Ceritasilat Novel Online

Hijaunya Lembah Hijaunya 35

03 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja Bagian 35


bambu dengan tiang-tiang penguatnya. Namun bukan
mustahil bahwa tali-tali itu diputuskan.
Mahisa Murti memiliki pedang y ang luar biasa. Ia
berharap bahwa pedangnya akan dapat membantunya.
Sebenarnyalah, bahwa pedang Mahisa Murti memang
pedang yang luar biasa. Tajamnya m elampaui tajamnya welat
bambu wulung. Dengan sentuhan-sentuhan kecil, maka tali-tali ijuk y ang
kuat itu pun telah terputus, sehingga dibagian sudut gandok,
dinding bagian luar bilik gandok itu sudah terbuka.
Namun dinding gandok itu ternyata rangkap. Dibagian
dalam terdapat dinding bambu yang dianyam lembut.
Tetapi yang kemudian dicemaskan oleh Mahisa Murti
justru jika Nyi Buyut terkejut dan berteriak. Karena itu, maka
di arah suara tangis Ny i Buyut, Mahisa Murti berdesis, "Ny i,
Nyi Buyut." Nyi Buyut mendengar suara itu. Isaknya pun telah
berhenti. Dengan hati-hati Mahisa Murti berdesis, "Apakah
Nyi Buyut sendiri?" Nyi Buyut menempelkan mulutnya ke dinding. Ia sadar,
bahwa sesuatu telah terjadi di luar dugaannya. Karena itu,
maka Ny i Buyut telah berdesis, "Ya. Aku sendiri."
"Tenanglah Ny i. Aku akan membelah dinding. Hentikan
jika ada orang yang masuk."
"Siapa kau?" bertanya Ny i Buyut.
"Nanti aku jela skan. Tetapi aku mengemban perintah Ki
Buyut," jawab Mahisa Murti.
Dengan pedangnya yang sangat tajam, Mahisa Murti
telah membelah dinding bambu dibagian dalam dengan tanpa
bersuara. Sementara itu dinding dibagian luarnya sudah
terbuka. "Ny i, keluarlah. Kawanku telah membebaskan Ki Buyut,"
desis Mahisa Murti. Nyi Buyut yang hampir berputus asa itu tidak berpikir
lebih lama lagi. Ia pun segera berjalan dengan hati-hati, keluar
lewat dinding y ang sudah terbuka itu.
Demikianlah, m aka Mahisa Murti telah m embawa Nyi
Bekel untuk mendekati bilik Ki Bekel. Dengan isy arat yang
sudah dijanjikan maka Mahisa Murti memanggil Mahisa Pukat
untuk membawa Ki Buyut keluar.
Ternyata Mahisa Pukat tidak mengalami kesulitan.
Karena tidak ada seorang pun yang mengawasi Ki Buyut itu
terus-menerus, maka mereka dapat keluar lewat pintu
belakang, yang hanya diselarak dari dalam. Orang -orang yang
menahan Ki Buyut memperhitungkan, bahwa Ki Buyut tidak
akan berani m elarikan diri, karena jika itu dilakukan, m aka
nasib Nyi Buyut akan menjadi sangat buruk.
Namun ternyata baik Ki Buyut maupun Ny i Buyut telah
sempat diselamatkan. Tidak ada seorang pun di antara para bebahu y ang
melawan Ki Buyut itu serta para pengikutnya y ang menyadari,
bahwa bagian belakang dinding gandok sebelah kiri sudah
koy ak, sehingga Ny i Buyut dapat dibawa keluar.
Dalam pada itu, Ki Buyut dan Ny i Buyut telah berhasil
meninggalkan halaman rumah itu lewat pintu samping pada
dinding halaman. Untuk beberapa saat mereka harus berjalan
di dalam kegelapan. Ki Buyut telah menuntun Ny i Buyut yang
tidak terbiasa menyuruk dalam kelam di antara lor ong sempit
yang berbatu-batu. Mereka berempat telah memilih lorong-lor ong kecil dan
jalan setapak. Ki Buyut m emang m engenal padukuhan induk
itu seperti mengenali ruang-ruang di dalam rumahnya!
Sehingga akhirnya mereka dapat menembus dinding
padukuhan induk tanpa harus melalui pintu gerbang.
"Ki Buyut akan pergi ke mana?" berkata Ny i Buyut.
"Bagaimana sebaiknya menurut Ki Buyut," jawab Mahisa
Murti. "Mungkin menemui Ki Bekel," berkata Mahisa Pukat.
"Baiklah. Tetapi bagaimanakah tanggapan Ki Bekel
nanti?"bertanya Ki Buyut.
"Ki Bekel sudah menduga bahwa ada sesuatu y ang tidak
wajar, sehingga Ki Bekel meny etujui kami berdua pergi ke
rumah Ki Buyut," sahut Mahisa Pukat.
Ki Buyut pun tidak berkeberatan. Dalam gelapnya
malam mereka berempat telah m enyusuri pematang pergi ke
padukuhan y ang memang agak jauh. Namun Mahisa Murti
dan Mahisa Pukat minta agar Ki Buyut memilih jalan yang
tidak melewati padukuhan.
"Mungkin ada yang melihat kita," berkata Mahisa Murti,
"lebih buruk lagi jika yang melihat itu para pengikut bebahu
yang menentang kebijaksanaan Ki Buyut."
Demikianlah, maka mereka pun telah m enempuh jalan
pintas y ang memang agak sulit. Terutama bagi Ny i Buyut.
Namun akhirnya mereka dengan selamat, telah sampai ke
rumah Ki Bekel. Ki Bekel memang sudah memperhitungkan, bahwa
kedua orang anak muda itu akan berhasil. Karena itu, maka Ki
Bekel sudah bersiap untuk menyambut Ki Buyut dan Ny i
Buyut. Ny i Bekel telah membawa Ny i Buyut y ang kelihatan
sangat letih ke ruang dalam. Sementara Ki Buyut dan Ki Bekel
berada di ruang tengah. "Apakah kalian besok akan berangkat?" bertanya Ki
Bekel kepada Mahisa Murti dan Mahisa Pukat.
Kedua anak muda itu termangu-mangu sejenak. Dengan
nada rendah Mahisa Murti berkata, "Sebentar lagi kita
memasuki pagi hari."
"Jadi?" bertanya Ki Bekel.
Mahisa Murti menarik nafas dalam-dalam. Katanya,
"Aku terpaksa menundanya lagi."
"Jika demikian, kalian dapat beristirahat sekarang,"
berkata Ki Bekel. Mahisa Murti dan Mahisa Pukat termangu-mangu.
Namun kemudian keduanya pun berkata, "Baiklah. Kami akan
kembali ke rumah nenek tua itu. Biarlah anak-anak muda
mengawal rumah ini. Kedua orang adik bebahu itu nampaknya
akan cukup mampu memimpin anak-anak muda di
padukuhan ini. Besok pagi-pagi aku sudah akan berada di
rumah ini." Ki Bekel mengangguk-angguk. Katanya, "Baiklah. Jika
kami memerlukan kalian lebih cepat, maka kami akan
membunyikan isy arat dengan kentongan."
Demikianlah maka sejenak kemudian Mahisa Murti dan
Mahisa Pukat telah berada di rumah nenek itu kembali.
Kepada para pengawal dan anak-anak muda y ang berada di
rumah itu, keduanya tidak mengatakan sesuatu. Namun
kepada Mahisa Semu, Wantilan dan Mahisa Amping yang
terbangun, Mahisa Murtiberkata, "Kita harus menunda
keberangkatan kita lagi."
Mahisa Amping sama sekali tidak berkeberatan. Ia dapat
membantu nenek penghuni rumah itu untuk kerjanya seharihari.
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat masih sempat
beristirahat meskipun hanya sejenak. Demikian pula Ki Buyut
dan Ny i Buyut di rumah Ki Bekel juga dipersilahkan untuk
beristirahat. Namun dalam pada itu, Ki Bekel telah m emerintahkan
dua orang anak muda untuk mengamati keadaan. Mereka
harus mengawasi jalan dari padukuhan induk.
"Jika kalian melihat sesuatu y ang tidak masuk akal,
berikan laporan secepatnya,"perintah Ki Bekel, "Sebelum fajar
kalian sudah akan diganti, sehingga kalian dapat beristirahat
lagi." Ternyata Ki Buyut dan Nyi Buyut merasa aman di rumah
Ki Bekel, sehingga keduanya dapat tidur beberapa saat
sebelum fajar mulai meny ingsing.
Sementara itu, sebelum fajar, orang-orang y ang telah
menahan Ki Buyut dan Nyi Buyut telah melakukan per ondaan
keliling halaman belakang. Namun mereka tidak melihat
sesuatu. Bahkan m ereka tidak melihat pintu dinding halaman
samping yang sudah tidak diselarak lagi.
Dalam pada itu, seseorang mulai memperhatikan bilik di
gandok sebelah kiri. Ia tidak lagi mendengar Ny i Buyut
menangis. "Akhirnya ia menjadi letih dan diam dengan sendirinya,"
berkata orang itu y ang sudah menjadi jemu minta agar Ny i
Buyut jangan menangis saja.
Tetapi orang itu memang tergelitik untuk melihat,
apakah yang sudah dilakukan oleh Nyi Buyut. Apakah
perempuan itu sudah tertidur atau masih duduk sambil
mengusap air mutunya meskipun ia sudah tidak teri sak lagi"
Perlahan-lahan orang itu telah membuka selarak pintu
dari luar. Perlahan-lahan pula ia telah membuka pintu itu.
Tetapi orang itu terkejut ketika ia tidak melihat Nyi
Buyut di pembaringan. Dengan cepat ia meloncat masuk.
Ternyata bilik itu telah kosong.
Orang itu menjadi bingung sejenak. Namun kemudian ia
sempat melihat-lihat keadaan bilik itu. Lampu minyak yang
memang tidak terlalu terang, tidak segera membantunya
menemukan goresan pedang yang mengoy ak dinding bambu
rangkap itu. Namun akhirnya orang itu pun melihatnya. Dengan
jantung y ang berdebaran ia meloncat ke sudut bilik itu.
Kemudian dengan serta-merta telah membuka dinding yang
terkoyak itu. "Gila," orang itu hampir berteriak, "setan manakah y ang
telah melakukan ini."
Dengan tergesa -gesa ia berlari keluar. Ditemuinya dua
orang bebahu y ang telah membuat semua rencana perlawanan
terhadap Ki Buyut serta usahanya untuk mengurung Ny i
Buyut, sehingga dengan demikian Ki Buyut tidak akan dapat
menolak perintahnya. "Apa?" dua orang bebahu itu pun hampir berteriak pula.
"Bagaimana hal itu dapat t erjadi?" bertanya seorang di
antara mereka dengan nada tinggi.
"Lihatlah, lihatlah sendiri. Dinding itu telah koyak,"
jawab orang y ang berjaga-jaga di depan bilik Ny i Buyut itu.
Kedua orang itu hampir saja m eloncat ke gandok untuk
melihat sendiri bilik y ang dindingnya sudah koyak itu. Tetapi
tiba -tiba seorang di antaranya b erkata lantang, "Kita lihat Ki
Buyut." Orang-orang itu pun kemudian justru telah berlari
masuk ke ruang dalam. Seperti yang mereka duga, bilik Ki Buyut pun telah
menjadi kosong. "Gila," geram bebahu itu, "apa kerja kita semuanya di
sini he" Bagaimana m ungkin Ny i Buyut dapat keluar tanpa
diketahui oleh seorang pun. Jika dinding itu dikoyak dengan
senjata, maka suaranya tentu akan dapat didengar."
Yang lain justru terdiam. Mereka pun tidak mengerti
bagaimana hal itu telah terjadi.
"Kita terlalu y akin bahwa Ki Buyut benar-benar telah
menyerah. Tetapi agaknya Ki Buyut telah keluar lewat pintu
belakang dan berusaha mengoy ak dinding gandok itu. T entu
sa ja kita semuanya tidak melihatnya, karena kita terlalu
merendahkan ketegaran jiwa Ki Buyut, y ang ternyata tidak
mudah mengalah itu. "Apa y ang harus kita lakukan sekarang?" bertanya
bebahu y ang lain. "Kita sudah terlanjur basah. Semisal orang
menyeberang, kita sudah berada di tengah. Kembali basah,
terus juga basah. Karena itu, kita akan terus," berkata bebahu
itu. "Di mana Ki Buyut sekarang kira-kira?" bertanya
seorang y ang lain. "Semuanya meny ebar. Kita harus mencarinya. Jika
mungkin menangkapnya dan membawanya kembali ke rumah
ini. Geledah setiap rumah di padukuhan induk ini," berkata
bebahu y ang memimpin perlawanan terhadap Ki Buyut itu.
"Bagaimana dengan para pengawal?" bertanya y ang
lainlagi. "Panggil pemimpin pengawal itu," jawab bebahu y ang
memimpin perlawanan itu, "tetapi yang pasti, ada beberapa
kelompok y ang telah kita kuasai sepenuhnya, karena pimpinan
kelompok sependapat dengan kita."
"Jadi?" bertanya-bebahu yang seorang lagi.
"Semuanya harus disiapkan sejak sekarang. Kita akan
menentukan sikap sebelum matahari terbit," jawab pemimpin
dari gerakan itu. Demikianlah, beberapa orang telah meny ebar,
sementara yang lain memanggil pemimpin pengawal serta
memerintahkan para pemimpin kelompok y ang telah
menyatakan diri membantu bebahu itu untuk bersiap.
Pemimpin pengawal Kabuyutan itu m emang datang ke
rumah Ki Buyut. Tetapi seperti yang pernah dikatakannya,
mereka akan melakukan tugas apapun jika Ki Buyut
memerintahkannya. "Aku telah m embawa pertanda kuasa Ki Buyut," bentak
bebahu y ang membawa cincin Ki Buyut itu.
"Tetapi apa sulitnya sekarang memberi aku kesempatan
menemui Ki Buyut sejenak?" jawab pemimpin pengawal itu.
"Ki Buyut sedang tidur ny enyak. Kesehatannya tidak
baik. Karena itu, ia berpesan, tidak seorang pun dapat
membangunkannya jika itu bukan atas kehendaknya sendiri,"
berkata bebahu itu. "Jika demikian aku menunggu," jawab pemimpin
pengawal itu. Namun dalam pada itu, pemimpin pengawal itu terkejut,
ia melihat beberapa orang pengawal telah berkumpul di
halaman. Bahkan tidak hanya beberapa orang, tetapi akhirnya
telah berkumpul tiga kelompok pengawal yang sudah
menyatakan kesediaan mereka y ang telah menentang Ki
Buyut. "Siapakah y ang telah memerintahkan mereka
berkumpul?" desis pemimpin kelompok itu.
Bebahu itu tertawa pendek. Dengan nada tinggi ia
berkata, "Kau tidak mempunyai pilihan. Mereka telah lebih
dahulu menyatakan kesediaan mereka."
"Tetapi aku belum mengeluarkan perintah apa-apa,"
geram pemimpin pengawal itu.
"Kau telah m elakukan kesalahan anak muda," berkata


03 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

bebahu itu, "seharusnya kau tidak m enjadi keras kepala. Kau
tidak perlu menunggu Ki Buyut. Aku sudah membawa
pertanda kuasanya. Sementara itu, para pengawal telah lebih
dahulu melakukan perintahku daripada kau."
"Mereka baru sebagian kecil," berkata pemimpin
pengawal itu, "yang lain akan tetap mendengarkan
perintahku." "Kau tidak akan pernah sempat memberikan perintah
apa-apa. Bukankah kau akan menunggu Ki Buyut bangun,"
bertanya bebahu itu. "Licik ternyata sangat licik. Dimana Ki Buyut sekarang?"
desak pemimpin, pengawal itu.
"Karena kau sudah ada dalam tangan kami, m aka kau
akan tahu apa y ang telah terjadi. Ki Buyut telah melarikan diri
tanpa memberikan pertanggungan jawab apa -apa," jawab
bebahu itu. "Kemana?" bertanya pengawal itu.
"Kami belum tahu. Tetapi setiap rumah sedang
diperiksa. Padukuhan induk ini telah dikepung oleh para
pengawal dan orang-orang yang sependapat dengan kami.
Ternyata jumlah kami cukup banyak. Yang lain m enggeledah
setiap rumah untuk menemukan Ki Buyut yang pengecut itu,"
geram bebahu itu. Pemimpin pengawal itu tidak menjawab. Ia melihat
beberapa orang pengawal di halaman. Namun ternyata yang
lain sedang memasuki setiap halaman untuk mencari Ki
Buyut. Namun selain beberapa kelompok pengawal bebahu itu
memang telah m endapatkan banyak pengikut. Sebagian lagi
justru orang-orang upahan.
Pemimpin pengawal itu memang tidak dapat berbuat
apa-apa. Dua orang yang belum dikenalnya selalu
mengamatinya. Pemimpin pengawal itu menyadari, bahwa
kedua orang itu tentu orang -orang upahan. Karena bebahu itu
mengharapkan dapat mengambil uang yang cukup banyak dari
rumah Ki Bekel, maka ia sudah berani menjanjikan upah
kepada orang-orang upahan itu.
Padukuhan induk itu memang menjadi sibuk. Orangorang
y ang tidur ny enyak telah terbangun. Rumah-rumah
telah digeledah, barangkali ada yang telah m eny embunyikan
Ki Buyut. Tetapi orang -orang itu sama sekali tidak menemukan Ki
Buyut dan Ny i Buyut y ang telah melarikan diri, sehingga
orang-orang yang mencarinya telah mengambil kesimpulan
bahwa keduanya tentu telah keluar dari Kabuyutan itu dan
berada di rumah Ki Bekel.
"Aku tidak peduli," berkata bebahu y ang m enentang Ki
Buyut itu, "kita akan menentukan satu sikap y ang tegas."
"Kita harus segera bergerak," desis bebahu y ang
seoranglagi. "Panggil semua orang y ang ikut menentukan langkah
ini," berkata bebahu y ang memimpin perlawanan itu.
Ternyata orang-orang yang sudah merasa terlanjur
melakukan perlawanan itu tidak mau melangkah mundur.
Pemimpin pengawal yang tetap pada pendiriannya untuk tidak
melakukan setiap perintah y ang tidak diberikan oleh Ki Bekel,
telah dijerumuskannya kedalam sebuah bilik y ang sempit
dibawah pengawasan yang kuat agar orang itu tidak sempat
lagi melarikan diri seperti Ki Buyut.
"Kita harus bergerak tanpa m enunggu matahari terbit,"
berkata pemimpin dari sekelompok orang-orang upahan itu,
"jika anak-anak muda sempat menyadari apa yang terjadi,
selain yang sudah menjadi hambatan."
Bebahu itu mengangguk-angguk. Katanya, "Baiklah. Kita
mempunyai alasan. Kita mencari Ki Buyut untuk diajak
kembali ke Kabuyutan. Siapa yang merintangi niat itu akan
berhadapan dengan kekuatan kami. Kami bahkan dapat
menuduh Ki Bekel menculik Ki Buyut jika Ki Buyut ada di
sana." Demikianlah, beberapa kelompok orang pun segera
bersiap. Sebelum fajar mereka memang sudah bergerak
menuju ke rumah Ki Bekel. Mereka sudah siap untuk
menuduh Ki Bekel telah m enculik Ki Buyut. Jika Ki Buyut
membantah, maka mereka dapat menganggap bahwa Ki Buyut
memberikan keterangan dibawah ancaman.
"Pokoknya kita harus membawa uang itu seluruhnya,"
berkata bebahu y ang melakukan perlawanan itu, "juga bendabenda
berharga y ang ada ditangan anak-anak muda yang
ternyata m ampu m eruntuhkan bela s kasihan nenek tua itu.
Mereka membawa masing-masing senjata yang sangat
berharga. Bahkan kedua anak muda y ang disebut sebagai
penasehat Ki Bekel itu masing-masing m emiliki pedang yang
berhulu emas bertatahkan permata."
"Apa kedua pedang itu juga pemberian nenek tua itu?"
bertanya pemimpin dari orang-orang upahan itu, "sebab aku
sudah pernah mendengar tentang sepasang pedang yang
sangat ditakuti oleh siapapun juga, yang berhulu emas dan
bertatahkan permata."
"Dari manapun atau dari siapapun, benda-benda
berharga itu akan kita rampas. Akhirnya rumah itu pun akan
menjadi m ilik kita. Kita dapat m enjualnya dengan harga yang
mahal kepada orang-orang kaya dari manapun juga yang
berminat." Pemimpin dari orang-orang upahan itu menganggukangguk.
Orang -orang upahan itu sama sekali tidak peduli
apapun juga selain upah y ang akan mereka terima. Atau
bahkan mereka-pun sempat mengangan-angankan, bahwa
mereka akan sempat pula singgah di rumah orang-orang kaya
jika kekacauan telah terjadi. Mengambil apa saja yang dapat
mereka ambil. Jika tidak semua di antara mereka sempat
melakukannya, maka mereka telah menunjuk ampat orang
yang secara khusus akan melakukannya. Dengan demikian
mereka akan memperoleh tambahan atas upah yang dijanjikan
atas mereka. Seperti y ang mereka rencanakan, maka menjelang
matahari terbit sekelompok orang -orang upahan, orang-orang
yang sependapat dengan bebahu y ang menentang Ki Buyut itu
serta beberapa kelompok pengawal telah meninggalkan
padukuhan induk. Mereka sudah tidak mempunyai
pertimbangan lain, kecuali m erampas uang dan apa saja yang
dapat mereka ambil dari Ki Bekel dan apa saja yang masih
tersisa di rumah itu. Sementara itu, di padukuhan y ang masih termasuk
lingkungan Kabuyutan yang menjadi sasaran dari sepasukan
kecil orang-orang dari padukuhan induk itu pun sudah
berjaga-jaga. Sejak Ki Buyut datang ke rumah Ki Bekel, maka
semua persiapan sudah dimatangkan.
Meskipun Ki Buyut dan Ny i Buyut kemudian
dipersilahkan untuk beristirahat, namun pengawasan telah
dilakukan jika orang-orang dari padukuhan induk mengambil
jalan kekerasan. Sebenarnyalah, maka kedua orang y ang bertugas
mengawasi keadaan telah melihat dalam keremangan pagi,
iring-iringan menuju ke gerbang padukuhan mereka. Dengan
cepat mereka mengambil kesimpulan bahwa mereka adalah
orang-orang dari padukuhan induk y ang datang untuk
melakukan langkah terakhir yang sudah diperhitungkan lebih
dahulu. Kekerasan. Kedua orang pengawas itu pun segera berlari memasuki
pintu gerbang. Seorang di antara mereka telah berhenti di
gardu y ang masih ditunggui oleh beberapa orang anak muda.
Sedangkan y ang lain berlari langsung ke rumah Ki Bekel.
Ki Bekel memang sempat membangunkan Ki Buyut.
Dengan suara y ang bergetar menahan gejolak perasaannya, Ki
Bekel minta ijin untuk membuny ikan kent ongan.
"Kita akan menganggap mereka sebagai perampokperampok
y ang harus diperlakukan sebagai perampok pula Ki
Buyut," berkata Ki Bekel.
Tetapi Ki Buyut masih berkeberatan. Katanya, "Kita
pergi ke pintu gerbang. Mudah-mudahan kita mendapatkan
peny elesaian yang lebih baik dari berkelahi."
"Mereka sudah siap melakukannya," jawab Ki Bekel.
"Kita pun bersiap-siap. Tetapi tidak usah dengan isy arat
kentongan lebih dahulu. Jika kita sudah memukul kentongan,
maka kita tidak akan dapat menemukan kemungkinan lain
kecuali berkelahi," berkata Ki Buyut.
Ki Bekel tidak dapat membantah. Ia pun kemudian
mengantar Ki Buyut ke reg ol padukuhan. Namun sementara
itu, anak-anak muda yang berada di rumah Ki Bekel telah
menebar memberitahukan bahwa orang-orang dari
padukuhan induk telah datang. Dua orang di antara mereka
telah berlari-lari ke rumah nenek tua itu.
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat pun segera dihubungi.
Keduanya telah minta Mahisa Semu dan Wantilan untuk
menjaga nenek tua itu bersama Mahisa Amping.
Anak-anak muda yang berjaga-jaga di rumah nenek tua
itu-pun telah berlari-lari pula bersama-sama Mahisa Murti
dan Mahisa Pukat ke regol padukuhan. Dua di antara anakanak
muda itu diminta tinggal bersama Mahisa Semu dan
Wantilan, sementara ampat orang pengawal yang ada di
rumah itu telah ikut pula pergi ke regol untuk m elihat apa
yang terjadi. Kedua adik bebahu padukuhan itu, yang telah mendapat
kepercayaan untuk memimpin anak-anak muda sebay anya
telah berada di regol pula. Bahkan ternyata bukan hanya anakanak
yang telah bersiap. Tetapi juga orang-orang yang telah
berkeluarga dan beranak. Mereka yang merasa masih mampu
melawan, telah pergi ke regol halaman.
Ki Buyut, Ki Bekel para bebahu dan para pengawal y ang
telah berada di padukuhan itu telah keluar dari regol
padukuhan. Mereka berniat menerima orang-orang
padukuhan induk dan jika berhasil mencegah mereka
melakukan kekerasan. Sementara itu, Mahisa Murti tian Mahisa Pukat telah
memisahkan diri. Mereka berdiri di sisi sebelah m eny ebelah
dari Ki Bekel yang mendampingi Ki Buyut.
Sejenak kemudian, maka iring-iringan itu telah m enjadi
semakin dekat. Ternyata langit pun telah menjadi terang,
sehingga kedua belah pihak dapat saling melihat dengan jela s.
Bebahu yang menentang Ki Buyut itu berdiri di paling
depan dari para pengikutnya. Sambil bertolak pinggang, ia pun
kemudian berdiri beberapa langkah di hadapan Ki Bekel
dengan m emberikan isyarat kepada para pengikutnya untuk
berhenti. "Ki Bekel," berkata bebahu itu dengan serta merta, "kau
ternyata sangat licik. Kenapa kau culik Ki Buyut?"
"Ki Buyut ada di sini. Bertanyalah sendiri kepadanya,"
jawab Ki Bekel. "Kau tentu memakai cara sebagaimana kau lakukan atas
nenek tua itu. Jawaban Ki Buyut telah kau persiapkan dengan
ancaman. Apalagi justru Nyi Buyut tidak ada di rumahnya,
maka kami berpendapat bahwa Ny i Buyut telah kau
sembunyikan sebagai taruhan jika Ki Buyut ingkar," berkata
bebahu itu. Tetapi agaknya Ki Bekel sudah menduga, bahwa bebahu
itu tentu akan menuduhnya berbuat demikian. Karena itu,
maka tiba -tiba saja ia telah tertawa. Dengan nada tinggi ia
berkata, "He, Ki Sanak. Kenapa kau tidak dapat membuat
tuduhan y ang lain y ang barangkali lebih meyakinkan" Kau
selalu mengatakan bahwa seseorang telah terpaksa
mengatakan karena tekanan dan ancaman. Sekarang, kau juga
mengatakan demikian terhadap Ki Buyut, sementara Ki Buyut
itu ada di hadapan kita."
Wajah orang itu menjadi m erah. Ki Buyut pun ternyata
telah mentertawakannya. Bahkan Ki Buyut itu pun berkata, "Kau menganggap
kami semua kanak-kanak yang belum memiliki penalaran
yang m apan. Sekarang, katakan saja dengan berterus-terang.
Apa y ang sebenarnya kau kehendaki. Jika kau ingin
membunuhku, maka per soalannya akan cepat selesai, karena
aku tidakakan melawan. Jika dengan demikian, maka
persoalannya selesai, maka aku kira aku harus bersedia
mengalami kematian itu."
Tetapi Ki Bekel pun kemudian berkata, "begitu
mudahnya" Jika ia ingin membunuh Ki Buyut, maka sudah
tentu itu hanya sasaran antara. Sasaran y ang sebenarnya tentu
bukan sekedar kematian Ki Buyut. Karena itu, kematian itu
adalah kematian sia -sia. Sebaiknya kita ber sikap tegas. Orang
itu sudah melawan Ki Buyut. Ki Buyut harus berbuat
selay aknya sebagai seorang pemimpin."
"Nah," berkata bebahu itu, "bukankah benar y ang aku
katakan, bahwa kaulah y ang telah m enyusun jawaban yang
harus diucapkan oleh Ki Buyut."
"Persetan kau," geram Ki Bekel yang telah kehilangan
kesabaran, "sekarang kau mau apa" Seandainya y ang kau
tuduhkan itu benar," Ki Bekel hampir berteriak.
Ki Buyut mengerutkan keningnya. Ia melihat kedua
belah pihak telah bersiap untuk menyelesaikan per soalan
mereka dengan kekerasan. Karena itu, maka Ki Buyut itu pun berkata, "Apakah
tidak ada jalan lain yang dapat ditempuh daripada kekerasan."
"Bertanyalah kepada bebahu Kabuyutan itu," jawab Ki
Bekel. Ki Buyut pun m enyadari, bahwa persoalannya memang
bersumber pada tingkah laku bebahu itu. Karena itu, m aka
sifat kepemimpinan Ki Buyut pun telah tumbuh kembali
meskipun sifat itu kadang-kadang memang goyah.
Karena itu, maka Ki Buyut itu pun kemudian berkata,
"Sudahlah. Sebaiknya kau tidak usah berputar-putar. Kita
semuanya sudah mengetahui persoalan yang kita hadapi. Kau
ingin merampas rumah dan hasil penjualan benda-benda
berharga itu, meskipun alasanmu untuk kau serahkan kepada
Kabuyutan. Untuk itu kau telah menempuh segala cara,
termasuk cara y angkau lakukan sekarang ini. Tetapi
seandainya kau berhasil, apakah kau sudah
memperhitungkan, berapa orang korban yang akan jatuh.
Apakah jiwa y ang kau korbankan itu akan senilai dengan harta
benda yang kau inginkan itu?"
Bebahu itu mengerutkan keningnya. Sementara Ki Buyut
berkata selanjutnya, "Jika aku mengatakan bahwa jiwaku akan
aku serahkan apabila itu dapat meny elesaikan per soalan


03 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sebenarnya tidak lebih dari satu ungkapan, bahwa aku m au
berbuat dan m engorbankan apa saja asal kalian tidak saling
bertempur untuk memperebutkan harta y ang kau anggap
memiliki nilai y ang lebih tinggi dari jiwa y ang akan menjadi
korban." "Katakan hal itu kepada Ki Bekel, "geram bebahu itu,
"jika ia meny erahkan semuanya, maka segalanya akan selesai.
Ki Bekel harus menghargai jiwa y ang akan m enjadi korban
karena sifatnya yang keras kepala itu, jauh lebih tinggi dari
harta yang dipertahankannya."
"Yang kami lakukan bukan sekedar nilai harta benda itu
sendiri," berkata Ki Bekel, "tetapi kami m empertahankan hak
kami. Kami mempertahankan menurut key akinan kami,
karena kalian telah berusaha melanggar hak kami serta
keyakinan kami itu. Bahkan kalian telah m elawan keputusan
tertinggi dari Kabuyutan ini dan kalian pun telah m elakukan
perlawanan jasmaniah pula dengan menangkap Ki Buyut dan
Nyi Buyut." Bebahu itu termangu-mangu sejenak. Namun kemudian
pemimpin dari orang-orang upahan y ang mencari kesempatan
untuk merampok rumah orang-orang kay a di padukuhan itu
berkata dengan lantang, "Tidak ada cara terbaik untuk
menyelesaikan per soalan selain mengambil kembali Ki Buyut."
"Aku bukan benda mati," berkata Ki Buyut, "persoalan
yang sudah jela s ini tidak dapat lagi diputar balikkan."
"Jika demikian, maka memang tidak ada jalan lain untuk
membuat peny elesaian selain dengan kekerasan. Jika
semuanya memang sudah tahu akan maksud kedatangan
kami, terserah kepada kalian, apakah kalian ingin mencegah
pertumpahan darah dengan memenuhi keinginan kami atau
tidak," berkata bebahu itu.
Ki Bekel pun kemudian berkata kepada Ki Buyut,
"Nampaknya memang tidak ada jalan lain Ki Buyut."
"Ya. Mereka memang sudah kehilangan penalarannya,
sehingga mereka memilih jalan kekerasan. Jalan yang
seharusnya dijauhi sejauh-jauhnya," berkata Ki Buyut, "namun
sudah tentu bahwa Ki Bekel tidak dapat berbuat lain daripada
membela diri." Ki Bekel mengangguk-angguk. Tiba-tiba saja ia pun
berkata kepada dua orang di antara pengawal Kabuyutan yang
ada di sebelahnya, "Tolong, singkirkan Ki Buyut. Nampaknya
ada beberapa orang pengawal yang terpengaruh oleh bebahu
itu." "Tetapi aku tidak melihat pemimpin pengawal
Kabuyutan," jawab salah seorang di antara para pengawal itu.
Ki Bekel mengangguk-angguk. Katanya, "Mudahmudahan
pemimpin pengawal itu tidak terpengaruh oleh
mereka y ang sesat itu."
Pengawal itu termangu-mangu sejenak. Namun ia pun
kemudian bergumam, "Kita tidak tahu suasana y ang sekarang
menyelimuti padukuhan induk. Tetapi menurut pendapatku,
pemimpin kami bukan orang yang mudah dipengaruhi oleh
sikap y ang sesat sebagaimana dilakukan oleh kedua orang
bebahu itu serta beberapa orang kawan-kawannya. Meskipun
mereka berhasil menghasut sebagian dari pengawal, tetapi aku
kira pimpinan kami tidak akan terseret oleh arus yang kotor
itu." Ki Bekel tidak bertanya lagi. Pengawal itu pun kemudian
telah membawa Ki Buyut masuk regol padukuhan bersama
seorang kawannya, sementara itu, dua orang yang lain telah
bergabung dengan anak-anak muda padukuhan itu.
Namun selagi Ki Buyut masih berada di belakang regol,
terdengar beberapa orang berteriak, "Bukankah itu pemimpin
pengawal?" Semua orang memandang ke arah lima orang y ang
berlari-lari lewat pematang langsung menuju ke r egol
padukuhan menghindari orang-orang y ang siap untuk
menyerang padukuhan itu. "Anak itu,"desis Ki Buyut yang kemudian telah
melangkah kembali ke regol, "bagaimana sikapmu?"
"Aku tetap pada sikapku. Aku akan melakukan perintah
hanya dari Ki Buyut," jawab pemimpin pengawal itu.
Bebahu y ang m elawan Ki Buyut itu m enjadi berdebardebar.
Sementara pemimpin pengawal itu berkata sambil
menunjuk bebahu itu, "Aku telah ditangkapnya. Tetapi aku
sempat melarikan diri dan sebagaimana kalian lihat, aku
berada di sini sekarang siap melakukan perintah Ki Buyut.
Say ang, aku tidak m empunyai waktu untuk mengumpulkan
para pengawal." Tetapi bebahu itu berteriak, "Kau tidak usah m embual.
Sekarang kita akan meny elesaikan semuanya sampai tuntas."
"Baik," berkata pengawal itu, "bersama-sama kekuatan
dari padukuhan ini, maka kami akan menghadapi kekuatanmu
serta orang-orang upahan itu, karena aku tahu, kau telah
bertumpu pada kekuatan orang-orang upahan itu."
"Persetan," geram bebahu itu, "sebagaimana kau lihat,
para pengawal sudah tidak lagi patuh kepadamu. Tetapi
mereka telah membenarkan sikapku."
"Cukup," teriak Ki Bekel, " sekarang kau m au apa" Kau
hanya akan menakut-nakuti anak-anak yang sudah saatnya
menggembalakan kambingnya."
Pemimpin orang upahan itu pun berteriak pula,
"sekarang. Sekarang."
Ketika orang-orang itu mulai bergerak, maka Mahisa
Murti menjadi semakin berdebar-debar, ia tidak sampai hati
melihatpertempuran yang bakal terjadi antara para penghuni
Kabuyutan itu. Ia m erasa bahwa persoalannya timbul karena
rumah dan benda-benda berharga milik nenek tuaitu. Dengan
demikian, maka jika jatuh korban, maka nenek tua itu t entu
akan merasa bersalah. Seakan-akan korban y ang dituntut oleh
kekuatan hitam itu tidak saja terbatas keluarga nenek itu
sendiri. Tetapi kekuatan hitam itu masih juga mencengkam
dan merenggut nyawa orang-orang padukuhan dan bahkan
orang-orang Kabuyutan itu.
Karena itu, m aka ia pun telah m endekati Mahisa Pukat
dan berbisik dit elinganya.
Ternyata Mahisa Pukat mengerti maksud Mahisa Murti itu. Karena itu, selagi orang -orang upahan itu bergerak
mendahului bebahu yang menentang Ki Buyut serta para
pengikutnya, maka Mahisa Murti dan Mahisa Pukat pun telah
meloncat ke depan. Dengan nada tinggi Mahisa Murti berkata, "Tunggu. Jadi
kalian benar-benar akan bertempur?"
"Ya," jawab pemimpin orang-orang upahan itu.
Tetapi Mahisa Murti menyahut, "Aku tidak bertanya
kepadamu. Aku bertanya kepada bebahu Kabuyutan yang
menentang kebijaksanaan Ki Buyut itu."
"Persetan," geram bebahu itu, "semua orang y ang
menentang sikapku akan aku hancurkan. Termasuk Ki Bekel
dan Ki Buyut." "Sekali lagi aku minta, urungkan pertempuran ini. Jiwa
yang jatuh tidak akan seimbang dengan harta yang kalian
perebutkan. Apalagi harta itu didapat karena pengaruh ilmu
hitam y ang k emudian telah m erenggut jiwa seluruh keluarga
nenek tua itu. Nah, apakah korban jiwa itu masih belum
cukup, sehingga kalian masih akan menambahkannya lagi
persembahan bagi kekuatan hitam itu" Sebenarnyalah,
langsung atau tidak langsung kematian y ang akan terjadi
adalah satu persembahan bagi kekuatan hitam itu. Meskipun
kekuatan hitam yang tidak sama,tetapi sama-sama bersumber
pada kekelaman," berkata Mahisa Murti.
"Tutup mulutmu," teriak pemimpin orang-orang upahan
yang sudah siap merampok rumah orang-orang kaya jika
benar-benar terjadi kekalutan di padukuhan itu. Dengan
lantang pemimpin itu telah memberikan sekali lagi, "Sekarang,
cepat lakukan sekarang."
Tetapi Mahisa Murti dan Mahisa Pukat telah bersiap.
Demikian mereka mulai bergerak dan menebar meloncati parit
dan turun ke sawah, Mahisa Murti berbisik, "Kau r obohkan
pohon gay am itu. Aku akan memecahkan batu padas di
seberang jalan y ang berhadapan dengan pohon gayam itu."
Sebenarnyalah, ketika orang-orang upahan itu mulai
melangkah maju, Mahisa Murti dan Mahisa Pukat telah siap
menghentikan mereka. Keduanya memang sengaja ingin menunjukkan
kelebihan mereka dari kebanyakan orang, justru untuk
mencegah agar tidak terjadi pertempuran. Khususny a orangorang
padukuhan itu. Para pengawal yang terpengaruh oleh
bebahu itu serta orang-orang lain y ang telah terbujuk oleh
janji-janji yang memberikan harapan telah membenturkan
kekuatan-kekuatan yang ada di Kabuyutan itu. Mereka akan
bertemur satu dengan y ang lain.
Karena itu, apapun y ang akan dilakukan, maka
pertempuran itu memang harus dicegah.
Karena itu, ketika orang-orang upahan y ang berniat
untuk membuat kekacauan agar mereka mendapat
kesempatan untuk merampok itu mulai bergerak, maka
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat telah menentukan sasaran
mereka masing-masing. Dengan mengerahkan segenap kemampuan mereka,
maka keduanya telah mengangkat tangan mereka dengan
telapak tangan terbuka menghadap ke sasaran. Kemudian
menghentakkan tangannya untuk melepaskan ilmunya yang
jarang ada duanya. Demikianlah, maka dua kekuatan ilmu yang dahsyat
telah meluncur ke sasaran masing-masing. Sebatang pohon
gayam dan sebongkah batu padas.
Sejenak kemudian, sasaran kedua orang anak muda itu
bagaikan telah meledak. Pohon gayam itu pun telah berderak
patah dan roboh meny ilang jalan. Sementara itu batu padas
yang sebongkah itu pecah berserakan menghambur di
sekitarnya. Semua orang terkejut melihat kenyataan y ang tidak
pernah mereka bay angkan sebelumnya itu. Kedua anak muda
itu tanpa meny entuh dengan tangannya, telah mampu
merobohkan sebatang pohon gay am dan menghancurkan
sebongkah batu padas. Orang-orang upahan y ang merasa dirinya memiliki
kemampuan yang tidak terlawan itu melangkah mundur.
Mereka y ang sudah berharap untuk menguasai seluruh
kekay aan yang ada di padukuhan itu, harus berpikir ulang
seribu kali lagi. Kemampuan anak-anak muda itu benar-benar
kemampuan yang bermimpipun tidak diduganya.
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat berdiri pada jarak
beberapa langkah sambil bertolak pinggang. Dengan lantang
Mahisa Murti berkata, "Nah, marilah. Siapakah di antara
kalian y ang ingin aku lumatkan menjadi debu. Aku sudah
kehabisan kesabaran. Bibirku rasa -rasanya telah menjadi
setebal tumit di kaki karena aku terlalu banyak berbicara.
Tetapi kalian tidak mau m endengarkan. Kalian telah diburu
oleh pamrih y ang gila sehingga kalian sampai hati
mengorbankan persaudaraan di antara orang-orang se
Kabuyutan. Apalagi kalian telah memanggil kekuatan lain yang
mempunyai pamrih tersendiri. Yang dengan sengaja telah
berniat membuat kekacauan di padukuhan kalian, karena
hanya dengan kekacauan itu mereka akan mendapat
keuntungan y ang sebesar-besarnya."
Tidak seorang pun yang menjawab. Bebahu y ang
menentang Ki Buyut itu pun menjadi bingung. Namun mereka
pun sadar, bahwa kekuatan mereka tidak akan mampu
melawan kekuatan yang ada di padukuhan itu. Ilmu kedua
orang anak muda yang nggegirisi itu sudah akan mampu
memusnahkan sebagian dari mereka, sementara itu orangorang
padukuhan itu terutama anak-anak mudanya telah
bersiap pula untuk melawan.
Dengan demikian maka bagi m ereka tentu tidak akan
ada harapan lagi untuk memenangkan pertempuran itu.
Bahkan untuk memasuki padukuhan itu pun tentu terasa
sangat sulit. Di balik dinding padukuhan itu, kekuatan anakanak
muda dan orang-orang padukuhan itu tentu sudah siap
menerima mereka seandainya mereka memanjat dinding.
Bahkan jika kekuatan ilmu kedua anak muda itu m enyambar
mereka, maka tubuh mereka akan berserakan seperti
sebongkah batu padas itu.
Dalam kebingungan itu, maka terdengar Mahisa Murti
berkata kepada Ki Buyut, "Marilah Ki Buyut. Silahkan
bertanya kepada mereka, apakah mereka masih akan
meneruskan niatnya atau tidak. Jika mereka ingin
meneruskan niatnya, berarti mereka sampai hati
menghancurkan saudara-saudaranya sendiri. Jika demikian
maka kita di sinipun akan melakukan hal y ang sama atas
mereka tanpa belas kasihan."
Ki Buyut termangu-mangu sejenak. Namun kemudian
diantar oleh Ki Bekel keduanya melangkah maju.
"Berbicaralah dengan mereka Ki Buyut,"minta Mahisa
Murti. Ki Buyut masih merasa ragu. Namun Ki Bekel
mendesaknya, "Ki Buyut harus bersikap sebagai seorang
pemimpin." Ki Buyut menarik nafas dalam-dalam. Yang pertamatama
diucapkan adalah, "Kembalikan cincin itu."
Bebahu y ang telah merampas cincin tanda kuasa Ki
Buyut termangu-mangu. Namun Mahisa Pukat telah
mengulanginya. "Kembalikan cincin itu, atau kau akan
menjadi debu?" Bebahu itu memang tidak dapat berbuat lain. Ia pun
kemudian melangkah maju, melangkahi batang pohon gay am
yang roboh langsung mendekati Ki Buyut.
"Serahkan cincin itu," geram Mahisa Pukat.
Ketika bebahu itu meny erahkan cincin di tangannya,
maka yang menerimanya adalah Mahisa Pukat. Kemudian
baru menyerahkannya kepada Ki Buyut.
Ki Buyut menyadari sikap hati-hati anak muda itu.
Bebahu itu tentu orang yang sangat licik, yang akan dapat
memanfaatkan kesempatan apapun untuk mencapai
maksudnya. Tetapi ia pun kemudian telah berdesis, "Kami tidak akan
berani berbuat apa-apa lagi."
Ki Buyut menarik nafas dalam-dalam. Sambil memakai
cincinnya maka Ki Buyut pun kemudian berkata, "Kini aku
telah menjadi lengkap kembali."


03 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Cincin itu tidak berarti apa-apa," berkata Mahisa Pukat,
"Tetapi jika itu mempengaruhi kemantapan perasaan Ki
Buyut, maka ini Ki Buyut tentu menjadi utuh kembali sebagai
seorang Buyut." Ki Buyut menarik nafas dalam-dalam. Dengan suara
lantang Ki Buyut pun kemudian berkata, "Kembalilah ke
rumah kalian masing-masing. Tetapi orang-orang upahan itu
harus mendapat peringatan keras. Jika m ereka benar-benar
berani mengganggu ketenangan Kabuyutan ini, maka mereka
akan berhadapan dengan seluruh Kabuyutan y ang ada." Ki
Buyut pun berhenti sejenak, lalu, "tentang para pengawal,
mereka akan aku serahkan kepada para pemimpin pengawal."
Pemimpin pengawal itu pun kemudian telah berdiri di
sebelah Ki Buyut. Dipandanginya para pengawal yang berdiri
termangu-mangu. Kemudian pempimpin pengawal itu pun
berkata dengan nada berat, "Kalian telah membuat aku
berprihatin. Meskipun kita bukan sepasukan prajurit, tetapi
kita m emerlukan ikatan y ang kuat untuk menunaikan tugastugas
kita. Tetapi kalian sudah m elanggar paugeran seorang
pengawal. Karena itu, maka ada dua kemungkinan yang dapat
kita tempuh. Kalian meninggalkan kedudukan kalian sebagai
pengawal atau aku y ang harus pergi."
Tidak seorang pun yang m enyahut. Suasana di depan
regol padukuhan itu menjadi hening. Namun dalam keadaan
yang demikian, maka setiap orang dapat melihat ke dalam diri
mereka masing-masing, apa yang telah mereka lakukan.
Bahkan orang-orang upahan itu pun telah tersentuh pula
perasaan mereka. Anak-anak muda yang mampu merobohkan
sebatang pohon gayam dan memecahkan sebongkah batu
padas itu tentu berilmu sangat tinggi. Mereka akan dapat
membunuh semua orang y ang melakukan perlawanan
terhadap Ki Buyut itu. Tetapi keduanya tidak m elakukannya.
Keduanya menunjukkan kemampuan mereka sekedar untuk
mencegah benturan kekerasan antara orang-orang
sekabuyutan. "Agaknya mereka tidak akan meny ombongkan dirinya
jika mereka tidak merasa bertanggung jawab atas perselisihan
yang sedang t erjadi itu," berkata pemimpin orang-orang
upahan itu dalam hatinya.
Dalam pada itu, maka pemimpin pengawal yang juga
masih muda itu mengatakan, "Jika masih ada sisa -sisa
kesetiaan kalian kepada kampung halaman, maka aku m inta
para pengawal pulang. Nanti sore kita ketemu, dan kita akan
menentukan siapa y ang akan menyingkir. Dengan sikap kalian
itu, maka di antara kita sudah tidak ada lagi ikatan apapun
juga." Para pengawal termangu-mangu sejenak. Beberapa
orang m enjadi kebingungan. Tetapi ketika seorang di antara
mereka mulai bergerak meninggalkan tempat itu, maka yang
lain pun telah mengikutinya. Sebuah iring-iringan kecil
kemudian meninggalkan padukuhan itu kembali ke
padukuhan induk, karena hampir semua pengawal tinggal di
padukuhan induk. Hanya ada satu dua orang saja y ang tinggal
di padukuhan-padukuhan terdekat dan padukuhan induk.
Ju stru pengawal y ang meny ertai pemimpin pengawal itu tidak
datang dari padukuhan induk.
Ki Buyut melihat anak-anak muda y ang tergabung dalam
kelompok pengawal Kabuyutan telah meninggalkan tempat
itu, ia pun kemudian berkata, "Nah, aku sekarang ingin
mendengar sikap dari kedua orang bebahu yang selama ini aku
percaya untuk ikut membina kesejahteraan Kabuyutan ini."
Bebahu yang menentang Ki Buyut itu termangu-mangu.
Namun ia memang sudah tidak berani berbuat apa-apa. Tetapi
ia masih belum melakukan sesuatu, ia masih berdiri
termangu-mangu. Tetapi kawannya, bebahu y ang seorang lagi, tiba -tiba
sa ja telah berlari dan berjongkok di hadapan Ki Buyut sambil
berkata dengan suara serak, "Ki Buyut. Aku m ohon ampun.
Aku telah terbujuk oleh kesesatan dan m enentang Ki Buyut.
Tetapi sudah tentu itu satu kekhilafan. Dan kau akan
menunjukkan kemudian, bahwa aku tidak akan melakukannya
lagi." Ki Buyut termangu-mangu. Dipandanginya bebahu y ang
seorang lagi. Yang masih berdiri tegak di tempatnya.
"Bagaimana dengan sikapmu?" bertanya Ki Buyut.
Suasana memang menjadi tegang. Mahisa Murti dan
Mahisa Pukat pun menjadi tegang pula. Agaknya bebahu yang
seorang itu, m eskipun sudah menyatakan tidak akan berani
berbuat sesuatu, namun ia tidak mau menyatakan
peny esalannya. Bahkan kemudian, ia pun berkata, "Ki Buyut. Aku sudah
bersalah. Aku tidak dapat berbuat apa-apa lagi. Tetapi untuk
itu aku sudah siap menjalani hukuman."
"Persetan kau," geram Ki Bekel, "kau menentang
kekuasaan Ki Buyut?"
"Aku tidak akan dapat berbuat apa-apa lagi," geram
bebahu itu. "Atau kau ingin menunjukkan bahwa kau memiliki
kelebihan" Baik. Kau tidak usah mencoba melawan anak-anak
muda itu. Tetapi kau dapat melawan aku dalam perang
tanding," berkata Ki Bekel.
"Kau bukan apa-apa bagiku," jawab bebahu itu.
"Jadi maksudmu aku?" bertanya Ki Bekel.
Bebahu itu menjadi tegang. Dipandanginya Ki Buyut
sejenak dengan tajamnya. Kemudian dengan suara yang berat
bebahu itu menjawab, "Ya."
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat, bahkan pemimpin
pengawal dan orang-orang y ang ada di sekitarnya terkejut.
Dengan sigapnya pemimpin pengawal itu melangkah maju
sambil berkata, "Selama aku masih ada. Kau tidak akan dapat
mengganggu Ki Buyut dengan cara apapun juga."
"Aku sudah mengira," jawab bebahu itu, "namun akupun
sudah tidak akan dapat berbuat apa-apa. Dibunuhpun aku
akan menyerah." "Jadi apa maksudmu?" bertanya pemimpin pengawal
itu. "Masalahnya adalah masalah pribadi," jawab bebahu itu.
"Bagus," potong Ki Buyut, "juga kau menganggap bahwa
perbedaan sikap kita tentang warisan nenek itu sebagai sikap
pribadi, maka aku pun akan menanggapinya secara pribadi.
Aku terima tantangannya."
"Ki Buyut," potong pemimpin pengawal itu.
"Terima kasih," berkata Ki Buyut kepada pemimpin
pengawal itu, "kau terlalu baik selama ini. Tetapi biarlah
sekali-sekali aku melakukannya atas namaku sendiri."
"Tetapi orang itu sangat licik," berkata pemimpin
pengawal itu. Tetapi Ki Buyut justru terseny um. Katanya, "Aku tahu. Ia
ingin menunjukkan harga dirinya dalam kesempatan terakhir.
Jika ia berhasil membunuhku, sebelum orang itu kalian
hukum, maka ia akan mempunyai kebanggaan terakhir."
Wajah pemimpin pengawal itu menjadi tegang. Katanya,
"Tetapi kita semuanya akan terlambat."
Ki Buyut menggeleng. Katanya, "Tidak. Segala -galanya
tidak tergantung kepadaku. Ada atau tidak ada aku, segalanya
akan berjalan seperti biasa."
Pemimpin pengawal itu memang menjadi cemas. Tetapi
jika dua orang laki -laki telah m emutuskan untuk melakukan
perang tanding, maka tidak seorang pun y ang akan dapat
mencampurinya. Demikianlah, maka Ki Buyut pun telah melangkah maju.
Ia telah ber siap-siap m enghadapi bebahu itu sambil berkata,
"Marilah. Kita selesaikan persoalan kita secara pribadi."
Namun dalam pada itu, ketika orang-orang upahan y ang
masih termangu-mangu itu mulai bergerak, Mahisa Murti
sempat berteriak, "jangan bergerak. Aku dapat membunuh
kalian semuanya dari tempat aku berdiri ini."
Orang-orang itu pun tersadar, bahwa Mahisa Murti
bukannya sekedar membual. Tetapi ia benar-benar akan dapat
melumatkan mereka jika mereka melanggar ketentuannya itu.
Karena itu, maka tidak seorang pun yang kemudian
berani beranjak dari tempatnya.
Sementara itu, Ki Buyut dan bebahu itu pun sudah
berhadapan. Keduanya telah bersiap untuk melakukan perang
tanding. Keduanya, bahkan orang-orang y ang ada di
sekitarnya itu pun mengerti bahwa perang tanding itu tidak
ada batasnya sama sekali, kapan mereka akan
menyelesaikannya. Bahkan perang tanding itu akan dapat
berakhir dengan kematian. Mahisa Murti dan Mahisa Pukat
pun kemudian telah berdiri berseberangan. Pemimpin
pengawal itu pun telah melangkah m endekat. Demikian pula
beberapa pengawal yang lain, serta Ki Bekel dan beberapa
orang bebahu padukuhan. Beberapa saat kemudian, bebahu yang menentang Ki
Buyut itu mulai menggerakkan tangannya sambil berdesis,
"Ternyata kau seorang y ang bodoh sekali Ki Buyut. Kau
mendapat kesempatan untuk membunuhku. Tetapi kau telah
terpancing karena kau tidak mau tersinggung harga dirimu.
Kau telah bertekad untuk mengorbankan nyawamu untuk
mempertahankan wibawamu."
"Kau salah," jawab Ki Buyut, "aku sama sekali tidak
berniat untuk mempertahankan apapun juga. Bukan harga
diri, bukan kewibawaan dan bukan apa -apa. Tetapi sudah
lama aku tidak berkelahi. Sejak aku pulang dari
pengembaraanku karena aku dipanggil oleh ay ahku dan
kemudian menggantikan kedudukannya, rasa-rasanya aku
kurang sekali berlatih dan m engetrapkan ilm uku. Tetapi kau
tentu tahu, bahwa akulah y ang telah menangkap gegedug Kali
Luk Papat. Aku pula yang telah mengamankan Kabuyutan dari
gangguan perampok y ang bersarang di Goa Cunduk. Namun
itu sudah cukup lama t erjadi. Setelah itu, aku memang hampir
tidak pernah m elakukan apa -apa lagi. Kabuyutan ini t erlalu
tenang dan damai. Baru kemudian ketika warisan nenek itu
sangat menarik, terjadi hal seperti ini."
Wajah bebahu itu berkerut. Ia memang teringat, bahwa
Ki Buyut itu m emang memiliki kemampuan. Tetapi sikapnya
yang seakan-akan terlalu lemah dan goy ah itu, telah
mengaburkan ingatan bebahu itu itu tentang kemampuannya.
Meskipun demikian bebahu itu pun merasa dirinya
memiliki kemampuan. Karena itu, maka ia pun kemudian
telah menggeram, " Itukah caramu memperlemah ketahanan
lawanmu." "Tidak. Sekali-sekali tidak," jawab Ki Buyut.
Namun bebahu itu tidak berbicara lagi. Ia pun telah
meloncatmeny erang Ki Buyut dengan juluran tangannya
mengaraha ke dada. Namun ternyata Ki Buyut pun cukup tangkas. Dengan
cepat pula ia bergeser menyamping. Namun tiba -tiba saja
kakinya telah terjulur membalas serangan itu dengan serangan
pula. Bebahu y ang melawannya itu terkejut. Namun ia sempat
meloncat menghindarinya pula.
Adalah diluar dugaan semua orang. Bahkan bebahu itu
sendiri juga tidak menduga, bahwa Ki Buyut y ang tidak
sempat mengenainya itu tertawa sambil berkata, "Kau tangkas
juga. Kau mampu menghindari seranganku yang pertama."
Bebahu itu termangu-mangu sejenak. Dengan geram ia
menyahut, "Kau menghina aku Ki Buyut."
"Tidak. Aku justru mengagumimu. Tetapi jangan
berharap untuk dapat menghindari serangan-serangan
selanjutnya," berkata Ki Buyut pula.
"Kau mencoba menakut-nakutiku," geram bebahu itu
pula, "dengan cara yang licik itu kau berusaha m emenangkan
perang tanding ini."
Tetapi dengan sikap yang mey akinkan Ki Buyut berkata,
"Sudahlah. Kita akan membuktikannya."
Bebahu itu m emang tidak berbicara lagi. Tetapi ia pun
segera bersiap untuk meny erang.
Demikianlah, beberapa saat kemudian, pertempuran diantara
keduanya pun menjadi semakin garang. Ternyata
bahwa Ki Buyut memang memiliki kemampuan untuk
mengimbangi bebahu itu. Beberapa kali mereka saling
menyerang dan beberapa kali keduanya berhasil saling
mengenai sasaran. Tetapi pemimpin pengawal y ang menyaksikan
pertempuran itu memang merasa heran. Ternyata Ki Buyut
juga memiliki kemampuan, y ang bahkan tidak kalah dari
bebahu y ang menentangnya itu.
"Aku belum pernah melihat bahwa Ki Buyut pernah
mengalahkan gegedug dan perampok," berkata pemimpin
pengawal itu di dalam hatinya. Namun kemudian ia pun
berdesis, "Mungkin waktu itu aku masih terlalu kecil."
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat menjadi sedikit tenang
melihat pertempuran itu. Meskipun Ki Buyut tidak memiliki
terlalu banyak kelebihan dari bebahu itu, tetapi bebahu itu
pun sulit untuk dapat mengalahkannya. Sehingga karena itu,
maka pertempuran itu ju stru berlangsung semakin lama
semakin sengit. Keduanya telah mengerahkan segenap
kemampuan mereka. Tetapi masih belum dapat dibaca, siapakah yang akan
menang dan siapakah yang akan kalah. Bebahu itu memang
masih lebih muda dari Ki Buyut. Ia masih memiliki tenaga
yang lebih segar. Tetapi Ki Buyut nampaknya memiliki
pengalaman y ang lebih luas. Dengan demikian maka Ki Buyut
memiliki beberapa kelebihan penalaran dalam olah kanuragan
daripada bebahu itu. Pemimpin pengawal itu m emang tidak m enduga bahwa
Ki Buyut akhirnya meskipun perlahan-lahan, namun mulai
menguasai arena. Betapapun garangnya bebahu itu, namun
dengan bertumpu pada kekuatannya dan dasar-dasar ilmu
yang dimilikinya, ia tidak mampu sambil mempergunakan
otaknya. Akhirnya saat-saat y ang ditanggu itu pun datang.
Pertempuran itu pun berlangsung semakin lambat. Keduanya
mulai kehilangan sebagian dari kekuatan dan tenaga mereka.
Namun bebahu y ang masih muda itu agaknya lebih cepat
mengalami kesulitan. Ketika ia memaksa diri untuk
mengerahkan sisa-sisa tenaganya untuk meny erang, maka
bebahu itu justru hampir saja terseret oleh lontaran
kekuatannya sendiri sehingga terhuyung-huyung beberapa


03 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

saat. Ki Buyut y ang ternyata masih tetap bersikap tenang dan
meyakinkan sampai saat-saat yang menentukan itu sempat
menyentuhnya sehingga bebahu yang sedang berjuang untuk
mempertahankan keseimbangannya itu pun justru terdorong
beberapa langkah dan jatuh terjerembab.
Dengan cepat bebahu itu berusaha untuk bangkit.
Sementara Ki Buyut yang terengah-engah itu pun menunggu
beberapa saat justru sambil mengusap keringatnya yang
membasahi seluruh tubuhnya. Tetapi bibirnya masih saja
nampak tersenyum. Bahkan ia pun berdesis, "Terima ka sih
atas kesempatan untuk beristirahat ini."
"Gila," geram bebahu itu, "ternyata kau mampu
melindungi dirimu sendiri."
"Seandainya kau seorang diri m emaksaku menyerahkan
cincin ini, maka kau akan mengalami nasib seperti sekarang
ini. Tetapi karena kau datang dengan sekelompok orang,
termasuk orang-orang upahan itu, maka aku tidak dapat
berbuat sesuatu kecuali memenuhinya," berkata Ki Buyut.
"Tetapi aku belum kalah. Aku masih mampu
menyelesaikan pertempuran ini dengan baik. Karena kau
sudah berkhianat maka kau harus mati," geram bebahu itu.
"Kenapa aku berkhianat?" bertanya Ki Buyut.
Bebahu itu berusaha mempergunakan kesempatan
sebaik-baiknya untuk meny egarkan tubuhnya serta m engatur
pernafasannya. Dengan demikian maka ia masih berusaha
memperpanjang waktu. Karna itu ia masih berkata, "Kau
sudah menyerahkan cincin pertanda kuasamu. Kemudian
dengan serta merta telah kau cabut kembali."
Ki Buyut terseny um. Katanya, "Marilah. Bukankah kita
sudah cukup lama beristirahat?"
Bebahu itu menggeram. Tetapi Ki Buyut itu sudah mulai
bergerak lagi. Sehingga dengan demikian maka bebahu itu
tidak mempunyai waktu lagi. Ia harus melawan ketika Ki
Buyut itu meny erangnya. Ternyata keadaan Ki Buyut y ang lebih tua itu masih
lebih segar daripada bebahu yang seakan-akan telah kehabisan
tenaga itu. Karena itu, maka y ang terjadi kemudian adalah
kepastian dari akhir pertempuran itu. Beberapa kali serangan
Ki Buyut langsung dapat mengenai sasarannya. Meskipun
tenaga Ki Buyut tidak lagi sekuat saat pertempuran itu
dimulai, namun serangan-serangan yang datang beruntun itu
lebih membuat bebahu itu menjadi pening. Serangan Ki Buyut
telah m engenai pelipis, kening, perut dan dada bebahu itu.
Beberapa kali ia terdor ong surut dan bahkan terhuyunghuyung.
Sehingga akhirnya, bebahu itu benar-benar telah
jatuh tersungkur. Ki Buyut menarik nafas dalam-dalam. Dengan lengannya
ia mengusap keringat yang membasahi wajahnya.
"Apa katamu?" bertanya Ki Buyut, "apakah akhir dari
perkelahian ini menjadi takaran, apakah kau akan tetap
menghormati wibawaku atau tidak?"
Bebahu itu tidak menjawab. Sementara Ki Buyut berkata
selanjutnya, "Tetapi kau tidak akan mendapat kesempatan
lagi. Kau bukan lagi bebahu Kabuyutan yang selama ini kita
bina dan kita kembangkan."
Bebahu itu memang telah berusaha untuk duduk.
Dengan sisa tenaganya ia masih menantang, "Kenapa kau
tidak membunuhku Ki Buyut."
"Kau tahu bahwa aku akan mampu melakukannya,"
berkata Ki Buyut, "tetapi apakah itu penting?"
"Kau akan menyesal jika kau tidak membunuhku
sekarang,"geram bebahu itu.
"Kenapa?" bertanya Ki Buyut.
"Akulah y ang kelak akan membunuhmu?" berkata
bebahu itu sambil menggerakkan giginya.
"Ada dua alasan," jawab Ki Buyut, "yang pertama, aku
tidak takut kepadamu. Jika kau menghendaki, kapan saja kita
akan dapat berkelahi. Kecuali jika kau akan berlaku curang.
Tetapi aku tetap tidak akan menjadi ketakutan. Kedua,
tantanganmu itu adalah justru kau berusaha untuk
menyelamatkan hidupmu. Dengan menyinggung harga diriku,
kau berharap bahwa aku tidak akan membunuhmu, agar tidak
ada orang yang mengira bahwa aku menjadi takut kepada
ancamanmu." "Cukup," teriak bebahu itu. Namun nafasnya tiba -tiba
sa ja telah menjadi hampir terputus.
"Jangan berteriak," berkata Ki Buyut itu, y ang kemudian
telah berbicara dengan orang-orang upahan, "bawa bebahu itu
pulang kerumahnya. Serahkan kepada keluarganya. Kemudian
tinggalkan Kabuyutan ini sebelum kemarahan orang-orang
Kabuyutan ini menimpa kalian."
Orang-orang upahan itu menjadi ragu-ragu. Namun
Mahisa Pukat telah m engulangi perintah Ki Buyut itu, " Bawa
bebahu itu pulang ke rumahnya, kalian dengar. Serahkan
kepada keluarganya."
Orang-orang itu tidak dapat m embantah. Mereka pun
kemudian telah melangkah mendekati bebahu y ang hampir
tidak dapat bangkit berdiri m eskipun ia t elah mampu duduk.
Dengan ragu-ragu orang-orang upahan itu mengangkat
bebahu y ang lemah itu. Namun sekali lagi Mahisa Pukat
membentak, "Cepat. Bawa orang itu pergi. Aku benar-benar
muak melihatnya." Orang-orang upahan itu telah membantu bebahu y ang
lemah itu berjalan meninggalkan Ki Buyut yang masih berdiri
di tempatnya. Kepada Ki Bekel, Ki Buyut itu pun berkata, "Ki Bekel.
Agaknya persoalannya sudah selesai. Kami tidak akan
mengganggu Ki Bekel y ang telah mempunyai rencana yang
baik dengan warisan nenek tua itu. Tetapi dalam pada itu, Ki
Bekel pun harus merawat nenek itu dengan baik pula."
"Ya Ki Buyut," jawab Ki Bekel, "aku akan
mempersilahkan nenek itu tinggal bersamaku, sementara
rumahnya dipersiapkan untuk menjadi sebuah banjar."
"Jika ia ingin tinggal di rumahnya, biar saja ia tinggal
sampai batas umurnya," berkata Ki Buyut.
"Maksudku, dengan demikian, aku akan dapat
merawatnya dengan baik. Tetapi jika nenek itu m asih ingin
berada di rumahnya, sudah tentu tidak akan ada
keberatannya," jawab Ki Bekel, "sementara itu, anak-anak
muda juga selalu berada di rumah itu khususnya di m alam
hari," berkata Ki Bekel.
"Setiap hari aku akan tetap mengirimkan empat orang
pengawal untuk ikut menjaga ketenangan bukan saja rumah
itu. Tetapi padukuhan ini sampai suasana benar-benar
menjadi baik." "Terima masih Ki Buyut," jawab Ki Bekel yang kemudian
mempersilahkan Ki Buyut untuk singgah lagi di rumah Ki
Bekel. "Ny i Buyut tentu sudah menunggu," berkata Ki Bekel.
Ki Buyut menarik nafas dalam-dalam. Kemudian ia
berpaling kepada Mahisa Murti dan Mahisa Pukat, "Kalian
sangat mengagumkan anak-anak muda. Setelah aku
menyaksikan kemampuan kalian, maka aku benar-benar tidak
dapat mengerti, bagaimana kalian mampu memiliki
kemampuan itu dalam usia kalian."
"Sudahlah Ki Buyut," berkata Mahisa Murti, "sekarang
Ki Buyut dipersilahkan untuk singgah di rumah Ki Bekel."
"Dengan keyakinan atas kemampuan kalian, maka kalian
telah bukan saja menolong aku dan isteriku, tetapi kalian telah
berhasil meny elamatkan Kabuyutan ini dari per selisihan di
antara kadang sendiri. Jika dalam persilihan itu jatuh korban
di pihak manapun, m aka itu adalah saudara kita. Sementara
itu orang-orang upahan itu akan dapat memanfaatkan
keadaan sebaik-baiknya untuk kepentingan m ereka sendiri,"
berkata Ki Buyut kemudian, "dengan demikian, maka kita
wajib bersyukur." Mahisa Murti dan Mahisa Pukat menarik nafas dalamdalam.
Dengan nada rendah Mahisa Murti berkata, "Kita
memang harus bersy ukur. Marilah. Kita ke rumah Ki Bekel."
Ki Buyut sempat mengucapkan terima kasih kepada orangorang
padukuhan itu y ang sudah siap menghadapi segala
kemungkinan. Namun mereka memang menjadi berdebardebar
ketika m ereka melihat orang-orang yang datang untuk
menyerang. Selain jumlahnya yang cukup banyak, di antara
mereka terdapat orang-orang upahan yang ka sar dan bahkan
tidak mengenal perikemanusiaan.
Beberapa saat kemudian, maka Ki Buyut pun telah
berada di rumah Ki Bekel. Ny i Bekel y ang mendengar bahwa
persoalannya telah dapat diselesaikan tanpa pertumpahan
darah, telah m engusap dadanya sambil berkata, "Syukurlah.
Nampaknya Yang Maha Agung masih melindungi kita
semuanya." Ki Buyut mengangguk-angguk. Katanya, "Biarlah hari ini
kita kembali pulang. Agaknya tidak akan terjadi sesuatu.
Pimpinan pengawal masih ada di pihak kita dalam
perselisihan ini, sehingga ia akan dapat mengatasi para
pengawal yang telah berniat buruk itu. Jika ternyata m ereka
belum jera. Maka pimpinan pengawal itu akan dapat
mengambil langkah-langkah y ang diperlukan."
Nyi Buyut mengangguk-angguk. Katanya, " segala
sesuatunya terserah kepada kakang."
Ki Buyut menarik nafas dalam-dalam. Kepada Ki Bekel
ia berkata, "Ki Bekel, Aku masih m inta kemurahanmu untuk
berada di rumahmu sampai sore hari. Menjelang senja, kami
akan kembali sehingga kami akan sampai ke rumah m alam
hari. Biarlah pemimpin pengawal itu pulang lebih dahulu
bersama para pengawal yang ada di sini untuk menyelesaikan
segala sesuatunya sebelum kami kembali."
"Silahkan. Silahkan Ki Buyut. Sebenarnya kami akan
minta Ki Buyut tinggal di sini barang satu dua hari, sehingga
segala sesuatunya menjadi tenang. Baru Ki Buyut kembali ke
Kabuyutan," berkata Ki Bekel.
Tetapi sambil tersenyum Ki Buyut berkata, "Terima
kasih. Besok atau pada kesempatan lain, kami tentu akan
datang lagi." "Tetapi, Ki Buyut masih m empunyai kesempatan untuk
beristirahat sampai saatnya Ki Buyut kembali menjelang
senja," berkata Ki Bekel.
"Terima kasih. Aku justru ingin berada di pendapa
bersama anak-anak muda dan orang-orang padukuhan yang
telah bersiap-siap menghadapi orang -orang upahan dan
orang-orang y ang telah sesat itu," berkata Ki Buyut.
Namun sebelum Ki Buyut keluar, telah datang dengan
tergesa -gesa memasuki regol halaman, seorang petani yang
terengah-engah. "Ada apa?" bertanya seseorang y ang berada di halaman
rumah Ki Bekel. "Ki Bekel ada?" bertanya petani itu.
"Ada apa kek?" bertanya orang lain.
"Ki Bekel. Aku ingin bertemu dengan Ki Bekel," jawab
petani itu. Ki Bekel memang mendengar suara y ang kemudian
menjadi ribut. Seorang m emang masuk ke ruang dalam dan
memberitahukan bahwa seseorang telah mencarinya.
Petani y ang kemudian telah diminta untuk masuk ke
ruang dalam itu dengan terengah-engah menceriterakan
bahwa ia telah menemukan sesosok tubuh di tanggul parit.
"Di mana?" bertanya Ki Bekel.
"Di bulak sebelah Ki Bekel," jawab petani itu.
"Jadi kakek pergi juga ke sawah dalam suasana seperti
ini?" bertanya Ki Bekel.
"Aku justru mengungsi ke tengah-tengah sawah.
Menurut perhitunganku, seandainya terjadi kerusuhan tidak
akan sampai ke tengah sawah. Anakku juga menasehatkan
agar aku berada di sawah saja, sementara anak itu agaknya
juga berada di sini atau masih di sekitar regol padukuhan."
"Siapa y ang kau ketemukan di bulak itu?" bertanya Ki
Bekel, "kau tentu m engenalnya. Seandainya orang itu orang
padukuhan bahkan orang Kabuyutan ini."
"Aku tidak berani mendekatinya," jawab kakek itu,
"mungkin masih akan terjadi sesuatu."
Ki Buyut mengangguk-angguk. Namun kemudian
katanya kepada Ki Bekel, "Biarlah salah seorang dari para
pengawal itu melihatnya."
Sejenak kemudian, dua orang pengawal memang telah
berangkat ke bulak. Keduanya terkejut ketika keduanya
membalikkah tubuh y ang terbaring menelungkup itu. Bahkan
ternyata tubuh itu sudah tidak bernyawa lagi.
"Bebahu yang memberontak itu," desis salah seorang di
antara mereka. "Tetapi kenapa ia terbunuh di sini?" sahut y ang lain.
"Kita bawa tubuh ini ke rumah Ki Bekel," berkata
pengawal y ang pertama. Demikianlah, ketika tubuh itu sampai di halaman Ki
Bekel, orang-orang yang ada di halaman rumah itu, termasuk
Ki Buyut dan Ki Bekel terkejut. Bebahu y ang memberontak
itulah yang telah terbunuh.
"Siapa y ang melakukannya?" desis Ki Buvut, "aku yakin,
seharusnya dalam perjalanan keadaannya menjadi lebih baik.
Bukan sebalikny a." Beberapa orang menjadi termangu-mangu. Mereka
sependapat dengan Ki Buyut. Ki Buyut melepaskan orang itu
ketika ia tidak berday a. Tetapi Ki Buyut dan orang-orang yang
menyaksikannya yakin, bahwa yang dilakukan Ki Buyut itu
tentu tidak akan m embunuhnya. Bahkan ia tentu akan segera
menjadi baik secara perlahan-lahan. Bukan meninggal seperti
yang terjadi. Dalam ketegangan itu, tiba -tiba saja Mahisa Murti
bertanya kepada petani y ang m elaporkannya, "Apa y ang kau
lihat selain tubuh itu?"
"Aku tidak melihat apa-apa," jawab petani itu.
"Sekelompok orang atau satu dua orang atau apa?"
bertanya Mahisa Murti kemudian.
Petani itu mengingat-ingat. Tiba-tiba saja ia berkata,
"Sebelumnya aku memang melihat beberapa orang lewat.
Tetapi terlalu jauh. Aku hanya melihat orang-orang m elintasi
pematang. Aku kira mereka termasuk orang -orang yang
sedang berselisih di sini."


03 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Dan kau tidak menghubungkan orang-orang itu dengan
kematian bebahu itu?" bertanya Ki Bekel.
"Arahnya berbeda," berkata petani itu, "aku ketemukan
orang yang meninggal itu di pinggir jalan. Sedangkan aku
melihat sekelompok orang y ang berjalan menelusuri pematang
di arah y ang lain."
Ki Bekel m engerutkan keningnya. Sementara Ki Buyut
berkata, "Tentu orang-orang upahan itu. Mereka menganggap
bebahu itu tidak berguna lagi bagi mereka, sehingga bebahu
itu justru telah dibunuhnya."
"Mereka memang orang-orang yang terlalu
mementingkan diri sendiri. Mereka sama sekali tidak
menghiraukan perikemanusiaan sama sekali," sahut Ki Bekel.
"Tetapi, apakah mereka puas dengan akhir dari peristiwa
ini, sehingga mereka pergi begitu saja dari Kabuyutan ini
setelah membunuh bebahu y ang gagal memberi kesempatan
mereka melakukan kejahatan di padukuhan ini dan sudah
tentu upah dari bebahu itu?" bertanya Mahisa Pukat yang
mempunyai firasaat buruk tentang orang -orang itu.
"Jadi, apakah yang sebaiknya kita lakukan?" bertanya
pemimpin pengawal itu. Mahisa Pukat pun kemudian berkata kepada petani y ang
datang melaporkan kematian bebahu itu, "Tunjukkan kepada
kami, ke arah mana orang -orang itu pergi."
Petani itu termangu -mangu. Sementara Mahisa Murti
pun berkata, "Marilah, kita pergi."
Ketika Ki Buyut dan Ki Bekel siap pula untuk berangkat,
maka Mahisa Murti telah mencegahnya, "Ki Buyut dan Ki
Bekel kami persilahkan menunggu saja di sini."
"Kami akan ikut bersamamu," berkata pemimpin
pengawal yang telah mengajak beberapa orang pengawal yang
ada di padukuhan itu. Demikianlah, sejenak kemudian sekelompok orang telah
meninggalkan rumah Ki Bekel, m enuju ke bulak. Petani tua
yang berlari-lari kecil itu pun telah menunjukkan ke mana
sekelompok orang y ang diduga orang-orang upahan setelah
membunuh bebahu itu telah berusaha mencari sasaran di
padukuhan lain. "Mudah-mudahan tidak terjadi sesuatu," berkata Ki
Buyut ketika sekelompok anak-anak m uda itu meninggalkan
halaman rumah Ki Bekel. Tetapi kecurigaan anak-anak muda itu semakin
meningkat ketika petani itu menunjukkan arah kepergian
orang-orang itu. Mereka tidak menuju ke padukuhan induk,
tetapi mereka telah menuju ke sebuah padukuhan yang
termasuk besar di sebelah padukuhan induk.
"Tidak ada suara pertanda apapun," berkata petani y ang
terengah-engah. "Mungkin penghuni padukuhan itu tidak sempat
membunyikan kentongan. Mereka tidak menduga bahwa di
siang hari akan terjadi perampokan," jawab pemimpin
pengawal y ang kemudian berkata, "kek, jika kakek letih,
sudahlah. Biar kami menelusuri sendiri. Nampaknya kami
akan menemukannya, kecuali jika mereka meninggalkan
Kabuyutan. Tetapi celakanya jika mereka justru melakukannya
di Kabuyutan lain." Tetapi kakek tua itu menjawab, "Aku tidak berani
ditinggal sendiri. Lebih baik aku ikut kalian."
Pemimpin pengawal itu tidak memaksanya.
Beberapa saat kemudian, mereka telah mendekati
sebuah padukuhan y ang terhitung besar di Kabuyutan itu.
Ketika mereka bertemu dengan beberapa orang anak yang
berlari-lari, maka pemimpin pengawal itu telah mencegatnya.
Ternyata anak-anak itu menjadi semakin ketakutan.
Namun pemimpin pengawal itu justru telah menangkap
seorang di antaranya yang terbesar di antara mereka.
"Kenapa kalian berlari-lari?" suara pemimpin pengawal
itu menjadi lembut. Tetapi wajah anak itu masih menunjukkan ketakutan.
Sehingga pemimpin pengawal itu berkata lembut, "jangan
takut. Kau kenal aku bukan" Aku tinggal di padukuhan induk."
Anak itu mengamati pemimpin pengawal itu dengan
sak sama. Agaknya ia memang pernah melihatnya. Apalagi
sikapnya sama sekali tidak menakutkannya.
"Apa yang terjadi?" desak pemimpin pengawal itu.
"Kami sedang bermain-main," jawab anak itu,
"sekelompok orang telah berbuat kasar. Mereka memukuli
orang-orang tua kami."
Pemimpin pengawal itu menjadi tegang. Dengan singkat
ia bertanya, "Di mana mereka sekarang?"
"Di padukuhan. Mereka tidak membiarkan orang-orang
tua pergi," jawab anak itu.
"Baiklah. Kalian tidak usah lari. Beritahukan kawankawanmu
itu. Kami akan menolong orang-orang tua di
padukuhanmu," berkata pemimpin pengawal itu.
Tetapi kawan-kawannya telah berlari jauh. Meskipun
demikian pemimpin pengawal itu berkata, "Mereka akan letih.
Mereka tentu akan berhenti berlari. Nah, katakan kepada
mereka bahwa mereka tidak usah lari ke mana-mana lagi."
Anak itu tidak menjawab. Sementara pemimpin
pengawal itu pun kemudian telah memasuki padukuhan itu
bersama dengan para pengawal dan Mahisa Murti serta
Mahisa Pukat. Beberapa saat kemudian, maka para pengawalpun telah
menemukan jejak orang-orang upahan itu. Mereka memang
benar-benar merampok rumah-rumah orang kaya. Mereka
berpencar dalam kelompok-kelompok kecil dan bersama-sama
melakukan perampok. Pemimpin pengawal itu pun telah mendapat beberapa
keterangan dari seorang laki -laki y ang ketakutan yang berhasil
menyelinap di belakang gerumbul-gerumbul perdu.
"Kenapa tidak kau buny ikan kentongan?" bertanya
pemimpin pengawal. "Aku tidak sempat," jawab orang itu.
"Sekarang," berkata pemimpin pengawal itu, "pergi ke
gardu dan buny ikan kent ongan. Jika aku bertemu dengan
kentongan di manapun juga, aku juga akan
membunyikannya." Orang itu termangu-mangu. Namun pemimpin pengawal
itu berkata selanjutnya, "jangan takut. Aku akan mencari
mereka." Ternyata keberanian orang itu pun mulai tumbuh. Ia
puntelah berlari menuju ke gardu di mulut lorong. Dengan
sekuat tenaga, ia telah memukul kentongan dengan nada titir.
Ternyata suaranya menjangkau bagian yang masih
belum dijamah oleh para perampok, sehingga dari tempat itu,
maka kentongan pun telah bersahutan dalam nada yang sama.
Namun suara kentongan itu telah membuat para
perampok semakin liar. Dengan garangnya mereka telah
bertindak semakin kasar. Bahkan senjata mereka telah
menyambar beberapa orang korban sehingga terluka parah.
Namun para pengawal telah berpencar pula. Mahisa
Murti dam Mahisa Pukat telah menempuh arah yang terpisah.
Sehingga dengan demikian mereka telah menemukan
kelompok-kelompok perampok y ang garang itu.
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat ternyata tidak
menyembuny ikan kemampuan mereka. Sementara itu,
kemarahannya memang telah membakar jantung.
Ketika pemimpin pengawal dan para pengawal mulai
bertempur dengan kelompok-kelompok y ang m ereka jumpai,
maka Mahisa Murti yang bergerak seorang diri telah b ertemu
dengan ampat orang perampok y ang sedang mendekati sebuah
regol. Namun agaknya mereka telah berhasil merampok
rumah yang lain, karena mereka telah membawa beberapa
bungkusan. Demikian orang-orang itu siap memecah pintu regol
halaman y ang ditutup, maka terdengar suara Mahisa Murti
berat, "Cukup. Kalian telah cukup merepotkan Ki Buyut.
Kal ian bunuh bebahu yang sudah diampuni oleh Ki Buyut itu.
Jika orang itu harus mati, maka Ki Buyut tentu sudah
membunuhnya. Kalian sama sekali tidak menghiraukannya.
Kal ian y ang diperintahkan membawa orang itu kepada
keluarganya, ternyata telah kalian bunuh."
Ampat orang itu terkejut. Tiba-tiba saja anak muda itu
telah berada di padukuhan itu pula. Karena itu, maka m ereka
tidak mempunyai pilihan lain. Seorang, di antara mereka telah
berteriak, "Aku bunuh kau. Kau kira kau dapat menakutnakuti
dengan ilmu sihirmu itu."
Keempat orang itu pun telah menggenggam senjata
mereka masing-masing. Dengan garangnya keempat orang itu
telah mulai bergerak untuk meny erang.
Namun Mahisa Murti pun tidak menunggu lagi. Dengan
ilmunya yang dahsy at ia telah meny erang. Diangkatnya kedua
tangannya, jari-jarinya yang terbuka dan merapat telah
menghadap ke arah keempat orang y ang berlari
menyerangnya. Namun ternyata masih ada kekangan y ang membuat
Mahisa Murti tidak langsung meny erang orang-orang itu.
Tetapi ia telah melontarkan serangannya dua langkah di depan
orang-orang y ang sedang berlari itu.
Serangan Mahisa Murti merupakan serangan y ang
belum pernah dialami oleh orang-orang itu. Karena itu, maka
mereka sama sekali tidak tahu, apa y ang harus mereka
lakukan. Ketika serangan itu menghantam tanah di hadapan
mereka, maka tanah itu pun seakan-akan telah meledak. Ilmu
yang dahsyat itu telah melontarkan tanah y ang bagaikan
letusan dibawah permukaan bumi sehingga butiran-butiran
batu-batu kerikil dan tanah yang terlempar justru m engarah
kepada keempat orang itu.
Ternyata akibatnya memang di luar dugaan. Bahkan
diluar perhitungan Mahisa Murti sendiri. Tanah yang
terhambur dengan derasnya itu justru telah mengoy ak kulit
dan terbenam ke dalam daging.
Dua orang y ang terdekat dengan ledakkan itu, t ernyata
sama sekali tidak mampu bertahan. Keduanya langsung
terlempar dan jatuh terbanting tanpa dapat bangkit kem bali.
Mereka t ernyata telah langsung terbunuh.
Sementara kedua orang yang lain, yang agak terlindung
oleh kedua orang kawannya, tidak terlalu banyak m engalami
luka-luka. Namun demikian keduanya pun telah terdorong
beberapa langkah surut dan jatuh terguling. Ketika mereka
mencoba untuk bangkit, maka hampir seluruh tubuhnya
terasa sakit dan pedih. Demikian sakitnya sehingga keduanya
ternyata telah terjatuh kembali sambil merintih menahan
pedih. Mahisa Murti y ang dengan bergegas mendekatinya,
ternyata menjadi gelisah melihat akibat serangannya. Karena
itu, maka ia pun telah berusaha untuk mengurangi rasa sakit
dengan m enaburkan obat pada luka-luka yang bertebaran di
tubuh mereka. Beberapa orang yang semula mengintip dari balik pintu
regol telah memberanikan diri untuk merayap keluar. Mereka
pun dengan hati-hati telah mendekati Mahisa Murti yang
kemudian bangkit berdiri dan memberi isy arat kepada
beberapa orang itu untuk mendekati.
"Mereka sudah tidak berday a," berkata Mahisa Murti,
"dua orang telah terbunuh diluar kemauanku. Tetapi y ang dua
ini masih m ungkin hidup. Keduanya berada dalam keadaan
yang tidak baik. Keduanya dalam kesakitan y ang sangat.
Apakah di sini ada tabib y ang mampu mengobatinya, setidaktidaknya
merawatnya sehingga dapat mengurangi rasa
sakitny a?" Beberapa orang saling berpandangan. Namun seorang
di-antara mereka telah berkata, "Ada seorang tabib. Tetapi aku
tidak tahu, apakah kemampuannya cukup tinggi untuk
mengobati luka-luka itu."
"Panggil orang itu," berkata Mahisa Murti.
Orang yang meny ebut seorang tabib itu ragu-ragu.
Namun Mahisa Murti telah mendesaknya. "Katakan, aku
memerlukannya." Orang itu tidak dapat membantah. Ia pun kemudian
telah pergi ke rumah tabib itu.
Sementara itu, para pengawal pun telah dapat
menangkap beberapa orang upahan y ang telah merampok itu.
Bahkan ada di antara mereka y ang terbunuh. Namun ada juga
di antara para pengawal y ang telah terluka dalam
pertempuran itu. Dalam pada itu, Mahisa Pukat yang juga bergerak
seorang diri telah bertemu dengan empat orang pula. Ampat
orang yang menjadi sangat terkejut melihat kehadiran anak
muda yang memiliki ilmu y ang sangat tinggi itu. Berbeda
dengan para perampok y ang bertemu dengan Mahisa Murti,
maka keempat orang itu telah berusaha untuk melarikan diri
dengan meloncati dinding halaman.
Dengan serta m erta keempat orang itu bersama-sama
meloncat keatas dinding y ang cukup tinggi. Dengan bekal
kemampuan y ang mereka miliki m aka keempatnya tiba-tiba
sa ja telah bertengger di atas dinding dan siap melompat turun
ke halaman. Mahisa Pukat yang marah itu tiba-tiba saja telah
mengerahkan kemampuannya. Ia tidak mau melepaskan
keempat orang itu. Apalagi sebelumnya Mahisa Pukat telah
mengancam bahwa ia benar-benar akan mempergunakan
ilmunya jika orang-orang itu melawan.
Dengan demikian m aka Mahisa Pukat tidak ragu-ragu
lagi. Dengan mempergunakan ilmunya, ia telah menghantam
dinding tempat keempat orang itu bertengger. Mahisa Pukat
ingin mencegah keempat orang itu meloncati dinding batu
yang cukup tinggi itu. Dengan kekuatan ilmunya y ang dilontarkan
menghantam dinding itu, maka Mahisa Pukat seakan-akan
telah meledakkan dinding batu itu. Demikian besar
kekuatannya sehingga dinding itu telah pecah dan runtuh
bagian atasnya. Ternyata Mahisa Pukat telah terlambat. Disaat dinding
itu pecah, orang-orang y ang meloncat itu telah berada
dibawah. Namun nasib mereka memang terlalu buruk.
Keempat orang itu telah tertimpa reruntuhan batu dinding
halaman itu.

03 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Seorang di antara m ereka telah terbunuh seketika. Tiga
lainnya telah terluka. Namun luka mereka termasuk luka yang
cukup berat. Seorang dari antara m ereka telah patah kakinya
yang tertindih batu. Seorang lagi tulang punggungnya dan
yang lain kedua lengannya telah cacat. Meskipun ketiganya
masih akan dapat ditolong jiwanya jika mereka berada di
tangan tabib yang baik, namun cacat mereka sudah tidak akan
dapat dipulihkan lagi. Beberapa orang memang telah datang pula. Mereka telah
mengangkat batu-batu yang menimpa orang-orang itu, serta
membawa orang-orang y ang terluka dan terbunuh itu ke
pendapa rumah y ang dindingnya pecah itu.
Demikianlah, maka pertempuran di padukuhan itu pun
telah selesai. Beberapa orang terbunuh, beberapa orang
terluka, sedangkan beberapa orang y ang lain meny erah.
"Satu tugas y ang merisaukan," berkata pemimpin
pengawal yang telah memerintahkan dua orang pengawal
untuk memanggil kawan-kawan mereka dari padukuhan
induk, kecuali mereka telah ikut serta memusuhi Ki Buyut.
Ber sama para pengawal dan orang -orang padukuhan itu,
dengan beberapa buah pedati, maka tubuh-tubuh yang
membeku, orang-orang yang terluka, serta para pengawal yang
juga terluka telah dibawa ke padukuhan induk, dibawah
pengawalan y ang kuat. Demikian pula para tawanan.
"Kita akan memberitahu Ki Buyut," berkata pemimpin
pengawal itu. Mahisa Murti dan Mahisa Pukat memang telah ikut ke
padukuhan induk. Namun kemudian Mahisa Murti pun
berkata, "Kami berdua akan ikut ke padukuhan untuk
menemui Ki Buyut. Tetapi aku tidak akan ikut bersama Ki
Buyut kembali ke padukuhan induk."
Pemimpin pengawal itu termangu-mangu; Dengan nada
rendah ia bertanya, "Kenapa kau tidak akan datang lagi
kemari" Apakah ada sesuatu yang tidak sesuai dengan
keinginanmu?" "Tidak," jawab Mahisa Murti, "namun segala sesuatunya
aku anggap sudah selesai. Persoalan orang-orang yang
tertawan itu adalah persoalan Ki Buyut dan para bebahu."
Pemimpin pengawal itu menarik nafas dalam-dalam.
Katanya kemudian, "Jika demikian, kami hanya dapat
mengucapkan terima kasih."
Demikianlah, maka sekelompok pengawal telah
meninggalkan padukuhan itu untuk menjemput Ki Buyut.
Mereka sadar, bahwa keadaan masih belum terlalu baik.
Sehingga karena itu, maka pemimpin pengawal itu telah
menugaskan para pengawal terbaik untuk menjemput Ki
Buyut, sedangkan ia sendiri tetap berada di padukuhan itu
untuk mengamati perkembangan keadaan.
Kedatangan para pengawal bersama Mahisa Murti dan
Mahisa Pukat memang m endebarkan. Namun melihat wajahwajah
anak-anak muda itu, maka Ki Bekel berkata,
"Keadaannya tentu menjadi semakin baik."
Sebenarnyalah, Mahisa Murti pun telah melaporkan
peristiwa y ang telah terjadi di padukuhan induk, serta
keinginan pimpinan pengawal agar Ki Buyut segera berada di
padukuhan induk untuk menyelesaikan persoalan-per soalan
yang mereka hadapi kemudian.
"Mereka telah mengirimkan sekelompok pengawal,"
berkata Mahisa Murti. Ki Buyut mengangguk-angguk. Katanya, "Baiklah. Aku
akan segera kembali ke padukuhan induk." Lalu katanya
kepada Ki Bekel, "ternyata aku kembali sedikit lebih cepat dari
rencanaku semula. Tetapi itu tidak mengapa. Aku akan
kembali bersama-sama dengan para pengawal, sehingga tidak
akan terjadi sesuatu atasku di perjalanan. Nyi Buyut pun akan
kembali bersamaku sekarang. Nampaknya itu adalah pilihan
yang paling baik baginya."
Ki Bekel mencoba untuk menunda keberangkatan Ki
Buyut. Namun agaknya Ki Buyut pun ingin segera
menyaksikan, apa y ang telah terjadi di padukuhan induk.
"Tetapi para pengawal itu?" bertanya Ki Bekel perlahanlahan.
"Bukankah mereka datang bersama-sama dengan kedua
orang anak muda itu," desis Ki Buyut.
Ki Bekel pun mengangguk-angguk. Mereka memang
percaya sepenuhnya kepada Mahisa Murti dan Mahisa Pukat,
sehingga para pengawal yang datang bersamanya itu tentu
para pengawal yang setia kepada Ki Buyut.
Dengan demikian maka Ki Buyut dan Ki Bekel tidak
ragu-ragu lagi. Sejenak kemudian, Ki Buyut pun telah
meninggalkan padukuhan itu bersama dengan Ny i Buyut
diikuti oleh para pengawal. Berkali-kali Ki Buyut dan Ny i
Buyut telah m engucapkan terima kasih kepada Mahisa Murti
dan Mahisa Pukat serta kepada Ki Bekel dengan seluruh
penghuni padukuhan itu. "Bagiku bukan lagi soal warisan nenek tua itu," berkata
Ki Buyut, "tetapi sudah merambat kepada persoalan yang lebih
mendalam. Warisan dari nenek itu adalah semata-mata
bernilai lahiriah. Rumah dan harta benda nenek itu dapat
dinilai dengan uang. Tetapi tidak dengan kesetiaan.
Sedangkan y ang harus aku nilai kemudian adalah justru
kesetiaan itu. Jika aku berbicara tentang kesetiaan, bukan
kesetiaan kepadaku. Tetapi aku sebagai lambang dari seluruh
Kabuyutan ini. Ketidak-setiaan bebahu yang terbunuh itu,
serta ketidak setiaan beberapa orang pengawal dan para
penghuni padukuhan induk, harus dilihat dari kepentingan
yang lebih besar lagi Kabuyutan ini."
Ki Bekel mengangguk-angguk. Katanya dengan suara
berat, "Aku m engerti Ki Buyut. Dan m enurut penilaian kami,
Ki Buyut ternyata adalah seorang pemimpin yang bijak sana."
"Ah, jangan memuji," desis Ki Buyut y ang kemudian
telah minta diri pula, "Kami, dan orang-orang yang bersama
kami termasuk Nyi Buyut minta diri. Tentu saja bukan untuk
seterusnya, tetapi aku akan selalu datang ke padukuhan ini.
Bukankah padukuhan ini juga termasuk Kabuyutan kita pula?"
Ki Bekel masih saja mengangguk-angguk. Katanya,
"Tentu Ki Buyut, tentu."
Sejenak kemudian, maka Ki Buyut dan Ny i Buyut pun
telah meninggalkan padukuhan itu. Mahisa Murti dan Mahisa
Pukat terpaksa tidak dapat ikut mengantarkan mereka. Tetapi
menurut perhitungan Mahisa Murti dan Mahisa Pukat
segalanya tentu sudah akan selesai.
Ketika Ki Buyut meninggalkan padukuhan itu, maka Ki
Bekel pun telah menyiapkan sebuah pedati. May at bebahu
yang terbunuh itu harus dibawa ke padukuhan induk pula.
Mula-mula Ki Bekel merasa ragu untuk menunjuk dua
tiga orang y ang akan m engawal mayat itu, karena Ki Bekel
menduga bahwa orang-orang padukuhan itu tentu akan
merasa berkeberatan. Namun ternyata lebih dari sepuluh
orang telah menyatakan dengan sukarela untuk membawa
mayat itu ke padukuhan induk.
"Terima kasih," berkata Ki Bekel, "kita hanya
memerlukan lima orang saja."
Demikianlah, maka lima orang padukuhan itu telah
bersiap mengantarkan mayat bebahu itu, sementara seorang
yang mempunyai sebuah pedati di rumahnya telah pulang
untuk mengambil pedati. Dalam pada itu, Mahisa Murti dan Mahisa Pukat y ang
menganggap persoalan yang sebenarnya telah selesai, maka
me-rekapun telah minta diri untuk kembali ke rumah nenek
tua itu. "Jika ada per soalan yang memerlukan
kedatanganku,maka aku berada di rumah nenek tua itu,"
berkata Mahisa Murti. "Terima kasih anak-anak muda," berkata Ki Bekel,
"menurut pendapatku, persoalan selanjutnya tinggal
menyelesaikan persoalan-per soalan kecil y ang tidak banyak
berarti. Karena itu jika kalian berdua ingin beristirahat, kami
persilahkan." Mahisa Murti dan Mahisa Pukat pun kemudian telah
minta diri. Para bebahu padukuhan itu dan Ki Bekel sendiri
telah melepas kedua anak muda itu sampai ke r egol.
Sementara itu, orang-orang padukuhan itu masih banyak yang
berkerumun di sekitar rumah Ki Bekel. Mereka masih lengkap
dengan berbagai macam senjata di tangan. Bagaimanapun
juga mereka masih mencemaskan keadaan yang mungkin akan
dapat berkembang menjadi buruk lagi.
Orang-orang padukuhan itu, para bebahu dan Ki Bekel
sendiri ternyata menjadi semakin hormat kepada kedua orang
anak muda y ang ternyata memiliki kemampuan y ang tidak
mereka duga sebelumnya. Meskipun mereka tahu, bahwa
kedua orang anak muda yang mengaku perantau itu memiliki
ilmu y ang tinggi, tetapi mereka tidak membayangkan bahwa
ilmu kedua orang anak muda itu akan mampu m emecahkan
sebongkah batu padas dan merobohkan sebatang pohon yang
tumbuh dipinggir jalan. Mereka pun tidak dapat
membayangkan, apa y ang telah terjadi atas para perampok
yang bagaikan ditaburi batu-batu kerikil di-seluruh tubuhnya
sehingga menyusup sampai ke tulang. Mereka pun sulit
membayangkan bahwa dari jarak yang agak jauh, anak muda
itu mampu m eruntuhkan dinding halaman yang dibuat dari
batu. Dalam pada itu, bebahu padukuhan y ang pernah berniat
untuk berkhianat itu pun merasa betapa kecil dirinya dan
betapa kotor perbuatannya. Apa y ang dilakukan itu, telah
dilakukan pula oleh salah seorang bebahu Kabuyutan. Namun
yang ternyata justru telah terbunuh oleh orang-orang
upahannya sendiri. Bebahu itu menjadi gemetar. Namun dengan susah
pay ah ia berusaha untuk memperbaiki keadaannya. Ia telah
mencoba untuk melihat-lihat keadaan di sekitar halaman Ki
Bekel untuk menenangkan hatinya.
Ketika hatinya menjadi sedikit tenang, maka bebahu itu
pun telah kembali naik kependapa. Namun tiba-tiba saja ia
telah duduk berdua saja dengan bebahu yang hampir saja
dihabisi ny awanya. Bagaimanapun juga terasa jantungnya berdegup
semakin cepat. Apalagi ketika bebahu yang dimusuhinya itu
kemudian tersenyum. Namun sebelum ia berbicara sesuatu, m aka seseorang
telah naik kependapa dan berkata kepada bebahu y ang pernah
akan dibunuhnya itu bahwa Ki Bekel telah memanggilnya.
Demikian bebahu itu bangkit dan m elangkah turun dari
pendapa, maka hatinya serasa telah m enjadi sejuk kembali.
Dengan tergesa -gesa maka ia pun telah turun dari pendapa
pula dan sekali lagi ia berjalan-jalan di sekeliling halaman
untuk menenangkan hatinya.
Sementara itu, maka Mahisa Murti dan Mahisa Pukat
telah sampai ke rumah nenek tua y ang menjadi per soalan yang
berkepanjangan itu. Ternyata rumah itu sama sekali tidak
disentuh oleh keributan y ang baru saja terjadi.
Mahisa Semu, Wantilan dan Mahisa Amping duduk
diruang tengah sedangkan nenek tua itu berada di dalam
biliknya. Sementara itu lampu minyakpun telah terpasang.
"Nenek merasa badannya kurang sehat," berkata Mahisa
Semu. Mahisa Murti dan Mahisa Pukat m engangguk-angguk.
Mereka pun kemudian duduk diruang tengah itu pula.
Mahisa Semu dan Wantilan sempat bertanya tentang
persoalan y ang terjadi di rumah Ki Bekel. Namun Mahisa
Murti pun kemudian sempat berkata setelah ia berceritera
serba sedikit tentang kerusuhan yang telah t erjadi, tetapi
semuanya sudah teratasi. "Syukurlah," berkata Mahisa Semu, "kami selama ini
selalu gelisah m enunggu berita tentang kerusuhan itu. Satu
dua orang y ang lewat dengan tergesa -gesa tidak sempat
mengatakan apapun juga."
"Aku kira, tugas kita di padukuhan inipun telah selesai
pula," berkata Mahisa Murti kemudian.
Yang lain mengangguk-angguk. Mereka m emang sudah
merasa terlalu lama berada di padukuhan itu.
Dalam pada itu, orang-orang yang ada diruang dalam itu
telah mendengar suara beberapa orang anak muda yang
datang meronda di rumah nenek itu. Agaknya mereka telah
mendapat tugas untuk datang kerumah ini, karena hampir
semua anak-anak muda berada di sekitar rumah Ki Bekel.
Ketika nenek tua yang ada di dalam biliknya itu
mendengar suara Mahisa Murti dan Mahisa Pukat, maka ia
pun telah bangkit dari pembaringannya, keluar dari biliknya
dan melangkah perlahan-lahan ke ruang tengah.
"Nek," berkata Mahisa Pukat sambil bangkit dan
mendekati orang tua itu, "berbaring sajalah nek, jika badan
nenek memang merasa kurang sehat."
Nenek tua itu m enarik nafas dalam-dalam. Namun ia
pun kemudian berkata, "Aku tidak apa-apa. Aku hanya merasa
gelisah saja." "Sekarang nenek tidak perlu m erasa gelisah lagi. Segala
sesuatunya telah dapat diselesaikan. Memang ada korban yang
jatuh. Tetapi bukankah itu wajar sekali" Orang-orang yang
berniat buruk itu sama sekali tidak mau menerima satu
keny ataan, sehingga mereka justru menjadi seperti gila.
Mereka merampok orang -orang y ang tidak bersangkut paut
sama sekali dengan persoalan yang semula terjadi."
Nenek tua itu termangu-mangu. Namun ketika Mahisa
Pukat minta agar nenek itu beristirahat saja, nenek itu masih
sa ja menolak. Bahkan kemudian nenek itu telah ikut duduk
pula di ruang dalam. "Aku harus menyiapkan minuman dan makanan bagi
mereka y ang meronda," berkata nenek itu.
"Biarlah nanti aku yang membuatnya," berkata Mahisa
Amping. Nenek itu t ersenyum. Sambil mengusap rambut Mahisa
Amping nenek itu berkata, "Kita kerjakan bersama-sama
seperti hari-hari y ang lalu."
Mahisa Amping mengangguk. Tetapi ia sadar, bahwa
mereka sudah terlalu lambat mulai masuk ke dapur. Biasanya
nenek itu mulai merebus air sebelum senja.
Tetapi sebelum Mahisa Amping mengatakannya, nenek
itu sudah mendahuluinya, "Kita sudah terlambat ngger. Tetapi
itu akan lebih baik daripada kita tidak melakukannya sama
sekali." Nenek itu pun kemudian berpaling kepada Mahisa


03 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Murti, "Tolong ngger. Sampaikan kepada anak-anak muda itu
serta para pengawal jika mereka datang, bahwa minuman
mereka akan terlambat kita hidangkan."
"Ya, ya nek," jawab Mahisa Murti, "mereka tidak akan
merasa kecewa." "Ya. Tetapi perubahan dari kebiasaan ini perlu m ereka
ketahui," berkata nenek tua itu.
"Baik nek. Aku akan segera m enemui mereka," jawab
Mahisa Murti kemudian. Ketika kemudian Mahisa Murti menemui anak-anak
muda di pendapa, maka Mahisa Pukat telah pergi ke pakiwan.
Namun agaknya para pengawal tidak sempat datang ke rumah
itu. Dipadukuhan induk tentu sedang terjadi kesibukan yang
tidak dapat mereka tinggalkan. Sementara itu, orang-orang di
padukuhan induk tahu b enar, bahwa di padukuhan ini sudah
ada Mahisa Murti dan Mahisa Pukat y ang akan dapat
mengatasi segala macam persoalan yang timbul kemudian.
Sejenak k emudian, maka nenek tua itu telah berada di
dapur bersama Mahisa Amping. Namun ketika nenek itu
membesarkan nyala lampu di dapur, ia pun telah terkejut.
Ternyata ada seseorang y ang telah berada di dapur itu.
Nenek itu hampir menjerit. Tetapi diurungkannya ketika
ia melihat Mahisa Amping y ang kecil itu mencabut luwuknya
sambil bertanya, "Siapa kau?"
Orang itu tersenyum. Katanya, "jangan takut. Aku tidak
akan berbuat apa-apa. Aku hanya ingin berbicara dengan
kedua anak m uda y ang sehari-hari ada di sini. Anak muda
yang memiliki ilmu y ang sangat tinggi itu."
"Apa y ang akan kau bicarakan?" bertanya Mahisa
Amping. Orang itu bahkan tertawa. Katanya, "Kau ternyata anak
yang sangat berani. Tetapi pembicaraan kami bukannya
pembicaraan y ang perlu didengar oleh anak-anak. Besok, jika
kau tumbuh menjadi dewasa, maka kau akan mengerti.
Sekarang, lebih baik kau panggil kedua orang anak muda itu."
Nenek tua itu memang menjadi ketakutan. Namun
Mahisa Amping ternyata menjawab, "Bukan aku yang akan
memanggil kakang Mahisa Murti dan Mahisa Pukat. Tetapi
biarlah nenek pergi memanggil mereka. Aku akan
menungguimu di sini. Jika aku y ang pergi, maka mungkin kau
berniat buruk terhadap nenek."
Orang itu masih saja tertawa. Katanya, "Kau sungguh
anak y ang berani. Kelak kau akan menjadi orang pilihan.
Baiklah. Biar nenek pergi m emanggil kedua orang anak muda
itu." "Panggil mereka nek. Aku akan menjaganya di sini,"
berkata Mahisa Amping. Nenek tua itu pun kemudian telah bergeser keluar.
Jantungnya memang terasa berdebaran. Namun ia masih
sempat mencapai ruang dalam.
Mahisa Semu terkejut melihat nenek tua itu terengahengah.
Bahkan ketika Mahisa Semu dan Wantilan
menggapainya, karena nenek tua itu nampak tertatih-tatih,
terasa tubuh nenek tua itu basah oleh keringat.
"Nek, nenek sakit?" bertanya Mahisa Semu.
"Tidak," jawab nenek itu dengan suara gemetar. Dengan
terbata-bata ia pun kemudian menceriterakan apa yang terjadi
di dapur. "Aku akan melihatnya," berkata Mahisa Semu.
"Jangan," cegah nenek itu, "panggil saja kedua
saudaramu yang disebut adalah kedua orang anak muda yang
sehari-hari berada di sini. Mungkin memang kalian berdua,
tetapi lebih baik biarlah Mahisa Murti dan Mahisa Pukat
sa jalah y ang y ang menemui mereka, karena nampaknya
keduanyalah y ang dicari."
Mahisa Semu mengangguk-angguk kecil. Katanya,
"Baiklah nek. Aku akan memanggil keduanya."
Sejenak kemudian, Mahisa Murti dan Mahisa Pukat
sudah berada di ruang dalam. Ketika mereka mendengar
bahwa Mahisa Amping berada di dapur seorang diri, maka
keduanya dengan tergesa -gesa telah pergi ke dapur pula.
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat pun kemudian dengan
sangat berhati-hati m asuk ke dapur. Mereka menarik nafas
dalam-dalam ketika mereka m elihat bahwa Mahisa Amping
masih berdiri tegak dengan luwuk di tangannya di hadapan
seseorang y ang disebut oleh nenek tua itu.
"Siapa kau?" bertanya Mahisa Murti, "apakah kau datang
untuk mengejutkan nenek tua itu."
Orang itu tersenyum. Katanya, "Aku sempat mengikuti
permainan di padukuhan ini. Nampaknya kau masih juga
sempat bermain-main dengan Ki Buyut dan Ki Bekel."
"Aku tidak tahu maksudmu," kata Mahisa Murti.
"Aku memang akan berterus terang. Selama ini kau
dikenal sebagai seorang y ang berilmu sangat tinggi, sehingga
kau mampu mengalahkan orang-orang yang namanya telah
menyentuh langit. Namun akhir-akhir ini, kau lebih senang
bermain-main dengan orang-orang padukuhan ini," berkata
orang itu. "Katakan maksudmu," geram Mahisa Pukat.
Orang itu ju stru tertawa. Katanya, "Kalian adalah anakanak
muda yang jarang ada imbangannya di dunia ini. Apalagi
sepasang pedang yang kalian sandang itu. Pedang yang tentu
nilainya jauh lebih tinggi dari rumah ini serta segala isinya
sekalipun." Mahisa Murti dan Mahisa Pukat mulai mengetahui arah
pembicaraan orang yang ada di dapur itu. Yang diperhatikan
bukan lagi rumah nenek tua itu, benda-benda berharga yang
telah dijual yang uangnya akan diperuntukkan bagi
kesejahteraan padukuhan itu.
Tetapi yang diperhatikan oleh orang itu adalah sepasang
pedang yang oleh pembuatnya disebut keris yang dibawanya
dan dibawa oleh Mahisa Murti dan Mahisa Pukat itu.
Sementara itu, orang itu pun berkata, "Tetapi aku tidak
tergesa -gesa anak muda," orang itu berhenti sejenak,
"mungkin kalian masih ingin ikut mengemasi padukuhan ini.
Tetapi aku tahu bahwa pada suatu ketika kalian berdua tentu
akan meninggalkan padukuhan ini. Nah, baru saat itu aku
berkepentingan dengan kalian."
Mahisa Murti menarik nafas dalam-dalam. Dengan nada
rendah ia bertanya, "Kenapa tidak sekarang?"
"Jangan," jawab orang itu, "aku tidak ingin membuat
orang-orang padukuhan ini menjadi gelisah. Jika mereka
menyadari, bahwa kalian berdua terbunuh, maka orang-orang
padukuhan ini akan kehilangan kepercayaan diri pula. Karena
itu, seperti sudah aku katakan, jika urusanmu dengan
padukuhan ini, untuk menggenapi niatmu tapa ngrame selesai
barulah aku akan menemuimu."
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat saling berpandangan
sejenak. Namun Mahisa Murti pun kemudian berkata,
"Baiklah. Aku mengerti. Kau tentu ingin mendapatkan
sepasang pedang kami. Tetapi seperti yang sudah terjadi,
maka kami akan mempertahankan pedang ini."
"Tentu, tentu," berkata orang itu, "kalian harus
mempertahankan pedang kalian. Jika tidak, maka kalian tentu
bukan orang y ang pantas kami tunggu di perjalanan kelak."
"Baiklah Ki Sanak," berkata Mahisa Murti, "aku akan
berada di padukuhan ini sampai besok. Aku berharap bahwa
lusa kam i telah meninggalkan padukuhan ini."
"Bagus. Jika kalian harus mati, maka biarlah kalian tetap
meninggalkan nama besar di padukuhan ini sehingga kalian
akan tetap diharap untuk datang kembali di saat lain. Tetapi
kalian tidak akan pernah datang lagi ke rumah. Kalian tidak
akan pernah melihat rumah ini menjadi banjar padukuhan.
Namun percayalah, sepeninggal kalian, maka kami akan
mengambil alih tugas kalian di sini. Jika ada orang yang
mengganggu padukuhan ini, banjar padukuhannya serta
kesejahteraan yang akan menjadi lebih baik, maka aku akan
melindunginya. Siapapun yang akan datang."
"Terima kasih. Tetapi kami masih belum ingin mati.
Kami masih ingin kembali ke padepokan kami dan bertemu
dengan orang-orang y ang kami tinggalkan," berkata Mahisa
Murti. "karena itu, maka agaknya kami akan memilih
kemungkinan lain. Seperti orang-orang y ang pernah datang
kepada kami sebelumnya. Mereka telah mati. Dan
kemungkinan y ang lain itu adalah, kaulah y ang akan mati."
Orang itu t ertawa. Katanya, "Ternyata kalian adalah
anak-anak muda yang menarik. Baiklah. Aku kira pesan kami
sudah cukup. Bersiaplah di perjalanan saat kalian
meninggalkan pa-" dukuhan ini. Aku akan menunggu kalian di
suatu tempat yang memungkinkan kami mengambil sepa sang
keris itu dari tangan kalian."
"Terima kasih atas pesan kalian," jawab Mahisa Murti.
Bahkan kemudian katanya, "Sebaiknya kau duduk dahulu di
ruang dalam. Nenek akan merebus air. Barangkali kau haus."
Orang itu t ertawa meny entak. Katanya, "Terima kasih,
terima kasih. Kalian benar-benar orang y ang baik hati. Tetapi
sayang, bahwa aku segera akan meninggalkan rumah ini. Aku
akan m empersiapkan diri sampai besok lusa. Barangkali kau
tidak berkeberatan memberitahukan arah perjalanan kalian?"
"Kami akan berjalan ke Barat," jawab Mahisa Murti.
"Bagus, aku akan menunggumu di Barat."
Demikianlah, maka orang itu pun kemudian minta diri
sambil melangkah ke pintu dapur. Di depan pintu ia m asih
tersenyum sambil berkata, "Selamat malam." Lalu m enunjuk
Mahisa Amping, "Anak itu anak luar biasa."
Demikianlah, sejenak kemudian m aka Mahisa Amping
telah bermain macanan dengan anak muda y ang sedang
meronda itu. Sementara yang lain pun telah membuat
permainan sendiri. Mahisa Murti dan Mahisa Pukat pun telah ikut pula
bersama mereka sedangkan Mahisa Semu dan Wantilan
berada di ruang dalam, menunggui nenek tua y ang nampak
gelisah. Tetapi malam itu, pendapa rumah nenek itu terasa sepi.
Tidak banyak anak-anak muda yang berdatangan seperti
biasanya kecuali beberapa orang y ang memang ditunjuk.
Anak-anak muda yang lain masih berada di rumah Ki Bekel,
sementara yang lain m eronda berkeliling padukuhan. Gardugardu
pun telah terisi. Bukan saja anak-anak muda, tetapi juga
orang-orang yang sudah lebih tua, namun yang masih mampu
dan berani bertempur seandainya hal itu harus dilakukan.
Namun agaknya malam itu sudah tidak akan terjadi
sesuatu. Ki Buyut telah mengirimkan penghubung yang
memberitahukan, bahwa segala sesuatunya telah dapat di
atasi. Ki Buyut telah memberikan isy arat, bahwa keadaan
sudah menjadi semakin baik.
0oo0dw0oo0 (Bersambung ke Jilid 85 )
Conv ert/Pr oofing: Ki Raharga
Rechecking/Editing: Ki Arema
Pdf ebook : Dan HIJAUNYA LEMBAH HIJAUNYA LERENG PEGUNUNGAN Jilid 85 Cetakan Pertama PENERBIT: "MURIA" YOGYAKARTA Kolaborasi 2 Website : dengan Pelangi Di Singosari / Pembuat Ebook : Sumber Buku Karya SH MINTARDJA
Scan DJVU : Ismoyo, Arema
Converter : Editor : MCH Pdf ebook : --ooo0dw0ooo- Naskah ini untuk keperluan kalangan sendiri,
penggemar karya S.H. Mintardja dimana saja berada y ang
berkumpul di Web Pelangi Singosari dan Tiraikasih
Jilid 085 MESKIPUN demikian Ki Bekel masih juga bersikap
berhatihati. Anak-anak mudapun masih juga bertebaran di
seluruh padukuhan. Sedangkan di rumah nenek tua itu, ju stru
tidak begitu penting untuk dijaga secara khusus. Beberapa
orang saja yang ditugaskan untuk datang ke rumah itu. Ki
Bekel sudah terlalu y akin, bahwa Mahisa Murti dan Mahisa
Pukat tentu akan dapat meny elesaikan segala persoalan jika
itu terjadi di rumah nenek tua itu.
Sebenarnyalah malam itu memang tidak terjadi sesuatu.
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat y ang tidur bergantian
bersama anak-anak muda y ang b ertugas di rumah itu benarbenar
sempat beristirahat dan tidur ny enyak. Justeru Mahisa
Amping yang bermain macanan sampai lewat tengah malam.
Di hari berikutnya, padukuhan itu telah diny atakan
benar-benar tenang. Ki Buyut telah m emberitahukan, bahwa
malam mendatang, ampat orang pengawal sudah dapat
dikirim lagi ke padukuhan itu, untuk membantu jika
diperlukan, karena padukuhan itu nampaknya masih menjadi
sa saran dendam orangorang y ang gagal mendapatkan
keuntungan. Dengan demikian, maka Mahisa Murti dan Mahisa
Pukatpun merasa bahwa tugas mereka telah berakhir di
padukuhan itu. Keduanya telah bersepakat di hari berikutnya
mereka akan meneruskan perjalanan.
Karena itu, maka hari itu Mahisa Murti dan Mahisa
Pukat sekaligus mewakili saudara-saudaranya yang lain telah
minta kepada Ki Bekel. "Kau seharusnya minta diri pula kepada Ki Buyut,"
berkata Ki Bekel. "Aku kira sudah cukup disini saja Ki Bekel. Namun aku
mohon pada satu kesempatan Ki Bekel dapat m enyampaikan
permohonan diri kami kepada Ki Buyut," jawab Mahisa Murti.
"Aku menjadi kasihan kepada nenek yang menganggap
kalian telah menjadi keluarga sendiri. Bahkan mungkin kalian
telah dianggap sebagai ganti anak-anaknya y ang telah tidak


03 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

ada lagi," berkata Ki Bekel.
"Tetapi apa boleh buat," jawab Mahisa Murti "kami akan
segera mengemban tugas kami berikutnya.
"Baiklah," berkata Ki Bekel "sebagaimana pernah aku
katakan. Biarlah nenek itu berada di rumahku ini jika ia tidak
berkeberatan. Bukan karena kami ingin segera memiliki dan
mempergunakan rumahnya yang besar itu, tetapi semata-mata
untuk kepentingan nenek itu sendiri.
"Kami mengerti," jawab Mahisa Murti.
"Namun bagaimanapun juga, kami berharap bahwa pada
suatu ketika kalian akan dapat singgah disini lagi," berkata Ki
Bekel. "Kami akan berusaha Ki Bekel," jawab Mahisa Murti,
"mudah-mudahan kami mendapat kesempatan pada suatu
saat." Beberapa orang bebahu pun telah menyatakan
peny esalan mereka bahwa anak-anak muda yang mengaku
pengembara itu akan segera m eninggalkan tempat itu. Tetapi
mereka memang tidak akan dapat menahannya lebih lama
lagi. "Besok pagi-pagi kami akan meninggalkan padukuhan
ini. Ki Bekel dan para bebahu tidak usah menjadi sibuk
melepas kami. Kami mengucapkan terima kasih atas segala
kebaikan Ki Bekel dan para penghuni padukuhan ini," berkata
Mahisa Murti kemudian. "Tetapi besok aku juga harus bertemu dengan nenek tua
itu untuk minta agar ia ber sedia tinggal di rumahku," berkata
Ki Bekel. "Tetapi sudah tentu tidak akan terlalu pagi. Kami akan
berangkat dini hari," berkata Mahisa Murti pula.
Ki Bekel m enarik nafas dalam-dalam. Tetapi kemudian
iapun berkata: "Baiklah anak niuda, jika kalian akan berangkat
dini hari. Semoga kalian selamat di perjalanan. Aku berjanji
untuk merawat nenek tua itu dengan baik. Ia pun tidak lagi
tersisih dari pergaulan dengan tetangga-tetangganya, sehingga
ia akan dapat hidup wajar di akhir batas umurnya.
"Terima kasih Ki Bekel," sahut Mahisa Murti "mudahmudahan
y ang kami tinggalkanpun tidak akan terganggu lagi.
Kebangkitan dari penghuni padukuhan ini memberikan
suasana baru sehingga padukuhan ini akan menjadi
padukuhan y ang akan dapat melindungi dirinya sendiri."
Ki Bekel mengangguk-angguk. Katanya dengan nada
rendah: "Mudah-mudahan aku mampu membangkitkan
gairah perjuangan di padukuhan ini."
Demikianlah, maka Mahisa Murti dan Mahisa Pukatpun
telah m eninggalkan rumah Ki Bekel. Mereka m asih sempat
minta diri kepada beberapa orang bebahu dan orang-orang
padukuhan itu. Malam y ang kemudian meny elubungi padukuhan itu
adalah m alam terakhir bagi Mahisa Murti dan Mahisa Pukat.
Kepada anak-anak muda yang ada di pendapa serta pengawal
yang telah dikirim lagi dari padukuhan induk, Mahisa Murti,
Mahisa Pukat, Wantilan dan bahkan Mahisa Amping telah
minta diri. Besok dini hari mereka akan meninggalkan
padukuhan itu. Nenek tua y ang meny erahkan rumah dan semua
kekay aannya kepada padukuhan itupun merasa sangat
kecewa. Tetapi nenek itu mengerti, bahwa ia tidak akan dapat
menahan para pengembara itu lebih lama lagi.
Orang tua itu mencoba untuk mengerti, bahwa anakanak
muda itu tentu sedang meny ongsong hari depan m ereka
yang lebih baik. Malam yang terakhir itu terasa terlalu panjang. Mahisa
Murti dan Mahisa Pukat hampir tidak dapat tidur sama sekali.
Mereka masih selalu dibayangi oleh pesan orang yang
dijumpainya di dapur rumah nenek tua itu.
Tetapi Mahisa Murti dan Mahisa Pukat sudah bertekad
untuk tidak ingkar. Mereka akan mempertahankan sepa sang
keris yang ternyata sedang diperebutkan itu.
Akhirnya saat yang mereka nantikan itu datang. Mahisa
Murti yang telah bersiap bersama saudara-saudaranya itu,
telah minta diri kepada nenek tua y ang telah menyiapkan
minuman hangat bagi mereka sebelum berangkat
meninggalkan rumah mereka.
Nenek tua itu memang menitikkan air mata. Tetapi
ketabahannya sebagaimana ditunjukkannya bertahun-tahun
selama ia hidup sendiri, telah m embuatnya menjadi seorang
nenek y ang berhati baja. Kepergian para pengembara itu
membuatnya merasa sangat kehilangan. Tetapi ia menerima
keny ataan itu dengan hati y ang lapang.
Sebelum matahari terbit, maka para pengembara y ang
ada di rumah nenek tua itu telah meninggalkan rumah itu.
Mahisa Murtipun telah memberitahukan kepada nenek tua itu,
Senandung Kematian 1 Pendekar Rajawali Sakti 68 Geger Putri Istana Son Of Neptune 1

Cari Blog Ini