Ceritasilat Novel Online

Hijaunya Lembah Hijaunya 16

04 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja Bagian 16


Pa depokan Bajra Seta itu merupakan salah satu ungkapan dari
peny esalan itu." Ki Buyut memang tidak m empunyai pilihan lain. Karena
itu, m aka ia-pun berkata, "Baiklah. Jika memang tidak ada
pilihan lain. Aku akan datang menemui para pemimpin
padepokan itu. Aku akan minta maaf dan berusaha untuk
menghapuskan permusuhan. Mudah-mudahan para
pemimpin Padepokan Bajra Seta bersedia. Jika tidak, m aka
harga diriku akan semakin terinjak-injak."
"Apa artinya harga diri Ki Buyut dibandingkan dengan
kepentingan seluruh Kabuyutan," berkata bebahu yang mulamula
minta agar Ki Buyut datang ke Padepokan Bajra Seta,
"Jika pada saatnya Kabuyutan ini harus musna oleh prajuritprajurit
Kediri yang memberontak, apa boleh buat. Kita semua
akan mati mempertahankan kampung halaman kita. Tetapi
berbeda dengan keadaan jika kita harus musna karena
kemarahan Padepokan Bajra Seta. Jika para cantrik
padepokan itu serta anak-anak m uda seluruh Kabuyutan itu
datang kemari dengan dendam di hati m ereka. Meskipun kita
mempertahankan kampung halaman, tetapi kampung
halaman y ang telah ternoda oleh ketamakan kita sendiri."
Ki Buyut mengangguk-angguk. "Baiklah. Aku akan pergi.
Bahkan besok aku akan pergi ke Padepokan itu. Pagi-pagi
benar aku akan berangkat, agar malam hari aku sudah berada
di Kabuyutan ini. Itu jika aku tidak ditangkap dan dihukum
mati di padepokan itu."
"Aku y akin hal itu tidak akan terjadi," berkata salah seorang
bebahu. Lalu katanya, " Para pemimpin padepokan Bajra Seta
dan bahkan para cantriknya bukan pembunuh-pembunuh
yang tidak berjantung."
Ki Buyut mengangguk-angguk pula. Namun ia benar-benar
berniat untuk pergi ke Padepokan Bajra Seta.
Ternyata bahwa dua orang bebanu telah menyatakan diri
untuk pergi bersama-sama dengan Ki Buyut. Bagaimana-pun
juga, mereka tidak sampai hati m elepaskan Ki Buyut pergi ke
Pa depokan Bajra Seta tanpa seorang kawan-pun. Seakan-akan
Ki Buyut dianggap benar-benar mutlak sebagai seorang yang
harus dijauhi. Demikianlah, pagi-pagi benar Ki Buyut dan dua orang
bebahu telah berangkat menuju ke Padepokan Bajra Seta.
Berkuda mereka bertiga melaju dengan cepat menempuh
jalan-jalan padukuhan dan bulak-bulak persawahan. Ketika
matahari kemudian terbit, maka ketiga orang itu telah jauh
dari Kabuyutan Bumiagara.
Namun perjalanan mereka tidak menarik perhatian. Ada
beberapa orang lain y ang berkuda menyusuri jalan-jalan yang
dilalui oleh Ki Buyut Bumiagara. Para pedagang dan saudagar
yang terbiasa pergi ke pasar -pasar y ang agak jauh sekali-pun.
Sementara Ki Buyut dan kedua orang bebahunya itu-pun
hanya mengenakan pakaian sebagaimana dipakai orang
kebanyakan. Ki Buyut Bumiagara hanya menunduk saja ketika ia
berpapasan dengan seorang saudagar yang nampaknya cukup
kaya. Dikenakannya ikat pinggang, dengan timang emas dan
dihiasi dengan mata berlian. Keris dengan pendok emas dan
beberapa butir mata b erlian pada ukirannya. Di belakangnya
berkuda dua orang y ang agaknya adalah pengawalnya. Keduaduanya
bertubuh tinggi tegap, berkumis melintang.
Saudagar itu sendiri juga sama sekali-tidak m enghiraukan
Ki Buyut Bumiagara, karena ia tidak menyangka bahwa yang
berpapasan di perjalanan itu adalah seorang Buyut.
Demikianlah, ketika matahari semakin tinggi di langit,
panasnya-pun semakin terasa gatal di kulit. Bahkan ketika
keringat mulai mengalir, terasa panas itu semakin menggigit.
Kuda Ki Buyut berlari semakin cepat. Dan jarak-pun
menjadi semakin dekat. Namun Ki Buyut tidak segera pergi ke Padepokan Bajra
Seta. Bersama kedua orang bebahunya, ia telah singgah di
sebuah kedai di dekat pasar. Tetapi tidak di kedai y ang pernah
dipergunakannya untuk menemui cantrik dari Padepokan
Bajra Seta yang telah dibujuknya untuk pergi ke Bumiagara.
Di dalam kedai itu, Ki Buyut memang mendengar kesiagaan
padukuhan-padukuhan se Kabuyutan di sekitar Padepokan
Bajra Seta. Seorang yang berambut putih m engatakan, bahwa
anaknya setiap hari bersama-sama dengan sekelompok anak
muda y ang lain selalu pergi ke Padepokan Bajra Seta untuk
berlatih olah kanuragan. Jantung Ki Buyut memang menjadi berdebar-debar. Kepada
salah seorang bebahunya ia
berbisik, "Apakah kedatanganku
tidak akan merupakan langkah
membunuh diri?" "Tidak," jawab salah seorang
bebahunya, "Tanpa key akinan
itu, aku tidak akan bersedia
mengantar Ki Buyut, karena apapun
masih belum ingin mati."
Ki Buyut hanya dapat mengangguk-angguk saja. Baru sejenak kemudian, ketika Ki Buyut sudah dapat menenangkan hatinya, ketiganya
telah meninggalkan kedai itu menuju ke Padepokan Bajra
Seta. Kedatangan mereka di Padepokan itu memang sangat
mengejutkan. Apalagi Ki Buyut tidak menutupi keny ataan
tentang dirinya, bahwa ia adalah Buyut dari Kabuyutan
Bumiagara. "Apa maksud Ki Buyut datang kemari?" bertanya cantrik
yang bertugas di reg ol. Karena cantrik itu tahu, apa yang
pernah terjadi antara Padepokan Bajra Seta dengan
Kabuyutan Bumiagara meskipun waktu itu ia tidak ikut ke
Bumiagara. "Aku ingin berbicara dengan pimpinan kalian di Padepokan
ini," jawab Ki Buyut.
Cantrik itu termangu-mangu. Namun kemudian ia berkata,
"Baiklah. Kami persilahkan Ki Buyut menunggu. Seorang di
antara kami akan melaporkannya kepada pimpinan kami."
Ketika hal itu disampaikan kepada Mahisa Murti dan
Mahisa Pukat, keduanya memang terkejut.
"Apa y ang dikehendaknya setelah ia gagal menguasai
Pa depokan ini?" bertanya Mahisa Murti.
Mahisa Pukat-pun hanya dapat mengerutkan keningnya,
karena ia -pun tidak tahu apa y ang mendorong Ki Buyut itu
datang ke padepokan mereka.
Namun kedua anak muda itu-pun berkata kepada
cantriknya, "Bawa Ki Buyut naik ke pendapa."
Sejenak kemudian, m aka Ki Buyut-pun telah diantar naik
kependapa bangunan induk padepokan Bajra Seta bersama
kedua orang bebahunya. Mahisa Murti dan Mahisa Pukat-pun
telah siap menerima mereka meskipun dengan hati yang
berdebar-debar. Setelah menanyakan keselamatan perjalanan Ki Buyut serta
keadaan Kabuyutan Bumiagara, maka Mahisa Murti-pun
bertanya, "Sebenarnyalah kedatangan Ki Buyut di Padepokan
Bajra Seta sangat mengejutkanku. Apakah ada hal yang sangat
penting sehingga Ki Buyut sendiri memerlukan datang
berkunjung ke padepokan ini?"
Ki Buyut menarik nafas dalam-dalam. Kemudian katanya
dengan nada dalam, "Aku datang untuk meny erahkan diri.
Bukan saja aku dan kedua orang bebahu yang datang
bersamaku. Tetapi seluruh Kabuyutan Bumiagara."
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat saling berpandangan
sejenak. Kemudian dengan nada ragu Mahisa Murti bertanya,
"Apakah y ang Ki Buyut maksudkan dengan menyerah"
Apakah Ki Buyut merasakan ada ancaman dari padepokan
ini?" Ki Buyut menarik nafas dalam-dalam. Katanya, "Aku tahu,
setelah serangan y ang gagal atas padepokan ini, maka
Pa depokan Bajra Seta telah bersiap-siap untuk membalas
seranganmu. Aku tahu, padukuhan-padukuhan di seluruh
Kabuyutan ini telah m engadakan latihan-latihan khusus bagi
setiap orang anak m uda. Pada suatu saat, maka Padepokan
Bajra Seta dan Kabuyutan ini akan m enyusun kekuatan yang
sangat besar. Apalagi jika prajurit Singasari datang membantu,
maka Kabuyutan Bumiagara akan menjadi lumat."
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat menarik nafas dalamdalam.
Dengan nada rendah Mahisa Murti berkata, "Ki Buyut
telah salah mengerti. Sama sekali bukan m aksud kami untuk
membalas dendam. Bahkan aku dan seisi padepokan ini telah
melupakan permusuhan kami dengan Bumiagara. Karena itu,
padepokan ini sama sekali tidak bermaksud meny erang
Bumiagara. Apalagi sekedar membalas dendam."
Ki Buyut termangu-mangu. Namun seakan-akan ia tidak
percaya akan pendengarannya.
Mahisa Pukat yang menangkap kesan di hati Ki Buyut itu
berkata, "Ki Buyut. Kami sama sekali tidak ingin bermusuhan
dengan Bumiagara. Bahwa kami sudah dapat
mempertahankan diri, itu sudah cukup bagi kami. Apalagi
kekuatan utama dari peny erangan itu adalah prajurit-prajurit
Kediri y ang tidak mau tunduk kepada perintah Sri Baginda di
Kediri. Prajurit-prajurit yang sudah memberontak terhadap
rajanya." "Jadi apa yang kalian lakukan selama ini?" bertanya Ki
Buyut Bumiagara. "Kami memang meningkatkan kemampuan anak-anak
muda dari padukuhan-padukuhan yang ada di Kabuyutan ini.
Hal itu kami lakukan sekedar untuk menjaga diri. Kami masih
tetap curiga kepada sikap prajurit -prajurit Kediri y ang telah
memberontak itu. Pada suatu saat, jika mereka terdorong
menepi oleh prajurit-prajurit y ang setia kepada Sri Baginda di
Kediri, maka m ereka akan dapat mengintai padepokan dan
Kabuyutan ini. Bahkan mungkin Kabuyutan-kabuyutan yang
lain. Karena itu, m aka kami telah mempersiapkan diri dari
kemungkinan buruk yang dapat terjadi. Apalagi jika prajurit
Singasari tidak sempat membantu kami. Maka kami harus
bersandar kepada kekuatan kami sendiri," jawab Mahisa
Pukat. Ki Buyut Bumiagara mengangguk-angguk. Ketika ia
berpaling kepada kedua orang bebahu y ang meny ertainya,
maka keduanya-pun mengangguk-angguk pula.
Sementara itu Mahisa Murti-pun berkata, "Ki Buyut.
Yakinlah bahwa aku benar-benar tidak berniat untuk
bermusuhan terus dengan Bumiagara. Jika Ki Buyut tidak
menyerang kami, maka kami sama sekali tidak berniat untuk
bertempur melawan Bumiagara."
"Apa yang akan dapat aku pergunakan untuk menyerang,"
desis Ki Buyut, "Kekuatan kami tidak ada sehitamnya kuku
dibandingkan dengan kekuatan Padepokan Bajra Seta dan
apalagi bersama-sama dengan kekuatan seluruh Kabuyutan."
"Jika demikian Ki Buyut," berkata Mahisa Murti, "Aku
mengatakan y ang sesungguhnya, bahwa kami sudah
melupakan apa y ang terjadi. Serangan itu m emang melukai
hati kami. Apalagi korban telah jatuh pula di antara kami.
Tetapi kami sudah berhasil menangkap sebagian besar dari
prajurit Kediri dan sebagian besar para cantrik y ang mengaku
di bawah pimpinan Empu Carang Wregu itu. Juga karena
bantuan anak-anak muda dari padukuhan-padukuhan di
sekitar padepokan ini. Dan itu sudah cukup bagi kami. Mereka
yang meny erang itu akan mendapat hukuman mereka di
Singasari. Jika masih ada tawanan yang akan dibawa
kemudian setelah mereka sembuh, maka sisa tugas itulah yang
sedang kami lakukan."
Ki Buyut Bumiagara mengangguk-angguk. Namun ia -pun
kemudian berterus terang kepada Mahisa Murti dan Mahisa
Pukat, bahwa sebenarnyalah Bumiagara ada dalam ancaman
para prajurit Kediri. Karena itu, maka ia ingin menghapuskan
permusuhannya dengan Bajra Seta agar mereka dapat
memusatkan perhatian mereka kepada para prajurit Kediri itu.
"Kami akan diperas habis-habisan. Tenaga dan bahan
makanan," berkata Ki Buyut Bumiagara, "Karena itu, kami
akan memilih melawan mereka meskipun kami akan
dihancurkan sama sekali."
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat mengerutkan keningnya.
Hampir diluar sadarnya Mahisa Murti berkata, "Mungkin
orang-orang Kediri y ang m emberontak itu ingin menjadikan
Bumiagara landasan untuk meny erang Padepokan Bajra Seta."
Ki Buyut Bumiagara termangu-mangu. Katanya, "Mereka
tidak mengatakan demikian meskipun mungkin hal itu dapat
sa ja terjadi." "Baiklah," berkata Mahisa Murti, "Jika Bumiagara
menghendaki, kami akan berusaha membantu. Kami
mempunyai beberapa jeni s senjata yang baik, y ang barangkali
akan m ampu meningkatkan kemampuan perlawanan orangorang
Bumiagara." "Maksud kalian?" bertanya Ki Buyut.
"Kami akan memberikan sejumlah senjata kami yang baru
kepada Ki Buyut. Bukankah Ki Buyut menghendaki sejenis
senjata yang baru itu?" bertanya Mahisa Murti.
Ki Buyut Bumiagara dan bahkan juga kedua orang bebahu
yang meny ertainya terkejut mendengar pertanyaan itu.
Mereka seakan-akan tidak percaya kepada pendengarannya.
Namun Mahisa Pukat menjelaskan keterangan Mahisa
Murti itu, "Kami mempunyai beberapa kelebihan senjata yang
baru justru karena kami sekarang dapat m embuatnya sendiri.
Meskipun sedikit, barangkali kami akan dapat membantu
Kabuyutan Bumiagara agar jika benar -benar terjadi benturan
kekerasan dengan para prajurit Kediri itu, Bumiagara mampu
sedikitnya melindungi diriny a sendiri. Apalagi jika Kabuyutan
Bumiagara dapat berbicara dengan Kabuyutan-kabuyutan di
sekitarnya. Sehingga bersama-sama Bumiagara tentu tidak
akan terlalu mudah untuk ditundukkan. Dengan senjatasenjata
y ang baik, maka anak-anak muda Kabuyutan
Bumiagara tentu bersedia untuk melatih diri. Karena
kemampuan dalam olah kanuragan itu akan sangat berarti
bagi kepentingan Kabuyutan mereka."
Ki Buyut mengangguk-angguk. Salah seorang bebahu yang
menyertainya ternyata tidak bisa menahan diri untuk tidak
mengatakan perasaannya, "Kami benar-benar terkejut


04 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mendengar tawaran itu. Ketika kami berangkat, kami sudah
minta diri kepada seisi Kabuyutan seandainya kami tidak
dapat kembali. Namun ternyata di sini kami justru m endapat
tawaran untuk membawa senjata. Ternyata bahwa nalar dan
budi kami terlalu kotor dibandingkan dengan nalar dan budi
seisi padepokan Bajra Seta. Kami selalu berprasangka buruk,
sementara Padepokan Bajra Seta justru sebalikny a."
"Sudahlah," berkata Mahisa Murti, "Besok kami akan
menyediakan senjata-senjata yang kami janjikan. Sebaikny a Ki
Buyut atau mungkin utusannya dapat datang membawa
sebuah pedati. Namun aku m inta salah seorang dari antara
kalian bertiga ikut bersama pedati itu, karena kalianlah yang
telah kami kenal dengan baik, agar senjata itu tidak jatuh ke
tangan orang y ang tidak berhak."
"Kami mengucapkan terima kasih y ang tidak terhingga,"
berkata Ki Buyut, "Besok aku sendiri akan datang bersama
dengan kedua orang bebahu y ang hari ini datang bersamaku."
"Baiklah," jawab Mahisa Murti, "Hari ini kami dapat
memilih senjata yang paling sesuai bagi anak-anak muda
Bumiagara, namun juga senjata y ang telah m encukupi bagi
kebutuhan kami sendiri. Yang aku maksud dengan kami
bukannya sekedar para cantrik di Padepokan Bajra Seta.
Tetapi juga anak-anak muda di Kabuyutan ini."
Demikianlah setelah dihidangkan m inuman dan makanan,
maka Ki Buyut-pun minta diri. Dengan mantap ia berkata,
"Aku akan pulang. Aku akan berbicara dengan seluruh
penghuni Kabuyutan Bumiagara, bahwa aku masih dapat
pulang dengan utuh. Bahkan aku pulang dengan membawa
senjata yang sangat kami butuhkan."
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat hanya tersenyum saja.
Demikianlah Ki Buyut Bumiagara itu-pun segera
meninggalkan Padepokan Bajra Seta. Ia menjadi tergesa -gesa,
karena ia ingin segera memberitahukan kepada semua bebahu,
semua Bekel dan bahkan semua penghuni Kabuyutan
Bumiagara, tanggapan y ang sama sekali tidak terduga dari
pimpinan Padepokan Bajra Seta.
Sementara itu, Mahisa Murti dan Mahisa Pukat telah
memerintahkan para cantrik untuk meny isihkan beberapa
jenis senjata yang dimiliki oleh Padepokan Bajra Seta. Senjata
yang telah mereka buat sendiri atas dasar petunjuk dari
Singasari. Senjata y ang termasuk ringan, tetapi memiliki
kekuatan dan ketajaman yang sama dengan senjata-senjata
mereka sebelumnya y ang lebih berat.
Dengan ditunggui oleh Mahisa Murti dan Mahisa Pukat
sendiri, para cantrik telah menyisihkan dua ikat pedang
dengan sarungnya, m eskipun bukan sarung y ang baik, tetapi
memenuhi kebutuhan. Yang penting bagi mereka adalah
pedangnya, bukan sarungnya. Seikat tombak bertangkai
pendek. Seikat kapak yang tajam dikedua sisinya. Sejumlah
perisai dan sepuluh buah keris berukuran besar.
Sebenarnya belum semua anak muda dari padukuhanpadukuhan
di sekitar Padepokan Bajra Seta y ang mendapat
bagian jeni s senjata-senjata itu. Namun Mahisa Murti dan
Mahisa Pukat ternyata mempunyai perhitungan lain.
Kabuyutan Bumiagara dan Kabuyutan di sekitarnya agar
bangkit dan menempatkan diri dalam jajaran kekuatan
Singasari untuk melawan Kediri, karena tidak dapat dipungkiri
bahwa di Kediri memang terdapat kekuatan yang menentang
kebijaksanaan Sri Baginda di Kediri. Kekuatan itulah yang
dapat mengancam Singasari dan daerah kuasanya yang luas.
Bahkan Mahisa Murti dan Mahisa Pukat sependapat,
bahwa Padepokan Bajra Seta akan mengirimkan lima orang
cantrik terpilih untuk memberikan latihan menggunakan
senjata-senjata yang baru itu.
Pemimpin prajurit Singasari y ang ada di padepokan itu
sependapat dengan cara Mahisa Murti dan Mahisa Pukat
membuat pagar menghadapi prajurit Kediri y ang m enentang
kebijaksanaan Rajanya itu. Apalagi jika Kabuyutan Bumiagara
dapat membujuk Kabuyutan di sekitarnya untuk saling
membantu j ika terjadi pemerasan y ang tentu akan dilakukan
oleh prajurit Kediri jika waktunya dianggap sudah tiba.
Malam itu juga, semua senjata itu-pun telah disiapkan.
Dihari berikutnya Ki Buyut sendiri akan datang untuk
mengambil senjata-senjata itu. Sementara para cantrik yang
secara khusus mempelajarinya masih terus saja membuat yang
baru. Sementara itu Ki Buyut Bumiagara y ang kembali ke
Kabuyutan Bumiagara, tidak sabar menunggu terlalu lama.
Karena itu, demikian ia sampai ke Kabuyutan, maka ia segera
memerintahkan untuk menyiapkan pedati.
"Aku akan segera kembali ke Padepokan Bajra Seta,"
berkata Ki Buyut. "Tetapi Ki Buyut harus beristirahat. Besok kita siapkan
pedati dan kelengkapannya. Besok malam kita berangkat
sehingga pagi-pagi benar kita akan sampai ke Padepokan Bajra
Seta" berkata bebahu y ang mengiringi.
"Baru lusa kita sampai. Bukankah kau dengar, bahwa besok
aku akan kembali?" sahut Ki Buyut.
"Tetapi para Pemimpin dari Padepokan Bajra Seta akan
mengetahui bahwa perjalanan dari Bumiagara memerlukan
waktu." jawab bebahunya.
"Bukankah jaraknya tidak terlalu jauh" Kita tidak boleh
menyia-ny iakan kesempatan ini," jawab Ki Buyut.
Ternyata benar perintah Ki Buyut itu benar-benar tidak
boleh tertunda. Malam itu juga telah disiapkan sebuah pedati.
"Pedati itu akan merangkak seperti siput. Agak berbeda
dengan kecepatan lari seekor kuda," berkata bebahu itu.
"Justru itu kita harus cepat-cepat berangkat," jawab Ki
Buyut, "Jika kita berangkat sekarang, maka besok siang kita
baru sampai. Perjalanan ini akan memerlukan waktu lipat
sepuluh dengan perjalanan berkuda. Bahkan lebih. Seandainya
kita harus bermalam, maka sebaiknya kita bermalam di
Pa depokan Bajra Seta besok."
Niat Ki Buyut itu tidak dapat dicegah. Karena itu, maka
malam itu juga sebuah pedati telah m eninggalkan Kabuyutan
Bumiagara dikawal oleh empat orang bebahu dan dua orang
yang dianggap memiliki kemampuan untuk melindungi
senjata-senjata y ang bakal mereka bawa dari Padepokan Bajra
Seta. Sementara itu Ki Buyut sendiri m emilih untuk berada di
dalam pedati, karena ternyata ia sempat berbaring untuk
beristirahat selama perjalanan.
Sebenarnyalah pedati itu berjalan lamban sekali. Bebahu
yang berada di punggung kuda merasa sangat mengantuk
sehingga bergantian mereka tidur di dalam pedati bersama Ki
Buyut. Sementara kuda yang tanpa penunggang telah diikat
dan berjalan lamban di belakang pedati.
Meskipun Ki Buyut tergesa -gesa sampai, namun bebahunya
terpaksa minta mereka beristirahat barang sebentar untuk
memberi kesempatan kepada lembu y ang menarik pedati dan
kuda-kuda mereka beristirahat pula.
Ternyata lewat tengah hari di hari berikutnya mereka baru
sampai ke padepokan Bajra Seta. Mereka harus berhenti
sementara itu senjata-senjata yang telah disiapkan segera
dimuat ke dalam pedati. Tetapi Mahisa Murti dan Mahisa Pukat mempersilahkan Ki
Buyut untuk bermalam di padepokan itu.
"Ki Buyut dan para bebahu tentu letih," berkata Mahisa
Murti. Ki Buyut memang tidak menolak. Tetapi Ki Buyut sudah
mengatakan bahwa menjelang fajar, ia akan meninggalkan
Pa depokan Bajra Seta, agar perjalanan mereka tidak t erlalu
lama. "Orang-orang Bumiagara sudah menunggu-nunggu,"
berkata Ki Buyut. Sebenarnyalah malam itu Ki Buyut, para bebahu dan
pengawal yang meny ertainya bermalam di Padepokan Bajra
Seta. Tetapi sebelum dini m ereka sudah bangun dan bersiapsiap
untuk berangkat kembali ke Bumiagara.
Dengan demikian, maka lima orang cantrik y ang telah
ditunjuk oleh Mahisa Murti dan Mahisa Pukat telah bersiapsiap
pula. Mereka akan meninggalkan Padepokan Bajra Seta
dan akan tinggal di Bumiagara untuk beberapa lama. Namun
mereka tidak berkewajiban untuk mengajarkan dasar -dasar
kemampuan olah kanuragan. Mereka hanya mendapat tugas
untuk memberi petunjuk penggunaan senjata-senjata itu,
meskipun hal itu tidak akan terlepas dari kemampuan olah
kanuragan. Sebenarnyalah, sebelum fajar, setelah makan beberapa
potong makanan dan menghirup m inuman hangat, maka Ki
Buyut Bumiagara telah mohon diri untuk kembali ke
Bumiagara. Lima orang cantrik dari Bumiagara diperintahkan
untuk mengikuti iring-iringan itu dan bahkan tinggal di
Bumiagara untuk beberapa waktu.
Sebenarnyalah Ki Buyut merasa gembira sekali mendapat
perlakuan yang sangat baik, m endapat senjata dan tuntunan
cara penggunaannya, sehingga dengan demikian maka
Bumiagara akan dapat membangun dirinya untuk melindungi
diri sendiri. Demikianlah, dalam kegelapan menjelang fajar iringiringan
itu berjalan sangat lambat. Para bebahu, pengawal dan
para cantrik justru merasa letih, berkuda mengikuti perjalanan
pedati y ang merayap perlahan -lahan. Sementara itu, Ki Buyut
masih juga sempat berbaring di dalam pedati, di antara
senjata-senjata yang dibawanya disisa malam itu.
Ketika matahari terbit, iring-iringan itu memang sudah
agak jauh dari Padepokan Bajra Seta. Namun karena beberapa
orang berkuda mengiringnya, maka pedati itu memang
menarik perhatian. Perjalanan kembali ke Bumiagara itu ternyata lebih lama
dari perjalanan mereka ke Padepokan Bajra Seta. Kecuali
pedatinya memang m enjadi lebih berat karena muatan yang
cukup banyak, terik matahari juga terasa menghambat.
Beberapa kali mereka harus, berhenti. Kuda-kuda mereka
menjadi haus dan lembu y ang menarik pedati itu-pun menjadi
lapar pula. Juga orang-orang yang mengiringi. Keringat yang
mengucur dari tubuh mereka, membuat mereka cepat m erasa
haus. Karena itu, ketika matahari turun di sisi Barat langit,
mereka berada di bulak panjang yang masih agak jauh dari
Kabuyutan Bumiagara. Namun mereka sama sekali tidak menyangka, bahwa ada
beberapa orang yang memperhatikan pedati yang diiringi oleh
beberapa orang berkuda itu.
"Sekitar sepuluh orang," desis seorang di antara mereka.
"Mereka bukan prajurit," berkata y ang lain, "Tetapi agaknya
pedati itu memang berisi barang berharga sehingga sekitar
sepuluh orang harus mengawalnya."
"Pedati itu akan melewati bulak Larah," berkata orang y ang
pertama. "Aku mengerti maksudmu. Kita menghubungi kawankawan
kita yang tinggal di padukuhan Larah" jawab yang lain.
Orang yang lain lagi berdesis, "Mereka adalah orang-orang
yang dungu. Apakah mereka belum pernah mendengar
tentang padukuhan Larah" Padukuhan tempat tinggal para
gegedug, perampok dan peny amun?"
"Marilah. Kita mendahului pedati yang maju sangat
perlahan seperti siput itu. Kita bersiap di bulak Larah, dengan
kawan-kawan kita dari Larah" berkata orang yang pertama.
Demikianlah, maka beberapa orang itu telah berjalan
dengan cepat, mendahului pedati y ang diiringi oleh beberapa
orang berkuda y ang menjadi letih justru karena berjalan
sangat lambat. Tetapi setiap kali seorang di antara mereka
yang merasa sangat letih ikut naik pedati beberapa saat.
Bahkan kadang-kadang Ki Buyut lah y ang naik di punggung
kuda. Sais pedati itu justru sering turun dari pedatinya untuk
menggeliat. Bahkan kadang-kadang berjalan kaki beberapa
ratus patok untuk mengurangi penat-penat tubuhnya.
Ketika orang-orang itu sempat melampaui pedati y ang
berjalan lamban itu, mereka tidak dapat melihat apa saja yang
ada di dalamnya. Tetapi m ereka melihat selembar tikar yang
besar menutupi muatannya y ang cukup banyak.
Seperti yang mereka rencanakan, maka orang-orang itupun
telah menuju ke padukuhan Larah y ang terletak tidak jauh
dari jalan yang melewati bulak panjang, y ang juga disebut
bulak Larah. Ketika orang-orang itu memberitahukan kepada kawankawannya
y ang ada di Larah tentang sebuah pedati yang lewat,
maka orang -orang Larah itu-pun segera tanggap.
"Berapa orang dibutuhkan?"
bertanya seorang gegedug yang
namanya cukup membuat orangorang
padukuhan Larah mengerutkan lehernya. "Mereka dikawal sekitar
sepuluh orang berkuda," jawab
orang y ang datang mengajaknya.
"Mereka bukan prajurit?"
bertanya gegedug itu lagi.
"Bukan. Menilik pakaiannya
mereka bukan prajurit," jawab
orang y ang mengajaknya. "Kemana kira-kira pedati itu akan pergi?" bertanya gegedug
itu selanjutnya. Orang y ang datang, mengajaknya itu menggelang. Katanya,
"Aku tidak tahu. Tetapi bukankah jalan ini menuju ke
Kabuyutan Bumiagara?"
"Kabuyutan sarang pengecut itu" Melawan lima belas orang
pendatang saja mereka sama sekali tidak mampu
mengatasinya," berkata gegedug itu.
"Mungkin mereka justru menuju ke Bumiagara. Menilik
pengawalnya y ang banyak, maka barang-barang y ang dibawa
itu tentu cukup penting," sahut orang yang datang ke
padukuhan Larah itu. "Baik. Kita sediakan lima b elas orang. Bukankah itu sudah
cukup" Orang-orang kita adalah orang-orang yang sudah
terbiasa memeras darah. Kita mencoba untuk merampas
dengan baik. Tetapi jika m ereka bertahan, maka potong saja
leher mereka semuanya. Kita akan mendapatkan kuda, pedati


04 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dan barang-barang y ang ada di pedati itu," berkata gegedug itu
kemudian. Ternyata dalam waktu singkat orang-orang itu sudah siap.
Lima b elas orang termasuk orang-orang itu sudah siap. Lima
belas orang termasuk orang-orang yang datang untuk
memberitahukan tentang perjalanan pedati itu.
Tetapi mereka tidak akan menyamun pedati itu di dekat
padukuhan mereka sendiri. Tetapi mereka bergerak agak jauh.
Mereka menempatkan diri di sebuah tikungan y ang agak
menanjak karena perbukitan yang rendah. Namun tikungan
itu merupakan tempat y ang sangat baik untuk merampok
orang lewat. Bahkan kadang-kadang di siang hari-pun
perampokan itu dapat terjadi.
Sementara itu, Ki Buyut yang melihat orang-orang y ang
melewati pedatinya tidak berkata apa -pun. Namun kemudian
ketika ia sadar, bahwa mereka akan lewat di bulak Larah,
maka ia-pun berkata kepada para bebahu, "Kita sampai ke
bulak Larah." "Tetapi bukankah kita beberapa kali lewat bulak itu tidak
pernah terjadi sesuatu," berkata bebahu itu.
"Tetapi sekarang kita membawa barang-barang y ang
berharga. Aku agak curiga melihat orang-orang yang baru saja
mendahului kita," berkata Ki Buyut Bumiagara kemudian.
Bebahu yang meny ertainya bersama kedua orang pengawal
itu-pun segera menyadari bahwa mereka akan sampai ke
tempat yang cukup rawan. Mereka -pun tahu benar, bahwa
ujung bulak Larah adalah sebuah tikungan yang menanjak
lewat sebuah lekuk di perbukitan yang rendah.
Karena itu, maka mereka-pun segera bersiap. Salah seorang
di antara para bebahu itu berkata kepada cantrik y ang tertua
yang meny ertai mereka, "Kita memasuki bulak y ang sepi.
Apalagi di malam hari."
Cantrik itu mengangguk-angguk. Sementara bebahu itu
berkata, "Biarlah kedua orang pengawal kami berada di
belakang kalian. Dua orang bebahu Bumiagara akan berada di
depan pedati. Sementara kami dan seorang lagi akan berada
tepat di belakang pedati di depan kalian berlima."
Para cantrik itu tidak membantah. Mereka m enurut saja,
karena pimpinan perjalanan itu berada di tangan Ki Buyut
sendiri. Demikian m ereka memasuki bulak Larah, maka Ki Buyut
tidak lagi lengah. Ia duduk di sebelah sai s pedatinya yang
menjadi tegang. Kegelapan dan keseny apan membuat suana
memang menjadi gelisah, justru karena mereka berada di
bulak Larah. Dua orang bebahu berkuda di depan m ereka. Jika mereka
berkuda terlalu jauh, maka Ki Buyut segera memperingatkan
mereka, agar mereka sedikit menahan diri.
Semakin dalam m ereka menembus gelapnya bulak Larah,
maka jantung mereka serasa berdenyut semakin cepat. Namun
hampir sampai ke ujung bulak mereka tidak mengalami
sesuatu. "Padukuhan Larah telah lewat," berkata salah seorang
bebahu y ang berkuda di paling depan.
"Padukuhannya m emang sudah. Bukankah padukuhan di
sebelah itu padukuhan Larah" Kita dapat m elihat terangnya
onc or di reg ol padukuhan itu," sahut Ki Buyut, "Tetapi kita
belum lepas dari bulak Larah yang panjang itu."
Bebahu y ang berkuda di depan itu mengangguk-angguk.
Beberapa puluh langkah lagi mereka akan sampai ke tikungan.
Karena itu maka Ki Buyut-pun berkata, "Tikungan itu sering
disebut tikungan hitam. Hati-hatilah. Jangan terlalu jauh
mendahului kami. Siapkan senjatamu."
"Untuk apa?" bertanya bebahu y ang di depan.
"Kita harus berhati -hati," jawab Ki Buyut.
"Tetapi sebelum kita melihat sesuatu di hadapan kita.
Apakah kita harus sudah m enarik pedang," bertanya bebahu
itu. " Ini perintah. Kau dengar?" geram Ki Buyut y ang firasatnya
telah meraba sesuatu y ang tidak wajar di hadapannya.
Kedua bebahu yang berkuda di paling depan itu tidak
menyahut. Ternyata bahwa wibawa Ki Buyut masih tetap
tinggi, sehingga keduanya-pun telah mencabut pedangnya.
Sikap Ki Buyut y ang keras itu telah mempengaruhi para
bebahu dan para pengawal yang berkuda di paling belakang.
Demikian pula para cantrik-pun menjadi semakin berhati-hati.
Ki Buyut sendiri kemudian telah berdiri di bagian depan
pedati itu, sementara sais pedati yang memegang tali kendali
kedua ekor lembu yang menariknya telah m enjadi berdebardebar
pula. Namun sai s itu bukan seorang penakut. Sebagai
seorang sais pedati, maka ia dianggap seorang y ang memiliki
kekerasan tulang sekeras tulang lembunya.
Sais itu-pun telah meny iapkan sepotong besi di
belakangnya. Setiap saat sepotong besi itu akan dapat
dipergunakan. Bahkan untuk melawan pedang sekali-pun.
Sejenak kemudian, maka pedati itu-pun telah memasuki
sebuah tikungan yang menanjak, di sela-sela perbukitan
rendah. Di sebelah meny ebelah jalan terdapat pohon-pohon
perdu yang rimbun. Dalam gelapnya malam, maka pohon
perdu itu nampak kehitam-hitaman di antara bayangan
bongkah-bongkah batu padas.
Dua orang bebahu yang berkuda di paling depan itu-pun
menjadi semakin berhati-hati. Mereka memegang pedang
mereka y ang telah telanjang. Demikian pula Ki Buyut
Bumiagara. Sementara sai s pedati itu masih belum
menggenggam potongan besinya. Tetapi di tangan kanannya ia
memegang sebuah cambuk y ang besar berjuntai anyaman ijuk
yang kuat. Demikianlah, suasana benar-benar m enjadi tegang. Kedua
orang bebahu yang terdepan memperhatikan setiap gerumbul
yang ada di sebelah menyebelah jalan.
Namun salah seorang di antara keduanya memang menjadi
curiga. Ia melihat salah sebuah di antara gerumbul-gerumbul
itu bergerak. Karena itu ia berdesis, "Hati-hati. Aku m emang
melihat sesuatu." Kawannya-pun dengan cepat anggap. Ia -pun segera
bergeser menjauhi kawannya. Ia -pun siap menghentakkan
kendali kudanya untuk mengejutkan orang -orang yang jika
benar isy arat kawannya, akan mengganggu perjalanan mereka.
Ternyata Ki Buyut Bumiagara-pun melihat pula sebuah
gerumbul y ang bergerak. Karena itu, maka ia -pun telah
menyiapkan pedangnya dengan baik. Dengan tangannya Ki
Buyut memberi isy arat kepada sais yang duduk di sebelah Ki
Buyut y ang berdiri itu, agar ia -pun bersiap pula.
Di belakang pedati, hampir setiap cantrik telah melihatnya
pula. Karena itu maka mereka-pun justru telah menjauhi yang
satu dengan y ang lain. Cantrik yang berada di paling belakang
telah berdesis kepada kedua orang pengawal Ki Buyut,
"Mereka berada di belakang setiap gerumbul itu."
Para pengawal itu t idak segera tanggap. Karena itu seorang
di antara mereka justru bertanya, "Mereka siapa?"
Cantrik itu termangu-mangu sejenak. Namun kemudian ia
menjawab, "Yang dicemaskan oleh Ki Buyut. Maksudku, di
belakang perdu itu bersembuny i beberapa orang yang
mungkin akan m erampok kita. Mereka m enyangka bahwa di
dalam pedati itu terdapat harta benda y ang sangat berharga."
"Tetapi bukankah barang-barang y ang ada di pedati itu
benar-benar berharga?" bertanya pengawal y ang lain.
"Ya. Karena itu kita harus mempertahankannya," jawab
cantrik itu. Kedua orang pengawal itu mencoba memperhatikan
gerumbul-gerumbul perdu di sebelah meny ebelah jalan dalam
kegelapan malam. Namun akhirnya mereka-pun seakan-akan
melihat bayangan y ang telah bergerak. Namun sekila s saja.
Lalu hilang. Ki Buyut dan para bebahu yang ada di depan mengerti,
bahwa di sebelah menyebelah jalan itu bersembuny i beberapa
orang. Namun agaknya mereka menunggu iring-iringan itu
masuk ke dalam kepungan mereka.
Karena itu, m aka setiap orang dalam iring-iringan itu-pun
segera mempersiapkan diri sebaik-baiknya. Mereka sadar,
bahwa sebentar lagi, beberapa orang akan berloncatan keluar
dari belakang gerumbul-gerumbul liar itu dengan senjata di
tangan. Sebenarnyalah seperti y ang telah mereka perhitungkan.
Ketika iring-iringan itu sudah mulai berbelok dan menanjak
disela-sela perbukitan kecil, maka tiba-tiba saja terdengar
seseorang berteriak. Meneriakkan aba-aba.
Teriakan itu disambut dengan teriakan-teriakan y ang sahut
menyahut dari sebelah menyebelah jalan.
Lima belas orang berloncatan dari balik gerumbul
menyerang orang-orang berkuda y ang mengawal pedati itu.
Para cantriklah y ang paling sigap meloncat dari punggungpunggung
kuda mereka. Seorang di antara mereka masih
harus menambatkan kendali kuda m ereka pada pedati yang
juga telah berhenti. Pada tiang dan jari-jari r odanya.
Sementara empat orang y ang lain telah berloncatan
meny ongsong orang-orang yang meny erang dari lereng-lereng
bukit kecil itu. Para bebahu-pun telah berloncatan turun pula sambil
berkata kepada sais pedati itu, "Tambatkan kuda-kuda itu."
Sais pedati itu-pun telah berlari -lari menangkap pedati
kuda kedua bebahu yang ada di depan pedati dan m engikat
kendali kuda itu pada ujung pasang lembu y ang menarik
pedati itu. Sementara Ki Buyut berkata sambil meloncat turun, "Jaga
lembu dan kuda-kuda itu. Ganjal roda pedati agar tidak
bergerak." Kedua orang pengawal di paling belakang ternyata tidak
sempat mengikat kuda mereka. Demikian mereka meloncat
turun, mereka harus sudah menangkis serangan-serangan
yang datang melanda dengan derasny a.
Dengan demikian, maka sejenak kemudian telah terjadi
pertempuran antara orang-orang Bumiagara dan para cantrik
padepokan Bajra Seta, melawan para perampok yang ingin
merampas barang-barang yang dibawa dalam pedati itu.
Ketika pertempuran itu berkobar dengan sengitnya, maka
terdengar suara di antara para perampok itu, " Jika kalian
serahkan barang-barang yang kalian bawa itu dengan baik,
maka kami tidak akan menyakiti kalian."
Ki Buyut yang marah menjawab dengan keras pula,
"Persetan kalian para perampok. Kalian harus mendapat
hukuman atas perbuatan kalian. Agaknya kalian telah
melakukan hal seperti ini beberapa kali."
"Jangan sombong Ki Sanak," teriak pemimpin perampok
itu, "Kalian tidak mempunyai kesempatan. Tetapi j ika kalian
melawan, maka kalian akan mati, tumpas sampai dengan
orang y ang terakhir."
"Kami atau kalianlah y ang akan tumpas," geram Ki Buyut.
"Pekerjaan kami melakukan hal seperti ini. Berkelahi,
membunuh dan merampok. Karena itu, jangan mencoba
menakut-nakuti kami, karena hal itu hanya akan membuat
kami tertawa sebelum kami memeras darah kalian sampai
tetes terakhir. Besok di tempat ini, orang-orang y ang lewat
akan segera berteriak-teriak karena mereka melihat sosok
kalian y ang berceceran di tikungan hitam ini," teriak
pemimpin perampok itu. "Tetapi kali ini agak berbeda," jawab Ki Buyut, "Yang akan
berserakan di sini adalah mayat kalian. Biarlah orang-orang
Larah besok mengambil mayat kalian dan menguburkannya."
"Setan kau," geram pemimpin perampok itu.
Kemarahannya telah mendorongnya untuk meneriakkan
perintah, "Bunuh semua orang. Tidak ada ampun bagi
seorang-pun di antara mereka."
Tetapi Ki Buyut y ang marah-pun berteriak pula, "Bunuh
mereka semuanya biarlah kawan-kawan mereka menjadi jera
untuk melakukan perampokan."
Pertempuran -pun segera meningkat semakin sengit. Kedua
belah pihak m enjadi m arah dan ingin meny elesaikan lawanlawan
mereka dengan cepat. Namun para perampok itu kurang menyadari, bahwa di
antara iring-iringan itu terdapat lima orang cantrik dari
Pa depokan Bajra Seta y ang memiliki kemampuan prajurit.
Karena itu, maka kelima orang cantrik itu -pun segera
berloncatan sambil memutar pedang mereka di antara
beberapa orang lawan. Sementara itu, Ki Buyut sendiri telah turun ke dalam
pertempuran itu. Dengan tangkasnya ia mengayunkan
senjatanya menghadapi para perampok yang menyerangya.
Tetapi para perampok itu memang lebih banyak jumlahnya.
Karena itu, maka para bebahu dari Bumiagara serta para
cantrik dari Padepokan Bajra Seta memang harus bekerja
keras mengatasi mereka. Apalagi para perampok itu telah
bertempur dengan keras dan kasar. Mereka berteriak-teriak
dan mengumpat-umpat dengan kata-kata kotor.
Tetapi para cantrik sama sekali tidak terpengaruh oleh
kekerasan dan kekasaran para perampok itu. Mereka
mempunyai pengalaman y ang lebih baik dari para bebahu
Bumiagara. Bahkan dengan kedua orang pengawal pilihan
yang meny ertai perjalanan Ki Buyut itu.
Meny adari akan hal itu, maka para cantrik itu telah
memencar. Seorang di antaranya telah berada di depan pedati
yang berhenti itu. Seorang di sisi sebelah kiri. Seorang di
kanan dan dua orang Di belakang.
Demikianlah, pertempuran-pun semakin lama menjadi
semakin keras dan ka sar. Para perampok telah kehilangan
kesabaran karena mereka tidak segera menguasai lawan-lawan
mereka. Biasanya mereka dengan cepat membantai orangorang
y ang mencoba mempertahankan barang-barang mereka.
Namun ternyata mereka tidak dapat melakukannya saat itu.
Pemimpin para perampok yang terdiri dari seorang
gegedug yang ditakuti itu berteriak semakin keras
menggetarkan udara malam y ang gelap, "Cepat bunuh mereka.
Jangan ragu-ragu." Namun demikian mulutnya terkatub rapat, maka terdengar
salah seorang di antara para perampok itu berteriak kesakitan
sambil mengumpat-umpat dengan kata-kata y ang paling
kotor. Sementara itu, segores luka telah meny ilang di dadanya,
sehingga orang itu telah terdorong beberapa langkah surut.
Tetapi kemudian, luka itu tidak m enghentikannya. Bahkan


04 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

justru membuat orang itu seperti gila.
Ki Buyut Bumiagara sendiri ternyata bertempur seperti
banteng y ang terluka. Senjata berputaran dengan cepatnya.
Sekali terayun mendatar, kemudian meny ilang dan berputar di
samping tubuhnya. Namun kemudian mematuk dengan
cepatnya mengarah ke dada.
Cantrik y ang bertempur di depan pedati itu telah mengikat
dua orang lawan. Tetapi Cantrik itu benar-benar tangkas.
Senjata y ang dipergunakan adalah sebilah pedang y ang ringan.
Tetapi dilihat dari ujudnya, pedang itu cukup besar dan
panjang. Jika benturan terjadi, maka getar kekuatannya
benar-benar telah m embuat telapak tangan lawannya terasa
panas. Beberapa saat kemudian, maka para cantrik justru mulai
mendesak lawan-lawan mereka. Bahkan yang bertempur
melawan dua orang pula. Dengan ketangkasan seorang
prajurit, maka mereka telah menunjukkan, bahwa para
perampok itu tidak akan mampu memaksakan kehendak
mereka meskipun dengan kekerasan senjata. Bahkan sekali
lagi terdengar seorang di antara para perampok itu
mengumpat-umpat ketika ia terdor ong dan jatuh terlentang
dilereng bukit y ang rendah itu.
Demikian ia meloncat bangkit, maka tangannya-pun
meraba pundaknya yang terasa hangat oleh darahnya yang
mengalir dari luka-lukanya.
Tetapi orang itu tidak menghentikan perlawanannya. Ia pun justru telah berteriak keras-keras sambil berlari
menyerang seorang y ang masih bertempur melawan seorang
kawannya. Perampok yang terluka itu sama sekali tidak mengekang
dirinya lagi. Dengan sepenuh tenaga ia menghambur dan
mengayunkan kapaknya yang besar mengarah ke kepala lawan
seorang kawannya yang nampak agak terdesak.
Ternyata y ang diserangnya itu adalah seorang cantrik yang
bergerak dengan cepat menghindari serangannya. Sambil
berjongkok cantrik itu telah m enjulurkan pedangnya, seakanakan
langsung menerima tubuh orang y ang meny erangnya itu.
Sekali lagi terdengar teriakan kesakitan yang terlontar oleh
kemarahan dan kebencian y ang sangat. Namun sejenak
kemudian suara itu leny ap ditelan oleh suara dentang senjata
yang beradu. Sementara itu, ketika cantrik yang berjongkok itu
bangkit sambil menarik pedangnya, maka tubuh perampok
itu-pun telah terguling jatuh. Tetapi orang itu sudah tidak
dapat berteriak lagi untuk selama-lamanya.
Dengan demikian maka seorang demi seorang jumlah
perampok itu telah susut. Namun seorang di antara mereka
telah mampu menyusul lingkaran pertempuran itu dan berlari
mendekati pedati yang berhenti itu.
Namun ternyata, dengan tidak diduganya, sai s pedati itu
telah meloncat meny erangnya. Tidak dengan sepong besi yang
masih tergolek di dalam pedati, namun dengan sebuah
cambuk yang besar dan panjang.
Perampok itu dengan cepat bergeser menghindar. Tetapi
cambuk itu seakan-akan telah menggeliat. Sais yang setiap
hari bermain dengan cambuk itu mampu menggerakkan
juntainya yang panjang seperti menggerakkan tangannya
sendiri. Karena itu, maka ujung cam buk yang menggeliat itu
ternyata telah mematuk lengan perampok y ang berhasil
mendekati pedati itu. Perampok itu mengaduh tertahan. Namun ketika ujung
juntai cambuk itu dihentakkan sendai pancing, maka sekali
lagi orang itu mengaduh menahan sakit. Bahkan ketika ia
meraba lengannya, maka lengannya itu seakan-akan telah
terkoyak. " Iblis kau," geram perampok itu, "Kau sais pedati y ang
dungu. Kau kira kau mampu melawan aku?"
Sais itu sama sekali tidak menjawab. Ia justru
memanfaatkan saat yang baginya sangat baik itu. Selagi
perampok itu mengumpatinya, maka tanpa mengucapkan
sepatah kata-pun, sekali lagi cambuknya menggeletar.
Perampok itu memang berusaha untuk menghindar.
Cambuk itu memang tidak membelit lehernya, tetapi ujungnya
telah menggapai dada perampok itu sehingga orang itu-pun
telah berteriak marah. Namun sais itu tidak memberinya waktu. Dengan cepat ia
memburu. Sekali lagi cam buknya telah meledak. Tetapi
lawannya sempat menggeliat menghindari sambaran ujung
cambuk itu. Dengan demikian maka perampok itu-pun telah
mendapatkan waktu untuk menyiapkan pertempuran
berikutnya. Kemarahan yang memuncak telah membakar
jantungnya. Ia telah dilukai oleh seorang sai s yang hanya
bersenjata cambuk. Karena itu, m aka ia tidak mempunyai keinginan lain pada
saat itu kecuali membunuh sai s itu.
Sais itu -pun telah bersiap sepenuhnya. Setapak demi
setapak ia bergeser mendekati pedatinya. Kemudian dengan
secepat kilat ia telah mengambil senjatanya y ang lain sepotong
besi yang agak panjang. Sementara itu, di lingkaran pertempuran yang mengelilingi
pedati itu, terdengar lagi teriakan panjang. Umpatan kasar dan
bahkan yang tidak pantas dikatakan. Namun kemudian
tubuh itu terguling jatuh. Yang
kemudian terdengar adalah
erang kesakitan. Perampok y ang mendekati pedati itu-pun segera melompat menyerang. Ia sa dar, bahwa kawannya telah
berkurang seorang lagi. Karena itu, maka ia harus
dengan cepat menguasai pedati itu dan membawanya
meninggalkan arena. Namun sais itu tidak membiarkannya meny entuh pedatinya. Dengan segenap kemampuannya, maka sais itu
telah mempertahankannya dengan sepotong besi.
Tetapi memang ternyata bahwa perampok yang sudah
terbiasa berkelahi dengan senjata, telah membingungkan sais
itu. Beberapa saat kemudian, maka ia -pun telah terdesak
mundur. Bahkan kemudian tubuhnya bagaikan telah m elekat
pada pedati yang dipertahankannya itu.
Sais itu memang meny esal telah mengganti cambuknya
dengan sepotong besi. Sebenarnya baginya, cambuk itu akan
lebih berarti. Namun y ang kemudian ada di tangannya adalah
sepotong besi, sehingga apa-pun yang terjadi, ia harus
mempergunakannya sejauh dapat dilakukannya.
Tetapi akhirnya, sai s itu telah terdesak. Ia tidak mempunyai
ruang gerak lagi. Karena itu, m aka sais itu-pun hanya dapat
pasrah, apa yang akan terjadi atas dirinya, meskipun ia masih
mencoba untuk bertarung. Ketika senjata perampok itu terangkat saat sai s itu tidak
lagi mampu berbuat apa-apa, maka sai s itu telah memejamkan
matanya. Ia tidak ingin melihat ujung senjata itu terayun dan
menghunjam kematanya. Tetapi tiba -tiba justru lawannya itulah y ang menjerit ngeri.
Ternyata Ki Buyut sempat melihat apa yang akan terjadi atas
diri sai s itu. Karena itu, maka Ki Buyut-pun segera meninggal
lawannya dan berusaha menolong sai s itu.
"Terima kasih Ki Buyut," desis Sais itu.
Namun Ki Buyut telah berlari lagi ke arena. Bahkan
kemudian Ki Buyut itu telah bertempur melawan pemimpin
perampok dan seorang pengawalnya.
Ki Buyut memang harus berhati-hati. Kawan pemimpin
perampok itu adalah seorang yang berwajah garang. Bertubuh
tinggi dan besar dengan kumis yang melintang.
Tetapi ternyata di bagian dari pertempuran itu terdengar
lagi pekik k esakitan. Seorang lagi dari antara para perampok
itu terlempar jatuh. Meskipun ia masih dapat berguling
menjauhi arena, namun ia tidak mungkin lagi untuk
melanjutkan perlawanan. Jari-jari tangannya sebelah kanan
yang mengenggam senjatanya telah terbabat oleh pedang
seorang cantrik. Pemimpin perampok itu m enggeram. Kemarahannya telah
sampai ke puncak ubun-ubunnya. Ia mengira bahwa para
perampok itu tidak akan mengalami banyak kesulitan.
Namun y ang terjadi adalah lain. Para pengawal pedati itu
adalah orang-orang y ang memiliki ilmu y ang tinggi. Yang
ternyata tidak dapat dihancurkan oleh jumlah orang yang lebih
banyak. Bahkan satu demi satu orang y ang mencegat pedati itu
runtuh jatuh ke bumi. Pemimpin perampok itu kemudian tidak mendapat
kesempatan lagi untuk bertempur berdua m elawan Ki Buyut.
Seorang kawannya harus menarik diri dan bertempur
melawan seorang cantrik yang kehilangan lawannya.
Karena itu, maka pemimpin perampok itu tidak akan dapat
berbuat banyak. Kawan-kawannya telah menjadi jauh su sut.
Meskipun dua orang bebahu terluka, bahkan Ki Buyut
sendiri. Serta seorang dari antara kedua pengawal itu-pun
terluka cukup parah, justru m erekalah y ang nampaknya akan
menguasai pertempuran. Tetapi, pemimpin perampok itu cepat tanggap pada
keadaan di sekitarnya. Karena itu, maka ia -pun telah
memberikan isy arat bahwa mereka lebih baik meninggalkan
tempat itu daripada membunuh diri sendiri.
Dalam waktu yang sangat singkat, maka para perampok itu
telah mundur dan kemudian berlari bercerai berai m emanjat
bukit y ang rendah itu. Ketika para bebahu dua pengawal akan mengejar mereka,
maka Ki Buyut-pun berteriak, "Cukup. Kita tidak akan
memburu mereka sampai kebukit. Kita tidak akan
meninggalkan pedati ini, sementara kita tidak tahu apa yang
ada di belakang bukit."
Para bebahu dan pengawal itu-pun berhenti pula. Para
cantrik ternyata sependapat dengan Ki Buyut, bahwa mereka
tidak perlu memburu orang-orang y ang melarikan diri, karena
mereka tidak tahu apa yang akan m ereka hadapi kemudian.
Mungkin orang-orang itu akan memanggil seisi padukuhan
Larah yang sebagian besar m asih saling berhubungan darah
dan terlibat pula dalam pekerjaan y ang hitam itu.
Yang diperintahkan Ki Buyut kemudian adalah, "Kita
bersiap dan m eneruskan perjalanan. Kawan-kawan kita yang
terluka akan ikut naik pedati."
"Tetapi bagaimana dengan tubuh-tubuh mereka y ang
terbunuh itu Ki Buyut?" bertanya salah seorang bebahu.
Ki Buyut termangu-mangu sejenak. Kemudian katanya,
"Bukannya kami tidak berjantung. Tetapi kawan-kawan
mereka tentu akan segera datang kembali untuk m engambil
tubuh-tubuh y ang terbaring itu."
Para bebahu itu saling berpandangan. Sementara itu
seorang di antara para cantrik berkata, "Tetapi sebaiknya, kita
kumpulkan tubuh-tubuh itu dan kita letakkan di tempat yang
tidak terlalu dekat dengan jalan itu. Namun yang kita yakini
akan diketemukan oleh kawan-kawan mereka."
Ki Buyut-pun mengangguk-angguk. Tetapi katanya
kemudian, "Tetapi cepatlah sedikit. Sebelum seluruh
padukuhan Larah datang mengepung kita."
"Kita akan bertempur meskipun aku sudah terluka,"
berkata bebahu y ang terluka itu.
"Aku-pun tidak akan gentar," berkata Ki Buyut, "Tetapi
bukankah lebih baik j ika kita tidak membunuh lagi?" berkata
Ki Buyut. Lalu katanya kemudian, "Aku telah menyebabkan
pembunuhan-pembunuhan terjadi sebelumnya. Aku tidak
mau menambah beban lagi di pundakku. Semakin banyak
darah mengalir, rasa-rasanya aku akan semakin dalam
terbenam di dalamnya."
Bebahu itu tidak menyahut lagi. Namun bersama dengan
kawan-kawannya dan kedua orang pengawal mereka telah
mengumpulkan orang-orang y ang terbunuh dan terluka. Para
cantrik -pun tidak membiarkan mereka bekerja terlalu berat,
sehingga kelima orang itu telah membantunya.
Beberapa saat kemudian, maka beberapa sosok telah
terbaring di antara bebatuan. Di antara masih ada yang
merintih karena luka-lukanya. Para cantrik mencoba untuk
menaburkan obat diatas luka y ang parah itu untuk
mengurangi aliran darah dari luka-luka mereka.
"Jangan tinggalkan kami," rintih seseorang yang terluka
parah sehingga tidak mampu ikut menarik diri dari arena
pertempuran. "Kami akan meneruskan perjalanan," jawab cantrik itu,
"Kawan-kawanmu akan segera datang."
"Tetapi kami yang terluka parah akan dapat mati di sini,"
berkata orang itu. "Tidak. Lukamu sudah pampat. Setidak-tidaknya darahnya
tidak lagi mengalir terlalu banyak. Kawan-kawanmu dari
padukuhan Larah akan segera kembali mengambilmu dan
kawan-kawanmu," jawab salah seorang cantrik.
"Tolong, panggil mereka," minta orang y ang terluka itu,
"Sebelum aku mati."
"Maaf, tidak mungkin Ki Sanak. Jika aku pergi ke
padukuhan Larah, maka akibatnya akan buruk sekali bagiku.
Bagaimana-pun juga aku tidak dapat mengesampingkan
pengertian kami tentang padukuhan Larah. Apalagi peri stiwa
ini terjadi tidak terlalu jauh dari Larah. Bukankah bulak ini
yang disebut bulak Larah dan tikungan ini juga sering disebut
tingkungan hitam?" "Tetapi jika kau tinggal kami, maka kami akan mati sia -sia.
Tolong panggil keluargaku di padukuhan itu." minta orang itu
semakin mendesak. "Di padukuhan Larah maksudmu?" bertanya cantrik itu.
"Ya" jawab orang itu.
"Sekali lagi aku m inta maaf. Kami tidak berani memasuki
padukuhan itu. Justru kami harus segera pergi dari tempat ini.
Jika tidak, maka roang-orang Larah akan mengepung tempat
ini, dan kami harus membunuh lebih banyak lagi. Tahankan
sedikit. Kawan-kawanmu akan segera datang" berkata cantrik
itu. Tetapi orang itu masih saja mengerang.


04 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Kita tidak mempunyai pilihan lain," berkata Ki Buyut. Lalu
katanya kepada orang yang terluka itu, " Ingat apa yang telah
terjadi malam ini. Jika lain kali masih ada orang yang
dirampok di sini atau dimana-pun dan dilakukan oleh orang
Larah, maka kami akan datang dengan pasukan y ang cukup
untuk menghancurkan Larah dan membuat Larah menjadi
karang abang. Ingat itu. Kali ini kami m asih m enghidupimu,
agar kau sempat mengatakan pesanku itu."
Ki Buyut tidak menunggu lagi. Ia -pun segera meninggalkan
orang-orang y ang terbunuh dan terluka dari antara mereka
yang mencegat perjalanannya. Sementara itu, seorang bebahu
yang lukanya agak parah telah ditempatkan di dalam pedati.
Demikian pula salah seorang di antara kedua pengawal. Ki
Buyut sendiri sebenarnya juga t erluka, tetapi luka itu tidak
berbahaya, sementara Ki Buyut sendiri memang tidak
menghiraukannya. Karena itu, m aka Ki Buyut lah y ang kemudian duduk di
punggung kuda. Dua orang y ang terluka cukup parah sudah
berada di dalam pedati setelah luka-lukanya menjadi pam pat
oleh obat para cantrik. Demikian pula goresan-goresan pada
tubuh orang -orang y ang lain, sehingga sama sekali tidak
berdarah lagi. Namun seorang cantrik telah berpesan, "Jangan terlalu
banyak bergerak, agar luka-luka itu tidak berdarah lagi."
Dua orang y ang berada di pedati, duduk sambil bersandar
tiang pedati. Tubuh mereka terasa sangat lemah oleh lukalukanya.
Namun ketika mereka tersentuh oleh ikatan-ikatan senjata
yang berguncang-guncang di dalam pedati y ang kemudian
merangkak lagi dengan lambatnya, maka rasa-rasanya jantung
mereka justru berdegup semakin cepat. Mereka sadar, bahwa
mereka telah terluka saat mempertahankan barang-barang
yang sangat berharga itu. Sehingga di sela-sela perasaan sakit
yang masih menggigit, terber sit perasaan bangga pula.
Demikianlah, maka pedati itu -pun merayap lewat jalan
yang agak menanjak. Setelah m elewati tikungan hitam, maka
rasa-rasanya perjalanan pedati itu menjadi semakin lambat.
Tetapi mereka tidak dapat berbuat banyak. Pedati itu
memang sedang melintasi jalan yang agak naik.
Ki Buyut justru berkuda di paling depan disertai dua orang
bebahu. di belakang pedati itu, berkuda kelima orang cantrik
dari padepokan Bajra Seta. Kemudian baru seorang bebahu
dan seorang pengawal. Malam terasa semakin lama semakin dingin. Namun
demikian, orang- orang berkuda itu justru berkeringat. Bukan
sa ja karena harus m engendalikan kuda-kuda m ereka, namun
mereka-pun masih saja merasa sedikit tegang.
Ketika seorang pengawal y ang berada di dalam pedati
berniat untuk naik di punggung kudanya yang t ertambat di
belakang pedati yang berjalan perlahan-lahan itu, maka
seorang cantrik telah mencegahnya. Katanya, "Tetaplah
berada di dalam pedati. Lukamu agak sedikit parah. Biarlah
darahnya benar-benar pampat lebih dahulu, agar tidak
mengalir lagi dari luka-lukamu itu."
Pengawal itu tidak dapat memaksa. Ia -pun kemudian tetap
duduk di dalam pedati bersama seorang bebahu y ang lukalukanya
memang agak lebih parah dari pengawal itu.
Dengan demikian maka perjalanan selanjutnya berlangsung
lambat sebagaimana sebelumnya. Ketika jalan tidak lagi
menanjak, maka pedati itu berjalan sedikit lebih cepat. Namun
perbedaannya tidak banyak.
Sementara itu, orang-orang Larah yang melarikan diri,
memang langsung pergi ke padukuhannya. Beberapa orang
sempat mereka siapkan. Bahkan lebih dari limabelas orang.
Namun ketika mereka sampai ke tikungan hitam, maka pedati
dan para pengawalnya sudah tidak ada.
"Kita kejar mereka." teriak seseorang.
Gegedug yang semula memimpin kawan-kawannya itu
berkata, "Tidak usah."
"Kenapa?" bertanya orang y ang berteriak itu.
"Lihat di belakang batu besar itu," berkata pemimpin itu.
Orang yang berteriak-teriak untuk mengejar itu-pun
melihat apa yang ditunjukkan oleh pemimpinnya itu. Ternyata
darahnya-pun tersirap. Ia melihat beberapa sosok tubuh yang
membeku. Namun di antara mereka masih ada y ang tetap
hidup dan mendapat perawatan dari kawan-kawannya itu.
"Nah, bagaimana?" bertanya gegedug itu.
Orang itu tidak menjawab. Tetapi ia menyadari, jika mereka
memburu, meskipun m ereka tentu akan dapat menyusulnya
karena pedati itu berjalan sangat lam ban, namun di antara
mereka harus ada yang bersedia terbujur mati lagi. Bahkan
mungkin jauh lebih banyak, sementara barang-barang
berharga itu tidak dapat mereka miliki.
"Jumlah mereka memang hanya berkisar sepuluh orang,"
berkata pemimpinnya itu, "Tetapi kemampuan mereka sama
dengan kemampuan prajurit. Bahkan ada di antara mereka
yang lebih baik lagi."
Kawan-kawannya mengangguk-angguk. Mereka-pun
kemudian mengerti bahwa tidak ada gunanya menyusul
mereka. "Sebaiknya kita rawat kawan-kawan kita y ang terbunuh dan
yang terluka parah itu," berkata pemimpin mereka.
Karena itu, maka mereka tidak lagi berniat untuk mengejar
pedati yang membawa barang-barang yang tidak diketahuinya,
tetapi tentu barang-barang yang sangat berharga.
Ki Buyut y ang melanjutkan perjalanan telah menjadi
semakin jauh dari tikungan hitam. Betapapun lambatnya,
maka akhirnya pedati itu telah mendekati Kabuyutan
Bumiagara. Ki Buyut y ang berkuda di paling depan itu telah dapat
menarik nafas panjang-panjang. Mereka akhirnya mampu
kembali dengan selamat di Kabuyutan Bumiagara.
Karena itu, ketika iring-iringan itu m elintasi sebuah tugu
batu sebagai batas Kabuyutan Bumiagara, maka rasa-rasanya
titik -titik embun menyiram jantung mereka y ang panas.
"Kita telah berada di Bumiagara," berkata Ki Buyut lantang
sehingga para cantrik -pun ikut mengangguk-angguk gembira.
"Kita akan langsung menuju ke padukuhan induk," berkata
Ki Buyut. Namun dalam pada itu, selagi pedati itu berjalan tertatihtatih
menuju ke padukuhan induk, ternyata orang-orang
padukuhan Larah telah m enentukan tekadny a untuk mencari
jejak dan membalas dendam.
Malam itu juga, dua orang telah ditugaskan untuk
menentukan arah pedati dan para pengiringnya. Mereka harus
mengikuti bekas r onda pedati itu sampai kesatu tempat yang
meyakinkan, kemana tujuannya.
Dua orang yang dianggap memiliki kemampuan y ang tinggi
serta memiliki ketajaman pengenalan, jejak telah mendapat
tugas untuk melakukannya.
"Berhati -hatilah. Kau tidak boleh tertangkap oleh orangorang
itu. Kita memang tidak dapat menutup keny ataan,
bahwa pengawal pedati itu memiliki kemampuan yang tinggi,
sehingga kita, dengan jumlah yang lebih banyak, tidak mampu
mengalahkan mereka," berkata pemimpin mereka.
Dengan demikian, maka kedua orang itu -pun telah
berangkat menelusuri jejak. Meskipun di dalam gelap, namun
mata mereka cukup tajam mengenali jejak pedati y ang masih
baru. Belum ada j ejak lain y ang dapat m enghapus jejak roda
pedati itu. Apalagi ketika keduanya menjadi semakin dekat dengan
Kabuyutan Bumiagara. "Pedati itu pasti menuju ke Bumiagara," berkata salah
seorang dari keduanya. "Marilah. Kita akan mengikuti jejak pedati itu sampai
ketempatnya berhenti," desis yang satu.
"Sangat berbahaya," berkata orang yang pertama.
"Kita harus y akin, dimana pedati itu berhenti dan akan
lebih baik jika melihat pedati itu dibongkar muatannya.
Meskipun barangkali kita tidak dapat mendekat dan apalagi
melihat isinya." "Tetapi dengan demikian laporan kita menjadi lengkap."
berkata yang lain. Kawannya tidak menjawab. Jika ia menolak, maka ia akan
dapat dituduh menghambat pekerjaan kawannya, atau bahkan
dapat dianggap sebagai seorang pengecut.
Dengan demikian maka kedua orang itu telah m emasuki
lingkungan Kabuyutan Bumiagara pula.
"Bukankah kita mempunyai kebiasaan berkeliaran di
malam hari?" desis orang yang pertama.
"Ya," sahut yang lain.
"Kita mampu memasuki rumah orang tanpa diketahui,
sehingga kita -pun akan mampu mengikuti jejak pedati itu
sampai dikandangnya," katanya pula.
Kawannya tidak menjawab. Sementara mereka menjadi
semakin dalam m emasuki Kabuyutan Bumiagara. Jika pedati
itu lewat melalui jalan padukuhan, m aka keduanya terpaksa
melingkari padukuhan itu. Jika mereka menemukan jejak
pedati itu, maka mereka telah melanjutkan perjalanan mereka.
"Jika k ita tidak menemukan jejaknya di mulut lorong y ang
kedua, berarti pedati itu berhenti di padukuhan ini," berkata
yang seorang lagi. "Apakah hanya ada dua mulut lor ong" Bagaimana jika jalan
itu bercabang di dalam padukuhan" Atau ada simpang
empatnya?" bertanya kawannya.
"Jika kita memasuki padukuhan itu, maka kita akan
mendapatkan jawabnya, sehingga kita akan dapat m engikuti
jejak itu lagi. Tetapi kita akan lebih aman jika kita lebih
banyak berjalan diluar padukuhan. Apalagi jika ada per onda
yang duduk digardu dipinggir jalan itu," jawab orang yang
pertama. "Bukankah sudah terbiasa bagi kita untuk berjalan
menyusup kebun dan halaman?" desis kawannya.
"Bukankah justru akan lebih lama dari perjalanan kita y ang
melingkar ini?" sahut y ang pertama itu.
Kawannya tidak menjawab lagi. Tetapi keduanya berjalan
terus mengikuti jejak pedati y ang ternyata memasuki
padukuhan induk. "Sekarang kita tidak perlu melingkar. Aku y akin, pedati itu
berhenti di padukuhan induk Kabuyutan Bumiagara ini."
berkata orang yang pertama itu.
Keduanya-pun kemudian dengan sangat berhati-hati
memasuki pintu gerbang. Namun mereka-pun dengan segera
harus meloncati dinding dan masuk ke halaman sebelah.
Beberapa puluh langkah di hadapan m ereka terdapat sebuah
gardu. Dibawah cahaya onc ornya yang menyala cukup terang,
mereka melihat beberapa orang duduk berjaga-jaga digardu
itu. Tetapi dengan m elewati halaman dan kebun y ang gelap,
keduanya memasuki padukuhan induk itu semakin dalam.
Keduanya sama sekali sudah tidak canggung lagi, karena hal
seperti itu telah mereka lakukan beberapa puluh kali.
Sekali-sekali keduanya memang mendekati jalan induk
padukuhan dan bahkan kemudian turun ke jalan itu untuk
melihat, apakah mereka masih tetap dapat mengikuti jejak
pedati itu. Sebenarnyalah, akhirnya keduanya melihat sebuah pedati
berhenti di sebuah halaman y ang luas. Namun pedati itu
sudah terlepas dari sepasang lembunya. Bahkan tidak ada lagi
orang y ang sibuk menurunkan barang-barang dari pedati itu.
Yang nampak kemudian, beberapa orang telah duduk di
pendapa sambil minum-minuman panas. Sementara di
serambi gandok, nampaknya ampat orang per onda berjagajaga
sambil minum minuman panas pula.
"Kita datang terlambat, meskipun kita pasti bahwa kita
berhasil menemukan pedati itu. Beberapa ekor kuda m asih
tertambat di patok- patok bambu itu," berkata orang yang
pertama. Kawannya menarik nafas dalam-dalam. Katanya, "Sayang,
kita tidak dapat melihat apa yang termuat dalam pedati itu."
Namun bagi kedua orang itu, hasil yang dicapainya ternyata
cukup memuaskan. Mereka tidak saja menemukan arah pedati
itu, tetapi juga di mana pedati itu berhenti.
"Kita kembali untuk memberikan kabar kepada kawankawan
kita," berkata kedua orang itu.
Dengan sangat berhati-hati keduanya meninggalkan
halaman rumah Ki Buyut Bumiagara. Sedangkan senjatasenjata
yang dimuat dalam pedati itu dengan cepat telah
diturunkan dan disimpan di ruang dalam rumah Ki Buyut itu.
Sementara itu, Ki Buyut telah memerintahkan rumah itu harus
dijaga dengan baik sebelum senjata-senjata itu habis dibagibagikan
kepada orang-orang y ang dianggap paling berhak
menerimanya. Orang-orang Larah y ang sebagian mempunyai kebiasaan
buruk, telah m endendam orang-orang Bumiagara yang telah
berhasil menggagalkan rencana mereka untuk merampok
barang-barang y ang mereka bawa. Bahkan pemimpip
perampok dari Larah itu berkata, "Aku sendiri akan datang ke
Bumiagara. Aku akan merampok semua isi rumah Buyut
Bumiagara itu. Bukankah pekerjaan itu sudah terlalu sering
kita lakukan?" "Tetapi kita harus memperhatikan kemampuan orangorang
Bumiagara. Seputar sepuluh orang di antara mereka,
ternyata tidak dapat kita tundukkan. Padahal kita m embawa
lima bela s orang kawan," berkata kedua orang yang mengikuti
jejak pedati itu sampai ke rumah Ki Buyut Bumiagara.
"Orang-orang Bumiagara tidak b erarti apa-apa bagi orangorang
Larah. T entu telah terjadi k esalahan, k enapa kita lima
belas orang tidak dapat mengalahkan sepuluh orang
Bumiagara. Tetapi mungkin juga sepuluh orang itu sendiri dari
orang-orang yang paling baik di Kabuyutan itu, sehingga
mereka tidak mempunyai kekuatan lebih dari itu," geram
pemimpin perampok y ang terdiri dari orang-orang Larah itu.
"Memang m ungkin," jawab y ang lain, "Tetapi Kabuyutan
Bumiagara cukup besar. Jika kemudian Bumiagara
mengumumkan permusuhan dengan Larah, mungkin kita
akan mengalami kesulitan pula."
"Mana mungkin," jawab gegeduk y ang memimpin para
perampok dari Larah itu, "Setiap laki -laki di Larah m ampu
mempergunakan senjata. Tentu tidak demikian dengan orangorang
Bumiagara."

04 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Ya, aku sependapat," berkata seorang perampok y ang
hampir sepanjang umurnya hidup dalam suasana kekerasan,
"Orang-orang Bumiagara tentu terdiri dari para pengecut.
Dalam per selisihannya dengan Padepokan Bajra Seta, mereka
telah bertumpu pada kekuatan orang lain. Prajurit Kediri yang
memberontak dan dari padepokan y ang dipimpin oleh Empu
Carang Wregu." Beberapa orang mengangguk-angguk. Katanya, "Kita akan
menunggu kesempatan itu. Untuk beberapa saat kita tidak
akan berbuat apa-apa. Tetapi pada suatu hari, tiba -tiba saja
kita akan muncul di halaman rumah Ki Buyut sebagai
sekelompok perampok y ang akan mengakhiri kesombongan
orang-orang Bumiagara yang telah meny inggung perasaan
orang-orang Larah." "Tetapi kita harus tahu pasti, apakah prajurit Kediri itu
sudah tidak berada di Kabuyutan Bumiagara?" berkata salah
seorang di antara mereka.
"Tidak. Mereka telah pergi.
Bumiagara telah ditinggalkan
begitu saja dalam ketakutan
menghadapi ancaman dari beberapa pihak," berkata
gegedug yang memimpin kawan-kawannya itu. "Tetapi apakah y ang
dibawa orang-orang Bumiagara dengan pedati itu"
Dan darimana pula?" desis
seseorang. "Aku tidak peduli. Tetapi
barang-barang itu tentu barang berharga. Kita akan
mengambilnya di rumah Buyut Bumiagara. Kita tidak perlu tergesa -gesa. Kita akan
mengumpulkan tiga puluh orang dari Larah ditambah dengan
kawan-kawan kita yang terbaik. Kita akan merampok seluruh
padukuhan induk Kabuyutan Bumiagara. Jika jumlah kita
sekitar empat puluh orang dengan orang-orang terbaik, maka
Bumiagara tidak akan dapat melawan kita, m eskipun isyarat
sempat diberikan ke segenap penjuru Kabuyutan," berkata
gegedug itu, "Seandainya jumlah mereka tidak terhitung, maka
kita tidak akan mendapat kesulitan untuk melarikan diri. Kita
akan memencar, masing-masing dengan lima sampai tujuh
orang. Jika mereka berani memburu, maka kita akan
membantai orang-orang Bumiagara."
Kawannya mengangguk-angguk. Namun nampaknya
gegedug itu memang tidak tergesa-gesa. Ia harus
mengumpulkan sejumlah orang untuk meyakinkan agar
Bumiagara dapat ditundukkan, dikalahkan dan direndahkan
harga diriny a sebagaimana m ereka merendahkan harga diri
orang-orang Larah dengan menggagalkan rencana mereka
merampok pedati. Namun dalam pada itu, Bumiagara telah mempunyai
rencana tersendiri. Ki Buyut telah memerintahkan setiap
padukuhan untuk meny iapkan anak-anak mudanya. Pada
tahap pertama, masing-masing tidak lebih dari lima orang.
Tetapi Ki Buyut Bumiagara sama sekali tidak berpikir
tentang orang-orang Larah yang mendendamnya. Jika ia
mempersiapkan diri, maka y ang dibayangkan datang
menyerang, adalah justru para prajurit Kediri yang sedang
memberontak itu. Karena itu, maka Ki Buyut-pun berkata, "Kita harus
meningkatkan kemampuan anak-anak muda Bumiagara
dengan diam-diam. Jika para prajurit Kediri m engetahuinya,
maka mereka tentu akan semakin cepat datang untuk
menghancurkan Kabuyutan ini."
Dengan demikian, maka peningkatan kemampuan anakanak
Bumiagara dibagi menjadi beberapa kelompok yang
berlatih di sanggar yang berbeda-beda. Tiga atau empat
padukuhan menjadi satu, sehingga jumlahnya tidak begitu
banyak. Setelah segala persiapan dimatangkan, maka latihanlatihanpun segera dimulai. Limabelas atau duapuluh orang
anak muda berkumpul di sebuah padukuhan y ang ditunjuk.
Pa da dasarnya mereka harus t etap dapat melakukan pekerjaan
mereka sehari-hari. Pagi hari mereka pergi ke sawah.
Kemudian lewat tengah hari mereka sempat beristirahat di
rumah beberapa saat. Baru menjelang sore mereka pergi ke
tempat yang telah ditentukan tanap m enarik perhatian orang
banyak. Bahkan kadang-kadang mereka pergi ke padukuhan
yang ditunjuk tidak bersama-sama. Demikian pula kegiatan
mereka di t empat-tempat mereka berlatih selalu dilakukan di
tempat yang tertutup. Mereka terbiasa melakukan di rumah Ki
Bekel atau banjar padukuhan bagian belakang y ang terlindung
oleh dinding halaman. Yang mula-mula sekali mereka pelajari adalah
mempergunakan berjeni s-jeni s senjata y ang dibawa dari
Pa depokan Bajra Seta. Lima orang cantrik y ang ikut pergi ke
Bumiagara telah di tempatkan di tempat-tempat latihan.
Setiap kali mereka bertukar tempat, karena setiap cantrik
memberikan latihan khusus serta latihan mempergunakan
satu jenis senjata. Kemauan y ang besar serta kesediaan untuk mematuhi
segala macam petunjuk, membuat anak-anak muda
Bumiagara dengan cepat meningkat. Mereka dengan sungguhsungguh
belajar mempergunakan senjata yang berbeda
dengan senjata y ang mereka kenal ditempat mereka.
Tetapi latihan-latihan dengan senjata y ang dibawa dari
Pa depokan Bajra Seta itu tidak mematikan kemampuan
mereka mempergunakan senjata-senjata dari jeni s yang lain.
Senjata-senjata mereka sendiri. Bahkan para cantrik itu telah
memberikan tuntunan untuk mempergunakan senjata apa saja
yang dapat mereka ketemukan. Dari senjata y ang paling baik
sebagaimana mereka bawa dari Padepokan Bajra Seta sampai
dengan mempergunakan sepotong kayu y ang mereka
ketemukan di pinggir-pinggir jalan atau carang bambu yang
mereka patahkan atau cambuk lembu pedati.
Namun ketika mereka sudah meningkat semakin tinggi,
maka cantrik-cantrik itu mulai mengarahkan kepada setiap
orang yang ikut dalam peningkatan itu untuk m emilih dan
bahkan mengarahkan anak-anak muda itu untuk
memperdalam jeni s-jeni s senjata tertentu.
Ketika mereka menjadi mapan, maka senjata-senjata y ang
mereka bawa dari Padepokan Bajra Seta itu-pun segera
mereka bagi-bagikan. Ada yang lebih mantap mempergunakan
pedang, ada yang lebih mapan bersenjata tombak. Namun ada
yang merasa tenang jika mereka membawa kapak.
Tetapi di samping itu, ternyata ada yang memilih senjata
cambuk. Orang-orang y ang memilih bersenjata cambuk sudah
tentu harus membuat cambuk sendiri. Meskipun demikian
para cantrik itu-pun m ampu m emberikan petunjuk-petunjuk
bagaimana membuat cambuk yang baik dari janget yang
dirangkap tiga. Namun para cantrik memberikan petunjuk
pula, bahwa mereka yang memilih senjata dari jenis cambuk
dan senjata lentur lainnya, juga bersiap dengan senjata tajam
meskipun pendek. Pisau belati atau keris yang juga harus
dipelajarinya dengan sungguh-sungguh.
Dengan demikian, maka di setiap padukuhan, sedikitnya
ada lima orang anak muda y ang m emiliki kemampuan yang
semakin tinggi. Bukan saja karena latihan-latihan yang tekun
dan bersungguh-sungguh, tetapi mereka-pun membiasakan
diri untuk meningkatkan kemampuan wadag mereka. Pagipagi
benar, jika mereka pergi kesawah mendahului orang lain,
mereka justru memilih jalan yang agak jauh dan sulit. Mereka
berlari-lari menyusuri tanggul sungai sambil memanggul
cangkul, menuruni tebing dan naik ke bukit-bukit rendah.
Baru ketika matahari terbit m ereka sampai disawah. Mereka
mempergunakan waktu sedikit untuk menenangkan
pernafasan m ereka dan beristirahat digardu. Baru k emudian,
jika orang-orang lain telah datang, anak-anak muda itu mulai
bekerja di sawah sebagaimana kebia saan mereka sebelumnya.
Ketika anak-anak muda y ang lima dari setiap padukuhan
itu sudah menjadi semakin baik, maka setiap orang telah
mendapat tugas untuk memberikan tuntutan secara khusus
kepada dua orang kawannya. Dua orang yang bersedia berlatih
dengan sungguh-sungguh. Tetapi ternyata bahwa senjata yang sempat dibawa ke
Bumiagara sangat terbatas, sehingga yang mendapat bagian
hanya anak-anak muda y ang ikut berlatih pada putaran
pertama. Namun mereka akan menjadi tulang punggung
kekuatan anak-anak muda di Bumiagara.
Pa da tataran y ang semakin meningkat, maka Bumiagara
memang banyak mengalami perubahan. Anak-anak mudanya
menjadi semakin yakin akan diri mereka sendiri. Apalagi
setelah kemampuan dari anak-anak muda yang ikut putaran
pertama itu mulai menjalar, sementara anak-anak muda yang
ikut pada putaran pertama itu m asih terus berlatih bersama
para cantrik untuk semakin meningkatkan kemampuan
mereka. Ketika segala sesuatunya telah menjadi semakin rancak,
maka seorang di antara para cantrik itu telah memilih sepuluh
anak muda y ang lain khususny a dari padukuhan induk untuk
mengadakan latihan tersendiri. Bersama dengan lima orang
yang lebih dahulu, maka sepuluh orang di padukuhan induk
itu akan menjadi pelindung padukuhan induk.
Demikianlah, dengan diam-diam Kabuyutan Bumiagara
telah berbenah diri. Setelah sebulan meny elenggarakan
latihan-latihan dengan bersungguh-sungguh, m aka beberapa
orang anak muda telah benar-benar memiliki kemampuan
mempergunakan senjata dengan baik. Sementara itu,
kemampuan mereka-pun seakan-akan telah menjalar semakin
lama semakin luas. Di setiap padukuhan sedikitnya sudah ada lima orang y ang
dapat diandalkan. Mereka dengan mempergunakan senjata
khusus yang dibawa dari Padepokan Bajar Seta, m erupakan
tulang punggung kekuatan y ang ada di setiap padukuhan.
Sedangkan di hari -hari berikutnya, di padukuhan induk,
limabelas orang telah ditempa dengan sungguh-sungguh oleh
para cantrik dari Padepokan Bajra Seta.
Dalam pada itu, Ki Buyut telah menjadi sedikit tenang
menghadapi ancaman para prajurit Kediri yang memberontak
itu. Jika mereka kemudian datang untuk memeras tenaga dan
bahan makanan yang ada di Kabuyutan itu, m aka Kabuyutan
Bumiagara akan dapat berbicara pula.
Apalagi atas permintaan beberapa orang bebahu, para
cantrik telah memberikan waktunya pula untuk meningkatkan
kemampuan mereka. Tujuh orang bebahu Kabuyutan yang
masih berusia muda, dan dua orang bebahu di setiap
padukuhan. Bahkan ada beberapa orang bekal yang masih
belum terlalu tua, ikut pula meningkatkan kemampuan
mereka. Sementara itu, anak-anak muda y ang telah mendapat
latihan khusus telah m enjalarkan pengetahuan mereka dalam
olah senjata kepada masing-masing dua orang kawannya.
"Seandainya kami akan ditumpas habis oleh para prajurit
yang memberontak terhadap kepemimpinan Sri Baginda di
Kediri itu benar-benar dilakukan, maka kami tidak akan mati
tanpa arti berkata Ki Buyut y ang telah memiliki sebilah pedang
yang besar dan panjang, namun tidak terlalu berat meskipun
kekuatan dan kemampuan penggunaannya tidak kalah dengan
pedang-pedang sebesar itu, namun beratnya berbaut banyak.
Apalagi di setiap hari, kekuatan dan kemampuan anak-anak
muda di Kabuyutan Bumiagara itu semakin meningkat.
Tetapi y ang tidak diduga -duga itu ju stru terjadi. Orangorang
Larah y ang menyabarkan diri menunggu, barangkali ada
lagi sebuah pedati yang bakal lewat milik orang-orang
Bumiagara, akhirnya telah sampai ke puncaknya. Beberapa
orang tidak lagi ingin menunggu lebih lama lagi. Apalagi
persiapan mereka telah mantap. Sekitar tigapuluh orang Larah
dan sekitarnya dan lima orang gegedug y ang dianggap
memiliki ilmu yang tinggi ditambah dengan lima orang kawan
gegedug y ang berilmu tinggi itu.
"Kita bukan sekedar membalas dendam. Tetapi kita akan
merampok padukuhan Induk Bumiagara habis-habisan.
Ketika seorang di antara kita lewat padukuhan induk itu, maka
orang itu sempat melihat beberapa rumah y ang besar dan
terawat baik. Rumah-rumah itu tentu rumah-rumah orang
kaya dan meny impan berbagai macam harta kekayaan yang
nilainya t inggi. Selama ini kita belum pernah m elakukan hal
seperti ini. Beramai-ramai memasuki sebuah padukuhan
untuk merampok bukan saja rumah seorang y ang kay a raya,
tetapi kami akan merampok seisi padukuhan. Kita akan
menghancurkan rumah Ki Buyut Bumiagara setelah semua
isiny a kita kuras habis," berkata gegedug yang memimpin
orang-orang Larah. Kawan-kawannya mengangguk-angguk. Seorang di antara
mereka berkata, "Mungkin kita tidak akan menemukan harta
benda yang pantas untuk kita bagikan kepada orang sebanyak
ini. Tetapi aku tidak berkeberatan untuk melakukannya.
Nampaknya memang menarik untuk melakukan satu
pekerjaan y ang belum pernah kita lakukan sebelumnya.
Biasanya sekelompok berandal dan perampok tidak membawa
lebih dari sepuluh orang kawan. Namun kita tahu, bahwa
selain merampok, kalian nampaknya ingin membalas sakit
hati karena usaha kalian untuk merampok pedati lebih dari
sebulan yang lalu itu gagal. Bahkan ada di antara kalian yang
terbunuh. Sementara orang-orang Bumiagara sama sekali
tidak meninggalkan korban."
"Ya. Kau benar," sahut pemimpin dari orang-orang Larah,
"Sekali ini kita melakukan kerja rangkap. Kita sudah cukup
bersabar sehingga waktunya telah sebulan lewat. Ternyata
tidak ada lagi pedati y ang lewat dengan m embawa barangbarang
berharga." "Kalianlah y ang dungu," sahut salah seorang gegedug,
"Mereka tidak akan mau mengambil jalan itu lagi."
"Kami sudah m emperhitungkan," jawab pemimpin orangorang
Larah, "Kami sudah m engamati tiga jalur jalan yang
mungkin dilalui. Tetapi kami telah gagal."
Gegedug itu tertawa. Katanya, "Sekarang kau akan
mengambil sendiri di Bumiagara. Baiklah. Kita akan


04 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

melakukannya di permulaan pekan mendatang, setelah bulan
leny ap dari langit. Dalam kegelapan maka kita akan dapat
menjadi semakin buas."
"Aku sependapat," berkata pemimpin orang Larah, "Aku
masih akan mengirim orang untuk mengamati keadaan di
Bumiagara." Yang lain mengangguk-angguk. Namun mereka telah
sepakat lima hari lagi, mereka akan pergi ke Bumiagara untuk
melepaskan dendam mereka. Bagi mereka, waktu y ang hampir
dua bulan itu tentu sudah cukup lama. Bahkan terlalu lama
untuk menunggu kesempatan membalas dendam kematian
kawan-kawan mereka serta kegagalan mutlak saat mereka
berniat merampas benda-benda berharga.
Namun seorang di antara para gegedug y ang siap
membantu itu berkata, "Ma sih belum terlalu lama. Untuk
sebuah dendam karena kematian seorang kawan, sepuluh
tahun-pun bukan hitungan y ang lama. Daripada kita tergesagesa
melakukannya, namun hasilnya justru sebaliknya, maka
kita lebih baik menunggu untuk beberapa lama, namun
dengan satu key akinan."
Orang y ang memimpin kawan-kawannya dari Larah dan
sekitarnya itu-pun mengangguk-angguk. Katanya, "Selama
dua bulan kita mempersiapkan diri sambil mengamati
perkembangan Kabuyutan Bumiagara. Namun agaknya
Bumiagara terlalu lelap dalam mimpi y ang mengasikkan."
"Besok mereka akan segera terbangun," jawab kawannya
yang lain. Sebenarnyalah Bumiagara memang tidak mengira sama
sekali, bahwa Larah akan m encoba untuk membalas dendam
dan meny erang bahkan merampok padukuhan induk
Kabuyutan Bumiagara. Namun demikian diluar kehendak
mereka mempersiapkan diri menyambut serangan itu, mereka
telah menempa anak-anak mudanya yang disiapkan untuk
menghadapi para prajurit Kediri.
Meskipun dalam waktu dua bulan olah kanuragan, namun
anak-anak muda Bumiagara y ang berlatih dengan sungguhsungguh
disetiap hari itu, merupakan peningkatan
kemampuan y ang sangat berarti. Mereka telah menguasai
senjata mereka masing-masing. Mengenal berbagai macam
cara untuk mempertahankan diri dan meny erang.
Selain anak-anak muda itu, maka beberapa orang bebahu
yang pada dasarnya telah memiliki landasan kemampuan olah
kanuragan, menjadi semakin mapan. Dengan senjata yang
mereka terima dari Padepokan Bajra Seta, maka mereka
merupakan orang yang memiliki ketangkasan y ang tinggi
dalam olah senjata dari jenis senjata mereka masing-masing.
Kecuali peningkatan kemampuan olah kanuragan, maka
day a tahan anak-anak muda di Kabuyutan Bumiagara itu-pun
telah meningkat pula. Di dalam sanggar atau dihalaman
belakang rumah para Bekel padukuhan, mereka tidak saja
belajar ilmu olah senjata. T etapi m ereka-pun berusaha untuk
meningkatkan day a tahan mereka dengan latihan-latihan yang
berat, namun teratur dengan tuntutan para cantrik. Diluar
latihan-latihan itu, m ereka-pun mempergunakan sesaat pagi
hari menjelang bekerja di sawah untuk meningkatkan daya
tahan mereka pula. Sementara itu, beberapa orang anak muda di hari-hari
terakhir melihat orang-orang yang tidak dikenal berjalan hilir
mudik di Kabuyutan Bumiagara, terutama di padukuhan
induk. Meskipun mereka menjadi curiga, tetapi anak-anak muda
itu tidak mengambil tindakan sebelum mereka melaporkannya
kepada Ki Buyut atau salah seorang bebahu Kabuyutan.
Ketika seorang anak muda menyampaikan hal itu kepada Ki
Buyut, maka Ki Buyut-pun menjadi berdebar-debar.
"Apakah nampaknya orang itu seorang prajurit Kediri?"
bertanya Ki Buyut. Anak muda itu m enggeleng. Katanya, "Agaknya orang itu
bukan seorang prajurit. Meskipun orang itu bertubuh tinggi
tegap dan kekar, tetapi sikapnya bukan sikap seorang
prajurit." "Awasi jika ada orang yang mencurigakan. Tetapi kita tidak
perlu tergesa-gesa mengambil tindakan," berkata Ki Buyut.
Sebenarnyalah di hari berikutnya, seorang anak muda y ang
kebetulan berjalan dengan seorang cantrik Padepokan Bajra
Seta y ang ada di Bumiagara itu bertemu lagi dengan orang
yang menarik perhatian. Meskipun jalan induk Kabuyutan
Bumiagara itu memang ramai dilewati orang dari tempat yang
lain, namun sikap orang y ang agaknya memperhatikan
keadaan sekelilingnya itu agak mencurigakan.
"Kita temui orang itu" berkata anak m uda y ang berjalan
bersama seorang cantrik itu.
"Jangan," jawab cantrik itu, "Seandainya orang itu berniat
buruk, kita tidak dapat membuktikannya."
Anak muda itu mengangguk-angguk. Namun ketika hal itu
dilaporkan kepada Ki Buyut, maka Ki Buyut m enjadi semakin
bersungguh-sungguh menanggapinya.
"Mungkin orang-orang Larah," berkata cantrik itu, "Menilik
sikap dan pandangan matanya y ang kasar."
Ki Buyut mengangguk-angguk. Dengan nada rendah ia
berkata, "Agaknya orang-orang Larah telah mendendam
kepada kita." Karena itulah, maka Ki Buyut memerintahkan untuk
meningkatkan kesiagaan. "Tidak usah berlebihan. Tetapi
gardu-gardu parondan harus terisi. Alat uatuk memberikan
isy arat harus tersedia."
"Namun ada kalanya kita justru tidak mempergunakan
isy arat itu," berkata Ki Buyut, "Mungkin kita ingin menjebak
seseorang atau sekelompok orang."
Anak-anak muda itu -pun mengangguk-angguk.
Dengan demikian, maka pengawasan di malam hari
menjadi semakin meningkat. Tetapi y ang nampak digardugardu
tidak lebih dari beberapa orang anak muda yang
terkantuk-kantuk. Di hari yang telah direncanakan, maka orang-orang Larah
bersama para gegedug telah berkumpul menjelang senja.
Mereka mempersiapkan segala sesuatunya yang akan m ereka
bawa ke Bumiagara, terutama senjata mereka. Senjata bagi
mereka akan dapat berarti nyawa.
Dengan dibakar oleh dendam, maka orang-orang Larah
telah berangkat menuju ke Bumiagara ketika malam mulai
turun. Mereka memecah diri menjadi beberapa kdompok kecil
agar perjalanan mereka tidak menarik perhatian, apabila ada
orang y ang kebetulan melihat. Namun beberapa orang di
antara mereka sama sekali tidak berkepentingan dengan
dendam orang-orang Larah. Bagi mereka, Bumiagara memang
satu sumber yang akan dapat memberikan banyak
kemungkinan. Mungkin uang. Tetapi mungkin juga barangbarang
berharga. Orang-orang Bumiagara memang banyak
yang menjadi saudagar y ang berhasil.
Mendekati tengah malam, maka orang-orang Larah serta
beberapa orang gegedug itu telah memasuki Kabuyutan
Bumiagara. Mereka memang memilih mengikuti jalan-jalan
bulak dan bahkan menyusuri pematang dan tanggul -tanggul
parit untuk menghindari padukuhan-padukuhan, langsung
menuju ke padukuhan induk Bumiagara.
Namun orang-orang Bumiagara y ang berada di gubuggubug
disawah y ang memang dipasang oleh para bebahu,
sempat melihat mereka. Seperti y ang sudah direncanakan, maka mereka-pun segera
pergi ke padukuhan terdekat untuk memberitahukan
kedatangan kelompok-kelompok yang tidak mereka kenal
sebelumnya. "Tentu bukan prajurit Kediri," berkata salah seorang Bekel
yang mendengar laporan itu, "Prajurit Kediri yang
memberontak itu tidak akan datang dengan diam-diam.
Mereka tentu akan datang dalam ujud pasukan yang utuh."
Kesimpulan Ki Bekel adalah, bahwa yang datang itu tentu
orang-orang Larah yang mendendam, sebagaimana diduga
sebelumnya. Dengan demikian, maka Ki Bekel bersama lima orang anak
muda y ang telah meningkatkan kemampuan mereka, serta
memiliki senjata khusus dari Padepokan Bajra Seta telah
berangkat meninggalkan padukuhan mereka.
Dengan hati-hati mereka telah menyusuri jalan langsung
menuju ke padukuhan induk. Justru memilih jalan y ang akan
melintasi beberapa padukuhan. Jalan y ang tentu tidak dipilih
oleh orang-orang Larah dan beberapa orang gegedug itu.
Di setiap padukuhan, Ki Bekel telah memberitahukan,
bahwa beberapa kelompok kecil orang y ang tidak dikenal telah
menuju ke padukuhan induk.
Padukuhan-padukuhan yang dilewati-pun telah pula
menyebar orang-orangnya untuk memberitahukan pula
kepada padukuhan y ang lain, sehingga padukuhan-padukuhan
itu telah mengirimkan lima anak muda terbaiknya ke
padukuhan induk. Namun seperti pesan y ang sampai kepada
mereka, agar mereka berhati-hati dan menunggu isy arat untuk
memasuki padukuhan induk.
(Bersambung ke Jilid 100)
Conv ert by Editing: MCH Pdf ebook : HIJAUNYA LEMBAH
HIJAUNYA LERENG PEGUNUNGAN Jilid 100 Cetakan Pertama PENERBIT: "MURIA" YOGYAKARTA Kolaborasi 2 Website : dengan Pelangi Di Singosari / Pembuat Ebook : Sumber Buku Karya SH MINTARDJA
Scan DJVU : Ismoyo, Arema
Converter : Editor : MCH dan Pdf ebook : --ooo0dw0ooo- Naskah ini untuk keperluan kalangan sendiri,
penggemar karya S.H. Mintardja dimana saja berada y ang
berkumpul di Web Pelangi Singosari dan Tiraikasih
Jilid 100 KARENA itulah, maka k etika orang-orang Larah dan para
gegedug mendekati padukuhan induk, maka anak-anak
mudapun telah berada di belakang mereka pada jarak
beberapa puluh patok. "Kita akan memasuki padukuhan dengan diam-diam"
berkata pemimpin orang-orang Larah itu.
Seperti y ang dikehendaki oleh pemimpinnya, maka orangorang
Larah itupun telah memasuki padukuhan induk dengan
diam-diam. Mereka berusaha untuk dapat langsung menuju ke
rumah Ki Buyut Bumiagara.
Namun, ternyata bahwa mereka tidak dapat meny ergap
rumah itu sebagaimana mereka kehendaki. Ternyata didekat
re-gol rumah Ki Buyut terdapat sebuah gardu. Satu dua orang
yang pernah m elihat-lihat k eadaan rumah Ki Buyut dimalam
hari, dapat meny ingkir dari pengamatan orang-orang di gardu
itu. Namun yang dapat adalah terlalu banyak orang untuk
dapat menghindarkan diri dari penglihatan orang-orang di
gardu itu. Karena itu, maka pemimpin dari orang-orang Larah itu
justru memerintahkan beberapa orangnya untuk menyergap
gardu itu dan membungkam orang-orang yang ada di
dalamnya. "Jika mereka melawan, apaboleh buat" berkata gegedug itu.
Baginya nyawa orang memang tidak begitu berharga.
Sebenarnyalah tiba -tiba saja lima orang telah muncul
didepan gardu itu sambil mengacukan senjata mereka. Dengan
lantang salah seorang dari mereka berkata geram "Kalian tidak
akan dapat melawan kami. Jika kalian mencoba, maka berarti
kalian akan mati. Aku tidak bermain-main. Kematian bagi
kami tidak akan membekas apa-apa"
Anak-anak muda itu memang terkejut. Mereka ternyata
terlalu asik bermain-main untuk mengusir kantuk, sehingga
mereka tidak melihat orang-orang y ang sudah mereka duga
sebelumnya itu datang dengan tiba-tiba.
Untuk beberapa saat anak -anak muda itu berdiam diri.
Sementara orang yang mengancam itu berkata "Berikan
senjata! kalian" Anak-anak muda itu termangu-mangu. Senjata-senjata
mereka adalah senjata-senjata y ang diterimanya dari
Pa depokan Bajra Seta sehingga bagi mereka senjata itu
merupakan senjata y ang sangat berarti.
Sementara itu, kawan-kawan orang yang mengancam itu
telah memasuki halaman Kabuyutan. Mereka meloncati
dinding halaman dan langsung turun di halaman samping.
Tetapi y ang tidak mereka duga, bahwa mereka ternyata
telah berada di belakang gandok tempat para cantrik tinggal
selama mereka berada di Bumiagara.
Karena itu, maka para cantrikpun telah terbangun. Telinga
mereka y ang tajam, telah menangkap langkah orang yang
tidak hanya satu dua dibelakang gandok itu.
"Mereka telah datang" berkata salah seorang diantara para
Cantrik. Karena itu, dengan tangkasnya, para cantrik itu telah ber
benah diri. Mereka segera menyangkutkan pedang mereka
dilambung. Sejenak mereka mendengarkan derap kaki dibelakang
gandok itu dengan saksama. Namun orang-orang itu telah
menebar. "Mereka cukup banyak" desis salah seorang dari mereka.
Kelima cantrik itupun segera m embuka pintu bilik mereka
dengan sangat berhati-hati. Ternyata belum ada diantara
orang-orang yang datang itu di halaman depan. Karena itu,
maka berlima m erekapun segera berlari keluar dan naik ke
pendapa. "Kenapa anak-anak muda y ang berada digardu tidak
membunyikan isy arat ?" desis para cantrik.


04 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Beberapa orang pengawal yang ada di pringgitan memang
terkejut melihat para cantrik itu. Seorang diantara para cantrik
itu berkata "Bersiaplah. Mereka telah datang."
"Regol halaman itu masih tertutup." jawab pemimpin
sekelompok anak muda yang ada dipringgitan.
"Mereka tidak masuk melalui regol. Tetapi m ereka masuk
melalui dinding halaman dibelakang gandok." jawab cantrik
itu. Anak-anak muda itupun segera bangkit. Senjata mereka
pun dengan cepat telah berada ditangan. Namun cantrik itu
berkata "Kita tidak mau terlambat. Bunyikan isy arat."
Dua orang diantara anak -anak muda itu telah meloncat
berlari untuk membuny ikan kentongan y ang tergantung diserambi
gandok. Namun langkah mereka terhenti. Ternyata
orang-orang yang memasuki halaman samping dibelakang
gandok itu telah mulai mengalir ke halaman.
"Bangunan Ki Buyut" desis salah seorang cantrik y ang telah
mempersiapkan diri. Seorang diantara para cantrik itu telah memukul daun
pintu pringgitan. Mula-mula memang hanya perlahan-lahan.
Namun ketika orang-orang y ang berada di halaman itu mulai
bergerak, maka ketukan pintu itu menjadi semakin keras.
Ki Buyutpun terkejut. Dengan cepat ia tanggap. Karena itu,
maka iapun telah mempersiapkan diri.
Ketika ia berdiri dipintu. Ki Buyut memang ragu-ragu.
Karena itu, maka iapun bertanya "Siapa diluar."
"Kami, para pengawal Ki Buyut." jawab salah seorang
diantara anak-anak muda itu.
Ki Buyutpun telah membuka pintu. Namun pedangnya
telah teracu. "Ada apa ?" bertanya Ki Buyut yang belum melihat
beberapa orang yang bergerak di halaman.
"Mereka telah berada di halaman" jawab pengawal itu.
"Kenapa kalian tidak membuny ikan isyarat ?" b ertanya Ki
Buyut. "Kami terlambat. Kentongan itu telah mereka kuasai."
jawab pengawal itu. "Ada kentongan kecil di longkangan" desis Ki Buyut.
Pengawal itu ragu-ragu, sementara Ki Buyut telah keluar
dan berdiri diantara para cantrik. Orang-orang y ang berada di
halaman itu mulai bergerak mendekati pendapa. Sementara
yang lain telah berada diserambi gandok dan selebihnya
mencoba mengepung rumah itu.
Namun akhirnya pengawal itu masuk kerumah Ki Buyut
dan pergi ke pintu butulan.
Seorang anak muda, yang sehari-hari memang bekerja pada
Ki Buyut bertanya "Kau mau mencari apa ?"
"Kentongan" jawab pengawal itu.
Anak m uda y ang juga telah bersenjata itupun membawa
pengawal itu ke longkangan. Seorang laki-laki yang sudah
separo bay a telah terbangun pula dan bertanya "Ada apa ?"
"Cepat, bangunkan para pembantu di rumah ini" berkata
anak muda itu. Pengawal itupun segera m enemukan kentongan kecil y ang
tergantung dilongkangan. Namun sebelum ia m eng ayunkan
pemukul, ia b erkata "Amankan Ny i Buyut dan keluarga yang
lain." "Mereka tidak ada dirumah. Sejak kemarin mereka telah
diungsikan. Memang tidak ada y ang tahu." jawab anak muda
itu. Pengawal y ang sudah memegang pemukul kentongan itu
mengangguk kecil. Namun tangannyapun kemudian telah
terayun memukul kent ongan itu dengan nada titir.
Orang-orang y ang ada di halaman memang terkejut
mendengar suara kentongan itu. Namun suara itu seakan-akan
merupakan perintah bagi mereka untuk segera meny ergap.
Ternyata suara kentongan itu juga mengejutkan orangorang
Larah yang mengancam anak-anak muda y ang ada
digardu diluar regol rumah Ki Buyut. Namun saat yang sekejap
itu telah dimanfaatkan oleh anak-anak muda yang ada di
gardu. Seorang dian-tara mereka dengan cepat meloncat
kesamping sambil menarik pedangnya. Sedangkan yang
lainpun telah bangkit berdiri dilantai gardu y ang agak tinggi
itu. Dengan cepat senjata merekapun telah terayun, sementara
seorang diantara mereka telah memukul lam pu oncor yang
dipasang, diemper gardu itu, sehingga onc or itupun telah
terjatuh hampir menimpa orang-orang yang sedang
mengancam itu. Karena itu, maka orang-orang y ang mengancam anak-anak
muda itupun berloncatan surut, sehingga oncor itu tidak
mengenai dan membakar kulit mereka.
Namun dengan demikian, maka anak-anak muda y ang ada
digardu itu telah luput dari tangan mereka. Kegelapan yang
tiba -tiba saja mencengkam setelah oncor itu padam,
dipergunakan oleh anak-anak muda itu dengan sebaikbaiknya,
sehingga sejenak kemudian, mereka telah berada
diluar gardu itu. Dengan demikian maka merekapun telah siap
untuk bertempur melawan orang-orang yang mengancam itu.
Tetapi dalam .pada itu, maka orang-orang yang meny erang
rumah Ki Buyutpun telah mulai meny erang. Yang ada
dipendapa adalah lima orang cantrik, Ki Buyut dan beberapa
orang pengawal. Sementara itu, para pembantu Ki Buyut juga
sudah bersenjata apa saja yang dapat mereka pegang. Parang,
linggis atau kapak pembelah kayu.
Namun suara kentongan itu telah terdengar oleh anak-anak
muda yang ada di gardu dimulut lor ong. Apalagi ketika dalam
kegelapan, seorang anak muda yg berada digardu didepan
regol Ki Buyut itupun sempat memukul kentongan pula,
sementara y ang lain mulai memancing pertempuran.
Demikianlah, maka pertempuranpun segera berkobar.
Diluar dan didalam halaman rumah Ki Buyut. Namun agaknya
lima orang cantrik Ki Buyut dan para pengawal masih t erlalu
sedikit untuk menghadapi orang-orang yang meny erang
padukuhan induk itu. Karena itu, maka para cantrik dan pengawal itupun segera
terdesak mundur kepringgitan. Sem entara itu, beberapa orang
peny erang yang lain berusaha untuk memecahkan pintu
seketheng untuk membungkam suara kentongan y g dipukul di
longlcangan. Meskipun kentongan itu kecil, tetapi suaranya
justru melengking tinggi menggetarkan udara malam di
padukuhan induk Kabuyutan Bumiagara.
Ternyata pada saat yang demikian, anak-anak m uda y ang
menunggu isy arat diluar padukuhan telah berlari-lari keregol
padukuhan. Namun kemudian bersama dengan anak-anak
muda yang berada di regol, m ereka telah m enuju kerumah Ki
Buyut. Kedatangan mereka telah m engejutkan orang-orang Larah
dan para gegedug y ang telah ada di halaman rumah itu. Begitu
banyak anak muda yang datang.
Namun orang-orang yang datang menyerang itu
menganggap bahwa mereka tidak lebih dari anak-anak
pedesaan yang hanya pandai menyabit rumput.
Namun setelah senjata mereka mulai beradu, maka
anggapan merekapun segera berubah. Apalagi mereka yang
telah bersentuhan dengan para cantrik y ang ada dipendapa.
Meskipun semula mereka mampu mendesak para cantrik dan
Ki Buyut kepringgitan, namun mereka tidak dapat
mengingkari, betapa kemampuan para cantrik itu telah
mengguncangkan senjata-senjata mereka.
Namun ketika anak-anak muda Bumiagara mulai
memasuki halaman Ki Buyut, maka keseimbanganpun segera
berubah. Orang-orang Larah itu harus turun lagi dari pendapa
untuk melawan anak-anak muda itu. Bahkan mereka yang
sedang berusaha merusak pintu sekethengpun harus turun
pula ke halaman. Seorang diantara mereka yang meny erang rumah itu telah
berusaha memanjat dinding disebelah seketheng dan masuk
ke longkangan. Dengan serta merta ia m eny erang anak muda
yang masih saja membuny ikan kentongan dan bahkan telah
disahut oleh kentongan di gardu-gardu dan rumah-rumah di
padukuhan itu sehingga suaranya menjadi sangat riuh.
Namun orang itu ternyata bernasib sangat buruk. Anak
muda yang memukul kentongan itu memang meletakkan
pemukul kent ongannya, namun langsung mencabut
pedangnya. Iapun segera menyambut orang itu sehingga
keduanyapun segera bertempur di longkangan. Namun dua
orang pembantu dirumah Ki Buyut itu telah ikut pula
memasuki lingkaran pertempuran. Seorang diantaranya
membawa kapak dan y ang lain membawa sepotong besi yang
tajam untuk mengupas kelapa.
Yang mula -mula melukai orang itu adalah anak muda y ang
bersenjata pedang dan yang telah ditempa oleh para cantrik
dari Padepokan Bajra Seta. Namun kemudian, orang itu
kehilangan keseimbangan ketika ujung pedang anak muda itu
masih saja memburunya. Dalam keadaan y ang demikian,
orang itu tidak sempat mengelakkan pukulan yang
mempergunakan sepotong b esi pengupas kelapa itu, sehingga
sepotong besi itu telah mengenai punggungnya.
Orang itu mengaduh kesakitan. Tubuhnya langsung jatuh
terjerembab. Pa da saat itu orang y ang m embawa kapak pembelah kayu
itu telah mengangkat kapaknya dan diayunkannya keleher
ornag y ang belum sempat bangkit itu.
Namun ternyata kapak itu bagaikan didor ong menyamping
sehingga tidak mengenai sasarannya. Kapak itu terhunjam
dalam-dalam ditanah, hanya sejengkal dari leher orang yang
jatuh terjerembab itu. "Kau tidak perlu m embunuhnya" berkata anak muda itu
kepada orang yang telah mengayunkan kapaknya itu.
"Tetapi ia telah meny erang rumah ini" jawab orang y ang
memegang kapak itu. " Ia tidak akan dapat bangkit lagi. Punggungnya tentu sudah
patah" berkata anak muda itu.
Anak muda itu masih ragu-ragu. Namun pengawal itu
berkata "Betapapun kuatnya tulang-tulangnya, tetapi
dihantam dengan linggis sekuat itu, tentu tidak akan dapat
tahan. Jika tulang punggungnya tidak patah, tentu sudah
retak." Anak muda itu m engangguk-angguk. Namun iapun segera
mengangkat kapaknya dan melangkah ke seketheng.
"Kau akan ke mana?" bertanya pengawal itu.
"Aku akan turun ke halaman. Aku ingin turut bertempur"
jawab orang y ang membawa kapak itu.
"Kemarilah. Kita keluar lewat ruang dalam. Jangan
membunuh diri. Demikian kau keluar lewat seketheng,
kepalamu akan dipenggal putus oleh orang-orang yang sudah
berada di luar seketheng itu.
Orang yang membawa kapak itu termangu-mangu. Namun
kemudian iapun telah mengurungkan niatnya.
"Sebaiknya kalian berjaga-jaga disini. Jika ada orang
memanjat dinding di sebelah meny ebelah seketheng itu,
hentikan dengan caramu."
"Bagus" berkata orang y ang membawa kapak "aku akan
menyelesaikan mereka."
"Tetapi kau jangan bersikap seperti itu. Kau akan terkejut
mengalami kenyataan yang tidak kau duga sebelumnya.
Karena itu lebih baik kau bersikap berhati-hati dan
mempergunakan penalaranmu dengan baik. Simpanlah sedikit
gejolak perasaanmu sehingga ada kese imbangan antara
perasaan dan penalaran" berkata pengawal itu.
Orang yang membawa kapak itu mengangguk-angguk.
Katanya "Ya. Aku mengerti."
Demikianlah pengawal itupun segera masuk ke ruang
dalam. Sementara itu, di pendapa telah terjadi pertempuran.
Namun pertempuran yang sengit telah terjadi pula di
halaman. Anak-anak muda y ang datang dari padukuhanpadukuhan
telah berada di halaman itu pula. Demikian pula
anak-anak muda y ang telah ditempa secara khusus oleh para
cantrik serta para bebahu y ang telah meningkatkan ilmunya.
Para gegedug yang ada di halaman, m emang tertahan oleh
para cantrik yang memiliki kemampuan y ang lebih tinggi dari
anak-anak muda Bumiagara. Dengan senjata yang mereka
buat secara khusus, maka para cantrik itu seakan-akan
memiliki ilmu y ang jauh lebih tinggi dari kemampuan mereka
yang sebenarnya. Namun gegedug yang meny erang Kabuyutan Bumiagara
yang diminta membantu orang-orang Larah itu adalah orangorang
yang telah memiliki pengalaman yang sangat luas.
Karena itu, meskipun dengan susah payah, mereka m ampu
mengimbangi para cantrik y ang terpilih dari Padepokan Bajra
Seta itu. Dengan demikian, m aka pertempuran pun semakin lama
menjadi semakin sengit. Anak-anak m uda Bumiagara m asih
sa ja berdatangan. Bahkan mereka yang masih belum sempat
meningkatkan kemampuan telah datang pula ke halaman.
Namun kawan-kawan mereka yang telah m emiliki senjata
khusus yang mereka terima dari Padepokan Bajra Seta itu
berusaha untuk menahan mereka agar mereka berjaga-jaga
sa ja jika ada diantara lawan-lawan mereka yang akan
melarikan diri. Orang-orang Larah y ang datang untuk menebus kegagalan
mereka, serta melepaskan dendam atas kematian beberapa
orang diantara mereka termasuk yang terluka parah dan
menjadi cacat seumur hidupnya, serta rencana mereka untuk
merampok seisi padukuhan induk Kabuyutan Bumiagara,
telah mengerahkan kemampuan mereka. Sebagaimana
kebiasaan mereka, maka mereka telah bertempur dengan
garangnya. Bahkan semakin lama menjadi semakin keras dan
kasar. Para gegedug pun telah menghentakkan kemampuan
mereka. Mereka m emang tidak mengira bahwa di Bumiagara
ada anak-anak muda y ang memiliki kemampuan demikian
tinggi. Mereka tidak tahu bahwa m ereka adalah para cantrik
dari Padepokan Bajra Seta. Bahkan juga m ereka tidak tahu
bahwa diantara anak-anak m uda Bumiagara sendiri dengan
senjata yang mereka terima dari Padepokan Bajra Seta telah
mampu bertempur dengan garangnya.
Namun ternyata bahwa orang -orang Larah segera menemui
kesulitan. Anak-anak muda yang berdatangan telah mendesak
maju, sementara orang-orang Larah dan para gegedug yang


04 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

datang tidak mampu mendesak orang-orang yang berada di
pendapa. Dengan demikian orang-orang Larah dan para gegedug itu
justru telah terjepit. Para cantrik, beberapa pengawal dan
beberapa orang bebahu yang kemudian juga telah berdatangan
di rumah Ki Buyut telah mendesak mereka dari pendapa.
Sementara anak-anak muda telah m engepung halaman itu
dan menekan orang-orang Larah dari segala penjuru.
Orang-orang Larah dan para gegedug itu memang mulai
menjadi gelisah. Namun kegelisahan orang-orang y ang kasar
dan bahkan buas itu telah terungkap dalam sikap mereka.
Orang-orang y ang meny erang padukuhan induk Kabuyutan
Bumiagara itu memang semakin lama menjadi semakin keras,
kasar dan bahkan buas. Mereka sama sekali tidak lagi berpijak
pada paugeran perang. Apapun y ang dapat mereka lakukan
telah mereka lakukan untuk menghalau serangan anak-anak
muda y ang masih mereka anggap belum waktunya untuk
turun ke medan pertempuran.
Namun ternyata mereka memang m ampu. Mereka justru
telah mengejutkan orang-orang Larah dan para gegedug,
karena mereka mampu mengimbangi dan bahkan ada diantara
mereka y ang mendesak lawan mereka.
Apalagi para cantrik y ang mendesak lawan-lawannya turun
dari pendapa. Namun dengan demikian maka para gegedug dan orangorang
yang m erasa telah terbiasa hidup diantara garangnya
tindak kekerasan itu, sama sekali tidak mau melihat
keny ataan, bahwa anak-anak muda Bumiagara mampu
melawan mereka. Mereka juga tidak tahu bahwa ada lima
orang cantrik terpilih dari Perguruan Bajra Seta y ang berada di
Kabuyutan itu justru untuk meningkatkan kemampuan anakanak
muda di Kabuyutan itu. Kabuyutan y ang pernah m inta
bantuan beberapa pihak untuk m eny erang Padepokan Bajra
Seta itu sendiri Lebih-lebih lagi para gegedug y ang datang dengan dada
tengadah serta menyatakan kesediaan mereka membantu
orang-orang Larah, m eskipun dengan pamrih, merampok isi
Kabuyutan Bumiagara, khusus di padukuhan induk.
Para gegedug itu telah bertempur dengan garangnya
bagaikan orang kehilangan nalar. Senjata, mereka terayunayun
mengerikan. Seorang diantara mereka membawa
canggah y ang ujungnya justru berkait dengan tangkai yang
tidak begitu panjang. Kemampuannya mempermainkan
senjatanya y ang mengerikan itu, membuat beberapa anak
muda terdesak minggir. Namun seorang cantrik yang melihatnya, segera m eloncat
kearahnya dengan membawa tombak pendek ditangannya.
Ketika mulut canggah y ang bercabang dua itu hampir menjepit
leher seorang anak muda, maka dengan tangkasnya cantrik itu
telah memukulnya sehingga ujung canggah itu terangkat.
Darah Dan Cinta Di Kota Medang 4 Goosebumps - Arwah Penasaran Amarah Pedang Bunga Iblis 1

Cari Blog Ini