Siluman Ular Putih 18 Titisan Alam Kegelapan Bagian 2
persilatan! Kau
dengar, Nenek Keriput" Kau harus mengakui kalau aku rajanya dunia persilatan!" kata Dewa Kegelapan di antara tawanya yang
bergelak. "Cih...! Siapa sudi mengakui bocah pongah
macam kau"! Jangankan untuk menjadi raja di
rajanya dunia persilatan, membunuhku pun kau
belum tentu becus!" dengus si nenek seraya berusaha merayap bangkit!
"Apa?" sentak Dewa Kegelapan dengan mata membelalak lebar. "Baik. Kalau begitu, memang sudah saatnya aku menghabisi
nyawa bu- sukmu!" Seketika pemuda ini segera mengerahkan
pukulan 'Darah Iblis'-nya kembali. Maka tak pelak lagi kedua telapak tangan Dewa Kegelapan
kembali berubah hitam legam.
"Boleh saja kau membunuhku. Tapi, makanlah dulu senjata-senjata rahasiaku! Hea...!"
Sambil melenting bangkit, si nenek mengibaskan tangannya dengan kekuatan tenaga dalam
penuh. Saat itu pula melesat dua buah benda kecil berwarna hitam sebesar telur puyuh.
Sudah pasti Dewa Kegelapan tak ingin tubuhnya jadi sasaran empuk serangan senjata rahasia Nenek Rambut Putih. Maka tanpa pikir
panjang, tangan kanannya segera digerakkan dua
kali. Dan... Blammm! Blammm!
Terdengar dua kali ledakan di udara, disertai mengepulnya asap hitam tebal bergulunggulung memenuhi pertarungan.
Dewa Kegelapan gusar bukan main. Sekali
jubahnya dikebutkan, lenyaplah gulungangulungan hitam itu. Namun bersamaan dengan
itu, sosok Nenek Rambut Putih telah lenyap dari
tempat ini. "Setan alas! Beraninya kau mempermainkan Dewa Kegelapan seperti ini, Nenek Keriput!"
Dewa Kegelapan menggeram penuh kemarahan. Hawa membunuh dalam dirinya yang terberangus membuat hatinya murka bukan main.
Dan sekali menjejakkan kaki ke tanah, tubuhnya
telah berkelebat jauh.
6 "Kena kau!"
Siluman Ular Putih tersenyum-senyum senang di hadapan Arum Sari. Baginya mudah saja
untuk mengejar Arum Sari. Dengan ilmu lari cepat 'Menjangan Kencono' Arum Sari mudah sekali
dilewatinya. Arum Sari menggeleng-gelengkan kepala.
Namun... diam-diam dalam hatinya amat mengagumi ilmu meringankan tubuh Siluman Ular Putih. Tidak disangka sama sekali kalau kunyuk
gondrong satu itu memiliki ilmu meringankan tubuh amat tinggi. Bisa jadi ilmu kanuragannya
pun tinggi. Kalau tidak, mustahil Nenek Rambut
Putih sampai hati membiarkan muridnya melakukan perjalanan bersama kunyuk gondrong ini!
"Kau...! Sudah kubilang jangan mengejar.
Kenapa malah menyusul?" tanya Arum Sari.
"Amanat! Aku hanya menjalankan amanat!"
sergah Siluman Ular Putih. Sengaja suaranya dibuat wibawa. Namun karena masih ada sisa senyum di bibir, tampangnya malah mirip orang kurang waras. "Hmh...!"
Arum Sari menghela napas kesal. Keningnya berkerut-kerut mencari jalan, bagaimana caranya lepas dari kuntitan Siluman Ular Putih. Sebab ia yakin pemuda ini tak mungkin akan mengabaikan perintah gurunya. Dan rasanya tak ada
pilihan lain kecuali harus menggunakan akal bulus. Ia harus dapat mengakali Siluman Ular Putih.
Berpikir sampai di situ Arum Sari jadi tersenyum cerah. Tentu saja melihat perubahan sikap Arum Sari yang tiba-tiba membuat Soma melongo seperti kambing minta kawin.
"Nah...! Begitu dong. Senyum. Kan enak kelihatannya. Tidak cemberut saja seperti neneknenek telat buang hajat saja," celoteh Soma tak dapat menutupi perasaan
senangnya. "Eh...! Sebenarnya namanya siapa, sih?"
tanya Arum Sari, sengaja merubah nada bicaranya selembut mungkin. Namun, diam-diam
otaknya terus bekerja keras bagaimana caranya
mengakali Siluman Ular Putih.
"Ah...! Sayang benar. Rupanya kau belum
tahu namaku, ya" Namaku Soma. Kau Arum Sari,
kan" Aku tahu namamu dari gurumu tadi," sahut Siluman Ular Putih, ketololtololan. Senyumnya
sengaja diumbar ke sana kemari. Yah... siapa tahu gadis cantik ini mulai kecantol, pikirnya.
"Oooo...! Jadi namamu Soma, ya" Bagus
juga. Eh, Soma! Kau mau menolong aku tidak?"
lanjut si gadis.
"Pasti. Kenapa kau menanyakannya.
Arum?" balas Siluman Ular Putih masih belum
menangkap akal bulusnya Arum Sari.
"Aku ingin sekali makan buah salak. Tadi,
di sana kulihat banyak sekali tumbuh pohon salak. Tolong dong ambilkan aku beberapa buah saja. Soma!" pinta Arum Sari merajuk. Tangannya menunjuk ke gerumbulan hutan di
belakang. Soma tersenyum. Akalnya yang cerdik jelas
tak mungkin dapat diakali dengan cara kampungan seperti itu.
"Hii...! Enak benar menyuruhku mengambil
buah salak. Di saat aku pergi, kujamin gadis ini
pun sudah kabur. Tak usah, ya?" kata Soma kes-al, namun cuma dalam hati.
"Eh..., Soma! Kau dengar aku tidak, sih"
Kenapa melongo saja?" sentak Arum Sari.
Soma pura-pura kaget.
"Ya, ampun! Kau ini bagaimana, sih" Tolong ambilkan aku buah salak! Tuh di sana!"
"Baik, Tuan Putri," sahut Soma seraya
membungkuk badan. Namun meski menyanggupi, namun Soma hanya berpura-pura. Padahal ia
justru ingin mengecoh balik.
"Cepat dong ambil!" rajuk Arum Sari man-ja. Sikapnya pun sengaja dibuat sekenes
mung- kin. "Ba...."
Gusrakkk! Baru saja Siluman Ular Putih hendak menyahut, mendadak dikejutkan oleh bunyi semak
belukar yang ditimpa badan seseorang dengan
kasar sekali. "Nah, Iho" Apa itu?"
Kontan saja niat untuk balik mengerjai
Arum Sari dalam diri Siluman Ular Putih terberangus, dan berganti rasa heran. Sejenak kedua
anak muda itu saling berpandangan. Siluman
Ular Putih yang lebih peka pendengarannya buruburu melompat ke balik semak belukar yang dicurigai. "Nenek jelek..."!"
* * * Wajah cantik Arum Sari kontan menegang.
Panggilan Siluman Ular Putih itu entah kenapa
membuat hatinya risau sekali. Tanpa banyak pikir panjang lagi, segera ia melompat menghampiri
Siluman Ular Putih.
"Guruuu...!!!" pekik Arum Sari.
Hati si gadis benar-benar nelangsa manakala melihat sosok tua yang tak lain gurunya dalam keadaan luka parah di pangkuan Siluman
Ular Putih. Wajahnya pucat pasi. Banyak darah
membanjiri wajahnya yang keriput.
Arum Sari menangis sesenggukkan sembari mengguncang-guncangkan tubuh gurunya.
Siluman Ular Putih membiarkan saja gadis
cantik itu puas dengan tangisnya. Ia hanya berusaha, keras agar Nenek Rambut Putih lekas siuman. Maka ditotoknya tubuh nenek renta itu berulang-ulang hingga akhirnya perlahan-lahan terdengar erangannya.
"Eghhh...!"
Dengan susah payah Nenek Rambut Putih
berusaha membuka kedua kelopak matanya.
"Guru! Siapa yang melakukan ini semua?"
jerit Arum Sari, tak sabar mendengar pengakuan
gurunya. "De.... Dewa Kegelapan...," kata Nenek
Rambut Putih, tersendat.
"Dewa Kegelapan" Siapa itu, Guru?"
"Mur.... Murid Emp.... Empat Iblis Merah
dar...." Nenek Rambut Putih tak dapat lagi meneruskan ucapannya. Kepalanya
keburu rebah di
atas pangkuan Siluman Ular Putih. Tubuhnya telah dingin, tidak bergerak-gerak lagi.
"Guruuu...!!!" pekik Arum Sari sejadinya.
Tangisnya makin sulit dikendalikan.
"Sudahlah! Jangan tangisi gurumu! Percuma. Gurumu sudah meninggal!" kata Soma lirih.
Arum Sari lak mempedulikan ucapan Soma. Sambil terus mengguncang-guncangkan tubuh Nenek Rambut Putih, si gadis menangis meraung-raung. Soma hanya terdiam. Memang tak ada cara
lain kecuali membiarkan tangis Arum Sari terkuras habis. Meski demikian, pemuda ini merasa
sedih sekali. Dalam hatinya menduga-duga, siapa
manusia keji yang telah menewaskan Nenek
Rambut Putih. "Dewa Kegelapan...! Murid Empat Iblis Merah" Sayang sekali Nenek Rambut Putih keburu
menemui ajal," gumam Siluman Ular Putih dalam hati. "Aku tidak akan membiarkan
guruku tewas di depan mataku. Aku harus menuntut balas sekarang juga!" desis si
gadis. Arum Sari bangkit seraya memukulmukulkan tinjunya penuh kemarahan. Raut wajahnya yang bersimbah air mata menegang. Kilatan-kilatan matanya terlihat beringas.
"Aku tahu. Kita memang harus menuntut
balas. Tapi bukanlah sebaiknya kita kuburkan
dulu jenazah gurumu ini?" sahut Siluman Ular Putih enteng.
"Huh...!"
Arum Sari menggedikkan bahunya. Tak sepatah kata pun terucap dari kedua bibirnya yang
bergetar. Namun manakala Siluman Ular Putih
bersiap menguburkan jenazah si nenek, tangis
Arum Sari pun reda. Bergegas gadis ini membantu Siluman Ular Putih menguburkan jenazah Nenek Rambut Putih.
7 Satu sosok bayangan berkelebat cepat sekali laksana terbang, memasuki Hutan Kenjeran.
Sosoknya yang tinggi kekar dibalut jubah besar
warna hitam. Rambutnya gondrong awut-awutan
tak terawat dengan sepasang mata mencorong.
Beringas. Siapa lagi sosok satu ini kalau bukan
Datuk Kegelapan!
Sesampainya di tengah hutan, mendadak
Dewa Kegelapan menghentikan kelebatannya. Matanya seketika jalang memperhatikan sekitar. Tadi jelas matanya sempat menangkap sosok lain
yang juga berkelebat. Tapi, cepat sekali sosok tadi lenyap. Dewa Kegelapan
mengerahkan ilmu pem-beda gerak dan suara. Dari suara-suara yang
berhasil dipilah-pilah, pemuda ini mendengar beberapa desah napas. Dari sini Dewa Kegelapan
yakin, di sekitar tempatnya berpijak banyak mata
tengah memperhatikannya. Tak begitu jauh.
Mungkin bersembunyi di semak-semak, di batang-batang pohon, atau malah bisa jadi ada yang
bersembunyi di atas ranting pohon.
Werrr! Werrr! Namun belum sempat Dewa Kegelapan bertindak lebih lanjut, mendadak terdengar angin
berkesiur ke arahnya. Sedikit pemuda ini melirik.
Tampak berpuluh-puluh senjata rahasia menyerang dirinya. Dewa Kegelapan menarik hidungnya, disertai dengus. Dan sekali menggerakkan tangan, puluhan senjata rahasia yang ternyata gerigi-gerigi berwarna hitam itu berhamburan
ke tanah. "Bangsat! Manusia-manusia tak tahu diri!
Tunjukkan diri kalian kalau ingin modar di tangan Dewa Kegelapan!" hardik Dewa Kegelapan penuh kemarahan. Sepasang matanya
yang berin- gas nyalang memperhatikan sekitar.
Tak ada jawaban.
"Setan alas! Jangan dikira aku tak dapat
memaksa kalian keluar, Bangsat!" bentak Dewa Kegelapan menggelegar.
Belum juga gema bentakannya lenyap, Dewa Kegelapan segera mendorongkan kedua telapak tangannya ke depan. Seketika melesat dua larik sinar legam dari kedua telapak tangannya ke
arah batang pohon. Dan....
Brakkk!
Siluman Ular Putih 18 Titisan Alam Kegelapan di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Batang pohon sebesar dua lingkaran tangan manusia dewasa kontan bergoyang-goyang
yang disusul suara bergemuruh, sebelum akhirnya tumbang. Batang dan ranting daunnya tampak hangus terbakar!
"Hebat! Rupanya kau punya sedikit kepandaian! Pantas kau berani pentang bacot seperti
itu!" Mendadak dari semak-semak belukar tak jauh dari batang pohon yang tumbang
muncul seorang lelaki tinggi besar terbungkus jubah kuning, diikuti puluhan sosok lainnya. Begitu berada sepuluh tombak di hadapan Dewa
Kegelapan, lelaki berjubah kuning itu memerintahkan dua puluh orang yang mengikutinya untuk segera mengurung Dewa Kegelapan.
Dewa Kegelapan mendengus angkuh. Sedikit pun ia tidak takut menghadapi lelaki berjubah kuning yang ternyata membawahi
dua puluh orang yang mengurungnya.
Sosok lelaki berjubah kuning itu tertawa
bergelak. Tubuhnya yang tinggi besar bak raksasa
berguncang-guncang. Rambutnya panjang tergerai di bahu. Parasnya yang kasar jelas menandakan kalau wataknya kasar. Matanya besar. Hidungnya besar. Wajah penuh cambang dan brewok. "Lagakmu tengik sekali, Bocah! Berani benar kau mengantar nyawa seorang
diri kemari"!
Apa kau tak tahu tengah berhadapan dengan siapa, he"!" bentak lelaki berjubah kuning yang me-rapunya perangai kasar itu,
garang. "Bacotmu sungguh tajam, Bangsat! Tapi
apa bacotmu bisa dibuktikan?" sahut Dewa Kegelapan, kaku. "Ha ha ha...! Seumur hidup baru kali ini
Gembong Kenjeran melihat bocah sepongah kau!
Apa kau punya nyawa rangkap hingga berani
mengantar nyawa kemari, he?" ejek lelaki yang mengaku berjuluk Gembong Kenjeran.
"Hm...! Jadi, kaukah yang bergelar Gembong Kenjeran" Kebetulan sekali. Kedatanganku
kemari bukan untuk mengantar nyawa. Melainkan, untuk memperingatkan kau beserta anak
buahmu. Kalau kalian menentang maksudku, berarti akan menyesal. Kalian semua akan modar di
tanganku jika tidak mau tunduk di bawah perintahku!" desis Dewa Kegelapan, penuh tekanan.
"Jangan mimpi! Bocah kemarin sore macam kau tak pantas memerintah Gembong Kenjeran. Apalagi, harus sampai tunduk di bawah kekuasaanmu. Puih!" Gembong Kenjeran meludah, kesal. "Anak-anak! Hajar bocah
pongah itu!"
Srattt! Srattt!
Pedang-pedang di tangan anak buah Gembong Kenjeran langsung terlolos dari warangkanya di pinggang. Namun kilatan-kilatan mata
pedang yang mengerikan sedikit pun tidak membuat kecut nyali Dewa Kegelapan. Malah dengan
pongah murid Empat Iblis Merah dari Hutan Seruni itu mengumbar tawa meremehkan.
"Cecurut-cecurut comberan tak tahu diri!
Majulah kalian kalau ingin merasakan kehebatan
Dewa Kegelapan. Bila perlu, pimpinanmu sekalian
suruh maju!" tantang Dewa Kegelapan, jumawa.
Gembong Kenjeran yang berdiri di luar kepungan hanya mengeretakkan gerahamnya penuh
kemarahan. Hampir saja diterjangnya Dewa Kegelapan kalau para anak buahnya lebih dulu bergerak menyerang Dewa Kegelapan. Kini Gembong
Kenjeran hanya menonton jalannya pertarungan.
"Kalian semua akan menyesal telah berani
kurang ajar terhadap Dewa Kegelapan. Sekarang
rasakanlah akibatnya!"
Dewa Kegelapan menggembor penuh kemarahan. Dan saat itu pun, tiba-tiba tubuhnya berkelebat cepat luar biasa sehingga sulit diikuti
pandang mata. Sementara kedua telapak tangannya telah berubah merah darah sampai pangkal.
Maka tanpa ampun kedua tangannya bergerak
cepat ke sana kemari menampar satu persatu kepala anak buah Gembong Kenjeran.
Prakkk! Prakkk!
"Aaa...!"
Dua kali tangan Dewa Kegelapan mengibas,
maka dua kali pula terdengar teriakan menyayat,
disusul robohnya dua sosok tubuh yang langsung
tak bergerak-gerak lagi. Kepala mereka pecah,
membuyarkan isinya.
Melihat kenyataan ini, para anak buah
Gembong Kenjeran bergerak mundur. Nyali mereka mendadak lenyap entah ke mana.
"Lihat! Apa mata kalian buta" Apa kalian
ingin modar seperti mereka" Hayo, maju! Siapa
yang masih penasaran!" tantang Dewa Kegelapan, sejenak menghentikan serangan.
Dewa Kegelapan berkacak pinggang di hadapan para anak buah Gembong Kenjeran yang
masih ragu-ragu untuk melanjutkan serangan.
Sepasang matanya yang beringas menatap tajam
satu persatu para pengepungnya.
Sementara melihat kenyataan ini, Gembong
Kenjeran jadi geram bukan main. Tadi memang
sempat dilihatnya betapa dengan mudahnya Dewa Kegelapan menurunkan tangan maut pada
dua orang anak buahnya. Jelas lelaki berjubah
kuning ini tak dapat terima keadaan itu. Lebih
jengkelnya lagi manakala melihat para anak
buahnya hanya terpaku di tempatnya.
"Anak-anak! Kenapa melongo saja" Cepat
hajar bocah pongah itu!" perintah Gembong Kenjeran, berteriak kalap.
Sejenak anak buah Gembong Kenjeran itu
hanya saling berpandangan. Tampak sekali kalau
mereka ragu-ragu. Namun bila teringat akan kekejaman Gembong Kenjeran, mau tidak mau perintah pimpinan harus dituruti. Walaupun, harus
nyemplung ke dalam kobaran api sekalipun!
"Bodoh! Dasar cecurut-cecurut comberan!
Kalau saja aku mau, apa kalian pikir masih dapat
menjual lagak seperti ini, he"!" dengus Dewa Kegelapan.
Tak ada jawaban dari mulut para anak
buah Gembong Kenjeran. Yang ada hanya kilatankilatan mata pedang, mereka kembali menyerang
Dewa Kegelapan.
"Huh...!"
Dewa Kegelapan mendengus. Habis sudah
kesabarannya. Tak ada pilihan lain. Para anak,
buah Gembong Kenjeran memang harus dihajarnya. "Keparat! Jangankan menghadapi cecurut-cecurut macam kalian! Menghadapi
biangnya se- tan pun aku tak takut. Hea...!"
Dikawal bentakan nyaring, tubuh Dewa
Kegelapan kembali berkelebat. Kali ini kecepatannya luar biasa, melebihi kelebatannya yang pertama. Demikian juga tamparan dan hantaman
hantaman tangannya.
Para anak buah Gembong Kenjeran terperanjat. Belum sempat berpikir apa yang akan diperbuat, tahu-tahu tamparan dan hantaman tangan Dewa Kegelapan telah mendarat.
Plakkk! Plakkk!
"Aaa...!"
Seketika tubuh anak buah Gembong Kenjeran berpelantingan ke sana ke mari begitu terhantam tamparan dan jotosan tangan Dewa Kegelapan. Tidak sampai di situ saja serangan Dewa
Kegelapan. Tubuhnya terus berkelebat, menghajar sisa-sisa anak buah Gembong Kenjeran yang
masih berdiri. Prak! Prak! "Aaa...!"
Tanpa ampun pula sisa anak buah Gembong Kenjeran roboh ke tanah tanpa dapat bangun lagi dengan kepala pecah dan dada jebol.
Mengkelap hati Gembong Kenjeran melihat
para anak buahnya dibantai Dewa Kegelapan
dengan mudahnya. Maka disertai teriakan keras
bak harimau terluka, tubuhnya segera meluruk
ke tempat pertarungan.
"Minggir kalian semua!" bentak Gembong
Kenjeran, garang.
Beberapa sisa anak buah Gembong Kenjeran segera menarik diri dari tempat pertarungan.
Sepatah kata pun mereka tak berani membantah.
"Bagus! Kenapa tidak dari saja kau turun
tangan?" ejek Dewa Kegelapan, begitu Gembong Kenjeran mendarat di depannya
sejarak setengah
tombak. "Bajingan! Jangan menyesal kalau kali ini
terpaksa aku harus mencabut nyawa basukmu,
Bocah!" dengus Gembong Kenjeran penuh kemarahan. Diam-diam lelaki berjubah kuning ini mengalirkan tenaga dalamnya, membuat kedua telapak tangannya berubah jadi kuning hingga ke
pangkal. Rasanya, ia sudah tak sabar lagi untuk
menghabisi nyawa Dewa Kegelapan. Maka tanpa
banyak cakap, kedua telapak tangannya segera
didorongkan ke depan.
' Makanlah aji 'Palu Godam'-ku!"
* * * Upacara pemakaman jenazah Nenek Rambut Putih telah usai. Arum Sari masih tak bergeming dari tempatnya, berlutut di sisi makam
gurunya. Tangisnya tak kunjung reda.
"Dewa Kegelapan...!" desis Arum Sari.
Teringat nama itu, paras cantik gadis ini
kontan menegang. Kilatan-kilatan sepasang matanya yang indah kini tampak beringas.
"Demi Tuhan aku akan membalaskan sakit
hatimu. Guru...!" lanjutnya dengan tangan terkepal kuat-kuat.
Siluman Ular Putih yang duduk di samping
si gadis tak tega untuk menggoda. Pemuda ini diam saja di tempatnya sambil sesekali matanya
melirik seraut wajah cantik di sampingnya.
"Kini tibalah saatnya aku membalaskan
sakit hatimu, Guru. Ke mana pun Dewa Kegelapan pergi, pasti akan kukejar. Biar sampai ke dasar neraka sekalipun!"
Habis mendesis begitu, Arum Sari melompat bangun. Disusutnya air mata sebentar. Lalu
tanpa menghiraukan Siluman Ular Putih sedikit
pun tubuhnya segera berkelebat cepat dari tempat ini. "Hey, tunggu! Kau mau ke mana. Arum?"
teriak Soma, kaget. Tak menyangka kalau gadis
itu akan meninggalkannya begitu saja.
Arum Sari yang tengah diamuk amarah tak
mempedulikan Siluman Ular Putih. Malah langkahnya makin dipercepat meninggalkan Soma.
Mau tak mau Soma harus melompat bangun untuk mengejar. Sekali kakinya menjejak tanah, tubuh murid Eyang Begawan Kamasetyo itu
telah berkelebat cepat mengejar Arum Sari. Begitu cepat lesatannya, sehingga
sebentar saja telah
berhasil menyusul si gadis.
"Tunggu dulu, Arum! Kau tak boleh meninggalkanku begitu saja! Ingat pesan gurumu!"
teriak Siluman Ular Putih, tahu-tahu telah menghadang langkah murid Nenek Rambut Putih.
"Minggir! Aku tak butuh kau! Aku bisa cari
sendiri orang yang telah mencelakakan guru
maupun orang yang telah membunuh kedua
orangtua ku!" sambar Arum Sari kalap. Pedangnya pun telah lolos dari
warangkanya. "Kau akan membunuhku?" kata Siluman
Ular Putih dengan mata membelalak lebar. "Aku tak percaya. Kau yang demikian
lembut mau membunuhku?"
"Minggir, Soma! Aku tak main-main! Beri
aku jalan!" kata Arum Sari membalas.
Mana mau Soma diperintah begitu saja.
Bagaimanapun juga dia merasa bertanggung jawab atas keselamatan Arum Sari.
"Aku tidak akan mengizinkanmu pergi seorang diri!" tandas Siluman Ular Putih.
Arum Sari tersenyum hambar. Saat itu hatinya benar-benar nelangsa. Satu-satunya orang
yang menjadi tambatan hatinya telah tewas di
tangan Dewa Kegelapan.
"Aku tidak butuh bantuanmu...," desis
Arum Sari seraya bergeser ke kiri. Lalu tubuhnya
kembali berkelebat meninggalkan Siluman Ular
Putih. Siluman Ular Putih segera berkelebat pula,
mengejar Arum Sari. Namun kali ini Soma punya
pertimbangan lain. Maka segera lesatannya diperlambat. "Hm...! Aku tak boleh membiarkan gadis
itu dalam bahaya. Baiknya kuikuti saja dari kejauhan...," putus Soma.
8 Pertarungan besar tak dapat terhindari lagi. Gembong Kenjeran yang menggunakan aji
'Palu Godam' di tangan kiri telah menyerang Dewa
Kegelapan hebat. Itu pun masih diiringi sabetan
rantai baja di tangan kanannya.
Siluman Ular Putih 18 Titisan Alam Kegelapan di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Wesss! Sring! Sring! Dewa Kegelapan kini tak berani main-main
lagi. Dari sambaran rantai baja yang menimbulkan angin berkesiur tajam, ia tahu kalau tokoh
dari Hutan Kenjeran itu memiliki tenaga dalam
tinggi. Maka begitu melihat datangnya serangan,
tubuhnya segera dilemparkan ke samping. Untuk
sementara serangan-serangan Gembong Kenjeran
pun hanya mengenai angin kosong.
Gembong Kenjeran menggeram murka.
Sungguh tak disangka serangan-serangannya dapat dihindari lawan dengan begitu mudah. Maka
diiringi teriakannya yang nyaring, serangannya
pun makin diperhebat. Putaran-putaran rantai
bajanya pun makin mengiriskan. Saking cepatnya, membuat rantai baja itu berubah jadi gulungan hitam yang siap mengancam tubuh Dewa Kegelapan kapan saja. Belum lagi hantaman tangan
kirinya yang setiap waktu bisa saja merenggut
nyawa. Serrr! Serrr! Namun ringan saja Dewa Kegelapan melemparkan tubuhnya ke sana kemari menghindari
serangan. Dan setelah beberapa jurus berlangsung, barulah Dewa Kegelapan melompat jauh
mengambil jarak. Kedua telapak tangannya kini
telah memerah hingga ke pangkal siku, pertanda
mulai mengeluarkan jurus andalan 'Tangan Merah'. "Bangsat tua! Apakah kau tetap tidak mau mengakui kekuasaanku dan tunduk
di bawah pe-rintahku?" kata Dewa Kegelapan sebelum melepas serangan balasan.
Sengaja ia memberi kesempatan pada lawan untuk berpikir.
"Puahhh! Siapa sudi tunduk dan takluk di
bawah kekuasaanmu" Justru kaulah yang harus
mengakui kekuasaanku!" sambar Gembong Kenjeran penuh kemarahan.
"Bagus! Kalau begitu, kau akan kupaksa
untuk mengakui kekuasaanku!" geram Dewa Kegelapan. "Lakukan saja kalau kau becus!" tantang Gembong Kenjeran, nekat.
"Baik."
Kini Dewa Kegelapan menyilangkan tangannya di depan dada. Kedua kakinya yang kokoh
menggeser perlahan-lahan mendekati lawan.
Tampaknya gerakan tangan dan kakinya biasa saja. Seolah tidak bertenaga.
"Heh..."!"
Namun betapa terkejutnya Gembong Kenjeran manakala dari gerakan lambat tangan dan
kaki Dewa Kegelapan mampu mengeluarkan angin dingin yang bukan kepalang. Belum hilang
terkejutnya, tiba-tiba gerakan tangan dan kaki
Dewa Kegelapan pun berubah jadi cepat luar biasa. Bahkan tiba-tiba menerjang tubuh Gembong
Kenjeran. "Ah...!"
Paras Gembong Kenjeran kontan berubah
pucat ketika tiba-tiba kedua telapak tangan Dewa
Kegelapan yang berwarna merah darah siap mengancam bagian-bagian tubuhnya yang mematikan. Tangan kanan menghujam dari atas ke bawah siap meremukkan batok kepala. Sedangkan
tangan kiri yang membentuk cakar siap pula
membetot keluar jantungnya.
"Heatt...!"
Wutt...! Tak ada pilihan lain. Gembong Kenjeran
segera memutar rantai baja di tangan kanan ke
atas untuk menangkis serangan tangan kanan
Dewa Kegelapan. Sedang serangan tangan kiri lawan segera ditangkis dengan tangan kiri.
Tasss! "Aahh...!"
Lagi-lagi Gembong Kenjeran terpekik kaget.
Rantai baja di tangan kanannya kontan hancur
begitu berbentrokan dengan tangan Dewa Kegelapan. Tubuhnya sendiri pun limbung ke samping
karena tenaga dalamnya masih kalah jauh dibanding Dewa Kegelapan.
"Heaaa!"
Pada saat tubuh Gembong Kenjeran limbung mendadak Dewa Kegelapan melepas tendangan ke dada. Dan....
Bukkk! Bukkk! "Ughh...!"
Telak sekali tendangan kaki kanan kiri Dewa Kegelapan menghajar dada Gembong Kenjeran. Tanpa ampun tubuh lelaki berjubah kuning
itu terpental jauh ke belakang. Dadanya yang terkena tendangan terasa mau jebol!
Begitu mencium tanah, Gembong Kenjeran
tak tahan lagi. Dari mulutnya kontan menyemburkan darah segar.
"Hoeeekh...!!!"
Kini, sadarlah Gembong Kenjeran kalau
musuh mudanya ternyata memiliki kepandaian di
atasnya. Namun mana mau tokoh dari Hutan
Kenjeran itu menyerah begitu saja. Sekali mengempos semangatnya, lelaki berjubah kuning itu
pun kembali tegak di hadapan Dewa Kegelapan.
"Bagaimana" Apa kau masih keras kepala
tak mau mengakui kekuasaanku?" ejek Dewa Kegelapan, dingin.
"Aku belum kalah! Langkahi dulu mayatku
baru aku mengakui kekuasaanmu!" sahut Gembong Kenjeran, mengkelap.
"Bangsat tua tak tahu diri! Kau memang
patut kuhajar!"
"Lakukanlah!"
Gembong Kenjeran membuang sisa-sisa
rantai baja di tangan. Kini ia siap menantang
maut. Kedua telapak tangannya yang telah berubah jadi kuning hingga ke pangkal menandakan
kalau aji 'Palu Godam' siap dilontarkan dengan
tenaga dalam penuh.
Sementara Dewa Kegelapan pun tak ingin
bertindak setengah-setengah lagi. Segera disiapkannya pukulan 'Darah Iblis', membuat kedua
telapak tangannya berubah jadi hitam legam!
"Pukulan 'Darah Iblis'...!" desis Gembong Kenjeran penuh keterkejutan begitu
mengenali ajian yang hendak dikerahkan Dewa Kegelapan.
Dewa Kegelapan tertawa bergelak. Lagaknya pongah sekali melihat musuhnya mengenali
pukulan mautnya.
"Bangsat! Kau pasti murid salah seorang
dari Empat Iblis Merah!"
"Bukan hanya seorang. Tapi mereka berempatlah yang menjadi guruku!" sahut Dewa Kegelapan, bangga.
"Hm...! Pantas saja bocah pongah ini memiliki kepandaian tinggi...," desis Gembong Kenjeran dalam hati.
"Bagaimana" Apakah sekarang kau mau
mengakui kekuasaanku setelah tahu kalau aku
murid dari Empat Iblis Merah?" kata Dewa Kegelapan. "Biar kau murid Empat Iblis
Neraka sekalipun, aku tak sudi mengakui kekuasaanmu!"
"Bagus! Berarti kau memang harus kupaksa untuk mengakui kekuasaanku!" geram Dewa
Kegelapan. Gembong Kenjeran mengeretakkan gerahamnya kuat-kuat. Jari-jari tangannya yang terkembang keras jelas menandakan kalau puncak
kemarahannya telah mencapai ubun-ubun. Ia tak
sabar lagi untuk segera mengadu nyawa dengan
musuh mudanya. "Bocah pongah! Makanlah aji 'Palu Godam'ku! Hea...!"
Dikawal teriakan nyaring, Gembong Kenjeran segera mendorongkan kedua telapak tangannya ke depan. Seketika melesat dua larik sinar
kuning dari kedua telapak tangannya ke arah
Dewa Kegelapan.
Wesss! Wesss! Dewa Kegelapan tak mau kalah unjuk gigi.
Tanpa banyak cakap segera dipapakinya ajian lawan dengan pukulan 'Darah Iblis'. Maka seketika
itu pula.... Blarrr! "Aaaah...!"
Gembong Kenjeran menjerit setinggi langit.
Tanpa ampun tubuhnya terlempar jauh ke belakang, berputar-putar sebentar dan jatuh berdebam ke tanah. "Hoeeekh...!!!"
Dewa Kegelapan tertawa bergelak menyaksikan tubuh Gembong Kenjeran melejang-lejang
hebat. Selangkah demi selangkah didekatinya tubuh Gembong Kenjeran yang merayap hendak
bangkit. Dalam hati, ia memuji daya tahan tubuh
Gembong Kenjeran. Padahal bila orang biasa pasti
telah hancur tubuhnya terkena ajiannya.
"Apa kau belum juga mau mengakui kekuasaanku, Gembong Kenjeran?" desis Dewa Kegelapan seraya menginjak leher Gembong Kenjeran
tanpa belas kasihan.
Gembong Kenjeran tcrengah-engah. Lehernya seperti terinjak palu godam yang beratnya ribuan kati. "Ba... baik. Mulai hari ini aku dan anak
buahku akan tunduk dan takluk di bawah kekuasaanmu..," rintih Gembong Kenjeran akhirnya mengakui keunggulan Dewa Kegelapan
Tapi sebenarnya Gembong Kenjeran mempunyai watak licik. Jelas ia tak sudi mati sia-sia seperti itu. Kalaupun
sekarang mau mengakui
kekuasaan Dewa Kegelapan, itu hanya karena
siasatnya saja. Toh, lain kali ia bertekad akan me-lepaskan diri dari kekuasaan
Dewa Kegelapan.
Kalau perlu membalas penghinaan ini.
"Bagus! Senang sekali aku mendengar kesaggupanmu, Gembong Kenjeran. Sekarang juga
kau adalah bawahanku. Hutan Kenjeran ini pun
jadi kekuasaanku! Ha ha ha...!"
Dewa Kegelapan mengangkat kakinya dari
leher Gembong Kenjeran seraya mendongak. Lagaknya pongah sekali, seolah ingin menantang
makhluk penghuni angkasa raya.
"Aku ingin bertanya padamu, Gembong
Kenjeran," kata Dewa Kegelapan tiba-tiba. Tatapannya kini beralih pada sosok
laki-laki berjubah kuning di bawahnya. Dingin sekali. "Sebenarnya aku pun sedang
mencari pembunuh kedua orangtua ku. Menurut keterangan Nenek Rambut Putih, justru keempat orang gurukulah yang telah
membunuh kedua orangtua ku."
"Ya... itu memang bisa jadi...," sahut Gembong Kenjeran, terengah-engah.
"Apa maksudmu, Gembong Kenjeran?"
"Begini...," Gembong Kenjeran menelan ludah. "Konon, Empat Iblis Merah itu
paling senang mempunyai murid yang terlahir pada malam Jumat Kliwon. Dan seperti
biasanya, mereka selalu
membunuh kedua orangtua si jabang bayi yang
bakal jadi murid mereka kelak."
"Dari mana kau tahu semua ini, Gembong
Kenjeran?" tanya Dewa Kegelapan.
"Itulah desas-desus yang sempat kudengar
selama aku malang melintang di dunia persilatan." "Hm...." Dewa Kegelapan mengeretakkan gerahamnya. "Tak kusangka kalau
gurukulah yang telah membunuh kedua orangtua ku. Meski
sebagai murid tentu aku akan menuntut balas.
Tunggulah pembalasanku. Setelah urusanku
dengan Siluman Ular Putih selesai, pasti aku
akan membuat perhitungan dengan mereka...."
9 Di bawah guyuran terik sinar matahari
siang itu. Arum Sari terus berkelebat cepat, tanpa arah tujuan pasti. Hanya isak
tangisnya saja yang sesekali terdengar.
"Dewa Kegelapan...!" desisnya, lirih sambil berkelebat.
Kini gadis itu menghentikan langkah di
bawah rindangnya sebuah pohon. Wajahnya yang
cantik telah penuh air mata. Sejenak sepasang
mata indahnya beralih jauh ke depan sana. Sepertinya dengan cara itu ia ingin sekali mencari
jawaban atas rasa gundahnya dalam hati.
Namun sayang gadis ini tak menemukan
jawabannya. Dihelanya napas berulang-ulang.
Sementara dendam kesumat yang membakar hatinya terasa lebih panas dibanding teriknya sinar matahari. Tapi justru saat ini
ia terperangkap dalam kebingungan. Sulit sekali rasanya menentukan pilihan. Apalagi, tak satu pun musuh-musuh
besarnya yang telah dikenal, kecuali julukan mereka saja. Dewa Kegelapan dan Penghuni Kubur!
"Manakah yang harus kudahulukan" Dewa
Kegelapan atau Penghuni Kubur" Keduanya memang harus mampus di tanganku. Tapi... di mana
aku harus mencari mereka" Ah...!"
Arum Sari mengeluh. Raut wajahnya kelihatan kian menegang. Dadanya yang membusung
bergerak turun naik.
"Tak ada pilihan lain. Aku harus terus
mencari tahu tentang mereka! Yah...! Kukira memang cara itulah yang terbaik!" desah Arum Sari memantapkan niatnya dalam hati.
Kini, perlahan-lahan Arum Sari kembali
Siluman Ular Putih 18 Titisan Alam Kegelapan di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
melangkah walau hatinya masih diliputi kebingungan. Tapi yang jelas, ia harus meneruskan
perjalanan. Ke mana saja. Pokoknya, harus menemukan tempat persembunyiannya Dewa Kegelapan dan Penghuni Kubur.
Namun baru saja murid Nenek Rambut Putih ini melangkah beberapa tindak, mendadak
pendengarannya yang tajam menangkap langkahlangkah halus di sekitarnya yang dipenuhi semak
belukar. Seraya menghentikan langkahnya, tanpa
sadar Arum Sari telah memegang gagang pedang
yang menggelantung di pinggang.
"Rupanya kita mendapat rejeki besar, Kawan. Cepat tangkap gadis itu!"
Mendadak terdengar suara teriakan yang
disusul berlompatannya beberapa sosok bayangan berpakaian hitam-hitam dari semak belukar
di sekitarnya. Jumlah mereka yang tak kurang
dari dua belas orang langsung mengepung murid
Nenek Rambut Putih.
"Mau apa kalian menghadangku, he"!" bentak Arum Sari.
"Mau apa" He he he...! Dia tanya kita mau
apa, Kang Rupaksa" Apa kau tahu jawabannya?"
sahut salah seorang lelaki berpakaian hitam yang
berdiri paling depan.
"Jawabannya, cepat tangkap gadis itu, Bonang!" sahut lelaki yang dipanggil Rupaksa. Dialah yang tadi memberi aba-aba.
"Baik. Memang itulah yang kuinginkan,
Kang Rupaksa. Sudah lama kita tak pernah mencium bau wangi tubuh seorang gadis. Ayo, Teman-teman! Tangkap gadis itu!" teriak lelaki berpakaian hitam yang dipanggil
Bonang seraya mengibaskan tangannya ke depan.
Sekarang Arum Sari tahu. Kiranya ia tak
perlu berbasa basi. Kedua belas lelaki berperangai kasar itu jelas bermaksud
tidak baik. Maka segera pedangnya dicabut keluar.
Srangngng! "Majulah kalau kalian ingin merasakan tajamnya pedangku!" bentak Arum Sari.
Pedang di tangan kanan si gadis terpegang
erat-erat. Matanya terus memperhatikan gerakgerik kedua belas lelaki kasar di hadapannya. Jelas, mereka memang bermaksud jahat terhadap
dirinya. Meski belum berpengalaman, namun dari
gelagat Arum Sari jadi tahu kalau kedua belas laki-laki kasar itu memang menginginkannya.
"Hati-hati! Jangan sampai gadis itu terluka, Kawan! Nanti kita sendiri yang
rugi!" teriak lelaki lain memperingatkan.
"Jangan khawatir!" sahut mereka serempak. "Ayolah, Manis! Baiknya menyerah saja.
Mustahil kami akan memperlakukanmu kasar!"
"Cih...! Lebih baik mati di tangan kalian da-ripada menyerahkan diri!" sahut
Arum Sari, ketus. "Wah wah...! Galak juga rupanya gadis cantik satu ini, Kawan.
Mudah-mudahan saja di ranjang pun galak!"
Kedua belas lelaki berpakaian hitam itu
mulai bergerak dengan hanya tangan kosong saja.
Dengan cara itu, mereka bermaksud tak ingin melukai calon korbannya. Dan begitu si calon korban dapat ditangkap dengan mudah, serempak
mereka akan menggarapnya.
"Hea...!"
Arum Sari tersenyum dingin. Pedang di
tangan kanannya pun segera diputar sedemikian
rupa. Wutt! Wutt!
Tanpa terduga. Arum Sari melenting
menghindar begitu para pengeroyok menerjangnya. Setelah berputaran sebentar tubuhnya meluruk turun dengan kaki mengarah ke salah satu
pengeroyok. Desss! "Aahh...!"
Kedua belas orang pengeroyok Arum Sari
terkesima kaget. Sungguh tak disangka kalau si
gadis dapat menghindar serangan dengan demikian mudah. Bahkan salah seorang dari mereka
roboh, tak dapat bangun lagi begitu terkena hantaman kaki Arum Sari.
Sring! Sring! Melihat salah seorang terluka, para pengeroyok Arum Sari tak segan-segan lagi mencabut
keluar pedang mereka. Sejenak mereka memutar
pedang sebelum akhirnya kembali menerjang hebat Arum Sari. Trang! Trang! Mudah saja bagi Arum Sari menghadapi
keroyokan itu dengan mengibaskan pedangnya.
Malah kalau mau, bukan mustahil nyawa para
pengeroyok melayang saat itu juga terkena sambaran pedangnya. Namun, gadis ini tak sampai
hati melukai para pengeroyoknya. Apalagi sampai
membunuh. Meskipun mereka jelas bermaksud
jahat. Arum Sari tetap tidak mau menurunkan
tangan maut. Ia hanya sekadar memberi peringatan dengan tamparan dan tendangan-tendangan.
Sedang pedang di tangan kanannya hanya digunakan untuk menangkis serangan pedang!
Desss! Desss! Dua kali kaki Arum Sari bergerak, maka
dua orang pengeroyoknya roboh tak dapat bangun lagi. Keadaan ini tentu saja membuat kecut
nyali para pengeroyok. Mereka tak ingin terhina
dengan dikalahkan oleh seorang gadis kemarin
sore. Berpikir sampai di sini, para pengeroyok
kembali menerjang murid Nenek Rambut Putih
itu. "Hea...! Hea...!"
Arum Laras tak mau kepalang tanggung.
Melihat para pengeroyoknya makin nekat, hatinya
jadi kesal. Dengan pengerahan tenaga dalam sedikit tamparan-tamparan dan tendangantendangan kembali menemui sasaran.
Plak! Desss! Desss! Seperti yang lain, sisa-sisa pengeroyok murid Nenek Rambut Putih itu kembali berpelantingan ke sana kemari. Untung saja Arum Sari tidak
bermaksud keji, kecuali hanya sekadar memberi
peringatan. "Bodoh! Menangkap seorang gadis saja tidak becus! Minggir!"
Mendadak terdengar bentakan yang disusul kelebatannya sesosok bayangan kuning. Tahu-tahu sosok itu telah berdiri di hadapan Arum
Sari. Mau tidak mau kening Arum Sari berkerut,
heran. Di hadapannya kini telah berdiri sesosok
lelaki bertubuh tinggi besar terbalut jubah besar warna kuning. Rambutnya
gondrong awut-awutan
tak terawat. Perangainya pun lebih bengis dibanding kedua belas orang pengeroyok yang pertama.
"Kaukah pimpinan cecunguk-cecunguk
itu"!" tanya Arum Sari, seraya menudingkan telunjuk ke arah para pengeroyok yang
roboh tak dapat bangun lagi. Pingsan.
"Benar! Karena kau telah melukai anak
buahku, maka kau patut mendapat hukuman!
Tapi berhubung kau seorang gadis, maka aku
akan memberi hukuman lain!" bentak sosok tinggi
besar yang tak lain Gembong Kenjeran. Sambil
berkata begitu, matanya menjilati lekuk-lekuk tubuh gadis cantik di hadapannya penuh nafsu.
"Cih...! Anak buah dan ketuanya sama saja! Sama-sama berperangai bobrok!" geram Arum Sari, penuh kemarahan.
"Ha ha ha...! Sudah tahu kami berperangai
bobrok, kenapa kau sampai nyasar ke Hutan Kenjeran ini?" tukas Gembong Kenjeran.
"Jadi, kaukah yang bergelar Gembong Kenjeran?" tebak Arum Sari.
"Dari mana kau tahu gelarku, Cah Ayu?"
"Tak perlu kau tahu. Yang jelas, siapa lagi
orang berperangai busuk yang tinggal di Hutan
Kenjeran kalau bukan Gembong Kenjeran?"
"Terserah kau mau bilang apa! Yang jelas,
nasibmu hari ini ada di tanganku!"
Tak ada gunanya Arum Sari banyak bicara.
Sudah jelas ia nyasar ke tempat salah. Dan sama
sekali tak disangka kalau tempat ini di bawah kekuasaan Gembong Kenjeran.
* * * Siluman Ular Putih celingukkan ke sana
kemari. Di ujung hutan ini, pemuda ini tak menemukan sosok Arum Sari yang diikuti.
"Ke mana gadis tengil satu itu" Kenapa tiba-tiba saja menghilang?"
Soma menempelak jidatnya sendiri saking
kesalnya. Bingung mencari gadis yang diikuti,
akhirnya Soma hanya garuk-garuk kepala. Mungkin dengan cara itulah ia akan menemukan jalan
untuk mencari Arum Sari.
"Gila! Sampai mataku pegal begini, belum
juga aku menemukan gadis tengil itu. Kenapa dia
sampai meninggalkanku" Apa ngilu melihat tampang gantengku" Hm.... Eh, apa itu...?"
Soma mendadak menggerak-gerakkan kepalanya mirip orang ayan. Kupingnya pun sampai
bergerak-gerak, mencari sumber suara. Yah...!
Samar-samar telinganya memang mendengar dentingan senjata tajam beradu. Tapi samar-samar
sekali. Kalau tidak, mustahil kepalanya sampai
seperti itu. "Ah...! Bisa jadi yang sedang bertarung itu
Arum Sari!" gumam Soma akhirnya.
Saat itu juga. Soma menjejakkan kakinya.
Dan seketika sosoknya yang tinggi kekar telah
berkelebat jauh, dan menghilang di tikungan depan sana. 10 Sepasang mata garang Gembong Kenjeran
bergerak-gerak liar. Membayangkan pemandangan indah di hadapannya, jakunnya jadi turun
naik. Lekuk-lekuk indah tubuh Arum Laras-lah
terus menyeret pikirannya ke lembah kegairahan.
"Edan! Tubuh gadis ini benar-benar mengundang. Sayang sekali kalau dilewatkan begitu
saja!" gumam Gembong Kenjeran. Napasnya pun
mulai tak teratur. "Sudah puas memaki, Cah
Ayu" Kalau sudah, ayo ikut aku! Akan kutunjukkan padamu, bagaimana caranya menikmati hidup. Ayo! He he he...!"
Gembong Kenjeran tersenyum-senyum, tapi lebih mirip seringai serigala yang melihat anak domba.
"Tua bangka bermulut kotor! Siapa sudi
ikut denganmu"! Cih...!" maki Arum Sari, geram bukan main direndahkan oleh
Gembong Kenjeran
seperti itu. Mata si gadis melotot liar. Untuk menjagajaga kemungkinan buruk yang mungkin terjadi,
genggaman pedang di tangan kanannya makin dipererat. "Bagus! Kalau begitu aku harus memaksamu, Cah Ayu!" ancam Gembong Kenjeran.
"Lakukanlah kalau kau sanggup!" tantang murid Nenek Rambut Putih saking
kesalnya. "Baik."
Disertai senyum menjijikkan, selangkah
demi selangkah Gembong Kenjeran mendekat.
Kedua tangannya terkembang lebar. Dan ketika
tinggal beberapa langkah di hadapan Arum Sari,
mendadak tubuhnya berkelebat cepat. Jari-jari
tangannya yang terkembang bergerak mencengkeram Arum Sari. Werrr! "Uts...!"
Namun rupanya tidak sia-sia Arum Sari
menjadi murid Nenek Rambut Putih. Begitu melihat datangnya serangan, tubuhnya bergeser sedikit ke kiri. Lalu cepat disambutnya jari-jari tangan Gembong Kenjeran dengan
babatan pedang.
Beett! Sudah pasti Gembong Kenjeran harus menarik mundur serangannya kalau tak ingin jarijari tangannya terbabat sambaran pedang. Dan
begitu tangannya ditarik mundur, dengan satu
perhitungan cermat tiba-tiba tangannya bergerak
kembali menghantam pergelangan tangan Arum
Sari yang memegang pedang.
Plakkk! Arum Sari terpekik kaget. Pedang di tangannya mental entah ke mana. Namun gadis ini
tak sempat mencari pedangnya karena pikirannya
lebih tercurah pada tangannya yang terasa bergetar. Apalagi, saat itu serangan Gembong Kenjeran
kembali mengancam dirinya.
"Bangsat! Akan kubalas penghinaanmu,
Tua Bangka Keparat!"
Sambil mengumpat Arum Sari cepat melemparkan tubuhnya ke belakang untuk membuat jarak. Dengan cara itu ia ingin sekali mengajak Gembong Kenjeran mengadu
kekuatan tenaga
dalam. "Ha ha ha...! Kenapa galak-galak amat, Cah Ayu" Baiknya turuti saja
Siluman Ular Putih 18 Titisan Alam Kegelapan di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
kemauanku!" tawa
Gembong Kenjeran, amat menyakitkan hati.
"Tua bangka keparat! Aku akan mengadu
jiwa denganmu!" dengus Arum Sari tak dapat lagi
mengendalikan amarah.
Saat itu pula si gadis mengerahkan tenaga
dalamnya, membuat kedua telapak tangannya berubah jadi putih. "Makanlah aji 'Gada Bumi'-ku!
Heaa...!" Disertai teriakan membelah udara, si gadis
cepat menghantamkan kedua telapak tangannya
ke depan. Seketika melesat dua larik sinar putih
berkilauan ke arah Gembong Kenjeran.
Wesss! Wesss! Gembong Kenjeran tak mau kalah. Segera
dikerahkannya aji 'Palu Godam'. Namun sayangnya baru saja tenaga dalamnya dikerahkan, tibatiba saja dadanya terasa nyeri bukan main akibat
luka dalamnya yang belum sembuh benar sewaktu bertarung dengan Dewa Kegelapan.
"Heh"!"
Gembong Kenjeran terperangah kaget. Seketika parasnya jadi pucat pasi. Untuk menghindar jelas sudah terlambat. Akibatnya....
Bukkk! Bukkk! Telak sekali dua larik sinar putih berkilauan dari kedua telapak tangan Arum Sari
menghajar dada Gembong Kenjeran. Tanpa ampun lelaki berjubah kuning melolong setinggi langit. Bak layangan putus benang, tubuhnya langsung terlempar jauh ke belakang dan terbanting keras! Gembong Kenjeran mengeluh
tertahan sambil berusaha bangkit. Dadanya yang terkena
hantaman aji 'Gada Bumi' terasa mau jebol. Rahangnya mengembung, lalu menyemburkan darah segar. Saat itu pula tubuh luruh kembali ke
tanah tak dapat bangun lagi. Beberapa orang
anak buah Gembong Kenjeran buru-buru mengangkatnya ke tempat yang aman.
Arum Sari tak begitu mempedulikan. Amarahnya yang menggelegak membuatnya tak ingin
berlama-lama di tempat itu. Namun baru saja
hendak melaksanakan niatnya, tiba-tiba.....
Plok! Plok! Plok!
"Benar-benar mengagumkan. Tak kusangka seorang gadis cantik seperti kau mampu merobohkan Gembong Kenjeran yang lihai hanya sekali gebrak. Ckekek...!"
Arum Sari tersentak ketika tahu-tahu tak
jauh dari tempat pertarungan kini telah berdiri
seorang pemuda berjubah hitam. Mendengar ucapan pemuda itu, sebenarnya gadis ini pun merasa
heran, kenapa Gembong Kenjeran tak memapak
pukulannya. Ia tadi hanya sempat melihat lawannya kesakitan sebelum tubuhnya terpental terkena aji 'Gada Bumi'. Gadis ini menduga, pasti
Gembong Kenjeran telah terluka dalam sebelumnya. Kalau tidak mustahil membiarkan tubuhnya
terkena pukulan.
"Siapa kau?" bentak Arum Sari pada pemuda di depannya.
* * * Pada saat yang sama Siluman Ular Putih
telah tiba pula di tempat sekitar pertarungan. Ketika melihat Arum Sari tengah
bersitegang dengan
seorang pemuda, dengan sangat hati-hati Siluman Ular Putih bersembunyi di balik kerimbunan
semak. Tentu saja Soma bersiap-siap membantu
kalau gadis cantik itu membutuhkan pertolongannya. Memang Soma sengaja tidak langsung turun tangan. Ia ingin melihat apa yang terjadi kemudian. Dengan rencananya itu pula, Siluman
Ular Putih bermaksud melunakkan hati Arum Sari. "Hm...! Tampaknya pemuda berjubah hitam itu memiliki tenaga dalam luar biasa. Hanya
orang-orang yang memiliki tenaga dalam tingkat
tinggi saja yang memiliki mata mencorong seperti
itu. Tampaknya, kali ini Arum Sari tengah dalam
bahaya besar...," gumam Siluman Ular Putih,
nyaris tak kentara.
Pemuda gagah berjubah hitam yang memang Dewa Kegelapan tak langsung menjawab
bentakan Arum Sari. Ia justru malah tertarik
dengan apa yang tertangkap telinganya sekarang.
Jelas sekali tadi telinganya mendengar langkahlangkah halus tak jauh dari tempat pertarungan.
"Hm...! Tampaknya ada pesilat tanggung
bersembunyi di sekitar sini. Kebetulan sekali. Kalau ia tak mau keluar, terpaksa
aku harus me- mancingnya. Kalau dia tokoh putih, pasti akan
keluar!" pikir Dewa Kegelapan.
"Monyet buduk! Kau pasti tak ubahnya
orang macam Gembong Kenjeran dan anak buahnya! Mau apa kau kemari, he"!" bentak Arum Sa-ri, garang. Kalau saja gadis ini
tahu siapa pemuda gagah di hadapannya, sudah pasti akan menyerangnya hebat. Tak
perlu pakai basa basi seperti
itu. "Aku memang menginginkanmu, Gadis.
Wajahmu cantik. Tubuhmu pun amat menggiurkan. Bodoh kalau aku sampai tak menginginkanmu!" jawab Dewa Kegelapan.
"Cih...! Jadi benar" Kau tak ubahnya dengan mereka! Kau sama-sama bejat!"
"Terserah kau mau ngomong apa! Yang jelas, aku sangat menginginkanmu! Kau dengar itu,
Gadis?" "Setan alas! Mulutmu terlalu lancang! Kau
memang patut diberi pelajaran!"
"Kau tak perlu memberiku pelajaran. Justru, Dewa Kegelapan-lah yang akan memberi pelajaran di ranjang."
"Apa"! Jadi, kaukah manusia yang bergelar
Dewa Kegelapan"!" sentak Arum Sari, kaget bukan main. Tak disangka kalau pemuda
di hada- pannya ternyata yang tengah dicari.
"Kalau memang iya, kau mau apa?" tantang Dewa Kegelapan, kalem.
"Bagus! Kalau begitu, bersiap-siaplah menerima kematian! Arwah guruku Nenek Rambut
Putih telah menantimu di pintu neraka!" desis Arum Sari, tak dapat lagi
mengendalikan amarah.
"Oooo...! Jadi kau murid Nenek Rambut
Putih itu?"
"Jangan banyak bacot! Manusia keji macam kau memang patut enyah dari muka bumi!"
"Lakukanlah kalau kau mampu!"
"Baik."
Arum Sari mengeretakkan gerahamnya penuh kemarahan. Dendamnya yang sudah mencapai ubun-ubun membuatnya gelap mata. Dan
dengan sekali jejak, tubuhnya telah berkelebat
cepat menerjang Dewa Kegelapan. Tak tanggungtanggung, kontan dikeluarkannya jurus andalan
'Tongkat Selaksa Badai'. Meski sebenarnya jurus
itu harus dilakukan dengan sebatang tongkat,
namun bagi Arum Sari jurusnya itu sama dahsyatnya bila dengan pedang. Buktinya, pedangnya
segera bergulung-gulung cepat laksana badai
prahara. Werrr! Werrr! Dewa Kegelapan tertawa bergelak. Nadanya
meremehkan. Padahal, jubahnya berkibar-kibar
terkena kesiuran angin dari sambaran pedang di
tangan Arum Sari.
"Benar juga. Rupanya kau memang murid
nenek keriput itu. Tapi tetap saja percuma. Kau
tetap saja akan tunduk di tanganku!" dengus De-wa Kegelapan, angkuh.
Pada saat setengah tombak lagi serangan
lawan mendekat, Dewa Kegelapan segera berkelebat cepat luar biasa, sehingga sulit diikuti pandang mata. Sambil berkelit menghindar, jari-jari
tangannya yang terkembang tiba-tiba menyusup
di antara gulungan pedang di tangan Arum Sari.
Dan.... Bret! Bret!
"Aauuwww...!"
Arum Sari memekik kaget seraya melompat
ke belakang. Dua kali tangan Dewa Kegelapan
mengayun, membuat pakaian Arum Sari seketika
terkuak lebar menampakkan lekuk-lekuk tubuhnya yang menantang. Bahkan jari-jari tangan pemuda itu sempat pula menowel sepasang payudara si gadis. "Demi Tuhan, aku akan mengadu nyawa
denganmu, Monyet Buduk!" lengking Arum Sari
penuh kemarahan. Sebentar-sebentar tangannya
harus meraih pakaiannya yang terkuak, menampakkan sebagian tubuhnya yang menggiurkan.
Di hadapannya, Dewa Kegelapan tertawa
bergelak. Sebagian robekan pakaian Arum Sari
sempat diputar-putarkan di atas kepala, sebelum
akhirnya dilemparkan.
"Boleh saja kita mengadu nyawa. Asal, kita
sudah bermain cinta terlebih dulu," ejek Dewa Kegelapan.
Geram, jengkel, marah, dan malu bercampur aduk dalam dada Arum Sari. Apalagi, menyadari dirinya tak mampu berbuat banyak terhadap
musuh besarnya. Malah kini pakaiannya robek
memanjang, membuatnya sulit untuk bergerak.
Ingin rasanya Arum Sari menangis saat itu
juga. Mau bergerak begini, salah. Begitu, salah.
Namun, dendamnya harus dituntaskan.
Akhirnya, gadis ini nekat. Maka tanpa
mempedulikan pakaiannya yang robek segera dikerahkannya aji 'Gada Bumi'. Sekali hantamkan
tangannya ke depan, seketika meluruk dua larik
sinar kuning berkilauan dari kedua telapak tangannya. Wesss! Wesss! Melihat datangnya serangan, Dewa Kegelapan sempat mengumbar tawa sebentar. Dan agar
tak melukai tubuh gadis cantik di hadapannya,
Dewa Kegelapan memapak dengan mengerahkan
sebagian tenaga dalamnya.
Blammm!!! Hasilnya, justru Arum Sari yang memekik
tertahan. Tubuhnya tanpa ampun lagi terbanting
keras. Seketika parasnya pucat pasi. Darah segar
tampak mengalir dari sudut-sudut bibir, pertanda
murid Nenek Rambut Putih itu menderita luka
dalam lumayan. "Tamatlah sudah riwayatku hari ini," desis Arum Sari sambil meringis kesakitan.
"Sekarang kau bisa apa, he"! Mau tidak
mau kau harus patuh terhadap Dewa Kegelapan!"
Selangkah demi selangkah, Dewa Kegelapan mendekati Arum Sari. Sambil melangkah, diam-diam kewaspadaannya terus dipasang. Karena
bisa jadi orang yang tengah bersembunyi melancarkan serangan dadakan. Namun rupanya apa
yang ditunggu belum juga muncul.
Dewa Kegelapan jadi kesal sekali. Kini
saatnyalah ia memancing orang yang bersembunyi di semak belukar keluar.
Sementara itu. Arum Sari mengeluh dalam
hati. Sulit sekali rasanya menentukan sikap saat
itu. Tak ada jalan keluar sama sekali. Padahal,
langkah Dewa Kegelapan kian mendekatinya. Dan
sambil menggigit bibirnya kuat-kuat, gadis ini
mencoba menyeret tubuhnya ke belakang.
"Bajingan! Berani menyentuh tubuh gadis
itu, berarti nyawa taruhannya!"
Mendadak terdengar bentakan garang yang
diiringi berkesiurnya angin dingin bukan kepalang menyerang Dewa Kegelapan dari samping.
Untung saja pemuda berjubah hitam itu telah
siap siaga. Saat itu pula tubuhnya dilempar ke
samping. Maka serangan itu hanya mengenai angin kosong. "Sudah kuduga, kau pasti akan keluar juga!" desis Dewa Kegelapan.
Sosok berpakaian putih keperakan menggumam tak jelas. Hanya raut wajahnya saja yang
menunjukkan keheranan, sambil asyik garukgaruk kepala! 11 "Siluman Ular Putih...!" pekik Arum Sari tak dapat menyembunyikan perasaan
gembira. "Yah...! Aku..." Ada apa" Bukankah kau
tak lagi butuh perlindunganku?" tukas Siluman Ular Putih bernada dingin. Pemuda
ini pura-pura tersinggung aras sikap murid Nenek Rambut Putih. "Kau.... Kau...?" Arum Sari membelalakkan matanya lebar.
"Jangan khawatir, Arum! Aku tidak sungguhan, kok. Aku hanya main-main. Mana tega sih
aku membiarkan kau diganyang manusia iblis
itu!" ujar Siluman Ular Putih seraya menudingkan telunjuk jarinya ke arah Dewa
Kegelapan. "Puahhh! Jadi, kaukah yang bergelar Siluman Ular Putih, Bocah Edan"!" bentak Dewa Kegelapan.
"Kalau iya, kau mau apa" Mengajak beran
Siluman Ular Putih 18 Titisan Alam Kegelapan di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
tem" Ayo! Aku layani. Lagi pula, aku ingin sekali membalas sakit hati gadis itu.
Boleh kan. Arum?"
Siluman Ular Putih memalingkan kepalanya ke
arah Arum Sari.
Arum Sari yang tengah sibuk membenahi
pakaiannya yang robek memanjang hanya mengangguk. "Nah...! Kau lihat sendiri, kan" Temanku setuju. Berarti, sudah saatnya
pulalah aku mengirim nyawa busukmu ke dasar neraka," celoteh Siluman Ular Putih kalem.
"Kunyuk sinting! Kau akan menyesal atas
kelancanganmu ini! Jangan dikira aku tak mampu membunuhmu, he"!" bentak Dewa Kegelapan
tak dapat mengendalikan amarahnya lagi.
Belum juga gaung bentakannya lenyap,
Dewa Kegelapan segera menerjang Siluman Ular
Putih garang. Tak tanggung-tanggung murid Empat Iblis Merah dari Hutan Seruni itu langsung
mengerahkan jurus andalan Tangan Merah',
membuat kedua telapak tangannya berwarna merah darah hingga sampai ke pangkal siku.
Werrr! Werrr! Hebat bukan main serangan murid Empat
Iblis Merah dari Hutan Seruni ini begitu kedua
tangannya bergerak mencari sasaran. Sebelum
serangan-serangan itu tiba, terlebih dahulu berkesiur angin dingin yang mengiriskan.
Melihat datangnya serangan, Siluman Ular
Putih segera membuka jurus 'Terjangan Maut Siluman Ular Putih'. Murid Eyang Begawan Kamasetyo segera bergerak menghindar. Tubuhnya meliuk-liuk di antara serangan-serangan Dewa Kegelapan sambil melancarkan serangan balik dengan
kepalan tangan yang membentuk kepala ular.
Tukkk! Tukkk! Dua kali patukan tangan Siluman Ular Putih menyusup, maka dua kali pula dada Dewa Kegelapan terkena patukan.
Dewa Kegelapan menggembor penuh kemarahan dengan tubuh terjajar beberapa langkah ke
belakang. Sedang bagian dadanya yang terkena
patukan terasa nyeri bukan main!
"Itu sedikit hadiah kecil untuk temanku
yang cantik karena kau berani bersikap kurang
ajar! Sekarang aku ingin membalaskan sakit hari
gurunya. Bersiap-siaplah menerima hadiah dariku, Kawan! Bagian tubuhmu yang mana yang
akan kau sumbangkan?" ejek Soma mulai kambuh penyakitnya.
"Kunyuk sinting! Demi Iblis aku akan
membunuhmu!" geram Dewa Kegelapan penuh
kemarahan. "Sudahlah! Jangan banyak omong! Bagian
tubuhmu yang mana yang akan kau sumbangkan" Kepalamu saja, ya?" lanjut Siluman Ular Putih. Begitu habis kata-katanya,
Siluman Ular Putih segera berkelebat cepat menyerang Dewa
Kegelapan. Kedua telapak tangannya yang membentuk kepala ular terus menderu-deru, mengurung pertahanan Dewa Kegelapan. Hingga akhirnya.... Tukkk! Tukkk!
Dua kali Soma berhasil mematuk kepala
Dewa Kegelapan. Namun pada saat yang sama
bogem mentah Dewa Kegelapan meluncur cepat
ke dada. Dess! "Aaah...!"
Telak sekali dada murid Eyang Begawan
Kamasetyo mendapat hantaman yang tak terduga-duga. Siluman Ular Putih dan Dewa Kegelapan
sama-sama menjerit tertahan dengan tubuh sama-sama terjajar ke belakang. Tapi Dewa Kegelapan yang sudah tak sabar lagi untuk mengakhiri
pertarungan segera mengerahkan pukulan 'Darah
Iblis', membuat kedua telapak tangannya berubah
jadi hitam legam hingga ke pangkal.
"Oooo...! Rupanya kau mulai main-main
dengan pukulan maut, ya" Boleh. Aku selalu siap
melayanimu!" ejek Siluman Ular Putih, memanas-manasi.
Dewa Kegelapan hanya mengeretakkan gerahamnya. Tak sepatah kata pun terucap dari kedua bibirnya yang bergetar, saking tak kuatnya
menahan gelegak amarah.
"Heaaa...!"
Dan disertai teriakan keras serta tenaga
dalam penuh Dewa Kegelapan segera menghantamkan kedua telapak tangannya ke depan. Seketika meluruk dua larik sinar hitam legam dari kedua telapak tangannya.
Wesss! Wesss! Siluman Ular Putih tak mau kalah. Maka
begitu teringat dengan pukulan 'Tangan Gaib Penindih Setan' yang baru saja dipelajarinya dari
Raja Penyihir, pemuda ini ingin menjajalnya. Saat itu pula kedua telapak
tangannya segera dihan-tamkan ke depan. Seketika tampak dua gulungan
asap hitam tebal meluncur dari kedua telapak
tangannya. Besss! Tak ada bunyi ledakan yang berarti saat
dua kekuatan itu beradu. Namun, mendadak
bumi laksana diguncang badai prahara. Tubuh
Dewa Kegelapan dan Siluman Ular Putih samasama terpental jauh ke belakang, pertanda kekuatan tenaga dalam mereka berimbang!
Dewa Kegelapan menggeram murka mendapati kenyataan yang terasa merendahkan harga
dirinya sebagai murid Empat Iblis Merah. Maka
dengan kemarahan meluap, kembali diterjangnya
Siluman Ular Putih, jauh lebih hebat dari serangannya yang pertama.
Siluman Ular Putih tersentak kaget. Bukannya kaget melihat serangan Dewa Kegelapan,
melainkan kaget begitu menyadari bahwa yang
semula menyerang telapak tangannya kini menjalar ke dalam tubuh. Bukan main bingungnya hati
murid Eyang Begawan Kamasetyo saat itu. Apalagi serangan Dewa Kegelapan pun siap mengganyang tubuhnya.
"Soma! Awas...!!!" pekik Arum Sari dengan wajah sepucat kapas.
Terlambat. Desss! Telak sekali dua larik sinar hitam legam
dari kedua telapak tangan Dewa Kegelapan
menghajar dada Siluman Ular Putih. Tanpa ampun lagi, tubuhnya terlempar jauh ke belakang,
berputar-putar sebentar dan terbanting keras!
Siluman Ular Putih menggeram penuh kemarahan. Parasnya pias. Dari sudut-sudut bibirnya mengalir darah segar, pertanda telah menderita luka dalam.
"Edan! Tampaknya dadaku keracunan.
Hm...! Kukira, tak ada pilihan lain. Aku harus segera mengeluarkan ajian
'Titisan Siluman Ular
Putih' kalau nyawa tak ingin melayang...."
Berpikir sampai di sini, Siluman Ular Putih
segera memejamkan mata. Kedua bibirnya berkemik-kemik membaca mantra ajian 'Titisan Siluman Ular Putih'. Maka seketika itu juga tubuhnya telah dipenuhi asap putih tipis, hingga sosoknya tidak kelihatan sama sekali.
Ketika asap yang menyelimuti sekujur tubuh Siluman Ular Putih sirna tertiup angin, maka
saat itu juga....
"Ggggeccrrr...!!!"
* * * "Si.... Siluman Ular Putih...!"
Dewa Kegelapan mendesis kaget. Gembong
Kenjeran yang baru saja siuman serta puluhan
anak buahnya sama-sama memekik kaget. Mata
mereka membeliak lebar, seolah tak percaya melihat sosok ular putih raksasa sebesar pohon kelapa dengan taring-taringnya yang runcing!
"Ah...! Jadi, benar! Ternyata kau memang
Siluman Ular Putih, Kunyuk Gondrong. Meski
kau dapat menjelma jadi ular naga sekalipun,
jangan dikira aku tak dapat membunuhmu! Makanlah pukulan 'Darah Iblis'-ku! Hea...!"
Dikawal teriakan nyaring. Dewa Kegelapan
memilih menyerang terlebih dahulu. Begitu kedua
tangannya menghentak, dua larik sinar hitam legam meluncur kembali dari kedua telapak tangannya mengancam tubuh Siluman Ular Putih
yang kini telah menjelma menjadi ular putih raksasa. Desss! Desss!
Sosok ular putih raksasa itu menggereng
penuh kemarahan saat kedua sinar hitam itu
menghantam telak. Tubuhnya yang panjang berwarna putih kontan terlempar jauh ke samping.
Sejenak Siluman Ular Putih menggeliat-geliat. Lalu dengan taring-taringnya yang runcing, tiba-tiba sosoknya telah menerjang
garang Dewa Kegelapan. "Heh..."!"
Dewa Kegelapan terperangah kaget. Sepasang matanya yang mencorong membelalak lebar,
seolah tak percaya melihat sosok ular raksasa lawannya sedikit pun tidak terluka akibat pukulan
mautnya tadi. Sungguh sulit dimengerti. Saking herannya, Dewa Kegelapan sampai-sampai menggelenggeleng. Namun saat lawan anehnya ganti menyerang, tak ada pilihan lain lagi kecuali kembali melontarkan pukulan maut.
Wesss! Wesss! Meski kebal terhadap berbagai macam senjata tajam maupun pukulan maut, rupanya kali
ini ular putih raksasa itu tak ingin jadi bulanbulanan serangan-serangan Dewa Kegelapan. Begitu melihat luncuran dua larik sinar hitam legam, dengan cerdik ular kepalanya menunduk
sedikit ke bawah. Sehingga serangan itu hanya
menerabas angin kosong. Lalu pada saat yang tepat ekornya mengibas laksana kilat. Dan....
Desss! Dewa Kegelapan meraung keras saat ekor
Siluman Ular Putih menghantam tubuhnya hingga terlempar jauh ke samping dan menghantam
batang pohon. "Bajingaaan...!!!"
Dewa Kegelapan menggeram murka. Tubuhnya yang terkena hantaman ekor Siluman
Ular Putih terasa mau remuk. Namun ia mencoba
bertahan. Sejenak dihelanya napas berulangulang, lalu kembali meloncat bangun
"Gerrrr...!"
Sialnya, saat itu ekor ular putih raksasa itu
kembali menerjang. Sebisanya, Dewa Kegelapan
berusaha berkelit ke samping. Namun sayang, gerakannya lamban. Maka tanpa ampun tubuhnya
langsung terlilit ekor Siluman Ular Putih!
"Ah...!"
Dewa Kegelapan memekik keras. Sekuat
tenaga dicobanya untuk menahan kepala ular
raksasa itu yang bergerak ke arahnya dengan taring-taring runcing siap mengganyang tubuhnya.
"Hih!"
Untuk beberapa saat, Dewa Kegelapan masih mampu bertahan. Namun lama kelamaan pemuda berjubah hitam ini kewalahan juga. Belum
lagi libatan ular raksasa putih di tubuhnya yang makin kuat saja.
Bukan main gelisahnya Dewa Kegelapan
saat itu. Matanya kontan nyalang. Perlahan-lahan
pegangan tangannya di leher ular raksasa itu
mengendur. Sulit rasanya bagi pemuda berjubah
hitam ini untuk menyelamatkan nyawanya saat
itu. Hingga....
Crokkk! Tanpa ampun, taring-taring runcing Siluman Ular Pulih mengganyang tubuh Dewa Kegelapan. Dewa Kegelapan meraung sejadinya. Darah
segar kontan berhamburan membasahi tubuh.
Namun pemuda ini tak putus asa. Dengan sekuat
tenaga terus dicobanya mencengkeram kepala
ular putih raksasa itu berulang-ulang. Namun tetap saja tidak mendapatkan hasil. Malah libatan
dan gigitan taring-taring runcing Siluman Ular
Putih makin hebat mencengkeram tubuhnya.
Kresss! Kresss!
"Aaa...!"
Terdengar tulang-belulang Dewa Kegelapan
remuk. Jerit kesakitan Dewa Kegelapan pun
menggema merobek angkasa. Namun seperti tak
mau peduli dengan jeritan yang terdengar, taringtaring runcing siluman Ular Pulih terus mengganyang tubuh Dewa Kegelapan.
"Gggeeeerrr...!"
Siluman Ular Pulih mengombangambingkan tubuh lawannya ke sana kemari. Taring-taringnya yang tajam telah berlumuran darah
merah. Tanpa mempedulikan apa pun, terus dipermainkannya tubuh Dewa Kegelapan.
"Soma! Jangan kau bunuh! Aku telah berjanji di depan makam guruku untuk membunuh
Siluman Ular Putih 18 Titisan Alam Kegelapan di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
manusia itu dengan tanganku sendiri!" teriak Arum Sari, tiba-tiba.
"Gggeeerrr!"
Sepasang mata merah saga ular putih raksasa itu sejenak menatap tajam Arum Sari. Sementara tubuh Dewa Kegelapan yang lemas sesekali terlihat menggeliat-geliat.
"Soma! Lekas lemparkan manusia iblis itu
kemari!" teriak Arum Sari lagi.
"Ggggeeerrr! Ggggeeerrr!"
Mendengar gerengan ular putih raksasa
itu, tanpa sadar Arum Sari menyurutkan langkah
ke belakang. Hatinya khawatir juga kalau-kalau
Siluman Ular Putih malah akan menyerangnya.
Apalagi sepasang mata merah saga ular putih
raksasa itu terlihat demikian mengerikan.
"Cepat, Soma! Lemparkan Dewa Kegelapan
kemari! Kau tak berhak membunuhnya!" teriakan Arum Sari, menguatkan tekadnya.
"Ggggeeerrr!"
Rupanya kali ini Siluman Ular Putih mau
juga menuruti perintah Arum Sari. Maka setelah
puas mempermainkan tubuh Dewa Kegelapan,
kepalanya segera digerakkan keras-keras. Dilepaskannya taring-taringnya yang menghujam di
tubuh Dewa Kegelapan.
Werrr! Saat itu pula tubuh Dewa Kegelapan terlempar dari taring-taring ular putih raksasa itu.
Sebelum tubuh berlumur darah itu tiba di tanah.
Arum Sari cepat menyambutnya dengan sambaran pedang. Dendamnya ingin dilampiskannya
saat itu juga. Dan....
Crakkk! Tak ada keluhan keluar dari mulut Dewa
Kegelapan. Tubuhnya kontan terpisah begitu terkena sambaran pedang di tangan Arum Sari. Sosoknya yang tanpa kepala tertelan semak belukar.
Sedang kepalanya menggelinding entah ke mana.
Arum Sari berdiri gemetaran di tempatnya.
Sepasang matanya yang tajam menatap sosok tubuh Dewa Kegelapan penuh kebencian. Lalu entah kenapa, tiba-tiba saja gadis cantik itu menangis. "Guru...!"
"Lho" Kok, malah menangis" Katanya mau
membunuh Dewa Kegelapan dengan tangan sendiri. Tapi kok malah menangis. Kalau tahu kau
jadi sedih begini, harusnya tadi aku tak menyerahkan Dewa Kegelapan padamu...."
Arum Sari buru-buru menyusut air matanya saat mendengar suara bernada menggerutu
dari belakang. "Kenapa" Kok, malah sedih?" tanya Soma
yang telah kembali berwujud manusia seraya merengkuh bahu Arum Sari lembut.
"Aku.... Aku terharu. Aku tak menyangka
dapat membunuh orang yang telah menewaskan
guruku," kata Arum Sari, terisak memelas.
"Sudahlah! Yang penting kau sudah dapat
membunuh Dewa Kegelapan," hibur Siluman Ular Putih. "Tapi... terus terang aku
tak puas. Karena.... Karena.... Ah...!"
Sulit sekali rasanya Arum Sari mengungkapkan perasaan hatinya.
"Karena apa lagi?"
Arum Sari tak menyahut. Pedang di tangan
kanannya yang masih berlumuran darah tampak
bergetar-getar.
"Sudahlah! Jangan sedih! Aku mau mengurus cecunguk-cecunguk penghuni Hutan Kenjeran ini," hibur Siluman Ular Putih.
Dan Soma pun segera menghampiri anak
buah Gembong Kenjeran yang tampak masih terpesona melihat jalannya pertarungan aneh tadi.
"Mana pimpinan kalian?" bentak Soma galak. Beberapa orang anak buah Gembong Kenjeran segera celingukkan ke sana kemari mencari
pimpinan mereka. Namun, mereka tak menemukan Gembong Kenjeran berada di sini.
"Tadi.... Tadi dia masih ada di sini, Tuan
Pendekar," sahut salah seorang anak buah Gembong Kenjeran, gemetaran.
"Hm...! Apakah salah seorang di antara kalian ada yang menyembunyikan?" tanya Siluman Ular Putih. Lagi-lagi nada suaranya
dibuat galak. "Tid.... Tidak, Tuan Pendekar. Dari tadi
kami berada di sini. Kami tak ke mana-mana,
Tuan Pendekar."
"Hm...!" Siluman Ular Putih menggumam
tak jelas. Tampak sekali hatinya kecewa tak dapat menemukan Gembong Kenjeran.
"Sudahlah! Sekarang aku minta kesanggupan kalian. Kalian tahu, kenapa aku tak membunuh atau menghukum
kalian?" "Tidak, Tuan Pendekar."
"Nah, dengar! Karena aku masih menghormati kalian sebagai manusia. Untuk itu, kalian
pun harus berbuat seperti manusia. Awas! Kalau
sampai aku tahu kalian kembali bergelimangan di
jalan sesat, jangan dikira aku tak dapat menghukum kalian. Mengerti?"
"Me.... Mengerti, Tuan Pendekar."
"Nah, sekarang kalian boleh pergi! Eh,
tunggu'" cegah Siluman Ular Putih buru-buru
manakala teringat akan mayat Dewa Kegelapan.
"Ada apa lagi, Tuan Pendekar?"
"Kalian boleh meninggalkan tempat ini
dengan satu syarat! Kuburkan mayat Dewa Kegelapan terlebih dulu. Lalu, baru kalian boleh pergi!" perintah Siluman Ular Putih.
"Baik, Tuan Pendekar."
Siluman Ular Putih mengangguk-angguk,
wibawa. Dan begitu melihat para anak buah
Gembong Kenjeran mulai menggali tanah, Siluman Ular Putih menghampiri Arum Sari yang masih menangis sesenggukkan.
"Arum! Sekarang apa rencanamu" Apa kau
masih ingin mencari orang yang telah membunuh
kedua orangtua mu?" tanya Soma.
Arum Sari mendongak.
Melihat wajah si gadis, Siluman Ular Putih
jadi trenyuh. Dilihatnya seraut wajah cantik di
hadapannya pucat pasi. Sisa-sisa air mata masih
tampak membasahi kedua pipinya yang berkulit
putih bersih. Arum Sari tak menyahut. Kepalanya hanya
mengangguk seraya menggigit bibirnya kuat-kuat.
"Apa sekarang aku boleh menjadi pengawalmu untuk menemani perjalananmu mencari
Penghuni Kubur?" tanya Soma.
Sekali lagi Arum Sari mengangguk. Siluman Ular Pulih jadi tersenyum sumringah. "Kalau begitu, jangan menangis terus,
dong! Ayo, hapus
air matamu!" ujar Soma dengan senyum manis
terkembang di bibir.
Arum Sari menurut. Tanpa banyak membantah, segera dihapusnya sisa-sisa air matanya.
"Nah...! Begitu dong! Kan enak kelihatannya. Kau jadi kelihatan semakin cantik," puji murid Eyang Begawan Kamasetyo,
mulai mengeluarkan rayuan gombal.
Arum Sari tersenyum. Manis sekali, meski
senyum itu samar-samar.
"Ayo, kita lanjutkan perjalanan!" ajak So-ma. Arum Sari tak menyahut. Namun
ketika tangan Siluman Ular Putih merengkuh bahunya,
gadis ini pun pasrah saja. Malah dengan manjanya, kepalanya mulai berani direbahkan di dada
Siluman Ular Putih sembari terus berjalan....
SELESAI Segera terbit: TAPAK MERAH DARAH
Scan/E-Book: Abu Keisel
Juru Edit: Fujidenkikagawa
https://www.facebook.com/
DuniaAbuKeisel Bloon Cari Jodoh 15 Pendekar Slebor 66 Tabir Pulau Hitam Sang Penghancur 2
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama