Ceritasilat Novel Online

Hijaunya Lembah Hijaunya 8

03 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja Bagian 8


"Jadi Paman masih tetap mendendam?" bertanya Ki
Sardapa. "Pamanmu yang bungsu," jawab pamannya y ang lain,
"memang ada beberapa kemungkinan y ang memaksanya
untuk tetap pada pendiriannya. Demikian tajamnya ia
mengukir khayalan itu di dalam hatinya sehingga khayalan
yang kita susun bersama itu merupakan satu keny ataan
baginya, atau memang ada pamrih lain y ang membayanginya.
Mungkin harta benda peninggalan kakakmu yang masih ada di
rumah ini, atau barangkali dendamnya k epada ayahmu yang
masih belum terhapuskan."
Ki Sardapa mengangguk-angguk. Katanya, "Jadi masih
sa ja ada kabut yang meliputi kehidupan kami disini."
" Itulah y ang mengusik hati kami," berkata pamannya
yang lain, "karena itu, maka kami perlukan untuk dengan
segera datang kepadamu. Demikian tenaga kami perlahanlahan
tumbuh kembali, maka kami telah sepakat untuk
menemuimu dan menyampaikan pesan ini kepadamu."
Ki Sardapa mengangguk-angguk. Katanya,
"Bagaimanapun juga, Paman itu akan dapat berbuat banyak.
Tentu ia tidak akan berdiri sendiri. Sebagaimana itu telah
mengupah beberapa orang untuk membunuhku, maka paman
bungsu itu akan dapat melakukannya pula."
" Itulah agaknya y ang akan dilakukannya," berkata
pamannya yang tertua, "pamanmu itu sendiri masih belum
banyak mendalami ilmu. Bahkan kami semua tidak berdaya
melawan anak-anak muda itu, sehingga justru kekuatan kami
telah dihisapnya sampai habis. Tetapi aku berpendapat,
sebagaimana pamanmu y ang bungsu bahwa anak-anak muda
itu tidak akan berada di padukuhan ini untuk seterusnya. Saatsaat
itulah yang ditunggu oleh pamanmu itu."
"Terima kasih paman," berkata Ki Sardapa, "aku akan
memperhatikannya. Aku kira masih ada waktu bagiku untuk
mempersiapkan diri."
Saudara tertua di antara ketiga orang itu m enganggukangguk.
Namun tiba -tiba ia pun bertanya, "Apakah Ki
Pan onjaya akan bermalam di pa sar" Kenapa ia masih belum
kembali?" "Paman m enunggui pesanannya pada pande besi y ang
nampaknya akan diselesaikan pada hari ini sampai tengah
malam sekalipun," jawab Ki Sardapa.
Paman tertuanya mengangguk-angguk. Dengan nada
datar ia bertanya pula, "Apakah yang dipesannya?"
Ki Sardapa termangu-mangu sejenak. Namun kemudian
katanya, "Di sudut pasar itu terdapat seorang pande besi.
Bukan saja pande b esi seperti kebanyakan. Tetapi pande besi
itu memiliki kemampuan membuat senjata. Paman Panonjaya
sedang membuat sebuah luwuk yang dikerjakannya sendiri
bersama-sama dengan pande besi itu."
Saudara t ertua dari ibu tiri Ki Sardapa itu menganggukangguk.
Namun kemudian katanya, "Ternyata ia masih juga
seorang yang sibuk dengan berbagai jenis senjata, ia
mempunyai banyak persamaan dengan ay ahmu Sardapa."
"Agaknya memang demikian," jawab Ki Sardapa.
"Karena itu Sardapa," berkata pamannya y ang tertua,
"aku tidak dapat menunggunya. Aku tidak tahu kapan ia
pulang." Sardapa mengerutkan keningnya. Dengan nada tinggi ia
bertanya, "Jadi Paman akan segera kembali?"
"Ya. Kami harus segera kembali," jawab pamannya itu,
"mudah-mudahan masih ada kesempatan untuk membujuk
pamanmu yang bungsu."
"Aku mohon paman bertiga bermalam barang semalam.
Besok paman bertiga dapat berangkat pagi-pagi di saat
matahari terbit." minta Ki Sardapa.
Tetapi pamannya tertua tersenyum. Katanya, "Terima
kasih Sardapa. Kami masih tetap petualang-petualang yang
lebih senang berjalan malam. Masih terbiasa bagi kami, betapa
tenangnya m elangkah dalam kegelapan. Seakan-akan terjauh
dari segala mara bahaya, kecuali jika kami dengan sengaja
datang menggapainya."
Ki Sardapa menarik nafas dalam-dalam. Namun agaknya
ketiga pamannya itu tidak lagi dapat dicegahnya. Mereka
benar-benar minta diri. Bahkan makan pun mereka tidak
bersedia menunggu, selain hanya meneguk air panas dan
beberapa potong makanan. Di regol halaman paman tertua itu masih berpesan,
"Hati-hatilah dengan paman bungsu. Secara pribadi ia masih
belum terlalu berbahaya. Ilmunya masih belum berkembang
sama sekali, kecuali sedikit pengalaman benturan-benturan
kekerasan y ang kasar. Hanya bersama-sama dengan kami,
pamanmu dapat ikut bermain dalam pusaran. Tetapi landasan
ilmu itu hampir tidak ada padanya. Meskipun demikian, ia
dapat mengupah orang untuk kepentingan itu."
"Aku akan selalu mengingatnya Paman," jawab Ki
Sardapa. Demikianlah, maka ketiga orang itu pun telah
meninggalkan padukuhan itu. Mereka menyusup masuk ke
dalam kegelapan. Agaknya ketiganya segan untuk berjalan
melalui gardu-gardu penjagaan, karena m ereka sadar, bahwa
dengan demikian mereka harus menjawab segala macam
pertanyaan y ang dapat menghambatnya.
Karena itu, maka mereka pun telah m emilih jalan lain.
Sebagai petualang maka mereka dapat menyusup dari
halaman ke halaman yang gelap. Kemudian meloncati dinding
keluar dari padukuhan itu.
Sementara itu m aka Ki Sardapa y ang ditinggalkan oleh
ketiga orang pamannya dengan berbagai pesan itu memang
menjadi berdebar -debar. Meskipun ia tidak menjadi ketakutan
seandainya pamannya itu mengupah orang selama Kiai Patah,
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat masih ada di padukuhan itu.
Tetapi sudah barang tentu bahwa Mahisa Murti dan
Mahisa Pukat tidak akan untuk seterusnya berada di
padukuhan itu. Namun demikian Ki Sardapa tidak mengatakan
kegelisahannya itu. Ia berusaha untuk tetap bersikap tenang
dan tidak gugup menghadapi persoalan yang dapat
berkembang semakin gawat baginya justru saat-saat pamanpamannya
menyadari keadaan. Ketika m ereka kembali k e pendapa, maka Mahisa Murti
dan Mahisa Pukat pun berusaha untuk meyakinkan kepada Ki
Sardapa, bahwa mereka tentu akan dapat mengatasinya
seandainya pamannya y ang bungsu itu benar-benar akan
melakukan tindakan yang licik terhadapnya.
Tetapi dengan jujur Ki Sardapa kemudian berkata,
"Anak-anak muda. Mungkin aku akan dapat mengatasi
kesulitan y ang bakal datang dengan bantuan kalian dan Kiai
Patah. Tetapi orang y ang licik itu akan menunggu dengan
kesabaran seekor harimau menunggui buruannya yang
memanjat sebatang pohon."
Sementara itu Mahisa Murti b erkata, "Jangan risaukan
itu sekarang Ki Bekel. Mungkin besok atau lusa kita akan
menemukan cara y ang paling baik."
Ki Bekel mengangguk-angguk. Lalu katanya, "Baiklah.
Kita akan beristirahat. Sementara itu, aku sadari bahwa aku
tidak akan dapat menggantungkan diri kepada kalian dan Kiai
Patah yang pada suatu saat akan m eninggalkan padukuhan
ini." "Mudah-mudahan kita menemukan jalan," berkata
Mahisa Murti, "namun sudah barang tentu bahwa pada saat
kami akan meninggalkan padukuhan ini."
"Kami pun harus mampu mencapai satu keadaan, bahwa
kami dapat berdiri tegak sendiri tanpa perlindungan orang
lain," berkata Ki Sardapa.
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat pun menganggukangguk.
Mereka pun sependapat, bahwa sebagai seorang
Bekel, maka Ki Sardapa tidak akan dapat menggantungkan
diri dalam perlindungan orang lain terus-menerus.
Namun demikian, maka mereka pun akhirnya telah
masuk ke dalam bilik mereka masing-masing untuk
beristirahat. Tetapi sebelum mereka sempat tertidur, maka pintu
pringgitan rumah Ki Sardapa itu telah diketuk orang dengan
keras. Terasa betapa orang yang mengetuk pintu itu tergesagesa
dan gelisah. "Siapa?" bertanya Ki Sardapa yang terbangun.
"Aku Ki Bekel," jawab seseorang, "peronda."
"Ada apa kau membangunkan aku malam-malam
begini?" bertanya Ki Sardapa pula.
Peronda itu termangu-mangu sejenak. Tetapi ketika ia
berpaling dan dilihatnya keadaan y ang gawat dan seseorang
yang terluka parah, maka ia pun menjawab, "Ada sesuatu yang
penting Ki Bekel. Ada tamu y ang dalam keadaan gawat."
Ki Bekel memang menjadi berdebar-debar. Namun
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat telah terbangun pula oleh
suara itu. Mereka pun kemudian telah keluar pula dari bilik dan
menghampiri pintu bersama-sama dengan Ki Bekel.
Dalam keragu-raguan Ki Bekel memandang kedua anak
muda itu berganti-ganti. Hampir bersamaan Mahisa Murti dan
Mahisa Pukat mengangguk kecil.
Ki Bekel mengerti, bahwa keduanya sependapat, agar
pintu memang sebaiknya dibuka.
Dengan hati-hati Ki Bekel pun kemudian telah
mengangkat selarak. Dengan cepat ia bergeser mundur,
sementara itu, pintu pun telah terbuka perlahan-lahan
didorong dari luar. "Apa yang terjadi?" bertanya Ki Bekel setelah ia melihat
bahwa seorang peronda berdiri dengan gelisah di depan pintu.
Peronda itu pun kemudian menunjuk ke pendapa,
sehingga Ki Bekel, Mahisa Murti dan Mahisa Pukat telah
beringsut ke luar pintu. Ternyata mereka terkejut bukan kepalang. Mereka
melihat Ki Panonjaya berjongkok sambil memegangi tubuh
yang lemah dan bersandar pada Ki Panonjaya itu.
"Paman," Ki Sardapa hampir berteriak.
Tubuh yang lemah dan terluka di tangan Ki Panonjaya
itu adalah adik ibu tiri Ki Sardapa yang telah datang
sebelumnya untuk memberitahukan keadaan saudarasaudaranya
y ang lain yang sedang marah dan mendendam Ki
Sardapa pada waktu itu. "Apa yang terjadi?" bertanya Ki Sardapa, "apakah ketiga
orang paman y ang lain telah melakukan hal ini atas paman?"
Orang y ang terluka itu mengerutkan keningnya.
Sementara Ki Panonjay a berkata, "Aku menemukannya di
jalan di luar regol padukuhan ini."
"Tetapi apa y ang telah terjadi atasnya?" bertanya Mahisa
Pukat bertanya dengan cemas.
Ki Panonjaya m enggelengkan kepalanya. Katanya, "Aku
tidak tahu. Aku sedang berjalan kembali ke rumah ini dari
rumah pande besi y ang membantuku membuat luwuk itu . Aku
menemukannya dalam keadaan sangat letih."
Dalam pada itu, Ki Sardapa telah memerintahkan
seorang peronda untuk mengambil air bersih di dapur.
Dengan hati-hati maka orang y ang terluka itu telah
dibaringkan diatas tikar pandan. Dengan cermat Ki Sardapa,
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat telah mengamati luka -luka di
tubuh orang itu. Agaknya luka-lukanya tidak disebabkan oleh
senjata tajam, tetapi oleh senjata tumpul. Bahkan mungkin
hanya dengan sepotong kayu atau alat pemukul yang lain.
Setelah minum seteguk, maka orang itu agaknya menjadi
lebih tenang. Nafasny a pun menjadi lebih teratur sehingga ia
mulai dapat diajak berbicara.
"Paman," desis Ki Sardapa, "apa y ang telah terjadi"
Apakah tiga orang paman termasuk paman tertua telah
melakukannya hal ini?"
Orang itu mengerutkan keningnya. Kemudian masih
sambil m enyeringai menahan sakit ia bertanya, "Di mana kau
bertemu dengan pamanmu tertua?"
"Baru saja paman bertiga datang kemari," jawab
Sardapa. "Apa y ang m ereka katakan?" bertanya pamannya y ang
terluka itu pula. "Paman tertua dan dua orang paman yang lain
menyatakan peny esalannya. Tetapi apakah hal itu benar-benar
diucapkan dengan jujur atau sekedar mengelabui kami. Aku
tidak tahu pasti. Apalagi jika Paman tertua itu telah
melakukan hal ini atas paman," berkata Ki Sardapa dengan
nada berat. Tetapi pamannya yang terluka itu menggeleng lemah.
Katanya, "Bukan mereka. Sardapa."
"Lalu kenapa?" bertanya Sardapa.
"Pamanmu yang bungsu," desis orang yang terluka itu.
"Paman y ang bungsu?" ulang Sardapa dengan nada
tinggi. "Ya. Pamanmu yang bungsu telah m engambil aku dari
rumahku. Aku kira ia tidak akan dapat memaksaku jika ia
datang seorang diri. Tetapi ia membawa lebih dari lima orang
kawan yang tidak aku kenal. Mereka memaksaku untuk pergi
ke padukuhan ini. Tetapi mereka telah m enyakiti aku di luar
padukuhan," jawab pamannya yang terluka itu.
"Jadi Paman y ang bungsu telah menyakiti Paman
dengan cara y ang licik itu?" bertanya Ki Sardapa.
"Ya. Sudah tentu dengan harapan, bahwa kau atau
orang-orangmu akan menemukan aku dan membawa aku
kepadamu. Ternyata bahwa pamanmu yang bungsu itu telah
memberikan pesan kepadaku," berkata pamannya yang
terluka. "Pesan apa?" bertanya Ki Sardapa.
"Pada suatu saat, pamanmu yang bungsu itu akan datang
kepadamu. Pamanmu yang bungsu ingin membunuhmu.
Tetapi ia ingin menunjukkan bahwa ia adalah seorang laki laki," berkata pamannya y ang terluka.
"Lalu apa maksudnya?" bertanya Ki Sardapa.
"Pamanmu akan m enantangmu dalam perang tanding,"
berkata pamannya y ang terluka itu.
Ki Sardapa menggeram. Katanya, "Kenapa ia tidak
datang sendiri" Kenapa ia harus menyakiti paman dengan cara
yang licik seperti ini?"


03 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Pamanmu y ang bungsu juga menjadi sakit hati karena
aku telah mengunjungimu," jawab pamannya itu.
Ki Bekel menggeretakkan giginya. Kemarahan telah
menyala semakin besar didalam dadanya. Dengan suara yang
bergetar ia bertanya, "Kapan paman yang bungsu itu akan
datang" Aku menjadi tidak sabar lagi."
"Aku tidak tahu kapan ia datang Sardapa," jawab
pamannya yang terluka, "tetapi menurut pendengaranku yang
mulai kabur waktu itu, ia akan mematangkan ilmunya sebelum
ia akan turun ke gelanggang."
"Baik," geram Sardapa, "aku akan menunggu, kapan ia
akan datang. Aku bukan betina y ang akan m enjadi ketakutan
mendengar tantangannya."
"Tenanglah," berkata Mahisa Murti, "dengan demikian
justru Ki Bekel masih mempunyai waktu."
Tetapi kemarahan di jantung Ki Sardapa bagaikan akan
meledakkan dadanya. Namun Mahisa Pukat kemudian
berkata, "Tidak ada gunanya Ki Bekel sekarang menyakiti hati
sendiri. Orang itu baru akan datang kemudian. Yang dapat Ki
Bekel lakukan adalah menunggu. Jika Ki Bekel bersedia, maka
ki Bekel dapat mempersiapkan diri sebaik-baiknya
sebagaimana dilakukan oleh paman bungsu Ki Bekel itu."
Wajah Ki Sardapa tiba -tiba berkerut dalam. Ketegangan
benar-benar telah m encengkam jantungnya. Tetapi kemudian
terdengar suaranya yang masih saja bergetar, "Aku akan
melakukannya." Demikianlah, maka mereka pun kemudian disibukkan
oleh luka-luka di tubuh paman Ki Bekel itu. Seorang tabib
yang dianggap memiliki kepandaian y ang tinggi telah
diundang untuk mengobatinya.
Ketika orang yang terluka itu telah dibaringkan di
sebuah bilik di rumah Ki Bekel itu. maka Ki Bekel telah
berbicara dengan sungguh-sungguh dengan Mahisa Murti dan
Mahisa Pukat disaksikan oleh pamannya Ki Panonjaya.
"Besok kita temui Kiai Patah," berkata Mahisa Murti,
"kita akan menceritakan persoalan y ang akan Ki Bekel
hadapi." Ki Sardapa mengangguk-angguk. Namun ia pun
kemudian berkata, "Tetapi paman itu berniat untuk
menantang aku berperang tanding. Dalam perang tanding,
tidak ada orang lain yang akan dapat membantu. Aku sendiri
harus berhadapan dengan paman. Kecuali sekedar menjadi
sak si." "Aku mengerti Ki Bekel," jawab Mahisa Murti, "tetapi
Kiai Patah akan dapat memberikan petunjuk, apa yang
seharusnya Ki Bekel lakukan."
Ki Bekel yang mengenal Kiai Patah dengan baik
mengangguk-angguk mengiakan. Katanya, "Besok kita
menemuinya." Demikianlah, maka mereka pun telah kembali kedalam
bilik masing-masing. Namun Ki Sardapa tidak lagi dapat
memejamkan matanya, ia selalu berangan-angan tentang
perang tanding y ang pada satu saat akan dilakukannya
melawan pamannya yang bungsu itu.
Karena itu maka Ki Sardapa itu menjelang dini hari telah
berada di pakiwan. Ia telah mandi dan membenahi pakaiannya
sebelum matahari terbit, ia ingin segera pergi menemui Kiai
Patah untuk berbicara tentang rencana perang tanding itu.
Betapapun ia berniat untuk menerima tantangan itu,
namun ada juga semacam kegelisahan didalam hatinya karena
pamannya tentu berusaha untuk mendalami ilmunya. Namun
seperti y ang dikatakan oleh pamannya yang tertua, pamannya
yang bungsu itu m asih belum m enguasai dasar i lmu pusaran
sebagaimana y ang pernah dilihatnya di rumah pamannya
tertua itu. Pamannya yang bungsu itu hanya ikut saja berlari
berkeliling. Ia memang memiliki ketrampilan bermain pedang.
Demikian pula di saat-saat mereka lari berputaran. Tetapi
belum menguasai ilmu yang lebih dalam meskipun hanya
dasarnya. Ki Sardapa rasa -rasanya tidak sabar menunggu Mahisa
Murti dan Mahisa Pukat bersiap. Dengan gelisah Ki Sardapa
hilir m udik di halaman, sementara beberapa orang per onda
menjadi heran menyaksikannya. Tetapi para peronda itu tidak
bertanya apa pun juga. Baru beberapa saat kemudian, Mahisa Murti dan Mahisa
Pukat pun telah turun pula ke halaman. Sementara Ki
Pan onjaya akan tinggal menunggui paman Ki Bekel yang
terluka. Demikianlah, ketika matahari naik m ereka telah berada
diperjalanan menuju ke rumah Kiai Patah di sudut padukuhan
itu. Sebuah rumah yang sederhana, yang sama sekali tidak
mencerminkan rumah seorang yang berilmu dan bahkan
memiliki bekal yang cukup seandainya ia ingin membuat
rumah yang lebih baik dari yang dihuninya itu.
Ketika Kiai Patah mendengar keterangan Ki Bekel
tentang pamannya y ang dilukai oleh pamannya yang bungsu
serta rencana tantangannya untuk berperang tanding, m aka
Kiai Patah pun dengan serta merta berkata, "Ki Sardapa harus
mempersiapkan diri sebaik-baiknya jika memang berniat
untuk menerima tantangan itu."
"Aku akan melakukan apa saja yang baik menurut
kalian," sahut Ki Bekel.
"Biarlah angger berdua menempa Ki Bekel dengan
mempergunakan waktu yang ada sebaik-baiknya. Ki Sardapa
harus bersedia bekerja keras untuk meningkatkan kemampuan
Ki Bekel sebelum saat itu tiba. Kita tidak tahu, kapan paman
Ki Bekel y ang bungsu itu akan datang," berkata Kiai Patah.
"Kami akan melakukannya Kiai," jawab Mahisa Murti,
"tetapi sudah tentu kami memerlukan petunjuk-petunjuk Kiai.
Waktunya sudah terlalu sempit, sehingga kami harus
mendapat petunjuk dari Kiai y ang sudah jauh berpengalaman
tentang kemungkinan-kemungkinan yang dapat terjadi dalam
perang tanding itu."
Kiai Patah mengangguk-angguk. Katanya, "Baiklah. Ki
Bekel jangan menyia-ny iakan waktu. Kita akan mulai pagi ini."
Ki Sardapa termangu-mangu. Namun kemudian katanya
dengan nada agak gugup, "Aku belum mempersiapkan diri."
"Jika kita memulainya hari ini, m aka kita akan mulai
dengan mempersiapkan diri," berkata Kiai Patah. Lalu
"Silahkan Ki Sardapa kembali dan masuk sanggar bersama
kedua anak muda itu. Baru kemudian aku akan ikut pula.
Besok atau lusa. Tetapi Ki Sardapa jangan membuang waktu."
Ki Sardapa tidak dapat menolak, ia pun kemudian
kembali ke rumahnya untuk selanjutnya mereka pun mulai
mempersiapkan diri untuk menjalani satu latihan y ang berat.
Sanggar di rumah Ki Sardapa bukan sanggar y ang
memenuhi syarat sebagaimana sanggar Mahendra di rumah
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat. Tetapi untuk kepentingan
yang khusus itu, maka sanggar itu pun telah memadai.
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat memang tidak dengan
serta merta membawa Ki Sardapa dalam satu latihan yang
berat. Tetapi Mahisa Murti dan Mahisa Pukat yang masih
muda itu berusaha untuk mengetahui dengan jela s, apa saja
yang pernah dikuasai dan dipelajari oleh Ki Sardapa dalam
olah kanuragan. Meskipun masih terlalu sedikit, tetapi hal itu masih
perlu diperhitungkan oleh kedua anak muda itu.
Dengan demikian, maka pada tahap pertama. Mahisa
Murti dan Mahisa Pukat hanya mempersilahkan saja Ki
Sardapa untuk berlatih sendiri. Dengan cermat keduanya
memperhatikan setiap unsur gerak y ang ditunjukkan oleh Ki
Sardapa. Semakin lama tata gerak Ki Sardapa pun menjadi
semakin cepat. Tangan dan kakinya terayun -ayun dengan
kuat. Sekali ia meloncat ke depan, kemudian meloncat ke
samping dan ke belakang. Tangannya kadang-kadang
bersilang di dada, kadang-kadang terangkat membuka, namun
kemudian sebelah tangannya dengan cepat bergerak
melingkar, sementara tangan y ang lain ditariknya dan
langsung menghantam lurus ke depan.
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat m engangguk-angguk.
Tata gerak yang dasar sekali sudah dikuasai oleh Ki Sardapa.
Ia mampu mengerahkan tenaga dan memusatkan nalar
budinya pada latihan y ang sedang dilakukannya, sehingga ia
pun akan dapat berbuat serupa di saat-saat ia bertempur
menghadapi lawannya. Dengan demikian, ternyata Ki Sardapa sudah
mempunyai modal y ang memadai sehingga keduanya akan
dapat meny esuaikan dengan kepentingan latihan-latihan yang
akan mereka berikan y ang pada dasarnya juga sekedar
mematangkan gerak dasar untuk menghadapi pamannya yang
bungsu, yang agaknya juga masih berlandaskan pada tata
gerak dasar ilmu kewadagan semata-mata.
Demikianlah, maka Mahisa Murti dan Mahisa Pukat
membiarkan Ki Bekel untuk berlatih beberapa lama. Keduanya
juga ingin tenaga dan kekuatannya y ang menurut penilaian
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat pengerahan tenaga itu sudah
hampir mencapai puncak kemampuannya.
Demikianlah, maka setelah beberapa lama Ki Bekel
berloncatan dan mengayun-ay unkan tangan dan kakinya,
maka mulailah Mahisa Murti dan Mahisa Pukat melihat,
bahwa batas y ang ditunggunya itu sudah sampai. Tenaga Ki
Bekel mulai su sut meskipun perlahan-lahan. Hanya orangorang
y ang mempunyai ketajaman pengamatan atas tata gerak
dalam olah kanuragan sajalah y ang sempat melihat batas itu.
Tetapi Mahisa Murti dan Mahisa Pukat masih
membiarkannya beberapa saat. Baru setelah semakin lama
kekuatan itu menjadi semakin su sut, keduanya saling
berpandangan. Ketika. Mahisa Pukat mengangguk kecil, maka
Mahisa Murti pun kemudian berkata sambil melangkah
mendekat. "Sudah Ki Bekel. Agaknya latihan ini sudah cukup
lama." Ki Bekel pun kemudian sedikit demi sedikit
mengendorkan latihan-latihan, sehingga akhirnya telah
berhenti sama sekali. Namun kemudian Ki Bekel pun dengan lemah telah
menjatuhkan dirinya dengan nafas yang terengah-engah,
duduk dengan kaki y ang menjelujur dan bertumpu pada kedua
tangannya. Mahisa Murti dan Mahisa Pukat tersenyum. Dengan
nada rendah Mahisa Murti berkata, "Jika Ki Bekel menghadapi
musuh, maka Ki Bekel akan terpaksa bergerak lebih banyak.
Karena itu maka Ki Bekel harus berusaha m eningkatkan daya
tahan tubuh dengan latihan-latihan y ang teratur. Tidak
dengan tiba -tiba mengadakan latihan sehari semalam yang
justru akan dapat m erusak kemungkinan y ang ada di dalam
diri Ki Bekel sendiri."
Ki Bekel mengangguk-angguk. Nafa snya masih
memburu lewat lubang hidungnya.
Sementara itu Mahisa Murti pun berkata, "Nah.
sekarang Ki Bekel harus membiasakan diri dan berlatih
mengatur pernafasan. Marilah, kita mencobanya agar nafas
kita tidak mengalir tidak beraturan sehingga kita memerlukan
waktu y ang terlalu lama untuk memulihkan pernafasan kita
kembali." Ki Bekel mengangguk-angguk pula. Sementara itu
Mahisa Pukat pun telah memberikan beberapa petunjuk
kepada Ki Bekel, bagaimana ia harus mengatur pernafasannya.
Mahisa Pukat pun kemudian duduk ber sila di hadapan
Ki Bekel. Kedua tangannya diletakkan di atas lututnya dengan
mengendorkan segala urat nadinya. Dengan teratur Mahisa
Pukat pun kemudian menarik nafas dalam-dalam dan
dilepaskannya perlahan-lahan. Diulanginya beberapa kali
sambil mempersiapkan seluruh tubuhnya agar tidak menjadi
tegang. Namun kedua anak muda itu pun telah mengajarkan
bahwa dalam mengatur pernafasan pun diperlukan pemusatan
nalar budi agar jalan pernafasannya itu menjadi cepat teratur
dan tidak terasa mengganggu lagi.
Kedua anak muda itu pun telah m emberi tahukan pula
kepada Ki Sardapa, bahwa semakin jauh ia mendalami
persoalan pernafasannya, maka banyak hal y ang akan dapat
dipetikny a. Dengan mengatur pernafasannya pada tataran
yang lebih tinggi, akan dapat membuatnya mampu
mengendalikan yang benar -benar akan dapat dikuasainya,
tetapi juga saluran tenaga cadangannya y ang akan dapat
memberikan kekuatan y ang sangat tinggi.
Karena itu maka kedua anak muda itu pun telah
memberikan pesan kepada Ki Sardapa dalam saat-saat ia
menempa diri, maka y ang harus dilakukannya, bangun di dini
hari, kemudian m elatih diri m engatur pernafasannya sebaikbaiknya.
"Kami akan memberikan petunjuk sesuai dengan
pengetahuan kami tentang hal itu, y ang kami pelajari dari
orang-orang yang pernah berbaik hati membimbing kami."
berkata Mahisa Murti. Ki Sardapa itu mengangguk sambil menjawab, "Aku
akan melakukan apa saja yang kalian perintahkan. Aku benarbenar
ingin mempersiapkan diri menghadapi paman yang
bungsu y ang telah memperlakukan saudaranya sendiri dengan
semena-mena. Jika ia tidak lagi menghormati saudara tuanya,
maka ia tentu benar -benar ingin membunuhku. Karena itu aku
harus bersiap sepenuhnya untuk bertalian agar aku tidak mati
karenanya. Kecuali jika memang harus demikian yang terjadi."
Niat dan kesediaan y ang tinggi dari Ki Sardapa itu tentu
akan banyak m enolongnya, karena dengan demikian maka Ki
Sardapa tentu akan bekerja dengan sungguh-sungguh dan
penuh tanggung jawab terhadap dirinya sendiri.
Untuk beberapa saat Mahisa Murti dan Mahisa Pukat
telah mempersilahkan Ki Sardapa beristirahat setelah
pernafasannya pulih kembali. Bahkan diper silahkan Ki
Sardapa untuk keluar dari sanggar menghirup udara yang
cerah di luar, atau barangkali ada pekerjaan lain yang harus
dilakukannya sebagai seorang bekel.
"Menjelang tengah hari kita akan mulai," berkata Mahisa
Murti. "Baiklah," jawab Ki Sardapa, "aku benar-benar m enjadi
lelah sekarang ini. Tetapi dengan kesempatan beristirahat ini,
aku akan menjadi segar kembali."
"Silahkan Ki Bekel melakukan apa saja," berkata Mahisa


03 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Pukat kemudian, "kami berdua juga ingin berbuat sesuatu
didalam sanggar. Mungkin mempersiapkan sanggar itu agar
sesuai dengan tingkat latihan-latihan yang harus Ki Bekel
lakukan." Ki Bekel mengangguk-angguk. Katanya, "Baiklah. Aku
ikan bertemu dengan para bebahu padukuhan ini."
Sementara Ki Bekel memanggil para bebahu, maka
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat telah mempersiapkan sanggar
yang sederhana itu untuk menempa Ki Bekel dalam olah
kanuragan. Beberapa j enis senjata yang ada akan dimanfaatkannya
sementara peralatan pun telah diatur sebaik-baiknya.
Beberapa buah patok, kayu telah dibenahi agar tidak menjadi
berbahaya. Palang-palang bambu dan kayu yang silang meny ilang
pun telah diatur sebaik-baiknya. Tali temali y ang kendur telah
dikuatkan sehingga tidak akan dapat terlepa s.
Ketika matahari menjadi semakin tinggi menjelang
sampai ke puncak, maka Mahisa Murti dan Mahisa Pukat telah
bersiap. Mereka pun kemudian menjenguk Ki Bekel di pendapa.
Ternyata masih ada beberapa orang bebahu yang berbincang
dengan Ki Bekel. Tetapi itu tidak lama. Sejenak kemudian
maka pertemuan itu pun telah selesai.
Ketika para bebahu telah meninggalkan rumahnya,
maka Ki Bekel pun kemudian bertanya, "Apakah kita akan
mulai sekarang?" "Jika Ki Bekel telah merasa cukup beristirahat, maka
kita akan dapat mulai sekarang," jawab Mahisa Murti.
"Aku sudah cukup beristirahat. Aku sudah m inum dan
makan beberapa potong makanan bersama para bebahu.
Sekarang aku siap untuk mulai lagi dengan latihan-latihan
yang betapa pun beratnya," berkata Ki Bekel mantap.
"Baiklah," sahut Mahisa Murti, "marilah. Kita akan pergi
ke sanggar." Demikianlah mereka bertiga pun telah kembali masuk ke
dalam sanggar. Beberapa saat lamanya Ki Bekel dipersilahkan untuk
mempersiapkan diri dengan gerakan-gerakan ringan. Baru
kemudian Mahisa Murti telah memberikan beberapa petunjuk
khusus tentang berbagai macam unsur gerak. Mula-mula Ki
Bekel memang masih harus menirukan dengan landasan
kemampuannya sendiri. Mahisa Murti pun harus
menyesuaikan diri dengan unsur-unsur gerak y ang sudah
dikuasai oleh Ki Bekel sehingga tidak akan menimbulkan
benturan kekuatan di dalam tubuh Ki Bekel itu.
Satu dua langkah Ki Bekel mulai m enirukan tata gerak
yang khusus diatas landasan unsur-unsur gerak yang lebih
umum. Beberapa kali Ki Bekel mengulanginya sehingga unsur
itu dapat dilakukannya dengan baik.
Tetapi itu bukan berarti bahwa Ki Bekel telah
menguasainya benar-benar. Setiap kali Mahisa Murti m asih
harus m emberikan penjelasan tentang unsur-unsur gerak itu.
Gunanya, wataknya dan kekuatan y ang tersimpan didalamnya.
Jika satu unsur telah dikuasainya, maka Mahisa Murti
memberikan unsur berikutnya beruntun sesuai dengan urutan
yang sudah mantap. Baru setelah beberapa unsur gerak dapat
dikuasainya, maka Mahisa Murti pun mempersilahkan Mahisa
Pukat untuk memberikan petunjuk penggunaannya
dihadapkan pada perlawanan yang mungkin terjadi.
Dengan demikian maka Ki Bekel bukan saja mampu
menirukan unsur-unsur gerak y ang diberitahukan oleh Mahisa
Murti, tetapi ia kemudian mampu mengenalinya sampai
kepada watak dan sifat-sifatnya. Dengan Mahisa Pukat, Ki
Bekel telah mempergunakan unsur -unsur gerak itu untuk
mengatasi serangan-serangan y ang datang dengan unsur gerak
yang mana pun juga, bahkan dengan unsur-unsur gerak yang
belum pernah dikenalnya sebelumnya dari keturunan
perguruan lain. Bahkan untuk mencari kesempatan, menyusup
pada pertahanan lawannya.
Demikianlah, setapak demi setapak Ki Bekel
mendapatkan kemajuan dalam ilmu kanuragan. Ia juga telah
berhasil m eningkatkan daya tahan tubuhnya. Setiap pagi, Ki
Bekel dengan teratur telah m elatih pernafasannya. Kemudian
berlari-lari menempuh jarak y ang semakin hari semakin jauh
meskipun tidak dengan memaksa diri. Kemudian untuk
menenangkan jantungnya yang berdegub semakin cepat, maka
setelah berlari-lari di dini hari. Ki Bekel telah kembali
mengatur pernafasannya pula.
Setelah beristirahat dan membenahi diri, kemudian
menyelesaikan tugas-tugasnya dengan memberikan pesanpesan
dan perintah kepada para bebahu padukuhan dan para
pengawal, maka Ki Bekel pun telah bersiap kembali memasuki
sanggarnya. Menempa diri dengan segenap hati dan
wadagnya. Ki Bekel berhenti berlatih, setelah matahari mulai turun
ke Barat. Sambil beristirahat, m aka Ki Bekel menyelesaikan
tugas-tugasny a yang tersisa setelah makan dan minum.
Kadang-kadang ia pergi melihat keadaan padukuhannya yang
mendesak. Menjelang senja, m aka Ki Bekel telah menekuni
kembali ilmu kanuragan bersama Mahisa Murti dan Mahisa
Pukat sampai saatnya malam menjadi sepi.
Demikianlah yang dilakukan Ki Bekel hampir setiap hari.
Hanya jika tugas-tugasnya memaksa, maka saat-saat latihan
itu- pun mengalami perubahan. Tetapi hal itu jarang sekali
terjadi. Ternyata paman bungsunya itu tidak segera datang
kepadanya. Beberapa lama Ki Bekel menunggu menempa diri.
Bahkan Ki Bekel pun telah sempat mempelajari ilmu pedang
dan mengenali beberapa jeni s senjata yang lain. Senjata tajam,
senjata tumpul dan senjata lentur.
"Senjata apakah y ang sering dipergunakan oleh paman
bungsu ki Bekel?" bertanya Mahisa Murti.
Ki Bekel menggeleng. Katanya, "Aku tidak tahu."
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat m engangguk-angguk.
Agaknya keadaan dan kemampuan lawan yang bakal dihadapi
oleh Ki Bekel itu masih gelap.
Tetapi sementara itu, Mahisa Murti dan Mahisa Pukat,
apalagi Ki Bekel menjadi gelisah, justru karena Kiai Patah
telah meninggalkan padukuhan itu. Kiai Patah sama sekali
masih belum memberikan latihan-latihan kepada Ki Bekel,
bahkan m enengok pun belum. Sehari setelah Ki Bekel mulai
dengan latihan-latihannya, maka Kiai Patah telah m inta diri
meninggalkan padukuhan itu untuk beberapa hari. Tetapi
sampai saat-saat yang semakin menegangkan. Kiai Patah
masih belum kembali. Bahkan Mahisa Murti dan Mahisa Pukat telah m enjadi
gelisah meskipun mereka berusaha untuk menenangkan
kegelisahan Ki Sardapa. "Jangan hiraukan orang lain," berkata Mahisa Murti
kepada Ki Sardapa, "yang penting bagi Ki Bekel adalah
menempa diri dengan sungguh-sungguh agar Ki Bekel berhasil
meningkatkan kemampuan Ki Bekel. Beberapa langkah Ki
Bekel sudah m enjadi semakin maju. Tetapi jika perhatian Ki
Bekel terlepas dari latihan-latihan y ang Ki Bekel lakukan,
maka latihan-latihan itu tidak akan ada gunanya lagi."
Ki Bekel memang berusaha untuk memusatkan
perhatiannya kepada latihan-latihannya. Ia berusaha pula
untuk tidak menghiraukan, apakah Kiai Patah akan kembali
atau tidak. Namun ternyata pada suatu hari, ketiga orang y ang
sedang berada di dalam sanggar itu telah dikejutkan oleh
kehadiran Kiai Patah. Karena itu maka dengan serta merta
ketiganya telah meny ongsongnya dan mempersilahkan Kiai
Patah untuk masuk. "Kiai membuat kami menjadi gelisah," berkata Ki Bekel.
Kiai Patah tersenyum. Katanya, "Aku m inta maaf. Aku
agaknya telah pergi terlalu lama. Namun akhirnya aku
berhasil." "Berhasil tentang apa?" bertanya Mahisa Pukat.
"Aku berusaha untuk mencari paman bungsu Ki Bekel.
Memang agak sulit. Tetapi dengan petunjuk beberapa orang
saudaranya akhirnya aku ketemukan juga. Untunglah bahwa
aku berhasil m erahasiakan diriku sehingga paman bungsu Ki
Bekel itu tidak mengenali aku. Aku berhasil menemuinya di
malam hari dalam kegelapan. Aku berhasil menjajagi ilmunya,
sehingga dengan demikian aku dapat mengenal meskipun
tidak tepat sekali, ukuran kemampuannya," jawab Kiai Patah.
Ki Bekel mengangguk-angguk, sementara Mahisa Murtipun
berkata, "Tetapi ia sedang dalam keadaan membajakan
dirinya. Karena itu pengenalan Kiai beberapa waktu yang lalu
akan berbeda dengan kemampuan dari Paman Ki Bekel itu
beberapa hari y ang akan datang."
"Aku mengerti. Tetapi aku pun dapat memperkirakan
seberapa jauh peningkatan kemampuan seseorang hanya
dalam beberapa hari. Sementara itu Ki Bekel pun setiap hari
masih juga meny empurnakan ilmu kanuragan yang ada dalam
dirinya," jawab Kiai Patah.
Mahisa Murti, Mahisa Pukat dan Ki Bekel menganggukangguk.
Sementara itu Kiai Patah pun berkata, "Adalah
kewajibanku berikutnya untuk menjajagi kemampuan Ki
Bekel." "Silahkan Kiai," jawab Mahisa Murti, "tetapi apakah Kiai
tidak merasa letih dari perjalanan."
"Aku sudah singgah di rumah. Aku sudah beristirahat,
bahkan minum dan makan. Sebentar berbaring sambil
mengendorkan ketegangan urat-urat kakiku," sahut Kiai
Patah. Mahisa Murti dan Mahisa Pukat m engangguk-angguk.
Dengan nada rendah Mahisa Murti berkata, "Jika demikian,
silahkan Kiai." Demikianlah maka Ki Bekel pun kemudian telah bersiap.
Kiai Patah yang ingin menjajagi kemampuan Ki Bekel itu telah
bersiap pula. Sementara Mahisa Murti dan Mahisa Pukat telah
berdiri di tepi arena untuk menyaksikan hasil latihan-latihan
Ki Bekel selama ia menempa diri mempersiapkan perang
tanding melawan pamannya yang bungsu.
Sesaat kemudian, maka terdengar Kiai Patah berkata,
"Bersiaplah Ki Bekel. Aku akan mulai."
Ki Bekel bergeser setapak. Sementara itu Kiai Patah pun
telah mulai meny erang. Dengan cepat Ki Bekel m enghindar. S ekaligus berputar
sambil mengayunkan kakinya. Tetapi kaki itu sama sekali
tidak m engenai sasarannya, karena Kiai Patah telah bergeser
surut. Tetapi ternyata Kiai Patah pun bergerak dengan cepat.
Sebelum ayunan kaki yang berputar itu meny entuh tanah. Kiai
Patah telah melenting meny erang dengan ujung jari-jarinya
yang m erapat lurus mengarah ke dada. Namun Ki Bekel lah
yang kemudian meloncat sambil memiringkan tubuhnya
sehingga tangan Kiai Patah itu tidak mengenainya.
Demikianlah pertempuran itu semakin lama menjadi
semakin cepat. Kiai Patah semakin meningkatkan seranganserangannya
sehingga Ki Bekel pun harus bekerja lebih keras
untuk mengimbanginya. Pertempuran itu kemudian telah berlangsung beberapa
lama. Setingkat demi setingkat Kiai Patah m enambah tataran
ilmu kanuragan yang dipergunakannya untuk menjajagi
kemampuan Ki Bekel. Sehingga akhirnya Kiai Patah sampai
pada batas kemampuan Ki Bekel itu. Beberapa kali tangan Kiai
Patah berhasil meny entuh tubuh Ki Bekel, sementara Ki Bekel
telah berjuang sejauh dapat dilakukannya. Namun ternyata
bahwa ia tidak dapat menghindarkan diri dari sentuhansentuhan
tangan Kiai Patah. Ketika sentuhan-sentuhan itu
terasa semakin menyakitinya, maka Ki Bekel telah berjuang
semakin keras. Namun kemampuan Ki Bekel m emang masih
terbatas. Beberapa saat kemudian, maka Kiai Patah y ang telah
berhasil menjajagi kemampuan Ki Bekel itu telah
mengendurkan serangan-serangannya. Sambil meloncat surut,
maka Kiai Patah pun kemudian berdesis, "Cukup Ki Bekel.
Ternyata aku telah dapat menilai tataran kemampuan Ki
Bekel." Ki Bekel yang telah mengerahkan segenap
kemampuannya itu pun telah bergeser pula. Ternyata bahwa
dengan mengerahkan segenap kemampuan dan tenaganya,
maka Ki Bekel harus mengatur pernafasannya sebagaimana
petunjuk yang diberikan oleh Mahisa Murti dan Mahisa Pukat,
agar ia tidak menjadi terengah-engah kelelahan.
Karena itu. maka Ki Bekel m emerlukan waktu beberapa
saat sehingga akhirnya nafasnya menjadi lancar kembali.
Kiai Patah yang m enyaksikan cara Ki Bekel mengatur
pernafasannya itu pun mengangguk-angguk sambil
tersenyum. Katanya, "Ternyata sudah banyak kemajuan yang
didapat oleh Ki Bekel. Bukan saja tentang olah kanuragan,
namun juga cara untuk menenangkan diri. Bukan sekedar
menunggu sampai pernafasannya pulih kembali, t etapi Ki
Bekel sudah tahu cara untuk mengatur pernafasannya dengan
baik." Ki Bekel y ang nafasnya mulai teratur kembali telah
menjawab pula, "Jangan terlalu memuji Kiai. Aku belum apaapa.
Namun y ang penting ingin aku ketahui adalah apa yang
ingin Kiai katakan tentang ilmu y ang aku pelajari dengan yang
Kiai jajagi pada paman bungsu itu."
Kiai Patah menarik nafas dalam-dalam. Katanya
kemudian, "Itulah yang ingin aku bicarakan dengan kalian."
"Apakah Kiai sudah dapat mengambil satu kesimpulan?"
bertanya Mahisa Pukat. Kiai Patah menggelengkan kepalanya. Dengan nada
datar ia berkata, "Aku tidak dapat mengatakan atau mendugaduga
apa yang akan terjadi."
"Kenapa?" bertanya Mahisa Murti.
"Aku telah melihat kemajuan y ang pesat pada ilmu Ki
Bekel. Dan itu telah membesarkan hatiku, ternyata bahwa
paman bungsu Ki Bekel itu juga telah meningkatkan ilmunya
pula Menurut pengamatanku, sulit untuk diperhitungkan
sebelumnya, ilmu siapakah di antara keduanya y ang lebih
mapan. Tetapi satu hal y ang dapat aku katakan, bahwa sampai
hari ini, kemungkinan yang dapat terjadi pada keduanya
adalah sama besarnya," berkata Kiai Patah kemudian dengan


03 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sungguh-sungguh. Mahisa Murti dan Mahisa Pukat saling berpandangan
sejenak. Sementara itu Kiai Patah berkata pula, "Tetapi
seandainya pada saatnya keduanya masih juga memiliki
keseimbangan yang setingkat, maka itu adalah jauh lebih baik
daripada Ki Bekel tidak meningkatkan ilmunya sama sekali.
Dengan demikian Ki Bekel akan ketinggalan jauh, sehingga
kemungkinan m engalami kesulitan jauh lebih besar ada pada
Ki Bekel daripada paman bungsunya."
Ki Bekel m engangguk-angguk. Katanya, "Apa pun y ang
akan terjadi, aku tidak akan ingkar jika paman bungsu itu
benar-benar datang menantang aku untuk berperang tanding.
Sekarang pun aku sudah siap. Mati bukan lagi masalah bagiku.
Tetapi aku harus menghadapinya sebagai seorang laki-laki."
"Baiklah," berkata Kiai Patah, "aku memang sudah
menduga. Namun dengan demikian. Ki Bekel harus
mempergunakan saat-saat terakhir ini lebih baik lagi. Paman
bungsu Ki Bekel itu meskipun hanya selapis tipis, namun
agaknya juga telah meningkat pula."
"Aku akan melakukannya Kiai," jawab Ki Bekel.
"Tetapi ingat, bahwa Ki Bekel jangan menghabiskan
semua tenaga pada latihan-latihan y ang Ki Bekel lakukan. Jika
demikian, maka jika saat itu datang. Ki Bekel benar-benar
telah kehabisan tenaga," berkata Kiai Patah pula.
Ki Bekel mengangguk lemah. Namun kehadiran Kiai
Patah membuatnya semakin mantap. Apalagi di saat-saat
berikutnya Kiai Patah telah ikut serta berada dalam sanggar.
Dengan berbagai macam ilmu y ang dikuasainya. Kiai Patah
telah memberikan pengalaman kepada Ki Bekel
mempergunakan ilmu yang sudah dikuasainya, serta
memberikan beberapa kemungkinan untuk
mengembangkannya. Latihan-latihan y ang berat telah
membuka penglihatan Ki Bekel semakin luas atas olah
kanuragan. Mahisa Murti dan Mahisa Pukat lah y ang kemudian
bertugas untuk menuntun agar tingkat ilmu kanuragan Ki
Bekel meningkat. sementara Kiai Patah memberikan
pengalaman-pengalaman dalam benturan-benturan ilmu,
sehingga dengan demikian m aka m eskipun hanya di dalam
sanggar, tetapi Ki Bekel seolah-olah telah pernah mengembara
dan bertemu dengan berbagai macam lawan dengan jenis-jenis
ilmunya masing-masing. Termasuk penggunaan beberapa
jenis senjata. Demikianlah, maka Ki Bekel telah menunggu
kedatangan paman bungsunya dengan persiapan yang mapan.
Sementara itu, ternyata kedua pamannya y ang lain telah
bertekad untuk tidak meninggalkan Ki Bekel. Pamannya yang
terluka yang kemudian telah menjadi sembuh, ingin melihat
apakah yang akan terjadi. Apakah adikny a yang bungsu benarbenar
akan datang untuk menantang Ki Bekel.
Ternyata bahwa yang pernah dikatakan oleh pamannya
yang bungsu itu untuk m enantang Ki Sardapa, benar-benar
terjadi. Adalah tidak diduga -duga, bahwa pamannya yang
bungsu itu telah datang ke rumah Ki Sardapa seorang diri.
"Marilah paman," Ki Sardapa mempersilahkan.
"Tidak," jawab pamannya y ang bungsu itu, "aku hanya
ingin berbicara beberapa patah kata kepadamu."
"Tentang apa?" bertanya Ki Sardapa.
"Apakah salah seorang pamanmu tidak ada y ang datang
kemari?" bertanya pamannya y ang bungsu.
"Ya Paman. Seorang y ang terluka parah, y ang
mengatakan apa y ang telah paman bungsu lakukan dan apa
pula y ang akan paman lakukan kemudian," jawab Ki Sardapa.
"Jadi kau sudah tahu?" bertanya pamannya y ang
bungsu. "Jika benar y ang paman katakan tentang paman
bungsu," jawab Ki Bekel.
"Apa yang dikatakannya?" bertanya paman bungsu.
" Itu persoalanku. Tetapi apa yang akan paman lakukan
sekarang di sini?" bertanya Ki Sardapa.
"Baik. Aku tidak usah berputar-putar. Aku ingin
menantangmu meny elesaikan persoalan kita sebagai laki-laki.
Aku tidak mau lagi bekerja dengan orang lain y ang pengecut
dan tidak tahu diri. Nah, sekarang terserah kepadamu, apakah
kau menerima tantanganku untuk berperang tanding," berkata
paman bungsu itu. Ki Sardapa menarik nafas dalam-dalam. Ternyata hal itu
benar dilakukan oleh pamannya y ang bungsu itu.
Tetapi Ki Sardapa memang sudah siap. Karena itu maka
ia pun berkata, "Aku memang sudah menunggu paman."
Dahi pamannya itu berkerut. Dengan nada tinggi ia
bertanya, "Jadi kau tidak gentar menghadapi aku?"
"Kenapa aku harus gentar" Bukankah aku juga laki -laki
seperti paman" Aku tidak m engatakan bahwa aku akan dapat
memenangkan perang tanding itu. Tetapi aku pun tidak
mengatakan bahwa aku sekedar akan m embunuh diri," jawab
Ki Sardapa. "Bagus," geram pamannya yang bungsu, "aku tidak
mengira bahwa kau akan dengan serta merta menerima
tantanganku. Aku kira kau akan merengek minta bantuan
kawan-kawanmu itu." "Paman terlalu menghina aku," jawab Sardapa, "lalu apa
yang paman sy aratkan dalam perang tanding itu."
"Aku akan datang tengah bulan ini. Aku akan berada di
pinggir hutan dekat dengan bukit karang. Kita akan berperang
tanding di bawah pohon randu alas. Meskipun aku tidak
menaruh kepercayaan lagi kepada saudara-saudaraku, tetapi
mereka akan menjadi saksi. Mereka akan m elihat, bagaimana
caraku membunuhmu," berkata pamannya y ang bungsu itu
dengan penuh kebencian. "Bagus," jawab Ki Bekel, "aku juga akan membawa sak si.
Selain paman y ang kau lukai, paman Panonjaya, adalah juga
tiga orang yang telah membantuku selama ini. Mereka tidak
akan mengganggu perang tanding itu, karena mereka
menghargai aku, bahwa aku adalah seorang laki -laki."
"Masih ada waktu bagimu untuk meratapi nasibmu.
Tengah bulan itu akan ditandai oleh bulan purnama. Ma sih
ada waktu sepuluh hari lagi sejak sekarang," berkata
pamannya y ang bungsu itu pula.
"Waktu yang cukup panjang untuk mempersiapkan diri.
Dalam sepuluh hari, aku akan mampu m eningkatkan ilmuku
sejajar dengan kemampuan paman," sahut Ki Sardapa.
Pamannya y ang bungsu mengerutkan keningnya.
Namun kemudian ia tertawa. Semakin lama semakin keras.
Lalu katanya, "Kau memang terlalu dungu Sardapa. Aku sudah
mengira. Kenapa kau tidak mempersiapkan dirimu sejak
pamanmu y ang aku lukai itu mengatakan kepadamu"
Bukankah aku telah memberimu waktu cukup panjang agar
aku mendapat melawan y ang pantas" Aku akan sangat kecewa,
jika dalam satu dua kejap kau sudah akan kehilangan
kemampuan untuk melawan dan mengalami kematian dengan
cara yang paling pahit. Tetapi itu tentu akan terjadi atasmu
dihadapan paman-pamanmu yang pengecut itu."
Ki Sardapa menarik nafas dalam-dalam. Katanya,
"Paman sudah mulai berusaha mengecilkan hatiku. Tetapi
ingat paman. Aku sudah mantap. Apa pun y ang akan terjadi.
Aku akan datang ke bukit karang di pinggir hutan. Aku akan
berada di bawah randu alas itu demikian bulan ada di langit."
Melihat sikap Ki Sardapa yang mantap dan sama sekali
tidak menunjukkan keragu-raguan, maka justru pamannya
yang bungsu itu m enjadi heran. Tetapi ia tidak tahu, apakah
yang mendor ong Sardapa bersikap demikian.
"Apakah Sardapa akan menjadi curang dengan menjebak
aku" " pertanyaan itu yang justru timbul didalam hatinya.
Namun paman bungsu itu berkata pula didalam hatinya,
"Aku- pun tidak sendiri. Jika ia m enjebakku, maka orang itu
akan menyesal." Paman Ki Sardapa itu pun tidak berbicara terlalu
banyak. Sejenak kemudian ia pun berkata dengan nada berat,
"Aku akan pergi sekarang. Mudah-mudahan kau benar-benar
seorang laki-laki, sehingga kau benar -benar akan datang ke
tempat itu." "Paman tidak u sah ragu-ragu," berkata Ki Sardapa,
"bahkan akulah yang berharap agar paman benar-benar
datang." "Persetan kau. Siapa y ang mengajarimu menjadi
sombong begitu?" geram pamannya.
"Paman. Sikap dan tingkah laku paman telah
memberikan dor ongan kepadaku untuk sedikit m engimbangi
kesombongan paman," jawab Ki Sardapa.
"Anak iblis," suara Ki Sardapa menjadi bergetar oleh
kemarahan, "jika aku tidak terikat pada janjiku menunggumu
di bukit karang itu, maka kau sudah aku bunuh sekarang."
"Kenapa paman tidak melakukannya. Hanya karena aku
menghormati paman sajalah maka aku tidak membunuh
paman sekarang," jawab Sardapa.
Gigi Ki Sardapa menjadi gemeretak. Tetapi ia masih
menahan diri. Dengan serta merta maka ia pun telah
meninggalkan tempat itu agar darahnya tidak terlanjur
mendidih. Demikian orang itu pergi, maka Ki Sardapa pun telah
menemui orang-orang yang sedang berada di rumahnya dan
memberikan tuntunan ilmu kanuragan kepadanya. Ki Sardapa
pun telah menceriterakan pembicaraannya dengan pamannya,
bahwa mereka benar-benar akan berperang tanding.
"Ki Bekel harus mempersiapkan diri sebaik-baiknya,"
berkata Kiai Patah. "Aku sudah siap lahir dan batin. Apa pun yang terjadi
tidak akan dapat mengguncangkan tekadku ini," jawab Ki
Sardapa, "betapa hormatku kepada orang-orang y ang dalam
hubungan keluarga lebih tua dari aku, m eskipun barangkali
umurnya tidak. Namun terhadap paman bungsu aku benarbenar
tidak lagi dapat berbuat lain kecuali berlaku kasar."
"Baiklah," berkata Kiai Patah, "ternyata pamanmu masih
berbaik hati memberikan waktu sepuluh hari kepadamu.
Waktu akan menjadi sangat berharga Ki Bekel. Tetapi ingat,
jangan kau peras tenagamu sekarang sampai habis, sehingga
jika saat itu datang, m aka kau telah benar-benar kehabisan
tenaga dan tidak mampu lagi mengimbangi ilmu kanuragan
pamanmu itu." Demikianlah, maka saat-saat yang menegangkan itu
bagaikan melangkah setapak demi setapak mendekat. Jika
hari lewat satu-satu maka rasa-rasanya ketegangan pun
bertambah-tambah pula mencengkam jantung.
Ki Bekel ternyata telah mempergunakan kesempatan itu
sebaik-baiknya, ia berlatih dengan teratur, namun tidak
menyiksa diri serta menguras tenaga. Waktu y ang ada
dipergunakannya untuk mendalami watak dan sifat setiap
unsur gerak yang dikuasainya. Dengan tekun Ki Bekel
berusaha untuk mengetrapkan kemampuannya menghadapi
jenis-jenis ilmu y ang lain. Namun semakin dekat dengan saat
yang dijanjikan, maka Ki Bekel pun menjadi semakin banyak
beristirahat untuk meny impan tenaga sehingga pada saatnya
ia akan dapat turun ke arena dengan kekuatan y ang bulat.
Sehari sebelum hari y ang ditentukan, maka Ki Bekel
telah mempersiapkan diri sebulat -bulatnya. Senjatanya pun
telah disiapkannya pula. Bahkan Ki Bekel pun telah
menghentikan segala kegiatannya, selain justru mendalami
cara pengaturan nafas yang sebaik-baiknya.
Karena itu maka ketika saat itu datang, keadaan Ki Bekel
benar-benar pada puncak kesegarannya.
Menj elang senja, Ki Bekel pun telah bersiap. Kiai Patah,
Mahisa Murti, Mahisa Pukat, Ki Panonjaya dan seorang
pamannya y ang pernah dilukai oleh paman bungsunya telah
bersiap pula. Tanpa memberitahukan kepada para bebahu dan
apalagi para pengawal padukuhan, maka Ki Bekel pun telah
meninggalkan padukuhannya.
Seperti y ang dijanjikan oleh Ki Bekel, maka pada saat
bulan naik. ia sudah berada dibawah pohon randu alas.
Tempat yang dijanjikan bersama untuk mengadakan perang
tanding. Namun ternyata paman bungsu Ki Sardapa itu masih
belum ada ditempat itu. Tetapi Ki Sardapa tidak perlu terlalu lama menunggu.
Ketika bulan mulai m emanjat langit, maka mereka yang telah
berada di bawah randu alas itu telah dikejutkan oleh suara
tertawa yang menghentak-hentak jantung.
Orang-orang y ang berada dibawah randu alas itu pun
segera menyadari, bahwa lawan Ki Sardapa telah datang.
Sebelum muncul dihadapan Ki Sardapa, maka agaknya ia telah
berusaha untuk menunjukkan kelebihannya.
Tetapi Ki Sardapa yang telah melatih diri lahir dan batin
itu sama sekali tidak tergetar karenanya. Ia pun telah
meningkatkan daya tahannya dan mengatur pernafasannya
baik-baik sehingga suara tertawa itu tidak mengguncangkan isi
dadanya. Kiai Patah lah y ang kemudian mengajak orang-orang
yang datang bersamanya untuk melangkah surut menjauhi Ki
Sardapa y ang kemudian berdiri seorang diri dibawah pohon
randu alas itu. Namun demikian Kiai Patah dan y ang lain
memang tidak berada t erlalu jauh daripadanya, sehingga jika
terjadi kecurangan, maka mereka masih mempunyai
kesempatan untuk berbuat sesuatu.
Untuk beberapa saat lamanya Ki Sardapa masih berdiri
tegak sambil mendengarkan suara tertawa yang
mengumandang terpantul oleh bukit karang.
Namun akhirnya Ki Sardapa itu pun menjadi muak
mendengar suara tertawa itu. Katanya, "Jangan bermain-main
dengan cara y ang tidak pantas itu. Kemarilah. Kita sudah
terlalu tua untuk bermain-main dengan caramu itu."
Suara tertawa itu pun tiba-tiba telah berhenti. Yang
terdengar kemudian suara orang itu, "Kau terlalu sombong
Sardapa. Tetapi lakukanlah pada saat-saat terakhir jika itu
dapat memberimu kepuasan."
Ki Sardapa tidak menjawab. Tetapi ia hampir tidak sabar
menunggu. Baru beberapa saat kemudian seseorang telah
melangkah dari balik bukit karang.
Dengan langkah yang mantap orang itu berjalan ke
pohon randu alas. Sementara Ki Sardapa telah m enunggunya


03 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dengan tegang. Baru sejenak kemudian maka beberapa orang yang lain,
yang akan menjadi saksi dari perang tanding itu telah muncul
pula dari balik batu karang itu. Saudara-saudara laki-laki dari
ibu tiri Ki Sardapa. Namun sebagaimana dikatakan oleh
pamannya yang bungsu, mereka sebenarnya menentang
rencana perang tanding itu. Karena mereka mengharap bahwa
persoalan di antara Ki Sardapa dengan paman-pamannya itu
sudah dapat dianggap selesai.
Meskipun demikian, mereka telah memenuhi
permintaan adik mereka yang bungsu untuk menyaksikan
perang tanding itu. T etapi mereka tidak lagi dibekali dengan
perasaan dendam di dalam hati. Mereka justru ingin m elihat
perang tanding itu berlangsung dengan jujur, meskipun
mereka merasa cemas akan nasib Ki Sardapa. Menurut
pengenalan mereka. Ki Sardapa bukan seorang yang memiliki
ilmu yang cukup untuk mengimbangi adik mereka yang
bungsu yang telah menempa diri untuk beberapa lama.
Demikianlah, beberapa saat kemudian, maka Ki Sardapa
dan pamannya yang bungsu telah berdiri berhadapan di
bawah sebatang pohon randu alas y ang besar. Sementara itu.
langit pun m enjadi semakin cerah karena bulan y ang bulat
memanjat semakin tinggi. "Aku kira kau tidak akan berani datang Sardapa,"
berkata pamannya y ang bungsu itu.
"Paman memang terlalu m erendahkan aku. Aku sadari
itu. Tetapi aku tidak akan m erasa rendah diri karenanya atau
merasa bahwa cara yang paman pergunakan untuk
mengguncang perasaanku itu akan berhasil," jawab Ki
Sardapa. "Anak iblis," geram paman bungsu itu, "sebentar lagi kau
akan mati. Nah, sebelumnya masih ada kesempatan bagimu.
Barangkali ada beberapa pesanmu. Kau dapat
menyampaikannya kepada saksi-saksimu."
Ki Sardapa menggeleng. Katanya, "Aku sudah
meninggalkan pesan kepada m ereka, agar mereka tidak usah
mengganggu perang tanding ini. Baru jika paman sudah mati,
mereka aku pesankan untuk m embantuku m engubur paman
di bawah randu alas ini."
"Tutup mulutmu," paman bungsunya membentak, "aku
koy ak mulutmu." "Paman tidak u sah berteriak-teriak begitu. Jika paman
ingin melakukan, maka tidak akan ada orang y ang dapat
menghalangi. Itu jika paman mampu, karena aku tentu akan
membela diri," jawab Ki Bekel.
Pamannya y ang bungsu itu ternyata tidak dapat
menahan diri lagi. Karena itu, maka tiba-tiba saja ia telah
meloncat menerkam mulut Sardapa.
Tetapi Sardapa yang memang dengan sengaja membakar
hati pamannya itu telah bersiap menghadapi kemungkinan itu.
Ia sengaja membuat penalaran pamannya menjadi kabur oleh
kemarahannya. "Karena itu, ketika serangan itu datang, maka Ki
Sardapa dengan sedikit bergeser telah mampu membebaskan
dirinya dari serangan itu. Bahkan dengan serta merta, Ki
Sardapa telah membalas meny erang dengan garang pula.
Pamannya y ang bungsu itu terkejut. Ia tidak mengira
bahwa Sardapa akan mampu bergerak secepat itu, sehingga
hampir saja kaki Sardapa mengenai pelipisny a.
Dengan demikian, maka pertempuran itu pun segera
telah meningkat. Pamannya y ang bungsu ingin
membanggakan kemampuannya dihadapan saudarasaudaranya.
Ia ingin dengan cepat menyelesaikan Sardapa dan
membunuhnya dengan caranya. Dengan demikian maka ia
telah membuktikan bahwa ia dapat m elakukan pekerjaan itu
sendiri tanpa bantuan siapa pun juga.
Tetapi ternyata bahwa paman bungsu itu tidak dapat
melakukan rencananya itu sebaik-baiknya. Sardapa ternyata
tidak terlalu mudah untuk diselesaikan. Bahkan semakin cepat
ia bergerak. Sardapa pun bergerak secepat y ang dilakukannya
pula. "Dari mana iblis ini m endapatkan kemampuannya itu?"
geram paman bungsu itu didalam hatinya.
Namun ia tidak mengingkari kenyataan, bahwa Ki
Sardapa itu pun ternyata benar-benar mampu
mengimbanginya. Bukan saja kecepatan geraknya, tetapi juga
kekuatan dan kemampuannya.
Dengan demikian, maka pertempuran itu pun telah
meningkat semakin sengit. Ki Sardapa y ang telah menempa
dirinya dengan bersungguh-sungguh itu telah menempatkan
dirinya sebagai lawan yang sangat tangguh dihadapan paman
bungsunya. Dengan latihan-latihan yang berat, maka Ki Sardapa
tidak terkejut lagi m enghadapi kemampuan ilmu kanuragan
paman bungsunya itu. Berbagai jenis ilmu telah dihadapinya
meskipun ilmu-ilmu itu dilepaskan hanya oleh orang-orang
yang bersamanya berada di banjar. Namun rasa-rasanya Ki
Sardapa telah menempuh pengembaraan yang panjang dan
bertemu dengan orang-orang dari berbagai perguruan.
Dengan demikian, maka Ki Sardapa itu pun dapat
menghadapi ilmu paman bungsunya dengan tenang. Ia sudah
terlatih untuk mengambil sikap dengan cepat jika ia
menghadapi unsur-unsur gerak y ang belum pernah
dijumpainya sebelumnya. Paman bungsu Ki Sardapa itu benar-benar menjadi
heran. Sardapa masih juga mampu meningkatkan
kemampuannya di saat-saat pamannya berusaha untuk
menyelesaikannya. Bahkan ketika mereka cukup lama
bertempur, Ki Sardapa lah y ang mulai menekan paman
bungsunya itu. Paman bungsunya mengumpat kasar. Dengan
kemarahan y ang menghentak-hentak jantung ia berusaha
untuk mengerahkan kemampuannya sampai ke puncak.
Namun ia tidak berhasil mendesak dan apalagi m enguasai Ki
Sardapa. Bahkan ketika ia mencoba memaksa meny erang ke arah
kening Ki Sardapa pada kesempatan y ang kurang
menguntungkan, maka Ki Sardapa sempat mengelak dengan
bergeser setapak ke samping. Namun kemudian kakinyalah
yang terayun mendatar. Satu hempasan y ang keras sekali telah mengenai
dadanya. Justru pada saat paman bungsunya itu berusaha
untuk mengambil jarak setelah serangannya tidak m engenai
sa sarannya. Demikian kerasnya sehingga paman bungsu Ki
Sardapa itu terdorong beberapa langkah surut. Hampir saja ia
kehilangan keseimbangan. Namun dengan susah payah ia
telah berhasil bertahan untuk tidak jatuh tertelentang.
Ki Sardapa ternyata memberinya kesempatan untuk
memperbaiki keseimbangannya. Bahkan dengan nada rendah
Ki Sardapa berkata, "Silahkan paman mencoba untuk tegak
lebih dahulu." "Anak iblis," geram paman bungsunya, "kau memang
terlalu sombong. Kau sama sekali tidak merasa, betapa dengan
belas kasihan aku masih memberi kesempatan untuk
memperpanjang umurmu barang sesaat. Ternyata kau
mengartikan seolah-olah kau mampu mengimbangi ilmuku."
Ki Sardapa mulai muak mendengar kata-kata pamannya
itu. Karena itu maka sebelum pamannya itu selesai berbicara,
maka Ki Sardapa telah meloncat dengan garangnya meny erang
pamannya itu. Satu kakinya terjulur ke samping sementara
tubuhnya yang seakan-akan mendatar itu bagaikan terbang
meluncur dengan derasnya.
Paman bungsunya tidak sempat mengelakkan dirinya.
Kaki Ki Sardapa itu seakan-akan tiba-tiba saja telah terjulur
menggapai dadanya begitu ia selesai berbicara.
Terdengar keluhan tertahan. Paman bungsu Ki Sardapa
itu merasa seakan-akan segumpal batu padas telah
menghantam dadanya sehingga karena itu, maka pamannya
itu telah terdorong beberapa langkah surut. Betapa pun ia
berusaha namun ternyata bahwa ia tidak mampu
mempertahankan keseimbangannya lagi. Karena itu maka
paman bungsu Ki Sardapa itu justru telah menjatuhkan
dirinya. Namun secepat itu pula ia telah melenting berdiri.
Ki Sardapa tidak meny ia-ny iakan kesempatan itu.
Demikian paman bungsu itu tegak, maka Ki Sardapa pun telah
meloncat menyerang pula. Tangannya terjulur lurus ke
dadanya ketika kakinya meloncat maju selangkah panjang.
Sekali lagi dada paman Ki Sardapa bagaikan pecah
karenanya. Sekali lagi pula paman bungsu itu telah terlempar
beberapa langkah surut. Namun paman bungsu itu tidak mau
mengalami nasib y ang sama. Karena itu m aka ia pun telah
menjatuhkan diri dan berguling beberapa kali. Baru kemudian
ia telah berusaha untuk meloncat bangkit, namun dalam
kesiagaan sepenuhnya. Ki Sardapa tidak memburunya. Dibiarkannya pamannya
tegak berdiri. Namun ternyata bahwa dadanya benar-benar
bagaikan akan pecah. "Setan kau. Sardapa," geram paman bungsunya.
Ki Sardapa tidak menjawab. Tetapi ia sudah bersiap
menghadapi segala kemungkinan.
Sementara itu paman bungsunya tidak lagi dapat
mengingkari keny ataan. Ternyata Sardapa bukannya orang
yang lemah sebagaimana diduga. Dalam benturan kekerasan
yang terjadi, paman bungsu itu sama sekali tidak berhasil
mengalahkan Ki Sardapa. Apalagi membunuhnya dengan cara
yang sudah direncanakannya.
Karena itu maka paman bungsu itu telah
mempergunakan kemungkinan yang terakhir. Dengan
kemarahan yang bagaikan membakar jantung, m aka ia telah
menarik senjatanya. Sebuah pedang yang menggetarkan
jantung. Pedang y ang punggungnya ternyata bergerigi tajam.
Ki Sardapa menarik nafas dalam-dalam. Ia sudah
mencoba ilmu pedangnya untuk melawan berbagai macam
senjata. Tetapi di sanggarnya tidak terdapat senjata seperti
yang kemudian digenggam oleh paman bungsunya itu.
Namun latihan-latihannya y ang berat serta usahanya
untuk melatih diri m enanggapi keadaan dengan cepat, telah
memantapkannya untuk menghadapi senjata pamannya yang
mengerikan itu. "Kau tahu apa artinya senjata y ang telah aku tarik dari
sarungnya ini?" geram paman bungsu itu.
Ki Sardapa tidak menjawab. Tetapi perlahan-lahan ia
melangkah maju. "Dengar Sardapa," berkata paman bungsunya itu, "kau
lebih baik mengetahui bagaimana kau akan m ati. Aku akan
mempergunakan punggung pedangku ini untuk memotong
lehermu." Ki Sardapa menggeram. Namun ia tidak menjawab.
Sementara itu, orang-orang yang menjadi saksi dari
pertempuran itu pun menjadi berdebar-debar. Mereka tidak
melihat dengan jelas jenis senjata paman bungsu Ki Sardapa
itu. Namun ketika senjata itu sempat memantulkan cahaya
bulan yang menyusup dedaunan, m aka mereka pun m enjadi
berdebar-debar. Punggung pedang itu agak lain dengan
punggung pedang kebanyakan.
Sementara itu Ki Sardapa telah menggenggam pedang
pula di tangannya. Ia telah m eyakini bahwa ilmu pedangnya
tentu akan dapat melawan ilmu pamannya dengan senjata
jenis apa pun yang akan dipergunakannya. Bahkan betapa pun
bentuknya, namun senjata y ang dibawa pamannya itu
penggunaannya tidak akan jauh berbeda dengan pedang bia sa,
meskipun ujudnya lebih menggetarkan jantung.
"Paman," berkata Sardapa kemudian, "seperti kepada
paman-paman yang lain, aku m enawarkan peny elesaian yang
lebih baik daripada saling membunuh."
Tetapi paman bungsunya itu tertawa. Semakin lama
semakin keras, sehingga daun-daun randu alas itu pun telah
berguncang. Yang telah m enguning ternyata tidak lagi dapat
tetap bergayut pada cabang dan ranting-ranting sehingga jatuh
berguguran. "Kau mulai ketakutan," berkata pamannya.
"Tidak," jawab Sardapa, "kenapa aku takut" Paman tidak
dapat menipu diri sendiri, bahwa ilmuku ternyata mampu
mengimbangi kemampuan paman. Paman tidak dapat dengan
semudah y ang paman duga untuk membunuhku."
"Tetapi kau tentu ngeri melihat punggung pedangku.
Kau merasa lehermu seakan-akan telah m enjadi ny eri, pedih
dan sakit bukan buatan," sahut paman bungsunya. Lalu "Jika
demikian Sardapa. Untuk m engurangi penderitaanmu, m aka
letakkan senjatamu. Berjongkoklah, dan serahkan lehermu.
Aku akan m enebas lehermu dengan tajam pedangku. Tidak
dengan punggungnya."
Tetapi Ki Sardapa lah y ang tertawa. Meskipun tidak
meruntuhkan dedaunan, namun suara tertawanya sangat
menyakitkan hati paman bungsunya. Di sela-sela suara
tertawanya. Ki Sardapa berkata, "Ternyata keberanianmu
tidak sebagaimana besar kata-katamu. Kau harus
memenangkan perang tanding ini dengan ilmu kanuragan.
Tidak sekedar bermain dengan kata-kata untuk
mempengaruhi perasaanku, sehingga akhirnya aku berlutut
menyerah dihadapan kakimu. Bukankah cara itu adalah cara
yang sangat licik?" Kemarahan paman bungsunya telah naik ke kepala.
Karena itu tanpa m enjawab ia telah m eloncat m engayunkan
pedangnya. Ki Sardapa telah bersiap. Dengan tangkasny a ia
mengelak ke samping Namun ternyata paman bungsunya telah
menarik pedangnya, tetapi dengan cepat bergeser ke arah
lengan Ki Sardapa. Untunglah punggung pedang y ang bergerigi itu tidak
menyentuh lengannya, karena dengan cepat Ki Sardapa telah
bergeser sekali lagi. Jika punggung pedang y ang ditarik itu
menyentuh kulitnya, maka kulitnya itu tentu akan k oy ak dan
dagingnya tercabik-cabik.
Namun dalam pada itu Ki Sardapa pun telah bergerak
dengan cepat dan tangkas. Tiba-tiba saja pedangnya telah
terjulur m engarah ke lambung paman bungsu di saat pedang
paman bungsunya itu berputar di sisi tubuhnya.
Paman bungsu itu telah berusaha untuk menghindari.
Dengan loncatan panjang ia bergeser surut. Namun Ki


03 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Sardapa tidak melepaskannya, ia pun telah meloncat
memburu dengan pedangnya y ang terjulur.
Dengan tergesa-gesa pamannya telah menangkis dan
memukul pedang Ki Sardapa ke samping. T etapi Ki Sardapa
cepat menarik pedangnya. Begitu pedang pamannya terayun,
maka sekali lagi pedang Ki Sardapa terjulur pula.
Paman bungsunya itu pun terkejut. Dengan serta m erta
ia - pun telah meloncat jauh-jauh mengambil jarak untuk
memperbaiki keadaannya. Ki Sardapa tidak memburunya, ia memang menjadi
ragu-ragu. Mungkin pamannya ingin membuat satu jebakan
baginya. Karena itu ia memang harus berhati-hati.
Tetapi ternyata tidak demikian. Pamannya tidak
menjebaknya. Tetapi ia benar-benar telah terdesak oleh
serangan Ki Sardapa y ang datang beruntun.
Karena itu maka Ki Sardapa kemudian berkata, "Apakah
dalam keadaan seperti ini aku harus meny erahkan leherku.
Paman, marilah kita bersungguh-sungguh. Jangan sekedar
bermain-main. Biarlah perang tanding ini cepat selesai, siapa
yang akan mati biarlah cepat mati."
"Anak iblis," paman bungsunya m engumpat, "kau kira
kau akan dapat menang."
"Aku tidak mengatakan demikian. Tetapi bagiku,
semakin cepat akan semakin baik."
Paman bungsunya tidak menjawab. Tetapi ia pun segera
meloncat meny erang dengan putaran y ang mendebarkan.
Namun sekali-sekali paman bungsunya itu juga berusaha
untuk mengenai kulit lawannya dengan punggung pedangnya
yang mengerikan. Tetapi Sardapa cukup tangkas. Usaha paman bungsunya
sama sekali belum berhasil.
Dalam pada itu para saksi pun menjadi berdebar-debar.
Di luar sadar, mereka telah bergeser semakin dekat. Semuanya
ingin melihat dengan jelas, apakah yang sebenarnya sedang
terjadi. Tetapi ternyata bahwa semua saksi, baik y ang datang
bersama-sama dengan Ki Sardapa, maupun y ang datang
bersama paman bungsu Ki Sardapa itu agaknya condong
untuk memilih Ki Sardapa agar memenangkan perang tanding
itu. Saudara-saudaranya sendiri y ang meskipun disebut
pengkhianat, tetapi diajaknya menyaksikan perang tanding itu
ternyata tidak berdoa untuknya. Tetapi justru untuk
kemenangan Ki Sardapa, jika jalan lain memang tidak dapat
ditempuh. Apalagi para saksi y ang datang bersama Ki Sardapa itu.
Dalam pada itu Kiai Patah memang merasa kagum
kepada Ki Sardapa yang dalam waktu y ang terhitung singkat,
telah mampu meningkatkan ilmunya cukup jauh.
Dengan demikian maka Ki Sardapa itu sama sekali tidak
mengecewakan ketika mereka harus beradu ilmu pedang.
Meskipun pedang paman bungsunya itu lebih berbahaya,
tetapi kemampuan Sardapa mampu melindunginya sehingga
kulitnya tidak terkoyak karenanya.
Bahkan beberapa saat kemudian, ilmu pedang Ki
Sardapa mampu membuat paman bungsunya kadang-kadang
kehilangan langkah. Namun demikian pertempuran itu masih berlangsung
dengan sengitnya. Orang-orang yang menyaksikan
pertempuran itu masih belum dapat menduga, siapakah di
antara mereka yang akan menang. Bahkan orang-orang
berilmu tinggi seperti Kiai Patah, Mahisa Murti dan Mahisa
Pukat pun masih belum dapat mey akinkan diri mereka bahwa
Ki Sardapa akan berhasil.
Karena jika ia telah melakukan kesalahan y ang kecil saja,
maka akibatnya akan sangat parah baginya.
Dengan demikian maka pertempuran itu masih saja
berlangsung dengan sengitnya. Keduanya saling meny erang,
sal ing menghindar dan saling mendesak. Sekali-sekali Ki
Sardapa harus meloncat mundur beberapa langkah untuk
memperbaiki keadaannya, sementara itu pada kesempatan
lain, paman bungsunyalah y ang harus mengambil jarak karena
mengalami tekanan y ang sangat berat dari lawannya.
Namun dalam benturan-benturan senjata yang terjadi
kemudian, paman bungsunya telah memanfaatkan gerigigerigi
tajam yang ada pada punggung pedangnya. Sekali-sekali
paman bungsunya telah mempergunakan gerigi-gerigi di
punggung pedangnya untuk mengguncang pegangan tangan Ki
Sardapa, kemudian dengan putaran yang cepat, paman
bungsunya berusaha untuk m engoyak kulit lawannya. Tetapi
usahanya masih selalu gagal, karena Ki Sardapa mampu
bergerak dengan cepat pula.
Demikianlah pertempuran itu berlangsung dari waktu ke
waktu, bulan di langit pun bergeser semakin ke Barat.
Bay angan randu alas itu pun seakan-akan telah bergerak pula.
Dalam perang tanding y ang sengit itu, kadang-kadang
keduanya telah terlempar pula keluar dari bay angan pohon
randu alas. Ternyata bahwa di bawah sinar bulan yang bulat,
keduanya merasa lebih j elas dan pasti. Itulah sebabnya, maka
keduanya pun kemudian telah berusaha untuk bertempur
langsung di bawah cahaya bulan.
Paman bungsu Ki Sardapa dengan sengaja telah
menggerak-gerakkan pedangnya yang mengkilap untuk
mempengaruhi ketahanan jiwa Sardapa. Setiap kilatan
pantulan cahaya bulan, rasa -rasanya memang membuat
jantungnya berdesir. Sementara pedang Ki Sardapa sendiri
bukannya pedang yang berkilat-kilat seperti pedang
pamannya. Tetapi justru pedang yang berwarna kehitamhitaman.
Pedang yang dibuat secara khusus, sebagaimana
seseorang membuat sebuah keris y ang besar dan tebal.
Namun demikian, sekali-sekali pedang Ki Sardapa itu
juga berkilau memantulkan cahaya jika sinar bulan tepat
mengenai butir-butir logam pilihan yang dibuat bagi pamor
pedangnya itu. Ju stru pantulan cahayanya y ang tidak selalu nampak itu
kadang-kadang justru mengejutkan. Apalagi cahaya yang
terpantul itu kadang-kadang berwarna hijau, kadang-kadang
merah dan kadang-kadang biru.
Namun dalam pada itu, kedua orang yang berperang
tanding itu ternyata telah mengerahkan segenap
kemampuannya dan tenaganya, sehingga betapa pun mereka
memiliki ketahanan tubuh, namun setelah keringat mereka
membasahi seluruh tubuh dan pakaian mereka, maka
perlahan-lahan tenaga mereka pun menjadi susut.
Kiai Patah, Mahisa Murti dan Mahisa Pukat menjadi
berdebar-debar ketika melihat batas kekuatan Ki Sardapa
telah terlampaui. Namun, demikian pula terjadi pada
lawannya. Tenaganya pun mulai nampak susut pula.
Bahkan ternyata latihan-latihan y ang berat dan teratur
yang dilakukan oleh Ki Sardapa telah banyak menolongnya.
Meskipun tenaganya memang mulai susut, tetapi tidak
secepat susutnya tenaga paman bungsunya.
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat menjadi semakin
berpengharapan. Latihan-latihan y ang dilakukan oleh Ki
Sardapa dengan bangun pagi, berlari -lari dan latihan
pernafasan agaknya telah menolongnya. Nafasny a menjadi
lebih panjang dari nafas pamannya.
Tetapi untuk beberapa saat lamanya, pertempuran itu
masih nampak berbahaya bagi kedua belah pihak. Ju stru
tenaga mereka mulai susut, maka benturan-benturan senjata
mulai menjadi kurang terkendali.
Karena itu, maka justru kemudian, u jung pedang kedua
orang y ang sedang bertempur itu telah mampu menggapai
tubuh lawannya. Meskipun paman bungsu itu tidak berhasil
menyentuh kulit Ki Sardapa dengan punggung pedangnya,
namun tajam pedangnya benar-benar telah m ampu melukai
kulit pamannya. Namun dalam pada itu, ujung pedang Ki
Sardapa pun telah menggores lengan paman bungsunya.
Tetapi ternyata bahwa titik -titik darah itu seakan-akan
telah memacu kembali pertempuran yang mulai m engendor
itu. Namun betapa kemarahan menghentak-hentak di dalam
dada mereka, mereka tetap berada dalam keterbatasan tenaga
mereka. Itulah sebabny a, maka untuk beberapa saat kemudian,
senjata-senjata itu telah beberapa kali mengenai sasaran.
Luka - pun menjadi semakin banyak tergores di kulit dan
mengoy akkan daging. Paman bungsu Ki Sardapa itu menggeram ketika justru
dadanya telah terg ores senjata pula. Namun demikian,
lambung Ki Sardapa pun sudah mulai berdarah meskipun
lukanya tidak begitu dalam.
Darah y ang menitik itu membuat tenaga mereka berdua
menjadi semakin susut. Tetapi ternyata bahwa kecepatan
gerak Ki Sardapa yang didukung dengan day a tahannya yang
lebih baik, mampu m enggoreskan luka lebih banyak di tubuh
paman bungsunya. Darah pun lebih banyak mengalir dari
tubuh paman bungsunya itu. Tetapi kobaran api kemarahan
pun lebih besar pula menyala di dadanya.
Namun karena itu, maka paman bungsu itu telah
memaksa diri dan bergerak lebih banyak untuk m engimbangi
tenaga Ki Sardapa yang masih lebih baik daripadanya. Tetapi
dengan demikian, m aka darah pun m enjadi semakin banyak
mengalir dari tubuhnya. Ki Sardapa yang melihat keadaan paman bungsunya itu
pun kemudian berkata, "Paman, apakah kita yang sudah
terluka parah seperti ini masih akan melanjutkan perang
tanding?" "Pengecut," geram pamannya, "aku kira kau laki -laki
sejati y ang menghargai diri sendiri. Ternyata kau takut melihat
kematianmu yang sudah membayang."
"Apakah kematian itu ada artinya?" bertanya Ki Sardapa.
"Perang tanding harus berlangsung sampai tuntas,"
berkata pamannya sambil meloncat meny erang sejadi-jadinya.
Ki Sardapa mulai memperhitungkan keadaan tubuhnya.
Itulah sebabny a, maka ia tidak terlalu banyak membuang
tenaganya. Ia hanya berusaha untuk menangkis dan
menghindari serangan. Hanya pada saat-saat yang
meyakinkan sajalah ia menghentakkan kekuatannya yang
tersisa untuk menyerang. Tetapi Ki Sardapa tidak mempunyai pilihan lain. Ia
harus melawan serangan-serangan pamannya y ang datang
seperti banjir bandang, betapa pun kadang-kadang tidak
dengan perhitungan y ang matang.
Namun akhirnya, pamannya y ang telah mengeluarkan
darah terlalu banyak itu menjadi sangat lemah. Luka-luka
yang silang meny ilang telah mengalirkan darah seperti diperas
dari tubuhnya. Tetapi betapa dendam telah m embakar jantungnya. Ia
sama sekali tidak mau menghentikan serangan-serangannya.
Ki Sardapa masih mempunyai perhitungan y ang mapan.
Darahnya pun mengalir dari luka-lukanya. Tetapi tidak
sebanyak darah paman bungsunya itu.
Sementara itu, orang-orang yang menyaksikan
pertempuran itu pun menjadi semakin berdebar-debar.
Mereka menyadari betapa keadaan paman bungsu Sardapa itu
menjadi sangat parah. Namun agaknya orang itu sama sekali
tidak mau mengakui akan keadaan dirinya yang sebenarnya.
Pa da hentakkan-hentakkan yang dilakukan kemudian
oleh paman bungsu itu, seakan-akan telah memeras titik-titik
darahnya yang terakhir. Karena itu, ketika ia m asih memaksa
diri untuk meny erang, tiba -tiba saja tubuhnya telah
kehilangan keseimbangan. Mata paman bungsu Ki Sardapa itu menjadi kabur.
Cahaya bulan yang bulat itu telah m enjadi buram. Tubuhnya
bagaikan menggigil kedinginan.
Beberapa saat ia masih bertahan. Tetapi ketika sekali
lagi ia mencoba untuk melangkah mendekati Sardapa yang
menjadi tidak jela s lagi dalam tangkapan matanya y ang kabur,
maka orang itu m enjadi terhuyung-huyung. Bahkan akhirnya
ia tidak dapat bertahan lagi dan akhirnya jatuh terjerembab.
Paman bungsu Sardapa itu masih menggeliat. Tetapi
tubuhnya telah menjadi sangat lemah.
Dalam pada itu, beberapa orang saudaranya berlari-lari
mendekatinya. Mereka b erjongkok m engitarinya. Yang tertua
di antara mereka pun telah mengangkat kepala adik
bungsunya itu sambil berdesis, "Bagaimana keadaanmu?"
Saudaranya y ang bungsu itu pun berdesis, "Apakah
Sardapa sudah mati?"
Saudaranya y ang sulung menjadi ragu-ragu. Tetapi
seorang di antara saudaranya menyahut, "Ya. Sardapa sudah
mati." "Ooo," y ang bungsu itu menarik nafas dalam-dalam,
"tugasku sudah selesai."
"Kau akan diobati," berkata yang tertua.
"Tidak ada gunanya," desisnya. Nafa snya menjadi
semakin terengah-engah, "anak iblis itu sudah melukai aku.
Tetapi akhirnya aku berhasil membunuhnya pula."
"Ya. kau berhasil," jawab salah seorang saudaranya.
Nafas saudaranya y ang bungsu itu menjadi semakin
sendat. Namun akhirnya ia menghentakkan tenaganya yang
penghabisan untuk berteriak, "Sardapa sudah mati. Lihat, aku
telah membunuhnya dengan tanganku sendiri."
Suara itu pun kemudian leny ap. Suasana pun menjadi
hening diam. Saudara tertua di antara mereka itu pun menarik nafas
dalam-dalam. Ketika ia berpaling ke arah Ki Sardapa, maka
dilihatnya Ki Sardapa masih berdiri tegak. Di belakangnya
berdiri orang-orang y ang datang sebagai saksiny a dalam
perang tanding itu. Perlahan-lahan saudara tertua itu bangkit berdiri setelah
meletakkan kepala adiknya yang bungsu. Selangkah demi
selangkah ia mendekati Ki Sardapa yang masih berdiri tegak.
"Kaulah y ang telah meny elesaikan pekerjaanmu
Sardapa," berkata pamannya tertua, "ternyata aku tidak
berhasil mencegahnya. Untunglah bahwa kau telah berhasil
meningkatkan ilmumu pula, sehingga kau tidak menjadi
korban karenanya." "Sebenarnya bukan niatku untuk membunuhnya," desis
Sardapa. "Aku tahu. Kau sudah berusaha. Kau berkali-kali


03 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

menawarkan untuk menghentikan perang tanding ini. Tetapi
adikku yang bungsu ini tidak mau mendengarkannya. Apa
boleh buat," paman sulungnya itu berhenti sejenak, namun
kemudian katanya, "Perhatikan luka-lukamu. Kau akan dapat
kehabisan darah seperti paman bungsumu itu."
Ki Sardapa mengangguk-angguk. Sementara itu Ki
Pan onjaya pun berkata pula, "Marilah, kita obati lukalukamu."
Ki Sardapa pun kemudian telah bergeser menjauh dan
duduk diatas sebuah batu y ang besar. Dengan hati-hati Kiai
Patah telah m emberikan pengobatan untuk sementara, agar
darahnya tidak terperas habis dari tubuhnya.
Dalam pada itu, saudara-saudara ibu tiri Ki Sardapa itu
pun telah mengerumuni adik bungsunya y ang telah
mengorbankan nyawanya untuk memuaskan gejolak
perasaannya yang mendendam.
"Seharusnya ia menyadari, bahwa tidak sepantasnya ia
mendendam karena Sardapa tidak pernah melakukan
kesalahan," berkata saudaranya y ang sulung.
"Dendam itu agaknya telah didesakkannya sendiri ke
dalam perasaannya tanpa sebab, ia pulalah yang
mengangankan kesalahan Ki Sardapa itu, dan y ang kemudian
dinyatakannya sebagai satu kenyataan. Kemudian ia pun
mendendam karena keny ataan y ang dibuatnya sendiri itu. Dan
kesalahan Sardapa yang semu itu telah meny eretnya ke dalam
maut," berkata saudaranya yang lain.
Yang tertua itu pun mengangguk-angguk. Dengan nada
dalam ia berkata, "Bagaimanapun juga, ia adalah adik kita.
Kita wajib meny elenggarakannya dengan sebaik-baiknya."
"Kita akan m embawanya pulang. Kita akan m inta diri
kepada Sardapa dan kawan-kawannya itu," berkata
saudaranya y ang lain. Demikianlah maka saudara-saudara ibu tiri Sardapa itu
pun telah minta diri serta memberitahukan bahwa tubuh adik
bungsunya akan dibawanya pulang.
Sardapa yang telah diobati luka-lukanya itu pun berkata
dengan nada rendah, "Aku mohon maaf paman. Sekali lagi aku
nyatakan, bahwa aku tidak sengaja membunuh."
"Kami mengerti," jawab pamannya y ang t ertua, "kami
memang tidak menyalahkanmu. Agaknya hidupnya memang
telah sampai ke garis batas. Dan sebab kematiannya telah
dibuatnya sendiri." Demikianlah beberapa orang paman Sardapa itu pun
telah meninggalkan tempat itu dengan membawa tubuh
adiknya yang bungsu. Namun dengan demikian yang masih
tinggal hidup itu- pun telah melepaskan sengketa di antara
mereka. Beberapa orang y ang semula seakan-akan t erpisah,
justru karena tidak mau hidup dan melakukan pekerjaan
sebagaimana dilakukan oleh saudara-saudaranya, ternyata
telah bersatu kembali. Bukan m ereka yang m enceburkan diri
ke dalam tata cara kehidupan yang suram, tetapi y ang lainlah
yang seakan-akan telah melihat kembali jalan yang terang.
Namun Sardapa masih sempat minta maaf kepada
mereka, bahwa sebagai orang y ang lebih muda, seharusnya ia
menghormati paman-pamannya itu.
Sepeninggal paman-pamannya membawa tubuh paman
bungsunya y ang terbunuh dalam perang tanding itu, maka Ki
Sardapa pun telah bersiap-siap untuk kembali ke
padukuhannya. Tetapi ia masih menunggu beberapa saat
sehingga keadaan tubuhnya menjadi berangsur semakin baik.
Baru ketika darahnya telah pampat serta tubuhnya tidak
lagi terasa lemah sekali, maka Ki Sardapa diiringi oleh
beberapa orang telah kembali ke padukuhan. Sebagaimana
mereka berangkat, maka mereka pun berusaha untuk tidak
banyak diketahui orang. Apalagi karena tubuhnya menjadi
lemah dan noda-noda darah y ang melekat pada pakaiannya.
Namun Ki Sardapa tidak dapat meny embuny ikan
keadaannya itu sepenuhnya. Ternyata bahwa para pengawal di
halaman rumahnya telah melihatnya, sehingga mereka pun
telah mengerumuninya. Mereka pun telah bertanya seperti
sungai y ang banjir, tanpa ada henti-hentinya. Bahkan sebelum
pertanyaan y ang terdahulu dijawab, telah diajukan pertanyaan
yang lain berturut-turut.
"Biarlah Ki Bekel beristirahat," berkata Kiai Patah, "ia
sangat memerlukannya agar keadaannya berangsur baik."
"Tetapi apa yang telah terjadi?" bertanya para pengawal.
"Besok Ki Bekel akan menceriterakannya," jawab Kiai
Patah. Para pengawal itu tidak puas mendengar jawaban Kiai
Patah, tetapi mereka tidak dapat mendesak. Mereka hanya
melihat dengan termangu -mangu ketika Ki Bekel itu dibawa
masuk ke dalam rumahnya. Namun justru karena tidak mendapat jawaban y ang
pasti, para pengawal telah membuat dugaan-dugaan yang
bermacam-macam. Tetapi pada umumnya mereka
menganggap bahwa keadaan telah menjadi gawat.
Karena itu, maka dua orang di antara mereka telah
mengelilingi gardu-gardu di padukuhan itu dan
memberitahukan agar mereka meningkatkan kesiagaan
mereka. "Apa y ang terjadi?" bertanya para peronda di gardugardu.
"Ki Bekel terluka parah," jawab para pengawal itu,
"agaknya hanya karena pertolongan Kiai Patah dan anak-anak
muda y ang berilmu tinggi itu sajalah maka Ki Bekel telah lepas
dari malapetaka." "Sudah berapa kali ada usaha untuk membunuh Ki
Bekel," desis salah seorang peronda.
"Nah, bukankah sudah menjadi kewajiban kita untuk
mengamankan padukuhan ini" Termasuk Ki Bekel?" berkata
salah seorang pengawal, "karena itu, maka kesiagaan perlu
ditingkatkan. Jangan memberi kesempatan padukuhan ini
mengalami bencana tanpa kita lakukan pencegahan. Kecuali
jika kita semuanya sudah berbuat sejauh dapat kita lakukan,
bahkan telah kita berikan korban yang terbesar dari milik kita,
maka apa boleh buat."
"Kami akan melakukannya disini," berkata salah seorang
peronda. "Terima kasih. Tetapi kalian pun harus meronda
berkeliling pula untuk mengamati keadaan. Tetapi jangan
hanya berdua. Dalam keadaan gawat, segala kemungkinan
dapat terjadi. Jangan lupa, siapa y ang meronda berkeliling,
sebaiknya membawa kentongan kecil y ang dapat
dipergunakan untuk memberikan isy arat yang dapat didengar
dari gardunya masing-masing," berkata salah seorang di
antara para pengawal. Dengan demikian maka seluruh padukuhan itu pun telah
bersiaga menghadapi kemungkinan y ang manapun.
Anak-anak muda telah meronda berkeliling padukuhan.
Bukan saja mereka yang sedang bertugas, tetapi anak-anak
muda y ang ada di rumah pun telah dibangunkan dan dipanggil
untuk datang ke gardu. Dengan demikian, maka berita tentang keadaan Ki
Bekel- pun segera tersebar. Sekelompok anak-anak muda yang
dianggap memiliki kelebihan telah dipanggil untuk berjagajaga
di banjar, karena di banjar telah disimpan harta kekayaan
yang besar dari padukuhan itu. Sebagian dari m ereka berada
di luar banjar, sebagian lagi berada di dalam banjar, sementara
yang bertugas r onda malam itu justru berada di luar halaman
banjar. Setiap kali mereka berganti-ganti mengelilingi banjar
itu. Baik mereka yang meronda di luar halaman, di halaman
dan bahkan y ang ada di dalam pun setiap kali telah mengamati
setiap sudut dari banjar itu. Setiap ruangan dan bahkan
beberapa kali mereka telah menjenguk ke dalam bilik
peny impanan harta benda dan kekayaan padukuhan itu.
Namun sampai fajar m eny ingsing, tidak terjadi sesuatu
yang menggetarkan padukuhan itu. Namun demikian,
kegelisahan ternyata sudah mencengkam setiap orang. Bukan
sa ja anak-anak muda, tetapi juga keluarga mereka yang
mendengar berita tentang Ki Bekel, namun yang tidak jelas
apa y ang sebenarnya telah terjadi.
Itulah sebabny a, maka ketika matahari tertib, Mahisa
Murti dan Mahisa Pukat yang keluar dari halaman rumah Ki
Bekel telah terkejut melihat kesiagaan y ang sangat tinggi. Dari
anak-anak muda itu Mahisa Murti dan Mahisa Pukat
mendapat keterangan, bahwa mereka telah bersiap-siap
menghadapi segala kemungkinan yang dapat terjadi, karena
ada di antara mereka y ang melihat Ki Bekel yang terluka
parah, tanpa mendapat keterangan tentang sebab
musababnya. Mahisa Murti dan Mahisa Pukat menarik nafas dalamdalam.
Mereka pun kemudian menyadari, bahwa agaknya
lebih baik untuk memberikan penjelasan tentang satu
peristiwa yang dianggap penting daripada menundanundanya.
Dengan demikian tidak akan mudah timbul salah
paham yang barangkali akan dapat mengganggu bagi
ketertiban selanjutnya. Tetapi Mahisa Murti dan Mahisa Pukat pun kemudian
masih memerlukan kepastian dari Ki Bekel yang berbaring di
pembaringannya, apakah mereka dibenarkan untuk
memberikan keterangan tentang keadaan ki bekel itu.
"Apakah itu perlu?" bertanya Ki Bekel.
"Ya Ki Bekel," jawab Mahisa Murti, "jika tidak diberikan
keterangan tentang y ang sebenarnya, maka orang-orang
padukuhan ini akan mengarang sendiri, m enurut penalaran
mereka masing-masing sehingga keterangannya pun
kemudian akan menjadi simpang siur."
Ki Bekel y ang masih dalam keadaan y ang gawat itu pun
memandang Kiai Patah yang termangu-mangu. Namun
akhirnya Kiai Patah itu pun berkata, "Sebaiknya memang
demikian Ki Bekel. Agar tidak timbul berita y ang simpang siur
tentang Ki Bekel." Ki Bekel itu mengangguk kecil. Katanya, "Baiklah anakanak
muda. Berikan penjelasan sebaik-baiknya agar berita
yang simpang siur itu tidak membuat penghuni padukuhan ini
menjadi gelisah." Demikianlah, maka Mahisa Murti dan Mahisa Pukat
pun kemudian telah m eninggalkan rumah itu. Mereka akan
pergi ke banjar untuk menjelaskan apa yang sebenarnya telah
terjadi, sehingga orang-orang terutama anak-anak muda yang
ada di banjar tidak selalu dibay angi oleh kegelisahan.
Sebenarnyalah ketika Mahisa Murti dan Mahisa Pukat
sampai di banjar, maka anak-anak muda segera
mengerumuninya, termasuk beberapa orang pengawal yang
mengikutinya dari halaman rumah Ki Sardapa sendiri, karena
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat akan memberikan keterangan
tentang Ki Bekel di banjar saja.
"Kami tidak ingin membuat rumah Ki Bekel menjadi
gaduh, karena Ki Bekel sangat memerlukan kesempatan untuk
beristirahat," jawab Mahisa Murti ketika seorang pengawal
menanyakan kepadanya, kenapa keterangan itu tidak
diberikan saja di halaman rumah Ki Bekel.
Di banjar, Mahisa Murti dan Mahisa Pukat telah
memberikan keterangan kepada orang-orang yang berkumpul
di halaman. Keduanya berdiri di pendapa menghadap ke
halaman y ang penuh dengan orang -orang y ang hampir tidak
sabar menunggu. "Ki Bekel telah m eny elesaikan perang tanding," berkata
Mahisa Murti yang kemudian menceriterakan apa y ang telah
terjadi di arena perang tanding dibawah pohon randu alas itu.
"Kenapa Ki Bekel t idak memberitahukan kepada kami
sebelum berangkat," bertanya salah seorang di antara mereka.
"Ki Bekel tidak ingin m embuat padukuhan ini gelisah,"
jawab Mahisa Murti. "Tetapi jika terjadi sesuatu atas Ki Bekel, kami tidak
dapat membantunya," berteriak seorang anak muda.
"Kalian memang tidak akan dapat membantu," jawab
Mahisa Pukat, "dalam perang tanding y ang sudah disepakati,
tidak seorang pun yang dibenarkan untuk membantu. Para
sak si hanya akan menyaksikan apa yang terjadi. Kedua orang
yang telah sepakat untuk berperang tanding, akan
menanggung akibat apa pun yang dapat terjadi atas dirinya,
kecuali jika ia bukan seorang y ang jantan, y ang mungkin
dengan sengaja ingin menjebak lawannya."
Beberapa orang termangu-mangu karenanya. Sementara
itu Mahisa Murti pun berkata, "Namun Ki Bekel bukannya
turun ke arena perang tanding tanpa perhitungan. Karena itu,
maka kita semua wajib bersy ukur kepada Yang Maha Agung,
bahwa Ki Bekel telah mendapat kemenangan. Meskipun Ki
Bekel terluka parah, namun tidak membahayakan jiwanya.
Karena itu, maka Ki Bekel mohon bantuan kalian untuk tetap
tenang, agar Ki Bekel pun dapat tenang beristirahat."
"Orang-orang y ang berada di halaman itu pun
mengangguk-angguk. Mereka baru jela s atas apa y ang telah
terjadi dengan Ki Bekel. Agaknya mereka memang tidak perlu
mengadakan kesiagaan yang berlebihan. Tetapi t idak ada
jeleknya, apabila sekali-sekali mereka mencoba melihat
kesiagaan anak-anak muda padukuhan itu.
Dalam pada itu, Ki Bekel pun selalu berada di bawah
perawatan Kiai Patah y ang juga serba sedikit mengetahui
tentang pengobatan. Dengan demikian maka perlahan-lahan
keadaannya pun berangsur baik. Luka-lukanya mulai menjadi
pampat dan bahkan perasaan sakit tidak lagi t erlalu
mencengkamnya. Sementara itu, Ki Bekel telah memerintahkan dua orang
bebahu padukuhan itu untuk menghadap Ki Buyut. Para
bebahu itu harus melaporkan apa y ang telah terjadi atas diri Ki
Bekel, agar Ki Buyut tidak menganggapnya bersalah karena Ki
Bekel untuk beberapa lama tidak menghadap.
Ki Buyut terkejut mendengar laporan itu. Karena itu,
maka ia pun telah memerlukan untuk menengok Ki Bekel yang
masih berbaring di pembaringannya.
"Keadaanku sudah berangsur baik, Ki Buyut," berkata Ki
Bekel ketika Ki Buyut menengoknya.
"Kau tidak memberitahukan sebelumnya kepadaku,"
berkata Ki Buyut. "Aku berjanji untuk berperang tanding. Karena itu, maka
aku tidak memberitahukan kepada siapa pun kecuali k epada
mereka y ang selama ini telah m elindungi aku. Kiai Patah dan
kedua orang anak muda itu, di samping dua orang pamanku,"
jawab Ki Bekel.

03 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Ki Buyut mengangguk-angguk. Katanya kemudian,
"Syukurlah Ki Bekel. Satu pengalaman y ang sangat berharga
bagi Ki Bekel. Jika dalam waktu singkat Ki Bekel mampu
meningkatkan ilmu sedemikian jauh, maka untuk waktu yang
lama, maka Ki Bekel akan menjadi seorang yang berilmu
tinggi." Tetapi Ki Bekel menggeleng. Katanya, "Ada batas y ang
tidak akan dapat aku tembus. Dan aku bukan seorang yang
pantas untuk memiliki ilmu y ang tinggi."
"Kau adalah seorang Bekel," berkata Ki Buyut, "sudah
sepantasnya jika kau m enempa diri terus-menerus. Jika kau
tidak memerlukannya bagi dirimu sendiri, maka kau harus
melindungi rakyatmu dari segala kemungkinan y ang buruk.
Apalagi di padukuhan ini terdapat sesuatu y ang bernilai untuk
dipertahankan." Ki Bekel m engangguk-angguk. Dengan nada rendah ia
menyahut. "Ya Ki Buyut. Aku pun menyadari, bahwa ternyata
rakyat padukuhan ini memerlukan perlindungan."
"Nah, jika Ki Bekel memiliki kemampuan y ang tinggi,
maka tugasku pun akan menjadi semakin ringan. Aku kira
padukuhan-padukuhan lain pun harus berusaha untuk
mengalami perbaikan sebagaimana terjadi disini, khusus bagi
pemimpin padukuhannya. Kecuali para Bekel y ang sudah
terlalu tua untuk meningkatkan kemampuannya," b erkata Ki
Buyut. Ki Bekel pun mengangguk-angguk kecil. Ia menyadari,
bahwa Ki Buyut adalah bekas seorang prajurit, sehingga
perhatiannya memang cukup banyak ditujukan kepada
peningkatan kemampuan y ang akan banyak berpengaruh
terhadap ketahanan padukuhan di dalam lingkungan
Kabuyutannya. Untuk beberapa saat Ki Buyut menunggui Ki Bekel y ang
masih terbaring. Beberapa lama ia berbincang-bincang dengan
orang-orang yang untuk sementara ada di sekeliling Ki Bekel.
Sehingga akhirnya Ki Buyut itu pun minta diri. Namun
sebelumnya ia masih juga berpesan k epada Kiai Patah, "Aku
menitipkan padukuhan ini."
Kiai Patah tersenyum. Sementara itu Ki Buyut berkata,
"Aku m emang tidak menitipkannya kepada anak-anak muda
itu, karena aku tahu bahwa lambat atau cepat, mereka akan
meninggalkan padukuhan ini."
"Aku juga," berkata Kiai Patah.
"Tetapi tidak akan secepat anak-anak muda itu," sahut
Ki Buyut sambil tersenyum.
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat pun tersenyum pula.
Dengan nada rendah Mahisa Murti berkata, "Kami
mempunyai tugas lain yang segera harus kami tangani. Kami
tidak dapat terlalu lama berada di sini."
Namun Mahisa Pukat telah m enyambung, "Kami telah
meninggalkan padepokan kami terlalu lama."
Ki Buyut masih tersenyum. Katanya, "Tetapi satu ketika
kalian akan datang lagi ke Kabuyutan ini."
"Mudah-mudahan Ki Buyut," jawab Mahisa Murti.
"Baiklah. Tetapi pada saatnya kalian meninggalkan
padukuhan ini, aku mohon kalian singgah di rumahku,"
berkata Ki Buyut pula. "Tentu," jawab Mahisa Murti, "kami akan mohon diri."
Demikianlah, maka Ki Buyut pun kemudian telah minta
diri untuk kembali ke padukuhan induk. Sementara itu,
harapannya pun telah tumbuh, bahwa padukuhan-padukuhan
di lingkungan Kabuyutannya hendaknya akan mampu
dikembangkan. Ki Sardapa akan dapat menjadi contoh, betapa
dengan niat y ang tinggi, ia mampu meningkatkan
kemampuannya. Sementara itu, sejalan dengan peningkatan
kemampuannya, kesejahteraan padukuhannya pun telah
meningkat pula. Ternyata bahwa anak-anak muda di
padukuhan y ang dipimpin oleh Ki Sardapa itu mempunyai
gairah kerja yang lebih baik dari padukuhan-padukuhan yang
lain. Mungkin hal itu terjadi karena pengaruh keadaan. Ju stru
karena peri stiwa y ang bergejolak di padukuhan itu, atau
mungkin karena kehadiran orang-orang tertentu di
padukuhan itu. Namun yang terjadi di padukuhan Ki Sardapa
itu tentu akan dapat dikembangkan di padukuhan-padukuhan
lain meskipun dengan kadar y ang berbeda.
Untuk beberapa hari ternyata Ki Bekel masih harus
berbaring di pembaringannya. Sekali-sekali Ki Bekel itu juga
turun ke halaman untuk berjalan-jalan agar tubuhnya
perlahan-lahan m enjadi pulih kembali kekuatannya. Bahkan
dalam keadaan sakit pun Ki Bekel masih juga menerima
beberapa orang bebahu untuk mengadakan pembicaraan
tentang perkembangan padukuhannya.
Namun dalam pada itu, maka Mahisa Murti dan Mahisa
Pukat pun telah bersiap-siap pula untuk meninggalkan
padukuhan itu. Mereka hanya menunggu sampai k eadaan Ki
Bekel menjadi baik dan kesehatannya pulih kembali.
Tetapi untuk beberapa lama Kiai Patah memang masih
akan tinggal. Kiai Patah y ang hampir tidak mempunyai sanak
kadang lagi itu, telah menjadi kerasan tinggal di sebuah
padukuhan y ang pernah menimbulkan malapetaka bagi
keluarganya. Namun Kiai Patah rasa -rasanya telah
mendapatkan tuntunan untuk menghukum mereka yang
bersalah. Ternyata beberapa pihak telah membantunya,
bahkan Ki Buyut pun telah m engambil langkah-langkah yang
ikut menentukan. Dalam satu pembicaraan, ketika Mahisa Murti dan
Mahisa Pukat menceriterakan tentang rencananya untuk
melanjutkan perjalanan, serta keinginannya untuk menyusun
kekuatan pada sebuah perguruan baru y ang tinggal di sebuah
padepokan kecil, maka Kiai Patah pun berkata, "Kau
persiapkan perguruanmu pada tataran pertama dengan tujuan
kekerasan anak muda."
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat terkejut mendengar
kata-kata Kiai Patah itu. Hampir bersamaan keduanya
bertanya, "Kenapa Kiai?"
"Rencana kalian y ang pertama-tama adalah menyusun
kekuatan. Bukan m eningkatkan kesejahteraan lahir dan batin
para penghuni padepokan itu serta menyusun tata kehidupan
yang wajar," berkata Kiai Patah.
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat saling berpandangan.
Dengan nada rendah Mahisa Murti berkata, "Bukankah aku
serba sedikit juga pernah mengutarakan rencana ini kepada
Kiai?" "Ya. Tetapi aku belum merasa mendapat kesempatan
untuk mengatakan tanggapanku atas rencana kalian itu,"
jawab Kiai Patah, "tetapi sekarang, ketika suasana sudah
menjadi jernih, aku baru dapat meny ebutkannya."
Tetapi Mahisa Murti m enggeleng. Katanya, "Kiai. Kami
bukan manusia -manusia linuwih y ang memiliki derajad
melampaui orang kebanyakan. Karena itu, maka kami masih
berpijak pada naluri bahwa kita berhak untuk
mempertahankan diri dan bahkan merupakan bagian dari
usaha mempertahankan jenis mahluk yang disebut m anusia.
Itulah sebabnya, maka kami masih juga memperhitungkan
kekuatan bagi padepokan kami. Menurut pengalaman kami,
tanpa kekuatan itu, maka padepokan kami akan dapat hapus
dari tanah ini." Kiai Patah mengerutkan keningnya. Dengan nada
rendah ia berkata, "Apakah menyusun kekuatan bukan berarti
salah satu wajah dari pertentangan dan kekerasan?"
"Sebagaimana Kiai alami, demikian pula pengalaman
kami. Seandainya Kiai tidak memiliki kekuatan untuk
mempertahankan diri, maka Kiai sudah tidak ada lagi
sekarang ini. Atau barangkali Ki Bekel y ang lama masih tetap
memegang pimpinan dan m emiliki kekayaan y ang tidak sah,"
berkata Mahisa Pukat. "Sementara itu, ternyata bahwa kemampuan Kiai
menjadi sangat berarti pada saat-saat Ki Sardapa menegakkan
kedudukannya di padukuhan ini," berkata Mahisa Murti pula.
Kiai Patah mengangguk-angguk. Sementara Mahisa
Murti berkata selanjutnya, "Kiai. Sebenarnya kami
memerlukan satu cara untuk mempertahankan diri."
"Apakah dengan kekuatan kalian tidak berniat untuk
memperluas kekuasaan kalian?" bertanya Kiai Patah.
"Kiai," jawab Mahisa Murti, "ternyata meskipun Kiai
Patah mampu melakukannya, ternyata Kiai Patah tidak
tergoda untuk memiliki kembali harta kekayaan y ang telah ada
di padukuhan ini. Kiai y ang mampu melakukannya, ternyata
juga tidak bernafsu untuk menguasai dan bertindak semenamena
atas orang-orang padukuhan ini. Bukankah dengan
demikian ada perbedaan antara seseorang y ang satu dan
lainnya, meskipun keduanya memiliki kekuatan" Ki Bekel
yang lama dengan kekuatannya telah membunuh dan
merampok. Tetapi Kiai Patah dengan kekuatannya telah
membangun kembali padukuhan ini menjadi padukuhan yang
jernih." "Apa maksudmu?" bertanya Kiai Patah.
"Semuanya tergantung kepada manusianya, Kiai. Ilmu
adalah kekuatan. Yang m empergunakan kekuatan itu adalah
manusia. Karena itu, manusia di belakang kekuatan itulah
yang akan menentukan segala-galanya," jawab Mahisa Murti.
Kiai Patah pun mengangguk-angguk sambil berdesis,
"Bagus. Jawaban itulah y ang aku tunggu. Sebenarnya aku
tidak menentang rencana kalian. Tetapi aku ingin m endengar
apakah y ang melandasi u saha kalian untuk menyusun jenjang
kekuatan di padepokanmu."
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat mengerutkan
keningnya. Namun keduanya pun kemudian menganggukangguk
kecil. "Anak-anak muda," berkata Kiai Patah, "landasan
kejiwaan itulah y ang m emang harus disusun kuat-kuat lebih
dahulu didalam diri m anusia yang akan membina kekuatan
itu. Karena pada dasarnya adalah m anusia itulah y ang akan
mempergunakan kekuatan menurut niatnya."
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat masih belum
menjawab. "Nah, jika demikian, maka pantaslah apa y ang akan
kalian lakukan. Ternyata bahwa kalian adalah anak Mahendra
yang mewarisi bukan saja kemampuan dan ilmu ayahnya,
tetapi juga landasan kejiwaannya itu," berkata Kiai Patah
selanjutnya. Kemudian katanya dengan nada perlahan-lahan,
"Aku akan berusaha untuk membantu kalian."
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat termangu-mangu.
Dipandanginya wajah Kiai Patah dengan berbagai pertanyaan
di dalam hati. Namun kemudian Mahisa Murti lah yang
bertanya, "Bantuan apa yang dapat Kiai berikan kepada kami
untuk menemukan orang yang pantas kami percayai untuk
mengisi jenjang kepemimpinan di padepokan kami" Untuk
beberapa lama kami telah mencari. Baik di antara orang-orang
kami sendiri, maupun orang-orang yang pernah kami jumpai,
bahkan anak-anak muda, remaja atau kanak-kanak sekalipun.
Namun kami belum merasa pernah menemukannya."
Kiai Patah tersenyum. Katanya, "Aku memang akan
membantu. Sekedar membantumu. Tetapi aku pun tidak pasti,
bahwa dengan bantuanku itu kalian benar-benar dapat
berhasil." Mahisa Murti dan Mahisa Pukat m engangguk-angguk.
Sementara itu Kiai Patah berkata, "Kalian masih muda. Kalian
berdua masih mempunyai banyak kesempatan untuk
meningkatkan ilmu kalian y ang bersumber dari banyak
perguruan. Kau menyadap ilmu Mahendra, Pangeran Singa
Narpada, Akuwu Lemah Warah dan mungkin beberapa orang
lagi. Jika kemudian kalian ingin menyusun jenjang
kepemimpinan di padepokan kalian sejak awal, maka kau
harus mengambil anak-anak muda atau remaja y ang lebih
muda lagi dari kalian."
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat menyahut, "Ya Kiai
Kami ingin menemukan anak-anak muda seumur adik kami.
Kami akan mendapat lebih banyak kesempatan untuk
membinanya." "Nah," berkata Kiai Patah, "jika demikian bertanyalah
kepada ayahmu." "Kepada ay ah" " Mahisa Murti dan Mahisa Pukat
bertanya hampir berbareng.
Kiai Patah pun kemudian tertawa. Sementara Mahisa
Pukat berkata, "Waktu kami berangkat, kami telah minta diri
kepada ayah. Tetapi ayah tidak pernah mengatakan apa-apa."
Kiai Patah masih saja tertawa. Katanya kemudian,
"Tentu ay ah kalian melepaskan kalian tanpa memberikan
pesan apa -apa. Aku kenal sifat Mahendra. Ia tentu ingin
mencoba sejauh mana kalian m ampu melakukan tugas yang
kalian bebankan atas pundak kalian sendiri."
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat saling berpandangan
sejenak. Namun dengan demikian maka Mahisa Murti pun
berkata, "Jika demikian, maka tidak sebaiknya kami kembali
dan ju stru bertanya kepada ay ah, apa yang sebaiknya harus
kami lakukan." "Kami akan kembali jika kami telah berhasil
menemukan apa yang kami cari," sambung Mahisa Pukat.
Kiai Patah mengerutkan keningnya. Dengan nada
rendah ia berkata, "Aku y akin bahwa ay ah kalian akan dapat
menentukan, kepada siapa kalian harus datang untuk
menemukan orang-orang yang kalian cari itu."
Tetapi kedua orang anak muda itu justru menggeleng.
Sementara Mahisa Murti berkata, "Terima ka sih Kiai. Kami
akan meneruskan pengembaraan kami."
"Tetapi bagaimana dengan padepokan dan perguruan
kalian yang sampai saat ini justru ditunggui oleh ayah kalian"
Bukankah dengan demikian ay ah kalian tidak sempat untuk
melakukan tugasnya?" berkata Kiai Patah.
"Ayah sudah terlalu tua untuk berkeliling dari satu
tempat ke tempat lain dengan m embawa batu-batu berharga
dan wesi aji. Karena itu, maka ayah perlu banyak beristirahat.
Di padepokan itu, ay ah mendapat kesempatan beristirahat,"
sambung Mahisa Murti. Kiai Patah mengangguk-angguk. Dengan nada rendah
pula ia bertanya, "Kalian akan pergi ke mana?"
"Kami t idak dapat mengatakan, kami akan pergi ke
mana?" jawab Mahisa Murti.
Kiai Patah termenung sejenak. Namun kemudian ia pun
berkata, "Baiklah. Jika kalian baru akan kembali setelah kalian


03 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

berhasil, maka jika kalian bersedia singgahlah barang sejenak
ke Banyusasak. Bukan apa-apa. Aku hanya akan berpesan agar
kalian sampaikan berita keselamatanku."
"Banyusasak," desis Mahisa Murti dan Mahisa Pukat
berbareng. Sementara Mahisa Murti pun kemudian bertanya, "Di
manakah letak Banyusasak itu?"
"Di sebelah padang Karautan. Kau akan menjumpai
sebuah padukuhan y ang terhitung baru. Jika kalian
menempuh jalan dari padang Karautan ke Singasari, maka
sebuah padukuhan baru namun telah berkembang bernama
Banyusasak. Kau dapat bertemu dengan seorang y ang telah
berusia lanjut, seorang y ang cikal bakal padukuhan itu.
Namanya Kiai Nagateleng," berkata Kiai Patah.
"Apa yang harus aku katakan kepada Kiai Nagateleng?"
bertanya Mahisa Pukat. "Katakan kepadanya, bahwa kalian telah bertemu
dengan aku. Aku tidak mengalami sesuatu. Tetapi aku masih
kerasan di perantauan. Aku baru akan kembali jika langit
menjadi masak," berkata Kiai Patah.
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat mengerutkan
keningnya. Dengan ragu-ragu Mahisa Pukat bertanya,
"Apakah y ang Kiai maksud dengan langit menjadi masak"
Istilah itu tidak sering dijumpai dalam percakapan seharihari."
"Jangan lupa. Ucapkan ungkapan itu. Jika kau tidak
mengatakannya, maka Kiai Nagateleng tidak akan percaya
bahwa kau memang pernah bertemu dengan aku dalam
pengembaraan kalian," berkata Kiai Patah.
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat m engangguk-angguk.
Mereka y ang pernah bekerja dalam tugas sandi itu pun segera
mengetahui, bahwa mereka harus mengucapkan kata-kata
sandi. "Baiklah Kiai," jawab Mahisa Murti, "kami akan singgah
ke rumah Kiai Nagateleng. Seandainya kami tidak berniat
pergi ke padang Karautan, maka kami akan memerlukannya.
Padang Karautan sekarang sudah tidak segarang beberapa
tahun yang lalu." Kiai Patah mengangguk-angguk. Dengan nada rendah ia
berkata, "Padang Karautan sudah mengalami banyak sekali
perubahan. Usaha beberapa orang untuk menaikkan air
ternyata besar sekali manfaatnya. Orang-orang y ang tergeser
dari padukuhan Panawijen sebagian telah membuka daerah di
padang ini menjadi daerah persawahan y ang subur. Usaha itu
telah berkembang dan beberapa orang dari padukuhan lain
pun telah melakukan hal y ang sama di bagian-bagian yang
terpisah. Meskipun padang Karautan masih cukup luas, tetapi
padang Karautan akan segera berubah menjadi taman yang
Pedang Golok Yang Menggetarkan 2 Tujuh Pembunuh Qi Sha Shou Karya Gu Long Anak Naga 20

Cari Blog Ini