Ceritasilat Novel Online

Api Di Bukit Menoreh 3

03 Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintardja Bagian 3


Dengan seorang kawan yang mengerti tentang berbagai
macam racun ia mengharap dapat mencari ja"wab atas apa
yang telah terjadi itu. Tetapi agaknya orang ini tidak dapat
diajak berbicara dengan baik.
Meskipun demikian sekali lagi Kiai Gringsing masih
men"coba, "Kiai anakku memerlukan pertolongan segera."
"O, begitu," jawabnya. "Carilah orang lain yang bersedia
memberikan pertolongan segera."
Kiai Gringsing menarik nafas dalam-dalam. Terdengar
Agung Sedayu berdesis, "Kita pergi saja, Guru."
*** Kiai Gringsing menjadi ragu-ragu. Tetapi ia terpaksa
mengu"sap dadanya ketika orang yang berjanggut dan
berambut putih itu lenyap masuk ke dalam tanpa
mempersilahkan mereka duduk.
"Sedayu," bisiknya, "memang perlakuan ini cukup
me"nyakitkan hati, tetapi kalau benar-benar ia seorang yang
menguasai masalah ini, mungkin aku akan mendapatkan
petunjuk lebih ba"nyak tentang keanehan-keanehan yang
telah terjadi. Orang ini telah cukup lama tinggal di sini.
Mungkin ia mempunyai banyak bahan yang dapat
memberikan jalan atau setidak-tidaknya petunjuk."
"Tetapi sikapnya, Guru. Apakah orang itu dapat diajak
berbicara?" Kiai Gringsing mengangguk-anggukkan kepalanya. Di
samping orang yang kekurus-kurusan, kemudian orang yang
bertubuh tinggi dan kekar, sekarang ia menemukan satu orang
lagi yang telah menarik perhatiannya.
Namun dengan demikian keinginan Kiai Gringsing kini
justru beralih untuk mengenal orang itu lebih dekat.
Karena itu maka ia pun menjadi termangu-mangu sejenak.
Di satu pihak, Agung Sedayu yang merasa tersinggung ingin
segera me"ninggalkan tempat itu, namun di lain pihak, ia akan
mendapat kesempatan untuk mengenal dukun yang pandai
itu. "Bagaimana, Guru?" bertanya Agung Sedayu. "Kasihan Adi
Swandaru, ia harus segera berbaring dan beristirahat.
Tubuhnva masih terlampau lemah."
Kiai Gringsing mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi
ia ma"sih berdiri saja di tempatnya.
Agung Sedayu pun akhirnya menjadi termangu-mangu
juga. Ia tidak mengerti maksud gurunya yang sebenarnya.
"Sedayu," berkata gurunya, "ambil ketepe belarak itu. Kita
baringkan Swandaru sebentar sambil menunggu."
"Jadi, jadi Guru ingin juga bertemu dengan orang itu?"
Kiai Gringsing menganggukkan kepalanya. Agung Sedayu
menarik nafas dalam-dalam. Tetapi ia tidak ber"kata sesuatu.
"Duduklah sebentar, Swandaru," berkata gurunya, "aku
layani kau sejenak, sementara Agung Sedayu mengambil
ketepe belarak itu. Meskipun sudah agak kering, tetapi kau
dapat berbaring sambil menunggu. Orang ini sangat menarik
perhatianku." Swandaru menganggukkan kepalanya, sedang Agung
Sedayu tidak dapat berbuat lain daripada meletakkan
swandaru duduk di tanah, dilayani olen gurunya. Kemudian ia
sendiri berjalan dengan penuh keragu-raguan mengambil
ketepe di sudut rumah itu.
Sejenak Swandaru terbaring diam. Sementara Kiai
Gring"sing berbisik kepada Agung Sedayu, "Orang inilah yang
se"karang menarik perhatianku. Aku tidak mau dibayangi oleh
teka-teki dan rahasia yang semakin lama menjadi semakin
banyak dan kisruh." Agung Sedayu pun kemudian dapat mengerti maksud
guru"nya. Karena itu, betapa ia merasa tersinggung, namun
ditahankannya juga hatinya untuk duduk menunggu dukun
yang sedang membersihkan dirinya itu.
"Begitu lama, Guru. Hari sudah menjadi semakin gelap."
"Kebetulan, sekali," jawab gurunya, "bukankah kita
memang ingin melihat gelap?"
"Tetapi Swandaru?"
Kiai Gringsing mengerutkan keningnya. Namun katanya
kemudian. "Keadaannya tidak mengkhawatirkan."
Agung Sedayu tidak dapat membantah lagi. Gurunya pasti
sudah mengetahui apa yang sebaiknya dilakukan untuk
kepen"tingan Swandaru yang sedang sakit itu.
"Tetapi pesanku kepada kau berdua," berkata gurunya
kemudian, "jangan terpengaruh oleh ceritera hantu itu. Aku
tidak mengatakan bahwa kita harus menolak kepercayaan
bahwa hantu itu memang ada. Tetapi kita harus berdiri di atas
suatu kepercayaan, bahwa kita selalu menyerahkan nasib kita
kepada Sumbernya. Sumber Yang Tunggal. Pusat dari segala
kekuasaan. Mungkin hantu-hantu itu memang mempunyai
kekuasaan untuk melakukan sesuatu, tetapi kekuasaannya
sama sekali tidak berarti dibandingkan dengan kekuasaan
Yang Maha Kuasa. Ka"rena itu, apabila kita percaya
sepenuhnya, tanpa ragu-ragu, maka kita akan mendapat
perlindungan-Nya . Itulah sebabnya aku sama sekali tidak
terpengaruh oleh berita tentang hantu-hantu itu, meskipun aku
tidak menolak kemungkinan itu."
Agung Sedayu mengangguk-anggukkan kepalanya.
Sedang Swandaru yang berbaring itu pun menganggukangguk
pula. Keduanya me"rasa, seakan-akan gurunya itu
melihat getar jantungnya. Keragu-raguan yang menyusup di
dalam dada mereka. Bahkan hampir menjadi suatu
kepercayaan, bahwa mereka memang harus menarik diri dari
kerja yang sedang mereka lakukan, karena hantu-hantu itu
tidak membenarkannya. Dalam pada itu, sejenak kemudian laki-laki yang berkumis
dan berambut putih itu pun muncul dari balik pintu. Kini
pakaiannya telah diaturnya dengan rapi. Ikat kepalanya sudah
dikenakannya, menutupi rambutnya yang sudah hampir
seluruhnya menjadi uban. "Ternyata kalian masih menunggu," desisnya.
"Ya, Kiai, kami masih menunggu karena kami memerlukan
perawatan." "Anakmukah yang keracunan?"
"Ya, Kiai." "Kenapa?" "Mungkin digigit ular. Mungkin oleh sebab-sebab yang lain."
"Gila. Kenapa kau tidak dapat mengatakan dengan pasti?"
"Kami memang tidak pasti. Tiba-tiba saja anakku, Sangkan
ini, menjadi muntah-muntah."
"Darah?" "Ya, Kiai." "Di tempat kerjamu yang terpencil itu?"
"Ya." Tiba-tiba orang itu menjadi tegang. Lalu katanya, "Kenapa
kau datang kemari" Itu sama sekali bukan urusanku. Aku tidak
mau terlibat di dalam persoalan dengan kekuasaan yang tidak
kasat mata itu." "Kekuasaan apa yang Kiai maksudkan?"
"Kekuasaan hantu-hantu."
"Tidak, Kiai. Ini sama sekali tidak ada sangkut pautnya.
Anakku keracunan seperti tanda-tanda keracunan yang
pernah aku dengar. Untunglah bahwa aku masih mempunyai
sebutir obat pemunah racun yang aku bawa dari padukuhanku
dahulu." "Tetapi kenapa kau dapat mengatakan bahwa anakmu di"
gigit ular" Apakah anakmu merasakan gigitan itu?"
"Tidak, Kiai. Memang tidak. Ular adalah salah satu dari
kemungkinan masuknya racun. Mungkin serangga-serangga
berbisa atau mungkin semacam duri-durian. Atau apa pun."
"Hantu. Aku sudah pasti."
"Kalau sakitnya disebabkan oleh hantu-hantu, maka obat
pe"munah racun yang tinggal sebutir itu pasti tidak akan
berdaya. Tetapi nyatanya ia berangsur baik."
"Kalau anakmu sudah berangsur baik, kenapa ia kau bawa
kemari." "Sudah aku katakan, aku ingin meyakinkannya, Kiai."
Orang tua yang berkumis dan berambut putih itu
meman"dang Swandaru yang terbaring di tanah beralaskan
ketepe belarak yang sudah kering. Sedang langit pun telah
menjadi semakin buram. Satu-satu bintang muncul seakanakan
dari ketiadaan. "Sebentar lagi, malam yang kelam akan turun. Bagaimana
kalian akan kembali?"
"Apakah kami dapat bermalam di pondok ini Kiai. Di mana
pun kami dapat tidur nyenyak."
"Gila kau," bentak orang itu, "rumah ini sudah dihuni oleh
tiga keluarga. Aku sendiri tidak mempunyai sanak dan
kadang." "Kalau begitu, baiklah kami akan segera kembali ke barak,
apabila kami sudah mendapat keyakinan bahwa anakku akan
menjadi baik." "Kalian memang orang-orang yang sombong. Kalian
berpura-pura menjadi pemberani. Tetapi sebenarnya kalian
adalah penakut yang paling licik."
Kiai Grjngsing mengerutkan keningnya, "Kami memang
bukan pemberani," jawabnya, "itulah sebabnya aku mohon
diperkenankan bermalam di sini. Kalau tidak, sudah tentu kami
harus kembali ke barak."
"Persetan," geramnya sambil mendekati Swandaru.
Perlahan-lahan ia pun berjongkok di samping anak yang
gemuk itu. Dirabanya, kemudian perut dan tangannya.
Menilik sentuhan tangannya, Kiai Gringsing segera
mengetahui bahwa sebenarnya orang itu memang memahami
ilmu obat-obatan. Namun sampai berapa jauh ia menguasai
masalahnya itulah yang ingin di ketahuinya.
"Obatmu cukup baik," berkata orang itu, "tetapi kenapa
sebenarnya anakmu ini?"
Kiai Gringsing menggeleng, "Aku tidak tahu pasti, Kiai."
"Jadi tidak digigit ular?"
"Seperti yang aku katakan, ular hanyalah salah satu
ke"mungkinan." Namun tiba-tiba wajah orang tua itu menjadi tegang.
Katanya, "Kau dengar suara dari jantungnya?"
Kiai Gringsing menjadi heran.
"Ia tidak digigit ular. Memang tidak."
"Lalu?" "Benar ia keracunan," lalu orang itu menunjuk noda darah
dipakaian Swandaru yang sudah kering dan tidak jelas lagi
ka"rena warnanya telah menjadi kehitam-hitaman, "darah apa
ini?" Kiai Gringsing menjadi ragu-ragu sejenak. Namun,
kemudian ia berkata, "Darahnya sendiri. Tetapi itu tidak ada
hubungan apa-apa dengan sakitnya. Ketika ia kemarin terkena
parang, maka tanpa disadarinya, diusapkannya tangannya ke
bajunya." "Kemarin?" "Ya," jawab Kiai Gringsing.
"Kenapa sekarang baju yang bernoda darah ini masih
dipakainya saja?" "Anak ini tidak mempunyai pakaian yang lain."
"Jangan bohongi aku. Darah ini bukan darah kemarin. Aku
adalah dukun yang baik."
Kiai Gringsing menjadi berdebar-debar. Seandainya tidak
digelapnya malam yang sedang turun, tampak betapa
wajahnya menjadi merah. Mungkin orang lain tidak dapat
membedakan apakah yang melekat dibaju Swandaru itu darah
atau getah pepo"honan atau kotoran dan noda apa pun juga
karena telah menjadi kering. Tetapi seorang dukun akan dapat
membedakannya, bahwa darah itu sudah lama melekat atau
baru beberapa saat. Dan ia khilaf bahwa yang dibawanya
berbicara kali ini adalah seorang dukun.
"Berbiaralah terus terang," desak dukun itu.
Tetapi Kiai Gringsing sudah terlanjur mengatakannya,
se"hingga untuk menutup kekeliruannya ia bertahan, "Benar,
Kiai, darah ini adalah darah yang kemarin."
"Jangan, bohong," dukun itu membentak, "atau bawa saja
anakmu pergi. Aku tidak akan bersedia mengobatinya."
"Kiai," berkata Kiai Gringsing, "tolonglah anakku. Dan darah
itu benar-benar darah kemarin."
Dukun itu mengerutkan keningnya. Katanya Kemudian,
"Baiklah kalau kau tetap akan berbohong. Tetapi aku tetap
ber"pendapat, bahwa darah ini adalah darah yang baru.
Maksudku, hari ini."
Kiai Gringsing tidak menjawab. Dipandanginya saja dukun
yang kemudian meraba tubuh Swandaru itu kembali. Dipijitpijitnya
bagian perutnya dan kemudian menjalar naik sampai
ke lehernya. Namun semuanya itu tidak lepas dari
pengamatan mata Kiai Gringsing yang tajam.
Semakin lama semakin yakinlah Kiai Gringsing, bahwa
orang itu memang orang yang mengenal dengan baik ilmu
pengobatan. Karena itu maka Kiai Gringsing sama sekali tidak
boleh lengah. Namun tiba-tiba orang itu bergeser surut dan berkata,
"Anak"mu sama sekali tidak digigit seperti yang aku katakan.
Racun yang ada di dalam tubuhnya bukanlah racun yang
membunuh." Ia berhenti sejenak, "Kenapa kau beri anakmu
obat yang kau bawa dari pedukuhanmu itu?"
"Aku hanya mengikuti petunjuk dari seorang dukun yang
baik di padukuhanku. Ia tahu aku akan menebas hutan.
Karena itu ia berikan obat itu dengan pesan, setiap saat salah
seorang dari kami keracunan, kami harus menelannya."
"Tetapi kali ini obatmu tidak akan dapat
menyembuhkannya. Racun yang ada di dalam tubuhnya
bukanlah racun biasa. Aku belum pernah mengenal jenis
racun seperti ini." "Lalu?" Kiai Gringsing mengerutkan keningnya.
"Sudah aku katakan. Racun ini datangnya sama sekali
bukan dari ular, serangga atau pepohonan yang beracun.
Tetapi racun ini datangnya begitu saja tanpa sebab. Kau tahu
maksudku?" "Hantu" Begitu?"
"Bertanyalah kepada dukun yang mengenal ilmu gaib.
Tidak kepadaku. Aku tidak berani menanggung kemarahan
hantu-hantu itu kalau aku mencoba mengobatinya."
Kiai Gringsing menarik nafas dalam-dalam. Ia yakin kalau
dukun itu tidak berkata sebenarnya seperti yang ia ketahui.


03 Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Racun yang ada di dalam tubuh Swandaru memang bukan
racun ular, tetapi bukan berarti tidak dapat diobati. Tandatanda
pada tubuh Swandaru menunjukkan bahwa ia
keracunan. Tidak ada tanda-tanda yang menyimpang,
Padahal ia menduga bahwa dukun itu memiliki pengetahuan
pengobatan yang cukup. "Apakah ada kesengajaan ia tidak mau mengobati
Swan"daru ataukah maksud-maksud yang lain?" orang itu
bertanya di dalam hati. "Pergilah," berkata dukun itu. "Kalau kau tidak segera
mendapat mengobatan yang seharusnya, aku tidak tahu
akibat apa yang bakal terjadi atas anakmu ini."
"Tetapi apakah benar-benar Kiai tidak dapat berbuat apaapa."
"Kalau ia keracunan biasa, digigit ular atau binatangbinatang
lain, aku sanggup mengobatinya. Tetapi kali ini
tidak." "Jadi bagaimanakah dengan anakku ini?"
"Bawalah kepada dukun yang seharusnya mengobatinya."
"Di manakah rumahnya."
"Datanglah ke barak. Hampir setiap orang mengenal dukun
itu." Kiai Gringsing mengangguk-anggukkan kepalanya. Orang
itu benar-benar tidak bersedia mengobati luka-luka Swandaru.
Karena itu maka katanya, "Baiklah. Aku akan pergi ke dukun
yang mengenal ilmu gaib itu."
"Nah, sebaiknya kau memang pergi. Tetapi kau harus
berkata berterus terang. Katakan pula bahwa kau telah datang
ke rumah ini dan bertemu dengan aku."
"Baiklah, Kiai, aku minta diri."
"Tunggu," berkata orang itu, "aku mempunyai sesuatu."
Orang itu pun kemudian masuk ke rumahnya. Sejenak
kemu"dian ia keluar pula sambil membawa sebungkus obatobatan.
Katanya, "Kalau kau bersedia datang ke dukun itu,
bawalah obatku ini. Tunjukkan kepadanya dan mintalah
syarat. Kau dapat juga ber"tanya kepadanya tentang
bermacam-macam hal tentang penyakit anak"mu dan
kemungkinan-kemungkinan yang bakal datang."
"Jadi, jadi Kiai memberinya obat juga?"
"Bukan aku. Aku hanya memberikan bahan. Tanggung
jawabnya akan diambil alih oleh dukun ilmu gaib itu. Kau
me"ngerti" Kalau ia menolak obat ini, itu adalah haknya."
"Baiklah. Baiklah."
Kiai Gringsung pun kemudian minta diri bersama kedua
anak"nya. "Hati-hatilah. Kau harus segera menemui dukun itu."
"Malam ini?" "Ya, malam ini."
Kiai Gringsing mengangguk-anggukkan kepalanya,
"Baiklah. Terima kasih atas segala petunjuk Kiai."
Ketiganya pun kemudian meninggalkan rumah itu. Hari
sudah menjadi semakin gelap. Di kejauhan tampak lampu
obor di gardu pengawas dan di sudut-sudut dan serambi
barak. Beberapa buah rumah yang bertebaran telah menutup
pintunya rapat-rapat. Ketika mereka telah keluar dari halaman rumah dukun itu,
Agung Sedayu yang hampir tidak tahan lagi segera bertanya,
"Apakah Guru mempercayainya?"
"Tidak seluruhnya," jawab Kiai Gringsing.
"Dan Guru akan pergi juga ke rumah dukun ilmu gaib itu?"
"Aku akan pergi ke sana."
"Untuk mendapatkan kesembuhan Swandaru?"
"Aku ingin melihat apa yang dikerjakannya."
Agung Sedayu tidak bertanya lagi. Kali ini pun ia mengerti
maksud gurunya. Dengan hati-hati Agung Sedayu bersama gurunya berjalan
memapah Swandaru yang masih lemah. Tetapi ternyata
keadaan Swandaru menjadi berangsur baik. Agaknya obat
yang didapat"kannya dari gurunya benar-benar mampu
melawan racun yang ada di dalam tubuhnya. Sehingga
sebenarnya, tidak ada lagi gunanya untuk pergi ke dukun yang
lain untuk mendapatkan pengobatan.
"Guru," Swandaru itu pun kemudian berdesis, "apakah
Guru masih menganggap perlu, berhubungan dengan orang
lain" Bukankah dengan demikian justru akan timbul
kemungkinan, obat yang aku dapatkan daripadanya tidak
sebaik obat Guru sendiri."
"Memang mungkin, Swandaru," jawab gurunya, "tetapi kami
tidak akan mempergunakan obat-obat itu."
"Jadi?" "Semata-mata untuk mengetahui, apakah yang mereka
lakukan." Swandaru mengangguk-anggukkan kepalanya pula.
Ketika mereka sampai di depan gardu pengawas, maka
para petugas pun segera mengerumuninya dan bertanya
tentang keada"annya.
"Aku dengar kau singgah di rumah dukun itu."
"Ya, kami telah singgah di rumahnya. Anakku telah
mendapat pengobatan seperlunya. Ia sudah berangsur baik,"
jawab Kiai Gringsing. "Sokurlah," berkata salah seorang dari mereka. "apakah
kata dukun itu tentang penyakit anakmu."
"Keracunan. Seperti yang sudah aku katakan. Anak ini
memang digigit ular. Tetapi bukan ular yang bisanya tajam.
Meskipun demikian, kalau terlambat, akibatnya tidak kita
harap"kan." "Sokurlah. Bawalah anakmu beristirahat."
Kiai Gringsing pun kemudian membawa Swandaru berjalan
terus. Di barak pun mereka telah dikerumuni oleh para
penghuninya. Jawab Kiai Gringsing pun tidak berubah seperti
yang selalu dikatakannya, "Digigit ular. Namun dukun yang
baik itu meng"harap aku menemui dukun ilmu gaib. Di
manakah tempatnya?" "He," beberapa orang mengerutkan keningnya, "jadi
anakmu tidak digigit ular biasa."
"Ular biasa. Namun supaya semuanya yakin, aku diharap
membawa anakku yang sakit ini."
"Sekarang?" "Ya. sekarang."
"O, jangan sekarang. Jalan ke rumahnya sangat
mengerikan." Kiai Gringsing mengerutkan keningnya. Tetapi ia ingin
memenuhi pesan dukun yang menyuruhnya pergi ke rumah
orang yang menguasai ilmu gaib itu. Bukan karena ia
mempercayainya sepenuhnya, tetapi Kiai Gringsing lebih
condong untuk mengetahui, apakah sebenarnya yang terjadi
di daerah penebasan hutan ini di dalam keseluruhan.
"Di manakah rumahnya?" Kiai Gringsing kemudian
ber"tanya. Orang-orang yang mengerumuninya saling berpandangan.
Sejenak mereka tidak ada yang menjawab. Dan orang yang
semakin lama semakin banyak itu telah dibayangi oleh
keragu-raguan. Dalam pada itu orang yang kekurus-kurusan mendesak di
antara mereka yang mengerumuni Kiai Gringsing sambil
bertanya, "Apa yang telah terjadi?"
Sebelum Kiai Gringsing menjawab, orang itu telah berkata
pula, "Nah lihat. Akibat dari keberanian kalian yang kurang
perhitungan." "Bukan keberanian, tetapi kesombongan," berkata orang
yang bertubuh kekar. Kiai Gringsing memandang kedua orang itu berganti-ganti,
lalu, "Anakku digigit ular."
"Apa pun sebabnya, tetapi itu adalah akibat kemarahan
hantu-hantu itu. Sekarang anakmu digigit ular, tetapi lain kali
kau akan ditelan harimau. Atau kalian akan sakit tanpa
sebab." Kiai Gringsing tidak menyahut. Namun tampak wajah-wajah
yang ketakutan mengitarinya.
"Kalau hanya kalian bertiga saja yang menjadi korban oleh
kesombonganmu, itu tidak berarti apa-apa bagi kami. Tetapi
kalau mereka marah, dan kami pula harus menanggung
akibatnya, maka itu adalah kecelakaan yang pahit. Dan sebab
daripadanya adalah kau."
Agung Sedayu bergeser setapak. Namun gurunya
mengga"mitnya sambil mengedipkan matanya.
"Jadi, apakah yang sebaiknya aku lakukan?"
"Batalkan niatmu menebas hutan di bagian yang paling
wingit itu." "Itu bukan maksudku. Bukan akulah yang memilihnya."
"Tetapi kau dapat minta kepada para petugas, agar kau
ditempatkan bersama dengan kami."
"Baiklah. Aku akan membicarakannya dengan para
petugas," sahut Kiai Gringsing, "tetapi di mana rumah dukun
ilmu gaib itu?" "Tunggulah sampai besok."
"Aku tidak berani menanggung akibatnya. Menurut
petunjuk, aku harus pergi sekarang juga."
"Gila. Kalian memang orang-orang yang tidak mempuyai
perhitungan," geram orang yang kurus, "tetapi baiklah. Niatmu
pergi ke rumah dukun itu baik. Mengobati anakmu dan
agaknya kau akan bertobat dan menurut segala petunjuknya,
nasehatnya, dan sudah tentu cara-cara pengobatannya."
"Ya." "Kalau begitu, kau dapat pergi kepadanya."
Kiai Gringsing mengangguk-anggukkan kepalanya, "Tetapi
bagaimana kalau niatku tidak demikian?"
"He, kau jangan berbuat gila."
"Maksudku, kalau ada orang yang berbuat demikian."
"Ia tidak akan sampai ke rumah dukun ilmu gaib itu."
"Dan kenapa dukun ilmu gaib itu sendiri berani tinggal di
tempat yang mengerikan."
"Kau orang sombong yang bodoh," berkata orang yang
kekar. "Ia memiliki segala macam ilmu lahir dan batin. Ia dapat
bergaul dengan baik dengan hantu-hantu itu."
Kiai Gringsing mengangguk-anggukkan kepalanya pula.
Kemudian katanya, "Kalau begitu, aku akan mendahului para
petugas. Mohon kepadanya agar ia bersedia berada di antara
kita, supaya kita tidak selalu diganggu oleh hantu-hantu itu.
Kalau dukun itu bersedia mengawani kita di sini, bukankah kita
akan aman." "Gila kau. Itu pikiran gila. Aku nasehatkan kepadamu,
jangan berpikir yang bukan-bukan supaya kau tidak dicekik di
perjalanan." "Baiklah," jawab Kiai Gringsing, "sebaiknya aku segera
berangkat." "Tetapi kau belum makan," berkata seseorang yang lain,
"rangsummu masih ada di tempatnya."
"O, baiklah. Kami akan makan lebih dahulu. Tetapi kami
belum mendapat petunjuk di mana rumah itu."
Orang yang kurus itu pun kemudian berkata, "Kau ikut jalan
di muka barak ini terus ke Timur. Kemudian di sebelah pohon
yang besar, di sebelah selokan yang baru dibuat itu, kau
berbelok ke kanan." "Apakah di sana ada jalan?"
"Jalan setapak."
"Jauh" " "Tidak begitu jauh. Kau akan sampai ke sebuah sungai."
"Yang curam itu?"
"Ya. Kau naik ke seberang, kemudian masuk ke daerah
yang masih belum banyak diambah orang."
"Apakah ia tinggal di dalam hutan?"
"Ya. Tetapi hutan itu tidak selebat yang kita kerjakan di sini.
Justru karena hutan itu tidak begitu buas, maka daerah itu
masih dibiarkan. Tetapi lebih daripada itu, daerah itu sangat
wingit. Jauh lebih wingit dari yang kau kerjakan sekarang."
Kiai Gringsing mengangguk-anggukkan kepalanya.
"Ia tinggal di antara batu-batu besar yang berserakan, di
bawah sebatang pohon preh yang tua sekali. Ia membangun
pondoknya di situ. Jarang sekali orang yang berani
mengunjunginya apabila tidak didorong oleh keperluan yang
sangat mendesak seperti kau ini"
"Ya, ya aku tahu. Tetapi jarak itu adalah jarak yang
pan"jang. Lewat daerah yang belum cukup aku kenal dan
tentu sa"ngat gelap dan rimbun."
"Tetapi sekali lagi, kalau niatmu naik, kau tidak akan
menemui halangan apa pun."
Kiai Gringsing mengangguk-anggukkan kepalanya. Ia
sadar, bah"wa jalan ke tempat orang yang dicarinya itu adalah
jalan yang memang rumit. Namun Kiai Gringsing adalah
seorang perantau yang telah menempuh jalan yang
bagaimanapun juga. Jangankan jalan yang pernah diambah
oleh seseorang, sedangkan jalan yang belum pernah disentuh
oleh seseorang pun pernah dilewati"nya.
Namun sebelum Kiai Gringsing memutuskan untuk pergi,
mereka, Kiai Gringsing bersama kedua muridnya, lebih dahulu
pergi ke sudut barak, untuk mengambil rangsum mereka.
"Kita makan lebih dahulu," berkata Kiai Gringsing. Lalu
kepada Agung Sedayu ia berkata, "Ambillah semangkuk air
untuk mencuci tangan."
Agung Sedayu pun kemudian mengambil semangkuk air
un"tuk mencuci tangan. Tetapi ketika Kiai Gringsing melihat
air itu ia berkata, "Lihat. Aku memerlukan air itu."
Agung Sedayu tidak mengerti maksud gurunya. Tetapi
diberikannya air di dalam mangkuk itu, yang ternyata tidak
di"pakainya untuk mencuci tangannya.
"Makanlah," berkata Kiai Gringsing, "tetapi air ini aku
perlukan untuk keperluan yang lain."
Agung Sedayu tidak segera berani bertanya. Maka
dibuka"nya bungkusan makanannya dan kemudian
dimakannya dengan lahapnya, seperti juga gurunya. Hanya
Swandaru sajalah, yang dengan susah payah berusaha untuk
menelan makannya sesuap demi sesuap.
"Makanlah, supaya kau cepat menjadi baik," berkata
gurunya. Dan Swandaru pun telah memaksa dirinya untuk
makan sebanyak-banyaknya meskipun ia tidak berhasil
menghabiskan rangsumnya seperti biasanya.
Setelah mereka selesai makan, maka berkata Kiai
Gringsing, "Kemarilah Swandaru. Aku memerlukan kau."
Swandaru mengerutkan keningnya, dan selangkah ia
ber"geser mendekati gurunya.


03 Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Bagaimana keadaanmu sekarang?"
"Semakin baik, Guru."
"Bagus," sahut gurunya, "kemarilah. Aku memerlukan nodanoda
dibajumu itu." Swandaru masih belum mengerti maksud gurunya. Karena
itu, ia mendekat lagi. "Bukalah bajumu. Gantilah dengan bajumu yang sebuah
lagi." Swandaru mengangguk-anggukkan kepalanya. Dibukanya
dan ia mengenakan bajunya yang lain.
Kiai Gringsing menerima baju Swandaru yang telah kotor
itu. Baju yang memang sudah kumal dan lusuh, yang selalu
di"pakainya sehari-hari apabila ia pergi bekerja.
"Untunglah kau tidak berbuka baju saat itu," berkata Kiai
Gringsing. "Bukankah kau biasanya membuka bajumu ka"lau
bekerja?" "Ya, Guru." Kiai Gringsing menganggukkan kepalanya. Perlahan-lahan
Kiai Gringsing membasahi noda darah di baju Swandaru
sambil berdesis, "Lihat, apakah ada orang yang mengamati
kita?" Agung Sedayu menebarkan pandangan matanya
berkeliling. Dilihatnya orang-orang lain sibuk dengan
kepentingannya sendiri. Sedang orang yang kekurus-kurusan
berdiri di pintu barak meman"dang ke luar. Di luar, di serambi
barak, beberapa orang telah ber"baring di tempat masingmasing.
"Awasilah, jangan ada orang yang melihat apa yang aku
lakukan." "Baiklah, Guru."
Kiai Gringsing sendiri berpaling sejenak. Kemudian ia
duduk menghadap ke dinding. Dicelupkannya ujung baju
Swandaru yang terpercik darah orang yang tiba-tiba saja telah
memeluk Swandaru dalam keadaan luka parah.
Sejenak Swandaru menatap wajah gurunya yang tegang.
Dengan teliti Kiai Gringsing mengamati titik air yang kemudian
menjadi kemerah-merahan. Wajah orang tua itu semakin lama menjadi semakin tegang
memandangi air di dalam mangkuk itu, sehingga akhirnya ia
me"narik nafas dalam-dalam.
"Kenapa, Guru?" bertanya Swandaru.
Kiai Gringsing mengangguk-anggukkan kepalanya. Ada
sesuatu tersimpan di hatinya. Namun ia hanya berkata, "Aku
masih ha"rus meyakinkan banyak hal di sini." Ia merenung
sejenak, lalu, "Swandaru, kau tidak usah ikut aku ke tempat
dukun itu. Biar"lah Agung Sedayu menunggui kau di sini. Aku
akan pergi sen"diri."
"Apakah artinya, Guru?"
"Jangan terlampau keras," potong Kiai Gringsing cepatcepat.
"Biarlah sementara aku tidak mengatakannya
se"babnya. Tetapi untuk menempuh jalan yang sulit itu.
Swandaru masih terlampau lemah."
"Tidak, Guru. Aku sudah menjadi semakin baik."
"Tetapi jalan itu sangat sulit."
Swandaru mengerutkan keningnya. Ketika ia memandang
wajah Agung Sedayu, ia melihat pertanyaan yang tersirat pula
di sorot matanya. "Jangan ributkan hal ini," berkata gurunya, "aku akan pergi
sendiri. Swandaru masih harus berbaring dengan tenang
untuk mendapatkan tenaganya kembali seperti sediakala."
Katanya kepada Agung Sedayu, "Tungguilah adikmu. Ingat,
pada orang-orang yang aneh itu. Kepada orang yang kurus
dan orang yang bertubuh kekar itu. Biar saja apa yang mereka
katakan dan mereka nasehatkan. Dengar saja dan anggukkan
kepalamu kalau kau segan mengiakannya."
Agung Sedayu tidak segera menyahut. Tetapi keraguraguannya
menjadi semakin membayang di wajahnya.
"Untuk sementara kau pasti akan berteka-teki. Tetapi pada
saatnya kau akan mengetahui, apa yang sebenarnya aku
lakukan." Agung Sedayu dan Swandaru mengangguk-anggukkan
kepala mereka. "Tetapi, bukankah Guru akan segera kembali?"
"Aku akan berusaha untuk segera kembali. Kalau lewat
tengah malam aku belum juga kembali, aku menemui
kesulitan." Dada Agung Sedayu berdesir. Dengan demikian ia sadar,
bahwa gurunya pun merasa bahwa masalah yang dihadapinya
bukan sebuah permainan yang mengasikkan. Tetapi gurunya
menganggap bahwa masalah adik seperguruannya itu adalah
ma"salah yang bersungguh-sungguh.
Dengan demikian hampir di luar sadarnya ia berkata,
"Ka"lau Guru tidak kembali setelah tengah malam, apakah
aku harus mencarinya?"
"Terima kasih. Tetapi jangan diburu oleh nafsu dan
perasaan," jawab gurunya. "Kalau aku tidak dapat
menghindarkan diri dari kesulitan itu, maka kau pasti hanya
akan menam"bah jumlah korban."
"O," Agung Sedayu menundukkan kepalanya, "jadi
ba"gaimana?" "Agung Sedayu dan Swandaru," Kiai Gringsing semakin
bersungguh-sungguh, "kalau aku tidak kembali, jangan cobacoba
untuk mencari sendiri."
"Lalu?" "Kau berdua harus menghadap Raden Sutawijaya yang
bergelar Mas Ngabehi Loring Pasar."
Kedua muridnya mengangguk-anggukkan kepalanya.
"Ceriterakan apa yang telah terjadi," sambung gurunya,
lalu, "tetapi aku agaknya berpikir terlampau jauh. Agaknya
ti"dak akan ada apa-apa di sepanjang jalan."
"Mudah-mudahan, Guru."
"Tetapi ingat, hati-hatilah kalian di sini. Jangan berbuat
sesuatu yang dapat menambah kesulitan."
Kedua muridnya menganggukkan kepalanya.
"Aku akan membawa obat pemberian dukun itu. Mudahmudahan
aku menemukan sesuatu."
Kiai Gringsing pun kemudian minta diri kepada kedua
muridnya, dan kemudian beberapa orang yang masih dudukduduk
di dalam barak yang diterangi oleh lampu minyak itu.
"He, kau tidak jadi membawa anakmu yang sakit itu?"
"Aku berubah pendapat," katanya, "aku pikir jalan sangat
sulit untuk orang yang sedang sakit. Aku akan pergi sendiri."
Tiba-tiba saja orang yaag kurus itu pun mendekatinya, "Jadi
kau pergi sendiri?" "Aku kasihan kepada anakku. Ia masih terlampau lemah
dan barangkali justru akan mempersulit perjalanan."
"Lalu, bagaimana dukun sakti itu dapat mengobati anak"mu
kalau ia tidak melihat keadaannya."
"Aku yakin bahwa dukun sakti itu mengerti apa yang
di"hadapinya tanpa melihat orangnya."
Orang yang kurus itu tidak menyahut lagi. Sambil
mengangguk-anggukkan kepalanya ia memandang Kiai
Gringsing melangkah keluar pintu barak. Di luar malam telah
menjadi semakin kelam, dan orang-orang yang hanya berada
di serambi barak itu telah berba"ring di tempat masingmasing.
"Kau terlampau berani," seseorang berdesis.
Kiai Gringsing berpaling. Katanya kemudian, "Inilah
kuwajiban seorang ayah. Betapa pun aku dicengkam oleh
ketakutan tetapi aku harus berangkat. Anakku
memerlukannya." Orang itu memandanginya dengan penuh iba. Terdengar ia
berdesis, "Truna Podang, meskipun tampangmu seperti
seorang badut kecil, tetapi kau adalah seorang ayah yang
baik. Seandai"nya aku yang menanggung peristiwa semacam
itu, aku tidak akan berani berbuat seperti kau. Aku pasti akan
mati beku di sepanjang jalan menuju ke rumah dukun sakti
yang dikerumuni ?"?"".," orang itu tidak berani
meneruskan kata-katanya. Seorang kawannya yang berbaring di sampingnya telah
menyentuhnya. "Dikerumuni apa?" bertanya Kiai Gringsing meskipun
sebenarnya ia tahu, kata-kata apakah yang tidak terlontar dari
mulut orang itu. Orang itu hanya menggelengkan kepalanya saja, sedang
Kiai Gringsing menarik nafas dalam-dalam.
Di luar Kiai Gringsing masih melihat orang yang kekar itu
berjalan sambil menjinjing sebuah mangkuk berisi air. Ketika
orang itu melihat pula Kiai Gringsing, ia bertanya, "Kau jadi
akan pergi?" "Ya." "Mana anak-anakmu?" bertanya orang yang kekar itu.
"Aku berubah pendirian. Aku tidak membawa anak-anakku.
Yang sakit itu masih terlampau lemah, sedang jalan menuju ke
tempat dukun ilmu gaib itu terlampau sulit."
Orang yang bertubuh kekar itu mengerutkan keningnya
Lalu katanya, "Apakah sebenarnya maksudmu?"
"Aku tidak mengerti pertanyaanmu."
"Kenapa anakmu tidak kau bawa?"
"Ia masih terlampau lelah."
"Bukankah anakmu yang sakit, yang kau katakan digigit
ular itu?" "Ya." "Terserahlah kepadamu. Aku tidak tahu, apakah yang
seharusnya kau lakukan, supaya kau selamat. Kau adalah
orang yang keras kepala. Orang yang keras kepala seperti
kau itulah yang biasanya akan menjumpai banyak kesulitan."
"Mudah-mudahan aku tidak," sahut Truna Podang, "aku
sudah terlampau bingung karena anakku sakit. Aku tidak
dapat berbuat lain. Aku tidak sempat memikirkan diriku
sendiri." "Sama sekali tidak. Kau sama sekali tidak memikirkan
keselamatan anak-anakmu. Kau terlampau mementingkan
dirimu sendiri." "Kenapa?" "Kalau kau mau mundur setapak, maka anak-anakmu akan
se"lamat. Tanah itu adalah tanah yang wingit. Berapa orang
ter"paksa mengurungkan niatnya. Kau sudah mendengar,
sekarang kau mengalaminya sendiri. Tetapi kau masih tetap
berkeras kepala." Kiai Gringsing tidak menjawab. Meskipun kepalanya
terangguk-angguk namun sama sekali tidak terbersit niat di
hatinya untuk menarik diri dari kerja yang sudah dimulainya.
Bukan karena ia ingin sebidang tanah garapan, tetapi ia justru
semakin ingin me"ngetahui apakah yang sebenarnya tengah
berlangsung di antara kesibukan Ki Gede Pemanahan dan
puteranya yang lagi membuka hutan ini.
Orang yang kekar itu masih berdiri sejenak
memandangi"nya, seakan-akan ia ingin meyakinkan, apakah
Kiai Gringsing yang dikenalnya bernama Truna Podang itu
benar-benar mengerti maksudnya.
Karena Truna Podang itu tidak menjawab, maka orang itu
berkata pula, "Pikirkan kata-kataku sebelum terlanjur.
Sekarang, kalau kau mau pergi ke rumah dukun sakti itu,
pergilah. Sekali lagi aku pesan, hati-hati di jalan dan jangan
berniat untuk berbuat aneh-aneh supaya kau sempat pulang
kembali menemui anak-anakmu."
Kiai Gringsing mengangguk-anggukkan kepalanya, "Terima
kasih." Ketika orang itu meninggalkannya, Kiai Gringsing pun
ke"mudian berjalan tertatih-tatih meninggalkan barak yang
menjadi se"makin sepi. Seseorang memandanginya dengan
perasaan kasihan. Tetapi ia tidak dapat berbuat apa-apa.
Sejenak kemudian orang yang bertubuh kekar itu pun
masuk pula ke dalam barak sambil bergumam, "Orang yang
bodoh dan tamak. Dikorbankannya anak-anaknya untuk
kepuasan pribadinya. Kalau ia mendapatkan tanah itu, tetapi
kehilangan anak-anaknya, buat apakah sebenarnya tanah itu
baginya yang sudah begitu tua?"
"Ada apa?" tanya seseorang.
"Truna Podang," jawab orang itu, "ia sampai hati
mengorbankan anak-anaknya untuk mendapatkan harta
lahiriah." *** Tidak ada orang yang menyahut. Namun mereka memang
sering mendengar hal-hal serupa itu. Orang tua yang sampai
hati mengorbankan anak-anaknya untuk mendapatkan
kepuasan diri. "Tetapi Truna Podang justru terlampau cinta kepada anakanaknya,"
berkata seseorang di dalam hati. Tetapi ia tidak
mau berbantah lagi. Apalagi malam menjadi semakin dalam,
dan ketakutan telah mulai merayapi setiap hati. Terlebih-lebih
mereka yang berada di serambi karena ruang di dalam barak
telah terlam"pau penuh.
Dalam pada itu Kiai Gringsing telah menjadi semakin jauh
dari barak. Ia masih melihat sinar lampu yang berkeredipan di
gardu pengawas yang sepi dan sinar-sinar yang meloncat ke
luar dari gubug-gubug yang berserakan. Namun setiap pintu
dari gubug-gubug itu telah tertutup rapat. Tergambar di dalam
angan-angan Kiai Gringsing, orang-orang yang berjejal-jejal di
dalam gubug-gubug itu, dibayangi oleh ketakutan dan
kecemasan. Ketika Kiai Gringsing sudah menjadi semakin jauh dari
ba"rak, maka ia pun segera menyingsingkan kain panjangnya.
Sekali ia menengadahkan kepalanya, memandang langit yang
ditaburi oleh bintang. Dan orang tua ternyata telah memanjatkan doa di dalam
hati. Baginya tidak ada kekuasaan yang melampaui
kekuasaan Yang Maha Kuasa. Seribu jin, seribu setan, dan
hantu-hantu tidak akan dapat mengatasi kuasa-Nya dan
kehendak-Nya. Selagi ia masih di dalam perlindungan-Nya,
maka apa saja yang dihadapi tidak akan dapat menggetarkan
sehelai bulunya pun. "Mudah-mudahan aku tidak dilepaskan-Nya karena aku
sudah terlampau banyak berbuat dosa," desisnya.
Kiai Gringsing itu pun kemudian mempercepat langkahnya
menembus gelapnya malam. Ia kini bukan lagi Truna Podang
yang berjalan terbungkuk-bungkuk. Tetapi kini ia adalah Kiai
Gringsing yang cekatan dan trengginas. Diloncatinya lubanglubang
yang ber"serakan di tengah-tengah jalan yang
semakin lama menjadi semakin jelek.
Kiai Gringsing mengangkat kepalanya ketika tiba-tiba saja


03 Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

ia mendengar suara yang berdesing berputar-putar. Semakin
lama sema"kin jelas, sehingga langkahnya pun terganggu
karenanya. Suara itu seolah-olah berputaran di udara tidak
henti-hentinya. Sementara itu, di barak yang ditinggalkan oleh Kiai
Gring"sing, semakin lama suasana menjadi semakin sepi.
Hanya de"sah nafas yang semakin teratur sajalah yang
seakan-akan saling sahut menyahut.
Namun beberapa orang yang belum tertidur tiba-tiba
terkejut ketika mendengar seseorang meloncat masuk dengan
nafas terengah-engah. Mereka yang tanpa sadar, berpaling ke
arah pintu me"lihat orang yang kekurus-kurusan itu berdiri
dengan tubuh gemetar. "Kenapa?" bertanya seseorang.
Orang yang kurus itu menggelengkan kepalanya, "Tidak
ada apa-apa." "Tetapi kenapa kau menjadi ketakutan?" desak orang lain.
Orang yang kurus itu berpaling sejenak. Dipandanginya
pintu yang memang tidak pernah tertutup itu.
"Kenapa?" desak yang lain lagi
"Aku kira tidak ada apa-apa. Tetapi aku sajalah yang
ter"lampau ketakutan."
"Ya, tetapi kau kenapa?"
"Aku melihat sesuatu. Tetapi aku kira hanya mataku
saja"lah yang salah."
"Kau melihat apa?"
"Hanya sebuah bayang-bayang di bawah pohon belimbing."
"He, kenapa kau sampai ke bawah pohon belimbing
malam-malam begini?" tiba-tiba orang yang bertubuh kekar
bertanya. "Maksudku, mumpung belum terlampau malam. Aku
memang ingin mengurangi kemungkinan untuk keluar di
malam hari." "Kenapa tidak di pakiwan he?"
"Aku takut ke pakiwan."
"Bodoh kau. Justru di bawah pohon belimbing itu yang
seharusnya kau takuti. Kau tidak hanya membayangkan atau
ma"tamu sajalah yang salah lihat. Aku yakin kau pasti melihat
sesuatu," berkata orang yang bertubuh kekar itu.
Orang yang kekurus-kurusan itu tidak menjawab lagi.
Dengar tubuh yang masih gemetar ia melangkah ke
tempatnya. Punggungnya yang tidak tertutup oleh sehelai baju
tampak berkeringat seperti seseorang yang baru saja
melakukan pekerjaan yang terlampau berat.
Tetapi orang itu ternyata tidak segera pergi tempatnya.
Dengan ragu-ragu ia langsung pergi ke sudut ruangan, di
mana Swandaru sedang berbaring ditunggui oleh Agung
Sedayu. "Bagaimana dengan keadaanmu?" ia bertanya.
Swandaru hanya mengedipkan matanya saja perlahanlahan.
Sedang Agung Sedayulah yang menjawab, "Mudahmudahan
ayah mendapat obatnya."
Orang yang kekurus-kurusan itu mengangguk-angguk.
Sekali-sekali dirabanya dahi Swandaru. Tetapi anak itu sudah
tidak panas lagi. Bahkan perlahan-lahan keringatnya pula
tampak mengembun di keningnya. Keringatnya yang wajar.
Orang yang kekurus-kurusan itu menjadi heran. Sebelum
Swandaru diobati, ia sudah menjadi agak baik, meskipun
tampaknya ia masih sangat lemah.
"Tetapi aku tidak mengetahui keadaan yang sebenarnya.
Mungkin ia sudah berangsur baik karena racun yang
menyusup ke dalam tubuhnya bukannya racun yang keras,"
berkata orang yang kekurus-kurusan itu di dalam hatinya.
Namun pertanyaan yang diucapkan kemudian adalah,
"Bagaimana rasanya badanmu sekarang?"
Ternyata kedua anak-anak murid Kiai Gringsing itu sudah
kejangkitan kebiasaan gurunya. Meskipun tidak berjanji
hampir bersamaan mereka menjawab, "Parah."
"He?" orang itu menjadi heran, "Kau tidak begitu pucat, dan
tubuhmu menjadi hangat seperti orang yang sehat."
Swandaru menggelengkan kepalanya dan Agung Sedayu
berkata, "Memang mungkin tampaknya demikian. Tetapi
ke"adaannya mengkhawatirkan, menurut ayah dan dukun di
rumah sebelah barak ini."
"Tetapi bagaimana dengan Sangkan itu sendiri?" potong
orang itu, "Bagaimana dengan kau" Kau merasakan dan yang
paling mengerti tentang dirimu sendiri."
Swandaru menggeleng lemah. Suaranya hampir tidak
terdengar, "Aku tidak kuat lagi."
Agung Sedayu dan Swandaru menjadi heran ketika mereka
melihat kepuasan tersirat di wajah orang yang kekuruskurusan
itu. Katanya, "Pelajaran yang mahal bagimu.
Peristiwa ini harus selalu menjadi pertimbanganmu di setiap
langkah. Aku menganjurkan agar kau berdua mengajak
ayahmu mengurungkan niatnya menebas hutan di daerah
yang werit itu. Beberapa orang telah menarik diri. Bahkan di
daerah ini pun semakin lama menjadi se"makin sepi. Satusatu
orang-orang yang semula telah bertekad untuk
membersihkan daerah ini menjadi mundur dan meninggalkan
tempat yang mengerikan ini."
Kedua anak-anak muda itu mengangguk-anggukkan
kepalanya. "Apakah kau mengerti maksudku?"
Seperti yang dipesankan gurunya Agung Sedayu
mengang"guk pula, meskipun ia ragu-ragu.
"Jangan menunggu sampai terlambat."
Agung Sedayu mengangguk lagi.
"He, apakah kau mendengar kata-kataku?" orang itu tibatiba
membentaknya. "Aku benar-benar berniat baik."
"Ya, aku mendengar. Dan aku sudah mengangguk. Tetapi
semuanya itu tergantung kepada ayah. Mungkin ia
mendapatkan keputusannya setelah ia menghadap dukun
sakti itu." "Kaulah yang harus ikut memaksanya untuk kepentingan
adikmu dan kau sendiri."
Agung Sedayu tidak menjawab, tetapi ia mengangguk saja.
"He, kenapa kau hanya mengangguk-angguk saja seperti
nini towok" Apakah kau tidak senang mendengarkan
nasehatku, he?" orang itu menjadi jengkel.
"O, bukan maksudku. Aku mendengarkannya dan, memang
menjadi kebiasaanku untuk mengangguk-anggukkan kepala
apabila aku mendengarkan nasehat seseorang," jawab Agung
Sedayu. "Tetapi kau membuat aku menjadi sakit hati," berkata orang
yang kekurus-kurusan itu. "Dengar. Sekarang di dekat barak
ini, di bawah pohon belimbing, telah muncul sesosok hantu.
Mungkin kaulah yang menyebabkannya. Selama ini aku tidak
pernah diganggunya meskipun seandainya memang sudah
ada di situ sejak lama."
Agung Sedayu mengangguk lagi. Tetapi ketika ia sadar,
se"gera ia menjawab, "Mudah-mudahan bukan kamilah yang
menyebab"kannya."
"Kau jangan mencuci tangan. Sebelum kau ada di sini
se"muanya berjalan baik. Gangguan semakin lama semakin
terbatas. Sekarang agaknya kau telah mengungkat
kemarahan hantu-hantu itu."
"Bukankah kau katakan bahwa selama ini orang-orang
menjadi ketakutan" Dan sebelum kami datang, satu demi satu
mereka telah meninggalkan tempat ini" Kenapa justru kami
yang men"jadi paran tutuhan. Menjadi seolah-olah tempat
sampah untuk melemparkan kesalahan," Agung Sedayu
menjadi semakin kehi"langan kesabaran.
Jawaban Agung Sedayu itu ternyata telah menyinggung
perasaan orang kekurus-kurusan itu sehingga ia berkata, "He,
kau berani membantah" Aku peringatkan kau, jangan berbuat
gila di sini." Dan sebelum Agung Sedayu menjawab, agaknya orang
yang kekar yang mendengarkan pembicaraan itu menjadi
jengkel pula, sehingga dari tempatnya ia berkata lantang
sehingga mengejutkan orang-orang yang sedang tidur,
"Jangan ulangi jawaban itu anak-anak bengal. Sekali-sekali
aku ingin memukul mulutmu."
Terasa darah Agung Sedayu melonjak. Namun, ia masih
tetap menguasai dirinya seperti pesan ayahnya. Ketika sekilas
ia melihat wajah Swandaru yang terbaring diam itu, tampaklah
seleret warna merah membayang di wajah yang gemuk itu.
"Maaf," berkata Agung Sedayu kemudian, "aku tidak
bermaksud menyinggung perasaan kalian."
"Tutup mulutmu, " bentak orang yang kekar itu. "Sa"yang
ayahmu tidak ada. Kalau ada, aku paksa ia menghajarmu.
Kalau tidak, kamilah yang akan menghajar kau dan
membungkam mulutmu."
Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Tetapi ia
mengang"guk berkali-kali.
"He, kau dengar?"
Sekali lagi Agung Sedayu mengangguk.
"Kau dengar he" Kau tidak mau menjawab?"
"O, jadi aku harus menjawab" Aku tidak berani membuka
mulutku." Tiba-tiba orang yang kekar itu meloncat bangkit. Untunglah
bahwa berbareng dengan itu, beberapa orang telah terbangun
pula. Mereka segera berusaha menahan orang yang bertubuh
kekar itu. "Jangan. Adiknya baru sakit dan ayahnya tidak ada."
Orang yang bertubuh kekar itu menggeram. Tangannya
dihentak-hentakkannya sambil mengumpat-umpat.
Seandainya orang-orang di dalam barak itu tidak
mengerumuninya dan meredakan marahnya, maka ia pasti
sudah tidak mengekang dirinya lagi.
"Anak gila," ia masih mengumpat-umpat, "di seluruh daerah
ini tidak seorang pun yang berani melawan Sura Gempal. Kau
anak ingusan saja sudah berani membantah dan bahkan
menghina. Sayang saat ini aku terhalang oleh sekian banyak
orang. Kalau tidak, mulutmu benar-benar akan berdarah.
Ingat, tidak ada orang yang berani melawan Sura Gempal.
Bahkan para petugas dan pengawas pun tidak."
Agung Sedayu sama sekali tidak menyahut. Ia masih
berada di tempatnya, namun supaya tidak menumbuhkan
berbagai per"tanyaan di antara orang-orang yang berada di
barak itu, ia pun telah berdiri dengan tubuh gemetar.
Tetapi ia tidak mengucapkan sepatah kata pun.
Beberapa orang kemudian membimbing orang yang
bertubuh kekar, yang menyebut dirinya bernama Sura Gempal
itu kembali ke tempatnya. Salah seorang dari orang-orang itu
berkata, "Jangan hiraukan. Bukankah mereka hanya anakanak."
"Tetapi itu akan menjadi kebiasaan yang kurang baik. Kalau
aku membiarkan anak itu menghinaku, maka lain kali orang
lain pun akan menghinaku pula."
"Anak itu sudah minta maaf. Ia menjadi ketakutan sekali."
Orang yang menyebut dirinya bernama Sura Gempal itu
berpaling. Ketika dilihatnya Agung Sedayu berdiri gemetar,
hatinya menjadi sedikit terhibur.
"Kali ini aku maafkan kau," katanya, "tetapi lain kali, aku
sobek mulutmu." Agung Sedayu tidak menjawab.
Ketika orang itu telah duduk kembali di tempatnya, maka
orang lain pun kembali ke tempat masing-masing. Seseorang
yang sudah agak lanjut usia mendekati Agung Sedayu.
"Sudahlah. Hati-hatilah untuk lain kali. Jangan menyakiti hati
orang." Mulut Swandaru-lah yang sudah mulai bergerak. Tetapi ia
terdiam ketika kaki Agung Sedayu menyentuh lututnya.
"Sudahlah. Tidurlah. Ayahmu akan segera pulang."
Agung Sedayu mengangguk-anggukkan kepalanya. "Ya,
ya. Aku akan tidur."
Agung Sedayu pun kemudian duduk di samping Swandaru.
Orang yang kurus itu sudah tidak ada di dekat mereka, dan
orang yang kekar dan menyebut dirinya bernama Sura
Gempal itu pun sudah berbaring pula di tempatnya.
Sejenak kemudian Agung Sedayu pun berbaring pula di
samping Swandaru. Sebelum ia mapan Swandaru sudah
berdesis perlahan-lahan, "Kenapa kau biarkan orang itu
membuka mulutnya ter"lampau lebar?"
"Kenapa?" bertanya Agung Sedayu.
"Akulah yang tidak tahan. Hampir saja aku meloncat
bangun." "Hus. Bukankah guru sudah berpesan, agar kita tidak
me"nambah kesulitan di sini."
"Dan membiarkan diri kita diumpat-umpat tanpa salah?"
Agung Sedayu tersenyum, "Guru sudah memberikan
contoh, bahwa kadang-kadang kita harus berbuat demikian."
Swandaru mengerutkan keningnya. Namun kemudian ia
pun tersenyum pula. Barukan katanya, "Memang kadangkadang
terasa, kenikmatan tersendiri untuk membiarkan diri
kita dihinakan oleh orang-orang yang tidak tahu dari itu."
Agung Sedayu mengangguk-angguk sambil berkata, "Itu
adalah suatu bentuk kesombongan tersendiri."
"He, kenapa" Bukankah itu suatu sikap rendah hati."
"Ya, tetapi bukankah di dalam hati kita, justru kita merasa
bahwa dengan demikian kita sudah merendahkannya?"
"Ah, kau terlampau berbelit-belit."
"Ya. Tetapi bukankah kadang-kadang kita menepuk dada
sambil berkata "Inilah, akulah orang yang baik, rendah hati,
yang tidak pernah menyombongkan diri". Tetapi bukankah itu
suatu bentuk kesombongan yang terbesar?"
Swandaru merenung sejenak. Namun kemudian ia
tersenyum pula, "Ternyata kau sempat memikirkannya."
"Bukankah kita sedang tidak mempunyai kerja saat ini."
"Sudahlah. Orang-orang lain sudah tidur. Apakah kita tidak
akan tidur?" "Tidurlah. Kau memang perlu beristirahat cukup. Aku akan
menunggu sampai lewat tengah malam. Apakah guru segera
kembali atau tidak."
Swandaru mengangguk-angguk kecil. Namun kemudian ia
berkata, "Apakah aku akan dapat tidur sebelum guru datang?"
"Tidurlah. Aku akan menunggunya."
Keduanya pun kemudian terdiam. Ruangan itu memang
su"dah terlampau sepi sehingga keduanya pun tidak ada
minat lagi untuk bercakap-cakap. Swandaru yang belum pulih
benar itu pun ber"usaha untuk dapat tidur meskipun hanya


03 Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sejenak. Tetapi ingatannya kepada gurunya, maka ia hanya
dapat memejamkan matanya saja, tetapi sama sekali tidak
tertidur. Apalagi Agung Sedayu yang berbaring di sampingnya
melekat dinding. Tubuhnya seakan-akan terhimpit oleh tubuh
Swandaru yang gemuk itu. Ia bahkan sama sekali tidak
berhasil untuk sekedar memejamkan matanya. Ditatapnya
saja atap barak yang terbuat dari anyaman rerumputan dan
ilalang, sedang angan-angannya jauh bersama angin malam
yang berhembus lambat. Dalam pada itu, Kiai Gringsing masih ada di perjalanan.
Suara berdesing di udara itu seolah-olah selalu mengikutinya
ke mana ia pergi. Sekali ia menarik nafas dalam-dalam. Akhirnya ia
memutuskan untuk mengetahui, suara apakah yang selalu
mengganggunya itu. Orang tua itu pun kemudian duduk di atas sebuah batu di
pinggir jalan sambil sekali-sekali menengadahkan kepalanya.
Tetapi malam begitu gelap sehingga ia tidak dapat melihat
sesuatu. "Gila," desisnya, "suara itu sangat mengganggu."
Namun ketika teringat olehnya pesannya kepada muridmuridnya,
bahwa tengah malam ia harus kembali, maka ia pun
segera melanjutkan perjalanannya.
Tetapi suara yang berdesing itu seolah-olah mengikutinya
kemana ia pergi. Melingkar-lingkar. Sejenak menghilang
kemudian men"dekat lagi.
Namun akhirnya Kiai Gringsing mengangguk-anggukkan
kepalanya. Bahkan kemudian ia pun tersenyum sambil
berkata kepada diri sendiri, "Aku puji cara mereka. Hampir
saja aku dijang"kiti penyakit ketakutan itu pula."
Kini Kiai Gringsing tidak menghiraukan lagi suara yang
melingkar-lingkar itu. Langkahnya semakin dipercepat.
Diloncatinya parit-parit kecil yang menyilang jalan setapak
yang sedang dilaluinya. Ketika ia sampai di sebuah parit yang sedang dibuat, di
sebelah sebatang pohon yang besar, Kiai Gringsing berhenti
sejenak. Ia harus berbelok ke kanan, menuruti jalan yang
sempit sampai sebuah sungai kecil yang curam.
Kiai Gringsing menarik nafas dalam-dalam. Jalan yang
ditempuh memang sebuah jalan yang mengerikan. Dedaunan
yang rimbun bergantungan di atas jalan sempit itu. Sulur-sulur
yang liar bergayutan sebelah menyebelah.
Tetapi Kai Gringsing tidak akan mundur. Ia berjalan terus
betapa gelapnya. Namun sebagai seorang perantau yang
berpe"ngalaman, Kiai Gringsing segera dapat mengenal jalan
yang akan dilaluinya itu.
Langkah Kiai Gringsing tertegun ketika ia melihat sesuatu
bergerak-gerak di kejauhan. Di dalam gelapnya malam, mata
Kiai Gringsing yang tajam melihat sesuatu yang menghilang di
balik rerumputan, kemudian suara gemerisik batang-batang
ilalang yang- ter"sibak. Namun kemudian sepi kembali.
Kiai Gringsing mengangguk-anggukkan kepalanya. Ia dapat
men"duga bahwa bayangan yang bergerak-gerak itu adalah
bayangan seorang. Namun orang itu pasti bukan orang
kebanyakan, karena tiba-tiba saja ia telah hilang seperti
ditelan bumi, meskipun Kiai Gringsing mengetahui bahwa
orang itu pasti bersembunyi di balik pepohonan. Tetapi
geraknya yang cepat itu menandakan, bahwa orang itu adalah
orang yang memiliki kemampuan cukup.
Begitu besar keinginan Kiai Gringsing untuk mengetahui,
sia"pakah orang itu, hampir saja ia meloncat menyusulnya.
Untunglah bahwa ia masih dapat mengekang dirinya. Yang
berjalan menuju ke rumah dukun sakti itu kini adalah Truna
Podang. Karena itu, ketika ia menjadi semakin dekat dengan
bayangan yang bersembunyi itu, langkah Kiai Gringsing
menjadi semakin lambat, bahkan kemudian tertatih-tatih
seperti orang yang kelelahan.
Meskipun Kiai Gringsing tidak melihat, tetapi ketajaman
inderanya merasakan, bahwa ada sepasang mata yang
sedang mengintip langkahnya.
"Ini pasti salah seorang pembantu dukun sakti itu,"
kata"nya di dalam hati, "ia harus mengamati tamu-tamunya."
Karena itu, Kiai Gringsing harus melakukan perannya
de"ngan baik. Sebagai seorang petani yang sedang
digelisahkan oleh anaknya yang sedang sakit. Betapa pun
ketakutan dan kecemasan membakar dada, tetapi petani yang
takut kehilangan anaknya itu berjalan tertatih-tatih di dalam
gelapnya malam. Namun tidak sesuatu yang terjadi. Ketika ia sampai di
sungai kecil yang curam, maka Kiai Gringsing pun merayap
turun. Air sungai yang hanya sedalam mata kaki itu terasa
betapa dingin"nya. Tetapi ketika ia mulai merangkak naik, tiba-tiba Kiai
Gringsing itu dikejutkan oleh suara tertawa yang aneh. Suara
tertawa yang halus, tetapi menegangkan.
Kiai Gringsing berhenti sejenak. Segera ia mengetahui
darimana arah suara itu. Tetapi ia sama sekali tidak berhasrat
untuk menemukannya. Karena itu, ia merangkak terus naik
tebing yang cukup curam. Akhirnya Kiai Gringsing sampai juga di seberang, di atas
tebing. Dengan penuh kewaspadaan ia melangkah terus. Kini ia
merasa bahwa tidak hanya seorang sajalah yang sedang
menga"wasi. Seakan-akan divsetiap langkahnya ia bertemu
dengan tatapan mata yang tajam.
Namun Kiai Gringsing tetap tabah. Ia berjalan terus,
se"hingga akhirnya ia sampai ke suatu tempat yang ditebari
oleh batu-batu yang besar.
"Di sinilah rumah dukun sakti itu," desis Kiai Gringsing.
Kiai Gringsing melangkah terus. Ia harus mencari rumah
dukun sakti itu, di antara batu-batu besar yang berserakserakan.
Tetapi sebelum ia menemukan rumah itu, Kiai Gringsing
sekali lagi tertegun. Ia mendengar derap kaki-kaki kuda
mendekati daerah berbatu-batu itu. Sejenak Kiai Gringsing
terpaku di tempatnya. Ia menduga bahwa ada kira-kira lima
atau enam ekor kuda. Semakin lama menjadi semakin dekat.
"Apakah kuda-kuda ini sejenis kuda-kuda hantu yang
menakut-nakuti daerah yang sedang dibuka itu?" ia bertanya
kepada diri sendiri. Tetapi Kiai Gringsing memutuskan untuk segera
menemu"kan rumah dukun sakti itu supaya ia dapat
mengambil suatu kesimpulan dari pertemuan itu untuk
melakukan tindakan selan"jutnya.
Ia tidak mempedulikan lagi suara derap kaki-kaki kuda itu.
Ia tidak menghiraukan pula, apakah kuda-kuda itu kuda-kuda
hantu atau kuda-kuda yang lain.
Sejenak kemudian dada Kiai Gringsing menjadi berdebardebar.
Ia mendengar desir langkah seseorang yang tergesagesa.
Karena itu segera ia mengendapkan diri di balik sebuah
batu. Di dalam keremangan malam ia melihat sesosok
bayangan yang berjalan cepat menjauhi segerumbul perdu di
balik sebongkah batu yang besar.
Ketika orang itu hilang di balik bebatuan, maka Kiai
Gringsing pun merayap mendekatinya. Dadanya berdesir
ketika ia meli"hat di balik gerumbul itu, berdiri sebuah gubug
yang kecil, dilindungi oleh beberapa gumpal batu yang besar
dan gerumbul-gerumbul yang rimbun.
"Inikah rumahnya?" ia bertanya kepada diri sendiri pula.
Namun dalam pada itu suara derap kaki-kaki kuda itu pun
menjadi semakin dekat. Tetapi agaknya kuda-kuda itu pun
tidak dapat maju dengan cepat, karena daerah yang
terlampau sulit dilalui. "Apakah derap itu derap kaki-kaki kuda hantu yang
meng"ikuti aku?" Kiai Gringsing bertanya pula di dalam
hatinya. Tetapi Kiai Gringsing memang ingin mengetahui bentuk
dan wajah hantu-hantu yang telah menakut-nakuti setiap
orang yang sedang berusaha membuka hutan dan
menjadikannya suatu negeri di bawah pimpinan Ki Gede
Pemanahan dan puteranya Raden Sutawijaya bergelar Mas
Ngabehi Loring Pasar. Sejenak Kiai Gringsing termangu-mangu di tempatnya.
Manakah yang lebih dahulu akan dilakukannya. Masuk
menemui dukun sakti itu, atau menunggu hantu-hantu itu
lewat. Tetapi kalau ia menunggu hantu-hantu itu lewat,
mungkin tanggapan dukun sakti itu kepadanya sudah akan
menjadi berlainan. Selagi Kiai Gringsing dibayangi oleh keragu-raguannya,
maka derap kaki-kaki kuda itu menjadi semakin dekat. Dengan
demikian Kiai Gringsing tidak mendapat kesempatan lagi.
Karena itu yang mula-mula dikerjakan adalah mencari tempat
untuk berlindung. "Apakah aku dapat berlindung dari mata hantu-hantu,"
katanya di dalam hati. "Apa boleh buat. Apabila hantu-hantu
itu melihat aku, aku tidak akan menghindar."
Kiai Gringsing adalah orang yang cukup berpengalaman
dan memiliki ilmu yang hampir sempurna di dalam olah
kanuragan. Apalagi adalah seorang yang mempunyai
kepercayaan yang mantap kepada Yang Maha Kuasa.
Dengan demikian, maka ia pun segera dapat menguasai diri
dan dengan tenang menghadapi setiap kemungkinan. Namun
demikian, tanpa sesadarnya ia telah meraba tangkai
cambuknya yang membelit di lambung.
Kiai Gringsing menjadi semakin berdebar-debar ketika ia
men"dengar derap itu semakin dekat. Kemudian berhenti di
sebelah gubug yang tersembunyi itu.
Tetapi Kiai Gringsing terkejut ketika ia mendengar salah
seorang dari mereka yang berkuda itu bertanya, "Inikah
rumah"nya?" "Ya. inilah rumahnya," sahut yang lain, "Marilah, kita temui
dukun itu." Dada Kiai Gringsing menjadi berdebar-debar. Keinginannya
untuk mengetahui menjadi semakin mendesak dadanya.
Karena itu, maka sambil merangkak-rangkak ia bergeser
maju. Dengan pende"ngarannya yang tajam ia yakin bahwa
tidak ada orang lain di sekitarnya. Agaknya orang-orang yang
mengawasinya di sepanjang jalan, tidak mendekat ke gubug
ini. Sejenak kemudian Kiai Gringsing mendengar pintu gubug
itu diketok orang. "Kiai, bukakan pintu."
Sejenak tidak terdengar jawaban.
"Kiai." Baru kemudian perlahan-lahan terdengar jawaban dalam
nada yang berat, "Siapa di luar?"
"Kami adalah peronda dari Tanah Mataram."
Kiai Gringsing ternyata telah terkejut pula mendengar
jawaban itu. Mereka adalah orang-orang Ki Gede Pemanahan
yang de"ngan resmi sudah mempergunakan nama Tanah
Mataram. Sejenak tidak terdengar suara apa pun. Namun kemudian
terdengar suara dari dalam gubug itu, "Apakah maksud kalian
datang kemari di malam begini?"
"Kami mau bertemu dengan Kiai."
Kembali suasana menjadi sepi. Yang terdengar hanyalah
suara-suara malam yang mendirikan bulu. Suara burung hantu
dikejauhan yang kadang-kadang disahut oleh suara binatangbinatang
buas yang lamat-lamat. "Kiai," suara peronda itu terdengar lagi.
"Tunggu," jawab dari dalam.
Sejenak kemudian terdengar suara pintu gubug itu berderit.
Dan suara yang berat mempersilahkan para peronda itu,
"Mari"lah. Silahkan masuk. Tetapi agaknya gubug ini
terlampau sem"pit."
"Terima kasih," jawab salah seorang peronda itu, "kami
tidak akan masuk berbareng."
Dua orang di antara para peronda itu pun kemudian
mema"suki gubug yang sempit itu, sedangkan yang lain
berada di luar. Kiai Gringsing menjadi berdebar-debar. Kalau mereka yang
ada di luar gubug itu kemudian melangkah hilir-mudik dan ada
di antara mereka yang mengelilingi gubug ini, maka ia harus
segera bergeser menjauh. Namun agaknya para peronda itu tidak berkisar dari depan
gubug itu. Beberapa orang di antara mereka bercakap-cakap
perlahan-lahan. Sedang yang lain sama sekali tidak berbicara
apa pun. Dari dalam gubug Kiai Gringsing mendengar salah seorang
dari kedua peronda yang masuk itu berkata, "Kiai, kami
men"dengar bahwa Kiai-lah dukun sakti yang bernama Kiai
Damar." "Ya," jawab suara yang berat, "akulah yang bernama Kiai
Damar." "Bagus,"desis peronda itu, "kami telah datang kepada
orang yang tepat." "Apakah sebenarnya maksud kalian?" bertanya Kiai Damar.
"Kami telah diutus oleh Raden Sutawijaya."
"Maksudmu Putera Ki Gede Pemanahan?"
"Ya." "Apakah maksudnya?"
"Kiai," berkata peronda itu kemudian, "Kiai adalah
seseorang yang menurut kepercayaan orang-orang di sekitar
tempat ini, bahkan sampai ke daerah-daerah yang jauh,
mampu mengobati se"gala macam penyakit. Di antaranya
penyakit yang termasuk aneh-aneh yang menurut keterangan
beberapa orang disebabkan oleh hantu-hantu."
"Tidak hanya keterangan beberapa orang," potong Kiai
Damar, "memang demikianlah keadaannya. Maksudku, bukan
tentang aku, tetapi tentang hantu-hantu itu. Sebenarnyalah
bahwa banyak sekali orang yang sakit karena kesiku. Dan aku
adalah salah seorang dari mereka yang berusaha untuk
memohonkan maaf bagi orang-orang yang kesiku itu. Jadi
sama sekali bukan me"ngobati seperti yang kau katakan."
"Begitulah. Tetapi akibatnya hampir sama. Orang yang
sakit itu menjadi sembuh karenanya."
"Tidak. Tetapi mereka kemudian dimaafkannya."
"Ya. Begitulah," peronda itu berhenti sejenak. "Dengan
demikian, maka hubungan Kiai dengan hantu-hantu itu


03 Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

menjadi akrab." Dukun sakti yang bernama Kiai Damar itu tidak segera
menjawab. Sejenak ia mengangguk-anggukkan kepalanya.
Tetapi agak"nya ia sudah dapat menduga, ke manakah arah
pembicaraan para peronda itu.
Karena Kiai Damar tidak menjawab maka peronda itu
meneruskan, "Kiai. Sebagaimana Kiai Damar tahu, kini kami
sedang sibuk membuka hutan untuk menjadikannya sebuah
negeri. Namun akhir-akhir ini kami merasa terganggu.
Ketenteraman bekerja para penebang telah diusik oleh desasdesus
adanya hantu-hantu yang berkeliaran dan
mengganggu. Bukan saja para pendatang yang akan
membuka hutan, tetapi para petugas sendiri menjadi ngeri.
Hal itu terjadi di segala bagian dari penebangan hutan ini. Di
bagian Selatan, tengah, dan Utara. Bahkan ada di antara
mereka yang sudah meletakkan alat-alat mereka dan kembali
ke tempat asal mereka."
Kiai Damar itu, merenung sejenak. Lalu, "Aku mengerti
maksud kalian. Kalian ingin hantu-hantu itu tidak mengganggu
kerja para pendatang yang menebas hutan itu bukan?"
"Tepat, Kiai. Seperti yang kami minta kepada seorang
dukun sakti, yang menyebut dirinya bernama Kiai Telapak
Jalak yang tinggal di ujung Selatan dari daerah penebangan
hutan ini. Juga menyendiri seperti Kiai Damar."
Kiai Damar mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi
kemudian ia menjawab, "Permintaan ini wajar sekali. Tetapi
aku merasa bahwa aku sekarang berdiri di tengah-tengah
sungai yang banjir. Terus aku pasti akan basah, kembali pasti
basah juga." "Kenapa Kiai?" "Aku mengerti jalan pikiran kalian. Itulah sulitnya. Te"tapi
aku juga mengerti kenapa hal itu terjadi. Aku, mungkin juga
orang yang kau sebut bernama Telapak Jalak itu, memang
bergaul dengan hantu-hantu. Apa yang dapat aku tangkap dari
siratan jalan pikiran mereka pun dapat aku mengerti."
"Apakah kata mereka?"
"Ki Sanak," Kiai Damar menarik nafas dalam-dalam,
"dengan mata wadag kita memang tidak dapat melihat bahwa
sebenarnya kita berhadapan dengan suatu negeri. Lengkap
dengan istana dan prajuritnya. Kau tahu maksudku" Hutan
yang kini sedang ditebang itu adalah suatu negeri. Anehnya,
namanya juga Mata"ram seperti yang kalian pergunakan
sekarang" Tetapi sebenarnya hal itu juga tidak aneh, karena
raja-raja yang sekarang meme"rintah adalah keturunan rajaraja
dari kerajaan Mataram lama."
Para peronda itu mengerutkan keningnya.
"Coba, pikirkan. Bagaimana aku harus bersikap, apabila
aku tahu, mereka menjadi sakit hati karena istananya kalian
rusak. Pohon raksasa yang mereka anggap bangsal-bangsal
di dalam istana mereka, di dalam rumah-rumah para Adipati
dan Tumenggung menurut tata kepangkatan kita, kalian
tebang dengan semena-mena."
Para peronda itu tidak menjawab.
"Apakah yang akan dilakukan oleh Ki Gede Pemanahan
selagi ia masih berada di Pajang, dan yang akan dilakukan
oleh puteranya, apabila tiba-tiba raja Arya Penangsang datang
meng"hancurkan istana Pajang dan bangunan di Lor Pasar?"
Para peronda itu masih diam saja.
"Nah, itulah kira-kira alasan yang mereka pergunakan,
ke"napa mereka berusaha untuk mencegah kealpaan Ki Gede
Pe"manahan, agar tidak menjadi berlarut-larut." Kiai Damar
berhenti sejenak lalu, "Ki Sanak. Sebenarnya hantu-hantu itu
memang mempunyai kekuasaan yang lebih besar dari
manusia wadag. Kemenangan mereka yang paling cepat kita
kenal, bahwa mereka dapat melihat kita, tetapi kita sukar
sekali untuk melihat mereka tanpa mereka kehendaki sendiri.
Karena itu, mereka menjadi lebih mudah mengganggu kita
dan kita tidak akan dapat mengganggu mereka."
Peronda itu masih menggangguk. Namun kemudian salah
seorang dari mereka berkata, "Tetapi bukankah hutan ini
masih sangat luas Kiai. Apakah mereka tidak dapat diajak
berbicara, agar mereka berpindah saja ke bagian-bagian
hutan yang lain." Kiai Damar tertawa pendek. "Kalian memang aneh. Itu
adalah sikap yang tidak adil. Yang mementingkan diri sendiri.
Kalian datang kemudian, tetapi kalian ingin mengusir yang
su"dah ada di tempat itu sejak berabad-abad, bahkan jauh
sebelum ke"turunan Mataram lama memasuki lingkungan ini
dengan pera"daban yang lebih baik."
"Peradaban apakah yang Kiai maksud?"
"Peradaban di dalam tata kehidupan mereka. Jangan kau
kira bahwa di dalam kehidupan mereka tidak ada peradaban
se"perti yang kita miliki. Mereka mempunyai susunan
pemerintahan dan peraturan-peraturan yang harus mereka
taati." "Jadi, bagaimanakah kesimpulan Kiai" Apakah tidak dapat
tidak perlu mengadakan semacam perang?"
"Tunggu," Kiai Damar memotong, "jangan terlampau
sombong sehingga kata-katamu terdorong terlampau jauh.
Aku mengenal mereka dan aku mengenal kalian. Kalau
perang itu benar-benar akan berlangsung, maka yang akan
terjadi adalah perampasan sepihak semata-mata, yang akan
terjadi adalah penum"pasan sepihak semata-mata. Apakah
yang dapat kau lakukan" Apa?"
"Kita mempunyai orang-orang seperti Kiai Telapak Jalak
dan Kiai Damar sendiri."
Sekali lagi Kiai Damar tertawa, "Aneh sekali," katanya.
"Apakah kalian menyangka bahwa aku mampu berbuat
sesuatu atas mereka" Aku hanya mengenal mereka, dan
sejauh-jauh dapat aku lakukan adalah berlutut sambil mohon
maaf atas kekhilafan manusia yang sombong dan tamak ini."
"Jadi, tegasnya?"
"Aku tidak dapat berbuat apa-apa. Bahkan aku berpesan,
jangan menunggu hantu-hantu itu kehilangan kesabaran. Raja
mereka adalah Raja yang bijaksana yang sampai saat ini
masih berusaha untuk mengatasi persoalan ini. Tetapi pada
suatu saat, dengan sepatah kata mantra kalian akan diterkam
oleh penyakit yang maha dahsyat, dan tumpaslah kalian
bersama dengan keluarga kalian."
"Kiai," berkata peronda itu, "aku dapat mengerti.
Ke"terangan yang Kiai berikan mirip benar dengan
keterangan Kiai Telapak Jalak. Bahkan pada dasarnya
bersamaan maksudnya."
Kiai Gringsing, yang bersembunyi di belakang gubug itu
menahan nafas. Dari peronda-peronda itu ia mengetahui
bahwa di samping Kiai Damar, masih ada orang lain yang
dianggap sebagai seorang dukun yang sakti dan bernama Kiai
Telapak Jalak. Selanjutnya Kiai Gringsing mendengar Kiai Damar berkata,
"Apakah orang yang bernama Telapak Jalak itu juga pernah
memberikan keterangan seperti yang aku katakan?"
"Ya, Kiai." "Kalau demikian aku percaya, bahwa ia pun benar-benar
dapat bergaul dengan hantu-hantu di hutan Mentaok. Tetapi
apabila ada keterangan lain, maka orang itu pasti berbohong,
karena aku yakin bahwa aku benar."
"Ya, Kiai. Tetapi bagaimana menurut pendapat Kiai, apakah
yang sebaiknya kami lakukan."
Kiai Damar menarik nafas dalam-dalam. Katanya
kemudian, "Pertanyaan inilah yang membuat aku menjadi
pening. Aku merasa bahwa jawaban yang dapat aku berikan,
pasti suatu ja"waban yang tidak akan memberi kepuasan bagi
kalian dan terutama bagi Ki Gede Pemanahan beserta
puteranya." "Apakah jawaban itu?"
"Ki Sanak," berkata Kiai Damar, "aku tidak berani
mengatakannya. Namun seandainya aku masih mendapat
kemung"kinan, aku akan berusaha agar pada suatu saat kita
menemukan jalan yang sebaik-baiknya, agar kita mendapat
kesempatan un"tuk membuka hutan ini. Tetapi sudah tentu
dengan berbagai macam syarat."
"Apakah Kiai dapat menyebutkan syaratnya?"
"Tentu belum sekarang. Pada suatu saat aku akan
meng"hadap Raja dari Kerajaan Mataram. Bukan Mataram
yang didirikan oleh Ki Gede Pemanahan, tetapi Mataram
Kajiman. Aku ingin mendapat penjelasan langsung dari Raja
Mataram, yang tidak dapat dilihat dengan mata wadag ini,
bagaimanakah se-baiknya agar kita tidak mendapatkan kutuk
daripadanya, sedang kita mendapatkan bagian dari Tanah
Mentaok seperti yang kita harapkan."
"Kapan hal itu akan Kiai lakukan?"
"Segera. Namun sementara ini, usaha perluasan daerah
penebangan agar dibatasi atau dihentikan sama sekali.
Orang-orang biar kembali ke tempat masing-masing. Sedang
yang sudah terlanjur dibuka ini pun pasti akan mengalami
berbagai macam syarat yang harus di"penuhi."
Para peronda itu terdiam sejenak. Namun kemudian salah
seorang dari keduanya berkata, "Baiklah. Aku mengharap Kiai
secepatnya dapat menghubungi Raja Kajiman itu, sehingga
kami akan segera dapat menyesuaikan diri dengan
pembicaraan Kiai." "Baiklah. Tetapi ingat, sementara ini pembukaan daerah
baru harus dicegah."
"Aku akan melaporkannya kepada Ki Gede Pemanahan."
Peronda itu berhenti sejenak, lalu, "Sekarang kami akan minta
diri. Kami dikirim khusus untuk menemui Kiai Damar."
"Siapakah yang telah memerintahkan kalian menghubungi
aku. Ki Gede Pemanahan atau Sutawijaya?"
"Ki Gede Pemanahan," jawab peronda itu.
"Nah, sampaikan semuanya yang aku katakan kepada Ki
Gede Pemanahan." Sejenak kemudian maka kedua peronda itu pun keluar dari
gubug Kiai Damar. Sejenak mereka berbicara dengan kawankawannya
yang menunggu di luar. Dan sejenak kemudian
mereka pun telah berada di atas punggung kuda masingmasing,
meninggalkan gubug itu. Kiai Gringsing menarik nafas dalam-dalam. Kini ia
mengetahui, bagaimanakah pendapat dukun sakti itu tentang
usaha pembuka"an hutan dan yang menurut katanya
Kerajaan Mataram Kajiman.
Namun tiba-tiba Kiai Gringsing ingin megetahui, apakah
yang akan dikatakan oleh para peronda itu, sehingga ia pun
segera merayap meninggalkan tempatnya.
Dengan segenap kemampuan yang ada padanya Kiai
Gringsing pun segera menyusul orang-orang yang berkuda
perlahan-lahan di dalam gelapnya malam. Derap kaki-kaki
kuda yang lamat-lamat telah memungkinkan Kiai Gringsing
untuk segera menemukan arah. Be"berapa langkah ia
mendahului kuda-kuda yang berjalan dengan malasnya
menyusup hutan yang semakin lama menjadi semakin gelap.
Ketika ia sudah berada di depan, maka segera dicarinya
se"gumpal tanah padas. Dilemparkannya segumpal tanah itu
ke atas, tepat di atas jalan yang akan dilalui kuda-kuda itu.
Kemudian ia pun segera bersembunyi di balik sebuah
gerumbul tepat di pinggir jalan setapak itu.
(***) Buku 53 SEJENAK kemudian terdengar suara gemerasak di
dedaunan tepat di atas jalan sempit yang gelap, menurun dan
jatuh di tanah. Kiai Gringsing mendapat kesan bahwa para peronda itu
ter"kejut karenanya. Serentak kuda-kuda mereka berhenti.
"Apakah kalian juga mendengar suara gemerasak itu?"
bertanya salah seorang yang agaknya menjadi pemimpinnya.
"Ya," sahut yang lain.
"Apakah menurut dugaan kalian?"
"Di atas jalan ini banyak terdapat dedaunan dan rantingranting
yang kering." "Mungkin buah-buahan yang dibawa oleh burung-burung
malam." "Apakah kalian tidak memperhitungkan kemungkinan yang
lain." "Hantu atau jin barangkali?"
"Ya." "Apakah mereka sempat mengganggu kami dengan cara
itu" Hanya anak-anak yang dapat ditakut-takutinya dengan
cara demi"kian. Tetapi sudah tentu bukan kita. Kalau hantuhantu
itu mempu"nyai sedikit pengetahuan tentang manusia,
mereka pasti akan mempergunakan cara yang lebih ngeri
untuk menakut-nakuti kita sekarang ini."
Kawan-kawannya tidak menjawab. Agaknya mereka
sependapat dengan pendapat kawannya itu, sehingga tanpa
menghiraukan apa pun lagi mereka meneruskan perjalanan.
Sepeninggal mereka, Kiai Gringsing menarik nafas dalamdalam.
Ia menjadi berbesar hati, bahwa tidak semua orang
menjadi ke"takutan di dalam keadaan yang tidak berketentuan
ini. Tetapi agaknya Kiai Gringsing masih belum puas. Ia ingin
berbuat sesuatu sehingga para peronda itu menjadi semakin
man"tap. Mereka harus meyakini, bahwa mereka benar-benar
tidak mudah menjadi ketakutan.
Bagi mereka yang sudah dicengkam oleh kepercayaan
yang mendalam kepada hantu dan jin, maka setiap gejala
yang paling kecil pun pasti sudah menggoncangkan dada
mereka. Tetapi para peronda ini tidak.
Sejenak kemudian, maka Kiai Gringsing pun telah
menyusup pula di antara gerumbul liar, mendahului para
peronda yang me"mang sengaja maju perlahan-lahan.
"Sebenarnya sekali-sekali aku ingin melihat, bagaimanakah
ben"tuk hantu-hantu itu," berkata salah seorang dari mereka.
"Aku pernah melihat," jawab yang lain, "tetapi aku kurang
yakin bahwa itulah yang dimaksud dengan hantu."
"Apa yang kau lihat?"
"Seperti seekor kelinci,"
"He, sekecil kelinci?"
"Ya. Tetapi bercahaya seperti puluhan kunang-kunang."
Kawan-kawannya tidak segera menjawab. Namun
kemudian ter"dengar salah seorang dari mereka tertawa, "Itu
bukan hantu," katanya.
"Apa menurut pendapatmu?"


03 Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Kelinci, memang kelinci. Tetapi oleh cahaya apa pun yang
ada waktu itu, tampaknya bulu-bulunya yang mengkilap
seakan-akan bercahaya."
"Aku juga menduga demikian. Tetapi sesaat kemudian aku
mendengar suara tertawa lirih. Lalu hilang."
"Kapan kau lihat dan kau dengar semuanya itu?"
"Ketika aku menjadi pengawas di ujung Selatan dari
pene"bangan hutan ini."
"Kau dan para pengawas yang lain menjadi ketakutan?"
"Sebagian. Tetapi yang paling parah justru daerah ini.
Karena itu Ki Gede Pemanahan berniat untuk mengganti para
pengawas di daerah ini."
"Ya. Aku juga mendengar."
Tetapi pembicaraan mereka segera terputus. Dengan tibatiba
saja para peronda itu berhenti. Dengan mata terbelalak
mereka melihat sebuah bayangan yang bergantungan pada
sebuah cabang pohon yang rendah. Sebuah bayangan hitam
seperti seekor kera raksasa sedang berayun-ayun.
"Apakah kalian melihat sesuatu?" bertanya salah seorang
dari mereka. "Ya, sebuah bayangan hitam berayun pada sebatang
dahan." "Bagus. Agaknya kita benar-benar dijemput oleh hantu dari
Kerajaan Kajiman Mataram."
Tidak seorang pun yang menjawab. Namun betapa pun
juga dada mereka menjadi berdebar-debar.
"Aku akan menemuinya," berkata pemimpin rombongan itu.
Maka ia pun segera menyentuh kendali kudanya, sehingga
kuda itu berderap maju. Tetapi langkahnya segera berhenti.
Kuda itu pun agaknya menjadi terkejut, sehingga sambil
meringkik kuda itu melonjak dan berdiri dengan kedua kaki
belakangnya. Untunglah bahwa penunggangnya adalah
seseorang yang telah menguasainya, sehingga kuda itu pun
segera dapat ditenangkannya.
Kawan-kawannya yang lain pun segera menyusul di
belakangnya. Mereka pun kemudian berhenti beberapa
langkah dari bayangan hitam yang masih saja terayun-ayun.
"He, apakah kau yang disebut hantu?" bertanya pemimpin
rombongan itu. Bayangan itu sama sekali tidak menjawab.
"He, apakah kau dapat mendengar dan dapat berbicara
seperti manusia. Kalau kau hantu, apakah maksudmu?"
Bayangan itu masih tetap berdiam diri sambil berayun-ayun
seenaknya. Pemimpin peronda itu menarik nafas dalam-dalam.
Bagaimana ia harus berbicara dengan hantu-hantu.
"Menurut pendengaranku," berkata salah seorang dari para
peronda itu, "hantu-hantu dapat berbicara seperti manusia.
Ter"nyata orang-orang yang kesurupan dapat juga berbicara.
Nah, sekarang apakah hantu yang satu ini mau berbicara atau
tidak?" Tetapi bayangan itu masih tetap diam.
"Mungkin hantu-hantu hanya dapat berbicara apabila ia
me"rasuk ke dalam tubuh seseorang," berkata yang lain.
"Aku bersedia," seorang peronda yang masih muda
menyahut, "kalau hantu itu akan meminjam tubuhku untuk
dapat berbicara, aku tidak berkeberatan. Tetapi jangan
dirusakkan. Aku masih memerlukannya."
"Hus,"desis yang lain.
Namun bayangan itu masih tetap berdiam diri, sambil
masih saja terayun-ayun di dalam kegelapan.
"Bukan hantu," desis salah seorang dari peronda itu
dengan tiba-tiba, "aku kira seekor kera raksasa. Marilah, kita
tangkap saja." "Tunggu," berkata pemimpin peronda itu. Meskipun
demikian ia sendiri maju beberapa langkah di atas punggung
kuda"nya. Namun tiba-tiba ia mencabut pedangnya. Katanya,
"Ayo, jawablah pertanyaanku. Apakah kau termasuk dalam
jenis hantu yang akan mengganggu perjalanan kami?"
Bayangan itu tidak menyahut. Tetapi tiba-tiba ia meluncur
ja"tuh di tanah. Sekali lagi kuda pemimpin, rombongan itu terkejut. Namun
penunggangnya masih berhasil menenangkannya.
Kini para peronda itu melihat selingkar bayangan hitam
yang tergolek di tanah, seperti seonggok padas. Namun
dengan demikian mereka mulai percaya, bahwa mereka
memang berhadapan dengan hantu.
"Apa yang harus kita lakukan?" desis salah seorang dari
mereka. "Apakah kita perlu memanggil Kiai Damar" Mungkin ia
dapat berbicara dengan hantu ini."
Tetapi tidak seorang pun di antara para peronda itu yang
menanggapinya. Semuanya sedang ditegangkan oleh
seonggok baya"ngan hitam yang terletak di tanah. Di dalam
kegelapan malam, tampaklah bayangan itu bergerak-gerak
seolah-olah tarikan nafas.
Karena tidak ada yang menjawab, maka peronda itu
mengu"langinya, "Apakah aku harus memanggil Kiai Damar?"
Belum lagi ada yang, menjawab, maka tiba-tiba bayangan
hitam itu melenting tinggi. Kemudian jatuh melingkar pula di
tanah seperti semula. "Tidak ada gunanya memanggil Kiai Damar," berkata
pe"mimpin peronda itu.
"Mungkin Kiai Damar mampu berbicara dengan cara yang
tidak kita ketahui."
Pemimpin peronda itu merenung sejenak. Lalu, "Baiklah.
Kalau hantu ini bersedia menunggu."
"Marilah kita kepung, jangan sampai hantu itu lolos
se"belum Kiai Damar datang kemari."
Pemimpin peronda itu tidak menjawab. Ia berpaling ketika
salah seorang dari mereka segera meninggalkan tempat itu
kem"bali ke pondok Kiai Damar.
"Kawani anak itu," desis pemimpin peronda kepada
seorang peronda yang lain.
Maka dua ekor kuda telah berjalan secepat-cepat dapat
dilakukan kembali ke pondok Kiai Damar.
Ketika mereka sampai di muka pintu, maka pintu itu sudah
tertutup rapat. Karena itu, maka salah seorang dari mereka
segera mengetok sambil memanggil, "Kiai, Kiai Damar."
Agaknya Kiai Damar yang baru saja menutup pintu masih
belum tidur. Dengan suara yang parau itu bertanya, "Siapa di
luar?" "Aku, para peronda."
"He" Baru saja ada beberapa orang peronda datang
kemari." "Itulah kami." "Kenapa kalian kembali?"
"Ada sesuatu yang penting, Kiai."
"Apa?" "Kami telah bertemu dengan hantu-hantu itu."
"He?" Kiai Damar terkejut sehingga dengan serta-merta ia
meloncat dan membuka pintu. Di dalam kegelapan ia melihat
dua orang peronda yang sedang turun dari kuda mereka.
"Apakah Ki Sanak mengatakan bahwa Ki Sanak telah
bertemu dengan hantu?"
"Ya. Kami telah bertemu dengan sesosok hantu."
"Itu tidak mungkin. Tidak mungkin."
"Kenapa tidak mungkin, Kiai" Daerah ini adalah daerah
yang angker. Hampir setiap orang di daerah ini berbicara
tentang hantu. Bahkan Kiai Damar sendiri berbicara pula
tentang hantu. Nah, kami telah dicegat oleh sesosok hantu.
Tetapi kami tidak dapat mengajaknya berbicara. Karena itu
kami segera kembali kepada Kiai. Kami ingin mengajak Kiai
bersama kami untuk mencoba berbicara. Bukankah Kiai
mempunyai cara tersendiri untuk dapat berbicara dengan
hantu-hantu itu?" "Tetapi itu tidak mungkin. Kalian tidak akan bertemu
dengan hantu yang mana pun juga. Mereka telah berjanji
untuk tidak mengganggu kalian."
"Tetapi kami benar-benar telah bertemu dengan salah satu
dari mereka." "Apakah bentuknya?"
"Seperti seonggok sampah atau katakanlah sebongkah
batu yang lunak, semula hantu itu berayun-ayun pada
sebatang pohon, kemudian menjatuhkan diri melingkar di
tanah." Wajah Ki Damar menjadi tegang. Namun mulutnya masih
berkata, "Tidak mungkin. Tidak mungkin."
"Kenapa tidak mungkin" Kalau Kiai tidak percaya, mari"lah
kita lihat. Kedatanganku memang bermaksud untuk mengajak
Kiai serta dengan kami."
Sejenak Kiai Damar berdiri termangu-mangu. Namun
kemudian ia menggeram, "Aku akan melihatnya."
"Marilah. Kita naik berdua."
Kiai Damar pun kemudian segera meloncat naik ke
punggung kuda bersama seorang peronda. Tanpa menutup
pintu rumahnya, maka mereka pun segera pergi ke tempat
hantu yang telah meng"ganggu para peronda itu.
Sementara itu, para peronda pun menjadi ragu-ragu. Benda
hitam itu masih saja teronggok diam. Di dalam gelap malam,
para peronda itu tidak dapat melihat dengan jelas, apakah
sebenarnya yang sedang dihadapinya. Sedang untuk lebih
mendekat lagi mereka pun ragu-ragu.
"He, hantu," pemimpin peronda itu hampir berteriak,
"kenapa kau diam saja" Apakah kau memang tidak
mempunyai mulut?" Onggokan benda hitam itu sama sekali tidak menjawab.
Sekali lagi benda itu melenting. Namun kemudian diam.
Perlahan-lahan pemimpin peronda itu turun dari kudanya,
diikuti oleh yang lain. "Kepung benda ini," katanya, "jangan sampai lolos sampai
Kiai Damar datang. Ia akan dapat berbicara dengan hantu ini."
Kawan-kawannya pun kemudian bergerak mengitari benda
itu setelah mereka menambatkan kuda-kuda mereka. Namun
langkah mereka tertegun ketika benda hitam itu pun berguling
menjauhi, seakan-akan benda itu menyadari bahwa para
peronda itu sedang bergerak mengepungnya.
Pemimpin peronda itu mengerutkan keningnya. Namun ia
tetap pada pendiriannya, "Cepat. Jangan biarkan lari."
Kawan-kawannya pun berloncatan lebih cepat lagi,
berusaha untuk mengepung benda hitam yang mereka
anggap hantu itu. Namun tiba-tiba mereka terkejut. Ternyata benda itu
dengan tanpa diduga telah menyerang salah seorang dari
mereka yang berusaha mengepungnya. Meski pun benda itu
nampaknya hampir tidak bergerak, tetapi sebutir batu telah
mengenai dada salah seorang peronda sehingga ia
menyeringai kesakitan. "Kenapa?" "Dadaku." Ternyata serangan itu telah membuat para peronda
menjadi lebih berhati-hati. Meskipun akibatnya tidak
berbahaya, namun se"rangan itu merupakan peringatan
kepada para peronda, bahwa hantu itu dapat berbuat sesuatu
atas mereka. Hantu itu bukan sekedar seonggok sampah yang
mati. Dengan demikian, maka setiap orang kini telah
menggeng"gam senjata masing-masing. Meskipun demikian,
mereka sama sekali tidak ingin mengurungkan niatnya,
mengepung benda yang me"ngandung rahasia itu.
Namun mereka kini melangkah dengan penuh
kewaspadaan. Senjata mereka telah siap untuk menghadapi
setiap kemungkinan. Tetapi agaknya bayangan hitam itu tidak pula tinggal diam.
Sekali-sekali benda itu berguling menjauh. Kemudian berhenti
diam. Bahkan sekali-sekali melenting dan kembali jatuh di
tanah. Dalam ketegangan itulah kemudian terdengar derap kakikaki
kuda mendekat. Serentak para peronda itu berpaling.
Mereka pasti bahwa yang datang itu adalah para peronda
yang telah menemui Kiai Damar.
Ternyata dugaan mereka tidak salah. Sejenak kemudian
ke"dua ekor kuda itu pun telah semakin dekat, dan kemudian
berhenti di tempat kawan-kawannya menambatkan kudanya.
Karena peronda itu tidak segera melihat kawan-kawannya
yang sudah bergeser dari tempatnya, maka salah seorang dari
keduanya pun berkata lantang, "He, di manakah kalian" Aku
datang bersama Kiai Damar."
"Di sini," jawab salah seorang peronda yang sedang
berusaha mengepung bayangan hitam itu.
Kedua peronda yang mengajak Kiai Damar itu pun segera
berloncatan dari kuda-kuda mereka bersama Kiai Damar.
Dengan tergesa-gesa mereka berlari-lari mendekat ke arah
suara itu. "Apa yang kalian lihat?" bertanya Kiai Damar. Tetapi
alangkah kagetnya para peronda itu. Ketika mereka sedang
sibuk menunggu kedatangan Kiai Damar, dan serentak
berpaling ke arah langkah kakinya, maka mereka tidak sempat
memperhatikan bayangan hitam itu lagi. Mereka tidak melihat
bayangan itu menggelinding dan hilang di dalam gerumbul.
Yang mereka ketahui kemudian, hantu itu tiba-tiba telah hilang
di dalam kegelapan malam.
"Apa yang kalian lihat?" bertanya Kiai Damar.
"Di situ. Kami melihat sesuatu di kegelapan ini."
"Ya di mana," desak Kiai Damar yang sudah berdiri di
antara para peronda yang sudah memegang senjata di tangan
mereka. Para peronda itu saling berpandangan. Sejenak mereka
tidak dapat menjawab pertanyaan Kiai Damar. Tetapi kini
mata mereka melekat pada kegelapan malam, di mana
mereka melihat bayangan hitam itu yang terakhir.
"Di mana?" sekali lagi Kiai Damar mendesak.
Salah seorang dari peronda itu menunjuk dengan ujung
pedangnya, "Di situ. Di situlah aku melihat yang terakhir kali.
Kemudian hilang tidak berbekas."
"Omong kosong," teriak Kiai Damar.
"Kiai," berkata pemimpin peronda itu, "Kiai jangan menuduh
bahwa kami telah berbohong. Kami memang melihat sesuatu
di dalam kegelapan ini. Tidak begitu jelas memang. Tetapi
menurut pengamatan kami, kami telah melihat seonggok


03 Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

benda yang kehitam-hitaman."
"Kalian telah bermimpi."
"Kami tidak akan dapat mimpi bersama-sama dan serupa."
"Tetapi aku tidak percaya."
"Kenapa Kiai tidak percaya?"
"Hari ini tidak akan ada hantu, yang mana pun juga."
"Tetapi kami sudah melihatnya."
Kiai Damar tercenung sejenak. Tiba-tiba saja terasa bulubulu
teng-kuknya meremang. Sudah sekian lama ia tinggal di
dalam hutan yang gelap dan terasing. Namun baru saat itulah
ia benar-benar telah dipengaruhi oleh ceritera tentang hantu
yang lain. Hantu yang seolah-olah bukan kelompok hantuhantu
yang sudah dikenalnya. "Ki Sanak," berkata Kiai Damar, "aku mengenal hantu di
daerah Mataram ini dengan baik. Dari tingkat yang paling
rendah, bekasakan, tetekan, ilu-ilu, banaspati, sampai hantu
yang paling tinggi martabatnya, jin, setan, peri, prayangan,"
Kiai Damar berhenti sejenak. Lalu, "di antara mereka, tidak
ada jenis hantu yang ujudnya seperti seonggok batu padas
yang lunak ke-hitam-hitaman."
"Tetapi Kiai, bukankah hantu itu dapat merubah ujudnya
sesuai dengan kehendak mereka pada suatu saat?"
"Tetapi pada dasarnya mereka telah memiliki bentuk yang
tetap." Salah seorang peronda yang masih muda berkata, "Kalau
begitu, mungkin kita telah berjumpa dengan hantu dari daerah
lain. Dari Pajang misalnya. Atau dari Kali Praga atau dari
Gunung Merapi." "Jangan mengigau," bentak Kiai Damar yang tampaknya
menjadi tegang. Dalam pada itu, selagi mereka sedang sibuk menjajagi
jenis hantu yang mereka lihat, tiba-tiba mereka mendengar
gemeresak daun yang terguncang. Kemudian disusul oleh
sebuah bunyi yang tidak dapat mereka mengerti, tidak begitu
jauh dari tempat mereka berdiri.
Para peronda itu seolah-olah membeku di tempatnya.
Namun senjata-senjata mereka sajalah yang kemudian
bergetar di dalam geng"gaman.
Tetapi Kiai Damar agaknya tidak tinggal diam. Tiba-tiba
saja ia melenting meloncat ke arah suara itu.
Para peronda saling berpandangan sejenak. Dada mereka
menjadi berdebar-debar dan nafas mereka pun tertahantahan.
Mereka hanya dapat memandang dengan tanpa
berkedip Kiai Damar yang dengan lincahnya menyusup ke
dalam gelap, dan kemudian hilang ditelan oleh tumbuhtumbuhan
liar yang rimbun. Sejenak para peronda itu tidak mendengar sesuatu. Karena
itu mereka menjadi cemas, apakah kira-kira yang akan terjadi
dengan Kiai Damar yang sedang berusaha untuk mengejar
hantu yang agaknya asing baginya.
Namun ternyata bahwa Kiai Damar pun termasuk orang
yang luar biasa. Para peronda itu tidak dapat mengetahui, ke
mana ia pergi. Karena itu, maka mereka pun tidak dapat
mengikutinya untuk melihat, apakah yang telah dilakukannya.
Dalam pada itu, Kiai Damar pun dengan kemampuan yang
ada padanya, berloncatan di antara semak-semak dan
gerumbul-gerumbul liar, menuju ke arah bunyi yang tidak
dimengertinya. Beberapa saat kemudian langkahnya pun terhenti ketika ia
mendengar sesuatu beberapa langkah daripadanya. Ia sudah
men"duga, bahwa ia telah sampai ke tempat yang ditujunya.
Karena itu maka dengan hati-hati ia berdiri tegak, sambil
memperhatikan keadaan di sekitarnya dengan segenap
inderanya. "Tak ada gunanya kau bersembunyi," desisnya, "aku tahu,
kau berada di balik pohon cangkring."
Sejenak tidak terdengar jawaban. Karena itu maka Kiai
Da"mar mengulanginya, "Jangan bersembunyi di balik pohon
cangkring. Aku mungkin akan membuat pertimbangan yang
wajar kalau kau menampakkan dirimu."
Tetapi tidak seorang pun yang datang. Sedang suara
tarikan nafas itu masih didengarnya. Dari balik pohon
cangkring. Akhirnya Kiai Damar kehilangan kesabaran. Ia-lah yang
kemudian melangkah dengan hati-hati mendekati pohon
cangkring yang rimbun. Tetapi ia tertegun sejenak. Ia tiba-tiba
saja telah kehilangan suara yang memberinya petunjuk,
bahwa ada seseorang yang bersembunyi di sekitarnya.
Apalagi setelah ia sampai di sebelah pohon cangkring, ia tidak
melihat seseorang. Tarikan nafas yang didengarnya itu pun
seakan-akan telah lenyap.
"He, Jangan lari."
Tidak ada jawaban. Tetapi kini ia mendengar suara nafas
itu di belakang gerumbul yang lain.
Kemarahan yang semakin lama semakin memanasi
dadanya, telah membuat Kiai Damar semakin tidak bersabar.
Dengan lon"catan yang cepat ia melingkari gerumbul yang
kelam. Namun sekali lagi ia tidak menemukan sesuatu. Tidak
ada suara tarikan nafas, tidak ada seseorang, dan tidak ada
apa-apa. "Jangan bersembunyi, jangan bersembunyi!" suaranya
lan"tang. Tetapi tidak ada jawaban apa pun. Di kejauhan, para
peronda dapat menangkap suara Kiai Damar. Tetapi mereka
tidak ber"hasrat sama sekali untuk mendekat. Mereka
menganggap bahwa yang sedang terlibat kini adalah orang
yang mengerti dan tahu kedudukan lawannya. Yaitu hantuhantu.
Kiai Damar sendiri, tiba-tiba saja telah terkejut ketika suara
nafas itu terdengar dekat sekali di belakangnya. Dengan sertamerta
ia meloncat, membalikkan tubuhnya dan siap
menghadapi segala kemungkinan.
Darahnya tersirap ketika ia melihat sebuah bayangan hitam
teronggok di tanah. Segera ia mengerti, bahwa inilah yang di
maksud oleh para peronda. Hantu ini pulalah yang agaknya
telah mengganggunya. "He, kaukah yang telah mengganggu para peronda itu?"
Kiai Damar bertanya lantang.
Benda yang hitam teronggok di tanah itu sama sekali tidak
menjawab. Namun jelas bagi Kiai Damar, bahwa benda hitam
itu bernafas seperti manusia. Betapa pun lirihnya, namun Kiai
Damar dapat mendengar desah yang teratur.
"He, kenapa kau diam saja?" desak Kiai Damar. Namun
tiba-tiba ia terdiam. Para peronda itu menganggapnya sebagai
se"seorang yang mampu berbicara dengan hantu-hantu.
Namun tiba-tiba kini ia berhadapan dengan sesuatu yang tidak
dapat diajaknya ber"bicara.
Terngiang kata-kata salah seorang dari para peronda itu.
"Kalau begitu mungkin kita telah berjumpa dengan hantu dari
daerah lain. Dari Pajang misalnya atau dari Kali Praga atau
dari Gunung Merapi."
Tiba-tiba tanpa sesadarnya ia bertanya, "He, apakah kau
hantu dari daerah lain" Bukan dari Alas Mentaok?"
Kiai Damar terkejut ketika ia mendengar suara menggeram.
Ternyata seonggok benda itu telah mengeluarkan semacam
bunyi yang asing. "Benar he" Kau datang dari luar Alas Mentaok?"
Sekali lagi benda itu menggeram.
"Kalau kau mengerti aku, dengar pertanyaanku. Kalau ya,
kau menggeram. Kalau tidak, kau diam saja," Kiai Damar
ber"henti sejenak. Lalu, "Kau datang dari Kali Praga?"
Benda itu diam saja. "Dari Gunung Sepikul?" Benda itu masih diam saja.
"Dari Pesisir?"
Benda itu diam saja. "Dari Gunung Merapi?"
Ternyata benda itu menggeram, sehingga Kiai Damar
dapat mengambil kesimpulan bahwa hantu itu datang dari
Gunung Merapi. "Apa maksudmu datang, kemari he?"
Tidak ada jawaban. Tapi benda itu hanya menggeram saja.
"Persetan," desis Kiai Damar, "pergilah. Jangan
mengganggu daerah ini. Daerah ini adalah daerah Hutan
Mentaok. Kau tidak boleh berada di sini."
Tetapi tidak ada jawaban apa pun juga.
"Pergi. Kau harus pergi."
Benda itu diam saja. Kiai Damar menjadi marah sekali. Tiba-tiba ia menarik keris
pusakanya. Sambil maju selangkah ia berkata, "Tidak ada
makhluk yang dapat menahan kekuasaan keris ini. Kau pun
tidak, mes"kipun kau dapat membuat dirimu menjadi lebih
halus dari wadag yang kau perlihatkan."
Selangkah demi selangkah Kiai Damar maju mendekati
benda yang kehitam-hitaman, yang menyebut dirinya hantu
dari Gunung Merapi itu. Namun benda itu sama sekali tidak
bergerak, seolah-olah memang menunggu Kiai Damar
mendekatinya. "Aku masih memberimu kesempatan," desis Kiai Damar,
"kalau kau tidak segera pergi, aku akan membelah tubuhmu
dengan pusaka ini." Seonggok benda hitam itu masih tetap berdiam diri. Namun
di dalam kegelapan malam, Kiai Damar yang menjadi semakin
dekat melihat bahwa benda itu telah mulai bergerak-gerak.
Dengan demikian, maka Kiai Damar pun menjadi semakin
hati-hati. Keris di tangannya telah bergetar. Keris itu adalah
keris pusaka yang bagi Kiai Damar, memberikan kemantapan
apabila ia sedang berhadapan dengan bahaya yang paling
besar. Demikianlah, maka pada suatu saat Kiai Damar telah
benar-benar kehilangan kesabarannya. Karena itu, maka ia
pun segera melon"cat semakin dekat sambil mengacukan
senjatanya. Tetapi benda yang hitam itu pun kemudian berguling
men"jauhinya, secepat ia meloncat maju.
"Jangan lari. Kau sudah kehilangan semua kesempatan,"
berkata Kiai Damar sambil mengejar benda itu.
Namun tiba-tiba benda yang kehitam-hitaman itu melenting.
Dengan cepatnya benda itulah yang mendahului menyerang
dengan ga"rangnya. Dalam kegelapan malam Kiai Damar
melihat, seakan-akan sebuah sayap yang mengembang.
Namun, kemudian meluncur se"perti sebatang kayu.
Kiai Damar tidak menyangka bahwa benda itu akan
menye"rang begitu cepatnya. Karena itu, maka ia tidak
mempunyai kesempatan untuk menghindar ketika pinggulnya
tersentuh tubuh hantu itu.
Beberapa langkah Kiai Damar terdorong surut. Dengan
susah payah ia mencoba menjaga keseimbangannya. Namun
dorong"an yang keras itu telah membuatnya jatuh di atas
lututnya. Dengan marahnya Kiai Damar menggeram. Secepat kilat ia
meloncat berdiri. Tetapi sekali lagi ia terkejut. Dengan sayap
yang mengembang, hantu itu telah menyerangnya kembali.
Kali ini justru lebih dahsyat, sehingga sekali lagi Kiai Damar
terpe"lanting jatuh di tanah.
Dengan susah payah ia berusaha untuk tetap
menggenggam senjatanya. Satu-satunya kekuatan yang
dibanggakannya saat itu adalah kerisnya. Namun keris itu
terjatuh juga di tanah. Karena itu, secepatnya ia berguling ke
arah kerisnya yang tidak begitu jauh dari padanya,
Ketika keris itu sudah tergenggam di tangannya kembali,
maka ia pun segera berusaha untuk bangkit berdiri. Meskipun
lambung dan pergelangan tangannya masih terasa sakit,
namun ia pun segera berhasil berdiri tegak di atas tanah.
Tetapi dadanya menjadi semakin berdebar-debar. Ia tidak
meli"hat lagi lawannya. Bahkan ia tidak mendengar suara apa
pun yang dapat memberinya petunjuk, kemana bayangan
hitam itu pergi. "Setan licik," teriaknya.
Namun sejenak kemudian, Kiai Damar menjadi ragu-ragu.
Betapa gelapnya malam, tetapi ternyata inderanya yang cukup
tajam dapat menangkap sesuatu yang mencurigakannya.
Sentuhan hantu itu pun terasa aneh pula padanya. Sentuhan
itu tidak bedanya dengan sentuhan wadag manusia biasa.
"Sama sekali bukan hantu," geramnya, "tentu seseorang
yang mencoba untuk membuat onar."
Namun Kiai Damar menjadi ragu-ragu lagi. Desisnya,
"Tetapi siapa. Siapa yang mempunyai kemampuan begitu
tinggi?" Kiai Damar yang mengaku dirinya mempunyai hubungan
yang akrab dengan hantu-hantu itu menjadi ragu-ragu. Namun
kehadiran makhluk itu, apakah ia hantu apakah ia manusia
telah membuat"nya ragu-ragu.
Selagi ia berdiri termangu-mangu itulah, ia mendengar
suara ber"bisik, "Jangan bingung, Kiai Damar. Apakah kau
ingin melihat kenyataanku?"
"He, kau dapat berbicara?"
"Ya, aku memang dapat berbicara."
"Ayo, jangan lari. Kalau kau memang ingin berhadapan
dengan Kiai Damar." "Baikkah. Aku memang ingin berhadapan dengan Kiai
Damar yang selama ini merasa dirinya bersahabat dengan
hantu-hantu. Tetapi kau benar, bahwa aku datang dari luar
Alas Mentaok. Aku datang dari Gunung Merapi."
Kiai Damar menggeram. Tetapi ia menjadi berdebar-debar
ketika ia melihat sesosok tubuh yang pendek berjalan timpang
mende"katinya, "Inilah aku dalam ujudku yang sebenarnya,"
berkata makhluk pendek dan timpang itu.
"Hem," desis Kiai Damar, "kau berbentuk seperti manu"sia
juga. Tetapi kenapa kau berkerudung kain?"
"Ini adalah kelengkapanku."
"Bohong. Kau masih akan mengelabuhi aku. Ayo, tunjukkan
bentukmu yang wajar."
"Inilah bentukku."
Kiai Damar mengerutkan keningnya. Suara yang tinggi
me"lengking, membuat telinganya menjadi sakit.
"Apakah sebenarnya maksudmu mengganggu aku?"
ber"tanya Kiai Damar.
"Tidak apa-apa. Tetapi aku memang sedang mengemban
tugas." "Omong kosong."
"Kiai Damar," berkata makhluk itu, "bukankah namamu Kiai


03 Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Damar yang merasa dirimu mampu berbicara dan
memper"soalkan nasib hutan Mentaok ini dengan Kerajaan
Mataram Kajiman" Nah, ketahuilah. Aku adalah Kiai Dandang
Wesi. Dahulu di masa kecilnya, aku adalah pemomong Raden
Sutawijaya yang kini bergelar Mas Ngabehi Loring Pasar.
Tetapi umurku tidak mengijinkan aku untuk selalu
melayaninya. Pada suatu saat, aku merasa bahwa ajal telah
sampai. Itulah sebabnya, aku mohon ijin kepadanya untuk
bertapa di kaki Gunung Merapi. Akhirnya aku menemukan
bentukku yang sekarang," makhluk itu berhenti sejenak. Lalu,
"Dan kini aku mendapat tugas untuk menemui Raja Mataram
Kajiman. Pesan yang aku bawa dari Sri Maharaja Bantar
Bumi, Raja Kajiman di Gunung Merapi, yang sebenarnya
adalah muridku, agar Raja di Alas Mentaok, tidak
mengganggu usaha momonganku, Mas Ngabehi Loring
Pasar, membuka hutan ini untuk dijadikan sebuah negeri bagi
manusia wadag. Siapa saja yang berani menghalanginya,
maka persoalannya akan ber"kepanjangan, karena aku dan
muridku, Sri Maharaja Bantar Bumi tidak akan tinggal diam."
Kata-kata hantu yang menyebut dirinya bernama Dandang
We"si itu telah menggetarkan dada Kiai Damar. Sesaat ia
meragu"kannya, namun sesaat kemudian jantungnya menjadi
berdebar-debar. Ia sama sekali tidak menyangka bahwa pada
suatu saat ia akan berhadapan dengan Kerajaan Hantu yang
lain, yang mengaku Kerajaan Hantu di Gunung Merapi dan
dipimpin oleh seorang Raja pula.
Karena Kiai Damar terpaku saja di tempatnya tanpa
men"jawab, maka Dandang Wesi itu berkata, "Nah, kebetulan
saja kita bertemu. Kalau kau masih ingin berkelahi, marilah
aku la"yani sejenak. Sebab aku harus segera menghadap
Perabu Talangsari dari Kerajaan Mataram yang masih
sederhana. Kerajaan Mataram ini masih saja seperti Kerajaan
Mataram lama berabad-abad yang lampau. Cara berpikir
mereka pun masih dipengaruhi oleh cara berpikir yang
sederhana. Nah, dengan makhluk yang demikian itulah kau
berhubungan. Berbeda dengan Kerajaan yang tumbuh di
Gunung Merapi saat ini, yang dipimpin oleh Sri Maharaja
Bantar Bumi. Kalau suatu ketika kau berkesempatan marilah
melihat-lihat kerajaan yang baru berkembang itu, sejalan
perkembangan Tanah Mataram baru ini."
Kiai Damar menjadi semakin bingung. Apalagi ketika hantu
yang menyebut dirinya bernama Dandang Wesi itu bertanya,
"He, Kiai Damar. Kalau kau memang benar mampu
berhubungan dengan Raja Mataram Kajiman, coba sebutkan
bagaimanakah bentuk Prabu Talangsari" Bentuk sewajarnya,
dan bentuk yang disukainya?"
Kiai Damar seolah-olah terbungkam. Ia berdiri dengan mata
terbelalak. Namun demikian kerisnya masih digenggamnya
erat-erat. "Aku hormat kepadamu, meskipun seorang pembohong,"
berkata Dandang Wesi, "kau termasuk seseorang yang berani,
seperti para peronda itu. Sekarang, aku akan meneruskan
perjalananku ke pusat kota. Mudah-mudahan Perabu
Talangsari dapat menerima kehadiranku dan mendengarkan
nasehat dan pesan Sri Maharaja Bantar Bumi, supaya
Kerajaan Mataram ini tidak menyesal."
"Tetapi, tetapi ".," berkata Kiai Damar dengan suara
bergetar, "apakah kau akan menanyakan tentang aku?"
"Kenapa?" "Aku memang belum pernah menghadap Perabu
Talang"sari. Tetapi senapati-senapatinyalah yang selama ini
berhubungan dengan aku."
"Aku tidak akan berbicara tentang kau. Terlampau kecil
namamu untuk dibicarakan di hadapan Raja-raja. Yang akan
aku sebut namanya adalah Ki Gede Pemanahan dan
Sutawijaya." Kiai Dandang Wesi berhenti sejenak, "Adalah
pikiran yang bodoh sekali, seperti yang pernah kau katakan,
bahwa pohon-pohon besar itu adalah bangunan-bangunan
yang penting bagi kerajaan. Itu adalah pikiran beberapa abad
yang lalu. Tetapi semuanya seka-rang sudah lain. Inilah yang
akan aku beritahukan kepada Pe"rabu Talangsari."
Kiai Damar tidak menyahut.
"He, kenapa kau diam saja?" tiba-tiba hantu pendek itu
membentak. Kiai Damar tergagap karenanya.
"Kau sudah menghina aku," tiba-tiba saja hantu pendek dan
timpang itu menjadi sangat marah. Lalu, "Kau tidak percaya
kepadaku" Kepada semua ceritaku" Terkutuklah kau."
Sebelum Kiai Damar menjawab, tiba-tiba hantu pendek itu
te"lah menyerangnya.
Kiai Damar sama sekali tidak menyangka bahwa hal itu
akan terjadi. Karena itu, ia tidak dapat berbuat apa-apa ketika
da"danya seakan-akan retak karenanya.
Dengan kerasnya ia terpelanting dan jatuh terlentang.
Namun kali ini kerisnya masih tetap berada di genggamannya.
Sejenak ia menyeringai kesakitan. Namun kemudian ia
men"coba untuk berdiri sambil menggenggam keris
pusakanya. Tertatih-tatih ia berusaha. Dan akhirnya ia berhasil
tegak di atas kedua kakinya.
Tetapi hantu pendek itu sudah lenyap. Yang terdengar
ha"nyalah suaranya di antara desau angin. "Maaf, Kiai Damar.
Aku tidak sempat berurusan dengan kau. Selamat malam. Aku
akan segera menemui Perabu Talangsari."
Kiai Damar menggeram. Tetapi hatinya benar-benar
dicengkam oleh keragu-raguan yang dahsyat. Kadang-kadang
ia menjadi ngeri. Namun kadang-kadang ia menghentakhentakkan
kakinya dan menggeretakkan gigi"nya.
"Persetan," ia menggeram. Namun bersamaan dengan itu,
bulu-bulu ditengkuknya serasa meremang.
Sejenak kemudian, dengan penuh kebimbangan ia
melangkahkan kakinya. Ditemuinya para peronda yang
menungguinya dengan cemas.
Ketika mereka melihat Kiai Damar datang sambil
menggeng"gam kerisnya, para peronda itu bertanya, "Apa
yang sudah terjadi, Kiai" Kami mendengar lamat-lamat kalian
berbicara. Tetapi kami tidak mendengar dan tidak mengerti
pembicaraan itu." "Aku sudah berhasil mengajaknya berbicara," berkata Kiai
Damar, "bahasanya memang agak lain, karena hantu itu
datang dari Gunung Merapi."
"O." "Tetapi semuanya sudah selesai. Semuanya sudah
berakhir. Hantu itu tidak akan mengganggu lagi."
"Jadi, apakah hubungannya dengan hantu-hantu alas
Mentaok." Kiai Damar menarik nafas, "Aku tetap pada pendirianku.
Sebaiknya Ki Gede Pemanahan menunda dahulu usahanya
untuk memperluas Tanah Mataram yang baru ini."
"Begitu?" "Ya. Selanjutnya, biarlah aku yang menyelesaikan."
Tetapi sekali lagi seluruh bulu-bulu di tubuh Kiai Damar
meremang ketika ia mendengar suara tertawa lamat-lamat,
seolah-olah sedang mentertawakan kata-katanya.
"Sudahlah. Kembalilah menghadap Ki Gede Pemanahan,"
berkata Kiai Damar kemudian, "aku akan kembali ke
pondokku." "Apakah kami harus mengantar dengan kuda?"
"Tidak, aku akan berjalan kaki."
Para peronda itu pun kemudian minta diri, dan Kiai Damar
pun berjalan kembali ke pondoknya dengan jantung yang
berdebar-debar. Kerisnya masih saja tetap di dalam
genggaman. Ia tidak berani menyarungkannya, apabila setiap
saat ia bertemu dengan hantu pula.
Namun demikian, di sepanjang langkahnya kembali ke
pondoknya, pikirannya selalu dipengaruhi oleh prayangan
yang me"nyebut dirinya Kiai Dandang Wesi yang dahulu
semasa hidup"nya sebagai manusia, adalah pemomong
Sutawijaya selagi masih kanak-kanak.
"Ia tentu orang yang sakti, yang di dalam olah tapanya telah
mrayang dengan badan wadagnya," desis Kiai Damar,
"sehingga meskipun ia dapat berbentuk lembut, namun
sentuhan wadag manusianya masih terasa di dalam
serangan-serangannya yang seakan-akan hanya bermainmain
saja itu." Dada Kiai Damar menjadi berdebar-debar. Bahkan tanpa
sesa"darnya ia berkata, "Jika hantu Gunung Merapi itu benarbenar
ikut campur, maka semua rencana Panembahan Jati
Srana akan gagal. Dan yang akan terjadi adalah benturan
antara dua kelompok hantu dari Kerajaan Hantu yang besar.
Alas Mentaok dan Gu"nung Merapi."
Kiai Damar menjadi termangu-mangu. Ia sendiri tidak tahu,
be"tapa ia menjadi bingung dan cemas. Keragu-raguan yang
dahsyat telah melanda dadanya, memecahkan rencanaKang
Zusi - http://kangzusi.com/
rencananya sendiri. Apa yang dikatakannya tentang hantuhantu
di Alas Mentaok kini tiba-tiba menjadi masalah baginya.
Masalah yang mencemaskannya.
Sementara itu, Kiai Gringsing berjalan tersuruk-suruk
mende"kati gubug Kiai Damar. Ketika ia menengadahkan
wajahnya, ia menjadi gelisah, karena pertanda bintang-bintang
di langit mengatakan kepadanya, bahwa malam telah
melampaui pertengahannya.
"Mudah-mudahan Agung Sedayu tidak mengambil suatu
tindakan apa pun di barak," katanya di dalam hati. "Aku masih
belum berhasil bertemu dengan Kiai Damar."
Kiai Gringsing pun kemudian mengendap semakin dekat di
balik gubug Kiai Damar. Namun ketika dilihatnya gubug itu
masih kosong, maka ia pun segera meloncat ke depan.
Dengan kepala tunduk ia duduk bersila di muka pintu gubug
yang masih terbuka. *** Kiai Damar yang berjalan sambil merenung, tiba-tiba
terlonjak melihat sesosok tubuh yang kehitam-hitaman duduk
di muka pintu gubugnya. Hampir saja ia menyerang dengan
keris yang masih digenggamnya. Namun ketika ia melihat
bayangan itu mengacu-acukan tangannya sambil memohon,
"Ampun Kiai, ampun. Aku orang baik," maka Kiai Damar pun
mengurungkan niatnya. "Siapa kau he?" bentak Kiai Damar.
"Ampun, Kiai. Aku datang dari barak para penebang hutan."
"Oh, apa maksudmu?"
"Aku akan menghadap Kiai. Anakku sakit, Kiai."
"Kenapa?" "Aku tidak tahu. Tetapi menurut seorang dukun yang tinggal
di sebelah barak kami, anak itu keracunan."
"Kenapa kau kemari?"
"Dukun itu menyuruhku datang kemari. Menurut dukun itu,
selain keracunan anakku mendapat gejala penyakit yang lain."
"Apalagi kata dukun itu?"
"Aku disuruh membawa sebungkus obat kepada Kiai."
"Lihat. Bawa obat itu kemari."
Kiai Damar yang masih berdebar-debar itu pun kemudian
me"langkah memasuki gubugnya. Sebuah lampu minyak
yang terayun-ayun oleh angin malam yang lemah menerangi
ruangan yang sempit itu. Kiai Gringsing pun kemudian dengan ragu-ragu memasuki
rua"ngan itu pula sambil membawa sebungkus obat yang
didapatnya dari dukun yang tinggal di sebelah baraknya.
Nafas Kiai Damar masih belum berjalan wajar. Sekali-sekali
ia masih menarik nafas panjang-panjang untuk
menenteramkan hati. Setelah menyarungkan kerisnya, maka Kiai Damar pun
Dendam Empu Bharada 11 Pendekar Rajawali Sakti 23 Jago Dari Mongol Racun Kelabang Merah 2

Cari Blog Ini