Ceritasilat Novel Online

Hijaunya Lembah Hijaunya 20

04 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja Bagian 20


Mahisa Pukat tentu akan tersinggung.
Karena itu betapapun pahitnya, maka Mahisa Murtipun
berkata "Baiklah Pukat. Aku akan mencoba untuk
mengatakannya kepada Sasi. Namun demikian aku ingin
bertanya kepadamu, apakah kau sudah berpikir masak -masak
" Bukankah belum cukup lama kau berkenalan dengan gadis
itu " Apakah perasaan yang tersangkut dihatimu itu sudah kau
timbang baik dan buruknya " Kau bentangkan dan kau gulung
kembali." Mahisa Pukat menarik nafas dalam-dalam. Namun katanya
kemudian. "Sudah. Aku sudah m emikirkannya masak-masak.
Sudah tentu aku berharap bahwa kaupun akan segera
mendapatkan pasangan bagi hidupmu, sehingga aku tidak
harus mendahuluimu. Apa salahnya jika kita pada satu saat
bersama-sama memasuki satu jenjang baru dalam tataran
kehidupan kita." Mahisa Murti mengatupkan bibirnya rapat-rapat. Tetapi ia
masih berusaha untuk menekan perasaannya y ang bergejolak
semakin cepat. "Baiklah Pukat" berkata Mahisa Murti kemudian "sebelum
aku kembali ke Padepokan Bajra Seta, aku akan menemui dan
berbicara dengan Sasi."
"Terima kasih." desis Mahisa Pukat "jika satu saat kau
mengalami kesulitan seperti aku sekarang ini, maka aku tentu
akan menolongmu sebagaimana kau menolong aku sekarang."
Mahisa Murti menarik nafas dalam-dalam, seakan-akan
ingin mengendapkan perasaannya yang bergejolak.
Namun ternyata kemudian Mahisa Murti tidak dapat
membawa beban perasaannya itu seorang diri. Ketika ia
mendapat kesempatan, maka Mahisa Murtipun telah
menyatakannya kepada Mahendra, ayahnya.
Mahendra ternyata ter sentuh pula hatinya. Tetapi ia tidak
dapat mencegah Mahisa Pukat. Sehingga karena itu yang
dilakukan oleh Mahendra kemudian adalah membesarkan hati
Mahisa Murti. "Aku percaya bahwa kau akan mampu melakukannya"
berkata Mahendra sambil menepuk pundak anaknya.
Mahisa Murti mengangguk kecil.
Sementara itu Mahendra berkata selanjutnya "Asal
semuanya itu kau lakukan dengan ikhlas, maka kau tentu akan
dapat meletakkan, sekurang-kurangnya mengurangi beban
perasaanmu itu." "Ya ayah" jawab Mahisa Murti "aku akan mencobanya."
Dengan demikian, maka Mahisa Murtipun berusaha untuk
menemui Sasi tanpa Mahisa Pukat sebelum ia m eninggalkan
Singasari dan kembali ke Padepokan Bajra Seta.
Ternyata ketika Mahisa Murti pergi kerumah Arya Kuda
Cemani seorang diri, maka keluarga Sasi merasakan
kejanggalan itu. Mahisa Murti dan Mahisa Pukat seakan-akan
tidak pernah berpisah sama sekali. Bukan saja dirumah,
mengunjungi kawan-kawannya, bertamu dan bahkan di
medan-medan pertempuran. Namun sambil tersenyum Mahisa Murti berkata sebelum
Sasi bertanya "Mahisa Pukat sedang sakit. Tidak terlalu berat.
Kepalanya sajalah y ang sedang pening. Ayah sudah
memberikan obat untuknya. Nanti sore ia tentu sudah
sembuh." "Sokurlah" sahut Sasi, y ang kemudian mempersilahkan
Mahisa Murti untuk duduk di serambi gandok.
"Ayah sedang tidak ada" berkata Sasi "kakang Kuda Semedi
dan Kakang Kuda Semeni ada di baraknya."
"Jadi hanya ibu dan para pembantu saja y ang ada dirumah
?" bertanya Mahisa Murti.
"Ya" jawab Sasi "atau barangkali kau mempunyai keperluan
dengan ayah ?" "Tidak. Tidak. Aku hanya datang seperti bia sa. Berkunjung"
jawab Mahisa Murti dengan serta meita.
Ketika Sasi masuk untuk mengambil minuman, ibunya
memang bertanya kenapa Mahisa Murti hanya sendiri saja.
"Mahisa Pukat sedang sakit ibu ?" jawab Sasi.
"Sokurlah" desis ibunya.
" Kenapa sokur ?" bertanya Sasi.
"Maksudku bukan karena sebab lain" sahut ibunya. "Bukan
justru karena Mahisa Pukat sakit."
..... kayaknya ada alenia yg ga tercetak dibuku
aslinya ..... Sasi menjadi gelisah. Wajahnya nampak menjadi m erah.
Sementara sikapnyapun terasa kurang mapan.
Karena itu, maka Mahisa Murlipun berkata "Baiklah Sasi.
Aku tidak dapat memaksamu untuk menjawab pertanyaanku
atas nama Mahisa Pukat. Karena itu, biarlah aku minta diri.
Kau dapat mengatur perasaanmu lebih dahulu. Apalagi
persoalan ini bukan persoalan untuk sehari dua hari. Tetapi
untuk selama-lamanya. Jika kau tergesa -gesa mengambil
keputusan dan akhirnya keputusan itu ternyata salah, m aka
kau akan meny esal untuk waktu y ang berkepanjangan. Karena
itu, pikirkan masak-masak. Mungkin besok atau nanti malam
aku datang lagi untuk minta diri kepada keluargamu bahwa
aku akan segera meninggalkan Singasari. Kau tidak usah
memberi jawaban kepadaku dengan kata-kata. Tetapi kau
cukup memberikan isyarat. Jika isyarat itu cukup mey akinkan,
maka ayahpun akan segera meny elesaikannya."
Sasi mengusap keringat dikeningnya. Kegelisahannya telah
memeras keringatnya. Bukan saja keningnya m enjadi basah,
tetapi seluruh tubuhnya menjadi basah oleh keringat.
Mahisa Murti tidak m enunggu terlalu lama. Iapun segera
minta diri sambil b erkata "Aku akan datang lagi untuk minta
diri" Sepeninggal Mahisa Murti, maka Sasi benar-benar menjadi
gelisah. Ia tidak tahu, apa yang harus dilakukannya. Ia tidak
tahu, apakah ia mendengar pernyataan itu dari Mahisa Pukat
atau Mahisa Murti sendiri. Baginy a kedua-duanya m emiliki
banyak per samaan. Ternyata orang tua Sasi membaca kegelisahan perasaan
anak gadisny a. Tetapi mereka tidak dapat segera bertanya
langsung tentang kegelisahan itu. Arya Kuda Cemani ketika
pulang dari tugasnya, telah diberitahukan apa yang terjadi
dengan Sasi Sambil menarik nafas dalam-dalam Arya Kuda C emani itu
berdesis "Apakah ju stru t erjadi salah paham, sehingga kedua
anak muda itu telah saling mendahului untuk menyatakan
perasaannya ?" Ketika ayahnya melihat anak gadisnya merenung sendiri
didckat sumur dan bersandar pada dinding pakiwan, Arya
Cemani mendekatinya sambil bertanya "Kenapa kau nampak
gelisah, Sasi ?" Sasi hanya menunduk saja. Namun ayahnya m endesaknya
"Apakah tadi Mahisa Murti datang kemari ?"
Sasi hanya menunduk saja. Namun ayahnya m endesaknya
"Apakah tadi Mahisa Murti datang kemari ?"
Sasi tidak dapat berbohong. Karena itu, maka gadis itupun
menganggukkan kepalanya. "Apa yang dikatakannya ?" bertanya ayahnya.
Sasi termangu-mangu. Namun kemudian iapun m enjawab
" Ia akan datang lagi nanti ayah. Ia akan minta diri kembali kePa depokannya." "Kenapa sendiri ?" bertanya ayahnya pula.
Sasi tertegun sejenak. Namun kemudian iapun menjawab
pula "Hanya Mahisa Murti y ang akan kembali ke
Pa depokannya. Mahisa Pukat masih akan tinggal beberapa
lama lagi di Kotaraja."
Arya Kuda Cemani menarik nafas dalam-dalam. Ia justru
merasa cemas, bahwa apa y ang dikatakannya kepada
Mahendra akan dapat menimbulkan salah paham kepada
kedua orang anaknya sehingga hubungan kedua orang
bersaudara itu menjadi retak.
Tetapi Arya Kuda Cemani tidak bertanya lebih jauh. Ia
justru bertanya kepada dirinya sendiri, apakah kata-katanya
yang diucapkan kepada Mahendra waktu itu terlalu kasar "
Atau ada sebab lain sehingga Mahisa Murti harus kembali
kepadepokannya. Yang dapat dilakukan oleh Arya Kuda Cemani hanya
menunggu. Nanti, Mahisa Murti akan datang lagi.
Sebenarnyalah lewat senja Mahisa Murti t elah datang lagi
kerumah Arya Kuda Cemani. Tidak sendiri, tetapi bersama
ay ahnya, Mahendra. Kedatangannya telah disambut oleh Arya Kuda Cemani
sendiri yang mempersilahkannya duduk dipringgitan.
Seperti telah dikatakan oleh Sasi, maka Mahendra juga
mengatakan bahwa dalam waktu dekat Mahisa Murti akan
kembali ke Padepokan Bajra Seta.
"Anak-anakku telah terlalu lama meninggalkan padepokan
itu. Para cantrik akan dapat menjadi gelisah karenanya."
"Tetapi angger Mahisa Pukat tidak kembali bersamanya ?"
bertanya Arya Kuda Cemani.
Mahendra menarik nafas dalam-dalam. Katanya " Ia masih
ingin tetap berada di Kotaraja untuk beberapa saat."
Arya Kuda Cemani mengangguk-angguk. Ia tidak dapat
mendesak lebih jauh untuk mengetahui alasan sebenarnya,
kenapa kedua orang bersaudara itu akan berpisah.
Sementara itu Sasi telah keluar dari pintu pringgitan sambil
membawa minuman hangat dan beberapa jenis makanan.
Adalah satu kesempatan bagi Mahisa Murti untuk mengetahui
jawaban bagi Mahisa Pukat.
Ketika Sasi meletakkan mangkuk minuman dihadapan
Mahisa Murti, maka Mahisa Murti sempat berdesis
"Bagaimana ?" Sasi m emandangnya sejenak. Baru kemudian ia memenuhi
permintaan Mahisa Murti. Dengan cepat sehingga tidak
tertangkap oleh perhatian ay ahnya, Sasipun mengangguk
kecil. Namun demikian ia mengangguk, maka iapun dengan cepat
meninggalkan pringgitan itu.
Jantung Mahisa Murti bagaikan meledak. Ia memang
menunggu isyarat itu. Tetapi ketika ia benar-benar menerima
isy arat sebagaimana diharapkan, maka rasa -rasanya lantai
tempat ia duduk itu telah berguncang.
Karena itu maka Mahisa Murti benar-benar harus berjuang
untuk bertahan agar ia tidak kehilangan akal.
Saat-saat berikutnya, Mahisa Murti memang bagaikan
tersiksa. Ia seakan-akan tidak mendengar lagi pembicaraan
antara ay ahnya dan Arya Kuda Cemani.
Baru kemudian, ketika ayahnya minta diri, Mahisa Murti
sempat menarik nafas dalam-dalam. Ra sa-rasanya ia sudah
akan terbebas dari penderitaan y ang menghimpit jiwanya itu.
Namun ay ahnya masih juga berkata "Nah, bukankah kau
datang untuk minta diri" Agaknya kau belum tentu mendapat
kesempatan lagi datang kemari."
Mahisa Murti yang sedang gelisah itu kemudian telah
memaksa diri untuk minta diri kepada Arya Kuda Cemani.
Namun sementara itu Arya Kuda Cemani telah memanggil
Sasi dan ibunya untuk ikut menemui Mahisa Murti yang akan
segera meninggalkan Kotaraja kembali ke Padepokan Bajra
Seta. " Mahisa Pukat m asih akan tinggal. Ia ingin mengawani
ay ah untuk beberapa lama" berkata Mahisa Murti.
Arya Kuda Cemani atas nama keluarganya tidak dapat
mengatakan apa-apa kecuali ucapan selamat jalan.
"Semoga kau selamat sampai ke Padepokan ngger" berkata
Arya Kuda Cemani mewakili keluarganya.
"Terima kasih Raden" jawab Mahisa Murti dengan suara
yang bergetar oleh getar jantung di dadanya.
Sasi sendiri tidak mengucapkan kata-kata apapun juga.
Tetapi pandangan matanya memang menjadi say u.
Demikianlah sejenak kemudian Mahendra dan Mahisa
Murti pun m eninggalkan rumah Arya Kuda Cemani. Mereka
menyusuri jalan y ang gelap y ang hanya kadang-kadang
disinari oleh onc or-onc or yang terpasang di reg ol-regol rumah
orang-orang berada. Namun ketika mereka keluar dari regol padukuhan, m aka
Mahisa Murti pun berkata" Ayah, silahkan ay ah mengambil
jalan y ang biasanya kita lalui. Aku akan mengambil jalan lain.
"Kau akan lewat jalan; yag mana?" bertanya Mahendra.
"Aku ingin berjalan sendiri" jawab Mahisa Murti. Mahendra
hanya dapat menarik nafas dalam-dalam.
Tetapi ia memahami perasaan Mahisa Murti. Sehingga
karena itu maka iapun berkata "Baiklah. Tetapi jangan
memaksa aku harus mencarimu. Kau harus segera berada di
rumah pula." "Tentu tidak akan berselisih banyak ayah" jawab Mahisa
Murti y ang ternyata memilih jalan melalui bulak yang pernah
dilaluinya ketika ia dicegat oleh Lembu Atak.
Mahisa Murtipun kemudian telah hilang didalam gelapnya
malam di bulak y ang tidak terlalu panjang. Selangkah demi
selangkah kakinya terayun menusuk semakin dalam
menghunjam ke kegelapan. Ketika ia berdiri di tengah-tengah bulak, maka Mahisa
Murti itupun menghentikan langkahnya. Dipandanginya langit
yang biru gelap digayuti oleh bintang gemintang dari
cakrawala sampai ke cakrawala.
Mahisa Murti mencoba beberapa kali menarik nafas dalamdalam
untuk mengendapkan perasaannya. Namun setiap kali
perasaannya yang telah bergejolak itu bagaikan menyala
membakar isi dadanya. Tiba-tiba saja Mahisa Murti berdiri tegak diatas kedua
kakinya y ang renggang. Kedua tangannya y ang mengepal tinju
diangkatnya setinggi bahunya.
Satu teriakan nyaring telah melengking memecahkan
sepinya malam. Geterannya telah terlontar jauh membentur
udara malam y ang dingin. Gemanya pun telah bersahutan dari
satu sisi dan sisi yang lain.
Namun suaranya ternyata tidak meny entuh telinga siapa
pun sehingga teriakannya sama sekali tidak menarik perhatian
seorang pun. Bulak itu memang sepi, sesepi hati Mahisa Murti
itu sendiri. Namun dengan demikian rasa -rasanya beban di dada
Mahisa Murti berkurang. Meskipun masih terasa betapa
pahitnya kenyataan yang harus dihadapi, namun Mahisa Murti
telah menemukan kembali keseimbangan jiwanya.


04 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Perlahan-lahan Mahisa Murti melangkah kembali
menyusuri gelapnya malam di tengah-tengah bulak. Baru
setelah jiwanya tenang, Mahisa Murti melihat kunang-kunang
yang berkeredipan di daun-daun padi.
Mahisa Murti menarik nafas dalam-dalam. Iapun kemudian
mendengar gemericik air yang mengalir di parit di tepi jalan
yang dilaluinya. Selisih waktu yang diperlukan oleh Mahisa Murti dengan
ay ahnya memang tidak terlalu banyak. Ketika ia kemudian
naik tangga tempat tinggal Mahendra di bagian belakang
istana, maka hatinya tidak lagi terguncang-guncang.
Karena itu ketika kemudian ia berbicara dengan Mahisa
Pukat, maka dengan hati y ang tatag ia berkata "Sasi telah
memberikan isyarat itu."
"Apa katanya?" bertanya Mahisa Pukat tidak sabar.
Ia tidak berkata, apa -apa. Tetapi ia menganggukkan
kepalanya y ang menurut tangkapanku, ia telah mengiakannya"
jawab Mahisa Murti dengan nada datar.
"Benar begitu?" desak Mahisa Pukat.
"Tentu kau harus mengulanginya. Kau harus meya kinkan
dirimu bahwa Sasi tidak berkeberatan. Tetapi kaupun harus
meyakinkan Sasi, bahwa kau benar-benar menghendakinya."
.... hihi terjadi pemangkasan dari buku aslinya ga
sambung nihh.... Sejenak k emudian Mahisa Murti itupun telah berhadapan
dengan orang y ang meny ebut diriny a Sardula Mapan. Orangorang
y ang ingin menyaksikan perkelahian itupun telah
melingkar seakan-akan telah membentuk lingkaran arena
perang tanding. Ternyata Sardula Mapan benar-benar merasa ter singgung
melihat sikap Mahisa Murti. Anak muda itu sama sekali tidak
menjadi cemas atau gelisah. Ia tetap saja tenang meskipun ia
sudah m endapat keterangan dari pemilik kedai itu pentang
seorang y ang bernama Sardula Mapan
0oo0dw0oo0 (Bersambung ke Jilid 103)
Conv er by Editing: Pdf ebook : Dan HIJAUNYA LEMBAH HIJAUNYA LERENG PEGUNUNGAN Jilid 103 Cetakan Pertama PENERBIT: "MURIA" YOGYAKARTA Kolaborasi 2 Website : dengan Pelangi Di Singosari / Pembuat Ebook : Sumber Buku Karya SH MINTARDJA
Scan DJVU : Ismoyo, Arema
Converter : Editor : Pdf ebook : --ooo0dw0ooo- Naskah ini untuk keperluan kalangan sendiri,
penggemar karya S.H. Mintardja dimana saja berada y ang
berkumpul di Web Pelangi Singosari dan Tiraikasih
Jilid 103 PARA PRAJURIT yang berdiri di lingkaran arena itulah
yang justru menjadi berdebar-debar. Meskipun mereka pernah
mendengar tentang kelebihan anak muda itu, namun mereka
masih belum dapat mey akinkannya.
Sejenak kemudian, maka orang y ang meny ebut dirinya
Sardula Mapan itupun berkata"Nah, aku memberikan
kesempatan terakhir, sebelum aku memilin lehermu."
"Kesempatan apa?" bertanya Mahisa Murti.
"Kau memang terlalu sombong anak muda. Tetapi aku
masih tetap dalam pendirianku. Aku tidak akan
membunuhmu. Aku akan membiarkan kau hidup dan
berceritera tentang orang y ang bernama Sardula Mapan"
geram orang itu. "Aku tidak akan berjanji apapun" jawab Mahisa Murti
"tetapi jika kau terbunuh juga, itu bukan salahku."
Sardula Mapan memandang Mahisa Murti dengan sorot
mata yang menyala. Kemarahannya rasa-rasanya telah
membakar ubun-ubunnya. Karena itu, maka iapun mulai
bergerak meny erang Mahisa Murti.
Mahisa Murti y ang telah bersiap sepenuhnya itupun dengan
cepat telah menghindar, sehingga serangan lawannya tidak
menyentuhnya. Namun serangan-serangan berikutnyapun telah meluncur
pula mendesak Mahisa Murti beberapa langkah surut.
Ternyata Mahisa Murti memang masih ingin menjajagi
kemampuan lawannya. Karena itu, maka ia lebih banyak
melayani serangan_serangan Sardula Mapan. Bahkan sekalisekali
ia berusaha untuk membentur serangan lawannya itu
meskipun tidak sepenuhnya.
Namun bahwa Mahisa Murti beberapa kali meloncat
mundur itu, bagi lawannya, seakan-akan merupakan satu
isy arat bahwa Mahisa Murti berada dalam kesulitan.
Meskipun demikian, Sardula Mapan y ang merasa dirinya
orang y ang paling ditakuti itupun merasa heran. Meskipun
beberapa kali lawannya yang masih muda itu terdesak, namun
beberapa lama pertempuran itu terjadi, ia masih belum dapat
mengalahkannya. Karena itu, maka kemarahan Sardula Mapan pun semakin
membakar jantungnya. Sehingga dengan demikian, maka
iapun telah meningkatkan serangan-serangannya.
Lawannya y ang m asih m uda itu m emang selalu terdesak.
Sekali-sekali anak muda itu meloncat mengambil jarak. Tetapi
serangan-serangannya masih belum berhasil mengenai
sa sarannya. Anak muda yang terdesak itu m asih saja dengan
tangkas mampu menghindari serangan-serangannya
betapapun cepatnya. Namun dalam pada itu, Mahisa Murti mulai dapat
menduga kemampuan lawannya. Meskipun Mahisa Murti
yakin, bahwa ilmu orang y ang meny ebut dirinya Sardula
Mapan itu masih akan dapat meningkat lagi.
Demikianlah, maka pertempuran itupun semakin lama
menjadi semakin cepat. Mahisa Murti masih saja nampak
terdesak. Tetapi serangan lawannya belum pernah
menyentuhnya. Karena itu, ketika sambil meloncat mengambil jarak,
Mahisa Murti sempat meny entuh pundak Sardula Mapan,
maka lawannya itu terkejut bukan buatan. Sentuhan itu
sendiri tidak menyakitinya. Tetapi bahwa anak muda itu
berhasil meny entuhnya, justru saat ia terdesak telah
membuatnya gelisah. "Apa sajayang dapat dilakukan oleh anak ini?" pertanyaan
itu telah semakin mengganggunya.
Ketika Sardula Mapan itu semakin meningkatkan ilmunya
bahkan sampai ke puncaknya, maka Mahisa Murti mulai
berusaha untuk melawannya dengan sungguh-sungguh.
Tetapi karena orang itu memang tidak berniat
membunuhnya, meskipun dengan maksud untuk
membesarkan namanya, maka Mahisa Murti pun sama sekali
tidak berniat untuk melakukannya pula.
Yang dilakukan oleh Mahisa Murti kemudian adalah
berusaha untuk mengalahkannya. Tetapi tidak untuk
membunuh atau menyakitinya atau membuatnya cacat.
Karena itu, maka Mahisa Murti akan memancingnya untuk
bertempur semakin cepat dan keras. Tanpa mempergunakan
ilmunya untuk menghisap kekuatan dan kemampuan lawan,
maka Mahisa Murti akan membiarkan lawannya. itu kelelahan
dan kehabisan tenaga dengan sendiriny a, sehingga
perlawanannya pun akan terhenti.
Sebenarnyalah, Sardula Mapan y ang marah itu tidak
menyadari, bahwa lawannya telah memaksanya untuk
mengerahkan segenap kemampuannya. Dengan loncatanloncatan
panjang Mahisa Murti berusaha menghindari
serangan-serangan Sardula Mapan. Namun tiba -tiba saja
Mahisa Murtilah y ang m eloncat meny erang. Bahkan hampir
setiap serangan Mahisa Murti tidak dapat dihindari atau
ditangkis oleh Sardula Mapan. Ketika pundaknya tersentuh
tangan anak muda itu, Sardula Mapan telah merasa
tersinggung. Namun kemudian berturut-turut serangan
Mahisa Murti itu mengenainya. Tidak terlalu keras. Namun
membuatnya menjadi semakin marah.
Lengannya, dadanya dan bahkan anak muda itu telah
memukul keningnya. Kemarahan sardula Mapan telah membuatnya menghen
tak-hentakkan kemampuannya. Namun serangannya masih
sa ja tidak dapat meny entuh sasaran.
Puncak dari kemarahan Sardula Mapan adalah serangan
Mahisa Murti kemudian. Serangan yang datangnya begitu
cepat. Justru saat anak m uda itu seakan-akan terdesak dan
berloncatan surut. Namun tiba -tiba saja ketika Sardula Mapan
memburunya, Mahisa Pukat tidak menghindar. Tetapi dengan
cepat ia menepis serangan Sardula Mapan itu kesamping.
Tangannya y ang terayun cepat itu bagaikan dilemparkan
dengan kekuatan y ang sangat besar, sehingga badannya ikut
pula berputar. Kesempatan itu telah dipergunakan sebaik-baiknya oleh
Mahisa Murti. Ia tidak ingin memukul tengkuk lawannya
sehingga patah. Tetapi dengan kecepatan yang hampir tidak
kasat mata, maka tangannya telah menyambar ikat kepala
Sardula Mapan. Beberapa orang menyaksikan hal itu terkejut bukan buatan.
Beberapa orang justru tidak dapat menahan desah yang tibatiba
saja meluncur dari mulut mereka.
Mengalami perlakuan itu, maka Sardula Mapan telah
meloncat beberapa langkah surut. Wajahnya menjadi m erah
padam. Bibirnya bergerak-gerak, tetapi oleh kemarahan yang
serasa menyumbat dadanya, maka kata-kata y ang meluncur
dari mulutnya adalah suara yg gagap "Kau, kau, anak iblis."
"Ki Sanak" berkata Mahisa Murti "sekarang y ang aku
pungut baru ikat kepalamu. Tetapi jika kau masih saja
memaksaku untuk berkelahi maka pada kesempatan lain,
mungkin aku ingin memungut kepalamu."
"Sebenarnya aku tidak ingin membunuhmu. Tetapi kau
yang tidak tahu diri itu telah membuat aku merubah
keputusanku. Kebaikan hatiku kau salah gunakan. Kau ju stru
telah menghinaku. Kau bukan saja mengenai tubuhku dengan
serangan-seranganmu, tetapi kau telah berani meny entuh
bagian dari kepalaku." geram orang yang m eny ebut dirinya
Sardula Mapan itu. Tetapi Mahisa Murti justru tertawa. Katanya "Kenapa kau
masih saja merajuk " Jika kau marah, marahlah. Apa saja yang
ingin kau lakukan, lakukanlah. Tetapi ingat, aku akan
melawanmu habis-habisan."
"Semula aku tidak ingin membunuhmu. Tetapi kemudian
aku telah merubah keputusanku. Aku akan membunuhmu
dengan senjataku y ang jarang sekali aku pergunakan." berkata
orang itu dengan lantang.
Mahisa Murti masih saja tertawa. Katanya "Kau akan
menyakiti dirimu sendiri. Aku ingin menasehatkan agar kau
urungkan niatmu untuk m empergunakan senjatamu. Karena
jika kau tarik senjatamu, maka itu bagiku merupakan satu
isy arat agar aku juga menarik senjataku."
Tetapi orang itu tidak menghiraukannya. Ia sudah merasa
benar-benar terhina oleh sikap anak muda y ang telah
mengambil iakt kepalanya itu langsung dari kepalanya.
Karena itu, sejenak kemudian, orang itupun telah
menggenggam sebilah keris yang besar, y ang hampir sebesar
dan sepanjang sebilah pedang. Namun dengan demikian
Mahisa Murtipun teringat pula akan pedangnya yang disebut
oleh pemiliknya sebelumnya dengan sebilah keris.
Mahisa Murti m enarik nafas dalam-dalam. Senjatanya itu
mempunyai pasangan yang dibawa oleh Mahisa Pukat. Tetapi
sepasang senjata itu kemudian terpaksa terpisah karena
Mahisa Pukat tidak bersertanya kembali ke padepokan.
Dengan demikian, maka kedua orang itupun telah
berhadapan kembali. Sardula Mapan itu sudah tidak terkekang
lagi. Apalagi ketika Mahisa Murti melemparkan ikat kepalanya
sambil berkata "Jika kau say ang akan ikat kepalamu, marilah,
aku kembalikan kepadamu."
Orang itu tidak menghiraukannya. Sama sekali tidak ada
usahanya untuk menangkap ikat kepalanya y ang dilemparkan
oleh Mahisa Murti. Namun yang dilakukannya adalah justru
meloncat meny erang dengan garangnya. Kerisny a terjulur
lurus langsung mengarah ke dadanya.
Tetapi ternyata Mahisa Murti dengan tangkasnya bergeser
sambil menangkis serangan itu dengan pedangnya. Ketika
terdengar suara berdentang, maka bungampipun telah
berhamburan. Orang-orang yang menyaksikan pertempuran itu menjadi
semakin cemas. Tetapi mereka merasa heran, bahwa anak
muda y ang nampaknya selalu terdesak itu, justru telah mampu
mengenai lawannya dan bahkan merampas ikat kepalanya.
Sudah tentu hal itu merupakan penghinaan y ang sulit
dimaafkan oleh Sardula Mapan.
Ternyata bahwa Sardula Mapanpun memiliki kemampuan
ilmu pedang y ang tinggi meskipun yang digenggam sebilah
keris. Tetapi ujud keris itu memang hampir sebesar dan
sepanjang pedang. Dalam pertempuran bersenjata itu, Mahisa Murti masih
sa ja nampak terdesak. Namun sekali-sekali sambaran ujung
pedangnya telah mengejutkan Sardula Mapan.
Sementara itu, Mahisa Murti masih tetap memancingnya
agar lawannya itu bertempur dengan mengerahkan tenaga
sepenuhnya. Sardula Mapan y ang tersinggung karena Mahisa Murti
telah menyambar ikat kepalanya memang telah terpancing.
Dengan loncatan panjang ia berusaha menggapai dan
mengenai tubuh anak muda itu. Bahkan semakin lama


04 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

semakin garang. Beberapa kali Mahisa Murti meloncat mundur. Namun
demikian Sardula Mapan mendesaknya semakin jauh maka
Mahisa Murtipun tiba -tiba menghentakkan ilmu pedangnya
dan menyerang lawannya dengan kecepatan yang
mengejutkan. Dengan demikian maka Sardula Mapan itu telah diguncang
oleh cara Mahisa Murti melawannya. Sekali-sekali Sardula
Mapan berhasil mendesak lawannya. Namun tiba -tiba ia
sendirilah y ang justru terdesak.
Dengan demikian maka Sardula Mapan telah mengerahkan
segenap kemampuannya. Ketika ia m erasa mampu m endesak
lawannya, maka ia ingin dengan cepat mengakhiri
pertempuran itu. Namun lawannya y ang muda itu seakanakan
justru menjadi semakin liat. Bahkan kemudian lawannya
itulah y ang mendesaknya, sehingga Sardula Mapan itu juga
mengerahkan kemampuannya untuk bertahan.
Sebenarnyalah, semakin lama Sardula Mapan memang
harus memeras tenaga dan kemampuannya. Disatu saat ia
semakin bernafsu untuk segera menang, namun disaat lain ia
mengumpat-umpat karena lawannya telah mendesaknya.
Kemarahan Sardula Mapan menjadi semakin memuncak
ketika ujung pedang Mahisa Murti justru telah meny entuh
kulitnya. Segores luka telah tergores dipundaknya. Tidak
terlalu dalam. Namun dari luka itu, darah telah mengalir.
Kepala Sardula Mapan rasa-rasanya hampir meledak oleh
kemarahan y ang membakar jantungnya. Darahnya serasa
mendidih memanasi seluruh kulit dagingnya.
Sambil menggeram Sardula Mapan menyerang semakin
garang. Sementara Mahisa Murti melayaninya dengan
tangkasnya,. Karena itulah, maka sebagaimana diperhitungkan oleh
Mahisa Murti, maka tenaga Sardula Mapan memang mulai
menjadi su sut. Mahisa Murti sama sekali tidak
mempergunakan ilmunya y ang mampu menghisap tenaga dan
kemampuan lawan. Yang dilakukannya sekedar memaksa
Sardula Mapan untuk mengerahkan tenaganya sampai
kepuncak kemampuannya. Demikian kekuatan dan kemampuan Sardula Mapan mulai
su sut, maka Mahisa Murti justru semakin cepat bergerak.
Ujung pedangnya bergerak semakin cepat. Bahkan k emudian
seperti seekor lalat yang berterbangan mengelilingi tubuh
Sardula Mapan dan sesekali hinggap dikulitnya.
Sardula Mapan sendiri masih belum menyadari, bahwa
tenaga dan dengan sendirinya kemampuannya mulai susut.
Kemarahannyalah y ang menghentak-hentaknya untuk
memaksakan diri bertempur semakin garang.
Namun akhirnya Sardula Mapan tidak dapat m enghindari
keny ataan itu. Tenaganya yang semakin terkuras membuatnya
semakin kehilangan keseimbangannya. Beberapa kali Sardula
Mapan justru terseret oleh serangan-serangannya sendiri yang
tidak meny entuh sasaran.
Namun Mahisa Murti tidak memberinya kesempatan untuk
beristirahat. Disaat-saat Sardula Mapan itu terengah-engah,
maka Mahisa Murtilah y ang telah menggelitiknya dengan
serangan-serangannya. Sesekali ujung pedangnya m eny entuh
kulit lawannya. Hanya sekedar menggores seleret kecil.
Namun ketika keringat meny entuh luka kecil itu, maka
perasaan pedihpun telah meny engat pula.
Sambil m engumpat-umpat Sardula Mapan masih berusaha
melawan. Namun akhirnya ia tidak dapat m engingkari bahwa
kekuatannya sudah hampir habis sama sekali. Beberapa kali ia
terhuyung-huyung hampir kehilangan keseimbangan. Namun
Mahisa Murti masih membiarkannya bertahan untuk tetap
berdiri. Pa da saat yang demikian itulah, maka Sardula Mapan mulai
menyadari sepenuhnya keadaannya. Ia mulai mengerti,
bagaimana anak muda itu memancingnya sehingga tenaganya
terkuras habis. Ketika Sardula Mapan meny erang dengan
pedang terjulur serta Mahisa Murti begitu saja bergeser
kesamping, maka rasa -rasanya Sardula Mapan itu hampir
jatuh terjerembab. Jika saja saat itu Mahisa Murti
menyerangnya, maka habislah sudah segala-galanya.
Tetapi kemarahan Sardula Mapan memang tidak dapat
diredamnya. Yang dilakukan oleh Mahisa Murti benar-benar
penghinaan y ang tiada taranya. Karena itu maka iapun
kemudian berteriak "Cepat, selesaikan anak ini"
Beberapa orang kawannya mulai bergerak. Tetapi demikian
mereka melangkah maju, maka seorang dari ketiga orang
prajurit y ang menyertai Mahisa Murti berkata lantang "Ki
Sanak. Sebaiknya Ki Sanak tidak u sah turut campur. Biarlah
mereka meny elesaikan permainan dengan adil tanpa
dicampuri orang lain."
"Persetan kau. Sebaikny a kaulah y ang tidak usah turut
campur. Kami adalah kawan-kawan Sardula Mapan yang wajib
membantunya jika ia dalam keadaan gawat."
"Bukankah kau dan kawan-kawanmu m elihat bahwa kami
datang bersama anak muda itu. Jika kau merasa wajib
membantu kawanmu, m aka kami juga merasa berkewajiban
untuk melakukannya."
Kawan-kawan Sardula Mapan memang menjadi ragu-ragu.
Jika saja mereka memiliki kemampuan seperti anak muda itu,
maka mereka memang akan kehilangan kesempatan untuk
mengalahkannya. Karena itu, untuk sesaat mereka memang menjadi ragu.
Namun agaknya pengaruh Sardula Mapan terhadap mereka
cukup besar. Karena itu, maka ketika Sardula Mapan itu sekali
lagi berteriak, maka mereka tidak dapat menolak lagi. Apalagi
mereka merasa bahwa jumlah mereka lebih banyak dari
jumlah kawan-kawan anak muda itu.
Dalam waktu singkat, lima orang telah bersiap. Berenam
dengan Sardula Mapan mereka menghadapi Mahisa Murti dan
tiga orang kawannya. Namun sambil tertawa Mahisa Murti berkata "Kenapa
kalian m asih berniat untuk berkelahi terus " Bukankah kita
dapat menganggap bahwa persoalan kita sudah selesai sampai
disini ?" "Persetan" geram Sardula Mapan "kau tidak usah berusaha
menyelamatkan diri sesudah dengan sombong kau m enghina
aku." "Tetapi apa y ang akan kau lakukan itu justru hanya akan
menambah parah perasaanmu. Kau akan merasa lebih terhina
lagi, karena kawan-kawanmu tidak akan dapat m engalahkan
kawan-kawanku meskipun jumlah kalian lebih banyak."
"Jangan dengarkan" teriak Sardula Mapan "cepat, lakukan.
Apa lagi y ang kalian tunggu ?"
Kelima orang itupun segera bergerak semakin dekat. Tetapi
bersamaan dengan itu, tiga orang prajurit yang meny ertai
perjalanan Mahisa Murti telah m elangkah maju pula. Mereka
memang tidak mengenakan pakaian keprajuritan. Tetapi
mereka tidak melupakan senjata mereka.
Sejenak kedua kelompok itupun berhadapan. Namun
Sardula Mapan sendiri seakan-akan telah kehabisan tenaga.
Bahkan ditubuhnya terdapat beberapa gores luka yang
meskipun tidak terlalu dalam, namun luka itu telah menodai
pakaiannya dengan darah. Sejenak kawan-kawan Sardula Mapan itu masih saja
dicengkam oleh keragu-raguan. Apalagi ketika mereka melihat
ketiga orang kawan Mahisa Murti y ang nampak meyakinkan.
"Ki Sanak" berkata Mahisa Murti "sekali lagi aku minta,
urungkan niat kalian untuk memperluas persoalan yang
sebenarnya tidak terlalu penting ini. Tetapi jika kalian
memaksakannya, maka kami akan dapat kehilangan
kesabaran, sehingga kamipun akan dapat bertindak semakin
keras menghadapi kalian. Aku tahu bahwa kalian bukan
orang-orang jahat yang sebenarnya. Tetapi kalian adalah
orang-orang yang terlalu yakin akan kelebihan kalian,
sehingga kalian sering berbuat sewenang-wenang terhadap
orane lain. Karena itu, aku minta hentikan tingkah laku kalian
itu sebelum kalian mengalami kesulitan y ang semakin parah."
Sardula Mapan memang menjadi ragu-ragu. Luka-luka
ditubuhnya terasa semakin pedih meskipun luka-luka itu tidak
terlalu parah. Sementara itu ampat orang y ang telah bersiap, berdiri tegak
dihadapannya. Sikap dan tatapan mata mereka yang
meyakinkan memang m embuat Sardula Mapan dan kawankawannya
harus berpikir kembali apakah mereka akan
meneruskan niat mereka. Sementara itu Mahisa Murtipun berkata "Nah, kalian
mempunyai kesempatan untuk mempertimbangkan sekali lagi
niat kalian. Selanjutnya jika kita sudah mulai lagi dengan
perkelahian, maka aku tidak akan bertanya lagi, apakah kalian
akan menghancurkan diri sendiri atau akan mengambil sikap
bijaksana." Wajah Sardula Mapan menjadi merah padam, sementara
luka-lukanya terasa semakin pedih, Namun ia memang raguragu
untuk memaksa kawan-kawannya bertempur melawan
keempat orang y ang nampaknya memang memiliki kelebihan.
Meskipun jumlah kawan-kawannya lebih banyak, namun
mereka tidak memiliki kemampuan sebagaimana Sardula
Mapan. Sementara itu, ia sama sekali tidak berdaya melawan anak
muda yang sejak semula dikiranya selalu terdesak itu.
" Ia dengan sengaja m empermainkan aku" berkata Sardula
Mapan itu didalam hatinya.
Dengan demikian Sardula Mapan itu tidak mau menambah
kekalahannya lagi. Ia sudah cukup dipermalukan, sehingga
nalarnya masih sempat memperhitungkan, bahwa perkelahian
berikutnya hanya akan meyakinkan orang -orang yang
menyaksikannya bahwa ia memang tidak berdaya.
Menghadapi anak muda dan kawan-kawannya sama sekali
tidak berarti apa-apa. Sementara sebelumnya Sardula Mapan
adalah orang yang meskipun diantara mereka sama sekali
belum pernah mengenalnya secara pribadi.
Karena itu, maka akhirnya Sardula Mapanitu tidak dapat
mengingkari kenyataan y ang dihadapinya. Meskipun ia masih
tetap berusaha untuk mempertahankan harga dirinya. Dengan lantang iapun kemudian berkata "Ternyata
aku tidak sampai hati berbuat
lebih jauh. Melihat wajahmu
yang masih kekanak-kanakan
itu aku memang merasa kasihan. Karena itu maka kali
ini kalian aku ampuni. Kalian
boleh pergi sekehendak hatimu. Tetapi ingat, jangan
kembali lagi." Hampir berbareng Mahisa Murti dan ketiga orang prajurit y ang meny ertainya
tertawa. Namun Mahisa Murti
kemudian menyahut "Terima
kasih Ki Sanak. Tetapi maaf, aku belum ingin pergi. Aku masih
meninggalkan mangkuk minuman didalam. Demikian pula
kawan-kawanku. Karena itu, kami akan menghabiskannya
lebih dahulu." "Setan kau. Kau m emang tidak tahu diri." geram Sardula
Mapan. Lalu katanya "Tetapi ingat, untuk selanjutnya jangan
kembali lagi kemari."
Mahisa Murti masih saja tertawa. Katanya "Sudahlah Ki
Sanak. Kenapa tidak kita hentikan permusuhan ini. Kau tahu
bahwa ancaman-ancaman semacam itu tidak ada gunanya
sama sekali. Aku harap kau mengetahui bahwa untuk
selanjutnya aku akan sering lewat jalan ini. Aku tinggal di
Pa depokan Bajra Seta, sementara ay ahku berada di Kotaraja.
nah, bukankah aku akan sering melewati jalan ini " Aku akan
sering pula singgah di kedai ini dan aku akan selalu bertanya
tentang seseorang y ang bernama Sardula Mapan. Apakah ia
masih sering datang kemari atau tidak."
Wajah Sardula Mapan menjadi m erah. Tetapi ia m emang
tidak dapat berbuat apa-apa. Karena itu, maka katanya kepada
kawan-kawannya "Kita tinggalkan iblis2 itu. Tidak ada artinya
apa-apa jika kita melayaninya. Aku tidak mempunyai waktu."
Demikianlah, maka Sardula M;man itupun segera
melangkah ke kudanya diikuti oleh kawan-kawannya. Lukalukanya
memang tidak terlalu berbahaya. Namun pakaiannya
telah ternoda darahnya y g menitik dari luka-lukanya.
Tetapi ketika Sardula Mapan itu akan meloncat ke
punggung kudanya, Mahisa Murti masih berkata "Baiklah. Aku
yang akan membayar harga makanan dan minuman yang telah
kalian makan dan kalian minum di kedai ini."
Telinga Sardula Mapan rasa-rasanya seperti tersengat api.
Dengan marah Sardula mapan telah memungut beberapa
keping uang dari kantong ikat-pinggangnya. Sambil
melemparkan uang itu kepada pemilik kedai itu berkata
"Ambil uang itu. Kelebihannya adalah pertanda
kemurahanku." Pemilik kedai itu hanya termangu -mangu saja. Sebelum ia
mengambil uang itu, maka Sardula Mapan itu telah m eloncat
ke punggung kudanya dan dengan menghentakkan
kendalinya, maka kuda y ang tegar itupun segera berlari
meninggalkan kedai itu diikuti oleh kawan-kawannya.
Mahisa Murti menarik nafas dalam-dalam. Sambil
memandang berkeliling ia berkata kepada orang-orang yang
berdiri termangu-mangu mengelilingi arena itu "Ki Sanak.
Pertunjukkan sudah selesai. Nah, lupakan apa y ang telah
terjadi." Orang-orang yang termangu-mangu itu bagaikan terbangun
dari mimpi. Merekapun satu -satu meninggalkan lingkaran itu.
Namun dihati mereka masih mengembang kekagumannya
kepada anak muda yang telah berhasil m engalahkan Sardula
Mapan y ang dikenal sebagai seorang y ang tidak terkalahkan
dilingkungannya. Sementara itu Mahisa Murtipun telah mendekati pemilik
kedai y ang termangu-mangu sambil berkata "ambil uang itu.
Hitunglah, apakah sudah cukup atau belum. Jika ternyata
masih kurang, biarlah aku menggenapinya."


04 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Namun seorang prajurit yang menyertainya berkata sambil
tersenyum "bukankah kelebihannya pertanda kemurahan
hatinya?" Mahisa Murtipun tertawa, sementara pemilik kedai itu
tengah memungut dan kemudian menghitung uang yang
dilemparkan oleh orang y ang menyebut dirinya Sardula
Mapan itu. "Baru separony a" desis pemilik kedai itu.
"Baiklah" sahut Mahisa Murti "nanti y ang separonya lagi
biarlah aku y ang menambahinya."
"Tidak usah anak muda" berkata pemilik kedai itu. Lalu
katanya pula "Apa yang kalian lakukan telah cukup. Aku tidak
mengira bahwa pada suatu saat Sardula Mapan itu dapat
dikalahkan oleh seseorang."
"Apakah ia sering melakukan pemerasan seperti kali ini ?"
bertanya Mahisa Murti. "Aku baru mengalami kali ini" jawab pemilik kedai itu
"tetapi aku memang sering mendengar namanya. Ia termasuk
seorang yang berada. Tetapi menurut keterangan yang pernah
aku dengar, ia memang sering melakukan hal yang aneh-aneh,
justru karena ia merasa-sebagai seorang yang tidak
terkalahkan di daerah ini."
Mahisa Murti mengangguk-angguk. Namun kemudian
pemilik kedai itupun mempersilahkannya "Marilah anak
muda. Bukankah kalian belum selesai minum "Mahisa Murti dan ketiga orang prajurit itupun masuk
kembali kedalam kedai. Mereka masih ingin menyelesaikan
makan dan minum yang sudah mereka pesan.
Sementara itu beberapa orang yang semula berkerumun di
halaman itupun telah meninggalkan kedai itu. Tetapi ada juga
diantara mereka y ang masih kembali m asuk kedalam kedai
sebagaimana Mahisa Murti dan kawan-kawannya.
Untuk beberapa saat Mahisa Murti dan ketiga orang
kawannya duduk di kedai itu. Namun akhirnya merekapun
selesai pula. Namun ketika m ereka membayar m inuman dan
makanan mereka, pemilik kedai itu menolak uang yang
diberikan oleh Mahisa Murti atas kekurangan Sardula Mapan
dan kawan-kawannya. Seperti yang sudah dikatakannya, maka pemilik kedai itu
berkata pula "Tidak usah anak muda. Aku berterima kasih atas
kebaikan hati kalian. Apa y ang kajian lakukan telah lebih dari
cukup. Bukan hanya sekedar untuk aku sendiri, tetapi dengan
demikian maka tingkah laku Sardula Mapan itu mudahmudahan
dapat berubah, sehingga ia tidak lagi sering
menyulitkan orang lain. Ju stru karena ia memiliki kelebihan."
Mahisa Murti mengangguk-angguk. Katanya kemudian.
"Baiklah. Aku akan minta diri. Tetapi seperti yang aku
katakan, bahwa aku tentu akan sering lewat jalan ini."
Pemilik kedai itu termangu-mangu sejenak. Namun
kemudian ia bertanya "Jadi Ki Sanak benar-benar akan sering
lewat jalan ini" Atau sekedar untuk menakut-nakuti Sardula
Mapan?" "Aku benar-benar akan sering lewat jalan ini" jawab Mahisa
Murti" bukan sekedar menakut-nakuti Sardula Mapan. Jalan
ini menghubungkan tempat tinggalku dan tempat tinggal
orang tuaku." "Baiklah Ki Sanak" berkata pemilik kedai itu "aku
mempersilahkan Ki Sanak selalu singgah di kedaiku."
"Terima kasih" jawab Mahisa Murti "agaknya aku tentu
akan singgah." Demikianlah Mahisa Murti dan ketiga orang prajurit dan
ketiga prajurit yang meny ertainya segera m eninggalkan kedai
itu. Beberapa orang y ang berada di kedai itupun saling
bergumam membicarakannya.
"Aku mula-mula merasa cemas akan nasibnya" berkata
seseorang" aku kira anak muda itu sekedar terdor ong oleh
kesombongannya serta darah mudanya saja sehingga ia berani
menentang Sardula Mapan. Namun ternyata bahwa ia benarbenar
seorang yang berkemampuan sangat tinggi. Ternyata ia
justru telah mempermainkan Sardula Mapan. Bahkan
melukainya. Nampaknya jika anak itu mau m embunuhnya, ia
tentu akan dapat melakukannya."
"Akupun semula merasa cemas" sahut kawannya "mulamula
anak muda itu nampaknya selalu terdesak. Namun
ternyata ia hanya sekedar main-main."
Sementara itu Mahisa Murti tengah berlari diatas punggung
kudanya menuju ke Padepokan Bajra Seta bersama dengan
ketiga orang prajurit y ang menyertainya. Disepanjang
perjalanan mereka tidak lagi banyak berbicara. Mahisa Murti
yang untuk beberapa lamanya dapat melupakan per soalan
pribadiny a, ternyata telah disentuh kembali oleh kepahitan
perasaannya sebagaimana ia harus meninggalkan Singasari
seorang diri tanpa Mahisa Pukat. Sejak kanak-kanak ia
memang jarang sekali terpisah dari saudaranya itu. Namun
kini ia terpaksa meninggalkannya justru karena ia tidak ingin
mengalami keretakkan. Di perjalanan selanjutnya Mahisa Murti tidak m engalami
hambatan lagi. Namun waktu telah banyak tersita oleh
permainannya dengan Sardula Mapan.
Kehadirannya seorang diri di Padepokannya telah membuat
seisi Padepokan Bajra Seta merasa heran. Meskipun mereka
tidak segera bertanya, tetapi terasa bahwa kehadiran Mahisa
Murti seorang diri telah menimbulkan kegelisahan.
Bahkan beberapa orang telah saling berbisik tentang ketiga
orang yang meny ertai Mahisa Murti di perjalanan itu. Seorang
diantara para cantrik berdesis "Siapakah mereka bertiga?"
Kawannya menggeleng, jawabnya "Aku tidak tahu." Namun
berbeda dengan para cantrik y ang m asih segan menanyakan
kesendirian Mahisa Murti, maka Mahisa Amping ternyata
telah m emberanikan diri untuk bertanya "Dimanakah kakang
Mahisa Pukat. Bukankah tidak terjadi sesuatu atas dirinya?"
Mahisa Murti menarik nafas dalam-dalam. Wajahnya y ang
muram m embuat Mahisa Amping gelisah. Mahisa Semu dan
Wantilan yang juga mendengar pertanyaan Mahisa Amping
itupun ikut menjadi berdebar-debar. Namun ketika mereka
melihat wajah ketiga orang kawan seperjalanan Mahisa Murti,
maka rasa-rasanya memang tidak terjadi sesuatu atas Mahisa
Pukat. Namun Wantilan y ang sudah lebih tua itu bertanya didalam
dirinya "Apakah keduanya telah berselisih?"
Tetapi Mahisa Murti pun kemudian telah memberikan
penjelasan kepada seisi Padepokan, kenapa Mahisa Pukat
tidak kembali bersamanya meskipun yang dikatakannya tidak
sebagaimana y ang telah terjadi.
"Mahisa Pukat masih mempunyai kepentingan di Singasari.
Selain menemani ayah y ang sudah tua, maka masih ada
kewajiban yang diembannya. Sementara itu, padepokan ini
tidak boleh terlalu lama kami tinggalkan, sehingga karena itu,
maka aku telah m endahului kembali ke Padepokan. Namun
dengan demikian, aku akan sering mondar-mandir untuk
menjenguk ay ah dan Mahisa Pukat di Singasari."
Barulah seisi Padepokan itu merasa lega atas penjelasan itu.
Meskipun nampaknya penjelasan itu masih belum tuntas,
namun seisi Padepokan telah dapat diyakinkan, bahwa tidak
ada perselisihan antara kedua anak m uda y ang sebelumnya
belum pernah mereka lihat saling berpisah itu.
Dalam pada itu, ketiga orang prajurit Singasari y ang
menyertai Mahisa Murti itu tinggal untuk dua hari di
Pa depokan. Sebenarnya Mahisa Murti masih menahannya,
namun ketiganya merasa bahwa mereka telah cukup lama
meninggalkan tugas mereka.
"Sebenarnya aku kerasan tinggal disini" berkata salah
seorang dari ketiga orang prajurit itu "disini kehidupan terasa
begitu akrab dengan alam. Padepokan ini rasa -rasanya berada
di bay angan hijaunya lembah dan hijaunya lereng
pegunungan. Tenang dan damai."
Namun Mahisa Murti menyahut "Tetapi sekali waktu,
Pa depokan ini terbakar juga oleh perselisihan dengan
kekerasan. Betapapun kami mencoba untuk m enghindarkan
diri dari permusuhan, t etapi kadang-kadang kami masih
dipaksa untuk melakukan kekasaran dan kekerasan. Bahkan
yang dapat menimbulkan korban."
Ketiga orang prajurit itu mengangguk-angguk. Seorang
diantara mereka pun berkata "Tetapi bukankah kita berhak
melindungi diri sendiri?"
Sementara Mahisa Murti membenamkan diri dalam
kesibukannya, Mahisa Pukat masih saja ter seret oleh arus
perasaannya. Hubungannya dengan Sasi menjadi semakin
dekat. Apalagi ayah dan ibu Sasi nampaknya tidak
berkeberatan melihat hubungan itu. Meskipun Arya Kuda
Cemani juga ikut memikirkan kepergian Mahisa Murti kembali
ke Padepokannya seorang diri, namun Mahendra telah
memberikan penjelasan bahwa tidak t erjadi apa-apa diantara
kedua anaknya. "Mahisa Murti telah melepaskannya dengan ikhlas" berkata
Mahendra pada suatu saat kepada Arya Kuda Cemani.
"Jiwanya cukup tegar" desis Arya Kuda Cemani.
"Ya. Sementara itu Mahisa Pukat nampaknya tidak
memperhatikan gejolak perasaan saudaranya. Tetapi itu lebih
baik baginya, sehignga ia tidak usah merasa bersalah" sahut
Mahendra. Arya Kuda Cemani mengangguk-angguk. Katanya sendat
"Aku mohon maaf, bahwa anakku telah menyakiti hati Mahisa
Murti." "Tetapi bukankah Sasi tidak sengaja melakukannya"
Bahkan ia sama sekali tidak menyadari, apa yang telah terjadi
atas Mahisa Murti. Sebaiknya Sasipun tidak usah tahu agar
seperti Mahisa Pukat, ia tidak usah ikut merasa bersalah"
jawab Mahendra. Arya Kuda Cemani mengangguk-angguk. Namun
kekagumannyapun semakin bertambah. Mahisa Murti bukan
sa ja seorang y ang berilmu sangat tinggi. Tetapi hatinya
ternyata seluas lautan tidak bertepi.
Namun demikian, harapannya y ang tertumpu kepada
Mahisa Pukat juga tidak berubah. Ia berharap agar hubungan
antara anaknya dengan Mahisa Pukat dapat menjadi semakin
akrab sehingga keduanya akan sampai pada suatu titik temu
untuk membangun hidup kekeluargaan. Meskipun Arya Kuda
Cemani tahu, bahwa Mahisa Pukat tidak lebih dari seorang
pemimpin Padepokan y ang hidup jauh dari Kota Raja, namun
hidup di padepokan itu akan dapat m emberikan ketenangan
jiwa bagi anaknya. Tetapi ibu Sasilah y ang ternyata telah diganggu oleh
gambaran kehidupan y ang akan datang bagi Sasi. Ibunya
belum pernah mengalami satu kehidupan lain dari kehidupan
yang sedang dijalaninya. Ia tidak dapat membayangkan, apa
yang akan terjadi dengan Sasi jika ia hidup di dunia yang
terpencil, jauh dari keramaian kota. Satu lingkungan yang
sepi, terletak di tengah-tengah bulak y ang sangat luas.
Dikejauhan nampak hutan yang masih lebat yang dihuni oleh
binatang-binatang buas. Ketika hal itu disampaikan kepada ay ah Sasi, m aka Arya
Kuda Cemani itu justru bertanya "Bukankah setiap kali kau
menyatakan bahwa kau tidak berkeberatan atas hubungan
antara Mahisa Pukat dan anak kita?"
"Pada dasarnya aku memang tidak berkeberatan. Aku tahu
bahwa angger Mahisa Pukat adalah seorang y ang memiliki
kemampuan yang tinggi. Seorang yang cerdas dan baik hati.
Tetapi karena itu, apakah angger Mahisa Pukat tidak dapat
menempuh satu k ehidupan yang lain dari yang ditempuhnya
sekarang?" "Maksudmu?" bertanya Arya Kuda Cemani.
"Anak-anak kita, yang m enurut keterangan ilmunya jauh
berada dibawah angger Mahisa Pukat pun dapat menjadi
seorang prajurit. Bukankah dengan demikian, maka angger
Mahisa Pukat akan mendapat kesempatan y ang lebih baik
untuk menjadi seorang prajurit pula" Bahkan dengan
kedudukan y ang lebih tinggi pula."
Ra den Kuda Cemani menarik nafas dalam-dalam. Katanya
"Aku tidak tahu, apakah angger Mahisa Pukat tertarik atau
tidak untuk menjadi seorang prajurit. Tetapi jika Sasi
menerima angger Mahisa Pukat, maka ia harus menerima
keadaannya seutuhnya. Mahisa Pukat adalah satu diantara dua
orang pemimpin Padepokan Bajra Seta. Yang seorang lagi
adalah angger Mahisa Murti."
"Aku mengerti" jawab isterinya "namun jika kemudian Sasi
merasa hidupnya tersisih dari kehidupan y ang dijalani
sebelumnya, maka ketenangan hidupnya akan goyah. Sasi
memang mempunyai beberapa kemungkinan. Ia dapat
memaksa diri untuk bertahan namun dengan jantung yang
semakin rapuh, atau memberontak sehingga hidup
kekeluargaannya akan terganggu."
"Tetapi bukankah itu baru gambaran orang tua yang cemas
oleh bayangan-bay angan y ang dibuatnyaa sendiri?" jawab
Arya Kuda Cemani. "Tetapi kita tidak dapat mengabaikan perasaan Sasi
kemudian. Justru kita harus menilainya sebelum terlambat"
berkata ibu Sasi dengan sungguh-sungguh.
"Jadi maksudmu agar aku m enyampaikan kepada Mahisa
Pukat, apakah ia bersedia untuk menjadi seorang prajurit?"
bertanya Arya Kuda Cemani.
Isterinya menarik nafas dalam-dalam. Tetapi ia ragu-ragu
untuk menjawab. Karena isteriny a tidak segera menjawab, maka Arya Kuda
Cemani itupun berkata "Baiklah. Aku mengerti. Ada dua cara
yang dapat kita tempuh. Kita minta angger Mahisa Pukat
memikirkan kemungkinan untuk menjadi seorang prajurit
atau kita minta agar Sasi memikirkan kemungkinankemungkinan
y ang bakal terjadi di kemudian hari. Namun
sudah tentu hal ini baru dapat kitaaa lakukan jika kita sudah
mendapat satu kepastian bahwa Mahisa Pukat memang
berniat untuk hidup bersama Sasi dan demikian pula
sebaliknya. Mudah-mudahan hal ini tidak menimbulkan salah
paham pada keduanya."
Ibu Sasi itu mengangguk-angguk kecil. Namun ia masih
berkata "Sebagaimana Sasi, kita sekarang baru melihat angger
Mahisa Pukat sepintas. Katakan, kita baru melihat kulitnya
yang nampaknya memang halus dan lembut."
"Aku" jawab Arya Kuda Cemani "aku sudah melihat isinya.
Aku tidak baru mengenalnya sekarang. Tetapi aku sudah


04 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mengenalnya sebelum keduanya datang ke Singasari. Aku tahu
apa yang mereka lakukan di Kabuyutan Bumiagara.
Bagaimana mereka mampu mengekang diri meskipun mereka
dapat berbuat apa saja atas lawan-lawan mereka. Maksudku
keduanya itu adalah angger Mahisa Murti dan Mahisa Pukat."
"Tetapi kita belum tahu sikapnya terhadap seorang
perempuan" jawab isterinya.
"Baiklah" berkata Arya Kuda
Cemani "aku akan memenuhi
keinginanmu. Aku akan berbicara
dengan Sasi dan angger Mahisa Pukat.
Tetapi sekali lagi. Kita akan menunggu
sampai semuanya menjadi jelas. Jika
kita tergesa -gesa, maka Sasi akan
dapat mengelakkan setiap pembicaraan. Apalagi jika anak itu
masih meragukan sikap angger
Mahisa Pukat." Dengan demikian, maka Arya Kuda
Cemani merasa dibebani tanggung
jawab atas hari depan anak gadisnya.
Tetapi Arya Kuda Cemani tidak akan ingkar. Meskipun
sebenarnya tanggung jawab itu terletak pada ayah dan ibunya,
namun rasa-rasanya per soalan Sasi dalam hubungannya
dengan Mahisa Pukat itu seluruhnya dibebankan kepadanya.
Dalam pada itu, hubungan antara Sasi dan Mahisa Pukat
berlangsung wajar dan bahkan semakin akrab, meskipun
masih t etap dibatasi oleh paugeran yang berlaku. Namun
nampaknya pada keduanya sudah terpahat ikatan yang
meskipun belum terucapkan.
0odwo0 Namun dalam pada itu, ternyata bahwa Lembu Atak sama
sekali tidak mau menerima kenyataan y ang telah t erjadi atas
dirinya. Ia bukan saja menjadi sakit hati karena
kekalahananya, bahkan bersama sekelompok kawankawannya.
Tetapi ia masih m endapat hukuman dari ayahnya
di barak. Meskipun ia mendapat hukuman bersama-sama
dengan kawan-kawannya pula, tetapi hukuman yang
diterimanya ternyata adalah hukuman yang terberat.
Karena itu, maka dendamnya telah ditujukan kepada
Mahisa Murti, Mahisa Pukat dan Sasi.
"Bagaimanapun juga aku harus dapat membalas dendam.
Meskipun Sasi sama sekali tidak menghiraukan aku, tetapi
dendamku akan aku tumpahkan lewat orang lain." berkata
Lembu Atak kepada kawan-kawannya.
"Apa y ang akan kau lakukan?" bertanya salah seorang
kawannya y ang juga mendendam.
"Apapun" jawab Lembu Atak "kita mempunyai banyak
kawan di Kotaraja ini. Sementara itu, Mahisa Murti menurut
pendengaranku telah meninggalkan Kotaraja kembali ke
Pa depokannya. Bukankah y ang tinggal hanya Mahisa Pukat
sa ja." "Tetapi anak itu b erilmu tinggi. Sebagaimana kau lihat, ia
mampu mengimbangi ayahmu yang kita anggap orang yang
tidak terkalahkan itu." jawab kawannya.
"Omong kosong, kau percaya itu ?" bertanya Lembu Atak.
"Bukankah kau sendiri y ang mengatakannya ?" kawannya
justru bertanya pula kepadanya.
"Kau kira ay ah bersungguh-sungguh " Aku tahu, ay ah tentu
hanya ingin sekedar membuktikan sampai sejauhmana kedua
anak itu memiliki k emampuan. Dengan demikian ayah tahu,
bahwa aku berbohong. Tetapi jika ayah bersungguh-sungguh
kedua orang anak itu tentu-akan menjadi abu."
Kawan-kawannya mendengarkan dengan penuh perhatian.
Meskipun apa yang dikatakan Lembu Atak itu agak berbeda
dengan ceriteranya y ang terdahulu, yang menyatakan bahwa
kedua anak muda yang bernama Mahisa Murti dan Mahisa
Pukat itu mampu m engimbangi kemampuan ayahnya, namun
kawan-kawannya tidak membantahnya.
Apalagi ketika Lembu Atak berkata "Waktu itu aku sangat
kecewa terhadap ayah, sehingga aku menganggap bahwa ay ah
tidak mampu mengalahkan kedua anak muda itu. Tetapi
kemudian baru aku sadar, bahwa sebenarnya ayah memang
tidak ingin menghancurkan keduanya. Ayah hanya ingin
mengetahui apakah aku berbohong atau tidak."
Kawan-kawannya masih saja mengangguk-angguk.
Sementara itu Lembu Atak berkata "Kita harus menemukan
seseorang yang berilmu tinggi y ang dapat kita benturkan
dengan Mahisa Pukat. Lebih baik jika seseorang y ang memiliki
latar belakang sebuah perguruan, sehingga saudara-saudara
seperguruannya bahkan lebih baik jika gurunya turut campur."
"Bagaimana hal itu kita lakukan ?" bertanya kawannya.
"Kita perkenalkan orang itu dengan Kuda Semedi dan Kuda
Semeni. Biarlah kedua anak itu memperkenalkan orang yang
akan kita benturkan dengan Mahisa Pukat dengan adiknya,
Sasi." "Apakah Kuda Semedi dan Kuda Semeni dapat diikut
sertakan?" bertanya kawannya.
"Kita seret anak itu kedalam kubu kita atau m ereka akan
kita pencilkan di barak ini." berkata Lembu Atak.
Kawan-kawannya mengangguk-angguk. Namun seorang
diantara mereka bertanya "Bagaimana jika ay ahmu
mengetahui rencana ini dari siapapun juga ?"
Wajah Lembu Atak menegang. Namun kemudian iapun
berkata "Tidak ada y ang berkhianat diantara kita. Tetapi jika
ternyata ada, maka hukumannya adalah hukuman bagi
seorang pengkhianat."
Kawan-kawannya mengangguk-angguk. Meskipun ada
diantara mereka y ang tidak sependapat, tetapi pikiran itu tidak
dapat diungkapkannya. Namun sebagian besar dari mereka sependapat dengan
Lembu Atak itu. Kecuali mereka ingin menjadi sahabat
terdekat dari Lembu Atak yang kebetulan adalah anak
Senapati dari pasukan itu, juga karena mereka mendendam
pula kepada Mahisa Pukat. Mereka akan ikut merasa senang
jika Mahisa Pukat hatinya menjadi terluka atau anak itu
dihancurkan sama sekali oleh satu kekuatan yang mampu
mengatasi kemampuannya. Dengan demikian, maka Lembu Atak dan kawan-kawannyapun
telah berusaha untuk menemukan orang yang mereka
cari. Namun sebelumnya Lembu Atak dan kawan-kawannya
telah memanggil Kuda Semedi dan Kuda Semeni.
Kuda Semedi dan Kuda Semeni memang menjadi berdebardebar.
Mereka m enjadi cemas jika Lembu Atak dan kawankawannya
akhirnya mengetahui, bahwa ia telah
memberitahukan kepada Mahisa Murti dan Mahisa Pukat
akan rencananya di saat di rumah Kuda Semedi dan Kuda
Semeni ada keramaian kecil.
Tetapi dugaan m ereka ternyata keliru m eskipun persoalan
yang disampaikan kepada mereka tetap merupakan per soalan
yang sangat menggelisahkan baginya.
"Kau tidak boleh berpihak kepada Mahisa Pukat" berkata
Lembu Atak "jika kau tetap berpihak kepadanya, m aka kau
akan dipencilkan di barak ini. Kau tahu, bahwa kau akan
mengalami perlakuan y ang tidak baik."
Kuda Semedi termangu-mangu sejenak. Namun iapun
kemudian bertanya "Apa yang kalian kehendaki?"
"Aku ingin membalas dendam kepada Mahisa Pukat."
"Apakah kau masih m endendam" Bukankah persoalannya
telah dianggap selesai?" bertanya Kuda Semedi.
"Siapa yang menganggap persoalan itu selesai?" bertanya
Lembu Atak. "Bukankah ayahmu telah meny elesaikan persoalan ini?"
jawab Kuda Semedi. "Tidak. Ayahku belum menyelesaikan per soalan ini dengan
tuntas. Ayah hanya ingin mengetahui apakah yang telah
dilakukan oleh Mahisa Pukat" jawab Lembu Atak "tetapi
semuanya itu tidak penting. Yang penting, aku ingin membalas
dendam kepada Mahisa Pukat. Jangan salah mengerti. Aku
tidak ingin membalas dendam kepada Sasi. Selebihnya akau
kasihan melihat Sasi berhubungan dengan anak Padepokan
itu. Jika hubungan itu t erlanjur menjadi semakin jauh, maka
Sasi tentu akan meny esal dikemudian hari. Apakah artinya
anak Padepokan seperti Mahisa Pukat dan Mahisa Murti itu"
Betapapun tinggi ilmunya, tetapi mereka terkurung dalam
lingkungan sempit, sepi dan jauh dari keramaian Kotaraja.
Kehidupan yang demikian tentu merupakan kehidupan yang
menjemukkan. Apalagi Mahisa Pukat dari hari ke hari akan
selalu berada di lingkungan para cantriknya."
Kuda Semedi dan Kuda Semeni tidak menjawab. Mereka
memang merenungi kata-kata Lembu Atak. Namun
merekapua menyadari bahwa anggapan Lembu Atak itu
diwarnai oleh kekecewaan dan dendamnya kepada Mahisa
Pukat. Namun demikian Kuda Semedi dan Kuda Semeni memang
tidak dapat mengabaikan ancaman Lembu Atak, bahwa
mereka berdua akan dipencilkan dari antara kawan-kawannya
di barak. Menurut penilaian Kuda Semedi dan Kuda Semeni,
hal itu m emang mungkin terjadi justru karena Lembu Atak
adalah anak Senapati prajurit Singasari di barak itu.
Namun dalam pada itu, Lembu Atak itupun berkata
"Pikirkan kalian berdua. Aku tidak akan memaksa kalian.
Tetapi aku ingin kalian mengerti apa yang sebenarnya sedang
terjadi atas Sasi." Kuda Semedi dan Kuda Semeni tidak menjawab. Mereka
masih saja berdiam diri ketika Lembu Atak mengajak kawankawannya
meninggalkan mereka berdua.
"Satu pilihan y ang rumit" berkata Kuda Semedi kemudian.
"Tetapi ibu juga pernah meny inggung masa depan Sasi.
Secara pribadi aku tidak berkeberatan terhadap hubungan Sasi
dengan Mahisa Pukat. Tetapi ibu pernah meragukan masa
depan mereka." berkata Kuda Semeni.
"Tetapi bukankah ibu tidak berkeberatan terhadap
hubungan mereka?" bertanya Kuda Semeni.
"Pada dasarnya memang tidak. Tetapi bagaimana masa
depan Sasi jika hubungan mereka itu sampai pada satu ikatan
perkawinan" Sementara Mahisa Pukat tidak mempunyai
pegangan yang mantap bagi masa depannya. Apakah artinya
hidup dalam sebuah Padepokan y ang apalagi terpencil?" desis
Kuda Semeni. "Bukankah itu persoalan mereka berdua?" sahut Kuda
Semedi. "Ya. Itu memang per soalan mereka. Tetapi setidak-tidaknya
Sasi sempat memikirkannya. Ia tidak boleh sekedar silau
melihat ujud Mahisa Pukat. Kekaguman ay ah atas
kemampuannya y ang tinggi dalam olah kanuragan. Tetapi
apakah itu sudah cukup bagi kehidupan mereka kelak.
Terutama Sasi?" sahut Kuda Semeni.
"Jika Sasi menerima masa depan y ang demikian?" bertanya
Kuda Semeni. Kuda Semeni menarik nafas panjang sambil berdesis "Jika
demikian apa boleh buat."
0odwo0 Ternyata Gemak Langkas adalah memang orang y ang
sesuai sebagaimana dikehendaki oleh Lembu Atak, m eskipun
Lembu Atak sendiri setiap kali merasa diremehkan oleh
Gemak Langkas. Namun setelah G emak Langkas mengetahui
bahwa Lembu Atak adalah anak Senapati prajurit yang
berpengaruh di Singasari, maka iapun mulai sedikit menjaga
dirinya. Seperti y ang direncanakan, maka pada saat y ang dianggap
tepat, dua orang kawan Lembu Atak telah m engajak Gemak
Langkas pergi kerumah Kuda Semedi dan Kuda Semeni, ju stru
tanpa Lembu Atak. Karena kehadiran Lembu Atak tentu akan
menimbulkan per soalan bagi Sasi.
Kuda Semedi dan Kuda Semeni y ang mendapat kesempatan
untuk tinggal dirumah sehari, menerima kedatangan
kawannya dengan senang hati. Meskipun Kuda Semedi sempat
berbisik ditelinga Kuda Semeni "Keduanya adalah kawankawan
rapat Lembu Atak." Tetapi selama keduanya berada di rumah Kuda Semedi dan
Kuda Semeni, keduanya sama sekali tidak meny inggung nama
Lembu Atak atau persoalan-per soalan yang menyangkut
kepentingannya. Keduanya semakin lama menjadi semakin kehilangan
kecurigaan mereka, bahwa kedatangan keduanya itu ada
hubungannya dengan Lembut Atak.
Kuda Semedi dan Kuda Semeni semula juga tidak
menghiraukan ketika kedua orang kawannya itu bertanya
tentang adiknya, Sasi. "Sasi ada di belakang" jawab Kuda Semedi.
Namun akhirnya Sasi keluar juga untuk menghidangkan
minuman dan makanan. Gadis itu tidak m erasa segan karena
diantara tamu-tamu kakaknya itu tidak ada seorang prajurit
yang bernama Lembu Atak. "Duduklah Sasi" m inta salah seorang kawan Kuda Semedi
"kau tentu .belum mengenal kawanku ini. Namanya Gemak
Langkas. Ia adalah anak seorang saudagar kaya yang
rumahnya terletak disebelah Barat Istana."
"Silahkan minum Ki Sanak" Sasi menyahut singkat. Namun
kawan Kuda Semedi itu berkata pula "Marilah. Duduklah.
Kenapa kau nampaknya berkeberatan " Bukankah aku tidak
akan menggigitmu." Sasi memang terseny um. Senyumnya ternyata telah
menggetarkan jantung Gemak Langkas.
"Maaf Sasi" desis Gemak Langkas "mungkin aku telah
menakut-nakutimu. Bukan m aksudku, karena aku tidak tahu
bahwa disini ada seorang gadis y ang tidak aku bayangkan
sebelumnya." "Ah, tidak" jawab Sasi.
"Jika demikian, duduklah sebentar saja" berkata kawan
Kuda Semedi yang satu lagi.
Sasi memang menjadi bimbang. Ia merasa segan juga untuk
tidak memenuhi perm intaan tamu-tamu kakaknya. Karena itu,
maka Sasipun memandang kakak-kakaknya untuk minta
pertimbangan. Ternyata Kuda Semedi dan Kuda Semenipun merasa tidak
enak pula jika mereka tidak menanggapi perm intaan itu.
Karena itu, maka Kuda Semedipun kemudian berkata
"Duduklah sebentar Sasi."


04 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Sasipun kemudian duduk disebelah kedua orang kakaknya
dengan kepala tunduk. Ia ju stru merasa bingung, karena ia
tidak tahu apa yang harus diperbuat.
Kawan Kuda Semedi yang seorang itulah yang kemudian
bertanya kepadanya "Kau sendirikah y ang membuat makanan
itu?" Sasi mengangkat wajahnya sedikit. Namun kemudian iapun
menjawab "Bukan. Ibulah y ang membuatnya."
"O" tamunya mengangguk kecil "tetapi bukankah kau
membantunya membuat makanan itu ?"
Sasi mengangguk kecil. Katanya "Hanya membantu
sedikit." "Nah, jika minuman ini tentu kau yang membuatnya"
berkata kawan kakaknya yang seorang lagi.
"Ya." Sasi mengangguk. "Minumlah" gadis itu
mempersilahkan tamu-tamunya.
Tamu-tamu itupun kemudian telah meneguk minuman
hangat yang dihidangkan oleh Sasi. Dengan menganggukangguk
kecil Gemak Langkas berdesis "Segar sekali. Aku
sering minum wedang sere. Tetapi tidak sesegar kali ini."
Susi hanya menunduk saja. Tetapi ia tidak menjawab.
Ternyata Gemak Langkas pandai juga berbicara tentang
makanan dan minuman, sehingga ia mulai lebih banyak
berbicara. Sekali-sekali ia meny ebut nama Sasi dan
memujinya berkali-kali minuman y ang dihidangkannya.
Namun hal itu justru membuat Sasi menjadi gelisah,
sehingga iapun kemudian beringsut sambil berkata "Maaf. Aku
masih harus membantu ibu didapur."
"Masih apa lagi y ang diper siapkan didapur ?" bertanya
salah seorang kawan kakaknya.
"O, tidak ada. Hanya mencuci mangkuk" jawab Sasi.
Dengan demikian maka Sasipun telah meninggalkan tamutamu
kakaknya kembali ke dapur. Namun demikian ia bangkit,
Gemak Langkas berkata "Kapan-kapan aku akan datang lagi
Sasi. Wedang seremu tentu akan membuat aku selalu ingin
meneguknya lagi." Sasi tidak menjawab, meskipun ia terseny um. Senyum
basa-basi saja. Demikianlah, ketiga orang tamu itu masih berbincang
beberapa lama. Namun kemudian merekapun telah minta ciri.
Sementara itu Sasi masih saja bersungut-sungut didapur.
Ibunya y ang melihat Sasi murah segera bertanya "Kau
kenapa Sasi " Kenapa dengan kakak-kakakmu ?"
"Tamunya itu ibu" jawab Sa si.
"Kenapa dengan tamunya ?" bertanya ibunya.
"Seorang diantaranya nampaknya agak kasar" jawab Sa si.
"Kawan kakak-kakakmu di lingkungan keprajuritan ?"
"Bukan ibu. T etapi anak muda itu datang ber sama dengan
kedua kawan kakang Kuda Semedi dan kakang Kuda Semeni."
jawab Sasi. Ibunya menarik nafas dalam-dalam. Katanya "sudahlah.
Kau jangan terlalu cepat marah. Mungkin ia tidak bermaksud
buruk. Tetapi karena sifat dan tabiatnya, maka nampaknya ia
bertabiat kasar. Tetapi kau belum mengenalnya lebih jauh."
"Aku tidak ingin mengenalnya lebih jauh" jawab Sasi.
Ibunya tidak menjawab lagi. Sasipun kemudian telah sibuk
mencuci mangkuk didapur. Ia m emang sering m elakukannya
meskipun ada juga pembantu dirumahnya.
Namun beberapa saat kemudian, Kuda Semeni mencarinya
didapur untuk memanggilnya.
"Mereka akan berpamitan Sasi" berkata Kuda Semeni.
"Kenapa kepadaku " Bukankah mereka itu tamumu ?"
bertanya Sasi sambil bersungut-sungut.
"Mereka ingin pamit kepadamu. Apa salahnya ?" bertanya
Kuda Semeni. "Pergilah Sa si" desis ibunya "kau akan dapat dianggapnya
sebagai seorang gadis y ang sombong."
Tetapi Sasi justru berkata "Katakan kepada tamu-tamumu
bahwa Sasi sedang dipingit. Ia tidak boleh keluar apalagi
menemui tamu laki -laki."
"Ah, jangan begitu" potong ibunya "jika mereka orang y ang
tidak kami kenal, maka aku akan melarangmu. Tetapi
bukankah mereka kawan-kawan kakak-kakakmu ?"
"Yang seorang bukan" jawab Sa si.
"Ay olah Sasi, sebentar saja" minta Kuda Semeni.
Akhirnya Sasi memang tidak dapat menolak. Iapun
kemudian mengikuti kakaknya keluar dari pintu pringgitan.
Ketiga orang tamu itu m emang hanya minta diri kepada
Sasi. Namun anak muda y ang bernama Gemak Langkas itu
bersikap berlebihan sehingga Sasi menjadi semakin kurang
senang kepadanya. Tetapi seperti y ang pernah dikatakan, maka iapun b erkata
lagi "Sasi, aku akan datang lagi untuk sekedar minum wedang
seremu y ang segar. Bukankah kau tidak akan menolak ?"
Sasi justru tidak menjawab. Kepalanya justru menunduk.
Demikianlah, sejenak kemudian, maka ketiga orang tamu
Kuda Semedi dan Kuda Semeni itupun meninggalkan halaman
rumah itu. Sementara Sasi telah kembali ke dapur pula.
Namun Sasi m enyadari, bahwa anak muda yang bernama
Gemak Langkas itu tentu benar -benar akan kembali
mengunjunginya. Karena itu, ketika kedua kakaknya setelah melepaskan
tamunya juga pergi ke dapur, Sa si langsung berkata "Kenapa
kau perkenalkan aku dengan Gemak Langkas."
"Aku tidak berniat demikian Sasi" jawab Kuda Semedi
"yang aku lakukan sebenarnya hanyalah sekedar basa-basi."
"Tetapi ia tentu akan kembali lagi kemari." berkata Sasi
kemudian. "Tetapi bukankah kau sudah cukup dewasa, sehingga kau
akan dapat menanggapinya dengan cara seorang gadis dewasa.
Kau dapat menghindarkan dirimu dengan cara y ang baik dari
anak muda itu. Sudah tentu tidak perlu menyakiti hatinya."
Sasi termangu-mangu sejenak. Namun ia tidak menjawab
lagi. Meskipun demikian, kedatangan Gemak Langkas telah
membuat hatinya gelisah. Itulah sebabny a, maka ketika
Mahisa Pukat datang menemuinya, Sasi telah men-ceriterakan
perkenalannya dengan Gemak Langkas.
"Menilik sikapnya, Gemak Langkas tentu seorang anak
muda y ang kasar. Menurut kakang Kuda Semedi dan kakang
Kuda Semeni, Gemak Langkas termasuk seorang anak yang
manja. Namun dengan demikian, maka ia bukan seorang yang
berpribadi. Meskipun ayahnya seorang saudagar y ang kaya
raya, namun itu tidak menjamin bahwa ia mampu mandiri."
Namun Mahisa Pukat justru tertawa. Katanya "Kenapa kau
menilai Gemak Langkas sampai sejauh itu ?"
Pertanyaan itu mengejutkan Sasi. Namun kemudian iapun
bersungut-sungut pula "Kau justru mentertawakan aku."
"Tidak. Aku tidak mentertawakanmu. Tetapi seharusnya
kau tidak menjadi demikian gelisahnya menanggapi
perkenalan itu." sahut Mahisa Pukat.
Sasi t ermangu-mangu sejenak. Namun ia sempat berdesis"
sahut Mahisa Pukat. "Sudahlah" berkata Mahisa Pukat kemudian "sebaiknya kau
bicarakan hal ini dengan kedua orang kakakmu. Mereka tentu
akan m embantumu m engatasi kesulitanmu, jika benar orang
itu akan m embawa kesulitan atasmu. Bukan berarti aku tidak
bersedia m embantumu. Tetapi bukankah aku sekarang masih
berdiri diluar batas keluargamu. Meskipun demikian, jika
diperlukan, aku akan melakaukan apa saja y ang pantas aku
lakukan." Sasi menarik nafas dalam-dalam. Ia merasa mendapat
perlindungan dari Mahisa Pukat sehingga hatinyapun menjadi
semakin tatag. Karena itu, maka sebagaimana pesan Mahisa Pukat, agar
Sasi tidak bersikap keras sehingga akan dapat m enimbulkan
kesan bahwa Sa si adalah gadis y ang sombong.
"Seorang laki -laki y ang m empunyai harga diri berlebihan,
mengalami perlakuan yang demikian dari seorang gadis akan
dapat menimbulkan dendam di hatinya" berkata Mahisa Pukat
kemudian. "Tetapi bagaimana jika anak muda itu tidak tahu diri?"
bertanya Sasi. "Cobalah dengan sikap yang lunak" desis Mahisa Pukat
"kecuali jika anak muda itu seorang anak muda yang tidak
tahu diri. Jika demikian, kau memang harus bersikap tegas."
Sasi m engangguk-angguk. Ia merasa bahwa pesan Mahisa
Pukat itu akan dapat dipergunakannya sebagai pegangan.
Apalagi kemudian, k etika Sasi berbicara dengan ay ah dan
ibunya tentang Gemak Langkas, maka nasehat ay ah dan
ibunya ternyata tidak jauh berbeda dengan nasehat Mahisa
Pukat sehingga Sasi pun menjadi semakin tenang.
"Aku sudah m engenal ayah anak y ang kau sebut bernama
Gemak Langkas itu m eskipun tidak begitu akrab. Ia m emang
seorang y ang kaya raya. Namun sifatnya memang kurang
disenangi oleh kawan-kawannya. Justru karena ia seorang
yang kaya raya, maka ia m emang agak sombong. Tetapi kau
tidak perlu cemas tentang ay ah anak muda itu" berkata Arya
Kuda Cemani. Dengan demikian, m aka Sasi
memang tidak menolak kehadiran Gemak Langkas, ketika ia benar-benar telah
datang berkunjung ke rumahnya. Justru ketika kakakkakaknya
tidak ada di rumah. Demikian pula ayahnya. Namun ketika ia minta pertimbangan ibunya, maka
ibunyapun berkata "Temuilah.
Tetapi tidak terlalu lama. Jika ia
masih belum juga pergi, biarlah
aku memanggilmu." Demikianlah Sasi dengan berat hati telah menemui Gemak
Langkas y ang datang seorang
diri. Ternyata Gemak Langkas adalah seorang anak muda y ang
memang terbuka. Meskipun ia masih belum terlalu sering
berhubungan dengan Sasi, namun seakan-akan ia telah
mengenalnya bertahun-tahun. Iapun segera berceritera
tentang dirinya sendiri, keluarganya dan kekayaannya.
"Sasi" berkata Gemak Langkas itu kemudian "aku
membawa oleh-oleh buatmu. Aku harap kau tidak menolak.
Aku m emberikan oleh-oleh ini dengan ikhlas tanpa m aksud
apa-apa." Wajah Sasi menjadi tegang. Sementara itu, Gemak Langkas
telah mengambil sebuah bungkusan kecil dari kantong ikat
pinggang kulitnya y ang lebar.
Sasi masih saja termangu -mangu. Gemak Langkas pun
sekali lagi mendesaknya "Terimalah Sasi. Memang tidak
seberapa, tetapi aku akan m erasa berbahagia sekali jika kau
mau menerimanya." Sasi justru menjadi semakin tegang. Tetapi ketika Gemak
Langkas beringsut maju untuk meny erahkan bungkusan kecil
itu, Sasi justru bergeser mundur.
" Ini bukan apa-apa Sasi" berkata Gemak Langkas pula.
Kemudian sambil membuka bungkusan kecil itu ia berkata
"Lihatlah. Hanya sebuah kalung kecil dengan bandul kecil
pula. Bandul itu memang terbuat dari berlian. Sasi, tetap
harganya tidak seberapa dibandingkan dengan nilai
persahabatan kita." Namun akhirnya Sasi memberanikan diri untuk menjawab,
meski pun ia selalu ingat akan pesan Mahisa Pukat dan pesan
ay ahnya. Ia tidak boleh bertindak kasar.
"Gemak Langkas" berkata Sasi kemudian "bukan maksudku
untuk menolak kebaikan hatimu. Tetapi aku minta maaf,
bahwa aku tidak dapat m enerima pemberianmu. Aku tahu,
bahwa kau memang tidak mempunyai maksud apa -apa.
Namun agaknya berat bagiku, sebagai seorang gadis untuk
menerima pemberian seorang anak muda yang baru saja
dikenalnya." Wajah Gemak Langkas menegang. Bandul kalung y ang
diberikannya itu adalah bandul bermata berlian yang harganya
sangat mahal. Demikian pula kalung emas yang cukup besar
itu pun nilainya cukup tinggi. Tetapi Sasi telah menolaknya.
Dengan sungguh-sungguh Gemak Langkas telah
mendesaknya sekali lagi. Sambil bersingsut mendekat ia
berkata "Sasi. Kenapa kau menolak" Sudah aku katakan bahwa
benda ini nilainya memang tidak seberapa dibanding dengan
nilai per sahabatan kita. Tetapi kali ini memang hanya ini yang
dapat aku berikan kepadamu. Mudah-mudahan lain kali aku
dapat membawa oleh-oleh yang lebih baik bagimu, bagi kakakkakakmu
dan bagi ayah dan ibumu. Bahkan ay ahku tentu
tidak berkeberatan jika ay ah sendiri datang dengan membawa
oleh-oleh itu ." "Aku mengucapkan terima kasih y ang tidak terhingga,
Gemak Langkas. Tetapi aku mohon maaf, bahwa aku tidak
dapat menerima pemberianmu itu. Meskipun aku tahu bahwa
kau m emberikan benda itu dengan ikhlas dan tidak dengan
maksud apa -apa." Wajah Gemak Langkas menjadi semakin tegang. Rasarasanya
sia -sia saja ia m emaksa Sasi yang nampaknya berhati
keras itu. Namun Gemak Langkas ternyata juga seorang yang
cerdik. Ia sama sekali tidak kelihatan marah. Katanya "Baiklah
Sasi. Jika kau tidak menyukai benda ini. Aku akan
membawanya pulang. Benda ini akan aku kembalikan kepada
ay ah dan ibu agar ayah dan ibu membelikan oleh-oleh yang
lebih berarti bagimu. Nah, aku m inta diri Sasi. Lain kali aku
akan datang lagi." Mulut Sasi justru bagaikan terbungkam. Karena itu, ia sama
sekali tidak menjawab. Namun ketika Gemak Langkas bangkit
dan melangkah turun kehalaman, maka Sasi itupun telah
mengantarnya sampai ke tangga pendapa rumahnya.
Demikianlah Gemak Langkaspun pulang sambil m embawa
benda yang disebutnya sebagai oleh-oleh itu. Demikian ia
keluar dari regol halaman rumah Arya Kuda Cemani, m aka
iapun menggeram sambil memukul telapak tangan kirinya
sendiri dengan tangan kanannya. Dengan geram ia bergumam


04 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Perempuan yang angkuh. Ayahnya sama sekali bukan seorang
yang kaya. Tetapi ia menolak pemberianku yang sangat
berharga itu. Buat apa ia begitu tinggi menjunjung harga
dirinya " Apakah karena ayahnya seorang Senapati ?"
Namun iapun bergumam pula "Lain kali aku akan datang.
Aku harus menaklukkan gadis itu. Betapa tinggi hatinya, tetapi
dengan emas dan berlian, hatinya itu tentu akan luluh."
Sebenarnya bahwa Gemak Langkas telah bertekad untuk
pada suatu saat menundukkan Sasi yang dianggapnya seorang
gadis yang angkuh itu. Sementara itu Sasi telah berlari mendapatkan ibunya di
dapur. Ibunya terkejut m elihat Sasi m engusap matanya yang
merah. Dengan geram ia berkata " Ibu, anak muda itu telah
menghina aku." "Apa yang telah terjadi ?" bertanya ibunya.
" Ia telah membawa oleh-oleh buatku. Sebuah kalung
bermata berlian. Dikiranya aku ini apa ?" sahut Sasi.
"Anak muda itu akan m emberikan kalung bermata berlian
?" bertanya ibunya. "Ya ibu. Kalung emas dengan bandul emas bermata berlian.
Bukankah berarti ia menganggap aku dapat dibeliny a seharga
kalung dan bandul bermata berlian itu ?"
Ibunya m enarik nafas dalam-dalam. Didekatinya Sasi yang
duduk diamben panjang sambil berkali-kali mengusap
matanya y ang basah. Ternyata Sasi benar-benar tersinggung
oleh tingkah laku Gemak Langkas itu.
Sambil duduk disebelahnya ibu Sasi itu berkata "Sudahlah
Sasi. Jangan dipikirkan terlalu dalam. Bukankah kau tidak
mau menerima pemberian itu, sehingga kau sama sekali tidak
berhutang apapun kepadanya ?" Sasi mengangguk kecil.
"Nah, sampaikan hal itu nanti kepada ay ahmu dan jika
kebetulan kedua kakakmu pulang, katakan pula kepada
mereka." berkata ibunya.
Sasi mengangguk. Desisnya "Ya ibu."
"Nah, sekarang kau tidak usah mengingatnya lagi.
Bukankah ia sudah pergi ?" bertanya ibunya.
Sasi mengangguk pula. "Nah, k erjakan apa y ang tadi baru kau kerjakan." berkata
ibunya pula. Sasi tidak menjawab. Namun iapun kemudian telah
menyibukkan diri membantu ibunya kerja di dapur.
Yang ditunggu Sasi selain ay ahnya sebenarnyalah bukan
kedua kakaknya. Tetapi justru Mahisa Pukat. Ia harus
mengatakan kepada anak muda itu, apa yang telah dilakukan
oleh Gemak Langkas. Ketika lewat tengah hari ayahnya pulang, maka Sasipun
langsung melaporkan perlakuan Gemak Langkas itu
kepadanya, sehingga ibunyapun berkata "Sasi. Biarlah ay ahmu
beristirahat dahulu."
Tetapi Sasi tidak sabar lagi. Katanya "Dadaku serasa
menjadi sesak, ibu. Ayah harus segera mengetahuinya."
"Ada apa Sasi " Nampaknya kau menjadi sangat gelisah."
bertanya ayahnya. Sasi memang tidak menunggu lagi. Iapun segera
memberitahukan kepada ayahnya, apa yang telah terjadi
dengan Gemak Langkas. Ayahnya mendengarkan laporan Sasi dengan sungguhsungguh.
Sambil m enarik nafas panjang ia kemudian berkata
"Apa yang kau lakukan sudah benar Sasi. Kau m emang tidak
boleh menerima pemberian dari siapapun y ang bukan
keluarga kita sendiri. Kau sudah cukup dewasa sehingga kau
tentu sudah tahu maksud anak muda itu. Tentu bukannya
tidak bermaksud apa-apa seperti y ang dikatakannya itu."
Sasi mengangguk-angguk. Ayah dan ibunya sudah
menyatakan sikapnya. Mereka menganggap bahwa apa yang
dilakukan itu sudah benar. Namun masih ada seorang lagi
yang akan diberitahu tentang persoalan itu. Mahisa Pukat.
Seperti yang diharapkannya, maka sore itu Mahisa Pukat
memang datang kerumah Sasi. Seperti biasanya, kadangkadang
Arya Kuda Cemani menemuinya beberapa saat. Baru
kemudian Mahisa Pukat itu ditinggalkannya bersama Sasi.
Meskipun belum dinyatakan secara resmi, namun hubungan
anak muda itu dengan anaknya sudah diketahui oleh orang tua
kedua belah pihak. Pa da kesempatan itu, Arya Kuda Cemani sebagai seorang
tua telah memberitahukan dengan terus terang sikap Gemak
Langkas terhadap anak gadisny a. Dengan nada berat Arya
Kuda Cemani itu berkata "Seperti ayahnya, anak itu t erlalu
yakin akan kekay aan y ang melimpah yang dimilikinya. Karena
itu, ia menganggap bahwa apapun akan dapat diselesaikan
dengan uangnya. Namun lebih dari itu, Gemak Langkas adalah
seorang anak muda y ang berilmu. Ia berguru k epada seorang
pemimpin padepokan yang berpengaruh. Dengan uangnya,
maka gurunyalah yang setiap waktu yang ditentukan datang
kepadanya untuk menuntunnya dalam olah kanuragan."
Mahisa Pukat mengangguk-angguk. Pemberitahuan dari
ay ah Sasi itu kepadanya, oleh Mahisa Pukat dianggap sebagai
satu isy arat bahwa Mahisa Pukat harus berhati-hati. Anak
muda yang bernama Gemak Langkas itu akan dapat bertindak ka sar jika niatnya
dihalangi oleh siapapun juga. Sebagai anak seorang saudara
yang kaya, maka semua kemauan Gemak Langkas biasanya
pasti terpenuhi. Mahisa Pukat y ang tanggap akan isy arat itu mengangguk
kecil sambil menyahut "Aku akan berhati-hati Raden."
"Aku percaya akan kemampuanmu. Tetapi kau kadangkadang
tidak memperhitungkan langkah-langkah licik
seseorang. Karena itu, maka kau harus mulai berhati-hati
menghadapi orang y ang tidak kau kenal benar tabiatnya."
Mahisa Pukat mengangguk dalam-dalam. Meskipun ia
tidak menjawab, namun Raden Kuda Wereng itu tahu pasti,
bahwa anak muda itu memperhatikan setiap kata-katanya.
Ketika kemudian Arya Kuda Cemani yang juga disebut
Ra den Kuda Wereng itu meninggalkan Mahisa Pukat dan Sasi
berdua, maka Sasi telah minta kepada Mahisa Pukat agar
besok ia bersedia datang sebelum tengah hari.
"Mungkin ia akan datang lagi. Menurut perhitunganku atas
sifat anak muda itu, maka besok ia akan datang dan membawa
benda yang lebih berharga dari yang dibawanya pagi tadi."
berkata Sasi kemudian. Mahisa Pukat mengangguk-angguk. Katanya "Baiklah.
Besok sebelum tengah hari aku akan datang."
Demikianlah, setelah beberapa saat Mahisa Pukat berada
dirumah Sasi, maka iapun telah minta diri. Bukan saja kepada
Sasi, tetapi juga kepada kedua orang tuanya.
"Kau memang harus berhati-hati ngger" berkata Arya Kuda
Cemani. "Baiklah Raden" jawab Mahisa Pukat "aku akan selalu ingat
pesan ini." "Agar ayahmu tidak terkejut jika terjadi sesuatu, sebaiknya
kaupun berceritera pula kepada ayahmu, Ki Mahendra" pesan
Arya Kuda Cemani. Mahisa Pukat mengangguk hormat sambil menjawab
"Baiklah. Aku akan berbicara dengan ayah."
Demikianlah, maka seperti pesan Arya Kuda Cemani, ketika
Mahisa Pukat sampai dirumah, iapun telah menyampaikan
kepada ayahnya, apa y ang telah terjadi dirumah Sasi serta
pesan Arya Kuda Cemani kepadanya.
Mahendra menarik nafas dalam-dalam. Katanya "Tetapi
bukan berarti bahwa kau harus menghadapi Gemak Langkas
dengan kekerasan. Sejauh dapat diatasi dengan cara y ang baik,
maka kau harus mencobanya. Hanya dalam keadaan terpaksa
kau dapat mempergunakan ilmumu untuk melindungi dirimu.
Bukan sekedar untuk menunjukkan kelebihanmu dari Gemak
Langkas kepada Sasi. Itu jika kau mempunyai kelebihan."
Mahisa Pukat mengangguk sambil menjawab "Ya ayah."
"Hati-hatilah dengan sikapmu. Kau berada ditempat y ang
bagimu asing disini. Tatanan kehidupan tentu agak berbeda
dengan tatanan kehidupan di Padepokan Bajra Seta dan
sekitarnya." "Aku mengerti ay ah" jawab Mahisa Pukat.
"Baiklah. Jika kau besok akan datang, datanglah. Tetapi
sekali lagi aku pesan, jagalah namamu baik-baik dirumah
orang. Kecuali itu, kau memang harus berhati-hati
sebagaimana pesan Raden Kuda Wereng." pesan ayahnya.
"Ya ayah" jawab Mahisa Pukat "aku mengerti.
Demikianlah, maka persoalan Sasi itu telah membuat
Mahisa Pukat ikut gelisah. Bagaimanapun juga ia
membayangkan bahwa Gemak Langas akan mempergunakan
kekerasan, sehingga Mahisa Pukat harus melayaninya.
Tetapi ia memang berpegangan kepada pesan ayahnya,
bahwa ia hanya akan membela diri. Te|api menurut pengertian
Mahisa Pukat bahwa membela diri itu termasuk membela
harga diri Sasi. Dihari berikutnya, Mahisa Pukat telah berbenah diri saat
matahari terbit. Kegelisahannya nampak pada sikapnya yang
seakan-akan berdiri diatas bara.
Sejak selesai makan pagi, maka Mahisa Pukat telah
mondar-mandir saja diserambi depan. Ra sa-rasanya hari
berjalan lamban sekali. Matahari dengan malas merayap
kelangit. Sehingga Mahisa Pukat hampir tidak sabar
menunggu matahari mendekati puncaknya, karena Sasi
berpesan agar ia datang menjelang tengah hari.
Ketika matahari memanjat langit semakin tinggi, Maka
Mahisa Pukat tidak menunggu lebih lama lagi. Iapun segera
minta diri k epada ayahnya untuk segera pergi kerumah Arya
Kuda Cemani. Sekali lagi ay ahnya berpesan, agar Mahisa Pukat berhatihati
dan tidak tergesa-gesa mengambil sikap sebelum
dipikirkan masak -masak. Dengan jantung yang berdebaran Mahisa Pukat pergi
kerumah Sasi sebagaimana diminta oleh gadis itu. Namun
iapun berharap bahwa ia akan benar-benar dapat bertemu
dengan Gemak Langkas. Bahkan kadang-kadang ia berniat
untuk melupakan saja pesan ay ahnya. Ia ingin langsung
menantang Gemak Langkas untuk beradu kemampuan.
Namun peringatan ay ahnya itu ternyata setiap kali seakanakan
terngiang di telinganya. Bahwa bukan menjadi
kebiasaannya untuk dengan sengaja mencari lawan.
Jika kesadaran itu mulai merayap di hatinya, maka Mahisa
Pukatpun menjadi tenang. Ia tidak lagi berjalan tergesa -gesa
menuju kerumah Sasi. Tetapi ia melangkah dengan sedikit
menahan diri sehingga tidak menarik perhatian orang.
Ketika Mahisa Pukat memasuki regol halaman rumah Sasi,
maka jantungnya terasa semakin cepat bergetar. Namun
ternyata tidak seorangpun berada di pendapa rumah itu.
Karena itu, maka Mahisa Pukat harus masuk lewat seketeng
kiri sebagaimana setiap kali dilakukan jika ia berkunjung
kerumah itu dan tidak ada seorangpun y ang melihatnya
datang. Seorang pembantu rumah itu y ang m elihat Mahisa Pukat
segera memberitahukannya kepada Sasi, sehingga sejenak
kemudian maka Sasipun telah m empersilahkan Mahisa Pukat
untuk duduk dipendapa. "Apakah aku sudah terlambat?" bertanya Mahisa Pukat.
"Kenapa terlambat?" bertanya Sasi.
"Bukankah kau m inta aku datang menjelang tengah hari?"
Mahisa Pukatpun ganti bertanya.
"O" Sasi mengangguk-angguk "ternyata anak muda itu
belum datang. Mudah-mudahan ia tidak datang"
Mahisa Pukat menarik nafas dalam-dalam. Katanya
kemudian "Ya. Mudah-mudahan ia tidak akan datang untuk
seterusnya." Namun baru saja mulut Mahisa Pukat terkatub, seekor
kuda yang tegar telah memasuki halaman. Penunggangnya
ternyata masih belum turun dari kuda itu. Baru setelah kuda
itu berhenti tepat didepan tangga pendapa, penunggannya
meloncat turun, Sambil menambatkan kudanya, ia berkata
nyaring "Sasi. Aku memenuhi janjiku. Aku datang lagi dengan
membawa oleh-oleh yang lebih berarti dari y ang kau tolak itu.
Aku harap kau senang menerimanya."
Sasi masih duduk dipendapa bersama Mahisa Pukat.
Namun keduanyapun kemudian berdiri dan gelangkah ke
tangga. "Marilah, silahkan naik" Sasi mempersilahkan.
Anak muda itu memandang Mahisa Pukat dengan
tajamnya. Sementara itu Mahisa Pukat mengangguk hormat
sambil berkata "Marilah, silahkan Ki Sanak."
Wajah Gemak Langkas berkerut. Namun iapun kemudian
melangkah naik tanpa menghiraukan Mahisa Pukat. Anak
muda itu langsung melangkah ke tikar pandan yang
terbentang dipringgitan. Mahisa Pukat menarik nafas dalam-dalam. Untunglah
bahwa pesan ayahnya telah terngiang lagi di telinganya,
sehingga ia tidak dengan tergesa -gesa melakukan tindakan
yang dapat menimbulkan persoalan.
Ketika Gemak Langkas duduk ditikar yang terbentang itu,
maka Sasi dan Mahisa Pukatpun telah ikut duduk pula.
Namun tiba -tiba saja Gemak Langkas berkata "Sasi, aku
hanya ingin berbicara denganmu. Aku tidak mempunyai
kepentingan dengan orang lain. Karena itu, maka sebaiknya
kita hanya berdua saja tanpa orang lain."
"Aku tidak tahu maksudmu Gemak Langkas." jawab Sasi.
"Bukankah sudah jelas" Aku hanya ingin bertemu dengan
kau saja. Tidak dengan orang lain. Karena itu, jika disini ada
orang lain, aku minta orang lain itu m eny ingkir saja" berkata
Gemak Langkas tegas. "Jadi maksudmu, aku kau minta untuk mengusir tamuku?"
bertanya Sasi "Aku hanya mengatakan, aku hanya ingin bertemu dengan
kau seorang diri. Terserah caramu, aku tidak akan
menentukannya" berkata Gemak Langkas kemudian.
Namun Sasi m enjawab "Tidak Gemak Langkas. Aku tidak
dapat mengusir tamuku, siapapun orang itu. Jika seseorang
datang kepadaku dengan maksud baik, maka aku akan
menerimanya dan m enemuinya sebagai seorang tamu. Ayah
dan ibuku mengajar aku, agar aku menghormati tamu-tamuku
sepanjang ia tidak berniat berbuat kurang baik".
Wajah Gemak Langkas menjadi merah. Sementara itu
Mahisa Pukat masih berdiam diri. Ia justru tertarik


04 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mendengarkan pembicaraan antara Gemak Langkas dengan
Sasi. "Sasi" berkata Gemak Langkas kemudian "kau y ang
mempunyai rumah ini. Karena itu, kau y ang mempunyai
wewenang untuk mengusir sseorang dari rumah ini. Tentu
bukan aku. Karena itu sekali lagi aku minta, biarlah kita
berbicara berdua saja. Aku tidak senang ada orang lain yang
tentu hanya akan mengganggu saja"
Tetapi sekali lagi jawaban Sasi mengejutkan "Gemak
Langkas. Memang bukan kewajiban kami untuk membuat kau
senang. Tersereah k epadamu, apakah kau senang atau tidak.
Tetapi aku tidak pantas m engusir seorang tamu yang datang
dengan niat baik kepadaku. Karena itu maka aku juga tidak
mengusirmu seandainya tamuku y ang datang lebih dahulu
berkata sebagaimana yang kau katakan."
Telinga Gemak Langkas memangmenjadi panas. Bahkan ia
seakan2 telah kehilangan kekang atas dirinya. Karena itu,
maka katanya "Baiklah. Jika kau tidak mau mengusirnya, aku
yang akan mengusir orang itu."
"Kau tidak berhak melakukannya, Gemak Langkas. Rumah
ini bukan rumahku. Bukankah kau sendiri telah
mengatakannya" desis Sasi.
Sejenak Gemak Langkas justru terbungkam. Namun
kemudian katanya "Aku tidak mau m enerima perlakuan ini.
Aku akan pergi saja. Oleh-oleh yang aku bawa akan aku bawa
pulang. Pada kesempatan lain aku akan memberikan
kepadamu. Tetapi pada kesempatan lain pula, aku akan
membuat perhitungan dengan orang ini."
Namun yang dicemaskan Mahisa Pukat itupun memang
terjadi. Ketika disore hari Mahisa Pukat sedang berjalan
menuju kerumah Sasi, maka tiba-tiba saja seekor kuda yang
tegar berlari kencang menyambarnya. Sebenarnya Mahisa
Pukat telah berusaha menepi. Namun kuda itu sengaja berlari
menepi pula. Bahkan kemudian tangan penunggangnya
seakan-akan dengan sengaja
menyambar kepalanya demikian kerasnya. Untunglah bahwa Mahisa Pukat selalu berhati-hati
menghadapi kesulitan yang
tiba -tiba datang. Ketika ia
melihat Gemak Langkas berada dipunggung kuda yang
berlari kencang, maka ia sudah bersiap menghadapi kemungkinan buruk itu. Karena itu, ketika kuda itu
menyambarnya dengan kecepatan tinggi, maka Mahisa Pukatpun dengan tangkas pula meloncat menghindar. Dengan kecepatan melampaui kecepatan lari kuda itu, Mahisa Pukat
berhasil meloncat parit dipinggir jalan itu dan tegak berdiri
diatas tanggul diseberang parit y ang cukup lebar itu.
Beberapa orang perempuan yang melihatnya terpekik kecil.
Namun merekapun menarik nafas panjang serta mengusap
dadanya sambil berkata "Untunglah, anak itu sempat
menghindar. Jika tidak, maka ia akan dapat terlempar jatuh
dan terluka. Apalagi jika kaki kuda itu menginjaknya."
Sementara itu, Gemak Langkas y ang sempat berpaling dan
melihat Mahisa Pukat berdiri ditanggul seberang parit, telah
mengumpat kasar. "Kenapa anak iblis itu tidak terlempar" geramnya. Namun
Gemak Langkas tidak kembali. Ia melarikan kudanya semakin
cepat dan hilang dikelok jalan.
Mahisa Pukatpun menarik nafas panjang pula.
Bagaimanapun juga terasa debar jantungnya semakin cepat.
Namun iapun kemudian telah melanjutkan perjalanan menuju
kerumah Sasi. Ketika ia m enceriterakan peristiwa itu kepada Sasi, maka
Sasipun berkata "Kau memang harus berhati-hati. Apalagi ia
tidak sendiri." "Ya" jawab Mahisa Pukat. Namun katanya pula "jika ia
mempunyai latar belakang kehidupan di sebuah padepokan,
maka akupun seorang penghuni padepokan pula."
"Tetapi disini kau sendiri" berkata Sasi.
"Tentu tidak" jawab Mahisa Pukat "jika aku berada di pihak
yang benar maka paugeran dan tatanan y ang berlaku akan
melindungi aku." Sasi mengangguk kecil. Katanya "Tetapi menghadapi
seseorang seperti Gemak Langkas, tatanan dan paugeran
sering terlambat melindungi seseorang."
"Ya." sahut Mahisa Pukat. Namun katanya "Tetapi aku juga
membawa pedang." Sasi menarik nafas dalam-dalam. Jika ia terlalu
mencemaskan Mahisa Pukat, maka Mahisa Pukat justru akan
dapat tersinggung karenanya. Karena itu, maka Sasipun tidak
lagi mempertanyakan apa yang telah terjadi.
Tetapi bagi Mahisa Pukat sendiri, peristiwa itu merupakan
peringatan baginya, agar ia menjadi semakin berhati-hati
menghadapi anak muda itu.
Ketika Mahisa Pukat kemudian m inta diri untuk kem bali
ketempat tinggal ayahnya dibagian belakang istana, maka ia
minta Sasi menceriterakan hal itu kepada ay ahnya.
"Jika terjadi sesuatu, maka ay ahmu telah mengetahui
persoalan yang sebenarnya." berkata Mahisa Pukat.
"Aku akan mengatakannya" sahut Sasi.
Ketika kemudian Mahisa Pukat berjalan pulang, maka ia
menjadi semakin berhati-hati. Jika ia berpapasan dengan
seorang y ang duduk diatas punggung kuda, maka iapun
memperhatikan orang itu dengan baik. Apakah orang itu
Gemak Langkas atau orang lain sekalipun yang
memperhatikannya berlebihan.
Jantung Mahisa Pukat memang berdesir ketika ia m elihat
Gemak Langkas duduk diatas punggung kudanya. Tetapi kuda
itu berhenti seakan-akan memang menunggunya dipinggir
jalan. Mahisa Pukat tidak dapat berhenti dan melangkah kembali.
Apalagi darah mudanya y ang memang cepat m enjadi panas
jika persoalannya menyangkut Sasi.
Karena itu, maka Mahisa Pukatpun melangkah terus
dengan langkah y ang pasti.
Ketika Mahisa Pukat melangkah lewat didepan Gemak
Langkas yang duduk diatas punggung kudanya, maka Mahisa
Pukat sama sekali tidak menunjukkan perubahan langkahnya.
Ia berjalan saja seakan-akan tidak m enghiraukan sama sekali
kehadiran Gemak Langkas itu.
Melihat sikap itu hati Gemak Langkas menjadi semakin
panas. Namun iapun masih tetap menahan diri. Bahkan
Gemak Langkas itupun tersenyum sambil berkata "He,
bukankah kau yang bernama Mahisa Pukat."
Mahisa Pukat m emang berhenti. Sambil berputar kearah
Gemak Langkas Mahisa Pukatpun menjawab. "Ya. Aku Mahisa
Pukat."' "Kau yang bertemu dengan aku dirumah Sasi?" bertanya
Gemak Langkas itu pula. "Ya. Kau masih ingat" Aku juga y ang dengan sengaja kau
sambar dengan kudamu tadi" Kau masih ingat?" bertanya
Mahisa Pukat. Telinga Gemak Langkas menjadi merah. Tetapi ia masih
menahan diri. Sambil tersenyum ia berkata "Ya. Aku m asih
ingat." Mahisa Pukat mengangguk-angguk, katanya "Nah,
sekarang kau agaknya sengaja menunggu aku. Apa maumu?"
"Aku hanya ingin bertanya, apakah kau m emang laki-laki
sejati atau sekedar seorang yang menyandarkan diri para
perlindungan orang lain."
Mahisa Pukat justru tertawa. Katanya "Aku tahu
maksudmu. Kau akan menantang aku" Jadi kau masih
menganggap bahwa untuk m endapatkan seorang gadis, laki laki harus berani berkelahi. Tetapi apakah perkelahian itu
akan dapat m erubah perasaan seorang gadis " Jika dua orang
anak muda berkelahi, maka dengan sendiriny a gadis itu akan
memilih yang menang dari keduanya?"
"Satu jawaban dengan permainan kata y ang m anis" sahut
Gemak Langkas. Namun katanya kemudian "Aku tidak peduli
apakah Sasi akan memilih kau atau aku atau orang lain. Kalau
kau sudah mati, maka ia tidak akan memilihmu lagi."
"Jadi kau akan membunuhku?" bertanya Mahisa Pukat.
"Tidak. Tetapi aku menantang kau perang tanding. Jika
salah seorang dari kita mati, kau atau aku, itu sudah wajar.
Bukan berarti satu pembunuhan," jawab Gemak Langkas.
" Itukah yang kau kehendaki ?" bertanya Mahisa Pukat.
"ya" jawab Gemak Langkas "kau dapat membawa dua orang
sak si. Aku juga akan membawa saksi."
Mahisa Pukat memang m enjadi ragu -ragu. Namun iapun
kemudian menjawab "Baik. Aku terima tantanganmu."
"Bagus" desis G emak Langkas sambil tersenyum "Ternyata
kau m emang seorang laki-laki. Nanti malam aku tunggu kau
ditanggul Sendang Perbatang. Nanti malam langit akan
diterangi oleh cahaya bulan m eskipun sudah lewat purnama.
Tetapi sinarnya masih cukup terang. Di saat bulan terbit, aku
sudah berada di tanggul Sendang Perbatang bersama-sama
para saksi." "Baik" jawab Mahisa Pukat "aku belum pernah melihat
Sendang Perbatang. Tetapi aku akan m embawa seorang saksi
yang akan dapat mengantarku ke sana."
"Bagus" berkata Gemak Langkas kemudian "jangan ingkar
janji. Aku sudah terlanjur menganggapmu laki -laki sejati."
Gemak Langkas tidak menunggu jawaban Mahisa Pukat.
Iapun segera m emaeuk kudanya meninggalkan Mahisa Pukat
yang berdiri termangu-mangu.
Namun akhirnya Mahisa Pukat telah kembali lagi ke rumah
Sasi. Ia telah mengabarkan rencana perang tanding itu kepada
ay ah Sasi. Dengan demikian, maka Arya Kuda Cemani itu
mengetahui apa yang terjadi.
"Baiklah" berkata Arya Kuda Cemani "aku akan menjadi
sak si pula dalam perang tanding itu. Bawa ayahmu. Ia juga
akan dapat menjadi sak si."
"Tetapi bukankah dapat menimbulkan prasangka buruk
jika aku membawa ay ahku sebagai saksi?" bertanya Mahisa
Pukat. "Aku berani bertaruh, bahwa Gemak Langkas akan
membawa gurunya pula sebagai saksi." berkata Arya Kuda
Cemani. Mahisa Pukat mengangguk-angguk kecil. Katanya "Baiklah.
Nanti aku akan mengajak ayah bersamaku."
"Baiklah. Tetapi aku tidak usah pergi bersamamu dan
ay ahmu. Aku akan pergi sendiri. Kita akan bertemu di tanggul
Sendang Perbatang." berkata ayah Sasi.
"Tetapi aku belum tahu dimana letak Sendang Perbatang."
desis Mahisa Pukat. "Ayahmu sudah lebih lama berada di sini. Ia tentu sudah
tahu dimana letak Sendang Perbatang."
Mahisa Pukat mengangguk-angguk pula. Namun iapun
kemudian segera minta diri. Langit sudah menjadi muram
karena senja sudah mulai turun.
Ketika hal itu kemudian dikatakan kepada ayahnya, maka
Mahendra berkata "Kau terlalu cepat mengambil keputusan
Mahisa Pukat. Apakah kau tidak dapat menghindari
peny elesaian dengan cara itu ?"
"Rasa-rasanya tidak mungkin lagi ayah, kecuali jika aku
membiarkan diriku dihinakan. Harga diriku direndahkan
dibawah telapak kakinya," jawab Mahisa Pukat.
Mahendra menarik nafas dalam-dalam. Ia m encoba untuk
sekedar m engerti perasaan anaknya. Kemudaannya memang
dapat membuatnya mudah tersinggung. Namun perang
tanding bukanlah sekedar permainan. Perang tanding adalah
pertarungan dengan mempertaruhkan nyawanya.
Tetapi anaknya sudah menerima tantangan itu. Karena itu,
maka Mahisa Pukat tidak akan pernah mencabutnya.
Mahendra memang tidak mempunyai pilihan lain. Ia harus
pergi meuhat apa yang terjadi dengan anaknya
Memang tidak ada niat Mahendra untuk berbuat licik.
Tetapi iapun tidak mau jika lawannyalah y ang berbuat licik.
Dengan demikian, maka ketika malam turun, Mahisa
Pukatpun telah m empersiapkan diri lahir dan batin. Bersama
ay ahnya merekapun segera berangkat ke tanggul Sendang
Perbatang. Dilambung Mahisa Pukat tergantung pedang.
Seperti y ang dikatakan oleh Arya Kuda Cemani, ternyata
Mahendra telah mengetahui letak Sendang Perbatang,
sehingga dengan demikian, mereka berdua tidak perlu
mencarinya. Ketika kemudian bulan t erbit, Mahisa Pukat mengajak
ay ahnya berjalan semakin cepat.
Mahisa Pukat tidak segera menjawab. Tetapi ia benar-benar
sudah bersiap menghadapi Gemak Langkas. Justru karena
Mahisa Pukat belum m engetahui tataran kemampuan Gemak
Langkas yang dianggap sebagai seorang anak muda yang
berkemampuan tinggi serta y ang masih tetap berada dibawah
bimbingan seorang guru, maka Mahisa Pukatpun menjadi
sangat berhati-hati. Beberapa orang saksi y ang datang bersama Gemak
Langkaspun segera telah turun pula mengelilingi kedua orang
anak muda itu. Mereka seakan-akan telah menyusun lingkaran
yang membentuk sebuah arena perang tanding.
Mahendra dan Arya Kuda Cemanipun berdiri pula di
lingkaran itu. Namun berjarak beberapa langkah dari para
sak si yang dibawa oleh Gemak Langkas termasuk gurunya dan
ay ahnya yang kaya raya serta orang y g disebut pamannya,
yang kebetulan adalah saudara seperguruan Gemak Langkas.
Sedangkan y ang lain adalah prajurit -prajurit muda yang
mendendam kepada Mahisa Pukat.
Beberapa saat kemudian maka Gemak Langkaspun berkata
"Mahisa Pukat. Apakah kau sudah siap " Kita perguankan
waktu sebaik"baiknya. Kita akan segera mulai.
"Aku sudah bersiap sejak aku berangkat dari rumah" jawab
Mahisa Pukat. "Setan kau" Gemak Langkas menggeam" kau memang


04 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

terlalu sombong." Mahisa Pukat kemudian justru berdesis "Sombong atau
tidak, marilah kita mulai. Bulan sudah semakin tinggi."
Gemak Langkaspun kemudian bergeser mendekat,
sementara Mahisa Pukat berdiri tegak dengan sebelah kakinya
setengah langkah kedepan serta sedikit merendah pada
lututnya. Kedua tangannya terangkat bersusun didepan
dadanya. Gemak Langkas tidak bertanya lagi. Iapun mulai bergerak.
Kakiny a terangkat memancing gerak lawan, sementara Mahisa
Pukat bergeser kesamping.
Dengan cepat Gemak Langkaspun meny erang pula. Namun
Mahisa Pukat masih dapat menghindarinya dengan gerakgerak
sederhana. Namun Mahisa Pukatpun sadar, bahwa
Gemak Langkaspun masih belum bersungguh-sungguh.
Namun sejenak kemudian, ternyata Gemak Langkas telah
berloncatan dengan cepat. Ia mulai berusaha men-jajagi
kemampuan Mahisa Pukat, sementara Mahisa Pukatpun
berusaha menjajagi kemampuan lawannya.
Namun pertempuran itu telah menjadi semakin lama
semakin cepat meskipun keduanya masih berusaha saling
menjajagi. Dalam benturan-benturan y ang kemudian terjadi, maka
keduanya mulai menyadari, bahwa lawan mereka memang
memiliki bekal yang cukup tinggi, sehingga keduanyapun
menjadi semakin berhati-hati. Namun keduanya mulai
meningkatkan ilmu mereka masing-masing. Gemak Langkas
yang ditunggui oleh ay ah dan saudara seperguruannya dan
bahkan gurunya, hatinya justru berkembang ketika
pertempuran itu menjadi semakin cepat. Bagi Gemak Langkas,
seakan-akan ia mempunyai kesempatan untuk menunjukkan
kepada gurunya bahwa ia merupakan seorang murid yang
baik. Namun setiap kali Gemak Langkas meningkatkan ilmunya,
Mahisa Pukatpun telah meningkatkan ilmunya pula, sehingga
semakin lama maka pertempuran itupun menjadi semakin
cepat dan semakin keras. Namun Gemak Langkas tidak ingin dengan cepat
mengakhiri pertempuran. Ia ingin menunjukkan kepada
gurunya, bagaimana ia mampu mempermainkan lawannya. Ia
berniat untuk menghancurkan Mahisa Pukat sedikit demi
sedikit. "Jika ia akhirnya terbunuh di perang tanding ini, maka aku
tidak dapat dipersalahkan. Ada beberapa saksi y ang hadir
disini yang meyakini bahwa y ang t erjadi adalah perang
tanding. Bukan satu pembunuhan." berkata Gemak Langkas
didalam hatinya. Sementara itu Mahisa Pukatpun cukup berhati-hati pula.
Iapun sadar, bahwa lawannya ingin mempermainkannya.
Ju stru karena itu, maka Mahisa Pukatpun berniat melayani
niat lawannya. Iapun tidak tergesa -gesa ingin m enyelesaikan
perang tanding itu. Namun, karena Gemak Langkas masih belum merasa
mengatasi ilmu lawannya, maka iapun masih saja semakin
meningkatkan ilmunya. Tetapi dalam pada itu, Mahisa
Pukatpun telah meningkatkannya pula. Selapis demi selapis
sebagaimana dilakukan oleh Gemak Langkas.
Yang menjadi gelisah lebih dahulu adalah justru Gemak
Langkas. Ketika ilmunya sudah memanjat semakin tinggi,
tetapi rasa-rasanya lawannya masih saja mampu
mengimbanginya tanpap kesulitan. Jika kecepatan gerak
Gemak Langkas meningkat, mahisa Pukatpun telah
meningkatkan kecepatan geraknya. Demikian pula kekuatan
dan kemampuan ilmunya. Sehingga seakan-akan apapun yang
dilakukan oleh Gemak Langkas, Mahisa Pukat mampu
melakukannya pula. Dalam pada itu, saudara seperguruan Gemak Langkas dan
bahkan gurunya menyaksikan pertempuran itu dengan hati yg
berdebar-debar. Demikian pula ayahnya yang semula selalu
membanggakan anaknya yang dianggapnya telah meny erap
ilmu y ang tinggi dari perguruannya, karena ay ahnya telah
mengeluarkan beay a yang cukup banyak.
Sementara itu, Mahisa Pukat justru mulai dapat menduga
kemampuan lawannya. Meskipun Mahisa Pukat menyadari,
bahwa lawannya belum sampai kepuncak, namun Mahisa
Pukat menjadi tidak t erlalu silau melihat kemampuannya
meskipun Mahisa Pukat masih tetap berhati-hati.
Dalam pada itu, ternyata Gemak Langkas justru menjadi
semakin gelisah. Mahisa Pukat itu masih saja mampu
mengimbanginya. Namun dengan demikian m aka pertempuran itu semakin
lama memang menjadi semakin cepat. Gemak Langkas
semakin berusaha untuk dapat menekan Mahisa Pukat.
Sehingga tanpa disadarinya, maka Gemak Langkas itu telah
mengerahkan segala kemampuannya.
Ketika Gemak Langkas m enghentakkan ilmunya sampai ke
tataran tertinggi, maka Mahisa Pukat memang terdesak sesaat
sebelum ia meny esuaikan ilmunya. Sekejap Gemak Langkas
merasa akan segera dapat mengatasi lawannya. Namun
sejenak kemudian, ternyata Gemak Langkas kembali
digelisahkan oleh kemampuan lawannya.
Serangan-serangan Gemak Langkas memang menjadi
semakin lama semakin cepat. Tangannya yang kuat terayunayun
dengan cepatnya sehingga seakan-akan serangan Gemak
Langkas itu datang dari segala arah.
Tetapi Mahisa Pukat dengan tangkas selalu dapat
menghindari serangan-serangan itu. Dengan loncatanloncatan
pendek Mahisa Pukat rasa -rasanya hanya sekedar
bergeser saja. Namun kemudian berputar, menggeliat dan
melenting t inggi, sehingga sulit bagi Gemak Langkas untuk
dapat menyentuhnya. Namun y ang tidak terduga sebelumnya itu terjadi. Sebelum
Gemak Langkas mampu mengenai tubuh Mahisa Pukat, maka
justru serangan Mahisa Pukatlah y ang telah menyusup diselasela
pertahanan Gemak Langkas.
Gemak Langkas terdorong beberapa langkah surut ketika
serangan tumit Mahisa Pukat mengenai lambungnya.
Gemak Langkas mengumpat dengan kasarnya. Perutnya
terasa m enjadi mual. Namun kemarahannyapun serasa telah
membakar jantungnya sehingga darahnyapun serasa telah
mendidih karenanya. Bisnis Kotor 3 Wiro Sableng 080 Sepasang Manusia Bonsai Dewi Baju Merah 2

Cari Blog Ini