Ceritasilat Novel Online

Api Di Bukit Menoreh 32

03 Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintardja Bagian 32


Panembahan Alit berjalan terus tanpa menghiraukannya.
Hampir saja Daksina berteriak memanggilnya ketika
Panembahan Alit yang sudah berdiri di bibir jurang itu masih
melangkahkan kakinya, justru ke atas jurang itu.
Tetapi ternyata Panembahan Alit sama sekali tidak
terlempar turun ke dalam jurang itu. Bahkan seakan-akan
Panembahan Alit itu berjalan di udara di atas jurang yang
menganga mengerikan. "Panembahan," Daksina berdesis.
"Marilah. Kau pun dapat melakukannya."
Di sinilah Daksina berdiri di simpang jalan antara nalar dan
penglihatannya. Penglihatannya yang terganggu di jalur
syarafnya, seakan-akan melihat sebuah jurang yang terbuka.
Sedang nalarnya tahu pasti, bahwa tidak ada apa-apa di
hadapan kakinya saat itu, sehingga jika ia melangkah terus,
maka ia akan dapat seakan-akan berjalan di udara seperti
Panembahan Alit. "Kau ternyata ragu-ragu," berkata Panembahan Alit,
"agaknya akan demikian pula orang-orang Mataram itu.
Mereka akan ragu-ragu seperti kau meskipun seandainya
mereka tahu bahwa yang dihadapi adalah sekedar bentukbentuk
semu." Daksina menganggukkan kepalanya. Katanya, "Ya.
Agaknya bentuk-bentuk semacam ini memang akan dapat
mengganggu." "Nah, yakinilah. Sehingga dengan demikian kita akan
dapat menghancurkan orang-orang Mataram dan Menoreh itu
dengan mudah." Daksina tidak menjawab. Dan ketika ia mendengar Putut
Nantang Pati pun kemudian mengajaknya, maka dengan raguragu
ia melangkahkan kakinya. Seperti orang buta ia
meletakkan kakinya di atas jurang itu ketika ia sudah berdiri
tepat di bibirnya. Tetapi ternyata kakinya mendapat sentuhan pula,
meskipun seakan-akan ia berjalan di atas jurang.
Daksina menarik nafas panjang. Dan tiba-tiba saja sekali
lagi ia terkejut. Ketika ia berdiri di atas jurang itu, maka tibatiba
tanah bagaikan terkatub seperti sediakala.
"Kau sudah melihat dan merasakan sendiri, betapa kau
dicengkam oleh keragu-raguan. Katakanlah kepada prajuritprajuritmu
agar mereka, tidak usah ragu-ragu jika mereka
menghadapi persoalan semacam ini. Mereka harus yakin
bahwa mereka akan dapat mempergunakan kesempatan
serupa ini justru untuk menghancurkan lawan yang sedang
dikuasai oleh kebimbangan dan keragu-raguan."
Daksina menarik nafas dalam-dalam. Tetapi ia tidak
menjawab. "Nah, marilah. Agaknya musuh yang datang itu sudah
menjadi semakin dekat. Kita masih harus mempersiapkan
segala sesuatunya untuk melawan mereka."
Daksina masih tetap berdiam diri. Tetapi ia melangkah
semakin cepat, agar ia segera sampai kepada anak buahnya.
Seperti pesan Panembahan Alit, maka Daksina pun segera
memberitahukan kepada para prajurit Pajang yang masih
belum pernah mengalami peristiwa-peristiwa yang aneh itu.
Namun agaknya satu dua orang di antara mereka sudah
pernah mendengar bahwa ada semacam ilmu yang dapat
menciptakan bentuk-bentuk yang sebenarnya hanya semu.
Ternyata bahwa kesempatan yang dapat dipergunakan
hanya sedikit sekali. Namun demikian, Daksina berhasil
menyebarkan pengertian itu kepada setiap telinga orangKang
Zusi - http://kangzusi.com/
orang yang ada di bawah perintahnya.
Panembahan Alit yang mendapat kuwajiban untuk
memimpin seluruh pasukan itu pun segera mengatur
pasukannya. Meskipun Panembahan Agung akan datang
dengan ilmunya yang ajaib, tetapi ternyata Daksina harus
mengakui, bahwa Panembahan Alit pun mengerti tentang olah
keprajuritan. Dengan teliti Panembahan Alit memberikan perintah
kepada para senapati, termasuk Daksina dan Putut Nantang
Pati yang akan menjadi senapati pengapitnya.
"Jika orang-orang Mataram dan Menoreh berhasil
menyingkirkan keragu-raguan mereka tentang bentuk-bentuk
semu yang diciptakan oleh Panembahan Agung, maka kalian
harus bertempur dengan wajar. Namun demikian, kalian harus
yakin, bahwa kalian lebih menguasai medan dari mereka.
Karena itu, sebagian di ujung kanan dan kiri, sebaiknya naik
memanjat tebing di sebelah-menyebelah. Mereka nanti akan
menyerang pasukan Mataram dan Menoreh dari lambung.
Apalagi apabila mereka sedang terpengaruh oleh bentukbentuk
semu yang akan diciptakan pada saat pasukan itu
memasuki medan yang sudah kita tandai ini."
Para senapati bawahannya mengangguk-anggukkan
kepala termasuk kedua Senapati pengapitnya, Daksina dan
Putut Nantang Pati. "Sebentar lagi Panembahan Agung akan datang. Ia tahu
pasti, kapan ia harus mendekati garis pertempuran, karena ia
tahu pasti, sampai di mana pasukan Mataram dan Menoreh itu
mendekat," berkata Panembahan Alit kemudian.
Dalam pada itu, pasukan Mataram dan Menoreh benarbenar
telah menjadi semakin dekat. Tetapi mereka sama
sekali tidak menduga bahwa mereka menjadi semakin dekat
dengan pertahanan lawan. Meskipun demikian pasukan Mataram dan Menoreh tidak
kehilangan kewaspadaan. Mereka masih tetap mengikuti jejak
yang sengaja dibiarkan saja oleh orang-orang yang sedang
dicarinya. Namun justru jejak itu menuju ke pertahanan yang
kuat yang telah disusun oleh Panembahan Alit yang kadangkadang
juga menyebut dirinya Panembahan Tidak Bernama.
Tiga orang pengawas yarg mendahului pasukan Mataram
dan Menoreh itu pun berusaha untuk mengenali daerah yang
akan dilalui oleh pasukannya. Dengan teliti mereka mengamati
setiap batang pohon dan gerumbul-gerumbul. Namun mereka
pun menjadi curiga, bahwa daerah yang semakin jauh dari
padepokan yang mereka sangka adalah padepokan
Panembahan Agung itu tidak justru menjadi semakin liar,
tetapi pategalan dan sawah-sawah menjadi semakin teratur
dan subur. "Aku tidak mengerti, apakah daerah padepokan yang
tersembunyi di antara pebukitan ini memang membujur
sampai ujung lembah," desis salah seorang dari mereka.
Kawannya mengangguk-anggukkan kepalanya. Ia pun
menjadi heran melihat daerah yang justru menjadi semakin
teratur. Jalur-jalur jalan yang semakin jelas dan bersih,
sehingga mereka menduga bahwa jalan itu adalah jalan yang
masih selalu dipergunakan.
"Agaknya jalur jalan ini adalah salah satu jalur jalan keluar
dari lembah terkurung ini. Bukankah kita pernah melihat jalan
di lereng bukit di seberang puncak itu."
"Ya, Dan itu wajar sekali. Mereka tentu mempunyai jalan
untuk menghubungkan diri dengan daerah di luar daerah ini.
Mereka tentu memerlukan kebutuhan-kebutuhan yang tidak
mereka dapatkan di sini. Misalnya garam."
"Ya," tetapi sambil mengangguk-anggukkan kepadanya ia
berkata, "aku menduga bahwa di hadapan kita masih ada
padepokan yang lain, yang mungkin lebih besar dari yang
baru saja kita temukan."
"Ya. Dan sebaiknya kita segera melaporkannya. Siapa
tahu bahwa justru di hadapan kita itulah padepokan yang
sebenarnya." Para pengawas itu termangu-mangu sejenak. Namun
mereka merasa wajib untuk segera melaporkan kepada
pimpinan mereka. "Pergilah," berkata yang tertua kepada salah seorang dari
mereka bertiga, "kami akan tetap di sini. Kami akan
mengawasi keadaan." Salah seorang dari mereka pun segera merayap kembali
ke induk pasukan untuk melaporkan apa yang dilihatnya.
"Memang menarik perhatian," berkata Kiai Gringsing.
"Dua padepokan yang terletak di lembah yang sama
meskipun jaraknya agak jauh," desis Raden Sutawijaya.
"Mungkin sekali," sahut Ki Demang di Sangkal Putung,
"seperti sebuah kademangan, kadang-kadang terdiri dari lima
bahkan sampai sepuluh padukuhan."
Raden Sutawijaya mengangguk-anggukkan kepalanya.
Tetapi yang kemudian menjadi teka-teki, yang manakah
padepokan induk dari seluruh padepokan di lembah ini. Jika
benar Panembahan Agung ada di padepokan ini atau
panembahan yang mana pun juga, maka ia tentu akan berada
di induk padepokan. "Apakah benar Panembahan Tak Bernama yang pernah
berada di Alas Tambak Baya itu ada di sini" Dan apakah
masih ada panembahan yang lain atau orang-orang sakti yang
lain yang berada di lembah ini?" bertanya Agung Sedayu di
dalam hatinya karena baginya padepokan ini benar-benar
masih suatu teka-teki. Ternyata bahwa orang-orang yang lain pun menyimpan
pertanyaan yang serupa. Swandaru, Ki Demang Sangkal
Putung, Ki Argapati, Pandan Wangi, Prastawa, dan yang lain
lagi. Namun dengan demikian maka mereka merasa bahwa
mereka harus lebih berhati-hati lagi menghadapi lawan yang
kurang mereka kenal. "Kita harus bergerak dalam gelar yang sesuai dengan
keadaan lembah ini," berkata Sutawijaya.
"Ya. Kita akan maju dalam kesiagaan," desis Prastawa.
"Sebelum kita berada di mulut lembah yang menghadap ke
daerah yang terbuka, kita masih mungkin diterkam oleh
jebakan yang tidak kita ketahui."
"Kita tidak dapat memasang gelar Cakra Byuha yang
sempurna. Tetapi kita dapat mempergunakan," berkata Ki
Argapati. Ternyata Raden Sutawijaya sependapat, sehingga sejenak
kemudian mereka pun segera membentuk sebuah gelar Cakra
Byuha yang kurang sempurna, karena mereka tidak dapat
berdiri dalam suatu lingkaran bergerigi.
"Cakra yang terbentuk adalah cakra yang bulat panjang,"
desis Agung Sedayu ditelinga Swandaru.
Swandaru tidak menjawab, karena ia pun harus segera
memisahkan diri dan berada di ujung gerigi di lambung
pasukannya. Demikianlah para pemimpin, baik dari Mataram mau pun
dari Tanah Perdikan Menoreh telah terbagi dalam kelompokkelompok
kecil yang berada di sebuah lingkaran, bagaikan
gerigi-gerigi yang tajam yang akan memotong kekuatan lawan.
Yang berada di paling depan adalah Raden Sutawijaya.
sedang di sampingnya sebelah-menyebelah adalah Kiai
Gringsing dan Ki Argapati yang dibayangi oleh Pandan Wangi,
karena di dalam keadaan yang gawat, apabila kaki ayahnya
itu kambuh, Pandan Wangi merasa bertanggung jawab untuk
membantunya. Kemudian di lambung kanan adalah Prastawa, Agung
Sedayu, Swandaru dan di lambung kiri adalah para pemimpin
dari Mataram, termasuk Ki Lurah Branjangan.
Di bagian belakang dari gelar itu pun harus mendapat
perhatian, jika terpaksa lingkaran itu bergerak dalam putaran,
maka bagian belakang akan mengalami perlawanan yang
berat, sehingga karena itu, maka Ki Demang-lah yang
kemudian berada di gerigi belakang itu.
Perlahan-lahan gelar perang yang tidak sempurna itu
berderap maju. Meskipun jumlahnya tidak sebanyak pasukan
Jipang yang menyeberangi Kali Sore, pada saat
berkecamuknya perang saudara yang mengerikan itu, namun
pasukan dari Mataram dan Tanah Perdikan Menoreh itu pun
merupakan kekuatan yang cukup untuk menghadapi sebuah
pertahanan yang mempunyai kekuatan yang sebenarnya
masih kabur bagi para pemimpin pasukan yang bergerak maju
itu. Dengan hati-hati pengawas yang melaporkan
pengamatannya tentang daerah di hadapan mereka itu
membawa Sutawijaya dengan pasukannya yang sudah
berjalan dalam gelar, menuju ketempat kedua kawankawannya
menunggu. Tetapi ketika mereka sampai ke tempat itu, mereka tidak
menemukan seorang pun dari keduanya.
"Keduanya ada di sini," berkata pengawas itu.
"Mungkin ada yang menarik perhatiannya. Mereka tentu
sudah bergerak maju."
"Kita sudah berada dekat di muka padepokan itu."
"Ya," sahut Raden Sutawijaya, "kita memang sudah berada
dekat dengan padepokan yang satu lagi. Kita tidak tahu,
apakah padepokan ini juga kosong seperti padepokan yang
baru saja kita lewati."
"Jadi, apakah kita akan maju terus?"
"Kita tunggu sejenak. Mungkin kedua pengawas itu dapat
memberikan penjelasan."
Demikianlah maka Sutawijaya pun memberikan isyarat
yang diteruskan oleh para pemimpin dari kedua pasukan yang
sedang bergerak itu, sehingga dengan demikian kedua
pasukan itu berhenti sejenak. Tetapi karena kedua pengawas
itu tidak juga datang kembali ke induk pasukan, maka mereka
pun kemudian berangkat lagi. Meskipun demikian, Sutawijaya
telah mengirimkan dua orang dari Mataram dan dua orang dari
Menoreh untuk mendahului.
Beberapa saat kemudian, maka keempat orang yang
berada di depan pasukan itu terkejut. Ternyata mereka
menemukan kawan-kawan mereka yang dua orang terkapar
pingsan di antara gerumbul-gerumbul perdu.
"Jangan sentuh," yang tertua di antara mereka berempat
itu pun memperingatkan kawan-kawannya.
"Kita laporkan kepada Raden Sutawijaya."
"Sebentar lagi mereka akan datang."
Sebenarnyalah maka pasukan itu pun segera sampai pula
ke tempat itu. Seperti para pengawas yang berjalan
mendahului, maka para pemimpin dari pasukan itu pun
menjadi heran melihat kedua pengawas yang terdahulu itu.
Kiai Gringsing-lah yang kemudian mendekatinya. Dengan
ketajaman inderanya ia mengetahui, bahwa orang-orang itu


03 Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sama sekali tidak tersentuh racun.
Karena itu, maka ia pun segera merabanya dan mencoba
mencari sebab, kenapa kedua orang itu menjadi pingsan.
"Tidak ada tanda-tanda bahwa orang itu terluka baik di luar
mau pun di dalam," berkata Kiai Gringsing.
Beberapa orang yang mengerumuninya menjadi heran.
Memang tidak ada bekas apa pun pada tubuhnya yang dapat
dijadikan pertanda, sebab-sebab kenapa ia pingsan.
Sutawijaya yang berdiri termangu-mangu itu pun
memandang berkeliling. Barangkali ia menemukan sesuatu
yang mencurigakan. Tetapi ia tidak melihat apa pun juga,
apalagi melihat seseorang.
"Apakah orang-orang itu telah dicekik?" tiba-tiba saja
Pandan Wangi bertanya. Kiai Gringsing menggelengkan kepalanya. Jawabnya,
"Tidak. Tidak ada bekas-bekas jari di lehernya."
Dalam pada itu, Ki Argapati yang mengamati keadaan di
sekelilingnya berkata, "Agaknya ada bekas perkelahian di
tempat ini." Kiai Gringsing yang melihat juga tanda-tanda itu
mengangguk-anggukkan kepalanya sambil berkata, "Ya.
Agaknya memang ada bekas perkelahian. Tetapi setelah ada
perkelahian, apakah yang kemudian menyebabkan kedua
orang ini pingsan." Tidak seorang pun yang menjawab, sedang Kiai Gringsing
pun kemudian berusaha untuk membuat kedua orang itu
sadar. Perlahan-lahan kedua orang itu mulai membuka matanya.
Namun dengan wajah yang pucat dan ketakutan meresa
segera menutup matanya kembali.
"Tidak, tidak."
"Sst," desis Kiai Gringsing, "aku, Kiai Gringsing dan di sini
ada pula Raden Sutawijaya."
Perlahan-lahan orang itu sekali lagi membuka matanya
meskipun mula-mula agak kabur, namun mereka pun melihat
bahwa yang ada di sekitarnya adalah kawan-kawannya
sendiri. Sambil menarik nafas dalam-dalam, salah seorang dari
mereka berusaha bangkit. Setelah duduk di rerumputan, maka
ia pun mengusap matanya beberapa kali. Diedarkannya
pandangan matanya menyapu dedaunan di sekitarnya.
"Kenapa kau berdua pingsan?" bertanya Kiai Gringsing.
"Tiba-tiba saja kami diserang."
"Siapa?" "Seseorang yang bertubuh tinggi kekurus-kurusan."
"Kau berkelahi?"
"Ya. Kami berdua berkelahi melawan orang itu. Tetapi
ternyata orang itu sangat tangguh. Kami berdua tidak berhasil
mengalahkannya." "Tetapi kenapa kau pingsan tanpa luka di tubuhmu?"
"Aku kira, aku telah kehabisan nafas. Aku tidak dapat lagi
menggerakkan tubuhku sama sekali. Mataku menjadi
berkunang-kunang dan akhirnya aku tidak sadarkan diri."
Yang mendengarkan ceritera itu mengerutkan keningnya.
Dan dengan jantung yang berdebar-debar Kiai Gringsing
bertanya, "Apakah kau tahu namanya?"
"Orang itu memang menyebutkan namanya."
"Siapa?" "Namanya Tak Bernama."
"He," yang mendengar itu menjadi heran. Tetapi Kiai
Gringsing menyahut, "Maksudmu. Panembahan Tidak
Bernama?" "Ya. Ya. Ia menyebut namanya Panembahan Tidak
Bernama." Kiai Gringsing menarik nafas dalam-dalam. Ternyata orang
itu memang ada di sini. Orang yang menyebut dirinya
Panembahan Tidak Bernama.
Namun kemudian tumbuh pertanyaan di dalam dirinya,
apakah Panembahan Tidak Bernama itu juga yang menyebut
dirinya Panembahan Agung"
Dalam pada itu Raden Sutawijaya pun bertanya, "Kenapa
orang itu tidak menangkapmu, atau berusaha membunuhmu?"
"Aku tidak tahu, Raden. Tetapi ia memang berkata, bahwa
ia tidak akan membunuhku. Yang ditunggunya adalah para
pemimpin dari Mataram dan Menoreh. Bahkan orang itu
menyebut-nyebut orang yang bersenjata cambuk."
Kiai Gringsing menganggukkan kepalanya. Katanya,
"Agaknya mereka sudah mengetahui bahwa kami ada di
tempat ini." "Tentu," sahut Sutawijaya, "Agung Sedayu dan Swandaru
bersenjata cambuk pula ketika kami berkelahi melawan
pasukan Daksina di daerah terbuka di sebelah hutan itu."
Kiai Gringsing tidak menyahut. Dipandanginya orang yang
baru sadar itu sejenak, lalu perlahan-lahan ia menarik orangorang
itu untuk berdiri. "Apakah kau sudah dapat berdiri?"
"Ya. Tetapi badanku masih terlalu lemah."
"Baiklah. Beradalah di dalam pasukan. Gelar yang tidak
sempurna ini akan bergerak terus. Dan sebelum badanmu
pulih kembali, kau sebaiknya berada di dalam lingkaran
bersama para tawanan yang ada pada kami dan pengawalpengawalnya.
Kau dapat membantu mereka jika diperlukan."
Demikianlah, maka pasukan itu pun mulai bergerak lagi.
Sutawijaya pun kemudian berpesan kepada pengawaspengawas
yang baru, agar mereka memberikan isyarat jika
mereka menjumpai kesulitan atau sesuatu yang
mencurigakan. Para pengawas yang kemudian berjalan mendahului
pasukan itu pun menjadi semakin berhati-hati. Mereka tidak
mau mengalami nasib seperti kedua kawannya yang pingsan
di dalam perkelahian karena kehabisan nafas meskipun hal itu
cukup menarik perhatian. Apalagi karena lawannya sama
sekali tidak melukainya dan apalagi membunuh.
"Mungkin orang itu sekedar memberikan peringatan. Tetapi
mungkin juga ia tergesa-gesa pergi karena pasukan ini sudah
menjadi semakin dekat," berkata pengawas itu di dalam hati.
Namun demikian, mereka sadar bahwa orang itu tentu
orang yang memiliki kelebihan.
Dalam pada itu, pasukan Mataram dan Menoreh itu pun
sudah menjadi sangat dekat dengan pertahanan lawan yang
tersembunyi, sehingga tidak mudah bagi mereka untuk
melihatnya lebih dahulu. Mereka sama sekali tidak sadar,
bahwa di balik batu-batu padas di lereng bukit sebelahmenyebelah,
di balik dinding-dinding batu padepokan di
hadapan mereka di belakang gerumbul-gerumbul di sebelah
padepokan itu, pasukan lawan sudah menunggu dengan
pedang terhunus. Namun lebih daripada itu, di antara mereka terdapat
Panembahan Alit diapit oleh Daksina dan Putut Nantang Pati,
serta agak di belakang terdapat Panembahan Agung yang
duduk di serambi sebuah gardu kecil. Di sebelah-menyebelah
gardu itu terdapat para pengawal yang juga tersembunyi.
Dari gardu itulah Panembahan Agung akan mengawasi
pertempuran yang sebentar lagi bakal terjadi.
Beberapa puluh langkah di hadapan pertahanan itu Raden
Sutawijaya memimpin pasukannya mendekati dinding batu di
ujung padepokan. Perlahan-lahan dan hati-hati. Namun sama
sekali tidak menduga bahwa di balik dinding batu, di balik
pepohonan dan batu-batu padas, lawannya sedang mengintai
dan siap untuk menerkam. Dalam pada itu, tiba-tiba saja para pengawas yang
mendahului pasukan Mataram itu terkejut. Tiba-tiba saja
mereka melihat sebatang pohon raksasa di hadapan mereka
yang berguncang. Apalagi para pengawas yang datang dari
Menoreh, yang kebetulan ikut di dalam perburuan bersama
Pandan Wangi dan kedua anak-anak muda Sangkal Putung.
"Tentu ular naga," desis yang seorang, "gerak pohon itu
tepat seperti yang kita lihat di hutan itu."
"Ya. Dan bau yang wengur ini?"
"Apa?" bertanya pengawal yang datang dari Mataram.
"Ular raksasa yang lapar. Kau lihat pepohonan yang
berguncang itu. Tidak hanya satu, tetapi tiga batang."
"Ya. Tiga batang. Jadi tentu ada tiga ekor ular raksasa
lapar di hadapan kita."
"Kita berhenti di sini," berkata salah seorang pengawas.
"Lebih baik melawan Panembahan Tidak Bernama daripada
melawan ular-ular raksasa itu. Adalah kebetulan saja Agung
Sedayu dapat mengenai mata naga itu dengan tombak. Jika
tidak, maka kita tentu akan disapu dengan ekornya. Demikian
juga agaknya pasukan ini Jika kita tidak berhenti di sini, maka
kita akan kehilangan banyak orang tanpa arti."
"Tetapi kapan ular itu akan pergi?"
"Tentu kita tidak tahu. Biarlah Raden Sutawijaya
mengambil keputusan."
Seperti yang mereka harapkan, maka sejenak kemudian
induk pasukan pun datang ketempat itu. Seperti pengawas,
maka mereka pun segera melihat pepohonan besar yang
bagaikan ditiup angin pusaran.
Raden Sutawijaya menjadi termangu-mangu sejenak,
sedang Pandan Wangi yang berada bersama ayahnya di sisi
ujung tengah pasukan itu pun hampir berteriak berkata, "Ularular
naga." Sutawijaya memandang pepohonan yang bergetar itu
dengan hati yang berdebar-debar. Sementara itu Agung
Sedayu dan Swandaru meninggalkan kelompoknya sejenak
dan mendekati gurunya yang berdiri di sebelah Sutawijaya.
"Guru," berkata Agung Sedayu, "ketika kami menangkap
ular naga, maka yang pertama-tama kami lihat adalah getar
pepohonan seperti itu."
Kiai Gringsing mengangguk-anggukkan kepalanya. Namun
tampaklah keragu-raguan membayang di wajahnya.
"Jika tidak dengan kebetulan aku mengenai matanya
dengan tombak, aku kira kami tidak akan dapat kembali.
Setidak-tidaknya salah seorang dari kami telah menjadi
korban." "Ya," sahut Kiai Gringsing, "ular yang berbuat demikian
adalah ular yang lapar. Dan kini ada tiga ekor ular naga yang
lapar bersama-sama."
Tidak seorang pun yang menjawab. Namun tiba-tiba salah
seorang dari ke empat pengawas itu berteriak, "Aku sudah
melihat ular itu. Hampir tidak mungkin. Lebih besar yang
pernah kita tangkap."
Ternyata bahwa bukan saja para pengawas itu melihat ular
raksasa yang mulai meluncur turun dari pohonan itu. Tetapi
hampir setiap orang di dalam pasukan itu dengan hati yang
berdebar-debar menyaksikan tiga ular yang besar sekali
sedang turun dari pohon-pohon raksasa di hadapan mereka.
"Apakah kita akan bertempur melawan ular-ular naga itu?"
bertanya salah seorang kepada kawan-kawannya.
Tetapi belum lagi kawannya menjawab, mereka melihat
suatu peristiwa yang belum pernah mereka saksikan
sepanjang hidup mereka. Ternyata ke tiga ekor ular naga yang
sedang lapar itu telah saling menyerang dan berkelahi di
antara mereka sendiri Perkelahian itu benar-benar telah menarik perhatian para
pengawal dari Mataram dan dari Tanah Perdikan Menoreh itu,
sehingga mereka menjadi lengah dan kehilangan perhatian
terhadap gelar yang mulai pecah.
"Ular itu saling menyerang," desis Agung sedayu.
Swandaru mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi ia
tidak menyahut sama sekali.
Sejenak seluruh pasukan itu terpesona melihat tiga ekor
ular naga raksasa yang saling membelit dan bertempur di
antara mereka. Semakin lama menjadi semakin liar. Apalagi
setelah darah yang merah kehitam-hitaman mulai membasahi
tubuh mereka. "Guru," berbisik Agung Sedayu kemudian, "ular sebesar itu
tentu memiliki tenaga yang luar biasa. Pepohonan menjadi
rusak dan berhamburan. Bagaimana kira-kira jika ular-ular itu
menyerang pasukan ini, apalagi dalam keadaan yang marah?"
Kiai Gringsing tidak segera menjawab. Diperhatikannya
ketiga ekor ular yang bertempur sendiri itu.
Tetapi ternyata bahwa yang dicemaskan Agung Sedayu itu
terjadi. Tiba-tiba salah seekor dari ular itu yang terlepas dari
belitan perkelahian di antara mereka, mengangkat kepalanya
tinggi-tinggi seakan-akan ingin melihat keadaan di
sekelingnya. Perlahan-lahan ular itu mengangkat kepalanya
sambil mengangakan mulutnya. Tampak taringnya yang
panjang dan tajam, kemudian lidahnya yang bercabang
menjulur panjang sekali. Dengan mata yang merah menyala ular itu memandang
perbukitan di sekitarnya. Kemudian tiba-tiba saja mata itu
menyentuh para pengawal yang dengan termangu-mangu
sedang memperhatikannya. Tiba-tiba ular itu mendengus keras sekali sehingga kedua
ekor yang lain terkejut. Perkelahian di antara mereka pun tibatiba
juga berhenti. Kini ketiga ekor naga itu memperhatikan
arah yang sama. Pasukan Mataram dan Tanah Perdikan
Menoreh. Para pengawal menjadi berdebar-debar. Sejenak mereka
memperhatikan ketiga ekor ular naga itu. Jika ular itu
menyerang mereka, maka mereka tidak akan banyak dapat
berbuat. Seandainya mereka melemparkan semua senjata ke
arah ke tiga ekor naga itu maka mereka tidak akan mampu
menahan gejolak yang sangat dahsyat sebelum ketiga ekor
ular itu mati. Dan separo dari pengawal di dalam pasukan itu
pun akan terbunuh. Dan ternyata yang mereka cemaskan itu terjadi. Ketiga
ekor ular naga yang sudah terluka itu mulai merunduk. Mereka
agaknya menjadi sangat marah melihat orang-orang yang
telah melihat perkelahian di antara mereka.
Sesaat kemudian hampir berbareng ketiga ekor naga itu
meluncur maju. Perlahan-lahan tetapi pasti, bahwa mereka
akan menyerang orang-orang yang mereka anggap telah
mengganggu. Tanpa disadari, maka para pengawal dari Mataram dan
Tanah Perdikan Menoreh itu melangkah surut. Tiga ekor ular
naga yang besar bersama-sama telah menyerang mereka.
Sesaat pasukan itu menjadi berdebar-debar. Apalagi
mereka yang pernah melihat, bagaimana seekor ular naga


03 Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

yang marah menyerang lawannya, ketika mereka berburu
bersama Pandan Wangi dan anak-anak Sangkal Putung itu.
Prastawa menjadi gelisah. Bahkan dengan serta-merta
berkata kepada pamannya, "Paman, sebaiknya kita
menghindari ular-ular naga itu. Mereka sangat buas dan
barangkali tidak ada cara yang dapat kita pergunakan untuk
melawan mereka bertiga."
Ki Argapati tidak menjawab. Ia sedang memandang ketiga
ekor ular naga itu dengan wajah yang tegang.
Dalam pada itu, selagi seluruh pasukan menjadi cemas.
Agung Sedayu sempat melihat beberapa ekor burung yang
berterbangan di udara. Sehingga karena itu ia bertanya
kepada gurunya, "Guru, apakah Guru juga melihat burungburung
di udara itu?" Kiai Gringsing mengangkat wajahnya. Dilihatnya burung
yang berterbangan di langit. Berputar-putar seakan-akan tidak
ada apa pun yang terjadi di bawah sayapnya.
Tiba-tiba saja Kiai Gringsing tersenyum. Katanya kepada
Agung Sedayu, "Kita sudah mulai mengalami."
Dan berbareng dengan itu Raden Sutawijaya pun
bertanya, "Kiai, coba katakan, apakah yang kita lihat itu bukan
sekedar bentuk semu" Aku tidak yakin, bahwa kita menjumpai
tiga ekor ular raksasa sekaligus."
"Tetapi mereka bertempur di antara mereka sendiri," desis
Prastawa ragu-ragu. Dan keragu-raguan telah melanda seluruh pasukan.
Namun dalam pada itu Kiai Gringsing berkata, "Kita tidak
berhadapan dengan tiga ekor ular naga yang sebenarnya. Jika
ada seekor ular saja di hadapan kita, maka binatang-binatang
yang lain akan menghindar. Demikian juga burung-burung di
udara." "Jika demikian," teriak Sutawijaya, "semua kembali ke
dalam kelompoknya. Adalah berbahaya sekali jika kita
terpancang oleh bentuk-bentuk semu itu, sedang pasukan
lawan yang sebenarnya akan menyerang kita."
Perintah itu telah menggerakkan para pemimpin dari
Mataram dan Tanah Perdikan Menoreh. Mereka sadar, bahwa
mereka harus berada di dalam lingkaran gelar yang tidak
sempurna itu. Karena itu maka mereka pun segera berlarilarian
kembali ke kelompok masing-masing.
Namun demikian bentuk yang mengerikan itu semakin
lama menjadi semakin dekat. Adalah meragukan sekali,
bahwa bentuk-bentuk itu hanya sekedar bentuk semu. Bahkan
ada di antara para pengawal yang menjadi gemetar melihat
taring yang panjang runcing dan lidah yang menjulur
bercabang. Tetapi Kiai Gringsing sempat menyakinkan dirinya sendiri.
Dengan ilmu yang ada padanya, ia telah menemukan
kepastian bahwa yang dilihatnya bukannya tiga ekor ular naga
raksasa. "Kita maju terus," perintah Raden Sutawijaya kemudian.
Namun Raden Sutawijaya sendiri masih juga dicengkam
oleh kebimbangan, sehingga tombaknya selalu merunduk ke
depan, siap untuk dipergunakan.
Namun seandainya yang menjadi semakin dekat itu adalah
benar-benar tiga ekor naga maka tombak itu tidak akan berarti
apa-apa. Dalam pada itu, selagi pasukan Mataram dan Tanah
Perdikan Menoreh dicengkam oleh keragu-raguan yang
dahsyat, maka pasukan yang dipimpin oleh Putut Nantang
Pati dan Daksina sudah siap untuk menyerang mereka. Tetapi
yang telah menggoncangkan hati adalah perintah Raden
Sutawijaya, justru para pengawal itu harus kembali di tempat
masing-masing di dalam gelar yang tidak sempurna itu.
"Mereka mengerti, bahwa bentuk-bentuk itu bukannya
bentuk yang sesungguhnya," berkata Putut Nantang Pati.
"Mereka bukan orang dungu. Tetapi nampak bahwa
pasukan itu menjadi ragu-ragu," jawab Daksina yang
bersembunyi di balik dinding batu.
"Kita menunggu perintah Panembahan Alit."
Dalam pada itu Panembahan Alit menjadi bimbang pula.
Ternyata pasukan Mataram dan Tanah Perdikan Menoreh
tidak menjadi pecah dan berlarian saling tunjang sehingga
dengan mudah mereka dapat menumpasnya. Bahkan ia
mendengar meskipun lamat-lamat perintah Sutawijaya untuk
tetap berada di dalam gelar perangnya yang meskipun tidak
sempurna, namun merupakan suatu gelar yang rapat di dalam
lembah yang tidak terlalu luas ini.
Dalam keragu-raguan itu, tiba-tiba mereka terkejut melihat
api yang menyala dari mulut ke tiga ekor naga itu. Sejenak,
Panembahan Alit dan anak buahnya terpesona sendiri melihat
nyala yang menyembur dari mulut yang sedang menganga itu
meskipun mereka tahu pasti, bahwa yang mereka lihat
bukannya api yang sebenarnya.
Namun dalam pada itu, ternyata bahwa api yang
memancar dari mulut tiga ekor naga itu telah menggetarkan
jantung setiap orang di dalam pasukan Mataram dan Tanah
Perdikan Menoreh. Rasa-rasanya api itu terasa panasnya
pada tubuh mereka, sehingga mereka benar-benar
meragukan, apakah yang mereka lihat hanya sekedar semu.
Dengan demikian maka pasukan yang berada di dalam
gelar itu telah terhenti. Bahkan beberapa orang mulai tergerak
surut karena api yang semakin lama menjadi semakin besar
itu. "Tidak ada apa-apa," Kiai Gringsing-lah yang kemudian
berteriak, "aku tidak melihat apa-apa."
Mereka yang mengenal Kiai Gringsing sebagai seorang
yang memiliki kelebihan, menerima keterangannya itu dengan
akalnya. Namun ternyata sebelum para pengawal itu harus
bertempur melawan pasukan Panembahan Agung, mereka
telah bertempur di dalam diri mereka sendiri, karena akal dan
perasaan mereka menjadi tidak seimbang.
"Nah," berkata Panembahan Alit, "kini mereka mulai
kehilangan keseimbangan. Sejenak lagi kita akan menyerang
mereka. Terutama pasukan yang ada di lambung itu."
Tetapi yang terjadi kemudian adalah suatu permainan baru
yang menggemparkan medan. Tiba-tiba saja, selagi pasukan
Mataram dan Menoreh mulai kebingungan, di langit
berterbangan beberapa ekor burung elang raksasa. Semakin
lama semakin banyak sehingga kemudian langit bagaikan
diliputi oleh mendung. Berpuluh-puluh burung elang yang
besar berterbangan mengitari tiga ekor naga raksasa itu. Dan
sejenak kemudian tiba-tiba saja berpuluh-puluh burung elang
yang besar itu menyerang ke tiga ekor ular naga itu dengan
paruhnya yang tajam dan dengan kuku-kukunya yang runcing.
Ular-ular naga itu pun terkejut mendapat serangan yang
tiba-tiba dari udara. Ketiganya menggeliat, dan kemudian
menengadahkan kepalanya. Namun burung-burung elang
raksasa itu pun menyerang semakin lama menjadi semakin
dahsyat, sehingga ketiga ekor ular itu tidak sempat
memperhatikan lagi para pengawal dari Mataram dan Tanah
Perdikan Menoreh. Mereka menyemburkan api di mulutnya ke
arah burung elang itu. Tetapi agaknya burung-burung elang itu
telah kebal sehingga api yang menjilat mereka, sama sekali
tidak menghanguskan bulu-bulunya.
Panembahan Alit yang melihat pertempuran itu menjadi
heran. Kemudian cemas dan berdebar-debar. Sedang Putjut
Nantang Pati dan Daksina menjadi bingung dan bertanya,
"Panembahan, apakah yang terjadi?"
"Aku tidak mengerti. Tentu ada sesuatu yang tidak pada
tempatnya. Elang-elang raksasa itu sangat mencurigakan,
tentu hanya bentuk semu seperti ular raksasa itu pula. Jika
burung-burung itu adalah burung yang sebenarnya, mereka
tentu tidak akan terpengaruh, oleh bentuk-bentuk semu seperti
ke tiga ekor ular raksasa itu."
Ternyata bukan saja Panembahan Alit yang menjadi
cemas dan bingung. Panembahan Agung yang duduk di
serambi gardunya pun terkejut merasakan suatu getaran yang
lain yang telah terjadi pada pusat samadinya sehingga
akhirnya ia melihat gangguan-gangguan yang tidak
dikehendaki. Yang terjadi kemudian sebenarnya adalah pertempuran
kekuatan ilmu yang aneh itu. Dengan segenap pemusatan
pikiran dan perasaan, Panembahan Agung mempertahankan
bentuk-bentuk semunya agar tidak terganggu oleh burungburung
yang berterbangan dan menyerangnya berganti-ganti.
Getar-getaran yang dahsyat ternyata telah melanda
pemusatan pikirannya, sehingga bentuk-bentuk yang
diciptakannya terpengaruh pula olehnya.
Ternyata bahwa gelombang getaran yang melanda
jantungnya adalah ilmu yang sangat dahsyat. Apalagi
Panembahan Agung tidak menyangka bahwa ia akan
mendapat serangan yang sangat dahsyat seperti itu.
Karena itulah maka ia harus berjuang mati-matian, agar
bentuk-bentuk semunya tidak terpengaruh oleh benturan ilmu
itu. Tetapi itu tidak mungkin. Penguasaannya atas getaran
alam di sekitarnya yang langsung mempengaruhi syaraf setiap
orang yang berada di dalam lingkup jangkau kemampuan
ilmunya sehingga tercipta bentuk-bentuk yang semu, yang
seolah-olah dapat disentuh oleh syaraf penghayatan yang
wadag itu, terpengaruh pula oleh gejolak getaran ilmu yang
serupa. Akhirnya Panembahan Agung itu tidak dapat bertahan
lebih lama lagi. Apalagi ia merasa tidak bersiap menghadapi
serangan yang tiba-tiba serupa itu sehingga akhirnya ia
berniat untuk mulai saja dengan medan yang baru sama sekali
dengan melepaskan medan yang lemah itu.
Karena itu, maka dengan hati yang berdebar-debar orangorang
yang berada di lembah dan yang sudah bersiap untuk
bertempur itu menjadi termangu-mangu. Mereka melihat ke
tiga ekor ular naga itu bergeser surut. Perlahan-lahan mereka
meninggalkan medan diburu oleh burung-burung yang
berterbangan di udara. Dan akhirnya ketiga ekor ular naga itu
pun meluncur masuk ke dalam rimbunnya pepohonan di
lembah itu. Demikian ketiga ekor ular naga itu hilang, maka burungburung
itu pun melayang meninggi, dan akhirnya hilang pula di
balik awan. Para pengawal Mataram dan Tanah Perdikan Menoreh
menggosok mata mereka. Kini mereka melihat, bahwa
sebenarnya di hadapan mereka tidak ada bekas-bekas
perkelahian dari tiga ekor ular naga itu. Mereka tidak melihat
pepohonan yang berserakan dan dahan-dahan kayu yang
berpatahan. Pepohonan yang ada di padukuhan di
hadapannya masih tampak hijau segar dan daun-daunnya
masih tetap rimbun. "Kita telah dihadapkan pada permainan yang gila," teriak
Sutawijaya. "Jika kita setiap kali menghadapi permainan
seperti itu, kita memang akan dapat menjadi gila karenanya.
Sekarang, selagi kita masih sadar sepenuhnya bahwa kita
adalah sasaran permainan itu, cepat, kita harus menemukan
sumber dari permainan gila itu sendiri."
Para pemimpin dari Mataram dan Tanah Perdikan
Menoreh sependapat dengan perintah Raden Sutawijaya itu.
Namun mereka masih saja selalu dibebani oleh pertanyaan,
bagaimana burung-burung elang raksasa itu begitu saja hadir
dan membantu mereka menghapus bayangan semu yang
mengerikan itu. "Apakah juga Panembahan Agung yang menciptakan
bentuk-bentuk burung elang raksasa yang dahsyat itu?"
bertanya salah seorang pengawal Tanah Perdikan Menoreh
kepada seorang kawannya. "Aku kira bukan," Agung Sedayu yang mendengar
pertanyaan itu menjawab. "Jadi siapa?" "Lembah ini memiliki seribu rahasia yang tidak mudah
dikatakan maknanya."
Pengawal itu tidak bertanya lagi. Raden Sutawija yang
marah karena merasa dipermainkan, segera membawa
pasukannya maju. Tetapi langkahnya terhenti ketika tiba-tiba saja, seperti
yang pernah dialami Daksina, lembah itu telah diguncang oleh
gempa bumi. Pohon-pohon besar berguncang dan dan tebing
batu-batu yang besar runtuh menimpa pepohonan.
Raden Sutawijaya terkejut. Dan rasa-rasanya tanah
memang berguncang, sehingga karena itu, sejenak ia menjadi
bingung. Apalagi kemudian terdengar tanah di hadapan
mereka runtuh, dan mengangalah sebuah jurang yang besar
dan dalam. Beberapa orang pengawal di dalam pasukan yang sedang
bergerak maju itu berpegangan pepohonan erat-erat, seakanakan
mereka akan terlempar ke dalam jurang yang dalam itu.
Bahkan beberapa orang dibagian depan gelar yang tidak
sempurna itu bergeser surut.
Ketika gempa menjadi reda, maka kebimbangan yang
sangat telah meraba hati setiap orang. Bahkan mereka
merasa tidak pasti terhadap diri mereka sendiri, setelah
mereka diganggu oleh peristiwa-peristiwa yang mengerikan
itu. Dan belum lagi getaran jantung mereka mereda, mereka
melihat asap yang tebal mengepul dari dalam jurang itu,
seolah-olah di dalam jurang itu terdapat kawah gunung berapi
yang panas. Kali ini Panembahan Alit tidak mau lagi melepaskan
kesempatan itu. Selagi orang-orang Mataram dan orang-orang
Tanah Perdikan Menoreh menjadi kebingungan, maka
terdengar isyarat dari senapati itu, bahwa pasukannya harus
menyerang. Demikianlah, maka anak buah Putut Nantang Pati dan
Daksina itu pun segera menghambur keluar dari
persembunyian mereka. Karena mereka sudah dibekali
keyakinan bahwa yang mereka lihat adalah sekedar bentuk
semu, maka mereka tidak menghiraukannya lagi. Yang berada
di paling depan sebelah-menyebelah adalah Putut Nantang
Pati dan Daksina. Mereka bagaikan terbang melintasi jurang
dan asap tebal keputih-putihan. Di belakangnya, anak
buahnya mengikutinya tanpa ragu-ragu. Mereka berlari-larian
di udara, melintasi jurang yang dalam itu.
Sebenarnyalah bahwa para pengawal dari Mataram dan


03 Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Tanah Perdikan Menoreh menjadi bingung. Meskipun mereka
mencoba untuk menilai apa yang dilihatnya, tetapi untuk
beberapa saat mereka kehilangan keseimbangan nalarnya.
Dalam pada itu, para pemimpinnya merasakan keraguraguan
yang dahsyat itu. Apalagi setelah mereka melihat
pasukan lawan mulai menyerang dan seakan-akan terbang di
udara di atas jurang yang menganga.
Hampir berbareng di dalam kecemasan melihat
kebimbangan pasukannya, Raden Sutawijaya, Kiai Gringsing,
dan Ki Argapati berteriak, "Jangan bingung. Kalian melihat
bentuk-bentuk yang tidak sebenarnya ada. Tetapi pasukan
lawan itu sebenarnya sedang menyerang kalian."
Perintah itu memang berpengaruh. Tetapi nalar mereka
seakan-akan sedang buntu oleh kebingungan yang
mencengkam mereka. Baru ketika terdengar perintah sekali lagi, maka mereka
pun mulai terbangun dan mempersiapkan senjata mereka.
Dengan dada yang berdebar-debar mereka menunggu lawan
mereka yang terbang di atas jurang yang lebar dan dalam itu.
Tetapi sebelum mereka menjadi benar-benar mapan,
maka datanglah gangguan yang lain. Tebing lembah itu sekali
lagi bagaikan runtuh. Batu-batu besar berguguran dan
pepohonan tumbang. Rasa-rasanya lembah itu semakin lama
menjadi semakin sempit. Sekali lagi timbul kebingungan pada setiap orang di dalam
pasukan itu, sehingga sekali lagi Kiai Gringsing berteriak,
"Jangan hiraukan. Tidak ada apa-apa."
Dan disahut oleh setiap pemimpin, meskipun mereka juga
masih ragu-ragu. "Jangan hiraukan. Bersiap melawan
pasukan lawan itu." Tetapi mereka pernah menyaksikan lembah yang bagaikan
runtuh ketika mereka memasuki lembah yang agak luas itu.
Reruntuhan itu telah benar-benar menguburkan beberapa
orang kawan mereka, sehingga karena itu, batu-batu padas
yang runtuh itu benar-benar telah membuat mereka
kebingungan. Dengan pemusatan perhatian terhadap para penyerang,
Para pemimpin kelompok dari pasukan pengawal Mataram
dan Tanah Perdikan Menoreh mencoba melepaskan
perhatiannya kepada semua yang telah terjadi di sekitarnya.
Meskipun demikian, mereka tidak berhasil sepenuhnya
mengnguasai diri sendiri.
Terlebih-lebih lagi ketika mereka mulai disentuh oleh angin
yang bagaikan menggugurkan gunung yang mengalir di
lembah itu, sehingga setiap pohon berguncang dengan
dahsyatnya. Tetapi, suatu peristiwa yang tidak mereka sangka-sangka
telah terjadi lagi. Selagi pasukan lawan hampir mencapai
ujung jurang yang hanya ada di dalam kegelisahan hati itu,
tiba-tiba meluncurlah anak panah bagaikan hujan dari balik
pepohonan. Bukan saja anak panah, tetapi tombak-tombak
pendek dan bahkan lembing-lembing bambu yang berujung
runcing. Dengan demikian maka pasukan Panembahan Alit yang
terbang itu bagaikan berhenti. Mereka menjadi ragu-ragu pula.
Sejenak Putut Nantang Pati dan Daksina mencoba menilai
keadaan. Apakah yang sebenarnya mereka hadapi.
Panembahan Alit yang berada di antara pasukan itu pun
kemudian bergeser maju. Katanya, "Gila, orang-orang
Mataram dan Tanah Perdikan Menoreh benar-benar tidak
terpengaruh oleh bentuk-bentuk yang aneh ini."
"Ya, mereka sempat menyerang dari balik pepohonan
tanpa menghiraukan angin ribut dan batu-batu padas yang
berguguran itu. Para pemimpin pasukan Panembahan Alit itu menjadi
bimbang. Panah-panah yang meluncur itu seperti merambat
semakin maju mendekati ujung pasukan mereka yang kini
bagaikan terkatung-katung di udara.
Ketika satu dua anak panah sudah menjadi semakin dekat,
maka tanpa disengaja, beberapa orang mulai bergeser surut.
Namun dalam pada itu, Sutawijaya dan seluruh
pasukannya pun menjadi heran. Tidak seorang pun dari
mereka yang dengan tenangnya melontarkan anak panah dari
balik pepohonan. Namun ternyata anak panah itu meluncur
deras sekali, sehingga menahan arus pasukan lawan yang
menyerang mereka dalam saat mereka berada di dalam
cengkaman kebimbangan dan kebingungan.
Dalam pada itu, Sutawijaya juga dicengkam oleh
kebimbangan yang luar biasa sehingga tanpa disadarinya ia
memukul-mukul kepalanya sendiri sambil berkata, "Kita
berada di daerah yang dapat membuat kita gila." Tetapi tibatiba
ia berteriak, "Jangan hiraukan, marilah kita maju. Kita
tentu dapat juga terbang seperti orang-orang itu.
Sebenarnyalah bahwa jurang itu tidak ada sama sekali. Hanya
kegilaan kita sajalah yang telah membayangkannya bahwa
kita di batasi oleh sebuah jurang yang dalam."
Sutawijaya tidak menunggu lebih lama lagi, ia pun
kemudian melangkah dengan tombak pendeknya merunduk
rendah. Namun betapa pun juga, sebenarnya Raden Sutawijaya
masih juga dibayangi oleh keragu-raguan meskipun ia sadar,
bahwa persoalannya terletak pada ketidak-seimbangan antara
nalar dan perasaannya. Dengan hati yang berdebar-debar Sutawijaya
memperhatikan anak panah yang meluncur seperti semburan
air dari arah pasukannya. Tetapi ia pun segera dapat
menghubungkannya dengan garuda yang telah menyerang
tiga ekor naga raksasa yang mengganggu pasukannya. Yang
menjadi teka-teki baginya, siapakah yang sudah
melakukannya. Sebagai seorang senapati, maka Sutawijaya mencoba
mengambil keuntungan dari keadaan medan. Justru karena
lawannya yang sedang ragu-ragu, maka Sutawijaya pun
membawa pasukannya untuk maju terus.
Tetapi di samping Sutawijaya terdapat seseorang yang
memiliki pengalaman yang jauh lebih banyak daripadanya,
sehingga karena itu, maka Sutawijaya mendengar Ki Argapati
memerintahkan kepada anak buahnya, tetapi perlahan-lahan
agar tidak diketahui oleh lawan, "Lepaskan anak panah yang
sebenarnya. Kita mengambil keuntungan dari keadaan yang
belum kita ketahui dengan pasti."
Ternyata bahwa para pemimpin dari Mataram pun
melakukan hal yang serupa. Mereka melepaskan anak panah
sambil melangkah maju, sehingga ketika sebuah dari anak
panah itu mengenai lawannya, maka lawannya pun benarbenar
menjadi terluka. Putut Nantang Pati dan Daksina menjadi bingung.
Meskipun mereka semula mulai menyadari, bahwa anak
panah itu sekedar bayangan semu seperti jurang yang
seakan-akan berada di bawah kaki mereka, namun ketika
Panembahan Alit hampir meneriakkan perintah bahwa
pasukannya tidak usah memperhatikan anak panah itu, tibatiba
saja dua orang dari mereka sekaligus terluka oleh anak
panah itu. Anak panah yang sebenarnya dilepaskan oleh
orang-orang Mataram dan Tanah Perdikan Menoreh.
Bahkan anak panah itu tidak saja mengarah ke medan di
hadapan mereka, tetapi juga menghadap ke lambung, ke arah
batu-batuan yang berguguran, yang sebenarnya melindungi
pasukan yang sudah siap menyerang dari lambung.
Dengan demikian, maka pasukan Putut Nantang Pati dan
Daksina pun terpaksa melangkah surut digiring oleh anak
panah yang mendesak maju. Mereka tidak siap menghadapi
serangan itu, sehingga mereka tidak segera dapat
menemukan cara untuk melawan anak panah itu, selain
berusaha menangkis dengan senjata yang ada pada mereka.
Pasukan itu agaknya terlampau percaya dengan permainan
Panembahan Agung yang akan dapat membingungkan
pasukan lawan. Namun ternyata, bahwa mereka masih tetap
berada di dalam gelar yang utuh meskipun tidak sempurna.
Meskipun kemudian Putut Nantang Pati dan Daksina
sadar, bahwa bukan semua anak panah yang meluncur itu
adalah benar-benar anak panah, namun memang terlampau
sulit untuk membedakan, yang manakah yang sebenarnya
anak panah, dan yang manakah yang sekedar seperti elang
raksasa yang berterbangan di langit.
Tetapi, ternyata bahwa pasukan Raden Sutawijaya pun
terhambat pula oleh jurang itu. Ketika pasukannya sudah
berdiri di bibir jurang, maka sekali lagi mereka diamuk oleh
kebimbangan. "Ikuti aku," teriak Kiai Gringsing yang berjalan terus tanpa
ragu-ragu. Ia berhasil melihat kenyataan yang di hadapannya
dengan mengesampingkan perasaannya. Namun yang lain
tidak memiliki keteguhan kepercayaan dan nalar seperti Kiai
Gringsing, sehingga untuk beberapa saat pasukan itu terhenti
Namun sekali lagi mereka dikejutkan oleh peristiwa yang
tidak mereka sangka-sangka. Tiba-tiba saja sekali lagi tanah
berguncang. Tetapi tidak sedahsyat yang baru saja terjadi,
namun ternyata goncangan itu telah melontarkan beberapa
buah pokok kayu raksasa yang kemudian tumbang dan
menyilang jurang yang dalam itu. Terlampau banyak, seakanakan
sengaja diatur seperti sebuah jembatan.
"Oh, gila. Benar-benar gila," Raden Sutawijaya berteriak
keras sekali. Lalu, "Tetapi lintasi jembatan itu jika kalian raguragu
bahwa jurang itu memang tidak ada."
Agung Sedayu, Swandaru, Pandan Wangi, Prastawa, dan
para pemimpin dari Mataram, yang memiliki pemusatan nalar
lebih baik dari orang kebanyakan segera membawa
kelompoknya mendesak maju. Mereka yakin bahwa mereka
tidak akan terperosok ke dalam jurang yang memang tidak
ada. Demikianlah pasukan itu maju terus, meskipun dengan
dibayangi oleh kebimbangan dan keragu-raguan. Namun
mereka pun kemudian dengan hati yang bulat bertekad untuk
melawan ilmu yang gila-gilaan itu. Pengalaman yang telah
terjadi, membuat mereka justru semakin mantap, bahwa
mereka tidak boleh dikelabuhi oleh gambaran-gambaran gila
di dalam angan-angan mereka sendiri.
Ternyata bahwa yang terjadi itu justru mengacaukan
pasukan Panembahan Alit. Mereka sama sekali tidak
menduga, bahwa pada suatu saat mereka akan berhadapan
dengan lawan yang memiliki kemampuan serupa. Bahkan
salah seorang dari para pemimpinnya berdesis, "Mataram
memang tidak dapat diangggap ringan."
Selain pasukannya, maka ternyata Panembahan Agung
sendiri mengalami goncangau perasaan yang dahsyat,
sehingga mempengaruhi pemusatan ilmunya. Ia sama sekali
tidak menyangka, bahwa ilmunya mengalami perlawanan.
Dengan susah payah ia berusaha merubah medan. Ia
berusaha merubah jurangnya menjadi semakin besar, agar
pohon-pohon yang menyilang itu terjerumus ke dalamnya.
Tetapi rasa-rasanya ia terpengaruh oleh sebuah kekuatan
yang menggetarkan setiap pemusatan ilmunya.
Karena itu, maka sekali lagi Panembahan Agung menjadi
marah oleh kekalahan yang tidak diduganya sama sekali.
Dengan serta-merta ia merusak medan yang sudah
diciptakannya dan berusaha membuat gangguan-gangguan
baru meskipun ia tahu, bahwa ia harus bertempur melawan
ilmu yang serupa. Raden Sutawijaya dan anak buahnya terkejut ketika tibatiba
saja jurang itu lenyap. Dan ternyata mereka benar-benar
berdiri di atas tanah. Sedang pepohonan yang besar itu pun
telah tidak ada di tempatnya pula.
"Kita maju terus," teriak Raden Sutawijaya kemudian, "kita
tidak boleh terpengaruh oleh perang urat syaraf yang tidak
mempengaruhi langsung keadaan medan. Di sinilah
sebenarnya kita diuji ketahanan kita. Jika kita percaya kepada
diri sendiri dengan sepenuh hati, maka kita akan mengatasi
gangguan-gangguan yang sebenarnya tidak berarti apa-apa.
Terserah kepada kalian, apakah kalian dapat dipengaruhi oleh
perang urat syaraf yang gila-gilaan ini atau tidak."
Ternyata kata-kata Sutawijaya itu dapat membangkitkan
kemantapan di hati setiap orang di dalam pasukannya.
Mereka mencoba untuk tidak lagi menghiraukan bentukbentuk
semu yang sengaja dipergunakan sebagai alat di
dalam perang urat syaraf. Mereka sadar bahwa apabila
mereka tenggelam di dalam kegelisahan karena perang urat
syaraf itu, maka sebenarnyalah mereka telah dikalahkan
sebelum perang yang sebenarnya mulai.
Dengan mantap maka pasukan Mataram dan Tanah
Perdikan Menoreh itu berderap maju. Mereka siap dengan
senjata telanjang di tangan, karena mereka sudah berada di
hadapan pasukan Panembahan Alit dan kedua senapati
pengapitnya. Namun sekali lagi gangguan itu datang. Tiba-tiba saja
terdengar suara prahara yang berputar-putar di dalam lembah
itu. Tidak ada angin dan tidak ada mendung di langit, tetapi
suara prahara itu terdengar semakin lama semakin dekat.
"Jangan terpengaruh," terdengar perintah Raden
Sutawijaya. Namun tiba-tiba saja terdengar jawaban dengan suara
yang berat dalam dan melingkar-lingkar di dalam lembah itu.
"Kau memang luar biasa anak muda. Agaknya tidak sia-sialah
kau menjadi anak pungut Kanjeng Sultan Pajang. Dan tidak
sia-sia pula kau menyebut dirimu anak Pemanahan."
Raden Sutawijaya justru terhenti mendengar suara itu.
Dengan lantang ia menyahut, "Akulah Sutawijaya. Siapakah
kau, he" Aku mendengar suaramu, tetapi kau tidak berani
menampakkan ujudmu."
Terdengar suara tertawa melingkar-lingkar. Suara yang
memenuhi lembah itu sehingga setiap orang menjadi
berdebar-debar dan cemas. Seakan-akan mereka sedang
berbicara dengan lanngit dan bumi dan dengan gununggunung
di sekitar mereka. "Kau aneh Sutawijaya. Jika kau bertanya ujudku, maka
tentu kau tahu, aku dapat berada di segala bentuk apa yang
aku kehendaki. Aku dapat menjadi seekor naga raksasa.
Bahkan tiga ekor. Aku dapat menjadi raksasa sebesar gunung
Merapi. Aku dapat menjadi api dan dapat menjadi banjir. Aku
dapat menjadi angin prahara dan petir yang menyambar di
langit. Aku mempunyai bentuk seperti isi dunia ini."


03 Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Omong kosong," teriak Raden Sutawijaya, "kau hanya
dapat membuat bentuk-bentuk semu yang tidak ada artinya
bagiku." "Jangan sombong anak muda. Kau akan menyesal karena
pada suatu saat, kau tidak akan dapat membedakan antara
bentuk yang sebenarnya dan bentuk yang semu. Aku akui, kali
ini kau berhasil mengalahkan gangguan atas syarafmu. Tetapi
nanti tidak. Sebentar lagi kau akan benar-benar kehilangan
kemampuan untuk mempertimbangkan yang manakah yang
semu dan yang manakah yang sebenarnya." Suara itu
berhenti sejenak, lalu, "Dan akulah ujud dari segalanya itu."
Namun sebelum Sutawijaya menjawab, terdengar suara
yang lain. Tidak ada bedanya dengan suara yang seakanakan
memenuhi seluruh lembah mengumandang dari dinding
pegunungan yang satu membentur dinding pegunungan yang
lain. "Panembahan Agung. Sebenarnya kau memang dapat
mewujudkan dirimu dalam segala bentuk sebanyak bentuk
yang ada di muka bumi. Bahkan bentuk-bentuk yang ada di
dalam dongeng dan ceritera-ceritera. Tetapi bentuk yang kau
ciptakan itu sama sekali tidak berarti. Seperti angin lembut
yang lewat tanpa meninggalkan bekas. Hanya orang-orang
yang hatinya ringkih sajalah yang dapat kau pengaruhi dengan
kebohongan yang paling besar itu. Kebohongan yang dapat
berujud dan dibentuk oleh kelemahan hati sendiri. Ternyata
bentuk-bentuk yang kau ciptakan itu tidak dapat berpengaruh
terhadap mereka yang hatinya bagaikan baja. Bukan saja atas
orang-orang tua seperti Kiai Gringsing, Ki Gede Menoreh, Ki
Demang di Sangkal Putung, bahkan sama sekali tidak berarti
apa-apa bagi anak semuda Raden Sutawijaya, Agung
Sedayu, Swandaru, Pandan wangi, Prastawa, dan para
pemimpin Mataram yang lain. Bahkan merupakan tontonan
yang menarik hati bagi Ki Lurah Branjangan dan anak
buahnya." "Cukup," terdengar suara yang meledak bagaikan guntur.
Lalu, "Siapakah kau sebenarnya. Aku tahu, tentu kau yang
sudah mengganggu pemusatan samadiku."
"Kita saling mengganggu. Dan kita memang sedang
bermain-main seperti orang gila, karena permainan kita sama
sekali tidak menarik bagi pasukan Mataram dan Tanah
Perdikan Menoreh. Justru anak buahmulah yang menjadi
bingung karenanya." Benturan suara yang menggetarkan lembah itu benarbenar
telah menggelisahkan setiap orang di dalam pasukan
yang sudah berhadapan dengan senjata telanjang. Seakanakan
mereka berada di tengah-tengah, di antara dua ekor
gajah raksasa yang akan bertempur.
Dalam pada itu terdengar lagi suara, "Kau sudah mengenal
aku sebagai Panembahan Agung yang menguasai bumi pulau
ini, sekarang sebut namamu, siapakah kau sebenarnya."
Terdengar suara tertawa perlahan-lahan. Kemudian
katanya, "Kau tentu sudah mengenal aku, Panembahan."
"Aku ingin melihatmu, mungkin aku akan segera
mengenal, siapakah lawanku kali ini."
Suara tertawa itu pun menjadi semakin keras. Di antara
suara tertawa itu terdengar, "Kau memang aneh. Seperti kau,
aku berada dalam segala bentuk sebanyak bentuk di atas
bumi. Bahkan bentuk dan ujud yang hanya ada di dalam
dongeng-dongeng. Burung berkepala dua, atau seekor ular
bertanduk seperti tanduk rusa dan berkaki seperti kaki
harimau. Nah, sebut saja, bentuk yang manakah yang kau
kehendaki." "Bentukmu yang sebenarnya. Aku ingin melihat kau
sebagai mana kau yang sebenarnya."
"Baiklah. Tempatkan dirimu. Aku pun akan segera keluar
dari persembunyianku."
Setiap dada sekali lagi berguncang. Bahkan rasa-rasanya
mereka yang tidak tabah menghadapi kegilaan itu, telah
kehilangan kepastian tentang pengamatan dirinya.
Dengan dada yang berdebar-debar mereka melihat
seorang raksasa berdiri di atas puncak sebuah bukit padas.
Sambil bertolak pinggang ia berkata, "Inilah aku, Panembahan
Agung yang sakti tiada duanya di muka bumi. Ayo, siapakah
yang berani menempatkan diri sebagai lawan Panembahan
Agung, akan aku injak sampai lumat. Jika kau melihat bentuk
ini, maka kalian tidak akan dapat menyebutnya sebagai
sekedar bentuk semu seperti naga dan jurang itu. Tetapi
akulah sebenarnya Panembahan Agung."
Belum lagi gema suaranya berhenti, tiba-tiba tangan
raksasa itu memungut segumpal batu sebesar kerbau. Sambil
mengangkat batu itu ia berkata, "Aku dapat melemparkan batu
ini ke tengah-tengah pasukan Mataram dan Tanah Perdikan
Menoreh. Kalian boleh melihat, apakah batu ini sekedar
bayangan di dalam perasaanmu atau sebenarnya batu yang
dapat memecahkan kepala dan melumatkan tubuhmu."
Namun dalam pada itu terdengar jawaban, "Aku percaya
kalau batu itu sebenarnya batu, Panembahan. Kau memang
sakti, kau mampu mengangkat batu sebesar itu dengan
kekuatan samadimu dan melontarkannya ke dalam pasukan
lawanmu dengan alat bentukmu sendiri yang kau hadirkan
sebesar raksasa itu. Tetapi jika kau mempergunakan ilmu
semacam itu, maka ilmumu harus dilawan dengan ilmu gilagilaan
yang serupa." "Persetan," raksasa itu menggeram, "aku tidak peduli."
Dengan dada yang berdebar-debar setiap orang di dalam
lembah itu melihat, raksasa yang berdiri di atas ujung bukit
padas itu pun mengangkat batu sebesar kerbau dan siap
untuk dilemparkan ke arah pasukan Mataram dan Tanah
Perdikan Menoreh. Para pengawal dari Mataram dan Menoreh itu menahan
nafasnya. Jika benar batu itu bukan sekedar bentuk semu
seperti yang pernah dilihatnya, maka batu itu akan dapat
menggilas lebih dari dua puluh lima orang sekaligus apabila
raksasa itu melontarkan dengan tepat ke dalam gelar yang
tidak sempurna itu. Pepohonan yang melindungi mereka tentu
akan berhamburan dan roboh berserakan.
Tetapi sebelum batu itu terlepas, tiba-tiba sebuah sinar
yang silau telah meluncur dan menyambar batu itu sehingga
batu itu pecah berserakan.
Serentak setiap orang di dalam lembah itu berpaling ke
arah yang lain, ke arah sumber sinar yang memecah batu
sebesar kerbau itu. Dengan jantung yang seolah-olah terhenti mereka melihat
raksasa yang lain. Raksasa yang bentuk dan wajahnya dapat
segera mereka kenali. "Ki Waskita," Sutawijaya tiba-tiba berteriak.
"Ya Raden. Inilah aku. Tetapi jangan hiraukan bentuk ini.
Bentuk yang tidak sebenarnya ada. Meskipun seperti
Panembahan Agung yang dengan kekuatan samadinya benarbenar
dapat melontarkan batu yang sebenarnya."
Dalam pada itu, di atas dua ujung gunung yang
berseberang sebelah-menyebelah lembah tempat pasukan
Menoreh dan Mataram sudah berhadapan dengan pasukan
Panembahan Agung, berdiri dua orang raksasa yang
mengerikan. Dengan suara bagaikan guruh Panembahan Agung
menggeram, "Jadi kau, Jaka Raras. Aku memang sudah
mengira, bahwa hanya kaulah yang mampu mengganggu aku
di dalam keadaan serupa ini."
"Maaf, Panembahan. Kau agaknya sudah melupakan
kuwajibanmu atas diri sendiri. Kau tidak akan dapat
mempergunakan ilmu ini sekehendak hatimu, untuk tujuan
yang tidak seharusnya kau lakukan. Karena itu, sudah tentu
aku tidak akan dapat tinggal diam."
"Persetan, tetapi aku tidak menyentuh kepentinganmu."
"Sengaja atau tidak, kau sudah membuat aku hampir gila
sehingga aku terpaksa sekali bermain-main dengan gila pula
kali ini. Kau sudah mengambil anakku dari padaku."
"He," Panembahan Agung terkejut, "siapa anakmu?"
"Rudita. Rudita adalah anakku, anak Waskita. Tentu ia
tidak akan dapat menyebut namaku seperti yang kau kenal.
Namaku sejak kecil memang Waskita. Tetapi kita bertemu di
satu perguruan setelah aku menyebut diriku Jaka Raras.
Karena itu jika kau bertanya kepada Rudita, maka ia akan
berkata, bahwa ayahnya bernama Waskita."
Raksasa yang berdiri di puncak bukit padas itu
menggeram. Suaranya bagaikan suara guruh yang
menggelegar di langit. Ditatapnya raksasa yang lain, yang
menyebut dirinya Jaka Raras dengan sinar mata yang
bagaikan memancarkan api.
"Nah, Panembahan Agung, sekarang aku datang untuk
mengambil anakku," berkata Ki Waskita kemudian.
Sejenak Panembahan Agung tercenung. Namun kemudian
terdengar suara tertawanya, "Kau memang bernasib malang,
Jaka Raras. Anakmu yang bernama Rudita memang berada di
tanganku. Aku kira aku memerlukannya. Tetapi ternyata
anakmu itu tidak lebih dari seekor cucurut kecil yang tidak
berarti. Selain anakmu memang menyebutmu dengan nama
yang tidak aku kenal, aku memang tidak menyangka bahwa
Jaka Raras yang perkasa itu mempunyai anak seekor cucurut.
Nah, sekarang sebaiknya kau berbuat sebaik-baiknya untuk
mengambil anakmu itu."
"Aku memilih cara ini, Panembahan. Aku kira cara ini
adalah cara yang paling baik. Tentu aku tidak akan dapat
datang sendiri untuk membebaskan anakku. Dan kini aku
sudah mendapat perlindungan dari Raden Sutawijaya. Karena
sebenarnyalah bahwa kekuatan dari kedua belah pihak yang
berhadapan kali ini ada di dalam pasukan itu. Tidak pada
permainan gila ini."
"Persetan," teriak Panembahan Agung sehingga rasarasanya
setiap selaput telinga akan pecah, "aku tidak peduli.
Tetapi kau akan aku hancurkan bersama pasukan Mataram
dan Menoreh. Sedang anakmu pun kini berada di tangan
orang yang mengetahui akan tugasnya. Dengan isyarat dari
padaku, maka anakmu akan segera dicekik dengan tali yang
diikat pada seekor kuda. Kau mengerti."
"Kau kini berada di sini. Bagaimana kau dapat
memerintahkan anak buahmu itu?"
"Kau bodoh. Aku adalah seseorang yang memiliki
kemampuan menciptakan seribu macam bentuk. Dan dengan
bentuk-bentuk yang sudah aku janjikan, aku dapat
rnemberikan perintah itu."
"Omong kosong, Panembahan. Kau tidak dapat
menciptakan apa pun juga. Seperti aku juga tidak. Yang
sama-sama dapat kita ciptakan hanya sebuah kebohongan
besar seperti ini." "Tetapi dengan kebohongan yang mantap ini, aku dapat
memerintahkan membunuh anakmu itu."
"Jangan kau coba, Panembahan. Kau akan gagal. Aku
dapat menghadang samadimu sekarang ini."
Sekali lagi Panembahan Agung menggeram. Sejenak
kedua raksasa itu saling memandang. Dan tiba-tiba saja dari
kedua pasang mata itu bagaikan memancar sinar-sinar yang
menyilaukan dan berbenturan dengan dahsyatnya.
Dalam pada itu, terdengar suara Waskita datar, "Raden
Sutawijaya. Jangan hiraukan kami, Raden. Mulailah. Biarlah
raksasa yang semu ini aku hadapi. Raden dapat
menghancurkan pasukannya seperti menghancurkan
pasukan-pasukan yang lain, yang akan selalu mengganggu
Mataram yang sedang berkembang dan Tanah Perdikan
Menoreh." Raden Sutawijaya dan setiap pemimpin di dalam
pasukannya rasa-rasanya terbangun mendengar peringatan
itu. Maka mereka pun segera mempersiapkan diri menghadapi
setiap kemungkinan yang bakal terjadi. Bahkan Raden
Sutawijaya sudah siap meneriakkan perintah untuk
menyerang pasukan lawan. Sementara itu kedua raksasa itu masih saja bertempur
dengan caranya. Meskipun orang-orang di lembah itu
berusaha untuk tidak menghiraukan, namun mereka masih
juga terpengaruh oleh ledakan petir yang saling menyambar
dan guntur yang menggelegar, seakan-akan kedua raksasa itu
bersenjatakan lidah api dan ledakan-ledakan di langit.
Namun orang-orang di dalam pasukan yang siap
bertempur itu telah menyadari, bahwa yang mereka lihat
sebenarnya adalah ketiadaan, sama seperti sebuah
kebohongan besar yang mantap.
Karena itu, maka Raden Sutawijaya tidak membuang
waktu lagi. Segera ia mendesak maju dalam gelarnya yang
kurang sempurna. Tetapi agaknya seperti Raden Sutawijaya, maka
Panembahan Alit pun berpikiran serupa. Ternyata ia tidak
dapat lagi menyerahkan persoalannya kepada Panembahan
Agung. Bukan karena Panembahan Agung kehilangan
kesaktiannya, tetapi justru karena lawannya memiliki
kemampuan untuk melawan kesaktian itu.
Sesaat kemudian terdengar isyarat dari Panembahan Alit.
Dan hampir bersamaan, maka dari sebelah-menyebelah itu
menghambur pasukannya yang memang sudah dipersiapkan
menyerang dari lambung. Demikianlah maka pertempuran pun kemudian mulai
berkobar. Pertempuran yang wajar dari kedua belah pihak.
Dan agaknya kedua belah pihak, telah berhasil menyingkirkan
pengaruh ilmu kedua raksasa yang meskipun masih
bertempur dengan caranya, namun keduanya tidak lagi
menentukan apa-apa. Tetapi di dalam kesulitan itu, Panembahan Agung masih
sempat berkata, "Jaka Raras. Apakah kau sampai hati
membiarkan anakmu dicekik sampai mati dengan sebuah
tambang yang diikatkan pada seekor kuda, yang menjerat
lehernya, sedang kaki anakmu itu terikat pada sebatang
pohon." "Itu jauh lebih gila dari permainan gila ini," sahut Waskita.
"Aku memang senang pada permainan-permainan yang
gila. Aku akan tetap membunuh anakmu yang cengeng itu
dengan caraku. Ia membuat aku hampir gila karena menangis
siang dan malam. Aku kira aku akan dapat
mempergunakannya untuk menahan arus pasukan Raden
Sutawijaya di saat terakhir seperti yang aku pertimbangkan
sebelumnya, apabila orang-orang Mataram dan Menoreh tidak


03 Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

menghiraukan kebohongan-kebohonganku yang besar itu."
"Maksudmu?" "Kau dapat minta Raden Sutawijaya menghentikan
pasukannya. Berbicara dan kemudian anakmu selamat,"
Waskita menjadi termangu-mangu sejenak. Dipandanginya
raksasa yang berdiri di atas bukit di hadapannya. Meskipun ia
sadar, bahwa yang dilihatnya itu sekedar sebuah bayangan
seperti dirinya sendiri. Dalam keadaan yang diperlukan, Waskita dapat
melenyapkan gangguan pada syaraf inderanya itu dan melihat
dengan wajar, siapakah yang dihadapinya. Namun ia masih
membiarkan saja permainan yang gila itu berlangsung terus.
Justru dengan demikian, anak buah Panembahan Agung
sendirilah yang menjadi bingung karena mereka tidak bersiap
menghadapi keadaan serupa itu. Berbeda dengan pasukan
dari Mataram dan Tanah Perdikan Menoreh. Mereka memang
sudah mempersiapkan diri memasuki medan yang akan
dipenuhi oleh keajaiban yang sebenarnya tidak lebih dari
sebuah kebohongan besar. Karena Waskita tidak segera menjawab, maka
Panembahan Agung pun segera mendesaknya, "Bagaimana,
Jaka Raras. Apakah kau setuju. Jika kau setuju, maka
hentikan pasukan Raden Sutawijaya dengan pengaruhmu."
Ki Waskita memandang pertempuran yang sudah berkobar
itu sejenak. Pasukan Mataram dan Tanah Perdikan Menoreh
yang mempergunakan gelar Cakra Byuha yang tidak
sempurna, ternyata berhasil menahan serangan lawannya
yang tidak saja datang dari depan, tetapi juga dari lambung.
Di ujung pasukan, Panembahan Alit yang memimpin
pasukannya langsung turun ke medan. Dengan kemarahan
yang meluap-luap ia berusaha untuk dapat bertemu dengan
Senapati yang memimpin gelar lawannya itu.
Namun ketika Raden Sutawijaya siap untuk melawannya,
Kiai Gringsing terpaksa bergeser sambil berdesis, "Raden,
serahkan orang tua itu kepadaku. Orang itulah yang pernah
aku jumpai di Alas Tambak Baya dan menyebut dirinya
Panembahan Tidak Bernama. Ternyata bahwa Panembahan
Agung adalah orang lain dari orang yang menyebut dirinya
Panembahan Tidak Bernama ini."
"Tetapi bagaimanakah jika orang itu juga yang menyebut
dirinya Panembahan Agung?"
"Tidak. Ia sedang berdiri di puncak bukit sebagai seorang
raksasa itu. Setidak-tidaknya ia sedang berada di dalam
semadinya untuk mempertahankan bentuk itu dari gangguan
Ki Waskita." Raden Sutawijaya mengangguk-anggukkan kepalanya.
Dan ia sadar bahwa ia tidak akan mampu melawan
Panembahan Alit itu. (***) 76 Sepasang Manusia Bonsai 2 Beautiful Disaster Karya Jamie Mcguire Badai Rimba Persilatan 1

Cari Blog Ini