Ceritasilat Novel Online

Api Di Bukit Menoreh 31

04 Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintardja Bagian 31


Kiai Gringsitlg, Ki Waskita, dan Ki Sumangkar semakin lama menjadi semakin cemas. Karena itulah, maka mereka pun semakin lama menjadi semakin panas pula. Cambuk Kiai Gringsing meledak semakin keras, sedangkan trisula di tangan Ki Sumangkar berputaran semakin cepat. Ki Waskita pun bergerak semakin cepat pula dengan ikat kepalanya yang sudah membelit tangan kirinya. Setiap serangan, seakan-akan telah membentur perisai baja yang kuat dan tidak tergoyahkan.
Tetapi mereka ternyata telah dihadapi oleh kelompok-kelompok kecil orang-orang yang memiliki kelebihan pada setiap gerombolan yang ada di bawah pimpinan Gandu Demung itu telah menempatkan dirinya melawan orang-orang yang mereka anggap paling berbahaya, sehingga karena itu maka orang-orang tua yang memiliki ilmu melampaui orang kebanyakan itu pun terpaksa bertempur dengan sungguh-sungguh untuk membebaskan serangan-serangan lawannya.
Karena itulah, maka pertempuran itu merupakan pertempuran yang berat bagi orang-orang Sangkal Putung dan Tanah Perdikan Menoreh. Lawan mereka benar-benar terlampau banyak. Bahkan beberapa orang lawan benar-benar telah bertempur dengan licik.
"Tidak ada jalan yang lebih baik daripada mengurangi lawan sebanyak-banyaknya," berkata Ki Sumangkar di dalam hatinya, "semakin lama ternyata bahwa para pengiring menjadi semakin terdesak."
Karena itulah, maka Ki Sumangkar pun kemudian terpaksa benar-benar memberikan tekanan sepenuh tenaganya. Ia tidak ingin membiarkan korban berjatuhan semakin banyak.
Namun dalam pada itu, lawannya pun tidak membiarkannya pula. Mereka bertempur semakin sengit dalam kelompok yang kuat di seputarnya.
Demikian pula yang terjadi atas Kiai Gringsing dan Ki Waskita. Agaknya para perampok itu telah melepaskan lawan-lawan mereka untuk bertempur seorang lawan seorang, sementara yang lain telah membentuk kelompok-kelompok yang mengepung orang-orang terkuat pada iring-iringan pengantin itu.
"Jumlah mereka terlampau banyak," desis Sumangkar.
Agung Sedayu akhirnya merasa dikelilingi oleh beberapa orang lawan yang kuat. Mereka menyerang berturutan dari segenap penjuru. Hanya karena ketangkasannya mengayunkan cambuknya sajalah maka lawannya tidak pernah berhasil menyentuh tubuhnya dengan ujung senjata.
Swandaru pun hanya dapat menggeram dan menahan kemarahan karena ia tidak dapat membebaskan dirinya dari Gandu Demung. Lawannya yang meskipun hanya seorang, namun ternyata bahwa yang seorang itu memiliki kemampuan yang dapat mengimbangi getaran ujung cambuknya.
Kiai Gringsing, Ki Waskita, dan Ki Sumangkar menjadi cemas, mereka bertiga tidak dapat begitu saja melepaskan diri dari putaran lawannya. Bahkan dengan mengerahkan segenap kemampuan mereka sekalipun. Karena lawan bagaikan berada di segala tempat. Sementara itu, para pengiring yang lain rasa-rasanya menjadi semakin terdesak juga.
Satu-satu korban berjatuhan, bahkan rasa-rasanya semakin mencemaskan.
Dalam pada itu, Prastawa telah bertempur dengan gigihnya. Setiap kali terdengar sebuah teriakan nyaring. Pedangnya berputaran dan mematuk dengan dahsyatnya.
Tetapi itu tidak berarti bahwa akhir perkelahian itu mulai membayang. Kiai Gringsing dan orang-orang terkuat di antara para pengiring menyadari bahwa jika perkelahian ini berlangsung lebih lama lagi, meskipun mereka akan dapat menjatuhkan korban demi korban, tetapi agaknya korban dari para pengiring yang jatuh terjadi lebih cepat, sehingga dengan demikian, maka para pengiring dari Sangkal Putung dan Tanah Perdikan Menoreh itu akan susut dengan cepat sementara para perampok itu akan berkurang dengan perlahan-lahan, betapapun orang-orang terkuat di antara mereka mengerahkan segenap kemampuannya.
Ki Demang yang bertempur dengan kemarahan yang menghentak-hentak dada mulai menyadari kelengahannya dan para pengiringnya. Mereka telah dipengaruhi oleh ketenangan di sepanjang jalan sehingga justru di depan hidung padukuhannya sendiri, mereka telah dihadapkan pada kesulitan yang sukar untuk diatasi.
Tetapi sudah tentu bahwa mereka tidak dapat membiarkan diri mereka dibantai oleh lawan. Mereka pun telah bertempur sekuat-kuat tenaga dan kemampuan.
Satu-satu Ki Sumangkar, Kiai Gringsing, dan Ki Waskita berhasil mengurangi jumlah lawannya. Tetapi setiap kali, orang lain telah hadir pula di lingkaran pertempurannya, karena di bagian lain, seorang pengiring telah jatuh pula terbaring di tanah dengan luka yang parah.
"Alangkah mahalnya beaya perkawinan Swandaru," desis Agung Sedayu.
Namun dalam pada itu, hati Swandaru saat itu bagaikan dibakar oleh api kemarahannya. Seolah-olah ia ingin menepuk dada sambil berteriak bahwa dirinya adalah orang yang paling berkuasa di kademangan itu selain ayahnya.
"Aku dapat mengerahkan semua kekuatan yang ada di Sangkal Putung dan Menoreh," katanya di dalam hati, "dan aku akan memusnahkan mereka seperti aku dapat membakar batang ilalang kering di padang ini."
Tetapi yang terjadi bukannya seperti yang diangan-angankan. Orang-orang itu sedang berusaha membinasakan para pengiringnya. Dan dalam saat seperti itu, ia tidak dapat berbuat apa-apa, selain mempergunakan kekuatan yang sudah ada.
Kenyataan itu benar-benar sangat mendebarkan jantung. Betapapun kemarahan memuncak di hatinya, tetapi ia harus menghadapi kenyataan, juga tentang lawannya. Meskipun Swandaru sudah mengerahkan kemampuannya, tetapi ia tidak segera dapat mengalahkan Gandu Demung.
Betapa pahitnya kenyataan itu bagi Swandaru. Selagi ia merasa dirinya seorang yang memiliki kekuasaan di dua daerah yang luas dan kuat, namun ia tidak berdaya untuk berbuat sesuatu karena lawannya yang tidak segera dapat dikalahkan.
Para pemimpin dari Sangkal Putung dah Tanah Perdikan Menoreh semakin menjadi cemas. Prastawa yang semula bertempur dengan garangnya telah menjadi berdebar-debar. Setiap kali ia melihat kawannya terluka, maka hatinya bertambah kecut. Meskipun ia tidak diganggu oleh ketakutan tentang dirinya sendiri, tetapi ia segera dipengaruhi oleh keadaan kawan-kawannya yang terdesak.
Namun Sekar Mirah tidak sempat memperhatikan keadaan anak muda itu karena ia harus bertempur dengan sekuat tenaganya. Saudara Gandu Demung yang tidak dapat segera mengalahkannya itu ternyata telah memanggil seorang kawan untuk melawan gadis dari Sangkal Putung itu.
Dalam pada itu, maka jumlah yang besar dari para perampok itu agaknya ikut menentukan. Perlahan-lahan mereka berhasil mendesak lawan mereka. Bahkan oleh pengalaman yang luas, mereka seakan-akan telah melingkari para pengiring dari Sangkal Putung dan Tanah Pcrdikan Menoreh. Mereka tidak mendesak para pengiring itu untuk memasuki hutan kecil, namun mereka seolah-olah telah berhasil mengepung dan mendesak mereka ke lingkaran yang semakin sempit.
"Gila," desis Ki Demang Sangkal Putung.
Sementara itu Agung Sedayu telah bertempur dengan sekuat tenaganya.
Tetapi bagaimana pun juga, para pengiring itu telah terdesak. Mereka semakin merapat dalam lingkaran yang menyempit.
Ki Waskita setiap kali menarik nafas melihat kemungkinan yang pahit itu, sehingga kadang-kadang ia pun telah disentuh oleh kecemasan bahwa korban akan menjadi semakin banyak.
Sambil memandang empat orang lawannya, ia mendesak maju. Direncanakannya tangannya ketika sebilah tombak pendek menusuknya. Kemudian dengan tangannya yang lain, ia berhasil menangkap ujung tangkainya. Sebuah hentakkan yang kuat telah menyeret seorang ke dalam lingkaran perkelahian dan jatuh terjerembab.
"Salahmu," ia menggeram. Tetapi ketika kakinya hampir saja memecahkan kepala orang itu, ia menahan kekuatannya sehingga yang terdengar kemudian adalah keluhan tertahan. Namun dengan tangkas orang itu berhasil meloncat bangkit meskipun kepalanya menjadi pening.
Ki Waskita tidak dapat mengerahkan tenaga cadangannya untuk melakukan pembunuhan dengan semena-mena. Tetapi jika ia masih tetap dihinggapi oleh perasaan itu, maka justru korban akan berjatuhan dari pihaknya.
"Aku tidak peduli," Kiai Gringsing menggeram pula ketika cambuknya merobek paha seorang lawannya sehingga lawannya itu terbanting jatuh. Namun ujung cambuk itu seolah-olah telah dihentakkan sehingga tidak menyentuh wajah orang yang sudah tidak berdaya itu.
"Kenapa aku tidak membunuhnya," desis Kiai Gringsing.
Sejenak kemudian terdengar cambuknya meledak dahsyat sekali. Kemarahannya kadang-kadang tertahan-tahan, tetapi kadang-kadang meledak-ledak hanya di ujung cambuk, karena kematian masih mungkin dihindari.
Ki Sumangkar-lah yang kemudian tidak lagi mengendalikan dirinya karena ia seolah-olah berada di sisi yang lain dari perkelahian itu. Lawannya mendesaknya tanpa ampun, sehingga ia pun tidak lagi dapat mempertimbangkan untuk mengampuni. Itulah sebabnya maka di sisi itu rasa-rasanya orang-orang Sangkal Putung mendapat kesempatan untuk mengadakan perlawanan sebaik-baiknya.
Lawan-lawan mereka tidak berhasil mendesak terus. Bahkan Ki Sumangkar seakan-akan selalu berhasil memecahkan kepungan yang menghimpitnya.
"Jika aku tidak membunuh lawan sebanyak banyaknya maka kawan-kawankulah yang terbunuh. Bahkan mungkin muridku."
Meskipun beberapa orang dari antara mereka yang dikepung oleh para perampok itu ternyata berhasil menggoncangkan lawan-lawannya, tetapi keadaan keseluruhan medan memang agak mengkhawatirkan.
Kiai Gringsing, Ki Waskita, dan Sumangkar yakin bahwa jika pertempuran itu dibiarkannya demikian seterusnya, mereka akan dapat mengakhiri sampai orang terakhir. Tetapi sementara itu, mungkin orang-orang terpenting di pihaknya sempat menjadi korban.
"Ada sesuatu yang harus dilakukan," desis Kiai Gringsing, "Ki Demang harus bertindak cepat. Beberapa puluh tonggak lagi adalah padukuhan yang dihuni oleh beberapa orang anak-anak muda yang di antara mereka adalah pengawal-pengawal Sangkal Putung."
Karena itulah, maka Kiai Gringsing kemudian berusaha untuk mendekati Ki Demang Sangkal Putung. Baginya tidak terlalu sulit untuk bergeser di arena itu, meskipun ia dikepung oleh beberapa orang sekaligus.
Dalam pada itu, Ki Demang benar-benar telah menjadi cemas. Betapapun akhir dari perkelahian itu, bahkan seandainya orang-orang terkuat di pihaknya akan dapat menumpas lawan sampai habis sekalipun, namun jika anaknya sempat menjadi korban, maka perjalanan mereka, bahkan hidupnya pun menjadi sia-sia.
Karena itulah, maka Ki Demang pun kemudian berkelahi dengan membabi buta, bahkan hampir putus asa.
Dalam keadaan yang mengkhawatirkan itulah Gandu Demung dan anak buahnya sempat berteriak-teriak dengan kasarnya untuk mempengaruhi pertempuran. Suara mereka yang kasar dan keras, seolah-olah membuat hati lawannya menjadi semakin gemetar.
Kesulitan demi kesulitan terasa di antara para pengiring dari Sangkal Putung dan Tanah Perdikan Menoreh. Mereka terdesak dalam kepungan yang semakin sempit, sehingga sebagian dari mereka telah merasa, bahwa mereka benar-benar akan mengalami kegagalan yang pahit.
Dalam pada itu, selagi keadaan yang parah itu menekan orang orang Sangkal Putung dan Tanah Perdikan Menoreh, dibumbui oleh harapan-harapan yang semakin menyala di hati para perampok, meskipun sebagian dari mereka merasa bahwa perjuangan mereka ternyata berat dan sangat perlahan-lahan dibanding dengan jumlah mereka yang jauh lebih banyak dari lawannya, maka saat itu orang-orang di Sangkal Putung sibuk mempersiapkan penyambutan atas kedatangan sepasang pengantin yang menurut rencana akan datang pada hari itu.
Beberapa orang pengawal telah siap menjemput mereka di regol padukuhan yang pertama. Kemudian di sepanjang jalan, beberapa orang sudah menunggu, karena mereka ingin melihat, sepansang pengantin yang akan diterima di Kademangan Sangkal Putung dengan upacara yang besar dan meriah.
"Mereka tentu maju perlahan-lahan sekali," berkata salah seorang pengawai kepada kawan-kawannya.
"Bukankah menurut rencana, mereka semalam bermalam di Mataram" desis yang lain.
"Ya." "Tetapi kapan mereka berangkat dari Mataram" Tentunya tidak terlampau siang, apalagi sore hari."
"Tentu tidak." Yang lain terdiam. Tetapi rasa-rasanya mereka sudah menunggu terlampau lama.
Para perampok pun merasa telah bertempur terlampau lama. Beberapa orang pemimpin mereka menjadi tidak sabar lagi. Tetapi mereka tidak dapat memaksakan kemenangan yang lebih cepat meskipun sudah terasa. Rasa-rasanya beberapa orang di antara orang orang Sangkal Putung dan Tanah perdikan Menoreh telah menghambat kemenangan mereka, sehingga kemarahan mereka menjadi semakin memuncak.
Sementara anak-anak muda yang menunggu kehadiran sepasang pengantin itu mengisi waktunya dengan berbagai permainan. Macanan atau mul-mulan. Berpasangan mereka duduk di sebelah gardu di regol padukuhan. Setiap kali mereka mengangkat kepala mereka sambil memandang ke kejauhan. Jika selembar debu mengepul, mereka pun segera meloncat berdiri. Namun jika debu itu lenyap tanpa meninggalkan bayangan apa pun, mereka menjadi kecewa dan duduk lagi di belakang permainan mereka.
Tetapi akhirnya mereka pun jemu bermain-main. Mereka mulai berkelakar sambil saling mengganggu. Suara tertawa meledak-ledak tidak henti-hentinya.
"Tentu Swandaru terlambat bangun, dan tidak ada yang berani mengganggunya," desis salah seorang anak muda.
Yang lain menyahut sambil tertawa, "Pengantin itu tentu lebih senang bermalam semalam lagi di Mataram. Mereka tidak akan diganggu oleh upacara yang tentu terasa sangat menjemukan."
Suara tertawa pun meledak di antara mereka.
Namun tiba-tiba saja mereka terkejut ketika salah seorang ber-teriak, "Lihat mereka datang."
Anak-anak muda itu pun segera berloncatan. Berdesak-desakan mereka berdiri di luar regol. Bahkan ada di antara mereka yang meloncat ke atas dinding.
Tetapi mereka pun termangu-mangu. Dan bahkan salah seorang dari mereka bertanya di antara kawan-kawannya, "Kuda. Kau lihat seekor kuda berlari-lari tanpa penunggang?"
"Dua. O, tiga. Aku melihat tiga ekor kuda," teriak yang berdiri di atas dinding batu.
Tiba-tiba saja suasana telah berubah sama sekali. Mereka yang bergurau dengan gelak tertawa, tiba-tiba saja telah dicengkam oleh suatu teka-teki yang aneh.
"Tangkaplah kuda-kuda itu. Kita akan dapat menduga, siapakah penunggang-penunggangnya. Apakah mereka orang-orang yang kebetulan sedang turun dari kuda-kuda mereka, tetapi karena suatu kejutan kuda-kuda itu berlari, atau mungkin karena sesuatu hal penunggang-penunggangnya telah terjatuh atau sebab-sebab lain."
Beberapa orang anak muda pun melangkah maju. Mereka telah bersiap-siap untuk menghentikan kuda-kuda yang sedang berlari itu.
Agaknya kuda-kuda itu pun tidak berlari-larian terus. Ketika kuda-kuda itu melihat beberapa orang yang berdiri di jalan yang akan dilalui, nampaknya kuda-kuda itu pun telah berlari semakin lambat, sehingga dengan demikian, maka usaha untuk menangkapnya tidak terlampau sulit.
"Lihat, apakah yang ada di dalam bungkusan di pelana kuda itu," berkata salah seorang dari mereka.
Beberapa orang anak muda pun kemudian melihat sebuah bungkusan yang tergantung di pelana kuda itu. Beberapa lembar pakaian.
"He, bukankah ini pakaian Damar" He, ini pakaian Damar. Aku tahu benar. Dan ini?" desis seorang sambil mengamati kuda itu.
Anak-anak muda itu menjadi tegang. Mereka pun kemudian mengerumuni kawannya yang sedang merentangkan sebuah baju lurik berwarna merah soga.
"Apakah kau yakin?" bertanya salah seorang dari mereka.
"Aku yakin. Aku juga mempunyai baju seperti ini, karena kami berdua membeli lurik bersama-sama dan membuat bersama-sama pula."
"Jadi, kuda ini adalah kuda yang dipergunakan oleh Damar?"
"Aku kira begitu."
Anak-anak muda itu terdiam sejenak. Tanpa mereka sadari, mereka pun kemudian mengambil bungkusan-bungkusan kecil yang perada di pelana kuda yang lain pula.
Meskipun mereka tidak segera dapat mengenal, namun mereka yakin bahwa pakaian kawan-kawan mereka dan kuda-kuda para pengawal Sangkal Putung.
"Apakah yang sudah terjadi?" desis seorang anak muda yang bertubuh tinggi.
Sejenak mereka termangu-mangu. Namun ketika mereka melihat seekor kuda lagi berlari-lari mendekati regol, tiba-tiba saja salah seorang berteriak, "Itu kuda Swandaru."
"Ya. Itu kuda Swandaru."
Dada anak-anak muda itu rasa-rasanya berdentang terlampau cepat. Tiba-tiba saja anak umda bertubuh tinggi itu berteriak, "Siapa ikut aku?"
Dan tanpa berpikir panjang lagi ia pun segera meloncat naik ke atas punggung kuda dan berpacu menyusur jalan dari arah kuda-kuda itu datang.
Demikian pula tiga orang kawannya yang tidak mau ketinggalan, mempergunakan kuda-kuda yang ada dan menyusul kawannya yang bertubuh tinggi itu.
"Tunggu," teriak yang lain. Tetapi keempat orang itu sudah menjadi semakin jauh.
"Agaknya sesuatu telah terjadi dengan rombongan pengantin. Tidak mungkin bahwa mereka membiarkan kuda-kuda mereka berlari mendahului dan iring-iringan itu melanjutkan perjalanan dengan berjalan kaki," desis salah seorang dari anak-anak muda yang masih berdiri di regol.
"Kita mencari kuda. Cepat," teriak salah seorang dari mereka.
Kata-katanya itu ternyata telah menggerakkan anak-anak muda itu. Mereka pun kemudian berlari-larian ke rumah-rumah yang terdekat, yang diperkirakan mempunyai kuda tunggangan. Tegar atau tidak tegar.
Dalam keadaan yang tergesa-gesa itu akhirnya mereka berhasil mengumpulkan tujuh ekor kuda sehingga tujuh orang dari antara mereka pun segera berpacu menyusul keempat kawan-kawannya yang sudah mendahului mereka. Bahkan mereka masih sempat mempersiapkan senjata yang apabila perlu dapat dipergunakan setiap saat.
Ternyata bahwa keempat orang yang terdahulu itu masih menjumpai beberapa ekor kuda yang termangu-mangu. Ada beberapa ekor di antaranya berhenti dengan tenangnya makan rumput di pinggir parit.
"Lecut kuda-kuda itu," desis salah seorang dari keempat orang yang terdahulu, "biarlah kuda-kuda itu kembali ke padukuhan dan dipergunakan oleh kawan-kawan kita yang lain."
Dengan sentuhan-sentuhan kecil maka kuda-kuda itu pun kemudian berlari menuju ke padukuhan seperti kuda-kuda yang terdahulu. Di sepanjang jalan, anak-anak muda yang menyusul kemudian memperlakukan kuda-kuda itu seperti kawan-kawan mereka yang berada di depan.
Dalam pada itu, keempat orang yang berkuda di paling depan melecut kuda mereka semakin cepat. Dugaan mereka kuat sekali, bahwa agaknya memang telah terjadi sesuatu dengan iring-iringan pengantin itu.
"Tentu tidak terlalu jauh," desis orang yang bertubuh tinggi itu kepada diri sendiri, "jika peristiwa yang terjadi itu masih cukup jauh, kuda-kuda itu tentu tidak dengan mudah menemukan jalan kembali ke kandang mereka."
Karena itulah maka ia pun berpacu semakin cepat. Dan dugaan yang paling kuat adalah hutan di ujung kademangan.
Sementara itu pertempuran di pinggir hutan itu masih berlangsung. Meskipun para perampok itu berhasil mendesak lawan-lawannya, tetapi mereka nampaknya merasa pekerjaan mereka terlalu lamban. Mereka ingin segera menguasai keadaan seluruhnya dan memaksa sisa lawannya untuk menyerahkan semua miliknya dan merampas milik orang-orang yang terluka dan barangkali terbunuh di arena. Apalagi ketika mereka menyadari bahwa korban di antara mereka pun masih berjatuhan terus, terutama di sekitar orang-orang yang mempergunakan senjata-senjata yang aneh. Cambuk, trisula, ikat kepala, dan beberapa orang lain yang memiliki kelebihan dari kawan-kawannya.
Namun pada umumnya, para pengawal itu benar-benar telah terdesak, semakin menyempit karena jumlah yang tidak seimbang.
Dalam pada itu, Ki Demang Sangkal Putung seolah-olah benar-benar telah kehilangan akal. Ia melihat desakan yang seolah-olah tidak tertahankan, kepungan yang semakin sempit dan satu-satu korban masih saja jatuh di tanah. Meskipun ia melihat juga, bagaimana Kiai Gringsing, Ki Sumangkar, dan Ki Waskita berhasil mengurangi jumlah lawan, tetapi rasa-rasanya kecemasan masih saja mencengkamnya, bahkan semakin dalam.
Ki Waskita yang bertempur melawan beberapa orang itu masih saja dibayangi oleh keragu-raguan. Setiap kali timbul keinginann untuk menampilkan bentuk-bentuk semu yang dapat mengganggu pertempuran itu. Tetapi setiap kali ia justru menjadi ragu-ragu, bahwa orang-orang Sangkal Putung dan Tanah Perdikan Menoreh pun akan menjadi bingung karenanya, apalagi Ki Waskita masih belum menemukan, bentuk apakah yang paling baik ditampilkan dalam pertempuran itu.
Namun dalam pada itu, selagi Ki Demang dicengkam oleh kecemasan yang semakin dalam, seperti juga beberapa orang yang lain, maka terdengarlah derap kaki kuda yang menjadi semakin dekat. Beberapa orang yang bertempur di sepanjang jalan dapat melihat empat ekor kuda berlari kencang menuju ke arena, sehingga debu yang putih bergulung-gulung terlempar dari kaki kuda-kuda itu.
"Tentu bukan sekedar bentuk semu," berkata Ki Waskita di dalam hatinya.
Kedatangan empat orang penunggang kuda itu benar-benar menarik perhatian. Apalagi karena nampaknya mereka langsung menuju ke arena dengan senjata yang sudah telanjang.
Ki Demang pun kemudian melihat keempat orang itu. Seperti juga orang-orang Sangkal Putung, mereka langsung mengenal, bahwa keempat orang itu adalah pengawal-pengawal kademangan.
Untuk sesaat Prastawa justru menjadi cemas, karena ia semula mengira bahwa keempat orang itu justru adalah kawan-kawan para penjahat. Namun ketika tiba-tiba saja terdengar sorak orang-orang Sangkal Putung yang merasa seolah-olah tidak lagi dapat melepaskan diri dari tekanan lawannya, segera mengetahui bahwa orang-orang adalah orang-orang Sangkal Putung.
"Cepatlah," berteriak salah seorang pengiring dari Sangkal Putung.
Kuda-kuda itu langsung menyerbu ke arena. Baru ketika mereka tinggal beberapa langkah lagi, maka penunggang-penunggangnya pun memperlambat lari kudanya dan meloncat turun.
Meskipun yang datang itu hanya empat orang, tetapi rasa-rasanya pengaruhnya segera terasa. Keempat orang itu telah berhasil menarik perhatian hampir semua orang yang berada di arena itu.
"Gila," teriak Gandu Demung yang masih bertempur melawan Swandaru, "musnakan mereka segera. Kita tidak boleh bekerja terlalu lamban seperti ini."
Tidak ada jawaban. Tetapi Bajang Garing mengumpat di dalam hati, "Kau sendiri tidak segera berhasil mengalahkan lawanmu."
Agung Sedayu yang bertempur di ujung menarik nafas dalam-dalam. Ia sudah berusaha untuk menghilangkan perasaan segannya, dan cambuknya sudah benar-benar menyambar lawannya beberapa kali. Namun ia tidak dapat menembus beberapa orang lawan yang seolah-olah menyerangnya berganti-ganti.
Empat orang yang baru datang itu telah berhasil mengurangi jumlah lawan yang menekan dalam kepungan. Dengan garangnya keempat orang yang masih segar itu menyerbu dengan senjatanya yang berputar seperti baling-baling. Kemarahan yang tiba-tiba saja meledak di dadanya, telah membuat mereka menjadi kehilangan pengekangan diri.
Tetapi mereka pun segera tertahan ketika empat orang dari gerombolan penjahat itu menyongsong mereka, sehingga perkelahian yang sengit pun segera terjadi.
Tetapi kejutan yang mengguncangkan arena itu masih berkelanjutan. Sejenak kemudian, selagi arena itu masih dibakar oleh pertempuran yang seru, terdengar lagi derap kaki kuda. Lebih banyak dari yang terdahulu.
Yang datang ternyata berjumlah tujuh orang. Seperti keempat orang pengawal yang telah datang terlebih dahulu, maka ketujuh orang itu pun langsung menyerbu ke arena perkelahian. Mereka meloncat turun dan langsung menarik senjata mereka dari sarungnya dan menyerbu dengan penuh luapan kemarahan.
Swandaru yang bertempur melawan Gandu Demung menarik nafas dalam-dalam. Kedatangan kawan-kawannya membuatnya jadi lebih tenang. Sekilas dilihatnya Pandan Wangi yang masih bertempur dengan gigihnya setelah ia berhasil membunuh orang bertubuh raksasa yang dungu itu.
Dalam pada itu. Sekar Mirah pun mulai tersenyum pula. Kehadiran ketujuh orang yang menyusul kemudian itu benar-benar telah mempengaruhi keadaan, sehingga terasa kepungan itu pun menjadi makin kendor.
"Terima kasih," tiba-tiba saja Ki Demang berkata lantang. Ia tidak dapat menahan gejolak yang menggeletar di dalam hatinya. Namun kemudian keinginannya pun telah mendesaknya, "Dari mana kau mengetahui keadaan ini, sehingga kau telah datang kemari?"
"Beberapa ekor kuda telah datang ke padukuhan tanpa penunggang," jawab salah seorang dari mereka.
Ki Demang menarik nafas dalam-dalam. Semakin lama semakin terasa bahwa kepungan lawan menjadi semakin longgar.
Gandu Demung yang mengetahui keadaan itu pun menggeram. Rasa-rasanya jantungnya telah terbakar oleh kemarahan yang meledak. Sebelum kedatangan para pengawal, ia sudah memastikan, bahwa usahanya akan berhasil. Tentu orang-orang yang baru datang dari Tanah Perdikan Menoreh itu membawa banyak sekali barang-barang berharga. Namun nampaknya harapan itu kini menjadi semakin kabur.
Apalagi ketika salah seorang dari para pengawal Sangkal Putung itu berkata nyaring, "Masih ada beberapa ekor kuda yang berlari ke padukuhan. Sebentar lagi tentu akan datang lagi beberapa orang pengawal menyusul kami."
"Bohong," tiba-tiba saja Gandu Demung berteriak, "kau hanya ingin sekedar menakut-nakuti kami. Tetapi kami bukan pengecut."
"Jawabmu sudah membayangkan ketakutan yang mencengkam jantungmu," desis Swandaru, "hati-hatilah. Cambukku akan segera mengakhiri perlawananmu. Aku tidak lagi diganggu oleh kecemasan tentang kawan-kawanku yang mendapat tekanan yang berat dari orang-orangmu yang gila itu."
"Kawan-kawanku pun akan segera datang membantuku," teriak Gandu Demung.
"Tidak ada lagi orangmu yang tersisa. Tetapi jika mereka masih ada dan ingin memasuki arena ini, itu adalah kebetulan sekali, karena mereka pun akan segera terbujur menjadi mayat."
Gandu Demung menjadi semakin marah. Tetapi kemarahannya sama sekali tidak berhasil merubah kenyataan yang harus dihadapinya. Perlahan kawan-kawannya pun menjadi semakin mengendor, karena korban pun berjatuhan. Sebelas orang pengawal yang datang kemudian itu benar-benar telah ikut menentukan akhir dari perkelahian yang semula jumlahnya tidak seimbang sama sekali. Meskipun di saat terakhir jumlah mereka masih tetap lebih banyak, tetapi selisih yang tidak terlampau jauh itu sama sekali tidak banyak berpengaruh, karena sebagian dari mereka telah diserap di seputar orang-orang yang mempunyai kelebihan dari kebanyakan.
Dalam pada itu, di kejauhan, dua orang mengamati perkelahian itu dengan saksama. Mereka pun menjadi cemas bahwa kedatangan beberapa orang berkuda itu dapat merubah keseimbangan. Apalagi ketika kemudian ternyata bahwa hal itu benar-benar telah terjadi.
Kehadiran sebelas orang di arena itu, telah mengaburkan harapan kedua orang yang mengawasi pertempuran dari kejauhan itu. Mereka sebenarnya ingin melihat Gandu Demung mendapatkan kemenangan. Kemudian di saat-saat terakhir datang kepadanya dan minta satu dua butir perhiasan dari para korbannya.
Namun ternyata bahwa para pengiring yang mendapat bantuan dari anak-anak muda yang datang kemudian itu, berhasil mengendorkan kepungan yang sudah menjadi semakin rapat.
"Gila," desis salah seorang dari mereka.
"Yang lebih parah adalah jika Gandu Demung tertangkap hidup," desis yang lain, "kita kehilangan beberapa butir berlian, ditambah lagi dengan tugas yang paling gila. Tugas yang paling aku benci selama aku berada di lingkungan ini."
Kawannya hanya menarik nafas. Namun kemudian dahinya berkerut semakin dalam ketika ia melihat dua ekor kuda sedang mendatang.
"Ditambah dengan dua orang lagi," desisnya kemudian.
"Seorang lagi di belakangnya."
"Gila. Tetapi kenapa mereka datang seorang demi seorang" Bukan sepasukan yang lengkap sekaligus?"
"Mereka tentu tidak bersiap menghadapi peristiwa yang tidak terduga-duga itu. Karena itu, siapa yang telah mendapatkan kuda ialah yang berangkat lebih dahulu."
"Tiga orang ini akan sangat penting artinya bagi pertempuran yang sudah mulai kacau. Kepungan Gandu Demung sebentar lagi akan pecah dan usahanya yang sudah hampir berhasil itu ternyata sia-sia. Korban yang berjatuhan tidak memberikan apa-apa kepadanya dan kepada kelompoknya yang berjumlah sekian banyak orang itu."
"Kasihan," tiba-tiba kawannya menarik nafas dalam-dalam, seolah-olah sebuah keluhan yang panjang telah terlontar dari mulutnya.
Sebenarnyalah bahwa pasukan Gandu Demung semakin lama menjadi semakin terdesak. Jumlah orang yang masih lebih banyak, ternyata tidak mampu menguasai arena. Satu-satu mereka terdesak dan bahkan jatuh di tanah dengan luka di tubuhnya atau bahkan terbunuh sama sekali.
Gandu Demung melihat keadaan yang berubah itu dengan kemarahan yang memuncak. Ia sadar bahwa setiap orang akan meletakkan tangung jawab dari kegagalan ini di atas pundaknya, terutama orang-orang dari lingkungan yang berada. Anak buah Bajang Garing dan gerombolan dari Alas Pengarang.
Karena itulah, maka kegelisahan yang sangat telah mencengkam dadanya. Perhitungan yang sudah dibuatnya sebaik-baiknya telah gagal karena orang-orang Sangkal Putung dengan sengaja telah melepaskan kuda-kuda mereka.
"Suatu kelengahan," geram Gandu Demung, "kuda-kuda itu seharusnya dibinasakan sehingga tidak dapat mencapai padukuhan."
Tetapi semuanya sudah terjadi. Bahkan ia menduga, tentu masih ada lagi anak-anak muda yang akan berdatangan meskipun hanya satu atau dua orang, sehingga keseimbangan perkelahian ini benar-benar akan berubah sama sekali.
Ternyata bahwa dugaan Gandu Demung itu benar. Sejenak ke-mudian telah muncul lagi dua ekor kuda yang berpacu seperti angin, langsung menyerbu ke arena perkelahian.
Dalam pada itu, Gandu Demung benar-benar menjadi bimbang. Apakah ia akan bertahan terus sampai orang yang terakhir. Atau ia harus mengambil sikap lain.
Sebagai seorang yang telah mendapat kepercayaan dari Empu Pinang Aring untuk berada di dalam satu lingkaran pembicaraan, maka Gandu Demung adalah orang yang memiliki harapan yang baik di hari depan. Namun tiba-tiba saja ia telah terjebak dalam kelengahan, sehingga seolah-olah ia telah terperosok ke dalarn satu kesulitan.
Untuk beberapa saat Gandu Demung hanya dapat bertahan sambil memikirkan kemungkinan yang paling baik dapat dilakukan.
Sementara itu, para pemimpin dari gerombolan yang lain benar-benar menjadi gelisah. Mereka tidak tahu apa yang akan dilakukan dan sikap apakah yang akan diambil oleh Gandu Demung. Namun untuk bertahan seterusnya, mereka tentu tidak akan mampu lagi.
"Gila," desis salah seorang dari gerombolan Alas Pengarang, "apakah kita akan dibiarkan terbakar sampai hangus di sini?"
"Tidak ada gunanya lagi kita bertempur terus," desis yang lain.
Sekilas mereka memandang hutan yang meskipun tidak terlalu lebat tetapi akan dapat dipergunakan sebagai tempat untuk menarik diri dari arena perkelahian. Hutan itu merupakan arena yang baik untuk menghindar dan kemudian menghilang dari peperangan yang sudah dapat diduga akhirnya.
Tetapi setiap orang masih menunggu. Pemimpin-pemimpin mereka yang masih hidup masih bertempur terus. Gandu Demung pun masih berusaha bertahan dari amukan cambuk Swandaru yang meledak semakin dahsyat.
Tetapi akhirnya Gandu Demung tidak dapat bertahan lebih lama lagi. Ketika dua orang berkuda datang pula ke arena, yakinlah ia bahwa perkelahian itu harus diakhiri, meskipun harus mengorbankan harga diri. Namuh itu agaknya lebih baik daripada semua orang di dalam gerombolan itu harus tumpas habis.
Sejenak kemudian, maka terdengarlah dari mulut Gandu Demung suatu isyarat. Isyarat yang tidak pernah dibicarakannya lebih dahulu, karena setiap orang di dalam gerombolan itu yakin, bahwa mereka akan berhasil memusnahkan lawan mereka dan merampas barang-barangnya.
Meskipun demikian, karena di setiap hati telah terbersit keinginan yang serupa, maka ketika isyarat itu terdengar di arena pertempuran, maka mereka pun segera mendapatkan terjemahan yang sama.
Lari dari arena pertempuran.
Sejenak kemudian, maka telah terjadi hiruk-pikuk yang membingungkan. Gandu Demung telah membawa orang-orangnya berlari meninggalkan arena, namun dengan membuat kesan yang kalut, sehingga lawannya agak menemukan kesulitan untuk mengejar mereka seorang demi seorang. Apalagi setelah setiap gerombolan melakukan hal yang serupa sambil berlari memasuki hutan yang tidak terlampau lebat, namun cukup padat untuk menarik diri dan menghilang di antara pepohonan.
Beberapa orang pengiring benar-benar telah kehilangan lawannya. Mereka tidak sempat mengejar karena keadaan yang membingungkan. Para perampok itu lari silang melintang, kemudian menyusup di balik pepohonan.
Tetapi dalam pada itu, Swandaru benar-benar tidak mau melepaskan lawannya. Dengan kemarahan yang membara ia berhasil mengurung Gandu Demung dalam satu perkelahian, sehingga Gandu Demung itu sendiri tidak segera dapat melarikan diri.
"Gila," geram Gandu Demung.
Tetapi bagaimana pun juga, Swandaru berhasil menahannya. Demikian juga beberapa orang yang lain, yang tidak sempat menghindar dari kejaran para pengiring dari Sangkal Putung dan Tanah Perdikan Menoreh.
Karena itulah, maka Swandaru masih tetap bertempur terus melawan Gandu Demung ketika para pengiringnya sudah mulai berdatangan setelah kehilangan lawannya, sementara yang lain memaksa lawan-lawannya yang tidak berdaya lagi untuk menyerah.
"Letakkan senjata kalian," terdengar suara Agung Sedayu di ujung hutan.
Beberapa orang yang tidak berhasil lolos dengan cemas meletakkan senjata mereka dan digiring ke dalam satu tempat yang dilingkari oleh beberapa orang pengiring yang bersenjata telanjang. Mereka sama sekali tidak lagi merupakan pengiring-pengiring pengantin yang berwajah cerah karena kegembiraan, tetapi mereka adalah pengawal-pengawal dengan dahi yang berkerut tegang sambil menggenggam senjata.
Namun dalam pada itu, di bagian lain dari arena, Swandaru masih tetap bertempur melawan Gandu Demung. Suara cambuknya masih saja meledak-ledak memekakkan telinga.
Kiai Gringsing, Ki Sumangkar, Ki Waskita, Ki Demang dan beberapa orang tua telah mendekat dan memagari pertempuran itu dengan sebuah lingkaran, meskipun mereka tidak sengaja mengepungnya.
"Menyerahlah," desis Kiai Gringsing, "tidak ada seorang pun yang masih melakukan perlawanan kecuali kau."
Tetapi Gandu Demung menggeretakkan giginya sambil meng-geram, "Aku bukan pengecut."
"Aku tahu," sahut Kiai Gringsing, "tetapi tidak ada gunanya lagi perkelahian yang berlarut-larut. Kami dapat beramai-ramai menangkapmu dan memperlakukan kau tidak seperti yang kau harapkan."
"Persetan," Gandu Demung masih tetap berkeras kepala.
"Tidak ada kesempatan lagi," berkata Ki Sumangkar.
Gandu Demung tidak menjawab. Sekilas dipandanginya orang-orang yang berdiri mengerumuninya. Dilihatnya dua orang perempuan dengan senjatanya masing-masing tegang di pinggir arena.
"Apakah kedua saudaraku berhasil melarikan diri atau mati oleh iblis-iblis betina itu," pertanyaan itu melonjak di dalam hatinya.
"Menyerahlah," desis Ki Demang Sangkal Putung.
Namun yang menjawab adalah Swandaru, "Beri kesempatan orang ini menunjukkan kemampuannya. Keberaniannya mencegat iring-iringan ini telah menimbulkan kekaguman di dalam hatinya, apalagi setelah aku bertempur beberapa saat lamanya tanpa dapat mengalahkannya."
"Tidak ada gunanya, Swandaru," berkata Kiai Gringsing, "kita dapat minta kepadanya agar meletakkan senjatanya. Kita dapat menyelesaikan sisa persoalan yang ada dengan cara yang lebih baik."
Gandu Demung termangu-mangu sejenak. Namun ia tidak menjawab. Bahkan sikap Kiai Gringsing telah menumbuhkan harapan di dadanya untuk berbuat sesuatu.
"Aku harus berpura-pura," berkata Gandu Demung, "jika mereka lengah, aku dapat meloncat masuk ke dalam hutan itu."
Dalam pada itu, maka Kiai Gringsing pun meneruskan, "Berilah ia kesempatan, Swandaru."
Wajah Swandaru masih tetap tegang. Serangannya sama sekati tidak mengendur, sehingga pertempuran itu masih tetap merupakan pertempuran yang seru.
"Biarlah orang itu menyerah, Swandaru," Ki Sumangkar pun mencoba untuk menenangkan hati anak yang gemuk itu.
Namun Swandaru kemudian menggeram, "Orang ini tentu pemimpin dari gerombolan yang telah mencoba merampok kita. Karena itu, aku ingin membuktikan bahwa sebenarnya ia tidak berdaya apa-apa melawan orang-orang Sangkal Putung."
"Maksudmu?" bertanya Ki Demang.
"Jangan ganggu. Perkelahian ini akan dilanjutkan dengan perang tanding sampai selesai, sampai terbukti, apakah Swandaru dapat dikalahkannya atau mengalahkannya. Dengan demikian akan ternyata bahwa Swandaru mempunyai kemampuan yang dapat diperbandingkan dengan seorang pemimpin gerombolan yang cukup besar di daerah ini."
Ki Demang memandang wajah Kiai Gringsing sejenak. Namun tidak sepatah kata pun yang keluar dari sela-sela bibirnya.
Kiai Gringsing agaknya dapat mengerti kecemasan di hati Ki Demang itu, sehingga ia pun kemudian berkata, "Swandaru, cobalah berpikir dengan tenang. Jangan terburu nafsu. Orang itu adalah satu-satunya orang yang masih memegang senjata. Jika kita dapat mengendalikan diri, aku berharap bahwa masalahnya dapat diselesaikan dengan cara lain, bukan dengan perang tanding."
"Tidak," Swandaru menggeram, "aku telah memutuskan untuk memberikan kesempatan kepadanya."
"Berbahaya sekali Swandaru. Apalagi kau sedang dalam keadaan yang khusus sekarang ini."
"Aku akan membuktikan, bahwa Swandaru memiliki kemampuan yang cukup untuk menindas gerombolan semacam ini. Agar pada saatnya mereka menyadari, bahwa mereka tidak akan dapat berbuat apa-apa di Sangkal Putung dan di Tanah Perdikan Menoreh, karena aku berada di kedua daerah itu."
Jawaban itu membuat hati setiap orang menjadi berdebar-debar. Namun orang-orang tua menganggap, bahwa Swandaru baru dicengkam oleh kemarahan yang tidak tertahankan.
Karena itulah, maka sikapnya telah mengejutkan orang-orang yang mengerumuninya. Seolah-olah mereka melihat seorang anak muda yang tidak lagi dapat mengendalikan dirinya, atau bahkan telah disentuh oleh kesombongan yang disadari atau tidak telah terlontar pada sikapnya itu. Apalagi ketika Swandaru kemudian melepaskan lawannya sesaat sambil menengadahkan wajahnya.
Sementara itu, Gandu Demung berdiri tegak seperti batang. Ia benar-benar tersinggung melihat sikap Swandaru. Tetapi ia masih tetap sadar, bahwa yang paling baik dalam keadaan seperti itu adalah melarikan diri.
"Kau dapat memilih," berkata Swandaru dengan lantang, "bertempur dalam perang tanding sampai selesai, maksudku, salah seorang dari kita harus mati atau melarikan diri. Jika kau memang ingin melarikan diri, aku tidak berkeberatan. Pergilah. Aku menjamin bahwa kau akan selamat."
Hinaan itu benar-benar telah membakar hati Gandu Demung. Bagaimana pun juga, ia masih mempunyai harga diri. Apalagi sebagai seorang yang telah merasa dirinya memiliki kemampuan yang cukup dan mendapat kepercayaan duduk pada sebuah pembicaraan yang penting dengan Empu Pinang Aring.
"Cepat," teriak Swandaru, "kau harus segera menentukan sikap. Perang tanding atau melarikan diri."
Gandu Demung menggeram. Jawabnya, "Sebenarnya aku akan melarikan diri. Tetapi tidak karena belas kasihan seperti itu. Aku akan melarikan diri dalam usahaku untuk sementara mengurungkan niatku menghancurkan Sangkal Putung. Melarikan diri sesuai dengan kekalahan yang aku alami. Tetapi tidak karena kau memberi kesempatan kepadaku untuk melepaskan diri dengan cara yang paling hina itu."
"Jika demikian, tentukan sikapmu."
"Kau terlampau sombong, anak yang gemuk. Kau bukan orang yang memiliki kelebihan tanpa tanding. Ketika aku melihat cambukmu, sebenarnya aku sudah ketakutan. Tetapi ternyata bukan kaulah yang disebut orang bercambuk itu. Aku tidak tahu apakah ia sekarang berada di sini. Tetapi yang terang, orang bercambuk itu mampu membunuh orang-orang penting di dalam lingkungan yang selama ini dianggap memusuhi Pajang dan Mataram sekaligus."
"Kau tentu dari lingkungan mereka juga."
"Tidak. Aku adalah perampok. Tidak lebih dan tidak kurang. Dan sekarang aku gagal merampok kalian. Tetapi pada saat yang lain, seluruh Sangkal Putung akan menjadi ajang perjuangan kami untuk mendapatkan seluruh kekayaan yang tersimpan di dalamnya."
"Jika demikian, larilah. Aku menunggu kedatanganmu di Sangkal Putung."
"Tidak," teriak Gandu Demung, "kita akan berperang tanding, jika kau merasa kecut, ajaklah dua atau tiga orang kawanmu atau bahkan berapa yang kau kehendaki."
Dada Swandaru benar-benar telah terbakar karenanya. Dengan suara gemetar ia berteriak, "Beri kami tempat. Kami akan bertempur."
Orang-orang yang mengerumuninya saling berpandangan sejenak. Terlebih-lebih lagi mereka dicengkam oleh kecemasan ketika Swandaru melanjutkan, "Akan terjadi perang tanding sampai mati."
Kegelisahan yang sangat telah membayang di wajah Pandan Wangi. Sepasang pedangnya yang masih di dalam genggaman nampak gemetar. Seolah-olah ia ingin meloncat langsung memasuki lingkaran yang menebar.
Swandaru berdiri tegak dengan cambuk di tangannya. Wajahnya yang tegang bagaikan membara oleh kemarahan yang meluap-luap.
"Marilah," berkata Swandaru, "aku tidak mau mulai dengan kelemahan. Atau lebih baik tidak sama sekali. Jika aku membiarkan hal seperti ini terjadi, maka setiap orang akan menghina perkembangan Sangkal Putung dan Menoreh sekaligus. Karena itu, maka aku yang pada suatu saat akan memegang kekuasaan di kedua daerah itu harus dapat menunjukkan, bahwa aku memiliki kemampuan untuk melakukannya."
Kata-kata itu benar-benar telah menggetarkan jantung Agung Sedayu. Ketika ia melihat wajah Kiai Gringsing, Ki Sumangkar, dan Ki Waskita berganti-ganti, nampak sesuatu terbersit pada kerut merut di kening.
Tetapi Agung Sedayu tidak dapat mengambil kesimpulan, apakah yang sedang dipikirkan oleh ketiga orang tua itu.
(***) BUKU 98 DALAM PADA ITU, Gandu Demung pun telah bersiap pula menghadapi cambuk Swandaru. Seolah-olah ia ingin melihat setiap wajah yang berada di sekitar arena itu.
"Bagus," berkata Gaudu Demung kepada orang-orang yang berkerumun itu, "aku sadar bahwa aku akan mati. Tetapi sebelumnya kalian akan menyaksikan bagaimana aku mencincang pengantin baru ini sebelum kalian beramai-ramai menguliti tubuhku."
"Persetan," geram Swandaru, "jangan mengigau. Bersiaplah."
Gandu Demung pun segera bersiap. Ia sadar sepenuhnya bahwa lawannya adalah seorang anak muda yang sedang dibakar oleh kemarahan. Sehingga karena itulah maka ia harus berhati-hati dan tidak kehilangan akal pula.
Kiai Gringsing yang juga berdiri di lingkaran itu hanya dapat mengikuti perkembangan keadaan dengan tegang. Agaknya Swandaru sudah tidak dapat dicegah lagi.
Karena itu, maka yang dapat dilakukan oleh Kiai Gringsing kemudian adalah berdoa, agar Swandaru dapat menyelesaikan perang tanding itu dengan selamat.
Sejenak kemudian kedua orang itu sudah siap untuk bertempur. Sekilas, di sela-sela orang-orang yang berdiri melingkarinya, Gandu Demung masih sempat melihat beberapa orang anggauta gerombolannya yang menyerah dan dijaga oleh beberapa orang pengawal.
"Pengecut," ia menggeram. Dan Gandu Demung benar-benar tidak ingin menyerah.
Sejenak kemudian, terdengar suara cambuk yang meledak. Swandaru nampaknya sudah tidak sabar lagi. Terdengar suaranya yang bergetar, "Cepatlah, supaya kau cepat pula dimasukkan ke dalam kubur."
Wajah Gandu Demung pun telah membara. Ia bukan orang yang sabar menghadapi celaan. Karena itulah maka ia pun segera bersiap menghadapi setiap kemungkinan.
Dengan tegang Swandaru bergeser selangkah ke samping. Tangannya sudah siap mengayunkan cambuknya yang berjuntai panjang dengan karah besi baja di beberapa tempat.
Namun Swandaru terkejut karena dengan tidak diduga-duga, saat kakinya sedang melangkah untuk kedua kalinya, tiba-tiba saja Gandu Demung meloncat dengan cepatnya sambil menjulurkan senjatanya.
Swandaru tidak bersiaga menghadapi serangan itu, sehingga dengan demikian, maka yang dapat dilakukannya adalah meloncat menghindar selangkah surut.
Tetapi Gandu Demung mempergunakan setiap saat sebaik-baiknya. Ia tidak menarik serangannya, tetapi mengayunkan senjatanya mendatar mengarah ke lambung Swandaru.
Kaki Swandaru masih terbuka. Karena itu, ia tidak sempat mengelak lagi dengan langkah surut karena berat tubuhnya. Tetapi ia pun tidak sempat menangkis serangan itu dengan cambuknya, sehingga karena itu ia harus cepat menentukan sikap untuk menghindarkan diri dari senjata lawannya yang akan dapat menyobek lambungnya.
Dalam kesulitan itu, Swandaru tidak mempunyai pilihan lain. Jika ia tidak mau tersayat oleh senjata lawannya, maka ia pun harus melakukannya.
Dengan cepat pula Swandaru menjatuhkan diri. Kemudian berguling melingkar mundur.
Namun lawannya benar-benar ingin mempergunakan kesempatan itu sebaik-baiknya. Jika ia tidak berhasil mempergunakan saat yang baik itu, maka ia akan menjumpai kesulitan di dalam berikutnya. Sehingga dengan demikian, maka Gandu Demung pun segera meloncat memburu. Dengan perhitungan yang cermat ia mengayunkan senjatanya menebas tepat saat Swandaru melenting berdiri.
Semua orang yang berada di seputar arena itu berdiri mematung. Mereka telah dicengkam kecemasan melihat perkelahian itu. Mereka melihat Swandaru berada dalam kedudukan yang lemah, apalagi di dalam saat Gandu Demung mengayunkan senjatanya menebas Swandaru yang menurut perhitungannya akan melenting berdiri.
Pandan Wangi yang berdiri tegak menjadi pucat. Sepasang senjatanya telah bergetar. Namun ia tidak berani meloncat memasuki arena karena ia sadar, bahwa dengan demikian ia akan melukai hati Swandaru. Demikian pula agaknya Sekar Mirah dan orang-orang lain yang melihat keadaan itu.
Tetapi ternyata bahwa Swandaru yang gemuk dan sedang dibakar oleh kemarahan itu pun sempat membuat perhitungan yang cermat. Sesaat ia siap untuk melenting berdiri ia sempat melihat kaki lawannya yang bergerak setengah langkah maju, dengan mencondongkan tubuhnya ke depan.
Karena itulah, maka sekilas ia meocoba melihat gerak tangan lawannya. Dengan ketajaman tanggapan, Swandaru segera dapat mengerti apa yang sedang dilakukan oleh lawannya. Sehingga karena itulah maka ia mengurungkan niatnya untuk melenting, tetapi sekali lagi ia berguling ke samping dan berkisar dengan poros lambungnya.
Ternyata bahwa Swandaru berhasil. Pada saat Gandu Demung mengayunkan senjatanya untuk menebas tubuh Swandaru yang diperhitungkan akan melenting berdiri, Swandaru telah membuat gerakan yang lain sekali sehingga Gandu Demung terkejut karenanya. Dengan serta-merta ia pun telah merubah serangannya, dengan menahan ayunan senjatanya yang mendatar. Ia harus mengangkat senjatanya itu, dan dengan ujungnya ia menukikkan senjata itu langsung ke dada Swandaru yang sedang berkisar.
Hampir saja Pandan Wangi dan Sekar Mirah terpekik berbareng. Untunglah keduanya masih dapat menahan diri betapa dadanya telah terguncang, dan rasa-rasanya jantungnya akan pecah. Ujung senjata Gandu Demung itu bagaikan petir yang menyambar dari langit langsung mengarah ke pusat jantung
Tetapi Swandaru tidak membiarkan ujung senjata itu membunuhnya. Ia pun melakukan gerakan itu dengan perhitungan. Karena itulah, maka tepat ketika ujung senjata itu mematuknya, dengan sekuat tenaganya ia mengayunkan kedua kakinya bersilang.
Gerak kaki Swandaru bagaikan kekuatan yang melemparkan Gandu Demung dengan lontaran yang tidak tertahan. Kedua kakinya yang memotong dengan arah yang berlawanan, telah merampas keseimbangan Gandu Demung. Dengan serta-merta ia pun terlempar jatuh dan berguling beberapa kali di atas tanah yang keras.
Tetapi Gandu Demung benar-benar lincah. Sesaat kemudian, maka ia pun segera meloncat berdiri, mendahului semua kemungkinan yang dapat dipergunakan oleh Swandaru.
Namun Gandu Demung menggeram. Ketika ia tegak berdiri dengan kaki renggang, ia pun melihat bahwa Swandaru pun telah berdiri tegak pula dengan cambuknya di dalam genggaman. Wajahnya yang kotor oleh keringat dan debu, membuat wajahnya tampak menjadi semakin menyeramkan.
Gandu Demung tidak berkata sepatah pun. Ia pun segera mempersiapkan diri menghadapi ujung cambuk Swandaru yang tentu akan dapat menyayat kulitnya, jika tidak sempat menghindar.
Dengan hati-hati, Swandaru melangkah maju. Ia tidak mau mengulangi kesalahannya. Karena itulah, maka setiap saat tangannya akan dengan cepat terayun ke tubuh lawannya.
Untuk beberapa saat keduanya mencoba untuk mengetahui apakah yang sebaiknya dilakukan menghadapi lawan yang tangguh itu. Bahkan mereka seakan-akan saling menyegani dan menunggu.
Namun sejenak kemudian, terdengar sebuah ledakan yang memekakkan telinga. Cambuk Swandaru telah terayun menyambar tubuh lawannya.
Tetapi Gandu Demung yang melihat arah ayunan itu sempat mengelak dengan loncatan panjang. Ia pun harus segera membungkuk dalam-dalam ketika cambuk itu kemudian melayang menyambar lehernya.
Gandu Demung dengan tepat dapat memperhitungkan, bahwa sekali lagi Swandaru akan mengayunkan cambuk itu sendal pancing, sehingga ia masih sempat meloncat ke samping. Bukan saja sekedar meloncat, tetapi Gandu Demung langsung menggerakkan senjatanya. Dengan tangan terjulur lurus senjatanya telah mematuk lawannya. Tetapi Swandaru pun sempat mengelak, bahkan menyerang dengan cambuknya pula.
Dengan lincahnya Gandu Demung berusaha untuk bertempur pada jarak yang pendek. Dengan kecepatan geraknya, ia berhasil masuk ke dalam jarak yang sulit disentuh oleh ujung cambuk Swandaru justru karena terlampau dekat.
Sekali lagi Ganjdu Demang merasa, bahwa ia telah menemukan kelemahan lawannya. Dengan sekuat tenaganya ia mempergunakan kesempatan itu dengan mengayunkan senjatanya mendatar, dan kemudian menusuk lurus kearah dada.
Swandaru menggeram dengan marahnya. Ia sadar, bahwa lawannya yang cerdik telah memotong jarak sehingga ujung cambuknya sulit dipergunakannya. Setiap kali ia berusaha meloncat menjauh, maka Gandu Demung selalu mengejarnya untuk mempertahankan jarak yang pendek yang telah dapat dicapainya.


04 Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Orang-orang yang berada di dalam lingkaran yang memutari pertempuran itu menjadi berdebar-debar. Tidak seorang pun dari mereka yang tidak menjadi cemas melihat cara yang ditempuh oleh Gandu Demung yang cerdik. Kecepatannya bergerak dan kecerdikannya, telah membuat Swandaru merasa terdesak.
Tetapi ternyata Swandaru bukan seorang anak muda yang cepat kehilangan pegangan. Ia pun memiliki pengalaman yang luas menghadapi berbagai macam ilmu. Itulah sebabnya, maka ia pun masih sempat mempergunakan akalnya di antara kemarahan yang rasa-rasanya akan meledakkan dadanya.
Sambil menghindari setiap serangan lawannya, Swandaru berusaha menemukan cara untuk mengatasi jarak yang dipertahankan mati-matian oleh Gandu Demung. Setiap kali cambuknya meledak, maka lawannya selalu sempat berlindung justru pada tangkainya, bahkan sekaligus telah menyerang pula.
Karena itulah, maka kemudian Gandu Demung merasa, bahwa betapapun lambatnya, namun ia akan berhasil menguasai lawannya dan bahkan sedikit kesalahan yang dilakukan oleh Swandaru, akan mengantarnya ke daerah maut.
Dalam kesulitan itulah Swandaru mengerahkan segenap kemampuannya. Beberapa kali ia mencoba meledakkan cambuknya sendal pancing, meskipun hasilnya kurang meyakinkan. Kemudian dengan putaran-putaran yang kuat mendatar. Namun nampaknya ujung cambuknya justru akan membelit lawannya tidak pada tempat yang dikehendaki, dan memberi kesempatan lawannya menahan ujung cambuknya sambil menyerang dengan senjatanya.
Sementara itu, Gandu Demung menyerang terus. Semakin lama semakin cepat, sehingga Swandaru pun menjadi semakin terdesak karenanya.
Dalam pada itu, di arena itu tiba-tiba telah meledak suara tertawa Gandu Demung sehingga setiap orang terkejut karenanya. Apa lagi ketika mereka melihat warna merah yang meleleh di pundak Swandaru.
"Luka," desis Sekar Mirah dengan tangan gemetar. Tongkat bajanya tiba-tiba saja telah digenggamnya erat-erat, seolah-olah telah siap untuk diayunkannya. Sementara Pandan Wangi bergeser selangkah dengan sepasang pedang di tangannya.
Swandaru menggeram disengat oleh perasaan pedih di lukanya itu. Apalagi nampaknya Gandu Demung mempergunakan setiap kesempatan untuk memenangkan pertempuran itu. Luka di pundak Swandaru merupakan pertanda baginya, bahwa ia akan dapat memenangkan pertempuran itu.
Dengan cermat Gandu Demung mendesak lawannya. Setiap kali ia berhasil meloncati ujung-ujung cambuk Swandaru yang berusaha membelit kakinya, sehingga ia tidak terjerat karenanya.
Dalam kekalutan itu, Gandu Demung berhasil mendesak Swandaru yang nampaknya kehilangan semua kesempatan untuk mempergunakan senjatanya. Sebuah ayunan yang keras menyambar kening. Meskipun Gandu Demung yakin bahwa Swandaru masih akan sempat membungkukkan badannya untuk menghindar, tetapi serangan berikutnya tentu akan mengakhiri perkelahian. Saat itu Swandaru tidak akan dapat menghindari serangan justru tidak dengan senjatanya, tetapi dengan kakinya. Kaki Gandu Demung akan menghantam wajah Swandaru yang membungkuk itu. Ketika ia mengangkat wajah itu, maka berakhirlah semuanya. Senjatanya akan memecahkan dada anak muda yang gemuk itu.
Tetapi Swandaru mempunyai perhitungannya sendiri. Ia memang tidak dapat berbuat lain, ketika senjata lawannya menyambar kening. Namun dalam pada itu, Swandaru tidak sekedar membungkukkan kepalanya dan membiarkan kaki lawannya terangkat di wajahnya. Ia sadar bahwa dalam keadaan yang demikian ia tidak akan menyerang dengan ujung cambuknya. Dan ternyata nalarnya masih tetap bening. Pada saat ia membungkukkan wajahnya, ia melihat kaki Gandu Demung mulai bergerak. Namun pada saat itulah ia menyerang lawannya, tetapi tidak dengan ujung cambuknya.
Ternyata Swandaru telah mempergunakan senjatanya tidak seperti kebiasaannya. Jarak yang pendek tidak menguntungkannya untuk mempergunakan ujung cambuknya. Karena itulah, maka ketika sebelah kaki Gandu Demung mulai bergerak, Swandaru telah mengayunkan cambuknya, memukul kaki lawannya yang tegak di atas tanah, tidak dengan ujungnya, tetapi justru dengan tangkainya. Swandaru telah memegang cambuknya terbalik, meskipun tidak sepanjang juntainya. Ia menggenggam cambuknya pada pangkal juntainya yang dengan sekuat tenaganya diayunkantnya mengenai lutut lawannya.
Serangan itu sama sekali tidak diduga oleh lawannya, seperti saat kaki Swandaru memotong dengan gerakan silang dan melemparkannya jatuh berguling di tanah. Ternyata serangan yang tiba-tiba itu telah terulang lagi. Dan sekali lagi Gandu Demung terguncang dan jatuh.
Gandu Demung melihat bagaimana Swandaru berguling menjauhinya dan meloncat berdiri secepat Gandu Demung sendiri melenting meskipun lututnya masih terasa sakit dan kaki itu masih gemetar. Bukan saja karena hantaman tangkai cambuk yang rasa-rasanya telah meretakkan tulangnya, tetapi juga karena kejutan yang telah mengguncangkan isi dadanya, sehingga seolah-olah retak karenanya, karena pada saat satu kakinya mulai terangkat, maka kaki yang lain telah mengalami serangan yang tidak diperhitungkan sebelumnya.
Tetapi ternyata bahwa Swandaru-lah yang kemudian mempergunakan kesempatan itu sebaik-baiknya didorong oleh kemarahan yang menghentak-hentak di dadanya. Dengan serta-merta maka ia pun segera meloncat menyerang sesaat setelah Gandu Demung mulai tegak di atas kakinya yang masih pedih.
Sebuah ledakan cambuk telah menggelepar dengan dahsyatnya. Swandaru Ternyata telah memegang tangkai cambuknya kembali dan mengayunkannya sekuat-kuat tenaganya mengenai tubuh Gandu Demung.
Terdengar sebuah keluhan tertahan. Ujung cambuk itu tidak membelit tubuh Gandu Demung, tetapi hentakan yang kuat seolah-olah telah membelah kulit seperti sentuhan sembilu.
Agaknya, luka di pundak Swandaru telah membuat anak muda yang gemuk itu kehilangan pengekangan diri. Selagi Gandu Demung masih berusaha menemukan keseimbangannya dan menahan perasaan pedih, tiba-tiba terdengar sekali lagi cambuk Swandaru meledak.
Gandu Demung terkejut melihat gerakan yang begitu cepat. Ia melihat ujung cambuk itu terayun ke lehernya, sehingga karena itu, maka ia pun segera membungkukkan kepalanya.
Tetapi Swandaru telah mempersiapkan serangan berikutnya. Ia memutar cambuk itu sekali di udara, kemudian sambil merendahkan diri ia bergeser maju. Cambuknya dengan cepat terayun mendatar setinggi lutut lawannya.
Gandu Demung benar-benar tidak sempat mengelak, Meskipun ia berusaha untuk meloncat, namun ujung cambuk itu ternyata masih sempat membelit pergelangan kakinya.
Dengan serta-merta Swandaru menarik cambuknya. Dan hentakan yang kuat itu telah melemparkan Gandu Demung dan membantingnya jatuh di atas tanah sekali lagi.
Kesalahan itu ternyata tidak terampuni lagi. Kemarahan Swandaru benar-benar sudah sampai ke puncaknya. Ketika kemudian Gandu Demung berusaha untuk bangkit, maka ujung cambuk Swandaru telah menyambarnya. Demikian dahsyatnya, sehingga yang terdengar di antara ledakan cambuk itu adalah teriakan Gandu Demung yang kesakitan. Ia tidak sempat tegak berdiri karena ia pun kemudian terdorong sekali lagi dan jatuh terjerembab.
Pada saat yang sama Swandaru telah meloncat maju. Tangannya bergerak dengan kekuatan penuh. Dan ketika cambuknya terayun sekali lagi mengenai tubuh Gandu Demung, maka orang itu hanya sempat menggeliat sambil mengeluh.
Tetapi nampaknya Swandaru telah benar-benar dicengkam oleh kemarahan yang tidak terkendali. Tanpa ragu-ragu maka sekali lagi cambuknya terangkat dan hentakan yang keras telah membuat jalur luka melintang di punggung lawannya. Sekali, dua kali, dan berulang kali.
Gandu Demung sama sekali sudah tidak bergerak lagi. Tetapi Swandaru nampaknya tidak puas dengan ledakan cambuknya yang susul-menyusul itu. Sebagai orang yang kehilangan akal, maka ia pun berusaha untuk menghancurkan tubuh lawannya yang sudah tidak berdaya lagi.
Orang yang berdiri di sekeliling arena itu terkejut melihat tingkah laku Swandaru. Mereka mengerti, bahwa luka di pundak Swandaru telah membuatnya kehilangan pengamatan diri. Tetapi mereka sama sekali tidak menduga bahwa Swandaru benar-benar dapat melakukan seperti yang mereka saksikan itu betapapun kemarahan menghentak-hentak di dadanya.
Dalam pada itu, selagi orang-orang yang menyaksikan peristiwa itu membeku di tempatnya, terdengar suara Kiai Gringsing memecah di antara ledakan-ledakan cambuk Swandaru, "Cukup, cukup! Berhentilah!"
Tetapi Swandaru tidak berhenti. Bahkan ia menjawab, "Kawan-kawanku telah jatuh menjadi korban. Ia harus dicincang sampai lumat."
"Itu sudah cakup," terdengar suara Ki Sumangkar dan Ki Demang hampir berbareng.
Tetapi Swandaru tidak menghiraukannya. Ia hanya berhenti sejenak dan berpaling dengan tatapan mata yang membara. Bahkan perintahnya, "Bunuh semua tawanan."
"Anakmas Swandaru," desis Ki Waskita.
Tetapi sekali lagi Swandaru berteriak, "Bunuh semua tawanan. Setiap kematian harus ditebus dengan sepuluh orang lawan."
"Swandaru," Ki Demang hampir berteriak.
Tetapi Swandaru tidak menghiraukannya. Bahkan kemudian sekali lagi ditatapnya tubuh Gandu Demung yang sudah menjadi merah oleh darah. Agaknya ia masih belum puas melihat korbannya yang sudah tidak mampu berbuat apa pun juga itu.
Tetapi yang terjadi telah menghentikan denyut setiap jantung. Pada saat Swandaru mengangkat tangannya, tiba-tiba saja Pandan Wangi melepaskan pedangnya. Dengan gerak naluriah karena penguasaan ilmu kanuragan, maka Pandan Wangi berhasil menyusup di antara tangan Swandaru. Sambil berlari, maka ia pun kemudian memeluk Swandaru yang sedang dibakar oleh kemarahan itu,
"Kakang," terdengar suaranya tersendat, "cukup. Yang Kakang lakukan telah lebih dari cukup."
Tangan Pandan Wangi yang melingkari tubuhnya dan kemudian titik-titik hangat air matanya, ternyata masih mampu melunakkan hatinya. Sejenak ia berdiri membeku sambil menggenggam tangkai cambuknya. Sementara titik-titik air mata Pandan Wangi semakin deras membasahi tubuhnya yang memang sudah basah oleh keringat.
"Sudahlah, Kakang. Jangan kau biarkan perasaanmu berbicara di luar penguasaan nalar," desis Pandan Wangi.
Unjtuk beberapa saat Swandaru terdiam. Namun terasa tangannya masih bergetar. Jantungnya masih berdegup keras, seolah-olah akan memecahkan dinding dadanya.
Pandan Wangi masih memeluk Swandaru. Meskipun ia masih saja menggenggam pedang yang basah oleh darah, tetapi kelembutannya sebagai seorang perempuan telah berhasil menyabarkan suaminya.
Swandaru menarik nafas dalam-dalam. Dengan suara yang gemetar ia berkata, "Seharusnya kau tidak menahan aku. Semua orang yang dapat kita tangkap harus dibunuh, karena korban di antara kita pun sudah terlampau banyak."
"Mereka sudah menyerah, Kakang," desis Pandan Wangi.
Swandaru menggeretakkan giginya. Katanya, "Penyerahan mereka tidak akan dapat membangkitkan lagi kawan-kawan kita yang sudah menjadi korban atau dengan serta-merta menyembuhkan luka-luka mereka."
"Tetapi mereka tidak akan berbuat apa-apa lagi. Mereka sudah menyerah. Adalah suatu adat di dalam peperangan, bahwa siapa yang sudah menyerah, tidak seharusnya dibinasakan."
Alahgkah terkejut Pandan Wangi ketika ia mendengar Sekar Mirah berdesah, "Kita bukan malaikat yang turun dari langit. Bagiku, setiap kematian harus ditebus dengan kematian."
"Sekar Mirah," desis Ki Sumangkar, "apakah aku pernah mengajarkan demikian?"
Sekar Mirah berpaling. Ditatapnya wajah gurunya. Namun karena wajah itu menjadi tegang, maka ia pun segera menundukkan kepalanya.
Ki Sumangkar pun mendekatinya sambil berbisik, "Ingatlah. Tongkat itu adalah pertanda bahwa tidak setiap kematian harus ditebus dengan kematian. Jika demikian halnya, maka aku pun telah menjadi bangkai saat sisa-sisa pasukan Jipang menyerah. Ternyata bahwa Angger Untara tidak berusaha menghitung berapakah korban yang jatuh dari orang-orang Pajang dan menuntut jumlah yang sama apalagi berlipat."
Sekar Mirah tidak menyahut. Kepalanya yang tunduk menjadi semakin tunduk.
Dalam pada itu, Pandan Wangi pun telah melepaskan suaminya yang menjadi semakin tenang. Dipungutnya sepasang pedangnya yang basah oleh darah dan disarungkannya ke dalam wrangkanya.
Swandaru masih berdiri termangu-mangu. Dipandanginya mayat yang terbujur di tanah dengan warna darah. Ketika Pandan Wangi melihat wajah suaminya, di luar sadarnya ia pun mengikuti arah pandangan matanya. Namun tiba-tiba saja ia berpaling sambil memejamkan matanya.
Yang dilihatnya sangat mengerikan baginya. Tubuh yang seolah-olah bagaikan dikuliti oleh luka cambuk Swandaru.
Dalam ketegangan itu, Kiai Gringsing pun kemudian mendekatinya sambil berkata, "Sudahlah, Swandaru. Marilah. Perjalanan kita belum selesai. Saat ini kau adalah seorang mempelai yang sedang diiringi oleh anak-anak muda dan orang-orang tua dari Sangkal Putung dan Tanah Perdikan Menoreh."
Swandaru menarik nafas dalam-dalam. Tetapi ia tidak menjawab. Ketika ia mengedarkan tatapan matanya, dilihatnya ayahnya, gurunya, Ki Waskita, Ki Sumangkar, orang-orang tua dari Sangkal Putung dan Tanah Perdikan Menoreh, serta para pengiring lainnya sedang berdiri termangu-mangu. Bahkan mereka yang sedang menjaga tawanan yang duduk di tanah, memandanginya dengan tanpa berkedip.
"Semua orang memperhatikan aku," katanya di dalam hati.
"Marilah, Swandaru," berkata gurunya, "kita akan meneruskan perjalanan kita. Ada beberapa ekor kuda yang dapat dipakai. Yang lain akan berjalan kaki. Sedang sebagian lagi akan mencari pedati untuk membawa kawan-kawan kita yang terluka parah."
"Bukan saja terluka parah, Guru," sahut Swandaru, "tetapi tentu ada satu dua yang menjadi korban."
"Itu memang mungkin sekali. Karena itu, teruskan perjalananmu. Aku akan tinggal di sini, mungkin ada satu dua orang yang memerlukan pertolonganku sebagai seorang dukun."
Swandaru memandang ayahnya sejenak. Lalu katanya sambil menengadahkan wajahnya, "Ayah. Aku tidak mau menerima penghinaan saat aku berada di pintu gerbang pemerintahan atas Kademangan Sangkal Putung dan Tanah Perdikan Menoreh. Sebelum pada saatnya aku menggantikan kedudukan para pemimpin yang sekarang, aku harus membuktikan, bahwa tidak seorang penjahat pun yang boleh menjamah kedua daerah ini dan keluar hidup-hidup. Seorang penjahat yang memasuki Sangkal Putung atau Tanah Perdikan Menoreh, akan meninggalkan daerah-daerah itu hanya tinggal namanya saja." Ia berhenti sejenak, lalu, "Jika sekarang aku membiarkan para tawanan itu hidup, maka itu adalah karena kemurahan hati orang-orang tua yang ada di sini sekarang. Tetapi hal itu tidak akan terulang lagi."
Agung Sedayu yang berdiri beberapa langkah dari Swandaru menarik nafas dalam-dalam. Di luar sadarnya ia mengurut juntai cambuknya.
"Mereka berdiri pada dua ujung yang bertentangan," katanya di dalam hati, "Swandaru di ujung ini dan Rudita di ujung yang lain. Sementara itu aku berdiri di tengah-tengah dengan penuh keragu-raguan."
Dalam pada itu, Kiai Gringsing pun membimbing Swandaru mendekati Pandan Wangi dan Sekar Mirah sambil berkata, "Silahkan," lalu kepada Ki Demang, "sebaiknya perjalanan ini segera dilanjutkan. Jaraknya tidak terlalu jauh lagi."
Ki Demang pun kemudian mendekati anak-anaknya dan menantunya sambil mengajak mereka, "Sebaiknya memang kita melanjutkan perjalanan. Kita berterima kasih, bahwa Kiai Gringsing bersedia tinggal untuk merawat mereka yang terluka."
Swandaru memandang arena itu sekali lagi. Kemudian gumamnya, "Ternyata kekuatan Untara pun tidak mampu mencegah kejahatan yang terjadi di sini. Bukankah daerah ini seharusnya mendapat perlindungan dari Pajang yang di daerah ini kuasa keprajuritannya ada di tangan Untara dan senopati-senopati bawahannya."
Kiai Gringsing menarik nafas dalam-dalam. Kemudian desisnya, "Daerahnya terlampau luas untuk dapat diamatinya setiap saat."
Swandaru memandang gurunya dengan tegang. Nampaknya ia masih berusaha untuk menahan kata-katanya. Namun desakan perasaannya telah mendesaknya untuk berkata, "Guru. Jika demikian, apakah tidak sebaiknya daerah pengawasan prajurit-prajurit Pajang itu dipersempit saja?"
Kiai Gringsing termangu-mangu sejenak. Katanya kemudian, "Persoalannya bukanlah begitu sederhana, Swandaru. Sekarang, biarlah kita tidak membicarakan persoalan-persoalan yang rumit. Jarak yang pendek ini masih harus kita selesaikan sebelum matahari terbenam."
Swandaru memandang orang-orang yang berdiri di sekitarnya. Gurunya, ayahnya, Ki Sumangkar, Ki Waskita, Pandan Wangi, Sekar Mirah dan kemudian matanya tersangkut pada juntai cambuk di tangan saudara seperguruannya yang berdiri tegak dengan kaki renggang, Agung Sedayu.
Sejenak Swandaru masih termenung. Namun kemudian katanya, "Baiklah. Aku akan meneruskan perjalanan ini."
Para pengawal yang datang berkuda, segera menyerahkan kuda mereka untuk dipergunakan oleh Swandaru dan beberapa orang yang akan mengiringinya sampai ke kademangan.
"Pergilah, Ki Waskita," berkata Kiai Gringsing, "mungkin di perjalanan yang pendek itu masih diperlukan orang-orang tua macam kita."
Ki Waskita mengangguk. Ketika dipandanginya Ki Sumangkar, Kiai Gringsing pun berdesis, "Biarlah Ki Sumangkar ikut serta pula. Aku akan tinggal dengan beberapa orang anak-anak muda yang akan menyelesaikan para pengiring yang terluka dan yang telah menjadi korban."
Swandaru tidak membantah lagi. Ia pun kemudian menerima sepasang kuda yang akan dipergunakan dengan Pandan Wangi. Yang lain pun segera mendapatkan kuda pula, terutama orang-orang tua. Sedangkan orang-orang yang mengiringi pengantin itu dari tanah Perdikan masih sempat mempergunakan kuda mereka masing-masing yang terikat pada batang-batang perdu.
"Guru akan tinggal di sini?" bertanya Swandaru.
"Ya. Tetapi aku akan segera menyusul jika tugasku di sini sudah selesai."
Swandaru pun kemudian meloncat ke punggung kuda diikuti oleh Pandan Wangi, Sekar Mirah, dan orang-orang lain yang akan mengiringinya ke Sangkal Putung. Tetapi terbatas pada jumlah kuda yang ada, sedangkan yang lain harus mengikutinya sambil berjalan kaki meskipun dari jarak yang semakin jauh, sedangkan yang lain lagi akan tinggal membantu Kiai Gringsing dan menyelenggarakan para korban yang terbunuh di peperangan, sedang sebagian dari mereka akan mengurus para tawanan.
Sejenak kemudian maka beberapa ekor kuda pun segera meninggalkan tempat itu. Satu-satu sambil melepaskan debu yang putih dalam bayangan warna yang sudah menjadi semakin merah di langit.
Ternyata bahwa perkelahian di pinggir hutan itu sudah berlangsung cukup lama, sehingga matahari sebentar lagi akan turun dan tenggelam dibawa cakrawala.
Ketika kuda yang terakhir telah meninggalkan tempat itu. Kiai Gringsing mengerutkan keningnya sambil memandang muridnya yang seorang, yang masih berdiri tegak sambil memegang tangkai cambuknya.
"Kau tidak pergi bersama Swandaru, Agung Sedayu?" bertanya gurunya.
"Aku tinggal di sini, Kiai. Mungkin aku dapat membantu."
Kiai Gringsing menarik nafas dalam-dalam. Sejak semula ia memang melihat perbedaan sifat dan watak pada kedua muridnya ini. Tetapi untuk beberapa lama ia berhasil memperkecil perbedaan itu. Namun tiba-tiba saja ia melihat sifat dan watak masing-masing itu menjadi jelas dalam keadaan yang sulit dikendalikannya.
"Baiklah," berkata Kiai Gringsing, "kau dapat membantu aku di sini."
Agung Sedayu pun kemudian membelitkan cambuknya di lambungnya dan menyingsingkan lengan bajunya membantu pekerjaan Kiai Gringsing yang cukup berat.
Namun ketika terpandang olehnya mayat Gandu Demung, terasa tengkuknya meremang.
"Mengerikan," katanya di dalam hati. Sejalan dengan itu, keheranannya mengenai Swandaru pun menjadi semakin mekar. Meskipun demikian ia masih menyimpannya saja di dalam hati.
Dalam pada itu, di kejauhan dua orang memperhatikan pertempuran itu dengan saksama. Sejak kedatangan beberapa ekor kuda yang susul-menyusul mereka sudah menduga bahwa keadaan akan segera berubah.
Seperti yang kemudian terjadi, maka pasukan Gandu Demung pun telah pecah dan berlarian masuk hutan,
"Bagaimana dengan Gandu Demung sendiri," desis salah seorang dari mereka.
"Aku tidak mempunyai harapan lagi," sahut yang lain, "agaknya Gandu Demung tidak dapat keluar dari kesulitan."
"Apakah ia tidak ikut lari ke hutan?"
"Bukankah kita masih melihat ia bertempur dengan anak muda yang gemuk itu."
"Tetapi kemudian pandangan kita terhalang oleh lingkaran orang-orang yang mengelilingi pertempuran itu."
"Gandu Demung tidak keluar dari arena. Ia tentu sudah terbunuh dalam perkelalahian yang kemudian telah menjadi perang tanding."
"Agaknya memang demikian. Tetapi kita memerlukan waktu untuk memastikannya. Jika benar-benar Gandu Demung mati, itu akan lebih baik daripada jika ia tertangkap atau menyerah."
"Agaknya memang bukan wataknya. Jika ia harus menyerah, maka aku kira ia akan memilih mati. Kecuali jika nampak ada kesempatan untuk melarikan diri."
"Mudah-mudahan ia mati terbunuh di arena, atau lari sama sekali."
Keduanya terdiam. Tetapi keduanya masih belum berani mendekati arena, karena mereka masih melihat beberapa orang berkeliaran.
Mereka adalah Kiai Gringsing, Agung Sedayu, dan beberapa orang anak muda yang lain, sementara Swandaru bersama beberapa orang pengiringnya telah mendekati padukuhan induk Kademangan Sangkal Putung.
Iring-iringan pengantin itu tiba-tiba saja telah berubah menjadi iring-iringan duka seperti mengantar mayat ke kubur. Swandaru kini berada di paling depan. Ia seolah-olah tidak teringat lagi bahwa ia sedang diarak sebagai seorang pengantin laki-laki di samping pengantin perempuan. Sikapnya benar-benar seperti seorang panglima di medan perang yang terasa terlampau berat.
Di belakangnya Pandan Wangi mengikutinya di samping Ki Waskita, Kerti, dan Ki Demang Sangkal Putung yang pucat. Sementara di belakang mereka adalah Sekar Mirah yang berkuda di sebelah Prastawa.
Baru di belakang mereka para pengiring yang berwajah tegang. Orang-orang tua dan anak-anak muda dari Sangkal Putung dan Tanah Perdikan Menoreh.
Di sepanjang jalan iring-iringan itu masih bertemu dengan dua tiga orang berkuda yang ingin menyusul ke medan setelah mereka mendengar tentang pertempuran yang terjadi di ujung hutan.
"Teruslah," berkata Swandaru, "mungkin kawan-kawan kita yang tertinggal memerlukan kawan untuk menyelesaikan tugas mereka."
Para pengawal itu pun berpacu terus ke pinggir hutan bekas arena perkelahian yang basah oleh darah.
Dalam pada itu, mereka yang berada di dalam iring-iringan itu seolah-olah telah dicengkam oleh ketegangan jiwa sehingga hampir tidak ada di antara mereka yang bercakap-cakap. Setiap orang di dalam iring-iringan itu menundukkan kepalanya sambil memandangi tanah berdebu di bawah kaki kuda-kuda mereka.
Baru ketika mereka sudah memasuki padukuhan induk Kademangan Sangkal Putung, Prastawa berdesis, "Sekar Mirah, kenapa Kakang Agung Sedayu tidak turut kembali ke kademangan?"
Sekar Mirah menarik nafas. Katanya, "Ia lebih senang tinggal bersama gurunya merawat orang-orang yang terluka."
"Ia memang memiliki perasaan belas kasihan kepada sesama," sahut Prastawa.
"Ya. Karena itulah maka ia tidak berani berbuat apa-apa selain menunggu. Jika sesuatu mulai menyentuhnya, barulah ia berbuat sesuatu."
Prastawa memandang Sekar Mirah sekilas, yang wajahnya menjadi semakin tegang oleh kekecewaan karena sikap beberapa orang di dalam iring-iringan itu.
"Aku sependapat dengan Kakang Swandaru," berkata Sekar Mirah kemudian, "setiap jiwa harus ditebus dengan jiwa. Karena kematian yang terjadi itu sama sekali bukan karena kesalahan kami, maka tuntutan kami pun seharusnya berlipat ganda seperti yang dikatakan oleh Kakang Swandaru."
"Apakah itu menjadi kebiasaan kalian?"
Pertanyaan itu memang mengejutkan. Tetapi kemudian Sekar Mirah menjawab, "Aku tidak pernah mempertimbangkan kebiasaan. Yang aku katakan adalah yang tersirat di dalam perasaanku sekarang."
Prastawa mengangguk-angguk. Ia menjadi semakin kenal watak dan tabiat Sekar Mirah yang keras. Namun sejalan dengan itu kekagumannya terhadap gadis itu pun bertambah-tambah pula. Di dalam pertempuran itu ia telah menyaksikan, bahwa Sekar Mirah jauh lebih tangkas dari laki-laki kebanyakan meskipun ia seorang perempuan.
Hampir di luar sadarnya, tiba-tiba saja Prastawa berguman seolah-olah ditujukan kepada dirinya sendiri, "Kau benar, Mirah."
Sekar Mirah berpaling. Sambil mengerutkan keningnya ia bertanya, "Apakah yang benar?"
"Sikapmu, bahwa kau sependapat dengan Kakang Swandaru."
Sekar Mirah memandang Prastawa sejenak. Namun kemudian tatapan matanya pun mengarah lurus ke depan. Suaranya menjadi dalam, "Kakang Agung Sedayu adalah seorang laki-laki yang lemah. Bukan jasmaniahnya. Ia memiliki ilmu yang tinggi. Ia sudah menguasai gerak-gerak dasar dari perguruannya dan memahaminya. Bahkan ia sudah mengenal penggunaan tenaga cadangan dan ungkapan kekuatan dalam hubungannya dengan kekuatan alam di sekitarnya, dan bahkan mampu menyerapnya dalam jalur ilmunya dan luluh dengan kekuatan di dalam dirinya. Tetapi ia adalah orang yang lemah jiwanya. Ia tidak berani mengambil sikap, seolah-olah ia dikejar oleh pertanggungan jawab yang tiada dapat disentuh oleh indera."
"Ia memang selalu ragu-ragu," sahut Prastawa. "Mungkin pada suatu saat ia akan berubah."
"Jika ia dapat berubah, maka perubanan itu tentu sudah nampak sejak sekarang. Tetapi agaknya perkembangannya mengarah kepada sikap yang semakin lemah."
Prastawa tidak menjawab. Tetapi kepalanya sajalah yang terangguk kecil. Terbayang di angan-angannya Agung Sedayu yang berwajah tenang dan dingin. Sedangkah wajah Sekar Mirah bagaikan memancarkan panasnya bara api yang menyala di dalam dadanya.
Tiba-tiba saja Prastawa menarik nafas dalam-dalam. Di luar pengetahuan Sekar Mirah yang memandang lurus ke depan, Prastawa setiap kali memandang wajah gadis itu. Rasa-rasanya Sekar Mirah yang kotor oleh keringat yang dilekati debu itu menjadi bertambah cantik.
Namun kemudian sekilas terbayang wajah Agung Sedayu. Wajah yang tenang dan bersungguh-sungguh, tetapi diwarnai oleh keragu-raguan dan ketidakpastian.
Sementara itu, Agung Sedayu memang sedang dicengkam oleh kegelisahan. Setiap kali melonjak di dalam hatinya, kecemasan atas masa depannya sendiri. Jika perkawinan harus ditebus sedemikian mahal, maka ia menghadapi gambaran yang semakin buram tentang dirinya sendiri.
Namun ia tidak sempat berangan-angan terlalu lama. Ia pun kemudian tenggelam dalam kesibukan menolong gurunya yang merawat beberapa orang yang terluka, sementara beberapa orang yang lain telah mengumpulkan korban yang sudah tidak tertolong lagi jiwanya. Di antara mereka terdapat lawan, tetapi juga kawan.
Memang sepercik dendam melonjak di hati Agung Sedayu seperti juga orang-orang lain. Namun setiap kali ia masih mempertimbangkannya baik-baik.
Karena inilah, maka Agung Sedayu tidak melakukan sesuatu yang dapat mempengaruhi tugas gurunya. Ia tidak terbakar oleh dendam dan kemudian dengan cambuknya membunuh setiap orang yang terluka meskipun mereka itu adalah lawan.
Namun para pengawal yang lain tidak mempunyai pertimbangan seperti Agung Sedayu, sehingga setiap kali Kiai Grirtgsing harus memberikan peringatan agar mereka tidak melakukan hal-hal yang dapat melanggar ketentuan yang berlaku.
"Kita adalah orang-orang yang selama ini memegang teguh sopan santun dan unggah-ungguh. Juga di dalam peperangan seperti sekarang ini," berkata Kiai Gringsing kepada para pengawal yang membantunya.
Para pengawal itu tidak menyahut. Tetapi sebenarnya di dalam hati mereka, masih tetap menyala dendam yang setiap saat dapat meledak.
Dalam pada itu, ketika tugas mereka sudah hampir selesai, maka langit pun mulai tampak kemerah-merahan. Beberapa orang yang lewat sejenak tertegun. Namun Agung Sedayu selalu mendekati mereka sambil berkata, "Silahkanlah lewat, Ki Sanak."
"Apakah yang terjadi?"
"Sekedar salah paham."
"Dan salah paham yang terjadi antara dua kelompok yang cukup besar. Dan inilah akibatnya. Kedua belah pihak tidak mau mempergunakan nalarnya. Sehingga akhirnya mereka bertempur."
"Dan Ki Sanak" Apakah Ki Sanak bukan orang dari salah satu pihak?"
"Bukan. Kami adalah orang-orang Sangkal Putung yang melerai perkelahian ini."
Orang-orang itu pun kemudian melanjutkan perjalanannya. Tetapi mereka tetap berteka-teki tentang peristiwa di ujung hutan itu.
"Apakah telah terjadi kejahatan lagi di daerah ini?" desis salah seorang dari mereka.
"Tentu tidak," jawab yang lain, "jika terjadi kejahatan tentu tidak di daerah ini, tetapi di ujung Alas Tambak Baya atau di sisa Alas Mentaok yang masih belum ditebang."
Kawan-kawannya mengangguk-angguk. Dan mereka pun ternyata sepakat, bahwa yang terjadi hanyalah salah paham saja.
Namun di antara orang-orang yang lewat itu ternyata terdapat dua orang yang agak lain dari orang-orang yang lewat sebelumnya. Kedua orang itu menaruh perhatian yang lebih besar, sehingga ketika mereka lewat, maka mereka pun telah berhenti dan turun dari kuda mereka.
Seperti yang sudah terjadi, maka Agung Sedayu pun segera mendekati mereka. Seperti kepada yang lain pula, maka ia pun bertanya, "Apakah ada yang menarik perhatian Ki Sanak?"
"Ya, ya, Anak Muda," jawab salah seorang dari keduanya, "aku melihat bahwa sesuatu telah terjadi di sini."
"Ya, salah paham."
"Salah paham?" yang lain bertanya.
Dan Agung Sedayu memberikan keterangan seperti yang pernah diberikannya kepada orang-orang lain.
Kedua orang itu saling berpandangan sejenak. Namun kemudian salah seorang dari mereka bertanya, "Salah paham ini dapat menumbuhkan korban sekian banyaknya. Apakah Ki Sanak mengetahui apakah yang telah menyebabkan terjadi salah paham itu?"
"Anak-anak muda," jawab Agung Sedayu, "mereka saling merasa dirinya mempunyai kelebihan. Di antaranya adalah anak-anak muda yang baru turun dari perguruan. Mereka merasa dirinya tidak terkalahkan, sehingga mereka memang memerlukan lawan untuk mencoba ilmunya tanpa memikirkan akibatnya."
"Ah," kedua orang itu menjadi heran.
"Apakah Ki Sanak tidak percaya?" bertanya Agung Sedayu.
"Percaya. Aku percaya sepenuhnya. Tetapi berapa orang yang telah terlibat dalam salah paham ini" Apakah ada sekelompok besar anak-anak muda yang bertemu dengan kelompok yang lain dalam jumlah yang sama besar."
"Tidak. Persoalan yang menumbuhkan salah paham itu telah terjadi dua tiga hari lampau. Bahkan mereka yang langsung menjadi sebab telah menyatakan untuk tidak meneruskan persoalan mereka di hadapan Ki Demang. Tetapi ternyata mereka telah berjanji untuk bertemu di tempat ini dalam jumlah yang sama-sama besar."
"O, mereka telah berjanji di hadapan Ki Demang?"
"Ki Demang dari kademangan yang mana."
"Sangkal Putung. Tentu Sangkal Putung."
Tetapi salah seorang dari kedua orang itu telah bertanya, "Tetapi bukankah Ki Demang Sangkal Putung tidak ada di tempat dalam dua atau tiga hari ini?"
Agung Sedayu terkejut mendengar pertanyaan itu. Apalagi ketika orang itu meneruskan, "Menurut pendengaranku, Ki Demang Sangkal Putung berada di Tanah Perdikan Menoreh lebih dari sepasar. Dan menurut pendengaranku hari ini Ki Demang baru kembali. Dan apakah iring-iringan pengantin itu sudah lewat" Jika belum, alangkah baiknya jika daerah ini segera dibersihkan, agar pengantin itu tidak melihat beberapa sosok mayat yang terbaring di sini."
Agung Sedayu termangu-mangu sejenak. Lalu katanya, "Aku keliru, Ki Sanak. Maksudku mereka sudah berdamai tidak di hadapan Ki Demang, tetapi di hadapan Ki Jagabaya." Ia berhenti sejenak, lalu, "Tetapi selebihnya iring-iringan itu sudah lewat beberapa saat."
"Dan Ki Sanak sendiri?"
"Aku datang melerai perkelahian yang telah menumbuhkan sebelum peristiwa ini terjadi."
"Beberapa orang korban."
Sejenak kedua orang itu termangu-mangu. Lalu salah seorang bertanya, "Apakah aku boleh mengenali setiap korban?"
"Apakah gunanya?"
Orang itu menarik nafas. Nampak sepercik ketegangan di wajahnya. Namun kemudian katanya, "Anakku adalah anak yang nakal sekali. Ia sering berkelahi di mana pun juga."
"Dari manakah Ki Sanak datang, dan di manakah Ki Sanak tinggal?"
"Aku orang dari Prambanan. Aku sekedar lewat, karena aku akan pergi menengok keluargaku yang tinggal di Karang Elo."
"Ah, tentu bukan anak-anak muda dari Prambanan. Aku tahu pasti," jawab Agung Sedayu.
"Ah, siapa tahu. Sudah tiga hari anakku tidak pulang. Dan menurut pendengaranku, anakku sering pergi dari satu kademangan ke kademangan yang lain. Berkelahi berkelompok dan bahkan kadang-kadang sering menumbuhkan kematian seperti sekarang ini."
Agung Sedayu menjadi bingung. Karena itulah maka ia pun menjawab, "Aku akan bertanya dahulu kepada orang tuaku."
"Silahkan, Anak Muda. Aku menunggu."
Agung Sedayu pun kemudian mendapatkan Kiai Gringsing yang sedang sibuk. Sejenak ia menjelaskan apa yang sudah dilakukan dan permintaan kedua orang berkuda itu.
Kiai Gringsing termangu-mangu sejenak. Lalu katanya, "Biarlah. Ia tidak akan mengenali orang-orang yang telah mati terbunuh itu."
Agung Sedayu mengangguk-angguk. Lalu ia pun mendapatkan kedua orang itu pula sambil mengatakan pesan Kiai Gringsing, bahwa orang tua itu tidak keberatan jika kedua orang itu ingin melihat beberapa orang korban yang luka dan terbunuh.
Sejenak kedua orang itu termangu-mangu. Namun mereka pun kemudian mulai mengamati beberapa orang yang terbaring di tanah. Yang sudah memejamkan matanya sama sekali, dan mereka yang masih mampu berkedip.
Mereka saling berbisik di antara mereka, seolah-olah mereka sedang mencoba mengenal setiap orang.
Selangkah demi selangkah mereka maju. Orang-orang yang terluka telah diusung dan dibaringkan di tempat yang dialasi dengan rumput-rumput kering. Sedangkan mereka yang terbunuh telah diletakkan berjajar di tempat yang lain.
Langkah kedua orang itu tertegun ketika mereka melihat sesosok mayat yang hampir tidak dapat dikenalinya lagi. Namun demikian, mayat itu ternyata telah menarik perhatiannya. Sejenak mereka berdiri termangu-mangu. Namun kemudian yang seorang berdesis, "Aku tidak salah lagi. Tentu orang inilah Gandu Demung itu."
"Ternyata ia telah terperosok dalam lingkaran perkelahian melawan orang bercambuk itu, sehingga ia mengalami luka-luka yang mengerikan sebelum kematiannya."
Agung Sedayu tidak mendengar percakapan itu. Namun kemudian ia pun mendekati keduanya sambil berkata, "Menurut perhitungan kami, orang itu termasuk salah seorang pemimpinnya."
"Pemimpin siapa, Ki Sanak?" bertanya salah seorang dari kedua orang itu.
Agung Sedayu termangu-mangu sejenak. Namun katanya kemudian, "Pemimpin salah satu dari kelompok-kelompok yang berbenturan itu."
Kedua orang itu menarik nafas dalam-dalam. Dan Agung Sedayu pun kemudian bertanya, "Apakah kau dapat menemukan orang yang kau cari?"
Keduanya menggeleng. Salah seorang dari keduanya menyahut, "Tidak, Ki Sanak. Tetapi kematian salah seorang dari mereka yang menjadi korban itu nampaknya mengerikan sekali."
Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam.
"Bekas-bekas lukanya bukannya bekas luka senjata tajam. Bukan pula bekas luka bindi atau tongkat besi sekalipun."
"Menurut dugaanmu, luka itu bekas sentuhan senjata jenis yang mana?" bertanya Agung Sedayu.
"Cambuk. Aku menduga bahwa orang itu telah mengalami nasib yang malang, karena ia telah bertengkar dengan orang bercambuk atau salah seorang muridnya."
Dada Agung Sedayu berdesir. Ia tidak mempunyai alasan untuk mengelakkan dugaan itu. Karena itu, ia pun justru mengangguk-anggukkan kepalanya tanpa mengucapkan sepatah kata pun.
Anak muda itu terkejut ketika salah seorang dari kedua orang itu pun berkata, "Sudahlah, Ki Sanak. Aku minta diri. Aku akan melanjutkan perjalananku. Mudah-mudahan aku dapat menemukan anakku dengan selamat."
"Mudah-mudahan."
"Aku minta diri. Katakan kepada orang tua itu, bahwa aku akan melanjutkan perjalanan."
Demikianlah keduanya pun segera meninggalkan tempat itu. Langit yang merah menjadi semakin merah dan cahaya matahari yang turun ke Barat menjadi semakin pudar.
Dalam pada itu, kedua orang itu pun segera memacu kudanya. Di sepanjang jalan mereka dicengkam olah pembicaraan tentang nasib Gandu Demung yang malang.
"Aku yakin, bahwa Gundu Demung tidak dapat meloloskan diri."
"Jika saja ia tidak bertemu dengan orang bercambuk."
"Yang manakah menurut dugaanmu orang bercambuk itu?"
"Aku tidak tahu. Mungkin orang itu sudah pergi bersama pengantin itu. Mungkin orang tua yang sedang sibuk menyelenggarakan para korban itu."
"Tentu sudah pergi bersama pengantin dari Tanah Perdikan Menoreh. Ia tentu merupakan orang terhormat. Orang yang mendapat tempat di sisi sepasang pengantin itu."
Kawannya mengangguk-angguk. Namun mereka sudah mendapat bahan yang lengkap untuk menyampaikan laporan tentang usaha Gandu Demung. Usaha yang ternyata telah gagal sama sekali.
"Bagaimanakah jika empu tidak percaya?" desis salah seorang dari mereka.
"Mudah-mudahan ia mempercayai kita. Dan jika ia tidak percaya dan mengirimkan orang lain untuk menyelidiki kebenaran laporan kita, maka kita tidak akan cemas, bahwa laporan kita dianggap salah. Bukankah kita sudah melihat bahwa Gandu Demung benar-benar telah mati?"
Kawannya mengangguk-angguk. Ia pun sependapat bahwa Gandu Demung memang sudah mati. Jika ada orang lain yang harus menilai kebenaran laporannya, maka mereka berdua tidak usah menjadi cemas, karena sebenarnya bahwa hal itu memang sudah terjadi.
Dalam pada itu Agung Sedayu yang masih sibuk membantu Kiai Gringsing sama sekali tidak menduga, bahwa kedua orang itu adalah orang-orang yang memang mendapat tugas untuk melihat apakah Gandu Demung berhasil atau justru jatuh ke tangan orang-orang Sangkal Putung.
Tetapi yang terjadi adalah Gandu Demung telah mati.
"Kita kehilangan," desis salah seorang dari kedua orang berkuda itu. "Jarang orang yang memiliki kemampuan seperti Gandu Demung."
"Masih ada beberapa orang yang dapat mendampingi pemimpin kita itu."
"Ya. Tetapi itu bukan berarti bahwa hilangnya Gandu Demung bukannya tidak berpengaruh sama sekali."
"Pengaruhnya tidak akan begitu besar."
"Tetapi ada." Kawannya tidak menjawab. Bahkan kemudian ia pun memacu kudanya semakin cepat sambil berkata, "Malam mulai pekat. Kita akan bermalam di mana?"
"Pertanyaanmu aneh. Di manakah kita bermalam selama ini?"
Kawannya mengangguk-angguk. Tetapi ia masih berkata, "Kita akan mencari jalan melingkar. Mungkin kita akan melalui jalan-jalan kecil agar kita tidak menjadi semakin jauh dari Gunung Tidar."
"Aku belum mengenal daerah ini sebaik-baiknya."
"Aku sudah pernah melalui daerah ini meskipun sudah agak lama. Kita akan berbelok sebelum kita sampai ke Sangkal Putung. Melingkar sedikit dan kemudian kita akan turun ke jalan ini pula, dan kembali melalui jalan yang kita lewati saat kita mengikuti iring-iringan pengantin itu."
Kawannya tidak menjawab. Mereka pun berpacu semakin cepat. Seperti yang dikatakan oleh salah seorang dari mereka, maka keduanya pun kemudian berbelok melalui jalan yang lebih kecil. Mereka harus melingkari hutan kecil yang menjadi arena pertempuran yang sengit itu, untuk selanjutnya berpacu ke Gunung Tidar.
Dalam pada itu, di bekas arena pertempuran itu pun telah dipasang beberapa buah obor. Beberapa buah pedati telah siap pula untuk mengusung mereka yang telah menjadi korban dan dibawa ke banjar padukuhan terdekat. Hanya mereka yang masih hidup meskipun terluka parah, akan dibawa ke banjar padukuhan induk Kademangan Sangkal Putung.
Ketika Kiai Gringsing, Agung Sedayu, dan beberapa orang pengawal sedang sibuk merawat para korban, maka iring-iringan pengantin yang sudah berubah bentuknya itu pun memasuki halaman kademangan. Ternyata berita tentang perkelahian itu telah mendahului iring-iringan sampai ke telinga penghuni padukuhan induk Kademangan Sangkal Putung meskipun belum jelas.
Karena itulah, maka ketika iring-iringan itu memasuki regol, Nyai Demang segera berlari-lari menyambut dengan mata yang basah.
Sekar Mirah, meskipun ia telah menjadi seorang gadis dewasa dan sanggup memutar tongkat baja berkepala tengkorak yang berwarna kekuning-kunfingan, namun ketika dilihatnya ibunya yang gelisah, ia pun segera berlari mendapatkannya.
Sambil memeluk anak gadisnya, Nyai Demang tidak berhasil menahan air matanya yang menitik di pundak Sekar Mirah.
Kemudian setelah Sekar Mirah melepaskan pelukannya, Nyai Demang pun segera diperkenalkan dengan menantunya oleh Sekar Mirah. Dengan senyum yang masih dibasahi oleh air mata, maka ia pun kemudian membimbing menantunya naik ke pendapa dan langsung melalui pringgitan masuk ke ruang dalam, sementara Swandaru pun mengikutinya pula, setelah mereka mencuci kaki di depan tangga.
Meskipun upacara yang sebenarnya belum dilakukan, namun ternyata kademangan itu telah penuh dengan orang-orang tua dan sanak kadang. Di ruang dalam ternyata telah penuh pula dengan perempuan yang menunggu kedatangan pengantin itu dengan berdebar-debar. Apalagi setelah mereka mendengar bahwa telah terjadi sesuatu di ujung hutan.
Ki Demang yang kemudian duduk di pendapa bersama Swandaru dan para pengiring segera dihujani dengan berbagai macam pertanyaan, sehingga akhirnya Ki Demang justru mengadakan sesorah singkat tentang pengalaman perjalanannya.
"Nah, silahkan kalian mendengarkan," berkata Ki Demang, "aku menceriterakan apa yang terjadi, karena dengan demikian aku tidak perlu menjawab pertanyaan-pertanyaan yang berulang kali yang harus aku jawab dengan jawaban yang sama. Yang barang kali dialami pula oleh orang-orang lain dalam iring-iringan ini."
Yang lain mengangguk-angguk. Ki Sumangkar dan Ki Waskita sempat tersenyum.
Demikianlah Ki Demang menceritakan dengan singkat apa yang telah terjadi di ujung hutan kecil itu. Beberapa orang korban telah jatuh. Karena itulah maka ia mengharap agar rakyat Sangkal Putung justru menjadi lebih berhati-hati menanggapi perkembangan keadaan.
"Di mana Ki Jagabaya," tiba-tiba saja Ki Demang bertanya.
Seorang pengawal yang ada di pendapa itu segera menyahut, "Ki Jagabaya pergi ke ujung hutan itu Ki Demang."
"Tetapi kami tidak bertemu di perjalanan."
"Mungkin Ki Jagabaya mengambil jalan memintas. Agaknya kami di sini menerima berita itu terlampau lambat sehingga kami tidak segera dapat mengambil bagian dalam pertempuran itu."
Ki Demang mengangguk-angguk. Lalu katanya, "Baiklah. Kiai Gringsing dan Agung Sedayu masih berada di tempat itu, jika Ki Jagabaya datang, tentu ia akan bertemu dengan beberapa orang yang masih sibuk sekarang ini."
Orang-orang yang berada di pendapa itu pun kemudian saling bergeramang di antara mereka. Yang mereka bicarakan sudah barang tentu peristiwa yang baru saja terjadi.
Namun ada juga di antara anak-anak muda yang berdesis, "Kenapa Agung Sedayu tinggal?"
Tetapi anak-anak muda itu sebagian sudah dapat menebak jawabnya. Justru karena gurunya tinggal, maka Agung Sedayu pun tinggal pula mengawani gurunya itu.
"Ya, tetapi kenapa Kiai Gringsing tidak datang bersama dengan Ki Demang dan orang-orang lain dalam iring-iringan ini" Bukankah Ki Demang dapat menyerahkan penyelesaian para korban itu kepada para pengawal?" bertanya seorang lain.
"Ia bukan saja seorang guru dalam olah kanuragan. Tetapi ia juga seorang yang memiliki kemampuan dalam bidang pengobatan. Tentu ia merasa berkewajiban untuk mengurus orang-orang yang terutama masih memungkinkan untuk ditolong. Bukankah hampir di dalam setiap benturan kekerasan ia berbuat demikian?"
Kawannya mengangguk-angguk.
Dalam pada itu, setelah Ki Demang selesai dengan ceriteranya tentang perjalanan, maka mulailah orang-orang tua dan keluarga Ki Demang berbincang tentang akibat yang timbul dari benturan itu.
"Tetapi Kiai Gringsing, Agung Sedayu, dan para pengawal sudah mengurusnya," potong Swandaru kemudian.
Kata-kata Swandaru itu ternyata telah menarik perhatian setiap orang yang hadir di pendapa itu. Mereka merasakan sesuatu yang berbeda pada tekanan suaranya. Namun mereka tidak segera menemukan perbedaan itu.
Tetapi bagi Ki Sumangkar dan Ki Waskita, kata-kata itu seolah-olah telah memberikan isyarat, bahwa memang suatu perubahan telah terjadi pada Swandaru. Namun demikian, agaknya mereka masih belum yakin, bahwa tangkapan mereka itu benar.
Meskipun demikian, Ki Waskita tidak dapat menghindarkan diri dari kegelisahannya. Ia mulai menghubungkan semuanya yang telah terjadi dengan isyarat yang nampak di dalam jangkauan penglihatan batinnya tentang masa yang akan dilalui oleh Swandaru.
"Bayangan itu nampaknya semakin buram," desis Ki Waskita di dalam hatinya.
Semula ia ingin memaksa dirinya untuk menganggap bahwa yang dilihat di dalam isyarat itu sudah terjadi. Peristiwa yang terjadi di ujung hutan kecil itu merupakan noda-noda yang buram di dalam kehidupan Swandaru pada saat-saat ia melampaui hari-hari perkawinannya.
Namun ternyata ia tidak dapat ingkar bahwa sebenarnya ia mengetahui. Peristiwa di hutan kecil itu adalah peristiwa lahiriah yang tidak banyak berarti bagi masa depan anak muda yang gemuk itu. Tetapi peristiwa yang sebenarnya masih akan terjadi, langsung menyangkut bukan saja kehidupan jasmaniahnya, tetapi juga kehidupan-kehidupan batinnya.
"Alangkah bodohnya aku," desis Ki Waskita di dalam hatinya, "yang aku lihat hanyalah saat-saat buram yang bakal datang. Tetapi kenapa aku tidak dapat mengetahui apakah yang sebenarnya akan terjadi."
Tetapi Ki Waskita tidak dapat memaksa dirinya untuk menjadi lebih banyak mengetahui. Setiap kali ia selalu terkenang kepada kasih yang telah melimpah kepadanya. Anugerah yang telah dimilikinya itu merupakan kemurahan yang tidak diterima oleh setiap orang.


04 Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Alangkah tamaknya aku ini," desisnya, "yang aku terima sudah terlampau banyak. Dan aku masih saja merasa diriku terlampau bodoh dan ingin mendapat lebih banyak lagi."
Meskipun demikian, sesuatu selalu membayanginya bahwa warna-warna yang buram itu pada suatu saat akan nampak dalam kehidupan Swandaru.
Sejenak pembicaraah di pendapa itu berkisar kepada usaha Kiai Gringsing dan Agung Sedayu yang masih tinggal di ujung hutan itu, dan yang kemudian disusul oleh Ki Jagabaya dengan beberapa orang pengawalnya.
"Mereka akan segera datang," berkata Ki Demang kemudian. "Sudah barang tentu Kiai Gringsing tidak akan menungguinya sampai semuanya diselesaikan. Jika ia menganggap cukup merawat orang-orang yang terluka, tentu ia akan segera kembali."
Orang-orang yang semula mempersoalkannya itu pun mengangguk-angguk. Mereka sependapat dengan Ki Demang, bahwa sebentar lagi Kiai Gringsing dan Agung Sedayu pun tentu akan datang. Sehingga karena itulah maka mereka pun tidak membicarakannya.
Pembicaraan mereka mulai berkisar ke Tanah Perdikan Menoreh. Beberapa orang yang ikut hadir pada upacara perkawinan di Tanah Perdikan Menoreh mulai berceritera tentang kemeriahan saat-saat perkawinan itu.
Hanya Ki Waskita dan Ki Sumangkar sajalah yang ternyata berbicara tentang soal yang lain sama sekali. Adalah di luar sadar, jika mereka pun mulai berbicara tentang upacara perkawinan yang akan diselenggarakan di Kademangaa Sangkal Putung. Apalagi ketika pembicaraan mereka kemudian telah menyentuh Swandaru dan Agung Sedayu.
"Kiai Gringsing sudah berusaha," berkata Ki Sumangkar, "tetapi kedua anak-anak muda itu telah membawa peta hidup mereka masing-masing yang sudah terbentuk di masa-masa mereka masih kanak-kanak. Untuk beberapa saat nampaknya Kiai Gringsing berhasil mendekatkan tabiat dan sifat keduanya. Namun dalam keadaan tertentu watak masmig-masing itu akan melonjak dan mengatasi kekang sifat mereka yang dipasang oleh Kiai Gringsing."
Ki Waskita mengangguk-angguk.
Agaknya saat-saat perkawinan Swandaru ini benar-benar merupakan saat yang penting sekali di dalam perjalanan hidupnya. Saat-saat perkawinannya telah merupakan saat yang memutar arah hidup yang telah diusahakan oleh Kiai Gringsing yang semula nampaknya akan berhasil. Tetapi ternyata bahwa hal itu masih diragukan.
"Perkawinan ini seharusnya dilangsungkan di saat lain, apabila Kiai Gringsing sudah benar-benar berhasil menekan watak Swandaru sampai ke dasarnya, sehingga pada suatu saat tidak akan dapat tumbuh lagi dalam bentuk yang seperti ini."
"Tetapi sudah terlanjur. Yang akan terjadi itu sudah terjadi," desis Ki Waskita.
Ki Sumangkar mengangguk-angguk. Ia sadar, bahwa Ki Waskita telah melihat sesuatu di masa mendatang yang tidak sesuai dengan keinginannya, keingihan Kiai Gringsing, dan keinginan Ki Demang Sangkal Putung. Meskipun tidak terperinci, namun Ki Waskita pernah mengatakan bahwa ia cemas akan penglihatannya pada isyarat tentang masa depan Swandaru itu.
"Tetapi tidak ada tangan yang dapat mencegahnya," desis Ki Sumangkar di dalam hatinya, "karena apa yang dilihatnya adalah apa yang akan terjadi. Kecuali jika datang keajaiban. Dan itu hanya dapat terjadi jika penglihatan Ki Waskita itu salah."
Kecemasan yang serupa telah mengusik Ki Waskita pula. Ia melihat goncangan perasaan pada Swandaru. Bukan saja karena pertempuran di ujung hutan itu. Tetapi sejak anak muda itu berada di Menoreh, sudah nampak tanda-tanda bahwa kebanggaan Swandaru atas dirinya sendiri telah mengangkat wataknya yang sebenarnya, yang selama di dalam asuhan Kiai Gringsing agaknya telah berhasil didesak jauh di sudut hatinya yang paling dalam.
Dalam keadaan yang demikiap maka perbedaan watak antara Swandaru dan Agung Sedayu menjadi semakin jelas, meskipun keduanya pernah berguru kepada orang yang sama.
Dalam pada itu, Agung Sedayu sedang sibuk mengangkat orang-orang yang terluka ke atas pedati bersama dengan beberapa orang, ketika Ki Jagabaya yang marah langsung memintas dan sampai di ujung hutan. Namun pertempuran yang sebenarnya sudah selesai. Yang dijumpai tinggallah Kiai Gringsing, Agung Sedayu, dan beberapa orang pengawal mengumpulkan para korban dan menyiapkan untuk membawanya dengan pedati.
"Yang terutama harus mendapat perhatian adalah mereka yang masih hidup. Mereka harus dibawa ke banjar di padukuhan induk Kademangan Sangkal Putung," berkata Ki Jagabaya.
Ketika para pengawal sedang sibuk mengangkat para korban dengan hati-hati, maka Ki Jagabaya masih sempat bertanya, apakah yang sebenarnya telah terjadi.
"Agaknya sekelompok perampok yang besar telah menunggu kami," sahut Kiai Gringsing.
Ki Jagabaya mengangguk-angguk. Bekas yang dijumpainya memang mengatakan demikian.
Dengan singkat Kiai Gringsing menceriterakan, apakah yang sudah terjadi di ujung hutan itu, sehingga beberapa orang korban telah jatuh.
"Gila," geram Ki Jagabaya. Namun ia tidak dapat mengatakan sesuatu tentang perampokan itu. Jika perampok itu secara kebetulan saja menjumpai iring-iringan pengantin dari Sangkal Putung itu, maka jumlah mereka tentu tidak akan sebesar itu.
Maka kesimpulan yang untuk sementara disepakati antara Ki Jagabaya dan Kiai Gringsing adalah, bahwa orang-orang yang merampok itu tentu mempunyai hubungan dengan orang-orang yang pernah menetap untuk beberapa hari di Padepokan Tambak Wedi.
"Itulah yang membingungkan kami," berkata Ki Jagabaya kemudian, "jika pada suatu saat mereka turun lagi dengan kekuatan yang lebih besar dan melakukan kejahatan yang tanpa pertimbangan."
Kiai Gringsing mengangguk-angguk. Katanya kemudian, "Besok Angger Untara akan datang. Bukankah Ki Jagabaya telah mengundangnya?"
"Ya. Angger Untara sudah menyatakan kesanggupannya untuk datang saat pahargyan sepasaran pengantin Swandaru dan Pandan Wangi."
Kebakaran The Burning 3 Cinta Itu Tidak Merah Jambu Karya Nasi Tim Kampung Setan 11

Cari Blog Ini