Ceritasilat Novel Online

Persekutuan Maut 1

Siluman Ular Putih 11 Persekutuan Maut Bagian 1


Hak cipta dan copy right pada
penerbit di bawah lindungan
undang-undang Dilarang mengcopy atau memperbanyak
sebagian atau seluruh isi buku ini
tanpa izin tertulis dari penerbit
http://duniaabukeisel.blogspot.com
1 Pagi masih berkabut. Udara dingin menyebar
ke segenap penjuru. Sinar matahari di ufuk timur
tampak malas beranjak dari garis edarnya. Sinarnya
yang kuning keemasan tersuruk-suruk menembus tebalnya kabut. Yang tampak di ufuk timur sana hanyalah bulatan besar berwarna kuning kemerahan.
Di Lembah Kalierang embun pagi masih membasahi ranting-ranting serta dedaunan pohon, membuat suasana pagi terasa beku. Tak jauh dari batang
pohon asem tua yang tumbuh rindang di sebelah barat
lembah, tampak seorang pemuda tampan tengah giat
berlatih jurus-jurus silat.
Pemuda itu bertubuh tinggi kekar. Wajahnya
agak bulat. Sepasang matanya tajam dengan alis tebal
bak sayap rajawali. Hidungnya mancung. Kulit tubuhnya putih kekuning-kuningan. Rambutnya yang panjang digelung sebagian ke belakang. Sedang tubuhnya
yang kekar terbalut pakaian rapi seperti seorang yang terpelajar pada masa itu.
Tak jauh dari pemuda itu berlatih, tampak berdiri memperhatikan seorang kakek. Usia kakek itu kira-kira tujuh puluh tahunan. Wajahnya putih bersih.
Sepasang matanya kelabu dengan alis mata berwarna
putih. Di atas kepala bertengger sebuah topi hitam
panjang. Tubuhnya yang tinggi kurus terbalut jubah
hitam sampai ke lutut.
Kalau saja di tempat itu ada seorang tokoh tua
dunia persilatan, tentu ia akan terkejut melihat kebe-radaan si kakek. Pada masa
dua puluh lima tahun lalu
tokoh ini sangat disegani kalangan dunia persilatan.
Sepak terjangnya tak kenal ampun pada tokoh-tokoh
sesat. Maka tak heran kalau kakek ini sangat ditakuti
kaum golongan hitam.
Seperti penampilannya, namun tokoh yang satu
ini pun cukup unik. Marabunta! Lebih terkenal dengan
julukan Pendidik Ulung! Kini Pendidik Ulung tengah
memperhatikan pemuda tampan yang tengah giat menempa diri dengan jurus-jurus andalannya. Sepasang
matanya berbinar-binar penuh kegembiraan. Lalu kepalanya mengangguk-angguk penuh kagum.
Pemuda berambut digelung ke belakang itu
tengah memainkan jurus terakhir dari jurus 'Tangan
Maut Dewa Kayangan'. Tampak kedua tangan pemuda
itu direntangkan bak sayap burung rajawali. Lutut kanannya ditekuk ke atas dalam-dalam. Kemudian seraya melemparkan kaki kanan ke belakang mendadak
pemuda itu menerjang ke depan. Kedua tangannya
yang tadi direntangkan kini menyambar cepat laksana
sepasang tangan dewa.
Wesss! Wesss! Hebat bukan main terjangan pemuda itu. Gerakan tangan dan kakinya yang cepat mampu menimbulkan angin dingin berkesiutan yang menyambarnyambar ranting pohon. Ranting-ranting itu langsung
berguguran dengan warna berubah jadi hitam.
"Bagus! Tak kusangka kau dapat menguasai jurus 'Tangan Maut Dewa Kayangan' demikian cepat,
Prameswara. Kau benar-benar berbakat dibandingkan
murid murtadku Samber Nyawa. Coba sekarang kau
mainkan jurus pamungkas 'Tulisan Maut Dewa
Kayangan'-ku. Aku ingin melihat apakah kau sudah
mengalami kemajuan?" puji kakek berjubah hitam itu penuh kagum.
"Baik, Guru!"
Pemuda tampan yang ternyata Prameswara itu
segera melakukan perintah gurunya. Kedua tangannya
sejenak dirapatkan di depan hidung dengan penuh rasa hormat, baru kemudian memasang kuda-kuda. (Untuk mengenal siapa Prameswara, silakan baca : "Miste-ri Bayi Ular" dan "Manusia
Rambut Merah") Bekas murid Pendekar Kujang Emas itu menggurat-guratkan telunjuk
jarinya ke udara. Seketika
terdengar bunyi mencicit yang teramat memekakkan
telinga. Guratan kedua telunjuk jari Prameswara pun
agak aneh. Telunjuk jari kanan menggurat dari kanan
ke kiri, sementara telunjuk kiri menggurat dari kiri ke kanan. Pada saat kedua
telunjuk jari itu menyatu, se-bersit sinar putih berkilauan melesat cepat.
Clesss! Clesss!
Batu gunung sebesar kerbau itu berlobang dua
buah sebesar telunjuk jari! Selang beberapa saat batu gunung yang telah berubah
hitam itu hancur berkep-ing-keping.
Itulah kehebatan jurus 'Tulisan Maut Dewa
Kayangan'. Jumlah jurus itu tidak banyak. Hanya tiga
gerakan. Namun meski hanya terdiri dari tiga jurus
jangan harap seorang tokoh silat tinggi dapat melumpuhkannya dengan mudah. Malah justru sebaliknya,
tak kurang dari tiga jurus tokoh sakti mana pun dapat dilumpuhkan!
Melihat hasil latihan Prameswara yang mengalami kemajuan pesat, Pendidik Ulung menganggukangguk puas. Dan di saat Prameswara tengah menyelesaikan jurus ketiga dari jurus 'Tulisan Maut Dewa
Kayangan', tiba-tiba Pendidik Ulung menerjang muridnya. Jari-jari kedua telunjuk tangannya yang putih
berkilauan bergerak membuat guratan di udara. Saat
kedua telunjuk jari Pendidik Ulung bertemu, kedua telunjuk Prameswara telah mengeluarkan seleret sinar
putih berkilauan yang melabrak tubuh Pendidik Ulung.
Pendidik Ulung berdecak penuh kagum. Kedua
telunjuk tangannya yang telah saling bertemu segera
diarahkan pada Prameswara. Seketika dua larik sinar
putih berkilauan melesat cepat memapaki pukulan jarak jauh Prameswara.
Wesss! Wesss! Plaaarrr...!!! Terdengar letusan hebat di udara. Dua sinar
putih yang berbentrokan itu langsung buyar. Sebagian
menyambar ranting-ranting pohon di sekitar tempat
berlatih. Daun ranting-ranting pohon itu berguguran
dengan warna hitam.
Tubuh Prameswara terjajar beberapa langkah
ke belakang. Wajahnya pucat pasi. Akibat bentrokan
tadi kedua telunjuk jari Prameswara seperti beku. Isi dadanya pun dijalari hawa
dingin yang menyerang jalan darah. Di hadapannya, Pendidik Ulung sempat
bergetar hebat. Keadaannya tidak separah muridnya.
Namun kenyataan tadi sudah cukup membuktikan kalau Prameswara telah mampu menguasai jurus 'Tulisan Maut Dewa Kayangan'. Pendidik Ulung gembira
bukan main. Namun ia belum puas kalau belum mencoba kepandaian Prameswara.
Begitu dilihatnya tubuh Prameswara terhuyung-huyung ke belakang, Pendidik Ulung segera
menggurat-guratkan telunjuk jarinya ke udara. Meski
gerakannya demikian lembut, jangan dikira guratan
tangan Pendidik Ulung tidak berbahaya. Suara mencicit dari setiap guratan kedua telunjuk jari itu dapat membuat orang lari
ketakutan. Prameswara sendiri sampai terkesiap kaget. Ia
tidak menyangka jurus 'Tulisan Maut Dewa Kayangan'
yang dikeluarkan Pendidik Ulung demikian hebatnya.
Prameswara buru-buru mengeluarkan jurus "Tulisan Maut Dewa Kayangan' pula.
Benturan keras seperti ta-di terulang kembali.
Prameswara terjengkang ke belakang. Isi dada
pemuda bekas murid Pendekar Kujang Emas itu terguncang hebat! Tubuh kurus Pendidik Ulung sendiri tergetar
hebat. Kedua kakinya melesak cukup dalam masuk ke
tanah. Meski parasnya tampak pucat namun Pendidik
Ulung menyunggingkan senyum.
"Bagus! Kau benar-benar mengalami kemajuan
pesat, Prameswara. Aku bangga sekali mempunyai murid sepertimu!"
Prameswara meloncat bangun. Kedua telapak
tangannya ditangkupkan sebentar di depan hidung seraya sedikit membungkukkan badan.
"Kau terlalu memujiku, Guru," sahut Prameswara santun. Tampak sekali pemuda tampan itu enggan mendengar pujian guru barunya.
Kalau saja Pendidik Ulung lebih seksama memperhatikan kilatan sepasang mata Prameswara, tentu
kakek itu akan tersentak kaget. Apalagi jika ia mengetahui sepak terjang pemuda
itu sebelumnya. Belum
tentu Pendidik Ulung akan bersedia menurunkan ilmu-ilmu andalannya pada Prameswara. Sayang Pendidik Ulung tidak tahu masa lalu murid barunya itu
"Tidak, Prameswara. Aku tidak memujimu.
Memang kenyataannya demikian," kata Pendidik Ulung
"Kuharap kau dapat mengamalkan ilmu-ilmu yang kau peroleh demi tegaknya
kebenaran. Jurus 'Tangan Maut
Dewa Kayangan' dan jurus 'Tulisan Maut Dewa Kayangan' yang telah digabungkan dengan 'Totokan Jari Putih Dewa Kayangan' bukanlah ilmu sembarangan. Kukira saat ini hanya beberapa tokoh tingkat tinggi saja yang dapat merobohkanmu.
Maka, sekali lagi kuminta
amalkanlah ilmu-ilmu itu di jalan kebenaran. Tumpas
yang jahat dan bantulah yang lemah!"
"Kukira apa yang diucapkan Pendidik Ulung
memang benar. Aku dapat merasakan kehebatan jurus
'Tangan Maut Dewa Kayangan' dan jurus 'Tulisan Maut
Dewa Kayangan' yang telah digabungkan dengan 'Totokan Jari Putih Dewa Kayangan'. Tapi... apakah 'Totokan Jari Putih Dewa Kayangan' mampu melukai tubuh Siluman Ular Putih yang kebal terhadap berbagai
macam pukulan dan senjata tajam?" pikir Prameswara gelisah. "Maaf, Guru.
Bukannya aku meragukan kehebatan jurus-jurus tersebut. Tapi benarkah setelah aku
dapat menguasai semua itu hanya tinggal beberapa tokoh sakti yang dapat
merobohkanku?" tanya Prameswara kemudian.
"Itu bukan jaminan. Semua tergantung kau
sendiri. Asal giat berlatih, terutama jurus 'Tulisan
Maut Dewa Kayangan' yang telah digabung dengan 'Totokan Jari Putih Dewa Kayangan' kau akan menjadi
sakti mandraguna. Baja setebal tembok pun akan
tembus terkena totokan 'Jari Putih Dewa Kayangan'.
Meski demikian sebenarnya bukan itu yang kuinginkan. Aku akan murka kalau kau pamer ilmu kepada
sembarang orang. Apalagi kalau sampai menyalahgunakannya. Hm.... Jangan harap aku akan tinggal diam. Ingat pesanku ini baik-baik, Prameswara!"
"Tentu, Guru! Tentu. Aku akan menjalankan
pesan Guru sebaik mungkin."
Meski mulut Prameswara berkata demikian, tapi sebenarnya dalam hati yang paling dalam bekas murid Pendekar Kujang Emas itu berkata lain.
"Peduli amat dengan ocehan orang tua ini. Pokoknya aku harus membunuh Siluman Ular Putih. Juga siapa saja yang berani menghalangiku untuk menguasai dunia persilatan. Kalau Pendidik Ulung pun
menghalangi niatku, tidak ada pilihan lain kecuali harus membunuhnya!"
"Baik. Aku senang sekali mendengar kesanggupan ini, Prameswara. Dan kukira mulai hari ini kau
boleh meninggalkan Lembah Kalierang. Namun sebelumnya kau harus mengenakan pakaian ini."
Kakek sakti dari Lembah Kalierang itu memasukkan tangan kirinya ke dalam jubah hitam. Dari sana dikeluarkannya sebuah buntalan besar.
"Apa itu, Guru?" tanya Prameswara penuh rasa ingin tahu.
"Melihat sikap dan pembawaanmu yang halus
kukira kau pantas sekali mengenakan pakaian ini. Ini
adalah jubah dan topi kebesaranmu. Pakailah!" kata Pendidik Ulung seraya
mengulurkan buntalan itu pada
Prameswara. Tanpa banyak tanya lagi Prameswara segera
meraih buntalan hitam. Sejenak dipandanginya buntalan itu, lalu dibukanya. Prameswara mendapati sebuah
jubah hitam besar beserta topi hitam yang memanjang
pada bagian atasnya.
Prameswara mendongakkan kepala memandang Pendidik Ulung. Orang tua sakti dari Lembah Kalierang itu hanya mengedikkan ujung dagunya sebagai
syarat agar Prameswara segera mengenakan pakaian
itu. Agak ragu-ragu Prameswara menanggalkan jubahnya dan membuangnya ke sembarang tempat. Lalu
perlahan-lahan dikenakan jubah hitam pemberian gurunya. Pas sekali! Prameswara merasa cocok dengan
jubah besar itu. Demikian juga dengan topi hitamnya.
Pendidik Ulung mengangguk-anggukkan kepala, Prameswara kini kelihatan lebih tampan dari sebelumnya. Sejenak Pendidik Ulung memperhatikan ketampanan muridnya.
"Kau tampan sekali dengan pakaian itu, Prameswara," puji Pendidik Ulung. "Dan kukira mulai saat ini kau harus meninggalkan
namamu. Pakailah gelar
Pelajar Agung. Kau cocok sekali dengan gelar itu. Aku Pendidik Ulung. Dan kau
Pelajar Agung. Apa itu bukan
pasangan yang serasi, muridku Pelajar Agung?" kata Pendidik Ulung gembira.
"Iya, Guru," Prameswara yang kini bergelar Pelajar Agung menjawab dengan santun.
"Sekarang izin-kanlah aku menimba pengalaman di dunia luar,
Guru." "Pergilah! Hanya pesanku jangan cemarkan nama baikku di dunia persilatan.
Ingat ini baik-baik, Muridku!"
"Tentu, Guru. Aku pasti akan mengingat pesanmu. Selamat tinggal!"
Prameswara segera menjejakkan kakinya ke tanah dan berkelebat cepat meninggalkan Lembah Kalierang. Dalam beberapa kelebatan saja, bayangan hitam


Siluman Ular Putih 11 Persekutuan Maut di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Pelajar Agung telah jauh di ujung lembah, dan menghilang di balik rimbunnya hutan.
Pendidik Ulung mengangguk-anggukkan kepala
dengan senyum gembira terkembang di bibir.
*** 2 Sebenarnya apa yang telah terjadi dengan Prameswara yang kini bergelar Pelajar Agung" Bukankah
ia murid Manusia Rambut Merah" Lalu, kenapa ia bisa
bertemu dengan Pendidik Ulung yang kemudian menjadi guru barunya.
Prameswara merasa kecewa sekali karena dua
kali berturut-turut dikalahkan oleh Siluman Ular Putih. Apalagi ketika tahu kalau guru barunya, Manusia
Rambut Merah, tewas di tangan Siluman Ular Putih.
Prameswara benar-benar terpukul. Ia bertekad mencari guru baru guna menambah ilmu untuk membunuh
Siluman Ular Putih dan kemudian menguasai dunia
persilatan. Berhari-hari Prameswara melakukan perjalanan
seorang diri tanpa arah tujuan. Hanya keinginan untuk mencari guru sakti sajalah yang membuat dirinya
bersemangat. Di saat Prameswara tengah melintasi sebuah hutan lebat di luar Kadipaten Pleret, tepatnya di Hutan Gudean, tiba-tiba
ia dikejutkan oleh bentakan
garang seseorang.
"Berhenti!"
Prameswara mengangkat kedua alisnya. Dilihatnya lima orang berpakaian hitam-hitam telah
menghadang langkah pemuda itu dengan pedang di
tangan. Wajah kelima penghadang itu tampak kasar.
Mata mereka memandang liar penuh kecurigaan.
Prameswara tersenyum sinis. Sedikit pun tidak
mempedulikan bentakan para penghadangnya. Masih
dengan senyum sinis terkembang di bibir Prameswara
kembali meneruskan langkah.
"Bajingan! Kau berani bertindak ayal-ayalan d
hadapan anggota Partai Kawula Sejati!" bentak lelaki berkumis cablang garang.
Prameswara mengangkat dagunya tinggi-tinggi.
Ekor matanya melirik angkuh. Sedikit pun ia tidak
gentar menghadapi kelima penghadangnya yang mengaku anggota Partai Kawula Sejati. Saat itu memang
tersiar kabar munculnya partai baru yang dipimpin
oleh Samber Nyawa. Partai ini berkeinginan meruntuhkan Kadipaten Pleret. Anggota Partai Kawula Sejati tengah jadi buruan para
prajurit Kadipaten Pleret. Namun, Prameswara yang tinggi hati mana sudi tunduk
di bawah gertakan mereka.
"Manusia-manusia tak tahu diri! Aku sudah
bersikap mengalah. Tapi kalian malah menjual lagak.
Apa kalian tidak tahu tengah berhadapan dengan siapa, he"! Jangankan berlima, seluruh anggota Partai
Kawula Sejati beserta ketua kalian yang bergelar
Samber Nyawa tidak akan membuatku gentar!" kata
Prameswara. "Bedebah! Jaga bacotmu, Anak Muda! Apa kau
belum pernah merasakan tajamnya pedang"! Makanlah pedangku!"
Si kumis cablang memberi isyarat dengan tangan kanan pada keempat orang kawannya untuk langsung menyerang.
Prameswara mendengus sinis. Ia tidak gentar
melihat kelebatan lima batang pedang di tangan para
pengeroyoknya. "Kalian benar-benar memalukan! Aku, Prameswara, tidak pantas berhadapan dengan cecungukcecunguk seperti kalian!" dengus Prameswara sinis.
Tubuh pemuda itu cepat berkelebatan di antara
kilatan-kilatan mata pedang lawan. Sambil berkelebatan begitu telapak tangan Prameswara bergerak menepuk dada kelima penghadangnya.
Bukkk! Bukkk! "Augh...!"
Terdengar jerit kesakitan susul-menyusul. Seketika tubuh kelima penghadang Prameswara terjajar
ke belakang. Dada mereka yang terkena tepukan tangan terasa mau jebol. Meski terlihat seperti tepukan
biasa, namun tenaganya mampu meremukkan tulangtulang iga. Kelima pengeroyok Prameswara semakin murka, Sepasang mata garang mereka memandangi Prameswara penuh selidik.
"Teman-teman! Dia pasti mata-mata dari Kadipaten Pleret. Hayo, kita tangkap mata-mata keparat
ini!" teriak si kumis cablang.
Pedang di tangan kanannya kembali menyerang
Prameswara. Kemudian diikuti oleh keempat orang temannya. "Bukannya berterima kasih karena aku telah
berlaku lunak, malah kalian menuduhku sembarangan! Kalian benar-benar lancang. Beraninya menuduhku mata-mata. Nyawa kalianlah sebagai tebusannya. Heaaa...!"
Diawali teriakan keras tubuh tinggi kekar Prameswara kembali berkelebat cepat di antara gulungan
pedang para penghadangnya. Kini tamparan-tamparan
Prameswara tak segan-segan siap merenggut nyawa
mereka. Salah seorang penghadangnya sudah ambruk
dan tak mampu bangun lagi. Tulang-tulang iganya
berpatahan. Bukkk! Bukkk! Tanpa mengenal ampun tangan Prameswara terus bergerak menepuk dada lawan. Dua orang penghadangnya memekik keras dan ambruk ke tanah. Nasibnya sama seperti temannya tadi.
"Prajurit-prajurit tak berguna! Menghadapi seorang pemuda saja tidak becus! Minggir! Kalian semua
telah memalukan Partai Kawula Sejati!"
Tiba-tiba terdengar bentakan keras. Disusul
berkelebatnya sesosok bayangan hitam ke tengah arena pertarungan. Belum hilang gaung suara tadi tahutahu di hadapan Prameswara telah berdiri seorang lelaki empat puluh tahunan.
"Ketua, maafkan ketidakmampuan kami. Matamata keparat ini benar-benar lihai, Ketua," lapor si kumis cablang.
Lelaki berpakaian hitam-hitam itu mendengus.
*** Prameswara hanya memandang sinis. Sosok di
hadapannya itu bertubuh tegap. Wajahnya kotak dengan jenggot lebat. Sepasang matanya yang garang berkilat-kilat memandang penuh kemarahan.
"Anak muda! Kau sungguh lancang berani
mengotori tempatku. Apa nyawamu sudah rangkap,
he"!" bentak Ketua Partai Kawula Sejati yang bergelar Samber Nyawa itu dengan
angkuhnya. Sekali lagi Prameswara mendengus sinis. Ia
yang juga berwatak tinggi hati mana sudi direndahkan
sedemikian rupa. Meski di belakang Samber Nyawa telah tegak dua puluh orang anak buahnya yang berpakaian hitam-hitam, Prameswara tetap tidak bergeming
dari tempatnya. Malah dengan sengit ia menyahuti
ucapan Samber Nyawa.
"Bicaramu sungguh merendahkanku, Samber
Nyawa! Apa kau kira semua orang bersedia tunduk di
bawah perintahmu?"
"Setan alas! Jadi kau sudah mengetahui gelarku!" "Siapa yang tak kenal manusia pemberontak macammu, Samber Nyawa! Kau tidak
mungkin dapat mewujudkan impian gilamu. Jangankan merebut takhta Kadipaten Pleret, untuk merobohkanku saja kau belum tentu mampu. Hayo, sekarang buktikan ucapanmu kalau kau memang mampu!"
"Keparat! Kau akan menyesal dengan ucapanmu, Anak Muda!" dengus Samber Nyawa murka bukan
main. Beberapa anak buahnya yang siap dengan pedang di tangan segera berloncatan ke depan. Namun
Samber Nyawa mengibaskan tangan kanannya seraya
membentak garang.
"Minggir! Kalian semua tidak perlu membantuku. Lihatlah bagaimana ketua kalian menghajar manusia tak tahu diri ini!"
"Sungguh besar juga nyalimu, Samber Nyawa.
Apa kau tidak ingin bersembunyi di balik ketiak anak
buahmu?" ejek Prameswara.
"Jaga bacotmu, Anak Muda! Justru kaulah
yang terlalu besar nyali. Apa kau kira dapat keluar dari hutan ini dengan
selamat"!"
"Jangan banyak bacot. Hayo, buktikan saja!"
"Setan alas! Kau benar-benar merendahkanku.
Makanlah bogem mentahku. Anak Muda!" Samber
Nyawa tak dapat mengendalikan amarahnya lagi.
Secepat kilat bogem mentahnya melayang ke
muka Prameswara. Ia ingin merobohkan pemuda ini
hanya dalam satu gebrakan. Sayang hanya dengan
memiringkan tubuhnya sedikit Prameswara berhasil
membuat serangan Samber Nyawa mengenai angin kosong. Malah dengan menggunakan jurus 'Kilat Menyambar Bumi' tangan kanan Prameswara telah mengancam ulu hatinya!
"Ah...!"
Samber Nyawa kaget bukan main. Buru-buru ia
membuang tubuhnya ke belakang. Kini Samber Nyawa
baru sadar. Pantas kelima anak buahnya tidak sanggup menghadapi Prameswara. Maka tanpa banyak pikir panjang Samber Nyawa segera mengeluarkan jurus
andalannya. "Pantas kau berani jual lagak. Tak tahunya
punya sedikit simpanan. Tapi sayang kau akan menyesal seumur hidup karena telah bertemu denganku.
Kau akan mati, Anak Muda!"
Tangan Samber Nyawa yang sudah gatal segera
direntangkan. Kedua kakinya sedikit ditekuk ke depan.
Sementara tubuhnya menyerong ke samping. Prameswara hanya tersenyum sinis. Namun ketika Samber
Nyawa mulai menerjang, Prameswara langsung mengerutkan kening. Belum sempat serangan Samber Nyawa
mengenai sasaran, terlebih dahulu meluruk angin dingin datang mendahului serangannya.
"Bagus! Rupanya kau memang pantas mendapat gelar Samber Nyawa. Dan seperti yang kau
ucapkan, kau pun akan menyesal telah bertemu aku.
Kau akan mampus di tanganku!"
Samber Nyawa tak menyahuti ucapan Prameswara. Ia hanya mengeluarkan gerengan marah. Dengan
menggunakan jurus 'Tangan Maut Dewa Kayangan'
Samber Nyawa menerjang Prameswara.
"Hea...! Hea...!"
Tubuh Samber Nyawa berkelebat lincah mengurung pertahanan Prameswara. Berkali-kali kedua
tangannya bergerak cepat mengancam bagian-bagian
tubuh yang mematikan.
Diam-diam Prameswara mengeluh dalam hati.
Tidak menyangka kalau Samber Nyawa sedemikian
hebatnya. Perlahan namun pasti ia mulai terdesak.
"Sialan! Tak kusangka manusia pemberontak
ini demikian lihainya. Aku memang belum mengenal
Jurus serangannya. Namun dari hawa dingin yang
menyambar tubuhku, jelas pemberontak ini tidak bisa
dianggap main-main. Kukira aku harus lebih berhatihati," pikir Prameswara dalam hati.
Prameswara segera mengeluarkan senjata andalan milik gurunya terdahulu, yakni Kujang Emas.
Kujang Emas mengeluarkan kilatan cahaya kuning
keemasan itu sempat mengejutkan Samber Nyawa.
Apalagi ketika dilihatnya telapak tangan kiri Prameswara hingga ke pangkal siku berubah menjadi biru.
"Hm... Melihat senjata andalanmu, tentu kau
mempunyai hubungan dengan Pendekar Kujang Emas.
Tangan kirimu pun siap melontarkan pukulan 'Cahaya
Kilat Biru'. Salah satu pukulan andalan Pendekar Kujang Emas dan Pendekar Pedang Kilat Buana!" dengus Samber Nyawa.
Prameswara terkejut. Namun ia buru-buru tersenyum sinis untuk menutupi keterkejutannya.
"Syukur kalau kau sudah tahu. Lalu kenapa
kau tidak cepat-cepat bunuh diri saja daripada aku
yang mencabut nyawa busukmu!"
"Setan alas! Jangan dikira aku takut mendengar nama gurumu, Anak Muda. Jangankan gurunya,
Eyang gurunya pun aku tidak takut. Hayo, majulah!
Aku ingin lihat sampai di mana kehebatan murid mendiang Pendekar Kujang Emas!" Samber Nyawa tak kalah gertak.
Prameswara tersenyum sinis. Tarikan dagunya
menunjukkan kalau ia sangat merendahkan lawan.
Samber Nyawa menggeretakkan gerahamnya
kuat-kuat. Kedua pelipisnya bergerak-gerak. Seraya
menahan kemarahan, Samber Nyawa segera mengeluarkan jurus pamungkasnya, 'Tulisan Maut Dewa
Kayangan'! Salah satu jurus andalan untuk menghadapi tokoh-tokoh sakti dunia persilatan. Kedua telunjuk jari Samber Nyawa yang telah berubah putih berkilauan terlihat menggurat-gurat di udara membentuk
huruf gaib ciptaan Pendidik Ulung! Telunjuk tangan
kanan menggurat dari kanan ke kiri. Sedang telunjuk
jari kiri menggurat dari kiri ke kanan. Gerakan tubuhnya kala menggurat pun
tampak lemah gemulai. Namun anehnya dari setiap guratan telunjuk jari Samber
Nyawa selalu mengeluarkan bunyi mencicit yang teramat memekakkan telinga.
Prameswara terkejut melihat jurus-jurus maut
yang demikian hebatnya. Mau tak mau ia yang sudah
cukup pengalaman di dunia persilatan pun kagum di

Siluman Ular Putih 11 Persekutuan Maut di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

buatnya. Di saat Samber Nyawa masih mengguratgurat kedua telunjuk jarinya, Prameswara melancarkan serangan. Kujang di tangan kanannya melontarkan pukulan 'Cahaya Kilat Biru'!
"Hea...!"
Prameswara kembali membuka serangan.
Samber Nyawa yang masih menggurat-guratkan kedua
telunjuk jarinya ke udara buru-buru menghindari serangan. Lalu, kedua telunjuk jarinya disatukan dan
diarahkan pada Prameswara. Seketika seleret sinar putih berkilauan melesat cepat ke arah pemuda itu!
Bummm...!!! Terdengar satu ledakan hebat di udara kala
Prameswara memapaki serangan Samber Nyawa dengan pukulan 'Cahaya Kilat Biru'. Bumi terasa bergetar.
Angin bertiup kencang memporak-porandakan pepohonan di sekitar tempat pertarungan.
Tubuh Prameswara terjajar beberapa langkah
belakang. Parasnya terlihat pias. Telapak tangan kirinya pun ngilu dan beku.
Samber Nyawa tertawa bergelak. Akibat benturan pukulan jarak jauh tadi ia hanya tergetar sesaat.
Kenyataan ini membuktikan kalau tenaga dalamnya
masih di atas Prameswara.
"Ha ha ha...! Tak kusangka hanya seperti ini
kepandaian murid mendiang Pendekar Kujang Emas.
Aku tak yakin kau akan sanggup menerima jurus kedua ku ini, Anak Muda!"
Samber Nyawa kembali menggurat-guratkan
kedua telunjuk jarinya ke udara. Seperti yang pertama, setiap ia mengguratkan
kedua telunjuknya selalu
mengeluarkan suara mencicit tajam.
Prameswara ciut nyalinya. Dari gebrakan pertama tadi nyawanya hampir saja melayang. Ia tidak ingin mengulang untuk kedua kali.
"Aku harus berhati-hati. Jurus-jurus Samber
Nyawa amat berbahaya. Kukira hanya dengan menggunakan ilmu dari Manusia Rambut Merah saja dapat
mengatasi serangannya," pikir Prameswara.
Prameswara bersiap-siap mengeluarkan ilmu
amblas bumi. Sayang, belum sampai niat itu terlaksana, berkelebat sesosok tubuh bayangan hitam telah
menghentikan pertarungan.
"Murid murtad! Kau benar-benar telah mencoreng arang di mukaku!"
*** Samber Nyawa terkesiap. Sepasang matanya
pun membeliak liar menatap sosok di hadapannya.
Seorang kakek berjubah panjang hingga ke lutut. Di
kepalanya bertengger topi hitam yang memanjang pada
bagian atas. Sosok orang tua itu mirip seorang terpelajar. Dialah guru Samber
Nyawa yang bergelar Pendidik
Ulung. "Guru...!" gumam Samber Nyawa dengan paras pias. "Di antara kita tidak
ada lagi ikatan guru dan murid. Perbuatanmu telah menyimpang jauh dari apa
yang kupesankan. Malah kini kau ingin merebut takhta Kadipaten Pleret. Benar-benar memalukan! Sebagai
gurumu aku berhak meminta pertanggungjawaban.
Dan sebagai seorang pendekar, hayo lekas cabut senjatamu. Mungkin tubuh rapuhku ini masih mampu
menghadapimu!"
Pendidik Ulung lalu mengeluarkan sepasang
pena sebagai senjata andalannya. Sepasang matanya
yang kelabu sekejap memperhatikan Prameswara yang
tengah memegang Kujang Emas.
"Hm...! Rupanya pemuda ini ada sangkut pautnya dengan Pendekar Kujang Emas," gumam Pendidik
Ulung. Prameswara sendiri tengah berkata-kata sendiri di dalam hati.
"Jadi kakek ini gurunya Samber Nyawa" Hm...
Aku harus mencari akal. Aku harus bisa menjadi muridnya. Bagaimanapun juga kepandaian kakek itu masih di atas Samber Nyawa. Ya! Kukira inilah saatnya
untuk menemukan seorang guru sakti."
Melihat keadaan yang kurang menguntungkan
itu kedua puluh orang anak buah Samber Nyawa segera mengurung tempat pertarungan. Pendidik Ulung
hanya melirik sekilas.
"Anak muda! Kau minggirlah sebentar! Kalau
kau mau, usirlah cecunguk-cecunguk itu!" kata Pendidik Ulung.
Kalau saja Prameswara tidak sedang menjalankan suatu rencana, belum tentu ia sudi diperintah begitu. Namun karena ia tengah membutuhkan Pendidik
Ulung terpaksa Prameswara mengalah.
"Baiklah, Orang Tua. Bagaimanapun juga kaulah yang berhak menghukum manusia pemberontak
ini!" sahut Prameswara dengan suara santun.
Pendidik Ulung mengangguk-anggukkan kepala. Ia jadi bersimpati pada Prameswara. Namun ketika
dilihatnya Samber Nyawa belum juga mencabut senjata, tak urung kening Pendidik Ulung berkerut. "Lekas cabut senjatamu, Murid
Murtad!" "Jangan paksa aku untuk melawanmu, Guru!
Aku tak sanggup!" jawab Samber Nyawa kaku.
"Persetan! Kau berani bertingkah maka harus
berani pula bertanggung jawab. Hayo, lekas cabut senjatamu!" Semula Samber Nyawa ragu-ragu. Namun ketika dilihatnya anak buahnya dibuat kocar-kacir oleh
Prameswara, Samber Nyawa menggereng penuh kemarahan. Hendak diterjangnya Prameswara. Tapi gurunya
segera menghadang. Tak ada pilihan lain. Terpaksa harus menghadapi gurunya.
"Bagus! Itu namanya baru Ketua Partai Kawula
Sejati!" ejek Pendidik Ulung.
Samber Nyawa mulai gelap mata. Keinginannya
untuk merebut takhta Kadipaten Pleret memaksanya
untuk melakukan perlawanan. Dicabutnya beberapa
pedang hijau yang bermanikan mutiara.
Melihat Samber Nyawa telah mencabut senjatanya, Pendidik Ulung tertawa bergelak. Hal ini makin membuat Samber Nyawa
murka. Tanpa pikir panjang,
segera diterjangnya Pendidik Ulung. Pedang hijau di
tangan kanan diputar sedemikian rupa. Tangan kiri
yang disembunyikan di pinggang siap dengan lontarkan pukulan maut. Itulah salah satu jurus pembuka
'Tangan Maut Dewa Kayangan'.
Pendidik Ulung tak berani main-main. Ia tahu
betul kepandaian Samber Nyawa. Maka dengan menggunakan jurus yang sama kakek itu melancarkan serangan. Sepasang pena di tangannya bergerak cepat
menindih bayangan hijau pedang Samber Nyawa.
"Hea...! Hea...!"
Samber Nyawa berusaha keluar dari gulungan
sepasang pena gurunya. Berkali-kali Samber Nyawa
mencoba melancarkan serangan dengan menggunakan
jurus-jurus tipuan. Namun sayang usahanya itu berhasil diketahui Pendidik Ulung.
"Makanlah penaku, Murid Murtad!" bentak
Pendidik Ulung.
Kedua penanya yang semula bergerak lembut,
tiba-tiba dengan satu sentakan keras ke belakang
mengancam ulu hati Samber Nyawa. Tokoh hebat itu
hanya sempat mengeluarkan pekik tertahan kala sepasang pena gurunya telak mengenai dada.
Tukkk! Tukkk! Seketika tubuh Samber Nyawa terpental ke belakang. Dari mulutnya menyemburkan darah segar.
Ketika ia kembali tegak tampaklah wajah pias Samber
Nyawa. Setelah mengusap darah yang membasahi sudut-sudut bibir, Samber Nyawa menyimpan pedangnya. Lalu kedua telunjuk jarinya yang telah berubah
putih berkilauan siap mengeluarkan jurus 'Tulisan
Maut Dewa Kayangan'.
Pendidik Ulung menarik langkahnya satu tindak ke belakang. Ia pun siap mengeluarkan jurus
'Tulisan Maut Dewa Kayangan'.
Begitu Pendidik Ulung menggurat-guratkan kedua ujung penanya ke udara, seketika angin dingin
berkesiur menyambar-nyambar ke arah Samber Nyawa. Belum lagi suara mencicit dari guratan ujung pena. "Hea...!"
Samber Nyawa cepat menyatukan kedua telunjuk jarinya di udara. Tampak dua larik sinar putih
berkilauan melesat cepat ke arah Pendidik Ulung.
Wesss! Wesss! Bummm...!!! Hebat bukan main bentrokan dua tenaga dalam
itu. Bumi terpaksa bergetar. Sambaran angin pukulan
mampu memporak-porandakan pepohonan dan menerbangkan bebatuan di sekitar tempat pertarungan.
Samber Nyawa yang jatuh terjengkang perlahan-lahan mencoba bangkit. Wajahnya semakin pucat
pasi. Darah segar membasahi sudut-sudut bibir.
Pendidik Ulung menggeram. Ia merasa penasaran sekali dengan hasil serangannya. Padahal telah di-kerahkan sepertiga tenaga
dalamnya. Namun Samber
Nyawa belum mendapat luka yang berarti.
"Rupanya kau sudah mengalami kemajuan,
Samber Nyawa. Tapi jangan dikira nyawa busukmu
akan lepas dari tanganku!" bentak Pendidik Ulung penuh kemarahan. Wajahnya
tampak menegang.
Samber Nyawa tidak menyahuti ucapan gurunya. Ia hanya mengeluarkan satu geraman hebat. Di
hadapannya Pendidik Ulung kembali mengguratguratkan kedua ujung penanya ke udara. Suara mencicit yang ditimbulkan makin menggiriskan. Belum lagi hawa dingin yang
berkesiuran mendahului.
Pendidik Ulung mengerahkan segenap kekuatan tenaga dalamnya. Terpaksa Samber Nyawa harus
meladeni. Kedua telunjuk jarinya digerakkan dalam jurus serangan yang sama.
"Hea...!!!"
Pendidik Ulung mengeluarkan teriakan keras.
Kedua ujung penanya segera dipertemukan. Dan...
Kembali dua tenaga dalam guru dan murid itu
saling berbenturan.
Bak layangan putus talinya tubuh Samber
Nyawa terlempar jauh ke belakang, berputar-putar sebentar lalu jatuh berdebam ke tanah. Darah segar
mengalir diri sudut-sudut bibir dan lobang hidung.
Dengan tertatih-tatih Samber Nyawa mencoba bangun.
Tangan kanannya mendekap erat dada yang terasa
mau jebol. Sementara tangan kirinya menggapai-gapai
mencari sesuatu yang dapat dijadikan pegangan.
Sayang, tak ada sesuatu yang dapat dipegang. Samber
Nyawa kembali jatuh ke tanah, melejang-lejang sebentar kemudian diam tidak bergerak lagi.
Pendidik Ulung tertawa sumbang. Wajahnya
yang keriput tampak menegang. Perlahan darah segar
mengalir dari sudut-sudut bibir. Rupanya orang sakti
dari Lembah Kalierang itu menderita luka dalam cukup parah. Melihat Ketua Partai Kawula Sejati tak dapat
bangun lagi, sisa-sisa anggota partai itu yang tengah mengeroyok Prameswara
segera melarikan diri. Sebenarnya Prameswara ingin mengejar namun mendadak
langkahnya tertahan.
"Tunggu, Anak Muda! Aku ingin bicara sebentar" Prameswara menghentikan langkah.
"Ada apa, Orang Tua" Tampaknya kau ingin
mengatakan sesuatu?" kata Prameswara santun.
Hal inilah yang membuat Pendidik Ulung
menngagumi Prameswara. Sikap pemuda itu tampak
halus dan terpelajar.
"Aku memang ingin bicara, Anak Muda. Aku
tak tahu apakah kau akan sudi atau tidak. Tapi kulihat susunan tulang dalam tubuhmu bagus sekali. Kukira kau pantas untuk...."
"Untuk apa, Orang Tua?" tukas Prameswara tak sabar. "Hm...! Aku ingin kau
menjadi muridku. Apa kau keberatan, Anak Muda"!" kata Pendidik Ulung setelah
menelan ludah. "Tapi, untuk itu kau harus bersedia menanggung beban berat. Kau
harus dapat mengangkat namaku kembali ke dunia persilatan setelah
tercoreng oleh ulah Samber Nyawa."
"Apa"! Menjadi muridmu?" Prameswara membeliakkan mata tak percaya. Lalu ia melanjutkan katakata di dalam hati.
"Hm...! Inikah yang dinamakan pucuk dicinta
ulam tiba" Aku yang sedang kebingungan mencari
guru sakti, eh... nggak tahunya malah ada yang menawarkan diri. Bukan main! Mujur benar nasibku hari
ini. Tentu aku tidak mungkin menyia-nyiakannya. Inilah kesempatan untuk melampiaskan pada Siluman
Ular Putih!"
"Kau keberatan, Anak Muda?"
"Aku senang sekali menjadi muridmu, Orang
Tua. Tapi apakah kau tidak salah pilih?"
"Semoga saja aku tidak salah mengambil keputusan. Di samping kau memang sangat berbakat, sikap
dan pembawaanmu sangat bertolak belakang dengan
Samber Nyawa. Kau tampak santun dan terpelajar.
Rasanya kaulah yang paling pantas menjadi murid terakhirku. Ketahuilah, nama gurumu ini adalah Marabunta. Di dunia persilatan aku lebih dikenal dengan
julukan Pendidik Ulung. Aku ingin sekali kelak kau
mengharumkan namaku kembali. Apakah kau keberatan?" Prameswara menangkupkan kedua tangannya
di depan hidung.
"Tentu saja tidak, Guru. Aku berjanji akan memenuhi permintaanmu."


Siluman Ular Putih 11 Persekutuan Maut di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Baik. Kalau begitu tak ada lagi yang perlu kita bicarakan. Sekarang juga kau
harus ikut aku ke Lembah Kalierang!"
"Baik, Guru."
*** 3 Siang yang terik. Matahari tepat berada di tengah cakrawala. Udara yang panas karena angin malas
berhembus membuat suasana siang itu terasa kaku.
Keadaan pasar di Desa Wringin Anom tiba-tiba dikejutkan oleh teriakan lantang seseorang. Seketika orang sepasar berhamburan
melihat apa yang terjadi
Di sebelah barat pasar tampak seorang gadis
tengah meracau tidak karuan. Keadaannya sangat
memprihatinkan. Pakaian kuningnya compangcamping. Wajahnya yang cantik kusut masai. Dari pakaiannya yang sudah tidak karuan tampak sebagian
auratnya. Sepasang payudara yang montok itu menyembul keluar. Perutnya membuncit. Sepasang pahanya yang berkulit putih bersih tampak nyata sampai
hampir ke pangkal paha.
"Jahanam! Samber Nyawa, Jahanam! Kaulah
yang menghamiliku! Kau harus bertanggung jawab.
Kau harus bertanggung jawab! Hi hi hi...!"
Di akhir teriakan-teriakannya yang lantang, gadis cantik berpakaian compang-camping itu menangis
sedih. Berpuluh pasang mata yang melihat keadaan
gadis cantik itu menjadi jengah. Lebih-lebih para ibu.
Mereka menundukkan kepala dan bergegas pergi. Sebagian lainnya kasak-kusuk membicarakan gadis itu.
"Bukankah gadis itu Ni Luh, putri tunggal Ki
Lurah Joyorono?"
"Ya. Dia memang putri tunggal Ki Lurah Joyorono, Kang," terdengar satu suara menyahuti.
"Tapi bukankah ia hendak menikah dengan
Purboyo. Lalu kenapa mendadak menjadi sinting?"
"Ah...! Jangan-jangan ia ditinggal Purboyo?" ka-ta satu suara lainnya menambahi.
"Tidak mungkin! Purboyo itu orangnya baik.
Tak mungkin ia memperlakukan Ni Luh seperti itu.
Apalagi menghamilinya tanpa mau bertanggung jawab.
Tak mungkin! Aku cukup mengenal siapa Purboyo.
Pasti pemuda edan yang disebut-sebutnya tadi yang
menghamili Ni Luh! Siapa lagi kalau bukan ia?" kata seorang pemuda membela.
"Tapi apa kau mengenai siapa Samber Nyawa?"
"Itulah yang sedang kupikirkan. Rasanya di desa ini tak ada orang yang bernama seangker itu.
Samber Nyawa" Hih! Bulu kudukku jadi berdiri," kata pemuda itu lagi.
"Ugh...! Dasar penakut!" kata yang lainnya
mencemooh. "Sudah, sudah! Kenapa kalian jadi ribut sendiri" Hayo, kita tolong gadis itu!" kata seorang laki-laki lain membentak.
"Oh.... Samber Nyawa! Kau benar-benar manusia dajal! Setelah kau perkosa aku, kini teganya kau
meninggalkanku. Hu hu hu..! Tak kuasa lagi rasanya
aku menanggung beban berat ini, Samber Nyawa. Aku
tak tahan lagi. Oh...!" teriak Ni Luh memelas.
Dadanya terlihat turun naik. Kedua telapak
tangannya menutupi wajah. Menangislah Ni Luh sampai terisak-isak. Ketika ia membuka tangannya tampaklah wajah pias gadis cantik itu. Sepasang matanya
membelalak liar.
"Aku tak tahan lagi! Aku tak tahan lagi! Rasanya tak pantas aku hidup lebih lama lagi...!"
Ni Luh mulai memukuli dadanya keras-keras.
Memang tidak begitu membahayakan keselamatannya,
namun penduduk kampung yang mengerumuni Ni Luh
makin panik dibuatnya. Tangis Ni Luh makin memelas
kala penduduk kampung memegangi lengannya. Dan
di saat gadis itu tengah meraung-raung histeris, seorang laki-laki setengah baya menyeruak keramaian.
"Ni Luh, Anakku. Kasihan sekali kau. Lihatlah
ini bapakmu, Nak!" ujar laki-laki itu memelas.
"Siapa kau"!" bentak Ni Luh. Sepasang matanya mendadak beringas.
"Aku.... Bapakmu, Nak. Ki Lurah Joyorono," ka-ta laki-laki itu serak.
"Bapakku" Tidak! Kau bukan bapakku! Kau
pasti kambratnya Samber Nyawa. Ya...! Kau pasti
kambratnya Samber Nyawa!"
"Lihatlah baik-baik, Nak! Aku bapakmu. Aku Ki
Lurah Joyorono."
Ni Luh tak mempedulikan teriakan bapaknya.
Sepasang matanya segera dialihkan ke sudut lain. Lalu dengan kalap gadis itu
kembali berteriak-teriak.
"Dia... dia itu Samber Nyawa! Ya...! Dialah
Samber Nyawa! Dialah yang memperkosa dan menghamiliku!" tunjuk gadis itu dengan tangan gemetar pa-da seorang pemuda.
Seketika orang-orang yang mengerumuni Ni
Luh mengalihkan pandangan matanya. Tampak seorang pemuda asing dengan rambut gondrong sebahu
tengah melenggang santai melewati jalan pasar.
"Ya ya...! Dialah yang telah memperkosa dan
menghamiliku! Aku harus segera menemuinya," kata Ni Luh.
"Tangkap pemerkosa itu...!"
* * * Si pemuda menautkan alis matanya dalamdalam. Dilihatnya orang-orang sepasar mulai mengerumuni dirinya.
"Eh eh...! Ada apa ini" Kenapa kalian mengerumuniku?" kata si pemuda heran.
Dia seorang pemuda tampan dengan rambut
gondrong tergerai di bahu. Pakaiannya rompi dengan
celana bersisik warna putih keperakan. Di dadanya
tampak rajahan bergambar ular putih kecil. Di pergelangan tangan melingkar gelang akar bahar. Senjata
andalannya yang berupa anak panah bercakra kembar
melingkar di pinggang. Melihat ciri-cirinya dia tidak lain adalah Soma yang
bergelar Siluman Ular Putih.
"Jangan berlagak pilon, Orang Asing! Kau yang
memperkosa dan menghamili Ni Luh! Teman-teman!
Cepat tangkap orang asing ini!" teriak orang pemuda yang berada paling depan.
"Ya, ampun! Dunia sudah miring atau orangorang di sekitarku yang miring" Enak saja main tuding sembarangan. Siapa yang
memperkosa" Siapa yang
menghamili anak orang"!" teriak Soma gusar bukan main. "Ya, ampun! Apes benar
nasibku hari ini!" lanjut Soma kesal.
"Bukan kau yang apes, Orang Asing! Ni Luh
yang apes. Enak saja kau tak mau bertanggung jawab
setelah menghamili anak orang. Sekarang kau harus
bertanggung jawab!"
"Hm...! Pasti ada sesuatu yang tidak beres terjadi di sini. Diminta maupun tidak, aku harus secepatnya turun tangan," gumam murid Eyang Begawan
Kamasetyo. "Teman-teman! Cepat tangkap orang asing ini!
Kalau perlu, kita cincang sekalian juga tak mengaku!"
teriak pemuda itu lagi.
Tanpa diperintah sekali lagi orang sepasar yang
sudah tak dapat mengendalikan amarah segera mengerumuni Soma. Malah ada beberapa yang mulai mengirimkan bogem mentahnya.
"Jangan bunuh pemuda itu! Dia harus bertanggung jawab atas bayi yang ku kandung!" teriak Ni Luh.
Disibaknya kerumunan orang.
Melihat penampilan gadis itu, Soma langsung
menggaruk-garuk kepala. Sepasang matanya yang
nakal sempat singgah pada buah dada Ni Luh yang
membusung keluar. Entah kenapa Soma kembali
menggaruk-garuk kepalanya. Hal ini membuat kemarahan orang-orang di pasar makin meledak.
"Bocah jorok! Tak tahu malu! Matamu memang
patut ku congkel!" geram seorang pemuda jengkel.
"Tunggu! Kalian semua tidak boleh menyakiti
calon suamiku!" bentak Ni Luh galak.
Soma bingung bukan main. Dilihatnya gadis
cantik berpakaian compang-camping itu mendekatinya. "Duh! Apes benar nasibku hari ini. Masa' calon istriku macam begini?"
gumam Soma dalam hati sambil menggaruk-garuk kepalanya.
"Kakang...! Ah, ya! Mulai hari ini aku harus
memanggilmu Kakang. Mari kita pulang, Kakang! Aku
sudah tak sabar lagi menunggu kepulanganmu. Mari
pulang, Kang!" kata Ni Luh makin membuat murid
Eyang Begawan Kamasetyo kebingungan.
"Aku bukan Samber Nyawa, Gadis. Aku Soma.
Seorang pengembara miskin yang kebetulan melewati
jalan ini."
Ni Luh membelalakkan matanya.
"Jadi kau ingin meninggalkanku lagi, Kang!" ka-ta Ni Luh mulai terisak.
"Maaf, Gadis! Aku tak mengenal siapa dirimu.
Tapi aku berjanji. Aku akan mencari calon suamimu.
Kalau boleh aku tahu di manakah Samber Nyawa tinggal?" "Omong kosong! Kau pasti Ketua Partai Kawula Sejati itu sendiri!" bentak
Ki Lurah Joyorono garang
"Aduh...! Siapa lagi Ketua Partai Kawula Sejati"
Aku bukan Samber Nyawa. Aku Soma. Masa kalian tidak percaya?"
"Ki Lurah! Buat apa kita membuang-buang
waktu" Kita hajar saja pemerkosa ini ramai-ramai. Biar tahu rasa! Hayo, Teman-teman! Kita hajar orangasing ini sampai lumat!" teriak seorang pemuda penuh kemarahan.
Soma menggaruk-garuk kepalanya. Dilihatnya
beberapa penduduk kampung mulai menyerang. Tentu
saja Soma tidak ingin tubuhnya jadi bulan-bulanan
amarah penduduk. Dengan sekali menjejakkan kaki ke
tanah, tahu-tahu Soma telah berada di atas atap bangunan pagar. "Harap kalian dengar baik-baik. Aku Soma. Aku
bukan Samber Nyawa. Apalagi yang memperkosa gadis
itu! Tapi baiklah! Dengan menjaga nama baik dan demi
membalaskan sakit hati Ni Luh, sekarang juga aku
akan mencari Samber Nyawa dan menyeretnya kemari.
Selamat tinggal!"
Soma berkelebat cepat meninggalkan tempat
itu. Kemarahan penduduk kampung makin berkobar.
Namun untuk mengejar Soma jelas tidak mungkin. Sosok pemuda itu telah menjadi titik putih kecil di kejauhan sana. *** 4 Malam itu di markas Partai Kawula Sejati terasa lengang. Sejak Samber Nyawa tewas di tangan gurunya, Pendidik Ulung, tampuk Pimpinan Partai Kawula Sejati kini dipegang salah seorang tangan kanan
mendiang Samber Nyawa. Dia seorang laki-laki angkuh
yang masih terhitung keturunan Adipati Pleret. Di dunia persilatan lebih dikenal dengan julukan Pangeran
Pemimpin. Sebagai seorang pangeran ia merasa tidak menjadi adipati Kadipaten Pleret jika dibandingkan sauda-ra tirinya yang dilahirkan
dari seorang selir. Maka ketika melihat adik tirinya kini menjadi Adipati
Pleret, Pangeran Pemimpin merasa iri. Bagaimanapun juga ia
anak tertua dari Adipati Pleret Tua. Meski Pangeran
Pemimpin juga dilahirkan dari seorang selir, sang Per-maisuri tidak mempunyai
anak, maka dialah yang berhak duduk di singgasana Kadipaten Pleret bukan adik
tirinya! Ayahandanya, Adipati Pleret Tua, lebih mencu-rahkan kasih sayangnya
kepada selir terkasihnya yang
menjadi ibu Adipati Pleret sekarang. Pangeran Pemimpin lalu bertekad untuk memberontak. Pangeran Pemimpin merasa tersisih dari lingkungan kadipaten. Diam-diam ia bergabung dengan Partai Kawula Sejati
yang dipimpin oleh Samber Nyawa. Namun sejak
Samber Nyawa tewas Pangeran Pemimpin mengambil
alih pucuk Pimpinan Partai Kawula Sejati.
* * * Seperti malam-malam sebelumnya penjagaan di
markas Partai Kawula Sejati selalu demikian ketat. Beberapa anak buah Partai
Kawula Sejati siap siaga di
pos penjagaan. Hal ini tidaklah mengherankan. Akhirakhir ini banyak mata-mata Kadipaten Pleret yang berkeliaran di sekitar markas.
Samar-samar sesosok bayangan hitam terlihat
berkelebat cepat tak jauh dari markas Partai Kawula
Sejati. Gerakan kedua kakinya begitu ringan laksana
terbang. Sesampainya di ujung jalan dekat markas sosok bayangan hitam itu menghentikan langkah. Kepalanya tegak lurus ke depan tanpa membuat gerakan
sedikit pun. Hanya, sepasang matanya yang tajam bak
mata rajawali bergerak-gerak memperhatikan keadaan
sekitar. "Menurut keterangan dari seorang penduduk, Siluman Ular Putih tengah
menuju ke timur. Katanya
ingin mencari Samber Nyawa yang menjadi Ketua Partai Kawula Sejati. Tapi bukankah Samber Nyawa telah
tewas di tangan guru Pendidik Ulung beberapa pekan
lalu" Hm...! Rasanya tak masuk akal," pikir sosok bayangan hitam.
Dia seorang pemuda tampan. Jubah hitam panjang sampai ke lutut. Di kepalanya bertengger topi hitam yang memanjang pada
bagian atas. Dialah Prameswara yang kini bergelar Pelajar Agung.
"Kukira tak ada gunanya mengejar sampai kemari kalau aku sendiri ragu-ragu. Hm...! Kalau tak salah sekarang aku berada di
Hutan Gudean. Sebuah
hutan lebat yang cocok sekali untuk markas kaum
pemberontak. Di hutan inilah Partai Kawula Se..."
"Mata-mata kadipaten! Tangkap mata-mata kadipaten!" Tiba-tiba terdengar teriakan lantang. Prameswara tak dapat meneruskan kata hatinya. Sepasang
matanya yang tajam mendadak berkilat-kilat penuh
kemarahan melihat beberapa sosok bayangan menuju
ke arahnya dengan pedang di tangan.
"Tangkap mata-mata itu! Hidup atau mati!"


Siluman Ular Putih 11 Persekutuan Maut di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Pelajar Agung mendengus.
"Manusia-manusia tak tahu diri. Beraninya
mencari mampus di depanku!"
Prameswara segera bertindak. Kakinya dihentakkan ke tanah. Tubuh tinggi kekar itu langsung
mencelat. Jari-jari tangannya yang terkepal erat tak
sabar lagi untuk bicara.
Bukkk! Bukkk! Terdengar dua pekik kesakitan di depan sana.
Tubuh dua orang penghadang itu kontan terjungkal ke
tanah. Mereka lalu mengerang-erang seraya memegangi dada. Pelajar Agung tak mau bertindak tanggungtanggung. Melihat dua orang penghadangnya roboh dalam sekali gebrakan, pemuda bekas murid Pendekar
Kujang Emas itu makin mengamuk hebat. Tak kurang
dari satu jurus ketiga penghadang lainnya ambruk ke
tanah dan tidak dapat bangun lagi.
Mendengar ribut-ribut ini beberapa anggota
Partai Kawula Sejati yang lainnya berhamburan datang
dan segera mengurung Pelajar Agung.
"Keparat! Berani kau melukai anggota Partai
Kawula Sejati, Mata-mata Tengik!" bentak salah seorang lelaki berwajah garang.
Bentuk wajahnya kotak dengan kulit berwarna
merah. Kedua tangannya yang panjang berjuntai sampai ke lutut. Usia laki-laki berjubah merah ini sekitar lima puluh tahun.
Rambutnya yang panjang di-biarkan
awut-awutan di bahu. Di dunia persilatan ia terkenal
dengan julukan Iblis Muka Merah. Salah seorang sekutu Pangeran Pemimpin untuk menggulingkan kekuasaan Adipati Pleret.
Di samping Iblis Muka Merah berdiri beberapa
tokoh sesat yang tertarik dengan ambisi Pangeran Pemimpin karena janji-janji muluk.
"Setan alas! Kalian benar-benar lancang! Kalian
memang patut mendapat hukuman. Aku, Pelajar
Agung, mana pantas jadi mata-mata" Apa mata kalian
buta, he"!" hardik Pelajar Agung angkuh.
Iblis Muka Merah menggeram penuh kemarahan. Tangan kanannya digerakkan memberi isyarat
pada anggota Partai Kawula Sejati untuk menerjang
Prameswara. Iblis Muka Merah sendiri ikut maju menerjang. "Makanlah tongkatku, Bocah!" bentak Iblis Mu-ka Merah garang. Tongkat di tangan
kanannya menderu-deru menyerang Pelajar Agung.
Prameswara mendengus sinis. Ia tidak gentar
menghadapi serangan Iblis Muka Merah yang dibantu
beberapa anggota Partai Kawula Sejati. Dengan menggunakan ilmu meringankan tubuh yang sudah mencapai tingkat tinggi, Prameswara kembali berkelebatan.
Kedua telunjuk jarinya yang berwarna putih berkilauan siap melontarkan 'Totokan Maut Dewa Kayangan'! Tukkk! Tukkk!
Telak sekali totokan kedua telunjuk jari Pelajar
Agung mengenai iga Iblis Muka Merah.
Lelaki setengah baya itu meraung setinggi langit. Iganya yang terkena totokan langsung berlobang
dan mengeluarkan darah segar. Belum hilang keterkejutan Iblis Muka Merah, Pelajar Agung telah kembali
menyerang lawannya. Untung saja beberapa anggota
Partai Kawula Sejati menghadang serangan Prameswara. Pelajar Agung menggeram murka. Terpaksa
menghentikan serangannya ke arah Iblis Muka Merah
kalau ingin selamat. Dengan membuang tubuhnya ke
samping serangan gencar para anggota Partai Kawula
Sejati berhasil dihindari.
"Kalian semua benar-benar memuakkan. Pelajar Agung tidak akan memaafkan kelancangan kalian!"
dengus Prameswara penuh kemarahan.
Prameswara menjejakkan kakinya ke tanah dan
kembali berkelebatan di antara gulungan serangan para pengeroyoknya. Senjata pusaka mendiang gurunya
Pendekar Kujang Emas kini telah tergenggam di tangan kanan. Dengan menggunakan Kujang Emas itu,
Pelajar Agung mengamuk hebat. Hampir dari setiap kelebatan senjatanya diakhiri pekik kematian salah seorang pengeroyok.
Kenyataan ini tentu saja membuat lawan ciut
nyalinya. Iblis Muka Merah sendiri dan beberapa tokoh sesat yang hadir di sana
tidak menyangka kalau mata-mata itu memiliki kepandaian demikian hebat.
"Mata-mata keparat! Kau patut mendapat hukuman dariku. Heaaa...!"
Iblis Muka Merah mengeluarkan pukulan
mautnya. Begitu kedua telapak tangan didorongkan ke
depan, seketika serangkum angin dingin menderu-deru
melabrak Pelajar Agung.
Prameswara segera memapakinya dengan pukulan 'Cahaya Kilat Biru'. Dua larik sinar biru yang diiringi bunyi bergemuruh
memenuhi tempat pertarungan melesat dari kedua telapak tangan pemuda itu.
Blaaarrr...!!! Bumi terguncang hebat laksana dilanda gempa.
Angin dingin berkesiur memporak-porandakan ranting-ranting pohon. Malah beberapa anggota Partai Kawula Sejati yang berkepandaian rendah terlihat menggigil hebat. Tubuh Iblis Muka Merah terpental beberapa
tombak lalu jatuh terbanting di tanah tanpa dapat
bangun lagi. Pingsan! Prameswara tertawa dingin. Sepasang matanya yang berkilat-kilat mengerikan menyapu beberapa orang pengeroyoknya.
"Siapa lagi yang mau menjadi korban berikutnya?" ejek Pelajar Agung.
Melihat Iblis Muka Merah yang berkepandaian
tinggi saja dapat dirobohkan dengan demikian mudah,
sejenak mereka saling berpandangan satu sama lain.
Namun karena takut nanti mendapat hukuman dari
pemimpin mereka, para pengeroyok Pelajar Agung itu
pun kembali menyerbu.
Prameswara mendengus. Ia yang haus darah
senang sekali melihat lawannya kembali maju. Namun
baru saja bermaksud memapaki serangan mereka, terdengar bentakan seseorang yang begitu berwibawa.
"Tahan senjata!"
* * * Pelajar Agung menautkan kedua alis matanya.
Di hadapannya telah tegak sesosok tubuh berpakaian
bangsawan lengkap. Wajahnya yang berkulit putih
bersih sejenak diarahkan pada Iblis Muka Merah dan
anggota Partai Kawula Sejati yang bergeletakkan di tanah. Usia laki-laki
bertubuh tinggi kekar ini sekitar empat puluh tahun. Sebilah keris berlekuk
tujuh terselip di belakang punggung.
"Pangeran Pemimpin...!" desis para anggota Partai Kawula Sejati hampir
bersamaan. Sosok yang dipanggil Pangeran Pemimpin itu
menggeretakkan gerahamnya kuat-kuat. Sepasang matanya yang tajam kini memandangi pemuda tampan di
hadapannya. Diam-diam hati Pangeran Pemimpin
mengagumi kepandaian pemuda itu yang telah dipertunjukkannya tadi.
"Hm...! Agaknya pemuda ini memiliki kepandaian yang tinggi. Sayang sekali kalau aku sampai
bentrok dengannya. Aku sendiri sedang membutuhkan
banyak tokoh sakti untuk merebut kedudukan adipati.
Kukira tak ada jeleknya jika aku dapat mengajak pemuda ini untuk bekerja sama," ucap Pangeran Pemimpin dalam hati.
Di saat Pangeran Pemimpin tengah berpikir
demikian, diam-diam hati Pelajar Agung pun tengah
membatin. "Siapakah sebenarnya laki-laki di hadapanku
ini" Tampaknya ia sangat disegani oleh anggota Partai Kawula Sejati. Mungkinkah
ia pemimpin partai itu?"
"Anak muda! Di antara kita telah terjadi sedikit kesalahpahaman. Aku yakin kau
pasti bukan mata-mata Kadipaten Pleret. Untuk itu selaku Ketua Partai
Kawula Sejati, aku Pangeran Pemimpin memohon maaf
atas kesalahan anak buahku!" kata Pangeran Pemimpin.
Pelajar Agung tersenyum. Tampak sekali senyum itu sangat merendahkan Pangeran Pemimpin.
"Jadi benar dugaanku. Ternyata laki-laki berpenampilan lembut ini Ketua Partai Kawula Sejati. Tapi kenapa laki-laki ini
tidak marah melihat aku banyak
membunuh anggota partainya" Hm...! Aku ingat sekarang! Bukankah Partai Kawula Sejati yang dulu dipimpin Samber Nyawa adalah kumpulan orang-orang
pemberontak! Aku yakin tentu laki-laki ini menginginkan sesuatu dariku!" gumam Pelajar Agung dalam hati.
"Aku tidak akan begitu saja menerima maaf seseorang. Apalagi ia telah seenaknya menuduhku sebagai mata-mata Kadipaten Pleret. Aku akan menghukum kelancangan orang-orangmu, Pangeran Pemimpin!" desis Pelajar Agung angkuh.
"Aku maklum kalau kau marah pada anak buahku, Anak Muda. Kau boleh saja menghukum mereka
kalau itu kau anggap tindakan kurang ajar. Tapi sebelumnya aku ingin menawarkan sesuatu yang menarik
padamu. Apa kau keberatan?" sahut Pangeran Pemimpin dengan senyum terkembang.
"Aku tak dapat memutuskan kalau kau belum
mengatakan apa tawaranmu."
"Tawaranku cukup menarik untuk kau pertimbangkan, Anak Muda!" kata Pangeran Pemimpin sengaja menunda mengatakan maksud sebenarnya.
"Katakan apa tawaranmu, Pangeran Pemimpin!"
Pangeran Pemimpin tersenyum.
"Aku ingin mengajakmu bekerja sama. Kalau
kau dapat membantuku menggulingkan takhta Adipati
Pleret, aku berjanji akan mengangkatmu menjadi pejabat tinggi di Kadipaten Pleret kelak."
"Kalau aku keberatan bagaimana?" pancing Pelajar Agung.
"Kau tidak akan keberatan. Aku malah akan
mengangkatmu jadi patih Kadipaten Pleret. Jika perjuangan kita berhasil!" kata Pangeran Pemimpin membuat hati Pelajar Agung
berbunga. Prameswara benar-benar tertarik dengan tawaran tersebut. Ia tidak ingin jadi orang kedua. Ia harus jadi orang pertama.
Untuk itu Prameswara harus me-nangguhkan rencananya terhadap Siluman Ular Putih.
Toh kalau sudah menjadi patih untuk menduduki
singgasana Kadipaten Pleret hanya tinggal selangkah
lagi. "Kau jangan mengumbar janji seenakmu, Pangeran Pemimpin. Sekali kau jilat
ludahmu sendiri,
nyawamu-lah taruhannya!" dengus Pelajar Agung
menghardik. Pangeran Pemimpin hanya tertawa bergelak. Ia
melihat adanya kelicikan pada pemuda di hadapannya
ini. Melihat ambisinya yang besar bisa jadi muda ini
akan jadi bumerang di kemudian hari. Namun Kujang
Emas di tangan pemuda itu telah menarik simpati
Pangeran Pemimpin. Sayang kalau ia sampai melewatkan kepandaiannya.
"Tentu, tentu! Aku tidak mungkin akan menjilat
ludahku sendiri. Tapi menilik Kujang Emas di tanganmu, apakah kau murid orang tua gagah yang bergelar
Pendekar Kujang Emas?"
"Ya!" sahut Pelajar Agung singkat. Ia merasa ri-sih mendengar Pangeran Pemimpin
menyebut-nyebut
nama mendiang gurunya.
"Baik. Kalau begitu tak ada lagi yang patut kita bicarakan. Sekarang aku ingin
mengajakmu dan semua anggota Partai Kawula Sejati untuk membicarakan rencana kita lebih lanjut di dalam."
"Baik!"
Pangeran Pemimpin tertawa bergelak. Ketua
Partai Kawula Sejati itu pun berkelebat cepat menuju
bangunan markasnya. Anggota Partai Kawula Sejati
segera menyusul kepergian ketuanya setelah mengangkat beberapa orang temannya yang terluka. Diikuti tokoh-tokoh sesat yang tadi datang bersama Iblis
Muka Merah. Prameswara tidak mempunyai pilihan
lain kecuali mengikuti mereka.
*** 5 Di bentangan langit sebelah barat matahari
mulai rebah dalam pangkuan bumi. Sebagian awan hitam yang bergulung-gulung di angkasa berlumuran
cahaya merah tembaga. Sebentar lagi agaknya malam
akan tiba. Dari ujung jalan setapak di luar Kadipaten Pleret tampak sesosok bayangan berpakaian putih keperakan baru saja keluar dari dalam hutan. Sosok
bayangan itu menghentikan langkahnya di tengah jalan setapak mendongakkan kepalanya memandang ke
atas. "Huh, sial! Hampir seharian aku keluar masuk hutan namun belum juga
menemukan markas Partai
Kawula Sejati. Apalagi menemukan batang hidung
orang yang bernama Samber Nyawa. Sial memang! Pakai dituduh menghamili anak orang lagi!" gerutu sosok berpakaian putih keperakan
yang tidak lain murid
Eyang Begawan Kamasetyo.
Habis menggerutu begitu, Soma kembali meneruskan langkahnya. Tak jauh dari persimpangan jalan
dilihatnya sebuah kedai makan. Soma tersenyum senang. Perutnya yang sejak tadi pagi belum diisi mendadak minta jatah. Tanpa banyak cakap ia pun segera
menuju ke sana.
Tak banyak yang makan dan minum di kedai
itu. Hanya empat orang laki-laki berwajah kasar dan
seorang gadis cantik berpakaian kuning. Soma tidak
begitu mempedulikan mereka. Tapi ia sempat tersenyum kala salah seorang laki-laki berwajah kasar memelototi dirinya yang hendak melangkah masuk ke dalam kedai. Belum sempat Soma menghenyakkan pan

Siluman Ular Putih 11 Persekutuan Maut di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tatnya di kursi, lelaki tua pemilik kedai berlari-lari menghampiri.
"Maaf, Anak Muda. Demi keselamatanmu sebaiknya cepat tinggalkan tempat ini!" kata pemilik kedai itu gugup. Tampaknya ia
takut terjadi sesuatu di
kedainya. Soma menautkan alisnya heran. Dipandanginya
lelaki tua pemilik kedai dengan kening berkerut.
"Kenapa, Paman" Tidak bolehkah aku beristirahat sebentar di kedaimu ini?"
"Boleh. Tapi jangan sekarang. Mereka.... Mereka...," mata pemilik kedai itu jelalatan. Sebentar-sebentar memandang ke arah
Soma kemudian pada
empat orang laki-laki berpakaian hitam yang sedang
asyik minum tuak di salah satu sudut kedai.
"Siapa mereka, Paman?" tanya Soma mulai curiga. "Mereka...," sekali lagi pemilik kedai melirik ke arah empat orang
berwajah kasar. "Cepatlah tinggalkan tempat ini, Anak Muda. Mereka adalah Empat
Elang Hitam dari Gunung Wilis. Salah satu sekutu setia Pangeran Pemimpin."
Soma makin menautkan alis matanya. Tiba-tiba
terdengar bentakan garang yang datangnya dari arah
keempat laki-laki berwajah kasar.
"Hey, Jembel Busuk! Tidakkah kau tahu peraturan di sini" Kalau Empat Elang Hitam sedang makan
dan minum di kedai ini siapa pun juga tidak boleh masuk!" bentak salah seorang dari mereka yang terganggu dengan kemunculan murid
Eyang Begawan Kamasetyo. "Ah...!" desah laki-laki pemilik kedai "Cepatlah kau
tinggalkan tempat ini, Anak Muda," lanjut lelaki tua itu setengah memohon.
"Huh! Kenapa gadis cantik itu boleh makan di
sini" Kenapa ia tidak kau usir sekalian?" sungut Soma kesal. "Karena ia seorang
gadis cantik, Anak Muda."
"Memangnya kenapa kalau ia seorang gadis
cantik" Apakah biar aku tidak bisa main mata dengannya?" "Ah, sudahlah. Sebaiknya cepat kau tinggalkan
tempat ini" kata pemilik kedai gelisah.
"Baiklah, Paman. Aku akan menunggunya di
luar." "Ya ya.... Tapi sebaiknya tinggalkan saja tempat ini. Berbahaya."
"Bedebah! Belum juga enyah dari hadapan kami, he"!" bentak salah seorang dari keempat lelaki berwajah kasar.
"Iya, iya!" sungut Soma kesal. "Tapi bolehkah kalau aku menanyakan sesuatu pada
Paman yang baik
ini, Kawanku Yang Galak?" lanjut Soma mengejek
"Bedebah! Kau berani bertingkah dihadapan
kami. Apa kau sudah bosan hidup"!" bentak lelaki yang bermuka codet.
Tiba-tiba tangan kanan laki-laki itu menyambit
cawan tuak kosong. Kemudian, dengan kecepatan yang
sulit diikuti pandang mata cawan tuak kosong itu meluncur menuju murid Eyang Begawan Kamasetyo dengan kecepatan luar biasa.
Wesss! "Paman...!" ujar Soma seraya sedikit menundukan kepalanya di hadapan laki-laki
pemilik kedai. "Apakah Paman tahu di mana markas Partai Kawula
Sejati?" Bersamaan dengan itu selesainya ucapan So-ma, cawan yang dilemparkan
laki-laki bermuka membentur dinding kedai. Seketika dinding kedai itu bergetar. Bagian dinding yang
terkena hantaman cawan
langsung berlobang.
Sementara di sudut kedai yang lain sepasang
mata indah, gadis berbaju kuning melirik sebentar ke
arah Soma. Ia mendengar murid Eyang Begawan Kamasetyo itu menyebut-nyebut nama Partai Kawula Sejati. Sedang laki-laki pemilik kedai membeliak matanya begitu melihat dinding
kedai yang berlubang.
Keterkejutan juga dialami empat orang sesat
dari Gunung Wilis. Melihat serangan salah seorang
kawannya dapat dihindarinya dengan begitu mudah,
mereka pun segera sadar. Mereka bukanlah orangorang bodoh. Keempatnya orang-orang berilmu tinggi
yang sudah cukup malang-melintang di dunia persilatan. Empat Elang Hitam dari Gunung Wilis berloncatan bangun lalu mengepung Soma dari empat penjuru.
"Jangan melotot saja, Paman! Di mana letak
markas Partai Kawula Sejati?" tanya Soma tanpa me-noleh ke arah Empat Elang
Hitam. "Aku.... Aku tidak tahu, Anak Muda. Aku....
Aku...," laki-laki pemilik kedai gemetaran saking ta-kutnya. "Huh! Percuma saja
aku bertanya padamu, Paman," sahut Soma kesal. Lalu ia melangkahkan kakinya keluar kedai seperti tidak pernah terjadi sesuatu pun. Melihat sikap Soma
yang tidak memandang sebelah mata, merahlah wajah bengis keempat tokoh sesat dari Gunung Wilis. Belum pernah mereka selama
malang-melintang di dunia persilatan direndahkan sedemikian rupa. Apalagi oleh seorang pemuda yang
nampak kurang waras.
"Setan alas! Tahan langkahmu, Kunyuk Gondrong!" bentak laki-laki bermuka codet yang rupanya Pimpinan Empat Elang Hitam
dari Gunung Wilis!
"Ada apa lagi, Kawan-kawan Yang Galak" Bukankah kalian menghendaki aku untuk keluar. Kenapa
sekarang uring-uringan begini" Apa kalian nggak
punya uang untuk membayar tuak" Lalu kalian ingin
merampokku, begitu" Kalau memang iya, sayang sekali. Aku tidak punya uang," kata Soma seenak perutnya.
"Jangan banyak berlagak, Kunyuk Gondrong!
Apa kau tidak tahu tengah berhadapan dengan siapa
he"!" bentak si muka codet garang.
"Yah...! Kalian ini bagaimana, sih" Apa telinga
kalian sudah tuli" Bukankah Paman pemilik kedai tadi
sudah mengatakan kalau kalian Empat Ekor Nyamuk
Hitam dari Gunung Wilis yang paling senang mengganggu orang makan?" ejek Soma.
"Bangsat! Sebelum kurobek-robek mulutmu,
cepat katakan siapa kau sebenarnya"!"
Sepasang mata lelaki bermuka codet yang tajam terus memperhatikan pemuda tampan di hadapannya. Ia merasa harus berhati-hati. Jangan-jangan
muda sinting itu seorang mata-mata Kadipaten Pleret
yang akhir-akhir ini banyak berkeliaran di sekitar Hutan Gudean.
"Aku?" ujar Soma seraya tersenyum. "Mau apa kalian menanyakan tentang diriku"
Apa kalian ingin
membagi-bagi hasil rampokan" Nah, kalau iya, cepat
berikan! Kebetulan sekali karena aku seorang pengembara miskin lagi bodoh. Namaku Soma. Sudah cukup?"
"Sangat cukup untuk mengirim nyawa busukmu ke dasar neraka!" bentak si muka codet tak dapat lagi mengendalikan amarah.
Ia segera memasang kuda-kuda. Tangan kanan
direntangkan lurus ke depan. Tangan kiri disembunyikan di balik pinggang. Dengan menggunakan jurus itu
si muka codet ingin merobohkan Siluman Ular Putih
dalam satu gebrakan.
"Hea...!"
Si muka codet membuka serangan. Tangan kanannya bergerak cepat ke arah dada Soma. Padahal
tangan kiri yang sesungguhnya siap melontarkan pukulan mautnya. Siluman Ular Putih tersenyum menggoda. Ia tidak terkecoh melihat serangan tipuan itu. Begitu pukulan tangan kanan si muka codet bergerak menyerang dada, Siluman Ular Putih hanya sedikit memiringkan tubuhnya ke samping. Kemudian di saat pukulan tangan kiri lawan siap dilontarkan, dengan gerakan yang sulit diduga
patukan tangan Siluman Ular
Putih tahu-tahu mengancam dada si muka codet!
Tukkk! Tukkk! Dua kali dada lelaki berwajah kasar itu terkena
patukan tangan kanan dan kiri Siluman Ular Putih.
Seketika si muka codet melengking setinggi langit. Dadanya yang terkena patukan
Siluman Ular Putih merasa mau jebol. Si muka codet tidak tahan lagi. Tubuhnya limbung ke samping lalu jatuh berdebam ke tanah
dengan mulut mengerang-erang. Tak tahan merasakan
sakit, lelaki itu akhirnya jatuh pingsan!
Ketiga teman si muka codet kontan membelalakkan mata tak percaya. Guru mereka sendiri pun belum tentu mampu merobohkan si muka codet dalam
satu gebrakan. Ketiganya terdengar menggeram penuh
kemarahan. Tanpa banyak cakap lagi anggota, Empat
Elang Hitam dari Gunung Wilis itu mencabut keluar
pedang mereka. Sret! Sret! Sret!
Empat Elang Hitam dari Gunung Wilis mengempos semangatnya. Kemudian, pedang di tangan
kanan dibabatkan menyerang Siluman Ular Putih.
Soma yang tidak ingin membuang-buang waktu
segera berkelebat di antara gulungan pedang. Sesekali patukan tangan Siluman
Ular Putih meluncur datang.
Tukkk! Tukkk! Patukan tangan kanan dan kiri Siluman Ular
Putih akhirnya mengenai iga dua orang pengeroyoknya. Kontan tubuh kedua lelaki itu melintir ke samping dan menghantam meja. Perkakas kedai yang terkena jatuhan tubuh kedua pengeroyok Siluman Ular Putih hancur berantakan.
Laki-laki tua pemilik kedai berdiri menggigil di
pojok ruangan. Dipandanginya isi kedai yang berantakan dengan paras pias. Melihat keadaan yang kurang
menguntungkan bagi pemilik kedai, Siluman Ular Putih pun kembali menyerang seorang pengeroyoknya
yang bermaksud melarikan diri. Dengan sekali menghentakkan kaki tahu-tahu tubuhnya telah menghadang langkah laki-laki itu.
"Kalianlah yang menyebabkan kekacauan ini.
Jadi kalian pula yang harus bertanggung jawab!" bentak Soma jengkel.
Tangan kanan Siluman Ular Putih bergerak
menampar muka orang terakhir Empat Elang Hitam
dari Gunung Wilis.
Plakkkk! Plakkk!
Tanpa ampun lagi kepala orang itu oleng ke
kanan kiri searah tamparan tangan Siluman Ular Putih. "Enak saja mau kabur. Tinggalkan dulu uang
emas kalian baru boleh pergi!"
Ketiga orang dari Empat Elang Hantu dari Gunung Wilis sejenak saling berpandangan. Kemudian,
ketiga tokoh sesat itu mengambil kantong hitam kecil
yang menggantung di pinggang masing-masing dan
melemparkannya ke arah Siluman Ular Putih. Soma
cepat menangkap ketiga kantong hitam itu.
Sambil menimang-nimang kantong hitam berisi
kepingan uang emas, Siluman Ular Putih berkata.
"Nah, sekarang baru kalian boleh pergi. Tapi
kalau sekali lagi kulihat membuat keonaran, jangan
harap aku akan mengampuni nyawa kalian!"
Ketiga orang dari Empat Elang dari Gunung Wilis menggeram penuh kemarahan. Namun menyerang
Siluman Ular Putih mereka tidak memiliki keberanian
lagi. Ketiga orang tokoh sesat itu segera menyambar
tubuh si muka codet lalu bergegas meninggalkan tempat itu. Soma tertawa pelan. Sepasang matanya yang
tajam memperhatikan ketiga sosok berpakaian hitam
yang berjalan cepat meninggalkan kedai. Setelah
bayangan ketiga orang itu lenyap, Soma membalikkan
badannya dan menghampiri laki-laki pemilik kedai
"Jangan panik, Paman. Ini semua untuk ganti
rugi kerusakan kedaimu. Nah, terimalah!" kata Soma seraya meletakkan ketiga
kantong hitam berisi kepingan uang emas ke tangan laki-laki pemilik kedai
Paras pemilik kedai yang semula pias langsung
berbinar-binar. Dengan tangan gemetar dipandanginya
ketiga kantong hitam.
"Te.... Terima kasih, Tuan. Tapi... apakah jumlah ini tidak terlalu berlebihan. Bagaimana pula bila ketiga orang itu kembali
kemari, apa yang harus kulakukan, Tuan?" tanya laki-laki pemilik kedai dengan
suara bergetar.
"Tenanglah! Mereka tidak mungkin berani ke
sini lagi. Kalau memang mereka kembali, bilang saja
kepingan uang emas ini aku yang membawa. Beres
kan" Nah, sekarang jika kau tidak keberatan sudikah
menjawab pertanyaanku tadi?"
"Tentu, Tuan. Tapi sayang aku tidak tahu pasti
di mana markas Partai Kawula Sejati. Menurut desasdesus yang kudengar markas partai itu berada di Hutan Gudean."
"Hutan Gudean...," ujar Soma seraya mengangguk-anggukkan kepala. "Apakah Ketua
Partai Kawula Sejati ada di markasnya?"
"Aku tidak tahu, Tuan. Konon Pangeran Pemimpin sering keluar untuk menyelidiki Kadipaten Pleret." "Lho" Bukankah Samber Nyawa yang menjadi Ketua Partai Kawula Sejati,
Paman?" tanya Soma heran. "Dulu memang iya. Tapi sejak Samber Nyawa
tewas di tangan gurunya, pucuk Pimpinan Partai Kawula Sejati dipegang oleh Pangeran Pemimpin."
"Oh...!" Soma kembali mengangguk-anggukkan
kepala. "Jadi orang yang bernama Samber Nyawa itu sudah tewas?"
"Iya, Tuan."
"Sekarang begini, Paman," kata Soma seperti teringat sesuatu. "Kalau Paman tidak
keberatan, aku ingin minta tolong."
"Dengan senang hati aku akan membantumu."
"Tolong kau temui Ki Lurah Joyorono. Bilang
kalau orang yang bernama Samber Nyawa telah tewas."
"Baik," kata pemilik kedai. "Tapi kalau misalnya Ki Lurah Joyorono bertanya
siapa Tuan, bagaimana
aku harus menjawabnya?" lanjut pemilik kedai.
"Ah...!" ujar Soma lucu. Entah karena apa murid Eyang Begawan Kamasetyo
menggaruk-garuk kepalanya yang tidak gatal. "Bilang saja dari pemuda yang dituduh menghamili
putrinya itu saja!" lanjut Soma dengan nada sungkan.
Habis berkata begitu, murid Eyang Begawan
Kamasetyo pergi meninggalkan kedai. Dengan sekali
lesatan sosoknya telah lenyap di balik kegelapan malam. Sewaktu mendengar ucapan Soma tadi, tanpa


Siluman Ular Putih 11 Persekutuan Maut di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sadar gadis cantik berbaju kuning yang duduk di
bangku pojok melengak kaget. Hatinya tiba-tiba berdebar tidak karuan. Sepasang matanya yang indah terus
memperhatikan ke arah lenyapnya Siluman Ular Putih.
"Pemuda hebat! Tapi sayang sikapnya terlalu
ugal-ugalan...," gumam gadis cantik. Lalu pergi meninggalkan kedai mengikuti ke
arah mana Soma pergi
* * * "Tidak! Tidak! Kakang Samber Nyawa tidak boleh mati! Ia harus bertanggung jawab atas bayi yang
ku kandung!" jerit Ni Luh histeris kala pemilik kedai mengabarkan tentang
kematian Samber Nyawa pada
Ni Luh dan Ki Lurah Joyorono.
Ki Lurah Joyorono dan pemilik kedai hanya diam membisu. Tak sepatah kata pun terucap dari bibir
kedua orang itu. Namun melihat paras mereka yang
pias, jelas keduanya turut prihatin atas musibah yang menimpa Ni Luh, terutama
sekali Ki Lurah Joyorono.
"Bertawakallah, Anakku. Mungkin Tuhan memang tidak menghendaki kau mempunyai suami
Samber Nyawa," hibur Ki Lurah Joyorono dengan hati getir. "Tidak! Tidak! Dia
tidak boleh mati!" teriak Ni Luh kalap.
Sepasang matanya mendadak jadi beringas. Lalu dengan tidak terduga-duga sama sekali Ni Luh mengamuk hebat. Apa saja yang ada di hadapannya ditendang. Meja kursi dibalikkan hingga isinya berhamburan ke mana-mana.
Ki Lurah Joyorono panik bukan main! Buruburu ia mencegah tindakan Ni Luh. Namun Ni Luh
memberontak. Ki Lurah Joyorono sampai kewalahan.
Dengan bantuan laki-laki pemilik kedai akhirnya Ni
Luh berhasil digiring ke dalam kamar.
Tampak wajah Ki Lurah Joyorono demikian kusut. Meski ia telah berusaha tabah, namun tetap saja
tidak dapat memendam rasa nyeri di hatinya. Apalagi
ketika pada kesekian harinya didapati Ni Luh telah tewas gantung diri....
*** 6 Sejak Soma meninggalkan kedai ia merasa seseorang terus mengikutinya. Ilmu meringankan tubuh
sosok di belakangnya itu cukup lumayan. Terbukti
penguntitnya itu mampu mengikuti terus walau Soma
telah mengerahkan setengah dari ilmu meringankan
tubuhnya. Tiba-tiba Soma menyelinap ke balik rindangnya
sebatang pohon. Kemudian tubuhnya meloncat tinggi
ke udara dan mendarat di salah satu ranting pohon
sambil matanya terus memperhatikan sosok bayangan
di bawahnya. Ia bermaksud ingin menjebak penguntitnya. Tetapi sosok bayangan itu pun ikut menyelinap ke balik rindangnya pohon.
Dan tanpa diduga-duga ikut
pula memanjat ke atas.
"Cerdik juga penguntit ku itu. Baik Aku akan
menjebaknya," gumam Soma dalam hati.
Diam-diam ia mengerahkan seluruh ilmu meringankan tubuhnya. Laksana seekor tupai tubuh
tinggi kekar murid Eyang Begawan Kamasetyo berloncatan dari ranting satu ke ranting pohon yang lain. Gerakan kedua kakinya ringan
sekali hingga tidak menimbulkan suara.
Sosok bayangan yang menguntit Soma tiba-tiba
merasa telah terjebak. Belum sempat ia berpikir kemana lenyapnya pemuda yang dibuntuti, dari atas ranting pohon lain ia dikejutkan
dengan teriakan seseorang.
"Cekitir...! Rupanya kau gadis cantik yang tadi
duduk sendirian di kedai!" teriak Soma lantang.
Badai Awan Angin 7 Pendekar Cambuk Naga 6 Malaikat Pedang Sakti Pendekar Penyebar Maut 32

Cari Blog Ini