Ceritasilat Novel Online

Hijaunya Lembah Hijaunya 27

02 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja Bagian 27


terjadi. Saat-saat y ang m enentukan segera akan tiba, karena
kedua orang Akuwu itu agaknya akan sampai kepada puncak
dari kemampuan mereka. Mereka agaknya tidak lagi telaten
bertempur dengan cara y ang untuk beberapa lama telah
mereka lakukan. Dengan demikian maka para prajurit tidak mengikuti
mereka y ang telah beringsut menjauh itu.
Sementara itu, Mahisa Murti dan Mahisa Pukat y ang
pingsan itu perlahan-lahan mulai menyadari keadaan diri
mereka masing-masing. Namun rasa-rasanya tubuh mereka
memang menjadi sakit seluruhnya. Luka-luka bakar di tubuh
mereka masih terasa bagaikan dipanggang di atas api. Panas
dan pedih. Terdengar Mahisa Murti dan Mahisa Pukat mengeluh
tertahan. Sementara itu, beberapa orang prajurit Lemah
Warah telah menjaga mereka dan menjaga agar tubuh saudara
seperguruan Akuwu Sangling tidak diambil kembali oleh
prajurit -prajurit Sangling, karena orang itu merupakan
tawanan yang berharga bagi para prajurit Lemah Warah.
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat pun kemudian telah
sa dar sepenuhnya. Namun mereka memang tidak dapat
berbuat banyak. Karena itu yang mereka lakukan kemudian
adalah memperbaiki keadaan tubuh mereka masing-masing.
Dengan obat y ang ada pada mereka, maka keduanya
telah mengobati luka mereka masing-masing sebagaimana jika
mereka terkena api. Meskipun mereka semula ragu-ragu,
apakah obat yang diperuntukkan bagi luka bakar biasa itu
dapat dipergunakan untuk mengobati luka-lukanya.
Namun ternyata bahwa setelah luka-luka mereka,
terutama di tempat tempat y ang terpenting telah disentuh oleh
obat itu, maka perasaan ny eri dan pedih pun mulai berkurang.
Karena itu, agar obat itu dapat m erata, maka ia minta
agar seorang prajurit menyempatkan diri untuk mencari air di
padepokan itu. Seorang prajurit telah berlari meninggalkan kedua anak
muda y ang terluka itu, sementara beberapa orang y ang lain
masih tetap bersiap disekitarnya.
Dengan air itu maka keduanya telah mencairkan obatnya
dan dengan demikian maka cairan itu dapat diusapkan di
seluruh tubuhnya. Akibatnya memang cukup baik. Perasaan sakitnya telah
menjadi berkurang. Sementara itu, maka keadaan dan
kedudukan para prajurit Lemah Warah pun menjadi semakin
baik. Namun dalam pada itu, hampir seisi padepokan itu telah
tertarik pada pertempuran yang dahsy at yang telah terjadi di
halaman padepokan itu. Untunglah bahwa dinding padepokan
itu cukup tinggi, sementara kekuatan prajurit Lemah Warah di
luar cukup besar, sehingga ketika perhatian mereka sebagian
besar tertuju kepada pertempuran y ang dahsy at yang terjadi di
dalam dinding padepokan, mereka tidak mengalami bencana.
Sebenarnyalah pertempuran yang terjadi benar-benar
merupakan pertempuran yang luar biasa. Seakan-akan seisi
bumi telah terguncang. Kedua belah pihak telah mengerahkan
kemampuan m ereka. Bukan sekedar lontaran ilmu dari jarak
yang jauh, t etapi bumi rasa-rasanya memang bergetar. Angin
prahara bertiup berputaran menghamburkan panas yang
melampaui panasnya api. Dedaunan di sekitar arena itu bagaikan diputar. Namun
kemudian menjadi layu oleh panas y ang tidak tertahankan.
Kedua orang Akuwu itu telah melepaskan dan
membenturkan ilmu mereka yang nggegirisi. Angin, panas dan
uap air y ang mendidih telah berbaur di arena itu.
Namun keduanya adalah orang-orang yang memiliki
ilmu yang luar biasa, sehingga keduanya masih tetap
bertempur dengan kemarahan y ang menghentak-hentak jiwa
mereka. Namun dalam pada itu, pertempuran antara prajurit
Sangling melawan prajurit Lemah Warah pun telah mendekati
pada akhirnya. Para prajurit Sangling, bagaimanapun juga
kuat dan garangnya, tetapi mereka telah benar-benar dihimpit
oleh kekuatan prajurit Lemah Warah membentur dinding.
Tidak ada yang dapat menolong mereka. Sementara itu
pembidik-pembidik y ang baik di atas dinding telah berusaha
untuk semakin mengacaukan pertahanan orang-orang
Sangling. Orang-orang y ang berada di panggungan di dalam
dinding padepokan itu, tidak dapat m elepaskan anak panah
asal saja melepaskan, karena dibawahnya pertempuran
seakan-akan telah m embaurkan kedua kekuatan dari Lemah
Warah dan Sangling. Tetapi para pembidik y ang baik masih mampu
mengambil kesempatan. Setiap saat, m ereka masih mendapat
kesempatan untuk melepaskan anak panahnya. Bahkan setiap
kali anak panah itu masih juga m ampu melukai seseorang.
Seorang prajurit Sangling berteriak sambil mengumpat -umpat
ketika pundaknya telah dipatuk oleh anak panah dari atas
dinding. Sementara yang lain telah dikenai punggungnya.
Bahkan ada diantara m ereka yang tepat mengenai dada dan
tembus ke jantung. Tetapi serangan y ang demikian memang harus
dilakukan dengan sangat hati-hati, sehingga kesempatan
untuk melepaskan anak panah dengan keyakinan bahwa anak
panah itu akan memungut korban adalah jarang sekali. Tetapi
yang jarang itu satu dua memang benar-benar berhasil.
Dengan demikian m aka prajurit Sangling itu pun telah
menjadi semakin susut. Ada juga prajurit Lemah Warah \ang
menjadi korban dari pertempuran itu. Tetapi keadaan mereka
kemudian menjadi jauh lebih baik dari para prajurit Sangling.
Untuk beberapa saat prajurit Sangling itu masih
bertahan. Sebagian dari mereka memang berniat untuk tidak
beringsut surut sama sekali. Namun kematian demi kematian
telah mengurangi jumlah prajurit Sangling itu.
Sementara itu Akuwu Sangling tengah bertempur
dengan dahsy atnya melawan Akuwu Lemah Warah. Segala
macam ilmu telah mereka kerahkan untuk menundukkan
lawan. Namun mereka agaknya tidak segera berhasil.
Tetapi keduanya tidak cepat kehilangan akal. Meskipun
seolah-olah m ereka tidak akan mungkin mengalahkan lawan,
tetapi mereka masih tetap beradu ilmu. Jika seorang diantara
mereka membuat kesalahan betapapun kecilnya, maka akan
mungkin sekali menentukan akhir dari pertempuran itu.
Kedua orang itu tidak saja m embenturkan ilmu mereka
dalam bentuknya yang keras. Tetapi kadang-kadang serangan
ilmu y ang keras dan kasar telah dilawan dengan i lmu dalam
ujudnya yang lunak, sehingga y ang terjadi bukan benturan
kekerasan, namun y ang keras itu seakan-akan telah ditelan
oleh ujud yang lunak. Namun sebaliknya serangan ilmu dalam ujud yang lunak
dapat tersapu oleh kekuatan ilmu y ang keras m eskipun ilmu
yang keras itu pada satu titik t ertentu telah kehabisan tenaga
dan leny ap bersama hembusan angin yang mengalir.
Dengan demikian maka rasa-rasanya pertempuran itu
tidak akan pernah berakhir sampai kapan pun juga.
Sementara pertempuran itu masih menyala, maka
dibebe-rapa tempat pasukan Akuwu Sangling benar-benar
sudah tidak mampu bertahan lagi. Pasukan Lemah Warah
telah berhasil memisahkan beberapa bagian dari pasukan
Sangling dengan memotong jalur perlawanan mereka. Dengan
demikian maka pasukan Sangling telah terpecah men jadi
kelompok-kelompok kecil y ang bertahan melekat dinding,
sementara dari atas dinding masih saja kadang-kadang
meluncur anak panah y ang sempat mengambil nyawa satu dua
orang kawan mereka. Dalam keadaan y ang paling sulit, maka tidak ada pilihan
lain bahwa mereka memang harus menghentikan perlawanan.
Kematian dan kematian tidak akan banyak m emberikan arti
apa-apa lagi dalam keadaan y ang demikian.
Karena itulah maka beberapa bagian dari pasukan
Sangling itu telah meny erah. Mereka telah meletakkan senjata
mereka dan mematuhi perintah para prajurit Lemah Warah.
Perlawanan y ang paling sengit y ang masih berlangsung
adalah perlawanan prajurit Sangling y ang berada di pintu
gerbang. Mereka memang tidak melihat keadaan seluruh
medan di seputar padepokan itu. Bahkan m ereka sama sekali
tidak menduga bahwa ada juga pasukan Sangling y ang sempat
menyerah. Tetapi kenyataan itu memang terjadi. Sekelompoksekelompok
kecil pasukan Sangling y ang terpisah karena
pasukan Lemah Warah y ang menusuk memotong arena
pertempuran memang telah meny erah.
Dalam saat-saat yang demikian, maka sebagian prajurit
Lemah Warah y ang telah kehilangan lawan, mengalir ke pintu
gerbang. Orang orang Sangling y ang meny erah, telah
diperintahkan untuk berdiri melekat dinding. Para prajurit
Lemah Warah berdiri dihadapan mereka dengan ujung senjata
yang siap menghunjam ke perut mereka jika orang-orang
Sangling itu mencoba untuk mengingkari peny erahannya.
Sementara sebagian dari para prajurit Lemah Warah telah
bergeser untuk menekan orang-orang Sangling y ang masih
mengadakan perlawanan, terutama di pintu gerbang itu.
Karena itulah maka prajurit Sangling di pintu gerbang
menjadi heran bahwa lawan mereka justru bertambahtambah.
Prajurit Lemah Warah itu seakan-akan telah
berkembang sampai batas yang tidak terlawan lagi.
Sebenarnyalah dari segala bagian dari pertempuran itu,
prajurit Lemah Warah telah mengalir ke arena yang menjadi
semakin sempit. Bahkan para prajurit yang berada didalam
padepokan pun telah bergeser ke pintu gerbang pula, karena
prajurit Sangling di luar dinding telah menyerah. Hanya
sekelompok kecil sajalah y ang masih berjaga-jaga di dalam
dinding padepokan itu. Akuwu Sangling sendiri tidak sempat memperhatikan
lagi pertempuran itu. Ia memang dibekali oleh satu key akinan
bahwa prajurit Sangling adalah prajurit y ang terbaik di
seluruh Singasari. Meskipun jumlah prajurit Lemah Warah
lebih banyak dari prajurit-prajuritnya, namun Akuwu Sangling
yakin bahwa prajurit-prajuritnya akan mampu mengatasi.
Namun ternyata keyakinan Akuwu itu tidak terbukti
dalam keadaan yang menentukan itu. Bahkan hampir semua
prajuritnya telah meny erah setelah jatuh korban yang tidak
diduga sebelumnya. Pertempuran di pintu gerbang pun kemudian menjadi
tidak seimbang lagi. Prajurit Lemah Warah menjadi hampir
berlipat ganda. Karena itu. maka ruang gerak prajurit Sangling
pun menjadi semakin sempit.
Akhirnya setiap prajurit Sangling harus berhadapan
dengan dua atau tiga orang lawan. Mereka yang berbangga diri
bahwa kemampuan mereka melampaui kemampuan prajurit
di manapun juga di seluruh Kediri bahkan Singasari itu, harus
mengakui satu kenyataan, bahwa mereka tidak mampu
berbuat apa-apa. Karena itu, maka para prajurit Sangling di pintu gerbang
itu pun tidak m empunyai pilihan lain. Jika semula tidak ada
niat sama sekali meny erah, maka akhirnya mereka mendengar
seorang Senapati Lemah Warah berteriak, "Kenapa kalian
tidak menyerah saja" Bukan berarti bahwa kalian seorang
pcngecut. Tetapi kalian tidak dapat ingkar akan kenyataan itu.
Jika kita masih harus bertempur terus, maka berarti prajurit
Lemah Warah akan melakukan pembunuhan yang tidak
berarti lagi. Nyawa kalian pun menjadi tidak berarti pula,
karena kematian kalian sudah tidak m enentukan apa -apa lagi
bagi pertempuran ini. Karena itu, prajurit Lemah Warah
merasa berkeberatan untuk melakukan pembunuhanpembunuhan
berikutnya." Para prajurit Sangling memang sudah tersudut ke dalam
keadaan yang sulit. Mereka memang harus memilih antara
menyerah atau mati. Tetapi kematian m ereka memang tidak
memberikan arti apa -apa bagi pertempuran itu. Sehingga
dengan demikian maka kematian mereka tidak lebih dari
usaha membunuh diri dengan sia-sia.
Karena itu, maka setiap prajurit Sangling pun harus
mengakui bahwa memang tidak ada pilihan lain kecuali
menyerah terhadap prajurit Lemah Warah dan isi padepokan
Suriantal itu. Mereka tidak akan dapat mengingkari keny ataan
bahwa ujung -ujung senjata telah siap menembus dada mereka,
betapa pun mereka melakukan perlawanan.
Agaknya para prajurit Sangling itu telah memilih untuk
menyerah daripada membunuh diri.
Itulah sebabnya, maka mereka pun kemudian telah
melepaskan senjata mereka. Hampir dalam waktu yang
bersamaan. Ketika seorang perwira Lemah Warah
menjatuhkan perintah kepada prajurit -prajuritnya untuk
memberikan kesempatan kepada lawan-lawan mereka
menyerah. Demikianlah, m aka akhirnya para prajurit Sangling itu
pun telah meny erah. Pertempuran pun kemudian telah hampir
selesai seluruhnya. Jika satu dua kelompok kecil masih
mengadakan perlawanan maka hal itu tidak banyak
berpengaruh atas pertempuran itu dalam keseluruhan.
Dengan demikian, maka pertempuran yang tinggal
adalah pertempuran antara Akuwu Sangling m elawan Akuwu
Lemah Warah. Setiap kali mereka mendengar teriakan
nyaring, maka keduanya memang tersentuh untuk ingin
mengetahui apa y ang terjadi. Tetapi pertempuran antara
keduanya sama sekali tidak m emberikan kesempatan kepada
mereka untuk melakukannya.
Karena itu, maka pertempuran dengan benturanbenturan
ilmu y ang dahsy at itu telah terjadi. Semakin lama
justru menjadi semakin dahsy at. Keduanya memiliki
kemampuan ilmu yang sangat tinggi sehingga karena itu maka
pertempuran y ang terjadi agaknya sulit untuk diikuti.
Ketika para prajurit Sangling meny erah, maka beberapa
orang Senapati telah bergeser mendekati arena yang
menggetarkan jantung itu. Bahkan mereka telah membawa
dua orang Senapati tertinggi pasukan Sangling.
"Akuwu Sangling," berkata salah seorang Senapati
Lemah Warah, "Tidak ada y ang dapat kau lakukan selain


02 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

menyerah. Semua prajuritmu telah meny erah, karena m ereka
tidak m empunyai pilihan lain. Jika m ereka tidak m eny erah,
maka y ang terjadi adalah bunuh diri bersama-sama tanpa arti
sama sekali. Karena itu, Akuwu. Sebagai seorang kesatria,
sebaiknya Akuwu mengakui kekalahan Akuwu."
"Tutup mulutmu," teriak Akuwu Sangling. "Prajurit
Sangling pantang meny erah."
"Dengarlah laporan Senapatimu," berkata Senapati
Lemah Warah itu. Akuwu Sangling sempat melihat Senapatinya hadir
bersama Senapati Lemah Warah. Ia pun segera mengerti,
bahwa yang dikatakan oleh Senapati Lemah Warah itu benar.
Karena itu, m aka kemarahannya pun m enjadi semakin
memuncak. Dengan lantang ia berkata, "He. apakah cucurutcucurut
itu memang meny erah?"
Senapati Lemah Warah itu pun telah menggamit
Senapati Sangling sambil berdesis, "Katakanlah. Jika Akuwu
Sangling sudi m endengarkan, maka persoalan ini akan cepat
selesai." Senapati Lemah Warah mendesaknya, "Cepat. Sebelum
kami bertindak atas Akuwu Sangling. Keduanya tidak terlibat
dalam perang tanding, sehingga karena itu, maka kami pun
akan dapat ikut serta m elibatkan diri. Jika kami tidak berani
mendekat, maka kami akan dapat menghujani Akuwu
Sangling dan anak panah. Agaknya Akuwu Sangling bukan
seorang y ang kebal."
Senapati Sangling itu termangu-mangu. Namun ketika
Senapati Lemah Warah menggamitnya sekali lagi, maka
katanya, "Ampun Akuwu. Kami tidak mempunyai pilihan
lain." "Gila," teriak Akuwu Sangling. Kemarahannya tidak
dapat dibendungnya lagi. Karena itu, maka ia pun telah
kehilangan perhitungan. Nalarnya tidak lagi dipergunakannya
dengan sebaik-baiknya. Sehingga karena itu maka ia pun telah
berusaha untuk m elepaskan kemarahannya kepada SenapatiSenapati Sangling sekaligus para Senapati dari Lemah Warah.
Akuwu Sangling itu tidak ingat lagi, bahwa tidak
sepatutnya ia berbuat sesuatu kepada mereka. Namun niatnya
menghukum prajuritnya sendirilah yang telah mendor ongnya
untuk melakukannya. Sejenak kemudian Akuwu Sangling telah meloncat surut
beberapa langkah. Ia hanya memerlukan waktu sekilas untuk
melepaskan ilmunya ke arah para Senapati dari kedua belah
pihak y ang berdiri tidak jauh dari arena.
Para Senapati itu memang melihat. Namun mereka tidak
banyak mempunyai kesempatan untuk berbuat sesuatu.
Mereka tidak mengira bahwa Akuwu Sangling akan m enjadi
kehilangan akal dan kekasatriaannya sehingga ia akan
menyerang para Senapati itu.
Yang dapat dilakukan oleh para Senapati itu kemudian
hanyalah berusaha untuk menghindarkan diri. Mereka pun
dengan serta merta telah berloncatan sambil menjatuhkan
dirinya. Namun Akuwu Lemah Warah tidak membiarkan
semuanya itu terjadi. Dengan segala kemampuannya, maka ia
telah berusaha untuk mencegahnya.
Pa da saat yang hampir bersamaan maka Akuwu Lemah
Warah telah menyerang Akuwu Sangling dengan mengerahkan
segenap kemampuan yang ada pada dirinya.
Serangan Akuwu Sangling terhadap para Senapati itu
memang dahsy at sekali. Lontaran angin prahara y ang lepas
dari dirinya telah melanda para Senapati itu.
Namun pada saat itu, kekuatan lain telah m enghantam
Akuwu Sangling, sehingga bagaimanapun juga, kedahsyatan
ilmu Akuwu Lemah Warah itu telah mempengaruhi serangan
Akuwu Sangling. Bahkan Akuwu Sangling sendiri seakan-akan
telah dilanda oleh kekuatan y ang sangat dahsyatnya itu.
Karena itulah maka angin prahara y ang melanda para
Senapati itu pun telah terguncang pula. Arahnya tidak lagi
tepat sebagaimana dikehendaki oleh Akuwu Sangling,
menghancurkan para Senapati dari Lemah Warah y ang telah
mengalahkan para Senapatinya dan para Senapati Sangling
sendiri yang telah menyerah kepada lawan-lawannya.
Meskipun demikian, namun kibasan arus prahara itu
masih m erupakan sentuhan yang dahsy at bagi para Senapati
itu. Beberapa orang diantara m ereka yang telah berloncatan
itu, ternyata telah diterpa oleh k ekuatan yang tidak terlawan.
Beberapa orang diantara mereka telah terlempar beberapa
langkah ke samping. Dengan kerasny a mereka telah terbanting
jatuh. Bahkan beberapa orang diantara mereka merasa seakanakan
tulang-tulangnya telah berpatahan.
Namun dalam pada itu, akibat yang dahsy at sekali telah
menimpa Akuwu Sangling. Serangan Akuwu Lemah Warah
yang k eras sekali telah m enghantam Akuwu Sangling. Bukan
sa ja arus kekuatan yang luar biasa. Tetapi serangan Akuwu
Lemah Warah seakan-akan mengandung panasnya api di
perut gunung. Itulah sebabny a maka Akuwu Sangling telah terlempar
beberapa langkah dan jatuh terbanting di tanah. Ilmu yang
dahsy at dari Akuwu Lemah Warah bulat-bulat telah
mengenainya tanpa perlawanan. Justru pada saat Akuwu
Lemah Warah terkejut m elihat Akuwu Sangling melepaskan
serangannya kepada beberapa orang perwira dari Lemah
Warah dan Sangling sendiri.
Sehingga karena itu, maka agaknya Akuwu Lemah
Warah sendiri tidak sempat memperhitungkan kekuatannya
yang dilontarkan lewat ilmunya itu.
Beberapa saat keadaan menjadi hening. Para perwira
yang terhempas oleh kekuatan Akuwu Sangling mulai
berusaha untuk bangkit. Tetapi beberapa orang diantaranya,
rasa-rasanya tidak mempunyai kekuatan lagi. Tulang-tulang
mereka rasa-rasanya tidak mempunyai kekuatan lagi. Tulangtulang
mereka rasanya sudah berpatahan. Namun y ang lain
dengan susah pay ah telah bangkit.
Sementara itu, Akuwu Sangling sendiri terkapar diatas
tanah. Beberapa saat Akuwu Lemah Warah termangu -mangu
memandang tubuh yang diam itu. Namun kemudian ia pun
melangkah perlahan-lahan. Wajahnya nampak muram.
Di seputar dinding padepokan, prajurit Lemah Warah
dan orang-orang padepokan Suriantal itu berdiri bagaikan
membeku. Perlahan-lahan mereka bergeser mendekat. Namun
rasa-rasanya jantung mereka dicengkam oleh ketegangan yang
sangat. Diluar padepokan, para prajurit Lemah Warah tidak
melihat apa yang terjadi. Tetapi dari mulut kemulut, akhirnya
mereka pun mendengar juga bahwa pertempuran telah selesai
seluruhnya. Sedangkan Akuwu Sangling terbaring diam
ditanah. Tidak seorang pun y ang dapat m engatakan, apakah
yang telah terjadi atas dirinya.
Dalam pada itu, para prajurit Sangling bagaikan
membeku ditempat mereka masing-masing. Mereka sudah
tidak bersenjata lagi. Dihadapan mereka prajurit Lemah
Warah masih m enunggu perintah apakah yang harus mereka
lakukan. Akuwu Lemah Warah memang masih belum
menjatuhkan perintah apa pun juga. Perlahan-lahan ia
mendekati tubuh yang terbaring diam itu. Dengan jantung
yang berdebaran. Akuwu Lemah Warah telah berjongkok disisi
tubuh y ang diam itu. Dengan tangan gemetar Akuwu Lemah Warah telah
meraba dada Akuwu Sangling. Wajahnya y ang tegang menjadi
semakin tegang. Ham pir diluar sadarnya, maka Akuwu Lemah
Warah itu meletakkan telinganya di dada Akuwu Sangling.
Akuwu Lemah Warah menarik nafas dalam-dalam.
Ternyata kekuatan ilmunya y ang dahsyat dan tidak terkendali
telah menghancurkan bagian dalam tubuh Akuwu Sangling.
Dengan demikian maka Akuwu Sangling itu telah terluka
parah. Akuwu Lemah Warah telah memberikan isy arat agar
para perwira y ang masih mampu bergerak untuk mendekat.
Kepada salah seorang diantara mereka Akuwu memerintahkan
untuk memanggil seorang yang memiliki pengetahuan tentang
pengobatan dari pa sukan Lemah Warah.
Perwira itu pun kemudian telah berjalan tertatih-tatih
mendekati sekelompok prajurit Lemah Warah y ang ragu-ragu.
Pemimpin kelompok prajurit itu telah meny ongsongnya
sambil bertanya, "Apakah ada perintah?"
Perwira itu pun kemudian menyampaikan perintah
Akuwu untuk memanggil seorang yang memahami tentang
pengobatan y ang ada diantara pasukan Lemah Warah.
"Akuwu Sangling terluka parah," desis Perwira itu.
Pemimpin kelompok itu mengangguk-angguk. Namun
ia -pun bertanya, "Tetapi bagaimana dengan pasukan ini"
Semua prajurit Sangling telah meny erah."
"Untuk sementara kalian agar tetap dalam kedudukan
kalian," berkata perwira itu, "masih belum ada perintah apa
pun juga. Tetapi kalian dapat mulai m engatur para tawanan
itu." Pemimpin kelompok itu mengangguk-angguk. Namun
ia -pun segera memerintahkan untuk memanggil seorang di
antara beberapa orang tabib yang ada diantara para prajurit
Lemah Warah. Tabib yang memang sudah terbiasa mengikuti
pasukan di peperangan. Ternyata y ang datang menghadap Akuwu Lemah Warah
tidak hanya seorang. Dua orang y ang dianggap tabib yang
paling baik telah datang menghadap untuk menerima
perintah. Akuwu Lemah Warah termangu-mangu sejenak. Namun
kemudian katanya, "Usahakan agar Akuwu Sangling dapat
diselamatkan nyawanya. Agaknya lukanya terlalu parah."
Yang kemudian masih berjaga-jaga di padepokan itu
adalah m ereka yang bertugas. Sebagian dari mereka adalah
para prajurit Lemah Warah, sementara sebagian lagi adalah
para penghuni padepokan itu. Sementara yang lain -lain telah
tenggelam dalam istirahat karena kerja yang melelahkan.
Setelah mereka bertempur dengan mengerahkan segenap
kemampuan, m aka mereka masih harus mengusung kawankawan
mereka yang terluka. Kemudian mereka masih
menyelenggarakan kawan-kawan mereka yang gugur di
pertempuran, sementara y ang lain mengamati para prajurit
Sangling yang meny erah y ang mendapat tugas untuk merawat
kawan-kawan mereka yang terluka dan mengurusi kawankawan
mereka yang terbunuh di medan.
Dengan demikian maka padepokan itu pun kemudian
telah menjadi lengang. Yang nampak adalah orang-orang yang
berbaring di sana-sini. Sebagian besar dari mereka telah
tertidur ny enyak. Namun demikian mereka tidak kehilangan
kewaspadaan. Yang bertugas telah m elakukan tugas mereka
dengan sebaik-baiknya. Bahkan para tabib pun seolah-olah
tidak mendapat kesempatan untuk beristirahat, karena
mereka harus merawat orang-orang yang terluka dari kedua
belah pihak. Sementara itu, para tabib yang ikut dalam
pasukan Sangling pun telah ikut pula membantu merawat
kawan-kawannya yang mengalami cidera di peperangan.
Dua orang tabib y ang merawat Akuwu Sangling ternyata
mengalami banyak kesulitan. Lukanya memang sangat parah,
sehingga kedua orang tabib itu harus berjuang dengan puncak
kemampuan m ereka untuk dapat menolong Akuwu Sangling
itu. Bahkan kedua orang itu telah berhubungan pula dengan
tabib yang dibawa oleh pasukan Sangling. Apalagi diantara
mereka terdapat seorang tabib y ang sudah terbiasa m elayani
dan merawat Akuwu Sangling dalam keadaannya sehari-hari.
Namun tabib itu pun berharap-harap cemas melihat
keadaan Akuwu Sangling. Meskipun keadaannya nampaknya
berangsur baik, pernafasannya yang mulai teratur, tetapi
segala kemungkinan masih saja dapat terjadi. Apalagi Akuwu
Sangling itu masih belum membuka matanya meskipun ujung
kaki dan tangannya telah mulai bergerak-gerak.
Tetapi kedua orang tabib dari Lemah Warah dan tabib
pribadi Akuwu Sangling itu berusaha sejauh dapat mereka
lakukan untuk mengobati Akuwu Sangling yang terluka parah
di bagian dalam dadanya. Tabib y ang lain pun tengah berusaha untuk menolong
saudara seperguruan Akuwu Sangling. Seorang tabib dari
Sangling dibawah pengawasan seorang perwira dari Lemah
Warah dengan tekun berusaha untuk mengobati luka -luka di
dalam tubuh saudara seperguruan Akuwu Sangling itu.
Bahkan bukan saja terluka, tetapi segenap kekuatan dan
kemampuannya seakan-akan telah terhisap habis. Demikian
pula daya tahan tubuhnya-pun sama sekali tidak lagi mampu
berbuat sesuatu. Tetapi sebenarnya keadaan di dalam tubuhnya tidak
separah Akuwu Sangling sendiri. Meskipun kekuatan dan
kemampuannya bagaikan larut, namun lambat laun keadaan
itu akan pulih kembali. Di tempat lain, Mahisa Murti dan Mahisa Pukat pun
berada dalam perawatan. Keduanya tidak mengalami lukaluka
di dalam tubuh. T etapi luka-luka m ereka terdapat pada
kulit dagingnya. Meskipun demikian, keduanya pun
memerlukan perawatan yang baik.
Demikianlah, maka untuk beberapa hari padepokan itu
masih saja diliputi suasana y ang muram. Bahkan kadangkadang
masih terjadi seseorang yang tidak lagi dapat
diselamatkan karena luka-lukanya telah meninggal. Mungkin
seorang prajurit Lemah Warah, tetapi mungkin pula prajurit
Sangling atau penghuni padepokan Suriantal itu.
Akuwu Lemah Warah m asih juga berada di padepokan
itu. Ia belum menentukan langkah-langkah berikutnya.
Namun ia sudah berusaha untuk meyakinkan Akuwu Sangling
dengan cara yang sangat keras sebagaimana dikehendaki oleh
Akuwui Sangling sendiri. Pa da saat-saat yang demikian. m aka Mahisa Murti dan
Mahisa Pukat kadang-kadang terpaksa merenungi batu
berwarna kehijauan itu. Ternyata kehadiran batu itu
mempunyai akibat y ang pahit. Korban demi korban telah
jatuh. Kedua anak muda itu setiap kali melihat keadaan mereka


02 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

yang terluka parah, merasakan tekanan pada jantung mereka.
Ra sa -rasanya jantung mereka berdetak semakin cepat.
Keduanya selalu menghubungkan keadaan y ang parah itu
dengan batu kehijauan itu.
Tetapi ketika keduanya baru merenungi batu itu, Akuwu
telah datang kepada mereka. Agaknya Akuwu dapat m engerti
perasaan kedua anak muda itu. Namun demikian Akuwu
Lemah Warah itu pun masih juga bertanya, "Kenapa kalian
merenung?" "Akuwu," berkata Mahisa Murti dengan nada dalam,
"apakah benar kata orang, bahwa batu itu memiliki tuah"
Karena batu itu pulalah maka telah terjadi malapetaka di
padepokan ini. Korban telah berjatuhan dan kini masih
terdapat beberapa orang yang terluka parah. Bahkan baru saja
seorang prajurit Sangling y ang terluka parah meninggal pula."
(Bersambung ke Jilid 44 ).
Kolaborasi 2 Website : dengan Pelangi Di Singosari / Pembuat Ebook : Sumber Buku Karya SH MINTARDJA
Scan DJVU : Ismoyo Converter : Editor : Raharga, Arema, Dino,
Pdf ebook : Uploader di Indozone : Dino
--ooo0dw0ooo- Jilid 044 Catatan: ada ketidak urutan ce rita dalam naskah di jilid 44
ini. Bagian yang tidak urut telah dicoban letakkkan
pada lokasinya. Mudah-mudahan tidak justru
malah mengganggu. Selamat membaca
"TETAPI bukan karena tuah atau kutuk dari batu itu,"
berkata Akuwu, "y ang terjadi itu adalah karena ketamakan
orang-orang itu sendiri. Seandainya mereka tidak bernafsu
untuk merebut batu itu, sebagaimana dilakukan oleh Ki Buyut
Bapang, maka tidak akan terjadi malapetaka ini. Karena itu
kesalahannya terletak kepada ketamakan mereka. Bukan pada
batu itu." Mahisa Murti dan Mahisa Pukat m engangguk-angguk.
Sementara itu Akuwu Lemah Warah pun berkata,
"Sebagaimana kau ketahui, bahwa pertumpahan darah itu
tidak terjadi kali ini, atau pada saat Ki Buyut Bapang
menyerang padepokan ini. Ketamakan yang lain, saat
sekelompok orang merasa berhak m enguasai padepokan ini
pun telah menimbulkan malapetaka pula."
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat masih menganggukangguk.
Sementara itu Akuwu Lemah Warah m asih berkata
pula, "Nah. Dengan demikian kau tidak perlu m enghiraukan
apakah itu tuah atau kutuk dari batu itu. Lakukan rencana
kalian. Aku y akin bahwa maksud kalian y ang baik itu akan
dapat kalian laksanakan."
"Baiklah Akuwu," jawab Mahisa Murti, "mudahmudahan
kami dapat menyelesaikan rencana kami."
Akuwu Lemah Warah terseny um. Katanya, "Tetapi kau
tidak dapat tergesa -gesa pergi. Kau masih harus
menyembuhkan luka-lukamu lebih dahulu."
"Ya. Akuwu. Kami m emang tidak tergesa-gesa. Masih
banyak waktu yang tersedia. Apalagi rencana ini tidak terikat
oleh waktu," berkata Mahisa Murti.
Akuwu Lemah Warah menepuk bahu Mahisa Murti dan
Mahisa Pukat. Katanya, " Jika ada yang sanggup memahat batu
itu, maka batu itu tentu akan menjadi patung y ang bagus
sekali. Namun justru karena itu kau tidak boleh salah memilih.
Kau harus menemukan seorang pemahat yang memiliki
kecakapan yang memadai."
"Kami akan berusaha Akuwu," jawab Mahisa Murti.
Akuwu Lemah Warah mengangguk-angguk. Namun
kemudian dengan nada berat ia berkata, "Tetapi kita tidak
dapat menentukan bahwa yang terjadi ini adalah yang terakhir
kalinya, sebagaimana Pangeran Singa Narpada tidak dapat
memastikan, bahwa tidak akan ada orang lain lagi yang
menginginkan mahkota yang pernah hilang itu."
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat saling berpandangan
sejenak. Tetapi sementara itu Akuwu pun berkata, "Tetapi
kalian akan mendapat kesempatan itu. Berapa pun waktu yang
kau perlukan untuk menemukan seorang pemahat. Sebulan,
dua bulan, tiga bulan atau lebih. Aku akan dapat memerintah
Lemah Warah dari padepokan ini. Para prajuritku akan
menjadi penghubung antara Lemah Warah dan padepokan
ini." "Tetapi Akuwu sebaiknya tidak meninggalkan Lemah
Warah terlalu lama," desis Mahisa Pukat.
Akuwu Lemah Warah tertawa. Katanya, "Saat ini Lemah
Warah tidak mempunyai persoalan y ang berat. Para pemimpin
Lemah Warah akan dapat melakukan tugas mereka sebaikbaiknya,
sementara itu setiap pekan akan ada sekelompok
penghubung yang datang kemari. Sebenarnyalah aku m erasa
bertanggung jawab atas batu itu. Apalagi setelah aku
mendengar rencanamu, membuat patung sepasang Naga
dalam satu sarang." Kedua anak muda itu mengangguk-angguk pula.
"Sudahlah," berkata Akuwu itu kemudian, "kalian masih
memerlukan banyak sekali waktu untuk berist irahat. Dengan
demikian maka keadaan kalian akan segera pulih kembali."
"Baiklah Akuwu," jawab keduanya hampir berbareng.
Akuwu Lemah Warah itu pun kemudian telah
meninggalkan Mahisa Murti dan Mahisa Pukat y ang m asih
tetap duduk m erenungi batu yang berwarna kehijau-hijauan
itu. Sementara itu Akuwu Lemah Warah telah melangkah
satu -satu di seputar padepokan itu. Seorang Senapati telah
menemaninya melihat-lihat setiap barak y ang ada di
padepokan itu. Dilihatnya orang-orang yang terluka sedang
mendapat perawatan. Orang -orang Lemah Warah sendiri,
tetapi juga orang-orang Sangling. Kemudian dilihatnya pula
orang-orang y ang tertawan lebih dahulu, serta dijenguknya
pula Ki Buyut di Bapang. Meskipun hanya sepercik kecil, ternyata timbul pula
pertanyaan di hati Akuwu, apakah segala sesuatunya itu ada
hubungannya dengan kekuatan yang tersimpan di dalam batu
itu. Namun kemudian ia pun menggeleng sambil berdesis,
"Tentu tidak. Peperangan dapat terjadi di mana-mana. Kediri
yang ditundukkan oleh Tumapel. Kemudian usaha untuk
menguasai mahkota y ang dianggap dapat menjadi
persemayaman wahyu keraton. Para Pangeran yang
memberontak. Kemudian orang-orang y ang berebut
padepokan ini dan masih banyak persoalan yang terpaksa
diselesaikan dengan perang. Bukan sekedar per soalan batu
itu." "Apa y ang Akuwu katakan?" bertanya Senapati y ang
mengiringinya. Akuwu mengerutkan keningnya. Namun ia pun
kemudian tersenyum sambil berkata, "Perang yang disusul
dengan perang. Nah, cobalah kau ingat-ingat. Seumurmu
berapa kali telah terjadi peperangan besar dan kecil. Agaknya
kita masih berpijak pada satu sikap bahwa perang merupakan
cara yang paling baik untuk meny elesaikan per soalan."
Senapati itu menarik nafas dalam-dalam. Katanya,
"Kadang-kadang kita memang tidak dapat menghindarkan diri
dari peperangan." "Ya," berkata Akuwu, "tetapi seharusnya kita turun ke
medan perang jika m emang tidak ada jalan lain y ang dapat
kita tempuh. Justru untuk mempertahankan kepentingankepentingan
yang bertentangan dengan watak perang itu
sendiri. Sebagaimana telah aku coba untuk berbicara dengan
Akuwu Sangling. Tetapi ternyata bahwa aku sudah disudutkan
ke medan perang, karena agaknya Akuwu Sangling
menganggap bahwa perang adalah satu -satunya cara untuk
menyelesaikan per soalan."
Senapati itu menarik nafas dalam-dalam. Namun Akuwu
Lemah Warah itu berkata, "Tetapi itu menurut sudut
pandanganku. Mungkin Akuwu Sangling m enganggap bahwa
akulah yang telah memaksakan terjadinya perang."
Senapati itu mengangguk-angguk. Tetapi ia tidak
mengatakan sesuatu. Dalam pada itu, Akuwu Lemah Warah telah sampai ke
barak para prajurit Lemah Warah y ang sedang beristirahat.
Beberapa orang diantara mereka berbaring diatas amben
bambu. Sedang yang lain duduk bersandar dinding sambil
menggosok-g osok senjata mereka. Nampaknya mereka
memang harus membersihkan darah y ang masih melekat pada
ujung senjata mereka. Demikian, di hari -hari berikutnya padepokan itu
memang terasa mulai tenang. Ma sing-masing berusaha
menempatkan diri mereka dalam keadaan dan kedudukan
mereka. Para tawanan nampaknya harus menerima keny ataan
itu, bagaimanapun juga hati mereka bergejolak. Karena
memang tidak ada pilihan lain yang dapat mereka lakukan.
Sementara itu, para tabib baik dari Lemah Warah
maupun dari Sangling telah berusaha sejauh dapat mereka
lakukan untuk menolong m ereka y ang terluka. Tetapi untuk
menjaga segala kemungkinan maka para tabib dari Sangling
tidak diberi kesempatan untuk merawat para prajurit Lemah
Warah. Bagaimanapun juga masih terdapat kecurigaan, bahwa
para tabib itu akan dapat melakukan sesuatu y ang dapat
memperlemah kedudukan para prajurit Lemah Warah.
Disamping para tabib, maka yang bekerja di dapur pun
semuanya terdiri dari orang-orang Lemah Warah. Demikian
pula segala sumber makanan dikuasai sepenuhnya oleh orangorang
Lemah Warah. Dari hari ke hari, maka y ang t erluka pun menjadi
berangsur baik. Ki Buyut Bapang sebenarnya telah menjadi
pulih kembali, seandainya Mahisa Murti atau Mahisa Pukat
tidak setiap kali masih saja memperlemah kedudukannya.
Namun pada suatu saat, Akuwu Lemah Warah memang
memerlukannya. Sementara itu, keadaan Akuwu Sangling pun berangsur
menjadi baik. Meskipun ia masih harus berbaring di
pembaringan karena tenaganya yang masih lemah sekali.
Tetapi kesadarannya telah menjadi semakin utuh.
Ketika Akuwu Lemah Warah datang kepadanya, maka
Akuwu Sangling itu pun bertanya, "Kenapa tidak kau bunuh
sa ja aku?" Akuwu Lemah Warah menarik nafas dalam-dalam.
Katanya, "Apakah kau anggap aku bijaksana jika aku
melakukannya?" "Terserah kepadamu," jawab Akuwu Sangling.
"Sebenarnya aku dapat juga melakukannya," berkata
Akuwu Lemah Warah, "aku sanggup mempertanggung
jawabkan kepada Sri Baginda di Kediri atau bahkan kepada Sri
Maharaja di Singasari. Aku mempunyai alasan yang cukup
kuat untuk melakukannya. Apalagi hal itu terjadi disini. Tidak
di Sangling, sehingga setidak -tidaknya aku dapat
membuktikan bahwa kau telah melakukan serangan. Bukan
aku datang meny erang Sangling."
"Aku tidak peduli apa y ang akan kau katakan atau apa
yang akan kau pakai sebagai alasan," berkata Akuwu Sangling,
"bagiku akan sama saja artinya. Namun sekali lagi aku
bertanya, kenapa tidak kau bunuh saja aku."
"Tidak," jawab Akuwu Lemah Warah y ang mulai
tergelitik perasaannya, "aku m emang ingin membiarkan kau
hidup. Setidak -tidaknya untuk sementara, karena jika kau
memang menghendaki kematianmu, tidak mustahil bahwa
akhirnya akan dapat dipenuhi."
"Persetan," geram Akuwu Sangling, "tetapi apa
sebabnya kau tunda kematian itu?"
"Aku ingin kau mendengar pengakuan Ki Buyut Bapang.
Aku ingin kau m endengar dan mengerti, kesia -siaan tingkah
lakumu dengan mengorbankan para prajuritmu dan juga
prajurit Lemah Warah dan isi padepokan ini. Untuk
membebaskannya kau telah sampai hati mengorbankan
banyak ny awa. Apakah Ki Buyut itu demikian berharga
bagimu" Atau kau memang merupakan salah seorang
pelindungnya, atau sebaliknya Ki Buyut Bapang m erupakan
sumber kekayaan Pakuwon Sangling."
"Cukup," bentak Akuwu Sangling. Namun kemudian ia pun memegangi dadanya y ang terasa sakit sekali.
"Kau tidak perlu membentak-bentak," berkata Akuwu
Lemah Warah, "dalam keadaanmu, maka kedudukanmu
sangat lemah dihadapanku. Juga orang y ang memiliki ilmu
serupa dengan ilmumu itu. Mungkin saudara seperguruanmu.
Ia pun mengalami kesulitan yang cukup gawat."
Akuwu Sangling tidak menjawab. Tetapi ia berusaha
mengatasi perasaan sakit yang menyengat dadanya. Dalam
keadaan yang masih sangat lemah, maka setiap hentakkan
akan berakibat buruk bagi luka-luka di dalam tubuhnya.
Karena itu, maka Akuwu Sangling pun tidak lagi
mendengarkan ketika Akuwu Lemah Warah kemudian
berkata, "Sudahlah. Beristirahatlah sebaik-baiknya."
Ketika Akuwu Lemah Warah meninggalkannya, maka
Akuwu Sangling itu pun menggeram. Tetapi ia tidak dapat
berbuat apa-apa. Sementara itu, ketika Akuwu Lemah Warah melihat
keadaan Ki Buyut Bapang, maka Ki Buyut itu pun berkata,
"Akuwu, kenapa Akuwu membiarkan kedua anak muda itu
selalu meny iksa hamba" Kenapa mereka tidak membiarkan
keadaan hamba pulih kembali. Setiap kali mereka datang
untuk memperlemah keadaan hamba dengan ilmu iblis
mereka. Dalam keadaan terluka bakar di kulit dagingnya,
keduanya masih juga mampu dengan rabaannya menghisap
sebagian dari kekuatan dan kemampuan hamba."
"Kau mempunyai dua pilihan Ki Buyut," berkata Akuwu
Lemah Warah, "kau harus menerima keny ataan itu."
Ki Buyut tidak menjawab. Tetapi terdengar satu tarikan
nafas y ang panjang. "Ki Buyut," berkata Akuwu Lemah Warah, "pada satu
saat, jika Akuwu Sangling telah menjadi semakin baik, kau


02 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

akan aku bawa menemuinya."
Ki Buyut termangu-mangu. Sementara Akuwu Lemah
Warah pun berkata, "Kau harus dapat mengatakan yang
sebenarnya tentang dirimu. Tentang keadaanmu ketika kau
berada di Lemah Warah, dan tentang apa saja. Dengan
demikian maka kau akan memberikan satu kesadaran baru
bagi Akuwu Sangling y ang keadaannya kini masih payah. Kami
sudah bertempur dalam dua tataran. Ketika pertama kali kami
terpaksa membenturkan ilmu kami, maka kami berdua samasama
mengalami kesulitan dibagian dalam tubuh kami.
Namun kami telah mengulanginya dengan kesiagaan yang
lebih tinggi dan m engerahkan ilmu sampai ke puncak. Maka
keadaannya menjadi berbeda. Tetapi Akuwu Sangling telah
membuat kesalahan, sehingga akibatnya menjadi sangat parah
baginya." Ki Buyut memandang Akuwu Lemah Warah dengan
wajah y ang tegang. Bahkan kemudian dengan nada rendah ia
berkata, "Ampun Akuwu. Hamba jangan dipaksa untuk
menemui Akuwu Sangling di sini."
"Akuwu Sangling ada di sini sekarang," berkata Akuwu
Lemah Warah, "jika tidak di sini, di mana kau akan bertemu?"
Ki Buyut menarik nafas dalam-dalam. Katanya, "Kenapa
hamba harus bertemu dengan Akuwu Sangling" Akuwu, beri
hamba kesempatan untuk menghindar. Biarkan hamba
menyingkir." "Tidak," Akuwu Lemah Warah m enggeleng. Lalu, "Kau
harus menemuinya. Apapun y ang akan kau katakan. Dan
apapun yang akan dikatakan oleh Akuwu Sangling."
Ki Buyut Bapang merasa bahwa ia tidak akan dapat
menolak. Dalam keadaan yang sangat lemah itu, ia hanya
dapat melakukan segala perintah. Jika tidak, maka kedua anak
muda itu akan dapat m eny iksanya lebih parah lagi. Ia akan
dapat menghisap tenaganya sampai kering sama sekali.
"Sudahlah," berkata Akuwu Lemah Warah, "biarlah
keadaan Akuwu Sangling menjadi lebih baik. Baru k emudian
kau akan aku bawa menemuinya."
Ki Buyut tidak menjawab. Meskipun demikian terasa
kegelisahan semakin mencengkam jantungnya. Pertemuan
dengan Akuwu Sangling tidak m enguntungkannya dan juga
tidak bagi Akuwu Sangling sendiri. Tetapi Ki Buyut tidak kuasa
untuk menolaknya. Seperti dikatakan oleh Akuwu Lemah Warah, Ki Buyut
tidak tergesa -gesa dibawa menghadap Akuwu Sangling.
Akuwu Lemah Warah masih menunggu keadaan Akuwu
Sangling semakin baik. Namun y ang lebih dahulu m enjadi baik adalah justru
saudara seperguruan Akuwu Sangling. Tetapi seperti Ki Buyut,
maka setiap kali kekuatan telah disusut oleh Mahisa Murti dan
Mahisa Pukat karena bagi mereka, orang itu adalah orang yang
sangat berbahaya. Tetapi itu lebih baik daripada jika Akuwu Lemah Warah
yang bertindak. Akuwu Lemah Warah akan mampu
menghapus kekuatan dan kemampuan seseorang.
Di hari-hari berikutnya, tidak terjadi hal-hal y ang
menarik perhatian di padepokan itu. Dari waktu ke waktu
kehidupan di padepokan itu diwarnai dengan usaha
menyembuhkan yang dilakukan oleh para tabib atas mereka
yang terluka. Juga usaha untuk menyembuhkan luka di dalam
tubuh Akuwu Sangling. Ternyata usaha itu betapapun lambatnya, namun
akhirnya berhasil juga. Akuwu Sangling lambat laun menjadi
berangsur baik. Pernafasannya tidak lagi terganggu, sementara
peredaran darahnya telah berjalan dengan wajar.
Tetapi ternyata ada y ang kurang wajar pada Akuwu
Sangling. Meskipun keadaannya berangsur baik, tetapi
anggauta badannya memang terasa kurang wajar. Tangan dan
kakinya masih terasa berat meskipun bukan berarti tidak
dapat digerakkan. Tabib yang merawatnya juga m erasa heran, bahwa ada
kelainan pada perkembangan tubuh Akuwu Sangling. Agaknya
benturan ilmu yang terjadi benar-benar telah merusakkan
jaringan pada tubuhnya sehingga pada saat kesembuhannya
menjadi semakin baik justru nampak menjadi semakin jelas.
Namun dengan usaha y ang tidak k enal putus asa, maka
kesulitan pada tubuh Akuwu Sangling itu dapat diatasi sedikit
demi sedikit. Meskipun demikian, keadaannya tidak dapat
pulih utuh sebagaimana sebelumnya.
Meskipun demikian menurut para tabib, Akuwu
Sangling akan mendapatkan kembali sebagian besar dari
kekuatan dan kemampuannya.
Pa da saat-saat keadaannya menjadi semakin baik, maka
Akuwu Lemah Warah telah berkunjung kedalam biliknya.
Sebuah bilik kecil y ang memang khusus diperuntukkan
baginya. Ketika Akuwu Lemah Warah memasuki bilik itu,
ternyata bahwa Akuwu Sangling telah duduk di bibir
pembaringannya. Dengan kerut di kening Akuwu Sangling itu
pun telah menyapanya dengan nada keberatan, "Untuk apa
Akuwu datang kemari?"
Akuwu Lemah Warah memandang Akuwu Sangling
dengan tajamnya. Tetapi m enghadapi Akuwu Sangling, maka
Akuwu Lemah Warah harus mempergunakan cara yang sama.
Karena itu maka jawabnya, "Aku dapat datang ke sudut
manapun di dalam padepokan ini. Padepokan ini, meskipun
bukan milikku, tetapi sudah seperti rumahku sendiri. Aku
telah ikut mempertahankannya dari ketamakan beberapa
orang y ang datang meny erang padepokan ini dengan seribu
macam alasan sebagaimana kau lakukan."
Akuwu Sangling menggeretakkan giginya. Tetapi ia
masih t erlalu lemah untuk berbuat sesuatu. Karena itu, maka
katanya, "Kenapa kau tidak membunuhku."
Akuwu Lemah Warah termangu-mangu. Tetapi ia tidak
menjawab. Bahkan ia bertanya, "Apakah kau sudah siap untuk
menerima Ki Buyut Bapang. Ia akan aku bawa menemuimu.
Biarlah ia mengatakan sendiri kepadamu, tentang
kelakuannya sebelum ia berada di Sangling."
Akuwu Sangling menjadi tegang. Namun kemudian
jawabnya, "Aku tidak memerlukannya. Jika kau mau
membunuhnya bunuh sajalah sebagaimana jika kau ingin
membunuhku." "Kau kira aku adalah seorang pembunuh y ang dapat
membunuh siapa saja tanpa alasan yang mapan" Tidak
Akuwu. Aku tidak akan membunuhnya. Tetapi aku akan
mempertemukannya dengan Akuwu, agar semuanya menjadi
semakin jela s." berkata Akuwu Lemah Warah.
"Kau hanya ingin menunjukkan bahwa sikapmulah y ang
benar. Sikapku untuk membebaskan Ki Buyut Bapang adalah
salah dan sia-sia. Demikian juga korban y ang jatuh itu adalah
kesia -siaan belaka. Kau hanya ingin mengatakan bahwa
kematian-kematian itu berada dalam tanggung jawabku.
Bukankah begitu?" bertanya Akuwu Sangling.
Apapun tanggapan Akuwu Sangling, agaknya Akuwu
Lemah Warah tetap pada pendiriannya. Karena itu maka
katanya, "Kau dapat berpikir apa saja. Dan kau dapat
menanggapi rencanaku dengan cara y ang paling buruk
sekalipun. Tetapi aku akan tetap membawa Ki Buyut itu
kemari. Aku ingin melihat tanggapanmu atas segala
keterangan Ki Buyut itu."
Akuwu Sangling itu pun menggeram. Tetapi ia tidak
dapat mencegah Akuwu Lemah Warah membawa Ki Buyut
Bapang kepadanya. Dalam keadaan yang sangat lemah, maka
ia hanya dapat menerima apa saja y ang bakal terjadi.
Namun y ang dibawa ke bilik khusus Akuwu Sangling itu
adalah saudara seperguruannya. Keadaannya m emang sudah
lebih baik. Tetapi ia seakan-akan tidak bertenaga dan tidak
mempunyai kemampuan untuk berbuat sesuatu.
"Kau kenapa?" bertanya Akuwu Sangling.
"Anak-anak iblis itu," geram saudara seperguruan
Akuwu Sangling, "mereka mempermainkan aku seperti
mempermainkan golek kayu."
"Kau biarkan dirimu dipermainkan sementara
keadaanmu menjadi semakin baik?" bertanya Akuwu Sangling.
"Aku tidak dapat berbuat apa -apa terhadap ilmu
iblisnya itu. Keduanya memiliki ilmu y ang mampu menghisap
tenaga orang lain. Jika keadaanku nampak menjadi baik, maka
mereka telah datang dan memperlemah lagi tenaga dan
kemampuanku. Demikian mereka lakukan tanpa hentihentinya,"
berkata saudara seperguruannya itu.
"Bagaimana anak-anak itu tahu bahwa tenagamu telah
mulai tumbuh kembali?" bertanya Akuwu Sangling.
"Mereka datang setiap pagi," jawab saudara
seperguruan Akuwu Sangling, "Mereka mengusap tubuhku.
Kadang-kadang mereka hanya meny entuh jari-jari kakiku
dengan ujung jari telunjuknya. Sungguh menyakitkan hati.
Sementara itu aku harus menerima perlakuan itu tanpa dapat
melawan sama sekali."
"Bagaimana keadaanmu sekarang?" bertanya Akuwu.
"Aku hanya mampu berjalan. Mereka menunggu aku di
luar bilik ini," jawab saudara seperguruannya.
Akuwu Sangling menarik nafas dalam-dalam. Dengan
nada datar ia bergumam lirih, "Ternyata padepokan ini
merupakan sarang iblis jahaman."
Saudara seperguruannya tidak menyahut. Namun
mereka benar-benar merasa t erjerumus kedalam lingkungan
yang paling menyakitkan hati.
Beberapa saat kemudian, Mahisa Murti dan Mahisa
Pukat telah memasuki bilik itu. Kedua anak muda itu
mengangguk hormat. Kemudian mempersilahkan saudara
seperguruan Akuwu meninggalkan bilik itu.
"Kenapa keduanya tidak kau bunuh saja waktu itu,"
geram Akuwu Sangling, "aku melihat luka-luka itu di kulit
mereka." Saudara seperguruan Akuwu Sangling tidak menjawab.
Tetapi ia pun telah berdiri dengan tenaganya y ang lemah.
Kemudian berjalan tertatih-tatih keluar bilik itu.
Sepeninggal saudara seperguruannya, Akuwu Sangling
memang harus berpikir ulang. Ia tidak akan dapat
mengingkari keny ataan, bahwa kekuatan di padepokan itu
ternyata memang tidak mudah untuk diatasi. Kedua anak yang
masih muda itu ternyata memiliki ilmu yang sudah jarang
sekali dimiliki orang. Dengan sentuhan-sentuhan dan benturan-benturan
dalam pertempuran, kedua anak muda itu mampu
melemahkan kekuatan dan kemampuan lawannya. Bahkan
kemampuan ilmunya pun menjadi surut.
Mereka pun harus mengakui kelebihan ilmu Akuwu
Lemah Warah y ang luar biasa. Sehingga dengan demikian
maka meskipun hanya sepercik namun terasa ada juga
peny esalan. Tetapi sulit bagi Akuwu Sangling untuk dengan
terus-terang mengakui kelebihan isi padepokan itu.
Bagaimanapun juga Akuwu Sangling masih diikat oleh harga
dirinya yang tinggi. Sementara itu, keadaan Mahisa Murti dan Mahisa Pukat
telah pulih kembali seutuhnya. Namun bekas-bekas luka itu
masih nampak dikulitnya. Agaknya untuk menghilangkan
bekas luka-luka bakar itu diperlukan waktu y ang cukup.
Namun Akuwu Lemah Warah telah memberikan reramuan
yang terbuat dari dedaunan untuk mempercepat pulihnya
kembali noda -noda kehitaman di kulit kedua anak muda itu.
Dalam pada itu, ketika Akuwu Lemah Warah
menganggap bahwa keadaan Akuwu Sangling sudah m enjadi
semakin baik, maka ia pun telah memberitahukan bahwa esok
Ki Buyut akan dibawa menghadap Akuwu Sangling.
Seperti setiap kali hal itu disampaikan oleh Akuwu
Lemah Warah, maka Ki Buyut itu pun menjadi sangat gelisah.
Namun justru semakin keras Ki Buyut menolak, maka Akuwu
Lemah Warah pun semakin mendesaknya pula untuk bertemu
dengan Akuwu Sangling. Namun akhirnya Ki Buyut tidak dapat menolak lagi.
Ketika Akuwu Lemah Warah bersama Mahisa Murti dan
Mahisa Pukat memasuki biliknya, maka Ki Buyut itu pun
menjadi berdebar-debar. Sebenarnyalah Akuwu Lemah Warah pun kemudian
berkata kepada Ki Buyut, "Ki Buyut bersiaplah. Kita akan pergi
ke bilik khusus Akuwu Sangling. Aku tidak akan banyak
mencampuri per soalanmu dengan Akuwu Sangling. Namun
aku hanya minta kau berkata sebenarnya tentang dirimu
sendiri. Kau tidak akan dapat mendustainya karena aku tahu
pasti apa yang telah kau lakukan ketika kau m asih berada di
Lemah Warah." "Apakah aku benar-benar tidak dapat memohon ?"
bertanya Ki Buyut. "Untuk membatalkan pertemuan ini"," Akuwu itu ganti
bertanya. Ki Buyut mengangguk kecil sambil berdesis,
"Sebenarnyalah aku sangat berkeberatan."
"Kau harus menemuinya dan mengatakannya," desak
Akuwu Lemah Warah. Ki Buyut agaknya memang tidak akan dapat mengelak
lagi. Betapapun hatinya berat bagaikan dibebani timah,
namun ia harus pergi menemui Akuwu Sangling.
Perlahan-lahan Ki Buyut bangkit dari pembaringannya.
Ia m emang sudah m emiliki sebagian kecil dari kekuatannya,
meskipun rasa -rasanya tubuhnya masih sangat lemah. Namun
Ki Buyut ternyata mampu melangkah meninggalkan
pembaringan-nya menuju ke bilik Akuwu Sangling.
Tetapi dalam perjalanan menyusuri barak-barak di
padepokan itu Ki Buyut masih sempat bertanya, "Apakah
hamba benar-benar tidak diperkenankan untuk menghindar?"
Akuwu Lemah Warah nampaknya sudah jemu untuk
memberikan jawaban, karena jawabnya akan selalu sama.
Karena itu, maka ia pun justru mempercepat langkahnya.
Tetapi Ki Buyut tidak dapat berjalan lebih cepat. Ia
melangkah satu-satu diikuti oleh Mahisa Murti dan Mahisa
Pukat. Bahkan dengan nada datar ia berdesis kepada Mahisa
Murti dan Mahisa Pukat, "Kalian benar-benar telah m eny iksa
aku tanpa belas kasihan. Kalian membuat tubuhku selalu
lemah. Kemudian Akuwu meny iksa aku dengan
menghadapkan aku kepada Akuwu Sangling. Apakah kalian


02 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tidak dapat berbuat lebih baik" Lebih berperikemanusiaan?"
"Pertanyaanmu aneh Ki Buyut," jawab Mahisa Murti,
"apakah yang sebenarnya telah kau lakukan" Apakah kau sama
sekali tidak sempat melihat kepada dirimu sendiri" Ki Buyut,
jika aku harus melakukannya atasmu, maka aku justru
mempunyai pertimbangan sebagaimana aku maksudkan.
Tetapi jika aku berbuat demikian, maka aku akan berbuat
untuk kepentingan yang jauh lebih luas dari kepentinganmu
sendiri Ki Buyut. Apakah kau tahu maksudnya?"
Ki Buyut menarik nafas dalam-dalam. Sambil melangkah
satu -satu ia berkata, "Jadi bagi kalian, aku sudah tidak
mempunyai peluang lagi untuk berbuat kebajikan?"
"Dapatkah perkataanmu atau agaknya janjimu itu kami
percaya dengan serta merta?" bertanya Mahisa Murti.
Ki Buyut m emang tidak dapat m enjawab. Ia tidak dapat
menunjukkan atau menyatakan satu jaminan y ang dapat
dipercaya bahwa ia akan melakukannya sebaik-baiknya
sebagaimana dikatakan itu.
Untuk beberapa saat mereka berjalan sambil berdiam
diri. Ki Buyut y ang lemah itu berjalan sambil menundukkan
kepalanya. Ia tidak tahu, apakah yang akan dikatakannya nanti
dihadapan Akuwu Sangling.
Dalam pada itu, Akuwu Lemah Warah sudah berdiri
dihadapan pintu bilik Akuwu Sangling. Ketika ia berhenti dan
berpaling, maka ternyata Ki Buyut masih berada beberapa
langkah dibelakang diiringi oleh Mahisa Murti dan Mahisa
Pukat. Akuwu Lemah Warah menarik nafas dalam-dalam. Ia
sa dar bahwa Ki Buyut tidak dapat berjalan secepat ia berjalan.
Karena itu maka ia harus menunggu dengan sabar.
Beberapa saat kemudian maka barulah Ki Buyut y ang
tertatih-tatih itu mendekat dengan segannya, sehingga karena
itu maka langkahnya menjadi semakin lambat.
Namun akhirnya Ki Buyut itu tidak dapat berbuat apa apa lagi ketika ia sudah berdiri di muka pintu. Karena sejenak
kemudian maka Akuwu Lemah Warah pun telah
mendorongnya memasuki bilik itu.
Akuwu Sangling yang meskipun keadaannya sudah
berangsur baik namun masih tetap berbaring di
pembaringannya itu pun menarik nafas dalam-dalam. Apapun
alasannya, ia tidak akan dapat menolak lagi kehadiran Ki
Buyut Bapang. "Duduklah Ki Buyut," berkata Akuwu Lemah Warah
yang m empersilahkan Ki Buyut duduk di sebuah amben kecil
di sebelah pembaringan Akuwu Sangling.
Ki Buyut itu pun kemudian duduk dengan jantung yang
berdeguban. Dipandanginya Akuwu Sangling y ang berbaring
itu dengan sor ot mata yang gelisah.
"Ampun Akuwu," berkata Ki Buyut, "hamba telah
datang untuk menghadap Akuwu, atas perintah Akuwu Lemah
Warah." Akuwu Sangling memandanginya sekilas. Namun
kemudian ia pun berpaling sambil berdesis, "Untuk apa kau
datang menghadap aku" Kita sama-sama tawanan disini."
"Akuwu Lemah Warah lah y ang memerintahkan hamba
untuk menghadap," jawab Ki Buyut.
"Aku tahu," geram Akuwu Sangling, "Lemah Warah
ingin mengatakan kepadaku lewat pengakuanmu, bahwa yang
aku lakukan adalah sia-sia. Bahkan akan ditekankannya,
bukan saja sia-sia, tetapi satu kesalahan besar. Sebab Akuwu
Lemah Warah pernah mengatakan kepadaku, bahwa kau
pernah berada pula di Lemah Warah. Kau pernah melakukan
tindakan y ang bertentangan dengan paugeran di Lemah
Warah, sehingga akhirnya kau lari keluar dari Pakuwon. Tibatiba
saja kau menjadi seorang Buyut di daerah Sangling,
sehingga Akuwu Lemah Warah telah menganggap aku
melindungi seorang penjahat seperti kau."
Ki Buyut menundukkan kepalanya. Namun kemudian
katanya, "Akuwu. Hamba tidak dapat ingkar. Hamba memang
pernah melakukan kejahatan di Lemah Warah."
"Nah, agaknya Akuwu Lemah Warah sudah puas
mendengar pembicaraan ini?" berkata Akuwu Sangling.
"Hanya itu yang kalian katakan?" bertanya Akuwu
Lemah Warah. "Ya hanya itulah lingkaran per soalannya. Lalu apa lagi
yang kau kehendaki?" bertanya Akuwu Sangling.
"Bagus," berkata Akuwu Lemah Warah, "jika demikian
aku akan mengambil kesimpulan. Ternyata Ki Buyut
merupakan orang penting di Pakuwon Sangling."
"Kenapa Akuwu berpendirian demikian?" bertanya
Akuwu Sangling. Akuwu Lemah Warah mengerutkan keningnya. Namun
kemudian dengan nada dalam ia berkata, "Bukan Ki Buyut
Bapang yang memberikan pengakuan. Tetapi Akuwu Sangling
lah yang mengucapkan pengakuan yang seharusny a dikatakan
oleh Ki Buyut Bapang."
"Hanya karena itu maka Akuwu menganggap bahwa Ki
Buyut Bapang merupakan orang penting di Sangling?"
bertanya Akuwu Sangling. "Dengan pengakuan y ang kau ucapkan itu, agaknya kau
memang bermaksud membatasi pengakuan yang mungkin
diucapkan oleh Ki Buyut Ba pang. Dengan demikian maka Ki
Buyut tidak mengatakan bagaimana ia lari dari Lemah Warah
dan datang menghadap Akuwu Sangling untuk mendapat
perlindungan." "Kau jangan berprasangka begitu buruk," geram Akuwu
Sangling, "aku hanya ingin m emancing agar Ki Buyut tidak
merasa takut untuk mengucapkan pengakuannya."
" Jangan kelabui aku demikian kasar, dengan
menganggap aku berlaku bodoh," berkata Akuwu Lemah
Warah, "aku menang ingin melihat apa y ang terjadi disini. Jika
Ki Buyut Bapang yang mengucapkan pengakuan, kemudian
Akuwu Sangling menjadi menyesal bahwa ia telah berusaha
untuk menolong Ki Buyut, bahkan telah jatuh pula korban,
maka aku yakin bahwa Ki Buyut benar-benar orang yang
mampu meny elundup dan mengelabui Akuwu di Sangling.
Tanpa sepengetahuan Akuwu Sangling Ki Buyut di Bapang
mampu merebut kedudukan." Akuwu Lemah Warah berhenti
sejenak, lalu "tetapi yang aku lihat dan aku dengar bukan hal
seperti itu." "Apa y ang Akuwu lihat?" bertanya Akuwu Sangling.
"Seperti yang sudah terjadi," berkata Akuwu Lemah
Warah, "dengan cerdik Akuwu Sangling telah membatasi sikap
dan pengakuan Ki Buyut Bapang. Namun dengan demikian
aku melihat jelas, bahwa sebenarnya sejak kehadiran Ki Buyut
di Sangling, Akuwu sudah tahu siapa Ki Buyut dan apa yang
pernah dilakukannya di Lemah Warah."
"Bohong," wajah Akuwu Sangling menjadi tegang.
Tetapi ia memang tidak dapat berbuat apa-apa. Tubuhnya
terlalu lemah. Bahkan untuk bangkit dan duduk saja ia masih
mengalami kesulitan. Sementara itu Ki Buyut Bapang pun
sama sekali masih belum memiliki kemampuannya kembali.
Akuwu Lemah Warah y ang berdiri di sebelah
pembaringan Akuwu Sangling itu pun kemudian berkata, "Jika
demikian, maka aku akan dapat menebak kenapa Akuwu
Sangling telah bersusah payah untuk bertempur dengan
mengorbankan orang-orangnya untuk membebaskan Ki Buyut
Bapang." "Dugaanmu tentu buruk," berkata Akuwu Sangling.
"Selama ini kalian berdua masing -masing telah menolak
untuk bertemu. Karena dalam pertemuan itu, aku akan dapat
menarik kesimpulan atas sikap kalian berdua," berkata Akuwu
Lemah Warah. "Pikiranmulah yang sudah dikotori dengan prasangkaprasangka
buruk," berkata Akuwu Sangling.
" Jangan ingkar Akuwu Sangling. Bahkan aku dapat
semakin jauh m elihat hubunganmu dengan Ki Buyut Bapang.
Ki Buyut dengan keras menolak untuk bertemu denganmu,
karena Ki Buyut akan mengalami kesulitan jika aku bertanya
kepadanya, apakah kehadirannya di Sangling m emang benarbenar
tidak kau ketahui asal-usulnya."
Ki Buyut menundukkan kepalanya. Pergolakan yang seru
telah terjadi di dalam dirinya. Ia tidak dapat ingkar kepada
dirinya sendiri atas apa y ang sebenarnya telah terjadi pada
dirinya. "Nah, kenapa kau begitu keras menuntut agar Ki Buyut
aku serahkan kembali kepadamu" Apakah kau takut bahwa Ki
Buyut akan membuka rahasia yang selama ini kau
sembunyikan" Atau barangkali rahasia kalian bersama?" desak
Akuwu Lemah Warah. "Cukup," Akuwu Sangling memotong dengan kasar.
Tetapi oleh hentakan suaranya itu, maka nafasnya ju stru
menjadi terengah-engah. Akuwu Lemah Warah termangu-mangu sejenak melihat
keadaan Akuwu Sangling. Ia tidak dapat menganggap sikap itu
sekedar sikap pura-pura. Tetapi sikap itu benar-benar
dilakukan karena ia memang dicengkam lagi oleh kesakitan.
Untuk beberapa saat Akuwu Sangling berusaha
mengatasi sendiri keadaan pernafasannya. Namun agaknya
hal itu sulit dilakukannya, sehingga akhirnya Akuwu Lemah
Warah berkata kepada Mahisa Murti dan Mahisa Pukat,
"Panggil tabib y ang merawatnya."
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat tidak m enunggu lebih
lama lagi. Mereka segera memanggil dua orang tabib yang
merawatnya. "Kenapa dengan Akuwu Sangling?" bertanya seorang
diantaranya tabib-tabib itu.
" Nafasnya terengah-engah. Nampaknya ia sangat
kesakitan," berkata Mahisa Murti.
"Bukankah keadaannya sudah berangsur baik?" desis
tabib yang lain. "Tiba-tiba saja ia mengalaminya," jawab Mahisa Pukat.
Kedua tabib itu pun kemudian bergegas untuk pergi ke
bilik Akuwu Sangling. Mereka menemukan Akuwu Lemah
Warah dan Ki Buyut Bapang berada di tempat itu.
"Lihatlah," berkata Akuwu Lemah Warah, "tiba-tiba saja
pernafsannya terganggu."
"Hamba Akuwu," jawab kedua tabib itu hampir
berbareng. Akuwu Lemah Warah itu pun kemudian berkata kepada
Ki Buyut, "Kita tinggalkan Akuwu Sangling. Biarlah ia dirawat
dengan baik. Kita memerlukannya."
Meskipun Akuwu tidak mengatakannya kepada kedua
tabib itu, namun keduanya sadar, bahwa mereka harus
berusaha sebaik-baiknya untuk mengobati Akuwu Sangling,
karena menurut Akuwu Lemah Warah, ia adalah orang yang
diperlukan. Sementara itu Akuwu Lemah Warah, Mahisa Murti dan
Mahisa Pukat telah membawa Ki Buyut Bapang ke dalam
biliknya. Namun mereka tidak segera meninggalkannya.
Untuk beberapa saat Akuwu Lemah Warah masih tetap berada
di dalam bilik itu. Meskipun demikian ketika ia melihat Ki Buyut itu dalam
keadaan y ang letih, maka Akuwu itu pun berkata,
"Berbaringlah Ki Buyut. Kau memang masih terlalu lemah."
"Sebenarnya hamba sudah tidak lagi dalam keadaan
seperti ini," berkata Ki Buyut, "tetapi kedua anak muda itu
selalu membuat hamba seperti ini," berkata Ki Buyut.
"Hanya satu cara untuk memperingan beban mereka
yang bertugsa menjagamu," berkata Akuwu Lemah Warah.
Lalu, "Karena jika tidak demikian maka kau akan dengan
mudah m elarikan diri. Para penjaga tentu tidak akan mampu
menahanmu. Apalagi jika kau sudah tenggelam dalam
kekuatan ilmumu yang dapat membuat tubuhmu sekeras
batu." "Tetapi tindakan ini telah meny iksa hamba tanpa hentihentinya,"
berkata Ki Buyut. "Sampai satu saat, maka hal ini akan dihentikan. Tetapi
masih akan m erupakan pertanyaan, apakah kau m asih akan
memiliki ilmumu itu atau tidak," berkata Akuwu Lemah
Warah. "Akuwu," desis Ki Buyut, "apakah artinya itu?"
"Kau sudah melakukan kesalahan y ang menurut
pendapatku sulit untuk diampuni. Kau lari dari Lemah Warah,
berada di Sangling dan bahkan kemudian telah menimbulkan
kesulitan bagi kedua kemenakanku. Kau telah berusaha untuk
merebut padepokan ini," berkata Akuwu Lemah Warah.
"Akuwu," berkata Ki Buyut, "sudah hamba katakan,
sebenarnya hamba tidak bermaksud melakukannya. Tetapi
hamba telah terseret ke dalam langkah-langkah y ang ju stru
telah menjebak hamba disini."
"Tetapi bukankah tingkah lakumu dapat ditelusuri?"
bertanya Akuwu Lemah Warah, "dan apakah kau akan ingkar
seandainya aku menyebutkan bahwa kau bukan orang baikbaik
selama kau berada di Sangling?"
Ki Buyut menarik nafas dalam-dalam. Sementara itu
Akuwu berkata selanjutnya, "Ki Buyut. Sebenarnya apa yang
kau lakukan selama ini telah cukup memusingkan kepalaku.
Karena itu seandainya jatuh hukumanku kepadamu, maka
sepantasnya bahwa kau tidak lagi memiliki ilmu yang akan
dapat kau pergunakan untuk memperpanjang tingkah lakumu
yang bertentangan dengan paugeran itu."
"Ampun Akuwu," minta Ki Buyut dengan suara sendat.
"jangan perlakukan aku seperti itu. Hidupku tentu sudah tidak
akan berarti lagi." "Tentu tidak Ki Buyut," berkata Akuwu, " orang-orang
yang tidak pernah m emiliki ilmu apapun juga, merasa bahwa
hidupnya cukup berarti."
"Tetapi hamba merasa bahwa hanya dengan ilmu itulah
hamba mampu berbuat sesuatu y ang berarti," berkata Ki
Buyut Bapang. "Berarti bagi siapa?" bertanya Akuwu Lemah Warah.
Ki Buyut itu pun menjadi bingung, sehingga justru
karena itu maka ia pun telah terdiam.
Dalam pada itu Akuwu Lemah Warah pun telah bertanya
pula, "Ki Buyut. Apakah hubunganmu y ang sebenarnya
dengan Akuwu Sangling he?"
Wajah Ki Buyut menjadi tegang. Namun dengan gagap ia
berkata, "Hamba adalah seorang Buyut, Akuwu Sangling
adalah pemimpin hamba."


02 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Seperti hubunganmu dengan aku ketika kau berada di
Lemah Warah meskipun kau bukan seorang Buyut?" bertanya
Akuwu Lemah Warah. Wajah Ki Buyut menjadi pucat. Dengan lemah ia
berdesis, "Ampun Akuwu."
"Nah, kau tidak usah mengatakannya. Aku sudah dapat
mengetahuinya. Itulah sebabnya maka Akuwu Sangling
berkeras untuk melepaskanmu dari tangan kami, karena kau
akan dapat membuka rahasia itu. Sehingga dengan demikian
maka aku akan dapat menentukan bahwa Akuwu Sangling
bukan seorang Akuwu y ang baik sebagaimana aku duga
selama ini," berkata Akuwu Lemah Warah.
Ki Buyut tidak dapat ingkar lagi. Bahkan hampir di luar
sa darnya ia berkata, "Hamba bukan satu-satunya orang yang
menjadi kaki tangannya."
"Aku sudah menduga. Jika ada satu saja diantara orangorangnya
diperlakukan seperti kau, maka agaknya ada pula
orang lain dalam kedudukan y ang serupa," berkata Akuwu
Lemah Warah. Namun kemudian ia bertanya, "Tetapi
bukankah hal ini tidak diketahui oleh para Senapatinya?"
Ki Buyut m enggeleng. Katanya, "Tidak Akuwu. Hanya
beberapa orang sajalah y ang mengetahuinya. Itu pun tidak
sepenuhnya, sebagaimana hamba hanya mengetahui sebagian
dari seluruh warna hidupnya."
Akuwu Lemah Warah m engangguk-angguk. Namun ia
tidak sempat berkata sesuatu lagi, karena mereka telah
dikejutkan oleh seorang prajurit Lemah Warah y ang dengan
tergesa -gesa berkata, "Akuwu Sangling pingsan."
"He," Akuwu Lemah Warahlah yang menyahut,
"bukankah ada dua orang tabib y ang menungguinya."
"Ya. Sudah diusahakan dengan sekuat tenaga dan
kemampuan kedua tabib itu. Tetapi keadaan kesehatannya
yang sudah baik itu telah turun dengan serta merta."
Akuwu Lemah Warah pun kemudian dengan tergesa gesa telah meninggalkan Ki Buyut Bapang diikuti oleh Mahisa
Murti dan Mahisa Pukat. Namun Ki Buyut Bapang itu tidak
dapat keluar dari bilikny a karena dua orang penjaga telah
berada di pintu demikian Akuwu Lemah Warah bersama anak
muda itu pergi. Dalam pada itu, Akuwu Lemah Warah bersama Mahisa
Murti dan Mahisa Pukat dengan langkah-langkah panjang
menuju ke bilik Akuwu Sangling.
Ketika mereka sampai di pintu bilik, maka keduanya
melihat dua orang tabib itu dengan tegang berdiri di sebelah
pembaringan Akuwu Sangling. Sementara itu Akuwu Sangling
berbaring dengan mata y ang tertutup.
Dengan cemas Akuwu Lemah Warah kemudian
memasuki bilik itu. Ketika ia merasa dada Akuwu Sangling,
maka rasa-rasanya dada itu bagaikan membeku.
"Bagaimana?" bertanya Akuwu Lemah Warah.
Kedua tabib itu berpaling kearahnya. Namun kemudian
dengan wajah y ang buram keduanya menggeleng. Seorang di
antara mereka berkata, "Agaknya sudah tidak ada dapat
ditolong lagi Akuwu, kecuali terjadi satu keajaiban."
Wajah Akuwu Lemah Warah menjadi tegang. Dengan
nada datar ia bertanya, "Apakah kau tidak dapat berusaha
sama sekali?" "Kami sudah berusaha sejauh kemampuan kami,"
berkata tabib itu, "tetapi agaknya usaha kami sia-sia. Akuwu
Sangling sendiri sama sekali tidak membantu setiap usaha
untuk mengobatinya."
"Apa y ang dilakukan?" bertanya Akuwu Lemah Warah.
"Akuwu Sangling m enolak setiap jenis obat y ang kami
berikan. Akuwu sama sekali t idak m au menelannya. Ketika
kami berusaha memaksa disemburkannya obat itu kembali,"
jawab tabib itu. Akuwu Lemah Warah termangu-mangu.
Ditempelkannya telinganya ke dada Akuwu Sangling. Ternyata
nafasnya tidak lagi teratur, demikian pula detak jantungnya.
Bahkan rasa-rasanya semakin lama menjadi semakin lambat.
Kecemasan telah mencengkam hati Akuwu Lemah
Warah. Bahkan peny esalan telah mulai m enusuk jantungnya.
Agaknya kehadiran Ki Buyut Bapang di bilik itu telah
membuat Akuwu Sangling semakin terpukul perasaannya,
sehingga karena itu, maka ia t elah m emilih jalan y ang gelap
itu. Namun para tabib itu memang tidak dapat berbuat apaapa.
Keadaan Akuwu Sangling memang sudah menjadi
semakin parah. Nafa snya semakin jarang dan bahkan kadangkadang
telah terhenti. Akuwu Lemah Warah pun telah menggelengkan
kepalanya pula. Perlahan-lahan ia melangkah keluar dari bilik
itu. Sejenak ia berdiri di luar pintu sambil menengadahkan
kepalanya, seakan-akan memandang mega-mega y ang lewat
dengan tanpa berkedip. Mahisa Murti dan Mahisa Pukat berdiri termangumangu.
Meskipun keduanya tidak bertanya, tetapi keduanya
dapat meraba, apa yang telah terjadi dengan Akuwu Sangling.
Bahkan sejenak kemudian seorang dari kedua tabib itu
telah berdiri di pintu itu pula. Dengan nada rendah ia berkata,
"Ampun Akuwu. Tidak ada yang dapat m encegah datangnya
kematian." "Akuwu Sangling?" bertanya Akuwu Lemah Warah.
Tabib itu mengangguk kecil sambil berdesis, "Hamba
Akuwu." Akuwu Lemah Warah pun kemudian bergegas masuk
kembali. Namun seperti y ang dikatakan oleh tabib itu. Akuwu
Sangling telah menghembuskan nafasny a yang penghabisan.
Akuwu Lemah Warah hanya dapat menarik nafas dalamdalam.
Bagaimanapun juga ia telah m erasa, bahwa dirinyalah
yang telah membunuh Akuwu Sangling. Ia telah melukainya.
Kemudian justru pada saat lukanya mulai susut, maka ia telah
membawa Ki Buyut Bapang menemuinya.
Agaknya per soalan selanjutnya dianggap akan menjadi
sangat gelap bagi Akuwu Sangling. Apalagi jika Akuwu Lemah
Warah itu kemudian menyampaikan persoalannya kepada Sri
Baginda di Kediri, maka ia akan semakin mengalami kesulitan.
Karena itu bagi Akuwu Sangling tidak ada jalan lain yang
dipilihnya kecuali mengakhiri segala -galanya sampai kebatas
itu. Dengan wajah y ang muram Akuwu Lemah Warah
memandang tubuh Akuwu Sangling yang terbaring diam.
Tangannya sudah disilangkan di dadanya.
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat pun telah memasuki
bilik itu pula. Namun tubuh itu telah terbujur diam.
"Sudahlah," desis Akuwu Lemah Warah, "ia telah
sampai ke batas. Apapun yang kita lakukan, tidak akan dapat
menolongnya." Mahisa Murti dan Mahisa Pukat tidak menjawab.
Namun keduanya pun telah menundukkan wajahnya pula.
Akuwu Lemah Warah pun kemudian telah
memerintahkan kepada seorang prajurit untuk bersamaasama
dengan beberapa orang mempersiapkan segala
sesuatunya untuk meny elenggara-kan tubuh Akuwu Sangling
itu. Namun dalam pada itu, Akuwu Lemah Warah telah
memberi kesempatan kepada kedua orang prajurit Sangling
untuk kembali ke Pakuwonnya, memberitahukan kematian
Akuwu Sangling. Jika keluarganya menghendaki, maka
tubuhnya akan dapat dibawa kembali ke Pakuwon untuk
dilakukan upacara yang lebih baik.
"Pakailah kuda yang ada di sini," berkata Akuwu Lemah
Warah. "Terima kasih Akuwu," sembah salah seorang dari
kedua prajurit Sangling itu.
Sejenak kemudian kedua orang prajurit Sangling itu
telah berpacu kembali ke Pakuwon untuk memberitahukan
keadaan Akuwu Sangling kepada keluarganya dan kepada para
pemimpin Pakuwon yang ditinggalkan di Sangling.
Namun dalam pada itu, diam-diam Akuwu Lemah
Warah telah memerintahkan prajuritnya untuk bersiap-siap.
Bagaimana pun juga kedua orang prajurit itu akan dapat
berkata lain kepada para pemimpin Sangling y ang tinggal,
meskipun kemungkinan Sangling akan berbuat sesuatu
memang sangat tipis. Apalagi setelah Akuwu Sangling itu tidak
ada lagi. Tetapi bagi Akuwu Lemah Warah, tidak ada salahnya
jika ia berbuat lebih berhati-hati.
Demikianlah, maka dua ekor kuda telah berpacu
meninggalkan padepokan Suriantal itu menuju Sangling.
Dalam pada itu, maka para prajurit Lemah Warah y ang
ada di padepokan itu pun telah mulai mempersiapkan diri lagi.
Sementara Mahisa Murti dan Mahisa Pukat meskipun masih
nampak dilekati oleh noda -noda pada kulitnya, namun
kekuatan dan kemampuan ilmunya telah pulih seutuhnya.
Dalam kesiagaan itu, para prajurit Lemah Warah dan
para penghuni padepokan Suriantal itu telah menempatkan
para tawanan di tempat y ang paling m apan. Tawanan yang
jumlahnya cukup besar. Bahkan barak-barak di padepokan itu
sebagian besar justru telah dipergunakan untuk menyimpan
para tawanan. Sedangkan para prajurit Lemah Warah dan
para penghuni padepokan itu sendiri justru berada di luar atau
di tem pat-tempat yang disiapkan dengan tergesa -gesa. Barakbarak
kecil dan gubug-gubug sederhana di sekitar barak-barak
yang dipergunakan oleh para tawanan, sekaligus mengamati
dan menjaga, agar para tawanan tidak melakukan sesuatu
yang tidak diharapkan. Untuk menjaga segala kemungkinan, maka tawanan
yang cukup banyak itu harus benar-benar dapat dikendalikan
seandainya para pemimpin Sangling benar-benar datang
untuk menuntut kematian Akuwunya. Atau kemungkinan lain
yang dapat terjadi, setelah Akuwu Sangling itu terbunuh, maka
tidak akan ada lagi gairah untuk melakukan perlawanan.
Namun banyak hal y ang akan dapat terjadi.
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat pun telah sibuk pula
dian-tara para prajurit Lemah Warah dan terutama di antara
para penghuni padepokan itu.
Panggungan di dinding padepokan telah diperbaiki,
sehingga dapat dipergunakan dengan lebih baik dari
sebelumnya. Panggungan itu menjadi lebih panjang dan diberi
beratap. Panggungan itu bukan saja untuk berjaga-jaga
mengamati daerah di sekitar padepokan, namun sekaligus
dapat dipergunakan sebagai tempat untuk tidur sebagian
prajurit Lemah Warah dan para penghuni padepokan itu yang
tidak mendapat tempat-tempat di barak-barak dan gubuggubug
y ang dibuat kemudian. Kehadiran mereka di panggungpanggung
penjagaan itu justru memberikan gairah kepada
mereka y ang sedang bertugas, meskipun akhirnya mereka
akan tertidur juga. Para tawanan tidak mengetahui apa y ang akan terjadi.
Mereka tidak mempunyai perhitungan seperti orang-orang
Lemah Warah, bahwa kawan-kawan mereka mungkin akan
datang untuk meny erang. Sepeninggal Akuwu, rasa -rasanya segalanya memang
sudah selesai. Dalam pada itu, saudara seperguruan Akuwu Sangling
pun menjadi sangat berduka. Kematian Akuwu Sangling
merupakan pukulan y ang sangat berat bagi perasaannya.
Karena itu, m aka ia pun telah jatuh kedalam satu sikap yang
tidak berkepastian. Seakan-akan apa y ang dilakukannya
kemudian tidak memberikan arti apapun juga bagi hidupnya.
Yang menjadi lebih parah adalah Ki Buyut Bapang. Ia
merasa ikut bersalah. Jika ia tidak terlibat dalam perebutan
batu yang sudah berada di padepokan itu y ang kemudian
justru telah menjeratnya, maka Akuwu Sangling mungkin
tidak akan datang ke padepokan itu pula.
Dalam pada itu, kedua orang y ang telah berangkat
menuju ke Sangling dengan berkuda, setelah menempuh
perjalanan yang cukup panjang, telah berada di Pakuwon. Ia
telah menemui para pemimpin Pakuwon y ang tinggal.
Termasuk para pemimpin prajurit Sangling.
Laporan itu memang membuat telinga para Senapati
menjadi m erah. Seorang Senapati muda dengan serta merta
berkata, "Beri aku prajurit segelar sepapan. Aku akan
menghancurkan padepokan itu."
Seorang Senapati yang lebih tua dan sempat berpikir
lebih cermat berkata, "Apa yang dapat kau lakukan di
padepokan itu" Dalam pa sukan y ang hancur itu terdapat dua
orang yang ilmunya sulit untuk dicari bandingnya. Akuwu dan
seorang saudara seperguruannya. Pasukan yang dibawanya
pun merupakan pasukan y ang besar. Namun Akuwu tidak
dapat memenangkan perang itu. Ilmu Akuwu telah
membentur ilmu Akuwu Lemah Warah sementara ilmu
saudara seperguruan Akuwu itu telah di hancurkan oleh dua
orang anak muda kemanakan Akuwu Lemah Warah. Memang
tidak masuk akal bahwa dua orang anak muda mampu
mengimbangi ilmu saudara seperguruan Akuwu itu. Namun
itulah yang terjadi. Bukankah begitu?"
Kedua orang prajurit y ang telah melaporkan peri stiwa di
padepokan itu mengangguk-angguk. Namun Senapati muda
itu bertanya lantang, "Apakah benar begitu?"
"Seperti y ang sudah kami laporkan," jawab salah
seorang dari keduanya. "Kita kerahkan semua kekuatan yang ada di Pakuwon
ini," katanya pula. Tetapi Senapati yang tertua y ang ada di Pakuwon itu
menggeleng. Katanya, "Apakah k ita tidak akan dapat m elihat
keny ataan itu" Apakah kita m asih harus memberikan korban
lagi?" Senapati muda itu menarik nafas dalam-dalam.
Sementara Senapati yang lebih tua itu berkata pula, "Kau tidak
akan dapat mengimbangi satu saja diantara kedua orang anak
muda y ang telah m ampu m engalahkan saudara seperguruan
Akuwu itu." Senapati muda itu tidak menjawab lagi. Ia memang
harus mengerti apa y ang sebenarnya telah terjadi. Jika ia
membawa prajurit ke padepokan itu, maka agaknya akan siasia
sajalah usahanya itu. Apapun yang dilakukannya, Akuwu
Sangling sudah tidak ada lagi.
" Jadi apa yang harus kita lakukan?" suara Senapati
muda itu merendah.

02 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Mengambil tubuh Akuwu," jawab Senapati yang tua itu.
"kemudian menghadap ke Kediri. Apa yang akan
diperintahkan oleh Sri Baginda di Kediri?"
Senapati muda itu m enarik nafas dalam-dalam. Namun
ia harus menerima seluruh kenyataan itu.
Karena itu, maka akhirnya Senapati muda itu memang
harus meny esuaikan pendapatnya. Senapati y ang lebih tua itu
akhirnya memerintahkan kepada para Senapati yang lain
untuk bersiap-siap. "Kita akan berangkat. Tetapi tidak dalam jumlah y ang
besar, agar tidak terjadi salah paham. Kita tidak akan
bertempur lagi. Tetapi kita memenuhi pesan Akuwu Lemah
Warah untuk mengambil tubuh Akuwu," berkata Senapati
yang lebih tua itu. Demikianlah, maka dengan cepat, telah bersiap
sepasukan kecil prajurit Sangling. Senapati yang lebih tua itu
sendirilah y ang akan pergi ke padepokan Suriantal untuk
mengambil Akuwu Sangling yang telah gugur. Mereka tidak
menunggu lebih lama lagi, karena mereka sadar bahwa tubuh
Akuwu itu tidak akan dapat bertahan terlalu lama.
Karena itulah, maka sejenak kemudian sebuah iringiringan
berkuda telah berderap menuju ke Suriantal. Namun
iring-iringan itu memang tidak dapat berpacu terlalu cepat,
karena diantara mereka terdapat sebuah kereta. Sangling
memang memiliki kereta yang siap ditarik oleh dua ekor kuda.
Bukan pedati yang ditarik oleh dua ekor lembu. Karena jika
mereka mengambil dengan pedati, meskipun lebih kuat, tetapi
mereka akan memerlukan waktu terlalu lama.
Meskipun demikian, namun kereta itu pun tidak dapat
berjalan secepat orang -orang berkuda. Jika kuda-kuda yang
menarik kereta itu dipaksa untuk berpacu secepat orang-orang
berkuda, maka roda -roda kereta itu akan dapat berpatahan.
Karena itu, maka orang-orang y ang berkudalah y ang harus
menyesuaikan diri. Namun bagaimanapun juga, perjalanan mereka jauh
lebih cepat daripada jika mereka berjalan kaki. Meskipun
kadang-kadang kereta itu pun harus merambat seperti siput di
jalan-jalan y ang sulit. Tetapi di jalan-jalan y ang rata, kereta itu
pun dapat berpacu cukup cepat.
Ketika iring-iringan itu di hari berikutnya mendekati
padepokan, maka mereka yang bertugas di padepokan itu pun
segera melihat mereka. Karena itu, maka mereka pun segera
memberikan isy arat kepada mereka yang bertugas di belakang
regol. Tetapi para petugas itu tidak segera membuka selarak
dan pintu regol, tetapi mereka menunggu perintah Akuwu
Lemah Warah. Akuwu Lemah Warah bersama Mahisa Murti dan
Mahisa Pukat telah memanjat dinding dan berdiri di
panggungan y ang tersedia di sebelah pintu gerbang. Dengan
hati-hati Akuwu Lemah Warah menilai suasana. Agaknya yang
datang memang sepa sukan kecil, sehingga menurut
perhitungan mereka tidak akan berbuat sesuatu selain hanya
sekedar mengambil tubuh Akuwu.
Karena itu, agaknya Akuwu tidak berkeberatan jika
selarak pintu itu dibukakan.
Namun sebelum Akuwu memerintahkan untuk
membuka pintu itu, mereka semuanya dikejutkan oleh
kehadiran seorang tua y ang seakan-akan dengan tiba-tiba saja
berdiri tidak terlalu jauh dibelakang iring-iringan y ang datang
itu. Dengan demikian maka Akuwu telah mengurungkan
niatnya untuk memerintahkan seorang pengawal untuk
membuka selarak pintu gerbang itu. Bahkan dengan suara
lantang Akuwu itu pun kemudian bertanya, "Apakah maksud
kalian datang kemari?"
Senapati y ang memimpin pasukan Sangling itu
menjawab, "Ampun Akuwu. Hamba datang m emenuhi pesan
Akuwu." "Siapa orang tua itu?" bertanya Akuwu Lemah Warah.
Senapati itu termangu-mangu sejenak. Namun
kemudian jawabnya, "Hamba tidak mengenalnya Akuwu."
"Apakah kau berkata sebenarnya?" bertanya Akuwu
pula. "Hamba berkata sebenarnya," jawab Senapati itu.
Akuwu Lemah Warah termangu-mangu sejenak. Namun
menilik sikapnya Senapati itu tidak berhobong. Karena itu,
maka Akuwu telah meneriakkan pertanyaan kepada orang tua
itu, "Ki Sanak. Siapakah kau dan apakah kau mempunyai
kepentingan dengan kami disini."
Sejenak orang itu berdiri tegak sambil berdiam diri.
Namun kemudian semua orang menjadi heran melihat
sikapnya. Juga para prajurit Sangling yang berpaling ke arah
orang tua itu. Menurut penglihatan mata wadag orang-orang itu, orang
tua itu sama sekali tidak menggerakkan mulutnya. Namun
terdengar suara bergulung -gulung seolah-olah bergema di
seluas langit, "Akuwu Lemah Warah. Ternyata kau adalah
seorang yang memiliki kemampuan ilmu tiada taranya. Kau
berhasil mengalahkan muridku, Akuwu Sangling. Bahkan
kedua orang anak muda itu pun telah m ampu m engalahkan
muridku y ang lain."
Ketegangan telah mencengkam jantung semua orang
yang mendengarnya. Demikian pula Akuwu Lemah Warah,
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat.
Sebelum mereka menjawab, maka orang itu pun telah
melanjutkan kata-katanya y ang bergaung di udara, "Bahkan
saat ini muridku, Akuwu Sangling, telah terbunuh. Karena itu,
maka aku telah datang kemari."
Akuwu Lemah Warah termangu-mangu. Namun
kemudian katanya, "Untuk apa kau datang kemari" Dan
siapakah nama Ki Sanak?"
"Nama tidak penting bagimu. Tetapi aku benar-benar
guru Akuwu Sangling," jawab orang itu.
" Jika demikian, untuk apa Ki Sanak datang kemari" Aku
tidak ingkar, bahwa Akuwu Sangling telah terbunuh disini.
Saudara seperguruannya terluka berat. Demikian pula Ki
Buyut Bapang," berkata Akuwu Lemah Warah dengan lantang.
Orang itu tidak segera menjawab. Namun tiba -tiba saja
orang itu telah m enggerakkan tangannya. Yang mengejutkan
itu terjadi lagi. Dari kedua telapak tangannya itu seakan-akan
telah memancar api y ang menjilat-jilat.
Semua orang menjadi tegang. Yang ada di dalam dinding
padepokan, tetapi juga y ang berada di luar dinding
padepokan. Dalam pada itu, Akuwu Lemah Warah pun berdesis,
"Mahisa Murti dan Mahisa Pukat. Mendekatlah. Jika orang itu
menyerang, maka k ita akan melawannya bersama-sama. Aku
tidak tahu, apakah ilmu kita bersama-sama akan dapat
mengimbanginya. Namun aku yakin, bahwa kalian telah
mendapatkan satu hentakan peningkatan ilmu dalam loncatan
yang panjang. Karena itu, maka kita akan melawannya.
Apapun y ang akan terjadi."
Namun sementara itu, para prajurit Sangling y ang
berada di luar padepokan itu menjadi bingung. Apakah yang
sebaiknya mereka lakukan.
Dalam keadaan y ang demikian, maka Akuwu Lemah
Warah pun itu pun berkata lantang, "Nah, para prajurit
Sangling. Kau dengar pengakuan orang itu" Sekarang, apakah
yang akan kalian lakukan?"
"Akuwu," berkata pemimpin pasukan itu, "kami tidak
mengenal orang itu. Meskipun ternyata ilmunya telah
menggetarkan jantung, namun kedatangan hamba adalah
dalam rangka usaha hamba untuk membawa tubuh Akuwu
kembali ke Pakuwon Sangling."
"Bagus," terdengar suara orang y ang berdiri di belakang
para prajurit Sangling, "bawalah tubuh muridku itu kembali ke
Pakuwon. Aku akan mengambil saudaranya dan membawanya
kembali ke padepokan."
Senapati itu berpaling. Namun ia masih tetap termangumangu.
Dalam pada itu, Akuwu Lemah Warah pun kemudian
berkata lantang, "Ki Sanak. Kau tidak akan dapat berbuat
sekehendak hatimu. Aku adalah Akuwu Lemah Warah. Akulah
yang berkuasa di sini. Aku yang mengatur segalanya. Bukan
kau." Orang itu menarik nafas dalam-dalam. Desah itu
terdengar seperti suara angin prahara yang bertiup kencang.
Tetapi tidak sehelai daun pun yang telah bergetar karenanya.
"Sang Akuwu yang mulia," berkata orang itu.
Namun Akuwu Lemah Warah tidak berhasil
memperhatikan gerak bibirnya, "aku mohon maaf. Seharusnya
aku memang mohon lebih dahulu kepada Akuwu."
Akuwu Lemah Warah tidak m enduga bahwa orang itu
tidak bertahan pada sikapnya. Justru orang itu telah minta
maaf kepadanya, meskipun barangkali hanya sekedar basabasi.
Namun kemudian orang itu pun berkata selanjutnya,
"Akuwu. Aku memang tidak akan berbuat apa-apa. Aku hanya
datang untuk mohon diijinkan mengambil muridku yang
seorang itu." Tetapi Akuwu Lemah Warah m enjawab, "Muridmu itu
adalah tawananku. Ia telah membuat banyak kesalahan,
sehingga aku tidak akan melepaskannya."
"Aku akan menjelaskannya," berkata orang itu.
"Tidak ada gunanya," jawab Akuwu Lemah Warah.
Orang itu termangu-mangu sejenak. Sementara itu
Akuwu Lemah Warah berkata kepada para prajurit Sangling,
"Jika demikian, maka masuklah kalian. Aku percaya bahwa
kalian tidak mempunyai hubungan dengan orang itu."
Akuwu Lemah Warah pun kemudian telah m emberikan
isy arat kepada para prajurit y ang berada di reg ol untuk
membuka pintu. Para prajurit itu pun kemudian telah membuka selarak.
Demikian pintu terbuka, maka Akuwu pun berkata,
"Masuklah." Senapati itu pun kemudian telah memerintahkan para
prajuritnya untuk bergerak masuk. Meskipun pada umumnya
mereka ragu-ragu, tetapi karena Senapati mereka telah
menggerakkan kudanya memasuki pintu gerbang itu, maka
yang lain -pun telah m asuk pula bersama dengan kereta yang
telah mereka bawa. Namun dalam pada itu, demikian pasukan kecil itu
bergerak, maka orang yang berdiri agak jauh di belakang
pasukan itu pun mulai bergerak pula. Ia pun berjalan menuju
ke pintu gerbang. Namun demikian orang terakhir, memasuki
gerbang itu, maka pintu itu pun telah tertutup pula.
"Kenapa pintu itu ditutup?" bertanya orang y ang
mengaku guru Akuwu Sangling itu, "bukankah aku sudah
memohon agar aku diijinkan membawa muridku y ang seorang
itu?" "Sudah pula aku jawab," jawab Akuwu Lemah Warah,
"bahwa aku berkeberatan."
"Kenapa" Yang bersalah adalah Akuwu Sangling. Aku
tidak akan menuntut kematiannya. Tetapi saudara
seperguruannya hanya sekedar terseret oleh ketamakan
Akuwu Sangling. Ia merasa bahwa ikatan perguruannya telah
mewajibkannya untuk ikut terlibat dalam persoalan yang
dihadapi oleh Akuwu Sangling tanpa mengerti duduk
persoalan yang sebenarnya. Aku terlambat datang untuk
mencegahnya. Ketika aku sampai di Sangling, maka semuanya
telah terjadi di sini," berkata orang itu.
Akuwu Lemah Warah m engerutkan keningnya. Dengan
ragu ia bertanya, "Apakah menurut Ki Sanak, Akuwu Sangling
memang ber salah?" "Ya. Aku memang berpendapat demikian," jawab orang
itu, "tetapi aku pun juga bersalah. Aku t idak dapat
mencegahnya." Akuwu Lemah Warah termangu-mangu sejenak. Namun
kemudian katanya, "Biarlah orang itu tetap disini sampai aku
yakin bahwa ia tidak akan mampu berbuat kesalahan lagi."
" Jangan kau korbankan orang itu. Orang itu adalah
orang y ang baik meskipun kasar," berkata orang itu.
"Aku telah menawannya," sahut Akuwu Lemah Warah.
"Apakah aku harus memaksanya?" bertanya orang itu.
" Jadi kau semburkan api dari tanganmu sekedar untuk
menakut-nakuti kami?" bertanya Akuwu Lemah Warah.
"Aku dapat memecahkan pintu gerbang itu," berkata
orang y ang mengaku guru Akuwu Sangling itu.
"Apakah kita harus saling menunjukkan kemampuan
kita?" bertanya Akuwu Lemah Warah pula.
Orang itu termangu-mangu sejenak. Dipandanginya
pintu gerbang yang tertutup rapat itu. Namun sambil
mengerutkan keningnya ia berkata, "Bagaimana menurut
pendapatmu jika aku memecahkan pintumu?"
Akuwu menggeleng. Katanya, "Kau tidak akan pernah
berhasil melakukannya. Aku akan membenturkan kekuatanku
atas kemampuanmu. Kita akan melihat siapakah y ang lebih
kuat diantara kita."
"Kau sendiri atau kau bertiga?" bertanya orang itu.
"Untuk m eyakinkan kemenangan di pihak kami, maka
kami akan melakukan bersama," jawab Akuwu.
Orang itu memandang Akuwu dengan tajamnya.
Nampak keragu-raguan memancar di sor ot matanya.
Sementara itu Akuwu Lemah Warah, Mahisa Murti dan
Mahisa Pukat pun telah bersiap pula menghadapi segala
kemungkinan. "Ki Sanak," berkata Akuwu Lemah Warah, "marilah.
Jika memang itu y ang kau kehendaki. Aku telah melihat
betapa dahsy atnya apimu. Tetapi kau tidak dapat
menundukkan kami hanya dengan cara seperti itu. Menakutnakuti
saja. Kita harus benar-benar mey akinkan apakah kami
akan hancur, atau malahan kau yang hancur."
Orang itu m enarik nafas dalam-dalam. Katanya, "Aku
adalah guru Akuwu Sangling. Kau tentu dapat mengira-irakan,
bahwa aku memiliki kemampuan setidak -tidaknya
sebagaimana dimiliki oleh Akuwu Sangling."
"Dan kau harus mengerti, bahwa baik Akuwu Sangling
maupun saudara seperguruannya telah dihancurkan disini,"
berkata Akuwu Lemah Warah.
"Bagus," berkata orang itu, "tetapi ketahuilah, bahwa
Akuwu Sangling dan saudaranya yang mengalami kesulitan


02 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

disini adalah murid-muridku y ang terhitung muda. Memang
tidak ada yang lebih tua dari mereka. Tetapi sebenarnyalah
bahwa mereka mulai berguru kepadaku, belum terlalu lama,
sehingga ilmu mereka memang belum matang."
"Kenapa tidak kau bawa murid-muridmu yang lebih
baik dari kedua orang itu sekarang?" bertanya Akuwu Lemah
Warah. "Sudah aku katakan," jawab orang itu, "aku tidak
mempunyai murid yang lebih tua dari kedua m uridku yang
terhitung masih muda itu."
Akuwu Lemah Warah mengangguk-angguk. Katanya,"
jadi kau ingin mengatakan, bahwa jarak kemampuan antara
guru dan kedua m uridmu itu jauh sekali. Sebagaimana ciri
guru y ang kurang baik, yang tidak yakin bahwa muridnya
tidak akan melawannya atau ingkar akan kewajibannya di
mata gurunya." "Kau jangan membuat aku benar-benar marah dan
menghancurkan dinding padepokanmu," berkata orang itu,
"kedatanganku hanya untuk mengambil muridku yang
seorang, yang aku harapkan tidak akan m enjadi seorang yang
tamak seperti Akuwu Sangling itu."
Akuwu Lemah Warah menjadi ragu-ragu. Nampaknya
orang itu bersungguh-sungguh. Namun Akuwu Lemah Warah
tidak dapat begitu saja mempercayainya. Apalagi kedatangan
orang yang mengaku guru Akuwu Sangling itu bersamaan
dengan kedatangan para prajurit Sangling untuk m engambil
tubuh Akuwunya. Sementara itu di dalam padepokan, iring-iringan prajurit
Sangling telah m engalami pemeriksaan yang ketat. Beberapa
orang prajurit Lemah Warah telah memeriksa kereta yang
dibawa oleh para prajurit Sangling. Bagaimanapun juga
kecurigaan masih tetap ada pada prajurit Lemah Warah. Jika
di dalam kereta itu terdapat senjata-senjata yang tersembunyi,
maka akan dapat menumbuhkan kesulitan bagi prajurit
Lemah Warah di padepokan itu, karena di padepokan itu
terdapat tawanan y ang cukup besar jumlahnya.
Tetapi para prajurit Lemah Warah tidak menemukan
sesuatu y ang mencurigakan pada para prajurit Sangling itu.
Karena itu, maka para prajurit Lemah Warah telah membawa
mereka ke pendapa padepokan.
Di luar orang yang mengaku guru Akuwu Sangling itu
pun masih berdiri beberapa langkah dari pintu gerbang.
Nampaknya ia sedang ragu-ragu, apakah y ang sebaiknya
dilakukan. Sementara itu Akuwu Lemah Warah, Mahisa Murti
dan Mahisa Pukat sudah siap menghadapi segala
kemungkinan. Akuwu Lemah Warah memang mempunyai keyakinan,
meskipun kemampuan ilmu orang itu benar-benar jauh
melampaui Akuwu Sangling, namun mereka bertiga tentu
akan mampu mengimbanginya.
Namun orang itu tidak segera berbuat apa-apa. Ia berdiri
sa ja seperti membeku. Dari tempatnya berdiri, ia memandangi
pintu gerbang y ang tertutup itu. Seakan-akan orang itu
memang ingin berbuat sesuatu atas pintu gerbang itu.
Tetapi orang itu tidak berbuat apa-apa. Bahkan ia pun
kemudian melangkah mundur sambil berkata, "Aku akan
menunggu sampai Akuwu mengijinkan aku mengambil
muridku yang seorang itu. Jika Akuwu memerintahkan aku
menunggu sampai tubuh Akuwu Sangling diambil, maka aku
pun tidak berkeberatan. Tetapi aku memang tidak ingin
mempergunakan kekerasan. Sudah cukup banyak kematian
terjadi di sini. Karena itu aku tidak akan m enambahnya lagi.
Apalagi jika yang akan mati itu Akuwu Lemah Warah atau
kedua anak muda y ang mengagumkan itu. Yang dalam usianya
yang masih sangat muda mampu m engalahkan salah seorang
dari kedua muridku itu."
"Apakah kau akan menempa muridmu agar ia kelak
mampu membalas dendam?" bertanya Akuwu Lemah Warah.
"Tidak. Tidak ada dendam dihatiku dan dihati
muridku." orang itu menarik nafas dalam-dalam. Lalu,
"sudahlah, aku akan menunggu. Sudah aku katakan, aku tidak
ingin korban jatuh lagi. Lebih-lebih jika korban itu diriku
sendiri." Akuwu Lemah Warah pun termangu-mangu melihat
orang itu berbalik dan melangkah menjauh. Namun ia pun
kemudian duduk bersandar sebatang pohon y ang rindang.
Untuk beberapa saat Akuwu Lemah Warah m engawasi
orang itu. Namun agaknya orang itu tidak berbuat apa -apa.
Orang itu benar-benar menunggu sambil duduk bersandar.
Akuwu justru tidak segera m engerti apa y ang sebaiknya
dilakukan. Apakah ia akan memanggil orang itu atau
membiarkannya saja duduk di bawah pohon itu atau apa"
Namun sebagai seorang pemimpin ia pun kemudian
menemukan keseimbangannya kembali. Katanya, "Biar sajalah
orang itu berbuat apa saja asal tidak melakukan kekerasan.
Jika ia akan duduk di sana sampai sepekan, itu bukan
persoalan kita." Mahisa Murti dan Mahisa Pukat m engangguk-angguk.
Namun bagi mereka orang itu perlu selalu mendapat
pengawasan. Karena itu maka Mahisa Murti pun berkata,
"Tetapi Akuwu. Orang itu dapat bangkit dari duduknya setiap
saat. Kemudian berjalan mendekati dinding padepokan ini dan
menyerang dengan apinya y ang berbahaya itu."
Akuwu mengangguk-angguk. Katanya, "Kita akan dapat
mengawasiny a bergantian. Namun kita harus bersikap tegas
menghadapinya. Agaknya orang itu memang berilmu sangat
tinggi." Mahisa Murti dan Mahisa Pukat m engangguk-angguk.
Sementara itu Akuwu berkata, "Jika orang itu bangkit dan
melangkah mendekati dinding padepokan ini, m aka kita akan
melawannya bersama-sama. Jika kita belum utuh bertiga,
maka lebih baik kita tidak menampakkan diri."
"Orang itu akan dapat merusak dinding dan barangkali
pintu gerbang," berkata Mahisa Pukat.
"Lebih baik dinding atau pintu gerbang y ang
dirusakkannya daripada kita," jawab Akuwu Lemah Warah.
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat m engangguk-angguk.
Mereka memang sependapat dengan Akuwu Lemah Warah,
bahwa orang itu memang memiliki ilmu sangat tinggi,
sehingga dengan demikian maka mereka tidak akan dapat
berbuat banyak jika mereka berdiri sendiri-sendiri.
"Nah," berkata Akuwu, "awasilah orang itu. Aku akan
menyelesaikan peny erahan tubuh Akuwu Sangling kepada
pasukannya. Jika orang itu bangkit dan mulai melangkah, beri
aku isy arat. Mungkin kent ongan kecil akan cepat sampai
kepadaku." "Baik Akuwu," jawab Mahisa Murti, "kami akan
mengawasiny a." " Ingat," pesan Akuwu pula, "tanpa aku, kalian lebih baik
tidak menampakkan diri. Kita harus berbuat bersama-sama
melawannya agar kita tidak mengalami cidera."
"Baik Akuwu," jawab Mahisa Murti dan Mahisa Pukat
hampir berbareng. Demikianlah, maka Akuwu pun kemudian meninggalkan
panggungan itu untuk m enemui para prajurit Sangling yang
akan mengambil tubuh Akuwu yang terbunuh di padepokan
itu. Nampaknya tidak ada yang mencurigakan pada sikap
para prajurit Sangling. Agaknya mereka benar-benar hanya
ingin mengambil tubuh Akuwu.
Karena itu, maka persoalannya pun tidak m enjadi sulit.
Akuwu telah m emerintahkan kepada para Senapatinya untuk
menyerahkan tubuh Akuwu Sangling. Bahkan kemudian
Akuwu memberikan kesempatan kepada para prajurit itu
untuk bermalam di padepokan itu jika dikehendakinya.
"Terima kasih Akuwu," berkata Senapati dari Sangling,
"kami mohon diri untuk segera kembali ke Sangling."
"Menurut pendapatmu, bagaimanakah sebaiknya
dengan para prajurit Sangling yang kini tertawan disini?"
bertanya Akuwu Sangling. "Mak sud Akuwu?" bertanya Senapati dari Sangling itu.
"Mereka m erupakan beban yang berat bagi padepokan
ini. Tetapi aku belum menemukan cara yang paling baik untuk
mengatasinya," berkata Akuwu.
"Apakah maksud Akuwu, biarlah hamba membawa
mereka?" bertanya Senapati itu.
"Maaf," jawab Akuwu, "aku masih belum dapat
meyakinkan diriku sendiri, apakah kalian dan para prajurit
yang tertawan itu benar-benar tidak akan m engganggu kami
disini." "Akuwu Sangling sudah tidak ada lagi," berkata Senapati
itu, "apakah yang dapat kami banggakan sekarang ini untuk
melawan Akuwu Lemah Warah serta kedua kemenakan
Akuwu itu?" "Orang yang berada di luar itu?" jawab Akuwu Sangling.
"Kami tidak mengenal orang itu Akuwu," jawab
Senapati itu. Akuwu Lemah Warah termangu-mangu. Namun ia tidak
dapat begitu saja mempercayainya. Karena itu m aka katanya,
"Bukan berarti aku diliputi oleh kecurigaan. Tetapi
kehadirannya yang tepat bersamaan dengan kedatangan kalian
memang pantas dicurigai."
Senapati itu menarik nafas dalam-dalam. Namun
kemudian katanya, "Segalanya terserah kepada Akuwu. Tetapi
sebenarnyalah bahwa kami tidak mengenali orang itu."
Akuwu termangu-mangu sejenak. Namun kemudian
katanya, "Baiklah untuk sementara kami akan m eny erahkan
tubuh Akuwu Sangling. Kemudian kami akan membuat
pertimbangan-pertimbangan baru tentang para prajurit
kalian." Senapati itu mengangguk-angguk. Katanya, "Kami dapat
mengerti Akuwu. Akuwu memang dapat membayangkan,
bahwa sekelompok kecil prajurit Sangling telah bersiap di
tengah-tengah hutan dengan senjata yang akan dapat
dibagikan kepada kawan-kawan mereka jika para tawanan itu
kami bawa kembali. Akuwu tentu membayangkan bahwa
bersama dengan orang itu, kami akan kembali mengepung
padepokan ini," orang itu berhenti sejenak, lalu, "tetapi jika
demikian Akuwu, orang itu justru tidak akan menampakkan
dirinya lebih dahulu seperti sekarang ini."
Akuwu Lemah Warah mengerutkan keningnya. Katanya,
"Panggraitamu cukup tajam. Tetapi aku harus berpikir lebih
dahulu." Senapati Sangling itu hanya dapat mengangguk-angguk,
ia memang tidak dapat memaksakan kehendaknya kepada
Akuwu Lemah Warah. Apalagi Senapati itu m emang pernah
mendengar sikap dan pendirian Akuwu Lemah Warah.
Karena itu, maka ia pun hanya akan menerima saja apa
yang akan diserahkan oleh Akuwu Lemah Warah kepadanya.
Ternyata Akuwu Lemah Warah hanya akan
menyerahkan tubuh Akuwu Sangling. Agaknya Akuwu Lemah
Warah masih merasa kurang mapan jika ia harus
menyerahkan para prajurit Sangling y ang tertawan yang
jumlahnya cukup banyak. Meskipun kehadiran para tawanan
itu terasa mengganggu, setidak -tidaknya Lemah Warah harus
menyediakan makan y ang cukup banyak untuk mereka.
Senapati Sangling itu tidak menolak. Dengan penuh
penghormatan tubuh Akuwu Sangling itu diterimanya.
Kemudian dibaringkannya didalam keretanya.
Senapati itu ternyata sebagaimana dikatakannya, akan
segera meninggalkan tempat itu. Tubuh Akuwu Sangling itu
harus segera diselenggarakan sebagaimana seharusnya.
" Jadi kalian akan segera meninggalkan tempat ini ?"
bertanya Akuwu Lemah Warah.
"Ampun Akuwu," berkata Senapati itu, "hamba tidak
dapat menunda lagi."
"Baiklah," berkata Akuwu, "lakukanlah y ang baik bagi
tubuh Akuwu Sangling itu," Akuwu Lemah Warah itu pun
berhenti sejenak. Lalu, "Senapati. Apa rencanamu kemudian
?" Senapati itu termangu -mangu. Namun kemudian
katanya, "Apa y ang baik menurut pertimbangan Akuwu"
Menurut pendapat hamba, maka hamba harus segera
menyampaikan laporan kepada Sri Baginda di Kediri."
Akuwu Lemah Warah itu mengangguk-angguk. Katanya,
"Nampaknya kau jujur. Hal itulah yang seharusnya aku
lakukan. Jangan ada yang kau sembunyikan. Jika kau datang
lebih dahulu dari aku, t olong, katakan dengan jujur apa yang
kau ketahui." "Memang tidak ada yang lebih baik daripada
mengatakan apa y ang sebenarnya telah terjadi. Dan hamba
memang akan melakukannya," berkata Senapati itu.
Akuwu Lemah Warah m engangguk-angguk. Sebenarnya
ia pun berpendapat, bahwa peri stiwa ini harus segera
dilaporkannya. Tetapi ia tidak akan dapat meninggalkan
padepokan itu segera. Apalagi dengan kehadiran orang yang
mengaku guru Akuwu Sangling itu.
Namun ia y akin bahwa di Kediri hal itu akan sampai
kepada Pangeran Singa Narpada pula. Akuwu Lemah Warah
berharap, bahwa Pangeran Singa Narpada akan berusaha
untuk melihat keadaannya tidak sekedar dari laporan Senapati
Sangling. Demikianlah, maka sejenak kemudian maka sekelompok
kecil prajurit itu pun telah minta diri. Mereka pun kemudian
mulai bergerak meninggalkan padepokan itu.
Sementara itu Mahisa Murti dan Mahisa Pukat masih
berada di panggungan disebelah pintu gerbang mengawasi
orang y ang mengaku guru Akuwu Sangling itu.
Ternyata orang itu masih tetap duduk di bawah sebatang
pohon yang rindang. Bahkan orang itu agaknya sedang
terkantuk-kantuk. Ketika pintu gerbang dibuka, maka perhatian Mahisa
Murti dan Mahisa Pukat memang tertuju kepintu gerbang itu.
Untuk beberapa saat mereka tidak memperhatikan orang yang
duduk dibawah pohon dan terkantuk-kantuk itu.
Dalam pada itu maka iring-iringan yang terdiri dari
prajurit Sangling y ang jumlahnya tidak begitu banyak itu pun
kemudian telah keluar dari pintu gerbang. Mereka m embawa
tubuh Akuwu Sangling y ang dibaringkannya di dalam kereta
yang ditarik dengan kuda.


02 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Demikian prajurit terakhir keluar dari regol, maka pintu
itu pun telah ditutup dan diselarak kembali.
Akuwu Lemah Warah setelah melepas pa sukan kecil dari
Sangling itu pun segera naik ke panggungan pula. Selain untuk
melihat iring-iringan itu meninggalkan pintu gerbang, m aka
Akuwu pun ingin melihat orang yang duduk bersandar pohon
agak jauh dari dinding padepokan.
Tetapi Akuwu itu terkejut ketika ia m elihat orang y ang
mengaku guru Akuwu Sangling itu menghentikan iring-iringan
itu. Dengan serta merta ia bertanya kepada Mahisa Murti
dan Mahisa Pukat, "Apa y ang dilakukannya?"
"Entahlah," jawab Mahisa Murti terbata-bata.
"Kami tidak melihat kapan orang itu berdiri dan
melangkah mendekati iring-iringan itu," berkata Mahisa
Pukat, "tiba-tiba saja ia sudah berada didepan iring-iringan
itu. "Mungkin pada saat perhatian kami t ertuju kepada
iring-iringan itu selagi masih berada di dalam pintu gerbang,"
berkata Mahisa Murti. "Memang mungkin," desis Mahisa Pukat.
Ketiganya pun kemudian diam. Perhatian mereka tertuju
sepenuhnya kepada orang y ang menghentikan iring-iringan
itu. Demikian pula para prajurit Lemah Warah dan penghuni
padepokan Surtantal yang berada diatas panggungan.
Mereka tidak mendengar dengan jelas apa y ang
dibicarakan oleh orang yang menghentikan iring-iringan itu.
Namun agaknya terjadi sedikit ketegangan di antara mereka.
Namun akhirnya mereka y ang berada diatas panggungan
didalam dinding padepokan itu mendengar, " Jika kalian
berkeberatan, maka aku akan membakar kalian semuanya
menjadi abu." Senapati yang memimpin prajurit Sangling itu
termangu-mangu. Namun dengan lantang pula ia m enjawab,
"Kami tidak akan takut seandainya kami semua harus menjadi
abu. Meskipun demikian, aku akan m emberimu kesempatan.
Tetapi jangan kau sentuh tubuh itu.
Orang yang mengaku guru Akuwu Sangling itu
termangu-mangu. Sejenak ia terdiam. Namun kemudian
katanya, "Aku minta ijin untuk merabanya, karena aku
gurunya. Aku tidak akan berbuat apa-apa."
Senapati yang memimpin pasukan Sangling itu m enjadi
ragu-ragu. Namun kemudian katanya, "jangan kau langgar
kata-katamu. Meskipun kau berilmu setinggi langit, tetapi
kami adalah abdi yang setia, yang dapat m engorbankan apa
sa ja meskipun Akuwu sudah meninggal."
Orang itu tidak menjawab. Tetapi didekatinya kereta
yang membawa tubuh Akuwu Sangling itu. Beberapa orang
prajurit telah siap dengan senjata mereka di tangan.
Orang itu kemudian meny ingkap kain yang menutup
tubuh Akuwu Sangling pada wajahnya. Dipandanginya wajah
yang pucat dan membeku itu. Tidak ada kata yang terucapkan.
Akuwu Lemah Warah, Mahisa Murti dan Mahisa Pukat
telah mempertajam penglihatan mereka. Meskipun mereka
tidak m elihat dengan jelas, namun mereka dapat m enangkap
ungkapan kepahitan perasaan orang itu. Bahkan ketiganya
melihat orang itu mengusap matanya.
Sebenarnyalah para prajurit Sangling y ang berdiri dekat
dengan orang itu melihat air yang mengembun di matanya.
Bahkan mereka yang berdiri di sebelah meny ebelah
mendengar orang itu berkata, "Kenapa kau berkisar dari
kebenaran." Tubuh y ang membeku itu t etap membeku. Orang itu
kemudian meletakkan telapak tangannya pada dahi tubuh
yang membeku itu sambil berkata, "Semoga ada juga y ang baik
yang pernah kau lakukan."
Orang itu pun kemudian melangkah surut. Sekali lagi ia
mengusap matanya. Katanya kepada Senapati, "Cukup.
Bawalah Akuwumu. Aku tidak pernah mengajarinya berbuat
Seribu Keping Emas Untuk 1 Goosebumps - Manusia Siluman Pusaka Jala Kawalerang 4

Cari Blog Ini