan diri pula agar mereka tidak saling
menyinggung. Namun dalam pada itu, seseorang yang bertanya tentang
pemimpin prajurit di Pajang itu agaknya masih belum puas,
sehingga ia masih juga mengulanginya, "Kau belum
menjawab. Apakah kelebihan panglimamu itu" Seandainya
datang saatnya kita harus memilih, siapakah yang akan
memegang perintah tertinggi di antara kita, siapakah yang
paling pantas?" Daksina memandang orang itu dengan tajamnya. Namun
agaknya ia tidak ingin menjawab. Bahkan ia berpaling
memandang ke arah yang lain.
Tetapi salah seorang pengiringnya yang tidak dapat
menahan hati menyahut, "Kau belum mengenal panglima kami
di Pajang. Tetapi kau pun tidak akan dapat membanggakan
Panembahan Agung itu dengan berlebih-lebihan. Jika ia
mengetahui segala sesuatu yang terjadi, maka kita tidak akan
pernah mengalami kekalahan yang berat. Kiai Damar dan Kiai
Telapak Jalak tidak akan mati. Kita tidak akan gagal
menguasai para perwira di Jati Anom. Tetapi baiklah, jika
kesalahan itu dibebankan kepada perhitungan kami yang saat
itu berada di Pajang. Tetapi bagaimana dengan kegagalan
orang-orangmu di perbatasan Alas Tambak Baya" Apakah
Panembahan Agung membiarkan saja apabila hal itu sudah
diketahui sebelumnya."
"Cukup," potong lawannya, "kau akan dikutuk menjadi batu
jika kau berani menghinakannya. Kau kira ia tidak mengetahui
apa yang kau katakan."
"Memang sudah cukup," berkata Daksina kemudian,
"perselisihan yang demikian tidak ada gunanya. Bukan karena
aku sekarang menumpang di padepokanmu. Tetapi kita
menghadapi persoalan yang jauh lebih besar. Baiklah kita
menguasai diri kita masing-masing, dan biarlah kita
mempergunakan kemampuan kita masing-masing. Jika
Panembahan Agung itu memiliki penglihatan tanpa batas,
baiklah. Tetapi jika kami dan Panglima kami di Pajang memiliki
kemampuan memperhitungkan keadaan, baiklah."
"Aku setuju," berkata pengikut Panembahan Agung yang
sudah agak lebih tua dari kawan-kawannya, "kita menghadapi
pasukan Mataram yang bergerak maju mendekati padepokan
ini. Dua orang telah menjadi korban. Karena itu, kita harus
selalu bersiap-siap menghadapi mereka. Perselisihan di
antara kita tidak akan ada gunanya."
Daksina menarik nafas dalam-dalam. Dipandanginya
orang-orangnya yang masih tegang dan demikian pula
pengikut-pengikut Panembahan Agung itu. Namun mereka
sudah terdiam. Sejenak Daksina masih berdiri di tempat itu memandang
tebing pegunungan yang terbentang di hadapannya.
Tidak ada jalur jalan yang baik yang menghubungkan
tempat itu dengan daerah luar. Yang ada hanyalah lerenglereng
yang berkelok-kelok, yang memang mungkin
dipergunakan untuk merayap naik, seperti yang selalu
dilakukan oleh orang-orang yang tinggal di daerah itu. Mereka
sengaja tidak membuat jalur jalan tertentu, agar tempat itu
tetap terpisah. Terutama dengan daerah Menoreh, sehingga
jika ada jalur jalan setapak, jalan itu menuju ke arah yang lain
di seberang pebukitan. "Apakah sudah ada pengawas yang berada di depan
tempat ini?" bertanya Daksina kemudian.
"Ya. Pengawasan sudah kami susun sebaik-baiknya.
Apalagi setelah kami kehilangan dua orang pengawas di
tempat ini." "Dan orang yang melepaskan anak panah itu tidak dapat
kalian ketemukan?" "Tidak. Sulit untuk mencari. Apalagi mungkin mereka
berjumlah besar, meskipun aku yakin, bahwa mereka pun
tentu sekedar merintis jalan. Karena itu, kita sedang
menunggu pasukan yang kuat itu datang dari arah yang sama
dengan arah kedatangan mereka. Menurut perhitungan kami,
mereka akan melalui jalur lereng ini. Meskipun demikian, di
tempat lain pun telah diletakkan pengawasan yang baik."
Daksina mengangguk-anggukkan kepalanya. Lalu katanya,
"Baiklah. Aku akan menemui Putut Nantang Pati. Mungkin ada
persoalan yang perlu kita siapkan."
Orang-orang itu tidak menjawab. Mereka hanya
memandang Daksina melangkah menjauh dan kemudian
hilang di balik pepohonan.
"He," salah seorang pengikut Panembahan Agung itu
berdesis, "seakan-akan ia sedang memeriksa pengawasan
yang kita susun. Apakah ia berhak berbuat demikian?"
"Sudahlah," sahut yang lebih tua, "jangan hiraukan. Ia
seorang perwira. Adalah kebiasaannya untuk memeriksa
pasukan." "Tetapi kita bukan prajurit Pajang."
"Meskipun bukan, tetapi kita kini berada dalam satu ikatan
dengan mereka." "Meskipun demikian, yang berwenang memerintah kita di
sini adalah Putut Nantang Pati. Bukan Daksina."
"Sudah ada persetujuan di antara keduanya. Putut
Nantang Pati dan Daksina, bahwa keduanya dianggap
memiliki kekuasaan dan wewenang yang sama."
"Ah, itu hanya dugaanmu. Aku belum pernah
mendengarnya." "Kenapa hal itu kau ributkan" Lihat, daerah pengawasan
kita itu. Mungkin pasukan Mataram kini sudah menyusup di
bawah rimbunnya pepohonan itu. Bahkan mungkin perintisnya
sudah sampai di bawah kaki kita dengan anak panah siap
pada busurnya." Para pengawas yang sedang berbincang itu pun kemudian
terdiam. Perhatian mereka segera tertuju ke lembah di
hadapan mereka. Lembah yang ditumbuhi pepohonan yang
rimbun, yang cukup rapat untuk menyembunyikan diri.
Tetapi jika yang lewat itu sebuah pasukan, maka tentu
tidak akan mungkin lepas dari pengawasan orang-orang itu.
Apalagi di hadapan mereka masih ada tiga orang pengawas
terdepan. Sementara itu, para pengawas dari Mataram dan Menoreh
yang kembali kepada induk pasukannya segera melaporkan
apa yang telah terjadi atas mereka. Bahkan di antara mereka
terdapat seorang yang terluka. Meskipun luka itu tidak terlalu
parah, namun karena darah yang mengalir dari luka, maka
orang itu menjadi sangat lemah.
Untunglah, bahwa di antara mereka terdapat Kiai
03 Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Gringsing, sehingga dengan cekatan dukun tua itu pun segera
mencoba untuk menolongnya.
"Namun dengan demikian, maka mereka pun segera
mendapat gambaran, bahwa lawan mereka memang telah
dekat di hadapan mereka, sehingga karena itu, mereka harus
sudah mempersiapkan diri menghadapi pertempuran.
"Kita tidak dapat maju lagi sambil berkuda," berkata para
pengawas itu, "jalan sangat sulit."
Sutawijaya mengerutkan keningnya. Dipandanginya Ki
Argapati sejenak, seolah-olah ingin bertanya, apakah ia dapat
terus mengikuti perjalanan pasukan ini.
Meskipun pertanyaan itu tidak diucapkan, namun agaknya
Ki Gede Menoreh dapat menangkapnya. Karena itu sambil
tersenyum ia berkata, "Jangan cemas Raden. Aku dapat
berjalan dengan baik meskipun barangkali tidak seimbang
lagi. Tetapi kakiku cukup kuat, setelah sekian lamanya
mengalami pengobatan terus-menerus. Obat yang sejak kaki
itu terluka, telah diberikan oleh Kiai Gringsing."
"Aku hanya memberikan petunjuk dedaunan yang dapat
dipergunakan," sahut Kiai Gringsing.
Dan Ki Argapati masih juga tersenyum, "Sama saja artinya
bagiku. Dan sekarang, aku merasa hampir pulih kembali,
meskipun tampaknya tubuhku seperti berat sebelah."
Sutawijaya mengangguk-anggukkan kepalanya. Namun
kemudian tumbuh pula pertanyaan yang seolah-olah
diucapkannya kepada diri sendiri, "Bagaimana dengan kudakuda
kita?" "Biarlah kuda-kuda itu kita tinggalkan di sini. Aku rasa di
sekitar tempat ini cukup banyak rerumputan yang hijau.
Biarlah kuda-kuda itu kita ikat dengan tali yang agak panjang,
agar mereka sempat makan rerumputan sehari suntuk.
Bahkan dua tiga hari jika kita tidak segera kembali.
"Baiklah," berkata Sutawijaya, "tetapi jika kita kelak tidak
sempat kembali, maka biarlah jika ada salah seorang dari kita
yang tetap hidup, akan melepaskan kuda-kuda ini. Biarlah
mereka menjadi kuda liar yang menghuni hutan itu."
"Ah," desis Ki Argapati, lalu, "sebaiknya kita berdoa, agar
perjalanan kita dilindungi oleh Tuhan, karena kita sama sekali
tidak bermaksud jahat. Kita sedang berusaha untuk berbuat
kebaikan di antara sesama sesuai dengan kewajiban
kewadagan kita." Sutawijaya tersenyum. Katanya, "Baiklah Ki Gede. Kita
percayakan perjalanan ini kepada kekuasaan Yang Maha
Tinggi." "Yang kita lakukan adalah sebuah usaha."
Orang-orang yang mendengar pembicaraan itu
mengangguk-anggukkan kepalanya, seolah-olah mereka pun
ikut serta mengucapkan kata-kata itu.
Dalam pada itu, maka pasukan itu pun segera bersiap.
Mereka telah menggenggam senjata masing-masing
meskipun jaraknya masih ada beberapa ratus langkah, lewat
jalan yang sulit, sehingga masih memerlukan waktu yang
cukup panjang. Namun dalam pada itu, Ki Waskita, ayah Rudita
tampaknya menjadi selalu bimbang. Bahkan kemudian
terdengar ia berdesis, "Aku menjadi bingung. Apakah aku
sekarang sudah tidak mampu lagi menangkap isyarat yang
aku terima?" "Kenapa?" bertanya Kiai Gringsing.
"Menurut tangkapanku, Rudita masih berada di tempat
yang agak jauh, meskipun kita memang berjalan ke arah yang
benar. Tetapi aku tidak dapat mengingkari kenyataan, bahwa
kita memang sudah di ambang pintu sarang lawan Apakah jika
demikian Rudita tidak berada di sarang yang sedang kita
dekati." "Jangan mengambil kesimpulan dahulu. Mungkin ada
sesuatu yang kurang wajar terjadi pada dirimu," sahut Kiai
Gringsing. "Apa maksud Kiai?"
"Mungkin kau dapat melihat dan mengungkap isyarat bagi
orang lain. Tetapi kali ini adalah anakmu sendiri, sehingga di
dalam memusatan pikiran kau dipengaruhi oleh kecemasan
dan kegelisahan. Atau justru persoalannya menyangkut
anakmu sendiri, kau menjadi kurang yakin pada
tanggapanmu. Dengan demikian akan dapat menimbulkan
kekeruhan di dalam tangkapan isyarat itu, sehingga uraiannya
pun menjadi kusut pula."
Ki Waskita mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya,
"Memang mungkin. Tetapi rasa-rasanya aku sudah menerima
isyarat, dan sudah aku terjemahkan dengan baik." Ia berhenti
seienak, lalu, "Atau mungkin Rudita memang tidak ada di
dalam sarang itu. Mungkin ia disembunyikan di tempat yang
jauh, atau yang mengambilnya memang tidak mempunyai
sangkut paut sama sekali dengan orang yang akan kita temui
sebentar lagi." "Sudah aku katakan," potong Raden Sutawijaya, "ada
kemungkinan kau keliru. Tetapi ada kemungkinan kita tertipu
oleh pengawas yang sedang berkeliaran jauh dari sarangnya.
Atau kemungkinan-kemungkinan yang lain. Tetapi marilah kita
berbuat sesuatu agar ada usaha kita untuk melakukan
penyelamatan bagi sesama. Keselamatan Rudita, dan
umumnya keselamatan Tanah Perdikan ini dan Tanah
Mataram." Ayah Rudita tidak menjawab lagi. Namun ia pun sudah
siap untuk berangkat. Sejenak kemudian, maka para pengawal itu pun segera
mengikat kuda-kuda masing-masing pada sebatang pohon di
sekitar rerumputan yang hijau dengan tali yang agak panjang,
sehingga jarak jangkau kuda-kuda itu menjadi agak jauh.
Agaknya Sutawijaya menganggap bahwa tidak akan ada
gunanya, seandainya satu dua orang harus tinggal menunggui
kuda-kuda itu, karena apabila beberapa orang lawan
merunduk mereka, maka mereka pun akan mati terbunuh.
Sehingga karena itu mereka membiarkan saja kuda-kuda itu
tidak di tunggu. Apalagi menurut perhitungannya jarak yang
akan ditempuh sudah tidak begitu jauh lagi.
Ketika para pengawal Tanah Perdikan Menoreh dan Tanah
Mataram itu sudah siap, maka merekapun segera bergerak
maju ke arah sarang lawan disela-sela pebukitan itu.
Namun demikian salah seorang dari mereka masih juga
bergumam, "Bagaimana jika seekor harimau datang ke tempat
kuda-kuda itu tertambat?"
"Harimau itu tidak akan sampai ke tempat itu. Mereka tidak
mau menyeberangi daerah terbuka yang agak luas, kemudian
menyusup ke hutan perdu. Di hutan itu sendiri terdapat cukup
makanan bagi mereka," jawab yang lain.
Tetapi kawannya masih juga berpaling, seakan-akan ia
merasa berat hati meninggalkan kudanya, karena kuda itu
sudah bertahun-tahun dipeliharanya dengan baik. Kuda yang
merupakan kawan yang paling akrab di setiap keadaan.
Meskipun demikian, ia harus berjalan terus bersama
dengan seluruh pasukannya. Mereka telah mendapat
gambaran dari medan yang harus mereka tempuh.
Ketika mereka sampai di ujung lembah, maka pengawas
yang telah mendahului mereka sebelumnya berpendapat,
bahwa sebaiknya mereka menempuh beberapa jalan. Yang
pertama adalah jalur jalan di sela-sela pepohonan di dalam
lembah. Yang lain naik melalui tebing. Mereka telah mencoba
memanjat tebing itu di tengah-tengah perjalanan untuk
mengetahui apakah ada jejak kaki di atasnya, tetapi selagi
mereka memanjat, mereka telah mendapat serangan. Menurut
perhitungan mereka, jalan tebing itu akan sampai kepada
tempat yang akan mereka capai. Sedang sekelompok lagi
akan melalui lereng sebelah untuk mencapai tempat para
pengawas di lereng itu. Sejenak para pemimpin pasukan dari kedua belah pihak
membicarakan pendapat para pengawas itu. Sutawijaya yang
dialiri darah muda itu segera menjawab, "Baik. Kita akan
datang dari tiga arah. Kita masing-masing akan selalu
berhubungan dengan isyarat-isyarat."
Ki Argapati mengangguk-anggukkan kepalanya. Ia pun
sependapat dengan rencana itu, meskipun ia sadar, bahwa
jalur isyarat harus terpelihara sebaik-baiknya, karena
meskipun jarak dari ketiga pasukan itu tidak akan jauh, tetapi
jika diperlukan, pasukan yang sekelompok tentu agak sulit
untuk mencapai kelompok yang lain, sehingga diperlukan
waktu yang agak panjang. Ketika hal itu dikemukakannya kepada Raden Sutawijaya,
maka anak muda itu pun berkata, "Peringatan Ki Gede itu
akan bermanfaat sekali. Ingat, daerah yang akan kita lalui
adalah daerah yang sulit. Jika salah sebuah kelompok
disergap, maka isyarat itu harus secepatnya di berikan, agar
kelompok yang lain akan segera dapat mengambil sikap.
Apabila kelompok itu sendiri berhadapan juga dengan lawan,
maka kelompok itu pun harus segera memberikan isyarat."
Para pengawal itu pun mengangguk-anggukkan
kepalanya. Melihat medan yang terbentang di hadapan
mereka, maka mereka sadar, bahwa mereka akan
menghadapi tugas yang berat.
Namun dalam pada itu, selagi mereka mempersiapkan diri
dan membagi di dalam kelompok-kelompok yang lebih kecil,
ayah Rudita tiba-tiba saja berkata, "Aku mendapat petunjuk,
bahwa kita berjalan ke arah yang salah. Baru saja aku
menyadari. Jika kalian tidak berkeberatan, aku akan
mengulangi perjalanan ini sehingga aku dapat menemukan
titik perubanan arah dari perjalanan yang seharusnya kita
tempuh." Semua orang memandanginya dengan bimbang. Apalagi
Sutawijaya, sehingga katanya, "Ki Waskita, sebaiknya kita
membuktikan lebih dahulu apa yang sedang kita hadapi."
"Aku yakin, bahwa Rudita tidak ada di tempat yang sedang
kita tuju, atau kita sudah tersesat oleh jebakan lawan."
Sutawijaya menjadi tidak sabar. Namun ketika ia akan
berbicara. Kiai Gringsing telah menggamitnya. Ia-lah yang
kemudian melangkah mendekati ayah Rudita itu sambil
berkata, "Ki Waskita. Memang, mungkin sekali petunjuk itu
benar. Tetapi jika kita berhasil menemukan tempat mereka,
meskipun bukan tempat persembunyian Rudita, kita akan
dapat bertanya kepada mereka, di manakah Rudita itu di
sembunyikan." "Kiai," jawab ayah Rudita itu," jika orang yang
menyembunyikan Rudita itu mengetahui, bahwa pertahanan
mereka pecah, maka mereka tentu akan menyingkirkan
Rudita, atau mungkin mengambil tindakan lain, karena kita
tidak tahu, apakah sebenarnya keinginan mereka dengan
Rudita." "Jadi bagaimana sebaiknya menurut pertimbanganmu?"
"Kiai. Aku menyadari, bahwa usaha kalian bukan saja
untuk kepentingan Rudita, meskipun aku berterima kasih
bahwa Rudita merupakan cambuk utama dari keberangkatan
pasukan ini. Karena itu, aku sama sekali tidak dapat
mengganggu atau merubah sikap dan keputusan
kepemimpinan pasukan ini. Tetapi karena aku selalu dibarengi
oleh penglihatan yang lain dari perhitungan keprajuritan, maka
aku minta ijin, perkenankanlah aku menelusuri jalanku sendiri.
Dengan demikian usaha kita akan berjalan beriringan. Aku
tidak tahu siapakah yang akan berhasil lebih dahulu. Namun
aku sebelumnya mengucap beribu terima kasih atas jerih
payah kalian." Mereka yang mendengar kata-kata ayah Rudita itu
terkejut. Ternyata bahwa Ki Waskita benar-benar yakin akan
isyarat-isyarat yang ditangkapnya, sehingga karena itu maka
ia lebih senang menempuh jalan lain dari jalan yang bersamasama
telah mereka pilih. Untuk beberapa saat. Kiai Gringsing termenung. Bahkan
kemudian dipandanginya Ki Argapati, Ki Sumangkar, Ki
Demang Sangkal Putung, dan kemudian Sutawijaya, seolaholah
ia ingin mengetahui bagaimana pendapat mereka
masing-masing. Ki Argapati, selain merasa bertanggung jawab atas Tanah
Perdikan Menoreh, juga menganggap bahwa ayah Rudita
adalah tamunya, sehingga karena itu ia bertanya, "Apakah hal
itu sudah kau pertimbangkan masak-masak?"
"Aku kira aku tidak mempunyai pilihan lain. Rasa-rasanya
aku yakin, bahwa aku mengetahui dengan tepat, di manakah
Rudita kini berada. Tetapi aku juga menganggap berdasarkan
perhitungan nalar, bahwa arah yang kita tempuh untuk
mencapai padepokan itu pun benar. Karena itu, jalan yang
paling baik bagi kita adalah berpisah di sini. Kita kelak akan
bertemu lagi apabila kita masing-masing berhasil dengan
usaha ini." Ki Argapati menarik nafas dalam-dalam. Lalu katanya,
"Jalan yang kau pilih adalah jalan yang sangat berbahaya."
"Aku tahu. Tetapi aku kira, jalan itu adalah yang paling
dekat untuk mencapai Rudita."
"Apalagi jika benar-benar Panembahan Agung itu adalah
panembahan yang pernah kau sebut mempunyai kemampuan
yang luar biasa, sehingga ia mampu menciptakan bentuk
semu dengan mempengaruhi syaraf kita di seberang indera
penglihatan dan bahkan indera kita yang lain."
"Aku akan berusaha mengatasinya. Mudah-mudahan aku
masih dapat berbuat seperti yang dilakukan oleh panembahan
itu." Ki Argapati mengerutkan keningnya, sedang beberapa
orang lain yang mendengarnya menjadi berdebar-debar.
Agaknya Ki Waskita itu selain memiliki penglihatan yang dapat
menembus batas tempat dan waktu, juga memiliki ilmu yang
dapat mengimbangi ilmu panembahan yang disebutkannya.
"KI Gede," berkata ayah Rudita itu kemudian, "biarlah aku
mencobanya. Aku harap Ki Gede memberi aku kesempatan."
Orang-orang tua itu saling berpandangan sejenak. Mereka
menjadi ragu-ragu untuk mengambil keputusan. Apalagi anakanakmuda yang saling berpandangan yang satu dengan yang
lain. "Ki Waskita," berkata Sumangkar kemudian, "baiklah, jika
Ki Waskita memilih jalan itu. Tetapi sebaiknya kau tidak pergi
seorang diri agar ada kawan berbincang di sepanjang jalan.
Biarlah aku pergi bersamamu. Mudah-mudahan aku tidak
mengganggu di perjalanan karena yang akan kita hadapi
adalah orang yang memiliki ilmu yang seakan-akan tanpa
03 Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
dapat dibatasi." "Sebenarnya bukan ilmu yang dahsyat," berkata Ki
Waskita, "yang dilakukan hanya sekedar mengelabuhi indera
kita. Jika kita sadar, dan dengan sepenuh hati menguasai
indera kita sendiri, tanpa menyentuh ilmu orang itu pun kita
dapat menyelamatkan diri kita."
"Jika demikian, semuanya masih terserah kepada Ki Gede
Menoreh dan Raden Sutawijaya. Jika perjalanan kita tidak
dirasa mengganggu, maka aku kira mereka tidak akan
berkeberatan." Ki Argapati menarik nafas dalam-dalam. Akhirnya ia
berkata kepada Ki Waskita, "Sebenarnya kami ingin kau tetap
bersama dengan kami. Tetapi jika kau yakin akan penglihatan
mata hatimu atas anakmu, aku tidak dapat mencegahnya.
Sebab jika kelak terjadi sesuatu atas anak itu karena
kelambatan kami, maka kami akan dibebani oleh
pertanggungan jawab yang sangat berat, justru karena kau
pernah menyatakan sikap yang lain. Karena itu, marilah kita
bersama-sama berusaha. Kau dengan caramu, kami dengan
cara kami. Mudah-mudahan Tuhan bersama kita semuanya,
sehingga kita dapat menyelesaikan tugas kita kali ini. Bukan
saja bagi keselamatan Rudita, tetapi juga bagi ketenteraman
di daerah Menoreh dan Mataram. Dan yang lebih luas lagi
adalah bagi Pajang keseluruhan."
"Terima kasih Ki Gede. Dan aku pun mengucapkan terima
kasih kepada Ki Sumangkar yang sudah bersedia mengawani
aku di perjalanan. Tentu bukan sekedar kawan berbincang.
Tetapi juga kawan di segala keadaan.
Kiai Gringsing memandang Ki Sumangkar sejenak, lalu
katanya, "Baiklah. Hati-hatilah. Mudah-mudahan kita semua
selamat dan berhasil."
Ayah Rudita dan Ki Sumangkar pun kemudian minta diri
kepada para pemimpin kelompok kedua pasukan itu. Kepada
Ki Demang Sangkal Putung, kepada kedua murid Kiai
Gringsing, Pandan Wangi, Prastawa, para pemimpin pasukan
pengawal Mataram dan kemudian melambaikan tangannya
kepada seluruh pasukan. Dengan diiringi oleh tatapan mata dan jantung yang
berdebar-debar, keduanya pun kemudian melangkah
menyusuri jalan kembali. Ki Waskita ingin mengulang
perjalanan itu dan ingin menangkap isyarat, di mana ia harus
berbelok ke arah yang benar.
Tanpa disadari Ki Sumangkar pun meraba senjatanya. Ia
merasa perlu mempersiapkan diri selengkap-lengkapnya
untuk menghadapi keadaan yang kurang dimengertinya itu.
Namun ia adalah seseorang yang berpengalaman. Ia
adalah adik seperguruan Patih Mantahun yang pernah disebut
bernyawa rangkap. Karena itu, maka ia pun segera berusaha
menyesuaikan diri dengan medan yang dihadapinya.
Dalam pada itu, Ki Waskita yang memiliki penglihatan yang
dapat menembus batas waktu dan tempat itu pun dengan
ketajaman ilmunya berusaha mengetahui, ke mana ia harus
pergi. Ketika ia merasa bahwa ia sudah menemukan titik yang
dicarinya, maka ia pun berkata, "Ki Sumangkar, kita harus
berbelok ke arah Barat."
"Justru ke arah Barat?" bertanya Sumangkar.
Ki Waskita menganggukkan kepalanya. Sejenak ia masih
mencoba meyakinkan dirinya. Dan katanya kemudian, "Aku
yakin, Ki Sumangkar. Aku harus menuju ke arah Barat. Aku
tidak tahu, daerah apakah yang akan kita temui. Tetapi di
sanalah anakku itu di sembunyikan."
Ki Sumangkar hanya rnengangguk-anggukkan kepalanya
saja. Ia mengikuti saja di belakang ayah Rudita yang dituntun
oleh sentuhan hubungan getaran yang terjalin antara dirinya
dengan Rudita. Apalagi Rudita adalah anaknya, sehingga
jalinan itu terasa semakin mantap.
Demikianlah, mereka menyusuri lereng pegunungan.
Menyusup gerumbul-gerumbul perdu dan padang ilalang.
Mereka sama sekali tidak menghiraukan apa saja yang
mungkin mereka jumpai di perjalanan.
"Bukan perjalanan yang amat dekat" berkata ayah Rudita
kepada Sumangkar, "karena itu aku agak cemas. Ketika
perhitungan nalarku sependapat dengan Raden Sutawijaya,
bahwa kita sudah dekat dengan persembunyian orang-orang
yang mungkin melarikan Rudita."
"Memang mungkin demikian," sahut Sumangkar,
"persembunyian mereka sudah dekat. Tetapi Rudita di
tempatkan di tempat lain dan terasing."
"Itu pun mencemaskan. Seperti sudah aku katakan, jika
orang-orang yang menyembunyikan Rudita mencemaskan
keselamatan mereka sendiri, atau gerombolannya, maka
Pembunuhan Di Lorong 2 Bintang Dini Hari Karya Maria A. Sardjono Rembulan Berdarah 1
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama