Ceritasilat Novel Online

Api Di Bukit Menoreh 10

04 Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintardja Bagian 10


Tetapi sebelum Sutawijaya mengucapkan pertanyaannya terdengar Ki Gede berkata, "Sutawijaya. Tidak sepantasnya lagi ayah selalu menuntun kau. Memberikan perintah dan petunjuk. Mulailah sekarang untuk menunjukkan bahwa kau adalah putera terkasih dari Sultan Hadiwijaya di Pajang yang mampu memimpin pemerintahan. Tentu mula-mula di daerah yang kecil. Namun suatu saat daerah yang kecil itu akan menjadi besar."
Sutawijaya memandang ayahandanya dengan tajamnya. Kemudian ditatapnya wajah Ki Juru Martani. Tetapi ia tidak mengerti apa yang tergores pada dinding hati orang tua itu.
"Sutawijaya," berkata ayahandanya pula, "di sini aku melihat Agung Sedayu dan Swandaru, murid-murid Kiai Grhigsing yang juga disebut Ki Tanu Metir. Mereka adalah orang-orang yang akan dapat membantumu. Di saat-saat Mataram menghadapi kesulitan dalam tingkat permulaan ini, mereka telah menunjukkan jasanya kepadamu. Karena itu, bawalah mereka untuk seterusnya."
Sutawijaya menjadi semakin berdebar-debar. Nampaknya keadaan Ki Gede menjadi semakin baik. Tetapi pesan-pesannya membuatnya sangat gelisah.
Agaknya Ki Gede melihat kegelisahan yang terpercik di tatapan mata anaknya. Karena itu maka katanya, "Baiklah. Aku tidak akan banyak memberikan pesan-pesan kepadamu sekarang. Mungkin besok atau jika aku sudah sembuh sama sekali. Tetapi sementara itu baiklah aku masih akan memberikan satu pesan. Selagi aku tidak dapat menjalankan kuwajibanku, kau tidak boleh berbuat sekehendakmu sendiri. Di Mataram ada uwakmu Ki Juru Martani. Ialah yang akan menggantikan aku dan akan memberikan banyak petunjuk dan nasehat kepadamu. Kau tidak boleh menolak. Dan kau harus menganggapnya seperti kau berhadapan dengan aku sendiri, sampai saatnya aku sembuh kembali dan dapat menjalankan tugasku sebagai seorang tetua Tanah Mataram dan sebagai orang tuamu."
Sutawijaya menundukkan kepalanya. Dan Ki Gede masih melanjutkan, "Selain Ki Juru Martani, maka kau dapat minta bantuan, dan perlindungan kepada orang-orang tua yang selama ini selalu membantumu. Kiai Gringsing, Ki Sumangkar, Ki Waskita, dan Ki Demang Sangkal Putung. Bagimu Sangkal Putung adalah penting sekali. Kademangan itu terletak di sebelah Timur Prambanan, di sebelah Selatan Jati Anom. Pada suatu saat kau akan memerlukan bantuan dari daerah itu."
Sutawijaya menganggukkan kepalanya. Jawabnya, "Baiklah, Ayahanda."
"Kecuali semuanya itu, sampai saat ini kau masih putera angkat yang sangat dikasihi dari Kanjeng Sultan Hadiwijaya. Karena itu, kau mempunyai kuwajiban ganda untuk mentaati perintahnya, Kanjeng Sultan Hadiwijaya bagimu adalah orang tua, raja dan justru sekaligus gurumu. Bukankah kau pernah mendapat tuntunan ilmu kanuragan daripadanya" Bahkan Sultan Hadiwijaya pernah membuka jalur ilmu yang sangat mengagumkan. Ilmu yang tidak dimiliki oleh orang lain. Semula, semasa mudanya, Mas Karebet mengenal ilmu itu pada Sultan Trenggana. Dengan sedikit petunjuk, Mas Karebet berhasil menguasai ilmu itu, meskipun menjadi agak lain sifatnya, karena terbentuk oleh kemampuan Mas Karebet sendiri. Ilmu itu semula disebut Tameng Waja. Dan bukankah Sultan Hadiwijaya menamakannya juga Tameng Waja" Dan bukankah kau sudah mendapat petunjuk tentang ilmu itu. Jauh lebih banyak dari yang didapat oleh Mas Karebet waktu itu dari Sultan Trenggana. Nah, cobalah kembangkan ilmu itu di dalam dirimu. Dan kau adalah sebenarnya murid yang baik dari Mas Karebet. Selain aji Tameng Waja, kau juga dapat mempelajari ilmu-ilmu yang lain yang pernah terbuka bagimu. Terserahlah kepadamu. Jika Mas Karebet yang mendapat kesempatan itu, ia berhasil menguasainya dengan baik. Lembu Sekilan, Sapu Angin adbmcadangan.wordpress.com dan yang lain. Dan bagaimana dengan kau?" Ki Gede Pemanahan berhenti sejenak, lalu, "Semuanya itu dapat kau padu dengan ilmu yang kau pelajari daripadaku. Jika ilmu itu nanti dapat berkembang dan sempurna bersama-sama, maka kau akan menjadi gambaran dari Mas Karebet. Dan itu tidak cukup. Murid yang baik, adalah mereka yang dapat melampaui gurunya yang mana pun juga."
Sutawijaya hanya menundukkan kepalanya saja. Ia memang tidak dapat ingkar, bahwa ayahandanya Sultan Pajang telah banyak memberikan ilmu kepadanya, meskipun hanya sekedar jalan yang masih harus dikembangkannya sendiri.
"Jika Ayahanda Sultan mampu melakukannya, kenapa aku tidak?" gumam Raden Sutawijaya di dalam dadanya.
Namun sementara itu, Agung Sedayu dan Swandaru yang berada di dalam bilik itu pun menjadi kagum. Raden Sutawijaya yang masih muda itu ternyata telah memiliki dasar-dasar ilmu yang lengkap untuk membekali dirinya. Meskipun ilmu itu belum matang, tetapi pada saatnya, maka Raden Sutawijaya akan menjadi seorang yang tidak ada duanya.
Dalam pada itu, Ki Gede Pemanahan pun berkata, "Nah, Sutawijaya, hadapilah masa depanmu dengan penuh gairah. Kau tentu akan berhasil."
"Restu Ayahanda bagi masa depanku," jawab Raden Sutawijaya.
Ki Gede Pemanahan, tersenyum. Lalu, "Kau harus selalu mendengarkan nasehat Ki Juru Martani. Sebagai pemimpin di Tanah Mataram yang sedang berkembang ini, atau di dalam usahamu mencari bentuk ilmu kanuragan."
Sutawijaya merasa aneh dengan segala pesan ayahandanya. Seolah-olah ayahandanya tidak akan dapat melakukannya sendiri.
Sekilas Raden Sutawijaya mencoba mengamati keadaan ayahandanya. Nafasnya justru menjadi semakin baik. Dan sekali-sekali ayahandanya masih tersenyun cerah. Namun demikian bentuk lahiriah itu rasa-rasanya mempunyai kesan yang berlawanan dengan pesan-pesan yang telah diterimanya.
Agaknya Ki Gede Pemananan melihat kebimbangan di hati anaknya. Maka katanya kemudian, "Kau jangan ragu-ragu, Sutawijaya. Atau barangkali cemas dan terlebih-lebih lagi bingung. Kau adalah seorang laki-laki. Jika kau melihat sesuatu, kau tidak usah mencoba mengingkarinya. Lihatlah dengan saksama. Meskipun penglihatan seseorang dapat keliru, tetapi seorang laki-laki tidak perlu takut menghadapi segala macam kenyataan. Yang pahit maupun yang manis. Tetapi itu bukan berarti bahwa kita tidak berusaha berbuat apa pun juga."
Terasa dada Sutawijaya berdesir. Namun ayahandanya pun kemudian berkata seterusnya, "Nah, sekarang kau dapat meninggalkan bilik ini. Biarlah pamanmu Ki Juru Martani saja yang menunggui aku. Sebentar lagi Kiai Gringsing tentu akan datang pula membawa obat bagiku."
Sutawijaya ragu-ragu sejenak. Namun dengan isyarat Ki Juru Martani maka ia pun kemudian minta diri bersama Agung Sedayu dan Swandaru.
"Jangan pergi ke mana pun," berkata Ki Gede Pemanahan, "mungkin aku memerlukan kau setiap saat."
"Aku akan selalu berada di halaman, Ayahanda."
"Baiklah. Ajaklah tamu-tamumu melihat-lihat kebun buah-buahanmu di halaman belakang."
"Ya, Ayahanda."
Ki Gede memandang anaknya sejenak. Tatapan matanya yang tiba-tiba menjadi buram membayangkan hatinya yang buram pula memikirkan anak laki-laki satu-satunya itu.
Ketiga anak-anak muda itu pun kemudian pergi ke luar bilik Ki Gede Pemanahan. Seperti yang dipesankan Ki Gede, mereka pun kemudian pergi ke kebun buah-buahan di halaman belakang. Tetapi mereka tidak meninggalkan halaman. Bagaimana pun juga, rasa-rasanya anak-anak muda itu pun menangkap isyarat yang mendebarkan jantung mengenai Ki Gede Pemanahan yang sedang sakit itu.
Sejenak kemudian maka Kiai Gringsing pun masuk pula ke dalam bilik dengan membawa obat-obat. Ki Gede Pemanahan tidak menolak obat itu dan diminumnya sampai habis.
Ternyata bahwa obat itu membuat tubuhnya menjadi lebih segar. Tetapi kesegaran tubuh Ki Gede itu sama sekali tidak dapat menahan perjalanan Ki Gede Pemanahan yang memang sudah hampir sampai ke batas.
Karena itulah, maka Ki Juru Martani sama sekali tidak meninggalkannya. Jika terpaksa ia pergi sejenak ke pakiwan, maka dimintanya orang lain menggantinya barang sejenak. Sedangkan Kiai Gringsing masih tetap berusaha dengan pengetahuan yang ada padanya untuk memperingan sakit Ki Gede Pemanahan. Justru menurut pengamatan Kiai Gringsing sekedar memperingan beban jasmaniahnya di saat terakhir.
Tetapi orang-orang tua yang melihat perkembangan keadaan Ki Gede Pemanahan serasa sudah dapat melihat apa yang bakal terjadi. Namun demikian, tidak seorang pun di antara mereka yang berani mendahului garis ketentuan Yang Maha Kuasa.
Kiai Gringsing, seorang dukun yang memiliki kemampuan yang kadang-kadang di luar nalar dalam usahanya menyembuhkan penderitaan dan sakit sesamanya, harus mengakui kenyataan, betapa kecilnya arti manusia. Betapa dangkalnya pengetahuan yang ada padanya untuk menjajagi ketentuan dari Maha Kuasanya.
Karena itu, tidak ada yang dapat dilakukan selain berusaha. Usaha yang nampaknya tidak akan berarti. Tetapi tanpa memutuskan kesempatan yang diberikan oleh-Nya.
Ketika matahari menjadi semakin rendah di Barat, nafas Ki Gede Pemanahan mulai terganggu lagi. Tetapi hanya sebentar, karena Ki Gede sendiri berusaha untuk mengatasinya.
Namun demikian tubuhnya sudah menjadi semakin lemah. Wajahnya menjadi semakin pucat, meskipun masih nampak di bibirnya senyum yang jernih.
Ki Juru Martani menjadi semakin tekun menungguinya. Ia sama sekali sudah tidak meninggalkan Ki Gede dalam keadaannya. Bahkan kemudian Kiai Gringsing pun selalu berada di dalam bilik itu pula.
Di pendapa Ki Sumangkar, Ki Waskita, Ki Demang Sangkal Putung, dan beberapa orang tua di Mataram, para pemimpin serta Raden Sutawijaya beserta Agung Sedayu dan Swandaru duduk melingkar. Wajah-wajah mereka menjadi tegang. Rasa-rasanya mereka sedang menunggu sesuatu yang sangat mendebarkan.
Sejenak kemudian Ki Gede masih memanggil beberapa orang pemimpin Tanah Mataram yang baru dibuka itu. Diberikannya beberapa pesan tentang tugas-tugas mereka. Dengan demikian maka para pemimpin itu pun seolah-olah telah mendapat isyarat, bahwa sebenarnyalah Ki Gede Pemanahan tidak dapat ditahan-tahan lagi.
Malam yang kemudian turun menyelimuti Tanah Mataram, rasa-rasanya membuat setiap hati menjadi suram pula. Lampu minyak yang dinyalakan di pendapa dan di sudut-sudut rumah dan regol nampak berkeredipan ngelangut.
Mereka yang duduk di pendapa hampir tidak beringsut sama sekali dari tempatnya. Jika ada yang harus pergi, maka dengan tergesa-gesa ia kembali lagi ke tempatnya.
Semakin dalam malam menukik ke pusatnya, maka nampaknya Ki Gede Pemanahan menjadi semakin lemah. Sekali-sekali nampak wajahnya menjadi tegang. Namun hanya sejenak. Ketika terpandang olehnya Ki Juru Martani dan Kiai Gringsing, maka agaknya dadanya menjadi lapang.
Sebagai orang yang memiliki tangkapan pengalaman atas perasaan seseorang, maka Ki Juru Martani dan Kiai Gringsing pun mengerti, bahwa kadang-kadang masih juga terasa sesuatu menyentuh perjalanan Ki Gede Pemanahan. Agaknya Mataram yang baru dibuka ini, masih juga merupakan hambatan betapa pun kecilnya. Tetapi jika kemudian disadarinya, bahwa ia dapat mempercayakannya kepada Ki Juru Martani dan Kiai Gringsing, maka jalannya pun menjadi lapang kembali.
Menjelang tengah malam, maka Ki Gede Pemanahan pun berkata, "Kakang Juru. Apakah Sutawijaya belum tidur?"
"Belum, Adi. Ia berada di pendapa bersama Agung Sedayu dan Swandaru."
"Hanya bertiga?"
"Tidak. Di pendapa ada banyak orang berjaga-jaga."
Ki Gede tersenyum. Katanya lemah, "Apakah mereka menunggui aku?"
Ki Juru ragu-ragu sejenak. Namun kemudian, "Begitulah."
"Agaknya mereka pun sudah melihat, bahwa aku tidak akan bertahan lebih lama lagi."
Kiai Gringsing menarik nafas dalam-dalam. Namun Ki Gede berkata, "Jangan tersinggung Ki Pamungkas. Bukan karena Kiai Gringsing tidak mampu mengobati orang sakit. Tetapi sakitkulah yang sudah menjadi parah."
Kiai Gringsing memandang Ki Gede dengan seksama. Kemudian perlahan-lahan ia menjawab, "Tidak seorang pun yang dapat melawan keharusan Yang Maha Kuasa, Ki Gede. Semua yang harus terjadi akan terjadi."
Ki Gede tersenyum, katanya kemudian, "Kakang, apakah Kakang dapat memerintahkan memanggil Danang?"
"O, baiklah, Adi," sahut Ki Juru. Namun dengan demikian hatinya menjadi cemas. Agaknya waktu yang terakhir bagi Ki Gede itu memang sudah hampir datang.
Sejenak kemudian, Sutawijaya sudah ada di dalam bilik itu. Dengan wajah yang tegang dipandanginya ayahandanya yang pucat.
"Sutawijaya," desis Ki Gede.
"Ya, Ayahanda," sahut Sutawijaya.
"Malam ini rasa-rasanya terlampau panjang bagiku, sehingga aku tidak dapat mengharap melihat matahari terbit esok pagi."
"Ayah," Sutawijaya bergeser mendekat.
"Kau seorang anak muda yang perkasa. Yang menjadi pusat dari segala gerak dan putaran di atas Tanah Mataram ini. Sadari itu."
Sutawijaya mengerutkan keningnya.
"Kau harus bersikap seperti yang seharusnya bagi seorang pemimpin. Kau bukan kanak-kanak lagi yang hanya dapat merengek sambil kehilangan akal."
Sutawijaya masih terdiam.
"Bersikaplah sebagai seorang kesatria. Juga jika pada saatnya kau hadapi aku dalam keadaan yang lain."
Terasa sesuatu menyumbat di kerongkongan. Tetapi setiap kali terngiang kata-kata ayahandanya, "Kau bukan anak-anak lagi yang hanya dapat merengek sambil kehilangan akal."
Karena itu Sutawijaya berusaha untuk menahan hatinya.
"Itulah pesanku terakhir kepadamu, Sutawijaya. Pesanku yang lain sudah cukup banyak. Sekarang panggillah orang-orang tua itu kemari. Lebih dahulu tamu-tamu kita yang perkasa."
Sutawijaya hampir tidak dapat beringsut dari tempatnya. Namun tatapan mata ayahandanya yang sayu seolah-olah menusuk jantungnya dengan tajam dan selalu melihat apakah pesan-pesannya diperhatikan.
"Aku seorang laki-laki," geram Sutawijaya di dalam hati.
Sejenak kemudian maka Ki Sumangkar, Ki Waskita, Ki Demang Sangkal Putung telah berada di dalam bilik itu bersama Ki Juru dan Kiai Gringsing. Dengan dada yang berdebar-debar mereka melihat nafas Ki Gede yang sudah menjadi semakin lambat.
"Aku mohon diri," desisnya
"Ki Gede," Kiai Gringsing meraba tangannya.
Ki Gede Pemanahan masih tersenyum. Lalu, "Aku titipkan Mataram kepada kalian. Ki Juru yang bijaksana, Kiai Gringsing yang selalu berahasia, dan yang lain-lain."
Ki Juru Martani bergeser semakin dekat. Terasa tubuh Ki Gede Pemanahan bergetar sejenak. Namun kemudian tubuh itu berangsur-angsur menjadi sejuk dan dingin.
"Biarlah para pemimpin Tanah Mataram melihat aku di saat terakhir," suara Ki Gede menjadi semakin lemah.
Beberapa orang tua-tua dan pemimpin-pemimpin Tanah Mataram yang baru dibuka itu pun kemudian berdesakan di dalam bilik itu pula. Mereka masih sempat melihat wajah yang sayu dau pucat, namun masih selalu tersenyum itu.
"Tanah Mataram, ada di tangan kalian," desis Ki Gede Pemanahan.
Orang-orang itu pun kemudian menunduk. Sesaat mereka masih melihat Ki Gede memandang mereka. Namun mata itu pun kemudian perlahan-lahan terpejam.
Ki Juru Martani dan Kiai Gringsing mendekat semakin rapat. Bahkan Ki Juru masih mendengar Ki Gede berdesis dan mengucapkan beberapa kata pamitan.
Sesaat kemudian semua orang yang ada di dalam bilik itu melihat Ki Gede Pemanahan seolah-olah memperbaiki letak tubuhnya. Menyilangkan tangannya di dada dan memejamkan matanya rapat-rapat. Seakan-akan sesuatu telah bergerak merambat dari ujung kakinya perlahan-lahan naik ke lututnya dan bahkan seperti nampak di bawah pakaiannya sesuatu itu merayap terus. Akhirnya, seakan-akan setiap orang melihat sesuatu yang merayap itu sampai ke ujung ubun-ubun Ki Gede Pemanahan.
Yang nampak kemudian adalah sebuah senyuman kecil di bibir yang pucat itu. Namun senyum itu tidak berubah lagi untuk selama-lamanya.
Ki Gede Pemanahan telah meninggalkan Tanah Mataram yang baru dibukanya. Meninggalkan anak laki-lakinya yang berlutut di sampingnya. Dan meninggalkan semuanya yang pernah dikenalnya di muka bumi ini.
Ki Juru Martani menarik nafas dalam-dalam. Ketika ia berpaling kepada Sutawijaya, dilihatnya mata anak muda itu menjadi basah. Tetapi Sutawijaya tidak menangis. Ia memenuhi pesan ayahnya. Ia adalah seorang kesatria. Ia bukan lagi anak-anak yang hanya dapat merengek dan kehilangan akal.
Sesaat bilik itu dicengkam oleh ketegangan. Tidak seorang pun yang bergerak. Mereka menatap tubuh Ki Gede Pemanahan yang terbujur diam di atas pembaringannya.
Namun kemudian terdengar suara Ki Juru Martani menyobek sepi, "Angger Sutawijaya. Ayahmu telah menghadap Tuhannya kembali."
Sutawijaya mengangguk lemah. Sekilas ia memandang wajah ayahandanya yang pucat. Tetapi Sutawijaya memang tidak menangis.
"Ki Sanak semuanya," berkata Ki Juru Martani, "baiklah kalian meninggalkan bilik ini. Siapkan segala sesuatunya untuk menyelenggarakan tubuh yang ditinggalkan oleh Ki Gede Pemanahan yang telah menghadap kembali kepada Penciptanya."
Demikianlah maka orang-orang yang ada di dalam bilik itu bagaikan terbangun dari mimpi. Mereka baru menyadari sepenuhnya apa yang telah mereka saksikan. Ki Gede Pemanahan telah mendahului mereka kembali ke asalnya.
Sejenak kemudian maka di rumah itu pun segera menjadi sibuk. Setiap orang berdesis tentang Ki Gede Pemanahan yang telah meninggal.
"Seperti sedang tidur saja," desis seseorang yang sempat melihat Ki Gede Pemanahan di saat terakhir.
"Ki Gede memang seorang yang besar," sahut yang lain, "yang seakan-akan telah mengatur segalanya menjelang saat terakhirnya."
Dan setiap orang pun berbicara di antara mereka dengan cara masing-masing.
Malam itu juga tubuh Ki Gede Pemanahan itu pun dibersihkan. Kemudian diperlakukan seperti seharusnya menurut adat dan kepercayaannya.
Sutawijaya benar-benar berusaha untuk tetap memenuhi pesan ayahandanya. Ia sama sekali tidak kehilangan akal dan kemudian justru menjadi beban beberapa orang tua-tua. Tetapi Sutawijaya sadar sepenuhnya, bahwa semuanya harus diselenggarakan sebaik-baiknya.
Dalam saat itulah nampak, bahwa Sutawijaya memang seorang pemimpin. Pada saat ayahandanya yang sangat dicintainya meninggal, bahkan sepercik penyesalan dan kecewa atas dirinya sendiri telah melonjak di dalam hatinya, namun ia masih tetap melakukan semua tugas yang dapat dikerjakannya. Bahkan ia seakan-akan telah memimpin semua pekerjaan untuk menyelenggarakan jenazah ayahandanya, meskipun ia tidak meninggalkan orang-orang tua yang mengerti segala macam tata cara dan adat kepercayaan.
Berita tentang meninggalnya Ki Gede Pemanahan itu pun segera menjalar ke seluruh Tanah Mataram, sehingga Tanah Mataram itu pun telah diliputi oleh suasana berkabung.
Dalam pada itu, Ki Juru Martani yang menjadi pusat dari penyelenggaraan jenazah Ki Gede itu pun memanggil beberapa orang tua-tua dan para pemimpin Tanah Mataram beserta Raden Sutawijaya. Dengan hati-hati ia berkata, "Apakah sebaiknya menurut pertimbangan kalian, kita akan memberitahukan kepada Kanjeng Sultan di Pajang?"
"Adalah sebaiknya demikian," sahut Ki Lurah Branjangan, "disaat terakhir, Ki Gede masih tetap merasa dirinya dekat dengan Kanjeng Sultan. Meskipun seandainya Kanjeng Sultan di Pajang tidak dapat menengok jenazah Gede karena sesuatu hal."
Yang lain pun mengangguk-anggukkan kepalanya. Tidak seorang pun di antara mereka yang menolak.
Namun ketika tatapan mata Ki Juru Martani menyentuh wajah Sutawijaya nampaklah bahwa ada sesuatu yang bergejolak di dalam hatinya. Meskipun demikian, Sutawijaya sama sekali tidak mengatakan apa pun juga.
Ki Juru Martani yang melihat sekilas wajah itu, segera dapat mengetahui bahwa ada sesuatu yang tidak berkenan di hati anak muda itu. Tetapi karena Sutawijaya tidak mengatakan apa pun juga, maka Ki Juru pun tidak menanggapinya.
Bahkan Ki Juru Martani pun kemudian bertanya, "Siapakah di antara kita yang paling pantas menghadap Kanjeng Sultan di Pajang?"
Beberapa orang tanpa menyadarinya berpaling kepada Kiai Gringsing. Namun sebelum salah seorang dari mereka menyebut namanya, Ki Juru yang tahu pasti bahwa Kiai Gringsing tidak akan bersedia memenuhinya berkata, "Sebaiknya salah seorang pemimpin Tanah Mataram yang sedang berkembang."
Wajah-wajah yang memandang Kiai Gringsing pun segera berpaling. Mereka kini memandang Ki Lurah Branjangan. Namun Ki Lurah telah mendahului, "Aku adalah seorang pelarian dari Pajang. Mungkin bukan akulah orang yang paling tepat untuk menghadap Kanjeng Sultan Hadiwijaya."
Ki Juru pun dapat mengerti alasan Ki Lurah Branjangan, sehingga karena itu, maka akhirnya ia pun menunjuk seorang setengah baya yang datang ke Mataram bukan sebagai seorang pelarian dari Pajang. Tetapi ia benar-benar seorang yang datang untuk ikut serta membuka Alas Mentaok.
"Aku belum pernah menghadap Sultan di Pajang," berkata orang itu, "unggah-ungguh dan adat tata cara aku sama sekali tidak mengenal. Karena itu mungkin kedatanganku justru akan membuat Kanjeng Sultan menjadi murka."
Ki Juru Martani mengangguk-angguk. Akhirnya tidak ada pilihan lain kecuali Ki Juru Martani sendirilah yang akan pergi ke Pajang.
"Baiklah jika demikian. Aku sendirilah yang akan pergi ke Pajang. Aku serahkan jenazah Ki Gede Mataram di dalam penjagaan kalian. Tunggulah sampai aku kembali. Aku akan berpacu tanpa berhenti ke Pajang dan demikian aku menghadap Sultan aku akan segera kembali."
"Apakah, jenazah ini harus bermalam semalam di rumah ini, Ki Juru?" bertanya Ki Lurah Branjangan.
"Ya. Jenazah ini akan bermalam satu malam. Besok pagi-pagi jenazah ini akan dikebumikan."
"Jadi Pamanda akan pergi sendiri?" bertanya Sutawijaya lalu. "Apakah Pamanda memerlukan pengawal?"
Ki Juru memandang Sutawijaya sejenak.Tetapi ia menggelengkan kepalanya, "Aku tidak memerlukan pengawal, Angger. Yang aku perlukan adalah seekor kuda yang tegar. Suruhlah seseorang menyiapkan kuda. Aku tidak akan menunggu sampai pagi. Aku akan segera berangkat. Mudah-mudahan malam nanti aku sudah berada di sini kembali."
"Pamanda," berkata Sutawijaya, "sebaiknya Pamanda membawa pengawal secukupnya. Pamanda harus ingat, apa yang telah terjadi atas ayahanda. Meskipun, ayahanda meninggal bukan semata-mata karena lukanya ketika ia dicegat oleh orang-orang yang tidak dikenal itu, namun kemungkinan serupa akan dapat terjadi atas Pamanda. Setelah Pamanda adbmcadangan.wordpress.com menghadap Ayahanda Sultan Pajang. Kemudian di perjalanan kembali peristiwa itu dapat terulang. Orang-orang yang tidak senang melihat Mataram berkembang menganggap bahwa Pamanda telah menggantikan kedudukan ayahanda di sini dan mereka pun akan menyergap Pamanda seperti yang pernah mereka lakukan atas ayahanda."
Ki Juru Martani memandang Sutawijaya sejenak. Namun kemudian ia tersenyum. Katanya, "Semua orang mengetahui bahwa aku tidak akan dapat menggantikan kedudukan Adi Pemanahan. Aku hanya orang yang kebetulan dekat dengan ayahandamu. Tetapi bukan semestinya aku menggantikan kedudukannya di dalam lingkungan apa pun."
"Tetapi orang-orang itu tidak akan mau mengerti Pamanda," jawab Sutawijaya. "Karena itu, apakah salahnya jika Pamanda menjadi berhati-hati setelah terjadi kecurangan atas ayahanda. Para pemimpin di Pajang sudah tidak lagi mengenal sopan santun dan sifat-sifat jantan seorang kesatria."
Ki Juru mengerutkan keningnya. Namun sebelum ia menjawab Kiai Gringsing berkata, "Ki Juru. Ada juga kebenarannya pendapat Raden Sutawijaya. Tetapi tentu juga tidak sepantasnya jika Ki Juru membawa pengawal yang lengkap memasuki kota Pajang dalam keadaan serupa ini."
"Pengawal-pengawal itu dapat menunggu di luar kota," potong Sutawijaya.
"Memang akan dapat timbul salah paham dengan pengawal kota."
"Lalu?" "Menurut pendapatku, sebaiknya Ki Juru Martani menghadap Kanjeng Sultan Pajang dengan seorang kawan yang bukan berasal dari Pajang. Orang itu adalah Ki Waskita. Jika terjadi sesuatu, maka Ki Waskita akan dapat membantu Ki Juru Martani di dalam beberapa hal."
Ki Juru menarik nafas dalam-dalam. Kepalanya terangguk-angguk kecil. Kemudian katanya, "Biaklah, Kiai. Aku tidak berkeberatan jika Ki Waskita bersedia."
"Aku mohon," desis Raden Sutawijaya.
Ki Waskita menarik nafas dalam-dalam. Namun kemudian katanya, "Baiklah. Aku akan pergi menemani Ki Juru Martani. Tetapi di dalam perjalanan itu, aku adalah seorang pengawal Tanah Mataram. Tidak lebih. Sehingga aku tidak akan berbuat lain kecuali mengawal Ki Juru Martani."
Raden Sutawijaya menarik nafas dalam-dalam. Ia sudah mengenal Ki Waskita dengan baik, sehingga karena itu, maka ia tidak akan selalu dikejar oleh kecemasan akan kepergian Ki Juru Martani.
Sebenarnya Raden Sutawijaya lebih senang apabila selain Ki Waskita berangkat juga Ki Sumangkar atau Kiai Gringsing. Tetapi Raden Sutawijaya itu pun kemudian menyadari bahwa keduanya pun agaknya akan berkeberatan.
Dengan demikian, maka Ki Juru Martani pun kemudian memerintahkan menyiapkan dua ekor kuda. Kemudian katanya, "Maaf, Ki Waskita. Ki Waskita adalah tamu yang seharusnya mendapat penghormatan dan hidangan. Namun di sini Ki Waskita harus ikut disibukkan dengan tugas ini."
"Ah. Tidak apa-apa, Ki Juru. Kiai Gringsing berada di Tanah Perdikan Menoreh sebagai tamu. Tetapi setiap kali ia turut pula di dalam keadaan yang sulit."
Demikianlah maka kedua orang itu pun minta diri kepada para tetua dan pemimpin Tanah Mataram. Mereka menitipkan jenazah Ki Gede agar dijaga baik-baik. Kepada Raden Sutawijaya Ki Juru memberikan banyak pesan. Sebagai seorang pemimpin yang masih muda ia harus banyak belajar dan mendengar dari orang-orang tua. Terutama Kiai Gringsing dan kawan-kawannya.
Sebelum matahari naik, kedua orang itu sudah berpacu meninggalkan Mataram menuju ke Pajang. Mereka tidak menghiraukan apa pun juga di perjalanan itu selain secepat-cepatnya sampai ke Pajang menghadap Kanjeng Sultan Hadiwijaya menyampaikan berita kematian Ki Gede Pemanahan. Seorang yang pernah menjadi Panglima Prajurit Wira Tamtama di Pajang dan yang pernah mendapat kepercayaan Kanjeng Sultan sepenuhnya.
Lebih dari itu, Ki Gede Pemanahan adalah ayah Raden Sutawijaya, putera angkat Kanjeng Sultan yang sangat dikasihinya.
Angin pagi yang dingin mengusap wajah kedua orang tua yang sedang berpacu itu. Langit yang menjadi semakin merah membayang di atas cakrawala. Dan kedua ekor kuda itu berderap semakin cepat.
Ki Waskita sempat juga memandangi tanah persawahan yang subur di sepanjang perjalanan. Tanah yang kini sudah menjadi tanah garapan.
"Beberapa saat yang lewat, tanah ini adalah bagian dari hutan yang lebat. Tetapi kini tanah ini sudah menjadi tanah persawahan yang hijau subur," desis Ki Waskita. "Benar-benar suatu kerja raksasa yang sebelumnya sulit dibayangkan."
"Hampir setiap orang semula meragukan hasil yang akan dapat dicapai oleh Adi Pemanahan serta puteranya yang keras hati itu. Apalagi dengan berbagai macam rintangan yang dialami oleh mereka. Namun akhirnya Mataram telah terwujud, dan semakin lama menjadi semakin ramai," sahut Ki Juru Martani. "Tetapi agaknya iri hati justru menjadi semakin membakar hati orang-orang yang tamak di Pajang"
Ki Waskita mengangguk-angguk. Ketika ia memandang ke depan, di hadapannya terhampar sebuah bulak yang sangat panjang, yang seakan-akan tidak berbatas sampai ke ujung cakrawala.
Dalam pada itu kedua ekor kuda itu berpacu semakin cepat. Jalan-jalan nampaknya sudah menjadi semakin baik, dan keamanan pun menjadi semakin maju.
Menjelang matahari terbit, beberapa orang sudah nampak berjalan menuju ke pusat pemerintahan Tanah Mataram dengan membawa berbagai macam barang dagangan. Barang-barang anyaman, hasil kebun, dan gula kelapa. Bahkan nampak beberapa buah pedati kayu berjalan terguncang-guncang di atas jalan yang panjang.
Padukuham demi padukuhan telah mereka lalui. Namun akhirnya mereka melihat seleret pepohonan bagaikan pebukitan yang terbaring melintang perjalanan mereka.
"Alas Tambak Baya," desis Ki Juru.
"Alas yang masih belum terbuka," sahut Ki Waskita.
"Alas itu cukup lebat, meskipun tidak selebat Alas Mentaok. Tetapi sekarang, jalur jalan yang membelah hutan itu telah cukup baik dilalui. Kelompok-kelompok pedagang tidak lagi ketakutan melintasi hutan itu meskipun kadang-kadang masih ada penjahat yang berani menyamun. Namun pada umumnya perjalanan di hutan itu sudah aman."
Ki Waskita mengangguk-angguk. Katanya kemudian, "Justru di tempat yang sudah ramai Ki Gede Pemanahan menemui kesulitan di perjalanannya kembali ke Mataram."
"Ya. Di Prambanan, di pinggir Kali Opak."
"Bukankah daerah itu sudah ramai sejak lama?"
"Tetapi kesulitan itu adalah suatu keadaan yang khusus. Yang sengaja dipasang untuk mencegat perjalanan Adi Pemanahan. Bukan merupakan keadaan yang umum dialami oleh pejalan yang lewat."
Ki Waskita mengangguk-angguk pula. Wajahnya yang dibayangi oleh cahaya pagi yang kemerah-merahan nampak bersungguh-sungguh.
Ki Juru tidak berbicara lebih banyak lagi. Kuda-kuda mereka pun kemudian menyusup Hutan Tambak Baya yang masih nampak buram.
Demikianlah keduanya berpacu terus. Hampir tidak ada sesuatu yang mereka alami di perjalanan. Mereka melintasi daerah Prambanan tanpa persoalan. Ketika mereka lewat di daerah Telaga, daerah-daerah hutan kecil yang menjadi daerah perburuan, kemudian memasuki Sangkal Putung dan selanjutnya terasa bahwa perjalanan mereka benar-benar tidak lagi dibayangi oleh ketakutan dan kecemasan.
Di daerah Sangkal Putung Ki Waskita sempat melihat kesibukan orang-orangnya. Di pagi-pagi benar agaknya orang sudah mulai sibuk bekerja dengan rajinnya.
Beberapa orang sudah nampak berada di sawah masing-masing. Sedang beberapa buah pedati berjalan lambat membawa hasil sawah untuk diperdagangkan.
Ki Juru Martani pun agaknya tertarik pada dataran yang hijau, seakan-akan terbentang sampai ke kaki Gunung Merapi.
"Mataram akan dapat menjadi sesubur ini," desis Ki Juru Martani. "Apabila orang-orang yang membuka hutan itu tetap rajin seperti sekarang, maka dapat diharapkan dalam waktu yang singkat, Mataram akan menjadi negeri yang ramai. Meskipun bukan semata-mata karena tanahnya yang subur serta luas, tetapi juga karena yang memimpin Tanah yang baru tumbuh itu adalah Ki Gede Pemanahan dan Raden Sutawijaya."
"Ki Gede Pemanahan mempunyai pengaruh yang luas sekali," gumam Ki Waskita.
"Ya. Seluruh daerah Pajang mengakuinya. Ia adalah seorang perwira yang pilih tanding."
Ki Waskita mengangguk. "Tetapi bukan karena kemampuan dan ilmunya saja Ki Gede Pemanahan disegani, tetapi lebih-lebih lagi karena ia seorang yang baik. Baik dalam melakukan tugasnya, dan baik sebagai seseorang yang hidup di dalam suatu lingkungan yang luas."
"Pajang tentu merasa kehilangan," desis Ki Waskita.
"Sebagian besar akan merasa kehilangan. Tetapi yang lain merasa lapang. Mereka sudah lama menginginkan Ki Gede dilenyapkan. Ternyata dengan peristiwa yang terjadi di pinggir Kali Opak itu. Jika Untara dan kemudian Raden Sutawijaya tidak datang tepat pada waktunya, maka Ki Gede tentu sudah gugur di perkelahian melawan penjahat-penjahat yang memiliki kemampuan yang tinggi itu."
"Siapakah kira-kira yang telah mengupah mereka?" bertanya Ki Waskita.
"Tentu tidak mudah untuk segera mengetahui. Orang-orang yang tertangkap di antara mereka benar-benar tidak mengerti. Yang mereka ketahui semata-mata adalah pemimpin-pemimpin mereka itu saja."
Ki Waskita mengerutkan keningnya.
Dan tiba-tiba Ki Juru Martani bertanya, "Apakah dalam persoalan yang demikian, Ki Waskita dapat melihat dengan ilmu yang Ki Waskita miliki itu?"
KI Waskita menarik nafas dalam-dalam. Katanya, "Sayang, Ki Juru. Aku tidak dapat melihat jawaban dalam persoalan serupa itu. Tidak ada isyarat yang dapat aku baca yang kemudian dapat dihubungkan dengan nama-nama orang."
Ki Juru mengangguk-angguk. Ia mengerti, bahwa yang dapat dilihat oleh Ki Waskita adalah sekedar isyarat-isyarat. Tentu tidak akan dapat nampak wajah-wajah orang yang telah melakukan kejahatan dengan mengupah orang untuk membunuh Ki Gede Pemanahan.
Sejenak kemudian mereka pun saling berdiam diri. Kuda-kuda mereka masih berlari kencang menyusuri jalan yang sudah menjadi semakin baik.
Tidak ada persoalan yang mereka jumpai di perjalanan. Mereka berpacu terus dengan kencangnya. Hanya sekali-sekali mereka berhenti sejenak untuk melepaskan penat dan memberi kesempatan kuda mereka beristirahat dan sedikit meneguk air parit yang jernih.
Beberapa orang yang sedang bekerja di sawah kadang-kadang ada pula yang mengangkat kepalanya memandang kedua orang yang sedang berpacu itu. Namun mereka tidak memperhatikannya lagi karena mereka sudah terlampau sering melihat orang-orang berkuda lewat di bulak itu.
Demikianlah akhirnya, keduanya pun memasuki kota Pajang dengan selamat. Mereka melampaui gerbang kota sambil menyeka keringat yang membasahi wajah mereka yang berdebu.
"Kita sudah sampai," berkata Ki Juru Martani, "kita akan langsung pergi ke istana, untuk mohon langsung menghadap Kanjeng Sultan."
Demikianlah keduanya segera menemui petugas yang berwenang mengatur hubungan dengan Kanjeng Sultan Hadiwijaya. Seorang lurah prajurit yang sedang bertugas menerima kedatangan Ki Juru dengan heran.
"Bukankah aku berhadapan dengan Ki Juru Martani?"
"Ya, kenapa" Aku mohon ijin untuk menghadap langsung Kanjeng Sultan."
"Kenapa?" bertanya lurah prajurit itu. "Apakah ada sesuatu yang sangat penting?"
"Ya, Ki Lurah."
"Tetapi aku tidak tahu, apakah Kanjeng Sultan bersedia menerima kehadiran Ki Juru."
"Beritahukan abdi yang akan menyampaikan pesanku, bahwa Ki Juru membawa berita penting mengenai Ki Gede Pemanahan di Mataram."
"Tetapi ini bukan waktunya untuk menghadap."
"Persoalan yang akan aku sampaikan hanya berlaku hari ini. Jika aku hari ini tidak berhasil menghadap, maka persoalannya sudah tidak perlu lagi aku bawa ke Pajang."
Lurah prajurit itu termangu-mangu sejenak. Kemudian katanya, "Aku tidak kuasa mengatur. Biarlah disampaikan kepada narpacundaka."
"Jangan lupa. Pesanku harus disampaikan lengkap, agar Kanjeng Sultan sudi mempertimbangkan kemungkinan untuk mengizinkan permohonanku untuk menghadap."
Ki Lurah itu pun segera menyampaikan pesan itu lewat seorang abdi yang sedang bertugas kepada petugas-petugas di dalam istana. Merekalah yang dapat langsung berhubungan dengan Kanjeng Sultan Hadiwijaya.
Ketika seorang hamba datang menghadap Kanjeng Sultan yang sedang beristirahat di bangsal, sudah nampak seolah-olah ada firasat yang menyentuh hati Kanjeng Sultan itu.
Sejenak dipandanginya hamba yang duduk tepekur menunggu pertanyaan Kanjeng Sultan yang telah melihatnya.
"Mendekatlah," panggil Kanjeng Sultan.
Hamba itu pun kemudian beringsut mendekati beberapa jengkal.
"Apakah keperluanmu menghadap?"
"Ampun, Tuanku," jawab hamba itu, "hamba menyampaikan permohonan seseorang untuk menghadap Tuanku."
"Kapan?" "Jika Tuanku berkenan, orang itu ingin menghadap sekarang."
"Apakah ada persoalan yang amat penting?"
"Demikianlah menurut pengakuan orang itu. Lurah prajurit yang menerimanya mengatakan, bahwa orang itu adalah Ki Juru Martani yang datang dari Mataram."
"Kakang Juru Martani?" Kanjeng Sultan mengulang.
"Hamba, Tuanku."
Terasa debar jantung Kanjeng Sultan menjadi semakin keras. Tentu ada sesuatu yang penting, bahwa Ki Juru Martani sendirilah yang datang menghadap dari Mataram.
"Baiklah," berkata Kanjeng Sultan kemudian, "aku akan menerimanya sekarang."
Hamba itu menjadi heran. Biasanya orang yang datang menghadap tidak akan dapat segera diterima pada saat itu juga. Secepat-cepatnya malam nanti. Tetapi kali ini, Kanjeng Sultan yang sedang beristirahat itu memerlukan menerima tamunya segera.
Demikianlah maka Ki Juru Martani pun mendapat kesempatan untuk segera dapat menghadap Kanjeng Sultan yang seolah-olah telah mendapat firasat kurang baik dengan kehadirannya.
Karena itu, demikian Ki Juru itu berjalan sambil berjongkok mendekatinya, segera Kanjeng Sultan bertanya, "Apakah ada berita yang sangat penting, Kakang?"
Ki Juru Martani menyembah sambil membungkuk dalam-dalam diikuti oleh Ki Waskita. Kemudian katanya, "Ampun, Kanjeng Sultan. Sebenarnyalah hamba datang membawa berita yang sangat penting bagi Tuanku."
"Katakanlah, Kakang."
"Tuanku," berkata Ki Juru, "hamba mohon maaf bahwa sebelumnya hamba tidak pernah menyampaikan berita apa pun tentang Adi Pemanahan."
"Ya. Aku sudah mendengar bahwa Kakang Pemanahan menderita sakit. Sejak ia mengalami bencana di pinggir Kali Opak maka ia menderita sakit, bukan saja karena lukanya, tetapi seakan-akan ada sesuatu yang menekan perasaannya."
"Demikianlah, Tuanku. Tetapi lebih daripada itu, Ki Gede seakan-akan sudah melihat, bahwa ia sudah sampai di perbatasan sehingga usaha yang mana pun tidak akan banyak memberikan pertolongan, karena tidak ada seorang pun dapat menembus kuasa Yang Maha Pencipta."
"Jadi maksudmu?" wajah Kanjeng Sultan menjadi tegang.
"Ampun, Tuanku," berkata Ki Juru Martani ragu-ragu. Namun ia meneruskannya, "Adi Pemanahan tidak lagi dapat menembus batas umur yang telah digariskan oleh Yang Maha Kuasa."
"Kakang Juru Martani," Kanjeng Sultan tiba-tiba berdiri dan melangkah mendekat, "maksudmu bahwa Kakang Pemanahan telah menyelesaikan perjalanan hidupnya sampai ke batas?"
"Ampun, Tuanku. Adi Pemanahan telah dipanggil kembali oleh Yang Menciptakannya."
Sejenak Kanjeng Sultan berdiri mematung. Seolah-olah ia menjadi beku oleh berita yang didengarnya. Namun sejenak kemudian ia pun melangkah kembali ke tempat duduknya. Dengan lemahnya ia terkulai duduk seolah-olah telah kehilangan seluruh tulang belulangnya.
Ketika Ki Juru Martani menatap wajahnya, dan hampir di luar sadarnya Ki Waskita pun memandanginya, nampaklah mata Kanjeng Sultan itu menjadi berkilat-kilat oleh setitik air pelupuknya.
"Kakang Juru Martani," berkata Kanjeng Sultan dengan nada yang parau, "kenapa baru sekarang Kakang memberitahukan hal itu kepadaku."
"Ampun, Tuanku," jawab Ki Juru, "semula hamba berharap bahwa Ki Gede Pemanahan akan dapat sembuh kembali. Apalagi ketika seorang dukun yang pandai datang mengobatinya. Tetapi ternyata bahwa tidak seorang pun yang mampu memperpanjang garis perjalanan hidup walau hanya selangkah."
"Siapakah dukun yang pandai itu?"
"Kiai Gringsing."
"Kiai Gringsing," ulang Kanjeng Sultan, "aku pernah mendengar namanya. Namun ternyata bahwa kepandaiannya adalah kepandaian manusia semata-mata."
"Hamba, Tuanku. Kepandaian manusia yang sangat picik."
Kanjeng Sultan terdiam sejenak. Dipandanginya cahaya matahari yang serasa membakar longkangan di depan bangsal, dari sela-sela pintu yang sedikit renggang. Di luar beberapa orang prajurit pengawal berjalan hilir-mudik dengan memandi tombak di bahunya.
"Ternyata Kakang Pemanahan pergi lebih dahulu dari padaku."
Ki Juru mengangkat wajahnya. Lalu, "Kanjeng Sultan. Itu adalah wajar sekali. Agaknya usia Adi Pemanahan pun terpaut meskipun hanya sedikit dari Kanjeng Sultan."
"Tetapi ia masih lebih muda dari Kakang Juru Martani."
Ki Juru tidak menyahut. Kanjeng Sultan pun kemudian terdiam pula sesaat. Direnunginya hubungannya dengan Ki Gede Pemanahan sejak puluhan tahun yaug lampau, pada saat mereka bertiga bersama Ki Penjawi menyusuri lembah dan lereng-lereng pebukitan. Pada saat mereka bertiga menuntut ilmu. Dan terngiang sebuah pesan dari seorang yang seakan-akan melihat masa depan mereka, "Jangan terpisah-pisahkan."
Kanjeng Sultan menarik nafas dalam-dalam. Ki Gede Pemanahan seolah-olah adalah saudaranya sendiri. Ketika Ki Gede Pemanahan meninggalkan Pajang karena ia terlambat memberikan Tanah Mataram, maka hatinya menjadi sangat sedih.
"Kenapa Kakang Pemanahan sampai hati melepaskan kedudukannya dan meninggalkan Pajang" Apakah ia sudah lupa sama sekali akan pesan yang pernah kami dengar bertiga dari seorang yang seolah-olah mengetahui apa yang akan terjadi?"
Ketika itu, Kanjeng Sultan yang masih muda, yang masih bernama Mas Karebet dan yang juga disebut Jaka Tingkir, pergi berguru bertiga dengan Pemanahan dan Penjawi. Mas Karebet yang baru pertama kali menghadap seorang yang memiliki ketajaman penglihatan itu, duduk agak jauh di belakang Pemanahan dan Penjawi. Tetapi orang yang memiliki ketajaman penglihatan itu melambaikan tangannya dan memanggilnya, "Karebet, kemarilah. Duduklah di paling depan, karena engkaulah kelak yang akan memimpin di antara kalian bertiga. Tetapi aku harap bahwa kalian bertiga akan tetap merupakan satu kesatuan. Jangan terpisah-pisahkan lagi."
Ternyata kemudian bahwa Mas Karebet-lah yang paling berhasil di antara mereka bertiga. Ketika ketiganya merasa telah cukup berguru, maka mereka bertiga ingin mendapatkan pengalaman masing-masing. Meskipun mereka untuk sementara akan berpisah, tetapi mereka berjanji, bahwa kelak mereka akan bersatu dan tidak akan terpisah-pisahkan lagi setelah mereka memiliki pengalaman sebanyak-banyaknya sebagai bekal hidup mereka. Dalam pada itu Mas Karebet masih sempat tinggal di padepokan Karang Tumaritis, menjadi seorang Putut pada Panembahan yang menyebut dirinya Panembahan Ismaya. Kemudian lewat Banyu Biru dan kembali ke istana sebagai menantu Kanjeng Sultan Trenggana.
Kanjeng Sultan Hadiwijaya yang pernah disebut Mas Karebet itu menundukkan kepalanya. Ia masih saja dikuasai oleh ingatannya. Sekilas terbayang sikap Ki Gede Pemanahan yang keras dan meninggalkannya sendiri, setelah Ki Penjawi berada di Pati.
"Kenapa Kakang Pemanahan mempunyai tuntutan sekeras itu. Apakah ia sudah tidak percaya lagi kepadaku, dan melupakan pesan bahwa kami tidak akan berpisah lagi?" Namun kemudian Kanjeng Sultan itu mengusap dadanya sendiri dan berkata pula di dalam hatinya, "Akulah yang bersalah. Kakang Penjawi yang seharusnya juga tidak terpisahkan itu sudah aku beri hadiah Tanah Pati yang sudah terbuka."
Kepala Kanjeng Sultan Hadiwijaya menjadi semakin tunduk dan ia masih berkata kepada dirinya sendiri di dalam hati, "Akulah yang khilaf. Kenapa aku berbuat seperti itu" Aku merasa bahwa kelak Sutawijaya-lah yang akan menerima hadiah terbesar sehingga Ki Gede Pemanahan tidak memerlukannya lagi. Tetapi tanggapan Kakang Pemanahan agaknya berbeda, dan aku adalah raja yang tidak menepati janjinya."
Dan kini akibatnya, ia seakan-akan telah terpisah dari Ki Gede Pemanahan dan terlebih-lebih lagi dengan anak angkatnya yang sangat dikasihinya.
"Hati Sutawijaya agaknya sekeras hati ayahandanya," berkata Kanjeng Sultan Hadiwijaya di dalam hatinya.
Kembali angan-angannya menerawang ke masa silam. Ketika Raden Sutawijaya akan lahir terjadilah sesuatu yang aneh. Bayi itu tidak segera lahir, sehingga ibunya mengalami penderitaan yang lama.
Kanjeng Sultan menarik nafas dalam-dalam sekali lagi. Dipandanginya wajah Ki Juru yang tertunduk.
"Orang itu pula yang memanggil aku," berkata Kanjeng Sultan di dalam hatinya sambil memandang Ki Juru Martani.
Sebenarnyalah bahwa Ki Juru Martani telah memanggil Kanjeng Adipati saat itu. Dan sebenarnyalah setelah Adipati Pajang itu datang, Raden Sutawijaya pun segera lahir. Ternyata bahwa kedatangan Hadiwijaya memberikan pengaruh atas kelahiran anak itu, karena restunya.
Karena itulah, maka Raden Sutawijaya pun pada saat itu juga dinyatakan menjadi anak angkatnya yang dipersamakan dengan anak-anaknya sendiri.
Dalam pada itu, Ki Juru Martani pun menjadi tegang. Ia mengerti, bahwa hati Kanjeng Sultan pasti tergores karena kematian Ki Gede Pemanahan. Karena itu, ia tidak berani mengganggu angan-angan yang agaknya sedang mencengkam Kanjeng Sultan Hadiwijaya.
Baru sesaat kemudian terdengar Kanjeng Sultan berbicara dengan suara parau, "Kakang Juru Martani. Jika itu sudah menjadi garis hidup Kakang Pemanahan, maka apa yang dapat kita lakukan. Tetapi aku merasa menyesal bahwa Kakang Pemanahan meninggalkan aku dengan kesan yang kurang baik."
"Maksud Kanjeng Sultan?"
"Ketika Kakang Pemanahan datang kemari, maka di jalan kembali ke Mataram ia mengalami cidera. Langsung atau tidak langsung, hal itu tentu berpengaruh pula atas badannya. Kemudian yang lebih besar dari itu, ia belum berhasil melihat Mataram berkembang dengan baik. Bukankah dengan demikian kesan yang buruk terhadap diriku masih belum terhapus."
"Ah tidak, Tuanku. Adi Pemanahan telah melupakan semuanya. Bahkan Adi Pemanahan merasa menyesal bahwa ia dengan tergesa-gesa meninggalkan Pajang sekedar menuruti perasaannya yang sedang bergejolak tidak terkendalikan. Apalagi ketika kemudian Sutawijaya berkeras hati untuk tidak mau datang menghadap Tuanku sebelum Mataram menjadi sebuah negeri. Bukan karena Sutawijaya tidak tahu diri akan kasih Tuanku. Tetapi gejolak darah mudanya benar-benar merasa terhina karena para senapati telah menyangkal tekadnya untuk menjadikan Mataram sebuah negeri."
Kanjeng Sultan Hadiwijaya mengangguk-angguk. Tetapi bagaimana pun juga ada sepercik penyesalan yang tidak dapat disingkirkan dari hatinya. Ia merasa bahwa Ki Gede Pemanahan pernah di dalam suatu saat di dalam hidupnya merasa hatinya dilukainya. Dan hal itu ternyata pada sikap Ki Gede yang dengan serta-merta meninggalkan Pajang.
Tetapi yang terjadi itu adalah suatu kenyataan. Kanjeng Sultan tidak dapat berbuat lain dari mengakui kenyataan yang sudah berlaku. Ki Gede Pemanahan telah meninggalkan Mataram dan semua yang dikasihinya.
Meskipun demikian, namun Kanjeng Sultan akhirnya berkata, "Aku merasa sangat kehilangan dengan perginya Kakang Pemanahan, Kakang Juru. Tetapi karena tugas-tugasku yang tidak dapat aku tinggalkan, maka aku tidak dapat melihat saat-saat terakhir dari Kakang Pemanahan. Tetapi percayalah bahwa sebenarnyalah aku merasa prihatin atas kepergiannya, dan atas Sutawijaya yang ditinggalkannya. Demikian juga atas saudara-saudara Sutawijaya." Kanjeng Sultan berhenti sejenak, lalu, "Apakah adik-adik Sutawijaya ada di Mataram?"
"Kebetulan sekali mereka tidak ada di Mataram Kanjeng Sultan karena mereka berada di Sela dan di Pajang. Tetapi seorang utusan telah menyampaikan kabar ini kepada mereka."
"Baru sekarang?"
"Kami hampir-hampir tidak percaya bahwa Adi Pemanahan benar-benar akan meninggalkan kita semuanya, sehingga kami terlambat memanggil keluarganya yang lain. Namun agaknya Ki Gede Pemanahan sendiri tidak berusaha untuk bertemu dengan mereka di saat terakhir. Mungkin ia tidak akan sampai hati melihat mereka bersedih hati menjelang saat terakhirnya."
Kanjeng Sultan mengangguk-angguk. Katanya, "Bukan hanya Ki Gede Pemanahan sajalah yang berbuat demikian. Bahkan ada di antara mereka, yang merasa hampir sampai saatnya meninggal, keluarga yang ada di dekatnya dimintanya untuk meninggalkannya pergi, agar jalan yang akan dilaluinya menjadi lapang, tanpa sentuhan sama sekali."
Ki Juru Martani mengangguk-angguk.
"Nah, Kakang Juru Martani," berkata Kanjeng Sultan, "sebaiknya Kakang beristirahat barang sejenak. Aku akan mempersiapkan apa saja yang dapat Kakang bawa ke Mataram."
"Ampun, Tuanku. Hamba akan segera kembali ke Mataram. Di sana tidak ada orang tua yang cukup berpengaruh bagi Sutawijaya."
Kanjeng Sultan merenung sejenak, lalu, "Baiklah, jika demikian, aku akan memerintahkan seseorang membawamu dan memberikan sesuatu kepadamu untuk jenazah Kakang Pemanahan."
Demikianlah maka Ki Juru Martani pun kemudian menyembah sambil mohon diri untuk meninggalkan ruang itu dan selanjutnya kembali ke Mataram.


04 Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Kanjeng Sultan Hadiwijaya tidak sempat bertanya siapakah kawan Ki Juru Martani itu. Ia menyangka bahwa ia adalah seorang di antara para pemimpin Tanah Mataram.
Ketika Ki Juru Martani kemudian meninggalkannya, maka diperintahkannya seseorang untuk ikut bersama Ki Juru dan memberikan seperti yang dipesankannya.
"Bawalah songsong yang memang sudah aku siapkan untuk waktu yang agak lama itu ke Mataram," berkata Kanjeng Sultan itu kepada Ki Juru Martani sesaat Ki Juru akan pergi, "dan berikanlah kepada Sutawijaya. Aku memberikan wisuda kepadanya untuk menjadi senapati di Mataram yang baru dibukanya itu."
Dada Ki Juru menjadi berdebar-debar. Raden Sutawijaya telah dengan resmi diangkat oleh Kanjeng Sultan di Pajang menjadi Senapati Ing Ngalaga. Dan lebih dari itu, telah di serahkan pula sebuah songsong yang berwarna kuning.
"Songsong kebesaran seorang yang memiliki kedudukan tertinggi," berkata Ki Juru di dalam hatinya. Tetapi ia tidak dapat lagi bertanya.
Diterimanya songsong itu dari seorang abdi yang mendapat perintah untuk mengambilkan dan menyerahkan kepada Ki Juru Martani. Sudah barang tentu abdi itu tidak tahu sama sekali apakah maksud Kanjeng Sultan dengan menyerahkan songsong tersebut kepada Raden Sutawijaya.
"Apakah kau tidak keliru?" hanya itu yang dapat ditanyakan kepada abdi itu.
"Tidak, Ki Juru. Songsong inilah yang dimaksudkan. Aku tahu pasti, karena akulah yang menjaganya, membersihkannya dan memasang dan membuka selongsongnya setiap kali."
Ki Juru Martani menarik nafas. Katanya, "Terima kasih. Jika kau yakin bahwa kau tidak keliru, maka baiklah aku menerimanya."
Kemudian setelah ditutup dengan selongsong berwarna putih. maka Ki Juru Martani pun segera membawa payung itu ke luar istana.
Seperti pada saat Ki Gede Pemanahan datang menghadap, maka kehadiran Ki Juru pun sangat menarik perhatian. Beberapa orang kemudian mendapatkannya dan bertanya, kenapa dengan tergesa-gesa ia pergi menghadap Kanjeng Sultan. Karena Ki Juru sudah mengatakannya kepada Kanjeng Sultan, maka ia tidak berkeberatan untuk mengatakan kepada orang-orang itu, bahwa Ki Gede Pemanahan telah meninggal dunia.
Berita itu memang mengejutkan. Ki Gede Pemanahan memang belum terlampau tua. Bahkan agak lebih muda dari Ki Juru Martani dan hanya sedikit lebih tua dari Kanjeng Sultan Hadiwijaya sendiri.
Namun di antara mereka ada pula yang menerima berita itu dengan hati yang lega. Seolah-olah usahanyalah yang telah berhasil menyingkirkan Ki Gede Pemanahan dari Mataram.
Dengan demikian maka berita tentang wafatnya Ki Gede Pemanahan itu pun segera tersebar. Baik yang menyesali mau pun yang memang mengharapkannya, segera memperbincangkannya.
Namun dalam pada itu, sekelompok senapati dengan sungguh-sungguh telah menilai wafatnya Ki Gede Pemanahan itu dari segala segi.
"Agaknya Ki Juru Martani akan menggantikan kedudukan Ki Gede Pemanahan di Mataram. Meskipun ia tidak akan dapat memegang pimpinan sebagaimana dengan Ki Gede Pemanahan sendiri, namun ia dengan cerdik dapat mengendalikan Raden Sutawijaya," berkata salah seorang di antara mereka.
"Sebenarnyalah bahwa Ki Juru Martani adalah orang yang sangat berbahaya. Ia seorang bijaksana, tetapi kadang-kadang ia menjadi agak licik. Bagiku Ki Juru Martani jauh lebih berbahaya dari Ki Gede Pemanahan. Meskipun barangkali di dalam olah kanuragan, Ki Juru Martani sendiri tidak melampaui Ki Gede Pemanahan, namun akalnya tidak ada habis-habisnya. Ialah yang dahulu mengatur siasat untuk menjebak Arya Penangsang dari Jipang, sehingga Arya Penangsang yang tidak terkalahkan itu mati oleh goresan kerisnya sendiri pada ususnya," sahut yang lain.
"Kini ia menghadap Kanjeng Sultan," berkata yang lain lagi, "dan ia membawa sebuah songsong di dalam selongsong putih. Tidak seorang pun yang tahu payung di dalam selongsong itu berwarna apa. Tetapi itu pertanda kehormatan yang besar bagi Raden Sutawijaya. Meskipun seandainya payung itu berwarna hijau sekali pun tanpa geleng kuning."
Para Senapati itu mengangguk-angguk. Mereka memang melihat pertanda, bahwa Kanjeng Sultan agaknya sama sekali tidak berusaha menghambat perkembangan Mataram, meskipun jelas bagi Kanjeng Sultan bahwa Sutawijaya sama sekali tidak mau menghadap ke Pajang.
Tetapi lebih daripada itu, puncak dari segala niat untuk menghentikan kegiatan Raden Sutawijaya adalah pamrih yang lebih besar lagi.
"Pajang memang sudah tidak dapat diharapkan lagi," berkata seorang senapati di dalam hatinya, "tetapi merebut kedudukan Hadiwijaya tidak akan berarti tanpa melenyapkan Sutawijaya terlebih dahulu."
Dan alasan itulah sebenarnya, maka seorang senapati yang memiliki kemampuan olah kanuragan, tetapi juga kemampuan berpikir yang cerdas, telah berhasil membuat jarak yang nampak semakin jauh antara Pajang dan Mataram. Meskipun ia belum berhasil membenturkan dengan langsung Pajang dan Mataram.
Tetapi senapati itu berhasil mendapat dukungan dari beberapa orang kawannya dengan alasan yang lain. Hanya satu dua orang sajalah yang telah bersepakat untuk menjatuhkan Sultan Hadiwijaya sebagai alasan yang sesungguhnya. Sedang yang disebarkannya adalah perasaan benci kepada Raden Sutawijaya seolah-olah Raden Sutawijaya telah bersiap untuk memberontak melawan Pajang.
Jika ia berhasil menghasut Pajang untuk melenyapkan Mataram selagi Mataram belum terlalu kuat, maka kemudian tinggallah merebut kedudukan Pajang dari tangan Sultan Hadiwijaya yang rasa-rasanya menjadi semakin lemah. Ia dapat menghasut rakyat dan para prajurit kemudian para adipati di pasisir dan Bang Wetan.
Pangeran Benawa, putera Sultan Pajang, agaknya memang seorang yang lemah hati. Meskipun agaknya kemampuan ilmu ayahandanya sebagian temurun juga kepadanya, tetapi rasa-rasanya Pangeran Benawa bukannya seorang yang kuat untuk memegang pemerintahan. Bahkan seakan-akan Pangeran Benawa sendiri sama sekali tidak mempunyai hasrat untuk mewarisi kedudukan ayahandanya. Ia lebih senang menyelusuri kedamaian hati di pegunungan dan padepokan-padepokan kecil. Bukan untuk berguru dan mendapatkan ilmu yang berlebihan agar ia kelak menjadi seorang yang pilih tanding. Tetapi benar-benar untuk menikmati ketenteraman dan menjauhi kesibukan yang tiada henti-hentinya.
"Tetapi Sutawijaya harus dilenyapkan dahulu," berkata Senapati itu.
"Bagaimana jika kami langsung menghancurkan Mataram," bertanya seorang kawannya yang dipercayainya.
"Justru kita akan berhadapan dengan Sultan Hadiwijaya."
Senapati-senapati itu berdiam. Mereka masih selalu melangkah dengan sangat hati-hati karena setiap kekeliruan akan membawa mereka ke tiang gantungan.
Karena itu, mereka masih harus tetap merahasiakan diri. Meskipun orang-orang yang di bawah pengaruhnya sudah bertindak jauh, bahkan Daksina telah terbunuh di sarang Panembahan Agung, namun tidak seorang pun di antara mereka yang diumpankan itu tahu dengan pasti, siapakah sebenarnya yang berada di ujung segala macam rencana itu. Hantu-hantuan di Alas Mentaok, penjahat yang mengganggu lalu lintas, usaha membunuh orang-orang Mataram di Jati Anom dengan cara yang sebaliknya membunuh senapati-senapati Pajang sendiri, dan usaha-usaha lain yang sudah terlampau banyak dilakukan, dan yang terakhir adalah kerja sama dengan Panembahan Agung. Kerja sama yang sebenarnya mengandung bahaya yang cukup besar bagi para senapati itu sendiri, karena Panembahan Agung adalah seorang yang pilih tanding dan mempunyai pengaruh serta kekuatan yang cukup. Tetapi Senapati yang menggerakkan semuanya itu, dan yang seakan-akan tidak dikenal oleh orang lain, adalah seorang yang merasa dirinya dapat mengimbangi kemampuan Panembahan Agung.
Dan kini, selagi usaha mereka belum ada tanda-tandanya dapat berhasil, bahkan kegagalan mereka membunuh Ki Gede Pemanahan, maka mereka mendengar berita itu. Ki Gede Pemanahan telah wafat.
Dengan demikian, maka beberapa orang yang pernah ikut merencanakan pembunuhan atas Ki Gede Pemanahan di pinggir Kali Opak, merasa berbangga. Mereka menganggap bahwa wafat Ki Gede disebabkan oleh luka yang dideritanya dalam pencegatan itu dan tidak berhasil lagi disembuhkan.
Tetapi orang-orang yang berbangga karena mereka telah menghubungi orang-orang yang berhasil melukai Ki Gede Pemanahan itu tidak dapat mengetahui, kepada siapa mereka harus berbangga, karena mereka tidak mengetahui dengan pasti, siapakah sebenarnya yang telah menggerakkan mereka. Namun orang-orang yang menghubungi mereka adalah orang-orang yang memberikan janji dan harapan, bahwa jika terjadi perubahan, apalagi apabila usaha Ki Gede di Mataram gagal, mereka akan mendapat kedudukan yang sangat baik. Apalagi sebelum harapan itu dapat mereka hayati, mereka sudah lebih dahulu menerima hadiah-hadiah berharga dari orang yang tidak mereka ketahui dengan pasti.
Dalam pada itu, berita tentang kehadiran Ki Juru Martani di Pajang, dan yang kemudian keluar dari istana justru membawa sebuah payung berselongsong putih, telah terdengar oleh sepasang telinga seorang yang merasa sangat berkepentingan.
Karena itulah, maka orang itu pun segera memanggil pembantu-pembantunya yang paling dapat dipercaya untuk berbicara mengenai Ki Juru Martani.
"Aku memerlukan suatu tindakan yang cepat," berkata senapati yang selalu dibayangi oleh penyamaran di hadapan anak buahnya kecuali orang-orang yang paling dekat, yang jumlahnya tidak lebih dari tiga orang.
"Apakah yang Kakang kehendaki?" bertanya salah seorang senapati pengikutnya.
Senapati yang memimpin usaha menggagalkan berdirinya Mataram itu merenung sejenak. Wajahnya yang keras dan matanya yang dalam, seakan-akan tersembunyi di sela-sela keningnya itu menjadi tegang.
"Sepeninggal Pemanahan, agaknya Juru Martani akan mengambil alih pimpinan."
"Tentu tidak," jawab yang lain, "ia hanya dapat menjadi penasehat Sutawijaya karena ia tidak mempunyai hak apa pun atas Mataram."
"Tidak ada bedanya. Sutawijaya akan tunduk atas segala petunjuk dan nasehat-nasehatnya. Dan Juru Martani adalah orang yang licik. Ia mempunyai banyak akal."
"Kami memang sudah membicarakannya," desis seorang senapati, "dan hampir setiap orang menilai demikian."
"Karena itu, Ki Juru Martani tidak boleh dibiarkan kembali ke Mataram dengan songsong yang didapatkannya dari Kanjeng Sultan itu."
"Kita akan mencegatnya seperti Ki Gede Pemanahan?"
"Ya. Usahakan bahwa Ki Juru dan kawannya yang mengawalnya itu benar-benar mati. Kebodohan kalian di masa kalian mencegat Ki Gede Pemanahan tidak boleh berulang. Untunglah waktu itu tidak ada orang-orang penting yang dapat ditangkap oleh Sutawijaya mau pun Untara, sehingga dengan demikian kalian tidak perlu melakukan pembunuhan untuk memutuskan jalur penyelidikan orang-orang Pajang dan Mataram."
Senapati yang lain mengangguk-angguk.
"Nah, sekarang lakukanlah. Tetapi ingat, jika terpaksa kalian gagal dan ada di antara orang-orang penting yang tertangkap, kalian harus bertindak cepat. Kalian harus membunuh senapati penghubung itu, agar tidak ada seorang pun yang dapat menarik garis sampai kepada kita di sini."
"Baik, Kakang Panji," jawab Senapati yang lain hampir bersamaan.
"Tidak ada orang yang mengenal aku kecuali kalian. Itu harus kau sadari. Salah seorang dari kita memang dapat dipercaya. Maksudku, salah seorang dari kita akan memilih mati daripada membuka rahasia. Tetapi kita tidak dapat beranggapan demikian terhadap senapati-senapati yang lain. Jika mereka tertangkap maka mereka tentu akan berbicara. Mereka akan menganggap lebih baik menyebut salah seorang dari kita yang menghubunginya daripada harus mengalami hukuman yang paling berat."
Senapati yang lain mengangguk-angguk.
"Nah, berbuatlah dengan cepat. Ki Juru Martani tentu akan segera meninggalkan Pajang, karena ia masih harus menyelenggarakan pemakaman Ki Gede Pemanahan." Senapati yang disebut sebagai pemimpin mereka itu terdiam sejenak, lalu, "Ingat, jika terjadi kesalahan, bunuhlah jalur perantara itu. Dengan demikian kita akan tetap tidak dikenal."
Demikianlah maka para senapati itu segera bertindak. Mereka tidak mau terlambat. Segera mereka menghubungi kawan-kawan mereka. Juga beberapa orang perwira. Tetapi merekalah yang disebut jalur-jalur yang harus segera diputuskan apabila usaha mereka gagal. Dan senapati yang langsung berhubungan dengan orang yang mereka sebut Kakang Panji itulah yang harus mengakhiri hidup mereka.
Senapati-senapati itu merasa beruntung bahwa mereka belum terlambat. Ki Juru Martani dan seorang pengawalnya masih berada di Pajang. Mereka masih berbicara dengan beberapa orang sahabat-sahabatnya terdekat sebelum mereka kembali ke Mataram.
"Kita pergi bersama," berkata seorang perwira yang akan pergi ke Mataram untuk memberikan penghormatan yang terakhir kepada Ki Gede Pemanahan.
"Tentu kami akan sangat berterima kasih atas kehadiran kalian. Tetapi maaf, kami akan pergi lebih dahulu, masih banyak yang harus dikerjakan."
Sahabat-sahabatnya dapat mengerti kesibukan Ki Juru Martani sehingga mereka pun kemudian berkata, "Baiklah, Ki Juru. Kami akan segera menyusul."
Kesediaan beberapa orang pemimpin Pajang untuk menghadiri pemakaman Ki Gede Pemanahan membuat hati Ki Juru menjadi sejuk. Tetapi mereka tentu memerlukan waktu untuk mempersiapkan diri, sedang Ki Juru Martani tidak dapat menunggu mereka karena masih banyak yang harus dikerjakan, sehingga dengan demikian maka mereka pun tidak dapat pergi bersama.
"Ki Juru," berkata seorang senapati, "hati-hatilah di perjalanan. Rasa-rasanya aku teringat perjalanan Ki Gede Pemanahan beberapa saat yang lampau. Meskipun barangkali Ki Juru bukan orang yang dianggap menjadi ujung dari usaha untuk membuka Alas Mentaok, tetapi rasa-rasanya perjalanan Ki Juru juga merupakan perjalanan yang berbahaya. Apalagi Ki Juru hanya membawa seorang pengawal."
Ki Juru tersenyum. Sambil berpaling kepada Ki Waskita, ia berkata, "Apalagi pengawalku bukan pengawal yang mumpuni dalam olah keprajuritan. Tetapi aku memang tidak mempunyai niat untuk berkelahi dengan siapa pun."
"Itu pulalah sebabnya Ki Gede beberapa waktu yang lalu tidak membawa pengawal. Ia pun sama sekali tidak berniat untuk berkelahi. Tetapi adalah haknya untuk mempertahankan diri dari usaha pembunuhan orang lain."
"Aku tidak sepenting Ki Gede Pemanahan."
Senapati itu mengangguk-angguk. Tetapi kemudian ia berdesis, "Kenapa Ki Juru tidak mau menunda barang sedikit dan kemudian kita bersama-sama pergi ke Mataram?"
"Maaf," Ki Juru menjawab, "sekali lagi aku mengucapkan diperbanyak terima kasih. Aku harus segera berada di antara keluarga Ki Gede yang tentu sudah dijemput pula dari Sela."
Para pemimpin Pajang itu tidak dapat menahan Ki Juru lagi. Karena itu maka dilepaskannya Ki Juru yang kemudian mendahului. Namun demikian Ki Juru masih sempat singgah barang sekejap untuk memberitahukan wafatnya Ki Gede Pemanahan kepada puteri dan menantunya yang tidak dapat menunggui saat Ki Gede Pemanahan sedang sakit.
Tetapi Ki Juru pun tidak dapat pergi bersama mereka, karena mereka pun harus berbenah dahulu. Sehingga dengan demikian Ki Juru pun kemudian kembali ke Mataram hanya berdua saja dengan Ki Waskita.
"Kita harus segera sampai di Mataram, Ki Waskita," berkata Ki Juru sambil berpacu. "Agaknya semua orang menanti kita dengan gelisah."
"Ya, Ki Juru. Mungkin mereka juga mencemaskan nasib kita di perjalanan."
Ki Juru tersenyum. Katanya, "Bukankah aku sudah membawa seorang pengawal. Aku sudah mengatakan kepada para pemimpin di Pajang seperti yang Ki Waskita kehendaki. Sekedar seorang pengawal. Tidak lebih dan tidak kurang."
Ki Waskita pun tersenyum sambil menjawab, "Terima kasih. Ternyata Ki Juru telah memenuhi permintaanku."
Keduanya tertawa. Namun dalam pada itu keduanya berpacu semakin cepat.
Tetapi dalam pada itu, ternyata orang-orang yang mendapat tugas dari orang yang disebut Kakang Panji oleh senapati-senapati kepercayaannya itu pun dapat bekerja dengan cepat pula. Mereka tidak lagi sempat menghubungi orang-orang lain yang dipercaya untuk memotong perjalanan Ki Juru Martani, namun mereka telah menunjuk beberapa orang untuk melaksanakan tugas itu langsung.
"Ki Legawa," berkata seorang senapati kepercayaan orang yang menghendaki kematian Ki Juru itu, "perintahkan kepada sepuluh orang pengikutmu. Hati-hati. Ki Juru adalah orang yang tidak kalah saktinya dari Ki Gede pemanahan. Dan hati-hati pula jika ia mulai berbicara. Karena itu, jangan beri kesempatan kepadanya untuk mengatakan apa saja yang dapat membuat hati orang-orangmu menjadi luluh."
Ki Legawa mengerutkan keningnya. Lalu ia pun bertanya, "Apakah sepuluh orang itu sudah cukup" Bukankah ia membawa seorang pengawal?"
"Dua orang itu agaknya membuat kau ragu-ragu. Baiklah. Bawalah lima belas orang. Cepat. Kalian dapat memilih tempat sebaik-baiknya. Di tengah bulak atau di pinggir kali. Tidak usah terlalu jauh dari batas kota, agar kau tidak terlambat. Kalau kau yakin usahamu berhasil, kau tidak usah memerintahkan orang-orangmu memakai penyamaran apa pun. Tetapi ingat, kau sendiri tidak perlu ikut di dalamnya, karena kau sudah terlalu banyak dikenal. Jika ada orang di sawah yang melihatmu, maka persoalannya akan menjadi sangat gawat."
Ki Legawa mengetahui dengan pasti maksud perintah itu. Karena itu, maka ia pun segera pergi. Ia tidak perlu mencari orang ke mana-mana, karena memang tidak ada waktu lagi. Karena itu diperintahkannya saja lima belas orang untuk melakukan tugas itu.
"Jangan pergi bersama-sama."
Demikianlah maka lima belas orang itu pun segera pergi keluar kota dalam kelompok-kelompok kecil agar tidak menumbuhkan kecurigaan. Mereka sama sekali tidak mengenakan pakaian keprajuritan mereka, meskipun mereka tidak perlu memakai penyamaran wajah, karena mereka yakin bahwa Ki Juru dan pengawalnya itu akan binasa.
"Ingat peristiwa yang terjadi saat kita berusaha membunuh Ki Gede Pemanahan. Meskipun akhirnya ia mati terbunuh juga, tetapi jika saat itu ada orang-orang penting yang tertangkap, maka persoalannya akan dapat diungkap. Dan kita tidak akan dapat berusaha untuk berbuat apa-apa lagi."
Mereka yang ditugaskan untuk melakukan pekerjaan itu pun menyadari sepenuhnya, bahwa yang mereka lakukan adalah suatu tindakan yang sangat gawat. Tetapi mereka menyadari bahwa tindakan mereka adalah dalam rangka menggagalkan usaha untuk mendirikan Mataram sebagai tandingan Pajang.
Demikianlah sekelompok prajurit pengikut Ki Legawa telah mulai bertindak. Mereka merasa bahwa yang mereka lakukan adalah semata-mata karena kesetiaan mereka terhadap Pajang. Tetapi mereka pun sadar, bahwa yang mereka lakukan itu bukan atas perintah Panglima Pasukan Wira Tamtama.
"Pimpinan prajurit Pajang terlampau lemah menghadapi Mataram, seperti juga Kanjeng Sultan sendiri," berkata seorang senapati kepada mereka pada suatu saat. "Karena itu, maka kita harus menunjukkan pengabdian kita. Tidak usah menunggu perintah. Kita harus menggagalkan berdirinya Mataram. Karena kita sadar, jika Mataram menjadi besar maka Pajang akan menjadi semakin kecil. Dan kita akan kehilangan segala-galanya. Karena itu, berjuanglah untuk kebesaran Pajang. Ada beberapa orang hartawan yang menyediakan dana bagi kita, sehingga kita akan mendapatkan imbalan atas kesetiaan kita terhadap Pajang saat ini juga."
Para prajurit itu tidak menaruh keberatan apa pun. Mereka memang ingin Pajang tetap besar sehingga kedudukan mereka tidak akan goyah. Selain itu mereka pun langsung menerima upah khusus jika mereka melakukan tugas-tugas khusus seperti itu.
Kelompok-kelompok kecil itu pun kemudian memintas lewat pematang-pematang dan tanggul-tanggul parit langsung ke tengah bulak panjang. Di sebuah tikungan yang masih dibayangi oleh gerumbul-gerumbul liar mereka menunggu. Sekelompok-sekelompok kecil mereka datang berkumpul, siap melakukan tugas itu.
Ki Juru Martani yang merasa tugasnya sudah selesai memacu kudanya semakin cepat. Ia ingin segera sampai di Mataram dan mempersiapkan lebih jauh lagi pemakaman Ki Gede Pemanahan besok.
Tetapi selagi kudanya berpacu di bulak panjang, maka Ki Juru Martani itu memperlambat lari kudanya ketika ia mendengar Ki Waskita berkata, "Ki Juru. Rasa-rasanya ada sesuatu di hadapan kita."
"Apakah Ki Waskita melihat sesuatu?"
"Belum Ki Juru. Tetapi aku merasakan isyarat meskipun terlampau lemah. Apakah Ki Juru bersedia berhenti sejenak?"
Mereka berdua pun segera berhenti. Dengan ketajaman penglihatan mata hatinya, maka Ki Waskita mencoba untuk melihat sesuatu di depannya pada jarak yang terlampau pendek.
"Memang ada sesuatu, Ki Juru," berkata Ki Waskita.
"Apa?" "Aku tidak tahu pasti. Tetapi tentu rintangan yang harus di atasi."
Ki Juru menarik nafas dalam-dalam. Katanya, "Apakah dalam keadaan seperti ini ada juga orang yang sampai hati mengganggu perjalanan kita?"
(***) BUKU 83 KI WASKITA tidak menyahut.
"Memang terlalu sekali. Mereka sama sekali tidak menghormati perjalananku untuk menyampaikan kabar wafatnya Ki Gede Pemanahan. Setiap orang berhak membenci aku, dan bahkan berusaha untuk mencelakai aku sekalipun. Tetapi tidak dalam keadaan seperti sekarang ini."
"Ki Juru," berkata Ki Waskita, "tetapi agaknya hal itu akan terjadi di hadapan kita sekarang ini."
Ki Juru mengerutkan keningnya.
"Apakah kita akan berjalan terus atau mencari jalan lain?" bertanya Ki Waskita.
Sekilas Ki Juru memandang songsong berwarna kuning yang ditutup dengan selongsong putih.
Tiba-tiba saja ia menggeram, "Kita berjalan terus. Aku memandi payung tertinggi yang dihadiahkan oleh Kanjeng Sultan kepada Danang Sutawijaya yang akan bergelar Senapati Ing Ngalaga."
Ki Waskita mengangguk-angguk.
"Ki Waskita," berkata Ki Juru, "apakah Ki Waskita mempunyai pertimbangan lain" Sebenarnyalah bahwa Ki Waskita tidak boleh mengalami perlakuan seperti itu, karena Ki Waskita tidak terlibat apa pun juga di dalam pertentangan antara Mataram dan beberapa orang di dalam pimpinan pemerintahan Pajang. Apalagi Ki Waskita adalah seorang tamu bagi Mataram."
Ki Waskita menarik nafas dalam-dalam. Katanya, "Kita memang bukan prajurit, Ki Juru. Tetapi kita dapat saja bersikap seperti seorang prajurit yang menghadapi medan betapa pun beratnya. Dan Ki Juru jangan lupa, aku adalah orang pengawal yang mengikuti Ki Juru."
Ki Juru Martani masih sempat tersenyum. Ia sudah mendengar bahwa Ki Waskita mempunyai kemampuan bertempur yang tidak ada taranya. Karena itu Ki Juru berkata, "Baiklah. Aku mempunyai seorang pengawal yang pilih tanding. Sekarang pengawalku harus membuktikan kepadaku kemampuannya. Kemudian aku akan menentukan apakah ia masih akan tetap dapat menjadi pengawalku atau aku harus memecatnya."
Ki Waskita pun kemudian tertawa pula. Katanya, "Baik, Ki Juru. Marilah. Kita berjalan terus. Sebenarnyalah pekerjaanku kali ini tidak akan terlampau berat, karena orang yang aku kawal memiliki kemampuan hampir tidak ada batasnya."
"Ah," desah Ki Juru. Tetapi ia tidak menjawab.
Demikianlah maka kuda mereka pun mulai bergerak kembali. Tidak terlampau cepat. Tetapi mereka menjadi sangat berhati-hati.
Terasa angin yang lembut mengusap wajah-wajah yang tegang itu. Sehelai-sehelai rambut Ki Juru yang sudah mulai dihiasi dengan warna putih, seakan-akan menggelepar di luar ikat kepalanya. Sedang matanya dengan tajamnya memandang ke depan, ke segala bentuk yang ada di hadapannya.
Ki Juru Martani itu pun kemudian menarik nafas panjang. Ia melihat sesuatu bergerak di balik gerumbul-gerumbul liar.
Ternyata bahwa bukan hanya Ki Juru sajalah yang melihat sesuatu yang bergerak di balik gerumbul, tetapi Ki Waskita pun mulai melihatnya pula.
"Agaknya kita memang harus mengatasi kesulitan ini, Ki Juru," berkata Ki Waskita.
Ki Juru Martani merenung sejenak. Ia membawa payung pemberian Sultan Pajang. Karena itu, ia harus mempertahankannya jika ada orang lain yang ingin merampasnya.
Perlahan-lahan kepalanya terangguk. Katanya seperti kepada dirinya sendiri, "Tidak ada pilihan lain."
Mereka berdua pun kemudian terdiam. Bayangan yang bergerak di balik gerumbul itu pun seakan-akan menjadi semakin banyak.
"Cukup banyak orang," berkata Ki Juru, "agaknya mereka merasa berhasil dengan cara itu. Meskipun Ki Gede tidak langsung terbunuh, tetapi menurut anggapan mereka, akhirnya Ki Gede Pemanahan pun wafat pula."
"Mereka mengulangi cara yang pernah dilakukannya itu."
Ki Juru mengangguk-angguk. Katanya, "Mengulangi cara yang pernah dilakukan di dalam persoalan seperti ini sebenarnya adalah perbuatan yang bodoh. Tetapi ternyata mereka pun agaknya akan berhasil. Kitalah yang sebenarnya lebih bodoh dari mereka, karena kita telah mengulangi kesalahan yang sama seperti yang dilakukan oleh Ki Gede Pemanahan."
Ki Waskita tidak menyahut, tetapi kepalanya terangguk-angguk.
Kuda kedua orang Mataram itu pun semakin lama menjadi semakin dekat dengan gerumbul liar di pinggir sawah itu. Orang-orang yang menunggu itu pun menjadi gelisah pula. Sebentar lagi mereka harus meloncat menerkam lawan yang menjadi semakin dekat.
"Memang hanya dua orang," desis salah seorang prajurit yang mencegat perjalanan Ki Juru itu.
"Mereka memang orang-orang dungu," berkata lurah prajurit yang memimpin mereka. "Mereka mengulangi kesalahan yang pernah dilakukan oleh Ki Gede Pemanahan."
Tetapi yang lain menjawab, "Bukan karena dungu. Tetapi mereka adalah orang-orang sombong yang merasa dirinya tidak terkalahkan. Mereka menganggap bahwa orang-orang Pajang tidak akan berdaya menghadapi Ki Juru Martani dan pengawalnya itu."
"Bukan main," desis yang lain, "keduanya benar-benar harus dibinasakan. Bukan saja karena perintah dalam hubungannya untuk mencegah meluasnya Mataram. Tetapi mereka memang sudah menghina kita."
Para prajurit itu pun segera bersiap. Mereka berada di sebelah-menyebelah jalan. Namun mereka sudah bersepakat, apabila mereka mendengar aba-aba diteriakkan, mereka akan berloncatan bersama-sama menerkam Ki Juru Martani dan pengawalnya.
Demikian teliti lurah prajurit yang memimpin pencegatan itu mengatur anak buahnya, sehingga siapa yang harus menerkam Ki Juru Martani, dan siapa yang harus menyerang pengawalnya sudah ditentukan pula.
"Sepuluh orang harus melawan Ki Juru Martani," berkata Lurah prajurit itu, "selebihnya melawan pengawalnya."
Dengan hampir tidak sabar lagi prajurit itu menunggu. Kuda Ki Juru Martani dan pengawalnya rasa-rasanya berjalan terlampau malas.
Akhirnya kuda itu menjadi semakin dekat. Lurah prajurit itu pun sudah siap meneriakkan aba-aba. Demikian kedua ekor kuda itu memasuki daerah mereka, maka aba-aba pun harus diteriakkan.
Ki Juru dan Ki Waskita yang sudah melihat orang-orang yang bersembunyi itu pun menjadi semakin berhati-hati. Meskipun tidak pasti jumlahnya, tetapi mereka berdua dapat menduga, bahwa orang-orang yang mencegat mereka itu jumlahnya cukup banyak.
"Kita memerlukan waktu yang panjang," berkata Ki Juru, "sedang jenazah Adi Pemanahan minta segera diselesaikan."
"Ya, Ki Juru," berkata Ki Waskita, "Atau bahkan kita tidak akan dapat kembali sama kali untuk selamanya."
Ki Waskita menarik nafas dalam-dalam. Orang-orang yang mencegatnya tentu orang-orang pilihan. Mereka tentu menyadari bahwa yang harus mereka hadapi adalah Ki Juru Martani.
"Apakah orang-orang itu juga seperti orang-orang yang mencegat Ki Gede Pemanahan," bertanya kedua orang yang menyadari bahaya yang dihadapinya itu di dalam hati masing-masing.
"Ki Juru," berkata Ki Waskita kemudian, "agaknya jika kita harus bertempur melawan mereka, kita akan memerlukan waktu lama, atau barangkali malahan kita tidak akan dapat kembali sama sekali."
"Lalu, apa maksud Ki Waskita?" bertanya Ki Juru.
"Bagaimana jika kita lari saja meninggalkan mereka sebelum mereka mengepung kita."
"Kembali ke Pajang?"
"Tidak. Tetapi kita dapat menerobos tanah persawahan dan meninggalkan orang-orang itu sebelum terlambat. Meskipun sawah itu basah, dan barangkali berlumpur, tetapi kuda akan lebih cepat dari orang-orang itu."
Ki Juru memandang sawah yang basah di sebelah-menyebelah. Katanya, "Lumpur itu cukup dalam. Jika kaki kuda kita terperosok, maka kita akan terikat di tengah-tengah sawah dan menjadi sasaran yang lunak bagi mereka."
Ki Waskita merenung. Lalu, "Jadi tidak ada jalan lain kecuali kembali ke Pajang?"
Ki Juru mengangguk. Tetapi tiba-tiba Ki Waskita berkata, "Kita berhenti sejenak dan bersembunyi di balik gerumbul seperti mereka."
"Maksudmu?" "Marilah, Ki Juru. Barangkali kita dapat berunding sejenak."
Ki Juru Martani termangu-mangu. Dipandanginya wajah Ki Waskita dengan sorot mata yang mengandung berbagai macam pertanyaan.
"Kita turun sejenak, Ki Juru," berkata Ki Waskita kemudian.
Ki Juru menjadi semakin heran. Katanya kemudian, "Apakah dengan demikian kita tidak akan kehilangan waktu lebih banyak lagi."
"Mungkin kita dapat mengatasi kesulitan ini dengan tidak usah bertempur. Dengan demikian kita akan dapat mempersingkat waktu."
Ki Juru masih bimbang, tetapi ketika Ki Waskita meloncat turun, Ki Juru pun segera turun pula.
"Marilah kita bersembunyi, Ki Juru," ajak Ki Waskita.
"Tetapi mereka tentu sudah melihat kita."
"Apa salahnya?"
Ki Juru Martani menjadi semakin heran. Tetapi ia tidak membantah lagi. Diikutinya Ki Waskita menuntun kudanya dan kemudian berlindung di balik gerumbul-gerumbul liar.
"Maaf, Ki Juru, sebaiknya payung itu pun ditundukkan sedikit agar tidak dapat dilihat oleh orang-orang itu."
Ki Juru tidak menjawab. Tetapi payung itu pun ditundukkannya di balik sebatang pohon perdu.
"Nah, marilah kita mulai bermain-main dengan orang-orang itu, Ki Juru."
"Maksud Ki Waskita?"
Ki Waskita tidak menjawab. Tetapi ia sudah siap dengan ilmunya. Karena itu, sejenak kemudian maka seekor kuda yang tegar berlari kencang dari balik gerumbul itu melintas tanah persawahan.
Ki Juru terkejut melihat bentuk itu seolah-olah dirinya sendirilah yang melarikan diri di atas kudanya sambil membawa payung pemberian Kanjeng Sultan. Namun sejenak kemudian Ki Juru itu dapat menguasai dirinya. Ia pun segera menyadari bahwa Ki Waskita sedang bermain-main dengan bentuk semunya.
Seperti Kiai Gringsing, sebenarnyalah Ki Juru mempunyai kemampuan yang mampu membedakan antara bentuk semu dan bentuk sebenarnya. Karena itulah maka ia pun segera melihat, bagaimana dirinya sendiri memacu kudanya di dalam lumpur, sambil tersenyum. Kudanya yang tegar seolah-olah mendapat kesulitan karena kakinya yang terbenam. Namun kuda itu dapat berlari cukup kencang.
Ki Juru Martani tertawa tertahan ketika ia menyadari maksud Ki Waskita sebenarnya. Karena sejenak kemudian ia melihat beberapa orang yang bersembunyi di balik gerumbul itu pun berlari-larian mengejar kuda yang berlari-lari di tengah-tengah sawah itu.
"Jangan sampai lolos," teriak pemimpin kelompok prajurit yang mencegatnya itu.
Beberapa di antara mereka pun memburu dengan senjata telanjang. Mereka berlari-larian di pematang sambil mengacu-acukan senjata mereka.
Kuda yang berlari di dalam lumpur itu nampaknya memang mendapat kesulitan. Tetapi kuda itu dapat juga berlari cukup cepat.
Ki Juru yang tertawa melihat permainan itu pun kemudian menyadari, bahwa kesempatan itu harus dipergunakan sebaik-baiknya.
Ketika ia mencoba menghitung orang-orang yang mengejar kuda yang berlari di tengah sawah itu. Ia melihat beberapa orang yang sudah dikenalnya. Di antara mereka adalah lurah prajurit itu sendiri.
"Hem, jadi merekalah yang telah mencoba mengacaukan hubungan antara Mataram dan Pajang," desisnya.
Orang-orang yang mengejar kuda yang berlari di tengah sawah itu menjadi semakin lama semakin jauh. Akhirnya mereka telah melintasi beberapa kotak sawah dengan nafas terengah-engah. Sedang kuda yang berlari itu masih belum dapat berlari terlampau kencang, sehingga orang-orang itu masih mengharap dapat menangkap penunggangnya.
Beberapa orang berusaha mendahului melalui pematang dan tanggul-tanggul parit, kemudian melingkar mencegatnya.
Dalam pada itu, ternyata masih ada beberapa orang yang tinggal. Lurah prajurit itu memerintahkan tiga orang untuk tinggal dan menangkap pengawal Ki Juru yang tidak ikut berlari ketengah-tengah sawah.
Ketiga orang itu pun perlahan-lahan mencoba merunduk. Menurut perhitungan mereka, pengawal Ki Juru masih bersembunyi di belakang gerumbul-gerumbul liar. Karena itu, maka mereka pun merayap dengan senjata teracu, siap untuk membunuh.
Namun ketika mereka menjadi semakin dekat, tanpa mereka sadari, terasa tengkuk mereka tersentuh sisi telapak tangan Ki Juru Martani. Dua orang dari mereka pingsan. Sedang orang ketiga tidak dapat berbuat lain kecuali menyerah, karena sebilah keris telah melekat di lambungnya.
Ki Juru Martani dan Ki Waskita tidak menunggu lebih lama lagi. Ki Waskita kemudian melepaskan bentuk semunya yang sudah terkepung. Dengan serta-merta maka Ki Juru dan Ki Waskita segera meloncat ke punggung kudanya sambil membawa seorang tawanan bersama mereka, yang harus berkuda bersama dengan Ki Waskita.
Ketika kedua ekor kuda itu berpacu, maka bentuk yang sudah terkepung itu mulai menjadi kabur dan kemudian bahkan lenyap seperti asap ditiup angin.
Orang-orang yang mengepung Ki Juru yang lenyap itu tertegun diam. Mereka bagaikan dicengkam oleh pesona yang tidak pernah mereka alami sebelumnya. Bahkan beberapa orang di antara mereka telah menggosok-gosok matanya.
"Apakah kita sudah gila," teriak lurah prajurit itu.
Prajurit-prajurit yang lain masih berdiri mematung. Mereka memandang dengan mata tanpa berkedip ketempat bekas seekor kuda dan penunggangnya berdiri tegak setelah terkepung rapat. Namun tiba-tiba kuda dan penunggangnya itu lenyap begitu saja.
Dalam pada itu, mereka pun terkejut ketika mereka mendengar kuda berderap. Ketika mereka berpaling, mereka melihat dua ekor kuda berpacu dengan penunggangnya masing-masing.
"Itulah Ki Juru Martani dan pengawalnya," teriak seorang prajurit.
Yang lain diam membeku. Bahkan lurah prajurit itu berkata, "Di siang hari begini kita bertemu dengan hantu. Tentu bukan sekedar hantu-hantuan seperti yang pernah kita dengar di Alas Mentaok. Tetapi yang kita lihat sebenarnya adalah hantu jadi-jadian."
"Apakah ini tuah Ki Gede Pemanahan yang meninggal itu?"
Terasa bulu tengkuk mereka meremang. Jika benar yang mereka alami adalah karena tuah Ki Gede Pemanahan, maka untuk seterusnya mereka akan selalu dikejar oleh hantu-hantuan serupa itu tidak henti-hentinya.
Selagi para prajurit itu kebingungan, maka pemimpinya pun berkata, "Marilah kita lihat kawan-kawan kita yang tinggal."
Para prajurit itu pun kemudian dengan tergesa-gesa kembali kepada kawan-kawan mereka. Namun mereka menjadi semakin gelisah, bahwa dua di antara mereka pingsan dan yang seorang telah hilang.
"Aku tidak tahu apakah yang sedang kita alami ini di percaya oleh pemimpin-pemimpin kita nanti," berkata lurah prajurit itu. "Agaknya Ki Legawa akan menjadi sangat marah. Jika seorang kawan kita yang dibawa oleh pengawal Ki Juru tadi dapat diperas, maka persoalannya tentu akan berkepanjangan."
Kawan-kawannya mengangguk-anggukkan kepalanya.
"Nama kita akan disebutnya dan terlebih-lebih lagi Ki Legawa, karena orang yang tertangkap dan dibawa oleh Ki Juru itu tahu pasti bahwa kita mendapat perintah dari Ki Legawa," berkata lurah prajurit itu.
Dengan demikian, maka mereka pun menjadi sangat gelisah. Mereka sadar, bahwa yang mereka lakukan itu bukanlah tugas mereka yang sewajarnya. Mereka adalah orang-orang yang membenci perkembangan Mataram, bukan karena persoalan yang sebenarnya dapat tumbuh antara Mataram dan Pajang, tetapi karena mereka mempunyai pamrih pribadi. Apalagi upah adbmcadangan.wordpress.com yang langsung mereka terima di dalam tugas-tugas seperti itu dan janji-janji yang menggairahkan di masa depan yang gemilang bagi Pajang setelah Mataram runtuh.
"Tetapi tanggung jawab terbesar tidak terletak kepada kami," berkata lurah prajurit itu. "Memang mungkin kita akan dihukum. Tetapi Ki Legawa dan senapati-senapati yang lebih tinggilah yang akan memikul tanggung jawab terbesar."
Prajurit-prajuritnya hanya mengangguk-anggukkan kepalanya saja. Namun tiba-tiba salah seorang dari mereka berkata, "Siapakah yang akan mengusut persoalan ini lebih jauh" Kita adalah prajurit-prajurit Pajang. Apakah orang-orang Mataram dapat menangkap prajurit Pajang."
"Kau sangat bodoh," sahut lurahnya, "bukan orang-orang Mataram. Tetapi orang-orang Pajang sendiri."
"Apakah para senapati dan pemimpin Pajang tidak justru akan melindungi kami?" bertanya seorang prajurit.
"Pemimpin di Pajang tidak bulat pendapatnya mengenai Mataram. Ada pemimpin-pemimpin yang tidak berkeberatan melihat kenyataan Mataram berkembang. Tetapi ada yang berkeberatan. Dan kita adalah prajurit-prajurit yang berkeberatan melihat adbmcadangan.wordpress.com Mataram berkembang. Pajang akan menjadi susut, dan barangkali akan musna sama sekali. Kita hanya akan dapat mengenang kebesaran Pajang dan tugas-tugas kita sebagai prajurit. Itulah sebabnya aku bersedia bekerja di bawah perintah Ki Legawa."
Prajurit-prajurit itu mengangguk-anggukkan kepalanya. Namun mereka tidak dapat menyisihkan perasaan gelisah.
Bahkan kemudian seorang prajurit yang lain berkata, "Apalagi Kanjeng Sultan Pajang. Kasihnya kepada Raden Sutawijaya membuatnya sangat lemah menghadapi perkembangan daerah baru itu."
"Persetan semuanya," lurah prajurit itu akhirnya menggeram, "kita akan kembali dan melaporkannya kepada Ki Legawa."
"Bagaimana dengan kedua kawan kita yang pingsan?"
"Mereka sudah sadar," sahut yang lain.
Keduanya memang sudah sadar meskipun rasa-rasanya masih sangat lemah. Namun keduanya telah dapat bangkit berdiri dan kemudian berjalan tertatih-tatih bersama kawan-kawannya kembali ke kota.
"Kita harus memencar seperti saat kita berangkat," perintah Lurahnya.
Demikianlah mereka membagi diri ke dalam kelompok-kelompok yang kecil. Mereka bertiga atau berdua menuju ke kota sambil menyembunyikan senjata-senjata mereka di bawah kain panjang.
Namun perasaan mereka masih saja selalu dibebani oleh kecemasan, bahwa akan datang utusan dari Mataram dan mengusut peristiwa itu. Bahkan mungkin juga peristiwa terbunuhnya Ki Gede Mataram.
"Jika Raden Sutawijaya sendiri datang menghadap Kanjeng Sultan, maka persoalannya akan menjadi semakin pahit bagi kita."
"Ia tidak berbuat demikian meskipun ada beberapa orang yang tertangkap pula saat Ki Gede Pemanahan dicegat di pinggir Kali Opak. Bahkan Untara pun dapat menawan beberapa orang dari mereka yang berusaha membunuh Ki Gede."
"Tetapi jalur itu terputus. Tidak ada di antara mereka yang dapat menghubungkan jalur ke atas."
Prajurit yang sedang berbicara itu mengangguk-angguk. Sebenarnyalah pada waktu itu, mereka yang mencegat Ki Gede Pemanahan berada di bawah perintah empat orang bersaudara yang memiliki ilmu yang tinggi itu. Jika pada saat itu Untara tidak datang dan kemudian disusul dengan kehadiran Sutawijaya, maka Ki Gede Pemanahan tentu sudah binasa.
Orang-orang yang kemudian tertangkap, tidak mengetahui urutan yang lain, kecuali keempat bersaudara itu, sehingga bagaimana pun mereka diperas, namun tidak akan ada seorang pun yang dapat menyebut nama pemimpin-pemimpin di Pajang.
"Berbeda dengan keadaan yang baru saja terjadi itu," berkata prajurit-prajurit itu di dalam hati.
Dalam pada itu, maka Ki Juru Martani dan Ki Waskita yang berhasil menawan seorang prajurit Pajang, semakin lama menjadi semakin jauh. Mereka tidak lagi berpaling karena mereka yakin, bahwa orang-orang yang mencegat mereka tidak akan dapat mengejarnya.
Namun demikian kemungkinan itu masih dapat terjadi. Jika orang-orang yang kehilangan seorang kawannya itu merasa perlu untuk menghilangkan jejak, maka mereka tentu akan berusaha untuk merebut kawannya yang dibawa oleh Ki Waskita.
"Tetapi jarak yang sudah ada cukup panjang," berkata Ki Juru kepada diri sendiri, "orang-orang itu tentu akan kembali terlebih dahulu ke Pajang untuk mengambil beberapa ekor kuda. Barulah mereka akan mengejar sementara itu aku sudah menjadi jauh sekali dan tidak mungkin dapat dikejarnya lagi meskipun seekor dari kuda-kuda kami harus membawa beban dua orang."
Namun beban yang terlampau berat itu mempengaruhi laju kuda Ki Waskita. Meskipun kadang-kadang tawanan itu harus berpindah ke kuda yang dipergunakan oleh Ki Juru, tetapi perjalanan mereka menjadi semakin lama.
"Kita meminjam kuda di perjalanan," berkata Ki Waskita.
"Apakah ada orang yang sudah kau kenal?" bertanya Ki Juru.
"Barangkali justru Ki Juru yang mempunyai banyak sahabat di sepanjang jalan antara Pajang dan Mataram."
"Ki Waskita," berkata Ki Juru, "sekarang amat sulit untuk memilih sahabat yang manakah yang sebenarnya bersedia membantu kita setulus hati. Jika aku singgah di rumah yang salah, karena sikapnya yang tidak sesuai dengan sikap kita terutama tentang Mataram, maka perjalanan kita justru akan semakin terganggu."
Ki Waskita mengangguk-anggukkan kepalanya. Namun kemudian katanya, "Kita justru singgah di rumah orang yang sama sekali belum kita kenal, kita meminjam seekor kuda."
"Mereka akan berkeberatan."
"Kita meninggalkan sesuatu kepada mereka, Ki Juru. Aku mempunyai sesuatu yang bernilai lebih dari seekor kuda. Kita titipkan barang itu kepadanya dan kita meminjam kudanya barang tiga hari. Besok kita dapat mengembalikannya jika pemakaman Ki Gede sudah selesai."
"Apakah yang dapat Ki Waskita titipkan?"
"Cincin ini," sahut Ki Waskita sambil menunjukkan cincin emas yang melingkar di jarinya.
Ki Juru mengerutkan keningnya. Namun kemudian ia tersenyum.
"Kenapa Ki Juru?"
Ki Juru menggeleng. Disela-sela senyumnya ia menjawab, "cincin itu adalah cincin sebenarnya."
"Tentu, Ki Juru. Bukan sekedar sebuah permainan dari ilmu kebohongan itu. Aku tidak akan dapat berbuat demikian kepada seseorang yang tidak mempunyai sangkut paut apa pun."
Ki Juru mengangguk-angguk. Namun katanya, "Tetapi mungkin mereka masih tetap berkeberatan, karena kuda bagi seseorang kadang-kadang mempunyai nilai lebih dari nilai kuda itu sendiri. Seekor kuda kadang-kadang dapat dianggap sebagai sahabat yang akrab dan baik."
"Bukankah Ki Juru membawa payung itu" Setiap orang tentu akan menghargainya."
Ki Juru merenung sejenak. Lalu, "Baiklah. Kita akan mencoba. Justru kepada orang yang belum kita kenal sama sekali."
Dan ternyata bahwa usaha yang mereka lakukan itu berhasil. Mereka memperoleh seekor kuda yang cukup. Tetapi mereka harus menunggu sejenak di rumah orang itu selama kuda itu dipersiapkan.
Dalam pada itu, seperti yang sudah diperhitungkan oleh Ki Juru dan Ki Waskita, ketika laporan mengenai kegagalan para prajurit yang mencegat Ki Juru itu sampai ke telinga Ki Legawa, maka wajahnya pun menjadi merah padam. Kegagalan itu dan sekaligus bahwa seorang anak buahnya dapat ditangkap membuatnya menjadi sangat marah dan lebih-lebih lagi menjadi cemas.
"Kau tahu akibat dari kebodohanmu itu?" bertanya Ki Legawa kepada Lurah prajurit.
"Yang terjadi adalah di luar kemampuan kami Ki Legawa. Kami dihadapkan pada permainan yang tidak kami mengerti."
Tetapi ketika Lurah prajurit itu berceritera, maka Ki Legawa membentak, "Bohong. Kalian ingin melindungi kebodohanmu. Aku tidak peduli kepada ceriteramu itu. Sekarang kita harus mengejar mereka. Merebut seorang yang tertawan itu dan membunuh keduanya. Kuda mereka tentu tidak akan dapat berlari cepat, karena yang seekor harus dibebani oleh dua orang bersama-sama."
Prajurrit-prajuritnya tidak membantah lagi. Mereka pun segera mempersiapkan kuda masing-masing meskipun harapan untuk menyusul Ki Juru agaknya sangat tipis.
Prajurit-prajurit itu tidak dapat lagi membagi diri dalam kelompok-kelompok kecil. Yang dapat mereka lakukan hanyalah memilih jalan yang paling sepi dan jauh dari padukuhan-padukuhan yang ramai.
Sebenarnyalah ketika sekelompok prajurit memacu kudanya di antara padukuhan-padukuhan kecil yang sepi, maka orang-orang di padukuhan itu menjadi saling bertanya-tanya. Apakah sebenarnya yang telah terjadi.
Namun seorang tua di antara mereka berkata, "Prajurit-prajurit itu akan pergi ke Mataram."
"Kenapa?" "Ki Gede Pemanahan telah meninggal. Mereka tentu akan pergi untuk memberikan penghormatan yang terakhir."
Kawan-kawannya mengangguk-angguk. Tetapi salah seorang dari mereka bertanya, "Kenapa mereka tidak melalui jalan raya?"
"Mereka mencari jalan memintas. Ki Juru agaknya telah mendahului kembali ke Mataram."
Yang lain sekali lagi mengangguk-angguk. Dan mereka tidak bertanya apa pun lagi.
Sementara itu, sekelompok orang-orang berkuda itu memacu kudanya semakin cepat. Mereka harus dapat menyusul Ki Juru Martani sebelum Ki Juru memasuki daerah yang ramai, daerah yang akan dapat mengenal apa yang telah mereka lakukan.
"Jika kita dapat menyusulnya di Sangkal Putung, kita harus membawa keluar dari daerah itu lebih dahulu," berkata Lurah Prajurit itu.
Demikianlah mereka berpacu semakin cepat. Di luar kota mereka berbelok dan menuju ke jalan raya satu-satunya yang menghubungkan Pajang dan Mataram. Selain jalan itu, adalah jalan yang sekedar dapat dilalui. Sempit, jelek dan barangkali terputus.
Dengan kecemasan yang mendera di dalam hati setiap prajurit itu, mereka pun telah mendera kuda-kuda mereka. Semakin lama semakin cepat. Beberapa ratus langkah lagi mereka akan segera sampai di jalan raya. Di jalan itu mereka tidak akan kehilangan jejak Ki Juru Martani.
Tetapi ketika mereka mendekati jalan raya, tiba-tiba lurah prajutir itu terkejut. Di kejauhan mereka melihat beberapa orang berkuda di dalam iring-iringan.
"Siapakah mereka?" bertanya lurah itu.
Seorang prajurit di sebelahnya menggelengkan kepalanya. Tetapi ia berkata, "Kita tidak memerlukan mereka. Kita lampaui saja iring-iringan itu."


04 Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Namun semakin dekat mereka dengan jalan raya semakin jelas pada mereka, bahwa iring-iringan itu adalah iring-iringan beberapa orang pemimpin, bahkan Senapati Pajang.
"Gila. Ke manakah mereka akan pergi?" geram Lurah prajurit itu.
Setiap orang di dalam kelompok prajurit berkuda itu menjadi berdebar-debar. Ternyata di hadapan mereka, di jalan raya, beberapa orang pemimpin dari Pajang sedang menuju ke Mataram dalam iring-iringan.
"Ki Lurah," berkata seorang prajurit, "agaknya mereka pun akan memberikan penghormatan terakhir."
"Selain mereka siapa lagi, he?" bentak lurah prajurit itu.
"Maksudku, maksudku mereka akan pergi ke Mataram."
"Setan alas," lurah prajurit itu menggeram. Ia terpaksa memperlambat lari kudanya. Agaknya para pemimpin yang sedang berkuda ke Mataram itu sudah melihat prajurit-prajurit itu pula. Tetapi mereka tidak begitu menghiraukannya. Agaknya mereka juga mengira bahwa prajurit-prajurit itu akan pergi ke Mataram untuk memberikan penghormatan terakhir kepada Ki Gede Pemanahan.
"Lalu, apakah kita akan mendahului mereka, Ki Lurah?" bertanya seorang prajurit.
"Tidak mungkin."
"Kita akan mencari jalan lain?"
"Juga tidak mungkin. Jika kita mencari jalan lain, maka perjalanan kita akan menjadi sangat lama dan panjang. Tentu kita akan terlambat. Ki Juru tentu sudah berlalu."
"Jadi?" Lurah prajurit itu menarik nafas dalam-dalam. Namun kemudian ia menggeram, "Yang harus kita lakukan, teryata ada di luar kemampuan kita. Sekarang aku baru sadar, bahwa kita memang tidak mampu melakukan tugas ini. He, apakah kau ingat ceritera tentang Panembahan Agung yang dapat dikalahkan oleh orang-orang Mataram dan Menoreh?"
"Kenapa?" "Panembahan Agung dapat membuat ujud yang sebenarnya tidak ada. Bukankah kita mengalaminya?"
"Maksud Ki Lurah?"
"Kuda yang seakan-akan berlari-larian di tengah sawah dengan Ki Juru Martani di punggungnya itu" Ternyata ujud itu adalah ujud yang semu. Seperti ujud yang diciptakan oleh Panembahan Agung. Dan bukankah yang sampai ke telinga kita, orang-orang Mataram dan Menoreh memiliki ilmu seperti itu pula."
Prajurit-prajuritnya mengangguk-angguk. Namun akhirnya salah seorang dari mereka bertanya pula, "Lalu, apa yang akan kita kerjakan sekarang?"
"Kembali kepada Ki Legawa dan mengatakan apa yang sebenarnya telah terjadi. Kita tidak akan dapat merebut seorang kawan kita yang tertawan itu. Keadaannyalah yang tidak mengijinkannya."
Prajurit-prajurit itu tidak mempunyai pilihan lain. Mereka pun segera berbalik dan memacu kuda mereka kembali ke barak untuk melaporkan semua peristiwa yang mereka alami itu kepada Ki Legawa.
Namun prajurit-prajurit itu tidak menyadari, bahwa sepasang mata selalu mengikuti perjalanan mereka. Dan sepasang mata itu pun segera dapat mengerti, bahwa perjalanan itu telah gagal justru karena di depan mereka sebuah iring-iringan pemimpin-pemimpin dan senapati-senapati Pajang sahabat-sahabat Ki Gede Pemanahan sedang lewat.
"Kegagalan yang jauh lebih berbahaya dari kegagalan yang pernah terjadi atas Ki Gede Pemanahan," desis orang itu.
Karena itu, maka ia pun segera berpacu secepat-cepatnya kembali menghadap orang yang disebutnya Kakang Panji.
"Jadi tidak ada cara lain untuk merebut orang itu?" bertanya orang yang di sebut Kakang Panji.
Senapati yang mengamati perjalanan kembali prajurit-prajurit yang gagal itu menggeleng. Katanya, "Mereka kembali dengan tangan hampa."
Pemimpinnya mengerutkan keningnya. Kemudian dengan suara parau ia berkata, "Jalur itu harus diputuskan. Jika tidak semua rencana kita akan gagal."
Senapati yang diajak berbicara itu mengerti. Perintah itu adalah perintah yang juga tidak boleh gagal agar jalur itu terputus. Jika ia gagal memutuskan jalur itu, maka ia sendirilah yang harus dilepaskan dari jalur itu pula.
"Baiklah, Kakang Panji," berkata senapati itu, "aku minta diri."
"Kau tidak usah pergi ke mana-mana. Legawa akan mencarimu dan melaporkan semua kegagalannya," jawab pemimpinnya. "Ki Juru tidak akan segera sempat memeras keterangannya dari kawannya itu."
"Tetapi bagaimana jika Ki Legawa menyadari keadaannya, dan segera menghilang?"
Orang yang disebut Kakang Panji itu pun mengangguk-angguk. Lalu, "Baiklah. Pergilah menurut perhitunganmu. Yang penting adalah jalur ini dapat diputuskan."
Senapati itu pun kemudian dengan tergesa-gesa pergi ke tempat Ki Legawa menunggu orang-orangnya. Ketika ia sampai di tempat itu ternyata prajurit-prajuritnya sudah berada di tempat itu dan pemimpinnya sedang melaporkan apa yang terjadi.
"O," berkata senapati itu, "silahkan, barangkali aku mengganggu. Lebih baik aku berada di luar. Jika yang sedang kalian bicarakan adalah rahasia."
Ki Legawa mengerutkan keningnya. Lalu, "Tidak apa-apa. Silahkan."
"Tidak. Silahkan menyelesaikan. Aku menunggu. Kedatanganku sama sekali tidak ada persoalan yang penting."
Ki Legawa termangu-mangu sejenak. Namun ia pun kemudian menyadari bahwa seharusnya senapati itu tidak langsung dikenal oleh prajurit-prajuritnya. Sehingga karena itu, maka dipersilahkannya senapati itu menunggu di luar.
"Apakah senapati itu mengetahui rencana kita?" bertanya lurah prajurit kepada Ki legawa.
Ki Legawa menggelengkan kepalanya. Katanya, "Tidak. Tidak ada orang yang mengetahuinya selain orang tertinggi dari jalur perintah ini. Orang yang akan dapat menempatkan dirinya sejajar dengan Ki Gede Pemanahan."
Prajurit-prajurit itu tidak bertanya lagi. Mereka menyadari bahwa mereka tidak akan dapat mengetahui lebih banyak dari yang sudah mereka ketahui.
"Tidak ada seorang pun yang tahu, siapakah sebenarnya orang itu," berkata Ki Legawa, "aku pun tidak. Dan kita memang tidak memerlukan lebih banyak dari meyakini cita-citanya yang luhur."
Prajurit-prajurit itu mengangguk-angguk.
Ketika laporan itu dianggap sudah selesai, maka Ki Lurah itu pun segera meninggalkan Ki Legawa yang bukan saja marah, tetapi juga cemas dan gelisah. Tetapi ia masih ingin mendengar sikap dan pendapat senapati yang datang kepadanya itu.
"Aku telah gagal," berkata Ki Legawa, "aku menyadari bahwa hal ini akan dapat berakibat buruk bagiku."
"Maksudmu?" "Kau dapat menjadi lantaran untuk memutuskan jalur yang melalui aku, karena ada seorang yang sudah tertawan."
"Aku tidak mengerti," desis senapati itu. Tetapi ia sudah menjadi gelisah. Jika Ki Legawa menyadari kedudukannya dan bersiap di tengah-tengah anak buahnya, maka ia akan mendapat banyak kesulitan karenanya.
"Kau jangan pura-pura bodoh," desis Ki Legawa.
Senapati itu termenung sejenak, lalu, "Ki Legawa. Kita harus bertindak cepat. Aku tidak mengerti bagaimana tanggapanmu. Tetapi kita harus pergi ke Mataram. Mungkin tidak ada orang lain yang pantas untuk pergi selain aku. Jika kau bersedia, kita akan pergi bersama dengan seorang lagi yang dapat kau tunjuk di antara orang-orangmu."
"Maksudmu?" "Kita menyusul mereka yang sedang melayat. Jika kita sudah ada di Mataram, maka tawanan itu harus kita ambil atau kita bungkam untuk selamanya. Tugas ini memang tugas yang berat, yang bahkan akan dapat berakibat mati. Tetapi apa boleh buat."
Ki Legawa termangu-mangu.
"Jika kau merasa kurang yakin, bawalah dua orang pengawal yang terpercaya."
Ki Legawa masih merenungi tawaran itu. Lalu, "Jadi apakah kita akan pergi."
"Secepatnya. Kita masih harus singgah sebentar kerumah Kakang Senapati Sanggabumi. Ia memiliki jarum-jarum beracun yang dapat kita pergunakan untuk membunuh dari jarak yang agak jauh. Aku sudah diajarinya mempergunakan jarum-jarum yang sudah dirancang dalam warangan keris itu."
Ki Legawa termenung sejenak. Ia masih tetap bercuriga meskipun nampaknya senapati itu bersungguh-sungguh. Bahkan senapati itu sudah menawarkan kepadanya untuk membawa dua orang pengawal.
"Nah, jika kau sependapat, bersiaplah. Kaulah yang tahu pasti yang manakah orangmu yang tertangkap itu."
Ki Legawa mengangguk-angguk. Kemudian ia pun bertanya, "Jadi kita bergabung dengan orang-orang yang melayat itu?"
"Ya. Dengan demikian tidak akan ada kecurigaan apa pun atas kehadiran kita di Mataram. Tentu Ki Juru Martani belum sempat bertanya apa pun kepada tawanan itu, karena ia harus menyelenggarakan pemakaman Ki Gede Pemanahan. Dan barangkali Ki Juru pun tidak akan mengira bahwa kita akan segera menyusulnya."
Ki Legawa merenung sejenak. Kemudian, "Baiklah. Aku akan membawa dua orang pengawal. Aku akan pergi mendahului, bergabung dengan para pemimpin dan senapati yang pergi ke Mataram. Kau sajalah singgah di rumah Kakang Senapati Sanggabumi. Kemudian kau menyusul aku pula ke Mataram. Kita akan bertemu di perjalanan, karena orang-orang yang melayat itu tentu tidak akan berpacu secepat kau dan aku."
Misteri Pulau Neraka 10 Menuntut Balas Karya Wu Lin Qiao Zi Pedang Penakluk Iblis 18

Cari Blog Ini