Satria Lonceng Dewa 5 Meringkik Di Lembah Hantu Bagian 1
MERINGKIK DI LEMBAH HANTU
Bastian Tito MIMBA PURANA PENDEKAR BHUMI MATARAM
2 Memandang ke depan kaget Ki Joran Dhamakaru
jadi bertambah -tambah. Sepasang mata mendelik
terbeliak. Di depan sana berdiri satu sosok berpakaian
putih. "Binatang atau manusia atau mahluk jejadian...".
Tubuh manusia, bicara seperti manusia tapi kepala
dan kaki seperti kuda. Berbulu putih..astaga!
Mahluk aneh itu telah mencabut tombak Naga
Sungkem dari tanah..."
"Kembalikan tombakku!" Teriak Ki Joran Dhamakaru.
Mahluk di antara dua batang pohon tertawa. Suara
tawanya aneh. Antara suara tawa manusia dan
ringkikan kuda!
"Siapa saja yang berani datang ke Lembah Hantu
berarti dia telah menyerahkan segala-galanya padu
penguasa lembah. Termasuk nyawanya! Apa lagi
cuma sebatang tombak butut begini! Ha....ha..ha..!"
3 1. MAHLUK ANEH MELINTAS DI MALAM DINGIN
Desa Gentasari yang terletak di pedataran subur di
sisi utara Kali Oyo masih tenggelam dalam kegelapan
malam serta udara luar biasa dingin karena sore sebelumnya
hujan turun sangat tebal. Kesunyian yang
menyelimuti desa dipecah oleh suara roda gerobak
ditarik seekor kuda coklat besar. Walau kuda penarik
gerobak sudah lari kencang seperti dikejar hantu di
jalan yang becek namun pemuda yang menjadi sais
masih saja terus menghujani punggung binatang itu
dengan cemeti di tangan kiri sementara tangan kanan
memegang tali les kuda kencang-kencang.
Dari kejauhan gerobak tampak seperti kosong,
tidak ada barang tidak ada penumpang. Namun di
lantai gerobak saat itu terkapar dua sosok mayat
Keduanya laki-laki berusia muda. Kepala dan tubuh
mereka utuh, tidak tampak ada bekas luka atau
pukulan, juga tidak ada noda darah. Namun sepasang
mata mereka kelihatan membeliak besar seperti mau
berlompatan dari rongganya. Agaknya sebelum
menemui ajal kedua orang Ini telah melihat sesuatu
yang sangat menakutkanl
Di depan sebuah rumah besar berpekarangan
luas, sais hentikan gerobak. Sebelum dia melompat
turun, pintu depan rumah besar terbuka lebar.
Seorang lelaki berpakaian serba hitam keluar,
mendatangi dengan cepat. Walau wajah garang
berkumis tebal dan berjanggut lebat namun air
mukanya tampak letih karena kurang tidur sejak dua
malam yang lalu.
Wanadhaya pemuda sais gerobak melompat
turun. Sebelum dftanya dia sudah jatuhkan diri di
hadapan lelaki yang barusan keluar dari rumah. Walau
4 suara terbata-bata karena nafas mengengah, dia cepat
berkata. "Bapak Kepala Desa, KI Joran Dhamakara, saya....
saya berhasil menemukan mereka. Tapi" Si pemuda
tidak meneruskan ucapan. Dia berpaling ke arah
gerobak. KI Joran Dhamakara yang adalah Kepala Desa
Gentasari segera menghampiri gerobak. Memandang
ke dalam dan melihat dua mayat pemuda yang
tergeletak di lantai gerobak wajah kuyunya berubah
tegang membesi. Setelah menarik nafas dalam dia
berucap perlahan.
"Dewa Bathara Agung.... Aku sudah menduga
Kepala Desa Ini ulurkan tangan, singkap baju
yang dikenakan dua pemuda yang telah menjadi
mayat. Pada masing-masing dada mayat dia melihat
jelas tanda kebiru-biruan berbentuk ladam atau tapal
kuda. "Kematian dua pemuda ini sama dengan dua
pemuda terdahulu. Ada tanda ladam kuda di
dada....Apakah benar-benar seekor kuda yang telah
membunuh mereka" Akalku tidak bisa menerima...
Tapi banyak orang mengatakan mendengar suara itu.
Suara ringkik kuda...."
"KI Joran, apa yang harus kita lakukan..." "bertanya
Wanadhaya. "Bangunkan tetangga. Jenasah dua pemuda ini
harus diurus malam Ini juga. Paling lambat pada fajar
menyingsing keduanya bisa diperabukan. Jangan lupa
memberi tahu kejadian Ini pada kedua orang tua
mereka." Wanadhaya segera hendak beranjak dari tempat
itu. Namun bahunya dipegang oleh Kepala Desa.
"Wanadhaya, dua pemuda sahabatmu ini,
apakah mayatnya kau temukan di tempat yang sama
dengan dua mayat yang ditemukan penduduk
sebelumnya?"
5 "Benar sekail KI Joran "
"Benar sekali apa?"
"Sa...saya menemukan mereka tak jauh dari
Lembah Hantu...."
"Lembah Hantu" Ki Joran Dhamakara
berucap perlahan. "Bagaimana lembah itu tiba-tiba
saja di beri nama Lembah Hantu. Ada berita tersebar
kalau di situ kini ada penghuni seorang sakti yang
konon siap menurunkan ilmu kepandaian kepada siapa
saja yang bisa menemuinya, terutama para pemuda.
Anehnya hampir setiap malam dari arah lembah
terdengar suara kuda meringkik. Para pemuda
pemberani mendatangi lembah untuk mendapatkan
ilmu kesaktian. Yang mereka dapatkan justru
kematianl Sembilan pemuda pergi ke lembah. Hanya
empat yang kembali. Itulah dalam keadaan mati. Lalu
kemana mereka yang berlima..."
Kepala Desa berpaling pada Wanadhaya, pemuda
yang tegak di sampingnya.
"Sebelum kau pergi, siapkan kudaku...."
"Bapak Kepala Desa mau pergi kemana?" tanya
Wanadhaya. "Sudah empat penduduk desa menemui ajal. Lima
orang tidak diketahui nasib keadaannya. Apakah aku
hanya akan berpangku tangan" Saatnya aku
melakukan sesuatu."
"Maksud Ki Joran. mau pergi ke Lembah Hantu..."
"Apapun namanya aku harus pergi ke sana.
Siapkan saja kudaku. Jangan banyak tanya lagil"
jawab Kepala Desa Gentasarl lalu masuk ke dalam
rumah. Ketika Wanadhaya kembali ke halaman depan
membawa seekor kuda hitam besar. KI Joran sudah
menunggu. Kini dia mengenakan pakaian ringkas
warna kelabu. Sebilah keris bersarung perak terselip
di pinggang. Di tangan kanan Kepala Desa Ini
memegang sebatang tombak yang ujung lancipnya
6 dilapis perak murni. Dalam kegelapan malam ujung
tombak tampak memancarkan cahaya terang. Pada
bagian bawah mata tombak memancarkan cahaya
terang. Pada bagian bawah mata tombak terdapat
ukiran berbentuk naga bergelung. Inilah salah satu
senjata sakti milik KI Joran Dhamakara yang konon
bernama Naga Sungkem. DI leher Kepala Desa
tergantung sebuah kalung kain hitam tebal berbentuk
empat persegi. "KI Joran...." berkata Wanadhaya. "Kalau KiJoran
hendak ke Lembah Hantu, sebaiknya jangan
sendirian.."
"Kau hendak menemaniku?" tanya Kepala Desa.
Wajah si pemuda langsung pucat Dia susun
sepuluh jati di atas kepala seraya berkata. "Kalau
disuruh ke sana lagi, saya minta ampun. Tapi saya
bisa memanggil beberapa orang teman untuk
menemani Ki Joran:.."
"Tidak ada gunanya." Kata Kepala Desa pula.
"Dengar baik-baik. Kalau sampai tengah hari besok
aku tidak kembali ke desa Ini, berarti aku sudah
menemui ajal. Cari mayatku di dalam lembah...."
Ucapan Kepala Desa terputus. Tiba-tiba terdengar
suara meringkik disertai derap kaki kuda mendatangi.
KI Joran Dhamakara dan Wanadhaya terkejut.
Keduanya segera palingkan kepala. Cepat sekali.
hanya sekilas dan itupun nyaris menyerupai bayangbayang,
di hadapan mereka bergemuruh lewat mahluk
aneh. Dalam sekejapan mata mahluk itu telah lenyap.
Wanadhaya usap tengkuknya yang terasa dingin.
Ki Joran masih kelihatan tenang walau dadanya
berdebarkencang.
"Ki..Ki Joran....Mahluk apa yang barusan lewat...?"
bertanya Wanadhaya sementara mata masih menatap
tak berkesip ke arah lenyapnya mahluk-mahluk
bayangan tadi, kuduk masih merinding.
"Tak dapat dipastikan. Aku hanya melihat
7 sekilas. Jumlah mereka mungkin lebih dari sepuluh.
Hantu lembah atau mahluk jejadian apa. Kalau benarbenar
kuda mengapa tubuh mereka tegak seperti
manusia Kalau manusia mengapa berkepala dan
meringkik seperti kuda."
Wanadhaya memandang ke tanah lalu berkata.
"Aneh...mengapa di tanah tidak ada bekas jejak
kaki mereka" Padahal tanah dalam keadaan becek.
Tadi jelas sekali terdengar suara kaki seperti tapal
kuda mendera tanah yang mereka lewati..."
"Ini keanehan yang harus aku selidiki," sahut
Kepala Desa. "Yang disebut Lembah Hantu jauh dari
sini. Jika mahluk-mahluk Itu sudah gentayangan
sampai ke sini berarti mereka mencari sesuatu. Berarti
bahaya sudah semakin meluas mengancam penduduk.
Wanadhaya, lakukan tugas yang aku berikan
padamu..." Lalu tanpa bicara lebih banyak KI Joran
Dhamakara melompat ke atas punggung kuda. Sesaat
kemudian sosok Kepala Desa Qentasari ini bersama
kuda tunggangannya sudah lenyap ditelan kegelapan.
8 2. MAHLUK "TUMAN KEKU"
Kawasan sepanjang utara Kail Oyo merupakan
daerah subur. Di sana terdapat beberapa buah lembah
dengan kemiringan sangat cukup tajam, nyaris
membentuk jurang lebar hingga tidak ada penduduk
yang mau bercocok tanam disitu. Salah satu lembah
yang paling besar terletak di bagian tengah di utara
Dlingo, sekitar selengah hari perjalanan dari Desa
Gentasari. Inilah yang oleh penduduk sekitar
kawasan Itu disebut-sebut sebagai Lembah Hantu. Di
masa lalu masih ada penduduk yang melintas atau
turun ke dalam lembah Namun sejak diketahui adanya
peristiwa-peristiwa aneh yang terjadi di tempat itu,
kini tidak seorangpun berani mendekat Konon pada
malam hari sering terdengar suara ringkikan kuda
Selain itu pada slang hari, kerap kali terlihat
serombongan mahluk aneh berkelebat cepat, keluar
atau masuk ke dalam lalu lenyap begitu saja dengan
meninggalkan suara derap kaki kuda di kejauhan.
Karena tahu jalan memintas dan memacu kuda
sekencang yang bisa dilakukannya, jauh sebelum
sang surya terbit di timur Ki Joran Dhamakara telah
sampai di bibir lembah sebelah selatan. Dalam
kegelapan yang masih menghitam dia nyaris tidak
melihat apa-apa selain deretan pepohonan serta
semak belukar lebat Namun Kepala Desa yang
memiliki Ilmu kesaktian cukup tinggi ini selagi di atas
punggung kuda sudah mampu merasakan bahwa di
sekitar lembah ada sesuatu. Sesuatu yang bernyawa
dan bernafas seperti dirinya. Banyak sekali. Tetapi
belum tentu bisa dikatakan sebagai manusia.
Setelah merapal doa keselamatan, menggosokkan
jimat kain hitam di atas kening dan memegang tombak
Naga Sungkem erat-erat di tangan kanan, KI Joran
9 Dhamakara memandang sekali lagi berkeliling. Gelap,
sunyi dan dingin.
Perlahan-lahan Kepala Desa Gentasari ini tundukkan
kepala, mulut didekatkan ke kuda hitam
tunggangannya lalu berbisik.
"Bayu Ireng, meringkiklah tiga kali. Jika kita
mendapat sahutan berarti lembah ini memang ada
penghuninya...." Selesai mengeluarkan ucapan Ki
Joran Dhamakara usap tengkuk kuda hitam dengan
tangan kiri sambil merapal mantera. Lalu dengan
tangan yang sama dia menepuk pinggul binatang Itu.
"Sekarang Bayul Meringkiklah!"
Mendengar ucapan sang majikan serta tepukan
pada pinggul, seolah mengerti apa yang diperintahkan
kuda hitam besar itu lalu dongakkan kepala dan
meringkik tiga kali berturut-turut.
Tidak menunggu lama tiba-tiba dari dasar lembah
sebelah timur terdengar sahutan ringkik kuda, hanya
dua kali. Suara ringkikan ke tiga mendadak lenyap
seolah mahluk yang meringkik dicekik atau ditabas
Satria Lonceng Dewa 5 Meringkik Di Lembah Hantu di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
batang lehernyal
"Arah timur. Kira-kira dua ratus tombak dari sini...
Bayul Cepatl"
Kuda hitam kibaskan ekor lalu berputar dan lari
dengan sebat ke arah timur.
DI DASAR lembah sebelah timur dari atas
sebatang pohon besar melesat turun seorang
berpakaian putih. Gerakan luar biasa enteng, pakaian
yang diterpa angin tidak mengeluarkan suara. Begitu
juga ketika dua kakinya menginjak tanah. Dua kaki
ini, Ternyata bukan berbentuk kaki manusia.
melainkan merupakan kaki kuda lengkap dengan
ladam besinya, berbulu putih, dan di sebelah atas,
mulai dari pangkal leher orang ini memiliki kepala
10 menyerupai kuda berbulu putih. Yang hebatnya, di
tangan kanan mahluk bertubuh manusia kepala dan
kaki kuda ini memegang sebilah golok besar
berlumuran darah.
Setelah lari cukup jauh orang Ini sampai dihadapan
dua pohon besar. Dia langsung menyelinap diantara
dua batang pohon. Golok berdarah diselipkan ke
pinggang. Tangan kiri kanan memegang pohon lalu
menekan. Terdengar suara siuran angin halus.
Tanah yang diinjak sepasang kaki kuda orang itu
bergerak turun. Sesaat kemudian mahluk bertubuh
manusia berkaki dan berkepala kuda lenyap seperti
ditelan bumi. Tak selang berapa lama, jauh di dasar lembah
yang oleh penduduk disebut sebagal Lembah Hantu
mahluk berpakaian putih berkepala kuda berbulu
coklat tadi sampai ke sebuah pedataran luas. Di sini
terlihat satu pemandangan hebat! Lima puluh sosok
manusia berkepala dan berkaki kuda berbulu putih
tegak lurus dalam dua barisan memanjang. Tidak
satupun yang bergerak atau bersuara, bahkan
sepasang mata menatap lurus ke depan, tidak
berkedip barang satu kallpunl Namun ketika orang
berpakaian putih muncul di ujung pedataran sebelah
barat dan melangkah cepat melewati mereka, ke lima
puluh manusia berkepala kuda Ini serentak samasama
tundukkan kepala. Setelah orang tadi lewat baru
mahluk-mahluk itu kembali luruskan kepala masingmasing
seperti dia. Sampai di ujung pedataran sebelah timur orang
berkepala kuda putih berlutut lalu bersujud dan
menyentuhkan kening tiga kali ke tanah. Pada kail ke
tiga kening tetap ditempel di tanah dan baru bangkit
berdiri ketika ada kilauan cahaya tiga warna
memancar dari dalam tanah.
"Kanjeng Panglima, saya Abdika Brathama datang
membawa berita buruk...."
11 Cahaya tiga warna bergerak ke kiri dan ke kanan.
Lalu ada suara gema jawaban, datang dari dalam
tanah. "Abdika Brathama, ceritakan berita buruk apa
yang kau bawa"
"Ada penyusup memasuki Lembah Hantu dari
arah selatan. Dia berhasil memancing keberadaan kita
dengan menyuruh kudanya meringkik. Ringkikan telah
dibalas oleh Ceti Kanwa, kuda coklat pengiring
saya...." "Ceti Kanwa berasal dari orang berkepandaian
cukup tinggi. Tidak mungkin dia bisa terpengaruh
suara dari luar...."
"Saya kira ada orang berkepandaian lebih tinggi
dari Ceti Kanwa menerapkan Ilmu kesaktian. Besar
kemungkinan dia adalah pemilik kuda yang meringkik
di lembah arah selatan. Ceti Kanwa mungkin tidak
sengaja balas meringkik karena menyangka kawan
sendiri..."
"Sengaja atau tidak sengaja kesalahan telah terjadi.
Orang luar telah mengetahui keberadaan kita.
Tindakan apa yang telah kau lakukan Abdika
Brathama?" Suara di dalam tanah bertanya dan
cahaya tiga warna berkilau lebih terang.
"Saya telah menjagal kepala Ceti Kanwa hingga
putusl" Menjawab mahluk berkepala kuda putih yang
menyebut diri Abdika Brathama.
"Bagusi Setiap kesalahan ada hukumnya. Siapa yang
salah wajib dihukum. Tapi Ingin bukti! Tunjukkan
buktil" Abdika Brathama cabut golok besar yang terselip
di pinggang. Golok yang masih berlumuran darah itu
diletakkan di tanah. Sesaat kemudian cahaya tiga
warna kembali bergerak dan dari dalam tanah
terdengar suara.
"Abdika Brathama, golok berdarah tidak
membuktikan apa-apa. Perlihatkan padaku secara
12 gaib apa yang telah kau lakukan. Jika kau berdusta
maka golok itu akan kupakai memenggal kepalamul
Aku punya tanggung Jawab besar yang harus aku
berikan pada Junjunganl"
"Mohon izinmu kanjeng Panglima," kata Abdika
Brathama. Setelah membungkuk dalam-dalam lalu manusia
berkepala dan berkaki kuda berbulu putih Ini membuat
gerakan-gerakan silat. Gerakannya luar biasa enteng
dan cepat Dua kaki yang dilapisi ladam besi sama
sekali tidak mengeluarkan suara walau berulang kali
menghentak tanah pedataran hingga debu mengepul.
Setelah tiga jurus berlalu dia berhenti, menarik nafas
dalam. Bersamaan dengan melepas nafas dia
bentangkan dua tangan ke sisi kiri dan kanan.
Saat itu juga muncul asap kelabu, bergelung
keluar dari tanah. Asap ini berlahan-lahan berubah
membentuk sosok seekor kepala kuda berwarna
coklat, bersambung dengan tubuh manusia berjubah
hitam yang kemudian berakhir pada sepasang kaki
berupa kaki kuda lengkap dengan tapal besi. Inilah
Ceti Kanwa. mahluk seperti Abdi Brathama, tubuh
manusia tapi kepala dan kaki berujud kuda. Selama
Ini Ceti Kanwa selalu menyertai kemana Abdika
Brathama pergi.
DI saat yang bersamaan, muncul pula kepulan
asap kedua berwarna putih yang kemudian berbentuk
ujud sosok Abdika Brathama.
Di kejauhan terdengar ringkikan kuda tiga kali.
Mendengar suara ringkikan ini Ceti Kanwa, manusia
kuda berbulu coklat dongakkan kepala, siap
membalas ringkikan.
Sosok asap Abdika Brathama berteriak memberi
ingat "Ceti Kanwal Jangan dibalas ringkikan itul"
Tapi terlambat.
Dari tenggorokan Ceti Kanwa telah melesat keluar
13 dua kail ringkikan. Ketika dia hendak meringkik yang
ke tiga kali, sosok gaib Abdika Brathama segera
mencabut golok besar dan langsung membabat putus
leher Ceti Kanwa.
Abdika Brathama yang tegak di pedataran, mainkan
kembali tiga jurus Ilmu silat aneh. Perlahan-lahan
kepulan asap lenyap. Sosok Ceti Kanwa dan Abdika
Brathama ikut sirna.
"Kanjeng Panglima, begitulah kira-kira kejadiannya,"
kata Abdika Brathama.
"Bagusi Aku sudah melihat kenyataan. Aku sudah
melihat buktil" Suara dari alam tanah berucap.
"Terima kasih Kanjeng Panglima mempercayai
saya..." "Tapi menerima bukti dan melihat kenyataan
belum berarti aku mempercayai dirimu. Ada yang
Ingin aku tanyakan. Setelah semua Ini terjadi apa
yang akan kau lakukan?"
Abdi Brathama terdiam sesaat baru menjawab.
"Saya mengerti maksud Kanjeng Panglima. Saya
akan menghadap penyusup itu sebelum dia menemukan
tempat ini dan membunuhnya. Kecuali
Kanjeng Panglima berkehendak lain...."
"Si penyusup, apakah kau mengenal siapa dia
adanya?" tanya suara dari dalam tanah sementara
cahaya tiga warna kembali bergerak-gerak.
"Saya mengenal sekail Kanjeng Panglima.
Namanya Joran Dhamakara. Dia Kepala Desa
Gentasari...."
"Apakah dia memiliki ilmu kepandaian dan
kesaktian?"
"Setahu saya ilmu silatnya cukup tinggi.
Kesaktiannya lumayan. Selain itu dia membekal tiga
benda bertuah..."
"Ceritakan padaku mengenai tiga benda bertuah
itu" "Yang pertama sebuah jimat, dibungkus kain
14 hitam persegi empat dikalung di leher. Benda kedua,
sebilah keris bersarung perak. Yang ketiga sebatang
tombak bermata perak murni bernama Naga Sungkem."
"Apakah Kepala Desa Itu berasal dari selatan atau
utara?" "Selama puluhan tahun dia tinggal di wilayah
selatan. Hubungannya dengan Kerajaan di utara tidak
terialu dekat.."
"Kalau begitu orang tersebut Jangan dibunuh.
Kita akan memasukkannya ke dalam jajaran Balatentara
Mataram Baru. Jimat di dalam kain dan keris
berurung perak tidak ada manfaatnya, harus kau
musnahkan. Tapi tombak Naga Sungkem harus kau
rampas dan serahkan padaku sebelum sang surya
mencapai titik tertingginya, hari inil"
"Ucapan Kanjeng Panglima saya dengar. Perintah
segera saya jalankan! Satu hal perlu saya beritahukan.
Ki Joran Dhamakara memiliki seekor kuda hitam
bernama Bayu Ireng..."
"Aku tahu maksudmu. Jadikan dia mahluk Tuman
Keku. Satukan sang kuda dan majikannya!"
(Tuman Keku = Tubuh Manusia Kepala dan Kaki Kuda)
"Akan saya laksanakan Kanjeng Panglima.
Namun saya ada satu pertanyaan. Apakah dia akan
diberi kemampuan bicara atau bisu seribu bahasa
seperti Tuman Keku yang lain-lainnya?"
"Berikan dia kemampuan bicara. Tapi dia hanya
bisa bicara jika kita tanya dan perintah. Lain dari Itu
dia tetap mahluk bisu seribu bahasa."
"Terima kasih Kanjeng Panglima, Perintah akan
segera saya laksanakan."
Abdika Brathama lalu bersujud dan sentuhkan
kening tiga kali ke tanah. Saat itu juga cahaya tiga
warna lenyap dari pemandangan. Pembantu Utama
mahluk yang disebut Kanjeng Panglima Ini ambil
golok yang tergeletak di tanah lalu cepat-cepat
15 tinggalkan tempat itu.
16 3. KERAJAAN MATARAM BARU
HANYA beberapa saat setelah Abdika Brathama
meninggalkan pedataran rahasia di bawah dasar
Lembah hantu tiba-tiba terdengar suara deburan
ombak serta tiupan angin kencang. Lima puluh mahluk
berkepala dan berkaki kuda yang ada di pendataran
langsung berlutut lalu bersujud di tanah.
Di satu tempat dari mana tadi suara Kanjeng
Panglima keluar dari tanah terdengar suara berat
menggema yang menggetarkan tanah pedataran.
Maka terjadilah pembicaraan antara dua mahluk yang
tidak kelihatan ujud masing-masing. Sesekali ada
cahaya tiga wama merah, biru dan hitam memancar
dari dalam tanah.
"Panglima Pawang Sela, aku perintahkan agar
kau segera datang ke tempatku...."
"Junjungan Sri Maharaja Mataram Baru. saya
mendengar suaramu. Saya menghaturkan sembah dan
sujud dan saya akan segera menghadap Junjungan
saat ini juga...."
"Aku punya firasat kita belum tentu akan berhasil
mendapatkan dua bayi begitu mereka dilahirkan
secara gaib. Berarti kita hanya punya waktu enam
purnama lagi sebelum dua bayi mencapai usia tujuh
bulan. Mereka bukan bayi-bayi biasa. Pada usia tujuh
bulan keduanya akan sama dengan anak seusia tujuh
tahun. Sebelum hal itu terjadi, kau harus sudah
mendapatkan tujuh puluh satu Tuman Keku. Jumlah
yang disyaratkan untuk melakukan serangan pertama
ke utara Dua bayi itu harus dibunuh. Kalau tidak usaha
selanjutnya untuk meruntuhkan Kerajaan Mataram
dan mendirikan Mataram baru akan mengalami lebih
banyak kendala dan kesulitan. Kau dengar kata-kataku
Panglima Pawang Sela...?"
17 "Saya dengar Junjungan."
"Kau mengerti"!"
"Saya mengerti Junjungan Yang dengan segala
hormat saya sebut sebagai Sri Maharaja Ke Delapan."
"Baik. aku tunggu kedatanganmu di lapis ketiga
dasar Lembah Hantu."
Terdengar kembali suara deru ombak dan tiupan
angin kencang. Lalu lenyap dan sepi. Lima puluh
Satria Lonceng Dewa 5 Meringkik Di Lembah Hantu di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
manusia berkepala dan berkaki kuda yang ada di
pedataran secara bersamaan berdiri kembali.
KI JORAN Dhamakara hentikan kuda di lereng
lembah yang terjal lalu melompat turun. '
"Bayu Ireng...." kata Kepala Desa Gentasari ini
sambil mengusap tengkuk kuda hitam. "Menuruni
lembah terjal dan licin akan sangat sulit bagimu. Aku
akan meneruskan perjalanan dengan jalan kaki. Kau
kembalilah ke desa. Tak usah menunggu...."
Kuda hitam menjilati tangan majikannya tapi
sampai Ki Joran Dhamakara beranjak pergi binatang
Ini masih tetap berdiri di tempat itu. Kuda yang sangat
setia pada majikannya itu kemudian ternyata tanpa
diketahui Ki Joran Dhamakara diam-diam mengikuti
dari belakang. Mencapai dasar lembah Kepala Desa berhenti
sejenak. Saat itu mulai terang-terang tanah karena tak
lama lagi fajar akan segera menyingsing. Sambil
memegang jimat di tangan kiri dan tombak Naga
Sungkem di tangan kanan lelaki Itu berkata.
"Naga Sungkem, aku merasakan ada mahluk lain
di sekitar sini. Beri petunjuk padaku..."
Ki Joran Dhamakara memandang berkeliling,
memperhatikan ke atas pohon-pohon besar di
sekitarnya. Dia tidak melihat apa-apa. Tiba-tiba
tombak sakti di tangan bergetar. Mata tombak yang
terbuat dari perak mumi mengeluarkan cahaya
berpijar. Tanpa dapat dicegah tombak itu terlepas dari
18 tangan Kepala Desa lalu melesat sejauh tiga puluh
langkah untuk kemudian menancap di tanah antara
dua batang pohon besar.
"Bagus, tombak Naga Sungkem berhasil
menemukan arah sumber suara ringkikan kuda tadi.
Dewa Agung, tolong saya menemukan sumber
malapetaka. Beri saya kekuatan untuk menumpas
semua angkara murka di Bhumi Mataram ini" Ki Joran
Dhamakara memanjatkan doa pada Yang Maha Kuasa.
Dengan cepat Kepala Desa Gentasari Ini kemudian
berlari ke arah dua pohon dimana tombak sakti Naga
Sungkem menancap di tanah, tiba-tiba ada satu
bayangan putih melesat disertai suara orang berseru
memerintah. "Joran Dhamakaral Cukup langkahmu sampai di
situl Berhentil Jangan berani bergerak sebelum aku
memberi ijin"
Dalam keterkejutan dan juga ada rasa jengkel,
Kepala Desa Gentasari hentikan langkah. Memandang
ke depan, ke arah celah dua pohon besar kaget orang
Ini jadi bertambah-tambah. Di depan sana berdiri satu
sosok berpakaian putih. Sepasang mata KI Joran
mendelik terbeliak.
"Binatang atau manusia atau mahluk jejadian..."
membatin Ki Joran Dhamakara. "Tubuh manusia,
bicara seperti manusia tapi kepala dan kaki seperti
kuda. Berbulu putih... Astagal Mahluk aneh ini telah
mencabut tombak Naga Sungkem dari tanah. Seperti
dia Ingin menguasai senjata sakti itu I"
Tidak peduli peringatan orang KI Joran
Dhamakara melangkah maju sambil berteriak.
"Kembalikan tombakku!"
Mahluk diantara celah dua pohon tertawa. Suara
tawanya aneh. Antara tawa manusia dan ringkikan
halus kuda. "Siapa saja yang berani datang ke Lembah Hantu,
19 berarti dia telah menyerahkan segala-galanya pada
penguasa Lembah Hantui Termasuk nyawanya.
Apalagi Cuma sebatang tombak butut begini.
Ha..ha...hal"
"Kurang ajar, siapa penguasa Lembah Hantu"
Katakan padakul Jangan berani menghina senjata
pusaka milikku. Mahluk salah bentuk. Kau sendiri
siapa" "
"Namaku Abdika Brathama. Aku mewakili
Penguasa Lembah Hantu. Dan aku tidak akan
mengembalikan tombak ini padamu."
"Mahluk salah kaprah! Kau pasti mahluk kutukan
Dewal Mewakili Penguasa Lembah Hantu katamu!
puah!" Ki Joran meludah ke tanah. "Bagiku kau tidak
lebih dari seorang penyamun bertopeng dan berkaki
palsu! Topeng kuda kaki kuda!"
Abdika Brathama tertawa tergelak-gelak.
'Tanggalkan topeng keparat itu atau topeng akan
aku buat melesat menjadi satu dengan batok kepala
dan wajahmu!"
"Joran Dhamakara, Kepala Desa Gentasari. Aku
sudah tahu. Aku sudah mengukur sampai dimana
ilmu kepandaian dan kesaktianmul Berserah dirilah
secara pasrah maka kau akan aku beri kedudukan
cukup tinggi sebagai anggota Pasukan Kerajaan
Mataram Baru yang ke lima puluh satu...."
"Mahluk celaka Ini tahu seluk beluk diriku..."
ucap Ki Joran Dhamakara dalam hati.
"Joran Dhamakara, kebetulan sekali kuda hitam
tungganganmu bernama Bayu Irong menyusul ke sini
hingga aku tidak susah-susah mencari pasangan
dirimu..."
Kepala Desa Gentasari itu terkejut Menoleh ke
belakang dia melihat Bayu Ireng, kuda yang
ditinggalkannya di lereng lembah sudah berada di
tempat itu. Bintang ini tampak gelisah. Ekor dikipas
tiada henti sementara kepala tidak bisa diam, selalu
20 bergerak ke kiri atau ke kanan, sesekali menyusup ke
bawah atau mendongak ke atas.
"Sesuatu akan terjadi. Ada bahaya besar
mengancam. Bukan cuma diriku, tapi juga kuda ini.
Bayu Ireng berusaha memberi tahu padaku dengan
semua gerakannya Itu..."
"Abdika Brathama, slapapun kau adanya. setan
atau mahluk jejadian. Kau mengaku mewakili
Penguasa Lembah Hantu. Berarti kau bertanggung
jawab atae kematian empat pemuda desa serta
lenyapnya lima pemuda lainnya!"
"Kau Kepala Desa yang baik. Tahu berapa jumlah
warga yang mati dan yang lenyapl Ditambah dengan
ilmu kepandaian yang kau miliki, serta tombak Naga
Sungkem yang kini menjadi milikku maka kau
memang pantas dijadikan anggota utama Pasukan
Kerajaan Mataram Baru..."
"Persetan dengan segala ucapanmu! Kembalikan
tombak itu atau kau akan..."
"Joran Dhamakara, kau inginkan tombak Ini"
Jika kau memang keliwat memaksa ambillah!"
Mahluk Tuman Keku Abdika Brathama ulurkan
tombak Naga Sungkem. KI Joran tidak segera
mengambil karena melihat mata tombak berkilau
mengeluarkan sinar berpijar pertanda orang telah
mengalirkan tenaga dalam ke senjata sakti itu. Dan
benar saja Tiba-tiba mahluk berkepala kuda putih itu
membuat gerakan menusuk ke arah dada Begitu yang
diserang mengelak melesat serangan susulan berupa
gebukan ke arah kepala.
"Traaangg."
Terdengar suara berdentrangan ketika tombak
menghantam batok kepala Ki Joran Dhamakara.
Abdika Brathama terkejut Dia menggebuk sekail lagi
dengan mengerahkan tambahan tanaga dalam.
Kembali terdengar suara berdentrang. Walau kail Ini
Ki Joran tampak terhuyung-huyung namun kepala
21 sama sekali tidak cidera. Dalam kejutnya Abdika
Brathama menjadi penasaran. Tongkat sakti digebukkan
ke kepala Kepala Desa itu bertubi-tubi hingga
mengeluarkan suara berdentrangan berulang kali.
Kepala tetap tidak cidera karena Ki Joran Dhamakara
memang memiliki ilmu kebal di bagian kepala yang
disebut Wesi Wulung. Namun hantaman yang
berulang kali membuat Kepala Desa itu tersenyum
pening berputar-putar.
Dalam keadaan seperti itu Ki Joran tarik kalung
jimat hitam di leher. Sambil meniup jimat yang
menimbulkan buncaran asap hitam dengan gerakan
kilat dia cabut keris di pinggang lalu dilemparkan ke
arah mahluk kepala kuda yang menggebukinya. Kena
menancap telak di dada kanan Abdika Brathama. Tidak
ada jerit kesakitan, tidak ada darah mengucur. Ketika
keris menancap di dada mahluk Tuman Keku ini
kelihatan ada cahaya tiga warna menerangi dadanya.
Sambil menyeringai Abdika Brathama cabut keris
yang menancap di dada kanan lalu dibanting hingga
amblas masuk ke dalam tanah. Bersamaan dengan itu
dia membuat gerakan kilat. Tombak Naga Sungkem
bergerak seperti hendak dihunjamkan ke ulu hati Ki
Joran Dhamakara. Namun begitu lawan membuat
gerakan mengelak Abdika Brathama miringkan tubuh
ke kiri lalu sambil keluarkan suara meringkik kaki
kanan melesat ka depan.
"Dukkl"
Kaki kanan berladam besi menghantam dada kiri
KI Joran Dhamakara dengan telak hingga kepala desa
itu terpental, jatuh meneler tang tak berkutik,
sepasang mata terbeliak. Mulut menganga
menggenang darah yang kemudian perlahan-lahan
meleleh ke pipi. Orang lain yang terkena tendangan
Tuman Keku Ini pasti menemui ajal saat itu juga,
seperti yang kejadian dengan empat pemuda desa
sebelumnya. 22 Melihat majikannya roboh Bayu Ireng kuda milik KI
Joran Dhamakara meringkik keras. Dua kaki diangkat
tinggi-tinggi dan ditendangkan ke arah Abdika
Brathama Tendangan kaki kiri mengenai angin. Tendangan
kaki kanan sebelah depan menghantam batang pohon
hingga hancur berkeping-keping lalu tumbang dengan
suara bergemuruh.
"Binatang jahanaml Kau memang pantas ikut
majikanmu!" teriak Abdika Brathama lalu tombak Naga
Sungkem ditusukkannya ke dada Bayu Ireng
Didahului suara ringkikan keras kuda hitam besar ini
tersungkur ke tanah, tergelimpang di samping tubu Ki
Joran Dhamakara tapi majikannya tidak segera
menemui ajal. Abdika Brathama tancapkan tombak Naga Sungkem
ke tanah. Lalu berdiri lurus dengan dua kaki
terkembang. Sepasang tangan membuat gerakangerakan
silat aneh hingga memancarkan cahaya tiga
warna. Tangan kiri kemudian didorongkan ke arah
kuda hitam Bayu Ireng sedang tangan kanan
diarahkan ke sosok Ki Joran Dhamakara. Saat Itu juga
tubuh kuda dan majikannya mengeluarkan letupan
keras disertai kepulan asap kelabu. Ketika asap kelabu
sirna Bayu Ireng dan Ki Joran Dhamakara tak ada lagi
di tempat Itu. Yang kelihatan terbujur di tanah adalah
sosok manusia berpakaian hitam, memiliki kepala dan
kaki kuda berbulu hitam. Kuda dan majikannya telah
berubah menjadi mahluk Tuman Keku.
"Joran Dhamakara. kau sudah menjadi anggota
ke lima puluh aatu Pasukan Kerajaan Mataram Baru.
Berdirilah dan meringkik satu kali tanda kau setia
kepada Kerajaan dan Junjungan Sri Maharaja Ke
Delapanl" Sosok Tuman Keku yang tergeletak di tanah,
gabungan antara tubuh manusia dan tubuh kuda
menggeliat lalu melompat bangkit Begitu berdiri
23 mahluk ini dongakkan kepala dan meringkik satu kali.
24 4. MAYAT GEDE KABAYANA LENYAP
DALAM serial sebelumnya berjudul "Dewi Tangan Jerangkong"
diriwayatkan ketika hampir celaka di
tangan orang bermuka anjing yang mengaku bernama
Dharma Soma, Liris Pramawari alias Dewi Tangan
Jerangkong diselamatkan oleh Sri Sikaparwathi dan
kura-kura saktinya. Si nenek meminta Dewi
Tangan Jerangkong untuk tidak membunuh manusia
berkepala anjing itu karena ingin lebih dulu menguras
keterangan. Si nenek sangat curiga kalau orang ini
mempunyai sangkut paut dengan semua kejadian
belakangan ini. Termasuk rahasia Sumur Api serta
cahaya tiga warna. Namun hanya sedikit keterangan
yang bisa didapat Karena sewaktu dipaksa
menerangkan siapa yang dimaksudkannya dengan Sri
Maharaja Ke Delapan manusia aneh Ini memukul
kepalanya sendiri dengan dua tangan hingga hancur
dan tewas saat itu juga.
Marah dan penasaran Dewi Tangan Jerangkong
lemparkan tiga senjata rahasia besi bulat pipih
berwarna biru milik manusia kepala anjing yang sejak
tadi dipegangnya, tiga senjata maut masuk amblas ke
dalam tubuh orang yang sudah tak bernyawa itu.
Tubuh meletup keras terkutung-kutung. Cahaya tiga
warna mencuat ke langit, lenyap dari pemandangan.
"Cahaya merah, biru dan hitam..." ucap Sri
Sikaparwathi. "Kecurigaanku pada manusia berkepala
anjing ini ternyata tidak keliru. Aku pernah melihat
sebelumnya. Selain luar biasa sakti, aku punya
Satria Lonceng Dewa 5 Meringkik Di Lembah Hantu di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
dugaan ada satu rahasia dibalik tiga cahaya inil
Ada pemilik yang sekaligus menjadi pengendali.
Mahluk yang pernah menggandakan diriku" Manusia
25 kepala anjing ini jelas dia merupakan kaki tangan
orang sakti dibalik semua kejadian. Dia begitu
ketakutan dan tidak mau membuka rahasia siapa
adanya Sri Maharaja Ke Delapan. Dia lebih memilih
mati bunuh diril"
"Nenek berpakaian Jingga, aku yang telah kau
tolong menghanturkan banyak terima kasih.
Sementara aku masih berusaha berbuat kebajikan, kau
telah mendahului. Semoga Hyang Bathara Dewa
memberi pahala berlipat ganda padamu."
Sri Sikaparwathi berpaling ke arah Dewi Tangan
Jerangkong yang saat itu telah berdiri di sampingnya
sambil membungkuk dalam. Si gadis kemudian
menatap ke atas kepala si nenek dimana bertengger
Cahyo Kumolo. kura-kura sakti hijau bermata merah.
Mulutnya tersenyum lalu berucap.
"Sahabat bertubuh hijau bermata merah, aku
tahu kau juga tadi menolongku dengan semburan
cahaya merah dari dua matamu. Aku berterima
kasih..." Kura-kura di atas kepala nenek menggerakkan
kepala sedikit lalu keluarkan suara mendesis
halus. Kemudian Dewi Tangan Jerangkong yang
sebenarnya bernama Liris Pramawari berkata
lagi. "Mengenal cahaya tiga warna, saya pernah bertemu
dengan seorang pemuda. Namanya sebayang
Kaligantha. Menurut pemuda itu dia memiliki sebuah
jimat, menjadi satu dengan tubuhnya. Namun jimat Itu
kemudian dirampas orang dengan cara menjebol
dadanya. Katanya, Jimat itu memiliki cahaya merah,
biru dan hitam..."
"Gadis berwajah cantik. Kalau begitu ceritamu,
aku, mungkin juga beberapa orang pandai di Bhumi
Mataram ini merasa perlu menemui dan mencari
pemuda itu untuk ditanyai..." Ucapan nenek menEbook
by Tiraikasih ( Kang Zusi ), Scan by Syaugy_ar
26 dadak terputus ketika tak sengaja pandangannya
membentur tangan kanan gadis di hadapannya
dimana sebatas pergelangan tangan kebawah yaitu
sampai ke ujung jari hanya merupakan tulang tanpa
kulit tanpa daging. Dia melirik ke tangan kiri, ternyata
keadaannya juga sama. "Maafkan, aku tidak bermaksud..."
"Tidak apa Nek, keadaan saya memang seperti
Ini..." Sri Sikaparwathi sebenarnya hendak bertanya
apa yang terjadi hingga dua tangan si gadis
berkeadaan seperti itu. Apakah cacat sejak lahir atau
ada penyebab yang lain. Namun merasa tidak enak
maka nenek Ini mengalihkan pembicaraan.
"Sebelumnya aku melihatmu berteriak di tepi
jurang. Lalu kau terjun ke dalam jurang dalam dan
gelap. Namun kemudian ada dua orang bertubuh
hitam keluar dari jurang besar bekas ledakan Sumur
Api. Salah seorang diantaranya memanggul sosok
perempuan. Kau kulihat melesat keluar dari jurang,
mengejar kedua orang hitam itu. Aku mengikutimu
dari belakang. Namun kemudian aku temui kau tengah
bertarung dengan manusia berkepala anjing itu. Apa
yang telah terjadi" Siapa dua orang yang melesat
keluar dan dalam jurang?"
"Sebenarnya saya bermaksud mencari seorang
teman bersama dua pengikutnya yang masuk ke dalam
jurang. Tapi setengah jalan saya justru melihat ada
dua orang lelaki kembar hitam melesat keluar dari
dalam jurang yang gelap. Masing-masing memboyong
seorang bayi. Lalu yang satunya juga
memanggul seorang perempuan. Saya membatalkan
niat mencari teman tadi lalu mengejar dua orang
kembar hitam. Tapi sebelum berhasil tahu-tahu
muncul mahluk kepala anjing itu. Rupanya dia yang
berada di sebelah depan juga tengah berusaha
mengejar dua orang lelaki kembar hitam. Hanya saja,
27 karena saya mengacaukan jalan pikirannya maka dia
terpesat dan justru lari ke arah saya..." ,
"Aku yakin manusia kepala anjing Itu mengejar
dua manusia hitam untuk merampas bayi..."
membatin Sri Sikaparwathi. Lalu dia menatap wajah
Liris Pramawari. "Kau mampu mengacaukan jalan
pikiran orang hingga berbalik ke arahmu. Semuda
ini tapi ilmu kesaktianmu tinggi sekali. Gadis cantik
berkerudung putih, kalau aku boleh tahu dirimu,
siapakah kau adanya" Siapa gurumu" Mengapa
mementingkan mengejar orang yang melarikan dua
bayi dari pada mencari teman sendiri?"
Liris Pramawari menyesal telah terlepas bicara
mengenal Ilmu mengacaukan jalan pikiran orang itu.
Dia sama sekali tidak ada niat untuk menyombongkan
diri. Dia bicara tadi polos-polos saja. Karena walau
Ilmunya tinggi dan jalan pikirannya jernih namun
sebagai gadis muda usia dia tetap saja mempunyai
sifat lugu. "Menurut Nenek, apakah tidak aneh kalau ada
dua bayi keluar dari dalam jurang dalam dan gelap.
Diboyong dua lelaki kembar. Malah yang satunya
membawa seorang perempuan muda?"
"Kau yakin yang dibawa dua orang itu benarbenar
bayi?" tanya Sri Sikaparwathi."
"Saya mendengar suara tangisan mereka Nek,"
jawab Dewi Tangan Jerangkong.
SI nenek merenung sejenak. Tadi dia juga memang
mendengar suara tangisan dua bayi itu. Dia lalu
teringat pada Gading Bersurat serta cerita yang
berkembang di kalangan para tokoh di Bhumi
Mataram. Walau dia hanya mengetahui sebagian
tulisan sedikit cerita namun hatinya berdetak. "Dua
orang bayi. Jangan-jangan anak perawan pilihan Para
Dewa itu benar-benar telah melahirkan." Si nenek
memandang pada mayat orang berkepala anjing.
28 "Setiap ada kejadian aneh atau terjadi pembunuhan,
cahaya tiga warna selalu muncul. Apakah....Sri
Maharaja Ke Delapan. Siapa adanya insan itu" Apakah
dia benar-benar ada?"
"Nek...?"
Sri Sikaparwathi tersentak dari renungannya lalu
cepat-cepat tersenyum.
"Anak gadis, kau belum menerangkan siapa dirimu."
"Maafkan saya Nek. Keadaan membuat saya tidak
bisa menerangkan siapa saya..."
"Paling tidak kau pasti punya nama,"
"Seorang sahabat belum lama ini memberikan
nama bagus untukku. Dewi. Lalu aku menambahkan
Tangan Jerangkong. Kau boleh memanggilku Dewi
Tangan Jerangkong."
Sri S ikaparwathi tertawa.
"Sahabat yang kau cari ke dalam jurang itu,
apakah dia seorang pemuda aneh berkepala Bunga
Bangkai disertai dua pengiringnya. Yang satu
membawa tambur yang satunya lagi membekai
seruling?" bertanya si nenek.
"Ah, kau sudah tahu rupanya, apakah kau juga
mengenalnya Nak" Atau mungkin kau mencarinya
karena satu silang sengketa?"
Mahluk aneh itu pamah menyelamatkan Cahyo
Kumolo, kura-kura dia atas kepalaku. Sebelum ada
ledakan di tempat ini dia berada di sekitar sini. Aku
Ingin menemuinya untuk menyampaikan rasa terima
kasih... Tapi rasanya maksud itu belum akan
kesampaian. Dia terlanjur pergi. Sementara aku harus
melakukan sesuatu. Ada seorang sahabat yang tewas.
Aku menduga pembunuhnya adalah mahluk kepala
anjing Ini. Dia menyerang secara pengecut dengan
senjata rahasia yang tadi kau hantamkan ke tubuhnya.
Aku harus mengurus jenazah sahabat itu..."
"Kau seorang sahabat yang baik. Aku juga selalu
Ingin berbuat kebajikan Nek. Apakah aku boleh
29 membantumu?"
Sri Sikaparwathi melirik ke arah dua tangan Liris
Pramawari lalu sambil tersenyum dia gelengkan
kepala. "Terima kasih. Kau juga sahabat yang baik. Aku
suka padamu. Semoga kita bisa bertemu lagi..."
Selesai berucap si nenek segera berkelebat pergi.
kembali ke tempat dimana jenazah Gede Kabayana
tergeletak. Tapi ketika si nenek sampai di tempat itu,
heran dan kejutnya bukan alang kepalang. Ternyata
jenazah itu tidak ada lagi di sana.
"Aku meninggalkan jenazah tidak terlalu lama.
Bagaimana bisa lenyap" Siapa yang mencuri....?" Sri
Sikaparwathi memandang berkeliling. "Mencuri
kataku..." Si nenek tertawa sendiri. "Perlu apa ada
orang mencuri jenazah?"
Tiba-tiba terdengar suara kuda meringkik. Disusul
suara derap kaki yang riuh sekali. Memandang
berkeliling Sri sikaparwathi tidak melihat seekor
kudapun. kura-kura hijau di atas kepala si nenek
keluarkan suara mendesis panjang. Lalu binatang
sakti bernama Cahyo Kumolo ini melesat ke arah
kanan. Namun tak lama kemudian prakk! Tubuhnya
kura-kura hijau itu terbalik terpental disertai suara
menguik panjang.
Si nenek cepat menyambut! tubuh binatang
peliharaannya Itu.
"Apa yang terjadi Kumolo"!" tanya si nenek sambil
mengusap dan memeriksa punggung binatang itu ada
tanda berbentuk ladam kuda. "Jahat sekali. Cahyo, ada
mahluk yang menghantammu?"
Kura-kura hijau kedipkan sepasang mata merah
lalu mendesis perlahan. Sambil terus mengusap
punggung Cahyo Kumolo Sri Sikaparwathi kerahkan
tenaga dalam dan hawa sakti hingga akhirnya tanda
berbentuk tapal kuda di punggung kura-kura hijau itu
lenyap. 30 HANYA beberapa ketika saja setelah si nenek
yang membawa kura-kura hijau di atas kepalanya itu
lenyap, tiba-tiba Dewi Tangan Jerangkong merasakan
dua telapak kakinya yang dialas kasut kulit dijalari
hawa dingin, gadis ini memandang berkeliling.
"Ada apa inf" Mengapa tiba-tiba tanah menjadi
dingin. Dua kakiku seolah berubah menjadi esl Udara
sekitar sini juga berubah dingini aku mulai meng-.
gigil..." Ketika si gadis memperhatikan ke dua
kakinya, kejutnya bukan alang kepalang. Dua kaki
yang berkasut itu kini telah diselimuti benda putih
yang mengepulkan asap tipis putfh.
"Salju"l Bagaimana mungkin"!" ucap Liris
Pramawari. "Dewa Agung, apakah Kau hendak
menjatuhkan hukuman lagi atas diriku?"
31 5. RESI GARIPASTHIKA
Untuk menolak hawa dingin yang luar biasa itu
Dewi Tangan Jerangkong alirkan hawa sakti ke seluruh
tubuh. Perlahan-lahan dia mulai merasa badannya
hangat kembali dan lapisan putih di kedua kaki leleh
menghilang. "Wahai Roh Agung, apakah kau ada di sekitar sini?"
Liris Pramawari keluarkan ucapan sambil memandang
berkeliling. Tak ada jawaban. Tidak ada suara mendesah
ataupun tiupan angin. Berarti ini bukan pekerjaan
Para Dewa. "Aku harus menyelidik. Mungkin ada orang hendak
mencelakai diriku dengan ilmu aneh. Kalau kehendak
alam tidak mungkin terjadi seperti ini. Tapi aku harus
menyelidik bagaimana" Dalam herannya Liris
Pramawari ingat pada Pangeran Bunga Bangkai
Nalapraya dan dua pengiring aneh.
"Mana yang harus aku pilih, menyelidik atau
mencari Pangeran itu?"
Setelah bimbang sesaat si gadis akhirnya
memutuskan untuk kembali ke jurang di bekas Sumur
Api, mencari Pangeran Bunga Bangkai dan dua
pengiringnya. Belum sempat kakinya bergerak melangkah
tiba-tiba tempat di sekitarnya telah diselimuti
kabut tipis. DI arah kanan, di dalam kabut tipis
dan malam gelap, bergerak ke arahnya melangkah
berjubah putih. Rambut, serta kumis yang bersatu
dengan janggut berwarna putih, melambai-lambai
ditiup angin malam. Di tangan kanan orang tua
ini memegang sebatang tongkat yang tertutup
lapisan putih. Setiap hembusan nafas yang keluar
dari hidung kakek ini menimbulkan uap putih. Uap
32 yang sama juga tampak keluar dari sepasang
matanya. Bedanya uap yang keluar dari hidung
membawa hawa hangat sedang yang membersit
dari sepasang mata menebar hawa dingin.
"Kakek berjubah putih...." Ucap Liris Pramawari.
Satria Lonceng Dewa 5 Meringkik Di Lembah Hantu di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Aku yakin dia tidak kesasar berada di tempat ini.
Apakah dia barusan yang mengerjai diriku, mengirim
hawa luar biasa dingin?" Liris Pramawari terus
memperhatikan lalu kembali membatin. Kali ini
disertai perasaan heran. "Aneh. orang tua berjubah
putih itu sejak tadi melangkah ke arahku. Tapi
mengapa tidak sampai-sampai?"
Dalam ketidakmengertiannya, si gadis kini yang
bertindak, bergerak melangkah ka arah si orang tua,
Dia merasa tambah aneh karena setelah menggerakkan
kaki melangkah berulang kali, tetap saja dia tidak
mampu mendekati. Antara dia dan si kakek tetap
berpaut dalam Jarak sekitar tiga tombak.
"Bertongkat putih, mata dan hidung mengeluarkan
uap. Apakah aku berhadapan dengan Roh Agung?"
Begitu Liris Pramawari Jadi mengingat Roh Agung
kembali. "Orang tua." Akhirnya Liris Pramawari alias Dewi
Tangan Jerangkong berseru menyapa. "Kau siapa"
Kau berjalan ke arahku. Aku melangkah ke jurusanmu!
Mengapa kita tidak bisa saling mendekat"!"
Orang yang ditanya tidak menjawab, hanya ,
layangkan senyum dan lambaian tangan kiri. Justru
saat itu tiba-tiba terdengar dua suara tawa bergelak.
Lalu seorang berucap lantang.
"Mana ada orang maupun setan di Bhumi Mataram
Ini yang sanggup menembus Ilmu Kabut Pembatas
Raga Ha...ha...hal"
Bersamaan dengan gema suara tawa, dua sosok
berjubah hitam berkelebat muncul menghadap
langkah orang tua berjubah putih. Dua orang ini
ternyata seorang kakek dan seorang nenek berjubah
33 hitam yang sama-sama berkepala botak dan memiliki
daun telinga menjulai panjang hampir menyentuh
bahu. Kalau si nenek tidak memakai anting-anting
bulat besar akan sulit membedakan mana yang lelaki
mana yang perempuan di antara kedua orang Ini.
Melihat kemunculan kakek nenek aneh Liris
Pramawari membatin dalam hati. "Dua orang tua
botak itu rupanya memiliki Ilmu kesaktian tinggi.
Mereka mampu mendekati kakek jubah putih. Ilmu
Kabut Pembatas Raga. Mereka rupanya yang punya
pekerjaan hingga si kakek dan aku tidak bisa
melangkah saling mendekat, berjalan tidak sampaisampai..."
"Resi Garipasthika! Sampai seratus tahun kau
melangkah, kau tak akan pernah mampu melanjutkan
perjalanan. Apa lagi bermimpi mendapatkan dua bayi
itu. Hik...hik...hik. Nyawamu sudah ada dalam
genggaman kami!" Si nenek berteriak lalu tertawa
cekikikan. "Dua bayi. Perempuan tua itu menyebut-nyebut
dua bayi." Liris Pramawari terkejut mendengar ucapan
nenek kepala botak.
Kakek berjubah putih yang dipanggil dengan nama
Resi Garipasthika tampak tenang-tenang saja. Dia
dongakkan kepala lalu meniupkan nafas panjang
dari mulut Saat itu juga di udara kelihatan uap putih
bergelung seperti ular melesat ke langit
"Aku mendengar suara tapi tidak melihat orang
yang bicara. Sayang sekali....Malang nasib diriku.
Mengapa aku harus menderita seperti Ini." Orang tua
berjubah putih keluarkan ucapan. Suaranya lembut
Habis bicara dia terbatuk-batuk beberapa kali. Ketika
batuk, dari mulutnya keluar empat gumpalan putih
seperti bola salju, berjatuhan ke tanah. Ketika melihat
gumpalan-gumpalan putih Itu menggelinding ke arah
mereka, dua kakek nenek botak berteriak marah lalu
cepat melompat ke udara. Empat gumpalan putih
34 melesat di bawah dua kaki mereka. Tiga gumpalan
menderu ke tempat kosong yang keempat
menyambar ke arah kaki kanan Liris Pramawari.
"Bukk! Byaarrl"
Gumpatan putih hancur bertebaran.
Liris Pramawari berjingkrak jingkrak menjerit
keras kesakitan. Kaki kanannya yang kena hantaman
gumpalan putih terangkat ke atas membuat dirinya
hilang keseimbangan dan jatuh terduduk di tanah.
"Celaka. Putus kakiku!" Gadis itu berteriak lalu
singsingkan pakaian putihnya di sebelah bawah untuk
melihat kaki kanannya. Tenyata kaki itu masih utuh.
Liris Pramawari cepat berdiri, memandang jengkel
ke arah Resi Garipasthika si kakek jubah putih malah
tertawa terkekeh-kekeh!
Kakek nenek kepala botak berpaling ke arah Liris
Pramawari. Si kakek membentak.
"Kau siapa"! Kau tidak punya urusan di tempat
ini. Lekas pergi atau kami berdua akan membuatmu
amblas ke dalam tanah!"
Masih kesal karena kesakitan. Liris Pramawari
menyahuti bentakan orang. "Antara kita memang tidak
ada urusan. Jika kau punya urusan dengan kakek
berjubah putih itu mengapa tidak menyelesaikan lebih
dulu" Malah membawa-bawa dan mempersalahkan
diriku!" Mendengar ucapan si gadis nenek kepala botak
kini yang membentak.
"Wajahmu cantik! Tapi mulutmu kurang ajari Apa
kau tidak kenal siapa kami berdua"! Pergilah sebelum
aku gebuki"
Liris Pramawari perlahan-lahan bangkit berdiri.
"Kakek nenek, terima kasih atas pujian sekaligus
hinaan. Kalian manusia apa" Aku tidak punya pikiran
kalau kalian adalah orang-orang Jahat. Tapi mengapa
menghadang orang di malam buta"l Hanya bangsa
begal yang berkelakuan seperti Itu!"
35 "Benar-benar gadis kurang ajar...." Kakek botak
mendamprat "Kami bukan begal! Kami muncul hanya untuk
mengambil nyawa kakek jubah putih itul"
"Ah, kalian ini rupanya semacam utusan pencabut
nyawa. Tapi aku tidak yakin para Dewa yang mengutus
kalian. Dewa tidak berkenan akan segala macam
perbuatan seperti itu. Membunuh seorang Resi. ooh
Hyang Jagat Batara Dewa. Pasti dosanya berat sekali.
Seperti memikul gunung di atas bahu... Malam-malam
begini orang tua seperti kalian seharusnya berada di
tempat tidur."
Mendengar ucapan Liris Pramawari si nenek botak
menggelegak amarahnya. Dia melompat ke hadapan
Liris Pramawari. Tangan kanan yang dipentang begitu
rupa. Lima jari tangan pancarkan sinar kuning yang
serta merta melesat ke arah kening dan empat bagian
tubuh si gadis. Liris berusaha menghindar tapi
terlambat Saat itu juga Liris Pramawari tidak bisa
bergerak maupun bersuara.
"Kau tunggu di sini. Selesai kami membantai
kakek jubah putih Itu. kami akan menentukan
nasibmu! Apakah akan kami kubur hidup-hidup di
dalam tanah atau tubuhmu akan kami buat cerai berai
di udaral"
"Jangan ganggu gadis itul Dia keponakanku!"
Resi Garipasthika tiba-tiba berseru. Lalu mulutnya
meniup. Selarik cahaya putih berbentuk kipas terbuka
menerpa ke arah Liris Pramawari. Begitu cahaya putih
menyentuh wajah dan tubuhnya, Liris Pramawari serta
merta kembali mampu bergerak dan mengeluarkan
suara. Dia segera mendatangi nenek kepala botak
yang tadi membuatnya lumpuh dengan lima sinar
kuning. Namun langkahnya tertahan ketika mendengar
ucapan kakek jubah putih.
"Keponakanku. Tetap di tempatmu!" Lalu Resi
bermata putih berpaling ke arah dua kakek nenek
36 botak. "Jika kalian berdua ingin menghabisiku, habisi
dulu gadis itu. Aku mau lihat apa kalian mampu."
Mendengar ucapan kakek jubah putih Liris
Pramawari jadi terkesiap, keluarkan seruan tertahan.
"Kek. Enak saja kau bicara! Aku..."
"Sssttti Sudah, kalau kau mau berbakti pada aku
pamanmu hadapi saja ke dua orang Itu!" Resi
Garipastika menyahuti sambil palangkan jari telunjuk
tangan kiri dia atas bibir.
Melihat Liris Pramawari bebas dari kelumpuhan, si
nenek kepala botak kembali hendak membungkam
gadis itu. Namun sampai berkali-kali dia menghujani
Liris Pramawari dengan lima sinar kuning yang
memancar dari tangan kanan, kali ini ilmu kesaktian
yang dimilikinya tidak mampu lagi melumpuhkan
gadis Itu. SI nenek mendelik, berpaling ke arah kakek
berjubah putih.
"Kurang ajar. Resi Itu pasti telah melindungi si
gadis dengan cahaya putih tadi "
Di seberang sana kakek jubah putih tertawa
perlahan. "Aku hanya meminjam Ilmu Kabut Pembatas
Raga milik kalian dan aku berterima kasih."
Kejut kakek nenek kepala botak bukan alang
kepalang. Keduanya saling pandang lalu sama-sama
membalikkan badan. Sambil berteriak mereka
menghambur serangan ke arah kakek Jubah putih.
Melihat hai Ini Liris Pramawari yang merasa sudah
ditolong orang serta merta berkelebat memotong
gerakan kakek nenek kepala botak.
Resi Garipasthika tertawa senang. "Bagusi Kau
baru keponakanku yang hebatl Jika kau bisa
menyentuh ubun-ubun dua mahluk botak itu maka
kau akan menggembosi mereka seperti bisul pecah
tertusuk duri. Ha.. .ha.. .hal"
Mendengar ucapan kakek Jubah putih, sepasang
kakek nenek botak jadi terkejut dan berubah wajah
37 masing-masing. SI nenek berbisik.
"Tua bangka jahanam itu memberi tahu kelemahan
kita. Kurang ajar, bagaimana dia bisa tahu. Lekas
keluarkan destar pelindung!"
Dua kakek nenek botak kemudian keluarkan
sebuah destar hitam menyerupai belangkon lalu cepat
mengenakan di kepala hingga kepala botak mereka
kini terlindung.
Melihat hal Ini Resi Garipasthika kembali tertawa
bergetok. Begitu mulutnya meniup dua kali. destar di
atas kepala kakek nenek botak mental Jauh ke udara.
Kedua orang ini berteriak kelabakan dan juga marah.
Ketika di depan sana Liris Pramawari bergerak
mendatang] cepat-cepat mereka letakkan telapak
tangan kiri di atas kepala, melindungi ubun-ubun. Lalu
tidak menunggu lebih lama keduanya mendahului
menyerang si gadis.
38 6. SI MATA SALJU MESKIPUN hanya menggunakan tangan kanan
untuk menyerang lawan, namun gempuran sepasang
kakek nenek botak jurus demi jurus membuat Liris
Pramawari mulai terdesak. Untung saja gadis ini
memiliki ilmu silat dan kesaktian tinggi yang
diwariskan ayahnya. (Baca riwayat bagaimana Liris
Pramawari mendapatkan ilmu kesaktian dari ayahnya
dalam serial sebelumnya berjudul "Dewi Tangan
Jerangkong") Namun demikian, setelah ditekan habishabisan,
dalam jurus ke enam belas satu pukulan
nenek botak berhasil menyusup dan mendarat keras di
pertengahan dada Liris Pramawari, membuatnya
terpental, jatuh terjengkang di tanah. Di sela bibir
tampak lelehan darah pertanda dia terluka di sebelah
dalam. Resi Garipasthika yang melihat kejadian ini tampak
tenang-tenang saja, malah mengulum senyum sambil
pencet-pencet hidung. Liris sendiri saja heran. Walau
digebuk keras dan sampai mengeluarkan darah dari
mulut tapi anehnya dia sama sekali tidak merasa sakit.
Ini adalah akibat perlindungan Ilmu bernama Kabut
Pembatas Raga milik sepasang kakek nenek botak
yang dipinjam Resi Garipasthika yang dimasukkan ke
dalam tubuh si gadis.
Belum sempat berdiri, selagi masih terheran-heran
dan tergeletak di tanah, kakek kepala botak telah
menyerbu dan arahkan tendangan kaki kanan ke
kepala Liris Pramawari. Saat itulah gadis ini merasa
telinga kanannya bergetar. Ada tiupan angin dingin.
Bersamaan dengan Itu dia mendengar suara seperti
orang berbisik di telinganya.
"Keponakanku, Ingat jurus Menabas Tiang
39 Meruntuh Atap. Pergunakan salah satu kakimu
menendang kaki kiri lawan. Kuda-kudanya akan
ambruk. Bila lawan tersungkur melintang, Itulah
kesempatan balas menyerang. Pilih sasaran
pantangan. Kepala botaknya. Kau gadis hebat. Kau
pasti mampu melakukan! Sekarang!
Mendengar suara yang diketahuinya pasti bisikan
si kakek jubah putih Liris Pramawari cepat gerakan
kaki kiri, menendang ke arah tulang kering kaki kiri
kakek botak yang berpijak di tanah sewaktu
melancarkan serangan. Jurus serangan yang
dilakukan gadis tangan jerangkong Ini yaitu Menebas
Tiang Meruntuh Atap adalah salah satu jurus serangan
Satria Lonceng Dewa 5 Meringkik Di Lembah Hantu di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
ilmu silat yang dimiliki ayahnya. Apa yang dibisikkan
Resi Garipasthika menjadi kenyataan.
"Bukk"
Liris Pramawari tidak merasa apa-apa begitu
kakinya menghantam tulang kering kaki kiri lawan.
Si kakek botak sendiri menjerit keras. Tubuhnya
tersungkur ke depan, kepala lebih dulu dan mengarah
ke tempat Liris Pramawari berada. Itulah bagian jurus
bernama Menabas Tiang. Tidak tunggu lebih lama
gadis Ini segera pukulkan tangan kanan ke kepala
botak si kakek. Dan Inilah jurus kelanjutan bernama
Meruntuh Atap. Pukulan keras mengandung tenaga dalam tinggi
yang dilancarkan Liris Pramawari sanggup membuat
rengkah kepala seekor gajah. Apa lagi kepala botak
si kakek berdaun telinga menjulai panjang ini, pasti
akan hancur mengerikan. Namun Itu tidak terjadi.
"Desssl"
Di kepala botak hanya muncul sebuah lobang
kecil mengeluarkan asap disertai lelehan darah. SI
kakek menjerit keras sambil dua tangan pegangi
kepala. Temannya si nenek Ikut menjerit lalu
melompat merangkul si kakek. Satu hai aneh terjadi
pada diri kakek ini. Seperti ucapan Resi Garipasthika
40 tadi keadaan kakek botak itu tidak beda dengan bisul
yang gembos tertusuk duri. Kepalanya menciut
mengecil sementara darah kehitaman terus mengucur
menutupi wajah. Setelah kepala menyusui tubuh jadi
mengecil dan berubah pendek.
SI nenek yang merangkul tubuh si kakek
menggerung keras ketika tahu kalau si kakek sudah
tidak bernyawa lagi. Dia baringkan tubuh temannya
itu di tanah lalu menghambur ke arah Liris Pramawari.
Seperti orang kemasukan setan dia menyerang sambil
berteriak-teriak. Dua kali pukulannya mendarat di
tubuh Liris Pramawari. ditambah satu tendangan di
daerah pinggul. Walau hantaman lawan sempat
membuatnya tergelimpang jatuh namun seperti tadi
waktu dijotos dadanya dia sama sekali tidak merasa
sakit "Nek, hentikan seranganmu. Lebih baik kau
mengurus mayat kakek itu dan pergi dari sini..."
Berseru Liris Pramawari.
"Gadis kurang ajari Kau membunuh sahabatkul
Sekarang enak saja menyuruh aku pergil Aku baru
akan pergi setelah mencincang tubuhmu!"
Si nenek mendongak ke langit lalu berteriak keras.
Tangan kanan dipentang di atas kepala. Tiba-tiba ada
satu cahaya berkilau dan tahu-tahu di tangan kanan
itu telah tergenggam sebilah golok besar berbentuk
segi empat. Anehnya golok ini berujud samar, antara
terlihat dan tidak dan mendatangkan rasa angker bagi
siapa saja yang memandangnya. Di rimba persilatan
Bhumi Mataram golok aneh ini dikenai dengan nama
Empat Mulut Penghirup Darah. Sesuai namanya pada
badan golok yang samar terdapat empat buah lobang
berwarna hitam. Siapa saja musuh yang kena
ditambas, ditusuk atau dibacok senjata ini maka
empat buah lobang di badan golok akan menghirup
darah di tubuhnya hingga korban akan kehabisan
darah dan dengan mudah menjadi bulan-bulanan
41 serangan hingga akhirnya menemui ajal secara
mengerikan. Golok aneh samar itu menebar bau amis busuk.
Konon itu adalah bau amis busuknya darah dari
sekian banyak korban yang telah menjadi korban! Kata
orang yang mengetahui sehabis menghirup darah
korban maka golok itu akan bertambah keangkeran
sekaligus kesaktiannya.
"Aku mendengar suara, aku mencium bau. Golok
Empat Mulut Penghirup Darah," ucap Resi
Garipasthika sambil menatap ke langit malam.
"Bathara Agungi Apakah Ilmu kabut Membatas Raga
pinjaman masih bisa melindungi keponakanku dari
golok itu?"
Tidak menunggu lebih lama si nenek langsung
menyerbu. Golok menderu, keluarkan suara menguing
diserta sambaran empat asap hitam yang mengepul
dari empat buah lobang.
Asap hitam membuat pandangan Liris Pramawari
terhalang. Suara menguing menyebabkan telinganya
mendenging hingga tidak mampu mendengar suara
gerakan lawan. Dalam keadaan seperti itu si nenek
kirimkan dua kali babatan dan satu kali bacokan. Liris
Pramawari cepat melompat mundur namun tak urung
salah satu babatan golok sempat menyambar pundak
kiri hingga pakaian putihnya robek besar. Untung kulit
bahunya tidak sampai tergores luka. Kalau hal itu
menjadi maka akan ada sebagian darahnya yang
dihirup golok. Mendengar suara robekan pakaian kakek jubah
putih menjadi sangat kawatir. Dia cepat berseru
menegur si nenek.
"Sudah tua masih suka main-main senjata tajam.
Apa tidak takut terluka sendiri?"
Nenek botak mana perduli. Serangannya
menghambur laksana hujan membuat Liris Pramawari
terpekik berulang kali. Kembali baju pulihnya kena
42 disambar ujung golok. Kali Ini di bagian perut.
Ketika satu bacokan kilat menyambar dari atas
kiri ke arah kepalanya. Liris Pramawari cepat berkelit
selamatkan diri. Malang, kaki kirinya tersandung pada
sosok mayat kakek botak hingga tak mampu lagi dia
terhuyung jatuh ke arah datangnya bacokan golok.
Sesaat lagi kepala gadis cantik dari Kadiri Itu
akan terbelah tiba-tiba satu benda putih disertai
tebaran hawa luar biasa dingin di udara dan kraak. Si
nenek botak menjerit keras. Lengan kanannya patah
terkena pukulan tongkat Resi Garipasthika. Golok
besar yang tadi digenggam terpental lepas. Dengan
cepat dia melompat ke udara untuk menyambar
senjata sakti berbentuk samar Itu. Namun satu
hantaman mendera dadanya hingga tubuhnya
mencelat dan terguling di tanah. Ketika dia berusaha
bangkit dilihatnya Golok Empat Mulut Penghirup
Darah berada di bawah Injakan kaki kiri Resi
Garipasthika. "Keponakanku sudah menyuruhmu pergi secara
baik-baik. Mengapa kau masih nekat mau membunuhnya"
Apakah seumur sisa hidupmu kau akan
terus berbuat kejahatan dan tidak pernah bertobat
minta ampun pada para Dewa" Apakah kematian
sahabatmu tidak cukup memberi peringatan
padamu"!"
"Resi Garipasthika, mahluk berjubah putih
berpenampilan suci. Kau belum tentu lebih baik dari
diriku dan sahabatku yang telah dibunuh gadis
terkutuk inil Kembalikan Golok Empat Mulut
Penghirup Darah padakul"
"Senjata ini bukan milikmu. Bukankah kau
mencurinya dari seorang Resi yang bertapa di puncak
Mahameru yang kemudian kau bunuh secara keji"l"
"Kalau begitu aku lebih baik mengadu nyawa
denganmul" Teriak si nenek. Lalu begitu berdiri dia
melompat ke arah Resi Garipasthika. Dari sepuluh
43 ujung Jarinya menyembur keluar sepuluh larik sinar
hitam. Sekejapan kemudian sepuluh larik sinar hitam
itu telah menggulung melibat sekujur tubuh Resi
Garipasthika. Si nenek tertawa mengekeh.
"Rasakanl Sekarang terima kematianmul"
Resi Garipasthika sesaat terkesiap. "Jaring
Sepuluh Gurita Hitam," ucapnya dalam hati ketika
menyadari apa yang terjadi dengan dirinya.
Sementara itu melihat lawan sudah tidak berdaya
laksana kilat si nenek hantamkan satu jotosan ke
batok kepala Resi Garipasthika.
"Hancur kepalamu!" Teriak si nenek.
Yang diserang hanya menatap tenang dengan
sepasang mata putih mengeluarkan uap dingin. Tibatiba
mulut sang resi berteriak.
"Pindah!"
"Rrrtrrttt"
Sepuluh larik sinar hitam yang melibat sekujur
tubuh Resi Garipasthika secara aneh terlepas lalu
dengan cepat melesat ke arah si nenek. Di lain kejap
tubuh si nenek kini yang terlibat dan digulung sepuluh
larik sinar hitam itu hingga dia berteriak-teriak marah
dan berusaha melepaskan diri dari ilmu kesaktian
miliknya yang mencelakai dirinya sendiri. Sambil
melangkah mundur menjauhi kakek jubah putih dia
mengeluarkan kutuk serapah.
"Resi jahanaml Aku bersumpah beralas bumi
beratap langit! Aku akan datang lagi mencari dan
membunuhmu!"
Resi Garipasthi ka geleng-gelengkan kepala.
"Ilmumu banyak. Semua hebat-hebat. Sayang
mengapa dipergunakan untuk kejahatan" Sekarang
biar aku membantumu agar bisa lebih cepat pergi dari
sini." Sang Resi kebutkan tongkat bertapis benda putih
di tangan kiri ke udara. Hawa sangat dingin menebar.
44 Angin bertiup kencang. SI nenek menggigil. Sang
Resi kebutkan lagi tongkatnya satu kali. Saat Itu juga
seperti diterbangkan angin puyuh nenek kepala botak
melayang ke udara daan lenyap dalam kegelapan.
Resi Garipasthika menarik nafas lega namun
kemudian pandangannya membentur sosok jenasah
kakek botak yang telah menciut.
"Kau pergi susul temanmu!" Ucap sang Resi.
Sekali dia menyapukan tongkat berlapis benda putih
dingin maka mayat kakek botak melesat ke udara dan
menghilang di arah lenyapnya si nenek. Perlahanlahan
kakek berjubah putih ini memutar tubuh,
berpaling ke arah Liris Pramawari. Jarak mereka
hanya terpisah dua langkah hingga si gadis dapat
melihat jelas wajah orang tua itu dan membuatnya
jadi tercekat. Tidak percaya Liris Pramawari kembangkan
telapak tangan kanan lalu digoyang-goyang di depan
wajah si kakek. Sepasang mata berwarna putih dan
mengepulkan uap dingin Itu sama sekali tidak
bergerak. "Kek. saya tidak percayai Apa benar yang saya
lihat Ini" Dua matamu buta"l"
Resi Garipasthika tersenyum.
"Dewa menakdirkan aku memiliki sepasang mata
berupa gumpalan salju..."
"Gumpalan salju...." Liris melirik ke arah tongkat
si kakek. Benda putih yang menggumpal melapisi
tongkat itu ternyata juga adalah salju. "Bagaimana
bisa begitu?"
"Ketika aku berusia tujuh tahun, seorang Brahmana
membawa aku ke Gunung Himalaya jauh di negeri
India sana. Aku melakukan tapa di puncak gunung itu
selama sepuluh tahun lebih. Ketika tapaku selesai dan
aku memperoleh berbagai macam ilmu kesaktian,
ternyata sepasang mataku menjadi buta, berubah
menjadi gumpalan salju. Benda apa saja yang aku
45 pegang bisa berubah menjadi es atau berlapis salju.
Seperti tongkat kayu Ini.Walau aku buta namun Yang
Maha Kuasa juga berlaku adil, memberikan berkah
hingga aku bisa melihat dengan apa yang disebut
Indera ke enam ditambah satu mata hati." Sambil
berkata kakek berjubah putih ini letakkan
telapak tangan kanannya di atas dada.
"Kek, apa benar kau seorang Resi?" tanya Liris
Pramawari. "Menurut penglihatanmu apakah aku seperti
seorang begal atau juru sihir?"
"Mungkin dua-duanyal" jawab Liris Pramawari.
Si gadis cantik dan si kakek kemudian sama-sama
tertawa gelak-gelak.
"Aku bernama Garipasthika. Tapi orang lebih
suka menyebutku dengan panggilan Si Mata Salju..."
"Ilmu kesaktianmu luar biasa. Membuat saya
sangat kagum. Waktu kau melindungi diri saya dengan
Ilmu pinjaman milik si nenek Itu, saya tidak merasa
sakit walau kena jotos telak di bagian dada. Tapi
mengapa ada darah yang menyembur dari mulut
saya" Apakah saya benar-benar tidak terluka di
dalam?" SI kakek tersenyum. Lalu dia memandang
berkeliling. Setelah yakin tidak ada orang lain di
tempat itu maka diapun berkata.
"Darah yang keluar dari mulutmu sebenarnya
adalah darah haid. Coba kau hitung, bukankah saat
Ini sudah saatnya kau datang bulan...?"
"Hueekkk"
Liris Pramawari keluarkan suara seperti orang
muntah. Perutnya terasa mual. Setelah meludah
berulang kali dan mengusap wajahnya yang mendadak
dingin keringatan, dia berkata.
"Kau bicara melanturl Mana ada perempuan haid
Satria Lonceng Dewa 5 Meringkik Di Lembah Hantu di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
dari mulut Ibu saya saja tidak tahu kapan saya akan
haid...." 46 SI kakek bermata salju tertawa.
"Sudahlah, aku tadi cuma menjelaskan. Kau mau
percaya atau tidak suka-suka kau saja. Kalau nanti
kau ternyata tidak haid, berarti apa yang aku jelaskan
bukan ucapan melantur..."
Diam-diam Liris Pramawari menghitung-hitung
dalam hati. Apa yang dikatakan sang Resi memang
benar. Hari ini seharusnya memang dia sudah
mendapat haid. Tapi bagaimana mungkin"
"Kek. apakah untuk selanjutnya aku akan haid
seperti Ini lagi" Keluar dari mulut?"
Resi Garipasthika tersenyum.
"Tentu saja tidak...."
"Lalu apakah ilmu kebal yang kau pinjamkan milik
nenek Itu saat Ini masih melekat di tubuh saya?"
SI orang tua menggeleng.
"Sesuatu, apa saja yang kita pinjam, harus
dikembalikan pada pemiliknya. Sekalipun si pemilik
adalah orang jahat. Ilmu kesaktian Itu sudah kembali
pada nenek tadi. Jadi mulai sekarang kau harus
berhati-hati lagi."
"Kek. saya..."
"Sudah. Sekarang Jangan bicara dulu. Ada
sesuatu yang harus segera aku lakukan."
Resi Garipasthika memandang ke bawah. Saat
itu dia masih menginjak Golok Empat Mulut
Penghirup Darah. Mulutnya merapal panjang hingga
mengeluarkan uap putih dingin. Hawa sakti dan
tenaga dalam dialirkan ke kaki kiri. Kaki diangkat lalu
diinjakkan kembali ke badan golok seraya berucap.
"Perlihatkan ujudmu yang sebenarnya!"
Golok di bawah kaki si kakek pancarkan cahaya
putih. Begitu cahaya lenyap golok besar yang tadi
tampak samar kini terlihat nyata dan utuh.
"Mana sarungmu!"
Resi Garipasthika kembali merapal lalu mengangkat
kaki kiri untuk kemudian diinjakkan lagi ke badan
47 golok. Seperti tadi muncul cahaya putih lalu lenyap.
Aneh. Golok di bawah kaki yang tadi telanjang kini
kelihatan sudah terbungkus sarung, terbuat dari
Gading. Si kakek membungkuk mengambil Golok
Empat Mulut Penghirup Darah lalu diserahkan pada
Liris Pramawari.
"Anak gadis keponakanku, ambil dan simpan
senjata mustika sakti ini. Kau memiliki kewajiban
untuk nanti membawanya ke puncak Gunung
Mahameru, menyerahkan pada pewarisnya."
Liris Pramawari ternganga lalu cepat-cepat
melangkah mundur.
48 7. MENDUKUNG SANG RESI
SEPASANG mata salju yang mengepulkan uap
dingin Resi Garipasthika menatap ke arah Liris Pramawari.
"Ada apa keponakanku?" Untuk kesekian kalinya
Resi ini menyebut si gadis sebagai keponakannya.
"Apakah kau tidak mau menolongku?"
"Bukan tidak mau menolong. Tapi saya belum
pernah ke Gunung Mahameru. Saya tidak
pula kenal dengan pewaris golok sakti itu." Jawab Liris
Pramawari. "Para Dewa akan membimbingmu ke puncak
Mahameru dan mempertemukanmu dengan pewaris
yang berhak memiliki golok sakti itu Perihal kapan
kau akan pergi ke sana dan menyerahkan itu terserah
pada kehendak Para Dewa. Bukankah yang disebut
langkah dan pertemuan itu adalah kehendak dan
hanya ditentukan oleh Yang Maha Kuasa?"
"Tapi Kek..."
"Sudah, aku titipkan senjata Ini padamu."
SI kakek gerakkan tangan yang memegang golok
bersarung gading. Tahu-tahu senjata Itu lenyap dari
pegangannya. Ketika Liris Pramawari meraba ke
belakang tubuh, ternyata pedang Itu telah tersisip di
balik punggung pakaian putihnya, hanya gagangnya
yang tersembul. Gadis itu terpaksa menyerah.
Resi Garipasthika tersenyum.
"Bagus, berbuat sedikit kebajikan hari Ini, besok
sedikit lagi, lusa ditambah sedikit lagi, lama-lama
bukankah akan menjadi segunung kebajikan...."
Ucapan sang Resi membuat Liris Pramawari
terkejut "Hyang Jagat Bathara Dewa! Bagaimana aku
sampai terlupa kalau aku masih punya sekian banyak
49 kewajiban?" Ucap orang tua ini....
Tidak sengaja sepasang mata Liris Pramawari
memperhatikan tangan kanannya.
"Sang Hyang Jagat Bathara!" SI gadis kembali
mengucap. Tiga ujung jari tangan kanan yang
sebelumnya dipatahkan sendiri untuk menghindari
racun senjata rahasia yang dilemparkan manusia
berkepala anjing saat itu telah berada dalam keadaan
utuh meski tetap dalam bentuk tanpa kulit tanpa
daging. "Apakah hari ini aku telah berbuat kebajikan?"
Liris bertanya pada diri sendiri sambil menatap Resi
Garipasthika. "Kek, kau...kau tahu apa tentang diri saya?"
"Aku sudah berulang kali menyebut dirimu
sebagai keponakan. Kalau kau keponakanku masakan
aku tidak tahu menahu tentang dirimu?"
"Jujur saja Kek. Saya bukan keponakanmu
benaran 'kan?"
Sang resi tertawa mengekeh hingga uap putih
dingin keluar mengepul-ngepul dari mulutnya. "Benar
atau bohong apa perlu dipersoalkan" Sekarang
apakah kau tidak Ingin tahu siapa dua kakek botak
yang hendak membunuhmu tadi?"
"Tentu saja Kek. Saya juga ingin tahu mengapa
mereka sebelumnya menghadang dan hendak
membunuhmu."
"Sepasang kakek nenek botak itu adalah orangorang
dari selatan tapi lebih banyak gentayangan di
kawasan utara, di Bhumi Mataram. Mereka mengaku
diri sebagai Dewa Dewi Penjuru Angin. Nama yang
terlalu berat dan sangat tidak pantas karena menebar
kejahatan, mengalirkan darah dan membegal nyawa
orang tidak berdosa. Yang lelaki bernama Durangga,
si nenek yang tadi kabur bernama Arvpadi. Mereka
selalu berduaan kemana-mana dan menjalani hidup
sebagai suami istri tanpa perkawinan yang syah.
50 Mereka jahat dan mesum"
"Lalu mengapa mereka hendak membunuhmu Kek?"
"Aku dalam perjalanan mencari seorang bayi.
Mereka berusaha menghalangi aku mendapatkan bayi
itu. Untuk itu tidak ada cara lain. Mereka harus
membunuhku!"
Ucapan Resi Garipasthika membuat Liris Pramawari
terkejut "Seorang bayi atau dua orang bayi Kek?" SI gadis
bertanya ingin memastikan.
Orang tua buta yang berjuluk SI Mata Salju
tertawa. "Kau sudah tahu ceritanya. Aku hanya butuh satu
saja diantara dua bayi. Kalau aku mengambil keduaduanya
bukankah terlalu serakah" Ketahuilah Para
Dewa paling tidak suka pada orang yang serakah"
"Kek, kalau keponakanmu Ini boleh tahu, mengapa
kau menginginkan bayi itu" Bukankah itu berarti kau
hendak melakukan penculikan" Itu lebih jahat dari
keserakahan."
Sepasang alis putih Resi Garipasthika naik ke atas.
Sesaat kakek ini terdiam. Lalu setengah mengulum
senyum orang tua ini berkata.
"Mengambil barang orang lain untuk maksud jahat
memang adalah kejahatan. Tapi mengambil barang
orang lain untuk kebaikan mana bisa dikatakan
kejahatan. Demikian juga dengan maksudku
mengambil bayi itu. Kalau aku mengandung niat jahat
kau boleh mengatakan aku menculiknya. Tapi karena
aku punya maksud baik menyelamatkannya dan kalau
Dewa mengizinkan aku punya niat memberikan
sesuatu untuk pegangan hidup padanya. Maka
perbuatanku itu namanya bukan penculikan.
Liris Pramawari tertawa.
"Terserah padamu Kek, kau mau menyebut apa
nama perbuatanmu itu. Aku tidak mau ikut campur
urusanmu..."
51 "Bagaimana mungkin. Kau justru sudah terlibat!"
Jawab Resi Garipasthika pula.
"Maaf Kek, aku pernah membaca dalam sebuah
Kitab Agama. Disitu ada kalimat yang berbunyi begini.
Manusia dilarang mengambil barang kepunyaan orang
lain...." "Kalimat itu betul. Tapi aku mengambil bayi itu
bukan dengan maksud untuk memilikinya. Justru
untuk melindunginya, sekaligus berbakti pada
Kerajaan Bhumi Mataram..."
"Kek, apakah kau ini penjelmaan Roh Agung...'.'
Resi Garipasthika tertawa mengekeh. Setelah
mengusap wajah dia berkata.
"Keponakanku, kau sudah tahu sebagian cerita
Kalau begitu sekarang bantu aku mencari bayi itu.
Kita berjalan ke arah timur. Aku harap kau mau
menggendongku di punggungmu."
"Apa Kek?" Kejut Liris Pramawari.
"Apakah kau tidak ingin berbuat kebajikan lagi?"
"Tentu saja mau Kek. Tapi menggendongmu di
punggungku, membawamu ke mana-mana dalam
perjalanan yang bisa satu hari bisa satu minggu
mungkin bulan berbulan-bulan, saya mohon maaf
Kek." "Aku tahu diri. Tua bangka jelek begini siapa
yang mau mendukung. Eh, kalau aku ini seorang
pemuda gagah apakah kau mau menggendongku?"
"Tetap saja tidak Kek. Kecuali kau adalah ibu
saya, maka apapun yang kau katakan pasti saya
lakukan." "Begitu?" Ujar SI Mata Salju sambil menatap
dengan sepasang mata putihnya ke arah Liris
Pramawari. "Kalau begitu maka kau akan menggendong
ibumu..." Tiba-tiba tubuh tang Resi dipijari
cahaya putih. Liris Pramawari terpekik.
"Tidak mungkinl" teriak gadis Ini.
52 Di hadapannya kini seorang perempuan, yang
dari sosok serta raut wajahnya adalah sangat
menyerupai Suri Dhuranl, ibunya yang mati dibunuh
Sangga Wikerthi. (Baca serial sebelumnya berjudul
"Dewi Tangan Jerangkong")
"Ibu..."
"Anakku, apakah kau kini bersedia menggendong
diriku?" Perempuan di hadapan Liris Pramawari keluarkan
ucapan. Dan suara perempuan Ini ternyata juga
sama dengan suara sang ibu yang telah tiada itul
Liris Pramawari jatuhkan diri di hadapan sosok
sang ibu. "Anakku, aku tidak menyuruh kau berlutut Aku
memintanya agar kau mau menggendongku."
"Ibu, saya akan menggendongmu kemana yang
kau inginkan. Sekalipun sampai ke ujung dunia..."
"Anakku, ketulusan hati serta budi baktimu
merupakan satu kebajikan, bagaimanapun kecilnya.
Berdirilah, aku bukan bayi cengeng yang ingin
digendong kemana-mana. Aku hanya ingin menguji
dirimu..."
Saat itu juga sosok perempuan menyerupai ibu
Liris Pramawari lenyap dan berubah kembali ke
bentuk dan sosok Resi Garipasthika.
"Ibu...Kakek, siapapun kau adanya saya tidak
akan mengingkari janji. Saya tidak akan berdiri
sebelum kau naik ke punggung saya..."
Keponakan nakal. Baik, sekedar untuk menyenangkan
dirimu aku akan naik ke punggungmu."
Si kakek lalu naik ke punggung Liris Pramawari.
Gadis ini bangkit berdiri lalu mulai melangkah
membawa kakek yang digendong di atas punggung.
Baru menindak tiga langkah Liris berhenti Dia merasa
heran. "Keponnkanku, baru beberapa langkah berjalan
kau sudah berhenti. Apa kau keletihan" Apakah
53 tubuhku seberat gunung?"
Tidak Kek. Justru saya tidak merasa apa-apa.
Tubuhmu seringan kapas...." Jawab Liris Pramawari.
Gadis ini sapukan tangan kiri ke belakang ke arah
bahu kakek yang digendongnya Dia tidak merasa apaapa
selain menyentuh udara malam yang dingin. Dia
berpaling kebelakang. Bathara Agungi Sosok Resi
Garipasthika tidak ada lagi di atas punggungnya!
54
Satria Lonceng Dewa 5 Meringkik Di Lembah Hantu di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
8. PETUNJUK DI DALAM JURANG
FAJAR telah menyingsing. Dasar Jurang dimana
Pangeran Bunga Bangkai dan dua sahabatnya berada
kini mulai terang. Kemanapun mata memandang
segala sesuatunya tampak Jelas.
Pangeran Bunga Bangkai Nalapraya duduk di atas
satu bongkahan batu besar sambil memangku dan
mengusap Ragil Abang, kucing milik Ratu Dhika
Gelang Gelang. Dia memandang sekeliling dasar
Jurang yang luas.
"Hampir setengah malaman kita berada di sini.
Sekarang fajar telah menyingsing. Semua kelihatan
jelas di dasar jurang luas Ini. Tapi kita tidak
menemukan apa-apa..." Yang berkata adalah si
gemuk pendek Si Tambur Bopeng.
"Pangeran, apa yang harus kita lakukan.
sekarang?" bertanya Si Suling Burik. Sampai saat itu
Kemelut Di Cakrabuana 2 Gento Guyon 5 Hutang Dosa Senopati Pamungkas 10
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama