03 Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintardja Bagian 9
dapat dibenarkannya. Karena itu, maka untuk selanjutnya, ia
harus menghadapi lawannya, benar-benar seorang melawan
seorang. "Para pengawas pada umumnya memang bodoh" geram
lawannya yang seorang itu "sekarang aku mendapat
kesempatan untuk berbuat sesuka hatlku atasmu. Kau tidak
akan dapat bertahan sepenginang lagi. Atau barangkali kau
akan menyerah?" Pengawas yang seorang itu tidak menyahut. Ia sudah
bertekad untuk bertempur mati-matian.
"Katakan, cara yang manakah yang paling menarik bagimu
untuk mati. Kalau kau menyerah, maka permintaannmu itu
akau aku penuhi. Dipancung atau digantung pada cabang
pepohonan atau cara yang Iain?"
Pengawas itu sama sekali tidak menjawab. Justru ia telah
menyerang semakin garang. Meskipun demikian, kemampuan
orang yang tidak dikenal itu memang lebih tinggi daripadanya.
Sejenak kemudian maka iapun rnenjadi semakin sulit untuk
dapat tetap bertahan. Ketika keadaan hampir tidak dapat dikuasainya lagi, dan
selagi pengawas itu sedang mempertimbangkan dua pilihan
mati atau menarik diri dari perkelahian dan kembali kegardu,
tiba-tiba tiga ekor kuda berderap mendekati tempat itu.
Mereka adalah para pengawas yang sedang menyelusuri
telapak kaki-kai kuda yang mereka ketemukan melingkari
gardu. "Nah, akhirnya kita ketemukan mereka disini" berkatalah
seorang dari mereka. "Ya, inilah orang itu" pengawas yang hampir saja
kehilangan kesempatan itu berteriak, sedang lawannya
menjadi berdebar-debar menghadapi keadaan yang tidak
terduga-duga. "Apakah kalian bertiga?" bertanya pengawas yang sedang
bertempur itu. "Ya." "Susullah orang yang lain. Orang yang tidak dikenal itu
datang berdua. Yang seorang sedang menyusul pengawas
yang membawa pesan itu."
"Berapa orang?"
"Seorang." "Dimana kawanmu."
"Ia sudah mendahului, mengejar orang itu."
Ketiga orang itu berpikir sejenak. Lalu "Berapa orang kau
perlukan kawan disini untuk menangkap orang ini?"
"Satu orang. Berdua dengan aku. Aku sendiri tidak dapat
mengalahkannya, tetapi kalau berdua, kemungkinan untuk
menangkapnya menjadi semakin besar."
Ketiga orang pengawas yang baru datang itu saling
berpandangan sejenak. Kemudian salah seorang dari mereka
maju mendekati kawannya yang sedang bertempur sambil
berkata "Aku akan menangkapnya."
"Baiklah, kami akan mengejar yang seorang lagi.
"Huh" geram orang yang tidak dikenal itu "kalian sangka
kami seekor kambing yang jinak. Ayo, kalian berempat
sekaligus tidak aksn dapat menangkap aku."
"Jangan hiraukan" sahut yang sedang berkelahi
melawannya "kejarlah yang lain. Ia hanya memancing agar
kalian tetap disini."
"Persetan. Kalau kalian ingin membunuh diri, cobalah."
Kedua pengawas itu tidak menghiraukannya lagi. Mereka
segera berpacu menyusul yang seorang lagi, yang sedang
mencoba menangkap pengawas yang bermata tajam, yang
berusaha untuk menyampaikan pesan kepusat Tanah
Mataram. Demikianlah maka dua orang pengawas yang tinggal itu
kini bertempur melawan seorang dari kedua orang . yang tidak
dikenal itu. Ternyata bahwa perhitungan pengawas yang
pertama tidak jauh meleset. Mereka berdua dalam pasangan
yang baik segera dapat mengatasi keadaan.
Dengan demikian maka keduanyapun bertempur lebih
mantap lagi. Mereka ingin menangkap orang yang tidak
dikenal itu hidup-hidup sebagai bahan untuk mencari latar
belakang dari persoalan yang masih gelap itu.
Tetapi orang itupun tidak mudah menyerah. Ia berkelahi
dengan garangnya. Kudanya adalah kuda yang cukup lincah.
Apalagi penunggangnya adalah penunggang yang benarbenar
menguasainya. Demikianlah perkelahian yang terjadi itu semakin lama
menjadi semakin seru. Tetapi meskipun kedua pengawal
Tanah Mataram itu berhasil mendesak lawannya, namun
untuk menangkapnya agaknya terlampau sulit. Bahkan untuk
mengalahkannyapun tidak akan segera dapat dilakukan.
Sementara itu, pengawas bermata tajam yang membawa
pesan untuk para pemimpin Tanah Mataram itu masih saja
berpacu dengan cepatnya. Ia sadar, bahwa jalan yang
ditempuh ternyata menyimpan banyak bahaya yang kadangkadang
tidak diduga-duganya. Karena itu, semakin cepat ia
sampai, akan semakin baik baginya dan bagi Mataram.
Hatinya menjadi berdebar-debar ketika gerbang pusat
Tanah Mataram yang masih bersifat sementara sudah
dilihatnya. Justru ia merasa bahwa kudanya menjadi semakin
lamban. Beberapa ratus langkah lagi ia akan memasuki
gerbang dan dengan demikian kemungkinan bahaya yang
akan mengganggunya akan menjadi semakin berkurang.
Dipintu gerbang itu pasti terdapat beberapa orang pengawal
yang dapat melindunginya apabila ia masih juga dikejar oleh
bahaya. Sesekali pengawas yang berpacu itu masih juga berpaling.
Dan bahkan tiba-tiba dadanya berdesir ketika dikejauhan ia
melihat debu yang mengepul tinggi.
"Masih juga ada yang mengejar aku" desisnya. Dan debu
itupun semakin lama menjadi semakin dekat. Namun demikian
pengawal itu tidak cemas lagi meskipun ia harus berhadapan
dengan siapapun. Sebelum kuda yang berpacu dibelakang itu
menyusulnya, ia pasti sudah sampai diregol pusat Tanah
Mataram. "Orang itu benar-benar tidak mempergunakan otaknya"
gumam pengawas itu kepada diri sendiri "semula aku
menyangka bahwa mereka. adalah orang-orang yang cerdik
meskipun licik. Mereka telah melingkari gardu dan memotong
jalan. Tetapi kini mereka begitu Bernafsu mengejar aku."
Namun demikian ia menjadi berdebar-debar "lalu
bagaimana dengan kedua pengawas yang bertempur
melawannya" Apakah keduanya tidak berhasil menahan
mereka, atau justru mereka telah dapat dikalahkan."
Dan tiba-tiba saja ia menjadi cemas memikirkan nasib
kedua pengawas yang mencoba menahan kedua orang yang
mengejarnya itu. Sejenak kemudian maka kudanyapun menjjadi semakin
dekat dengan regol pusat Tanah Mataram, sedang debu yang
mengepul dibelakangnyapun menjadi sema dekat pula.
Tiba-tiba pengawas itu ingin menunggu. Apalagi setelah
yakin bahwa yang mengejarnya hanya seorang saja.
Karena itu, beberapa puluh langkah didepan regol ia
berhenti. Beberapa ujung senjata telah dilihatnya mencuat dari
mulut gardu diregol itu. Bahkan ia sudah meliha seorang
penjaga berjalan ketengah-tengah gerbang.
"Aku akan menunggunya, Aku ingin tahu nasib kedua
pengawas itu." Sejenak kemudian kuda yang mengejarnya rnenjadi
semakin dekat semakin dekat. Dan tiba-tiba saja pengawas
yang menunggu itu mengerutkan keningnya. Yang
mengejarnya sama sekali bukan salah seorang dari kedua
orang yang tidak dikenal itu, tetapi Justru salah seorang dari
kedua pengawas yang mencoba menahan kedua orang itu.
"He" orang itu berteriak "apakah kau disusul oleh salah
seorang pengejarmu?"
Pengawas itu menggeleng "Tidak. Bukankah ia bertempur
dengan kau dan kawanmu?"
"Tetapi ia melepaskan diri dan mengejarmu. Aku mengejar
dibelakangnya. Namun tiba-tiba diantara semak-semak yang
rimbun dihutan rindang sebelah, orang Itu telah hilang."
"He?" ?"Kalau begitu aku harus segera kembali. Ia pasti melingkar
dan kembali kemedan semula,"
Pengawas bermata tajam itu tidak sempat menyahut.
Tetapi ia kini sadar, bahwa kedua orang yang mengejarnya itu
sama, sekali bukan orang-orang dungu seperti yang
disangkanya. Tetapi mereka benar-benar orang yang cerdik
dan licik. Pengawas itu hanya dapat termangu-mangu sejenak
melihat kawannya berpacu kembali berbalik arah.
Tetapi iapun segera terkejut ketika ia mendengar derap
kuda dari regol sebelah, regol pusat Tanah Mataram.
Ketika ia berpaling dilihatnya dua orang berpacu kearahnya
dengan membawa senjata telanjang. Agaknya mereka adalah
para petugas yang curiga melihatnya, karena mereka masih
belum tahu apa yang sudah dilakukan.
Ketika kedua penunggang kuda itu telah berada beberapa
langkah dihadapannya, maka iapun segera mengenal bahwa
salah seorang dari keduanya telah dikenalnya dengan baik.
"He kau" teriak orang itu "Kenapa kau berada disini?"
"Aku akan menghadap Ki Gede atau Raden Sutawijaya."
jawab pengawas bermata tajam itu.
Kini kedua ekor kuda itu telah berhenti. Dan pengawas dari
gerbang itu bertanya pula "Ada sesuatu yang akan kau
sampaikan?" "Ya. Sesuatu yang penting sekali."
"Siapa yang berkuda itu" bertanya pengawas gerbang itu
sambil memandang debu yang mengepul.
"Aku mempunyai ceritera yang sangat panjang dan berbelitbelit.
Tetapi apakah aku danat menghadap."
"Marilah. Kita akan menghubungi para pemimpin pengawal
yang barangkali dapat membawa kau menghadap. Tetapi
siapa orang itu?" "-Marilah. Aku akan berceritera sambil berjalan."
Ketiganyapun kemudian menuju kegerbang. Pengawas
bermata tajam itu sempat berceritera tentang pokok-pokok
persoalan yang dihadapinya.
"Kalau begitu kau memang harus segera menghadap"
Maka pengawas bermata tajam itupun segera dihadapkan
kepada pemimpin penjaga gerbang yang kemudian
membawanya menghadap para pemimpin Tanah Mataram
yang baru dibuka itu. Dalam pada itu, pengawas yang berpacu kembali itu pun
segera bertemu dengan dua orang kawannya yang
menyusulnya. Dengan heran kedua kawannya itu bertanya
"Kenapa kau kembali" Dimana orang itu."
"Kita kembali. Mereka adalah orang-orang yang licik."
"Ya, tetapi dimana buruanmu?"
"Ia menghilang, ia pasti kembali kemedan semula lewat
diantara pepohonan. Ia agaknya benar-benar menguasai
daerah ini" Ketiganyapun segera berpacu kembali kemedan yang baru
saja mereka tinggalkan. Perhitungan mereka itupun ternyata benar. Orang yang
mereka cari memang melingkar dan bersembunyi di balik
gerumbul untuk mendapat kesempatan kembali kemedan dan
membinasakan pengawas yang seorang lagi. Tetapi ketika ia
sampai dimedan, dilihatnya dua orang pe ngawas sedang
bertempur melawan seorang kawannya.
?"He, kau melawan dua orang kelinci itu" ia ber kata
lantang." "Ya. Dimana buruanmu?" bertanya kawannya sambil
bertempur melawan dua orang pengawas.
"Telah menjadi lumpur. Aku sudah membunuhnya. Kedua
pengawas itu terkejut. Dan mereka mendengar orang itu
tertawa "Jangan terkejut. Sebentar lagi kalian akan menjadi
makanan burung gagak pula."
"Persetan" salah seorang dari kedua pengawas itu
menggeram "kau berdua harus menebus dengan penuh
penyesalan." Tetapi kedua orang itu tertawa hampir berbareng
"Bagaimana mungkin kalian dapat melakukannya" Kalian
akan segera mati pula."
Kedua pengawas itu tidak menyahut, tetapi mereka
bertempur lebih dahsyat lagi.
Seienak kemudian merekapun segera mendengar suara
derap kaki-kaki kuda. Wajah dari orang-orang tak dikenal itu
menjadi liar. Dan tiba-tiba saja salah seorang dari mereka
memberikan isyarat. Sebelum para pengawas menyadari
keadaan mereka, maka tiba-tiba saja kedua orang itu telah
meloncat meninggalkan gelangeang.
"Jangan lari" teriak para pengawas.
Namun mereka tidak menghiraukannya. Kuda-kuda
merekapun segera menyusup kedalam gerumbul-gerumbil liar
dan berlari seperti dikejar hantu.
Para pengawas mencoba mengejarnya. Tetapi mereka
tidak dapat rnengikuti pada jarak yang mantap. Sejenak
kemudian kedua orang itu, seakan-akan telah hilang ditelan
oleh gerumbul-gerumbul liar.
"Kita ikuti jejaknya" desis yang seorang.
"Mereka akan menjadi semakin jauh. Kita tidak akan dapat
mengejar mereka, dan kita tidak tahu, jalan yang mereka
tempuh akan sampai kemana?"
Para pengawas yang lainpun segera sampai ketempat itu
pula. Salah seorang yang paling tua segera berkata
"Berbahaya sekali untuk mengikuti jejak mereka. Seperti yang
sering kita dengar, hutan ini memang menyimpan banyak
sekali rahasia, terutama didaerah Utara. Kini kita melihat
sendiri sebagian. dari isi hutan ini selain hantu2 yang
berkeliaran dimalam hari."
Para pengawas itu hanya dapat mengangguk-anggukan
kepalanya. "Dimana pengawas yang membawa pesan itu" Apakah
benar ia sudah terbunuh?"
"Tidak. Sama sekali tidak. Ia sudah sampai digerbang. Kini
ia pasti sudah menghadapi para pemimpin dipusat Tanah
Mataram itu."
03 Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Para pengawas itu mengangguk-anggukan kepala mereka.
Salah seorang dari mereka berdesis" Perkembangan dari
tanah ini memang harus menghadapi masalah-masalah yang
cukup berat. Kita masih belum berbicara tentang Tanah
disekitar hutan Mentaok. Mangir misalnya. Menoreh dan
daerah sebelah Timur yang subur. Apalagi kalau kita berbicara
tentang Pajang." Yang lain hanya mengangguk-anggukkan kepalanya saja.
Tetapi tidak seorangpun yang menjawab.
"Kita kembali kegardu" desis salah seorang kemudian.
Para pengawas itupun kemudian segera kembali kegardu
mereka. Peristiwa yang baru saja terjadi itu telah berkesan
dihati mereka. Bahkan mereka menjadi berdebar-debar,
apakah tidak ada sesuatu yang telah terjadi digardu yang
sedang mereka tinggalkan itu"
Mereka menarik natas dalam-dalam ketika mereka melihat
gardu masih tetap utuh dengan pengawas yang tinggal
didalamnya. Dalam pada itu, dipusat tanah Mataram, pengawas yang
membawa pesan dari Kiai Gringsing itupun telah dibawa
menghadap beberapa orang pemimpin. Adalah kebetulan
sekali bahwa diantara mereka terdapat Raden Sutawijaya
sendiri. "Apa yang telah terjadi" Hantu-hantu yang mengamuk"."
bertanya Raden Sutawijaya yang bergelar Mas Ngabehi
Loring Pasar. Pengawas bermata tajam itu menggelengkan kepalanya
"Kali ini bukan hantu, tuan."
"Apakah hantu-hantu itu sudah tidak pernah mengganggu
daerahmu lagi?" "Masih. Bahkan yang terakhir menjadi semakin sering
meskipun kami terpaksa membuat pertimbanganpertimbangan
baru tentang hantu-hantu itu."
"Apa katamu?" "Tetapi sebelum semuanya aku sampaikan, apakah aku
boleh mohon sesuatu?"
"Apa?" "Diperjalanan kami, kakang Wanakerti telah menahan
beberapa, orang yang mengejar kami. Aku cemas akan
nasibnya." "He, dimana?" "
"Dijalan lurus yang menuju kemari dari daerah pengawasan
kami. Aku telah mengambil jalan simpang untuk menghindari
mereka." "Sudah lama itu terjadi?"
"Mungkin mereka sedang bertempur sekarang. Aku
berbelok ketika tiga orang mengejar kakang Wanakerti dengan
seorang kawan yang lain."
Raden Sutawijaya mengerutkan keningnya.
"Aku juga mengalami gangguan diperjalanan. Menurut
perkiraan waktu, aku mulai bertempur pada saat kakang
Wanakerti dapat terkejar oleh orang-orang itu. Mudahmudahan
mereka berdua dapat bertahan."
"Apakah kau sudah lama berkelahi?"
"Aku tidak pernah berkelahi bersungguh-sungguh. Aku
hanya sekedar berlari-larianan, karena kawan-kawan yang
lainlah yang selalu menahan pengejar-pengejarku."
"Kalau begitu pasti belum terlampau lama." Sutawijaya
itupun kemudian berpaling kepada seorang pemimpin
pengawal "Bawa lima orang kawan-kawanmu. Lihat, apa yang
terjadi dengan Wanakeri itu."
Pengawal itu mengangguk dalam-dalam. Iapun kemudian
meninggalkan pertemuan itu Bersama lima orang pengawal
yang lain, merekapun kemudian berpacu menyusur jalan
menuju kedaerah pengawasan Wanakerti. Jalan yang hanya
satu jalur. Kalau benar keterangan pengawas yang datang itu,
maka mereka pasti akan menjumpai Wanakerti dan kawannya
diperjalanan itu. "Nah, sekarang katakan apa yang sudah terjadi
didaerahmu" Pengawas bermata tajam itu mengangguk-anggukkan
kepalanya. Sejenak ia mengatur pernefasannya. Kemudian
iapun mulai menceriterakan apa yang sudah terjadi didaerah
pengawasannya sejak beberapa hari yang lalu. Keributan
yang timbul dan beberapa kematian yang sudah terjadi.
Senjata beracun dan mayat yang hilang. Kemudian suara
gemerincing dimalam bari dan perkelahian-perkelahian yang
seru. Sutawijaya mengangguk-anggukkan kepalanya. Meskipun
pengawas yang lelah itu tidak dapat menceriterakan dengan
teratur, namun Sutawijaya dan para pemimpin Tanah Mataram
sudah dapat membayangkan apa yang sudah terjadi.
"Siapakah ketiga orang yang kau katakan telah mengambil
peranan didalam daerahmu itu?"
"Kami mengenalnya bernama Truna Podang tuan."
Sutawijaya mengangguk-anggukkan kepalanya. Nama itu
beum pernah didengamya. "Bagaimana dengan kedua anak-anaknya" Bukankah kau
mengatakan Truna Podang mempunyai dua orang anak lakilaki?"
"Ya, tuan. Yang seorang gemuk dan yang seorang
sedang." Sutawijaya mengerutkan keningnya Kemudian
"senjatanya?" "Mereka bersenjata cambuk, Ya, mereka menyebut diri
mereka sebagai gembala yang hendak mendapatkan daerah
baru karena didaerah mereka yang lama, mereka sama sekali
tidak dapat hidap dengan wajar."
Sutawijaya meng-angguk-anggukkan kepalanya. Desisnya
"Anaknya yang seorang gemuk dan yang seorang sedang.
Mereka bersenjata cambuk. Begitu?"
"Ya." Orang-orang yang ada ditempat itu menjadi heran ketika
mereka melihat Sutawijaya tersenyum. Sambil menganggukanggukkan
kepalanya ia berkata "Baiklah. Biarlah orang yang
menyebut dirinya Truna Podang itu membantu kalian. Untuk
sementara kami tidak berkeberatan. Para pemimpin Tanah
yang sedang kita buka ini mengucapkan terima kasih kepada
mereka." Pengawas bermata tajam itu mengangguk-anggukkan
kepalanya pula, meskipun ia masih juga merasa heran.
Seolah-olah Sutawijaya itu pemah melihat, setidaknya pernah
mendengar serba sedikit tentang Truna Podang itu.
"Jadi, bagaimanakah dengan kami?" bertanya pengawas
bermata tajam. Aku sendiri akan datang" berkata Sutawijaya "daerah
pengawasanmu memang gawat. Tetapi seperti sudah aku
katakan, ketiga orang itu memang dapat membantu."
Pengawas bermata tajam itu mengangguk-anggukkan
kepalanya. Tetapi ia masih tetap heran. Ia merasa bahwa
keterangannya mengenai ketiga orang itu belum cukup
banyak. Tetapi Raden Sutawijaya langsung mempercayai
mereka. "Sebelum aku sempat datang" berkata Sutawijaya
selanjutnya "aku akan mengirimkan beberapa orang untuk
membantu mengawasi daerah itu."
Pengawas bermata tajam itu mengangguk-anggukkan
Kepalanya. "Kita menunggu para pengawal yang menjemput
Wanakerti" berkata Sutawijaya selanjutnya.
Dalam pada itu keadaan Wanakerti benar-benar sudah
parah. Hanya karena ia merasa bertanggungjawab agar pesan
yang dibawa oleh seorang kawannya sampai, ia bertempur
sampai apapun yang akan terjadi atasnya. Apalagi menilik
pengenalan ketiga lawannya atas daerah itu, maka melarikan
diripun bukan jalan yang dapat ditempuh
Disaat-saat terakhir Wanakerti benar-benar sudah hampir
tidak dapat melakukan perlawanan sama sekali. Luka-luka
ditubuhnya sudah silang menyilang didada dan dipunggung.
Meskipun demikian bersama kawannya, Wanakerti masih
tetap menggenggam senjata ditangan.
Namun demikian ia dipaksa untuk mendengar lawanya
berkata sambil tertawa "Jangan menyesal. Aku sedang
menunggu kedua kawanku yang mengejar seorang pengawas
yang licik. Tetapi iapun tidak akan luput dari tangannya. Kalau
kedua kawan-kawanku itu sudah datang, maka kami berlima
akan membunuh kalian. Aku tidak mau mengecewakan kedua
kawanku, karena mereka tidak mendapat bagian melihat suatu
pertunjukan yang sangat menyenangkan ini.
Wanakerti tidak menjawab. Ia merasa sebagai barang
mainan yang nasibnya seolah-olah sama sekali tergantung
kepada ketiga orang lawannya. Demikian juga agaknya
pengawas yang lain, meskipun ia masih juga tetap memegang
senjatanya. Tenaga kedua. pengawas itu sudah hampir lenyap sama
sekali karena darah yang meleleh dari luka. Seandainya ketiga
orang itu ingin segera membunuhnya, maka mereka tidak
akan mendapat kesukaran lagi. Tetapi agaknya mereka
memang ingin membiarkan kedua pengawas itu mengalami
penderitaan sebelum hidup mereka diakhiri.
"Kami harus mendapat keyakinan, apakah yang terjadi
dengan kedua kawan-kawanku" berkata salah seorang dari
mereka "kalau mereka berhasil, maka kalian akan mendapat
jalan kematian yang lebih baik. Tetapi kalau mereka gagal,
maka kemarahan kami akan tertumpah kepa da kalian berdua.
Kami akan mengikat kalian pada sebelah kaki dan akan
menyeret kalian dibelakang kuda kami melintasi semak-semak
berduri. Nah, apakah kalian menyada nasib kalian.
Wanakerti menggeram. Betapapun lemahnya, ia masih
tetap duduk diatas punggung kuda sambil membawa senjata.
Memang dicobanya untuk mencari jalan, melepaskan diri.
Sesekali dipandanginya jalur jalan yang menuju kepusat
Tanah Mataram. Namun kedua pengawas itu tidak akan dapat
dengan mudah melepaskan diri dari arena perkelahian yang
semakin tidak seimbang itu.
Bahkan sebelum kedua pengawas itu mencoba untuk
menghindarkan diri, salah seorang dari ketiga orang yang
tidak dikenal itu sudah mentertawakannya sambil berkata
"Jangan mencoba untuk berlari lagi. Selagi kau masih utuh,
kau tidak dapat melepaskan dirimu. Apalagi sekarang, disaat
nyawamu sudah berada diujung ubun-ubunmu. Wanakerti
menggeram. Tetapi ia memang sudah tidak berdaya.
Dalam pada itu, salah seorang dari ketiga lawannya tibatiba
bertanya "Apakah kita akan menunggu?"
Dan salah seorang diantara mereka menjawab "Ya. Kita
akan menunggu sebentar. Kalau ia dapat membawa yang
seorang itu, maka permainan kita akan lengkap."
"Kita akan membunuh mereka?"
"Apakah tidak sebaiknya kita akan membawa mereka
hidup-hidup. Kita memerlukan mereka bertiga meskipun kelak
kita akan membunuhnya pula dengan cara yang dapat
dipikirkan kemudian. Bukankah Itu lebih baik."
"Aku kira, kita tidak memerlukannya lagi. Keduanya lebih
baik diselesaikan saja sekarang. Mereka akan menjadi beban
pengawasan." tertak yang lain.
"Kita memerlukan keterangan."
"Kita akan mengambilnya digardu pengawas. Disana masih
ada beberapa orang yang pantas untuk memberikan
keterangan. Bahkan pemimpin pengawas yang luka itu."
berkata orang itu dengan garangnya "aku sudah muak melihat
kedua kelinci ini." Kedua kawannya mengerutkan keningnya. Dan orang yang
garang itu berkata selanjutnya "Sudah aku katakan, aku akan
mengikat sebelah kakinya dibelakang kuda. Kita tidak perlu
menunggu lebih lama lagi. Pekerjaan kita masih cukup
banyak." "Yang seorang lagi?" bertanya yang lain.
"Biarlah kedua anak-anak itu yang rnengurusnya. Sejenak
mereka terdiam. Tetapi ketiga pasang mata yang menyala itu
memandangj Wanakerti dengan seorang kawannya, seolaholah
akan membakarnya hidup-hidup.
"Sekarang. Tangkap mereka hidup-hidup. Kemudian
sebelah kakinya. Sebelah saja."
Kedua kawannya saling berpandangan. Kemudian mereka
mengangguk-anggukkan kepala mereka.
Ketiga orang itupun kemudian memencar mengepung
Wanakerti dan kawannya, Semakin lama ketiganya menjadi
semakin rapat. Ditengah-tengah Wanakerti dan kawannya
menjadi semakin tegang pula Namun kemudian Wanakerti
menggeram "Kalian hanya akan dapat menyentuh mayat
kami. Kami masih bersenjata, dan kami masih bertenaga
untuk melawan kalian. Ketiga lawan para pengawas itupun tertegun sejenak.
Memang sulit bagi mereka untuk menangkap keduanya hiduphidup.
Mereka pasti akan melawan dengan segenap sisa
kemampuan mereka. Bagi keduanya memang lebih baik mati
oleh senjata yang membelah dadanya daripada mati bagai
permainan. "Sulit juga untuk menangkap kedua tikus kecil" desis salah
seorang dari mereka yang mengepung kedua pengawas itu
"Kedua tikus yang sudah berputus asa akan dapat membunuh
dirinya dengan cara apapun."
"Aku tidak peduli" desis yang lain "seandainya keduanya
akan membunuh dirinya, apaboleh buat. Kita sudah terlalu
lama menungguinya. Aku sudah jemu. Aku sudah puas
melihat betapa wajahnya dibayangi oleh ketakutan yang tidak
terkirakan." Yang lain mengangguk-anggukkan kepalanya. Dan sejenak
kemudian kuda-kuda itupun sudah bergerak lagi. Semakin la
ma menjadi semakin dekat.
Namun sekali lagi mereka tertegun ketika merek
mendengar derap kaki-kaki kuda mendekat. Dua ekor kuda
yang semakin lama menjadi semakin dekat.
"Itulah kawan-kawan kita" desis salah seorang dari mereka.
Ketiganyapun menjadi termangu-mangu. Dengan ragu-ragu
mereka menunggu. "Bagaimana kalau orang lain?" desis salah seorang dari
mereka. "Kita bunuh sama sekali."
Namun sejenak kemudian muncullah dua ekor kuda. Diatas
punggungnya dua orang duduk dengan nafas terengah-engah.
03 Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"He bagaimana dengan kalian?" bertanya salah seorang
dari ketiganya setelah mereka melihat bahwa yang datang
memang kawan-kawan mereka.
"Tugas kami sudah selesai" jawab mereka hampir
berbareng. "Bagaimana dengan pengawas yang lari itu?"
"Aku sudah membunuhnya. Aku ikat sebongkah batu padas
dikakinya. Kemudian kami lemparkan orang itu hidup-hidup
kedalam rawa-rawa." "Bagus. Sekarang tinggal kedua orang ini. Apakah akan
kita ikat dan kita tarik dibelakang kaki kuda?"
"Tetapi kita harus berbuat cepat"berkata salah seorang dari
kedua orang yang baru datang itu "mungkin ada beberapa
orang yang menyelusuri jejak kami. Tetapi mereka
memerlukan waktu untuk sampai ketempat ini. Meskipun
demikian kita tidak boleh lengah. Kita harus segera
menyelesaikan, apapun cara yang kita kehendaki"
Sejenak orang-orang yang tidak dikenal itu berdiam diri.
Dengan tatapan mata yang liaar dipandanginya Wanakerti dan
kawannya yang masih duduk sambil menggenggam senjata
mereka meskipun hampir diseluruh tubuh mereka telah
tergores luka. "Apakah mereka akan datang?" tiba-tiba salah seorang
bertanya, "Mungkin sekali."
"Kalau begitu kita harus segera membunuhnya" orang itu
menggeram. Namun belum lagi mereka berbuat sesuatu, terdengarlah
pula derap kaki-kaki kuda yang menggetarkan hutan yang
rindang itu. Semakin lama semakin dekat.
"Siapakah mereka itu?" desis salah seorang dari kelima
orang itu. "Tetapi tidak secepat itu. Para pengawal itu memerlukan
waktu yang cukup lama." yang lain menyahut, kemudian
"arahnya tidak sejalan dengan arah yang aku lalui. Mereka
pasti bukan orang-orang yang mengejar aku."
"Lalu siapa?" Kedua orang yang datang kemudian itu menggelengkan
kepalanya. Namun sekilas terlintas didalam angan-angannya,
pengawas bermata tajam itu pasti sudah sampai dipusat
Tanah Mataram. Ia pasti sudah melaporkan apa yang terjadi.
Karena itu, mungkin sekali iring-iringan ini adalah para
pengawal yang mendapat laporan dari pengawas yang
dikejarnya. Tetapi ia sudah terlanjur mengatakan bahwa pengawas itu
sudah dibunuhnya, meskipun maksudnya sama sekali bukan
untuk mengelabui kawan-kawannya, tetapi sekedar untuk
membuat Wanakerti semakin berkecil hati.
Sejenak mereka dicengkam oleh keragu-raguan. Dan
waktu yang sejenak itu telah dipergunakan oleh Wanakerti
sebaik-baiknya. Ketika ia melihat kebimbangan melanda
jantung orang-orang yang mengejarnya itu, maka dengan
tangannya ia memberi isyarat kepada kawannya. Karena itu,
sejenak kemudian maka dengan tiba-tiba mereka telah
melecut kuda-kuda mereka dengan ujung kendali yang segera
meloncat dan berlari sekencang-kencangnya.
"Gila" teriak salah seorang dari mereka "kail tidak akan
lepas dari tangan kami."
Memang orang-orang itupun dengan tangkasnya segera
menyusul. Jarak diantara mereka memang tidak begitu jauh.
Beberapa saat kemudian, Wanakerti pasti tidak akan dapat
melepaskan diri lagi. Tetapi yang membuat kelima orang itu menjadi bimbang
adalah derap kuda yang semakin dekat. Dan mereka tidak
dapat menebak siapakah yang bakal datang itu.
Meskipun Wanakerti juga tidak mengetahui siapa yang
datang, namun ia telah berbuat untung-untungan. Kalau yang
datang itu lawan, biarlah ia mati semakin cepat. Tetapi kalau
yang datahng itu kawan, ia akan mendapatkan harapan untuk
hidup. Kuda-kuda para pengejarnya kini tinggal beberapa langkah
lagi. Sejenak kemudian maka ujung pedang mereka akan
dapat menghunjam dipunggungnya.
Tetapi keduanya tidak menyerah. Sekali mereka berpaling,
dan mereka melihat ujung pedang yang sudah teracu. Namun
keduanyapun masih menggenggam pedang pula ditangan.
Tetapi, dalam pada itu, derap kaki-kaki kuda dihadapan
merekapun telah menjadi semakin dekat pula.
Ketika tiba-tiba kemudian muncul beberapa orang
penunggang kuda dari balik tikungan, hati Wanakerti serasa
tersentuh embun. Jelas baginya bahwa mereka adalah para
pengawal. Karena itu, maka terasa harapan didadanya
menjalar kesegenap tubuhnya. Bukan saja ia ingin untuk tetap
hidup, tetapi apabila seorang kawannya yang telah mengambil
jalan simpang itu benar-benar terbunuh, maka ia masih
mempunyai kesempatan untuk menyampaikan pesan
pemimpirmya dan orang yang menyebut dirinya bernama
Truna Podang itu. Berbeda dengan Wanakerti, maka orang-orang yang
mengejarnya terperanjat ketika mereka melihat para pengawal
itu. Bahkan kedua orang yang mengejar pengawas bermata
tajam itupun tidak menduga bahwa mereka datang begitu
cepatnya. Tetapi kini mereka telah benar-benar berhadapan. Karena
itu, maka tidak ada jalan lain bagi mereka daripada bertempur.
Apalagi ketika mereka melihat bahwa yang datang itu tidak
lebih dari enam orang saja, sedang Wanakerti dan kawannya
sudah tidak berdaya sama sekali.
Meskipun demikian, orang yang mengejar dipaling depan,
masih juga ingin melepaskan sakit hatinya. Karena tangannya
masih belum sempat menjangkau kawan wanakerti yang
berkuda dibelakang, maka tiba-tiba saja ia telah melemparkan
pedangnya kepungguhg pengawas itu.
Para pengawal yang sudah semakin dekat melihat orang itu
mengayunkan tangannya, sehingga salah seorang dari
mereka telah, berteriak. "Awas punggungmu."
Pengawas yang berkuda dibelakang itu berpaling. Ia
melihat pedang meluncur kepunggungnya. Dengan sisa-sisa
tenaganya ia mencoba menangkis serangan itu, tetapi ia tidak
berhasil seluruhnya. Ujung pedang itu sudah terlampau dekat,
sehingga ia hanya sempat merubah arahnya. Tetapi pedang
itu masih juga menghunjam dipundaknya.
Perasaan sakit yang tajam serasa telah menghentakkan
sisa tenaganya. Tanpa sesadarnya tangannya telah menarik
kendali kudanya sehingga kudanya berbelok masuk kedalam
semak-semak dipinggir jalur jalan setapak itu. Tetapi sentuhan
ranting-ranting pepohonan pada tubuhnya sama sekali tidak
tertahan lagi. Sejenak kemudian pengawas itu pun
terpelanting dan jatuh diatas dedaunan kering.
Tetapi ia sudah tidak dapat merasakan apapun lagi.
Semuanya terasa menjadi gelap. Dan sejenak kemudian lapun
menjadi pingsan karenanya,
Wanakerti yang kemudian berpaling, melihat hat itu pula.
Karena itu, tiba-tiba timbullah kemarahan yang meluap-luap
didadanya. Tanpa menghiraukan keadaan dirinya sendiri, ia
menarik kekang kudanya sehingga kudanya telah berputar
menghadap pengejarnya. Untunglah bahwa pada saat itu, para pengawal telah
sampai ditempatnya pula, sehingga ketika para pengejarnya
menyerang Wanakerti yang lemah, beberapa orang pengawal
yang lain sekaligus telah melindunginya. Kuda-kuda mereka
menyambar dengan dahsyatnya, dan tenaga mereka yang
segar telah berhasil menyelamatkan Wanakerti dari sambaran
pedang orang-orang yang sedang rnarah itu.
Seorang pengawal yang lain, langsung memburu ketika ia
melihat seorang diantara orang-orang tidak dikenal Itu
langsung meloncat turun dari kudanya. Ia adalah orang yang
telah melemparkan pedangnya. Agaknya ia sedang berusaha
mengambil pedangnya yang masih tertancap dipundak salah
seorang pengawas yang pingsan itu.
Agaknya ia tidak puas setelah ia berhasil menarik
pedangnya. Dengan geramnya ia mengayunkan pedang itu
keleher Iawannya yang sedang pingsan.
Tetapi ia terkejut ketika sebuah pedang yang lain telah
menyambar pedangnya itu, sehingga hampir saja pedang itu
terloncat dari tangannya.
"Persetan" ia menggeram. Ketika ia memutar tubuhnya,
seorang pengawal telah menyerangnya sambil duduk diatas
punggung kuda. Dengan demikian orang itu terpaksa melayani Iawannya.
Apalagi Iawannya ternyata seorang pengawal yang tangkas.
Kudanyapun kuda yang lincah pula, sehingga setiap kali kakikaki
kuda itu hampir menginjaknya.
Sejenak kemudian orang itu berusaha membebaskan
dirinya. Kemudian ia berlari kekudanya sendiri yang masih
berdiri termangu-mangu. Tetapi pengawai yang marah, yang melihat seorang
kawannya terbaring ditanah tidak membiarkannya. Ia
menyangka bahwa kawannya itu telah terbunuh. Karena itu,
maka darahnyapun telah mendidih sampai kekepala.
Dengan demikian, selagi lawannya meloncat kepunggung
kuda, iapun telah menyambamya dengan ujung senjatanya,
sehingga lawannya menjadi bingung sejenak. Dengan
demikian maka tangannya tidak dapat menguasai kendali
kudanya dengan baik, sehingga kudanyapun kemudian
berputar sambil meringkik.
Saat-saat yang lemah itu ternyata telah mengakhiri semua
petualangan yang pernah dilakukannya. Dengan dahsyatnya
lawannya menyerangnya, dilambari oleh kemarahan yang
meluap-luap. Apalagi pengawal yang datang ini adalah
pengawal pilihan yang mampu mempergunakan senjatanya
sebaik-baiknya. Maka sebelum ia berhasil menempatkan dirinya diatas
punggung kuda, sebuah tusukan yang kuat telah membelah
punggungnya. Sekali terdengar ia mengeluh tertahan,
kemudian dengan sisa tenaganya ia masih mencoba
berpegangan pada suri kudanya. Tetapi sejenak kemudian
kedua tangannyapun terlepas, dan orang itu terjatuh ditanah.
Darah yang merah membasahi rerumputan disekitarnya. Ia
masih sempat mencoba meraih pedangnya yang terjatuh,
tetapi sejenak kemudian iapun menutup matanya untuk
selama-lamanya. Kematian salah seorang dari antara kelima orang yang
tidak dikenal itu telah menumbuhkan kemarahan yang
meluap-luap pada keempat kawan-kawannya. Hampir
berbareng mereka menggeram dan menyerang lawan-lawan
mereka dengan garangnya. Senjata mereka berputaran
dengan dahsyatnya. Sejenak kemudian arena pertempuran itupun menjadi
semakin dahsyat. Tetapi kini jumlah para pengawai menjadi
lebih banyak. Apalagi mereka adalah pengawal-pengawal
pilihan yang masih segar, sehingga karena itu, maka
merekapun segera berhasil menguasai keadaan. Keempat
orang itulah yang kini dalam keadaan terdesak bagaimanapun
juga mereka berusaha. Tetapi ternyata bahwa ikatan diantara mereka agak
berbeda dari ikatan kesatuan para pengawal. Orang-orang Itu
lebih mementingkan keselamatan diri mereka sendiri dari pada
kesetiakawanan. Dengan demikian, ketika mereka merasa
bahwa mereka sudah tidak akan dapat bertahan lagi, maka
mulailah mereka berpikir untuk menyelamatkan diri.
Namun demikian, mereka sama sekali tidak saling
menghiraukan yang satu dari yang lain. Didalam keadaan
yang sulit, mereka harus dapat berusaha menyelamatkan diri
masing-masing. Bahkan kalau perlu, salah seorang dari
mereka dapat dikorbankan oleh kawan-kawan mereka sendiri.
Sejenak kemudian, maka usaha untuk menyelamatkan diri
itupun sudah mulai mereka lakukan. Salah seorang dari
keempat orang yang sedang bertempur itu, dengan serta
merta telah memacu kudanya menembus semak . semak dan
hilang didalam rimbunnya dedaunan.
Hal serupa itu sama sekali memang tidak terduga-duga.
Karena itu, pengawal yang sedang menghadapinya justru
tertegun sejenak. Namun mereka tidak ingin kehilangan orang
itu, sehingga ketika mereka menyadari keadaan maka dua
orang dari para pengawai itu telah berusaha mengejarnya.
Yang lain, yang masih bertempur diarena itupun ternyata
berusaha juga untuk dapat menyelamatkan diri. Namun ketika
salah seorang dari mereka sudah mendahului, para pengawal
itupun menjadi semakin hati-hati.
Malanglah nasib salah seorang dari orang-orang yang tidak
dikenal itu. Ketika ia mencoba melarikan dirinya, maka sebuah
ujung pedang telah menggores lehernya. Meskipun demikian,
ia masih tetap bertahan diatas punggung kudanya untuk
beberapa saat. Tetapi akhirnya iapun terlempar dari punggung
kudanya yang berlari seperti angin.
Yang tinggal kemudian adalah dua orang dari antara
mereka. Keduanya masih berkelahi mati-matian. Tetapi
merekapun sedang berusaha mendapat kesempatan untuk
lari. Namun kesempatan itu benar-benar telah menjadi
semakin sempit, karena para pengawal sudah mengetahui,
bahwa tiba-tiba saja mereka dapat meninggalkan gelanggang.
Namun ternyata kedua orang inipun sama sekali tidak ingin
menyerah.- Mereka telah berjuang dengan segenap tenaga
yang ada padanya. Bahkan ketika hampir seluruh tubuh
mereka telah dibasahi oleh keringat dan darah, mereka masih
juga belum menyerah. Wanakerti yang lemah, sama sekali tidak dapat lagi ikut
didalam pertempuran itu. Kudanya berdiri menepi, sedang
Wanakerti dengan susah payah mencoba untuk meloncat
turun. Perlahan-lahan ia melangkahkan kakinya yang serasa
menjadi terlampau berat mendekati seorang kawan nya yang
masih terbaring ditanah. Darah masih saja mengalir dari lukalukanya,
terutama luka dipundaknya. Dengan kain pengawas
itu sendiri yang disobeknya, maka Wanakerti berusaha untuk
menyumbat arus darah kawannya itu. Meskipun tidak
sempurna, namun usahanya agaknya dapat menolong juga.
Wanakerti terkejut ketika ia mendengar jerit yang
melengking dari arena. Ia masih melihat salah seorang dari
kedua lawan para pengawal itu menggeliat diatas punggung
03 Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
kudanya. kemudian terlempar jatuh pula diatas tanah. Tanna
dikehendaki seekor kuda dari para pengawal yang berlarilarian
itu telah menginjak dadanya, sehingga kemudian orang
itu tidak bergerak lagi untuk selama-lamanya Sebuah luka
telah menganga pula dilambungnya.
Namun pekik kesakitan itu telah dapat dimanfaatkan Oleh
kawannya yang tinggal seorang. Dengan sigapnya ia memacu
kudanya menembus diantara dua orang lawannya yang
sedang berpaling karena mendengar teriakan itu. Kuda itu
langsung menyusup masuk kedalam lebatnya batang-batang
perdu disebelah jalur jalan setapak.
"Tangkap hidup-hidup" teriak pemimpin pengawal itu.
Beberapa orang segera mengejarnya menyusup pula
diantara semak-semak yang rimbun. Namun agaknya orang
itu benar-benar telah menguasai medan. Ia lebih mengenal
daerah yang dilaluinya, sehingga dengan cepatnya,. orang itu
telah meninggalkan pengejar-pengejarnya semakin jauh.
Para pengawal masih berusaha mengikuti jejak kuda itu.
Tetapi semakin lama menjadi semakin sulit. Daun-daun yang
kuning, yang tertimbun diantara batang-batang ilalang dan
gerumbul-gerumbul perdu agak mempersulit pengenalan
mereka atas jejak kaki kuda yang diikutinya.
Ketika mereka sampai pada semak-semak berduri dan
batang-batang menjalar yang berjuntaian dari pepohonan
yang besar, maka jejak yang diikutinya seakan-akan telah
hilang begitu saja. Sejenak para pengawal itu menggeleng-gelengkan
kepalanya. Ketika mereka menengadahkan kepala mereka,
dilihatnya dedaunan yang menjadi semakin lebat. Kalau
mereka maju terus, mereka akan memasuki daerah hutan
yang semakin rapat. "Apakah kita akan maju terus?" bertanya salah seorang dari
mereka. Yang Iain tidak segera menjawab. Dibelakang mereka
adalah hutan perdu dan batang-batang ilalang yang liar.
Tetapi dihadapan mereka adalah hutan kayu yang mulai rapat.
Para pengawal itu mulai ragu-ragu, apakah mereka akan
berhasil mengejar orang yang lari itu. Jejak yang mereka
selusuripun menjadi semakin samar-samar karena dedaunan
yang tebal disekitar mereka.
"Sukar sekali untuk menemukan mereka dihutan yang
mulai rapat itu" desis pemimpin pengawal
Yang lain mengangguk-anggukkan kepala mereka. Sekilas
mereka memandang pada sulur-sulur kayu yang berjuntai dari
pepohonan, bergulat dengan batang-batang yang merambat.
"Memang sulit" desis seorang pengawal.
"Kita terpaksa melepaskannya" berkata pemimpin
pengawal itu "tetapi ada juga baiknya. Ia akan dapat
mengatakan kepada kawan-kawannya yang belum kita
ketahui, bahwa pengawal Tanah Mataram sudah siap
menghadapi mereka." Para pengawal mengangguk-anggukkan kepalanya.
Namun dengan demikian mereka sadar bahwa mereka
berhadapan dengan suatu kekuatan yang belum dapat
mereka perhitungkan. "Kita akan menghadap Raden Sutawijaya" berkata
pemimpin pengawal itu. "Kita menunggu kawan-kawan kita yang mengejar orang
yang pertama kali meninggalkan gelanggang" sahut yang lain.
"Ya, kita akan kembali. Wanakerti menunggu."
Para pengawal itupun kemudian kembali kebekas arena
perkelahian yang menjadi bosah-baseh. Batang-batang ilalang
seolah-olah telah digilas oleh roda-roda bergigi silang
menyilang. Ketika para pengawal itu sampai, mereka melihat Kawankawannyapun
telah berada ditempat itu pula menunggu
Wanakerti yang meskipun sudah sangat lemah, tetapi masih
juga berusaha menolong kawannya yang sedang pingsan.
"Ia masih belum sadar" desis Wanakerti.
Para pengawal itupun segera berjongkok disampingnya.
Mereka dengan berdebar memandang wajah pengawas yang
pucat dan mata yang terpejam.
Tiba-tiba pemimpin pengawal itu bergeser maju. Dirabanya
dada pengawas itu, dan bahkan kemudian dilekatkannya
telinganya. Dengan wajah yang tegang, tangannya meraba
mata pengawas itu dan dibukanya sedikit.
"Kenapa?" bertanya Wanakerti.
Pemimpin pengawas itu menarik nafas dalam-dalam.
Kemudian dengan suara yang berat ia berkata "Ia sudah
meninggal." ?"He" Wanakerti mengerutkan keningnya "ia sudah
meninggal?" Pemimpin pengawas itu mengangguk.
Kepala Ki Wanakertipun segera tertunduk dalam-dalam
merenungi wajah kawannya itu. Terasa tenggorokannya
seakan-akan telah tersumbat. Ia telah berjuang bersamanya
selama perjalanan yang meskipun tidak terlampau jauh, tetapi
cukup berat itu. "Ia sudah mendahului kita didalam tugasnya."
"Ya. Ia sudah gugur didalam perjuangan menegakkan
Tanah Mataram yang sedang tumbuh ini."
Para pengawal yang lain pun telah menundukkan kepala
mereka pula. Salah seorang kawan mereka telah gugur
menghadapi rahasia yang masih samar-samar yang
tersembunyi dibelakang Alas Mentaok. Rahasia tentang
hantu-hantu itu masih belum terpecahkan, dan kini mereka
menghadapi rahasia baru yang tidak kalah rumitnya. Namun
setiap pengawal itu mulai menghubung-hubungkan didalam
hatinya, apakah tidak ada sangkut pautnya kedua rahasia
yang besar yang tersimpan didalam lebatnya hutan Mentaok
itu. Sejenak kemudian maka pemimpin pengawal itupun
berkata "Marilah, kita bawa tubuhnya kepusat Tanah
Mataram." "Wanakerti mengangguk-anggukkan kepalanya."
"Tetapi sebelumnya kita akan mengubur dulu mayat-maya
itu." pemimpin pengawal itu melanjutkan.
Maka merekapun kemudian mengubur mayat-mayat yang
terbunuh didalam peperangan. Karena mereka tidak dapat
menggali tanah cukup dalam, maka diatas kuburan itu telah
ditimbun batu-batu besar, agar tidak diganggu oleh binatang
buas yang berkeliaran terutama dimalam hari.
Demikianlah maka para pengawal itupun kemudian kembali
kepusat Tanah Mataram. Mereka hanya dapat
menyelamatkan Wanakerti, sedang kawannya tidak lagi dapat
menghindarkan diri, berkorban untuk daerah yang baru dibuka
itu. "Aku kehilangan kedua kawanku" desis Wanakerti
disepanjang jalan. "siapa?" "Yang seorang lagi, yang bermata tajam, yang seharusnya
menyampaikan berita tentang daerah kami itu Kami sudah
berusaha memancing para pengejamya Tetapi merekapun
telah membagi diri. Ketika mereka kembali mereka
mengatakan bahwa kawanku itupun sudah terbunuh."
Pemimpin pengawal itu mengerutkan keningnya. Katanya
"Tidak. Kawanmu sama sekali tidak terbunuh. Orang itulah
yang memberitahukan kepada kami, bahwa kau telah terjepit
dlperjalanan karena kau memancing orang-orang yang
mengejarmu, dan memberi kesempatan kepada kawanmu itu
untuk berpacu terus."
"Jadi orang itu masih hidup?""
"Ya, dan ia sudah menyampaikan pesan yang dibawanya
kepada Raden Sutawijaya, karena ia dapat langsung
menghadapnya." Ki wanakerti menarik nafas dalam-dalam."Sukurlah. Tuhan
telah melindungi perjalanannya. Kalau ia gagal, aku kira,
akupun telah mati terbunuh pula didalam perkelahian ini.
Tetapi, meskipun aku selamat, seorang kawanku telah
meninggal." Tidak seorangpun yang menyahut. Namun kuda mereka
masih berlari dijalan setapak, kembali kepusat Tanah
Mataram. Dalam pada itu, Raden Sutawijaya sudah menghadap
ayahanda Ki Gede Pemanahan, dan menyampaikan segala
sesuatu yang didengarnya dari pengawas bermata tajam itu.
Ki Gede Pemanahan mendengarkan keterangan puteranya
dengan saksama. SekaliS wajahnya menegang dan sesekali
mengangguk-anggukkan kepalanya.
"Jadi siapakah menurut pendapatmu orang bercambuk itu?"
bertanya Ki Gede Pemanahan.
Sutawijaya tersenyum sambil menjawab "Tidak ada duanya
didunia. Orang itu pasti Kiai Gringsing dani murid-muridnya."
Ki Gede Pemanahan mengangguk-anggukkan kepalanya
"Ya. Pasti orang Itu. Apakah kau ingin menemuinya?"
"Bagaimana dengan ayahanda?"
"Sebenarnya aku juga ingin bertemu dengan orang yang
menyebut dirinya bernama Kiai Gringsing itu. Tetapi ketika aku
datang ke Sangkal Putung disaat-saat pasukan terakhir dari
Tohpati menyerah, agaknya orang itu sengaja menghindarkan
dirinya, meskipun ia tidak menghindar darimu. Aku tidak tahu,
kenapa ia berbuat begitu. Karena itu, sekarang sebaiknya kau
sajalah yang datang ketempat itu. Lihatlah, apakah dugaanmu
benar bahwa orang itu adalah Kiai Gringsing bersama kedua
muridnya. Dan sekaligus kau akan mendapat gambaran dari
keadaan yang sebenarnya didaerah itu. Apa yang terjadi akan
dapat menjadi bahan pertimbangan yang dapat ditrapkan
didaerah-daerah lain yang mengalami gangguan yang serupa.
Agaknya hampir disegala sudut tanah ini telah dicengkam oleh
ketakutan. Mereka menganggap bahwa hantu-hantu di Alas
Mentaok telah keluar seluruhnya, bersama seluruh pasukan
yang ada untuk mengganggu manusia yang dianggap merebut
kerajaannya." Sutawijaya mengangguk-anggukkan kepalanya.
"Nah, kau akan mendapat kesempatan untuk mempelajari
keadaan itu. Aku yakin bahwa yang terjadi disana adalah
sebagian dari seluruh rencana yang besar dari pihak yang
belum kita ketahuil maksudnya. Namun ternyata mereka telah
mempergunakan kekerasan sehingga jatuh korban manusia."
"Apakah ayahanda berpendapat bahwa hantu-hantu itu
merupakan sebagian dari rencana itu."
Ki Gede Pemanahan mengangguk-anggukkan kepalanya
"Ya. Aku menganggap demikian."
Sutawijaya masih mengangguk-angguk. Akhirnya ia
berkata "Baiklah ayah. Aku akau pergi secepatnya. Besok aku
akan membawa sepasukan kecil pengawal. Mudah-mudahan
aku berhasil." "Baiklah. Bawalah pengawal yang datang menghadapmu."
"Baik. ayah. Aku akan tinggal didaerah itu untuk beberapa
saat." "Tetapi kau harus taertindak cepat. Kau jangan terlampau
lama terikat pada suatu daerah. Tanah Mataram yang
semakin luas ini memerlukan perhatianmu. Bukan saja segi
ketenteraman, tetapi juga perkembangan tata perdagangan
dan perniagaan, hubungan dengan daerah-daerah disekitar
Tanah Mataram dan bermacam-macam masalah lainnya."
Sutawijaya mengangguk-anggukkan kepalanya. Ia sadar
sepenuhnya, bahwa tugas yang dihadapinya adalah berat
sekali. Tetapi itu sudah disadarinya sejak ia berkeputusan
untuk membuka Alas Menta ok menjadi suatu daerah yang
akan dijadikannya sebuah negeri yang ramai.
"Alas Mentaok harus dapat menyusul daerah lain yang
lebih dahulu telah dibuka" berkata Sutawijaya didalam hatinya
yang keras seperti batu hitam "tidak saja dapat mengimbangi
daerah disekitarnya, Tanah-tanah Perdikan tetapi harus dapat
mengimbangi daerah Kadipaten yang telah jauh mendahului."
Tanpa disadarinya, Sutawijaya sebenamya telah berpacu
didalam hatinya dengan seorang Perwira pasukan Pajang,
kawan ayahnya yang telah lebih dahulu menerima daerah Pati
yang sudah menjadi ramai.
"Kenapa ayahanda Sultan Pajang sama sekali tidak
berkeberatan melihat perkembangan daerah-daerah lain,
tetapi tiba-tiba saja telah mencurigai aku dan ayahanda
Pemanahan Pertanyaan Itu selalu mengganggunya. Namun Sutawijaya
menyadari, karena ayahanda Ki Gede Pemanahan telah
meninggalkan istana Pajang sebelum Tanah ini dengan resmi
diserahkan. Disore harinya Sutawijaya telah menyiapkan sebuah
pasukan kecil yang akan pergi kebagian Utara dari Tanah
Mataram yang sedang dibuka ini. Ia berkenan juga
mengunjungi Wanakerti yang masih sangat lemah karena
luka-lukanya. "Kau tinggal saja disini Ki Wanakerti" berkata Sutawijaya
"biarlah seorang kawanmu itulah yang akan mengantarkan
kami." "Tidak tuan. Aku mohon agar aku diperkenankan untuk ikut
serta kembali kedaerah itu. Besok aku pasti sudah sehat
kembali. Aku sudah mendapat obat yang baik disini bagi lukalukaku."
"Tetapi kau masih sangat lemah."
"Aku sudah sehat. Apabila tuan memperkenankan, aku
mohon agar aku diperbolehkan ikut serta. Bukankah kita
hanya akan sekedar duduk diatas punggung kuda?"
"Kau telah mengalami sendiri. Bagaimana kalau terjadi
sesuatu diperjalanan?"
"Aku akan menyingkir. Aku merasa bahwa aku memang
belum cukup kuat untuk bertempur. Tetapi aku juga tidak akan
mengganggu. Aku akan mencoba menjaga diriku sendiri."
Sutawijaya tersenyum. Sambil mengangguk-anggukkan
kepalanya ia berkata "Bailklah. Jika kau berkeras hati untuk
pergi bersama kami besok. Tetapi sekarang berusahalah
beristirahat sebaik-bainya, supaya besok kau menjadi semakin
segar.": "Terima kasih tuan. Aku merasa bahwa luka-lukaku kini
sudah sembuh sama sekali."
"Jangan terseret oleh arus perasaan lihatlah kenyataanmu
sekarang. Kau masih memerlukan perawatan. Karena itu
beristirahatlah." "Ya tuan. Aku akan beristirahat sebaik-baiknya."
03 Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Dalam pada itu, sebuah kelompok kecil para pengawas
telah disiapkan. Besok pagi-pagi benar mereka akan
berangkat dipimpin langsung oleh Raden Sutawijaya. Dan
agaknya Raden Sutawijayapun telah mengambil keputusan
bahwa kedua pengawas yang datang itu besok akan pergi
bersama-sama dengan mereka, meskipun Wanakerti masih
sangat lemah. Namun mereka terpaksa melepaskan seorang
kawan mereka yang ternyata telah gugur diperjalanan.
Sementara itu, dipinggir hutan yang sedang dibuka, Kiai
Gringsing dan kedua muridnya telah kembali pula sampai
kebarak. Mereka melihat pemimpin pengawas yang tertuka itu
telah duduk diserambi barak, bersandar dinding bersama
beberapa orang laki-laki. Agaknya mereka sedang
memperbincangkan keadaan mereka dan usaha mereka untuk
membuka hutan yang penuh dengan rahasia itu.
Ketika pemimpin pengawas itu melihat Kiai Gringsing
beserta kedua muridnya, iapun menarik nafas dalam-dalam.
Sambil mengangguk-anggukkan kepalanya ia berdesis
"Ternyata mereka selamat."
"Kenapa?" bertanya salah seorang yang duduk
disampingnya. Pemimpin pengawas itu memandanginya dengan heran.
Bahkan kemudian iapun bertanya "Kenapa kau bertanya
begitu" Apakah kau tidak mengetahui keadaan terakhir dari
daerah ini." Laki-laki itu mengangguk-anggukkan kepalanya "Ya. Aku
mengerti. Tetapi bukankah orang-orang itu termasuk orangorang
yang aneh" Bukan saja keberaniannya, tetapi ternyata
mereka dapat mengatasi kesulitan yang timbul karena sikapsikap
yang keras dan bahkan senjata-senjata racun yang
mengerikan itu. Pemimpin pengawas itu mengangguk-angguk pula "Ya"
katanya, "sebenarnya kita tidak perlu mencemaskannya.
Namun demikian, kita tidak tahu pasti dan sama sekali tidak
mempunyai gambaran, siapa dan berapa jumlah kekuatan
yang tersembunyi dibalik rimbunnya dedaunan Hutan
Mentaok. Itulah yang membuat kita menjadi ragu-ragu."
Setiap laki-laki yang mendengar keterangan itu
mengangguk-anggukkan kepala mereka, sementara Kiai
Gringsing telah berdiri ditangga barak.
"Apakah keadaanmu sudah baik?" bertanya Kiai Gringsing
kepada pemimpin pengawas itu.
"Ya, keadaanku sudah berangsur baik."
"Sukurlah" katanya kemudian sambil naik keserambi,
sementara kedua anaknya pergi membersihkan diri keperigi.
"Apakah kau tidak menjumpai sesuatu?" bertanya
pemimpin pengawas itu. Kiai Gringsing menggelengkan kepalanya "Tidak. Tidak ada
apa-apa. Kami bekerja penuh seperti biasa."
Pemimpin pengawas itu mengangguk-angguk. "Sukurlah"
katanya kemudian. Kiai Gringsingpun kemudian berdiri pula menyusul kedua
muridnya membersihkan dirinya, sementara senja yang merah
telah menyelubungi daerah yang masih saja dibayangi oleh
kecemasan karena rahasia yang teisimpan di Alas Mentaok
masih belum terpecahkan. Setelah ketiganya selesai. maka merekapun segera
kembali kebarak. Mereka menunggu pemimpin pengawas itu
terpisah dari orang-orang lain, supaya laporannya tentang
suara burung kedasih tidak menambah kegelisahan mereka.
"Jadi kalian mendengar suara burung itu terus-menerus?"
bertanya pemimpin pengawas itu.
"Ya" jawab Kiai Gringsing.
"Apakah menurut dugaanmu suara itu sama sekali bukan
suara burung yang sebenamya?"
Kiai Gringsing menganggukkan kepalanya. "Memang
bukan. Aku yakin bahwa suara itu adalah suatu isyarat saja."
Pemimpin pengawas itu mengangguk-anggukkan
kepalanya. Katanya "Kalau begitu kalian memang harus
sangat berhati-hati. Kita memang menghadapi suatu keadaan
yang sulit. Kita disini mengharap bahwa para pengawas
berhasil mencapai pusat Tanah Mataram sehingga mereka
dapat menyampaikan laporan itu kepada para pemimpin
tertinggi di Mataram."
Kiai Gringsing mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi
ia juga merasa cemas. Diperjalanan banyak hal yang dapat
terjadi. Tetapi apabila mereka selamat, mereka pasti sudah
sampai di Mataram dan laporan itu pasti sudah didengar oleh
Ki Gede Pemanahan atau puteranya Sutawijaya.
"Kita harus menunggu sampai besok" berkata pemimpin
pengawas itu" kalau mereka sampai pada alamatnya, besok
pasti akan datang beberapa orang baru."
Kiai Gringsing mengangguk-anggukkan kepalanya. Namun
didalam kepalanya herkecamuk berbagai masalah yang dapat
terjadi malam nanti. Meskipun mereka hanya harus menunggu
semalam, tetapi yang semalam itu akan dapat terjadi banyak
persoalan. Apalagi apabila para pengawas itu tidak berhasil
mencapai Mataram. Maka keadaan pasti akan menjadi lebih
sulit lagi. Demikianlah ketika malam turun, Kiai Gringsing mulai
membagi tugas dengan murid-muridnya. Kedua muridnya
harus pergi kebarak yang lain untuk memberikan sedikit
ketenangan kepada orang-orang yang tinggal disana.
Sementara Kiai Gringsing bersama pemimpin pengawas yang
terluka itu tinggal dibarak itu.
"Kalau terjadi sesuatu yang tidak dapat kalian atasi sendiri,
kalian harus memberikan tanda" berkata gurunya "disana ada
sebuah kentongan kecil. Pergunakanlah apabila perlu. Akupun
akan berbuat serupa. Apabila perlu. aku akan memanggil
kalian pula kemari."
Kedua muridnya mengangguk-anggukkan kepalanya.
Keduanyapun kemudian turun kehalaman yang sudah disaput
oleh kehitaman malam. Namun langkah mereka tertegun ketika mereka melihat
sebuah bayangan yang berjalan perlahan-lahan menuju
kepada keduanya. Begitu langsung dan tanpa ragu-ragu sama
sekali. Agung Sedayu dan Swandaru menjadi berdebar-debar.
Tanpa mereka sadari, maka merekapun kemudian bersiap
menghadapi segala kemungkinan.
Kiai Gringsingpun kemudian melihat bayangan yang
mendatang itu pula. Selangkah ia maju sampai kebibir tangga.
Dengan tajamnya ia memandang bayangan yang semakin
lama menjadi semakin dekat.
Sejenak mereka menjadi curiga. Tidak ada seorangpun
diantara orang-orang yang tinggal dibarak itu yang berani
berjalan setenang itu didalam malam yang sudah mulai gelap
selain Kiai Gringsing dan kedua muridnya. Tetapi bayangan itu
agaknya sama sekali tidak terpengaruh oleh keadaan
disekitarnya. Semakin dekat, Kiai Gringsing menjadi semakin jelas.
siapakah yang datang itu. Bahkan kemudian iapun turun
kehalaman sambil berdesis kepada kedua muridnya "Adi
Sumangkar." "Paman Sumangkar" hampir berbareng kedua muridnya
mengulang. "Ya." Ketika cahaya lampu diserambi barak menyambar wajah
bayangan itu, maka semakin jelaslah, bahwa orang itu
memang benar Sumangkar. Sambil tersenyum ia melangkah semakin dekat. Tetapi
sebelum ia menyapa Kiai Gringsing, Kiai Gringsing sudah
menyongsongnya sambil berbisik "Namaku Truna Podang."
"O" desis Sumangkar sambil mengguncang lengan Kiai
Gringsing "apakah kakang selamat selama ini."
Kiai Gringsing tersenyum. Jawabnya "seperti yang kau
lihat. Kedua anak-anakkupun selamat pula semuanya. Kau?"
Sumangkar tertawa. Ia segera menangkap, bahwa kali ini
Kiai Gringsing berperan sebagai seorang yang bernama Truna
Podang. Sedang kedua murid-muridnya adalah anak-anak
Truna Podang. Sumangkarpun kemudian diajaknya kebarak. Agung
Sedayu dan Swandaru bergantian menyampaikan salam
keselamatan. "Tetapi" berkata Kiai Gringsing "kedatanganmu membuat
aku berdebar-debar. Sumangkar mengangguk-anggukkan kepalanya, katanya
"Aku memang sudah menyangka, bahwa kedatanganku akan
membuat kalian disini berdebar-debar. Tetapi aku tidak
membawa kabar apa-apa yang mendebarkan itu."
Kiai Gringsingpun mengangguk-angguk pula. Kemudian
diperkenalkannya Sumangkar kepada pemimpin pengawas
yang terluka itu. sehingga Sumangkar menjadi heran
karenanya. Tanpa sesadarnya ia bertanya "Kenapa luka itu?"
"Kita akan saling bercerita nanti. Sekarang, apakah kau
akan mandi dahulu dan makan?"
Sumangkar mengangguk sambil menjawab "Baiklah.
Dimanakah letak perigi?"
"Tunjukkanlah pamanmu Sedayu" berkata Kiai Gringsing.
Sumangkarpun kemudian diantar oleh Agung Sedayu pergi
kesumur untuk membersihkan dirinya setelah menempuh
perjalanan yang jauh. Setelah makan secukupnya, maka mulailah mereka
berceritera tentang keadaan masing-masing. Tetapi karena
Sumangkar tidak tahu benar keadaan Kiai Gringsing saat itu,
maka ia hampir tidak pernah menyebutkan kepentingannya
datang ketempat itu. Yang paling banyak berceritera adalah
justru Kiai Gringsing sendiri.
"Luka-luka pada punggung pemimpin pengawas itu cukup
berat" berkata Kiai Gringsing "untunglah bahwa pada
pengawas yang lain cukup cepat mengatasi persoalannya."
"Bukan para pengawas" sahut pemimpin pengawas itu
"tetapi Ki Truna Podang dan kedua anak-anaknyalah yang
mengatasi kesulitan saat itu."
Sumangkar hanya sekedar mengangguk-anggukkan
kepalanya saja. "Nah" berkata Kiai Gringsing kemudian "barangkali kau
masih terlampau lelah. Kau memerlukan istirahat."
"Ya, aku lelah sekali."
"Tetapi beruntunglah bahwa kau dapat sampai ketempat ini
tanpa gangguan apapun diperjalananmu."
"Aku kira memang begitu. Aku sama sekali tidak menjumpai
gangguan apapun juga."
Kiai Gringsingpun kemudian mempersilahkan Sumangkar
untuk beristirahat. Karena kehadiran Sumangkar, maka Kiai
Gringsing terpaksa merubah pembagian kerjanya. Ki
Sumangkar dipersilahkan tidur dibarak yang lain bersama
Agung Sedayu, sedang Swandaru tinggal bersama gurunya,
meskipun sebenarnya ia ingin tidur bersama Agung Sedayu.
"Kau dapat mengatakan keadaan tempat ini kepada
pamanmu." bisik Kiai Gringsing kepada Agung Sedayu
"barang kali kau akan mendapat kesempatan. Dan kau dapat
bertanya kepadanya, kenapa ia datang ketempat ini."
"Baik guru" sahut Agung Sedayu perlahan-lahan.
Keduanyapun kemudian pergi kebarak yang lain, yang
dihuni oleh perempuan-perempuan dan laki-laki yang bertugas
didapur yang pada umumnya adalah laki-laki tua dan anakanak.
Disepanjang jalur jalan setapak yang menghubungkan
kedua barak itu, Agung Sedayu sudah mulai menceriterakan
keadaan daerah yang baru dibuka itu. Kemudian
diceriterakannya pula, kematian-kematian yang terjadi, bahkan
mayat-mayat yang telah hilang.
"Untunglah gurumu seorang dukun yang luar biasa" desis
Sumangkar. "Ya, untung sajalah."
"Dan apakah bahaya itu sampai saat ini masih
mengancam?" "Justru kita berada didalam keadaan yang menegangkan.
Kami berbesar hati bahwa tiba-tiba saja paman datang,
seakan-akan paman sudah mengetahui kesulitan kami.
"Aku sama sekali tidak tahu kesulitan itu. Aku justru datang
atas permintaan. Ki Demang Sangkal Putung untuk
menjemput anaknya dan kau sama sekali. Terutama Nyai
Demang di Sangkal Putung sudah sangat rindu kepada
anaknya yang gemuk itu."
Agung Sedayu mengangguk-anggukkan kepalanya.
Memang Swandaru telah meninggalkan ibunya untuk waktu
yang terlampau lama. Sebagai satu-satunya anak laki-laki,
maka sudah sewajarnya kalau ibunya terlampau
merindukannya, apalagi selama itu ia tidak tahu dengan pasti
kabar beritanya. "Dan paman dapat langsung menemukan kami dibarak
itu?" bertanya.Agung Sedayu kemudian.
"Tidak. Aku menjelajahi beberapa bagian dan hutan yang
sedang dibuka itu. Aku sudah sampai digardu pengawas yang
kosong. Kemudian menyusur sepanjang jalan yang agaknya
setiap hari dilalui oleh para pekerja yang sedang membuka
hutan ini Maka akupun sampai pula dibarak ini Adalah
kebetulan sekali, aku menjumpai kalian. Kalau tidak, aku pasti
akan bertanya tentang seorang tua yang bernama Kiai
Gringsing. dan kedua muridnya yang bernama Agung Sedayu
dan Swandaru Geni." Agung Sedayu tersenyum. Sambil mengangguk-anggukkan
kepalanya ia berkata "Guru memang mempergunakan nama
lain. Tetapi itu sudah hampir tidak berarti lagi, karena kami
disini sudah melibatkan diri dalam pergulatan yang semakin
lama agaknya akan menjadi semakin seru
Sumangkar mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya
"Apakah tidak ada petugas-petugas keamanan yang
melindungi daerah ini?"
"Ada, bukankah paman sudah bertemu dengan pemimpin
pengawas yang terluka itu?"
"Ya, tetapi dimana para pengawas yang lain sekarang?"
"Mereka pergi kepusat pemerintahan di Mataram."
"Yang lain?" Semuanya. Mereka hanya tiga orang. Perjalanan ke pusat
pemerintahan Tanah Mataram yang baru dibuka itupun
agaknya cukup berbahaya."
Sumangkar mengangguk-angguk pula. Tetapi ia sudah
tidak bertanya lagi. Dilihatnya cahaya lampu diserambi barak
03 Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
yang satu lagi. Barak yang sebagian dipergunakan sebagai
dapur untuk menyiapkan rangsum orang-orang yang sedang
membuka hutan itu. Ketika mereka memasuki barak itu, beberapa orang
menjadi bertanya-tanya didalam hati. Yang seorang telah
mereka kenal, anak orang tua yang bernama Truna Podang
itu Tetapi yang seorang agaknya orang baru didaerah itu.
Agung Sedayu yang melihat pertanyaan membayang
disetiap wajah tanpa diminta telah menjelaskan "Orang ini
adalah pamanku. Paman Sumangkar. Paman datang untuk
menjemput kami karena ibu kami sudah terlampau
merindukan anak-anaknya."
Orang-orang yang mendengar keterangan itu menganggukanggukkan
kepalanya. Namun ada diantara mereka, seorang
laki-laki yang rambutnya sudah berwarna dua bertanya "Lalu
bagaimana dengan kami disini" Apakah kami dilepaskan
tanpa perlindungan sama sekali."
"Para pengawas yang pergi ke Mataram itu akan segera
datang membawa sepasukan pengawal"
"Tetapi apakah mereka dapat melawan hantu-hantu?"
Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Mereka masih
saja selalu dibayangi oleh hantu-hantu yang mengerikan.
"Jangan takut" sahut Agung Sedayu kemudian "para
pengawal itu pasti akan membawa satu dua orang yang dapat
berhubungan langsung dengan hantu-hantu. Apakah kalian
menyangsikan, bahwa di Mataram tersimpan pusaka-pusaka
yang dapat menguasai hantu-hantu"
"Kalau memang demikian" jawab orang itu "kenapa orangorang
yang berkuasa di Mataram tidak berbuat apa-apa
sebelumnya?" "Ah, tentu mereka sudah banyak berbuat. Mereka selalu
merondai daerah hutan-hutan yang wingit. Tetapi mereka tidak
pernah menjumpai hantu-hantu itu sehingga mereka
menyangka, bahwa hantu-hantu itu sudah tidak mengganggu
lagi. "Tetapi apa yang terjadi disini" Hantu-hantu itu masih tetap
menguasai kami." "Itulah yang dilaporkan oleh para pengawas diantaranya,
selain orang-orang yang telah mengganggu ketenteraman
kami disini." Orang itu mengerutkan keningnya. Tetapi nampaknya la
masih belum puas. Meskipun demikian ia sudah tidak
bertanya lagi. Agung Sedayu dan Sumangkarpun kemudian duduk
diserambi barak itu, dibawah cahaya lampu yang bergoyang
disentuh angin malam, Diluar suara cengkerik bersahutsahutan
dibarengi suara ilalang. Bukan hanya sekedar suara binatang-binatang kecil diselasela
rerumputan. Namun kemudian lama-lama mereka
mendengar suara harimau yang mengaum ditengah-tengah
hutan yang lebat. Tetapi suara harimau sama sekali tidak
menarik perhatian lagi bagi orang-orang didalam barak.
Mereka sama sekali tidak takut melawan harimau. Mereka
beramai-ramai akan dapat membunuhnya dengan tombaktombak
panjang. Tetapi ketika mereka mendengar suara burung kedasih
yang memelas, maka orang-orang didalam barak itu mulai
mengerutkan lehernya kebawah selimut-selimut mereka.
Seorang perempuan dengan hati yang berdebar-debar
masih mendengar Agung Sedayu dan Sumangkar bercakapcakap
di serambi. Tetapi perempuan itu sama sekali tidak
berani berbuat apa-apa. Apalagi karena suara burung kedasih
itu rasa-rasanya menjadi semakin dekat.
Agung Sedayupim kemudian mengerutkan keningnya.
Suara burung itu dikenalnya sejak lama. Karena itu, maka
iapun berbisik "Paman, agaknya malam inipun kita akan
mendapat tamu selain paman."
"Siapa?" "Hantu-hantu itu. Barangkali paman ingin mendengar
suaranya?" "Ya." "Marilah kita masuk. Kalau mereka melihat kita tetap disini,
mungkin mereka akan merubah niatnya. Kita akan berbaring
diantara mereka." Sumangkar mengangguk-anggukkan kepalanya. "Aku
memang ingin melihat hantu itu."
"Untuk sementara kita hanya dapat mendengar."
Sumangkar mengerutkan keningnya. Ia tidak begitu mengerti
jawaban Agung Sedayu itu.
Agaknya Agung Sedayu dapat menangkap perasaan Ki
Sumangkar, sehingga karena itu ia berkata "Hantu-hantu itu
tidak mendekati barak-barak ini. Mereka hanya lewat sambil
memperdengarkan bunyi-bunyi yang aneh"
"Kitalah yang mendekat."
Agung Sedayu mengangguk-angguk. Tetapi kemudian ia
berpaling memandangi orang-orang lain yang ada didalam
barak itu. Katanya "Mereka menjadi sangat ketakutan. Apabila
terjadi sesuatu, mereka akan langsung menyalahkan kita.
Sementara ini kita sedang berusaha mengambil hati mereka,
terutama dibarak yang satu itu. Kalau Kita berhasil membuka
hati mereka meskipun perlahan-lahan, pekerjaan kita akan
lebih mudah lagi Para pengawas agaknya sudah mulai
terbuka hati dan tanggapannya terhadap hantu-hantu itu.
Tetapi para penghuni yang lain agaknya belum."
Ki Sumangkar mengerutkan keningnya pula. Perlahanlahan
ia bergumam seperti ditujukan kepada diri sendiri. "Lalu
kapan tugas ini selesai" Semuanya harus dikerjakan lambat
laun dan telaten. Padahal Ki Demang Sangkal Putung suami
isteri sudah begitu rindunya kepada Swandaru dan betapa
rindunya pula kepada suatu peristiwa yang akan menyangkut
hidup keluarga mereka."
"Apa itu paman?" bertanya Agung Sedayu.
"Kalau aku boleh berterus terang, Ki Demang suami isteri
sudah sangat ingin menimang seorang cucu."
"Ah" Agung Sedayu menundukkan kepalanya. Sedang
wajahnya tiba-tiba menjadi kemerah-merahan.
"Ki Demang sudah mendengar berita yang aku sampaikan
kepadanya, bahwa anak laki-lakinya sudah mengikat diri
dengan seorang gadis Menoreh, Pandan Wangi. Sedang
masalahmu ngger, Ki Demang suami isteri sudah mengetahui
jauh sebelumnya." Agung Sedayu mengangguk-anggukkan kepalanya. "Kalau
masalah pinggiran hutan ini mengikat kalian disini, lalu kapan
kalian akan kembali ke Sangkal Putung" Apakah kalian juga
akan menunggu daerah ini menjadi kota dari berkembang
menjadi suatu negeri?"
Agung Sedayu menggelengkan kepalanya. Katanya "Aku
tidak tahu paman. Terserah kepada guru kelak. Apakah kita
akan segera kembali, atau masih ada masalah yang kita
tunggu disini." "Sebenarnya aku ingin berbicara dengan Kiai Gringsing.
Tetapi malam ini aku ditaruhnya disini, sehingga aku tidak
dapat berbincang. Agaknya aku tahu maksudnya. Ia sedang
memusatkan perhatiannya kepada daerah ini, sehingga ia
tidak mau terganggu."
Agung Sedayu tidak menyahut. Namun tanpa sesadarnya
kepalanya masih juga terangguk-angguk.
Sejenak keduanyapun kemudian saling berdiam diri. Angin
malam yang sejuk mengusap kening mereka. Namun Agung
Sedayu kemudian mengangkat kepalanya ketika ia
raendengar suara gemerincing dikejauhan.
"Nah, mereka datang" desisiAgung Sedayu. Marilah kita
masuk dan berbaring didalam."
Sumangkar mengerutkan Keningnya. Katanya "Kalau
begitu caramu, sampai kapan kau akan menemukannya?"
"Guru telah membuat rencana. Guru tidak ingin menangkap
hantu-hantu kecil itu. Guru ingin mengetahui sampai
dimanakah permainan mereka itu akan berlangsung dan
siapakah sebenarnya yang berdiri dipaling belakang."
Sumangkar mengangguk-angguk. Iapun kemudian dengan
tergesa-gesa masuk kedalam barak. Seperti biasanya, pintu
barak itu tidak pernah tertutup rapat. Tetapi keduanya tidak
akan dapat mengintainya dari balik pintu, karena justru diluar
malam menjadi semakin gelap.
Suara gemerincing itu semakin lama menjadi semakin
dekat. Kemudian beberapa kali mengelilingi barak itu. Namun
suara gemerincing Itu tidak juga. segera pergi seperti
biasanya. Bahkan semakin lama menjadi semakin dekat.
Agung Sedayu menjadi berdebar-debar. Kali ini hantuhantu
itu agak menyimpang dari kebiasaannya. Namun
demikian beberapa saat kemudian hantu-hantu itupun segera
menjauh dan suaranya semakin hilang kearah barak yang
sebuah lagi. Tiba-tiba saja timbullah niat Agung Sedayu untuk
mengikutinya. Ia tidak ingin mengganggu hantu-hantu itu
sebelum mendapat perintah gurunya. Ia hanya ingin melihat
dan mengikuti, apa saja yang telah mereka lakukan malam ini.
Ketika ia mengatakan niatnya kepada Ki Sumangkar, orang
tua itupun menyetujuinya. Katanya "Aku juga ingin melihat,
barangkali akan sangat menarik bagiku dan barangkali akan
dapat menjadi oleh-oleh nanti kalau kita kembali ke Sangkal
Putung." Keduanyapun kemudian beringsut dari tempatnya, Orangorang
didalam barak itu masih tetap berkerudung selimutselimut
mereka, sehingga dengan demikian mereka tidak
menghiraukan lagi kedua orang itu. Mereka tidak melihat
keduanya beringsut dan keluar dari barak. Ketika mereka
mendengar derit pintu. tidak seorangpun yang berani
mengangkat kepalanya, melihat. siapakah yang sudah
menggerakkan daun pintu itu.
Agung Sedayu dan Sumangkarpun kemudian berlari sambil
merunduk melintasi halaman yang tidak seluas halaman barak
yang satu. Sambil berlindung dibalik semak-semak merekapun
berusaha untuk mengikuti suara gemerincing yang semakin
lama menjadi semakin jauh.
"Mereka menuju kebarak yang lain" desis Agung Sedayu.
Sumangkar tidak menyahut. Ia hanya menganggukkan
kepalanya saja. Semakin lama merakapun menjadi semakin dekat dengan
suara gemerincing itu. Tetapi mereka masih belum dapat
melihat bentuknya sama sekali.
Karena itu merekapun menjadi semakin maju, sehingga
mereka menjadi semakin mendekati barak yang ditunggui oleh
Kiai Gringsing dan swandaru.
Dalam pada itu, orang-orang dibarak itupun telah menjadi
ketakutan. Meskipun mereka mencoba untuk menguasai nalar
mereka, tetapi mereka benar-benar telah diterkam oleh
ketakutan. Mereka tidak dapat melepaskan tekanan perasaan
yang selama ini telah mencengkam jantung mereka, sehingga
bagaimanapun juga. suara gemerincing itu masih membuat
mereka gemetar. Bahkan pemimpin pengawas yang terluka itu
masih juga menjadi berdebar-debar. Ia sudah tidak akan takut
menghadapi apapun yang dapat dilihatnya. Mati bukan lagi
suatu yang menghantuinya dan bahkan ia sudah mulai menilai
hantu-hantu itu dengan pertimbangan yang lain. Meskipun
demikian, ketakutan dan kecemasan yang menerkamnya
untuk waktu yang lama masih juga tetap membekas.
Betapapun juga ia menimbang dengan akal, namun suara
gemerincing itu masih tetap mendebarkan jantungnya.
"Mereka sudah datang guru" desis Swandaru.
Kiai Gringsing mengangguk-anggukkan kepalanya.
Katanya "Kita tidak memerlukan hantu-hantu kecil seperti itu.
Mungkin jerangkong, tetekan, tuyul dan sebangsanya. Mereka
tidak lebih dari orang-orang yang tinggi kekar, yang terbunuh
didapur itu atau setinggi-tingginya orang yang kekuruskurusan
itu. "Apakah kita tidak memerlukan mereka" Mereka pasti akan
dapat memberikan beberapa keterangan tentang gerakan
yang telah mereka lakukan selama ini."
"Tidak banyak yang mereka ketahui."
"Tetapi itu akan lebih baik daripada kita tidak mendapat
keterangan apapun juga guru."
"Swandaru" berkata gurunya "mungkin kita mendapat
beberapa penjelasan dari mereka. Tetapi akibatnya, tingkat
yang lebih tinggi dari mereka akan segera mempersiapkan
diri. Mungkin mereka dapat menghapus hal-hal yang diketahul
oleh hantu-hantu kecil itu karena memang tidak terlampau
banyak." "Jadi bagaimana maksud guru?"
"Aku ingin mengalami, bahwa beberapa , orang dari
mereka, termasuk orang-orang pentingnya datang
mengunjungi kita ditempat kerja kita itu."
Swandaru mengangguk-anggukkan kepalanya. Sementara
suara gemerincing itupun menjadi semakin dekat. Namun
karena itu, orang-orang disekitar Swandaru dan gurunya
itupun, sudah menyelimuti diri mereka rapat-rapat. Bahkan
pemimpin pengawas yang duduk disudut ruangan menjadi
pucat pula, meskipun ia masih tetap bertahan ditempatnya.
Kiai Gringsing dan Swandarupun kemudian saling berdiam
diri. Mereka memperhatikan suara yang semakin lama
menjadi semakin dekat itu. Dan kemudian seperti biasanya,
pada jarak tertentu suara itu mengitari barak beberapa kali.
Namun kali ini, suara gemerincing itu tidak juga segera
pergi menjauh. Suara itu justru menjadi .semakin mendekat.
Swandaru memandang wajah Kiai Gringsing yang
menegang. Tetapi Kiai Gringsing masih tetap duduk
ditempatnya. "Aneh guru" desis swandaru "agak lain dari kebiasaan
mereka." Kiai Gringsing mengangguk-anggukkan kepalanya.
Namun kelainan itu acaknya telah menambah ketakutan
disetiap dada. Orang-orang didalam barak itu menjadi
semakin kecil melingkarkan dirinya. Selimut mereka menjadi
semakin rapat menutun seluruh tubuh.
Orang yang berbaring disamping. Swandaru, dan masih
juga mendengar Swandaru berdesis, mcngumpat didalam
hatinya "O, anak gila. Apa saja yang mereka percakapkan.
Benar juga pcndapat orang yang kekurus-kurusan itu.
Kekerasan hatinya dapat menumbuhkan bencana."
Tetapi Swandaru masih juga berdesis, dan orang-orang
03 Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
yang berbaring tidak jauh daripadanya masih mendengar,
meskipun mereka tidak mengerti isinya. Dan Swandaru
memang masih berkata "Mereka justru mendekat guru."
Kiai Gringsing mengangguk-anggukkan kepalanya. Iapun
kemudian berkata "Kita menghadapi persoalan yang khusus.
Karena itu bersiaplah.! Mungkin kita memerlukan
penyelesaian yang khusus kali ini."
Swandaru mengerutkan keningnya. Namun tiba-tiba ia
tersenyum- sambil meraba seniatanya.
"Aku ingin menangkap tuyul guru."
"Ssst" gurunya berdesis.
Keduanya menjadi tegang. Apalagi pengawas yang masih
duduk ditempatnya. Lukanya rasa-rasanya menjadi semakin
parah dan wajahnyapun bertambah pucat. Apalagi orangorang
yang sudah menjadi semakin ketakutan. yang berbaring
semakin rapat bersembunyi dibawah selimut.
Dengan demikian maka suasana didalam barak itu benarbenar
dibayangi oleh ketakutan yang luar biasa. Nafas-nafas
menjadi sesak, dan darah serasa berhenti diurat nadi, karena
jantung telah berhenti berdenyut.
Sejenak kemudian suara gemerincing itu menjadi semakin
dekat. Agaknya beberapa langkah saja dari dinding barak.
Tetapi justru dinding belakang. Dan akhirnya suara
gemerincing itu tidak beringsut lagi. Meskipun suaranya
menurun, tetapi setiap orang didalam barak itu sadar, bahwa
hantu-hantu itu masih tetap berada dibelakang barak mereka.
Sejenak kemudian, jantung mereka serasa terlepas dari
tangkainya ketika dari belakang barak itu terdengar suara
tertawa terkekeh-kekeh, seperti suara seorang kakek yang
sedang kegirangan. Atau didalam pendengaran orang-orang
yang ketakutan itu, seperti suara hantu yang mendapat
sesosok mayat baru. Mengerikan sekali. Dan suara itu
ternyata terdengar berkepanjangan tidak henti-hentinya.
Tidak ada seorangpun yeng berani bergerak. Bahkan rasarasanya
untuk menarik nafaspun tidak ada lagi kesempatan.
Udara didalam barak itu menjadi terasa aneh, seperti udara
tanah pekuburan. Pemimpin pengawas yang terluka itu masih duduk
ditempatnya. Namun seakan-akan ia sudah membeku oleh
suara yang mengerikan itu. Beberapa kali ia mencoba
menghalaukan cengkaman perasaan itu dengan nalar dan
pertimbangan-pertimbangan sehatnya. Namun setiap kali ia
gagal. Dan tubuhnyapun menjadi gemetar pula karenanya.
Kiai Gringsing menjadi tegang sejenak. Hantu-hantu itu
dengan sengaja mendekati dan mengganggu barak itu. Bagi
Kiai Gringsing itu adalah suatu pertanda, bahwa yang datang
bukanlah hantu-hantu kecil seperti yang dikatakannya.
Mereka pasti sudah mengetahui apa yang terjadi
sebelumnya. Hantu-hantu itu pasti sudah tahu bahwa dibarak
itu ada Agung Sedayu dan Swandaru yang telah berhasil
mengalahkan beberapa orang dari antara mereka yang diliputi
oleh rahasia itu. Karena itu, apabila mereka dengan sengaja
datang kebarak ini, mereka pasti sudah
memperhitungkannya."
"Mereka ternyata mendatangi barak ini" desis Kiai
Gringsing. Swandaru menganggukkan kepalanya. Tetapi ia tidak
menjawab. "Hati-hatilah" desis gurunya "kalau mereka berani berbuat
demikian, mereka pasti sudah membuat perhitunganperhitungan
tertentu. Bahkan mungkin berdasarkan atas
perhitungan mereka karena para pengawas telah
menghubungi pusat Tanah Mataram."
Swandaru masih mengangguk-anggukkan kepalanya. Ia
menyadari kata-kata gurunya. Hantu-hantu itu pasti sudah
membuat perhitungan-perhitungan tertentu. Karena itu, ia
memang harus berhati-hati.
"Kau sudah menelan sebutir obat siang tadi. Obat itu pasti
masih berpengaruh atasmu. Apabila kau tersentuh racun dari
hantu-hantu yang barangkali karena putus-asa atau kehabisan
akal akan menyerang kita, kau masih dapat bertahan,
Demikian juga Agung Sedayu. Kita disini tidak tahu apa saja
yang dikerjakannya sekarang."
Swandaru memandang gurunya sejenak, lalu "Apakah kita
akan menunggu mereka, atau kita akan keluar dari barak ini?"
"Kita akan melihat perkembangan keadaan." Belum lagi
Kiai Gringsing diam sama sekali, terdengar suara tertawa itu
meninggi. Kemudian melengking mengerikan. Dari sela-sela
suara yang masih berkepanjangan itu terdengar suara yang
lain "He penghuni barak yang bodoh."
Ternyata suara itu benar-benar telah mengguncang setiap
hati, sehingga beberapa orang hampir menjadi pingsan
karenanya. Mereka menjadi semakin ketakutan mendengar
suara yang bercampur baur dibelakang barak mereka itu.
"Ada kesalahan yang besar yang telah kalian lakukan."
suara itu masih menggetar diantara suara tertawa yang tidak
terputus. "Aneh guru" Swandaru tiba-tiba berdesis.
"Apa yang aneh?" bertanya gurunya.
"Suara itu, Bagaimana mungkin seseorang dapat berbicara
sambil tertawa dengan suara yang melengking-lengking itu?"
"Kau yang aneh?"
"Kenapa aku?" "Seharusnya kau tidak bertanya demikian. Apakah ada
ketentuan dari manapun, bahwa hantu-hantu tidak boleh
datang berdua, bertiga atau barangkali berpuluh-puluh yang
telah mengepung barak ini?"
"O" Swandaru mengangguk-anggukan kepalanya pula. "Ya,
mereka pasti datang dalam jumlah yang cukup."
Dalam pada itu suara dari belakang barak itu berkata terus
"Karena itu, kami menuntut agar kalian menyesali kesalahan
itu." Suara itu seakan-akan bergema diseluruh luangan barak
yang membujur panjang itu, dan singgah disetiap telinga
sehingga orang-orang yang ada didalamnya menjadi semakin
ketakutan. Seandainya tubuh mereka disayat pisaupun
agaknya tidak akan dapat menitikkan setetes darah yang
masih merah. "Kalian telah membuat beberapa kematian justru orangorang
yang dapat mengerti tentang kami. Justru orang-orang
yang paling baik diantara kalian, dan yang bersedia bersama
dengan kami. Orang-orang itulah yang selama ini menjadi
jembatan diantara kita. Tetapi orang-orang itu justru sudah
kalian bunuh" suara itu berhenti sejenak. Dan yang terdengar
kemudian bagaikan seekor harimau yang menggeram. Lalu
"Sudah tentu kami akan menuntut balas. Mereka adalah
orang-orang yang baik, sehingga karena itu nilai mereka bagi
kami berbanding satu dengan sepuluh. Seorang dari orangorang
yang baik itu, akan kami tuntut ganti sepuluh orang dari
antara kalian." Tubuh-tubuh yang terbaring didalam barak itu menjadi
semakin gemetar. Tidak seorangpun yang berani bergerak
sama sekali. Apalagi setelah mereka mendengar tuntutan
hantu-hantu itu. Maka rasa-rasanya nyawa mereka telah
berada diubun-ubun. Seorang yang tidak tahan lagi
mendengar suara-suara itu ternyata telah jatuh pingsan tanpa
ada yang mengetahuinya, karena selimut yang menutup
seluruh tubuhnya. "Ayo" berkata hattu itu "siapakah yang akan mati lebih
dahulu saat ini." suara itu berhenti sejenak seakan-akan
memberi kesempatan kepada orang-orang didalam barak itu
untuk berpikir. Tetapi kemudian suara itu berkata "Namun
demikian, kami masih memberi kesempatan kepada kalian
untuk minta maaf kepada kami dengan satu syarat.
Menyerahkan orang-orang gila yang ada didalam barak kalian
itu kepada kami. Tiga orang ayah beranak itu harus menjadi
tumbal apabila kalian menghendaki keselamatan."
Barak itu menjadi hening. Ketakutan yang sangat telah
mencengkam mereka, seperti kesepian yang dipenuhi oleh
suasana maut yang telah membayangi setiap perasaan.
Kiai Gringsing dan Swandaru menjadi semakin tegang.
Sejenak mereka saling berpandangan. Tanpa berjanji mereka
hampir berbareng berpaling kepada pemimpin pengawas yang
bersandar disudut. Orang-orang didalam barak itu kemudian mendengar hantu
diluar berteriak dengan suara yang mengguncang jantung.
"Ayo. Kalau kalian tidak bersedia menyerahkan tiga orang itu,
kalian akan mengalami nasib yang jelek. Sedikitnya duapuluh
orang akan mati dengan cara yang sangat mengerikan buat
manusia, tetapi menyenangkan buat hantu-hantu."
Tidak ada seorangpun yang berani memberikan tanggapan.
"Kenapa kalian diam saja?" teriak hantu-hantu itu "apakah
kalian tidak rela" Kalau begitu, bersiaplah. Dua puluh orang
akan mati. O tidak, duapuluh lima. Aku memerlukan duapuluh
lima orang. Mereka akan menjadi budak-budak didunia kami.
Dunia halus dengan wadag-wadag mereka supaya kami dapat
menyakiti setiap saat."
Mengerikan sekali. Mengerikan sekali. Dan hantu-hantu itu
berkata selanjutnya "Aku memberi waktu kalian untuk berpikir
sejenak." Suasana yang aneh telah mencekam barak itu. Beberapa
orang tiba-tiba beringsut ditempatnya. Perlahan-lahan mereka
menarik selimut mereka, dan dari sela-sela jari tangan,
mereka mencoba mencari Kiai Gringsing dan anak-anaknya.
Yang mereka lihat kemudian adalah Truna Podang itu duduk
hanya dengan satu anaknya karena anaknya yang lain pergi
kebarak sebelah bersama seorang tamunya.
Dalam ketegangan itu ternyata telah terjadi pergolakan
disetiap dada. Ketakutan yang dahsyat telah mendorong
mereka untuk berpikir, apakah mereka akan menyerahkan
orang tua bersama kedua anak-anaknya itu.
Tanpa dikehendaki, dua orang yang menjengukkan
kepalanya saling berpandangan sejenak. Namun mereka tidak
segera berbuat apa-apa. Sementara itu, pemimpin pengawas yang terluka masih
juga bersandar dinding. Ia mencoba dengan segenap
(kemampuan akalnya untuk menentang permintaan hantuhantu
itu. Perlahan-lahan ia berhasil menguasai perasaannya,
sehingga akhirnya ia berketetapan bahwa permintaan itu
adalah permintaan yang sangat gila. Hantu yang manapun
tidak akan sempat memberikan pilihan semacam itu.
Seandainya mereka mempunyai kekuasaan, maka mereka
akan dapat berbuat sekehendak hati mereka tanpa
pertimbangan-pertimbangan yang sangat memuakkan itu.
Meskipun demikian, bayangan keragu-raguan masih
mengabut dikepalanya, sehingga pemimpin pengawas itu
masih belum berbuat apa-apa.
Ketegangan yang memuncak itupun akhirnya telah
mengusik setiap orang yang berbaring didalam barak itu.
Setiap orang menginginkan agar dirinya sendiri diselamatkan,
meskipun karena itu, orang lain harus dikorbankan. Didalam
pilihan yang demikian seseorang akan berpijak pada sifat
manusiawi. Bertahan diri dengan cara apapun juga Hanya
orang-orang yang merniliki kelebihan hakiki sajalah yang
sanggup menyingkirkan sifat itu, dan bersedia berkorban
untuk kepentingan orang lain. Perasaan yang demikian,
adalah perasaan kasih yang tertinggi yang dimiliki oleh
seseorang untuk sesamanya, meskipun kadang-kadang
seseorang tidak tepat meletakkan dasar pertimbangan,
sehingga dengan pahit terjadi pengorbanan tulus yang sia-sia.
Demikianlah yang sedang bergolak disetiap hati orangorang
didalam barak itu. Mereka lebih senang mengorbankan
tiga orang seperti yang diminta oleh hantu-hantu itu. Bukan
karena mereka memperhitungkan bahwa tiga itu jauh lebih
sedikit dari duapuluh apalagi duapuluh lima, tetapi karena
yang tiga orang itu bukanlah diri mereka sendiri. Yang tiga itu
adalah orang-orang yang sudah ditunjuk oleh hantu-hantu.
Bahkan seandainya korban akan dituntut jauh lebih banyak
dari itu, jauh lebih banyak dari duapuluh lima, tetapi yang lebih
dari duapuluh lima itu bukan diri mereka sendiri, merekapun
pasti akan memilih jumlah itu
Namun suasana didalam barak itu masih tetap sepi
meskipun terasa dibakar oleh keterangan yang memuncak.
Semua orang telah memandang Kiai Gringsing yang masih
tetap duduk ditempatnya dari sela-sela selimut yang mereka
singkapkan. Tiba-tiba mereka terkejut karena suara diluar menyentak
"He, apakah kalian sudah mendapat pilihan?" Tidak ada
jawaban sama sekali. "Aku masih memberi kesempatan kepada kalian. Yang
harus kalian lakukan didalam pilihan ini adalah, apabila kalian
memilih mengorbankan tiga orang itu, segera lakukanlah.
Bunuhlah mereka. atau setidak-tidaknya usirlah mereka
keluar. Kami akan menangkap dan membantu kalian
membunuh mereka di dalam kegelapan. Kami tidak senang
berada didalam cahaya lampu yang silau, meskipun apabila
perlu kami dapat memadamkannya. Tetapi kalau kalian tidak
melakukannya, maka kalian yang akan menjadi korban."
"Duapuluh lima orang ! Mungkin kau, mungkin kau, kau,
kau, kau atau anak-anakmu atau saudara-saudaramu atau
kalian semuanya sekeluarga."
Dada orang-orang didalam barak itu mulai bergolak.
Perasaan mereka yang kabur menjadi semakin gelap,
sehingga tiba-tiba salah seorang yang ketakutan tanpa dapat
dikekang berteriak "Kita bunuh mereka. Kita bunuh mereka."
Kiai Gringsing menjadi berdebar-debar. Tidak mungkin
melawan orang-orang bodoh yang tidak berdaya itu. Meskipun
ia dapat berbuat apa saja, tetapi ia tidak akan dapat
mengorbankan mereka didalam kebodohannya itu. Sehingga
dengan demikian, Kiai Gringsing justru menjadi bimbang
sejenak. Namun dalam pada itu, selagi Kiai Gringsing, Swandaru
dan pemimpin pengawas itu dicengkam oleh keragu-raguan,
terdengarlah diluar suara lain yang besar berkumandang
diudara "He hantu-hantu kerdil, apakah kerja kalian disitu"
Kalian hanya dapat menakut-nakuti tikus-tikus kecil itu.
Ketahuilah, aku adalah Kiai Dandang Wesi dari Gunung
Merapi," Suara itu ternyata telah menggetarkan hati setiap orang
yang mendengarnya. Bahkan Kiai Gringsing dan
03 Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Swandarupun menjadi tegang sejenak. Ketika mereka
berpaling kepada pengawas yang duduk dengan lemahnya,
mereka melihat pemimpin pengawas itn beringsut dari
tempatnya. Belum lagi seseorang sempat berbuat apapun, suara itu
terdengar lagi "He hantu-hantu yang tidak tahu adat. Aku
sudah mengadakan pembicaraan dengan rajamu. Sekarang
kalian berbuat menurut kehendakmu sendiri."
Malam serasa menjadi bertambah sepi dan tegang. Dan
suara itu masih berkata "Adalah perbuatan yang terkutuk
sekali apabila kau menuntut ganti orang-orang yang berpihak
kepadamu itu sejumlah duapuluh lima orang, atau tiga orang
ayah beranak itu. Aku adalah Kiai Dadang Wesi. Aku sudah
berjanji untuk melindungi mereka dari ancaman siapapun juga.
Termasuk ancaman orang-orang, eh, hantu-hantu gila seperti
kalian. Sebab dengan perbuatan kalian itu, kalian telah
menodai nama dan kuasa hantu-hantu yang sebenarnya.
Sebagai utusan dari Gunung Merapi, aku memperingatkan,
agar kalian melepaskan tuntutan kalian itu."
Orang-orang didalam barak itupun menjadi kian membeku.
Orang yang sudah terlanjur berteriak untuk membunuh ketiga
ayah beranak itupun seakan-akan telah mematung
ditempatnya. Hatinya benar-benar telah terguncang. Sama
sekali tidak disangkanya, bahwa diluar baraknya ada jenis
hantu yang lain, yang juga pernah didengarnya. Kiai Dandang
Wesi dari Gunung Merapi "Apakah kalian tidak ingin mengurungkan tuntutan kalian
itu?" masih terdengar suara dari hantu yang menyebut dirinya
bernama Kiai Dandang Wesi.
Namun tidak ada jawaban sama sekali. Suara tertawa yang
melengking-lengking itupun telah lenyap seperti disapu angin
malam yang bertiup dari Selatan.
Orang-orang didalam barak itu bagaikan sabut yang
diguncang ombak dilautan yang luas. Perasaan mereka
benar-benar telah terombang-ambing tanpa dapat mereka
kendalikan lagi. Beberapa orang diantara mereka sudah tidak
dapat mempergunakan nalar, sehingga meskipun mereka
masih tetap sadar, tetapi mereka tidak lebih dari sesosok
tubuh yang kosong sama sekali.
Mereka yang masih sadar, tiba-tiba saja mendengar desis
dan bisik yang lembut dibelakang gardu. Tetapi mereka tidak
dapat menangkap sama sekali apa yang sedang
diperbincangkan. Tetapi terbayang didalam angan-angan
mereka, beberapa sosok hantu sedang berdiri termangumangu,
menghadapi jenis hantu yang lain, yang mempunyai
kuasa yang sama dengan mereka.
Perlahan-lahan pemimpin pengawas yang terluka itu
beringsut mendekati Kiai Gringsing yang duduk tegang
disamping Swandaru. Tetapi ketika ia sudah berada beberapa
jengkal dari orang tua itu, pemimpin pengawas itu masih juga
tetap terdiam. Sejenak kemudian malam kembali disayat oleh suara yang
dalam dan berat "Apa katamu he hantu-hantu kecil
Jerangkong, tetekan, tuyul, culi dan wedon-wedon cengeng.
Ayo, aku memberi kalian waktu sejenak. Kalau kalian tidak
pergi dari tempat itu, aku. Kiai Dandang Wesi akan bertindak.
Aku tahu, bahwa pemimpin-pemimpinmu tidak akan senang
atas tindakanku ini, tetapi pemimpin-pemimpinmu yang
tertinggi pasti akan berterima kasih kepadaku."
"Persetan" tiba-tiba terdengar suara dari belakang barak.
Tetapi sebelum dilanjutkannya, dikejauhan terdengar suara
menyahut "Ya. kalian memang setan-setan."
"Diam" suara dibelakang gardu itu berteriak "kami bukan
saja terdiri dari hantu-hantu kecil."
"Ya, aku memang melihat diantara kalian ada genderuwo.
Tetapi sudah tentu genderuwo yang bengal. Yang tidak tunduk
kepada atasannya". "Sudahlah, jangan banyak bicara. Tinggalkan tempat itu,
atau aku akan membakar kalian dengan api neraka yang
paling panas. Kalian tahu, bahwa aku dapat menceburkan kau
kekawah Gunung Merapi?"
"Jangan membual. Aku tetap pada pendirianku. Aku akan
membunuh tidak saja duapuluh lima orang. tetapi semua
orang didalam barak ini."
"Kau mengundang bencana bagi seluruh Alas Mentaok. Itu
berarti perang dengan Gunung Merapi dan pegunungan
disekitarnya, Merbabu dan pegunungan Somawana, Gajah
Mungkur sampai ke Hutan Kedung Pati. Dan ini sama sekali
tidak dikehendaki oleh raja kalian."
Sejenak tidak ada jawaban. Kembali terdengar suara
berbisik dibelakang gardu. Seakan-akan hantu-hantu itu
sedang merundingkan apa yang sebaiknya dilakukannya.
"Ingat" teriak suara dikejauhan "kalian berdiri sendiri. Alas
Tambak Baya, Ereng-ereng Kali Praga dan Daerah Gunung
Sepikul pun tidak sependapat dengan cara kalian. Meskipun
jumlah mereka tidak begitu banyak; namun bersama-sama
dengan kami mereka akan merupakan lawan yang berat bagi
Alas Mentaok. Apalagi dendam yang membara dihati mereka
tidak akan dapat dipadamkan untuk waktu yang berabad-abad
karena tindakan kalian selama ini. Mereka selalu terdesak dan
kalian hinakan sebagai hantu-hantu yang tidak mempunyai
kekuasaan halus seperti kalian."
Ketegangan rasa-rasanya telah menghanguskan setiap
jantung dari orang-orang yang tinggal didalam barak itu.
Mereka tidak tahu, apakah mereka berpengharapan atau
menjadi semakin ketakutan mendengar percakapan hantuhantu
itu. Hanya Kiai Gringsing dan Swandaru sajalah yang
semakin lama justru menjadi semakin tenang. Bahkan
Swandaru menjadi tersenyum ketika ia mendengar suara
hantu dikejauhan menjadi serak, bahkan kemudian terbatukbatuk.
"Agaknya kita sudah harus mulai" desis Kiai Gringsing.
"Apakah sebenarnya yang telah terjadi ?" bertanya
pemimpin pengawas itu. "Kalau hantu-hantu itu benar-benar akan bertempur, kita
tidak akan dapat tetap tinggal diam disini."
Pemimpin pengawas itu memandang Kiai Gringsing
Dengan heran. Ia tidak segera mengerti maksud orang yang
menyebut dirinya bernama Truna Podang itu.
"Ki Sanak" berkata Kiai Gringsing itu kemudian "agaknya
hantu-hantu itu sudah sampai pada puncak kesabarannya.
Mereka memerlukan aku dan kedua anak-anakku. Tetapi
seperti yang dijanjikan maka Kiai Dandang Wesi benar-benar
akan melindungi kita disini. Dan aku percaya bahwa kuasa
Kiai Dandang Wesi itu tidak kalah dari hantu-hantu kerdil itu.
Pemimpin pengawas itu mengerutkan keningnya. Sedang
Kiai Gringsing berkata terus, kini kepada seisi barak "Nah,
sekarang siapakah diantara kalian yang masih ingin
membunuh aku" suaranya justru menjadi lantang dan teras,
seakan-akan dengan sengaja diperdengarkan kepada hantuhantu
itu "disini selain hantu-hantu kerdil itu ada juga hantuhantu
lain yang lebih dekat dari manusia, yaitu Kiai Dandang
Wesi. Bukan sekedar wedon cengeng atau jerangkong kurus,
tetapi Kiai Dandang Wesi adalah Perayangan. Jenis hantu
tertinggi yang menguasai daerah Gunung Merapi."
"Omong kosong" tiba-tiba terdengar suara dibelakang
barak. Ternyata hantu-hantu yang mendengar suara Kiai
Gringsing itu telah membantah langsung pernyataan orang tua
itu "aku tetap pada pendirianku. Membunuh kalian atau tiga
orang ayah beranak."
"Bagus" berkata Kiai Gringsing "aku serahkan kepada isi
barak Ini. Membunuh aku atau kalian terbunuh. Tetapi siapa
yang membunuh aku, maka Kiai Dandang Wesi akan
membalas sampai tujuh keturunan. Kalian akan di tumpas
kelor dengan bayi-bayi kalian."
Swandaru yang berada disamping Kiai Gringsing hampir
tidak dapat menahan tertawanya, ia merasa seakan-akan
melihat suatu pertunjukan lelucon yang sangat menarik,
sehingga gurunya tidak lagi sempat meneliti kata-katanya.
Bagaimana mungkin orang dapat menumpas sampai tujuh
turunan. Kalau satu turunan sudah ditumpas, maka tidak akan
ada keturunan kedua apalagi sampai ketujuh. Namun
demikian Swandaru masih tetap berusaha untuk tidak
merusak suasana. Ia tidak mau dengan tiba-tiba saja
menghentakkan ketegangan yang masih mencengkam,
supaya perasaan orang-orang didalam barak itu tidak
tersentak-sentak. Tetapi Swandaru tahu benar, apa yang sedang terjadi
diluar barak. Ia tidak dapat dikelabuhi, bahwa suara
dikejauhan yang menyebut dirinya Kiai Dandang Wesi adalah
suara Agung Sedayu. Agaknya Agung Sedayu yang pernah
mendengar nama Kiai Dandang Wesi dari gurunya dan
mendengar ceriteranya, segera mengambil alih persoalan.
Agung Sedayu sadar, bahwa karena gurunya berada didalam
barak itu, maka ia tidak akan dapat berbuat apa-apa untuk
menghadapi hantu-hantu itu dengan cara yang serupa.
"Aku tidak tahu apa yang kau lakukan" bisik Sumangkar
yang berjongkok disamping Agung Sedayu dibalik rimbunnya
dedaunan. Agung Sedayu meraba Iehernya yang sakit karena ia harus
berteriak-teriak dengan nada suara yang rendah dan dalam.
Sambll menelan ludahnya ia memandang Sumangkar yang
keheran-heranan. "Kita sedang bermain hantu-hantuan desis Agung Sedayu
kemudian" agaknya guru sudah dapat menangkap apa yang
aku lakukan." "Tetapi bagaimana dengan hantu-hantu itu ?"
"Seperti yang kita lihat. Mereka adalah manusia-manusia
biasa. Hanya ada dua diantara mereka yang memakal pakaian
seperti hantu. Dua orang itulah yang apabila terpaksa harus
menampakkan dirinya. Tetapi yang lain, yang bersembunyi
dikegelapan itu sama sekali tidak menyerupai hantu."
Sumangkar mengangguk-anggukkan kepalanya. Ia melihat
lima atau enam orang mengendap-endap dibelakang barak, di
tambah dengan dua sosok hantu yang tinggi dan berkepala
jerangkong. "Permainan mereka hampir habis" desis Agung Sedayu.
Sumangkar mengangguk-anggukkan kepalanya.
"Nah, apalagi yang akan mereka lakukan" gumam Agung
Sedayu. Agung Sedayu dan Sumangkarpun merayap semakin
dekat. Tiba-tiba saja Agung Sedayu memungut sebuah batu.
Ia melihat hantu-hantu itu mulai melempari barak dengan
batu-batu pula. "Aku akan membalas" desis Agung Sedayu. Sebagai
seorang yang memiliki kemampuan membidik yang tinggi
Agung Sedayupun kemudian dengan sekuat tenaga melempar
hantu yang berkepala tengkorak itu. Demikian kerasnya,
sehingga gemeletuk batu yang mengenai tengkorak itu telah
mengejutkan sekelompok orang-orang itu. Apalagi, hantu yang
berkepala tengkorak itu menjadi sedemikian terkejutnya,
sehingga tanpa sesadarnya ia mengaduh.
"Ssst" desis kawannya. Namun batu yang lain telah
mengenai punggung salah seorang diantaranya.
"Nah" teriak Agung Sedayu "marilah kita berperang dengan
batu. Kalian jangan melempari barak itu. Akulah Kiai Dandang
Wesi." Suasana menjadi hening dan kian menegang. Orang-orang
didalam barak sudah hampir menjadi pingsan seluruhnya,
kecuali Kiai Gringsing, Swandaru dan pemimpin pengawas itu,
ketika beberapa butir batu berjatuhan menembus atap daun
ilalang apalagi ketika mereka mendengar hantu-hantu itu
berkata "Sebentar lagi aku akan menjatuhkan batu-batu yang
membara. Barak ini akan terbakar dan kalian akan
terpanggang didalamnya. Tetapi tiba-tiba mereka mendengar suara dikejauhan, suara
hantu yang menyebut dirinya Kiai Dandang Wesi. Dan suara
dikejauhan itu berkumandang lagi "Kalau kalian menjatuhkan
batu-batu yang membara, aku akan melimpahkan hujan yang
deras. Batu-batumu tidak akan berguna sama sekali."
"Aku akan mendatangkan angin prahara Barak ini akan
hancur bersama isinya."
Aku akan menciptakan tirai yang tidak kasat mata Angin
prahara itu tidak akan menyentuh selembar ilalangpun diatap
barak itu." Suasana yang tegang menjadi semakin tegang. Bahkan
Swandaru yang ada didalam barak itupun mulai mengerutkan
keningnya. Ia sadar, bahwa seterusnya ia tidak akan dapat
untuk tetap berdiam diri duduk sambil mendengarkan hantuhantu
itu berbantah. Dan dengan dada yang bergejolak ia mendengar hantuhantu
dibelakang barak itu berteriak "Omong kosong. Kalau
kau benar-benar hantu dari Gunung Merapi dan mempunyai
kuasa untuk menciptakan hujan dan angin, apalagi tirai yang
tidak kasat mata, ayo, segera tunjukkanlah kepada kami."
"Kami hanya akan melakukan kalau kalian mendahului.
Kami bukan sejenis tuyul yang suka menyombongkan diri
tanpa alasan. Nah, mulailah dengan batu-batu yang membara.
Lihat, langit sudah mulai mendung."
"Sst" desis Sumangkar perlahan-lahan "bintang bertaburan
dilangit." "O" Agung Sedayu menengadahkan kepalanya. Tetapi
sejenak tidak ada suara yang menyahut.
Namun demikian Agung Sedayu harus mulai menyiapkan
dirinya menghadapi kemungkinan-kemungkinan lain. Hantuhantu
itu agaknya sudah mulai jemu berdebat. Mereka harus
berbuat sesuatu. "Paman Sumangkar" bisik Agung Sedayu "maaf kalau
kedatangan paman disini akan disambut dengan permainan
yang barangkali tidak menyenangkan bagi paman. Tetapi
apaboleh buat. Agaknya kami sudah tidak akan dapat
menunda lagi. Siang tadi beberapa pengawas telah pergi
kepusat pemerlntahan di Tanah Mataram. Agaknya hal itu
sangat berpengaruh pada mereka. Mungkin mereka
menemukan bahan-bahan atau persoalan-persoalan yang
memaksa mereka untuk segera bertindak malam ini."
Sumangkar mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi
sebelum ia menjawab, dilihatnya bayangan hantu-hantu
didalam keremangan malam itu mulai bergerak-gerak
memencar. "Mereka sudah mulai." desis Agung Sedayu. Sumangkar
03 Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
mengangguk-anggukkan kepalanya "Jadi apa yang akan kia
lakukan sekarang?" "Menghadapi mereka?" bisik Agung Sedayu.
"Bertempur" Agung Sedayu memandang Sumangkar sejenak. Ia sadar,
bahwa orang tua itu masih lelah karena perjalanannya.
Seharusnya ia beristirahat dan tidur nyenyak. Tetapi kini ia
mau tidak mau harus melibatkan diri didalam perkelahian yang
mungkin akan terjadi. "Maaf paman. Apakah paman masih sangat lelah?"
akhirnya Agung Sedayu bertanya.
"Pertanyaanmu aneh ngger. Tetapi baiklah aku menjawab.
Aku tidak lelah." Agung Sedayu mengerutkan keningnya. Namun kemudian
ia berbisik pula "Mereka akan mengepung kami disini."
"Ya. Hantu yang berkepala tengkorak Itu sudah melepas
kepalanya. Mungkin ia merasa terganggu apabila ia harus
berkelahi sambil memegang tangkai kepalanya itu."
Agung Sedayu mengang guk-anggukkan kepalanya, Kini ia
benar-benar harus bersiap menghadapi segala kemungkinan.
Seperti pesan gurunya bahwa ia harus berhati-hati kalau
hantu-hantu itu datang lagi, berarti mereka sudah siap
menghadapi orang-orang didalam barak yang sudah mereka
ketahui kekuatannya. Yang telah dapat mengalahkan orangorangnya
yang ada diantara orang-orang yang tinggal didalam
barak itu, bahkan yang ada diantara para pengawas. Dengan
demikian, mereka pasti yakin akan dapat mengatasi kekuatan
yang ada dibarak ini. Ternyata dugaan Agung Sedayu itu benar. Hantu-hantu itu
telah merayap memencar dan berusaha mengepung Agung
Sedayu yang menyebut dirinya Kiai Dandang Wesi. Dari
ternyata pula bahwa jumlah mereka lebih banyak dari yang
disangka. Didalam gelapnya malam Agung Sedayu dari
Sumangkar tidak dapat menghitung dengan pasti, berapa
jumlah mereka. Namun ketika bayangan itu mulai memisah
diri dan bergeser dari tempat mereka bersembunyi, tampaklah
bahwa jumlah mereka cukup banyak.
"Berapa orang paman?" bertanya Agung Sedayu.
Sumangkar menggelengkan kepalanya. Tetapi ia berbisik
"Lebih dari sepuluh."
Agung Sedayu mengerutkan keningnya. Dibarak ini kini ada
empat orang yang akan dapat bekerja bersama, sedang
pemimpin pengawas yang terluka itu pasti masih belum dapat
berbuat banyak Tanpa berjanji maka Sumangkar dan Agung Sedayupun
merenggang dua langkah. Mereka menghadap kearah yang
berlawanan untuk dapat mengawasi seluruh keadaan disekitar
mereka. Namun malam menjadi sangat gelap. Sejenak mereka tidak
melihat sesuatu selain hitamnya malam dan bintang- bintang
dilangit. Namun lambat laun mereka melihat dari daunan yang
bergerak-gerak beberapa langkah dihadapan mereka. Telinga
mereka yang tajampun mulai mendengar desir ranting-ranting
yang tersibak. "Mereka sudah mulai." bisik Sumangkar yang mundur
setapak mendekati Agung Sedayu "apakah yang harus aku
lakukan" Menangkap atau mengusir mereka?"
"Kita ingin menangkap hantu paman. Satu atau dua
diantara mereka. Kita ingin mendapat keterangan."
"Bagaimana dengan gurumu dan Swandaru?"
"Kalau mereka tahu apa yang terjadi, mereka pasti tidak
akan. tinggal diam."
Sumangkar mengangguk-anggukkan kepalanya. "Baiklah"
desisnya. Keduanyapun kemudian saling berdiam diri. Tetapi medan
disekitar mereka tidak menguntungkan. Pepohonan perdu
agak terlampau rimbun, sehingga pasti akan mengganggu.
Namun mereka masih tetap menunggu ditempatnya.
Mereka mengangkat wajah ketika mereka mendengar salah
seorang dari hantu-hantu itu berkata "Menyerahlah. Kalian
tidak akan dapat lari lagi."
Sejenak Sumangkar dan Agung Sedayu saling
berpandangan. Namun mereka tidak akan segera mengatakan
sesuatu, apalagi menjawab ancaman hantu-hantu yang
agaknya telah mengepung mereka.
"Menyerahlah" terdengar lagi suara itu.
Tetapi Agung Sedayu dan Sumangkar masih tetap berdiam
diri. Bahkan mereka mencoba menahan nafas mereka agar
tidak segera dapat dikenal tempat mereka bersembunyi.
Dalam pada itu, didalam barak Kiai Gringsing dan
Swandaru menjadi berdebar-debar menanggapi
perkembangan keadaan. Dari kata-kata yang didengarnya,
mereka dapat membayangkan, apakah yang kini sedang
berkecamuk dibelakang barak itu. Agaknya hantu-hantu itu
sudah mulai mengancam dan bahkan siap imtuk menyerang.
Kiai Gringsing yang tidak mengetahui imbangan kekuatan
mereka menjadi cemas. Karena itu, maka iapun kemudian
berkata "Aku akan melihat apa yang sudah terjadi."
"Tetapi?"" pengawas itu menjadi ragu-ragu.
"Aku dan anakku ini tidak akan dapat tinggal diam. Kalau
mereka ingin menelan kami sebagai ganti isi barak ini, kami
tidak akan berkeberatan. Tetapi aku yakin, bahwa Kiai
Dandang Wesi itu benar-benar akan melindungi kami disini."
Kiai Gringsing tidak menunggu jawaban. Ia masih sempat
melihat beberapa wajah yang tersembul dari selimut mereka.
Tetapi wajah-wajah itu adalah wajah-wajah yang pucat.
Orang-orang didalam barak itu sama sekali sudah tidak
tahu lagi, bagaimana mereka akan menanggapi keadaan.
Namun justru karena itu maka mereka tidak dapat menilai
apakah sebenarnya yang sedang terjadi.
"Tinggallah disini" berkata Kiai Gringsing kepada pemimpin
pengawas itu. "Apakah kalian benar-benar akan melihat apa yang akan
terjadi diluar?" "Ya." "Hati-hati1ah. Kita sama sekali tidak tabu, apakah yang
sesungguhnya terjadi. Aku menjadi sangat bingung dan tidak
tahu apa yang scbaiknya dilakukan."
"Tinggallah disini. Kau sedang terluka. Aku kira, aku tidak
akan mengalami apapun."
Kiai Gringsing tidak menunggu jawaban pemimpin
pengawas itu. Iapun segera berdiri dan melangkah keluar
pmtu, diikuti oleh Swandaru.
Namun diserambi mereka berhenti sejenak. Kiai Gringsing
mencoba menebarkan pandangan matanya kesekeliling
halaman barak itu. Tetapi ia tidak melihat sesuatu Malam
semakin lama menjadi semakin gelap.
"Hati-hati1ah Swandaru" berkata Kiai Gringsing" kita akan
berusaha mendekati mereka dibelakang barak.
Swandaru mengangguk-anggukkan kepalanya.
Keduanyapun kemudian menuruni tangga serambi. Orangorang
yang berada diserambi itu sama sekali tidak berani
menggerakkan tubuhnya sama sekali. Bahkan jarinyapun
tidak. Kiai Gringsing dan Swandarupun kemudian mengendapendap
melekat dinding samping barak itu menuju kebelakang.
Disudut mereka berhenti sejenak untuk mendengarkan suarasuara
yang dapat memberikan petunjuk kepada mereka.
Dalam pada itu mereka mendengar suara "Jangan
mencoba mengelak lagi. Nasibmu sudah kami tentukan."
Song Unbroken Soul 1 Animorphs - 20 Anggota Baru Animorphs Suramnya Bayang Bayang 36
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama