Ceritasilat Novel Online

Hijaunya Lembah Hijaunya 15

03 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja Bagian 15


Ketiga anak muda itu pun kemudian telah menemui Ki
Bekel. Anak muda yang meny ertai Mahisa Murti dan Mahisa
Pukat itu kurang tahu apa y ang akan dilakukan oleh keduanya.
Namun ternyata Mahisa Murti dan Mahisa Pukat m inta
agar jika mereka akan mulai lagi mencari harta karun itu, dua
atau tiga orang mencari bersamanya.
"Baik," berkata Ki Bekel.
"Kami minta bersama Ki Bekel pula," desis Mahisa
Murti. Ki Bekel yang melihat kesungguhan pada anak-anak
muda itu berpikir sejenak. Namun kemudian ia pun
mengangguk sambil menjawab, "Baiklah. Kita akan pergi
bersama-sama." Demikianlah setelah beristirahat, Ki Bekel telah
mengajak tiga orang bersamanya dengan m embawa alat-alat
yang cukup. Ber sama Mahisa Murti, Mahisa Pukat, anak muda y ang
menyertainya serta Ki Bekel sendiri, m ereka telah m engenali
tanah pada jarak antara kedua batu raksasa itu.
Tanah itu memang berpadas. Namun ketika Mahisa
Murti y ang kebetulan menggali di tengah mengayunkan
dandangnya beberapa kali, maka ditemuinya padas yang telah
menjadi gembur. Dengan isy arat maka ia telah m emanggil Mahisa Pukat
dan bersama-sama keduanya telah menggali di tempat itu.
Sebenarnyalah bahwa mereka telah menggali pada batubatu
padas yang lebih lunak dari batu-batu padas di
sekitarnya. Agaknya batu padas di tempat itu memang pernah
digali sebelumnya. "Ki Bekel," desis Mahisa Murti, "mudah-mudahan kita
berhasil di sini." Ki Bekel mendekati kedua anak muda itu. Ia pun
kemudian berpengharapan bahwa sesuatu akan dapat
diketemukan sehingga dengan demikian maka kegelisahan
orang tentang harta karun itu akan berakhir.
Mahisa Murti, Mahisa Pukat dan Ki Bekel pun kemudian
telah bekerja semakin keras. Anak muda y ang meny ertai
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat itu pun telah membantunya.
Demikian pula orang-orang y ang telah dibawa oleh Ki Bekel
telah menggali di tempat yang lingkungannya semakin sempit.
Ternyata bahwa usaha mereka akhirnya berhasil. Namun
yang mereka ketemukan memang tidak seperti yang
digambarkan oleh banyak orang. Ki Bekel memang
menemukan sebuah peti. Tetapi peti itu tidak terlalu besar.
Panjang dan lebarnya tidak lebih dari dua jengkal, sementara
dalamnya pun hanya sekitar satu jengkal saja.
Apalagi ketika peti itu diangkat, ternyata peti itu terlalu
ringan. Namun demikian peti itu diketemukan, maka telah
terdengar beberapa orang berteriak. Yang lain pun menjadi
ribut, sehingga akhirnya terdengar orang-orang Kabuyutan
yang ikut berada di sekitar tikungan sungai untuk m enggali
harta karun serta para pengawal y ang berjaga-jaga itu
bersorak bagaikan akan meruntuhkan langit.
Tetapi ketika suara mereka telah mereda, maka Ki Buyut
lah y ang berbicara lantang sambil berdiri diatas salah satu
batu raksasa itu, "Kita telah m enemukan sebuah peti. Tentu
peti ini tidak sebagaimana kita duga. Peti ini terlalu kecil
untuk meny impan harta karun sebagaimana kita inginkan.
Harta karun itu hendaknya ditempatkan dalam sebuah peti
sebesar perahu. Tetapi inilah yang telah kita ketemukan."
Orang-orang Kabuyutan yang bersorak gemuruh itu pun
telah termangu-mangu. "Saudara-saudaraku," berkata Ki Buyut itu pula, "aku
tidak ingin meny embunyikan sesuatu dihadapan kalian.
Karena itu, m aka peti ini akan aku buka. Kalian akan dapat
melihat, apakah isinya."
Suasana pun menjadi tegang. Ki Buyut y ang berdiri
diatas batu itu perlahan-lahan telah membuka peti y ang terasa
terlalu ringan. Bahkan di beberapa bagian peti itu telah mulai
lapuk. Ketika peti itu terbuka, maka wajah Ki Buyut pun telah
menegang sejenak. Namun kemudian kesan kecewa di
wajahnya itu pun telah hilang. Sejak semula Ki Buyut memang
tidak m emburu harta benda y ang banyak sekali sebagaimana
dimimpikan orang. Bahkan telah terjadi pembunuhan justru
karena harta karun itu. Dan k ini harta karun itu telah ada di
tangannya. Di bagian dalam peti itu memang dilapisi lempeng baja
yang tipis, sehingga karena itu, maka peti masih tetap terasa
ringan. Apalagi peti itu m emang tidak berisi apa pun kecuali
sebuah kitab. Orang-orang Kabuyutan itu memang merasa kecewa.
Meskipun mereka belum pernah merasa memiliki, namun
tiba -tiba saja mereka merasa seakan-akan mereka telah
kehilangan. Tetapi Ki Buyut itu pun berkata, "Pantaslah bahwa harta
karun itu sangat dirahasiakan. Nilai dari isinya memang tidak
dapat ditukar. Kitab ini tentu kitab y ang sangat berarti."
Orang-orang y ang mendengar penjela san Ki Buyut itu
menjadi bingung. Mereka tidak mengerti nilai dari kitab yang
diketemukan oleh Ki Buyut itu. Bahkan mereka sama sekali
tidak mengerti nilai dari sebuah kitab.
Namun Ki Buyut itu berkata, "Saudara-saudaraku. Jika
kita menemukan harta benda, maka harta benda itu pada
suatu saat akan habis. Dan jika harta benda itu habis, m aka
habislah semuanya. Tidak akan ada bekasny a lagi. Tetapi isi
kitab ini tidak akan dapat habis jika kita tahu
memanfaatkannya." Sejenak Ki Buyut telah m elihat-lihat isi kitab itu. Tentu
sa ja ia tidak dapat membaca keseluruhannya. Apalagi kitab
yang sudah tua itu sudah menjadi sangat mudah rusak.
Sejenak kemudian maka berkatalah Ki Buyut, "Kitab ini
berisi pengetahuan tentang ilmu bintang, tentang ilmu bertani,
tentang ilmu berternak dan tentang mantra-mantra
pengobatan serta jenis dedaunan, akar-akaran dan buahbuahan
y ang dapat dipergunakan sebagai obat. Beberapa
pengetahuan y ang lain y ang berhubungan dengan
pengetahuan kewadagan dan kejiwan."
Ki Buyut itu berhenti sejenak, lalu, "berbahagialah k ita
yang mendapatkan kitab ini. Kita akan dapat mempergunakan
ilmu yang akan kita dapat dari kitab ini untuk membangun
Kabuyutan kita." Orang-orang Kabuyutan itu masih saja termangumangu.
Sementara Ki Buyut berbicara selanjutnya, "Nah,
marilah kita syukuri penemuan ini. Bahkan kita telah
menemukan ilmu y ang lebih berharga dari harta benda." Ki
Buyut itu pun terdiam. Namun kemudian katanya, "Tetapi di bagian kedua ini,
yang kitabnya lebih tipis, isiny a agak berbeda. Isinya adalah
tentang olah kanuragan dan jay a kasantikan. Kitab itu berisi
pengetahuan tentang ilmu yang berhubungan dengan
kemampuan dan kekuatan seseorang. Karena kita tidak sendiri
menemukan harta karun ini, maka kita pun harus bertindak
adil. Buku kedua akan kita serahkan kepada anak-anak muda
yang telah menemukan tempat harta karun ini
disembuny ikan. Karena mereka adalah anak-anak muda yang
sedang pengembara untuk m enemukan kepribadian mereka
serta pengalaman yang akan dipergunakan bagi bekal
hidupnya, maka ilmu kanuragan dan jay a kasantikan akan
lebih berarti dari pengetahuan tentang bercocok tanam,
tentang perbintangan dan lain-lain. Karena itu, maka kitab
kedua ini akan aku serahkan kepada mereka."
Ketiga anak muda itu termangu-mangu. Bagi mereka
kedua kitab itu sangat penting isiny a. Tetapi mereka tidak
ingin membuat Ki Buyut kecewa. Karena itu, maka mereka
sama sekali tidak akan m emilih. Kitab y ang m ana pun yang
akan diberikan kepada mereka akan dapat dimanfaatkan
sebaik-baiknya. Demikianlah, maka Ki Buyut pun kemudian berkata,
"Saudara -saudaraku. Dengan penemuan yang sangat berharga
ini, maka kita harus mengakhiri kegelisahan rakyat Kabuyutan
ini karena desas-desus tentang harta karun itu. Yang ternyata
memang ada dan sudah kita ketemukan."
Orang-orang Kabuyutan itu mengangguk-angguk. Tetapi
sebagian dari mereka tidak dapat mengerti sepenuhnya
keterangan Ki Buyut. Bagi mereka, harta karun y ang berwujud
harta benda berharga atau uang tentu lebih berarti daripada
hanya sebuah kitab apa pun isinya. Namun sebagian dari
mereka memang dapat mengerti bahwa ilmu itu nilainya lebih
tinggi dari harta benda y ang berapa pun harganya.
Dalam pada itu, m aka Ki Buyut pun telah bersiap-siap
untuk kembali ke Kabuyutan serta memerintahkan para
bebahunya untuk membubarkan kesibukan di tikungan sungai
itu. Yang terakhir Ki Buyut berkata, "Aku mengucapkan
terima kasih atas bantuan kalian."
Demikianlah, sepeninggal Ki Buyut membawa peti berisi
kitab itu, maka orang-orang yang ada di tikungan sungai pun
berkemas untuk kembali ke rumah masing -masing. Mereka
yang membawa alat-alat pun segera dikemasinya.
Beberapa orang masih saja memperbincangkan harta
karun itu. Namun seorang di antara para bebahu yang dapat
memahami keterangan Ki Buyut itu pun berkata, "betapa pun
banyaknya harta karun itu, m aka jika dibagi seluruh rakyat
Kabuyutan ini, maka setiap orang akan menerima bagiannya
yang terbatas. Barangkali dalam satu dua tahun kita dapat
hidup dengan baik. Tetapi harta benda itu akan semakin susut
sehingga akhirnya kita akan kembali jatuh miskin seperti
sekarang. Tetapi jika kita mendapatkan ilmu y ang bermanfaat
bagi peningkatan kehidupan kita, maka ilmu itu justru akan
berkembang. Anak cucu kita akan dapat memanfaatkan ilmu
itu. Terutama ilmu bercocok tanah dan ilmu beternak. Dengan
demikian maka kita akan mampu meningkatkan kesejahteraan
hidup justru semakin lama semakin tinggi."
Beberapa orang memang mampu memahami keterangan
itu. Tetapi yang lain tetap tidak dapat menangkap maksudnya.
Tetapi tidak seorang pun y ang menyatakan kekecewaannya
itu. Ki Buyut yang kembali ke Kabuyutan itu ternyata telah
mengajak ketiga anak muda yang telah ikut membantu
menemukan peti yang berisi dua buah kitab itu. Ki Buyut
ternyata telah memperhitungkan beberapa hal yang tidak
sesederhana sebagaimana y ang dikatakannya dihadapan
orang-orangnya. Ketika mereka sudah berada di Kabuyutan dan duduk di
ruang dalam, maka Ki Buyut telah berbincang dengan ketiga
anak muda itu serta beberapa orang bebahu y ang paling
dipercaya. "Kita tahu, bahwa persoalan kitab itu bukan persoalan
sederhana y ang begitu saja selesai," berkata Ki Buyut.
Ketiga anak muda itu mengangguk-angguk. Mahisa
Murti- pun kemudian berkata, "Harta karun itu akan dapat
menjadi rebutan." Sejenak kemudian, ruang itu sudah dicengkam oleh
ketegangan. Ternyata mereka mulai memikirkan
kemungkinan-kemungkinan lain y ang dapat terjadi.
" Jika kitab itu demikian dirahasiakan, maka tentu ada
sebab-sebabnya," berkata Mahisa Pukat pula, "karena itu,
maka harus diperhitungkan kemungkinan-kemungkinan yang
dapat terjadi itu." Ki Buyut mengangguk-angguk. Dengan nada rendah ia
berkata, "Itulah yang kami cemaskan kemudian. Orang-orang
yang pernah merusak padepokan kecil itu, tentu akan
mendengar dan memburu harta karun y ang m ereka inginkan
itu. Bahkan mereka telah membunuh pula. Apakah orangorang
yang demikian itu tidak akan melakukannya pula atas
Kabuyutan ini?" Mahisa Murti dan Mahisa Pukat termangu-mangu.
Menilik ceritera y ang didengarnya, maka ada sekelompok
orang yang memang memburu harta karun itu, yang
barangkali m ereka memang sudah mengetahui bahwa isi dari
harta karun itu adalah kitab yang sangat berharga.
"Apakah Ki Buyut tidak berkeberatan jika aku melihat
kitab-kitab itu?" bertanya Mahisa Murti.
"Tentu tidak. Silahkan," berkata Ki Buyut sambil
menyerahkan kedua kitab itu.
Sebenarnyalah, sebuah dari kitab itu berisi pengetahuan
tentang berbagai ilmu. Ilmu perbintangan, Ilmu bercocok
tanam dan beberapa macam ilmu yang lain. Bahkan meskipun
tidak terlalu mendalam berisi juga ilmu tentang kesusastraan.
Sedangkan kitab y ang lain memang membuat Mahisa Murti
berdebar-debar. Demikian pula Mahisa Pukat yang kemudian
mengamati isi kitab itu. Kitab itu m emang berisi beberapa jeni s ilmu kanuragan
jay a kasantikan. Pengetahuan tentang tubuh dan bagianbagian
dari tubuh. Jalur-jalur urat dan nadi. Simpul-simpul
pada benang syaraf di seluruh tubuh. Serta bagian-bagian yang
paling lemah pada manusia pada tingkatan-tingkatannya.
Pa da bagian pertama dari kitab itu m emuat bagaimana
seseorang mampu menguasai tubuhnya sendiri secara mutlak.
Mengenali isy arat perasaan dan nalurinya.
"Kedua kitab ini memang sangat berharga," berkata
Mahisa Murti. "Ya," berkata Ki Buyut, "bukankah hal itu dapat
membuat kami di sini selalu cemas."
"Tetapi menurut perhitunganku, y ang diburu oleh
orang-orang itu tentu kitab yang kedua," berkata Mahisa
Murti, "bukan berarti bahwa kitab yang pertama tidak penting.
Tetapi nampaknya bagian kedua itu dianggap lebih berarti
bagi kehidupan orang-orang yang terbia sa mengembara dan
bertualang. Sedangkan kitab y ang pertama tentu lebih b erarti
bagi mereka yang menetap dan memiliki lingkungan
kehidupan seperti di Kabuyutan ini."
Ki Buyut pun mengangguk-angguk. Katanya, "Aku juga
berpikir demikian. Karena itu, maka dihadapan banyak orang
aku berkata bahwa buku kedua itu aku serahkan kepada
kalian. Aku minta maaf. Mudah-mudahan kalian tidak
berkeberatan."

03 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Mahisa Murti dan Mahisa Pukat m engangguk-angguk.
Dengan nada rendah Mahisa Murti berkata, "Kami mengerti
Ki Buyut. Kami tidak berkeberatan sama sekali. Biarlah orang
yang memburu kitab kedua itu mengejar kami. Tetapi
bagaimana jika m ereka datang kepada Ki Buyut justru karena
mereka menginginkan kitab pertama?"
"Kami tidak akan berkeberatan. Jika kami bertahan
yang terjadi tentu hanya kerusakan," jawab Ki Buyut.
"Mudah-mudahan sepeninggalku tidak terjadi sesuatu
di Kabuyutan ini," jawab Mahisa Murti.
"Kami tidak akan b ertanya kemana kalian akan pergi,"
berkata Ki Buyut, "dengan demikian maka kami tidak akan
dapat menjawab setiap pertanyaan tentang kalian."
Mahisa Murti tersenyum. Katanya, "Ki Buyut benar.
Sebaiknya Ki Buyut tidak bertanya kemana kami akan pergi."
"Tetapi berhati-hatilah anak muda. Aku mempunyai
dugaan bahwa persoalannya tidak semudah y ang kita duga.
Jika orang-orang yang m emburu kitab-kitab itu pada suatu
saat menemukan kalian, maka itu bukan salah kami."
"Aku tahu bahwa Ki Buyut tidak akan berbuat seperti
itu," berkata Mahisa Murti, "tetapi bahwa setiap orang di
padukuhan ini akan berbicara tentang kitab-kitab itu, m aka
orang-orang yang memburu harta benda terutama kitab itu
pun tentu akan percaya bahwa akulah y ang m embawa kitab
kedua." Demikianlah maka Mahisa Murti dan Mahisa Pukat
serta anak muda y ang m enyertainya itu pun kemudian telah
mohon diri. Ketiga anak muda itu menolak pemberian apa pun
juga dari Ki Buyut, karena sebenarnya ketiganya telah
membawa bekal uang cukup.
Namun sebagaimana dipesan oleh Ki Buyut, maka
mereka memang harus berhati-hati. Orang-orang yang
memburu kitab itu tentu mempunyai seribu telinga dan seribu
mata. Apa pun caranya, mereka memang mungkin pada suatu
saat menemukan mereka bertiga.
Beberapa saat k emudian, setelah hidangan bagi mereka
yang terakhir disuguhkan, maka mereka pun meninggalkan
Kabuyutan itu menuju ke arah yang tidak diketahui oleh
semua orang di Kabuyutan itu.
Meskipun dengan cara itu, perjalanan ketiganya tidak
akan ditemukan, setidak-tidaknya untuk waktu y ang lama,
namun ketiganya tetap berhati-hati menghadapi setiap
kemungkinan y ang barangkali tidak terduga -duga.
Tidak mustahil bahwa tiba-tiba saja mereka berhadapan
dengan orang-orang yang menghendaki merampas kitab itu.
Tetapi Mahisa Murti dan Mahisa Pukat memang
berharap, seandainya mereka harus berhadapan dengan
sekelompok orang y ang mengejar kitab itu, mereka sudah
meningkatkan kemampuan anak muda y ang mengikutinya itu.
Demikianlah mereka mempergunakan sisa hari itu untuk
berjalan. Tetapi m ereka memang tidak dapat m encapai jarak
yang terlalu jauh, karena beberapa saat kemudian senja telah
turun. " Dimana kita bermalam?" bertanya Mahisa Pukat, "di
banjar atau di tempat terbuka?"
Anak muda y ang meny ertainya itu tidak berkata sesuatu.
Ia menyerahkan saja kepada Mahisa Murti dan Mahisa Pukat,
karena keduanya tentu memiliki pengenalan y ang lebih dalam.
Sementara itu, ia sendiri tidak lagi terlalu terpengaruh oleh
tempat bermalam. Ia sudah mulai terbia sa tidur di tempat
terbuka. Ternyata Mahisa Murti dan Mahisa Pukat memang
memilih bermalam di tempat terbuka. Mereka masih ingin
menghindar dari kemungkinan bertemu dengan orang-orang
yang memburu kitab itu. Jika orang-orang itu mendengar dari
orang-orang Kabuyutan bahwa kitab itu ada pada mereka,
maka sekelompok orang y ang m emburu kitab itu tentu akan
mencari mereka. Ternyata malam itu ketiga anak muda itu justru sempat
beristirahat. Mahisa Murti dan Mahisa Pukat, seperti biasa
harus tidur bergantian. Namun rasa -rasanya mereka dapat
tidur dengan puas tanpa terusik.
Anak muda yang meny ertainya itu pun sempat tidur
pulas pula. Ia tidak lagi merasa terganggu oleh dinginnya
udara atau embun y ang menitik. Dengan kemauan yang besar
ia berusaha untuk dapat meny esuaikan cara hidupnya dengan
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat yang mengembara itu.
Ketika matahari kemudian terbit, setelah berbenah diri
di-sebuah parit yang berair bening, maka m ereka pun telah
melanjutkan perjalanan. Mereka telah memilih jalan yang
berkelok-kelok, mempunyai banyak simpangan dan
kemungkinan. Sambil, berjalan, Mahisa Murti sempat serba sedikit
mengamati isi kitab y ang dibawanya itu. Ia telah membaca
bagian-bagian depan dengan sekila s.
Namun dalam sekilas itu, ia dapat m engetahui, bahwa
kitab itu memang kitab y ang sangat berharga bagi seseorang
yang memang ingin mempelajari olah kanuragan.
Pa da bagian pertama dari kitab itu, tercantum petunjukpetunjuk
yang bersifat umum. Bagian pertama masih belum
memasuki unsur-unsur y ang khusus dari satu aliran didalam
olah kanuragan sehingga dapat dipergunakan oleh siapapun.
Sedangkan untuk melihat-lihat bagian berikutnya Mahisa
Murti memerlukan waktu y ang khusus.
Tetapi Mahisa Murti tidak ingin menunjukkan kitab itu
kepada orang lain sehingga ia pun cukup berhati-hati. Ia tidak
melihat isi kitab itu di sembarang tempat, karena dengan
demikian tentu akan dapat menarik perhatian. Apalagi jika
seseorang dapat m engenali bahwa kitab itu adalah kitab yang
memuat pengetahuan dan ilmu tentang kanuragan.
Namun dalam pada itu, Mahisa Murti itu pun berkata
kepada anak muda yang mengikutinya, "Kau akan mendapat
alas y ang dapat kau pelajari sendiri dari kitab ini."
"Apakah bermanfaat bagiku?" bertanya anak muda itu.
"Tentu. Pada bagian pertama dari kitab ini, dapat
dipergunakan oleh siapa pun dan dari aliran yang manapun,
karena belum memuat kekhususan. Sementara menurut
pendapatku, dapat dipergunakan oleh setiap orang termasuk
kau. Namun pada satu kesempatan aku ingin mempelajarinya
lebih mendalam, karena kadang-kadang tuntunan olah
kanuragan yang kurang baik justru akan berpengaruh sangat
buruk." "Namun menilik bahwa kitab itu menjadi rebutan, maka
isiny a tentu sangat berharga," berkata Mahisa Pukat.
"Agaknya memang demikian," berkata Mahisa Murti,
"jika kita sudah berjalan cukup jauh, maka kita akan
mempelajari isi kitab ini dengan sungguh-sungguh."
Mahisa Pukat m engangguk-angguk. Katanya, "Mungkin
ada y ang dapat kita serap dan dapat kita m anfaatkan untuk
melengkapi ilmu kita sendiri.
"Mungkin sekali," jawab Mahisa Murti, "namun sudah
barang tentu harus kita saring melalui tahap-tahap yang
sangat teliti." Mahisa Pukat tidak menjawab. Tetapi ia masih
mengangguk-angguk kecil. Sementara itu, maka mereka bertiga pun telah menjalani
jarak yang semakin jauh. Ketika mereka melewati sebuah
kedai, maka mereka bertiga telah singgah untuk m inum dan
makan. Tetapi ketiga orang anak muda itu terkejut, ketika
beberapa orang didalam kedai itu meny ebut-ny ebut peri stiwa
yang terjadi di Kabuyutan yang baru saja mereka tinggalkan.
" Jadi harta karun itu ternyata tidak ada?" bertanya y ang
seorang. "Tidak. Harta karun itu tidak ada. Yang diketemukan
oleh Ki Buyut hanya dua buah kitab." sahut kawannya.
Tiba-tiba saja yang lain bertanya, "Darimana kalian
dengar ceritera itu?"
"Semua orang memperbincangkannya," jawab y ang
pertama, "peristiwa itu disak sikan oleh hampir semua orang
Kabuyutan. Jika kau tidak percaya, pergilah k e pa sar. Ma sih
banyak orang yang membicarakannya."
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat saling berpandangan
sejenak. Ternyata mereka belum berjalan cukup jauh dari
tempat kejadian itu. Bahkan perjalanan ketiga anak muda itu ternyata masih
belum keluar dari lingkaran pembicaraan tentang harta karun
di tikungan sungai itu. Berita tentang harta karun itu justru
telah menjalar mendahului perjalanan mereka.
Demikianlah ketika mereka bertiga keluar dari kedai itu,
maka mereka memutuskan untuk berjalan semakin jauh.
Sebagai pengembara, m aka Mahisa Murti dan Mahisa Pukat
sama sekali tidak takut tersesat. Mereka pada suatu saat yang
diinginkan tentu akan dapat kembali ke tempat yang m ereka
kehendaki. Ke padepokan mereka y ang telah terlalu lama
mereka tinggalkan. Sehari itu, mereka bertiga ternyata berjalan cukup jauh.
Mereka hanya berhenti untuk makan di kedai. Kemudian
berjalan lagi menyusuri jalan-jalan y ang belum pernah mereka
lalui. Namun setiap kali Mahisa Murti dan Mahisa Pukat
bertanya kepada seseorang, puncak-puncak Gunung yang
nampak dari tempat mereka berjalan, maka mereka pun
segera mengetahui, arah manakah y ang harus mereka tempuh
jika mereka ingin kembali ke padepokan.
Malam berikutnya, mereka pun bermalam di tempat
terbuka. Mereka masih belum berniat bermalam di banjarbanjar
padukuhan, karena mereka tidak mau dikenali oleh
orang-orang y ang mungkin mencari tiga orang pengembara
yang m embawa kitab y ang ditemukan sebagai harta karun di
tikungan sebuah sungai. Sementara itu, y ang ditinggalkan, Ki Buyut dan bebahu
Kabuyutan yang lain, benar -benar telah didatangi oleh orangorang
y ang tidak m ereka kenal. Berita tentang ditemukannya
kitab itu demikian cepatnya sampai ke telinga orang-orang
yang memang sedang memburu kitab itu.
Tetapi ketajaman penglihatan Ki Buyut serta Mahisa
Murti dan Mahisa Pukat, ternyata telah meny elamatkan
Kabuyutan itu. Lima orang yang garang telah datang kepada Ki Buyut
untuk mendapat keterangan tentang kitab-kitab yang
diketemukannya. "Kita menemukan dua buah kitab Ki Sanak," berkata Ki
Buyut. Lalu "Karena ada beberapa orang anak muda yang
membantu kami menemukan kitab-kitab itu, maka penemuan
kami telah kami bagi dua. Aku memilih kitab y ang sangat
berguna bagi Kabuyutan ini. Kitab yang berisi antara lain ilmu
bercocok tanam." "Kau memang dungu Ki Buyut," geram salah seorang
dari kelima orang itu, "buat apa k itab yang sama sekali tidak
bernilai itu" Seharusny a Ki Buyut mengambil kedua -duanya.
Atau justru mengambil kitab yang berisi ilmu kanuragan.
Kitab itu adalah kitab yang sangat berguna."
Ki Buyut termangu-mangu. Katanya, "Aku dan seisi
Kabuyutan ini tidak memerlukannya. Menurut pikiran kami
waktu itu, kami tidak akan pernah mempergunakan kitab itu.
Tetapi pengetahuan tentang bercocok tanam akan sangat
berarti bagi kami." Kelima orang itu memang harus mempercayainya. Ki
Buyut y ang cerdik itu telah membagi penemuannya di
hadapan orang banyak, sehingga setiap orang pun kemudian
tahu, bahwa Ki Buyut memang hanya mengambil satu di
antara kedua kitab yang ditemukannya.
Dalam pada itu kelima orang itu pun kemudian
bertanya, "Ke mana perginya ketiga orang anak muda itu Ki
Buyut?" Ki Buyut menggeleng. Katanya, "Mereka adalah
pengembara. Tidak seorang pun yang tahu ke mana mereka
pergi. Mereka meninggalkan padukuhan ini ke arah Barat.
Namun untuk selanjutnya kami tidak tahu ke m ana mereka
melanjutkan perjalanan mereka."
Kelima orang itu mengangguk-angguk. Mereka tidak
dapat menolak keterangan Ki Buyut itu. Semua orang juga
mengatakan sebagaimana dikatakan oleh Ki Buyut itu.
Namun k elima orang itu sama sekali tidak memerlukan
kitab y ang ada di tangan Ki Buyut, y ang telah ditunjukkan
kepada mereka. Yang mereka perlukan adalah kitab yang satu
lagi. Yang berisi ilmu kanuragan yang sangat mereka
perlukan. Jika mereka berhasil m endapatkan kitab itu, maka
mereka tentu akan menjadi kelompok y ang ditakuti oleh
kelompok-kelompok dan padepokan-padepokan yang mana
pun juga. Tetapi kitab itu telah jatuh ke tangan tiga orang
pengembara. " Jika ketiga orang itu tahu benar akan arti kitab itu,
mungkin mereka akan menjadi orang y ang memiliki ilmu yang
sangat tinggi," berkata salah seorang dari kelima orang itu.
Namun Ki Buyut berkata, "Tetapi nampaknya mereka
bukan anak-anak muda yang cerdas. Tanpa tuntunan apakah
mereka kira-kira dapat mempelajari isi kitab itu?"
"Bagi mereka yang pernah m engenali ilmu kanuragan,
maka m ereka akan dapat berlatih tanpa guru. Tetapi m ereka
yang belum mengenalinya sama sekali, serta berotak tumpul,
maka mereka memang memerlukan seorang yang harus
memberikan beberapa petunjuk. Tetapi anak-anak muda yang
sudah berani mengembara itu, tentu sudah memiliki bekal
betapa pun kecilnya," jawab salah seorang dari kelima orang
itu. Namun orang-orang itu kemudian telah m eninggalkan
Ki Buyut serta kitab y ang berisi ilmu bercocok tanam serta
beberapa ilmu yang lain itu. Karena bagi mereka ilmu-ilmu
semacam itu tidak akan berarti sama sekali. Yang mereka cari
adalah ilmu y ang berarti bagi mereka serta berhubungan
dengan pekerjaan mereka. "Kita harus menemukan ketiga orang anak m uda itu,"
berkata pemimpin dari kelima orang itu.
"Tetapi ke mana kita harus mencari mereka?" desis
salah seorang kawannya. "Kita dapat bertanya di sepanjang jalan. Mungkin di
kedai-kedai atau di manapun. Mungkin mereka melihat arah


03 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

perjalanan tiga orang anak m uda. Kita tidak akan berhenti
mencari sampai kita menemukan kitab yang sangat kita
perlukan itu," jawab pemimpinnya.
Tetapi ketiga anak muda y ang membawa kitab y ang
mereka inginkan itu sudah jauh. Bagi orang-orang yang
memburu kitab itu, akan banyak menjumpai kesulitan untuk
dapat menemukan mereka. Meskipun demikian Mahisa Murti
dan Mahisa Pukat tidak menjadi lengah. Mereka menyadari,
betapa bersungguh-sungguh orang -orang itu berusaha,
sehingga yang sudah memencilkan diri pun dapat
diketemukannya. Namun dalam pada itu, ketika mereka sudah merasa
cukup jauh dari Kabuyutan y ang mereka tinggalkan, maka
mulailah Mahisa Murti dan Mahisa Pukat mempelajari isi
kitab yang mereka ketemukan itu. Di siang hari, kadangkadang
mereka lebih banyak berhenti di tempat yang terasing
untuk mendapat kesempatan mempelajari isi kitab itu dengan
tenang. Meskipun demikian, m ereka bertiga m asih juga selalu
berusaha untuk berjalan semakin jauh dari Kabuyutan itu.
Karena itulah, maka Mahisa Murti dan Mahisa Pukat telah
menghabiskan waktu mereka sehari-hari untuk m empelajari
isi kitab itu dan berjalan menyusuri jalan-jalan yang sangat
panjang. Tetapi akhirnya Mahisa Murti dan Mahisa Pukat pun
telah m endapatkan kesimpulan dari isi kitab itu. Pada bagian
pertama, memang tidak ada keberatannya bagi anak muda
yang menyertai mereka untuk m empelajarinya. Pada bagian
pertama memang terdapat pengetahuan dasar olah kanuragan.
" Jika kau mampu menyadap isi dari bagian pertama,
maka kau sudah memiliki bekal yang cukup bagiku untuk
menjelajahi dunia olah kanuragan. Untuk bagian kedua, kau
masih harus mempersiapkan dirimu baik-baik. Bagian kedua
sudah memuat unsur-unsur y ang rumit dan merupakan dasar
dari satu aliran tertentu dalam olah kanuragan. Sedangkan
bagian ketiga dari isi kitab itu adalah inti kekuatan dan
kemampuan dari satu aliran olah kanuragan y ang cukup
berbobot. Namun masih berdasarkan pada kekuatan
kewadagan termasuk ungkapan kekuatan cadangan. Namun
jika kau m ampu m enguasai bagian ini, maka kau bukan lagi
kau sekarang. Orang -orang y ang memburu kitab ini pun tidak
akan mampu merebutnya dari tanganmu," berkata Mahisa
Pukat. "Tetapi, apakah kitab itu juga berarti bagimu?" bertanya
anak muda itu. "Sampai pada bagian ketiga, ilmu y ang tersirat pada
kitab ini masih belum lebih tinggi dari ilmu y ang telah kami
pelajari dan kami kuasai," jawab Mahisa Murti. Lalu "Aku
tidak bermaksud meny ombongkan diri. Tetapi karena kau
sekarang sudah menjadi bagian dari kita sekelompok kecil ini,
maka aku ingin berkata berterus terang. Sementara itu, masih
ada bagian keempat dari kitab ini. Kami belum dapat
membuat perbandingan, karena menurut pengamatan kami,
bagian keempat memang sudah merambah ke kedalaman
kekuatan inti dari kekuatan yang ada pada diri kita, sedangkan
bagian kelima adalah petunjuk bahwa diri kita adalah bagian
dari alam y ang besar. Dan betapa alam y ang besar ini telah
terjadi. Sehingga akhirnya, semuanya akan m enguncup pada
sumber dari segala sumber. Yang Maha Pencipta."
Anak muda y ang menyertai Mahisa Murti dan Mahisa
Pukat itu mengangguk-angguk. Ia mengerti urutan yang
dikatakan oleh Mahisa Murti itu. Dan ia pun mengerti pula
ketika Mahisa Murti berkata, "Dengan demikian, maka
seseorang harus m empelajari isi kitab ini dengan tuntas. Jika
seseorang mempelajarinya dan terputus pada bagian pertama,
kedua, ketiga bahkan keempat, maka ia tidak akan sampai
kepada tahap pencapaian alas hidupnya yang justru paling
mendasar. Karena itu, m aka aku masih menganggap bahwa
penulis kitab ini adalah seorang yang lebih mementingkan
kemampuan ilmu kanuragan daripada sumber keberadaannya.
Seharusnya, justru pada permulaan penulisan ilmu kanuragan,
seseorang harus sudah mendasari langkah-langkahnya pada
dasar keberadaannya."
Anak muda itu m engangguk-angguk, sementara Mahisa
Pukat berkata, "beruntunglah kau, bahwa kami sempat
mendampingimu di saat kau mendapatkan satu kitab
tuntunan. Tetapi kami m asih harus memperingatkan bahwa
yang sebaiknya kau pelajari untuk tahap pertama adalah
bagian pertama. Kami akan menentukan kemudian, apakah
kau akan mempelajari bagian k edua atau kamilah yang akan
menuntunmu memasuki kemampuan olah kanuragan sesuai
dengan jalur kami sendiri. Karena seperti y ang sudah kami
katakan, bahwa sampai pada tahap ketiga, kami belum melihat
kelebihan dari ilmu y ang tertulis di kitab ini. Sementara
bagian keempatnya kami kira juga tidak akan lebih tinggi dari
puncak perkembangan ilmu kami, y ang masih harus kami
capai bagian terakhirnya. Sedangkan bagian kelima,
merupakan sandaran hidup kami justru pada segala tahap
kehidupan." Anak muda itu masih mengangguk-angguk.
Mahisa Murti lah y ang kemudian berkata, "Nah, kami
akan m eny erahkan kitab ini kepadamu. Sebenarnya dengan
atau tidak dengan kitab ini, kau akan dapat mencapai tataran
pertama. Tetapi dengan kitab ini, kau akan dapat berlatih
dengan tuntunan y ang terperinci, sehingga segalanya akan
berlangsung lebih cepat."
Anak muda itu menarik nafas dalam-dalam. Ketika
Mahisa Murti kemudian memberikan kitab itu kepadanya,
maka ia pun berkata, "Terima kasih atas kepercayaan ini. Aku
akan melakukan semua pesan kalian dengan sebaik-baiknya."
"Kau tidak usah menunggu sampai k e tataran terakhir
untuk mengucap sy ukur kepada Yang Maha Pencipta. Sejak
kau mulai, maka kau harus sudah mengucap syukur atas
kesempatan itu," berkata Mahisa Murti.
"Aku mengerti, "desis anak muda itu.
"Nah," berkata Mahisa Pukat kemudian, "sejak saat ini,
kau dapat mulai berlatih. Kita berjalan melanjutkan
pengembaraan kita sambil mencari kesempatan untukmu.
Tempat seperti ini adalah tempat y ang paling baik. Namun
dalam perjalanan kami, maka kami akan selalu
menjumpainya." Anak muda itu mengangguk-angguk. Ia harus
mempergunakan kesempatan itu sebaik-baiknya. Sebelum ia
membaca isi kitab itu, ia memang sudah berlatih dalam
tuntunan Mahisa Murti dan Mahisa Pukat. Bahkan ia pun
telah mempelajari ilmu pedang. Betapa pun sederhananya,
namun ilmu y ang dimilikinya itu telah dapat dipergunakan
untuk melindungi dirinya.
Karena itu, maka anak muda itu tidak menjumpai
kesulitan ketika ia mulai mempelajari ilmu kanuragan pada
tataran pertama. Pa da satu kesempatan mereka berhenti di kaki sebuah
bukit kecil, di sebuah lapangan perdu, maka Mahisa Murti dan
Mahisa Pukat telah memberi kesempatan kepada anak muda
yang meny ertainya itu untuk berlatih.
" Jika kau tidak letih, lakukanlah," berkata Mahisa
Murti. Anak muda itu mengangguk. Ia memang ingin mencoba
unsur -unsur gerak dari kitab di bagian pertama itu. Meskipun
banyak y ang sudah dikenalinya, namun susunannyalah yang
kadang-kadang agak berbeda. Namun masih belum
merupakan aliran dari perguruan tertentu.
Sejenak kemudian, maka anak muda itu telah
memusatkan nalar budinya. Dilukiskannya gerak itu di dalam
angan-angannya sehingga nampak jelas, seolah-olah seseorang
telah melakukannya. Bahkan seakan-akan dirinya sendiri.
Demikianlah, maka hampir di luar sadarnya, anak muda
itu bangkit perlahan-lahan. Kaki dan tangannya pun mulai
bergerak mengikuti tata gerak bay angan y ang nampak di
angan-angannya itu. Semakin lama semakin cepat sesuai
dengan urutan y ang tertulis di dalam kitab itu.
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat termangu-mangu. Ia
melihat anak muda itu bergerak seakan-akan di luar sadarnya.
Ia memang sekedar mengikuti bayangan y ang ditimbulkannya
sendiri oleh kekuatan pemusatan nalar budinya.
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat sama sekali tidak
mengganggunya. Dibiarkannya anak itu bergerak terus sampai
pada batas unsur gerak y ang kesepuluh dari bagian pertama
itu. "Cukup," berkata Mahisa Murti.
Ternyata bahwa dalam pemusatan nalar budi, anak
muda itu masih juga mendengar suara Mahisa Murti, yang
seakan-akan tidak menyusup lewat telinganya, tetapi ju stru
mencuat dari dalam dadanya.
Mahisa Murti memang mempergunakan tenaga
cadangannya untuk melontarkan suaranya karena ia cemas,
bahwa suara wajarnya tidak dapat didengar oleh anak muda
itu. Ketika anak muda itu berdiri tegak memandang Mahisa
Murti dan Mahisa Pukat berganti-ganti, maka Mahisa Murti
pun bertanya, "Apa yang telah kau lakukan tadi?"
Anak muda itu mengerutkan keningnya. Ia mulai
menilai gerakan-gerakan yang dilakukannya. Namun
kemudian ia pun menjawab, "Aku telah m elakukan gerakangerakan
sesuai dengan petunjuk pada bagian pertama dari isi
kitab itu." "Kau telah m elakukannya dengan baik sekali," berkata
Mahisa Murti, "tetapi apakah kau tahu apa yang kau lakukan?"
Anak muda itu termangu-mangu sejenak. Namun
kemudian ia pun mengangguk-angguk. Yang dilakukan
bukannya latihan dan m endalami setiap unsur gerak. Tetapi
yang dilakukan semata-mata adalah pemusatan nalar budinya
sehingga y ang tampil di angan-angannya adalah bay angan dari
angan-angannya itu y ang mengendap, sehingga menjadi
sangat jelas baginya. Dengan mudah ia dapat menirukan
setiap unsur gerak tanpa membuat kesalahan, karena yang
ditirukannya adalah apa y ang telah ditangkapnya dari
pengenalan atas isi kitab itu. Namun dengan demikian anak
muda itu tidak mengenal satu demi satu dari gerakangerakannya
serta mendalami watak dari setiap gerak itu.
Akhirnya anak muda itu mengangguk-angguk. Katanya,
"Aku mengerti kesalahannya."
"Bukan kesalahan, tetapi kekurangan," sahut Mahisa
Pukat. Anak muda itu termangu-mangu sejenak. Namun
Mahisa Pukat pun kemudian berkata, "Coba sekali lagi."
Anak muda itu mengangguk sambil menjawab, "Baik.
Aku akan melakukannya lagi."
Demikianlah anak muda itu telah berdiri tegak.
Kemudian diingatnya setiap kata y ang tertulis di dalam kitab
itu. Terutama permulaan dari bagian pertama y ang telah
sempat dibaca dan dipelajarinya.
Beberapa saat kemudian ia pun mulai bergerak. Tetapi ia
sempat memperhatikan setiap gerak itu sendiri. Ia tahu pasti,
apa y ang dilakukan oleh tangan dan kakinya. Ia pun
menyadari apakah arti dari setiap gerak dan apakah gunanya.
Bahkan sekali-sekali ia berhenti dan mengulanginya. Jika
tidak puas dengan mengulangi satu kali, maka diulanginya
sampai dua tiga kali. Sehingga anak m uda itu pun menjadi
sangat mengenali setiap unsur gerak yang terdapat
didalamnya. Dengan demikian, maka anak muda itu pun menyadari,
bahwa apa y ang dipelajari itu memang pernah dipelajarinya
dari Mahisa Murti dan Mahisa Pukat. Meskipun agak lain
ujudnya, namun maksud dan nilainya sama dengan apa yang
pernah dipelajarinya. Kecerdasannya langsung telah
memperbandingkan unsur -unsur gerak itu dan dengan cepat
pula ia mengambil kesimpulan, bahwa ia memang akan dapat
mempelajari bagian pertama kitab itu dengan cepat.
"Kau harus mengulangi dan mengulangi setiap saat,"
berkata Mahisa Murti, "pada bagian pertama itu, seseorang
belum ditunjukkan pada laku. Tetapi bagian berikutnya kau
akan menjumpainya jika kami mengambil keputusan bahwa
kau akan mempelajari bab berikutnya."
Mahisa Murti m engangguk-angguk. Katanya, "Baiklah.
Sementara itu biarlah ia mematangkan ilmu sejauh
dikuasainya. Dengan demikian maka ia akan dapat dengan
lebih mudah mempelajari ilmu pada tataran berikutnya."
Mahisa Pukat mengangguk pula. Sambil berpaling
kepada anak muda yang meny ertainya y ang berlatih tidak
terlalu jauh dari mereka ia bergumam, "Tetapi kita tidak dapat
menunggu sampai ia menjadi jenuh."
"Kita harus selalu memberikan pengalaman baru
kepadanya. Dengan kecerdasan nalarnya, ia akan
mengembangkan ilmu yang telah dimilikinya. Bahkan sengaja
atau tidak sengaja ia sudah m erambah dengan sendiriny a ke
tataran y ang lebih tinggi," sahut Mahisa Murti.
"Kita akan m elihat perkembangannya dalam beberapa
hari ini," berkata Mahisa Pukat.
Demikianlah kedua anak muda itu masih belum
menentukan langkah yang akan mereka ambil. Jika mereka
membiarkan anak muda itu menyadap ilmu dari kitab yang
mereka dapatkan, maka Mahisa Murti dan Mahisa Pukat
hanya dapat memberikan tuntunan dan perbandingan. Anak
muda itu harus mencari semua persoalan dari kitab itu sendiri.
Mungkin dalam beberapa hal Mahisa Murti dan Mahisa Pukat
dapat memberikan petunjuk. Namun jalur itu bukan jalur ilmu
kedua anak muda itu, sehingga dengan demikian maka
keduanya tidak menguasainya sampai ke bagian-bagian
kecilnya. Karena itulah, m aka anak muda itu tentu memerlukan
waktu lebih banyak dan lebih panjang dari jika mereka
mempelajari ilmu y ang telah dikuasai oleh Mahisa Murti dan
Mahisa Pukat. Keduanya dapat langsung menuntun anak muda itu
dengan penuh tanggung jawab.
Tetapi Mahisa Murti dan Mahisa Pukat memang masih
digelitik oleh pertanyaan dari dalam diri mereka sendiri,
"Apakah kami dapat meny elesaikan tugas ini sampai tuntas."
Jika mereka tidak sempat meny elesaikan tuntunan itu


03 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sampai selesai, maka keduanya tentu akan merasa bersalah.
Dengan demikian maka anak muda yang meny ertai
mereka itu pun masih harus menunggu. Namun anak muda itu
memang tidak mendesak agar Mahisa Murti dan Mahisa Pukat
segera mengambil keputusan dan berbuat sesuatu. Apalagi
anak muda itu masih merasa bahwa ia masih harus
mematangkan ilmu yang telah dikuasainya itu.
Namun akhirnya Mahisa Murti dan Mahisa Pukat telah
mengambil satu keputusan. Anak muda itu adalah anak muda
yang cerdas dan memiliki kesungguhan serta bertanggung
jawab atas langkah-langkah yang dilakukannya. Karena itu,
maka anak muda itu adalah anak muda yang dicarinya selama
ini. Anak muda yang akan dapat menjadi seorang yang
memiliki kelebihan dari orang lain.
Meskipun Mahisa Murti dan Mahisa Pukat agak kecewa,
karena anak muda itu umurnya tidak terpaut banyak dari
keduanya, namun ia masih lebih muda serta masih
mempunyai masa depan yang sangat panjang.
Karena itu, maka keduanya berketetapan hati untuk
menentukan, bahwa anak muda itu akan menjadi kawan
mereka memimpin padepokan mereka.
"Kita jadikan anak muda itu murid kita," berkata
Mahisa Murti. Tetapi Mahisa Pukat tertawa. Katanya, "Apakah pantas
bahwa kita mengangkat seseorang menjadi murid kita" Kita
masih dianggap kanak-kanak oleh beberapa orang yang
pernah mengenali masa kanak-kanak kita."
"Apa salahnya kita m engangkat seorang murid," desis
Mahisa Murti, "pantas atau tidak pantas. Tetapi apakah kau
mempunyai nama lain yang pantas untuk meny ebut hubungan
kita dengan anak muda itu selain hubungan guru dan murid?"
Mahisa Pukat menggeleng. Tetapi ia tidak menjawab.
Namun beberapa saat kemudian, tiba -tiba saja Mahisa
Pukat itu berkata, "Kita jadikan anak itu adik kita."
Mahisa Murti mengerutkan keningnya. Namun
kemudian ia mengangguk-angguk. Katanya, "Baiklah. Kita
angkat anak itu menjadi adik kita."
"Kita sesuaikan namanya dengan nama kita," berkata
Mahisa Pukat pula. "Mak sudmu?" bertanya Mahisa Pukat.
"Kita namai anak itu Mahisa Semu," jawab Mahisa
Pukat. Mahisa Murti tertawa. Katanya, "Jadi hanya semu.
Bukan sebenarnya." Demikianlah, maka ketika malam datang, terjadilah
upacara kecil dibawah sebatang pohon gayam. Mahisa Murti
telah meniup ubun-ubun anak muda yang meny ertainya dan
kemudian berkata, "Kau telah dilahirkan kembali dengan
nama Mahisa Semu. Kau telah dilahirkan kembali sebagai adik
kami yang bungsu. Karena itu maka kau harus patuh k epada
kami, saudara -saudara tuamu."
Anak muda itu mengangguk sambil menyahut, "Aku
akan patuh kepada kalian. Karena kalian bukan saja saudarasaudara
tuaku, tetapi juga guruku."
"He," potong Mahisa Murti, "kenapa kau berkata begitu.
Bukankah kita telah m erencanakan kata-kata yang akan kita
ucapkan. Dan kau tidak kami minta untuk meny ebut kami
gurumu." "Memang tidak," jawab anak muda itu, "tetapi aku
merasa bahwa kalian telah menjadi guruku. Kalian telah
memberikan ilmu kepadaku."
Mahisa Murti berpaling kepada Mahisa Pukat. Mahisa
Pukat lah y ang kemudian berkata, "Baiklah. Tetapi untuk
selanjutnya sebut saja kami kakak-kakakmu. Kami
mengajarimu sebagaimana seorang kakak mengajari adiknya.
Kau patuh kepada kami sebagaimana seorang saudara muda
patuh kepada kakak-kakaknya."
Anak muda itu termangu-mangu sejenak. Namun
kemudian ia pun mengangguk sambil menjawab, "Baiklah jika
itu y ang kalian kehendaki."
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat saling berpandangan
sejenak. Di luar sadar, mereka berdua justru telah tertawa.
Anak muda y ang disebutnya Mahisa Semu itu termangumangu.
Namun kemudian ia pun telah tertawa pula.
Demikianlah, m ereka bertiga telah m erasa benar-benar
sebagai saudara kandung. Dalam perjalanan selanjutnya,
mereka bertiga selalu mempergunakan setiap kesempatan
untuk meningkatkan ilmu Mahisa Semu. Mahisa Murti dan
Mahisa Pukat telah mulai meningkatkan ilmu Mahisa Semu
pada tataran yang lebih tinggi.
Namun dengan demikian maka Mahisa Semu tidak
memerlukan kitab itu lagi. Ia lebih dekat dengan latihanlatihan
yang diberikan oleh kedua saudara angkatnya itu
daripada unsur -unsur gerak yang terdapat dalam kitab yang
mereka ketemukan itu. Tetapi bukan berarti bahwa kitab itu telah dilupakan.
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat lah y ang justru telah
mendalami isi kitab itu. Meskipun sampai pada tataran ketiga,
ilmu y ang terdapat dalam kitab itu masih belum m elampaui
kemampuan ilmu kedua anak muda itu, namun dengan
mempelajari isi kitab itu, Mahisa Murti dan Mahisa Pukat
dapat membuat perbandingan dengan ilmu mereka sendiri.
Beberapa saat keadaan itu berlangsung. Sementara itu
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat telah mulai m engambil arah.
Dengan berpedoman pada puncak-puncak Gunung, maka
mereka telah mulai menentukan arah perjalanan m ereka ke
padepokan kecil yang sudah cukup lama mereka tinggalkan.
Meskipun demikian, Mahisa Murti dan Mahisa Pukat
sepakat, bahwa mereka harus menemukan seseorang pada
satu tataran umur yang lebih muda lagi. Satu atau dua orang.
Namun ketika mereka bertiga berada dalam sebuah
kedai, maka mereka mulai dibay angi oleh kemungkinan buruk.
Tanpa menyadari kehadiran ketiga anak muda itu, maka
seseorang telah berbicara tentang beberapa orang yang lewat
di padukuhannya. "Apa anehnya orang lewat?" bertanya seorang
kawannya. "Mereka bertanya kepada setiap orang, apakah orangorang
itu melihat tiga orang anak muda lewat sebelum
mereka," jawab orang yang pertama.
"Mungkin saudara-saudaranya," desis y ang lain.
"Tetapi nampaknya mereka mempunyai kepentingan
yang khusus," jawab orang yang pertama.
Seorang di antara mereka t iba-tiba saja termangumangu.
Ia mulai memperhatikan ketiga orang anak muda yang
ada di dalam kedai itu. Untuk beberapa saat orang itu justru termenung. Namun
tiba -tiba saja ia berdesis, "Ada tiga orang anak muda di sini.
Apakah anak muda itu yang mereka cari?"
Semua orang tiba -tiba telah berpaling kepadanya.
Namun m ereka pun kemudian telah berpaling pula ke arah
pandangan mata orang itu.
Sebenarnyalah mereka melihat tiga orang anak muda
duduk di sudut kedai itu. Anak-anak muda y ang nampaknya
memang sebagai pengembara y ang telah menempuh
perjalanan jauh. Namun orang-orang itu justru telah terbungkam.
Mereka tidak lagi berbicara tentang orang-orang yang
menelusuri setiap padukuhan dan bertanya tentang tiga orang
anak muda. Mungkin di gardu -gardu. Banjar-banjar
padukuhan atau di kedai-kedai.
Bahkan beberapa saat k emudian, seorang demi seorang
mereka telah meninggalkan kedai itu setelah membayar tanpa
mengatakan sesuatu. "Kenapa dengan mereka?" bertanya Mahisa Semu.
"Mereka merasa ketakutan," jawab Mahisa Murti.
"Apa y ang mereka takutkan" Apakah tampang kita
memang menakutkan?" desis Mahisa Semu pula.
"Mereka takut kepada orang-orang y ang mencari ketiga
orang anak muda itu. Jika orang-orang itu tidak berhasil
menemukan ketiga anak muda itu, maka orang-orang itu akan
marah dan m enganggap m ereka yang ada di dalam kedai itu
telah memberikan isyarat kepada kita untuk bersembuny i,"
jawab Mahisa Murti. "Tetapi bukankah mereka tidak bersalah?" bertanya
Mahisa Semu. "Kadang-kadang orang itu tidak mau tahu, apakah
seseorang bersalah atau tidak. Tetapi orang-orang yang
menemui kegagalan dapat saja mencari sasaran itu untuk
memikul beban kesalahan dari kegagalan itu, meskipun
mereka sama sekali tidak tahu menahu," jawab Mahisa Pukat.
Mahisa Semu mengangguk-angguk. Namun kemudian ia
pun bertanya, "Kita lalu mau apa?"
Mahisa Murti memandang pemilik kedai itu sekilas.
Ternyata pemilik kedai itu juga nampak ketakutan. Bersama
seorang pembantunya ia duduk di sudut di belakang geledeg
dagangannya. Bermacam-macam makanan.
"Ki Sanak," berkata Mahisa Murti, "kami belum selesai.
Kami masih ingin memesan makanan lagi."
Pemilik kedai itu termangu -mangu. Namun ia pun
kemudian berkata, "Semua orang telah meninggalkan kedaiku
ini Ki Sanak. Memang sudah waktunya aku menutup kedai
ini." Mahisa Murti mengerutkan dahinya Katanya, "Masih
belum tengah hari. Sedangkan barang daganganmu masih
terlalu banyak." "Tetapi aku berpegang pada waktu. Pada saat-saat
seperti ini, habis atau tidak habis daganganku, aku m enutup
kedaiku," jawab pemilik kedai itu.
Mahisa Murti mengangguk-mengangguk. Katanya,
"Baiklah Ki Sanak. Aku tidak akan dapat memaksa seseorang
yang sedang ketakutan untuk tetap tabah."
Pemilik kedai itu termangu-mangu. Namun ia tidak
menjawab. Anak muda itu dapat m enebak dengan benar apa
yang terjadi pada dirinya. Namun ia memang tidak mau
menyaksikan kekerasan itu terjadi di dalam kedainya jika
orang-orang yang sedang mencari ketiga anak muda itu
menemukan mereka di kedainya.
Namun sambil membayar Mahisa Murti berkata, "Ki
Sanak. Kami bertiga akan menelusuri jalan di depan kedaimu
ini. Kami tidak akan berbelok sampai padukuhan di depan.
Baru kami akan mempertimbangkan kemungkinan untuk
memilih jalan. Tetapi kami akan berusaha agar ada orang yang
melihat kami." "Apa maksudmu anak muda?" bertanya pemilik kedai
itu. "Kau tidak usah berusaha melindungi kami. Bukankah
kau menjadi ketakutan karenanya" Katakan sebagaimana
kami katakan. Jika orang-orang itu tidak menemukan kami
bertiga, maka mereka akan menyangka bahwa kau telah
membohonginya. Kau akan dapat dituduh berusaha
melindungi kami," berkata Mahisa Murti kemudian. Lalu
katanya pula, "Dan kau tahu apa artinya jika m ereka menjadi
marah." "Tetapi aku tidak tahu menahu persoalan kalian,"
berkata pemilik kedai y ang menjadi semakin ketakutan.
"Pokoknya, jangan berusaha melindungi kami. Katakan
apa y ang kau ketahui tentang kami," berkata Mahisa Murti.
Orang itu m emang menjadi bingung. Tetapi k etiga anak
muda itu kemudian telah berlalu.
Sepeninggal ketiga orang anak muda itu, maka pemilik
kedai itu menjadi ragu-ragu. Dilihatnya pembantunya yang
juga ketakutan duduk diatas dingklik kayu yang rendah.
"Aku tidak tahu, apa yang sebaiknya kita lakukan,"
berkata pemilik kedai itu kepada pembantunya.
" Jangan. Justru kita akan membuka kedai ini sampai
malam," berkata pemilik kedai itu, "dengan demikian m aka
tidak akan ada seorang pun y ang dapat menuduh kita telah
terlibat dalam persoalan anak-anak muda itu. Kita berlaku
seperti tidak pernah terjadi sesuatu. Seakan-akan kita tidak
tahu menahu tentang mereka y ang sedang mencari ketiga
orang anak muda itu."
"Tetapi aku takut," berkata pembantunya.
"Aku lebih takut meninggalkan kedai ini sebelum
mereka datang," berkata pemilik kedai itu, "aku memang tidak
ingin bertemu dengan mereka. Tetapi seandainya mereka
datang dan kedai ini terdapat kosong, maka mereka akan
dapat mempunyai dugaan yang tidak sewajarnya atas kita.
Tetapi mereka menemukan kedai ini terbuka seperti biasa,
maka mereka tentu tidak akan menyangka kita berusaha untuk
menyembuny ikan diri dan bahkan melindungi anak-anak
muda itu." "Tetapi bukankah mereka belum tentu datang?"
bertanya pembantunya. " Itulah yang kita harapkan. Tetapi jika mereka tidak
datang, apa pula y ang kita takuti?" bertanya pemilik kedai itu.
Pembantunya termangu-mangu. Namun kemudian ia
pun mengurungkan niatnya untuk meninggalkan kedai itu.
Tetapi ternyata yang mereka tunggu hari itu tidak
datang. Tetapi ju stru karena itu, m aka k edai ini dibuka sampai
saat -saat sepi uwong. Di hari berikutnya, pemilik kedai itu membuka kedainya
seperti biasa. Ia pun merasa ketakutan untuk tidak berjualan
pada hari itu. Orang-orang itu akan dapat mencurigainya dan
mencarinya di rumahnya. Ternyata orang-orang y ang ditunggunya itu datang.
Sehari setelah ketiga orang anak muda itu singgah di kedainya.
Pemilik kedai itu telah menjadi gemetar ketika mereka melihat
beberapa orang berwajah garang memasuki kedainya itu.
Tetapi ternyata seorang di antara mereka telah bertanya
dengan ramah, "Ki Sanak. Apakah Ki Sanak pemilik kedai ini?"
Pemilik k edai itu termangu-mangu melihat sikap orang
itu. Sikap yang benar-benar tidak diduganya menilik ujud
mereka. "Benarkah demikian?" orang itu mendesaknya.
"Ya, y a Ki Sanak," jawab pemilik kedai itu, "marilah.
Silahkan duduk." "Terima kasih Ki Sanak," jawab orang itu sambil
mengangguk-angguk hormat, "aku hanya bertanya sedikit


03 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kepada Ki Sanak." "Oo," pemilik kedai itu termangu-mangu.
"Apakah Ki Sanak m elihat tiga orang anak muda lewat
atau bahkan singgah di kedai Ki Sanak?" bertanya orang itu
pula. Pemilik kedai itu yang ketakutan itu tidak m erasa perlu
untuk berbelit-belit. Ketiga orang anak muda itu sendiri telah
menganjurkan kepadanya untuk berkata apa saja sesuai
dengan yang diketahuinya.
Karena itu, maka jawabnya kemudian, "Kemarin
memang ada tiga orang anak muda y ang singgah di kedai ini
Ki Sanak. Tetapi aku tidak tahu, apakah ketiga anak muda
itulah yang kalian maksudkan."
"Mungkin. Mungkin sekali," desis orang itu, "tetapi
apakah Ki Sanak tahu, ke mana mereka pergi?"
Pemilik kedai itu termangu-mangu. Anak-anak muda itu
memang memberi tahu arah y ang mereka tempuh. Namun
tiba -tiba saja ia m erasa berdosa jika ia berkata sebenarnya.
Apalagi jika kemudian didengarnya berita, bahwa ketiga anak
muda itu mengalami bencana. Karena itu, maka hampir diluar
sa darnya, bersumber dari nuraninya maka ia pun berkata,
"Maaf Ki Sanak. Sayang sekali aku tidak bertanya ke mana
mereka akan pergi. Saat itu, aku sedang melayani beberapa
orang pembeli yang lain."
"Oo," orang itu m engangguk-angguk, "memang m asuk
akal. Ki Sanak tentu sedang sibuk dan tidak merasa perlu
untuk bertanya kepada setiap pembeli. Tetapi tolong
barangkali Ki Sanak tahu, demikian ia keluar, apakah mereka
berjalan ke kanan atau ke kiri?"
Pemilik warung itu berpikir sejenak. Namun dengan
pertimbangan bahwa ketiga orang anak muda itu telah
berjalan jauh, maka ia pun berkata menurut penglihatannya,
"Rasa-rasanya ia berjalan ke kanan. Tetapi aku tidak y akin."
Ternyata orang-orang itu tidak berbuat sesuatu. Mereka
justru mengangguk hormat. Seorang di antara mereka berkata,
"Terima kasih. Aku akan meneruskan perjalanan."
Pemilik kedai itu menjadi heran. Ia mengira bahwa
orang-orang itu tentu orang-orang y ang kasar menilik
ujudnya. Tetapi ternyata mereka adalah orang-orang yang
bersikap baik dan sopan. Tapi belum lagi keheranannya itu m engendap, seorang
di-antara mereka berkata masih dalam sikap y ang lembut, "Ki
Sanak. Kami akan berjalan ke kanan. Mungkin besok atau lusa
aku akan lewat jalan ini lagi. Kami akan mengucapkan terima
kasih kepada Ki Sanak jika kami m enemukan m ereka. Tetapi
jika ternyata Ki Sanak membohongi aku, maka aku juga akan
menunjukkan kekesalan hati kami. Mungkin kami akan
membunuh Ki Sanak." Wajah pemilik kedai itu tiba -tiba menjadi merah.
Namun orang itu m engangguk penuh hormat sambil berkata,
"Kami mohon diri. Semoga Yang Maha Agung melindungimu."
Ketika orang -orang itu berjalan m enjauh, pemilik kedai
itu berdiri termangu-mangu di depan pintu. Namun ia pun
kemudian telah terhuyung-huyung surut dan jatuh terduduk di
amben panjang. Pembantunya y ang melihatnya dengan tergesa -gesa
mendekatinya sambil bertanya, "Apa y ang terjadi?"
"Orang-orang itu," desis pemilik kedai itu.
"Bukankah m ereka berbuat sopan dan baik?" b ertanya
pembantunya pula. "Ya. Mereka berkata dengan lembut dan hormat. Tetapi
kau tahu apa y ang dikatakannya?" pemilik kedai itu ganti
bertanya. Pembantunya itu m enggeleng. Sementara pemilik kedai
itu berkata lebih lanjut, "besok atau lusa mereka akan kembali.
Jika mereka tidak m enemukan ketiga anak muda itu, m aka
mereka akan membunuhku."
"Oo," wajah pembantunya itu pun menjadi tegang. Lalu
katanya, "Kalau begitu, kita harus bersembunyi. Keadaan
tentu menjadi sangat gawat."
Pemilik kedai itu mengangguk-angguk. Dengan nada
dalam ia berdesis, "Tetapi apakah mungkin kita bersembunyi
lagi" Ingat, mereka mencari, ketiga anak muda itu yang
agaknya sampai kapan pun tidak akan berhenti."
" Jadi?" bertanya pembantunya.
Pembantunya menjadi berdebar-debar ketika ia
mendengar jawaban pemilik kedai itu. Katanya, "Aku tidak
akan lari ke mana-mana. Tidak akan ada artinya. Jika saat
yang sangat m enakutkan itu memang harus datang dengan
cepat, maka aku sudah pasrah."
Pembantunya tidak dapat memberikan tanggapan apa
pun juga. Tetapi ia pun merasa bahwa agaknya melarikan diri
dan bersembuny i tidak akan ada artinya. Bahkan hanya akan
menambah kemarahan mereka dan perlakuan yang semakin
menyiksa. Karena itu, maka seperti pemilik kedai itu sendiri,
akhirnya ia pun pasrah kepada sumber hidup mereka, apa pun
yang akan terjadi. Sementara itu, Mahisa Murti, Mahisa Pukat dan Mahisa
Semu telah menjadi semakin jauh. Tetapi sebagai orang-orang
yang sudah berpengalaman maka Mahisa Murti dan Mahisa
Pukat masih saja selalu berpesan kepada Mahisa Semu agar ia
tetap berhati-hati. Naluri mereka sebagai pengembara telah
memberikan peringatan bahwa mereka masih belum terlepas
dari perhatian orang-orang y ang memburu kitab itu.
Namun sementara itu, Mahisa Semu pun tidak lupa
meningkatkan diriny a menurut jalur perguruan kedua saudara
angkatnya. Seperti yang diperhitungkan oleh kedua saudara
angkatnya itu, maka peningkatan ilmu Mahisa Semu akan
lebih cepat jika ditempuh cara itu daripada mempelajarinya
dari kitab yang mereka ketemukan.
Tetapi sementara itu Mahisa Murti dan Mahisa Pukat
sendiri berusaha menemukan arti dari kitab itu bagi mereka.
"Memang sulit untuk langsung mempelajari isi dari
tataran keempat meskipun kita memiliki kemampuan pada
tingkat sedikit lebih tinggi dari tingkat ketiga. Tetapi kita
memang tidak memasuki tingkat keempat dari ilmu itu.
Bahkan juga tingkat-tingkat sebelumnya," berkata Mahisa
Murti. "Kita bisa memulainya dari tingkat-tingkat sebelumnya.
Selain untuk merintis memasuki tingkat keempat dari ilmu itu,
maka kita akan dapat melengkapi dan meny empurnakan ilmu
kita sendiri. Sudah barang tentu harus dicari upaya untuk
meluluhkan pada satu jalur y ang lebih m eningkat dari yang
pernah ada," sahut Mahisa Pukat. "Sehingga tidak akan terjadi
benturan-benturan kekuatan di dalam diri kita."
"Ya. Dengan demikian maka Mahisa Semu pada saatnya
tidak usah bersu sah payah melakukannya. Ia akan
mendapatkannya setelah kita berhasil dan menurunkan
kepadanya, m eskipun barangkali masih harus terbilang tahun
yang akan datang," sahut Mahisa Pukat.
Mahisa Murti mengangguk-angguk. Ia sependapat
meskipun dengan demikian mereka berdua memerlukan
waktu untuk menelusuri jalur ilmu itu.
Tetapi kedua anak muda itu telah berbekal ilmu y ang
sangat tinggi, sehingga karena itu, mereka tidak t erlalu banyak
mengalami kesulitan. Ilmu mereka sendiri memang sudah
berada pada tataran y ang lebih tinggi dari bagian ketiga dari
kitab itu. Karena itu, maka mereka berharap bahwa kerja
mereka akan dapat mereka selesaikan untuk waktu y ang tidak
terlalu lama. Dalam pada itu, Mahisa Murti dan Mahisa Pukat tidak
pernah melupakan tugas-tugas mereka membimbing adik
angkat mereka untuk meningkatkan ilmunya.
Tetapi yang terasa mencuat menurut naluri pengembara
mereka itu pun akhirnya datang juga.
Ooo0dewi0ooO HIJAUNYA LEMBAH HIJAUNYA LERENG PEGUNUNGAN Jilid 67 Cetakan Pertama PENERBIT: "MURIA" YOGYAKARTA Kolaborasi 2 Website : dengan Pelangi Di Singosari / Pembuat Ebook : Sumber Buku Karya SH MINTARDJA
Scan DJVU : Ismoyo Converter : Editor : Raharga, Arema, Dino,
Pdf ebook : --ooo0dw0ooo- Naskah ini untuk keperluan kalangan sendiri,
penggemar karya S.H. Mintardja dimana saja berada y ang
berkumpul di Web Pelangi Singosari dan Tiraikasih
Jilid 067 MAHISA MURTI dan Mahisa Pukat y ang m asih saja
merasa bahwa mereka itu akan menuntun sekelompok orang
untuk menyusul mereka, ternyata merasa segan untuk
bermalam di banjar-banjar padukuhan. Mereka merasa cemas,
jika t erjadi sesuatu dengan mereka, akan menyangkut pula
penghuni padukuhan itu, y ang sebenarnya tidak tahu menahu
ujung pangkalnya. Karena itu, maka Mahisa Murti, Mahisa Pukat dan
Mahisa Semu telah memilih bermalam di mana saja. Sekaligus
mereka menjalani laku prihatin, untuk memberikan tekanan
kepada usaha mereka mendalami ilmu. Mahisa Semu juga
merasa lebih banyak mempunyai waktu untuk berlatih jika
mereka bermalam di tempat-tempat y ang terpencil. Jika
mereka berada di banjar, maka Mahisa Semu tidak akan dapat
memanfaatkan waktu di saat malam mulai turun untuk
berlatih, jika ia tidak ingin mengganggu orang lain.
Tetapi, ternyata bahwa beberapa orang y ang
menghendaki kitab itu, akhirnya sempat menyusul mereka
pula. Demikian ketiga orang itu meninggalkan sebuah kedai,
maka beberapa orang itu telah bertanya kepada pemilik kedai
itu. Pemilik kedai itu memang tidak berani berbohong untuk
menjaga keselamatannya. Karena itu, maka ia pun telah
memberitahukan ke mana arah ketiga orang anak muda itu
pergi. "Belum terlalu lama" berkata pemilik kedai itu.
"Terima kasih" jawab salah seorang di antara beberapa
orang itu. Demikianlah maka dua orang di antara mereka telah
lebih dahulu m enyusul tiga orang anak muda y ang dikatakan
belum terlalu lama. Dengan demikian maka kehadiran mereka
tentu tidak akan sangat mencurigakan.
Sebenarnyalah, ketika dua orang y ang berjalan tergesa gesa itu keluar dari padukuhan, mereka melihat dihadapan
mereka, tiga orang berjalan di bulak panjang.
"Tentu mereka," berkata orang itu, "nampaknya mereka
tidak terlalu tergesa -gesa."
"Kita sudah berhari-hari mengikuti jejak perjalanan
mereka. Nampaknya kita sudah cukup sabar, sehingga kita
tidak akan memberi mereka kesempatan lagi" sahut yang lain.
Kawannya mengangguk-angguk. Katanya, "Kau katakan
kepada kawan-kawan kita, bahwa sebentar lagi, usaha kita
yang sudah bertahun-tahun kita lakukan untuk memiliki kitab
itu, akhirnya akan dapat terpenuhi beberapa saat lagi. Aku
akan mengawasi mereka."
Yang lain mengangguk. Ketika yang lain melangkah
meneruskan tugasnya mengamati ketiga orang anak muda itu,
maka kawannya tidak beranjak dari tempatnya. Ia telah
menunggu beberapa orang kawannya y ang masih berada di
belakang. Tetapi, ia tidak perlu menunggu terlalu lama. Sebentar
kemudian maka kawan-kawannya itu pun telah datang
menghampirinya. "Kau ketemukan orang itu?" bertanya pemimpin dari
sekelompok orang yang memburu kitab itu.
"Yaa," jawab orang y ang memang menunggu itu.
"mereka berada di bulak dihadapan kita. Kawan kita m asih
tetap mengikutinya."
"Bagus," sahut pemimpinnya, "kita akan berjalan terus.
Aku tidak sabar lagi agar ketiga anak muda itu tidak lepa s dari
tangan kita." "Selama ini m ereka tentu sudah m embaca isi kitab itu"
berkata salah seorang di antara mereka.
"Mereka nampaknya memang bernasib buruk. Kita akan
menyelesaikan mereka, agar rahasia isi kitab itu tidak akan
diketahui oleh siapa pun juga kecuali mereka y ang telah
terbunuh" jawab pemimpinnya.
"Apakah mereka akan mati?" bertanya y ang lain.
"Ya," jawab pemimpinnya, "mereka bertiga akan mati."
Yang lain mengangguk-angguk. Mereka pun
berpendapat demikian pula. Orang-orang y ang telah melihat
rahasia yang tercantum di dalam kitab itu akan mati.
Demikianlah, maka sekelompok orang itu telah berjalan
dengan agak tergesa-gesa. Mereka tidak mau kehilangan
buruannya lagi. Ketika m ereka sampai di tikungan, maka mereka pun
segera melihat bahwa seorang di antara mereka, yang
mengikuti ketiga orang anak muda itu telah menghentikan
mereka di simpang empat, di tengah-tengah bulak yang
panjang itu. Orang itu telah berusaha untuk berbicara dengan ketiga
orang anak muda itu, agar dengan demikian mereka bertiga
sempat menunggu pula kehadiran kawan-kawan orang yang
menghentikannya itu. Ketika Mahisa Murti, Mahisa Pukat dan Mahisa Semu
melihat sekelompok orang m endekatinya, m aka mereka pun
segera menyadari, bahwa orang y ang m ereka tunggu-tunggu
itu telah datang. Agaknya bukan hanya beberapa orang, tetapi
setelah m ereka berkumpul, m aka jumlahnya cukup banyak.
Lebih dari sepuluh orang.


03 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Tetapi Mahisa Murti, Mahisa Pukat dan Mahisa Semu
tidak lagi merasa perlu untuk menghindari mereka yang
semakin lama menjadi semakin dekat. Sementara itu, langit
pun menjadi kemerah-merahan oleh warna senja yang
semakin buram. "Berhati-hatilah," bisik Mahisa Murti kepada Mahisa
Semu, "kau baru m emanjat pada tingkat yang sedikit lebih
tinggi dari tingkat dasar. Namun, kau mempunyai kekhususan.
Ternyata kau memiliki ilmu pedang y ang sangat kuat. Kau
harus memanfaatkan kemampuanmu itu untuk melawan
orang-orang itu. Ilmu pedangmu telah m elonjak begitu cepat
dibandingkan dengan kemampuanmu y ang lain dalam olah
kanuragan." Mahisa Semu tidak menjawab. Tetapi, ia
menganggukkan kepalanya. Dalam pada itu, maka seorang y ang telah
menghentikannya itu pun telah mengetahui bahwa kawankawannya
telah mendekat. Karena itu, maka ia tidak lagi
merasa perlu untuk berpura-pura. Katanya, "Nasibmu buruk
anak-anak muda. Mereka memerlukanmu."
Mahisa Murti, Mahisa Pukat dan Mahisa Semu
memandang orang itu dengan tajamnya. Namun, orang itu
tersenyum sambil berkata, "Usaha kami yang bertahun-tahun
akhirnya dapat berhasil sekarang."
"Apa y ang kau maksud Ki Sanak?" sahut Mahisa Murti.
Orang itu tertawa. Katanya, "Tunggulah sebentar.
Kawan-kawanku itu akan berbicara dengan kalian."
Namun, Mahisa Murti pun tersenyum sambil berkata,
"Kami sudah tahu apa yang kalian inginkan. Jadi aku
bertanya, aku hanya berpura-pura saja."
Orang itulah yang kemudian menjadi tegang. Bahkan
ialah yang kemudian bertanya, "Apa maksudmu?"
"Bukankah kau ingin mendapatkan kitab yang aku
temukan ber sama kitab yang sebuah lagi yang aku tinggalkan
di padukuhan itu?" berkata Mahisa Murti.
Orang itu termangu-mangu sejenak. Namun, kemudian
katanya, "jadi kau sudah tahu?"
"Tentu" jawab Mahisa Murti.
Sedangkan Mahisa Pukat menyambung, "bertahuntahun
kitab ini menjadi persoalan. Berapa korban y ang telah
jatuh. Terakhir seorang petani y ang tidak tahu menahu
tentang isi kitab ini yang mati terbunuh karena racun."
Orang itu termangu-mangu. Sementara Mahisa Pukat
berkata, "Bukan kau y ang membunuh. Tetapi, menantunya
sendiri y ang secara kebetulan mengetahui tentang harta karun
yang tersimpan di lereng di tepian sungai itu. Tetapi, agaknya
ia tidak mengetahui bahwa yang disebut harta karun itu tidak
lebih hanya sebuah buku yang tidak bernilai sama sekali."
"Tutup mulutmu," orang itu membentak. Sementara itu
ia pun telah berpaling beberapa kali. Iring-iringan yang
ditunggunya menjadi semakin dekat. Lalu katanya kemudian,
"Kau hinakan kitab itu."
"Aku sudah membacanya. Jika kitab memang
mempunyai arti bagi orang y ang memilikinya, maka tidak ada
gunanya kau m encarinya. Aku y ang sudah m embaca isi kitab
itu tentu telah menjadi orang y ang memiliki kemampuan yang
tinggi" berkata Mahisa Pukat.
Orang itu termangu-mangu sejenak. Namun, katanya,
" Isinya tentu sangat rumit. Seseorang tidak akan mampu
mempelajarinya hanya dalam waktu satu tahun. Apalagi hanya
dalam waktu satu bulan."
Mahisa Pukat tertawa. Katanya, "Mungkin bagi orang
yang otaknya tumpul. Tetapi, bagi mereka yang
kemampuannya cemerlang, maka mereka akan dapat
mempelajari isi kitab itu dalam sepekan, karena isinya
memang tidak mempunyai bobot olah kanuragan."
Wajah orang itu benar -benar tegang. Namun, ia masih
belum dapat menilai betapa pun kemarahan menghentakhentak
di dadanya. Ia masih harus menunggu kawankawannya
y ang sudah menjadi dekat sekali.
Sebenarnyalah sejenak kemudian kawan-kawannya pun
telah menghampirinya. Pemimpinnya telah melangkah di
paling depan. Dengan nada rendah ia bertanya, "Apakah
mereka y ang kita cari?"
"Ya," Mahisa Pukat lah y ang m enyahut sebelum orang
yang ditanya itu m enjawab. Katanya lebih lanjut, "Kau t entu
mencari kami bertiga, karena kami bertiga membawa kitab
yang m enurut kalian sangat berharga. Tetapi, y ang m enurut
kami ternyata tidak banyak berarti."
"Persetan," geram pemimpin dari sekelompok orang itu,
"kalian y ang merendahkan nilai kitab itu."
"Bukan kami yang merendahkan. Tetapi nilainya
memang rendah, karena agaknya kitab itu ditulis oleh seorang
guru yang ilmunya memang belum tinggi."
"Tutup mulutmu," bentak orang yang bertubuh tinggi
besar dan berjambang panjang, "kau harus dihukum karena
sikapmu itu." Mahisa Pukat tertawa. Katanya, "betapa pun rendahnya
bobot kitab itu, namun setelah kami mempelajarinya, ternyata
ilmu kami m emang meningkat. Karena itu, m aka kami akan
mempertahankan buku itu. Meskipun tidak bernilai, tetapi
sudah barang tentu ada gunanya bagi kami."
Wajah pemimpin kelompok itu m enjadi m erah. Dengan
nada berat ia bertanya, "Apakah kalian merasa sudah mampu
menguasai isi kitab itu?"
"Tentu," jawab Mahisa Pukat, "nah, siapakah di antara
kalian yang ingin mencoba kemampuan kami bertiga" Jika
kalian tahu isi kitab itu, cocokanlah, apakah y ang kami
pergunakan ilmu y ang tertera dalam kitab itu atau bukan."
Mahisa Pukat berhenti sejenak. Lalu katanya, "Tetapi, apakah
kalian sudah pernah membaca ilmu dari kitab itu?"
"Kitab itu peninggalan guruku" geram pemimpin
kelompok itu. "Oo," Mahisa Pukat mengangguk-angguk, "jadi itukah
alasanmu kenapa kawanmu marah kepadaku ketika aku
mengatakan bahwa kitab itu ditulis oleh seorang guru yang
bodoh." "Sekali lagi kau ucapkan itu, maka kami akan
membunuh kalian sekarang juga" geram pemimpin kelompok
itu. "Baiklah. Tetapi, nampaknya y ang ingin kau katakan
belum seluruhnya terungkap" sahut Mahisa Pukat.
"Kitab itu adalah guruku yang dicuri oleh salah seorang
muridnya. Jadi saudara seperguruan kami. Kami telah
mencarinya bertahun-tahun. Namun, belum dapat kami
ketemukan" berkata orang itu.
"Tetapi, kau menemukan saudara seperguruanmu.
Orang itu telah kau bunuh meskipun ia sempat
memberitahukan kepada seorang petani y ang kebetulan lewat"
berkata Mahisa Pukat. "Persetan," geram seorang y ang bertubuh gemuk, "dari
mana kau tahu?" Mahisa Murti yang kemudian menyahut mendahului
Mahisa Pukat, "Sudahlah. Lebih baik kita berbicara tentang
yang lain. Kita lupakan saja persoalan kitab itu."
"Kau gila," geram orang itu, "kau kira siapa aku, he" Kau
bersikap seperti terhadap kanak-kanak. Kau telah m enghina
aku dan kawan-kawanku, setelah kau m enghina guruku dan
kitab itu." Mahisa Murti tertawa. Katanya, "Sejak tadi kau hanya
marah-marah saja. Tetapi, kau tidak mau menyadari bahwa
kami telah mengatakan yang sebenarnya. Kau, gurumu dan
kitab itu memang jelek sekali."
Orang itu sudah t idak dapat menahan diri lagi. Ia pun
kemudian telah memberikan isyarat kepada kawan-kawannya
untuk meny erang. Dengan serentak kawan-kawannya telah berloncatan
menyerang. Namun, ketiga orang anak muda itu memang
sudah m enunggu. Dengan tangkas pula m ereka berloncatan
menghindar. Namun, kemudian seperti badai mereka telah
berganti meny erang. Demikianlah, maka sejenak kemudian telah terjadi
pertempuran y ang dahsy at. Orang-orang yang mencari kitab
itu telah bertempur dengan kemarahan yang membakar
jantung. Sementara ketiga anak muda itu m enyadari, bahwa
mereka harus berhati-hati m elawan orang-orang itu. Mereka
sampai hati membunuh saudara seperguruannya. Apalagi
orang lain. Karena itu, jika mereka tidak mau terbunuh dalam
pertempuran itu maka mereka harus bertempur sebaikbaiknya.
Bahkan dengan mengerahkan segenap
kemampuannya, karena orang-orang itu pun ternyata orangorang
y ang berbekal ilmu pula.
Mahisa Murti, Mahisa Pukat dan Mahisa Semu agaknya
merasa lebih baik menghadapi lawan-lawannya dengan
bertempur berpasangan. Kelemahan Mahisa Semu dapat
ditutup oleh kelebihan Mahisa Murti dan Mahisa Pukat tanpa
diketahui oleh lawan-lawan mereka.
Tetapi, ternyata lawan-lawan mereka itu pun telah
menyimpan pengalaman y ang luas. Untuk menghadapi tiga
orang anak muda itu, maka mereka pun telah membuat
lingkaran mengelilingi ketiganya.
Mahisa Murti, Mahisa Pukat dan Mahisa Semu y ang
berdiri di tengah-tengah simpang empat itu pun benar-benar
telah bertempur dengan tangkasnya. Mereka tidak segera
terpengaruh oleh sikap lawan-lawan mereka y ang berdiri pada
sebuah lingkaran. Lingkaran yang bergerak bagaikan gelombang. Seorang
demi seorang telah meloncat menyerang. Sekali-sekali dengan
tangan namun pada kesempatan yang lain dengan kaki
mereka. Tetapi, Mahisa Murti, Mahisa Pukat dan Mahisa Semu
ternyata tidak menjadi bingung. Mereka dengan tangkasnya
telah mengimbangi serangan-serangan itu. Dengan
tangkasnya mereka menangkis dan m enghindar. Sekali-sekali
jarak di antara mereka bertiga merenggang. Namun kemudian
merapat kembali, bahkan sekali-sekali di antara ketiga orang
anak muda itu telah melenting m eny erang dengan cepatnya.
Namun, k emudian meloncat kembali ke tempatnya. Sehingga
ketiganya seakan-akan telah menjadi kesatuan y ang utuh lagi.
Orang-orang y ang ingin merampas kitab itu ternyata
menjadi semakin marah. Serentak mereka telah meningkatkan
kemampuan mereka. Gelombang serangan mereka pun
menjadi semakin lama semakin dahsy at. Seakan-akan angin
dari lau tan semakin keras bertiup. Bahkan kemudian menjadi
taufan dan angin prahara.
Ketiga anak muda itu pun harus bekerja semakin keras
untuk mempertahankan diri. Nampaknya orang-orang itu
masih berusaha untuk mendapatkan kepuasan tertinggi,
membunuh ketiga anak muda itu tanpa senjata. Sementara itu,
ketiga anak muda itu pun masih juga menganggap belum perlu
untuk mempergunakan senjata apapun.
Demikianlah maka pertempuran itu semakin lama
menjadi semakin cepat. Bahkan gelombang serangan dari
orang-orang yang memburu kitab itu menjadi semakin garang.
Tidak saja serangan datang beruntun dari segala arah, tetapi
lingkaran itu mulai bergerak berputar. Ayunan-ay unan mulai
nampak bergerak k e kiri selangkah demi selangkah. Semakin
lama menjadi semakin cepat.
Mahisa Murti, Mahisa Pukat dan Mahisa Semu berusaha
untuk tidak terpengaruh oleh putaran itu. Mereka
memperhatikan setiap orang yang bergerak mendekat.
Meskipun serangan kadang-kadang justru dilakukan dari arah
yang lain, namun anak-anak muda itu ternyata tidak pernah
menjadi lengah dan membiarkan lawan-lawannya mencuri
serangan. Ketika putaran itu menjadi semakin cepat, maka Mahisa
Semu nampaknya mulai terpengaruh. Tetapi, karena ia berada
dalam satu kesatuan dengan Mahisa Murti dan Mahisa Pukat,
maka kelemahan itu memang tidak nampak pada pengamatan
lawan-lawannya. Namun demikian Mahisa Murti dan Mahisa
Pukat merasakan pengaruh itu pada adik angkatnya itu.
"Kau mulai terpengaruh," berkata Mahisa Murti sambil
berbisik, " sadari kelemahanmu. Seharusnya hal itu tidak perlu
terjadi. Biar saja mereka berputaran. Ambil seorang di antara
mereka. Jadikan sa saran yang baik dan pada saat yang
memungkinkan, kau harus meloncat m enyerang. Tetapi, kau
tidak boleh m engabaikan kemungkinan y ang dilakukan oleh
orang-orang di sebelah meny ebelahnya."
"Aku mengerti" desis Mahisa Semu.
"Perhatikan. Aku akan m elakukannya" berkata Mahisa
Pukat. Mahisa Pukat pun kemudian mempersiapkan dirinya.
Sambil m enghindar dan menangkis serangan lawan-lawannya
yang datang, ia telah mempersiapkan serangannya pula.
Karena itu, demikian serangan lawannya gagal mengenai
tubuhnya dan meloncat kembali memasuki putaran, maka
tanpa memberikan waktu, Mahisa Pukat telah meloncat,
menyusulnya dan meny erangnya dengan cepat sekali.
Serangan itu m emang terduga sama sekali. Karena itu,
maka sasarannya tidak sempat berbuat sesuatu. Ketika ia
berusaha melindungi dadanya, maka kaki Mahisa Pukat telah
menghantamnya dengan kekuatan y ang sangat besar.
Ternyata bahwa kekuatan Mahisa Pukat itu telah
melemparkan lawan y ang menjadi sa sarannya keluar putaran.
Demikian kerasnya sehingga orang itu telah berguling
beberapa kali. Namun, ternyata ketika orang itu mencoba untuk
melenting berdiri, ia justru menyeringai kesakitan, sehingga
karena itu, maka ia pun telah berjongkok sambil memegangi
dadanya. Nafa snya terasa mulai menjadi sesak. Karena itu,
maka ia pun tidak dapat dengan tergesa -gesa berdiri. Bahkan
orang itu pun segera duduk untuk mencoba mengatasi
kesulitan nafasnya. Tangannya pun kemudian bersilang di
dadanya. Sementara itu, kawan-kawannya yang berada di sebelahmenyebelahnya
dengan cepat telah mengisi kekosongan itu.
Namun bagaimanapun juga,, serangan itu telah
mempengaruhi putaran lawan-lawannya, sehingga untuk
beberapa saat, gelombang y ang terayun-ayun mengelilingi


03 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

anak-anak muda itu dan y ang sekali-sekali menempuh dengan
dahsy atnya, menjadi agak terganggu.
Pemimpin dari orang-orang itu berusaha untuk
mengatasi keadaan. Beberapa kali ia meneriakkan aba-aba.
Ternyata bahwa orang -orang yang berada dalam putaran itu
dengan cepat telah mampu meny esuaikan dirinya, sehingga
putaran itu telah berjalan lagi seperti semula.
Tetapi, jumlah mereka telah berkurang satu. Dengan
demikian maka Mahisa Pukat telah membuka satu
kemungkinan berikutnya. Beberapa saat, maka serangan-serangan orang-orang
yang berputar dalam lingkaran itu menjadi semakin cepat.
Putaran itu pun menjadi semakin cepat pula. Bahkan orangorang
y ang berada dalam lingkaran itu mulai bergumam.
Semakin lama semakin keras sehingga akhirnya suara mereka
menjadi menghentak-hentak menyakitkan telinga.
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat tidak mengalami
banyak gangguan. Mereka mampu mengatasiny a dengan daya
tahan mereka yang tinggi. Namun, Mahisa Semu benar-benar
telah mulai terpengaruh. " Isilah setiap relung di dalam dadamu dengan
pengerahan kemampuan. Kau harus berani melakukan seperti
yang baru saja aku lakukan" berkata Mahisa Pukat.
Mahisa Semu mengangguk. Ia pun mulai bersiap-siap. Ia
harus m ampu melakukan seperti y ang dilakukan oleh Mahisa
Pukat. Tetapi, karena putaran itu semakin lama menjadi
semakin cepat, serta pengaruh suara hentakkan-hentakkan
dan teriakan-teriakan, maka Mahisa Semu justru menjadi
semakin ragu-ragu. Kepalanya menjadi semakin pening dan
jantungnya bagaikan berderak-derak.
Dalam keadaan y ang demikian, maka pertahannya pun
menjadi semakin lemah. Ketika serangan-serangan datang
beruntun, hampir saja Mahisa Semu tidak lagi mampu
menangkis atau menghindarinya dengan cepat.
Namun pada saat y ang demikian, Mahisa Murti lah y ang
mulai bergerak. Di saat-saat serangan datang beruntung, maka
Mahisa Murti mulai m enjadi m uak. Karena itu, m aka ketika
seorang di antara lawannya y ang berputar itu melenting
menyerangnya, Mahisa Murti masih mengelak. Tetapi,
serangan berikutnya dengan cepat menyusul, justru dari orang
yang telah berputar lewat beberapa langkah daripadanya, yang
meloncat surut dan meny erangnya.
Serangan y ang agaknya memang tidak terduga-duga
sebagaimana beberapa kali terjadi. Tetapi, Mahisa Murti ju stru
telah m enanggapinya dengan caranya. Namun, ia ju stru telah
dengan sengaja membentur serangan yang datang itu.
Lawannya yang meny erangnya nampaknya memang
kurang mempersiapkannya dengan baik. Ia hanya sempat
memperhitungkan waktu y ang paling tepat baginya serta
kesempatan yang menurut perhitungannya terbuka. Tetapi, ia
tidak memperhitungkan kemampuan Mahisa Murti mengatasi
keadaan yang paling gawat sekalipun.
Dengan demikian maka benturan yang keras pun telah
terjadi. Mahisa Murti memang bergetar. Tetapi, ia sengaja
meloncat kembali ke t empatnya, di antara Mahisa Pukat dan
Mahisa Semu. Namun sementara itu, lawannya bagaikan telah
terlempar dengan derasnya. Justru karena ia berada di dalam
lingkaran, maka tubuhnya y ang terlempar itu telah m enimpa
kawannya y ang lain, sehingga sekaligus maka tiga orang telah
terlempar dari lingkaran.
Ternyata bahwa peristiwa itu telah menimbulkan
persoalan bagi lawan-lawannya. Pemimpinnya pun tidak
segera mampu m engatasinya. Namun, orang-orang yang ada
di sebelah meny ebelah lubang-lubang pada lingkaran itu
berusaha untuk menutupnya meskipun tidak t erlalu rapat,
sementara lingkaran itu- pun menjadi semakin sempit.
Dalam pada itu, Mahisa Pukat dengan cepat telah
memanfaatkan keadaan. Lingkaran y ang berputar itu memang
hampir berhenti karenanya meskipun masih bergerak terus.
Pemimpin mereka telah berteriak kepada orang-orang yang
terlempar itu untuk segera kembali mengisi tempatnya.
Pemimpinnya juga telah memanggil orang yang pertama sekali
terlempar dari lingkaran oleh serangan Mahisa Pukat.
Orang-orang itu m emang berusaha untuk dengan cepat
mengatasi, keadaannya. Namun, sebelum mereka berhasil,
Mahisa Pukat telah lebih dahulu melenting meny erang orang
yang berdiri justru agak jauh darinya.
Orang itu telah terlempar pula dengan derasny a. Justru
menimpa kawannya yang sudah hampir tegak lagi. Karena itu,
maka keduanya telah berguling-guling beberapa langkah.
Pemimpin dari orang-orang y ang memburu kitab itu
mengumpat kasar. Dengan marah ia membentak, "Cepat
bangkit dan kita bunuh orang-orang itu."
Yang lain y ang telah berhasil berdiri tegak, dengan cepat
telah memasuki lingkaran itu kembali. Namun, tenaga dan
kemampuan m ereka ternyata telah susut. Mereka tidak akan
sempat lagi bertempur sebagaimana sebelumnya.
Dengan demikian maka lingkaran y ang masih saja
berputaran itu sudah tidak lagi segarang semula. Meskipun
mereka masih juga berteriak-teriak dan menghentak-hentak,
namun mereka sudah tidak segarang sebelumnya.
Karena itu, maka kesulitan di dalam diri Mahisa Semu
pun telah berkurang. Apalagi setelah ia melihat apa yang
dilakukan Mahisa Pukat dan Mahisa Murti y ang ternyata
berhasil. Pada kesempatan mendatang, maka kedua orang
anak muda yang menganggapnya sebagai adiknya itu tentu
tidak akan sulit untuk meny elesaikan pertempuran yang
tersisa. Sementara itu dua orang y ang masih berada diluar
lingkaran itu pun telah berusaha untuk memasuki lingkaran
kembali. Sehingga dengan demikian maka lingkaran itu telah
menjadi utuh. Namun, yang ternyata utuh hanyalah
jumlahnya saja. Mahisa Murti dan Mahisa Pukat telah melihat
kelemahan itu. Beberapa saat lagi, maka m ereka akan dapat
menyelesaikan pertempuran itu.
Namun agaknya mereka melupakan, bahwa masih ada
kemungkinan lain y ang dapat terjadi. Ternyata orang-orang
itu telah mendapat perintah dari pemimpinnya untuk
mempergunakan kesempatan y ang masih ada itu dengan
mempergunakan senjata mereka.
Demikianlah, maka sejenak kemudian orang-orang y ang
berada dalam lingkaran itu telah menarik senjata mereka
masing-masing. Dengan demikian, maka ketiga anak muda itu pun
merasa perlu untuk mempergunakan senjata mereka pula.
Karena itu, maka sejenak kemudian telah terjadi
pertempuran bersenjata. Orang-orang yang berada di
lingkaran itu sebagian terbesar memang bersenjata pedang.
Namun, ada di antara mereka y ang bersenjata semacam
tongkat baja yang runcing ujungnya. Ada pula yang
mempergunakan sebuah kapak bertangkai lebih panjang dari
kapak kebanyakan. Sedangkan seorang lagi membawa sebuah
senjata yang runcing di kedua ujungnya.
Dengan demikian maka pertempuran pun telah menjadi
garang kembali. Bukan saja sekedar dengan tangan mereka,
tetapi telah dipergunakan senjata y ang sentuhannya akan
dapat mengoyakkan kulit. "Gila," geram Mahisa Pukat, "aku hampir saja
kehilangan kewaspadaan. Aku mengira bahwa pertempuran
ini sudah hampir selesai. Ternyata kita harus mulai lagi
dengan permainan yang baru."
"Meny erahlah," geram pemimpin dari orang-orang y ang
memburu kitab itu, "serahkan kitab itu dan pergilah."
Mahisa Pukat tertawa. Katanya, "jangan bohongi kami.
Jika kau telah berhasil m engambil kitab itu, m aka kau t entu
akan membunuh kami, y ang kau anggap telah melihat isi kitab
itu dan y ang barangkali kau anggap telah menodainya."
"Persetan," geram pemimpin kelompok itu, "apa pun
yang kalian lakukan, kalian memang akan mati."
"Karena itu, biarlah kami sempat menunjukkan kepada
kalian bahwa kami sudah m enguasai ilmu yang tersimpan di
dalam kitab itu" jawab Mahisa Pukat.
"Omong k osong" pemimpin dari sekelompok orang itu
telah membentak. Mahisa Pukat justru tertawa. Namun, dengan tiba-tiba
sa ja suara tertawanya telah terputus. Dengan satu loncatan
panjang Mahisa Pukat telah meny erang. Pedangnya terjulur
lurus, bahkan langsung m enghunjam lambung salah seorang
lawannya. Orang itu meny eringai kesakitan. Namun, ternyata ia
tidak dapat bertahan untuk tetap berdiri. Ketika Mahisa Pukat
menarik pedangnya, maka ia pun telah terhuyung-huyung
keluar lingkaran dan jatuh di tanah. Beberapa kali ia m asih
dapat berguling perlahan-lahan menepi sambil berdesis
menahan pedih di lukanya itu.
"Nah," berkata Mahisa Pukat, "satu demi satu, gigi
lingkaran itu akan aku habiskan."
"Anak iblis. Aku bunuh kau dengan caraku" geram
seorang y ang berkumis tebal.
Tetapi begitu mulutnya terkatub, maka sekali lagi,
dengan tidak diduga-duga, Mahisa Pukat telah m eloncat lagi.
Senjatanya tidak terjulur lurus. Tetapi terayun mendatar.
Sekali lagi seorang di antara lawannya itu terdor ong
keluar dari lingkaran. Dadanyalah yang terkoy ak oleh ujung
pedang Mahisa Pukat. "Licik," geram pemimpin kelompok itu, "kau meny erang
dengan tiba-tiba justru di saat lawanmu tidak mengira akan
terjadi. Jika kau jantan, maka kau tentu akan meny erang saat
lawanmu siap menerima serangan itu."
"Siapakah yang licik ?" bertanya Mahisa Pukat, "apakah
bertempur dalam jumlah y ang jauh lebih besar seperti yang
kalian lakukan itu bukannya satu kelicikan ?"
"Tutup mulutmu," bentak pemimpinnya itu, "kau akan
mati dengan penuh peny esalan."
Tetapi, pemimpinnya itulah y ang kemudian terkejut.
Ternyata perhatiannya lebih banyak tertuju pada Mahisa
Pukat daripada Mahisa Murti.
Karena itu, pemimpin dari orang-orang y ang m emburu
kitab itu tidak bersiap untuk menghadapi serangan Mahisa
Murti y ang tiba-tiba dan tidak terduga -duga.
Tetapi, Mahisa Murti ternyata tidak bersungguhsungguh
berniat membunuhnya. Karena itu, maka senjatanya
tidak langsung menghunjam ke dadanya. Ujung pedang
Mahisa Murti memang menyambarnya, tetapi sekedar
mengoy akkan kulit di pundaknya.
Orang itu meloncat surut, keluar dari lingkaran.
Sementara itu, dari lukanya telah mengalir darah.
Orang itu mengumpat sejadi-jadinya. Mahisa Murti y ang
telah kembali ke tempatnya tertawa sambil berkata lantang,
"nah, biarlah kalian menyadari, bahwa bukan kalian yang
berhak menentukan akhir dari pertempuran ini. Kami pun
berhak menuntut peny elesaian yang paling baik bagi kami dari
pertempuran ini." "Persetan," geram pemimpin dari orang-orang y ang
memburu kitab itu, "kita akan membuktikan, bahwa tidak ada
orang y ang dapat mencegah kehendakku untuk membunuh
siapapun." "Kau ternyata sangat sombong. Sudah aku katakan, kau
tidak akan dapat berbuat apa pun sekarang di sini" sahut
Mahisa Murti. Dalam pada itu, demikian pemimpinnya terlempar,
maka pertempuran itu seakan-akan memang berhenti. Mahisa
Murti dan Mahisa Pukat beserta adik angkatnya itu
sebenarnya dapat memanfaatkan keadaan itu, selagi orangorang
y ang sedang memburu kitab itu merasa kehilangan
pemimpin. Tetapi, ternyata pemimpinnya itu sangat tahan
mengalami guncangan-guncangan y ang bagaimanapun juga.
Karena itu, maka luka di puncaknya itu seakan-akan tidak
dirasakannya. Bahkan ia pun kemudian berkata, "Kalian akan
menyesali perbuatan kalian."
Dengan tangkasnya orang itu telah m eloncat memasuki
lingkaran lagi tanpa menghiraukan darah y ang mengalir di
pundaknya. Namun, saat-saat y ang rawan itu telah
dipergunakan Mahisa Pukat sekali lagi. Demikian perhatian
orang-orang itu tertuju kepada pemimpinnya yang kembali
memasuki arena, maka seorang lagi di antara mereka berteriak
tertahan. Pedang Mahisa Pukat telah m elukai lam bung orang
itu. Luka y ang cukup dalam dan parah.
Sejenak orang itu terhuyung-huyung, namun ia pun
kemudian terjatuh di tanah. Darah memang terlalu banyak
mengalir dari tubuhnya sehingga ia tidak lagi mampu untuk
bangkit berdiri. Pemimpin dari orang-orang y ang memburu kitab itu
menjadi semakin marah. Karena itu, maka ia pun segera
berteriak, "Bunuh mereka. Kita sudah kehilangan gairah
dengan putaran ini. Karena itu bunuh mereka dengan cara apa
pun juga." Mahisa Murti, Mahisa Pukat dan Mahisa Semu justru
termangu-mangu. Mereka sudah memperhitungkan bahwa
sejenak kemudian lingkaran itu telah terurai. Orang-orang itu
telah menebar dan mereka pun siap meny erang dari segala
arah. Tetapi, y ang m ereka lakukan tidak lagi m erupakan satu
kesatuan sebagaimana mereka berada dalam lingkaran.
Setelah menebar, maka mereka harus mengambil sikap
mereka masing-masing. Mahisa Murti, Mahisa Pukat dan Mahisa Semu pun
segera mempersiapkan diri menghadapi keadaan yang baru
itu. Namun bagi mereka, agaknya perlawanan yang akan
dilakukan oleh orang-orang y ang memburu kitab itu tidak lagi
terlalu berat. Sejenak kemudian, maka pemimpin dari orang-orang itu
telah m emberikan isy arat, sehingga sejenak kemudian orangorang
itu pun telah mulai bergeser dan mengayun-ay unkan
senjata mereka. Seorang y ang bersenjata kapak, bertubuh tinggi tegap
dan berjambang panjang telah meloncat meny erang Mahisa


03 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Semu. Namun, Mahisa Semu sudah siap menghadapi
kemungkinan itu. Apalagi ia tidak lagi merasa pening diganggu
oleh putaran y ang mengelilingnya serta umpatan-umpatan
dan teriakan-teriakan yang mengitarinya.
Karena itu, maka ia pun dengan tangkasny a telah
meloncat menghindar. Bahkan senjatanya telah terayun
mendatar demikian kapak lawannya berputar di tangan
lawannya itu. Tetapi, ternyata lawannya yang besar itu masih m ampu
menghindar dengan cepat. Dengan loncatan panjang orang
bersenjata kapak itu melenting surut. Namun, sekali ia
memutar kapaknya, kemudian terayun ke samping. Satu
putaran lagi diatas kepalanya bersamaan dengan ayunan
kakinya yang meloncat meny erang. Kemudian dengan
derasnya kapak itu terayun mengarah ke ubun-ubun Mahisa
Semu. Tetapi, Mahisa Semu cukup tangkas. Ia bergeser
selangkah ke samping sambil memiringkan tubuhnya. Dengan
tangkas pula ia telah memukul kapak lawannya itu.
Ternyata orang bertubuh tinggi dan berjambang panjang
itu terkejut. Kapaknya hampir saja terlepas dari tangannya.
Anak muda itu memiliki kekuatan y ang sangat besar.
Sambil meloncat menghindari kemungkinan yang lebih
buruk, maka orang bertubuh tinggi itu berusaha memperbaiki
pegangannya atas senjatanya. Ketika ia berdiri tegak
menghadapi lawannya, senjata itu telah digenggamnya kuatkuat.
Tetapi, Mahisa Semu tidak sempat mengejarnya. Orang
lain yang bersenjata pedang telah meny erangnya, sehingga
Mahisa Semu harus melayaninya dan melepaskan orang
bersenjata kapak itu. Sementara itu Mahisa Murti dan Mahisa Pukat pun
harus bertempur melawan beberapa orang pula. Dengan
kemampuan mereka bermain pedang, maka keduanya mampu
mengatasi serangan-serangan yang datang beruntun dari
orang-orang y ang memburu kitab itu.
Tetapi, ketangkasan Mahisa Murti dan Mahisa Pukat
membuat mereka menjadi heran. Mereka sama sekali tidak
berhasil meny entuh tubuh anak-anak muda itu dengan ujungujung
senjata mereka. Namun, Mahisa Murti dan Mahisa Pukat ternyata telah
menjadi jemu. Karena itu, maka mereka pun telah
meningkatkan kemampuannya. Dengan m engerahkan tenaga
cadangan, maka kedua anak muda itu telah berhasil mendesak
lawan-lawannya. Tanpa mempergunakan beberapa
kemampuan ilmu y ang tinggi, maka Mahisa Murti, Mahisa
Pukat dan Mahisa Semu telah dapat m engatasi kemampuan
orang-orang y ang meny erangnya itu.
Karena itu, m aka sejenak kemudian sekelompok orangorang
itu benar -benar tidak berdaya menghadapi Mahisa
Murti, Mahisa Pukat dan Mahisa Semu, sehingga akhirnya,
ketika Mahisa Pukat membentak mereka agar meny erah maka
mereka tidak mempunyai pilihan lain.
Dengan jantung yang bagaikan berhenti berdegup, maka
beberapa orang y ang ter sisa itu telah meletakkan senjata
mereka, sementara beberapa orang kawannya telah terbaring
diam. "Nah," berkata Mahisa Murti, "apa y ang ingin kalian
lakukan sekarang" Apakah setiap orang yang sempat melihat
isi kitab itu akan kau bunuh?"
"Anak muda," berkata pemimpin dari kelompok orangorang
yang memburu kitab itu, y ang ternyata telah terluka,
"kalian telah menguasai kami. Kami menyadari, bahwa apa
pun yang kami lakukan, kami tidak akan dapat memenangkan
perkelahian ini. Karena itu lebih baik kami meny erah. Kami
sudah berjanji, jika kami tidak dapat mengambil kitab itu
kapan pun juga, maka kami akan memilih jalan terakhir,
kematian. Kami memang dapat bertempur sampai mati.
Tetapi, itu tidak akan ada artinya, karena ilmu kami berada di
bawah tataran ilmu kalian, sehingga aku m enganggap hal itu
tidak b erarti sama sekali. Nah, sekarang, apa pun yang akan
kalian lakukan terhadap kami, lakukanlah."
Mahisa Murti, Mahisa Pukat dan Mahisa Semu
termangu-mangu. Namun kemudian Mahisa Murti bertanya,
"berapa orang y ang sudah kau bunuh di saat kau memburu
kitab itu." Pemimpin dari kelompok itu termangu-mangu. Namun
kemudian katanya, "Aku tidak pernah membunuh seorang
pun." Tetapi, Mahisa Pukat tiba-tiba saja m embentak, "jangan
berbohong. Kau bunuh saudara seperguruanmu. Kau bunuh
orang-orang yang kau anggap menghalangi usahamu mencari
kitab itu dan kau sudah mengancam untuk membunuh kami
karena kami telah melihat isi kitab itu."
"Kami m emang ingin berbuat demikian. Tetapi, kami
tidak pernah sempat melakukan" jawab pemimpinnya.
"Bohong" bentak Mahisa Pukat.
"Memang di antara kamilah y ang melakukan. Tetapi,
bukan dengan tanganku dan tangan orang-orang yang
kebetulan bersamaku sekarang" jawab orang itu.
"Aku tidak tahu maksudmu" berkata Mahisa Murti.
"Kami memang seakan-akan saling berebut dahulu.
Tetapi, di saat kami datang bersama-sama, maka kematian itu
tidak dapat dihindari lagi," jawab pemimpin itu, "Tetapi, jika
dengan demikian kau anggap kami telah ikut membunuh
korban-korban itu, maka kami memang tidak mengelak."
"Aku tidak mengerti bedanya. Yang kami ketahui kalian
telah membunuh. Dan kalian tahu, apakah hukuman bagi
seorang pembunuh" geram Mahisa Pukat.
"Sudah aku katakan, bahwa kami semua ini tidak akan
ingkar. Apalagi kami sudah bertekad, jika kami tidak
mendapatkan kitab itu, m aka kami memang lebih baik mati"
berkata pemimpin kelompok itu.
Mahisa Murti justru m enjadi termangu -mangu. Namun
kemudian katanya, "Ada perbedaan antara kalian dan kami.
Kami memang bukan pembunuh-pembunuh yang tidak
berperasaan. Meskipun aku tidak tahu pasti, bahwa apa yang
kau katakan itu benar, namun kami memang tidak akan
bersedia kau jadikan alat untuk membunuh diri. Kecuali jika
kau tidak berhenti bertempur, maka mungkin kalian akan
terbunuh atau terluka parah."
"Kami tidak ingin mengalami kesulitan menuju ke jalan
kematian," berkata pemimpin sekelompok orang-orang yang
memburu kitab itu, "karena itu, bunuhlah dengan langsung
menembus jantungku. Aku akan berterima kasih kepada
kalian." Tetapi Mahisa Murti berkata, "Lakukanlah jika kalian
mempunyai niat untuk melakukan sendiri. Tetapi ingat, bahwa
pengecut y ang paling buruk adalah seseorang y ang membunuh
dirinya. Seorang yang menyadari akan kegagalannya, tentu
akan dapat mencari jalan lain. Sedangkan orang yang
menyadari kesalahannya, akan mencari jalan k ebenaran. Aku
tidak tahu, apakah kalian ingin membunuh diri karena kalian
merasa gagal dan tidak akan mampu lagi memenuhi janji
kalian kepada diri sendiri atau karena kalian merasa bahwa
kalian telah melakukan kesalahan y ang tidak terhitung lagi
jumlahnya." "Apa pun yang kau sebut, kami tidak akan menolak"
berkata pemimpin kelompok itu.
"Baiklah. Pergilah. Bawa kawan-kawanmu y ang terluka.
Aku tidak mempunyai persoalan lagi dengan kalian. Aku akan
tetap membawa kitab itu dan tidak akan pernah aku serahkan
kepada kalian. Tetapi kalian boleh mengetahuinya, bahwa
kitab itu memang bukan kitab y ang pantas dikagumi atau
ditebus dengan nyawa. Ilmuku sudah jauh lebih tinggi dari isi
kitab itu. Karena itu, kitab itu tidak berarti apa-apa lagi
bagiku, kecuali untuk memusnahkannya sehingga tidak akan
menimbulkan per soalan lagi" berkata Mahisa Murti.
"Tetapi.... " pemimpin kelompok itu menjadi pucat, "kau
membuat aku cemas, melampaui kecemasan seorang yang
akan dihukum mati. Jangan musnahkan kitab itu."
" Itu lebih baik daripada kitab itu akan selalu
menimbulkan per soalan" jawab Mahisa Murti.
Wajah orang itu memang benar-benar m enjadi pucat.
Keringat dingin telah membasahi punggungnya. Dengan suara
bergetar ia berkata, "Kalau kau ingin membunuh aku,
bunuhlah. Tetapi aku mohon, jangan musnahkan kitab itu.
Jika kau tidak memerlukannya karena kau mampu meniti
jalur lain untuk mencapai ilmu y ang tinggi, berikan kepada
orang lain. Tetapi jangan dimusnahkan. Karena kitab itu
menyangkut kelangsungan hidup sebuah perguruan."
Tetapi, Mahisa Pukat lah yang menjawab, "jadi kau
belum puas dengan kematian-kematian y ang telah terjadi
karena kitab itu" Agaknya kau masih ingin terjadi lagi
kematian demi kematian."
"Bukan maksudku. Tetapi kitab itu" jawab orang itu.
Mahisa Pukat m enarik nafas dalam-dalam. Hampir di
luar sadarnya ia berpaling ke arah Mahisa Murti.
Namun, sebelum Mahisa Murti mengatakan sesuatu,
tiba -tiba saja kedua orang anak muda itu menjadi tegang.
Dengan sungguh-sungguh Mahisa Pukat berdesis kepada
Mahisa Semu, "berhati-hatilah. Kita akan mendapat kawan
latihan y ang baru. Namun, agaknya orang-orang ini
mempunyai kelebihan dari sekelompok orang dungu ini."
Mahisa Semu termangu-mangu. Ia mencoba
memperhatikan keadaan di sekitarnya. Tetapi, ia tidak melihat
seseorang. Mahisa Murti lah yang kemudian berkata, "Marilah Ki
Sanak. Agaknya lebih baik kita berbicara berhadapan daripada
sekedar bersembuny i dan mengintip di balik gerumbulgerumbul
perdu." Terdengar umpatan kasar. Namun kemudian dua orang
telah meloncat dari balik gerumbul-gerumbul liar.
"Luar biasa," berkata salah seorang dari mereka, "kalian
dapat mengetahui kehadiran kami."
Namun Mahisa Murti menyahut, "Luar biasa, bahwa
kalian berhasil mendekati arena tanpa kami ketahui."
Sekali lagi orang itu m engumpat. Namun dalam pada
itu, orang-orang yang sudah menjadi pucat itu justru semakin
pucat. Di luar sadarnya ia berdesis, "Kau."
Kedua orang itu t ertawa. Didekatinya pemimpin
sekelompok orang yang memburu kitab itu sambil berkata,
"Ternyata kau tetap dungu."
Pemimpin dari orang-orang y ang memburu kitab itu
menyahut, "Aku sudah berusaha cukup jauh."
"Tutup mulutmu," bentak salah seorang di antara kedua
orang y ang baru datang, "kau tidak usah berbicara apa-apa.
Aku sudah tahu kau terluka dan sama sekali tidak berdaya.
Orang-orangmu ada sudah hampir mati atau bahkan sudah
mati." Pemimpin dari sekelompok orang y ang m emburu kitab
itu terdiam. Ia m emang tidak mempunyai keberanian untuk
menentang kedua orang y ang dianggapnya berilmu sangat
tinggi itu. Sementara itu, salah seorang dari kedua orang y ang
datang kemudian itu berkata, "Nah. Sekarang serahkan kitab
itu kepadaku. Kau tidak akan dapat menghancurkannya. Kitab
itu adalah lambang kelangsungan sebuah perguruan.
Bukankah kau sudah mendengarnya?"
Mahisa Murti mengangguk-angguk. Tetapi katanya,
"Kau tentu tahu arti dari kitab ini. Kematian. Nah, apakah kau
ingin mempertahankannya?"
Tetapi orang itu tertawa. Katanya, "Kau dapat berkata
apa pun juga. Tetapi, serahkan kitab itu kepadaku."
" Jika kitab itu kami serahkan?" bertanya Mahisa Murti.
Orang itu tidak menjawab. Tetapi, keduanya justru
tertawa bersama-sama. Semakin keras.
Mahisa Murti lah y ang kemudian berkata, "Nah, aku
tahu maksud kalian. Akhirnya akan sama saja. Kau akan
membunuh kami jika kitab ini sudah aku serahkan. Karena itu,
biarlah kita balik saja. Bunuh aku dulu jika kalian m ampu.
Baru kitab ini akan sampai ke tanganmu."
Kedua orang itu masih tertawa. Seorang di antara
mereka berkata, "Ternyata kalian m emang sudah gila. Kalian
merasa bahwa kalian telah berhasil m engalahkan tikus-tikus
ini akan dapat mengalahkan kami berdua. Sayang anak muda.
Kau agaknya salah melihat lawan."
Sementara itu yang lain berkata, "Sudahlah. Kau
memang tidak m empunyai pilihan lain. Kau akan mati dan
kitab itu akan sampai ke tangan kami."
"Nah, agaknya yang terakhir itulah yang lebih singkat.
Marilah. Kami akan melayani tantangan kalian. Karena kalian
hanya berdua, maka kami pun turun berdua k e arena" jawab
Mahisa Murti. Kedua orang itu tertawa pula. Katanya, "jangan
menyiksa diri. Marilah. Kalian akan dapat maju bertiga."
"Tidak perlu. Kami sudah mempelajari isi kitab itu,
sehingga kami sudah memiliki ilmu y ang tinggi" tiba -tiba saja
Mahisa Pukat menyahut. Kedua orang itu masih saja tertawa. Seorang di antara
mereka berkata, "Ternyata kau senang bergurau anak muda.
Tetapi kami tahu, bahwa untuk mempelajari kitab itu
diperlukan waktu." Mahisa Pukat tiba-tiba saja juga tertawa. Katanya, "Aku
memang berbohong. Kami bertiga hanya melihat sepintas.
Tetapi, ternyata ilmu kami sudah lebih tinggi dari isi kitab itu,
sehingga kami tidak memerlukannya lagi."
"Kalian merasa bahwa ilmu kalian lebih tinggi dari isi
kitab itu?" bertanya salah seorang di antara kedua orang itu.
Bahkan keduanya tertawa semakin keras. Orang itu pun
kemudian melanjutkan, "Dengan mengalahkan cucurutcucurut
itu kau merasa bahwa ilmumu sudah lebih tinggi dari
isi kitab itu." "Tentu. Apakah kalian ingin mey akinkan" Nah, sampai
tataran keberapa kalian mempelajari ilmu y ang sejalan dengan
isi kitab itu" Ketiga atau ke empat?" bertanya Mahisa Pukat.
Tetapi kedua orang itu tidak menanggapinya. Bahkan
salah seorang di antara mereka berkata, "Sudahlah. Jika kalian
memang ingin mati marilah. Aku antarkan kalian ke neraka."
Mahisa Murti mengerutkan keningnya. Namun


03 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kemudian ia berkata, "jadi kalian ingin membunuh kami,
sementara kami telah membebaskan kawan-kawanmu?"
"Salahmu sendiri" geram salah seorang dari kedua
orang itu. "Kami tidak mau membunuh mereka, karena mereka
justru ingin membunuh diri," berkata Mahisa Murti, "tetapi
sekarang, kalian justru ingin memanfaatkan keadaan yang
serupa" Seandainya kami ingin m embunuh diri, kalian tidak
berkeberatan melakukannya?"
"Tentu tidak. Kami memang suka menolong orang lain"
jawab salah seorang dari kedua orang itu.
" Jika kalian memang senang menolong orang lain,
bagaimana jika kami ingin pergi saja tetapi dengan membawa
kitab itu?" bertanya Mahisa Murti.
"Terlambat. Pintu sudah tertutup sementara kau masih
ada di dalam," jawab orang itu, "tetapi sudahlah. Jangan
berbicara saja. Aku tahu kau sengaja mengulur waktu
kematianmu. Sekarang, bersiap-siaplah untuk m ati. Marilah,
kalian bertiga maju atau kalian ingin m engambil jalan pintas
dengan menundukkan kepala dan membiarkan kami
menebasnya." Tetapi Mahisa Murti tertawa. Katanya, "satu permainan
yang menyenangkan. Bagaimana jika kau saja yang menunduk
dan membiarkan aku memukuli kepalamu sampai kau mati?"
Orang itu terkejut mendengar jawaban dan sikap Mahisa
Murti. Bahkan kemudian Mahisa Pukat y ang juga tertawa
berkata, "Kau ingin mati atau tidak" Jika tidak, kau harus
bersikap baik seperti kawan-kawanmu y ang terdahulu. Tetapi
jika kau mau mati, berbuatlah ka sar sehingga kami marah dan
membunuh kalian." Kedua orang itu tidak dapat lagi menahan diri. Karena
itu, maka seorang di antara mereka menggeram, "Bunuh
mereka dengan cara y ang paling menyakitkan."
Kedua orang itu pun melangkah untuk berpencar.
Namun Mahisa Pukat masih sempat berkata, "Bunuhlah
mereka hingga setengah mati saja, supay a mereka dapat
menikmati hari-hari kematian mereka. Baru kemudian jika
mati itu datang sendiri, bukan salah kami."
"Cukup," teriak salah seorang di antara kedua orang itu,
"kami sudah muak mendengar kata-kata kalian."
Mahisa Murti tertawa semakin keras. Katanya, "jangan
marah. Kau akan mengalami kesulitan jika kau bertempur
sambil marah." Orang itu tidak menahan dirinya lagi. Dengan
tangkasnya ia segera meloncat meny erang Mahisa Murti.
Mahisa Murti meloncat mundur. Namun, ia sudah
bersiap sepenuhnya. Namun, karena lawannya masih belum
merasa perlu untuk mempergunakan senjata, Mahisa Murti
dan Mahisa Pukat- pun tidak m empergunakan senjata pula.
Mereka bertempur atas dasar kemampuan mereka tanpa
mengandalkan kelebihan senjata-senjata mereka.
Namun, salah seorang dari kedua orang itu masih
sempat berteriak, "bertempurlah bertiga."
Tetapi Mahisa Murti m enjawab, "Tidak. Adikku masih
terlalu letih. Ia baru saja membunuh tujuh orang di dekat
pasar. Ia telah bertempur seorang diri melawan sekelompok
orang y ang ingin membunuhnya."
"Pasar y ang mana?" bertanya orang itu.
"Aku tidak tahu. Di sini kami menjadi bingung. Tetapi
pokoknya dekat pasar."
Lawan Mahisa Murti itu justru meloncat menjauh.
Katanya sambil tertawa, "Kau selalu berbohong untuk
menutupi kekuranganmu. Kami tahu perjalanan y ang baru
sa ja kalian tempuh. Tidak ada perkelahian kecuali kalian
Pedang Kayu Cendana 5 Sherlock Holmes - Peristiwa Di Sekolah Priory Kisah Tiga Kerajaan 29

Cari Blog Ini