Ceritasilat Novel Online

Api Di Bukit Menoreh 4

03 Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintardja Bagian 4


ber"kata, "Kenapa kau datang di malam larut begini?"
"Aku terlampau cemas Kiai, anakku sakit."
Kiai Damar pun kemudian menerima sebungkus obat yang
diserahkan oleh Kiai Gringsing. Diamat-amatinya obat itu. Lalu
katanya, "Kau bawa anak itu kemari?"
"Tidak Kiai, anak itu ternyata terlampau lemah."
Kiai Damar mengangguk-anggukkan kepalanya. Lalu
katanya, "Menurut pengamatanku, kau terlampau berani,
bahkan agak som"bong sedikit. Kau telah berani menebas,
hutan larangan. Hutan yang telah beberapa kali dibuka, tetapi
selalu ditinggalkan oleh orang-orang yang berusaha
membukanya. Betul begitu?"
"Ya. Ya, Kiai. Dari mana Kiai tahu?"
"Aku melihat," jawab Kiai Damar sambil mempermainkan
kuku ibu jarinya. "Kiai melihat di kuku ibu jari itu?"
"Anakmu benar-benar telah diterkam hantu. Kau kira
anakmu kena apa, he?"
"Aku menyangka anakku itu digigit ular atau binatangbinatang
beracun lainnya." "Tidak. Anakmu benar-benar telah diterkam hantu.
Untunglah saat itu ada orang lain yang dijadikan korbannya.
Kalau tidak, pasti anakmulah yang akan binasa."
"Kiai tahu bahwa ada orang lain?"
"Ya. Orang lain inilah yang telah diperas darahnya. Kau
melihat juga?" "Ya. Ya, Kiai. Kami melihat seseorang yang terluka. parah."
"Suatu keuntungan bagimu. Bagi anakmu. Kalau tidak ada
korban itu, anakmulah korbannya."
"Tetapi tidak seorang pun yang merasa kehilangan atas
korban itu. Tidak ada sebuah keluarga pun yang mencarinya."
Wajah Kiai Damar menjadi tegang sejenak, namun ia
ber"kata, "Anak itu anak bengal dan jahat. Ia sudah melarikan
diri dari orang tuanya. Ia datang seorang diri di daerah ini dan
men"coba mengadu untung dengan membuka tanah baru.
Tetapi orang itu pun terlampau sombong. Melebihi
kesombonganmu. Jadi"lah ini pelajaran bagimu."
Kiai Gringsing mengangguk-anggukkan kepalanya.
"Nah, bawalah obat ini kembali kepada anakmu. Aku akan
memberinya mantra dan mohon maaf kepada hantu yang
telah merasa terganggu. Tetapi ingat, kau harus
mengurungkan niatmu membuka tanah itu."
Dada Kiai Gringsing berdesir. Yang terpenting bagi Kiai
Damar agaknya mengurungkan niat untuk membuka hutan
lebih banyak lagi. Kepada para peronda dan kepada orangorang
lain dalam setiap kesempatan ia pasti berusaha
mencegah meluasnya pembukaan hutan.
"He, apakah kau mengerti?" tiba-tiba Kiai Damar
membentak. "Ya. Ya, Kiai. Aku mengerti."
"Bawalah obat ini. Ulaskan pada luka anakmu itu. Mudahmudahan
ia menjadi segera sembuh. Tetapi jangan diulangi
kesalahan yang pernah dilakukannya bersamamu. Ketahuilah,
bahwa setiap jengkal tanah akan dipertahankan oleh para
lelembut di daerah Alas Mentaok ini."
"Ya. Ya, Kiai. Aku akan menghindari kemungkinan yang
lebih jelek bagi bagi anak-anakku."
"He, berapakah anak-anakmu itu?"
"Dua, Kiai. Yang seorang adalah yang sekarang sedang
sakit." "Baiklah. Pergilah," Kiai Damar berhenti sejenak, "tetapi kau
memang termasuk seorang pemberani. Mau berani da"tang
kemari di larut malam begini."
"Terpaksa sekali, Kiai, terpaksa sekali."
"Pergilah." Kiai Gringsing pun segera meninggalkan gubug itu setelah
beberapa kali mengucapkan terima kasih. Tersuruk-suruk ia
berjalan di dalam kegelapan malam. Setelah melampaui
beberapa patok jalan setapak dan gerumbul-gerumbul yang
liar, Kiai Gringsing mulai merasa seseorang mengawasinya.
Tetapi ia tidak menghiraukannya. Ia berjalan terus, meskipun
ia masih mempunyai beberapa rencana.
Dadanya menjadi berdebar-debar ketika ia sadar, tidak
hanya seorang sajalah yang mengawasinya. Pasti lebih.
Sebagai seorang perantau, maka dengan hati-hati ia
mencoba mengamat-amati jalan yang dilaluinya. Kemudian
dikenalnya beberapa batang pohon dengan baik. Beberapa
macam tanda pengenal yang khusus dan tanda-tanda bintang
di langit. Demikianlah, ketika menurut pengenalan perasaannya ia
sudah terlepas dari pengawasan, maka ia pun segera
menyusup di balik gerumbul-gerumbul yang lebat. Dengan
ketajaman pengamatannya maka ia pun segera melingkar
kembali mendekati gubug Kiai Damar. Dengan sangat hati-hati
ia berusaha mendekatinya dari belakang. Setiap langkah Kiai
Gringsing selalu memperhitungkan kemungkinankemungkinan
yang ada di sekitarnya. Namun ia berhasil
melepaskan diri dari setiap pengamatan, sehingga ia dapat
mendekati gubug itu kembali.
Kiai Gringsing menahan nafasnya ketika ia mendengar
suara dari dalam gubug itu, "Aku menunggunya lama sekali,
Kiai." "Apakah ia sudah lama datang?"
"Sudah terlalu lama."
"Aku tidak ada di tempat."
"Apakah Kiai pergi?"
"Ya. Dengan para peronda. Agaknya orang itu menunggu
aku di muka gubug ini, karena ketika aku kembali, orang itu
sudah duduk bersila di depan pintu yang terbuka."
"Hampir saja aku kehilangan kesabaran, dan meninggalkan
tempat pengawasan itu," berkata yang lain.
"Untung, kau tidak datang kemari. Kalau kau datang, orang
itu pasti bertanya-tanya, siapakah yang telah datang ke
tempat ini pula, atau kaulah yaug akan disangkanya bernama
Kiai Damar, maksudku dukun sakti yang akan ditemuinya,
karena ia belum pernah mengenal aku dan barangkali juga
belum mengenal namaku kecuali orang-orang di barak itu
telah memberitahukannya."
"Ya," suara yang lain lagi, "aku pun hampir mendatanginya
kemari." "Apakah kemudian orang itu menumbuhkan kecurigaan
kalian?" "Tidak. Ternyata tidak."
Kiai Gringsing yang mendengarkan di balik dinding menarik
nafas lega. Sesaat ia masih tetap berada di tempatnya.
Menurut pengamatannya, di dalam gubug itu ada lebih dari
tiga orang selain Kiai Damar sendiri.
Sejenak kemudian ia mendengar suara Kiai Damar
perlahan-lahan, "Tetapi aku telah menjumpai persoalan baru
sesaat se"belum aku menemui orang tua itu."
"Apa, Kiai?" "Sebenarnya aku sendiri masih ragu-ragu. Tetapi biarlah
aku ceriterakan saja apa yang aku lihat."
Orang-orang yang lain pun bergeser maju, "Apakah ada
sesuatu yang penting terjadi?"
"Ya," jawab Kiai Damar yang kemudian menceriterakan apa
yang dilihatnya bersama para peronda itu, dan yang kemudian
telah melibatnya dalam perkelahian.
"Nah, aku sendiri tidak mengerti bagaimana kita harus
menanggapi keadaan itu."
Sejenak tidak terdengar sesuatu. Namun kemudian salah
se"orang bertanya, "Apakah Kiai menganggap bahwa yang
telah Kiai temui benar-benar prayangan dari Gunung Merapi?"
"Itulah yang meragukan aku. Tetapi untuk menolak
kepercayaan itu pun agaknya terlampau berat."
Ruangan itu kembali menjadi sepi. Yang terdengar
hanya"lah desah nafas yang bersahut-sahutan.
"Sudahlah," berkata Kiai Damar, "sebaiknya kita menunggu
perkembangan keadaan. Rencana kita sementara ini berjalan
terus." "Baiklah. Kita masih harus menunggu bukti-bukti
mendatang dari makhluk yang menyebut dirinya bernama Kiai
Dandang Wesi itu." Belum lagi mereka selesai berbicara, tiba-tiba mereka
terkejut. Serentak mereka meraba senjata masing-masing
ketika mereka mende"ngar suara tertawa dalam nada yang
tinggi meskipun lamat-lamat se"perti yang sudah pernah
didengar oleh Kiai Damar, seolah-olah suara itu sedang
mentertawakan pembicaraan mereka.
"Suara itulah yang pernah aku dengar," desis Kiai Damar.
"Marilah kita cari," ajak seorang dari mereka.
Kiai Damar termenung sejenak lalu, "Tidak ada gunanya.
Hantu itu pasti sudah pergi atau menghindarkan diri dari
tang"kapan mata wadag kita. Biarlah ia pergi, sementara kita
harus semakin berhati-hati."
Kawan-kawan Kiai Damar itu pun menjadi termangu-mangu
sejenak. Se-benarnya mereka pun ragu-ragu, apakah mereka
akan dapat menemu"kan sumber suara itu apabila mereka
mencarinya. Karena itu, maka mereka pun menganggukanggukkan
kepalanya, dan salah seorang berkata, "Soalnya
akan bertambah sulit. Tetapi yang aneh adalah justru adanya
Kerajaan Mataram Kajiman. Kita yang tinggal di sini dan
banyak mengetahui mengenai Alas Mentaok dengan segala
isinya, belum pernah mendengar nama Perabu Talangsari."
Kiai Damar tidak menjawab. Tetapi wajahnya menjadi
tegang. Dalam pada itu Kiai Gringsing berjalan dengan sangat
tergesa-gesa kembali ke barak. Ternyata tengah malam telah
lama lampau. Seandainya Agung Sedayu tidak sabar
menunggu, maka keadaan di barak itu pasti akan segera
berubah. Sebenarnyalah bahwa Agung Sedayu hampir tidak dapat
menahan hati lagi. Dengan gelisahnya ia menunggu. Ketika
te"ngah malam lewat, dan gurunya belum juga datang, maka
dengan dada berdebar-debar ia bangkit dan duduk di samping
Swandaru. "Guru belum datang?" desis Swandaru yang ternyata belum
tidur juga. Agung Sedayu menggeleng, "Belum. Aku menjadi gelisah.
Guru berpesan, apabila lewat tengah malam guru tidak
da"tang, maka aku harus berbuat sesuatu."
"Sekarang?" "Semakin cepat, semakin baik."
Swandaru menarik nafas dalam-dalam. Tetapi kemudian
katanya, "Aku ikut bersama Kakang. Bukankah Kakang akan
mencari Ki Gede Pemanahan dan melaporkan apa yang telah
terjadi?" Agung Sedayu mengangguk. Namun kemudian ia berkata,
"Tetapi kau masih terlampau lemah."
"Tidak. Aku sudah hampir pulih kembali. Obat yang
diberikan oleh guru terlampau baik, meskipun masih juga
terasa kelemahan pada sendi-sendi."
"Tinggallah kau di sini."
"Tidak, Kakang, aku akan ikut serta."
"Hus," desis Agung Sedayu, "jangan terlampau keras."
"Kalau aku tinggal di sini," berkata Swandaru kemudian,
"mungkin aku tidak akan dapat mengendalikan diri. Mungkin
aku berbuat sesuatu atas orang-orang dungu itu."
Agung Sedayu menjadi bimbang. Tetapi setiap saat
agak"nya menjadi sangat berharga. Kalau gurunya benarbenar
mengalami kesulitan, maka ia segera memerlukan
seseorang yang dapat membantunya. Orang itu tidak lain
adalah Ki Gede Pemanahan.
Namun kemudian ia berdesis, "Aku akan menunggu,
seje"nak. Aku akan menengoknya di halaman. Kalau jelas
bahwa guru tidak datang, sebentar lagi aku akan pergi. Kalau
kau sudah merasa baik, kita akan pergi bersama-sama."
"Sekarang, apa yang akan Kakang lakukan?"
"Turun ke halaman."
"Terus pergi?" "Tidak. Kalau aku pergi, aku akan memberitahukan
kepadamu." Swandaru mengangguk-anggukkan kepalanya.
"Kau harus tetap berbaring. Aku akan pergi ke luar. Kalau
ada yang melihatku dan bertanya, aku akan menjawab bahwa
kau haus." Swandaru mengangguk-angguk pula.
Agung Sedayu pun kemudian perlahan-lahan berjalan di
antara orang-orang yang sudah tidur nyenyak. Didorongnya
pintu barak itu dengan hati-hati. Sejenak dilemparkan
pandangan matanya ke luar. Ke dalam kegelapan malam.
Tanpa sesadarnya ia meraba lambungnya. Ketika terasa
tangkai cambuk di bawah bajunya, maka ia pun menarik nafas
dalam-dalam. Di dalam hati ia berkata, "Kalau terpaksa, apa
boleh buat." Dengan hati-hati pula ia kemudian melangkahkan kakinya
ke "luar. Tetapi langkahnya tertegun ketika ia mendengar
seseorang bertanya, "He, mau kemana?"
Agung Sedayu berpaling. Dilihatnya orang yang bertubuh
kekar itu kini ternyata berbaring di luar pintu.
"Adikku yang sakit memerlukan air. Ia sangat haus."
"Ah gila kau. Apakah kau tidak tahu bahwa itu sangat
berbahaya bagimu dan bagi adikmu yang sedang sakit itu?"
"Tetapi ia haus sekali."
"Kemana kau akan mencari air?"
"Ke sumur." "Oh, kau memang anak yang tidak tahu diri. Apakah kau
tidak takut ditelan hantu yang kadang-kadang berkeliaran di
malam hari?" "Kalau hantu itu lewat, kita akan mengetahuinya," jawab
Agung Sedayu. "Darimana kau tahu?"
"Suara gemerincing itu."
"Bodoh. Bodoh. Kau adalah anak dungu yang sombong.
Tidak semua hantu memakai kelinting dan menumbuhkan
suara gemerincing. Kau mendengar ceritera orang yang kurus
itu" Di bawah pohon belimbing dilihatnya bayangan yang
menakutkan." "Ya. Ya."

03 Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Nah, kembalilah saja ke tempatmu."
"Tetapi, bagaimana kalau adikku itu mati. Ia kehausan
sekali. Nanti ayah akan marah kepadaku."
"Tunggu saja sampai ayahmu datang. Bukankah ia sudah
mencari obat?" "Maksudku, kalau adikku itu mati sebelum ayah datang."
"Jadi bagaimana maksudmu?"
"Aku akan mengambil air."
"O, kau memang anak gila. Terserahlah kepadamu kalau
kau berani menanggung akibat bagimu sendiri dan bagi
seluruh isi barak ini."
"Apakah hubungannya dengan isi barak ini?"
"Hantu-hantu yang marah pasti akan mengutuk kita semua
seolah-olah kita tidak dapat mencegah kesalahan-kesalahan
yang kita lakukan sendiri di sini."
"Tetapi apakah hantu-hantu itu pemarah" Apakah salah
kita kalau kita sekedar mengambil air di malam hari?"
Wajah orang yang bertubuh kekar itu menjadi merah.
Mata"nya memancarkan sorot yang aneh. Ditatapnya Agung
Sedayu dengan pandangan yang tajam, seolah-olah ingin
menembus isi jantungnya. "Kau memang anak yang keras kepala. Sejak kau datang
bersama ayahmu kami sudah mengira, bahwa kau dan
keluarga"mu itu adalah orang-orang bodoh yang sombong,
yang tidak mau mendengarkan nasehat orang lain."
Agung Sedayu masih berdiri tegak di tempatnya. Namun
dengan demikian ia menjadi semakin bernafsu untuk pergi ke
luar. Usaha orang itu untuk mencegah dan menakut-nakutinya
telah menumbuhkan berbagai pertanyaan di hati Agung
Sedayu. "Tetapi," berkata Agung Sedayu, "adikku sudah terlampau
haus. Kalau aku bertemu dengan hantu itu, biarlah aku
menyembahnya. Mungkin hantu itu pun akan beriba hati dan
membiarkan aku lepas dari kemarahannya."
"Persetan," bentak orang yang bertubuh kekar itu. Namun
ternyata pembicaraan itu telah membangunkan bebe"rapa
orang yang tidur di sekitarnya. Di sekitar orang yang
ber"tubuh kekar itu.
"Ada apa?" bertanya salah seorang dari mereka.
"Anak gila itu akan pergi ke sumur," jawab orang kekar ini.
"Di malam begini?"
"Aku mencoba mencegahnya. Tetapi ia keras kepala."
"Adikku sakit keras. Ia merasa haus sekali. Meski pun
hanya setitik air, ia ingin minum air sumur."
"Kenapa kita ributkan anak itu?" bertanya seorang yang
sudah ubanan. "Biar saja apa yang akan terjadi atasnya. Kita
sudah mencoba memberinya peringatan bahkan sudah
mencoba mencegahnya. Tetapi kalau ia memang keras
kepala, itu tang"gung jawabnya sendiri."
"Jangan hiraukan anak itu," berkata yang lain, "apa pun
yang akan dikerjakannya. Adiknya sudah kualat dan sakit
begitu parah. Kalau peringatan itu masih belum disadarinya,
biarlah akibat apa saja yang akan menimpanya kelak."
Beberapa orang yang mengangkat kepalanya, segera
kembali melingkar sambil berkerudung kain.
"Tidak!" tiba-tiba orang yang kekar itu membentak,
sehingga mereka yang sudah ingin kembali tidur itu terbangun
pula. "Kutukan hantu-hantu itu tidak akan hanya sekedar
menimpa ketiga ayah beranak ini. Tetapi kita pun akan
mengalami akibatnya pula."
"Kenapa kita?" "Mereka menganggap kita sebagai suatu kesatuan. Bukan
seorang demi seorang. Karena itu kesalahan seseorang akan
dapat menimpa kepada kita seluruhnya, apabila mereka
menjatuhkan kutukan."
"Tetapi," Agung Sedayu memotong, "apa salahnya kalau
aku hanya sekedar ingin mengambil air" Bukankah hal itu
wajar sekali dan tidak akan mengganggu apa pun?"
"Bodoh, kau. Bodoh sekali. Bagaimana kalau sumur itu bagi
mereka terletak dekat dengan pembaringan" Kau tentu akan
mengejutkan mereka. Kalau anak-anak mereka terbangun dan
mena"ngis, kau akan dicekiknya."
Agung Sedayu telah hampir kehilangan segenap
kesabarannya, sehingga hampir di luar sadarnya ia menyahut,
"Kalau mereka memang akan berbuat sewenang-wenang, apa
boleh buat. Biarlah aku dicekik."
Jawaban itu benar-benar telah mengejutkan. Bukan saja
orang yang tinggi kekar itu, tetapi juga orang-orang lain yang
mendengar"nya. Seorang yang bertubuh pendek tiba-tiba
bangkit dan duduk sambil meraba-raba matanya. Katanya,
"Jangan berkata begitu, anak muda. Itu tidak baik."
"Aku sangat memerlukan air sekarang," berkata Agung
Sedayu kemudian. Dan tanpa menghiraukan siapa pun lagi,
Agung Sedayu pun segera melangkahkan kakinya.
Tetapi ia terpaksa berhenti ketika orang yang tinggi kekar
itu pun meloncat dan berdiri dua langkah saja di hadapannya.
"Kau sangat menyakitkan hati kami di sini," berkata orang
yang kekar itu. "Sebenarnya aku pun tidak akan peduli lagi,
apakah kau akan mati karena kesombonganmu. Tetapi katakatamu
yang menusuk perasaan kami itu harus kau tebus."
Agung Sedayu masih tetap sadar, betapa kejengkelan
serasa menghentak-hentak dadanya. Karena itu, maka ia pun
mundur selangkah. "Aku tidak bermaksud demikian," katanya.
"Diam, diam. Kalau kau berani menjawab sekali lagi, aku
tampar mulutmu." Agung Sedayu benar-benar tidak menjawab. Sementara itu
beberapa orang telah bangkit pula dan mencoba
menyabarkan orang yang tinggi kekar itu, "Sudahlah. Kau
terlampau membencinya, sehingga setiap kali kau marah
kepadanya. Sekarang jangan, jangan hiraukan lagi anak
bengal itu. Biarlah ia menerima akibat langsung dari
kebengalannya." "Tetapi ia menghina kami."
"Bukan maksudnya. Anak itu sedang bingung karena
adiknya yang sakit itu."
Orang yang tinggi kekar itu menggeretakkan giginya.
Geram"nya, "Kau masih bernasib baik. Pada suatu, saat aku
tidak akan bersedia menyabarkan diri. Ingat, kau harus tahu
bahwa di seluruh daerah ini, tidak ada seorang pun yang
berani melawan kehen"dakku. Semua orang-orang ini tidak.
Para petugas pun tidak."
Agung Sedayu tidak menyahut. Kata-kata itu selalu diulangulanginya.
"Sudahlah, pergilah," berkata seseorang kepada Agung
Sedayu, "kalau kau masih berdiri saja di situ, mungkin
mulutmu benar-benar akan berdarah dan membengkak. Aku
pernah menyaksikan hal yang serupa pada seorang anak
muda yang sombong seperti kau. Tetapi akhirnya anak itu
hampir mati ketakutan."
Agung Sedayu mengerutkan keningnya. Tetapi ia sudah
berniat untuk keluar dari barak itu, sehingga ketika orangorang
itu melihatnya berjalan juga keluar, mereka
menggeleng-gelengkan kepala. Salah seorang bergumam,
"Anak yang keras hati."
Orang yang tinggi kekar itu menggeram. Kalau saja tidak
terhalang oleh beberapa orang, ia sudah meloncat dan
menerkam Agung Sedayu. Agung Sedayu yang kemudian turun ke halaman barak itu
tidak berpaling lagi. Ia tidak mau kehilangan kesempatan itu,
sehingga dengan tergesa-gesa ia pun kemudian menghilang
di dalam gelap. Ketika hiruk-pikuk di dalam barak sudah tidak terdengar
lagi, barulah Agung Sedayu menyadari keadaan dirinya. Ia kini
berdiri di dalam gelapnya malam. Bagaimana pun juga terasa
bulu-bulunya meremang. Namun, anak muda itu kemudian menghentakkan
tangannya sambil menggeram, "Manusia adalah makhluk
terkasih dari Yang Maha Kuasa. Tidak ada makhluk yang akan
dapat mengganggunya, selagi manusia itu sendiri tidak
memisahkan diri dari Tuhannya."
Agung Sedayu pun kemudian seolah-olah mendapatkan
kekuatan dan keberanian yang baru. Perlahan-lahan ia
berjalan di dalam gelap"nya malam. Ditatapnya jalur jalan
yang membujur seakan-akan menghunjam ke dalam kelam.
Dari sana gurunya nanti akan da"tang, apabila tidak ada
kesulitan di jalan. "Tengah malam telah lewat," desis Agung Sedayu. "Kalau
guru tidak segera datang, aku harus menghadap Ki Gede
Pemanahan." Tetapi Agung Sedayu belum tahu dengan pasti, jalan yang
paling dekat menuju ke pusat tanah yang sudah dibuka ini.
"Tetapi aku sudah mendapat ancar-ancarnya," ia
bergumam pula. Tanpa sesadarnya Agung Sedayu berjalan semakin lama
se"makin jauh. Tetapi ketika ia berpaling, ia masih melihat
cahaya lampu yang kemerah-merahan menyusup dari celahcelah
dinding. "Swandaru akan ikut serta, apabila aku pergi ke tempat Ki
Gede Pemanahan," desis Agung Sedayu.
Namun selagi Agung Sedayu berjalan selangkah demi
selangkah menyongsong gurunya, yang sama sekali masih
belum tam"pak, meskipun tengah malam telah agak jauh lalu,
tiba-tiba ia dikejutkan oleh suara yang aneh dari balik
gerumbul. Dengan serta-merta Agung Sedayu
mempersiapkan dirinya meski pun ia belum bersikap.
Dadanya berdesir tajam sekali ketika kemudian ia
mendengar suara gemerincing. Pikirannya segera lari kepada
pengenalannya atas suara itu, seperti yang pernah
didengarnya di sekitar barak beberapa malam yang lalu.
"Hantu itu," desisnya.
Tetapi segera ia mengenal dirinya sendiri sebagai makhluk
terkasih dari Yang Maha Kuasa. Yang lebih kuasa dari hantuhantu
yang mana pun juga. Karena itu, maka tiba-tiba saja ia
berdiri tegak dengan kaki renggang, seolah-olah ia sedang
menghadapi lawan yang menantangnya berperang tanding.
Sedang tangan kanannya telah melekat pada tangkai
cambuknya yang membelit di lambung di bawah bajunya.
Namun dada Agung Sedayu menjadi berdebar-debar,
bahkan tangannya menjadi gemetar ketika ia melihat sesosok
tubuh yang tinggi, tinggi sekali. Hampir dua kali lipat tubuhnya
sendiri. Di ujung tubuh yang tinggi kehitam-hitaman itu,
menjenguk sebuah tengkorak yang mengerikan. Di seputar
matanya yang hitam men"jorok ke dalam, tampak cahaya
yang berkeredipan. Tanpa sesadarnya, Agung Sedayu melangkah surut. Ia
adalah seorang anak muda yang di masa kecilnya dikungkung
oleh pera"saan takut. Takut kepada apa pun juga. Di jalan
menuju ke Sang"kal Putung, ia hampir menjadi pingsan ketika
teringat olehnya Hantu Bermata Satu yang menurut
pendengarannya menunggui pohon randu alas di tikungan.
Setelah ia berhasil memecahkan tali yang mengikat
perasa"annya itu, kini tiba-tiba ia telah bertemu dengan hantu.
Hantu yang ditakuti oleh sekian banyak orang.
Hampir saja Agung Sedayu dicengkam kembali oleh
pera"saan takutnya. Namun sekali lagi ia menghentakkan
perasaannya. Diam-diam ia berdoa di dalam hatinya. Suatu
keyakinan yang kuat kini telah tumbuh di hatinya, keyakinan
yang belum dipunyainya pada saat ia berhadapan dengan
hantu Bermata Satu pada pohon randu alas itu.
Karena itu, Agung Sedayu kini tidak lari dan juga tidak
pingsan. Ia percaya kalau ia akan mendapat kekuatan untuk
melawan hantu itu. Lahiriah, yang dapat diberikan oleh
wadagnya dan kekuatan yang tersembunyi di dalam dirinya
pasti akan terungkat karena Yang Maha Kuasa pasti
membenarkan perla"wanannya.
Tiba-tiba Agung Sedayu itu menggeram. Ketika hantu yang
tinggi itu melangkah maju, terayun-ayun seperti sebatang
pohon jambe. Agung Sedayu melangkah maju.
Justru karena itu, maka langkah hantu itu pun terhenti. Ia
agaknya menjadi heran melihat Agung Sedayu yang seolaholah
tidak menjadi takut sama sekali.
Bahkan Agung Sedayu yang telah mapan itu kemudian
ber"tanya meskipun suaranya gemetar, "Kaulah yang disebut
hantu?" Hantu itu tidak segera menjawab. Agaknya ia masih berdiri
terheran-heran. "He, apakah hantu-hantu dapat berbicara?" desak Agung
Sedayu. Agung Sedayu terkejut ketika ia mendengar jawaban
meleng"king, "He, anak muda. Kau mempunyai keberanian
yang luar biasa." Agung Sedayu mengerutkan keningnya. Ternyata hantuhantu
berbicara dengan perutnya, karena tidak ada lagi mulut
dan bibirnya. "Anak muda," suaranya melengking-lengking, "aku masih
akan memaafkan engkau, kalau engkau merubah kelakuanmu
dan minta maat kepadaku."
"Apa salahku?" bertanya Agung Sedayu.
"Kau terlampau sombong meskipun kau pemberani. Tetapi
kau amat dungu." Agung Sedayu menjadi heran. Hantu-hantu itu
menganggapnya terlampau sombong dan dungu seperti orang
yang kekar dan orang yang kekurus-kurusan itu.
"Apakah kau menganggap aku terlampau sombong apabila
aku mencemaskan nasib ayahku yang sedang mencari obat
untuk adikku yang sakit?"
"Ayahmu juga terlampau sombong. Aku sudah
memperingatkan kalian dengan cara yang paling baik. Adikmu
yang sakit itu." Agung Sedayu terdiam sejenak. Sekilas dikenangnya
adiknya yang sedang terbaring di barak. Tetapi sakit
Swandaru itu sebe"narnya sudah jauh berkurang. Bahkan
sudah hampir tidak berpengaruh lagi. Sebentar lagi
kekuatannya pun pasti akan segera pulih kembali.
"He. Apakah kau mendengar?" bertanya hantu itu.
Suara"nya menjadi semakin tinggi.
"Ya. Aku mendengar," jawab Agung Sedayu, "tetapi kenapa
kalian berbuat demikian" Apakah kami telah merugikan
kalian?" "Kau memang benar-benar dungu. Hutan ini adalah hutan


03 Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kami. Kalian sama sekali tidak sopan. Kalian telah merusak
kerajaan kami." "Hutan ini terlampau lebat dan luas. Kenapa kita harus
saling berebutan?" "Kalianlah yang datang kemudian."
Agung Sedayu mengerutkan keningnya. Dicobanya untuk
melihat hantu itu sebaik-baiknya. Namun malam terlampau
gelap, apalagi bayangan dedaunan dan gerumbul-gerumbul
yang membuat malam semakin kelam.
"Berjanjilah," desis hantu itu, "berjanjilah bahwa kau akan
mengurungkan niatmu."
"Aku adalah sebagian kecil saja dari mereka yang
membuka hutan. Kalau kalian, hantu-hantu memang
berkeberatan, sebaiknya kalian menemui Ki Gede Pemanahan
dan Mas Ngabehi Loring Pasar. Kepada keduanya itulah
kalian harus berbicara."
"Tentu, raja kami akan berbicara kepada mereka."
Agung Sedayu masih akan menjawab lagi, tetapi ia
terpe"ranjat ketika tiba-tiba saja ia mendengar suara tertawa.
Bukan saja Agung Sedayu, hantu itu pun ternyata dapat
terkejut juga. Sejenak keduanya, Agung Sedayu dan hantu yang tinggi itu
berdiri mematung. Mereka serentak berpaling ketika mereka
men"dengar suara gemerasak, kemudian terdengar sesuatu
terjatuh di tanah. Agung Sedayu menjadi semakin berdebar-debar. Apakah
kawan hantu-hantu itu berdatangan dan akan bersama-sama
mengeroyoknya" Dengan demikian maka tangannya pun
segera meraba tangkai cambuknya. Kalau ia terpaksa
mempergunakannya, ia mengharap bahwa senjatanya itu
akan dapat membantunya. Tetapi sekali lagi Agung Sedayu dan bahkan hantu yang
tinggi itu terperanjat. Tiba-tiba saja mereka mendengar suara
ter"tawa itu kembali. Ketika mereka berpaling, tanpa mereka
ketahui darimana datangnya, mereka melihat seonggok benda
yang ke"hitam-hitaman di dalam kelamnya malam dan
bayang-bayang dedaunan. "Ih, ih," suaranya terdengar aneh sekali, "aku sudah
bertemu dengan rajamu, Raja Kerajaan Mataram Kajiman.
Aku baru saja menghadap Prabu Talangsari. Kau dengar he,
jerangkong yang bodoh?"
Hantu yang tinggi itu berdiri terheran-heran. Sejenak ia
tidak dapat berbuat apa-apa. Bahkan setapak ia melangkah
surut. "Kau jangan mengucapkan nama raja Mataram yang
ber"gelar Perabu Talangsari dengan sekendak hatimu," benda
yang kehitam-hitaman yang teronggok di tanah itu berkata
seterusnya, "aku adalah Kiai Dandang Wesi, pemomong
Sutawijaya yang telah mrayang dan menjadi hulubalang
kerajaan hantu di Gunung Merapi. Aku telah menemui Sri
Perabu Talangsari. Bertanyalah kepada senapati-senapatimu
he, jerangkong yang bodoh. Kau adalah hantu yang rendah
derajadmu meskipun bentukmu menakutkan bagi anak-anak."
Hantu yang tinggi itu untuk sejenak berdiam diri. Namun
kemudian selangkah demi selangkah ia mundur.
"Pergilah," bentak benda hitam yang teronggok di tanah.
Hantu yang tinggi itu berhenti sejenak. Namun tiba-tiba ia
mengaduh. Sebuah benda telah mengenainya. Tepat pada
perut"nya yang mengeluarkan suara.
"Kalau kau tidak pergi," berkata benda yang teronggok itu,
"kau akan mendapat bentuk yang lain dari bentukmu yang
sekarang. Dan kau akan menjadi hantu yang paling rendah
derajadmu. Endeg pangamun-amun yang setiap siang dijemur
di panas matahari yang terik, atau sebangsa klitik yang akan
di"pakai sebagai alas tempat duduk Perabu Talangsari."
Hantu yang tinggi itu semakin lama semakin menjauhi
ben"da itu. Ketika sebagian tubuhnya telah tertutup oleh
gerumbul, maka tiba-tiba saja kepalanya terayun dan hilang di
dalam gelapnya malam. Yang terdengar kemudian adalah
gemerisik daun-daun yang tersibak.
Agung Sedayu menjadi berdebar-debar. Jantungnya
seakan-akan berdentang semakin keras. Tiba-tiba saja ia
dihadapkan pada dua jenis hantu yang bermusuhan.
Namun ketika ia berpaling, darahnya tersirap. Hantu yang
seakan-akan tidak mempunyai bentuk itu telah lenyap pula
tanpa bekas. Sejenak Agung Sedayu berdiri termangu-mangu. Digosokgosoknya
matanya, seakan-akan ia tidak percaya pada
penglihatannya. Bahkan ia pun kemudian berdesis, "Bukankah
aku tidak bermimpi?"
Beberapa saat Agung Sedayu berdiri di tempatnya. Tekateki
yang di hadapinya ternyata terlampau sulit untuk
dipecah"kannya. "Aku akan mengatakannya kepada guru. Mungkin guru
pernah melihat jenis-jenis hantu serupa itu," Agung Sedayu
ber"kata kepada diri sendiri.
Namun, dengan demikian ia pun segera teringat kepada
gu"runya. Tengah malam telah jauh lampau. Tetapi Kiai
Gringsing masih juga belum kembali.
Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Namun
pertemuannya dengan hantu-hantu itu justru membuatnya
menjadi semakin tatag. Karena itu maka ia pun melanjutkan
langkahnya menyusuri jalan sempit yang akan dilalui oleh
gurunya. Dalam keremangan malam, sekali lagi langkahnya terhenti.
Ia melihat bayangan kehitam-hitaman di jalan yang dilaluinya
itu pula. Semakin lama menjadi semakin dekat.
Sekali lagi Agung Sedayu bersiaga. Kini ia merasa benarbenar
telah berada di sebuah dunia yang asing. Dunia hantuhantu.
Seakan-akan ia berada di tengah-tengah masyarakat
hantu yang mengerikan. Tetapi Agung Sedayu tidak lari. Ia berdiri tegak dengan
ketabahan hati, menunggu bayangan yang kehitam-hitaman
itu menjadi semakin dekat pula.
Namun Agung Sedayu itu kemudian menarik nafas
panjang. Panjang sekali. Semakin dekat bayangan itu,
semakin jelas ba"ginya, bahwa bayangan itu adalah sesosok
tubuh seseorang yang berjalan perlahan ke arahnya. Dan
Agung Sedayu pun segera mengenal pula bahwa orang itu
adalah gurunya, Kiai Gringsing.
"Guru," desis Agung Sedayu.
"Kenapa kau berada di sini?" bertanya Kiai Gringsing.
Agung Sedayu tidak segera menjawab. Ditatapnya Kiai
Gringsing tajam-tajam seperti hendak meyakinkan dirinya,
bahwa ia benar-benar berhadapan dengan gurunya.
"Apakah yang aku hadapi ini bukan sesosok hantu yang
menyamar sebagai Guru?" pertanyaan itu tiba-tiba saja
melonjak di hatinya. Namun wajahnya kemudian menjadi kemerah-merahan
ketika ia mendengar gurunya seakan-akan dapat menebak isi
hatinya, "Agung Sedayu, kenapa kau memandangku begitu"
Apakah kau ragu-ragu bahwa aku benar-benar gurumu"
Cobalah, raba tubuhku. Menurut pendengaranku, tubuh hantu
terlampau dingin." Agung Sedayu tidak menjawab. Tetapi ketika ia mendengar
gurunya tertawa, ia pun tertawa pula.
"Aku menjadi sangat cemas," berkata Agung Sedayu
kemudian, "tengah malam telah jauh lewat."
"Ya. Aku harus menunggu Kiai Damar, dukun itu. Ternyata
ia sedang pergi dari rumahnya."
Agung Sedayu mengangguk-anggukkan kepalanya. Namun
tiba-tiba ia bertanya, "Apakah guru lama menunggu?"
"Ya, cukup lama."
"Apakah Guru pasti bahwa Kiai Damar yang guru katakan
itu akan kembali malam ini juga?"
Kiai Gringsing mengerutkan keningnya. Namun kemudian
ia tersenyum, "Tentu tidak."
"Bagaimana kalau ia tidak kembali?"
"Tentu aku tidak akan menunggu sampai besok," jawab
gurunya. "Sebenarnya aku pun sudah mulai gelisah, ketika
bin"tang Gubug Penceng tepat di atas ujung Selatan Bumi."
"Aku sudah berniat untuk menghadap Ki Gede
Pemana"han. Tetapi untunglah, aku belum berangkat."
Kiai Gringsing mengangguk-anggukkan kepalanya, lalu
katanya, "Bagaimana dengan adikmu?"
"Ia menjadi semakin baik. Kalau aku akan menghadap Ki
Gede Pemanahan, ia akan serta."
"Aku kira ia memang sudah berangsur sembuh, meskipun
kekuatannya belum pulih kembali."
"Sayang," berkata Agung Sedayu tiba-tiba, "Guru tidak
datang lebih cepat."
"Kenapa?" "Aku terpaksa bertengkar dengan orang yang tinggi kekar
itu." "Kau apakan orang itu?"
"Aku tidak berbuat apa-apa," sahut Agung Sedayu yang
kemudian menceriterakan pertengkarannya dengan orang
yang kekar itu. *** "Bagus. Memang sebaiknya kau tidak berbuat apa-apa."
Namun Kiai Gringsing kemudian berpikir, "Tetapi bagaimana
dengan Swandaru yang kau tinggalkan itu?"
"Maksud, Guru?"
"Apakah anak itu tidak menjadi sasaran kemarahan
me"reka?" "Tetapi Swandaru sudah sembuh."
"Itulah yang aku cemaskan. Ia tidak akan dapat menahan
hati sejauh yang dapat kau lakukan."
Agung Sedayu mengerutkan keningnya. Lalu, "Tetapi
orang-orang lain bersikap baik. Mereka akan melerainya."
Ketika Kiai Gringsing kemudian mengangguk-anggukkan
kepalanya. Agung Sedayu berkata, "Selain itu, aku masih
mempunyai ceritera yang barangkali menarik juga buat Guru."
"Apa?" "Hantu-hantu yang saling bertengkar."
"He?" Dan sekali lagi Agung Sedayu berceritera. Kali ini tentang
hantu Alas Mentaok dan hantu Gunung Merapi.
Kiai Gringsing menarik nafas dalam-dalam. Katanya
kemudian, "Kita sebaiknya berbicara sambil berjalan."
Keduanya pun kemudian berjalan kembali ke barak
mereka. Di sepanjang jalan Agung Sedayu tidak habishabisnya
berceritera tentang hantu yang tinggi, hitam dan
berkepala tengkorak, yang oleh hantu Gunung Merapi yang
hampir tidak berbentuk itu di"sebutnya jerangkong.
Kiai Gringsing mengangguk-anggukkan kepalanya.
Katanya, "Kalau begitu persoalannya akan menjadi semakin
panjang. Agak"nya ada pertentangan antara Alas Mentaok
yang disebut seba"gai suatu kerajaan, melawan Gunung
Merapi yang juga menye"but dirinya suatu kerajaan."
"Ya." "Kalau begitu, kita menjadi berbesar hati. Bukankah
han"tu-hantu dari Gunung Merapi berpihak kepada kita"
Maksudku kepada mereka yang membuka hutan ini?"
"Ya. Begitulah agaknya."
"Itulah yang harus kita katakan kepada setiap orang agar
mereka menjadi agak berani."
Ketika mereka sampai di barak, mereka melihat di serambi,
orang-orang yang tidur dengan nyenyaknya. Sekelompoksekelompok.
Dengan demikian, maka Kiai Gringsing dan
Agung Sedayu pun berjalan sambil berjingkat, agar tidak
mengejutkan mereka. Te"tapi mereka terpaksa
membangunkan beberapa orang karena pintu yang tidak
terbuka cukup lebar. Ketika tangan Kiai Gringsing mendorong
pintu itu, maka meloncatlah derit yang panjang.
"He, kau baru pulang?" bertanya seseorang.
Kiai Gringsing berpaling. Dilihatnya seorang tua
mengang"kat kepalanya.
"Ya, aku baru pulang," desis Kiai Gringsing perlahan-lahan.
Ternyata orang-orang lain yang terbangun tidak bertanya
apa" pun lagi, sehingga Kiai Gringsing pun kemudian
langsung mene"mui Swandaru yang masih terbaring di
tempatnya. Di dalam cahaya lampu minyak yang remang-remang Kiai
Gringsing dan Agung Sedayu melihat Swandaru berbaring
diam di tempatnya, seolah-olah sedang tidur dengan
nyenyaknya. Namun beberapa langkah lagi mereka mendekat, wajah
Kiai Gringsing menjadi tegang. Dengan tergesa-gesa ia
meloncat dan langsung berjongkok di samping muridnya yang
sedang sakit itu. "Swandaru, Swandaru," desas Kiai Gringsing perlahanlahan.
Tetapi Swandaru tidak menyahut.
"Guru, kenapa anak itu?" Agung Sedayu pun menjadi
tegang pula. Dengan tangan gemetar Kiai Gringsing meraba kening,
dahi dan kemudian perut Swandaru.
"Wajahnya menjadi pucat sekali Guru, dan bibirnya
men"jadi kebiru-biruan."
Setitik keringat mengembun di dahi Kiai Gringsing,
meskipun ia tidak menjadi gugup.
Tanpa disengaja Kiai Gringsing melihat sebuah mangkuk
yang terletak di samping Swandaru. Dengan serta-merta
mang"kuk itu pun diambilnya. Di amat-amatinya isi mangkuk
yang sudah hampir habis sama sekali itu. Namun beberapa
titik air di dalamnya telah cukup bagi Kiai Gringsing untuk
mengetahui, cairan apakah yang ada di dalamnya.
"Lindungi aku dari orang-orang itu, apabila ada di antara
me"reka yang terbangun dan sengaja melihat apa yang aku
kerjakan," bisik Kiai Gringsing.
Agung Sedayu pun segera beringsut mendekati gurunya.
Dari kantong ikat pinggangnya Kiai Gringsing mengambil
sebuah bumbung kecil. Dari dalam bumbung kecil itu Kiai
Gringsing menaburkan seberkas serbuk yang berwarna
kehitam-hitaman. Dengan wajah yang tegang Agung Sedayu melihat ke
dalam mangkuk itu. Beberapa tetes cairan itu pun kemudian
mengepul"kan asap meski pun hampir tidak terlihat.
Kemudian warna yang kehitam-hitaman dari serbuk itu pun
segera berubah menjadi hitam pekat. Titik-titik warna merah


03 Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

terdapat di beberapa bagian dari dinding mangkuk yang masih
basah itu. "Racun lagi," desis Kiai Gringsing, "meskipun lemah, tetapi
cukup berbahaya bagi Swandaru yang kekuatannya belum
pulih kembali. Carilah air. Jangan dengan mangkuk atau
bum"bung. Carilah dengan daun pisang."
Agung Sedayu pun dengan tergesa-gesa bangkit dan
melangkah keluar. Ia tidak menghiraukan lagi ketika orang
yang tinggi ke"kar itu bertanya pula kepadanya, "He, akan
kemana lagi kau anak gila?"
Agung Sedayu tidak menyahut. Sejenak kemudian ia pun
telah hilang di balik tabir gelapnya malam.
Dengan daun pisang ia membawa setakir kecil air sumur.
Seperti pada saat ia keluar, ia pun sama sekali tidak
menghirau"kan sapa orang yang tinggi besar itu, selain
mengangguk-anggukkan kepalanya.
Tetapi ketika ia menyerahkan air di dalam takir daun
pi"sang itu. Ia mendengar pintu bergerit. Ketika ia berpaling,
di"lihatnya orang yang tinggi kekar itu berdiri berpegangan
pada uger-uger pintu. "Temui orang itu. Usahakan agar ia tidak mendekat," desis
Kiai Gringsing yang memasukkan serbuk yang lain ke dalam
takir daun pisang yang berisi air itu.
Agung Sedayu pun berdiri. Perlahan-lahan ia mendekati
orang yang tinggi besar itu sambil berkata, "Aku tergesa-gesa.
Adikku haus sekali."
"Kenapa kau terlampau lama?" bertanya orang itu, "aku kira
kau mati diterkam hantu."
"Hampir saja." "Kenapa hampir" Kau memang anak gila. Adikmu benarbenar
hampir mati kehausan. Untunglah seseorang telah
memberinya minum, sehingga ia dapat tidur dengan
nyenyaknya." "Terima kasih. Siapakah yang telah memberinya minum?"
"Aku tidak tahu. Seseorang di antara sekian banyak orang."
"Orang yang kekurusan itu."
Orang itu menggeleng, "Bukan, orang itu tidur di luar.
Li"hat, ia ada di serambi."
"Lalu siapa" Kami akan mengucapkan terima kasih.
Adik"ku sudah menjadi segar."
Orang itu menggeleng sekali lagi, "Aku tidak tahu."
Sementara itu, Kiai Gringsing telah menuangkan air yang
sudah diberinya obat itu ke mulut Swandaru. Perlahan-lahan,
setitik demi setitik air itu masuk ke dalam kerongkongannya.
"Untunglah tidak terlambat," berkata Kiai Gringsing di dalam
hatinya, "agaknya di barak ini ada seorang yang me"ngerti
benar tentang racun. Racun yang lemah ini agaknya tepat
sekali dipergunakannya untuk membunuh Swandaru yang
sedang sakit tanpa kecurigaan dan tanpa menumbuhkan
tanda-tanda yang jelas di tubuhnya."
Namun tanpa sesadarnya Kiai Gringsing menggeram,
"Keterlaluan." Sebuah perasaan yang aneh telah melonjak di dalam dada
Kiai Gringsing. Betapa perasaannya lapang seluas lautan,
tetapi usaha yang dilakukan sudah usaha pembunuhan atas
muridnya, sehingga darahnya menjadi panas karenanya.
Namun orang tua itu masih berusaha menahan diri. Ia tidak
boleh hanyut dalam arus perasaannya, kalau ia tidak mau
gagal sama sekali. Kiai Gringsing mengerutkan keningnya ketika ia melihat
Swandaru menggeliat. Kemudian perlahan-lahan membuka
matanya dan tiba-tiba saja ia berusaha bangkit.
"Jangan bangkit."
Swandaru tidak dapat menjawab. Tetapi sesuatu telah
dimuntahkannya dari mulutnya. Cairan yang berwarna hitam
kemerah-merahan. "Tenanglah," desis gurunya.
Swandaru memandang gurunya dengan mata yang buram.
Tetapi Kiai Gringsing mengangguk-anggukkan kepalanya.
Ia menjadi semakin tenang, ia yakin bahwa Swandaru akan
dapat disembuhkannya. "Kau sudah minum minuman yang keliru, Swandaru,"
berkata gurunya. "Dari mana kau dapatkan cairan itu?"
"Orang yang kekurus-kurusan itu," desis Swandaru.
"Kenapa kau minum juga?"
"Katanya Kakang Agung Sedayu sedang mencari air
un"tukku karena aku terlampau haus. Maka diberinya aku air
itu sebelum Kakang Agung Sedayu datang. Katanya ia
kasihan ke"padaku."
Kiai Gringsing mengangguk-anggukkan kepalanya, "Racun.
Yang kau minum itu adalah racun yang lemah, tetapi cukup
ber"bahaya bagimu yang masih belum pulih benar. Untunglah
aku cepat datang." Wajah Swandaru menjadi tegang. Tetapi ia masih
mende"ngar gurunya berkata, "Jangan mengambil sikap
sesuatu. Kita harus berhati-hati menghadapi seluruh jaringan
itu." "Jaringan apa Guru?" bertanya Swandaru.
"Kau akan mendengar pada saatnya."
Swandaru tidak bertanya lagi. Dicobanya untuk mengatur
pernafasannya yang masih sesak. Kemudian memejamkan
mata"nya agar ia mendapatkan ketenangan yang setinggitingginya.
Kini gurunya sudah menungguinya, sehingga ia
tidak perlu lagi men"cemaskan apa pun juga.
"Bagaimana dengan adikmu itu?" bertanya orang yang
tinggi kekar kepada Agung Sedayu.
"Ia sedang tidur."
"Jangan ganggu anak itu. Ia benar-benar sedang sakit. Aku
menyesal telah menahanmu ketika kau akan mencari air. Aku
kira kau hanya berpura-pura saja."
"Ya." "Mudah-mudahan setelah ia terbangun besok, ia sudah
sembuh benar." "Mudah-mudahan," desis Agung Sedayu.
Orang yang tinggi kekar itu pun kemudian meninggalkan
Agung Sedayu dan kembali ke tempatnya di luar barak. Orang
yang tinggi itu lebih senang tidur di serambi.
"Udara di dalam terlampau panas," katanya.
Agung Sedayu tidak menyahut.
Ketika orang itu telah berada di luar pintu, Agung Sedayu
segera mendapatkan gurunya. Dari Kiai Gringsing ia
mendengar, bahwa perbuatan orang-orang itu sudah
keterlaluan. Mereka sudah berusaha melakukan pembunuhan
sengaja atau tidak sengaja atas Swandaru.
"Ada dua kemungkinan," berkata Kiai Gringsing,
"pembunuhan itu dilakukan atau pelumpuhan atas Swandaru
se"andainya tidak berakibat mati, dimaksud agar kami
menghentikan kerja kami, atau karena orang-orang itu benarbenar
ketakutan agar kami tidak menyebabkan mereka dan
semua orang di barak ini men"derita."
Agung Sedayu mengangguk-anggukkan kepalanya.
"Besok," berkata Kiai Gringsing, "ceriterakan kepada setiap
orang apa yang kau lihat. Katakan dengan selengkaplengkapnya,
bahwa ada hantu yang menyebut dirinya Kiai
Dandang Wesi dari Gunung Merapi. Dari Kerajaan Kajiman di
Gunung Merapi." "Apakah dengan demikian, orang-orang di barak ini tidak
akan menjadi semakin ketakutan?"
"Kita akan dapat membumbuinya. Hantu-hantu dari Gunung
Merapi berada di pihak Raden Sutawijaya. Bukankah hantu itu
berkata bahwa ia pernah menjadi pemomong Raden
Sutawijaya sebelum mrayang dan mendapatkan bentuknya
yang sekarang?" "Ya." "Nah, Kiai Dandang Wesi dan pasukannya pasti akan
berpihak kepada Raden Sutawijaya. Kau dapat
menambahkannya pula, bahwa hantu-hantu di segala sudut
bumi pasti akan membenar"kan sikap Raden Sutawijaya,
karena tanah dan laut yang kasat mata wadag oleh manusia
ini memang diperuntukkan bagi ma"nusia."
Agung Sedayu mengangguk-anggukkan kepalanya.
Demikiankah, maka sisa malam yang tinggal menyangkut
di ujung pohon nyiur itu pun dipergunakan sebaik-baiknya oleh
Kiai Gringsing dan Agung Sedayu. Mereka segera berbaring
berdesak-desakan sebelah-menyebelah Swandaru, yang kini
menjadi lemah kembali. "Kau akan segera pulih," bisik gurunya.
"Lalu, bagaimana dengan obat yang Guru bawa ke dukun
sakti itu?" "Masih ada padaku. Itu, aku taruh di bawah kakimu. Tetapi
sebaiknya aku mempergunakan obatku sendiri. Di sini banyak
orang yang tidak dapat dipercaya lagi."
Swandaru tidak bertanya lagi. Agung Sedayu yang
berba"ring sambil memejamkan matanya, mencoba untuk
tidur. Tetapi ia tidak berhasil. Namun demikian ia sudah
mencoba beristira"hat meskipun hanya sejenak.
Ketika cahaya yang kemerah-merahan membayang di
langit, ma"ka burung-burung liar pun mulai berkicau dengan
riuhnya. Mereka sa"ma sekali tidak menghiraukannya, bahwa
di alas Mentaok telah terjadi benturan antara dua kekuatan
lelembut yang dahsyat. Dari alas Mentaok sendiri dan dari
Gunung Merapi. Dalam pada itu, begitu Agung Sedayu keluar dari barak, ia
pun segera berceritera tentang kedua jenis hantu yang
dijum"painya. Yang satu tinggi berkerudung hitam dan
berkepala tengkorak, sedang yang satu hampir tidak
berbentuk sama sekali. "Apakah mereka bertengkar?" bertanya salah seorang.
"Ya, ternyata hantu yang tinggi itu menjadi ketakutan dan
melarikan diri." "Bohong," orang yang tinggi kekar itu membantah, "bukan
karena ketakutan. Tetapi hantu itu pasti belum mendapat
perintah, apa yang sebaiknya dilakukan menghadapi hantuhantu
dari daerah asing seperti yang kau katakan itu."
"Kenapa hantu dari gunung Merapi itu tidak ditangkap"nya
saja dan dibawa menghadap Raja Kajiman di Alas Mentaok
ini?" "Belum ada perintah. Mungkin tingkat kerajaan telah
me"ngadakan suatu pembicaraan yang belum diketahui oleh
tingkat bawahan seperti jerangkong yang tinggi itu."
"Mungkin, tetapi menilik wibawa dari keduanya, hantu dari
Gunung Merapi yang bernama Kiai Dandang Wesi dan dahulu
bekas pemomong Raden Sutawijaya itulah yang agaknya
lebih tinggi." Wajah orang yang tinggi kekar itu menjadi tegang.
Dita"tapnya wajah Agung Sedayu dengan tajamnya.
Namun Agung Sedayu sama sekali tidak
mempedulikannya. Ia berpura-pura tidak mengerti perasaan
apakah yang tersembul di hati orang itu. Karena itu, maka ia
pun berceritera terus. "Cukup. Cukup!" potong orang yang tinggi itu, "Jangan
membual di sini. Kau menambah perasaan kami menjadi
ki"sruh. Kami akan menjadi semakin ketakutan, seolah-olah
kami ber"ada di daerah yang paling gawat. Di ajang
peperangan yang dahsyat antara dua kerajaan hantu."
Agung Sedayu terdiam sejenak. Ternyata orang itu cukup
cerdik, sehingga ia justru mempergunakan keadaan itu untuk
menambah kecemasan dan ketakutan.
"Nah, kalian dengar," berkata orang yang tinggi itu kepada
orang yang mengerumuninya, "daerah ini memang
me"rupakan daerah yang paling gawat. Aku sudah tidak kuat
lagi. Aku akan meyakinkan untuk beberapa hari saja sebelum
aku me"ngambil keputusan. Kalau keadaan menjadi kian
memburuk, aku lebih baik kembali ke asalku. Makan atau tidak
makan. Meskipun di sini kami akan mendapat tanah yang
subur dan loh jinawi te"tapi kalau perasaan kami selalu dikejar
oleh ketakutan dan ke"cemasan, maka kami tidak akan dapat
merasa tenteram. Karena itu, kami, aku dan keluargaku, akan
segera menentukan sikap."
Beberapa orang yang mendengar itu pun menjadi pucat.
Ka"lau orang yang tinggi kekar itu saja tidak berani tinggal di
sini, apalagi orang-orang yang lain.
Namun tiba-tiba Agung Sedayu menjawab, "Tidak. Itu suatu
sikap yang tergesa-gesa. Dengar, hantu dari Gunung Merapi
itu adalah pemomong Raden Sutawijaya. Sudan tentu ia akan
ber"pihak kepada Raden Sutawijaya dan Ki Gede
Pemanahan. Nah, bukankah kehadiran kita di sini ini adalah
karena keinginan kita untuk bersama-sama dengan Ki Gede
Pemanahan dan Raden Suta"wijaya membuka hutan ini dan
bersama-sama menjadikan suatu dae"rah yang ramai dan
makmur" Bahkan menurut pendengaranku, hantu-hantu dari
daerah-daerah lain pun pasti akan berpihak kepada hantuhantu
dari Gunung Merapi. Kalian harus mendengar, Kiai
Dandang Wesi mempunyai pasukan segelar sepapan. Kiai
Dandang Wesi menganggap bahwa semua yang kasat mata
wadag manusia, adalah hak manusia. Termasuk Alas
Mentaok." "Bohong. Bohong!" teriak orang yang bertubuh kekar itu.
Lalu, "Jika demikian maka adikmu tidak akan sakit dan
ba"rangkali hari ini adikmu sudah mampus atau lumpuh atau
apa pun karena kesalahanmu yang kau lakukan semalam."
"Ia tertidur nyenyak."
"Coba lihatlah dengan saksama. Ia pasti kena kutuk
ka"rena kesalahanmu. Untunglah bahwa kutuk itu mengenai
adikmu sendiri. Bukan orang lain."
"Sama sekali tidak. Adikku tidak apa-apa."
"Lihat, lihatlah sekarang. Kenapa ia belum juga bangun?"
Agung Sedayu menjadi ragu-ragu sejenak. Namun semua
orang berpaling ketika mereka mendengar suara dari depan
pintu, "Aku sudah bangun. Tubuhku merasa betapa segarnya."
Orang yang tinggi kekar itu terkejut bukan buatan ketika ia
melihat Swandaru berdiri di depan pintu bersama Kiai
Gringsing. Meskipun masih pucat namun Swandaru sudah
dapat ter"senyum dan berkata, "Sejak aku minum air
pemberian Paman, aku merasa bahwa aku menjadi sehat
kembali." Orang yang tinggi kekar itu menjadi tegang. Sementara
Agung Sedayu memandanginya dengan penuh kewaspadaan.
Kalau saja orang itu tiba-tiba menjadi kehilangan akal, maka ia
akan dapat menjadi berbahaya.


03 Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"He, apakah kau tidak dikutuk oleh hantu-hantu," teriak
orang kekurus-kurusan. Swandaru yang menyebut dirinya anak Kiai Gringsing itu
menyahut, "Mungkin. Tetapi aku semalam telah bermimpi
aneh." "Apa mimpimu, he?" geram orang yang kekar itu.
"Aku seakan-akan berada di daerah yang sangat asing.
Daerah yang belum pernah aku lihat. Seakan-akan aku
berada di dalam taman istana yang sangat indah. Aku begitu
gembira sehingga aku tidak pernah berpikir, siapakah pemilik
istana itu. Ketika aku melihat seekor kelinci yang berwarna
keemasan, tiba-tiba aku ingin menangkapnya. Tetapi ketika
aku mengejarnya, tiba-tiba aku menjadi lumpuh."
"Jelas, itu sudah jelas," teriak orang yang kekar. Lalu,
"Jangan berpura-pura lagi. Istana itu adalah istana Mataram.
Kau menjadi lumpuh karena kau dikutuk oleh pemilik istana
ini." "Ya. Akhirnya aku melihat. Seorang yang bertubuh tinggi,
besar kehitam-hitaman dengan janggut yang panjang.
Tangannya menggenggam sebuah keris."
"Kau pasti akan dibunuhnya."
"Ya. Aku memang akan dibunuhnya. Orang itu tidak
ber"baju dan mengenakan pakaian pada abad-abad yang
lampau, seperti aku melihat pakaian gambar-gambar yang
terpahat pada dinding-dinding can"di. Dan orang itu menyebut
dirinya bernama Prabu Talangsari."
Semua orang tiba-tiba telah terpaku mendengarkannya.
"Tiba-tiba aku terbangun."
"Itu suatu pertanda. Perabu Talangsari itu pasti Raja
Ma"taram Kajiman," orang yang kekurusan menyahut.
"Camkan"lah mimpi itu."
"Ya. Ketika aku terbangun aku menjadi sangat haus. Itu"lah
sebabnya kakakku keluar sejenak untuk mengambil air.
Te"tapi ternyata kakakku pergi terlampau lama, sehingga aku
mendapat air dari Paman yang tinggi kekar itu."
"Persetan," geram orang itu.
"Lalu, aku tertidur lagi. Aneh sekali. Aku bermimpi pula.
Mimpiku adalah kelanjutan dari mimpiku yang pertama."
"Bagaimanakah mimpi itu?"
"Apakah kalian masih bersedia mendengarkannya" Lihat,
matahari semakin tinggi. Nanti kalian terlambat pergi ke tanah
garapan masing-masing."
Hampir berbareng orang-orang yang berkerumun itu
menengadahkan wajah mereka. Mereka melihat matahari
yang memang sudah menanjak naik semakin tinggi, di balik
dedaunan. Tetapi tiba-tiba salah seorang dari mereka berkata,
"Sebentar saja. Cepat, katakan kelanjutan mimpimu."
"Ya, kami masih mempunyai waktu sebentar."
"Katakan cepat," bentak orang yang tinggi kekar, "mungkin
itu suatu isyarat bagimu, agar kau tidak menjadi semakin
sombong." "Baiklah," berkata Swandaru. "Ketika aku mulai dengan
mimpiku yang kedua?".," kata-katanya terputus karena
orang kekurus-kurusan membentak, "Langsung sebut saja
mimpimu." Swandaru mengerutkan keningnya, "Baiklah. Aku akan
segera saja mengatakan isi mimpiku itu, supaya tidak
berkepan"jangan."
"Sebut saja, sebut langsung. Kau terlampau banyak
mem"berikan pengantar," berkata orang yang kekar. Tetapi
yang lain memotong, "Biarkan ia berbicara. Kau memutus
kata-katanya." "Sst, diam. Kenapa ribut?" desis yang lain.
"Baiklah. Baiklah. Mimpiku itu tidak panjang lagi," berkata
Swandaru selanjutnya. "Ketika orang yang mengenakan
pakaian dari abad-abad yang lampau dan menyebut dirinya
Prabu Talangsari itu akan membunuhku, datanglah seorang
yang lain. Seorang yang mengenakan pakaian keemasan,
berkilat-kilat dengan menaiki seekor kuda bersayap seperti
burung rajawali raksasa."
"Kuda semberani," desis orang-orang yang mendengarkan
mimpi itu. "Ya. Lalu, apa kerja orang itu?"
"Mereka pun kemudian berunding. Keduanya ternyata
adalah raja dari kerajaan yang besar. Prabu Talangsari dan
yang lain, raja dari Gunung Merapi."
"Apa yang mereka rundingkan?"
"Aku tidak tahu. Tetapi ketika raja yang berpakaian
ber"kilauan seperti matahari itu pergi, aku dilepaskannya. Dan
bahkan Prabu Talangsari berkata, "Ambillah kelinci itu. Aku
tidak memerlukan lagi." Dan aneh. Aku pun sembuhlah dari
kelumpuhan itu. Maka mulailah kemudian aku berburu kelinci."
"Apakah kau dapatkan kelinci yang berwarna keemasan
itu" "Ya. Akhirnya aku dapatkan juga. Tidak ada siapa pun lagi
yang menggangguku." Beberapa orang saling berpandangan sejenak. Agung
Sedayu pun mula-mula ikut merenungkan mimpi adiknya yang
aneh itu. Namun kemudian ia tersenyum di dalam hati, karena
ia yakin bahwa mimpi itu adalah sebuah dongeng yang telah
dibuat oleh gurunya. Karena itu tiba-tiba saja ia bertanya, "Apakah raja dari
Gunung Merapi yang naik kuda itu sendiri?"
Swandaru mengerutkan keningnya. Lalu jawabnya,
"Sen"diri. Ya, ia sendiri."
"Tentu mimpi itu daradasih. Benar-benar terjadi seperti apa
yang terbayang di dalam mimpi. Aku telah bertemu dengan
hantu mrayangan yang menyebut dirinya bernama Kiai
Dandang Wesi." Tetapi orang-orang yang berada di sekitar tempat itu pun
terkejut ketika orang yang kekurus-kurusan itu berkata,
"Bohong! Semuanya bohong!"
Agung Sedayu mengerutkan keningnya. Katanya, "Aku
tidak bohong. Dan aku kira adikku juga tidak bohong. He, dari
mana ia mendapat nama Prabu Talangsari" Apakah ia
sekedar mengarangkan sebuah nama" Baik. Memang
mungkin ia mengarang. Tetapi apabila ada suara-suara dari
orang lain yang juga menyebut-nyebut nama itu, apakah
mungkin mereka juga mengarangkan nama yang kebetulan
sama?" "Kami di sini belum pernah mendengar nama itu."
Adalah tiba-tiba saja ketika yang berbicara kemudian
adalah Kiai Gringsing, "Jadi, nama itu sama sekali tidak
dikenal di sini?" "Tidak," jawab yang kekurus-kurusan.
"Tetapi tadi ada di antara kalian yang memastikan bahwa
orang yang bertubuh tinggi besar dan mengenakan pakaian
dari abad-abad yang lalu itu adalah raja Mataram Kajiman."
Tidak seorang pun yang menjawab. Sehingga Kiai
Gringsing bertanya pula kepada orang yang kekurus-kurusan,
"Jadi kau yakin bahwa nama itu sekedar sebuah nama di
dalam mimpi dan tidak berarti sama sekali?"
Setiap orang pun kemudian berpaling memandang wajah
orang yang kekurus-kurusan itu. Namun sejenak orang itu
tidak men"jawab dan bahkan wajahnya menjadi ragu-ragu.
"Mudah-mudahan memang tidak ada nama Prabu
Talangsari." "Kau pasti hanya sekedar mendengar ceritera dari kakakmu
yang sudah menceriterakan pertemuannya dengan hantuhantu,"
teriak orang yang kekar. "Nah, bukankah begitu dugaanmu," potong Agung
Se"dayu, "tetapi ketika aku pergi, adikku belum
menceriterakan hal itu kepadaku. Dan sejak aku pulang,
adikku sama sekali belum bangun dari tidurnya yang
nyenyak." "Jangan ributkan soal mimpi," tiba-tiba Kiai Gringsing
memotong. "Sekarang hari sudah terlampau siang. Lihat,
orang-orang lain sudah mulai pergi mengambil rangsumnya."
Semua orang berpaling ke arah gardu pengawas di
kejauhan. Mereka melihat orang-orang yang tidak ikut
berkerumun telah siap untuk pergi. Karena itu, maka mereka
pun dengan tergesa-gesa berlari-larian menyiapkan alat-alat
masing-masing. Tetapi orang yang tinggi kekar dan orang yang kekuruskurusan
masih berdiri di tempatnya sambil memandang Kiai
Gringsing beserta kedua anak-anaknya dengan tatapan mata
yang tajam. "Sekarang kau menambah keonaran lagi dengan bualanbualanmu,"
desis orang yang tinggi kekar.
"Bukan begitu, bukan maksudku. Tetapi, apakah kalian
benar-benar tidak percaya bahwa Prabu Talangsari itu ada?"
"Tidak," sahut yang tinggi kekar itu.
Tetapi orang yang kekurus-kurusan itu mulai nampak raguragu.
Apalagi setelah Kiai Gringsing berkata, "Aku
mempercayainya seperti kata Kiai Damar, dukun sakti itu,
bahwa hantu-hantu memang mempunyai kelebihan dari
manusia. Tentu termasuk Kiai Dan"dang Wesi dari Gunung
Merapi dan apalagi Perabu Talangsari sendiri."
Orang yang kekurus-kurusan itu tampak menjadi semakin
ragu-ragu. Sejenak ia memandang orang yang bertubuh
kekar, dan sejenak kemudian dilemparkannya tatapan
matanya jauh ke dalam lebat"nya hutan yang sedang digarap
oleh para pendatang itu. "Semula kalau aku boleh berterus-terang, aku memang
ragu-ragu terhadap hantu-hantu di Alas Mentaok ini. Tetapi
setelah aku mengalami sendiri, dan anakku menjadi sakit dan
sembuh secara ajaib sebelum obat dari dukun sakti itu
dimakannya, aku kini telah mempercayainya."
"Persetan dengan hantu-hantu," tiba-tiba orang yang kekar
itu menggeram. Kiai Gringsing mengerutkan keningnya. Katanya, "He,
bagaimana dengan hantu-hantu itu" Bukankah kau yang
mengajari aku untuk memahami keadaan hutan ini beserta
segala isinya termasuk hantu-hantu itu?"
"Ya. Ya. Maksudku, persetan dengan kalian yang bodoh
dan sombong. Sekarang kalian merasa sebagai orang-orang
yang paling mengenal hantu-hantu," orang yang kekar itu
memotong, "tetapi sebenarnya kalian adalah orang-orang
yang paling dungu. Sebenarnya kalian tidak usah berbicara
panjang lebar tentang hantu dari mana pun juga. Itu adalah
suatu gagasan atau lamunan yang ngayawara. Kalau kau dan
anak-anakmu menghentikan usaha untuk membuka hutan itu,
menjorok masuk ke dalam seperti yang kau lakukan, maka
kau akan selamat." "Dengarlah," berkata Kiai Gringsing, "rencana hantu-hantu
Alas Mentaok itu sudah diketahui oleh Kiai Dandang Wesi.
Kau percaya" Sekarang mereka berusaha mendorong aku
dan kedua anak-anakku untuk meninggalkan pekerjaan dan
tanah garapan itu, tetapi seterusnya, mereka akan berusaha
mengusir setiap orang di sini. Menakut-nakuti, membuat
mereka sakit dan pingsan tanpa sebab, kecemasan dan
kekisruhan, agar perlahan-lahan kita di sini sedikit demi sedikit
mengurungkan niat kita untuk mem"buka hutan ini."
"Gila, itu pikiran gila."
"Apakah kau tidak percaya."
"Omong kosong."
"Mungkin. Kiai Dandang Wesi memang hanya omong
ko"song. Mudah-mudahan ia sekedar omong kosong. Tetapi
akankah ia berkata begitu, he?" bertanya Kiai Gringsing
kepada Agung Sedayu. Agung Sedayu tergagap. Tetapi ia pun segera dapat
menang"gapinya, "Ya, Kiai Dandang Wesi memang berkata
begitu. Tetapi Kiai Dandang Wesi sudah berbicara dengan
Prabu Talangsari. Aku tidak tahu, apakah hasil pembicaraan
itu." "Tetapi seandainya Kiai Dandang Wesi itu benar-benar
hantu waskita yang datang dari Gunung Merapi, ia pasti
mengenal hantu-hantu Alas Mentaok yang sebenarnya," tibatiba
orang yang kekurus-kurusan menyahut.
"Ia kenal akan hal itu. Tentu ia kenal."
"Bohong." "Dari mana kau tahu. Adakah kau menganggap Kiai
Dan"dang Wesi itu berbohong, atau ceritera tentang Dandang
Wesi itulah yang kau anggap berbohong, atau Kiai Dandang
Wesi sama sekali tidak mempunyai kemampuan untuk berbuat
sesuatu?" Orang yang kekurus-kurusan itu pun menjadi ragu-ragu
pula. Sejenak ia berdiam diri. Namun yang menyahut
kemudian adalah orang yang kekar, "Kita harus meyakinkan
dahulu ceritera itu."
"Memang, kita harus meyakinkannya. Tetapi bahwa Kiai
Dandang Wesi mempunyai kemampuan untuk mengenal
dunianya, maksudku dunia hantu, aku kira tidak dapat
disangsikan lagi. Menurut anakku, ketika jerangkong yang
telah bertemu dengan Kiai Dandang Wesi itu pergi, maka
hantu yang tidak berbentuk, pemomong Raden Sritawijaya
yang mrayang itu berkata, "Aku menangkap getaran yang
aneh pada jerangkong itu. Aku menang"kap getar jalur-jalur
darah dalam tubuhnya serta terasa arus nafas. Itu tidak
mungkin ada di dalam diri hantu-hantu yang mana pun juga,
meskipun dari tingkat yang paling rendah sekali pun sampai
Prabu Talangsari sendiri. Meskipun ada hantu yang memilih
bentuk seperti manusia sekali pun, namun pasti tidak akan
ada getar jalur-jalur darah dan arus nafas di dalam tubuhnya
yang bukan wadag manusia"."
Orang yang kekurus-kurusan itu menjadi tegang sejenak.
Namun sambil menghentakkan kakinya ia berkata, "Persetan.
Persetan dengan semuanya itu."
Sebelum seorang pun sempat menjawab, maka dengan
tergesa-gesa ia pergi meninggalkan Kiai Gringsing sambil
bergumam, "Aku akan pergi ke pekerjaanku. Semua orang
sudah berang"kat."
"Kami bertiga tidak akan berangkat hari ini," berkata Kiai
Gringsing. "Kenapa?" yang bertanya adalah orang yang tinggi be"sar
itu. "Anakku belum sehat benar."
"Jadi, setelah anakmu sembuh. Kau akan tetap
menerus"kan usaha itu?"


03 Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Ya," jawab Kiai Gringsing.
"Kau sampai hati mengorbankan anakmu."
"Kenapa?" "Anakmu akan sakit dan kalau peringatan itu kau abai"kan,
anakmu, salah seorang dari keduanya akan mati atau bahkan
kedua-duanya." Orang yang kekar itu terperanjat ketika justru anak yang
sakit itu yang menjawab, "Ternyata aku telah sembuh setelah
aku bermimpi. Aku jadi yakin, bahwa di dunia mereka pun kini
sedang terjadi masalah. Kesimpulanku, aku tidak perlu
cemas." "Gila. Kalian memang orang-orang gila."
"Tidak. Justru kami adalah orang-orang yang menyadari
ke"adaan yang sebenarnya. Tanpa orang lain, biarlah aku
katakan kepadamu, mungkin kau memiliki kelebihan dari
orang-orang yang ada di dalam barak ini, bahwa di sini ada
tiga golongan yang per"lu diperhatikan."
"Apa?" "Hantu-hantu Alas Mentaok yang sebenarnya, hantu-hantu
dari Gunung Merapi, dan makhluk lain yang diragukan oleh
Kiai Dandang Wesi, yang berbentuk seperti hantu jerangkong,
te"tapi memiliki jalur-jalur darah dan arus nafas."
Orang yang kekar itu menjadi tegang. Sejenak ditatapnya
wajah-wajah dari ketiga ayah beranak itu. Kemudian sambil
meng"geram ia melangkah pergi, "Kalian telah mengigau."
"Tunggu," panggil Swandaru. Ketika orang itu berhenti dan
berpaling, Swandaru berkata sambil tersenyum, "Terima kasih
atas air yang Paman berikan itu. Tubuhku menjadi segar dan
rasa-rasanya sakitku menjadi sem"buh sama sekali."
"Persetan," orang itu pun kemudian melangkah semakin
cepat. Sepeninggal orang-orang itu, Kiai Gringsing menganggukanggukkan
kepalanya sambil berkata, "Mudah-mudahan kita
akan segera dapat memecahkan teka-teki yang rumit ini."
"Apakah yang Guru maksud dengan teka-teki itu?"
"Keadaan di sekitar tempat ini. Di samping negeri yang kian
hari kian menjadi ramai, maka orang-orang yang memperluas
tanah garapan masih saja diganggu oleh persoalan-persoalan
yang cukup menegangkan ini."
"Hantu-hantu maksud Guru?"
"Ya." Kedua muridnya mengangguk-anggukkan kepalanya.
Sambil me-mandang orang yang tinggi kekar itu sampai hilang
di gardu pe"ngawas Agung Sedayu berkata, "Kedua orang itu
memang aneh." "Sekarang beristirahatlah. Kita akan terlibat dalam
per"mainan yang mengasyikkan ini."
Agung Sedayu dan Swandaru pun kemudian masuk
kembali ke dalam barak. Beberapa orang yang karena
beberapa hal berhalangan pergi ke tempat pekerjaan masingmasing,
masih juga berada di barak itu."
Seorang laki-laki yang kakinya terluka karena kapaknya
sen"diri, duduk sambil mengusap lukanya. Sekali-sekali ia
menyeringai menahan sakit. Sudah sepekan ia duduk saja
merenungi lukanya tanpa dapat membantu kawan-kawannya
bekerja di pinggir hutan.
"Apakah anakmu sudah benar-benar sembuh?" orang itu
de"ngan hampir berteriak bertanya kepada Kiai Gringsing.
Kiai Gringsing berpaling kepadanya, kepada orang yang
terluka itu yang duduk di sudut barak. "Ya, begitulah."
"Kau memang beruntung sekali. Dari manakah kau
men"dapatkan obatnya?"
"Kebetulan saja. Tetapi aku juga mendapat obat dari Kiai
Damar. Dukun sakti yang memiliki kemampuan berhubu"ngan
dengan hantu." "Apakah kau tidak berkeberatan memberi obat aku sedikit,
agar lukaku ini segera sembuh?"
"Obat itu bukan obat luka."
"Aku tahu, tetapi mungkin kakiku ini juga kena kutuk dari
hantu-hantu. Mungkin ketika aku bekerja di tanah yang
sedang dibuka itu, aku telah mengganggu mereka, sehingga
aku telah dihukumnya. Dengan obat dari Kiai Damar itu,
mungkin aku akan dimaafkan."
Kiai Gringsing mengerutkan keningnya. Ternyata jalan
pikiran orang-orang di tempat ini sudah tidak wajar lagi.
Mereka terlampau dipengaruhi oleh adanya hantu-hantu yang
berkuasa di Alas Mentaok. Semua persoalan telah
dikaitkannya dengan hantu-hantu, kemungkinan bahwa
mereka telah mengganggu keluarga hantu-hantu dan
bermacam-macam soal yang berpusar pada hantu-hantu itu.
"Ki Sanak," berkata Kiai Gringsing kemudian, "apakah Ki
Sanak mau aku obati" Bukan obat dari Kiai Damar?"
"O, segala macam obat sudah aku coba, tetapi sampai
sepekan lukanya justru membengkak."
"Obat yang Ki Sanak pergunakan agaknya belum cocok.
Kalau Ki Sanak setuju, aku akan mencoba mengobatinya."
"Berilah aku obat Kiai Damar itu."
"Sayang, aku sudah dipesan, bahwa obat itu tidak boleh
dipergunakan oleh orang lain. Obat itu adalah obat yang
khusus, yang bagi orang lain justru dapat berakibat
sebaliknya." Orang itu mengerutkan keningnya. Katanya, "Jadi
mak"sudmu, aku tidak dapat mengobati lukaku dengan obat
itu?" "Bukan aku tidak memperbolehkan, tetapi Kiai Damar-lah
yang berpesan demikian."
Orang itu mengangguk-anggukkan kepalanya.
"Karena itu kalau Ki Sanak bersedia, aku mempunyai
se"jenis obat untuk luka-luka."
"Apa" Bubukan babakan mlandingan atau sawang anggaangga?"
Kiai Gringsing menggelengkan kepalanya.
"Apa" Semua obat sudah aku coba."
"Endapan kicikan."
"Minyak kelapa dengan empon-empon."
"Ya. Segala macam empon-empon, potong tipis-tipis,
kemudian aku jemur sampai kering. Barulah aku panasi
dengan minyak. Kemudian aku jemur lagi hingga kering.
Barulah aku tumbuk halus-halus."
Orang itu mengangguk-angguk. "Baiklah. Aku belum
mencobanya." "Tunggulah, aku ambil obat itu."
Kiai Gringsing pun kemudian mengambil sejenis serbuk
se"perti yang dikatakannya. Kemudian ditaburkannya obat itu
pada luka yang sedang mulai membengkak.
"Uh, panas sekali. Apakah ini kicikan seperti yang kau
katakan." "Ya." "Kenapa panas dan pedih?"
"Tentu. Tetapi nanti akan menjadi baik."
Orang itu menyeringai menahan sakit sambil memegang
pangkal pahanya. "Sakit sekali," desisnya.
Kiai Gringsing tidak menghiraukannya. Kemudian
dibiarkannya luka itu tetap terbuka. Katanya, "Biarlah luka itu
terbuka sejenak." Sejak itu sakit lukanya menjadi berangsur berkurang.
Se"hingga akhirnya terasa seakan-akan luka itu sudah
sembuh. "Terima kasih," katanya.
*** "Dengar," berkata Kiai Gringsing, "sama sekali bukan
karena hantu-hantu. Hantu-hantu sebenarnya sama sekali
tidak meng"hiraukan kita. Hutan itu hutan kita. Kalau ada
persoalan, tentu persoalan yang lain."
Orang itu memandang Kiai Gringsing dengan tatapan mata
yang aneh, meskipun ia tidak bertanya sesuatu. Bahkan Kiai
Gringising-lah kemudian yang berbicara pula, "Hantu-hantu itu
ter"nyata mempunyai persoalannya sendiri. Hantu-hantu yang
bernama Kiai Dandang Wesi dari Gunung Merapi telah
melibatkan diri di dalam setiap persoalan di Alas Mentaok ini."
Orang itu mengerutkan keningnya. Kemudian ia berdesis,
"Aku menjadi bingung."
Kiai Gringsing tersenyum. Tiba-tiba ia bertanya,
"Bagaimana dengan lukamu?"
"Sudah tidak pedih lagi. Bahkan seakan-akan telah menjadi
sembuh sama sekali."
"Biarlah lukamu terbuka. Nanti sore, aku akan memberimu
obat setelah luka itu kau bersihkan. Setiap kali pasti akan
terasa pedih untuk beberapa saat. Namun kemudian akan
menjadi dingin seperti sekarang."
Orang itu mengangguk-anggukkan kepalanya.
"Beristirahatlah."
Kiai Gringsing pun kemudian kembali ke tempatnya.
Swandaru yang masih belum sehat benar, telah berbaring
untuk me"mulihkan kekuatannya. Sedang Agung Sedayu pun
kemudian pergi ke gardu pengawas untuk melaporkan bahwa
mereka tidak pergi ke pekerjaan mereka hari ini.
"Kenapa?" bertanya salah seorang pengawas.
"Adikku masih belum sembuh benar."
Pengawas itu mengerutkan keningnya. Tetapi yang
bertanya kemudian adalah Wanakerti, "Apakah kalian
memutuskan untuk menghentikan usaha kalian?"
"Tidak," jawab Agung Sedayu. "Kami akan bekerja terus.
Kalau kesehatan adikku telah pulih kembali, maka kami akan
meneruskan kerja kami."
Wanakerti mengangguk-anggukkan kepalanya. Kemudian
kata"nya, "Baiklah. Sekarang, bawalah rangsum kalian
bertiga." Agung Sedayu pun kemudian kembali ke barak sambil
mem"bawa rangsum untuk mereka bertiga.
Dalam pada itu, selagi di tempat-tempat yang sedang
digarap dan dibuka selalu diributkan, oleh masalah hantuhantu,
Ki Gede Pema"nahan dan Raden Sutawijaya tidak
henti-hentinya berusaha agar Tanah Mataram menjadi kian
ramai. Di tempat-tempat yang sudah mulai padat, dibuatnya
pusat-pusat kegiatan yang menyangkut kehidupan orang
banyak. Didirikannya pasar dan banjar-banjar. Hubungan yang
semakin banyak dengan daerah-daerah di sekitarnya.
Namun demikian keprihatinan mereka atas gangguan dari
persoalan-persoalan yang masih merupakan rahasia bagi
Mataram masih belum teratasi. Bagaimanapun juga Raden
Sutawijaya berusaha, tetapi sama sekali belum pernah
ditemuinya apa yang disebut oleh beberapa orang dan bahkan
beberapa petugasnya, sebagai hantu-hantu yang menakutkan.
Apalagi di hari-hari terakhir telah berkembang ceritera
tentang hantu yang hampir tidak berbentuk. Ketika beberapa
orang pe"ronda menjumpai seonggok benda yang kehitamhitaman
pada saat mereka kembali dari rumah Kiai Damar.
"Para pekerja yang membuka hutan, di daerah Utara
berceritera pula tentang hantu serupa itu," berkata seorang
pe"ngawal. "Apa katanya?" "Kini telah berkembang ceritera tentang hantu yang
da"tang dari Gunung Merapi. Salah satu dari mereka
menyebut dirinya bernama Kiai Dandang Wesi."
Pengawal yang lain pun mendengarkannya dengan penuh
minat. Ceritera tentang hantu memang selamanya menarik
bagi mereka, apalagi mereka yang akan bertugas di daerahdaerah
yang se"dang dibuka.
Tetapi ternyata ceritera tentang hantu itu tidak menghambat
perkembangan Tanah Mataram secara keseluruhan. Memang
di beberapa tempat, penebangan hutan benar-benar telah
terhenti, karena mereka yang membuka hutan menjadi
ketakutan. Di beberapa tem"pat yang lain pun menjadi sangat
mundur. Beberapa orang telah memilih tinggal di tempat yang
sudah ramai, meskipun hanya se"kedar menjual tenaga,
karena mereka tidak mempunyai lagi tanah garapan. Sedang
beberapa keluarga yang lain telah kembali ke tempat asal
mereka. Meskipun sebagian dari rencana Ki Gede Pemanahan
masih tetap dapat dilakukan, terutama usahanya menyusun
suatu tempat yang akan dijadikannya pusat pemerintahan dari
daerah yang baru dibuka ini, namun terhambatnya perluasan
tanah garapan yang akan menjadi lumbung bahan mentah itu
membuatnya berprihatin. "Kita harus dapat memecahkan rahasia ini," berkata Raden
Sutawijaya, "selama rahasia ini masih merupakan teka-teki,
maka Tanah Mataram masih belum dapat disebut tenteram."
"Memang masih banyak tantangan yang harus kita hadapi,"
sahut Ki Gede Pemanahan. "Hubunganmu dengan Ayahanda
Baginda Sultan di Pajang masih juga belum dapat disebut
pulih kembali, kini kita di sini sudah menjumpai bermacammacam
persoalan." "Ya, Ayah. Tetapi kita akan berjalan terus."
"Tentu Sutawijaya. Pati sudah pantas disebut sebuah
Kadipaten. Tetapi apa yang pantas kita katakan tentang
Tanah Mataram, Tanah Perdikan, Kadipaten atau sebuah
Kademangan kecil?" "Kita sedang berusaha, Ayah. Dan Ayahanda Sultan
Pajang memang tidak mau memberikan sebutan atau
kedudukan yang pasti bagi Mataram, seperti di daerah-daerah
pesisir Utara." Ki Gede Pemanahan menarik nafas dalam-dalam. "Karena
itu kita harus membentuk diri sendiri. Apa pun yang akan
dikatakan oleh Sultan Pajang atas kita."
Raden Sutawijaya mengangguk-anggukkan kepalanya.
Namun tan"pa sesadarnya ia berkata, "Apakah Ayah tidak
berkeberatan terhadap usaha Untara untuk menyusun suatu
kekuatan di Jati Anom?"
"Kenapa aku berkeberatan" Jati Anom adalah tlatah
Pajang, Untara adalah seorang Senapati Pajang. Apakah
salah"nya?" "Tetapi kekuatan itu seolah-olah telah dihadapkan kepada
kita di Mataram." "Seandainya demikian, itu adalah suatu sikap berhati-hati."
"Tetapi, kenapa tidak terhadap Pati?"
Ki Gede Pemanahan mengerutkan keningnya. Dianggukanggukkanya
kepalanya. Sebenarnya ia menyimpan perasaan
seperti yang terbersit di hati puteranya. Namun Ki Gede
Pemanahan masih menyimpannya. Ia tidak mau tergesa-gesa
mengambil suatu kesimpulan dari sikap Pajang.


03 Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Sutawijaya sebenarnya adalah putera angkat yang tidak
ubahnya dengan puteranya sendiri," berkata Ki Gede
Pemanahan di dalam hati, "namun keragu-raguan Sultan
Pajang membuat Mataram harus bersikap."
"Sutawijaya," berkata Ki Gede Pemanahan kemudian,
"cobalah kau sisihkan perasaan itu sejenak. Pusatkan
perhatianmu pada pembangunan daerah ini. Kalau kita
terlampau berprasangka, maka hambatan dari perkembangan
Tanah Mataram ini akan timbul dari diri kita sendiri."
Sutawijaya mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi
angan-angannya masih saja dibayangi oleh berbagai macam
pertanyaan ten"tang kedua anak-anak muda yang ditemuinya
di Menoreh. Sehingga ia selalu bertanya kepada diri sendiri,
"Bagaimanakah sikap Agung Sedayu dan Swandaru" Apakah
mereka berpihak juga kepada Untara dan menjadikan Sangkal
Putung suatu pusat kekuatan di Jati Anom dan Sangkal
Putung, maka pasukan Pajang akan membayangi Mataram
dari dua arah. Jati Anom akan dapat langsung menyusur
lereng Gunung Merapi dan turun dari arah Utara, sedang
kekuatan yang datang dari Sangkal Putung akan langsung
datang dari arah Timur. Sedangkan kita di sini sama sekali
tidak tahu, bagaimanakah sikap Menoreh yang ada di sebelah
Barat dan Mangir yang ada di sebelah Selatan?"
Meskipun demikian, Sutawijaya sama sekali tidak menjadi
berkecil hati. Ia memang bertekad untuk membuat Alas
Mentaok ini menjadi sebuah negeri yang ramai.
Namun dalam pada itu, selagi masalah-masalah yang
bersangkut paut dengan pihak-pihak di luar Tanah Mataram
masih harus dipecah"kan, timbullah masalah-masalah yang
harus diatasi di dalam tubuh ini. Kekisruhan yang ditimbulkan
oleh berita tentang adanya hantu-hantu yang mengganggu
pembukaan hutan hampir di segala arah. Bah"kan ada
kelompok-kelompok yang telah menghentikan usahanya untuk
memperluas Tanah Mataram dengan tanah garapan baru,
karena mereka tidak tahan lagi menghadapi gangguan hantuhantu
yang agaknya menjadi semakin marah.
Tetapi di saat-saat terakhir timbullah berita tentang hantu
dari Gunung Merapi itu. Seorang pemimpin pengawal Tanah yang baru dibuka itu
menemui Raden Sutawijaya dan berkata, "Hantu dari Gunung
Merapi itu menyebut dirinya bernama Dandang Wesi. Ia
me"ngaku sebagai pemomong Raden Sutawijaya di masa
kecil yang kemudian bertapa dan mrayang dengan raganya.
Tetapi kemudian ia mendapatkan bentuknya yang baru di
dalam dunianya yang baru."
Raden Sutawijaya menjadi bingung. Ia tidak pernah merasa
mempunyai seorang pemomong yang bernama Kiai Dandang
Wesi, sehingga karena itu sejenak ia tidak memberikan
tanggapan apa-apa. "Apakah Raden sudah melupakannya karena sudah
ber"tahun yang lampau?"
Sutawijaya menggeleng, "Tidak. Aku masih ingat. Tetapi
aku sudah tidak dapat mengingat lagi wajahnya."
"Sekarang Kiai Dandang Wesi benar-benar sudah tidak
berbentuk. Hanya seperti seonggok daging yang berwarna
kehitam-hitaman. Namun justru mengerikan sekali. Bahkan
menurut ceritera, bentuk yang demikian itu masih juga mampu
menyerang dari jarak yang jauh."
"Aku ingin menemuinya pada suatu kesempatan," sahut
Sutawijaya. "Kalau salah seorang dari kalian bertemu,
katakan"lah aku ingin berbicara."
"Baiklah. Agaknya hantu yang bernama Kiai Dandang Wesi
itu mempunyai sifat yang agak berbeda dengan hantu-hantu
dari Alas Mentaok ini sendiri. Tetapi mungkin karena hantuhantu
yang selama ini menakut-nakuti itu adalah hantu-hantu
dari tataran yang paling rendah, sehingga sifat-sifat mereka
pun sangat memuakkan. Tetapi Kiai Dandang Wesi bersikap
lain. Ada semacam wibawa yang memancar dari tubuhnya
yang tidak berbentuk itu."
Sutawijaya mengangguk-anggukkan kepalanya. Perlahanlahan
ia berdesis, "Mudah-mudahan hantu yang tidak
berbentuk itu dapat di"ajak bicara."
"Sulit. Hanya orang-orang tertentu sajalah yang dapat
ber"bicara. Di antaranya Kiai Damar."
"Tidak," tiba-tiba seorang pengawal yang lain memotong.
"Ada orang yang pernah bertemu dan langsung dapat
berbicara dengan hantu itu."
Sutawijaya tiba-tiba tersenyum. Katanya, "Memang berita
tentang hantu kadang-kadang menumbuhkan bermacammacam
tafsiran. Te"tapi yang sampai padaku hingga saat ini
selalu menumbuhkan pertanyaan di dalam hatiku, apakah
mereka yang berceritera itu benar-benar pernah melihatnya.
Seseorang mengatakan, bahwa kawan"nya pernah
melihatnya. Tetapi ketika kawannya yang disebutkan itu aku
panggil, ia mengatakan bahwa ia mendengar dari kawan"nya
yang lain. Sampai saat ini aku belum pernah menyaksikan
sendiri apa pun dan bagaimana pun juga bentuk dan bahkan
suara"nya." Para pengawal saling berpandangan sejenak. Namun
mereka yakin bahwa hantu-hantu yang dimaksudkan memang
ada. Seseorang memberanikan diri berkata, "Aku pernah
melihatnya." Sutawijaya mengangguk-anggukkan kepalanya. "Ya. Kau
me"mang pernah mengatakan, bahwa kau sendiri pernah
melihatnya. Bukan sekedar kata orang. Tetapi kau tidak
berhasil membawa aku melihat hantu itu."
Pengawal itu terdiam. "Kita harus segera dapat memecahkan masalahnya," tibatiba
Sutawijaya menggeram. Dalam pada itu, keadaan Swandaru sudah menjadi
berangsur baik. Kekuatannya sudah hampir pulih kembali
sehingga ia sudah tidak memerlukan bantuan apa pun lagi
dari Agung Sedayu atau gurunya.
Dengan demikian, maka Kiai Gringsing beserta kedua
murid"nya itu pun telah siap kembali untuk melakukan
pekerjaan mereka, menebas hutan di bagian yang justru
dijauhi oleh orang-orang lain.
"Apakah kau akan meneruskan kerjamu membersihkan
daerah yang wingit itu?" bertanya seseorang kepada Kiai
Gringsing. Kiai Gringsing menganggukkan kepalanya. Jawabnya, "Ya.
Daerah itulah yang telah diserahkan kepadaku dan anakanakku.
Karena itu, kami harus bekerja kembali di tempat itu."
"Selama ini kau mendapat pengalaman yang pahit. Anakmu
hampir saja menjadi korban. Apakah kau tidak berpikir untuk
mengurungkan saja niat itu?"
"Apakah aku akan mendapat bagian tanah yang lain?"
"Tentu. Kalau kau mengurungkan niatmu, kau dapat
meng"gabungkan diri ke dalam salah satu kelompok yang
sudah ada. Tentu saja dengan persetujuan para petugas di
hutan ini. Tetapi aku kira mereka dapat mengerti kesulitan
yang kau alami." Orang itu berhenti sejenak, lalu, "Tidak ada
orang yang mau menerima bagian itu, meskipun sudah mulai
dikerjakan. Mereka yang sudah menebang pepohonan di
bagian itu, telah meninggalkannya meski pun mereka telah
membuang banyak tenaga."
Kiai Gringsing menarik nafas dalam-dalam. Katanya
kemudian, "Aku tidak dapat melangkah surut. Aku sudah tidak
dapat kembali lagi ke asalku karena semua hak milikku telah
aku jual." "Kau tidak perlu kembali ke asalmu. Kau dapat
mengga"bungkan diri dengan kelompok lain. Atau, kau dapat
pergi ke tempat yang sudah menjadi ramai. Kau dapat
mencari pekerjaan lain di sana."
Tetapi Kiai Gringsing menggeleng, "Aku akan tetap
me"ngerjakan tanah itu. Aku yakin bahwa pada suatu saat,
aku dan anak-anakku tidak akan diganggu lagi. Kami akan
segera berkenalan. Dan kami akan mengatakan bahwa niat
kami adalah baik." Orang itu menarik nafas dalam-dalam. Katanya, "Kau
memang keras hati. Tetapi terserahlah, semua itu tergantung
kepadamu sendiri. Aku sudah mencoba untuk memberimu
peringatan. Orang yang tinggi itu pun akan memperingatkan
kau. Ia merasa bertang"gung jawab atas kita sekalian di sini."
"Siapakah sebenarnya orang itu?"
"Seperti juga aku, kau dan orang-orang lain. Orang itu pun
seorang pendatang. Tetapi karena ia mempunyai beberapa
kele"bihan dari kita masing-masing di sini, maka tanpa
persetujuan resmi, seakan-akan ia menjadi pemimpin kita di
sini." "Ya. Aku pun merasakannya. Dan orang itu pun sudah
ber"tindak sebagai seorang pemimpin. Kalau negeri ini
menjadi ramai, maka ia akan dapat menjadi bebahu dari
pedukuhan-pedukuhan yang akan terbentuk."
"Ya." "Dan yang kekurus-kurusan itu?" bertanya Kiai Gringsing
pula. "Orang itu termasuk orang yang cerdik. Ia mempunyai
banyak akal dan pendapat. Karena itu, ia segera mendapat
tempat yang baik di samping orang yang tinggi kekar itu."
Kiai Gringsing mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi
ia tidak bertanya lagi. Ia sudah mengerti bahwa orang yang
tinggi kekar itu mempunyai beberapa kelebihan dan orang
yang kekurus-kurusan itu adalah orang yang cerdik meskipun
licik. Tetapi dari orang-orang yang sudah lama berada di
tempat itu, ia sama sekali tidak berhasil mendapat keterangan
lebih banyak daripada itu.
"Aku harus mendapatkan sumber yang lain untuk
mengetahui latar belakang dari perbuatan-perbuatan mereka
yang aneh itu," berkata Kiai Gringsing di dalam hatinya.
Sementara itu, Swandaru sudah benar-benar pulih kembali.
Kepada para petugas Kiai Gringsing berkata, "Besok aku akan
melan"jutkan kerja yang selama ini terhenti, bersama dengan
anak-anakku." "Apakah anakmu yang sakit itu sudah benar-benar sehat?"
bertanya Wanakerti. "Sudah, Tuan. Ia sudah pulih kembali."
Wanakerti mengangguk-anggukkan kepalanya. Namun
kemudian ia bertanya, "Apakah kau tidak mempunyai pikiran
lain?" "Maksud, Tuan?"
"Misalnya, mencari tanah garapan baru yang tidak
ber"bahaya bagimu dan anak-anakmu."
Kiai Gringsing menarik nafas. Jawabnya, "Aku akan
ber"hati-hati, Tuan. Aku dan anak-anakku sudah mulai.
Sebaiknya kami melanjutkannya."
"Bagaimana dengan sakit anakmu?"
"Ia sudah sembuh."
"Bukan itu. Tetapi apakah kau sudah memikirkan sebab
dari penyakit anakmu itu?"
"Seandainya benar anakku telah dikutuk oleh hantu-hantu,
maka kini ia pasti sudah mendapat pengampunan, ternyata
bahwa ia telah sembuh."
"Tetapi kalau kau mengulangi kesalahanmu yang lama?"
"Aku tidak yakin, bahwa hal itulah yang dianggap sebagai
suatu kesalahan." Wanakerti mengangguk-anggukkan kepalanya. Kemudian
ia pun berkata, "Terserahlah kepadamu."
Para petugas yang lain pun telah berusaha mencegah Kiai
Gringsing agar ia memilih tanah garapan yang baru. Salah
se"orang dari mereka berkata, "Apakah kami tidak
dipersalahkan orang, kalau terjadi sesuatu atas kalian?"
"Kenapa?" bertanya Kiai Gringsing.
"Tanah itu adalah tanah yang wingit. Seolah-olah kami
memang telah menjerumuskan kalian ke tempat itu."
Kiai Gringsing menggelengkan kepalanya, "Tidak. Itu
ada"lah tanggung jawab kami sendiri."
"Tetapi bagi mereka yang tidak mengetahui persoalan ini
pasti akan menyangka bahwa kami adalah orang-orang yang
tidak berperikemanusiaan. Kami pasti dipersalahkan,
seandainya kami tidak dianggap menjerumuskan kalian,
kenapa kami tidak mencegahnya?"
"Terima kasih. Tetapi justru karena semuanya itulah Tuan,
maka tanah itu sangat menarik bagi kami. Kami akan
mengerja"kannya dengan sebaik-baiknya, apa pun
akibatnya." Para petugas itu hanya saling berpandangan sejenak.
Tetapi masih ada di antara mereka yang merasa menyesal,
bahwa mereka telah menempatkan orang tua itu bersama
kedua anaknya di tempat yang paling wingit.
Tetapi Kiai Gringsing masih berkata, "Tuan, seandainya
masih ada gangguan-gangguan atas kami yang bekerja di
daerah ini, maka kami sekarang sudah mempunyai kawan
yang mempunyai kekua"saan yang serupa dengan mereka."
"Siapa?" "Mereka yang datang dari Gunung Merapi itu. Salah satu
dari mereka bernama Kiai Dandang Wesi."
Para petugas itu mengerutkan keningnya, kemudian hampir
bersamaan mereka mengangguk-anggukkan kepala mereka.
"Kami sudah mendengar pula ceritera tentang Kiai
Dan"dang Wesi. Tetapi kami masih belum dapat meyakinkan
seperti kami meyakini adanya hantu-hantu dari Alas Mentaok
ini sendiri." "Aku sendiri pernah melihat," sahut Agung Sedayu, "Kiai
Dandang Wesi ada di pihak kami. Menurut Kiai Dandang
Wesi, semua yang kasat mata manusia, memang
diperuntukkan bagi manusia wadag seperti kita, karena kita
memang tidak tahu dan tidak melihat mereka, sehingga
karena itu, yang adil, mereka"lah yang menyesuaikan diri
mereka. Bukan kita."
Para penjaga itu mengangguk-angguk. Wanakerti-lah yang
kemudian berkata, "Kalau kau memang sudah yakin,
terserahlah. Kami berdoa, mudah-mudahan kalian tidak
mendapat gangguan apa pun juga."
"Terima kasih."
Demikianlah, maka Kiai Gringsing dan kedua muridnya pun
segera mulai mengerjakan tanah garapan mereka kembali.
Setelah sekian lama mereka tinggalkan, maka alang-alang
yang sudah diber"sihkannya tampak mulai tumbuh kembali di
beberapa bagian.

03 Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Kemarilah," desis Kiai Gringsing kepada kedua murid"nya.
Kedua muridnya pun segera mendekat.
"Kalian memang harus berhati-hati. Kita tidak tahu pasti,
siapakah sebenarnya yang kita hadapi. Bukan karena kita
me"nolak suatu kepercayaan tentang hantu-hantu yang
mungkin ada, te"tapi kita pun harus memperhitungkan
kenyataan yang selama ini terjadi atas kita."
"Maksud Guru?" "Ternyata kita berada di dalam lingkungan orang-orang
yang mengerti benar tentang racun. Agaknya di sini racun
merupa"kan senjata yang paling baik untuk segala macam
tujuan, Swandaru yang pernah mengalaminya. Ketika
seseorang di sini men"dekapnya dengan ketakutan, dan
seolah-olah orang itu terluka pa"rah, agaknya orang itu sudah
menyentuh tubuh Swandaru dengan duri-duri beracun."
"Ya, bagaimanakah sebenarnya dengan orang itu" Dan
kemanakah ia pergi" Apakah benar-benar ia hilang seperti
yang kita sangka?" "Orang itu sama sekali tidak apa-apa. Tidak terluka dan
tidak ketakutan. Itu adalah suatu cara agar ia dapat
menyentuh salah seorang dari kita."
"Lalu?" "Ia pun tidak hilang dibawa hantu yang mana pun juga.
Orang itu telah pergi sendiri selagi kita sibuk mencari sumber
bunyi yang telah mengejutkan kita itu."
Kedua muridnya mengangguk-anggukkan kepalanya.
"Tetapi darah itu?" bertanya Swandaru.
"Aku sudah meyakinkannya, bahwa yang serupa dengan
darah itu sama sekali bukan darah."
Agung Sedayu dan Swandaru mengangguk-anggukkan
kepala me"reka. "Kemudian, kita singgah ke rumah dukun itu. Ia mengerti
tentang racun dengan baik. Obat yang diberikannya dan yang
kemudian aku bawa kepada dukun yang lain yang ternyata
ber"nama Kiai Damar, memang obat pemunah racun." Kiai
Gringsing terdiam sejenak, lalu, "Dan ternyata pula orangorang
yang me"mahami tentang racun. Air yang diberikan
kepada Swaudaru ketika kau tinggalkan, ternyata berisi racun
yang telah diperhitung"kan dengan tepat."
Kedua murid-muridnya masih mengangguk-anggukkan
kepala. "Jadi, hati-hatilah. Jangan mudah dijebak lagi dengan cara
apa pun. Aku yakin bahwa semua itu sama sekali bukan
per"buatan hantu-hantu."
"Tetapi bagaimana dengan suara gemerincing di malam
hari itu?" "Kita masih harus meyakinkan. Tetapi setiap orang dapat
berbuat serupa itu."
"Dan sinar yang berkeredipan?" bertanya Agung Sedayu.
"Memang masih banyak hal-hal yang harus kita ketahui,
Agung Sedayu. Seandainya benar ada hantu di Alas Mentaok,
namun ada juga orang-orang yang telah memanfaatkannya
untuk ke"pentingan diri mereka sendiri."
"Apakah tujuan mereka, Guru?"
Kiai Gringsing menggelengkan kepalanya, "Aku tidak tahu
dengan pasti. Kita masih berhadapan dengan rahasia yang
besar seperti rahasia yang tersimpan di dalam Alas Mentaok
ini sen"diri." Demikianlah, maka Kiai Gringsing dan kedua muridnya
be"kerja dengan hati-hati. Mereka menyadari bahwa di sekitar
mereka terdapat beberapa orang yang sedang bermain-main
dengan segala macam cara. Dan yang paling berbahaya
adalah racun. Karena itulah, maka diam-diam Kiai Gringsing telah
membuat obat-obat yang dapat menahan serangan racun
untuk sementara. Ke"dua muridnya itu pun telah diberinya
butiran-butiran itu untuk selalu di"bawa kemana mereka pergi.
Kalau mereka merasa diri mereka tersentuh racun itu tidak
berkembang di dalam tubuhnya, mereka harus makan obat itu,
sebutir. Di hari yang pertama, Kiai Gringsing dan kedua muridnya
hanyalah sekedar melihat-lihat tanah garapan yang telah
ditinggal"kan untuk beberapa lama. Namun justru mereka
menjadi semakin bernafsu untuk melakukan kerja itu, agar
mereka dapat membuk"tikan, bahwa tanah ini memang dapat
dibuka untuk dijadikan tanah garapan.
Namun kerja yang dimulainya kembali itu telah membuat
beberapa orang menjadi tidak senang karenanya. Terutama
orang yang tinggi kekar dan yang kekurus-kurusan.
Ketika Kiai Gringsing dan kedua anak-anaknya kembali dari
tanah garapannya, maka orang yang tinggi itu
mendapatkannya sambil bertolak pinggang, "Kau memang
ingin membuat keri"butan di sini, he?"
"Kenapa?" bertanya Kiai Gringsing.
"Kau mulai lagi kerja itu meskipun semua pihak sudah
mencoba mencegahnya. Bahkan para petugas."
"Aku sudah memberikan alasanku. Dan para petugas itu
akhirnya menyerahkan segala tanggung jawab kepadaku."
"Tetapi itu tidak mungkin. Kau di sini tidak berdiri sen"diri.
Kau merupakan bagian dari kami semua yang ada di sini."
"Berilah kami kesempatan. Kami akan mencoba untuk
me"lakukan kerja yang mungkin akan bermanfaat bagi kita.
Kalau aku berhasil maka tanah garapan yang terbuka akan
menjadi semakin luas. Kelompok-kelompok dapat membagi
diri untuk mengerjakan tanah yang lebih luas."
"Gila. Aku tidak setuju dengan pikiran itu. Sudah aku
katakan berapa puluh kali, bahwa akibat yang timbul dari
sifat"mu yang keras kepala itu akan menimpa kita semua."
"Aku akan mempertanggung jawabkan sendiri. Biar
saja"lah seandainya anakku atau aku sendiri menjadi banten.
Tetapi aku benar-benar berniat baik," suara Kiai Gringsing
menurun. "Sebenarnya kalian pun jangan takut. Kiai Dandang
Wesi selalu akan berada di pihak kita. Aku sudah bertemu
dengan hantu yang bernama Kiai Dandang Wesi itu."
"Bohong!" "Percayalah. Ia akan menjaga aku di tempat kerjaku itu.
Tanah garapan itu sekarang sama sekali sudah tidak wingit
lagi, justru karena ada penghuninya yang baru."
"Persetan. Tetapi kalau terjadi bencana atas kita sekalian,
kaulah yang akan menjadi sasaran kemarahan orang-orang
yang berada di dalam barak ini."
Kiai Gringsing tidak menjawab. Tetapi ancaman itu pasti
bukan sekedar main-main. Orang-orang yang tinggi itu pasti
akan beru"saha menghasut orang-orang di dalam barak ini
agar mereka berbuat sesuatu terhadap mereka.
Kiai Gringsing hanya dapat memandangi saja ketika orang
yang tinggi kekar itu meninggalkannya, sambil bersungutsungut.
"Apakah pada suatu saat kita akan berbuat sesuatu
atasnya?" bertanya Swandaru yang hampir kehilangan
kesabaran. "Biar sajalah. Kita akan melihat, apa saja yang akan
di"lakukannya."
Swandaru mengangguk-anggukkan kepalanya. Namun
tampak dari sorot matanya bahwa kebencian yang dalam
terhadap orang yang tinggi itu hampir-hampir sudah tidak
tertahankan lagi. Ketika pinggiran hutan itu menjadi kelam, maka orangorang
yang tinggal di dalam barak itu pun sudah menempati
tempatnya masing-masing. Selain badan yang lelah, mereka
juga selalu dibayangi oleh ketakutan dan kecemasan.
Seseorang yang masih muda berbaring beberapa jengkal
dari Swandaru yang masih duduk bersandar dinding. Sekalisekali
ia mengerutkan keningnya, kalau angan-angannya
menyentuh orang yang tinggi kekar itu.
"Apakah kalian sama sekali tidak mengenal takut dan
cemas," tiba-tiba orang yang masih muda itu bertanya.
Swandaru berpaling ke arahnya. Tetapi ia tidak segera
menyahut. Ditatapnya wajah gurunya sejenak, seolah-olah ia
ingin mendapat pertimbangan daripadanya.
Tetapi ternyata Kiai Gringsing tidak sedang
memperhatikannya. Orang tua itu duduk pula sambil
memejamkan matanya di samping Agung Sedayu yang
sedang memijit-mijit kakinya.
"Begitu?" orang itu mendesak.
Swandaru yang agak bingung itu menggelengkan
kepalanya, "Tentu tidak. Kami juga mengenal takut."
"Tetapi kenapa kalian teruskan pekerjaan itu?"
"Kami mempunyai pelindung, hantu dari Gunung Merapi
itu." Orang itu terdiam sejenak. Dipandanginya anyaman ilalang
yang mengatapi barak bambu itu.
"Kau sendiri?" Swandaru yang bertanya.
Orang itu menggeleng, "Isteri dan seorang anakku berada
di barak yang lain. Tempat menampung perempuan dan anakanak
itu." Swandaru mengangguk-anggukkan kepalanya.
"Aku dahulu membayangkan, bahwa aku akan mendapat
sebidang tanah garapan yang hijau. Sebuah rumah yang
mungil, dengan pekarangan yang ditanami dengan pohon
buah-buahan. Di"batasi oleh sebuah pagar batu setinggi
dada. Regol yang rendah dan berdaun pintu," gumam orang
itu. "Pada saatnya akan kau dapatkan."
"Ya. Tetapi kapan" Kami bekerja di dalam kelompokkelompok.
Hasil yang kami dapatkan sebenarnya terlampau
kecil bagi kami sekelompok."
"Tetapi kelompok itu akan mengerjakan tanah garapan
yang lain, sehingga kalian akan mendapatkan bagian yang
lain pula." "Tetapi kami selalu dibayangi oleh ketakutan."
"Kelompok-kelompok itu bukan sekedar untuk mengatasi
ketakut"an. Bukankah kalian tidak akan dapat bekerja sendirisendiri
meng"hadapi tantangan hutan yang begitu lebat"
Pohon-pohon yang tinggi dan besar. Gerumbul-gerumbul yang
penuh dengan tanaman-tanaman menjalar dan berduri?"
Orang itu mengangguk-angguk. Tetapi ia tidak berkata
sesuatu. Matanya kembali menatap atap yang terbuat dari
anyaman ilalang. Swandaru pun kemudian terdiam. Ia melihat kekecewaan
membayang di wajah orang yang berbaring itu.
"Kenyataan yang dihadapinya, jauh dari gambaran yang
diangan-angankannya sebelumnya," desis Swandaru di dalam
hatinya. Dan tiba-tiba saja ia ingin mendapat beberapa keterangan
lagi, sehingga Swandaru itu bertanya, "Apakah sejak kau
datang ke tempat ini, orang-orang di sini juga sudah dibayangi
oleh ketakutan?" Tetapi yang menjawab adalah orang lain yang berbaring di
sampingnya, "Tidak. Tidak seperti sekarang ini."
Swandaru mengangguk-anggukkan kepalanya, sedang Kiai
Gringsing yang memejamkan matanya pun kemudian
terbelalak sambil mengerutkan keningnya. Namun sejenak
kemudian mata itu pun telah terpejam pula.
"Bagaimanakah keadaan di daerah ini dahulu?" berta"nya
Swandaru pula. "Kami bekerja dengan tenang. Daerah yang sudah dapat
dijadikan pedukuhan itu pun menjadi kian ramai. Namun pada
suatu saat mulailah wabah itu."
"Wabah?" "Wabah ketakutan. Perlahan-lahana tetapi pasti telah
men"cengkam kami seluruhnya. Mereka yang memasuki
daerah yang semakin dalam harus menarik diri dan
mengurungkan niatnya, sehingga apa yang kami kerjakan kini
sangat terbatas. Sebagian orang-orang yang bekerja di sini
telah pergi. Ada yang semakin memenuhi tempat-tempat yang
telah ramai itu, tetapi ada juga yang sama sekali
mengurungkan niatnya untuk tinggal di daerah Tanah
Mataram ini." Swandaru mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi ia
sudah tidak bertanya lagi. Ruangan di dalam barak itu
semakin lama menjadi semakin sepi. Sebagian dari mereka
yang berbaring di dalamnya sudah tertidur dengan
nyenyaknya, sedang sebagian yang lain menyelimuti dirinya
dengan kainnya sampai menutup kepalanya.
Swandaru dan Agung Sedayu pun kemudian berbaring
pula, sedang Kiai Gringsing tidur sambil duduk bersandar
dinding tepat di sudut barak.
Beberapa orang yang belum tertidur berpaling serentak
ke"tika mereka mendengar seseorang mendehem di muka
pintu. Ter"nyata orang yang bertubuh kekar itulah yang baru
melangkahi tlundak pintu. Sejenak ia menebarkan tatapan
matanya berke"liling. Kemudian ia pun berbaring pula di
depan pintu yang masih separo terbuka.
Agung Sedayu, Swandaru, dan gurunya melihat juga orang
itu masuk ruangan. Sejenak mereka saling berpandangan.
Na"mun mereka pun kemudian tidak menghiraukannya lagi.
Demikianlah maka malam pun menjadi semakin malam.
Se"bagian besar dari mereka yang berbaring di dalam barak
itu telah tertidur. Beberapa orang bahkan telah mendekur,
seolah-olah me"reka sama sekali tidak sedang diganggu oleh
kecemasan dan ketakutan. Di luar barak, suara cengkerik masih terdengar berderik
ber"kepanjangan sahut menyahut. Angin malam yang dingin
ber"hembus di sela-sela dedaunan yang basah oleh embun.
Agung Sedayu dan Swandaru pun telah memejamkan
mata"nya. Antara sadar dan tidak sadar mereka masih
mendengar se"kali-sekali suara burung tuhu di kejauhan.
Tetapi selagi keheningan malam mencengkam barak yang
sudah mulai lelap itu, beberapa orang telah dikejutkan oleh
suara yang aneh. Seperti suara bayi yang merengek, namun
kemudian berubah seperti suara kucing yang melolong-lolong.
Semakin lama se"makin keras mendekati barak yang dengan
tiba-tiba telah dicengkam oleh ketakutan yang dahsyat.
Semua orang yang ada di dalam dan apalagi di serambi
ba"rak, telah menutup telinga mereka dengan telapak tangan.
Menutup seluruh tubuh dengan selimut mereka.
Tetapi berbeda dengan mereka itu, Kiai Gringsing justru
mencoba mendengarkan suara itu dengan saksama. Agung
Se"rayu dan Swandaru pun telah terbangun dan sadar
sepenuhnya atas apa yang didengarnya. Tetapi ketika mereka


03 Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

akan bangkit, Kiai Gringsing memberikan isyarat agar mereka
tetap berbaring di tempatnya.
Suara itu semakin lama menjadi semakin jelas terdengar.
Namun pada suatu saat, sumber bunyi itu sudah tidak menjadi
semakin dekat, tetapi justru berputar-putar mengelilingi barak
itu. Belum lagi ketakutan yang mencengkam itu mereda, seisi
barak itu telah dikejutkan oleh suara beberapa benda yang
jatuh di atas atap barak itu, yang kemudian berguling jatuh di
tanah di sekitarnya. Agaknya barak itu telah dilempari dengan
batu meskipun tidak terlampau besar. Bahkan batu-batu yang
terjatuh di anyaman ilalang yang kurang kuat, telah
menembus atap dan jatuh ke dalam barak.
Tiga buah batu telah jatuh ke dalam barak menimpa orang
yang sedang berbaring ketakutan. Untunglah batu-batu itu
tidak terlampau besar, sehingga meskipun terasa juga sakit,
namun sama sekali tidak berbahaya.
Kiai Gringsing hanya dapat menarik nafas dalam-dalam.
Orang yang bertubuh, kekar itu berbaring di depan pintu.
Seandainya tidak, ia akan, dapat berbuat sesuatu.
Lemparan-lemparan batu itu merupakan sesuatu yang baru
bagi ba"rak itu. Biasanya seisi barak itu hanya ditakutkan oleh
bunyi yang asing bagi mereka. Satu dua orang memang
pernah melihat bentuk dan ujud yang mengerikan di dalam
gelap. Tetapi belum pernah terjadi, barak mereka dilempari
dengan batu-batu. Sejenak kemudian maka suara yang mengitari barak itu
pun menjadi semakin lama semakin jauh. Di saat-saat terakhir
suara itu telah berubah lagi menjadi bunyi-bunyi yang belum
pernah didengar. Tinggi melengking-lengking kemudian turun
merendah dan akhirnya hilang sama sekali.
Beberapa saat lamanya tidak seorang pun yang berani
ber"gerak. Yang berkerudung kain panjang, masih tetap
berkerudung kain. Yang menutup telinganya dengan telapak
tangannya, masih juga menutup telinganya. Bahkan yang
tertimpa batu pun sama sekali tidak berani beringsut dari
tempatnya. Meski pun terasa juga sakit, namun menyeringai
pun mereka tidak berani. Baru, ketika orang-orang di dalam barak itu yakin, bahwa
suara itu sudah lenyap, mereka berani beringsut sedikit untuk
menarik nafas dalam-dalam.
Yang pertama-tama bangkit perlahan-lahan adalah orang
yang tinggi kekar itu. Ditebarkannya pandangan matanya ke
sekelilingnya. Ketika ia melihat Kiai Gringsing bersandar
dinding ia me"ngerutkan keningnya, "Sejak tadi kau bersandar
dinding?" Kiai Gringsing mengangguk, "Ya, sejak tadi."
Orang yang tinggi kekar itu memandangnya dengan, kerut
kening yang tegang. Dengan sorot mata yang aneh ia pun
ke"mudian berdiri dan berjalan selangkah demi selangkah
mendekati Kiai Gringsing.
"Kenapa kau tetap duduk saja di tempatmu" Kau sudah
menghina hantu-hantu itu. Itulah agaknya mereka menjadi
marah dan melempari barak ini dengan batu?"
"Kenapa aku telah menghina mereka?"
"Kau terlampau sombong. Kau bersikap menantang."
"Tidak. Aku sama sekali tidak bersikap menantang. Kau
melihat sendiri, bahwa sejak sore aku tidur sambil bersandar
dinding karena tikar kami telah dipenuhi oleh kedua anakanakku."
"Kenapa kau pertahankan sikap itu?"
"Bukan maksudku. Ketika aku terbangun karena suarasuara
itu, aku menjadi seakan-akan membeku. Aku tidak
dapat meng"gerakkan ujung jariku, apalagi tubuhku.
Sebenarnya aku ingin menjatuhkan diri di antara anak-anakku.
Tetapi aku tidak dapat ber"gerak sama sekali."
Orang yang tinggi kekar itu mengerutkan keningnya.
Di"lihatnya beberapa orang telah bangkit dan duduk di tempat
masing-masing. Orang yang terkena batu pun telah berani
mengusap bagian tubuh mereka yang masih terasa sakit.
Bahkan salah se"orang dari mereka, telah terkena kepalanya.
"O, kita sudah berbuat banyak sekali kesalahan," terdengar
suara di muka pintu. Ketika orang-orang yang ada di dalam
barak itu berpaling, dilihatnya orang yang kekurus-kurusan itu
ber"diri gemetar. "Di mana kau selama ini?" bertanya salah seorang.
"Aku hampir mati membeku."
"Di mana kau, he?" orang yang tinggi kekar itu membentak.
"Aku berada di luar. Aku tidak dapat menahan lagi untuk
membuang air. Tetapi di halaman yang terlindung itu, aku
men"jadi seperti orang lumpuh. Aku terduduk tanpa dapat
bergerak sama sekali."
"Lalu?" "Aku melihat hantu itu lewat."
"O," hampir bersamaan beberapa orang berdesis.
"Benar-benar mengerikan. Kali ini yang lewat tidak hanya
se"sosok hantu, tetapi tiga."
"Tiga?" serentak terdengar beberapa pertanyaan.
"Ya, tiga." "Dalam bentuk apa saja?"
"Yang sesosok tinggi. Yang dua tidak begitu tinggi. Hampir
setinggi manusia biasa. Tetapi aku tidak berani me"natap
wajah mereka yang mengerikan itu. Merah dan bergigi
panjang. Selebihnya aku tidak tahu. Tetapi yang pasti salah
se"orang dari mereka berambut ular dan yang satu lagi
berkepala tengkorak."
"Mengerikan sekali."
"Aku hampir pingsan karenanya. Hantu itu lewat bebe"rapa
langkah di dekatku. Satu di antara mereka berhenti. Tetapi
kemudian aku ditinggalkannya."
(***) Buku 54 "APAKAH kau melihat hantu-hantu itu melempari barak ini
dengan batu?" "He" orang yang kekurus-kurusan itu justru terperanjat,
bahkan ia bertanya, "apakah rumah ini dilempari dengan
batu?" "Ya. Tepat pada saat suara hantu-hantu itu mengitari barak
ini." "Bodoh kau," orang yang tinggi kekar itu berteriak, "hantuhantu
tidak perlu melemparkan batu-batu itu dengan
tangannya seperti kita manusia yang kerdil ini. Hantu-hantu
hanya cukup ber"niat untuk melakukan dan batu-batu itu akan
terbang sendiri mengenai sasarannya."
"O," orang-orang yang mendengar mengangguk-anggukkan
kepalanya. "Kalau begitu, hantu-hantu itu tidak marah karena orang tua
yang bersandar dinding ini, tetapi karena kau yang berani
berada di luar rumah ketika mereka lewat."
"Kalau mereka marah kepadaku, mereka dapat berbuat apa
saja seketika itu. Mereka dapat membakar aku dengan sinar
matanya yang menyala seperti api. Atau mematuk tubuhku
dengan belaian rambutnya yang terdiri dari ular-ular yang
hidup. Atau dengan cara apa pun yang sangat mudah mereka
lakukan." Orang yang tinggi kekar itu mengangguk-anggukkan
kepalanya. Ia tampak merenung sejenak. Lalu tiba-tiba
dipandanginya Kiai Gringsing dengan tatapan mata yang
tajam. Selangkah demi alangkah ia mendekat. Sambil
menunjuk wajah orang tua ia berkata, "Kau, kau sumber dari
bencana ini." Perlahan-lahan Kiai Gringsing bergeser. Tetapi ia masih
tetap duduk di tempatnya.
"Kau adalah sumber dari semua bencana yang akan
me"nimpa kita kelak. Kali ini lemparan-lemparan batu. Lain
kali apa lagi. Mungkin hantu-hantu itu akan menyebar racun
dan membunuh kita semuanya."
Kiai Gringsing masih tetap duduk di tempatnya. Tetapi ia
masih belum menjawab. "He, orang yang sombong. Hantu itu marah bukan karena
kau telah menghinanya pada saat mereka lewat. Tetapi
mereka pasti marah dan mendendammu karena kau tetap
pada pendiri"anmu, menebas hutan terlarang itu. Sekarang
kau melihat sendiri akibat apakah yang sudah terjadi atas kita
di sini." Kiai Gringsing masih tetap duduk di tempatnya. Meski pun
ia mengangguk-anggukkan kepalanya, tetapi wajahnya sama
sekali tidak menunjukkan perubahan apa pun juga.
"Dengar hai orang yang keras kepala. Sekarang, di
hadapan orang-orang yang ada di dalam barak ini kau harus
berjanji, bahwa kau akan menghentikan pekerjaanmu yang
bodoh itu." Kiai Gringsing masih belum menjawab.
"Kenapa kau diam saja, he" Apakah aku harus
memaksamu untuk berbicara dan menyanggupi kehendak
kami untuk ke"pentingan kita semua di sini" Kami berjanji
bahwa kau akan mendapat bagian pada salah satu kelompok
yang ada di sini, sehingga kau tidak perlu cemas memandang
ke hari depanmu, hari depan anak-anakmu yang masih
panjang. Kau mengerti" Kau mengerti, he?"
Kiai Gringsing tidak segera menyahut, ia sendiri menjadi
bimbang karenanya. Bukan keragu-raguan apakah ia akan
melan"jutkan kerjanya atau tidak. Tetapi ia ragu-ragu,
bagaimanakah sebaiknya menghadapi orang yang tinggi kekar
ini. "He, kenapa kau tidak menjawab?"
"Tenanglah," berkata Kiai Gringsing, "aku ingin men"dapat
kesempatan untuk menjelaskan."
"Kau hanya dapat menjawab dengan satu kata, "ya". Tidak
ada jawaban lain yang dapat kau sebutkan."
"Tunggu dulu." "Tutup mulutmu. Aku tidak mau mendengar kata-kata lain."
Kiai Gringsing menarik nafas. Tetapi ia diam saja.
"Ayo jawab." Kiai Gringsing tidak menyahut.
"Apa kau bisu, he?"
"Apakah kau mau mendengarkan jawabku?" bertanya Kiai
Gringsing kemudian. "Kau tinggal mengucapkan "ya"."
"Kau atau aku yang harus menjawab. Kalau kau sendiri
yang akan menjawabnya, jawablah. Tetapi kalau aku yang
harus menjawab pertanyaanmu, maka kau harus mau
mendengarkannya." Wajah orang itu menjadi merah. Hampir saja ia kehilangan
kesabaran. Namun seperti biasanya orang-orang lain selalu
berusaha menahannya. "Jangan. Jangan terlampau cepat marah. Sebaiknya
dengar apa yang akan dikatakannya," berkata seseorang yang
sudah berambut putih. "Ia sombong sekali," geram orang yang tinggi itu.
Kini beberapa orang telah berdiri dan mengerumuni orang
yang berdiri di hadapan Kiai Gringsing yang sudah berdiri
Pendekar Budiman Hwa I Eng-hiong 7 Pendekar Mabuk 064 Geger Di Selat Bantai Robinson Crusoe 3

Cari Blog Ini