Ceritasilat Novel Online

Hijaunya Lembah Hijaunya 12

03 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja Bagian 12


Tetapi kakek tua itu tidak dapat mencegahnya. Apalagi
ketika mereka benar-benar mulai bertempur.
Yang mula-mula meloncat menyerang adalah laki-laki
yang disebut ayah oleh Ki Buyut itu. Laki-laki tua namun
geraknya masih secekatan burung sikatan menyambar bilalang.
Tangannya terayun mendatar di saat tubuhnya meloncat ke
depan. Tetapi Mahisa Murti memang sudah bersiap sepenuhnya.
Ia dengan tangkas pula telah menghindari serangan itu. Satu
loncatan kecil telah membebaskannya dari sentuhan tangan
orang tua itu. Namun ayunan tangan yang menggetarkan udara
itu seakan-akan telah memberikan peringatan kepadanya,
bahwa ayah Ki Buyut itu tentu memiliki kemampuan
melampaui Ki Buyut sendiri. Sehingga dengan demikian, maka
Mahisa Murti harus berhati-hati.
Sementara itu perempuan tua yang merupakan saudara
kembar dampit dari ayah Ki Buyut itu masih saja belum
melibatkan diri meskipun ia bergeser beberapa langkah ke
samping serta seakan-akan telah siap pula untuk menerkam.
Kakek tua yang mengajak Mahisa Murti datang ke rumah
itu p un menjadi semakin berhati-hati. Meskipun ia nampaknya
lebih tua dari ayah Ki Buyut itu, tetapi agaknya ia tidak akan
berdiam diri jika keadaan memang memaksa.
Untuk beberapa saat lamanya Mahisa Murti telah
melayani ayah Ki Buyut itu. Semakin lama maka pertempuran
itu pun menjadi semakin cepat. Ayah Ki Buyut telah
meningkatkan ilmunya semakin tinggi. Namun ia sama sekali
tidak mampu untuk menekan Mahisa Murti. Bahkan rasarasanya
semakin tinggi ia meningkatkan ilmunya, maka ilmu
anak muda itu selalu ada pada tataran yang sama.
Pertempuran itu pun semakin lama menjadi semakin
sengit. Ayah Ki Buyut itu berusaha untuk dengan segera
mengalahkan lawannya yang masih muda itu. Ayah Ki Buyut
itu menganggap bahwa pengalamannya tentu jauh lebih banyak
dari pengalaman anak muda itu. Sehingga meskipun darah
kemudaan lawannya itu masih bergelora, namun justru ia akan
dengan mudah menemukan titik-titik kelemahannya.
Tetapi ternyata yang terjadi adalah jauh dari dugaannya
itu. Anak muda itu mampu mengimbangi ilmunya yang telah
dikembangkannya berdasarkan pengalamannya yang panjang
itu. Bahkan kadang-kadang kemampuan anak muda itu terasa
telah mendesaknya. Karena itu maka orang tua itu tidak lagi berniat untuk
mengekang diri. Ia memang berniat untuk membunuh semua
orang yang ditemuinya di rumah itu. Sambil menggeram maka
ia pun telah mengambil jarak dari lawannya. Namun ternyata
orang tua itu berusaha mengambil kesempatan untuk mencapai
tataran ilmunya yang dibanggakannya.
Mahisa Murti melihat sikap orang tua itu. Dengan
demikian maka ia pun menyadari, bahwa orang tua itu akan
meningkatkan ilmunya sampai ke tataran yang terbaik.
Dengan demikian maka Mahisa Murti pun telah
mempersiapkan diri pula untuk menghadapi segala
kemungkinan. Tetapi sebelum ayah Ki Buyut itu bertempur kembali,
maka tiba-tiba saja ia berteriak, "Tinggalkan aku. Cari
perempuan itu. Ia harus mati lebih dahulu dari yang lain. Jika
ada orang lain di rumah itu, maka kau harus membunuhnya
pula." Semua orang tahu, bahwa perintah itu ditujukan kepada
saudara perempuannya, yang semula sudah siap untuk
bertempur. Sementara itu perempuan tua yang garang itu pun
telah bergeser pula mendekati pintu butulan.
"Jangan masuk," teriak kakek tua.
Namun demikian kakek tua itu bergerak, maka Ki Buyut
dan Ki Bekel pun telah mendekatinya.
"Kau tidak akan berdaya apa pun Ki Buyut," berkata
kakek tua itu, "dengan sentuhan satu jari kau akan terjatuh."
"Keadaanku sudah berangsur baik," berkata Ki Buyut.
Sementara itu Ki Bekel berkata, "Aku sehat sepenuhnya.
Akulah yang akan membunuhmu."
Tetapi kakek tua itu tertawa. Katanya, "jangan berpurapura
seperti itu. Kau mengenalku dengan baik, meskipun
umurmu belum setua aku. Kau dapat bertanya kepada dirimu
sendiri, apakah kira-kira kau dapat mengalahkan aku.
Meskipun aku sudah terlalu tua menurut ukuranmu, tetapi aku
masih mampu membajak sawahku yang beberapa kotak itu
tanpa bantuan orang lain."
Ki Bekel termangu-mangu. Namun kemudian katanya,
"Aku memang sudah mengira bahwa kau tentu akan turut
campur. Tetapi kau tidak akan mendapat kesempatan kali ini."
"Jangan mengigau seperti itu," berkata kakek tua itu.
Namun dalam pada itu, ayah Ki Buyut itu mengulangi
perintahnya, "Cepat. Jangan hiraukan orang tua gila itu."
Saudara perempuannya itu memang tidak menunggu lagi.
Ia pun dengan serta merta telah meloncat berlari ke pintu
butulan. Tetapi tiba-tiba saja ia telah terdorong keluar dan bahkan
diluar dugaannya, maka perempuan itu telah jatuh terguling di
tanah. Hanya karena kemampuannya yang tinggi, maka dengan
tangkasnya ia telah melenting berdiri.
"Setan alas," perempuan itu mengumpat. Sementara itu
ayah Ki Buyut itu pun terkejut pula.
Sejenak kemudian, maka dari pintu butulan itu
melangkah keluar seorang anak muda yang lain, yang telah
menjadi pusat perhatian bersama anak muda yang telah
bertempur melawan ayah Ki Buyut di Kabuyutan itu.
"Kau curang," geram perempuan itu, "jika kau memang
seorang laki-laki, maka kau tidak akan menyerang dari
persembunyianmu seperti itu."
Tetapi Mahisa Pukat tertawa. Katanya, "Kau kira kau dan
ayah Ki Buyut itu tidak berbuat curang" Bukan hanya kali ini,
tetapi sejak semula kau memang sudah curang."
Wajah perempuan itu menjadi tegang. Sekilas ia
berpaling kepada saudara kembarnya.
Ternyata saudara kembarnya itu telah menggeram,
"Setan kau anak iblis. Jangan banyak cakap. Sebentar lagi kau
akan mati. Semua orang yang ada di rumah ini pun akan kami
bunuh." "Kau salah Ki Sanak," jawab Mahisa Pukat, "kami akan
menyelesaikan persoalan yang timbul di Kabuyutan ini. Bagi
kami semuanya sudah jelas. Karena itu, menyerahlah. Kalian
tidak mempunyai kesempatan lagi untuk mengelakkan
tanggung jawab kalian."
"Tutup mulutmu," potong laki-laki tua itu. Lalu katanya
kepada saudara kembarnya, "Kita bunuh semuanya sekarang."
Perempuan tua yang ternyata juga memiliki ilmu yang
tinggi itu pun segera bersiap. Sementara saudaranya akan
menghadapi Mahisa Murti, maka ia pun telah siap menghadapi
Mahisa Pukat. Demikianlah, maka sejenak kemudian mereka pun telah
bertempur kembali. Dengan garangnya perempuan tua itu telah
menyerang Mahisa Pukat. Namun seperti saudaranya yang
laki-laki, maka Mahisa Pukat berhasil mengimbangi
kegarangannya, sehingga serangan-serangannya tidak dapat
menyentuh tubuh anak muda itu.
Dalam pada itu, ayah Ki Buyut memang telah berusaha
untuk mencapai tataran ilmu kebanggaannya. Karena itu, maka
tiba-tiba saja ia telah melenting dengan cepatny a. Tubuhnya
menjadi ringan seperti kapas. Loncatan-loncatan panjang telah
membuatnya Mahisa Murti kadang-kadang kehilangan jejak.
Mahisa Murti ternyata beberapa kali dapat dibingungkan
oleh gerak lawannya. Sekali menyerang, kemudian meloncat
menjauh. Namun tiba-tiba saja bagaikan terbang orang tua itu
menyambarnya dengan tangan terayun mendatar. Dengan
tergesa-gesa setiap kali Mahisa Murti harus menghindari
serangan-serangan itu. Namun ternyata serangan itu mengalir
seperti ombak di lautan. Terus menerus, susul menyusul
menghantam tebing. Semakin lama Mahisa Murti memang menjadi semakin
bingung. Orang tua itu bergerak semakin cepat. Betapa pun
Mahisa Murti mengerahkan tenaga cadangannya, namun
kecepatan geraknya tidak dapat mengimbangi kecepatan gerak
lawannya. Bahkan sekali dua kali serangan lawannya itu telah
mengenai tubuhnya. Tetapi bagi Mahisa Murti, ternyata sentuhan-sentuhan
tangan dan kaki lawannya tidak terlalu berbahaya baginya.
Meskipun terasa juga sakit, tetapi ketahanan tubuhnya mampu
mengatasi rasa sakit itu. Karena itu, Mahisa Murti tidak
menjadi kehilangan akal. Ia masih sempat membuat
pertimbangan-pertimbangan yang mapan untuk mengatasi
kebingungannya karena arah lawannya yang tiba-tiba berubah.
Mahisa Murti masih sempat memperhitungkan kemampuan
lawannya yang karena bergerak terlalu cepat, maka pengerahan
tenaganya justru menjadi susut, sehingga serangannya yang
membingungkan itu tidak dapat didukung oleh pengerahan
tenaga sepenuhnya. Untuk mengatasi keadaan itu, maka Mahisa Murti tidak
lagi berniat untuk menghindari setiap serangan. Ia akan
membenturkan kekuatannya melawan setiap serangan yang
datang. Mahisa Murti merasa bahwa tenaganya masih cukup
kuat untuk melakukannya. Sebenarnyalah bahwa Mahisa Murti pun kemudian tidak
lagi berusaha untuk membenturnya dan melawan kekuatan
dengan kekuatan. Ternyata bahwa kekuatan Mahisa Murti masih mampu
mengatasi kekuatan lawannya. Lawannya yang semula
menduga bahwa anak muda itu menjadi kebingungan dan
kehilangan akal, ternyata tidak demikian. Mahisa Murti telah
mencoba untuk beradu kekuatan pada benturan-benturan yang
terjadi kemudian. Di lingkaran pertempuran yang lain, Mahisa Pukat tidak
banyak mengalami kesulitan pula. Ketika ia melihat Mahisa
Murti selalu membenturkan kekuatannya melawan seranganserangan
lawannya maka ia mula-mula mengira bahwa
saudaranya telah mempergunakan ilmunya yang menggetarkan
itu. Menghisap kekuatan lawannya.
Tetapi ternyata bahwa kekuatan lawannya sama sekali
tidak berubah, sehingga Mahisa Pukat pun mengetahui, bahwa
Mahisa Murti hanya membentur saja serangan-serangan
lawannya dengan kekuatannya.
Namun dalam pada itu, Mahisa Pukat pun sudah
memperhitungkan, bahwa pada suatu saat, lawannya itu pun
tentu akan mempergunakan ilmu yang sama dengan saudara
kembarnya, karena menilik unsur-unsur gerak kedua orang itu,
maka mereka telah berguru pada orang yang sama yang
memberikan ilmu yang sama pula.
Sebenarnyalah, ketika perempuan tua itu tidak juga
segera dapat mengatasi lawannya, maka tiba-tiba saja ia pun
telah melenting mengambil jarak.
Mahisa Pukat pun segera mengetahui bahwa lawannya
itu tentu akan mempersiapkan diri sebagaimana dilakukan oleh
saudara kembarnya. Karena itu, maka Mahisa Pukat pun telah
bersiap-siap menghadapi kemungkinan itu. Nampaknya cara
yang dilakukan oleh Mahisa Murti mampu mengatasi kesulitan
yang dialaminya karena kecepatan gerak lawannya, bahkan
membingungkannya. Itulah sebabnya maka Mahisa Pukat justru telah
menghimpun tenaganya untuk melawan perempuan tua yang
garang itu. Ketika kemudian perempuan itu siap dengan ilmunya,
maka ia pun dengan kecepatan yang sangat tinggi telah
menyerang Mahisa Pukat. Namun Mahisa Pukat sama sekali
tidak berusaha untuk menghindar. Sebagaimana dilakukan oleh
Mahisa Murti, maka ia justru telah meloncat pula
menyongsong lawannya. Namun agak berbeda dengan Mahisa Murti, maka
Mahisa Pukat justru telah mengerahkan tenaganya. Ia memang
ingin mengatasi kekuatan lawannya, sehingga karena itu, maka
ia telah mengungkapkan tenaga cadangannya sepenuhnya.
Sejenak kemudian telah terjadi benturan yang keras
sekali. Benturan antara dua kekuatan yang sangat besar.
Mahisa Pukat ternyata telah terpental dua langkah surut.
Hampir saja ia telah kehilangan keseimbangannya. Namun
dengan tangkas ia telah mampu memperbaiki keadaannya
justru dengan melompat selangkah lagi surut.
Namun dalam pada itu, ternyata lawannya telah
terlempar beberapa langkah. Bahkan perempuan tua itu tidak
mampu lagi mempertahankan keseimbangannya, sehingga ia
pun telah terbanting jatuh dan berguling beberapa kali.
Tetapi Mahisa Pukat yang telah menguasai
keseimbangannya sepenuhnya tidak meloncat memburunya.
Dibiarkannya perempuan itu tertatih-tatih berdiri dengan susah
payah. Saudara kembarnya, ayah Ki Buyut, melihat apa yang
terjadi. Tetapi ia tidak dapat berbuat sesuatu untuk
membantunya. Lawannya yang dianggapnya masih terlalu
muda dan tidak berpengalaman itu ternyata memiliki kekuatan
melampaui kekuatannya. Anak muda itu justru telah
membentur hampir setiap serangannya sehingga dengan
demikian, maka ayah Ki Buyut itu justru mengalami banyak
kesulitan. Tenaga dan kekuatan anak muda itu semakin lama
seakan-akan justru menjadi semakin besar. Sehingga benturanbenturan
yang terjadi justru telah menyakitinya. Sedangkan
anak muda itu sama sekali tidak terganggu karenanya. Seakanakan
setiap benturan itu tidak terasa olehnya.
Dengan demikian, maka ayah Ki Buyut itu benar-benar
tidak mempunyai pertimbangan lain kecuali dengan secepatcepatnya
membunuh orang-orang itu-dengan cara apa pun juga.
Karena itu, maka ketika ia mendapat kesempatan, ia pun
dengan serta merta telah menyerang lawannya yang muda itu
dengan senjatanya. Sebilah keris yang besar yang diselipkan
pada wrangkanya di punggungnya.
Mahisa Murti telah meloncat beberapa langkah surut.
Dengan saksama ia telah memperhatikan keris yang besar itu.
Namun karena keris itu selalu bergerak, maka Mahisa Murti
tidak dapat melihat ujudnya dengan jelas. Apalagi cahaya
lampu minyak yang hanya remang-remang sampai di
longkangan itu.

03 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Tetapi keris itu menurut penglihatan Mahisa Murti, tentu
bukan keris kebanyakan, karena di ujung keris itu seakan-akan
nampak cahaya kemerah-merahan.
"Kau telah terjerat oleh kesombonganmu sendiri anak
muda," geram ayah Ki Buyut itu, "darahmu akan dihisap oleh
ujung kerisku yang ternyata memang sudah haus. Cahaya
merah di ujung keris itu adalah pertanda bahwa kerisku
memerlukan minum darah anak muda seperti kau ini."
Mahisa Murti termangu-mangu sejenak. Namun ia pun
kemudian menarik pedangnya sambil berkata, "Aku tidak
peduli cahaya kemerahan di ujung kerismu itu. Tetapi jika
tanganku lebih terampil dari tanganmu, maka pedangkulah
yang akan meneguk darahmu."
"Persetan," geram ayah Ki Buyut yang sudah tua itu.
Ternyata anak muda itu memang tidak dapat ditakut-takuti
dengan cara apa pun juga.
Sementara itu, saudara kembar perempuannya itu pun
tidak mempunyai pilihan lain pula. Ia pun telah menarik
kerisnya yang sama besar dengan keris saudara kembarnya itu,
yang juga dilekatkan pada punggungnya. Dengan demikian,
maka sejenak kemudian, perempuan tua itu pun telah
melangkah setapak demi setapak maju mendekati Mahisa
Pukat dengan keris yang teracu. Ternyata bahwa bukan saja
mereka adalah saudara kembar. Keris yang dipegang oleh
kedua orang itu pun nampaknya juga kembar. Di ujung keris
perempuan tua itu juga nampak cahaya yang kemerahmerahan.
Mahisa Pukat pun kemudian telah mencabut pedangnya
pula. Bahkan ia pun berkata, "Bagus. Kau nampaknya sudah
jemu bertempur malam ini. Karena itu, kau telah berusaha
untuk mempercepat kematianmu sendiri. Kau pancing aku
menarik senjataku. Dan itu berarti bahwa kau akan segera
mati." Perempuan itu menggeram. Dengan cepat pula ia telah
menyerang Mahisa Pukat. Ternyata bahwa perempuan tua itu masih juga mampu
bergerak dengan cepat sambil memutar kerisnya. Kecepatan
geraknya yang dilandasi dengan ilmunya. Karena itu, maka
Mahisa Pukat harus benar-benar mengerahkan kemampuannya.
Ia tidak dapat membiarkan ujung keris lawannya itu menyentuh
kulitnya. Sentuhan ujung keris itu akan dapat mengoyakkan
kulitnya. Jika hal itu terjadi beberapa kali, maka ia akan terluka
arang kranjang. Karena itu, maka Mahisa Pukat pun harus mengerahkan
segenap kemampuan ilmu pedangnya.
Nampaknya Mahisa Murti pun harus bekerja keras untuk
dapat mengimbangi lawannya. Sebagaimana sebelumnya,
maka Mahisa Murti berusaha untuk mengurangi kecepatan
gerak lawannya dengan mengerahkan kekuatannya. Mahisa
Murti berusaha membenturkan kekuatannya pada setiap
kesempatan. Ia tidak terlalu banyak menghindar karena
kadang-kadang memang tidak ada kesempatan. Tetapi pada
setiap benturan, terasa senjata lawannya telah bergetar.
Dengan memperhitungkan kelemahan lawannya itulah,
maka Mahisa Murti telah bertempur dengan sengitny a
melawan ayah Ki Buyut yang sudah tua namun yang justru
memiliki pengalaman yang bertimbun di dalam dirinya.
Dalam pada itu, selagi Mahisa Murti dan Mahisa Pukat
bertempur melawan kedua orang saudara kembar dampit itu,
maka Ki Bekel dan Ki Buyut seakan-akan jadi membeku.
Namun dalam keadaan yang semakin rumit bagi ayah Ki Buyut
itu, maka Ki Bekel mulai memperhatikan kakek tua yang masih
juga berdiri termangu-mangu.
Dengan hati-hati agar tidak menarik perhatian kakek tua
itu, maka Ki Bekel telah mendekati Ki Buyut. Kemudian ia pun
telah berbisik di telinganya, "Kita selesaikan kakek tua itu.
Kemudian kita cari perempuan yang berkhianat itu di dalam."
Ki Buyut termangu-mangu. Katanya, "Tetapi tubuhku
masih belum pulih." "Kau bantu aku. Aku yang akan menyelesaikan
mereka," berkata Ki Bekel.
"Tetapi bukankah kau kenal laki-laki tua itu" Ia
memiliki kemampuan meskipun tidak terlalu tinggi.
Seandainya keadaanku tidak seperti sekarang ini, maka aku
akan dapat menyelesaikannya," berkata Ki Buyut.
"Kita harus berbuat sesuatu. Kita tidak dapat sekedar
menjadi penonton seperti sekarang ini, sementara ayah dan
bibimu ada dalam kesulitan," bertanya Ki Bekel.
Ki Buyut masih tetap termangu-mangu. Sebenarnya ia
sependapat dengan Ki Bekel. Tetapi Ki Buyut itu tidak
mempunyai kekuatan dan kemampuan untuk melakukannya.
"Baiklah," berkata Ki Bekel, "jika kau masih belum
dapat berbuat sesuatu, biarlah aku saja yang melakukannya.
Aku memang harus berbuat sesuatu. Kakek itu sudah terlalu
tua. Ia tidak akan menyimpan tenaga lagi didalam dirinya.
Meskipun ia berilmu sekalipun, namun ia tidak akan dapat
mendukung ilmunya dengan tenaga wadagnya lagi."
Ki Buyut termangu-mangu sejenak. Namun kemudian
katanya, "Baiklah. Lakukan. Aku akan mencoba untuk ikut
berbuat sesuatu." Ki Bekel itu mengangguk kecil. Sementara itu
pertempuran antara kedua orang anak muda itu melawan kedua
orang bersaudara kembar dampit itu masih berlangsung pula.
Namun semakin lama semakin jelas, M ahisa Murti dan Mahisa
Pukat mempunyai kekuatan yang lebih besar dari lawannya,
sehingga setiap terjadi benturan, maka lawannyalah yang
terdesak surut. Sejenak Ki Bekel memperhatikan pertempuran itu.
Namun kemudian perhatiannya pun mulai tertuju sepenuhnya
kepada kakek tua yang seakan-akan tidak menghiraukannya.
Setapak demi setapak ia bergeser mendekatinya. Ki Bekel itu
tidak perlu menjajagi lagi kemampuan orang tua itu. Yang
ingin dilakukannya adalah dengan serta merta membunuhnya.
Kemudian akan dicarinya adik perempuan laki-laki tua itu,
yang menjadi sasaran utama mereka malam itu, karena
perempuan itu dianggap mengetahui rahasia Ki Buyut dan Ki
Bekel. Ketika Ki Bekel itu setapak demi setapak menjadi
semakin dekat maka tiba-tiba saja orang tua itu justru berkata,
"Marilah Ki Bekel. Aku sudah siap menunggu, kapan kau akan
mulai. Jika kau tidak berkeberatan, biarlah Ki Buyut itu ikut
serta." Ki Bekel itu menggeram. Namun ia tidak menunggu lagi.
Tiba-tiba saja ia telah meloncat menyerang.
Tetapi kakek tua itu tidak membiarkan dirinya dibantai
tanpa melawan. Dengan sisa tenaga tuanya, maka kakek tua itu
telah bersiap mempertahankan dirinya.
Dengan demikian maka kakek tua itu pun telah
bertempur pula melawan Ki Bekel. Meskipun ia sudah tua,
tetapi karena ia terbiasa bekerja keras di sawahnya, maka
tenaganya ternyata masih cukup besar.
Ki Bekel yang mengharap tenaga kakek tua itu sudah
jauh menyusut, ternyata telah salah hitung. Kakek tua itu masih
dengan sigap melayaninya.
Dalam pada itu, Ki Bekel itu masih dapat juga berteriak,
"Cari perempuan itu Ki Buyut. Bunuh perempuan itu. Ia akan
dapat menjadi sumber malapetaka."
Ki Buyut termangu-mangu. Tubuhnya masih terlalu letih
rasanya seakan-akan tulang-tulangnya menjadi lunak dan tidak
berdaya. Namun ia tidak dapat menunggu lagi. Apalagi ketika ia
melihat bahwa benturan-benturan kekuatan kedua anak muda
yang melawan ayah dan bibinya itu tidak dapat diatasi oleh
kedua orang tua itu. Karena itu, maka Ki Buyut itu p un telah mempergunakan
sisa tenaga yang ada padanya. Selangkah demi selangkah ia
menuju ke pintu butulan. Mahisa Murti dan Mahisa Pukat mengetahui apa yang
akan dilakukan oleh Ki Buyut. Karena itu, maka mereka
merasa perlu untuk bertindak. Mereka pun mencemaskan
kakek tua yang harus bertempur melawan Ki Bekel. Sehingga
karena itu, maka keduanya harus berusaha untuk dengan cepat
menyelesaikan pertempuran.
Namun ternyata bahwa ayah Ki Buyut itu masih saja
mampu bergerak sangat cepat. Bahkan rasa-rasanya setelah
benturan-benturan yang keras terjadi sehingga menyulitkan
kedudukan ayah Ki Buyut dan saudara kembarnya, maka
mereka menjadi semakin berhati-hati. Mereka sadar, bahwa
kekuatan mereka tidak akan mampu mengimbangi kekuatan
kedua anak muda itu. Namun kecepatan gerak merekalah yang
akan dapat mereka manfaatkan untuk melawan keduanya.
Akhirnya Mahisa Murti dan Mahisa Pukat memang tidak
mempunyai pilihan lain. Mereka harus menghentikan
pertempuran itu sebelum Ki Buyut yang lemah itu benar-benar
telah memasuki pintu butulan dan membunuh perempuan tua
itu. Mula-mula memang ada niat untuk menghancurkan saja
kedua orang bersaudara kembar dampit itu. Namun Mahisa
Murti dan Mahisa Pukat ternyata memang bukan pembunuhpembunuh
yang tidak berperasaan. Keduanya ternyata masih
tetap mempunyai pertimbangan-pertimbangan kemanusiaan.
Namun ketika keduanya melihat Ki Buyut betapa pun
lemahnya akan mempergunakan kesempatan untuk membunuh
perempuan yang ada di rumah itu bersama kedua anaknya yang
tidak mempunyai keberanian untuk berbuat sesuatu, mereka
pun menjadi gelisah. Mahisa Pukat lah yang lebih dahulu mengambil sikap.
Cara yang paling lunak bagi lawannya, adalah membuatny a
kehilangan kekuatan dan kemampuannya. Karena itu, maka ia
pun telah mengetrapkan ilmunya untuk menghisap kemampuan
ilmu dan kekuatan tenaga lawannya.
Namun dalam pada itu, Mahisa Murti tidak mau
membiarkan Ki Buyut memasuki pintu butulan. Karena itu,
demikian langkah Ki Buyut hampir mencapai pintu butulan itu,
maka Mahisa Murti telah meloncat mengambil jarak dari
lawannya. Dengan menghentakkan daya kekuatan ilmunya,
maka telah menjulurkan tangannya dengan telapak tangan
terbuka ke arah tlundak pintu butulan itu.
Akibatnya memang dahsyat sekali. Sebuah cahaya
seakan-akan telah terlontar dari telapak tangan Mahisa Murti,
meluncur dan mengenai tlundak pintu butulan itu.
Tlundak pintu butulan itu seakan-akan telah meledak.
Bahkan tanah di bawah pintu itu pun bagaikan memencar ke
udara, menghambur ke sekitarnya.
Ki Buyut yang terkejut bukan buatan, dengan serta merta
telah meloncat mundur. Tetapi karena tubuhnya yang masih
sangat lemah itu, maka ia pun telah terjatuh di dorong oleh
getaran udara di saat kemampuan ilmu Mahisa Murti
menghantam tlundak pintu.
Rumah yang besar itu seakan-akan telah terguncang oleh
gempa. Sementara uger-uger pintu itu sebelah menyebelah
telah runtuh p ula. Semua orang yang mendengar ledakan dan menyaksikan
pintu yang bagaikan dikoyak-koyak itu pun terkejut bukan
buatan. Bahkan ayah Ki Buyut yang berilmu tinggi beserta
saudara kembar perempuannya itu pun terkejut bukan buatan.
Keduanya telah melenting menjauhi lawan-lawan mereka
untuk dapat melihat apa yang telah terjadi.
Sejenak mereka termangu-mangu. Namun kemudian
ayah dan bibi Ki Buyut itu telah berlari dan kemudian
berjongkok di sisi Ki Buyut.
"Bagaimana keadaanmu?" bertanya ayahnya.
Ki Buyut menarik nafas dalam-dalam. Ia memang tidak
apa-apa selain terlempar jatuh. Tubuhnya memang terasa sakit.
Tetapi ia tidak terluka sama sekali selain sedikit pada
lututnya yang terkelupas.
Dengan lemah Ki Buyut pun telah bangkit dan berusaha
untuk berdiri. "Aku tidak apa-apa," desis Ki Buyut.
Ayahnya menarik nafas dalam-dalam. Namun ia pun
kemudian telah berpaling kepada Mahisa Murti dan Mahisa
Pukat yang masih berdiri tegak. Sementara itu, kakek tua dan
Ki Bekel pun telah berhenti pula bertempur.
O0oodewioo0O HIJAUNYA LEMBAH HIJAUNYA LERENG PEGUNUNGAN Jilid 64 Cetakan Pertama PENERBIT: "MURIA" YOGYAKARTA Kolaborasi 2 Website : dengan Pelangi Di Singosari / Pembuat Ebook : Sumber Buku Karya SH MINTARDJA
Scan DJVU : Ismoyo Converter : Editor : Raharga, Arema, Dino,
Pdf ebook : --ooo0dw0ooo- Naskah ini untuk keperluan kalangan sendiri,
penggemar karya S.H. Mintardja dimana saja berada y ang
berkumpul di Web Pelangi Singosari dan Tiraikasih
Jilid 064 TERNYATA ayah Ki Buyut mempunyai tanggapan
yang salah terhadap peristiwa itu. Ia menyangka bahwa yang
dilakukan oleh Mahisa Murti itu sama sekali tidak akan dapat
dengan serta merta berakibat buruk bagi seseorang. Atau
setidak-tidaknya, permainan anak muda itu hanya sekedar
untuk menakut-nakutinya, atau dengan mudah dapat
dihindarinya. Ternyata Ki Buyut itu tidak terluka sama sekali
akibat ledakan itu. Jika ia terluka, maka hal itu semata-mata
karena ia jatuh terbanting di tanah.
Sementara itu ayah Ki Buyut itu terlalu yakin akan
kemampuan mereka bergerak lebih cepat dari seranganserangan
yang akan dilakukan seandainya anak-anak muda itu
benar-benar akan mempergunakan ilmu sebagaimana telah
ditunjukkan itu.

03 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Berbareng keduanya meloncat menyerang lawan masingmasing.
Dengan segenap kemampuan, maka kedua orang
bersaudara kembar itu telah menyerang lawan-lawan mereka
dengan kecepatan yang sangat tinggi. Mahisa Murti dan
Mahisa Pukat memang sulit untuk mengambil kesempatan
melepaskan ilmunya. Namun keduanya memang tidak ingin melepaskan ilmu
yang sekaligus dapat menghancurkan lawan-lawannya itu.
Saudara kembar perempuannya itu mengangguk, ia
mengerti apa yang harus dilakukannya.
Karena itu, untuk beberapa saat keduanya
mempersiapkan diri. Tiba-tiba saja ayah Ki Buyut itu berteriak
nyaring. Jika anak muda itu sempat melepaskan serangannya,
semata-mata karena ia tidak mengetahuinya lebih dahulu, apa
yang akan dilakukannya. Karena itu, maka ia pun kemudian berbisik kepada
saudara kembarnya, "jangan beri ia kesempatan. Kita percepat
serangan-serangan kita. Usahakan agar ujung kerismu
menyusup di sela-sela pertahanannya. Segores kecil saja dari
senjata kita akan dapat membunuhnya karena bisa yang tajam."
Pada serangan-serangan pertama yang cepat bagaikan
loncatan lidah api di udara, ternyata ayah Ki Buyut berhasil
menyentuh tubuh Mahisa Murti dengan ujung kerisnya. Karena
itu, sambil berloncatan ia pun tertawa panjang.
"Anak muda," berkata orang itu, "kau akan mati
sebentar lagi betapa pun tinggi ilmumu. Ujung kerisku yang
berbisa telah menggores kulitmu."
Tetapi Mahisa Murti sama sekali tidak menghiraukannya.
Ia masih saja bertempur sambil membenturkan senjata untuk
menangkis serangan-serangan lawannya pada setiap
kesempatan. Kekuatan anak muda itu memang luar biasa. Tetapi itu
sudah disadari oleh ayah Ki Buyut, sehingga karena itu, maka
ia pun telah menggenggam senjatanya erat-erat, agar
senjatanya tidak terlepas dari tangannya.
Sementara itu, saudara kembar perempuannya itulah
yang berteriak kepada Ki Buyut, "Lakukanlah sekarang.
Masuklah dan cari perempuan itu."
Kakek tua, kakak perempuan yang ada di dalam itu pun
tidak mampu mencegahnya, karena Ki Bekel telah
menyerangnya pula. Untuk beberapa saat Ki Buyut itu termangu-mangu.
Namun ayahnya pun berteriak, "Cepat. Aku akan menjaga agar
anak ini tidak mampu melepaskan serangan terhadapmu.
Serangan yang hanya mampu sekedar satu permainan yang
buruk." Ki Buyut mulai menghimpun sisa-sisa kekuatan di dalam
dirinya. Namun demikian ia masih juga ragu-ragu. Pintu itu
baginya menjadi sangat menakutkan.
"Jika pintu meledak pada saat aku tepat berada di
tengah-tengah," berkata Ki Buyut dalam hatinya sambil
memandang pintu yang sudah menjadi berserakan.
Namun ayahnya berteriak sekali lagi, "Cepat. Jangan
dungu seperti itu." Ki Buyut memang tidak dapat berbuat lain. la pun
kemudian melangkah mendekati pintu itu sekali lagi.
Mahisa Murti memang tidak mendapat kesempatan untuk
menyerang pintu yang akan dilewati Ki Buyut itu karena ayah
Ki Buyut itu telah berusaha menekannya semakin cepat.
Tetapi ternyata bahwa Mahisa Pukat menyadari akan hal
itu. Karena itu, maka Mahisa Pukat lah yang kemudian
melakukannya. Ia berusaha untuk menekan lawannya dengan
kekuatannya yang lebih besar dari lawannya, kemudian
meloncat mengambil jarak.
Mahisa Pukat hanya mengambil waktu sekejap untuk
mengetrapkan ilmunya. Karena itu, maka sejenak kemudian,
maka yang pernah dilakukan oleh Mahisa Murti itu p un telah
terjadi lagi. Sekali lagi Ki Buyut terkejut bukan buatan ketika pintu
yang sudah rusak berserakan itu meledak. Beberapa batang
kayu bagaikan dilontarkan ke udara. Sementara rumah itu pun
sekali lagi bagaikan diguncang oleh gempa yang keras.
Ki Buyut yang terkejut itu telah didorong oleh getaran
udara yang keras di saat ia meloncat. Karena itu, maka tubuh
Ki Buyut itu bagaikan telah dilemparkan dan jatuh sekali lagi
di tanah tanpa dapat menahan diri sama sekali.
Sekali lagi pertempuran di longkangan itu bagaikan
terhenti. Namun tidak terlalu lama, karena ayah Ki Buyut itu
ternyata tidak lagi berlari-lari mendekati anaknya yang
terbaring. Namun ia telah berteriak kepada saudara kembarnya
itu, "Kita bunuh anak-anak itu. Cepat. Aku sudah melukai
lawanku. Lakukanlah atas lawanmu. Segores kecil akan dapat
membunuhnya dalam waktu yang singkat."
Tetapi Mahisa Murti menjawab, "Kau salah Ki Sanak.
Kau memang berhasil mengoyak kulitku meskipun hanya
segores kecil, yang menurut dugaanmu akan dapat
membunuhku. Tetapi agaknya kau hanya sekedar menakutnakuti.
Ternyata luka itu sama sekali tidak berpengaruh."
"Anak iblis, "geram orang itu, "sebentar lagi kau tentu
akan mati." "Apakah kau melihat tanda-tanda bahwa aku akan
mati?" bertanya Mahisa Murti.
Ayah Ki Buyut itu sama sekali tidak menjawab. Tetapi ia
telah mempercepat tata geraknya. Namun seperti yang
dikatakan, ternyata anak muda itu seakan-akan tidak
terpengaruh sama sekali oleh bisa di ujung kerisnya yang
kemerah-merahan itu. Untuk beberapa saat lamanya ayah Ki Buyut itu masih
berpengharapan. Tetapi ternyata bahwa lawannya benar-benar
tidak terbunuh oleh racunnya. Bahkan lawannya itu seakanakan
telah menjadi semakin kuat.
Saudara kembar perempuannya itu pun telah berusaha
sejauh dapat dilakukan. Dikerahkannya ilmunya untuk dapat
menggoreskan ujung kerisnya di mana pun di bagian tubuh
lawannya. Tetapi setiap senjatanya justru telah membentur senjata
anak muda itu. Kekuatan anak muda itu setiap kali serasa
hampir melemparkan senjatanya. Namun justru karena itu, bibi
Ki Buyut telah terganggu kecepatan geraknya karena setiap
kali ia harus memperbaiki genggamannya.
Namun dalam pada itu, bibi Ki Buyut itu merasa aneh
pada dirinya. Justru pada saat ia berusaha untuk menekan
lawannya dan melukainya, kekuatannya terasa terlalu cepat
susut. Satu hal yang belum pernah dialaminya. Sudah beberapa
ratus kali ia bertempur melawan lawan yang sempat
menggetarkan jantungnya. Namun ia tidak pernah mengalami
kesusutan tenaga seperti yang dialaminya.
Semula ia mengira bahwa ia telah mengerahkan
tenaganya melampaui takaran kekuatannya. Namun perempuan
itu tidak yakin akan hal itu, karena terasa susutnya tenaganya
terjadi begitu cepatny a.
Dengan demikian maka perempuan itu pun tidak lagi
mampu bergerak lebih cepat lagi. Bahkan rasa-rasanya tulangtulangnya
menjadi semakin lemah. Karena itu, maka tidak ada lagi yang dapat diharapkan
kecuali pertolongan saudara kembarnya yang diharapkan akan
dapat dengan cepat mengalahkan lawannya, karena ia telah
berhasil melukai anak muda itu.
Tetapi yang terjadi kemudian benar-benar telah
membingungkan. Bukan saja bibi Ki Buyut itu, tetapi juga
ayahnya, Ki Bekel dan bahkan kakek tua lawan Ki Bekel itu.
Sementara Ki Buyut tulang punggungnya bagaikan telah patah.
Dalam keadaan yang lemah ia telah terbanting untuk kedua
kalinya. Ayah Ki Buyut yang mula-mula merasa yakin akan
kemenangannya menjadi semakin cemas. Anak muda yang
telah tergores ujung kerisnya itu sama sekali tidak terpengaruh
olehnya. Ia masih saja bertempur dengan kuatny a. Tidak ada
tanda-tanda yang menunjukkan bahwa anak muda itu akan mati
karena racun. Bahkan ternyata semakin lama kekuatan ayah Ki Buyut
itu menjadi semakin susut. Jauh lebih ccpat dari keadaan yang
wajar, betapa pun ia bertempur dan mengerahkan kekuatannya.
Bahkan melawan dua tiga orang sekaligus. Tetapi
bertempur melawan anak muda itu kekuatannya bagaikan
terlempar keluar dari dirinya berbareng dengan loncatanloncatannya
yang cepat. Namun yang semakin lama menjadi
semakin lambat. Akhirnya, ayah Ki Buyut itu telah kehilangan
kemampuannya untuk bertempur. Ia terlambat menyadari,
bahwa ia telah berhadapan dengan anak-anak muda yang
memiliki kemampuan ilmu untuk menghisap kekuatan
lawannya. Dalam pada itu, Ki Buyut yang berusaha untuk bangkit
justru menjadi heran melihat suasana pertempuran itu.
Demikian pula Ki Bekel yang telah meloncat menjauhi
lawannya, kakek tua itu. "Apa yang sebenarnya terjadi?" desis Ki Bekel.
"Iblis yang licik," terdengar ayah Ki Buyut itu
mengumpat, "kau curi kekuatan dan kemampuan ilmuku he"
Kenapa kau tidak berlaku jantan dan bertempur sebagaimana
seorang laki-laki" Tetapi dengan licik dan pengecut kau hisap
ilmu dan kekuatanku sampai habis?"
Mahisa Murti berdiri tegak sambil memegang hulu
pedangnya, ketika ayah Ki Buyut itu berdiri tertatih-tatih.
Sementara itu saudara kembar perempuannya pun telah
kehilangan seluruh kekuatannya pula. Bahkan perempuan tua
itu harus mencari sandaran untuk dapat tetap tegak berdiri.
Karena itu, maka perempuan tua itu telah berdiri bersandar
sebatang pohon di longkangan itu.
"Ayah, bibi, apa yang terjadi?" bertanya Ki Buyut.
Dengan lemahnya, ia telah berjalan untuk tidak terjatuh.
"Iblis ini licik sekali," berkata ayahnya, "yang terjadi
atasmu itu terjadi pula atasku. Ternyata ia memiliki ilmu
seorang pengecut yang mampu mencuri kekuatan dan
kemampuan ilmu lawannya."
Ki Buyut menarik nafas dalam-dalam. Tetapi ia pun
bertanya, "Tetapi bukankah ayah sudah melukainya" Ujung
keris ayah telah meracuninya. Tetapi kenapa ia tidak mati?"
"Ia memang iblis yang licik dan jahanam," jawab
ayahnya yang lemah itu, "ternyata bahwa ia mempunyai
penangkal racun yang sangat kuat, sehingga racun di ujung
kerisku tidak dapat membunuhnya."
Ki Buyut benar-benar menjadi cemas. Kedua orang yang
tidak dikenal di Kabuyutan itu, benar-benar telah memasuki
persoalan yang ada tanpa dapat dicegah. Ayah dan bibinya
yang dianggap orang-orang yang mempunyai banyak kelebihan
dari orang kebanyakan itu p un tidak dapat melawan kedua anak
muda itu. Bahkan keduanya telah mengalami sebagaimana
dialaminya. Kekuatan dan kemampuan ilmunya bagaikan
lenyap terhisap oleh ilmu lawannya itu.
Dengan demikian, maka pertempuran itu pun telah
berakhir. Kedua saudara kembar dampit itu sama sekali sudah
tidak berdaya. Mahisa Murti dan Mahisa Pukat tidak merasa
perlu untuk mengawasi mereka, karena mereka tidak akan
dapat melarikan diri. Bahkan Mahisa Pukat pun telah
mendekati Ki Buyut yang termangu-mangu sambil bertanya,
"Ternyata kau sudah mampu berjalan sampai ke tempat ini Ki
Buyut?" "Aku telah memaksa diri," jawab Ki Buyut.
Mahisa Pukat tersenyum. Sambil menyentuh lengan Ki
Buyut dengan jarinya ia berkata, "Apakah kau ingin kehilangan
kekuatanmu sepenuhnya."
"Jangan," minta Ki Buyut.
Mahisa Pukat menarik tangannya. Tetapi sentuhan kecil
itu memang terasa akibatny a. Tubuh Ki Buyut seakan-akan
menjadi semakin lemah, meskipun ia masih juga dapat berdiri
dan melangkah mendekati ayahnya.
Mahisa Murti lah yang kemudian mendekati Ki Bekel
yang berdiri tegak dengan jantung yang berdegup semakin
cepat. Ternyata ia masih belum mampu mengalahkan kakek tua
itu. Sementara itu orang-orang yang diandalkannya ternyata
sama sekali tidak mampu menyelesaikan persoalan mereka.
"Ki Bekel," bertanya Mahisa Pukat, "bagaimana dengan
kau sekarang?" "Aku tidak akan berbuat apa-apa. Aku hanya sekedar
melakukan perintah," jawab Ki Bekel.
Tetapi Mahisa Pukat tertawa. Katanya, "Ketika kami
memasuki Kabuyutan, maka kaulah yang nampaknya
memegang peranan. Semua orang yang akan bertemu dengan
Ki Buyut, harus bertemu lebih dahulu dengan Ki Bekel."
"Itu pun hanya perintah," jawab Ki Bekel yang sudah
menjadi gemetar. Ketika Mahisa Pukat melangkah mendekat.
Ki Bekel itu melangkah surut.
"Kemarilah Ki Bekel," berkata Mahisa Pukat, "aku tidak
akan menyakitimu. Aku hanya ingin kau tidak lari. Di hari-hari
yang ditentukan, maka Ki Buyut akan bertemu dengan kedua
cucu Ki Buyut yang tua itu."
Ki Bekel memang tidak dapat lari dari tangan kedua anak
muda itu. Ketika dilihatny a kedua anak muda itu
mendekatinya, maka ia pun menjadi hampir pingsan
karenanya. Namun kedua anak muda itu memang tidak
menyerangnya atau memukulnya, apalagi membunuhnya.
Mahisa Murti yang lebih dahulu mencapainya hanya
menyentuh Ki Bekel itu dengan tangannya pada lengannya
sambil berkata, "Kau tidak boleh lari Ki Bekel. Kau akan dapat
menjadi saksi atau bahkan menjadi orang yang harus diadili
oleh rakyat Kabuyutan ini."
"Jangan," minta Ki Bekel, "aku tidak pernah berbuat
apa-apa. Aku hanya melakukan perintah."
Mahisa Murti tidak menjawab. Sementara Mahisa Pukatpun
berdiri tegak dihadapannya sambil berkata, "Semuanya
akan segera jelas Ki Bekel."
"Aku tidak tahu apa-apa. Aku tidak tahu apa-apa," Ki
Bekel itu berteriak. Mahisa Murti tidak menjawab. Namun ketika ia


03 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

melepaskan tangannya, Ki Bekel itu pun telah menjadi
terhuyung-huyung. Hampir saja ia terjatuh. Hanya dengan
susah payah saja ia masih tetap dapat berdiri tegak.
"Oo, ilmu iblis manakah yang ada pada kedua anak
muda ini?" bertanya Ki Bekel di dalam hatinya. Tetapi ia sama
sekali tidak berani mengucapkannya.
Demikianlah, empat orang yang memasuki longkangan
itu telah menjadi tidak berdaya. Ki Buyut, ayah dan bibinya
serta Ki Bekel bagaikan menjadi orang-orang yang tidak
bertenaga sama sekali. Dengan nada rendah, Mahisa Murti kemudian berkata,
"Nah, jika kalian merasa letih, duduklah di serambi itu sambil
menunggu siang. Kita akan pergi ke Kabuyutan. Tanpa
menunggu hari berikutnya, kita akan berbicara dengan para
bebahu Kabuyutan ini dan kedua orang cucu Ki Buyut yang tua
itu." Tidak seorang pun yang menjawab. Mereka menyadari,
bahwa mereka tidak akan dapat berbuat apa-apa dihadapan
kedua anak muda yang memiliki ilmu yang sangat tinggi itu.
Ilmu yang dapat membuat mereka tidak berdaya sama sekali.
Bahkan dalam keadaan yang demikian, mereka mulai percaya,
seandainya anak-anak muda itu mempergunakan ilmunya yang
lain, yang dapat memecahkan pintu butulan rumah itu tanpa
menyentuhnya, maka mereka pun akan hancur seperti pintu itu.
Di samping kemampuan itu, maka anak-anak muda itu
tentu memiliki penangkal racun yang kuat, sehingga mampu
menolak kekuatan racun yang masuk ke dalam dirinya.
Keempat orang itu pun kemudian tertatih-tatih
merangkak naik ke serambi dan dengan susah payah mencapai
amben panjang. Mereka telah menjatuhkan diri dan duduk
dengan lemahnya bersandar dinding gandok.
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat pun kemudian telah
mengajak kakek tua untuk menemui adiknya. Mereka tentu
menjadi ketakutan, sementara anak-anaknya tidak akan dapat
berbuat apa pun juga. "Bagaimana dengan orang-orang itu?" bertanya kakek
tua itu. "Biarkan saja mereka duduk di sana. Mereka tidak akan
dapat pergi dari tempat duduknya. Seandainya mereka
mencoba juga untuk p ergi, maka sampai besok menjelang pagi,
mereka tentu masih akan berada di sekitar padukuhan ini. Kita
akan dapat dengan mudah menemukan mereka, sementara itu
tidak akan ada seorang pun yang akan dapat mengobati
mereka," jawab Mahisa Murti.
Kakak tua itu mengangguk-angguk meskipun keraguraguan
masih nampak pada sorot matanya. Tetapi bersama
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat mereka telah memasuki rumah
itu lewat pintu yang telah dirusakkan oleh Mahisa Murti dan
Mahisa Pukat. Sebenarnyalah bahwa perempuan tua, adik kakek tua itu
menjadi sangat ketakutan. Kedua anaknya memang sudah
terbangun. Tetapi mereka juga menjadi ketakutan seperti ibu
mereka. Mahisa Murti dan Mahisa Pukat memang merasa heran
melihat kedua anak perempuan yang ketakutan itu. Agaknya
kedua anaknya benar-benar anak yang sangat manja sehingga
mereka tidak mengerti apa yang harus mereka lakukan bagi diri
mereka sendiri. Telah terbiasa bagi mereka untuk selalu
mendapat bantuan dalam keadaan apa pun bahkan meskipun
pekerjaan yang mereka lakukan adalah pekerjaan yang sangat
mudah dilakukan oleh kanak-kanak sekalipun.
"Semua sudah berakhir," berkata kakek tua itu.
"Apa maksud kakang?" bertanya adiknya.
"Orang-orang yang datang ke rumah ini sudah
dilumpuhkan," jawab kakek tua.
"Siapakah mereka?" bertanya perempuan itu.
"Ki Buyut, Ki Bekel, ayah Ki Buyut dan saudara kembar
perempuannya," jawab kakaknya.
Perempuan itu masih menggigil. Dengan nada dalam ia
bertanya, "Apakah mereka sudah tidak berbahaya?"
"Mereka sudah benar-benar dilumpuhkan," jawab kakek
tua itu. "Apakah untuk selanjutny a mereka tidak akan
membahayakan hidup kami sekeluarga?" desak perempuan itu.
Kakek tua itu termangu-mangu. Ia tidak dapat menjawab
pertanyaan adiknya itu, sehingga di luar sadarnya ia telah
berpaling kepada Mahisa Murti dan Mahisa Pukat.
Karena kakek tua itu tidak menjawab, maka Mahisa
Murti lah yang menjawab, "Agaknya mereka memang tidak
akan melakukannya di kemudian hari."
"Apakah kalian yakin anak-anak muda?" bertanya
perempuan itu pula. Mahisa Murti dan Mahisa Pukat saling berpandangan
sejenak. Nampak keragu-raguan membayang di wajah mereka.
Namun dalam pada itu Mahisa Murti menjawab, "Kita
memang tidak akan dapat mengetahui apa yang akan terjadi
kemudian. Tetapi kita dapat memperhitungkannya. Mudahmudahan
perhitungan kita itu tepat."
Perempuan itu termangu-mangu sejenak. Namun
kemudian ia berkata, "Tetapi apakah aku tidak akan terlibat
dalam persoalan yang mungkin akan berkembang di
Kabuyutan ini?" Kakek tua itu berkata, "Kau memang tidak akan dapat
ingkar. Kau akan menjadi saksi dalam perkara yang
menyangkut kedudukan Ki Buyut dengan kemenakankemenakannya
itu. Tetapi jangan takut. Kau tidak bersalah.
Yang bersalah adalah suamimu."
"Suamiku sudah meninggal. Apakah kesalahan itu tidak
akan ditimpakan kepadaku?" bertanya perempuan yang masih
saja ketakutan itu. Agaknya ia tidak sekedar menjadi ketakutan
karena peristiwa yang terjadi di rumahnya itu. Oleh ledakan
yang mengguncang rumahnya bagaikan diguncang gempa.
Tetapi juga tentang kemungkinan-kemungkinan
mendatang, jika persoalan kedudukan tertinggi di Kabuyutan
itu diperbincangkan. Justru karena ia mengetahui apa yang
pernah terjadi dan apa yang pernah dilakukan oleh suaminya.
Namun kakek tua itu berkata, "Mudah-mudahan
semuanya akan dapat diletakkan pada kewajarannya, sehingga
kau tidak akan memikul beban kesalahan suamimu, meskipun
kau telah ikut menikmati hasil kejahatan suamimu. Tetapi kau
harus mempersiapkan jiwamu untuk tabah menghadapi
kenyataan jika harta benda yang pernah diterima oleh suamimu
dan yang kini masih tersisa, harus kau serahkan kembali
kepada Kabuyutan ini. Kau harus merelakannya jika kau ingin
mendapatkan hari-hari yang tenang kemudian."
"Aku akan merelakannya kakang. Justru kekayaan ini
membuat hidupku tidak tenang. Seakan-akan setiap saat akan
datang orang-orang yang akan merampok atau orang-orang
yang menuntut karena harta benda ini didapatkan dengan cara
yang tidak pantas atau gambaran-gambaran lain yang justru
selalu menyiksaku," berkata perempuan itu.
Kakek tua itu mengangguk-angguk. Katanya, "Baik. Jika
demikian maka kau sudah siap menghadapi kemungkinankemungkinan
itu. Besok Ki Buyut itu akan dihadapkan kepada
kedua orang kemanakannya serta para bebahu Kabuyutan ini.
Mudah-mudahan para bebahu itu tidak lagi dibayangi oleh
perasaan takut karena kemampuan ayah Ki Buyut serta saudara
kembarnya itu." Perempuan itu menundukkan wajahnya, sementara kedua
anaknya yang ketakutan pula hanya memandangi ibunya
dengan cemas. M ereka benar-benar tidak dapat berbuat sesuatu
untuk membantu ibunya yang berada dalam kesulitan itu.
Apalagi membantunya, bahkan keduanya justru menjadi beban
bagi ibunya itu. Keduanya yang merengek seperti kanak-kanak
membuat ibunya semakin gelisah.
Tetapi kakak perempuan itu telah memberikan beberapa
petunjuk baginya sehingga perasaannya tidak lagi menjadi
terlalu menderita. Namun demikian perempuan itu pun bertanya, "Lalu apa
yang harus aku lakukan sekarang kakang?"
Kakek tua itu pun termangu-mangu sejenak. Ia pun
kemudian berpaling kepada Mahisa Murti dan Mahisa Pukat.
Mahisa Murti lah yang kemudian menyahut, "Biarlah kau
di sini saja. Kami pun akan berada di sini untuk malam ini.
Bahkan Ki Buyut dan ketiga orang yang lain itu pun akan
berada di sini pula. Mereka tidak akan dapat berbuat apa-apa."
Perempuan itu mengangguk-angguk. Katanya, "Terima
kasih. Jika kalian berada di sini, maka kami akan merasa lebih
tenang." "Nah, jika demikian, maka beristirahatlah. Kau tidak
perlu cemas," berkata kakek tua itu. Lalu katanya kepada
kemenakannya, "Lihatlah kedua anak muda itu. Umurnya tentu
tidak terpaut banyak dengan umurmu. Kedua anak muda ini
mampu berbuat apa saja yang dikehendakinya. Tetapi apa yang
dapat kau lakukan" Merengek atau merajuk?"
Kemanakan laki-lakinya itu hanya menundukkan
kepalanya saja. Memang wajahnya terasa menjadi panas.
Tetapi ia tidak dapat ingkar, bahwa ia memang tidak dapat
berbuat apa-apa, apalagi dibanding dengan kedua anak muda
itu. "Nah, cobalah kau melihat ke dalam dirimu sendiri,"
berkata kakek tua itu. Anak muda itu menundukkan kepalanya semakin dalam.
Tetapi ia memang tidak dapat berbuat apa-apa.
"Sudahlah," berkata kakek tua itu, "kau memang tidak
perlu menjawab sekarang. Mungkin besok atau kapan saja.
Asal saja pertanyaan itu tidak kau lempar dari dalam dirimu."
Anak muda itu masih saja berdiam diri sementara
pamannya berkata pula kepada adik perempuannya, "Sekarang,
tidurlah. Tidak akan terjadi apa-apa malam ini. Seperti telah
kau dengar sendiri, kami akan berada di sini malam ini
bersama Ki Buyut dan ketiga orang lainnya itu."
"Terima kasih kakang," jawab perempuan itu, lalu
katanya kepada Mahisa Murti dan Mahisa Pukat, "Terima
kasih anak-anak muda. Tanpa kalian maka kami akan
mengalami kesulitan. Bahkan mungkin jiwa kami telah
melayang pula." "Sudahlah, beristirahatlah," berkata Mahisa Pukat,
"besok kita akan bangun pagi-pagi untuk menyelesaikan
persoalan Kabuyutan ini sampai tuntas. Dengan demikian maka
tidak akan tumbuh persoalan lagi di kemudian hari. Meskipun
seperti yang kami katakan, bahwa kita tidak tahu apa yang
akan terjadi kemudian. Tetapi kita dapat
memperhitungkannya."
Perempuan itu menarik nafas dalam-dalam. Sementara
itu M ahisa Murti pun berkata, "Sudahlah. Aku akan berada di
longkangan bersama Ki Buyut." Lalu katanya kepada kakek
tua itu, "Kakek, kawanilah adik kakek itu."
"Baiklah anak-anak muda. Aku akan berada di sini.
Bagaimanapun juga adikku itu tentu masih mengalami tekanan
perasaan takut," berkata kakek tua itu.
"Kami minta ijin untuk mempergunakan gandok di
sebelah longkangan itu," berkata Mahisa Murti.
"Silahkan anak-anak muda. Tetapi gandok itu kotor.
Aku masih belum sempat membersihkan," jawab perempuan
itu. "Biarlah kami membersihkannya," jawab Mahisa Murti.
Demikianlah maka Mahisa Murti dan Mahisa Pukat pun
telah keluar melalui pintu yang rusak itu. Mereka memang
masih menemukan keempat orang yang lemah itu duduk di
serambi bersandar dinding. Sambil melangkah ke gandok,
Mahisa Murti pun berkata kepada Ki Buyut, "Silahkan Ki
Buyut dan yang lain untuk beristirahat di gandok. Aku sudah
mendapat ijin dari pemilik rumah ini untuk mempergunakan
gandok itu." Ki Buyut tidak menjawab. Namun badannya yang terasa
terlalu lemah rasa-rasanya memang ingin diletakkannya dengan
berbaring. Karena itu, maka tawaran kedua anak muda itu
dengan serta merta telah diterimanya.
Berempat Ki Buyut telah masuk ke gandok yang
memang masih terasa berdebu. Dengan tebah sapu lidi, Ki
Bekel mempergunakan sisa tenaganya yang ada untuk
membersihkan amben bambu yang besar, yang terdapat di
dalam gandok itu. Mereka pun kemudian telah membaringkan diri di amben
yang besar itu untuk beristirahat. Tubuhnya yang sangat lemah,
seakan-akan telah mereka letakkan begitu saja seperti
meletakkan batang pohon pisang di halaman.
Dengan berbaring, mereka memang merasa lebih baik
daripada duduk bersandar dinding. Tetapi tidak mudah bagi
mereka untuk melupakan keadaan mereka yang telah
kehilangan tenaga dan kemampuan.
Namun memang tidak ada pilihan bagi mereka daripada
beristirahat sebaik-baiknya agar serba sedikit mereka akan
mendapatkan kembali tenaga mereka yang telah terhisap oleh
ilmu kedua anak muda yang jarang ada imbangannya itu.
Karena itu, maka keempat orang itu pun telah mencoba
sambil berbaring mengatur pernafasan mereka, serta
melepaskan diri dari beban perasaan mereka. Sehingga dengan
demikian maka mereka telah berhasil memasuki satu alam
yang lengang dari perasaan yang menekan. Sementara suarasuara
malam yang mempunyai iramanya sendiri telah membuat
mereka semakin cepat menemukan keheningan itu.
Beberapa saat kemudian, maka keempat orang itu pun
telah tertidur meskipun tidak terlalu nyenyak, karena keadaan
wadag mereka dan keadaan yang sedang mereka alami
memang tidak memungkinkan bagi mereka untuk benar-benar
dapat menyingkirkan sepenuhnya.
Sementara itu, Mahisa Murti dan Mahisa Pukat lah yang
berada di amben di serambi. Ternyata mereka pun telah tidur
pula sambil bersandar dinding. Mereka tidak perlu cemas,
bahwa orang-orang yang ada di dalam bilik di gandok itu akan
melarikan diri. Menjelang pagi, Mahisa Murti dan Mahisa Pukat telah
terbangun. Bergantian mereka berdua telah membenahi diri
setelah mandi di pakiwan.
Kemudian kakek tua yang menunggui adik perempuan
serta dua orang kemanakan yang ketakutan itu telah mandi
pula. Baru kemudian keempat orang yang berada di gandok itu


03 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

satu-satu telah terbangun pula.
Setelah tidur sejenak, maka tubuh keempat orang itu
memang merasa lebih baik. Namun ketika mereka berusaha
untuk bangkit, maka mereka pun menyadari bahwa kekuatan
mereka masih belum pulih. Apalagi pulih, rasa-rasanya masih
saja seperti saat mereka mulai tertidur meskipun terasa menjadi
lebih segar. Ketika mereka masih saja duduk-duduk dengan lemah diatas
amben besar tempat mereka tidur, maka Mahisa Pukat
telah memasuki bilik itu.
"Mandilah," berkata Mahisa Pukat, "pergilah bergantian
ke pakiwan. Aku tahu, kalian tidak dapat menimba air sendiri,
karena kalian terlalu lemah. Tetapi aku dan Mahisa Murti telah
mengisi pakiwan sampai penuh. Pakailah. Kalian tidak usah
merasa segan. Nanti jika airnya sudah menjadi semakin susut,
aku dan Mahisa Murti akan mengisinya lagi."
Keempat orang itu saling berpandangan sejenak. Namun
ayah Ki Buyut lah yang berkata kepada saudara kembar
perempuannya, "Pergilah lebih dahulu. Jika kau telah mandi,
maka kami akan bergantian mandi. Bahkan tidak mandi pun
tidak apa-apa bagi kami."
Saudara kembar perempuannya tidak menyahut. Tetapi
dengan susah payah ia telah membenahi diri dan melangkah
tertatih-tatih ke pakiwan yang terletak di belakang gandok.
Sementara yang lain masih saja duduk bermalas-malas di
amben besar itu. Meskipun sebenarnya mereka lebih senang
berlari-lari di lorong-lorong sempit mengejar orang-orang yang
melakukan kejahatan di Kabuyutan itu, atau melakukan tugas
apa pun daripada duduk-duduk seperti pemalas tanpa berbuat
apa-apa. Tetapi mereka tidak dapat melakukannya. Mereka hanya
dapat menguap, sedikit menggeliat dan kemudian seorang demi
seorang pergi ke pakiwan setelah bibi Ki Buyut itu selesai.
"Kita akan pergi ke Kabuyutan," berkata Mahisa Murti.
Ki Buyut lah yang berdesah, "Apakah aku dapat berjalan
sendiri sampai ke rumah" Rasa-rasanya tulang-tulangku masih
saja berpatahan." Tetapi Mahisa Murti dan Mahisa Pukat tertawa. Dengan
nada tinggi Mahisa Murti pun berkata, "Kau dapat datang
sendiri kemari. Kau tentu dapat pula pulang sendiri."
Ki Buyut tidak menyahut lagi. Ia memang dapat datang
ke tempat itu meskipun dengan agak susah payah. Dan ia pun
akan kembali pula dengan susah payah.
Demikianlah, setelah semua orang berbenah diri, maka
mereka pun telah bersiap-siap untuk pergi ke rumah Ki Buyut.
Perempuan pemilik rumah itu p un akan ikut serta, karena
ia dapat menjadi saksi apa yang pernah terjadi di Kabuyutan
itu. Ia akan dapat menceriterakan apa yang pernah dilakukan
oleh suaminya, sehingga akhirnya, dua orang anak Ki Buyut
telah terbunuh. Keduanya mati karena racun, namun dengan
racun yang berbeda dan dengan cara yang berbeda pula.
Kedua anak dari perempuan tua itu tidak dapat
ditinggalkan di rumahnya. Ke mana ibunya pergi, keduanya
juga akan pergi. Karena itu maka keduanya juga akan ikut
pergi ke Kabuyutan sebagaimana ibunya.
Sejenak kemudian, maka iring-iringan kecil telah
meninggalkan rumah perempuan tua itu. Memang
mengejutkan. Orang-orang yang melihat iring-iringan itu menjadi
terkejut dan heran. Bersama kedua anak muda yang telah
mengguncang Kabuyutan itu berjalan Ki Buyut, Ki Bekel, ayah
Ki Buyut dan saudara kembarnya. Selain mereka, maka ikut
pula kakek tua dengan adik perempuannya serta kedua anakanaknya.
Orang-orang yang memandang dengan heran itu tidak
dapat bertanya kepada siapapun. Mereka merasa segan melihat
wajah Ki Buyut yang gelap.
Namun demikian beberapa orang telah dengan diamdiam
mengikuti iring-iringan kecil itu. Apalagi perjalanan
iring-iringan itu ternyata sangat lamban, sehingga perjalanan
menuju ke Kabuyutan itu diperlukan waktu yang cukup
panjang. Betapa pun lambatnya perjalanan mereka, namun
akhirnya iring-iringan itu telah sampai pula ke Kabuyutan.
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat kemudian telah
memerintahkan beberapa orang yang ada di Kabuyutan itu
untuk memanggil para bebahu padukuhan itu. Selain para
bebahu, maka Mahisa Murti dan Mahisa Pukat juga
memerintahkan untuk memanggil kedua cucu Ki Buyut tua
yang sedang berselisih itu.
Ki Buyut memang tidak dapat menentang semuanya itu.
Sebentar lagi ia memang akan berhadapan dengan semacam
pengadilan yang akan mengadilinya.
Ki Buyut merasa bahwa peranannya di Kabuyutan itu
sudah akan berakhir setelah beberapa tahun ia menjabatny a
dengan dukungan ayah dan bibinya, pamannya dan beberapa
orang pengikutnya serta beberapa orang upahan. Tetapi
kehadiran kedua anak muda itu telah memecahkan semuanya
itu dan bahkan menghancurkannya.
Tetapi Ki Buyut dan para pendukungnya memang tidak
kuasa melawan meskipun mereka hanya berdua. Bahkan
kemudian Ki Buyut dan pendukungnya telah dibuat tidak
berdaya dalam arti yang sebenarnya. Keduanya benar-benar
telah kehilangan tenaga mereka sehingga mereka tidak lebih
dari kanak-kanak yang tidak berarti sama sekali.
Beberapa saat kemudian, maka para bebahu di
Kabuyutan itu telah nampak hadir. Orang-orang yang jarang
nampak pun telah datang pula ke Kabuyutan. Orang-orang
yang tidak setuju dengan peranan Ki Buyut, tetapi tidak berani
menentangnya, telah ikut pula datang untuk melihat apa yang
akan terjadi di Kabuyutan itu.
Dalam pada itu, maka sejenak kemudian, kedua orang
cucu Ki Demang itu pun telah datang pula. Mahisa Murti dan
Mahisa Pukat sudah berpesan, bahwa mereka tidak perlu
membawa pengawal seorang pun. Apalagi pengawal upahan.
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat pun telah mengancam pula
jika mereka bertengkar di jalan apabila mereka bertemu, maka
keduanya akan digantung bersama-sama.
Ketika semua orang penting telah berkumpul, maka
pertemuan itu pun segera akan dimulai. Mahisa Murti dan
Mahisa Pukat tidak akan memimpin pertemuan itu, karena ia
bukan orang Kabuyutan itu.
"Kakek tua," berkata Mahisa Murti, "kakeklah yang
akan memimpin pertemuan ini. Kakek pernah menjadi bebahu
di sini dan serba sedikit mengetahui apa yang pernah terjadi.
Karena itu, maka sebaiknya kakek sajalah yang memimpinnya
dan segala keputusan pertemuan ini akan mengikat semua
orang, termasuk Ki Buyut serta kedua ayah dan bibinya."
Orang tua itu termangu-mangu sejenak. Namun
kemudian ia pun telah menarik nafas dalam-dalam. Katanya
kemudian, "Jika itu yang dikehendaki oleh orang banyak, maka
aku tidak akan menolak. Sekarang tergantung kepada orang
banyak. Apakah mereka akan setuju atau tidak."
Adalah diluar dugaan ketika beberapa orang kemudian
berteriak hampir bersamaan, "Setuju."
Kakek tua itu mengangguk-angguk. Lalu katanya kepada
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat, "Baiklah. Aku akan
memimpin pertemuan ini. Pertemuan yang akan menjernihkan
suasana di Kabuyutan ini. Namun aku minta segala pihak dapat
menahan diri masing-masing, sehingga tidak akan timbul
keributan. Setiap keributan akan merugikan pertemuan ini
sendiri, karena kita tidak lagi dapat berpikir dengan tenang.
Namun pikiran kita telah menjadi keruh," kakek tua itu
berhenti sejenak, lalu, "berjanjilah untuk berbuat sebaikbaiknya.
Semuanya saja. Bersedia?"
Adalah juga di luar dugaannya, jika orang-orang itu tibatiba
juga menjawab berbareng, "bersedia."
Kakek tua itu menarik nafas dalam-dalam. Sambil
mengangguk-angguk ia pun berkata, "Baiklah. Jika demikian,
maka marilah, pembicaraan kita tentang tanah ini kita mulai."
Suasana pun menjadi hening. Semua orang
memperhatikan, apa yang akan dikatakan oleh kakek tua itu
tentang Ki Buyut dan kedua orang kemanakannya itu.
Namun dalam pada itu, sebelum kakek tua itu
mengatakan sesuatu tiba-tiba saja Ki Buyut yang lemah itu
berkata, "Cukup. Pembicaraan ini tidak perlu. Aku akan
mengakui segala kesalahanku."
"Tutup mulut kau pengecut," teriak ayahnya, "kenapa
tiba-tiba kau menjadi cengeng seperti itu."
"Ayah," berkata Ki Buyut, "semuanya tidak perlu lagi.
Aku sudah jemu hidup dalam permainan yang kotor ini."
"Cukup," teriak ayahnya.
"Ayah, kau kira aku bahagia selama ini" Selama aku
memegang jabatan ini yang dibayangi oleh paman Bekel yang
kasar itu?" "Anak keparat," geram ayahnya, "jadi itukah yang kau
berikan kepadaku setelah aku mengorbankan segala-segalanya
untukmu." "Sejak semula aku tidak sependapat dengan cara yang
ayah tempuh," jawab Ki Buyut.
Ayah Ki Buyut itu menjadi marah sekali. Tetapi ia
memang tidak akan dapat berbuat apa-apa dalam keadaannya.
Apalagi ditempat itu ada kedua anak muda yang memiliki
kemampuan yang sangat tinggi itu.
Dalam pada itu maka kakek tua itu pun berkata,
"Sudahlah. Jangan bertengkar sendiri. Namun pembicaraan
yang pendek itu agaknya telah membuka pembicaraan kita.
Apakah yang sebenarnya terjadi atas anak-anak Ki Buyut yang
meninggal itu, sehingga akhirnya menantunyalah yang telah
memegang jabatannya."
Seorang bebahu yang sudah agak lanjut usia meskipun
belum setua kakek itu berkata, "Jadi dugaan kami benar?"
"Dugaan apa?" bertanya kakek tua itu.
"Menilik pembicaraan Ki Buyut dengan ayahnya, maka
kita tentu dapat mengambil kesimpulan. Dikatakan atau tidak
dikatakan." Kakek tua itu mengangguk-angguk. Ketika ia
memandang wajah-wajah orang-orang tua Kabuyutan itu, maka
hampir semuanya telah mengangguk-angguk.
Rasa-rasanya sebelum mereka membicarakannya, maka
pertemuan itu telah dapat mengambil kesimpulan.
Namun kakek tua itu masih juga berkata, "Saudarasaudaraku.
Biarlah adik perempuanku berbicara dihadapan
kalian. Meskipun dapat berakibat kurang baik bagi adikku itu.
Tetapi ia yakin bahwa yang bersalah adalah suaminya dan
bukan ia." Wajah-wajah menjadi tegang. Sementara itu, perempuan
itu p un telah bergeser maju. Ia memang menunggu kesempatan
seperti itu, sehingga dengan mengatakan beban yang
dirasakannya sangat berat bagi perasaannya, ia berharap bahwa
hidupnya akan menjadi lebih damai didalam hatinya.
Demikianlah, perempuan itu pun telah berceritera
hubungan antara suaminya dengan ayah Ki Buyut itu serta Ki
Bekel, sehingga suaminya telah membuat racun yang tidak
mudah dikenali oleh orang lain untuk membunuh anak Ki
Buyut tua. Mula-mula yang tertua sebelum sempat
menggantikan kedudukan Buyut di Kabuyutan itu. Kemudian
yang muda, yang telah menduduki jabatan itu sebentar. Dengan
kematian mereka, maka menantu Ki Buyut lah yang telah
diangkat untuk menggantikan kedudukan itu.
"Jadi dengan demikian perempuan itu pun telah terlibat,"
berkata salah seorang di antara mereka.
"Seperti aku katakan, suaminyalah yang terlibat. Dan itu
telah menyiksa hidupnya sehingga ia tidak pernah menemukan
kedamaian," jawab kakek tua itu. Lalu "Nah, jika dengan
demikian maka kalian menganggap perempuan itu tidak berhak
menikmati kekayaannya yang telah diterimanya dengan cara
yang tidak sewajarnya, maka ia telah pasrah. Semuanya akan
direlakan bagi Kabuyutan ini. Ia akan mulai dengan kehidupan
sederhana, namun memberikan kedamaian di hatinya."
Orang-orang yang mendengarkan pengakuan perempuan
itu pun mengangguk-angguk. Tiba-tiba saja seorang bebahu
yang juga sudah separuh baya bertanya, "Apakah
pengakuannya itu benar Ki Buyut?"
"Ya," jawab Ki Buyut, "aku tidak akan ingkar."
Ayahnya hanya dapat menggeram. Namun ia pun merasa
bahwa ia tidak akan dapat lagi mengelak.
Kakek tua itu pun kemudian berpaling kepada kedua
orang cucu Ki Buyut tua yang bertengkar. Firasat mereka
memang mengatakan bahwa ayah-ayah mereka tentu sudah
terbunuh oleh tangan-tangan yang jahat. Tetapi mereka tidak
dapat menyebutkan dan tidak tahu siapa yang telah
melakukannya. Namun akhirnya mereka pun menyadari, bahwa
permusuhan yang terjadi antara mereka berdua adalah justru
karena tingkah laku Ki Buyut itu pula. Dengan alasan untuk
membatasi daerah yang bertentangan, maka Ki Buyut justru
telah membuat pertentangan di antara keduanya itu tidak
menemukan penyelesaian. "Nah," berkata kakek tua itu, "kalian dapat melihat
dengan jelas, apa yang telah terjadi di Kabuyutan ini."
"Kami menuntut orang-orang yang bersalah," berkata
cucu Ki Buyut tua yang berdarah lebih tua.
Wajah-wajah menjadi tegang. Sementara itu yang muda
pun telah berteriak pula, "Ya. Yang bersalah harus dihukum."
Semua orang memandang ayah Ki Buyut serta saudara
kembar perempuannya. Namun ayah Ki Buyut itu pun ternyata tidak mau
menjalani hukuman sendiri. Ia juga ingin membuat kakek tua
itu menjadi sakit hati. Karena itu, maka katanya, "Aku tidak
akan ingkar. Tetapi bukan hanya aku yang bersalah. Orang
yang telah membuat racun itu pun bersalah pula. Karena itu,
jika kami dihukum, maka ia pun harus dihukum. Meskipun
orang itu sudah mati, tetapi isterinya telah ikut menikmati hasil
kejahatannya, sehingga bersama anak-anaknya ia pantas
dihukum." Adalah diluar dugaan bahwa perempuan itu menjawab,
"Kami bersedia dihukum apa pun juga. Hukuman itu tentu
akan membebaskan kami dari perasaan ikut bersalah.
Meskipun aku tidak membantu suamiku dalam kejahatan yang
dilakukannya, namun aku memang telah ikut menikmati hasil


03 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kejahatannya untuk menghidupi anak-anaknya."
"Anak-anakmu," potong ayah Ki Buyut.
"Ya. Anak-anakku. Tetapi juga anak-anak suamiku yang
telah melakukan kejahatan itu," jawab perempuan itu. Lalu
katanya, "Sebenarnyalah selama ini hidupku telah merasa
sangat cemas dan gelisah. Kesalahan suamiku menjadi beban
yang hampir membuatku gila. Karena itu, maka penyelesaian
yang akan diambil hari ini, apa pun hukuman yang akan
ditimpakan kepadaku, akan aku terima dengan senang hati."
"Perempuan iblis, "geram ayah Ki Buyut. Ternyata
perempuan itu tidak merasa menderita sama sekali seandainya
ia- pun akan dihukum. Yang penting baginya, bukannya
hukuman itu sendiri, tetapi penderitaan yang akan dipikul
olehnya. Jika hukuman itu tidak membuatnya menderita, maka
hukuman itu tidak akan berarti apa-apa lagi baginya. Justru
hukuman itu malah akan membuatnya merasa terlepas dari
kesalahan. Namun dalam pada itu, ternyata beberapa orang hampir
berbareng berkata lantang, "Yang bersalah memang harus
dihukum." "Baik," berkata kakek tua itu, "tetapi siapakah di antara
kita yang berwenang menentukan hukuman itu?"
Semuanya terdiam. Pertanyaan itu memang tidak mudah
untuk dijawab. Siapakah yang paling tepat untuk menjatuhkan
hukuman, karena Ki Buyut yang mempunyai kekuasaan
tertinggi justru harus diadili.
Beberapa orang tiba-tiba saja telah berpaling kepada
kedua anak muda yang menunggui pembicaraan itu. Meskipun
mereka tidak mengatakan sesuatu, tetapi rasa-rasanya mereka
memang ingin menunjuk kedua orang anak itulah yang akan
menentukan hukuman yang akan diberikan kepada mereka
yang bersalah. Namun dalam pada itu, Ki Buyut yang lemah itu pun
berkata, "Aku Buyut di sini. Akulah yang menentukan
hukuman bagi setiap orang yang bersalah."
Tetapi kedua cucu Ki Buyut tua yang semula saling
berselisih itu hampir bersamaan menjawab, "Tidak."
Yang muda berkata lebih lanjut, "Paman termasuk yang
harus diadili." "Tetapi aku masih Buyut di sini," jawab Ki Buyut.
"Jika demikian," berkata kakek tua itu, "kita harus
menurunkan jabatannya. Kita melepas kedudukannya dan
karena itu ia bukan lagi Buyut di sini. Kita tidak mempunyai
Buyut lagi sekarang."
"Tetapi aku sudah dilantik oleh Akuwu," jawab Ki
Buyut itu, "hanya Akuwu yang berhak mencabut jabatanku.
Jika kalian melanggarnya, maka kalian akan berhadapan
dengan Akuwu." Orang-orang Kabuyutan itu memang harus merenungi
kata-katanya. Ki Buyut itu memang sudah disahkan
kedudukannya oleh Akuwu, sehingga hanya Akuwu lah yang
berhak mencabutnya dan menggantinya dengan orang yang
disetujuinya. Dalam keadaan yang hening itu, tiba-tiba Mahisa Murti
bertanya, "Aku tidak mencampuri persoalan Kabuyutan ini.
Tetapi aku hanya ingin bertanya, Kabuyutan ini termasuk
Pakuwon mana?" "Lemah Warah," jawab kakek tua itu.
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat menarik nafas dalamdalam,
namun Mahisa Pukat masih juga bertanya, "Bukankah
tempat ini jaraknya sangat jauh dari Lemah Warah?"
"Ya. Wilayah Lemah Warah memang menjorok sampai
ke tempat ini," jawab kakek tua itu.
Sementara itu seorang bebahu lain yang termasuk tua
berkata: "Itulah sebabnya, maka peristiwa yang terjadi di sini
tidak dapat diikuti dengan cermat oleh Akuwu atau para
pemimpin Lemah Warah lainnya."
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat mengangguk-angguk.
Sementara itu kakek tua itu pun bertanya, "Bagaimana
pendapat kalian tentang persoalan ini" Kami memang tidak
ingin menyerahkan persoalan di Kabuyutan kami kepada orang
lain, tetapi kami tidak perlu menolak nasehat dan petunjuk
yang akan berarti bagi kami."
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat saling berpandangan
sejenak. Tetapi sebelum mereka menjawab, Ki Buyut berkata,
"Bagaimanapun juga, aku adalah pemimpin yang sah. Kalian
tidak akan dapat berbuat apa pun juga dengan kedudukan itu."
"Tentu saja dapat," jawab Mahisa Pukat. Namun
katanya, "Tetapi bukan maksudku untuk ikut campur. Jika Ki
Buyut mati, maka kedudukannya akan dengan sendirinya
gugur." Jantung Ki Buyut bagaikan tersentak. Ia terkejut bukan
kepalang. Ia tidak mengira bahwa anak muda itu telah
mengambil satu kesimpulan yang sangat mengerikan baginya.
Justru karena itu, maka ia pun menyahut dengan suara bergetar,
"Apakah kau juga ingin menjadi pembunuh" Kau kira Akuwu
tidak akan bertindak atas pembunuhan terhadap orang yang
dipercaya untuk memimpin sebuah Kabuyutan."
"Kau memang lucu Ki Buyut," berkata Mahisa Pukat,
"jika aku membunuhmu, maka aku akan segera p ergi. Kau pun
tentu tahu, jika aku membunuhmu, maka aku akan membunuh
ayahmu, bibimu dan pamanmu. Nah, setelah itu kami akan
pergi tanpa kalian ketahui ke mana" Jika Akuwu ingin
menghukum, biarlah Akuwu mencari kami. Sementara itu,
Kabuyutan ini akan mengalami perubahan."
"Pemecahan yang biadab," geram Ki Buyut.
"Sama biadabnya dengan tingkah laku ayah dan bibimu
serta pamanmu," jawab Mahisa Pukat.
"Cukup," Ki Buyut berteriak. Namun justru karena itu,
maka nafasnya pun menjadi terengah-engah.
Mahisa Pukat menarik nafas dalam-dalam. Katanya,
"Jika kau tidak setuju, maka cara yang manakah yang
sebaiknya kita tempuh?"
Ki Buyut justru terdiam. Ternyata ia berhadapan dengan
anak muda yang dapat bertindak menurut kehendaknya sendiri
tanpa mengingat apa pun juga, bahkan paugeran yang berlaku
di Pakuwon itu. M enilik apa yang pernah dilakukannya, maka
agaknya ia benar-benar dapat berbuat sebagaimana
dikatakannya. Karena itu, maka Ki Buyut merasa harus sangat berhatihati
bersikap. Jika anak itu benar-benar telah membunuhnya,
maka ia tidak akan dapat merubah sikap yang mana pun juga.
Untuk beberapa saat suasana memang menjadi tegang.
Namun adalah diluar dugaan bahwa tiba-tiba saja seseorang
berkata, "Bunuh saja."
Ternyata ada yang menyahut p ula, "Bunuh saja."
Ki Buyut memang menjadi semakin gemetar. Kedudukan
Buyut itu baginya memang telah menyiksanya. Ia tidak pernah
merasakan sesuatu yang membuatny a berbangga pada diri
sendiri. Kekuasaannya selalu dibayangi oleh pamannya yang
menyebut dirinya Ki Bekel di padukuhan induk Kabuyutan itu.
Namun Mahisa Pukat pulalah yang kemudian meredakan
suara-suara itu, "Tunggu. Jangan tergesa-gesa mengambil
kesimpulan. Pembunuhan memang satu penyelesaian. Tetapi
jika kita tidak menemukan penyelesaian yang lain."
Orang-orang yang ada di pertemuan itu memang menjadi
bingung. Namun Mahisa Murti pun kemudian berkata, "Kita
akan mengambil jalan yang paling baik. Kita akan
menyampaikan persoalan ini kepada Akuwu di Lemah Warah."
Tetapi kakek tua itu pun berkata, "Kita memerlukan
beberapa hari perjalanan."
"Kita akan menunggu beberapa hari perjalanan itu. Kami
berdua akan pergi ke Lemah Warah menyampaikan persoalan
kalian," berkata Mahisa Murti.
"Itu tidak adil," berkata Ki Buyut, "kalian dapat
mengatakan yang hitam menjadi putih, yang putih menjadi
hitam. Kalian dapat memberikan laporan palsu dan dengan
demikian maka Sang Akuwu pun akan dapat mengambil
keputusan yang salah pula."
"Jadi, kau sendiri akan pergi?" bertanya Mahisa Murti.
"Sayang. Aku tidak mampu lagi berjalan sejauh itu"
Bahkan berkuda pun tidak mungkin lagi," desis Ki Buyut.
"Tidak. Kau tentu mampu berkuda sejauh itu," berkata
Mahisa Pukat, "kau tidak mempunyai pilihan lain. Kita,
maksudku beberapa orang di antara kalian dan kami berdua
akan pergi ke Lemah Warah. Di sini tentu ada empat atau lima
ekor kuda yang baik yang dapat kita pergunakan."
Kakek tua itu pun mengangguk-angguk. Katanya,
"Memang tidak ada cara yang lebih baik. Tetapi kita harus
bersabar. Ki Buyut pun tentu akan mengalami perlakuan yang
lebih baik apabila ia diadili oleh Sang Akuwu sendiri daripada
diperlakukan menurut kehendak orang-orang Kabuyutan ini
setelah terbukti ia melakukan kesalahan yang berat sekali."
Ki Buyut memang tidak dapat menolak. Bersama Mahisa
Murti, Mahisa Pukat, Ki Bekel dan kakek tua maka mereka
akan menghadap Akuwu Lemah Warah untuk mendapatkan
pengadilan. Namun dalam pada itu, beberapa orang menjadi cemas.
Pada suatu saat, jika ayah Ki Buyut dan saudara kembarnya
sembuh, maka banyak hal yang dapat dilakukannya.
Keselamatan perempuan yang telah mengakui kesalahannya itu
pun akan terancam pula. Tetapi Mahisa Murti berkata, "Mereka tidak akan dapat
sembuh dalam waktu dekat. Bahkan untuk waktu yang sangat
lama." Beberapa orang saling berpandangan. Mereka tidak tahu
apa yang dimaksud oleh Mahisa Murti.
Namun Mahisa Murti berkata, "Besok pada saatny a kami
berangkat, maka kalian akan tahu apa yang akan terjadi atas
kedua orang ini." Demikianlah, maka pertemuan itu pun telah diakhiri.
Kesimpulannya adalah keberangkatan beberapa orang menuju
ke Lemah Warah. Di dini hari berikutny a, maka orang-orang yang akan
menuju ke Lemah Warah pun telah siap. Beberapa orang
bebahu yang mengetahui rencana keberangkatan mereka, telah
berada di Kabuyutan pula. Sementara itu keadaan Ki Buyut dan
Ki Bekel memang menjadi lebih baik dari hari sebelumnya,
meskipun mereka masih juga sangat lemah. Tetapi mereka
tentu akan mampu berkuda ke Lemah Warah.
Tetapi berbeda dengan mereka, ayah dan bibi Ki Buyut
yang sudah tua itu, keadaannya seakan-akan masih tetap tidak
berubah. Mereka masih saja lemah seperti sehari sebelumnya.
Bahkan rasa-rasanya mereka justru menjadi semakin
tidak berdaya. Ketika Ki Bekel menengoknya di pembaringan mereka,
ayah Ki Buyut itu menggeram, "Iblis itu telah menekan
beberapa simpul urat nadiku dan mematikan kerjanya. Untuk
beberapa lama urat itu tidak akan terbuka jika tidak ada
seseorang yang mampu membukanya. Tanpa bantuan itu, maka
gerak membukanya akan berlangsung lama sekali."
Ki Bekel menarik nafas dalam-dalam. Katanya, "Tentu
mereka berusaha meyakinkan diri, bahwa selama mereka pergi
tidak akan terjadi sesuatu di Kabuyutan ini."
Ayah dan bibi Ki Buyut itu tidak menyahut. Tetapi
mereka pun berpendapat seperti itu pula, sehingga karena itu
mereka menyadari, apa yang dilakukan oleh kedua orang anak
muda itu atasnya. Bahkan keduanya pun akhirnya terpaksa mengakui,
kedua anak muda itu memang mempunyai ilmu yang sangat
tinggi. Namun demikian ayah Ki Buyut itu pun berpesan,
"Pandai-pandailah berbicara dihadapan Akuwu. Kalian harus
mampu meyakinkannya, bahwa kedua anak muda itu telah
menimbulkan malapetaka di Kabuyutan mereka. Kebetulan
sekali kau dan Ki Buyut dibawa serta. Dengan keadaan kalian,
maka kalian dapat membuktikan kebengisan kedua anak muda
itu. Kau dapat mengatakan bahwa aku dan mbokayumu juga
mengalami nasib yang justru lebih buruk dari nasibmu itu."
Ki Bekel mengangguk. Katanya, "Aku akan
melakukannya sebaik-baiknya."
"Jika kau berhasil, maka Sang Akuwu akan mengambil
tindakan justru terhadap kedua anak muda itu," desis ayah Ki
Buyut. Ki Bekel mengangguk-angguk. Sementara itu, maka
seseorang telah memanggilnya dan berkata, "Dipersilahkan Ki
Bekel makan lebih dahulu. Semua yang akan berangkat telah
berkumpul di pringgitan. Sebelum matahari terbit,
direncanakan kelompok itu akan berangkat."
Ki Bekel menarik nafas dalam-dalam. Namun ia pun
kemudian telah berada di pringgitan.
Menjelang matahari terbit, maka sebuah iring-iringan
kecil telah meninggalkan Kabuyutan itu menuju ke Lemah
Warah. Yang kemudian ternyata berangkat adalah Mahisa
Murti, Mahisa Pukat, Ki Buyut, Ki Bekel dan kakek tua yang
pernah menduduki jabatan bebahu di Kabuyutan itu.
Namun dalam pada itu, justru di hati Ki Bekel dan Ki
Buyut telah tumbuh harapan baru. Jika mereka berhasil
menghadap Akuwu, maka Akuwu tentu akan lebih
mempercayai mereka dari pada kedua orang yang masih terlalu
muda itu. Karena itulah, maka dalam perjalanan justru Ki Bekel
dan Ki Buyut nampak lebih segar dari saat-saat sebelumnya.
Meskipun Ki Buyut merasa perlu untuk memperbaharui cara
hidupnya yang justru menjadi sulit karena jabatan yang
membebaninya itu, namun ia memang ingin lebih dahulu
membebaskan dirinya dari kekuasaan kedua anak muda yang
berilmu sangat tinggi itu.
"Dihadapan Akuwu ilmunya tidak akan berarti sama
sekali," berkata Ki Buyut.
Bahkan Ki Buyut telah sempat berangan-angan, bahwa
setelah ia dapat mempergunakan kekuasaannya pada saat
terakhir, tanpa menghiraukan pengaruh ayahnya, bibinya dan
pamannya yang mengangkat dirinya menjadi Bekel di
padukuhan induk dan selalu membayanginya itu, maka ia akan
merasa lebih baik melepaskan jabatannya.
Di perjalanan, justru karena mereka menyadari, bahwa
perjalanan mereka adalah perjalanan panjang, maka mereka
tidak memacu kuda mereka terlampau cepat. Kecuali kekuatan
Ki Buyut dan Ki Bekel masih belum pulih kembali, mereka


03 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

pun tidak mau memaksa kuda mereka menjadi terlalu letih di
perjalanan. Bahkan mereka pun telah memberi kesempatan
pada saat-saat tertentu untuk beristirahat. Apalagi mereka yang
menunggang kuda pun merasa perlu untuk beristirahat p ula.
Beberapa kali mereka telah singgah di kedai-kedai.
Beberapa kali mereka berhenti di pinggir-pinggir sungai untuk
memberi kesempatan kuda mereka untuk minum dan makan
rerumputan segar. Berapa kali mereka telah berhenti
beristirahat di pinggir-pinggir hutan dan ternyata meskipun
mereka berkuda, mereka memerlukan bermalam dua malam di
perjalanan. Ketika mereka berlima memasuki gerbang Kota
Pakuwon Lemah Warah, maka wajah Ki Buyut dan Ki Bekel
yang kelelahan itu pun menjadi semakin merah. Mereka tidak
lagi merasa berada di ambang pintu neraka. Mereka berharap
bahwa Sang Akuwu yang bijaksana akan justru menangkap
kedua anak muda yang telah membuat padukuhan-padukuhan
mereka bergejolak. Bahkan seluruh Kabuyutan.
Demikianlah beberapa saat kemudian, maka iring-iringan
itu telah menuju ke istana Akuwu Lemah Warah. Ketika
mereka sampai ke pintu gerbang, maka dengan penuh harapan
Ki Buyut menyampaikan maksudnya untuk menghadap
Akuwu. "Silahkan menunggu. Kami akan menyampaikannya
kepada Akuwu," berkata seorang prajurit yang masih muda.
Permohonan Ki Buyut itu pun telah disampaikan kepada
Akuwu. Sebagaimana dikatakan oleh Ki Buyut, mereka telah
menempuh perjalanan selama dua hari, sehingga mohon belas
kasihan kepada Akuwu, agar mereka dapat diterima
menghadap. "Apa yang penting yang akan mereka sampaikan?"
bertanya Akuwu. "Mereka tidak menyampaikan kepada hamba. Tetapi
mereka mohon dengan sangat, agar mereka diperkenankan
untuk menghadap karena persoalan mereka menyangkut
kehidupan Kabuyutan mereka," jawab prajurit yang diantar
oleh Pelayan Dalam itu. Ternyata Akuwu menghargai perjalanan orang-orang
yang akan menghadapnya itu. Tetapi Akuwu hanya akan
menerima dua orang saja di antara mereka.
"Baiklah. Biarlah yang lain aku terima nanti saja.
Sekarang bawa dua orang di antara mereka masuk mewakili
kawan-kawannya. Aku tidak dapat menerima mereka berlima
sekaligus sekarang, karena waktuku yang sempit. Tetapi bukan
berarti bahwa aku tidak akan menerima mereka. Nanti aku
akan menerima mereka semuanya. Nah, berilah tempat
beristirahat sepantasnya kepada mereka," berkata Akuwu. Lalu
"Jika persoalannya tidak terlalu gawat, maka pembicaraan
berikutnya tentu tidak akan tergesa-gesa."
Demikianlah maka prajurit itu pun telah kembali
menemui kelima orang yang ingin menghadap Akuwu itu.
Prajurit itu menyampaikan perintah Akuwu, bahwa hanya dua
orang sajalah yang saat itu diperkenankan menghadap. Baru
nanti, jika Akuwu tidak lagi terlalu sibuk, semuanya akan dapat
diterima. "Biarlah kami yang menghadap," desis M ahisa Murti.
Tetapi tiba-tiba Ki Buyut berkata, "Akulah Buyut dari
Kabuyutan itu. Akulah yang akan menghadap bersama Ki
Bekel." "Tentu tidak," desis Mahisa Pukat.
"Kau tidak dapat berbuat apa-apa di sini," Ki Buyut
tersenyum, "jika kalian berkeras, maka para prajurit akan dapat
bertindak atas kalian berdua. Apakah kau akan melawan
Akuwu?" Mahisa Murti dan Mahisa Pukat saling berpandangan
sejenak. Namun kemudian Mahisa Murti pun berkata, "Jika
demikian, biarlah Ki Buyut dan kakek tua itulah yang
menghadap." Ki Buyut termangu-mangu sejenak. Tetapi sambil
tersenyum ia berkata, "Baiklah. Biarlah aku dan kakek tua
menghadap Sang Akuwu."
Tetapi Ki Bekel dengan serta merta berkata, "Kau dan
aku Ki Buyut." "Kami berkeberatan," sahut Mahisa Pukat, "atau kami
berdua sama sekali tidak ikut campur, tetapi pada suatu saat
kami akan datang lagi ke padukuhan-padukuhan di
Kabuyutanmu untuk berbuat apa saja sesuka kami."
"Kau berada di istana Akuwu sekarang," ancam Ki
Bekel. "Kau kira kami tidak dapat melarikan diri?" jawab
Mahisa Pukat. "Sudahlah," berkata Ki Buyut, "biarlah kami menghadap
berdua. Kami akan membatasi pembicaraan, sementara kita
akan dapat banyak berbicara setelah kita berlima diterima
bersama-sama." Ki Bekel tidak dapat memaksa. Karena itu, maka
akhirnya memang Ki Buyut dan kakek tua itulah yang
menghadap. Demikian mereka mendapat kesempatan untuk berbicara,
maka Ki Buyut pun telah mengangguk dalam-dalam sambil
berkata, "Am pun Sang Akuwu. Hambalah Buyut yang rendah,
yang mohon menghadap."
Akuwu Lemah Warah tersenyum. Katanya, "Aku tidak
pernah menganggap seorang Buyut itu berderajad rendah. Nah,
katakan apa keperluanmu."
"Am pun Akuwu. Apakah hamba diperkenankan
mengatakannya?" bertanya kakek tua itu.
"Oo, terserah kepada kalian, siapakah yang akan
mengatakan keperluan kalian," jawab Akuwu.
"Biarlah hamba yang mengatakannya Sang Akuwu,"
dengan cepat Ki Buyut menyahut.
Akuwu Lemah Warah mengerutkan keningnya. Terasa
sesuatu yang tidak wajar pada kedua orang yang
menghadapnya itu. Namun Akuwu itu pun berkata, "Kalian
akan mendapat kesempatan berganti-ganti. Tetapi biarlah Ki
Buyut lebih dahulu yang mengatakan kepentingannya."
Ki Buyut pun kemudian telah menyampaikan sebuah
laporan yang telah disusunnya dengan tertib. Dua orang anak
muda telah datang dan mengacaukan kedudukannya di
Kabuyutan itu. Kakek tua itu setiap kali berusaha untuk memotong.
Tetapi Akuwu selalu melarangnya. Katanya, "beri kesempatan
ia berbicara sampai selesai."
Kakek tua itu tidak berani melanggar perintah Akuwu,
sehingga karena itu, maka ia terpaksa membiarkan saja Ki
Buyut mengatakan apa yang tidak sebenarnya. Ki Buyut
memang telah menyudutkan kedua anak muda yang dianggap
asing itu. Ternyata Sang Akuwu telah mendengarkan laporan itu
dengan sangat bersungguh-sungguh. Keningnya nampak
berkerut, sementara setiap kali tangannya mengusap dahinya
yang basah oleh keringatny a.
Setiap kata diperhatikannya sehingga Akuwu pun
kemudian dapat membayangkan apa yang telah terjadi. Namun
sayang, bahwa gambaran yang terbentuk oleh ceritera Ki Buyut
itu berbeda dengan kenyataan yang telah terjadi.
Baru setelah Ki Buyut selesai, maka Sang Akuwu yang
memang merasakan sesuatu yang aneh pada kedua orang itu
telah memberikan kesempatan kepada kakek tua itu untuk
memberikan laporannya. Dengan hati-hati kakek tua itu pun telah menceriterakan
apa yang memang telah terjadi di padukuhan itu. Dengan
demikian maka ceritera mereka dalam beberapa hal bukan saja
berlainan, tetapi justru bertentangan.
Akuwu pun memperhatikan laporan kakek tua itu pula
sebagaimana ia memperhatikan laporan Ki Buyut. Akuwu tidak
terkejut mendengar beberapa hal yang bertentangan dari
laporan mereka berdua. Akuwu pun dengan sabar menunggu
sampai kakek tua itu selesai, sementara Akuwu pun melarang
Ki Buyut memotong laporan kakek tua itu p ula.
Ketika kakek tua itu selesai memberikan laporan, maka
Akuwu pun berkata, "Nah, laporan kalian bertentangan yang
satu dengan yang lain. Aku tahu persoalannya memang sangat
gawat. Tentu salah satu pihak telah mengatakan yang bukan
sebenarnya. Tetapi bagaimanapun juga aku telah mengakui Ki
Buyut sebagai pimpinan di Kabuyutan itu."
"Am pun Sang Akuwu," berkata Ki Buyut, "hamba ingin
mohon keadilan. Sebenarnya dengan alas kekuasaan yang
Tuanku berikan kepada hamba sebagai Buyut di Kabuyutan itu,
hamba dapat melakukan langkah-langkah yang perlu. Bahkan
menghukum orang-orang yang bersalah. Tetapi karena menurut
perhitungan hamba akan dapat menimbulkan persoalanpersoalan
yang menyangkut ketenangan di Kabuyutan hamba,
maka hamba memilih jalan untuk menghadap Akuwu. Namun
satu hal yang pantas hamba sampaikan bahwa adik perempuan
dari kakek tua ini adalah isteri dari pembunuh itu, sehingga
karena itu, maka ia tidak dapat dianggap jujur dalam
pengutaraan persoalannya. Ayah dan bibi hamba dengan
sengaja telah disangkutkannya, sementara kakek tua itu
mengesampingkan kesalahan kedua orang anak muda itu. Kami
sengaja membawa kedua anak muda itu untuk mendapat
keadilan dari Sang Akuwu, karena kami dan bahkan seluruh
Kabuyutan tidak akan mampu melawan mereka berdua.
Dengan alas kemampuannya yang tinggi itulah, maka ia dapat
memaksakan keinginannya kepada seisi padukuhan. Ayah dan
bibi yang mencoba menempatkan persoalannya pada keadaan
yang sewajarnya, telah menjadi korban pula. Sementara itu
kakek tua ini telah memanfaatkan keadaan untuk mengambil
keuntungan, terutama keselamatan adik perempuannya itu."
Akuwu itu ternyata masih belum dapat memahami
beberapa hal. Karena itu, maka ia pun bertanya, "Jika kedua
anak muda itu memiliki ilmu yang sangat tinggi, bagaimana
mungkin kau dapat membawanya kemari?"
"Kami telah membujuknya. Kami menjanjikan kepada
mereka, untuk mempertemukan mereka kepada Akuwu,
sehingga mereka akan dapat mengajukan beberapa permintaan
bagi kepentingan diri mereka sendiri. Tetapi sebenarnyalah
kami mohon, bahwa kedua orang anak muda itu, yang menjadi
sumber keributan akan dapat ditangkap di sini. Di sini ada
kekuatan dan kemampuan yang akan dapat mengimbangi
keduanya meskipun setelah berada di halaman Pakuwon ini
pun keduanya masih tetap merasa memiliki kemampuan tidak
terkalahkan. Agaknya kedua anak muda itu belum mengetahui
kekuatan dan kemampuan ilmu Sang Akuwu," berkata Ki
Buyut. Akuwu Lemah Warah itu mengerutkan keningnya.
Namun kemudian katanya, "Tentu kami tidak akan
berkeberatan untuk menangkap keduanya jika keduanya
memang bersalah." "Keduanya tidak bersalah Sang Akuwu," sela kakek tua
itu. "Keduanya adalah anak-anak muda yang dapat diperalat
oleh kakek tua ini. Tetapi hamba mohon perlindungan atas
jabatan hamba dan kewibawaan hamba yang telah ditetapkan
dan diwisuda oleh Sang Akuwu," berkata Ki Buyut. Lalu
katanya, "bersama hamba selain kedua anak muda yang hamba
mohon ditangkap bersama kakek tua ini, juga Ki Bekel yang
akan dapat menjadi saksi akan kebenaran keterangan hamba
itu." "Ki Bekel?" bertanya Akuwu.
"Hamba Sang Akuwu," jawab Ki Buyut.
"Ki Bekel adalah adik ayah Ki Buyut yang pernah
hamba katakan Sang Akuwu. Sudah tentu kesaksiannya tidak
dapat dipercaya," berkata kakek itu.
Sang Akuwu mengangguk-angguk. Tetapi ia berkata,
"Dalam keadaan seperti ini memang harus berhati-hati untuk
mempercayai seseorang. Sebagaimana aku pun tidak akan
dapat begitu saja percaya kepada Ki Bekel, aku pun tidak akan
dapat begitu saja percaya kepadamu."
Kakek tua itu menjadi berdebar-debar. Dengan
mengerahkan keberaniannya ia berkata, "Ampun Akuwu.
Hamba mohon, jika Ki Bekel dipanggil menghadap, kedua
anak muda itu- pun mohon dipanggil pula menghadap."
"Untuk apa?" bertanya Ki Buyut, "justru kami mohon
kedua orang anak muda itu diadili di sini."
"Seandainya diadili sekalipun, maka bukankah wajib ia
dihadapkan kepada yang mengadili?" bertanya kakek tua itu.
Tetapi ternyata Akuwu berkata, "Aku akan memanggil
Ki Bekel lebih dahulu."
Kakek tua itu memang tidak berani membantah. Akuwu
benar-benar telah memanggil Ki Bekel untuk ikut berbicara
bersama mereka. "Nah," berkata Akuwu, "biarlah Ki Bekel
menceriterakan apa yang terjadi."
"Tetapi ampun Akuwu. Ki Bekel adalah paman Ki
Buyut, "kakek tua itu memotong.
"Aku perintahkan orang itu berbicara," berkata Akuwu.
Kakek tua itu menundukkan kepalanya dalam-dalam. Ia
memang hampir kehilangan harapan. Ia tidak mengira bahwa
Ki Buyut itu demikian liciknya memanfaatkan kepercayaan
Akuwu kepadanya sebagai seorang Buyut.
Seperti yang diduga oleh Kakek tua itu, maka yang
diceriterakan oleh Ki Bekel tidak berbeda dari apa yang
dikatakan oleh Ki Buyut. Bahkan dalam beberapa hal Ki Bekel
mampu meyakinkan Akuwu, bahwa yang bersalah adalah
kedua orang anak muda yang telah menggoncangkan
ketenangan Kabuyutan itu dengan menghasut kedua orang
cucu Ki Buyut tua, memanfaatkan orang-orang yang kecewa
seperti kakek tua itu, yang ternyata telah berbuat banyak
kesalahan. Akuwu Lemah Warah mengangguk-angguk. Dengan
nada rendah ia berkata, "Aku sudah mendengar tiga orang
berbicara. Dua orang di antara mereka bernada sama.
Sedangkan yang seorang lagi bukan saja berbeda, tetapi
bertentangan sama sekali. Nah, sudah tentu aku tidak akan
dapat mengambil kesimpulan dengan pasti. Tetapi aku mulai
dapat membayangkan apa yang terjadi."
"Tetapi Akuwu," berkata kakek tua itu, "hamba mohon
Akuwu dapat melihat sendiri apa yang telah terjadi di
Kabuyutan kami."

03 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Akuwu tersenyum. Katanya, "Yang paling baik bagiku
adalah datang ke setiap tempat untuk melihat sendiri keadaan
yang sebenarnya di semua lingkungan Lemah Warah. Tetapi
terus-terang aku tidak akan mampu melakukannya. Karena
itulah, maka di tempat-tempat tertentu telah diangkat seorang
yang aku percaya menjalankan tugas atas namaku. Seorang
Buyut." Kakek tua itu benar-benar telah kehilangan harapan.
Sementara itu Ki Buyut berkata, "Bagaimana dengan kedua
anak muda itu Sang Akuwu. Hamba mohon keduanya tidak
akan pernah datang lagi ke Kabuyutan hamba, karena keduanya
benar-benar orang yang berbahaya, sementara tidak seorang
pun yang mampu mengatasi kemampuannya. Seakan-akan
keduanya terlalu yakin bahwa dengan ilmunya semuanya dapat
dilakukannya." "Bukan soal yang sulit," berkata Akuwu, "tetapi biarlah
aku juga mendengar apa yang akan dikatakan oleh kedua orang
anak muda itu." "Yang dikatakannya tentu akan sangat menyimpang
Akuwu. Sebagaimana dikatakan oleh kakek tua ini, karena
kedua anak muda dan kakek tua ini telah dengan sepakat
melakukannya. Jika mereka setuju bahwa aku dan Ki Bekel
datang kemari, justru setelah aku mengancam mereka, bahwa
Sang Akuwu tidak akan mempercayai siapa saja kecuali orangorangnya
sendiri." "Kau benar," jawab Akuwu, "tetapi biarlah aku bertemu
dengan kedua orang anak muda itu. Aku memang ingin
mendengar apa saja yang dikatakannya. Tetapi aku sudah
mempunyai alas keterangan dari kalian. Aku akan dapat
mempertimbangkannya dengan sebaik-baiknya."
Ternyata Ki Buyut dan Ki Bekel tidak berhasil mencegah
niat Akuwu bertemu dengan kedua orang anak muda itu.
Bahkan Akuwu itu berkata, "Jika kemudian aku menjadi yakin
bahwa keduanya bersalah, aku akan langsung menangkap
mereka." Demikianlah, maka Akuwu pun telah memerintahkan
seorang Pelayan Dalam untuk memanggil kedua anak muda
itu. Ketika Ki Buyut memperingatkan Akuwu bahwa keduanya
berilmu tinggi, maka Akuwu pun tersenyum sambil bertanya,
"Kau tidak yakin bahwa aku akan dapat menangkapnya"
Seandainya ilmuku tidak dapat mengimbangi ilmu mereka,
bukankah di dalam istana ini terdapat sekelompok Pelayan
Dalam dan sekelompok prajurit pengawal pilihan" Di halaman
pun terdapat sekelompok prajurit yang bertugas yang akan
dapat memanggil sepasukan prajurit berkuda dalam waktu
sekejap." "Ampun Akuwu," jawab Ki Buyut, "bukan maksud
hamba tidak percaya. Tetapi hamba hanya ingin
memperingatkan bahwa keduanya adalah anak-anak muda
yang sangat licik." "Terima kasih," jawab Akuwu, "peringatanmu aku
perhatikan." Demikianlah sejenak kemudian maka seorang Pelayan
Dalam telah memanggil dua orang anak muda yang menunggu
di luar, di antara para prajurit yang bertugas.
Namun Ki Buyut dan Ki Bekel hampir yakin, bahwa
kata-katanya tentu akan lebih dipercaya. Bahkan kakek tua itu
pun sudah menjadi lebih banyak duduk terdiam sambil
menundukkan kepalanya. Menurut Ki Buyut dan Ki Bekel,
kakek tua itu mulai menghitung hukuman apakah yang akan
diterimanya dari Akuwu bersama-sama dengan kedua orang
anak muda itu. Sesaat kemudian, ketika pintu ruang itu terbuka, dua
orang anak muda telah diantar memasuki ruangan itu oleh
seorang Pelayan Dalam yang tinggal di luar pintu yang
kemudian telah ditutup kembali.
Sebenarnyalah Akuwu terkejut melihat kedua orang anak
muda itu. Mahisa Murti dan Mahisa Pukat, yang pernah
diakunya sebagai kemanakannya.
"Kaliankah itu" " suara Akuwu merendah.
"Hamba Akuwu," jawab keduanya hampir berbareng.
Kedua anak muda itu pun kemudian telah duduk sambil
membungkuk hormat. Sementara itu, Ki Buyut, Ki Bekel dan kakek tua itu pun
terkejut p ula bukan buatan. Ternyata kedua anak muda itu telah
mengenal Akuwu Lemah Warah.
"Jadi dua orang anak muda ini yang kalian maksud?"
bertanya Akuwu itu kepada Ki Buyut dan Ki Bekel.
"Hamba Sang Akuwu," jawab Ki Buyut gagap.
Akuwu Lemah Warah mengangguk-angguk. Katanya,
"Aku memang masih akan mendengar keterangan mereka.
Meskipun aku sudah mempunyai alas keterangan dari Ki Buyut
dan Ki Bekel serta kakek itu."
"Ampun Akuwu. Kedua anak muda itu memang telah
bekerja sama dengan kakek tua ini untuk menyelamatkan
orang-orang yang bersalah dan justru telah menjerumuskan
orang-orang yang tidak bersalah ke dalam kesulitan," bertanya
Ki Buyut. "Satu pengalaman bagiku," berkata Akuwu Lemah
Warah, "untuk menghadapi satu persoalan, ternyata aku harus
lebih teliti dan cermat. Hampir saja aku mempercayai Ki Buyut
dan Ki Bekel. Seandainya yang datang bukan kedua
kemanakanku itu, maka aku kira aku mempunyai alas yang
salah untuk menangani persoalan ini."
Sekali lagi orang-orang yang mendengar keterangan
Akuwu itu terkejut. Menurut pengakuan Akuwu, ternyata
kedua anak muda itu adalah kemanakannya.
Sementara itu Akuwu pun berkata selanjutny a, "Saudarasaudaraku.
Sikapku selanjutny a bukan karena aku dipengaruhi
oleh hubunganku dengan kedua kemanakanku ini. Meskipun
mereka kemanakanku, tetapi jika mereka bersalah, maka
biarlah aku bertindak atasny a. Tetapi kedua kemanakanku ini
aku kenal dengan baik sifat dan wataknya. Karena itu aku
percaya kepadanya. Selebihnya, kedua adalah petugas yang
langsung dikirim oleh Sri Baginda di Kediri untuk
menenteramkan keadaan rakyatny a."
Sekali lagi orang-orang yang mendengar keterangan
Akuwu-itu terkejut bukan buatan. Bahkan Mahisa Murti dan
Mahisa Pukat sendiri terkejut. Mereka memang pernah
memangku tugas sebagai petugas sandi. Namun tugas itu tidak
lagi disangkanya. Tetapi Mahisa Murti dan Mahisa Pukat tidak
membantahnya. Dalam pada itu, maka Akuwu itu pun kemudian bertanya
kepada kedua anak muda itu, "jadi kau yang menangani
persoalannya?" "Hamba Akuwu," jawab keduanya hampir berbareng.
"Nah, sekarang ceriterakan, apa yang telah terjadi dan
apa pula yang sudah kau lakukan," bertanya Akuwu.
Ki Buyut dan Ki Bekel yang semula sudah
berpengharapan, telah menjadi sangat kecewa. Rasa-rasanya
bukan saja mereka kehilangan harapan, tetapi sudah terbayang
hukuman apa yang akan diterimanya.
Memang sepercik penyesalan telah mencengkam
jantungnya. Semula ia memang ingin pasrah kepada rakyatny a,
bahwa ia telah melakukan kesalahan. Kedudukannya sama
sekali tidak memberikan kebahagiaan kepadanya. Namun, pada
saat-saat mulai dibicarakan siapakah yang harus menjatuhkan
hukuman, Ki Buyut itu menjadi ngeri. Keinginannya untuk
menghindari hukuman itu telah timbul sehingga ia pun telah
berusaha untuk dapat menghadap Akuwu langsung, mengikuti
mereka yang datang ke Lemah Warah. Bahkan sebagaimana
yang dilakukan, bersama Ki Bekel ia ingin menyingkirkan
kedua anak muda itu. Tanpa mereka, maka Kabuyutan itu akan
dapat dikuasainya kembali.
Namun yang dijumpainya adalah satu kenyataan, Akuwu
tentu tidak akan mendengarkan keterangannya lagi.
Dalam pada itu, Mahisa Murti dan Mahisa Pukat telah
memberikan keterangan selengkapnya tentang peristiwa yang
terjadi di Kabuyutan itu. Tidak ada yang terlampaui.
Ketika kedua anak muda itu selesai memberikan
keterangan maka Akuwu Lemah Warah itu menganggukangguk.
Dengan nada rendah ia bertanya kepada Ki Buyut dan
Ki Bekel yang termangu-mangu, "Bagaimana pendapatmu Ki
Buyut dan Ki Bekel" Apakah kau masih mempunyai
keterangan lain?" Ki Buyut ternyata benar-benar telah pasrah. Dengan nada
lemah dan tidak bertenaga lagi ia pun menjawab, "Ampun
Akuwu. Hamba tidak akan mengelak. Sebenarnyalah bahwa
hamba memang sudah kehilangan minat untuk tetap
mempertahankan kedudukan hamba. Jika hamba masih
berusaha sebenarnyalah sekedar untuk menghindarkan diri dari
hukuman yang tentu akan sangat berat menimpa hamba,
apalagi jika hukuman itu dijatuhkan oleh Rakyat hamba
sendiri. Juga ingin melepaskan ayah hamba dari kemungkinan
yang paling buruk." Akuwu mengangguk-angguk. Sementara itu Mahisa
Murti- pun berkata, "Yang dikatakan oleh Ki Buyut itu benar
Akuwu. Ia memang tidak pernah merasa bahagia dengan
kedudukannya itu. Tetapi satu kekuasaan telah menekannya
untuk melakukannya. Karena itu, maka tidak adil sekiranya
kesalahan ini ditimpakan seluruhnya kepadanya. Menurut
pendapatku, justru Ki Bekel lebih banyak bertanggung jawab
tentang peristiwa yang terjadi di kabuyutan itu bersama dengan
kedua kakak kembarnya."
Ki Bekel pun tidak dapat membantah lagi. Rasa-rasanya
tali gantungan memang telah melingkar di lehernya. Tetapi
baginya memang lebih baik dihukum oleh Akuwu daripada
jatuh ke tangan orang-orang kabuyutannya sendiri.
Akuwu Lemah Warah mengangguk-angguk. Katanya
kepada Ki Bekel dan Ki Buyut, "Sekarang semuanya sudah
jelas. Untunglah bahwa kalian tinggal di wilayah Lemah
Warah. Bukan termasuk wilayah Sangling."
Ki Buyut termangu-mangu. Ia tidak mengerti maksud
kata-kata Akuwu dalam hubungannya dengan Pakuwon
Sangling. Namun Akuwu itu meneruskan, "Jika kau tinggal di
wilayah Sangling, maka kau akan mengalami akibat yang lebih
buruk, karena kedua anak muda ini adalah adik kandung
Akuwu Sangling." Ki Buyut menarik nafas dalam-dalam. Lengkaplah segala
macam kekecewaan, kecemasan dan kekagumannya kepada
kedua anak muda itu. Anak-anak muda yang menjadi petugas
sandi dari Kediri, kemanakan Akuwu Lemah Warah dan adik
kandung Akuwu Sangling yang langsung menangani persoalan
yang bergejolak di padukuhannya.
Keduanya bukan sekedar dua orang anak muda yang
senang melihat keributan terjadi. Tetapi ternyata keduanya
memang mempunyai beban tugas untuk melakukannya.
Meskipun Mahisa Murti dan Mahisa Pukat sendiri tidak merasa
melakukannya, karena yang mereka lakukan sama sekali tidak
berencana. Mereka telah melibatkan diri hanya karena mereka
melihat batas yang membagi sebuah padukuhan menjadi dua
bagian yang terpisah mutlak.
Dalam pada itu, maka Akuwu pun kemudian berkata,
"Baiklah. Justru karena Mahisa Murti dan Mahisa Pukat telah
menanganinya, maka ternyata aku tertarik untuk datang ke
Kabuyutan itu. Aku ingin menyelesaikannya sekali. Sampai
tuntas. Harus diangkat seorang Buyut yang baru atau
menempatkan kembali Buyut yang lama jika ia mampu
membuktikan dirinya tidak bersalah. Tetapi kedua anak Ki
Buyut yang terbunuh itu memang harus mendapat perhatian.
Karena itu, nampaknya Kabuyutan itu tidak dapat ditangani
tanpa mendekatinya."
Ki Buyut dan Ki Bekel benar-benar sudah kehilangan
harapan. Tetapi mereka memang tidak dapat berbuat apa-apa
lagi. Sang Akuwu Lemah Warah akan langsung menangani
Kabuyutan mereka dengan datang sendiri ke Kabuyutan itu.
Demikianlah maka Akuwu pun telah memerintahkan
kepada pimpinan Pengawal Khususnya untuk mempersiapkan
sekelompok pengawal yang akan mengikutinya besok.
Sementara itu, diperintahkannya untuk mengamati Ki Buyut
dan Ki Bekel yang telah ditempatkan di tempat yang khusus
pula. Mahisa Murti, Mahisa Pukat dan orang-orang yang
datang bersamanya telah bermalam satu malam di Lemah
Warah, sementara Akuwu melakukan persiapan-persiapan.
Akuwu telah berbicara dengan beberapa orang pemimpin
Lemah Warah tentang Kabuyutan yang kalut itu. Beberapa
orang yang beberapa waktu yang lalu ikut menangani
penempatan Ki Buyut yang ternyata telah menimbulkan
persoalan di Kabuyutan itu.
Dengan kesimpulan yang masak, maka dikeesokan
harinya Akuwu telah meninggalkan istananya bersama Mahisa
Murti, Mahisa Pukat, kakek tua serta Ki Bekel dan Ki Buyut
diiringi beberapa Pengawal Khusus Akuwu Lemah Warah.
Berkuda mereka menuju ke Kabuyutan yang sedang kalut itu.
Mereka menyadari, bahwa perjalanan mereka akan memakan
waktu panjang, sehingga mereka harus bermalam di perjalanan.
Tetapi mereka tidak mengalami kesulitan sesuatu.
Dengan pertanda kebesaran Akuwu Lemah Warah, maka jika
mereka singgah di manapun, mereka mendapat kehormatan
yang justru berlebihan. Dengan tergesa-gesa banjar-banjar
Kabuyutan dibersihkan dan dipersiapkan untuk menerima
Akuwu. Sementara itu, rumah Ki Buyut pun segera
dikosongkan, untuk memberikan tempat kepada Sang Akuwu
untuk beristirahat. Namun Akuwu Lemah Warah adalah seorang Akuwu
yang pernah menjadi pengembara. Bahkan selama menjadi
Akuwu- pun pernah juga ia menyamar dan berlaku sebagai
orang kebanyakan justru di dalam tugasnya.
Karena itu, maka Akuwu pun mampu menyesuaikan
dirinya di mana pun ia berhenti. Kadang-kadang Akuwu justru
beristirahat di pategalan, atau di mana pun yang dikehendaki.
Demikianlah, maka akhirnya perjalanan Akuwu pun
menjadi semakin dekat dengan tujuan. Sementara itu, Ki Buyut
dan Ki Bekel yang sebenarnya sudah berangsur baik itu, rasarasanya
justru menjadi semakin menderita.
Beberapa lama kemudian, maka iring-iringan itu telah
memasuki Kabuyutan yang sedang kalut itu. Orang-orang yang
melihat bahwa sebuah iring-iringan dengan pertanda Akuwu


03 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Lemah Warah, maka mereka pun menjadi terkejut. Ternyata
Akuwu sendiri telah datang ke Kabuyutan itu.
Seluruh Kabuyutan telah menyambut kedatangan
Akuwu. Ayah dan bibi Ki Buyut telah mendengar pula bahwa
Akuwu sendiri telah datang bersama Ki Buyut dan Ki Bekel.
"Apakah mereka berhasil?" bertanya ayah Ki Buyut itu
didalam hatinya, sebagaimana saudara kembar perempuannya.
Namun bahwa kedua anak muda itu ikut pula kembali,
telah menimbulkan persoalan di hati ayah Ki Buyut.
Di hari kedatangannya, Akuwu memang belum berbuat
sesuatu. Tetapi Akuwu minta di hari berikutnya semua orang
yang berkepentingan serta para bebahu Kabuyutan itu harus
berkumpul. Sementara itu, Mahisa Murti dan Mahisa Pukat telah
berusaha-agar Ki Buyut dan Ki Bekel tidak dapat menemui
ayah dan bibi Ki Buyut itu, karena pertemuan di antara mereka
akan dapat melahirkan persoalan-persoalan baru.
Ternyata usaha Mahisa Murti dan Mahisa Pukat yang
dibantu oleh kakek tua itu berhasil. Beberapa bebahu ternyata
sependapat, sehingga Ki Buyut tidak berhasil memasuki bilik
ayahnya apa pun alasannya. Demikian pula Ki Bekel. Bahkan
Ki Buyut dan Ki Bekel telah mendapat pengawasan yang
cukup ketat. Suasana di Kabuyutan itu telah berubah sama sekali.
Kehadiran Akuwu telah menata kembali tata nilai yang telah
dibangunkan oleh Ki Buyut atas dorongan ayah dan bibinya.
Kedatangan Mahisa Murti dan Mahisa Pukat telah
mengguncang kemantapan kedudukan Ki Buyut. Namun
kedatangan Akuwu telah merombak segala-galanya yang
berlaku selama Ki Buyut berkuasa.
Malam itu Akuwu telah bermalam di banjar Kabuyutan.
Beberapa bebahu yang sudah berumur senja, merasa malu
bahwa mereka tidak dapat memberikan tempat yang lebih baik.
Tetapi bermalam di banjar adalah jauh lebih baik daripada
berada di rumah Ki Buyut.
Demikian pula pasukan pengawal Akuwu pun telah
ditempatkan di serambi banjar. Meskipun agak berdesakan.
Tetapi para prajurit dari Pasukan Khusus pengawal Akuwu itu
sama sekali tidak berkeberatan. Apalagi Akuwu sendiri terbiasa
berada di segala tempat, sehingga mereka dapat bermalam di
mana pun juga dan di tempat yang bagaimanapun juga.
Apalagi Pasukan Khusus itu tidak semuanya akan tidur
bersama-sama. Di antara mereka ada yang harus bertugas
bergantian. Di antara mereka yang bertugas dan yang berada di
dalam bilik bersama kawan-kawannya yang beristirahat. Ada
yang di ruang dalam, di depan bilik Akuwu, tetapi ada pula
yang berada di halaman. Sebagai prajurit yang berpengalaman,
maka mereka dengan cepat menyesuaikan diri dengan arena
yang mereka hadapi. Malam itu tidak terjadi sesuatu di Kabuyutan. Mahisa
Mur-ti dan Mahisa Pukat berada di banjar sampai menjelang
tengah malam, saat Akuwu akan beristirahat. Namun mereka
Misteri Kapal Layar Pancawarna 20 Lintang Kemukus Dinihari Karya Ahmad Tohari Petualangan Disungai Ajaib 3

Cari Blog Ini