03 Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintardja Bagian 6
pergelangan tangannya. Orang yang tinggi kekar itu pun tidak sabar lagi. Dengan
satu loncatan yang panjang ia menyerang, menyusup di
bawah putaran cambuk Swandaru. Namun, meskipun sudah
agak lama Swandaru tidak mempergunakan cambuknya, ia
masih tetap cukup lincah menguasai senjatanya. Ketika
sebuah ledakan melengking, maka terdengarlah keluhan
tertahan. Orang yang ting"gi besar itu dengan serta-merta
meloncat surut. Sebuah goresan yang kemerah-merahan telah
melekat di kakinya. "Setan alas!" ia mengumpat. Ketika ia melangkah ma"ju,
ternyata kakinya menjadi timpang.
Swandaru tidak membiarkannya lagi. Ia pun segera
men"desak. Yang menjadi pusat perhatiannya adalah
sepasang pisau beracun itu. Karena itu, maka dengan tiba-tiba
ia pun menyerang. Sekali lagi cambuknya meledak. Kali ini
mengenai pergelangan tangan orang yang tinggi kekar itu.
Sekali lagi sebuah keluhan terdengar. Bahkan kemudian
disusul dengan umpatan yang kasar. Bukan saja pengelangan
ta"ngannya berdarah, tetapi satu pisaunya telah terlepas dari
ta"ngannya. "Hem," orang yang kekurus-kurusan berdesah, "orang ini
memang luar biasa. Minggirlah," katanya kemudian kepada
orang yang tinggi itu, "aku akan mencobanya."
Kiai Gringsing sama sekali tidak terkejut mendengar katakata
orang yang kekurus-kurusan. Ia memang sudah
menyangka, bah"wa orang yang tampaknya sebagai seorang
penakut itu, pasti mempunyai kelebihan dari orang yang tinggi
kekar, yang tam"paknya sehari-hari adalah orang yang tidak
terkalahkan di barak itu. Bahkan para penjaga pun takut
kepadanya, karena ia memi"liki kekuatan raksasa. Namun,
meskipun orang yang kekurus-kurusan ini agaknya tidak
memiliki kekuatan jasmaniah sebesar orang yang tinggi kekar
itu, tetapi agaknya orang ini memiliki ilmu yang lebih masak.
Selain Kiai Gringsing, maka orang-orang yang
menyaksikan per"kelahian itu menjadi heran. Mereka sama
sekali tidak menyang"ka, bahwa orang yang kekurus-kurusan
itu pada suatu saat dapat berbuat seperti itu seolah-olah
memiliki kemampuan lebih besar dari orang yang tinggi dan
kekar itu. Namun para petugas yang ada di tempat itu pun segera
da"pat mengetahui, bahwa sebenarnya orang yang kekuruskurusan
itu memang mempunyai kelebihan dari orang yang
tinggi kekar itu. Swandaru yang masih memegang cambuknya berdiri
ter"mangu di tempatnya. Ia melihat orang yang tinggi kekar itu
masih menyeringai menahan sakit.
"Simpan pisaumu," berkata orang yang kekurus-kurusan
itu. "Jangan sampai pisaumu menyentuh lukamu sendiri. Kau
akan segera mati karenanya."
Orang yang tinggi kekar itu mengangguk-anggukkan
kepalanya. Segera ia menyarungkan pisau yang masih di
genggamnya. "Ambil yang satu," berkata Swandaru. "Kalau mengenai
anak-anak yang sedang bermain-main, maka kau akan
berdosa se"puluh kali lipat."
Yang terdengar adalah gemeretak gigi orang yang tinggi
kekar itu. Namun yang berkata adalah orang yang kekuruskurusan.
"Jangan marah. Sepantasnya kau memang hanya
menakut-nakuti anak-anak. Tetapi kalau kau bertemu dengan
lawan yang agak kuat, kau tidak dapat berbuat apa-apa."
Orang itu sama sekali tidak menjawab. Setapak demi
setapak ia melangkah mendekati pisaunya.
"Ambil," berkata Swandaru.
"Ya, ambil," ulang orang yang kekurus-kurusan.
Orang itu ragu-ragu sejenak. Tanpa sesadarnya diamatamatinya
pergelangan tangannya yang terluka dan menitikkan
darah. "Cepat ambil," desis Swandaru pula.
"Ya, cepat ambil," ulang orang yang kekurus-kurusan.
Meskipun dengan hati yang bimbang, namun tangannya
dijulurkannya pula meraih pisau yang tergolek di tanah itu.
Namun ia terloncat surut ketika tiba-tiba saja ia dikejutkan
oleh cambuk Swandaru yang meledak. Dengan wajah yang
te"gang ia berdiri termangu-mangu. Tangannya yang
berdarah itu pun menjadi gemetar.
"He, kenapa kau?" bertanya Swandaru sambil tersenyum.
"Gila," geram orang yang kekurus-kurusan, "ambillah.
Kenapa kau tiba-tiba menjadi pengecut?"
Orang itu masih berdiri gemetar. Sejenak ditatapnya
wa"jah Swandaru, kemudian wajah orang yang kekuruskurusan
itu. "Ambillah!" teriak orang yang kekurus-kurusan itu. "Ka"lau
orang itu akan mengganggumu, biarlah aku putuskan batang
lehernya." Swandaru mengerutkan keningnya. Sementara Agung
Sedayu menggeleng-gelengkan kepalanya melihat tingkah
laku adik se"perguruannya.
"Anak itu memang bengal," berkata Agung Sedayu di dalam
hatinya. Namun sementara itu, ia melihat bahwa orang yang
kekurus-kurusan itu benar-benar merasa terhina oleh
perbuatan Swandaru. "Orang yang kekurus-kurusan ini agaknya lebih berbahaya
dari kawannya yang tinggi kekar namun seperti kerbau itu,"
berkata Agung Sedayu di dalam hatinya.
Sementara itu, orang yang tinggi kekar itu pun telah
me"langkah maju dengan penuh keragu-raguan. Sekali-sekali
ditatapnya wa"jah kawannya yang kekurus-kurusan itu,
kemudian ditatapnya pula wajah Swandaru.
"Cepat," berkata orang yang kekurus-kurusan.
Orang yang tinggi kekar itu hampir terloncat. Dengan
secepat-cepatnya, ia meraih pisaunya yang beracun.
Kemudian ia pun segera meloncat mundur.
Swandaru tidak dapat menahan tertawanya, sedang Agung
Sedayu pun tersenyum pula tertahan-tahan.
"Kau memang terlampau sombong anak yang gemuk,"
berkata orang yang tinggi kekurus-kurusan itu. "Sekarang kau
ja"ngan menyebut dirimu bernama Sangkan. Aku tahu bahwa
kau pasti bernama lain. Dan aku pun kini tahu, selama ini kau
berpura-pura menjadi orang-orang bodoh, miskin dan
setengah gila. Tetapi sebenarnyalah bahwa kalian adalah
orang-orang sombong yang tidak ada ada duanya di dunia.
Kini kalian akan membuat semua orang terkejut. Kalian akan
mendapat pujian, sebagai orang-orang bodoh yang ternyata
memiliki kelebihan yang luar biasa."
"He," tiba-tiba Swandaru memotong, "apakah kau tidak
berbuat seperti itu" Selama ini, orang yang tinggi kekar itu
sajalah yang kau taruh di depan. Kau sendiri selalu
bersembunyi di belakang. Bukankah kau selalu berpura-pura
menjadi seorang pe"nakut yang paling ketakutan apabila ada
suara tikus sekalipun" Sekarang kau juga akan tampil sebagai
seorang pahlawan." "Diam! Diam kau," orang yang kekurus-kurusan itu benarbenar
telah menjadi marah. "Aku memang menunggu
kesempatan ini. Selama ini aku memang sedang meyakinkan,
bagaimana kita harus menghadapi hantu-hantu dari Alas
Mentaok. Justru untuk ke"pentingan kita bersama. Tetapi
kedatangan kalian telah meru"sakkan semua rencanaku.
Usaha yang aku lakukan akan menjadi sia-sia, dan hantuhantu
itu tetap akan marah kepada kita."
"He, apakah kita masih harus berbicara tentang hantu?"
"Gila! Kau sangka kau, kakakmu, dan ayahmu ini siapa"
Betapapun saktinya kalian, kalian tidak akan dapat berbuat
sesuatu di sini tanpa berbicara tentang hantu."
Swandaru mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi ia
bertanya, "Apakah kau sudah berhasil setelah sekian lama
melakukan"nya?"
Orang yang kekurus-kurusan itu terdiam sejenak.
Ditatapnya saja wajah Swandaru dengan sorot mata yang
memancarkan kemarahan. Namun pertanyaan itu tidak segera
dijawabnya. "Bagaimana?" Swandaru mendesaknya.
Orang itu menggelengkan kepalanya, "Belum. Sebenarnya
aku memang sudah hampir berhasil. Tetapi kedatangan kalian
ini telah menjauhkan kami dari mereka, sehingga usaha yang
sudah lama aku lakukan itu, menjadi sia-sia. Karena itu, maka
kalianlah yang harus menanggung akibat kegagalan itu. Kalian
terpaksa dikorbankan. Sudah lama aku ingin membuat korban
semacam ini untuk hantu-hantu itu. Korban darah. Mudahmudahan
mereka menjadi lulut dan dapat mengerti keinginan
kami." "Apakah korban darah itu?" bertanya Swandaru.
"Sama dengan korban nyawa."
Swandaru mengerutkan keningnya. Namun tiba-tiba saja ia
berkata sambil mengangguk-angguk, "O, jadi kau ingin
membunuh diri?" "Persetan!" kemarahan orang itu sudah memuncak.
Agung Sedayu masih saja mengangguk-anggukkan
kepalanya. Tetapi ia tidak dapat mencegah Swandaru.
Kebiasaannya yang ternyata menyakitkan hati orang yang
kekurus-kurusan itu tidak dapat di"hindarinya.
Sejenak kemudian maka sambil maju selangkah orang
yang kekurus-kurusan itu menggeram, "Kini memang sudah
tiba saatnya. Salah satu dari kalian bertiga akan mati, atau
kalau kalian sama-sama maju, maka kalian bertiga akan mati
pula bersama-sama. Se"makin banyak korban yang aku
berikan, maka kami yang tinggal di sini akan menjadi semakin
aman." Swandaru melihat sorot mata orang itu. Ia benar-benar
sudah ada di puncak kemarahannya. Karena itu, ia kini tidak
dapat berkelakar lagi. Sejenak kemudian orang yang kekurus-kurusan itu pun
sudah siap. Dengan wajah yang tegang ditatapnya cambuk
Swandaru. Namun sejenak kemudian ia pun segera melenting
menyerang dengan dahsyatnya.
Swandaru memang sudah bersiap menghadapinya.
Cambuk"nya sudah terlanjur berada di tangannya, sehingga
karena itu, maka cambuk itu pun segera meledak
memekakkan telinga. Tetapi orang yang kekurus-kurusan itu memang cukup
tangkas. Ia masih mampu menggeliat menghindarkan dirinya,
sehingga cambuk Swandaru sama sekali tidak mengenainya.
Namun dalam pada itu, ketika orang yang kekurus-kurusan
itu tegak berdiri di atas kedua kakinya, di tangannya telah
tergeng"gam seutas rantai besi yang diambilnya dari kantong
ikat ping"gangnya. Rantai itu tampaknya tidak begitu besar,
hampir se"panjang lengan tangannya. Tetapi yang berbahaya
dari senjata itu adalah sebuah gerigi pada bola besi sebesar
kemiri. Swandaru menjadi tegang sejenak. Tanpa diberitahukan
lagi, ia sadar, bahwa bola besi yang tampaknya hanya sekecil
kemiri itu pasti sangat berbahaya. Geriginya yang kehitamhitaman
itu pasti mengandung racun seperti pisau belati orang
yang tinggi besar itu. Ternyata gurunya membenarkan dugaannya itu. Dengan
sungguh-sungguh Kiai Gringsing berdesis, "Hati-hatilah
dengan bola kecil yang bergerigi itu, Swandaru."
Swandaru menganggukkan kepalanya. Dan ia pun menjadi
kian berhati-hati. Sejenak kemudian bola kecil itu sudah berputaran seperti
baling-baling. Untunglah bahwa Swandaru pun
mempergunakan sen"jata yang hampir sejenis. Ujung
cambuknya adalah senjata yang lentur, meskipun tidak kurang
berbahayanya. Kalau Swandaru bersungguh-sungguh
mempergunakan senjata itu, maka lecutan sendal pancing
apabila menyentuh tubuh lawannya, pasti akan menyo"bek
kulit, karena karah-karah besi yang melingkar pada juntai
cam"buk itu. Sejenak kemudian keduanya sudah berhadapan kembali.
Sejenak mereka bergeser beberapa tapak. Sedang orangorang
yang menyaksikan perkelahian itu menjadi semakin
berdebar-debar. Mereka pun berdesakan surut beberapa
langkah, karena orang yang kekurus-kurusan itu selalu
memutar rantai yang berbola di ujungnya.
Dengan sedikit membungkukkan badannya, Swandaru
ber"siap menghadapi setiap kemungkinan. Digenggamnya
tangkai cambuknya dengan tangan kanannya, sedang
ujungnya dipegang"nya dengan tangan kiri. Namun demikian,
cambuk itu siap me"ledak setiap saat.
Perkelahian yang seru itu tidak dapat dihindarkannya lagi.
Dengan garangnya orang itu menyerang Swandaru dengan
ujung rantainya. Sejenak bola itu melingkar-lingkar di udara,
namun kemu"dian menukik menyerang dengan cepatnya.
Selagi Swandaru menghindarinya, maka bola itu seperti
kepala seekor ular me"matuknya dari arah yang lain.
Orang yang kekurus-kurusan itu benar-benar menguasai
senjatanya yang sangat berbahaya itu. Seperti senjata-senjata
beracun lainnya, setiap sentuhan akan berarti maut.
Tetapi Swandaru pun mampu mempergunakan senjatanya
sebaik-baiknya. Setiap kali ia masih sempat meledakkan
cambuk"nya. Bahkan ujung cambuknya telah beberapa kali
menyentuh tubuh lawannya, sehingga jalur-jalur merah
melekat di bahu dan le"ngannya, setelah karah-karah besi
dijuntai cambuk itu menyobek baju orang yang kekuruskurusan
itu. Meskipun demikian, orang yang kekurus-kurusan itu
seakan-akan tidak menghiraukannya. Meskipun ia tidak kebal,
tetapi ia sama sekali tidak gentar. Menurut perhitungannya,
luka-lukanya itu sa"ma sekali tidak akan membahayakan
jiwanya. Tetapi kalau ia berhasil menyentuh lawannya, maka
itu akan berarti kematian. Sehingga dengan demikian, ia justru
semakin mendesak maju, menyusup di antara ayunan ujung
cambuk Swandaru. Demikianlah, maka perkelahian itu semakin lama menjadi
semakin sengit. Kadang-kadang kedua senjata itu saling
melilit. Te"tapi agaknya keduanya cukup menguasai, dan
senjata-senjata itu pun cukup kuat, sehingga setiap kali, lilitan
itu pun segera terurai. Agung Sedayu dan Kiai Gringsing menyaksikan
03 Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
perkelahi"an itu dengan hati yang berdebar-debar. Orang
yang kekurus-kurusan ini ternyata tidak sekedar berkelahi
seperti kawannya yang tinggi itu.
Agaknya Swandaru mempertimbangkannya juga. Ternyata
ia kini menghadapinya dengan bersungguh-sungguh. Kerut
keningnya dan tatapan matanya menunjukkan bahwa ia tidak
lagi bermain-main. Tetapi ternyata bahwa senjata orang yang kekurus-kurusan
itu pun mempunyai kelebihan dari senjata Swandaru. Senjata
Swandaru dapat melukai kulit, tetapi tidak membunuh dengan
kejam seperti senjata lawannya. Itulah sebabnya, maka
Swardaru agak mengalami kesulitan. Meskipun demikian,
latihan-latihan yang berat selama ini membuatnya menjadi
seorang yang tabah meng"hadapi kesulitan apa pun juga.
Dengan demikian, maka Swandaru tampaknya selalu
ter"desak. Ia kadang-kadang melangkah surut, kadangkadang
berloncatan ke samping. Namun setiap kali ia masih
juga berhasil melukai kulit lawannya. Setiap kali orang yang
kekurus-kurusan itu tertegun, apabila cambuk Swandaru
meledak. Dan setiap kali sebuah goresan merah yang baru
telah melekat di tubuh orang itu, bahkan kadang-kadang luka
yang menitikkan darah. Orang yang menyaksikan perkelahian itu menjadi semakin
berdebar-debar. Apalagi mereka yang tidak mengerti
kedudukan masing-masing. Mereka hanya melihat Swandaru
selalu terdesak, tanpa melihat bagaimana senjatanya berhasil
melukai lawannya. Lawan Swandaru yang kekurus-kurusan itu pun
mengumpat di dalam hatinya. Sekian lama ia bertempur,
namun ia masih belum berhasil menyentuh kulit lawannya.
Bahkan kulitnya sendiri yang semakin lama menjadi semakin
parah. "Persetan," ia menggeram di dalam hatinya. "Luka-luka ini
hanya akan menimbulkan sedikit gangguan pada kulitku.
Tetapi aku harus menyentuhnya. Ia akan segera mati sebelum
mening"galkan lingkaran perkelahian ini."
Dengan sepenuh kemampuannya, orang itu sudah
bertekad untuk membunuh Swandaru dengan racunnya. Ia
sama sekali tidak menghiraukan lagi ledakan-ledakan senjata
lawannya. Ujung cambuk yang mengenainya sama sekali
tidak dihiraukannya, mes"kipun kadang-kadang ia harus
menyeringai menahan sakit.
Meskipun Swandaru berhasil melukai lawannya semakin
sering, tetapi Agung Sedayu dan gurunya masih juga selalu
dicemaskan oleh senjata lawannya. Orang yang kekuruskurusan
itu seolah-olah sama sekali tidak merasa bahwa
kulitnya telah terkelupas di beberapa bagian. Pakaiannya telah
menjadi kemerah-merahan karena darah yang meleleh dari
setiap jalur luka, meskipun tidak dalam.
Swandaru pun kemudian menjadi heran. Kekuatan apakah
yang membuat lawannya seperti orang kesurupan. Luka-luka
itu seolah-olah sama sekali tidak terasa. Ia masih saja
mendesaknya sam"bil mengayunkan bola besinya yang kecil
dan bergerigi itu. Se"tiap kali menyambar di samping
telinganya, kemudian terjulur mematuk lambungnya.
Agaknya lawannya tidak memilih tempat di tubuhnya.
Manapun yang dapat dikenainya akibatnya sama saja. Bahkan
di bagian yang tertutup oleh pakaian, karena gerigi yang tajam
itu pasti akan dapat menembusnya.
"Gila," geram Swandaru di hatinya, "apakah orang ini
menyimpan nafas kuda atau kulitnya memang sudah mati,
se"hingga ia tidak merasakan sakit sama sekali?"
Namun dengan demikian kemarahan yang merambat di"
hati Swandaru pun sampai ke puncaknya. Sepercik
kegelisahan telah mewarnai hatinya pula, "Kalau aku tidak
segera melum"puhkannya, akulah yang akan dibunuhnya.
Aku dan orang ini mempunyai tujuan yang lain. Agaknya ia
benar-benar akan membu"nuh aku," Swandaru mengerutkan
keningnya. "Kalau saja Guru tidak terlalu lembut hatinya, aku
bunuh juga orang ini."
Dengan demikian, maka terdengar gigi anak muda yang
gemuk itu gemeretak. Agung Sedayu yang selalu
memperhatikan wajah adik seperguruannya, segera
menangkap, betapa hati anak muda yang gemuk itu kini
semakin menyala. Dengan demikian, maka perkelahian itu pun menjadi
sema"kin cepat. Swandaru pun telah mengerahkan bukan
saja kemam"puannya, tetapi juga kekuatannya. Setiap
sambaran cambuknya kini menjadi kian berbahaya. Dan
setiap sentuhan juntai berkarah besi itu, menjadi semakin
dalam menyobek kulit. Orang yang kekurus-kurusan itu pun setiap kali terpaksa
mena"han sakit yang menyengat. Ia merasakan pula, bahwa
lecutan cambuk lawannya menjadi semakin keras. Tetapi
hatinya yang sekeras batu sama sekali tidak menahannya. Ia
maju terus tanpa menghiraukan badannya yang seakan-akan
sudah menjadi arang keranjang oleh goresan-goresan ujung
cambuk lawannya. Namun dalam pada itu, karena Swandaru yang baru saja
sembuh dari sakitnya masih belum mendapatkan segenap
keku"atan dan kemampuannya kembali, semakin lama
menjadi sema"kin lelah. Apalagi setelah ia memeras segenap
kemampuan dan tenaganya. Setiap kali ia harus meloncat
menghindari sambaran dan patukan bola besi beracun itu,
kemudian mengerahkan segenap tenaganya untuk
mengayunkan cambuknya. Kadang-kadang sun"dul puyuh,
kadang sendal pancing. Bahkan ia pun menjadi ngeri juga
melihat lawannya yang seakan-akan sudah menjadi merah
ka"rena darah. Namun ia masih juga maju dengan beraninya,
se"akan-akan sama sekali tidak terjadi apa pun padanya.
"Gila," desis Swandaru, "apakah aku berhadapan dengan
anak setan Alas Mentaok, atau orang itu telah kesurupan
sehingga daya tahannya menjadi lipat sepuluh dari daya tahan
manusia wajar, atau memang aku sedang bertempur dengan
salah satu dari jenis hantu di Alas Mentaok ini?"
Tetapi Swandaru tidak sempat merenungi pertanyaan yang
mengganggunya itu. Ia masih harus bertempur terus. Dalam
pada itu nafasnya semakin lama menjadi semakin cepat
menga"lir lewat lubang hidungnya, sedang kekuatannya pun
semakin lama menjadi semakin susut pula.
"Sebentar lagi, aku akan kehilangan kekuatan untuk
melawannya," ia berdesis oleh kesadarannya bahwa ternyata
se"telah ia sakit kekuatannya masih belum pulih seluruhnya.
Agung Sedayu dan Kiai Gringsing pun menjadi semakin
tegang pula menyaksikan perkelahian itu. Meskipun cambuk
Swandaru sudah berhasil melukai tubuh lawannya bahkan
tidak sekadar disatu dua tempat, namun ia masih belum
berhasil me"ngurangi ketangkasan orang yang kekuruskurusan
itu. Senjatanya yang beracun itu masih tetap
menyambar-nyambar dan mematuk mengerikan.
Agung Sedayu yang hampir tidak dapat menguasai
pera"saan cemasnya, tanpa sesadarnya bergeser maju.
Tetapi gurunya menggamitnya sambil berbisik, "Kita
menunggu sejenak. Aku melihat sesuatu."
Agung Sedayu tertegun sejenak. Ia memang tidak akan
da"pat begitu saja memasuki arena, karena meskipun tanpa
berjanji, adik seperguruannya seolah-olah sedang melakukan
perang tanding seorang lawan seorang. Tetapi ia pasti tidak
akan sampai hati melihat kegagalan Swandaru yang masih
belum pulih kembali kekuatannya, apalagi ia sudah harus
berkelahi melawan dua orang berturut-turut.
"Itu tidak adil," berkata Agung Sedayu di dalam hati"nya.
Namun demikian ia tidak bergeser maju lagi. Ia mematuhi
pesan gurunya. "Tetapi, apakah yang sudah dilihat oleh Guru?"
perta"nyaan itu telah tumbuh di dalam hatinya.
Ketika ia berpaling sedikit, dilihatnya gurunya mengamati
perkelahian itu dengan sangat tegangnya, seolah-olah ia
sedang memperhitungkan setiap gerak dari keduanya.
"Nafas Adi Swandaru sudah hampir putus, Guru," bisik
Agung Sedayu. Kiai Gringsing sama sekali tidak menyahut. Tetapi ia masih
mengikuti perkelahian itu.
Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Kini ia pun
memper"hatikan setiap gerak dari kedua belah pihak yang
terjadi di arena. Swandaru masih tetap selalu bergeser surut. Keringatnya
telah membasahi seluruh tubuhnya, sedang nafasnya menjadi
semakin terengah-engah. Cambuknya sudah tidak begitu
lincah lagi, meskipun di saat-saat yang berbahaya, Swandaru
masih dapat meng"hentakkan tangannya, dan di tubuh
lawannya bertambah lagi seleret luka.
Sejenak kemudian agaknya perkelahian itu sudah
meman"jat sampai ke puncaknya. Orang yang kekuruskurusan
itu menjadi semakin liar. Ia semakin mendesak maju,
sedang rantainya yang berujung bola besi bergerigi sebesar
kemiri, berputaran semakin cepat. Namun untuk
mempertahankan dirinya, Swandaru pun telah mengerahkan
segenap tenaganya. Untunglah bahwa pikirannya masih tetap
tenang, sehingga meskipun tidak sekuat se"mula, tetapi ia
masih mampu melihat kelemahan-kelemahan pada lawan"nya
yang akhirnya menjadi seperti orang kesurupan itu, yang tidak
menghiraukan lagi dirinya, betapapun cambuk Swandaru
melecut tubuhnya. Swandaru benar-benar hampir kehabisan akal. Sekalisekali
ia terhuyung-huyung surut. Sebuah lubang yang kecil di
atas tanah tempat ia berpijak, telah membuatnya hampirhampir
terbanting jatuh. Pada saat-saat yang demikian, Swandaru telah mencoba
me"meras otaknya, bagaimana ia dapat menjatuhkan
lawannya. Meskipun ia jarang-jarang melakukannya, benarbenar
memeras otaknya, namun ia menemukan juga sikap
yang dapat menguntungkannya.
Lawannya sama sekali tidak menghiraukan lagi sentuhan
ujung cambuk Swandaru, sehingga ia menyadari bahwa ia
harus menemukan cara lain untuk menghentikan lawannya.
Karena itu, selagi lawannya menyerang membabi buta dengan
senjata rantainya menyambar-nyambar kepala Swandaru,
maka anak yang ge"muk itu telah menyerang lawannya
dengan caranya. Disambar"nya kaki orang yang kekuruskurusan
itu dengan ujung cambuknya. Kemudian, selagi ujung
cambuk itu masih melilit pergelangan kaki dengan sekuat-kuat
sisa tenaganya, Swandaru telah meng"hentakkan juntai
cambuknya itu. Ternyata bahwa sisa tenaga Swandaru itu masih cukup
kuat. Orang yang kekurus-kurusan itu sama sekali tidak
menyangka, bahwa lawannya akan menyerang dengan cara
yang aneh itu, apalagi selama ini ia seolah-olah sama sekali
tidak menghiraukan lagi serangan-serangan lawannya atas
tubuhnya. Karena itu, hentakkan ujung cambuk itu telah
mengait kakinya dan seakan-akan mena"riknya dengan sertamerta.
Hentakkan itu benar-benar tidak dapat dilawannya. Sejenak
ia terhuyung-huyung, namun kemudian dengan kerasnya ia
terbanting jatuh di tanah.
Swandaru sendiri yang telah mengerahkan sisa tenaganya,
ternyata hampir tidak mampu lagi untuk berdiri tegak. Dengan
nafas yang terengah-engah ia mencoba menarik cambuknya
yang ma"sih melilit di kaki lawannya yang kini terbanting di
tanah. Bagaimanapun juga, Swandaru tidak mau membiarkan
diri"nya diterkam oleh keganasan racun senjata lawannya.
Karena itu, ia masih harus tetap berusaha melawan dengan
senjatanya. Namun ternyata Swandaru tidak segera berhasil.
Tenaga"nya sudah tidak cukup mampu untuk menarik
cambuknya yang masih melilit di kaki lawannya, betapapun ia
mencoba. Bahkan akhirnya ia terpaksa menghentikan
usahanya ketika nafasnya hampir-hampir menjadi putus
karenanya. Tetapi, kemudian ia menjadi heran. Baru setelah ia tidak
berhasil menarik senjatanya, ia menyadari, bahwa lawannya
yang terbanting jatuh itu sama sekali sudah tidak mampu lagi
untuk bangkit. Ternyata setelah ia memeras segenap
kemampu"an dan tenaganya tanpa menghiraukan apa pun
juga itu, sampai jugalah ia pada batas kekuatan jasmaniahnya
yang sebenarnya telah tidak mampu lagi mendukung
hasratnya yang menyala-nyala di dalam dada. Membunuh
lawannya yang gemuk. Karena itu, ketika ia tersentak oleh
keadaan yang tidak terlawan lagi itu, serasa punahlah semua
tenaganya. Perasaan sakit kini serasa telah mencengkeram
seluruh urat nadinya. Pedih dan sakit. Selebihnya, tenaganya
serasa telah punah sama sekali.
Swandaru masih berdiri di tempatnya dengan nafas
terengah-engah. Tangannya sudah tidak mampu lagi
memegang tangkai cambuknya. Bahkan dengan susah payah
ia bertahan untuk te"tap berdiri di tempatnya.
Semua yang menyaksikan akhir dari perkelahian itu
me"nahan nafasnya. Sejenak mereka seolah-olah terpukau
oleh peris"tiwa yang menegangkan itu. Mereka melihat orang
yang kekurus-kurusan tergolek di tanah dengan darah yang
memerahi pakai"annya, yang robek-robek karena senjata
Swandaru, seperti kulitnya yang robek-robek pula. Sedang
Swandaru berdiri dengan susah pa"yah mempertahankan
keseimbangannya dengan nafas yang terengah-engah.
Sejenak, tempat itu telah diliputi oleh suasana yang
mene"gang. Setiap orang berdiri membeku di tempatnya.
Sekali-sekali mereka mendengar orang yang kekurus-kurusan
itu mengaduh perlahan-lahan, sedang nafas Swandaru
mengalir semakin tidak teratur. Bahkan kemudian Swandaru
tidak berhasil lagi bertahan berdiri di tempatnya. Perlahanlahan
ia menjatuhkan diri dan duduk di tanah.
Dalam pada itu, selagi mereka dicengkam oleh keadaan
yang menegangkan, seorang petugas maju mendekati
Swandaru. Sambil bertolak pinggang ia berkata lantang, "Kau
sudah membuat onar di sini. Atas nama kekuasaan Ki Gede
Pemanahan dan puteranya Mas Ngabehi Loring Pasar, kau
dan kedua orang yang kini aku ragukan, apakah mereka
benar-benar saudaramu dan ayahmu itu, aku tangkap."
Swandaru yang masih duduk di tanah terkejut. Tetapi
sebelum ia menyahut, Agung Sedayu telah melangkah maju
03 Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
men"dekati petugas itu sambil bertanya, "Apakah kesalahan
kami?" "Kau sudah membuat onar, sehingga di sini terjadi
per"kelahian." "Siapakah yang sebenarnya sudah mulai?"
"Lihat akibat dari perbuatanmu ini. Kau harus sadar, bahwa
kau tidak hidup seperti binatang di dalam rimba ini. Anak yang
gemuk ini sudah membuat seseorang menjadi luka parah."
"Tetapi bukan maksudnya. Bukan maksud kami
menumbuhkan pertentangan di sini."
"Aku tidak peduli, apakah kau bermaksud demikian atau
tidak. Tetapi yang terjadi adalah bukti yang tidak dapat kau
ingkari." "Tetapi apakah kau tidak mengikuti perkembangan
kea"daan yang sebenarnya, sehingga kau mengambil
kesimpulan yang salah, bahwa kamilah yang telah bersalah?"
"Jangan banyak bicara. Kau berbicara dengan petugas
yang mendapat kekuasaan dari Ki Gede Pemanahan."
"Lalu?" "Kau harus tunduk kepada kami. Kau akan kami tangkap,
kami ikat dan kami bawa menghadap Ki Gede Pemanahan."
"Menarik sekali. Tetapi barangkali orang-orang itulah yang
pantas kau tangkap."
"Tidak. Kalian bertiga."
"Tunggu," tiba-tiba terdengar suara yang lain. Ketika
mereka berpaling, mereka melihat Wanakerti mau mendekati
petugas itu. "Sebenarnya tidak pantas kalau kita berselisih
pendapat. Apalagi di hadapan orang-orang yang seharusnya
kita awasi, kita bimbing dan kita arahkan selagi mereka
bekerja di sini. Tetapi aku juga tidak dapat tinggal diam
melihat kesalah-pahaman ini."
"Apa yang kau anggap dengan salah paham itu?" bertanya
petugas yang ingin menangkap Swandaru. Seorang yang
berwajah keras seperti batu. Berkumis lebat dan berjanggut
jarang. "Sebenarnyalah kita harus berbicara dulu. Kita bersamasama
akan menentukan siapakah yang bersalah di dalam hal
itu. Terutama kita harus menghiraukan pimpinan kita di sini.
Ingat, kita terikat di dalam ketentuan tugas dan wewenang.
Kita mempunyai pemimpin yang dapat memberikan bimbingan
di dalam tugas kita."
"Persetan," berkata orang berkumis itu, "lihat. Apakah yang
dilakukan oleh pemimpin kita di dalam keadaan yang ga"wat
ini" Lihat, ia hanya dapat mengangguk-anggukkan kepalanya
sambil mencabuti janggut. Aku tidak mempedulikannya."
Pemimpin dari para petugas, yang sebenarnya masih
be"lum mempunyai sikap apa pun itu, tiba-tiba merasa
terhina. Se"langkah ia maju sambil berkata, "Jangan berkata
begitu. Aku memang tidak bersikap dengan tergesa-gesa.
Tetapi kau jangan menyebut aku tidak dapat berbuat apaapa."
"Apa yang sudah kau lakukan, he?" bertanya orang
berkumis itu. Pemimpin para pengawas itu berdiri tegang memandangi
wajah orang berkumis itu. Sejenak ia tidak mengucapkan katakata.
Namun sejenak kemudian ia berkata, "Akulah yang
paling berkuasa di sini, berdasarkan limpahan kekuasaan dari
Ki Gede Pemanahan." "Omong kosong," bantah orang berkumis itu, "aku akan
membuktikan, bahwa Ki Gede Pemanahan akan
membe"narkan sikapku."
"Kau jangan memperbodoh kami. Kami tahu pasti, bah"wa
ada ketidakwajaran di antara kalian. Kau, orang yang gagah
itu, dan orang yang sudah dikalahkan oleh anak yang gemuk
ini." "Apa maksudmu?"
"Setiap hidung akan merasakan kejanggalan perbuatanmu
ini. Di dalam keadaan yang seperti ini, tiba-tiba kau tampil dan
akan menangkap ketiga orang ini. Itu adalah mustahil. Kita
harus bersikap adil. Sebaiknya kedua pihak kita hadapkan
ke"pada Ki Gede Pemanahan karena keonaran ini."
"Itu tidak perlu. Yang dua orang ini kita sudah menge"nal
sejak lama. Mereka adalah orang-orang yang bertanggung
jawab selama ini. Dengan maksud baik berbuat untuk kawankawannya.
Tetapi yang tiga orang ini memang keras kepala."
"Aku yang menentukan. Aku yang memutuskan."
Sejenak keadaan menjadi semakin tegang. Agung Sedayu
kini bahkan berdiri termangu-mangu seperti juga Wanakerti.
Sedang Kiai Gringsing mengikuti setiap perkembangan
keadaan dengan saksama. Dalam pada itu orang yang berkumis itu pun menjadi
gelisah. Agaknya ia tidak dapat menahan kemarahannya lagi.
Namun ia kini berhadapan dengan pimpinannya. Karena itu ia
hanya dapat menghentak-hentakkan kaki sambil
menggeretakkan giginya. Dalam pada itu, selagi orang-orang yang berdiri di sekitar
tem"pat itu dicengkam oleh ketegangan, tiba-tiba mereka
hampir ter"lonjak di tempatnya ketika mereka mendengar
pemimpin penga"was itu tiba-tiba mengaduh sambil
terhuyung-huyung. Kiai Gringsing yang berdiri selangkah daripadanya, masih
sempat meloncat dan menahannya, ketika pemimpin
pengawas itu roboh. Dengan dada yang berdebaran dilihatnya
sebuah pisau belati yang menancap di punggung pemimpin
pengawas itu. Selagi Kiai Gringsmg menahan pemimpin pengawas yang
menjadi lemah, maka Agung Sedayu sampat meloncat ke luar
dari lingkaran orang-orang yang sedang berbantah. Ia sempat
melihat sesosok tubuh berdiri di atas batu padas. Bahkan
Agung Sedayu masih melihat orang itu menggerakkan
tangannya melemparkan pisau ke arahnya.
Untunglah bahwa Agung Sedaya mempunyai bekal ilmu
yang cukup. Dengan tangkasnya ia menghindar. Sambil
melon"cat ke samping ia memiringkan tubuhnya, sehingga
pisau itu meluncur di sisinya.
Tetapi orang di atas batu padas itu tidak segera
menghen"tikan serangannya. Sebelum Agung Sedayu sempat
memper"baiki kedudukannya, sebuah pisau yang lain telah
meluncur mengarah ke dadanya.
Dalam keadaan yang sulit, Agung Sedayu masih sempat
menjatuhkan dirinya, meskipun ia masih tetap
menperhitungkan bahwa pisau berikutnya akan
menyambarnya pula. Perhitungannya ternyata benar. Ia terpaksa berguling sekali
ketika sebilah pisau meluncur sekali lagi.
Orang-orang yang menyaksikan hal itu, bagaikan tonggaktonggak
mati yang membeku di tempatnya. Mereka rasarasanya
sedang bermimpi menyaksikan pameran ketangkasan
yang luar biasa. Ketangkasan melontarkan pisau, dan
ketangkasan menghindarinya. Namun jantung mereka serasa
menjadi berhenti berdetak, ketika mereka melihat Agung
Sedayu terpaksa berguling-guling menghindari se"rangan
lawannya. Namun Agung Sedayu sendiri sudah tentu tidak mau
membiarkan dirinya menjadi sasaran serangan tanpa berbuat
sesuatu. Ketika ia mendapat kesempatan, maka tiba-tiba ia
meloncat berdiri. Hampir tidak kasat mata, bagaimana ia
melakukan. Te"tapi Agung Sedayu sudah membalas
serangan-serangan pisau itu. Dengan sekuat tenaganya ia
melempar orang yang berdiri di atas batu padas itu. Tidak
dengan pisau, tetapi dengan batu sebesar telur ayam yang
disambarnya pada saat ia berguling-guling di tanah.
Ternyata Agung Sedayu masih memiliki kecakapannya
membidik yang dipelajarinya sejak kanak-kanak. Sejak
ayahnya masih ada. Ayahnya pun adalah seorang pembidik
yang baik. Jangankan sasaran yang seakan-akan terpancang di atas
batu padas, sedangkan sasaran yang bergerak di udara pun,
Agung Sedayu mampu mengenainya.
Itulah sebabnya, maka sejenak kemudian, terdengar pekik
kesakitan. Orang yang berdiri di atas batu padas itu
terhuyung-huyung sejenak dan kemudian jatuh terguling di
tanah. Agung Sedayu tidak menunggu lebih lama lagi. Ia pun
se"gera berlari mendapatkan orang itu.
"Berhenti di situ!" tiba-tiba terdengar pengawas yang
ber"kumis lebat itu berteriak.
Agung Sedayu tertegun sejenak. Ketika ia berpaling,
dili"hatnya orang yang berkumis itu berjalan tergesa-gesa
mendekatinya. (***) Buku 55 AGUNG Sedayu yang sedang memperhatikan kedatangan
pengawas yang berkumis itu terkejut, ketika Swandaru
berteriak, "Awas, Kakang!"
Agung Sedayu sadar, bahwa orang yang jatuh itu masih
mungkin berbuat sesuatu. Karena itu ia pun segera berpaling
ke arahnya. Tepat pada saatnya, Agung Sedayu melihat orang
itu berusaha bangkit dan melemparkan lagi sebuah pisau kecil
ke arahnya. Untunglah, bahwa Agung Sedayu tidak terlambat. Ia masih
sempat mengelak, sekaligus memungut sebuah batu dan
melontarkannya ke arah orang yang kini sudah duduk itu.
Ternyata lemparan Agung Sedayu kali ini, dari jarak yarg
lebih dekat, disertai kemarahan yang melonjak di dadanya,
telah menumbuhkan akibat yang parah. Lemparannya kali ini
mengenai dada orang itu. Sejenak serasa nafasnya terhenti
mengalir. Kemudian, semuanya menjadi gelap. Dan orang itu
pun menjadi pingsan. Tetapi kini Agung Sedayu masih harus menghadapi
pengawas yang berkumis itu. Dengan wajah yang merah
padam ia mendekati Agung Sedayu sambil berkata, "Kau
memang anak gila. Apakah kau sadari, apa yang telah kau
lakukan?" Agung Sedayu berdiri tegak di atas kedua kakinya yang
merenggang. Semuanya sudah terlanjur menjadi kisruh.
Karena itu, maka ia harus menghadapi lawannya itu. Kalau
tidak, maka agaknya ia sendirilah yang akan menjadi korban.
Sementara itu, selagi semua perhatian tertuju kepada
Agung Sedayu dan pengawas yang berkumis itu, Kiai
Gringsing mendapat kesempatan untuk merawat pemimpin
pengawas yang terluka punggungnya. Dengan hati-hati Kiai
Gringsing mencabut pisau itu. Sejenak ia tertegun. Pisau itu
pun agaknya beracun pula.
Untunglah bahwa di dalam keadaan yang gawat, di antara
orang-orang yang selalu bermain-main dengan racun, ia
sudah menyiapkan beberapa jenis obat-obatan. Tanpa
menarik perhatian orang lain. Kiai Gringsing segera
menaburkan serbuk obat ke atas luka itu. Kemudian
dimasukkan"nya sebutir obat yang lain ke dalam mulutnya.
Desisnya, "Telanlah. Kau akan sembuh."
Di antara sadar dan tidak, pemimpin pengawas itu
berusaha menelan obat yang diberikan oleh Kiai Gringsing,
sementara lukanya terasa menjadi sangat panas.
"Jangan terkejut. Lukamu memang terasa sakit, tapi kau
akan sembuh. Percayalah dan berdoalah agar Tuhan
menolongmu." Orang itu mengangguk-anggukkan kepalanya, meskipun
terpaksa menyeringai menahan sakit yang menggigit
punggungnya. Dalam pada itu, pengawas yang berkumis itu pun telah
berdiri berhadapan dengan Agung Sedayu. Beberapa orang
perlahan-lahan bergeser mendekatinya. Wanakerti pun telah
berada di dekat keduanya yang sudah siap menghadapi
segala kemungkinan. "Kau sadar apa yang telah kau lakukan?" bertanya petugas
yang berkumis itu. Agung Sedayu tidak segera menjawab. Ditatapnya wajah
pengawas yang berkumis itu dan Wanakerti berganti-ganti.
Bahkan kadang-kadang ia masih sempat berpaling ke arah
orang yang kini terbaring pingsan di samping gundukan padas
Dalam pada itu, Swandaru yang sudah mendapat
kesempatan beristirahat sejenak, telah berdiri pula. Tertatihtatih
ia berjalan mendekati kakak seperguruannya. Kini ia
sudah berhasil menarik cambuknya yang melilit kaki orang
yang kekurus-kurusan yang ternyata sedang pingsan pula.
"Aku jadi sangat bingung," berkata Swandaru kemudian
tanpa menghiraukan apa pun. "Orang-orang di sini adalah
orang-orang yang sangat aneh bagiku. Aku sama sekali tidak
mengerti akan tingkah laku mereka."
"Diam!" bentak orang berkumis itu. "Atau kau akan aku
bunuh sama sekali dengan saudaramu ini."
"Jangan. Aku memang masih ingin hidup."
Orang berkumis itu menggeram, sementara Agung Sedayu
berkata, "Kenapa kita tidak mencoba berbicara dengan baik.
Mungkin kita hanya sekedar salah paham. Dengan berbicara
berterus terang, semua persoalan akan dapat diselesaikan."
"Tidak ada gunanya!" teriak pengawas berkumis itu.
"Anak itu benar," berkata Wanakerti, "kita ma"sih
mempunyai banyak kemungkinan selain kekerasan."
"Aku melihat perkembangan keadaan dari ketiga orang ini.
Kedua orang yang sudah dikalahkan oleh anak yang gemuk
ini sudah berusaha untuk berbicara, jauh sebelum peristiwa ini
terjadi." "Bukan pembicaraan," sahut Agung Sedayu, "tetapi
pengusiran. Setiap kali kita berbicara, maka yang disebutsebutnya
hanyalah, agar kami meninggalkan tanah garapan
ini tanpa alasan yang masuk akal. Mereka menghendaki kami
pergi. Hanya itu. Sudah tentu kami berkeberatan, karena para
petugas pun tidak menginginkan demikian."
"Ya," berkata Wanakerti, "kami memang tidak
berkeberatan. Hanya, keonaran memang harus diusut sebaikbaiknya."
"Jangan ikut campur," bentak prajurit berkumis itu, "apakah
kau ingin mengalami nasib seperti pemim"pin kita itu?"
"Tidak akan mungkin lagi. Lihat, pelempar pisau itu sedang
pingsan." "Orang itu memang sedang pingsan. Tetapi ia tidak
mengalami gangguan yang berarti. Ia sekedar tidak menyadari
keadaan dirinya. Namun lemparanmu memang dahsyat sekali.
Bukankah kau telah melemparnya dengan batu?"
"Ya," jawab Agung Sedayu.
03 Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Itu adalah kesalahan yang besar. Kau sudah berani
melawan pengawas. Pengawas daerah yang sedang dibuka
ini. Kau sudah mencederai orang lain."
"Sekali lagi bukan maksudku. Kalau kau perkenankan,
biarlah aku menolong orangmu itu. Dan orang itu sa"ma sekali
bukan petugas di sini. Seterusnya kita akan berbicara dengan
mulut, bukan dengan ujung senjata macam apa pun juga."
"Jangan mencoba menghindari tanggung jawab. Sekarang
serahkan kedua tanganmu. Kau memang harus diikat."
"Jangan bertindak sendiri," berkata Wanakerti. "Aku juga
seorang petugas seperti kau. Kau bukan pimpi"nan di sini.
Kau dan aku tidak akan berbeda. Hakmu sa"ma dengan
hakku dan wewenangmu sama dengan wewenangku."
"Tetapi ada yang lain," petugas itu menggeram,
"kemampuanmu sama sekali tidak akan dapat menyamai
kemampuanku. Kau tidak lebih baik dari orang yang tinggi
kekar, yang sama sekali tidak berdaya melawan anak yang
gemuk itu. Dan kau tidak akan dapat melawan aku."
"Aku tidak sendiri," suara Wanakerti menjadi be"rat.
Meskipun ia sadar, bahwa petugas yang berkumis itu pasti
mempunyai kelebihan dari para petugas yang lain. Tetapi
Wanakerti pun sadar bahwa petugas yang seorang ini pasti
mempunyai latar belakang tersendiri pula, sehing"ga ia
bertindak sebelum membicarakannya dengan kawankawannya.
Dalam pada itu, para petugas yang lain pun telah berada di
sekitar Wanakerti. Wajah mereka menjadi tegang. Betapapun
juga, setelah Wanakerti menyatakan perasaan"nya, para
pengawas yang lain pun ikut pula menyadari, apakah yang
sebenarnya mereka hadapi.
Pengawas yang berkumis itu pun menjadi bertambah
tegang. Sekali-sekali dipalingkannya wajahnya kepada orang
yang pingsan di samping seonggok batu padas. Dengan
de"mikian, maka segalanya telah berubah. Orang yang
ping"san itu sama sekali tidak lagi dapat membantunya.
Meskipun demikian pengawas yang gemuk itu sama sekali
tidak menyerah. Tiba-tiba saja ia mencabut pedangnya sambil
berkata lantang, "Aku telah bertindak tepat me"nurut
pendapatku. Siapa pun yang akan menghalangi, ha"rus aku
singkirkan. Aku tidak peduli apakah mereka itu para petugas
sendiri." Wanakerti maju selangkah. Katanya, "Pemimpin ki"ta telah
cedera. Kita bukan orang yang terlampau dungu untuk menilai
keadaan. Setiap orang akan dapat menghubungkan, orang
yang tinggi kekar, orang yang kekurus-kurusan, kau, dan
orang yang pingsan itu. Aku tidak tahu, hubungan apakah
yang sudah kalian jalin selama ini. Tetapi sudah tentu, maksud
kalian sama sekali tidak akan kami benarkan. Kami, para
petugas terpaksa harus menangkap kau dan orang-orang lain
itu." "Persetan!" geram orang berkumis itu, "Ayo, siapa dahulu
yang akan mati." Agung Sedayu menjadi bingung. Tetapi ketika ia maju
selangkah, Wanakerti berkata, "Serahkan kepada kami.
Kamilah yang akan menyelesaikannya."
Orang berkumis itu menggeram. Dengan mata yang
kemerah-merahan dilihatnya tiga orang pengawas telah
me"ngepungnya. "Menyerahlah. Kami yang seharusnya berlima, kini tinggal
bertiga, setelah pemimpin kami terluka dan kau berada di luar
lingkungan kami. Tetapi kami masih tetap akan menjalankan
tugas kami sebaik-baiknya."
Pengawas yang berkumis itu memandang ketiga kawannya
berganti-ganti. Wajah yang tegang menjadi semakin tegang.
Namun tiba-tiba saja ia tertawa berkepanjangan.
"Aku mengenal kalian bertiga dengan baik," ber"kata orang
berkumis itu di antara derai tertawanya. "Ka"lian sama sekali
tidak akan mampu berbuat apa-apa. Aku tahu pasti, bahwa
kalian adalah pengecut-pengecut yang hanya mampu
menyembunyikan diri. Coba katakan kepadaku, kenapa kalian
semalam tidak berani keluar dari gardu pengawas itu
meskipun kalian tahu, bahwa rumah ini terbakar" Kalian
adalah petugas yang harus menjaga keten-teraman daerah
dari apa pun juga. Juga seandainya di daerah ini ada hantuhantu.
Tetapi kalian tidak mampu. Kalian tidak dapat
mengatasi kesulitan hubungan antara para pembuka hutan
dengan hantu-hantu sehingga korban masih saja berjatuhan.
Yang terakhir, suatu isyarat yang sangat berat. Api. Sedang
ketiga orang ini masih saja berkeras kepala."
"Kami akui," jawab Wanakerti, "kami tidak dapat melakukan
tugas kami dengan baik. Ternyata usahamu selama ini telah
berhasil. Kau berhasil menakut-nakuti kami apabila kami akan
melakukan suatu tindakan."
"Itu adalah kebodohan kalian. Kebodohan orang yang
kalian sebut pemimpin kalian itu."
"Jangan banyak bicara," berkata Wanakerti kemu"dian,
"menyerahlah." "Kau gila. Pemimpinmu sudah mati. Sebentar lagi kau dan
semua orang yang tidak tunduk kepada perintahku."
"Kau sudah memberontak kepada Ki Gede Pema"nahan."
"Kau. Kaulah yang sama sekali tidak mampu menjalankan
tugas yang dibebankan kepada kalian. Termasuk pemimpin
yang dungu itu. Nah, apa katamu?"
Wanakerti tidak menyahut. Ia maju selangkah, di"ikuti oleh
kawan-kawannya dari arah yang lain.
"Jadi kita akan bertempur?" bertanya orang ber"kumis itu.
Wanakerti masih tetap diam. Tetapi setapak demi setapak
ia maju terus. Orang berkumis itu pun kemudian segera menyiapkan
dirinya. Agaknya ia tidak akan dapat menghindar lagi. Ia harus
melawan ketiga kawan-kawannya.
Dalam pada itu, Kiai Gringsing sudah berhasil mengatasi
saat-saat yang paling berbahaya dari pemimpin penga"was
yang terluka. Perlahan-lahan pemimpin pengawas itu me"rasa
tubuhnya bertambah baik, meskipun ia menjadi sangat lemah
karena racun-racun yang bertambah tajam. Kalau saja tidak
ada orang tua itu, maka ia pasti sudah mati di dalam beberapa
kejapan mata saja. Kiai Gringsing pun merasa bahwa usahanya berhasil.
Karena itu, kini ia dapat memperhatikan keadaan di
sekitarnya. Ketika ia berpaling, dilihatnya orang yang tinggi
kekar itu sedang menunggui kawannya yang masih ping"san.
"Apakah kawanmu itu akan kau biarkan saja?" bertanya
Gringsing. Orang yang tinggi kekar itu menjadi bingung.
"Kemarilah," berkata Kiai Gringsing.
Orang itu masih saja ragu-ragu.
"Kemarilah. Aku tidak menggigit."
Dengan bimbang orang yang tinggi kekar itu melangkah
mendekati Kiai Gringsing. Kegarangannya selama ini sama
sekali sudah lenyap. Bahkan wajahnya tampak men"jadi
pucat dan suram. "Kau harus mencari air," berkata Kiai Gringsing setelah
orang yang tinggi kekar itu mendekat. "Teteskanlah ke dalam
mulutnya. Setitik demi setitik. Jangan terlam"pau banyak
supaya kau tidak membunuhnya, karena titik air itu justru akan
menyumbat kerongkongannya. Bawalah orang itu ke barak.
Bukankah kau bertubuh raksasa. Kau pasti kuat
membawanya. Nanti aku akan datang menolongnya. Lukaluka
itu tidak berbahaya meskipun terasa sakit se"kali.
Bersihkan darahnya dan usahakan menahan apabila masih
ada yang mengalir dari luka-luka itu. Tetapi luka-luka itu
adalah luka-luka yang dangkal saja.
Orang yang tinggi kekar itu seakan-akan sudah tidak
mampu berpikir sama sekali. Di antara sadar dan tidak, ia
kemudian kembali kepada kawannya yang pingsan.
Diangkatnya kawannya itu dengan kedua tangannya,
kemudian dibawanya meninggalkan arena yang masih diliputi
oleh ketegangan. Karena kini semua perhatian tertuju kepada para pengawas
yang sudah siap untuk bertempur, tidak seorang pun yang
menghiraukan orang yang kekar itu, selain Swandaru. Tetapi
Swandaru pun kemudian membiarkannya ketika ia mendapat
isyarat dari gurunya. "Kenapa orang itu kau biarkan pergi?" bertanya pemimpin
pengawal yang masih terlampau lemah itu.
"Mereka tidak akan pergi. Orang yang tinggi kekar itu sudah
kehabisan nalar. Ia akan menurut apa yang akan aku katakan.
Apalagi keduanya itu pun sama sekali tidak penting. Aku
menganggap bahwa bawahanmu yang berkumis itulah yang
termasuk orang penting dari lingkungan yang belum kita kenal
ini. Juga orang yang pingsan, yang melemparkan pisau ke
punggungmu." Pemimpin pengawas itu mengangguk-angguk. Tetapi tibatiba
ia bertanya, "Siapakah sebenarnya kau dan anakanakmu?"
"Aku dan anak-anakku. Itu sudah betul."
"Ya, namamu dan kedudukanmu."
"Sudah aku katakan. Kami ingin ikut membuka hutan ini
karena kami tidak lagi mempunyai harapan apa-apa di daerah
kami yang lama." "Kau sangka aku percaya?"
"Sekarang tentu tidak. Tetapi biarlah untuk semen"tara
itulah aku. Percaya atau tidak percaya."
Pemimpin pengawas itu menarik nafas dalam-dalam.
"Kau dapat duduk sendiri?" bertanya Kiai Gringsing.
"Ya." "Baiklah. Aku akan mengambil orang yang pingsan itu
sebentar. Sudah tentu aku tidak akan melepaskannya seperti
orang yang kekurus-kurusan itu."
Pemimpin pengawas itu merenung sejenak. Dipandanginya
orang-orang yang sedang mengerumuni para pengawas yang
justru telah berselisih di antara mereka, sehingga pemimpin
pengawas itu tidak dapat melihat, apa yang sedang terjadi di
arena. "Tunggulah, aku tidak akan lama," desis Kiai Gringsing.
Pengawas itu menganggukkan kepalanya.
Kiai Gringsing pun kemudian berjalan dengan tergesa-gesa
ke tempat orang yang sedang pingsan karena hentakkan batu
yang telah dilemparkan oleh Agung Sedayu. Karena
pe"ngawas yang berkumis itu sedang memusatkan
perhatiannya kepada tiga orang lawannya yang
mengepungnya, ma"ka ia sama sekali tidak sempat melihat,
bahwa seseorang telah mengambil orang yang pingsan itu.
Pada saat Kiat Gringsing mendekatinya, ternyata orang itu
sudah mulai membuka matanya. Ia mencoba mengingat-ingat
apa yang sebenarnya telah terjadi. Ketika ia mulai sadar,
maka dengan susah payah ia pun mencoba untuk bangkit.
Tetapi pada saat itu sepasang tangan yang kuat telah
mencengkam pundaknya. Sejenak ia menyeringai, namun
tiba-tiba ia telah kehilangan kesadarannya kembali.
Dengan tergesa-gesa Kiai Gringsing pun kemudian
membawanya kepada pemimpin pengawas yang terluka.
Diletakkannya orang yang pingsan itu di sampingnya sambil
berkata, "Ia masih pingsan. Sebentar lagi ia akan sadar."
"Bagaimana kalau ia lari" Aku sama sekali tidak
mempunyai kekuatan untuk berbuat sesuatu."
"Sebaiknya tangan dan kakinya diikat saja."
Pemimpin pengawas itu mengangguk-anggukkan
kepalanya. Dengan kain panjangnya sendiri, orang itu pun
telah diikat tangan dan kakinya, sehingga apabila ia sadar
kelak ia tidak akan dapat lari dan berbuat apapun.
"Kau sekarang dapat menungguinya," desis Kiai Gringsing.
"Kau?" "Aku akan melihat apa yang terjadi. Agaknya anak buahmu
telah berselisih pendapat."
"Ya. Tetapi ternyata orang yang berkumis itu cukup
berbahaya. Ia pasti mempunyai bekal untuk
menyombong"kan dirinya seperti itu."
"Aku akan melihat. Jagalah orang yang terikat ini baik-baik.
Keadaanmu pun pasti akan segera berangsur baik."
Pengawas itu menganggukkan kepalanya. Dengan susah
payah, dicabutnya pedangnya sambil berkata, "Kalau ia
memberontak aku tinggal menghunjamkan pedangku saja."
"Jangan kau bunuh. Kita memerlukannya."
"Aku tahu. Tetapi ujung pedangku akan dapat menakutnakutinya,
meskipun aku tidak mampu mengangkatnya sama
sekali." Kiai Gringsing mengangguk-anggukkan kepalanya pula.
Namun sejenak kemudian, ia pun pergi meninggalkan
pemimpin pengawas yang masih sangat lemah itu untuk
melihat apa yang telah terjadi di dalam lingkaran orang-orang
yang sedang tegang. Ternyata bahwa suasana telah memuncak. Hampir
bersamaan ketiga pengawas itu telah menyerang.
Tetapi ternyata orang berkumis itu benar-benar tangkas,
dengan lincahnya ia berloncatan menghindari serangan yang
datang dari tiga arah itu. Bahkan ia masih juga sempat
menggeliat, sambil mengayunkan tangan kirinya.
Meskipun tidak terlalu keras, tetapi sisi telapak tangan itu
masih juga sempat mengenai pundak salah seorang
lawannya, sehingga orang itu menyeringai menahan sakit.
Namun dalam pada itu, para pengawas itu pun menjadi
semakin berhati-hati. Mereka menyerang pula berurutan dari
arah yang berlainan. Meskipun demikian, ternyata orang yang berkumis itu
masih mampu untuk menempatkan dirinya. Ia sama sekali
tidak gentar melawan ketiga kawan-kawannya, meskipun
dalam penilaian wajar, ketiga pengawas itu cukup
mem"punyai kemampuan. Bahkan kemampuan seorang
prajurit. Tetapi lawannya yang seorang itu memang seorang
yang memiliki ilmu yang cukup tinggi.
Sejenak mereka bertempur melingkar-lingkar. Semakin
lama semakin seru. Tetapi juga ternyata bahwa ketiga orang
itu tidak akan segera dapat menguasai keadaan.
Agaknya kelima pengawas itu merasa, bahwa dengan
begitu saja mereka tidak akan dapat menangkap orang yang
berkumis itu. Karena itu maka tiba-tiba salah seorang dari
ketiganya telah mencabut pedangnya sambil berkata, "Aku
terpaksa memaksamu untuk menyerah seka"rang."
Tetapi orang yang berkumis itu justru tertawa. Kata"nya,
"Apakah kita akan mempergunakan senjata?"
03 Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Ya," jawab pengawas yang telah mencabut pedangnya.
Orang yang berkumis itu memandanginya sejenak.
Kemudian dipandanginya pula kedua orang lawannya yang
lain. Mereka pun agaknya telah siap pula mencabut senjata
mereka. Yang berdebar-debar kemudian adalah Agung Sedayu,
Swandaru, dan Kiai Gringsing, yang telah ikut menyaksikan
perkelahian itu pula. Agaknya senjata-senjata itu justru akan
berbahaya bagi Wanakerti sendiri bersama kedua kawan"nya.
Menilik sikap dan geraknya, orang yang berkumis itu memang
bukan orang kebanyakan. Ia bukan tataran se"orang
pengawas bawahan. "Siapakah yang menempatkannya di dalam lingkungan
pengawas itu?" bertanya Kiai Gringsing di dalam ha"tinya.
Tanpa sesadarnya ia berpaling. Di sela-sela orang yang
berkerumun, ia melihat tawanannya masih terbaring ditunggui
oleh pemimpin pengawas yang terluka itu.
"Kalianlah yang telah mulai dengan senjata," ber"kata
orang yang berkumis itu. "Kalau terjadi sesuatu atas kalian,
bukan salahku. Sebenarnya aku hanya ingin membawa kalian
menghadap Ki Gede Pemanahan atau Mas Ngabehi Loring
Pasar. Tetapi dengan senjata-senjata itu, mungkin keadaan
akan berbeda. Mungkin ujung senjata kita akan mengambil
keputusan lain. Kalian mengerti?"
Ketiga pengawas yang lain tidak menyahut.
"Nah, bersiaplah," desis orang berkumis itu. Ketiga
pengawas yang lain itu pun masih tetap ber"diam diri.
Wanakerti memandang orang berkumis itu de"ngan dada
yang berdebar-debar. Ia menyadari, bahwa orang yang
berkumis itu memiliki beberapa kelebihan. Tetapi tanggung
jawabnya kini justru serasa tergugah.
Orang berkumis itu bergeser beberapa langkah. Ditatapnya
ketiga ujung pedang lawannya berganti-ganti. Tetapi
tampaknya ia sama sekali tidak gentar menghadapi me"reka.
Di luar lingkaran orang-orang yang dengan tegang
menyak"sikan perkelahian itu, perlahan-lahan orang yang
melemparkan pisau belati beracun ke arah punggung
pemimpin pengawas itu mulai sadar. Perlahan-lahan ia
membuka matanya. Namun kemudian disadarinya bahwa
tangan dan kakinya telah terikat.
"Setan alas!" ia menggeram.
"Apa kabar, Ki Sanak?" sapa pemimpin pengawas yang
ada di belakang orang yang terikat itu.
Dengan susah payah orang itu berpaling. Ia terperanjat
melihat pemimpin pengawas itu duduk sambil meng"genggam
pedang yang teracu kepadanya, "Aku dapat juga
membunuhmu. Meskipun pedangku tidak beracun seperti
pisaumu," pemimpin pengawas itu mengerutkan keningnya,
"He, agaknya kita pernah bertemu."
Orang itu berusaha sama sekali untuk melepaskan
tangannya. Tetapi ia tidak berhasil.
"Ha," berkata pemimpin pengawas itu, "aku ingat, bukankah
kau dukun yang tinggal di gubug sebelah dari gubug yang
roboh oleh angin dua hari yang lalu" He, bukankah kau dukun
itu?" Orang yang terikat itu sama sekali tidak menjawab.
"Kenapa kau lakukan hal itu atasku, he" Apakah kau
termasuk orang-orang yang bergabung dalam suatu
gerombolan dengan maksud-maksud tertentu?"
Orang itu sama sekali tidak menjawab. Tetapi kadangkadang
ia masih menyeringai menahan sakit di dadanya yang
terkena lemparan batu Agung Sedayu.
"Kenapa, he" Selama ini kau dihormati karena kau dapat
menolong sesamamu di sini. Hanya orang-orang yang
me"ngalami gangguan hantu-hantu saja yang tidak dapat kau
obati, itu pun kau dapat menunjukkan agar kami berhubungan
dengan dukun yang tinggal terpencil itu. Ternyata di dalam
keadaan ini kau telah memusuhi kami, para petugas."
Orang itu masih tetap berdiam diri. Kini ia berbaring diam
membelakangi pemimpin pengawas itu.
"Dengar," desis pemimpin pengawas itu, "meski"pun aku
terluka, aku masih dapat membunuhmu."
Dukun itu mengerutkan keningnya ketika terasa ujung
pedang pemimpin pengawas itu menyentuh punggungnya.
"Di bagian inilah kira-kira pisaumu menancap di
punggungku. Aku pun dapat melubangi punggungmu di
bagian ini pula. Tetapi sayang bahwa pedangku tidak
beracun," namun tiba-tiba pemimpin pengawas itu berkata.
"He, inilah pisaumu yang dicabut dari punggungku. Meskipun
sudah merasuk ke tubuhku, namun agaknya masih ada juga
sisa racun yang dapat membumbui darahmu."
Orang itu terkejut sehingga ia tersentak. Tetapi karena kaki
dan tangannya terikat, ia hanya dapat berguling. Dengan
wajah yang tegang ia melihat pemimpin pengawas itu
menggenggam sebilah pisau yang dikenalnya baik-baik.
Pisaunya sendiri. "Kau kenal pisau ini?"
"Jangan. Jangan. Pisau itu sangat beracun."
"Pisau, ini telah tertancap di punggungku. Sampai saat ini
aku masih terlampau lemah karena racun ini. Aku masih
belum mampu berdiri tegak. Tetapi aku masih mampu
bergeser mendekati kau, kemudian menggoreskan pisau ini
memotong urat nadimu di pergelangan tangan."
"Jangan. Jangan."
"Kalau kau mempunyai obat pemunah racun di dalam
tubuhmu, kau pun akan mati juga, karena darahmu akan
mengalir lewat nadimu yang terputus sampai jan"tungmu
kering." "Jangan berbuat begitu."
"Kenapa" Kau sudah berbuat atasku. Kenapa aku tidak
boleh berbuat atasmu?"
"Tetapi, tetapi aku tidak ingin membunuhmu."
Meskipun punggungnya masih terasa pedih, pemim"pin
pengawas itu masih juga dapat tertawa. Katanya, "Kau tidak
bermaksud membunuhku?"
Orang itu terdiam. "Baiklah, aku tidak akan membunuhmu sekarang. Kau
sangat diperlukan bersama seorang pengawasku yang telah
memberontak." Orang itu kian menjadi tegang. Ia sama sekali tidak
menduga bahwa pemimpin pengawas itu masih sempat hidup,
dan masih juga ada orang yang berani melawan kehendak
pengawas yang berkumis itu. Bahkan ternyata orang yang
tinggi kekar dan yang kekurus-kurusan itu sudah tidak
berdaya. "Apa yang kau renungkan?" bertanya pemimpin pengawas
itu. "Bukan apa-apa," jawab dukun yang terikat itu.
"Bukan apa-apa" Tentu kau sedang merenungkan sesuatu.
Apa kau tidak mau menjawab?"
Orang itu terdiam. Tetapi ujung pedang pengawas itu
menyentuh tubuhnya, "Katakan, apa yang sedang kau
renungkan." "Bukan apa-apa," orang itu tergagap.
"Bohong!" pemimpin pengawas itu menekankan ujung
pedangnya. "Atau dengan pisau beracun ini."
"Jangan, jangan. Aku sedang berpikir, kenapa aku telah
terlibat di dalam persoalan yang tidak aku ketahui ini."
"Nah. Kau sebaiknya memang harus menjawab, meskipun
aku tahu bahwa kau berbohong. Kau dapat mengatakan apa
saja, karena aku tidak dapat melihat gambaran dari angananganmu
itu. Tetapi aku bukan orang yang terlampau bodoh
untuk sama sekali tidak dapat mereka-reka, yang sedang kau
pikirkan." Orang itu masih tetap berdiam diri.
"Baiklah aku memang belum mempunyai kekuatan untuk
memaksamu berbicara. Kini aku sedang menunggu akhir dari
perkelahian itu." Tanpa sesadarnya orang itu pun mencoba memandang ke
arah orang-orang yang melingkari para pengawas yang
sedang berselisih itu. Tetapi ia tidak berhasil melihat, selain
punggung-punggung orang-orang yang berdiri dengan
tegangnya. "Kawanmu itu sedang mencoba membela dirinya. Para
pengawas yang lain sudah siap menangkapnya. Dengan
demikian akan mendapat gambaran yang jelas, apakah
sebenarnya yang telah terjadi di daerah ini."
"Kalian tidak akan mendapatkan apa-apa."
"Setidak-tidaknya kami dapat menangkap beberapa orang
yang dapat membahayakan daerah ini."
"Itulah kebodohanmu."
"Apa?" pemimpin pengawal itu membentak. "Kau
menganggap aku bodoh?"
Dukun yang terikat itu merasa ujung pedang pemimpin
pengawas itu semakin menekan tubuhnya. "Coba ulangi lagi,
apakah aku memang terlampau bodoh?"
"Tidak. Bukan maksudku," sahut orang itu dengan serta
merta. "Nah, sebenarnya itulah gambaran angan-anganmu yang
sebenarnya tentang aku. Tetapi biarlah. Aku memang tidak
ingin membunuhmu sekarang."
Orang itu tidak menyahut. Tetapi ia merasa aneh dan
heran, bahwa pemimpin pengawas itu masih saja tetap hidup.
Tidak ada orang yang dapat menyelamatkan diri dari bisa
yang diulaskan pada pisaunya. Tetapi ternyata pemimpin
pengawas itu masih tetap hidup.
Dalam pada itu, ketiga pengawas yang sedang berhadapan
dengan orang berkumis itu, telah mulai menyerang bergantiKang
Zusi - http://kangzusi.com/
ganti, sehingga perkelahian pun telah mulai berlangsung.
Semakin lama menjadi semakin seru dan mendebar-kan
jantung. Meskipun pengawas yang berkumis itu hanya seorang diri
dan harus menghadapi tiga orang kawannya, namun ternyata
ia memang memiliki bekal yang cukup baik, se"hingga ia
masih tetap mampu bertahan.
Bahkan kadang-kadang ia masih juga sempat menyerang
dengan dahsyatnya, sehingga ketiga lawan-lawannya terkejut
karenanya. Demikianlah, maka perkelahian itu semakin lama men"jadi
semakin seru. Namun dengan demikian justru menja"di
semakin nyata, bahwa ketiga pengawas termasuk Wanakerti
sama sekali tidak mampu mengimbangi orang berku"mis itu.
Semakin lama, orang itu justru menjadi semakin lincah.
Pedangnya menyambar-nyambar seperti seekor burung
sikatan. Cepat dan langsung mengarah ke bagian-bagian
yang ber"bahaya. Mereka yang menyaksikan perkelahian itu terperan"jat
ketika tiba-tiba saja mereka mendengar keluhan tertahan, dan
seleret warna merah membekas di lengan salah seorang
pengawas yang bertempur bertiga bersama-sama. Ke-mudian
setitik demi setitik darah mulai mengucur dari luka itu,
menodai bajunya. Sejenak kemudian terdengar suara pengawas yang
berkumis itu tertawa sambil berkata, "Nah. Darah mulai
menitik dari lukamu. Jangan salahkan aku kalau kalian nanti
tidak akan dapat keluar lagi dari lingkaran perkelahian ini."
Demikian lantangnya suara orang berkumis itu sehingga
tanpa sesadarnya dukun yang terluka itu berkata, "Nah. kau
dengar" Apakah kau sangka kawan-kawanmu itu akan
berhasil menangkapnya?"
Pemimpin pengawas itu merenung sejenak. Kemudian ia
mendengar lagi orang berkumis itu berkata keras-keras,
"Jangan menyesal. Semuanya sudah terlanjur. Kita harus
mengakhiri persoalan ini dengan pedang yang sudah di-cabut
dari sarungnya." Tidak terdengar jawaban sama sekali. Tetapi ujung pedang
pemimpin pengawas itu telah menekan tubuh orang yang
terikat itu, "Kau pun akan mati."
"Kenapa aku?" "Kalau orang berkumis itu menang, ia pun akan membunuh
aku pula. Karena itu, sebelum aku mati, kau harus mati lebih
dahulu." "Kenapa aku?" "Jangan berpura-pura. Kenapa kau melempar aku dengan
pisau ketika aku berselisih dengan orang itu?"
"Tetapi, tetapi ?"," orang itu menjadi tergagap.
"Nah, jangan banyak bicara lagi. Kita tunggu. Ka"lau
lingkaran orang-orang itu menyibak, dan yang keluar dari
lingkaran itu pengawas yang berkumis, maka aku akan segera
menghunjamkan pedangku kepadamu dan menyembunyikan
pisau itu di tanganku. Begitu ia mendekat, me"ngayunkan
pedangnya keleherku, aku masih sempat melemparkanya
dengan pisau beracun ini dan melukainya meskipun hanya
sebaris kecil, seperti goresan ujung duri."
"Tetapi, apakah kau tidak berpikir, bahwa dengan
menghidupi aku, kau akan tetap hidup pula?"
"Aku tidak berpengharapan lagi. Kalau aku membiarkan
kau hidup, aku memang teramat bodoh."
Wajah dukun itu menegang sejenak. Ia berusaha untuk
menemukan akal, agar orang berkumis itu berkesem"patan
menolongnya. "Orang ini masih sangat lemah," desisnya di dalam hati,
"kalau aku berguling-guling agak cepat, ia tidak akan mampu
mengejarku. Pada saat aku yakin akan kemenangan
pengawas itu, aku harus cepat-cepat berguling menjauh
sambil berteriak-teriak."
Demikianlah, maka dukun yang terikat itu menunggu
kesempatan untuk mendapatkan pertolongan. Karena itu,
maka ia selalu saja mengawasi, kalau-kalau orang-orang yang
melingkari arena itu mulai menyibak.
Tetapi agaknya perkelahian itu masih berlangsung terus.
Meskipun seorang dari ketiga pengawas yang bertem"pur
bersama itu sudah terluka, namun mereka masih tetap
bertempur mati-matian. Namun keadaan selanjutnya telah membuat beberapa
orang menjadi kian menegang. Agaknya ketiga orang itu sama
sekali tidak akan mampu mengimbangi lawannya yang hanya
seorang itu. Ternyata bahwa seorang yang lain telah tergores
pula oleh senjata orang berkumis itu, bah"kan juga Wanakerti
03 Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
sendiri. Swandaru yang berdiri di belakang Agung Sedayu,
menyaksikan perkelahian itu dengan dada berdebar-debar.
Bahkan kemudian ia melangkah maju sambil meremas ujung
cambuknya. Agung Sedayu menahan nafasnya. Sekali-sekali ia
berpa"ling kepada gurunya yang telah menjadi cemas pula.
Te"tapi Kiai Gringsing masih tetap berdiri diam di tempatnya.
Demikianlah, perkelahian itu semakin lama menjadi
semakin jelas, bahwa ketiga pengawas yang berkelahi
bersama-sama itu berada di dalam bahaya. Orang berkumis
itu dengan lincahnya berloncatan dengan senjata yang
menyambar-nyambar. Meskipun demikian, Wanakerti dan
kedua kawannya telah mencoba berbuat sebaik-baiknya yang
dapat dilakukannya. Mereka mengadakan perlawanan matimatian,
meskipun mereka menyadari bahwa mereka berada di
dalam bahaya yang dapat merampas nyawanya.
Swandaru yang tidak dapat menahan diri melihat
perkelahian itu, berbisik kepada Agung Sedayu, "Apakah kita
akan membiarkan ketiganya mati" Atau seandainya kita akan
berbuat sesuatu, kita menunggu korban itu berjatuhan lebih
dahulu, atau kita tidak akan berbuat apa-apa sama sekali."
"Kita akan berbuat sesuatu," bisik Agung Sedayu. "Berbuat
atau tidak berbuat kita pasti akan tersudut, karena orang
berkumis itu memang berminat membunuh kita. Ketiga
pengawas itu hanya sekedar mencoba mencegah"nya."
"Karena itu kita tidak boleh membiarkan mereka menjadi
korban," Swandaru berdesis pula. "Tetapi apa"kah pedang itu
beracun juga?" "Tampaknya tidak. Pedang itu adalah pedang pengawas.
Orang itu yakin akan dapat mengalahkan lawannya. Tetapi
tidak mustahil bahwa ia membawa senjata beracun pula,
seperti yang lain." Swandaru mengangguk-anggukan kepalanya. Lalu, "Aku
akan mencegah mereka terbunuh."
"Jangan kau. Kau masih lelah. Nafasmu belum pulih."
"Jadi." "Aku akan minta ijin pada guru."
Swandaru mengangguk-angguk. Katanya, "Cepatlah,
sebe"lum salah seorang dari mereka menjadi korban. Apalagi
ketiga-tiganya." Agung Sedayu pun kemudian bergeser mendekati gurunya.
Tetapi sebelum ia mengatakan sesuatu, agaknya gu"runya
telah mengetahuinya, sehingga ia mendahuluinya berkata
lambat, "Hati-hatilah. Pedang itu pasti bukan senjata satusatunya.
Tetapi ingat, jangan bunuh orang itu. Kami
memerlukannya." Agung Sedayu mengangguk. Namun di dalam hati ia
berkata, "Mudah-mudahan aku tidak kehilangan kesempatan
untuk menangkapnya hidup-hidup. Atau justru akulah yang
ditangkapnya." Demikianlah, sejenak kemudian salah seorang pengawas
yang berkelahi itu terloncat surut. Sebuah luka yang agak
dalam telah menyobek bahunya, sehingga ia menjadi semakin
lemah karenanya. Dengan demikian, maka kedudukan ketiga
pengawas itu menjadi semakin sulit.
*** Orang berkumis itu tertegun sejenak. Ketika ia melihat
ketiga lawannya termangu-mangu, ia pun tertawa
berkepanjangan sambil berkata, "Nah, apakah kalian
menyesal?" Ketiga lawannya sama sekali tidak menyahut.
"Sayang, kalian tidak akan mendapat kesempatan lagi."
Wanakerti menggeretakkan giginya. Suara tertawa itu
memang sangat menyakitkan hati.
"Aku sama sekali tidak ingin mendapat belas kasihanmu,"
geram Wanakerti, "karena kami merasa sanggup melakukan
tugas kami sebaik-baiknya. Kau mengerti?"
"Maksudmu kau akan bertempur sampai mati?"
"Maksudku, aku akan membunuhmu."
Orang berkumis itu tertawa semakin keras. Namun tiba-tiba
suara tertawanya berhenti ketika Wanakerti berkata,
"Sebenarnya kami tidak memerlukan kau lagi. Sean"dainya
kau tidak dapat kami tangkap, dan bahkan seandainya kamu
akan mati sekalipun, kami tidak akan berkeberatan. Kawanmu
yang pingsan itu agaknya telah di"ambil oleh para petugas
yang lain. Ia akan dapat banyak memberikan keterangan."
"He," orang itu terkejut. Tetapi ketika ia berpaling yang
dilihatnya adalah orang-orang yang berkerumun.
"Minggir," ia berteriak.
Ternyata beberapa orang menjadi ketakutan dan segera
menyibak. Di sela-sela orang-orang yang telah menyibak itu,
orang berkumis itu hanya dapat melihat seonggok batu padas.
Kawannya memang sudah tidak berada di tempatnya.
"Aku melihat seseorang mengambilnya," berkata
Wanakerti, "dan aku sengaja memancing perhatianmu. Kini,
apa yang hendak kau katakan kepada Ki Gede Pema"nahan
seandainya ia datang kemari?"
Orang berkumis itu menjadi tegang sejenak. Namun
kemudian ia menggeram, "Licik. Licik sekali."
Wanakerti tidak menjawab. Meskipun lukanya terasa pedih,
tetapi ia mencoba untuk tertawa, "Kami tidak berkeberatan
untuk mati. Tetapi segala usahamu di sini akan gagal."
Dalam pada itu, orang yang terikat itu pun dapat
mendengar serba sedikit pembicaraan mereka yang berada di
arena. Apalagi suara orang berkumis yang keras dan lan"tang
itu. Sejenak meloncat di hatinya keinginannya untuk berteriak,
memberitahukan kepada orang berkumis itu, bahwa ia masih
berada di tempat itu, meskipun terikat.
Tetapi ketika mulutnya hampir saja bergerak, ujung pedang
pemimpin pengawas itu telah menyentuh bukan saja
punggung atau lambungnya, tetapi mulutnya.
"Aku tahu, kau akan berteriak memanggilnya," desis
pemimpin pengawas itu. Orang yang terikat itu mengumpat di dalam hati. Tetapi ia
memang tidak mendapat kesempatan untuk berteriak. Karena
itu, ia tidak berhasil memberikan isyarat apa pun kepada
orang berkumis yang berada di arena.
Orang berkumis yang telah berhasil melukai ketiga
lawannya itu menjadi termangu-mangu. Ia sudah berusaha
mence"gah anak gembala tua yang melempar dukun yang
pingsan itu dengan batu. Tetapi kini ternyata ada orang lain
yang melakukannya. "Siapakah yang telah berani mengambilnya?" ia
menggeram. Wanakerti berdesis menahan sakit. Namun kemudian ia
menjawab, "Aku tidak tahu. Tetapi menurut sikap dan
pakaiannya, ia adalah utusan atau setidak-tidaknya pengawas
yang sedang bertugas melihat-lihat perkembangan daerah ini."
"Bohong, kau bohong. Aku tidak mendengar suara kuda.
Kalau benar mereka yang kau maksudkan, mereka pasti
datang berkuda. Mereka tidak akan langsung mengetahui apa
yang telah terjadi di sini."
Wanakerti mengerutkan keningnya. Ia tidak segera dapat
menjawab. Tetapi kemudian ia berkata, "Aku tidak tahu pasti
siapakah yang telah mengambilnya. Tetapi pasti bukan dari
golonganmu." Orang berkumis itu menggeram. Katanya, "Orang itu pasti
belum terlampau jauh. Aku harus menemukannya."
Tiba-tiba saja orang itu ingin segera menyelesaikan
pekerjaannya di arena ini. Karena itu, maka wajahnya menjadi
merah dan tatapan matanya menjadi liar.
"Kalian harus segera mati, supaya aku segera dapat
menangkap orang yang telah mencuri orang yang pingsan itu."
Wanakerti tidak menyahut. Bersama kedua kawankawannya
yang telah terluka ia pun segera bersiap. Tetapi kini
ia sudah berhasil mempengaruhi perasaan orang itu,
se"hingga ia akan selalu diganggu oleh kegelisahannya.
Ternyata bahwa kedua kawan Wanakerti yang telah terluka
itu pun mengerti maksudnya. Mereka harus bertahan sejauhjauh
dapat dilakukan. Semakin lama orang berkumis itu akan
menjadi semakin gelisah, sehingga pengamatannya atas
dirinya sendiri pasti akan berkurang.
Sejenak kemudian maka perkelahian itu pun terulang lagi.
Tetapi meskipun orang berkumis itu menjadi gelisah namun ia
masih tetap garang. Bahkan sikap dan geraknya menjadi
semakin kasar, meskipun kadang-kadang tergesa-gesa dan
kurang cermat. Wanakerti tidak lagi berusaha menyerang. Ia hanya
sekedar bertahan dan mengganggu orang berkumis itu
apabila ia sedang menyerang kawannya yang paling lemah,
yang pundak, tangan dan bahunya sudah terluka.
Meskipun demikian, namun Wanakerti dan kedua
kawannya benar-benar berada di dalam kesulitan. Mereka
semakin terdesak dan kehilangan kesempatan, sehingga pada
suatu saat, orang berkumis itu berteriak, "Aku sudah tidak
sa"bar lagi. Kalian memang harus mati sekarang, di sini."
Pedang orang berkumis itu pun kemudian berputar semakin
cepat menyambar-nyambar ke segala arah.
Namun ia terkejut ketika tiba-tiba saja Agung Sedayu
berkata kepadanya, "He, jangan cemas. Dukun yang pingsan
itu kini sedang diobati. Seseorang telah membawanya ke
tempat Kiai Damar. Karena di sini tidak ada dukun yang lain
selain dirinya sendiri, maka hanya Kiai Damar-lah yang akan
dapat menolongnya." Ternyata kata-kata Agung Sedayu telah menarik perhati"an
orang berkumis itu, sehingga ia tertegun sejenak. Ditatapnya
wajah Agung Sedayu yang telah maju beberapa langkah
mendekatinya. "Darimana kau tahu?" bertanya orang berkumis itu.
"Seseorang telah mengambilnya. Aku kira ia akan dibawa
kepada Kiai Damar." "Ya, darimana kau tahu?"
Pertanyaan itu ternyata telah membingungkan Agung
Sedayu, sehingga sekenanya saja ia menjawab, "Aku hanya
menduga. Tetapi, kenapa kau begitu bernafsu untuk
mempertahankan orang yang pingsan itu" Seharusnya kau
relakan saja orang itu. Karena ia telah melukai pemimpinmu."
"Tidak sekedar melukai. Luka yang sekecil ujung jarum pun
akan berarti kematian."
"Tetapi pemimpinmu masih belum mati."
"Bohong!" Agung Sedayu menjadi ragu-ragu sejenak. Tanpa
sesadarnya ia berpaling kepada gurunya. Ketika gurunya
meng"anggukkan kepalanya, maka ia pun menarik nafas
dalam-dalam. "Baiklah," katanya kemudian kepada orang berkumis itu,
"kau akan dapat melihatnya sendiri."
"Bohong. Kau akan menjebak aku?"
"Tidak," jawab Agung Sedayu.
Namun dalam pada itu, pemimpin pengawas itu pun
menjadi berdebar-debar. Ia sama sekali tidak mengerti
maksud Agung Sedayu. Tetapi percakapan yang sebagian
didengarnya itu telah mendebarkan jantungnya.
Karena itu, maka ia pun menekankan pedangnya kini di
leher tawanannya sambil menyembunyikan pisau di bawah
rerumputan. Setiap saat ia siap menghunjamkan pedang"nya
ke leher tawanannya dan kemudian menggoreskan pisau, itu
apabila orang berkumis itu mendekatinya. Betapa lemah
tubuhnya, tetapi ia pasti masih sanggup melempar"kan pisau
pada jarak yang sangat dekat dan melukainya.
Sejenak kemudian pemimpin pengawas itu malahan
mendengar Agung Sedayu berkata lantang, "Menyibak"lah.
Biarlah orang ini melihat, bahwa pemimpinnya masih dan akan
tetap hidup." Beberapa orang yang mengerumuni arena itu pun segera
menyibak. Dan apa yang dilihat oleh orang berkumis itu
memang telah mengejutkannya. Pemimpin pengawas itu
duduk di rerumputan sambil mengacukan pedang ke leher
dukun yang pingsan itu. "Setan alas, siapakah yang telah berkhianat?" ia berteriak.
Tetapi ketika ia melangkah mendekati mereka Agung Sedayu
berkata, "Jangan pergi ke sana. Perkelahian ini masih belum
selesai." Langkah orang berkumis itu terhenti. Sejenak ia
memandang Agung Sedayu dengan sorot mata yang aneh.
Sekali-sekali ia masih juga memandang Wanakerti dan kedua
ka"wannya berganti-ganti.
Dengan nada yang dalam ia menggeram, "Jadi maksudmu,
agar aku membunuh ketiga orang ini dahulu?"
"Bukan begitu," jawab Agung Sedayu, "sebaiknya kau tidak
usah mengurus orang itu. Pemimpin pengawas itu telah
berhasil menangkap orang yang melempar punggungnya
dengan pisau, dan bahwa orang itu telah terikat di sana.
Biarlah nanti Ki Gede Pemanahan atau puteranya yang akan
mengadili." Orang berkumis itu menjadi termangu-mangu sejenak. Ia
menjadi bingung menghadapi keadaan yang tidak disangkasangkanya.
Banyak hal yang tiba-tiba saja harus dihadapinya.
Hadirnya tiga orang ayah beranak itu sejak semula memang
telah menimbulkan kecurigaan, sehingga dengan segala
macam usaha, bersama-sama dengan kawan-kawannya ia
telah berusaha mengusirnya. Tetapi kini justru ia dihadapkan
pada keadaan yang tidak dimengertinya. Kenapa pemimpin
pengawas itu dapat bertahan dari bisa racun yang sangat
tajam. Dan alangkah menjengkelkan sekali bahwa anak yang
gemuk itu dapat mengalahkan kedua kawannya yang
terdahulu, sehingga ia harus ikut bertindak hari ini bersama
dukun yang justru telah tertangkap itu.
Semuanya sama sekali tidak seperti yang direncanakan,
karena perhitungannya tentang ayah dan kedua anak-anaknya
itu meleset. Dan kini ia harus berhadapan dengan mereka
seorang diri. "Persetan," orang itu menggeram di dalam hatinya, "ketiga
pengawas itu sudah tidak berdaya. Anak ini kalau perlu harus
dibinasakan lebih dahulu."
Karena itu, maka orang berkumis itu kemudian berkata,
"Siapa yang akan menghalangi aku" Aku akan meng"ambil
orang yang terikat itu. Aku memerlukannya."
"Apakah yang akan kau lakukan?"
03 Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Itu urusanku."
"Tetapi ia telah membuat suatu kesalahan yang besar. Dan
adalah wajar sekali kalau dia diikat dan kemu"dian diserahkan
kepada Ki Gede Pemanahan."
Orang berkumis itu berpikir sejenak. Siapakah yang telah
mengikat orang itu" Sudah pasti ada orang yang telah
melakukannya. Apalagi pemimpin pengawas itu masih juga
belum mati meskipun punggungnya telah terkena racun.
Dalam kebingungan itu terdengar suara Agung Sedayu,
"Sudahlah. Jangan berbuat sesuatu yang dapat men"jeratmu
sendiri. Lebih baik kau menyerah. Kami tidak akan
membunuhmu seperti apabila kau yang menguasai kami.
Kami adalah orang-orang yang mengerti tentang keharus"an
mempergunakan saluran-saluran tertentu untuk menjatuhkan
hukuman, meskipun kami dapat menguasai kau. Meski"pun
dengan sewenang-wenang kami dapat memperlakukan apa
saja atasmu. Tetapi kami pun sadar, bahwa itu tidak akan
dibenarkan oleh Ki Gede Pemanahan dan puteranya, Raden
Sutawijaya, sehingga kami harus membawamu menghadap
sesuai dengan keharusan yang berlaku." Sambil terpaling
kepada para pengawas yang sudah terluka ia bertanya,
"Bukankah begitu?"
"Kalau ia menyerah," sahut Wanakerti. "Tetapi ia sudah
melakukan perlawanan dan melukai kami."
"Meskipun demikian, kalau ia menyerah, ia akan mendapat
kesempatan." "Tetapi kalau ia melawan, kami akan membunuh"nya
berramai-ramai. Bahkan kami akan mempergunakan tenaga
orang-orang yang ada di sini untuk menangkapnya atau
membunuhnya seperti rapogan macan di alun-alun."
Orang berkumis itu menjadi tegang.
"Karena itu, menyerahlah selagi masih ada kesempatan.
Kau tidak mempunyai kawan lagi yang dapat membantumu,
sedang kami ini mempunyai banyak sekali tenaga yang dapat
berbuat sesuatu atasmu."
Sejenak orang itu masih berdiam diri. Namun tiba-tiba ia
menggeram, "Ayo, siapa yang akan menangkap aku?" Bahkan
kemudian ia berteriak, "Siapa" Siapa yang akan ikut campur di
dalam perkelahian ini" Mari, mari." Sejenak kemudian orang
berkumis itu mengacukan pedangnya kepada orang-orang
yang mengerumuni arena itu, "Mari, mari, siapa yang akan ikut
mati di sini?" Tetapi orang-orang yang berdiri di sekitarnya itu pun
berdesakan mundur. Mereka adalah petani-petani miskin yang
mem"pertaruhkan waktunya dengan suatu harapan,
membuka tanah baru untuk keluarga mereka. Mereka sama
sekali tidak ingin melakukan apa pun yang bersifat kekerasan,
apalagi mempergunakan senjata. Mereka bukan orang-orang
yang biasa berkelahi. Mereka hanya sekedar ingin mem"buka
tanah pertanian baru. "Ayo siapa?" Tidak seorang pun yang berani tetap berdiri di tempatnya.
"Nah, lihat. Mereka adalah kelinci-kelinci yang ketakutan
melihat taring serigala. Ayo, jangan terlampau lama. Kita
selesaikan persoalan kita, kemudian aku akan menyelesaikan
pemimpin pengawas yang dungu itu."
Orang berkumis itu telah menjadi liar. Matanya menjadi
merah dan nafasnya tersengal-sengal. Selangkah ia maju
mendekati Wanakerti sambil berdesis, "Kaulah yang ha"rus
mati lebih dahulu." Agung Sedayu melihat suasana yang semakin berat bagi
Wanakerti dan kawan-kawannya. Mereka pasti tidak akan
dapat bertahan lebih lama lagi. Luka-luka mereka pun perlu
mendapat perawatan agar mereka tidak menjadi kehabisan
darah. "Kalau sudah terlampau lemah karena luka-luka itu,"
berkata Agung Sedayu kepada Wanakerti, "beristirahatlah.
Rawatlah luka-lukamu agar darahnya berhenti mengalir."
Wanakerti mengerutkan keningnya. Tetapi ia harus
mengakui bahwa tangannya memang sudah hampir tidak
dapat bergerak lagi. Apalagi kawannya yang mengalami
tekanan yang lebih berat, serta luka-lukanya pun lebih parah.
Tetapi apakah ia dapat melepaskan tugasnya begitu saja"
Padahal ia tahu pasti bahwa orang itu cukup berbahaya,
bahkan agaknya ia memang telah bersepakat untuk
membunuh pemimpinnya. "Aku harus menangkapnya," Wanakerti mengge"ram, "atau
aku harus beristirahat dan membiarkan ia membunuh aku,
kawan-kawanku, serta pemimpin kami itu?"
"Aku akan mencoba mencegahnya," desis Agung Sedayu.
Wanakerti memandang Agung Sedayu sejenak. Anak itu
tampaknya memang tidak bergurau. Tetapi apakah ia mampu
melawan orang berkumis itu seorang diri"
"He," teriak orang berkumis, "jadi kaulah yang akan
menggantikan ketiga pengawas ini, he" Kau memang
terlampau sombong. Tiga orang bersenjata pedang tidak
berhasil mengalahkan aku. Apa kau sangka karena adikmu
yang gemuk itu mampu mengalahkan kedua cucurut itu, lalu
kau pun dapat mengalahkan aku?"
"Soalnya bukan kalah atau menang. Tetapi kami yakin,
bahwa kami akan dapat menghentikan segala macam
perbuatanmu yang telah menggoncangkan daerah ini."
"Persetan!" ia menggeram. "Kalian memang ingin mati."
"Tentu tidak. Kami akan dapat berbuat banyak. Kalau aku
tidak dapat menangkap kau sendiri, maka ketiga pengawas ini
setelah beristirahat akan dapat membantuku. Juga adikku
yang gemuk itu, dan mungkin satu dua orang di antara para
penonton ini pun bersedia membantu meskipun hanya
melempari kau dengan batu dari kejauhan."
"Gila, gila! Ayo cepat mulai. Jangan banyak bicara lagi."
Orang berkumis itu pun segera maju mendekati Agung
Sedayu. Pedangnya yang tajam terayun-ayun mengerikan.
Sedang matanya yang merah menjadi semakin merah.
"Kau harus mati. Mati!"
Agung Sedayu memang merasa bahwa ia harus berhatihati.
Ia tidak dapat bergurau melawan orang ini. Kecuali ia
memang mempunyai ilmu yang cukup, orang itu pun telah
dilambari dengan kemarahan yang memuncak. Sehingga
dengan demikian, maka ia harus benar-benar berhati-hati
menghadapinya. Ketika orang itu melangkah semakin dekat. Agung Sedayu
pun segera bersiaga. Orang-orang yang berdiri mengeli"lingi
arena itu menjadi semakin tegang. Bahkan ada di antara
mereka yang menjadi pening, hampir pingsan. Tetapi mereka
tidak dapat berbuat apa-apa.
Namun dengan demikian, mereka hari ini telah melupakan
kerja mereka melanjutkan pembukaan hutan ini. Tetapi
agaknya penyelesaian dari persoalan di arena ini akan
menjadi landasan keadaan daerah ini untuk selanjutnya.
Orang-orang itu mengerutkan keningnya ketika mereka
melihat, seperti Swandaru, Agung Sedayu pun telah mengurai
sesuatu di lambungnya. Sebuah cambuk panjang, seperti
senjata anak yang gemuk itu.
"Setiap gembala memang menyimpan cambuk," desis
Agung Sedayu. Lalu, "Memang cambuk ini mempunyai
bermacam-macam guna."
Orang berkumis itu tidak menyahut. Tetapi ia melang"kah
semakin dekat dan pedangnya kemudian mulai ber"getar.
Agung Sedayu sadar, bahwa orang itu agaknya benarbenar
sudah akan mulai. Karena itu, maka ia pun harus
segera bersiap. Sejenak kemudian, maka orang itu pun telah meloncat
dengan pedang terjulur menyerang Agung Sedayu. Tetapi
Agung Sedayu telah bersiap menghindarinya. Ia meloncat ke
samping sambil mengibaskan cambuknya sendal pancing.
Terdengar cambuk itu meledak memekakkan telinga.
Namun orang berkumis itu pun cukup tangkas. Ia berhasil
menghindari dengan suatu loncatan yang cepat dan panjang.
Agung Sedayu mengerutkan keningnya. Ia semakin
menyadari, bahwa lawannya memang seorang yang memi"liki
ilmu yang cukup. Dengan demikian maka ia tidak boleh
lengah. Ia belum tahu pasti, sampai berapa jauh lawannya
memiliki kemampuan. Sejenak Agung Sedayu memandang wajah gurunya. Dan
wajah itu pun tampaknya menjadi tegang pula karenanya.
Orang berkumis itu pun kemudian telah bersiap pula untuk
menyerang. Tetapi seperti Agung Sedayu, ia menya"dari
bahwa lawannya kali ini meskipun hanya seorang, tetapi lebih
berbahaya dari ketiga pengawas yang hampir saja
dikalahkannya itu. Apalagi senjatanya yang lentur itu
tampaknya memang sangat berbahaya baginya. Dengan
senjata semacam itu pula, anak muda yang gemuk itu berhasil
merebut senjata lawannya.
Sejenak kemudian maka keduanya pun segera terlibat
dalam perkelahian yang semakin lama semakin seru. Setiap
kali terdengar ledakan cambuk Agung Sedayu di antara kilatan
daun pedang lawannya yang memantulkan cahaya matahari,
yang semakin terik pula. Orang yang menyaksikan perkelahian itu pun menjadi
semakin tegang. Mereka seakan-akan telah membeku di
tem"patnya. Mata mereka hampir tidak berkedip sama sekali.
Kedua orang yang berkelahi itu mempunyai kemampuan yang
luar biasa. Masing-masing menguasai senjata yang ada di
tangannya. Pedang orang berkumis itu berputaran seperti baling-baling
melindungi dirinya. Sekali-sekali pedang itu mematuk seperti
seekor ular menyelinap di antara ujung cambuk lawannya.
Sejenak kemudian pedang itu menyambar dengan derasnya,
mendatar setinggi bahu. Orang berkumis itu memang benar-benar cekatan. Apalagi
dilandasi oleh kemarahan yang memuncak, sehingga seolaholah
ia mendapat tambahan kekuatan untuk mengayunkan
pedangnya. Namun cambuk Agung Sedayu mampu mengimbangi
kelincahan ujung pedang itu. Cambuknya berputaran
meledak-ledak. Bahkan sekali-sekali Agung Sedayu berhasil
menyentuh lawannya meskipun tidak meninggalkan bekas.
Namun sentuhan-sentuhan itu semakin lama menjadi semakin
sering. Bah"kan semakin keras. Apalagi setelah Agung
Sedayu berhasil menyesuaikan dirinya dengan tata gerak
lawannya. Maka sejenak kemudian perkelahian itu pun menjadi
semakin cepat. Orang berkumis itu segera menyadari, bah"wa
lawannya bukanlah seorang anak gembala yang sekedar
mampu menyombongkan diri.
Tetapi lebih daripada itu, maka orang berkumis itu pun
menyadari pula, bahwa kedatangan ayah dan kedua anaknya
itu bukanlah sekedar tanpa maksud. Kalau mereka benarbenar
sekedar ingin membuka tanah garapan yang baru,
maka mereka tidak akan berbuat sampai sedemikian jauh.
Namun pendapat itu ternyata justru telah membuatnya
semakin gelisah. Sehingga akhirnya tidak ada kesim"pulan
lain kecuali membinasakan semuanya, selagi hal ini masih
belum didengar oleh lingkungan yang lebih tinggi lagi. Ia akan
dapat membuat ceritera apa pun untuk menge"labuhi
atasannya. Sedangkan orang-orang lain yang menyaksi"kan
perkelahian itu, akan dapat dibungkamnya dengan menakutnakuti
dan mengancam mereka. Mereka pasti akan menjadi
semakin ketakutan apabila kepada mereka diyakinkan bahwa
apa yang telah terjadi, telah membuat hantu-hantu Alas
Mentaok menjadi semakin marah. Mereka ma"sih belum
kehilangan kepercayaan mereka terhadap hantu.
Dengan demikian maka orang berkumis itu pun kemu"dian
berkelahi semakin garang. Pedangnya berputar-putar dan
menyambar-nyambar dengan cepatnya.
Namun lawannya pun dapat berbuat lebih cepat pula.
Pedang itu sama sekali tidak berhasil menyentuh tubuh Agung
Sedayu sama sekali. Swandaru menyaksikan perkelahian itu dengan tegangnya.
Namun Kiai Gringsing kemudian menarik nafas dalam-dalam.
Ia yakin bahwa Agung Sedayu akan dapat menpertahankan
dirinya kalau ia tidak membuat kesalahan.
Sementara itu, pemimpin pengawas yang terluka di
punggungnya masih juga meletakkan ujung pedangnya di
tubuh tawanannya. Bahkan kemudian seperti acuh tak acuh
dibiarkan ujung pedang itu menyentuh-nyentuh lehernya.
Dukun yang terikat itu mengumpat-umpat di dalam hati.
Apalagi ketika ia melihat pemimpin pengawas itu kini sama
sekali tidak memegangi hulu pedangnya. Diletakkannya saja
hulu pedang itu dipangkuannya, sedang ujungnya terasa
menyentuh-nyentuh kulit lehernya.
Tetapi akhirnya orang yang terikat itu tidak dapat
membiarkan ujung pedang itu semakin menekan lehernya
sehingga sambil beringsut ia berkata, "Ujung pedang itu
menyakiti leherku. Kalau kau bergerak tanpa kau sadari,
ujungnya dapat menembus tenggorokan."
"O, maaf. Tetapi aku tidak sempat memegangi tangkainya.
Tanganku masih terlampau lemah karena luka di punggung.
Agaknya luka di leher memang lebih berbahaya dari luka di
punggung. Tetapi apa boleh buat. Kalau kau tidak melukai
punggungku, maka aku akan dapat meng"genggam tangkai
pedangku itu. Tetapi sekarang aku mera"sa sangat malas.
Kalau terpaksa ujungnya perlahan-lahan masuk ke lehermu,
itu namanya suatu kecelakaan. Maaf."
"Anak setan!" orang itu mengumpat. Tetapi mulut"nya
segera terkatup ketika pemimpin pengawas itu justru
menekankan ujung pedangnya sambil bertanya, "Apa" Apa
katamu?" Tawanannya hanya diam saja.
"Ayo, ulangi." Dukun yang terikat itu menggeleng sambil menyeringai.
"Kalau sekali lagi kau mengumpat, aku gores lehermu
dengan ujung pedang ini."
Sekali lagi dukun itu menggelengkan kepalanya.
Dalam pada itu perkelahian di arena menjadi semakin
sengit. Namun ternyata, ujung cambuk Agung Sedayu
semakin banyak membuat jalur-jalur mereka di kulit lawannya,
sehingga pada suatu saat, darah telah menitik dari lukalukanya.
Orang berkumis itu menggeram. Ia tidak akan dapat
membiarkan dirinya menjadi tawanan. Ia tidak mau di tangkap
03 Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
oleh siapa pun juga. Kini ia harus menghadapi suatu
kenyataan, bahwa ia tidak akan dapat mengalahkan anak
muda itu. Apalagi apabila adiknya yang gemuk, yang sudah
mendapat kesempatan beristirahat, bersama-sama dengan
para pengawas yang lain akan bertindak.
Tetapi ia tidak mendapatkan cara untuk melepaskan diri.
Ketika ia mencoba memandang orang-orang yang berdiri di
paling depan dari lingkaran perkelahian itu, hatinya menjadi
semakin berdebar-debar. Ia melihat anak muda yang gemuk
itu masih menggenggam cambuknya, kemudian ke"tiga
pengawas yang berpencar. Agaknya mereka telah berhasil
memampatkan darah dari luka-luka mereka. Dan orang
berkumis itu sama sekali tidak mengetahuinya, bahwa
gembala tua itulah yang telah membagikan obat untuk
mereka. Orang berkumis itu kini benar-benar merasa terkepung.
Meskipun ia tidak dapat dikalahkan oleh ketiga pengawas itu,
namun di pinggir arena itu berdiri ketiganya dan anak yang
gemuk itu, ditambah lawannya yang masih segar di arena
dengan cambuk di tangan. Tetapi ia tidak boleh menyerah. Apa pun yang akan terjadi
atasnya, bahkan mati pun akan lebih baik daripada ia dapat
ditangkap dan diperas segala macam keterangan yang
diketahuinya. "Persetan dukun itu!" ia menggeram di dalam hati"nya. "Ia
tidak akan membuka mulutnya kalau ia benar-benar seorang
jantan. Ia harus mati pula seandainya aku mati di arena ini."
Namun orang berkumis itu masih mempunyai harapan
betapapun tipisnya. Seperti dugaan Kiai Gringsing, pedang itu
memang bukan satu-satunya senjatanya.
Kiai Gringsing yang ada di pinggir arena itu pun men"jadi
semakin waspada. Semakin terdesak lawan Agung Sedayu,
Kiai Gringsing pun semakin tajam mengamati gerak orang
berkumis itu. Dalam keadaan yang terjepit dan putus asa ia
akan dapat melakukan sesuatu yang sangat berba"haya bagi
Agung Sedayu. Demikiankah, maka kemudian ternyata dugaan Kiai
Gringsing itu tidak salah. Setelah orang berkumis itu benarbenar
merasa tidak dapat bertahan lagi, maka sampailah ia
kepada puncak kemampuan yang ada padanya. Oleh
keputus-asaan yang tidak terhindarkan lagi, maka ia bertekad
untuk berbuat apa saja yang dapat dilakukan.
"Aku tidak mau mati sendiri. Biarlah kita mati bersama,"
katanya di dalam hati. "Apabila di dalam puncak perkelahian
ini beberapa orang di luar arena menjadi kor"ban, itu sama
sekali bukan salahku."
Sesaat kemudian terasa oleh Agung Sedayu, orang
ber"kumis itu mengerahkan segenap kemampuan yang ada
padanya. Dengan sisa tenaganya, ia menyerang Agung
Se"dayu dengan garangnya. Namun seperti seranganserangannya
yang lampau, maka ia sama sekali tidak berhasil
mengenai lawan-nya, meskipun di dalam keadaan terakhir
Agung Sedayu pun telah menjadi basah oleh keringatnya.
Bahkan nafasnya pun menjadi semakin cepat mengalir. Ia
telah memeras tenaga"nya untuk selalu menghindari
serangan-serangan lawannya yang berbahaya dan menahan
serangan-serangan itu dengan lecutan-lecutan cambuk yang
memekakkan telinga. Namun dengan demi"kian, ia sudah
mengerahkan sebagian besar tenaganya.
Dalam keadaan yang demikian itulah, ia harus semakin
berhati-hati, karena seperti peringatan yang diberikan oleh
gurunya, bahwa pedang itu bukan satu-satunya senjata
lawannya. Kiai Gringsing pun tanpa sesadarnya melangkah maju. Ia
melihat pandangan yang aneh memancar di mata orang
berkumis itu. Sejenak kemudian, sekali lagi orang itu menyerang Agung
Sedayu dengan sisa tenaganya. Namun ketika cam"buk
Agung Sedayu meledak dan mengenai pundaknya ia terloncat
mundur. Tetapi pada saat ia berputar menjauhi lawannya, Kiai
Gringsing melihat bagaimana ia menarik sebuah bumbung
kecil dari kantong ikat pinggangnya. Kemudian dicabutnya
tutup bumbung kecil itu. Ketika ia menghadap Agung
Se"dayu, maka dengan tangan kiri ia sudah siap menyerang
Agung Sedayu dengan bumbung itu.
Agung Sedayu melihat juga bumbung kecil itu. Tetapi ia
tidak segera mengerti, bagaimanakah cara lawannya
menyerang dengan senjatanya yang aneh. Semula ia
me"ngira bahwa bumbung itu akan dilemparkannya dengan
kekuatan yang melampaui kekuatan manusia sewajarnya,
didukung oleh tenaga cadangan yang ada di dalam dirinya.
Karena itu, ia pun segera bersiap untuk menghindarinya.
Karena ia tidak dapat menduga betapa besar tenaga itu, maka
yang paling baik adalah menghindari benturan de"ngan cara
apa pun, karena ia sendiri masih belum berhasil sepenuhnya
mengungkat tenaga cadangan yang ada di dalam dirinya
untuk dibangunkan setiap saat, dan dalam waktu yang hanya
sekejap. Sejenak kemudian ia melihat mata orang berkumis itu
menjadi liar. Diedarkannya tatapan matanya ke sekelilingnya.
Namun kemudian ia menggeram, "Kalian semua akan mati.
Kalian semua yang berdiri di hadapanku. Kemudian akan
datang giliran orang-orang lain yang ada di seputar arena ini."
Kata-kata dalam nada yang dalam itu telah mendirikan
segenap bulu-bulu di tubuh orang-orang yang mendengarnya.
Apalagi apabila terlihat oleh mereka, mata orang berkumis
yang menjadi merah dan liar itu.
Sejenak ia masih mengacu-acukan bumbung itu. Katanya,
"Jangan menyesal. Serbuk beracun ini akan membunuh
kalian. Aku akan menaburkannya. Setiap butir, akan
mem"bunuh seorang dari antara kalian."
Ancaman itu benar-benar sangat mengerikan. Bahkan
Agung Sedayu pun tertegun sejenak. Tetapi akhirnya ia sadar,
bahwa orang itu tidak hanya sekedar menakut-nakuti, karena
orang-orang di dalam lingkungan mereka adalah orang-orang
yang selalu bermain-main dengan racun. Karena itu ia pun
segera mengerti, bahwa bumbung itu memang berisi serbuk
racun yang keras sekali. Sebentar lagi orang itu pasti akan mengibaskan bumbung
itu, sehingga isinya akan menghambur keluar, ber"pencar
mengenai orang-orang yang ada di bagian depannya.
Agaknya ia masih belum akan puas. Ia akan berputar dengan
bumbung yang lain dan mengibaskannya pula, se"hingga
orang-orang yang terkena kemudian akan mati.
"Gila," desis Agung Sedayu, "jangan bermain-main dengan
racun." Orang itu menatap Agung Sedayu sejenak, namun
kemudian ia tertawa terbahak-bahak, "Nah, ternyata kau pun
menjadi ketakutan mendengar ancaman ini. Tetapi apa boleh
buat. Kau memang harus mati. Kalau ada orang lain yang
akan mati pula, itu adalah nasib mereka. Nasib me"reka lah
yang memang kurang baik pada hari ini."
Agung Sedayu memandang bumbung itu dengan wajah
yang tegang. Jarak yang memisahkan mereka cukup
pan"jang, karena orang berkumis itu meloncat beberapa
lang"kah surut. "Kalau kau mendekat, maka itu akan berarti mempercepat
kematianmu bersama dengan orang-orang di sekitarmu,"
berkata orang itu lantang.
"Itu tidak adil," sahut Agung Sedayu, "hanya aku"lah yang
bertempur melawan kau. Kau tidak seharusnya membunuh
orang lain kecuali aku."
"Aku sudah bertempur melawan tiga cucurut itu. Mereka
pun harus mati. Kemudian anak muda yang gemuk itu, kau,
ayahmu, pemimpin pengawas yang dungu itu dan orang-orang
yang berdiri di sekitar arena ini, yang melihat kecu"rangan
dan pengkhianatan kalian tetapi tidak mau berbuat apa-apa.
Itu pun merupakan suatu kesalahan yang tidak dapat
dimaafkan." Agung Sedayu tidak menyahut. Dipandanginya saja
bumbung di tangan kiri orang berkumis itu, sedang di tangan
kanan masih tetap tergenggam pedangnya.
"Isi bumbung itulah agaknya yang berbahaya," berkata
Agung Sedayu di dalam hatinya. Tetapi ia masih belum dapat
menebak dengan pasti, apakah isi itu. Namun yang pasti,
senjata itu mengandung racun. Serbuk racun apa pun
wujudnya. Serbuk besi, baja, batu atau tulang"
Karena itu, maka ia harus berhati-hati. Ia sudah mene"rima
obat pemunah racun dari gurunya. Tetapi kalau ser"buk racun
itu mengenai seluruh atau sebagian besar tubuh"nya, apakah
ia sempat melumurkan obat itu" Dan apakah obat yang
ditelannya sudah cukup kuat untuk menahan racun yang keras
dan tajam, yang tersimpan di dalam ser"buk itu" Bahkan
seandainya mungkin, untuk beberapa saat ia akan kehilangan
kesempatan untuk melawan. Demikian juga orang-orang lain.
Agung Sedayu menjadi berdebar-debar. Ujung cambuknya
tidak dapat mencapai jarak antara dirinya dan orang
ber"kumis itu. Dalam ketegangan itu ia mendengar orang berkumis itu
tertawa, "Jangan menjadi pucat. Apakah kau ketakutan?"
Agung Sedaya menggeram. Ketika ia memandang gurunya
dan Swandaru, mereka pun berdiri pada jarak yang tidak
tercapai oleh juntai cambuk mereka.
"Ha, kau akan minta tolong kepada adikmu yang gemuk
itu?" desis orang berkumis itu, "Jangan coba-coba. Setiap
gerak dari siapa pun juga akan berakibat gawat. Aku masih
memberi kau kesempatan mengucapkan pesan ter"akhir
sebelum aku mengibaskan bumbung ini."
Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Sejenak
dilihat"nya bumbung di tangan kiri orang berkumis itu.
"Cepat!" bentaknya, "Kalau kau tidak mau ber"bicara, aku
akan segera membunuhmu."
Perlahan-lahan orang berkumis itu mengangkat
bumbung"nya tinggi-tinggi.
Dada Agung Sedayu menjadi semakin berdebar-debar.
Tiba-tiba saja ia menjadi gelisah. Sekali-sekali ditatapnya
wajah gurunya, kemudian wajah adiknya yang gemuk.
Diremas"nya tangkai dan ujung cambuknya dan bahkan
kemudian diacukannya cambuknya itu sambil berkata,
"Tunggu. Tunggu sebentar."
"Apa yang harus aku tunggu?" bertanya orang berkumis itu.
"Jangan kau taburkan serbukmu itu dengan cara yang
sama sekali tidak berperikemanusiaan," berkata Agung
Sedayu. "Kau akan membunuh banyak orang di belakangku."
"Sudah aku katakan. Nasib merekalah yang jelek."
"Kalau kau tidak menghendaki aku pergi, biarlah mereka
yang pergi." "Jangan banyak bicara. Aku sudah cukup memberi
kesempatan kepadamu. Sekarang katakan pesanmu."
"Tunggu, tunggu," Agung Sedayu tiba-tiba saja menjadi
tergagap. Sambil mengacu-acukan cambuknya ia berkata,
"aku masih akan berbicara. Tidak tentang diriku sendiri. Tetapi
tentang orang-orang ini."
"Bicaralah tentang dirimu sendiri."
"Tunggu," tangan Agung Sedayu menjadi gemetar, dan
tiba-tiba saja cambuknya terjatuh. Dengan serta-merta ia
memungut cambuknya sambil berkata tergagap, "aku minta
waktu sebentar." Orang berkumis itu tiba-tiba tertawa menyentak. Ia senang
sekali melihat Agung Sedayu yang kebingungan, namun
kemudian ia berkata, "Sudah cukup. Aku sudah muak melihat
kau, meskipun sebenarnya aku senang sekali melihat kau
ketakutan." "Belum, belum cukup. Kau harus memberi kesempatan
orang-orang lain ini pergi. Taburan serbukmu akan membunuh
orang-orang yang tidak bersalah. Apakah kau tidak dapat
mengambil cara lain, misalnya dengan mengumpulkan kami,
orang-orang yang akan kau bunuh dan mengusir orang-orang
yang tidak berkepentingan?"
Orang berkumis itu berpikir sejenak. Ketika seseorang di
pinggir arena bergerak, ia membentak, "Diam di tempatmu!
Atau kau dahulu yang mati."
"Tetapi, tetapi ?"..," minta orang itu, "kami tidak ikut apaapa
di dalam persoalan ini. Kami hanya sekedar melihat."
"Ya, kami tidak bersalah," teriak yang lain.
"Biarkan kami pergi. Kami tidak akan mencampuri
persoalan kalian." "Ya, kami tidak. Kami tidak."
Dan tiba-tiba orang berkumis itu membentak, "Diam. Diam!
Kalian sama sekali tidak membantuku selagi aku dalam
kesulitan. Sekarang kalian mengemis belas kasianku. Gila! Itu
adalah pikiran gila. Matilah kalian bersama anak muda yang
sombong ini, yang merasa dirinya tidak terkalahkan. Sambil
menunggu saat matimu, berdoalah agar kau tidak terjerumus
ke dalam neraka." "Ampunkan kami, ampunkan kami," minta orang-orang
yang berada di pinggir arena. Tanpa mereka sadari mereka
pun mulai berdesak-desakan mencari perlindungan yang satu
pada yang lain, sehingga mereka pun justru dorongmendorong
di antara mereka. "Menyenangkan sekali. Pemandangan yang paling menarik
yang pernah aku lihat. Seorang anak muda perkasa yang
ketakutan menghadapi maut, dan sekelompok tikus-tikus yang
ketakutan pula, saling berdesakan."
*** Namun kini Agung Sedayu sudah tidak menjadi gelisah
lagi. Bahkan kemudian ia maju selangkah sambil berkata,
"Baiklah. Kalau kau sudah tidak mau mendengarkan aku lagi."
Orang berkumis itu mengerutkan keningnya. Sejenak
kemudian ia membentak, "Gila! Kau menantang?"
"Bukan maksudku, tetapi kau sudah tidak mau mendengar
lagi. Apa boleh buat."
Orang itu menjadi tegang. Dipandanginya Agung Sedayu
sejenak. Kemudian ia menggeram, "Bagus! Aku memang
harus cepat-cepat membunuhmu."
Orang itu pun maju selangkah pula. Ia mengangkat tabung
serbuknya semakin tinggi, sedang matanya menjadi semakin
merah dan liar oleh nafsunya yang membakar dadanya. Nafsu
membunuh dan membinasakan lawannya.
03 Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Orang-orang yang berdiri di belakang Agung Sedayu tidak
menghiraukan apa pun lagi. Tiba-tiba mereka berlarian tidak
menentu, saling melanggar dan berdesakan menjauhi arena.
Beberapa orang terjatuh dan terinjak oleh kawan-kawan
mereka. Pada saat itulah orang yang berkumis itu siap untuk
mengibaskan tabung serbuknya. Ia mengangkat bumbungnya
semakin tinggi dan siap mengayunkannya ke arah Agung
Sedayu. Ternyata bukan saja orang-orang yang berada di belakang
Agung Sedayu, tetapi hampir semua orang di sekeliling arena
itu menjadi ketakutan. Mereka merasa bahwa orang berkumis
itu akan membunuh mereka semua dengan ser"buk mautnya.
Karena itu, hampir semua orang berlari-larian berpencaran
tanpa tujuan, asal menjauhi lingkaran yang mengerikan itu.
Orang-orang yang hatinya sekecil menir, bahkan tidak
sem"pat lagi melarikan diri. Mereka terduduk di tanah dengan
tubuh gemetar. Yang masih tetap berdiri tegak di tempatnya adalah Agung
Sedayu, Swandaru dan Kiai Gringsing. Selain mereka adalah
ketiga pengawas yang terluka yang berdiri berpencaran.
Sejenak kemudian, di dalam kekacauan yang kisruh, orangorang
yang berlari-larian itu masih mendengar suara jerit
melengking tinggi. Beberapa orang mencoba menutup telinga
mereka, sambil berlari semakin kencang. Mereka
membayangkan bahwa anak muda yang bersenjata cambuk
itu pun kemudian tergolek di tanah dengan tubuh yang hangus
kebiru-biruan. Ketiga pengawas yang berdiri tegang di pinggir lingkaran
perkelahian itu pun terkejut bukan kepalang. Ter"nyata
mereka, masih sempat melihat orang berkumis itu siap
mengayunkan bumbungnya. Namun tiba-tiba sesuatu telah
membentur bumbung itu, sehingga justru serbuk yang ada di
dalamnya tertumpah mengenai tubuhnya sendiri.
Suara jerit yang melengking itu adalah suara orang
berkumis itu sendiri. Agung Sedayu masih tetap berdiri di tempatnya. Namun
wajahnya menjadi tegang dan bahkan seolah-olah ia
membeku di tempatnya. "Kau berhasil, Agung Sedayu," desis Kiai Gringsing yang
masih menggenggam sebuah bumbung kecil pula meskipun
bumbung ini berisi obat-obat yang berharga, "hampir saja aku
melemparkannya untuk membentur bumbung orang berkumis
itu. Tetapi agaknya kau sendiri telah dapat mengenainya."
Swandaru pun mendekatinya sambil berkata, "Aku akan
melemparkan cambukku. Aku tidak dapat berpikir lagi."
Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam.
"Dari mana kau mendapat batu yang kau lontarkan tepat
mengenai bumbung itu?" bertanya Swandaru.
Agung Sedayu masih mencoba menenangkan jantungnya
yang bergolak. Ketiga pengawas yang masih berdiri di seputar arena maut
itu pun mendekati Agung Sedayu pula. Seperti Swandaru,
mereka pun bertanya, "Darimana kau mendapatkan batu itu?"
"Cambukku telah terjatuh," jawab Agung Sedayu, "ketika
aku memungutnya, aku menggenggam sebutir batu."
"Tetapi kau luar biasa. Kau dapat membidik dengan tepat
bumbung di tangan orang berkumis itu."
"Ya," Agung Sedayu mengangguk-anggukkan kepalanya.
"Jangankan bumbung sebesar itu," sahut Swandaru
dengan bangga, seolah ia sendirilah yang telah berhasil,
"sedang telur burung pipit di pucuk pohon cemara pun dapat
dikenainya." Ketiga pengawas itu mengangguk-anggukkan kepalanya.
"Luar biasa," desis Wanakerti, "kami sudah menyangka,
bahwa kita akan mati bersama-sama."
Agung Sedayu tidak menyahut. Perlahan-lahan ia maju
mendekati orang berkumis yang terbaring di tanah.
Tubuh"nya menjadi merah biru seperti terbakar.
"Apakah Guru tidak dapat berbuat apa-apa atasnya?"
bertanya Agung Sedayu. Kiai Gringsing mendekati orang itu. Tetapi ia berusaha
untuk tidak menyentuh racun yang justru berhamburan di
sekitar tubuh itu. "Racun itu keras sekali. Karena itu jangan terlam"pau
dekat," berkata Kiai Gringsing. Sambil menggeleng-gelengkan
kepalanya ia berkata, "Agaknya aku tidak akan dapat berbuat
apa-apa lagi atasnya. Racun itu sudah menge"nai mata dan
masuk ke dalam jalur pernafasan, karena ser"buk itu
menghambur mengenai wajahnya."
"Jadi kita biarkan orang itu mati?"
"Orang itu sudah mati," jawab Kiai Gringsing.
"O," Agung Sedayu menundukkan kepalanya, "mengerikan
sekali." "Ya," berkata gurunya. "Kalau serbuk itu mengenaimu dan
orang-orang lain, akibatnya akan seperti itu juga. Kau tidak
akan sempat menahan racun itu dengan obat pemunah
macam apa pun." Agung Sedayu mengangguk-anggukkan kepalanya.
"Racun yang berhamburan di sekitar orang itu pun cukup
berbahaya. Karena itu, harus diusahakan untuk
menguranginya." "Apa yang akan Guru lakukan?"
"Aku akan mancoba mencairkan racun pemunahnya,
meskipun hanya sekedar mengurangi ketajaman racun ini.
Racun pemunah itu kita cairkan, kemudian kita siramkan ke
sekeliling tempat itu. Kita akan menunggu sampai besok.
Kalau pemunah itu berhasil, kita akan dapat mengambil mayat
itu dan menguburkannya."
Agung Sedayu mengangguk-anggukkan kepalanya. Ia
benar-benar telah berhadapan dengan sejenis racun yang
tajam sekali. Apalagi apabila racun itu langsung masuk ke
dalam jalur pernafasan. "Untunglah, bahwa aku masih mendapat perlindung"an dari
Yang Maha Kuasa," berkata Agung Sedayu di dalam hatinya.
Nggak Usah Jaim Deh 3 Natasha Karya Viktor Malarek Kisah Sang Budha Dan Para Muridnya 5
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama