Ceritasilat Novel Online

Hijaunya Lembah Hijaunya 19

03 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja Bagian 19


Namun ternyata Mahisa Pukat menjadi kurang sabar.
Katanya, "Kami akan meny erah jika kami tahu kesalahan
kami. Tetapi karena kami tidak tahu kesalahan kami, m aka
kami tidak akan m eny erah. Kami akan m empertahankan diri
kami dengan sekuat tenaga. Jika perlu kami akan membunuh
beberapa orang di antara kalian."
Orang-orang itu saling berpandangan sejenak.
Kemudian orang y ang mewakili kawan-kawannya itu pun
berkata, "Nah, bukankah kami benar. Kalianlah pembunuhpembunuh
itu." "Siapakah y ang pernah kami bunuh m enurut kalian?"
bertanya Mahisa Pukat. " Jangan banyak bicara," geram orang itu, "cepat
menyerah atau kalian bertiga akan mati." orang yang bertubuh
tinggi tegap menggeram. Ketiga orang anak muda itu memang menjadi heran dan
gelisah. Sementara itu tidak seorang pun di antara orangorang
y ang berdiri didekat dinding itu berkata tentang
kesalahan mereka. Dalam pada itu, Mahisa Murti pun berkata, "Baiklah.
Jika kalian ingin kami meny erah, kami akan melakukannya.
Tetapi kami harus tahu, untuk apa kami meny erah.
Seandainya kami harus menjalani hukuman, maka atas
kesalahan apa maka kami dihukum. Tanpa penjela san itu,
maka kami memang tidak akan meny erah."
Orang y ang bertubuh tinggi tegap itu tiba -tiba saja
berkata lantang, "Kau jual kemana saja anak-anak y ang telah
kau ambil itu?" "Anak-anak?" wajah Mahisa Murti menjadi tegang,
"anak-anak apakah yang kau maksud?"
Orang itu tertawa berkepanjangan. Dengan nada tinggi
ia berkata, "Kalian adalah orang-orang yang terlalu sombong
dan menganggap orang lain terlalu bodoh. Sekarang,
menyerahlah." "Aku tidak mengerti," berkata Mahisa Murti, "sebaiknya
kita berbicara lebih terbuka untuk mengatasi kesalahpahaman
ini, sehingga kita tidak akan terperosok ke dalam
persoalan yang tidak perlu terjadi."
"Cukup. Kalian terlalu banyak berbicara," berkata orang
itu, "Kita sudah terlalu lama berbicara tanpa ujung pangkal.
Dan kami nampaknya sudah terlalu sabar menghadapi orangorang
seperti kalian." "Tetapi apa y ang telah kami lakukan. Semalam aku
mendengar kalian datang di muka pintu bilik itu. Salah
seorang di antara kalian mengatakan, bahwa sebaiknya kalian
menunggu," berkata Mahisa Pukat, "aku tidak tahu apa yang
kalian maksudkan. Tetapi kami tidak berbuat apa-apa di sini."
"Kalian tidak berbuat apa-apa setelah kami mengepung
kalian." jawab orang bertubuh tinggi tegap itu.
"Sudahlah," berkata Mahisa Pukat, "sekarang sebutkan,
dimana ada anak-anak hilang itu" Berapa y ang sudah hilang
dan apa yang kalian ketahui tentang anak yang hilang itu"
Kami akan bersedia membantu kalian, menemukan anak-anak
yang hilang atau orang-orang y ang telah mengambil anakanak
itu." OooodwoooO HIJAUNYA LEMBAH HIJAUNYA LERENG PEGUNUNGAN Jilid 70 Cetakan Pertama PENERBIT: "MURIA" YOGYAKARTA Kolaborasi 2 Website : dengan Pelangi Di Singosari / Pembuat Ebook : Sumber Buku Karya SH MINTARDJA
Scan DJVU : Ismoyo Converter : Editor : Raharga, Arema, Dino,
Pdf ebook : --ooo0dw0ooo- Naskah ini untuk keperluan kalangan sendiri,
penggemar karya S.H. Mintardja dimana saja berada y ang
berkumpul di Web Pelangi Singosari dan Tiraikasih
Jilid 070 SEMUA orang dengan serta m erta telah bangkit dari
tempat duduknya. Demikian pula dua orang yang garang, yang
duduk di tengah. Dengan tajamnya kedua memandangi
Mahisa Semu dan sekali-kali pengikutnya y ang dengan susah
pay ah berusaha untuk bangkit.
"Anak iblis," geram orang itu.
Namun tiba -tiba saja kedua orang y ang garang itu
tertawa. Seorang di antara m ereka b erkata, "Apakah anak itu
telah memukulmu?" "Ya Ki Lurah," sahut orang y ang telah berhasil bangkit
berdiri itu. "Lalu apa y ang harus kau lakukan?" bertanya orang
yang garang itu. "Membunuhnya dan mengambil perempuan itu
daripadanya," jawab pengikutnya.
"Bagus," berkata orang yang garang itu sambil tertawa,
"jika demikian kau m asih tetap sahabatku. Bunuh orang itu
dan ambil perempuan itu untukku. Perempuan itu ternyata
cantik sekali." Gadis itu menjadi semakin ketakutan. Tetapi Mahisa
Murti berbisik, "jangan takut. Kita yakin akan pertolongan
Yang Maha Agung. Kau harus pasrah. Dengan demikian kita
tentu akan dibebaskan-Nya."
Gadis itu mengangguk. Tetapi tubuhnya tetap gemetar.
Sementara itu, orang y ang telah dipukul oleh Mahisa
Semu itu telah melangkah setapak demi setapak
mendekatinya. Namun orang y ang garang itu berteriak, "jangan di
dalam. Kalian akan merusakkan isi kedai itu. Diluar tempatnya
luas. Mumpung belum gelap, dan ditempat pemberhentian
pedati itu belum banyak terisi."
"Baik," berkata pengikutnya, "Kita berkelahi diluar."
Mahisa Semu tidak menjawab. Namun ia berdesis
kepada Mahisa Pukat, "Terserah gadis itu."
"Aku akan menjaganya bersama Mahisa Murti, "Jawab
Mahisa Pukat. Demikianlah, mereka pun telah pergi keluar kedai itu
dan berada ditempat terbuka y ang luas. Tempat
pemberhentian pedati yang belum banyak terisi.
Orang berwajah garang itu pun telah keluar pula.
Seorang di antara m ereka berteriak, "Awasi gadis itu. Jangan
sampai lari. Jika gadis itu hilang, maka aku akan membunuh
tiga orang di antara kalian."
Para pengikutnya memang menjadi ketakutan. Karena
itu, maka mereka pun telah mengawasi gadis itu dengan
sungguh-sungguh. Sejenak kemudian, di tengah-tengah arena y ang
dilingkari oleh orang-orang yang keluar dari kedai itu, Mahisa
Semu telah ber siap m enghadapi orang yang telah dipukulnya.
Sementara itu beberapa orang laki-laki yang semula selalu
mengganggu telah terdiam. Mereka tidak mengira bahwa
anak-anak muda yang bersama dengan gadis itu telah berani
memukul pengikut kedua orang y ang garang, yang ditakuti
oleh setiap orang itu. Bahkan kelompok-kelompok penjahat
sekalipun. "Cepat. Kenapa kalian belum mulai," teriak salah
seorang di antara kedua orang y ang garang itu.
"Baik," jawab pengikutnya y ang kemudian telah siap
untuk meny erang Mahisa Semu.
Tetapi Mahisa Semu pun telah bersiap menghadapi
segala kemungkinan. Meskipun ia tidak memiliki ilmu
sebagaimana Mahisa Murti dan Mahisa Pukat, tetapi ia sudah
membawa bekal olah kanuragan y ang cukup.
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat juga berdiri di pinggir
arena. Mereka menganggap bahwa peri stiwa itu ju stru telah
memberikan kesempatan Mahisa Semu berlatih. Asal saja
tidak berbahaya bagi k eselamatan jiwanya, maka kedua anak
muda itu tidak akan mencampurinya.
Sejenak kemudian orang yang telah dipukul oleh Mahisa
Semu itu mulai meloncat meny erang. Ternyata orang itu
cukup garang. Dengan loncatan panjang maka orang itu telah
menerkam lawannya. Tangannya terjulur lurus mengarah ke
wajah Mahisa Semu dengan jari-jari yang mengembang.
Tetapi Mahisa Semu dengan tangkas telah mengelak.
Selangkah ia meloncat ke samping.
Ternyata hal itu sudah diperhitungkan oleh lawannya.
Karena itu dengan tiba -tiba, hampir di luar perhitungan
Mahisa Semu orang itu telah menjulurkan kakinya ke
samping. Bagaimanapun juga, pengalaman yang luas telah ikut
berbicara dalam benturan olah kanuragan. Ternyata bahwa
Mahisa Semu y ang belum berpengalaman itu tidak m ampu
menghindari serangan y ang sangat tiba -tiba itu. Anak muda
itu hanya sempat melindungi dadanya yang m enjadi sasaran
lawannya dengan meny ilangkan tangannya.
Namun serangan itu cukup keras, sehingga Mahisa Semu
telah terlempar beberapa langkah dan bahkan jatuh terguling.
Untunglah, bahwa anak muda y ang tubuhnya m emang
sedang berkembang itu cukup tangkas. Dengan serta merta ia
telah meloncat bangkit dan bersiap menghadapi segala
kemungkinan. Tetapi ternyata lawannya tidak memburunya. Ia justru
berdiri tegak sambil bertolak pinggang. Sambil tertawa
berkepanjangan ia berusaha untuk menikmati
kemenangannya. Tetapi ternyata bahwa Mahisa Semu telah maju
selangkah demi selangkah. Dengan mengerahkan daya
tahannya, maka Mahisa Semu telah mengatasi rasa sakit pada
punggungnya karena ia telah terbanting jatuh.
Kemarahan telah menyala di dadanya. Namun ia masih
sa ja selalu ingat setiap kali Mahisa Murti dan Mahisa Pukat
telah memberikannya peringatan, bahwa dalam benturan
kekerasan betapa pun kemarahan m encengkam jantungnya,
tetapi ia tidak boleh kehilangan akal.
Karena itu, m aka m enghadapi orang itu, Mahisa Semu
harus tetap mempergunakan penalarannya. Ternyata
lawannya mampu bergerak cepat sehingga ia pun harus
memperhitungkan setiap langkahnya.
"Marilah anak manis," berkata orang itu sambil tertawa.
Mahisa Semu tidak menjawab. Tetapi ia masih
melangkah mendekat. Sementara orang itu berkata
selanjutnya, "Serahkan saja adikmu itu kepadaku."
"Tidak untukmu. Tetapi untukku."
Lawan Mahisa Semu itu terkejut. Hampir diluar
sa darnya ia berpaling sambil menjawab, "Ya, ya Ki Lurah. Aku
minta untuk meny erahkan kepadaku dan selanjutnya aku
serahkan kepada Ki Lurah."
"Cukup," Mahisa Semu berteriak. Dadanya bagaikan
pecah karena ia menahan kemarahannya untuk tidak
menyerang di saat lawannya tidak bersiap. Rasa-rasanya ia
ingin meloncat menerkam dan membantingnya jatuh. Katanya
kemudian, "bersiaplah. Aku akan membalasmu."
Orang itu pun terkejut. Ia memang merasa heran, bahwa
lawannya y ang masih muda itu sempat memperingatkannya.
Namun demikian ia bersiap, maka Mahisa Semu lah
yang telah meny erangnya. Dengan cepat ia meloncat
menyerang dengan kakinya mengarah ke dada lawan. Namun
lawannya sempat mengelak. Bahkan sekaligus bersiap untuk
mengatasi setiap serangan anak itu berikutnya.
Tetapi Mahisa Semu tidak menyerangnya dengan serta
merta. Ia telah meloncat selangkah ke samping. Kemudian
berputar cepat berporos pada tumit kakinya, sementara
kakinya y ang lain terayun mendatar.
Lawannyalah y ang kemudian harus meloncat surut.
Namun demikian kaki Mahisa Semu yang terayun itu
diletakkan, maka lawannya itulah yang meloncat m eny erang.
Sambil meloncat maju dengan loncatan panjang, maka
tangannya telah terjulur lurus ke depan, m engarah ke kening
Mahisa Semu. Ternyata Mahisa Semu masih mempergunakan
penalarannya. Demikian serangan itu menyambarnya, maka ia
pun telah bergeser cepat sambil merendahkan diri. Namun
demikian tangan lawannya terjulur, maka kakinyalah yang
telah menyambar lambung orang yang meny erangnya itu.
Orang itu terkejut. Namun ia tidak sempat berbuat
sesuatu. Bahkan sikunya pun tidak dapat melindungi
lambungnya itu, karena tumit Mahisa Semu lebih cepat
mencapai lambungnya. Terdengar keluhan tertahan. Lawan Mahisa Semu itulah
yang terdor ong beberapa langkah surut. Sejenak ia telah
kehilangan keseimbangannya sehingga ia telah terhuyunghuyung.
Dengan susah payah orang itu berusaha untuk
memperbaiki keadaannya. Namun tiba-tiba saja jantungnya
bagaikan berhenti berdetak, ketika ia melihat lawannya itu
bagaikan terbang m eluncur dengan kakinya terjulur lurus ke
depan. Sejenak kemudian, rasa-rasanya sebongkah batu hitam
telah m enghantam dadanya. Karena itu, maka ia pun telah
terlempar beberapa langkah surut pula. Bahkan ternyata orang
itu tidak mampu mempertahankan keseimbangannya sehingga
akhirnya ia pun telah terjatuh pula.
Namun ia pun telah dengan cepat berusaha bangkit.
Meskipun ia tidak segera dapat tegak, namun orang itu
berhasil berdiri diatas kedua kakinya.
Mahisa Semu ternyata tidak mempergunakan
kesempatan itu untuk menghancurkan lawannya. Ia ju stru
menunggu sambil berkata, "Aku tidak tergesa -gesa Ki Sanak.
Kau dapat m emperbaiki keadaanmu tanpa aku ganggu. Jika
kau sudah siap, baru kita mulai lagi permainan yang mulai
menjemukan ini."

03 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Persetan," geram orang itu, "kau terlalu sombong."
Tetapi Mahisa Semu berkata, "Aku justru memberimu
kesempatan. Aku tidak mau dianggap curang karena
menyerang orang y ang sedang tidak berdaya."
Wajah orang itu menjadi m erah. Namun terasa bahwa
jalan pernafasannya menjadi ter sendat-sendat.
Sementara itu, y ang tertua di antara orang-orang y ang
berwajah garang itu berkata, "He, kenapa kau" Jika kau tidak
berhasil membunuhnya, maka kaulah y ang akan mati
terbunuh. Lawan Mahisa Semu itu menggeram. Ia sadar, jika ia
tidak memenangkan perkelahian itu, maka kepercayaan
orang-orang berwajah garang itu tentu akan susut. Bahkan
mungkin leny ap sama sekali. Apalagi melawan anak-anak
muda dan untuk mengambil seorang perempuan yang
dikehendaki oleh pemimpinnya itu.
Karena itu, m aka ketika ia sudah berhasil m emperbaiki
keadaannya, maka ia pun segera melangkah maju.
"Kau harus membayar kesombonganmu dengan harga
yang sangat mahal. Kau harus memberikan nyawamu. Aku
benar-benar akan membunuhmu," berkata lawan Mahisa
Semu itu. Mahisa Semu tidak menjawab. Tetapi ia sudah bersiap.
Sejenak kemudian, maka lawan Mahisa Semu itu telah
melangkah semakin dekat. Bahkan tangannya sudah bersiap
untuk meny erang sementara kakinya mulai merendah.
Tetapi benar-benar tidak diduga, bahwa Mahisa Semu
telah meloncat maju. Kakinya terayun cepat sekali menyambar
ke arah dagu. Lawannya yang tidak menduga bahwa serangan itu
datang demikian cepatnya. Karena itu, maka geraknya pun
kemudian adalah gerak naluriah. Lawan Mahisa Semu itu
telah menarik kepalanya menengadah sehingga kaki Mahisa
Semu tidak m eny entuh dagunya. Namun Mahisa Semu tidak
melepaskan lawannya pada kesempatan itu. Ia bukannya
mempergunakan saat lawannya tidak menyadari keadaannya,
tetapi justru ia tengah bertempur melawannya. Karena itu,
demikian kakinya luput dari sasarannya, maka Mahisa Semu
itu telah melenting dan berputar di udara. Kakiny a ikut
berputar mendatar. Ternyata satu sambaran y ang cepat dan keras telah
mengenai kepala lawannya y ang sedang tegak. Demikian
kerasnya, sehingga lawannya itu dengan serta merta telah
terbanting jatuh dan nasib y ang buruk ternyata telah
menimpanya pula. Kepalanya telah membentur sebongkah
batu padas sehingga dengan serta merta orang itu telah
menjadi pingsan. Mahisa Semu menarik nafas dalam-dalam. Kemudian iapun
melangkah mendekati orang y ang terbaring diam itu.
Namun Mahisa Semu pun kemudian mengerti, bahwa
lawannya tidak mati. Sejenak ia berdiri termangu-mangu. Namun kemudian
tanpa berpaling, ia pun telah melangkah menuju ke arah
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat berdiri di sebelah meny ebelah
gadis yang mereka antar kepada orang tuanya itu.
Demikian Mahisa Semu berdiri di sebelah mereka, maka
Mahisa Murti pun berkata kepada orang -orang y ang ada di
sekitar arena itu, "Ki Sanak. Bukan salah kami jika kami
terpaksa berkelahi. Tetapi kami tidak ingin memperluas
persoalan. Karena itu maka kami mohon diri. Semoga tidak
terjadi sesuatu di tempat ini untuk selanjutnya. Orang yang
terbaring itu harus segera m endapat penanganan. Tetapi jika
ia mati karena benturan kepalanya dengan batu padas, itu
sama sekali tidak disengaja oleh adikku."
" Ia tidak mati," berkata Mahisa Semu.
"Nah, ternyata ia tidak mati. Terserah kepada kawankawannya.
Mudah-mudahan ia lekas sembuh," berkata Mahisa
Murti pula. Tetapi dahi Mahisa Murti pun segera berkerut. Orang
yang berwajah garang itu ternyata tidak mau melepaskan
anak-anak muda itu begitu saja. Karena itu yang tertua
berkata, "Jangan begitu saja m eninggalkan tanggung jawab.
Ada dua hal y ang harus kalian penuhi. Aku harus memukuli
orang yang telah melawan orangku itu sampai pingsan,
sebagaimana orangku itu pingsan. Kedua, perempuan itu
harus kalian serahkan kepadaku. Ia akan ikut bersamaku ke
rumahku." Mahisa Murti menarik nafas dalam-dalam. Ketika ia
menengadahkan wajahnya, maka dilihatnya langit telah
menjadi k elabu. Sebentar lagi, malam akan turun. Karena itu,
maka di beberapa buah rumah, telah nampak obor menyala di
regol. Serta di rumah-rumah pun lampu minyak telah
menyala. Baru sejenak kemudian Mahisa Murti berkata, "Jangan
memperluas persoalan. Kita akhiri per soalan ini sampai
sekian." "Persetan," geram orang yang berwajah garang itu, "jika
dua hal itu kau penuhi, maka persoalan di antara kita sudah
selesai." "Kita Sanak," berkata Mahisa Murti, "kami bukan
orang-orang yang senang berkelahi. Tetapi jika terpaksa, maka
kami pun tidak segan-segan membunuh kalian. Jangan dikira
bahwa kami tidak mampu berbuat kasar."
"Anak iblis," geram orang berwajah kasar. "Siapakah
kalian sebenarnya?" "Kami adalah saudara-saudara seperguruan
Miyatsangka," jawab Mahisa Murti. Ia sengaja meny ebut nama
itu, barangkali nama Miyatsangka dikenal di tempat itu.
Namun dengan perhitungan, seandainya nama Miy atsangka
justru dimusuhi, Mahisa Murti sudah siap menghadapinya.
Namun adalah di luar dugaan. Orang -orang itu terkejut
karenanya, sehingga untuk sesaat kedua orang berwajah
garang y ang disebut Ki Lurah itu berdiri termangu-mangu.
Namun k emudian seorang di antara mereka melangkah
maju. Diamatinya anak-anak muda yang m embawa seorang
gadis itu. "Kenapa?" bertanya Mahisa Murti, "kau ragu-ragu?"
Orang itu tidak menjawab. Namun dengan demikian
anak-anak muda itu mendapat kesan, bahwa nama
Miyatsangka m empunyai pengaruh yang besar di tempat itu.
Apalagi tempat itu memang tidak terlalu jauh dari rumah yang
diperebutkan oleh saudara-saudara seperguruan Miy atsangka
itu. Jarak y ang jika ditempuh dengan berjalan cepat, akan
dapat dicapai kurang dari setengah hari. Apalagi jika berkuda.
Namun tiba -tiba orang berwajah garang itu berkata,
"Tidak. Kau bukan saudara seperguruan Miy atsangka. Aku
pernah melihat beberapa orang di antara m ereka. Tetapi aku
belum pernah melihat kalian."
"Aku percaya bahwa kau pernah melihat saudarasaudara
seperguruanku. Tetapi aku pun percaya bahwa kita
memang belum pernah bertemu," jawab Mahisa Murti.
"Kau jangan mengaku saudara seperguruan
Miyatsangka. Miy atsangka adalah orang yang berilmu sangat
tinggi. Ia adalah murid tertua dari perguruannya dan telah
mewarisi segenap ilmu gurunya. Antara lain ilmu y ang dapat
membuat telapak tangannya itu membara. Nah, jika kau dapat
memperlihatkannya, maka aku percaya bahwa kau adalah
saudara seperguruannya," berkata orang berwajah garang itu.
Mahisa Murti termangu-mangu. Ia memang tidak
memiliki ilmu seperti itu sebagaimana pernah dilihatnya pada
kedua orang paman Miy atsangka itu. Seperti y ang sudah
dikatakan, Miy atsangka pun dapat pula mengetrapkan ilmu
semacam itu meskipun belum setingkat kedua paman gurunya
itu. Beberapa saat Mahisa Murti berpikir. Ada niatnya untuk
menunjukkan ilmu yang lain, meskipun sama-sama
bersumber pada inti panas.
Namun nampaknya Mahisa Pukat y ang kurang sabar
berkata, "Kami akan menunjukkan kemampuan ilmu itu.
Tetapi kalian harus m engerti, bahwa jika i lmu itu sudah kami
trapkan, maka harus ada korban y ang jatuh di antara kalian,
karena setiap pancaran ilmu harus ditebus dengan kematian
lawan." Ancaman Mahisa Pukat itu memang berpengaruh. Orang
yang dipanggil Ki Lurah itu termangu-mangu. Namun ia pun
kemudian berkata, "Baik. Aku akan mengorbankan orang yang
pingsan itu jika kau memang dapat menunjukkan ilmu itu."
"Cara yang licik dan pengecut," berkata Mahisa Pukat,
"mati yang dituntut oleh ilmuku adalah mati seorang lakilaki."
"Cobalah. Lakukan. Aku yakin, kalian bukan saudarasaudara
seperguruan Miy atsangka," sahut orang berwajah
garang yang lain. "Jika kalian adalah saudara-saudara
seperguruan Miy atsangka, kalian tentu tidak akan berlaku
seperti orang y ang sangat asing disini. Kalian tentu tidak akan
membawa seorang perempuan masuk ke dalam kedai ini jika
perempuan itu adalah perempuan baik-baik. Karena itu, kau
mencoba menakut-nakuti kami dengan m eny ebut nama itu,
tanpa kau sadari bahwa dengan demikian kau akan dapat
dicekik sendiri oleh Miyatsangka atau saudara-saudara
seperguruannya." Mahisa Pukat menggeram. Ia m emang m enjadi marah.
Tetapi ia masih mencoba mengekang diri.
Sementara itu beberapa orang m enjadi semakin cemas
melihat keadaan itu. Apalagi ketika orang yang garang itu
berteriak, "Cari obor. Bawa kemari. Arena ini harus tetap
terang agar semua orang dapat melihat, bagaimana aku
membunuh anak-anak muda yang telah berani mengaku
saudara-saudara seperguruan Miy atsangka."
Meskipun demikian, para pengikutnya masih juga
merasa ragu, jika anak-anak muda itu benar-benar saudara
seperguruan Miy atsangka. Bahkan kedua orang berwajah
garang itu sebenarnya masih juga dibayangi keragu-raguan.
Jika benar anak-anak muda itu saudara seperguruan
Miyatsangka, maka akibatnya akan sangat parah bagi mereka.
Namun keduanya yang berpengalaman luas itu memang
tidak mau ditakut-takuti. Karena itu, mereka justru m encoba
untuk menakut-nakuti anak-anak muda itu. Seorang di antara
mereka berkata, "Jika kau memang benar saudara
seperguruan Miy atsangka, kenapa ragu-ragu" Tetapi jangan
menyesal atas pengakuanmu. Karena sampai kapan pun kau
tidak akan dilepaskan dari tangannya. Seandainya kau luput
dari kematian malam ini karena kau berhasil m elarikan diri,
maka dalam waktu dekat, kau akan berhadapan sendiri
dengan Miy atsangka atau saudara -saudara seperguruannya."
Tetapi Mahisa Pukat justru tertawa. Katanya, "Menarik
sekali. Aku bahkan berharap ada di antara kalian yang saat ini
memanggil Miyatsangka. Ia tentu akan melindungi kami."
"Tidak seorang pun dari saudara-saudara
seperguruannya yang meny ebut namanya saja tanpa sebutan.
Semuanya memanggilnya kakang," berkata salah seorang dari
kedua orang-yang garang itu.
Mahisa Pukat termangu -mangu. Tetapi ia tidak mau
berputar -putar lagi. Katanya, "Terserah kepada kalian. Percaya
atau tidak percaya. Kami sudah siap m enghadapi kesimpulan
kalian. Karena kami yakin, bahwa perguruan kami tidak akan
tinggal diam. Lebih dari itu, kami y akin, bahwa saudara
seperguruan Miyatsangka tentu akan dapat menyelesaikan
masalah yang dihadapinya tanpa mengecewakan nama
perguruannya. Meskipun demikian, kami m asih m enawarkan
kemungkinan terbaik bagi kalian."
Orang y ang disebut Ki Lurah itu nampaknya semakin
yakin bahwa mereka tidak berhadapan dengan saudarasaudara
seperguruan Miy atsangka. Apalagi ketika Mahisa
Pukat mengatakan bahwa setiap orang akan dapat
menyelesaikan masalah y ang dihadapi.
Karena itu, maka kedua orang y ang disebut Ki Lurah itupun
melangkah semakin dekat dengan Mahisa Murti dan
Mahisa Pukat. Dengan garang yang tertua di antara mereka
berkata, "Kalian sudah cukup banyak berbohong. Sekarang
kalian harus menebus segala tingkah laku kalian dan
menyerahkan perempuan itu kepadaku."
Mahisa Murti telah m enggamit Mahisa Pukat, sehingga
keduanya pun telah melangkah maju. Mahisa Murti
menghadapi y ang tertua, sedang Mahisa Pukat m enghadapi
yang seorang lagi, y ang tidak kalah garangnya dari y ang tertua.
Namun dalam pada itu, Mahisa Murti memang tidak
ingin memperluas perselisihan itu. Karena itu, m aka ia pun
berbisik kepada Mahisa Pukat, "Kita selesaikan saja per soalan
ini dengan cepat." "Kita hentikan saja kesombongan dan tingkah laku
mereka dengan melumpuhkan mereka, atau cara lain?" desis
Mahisa Pukat. "Dengan cara itu. Semakin cepat semakin baik. Kita
akan segera pergi dan mencari tempat bermalam di
padukuhan sebelah," jawab Mahisa Murti.
Mahisa Pukat mengangguk-angguk. Ia pun segera
mempersiapkan diri untuk dengan cepat menyelesaikan
persoalan itu. Sementara itu, kedua orang berwajah garang itu pun
telah berada dua langkah dihadapan Mahisa Murti dan Mahisa
Pukat. Dengan nada berat seorang di antara m ereka berkata,
"bersiaplah. Kalian akan segera kehilangan segala-galanya."
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat tidak menjawab.
Namun keduanya telah bersiap sebaik-baiknya untuk
menyelesaikan pertempuran itu dengan cepat.
Karena kedua anak muda itu tidak menjawab, maka
kedua orang itu pun telah ber siap pula. Yang tertua di antara
mereka berkata, "Kenapa kau diam saja?"
"Mak sudmu?" bertanya Mahisa Murti.
"Kenapa kau tidak meny erang?" orang itu hampir
berteriak. Sengaja hal itu dilakukannya, agar orang-orang yang
ada di arena itu mendengarnya.
Tetapi sebenarnyalah bahwa Mahisa Murti tidak
menunggu. Demikian mulutnya terkatub, maka serangan
Mahisa Murti pun telah datang. Demikian cepat dan
meyakinkan. Kaki Mahisa Murti dengan tepat m engarah ke
dadanya. Orang itu tidak sempat mengelak. Ia hanya dapat
menyilangkan tangan di dadanya.


03 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Tetapi serangan Mahisa Murti datang terlalu kuat,
sehingga orang itu, yang ditakuti dan dianggap tidak
terkalahkan oleh orang-orang di sekitar lingkungan itu, telah
terlempar beberapa langkah surut. Kaki Mahisa Murti
memang tidak langsung mengenai dadanya y ang terlindung
oleh tangannya yang bersilang. Tetapi kekuatan y ang sangat
besar, ternyata tidak dapat dilawannya.
Beberapa saat orang itu terhuyung-huyung. Namun
Mahisa Murti tidak memberinya kesempatan. Ia pun segera
memburunya dengan serangan berikutnya. Tidak terlalu keras,
namun Mahisa Murti telah sempat menyentuh pundaknya.
Orang yang bertubuh tegap dan berwajah garang itu
berusaha untuk membebaskan dirinya dari jangkauan
serangan Mahisa Murti. Dengan serta ia telah meloncat ke
samping. Namun Mahisa Murti tidak membiarkannya. Ia pun
telah meloncat mendekat, kemudian berputar diatas tumitnya,
sementara kakinya yang lain telah meny erang mendatar.
Tetapi serangan itu tidak terlalu keras. Lawannya
sempat merendahkan dirinya sambil menangkis serangan itu
dengan sikunya. Bahkan ketika kaki Mahisa Murti terlempar
ke samping, orang itulah y ang telah meny erang dengan
ayunan tangan ke kening. Mahisa Murti telah siap menghadapi serangan itu.
Karena itu, maka ia tidak sekedar membenturkan kekuatannya
melawan orang itu. Tetapi ia memang sudah bersiap untuk
menghentikan perlawanannya.
Karena itu, maka dengan tangkasnya, Mahisa Murti
menangkap pergelangan tangan orang itu dan dengan sekuat
tenaga memilinnya. Tentu saja serangan Mahisa Murti itu telah
menimbulkan perlawanan. Orang y ang b ertubuh t inggi tegap
dan berwajah garang itu, memang tidak menduga, bahwa
Mahisa Murti lebih senang m empergunakan ilmu tangkapan
dalam olah kanuragan. Salah satu unsur yang jarang
dipergunakan. Dengan tangkas pula orang itu memutar tubuhnya,
mempergunakan siku tangannya y ang lain untuk menghantam
lambung Mahisa Murti. Serangan itu memang sudah diperhitungkan. Mahisa
Murti memang melepaskan tangan orang itu dan dengan
sigapnya menangkis serangan lawannya dengan siku atas
lambungnya. Namun dengan demikian, sentuhan-sentuhan tubuh
Mahisa Murti menjadi semakin sering terjadi dengan
lawannya. Sementara itu, Mahisa Pukat lah y ang telah mendahului
menyerang lawannya. Ia pun tidak m empergunakan kekuatan
ilmu y ang diwarisi dari ay ahnya, karena ia tidak ingin
menghancurkan lawannya itu. Tetapi ia hanya ingin
menghentikan perlawanannya saja.
Karena itu, maka Mahisa Pukat pun telah berusaha
untuk lebih banyak berbenturan dengan lawannya. Karena
dengan demikian, m aka ia akan dapat lebih cepat menyusut
kekuatan lawannya. Namun ternyata bahwa jika Mahisa Pukat mengerahkan
kekuatannya, maka ia terlalu kuat bagi lawannya. Sebelum
lawannya tersusut kekuatannya, ia sudah tidak terlalu banyak
dapat berbuat. Tetapi Mahisa Pukat merasa perlu untuk mengurangi
kekuatan orang itu agar sepeninggalnya, ada kesan y ang tidak
akan dapat dilupakannya dan akan dapat menjadi pelajaran
baginya. Arena itu memang menjadi tegang. Orang-orang y ang
mengitarinya melihat kemungkinan buruk bagi anak-anak
muda itu, terutama perempuan yang datang bersamanya.
Apalagi karena mereka telah m engadakan perlawanan. Maka
memang mungkin saja terjadi, anak-anak muda itu terbunuh
di arena, sementara gadis itu akan menderita untuk waktu
yang lama. Tetapi yang tidak terduga itu pun telah terjadi. Bahkan
hampir diluar jangkauan nalar orang-orang y ang menyaksikan
pertempuran itu. Ternyata dalam waktu yang sangat pendek pertempuran
itu akan berakhir. Kedua orang berwajah garang itu sama
sekali tidak berarti bagi anak-anak muda itu. Keduanya dalam
waktu y ang singkat telah terdesak dan bahkan keduanya
menjadi sangat lemah karena tenaganya telah terlalu banyak
menyusut, sehingga akhirnya, untuk berdiri saja mereka tidak
lagi dapat tegak. Rasa -rasanya tulang-tulang mereka bagaikan
dilepas dari sendi-sendiny a, sehingga kulit daging mereka
tidak lagi mempunyai kekuatan.
Sejenak kemudian, maka Mahisa Murti dan Mahisa
Pukat berdiri sambil bertolak pinggang dihadapan lawanlawan
mereka. Dengan nada rendah Mahisa Murti bertanya, "Nah,
bagaimana Ki Sanak. Apakah kau sekarang percaya bahwa
kami adalah saudara-saudara seperguruan Miyatsangka" Kami
adalah saudara-saudara mudanya. Tetapi kami memiliki
tataran ilmu yang sederajat dengan Miyatsangka, sehingga
kami tidak perlu memanggil dengan sebutan apa pun
sebagaimana Miy atsangka memanggil kami. Hanya mereka
yang tidak memiliki ilmu y ang sederajat, mereka memang
harus memanggil dengan sebutan itu."
Orang-orang berwajah garang itu tidak segera
menjawab. Tetapi m ereka tidak lagi dapat menyangkal bahwa
keduanya bukan saudara seperguruan Miyatsangka. Bahkan
seandainya bukan sekalipun, namun keduanya telah m ampu
menunjukkan ilmu yang sangat tinggi.
Namun ternyata orang-orang itu tidak tahu, ilmu apa
yang ada di dalam diri anak-anak muda itu. Yang mereka
rasakan adalah semacam kelumpuhan y ang dengan perlahanlahan
mencengkam seluruh tubuh mereka.
Karena orang-orang itu tidak segera menjawab, maka
Mahisa Murti berkata selanjutnya, "Hal ini tentu saja akan
segera sampai ke t elinga Miyatsangka. Dengan demikian,
maka daerah ini akan menjadi daerah pengawasannya. Jika
kami y ang mendapat tugas untuk mengawasi daerah ini, kami
masih akan dapat menahan diri seperti sekarang ini. Tetapi
jika y ang harus mengawasi daerah ini saudara muda kami
yang kami panggil Kepala Batu dan barangkali Gondang Pari,
maka aku tidak tahu, apa yang terjadi atas kalian. Mungkin
saat ini kalian telah menjadi lumat karena kalian telah berani
mengganggu gadis itu. Gadis itu sebenarnya memang bukan
adikku. Tetapi adik Miyatsangka itu sendiri y ang diserahkan
kepada kami untuk kami antarkan ke tempat salah seorang
saudaranya. Beberapa hari lagi aku akan kembali lewat jalan
ini untuk mengantar adik Miy atsangka itu kembali kepada
kakaknya jika ia tidak berniat tinggal lebih lama di tempat
saudaranya itu." Wajah orang y ang garang itu m enjadi semakin tegang.
Bahkan seorang di antara m ereka berkata, "Aku tidak tahu
bahwa gadis itu adik Miy atsangka."
"Tetapi bukankah aku sudah m engatakan, bahwa aku
adalah saudara seperguruannya" Ternyata kalian tidak
percaya, sehingga kami harus m embuktikannya. Adalah salah
kalian sendiri bahwa untuk beberapa hari kalian tidak akan
mampu berbuat apa pun juga, karena kekuatan kalian telah
menjadi susut hampir tuntas. Tetapi kami masih berbaik hati
tidak membunuh kalian meskipun kalian telah menghina kami
dan menghina adik Miyatsangka itu sendiri," sahut Mahisa
Murti. "Kami mohon maaf," berkata salah seorang dari kedua
orang itu. "Apakah itu penting?" bertanya Mahisa Pukat.
"Aku mohon," orang itu menegaskan.
"Permohonan maaf hanya berarti jika perm ohonannya
benar-benar menyadari kesalahanannya dan tidak akan
melakukannya lagi. Jika kali ini kami memaafkan kalian, tentu
dengan janji, bahwa jika kalian melanggarnya, kami tidak akan
segan-segan mengambil langkah-langkah y ang barangkali
tidak akan kalian duga. Mungkin kami, tetapi mungkin orang
lain. Mungkin Kepala Batu, mungkin Gondang Pari, mungkin
Aparimita atau mungkin Pituwun atau y ang lain. Mungkin
orang lain itu bersikap lain pula dari sikap kami. Karena
mungkin saja seorang di antara mereka menganggap bahwa
untuk menghentikan kegiatan kalian tidak ada cara lain
kecuali melenyapkan kalian," berkata Mahisa Pukat.
Kedua orang itu m enjadi semakin tegang. Namun y ang
tertua berkata, "Kami benar-benar mohon maaf. Bukan hanya
kami berdua, tetapi juga orang-orang kami y ang lain."
Mahisa Pukat mengangguk-angguk. Tetapi katanya,
"Yang akan kami nilai bukan kesediaan dan janji kalian. Tetapi
apa y ang akan kalian lakukan kemudian."
Kedua orang berwajah garang itu tiba -tiba saja telah
berubah seperti seekor tikus yang terjerumus ke parit. Mereka
menunduk dengan tubuh gemetar. Dengan suara bergetar
yang tertua berkata, "Kami memang tidak sekedar berjanji.
Kami akan benar-benar melakukannya."
"Baiklah," berkata Mahisa Murti, "kami akan
mengampunimu. Tetapi kami akan selalu mengikuti tingkah
lakumu. Mungkin aku, mungkin saudara-saudaraku ini, tetapi
mungkin orang lain di antara saudara-saudara seperguruan
kami." " Jika kami m embuat kesalahan yang sama, maka kami
akan bersedia dihukum dengan cara apapun," berkata orang
itu. "Bagaimana jika melakukan kesalahan yang lain" Yang
tidak sama dengan y ang pernah kau lakukan?" bertanya
Mahisa Murti. "Aku akan berusaha untuk tidak m elakukan kesalahan.
Demikian pula saudaraku itu dan orang-orangku," berkata
orang itu. Mahisa Murti dan Mahisa Pukat saling berpandangan
sejenak. Namun kemudian Mahisa Murti pun berkata,
"Baiklah. Kita tinggalkan tempat ini."
"Marilah," Mahisa Pukat mengangguk-angguk, "kita
akan mencapai padukuhan sebelah."
Demikianlah, maka Mahisa Murti, Mahisa Pukat, Mahisa
Semu dan gadis y ang bersama mereka telah meninggalkan
karena itu. Orang-orang yang menyaksikan di tempat
pemberhentian pedati itu pun meny ibak. Sementara itu,
beberapa buah pedati ternyata telah berhenti berderet-deret di
sepanjang jalan menunggu kesempatan untuk dapat masuk ke
tempat pemberhentian. Beberapa buah pedati yang baru saja datang pemiliknya
tidak sempat menyaksikan apa yang telah terjadi. Beberapa di
antara mereka sempat mengumpat-umpat karena mereka
harus menunggu deretan y ang memanjang.
Seorang pemilik pedati y ang bertubuh raksasa dan
berkepala botak tiba -tiba saja berteriak, "He, kenapa
berhenti?" "Ada y ang berkelahi," jawab seseorang di kejauhan.
"Persetan," geram pemilik pedati itu.
Namun seorang yang terbiasa menjaga pedati y ang
berhenti di pemberhentian itu berlari-lari mendekat dan
memberitahukan, bahwa y ang berkelahi adalah dua orang
yang berwajah garang yang menguasai tempat itu.
"Oo," pemilik pedati itu mengangguk-angguk, "aku tidak
tahu. Tetapi siapa lawannya?"
Tiba-tiba saja dibawah sor ot obor di pinggir jalan, di
regol halaman penunggu pedati itu m elihat anak-anak muda
dan seorang gadis berjalan meninggalkan tempat
pemberhentian pedati itu .
"Merekalah y ang berkelahi," bisik penunggu pedati itu.
"Mereka atau Ki Lurah," bertanya pemilik pedati y ang
berkepala botak itu . "Mereka melawan Ki Lurah," jawab penunggu pedati
itu. Pemilik pedati itu mengerutkan keningnya. Dengan nada
tinggi ia b ertanya, "Mereka berani melawan Ki Lurah keduaduanya?"
"Ya," jawab penunggu pedati itu.
"Kenapa mereka dibebaskan" Biasanya orang-orang
yang berani melawan Ki Lurah, tidak akan sempat keluar
sambil berjalan tegak. Biasanya mereka akan merangkak dan
bahkan untuk selanjutnya tidak akan mungkin dapat berdiri
tegak lagi," berkata pemilik pedati itu. Lalu "Jika demikian,
perempuan itu tidak lagi dikehendaki oleh Ki Lurah keduaduanya."
"Memang tidak," jawab penunggu pedati itu.
"Bagus," desis pemilik pedati y ang bertubuh raksasa dan
berkepala botak itu , "jika demikian, aku akan mengambilnya."
"Kau akan mencobanya?" bertanya penunggu pedati itu.
"Selagi belum jauh," jawab pemilik pedati itu.
"Cobalah. Kaulah y ang akan merangkak kembali menuju
ke pedatimu ini," jawab penunggu pedati itu.
Orang berkepala botak itu termangu-mangu. Dengan
heran ia bertanya, "Kenapa" Apakah Ki Lurah tidak
berkenan?" "Mereka telah mengalahkan Ki Lurah kedua-duanya.
Lihat, bahwa Ki Lurah sampai sekarang, m asih belum dapat
berdiri dengan tegak. Untunglah bahwa anak-anak muda itu
bukan pembunuh-pembunuh y ang kejam, sehingga mereka
masih tetap membiarkan Ki Lurah tetap hidup meskipun
dengan berbagai macam janji," berkata penunggu pedati itu.
Orang bertubuh raksasa itu mengangguk-angguk. Tibatiba
saja ia terseny um. Katanya, "Jika demikian, Ki Lurah
tidak akan lagi m enguasai lingkungan ini. Begitu" Atau janji
yang lain?" "Ki Lurah m emang tidak akan m elakukan sebagaimana
dilakukan sebelumnya," berkata penunggu pedati itu.
" Jika demikian, tidak akan ada orang yang akan dapat
melarang aku berbuat apa saja disini," berkata orang
berkepala botak itu . "Tentu ada," jawab penunggu pedati itu.
"Siapa?" bertanya orang itu.
"Ki Lurah. Ia tentu tidak akan m embiarkan daerah ini
dikuasai orang lain. Ki Lurah akan tetap berkuasa di sini,
tetapi Ki Lurah tidak akan melakukan perbuatan-perbuatan
yang tidak terpuji. Sedangkan jika ada orang lain yang
melakukannya, maka mereka tentu akan mencegahnya,"
berkata penunggu pedati itu.


03 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Terkutuk orang itu. Kenapa mereka tidak dibunuh
sa ja?" geram orang bertubuh raksasa itu.
"Kau mengumpatinya" Aku akan mengatakannya,"
berkata penunggu pedati itu.
" Jangan, jangan," cegah orang berkepala botak itu
dengan serta merta," jangan katakan."
" Itu kewajibanku," penunggu pedati itu mulai beringsut.
Wajah orang berkepala botak itu menjadi tegang.
Dengan sorot mata y ang menusuk ia b ertanya, "Kewajibanmu
apa?" "Memberikan keterangan kepada Ki Lurah jika ada
orang y ang bersikap seperti kau," jawab penunggu pedati itu.
"Kau sadari bahwa aku dapat membunuhmu?" bertanya
orang berkepala botak. " Dihadapan saksi-saksi" Apakah tidak kau sadari bahwa
Ki Lurah juga dapat membunuhmu" Apalagi aku mampu
berlari cepat, sehingga jika kau ingin membunuhku, aku tidak
akan dapat kau tangkap sekarang," berkata penunggu pedati
itu. "Kapan saja dapat aku lakukan," geram orang berkepala
botak itu. "Terlambat. Sebab semua orang akan tahu. Jika terjadi
apa-apa atasku, tentu kaulah yang dipersalahkan. Juga oleh Ki
Lurah. Kau tahu, aku sangat dikasihi oleh Ki Lurah," berkata
penunggu pedati itu. "Setan kau. Pergi," bentak orang berkepala botak itu.
"Pergi untuk melapor," bertanya penunggu pedati itu.
Wajah orang berkepala botak itu menjadi merah.
Dengan geram ia berkata, "Apa maumu sebenarnya?"
"Kau harus memberiku upah penitipan pedatimu tiga
kali lipat, disamping upah y ang biasanya kau berikan, karena
sebagian harus aku serahkan kepada pemilik tempat ini,"
berkata penunggu pedati itu.
"Gila. Kau benar-benar sudah gila," geram orang
berkepala botak itu . Penunggu pedati itu justru melangkah surut. Katanya,
"Baiklah. Jika kau berkeberatan, maka sudah sepantasnya
umpatanmu terhadap Ki Lurah keduanya itu aku sampaikan."
"Tunggu. Tunggu iblis," geram orang itu.
"Kau bayar atau tidak?" berkata penunggu pedati itu
sambil ter senyum. "Kau mencoba memerasku he?" rasa-rasanya tangan
orang berkepala botak itu ingin meremas wajah orang ya"g
memerasnya itu. Tetapi bagaimana pun juga akhirnya ia tidak
berani menolaknya. Karena itu, sambil mengumpat -umpat ia
pun telah membayar sebagaimana diminta oleh penunggu
pedati itu. "Tidak seberapa," berkata penunggu pedati itu, "kali ini
kau m embawa segerobak kelapa y ang akan menjadi minyak
kelentik yang mahal. Kau tentu m endapat upah yang banyak,
sehingga yang kau berikan ini hanya sekuku ireng dari yang
kau terima. Terima ka sih. Aku tidak akan mengganggumu
lagi." Orang berkepala botak itu termangu-mangu ketika ia
melihat penunggu pedati itu meninggalkannya. Sementara itu,
dari pedati yang ada di depan pedatinya ia mendengar
seseorang tertawa. Orang berkepala botak itu melangkah mendekatinya
sambil berkata, "Orang itu memang anak iblis."
" Ia telah memerasmu?" bertanya orang y ang tertawa itu.
"Ya.," jawab orang berkepala botak.
"Kali ini kau y ang diperas. Aku juga pernah mengalami,"
berkata orang yang ada di dalam pedati.
"Suatu ketika orang itu memang harus dibunuh," geram
orang y ang marah karena pemerasan itu.
Tetapi kawannya y ang masih ada di dalam pedati masih
sa ja tertawa. Katanya, "Jangan terlalu pelit. Bukankah ia
masih terlalu bodoh untuk memerasmu jauh lebih banyak dari
yang diminta" Hanya tiga kali upah dari penitipan pedatimu"
Berapa itu" Kenapa tidak seratus keping atau lebih yang tentu
akan kau bay ar juga karena kau tidak mau mati karena Ki
Lurah keduanya marah kepadamu?"
"Persetan," geram orang botak itu.
"Lain kali berhati-hatilah. Jangan pernah
mengumpannya lagi. Aku yang berhati-hati ini pun telah
terkena pula," berkata orang yang ada di dalam pedati itu.
Orang berkepala botak itu masih akan berbicara lagi.
Tetapi pedati-pedati itu pun mulai bergerak. Tempat penitipan
pedati itu telah dapat dipergunakan untuk pemberhentian
setelah orang -orang y ang ada di dalamnya y ang menunggui
arena pertempuran telah meny ingkir.
Dalam pada itu, Mahisa Murti, Mahisa Pukat, Mahisa
Semu y ang mengantar seorang gadis itu telah keluar dari
padukuhan. Sementara malam terasa menjadi sangat gelap,
karena tidak ada lagi cahaya lampu-lampu minyak m aupun
onc or yang menerangi jalan di luar padukuhan.
Tetapi malam belum terlalu dalam. Sementara di langit
bintang gemerlapan. "Gelap sekali," desis gadis yang diantar kembali kepada
orang tuanya itu. "Tetapi itu lebih baik daripada di padukuhan y ang baru
sa ja kita tinggalkan itu, "sahut Mahisa Pukat.
"Ya," gumam gadis itu hampir kepada diri sendiri.
Sementara itu Mahisa Murti pun berkata, "Mudahmudahan
di padukuhan sebelah tidak terjadi sesuatu. Menurut
pengenalan kita, ketika kita menuju ke rumah Miy atsangka,
kita tidak melalui padukuhan ini."
"Ya. Kita waktu itu memang m enghindari. Tetapi kita
mengenali lingkungan ini," sahut Mahisa Pukat.
Mahisa Murti mengangguk-angguk. Dengan ketajaman
penglihatannya, maka di keremangan malam Mahisa Murti
dan Mahisa Pukat masih mampu mengenali arah sehingga
mereka tidak tersesat, meskipun perjalanan m ereka menjadi
bertambah jauh. Apalagi mereka merasa tidak tergesa -gesa
sebagaimana saat mereka bersama-sama dengan sekelompok
saudara seperguruan Miyatsangka y ang sedang kehilangan
penalaran sehingga mereka telah menculik seorang gadis.
Beberapa saat lamanya mereka berjalan meny eberangi
bulak yang m emang agak panjang. Namun kemudian m ereka
telah memasuki sebuah padukuhan.
"Kita akan mencoba menghubungi petugas y ang ada di
banjar padukuhan. Jika diijinkan, kita akan bermalam di
banjar. Tetapi jika tidak, maka kita akan bermalam di m ana
sa ja," berkata Mahisa Murti.
"Ya." Mahisa Pukat mengangguk-angguk. Tetapi ia tidak
berbicara lebih lanjut. Namun ketika berpaling kepada Mahisa
Semu, maka Mahisa Semu lah y ang menyahut, "Kita dapat
bermalam di mana saja. Bukankah ketika kita berangkat, kitapun
bermalam di mana saja?"
"Kita tidak bermalam di mana -mana. Kita berjalan
terus," desis Mahisa Pukat.
Mahisa Semu m engerutkan keningnya. Tetapi ia tidak
menyahut lagi. Ketika mereka menyusuri jalan padukuhan, maka
keadaan memang sudah menjadi sepi. Karena itu, maka
mereka tidak dapat bertanya kepada siapapun, di manakah
letaknya banjar padukuhan. Mereka memang agak segan
mengetuk pintu rumah y ang sudah tertutup, agar mereka tidak
mengganggu keluarga yang tinggal di rumah itu. Bahkan
mungkin keluarga itu akan terkejut dan menjadi ketakutan.
Karena itu, maka mereka berempat mengharap akan
melewati sebuah gardu yang telah terisi sehingga mereka akan
sempat bertanya kepada mereka y ang ada di gardu itu, di
manakah letak banjar padukuhan.
Ketika mereka sampai di simpang empat, mereka
menjadi kecewa. Gardu di simpang empat itu kosong
meskipun oncor telah dinyalakan.
"Kita sekarang ke mana?" bertanya Mahisa Semu.
"Tentu jalan inilah jalan induk padukuhan. Kedua jalan
simpang itu lebih sempit," jawab Mahisa Pukat.
Mahisa Semu mengangguk-angguk. Ia pun bersama
dengan ketiga orang yang lain telah berjalan terus. Mereka
berharap bahwa banjar padukuhan itu berada di pinggir jalan
induk. Jika bukan banjarnya, maka tentu rumah Ki Bekel yang
terletak di pinggir jalan itu.
Beberapa saat kemudian, maka mereka memang melihat
regol yang nampaknya lebih besar dari regol-regol yang lain.
Oncor y ang menyala di reg ol itu pun memberikan
isy arat, bahwa tempat itu berbeda dengan rumah orang
kebanyakan. Apalagi ketika m ereka menjadi semakin dekat,
maka mereka melihat beberapa orang berada di belakang
pintu regol y ang terbuka.
"Kita dapat bertanya sekarang," berkata Mahisa Pukat.
Mahisa Pukat lah yang kemudian berjalan di depan.
Ketika ia berhenti di depan pintu, maka orang-orang di pintu
itu pun telah berpaling kepadanya.
"Ki Sanak," bertanya Mahisa Pukat, "apakah disini
banjar padukuhan atau rumah Ki Bekel?"
Orang-orang itu termangu-mangu. Namun tiba-tiba saja
dua orang telah meny ibak m ereka dan m elangkah mendekati
Mahisa Pukat. Seorang di antaranya menjawab, " Ini banjar
padukuhan Ki Sanak. Apakah maksud Ki Sanak?"
"Kami ingin bertemu dengan petugas di banjar ini. Kami
dalam perjalanan jauh ingin mohon untuk diijinkan menginap
di banjar ini semalam ini saja," minta Mahisa Pukat.
"Marilah. Silahkan masuk-masuk," orang itu ternyata
sangat ramah. Mahisa Pukat justru termangu -mangu. Namun
kemudian ia pun berpaling kepada Mahisa Murti, Mahisa
Semu dan gadis yang diantarkannya itu.
"Marilah," desis Mahisa Pukat.
Demikianlah, maka mereka berempat pun telah m asuk
ke halaman banjar, sementara orang -orang yang ada di pintu
telah meny ibak. Ternyata sambutan atas keempat orang itu begitu baik
sehingga keempatnya justru menjadi termangu-mangu. Ketika
mereka kemudian dipersilahkan naik ke pendapa, dua orang
yang telah separuh baya menemui mereka dengan sangat
hormat. "Anak-anak muda," berkata salah seorang dari mereka,
"kami berharap bahwa apa yang pernah anak-anak muda
lakukan, adalah satu kurnia bagi kami."
Mahisa Murti, Mahisa Pukat dan Mahisa Semu saling
berpandangan sejenak. Sebagian dari keheranan mereka,
mengapa mereka disambut dengan sangat baik, telah terjawab.
Agaknya orang -orang padukuhan itu telah mendengar apa
yang telah terjadi. Sebenarnyalah bahwa orang itu berkata selanjutnya,
"Ketika anak-anak muda bertempur di padukuhan sebelah,
kebetulan aku telah melihatnya tanpa sengaja, karena aku
sedang mempunyai kepentingan di padukuhan itu. Aku
melihat semuanya y ang terjadi. Dan aku mendengar bahwa
anak-anak muda adalah saudara seperguruan Miy atsangka.
Adalah kebetulan bahwa secara pribadi aku mengenal
Miyatsangka yang memiliki ilmu yang sangat tinggi itu dan
yang telah mempersiapkan diri untuk memimpin sebuah
perguruan. Tetapi aku sama sekali bukan orang berilmu. Jika
aku kenal secara pribadi, adalah karena aku masih mempunyai
hubungan darah meskipun agak jauh."
Ketiga anak muda y ang mengantarkan seorang gadis itu
termangu-mangu. Mereka justru menjadi ragu-ragu.
Meskipun Miyatsangka tidak akan- mengingkari
pertolongannya, tetapi Miy atsangka tentu akan menjadi
bingung jika ditanyakan kepadanya tentang tiga orang anak
muda yang mengaku saudara seperguruannya.
Tetapi mereka pun berharap bahwa kehadiran seorang
gadis di antara mereka akan selalu mengingatkan Miy atsangka
kepada mereka berempat dan tidak ingkar tentang mereka.
Karena anak-anak muda itu tidak menanggapinya
dengan segera, maka orang itu berkata pula, "Karena itu, maka
kedatangan kalian kami terima dengan senang hati."
Mahisa Murti pun kemudian sambil menganggukangguk
menjawab, "Terima kasih Ki Sanak. Tetapi jika Ki
Sanak tadi berada di padukuhan sebelah, agaknya begitu cepat
telah berada di padukuhan ini."
Orang itu tersenyum. Katanya, "Aku berlari melalui jalan
pintas dan pematang setelah aku mendengar bahwa Ki Sanak
akan pergi ke padukuhan sebelah. Ki Sanak berada di
padukuhan itu, sebelum meninggalkan orang-orang tamak
yang menakutkan lingkungan di sekitar tempat ini. Aku
memang berharap Ki Sanak akan singgah di banjar ini. Kami
sudah m emberitahukan kepada Ki Bekel, sehingga sebentar
lagi Ki Bekel tentu akan datang."
"Ah, merepotkan sekali," jawab Mahisa Murti, "Kami
memang ingin mohon untuk diperkenankan bermalam di
banjar ini. Tetapi anggap saja kami pengembara y ang lewat,
sehingga dengan demikian Ki Sanak tidak perlu m enyambut
kedatangan kami seperti menyambut seorang tamu."
"Kalian memang tamu kami," berkata orang itu, "kami
memang harus menyambut dengan sebaik-baiknya. Apalagi
yang dapat m elihat langsung bagaimana kalian mengalahkan
orang-orang tamak itu. Nampaknya begitu mudahnya dan
begitu cepat terjadi. Padahal kedua orang itu adalah orang
yang sangat ditakuti, sehingga seakan-akan apa yang
dikatakan merupakan peraturan dan paugeran yang tidak
dapat dilanggar oleh siapapun. Serta apa pun yang mereka
kehendaki harus terjadi. Apa yang mereka minta harus
diberikan." "Mereka tidak akan melakukan lagi," berkata Mahisa
Murti. "Ya. Nampaknya mereka benar-benar menjadi jera.
Apalagi para pengikutnya. Mereka tidak akan berani berbuat
apa pun di daerah ini, setelah mereka tahu, bahwa
Miyatsangka telah ikut campur," berkata orang itu.
Mahisa Murti menarik nafas dalam-dalam. Ternyata
nama Miy atsangka m asih sangat disegani. Namun beberapa
saat terakhir, Miyatsangka agaknya terlalu sibuk dengan
lingkungannya sendiri. Sehingga ia dan saudara-saudara
seperguruannya tidak menyadari bahwa mereka sangat
diperlakukan oleh banyak orang.


03 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Dengan demikian maka Mahisa Murti sudah bertekad
untuk menemuinya kembali setelah ia m enyerahkan gadis itu
kepada orang tuanya. Namun dalam pada itu, sejenak kemudian. Ki Bekel pun
telah datang. Ternyata Ki Bekel sudah m endapat keterangan
tentang semua peri stiwa y ang terjadi, sehingga karena itu,
maka Ki Bekel pun nampaknya sangat hormat kepada anakanak
muda itu. "Selamat datang di padukuhan y ang miskin dan kotor
ini anak-anak muda," berkata Ki Bekel.
Ketiga anak muda y ang mengantar gadis itu justru
merasa segan atas sambutan y ang berlebihan itu. Namun
mereka tidak ingin menyakiti hati Ki Bekel dan para bebahu.
Juga orang-orang padukuhan yang telah bersusah pay ah
berkumpul di banjar itu. Beberapa saat anak-anak muda itu telah berbincang
dengan Ki Bekel dan para bebahu. Sementara itu, beberapa
orang perempuan telah sibuk di dapur untuk menjamu orangorang
y ang dianggap luar bia sa itu.
Ternyata sejenak kemudian, maka beberapa orang telah
menghidangkan makan dan m inuman hangat bagi anak-anak
muda y ang telah merubah keadaan untuk satu lingkungan
yang luas. Meskipun anak-anak muda itu sudah singgah di sebuah
kedai, namun sebenarnyalah mereka telah menjadi lapar
kembali. Apalagi di kedai yang mereka singgahi, mereka belum
sempat makan dan minum sebaik-baiknya.
Namun anak-anak muda itu, berusaha untuk
menempatkan diri mereka. Betapa pun juga, mereka harus
menahan diri. Mereka makan dan minum seperti orang-orang
yang tidak kelaparan dan kehausan.
Beberapa saat kemudian, maka mereka telah selesai
dengan makan dan minum. Ternyata Ki Bekel mengerti,
bahwa anak-anak muda itu tentu merasa letih. Karena itu,
maka mereka pun telah dipersilahkan untuk beri stirahat.
"Ada beberapa bilik yang dapat kalian tempati di bagian
belakang banjar ini," Ki Bekel mempersilahkan.
Tetapi gadis itu nampak tidak bersedia tidur seorang
diri. Ia masih selalu dibayangi oleh ketakutan, sehingga karena
itu maka Mahisa Murti pun berkata, "Kami akan tidur di
pendapa ini saja Ki Bekel, atau barangkali di serambi. Gadis
yang kami antarkan ini nampaknya masih dibayangi oleh
ketakutan karena tingkah laku kedua orang y ang disebut Ki
Lurah itu." "Tetapi anginnya keras sekali," berkata Ki Bekel.
"Kami sudah terbia sa tidur di tempat t erbuka. Sebagai
pengembara kami memang dapat tidur di mana saja," jawab
Mahisa Murti. Namun berdasarkan beberapa pertimbangan, maka
akhirnya mereka dipersilahkan tidur di serambi samping, di
sebuah amben yang cukup besar, y ang terbiasa dipergunakan
oleh anak-anak muda y ang tidak mendapat tempat di gardu
yang sempit. "Silahkan anak-anak muda," berkata Ki Bekel, "mudahmudahan
sambutan kami dapat memadai dengan kebesaran
kalian." "Kebesaran apa?" bertanya Mahisa Murti.
"Orang yang mampu mengalahkan Ki Lurah keduaduanya
adalah orang-orang y ang jarang ada duanya. Jika
bukan saudara-saudara seperguruan Miyatsangka, tidak akan
dapat melakukannya," berkata Ki Bekel.
Anak-anak muda itu hanya m enarik nafas saja. Mereka
sudah terlanjur mengatakannya. Karena itu, mereka tidak
akan mudah mencabutnya meskipun bagi mereka, tataran
ilmu tertinggi dari perguruan Miyatsangka itu m asih belum
berarti. Bahkan paman gurunya pun tidak mampu m engatasi
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat, sehingga dengan jujur
Miyatsangka harus mengakui, bahwa gurunya pun belum
tentu dapat mengimbangi anak-anak muda itu.
Meskipun demikian, anak-anak muda itu tidak ingin
mendapat tanggapan y ang berlebihan. Karena itu, maka
Mahisa Murti pun berkata, "Sambutan yang kami terima
ternyata sangat berlebihan. Bukannya kami tidak berterima
kasih atas sambutan ini. Tetapi bagi pengembara seperti kami,
sambutan ini agak berlebihan, sehingga dapat membuat kami
malas beranjak dari tempat ini."
"Tetapi maksud kami adalah untuk menyatakan
kegembiraan kami atas peristiwa y ang terjadi, karena akan
memberikan warna baru dalam kehidupan di lingkungan ini,"
berkata Ki Bekel. "Kami mengerti Ki Bekel. Kami pun menyadari, bahwa
kami harus mengucapkan terima kasih atas sambutan ini,"
jawab Mahisa Murti. Demikianlah, maka keempat orang itu pun kemudian
telah diantar ke serambi. Ternyata beberapa lembar selintru
telah dipasang, sehingga serambi itu tidak lagi terbuka
seluruhnya. Dengan demikian angin y ang memang agak besar,
telah tertahan. Gadis y ang bersama dengan ketiga anak muda itu
merasakan sedikit kehangatan di serambi itu. Karena itu,
maka ia pun segera membaringkan diriny a di sudut sebuah
amben y ang besar. Ia m enjadi semakin tenang karena ia menjadi semakin
yakin akan kemampuan ketiga orang anak muda yang
mengantarkannya. Bukan saja kemampuan mereka, tetapi juga sikap dan
tanggung jawab mereka, sehingga gadis itu merasa telah
benar-benar mendapatkan perlindungan.
Dalam pada itu, sebagai biasa maka Mahisa Murti,
Mahisa Pukat dan Mahisa Semu telah bersepakat untuk
berganti-ganti berjaga-jaga. Bagaimanapun juga mereka harus
tetap berhati-hati menghadapi keadaan. Mereka tidak dapat
percaya sepenuhnya kepada orang-orang yang nampaknya
sangat baik kepada mereka.
Yang mendapat giliran paling ringan, yaitu giliran
pertama adalah Mahisa Semu. Sementara di pendapa, anakanak
muda masih terdengar berkelakar.
Sementara itu, Mahisa Murti dan Mahisa Pukat pun
telah berbaring di sudut lain dari amben yang besar itu,
sedangkan Mahisa Semu duduk bersandar dinding.
Demikianlah malam itu, keempat orang anak muda itu
ternyata dapat tidur ny enyak. Mahisa Semu, Mahisa Murti dan
Mahisa Pukat bergantian duduk bersandar dinding. Namun
mereka terlindung" oleh beberapa selintru y ang dipasang,
sehingga m eskipun m ereka berada di serambi, tetapi seakanakan
mereka berada di dalam bilik.
Pagi-pagi benar keempat orang itu telah bangun. Mereka
bergantian pergi ke pakiwan.
Namun ternyata pagi-pagi pula Ki Bekel telah datang ke
banjar. Demikian anak-anak muda itu selesai membenahi diri,
maka bagi mereka telah disediakan hidangan di pendapa.
Makan pagi, minuman hangat dan beberapa jenis makanan.
"Kami tahu," berkata Ki Bekel, "bahwa anak-anak muda
akan melanjutkan perjalanan. Karena itu, maka kami telah
menyediakan hidangan pagi-pagi pula. Aku pun tidak mau
terlambat melepas kalian meninggalkan banjar ini."
Mahisa Murti mengangguk hormat. Katanya, "Kami
mengucapkan t erima kasih y ang sebesar-besarnya. Segalanya
melampaui dugaan dan harapan kami."
Namun Mahisa Murti sempat bertanya kepada diri
sendiri, "Seandainya kami tidak mengaku saudara
seperguruan Miy atsangka, apakah kami akan mendapat
sambutan seperti ini meskipun kami telah melakukan hal yang
sama?" Tetapi Mahisa Murti tidak mengucapkannya.
Sejenak kemudian, bersama-sama dengan Ki Bekel,
orang yang melihat anak-anak muda itu menundukkan Ki
Lurah serta beberapa orang bebahu, maka anak-anak muda itu
telah makan pagi. Minum minuman hangat dan kemudian
setelah duduk-duduk sejenak, mereka pun telah mohon diri.
Ki Bekel dan orang-orang padukuhan itu tidak menahan
mereka, karena Ki Bekel tahu, bahwa anak-anak muda itu
harus melanjutkan perjalanan, meskipun Ki Bekel mempunyai
pengertian yang salah tentang perjalanan mereka.
Demikianlah maka beberapa saat kemudian, Mahisa
Murti, Mahisa Pukat dan Mahisa Semu serta gadis yang
diantarkanya itu telah m eninggalkan padukuhan itu. Sampai
beberapa lama di perjalanan mereka masih membicarakan
sambutan y ang berlebihan di padukuhan yang baru saja
mereka tinggalkan. Rasa -rasanya mereka justru menjadi asing
atas diri mereka sendiri di hadapan Ki Bekel dan para bebahu.
"Sekarang, kita kembali kepada diri kita sendiri.
Pengembara yang menempuh perjalanan panjang," berkata
Mahisa Pukat. "Tetapi kita adalah pengembara yang terhormat," sahut
Mahisa Semu. "Ya. Kita memang memiliki kelebihan. Kita mempunyai
bekal y ang cukup bagi perjalanan kita, sehingga meskipun kita
tidak dijamu lagi sebagaimana dilakukan oleh orang-orang
padukuhan itu, namun kita akan dapat membeliny a. Bahkan
lebih baik lagi," sahut Mahisa Pukat.
Mahisa Murti ter senyum. Namun mereka memang tidak
akan merasa cemas diperjalanan y ang betapa pun panjangnya,
karena mereka memang mempunyai bekal yang cukup banyak.
Demikianlah, maka mereka pun telah menempuh
perjalanan kembali ke rumah gadis itu. Meskipun jalan yang
mereka tempuh sedikit meny impang dan menjadi panjang,
tetapi naluri pengembaraan akan dapat mengenali lingkungan
sehingga mereka tidak akan tersesat.
Ternyata mereka tidak menemui hambatan apa pun lagi
di perjalanan. Meskipun perjalanan kembali itu mereka
tempuh lebih lama, namun mereka semakin lama menjadi
semakin dekat dengan padukuhan gadis itu.
Kedatangan mereka telah mengejutkan, bukan saja seisi
rumah. Tetapi demikian mereka memasuki padukuhan, maka
orang-orang padukuhan itu pun telah menyapa mereka
dengan nada ucapan syukur. Agaknya orang-orang padukuhan
itu sudah mendengar, bahwa gadis itu telah diculik sebagai
taruhan agar anak-anak muda y ang pada saat itu ada di
rumahnya bersedia mengikuti orang-orang yang menculiknya.
"Syukurlah, bahwa kau telah kembali," b erkata seorang
perempuan yang bertemu dengan mereka di tikungan,
beberapa puluh langkah dari reg ol padukuhan.
"Terima kasih bibi," jawab gadis itu.
" Ibumu setiap hari hanya menangis. Bahkan kadangkadang
telah menjadi pingsan," berkata perempuan itu,
"kedatanganmu tentu akan membuatnya hidup kembali."
"Kami akan segera menemuinya bibi," berkata gadis itu.
"Semakin cepat semakin baik," berkata perempuan itu
pula. Gadis itu tiba-tiba telah menjadi tergesa -gesa.
Padukuhannya tinggal beberapa puluh langkah.
Demikian mereka memasuki regol padukuhan, maka
beberapa orang justru telah mengerumuni mereka. Namun
seorang perempuan yang sudah separuh bay a berkata,
"Biarlah gadis itu cepat pulang. Ibunya sangat
memerlukannya. Jika ia datang lambat, maka mungkin ia
benar-benar akan terlambat. Ibunya menjadi semakin parah."
Karena itu, maka orang -orang y ang berkerumun itu
tidak lagi menahan mereka dengan pertanyaan-pertanyaan.
Bahkan beberapa orang telah berkata, "Cepatlah pulang."
Keempat orang itu pun berjalan semakin cepat. Bahkan
gadis itu seakan-akan telah berlari-lari. Bagaimanapun juga
ibunya adalah perempuan yang telah m elahirkannya. Betapa
pun besarnya kesalahan yang pernah dibuatnya, tetapi ia tetap
ibunya. Demikian gadis itu berlari melintasi tlundak regol
halaman rumahnya yang tua, ia pun telah berteriak, " Ibu,
ay ah." Suaranya melengking menyusup dinding rumahnya y ang
berlubang-lubang meny entuh telinga kedua orang tuanya.
Karena itu, m aka kedua orang tuanya itu pun dengan
serta merta telah bangkit. Ibunya yang lemah dan beberapa
kali telan jatuh pingsan, ditunggui oleh kedua orang
tetangganya, telah meloncat berlari keluar bilikny a.
Kedua tetangganya y ang menungguinya juga mendengar
suara memanggil. Karena itu, m aka mereka tidak mencegah
perempuan y ang lemah itu berlari keluar, disusul oleh
suaminya. Kedua orang tetangganya itu hanya menarik nafas
dalam-dalam. Bagaimanapun juga mereka m embenci tingkah
laku perempuan itu, namun pada saat-saat gawat, mereka
tidak sampai hati membiarkannya. Demikian pula tetanggatetangganya
yang lain, sehingga bergantian mereka
menungguinya, menghiburnya dan berusaha untuk
meringankan penderitaan wadagnya.
Kedua orang tua itu tidak dapat m enahan dirinya. Di
telinganya suara itu pasti suara anak gadisny a. Karena itu,
maka mereka pun tiba -tiba seakan-akan telah menemukan
kekuatan mereka kembali, terutama ibunya, sehingga ia
mampu berlari keluar rumah, betapa pun sebelumnya
tubuhnya seakan-akan tidak lagi dapat bergerak.
Demikian perempuan itu keluar pintu rumahnya, maka
anak gadisny a telah berlari hampir mencapai pintu rumahnya
pula, sehingga seakan-akan keduanya telah b ertemu di depan
pintu. Sekejap kemudian, maka keduanya pun telah
berpelukan. Keduanya menangis bersama-sama. Sementara
itu ay ahnya telah berdiri pula termangu-mangu.
Mahisa Murti, Mahisa Pukat dan Mahisa Semu berdiri
beberapa langkah dari m ereka. Ra sa-rasanya jantung m ereka
pun berdegup semakin cepat menyaksikan pertemuan antara
kedua orang tua dan anak gadisnya itu.
Sementara itu, beberapa orang tetangganya telah
berkerumun di halaman rumah itu pula.
Baru beberapa saat kemudian, kedua orang tua gadis itu
ingat akan anak-anak muda y ang mengantar gadis mereka.
Karena itu, maka ayah gadis itu pun kemudian berkata
kepada m ereka, "Marilah anak-anak muda. Kami persilahkan
kalian masuk." Lalu katanya kepada tetangga-tetangganya,


03 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Marilah. Silahkan."
Tetapi tetangga-tetangganya tahu bahwa ruangan di
dalam rumah itu tidak akan memuat mereka. Karena itu,
seorang yang rambutnya telah m emutih berkata, "Sudahlah.
Kami akan berada disini. Udara tentu panas di dalam.
Silahkan m enemui anak-anak muda itu di dalam. Nanti kami
juga ingin tahu apa yang telah terjadi. Tetapi jangan terlalu
kau risaukan kehadiran kami, karena kami sekedar ingin
menyatakan rasa syukur kami."
Ayah gadis itu termangu-mangu. Namun katanya
kemudian, "maafkan kami y ang tidak dapat menerima kalian
dengan baik." " Jangan pikirkan itu. Bergembiralah bahwa anak
gadismu telah kembali dengan selamat," berkata orang yang
rambutnya memutih itu. Laki-laki itu mengangguk-angguk. Kemudian katanya,
"Kami akan menemui anak-anak muda itu."
"Silahkan," jawab orang berambut putih itu.
Demikianlah, maka kedua orang tuanya, gadis itu sendiri
dan ketiga orang anak muda yang mengantarnya itu telah
masuk ke ruang dalam yang tidak cukup luas. Mereka pun
kemudian telah duduk di sebuah amben yang besar, yang
pernah dikenal oleh ketiga orang anak muda itu sebelumnya.
"Apa yang terjadi dengan anakku?" bertanya perempuan
yang seakan-akan telah menemukan kekuatannya kembali itu .
"Tidak terjadi apa-apa Ny i," jawab Mahisa Murti,"
bertanyalah kepadanya. Yang kami lakukan adalah semacam
perjalanan panjang saja."
Perempuan itu memandangi anak gadisny a dengan raguragu.
Namun kemudian ia bertanya juga, "Kau tidak apa-apa?"
Anak gadisnya mencoba tersenyum. Namun ternyata ia
tidak dapat m enahan diri. Tiba-tiba tangisny a telah m eledak
lagi. Beberapa saat orang-orang y ang ada di ruang itu harus
menunggu menjadi tenang. Ibunya memang ikut menangis
lagi meskipun ditahankannya kuat-kuat. Bahkan ia masih juga
sempat menghibur anak gadisnya, "Jangan menangis lagi
anakku. Kau sudah kembali bersama kami di rumah ini.
Betapa pun buruknya, tetapi rumah ini adalah rumah kita."
Beberapa saat kemudian tangis itu pun mereda.
Tersendat-sendat gadis itu mulai berceritera, "Mengerikan
sekali." Ibunya menjadi semakin tegang. Dengan dahi berkerut
ia bertanya, "Apa yang mengerikan?"
Gadis itu pun telah berceritera dari awal, sejak mereka
meninggalkan rumah itu, sampai m ereka kembali ke rumah
itu. Demikianlah ia selesai berceritera, maka sekali lagi
tangisny a tidak dapat ditahankannya.
Ayahnyalah y ang kemudian bergumam, "Terpujilah
Yang Maha Agung. Ternyata kau masih dilindunginya. Apa
pun y ang terjadi atasmu, namun ternyata kau selamat dan
kembali dalam keadaan utuh."
Orang itu berhenti sejenak, lalu "Kalian telah
menyelamatkan anakku lagi. Bahkan dengan demikian kau
telah meny elamatkan keluargaku. Dalam kesedihan yang
sangat, aku dan isteriku, merasa senasib dan sepenanggungan,
sehingga sisa -sisa gangguan perasaan y ang masih ada telah
kami hapuskan seluruhnya. Kedatangan anak gadisku telah
membuat keluarga ini utuh kembali."
"Syukurlah," berkata Mahisa Murti, "dengan demikian,
maka apa y ang telah kami lakukan, bukannya sia -sia, sehingga
rasa-rasanya segala kelelahan dan keletihan telah leny ap
seketika." "Kami akan menjamu kalian. Kami akan berbuat apa
sa ja yang kalian kehendaki untuk menyatakan terima ka sih
kami," berkata ayah gadis itu.
"Tidak ada yang harus kalian lakukan," jawab Mahisa
Murti. "Tentu ada," jawab ayah gadis itu.
Mahisa Murti tersenyum. Katanya, "Jika keluarga kecil
ini dapat utuh kembali, maka kami sudah merasa puas. Kalian
tidak perlu menambah dengan apa-apa lagi."
Orang tua itu menarik nafas dalam-dalam. Katanya,
"Aku akan mencoba mengerti atas kejadian ini. Tetapi aku
minta kalian tinggal di rumah ini untuk dua tiga hari."
Mahisa Murti tertawa. Tetapi ia pun kemudian berpaling
kepada Mahisa Pukat dan Mahisa Semu. Namun nampaknya
mereka pun tidak dapat memberikan pertimbangan. Bahkan
Mahisa Semu telah berpaling dan memandang ke kejauhan.
Karena itu, maka Mahisa Murti lah yang menjawab,
"Baiklah. Kami malam ini akan bermalam di rumah ini. Besok
kita berbicara lagi tentang kemungkinan berikutnya," Mahisa
Murti berhenti sejenak, lalu "diluar terdapat banyak orang
yang ingin mendengar ceritera tentang anak gadismu."
"Oo," orang tua itu mengangguk-angguk, "aku akan
menemui mereka." Setelah mempersilahkan Mahisa Murti, Mahisa Pukat
dan Mahisa Semu duduk, maka ayah gadis itu pun telah keluar
dari rumahnya. Ternyata beberapa orang masih berada di
halaman. Kecuali ikut menyatakan kegembiraan mereka, maka
mereka- pun ingin m endengar apa yang telah terjadi dengan
gadis yang malang itu. Ayah gadis itu termangu-mangu sejenak. Namun ia pun
kemudian telah berceritera sebagaimana diceriterakan oleh
gadis itu. Beberapa orang di halaman itu m emperhatikan ceritera
ay ah gadis itu dengan saksama. Terbayang di angan-angan
mereka, ketakutan, kecemasan dan k ecurigaan telah memilih
jantung gadis itu. Namun seorang di antara mereka berkata, "Semuanya
sudah berlalu. Bukankah mereka yang mengganggumu itu
tidak akan pernah melakukannya lagi atasmu" Isterimu dan
anakmu?" Ayah gadis itu termangu-mangu. Namun justru orang
lainlah y ang menjawab, "Mereka jugalah yang meny elamatkan
gadis itu dari tangan orang tamak y ang telah mengambil
ibunya." Ayah gadis itu termangu-mangu sejenak. Namun
kemudian ia pun berkata, "Demikianlah ceritera tentang
anakku Ki Sanak. Betapa mengerikan perjalanan mereka.
Namun ia sudah kembali."
"Terima kasih atas perhatian kalian," berkata laki -laki
itu. Demikianlah maka beberapa orang y ang berkerumun itu
pun telah minta diri. Satu-satu mereka keluar dari regol
halaman. Namun pandangan mereka terhadap reg ol halaman dan
rumah tua itu sudah berbeda. Setidak-tidaknya selama Mahisa
Murti, Mahisa Pukat dan Mahisa Semu di rumah itu.
Sejenak kemudian rumah itu memang telah menjadi
sepi. Meskipun jika ada orang yang lewat di jalan di depan
rumah itu ia masih saja menengok dan memperlambat
langkahnya. Hari itu, Mahisa Murti, Mahisa Pukat dan Mahisa Semu
bermalam di rumah gadis yang telah mereka janjikan. Namun
meskipun mereka berada di dalam rumah, namun mereka
tetap berhati-hati. Seperti malam-malam sebelumnya, m aka
bergantian seorang di antara mereka bertiga telah berjagajaga.
Namun ternyata malam itu tidak terjadi sesuatu atas
mereka dan seisi rumah itu. Pagi-pagi benar anak-anak muda
itu sudah pergi ke pakiwan dan berbenah diri. Sehingga ketika
matahari terbit, mereka sudah siap untuk melakukan
kewajiban mereka. Tetapi ay ah gadis yang telah mereka selamatkan itu pun
telah siap pula m enjamu m ereka. Karena itu, m aka ia pun
bergegas menemui ketiga anak muda itu dan
mempersilahkannya duduk di ruang dalam.
Demikian ketiganya duduk, maka telah dihidangkan
minuman hangat dan beberapa potong makanan.
"Aku menjadi curiga," berkata ayah gadis itu.
Ketiga anak muda itu m engerutkan keningnya. Dengan
ragu-ragu Mahisa Murti bertanya, "Apakah yang
mencurigakan?" "Kami menjadi curiga bahwa kalian akan meninggalkan
rumah ini," jawab orang itu.
Mahisa Murti menarik nafas dalam-dalam. Demikian
pula kedua anak muda y ang lain pun merasa lega, bahwa lakilaki
itu tidak bermaksud lain.
Namun dalam pada itu, Mahisa Murti pun berkata,
"Kami memang akan mohon diri. Agaknya segala sesuatunya
telah selesai dengan baik. Tidak ada kesulitan lagi yang bakal
datang. Sebaiknya, kalian y ang ternyata bertetangga dengan
akrab dapat bersama-sama membangun kekuatan yang betapa
pun kecilnya, namun jika hal itu dipikul oleh sekelompok
orang, akan menjadi kuat juga."
Laki-laki itu mengangguk-angguk. Tetapi katanya, "Kami
masih ingin m enahan kalian agar tidak meninggalkan rumah
ini begitu tergesa-gesa, karena kami masih ingin menyatakan
terima kasih kami kepada kalian."
Mahisa Murti ter senyum. Katanya, "Terima kasih. Aku
kira sudah cukup. Sementara itu, kami harus melakukan
tugas-tugas yang lain. Terutama, karena kami sudah t erlalu
lama meninggalkan lingkungan kami."
"Lingkungan yang mana?" bertanya orang tua itu.
Mahisa Murti menggeleng sambil menjawab, "belum kau
ketahui m eskipun aku berusaha untuk mengatakannya yang
sebenarnya." Laki-laki tua itu m emang m erasa tidak dapat menahan
ketiga anak m uda itu lagi. Laki-laki itu m emang merasakan
bahwa ketiganya bukan orang kebanyakan. Karena itu, maka
katanya, "Jika demikian anak-anak muda, kami memang tidak
dapat m enahan kalian lebih lama lagi. Namun demikian, jika
ada kesempatan, kami mohon kalian dapat singgah lagi di
rumah ini." "Mudah-mudahan," jawab Mahisa Murti, "pada saatsaat
tertentu kami memang melakukan pengembaraan seperti
ini." Demikianlah, setelah minum dan makan beberapa
potong makanan, maka m ereka pun minta diri kepada seisi
rumah itu. Gadis y ang telah mereka selamatkan itu tidak dapat
menahan air matanya. Betapa ia merasa berhutang budi
kepada ketiga orang anak muda y ang tidak dikenalnya dengan
sungguh-sungguh itu. Tetapi ketiga orang anak muda itu memang harus
meninggalkan rumah itu. Beberapa saat kemudian, ketiganya telah berada dalam
perjalanan. Mereka telah meninggalkan padukuhan tempat
tinggal gadis y ang telah menahan mereka untuk beberapa
lama karena peri stiwa y ang beruntun terjadi atasnya.
"Kita akan kembali ke padepokan," berkata Mahisa
Murti. "Tentu," jawab Mahisa Pukat.
"Tidak berhenti lagi di perjalanan. Kita sudah terlalu
lama pergi. Kita tidak tahu apa y ang terjadi dengan ay ah kita
yang sudah tua itu," berkata Mahisa Murti pula.
Mahisa Pukat mengangguk-angguk. Tetapi ia bertanya,
"Bagaimana jika kita menjumpai satu peristiwa yang
memerlukan campur tangan kita?"
"Sekedarnya saja. Tetapi tidak menahan kita sampai
berhari -hari," jawab Mahisa Murti.
Mahisa Pukat tidak menjawab. Sebenarnyalah ia pun
telah digelitik oleh keinginan untuk kembali ke padepokannya
itu. Namun dalam pada itu, mereka sepakat untuk singgah di
perguruan Miy atsangka. Apalagi jalan yang m ereka tempuh
tidak akan terlalu m eny impang jika mereka singgah barang
sehari. Mereka harus menjelaskan sikap mereka yang telah
mempergunakan nama perguruan Miyatsangka itu.
Karena mereka berjalan bertiga tanpa seorang gadis,
maka perjalanan m ereka ternyata lebih cepat dari perjalanan
yang pernah m ereka tempuh. Baik di saat gadis itu diculik,
apalagi saat mereka mengantar kembali, karena mereka harus
berhenti untuk berkelahi.
Dengan demikian maka menjelang senja, m ereka telah
sampai k e tempat y ang m ereka tuju, meskipun m ereka telah
berhenti dua kali di perjalanan untuk singgah di kedai makan.
Namun demikian mereka melangkah masuk ke reg ol
halaman, maka mereka terkejut melihat keadaan di halaman
itu. Beberapa orang telah berloncatan sambil mengacukan
senjata. Namun ketika mereka melihat ketiga anak muda itu,
maka mereka pun segera mempersilahkan mereka dengan
ramah. "Silahkan. Aku beritahukan kakang Miy atsangka,"
berkata salah seorang di antara mereka.
"Apa y ang telah terjadi?" bertanya Mahisa Pukat.
" Biarlah kakang Miyatsangka memberikan keterangan,"
jawab orang itu. Ketiga orang anak muda itu pun kemudian telah naik
dan duduk di pendapa. Mereka m elihat beberapa orang yang
terluka terbaring di pringgitan. Sementara itu agaknya ada
beberapa sosok mayat y ang sedang diangkat dan dibaringkan
di serambi gandok. Beberapa saat kemudian, barulah Miyatsangka keluar.
Ternyata Miy atsangka pun telah terluka, meskipun tidak
terlalu parah. Namun lukanya telah mendapat perawatan yang
baik, sehingga darah tidak lagi menitik dari luka di pundaknya
itu. Miyatsangka pun dengan tergopoh-gopoh telah
menemui ketiga anak muda itu. Sementara Mahisa Murti pun
segera bertanya, "Apa yang telah terjadi disini?"
Wajah Miy atsangka m enjadi buram. Sekali ia menarik
nafas dalam-dalam. Kemudian katanya, "Persoalan dengan
kedua orang paman guru y ang berniat mengambil alih
pimpinan itu ternyata belum selesai."
"Saudara-saudara seperguruannya datang kemari?"
bertanya Mahisa Murti. "Tidak. Tetapi murid-muridnya," jawab Miyatsangka,


03 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"ternyata dua kelompok para murid dari kedua orang paman
itu telah datang ber sama-sama."
"Apakah kalian belum pernah m engetahui sebelumnya,
bahwa kedua orang pamanmu itu memiliki perguruan masingmasing?"
bertanya Mahisa Pukat. "Sama sekali belum," jawab Miyatsangka,
"sebenarnyalah bahwa kami tidak banyak mengetahui tentang
kedua orang paman itu."
"Sekarang, di mana pamanmu yang masih hidup, tetapi
tidak lagi dapat memiliki kembali ilmunya itu?" bertanya
Mahisa Pukat. "Paman telah dibawa oleh mereka," jawab Miy atsangka.
Ketiga orang anak muda itu menarik nafas dalam-dalam.
Namun Mahisa Murti sempat bertanya, "Apakah kekuatan
mereka jauh berada diatas kekuatan kalian?"
"Tidak," jawab Miy atsangka, "meskipun jumlah mereka
lebih banyak, tetapi kekuatan kami agaknya mampu
mengimbangi mereka. Tetapi di antara mereka sempat
mengambil paman dan mereka bawa di saat mereka-melarikan
diri. Sementara itu, dua orang di antara mereka terbunuh
disamping beberapa orang y ang terluka, sedangkan saudara
kami seorang terbunuh dan beberapa orang yang lain terluka
pula. Termasuk aku sendiri."
Mahisa Murti mengangguk-angguk. Katanya, "Syukurlah
bahwa kalian dapat mengatasi kesulitan itu."
"Tetapi semuanya masih belum tuntas. Masih ada y ang
tertinggal. Agaknya mereka tetap mendendam karena keadaan
kedua orang guru dari kedua kelompok itu," berkata
Miyatsangka. "Apakah mereka masih akan kembali?" bertanya Mahisa
Pukat. "Nampaknya begitu," jawab Miy atsangka, "mereka
memang mengancam akan kembali dan menghancurkan
rumah ini. Tentu saja maksudnya adalah perguruan ini."
Mahisa Pukat mengangguk-angguk kecil. Ketika ia
memandang berkeliling, maka dilihatnya saudara-saudara
seperguruan Miy atsangka benar -benar dalam kesiagaan
tertinggi sambil m embenahi keadaan, sementara Miy atsangka
sendiri telah terluka meskipun luka itu sudah diobati.
"Kapan mereka akan kembali?" b ertanya Mahisa Pukat
kemudian. "Kami tidak tahu," jawab Miyatsangka, "tetapi tentu
segera setelah mereka mendapat bantuan. Mereka benarbenar
mendendam." " Di mana kedua orang saudara kandungmu?" bertanya
Mahisa Murti. "Ada. Untunglah keduanya belum meninggalkan tempat
ini," jawab Miy atsangka, "sekarang keduanya sedang
beristirahat. Keduanya telah m engerahkan segenap kekuatan
dan kemampuan mereka, sehingga demikian lawan-lawan
kami meninggalkan tempat ini, keduanya hampir menjadi
pingsan. "Berbahaya sekali," sahut Mahisa Murti, "jika saja
lawan-lawan kalian sempat bertahan untuk beberapa saat,
maka kedua saudaramu itu tentu akan mengalami bencana."
"Aku sudah mengatakannya. Sekarang keduanya dan
beberapa orang yang benar-benar kehabisan tenaga baru
beristirahat penuh. Mereka aku biarkan untuk tidur setelah
makan dan minum secukupnya. Jika lawan itu kembali,
hendaknya mereka sempat ikut bertempur dengan sebaikbaiknya,"
berkata Miyatsangka. "Termasuk kau sendiri?" bertanya Mahisa Murti.
"Tetapi keadaanku lebih baik dari kedua saudara
kandungku itu. Mereka memang tidak terluka separah aku,
meskipun ada beberapa goresan senjata di kulitnya. Tetapi
mereka benar-benar kehabisan tenaga," berkata Miy atsangka.
"Apakah mereka telah m inum obat-obatan y ang dapat
membantu menumbuhkan kembali kekuatan mereka?"
bertanya Mahisa Murti. "Kami tidak mempunyai obat semacam itu," jawab
Miyatsangka. Mahisa Murti mengangguk-angguk. Ia mempunyai obat
yang dapat membantu mempercepat pulihnya kembali
kekuatan. Tetapi tidak terlalu banyak. Karena itu, maka katanya,
"Barangkali aku dapat membantu untuk lima orang yang
paling penting di antara kalian."
"Membantu apa?" bertanya Miy atsangka.
"Obat itu. Karena itu hanya mempunyai sedikit," jawab
Mahisa Murti. Wajah Miyatsangka menjadi cerah. Katanya, "Sudah
cukup untuk lima orang. Aku dan kedua orang saudara
kandungku ditambah dua orang terbaik di antara kami yang
juga mengalami kelelahan seperti aku."
Mahisa Murti pun kemudian memberikan lima butir
obat yang dimaksudkan untuk lima orang sebagaimana
dikatakan oleh Miy atsangka. Obat yang harus dicairkan
dahulu dengan minuman yang harus diminum sampai habis.
Dengan segera Miy atsangka membagikan obat itu.
Dibangunkannya kedua orang saudaranya y ang benar-benar
baru tidur ny enyak untuk minum obat itu.
" Nanti kalian dapat tidur lagi," berkata Miyatsangka.
Sementara itu saudara-saudaranya yang lain telah
mengatur diri sebaik-baiknya sehingga semuanya akan
mendapat kesempatan untuk beristirahat, karena
sebenarnyalah semua orang merasa letih menghadapi
pertempuran y ang keras dan lama itu.
Seperti y ang dikatakan oleh Mahisa Murti, maka lima
orang telah m inum obat yang dapat membantu mempercepat
pulihnya kembali kekuatan mereka setelah dalam
pertempuran y ang sengit memeras tenaga mereka sampai
tuntas. Untuk m endapatkan hasil y ang sebaik-baiknya, maka
kelima orang itu termasuk Miyatsangka telah diminta untuk
tidur barang sejenak. Jika mereka nanti bangun dari tidur,
maka mereka tentu sudah mendapatkan kekuatan mereka
kembali sebagaimana sebelumnya.
"Tetapi aku harus menemui kalian. Tidak pantas jika
aku membiarkan kalian duduk di sini sementara aku pergi
tidur," berkata Miyatsangka.
"Keadaannya menuntut demikian," berkata Mahisa
Murti, "tidurlah. Tidak perlu terlalu lama. Dalam tidur kau
beristirahat sepenuhnya sementara obat itu mendapat
kesempatan sebaik-baiknya bekerja di tubuhmu."
Miyatsangka mengangguk-angguk. Katanya, "Baiklah.
Tetapi kalian harus berjanji."
"Kenapa kami y ang justru harus berjanji?" bertanya
Mahisa Murti. "Berjanji untuk tidak meninggalkan tempat ini selama
aku tidur," berkata Miy atsangka.
Mahisa Murti termangu-mangu. Namun Mahisa Pukat
lah y ang menyahut, "Kami akan menunggu."
"Terima kasih," b erkata Miy atsangka, "biarlah saudarasaudara
seperguruanku menemani kalian duduk disini."
Miyatsangka pun kemudian telah masuk kembali ke
dalam rumah. Nampak sekali betapa ia pun m erasa sangat
letih. Langkahnya memang gontai dan kakinya seakan-akan
menjadi sangat berat. Beberapa saat kemudian, ketiga orang anak m uda itu.
duduk di pendapa. Sementara itu Mahisa Murti berdesis,
"Apakah kita akan tertahan lagi disini" Bukankah kita telah
memutuskan untuk segera kembali ke padepokan Bajra Geni?"
"Hanya tertunda beberapa saat selama mereka tidur,"
jawab Mahisa Pukat, "apakah kita akan sampai hati
meninggalkan mereka dalam keadaan seperti ini?"
Ternyata Mahisa Murti pun mengangguk. Katanya, "Aku
mengerti." Namun dalam pada itu, Mahisa Semu lah y ang bertanya,
"Di manakah letaknya Padepokan Bajra Geni itu?"
"Kita akan segera menuju ke padepokan itu," berkata
Mahisa Murti dengan nada rendah.
Dalam pada itu, maka beberapa orang masih nampak
sibuk di halaman. Seorang di antara mereka telah
menghidangkan minuman dan makanan bagi ketiga orang
anak muda itu. Meskipun saudara -saudara seperguruan Miyatsangka
dalam kesiagaan penuh, namun mereka memang sudah
mengatur diri. Berganti-ganti mereka beristirahat untuk
mendapatkan kembali kekuatan mereka setelah diperas habishabisan.
Namun ketiga orang anak muda yang ada di pendapa itu
tidak terlalu lama tahan untuk duduk-duduk saja. Mereka pun
kemudian turun pula ke halaman dan m elihat-lihat apa yang
baru saja terjadi di halaman rumah itu.
Ternyata bahwa pertempuran telah terjadi di sekitar
rumah itu. Halaman samping, kebun dan bagian-bagian lain
dari kebun belakang nampak bekas pertempuran y ang sengit.
"Kita lihat dua orang suami isteri yang tua itu," desis
Mahisa Murti. Ketiganya pun kemudian mendekati pondok kecil itu di
belakang rumah. Perlahan-lahan mereka mengetuk pintu
rumah itu. "Siapa?" terdengar suara y ang bergetar.
"Aku," jawab Mahisa Murti.
Terdengar langkah ragu mendekati pintu. Namun
kemudian pintu itu pun telah terbuka.
"Oo," orang tua itu menarik nafas dalam-dalam, "kalian
telah berada di sini lagi?" bertanya orang tua itu.
"Halaman rumah ini tidak ubahnya telah menjadi
neraka," berkata orang tua itu.
Mahisa Murti mengangguk-angguk. Katanya,
"Miy atsangka telah menceriterakan."
"Kalian hanya bertiga?" bertanya orang tua itu.
"Ya. Kami memang hanya bertiga," jawab Mahisa Murti.
"Gadis itu?" bertanya orang tua itu pula.
"Tinggal bersama keluarganya. Kami telah
menyerahkannya kembali," jawab Mahisa Murti pula.
"Syukurlah jika gadis itu selamat sampai kepada orang
tuanya," berkata orang tua itu. Lalu katanya, "Tetapi
nampaknya api neraka akan membakar halaman ini kembali."
"Mudah-mudahan tidak," berkata Mahisa Murti.
"Ya. Mudah-mudahan tidak," terdengar suara seorang
perempuan tua y ang ketakutan.
"Apakah kalian akan tinggal disini untuk sementara?"
bertanya laki-laki tua itu.
"Mungkin hanya malam ini," berkata Mahisa Murti.
Orang tua itu menarik nafas. Sementara itu, senja
memang telah m enjadi semakin gelap. Beberapa orang telah
menyalakan obor -obor di sudut-sudut rumah, di regol dan di
serambi, sementara lampu minyak pun telah dinyalakan pula
di dalam rumah. Orang tua itu telah m enyalakan lam pu pula. Sementara
itu ia pun telah bertanya, "Dimanakah Miy atsangka
sekarang?" " Ia sedang beristirahat. Nampaknya ia menjadi sangat
letih, sementara ia telah terluka meskipun tidak terlalu parah."
jawab Murti. "Ya. Ia memang terluka. Gelombang itu sangat
menakutkan. Bergulung-gulung datang dalam jumlah yang
terlalu banyak," berkata orang tua itu.
+ Yang mendapat pertanyaan itu pun telah m enunjukkan
di mana ketiga orang anak muda itu sedang beristirahat.
" Jadi mereka belum meninggalkan rumah ini?" bertanya
Miyatsangka. "Belum," jawab pemimpin dari yang sedang bertugas
itu. Miyatsangka mengangguk-angguk.
"Apakah kakang Miy atsangka akan menemui mereka?"
bertanya yang sedang bertugas.
"Tidak. Biarlah mereka beristirahat," jawab
Miyatsangka. Demikianlah, maka Miy atsangka dan kelima orang yang
telah m inum obat yang diberikan oleh Mahisa Murti itu telah
bersiap sepenuhnya di pendapa. Jika terjadi sesuatu, m ereka
telah siap untuk bertempur dan memeras tenaga mereka sekali
lagi. Beberapa orang memang menjadi heran melihat
keadaan Miy atsangka dan keempat orang yang lain. Di sore
hari, mereka seakan-akan sudah tidak mampu lagi bangkit
berdiri. Namun ternyata setelah beristirahat sejenak, bekasbekas
keletihan itu sama sekali sudah tidak nampak lagi.
Namun ternyata sampai menjelang pagi, tidak terjadi
sesuatu di rumah itu. Tidak ada kelompok-kelompok yang
datang meny erang. Meskipun demikian, banyak hal y ang masih dapat
terjadi. Agaknya kelompok-kelompok itu mempunyai
kebiasaan untuk meny erang di siang hari sebagaimana telah
dilakukan. Sementara itu, beberapa petugas telah bergiliran. Yang
sudah sempat tidur, telah mendapat tugas menjelang fajar.
Sementara y ang baru saja bertugas telah mendapat
kesempatan untuk beristirahat.
Menj elang matahari terbit, maka ketiga orang anak
muda yang tidur di gandok pun telah terbangun. Bergantian
mereka pergi ke pakiwan. Setelah membenahi diri, maka
mereka bertiga pun telah dipersilahkan pula naik ke pendapa,
duduk bersama Miy atsangka bersama empat orang lainnya
yang telah minum obat y ang diberikan oleh Mahisa Murti
sehingga kekuatan mereka telah menjadi pulih kembali.
"Nampaknya segala sesuatunya telah menjadi terang,"
berkata Mahisa Murti. Lalu "tugas-tugas kalian tinggal
menguburkan mereka y ang meninggal."
Tetapi Miyatsangka menggeleng. Katanya, "Tidak. Masih
banyak kemungkinan y ang terjadi. Sebagaimana pernah
terjadi, kedua paman itu selalu bergerak di siang hari. Karena
itu, maka kami sedang menunggu, apakah hari ini mereka
akan bergerak atau tidak."
Ketiga anak muda itu mengangguk-angguk. Sementara
itu, kesiagaan di halaman, halaman samping dan kebun di
belakang semakin dipertinggi. Beberapa orang dengan senjata
telanjang berjalan mondar-mandir sambil mengawasi


03 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

keadaan. Sementara itu, di setiap sudut terdapat panggung
yang disiapkan dengan tergesa -gesa.
Di atas setiap panggung itu seorang di antara saudara
seperguruan Miy atsangka bertugas mengawasi keadaan.
Beberapa saat kemudian, maka langit pun menjadi
semakin terang. Sebentar lagi matahari tentu akan segera
terbit. Pa da saat y ang demikian itulah maka Miyatsangka
berkata, "Kita berada dalam keadaan y ang paling gawat. Jika
saat matahari terbit kita tidak m engalami sesuatu, maka hari
ini kita akan dapat bernafas. Namun kita harus siap
menghadapi saat matahari terbit."
Mahisa Murti, Mahisa Pukat dan Mahisa Semu mengerti
arti dari kata-kata Miyatsangka itu. Karena itu, m aka m ereka
tidak bertanya lagi ketika Miy atsangka kemudian minta diri
untuk turun ke halaman dan berada di antara saudara-saudara
seperguruannya bersama dengan keempat orang yang paling
dipercayainya itu. Dua orang saudara kandungnya dan dua
orang saudara seperguruannya.
Dalam pada itu, Miyatsangka dan keempat orang
kepercayaannya telah mengatur saudara-saudara
seperguruannya. Mereka telah m enyebar di seluruh halaman,
halaman samping dan kebun belakang. Namun sebagian
terbesar dari saudara-saudara seperguruan Miy atsangka
memang berada di halaman depan.
Beberapa orang di antara mereka justru telah membawa
senjata terhunus, seakan-akan mereka tidak mau terlambat
menebas leher lawannya jika tiba-tiba saja m ereka muncul.
Sementara itu, orang yang berdiri di belakang dinding
halaman itu telah bersiap-siap dengan tombak pendek. Jika
seseorang meloncati dinding itu dari luar, maka ia akan
langsung jatuh ke ujung tombak itu.
Saat-saat yang menegangkan itu pun sampai ke
puncaknya di saat matahari mulai melemparkan cahayanya
yang pertama. Semua orang di halaman, halaman samping dan kebun
belakang menjadi tegang. Miy atsangka berdiri di tengahtengah
halaman depan bersama dua orang saudara
kandungnya, sementara kedua orang saudara seperguruannya
yang telah memulihkan kembali kekuatannya itu berada di
sebelah meny ebelah rumah itu.
Mahisa Murti, Mahisa Pukat dan Mahisa Semu juga
berada di halaman meskipun mereka bertiga berada tepat di
bawah tangga pendapa. Dalam ketegangan itu, darah pun rasa-rasanya telah
berhenti mengalir. Miy atsangka dan saudara-saudara
seperguruannya berdiri tegak bagaikan patung. Orang-orang
yang bertugas berdiri diatas panggungan kecil di sudut-sudut
halaman itu pun menjadi sangat tegang. Sekali-sekali m ereka
memandang berkeliling. Namun sekali-sekali mereka memandang langit di ujung
timur, seolah-olah m ereka ingin memberikan kesak sian yang
tepat, siapakah y ang muncul lebih dahulu. Matahari, atau
orang-orang y ang mungkin akan menyergap rumah itu.
Di saat detak-detak jantung orang-orang yang ada di
halaman itu berdegupan semakin cepat, maka seorang di
antara mereka yang bertugas di sudut halaman depan rumah
itu menjadi sangat tegang. Ia melihat dua orang yang tiba-tiba
sa ja muncul dari balik pepohonan. Dengan cepat orang yang
telah menyiapkan anak panah dan busur itu telah
membidiknya. Hanya sesaat, karena sesaat kemudian sebuah
anak panah telah meluncur.
Tetapi untunglah bahwa orang yang berdiri diatas
panggungan itu melihatnya. Karena itu, maka dengan sertamerta,
ia pun telah b erjongkok m enghindari anak panah itu.
Hampir di luar sadarnya, setelah ia terlindung oleh dinding
halaman, maka tangannya telah meraih pemukul sebuah
kentongan kecil. Sejenak kemudian, suara kentongan itu telah bergema di
seluruh lingkungan dinding halaman rumah itu, sementara
sebuah anak panah yang tidak mengenai sasaran telah
meluncur dan jatuh di halaman, tidak terlalu jauh dari Mahisa
Murti. Suara kent ongan itu memang menjadi jawaban atas
ketegangan yang telah terjadi. Ternyata y ang m ereka tunggu
telah datang. Orang-orang y ang ada di halaman itu pun segera telah
menarik senjata mereka. Mereka tidak perlu m enunggu lagi.
Jika orang-orang dari luar halaman itu berloncatan masuk,
maka mereka tidak akan segan-segan lagi menghunjamkan
senjata mereka ke dalam tubuh lawan. Keragu-raguan
sebagaimana pernah terjadi, hanya akan menyulitkan
kedudukan mereka sendiri.
Miyatsangka masih berdiri di halaman. Ia berusaha
untuk dapat m elihat seluas-luasnya medan yang bakal terjadi
di halaman rumah itu demikian lawan mereka meloncat
masuk. Namun demikian kedua orang saudara kandungnya
telah bergeser memencar. Yang pernah terjadi merupakan
pengalaman bagi mereka. Sejenak kemudian, y ang mereka tunggu itu benar-benar
telah berloncatan keatas dinding halaman. Mereka tidak
segera meloncat masuk. Satu-satu di antara mereka jika
memasuki halaman, akan dapat menjadi korban. Tetapi
mereka harus meloncat bersama-sama sehingga dengan
demikian, maka mereka tidak akan mudah untuk dibantai oleh
orang-orang y ang ada di bawah dan menunggu mereka dengan
senjata terhunus. Namun yang tidak terduga adalah jumlah mereka. Ketika
orang-orang yang datang itu telah berloncatan keatas dinding,
maka ternyata dari ujung ke ujung halaman depan, dinding itu
telah penuh dengan orang yang berjongkok berhimpitan.
Bahkan ternyata diatas dinding di halaman samping pun telah
terdapat pula beberapa orang di antara mereka.
Miyatsangka menarik nafas dalam-dalam. Jumlah
mereka justru bertambah. Nampaknya mereka harus bekerja
lebih keras untuk dapat bertahan.
"Untunglah bahwa tenagaku dan beberapa orang
kepercayaanku telah pulih kembali," berkata Miyatsangka di
dalam hatinya. Hampir di luar sadarnya ia berpaling ke arah ketiga
orang anak muda y ang menjadi tamu di rumah itu. Namun
nampaknya ketiga orang anak muda itu lagi m emperhatikan
keadaan dengan sungguh-sungguh.
Sebenarnyalah Mahisa Murti, Mahisa Pukat dan Mahisa
Semu menjadi berdebar-debar pula. Jumlah mereka yang
datang itu memang terlalu banyak, sehingga dengan demikian
telah mendor ong orang-orang y ang bertahan, .tidak lagi
memperhitungkan apa y ang mereka lakukan selain
mengurangi jumlah lawan. Tetapi orang-orang di rumah itu memang tidak
mempunyai pilihan lain kecuali benar-benar berusaha untuk
bertahan dengan menghancurkan lawan yang menyerang.
Namun orang-orang itu tidak segera berloncatan turun.
Seorang di antara mereka, yang nampaknya menjadi
pemimpin dari orang -orang y ang datang itu berkata lantang,
"He, Miy atsangka. Apa katamu sekarang" Jika kali ini kau
mampu bertahan, maka kami semuanya akan merelakan leher
kami untuk kau penggal."
Terdengar beberapa orang tertawa berkepanjangan.
Seorang yang berkumis t ebal berjambang panjang dan
rambutnya terurai menjurai dibawah ikat kepalanya, telah
berteriak, "Kau mulai gemetar Miy atsangka. Jika kemarin
kami gagal, maka sekarang kami akan berhasil. Meny esal,
bahwa kau dan saudara-saudara-mu telah menyakiti hati kami
sehingga kami datang untuk m embalas dendam. Seorang di
antara kami y ang terbunuh, maka nilainya akan sama dengan
sepuluh orang di rumah ini. Dua orang di antara kami telah
terbunuh, berarti duapuluh orang di antara kalian akan mati.
Tetapi agaknya aku ragu, apakah jumlah kalian ada dua puluh
orang." Beberapa orang telah tertawa lagi. Sementara itu
pemimpin mereka telah berkata, "Aku tidak akan
mempergunakan istilah y ang berbelit-belit. Kami datang
untuk membunuh kalian semuanya. Aku sudah m emutuskan
bahwa tidak seorang pun di antara kalian boleh tinggal hidup.
Yang dapat kalian lakukan adalah tinggal memilih. Mati
dengan cara yang baik atau dengan cara y ang sulit dan lama.
Jika kalian memilih mati dengan cara y ang baik, maka kalian
tinggal duduk berjajar di halaman. Kami akan memenggal
leher kalian satu demi satu. Kalian tidak akan merasakan
betapa pedihnya luka yang menganga di perut kalian atau
bagaimana sakitnya kepala yang retak. Tetapi jika kalian tidak
memilih cara itu, maka kalian akan mengalami cara yang lain.
Cara yang lebih pahit. Kematian y ang lama. Kami akan
membiarkan kalian tinggal di tempat ini dalam keadaan luka
parah. Yang tidak terluka, akan kami lukai sehingga tidak
seorang pun akan dapat menolong y ang lain. Kalian semuanya
akan mati dengan lambat. Mungkin kehausan selain kesakitan.
Mungkin kelaparan. Mungkin tempat ini akan didatangi anjing
liar atau binatang yang lain."
Orang-orang yang duduk diatas dinding itu pun tertawa
semakin keras. Bahkan seorang yang bertubuh gemuk,
berkepala botak tanpa ikat kepala dan seorang lagi yang
wajahnya bergaris-garis bekas luka silang melintang, tertawa
sangat keras sambil berteriak-teriak, "Serahkan kepada kami."
Yang lain pun telah berteriak pula sahut-menyahut.
Miyatsangka masih tetap berdiri di tempatnya. Ia tidak
segera menanggapi. Sikap tenangnya memang mengagumkan.
Bahkan pemimpin dari orang -orang y ang datang itu pun
merasa heran juga akan sikap itu.
Baru sejenak kemudian, Miy atsangka berkata lantang,
"Apakah kalian sudah puas berbicara" Jika belum puas,
berbicaralah. Kami tidak berkeberatan. Tetapi jika kalian
sudah puas, kami persilahkan kalian pergi meninggalkan
tempat ini. Siapa yang menginjakkan kakinya di halaman
rumah kami, akan kami bunuh tanpa ampun."
Pernyataan Miyatsangka itu memang mengejutkan.
Mereka tidak mengira bahwa Miy atsangka masih juga dapat
mengancam mereka seperti itu.
Ju stru karena itu, untuk sesaat orang-orang yang berada
diatas dinding itu terdiam. Namun pemimpin mereka
kemudian berkata, "Miyatsangka. Nampaknya kau memang
sedang mengigau menjelang kematianmu. Apa y ang dapat kau
harapkan dengan orang -orangmu itu" Jumlah kami jauh lebih
banyak dari jumlah orang-orangmu. Sementara itu kami
sudah menjajagi kemampuanmu dan orang -orangmu. Kau
sudah terluka dan beberapa orang kepercayaanmu tentu sudah
menjadi sangat letih sehingga jika kami memaksa kalian
bertempur sekali lagi sekarang ini, maka akan terjadi apa yang
telah kami katakan."
Tetapi Miy atsangka masih menjawab, "Kenapa tidak
segera saja kalian lakukan" Aku sudah muak mendengar
kalian berbicara tanpa ujung pangkal. Sudah saatnya kita
menguji kebenaran dari apa y ang sudah kita ucapkan."
"Anak setan kau Miyatsangka," geram pemimpin dari
orang-orang yang berjongkok diatas dinding halaman itu,
"ternyata kau memilih cara mati y ang pahit itu. Baiklah.
Sebentar lagi apa y ang kau inginkan itu akan terjadi. Jangan
menyesal di saat-saat kesakitan, kelaparan dan kehausan
mencekikmu perlahan-lahan."
" Jangan takut aku menyesal," berkata Miyatsangka,
"agaknya lebih baik kau dan orang-orangmu berdoa menjelang
saat -saat kematian. Nampaknya korban akan jatuh berlipat
ganda dari yang pernah terjadi. Tetapi apa boleh buat. Itu
bukan salah kami, karena kami sekedar mempertahankan
diri." Pemimpin dari orang-orang y ang duduk diatas dinding
itu memang menjadi sangat m arah. Karena itu, m aka ketika
Miyatsangka sama sekali tidak menjadi takut atas
ancamannya, maka ia pun benar-benar akan melakukannya.
Sejenak kemudian, maka terdengar pemimpin dari
orang-orang y ang duduk diatas dinding itu berteriak,
"Marilah. Kita tidak ingin kehilangan waktu lagi. Bunuh semua
orang y ang ada di dalam lingkungan dinding halaman ini.
Jumlah kita berlipat ganda, sehingga kalian akan dapat
melakukannya dengan senang hati. Sambil menari, atau
sambil berdendang atau sambil makan sekalipun. Tidak akan
orang y ang dapat menahan kalian."
Sebenarnyalah bahwa Miyatsangka memang menjadi
cemas. Ia sadar bahwa orang-orang yang ada di halaman itu
tidak mampu mengatasi sekian banyak orang, kecuali jika
ketiga orang anak muda itu bersedia ikut campur. Anak-anak
muda itu ternyata telah mampu mengalahkan paman gurunya,
orang y ang memiliki ilmu tanpa ukuran.
Hampir di luar sadarnya Miy atsangka telah berpaling ke
arah Mahisa Murti y ang nampaknya juga menjadi tegang.
Sebenarnyalah ketiga orang anak muda itu menjadi
tegang. Mahisa Murti sedang memikirkan kemungkinan yang
paling baik y ang dapat dilakukan. Nampaknya ketiganya
memang tidak mempunyai pilihan lain kecuali melibatkan diri.
Mahisa Pukat y ang berdiri dengan tegang, sudah
berpikir untuk mempergunakan kekuatan ilmunya, meny erang
orang-orang itu dari jarak jauh. Dengan demikian, m aka ia
akan dapat menahan arus serangan y ang datang seperti
gelombang yang didorong oleh angin prahara itu.
Namun dengan demikian, orang-orang itu tentu
mempunyai penilaian tersendiri atas Miyatsangka dan
saudara-saudara seperguruannya serta orang lain yang
kebetulan sedang ada di tempat itu, karena tidak seorang pun
dari keluarga perguruan Miyatsangka yang mampu
melontarkan ilmu seperti ilmunya itu.
Karena itu, maka Mahisa Pukat harus tidak
mempergunakannya. Jika ia mencobanya juga, maka pada
kesempatan lain, perguruan Miy atsangka justru akan
mengalami kesulitan. Jika orang-orang itu memperhitungkan
bahwa orang lain itu sudah pergi, mereka akan datang
menyerang lagi. Dalam pada itu, ketiga orang anak muda itu tidak
mempunyai kesempatan lebih lama untuk merenung. Mereka
pun telah mendengar pemimpin dari orang-orang y ang berada


03 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

diatas dinding itu berteriak, "Cepat, lakukan sekarang."
Sejenak kemudian, maka orang-orang itu telah
berloncatan turun. Miyatsangka y ang m enjadi sangat tegang
melihat jumlah y ang terlalu banyak itu, menjadi mantap ketika
Mahisa Murti mendekatinya dan berkata, "Aku berada di
pihakmu." Sementara itu Mahisa Pukat pun telah berbisik di telinga
Mahisa Semu, "Hati-hatilah. Jumlah mereka terlalu banyak."
Sebenarnyalah pertempuran y ang sesungguhnya telah
dimulai. Korban m emang telah mulai jatuh ketika dua tiga
orang yang meloncat turun itu langsung diterima oleh ujung
tombak. Luka pun segera menganga di tubuh mereka.
Tetapi yang meloncat turun memang terlalu banyak.
Tidak semua orang saudara seperguruan Miy atsangka mampu
mendahului mereka. Beberapa orang di antara mereka dengan
tangkas telah meloncat dan langsung siap untuk bertempur.
Karena itu, maka saudara-saudara Miy atsangka pun
justru mulai menarik diri. Karena jumlah mereka t erlalu
sedikit, maka mereka tidak berpencar. Mereka bertempur
pada dua lingkaran pertempuran y ang sempit.
Tetapi lingkaran ketiga terdiri hanya oleh tiga orang saja.
Mahisa Murti, Mahisa Pukat dan Mahisa Semu. Namun
ternyata bahwa ketiganya telah berhasil mengikat beberapa
orang sehingga dapat mengurangi jumlah orang yang berada
pada kedua lingkaran pertempuran yang lain.
Mahisa Semu memang langsung mempergunakan
senjata kepercayaannya. Senjata y ang di tangan Mahisa Semu
yang telah menyadap ilmu pedang dari kedua saudara
angkatnya memang menjadi senjata y ang sangat garang.
Sementara itu, Mahisa Murti dan Mahisa Pukat y ang
mempergunakan pedang kebanyakan, telah langsung
mempergunakan kemampuan ilmunya y ang dapat menghisap
kekuatan lawan-lawannya. Dengan demikian, maka mereka y ang tersesat ke
lingkaran ketiga itu pun telah menemui nasib yang buruk.
Dalam pertempuran y ang keras, ketiga anak muda itu sulit
untuk mengekang diri mereka. Sehingga dengan demikian,
maka ujung senjata Mahisa Semu kadang-kadang memang
telah melukai lawannya di tempat y ang berbahaya.
Beberapa orang terpaksa bergeser keluar dari arena.
Mereka harus mengobati luka-luka mereka lebih dahulu,
karena mereka memang dibekali dengan obat-obatan yang
bukan saja m emampatkan darah, tetapi juga dapat menahan
kekuatan bisa dan racun. Seorang y ang t erluka lengannya setelah m engobatinya
lukanya berteriak, "jangan merasa bangga atas kemenangan
semu itu. Jika senjatamu beracun, maka racun itu tidak akan
berarti apa-apa atasku."
Namun orang itu menjadi heran. Ketika ia memasuki
arena itu lagi, setelah senjatanya berbenturan dengan pedang
lawannya yang tidak lebih daripada pedang buatan pande besi
di sudut pasar, maka kekuatannya dengan cepat telah menjadi
su sut. Karena itulah, maka lawan-lawan yang berada pada
lingkaran ketiga yang hanya terdiri dari tiga orang itu ju stru
mengalami kesulitan lebih cepat dari yang lain. Beberapa
orang tiba -tiba menjadi t idak berday a dan jatuh dengan
lemahnya sehingga mereka harus merangkak menepi agar
mereka tidak terinjak-injak.
Sebenarnyalah orang-orang yang tidak memiliki ilmu
yang cukup kuat, dalam benturan senjata beberapa kali saja
dengan Mahisa Murti dan Mahisa Pukat, kekuatan mereka
seakan-akan telah menjadi lenyap.
Karena itu, setiap kali satu dua orang telah
meninggalkan lingkaran pertempuran pertama dan kedua
untuk membantu kawan-kawan yang cepat susut di lingkaran
pertempuran ketiga. Meskipun demikian, Mahisa Murti dan Mahisa Pukat
masih saja merasa cemas, bahwa keadaan Miyatsangka dan
saudara-saudara seperguruannya mengalami kesulitan.
Miyatsangka dan saudara-saudara seperguruannya
memang mengalami kesulitan. Lawan mereka t erlalu banyak.
Namun mereka pun menyadari, bahwa setiap kali lawan
mereka telah berkurang satu dua orang.
Namun demikian, keadaan mereka memang terlalu
berat. Tekanan dari segala arah hampir tidak tertanggungkan
lagi, sehingga mereka harus mengerahkan segenap
kemampuan y ang ada di dalam diri mereka. Miy atsangka yang
meskipun tenaganya telah pulih kembali, namun luka-lukanya
memang berpengaruh atas kemampuannya.
Karena itu, sebelum ia k ehabisan kesempatan, maka ia
pun telah m empergunakan ilmunya. Tangannya tiba -tiba saja
telah menjadi merah membara. Meskipun ilmu itu belum
sempurna dan masih harus dikembangkan, namun ternyata
ilmu itu sangat berbahaya bagi lawan-lawannya.
Dengan tangan kanannya Miyatsangka menangkis
senjata lawan-lawannya. Namun jika ia sempat meraba
lawannya tangan kirinya, maka lawannya itu akan m engalami
luka bakar y ang sangat parah.
Maling Romantis 5 Pendekar Gagak Rimang 7 Siasat Yang Biadab Kemelut Kadipaten Bumiraksa 1

Cari Blog Ini