Ceritasilat Novel Online

Hijaunya Lembah Hijaunya 15

04 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja Bagian 15


Ki Buyut Bumiagara tidak lagi memikirkan gurunya. Ketika
kemudian Ki Buyut menyusun rencananya dengan dua orang
saudara seperguruannya, maka Ki Buyut pun tidak
menyampaikannya kepada gurunya pula.
Dua orang saudara seperguruannya ternyata ikut m erasa
tersinggung karena peri stiwa y ang terjadi di Bumiagara.
Karena kebetulan keduanya merasa seperguruan serta
merupakan saudara seperguruan y ang terdekat dengan Ki
Buyut, maka keduanya menyatakan ikut serta.
"Apa yang dapat kita lakukan hanya bertiga "," berkata Ki
Buyut kemudian. "Dua orang saudara seperguran kita yang lain, tidak
bersedia m embantu kita, karena keduanya sudah m endengar
dari guru bahwa guru pun menolak untuk terlibat dalam
persoalan ini. -berkata salah seorang saudara
seperguruannya." "Aku menjadi sangat kecewa terhadap sikap guru," berkata
Ki Buyut Bumiagara. "Apa boleh buat," jawab saudara seperguruannya.
Namun seorang diantara kedua orang saudara seperguruan
Ki Buyut itu pun berkata: "Aku pernah berhubungan dengan
orang-orang Kediri yang tidak puas terhadap keadaan Kediri
sekarang. Mereka memusuhi Singasari. Sementara itu, di
kalangan mereka, padepokan Bajra Seta adalah padepokan
yang dimusuhi. Beberapa kali orang-orang Bajra Seta langsung
atau tidak langsung telah merugikan kedudukan mereka."
"Maksudmu ?" bertanya Ki Buyut.
"Kita menghubungi mereka. Kita bekerja sama dengan
mereka untuk menghancurkan padepokan Bajra Seta. Mereka
mempunyai kekuatan yang besar y ang meski pun tersebar,
akan segera dapat dihimpun," berkata saudara
seperguruannya itu. "Lalu apa yang dapat memancing mereka untuk melibatkan
diri selain mereka memang menganggap orang -orang Bajra
Seta sebagai musuh mereka," bertanya Ki Buyut.
"Kau mempunyai simpanan harta kekayaan y ang dapat
diper'gunakan untuk membiayai rencanamu "," bertanya
saudara seperguruannya pula.
Ki Buyut termangu-mangu. Katanya: "Tidak seberapa.
Tetapi tentu ada kekay aan yang besar y ang pantas bagi
mereka." "Kekay aan y ang mana "," bertanya saudara
seperguruannya. "Kekay aan yang ada di dalam padepokan itu sendiri,"
berkata Ki Buyut. Saudara seperguruannya tertawa. Katanya: "Satu akal yang
licik sekali. Kau memang licik. Tetapi mungkin juga akan
mereka sepakati." Namun saudaranya y ang lain berkata: "Tetapi apakah kita
sendiri tidak memakai kekuatan sama sekali " Artinya, kita
benarbenar hanya bertiga saja ?"
"Aku memang tidak m empunyai kekuatan lagi," berkata Ki
Buyut. "Kau tidak membawa orang-orang dari Kabuyutanmu","
bertanya saudara seperguruannya y ang lain.
"Aku tidak dapat berbicara tentang hal ini dengan orangorang
Kabuyutanku. Mereka m asih selalu menyalahkan aku.
Karena itu aku tempuh jalan ini agar aku dapat memulihkan
wibawaku. Jika aku dapat membawa para pemimpin Bajra
Seta dengan tangan terikat, maka orang-orang Kabuyutanku
akan kembali mempercayai aku sepenuhnya," jawab Ki Buyut.
"Baiklah. Hal ini akan aku bicarakan dengan dua orang
kawanku y ang m eski pun bukan saudara bersedia, maka kita
akan dapat membawa kekuatan meski pun tidak sebesar
orang-orang Kediri."
Ki Buyut mengangguk-angguk. Katanya: "Terima kasih.
Semakin cepat hal itu dilakukan, akan menjadi semakin baik."
Kedua sauadara seperguruannya itu sependapat. Sehingga
karena itu, maka ketiga orang itu pun telah bekerja keras
untuk melaksanakan rencana mereka.
Salah seorang saudara seperguruan Ki Buyut akan
menghubungi para petugas sandi Kediri yang berkeliaran di
Singasari dengan dukungan kekuatan sekelompok prajurit
yang setia kepada usaha untuk memulihkan wibawa Kediri
sedang seorang y ang lain akan berhubungan dengan dua orang
yang dianggapnya akan dapat membantunya.
"Kali ini padepokan Bajra Seta akan benar-benar kami
hancurkan.," berkata Ki Buyut didalam hatinya.
Demikianlah, ternyata saudara-saudara seperguruan Ki
Buyut itu berhasil. Orang-orang Kediri telah bersedia
membantu Ki Buyut Bumiagara dengan sepa sukan prajurit
Kediri. "Prajurit-prajurit itu justru akan berbahaya lagi kita,"
berkata Ki Buyut. "Tentu tidak.," jawab saudara seperguruannya.
Apakah mereka semuanya dapat dipercaya "," bertanya Ki
Buyut. "Tentu," jawab saudara seperguruannya, "jika aku tidak
yakin mereka dapat dipercaya, maka aku tidak akan
menghubungi mereka."
Ki Buyut mengangguk-angguk.
Namun yang tidak mereka ketahui adalah justru guru Ki
Buyut menjadi kecewa sekali terhadap sikap muridnya.
Apalagi muridnya telah berhubungan dengan orang lain yang
tingkah lakunya kurang dapat dipertanggung jawabkan,
sehingga justru guru Ki Buyut itu telah mengadakan
peny elidikan langsung atas titgkah laku Ki Buyut sebagai
muridnya. Sebenarnyalah bahwa Ki Buyut dan orang-orang yang akan
bekerja sama untuk menghancurkan padepokan Bajra Seta
sudah siap untuk meny erang padepokan itu.
Orang-orang Bumiagara memang menjadi gelisah.
Kehadiran sekelompok prajurit dan sekelompok lagi orangorang
dari sebuah padepokan y ang dipimpin oleh seorang tua
yang disebut mPu Carang Wregu, mula-mula m enumbuhkan
berbagai pertanyaan. Mereka menduga bahwa Ki Buyut
menjadi sangat marah atas sikap mereka, karena mereka
seakan-akan telah memaksa Ki Buyut untuk merendahkan diri
dan minta maaf kepada beberapa orang Kabuyutan.
Kedatangan orang-orang itu akan dapat dipergunakan oleh Ki
Buyut untuk menghancurkan mereka y ang telah berani
mengusik kedudukan Ki Buyut.
"Tetapi apakah Ki Buyut akan sampai hati membantai
rakyatnya sendiri dengan mempergunakan tangan orang
lain"," bertanya seorang bebahu kepada bebahu y ang lain.
"Siapa tahu. Ki Buyut ternyata adalah seorang pendendam.
Mungkin besok atau lusa kita akan diambil untuk tidak
kembali lagi ke tengah-tengah keluarga kita," jawab bebahu
yang lain itu. "Aku tidak merasa cemas akan hal itu," jawab kawannya,
"yang aku cemaskan adalah, jika Ki Buyut memerintahkan
orang-orang Bumiagara untuk meny ertai para prajurit dan
sekelompok orang yang datang
dari padepokan yang dipimpin
mPu Carang Wregu, untuk menyerang padepokan Bajra
Seta. Karena kita tahu bahwa isi
padepokan itu terlalu kuat untuk
dilawan." Tetapi seorang lain tiba -tiba
telah ikut berbicara: "Itu kalau
kita sendiri y ang melawan
padepokan Bajra Seta. Tetapi
kita tahu bahwa sejumlah prajurit itu sudah terlalu kuat
untuk sebuah padepokan. Apalagi kehadiran mPu Carang
Wregu. Padepokan y ang mana pun tidak akan mampu
bertahan." Bebahu yang pertama menarik nafas dalam-dalam. Namun
ia tidak m enjawab lagi. Ia m engakui bahwa pasukan prajurit
Kediri itu memang terlalu kuat. Apalagi bersama-sama dengan
para cantrik dari sebuah padepokan yang cukup besar, yang
ingin memiliki alat- alat pande besi sebaik padepokan Bajra
Seta yang telah menerima alat-alat itu dari Singasari.
Tetapi t ernyata Ki Buyut sama sekali tidak m emerintahkan
agar orang-orang Bumiagara bersiap. Tetapi ketika Ki Buyut
memanggil para bebahu, ia sempat berkata : "Nah, para
bebahu Kabuyutan Bumiagara y ang baik hati, y ang jujur dan
berbudi luhur, yang telah m emaksa aku untuk merendahkan
diri karena aku gagal berusaha untuk meningkatkan
kesejahteraan ini dengan cara y ang khusus. Sudah tentu
bahwa kalian tidak akan bertindak seperti itu, bahkan akan
menyanjungku dan berterima kasih sampai meny entuh langit,
jika aku berhasil. Kalian tidak m enilai gagasanku serta niat
baikku. Yang kalian lihat hanyalah kegagalanku saja.
Seharusnya kalian ikut berprihatin, membantuku dan
berusaha agar rencanaku itu berhasil dengan baik. Tetapi
kalian tidak berbuat demikian. Kalian justru ikut
menghancurkan rencanaku. Bahkan harga diriku. Tetapi
sekarang kalian lihat. Tanpa kalian aku dapat berbuat sesuai
dengan rencanaku, menghancurkan padepokan Bajra Seta,
menangkap pemimpinnya dan meny eretnya kemari."
Tidak seorang pun diantara bebahu Kabuyutan Bumiagara
yang berani menjawab. Di Kabuyutan dan di empat rumah di sekitarnya tinggal dua
kelompok kekuatan yang cukup besar. Bagi orang-orang
Kabuyutan, prajurit Kediri adalah prajurit y ang pilih tanding.
Bahkan menurut penilaian mereka, para cantrik padepokan
Bajra Seta tidak akan mampu mengimbangi seorang prajurit
dengan seorang cantrik. Sementara itu selain para prajurit,
masih ada sekelompok cantrik y ang kuat yang akan dapat
membantu menghancurkan orang- orang padepokan Bajra
Seta. Sebenarnyalah orang Bajra Seta tidak mengetahui bahwa di
Bumiagara telah terhimpun kekuatan y ang demikian besar
untuk menghancurkan padepokan Bajra Seta. Meski pun
mereka masih tetap berhati-hati dan selalu mengawasi
keadaan, namun jika kekuatan itu datang ke padepokan Bajra
Seta, maka mereka pasti tidak akan dapat menahannya.
Sementara itu, mereka tidak terlalu berprasangka buruk
terhadap orang-orang Bumiagara, sehingga padepokan itu
tidak mengirimkan seseorang untuk mengamat-amatinya.
Dalam pada itu, cantrik yang telah pergi ke Bumiagara,
telah menjawab semua pertanyaan yang diajukan oleh Mahisa
Murti, Mahisa Pukat dan dua orang cantrik yang dituakan di
padepokan itu. Ternyata jawaban-jawabannya mey akinkan
bahwa cantrik itu menjawab dengan jujur. Bagaimana pun
pertanyaan itu diputar balik, namun jawabnya sama sekali
tidak bergeser dari keterangan cantrik itu, karena cantrik itu
memang berkata sebenarnya. Apa adanya tanpa ditambah dan
dikurangi. Karena itu, pertanyaan siapa pun dan berbunyi
apapun, jawabnya sama sekali t idak berkisar.
"Aku percaya kepadamu," berkata Mahisa Murti.
Dengan demikian maka Mahisa Murti telah membebaskan
cantrik itu dari semua hukuman. Namun ia tetap diminta
untuk tidak mengulangi perbuatannya, karena perbuatannya
ternyata telah mengundang berbagai macam persoalan dan
merenggut korban jiwa pula.
Cantrik itu menunduk. Ia memang merasa sangat bersalah.
Tetapi apa yang dapat dilakukannya untuk menebus
kesalahannya" Dalam pada itu, ketika Ki Buyut Bumiagara telah bersiap
sepenuhnya bersama prajurit Kediri dan sekelompok cantrik
dari sebuah padepokan yang dipimpin langsung oleh mPu
Carang Wregu, maka guru Ki Buyut itu menjadi sangat
berprihatin. Ia sama sekali tidak dapat meny etujui tindakan
muridnya itu. Namun ia tidak berhasil mencegahnya.
Karena itu, guru Ki Buyut itu menjadi bingung untuk
beberapa saat. Ia tidak dapat m embiarkan padepokan Bajra
Seta dihancurkan oleh dua kekuatan yang besar, y ang telah
dihimpun oleh muridnya itu. Jika benar-benar Bajra Seta
diserang oleh gabungan kekuatan y ang telah bersiap-siap itu,
maka Bajra Seta tentu akan pecah betapa pun tingginya ilmu
kedua orang pemimpinnya. Kecuali jumlahnya terpaut banyak,
para prajurit memiliki ilmu perang yang cukup dibantu oleh
para cantrik yang mendapat tempaan oleh kanuragan
sebagaimana para cantrik dari padepokan Bajra Seta.
Dalam kebingungannya, maka guru Ki Buyut itu
memutuskan untuk menghentikan saja langkah-langkah yang
dianggapnya jauh meny impang dari ajaran-ajaran yang
pernah diberikan. Karena itu maka guru Ki Buyut itu justru telah langsung
pergi ke Singasari. Ia tahu b enar, kepada siapa ia harus memberikan laporan
tentang tingkah laku muridnya itu, karena ia pun tahu benar
bahwa Mahisa Murti dan Mahisa Pukat adalah anak
Mahendra. Mahendra y ang ditemuinya memang terkejut. Ia sadar,
bahwa kedua anaknya beserta padepokannya ada dalam
bahaya. Sehingga dengan demikian maka ia pun telah berusaha
untuk menghadap Sri Maharaja di Singasari.
Ternyata tanggapan Seri Maraja sangat baik bagi Bajra
Seta. Atas perintah Sri Maharaja, maka sekelompok perjalanan
di malam hari. Satu hal yang tidak pernah diperhitungkan oleh
Ki Buyut Bumiagara. Ia sama sekali tidak mengira bahwa
gurunya benar-benar telah tersinggung dengan perbuatannya
itu dan mengambil langkah-langkah tertentu untuk mencegah
padepokan Bajra Seta dihancurkan.
Pa da hari yang ditentukan, m aka pasukan y ang besar itu
pun telah berangkat. Pimpinan tertinggi pasukan itu berada di
tangan Senapati dari Kediri. Senapati y ang memimpin
sepasukan prajurit y ang menjadi landasan perjuangan
sekelompok pemimpin di Kediri yang tidak mau tunduk lagi
kepada kepemimpinan Sri Baginda di Kediri.
Kedua pasukan itu menempuh perjalanan disaat y ang
hampir sama. Pasukan Bumiagara memang berniat untuk
sampai di sekitar padepokan itu menjelang pagi. Mereka akan


04 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

beristirahat sejenak sebelum memukul padepokan Bajra Seta
menjelang matahari terbit.
Ternyata prajurit berkuda Singasari telah lebih dahulu
datang ke padepokan. Ketika pasukan itu mendekati pintu
gerbang, maka seisi padepokan telah terbangun. Para cantrik
yang bertugas terkejut melihat pasukan berkuda datang,
sehingga mereka telah memberikan isy arat kepada seluruh
kekuatan yang ada di padepokan itu untuk bersiaga.
Namun Senapati y ang memimpin pasukan berkuda itu
telah m engangkat tunggul pertanda utusan Sri Maharaja di
Singasari. Mahisa Murti dan Mahisa Pukat melihat tunggul itu.
Karena itu, maka diperintahkannya untuk membuka pintu
gerbang. Meski pun keduanya cukup berhati-hati.
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat diiringi beberapa orang
cantrik telah keluar dari pintu gerbang beberapa langkah
untuk menemui Senapati dari prajurit berkuda itu.
Senapati itu pun segera menjelaskan perintah Sri Maharaja
yang diembannya dengan pertanda tunggul kerajaan Singasari
serta sebuah kelebet ciri pasukan berkuda yang datang itu.
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat pun telah mempersilahkan
pasukan berkuda itu memasuki dinding padepokan tanpa
diketahui oleh banyak orang di padukuhan-padukuhan sekitar
padepokan itu, karena m ereka datang disaat-saat orang tidur
ny enyak. Setengah bermimpi memang ada y ang mendengar
derap sepa sukan berkuda lewat. Namun kemudian hilang
dengan cepat. Beberapa orang peronda pun melihat iring-iringan prajurit
berkuda. Namun tidak seorang pun diantara mereka sempat
bertanya. Tetapi orang-orang yang umurnya sudah mendekati
setengah abad y ang m elihat iring-iringan itu berkata kepada
anak-anak muda digardu: "Tunggul kerajaan Singasari."
"Apakah paman tahu pasti"," bertanya seorang anak muda.
"Aku y akin," jawab orang tua itu.
Sementara itu, pasukan Bumiagara lebih banyak
menghindari jalan- jalan padukuhan. Mereka lebih banyak
menyusuri bulak-bulak dan bahkan memotong jalan lewat
sawah dan pategalan. Mereka tidak mau kehadirannya terlalu
cepat diketahui, sehingga padepokan Bajra Seta sempat
bersiap-siap dan memberi isyarat kepada padukuhanpadukuhan
disekitarnya untuk membantunya.
Namun dengan demikian, maka pasukan Bumiagara itu
sama sekali tidak menyadari, bahwa sekelompok prajurit
berkuda dari Singasari telah berada di dalam dinding
padepokan Bajra Seta. Dalam pada itu, Mahisa Murti dan Mahisa Pukat baru
mendengar dari Senapati prajurit berkuda dari Singasari itu
bahwa akan ada serangan yang datang dari Bumiagara.
"Kapan "," bertanya Mahisa Murti.
"Kami tidak tahu pasti. Tetapi kami mendapat perintah
secepatnya berada di padepokan," jawab Senapati itu.
Dengan demikian maka Mahisa Murti telah memerintahkan
agar para petugas y ang mengawasi keadaan di panggungan
pada dinding padepokan menjadi semakin hati-hati. Mereka
harus memberikan laporan jika m ereka m elihat sesuatu yang
mencurigakan. Namun Senapati prajurit Kediri y ang m emimpin serangan
atas padepokan Bajra Seta itu cukup berhati-hati. Ia
menghentikan pasukannya tidak t erlalu dekat dengan
padepokan, sehingga pasukannya tidak segera terlihat oleh
para cantrik meski pun seandainya ada yang meronda
berkeliling padepokan. Tetapi demikian langit menjadi semakin merah, maka
Senapati itu mulai bersiap-siap. Meski pun ia masih
membiarkan pasukannya beristirahat sejenak, namun
beberapa orang telah menjadi sibuk. Diantara mereka bertugas
untuk membagikan makanan agar mereka tidak menjadi
kelaparan jika mereka bertempur untuk waktu y ang lama.
Tetapi para petugas tidak ada y ang membawa minum,
sehingga mereka telah menunjuk sebuah mata air yang
diketemukan oleh salah seorang prajurit sebagai tempat untuk
minum. Dinginnya air di dini hari tidak menjadi soal. Seorang y ang
memang agak batuk ternyata lebih senang minum air dari
mata air dalam dinginnya malam, sehingga gatal -gatal
dilehernya justru akan hilang.
Menj elang pagi, maka Senapati dari Kediri itu telah
mempersiapkan seluruh pasukannya. Sejenak kemudian,
maka diperintahkannya para prajurit untuk mendckati
padepokan itu dari arah depan dan samping sebelah kanan.
Kemudian memerintahkan agar para pengikut mPu Carang
Wregu, meny erang dari ni si sebelah kiri dan dari arah
belakang. "Pertahanan mereka terkuat tentu berada di bagian depan,"
berkata Senapati itu, "Kami akan menghancurkan pintu
padepokan itu dan akan meny erang masuk kedalam dinding
padepokan. Kami berharap bahwa setelah itu, pasukan dari
samping kiri dan kanan akan segera masuk pula. Demikian
pula pasukan yang ada di belakang. Pasukan-pasukan itu akan
mengacaukan pertahanan padepokan Bajra Seta, sehingga kita
masing-masing akan dapat melakukan tugas dan kepentingan
kita sendiri. Kami akan menangkap Mahisa Murti dan Mahisa
Pukat, sementara mPu Carang Wregu akan m engambil alatalat
yang bcrnilai sangat tinggi itu, namun yang bagi kami
sama sekali bukan sesuatu yang baru. Ki Buyut Bumiagara y ang ikut dalam pasukan y ang
menyerang padepokan itu termangu-mangu. Namun sudah
tentu bahwa Kabuyutan Bumiagara juga memerlukan alat-alat
pande Besi itu meski pun hanya sebagian.
Tetapi Ki Buyut masih belum mengatakannya. Bahkan ia
sudah merencanakan, jika mPu Carang Wregu membuat
keputusan y ang tidak sesuai dengan keinginan Ki Buyut, maka
apa salahnya jika ia m engabil dengan paksa dengan bantuan
para prajurit Kediri. Demikianlah, maka sebelum matahari terbit, maka
padepokan Bajra Seta itu pun telah dikepung dari segala
penjuru. Para pengawas y ang ada dipanggungan pada dinding
padepokan dapat melihat sebagian dari m ereka. Karena itu,
maka ia pun segera melaporkan kepada para cantrik yang
bertanggung jawab atas tugas kawan-kawannya di malam itu.
Cantrik itu pun segera membagi tugas. Seorang diantara
mereka berlari-lari menemui Mahisa Murti dan Mahisa Pukat.
Sedangkan yang lain telah harus membangunkan semua
cantrik yang masih tertidur karena tugas-tugas mereka yang
harus mereka lakukan sampai malam.
Dengan cepat para cantrik pun telah bersiap. Karena
sebelumnya semuanya sudah diatur dengan tertib, maka pada
saat musuh itu benar-benar datang, maka para cantrik tidak
menjadi kebingungan. Sementara itu Mahisa Murti dan Mahisa Pukat sendirilah
yang telah menemui Senapati yang datang dari Singasari.
Setelah keduanya memberi tahukan bahwa padepokan itu
sudah terkepung, maka Senpati itu pun telah menjatuhkan
perintah-perintah. Sekelompok pasukan berkuda itu pun segera
mempersiapkan diri. Namun karena kuda-kuda mereka itu
sudah merupakan bagian dari hidup para prajurit berkuda itu,
maka beberapa orang mendapat perintah untuk
mengamankan kuda-kuda mereka y ang berada di kandang
yang tidak terlalu besar sehingga tidak mencukupi untuk
menyimpan kuda-kuda para prajurit, sehingga y ang lain hanya
diikat pada pepohonan di kebun padepokan itu. Namun
makanan bagi kuda-kuda itu cukup tersedia di padepokan itu.
Demikianlah, maka para prajurit dari Kediri itu sudah
bersiap di dinding halaman bagian depan. Mereka sama sekali
tidak m enjadi gaduh ketika mereka mendengar berita bahwa
padepokan itu sudah terkepung.
Untunglah bahwa para prajurit itu sempat beristirahat
sejenak setelah para prajurit berkuda m enempuh jarak yang
cukup panjang. Namun dalam waktu y ang terhitung singkat, para prajurit
itu sudah siap menghadapi segala kemungkinan.
Ketika pagi menjadi semakin terang,maka nampaknya
pasukan y ang mengepung padepokan itu semakin bergeser
maju. Mahisa Murti dan Mahisa Pukat pun kemudian telah
berada di panggungan pula. Mereka melihat dan menilai
kekuatan pasukan y ang datang mengepung padepokan itu.
Namun Mahisa Murti dan Mahisa Pukat mendapatkan
kesimpulan bahwa pasukan lawan memang terlalu kuat.
Hampir di luar sadarnya, maka Mahisa Murti pun berdesis:
"Untunglah, bahwa Singasari telah m engetahui akan hal ini,
sehingga mereka mengirimkan sekelompok prajurit untuk
membantu kita. Kita harus berterima kasih kepada orang yang
telah memberikan laporan tentang serangan yang datang ini,"
sahut Mahisa Pukat. "Guru Ki Buyut, maksudmu"," bertanya Mahisa Murti.
"Ya," jawab Mahisa Pukat pendek. Ia tidak sempat
berbincang lebih lama lagi, karena pasukan yang datang
mengepung padepokan itu sudah merayap semakin mendekat.
"Nampaknya mereka akan meny ongsong matahari,"
gumam Mahisa Pukat. Mahisa Murti mengangguk-angguk. Namun mereka melihat
bahwa pasukan itu telah mempersiapkan alat-alat yang akan
mereka pergunakan untuk merusak pintu.
Sementara itu, di bagian belakang dan samping padepokan
itu pun telah terkepung pula. Di bagian belakang, pasukan
yang dipimpin langsung oleh mPu Carang Wregu telah
mempersiapkan tangga-tangga pula. Potongan-potongan kayu
telah mereka ikat pada dua batang bambu yang cukup panjang
yang telah mereka sediakan sebelumnya. Dengan tangga itu
mereka berniat untuk memanjat dinding dan memasuki
halaman padepokan. Beberapa buah tangga telah mereka persiapkan. Sementara
itu, beberapa orang cantrik dibawah pimpinan mPu Carang
Wregu itu sudah mempersiapkan busur dan anak panah untuk
melindungi para cantrik y ang akan m emanjat beberapa buah
tangga itu bersama-sama. Mereka berharap bahwa serangan di
pintu gerbang dan di sisi padepokan akan menghisap sejumlah
cantrik padepokan Bajra Seta. Dengan demikian, maka
pertahanan di bagian belakang itu tentu tidak akan terlalu
kuat. Dalam pada itu, para prajurit dari pasukan berkuda
Singasari masih belum menampakkan diri. Mereka masih
bersiap-siap di dalam dinding padepokan. Namun mereka
menunggu saat y ang terbaik untuk tampil. Apalagi jika prajurit
Kediri itu berusaha untuk memecahkan pintu gerbang,
sehingga para prajurit Singasari dari pasukan berkuda itu akan
dapat menghadapinya langsung.
Dari atas panggung kecil, Mahisa Murti selalu memberikan
isy arat kepada para prajurit dari Singasari itu. Dengan
demikian maka Senapati prajurit Singasari itu tahu pasti, apa
yang sedang terjadi di luar padepokan.
Para prajurit Kediri dan para cantrik dibawah pimpinan
mPu Carang Wregu juga melihat bahwa para cantarik dari
padepokan Bajra Seta sudah bersiap. Memang ada semacam
keheranan bahwa para cantrik nampaknya suah siap
sepenuhnya menyambut kedatangan mereka.
Ketika hal itu dikemukakan oleh salah seorang prajurit
Kediri, maka Senopatinya telah menjawab: "Mungkin
perselisihan y ang terjadi antara padepokan ini dengan
Kabuyutan Bumiagara selalu membayangi para pemimpin
padepokan ini, sehingga mereka telah menempatkan beberapa
orang petugas y ang-mengawasi itu telah melihat kita
mendekati padepokan itu dalam keremangan fajar. Kesiagaan
padepokan ini telah membuat mereka dengan cepat
mempersiapkan diri menanti kedatangan kita."
"Kita akan segera mulai. Betapa pun mereka bersiap, tetapi
kekuatan mereka sangat terbatas. Kita tclah berhasil meredam
bantuan dari padukuhan-padukuhan di sekitarnya karena
agaknya kehadiran kita tidak mereka kctahui," berkata
Senopati itu. Namun sementara itu para cantrik y ang berada di atas
panggungan di dalam dinding padepokan telah bersiap dengan
busur dan anak panahnya, sebagaimana sebagian dari prajurit
Kediri y ang meny impang dari paugeran keprajuritan itu.
Dalam pada itu, maka Senopati pasukan berkuda Singasari
yang ada di padepokan itu telah mengisyaratkan agar para
cantrik tidak t erlalu mencegah para prajurit Kediri yang
melawan perintah Sri Baginda di Kediri itu untuk merusak
pintu. "Biarlah mereka masuk," pesan Senopati itu. Namun dalam
pada itu, para prajurit Singasari itu pun telah bersiap
dibelakang pintu. Sebenarnyalah, sejenak kemudian, maka dua orang prajurit
Kediri itu telah melepaskan panah sendaren sebagai isyarat,
mereka y ang mengepung padepokan itu akan meny erang
bersama-sama. Ketika pasukan Kediri dan para cantrik dari padepokan
yang dipimpin oleh mPu Carang Wregu itu m endekat, maka
anak panah para cantrik padepokan Bajra Seta pun mulai
meluncur seperti hujan bertaburan di atas para prajurit Kediri.
Meski pun sedikit terhambat, tetapi pasukan itu maju terus.
Mereka telah m elindungi diri dengan perisai atau menangkis
anak panah yang meluncur kearah para prajurit, sehingga
akhirnya sekelompok diantara mereka berhasil mencapai
pintu gerbang. "Cepat. Hancurkan saja pintu gerbang itu," terdengar
perintah bagi para prajurit Kediri yang memang bertugas
untuk memecahkan pintu. Dengan mempergunakan kapak, linggis dan parang,
mereka telah memotong tali temali pada pintu gerbang dan
memecahkan kayu-kayu penguatnya dengan kapak.
Sementara itu kawan-kawan mereka yang tengah
memecahkan pintu gerbang itu berusaha untuk melindungi
mereka. Sebagian berusaha untuk melindungi dengan
melontarkan anak panah kepada para cantrik y ang ada di
panggungan, sedangkan yang lain melindungi para prajurit


04 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

yang merusak pintu gerbang itu dengan perisai atau m enebas
serangan anak panah itu menepi.
Namun seperti diisy aratkan oleh Mahisa Murti dan Mahisa
Pukat bahwa para cantrik jangan menghentikan sama sekali
usaha para prajurit untuk merusak pintu.
Dalam pada itu, dibagian belakang, beberapa orang cantrik
yang dipimpin oleh mPu Carang Wregu berusaha untuk
memanjat dengan tangga-tangga y ang panjang. Tetapi di atas
dinding para cantrik berusaha untuk mencegah mereka.
Sebagian tangga-tangga itu telah didorong dan dir obohkan.
Namun satu dua orang yang memanjat sampai ke ujung
tangga, telah terlempar jatuh.
mPu Carang Wregu tidak m enduga bahwa pertahanan di
bagian belakang padepokan itu pun cukup kuat. Seharusnya,
menurut perhitungannya, para cantrik dari padepokan Bajra
Seta itu sebagian besar akan ditarik ke pintu gerbang utama,
karena serangan prajurit Kediri y ang cukup berbahaya.
Seorang penghubung mengatakan, bahwa para prajurit
Kediri hampir berhasil m emecahkan pintu gerbang, sehingga
dalam waktu dekat para cantrik padepokan Bajra Seta itu akan
terhisap ke halaman depan untuk menahan serangan para
prajurit Kediri. "Seharusnya sebagian dari mereka telah meninggalkan
dinding padepokan bagian belakang ini," desis mPu Carang
Wregu. " Itulah kedunguan mereka," jawab penghubung itu, "jika
pintu gerbang itu pecah, mereka tentu terlambat sehingga para
cantrik y ang berusaha m enahan arus para prajurit itu akan
dibantai oleh para prajurit dari Kediri. Sementara itu, para
cantrik yang ada di bagian belakang itu baru menyadari bahwa
mereka tidak akan mampu bertahan."
"Tetapi kita akan terlambat," berkata mPu Carang Wregu.
"Terlambat apa "," bertanya penghubung itu.
"Alat-alat itu akan dikuasai oleh para prajurit," jawab mPu
Carang Wregu. "Mereka tidak memerlukannya. Di Kediri pun terdapat alatalat
seperti itu," jawab penghubungnya.
"Mungkin orang-orang Kediri itu tidak memerlukannya.
Tetapi Kabuyutan Bumiagara ?"
"Bukankah itu soal y ang mudah dipccahkan " Seandainya
alat-alat itu oleh para prajurit diserahkan kepada Ki Buyut
Bumiagara karena mereka sudah m enangkap para pemimpin
padepokan Bajra Seta, pada suatu saat kita tentu akan dapat
mengambilnya. Para prajurit itu tidak akan selamanya berada
di Bumiagara. mPu Carang Wregu mengangguk-angguk. Namun
sementara itu, para cantrik y ang bertahan di atas panggungan
di belakang dinding padepokan, masih saja berada di tempat
mereka. Tidak seorang pun y ang beringsut dari tempat
mereka, meski pun pintu gerbang utama padepokan itu sudah
benar-benar mulai pecah. Sebenarnyalah, para prajurit telah m emecahkan
pintu gerbang utama padepokan Bajra Seta. Namun demikian ujung pasukan mereka menembus memasuki halaman
padepokan, mereka benar-benar terkejut. Di halaman itu telah bersiap
prajurit Singasari. Pertempuran yang sengit pun tidak dapat dielakkan lagi. Para prajurit Kediri y ang terkejut, ternyata telah kehilangan waktu sekejap saat pasukan mcreka berbenturan. Justru hanya beberapa
langkah di belakang pintu gerbang.
Namun prajurit Kediri y ang dibelakang, yang kurang
tanggap atas keadaan y ang mereka hadapi, telah mendcsak
kawan-kawannya untuk terus maju memasuki halaman.
Prajurit Singasari memang mengalami kesulitan untuk
membcndung arus pasukan Kediri y ang seakan-akan banjir
bandang y ang memecahkan bendungan.
Karena itu, maka para prajurit Singasari justru telah
mundur dan mengambil tempat yang lcbih luas di halaman
padepokan. Barulah kemudian, pertempuran yang sebenarnya telah
terjadi. Namun dalam pada itu, para cantrik yang berada di
panggungan pun telah meny erang dengan anak panah dan
lembing. Para prajurit Kediri yang sedang bertempur melawan
prajurit Singasari itu memang menjadi agak bingung. Yang
dapat mereka lakukan kemudian adalah menjauhi dinding
padepokan. Namun para prajurit Singasari pun telah menahan
mereka. Beberapa orang prajurit Kediri berusaha untuk m emanjat
panggungan itu pula, untuk menghentikan serangan para
cantrik. Tetapi para cantrik padepokan Bajra Seta m emiliki
kemampuan seorang prajurit pula, sehingga usaha untuk
menghentikan mereka y ang ada di atas panggung tidak
semudah y ang mereka duga.
Dalam pada itu, m aka pertempuran pun telah m eluas pula
dihalaman. Para prajurit Singasari memang sengaja membuka
medan y ang lebih luas, agar prajurit -prajurit Singasari tidak
terlalu berjejalan saat mereka bertempur menghadapi para
prajurit Kediri. Namun ternyata prajurit Kediri itu telah salah pilih. Mereka
sama sekali tidak mengira bahwa didalam padepokan itu telah
terdapat prajurit Singasari pula.
Seorang penghubung y ang m elihat medan itu segera pergi
ke bagian belakang padepokan dan memberikan laporan
kepada mPu Carang Wregu. mPu Carang Wregu mengumpat lirih. Dengan geram ia
berkata: "Jadi inilah sebabnya, kenapa para cantrik didinding
belakang padepokan itu tidak bergeser sama sekali. Mereka
memang tidak perlu membantu kawan-kawan mereka yang
berada di bagian depan padepokan ini, karena disana telah
hadir prajurit Singasari."
"Jadi apa y ang harus kita lakukan mPu "," bertanya salah
seorang Putut. "Kita harus berusaha untuk memecahkan pertahanan
dibelakang atau disisi padepokan. Kita harus berusaha untuk
memasuki dinding padepokan," jawab mPu Carang Wregu.
"Bagaimana jika merusak pintu regol samping "," bcrtanya
Putut itu. "Bagus. Lakukan," jawab mPu Carang Wregu.
Putut itu pun kemudian telah menghimpun beberapa orang
secara khusus. Dengan dilindungi oleh beberapa cantrik yang
bersenjata busur dan anak panah, Putut itu telah berusaha
untuk memecahkan pintu regol samping.
Dengan cara y ang sama sebagaimana dilakukan oleh para
prajurit Kediri, maka regol samping itu pun sedikit demi
sedikit menjadi pecah dan setelah tali-tcmalinya putus serta
beberapa bagian kayunya dipecahkan, akhirnya pintu itu
memang koy ak. Bahkan kemudian, pintu itu pun telah
dirobohkannya. Dalam pada itu, beberapa orang cantrik memang telah
ditarik untuk menahan agar orang-orang y ang meny erang
padepokan itu tertahan di sekitar pintu butulan. Karena itu,
maka pertemuan di halaman samping itu pun menjadi
semakin lama semakin sengit. Sebanyak peny erang yang
memasuki halaman, maka sebanyak itu pula para cantrik
menahannya. Bahkan sebagian kecil dari para prajurit
singasari pun telah ditarik pula untuk ikut bertahan di sekitar
pintu butulan. Apalagi karena pitu itu terbuka, maka para
peny erang seakan-akan telah dihisap oleh pintu itu. Sehingga
karena itu, maka di bagian belakang padepokan itu m enjadi
kosong. Dengan demikian, maka para cantrik yang semula bertahan
di dinding belakang itu pun telah turun pula dan m embantu
mempertahankan diri terhadap orang-orang y ang telah
memasuki halaman samping padepokan itu.
Dengan demikian, maka pertempuran pun menjadi
semakin sengit. Namun kehadiran para prajurit Singasari di
medan pertempuran di halaman samping itu, t elah membuat
mPu Carang Wregu menjadi sangat marah. Para cantriknya
telah tertahan dan tidak mampu lagi mendesak maju.
Karena itu, m aka mPu Carang Wregu pun kemudian telah
langsung terjun ke medan y ang garang itu.
Ternyata mPu Carang Wregu adalah seorang yang memiliki
kelebihan dari orang kebanyakan. Itulah sebabnya, maka lima
orang cantrik harus menghadapinya.
Tetapi kelima orang cantrik itu menjadi kehilangan
kesempatan ketika mPu Carang Wregu itu mengerahkan
kemampuannya serta mempergunakan senjatanya. Sebilah
keris yang lebih besar dari kebanyakan keris yang lain.
Namun sebelum ia m enghabisi kelima orang cantrik y ang
seakan-akan sudah tidak mempunyai kesempatan lagi itu,
terdengar seseorang mencegahnya: "Sebaiknya kau tidak
melakukannya." Sebelum orang itu berpaling, seseorang telah melompat
diantara kelima cantrik y ang terdesak itu. Ternyata tiga
diantara para cantrik itu sekaligus telah kehilangan senjata
mereka. Dua orang lain justru telah terluka.
"Siapa kau anak muda "," bertanya mPu Carang Wregu.
"Mahisa Murti," jawab anak muda yang telah memasuki
lingkaran pertempuran itu.
"Apakah kau sedang berusaha untuk membunuh diri ","
bertanya mPu Carang Wregu.
Mahisa Murti tidak segera menjawab. Namun ia masih
sempat berbicara dengan kedua orang cantriknya yang terluka:
"Hati-hati dengan lukamu. Luka itu beracun. Apakah kalian
memabwa obat penawar racun ?"
Kedua cantrik itu saling berpandangan. Sementara itu
pertempuran telah m enjalar di sekitarnya. Tiga orang cantrik
yang kehilangan senjatanya telah berhasil m enggapainya dan
bertempur dengan tangkasny a menghadapi para cantrik yang
dipimpin oleh mPu Carang Wregu.
Namun seperti para cantrik y ang lain di padepokan itu,
maka kedua cantrik itu pun membawa obat penangkal racun
meski pun tidak terlalu banyak.
"Cepat, taburkan obat itu keatas luka kalian," perintah
Mahisa Murti. Kedua orang cantrik itu pun kemudian telah meninggalkan
medan untuk mendapatkan kesempatan menaburkan obat
penangkal racun itu pada luka-luka m ereka. Obat y ang telah
dibuat oleh Mahisa Murti dan Mahisa Pukat atas petunjuk
ay ah mereka, Mahendra. mPu Carang Wregu itu pun kemudian berkata sambil
mengacungkan senjatanya: "Kau terlalu y akin akan
kelebihanmu anak muda. Tetapi sudah saatnya kau akan
mati." "Apa pun y ang akan terjadi, aku adalah pemimpin
padepokan ini. Aku harus menghentikanmu sebelum kau
menelan korban terlalu banyak," geram Mahisa Murti.
"Kau m asih t erlalu muda untuk mati. Tetapi jika itu y ang
kau kehendaki, apa boleh buat. Tetapi ada orang lain yang
menginginkanmu hidup-hidup," berkata mPu Carang Wregu
kemudian. "Mahisa Murti termangu-mangu sejenak. Namun ia pun
kemudian bertanya: "Siapa yang menghendaki aku hiduphidup"
- "Para prajurit Kediri menghendaki pimpinan padepokan ini
hidup-hidup. Pimpinan padepokan ini telah terlalu banyak
membuat para petugas sandi dari Kediri kesulitan. Karena itu,
maka para pemimpin padepokan ini harus mempertanggung
jawabkan perbuatannya. Bukan sekedar mati terbunuh
dipeperangan," jawab mPu Carang Wregu.
Menarik sekali untuk berhadapan dengan para prajurit.
Namun seorang saudaraku telah berada di halaman depan
padepokan ini. Ia akan menerima para prajurit dari Kediri itu
bersama-sama para prajurit Singasari," jawab Mahisa Murti.
Namun tiba-tiba mPu Carang Wregu tcrtawa. Katanya:
"Aku k ira padepokan sebesar padepokan Bajra Seta ini tidak
memerlukan bantuan darimana pun juga. Ternyata isi
padepokan ini adalah para pengecut y ang memerlukan
bantuan prajurit Singasari."
"Mereka ternyata datang sendiri Ki Sanak," jawab Mahisa
Murti, "prajurit Singasari tahu pasti apa y ang dilakukan oleh
orang-orang Kediri. Baik mereka y ang sejalan dcngan langkahlangkah
Sri Baginda di Kediri, mau pun para prajurit Kediri
yang telah memberontak dan tidak tunduk kepada Sri
Baginda, sehingga membuat langkah-langkah sendiri
sebagaimana para prajurit y ang datang kemari."
"Kau tidak perlu membuat penilaian atas Kediri," berkata
mPu Carang Wregu kemudian: "kau tidak akan tahu apa yang
sebenarnya terjadi. Kau masih terlalu anak-anak untuk
berbicara tentang Kediri dan Singasari."
Tetapi Mahisa Murtilah y ang kemudian tcrtawa. Katanya:
"Sejak aku masih ingusan, aku telah ikut serta membantu
tugas-tugas sandi bagi Kediri. Kau tidak apa-apa?"
Tetapi mPu Carang Wregu kemudian m enyahut: "Jangan
terlalu mcmperbodoh orang lain anak muda."
"Baiklah. Aku tidak akan menuntut agar kau percaya.
Namun yang penting bagiku, m eny erahlah," berkata Mahisa
Murti kemudian. "Anak m uda," berkata mPu Carang Wregu: "pertempuran
nampaknya menjadi semakin sengit. Jika kau mati atau
menyerah atau ditangkap hidup-hidup, nampaknya
pertempuran akan segera berakhir."
"Ya. Atau sebaliknya. Jika kau m ati, atau menyerah atau
tertangkap hidup-hidup, maka orang -orangmu akan kacau
balau. Pertempuran pun akan segera selesai."
mPu Carang Wregu pun tidak menjawaba lagi. Tetapi
kerisnya yang besar itu sudah mulai mengacu ke dada
lawannya. Katanya: "Aku masih akan mencoba menangkapmu
hidup-hidup. Kalau aku gagal, m aka mayatmulah y ang akan


04 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dibawa ke Kediri untuk dijadikan pengewan-ewan."
Mahisa Murti menyadari, bahwa senjata mPu Carang
Wregu itu adalah senjata y ang sangat berbahaya. Keris itu
adalah keris beracun. Meski pun racun itu sendiri tidak banyak
berarti bagi Mahisa Murti, t etapi goresan-goresannya cukup
berbahaya baginya, karena ujung keris itu demikian tajamnya.
Karena itu, maka Mahisa Murti pun telah menarik
senjatanya pula, y ang oleh pembuatnya justru juga disebut
keris. Namun Mahisa Murti sendiri lebih senang menyebutnya
pedang. mPu Carang Wregu m emang terkejut melihat senjata anak
muda itu. Besi bajanya adalah besi baja pilihan. Warnanya
yang kehijau-hijauan membuat senjata Mahisa Murti itu
mendebarkan lawannya. Keduanya tidak banyak berbicara lagi. Tetapi senjata
merekalah y ang mulai bergerak. Berputaran namun kemudian
mematuk dengan cepat, sementara y ang lain tcrayun menebas
ke arah leher. Ketika senjata mereka berbenturan, maka sepecik bunga
api telah berloncatan. Ternyata bahwa senjata-senjata itu telah terbuat dari besi
baja yang sama-sama pilihan.
Karena itu, maka pertempuran diantara mereka selanjutnya
menjadi semakin lama semakin sengit. Kedua senjata itu
menjadi semakin sering beradu dan bunga api pun semakin
banyak berhamburan. Dihalaman depan padepokan Bajra Seta, prajurit Singasari
bertempur dengan sengitnya melawan prajurit Kediri yang
tidak sejalan dengan Sri Baginda di Kediri. Namun prajurit
Singasari ternyata cukup tanguh untuk menahan arus
serangan prajurit Kediri, sehingga prajurit Kediri itu tidak
mampu lagi mendesak prajurit Singasari. Jika semula prajurit
Singasari bergerak surut dan m emberikan tempat yang lebih
luas bagi prajurit Kediri, semata-mata karena prajurit
Singasari memang ingin bertempur di arena yang tidak
berdesakkan. Mahisa Pukat y ang semula berada di halaman depan,
ternyata merasa tidak diperlukan lagi. Karena itu, ia minta
Wantilan bersama sekelompok kecil cantrik untuk tetap
bersama-sama dengan prajurit Singasari. Mungkin ada
sesuatu yang perlu dilakukan. Sementara itu Mahisa Pukat
telah menelusuri dinding padepokan.
Ternyata padepokan itu sudah tidak terkepung lagi. Para
prajurit Kediri telah memasuki halaman padepokan lewat
pintu gerbang utama yang memang sudah terbuka, sementara
para cantrik yang dipimpin oleh mPu Carang Wregu telah
berada di dalam dinding padepokan pula setelah mereka
memecahkan pintu regol samping.
Karena itu, maka Mahisa Pukat pun telah melingkari
padepokan dan m emasuki arena pertempuran m elawan para
cantrik yang dipimpin oleh mPu Carang Wregu yang telah
berada di halaman samping padepokan. Namun disepanjang
dinding halaman, para cantrik masih juga berjaga-jaga m eski
pun jumlahnya t idak banyak. Mereka sekedar mengawasi
keadaan, sementara kawan-kawan mereka telah turun ke
gelanggang m enghadapi para cantrik yang datang m eny erang
padepokan itu. Mahisa Pukat pun kemudian telah bergabung dengan para
cantrik yang menahan arus serangan dari samping. Sementara
itu, di sisi y ang lain dari medan, Mahisa Murti telah bertempur
melawan mPu Carang Wregu itu sendiri.
Kedatangan Mahisa Pukat memang sangat berpengaruh.
Para cantrik dari padepokan Bajra Seta yang mulai terdesak
oleh para peny eralignya y ang jumlahnya memang lebih
banyak, segera bangkit. Mahisa Pukat sendiri kemudian telah
menghisap lawan cukup banyak. Tujuh orang cantrik dari
padepokan mPu Carang Wregu itu telah mengepungnya
dibawah pimpinan seorang Putut.
"Tangkap anak itu hidup-hidup," teriak Putut y ang
memimpin sekelompok orang y ang mengepung Mahisa Pukat.
Mahisa Pukat termangu-mangu sejenak. Namun sambil
memutar pedangnya ia bertanya: "Untuk apa kalian berusaha
menangkap aku hidup-hidup?"
"Kau ternyata memang seorang y ang sangat menarik untuk
ditangkap hidup-hidup. Kau akan dapat menjadi permainan
yang meny enangkan bagi para prajurit Kediri, karena kau dan
padepokanmu sudah terlalu sering membuat para prajurit
Kediri mengalami kesulitan," jawab Putut itu.
"Kau pura-pura tidak tahu"," justru Mahisa Pukat pun telah
bertanya pula. "Sudahlah," potong Putut itu kemudian: "m eny erahlah. Aku
tidak akan m enyakitimu. Tetapi entah y ang akan dilakukan
oleh para prajurit Kediri."
"Adakah kau mengira bahwa masih akan ada prajurit Kediri
yang tersisa menghadapi prajurit Singasari "," bertanya
Mahisa Pukat kemudian. "Persetan kau," geram Putut itu," ternyata kau seorang y ang
sombong tetapi dungu."
Mahisa Pukat t ertawa. Katanya: "Jangan merajuk seperti
itu. Jadi kau tidak mau meny erah "," bertaya Putut itu
kemudian. "Maaf, aku tidak akan meny erahkan diri untuk diikat dan
dijadikan pengewan-ewan," jawab Mahisa Pukat.
Putut itu m enjadi semakin tersinggung atas sikap Mahisa
Pukat. Karena itu, maka ia pun telah m enjatuhkan aba-aba
sekali lagi kepada para cantriknya.
"Tangkap anak ini hidup-hidup."
Para cantrik itu segera berloncatan. Mahisa Pukat sama
sekali tidak menjadi cemas. Ia sengaja tidak memanggil
cantrik dari padepokan Bajra Seta untuk membantunya. Ia
berniat mengatasi ketujuh orang lawannya itu sendiri.
Demikianlah, maka Mahisa Pukat pun telah berloncatan
dengan pedang y ang berwarna kehijauan itu ditangannya.
Setiap kali m aka kepungan itu pun m enjadi longgar, karena
lawan-lawannya berloncatan surut.
Dalam keadaan seperti itu, disaat para cantrik dari
padepokan Bajra Seta memerlukan dukungan kemampuannya,
maka Mahisa Pukat telah bertempur dengan garangnya.
Tenaga cadangan di dalam dirinya, kemampuannya dalam
olah kanuragan serta ketrampilannya bermain dalam ilmu
pedang, telah membuat lawan-lawannya segera mengalami
kesulitan. Satu dua orang lawannya telah kehilangan senjata
mereka y ang terlempar dari tangan mereka. Sementara itu
telapak tangan mereka rasa-rasanya bagaikan telah
menyentuh api. Bahkan beberapa saat kemudian, maka seorang diantara
mereka telah terdor ong surut beberapa langkah. Ketika
tangannya m eraba lambungnya, maka terasa tangannya telah
menyentuh darahnya yang mengalir dari luka.
Orang itu mengumpat. Tetapi lukanya semakin lama justru
menjadi semakin terasa pedih
Ketika ia bertekad untuk kembali memasuki arena, m aka
seorang kawannya telah mengaduh tertahan. Pundaknyalah
yang telah tergores tajamnya pedang Mahisa Pukat.
Dua orang telah terluka. Sementara dua orang y ang
kehilangan senjatanya telah berhasil menemukannya kembali.
Sementara itu Putut y ang memimpin sekelompok kecil cantrik
dari padepokan mPu Carang Wregu itu telah mengerahkan
kemampuannya pula untuk meny erang Mahisa Pukat.
Tetapi serangan-serangan itu tidak segera berhasil. Mahisa
Pukat ternyata terlalu tangkas bagi mereka. Apalagi pedangnya
menjadi sangat berbahaya.
Bahkan beberapa saat kemudian, dua orang telah terlempar
dari arena pertempuran karena luka-luka mereka didada dan
di lambung. Luka -luka itu cukup parah, sehingga kedua orang
itu t idak mungkin untuk dapat ikut pula dalam pertempuran
itu. Ternyata kehadiran Mahisa Pukat telah memberikan
kemungkinan baru dari pertempuran itu. Sementara itu, para
cantrik dari padepokan Bajra Seta itu bertempur dengan
tangkasnya. Senjata mereka y ang baru, yang tclah berhasil
dibuat sendiri oleh para cantrik y ang telah m engkhususkan
diri sebagai pande besi, telah membuat para cantrik itu
seakan-akan menjadi semakin tangkas dan bahkan ilmu
mereka seakan-akan telah meningkat pula.
Beberapa orang cantrik justru sempat memperhatikan
senjata di tangan mereka. Pertempuran itu seakan-akan ju stru
merupakan ujian bagi senjata-senjata y ang baru mereka buat.
Namun ternyata bahwa memang terbukti senjata yang baru
itu lebih baik dari y ang lama. Bukan raja penggunaannya,
tetapi juga kekuatannya dibandingkan dengan beratnya.
Karena itulah, maka para cantrik dari padepokan Bajra Seta
itu seakan-akan memiliki ilmu yang lebih tinggi dari yang
sebenarnya. Para prajurit Singasari yang bertempur di padepokan itu
pun m erasa heran atas kemampuan para cantrik. Beberapa
orang cantrik termasuk Wantilan bertempur bersama para
prajurit di halaman depan padepokan. Para prajurit Kediri
yang menyerang padepokan itu lama sekali tidak lebih baik
dari para cantrik. Dengan tangkasny a para cantrik itu bermain
pedang. Bahkan mereka mampu bergerak sangat cepat,
Sementara pedangnya terayun-ay un menggetarkan.
Sebelum mereka mendapatkan jenis pedang y ang baru,
maka mereka mempergunakan pedang yang lebih berat
namun kekuatan dan ketajamannya tidak lebih baik dari
pedang yang mereka pergunakan saat itu.
Mahisa Pukat y ang bertempur diantara para cantrik sempat
memperhatikan, apakah dengan senjata mereka yang baru
para cantrik mampu berbuat lebih baik.
Dalam pada itu, Mahisa Murti yang bertempur melawan
mPu Carang Wregu ternyata tidak mempunyai banyak
kesempatan untuk memperhatikan pertempuran di sekitarnya.
mPu Carang Wregu itu ternyata seorang yang berilmu sangat
tinggi. Kerisny a yang besar berputaran dengan dahsy atnya.
Beberapa kali keris itu meny entuh kulit Mahisa Murti. Bahkan
goresan luka telah mulai nampak pada tubuh anak muda itu.
Namun ujung pedang Mahisa Murti pun telah m enggapai
tubuh mPu Carang Wregu pula. Titik-titik darah telah
mengembun di kulitnya. Tetapi sementara itu, mPu Carang Wregu pun berkata
sambil t ertawa: "Anak muda. Seharusnya kau tidak perlu
mengerahkan tenaga untuk bertempur melawan aku. Goresangoresan
luka itu sudah cukup berbahaya bagimu. Racun pada
ujung kerisku akan membunuhmu. Semakin banyak kau
bergerak, semakin cepat racun itu bekerja. Kau telah
memberikan kesempatan kepada cantrikmu untuk m engobati
luka-lukanya yang beracun. Namun kau sendiri sama sekali
tidak m encari kesempatan untuk melakukannya. Karena itu,
menyerahlah. Kau diperlukan oleh para prajurit Kediri. Karena
itu, m ereka ingin menangkap
kau hidup-hidup." "Jika racun itu membunuhku, bagaimana mungkin mereka akan menangkapku hidup-hidup","
bertanya Mahisa Murti. "Kau tidak akan m ati. Aku
akan memberi kesempatan kepadamu untuk mengobati luka-lukamu. Jika cantrikmu
sa ja memiliki obat penawar
racun, maka kau tentu juga
mempunyainya," berkata mPu
Carang Wregu itu. Tetapi Mahisa Murti pun menjawab: "Aku tidak akan mengobati luka-lukaku meski pun
aku tahu bahwa kerismu itu m engandung racun y ang tajam.
Jika terlambat mengobatinya, maka kemungkinan untuk
hidup menjadi sangat kecil."
"Jika demikian kenapa kau tidak meny erah saja agar kau
sempat mengobati luka-lukamu," bertanya mPu Carang
Wregu. "Kau tentu menjadi gelisah bahwa aku akan mati di
pertempuran ini. Jika aku benar-benar mati, maka prajurit
Kediri itu akan menghukummu. Tetapi jika prajurit Kediri itu
ditumpas oleh prajurit Singasari, maka prajurit Singasarilah
yang akan menghukummu," jawab Mahisa Murti.
Tetapi mPu Carang Wregu justru tertawa. Katanya sambil
menyerang: "Kau m emang pandai memutar kata-kata. Tetapi
jika aku harus membunuhmu, apaboleh buat."
Mahisa Murti harus melompat menghindar. Namun ia pun
sempat pula berkata: "Kau pun telah terluka."
mPu Carang Wregu tidak m enjawab. Tetapi serangannya
justru melanda Mahisa Murti semakin deras. Kerisnya
berputaran dengan cepat. Namun kemudian terayun
mendatar. Menebas kearah leher dan mematuk ke arah
jantung. Goresan-goresan di kulit Mahisa Murti menjadi
semakin banyak. Tetapi demikian pula pada mPu Carang
Wregu itu. Namun mPu Carang Wregu y akin, bahwa perlawanan
Mahisa Murti tidak akan berlangsung lama. Anak muda itu
tentu akan segera dihabisi oleh racunnya yang menyusup ke
dalam aliran darah anak muda itu.
Tetapi dugaan mPu Carang Wregu itu ternyata salah.
Setelah bertempur beberapa saat, namun ternyata bahwa
Mahisa Murti tidak segera kehilangan tenaganya dan
kemudian kehilangan kemampuannya dicengkam oleh racun
kerisnya. Bahkan semakin lama anak muda itu justru
bertempur semakin garang.
"Anak iblis," geram mPu Carang Wregu: "apakah ia
mempunyai penawar racun."
Mahisa Murti termangu-mangu sejenak. Namun kemudian
ia pun menjawab: "Sebagaimana kau lihat Ki Sanak. Aku
masih belum mati." "Bagus," berkata mPu Carang Wregu: "kau m emang anak
muda y ang luar bia sa. Ternyata kau memiliki penawar racun
sehingga kau tidak tergetar sama sekali meski pun kulitmu
sudah terluka." "Kenapa kau harus menjadi gelisah jika kau juga merasa
gelisah karena luka-lukamu"," bertanya Mahisa Murti.


04 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mPu Carang Wregu tidak bertanya lebih lanjut. Namun
kemudian ia telah menghentakkan ilmunya. Segenap.
kemampuannya telah ditumpahkan untuk mengakhiri
perlawanan Mahisa Murti. Bukan saja kemampuannya dalam
ilmu olah senjata, tetapi ternyata mPu Carang Wregu adalah
seorang y ang memang berilmu tinggi.
Ketika kerisny a yang besar itu berputar semakin cepat,
maka Mahisa Murti pun m erasakan, bahwa ayunan kerisnya
telah menimbulkan desir angin yang keras. Sentuhan terasa
bagaikan menggores kulit. Bahkan ternyata kemudian desir
angin yang meny ertai ayunan kerisny a itu semakin lama terasa
menjadi semakin panas. Dengan demikian maka Mahisa Murti pun sadar, bahwa
lawannya telah sampai kepada ilmu puncaknya.
Beberapa saat Mahisa Murti masih bertahan. Dengan
tangkasnya ia berloncatan mengimbangi ilmu lawannya
dengan kemampuan ilmu pedangnya. Sementara pedangnya
yang berwarna kehijauan berputaran dengan cepatnya.
Ternyata ilmu lawannya semakin lama menjadi semakin
mapan. Panas yang dilontarkan oleh putaran kerisnya menjadi
semakin tajam. Bahkan sentuhan-sentuhan senjata mereka,
seakan-akan telah mengalirkan getaran panas merambat ke
tangan Mahisa Murti. Beberapa saat kemudian, maka mPu Carang Wregu pun
telah mulai mendesak Mahisa Murti yang tidak dapat
mengelakkan sentuhan panas ilmu lawannya. Apalagi jika ia
menangkis serangan mPu Carang Wregu, m aka rasa-rasanya
tangannya telah meny entuh api.
Dengan demikian maka Mahisa Murti tidak dapat berbuat
lain. Ia harus mengerahkan day a tahannya untuk mengatasi
panas yang meny entuh telapak tangannya. Namun ia pun telah
mengetrapkan ilmunya pula. Sehingga jika terjadi sentuhan
yang menyakitkan, ia akan dapat menghisap kekuatan
lawannya sedikit demi sedikit.
Demikianlah, keduanya telah bertempur semakin sengit.
Bentaran kedua senjata y ang termasuk senjata pilihan itu
setiap kali telah menimbulkan bunga-bunga api. Bahkan
seakan-akan semakin banyak memercik kearah Mahisa Murti.
Panasny a pun seolah-olah semakin lama menjadi semakin
tajam menggigit kulitnya.
Namun Mahisa Murti harus berjuang mengatasi ra sa pedih
dan panas itu. Ia harus meny entuh senjata lawannya dengan
senjatanya. Jika ia tidak berhasil, maka ia tidak akan dapat
mengatasi mPu Carang Wregu jika ia tidak mengerahkan
kemampuannya untuk melontarkan kekuatan ilmunya yang
apalagi dilandasi dengan Aji Bajra Geni.
Karena itu, maka betapa pun tangannya merasakan
sentuhan bara api, namun Mahisa Murti masih saja berusaha
untuk membenturkan senjatanya.
Namun tiba -tiba saja mPu Carang Wregu itu t ertawa.
Katanya: "Anak muda, jika kau m ampu menangkal racunku,
maka kau pun akan sia -sia berusaha mengisap ilmuku dengan
ilmu licikmu itu. Kau tidak akan dapat mencuri apa pun
daripadaku, karena ilmuku sudah m engandung day a tangkal
terhadap kemungkinan perampokan seperti itu. Aku
mengenali ilmu itu sejak aku berguru, karena musuh guruku
itu m emiliki kemampuan ilmu sebagai kau miliki sekarang.
Meski pun demikian aku tetap m engagumimu. Pada umurmu
yang muda itu, kau sudah menguasai ilmu pencuri itu. Namun
sayang, bahwa sejak guruku mengenalinya, guruku telah
bekerja keras untuk mencari penangkalnya. Dan sekarang, aku
mampu menutup getaran kekuatan ilmumu yang menghisap
kekuatan dan kemampuanku."
Mahisa Murti hanya dapat menggeram. Ternyata ia tidak
dapat mengetrapkan ilmunya untuk menggagalkan mPu
Carang Wregu. "Karena itu, ngger. Meny erahlah. Aku memang lebih
senang dapat menangkapmu hidup-hidup. Seperti y ang kau
katakan, aku tidak akan diper salahkan oleh prajurit Kediri
yang memang menghendaki kau ter tangkap hidup-hidup,"
berkata mPu Carang Wregu itu kemudian.
Namun Mahisa Murti tidak menjawab. Dengan cepat ia
menyerang lawannya. Namun lawanya sudah bersiap
menahan serangannya itu. Ketika mereka bertempur kembali, maka Mahisa Murti
sekali lagi mengalami kesulitan. Selain ilmu olah senjata mPu
Carang Wregu y ang tinggi, ternyata panas ilmunya pun sangat
mempengaruhi pertempuran itu. Ketika sekali lagi ujung keris
mPu Carang Wregu meny entuh kulit lengan Mahisa Murti,
maka yang terasa tidak saja pedih y ang menggigit, tetapi panas
yang sangat tajam telah meny engatnya sehingga sakitnya
seakan-akan telah menghunjam sampai ketulang.
Dengan demikian Mahisa Murti pun semakin lama menjadi
semakin sulit. Ia pun kemudian terdesak beberapa langkah
surut. Dengan demikian, maka garis pertempurannya pun ikut
bergeser. Mahisa Murti menggeram. Tetapi ilmunya yang mampu
menghisap kekuatan dan kemampuan lawannya, ternyata
tidak dapat ditrapkan terhadap mPu Carang Wregu.
Karena itu, maka Mahisa Murti harus menghadapi
kekuatan dan kemampuan ilmu mPu Carang Wregu
seutuhnya. Dalam pada itu, Mahisa Pukat dan para cantrik dari
padepokan Bajra Seta masih tetap bertahan. Dengan
tangkasnya Mahisa Pukat mampu bertahan terhadap lawan
yang jumlahnya justru seakan-akan bertambah meski pun
setiap kali seorang dan bahkan dua orang bersama-sama
tersingkir dari medan. Namun dengan demikian, maka beban para cantrik
padepokan Bajra Seta menjadi semakin ringan. Lawan mereka
pun semakin lama semakin menyusut. Meski pun para cantrik
itu juga mampu mengurangi jumlah lawan mereka, namun
Mahisa Pukat dapat berbuat lebih cepat.
Sementara itu, para prajurit Singasari telah mulai
mendesak lawannya. Sekelompok kecil cantrik dari padepokan
Bajra Seta yang ada di halaman depan itu seakan-akan tidak
lebih dari sekedar saksi, apa yang telah terjadi. Meski pun
mereka juga terlibat dalam pertempuran, namun kekuatan
cantrik Bajra Seta tidak berada di halaman depan. Karena
yang berada di halaman depan para prajurit Singasari telah
dapat mengatasi kekuatan prajurit Kediri yang tidak mau
tunduk kepada Sri Baginda di Kediri itu.
Perlahan-lahan prajurit Kediri telah terdesak. Sekelompok
prajurit Singasari telah berusaha untuk menyusup dibelakang
pasukan Kediri untuk menutup pintu gerbang dengan
kekuatan prajurit, agar para prajurit Kediri tidak sempat
melarikan diri. Namun prajurit Kediri menyadari hal itu. Karena itu, maka
mereka pun berusaha untuk bertahan terhadap sekelompok
prajurit y ang akan menyusup ke belakang garis pertahanan
mereka itu. Tetapi sebenarnyalah bahwa kekuatan prajurit Singasari
masih lebih besar dari kekuatan pasukan Kediri itu.
Disisi lain, Mahisa Pukat pun mulai m endesak lawannya.
Namun keadaan Mahisa Murti m enjadi semakin sulit. Ujung
keris lawannya seakan-akan menjadi semakin lekat dengan
kulitnya. Meski pun Mahisa Murti memiliki penawar racun,
namun luka-lukanya semakin banyak mengeluarkan darah.
Pa da saat yang paling sulit, maka Mahisa Murti m emang
tidak mempunyai pilihan lain untuk menghancurkan lawannya
itu dari pada dirinya sendiri yang menjadi korban.
Namun dalam pada itu, mPu Carang Wregu masih saja
tertawa sambil berkata: "Kenapa kau begitu keras kepala anak
muda. Jika kau m eny erah sekarang, kau masih mempunyai
kesempatan untuk hidup. Meski pun aku tidak tahu, apa yang
akan dilakukan oleh para prajurit Kediri itu atasmu."
Tetapi Mahisa Murti justru berkata: "Aku ingin
memperingatkanmu. Sebaiknya kaulah y ang meny erah. Jika
tidak maka kau tidak akan keluar lagi dari dinding padepokan
ini." "Apakah kau sedang mengigau" Mungkin karena kau sudah
berputus a sa, sehingga syarafmu mulai terganggu," berkata
orang itu. Mahisa Murti termangu-mangu sejenak. Namun lukalukanya
terasa menjadi semakin pedih. Sementara lawannya
justru sejenak kemudian telah menghentakkan
kemampuannya sambil berkata: "Bangunlah jika kau tertidur.
Pandangilah langit di atas dan tundukkanlah wajahmu ke
bumi. Kau akan segera mati."
Agaknya mPu Carang Wregu itu sudah kehabisan
kesabaran. Kerisny a pun berputar semakin cepat. Wajahnya
menjadi tegang, sementara sorot matanya menjadi semakin
tajam. Tetapi Mahisa Murti pun sudah jemu mengalami perlakuan
yang buruk itu. Luka-luka terasa semakin pedih. Sementara itu
ujung keris mPu Carang Wregu semakin memburunya kemana
ia pergi. Karena itu, maka Mahisa Murti pun berniat pula untuk
menghentikan pertempuran itu. Jika ia berhasil, maka ia akan
menang. Tetapi jika ia gagal, maka ia akan hancur di
padepokannya. Sejenak kemudian, maka Mahisa Murti pun telah
menghentakkan pedangnya. Tangannya memang terasa panas
sekali. Namun sesaat ia berhasil mendesak mPu Carang Wregu
melangkah surut. Tetapi ternyata Mahisa Murti sama sekali tidak
mengejarnya. Tetapi ia justru meloncat mundur. Ia
mempergunakan waktu yang sekejap itu untuk
mempersiapkan diri. Memusatkan nalar budinya untuk
membangkitkan ilmunya. Sejenak kemudian, ketika mPu Carang Wregu siap untuk
menyerangnya, maka orang itu pun tertegun. Ia melihat bahwa
anak amuda itu tentu siap untuk melontarkan ilmu yang
jenisnya belum diketahui.
"Apakah ia masih mempunyai ilmu yang lain"," bertanya
mPu Carang Wregu didalam hatinya.
Sebenarnyalah, Mahisa Murti y ang telah terluka itu tidak
lagi mengendalikan dirinya. Dengan serta merta, maka ia telah
melontarkan serangan dengan dahsyatnya. Kedua tangannya
memegangi hulu pedangnya yang teracu kearah lawannya
yang memiliki kemampuan untuk menangkal ilmunya yang
mampu menghisap tenaga dan kemampuan lawannya itu.
mPu Carang Wregu terkejut. Ia melihat seleret sinar
seakan-akan meluncur dari ujung pedang yang kehijauhijauan
itu. Dengan tangkasny a mPu Carang Wregu meloncat
menghindari patukan sinar itu. Namun sinar itu ternyata telah
menyambar seorang cantriknya sehingga sejenak kemudian
telah t erdengar j erit kesakitan. Namun suara itu pun dengan
cepat terdiam. Cantrik itu tidak terkena tepat pada bagian
yang berbahaya. Namun seleret sinar itu hanya menyambar
kulit pundaknya. Namun ia telah menjadi pingsan.
Namun Mahisa Murti y ang marah dan y ang telah terluka
tidak hanya di satu tempat di tubuhnya, tetapi sudah di
beberapa tempat, tidak mau melepaskan sa sarannya.
Demikian mPu Carang Wregu berdiri tegak, maka serangan
kedua Mahisa Murti telah meluncur dengan derasny a tanpa
menghiraukan, siapakah yang berdiri dibelakangnya.
Demikian cepatnya serangan kedua itu menyambar
sa sarannya, maka mPu Carang Wregu y ang baru saja tegak itu
tidak mampu lagi menghindarinya. Kerisnya yang telah
mampu melukai Mahisa Murti dibeberapa tempat itu tidak
mampu menahan serangan yang meluncur dengan dahsy atnya
itu. Karena itu, m aka mPu Carang Wregu pun telah terdor ong
beberapa langkah surut. Ia mencoba m enahan arus serangan
itu dengan kerisny a. Tetapi keris itu tidak berarti apa -apa.
Seleret sinar itu justru telah mendorong keris mPu Carang
Wregu dan melemparkannya beberapa langkah dari tubuhnya
yang tcrbanting jatuh. Mahisa Murti termangu-mangu beberapa saat. Ternyata
mPu Carang Wregu sudah tidak bergerak sama sekali.
Para Cantrik Bajra Seta yang menyaksikan itu bersorak
gemuruh. Sorak itu ternyata telah sangat berpengaruh bagi
para cantrik. Putut yang bertempur bersama beberapa orang
cantrik melawan Mahisa Pukat, mendengar sorak itu dan
mendengar pula bahwa mPu Carang Wregu telah terbunuh.
Sejenak Putut itu masih melawan. Namun kemudian ia
tidak dapat berbuat lain. Kekuatan tempat m ereka bertumpu
telah patah, sehingga karena itu, maka Putut itu harus
mengambil tindakan y ang dapat mengurangi korban yang
telah jatuh. Karena itu maka sejenak kemudian telah terdengar isyarat
nyaring. Putut itu telah m emerintahkan para cantrik untuk
meninggalkan pertempuran.
Perintah dengan isy arat itu tidak perlu diulangi. Para
cantrik memang sudah merasa bahwa mereka tidak akan
dapat meneruskan perlawanan tanpa mPu Carang Wregu.
Karena itu, maka mereka pun segera menghambur
meninggalkan arena pertempuran, berdesakkan m elalui pintu
regol samping. Namun beberapa orang yang lain dengan
tergesa -gesa telah memanjat tangga panggung. Demikian
mereka sampai di atas panggungan, maka mereka pun segera
meloncat keluar, sementara para cantrik Bajra Seta telah
meninggalkan panggungan itu dan bergabung dengan kawankawannya,
bertempur menahan arus para peny erang.
Beberapa orang cantrik y ang meny erang padepokan itu
masih harus bertempur sambil bergeser mundur. Namun
Mahisa Pukat sendiri kemudian telah menghentikan seranganserangannya.
Anak muda itu tidak sampai hati untuk
menyerang dan apalagi membunuh orang- orang y ang dengan
wajah pucat dan ketakutan berusaha untuk meny elamatkan
diri. Karena itu, maka Mahisa Pukat seakan-akan telah
memberikan kesempatan kepada para cantrik y ang meny erang
padepokannya untuk melarikan diri.
Mahisa Murti yang masih berdiri didekat tubuh mPu
Carang Wreksa yang terbaring tidak beranjak dari tempatnya.
Ia sama sekali tidak memerintahkan untuk mengejar lawanlawan
para cantrik dan padepokan Bajra Seta yang melarikan


04 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

diri. Namun para cantrik yang meny erang padepokan itu
dibawah pimpinan mPu Carang Wreksa itu tidak sempat
berbuat banyak terhadap kawan- kawan mereka yang terluka
dan apalagi terbunuh di peperangan. Mereka terpaksa
meninggalkan kawan-kawan mereka y ang mengerang
kesakitan. Satu dua orang diantara mereka y ang terluka masih
juga berteriak memanggil para cantrik itu agar mereka
membawanya pergi. Tetapi kesempatan untuk m elakukannya
ternyata tidak ada sama sekali.
Dengan demikian, maka para cantrik y ang meny erang
padepokan itu dalam waktu yang singkat telah mengalir keluar
dan hilang dari lingkungan dinding padepokan, kecuali yang
terbunuh dan terluka parah.
Mahisa Pukat pun kemudian telah m emberikan perintah,
agar. para cantrik itu berkumpul kembali dan membiarkan
lawan-lawan mereka menghilang.
Namun sejenak kemudian Mahisa Pukat itu pun berkata:
" Ingat. Di halaman depan, masih terjadi pertempuran."
"Apakah kita harus pergi ke halaman depan," bertanya
beberapa orang cantrik hampir berbareng.
Mahisa Pukat termangu-mangu sejenak. Namun ketika
Mahisa Murti mengangguk kecil, maka ia pun berkata lantang:
"Kita akan hadir di halaman depan. Tetapi sebagian dari kalian
harus tinggal. Pintu reg ol itu rusak dan tidak dapat ditutup
kembali. Adalah tugas mereka yang tertinggal disini untuk
menjaganya di samping menjaga dan m erawat para cantrik
yang terluka serta yang telah gugur dipertempuran. Sementara
itu, kalian juga harus mengamati lawan- lawan kalian, serta
mengumpulkan mereka yang terluka parah."
Seorang cantrik y ang dianggap tua telah m engatur kawankawannya.
Sebagian dari mereka pergi ke halaman depan,
sementara y ang lain tinggal di halaman samping sambil
menjaga regol yang terbuka lebar.
"Kedatangan para cantrik itu telah membuat prajurit Kediri
yang bertempur dihalaman depan menjadi semakin gelisah.
Mereka yang mulai terdesak itu semakin tidak
berpengharapan lagi. Meski pun demikian, namun mereka masih tetap bertahan.
Untuk beberapa saat lamanya mereka masih berusaha untuk
menunjukkan kemampuan mereka.
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat sempat-mengamati
keadaan sejenak. Namun kemudian mereka mendapat satu
pikiran y ang menurut keduanya akan dapat berarti bagi
pertempuran itu. Karena itu, maka Mahisa Murti dan Mahisa Pukat berserta
beberapa orang cantrik justru telah meninggalkan
pertempuran y ang masih berlangsung sengit itu dengan
meninggalkan sebagian dari para cantriknya untuk ikut
bertempur. Namun Mahisa Murti dan Mahisa Pukat selain m embawa
beberapa orang cantrik yang menyertainya juga
mengumpulkan beberapa orang y ang lain y ang bertugas di
halaman samping padepokan dengap hanya meninggalkan
satu dua orang petugas saja.
Sementara itu pertempuran masih berlangsung terus.
Namun keadaan para prajurit Kediri menjadi semakin sulit.
Mereka semakin terdesak sehingga lingkaran pertempuran
pun menjadi semakin sempit. Mereka tidak lagi mampu
bertahan ketika prajurit Singasari mendesaknya terus.
Akhirnya Senapati prajurit Kediri y ang memimpin pasukan
yang meny erang padepokan itu tidak mempunyai pilihan lain.
Mereka harus menyelamatkan pasukannya. Jika ia bertahan
menghadapi prajurit Singasari, maka pasukannya tentu akan
hancur. Senapati itu memang meny esal, bahwa ia terlalu
merendahkan kekuatan padepokan Bajra Seta. Ternyata
Singasari tidak tinggal diam. Bahkan karena itu, maka
Senapati itu menyadari, bahwa Singasari pun memiliki
petugas sandi y ang mampu mengamati gerakan-gerakan
prajurit Kediri y ang menyimpang dari kebijak sanaan Sri
Baginda. Karena itu, maka Senapati itu pun telah memberikan
isy arat kepada pasukannya untuk menarik diri kearah regol
padepokan y ang rusak itu. Mereka harus secepatnya
meninggalkan halaman padepokan itu untuk meny elamatkan
difi. Dengan gerakan sepasukan prajurit, maka mereka pun
semakin lama menjadi semakin mendekati reg ol. Sebagian
dari prajurit Kediri itu masih bertempur untuk menahan
desakan m aju prajurit Singsari. Namun mereka sudah mulai
bergerak semakin cepat mencari jalan keluar dari halaman itu.
Ketika pasukan itu kemudian sampai ke regol, dan sebagian
diantara m ereka sudah siap untuk bergerak, tiba-tiba m ereka
terkejut. Ternyata di regol padepokan itu, sekelompok cantrik
yang dipimpin langsung oleh Mahisa Pukat dan Mahisa Murti
telah m enunggu. Mereka telah keluar dari regol butulan yang
telah dirusak oleh pasukan mPu Carang Wregu yang telah
terbunuh di pertempuran itu.
Senapati prajurit Kediri itu menjadi kebingungan sesaat.
Tetapi sebagai seorang pemimpin pasukan, maka ia harus
segera menemukan satu keputusan, apa y ang harus mereka
lakukan. 0oo0dw0oo0 (Bersambung ke jilid 99) Conv er by Editing: MCH Pdf ebook : HIJAUNYA LEMBAH HIJAUNYA LERENG PEGUNUNGAN Jilid 99 Cetakan Pertama PENERBIT: "MURIA" YOGYAKARTA Kolaborasi 2 Website : dengan Pelangi Di Singosari / Pembuat Ebook : Sumber Buku Karya SH MINTARDJA
Scan DJVU : Ismoyo, Arema
Converter : Editor : MCH dan Pdf ebook : --ooo0dw0ooo- Naskah ini untuk keperluan kalangan sendiri,
penggemar karya S.H. Mintardja dimana saja berada y ang
berkumpul di Web Pelangi Singosari dan Tiraikasih
Jilid 099 KARENA ITU, maka Senapati itu-pun kemudian telah
membuat perhitungan. Baginya lebih baik memecahkan
sumbatan regol padepokan itu daripada harus bertahan
terhadap pasukan Singasari.
Karena itu, maka ia -pun segera memerintahkan prajuritnya
untuk menembus penjagaan para cantrik di regol padepokan
itu dengan sepenuh kekuatan, meskipun para prajurit itu juga
harus menjaga agar m ereka tidak dibantai oleh para prajurit
Singasari. Dengan demikian, maka hentakan kekuatan prajurit Kediri
itu ditujukan kepada para cantrik y ang ada di regol
padepokan. Para prajurit Kediri y ang setengah putus a sa itu justru
seperti orang y ang sedang mabuk. Mereka tidak lagi mampu
berpikir. Yang mereka lakukan seakan-akan sekedar mengikuti
perintah y ang diteriakkan oleh pemimpin mereka tanpa
memperhitungkan kemungkinan apa-pun juga. Bahkan para
Senapati Kediri yang menentang kebijaksanaan Sri Baginda di
Kediri itu telah memberikan pesan kepada para prajuritnya,
bahwa kematian sebenarnya lebih baik daripada mereka harus
ditawan oleh lawan, siapa-pun lawan mereka.
Pengertian itulah y ang melandasi sikap mereka, apalagi
dalam keadaan hampir putus asa.
Namun karena itulah, maka hentakkan kekuatan m ereka
benar-benar mengejutkan. Para cantrik yang ada di regol yang
membendung gerak mundur para prajurit Kediri itu terkejut.
Para prajurit itu sama sekali tidak menghiraukan lagi senjata
yang terjulur. Meskipun mereka juga berusaha menepis ujungujung
senjata, namun mereka lebih mendesak dengan perisai perisai atau bahkan dengan dada mereka ujung senjata yang
teracu itu. Dengan demikian, maka sesaat para cantrik itu terdesak.
Mereka memang tidak mengira bahwa mereka akan
mendapatkan serangan membabi buta seperti itu.
Tetapi dengan demikian regol y ang ditutup dengan
kekuatan senjata para cantrik itu seakan-akan menjadi
terbuka. Sehingga dengan demikian, maka seperti bendungan
yang koyak, maka air-pun segera mengalir dengan derasny a.
Para prajurit yang berhasil keluar dari reg ol utama
padepokan itu-pun segera menghambur berlari bercerai berai.
Ketika para cantrik akan m engejar mereka, Mahisa Murti
telah m emberikan perintah, "Jangan hiraukan mereka yang
melarikan diri. Tetapi tahan mereka yang masih ada di dalam
regol." Sebenarnyalah para cantrik itu mengurungkan niatnya
untuk mengejar prajurit Kediri yang melarikan diri. Namun
mereka kembali berusaha untuk menutup regol agar yang
masih ada di dalam tidak dapat melarikan diri.
Dengan demikian, maka para prajurit itu memang
mengalami kesulitan untuk keluar dari reg ol. Para cantrik,
termasuk Mahisa Murti dan Mahisa Pukat tidak mau didorong
lagi sehingga para prajurit itu dapat menembus pertahanan
mereka. Meskipun demikian, ternyata satu dua orang prajurit
memang mampu melepaskan diri. T etapi kemudian regol itu
bagaikan telah tertutup mati, sementara prajurit Singasari-pun
telah m endesak m ereka dan berusaha untuk m enghancurkan
mereka. Sementara itu, Senapati prajurit Singasari itu masih sempat
meneriakkan aba -aba, "Meny erahlah. Kami masih
mempertimbangkan untuk tidak membunuh para tawanan."
Para prajurit Kediri memang sudah tidak mempunyai
pilihan lagi. Senapati prajurit Kediri itu-pun benar -benar tidak
mempunyai jalan lain untuk mengakhiri pertempuran itu
kecuali menyerah. Jika pasukan Kediri itu tidak meny erah,
maka m ereka akan dapat ditumpas habis oleh para prajurit
Singasari. Karena itu, dengan perhitungan bahwa beberapa orang di
antara mereka telah meloloskan diri sehingga akan dapat
memberikan laporan kepada pimpinan mereka y ang lebih
tinggi dari antara para pemimpin Kediri y ang tidak mau
tunduk kepada Sri Baginda, maka Senapati dari Kediri itu-pun
telah memerintahkan para prajuritnya untuk meny erah.
Dengan demikian maka pertempuran-pun telah terhenti.
Kedua belah pihak telah menahan diri untuk tidak
menggerakkan senjata mereka.
Namun Senapati dari Singasari itu-pun memerintahkan
mereka y ang meny erah untuk meletakkan senjata.
Tidak ada pilihan lain. Para prajurit Kediri itu -pun telah
meletakkan senjata mereka.
Dengan demikian, maka para prajurit Kediri itu -pun telah
menjadi tawanan Singasari. Mereka harus tunduk kepada
segala perintah yang diberikan oleh Senapati dari Singasari.
Sementara senjata-senjata mereka telah dikumpulkan di salah
satu ruangan di dalam padepokan itu.
Dengan peny erahan itu, maka pertempuran di padepokan
itu-pun telah selesai. Para tawanan telah digiring dibawa ke
pendapa bangunan induk padepokan Bajra Seta diawasi oleh
para prajurit Singasari. Sementara itu beberapa orang cantrik t elah menjadi sibuk
mengumpulkan m ereka yang terluka dan m ereka y ang gugur
di peperangan. Demikian pula para prajurit Singasari. Sedang
para tawanan-pun telah diperintahkan untuk mengumpulkan
kawan-kawan mereka yang terbunuh dan y ang luka sehingga
tidak mampu untuk bangkit dan berjalan sendiri.
Namun dalam pada itu, tanpa diduga oleh mereka y ang ada
di padepokan Bajra Seta, ternyata beberapa saat kemudian,
telah datang beberapa orang anak muda sambil membawa
beberapa orang prajurit yang dapat mereka tangkap selagi
para prajurit itu melarikan diri. Demikian pula beberapa orang
cantrik yang semula dipimpin oleh Empu Carang Wregu.
Mereka datang t idak pada waktu yang bersamaan, tetapi
mereka datang berurutan. Senapati dari Singasari dan para prajuritnya merasa heran
bahwa hal seperti itu telah terjadi. Demikian pula Senapati
Kediri yang tertawan. Seperti juga para prajurit Kediri yang
lain mereka menjadi berdebar-debar. Jika saja tidak ada
seorang-pun di antara mereka yang lepa s, maka tidak ada
orang yang dapat memberikan laporan tentang keadaan
mereka. Ketika anak-anak muda itu diterima oleh Mahisa Murti,
Mahisa Pukat dan para perwira dari Singasari, maka m ereka
mengatakan, bahwa mereka terlambat menyadari, bahwa
padepokan Bajra Seta telah diserang.
"Meskipun demikian," berkata seorang di antara anak-anak
muda itu, "Kami tetap mempersiapkan diri untuk menghadapi
segala kemungkinan. Dengan hati-hati kami berusaha
mendekati padepokan ini. Kami tidak tahu keseimbangan
kekuatan antara padepokan Bajra Seta dan para
peny erangnya. Namun kami tidak mendengar isyarat apa-pun
dari padepokan seandainya padepokan ini memerlukan
bantuan. Namun dalam pada itu, tiba-tiba saja kami m elihat
beberapa orang melarikan diri dari padepokan."
"Apakah kalian dapat m enangkap semua orang?" bertanya
Senapati dari Singasari. "Tidak. Tetapi sebagian besar dari mereka dapat kami
tangkap," jawab anak muda itu.
Senapati dari Singasari itu menarik nafas dalam-dalam.
Mereka yang lolos itu tentu akan dapat menyampaikan


04 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

laporan kepada para pemimpin di Kediri.
Tetapi apa boleh buat. Memang sulit untuk dapat
menangkap semua orang tanpa seorang-pun y ang meloloskan
diri. Mahisa Murti-pun kemudian telah mengucapkan terima
kasih kepada anak-anak muda itu. Dengan nada dalam ia
berkata, "Telah datang sepasukan prajurit dari Singasari,
sehingga kami kali ini tidak minta bantuan kalian."
Seorang di antara para pemimpin dari anak-anak muda itu
kemudian berkata, "Sebenarnya kami telah bersiap untuk
menyerbu masuk ke dalam padepokan. Kami menjadi cemas
bahwa lawan datang terlalu banyak, sehingga padepokan Bajra
Seta tidak sempat membunyikan isy arat."
Mahisa Murti tertawa. Katanya, "Kami mempunyai
beberapa kentongan. Jika kami memerlukan, maka kami tentu
akan dapat membunyikannya. Setidak-tidaknya satu di antara
beberapa kentongan y ang tersebar dibeberapa tempat."
"Syukurlah," sahut anak muda itu, "Apalagi sepa sukan
prajurit dari Singasari telah ada di sini. Tetapi darimana
Singasari mengetahui mengetahui bahwa akan datang
serangan hari ini?" "Sebenarnya kami tidak tahu saat yang tepat. Kami
mendapat keterangan dari seseorang, sementara petugas sandi
kami juga mendapatkan keterangan, sehingga keteranganketerangan
itu dapat kami padukan. Kami berkesimpulan
bahwa kami harus datang secepatkan ke padepokan ini.
Ternyata kami datang tepat pada waktunya, sehingga kami
hampir saja terlambat." jawab Senapati prajurit Singasari itu.
"Jika para prajurit Singasari terlambat, maka penghuni
padepokan ini dapat m embunyikan isy arat. Kami, anak-anak
muda dari padukuhan di sekitar padepokan ini tentu akan
segera membantu." desis anak muda itu.
"Terima kasih," sahut Mahisa Murti.
Namun dalam pada itu, Senapati dari Singasari itu
bertanya, "Apakah kalian juga memiliki pengalaman
bertempur?" "Ya. Kami beberapa kali telah ikut bertempur. Padepokan
ini seakan-akan merupakan bagian dari Kabuyutan kami.
Apalagi kami telah banyak menyadap ilmu dari padepokan ini.
Bukan saja latihan-latihan oleh kanuragan, tetapi juga ilmu
yang lain. Kami dapat meningkatkan hasil sawah kami,
pategalan kami serta petunjuk tentang perternakan dan
membuat kolam-kolam ikan," jawab anak muda itu, "Karena
itu, maka kami dan padepokan Bajra Seta memang tidak dapat
dipisahkan lagi. Apalagi padepokan ini-pun telah. beberapa
kali menolong meny elamatkan padukuhan-padukuhan di
Kabuyutan kami." jawab anak muda itu.
"Lalu apalagi," desis Mahisa Pukat sambil ter senyum.
Tetapi anak muda itu berkata, "Aku berkata sebenarnya.
Singkatnya, kami berhutang budi terhadap padepokan ini. Dan
hutang itu semakin lama menjadi semakin besar sehingga
tidak akan mungkin terbayar lagi."
Senapati dari Singasari itu mengangguk-angguk. Ia percaya
kepada anak m uda itu. Terbukti mereka telah datang dalam
kelompok y ang cukup besar. Jika anak-anak m uda itu tidak
merasa berhutang budi, maka mereka tidak akan bersedia
untuk melakukan tindakan yang dapat mengancam jiwa
mereka sebagaimana peperangan y ang baru saja terjadi.
Namun dengan demikian para prajurit Singsari melihat,
bahwa sebenarnyalah padepokan Bajra Seta telah mampu
menggalang kekuatan y ang cukup besar. Jika mereka sempat
mengumpulkan anak-anak muda dari padukuhan-padukuhan
di sekeliling padepokan mereka dalam waktu y ang cukup,
maka akan dapat disusun satu kekuatan y ang sangat besar.
Beberapa saat kemudian, maka anak-anak muda dari
padukuhan-padukuhan itu minta diri untuk menarik
sekelompok pasukannya kembali ke padukuhan-padukuhan
mereka masing-masing. "Hanya beberapa padukuhan saja yang sempat ikut serta
bersama kami," berkata salah seorang di antara para
pemimpin mereka. "Terima kasih atas kesediaan kalian membantu kami," desis
Mahisa Murti. Sepeninggal anak-anak muda itu, maka para prajurit
Singasari telah m engumpulkan para tawanan yang baru saja
diserahkan oleh anak-anak muda itu.
Hari itu juga, maka para cantrik dari padepokan Barja Seta
dan para prajurit y ang telah gugur, serta para peny erang yang
telah terbunuh, telah diselenggarakan sebagaimana
seharusnya. Meskipun korban terhitung kecil, tetapi
padepokan Bajra Seta benar-benar telah berkabung untuk
yang kesekian kalinya. Memang setiap kali pertanyaan telah m encuat dari dasar
hati para penghuni padepokan itu, k enapa setiap kali m ereka
harus mempertahankan diri.
Namun ternyata bahwa persoalan yang kadang-kadang
tidak diduga sebelumnya telah mencengkam padepokan itu,
sehingga akibatnya akan dapat berkepanjangan.
Para prajurit Singasari itu tidak tergesa-gesa meninggalkan
padepokan Bajra Seta. Mereka masih harus mengatur, apa
yang akan mereka lakukan dengan tawanan-tawanan itu.
Pa da dasarnya para tawanan, terutama para prajurit Kediri,
memang harus dibawa ke Singasari. Tetapi bagaimana dengan
mereka y ang terluka, y ang tidak mampu melakukan
perjalanan y ang memang agak panjang.
"Biarlah untuk sementara mereka ada di sini," berkata
Mahisa Murti. Lalu katanya pula, "Kapan-kapan mereka dapat
dijemput. Dalam waktu dua tiga pekan, m ereka tentu sudah
menjadi lebih baik, sehingga akan dapat m elakukan perjalan
ke Singasari. Namun jika mereka dibiarkan lebih lama lagi,
kami juga tidak berkeberatan."
"Apakah mereka tidak berbahaya?" bertanya Senapati
prajurit Singasari. Mahisa Murti termangu-mangu sejenak. Para tawanan itu
terdiri dari para prajurit. Namun mereka sama sekali sudah
tidak bersenjata. Apalagi mereka telah terluka.
Karena itu, maka Mahisa Murti-pun berkata, "Kami akan
berbuat sebaik-baiknya untuk m enjaga mereka agar mereka
tidak menjadi berbahaya. Kami dapat menempatkan mereka
setelah mereka menjadi agak baik, di tempat yang terpisah."
Senapati itu mengangguk-angguk. Katanya, "Baiklah. Jika
demikian kami akan membawa para tawanan yang mampu
menempuh perjalanan ke Singasari. Selebihnya, aku titipkan
di sini. Aku dapat m eninggalkan sekelompok prajurit untuk
membantu mengawasi para tawanan, meskipun makan dan
minumnya akan menjadi beban padepokan Bajra Seta."
Mahisa Murti tertawa. Katanya, "Seberapa banyaknya
makan dan minum bagi sekelompok kecil prajurit."
Senapati itu-pun tertawa pula.
Dengan demikian maka mereka sepakat, para tawanan y ang
terluka akan ditinggalkan di padepokan itu. Sekelompok
prajurit juga akan ditinggalkan untuk membantu menjaga para
tawanan itu. Meskipun mereka terluka, maka para prajurit
Kediri itu memerlukan pengawasan dari para prajurit pula
yang sedikit banyak akan dapat mengenali tingkah laku
mereka. Prajurit Singasari itu setelah bermalam tiga malam di
padepokan setelah pertempuran itu berlangsung, telah
meninggalkan padepokan itu dengan membawa para tawanan,
sebagaimana pernah mereka lakukan. Sebuah iring-iringan
yang berjalan lamban, karena para tawanan itu harus berjalan
kaki meskipun para prajurit itu berkuda.
Dalam pada itu, para prajurit yang tinggal, telah mengatur
diri bersama-sama dengan para cantrik menjaga para tawanan
yang ditinggalkan oleh para prajurit Singasari. Para prajurit
itu dalam waktu sebulan akan kembali mengambil para
tawanan yang diperkirakan sudah m enjadi semakin baik dan.
bahkan sudah sembuh dari luka-luka mereka.
Namun, selain membantu menjaga para tawanan, maka
pemimpin sekelompok prajurit yang ditinggalkan itu telah
menganjurkan, agar padepokan Bajra Seta dapat membentuk
satu kesatuan y ang terdiri dari anak-anak muda di sekitar
padepokan itu. "Susunan kesatuan itu dapat meniru susunan di lingkungan
keprajuritan," berkata pemimpin kelompok itu. Lalu katanya
pula, "Tetapi hanya susunannya saja. Ada-pun ikatan
kewajibannya tentu saja tidak seperti di lingkungan
keprajuritan. Segalanya dapat dibuat jauh lebih longgar,
sehingga tidak mengganggu kerja dan kehidupan mereka
sehari-hari. Namun dengan ikatan y ang longgar itu, segala
sesuatunya akan dapat dilakukan dengan lancar. Khususnya
jika terjadi sesuatu, baik atas padepokan Bajra Seta, mau-pun
atas padukuhan-padukuhan di sekitar padepokan ini, maka
kesiagaan itu tentu akan sangat membantu."
Mahisa Murti mengangguk-angguk. Sementara Mahisa
Pukat bertanya, "Apakah maksud Ki Sanak disusun tataran
kesatuan di padukuhan-padukuhan?"
"Ya. Disetiap padukuhan terdapat seorang pimpinan y ang
bertanggung jawab. Kemudian seluruh kekuatan y ang ada
dipadukuhan itu dibagi-bagi dalam kelompok-kelompok yang
lebih kecil dengan tataran tugas dan kewajiban yang berbeda.
Anak-anak muda di kumpulkan dalam satu kesatuan. Orangorang
yang sudah berkeluarga tetapi masih muda dan mampu
untuk turun ke arena jika diperlukan, dikelompokkan
tersendiri. Kemudian orang-orang y ang lebih tua, yang hanya
dipersilahkan untuk tampil dalam keadaan yang sangat
terpaksa. Ma sing-masing dibagi dalam kelompok-kelompok
kecil yang dapat digerakkan di saat-saat y ang mendesak,"
berkata pemimpin sekelompok prajurit Singasari itu.
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat mengangguk-angguk.
"Mereka memang sependapat dengan pemimpin sekelompok
prajurit itu. Tetapi segala sesuatunya juga tergantung pada
anak-anak muda di padukuhan-padukuhan. Bahkan segala
sesuatunya itu harus mendapat per setujuan dari Ki Buyut
sendiri." "Tetapi kami dapat mencobanya," berkata Mahisa Pukat.
"Ki Buyut seharusnya tidak akan m enolak. Sebab, tatanan
itu akan menguntungkan Kabuyutan pula. Jika terjadi sesuatu
di satu padukuhan, maka dengan isy arat tertentu, padukuhanpadukuhan
y ang lain akan dengan cepat dapat membantu.
Anak-anak muda dikirimkan kepadukuhan y ang memerlukan,
sementara orang-orang muda dan y ang lebih tua dapat
berjaga-jaga di padukuhan masing -masing. Dengan demikian,
agaknya pengamanan Kabuyutan akan dapat menjadi semakin
rancak." berkata pemimpin kelompok itu. Lalu katanya,
"Sebenarnyalah, bahwa kali ini kebetulan prajurit Singasari
mendapat petunjuk datangnya serangan atas padepokan ini.
Jika tidak, maka dengan ikatan y ang disu sun di setiap
padukuhan, maka mereka akan segera dapat membantu."
"Ya," Mahisa Murti-pun mengangguk-angguk pula,
"Jumlahnya-pun tentu akan m emadai." ia berhenti sejenak,
lalu katanya, "Tetapi hanya beberapa padukuhan terdekat
sa jalah y ang telah banyak mengirimkan anak-anak mudanya
belajar di padepokan ini. Antara lain dalam olah kanuragan."
"Bukankah padepokan ini dapat menawarkan kepada Ki
Buyut untuk mengirimkan anak-anak muda dari padukuhanpadukuhan
y ang lain" Meskipun tidak bersama-sama, tetapi
sekelompok-sekelompok kecil bergantian tentu sudah cukup
baik," berkata pemimpin sekelompok prajurit itu.
Mahisa Murti mengangguk-angguk. Ia mengerti maksud
pimpinan prajurit Singasari itu. Jika usaha untuk menyusun
tataran kesatuan seperti itu berhasil, maka padepokan itu
serta seluruh Kabuyutan akan menjadi satu keutuhan
kekuatan y ang cukup memadai. Bukan saja untuk bertempur
melawan kekuatan-kekuatan yang ingin menghancurkan
padepokan itu, tetapi juga tangantangan
yang jahat yang ingin merambah seisi Kabuyutan.
Mungkin gerombolan-gerombolan
penjahat yang membidik sasaran di
dalam lingkungan Kabuyutan itu.
Bahkan sampai ke padukuhan yang
paling ujung sekali-pun. Ternyata Mahisa Murti dan
Mahisa Pukat benar-benar ingin
mencoba sebagaimana dianjurkan
oleh pemimpin prajurit Singasari
yang ditinggalkan di padepokan itu.
Di hari-hari berikutnya maka
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat
telah menghubungi Ki Buyut untuk menyatakan rencananya.
Seperti yang diduga oleh pemimpin sekelompok prajurit
yang tinggal di padepokan itu, Ki Buyut menyambut rencana
itu dengan senang hati. "Aku menyesali tingkah laku Buyut Bumiagara itu," berkata
Ki Buyut ketika ia bertemu dengan Mahisa Murti dan Mahisa
Pukat, "Seharusnya ia berbuat lebih baik. Tetapi ia m emilih
jalan y ang kasar itu."
"Kami-pun sangat menyesal Ki Buyut," berkata Mahisa
Murti, "Tetapi apaboleh buat."
"Ya. Kami dapat mengerti, kenapa angger berdua
mengambil jalan itu, karena memang tidak ada jalan lain yang
dapat kalian tempuh," sahut Ki Buyut.
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat hanya menganggukangguk
saja. Namun sementara itu, Ki Buyut telah
menyerahkan rencana y ang diajukan oleh Mahisa Murti dan
Mahisa Pukat itu untuk dilak sanakan.
"Kami akan membentuk sejauh dapat kami lakukan, karena
hal itu akan langsung menyangkut kedudukan Kabuyutan ini."
berkata Ki Buyut kemudian.
Untuk melaksanakan rencana itu, maka atas perintah Ki
Buyut, para Bekel-pun telah berusaha untuk membantu sejauh
dapat mereka lakukan di padukuhan mereka masing masing.
Sementara itu Ki Buyut Bumiagara menjadi semakin
bersakit hati atas kegagalan yang dialami oleh para prajurit
Kediri dan para cantrik yang dipimpin oleh Empu Carang
Wregu. Bahkan Ki Buyut Bumiagara itu telah mendendam
gurunya pula y ang tidak bersedia membantunya, meskipun
gurunyalah y ang telah menghubungi Singasari.
Namun untuk sementara Ki Buyut justru harus menerima


04 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

keadaan itu. Ia sudah m erasa beruntung, bahwa ia termasuk
salah satu dari antara mereka yang jumlahnya hanya sedikit,
yang berhasil m elarikan diri dan tidak tertangkap oleh anakanak
muda y ang berusaha untuk membantu padepokan Bajra
Seta. Namun dengan demikian, ia percaya, bahwa kekuatan
padepokan Bajra Seta memang cukup besar. Tanpa para
prajurit Singasari-pun Bajra Seta akan mampu m engerahkan
anak-anak muda dari padukuhan-padukuhan di sekitarnya
sebagaimana dikatakan oleh gurunya.
Bahkan Ki Buyut dari Bumiagara itu kemudian selalu
dibayangi oleh kecemasan dan ketakutan. Jika Bajra Seta ingin
membalas dendam, maka mereka akan dapat meny erang dan
menghancurkan Kabuyutannya.
Bukan saja dari padepokan Bajra Seta, tetapi juga prajuritprajurit
Kediri y ang dapat saja merasa disurukkan ke dalam
perapian. Bahkan juga padepokan y ang dipimpin oleh Empu
Carang Wregu. Sementara itu saudara-saudara seperguruannya seakanakan
telah menghilang dan tidak lagi dapat ditemuinya.
Apalagi ketika Ki Buyut Bumiagara mendengar laporan,
bahwa padepokan Bajra Seta tengah m embenahi bukan saja
kekuatan y ang ada di padepokannya, tetapi kekuatan di
seluruh Kabuyutan. Para pengawal telah disusun dalam kesatuan-kesatuan y ang
tertib dengan tataran y ang mirip dengan susunan tataran
kesatuan dilingkungan keprajuritan.
Tetapi Mahisa Murti dan Mahisa Pukat justru telah
melupakan tingkah laku Ki Buyut dari Bumiagara. Yang
dilakukan sebagaimana disarankan oleh pemimpin
sekelompok prajurit Singasari yang tinggal di padepokannya,
sekedar untuk berjaga-jaga.
Namun dengan demikian, setiap hari kelompok-kelompok
kecil dari beberapa padukuhan y ang agak jauh dari padepokan
itu telah datang pula untuk mendapat tuntutan dalam olah
kanuragan. Namun dalam kenyataannya, mereka tidak
sekedar memperoleh tuntunan dibidang olah kanuragan,
tetapi juga di bidang-bidang yang lain dari segi-segi
kehidupan, sebagaimana anak-anak muda dari padepokanpadepokan
yang terdekat. Tetapi tidak semuanya dapat di tangani oleh Mahisa Murti
dan Mahisa Pukat. Tetapi para cantrik y ang tertua-pun telah
membantuinya. Bahkan Mahisa Semu dan Wantilan telah
diturunkan pula untuk memberikan latihan-latihan kepada
anak-anak muda itu. Sementara itu Mahisa Amping-pun telah semakin rajin
menempa diri. Anak itu menjadi semakin m erasa bahwa ia
tidak dapat lagi semata-mata menggantungkan diri kepada
orang lain untuk mengatur waktu dan kesempatan bagi dirinya
sendiri. Apalagi pada saat-saat Mahisa Murti dan Mahisa
Pukat mempunyai banyak kesibukan.
Dalam setiap kesempatan dipergunakannya untuk berlatih
di dalam sanggar. Bahkan kadang-kadang Mahisa Amping
tidak mengenal waktu tenggelam dalam latihan-latihan yang
berat. Mahisa Murti dan Mahisa Pukat justru menjadi cemas
melihat anak itu. Keduanya justru harus menghambat, agar
Mahisa Amping memperhitungkan kemampuan wadagnya.
Setiap kali keduanya memberikan petunjuk-petunjuk
Mahisa Amping selalu mengiyakannya. Ia -pun nampak
bersungguh-sungguh memperhatikan petunjuk itu . Tetapi jika
ia sudah berada di dalam sanggar, maka ia sudah lupa segalagalanya.
Apalagi jika ia berusaha untuk meningkatkan
kemampuan ilmu pedangnya. Ia -pun telah berlatih khusus
dengan luwuknya. Bukan saja dengan pisau belati di tangan.
Namun Mahisa Amping memiliki kemampuan yang tinggi
untuk meny erang dengan pisau belati dari jarak tertentu.
Anak itu bahkan telah berusaha mengembangkan
kemampuannya dengan pisau-pisau yang lebih kecil. Bahkan
pisau apa saja. Tangannya menjadi sangat terampil untuk
melontarkannya. Demikian ia meraba sebilah pisau, maka iapun
langsung dapat mengenali keseimbangannya. Jika ia
melontarkannya kesasaran, maka pisau itu tentu akan
hinggap. Apalagi pisau belatinya sendiri. Pisau belati yang
dikenalnya dengan baik. Mahisa Murti dan Mahisa Pukat memang berharap agar
anak itu benar-benar akan menjadi anak yang bukan saja
memiliki k emampuan dalam olah kanuragan, tetapi memiliki
kelebihan dari kebanyakan orang. Namun juga bertanggung
jawab atas kelebihannya itu. Anak itu selalu m enyadari akan
dirinya danm kehadirannya sebagai titah Yang Maha Agung.
Sementara Mahisa Amping meningkatkan kemampuannya,
maka setiap hari telah datang ke padokan itu kelompokkelompok
kecil dari padukuhan-padukuhan y ang agak jauh.
dari padepokan itu. Para Bekel telah mengirimkan mereka
sesuai dengan perintah Ki Buyut yang ingin membuat
rakyatnya lebih baik dari sebelumnya. Bukan saja dalam olah
kanuragan, tetapi juga dibidang-bidang lainnya yang
menyangkut segi-segi kehidupan. Termasuk pengetahuan dan
ketrampilan yang langsung dapat mereka trapkan dalam
kehidupan mereka sehari-hari.
Dalam pada itu, kegiatan itu benar-benar telah
mencemaskan Ki Buyut Bumiagara. Beberapa orang bebahu
telah memberikan laporan kepadanya, bahwa padepokan Bajra
Seta dan seisi Kabuyutan telah m empersiapkan diri mereka.
Bajra Seta tentu akan segera datang untuk membalas dendam
dengan membawa kekuatan y ang sangat besar.
"Apakah kalian melihat tanda-tanda itu?" bertanya Ki
Buyut. "Tentu," jawab bebahu itu. "Aku sendiri telah m emasuki
lingkungan Kabuyutan itu. Kegiatan anak-anak mudanya
semakin hari menjadi semakin meningkat."
Ki Buyut Bumiagara m emang menjadi semakin ketakutan.
Setiap kali ia mendapat laporan tentang padepokan Bajra Seta,
maka jantungnya serasa akan terlepa s.
Apalagi ketika pada suatu hari datang dua orang prajurit
Kediri. Rasa-rasanya darahnya sudah tidak mengalir lagi di
tubuhnya. "Ki Buyut tidak usaha menjadi ketakutan," berkata salah
seorang di antara kedua prajurit itu, "Aku hanya
memberitahukan bahwa hampir semua prajurit yang kita
kirimkan ke padepokan Bajra Seta telah tertawan. Adalah satu
keuntungan bahwa Ki Buyut mampu meloloskan diri dari
tangan para prajurit Singasari dan para cantrik dari
padepokan Bajra Seta."
Mulut Ki Buyut Bumiagara bagaikan telah membeku.
Sementara prajurit itu berkata, "Kami tidak akan
mendendammu. Kami hanya memberitahukan bahwa
kekuatan kami telah dihancurkan mutlak di padepokan Bajra
Seta. Kekuatan y ang sebenarnya sangat kami butuhkan."
"Sama sekali bukan niatku untuk menyurukkan kekuatan
Kediri itu kedalam kesulitan. Aku benar-benar tidak tahu
perbandingan kekuatan antara padepokan Bajra Seta dan
kekuatan yang telah kami himpun," berkata Ki Buyut
Bumiagara dengan suara gemetar.
"Kami juga tidak menuduhmu melakukannya. Kami-pun
merasa bahwa kami kurang berhati-hati sehingga kam i datang
memasuki sarang ular berbisa," berkata prajurit itu, "Tetapi
kami-pun menyadari, bahwa jika kalian tidak menghendaki
kami melakukannya, maka kami tidak akan datang ke
padepokan Bajra Seta."
"Tetapi, kami hanya sekedar minta tolong. Bukankah kita
mempunyai kepentingan bersama?" suara Ki Buyut itu
menjadi semakin gegap. "Kepentingan bersama?" prajurit itu tersenyum.
Namun senyumnya itu rasa -rasanya telah menusuk ke
dalam jantung Ki Buyut Bumiagara.
Tetapi kedua orang prajurit itu tidak lama berada di
Bumiagara. Keduanya-pun kemudian minta diri. Seorang di
antara mereka berkata, "Jangan dipikirkan lagi apa yang
sudah terjadi. Tetapi pikirkanlah apa yang akan terjadi. Hatihatilah
mengambil sikap." Wajah Ki Buyut menjadi pucat. Tetapi ia tidak dapat
menjawab apa-pun juga selain berdiri termangu -mangu
sambil memandang kedua orang prajurit y ang melangkah
pergi itu. Namun sebenarnyalah, jantung Ki Buyut Bumiagara
seakan-akan telah terhenti berdenyut ketika seorang di antara
keduanya berpaling sambil tersenyum kepadanya.
Ki Buyut Bumiagara tidak tahu pasti, apakah maksud para
prajurit itu datang kepadanya. Apakah benar m ereka sekedar
ingin memberitahukan kekalahan mereka atau justru salah
satu langkah y g akan dapat mempunyai akibat buruk baginya
dikemudian hari. Namun, kehadiran prajurit -prajurit Kediri itu dapat
membuat Ki Buyut semakin gelisah, sehingga untuk beberapa
malam Ki Buyut itu selalu dihantui oleh mimpi buruk.
Apalagi ketika beberapa hari kemudian, t elah datang pula
dua orang prajurit Kediri. Tetapi bukan dua orang y ang pernah
datang sebelumnya. Dengan jantung yang berdegupan Ki Buyut telah m enemui
kedua orang prajurit itu. Seperti kedua orang prajurit yang
datang sebelumnya keduanya nampak ramah dan berwajah
cerah. Beberapa saat setelah mereka berbincang-pun tidak ada
tanda-tanda bahwa kedua orang prajurit itu akan m engambil
satu sikap yang dapat mengguncang ketenangan hidup di
Kabuyutan Bumiagara. Namun beberapa saat kemudian, maka salah seorang dari
antara kedua orang prajurit itu berkata, "Ki Buyut.
Kedatanganku kemari, benar-benar tidak ingin mengingatkan
apa yang pernah terjadi. Kegagalan Ki Buyut menangkap
seorang cantrik dari Bajra Seta di tengah-tengah Kabuyutan
ini sendiri, serta kegagalan pasukan kami yang pergi ke
padepokan Bajra Seta. Namun yang ingin kami sampaikan
adalah justru rencana kami selanjutnya. Tentu Ki Buyut
Bumiagara tahu, bahwa kami, sebagian prajurit Kediri tidak
sependapat dengan sikap Sri Maharaja di Kediri dalam
hubungannya dengan Singasari. Karena itu, maka kami
berpendapat, bahwa pada suatu saat, yang akan terjadi adalah
perang antara Kediri dan Singasari. Namun sebelum perang
itu terjadi, maka di Kediri sendiri akan terjadi pergolakan yang
berat. Mungkin masih akan terjadi para pemimpin Kediri
justru berpihak kepada Singasari."
Ki Buyut hanya mengangguk-angguk saja, betapa-pun
jantungnya masih saja berdegup keras.
"Nah Ki Buyut," berkata salah seorang prajurit itu, "Pada
saat itulah kami memerlukan bantuan Ki Buyut Bumiagara."
"Bantuan apa yang Ki Sanak maksudkan?" bertanya Ki
Buyut dengan suara sendat.
"Tentu bukan bantuan prajurit, karena anak-anak
padukuhan ini tentu belum memiliki ketrampilan y ang cukup.
Meskipun demikian pada saat yang paling gawat, kami
memang membutuhkan banyak tenaga. Bukan saja untuk
berperang, tetapi untuk membantu peperangan. Misalnya
membawa bahan makanan, membawa senjata cadangan, obatobatan
dan kepentingan-kepentingan perang yang lain.
Kawan-kawan kami y ang dapat m embantu melakukan hal itu
sudah banyak y ang terbunuh di padepokan Bajra Seta. Karena
itu, apabila diperlukan, kami terpaksa minta bantuan Ki
Buyut. Jika kelak terjadi perang antara Kediri dan Singasari,
maka kami akan datang untuk m inta beberapa puluh anakanak
muda Bumiagara untuk bersama-sama dengan kami
berjuang demi tegaknya wibawa Kediri."
"Tetapi Bumiagara bukan tlatah Kediri," jawab Ki Buyut
dengan ragu -ragu. Kedua prajurit itu tertawa. Yang seorang lagi berkata, "Apa
peduliku, apakah Bumiagara termasuk Kediri atau bukan"
Bagi kami, apakah anak-anak muda Bumiagara itu anak-anak
muda Kediri atau Singasari, bukan menjadi soal. Yang menjadi
soal bagi kami adalah, bahwa kami kekurangan tenaga.
Bahkan seandainya Bumiagara ini bukan termasuk wilayah
Kediri, namun kami akan menganggap daerah ini tetap daerah
Kediri." prajurit itu berhenti sejenak, lalu katanya, "Maksudku,
jika daerah ini daerah Kediri, maka kita akan bersama-sama
berjuang. Selain tenaga, Bumiagara tentu dapat membantu
bahan makanan y ang banyaknya akan kami tentukan
kemudian. Kabuyutan ini harus meny erahkan berapa pedati
beras dan jagung kepada kami. Namun jika kami menganggap
bahwa Bumiagara adalah daerah Singasari, maka sudah tentu
kami akan bersikap bermusuhan. Bumiagara akan kami
jadikan karang abang. Kami dapat membunuh semua isinya,
karena kami bermusuhan. Karena dapat merampas emas dan
harta benda yang berharga yang ada di padukuhan ini. Dan
apa saja yang ingin kam i lakukan akan dapat kami lakukan di
daerah musuh kami. Nah, terserah kepada Ki Buyut,
Bumiagara akan berdiri di mana."
Ki Buyut benar-benar menjadi bingung. Kedua-duanya
bukan pilihan yang menarik. Ia memang menjadi kecewa
mengingat akibat yang sangat buruk itu dari satu rencana yang
justru gagal sepenuhnya. Tetapi Ki Buyut tidak berani menentang. Jika Bumiagara
menentang, maka akibatnya tentu sebagaimana dikatakan oleh
prajurit itu. Bumiagara akan menjadi karang abang. Api akan
menari-nari di seluruh Kabuyutan, sementara darah akan
berceceran di jalan- jalan dan di halaman rumah. Maut akan
mencengkam seisi Kabuyutan ini.
Salah seorang prajurit y ang melihat Ki Buyut menjadi
bingung berkata, "Kami bukannya datang untuk minta
persetujuan. Tetapi kami datang untuk memberitahukan
keputusan kami y ang harus dan pa sti kami laksanakan. Kami
berharap bahwa Kabuyutan Bumiagara akan segera
menyesuaikan diri, sehingga pada saatnya seisi Kabuyutan ini
tidak akan terkejut lagi."
Ki Buyut benar -benar kehilangan nalar. Untuk beberapa
saat ia justru terdiam. Tetapi kedua prajurit itu tidak lama tinggal di Kabuyutan
Bumiagara. Dengan sikap y ang tetap ramah dan manis
keduanya-pun kemudian minta diri. Sambil membungkuk
hormat seorang di antaranya berkata, "Maaf Ki Buyut. Jangan


04 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

salah m engartikan kata-kata kami. Pada saatnya kami akan
datang menjemput anak-anak muda itu. Selebihnya, kami
akan mengambil beras dan jagung sesuai dengan kebutuhan
kami." Sebelum Ki Buyut menjawab, prajurit yang lain-pun
berkata, "Aku mengucapkan terima kasih y ang sebesarbesarnya
atas kerja sama y ang selama ini telah kami lakukan.
Mudah-mudahan pada masa -masa mendatang, kerja sama itu
akan menjadi semakin akrab."
Ki Buyut mulutnya bagaikan membeku. Tetapi kedua
prajurit itu nampaknya memang tidak menunggu jawaban.
Mereka -pun segera meninggalkan Ki Buyut y ang berdiri
mematung. Sepeninggal kedua orang prajurit itu, Ki Buyut membanting
dirinya, duduk di amben bambu di serambi rumahnya.
Kepalanya serasa terbakar oleh per soalan yang sangat
menyakitkan itu. Apalagi tiba-tiba saja Ki Buyut itu teringat,
padepokan Bajra Seta-pun telah meny iapkan pasukan yang
besar untuk menghancurkan Kabuyutan Bumiagara. Mereka
datang untuk membalas serangan pasukan Bumiagara yang
terdiri dari para prajurit Kediri dan padepokan yang dipimpin
oleh Empu Carang Wregu yang justru terbunuh di padepokan
Bajra Seta. Ternyata Ki Buyut tidak mampu mengatasinya sendiri. Ia pun kemudian memanggil para bebahu dan menyampaikan
gejolak perasaannya itu kepada mereka.
"Apa yang harus aku lakukan sekarang" Membunuh diri"
Atau apa?" suara Ki Buyut gemetar oleh getar di dalam
dadanya. Para bebahu itu-pun akhirnya merasa kasihan melihat
keadaan Ki Buyut yang sangat meny esal atas tindakantindakannya.
Karena itu, salah seorang di antara para bebahu
itu berkata, "Sebaiknya kita mengurangi lawan. Kita tidak akan
dapat berdiri di antara dua kekuatan yang besar. Prajuritprajurit
Kediri y ang memberontak itu dan yang lain
Pa depokan Bajra Seta."
"Maksudmu?" bertanya Ki Buyut.
"Nampaknya lebih baik kita m eredam permusuhan dengan
Pa depokan Bajra Seta," jawab bebahu itu.
"Caranya?" desak Ki Buyut.
"Kita datang menemui pimpinan Padepokan Bajra Seta.
Kita m engaku ber salah dan minta maaf. Permusuhan itu kita
anggap saja sudah berlalu," berkata bebahu itu.
Wajah Ki Buyut menjadi tegang. Dengan nada tinggi ia
bertanya, "Jadi aku harus pergi ke Padepokan Bajra Seta?"
"Ya. Sebaiknya Ki Buyut menemui pemimpin Padepokan
Bajra Seta y ang masih muda itu. Ki Buyut dengan ikhlas harus
minta maaf dan menghapuskan permusuhan. Dengan
demikian, kita tidak harus bersiap-siap menghadapi dua lawan
yang sama-sama sulit untuk dihadapi. Namun setidaktidaknya
kita dapat memusatkan perhatian kita ke satu arah
sa ja," berkata bebahu itu.
Sementara itu bebahu yang lain berkata, "Aku sependapat.
Bahkan aku berharap Ki Buyut dengan terus terang
mengatakan ancaman yang bakal datang dari prajurit-prajurit
Kediri yang memberontak itu, sehingga jika kita melakukan
persiapan-persiapan, Padepokan Bajra Seta tidak menjadi
salah paham." Ki Buyut menarik nafas dalam-dalam. Sementara bebahu
yang lain lagi berkata, "Tidak ada cara lain untuk menebus
kesalahan itu. Ki Buyut tidak dapat sekedar meny esal atau
kecewa atau berbagai macam perasaan yang lain, namun tidak
berbuat apa-apa. Karena itu, permintaan maaf kepada
Kisah Para Penggetar Langit 6 Hardy Boys Misteri Jejak Zombie Tusuk Kondai Pusaka 13

Cari Blog Ini