06 Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintardja Bagian 14
"Dari siapa ?" bertanya Kiai Gringsing, "sumber keterangan itu ternyata sangat mempengaruhi keterangan yang disampaikan sesuai dengan kepentingan sumber itu sendiri."
Ki Waskita tersenyum. Jawabnya, "Sumbernya dapat dipertanggung jawabkan."
"Siapa ?" "Raden Sutawijaya yang bergelar Senapati Ing Ngalaga dan anak-anak Sangkal Putung." jawab Ki Waskita.
"O," Kiai Gringsing mengangguk-angguk, "benar. Jika nama-nama itu, maka mereka memang dapat dipercaya. Tetapi apa katanya ?"
"Hampir lengkap. Ternyata Raden Sutawijaya mengetahui segalanya yang pernah terjadi. Sementara Swandarupun telah melengkapi segala keterangan itu. Bahkan kemudian mengalami peristiwa yang tentu belum kalian ketahui," berkata Ki Waskita kemudian.
Yang mendengarkan keterangan itu menjadi berdebar-debar. Tentu bukan peristiwa yang biasa. Apalagi orang-orang dipadepokan kecil itu mengetahui bahwa Swandaru, Pandan Wangi dan Sekar Mirah. Sejak mereka meninggalkan Tanah Perdikan Menoreh, singgah di Mataram, kemudian kembali ke Sangkal Putung.
Ternyata peristiwa itu sangat menarik. Agung Sedayu dan Sabungsari mendengarkannya dengan kerut merut dikeningnya. Kadang-kadang mereka menjadi tegang. Namun kemudian merekapun menarik nalas dalam-dalam.
Ketika Ki Waskita selesai dengan ceriteranya. Kiai Gringsingpun menarik nafas dalam-dalam sambil bertanya, "Jadi di Mataram kini tertawan orang yang bernama Pringgabaya yang disebut Ki Lurah itu ?"
"Ya Kiai," jawab Ki Waskita.
"Sokurlah. Tuhan masih melindungi Swandaru. isteri dan adiknya. Salah seorang lantarannya adalah Ki Waskita," berkata Kiai Gringsing.
"Hanya lantaran," desis Ki Waskita, lalu, "akupun hampir kehabisan akal ketika orang-orang Pajang dan Ki Lurah itu muncul lagi dihutan yang hanya berjarak beberapa ratus tonggak dari Sangkal Putung. Ternyata Tuhan benar-benar mehndungi kami. Diluar dugaan, maka Raden Sutawijaya telah hadir pula dihutan itu."
"Kita wajib mengucap sokur sekali lagi dan sekali lagi," desis Kiai Gringsing.
Agung Sedayu dan Sabungsaripun menjadi berdebar-debar Sementara Ki Widura berkata, "Persoalannya tentu masih panjang."
"Ya," sahut Ki Waskita, "persoalannya tentu masih akan berkepanjangan."
"Orang-orang Pajang itu tentu akan melaporkan apa yang diketahuinya tentang anak-anak Sangkal Putung itu," desis Ki Widura, "selebihnya, merekapun tentu memperhitungkan kemungkinan yang bakal terjadi dengan Ki Lurah Pringgabaya yang mereka tinggalkan itu. Meskipun mereka tidak mengerti dengan pasti, bagaimana dengan nasib Ki Lurah Pringgabaya, terlebih-lebih lagi karena mereka tidak tahu siapakah orang yang telah melibatkan diri kedalam pertempuran itu, namun beberapa orang ahli di Pajang, tentu akan berusaha mengurai persoalan itu dan menemukan beberapa kesimpulan. Biasanya salah satu kesimpulan itu sangat mendekati kebenaran."
"Memang mungkin," berkata Kiai Gringsing, "dengan demikian maka persoalannya justru akan meningkat semakin gawat. Bahwa Ki Pringgabaya berada di Mataram itupun pasti akan menimbulkan beberapa akibat. Berdasarkan keterangannya, Raden Sutawijaya tentu akan mengambil beberapa langkah penertiban dan meningkatkan kesiagaan."
"Bahkan mungkin akan lebih jauh lagi," gumam Ki Widura.
Ki Waskita mengangguk-angguk. Kemungkinan-kemungkinan yang gawat memang dapat terjadi, justru karena Ki Lurah termasuk orang penting bagi lingkungannya.
Berita tentang peristiwa yang dialami oleh Swandaru itu ternyata telah menggelisahkan hati seisi padepokan itu. Tindakan yang diambil oleh orang-orang yang menyusun satu kekuatan disamping kekuatan Pajang dan Mataram yang sedang tumbuh itu, agaknya benar-benar telah melangkah semakin jauh.
"Sebenarnyalah, kita memang harus berhati-hati," berkata Kiai Gringsing, "pada suatu saat, mereka akan bertindak dengan terbuka tanpa bersembunyi-sembunyi lagi."
"Jika demikian, bukan hal itu akan dapat disebut satu pemberontakan ?" bertanya Agung Sedayu.
"Kalau mereka sudah merasa kuat dan memiliki dukungan yang cukup, apa salahnya dengan sebutan itu ?"
"Mereka tidak takut lagi kepada siapapun juga, termasuk Kangjeng Sultan dan Senapati Ing Ngalaga," jawab Kiai Gringsing.
Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Namun kemudian ia masih bertanya, "Bagaimana pendapat guru tentang kemungkinan yang demikian ?"
Kiai Gringsing mengerutkan keningnya. Jawabnya, "Aku kira arah perjuangan mereka memang kesana. Namun mungkin mereka masih akan mencari kemungkinan lain. Jika mereka berhasil membenturkan kekuatan Pajang dan Mataram, maka mereka akan mendapat banyak keuntungan tanpa perlawanan terbuka itu."
"Agaknya hal itulah yang sedang mereka usahakan lebih dahulu," berkata Ki Waskita.
"Nampaknya memang demikian," sahut Ki Widura. "setiap kali Pajang selalu dengan cara yang menyolok dengan sengaja menarik perhatian semua orang, melihat-lihat apa yang terjadi di Mataram."
"Sementara Raden Sutawijaya tetap berkeras dengan sikapnya. Tidak mau menghadap ayahanda Sultan yang sedang sakit-sakitan itu." sambung Kiai Gringsing.
Yang lain mengangguk-angguk. Mereka melihat, bahwa persoalan, yang gawat sedang merayap mendekati hubungan Pajang dan Mataram. Semakin lama semakin gawat, dan bahkan kini mulai terasa sentuhan kegawatan itu semakin dalam.
Karena itulah, maka seperti di Sangkal Putung, pada padepokan kecil itupun merasa perlu untuk bersiaga. Masih ada pengawasan yang dipasang oleh Untara dipadepokan itu dengan tidak langsung. Ternyata Ki Lurah Patrajaya dan Ki Lurah Wirayuda masih ditempatkan dipadepokan itu bersama dua orang petugas sandi yang lain. Tetapi dipadepokan itu sudah tidak nampak prajurit Pajang di Jati Anom yang mehndungi padepokan itu dengan terbuka.
Sementara itu, orang-orang Sabungsari masih berada ditempat itu pula. Mereka tidak lagi berniat meninggalkan padepokan kecil itu jika tidak atas perintah Sabungsari. Justru semakin Lama mereka ternyata semakin berhasil menyesuaikan diri dengan kehidupan dipadepokan itu. Mereka semakin lama menjadi semakin dekat dengan anak-anak muda yang menjadi cantrik dipadepokan itu disamping Agung Sedayu dan Glagah Putih.
Peristiwa yang terjadi atas Swandaru itu semakin mendorong Glagah Putih untuk menempa diri. Meskipun kemajuan yang pesat telah dipanjatnya, namun ia masih tetap merasa, betapa lambatnya. Ia merasa tidak lebih dari seekor siput yag merambat diatas pasir. Bahkan seolah-olah tidak maju sama sekali.
Ki Waskita yang kemudian berada dipadepokan itu melihat, betapa besarnya tekad yang bergejolak dihati anak muda yang bernama Glagah Putih itu.
"Ayahnya seorang perwira yang baik," berkata Ki Waskita didalam hatinya, "tentu ia akan menjadi seorang anak muda yang luar biasa. Agaknya tidak akan jauh berbeda dengan kakak sepupunya. Bahkan ada beberapa kesamaan, meskipun pada dasarnya keduanya bertolak dari arah yang jauh berbeda."
Ki Waskitapun telah mengetahui, betapa Agung Sedayu pada mulanya seorang penakut. Sementara Glagah Putih memiliki sifat yang jauh berbeda dimasa kanak-kanak dan remajanya. Namun keduanya adalah anak muda yang memiliki kecerdasan yang tinggi.
Yang menarik perhatian Ki Waskita, bukan saja Glagah Putih. Tetapi ternyata anak-anak muda yang telah menyatakan dirinya menjadi cantrik dipadepokan itupun telah dengan tekun mematuhi segala perintah dan tugas mereka. Diantaranya adalah mempelajari ilmu kanuragan.
Meskipun kemajuan mereka tidak sepesat Glagah Putih, tetapi bukan berarti bahwa mereka tidak meningkat. Dibawah pimpinan orang-orang berilmu dipadepokan itu, mereka meningkat selapis demi selapis. Meskipun masih pada tingkat permulaan, namun kerja keras yang mereka lakukan tidak mengecewakan.
Ternyata Ki Waskita merasa lebih mapan berada dipadepokan itu daripada di Sangkal Putung. Ada beberapa hal yang rasa-rasanya lebih mengikatnya. Meskipun sekali ia memerlukan juga mengunjungi Sangkal Putung, namun ia segera kembah kepadepokan di Jati Anom itu.
Padepokan kecil itupun ternyata telah berkembang pula. Kiai Gringsing dengan ijin Untara telah memperluas halaman dan kebun padepokannya. Ada beberapa orang anak muda yang menambah penghuni padepokan itu, sementara mereka telah mendapat ijin pula untuk membuka sawah secukupnya.
Dengan demikian, maka kekuatan padepokan kecil itupun semakin hari semakin bertambah. Kecuali peningkatan ilmu yang disadap oleh para cantrik, ternyata bahwa orang-orang terpenting dari padepokan itupun masih bekerja keras untuk meningkatkan ilmu masing-masing.
Glagah Putih berlatih tanpa mengenal lelah. Agung Sedayu sendiri selalu menyisihkan waktu bagi dirinya sendiri. Sementara Sabungsaripun tidak jemu-jemunya mengembangkan dasar-dasar ilmu ayahnya yang telah sepenuhnya tertuang kepadanya.
Sementara itu, di Mataram Raden Sutawijaya yang bergelar Senapati Ing Ngalaga masih berusaha untuk dapat berbicara dengan Ki Lurah Pringgabaya tentang keadaan di Pajang. Tetapi Ki Lurah Pringgabaya benar-benar seorang yang keras hati. Bagaimanapun juga, ia sama sekali tidak mau mengatakan apapun juga tentang dirinya sendiri dalam hubungannya dengan Ki Pringgajaya dan dengan kelompok yang sedang bermimpi tentang kejayaan masa lampau menurut cita-cita mereka sendiri.
Dengan segala cara Raden Sutawijaya telah mencoba untuk memancing keterangan dari Ki Pringgabaya. Tetapi Raden Sutawijaya tidak pernah berhasil. Meskipun ia memang sudah menduga, bahwa Ki Lurah itu akan tetap pada sikapnya, tetapi kadang-kadang Raden Sutawijaya hampir kehabisan kesabaran.
"Paman," berkata Raden Sutawijaya kepada Ki Juru Martani, "cobalah paman menemuinya sekali lagi. Aku kurang yakin akan diriku sendiri, apakah aku dapat menahan diri menghadapi orang yang keras hati seperti Ki Lurah Pringgabaya, meskipun orang itupun sudah melambari niatnya apapun yang akan terjadi atasnya."
Ki Juru Martani menarik nafas dalam-dalam. Namun jawabnya, "Baiklah ngger. Aku akan mencobanya, meskipun aku kira, ia akan tetap pada sikapnya."
"Ia memang teguh hati. Tetapi ada juga baiknya paman mencobanya," desis Raden Sutawijaya.
Terasa betapa gejolak hati anak muda itu. Karena itu, Ki Juru Martanipun merasa khawatir pula jika pada suatu saat, Raden Sitawijaya itu kehabisan kesabaran sehingga ia melakukan tindakan kekerasan.
"Itu tentu kurang bijaksana," desis Ki Juru didalam hatinya.
Karena itulah, maka Ki Jurupun mencobanya sekali lagi. Dengan hati yang berdebar-debar ia memasuki bilik tempat Ki Lurah Pringgabaya tertawan.
Ketika pintu terbuka, Ki Lurah yang duduk tepekur itu berpaling sekilas. Namun ia menjadi acuh tidak acuh melihat kehadiran Ki Juru Martani. Ia sama sekali tidak beringsut dari tempat duduknya. Bahkan iapun segera kembali tepekur merenungi dirinya sendiri.
"Ki Lurah," desis Ki Juru yang kemudian duduk disampingnya, "sudah beberapa saat lamanya Ki Lurah berada dibilik ini. Sementara itu Ki Lurah masih belum bersedia memberikan keterangan tentang apapun juga. Apakah hal itu tidak berarti, bahwa penyelesaian mengenai diri Ki Lurah akan tertunda-tunda " Sebenarnya ada niat kami untuk menyerahkan Ki Lurah kepada yang berwenang mengadili Ki Lurah di Pajang. Tetapi karena bahan bahan yang akan kami serahkan bersama Ki Lurah masih belum lengkap, maka kami masih memerlukan beberapa keterangan tentang kegiatan Ki Lurah. Tentu bukan tanpa maksud bahwa Ki Lurah ingin membunuh Swandaru. Pertama di pinggir Kali Praga. Kedua di hutan yang sudah dekat dengan Kademangan Sangkal Putung itu."
"Ki Juru benar," sahut Ki Lurah Pringgabaya, "jika aku melakukannya, tentu bukannya tanpa maksud."
"Nah, maksud Ki Lurah itulah yang ingin kami ketahui untuk melengkapi bahan pengantar penyerahan kami atas Ki Lurah Pringgabaya kepada yang berwenang di Pajang, karena Ki Lurah adalah Prajurit Pajang," berkata Ki Juru.
Ki Lurah tersenyum pahit. Katanya, "Jangan seperti anak-anak Ki Juru. Ki Juru Martani adalah orang yang pinunjul. Karena itu tentu Ki Juru mengerti, bahwa aku tidak akan berbicara apapun juga, sebagaimana jika Ki Juru mengalami."
"Apakah demikian yang dilakukan oleh orang-orang pinunjul ?" bertanya Ki Juru.
"Bertanyalah kepada diri Ki Juru sendiri," jawab Ki Lurah.
Ki Juru menarik nafas panjang. Katanya, "Mungkin memang demikian yang dilakukan oleh orang-orang pinunjul. He, dengan demikian bukankah Ki Lurah termasuk orang pinunjul ?"
"Jangan bergurau seperti anak yang kurang waras," geram Ki Lurah, "aku sama sekali tidak tertarik dengan kesimpulan-kesimpulan cengeng seperti itu."
"Baiklah. Tetapi sikap Ki Lurah memang menarik. Mungkin Ki Lurah memang ingin disebut seorang yang pinunjul. Seorang yang memiliki kelebihan dari orang lain. Tetapi apakah Ki Lurah pernah bertanya kepada diri sendiri, seandainya Ki Lurah orang pinunjul. dalam hubungan apakah maka Ki Lurah mendapat sebutan itu."
"Cukup," geram Ki Lurah, "jangan membakar hatiku. Aku masih tetap seorang yang tidak takut mati."
"Jika Ki Lurah tidak takut mati ?" bertanya Ki Juru.
"Aku dapat berbuat apapun meskipun diruang sempit ini. Aku tidak peduli jika para pengawal itu menyergap masuk dengan ujung tombak menunjuk kearah dadaku." jawab Ki Lurah tegas.
"Kau akan melawan aku ?" bertanya Ki Juru.
Pertanyaan itu sederhana. Tetapi membuat jantung Ki Lurah menjadi berdebaran. Ia tidak segera menemukan jawab atas pertanyaan itu justru karena ia tahu, siapakah Ki Juru Martani itu. Seorang tua saudara seperguruan dengan Ki Gede Pemanahan. Ayah Raden Sutawijaya yang bergelar Senapati Ing Ngalaga.
"Ki Lurah," bertanya Ki Juru kemudian, "kau tentu mengenal aku. Kau sendiri sudah mengatakan bahwa aku adalah orang pinunjul menurut penilaianmu. Jika kau memang seorang yang pinunjul, marilah. Lakukanlah. Aku akan menutup pintu dan memerintahkan agar para pengawal jangan masuk apapun yang akan terjadi atasku."
Ki Lurah menundukkan kepalanya. Meskipun Ki Juru menjadi semakin tua, tetapi suaranya masih tetap menghentak-hentak didadanya. Tantangan itu benar-benar merupakan satu tekanan yang berat baginya. Betapa ia tidak takut mati, tetapi ia tidak dapat ingkar dari satu pengakuan, siapakah Ki Juru Martani itu.
Karena itu, maka Ki Lurah sama sekali tidak dapat menjawab. Ada semacam gejolak yang dahsyat didalam jiwanya.
Karena Ki Lurah Pringgabaya itu tidak segera menjawab, maka Ki Jurupun berkata, "Lupakanlah Ki Lurah. Aku tidak benar-benar ingin berbuat demikian. Aku hanya ingin mencoba berbicara sebagai seorang yang berjiwa laki-laki meskipun rambutku sudah menjadi semakin putih. Tetapi cara itupun tidak akan mencapai hasil yang aku maksudkan. Sebenarnyalah bahwa aku hanya ingin mendapat keterangan serba sedikit tentang dirimu, tentang Ki Pringgajaya yang disebut-sebut telah mati itu dan orang-orang lain yang terlibat kedalamnya."
Tetapi Ki Pringgabaya telah menggelengkan kepalanya lagi. Katanya, "Tidak ada yang dapat aku katakan."
"Bagaimana jika Ki Pringgajaya itu aku hadapkan kemari ?" bertanya Ki Juru tiba-tiba.
Pertanyaan itu telah mengejutkan Ki Pringgabaya. Sekilas nampak wajahnya menegang. Namun kemudian kembali ia tepekur dengan sikap acuh tidak acuh. Katanya dengan suara datar, "Apakah Ki Juru akan membongkar kuburannya."
Ki Juru menarik nafas dalam-dalam. Katanya, "Yang sekilas itu telah cukup bagiku Ki Lurah. Ki Pringgajaya memang belum mati."
"Kau berbimpi," desis Ki Pringgabaya, "seperti kebanyakan orang maka Ki Juru Martani telah menyiapkan jawab sebelum mengucapkan pertanyaan. Dan itu adalah sikap orang kebanyakan."
"Aku memang orang kebanyakan. Kaulah yang menyebut aku orang pinunjul," sahut Ki Juru Martani, "tetapi jangan kau kira bahwa kesimpulan yang aku ambil itu adalah sekedar bermimpi. Seorang yang kami tangkap di pinggir Kali Praga itupun mengatakan demikian. Sementara penyelidikan kami atas kubur Ki Pringgajaya-pun telah mengarah kepada satu kesimpulan bahwa kubur itu sama sekali bukan kubur Ki Pringgajaya."
Sekali lagi wajah Ki Pringgabaya menegang. Namun kemudian katanya acuh tidak acuh, "Terserah kepada Ki Juru Martani. Jawab apa saja yang akan Ki Juru kehendaki."
Ki Juru menarik nafas dalam-dalam. Ki Lurah Pringgabaya benar-benar tidak dapat dipancingnya untuk berbicara. Ia hanya mendapat kesan-kesan sekilas pada wajahnya. Tetapi ia sama sekali tidak mendapatkan pengakuan.
"Baiklah," berkata Ki Juru, "kau tidak mengatakan sesuatu tentang dirimu, hubunganmu dengan orang-orang tertentu dan tentang alasan-alasan mengapa kau melakukan sesuatu, khususnya terhadap anak-anak Sangkal Putung itu. Tetapi kaupun bukan anak-anak. Kaupun tentu sudah mengetahui, bahwa pertanyaan-pertanyaan kami sebenarnya tidak perlu bagi kami. Tetapi hanya perlu bagi Ki Lurah sendiri. Kami sudah tahu jawab dari segala pertanyaan kami. Jika pertanyaan itu terpaksa kami lontarkan dan kami ingin mendengar jawab Ki Lurah, maka itu hanyalah karena kami ingin mendengar pengakuan Ki Lurah yang akan melengkapi dan mempercepat penyerahan kami atas persoalan Ki Lurah kepada pimpinan keprajuritan di Pajang."
Ki Lurah Pringgabaya menarik nafas dalam-dalam.
"Sudahlah Ki Lurah," berkata Ki Juru Martani, "Ki Lurah tidak ingin menolong diri Ki Lurah sendiri. Dengan demikian, maka Ki Lurah akan berada didalam bihk ini untuk waktu yang tidak terbatas."
"Aku tidak berkeberatan," jawab Ki Lurah Pringgabaya.
"Aku tahu, Ki Lurah adalah orang yang berhati baja," sahut Ki Juru Martani, "pada suatu saat Ki Lurah akan kami tunjukkan kepada para pemimpin di Mataram, agar mereka mengambil teladan pada Ki Lurah."
"Jangan main-main Ki Juru," desis Ki Lurah Pringgabaya.
"Tidak. Kami akan melakukan sebenarnya. Kami akan membawa Ki Lurah kepaseban dan menunjukkan kepada para pemimpin Mataram, inilah contoh seorang laki-laki," desis Ki Juru.
"Di paseban mana ?" bertanya Ki Lurah tiba-tiba, lalu, "apakah Ki Juru Martani sudah membayangkan, bahwa di Mataram akan terdapat paseban seperti di Pajang ?"
Ki Juru tersenyum. Jawabnya, "Kesimpulanmu memang melontar terlalu jauh. He, kau sempat juga berpikir Ki Lurah."
"Tidak perlu dipikirkan Ki Juru," jawab Ki Lurah, "jadi kesimpulan yang diambil adalah benar. Mataram memang ingin memberontak terhadap Pajang. Karena orang-orang Mataram telah membayangkan untuk membuat sebuah istana lengkap seperti di Pajang, sementara itu Mataram juga sudah merintis satu tata cara seperti di istana Pajang."
Ki Juru tertawa. Katanya, "Kesimpulan yang memang berdasarkan atas perhitungan nalar. Tetapi baiklah aku mempergunakan istilah yang lain. Ki Lurah akan kami bawa kependapa pada saat para pemimpin di Mataram berkumpul. Kami akan mempersilahkan Ki Lurah berdiri dan memberikan beberapa penjelasan tentang sifat dan sikap Ki Lurah. Karena sebenarnyalah Ki Lurah pantas menjadi contoh."
"Kau sangka orang-orang Mataram akan dapat memperlakukan aku demikian " "geram Ki Lurah.
"Kenapa tidak ?" sahut Ki Juru, "aku dapat memaksa Ki Lurah dengan cara yang khusus. Angger Sutawijaya dapat juga memaksa Ki Lurah dengan caranya."
"Aku tidak akan beranjak dari bilik ini sampai mati," geram Ki Lurah.
Tetapi Ki Juru masih tertawa. Katanya, "Baiklah. Jika demikian, maka pintu bilik ini akan kami buka. Setiap orang akan melihat Ki Lurah dari luar pintu. Mereka akan berjalan seorang demi seorang berurutan sambil menjengukkan kepalanya. Aku akan berdiri dipintu sambil berceritera tentang sifat seorang laki-laki seperti Ki Lurah ini."
Wajah Ki Lurah menjadi merah membara. Tetapi kemudian katanya datar, "Terserah, apa yang akan Ki Juru lakukan. Dengan perlakuan Ki Juru terhadap seseorang akan dapat ditilik, siapakah sebenarnya orang yang disebut Ki Juru Martani itu. Seorang saudara seperguruan Ki Gede Pemanahan, pimpinan prajurit Pajang pada waktu itu. Ayahanda Raden Sutawijaya yang kini bergelar Senapati Ing Ngalaga."
"Aku orang linuwih," berkata Ki Juru Martani sambil tertawa, "aku dapat mengambil sikap yang manapun juga. Dan kau boleh menilai sikapku itu sesuai dengan sudut pandanganmu. Aku tidak berkeberatan. Apalagi kau bukan atasanku yang akan menentukan anugerah kepadaku. Juga karena kau tidak akan keluar dari bihk ini, penilaianmu atas sifat dan sikapku akan tetap kau bawa duduk tepekur disini untuk waktu yang tidak terbatas."
Terdengar Ki Lurah menggeram. Gejolak jantungnya hampir tidak dapat ditahankannya lagi. Kemarahan yang menghentak-hentak didada itu hampir-hampir telah mendorongnya untuk berbuat sesuatu. Tetapi ia tetap sadar, bahwa yang dihadapi itu adalah Ki Juru Maratani. Apapun yang akan dilakukannya, tentu akan sia-sia, dan barangkali hanya akan menambah kesulitan dan bahkan malu.
Karena itu, yang terdengar hanyalah gigi yang gemeretak. Namun Ki Lurah Pringgabaya tidak berbuat apapun juga.
Sejenak kemudian, Ki Juru itupun bangkit berdiri sambil berkata, "Untuk sementara, silahkan tinggal didalam bilik ini Ki Lurah."
Ki Lurah memandang Ki Juru sekilas. Ketika Ki Juru kemudian melangkah keluar, maka Ki Lurah Pringgabayapun kemudian kembali tepekur. Ia kembali acuh tidak acuh terhadap keadaan disekehlingnya Didalam bihk yang gelap, dibatasi dengan papan kayu yang tebal.
Sebenarnyalah jika Ki Lurah mencoba memecahkan dinding kayu itu, ia tidak akan banyak mengalami kesulitan. Tetapi tentu tidak akan ada gunanya. Demikian kayu itu retak, maka sepuluh ujung tombak tentu sudah menunggunya, siap untuk merobek dadanya.
"Biarlah aku mati. Itu lebih baik daripada aku harus mengalami keadaan seperti ini," berkata Ki Lurah didalam hatinya.
Tetapi ia masih ragu-ragu. Ia masih mencemaskan kehadiran Ki Juru Martani atau Raden Sutawijaya sendiri. Mereka tentu tidak akan membiarkannya mati. Mungkin mereka akan dapat membuatnya lumpuh, cacat atau keadaan lain yang sama sekali tidak menarik. Karena agaknya mereka masih ingin agar Ki Lurah itu berbicara tentang dirinya dan tentang kawan-kawannya.
Karena itu, maka untuk sementara Ki Lurah berusaha untuk menahan diri. Mungkin ada perkembangan keadaan yang menguntungkan baginya, meskipun kemungkinan itu agaknya kecil sekali.
Dalam pada itu, orang-orang Pajang yang terlepas dari maut dihutan sebelah Kademangan Sangkal Putung telah berada di Pajang dengan ceritera yang mendebarkan jantung bagi orang-orang Pajang. Surat yang dikirim oleh Raden Sutawijaya ternyata sangat menyakitkan hati mereka. Karena Sutawijaya yang pasti, bahwa surat yang diterimanya itu tidak berasal dari ayahanda angkatnya, maka iapun telah menjawabnya dengan cara yang khusus. Sutawijaya telah mengatakan bahwa ia tidak akan dapat datang ke Pajang apapun alasannya. Tetapi yang membuat orang-orang Pajang itu bagaikan tersentuh bara, ketika mereka membaca sebagian dari isi jawaban Raden Sutawijaya, "Segala pemberian ayahanda bersama nawala ayahanda telah ananda terima. Ananda mengucapkan terima kasih atas tiada terhingga. Segala pesan dari ayahanda akan hamba junjung, karena hamba adalah putera, murid dan hamba dari ayahanda yang duduk diatas Singgasana Demak. Semoga ayahanda memaafkan, bahwa hamba tidak hadir dipaseban sebagaimana yang pernah ayahanda ijinkan."
"Gila. Sutawijaya memang sudah gila," geram seorang yang diliputi oleh rahasia ketika surat itu akhirnya sampai ketangannya. Tidak banyak orang yang dapat berhubungan langsung dengan orang itu. Sementara orang-orang yang dapat berhubungan langsung tidak akan menyebut tentang orang itu dalam keadaannya sehari-hari."
Sementara surat itu telah membuat orang-orang yang berselubung diri dalam perjuangan untuk menegakkan masa kejayaan Majapahit lama menjadi marah, karma ternyata Raden Sutawijaya tidak mudah dikelabuhinya, maka berita tentang tertangkapnya Ki Lurah Pringgabaya telah menggetarkan orang-orang itu pula.
"Orang yang menyamarkan dirinya itu tentu Sutawijaya," berkata salah seorang pemimpin mereka yang disepakati oleh kawan-kawannya.
"Ada kemungkinan lain," berkata seseorang di antara mereka.
"Siapa ?" bertanya yang lain.
Orang yang ditanya itu termangu-mangu sejenak. Namun kemudian ia berdesis, "Pangeran Benawa."
Yang mendengar jawaban itu mengagguk-angguk kecil. Salah seorang dari mereka berkata, Memang mungkin sekali. Keduanya memiliki keanehan meskipun dengan alasan yang berbeda-beda dan tempat berdiri yang berbeda pula."
"Bagaimana dengan murid Kiai Gringsing yang lain dan prajurit muda yang bernama Sabungsari itu ?" seorang berdesis.
Yang lain termenung sejenak. Namun kemudian seorang diantara mereka berkata, "Masih belum mencapai tingkatan yang mendebarkan seperti yang diceriterakan itu. Namun mungkin juga dapat diperhitungkan."
"Keduanyapun anak-anak muda yang aneh seorang mampu membunuh Carang Waja. yang lain dapat mengalahkan orang terpercaya dari Gunung Kendeng," desis yang berwajah muram.
Mereka terdiam sejenak. Agaknya beberapa orang memang harus diperhitungkan. Namun mereka cenderung untuk menentukan, bahwa orang itu adalah Raden Sutawijaya.
"Jika demikian, kita akan melihat apakah Pringgabaya memang berada di Mataram," berkata orang yang berwajah muram.
"Jika ada ?" bertanya yang lain.
"Perintah katang Panji sudah jelas. Lepaskan orang itu, atau jika gagal, bunuh sajalah didalam biliknya dengan cara apapun," jawab orang yang berwajah muram.
"Siapa yang akan kita tugaskan melakukan pekerjaan itu ?" bertanya seseorang.
Orang berwajah muram itu merenung sejenak. Dipandanginya orang yang duduk dengan gelisah disudut ruangan. Namun ia terpaksa menahan nafasnya ketika orang berwajah muram itu berkata. Bagaimana jika tugas ini kita serahkan kepada Pringgajaya " Ia adalah orang yang cukup baik buat tugas yang demikian, apalagi karena namanya telah dianggap terkubur."
"Aku adalah saudara seperguruannya," berkata Ki Pringgajaya, "bagaimana mungkin aku dapat membunuhnya."
"Terserah kepadamu. Jika kau tidak mau membunuhnya, kau harus dapat melepaskannya," berkata orang berwajah muram itu.
"Serahkan kepada orang lain. Beri aku tugas yang lain. Dan jangan sebut lagi aku dengan Pringgajaya. Kebiasaan itu tidak menguntungkan," berkata Ki Pringgajaya.
*** Buku 138 ORANG berwajah muram itu menegang sejenak. Namun kemudian katanya, "Baiklah. Aku mengerti. Pringgabaya adalah saudara seperguruanmu. Biarlah orang lain melakukannya. Tetapi untuk melakukan yang lainpun kau ternyata tidak mampu."
"Apa ?" geram Pringgajaya.
"Isi padepokan itu masih utuh. Orang-orang yang kau anggap akan dapat menyelesaikan mereka ternyata justru dihancurkan. Kau tidak akan dapat mengharap orang-orang Gunung Kendeng lagi." berkata orang berwajah muram, "karena itu, aku tidak tahu, kewajiban apa lagi yang dapat aku berikan kepadamu."
Wajah Pringgajaya menjadi merah. Tetapi ia masih menahan hatinya.
Dalam pada itu, maka orang-orang yang berada didalam ruangan itu mulai saling menebak, siapakah yang akan mendapat tugas untuk melepaskan atau membunuh Ki Lurah Pringgabaya yang tertawan, yang menurut perhitungan mereka berada di Mataram.
Orang berwajah muram itupun kemudian memandang berkeliling, seolah-olah sedang mencari orang yang paling tepat untuk melakukan tugas itu selain Pringgajaya.
Namun ternyata orang berwajah muram itu kemudian berkata, "Sebaiknya, pertama-tama kita menyelidiki lebih dahulu, apakah Pringgabaya benar-benar berada di Mataram. Dengan demikian, maka kita akan dapat mengatur langkah-langkah berikutnya."
Orang-orang yang berada didalam ruangan itu mengangguk-angguk. Mereka pada umumnya sependapat, bahwa akan menyelidiki lebih dahulu. Apakah benar Pringgabaya berada di Mataram.
Sambil memandang seorang yang bertubuh kurus, maka orang berwajah muram itu berkata, "Kau dapat melakukan itu."
Orang bertubuh kurus itu berkata, "Tentu aku tidak akan berkeberatan, apapun yang harus aku lakukan. Bahkan seandainya perintah itu berbunyi, melepaskan atau membunuhnya."
"Apakah kau sanggup melakukan ?" bertanya orang berwajah muram itu.
"Kenapa tidak" Aku mempunyai ikatan kesanggupan dan janji. Siapapun yang menjadi sasaran. Saudara seperguruan atau saudara kandung sendiri. Bahkan seandainya sasaran itu ibu dan bapakku sendiri," jawab orang bertubuh kurus itu, "karena itu, jatuhkan perintah yang tegas agar aku tidak harus berulang kali menunggu. Hanya orang-orang cengeng sajalah yang berkeberatan melakukannya, siapapun orang yang harus dibunuh itu."
Semua orang memandang orang bertubuh kurus itu. Namun kemudian mereka diluar sadar berpaling kepada orang yang duduk dengan gelisah, yang tidak mau lagi dipanggil dengan nama Pringgajaya.
Terasa telinga Ki Pringgajaya itu bagaikan disentuh api. Dengan nada tinggi ia berkata, "Aku tidak senang mendengar sindiran semacam itu."
"Senang atau tidak senang," jawab orang bertubuh kurus itu, "kelemahan semacam itu akan menjalar diantara kita. Apalagi jika tidak ada perintah yang tegas. Setiap keragu-raguan ternyata mendapat jalur jalan untuk menghindarinya."
"Aku bukan bermaksud memanjakannya," berkata orang berwajah muram itu, "tetapi aku memang meragukan kemampuannya."
"Tepat," desis orang bertubuh kurus, "ia tidak berhasil melakukan segala perintah yang diberikan kepadanya."
"Gila," geram orang yang semula bernama Ki Pringgajaya itu, "kau sama sekali bukan seorang petugas yang teguh memegang janji. Jika kau bersedia melakukannya, karena kau mempunyai kepentingan pribadi."
Orang bertubuh kurus itu mengerutkan keningnya. Sementara orang berwajah muram itu berkata, "Disini kita tidak sempat berbicara tentang kepentingan pribadi."
"Tentu kita akan berbicara tentang masalah yang besar yang sedang kita hadapi. Tetapi jika diantara masalah-masalah yang besar itu ada pamrih pribadi yang justru dengan sengaja diselipkan dalam tugas-tugas yang nampaknya besar dan agung, maka pamrih yang bersifat pribadi itu harus dibicarakan dalam hubungan keseluruhan dari tugas kita bersama," sahut orang yang semula bernama Pringgajaya itu.
"Omong kosong," orang bertubuh kurus itulah yang menggeram.
"Pamrih yang mana ?" bertanya orang berwajah muram.
"Orang itu mempunyai pamrih. Ia akan dengan senang hati berusaha membunuh Pringgabaya, adik seperguruanku itu karena persoalan-persoalan pribadi. Bukan karena tugas yang harus dilaksanakan dalam hubungan kepentingan kita bersama."
"Bohong, omong kosong," orang bertubuh kurus itu hampir berteriak.
"Tunggu," desis orang berwajah muram, "jangan berteriak. Ia belum mengatakan apa-apa. Biarlah ia mengucapkan tuduhannya. Baru kau dapat menangkisnya, atau kawan-kawan kita yang lain akan menjadi saksi, apakah yang dikatakkan itu benar atau tidak."
"Aku tidak mau mendengar fitnah yang paling keji itu," geram orang bertubuh kurus, "atau aku harus membunuhnya sebelum aku membunuh Pringgabaya."
"Kau terlalu sombong," desis orang yang semula bernama Pringgajaya itu, "jika Pringgabaya masih bebas, kau tidak akan dapat membunuhnya dalam perang tanding. Aku adalah saudara tua seperguruannya. Karena itu, maka kau akan lebih banyak mengalami kesulitan membunuh aku, atau katakan, setidak-tidaknya kau akan mengalami kesulitan yang sama jika kau menantang aku untuk berperang tanding."
"Persetan," jawab orang bertubuh kurus itu dengan penuh kemarahan, "aku akan mencoba."
"Jangan cepat menjadi gila," potong orang berwajah muram," katakan, kenapa kau dapat menuduh kawan kita itu mempunyai pamrih pribadi untuk membunuhnya."
Orang bertubuh kurus itu hampir saja memotong, tetapi orang berwajah muram itu berkata, "Aku bertanya kepada orang yang semula bernama Pringgajaya itu."
"Sebut namaku sekarang," desis orang itu.
"Ya. Namamu sekarang Partasanjaya. He, bukankah begitu ?" bertanya orang berwajah muram.
"Panggil dengan nama itu," jawab orang yang semula bernama Pringgajaya tetapi yang kemudian memilih nama Partasanjaya setelah nama Pringgajaya dikuburnya bersama mayat orang lain. "dan apakah kau masih ingin mendengar sesuatu tentang yang aku sebut dengan pamrih pribadi itu."
"Aku bunuh kau," bentak orang bertubuh kurus itu.
Tetapi orang berwajah muram itu berkata. "Katakan. Apakah sebenarnya keberatannya jika kau mengatakannya ?"
"Ia berkeberatan justru karena yang aku katakan itu merupakan kebenaran," desis orang yang kemudian menyebut dirinya Partasanjaya itu.
Orang berwajah muram itu mengerutkan keningnya. Sekilas dipandanginya orang bertubuh kurus itu dengan tatapan mata kecurigaan. Namun kemudian katanya, "Kau harus berani mendengar tuduhan Ki Partasanjaya. Dan kau harus dapat membuktikan bahwa tuduhan itu sama sekali tidak benar."
"Cara yang salah," bantah orang bertubuh kurus, "ialah yang harus membuktikan bahwa tuduhannya itu benar. Bukan aku yang harus membuktikan."
"Aku akan menentukan kemudian, siapakah yang harus membuktikan," sahut orang berwajah muram itu. Kemudian, "katakan Ki Partasanjaya."
"Gila. Kita berada dalam kumpulan orang-orang gila," desis orang bertubuh kurus itu.
Tetapi orang yang berwajah muram itu sama sekali tidak menghiraukannya. Katanya kepada Ki Partasanjaya, "Cepat, katakan."
Ki Partasanjaya bergeser setapak. Kemudian katanya, "Ia mempunyai kepentingan pribadi dengan Pringgabaya. Ia menginginkan kematian Pringgabaya, karena ia telah melakukan hubungan gelap dengan isteri Pringgabaya."
"He," orang berwajah muram itu terkejut. Wajahnya menegang sejenak. Sementara orang bertubuh kurus itu hampir berteriak, "Tuduhan gila. Kau harus dapat membuktikan tuduhanmu."
Ki Partasanjaya tersenyum. Katanya, "Tentu aku akan dapat membuktikan. Aku akan menunjukkan dimana rumah perempuan itu. Ia akan dapat berbicara."
"Gila. Benar-benar gila," geram orang bertubuh kurus.
"Apakah benar demikian ?" bertanya orang berwajah muram.
"Fitnah. Orang itu ingin menjelekkan namaku," jawab orang bertubuh kurus.
"Bagaimana jika perempuan itu aku panggil," berkata yang berwajah muram.
"Tidak ada gunanya." potong orang bertubuh kurus, "aku tidak akan ingkar. Tetapi aku tidak dapat dianggap bersalah, karena perempuan itupun belum isteri Pringgabaya."
Partasanjaya tersenyum. Wajahya memancarkan kemenangan. Katanya, "Siapapun perempuan itu, tetapi kau mempunyai satu kepentingan pribadi. Kematian Pringgabaya memang sedang kau siapkan. Ada atau tidak ada perintah."
Wajah orang bertubuh kurus itu menjadi tegang. Sementara orang berwajah muram itu berkata, "Sampai hati kau merebut isteri kawan sendiri ?"
"Ia bukan isterinya," orang bertubuh kurus itu hampir berteriak.
"Siapapun perempuan itu, tetapi kau tengah memperebutkannya," orang berwajah muram itu membentak.
Orang bertubuh kurus itu menggerelakkan giginya. Namun katanya kemudian, "Ya. Bukan aku merebutnya. Tetapi perempuan itu menerima kehadiranku didalam hidupnya. Bukan salahku, jika ia menjadi jemu terhadap Pringgabaya. Tetapi Pringgabaya sama sekali tidak tahu diri dan memaksanya untuk tetap menerima kedatangannya."
"Karena itu kau ingin membunuhnya ?" bertanya orang berwajah muram.
Orang itu ragu-ragu sejenak. Namun kemudian ia menjawab tegas, "Ya. Aku akan membunuhnya, karena Pringgabaya juga mengancam akan membunuh aku. Ada atau tidak ada persoalan."
"Dan kau akan mengorbankan perjuangan kita dalam keseluruhan karena seorang perempuan" "desak orang berwajah muram itu.
Orang bertubuh kurus itu tergagap. Namun katanya, "Aku sekedar membela diri. Pringgabayalah yang mengancam akan membunuhku lebih dahulu. Itu adalah satu kesalahan besar. Ia tidak dapat memaksa perasaan perempuan itu untuk tetap menerimanya. Perempuan itu memilih aku. Dan itu adalah haknya. Sementara mempertahankan hidupkupun adalah hakku."
Orang berwajah muram itu menegang sejenak. Dipandanginya Partasanjaya sejenak. Kemudian katanya, "Bagaimana menurut pendapatmu Partasanjaya ?"
"Ia tidak melakukan perjuangan dengan jujur," jawab Partasanjaya, "menurut penilaianku, ia telah merebut istri orang lain. Dan orang lain itu adalah kawan sendiri. Sah atau tidak sah perkawinan Pringgabaya dengan perempuan itu, tetapi semula perempuan itu menerima kehadiran Pringgabaya didalam hidupnya. Namun kedatangannya telah merusak hubungan itu. Ia berusaha untuk memancing persoalan. Akhirnya ia berhasil merebut hati perempuan itu, apapun caranya, dan apapun yang dijanjikannya."
"Omong kosong," bantah orang bertubuh kurus itu. Tetapi orang berwajah muram itu membentak, "Aku yang akan mengambil kesimpulan dari pembicaraan ini."
Orang bertubuh kurus itu memandang Partasanjaya dengan sorot mata yang menyala. Tetapi ia terdiam.
Namun tiba-tiba ruang itu diherankan oleh suara tertawa orang berwajah muram, ia memang jarang-jarang tertawa. Tetapi kawan-kawannya telah mengenalnya dengan baik. Justru jika ia tertawa, ia akan mengambil satu keputusan yang mungkin akan terlalu berat untuk seseorang.
Katanya kemudian, "Aku telah menemukan satu penyelesaian yang paling baik. Dari dua orang laki-laki yang sudah saling mengancam untuk saling membunuh, seorang diantaranya memang harus mati. Karena itu, maka salah seorang dari kedua laki-laki itu harus mati. Tanpa mengorbankan perjuangan kita dalam keseluruhan, justru akan dapat memberikan keuntungan dan keselamatan bagi kita semuanya, maka Pringgabayalah yang sebaiknya dikorbankan."
"Gila," Partasanjaya meloncat berdiri. Wajahnya membara sementara giginya gemeretak menahan gelora jantungnya.
Tetapi orang berwajah muram itu tetap tenang saja ditempatnya. Bahkan seolah-olah ia sama sekali tidak mengacuhkannya.
"Itu tidak adil," geram Partasanjaya.
"Itu adalah tindakan yang paling adil yang dapat aku lakukan," desis orang berwajah muram itu, "bukankah itu lebih baik daripada aku memerintahkanmu " Kau adalah saudara seperguruannya. Mungkin kau akan berusaha sekuat-kuat tenagamu untuk melepaskannya. Tetapi jika kau gagal, kau merasa berkeberatan untuk membunuhnya. Kau minta aku menugaskan orang lain. Dan aku sudah melakukannya. Jangan cepat menjadi gelisah. Jika Pringgabaya ternyata tidak berada di Mataram, maka kita akan mengambil langkah-langkah lain. Atau barangkali Pringgabaya justru sudah mati dihutan itu."
Partasanjaya yang pernah bernama Pringgajaya itu menggeretakkan giginya. Katanya, "Persolannya bukan pada kematian Pringgabaya. Tetapi perintah untuk membunuhnya dengan dasar-dasar yang tidak adil itu sangat menyakitkan hati. Perintah membunuhnya itu sendiri tidak pernah aku sesalkan. Tetapi bahwa dalam persoalan perempuan itu, seolah-olah Pringgabayalah yang bersalah. Orang yang merebut perempuan itu dari padanya, justru telah mendapat perlindungan dan dianggap satu langkah kebenaran."
Orang berwajah muram itu tersenyum. Senyum aneh. Katanya, "Kau memang seorang laki-laki yang pilih tanding. Tetapi ternyata kau adalah seorang laki-laki cengeng dan perasa. Sebaiknya kau tidak usah merajuk begitu. Masih banyak yang harus kita lakukan. Dan kau masih akan mendapat tugas yang cukup berat. Tugas yang sampai saat ini tidak dapat kau selesaikan. Adik seperguruanmu itupun tidak dapat menyelesaikan tugas yang dibebankan kepadanya. Kau tidak berhasil membunuh Agung Sedayu dan Sabungsari, sementara Pringgabaya tidak mampu membunuh Swandaru, isteri dan adik perempuannya, yang merupakan tenaga penggerak yang tiada taranya bagi Sangkal Putung." orang berwajah muram itu berhenti sejenak, lalu, "yang kita lakukan bukan sekedar dendam semata-mata. Tetapi sudah mencakup perhitungan yang masak. Sangkal Putung harus dibersihkan. Padahal ketiga orang itu telah berhasil membentuk Sangkal Putung seperti sebuah benteng yang sangat kuat. Pengawal Kademangan itu mendapat latihan dengan teratur, melampaui keteraturan pada latihan-latihan bagi para prajurit. Karena itu, maka para pengawal di Kademangan Sangkal Putung itu mempunyai kemampuan seperti kemampuan seorang prajurit, Bahkan beberapa orang terpilih diantara mereka, ternyata memiliki kemampuan khusus yang langsung diterimanya dari salah seorang diantara ketiga orang itu."
"Kau hanya dapat menunjuk kelemahan dan kegagalan seseorang tanpa melihat segi-segi lain yang mungkin menyebabkan kegagalan itu tanpa dapat diatasi oleh siapapun," gumam Partasanjaya.
"Aku hanya menilai hasil terakhir dari setiap tugas yang dibebankan kepada kita masing-masing," jawab orang berwajah muram itu, "mungkin Pringgajaya akan mengatakan sesuatu yang dapat dipakainya sebagai alasan. Kaupun dapat menyebutnya. Tetapi kami memerlukan bukti keberhasilan seseorang yang mendapat tugas."
Pertasanjaya menarik nafas dalam-dalam. Sementara orang berwajah muram itu berkata, "Atas nama kakang Panji, aku sudah memerintahkan untuk menyelidiki keadaan Pringgabaya. Jika benar ia berada di Mataram, maka ia harus dilepaskan atau dibunuh sama sekali. Sebenarnyalah bahwa nampaknya mustahil untuk dapat membawanya keluar dari tempatnya di Mataram jika benar ia tertawan. Maka jalan lain itulah yang agaknya lebih baik dapat ditempuh."
"Tidak ada gunanya," geram Pringgajaya yang kemudian bernama Partasanjaya, "coba kita menilai langkah kita dengan nalar. Jika Pringgabaya tidak tabah, maka ia tentu sudah menceriterakan apa yang dimengertinya tentang kita. Jika sampai hari ini ia tidak mengatakan apa-apa, itu berarti bahwa ia akan tetap bungkam sampai kapanpun."
Tetapi orang berwajah muram itu menggeleng. Katanya, "Ada keterbatasan pada seseorang. Mungkin dalam waktu sepekan, dua pekan, bahkan mungkin sampai satu bulan seseorang dapat bertahan mengalami tekanan lahir dan batin. Tetapi pada saatnya ia akan kehilangan daya tahannya. Mungkin dalam ketidak sadaran, sesuatu akan dapat terjadi. Nah, sebelum hal itu terjadi, maka kita harus membebaskannya dari penderitaan itu. Mungkin dengan membawanya keluar, tetapi mungkin dengan membunuhnya sekali."
"Tetapi dengan tugas yang kau berikan kepada orang yang mempunyai pamrih itu, maka hanya akan ada satu kemungkinan saja yang dapat terjadi atasnya," jawab Partasanjaya.
"Jangan membuat aku kehilangan kesabaran," berkata orang berwajah muram, "aku mengemban tugas besar dalam keseluruhan. Dan yang keseluruhan bagiku itu hanya sebagian saja dari keseluruhan perjuangan kakang Panji. Karena itu jangan mengganggu. Jangan menghambat dan jangan menghalang-halangi. Aku akan dapat mengambil keputusan lain. Memerintahkan kau melakukan tugas itu misalnya, dengan akibat yang mungkin tidak kau senangi."
Ki Partasanjaya menarik nafas dalam-dalam. Seolah-olah ia ingin mengendapkan hatinya yang bergejolak sampai keubun-ubun.
"Kita tidak mempunyai persoalan lagi," berkata orang berwajah muram, "perintah bagi Partasanjaya masih tetap harus dilakukan. Membinasakan isi padepokan kecil itu. Emas masih tetap disediakan jika diperlukan. Bahkan ia masih diberi kesempatan untuk melakukan hubungan dengan pihak manapun juga yang dapat memberikan keuntungan dengan imbalan emas. Sementara tugas Pringgabaya untuk membinasakan anak-anak Sangkal Putung itu akan dibicarakan. Mungkin tugas itu akan dialihkan kepada orang yang akan membunuhnya dibilik tahanannya. Dengan demikian, maka jalan dari Pajang ke Mataram akan bertambah licin. Sementara ternyata Tanah Perdikan Menorehpun perlu mendapat perhatian. Tetapi itu bukan tugas kita disini. Ada orang lain yang mendapat tugas untuk itu."
Ki Pringgabaya yang kemudian bernama Partasanjaya itu tidak menjawab lagi. Betapapun hatinya bergejolak melihat orang bertubuh kurus itu menggenggam tugas yang sejalan dengan kepentingan sendiri, namun ia tidak dapat mencegahnya.
"Mudah-mudahan Pringgabaya tidak berada di Mataram. Lebih baik ia sudah mati dihutan itu, atau sempat melarikan diri. Jika ia sempat berhadapan dengan orang gila itu, maka ia masih mempunyai kemungkinan untuk tidak dibunuh, tetapi membunuhnya," berkata Ki Partasanjaya didalam hatinya.
Dalam pada itu, maka orang berwajah muram itupun berkata, "Kita akan mengakhiri pertemuan ini. Tetapi semua perintah harus dijalankan sebaik-baiknya. Semakin cepat semakin baik, karena pada satu saat yang tidak kita ketahui, kakang Panji akan mengadakan penilaian atas semuanya yang kita lakukan. Juga penilaian atas kita semuanya." ia berhenti sejenak, lalu, "laksanakan tugas kalian baik-baik. Juga tugas Partasanjaya. Kau sudah dibebaskan dari Untara oleh Prabadaru, Sementara kakang Panji sedang merintis satu kesempatan untuk mengadakan pertemuan besar dari beberapa orang terpenting. Mungkin kalian tidak akan serta dalam pertemuan itu. Akupun mungkin tidak. Tetapi segala keputusan akan mengalir kepada kita untuk dilaksanakan. Kakang Panji tidak ingin lagi mengadakan persiapan besar dengan pameran kekuatan sebelum segala-galanya siap, karena hal yang sama dalam takaran kecil telah gagal sama sekali dilembah antara Gunung Merapi dan Gunung Merbabu karena pokal Mataram."
Orang-orang yang ada diruang itupun mengangguk-angguk. Merekapun mengetahui, bahwa pertemuan antara orang-orang kuat bersama pasukannya tidak menghasilkan apa-apa, karena justru timbul kecurigaan diantara mereka. Dengan tumpuan pusaka-pusaka tertinggi yang sudah berada di Mataram, pertemuan serupa itupun masih diwarnai oleh kecurigaan dan bahkan pamrih pribadi.
Karena itu, maka sikap orang-orang terpenting yang berada di Pajang dan sekitarnyapun menjadi semakin berhati-hati. Mereka cenderung untuk mencari cara yang paling baik, untuk membenturkan kekuatan Pajang dan Mataram. Kedua-duanya akan hancur sama sekali, sehingga akan tumbuh kekuatan baru diatas reruntuhan itu.
Orang bertubuh kurus yang mendapat tugas menyelidiki kemungkinan tertawannya Ki Pringgabaya ke Mataram itupun kemudian meninggalkan bilik itu pula. Dengan dada tengadah ia menuruni pendapa rumah yang tersembunyi dari penglihatan para petugas yang sebenarnya dari Pajang dan Mataram.
Dengan tergesa-gesa ia mengambil kudanya dihalaman samping.
Langkahnya tertegun ketika ia mendengar seseorang memanggilnya, "Ki Tandabaya."
Orang bertubuh kurus itu berpaling. Dilihatnya seorang bertubuh sedang berwajah keras seperti batu padas.
"He, kau masih disitu ?" bertanya orang bertubuh kurus yang bernama Tandabaya itu.
Orang yang memanggilnya melangkah mendekat.
"Aku kira kau sudah pergi, Dugul ?" bertanya Tandabaya.
"Aku masih menunggumu Ki Tandabaya. Mungkin ada perintah yang harus segera kita lakukan," jawab Dugul.
Orang bertubuh sedang dan bernama Tandabaya itu menggeleng. Katanya, "Bukan perintah yang tergesa-gesa. Kita dapat melakukannya untuk waktu yang cukup."
"Sekarang ?" bertanya Dugul.
"Kita pulang. Kita masih sempat makan dan minum semalam suntuk. Memanggil kawan-kawan untuk beramal ramai dengan gamelan," jawab Tandabaya.
Orang yang bernama Dugul itu mengangguk-angguk. Lalu, "Aku ikut pulang."
Dugulpun kemudian mengambil kudanya. Ketika keduanya melintasi halaman dimuka pendapa, Tandabaya tersenyum melihat Ki Pringgajaya yang kemudian bernama Partasanjaya.
"Marilah orang baru. Kau ternyata lebih beruntung dari adik seperguruanmu. Jika kau masih sempat mengubur namamu saja, maka agaknya Pringgabaya benar-benar harus dikubur bersama tubuhnya," berkata Tandabaya diantara senyumnya.
"Mudah-mudahan kau berhasil," jawab Partasanjaya dengan nada yang aneh ditelinga Tandabaya. Sama sekali tidak berkesan kemarahan dan apalagi dendam.
"Gila," pikir Tandabaya, "perubahan apa yang sudah terjadi didalam dirinya. Begitu cepatnya ia nampak berubah sikap."
Apalagi ketika ia melihat Ki Partasanjaya itu tersenyum. Namun orang itupun kemudian tidak menghiraukannya lagi.
"Permainan gila," geram Tandabaya, "tentu iapun mengharap Pringgabaya mati. Perempuan itu nampaknya menarik perhatiannya pula."
Tetapi Tandabaya kemudian menghentak tali kekang kudanya. Kuda itupun kemudian berderap meninggalkan halaman diikuti oleh seorang penunggang kuda yang bernama Dugul itu.
"Apakah kita tidak mendapat perintah apapun juga ?" bertanya Dugul diperjalanan.
"Ada," jawab Tandabaya, "nanti kita berbicara. Aku memerlukan beberapa orang kawan yang lain."
Dugul tidak bertanya lagi. Iapun mengerti bahwa tugas yang dibebankan kepada Ki Tandabaya itu tentu bukan tugas yang dapat dikatakannya disepanjang jalan.
Sepeninggal Tandabaya, Ki Pringgajaya yang kemudian bernama Partasanjaya itupun mengambil kudanya pula. Dengan pakaian seorang petani dan duduk diatas seekor kuda yang berpelana sederhana, meskipun kudanya cukup tegar, ia meninggalkan tempat itu.
"Tandabaya memang gila," katanya kepada diri sendiri. Namun kemudian iapun tersenyum sambil bergumam, "Iapun harus kecewa karena perempuan itu tidak akan setia kepadanya."
Namun Partasanjaya tidak segera berniat berbuat sesuatu. Ia harus mempertimbangkan beberapa hal diantara lingkungannya. Bahkan ia tidak dapat menyembunyikan kecemasan tentang keberangkatan Tandabaya menjalankan tugasnya.
Ada dua masalah yang mencemaskannya dengan keberangkatan Tandabaya. Yang pertama adalah kematian Pringgabaya. Jika Tandabaya benar-benar menemukan Pringgabaya di Mataram, maka ia tentu lebih senang membunuhnya daripada berusaha membebaskannya. Sedang yang kedua, ia lebih percaya kepada Pringgabaya daripada kepada Tandabaya. Jika bencana itu terjadi, justru Tandabaya tertangkap, maka ia tidak akan dapat bertahan lebih lama dan lebih baik dari Pringgabaya. Pringgabaya agaknya akan bertahan dengan sikap diamnya, tetapi Tandabaya tidak. Sedangkan Tandabaya tahu pasti tentang dirinya. Tentang Pringgajaya yang telah mengubur namanya dan menggantinya dengan Partasanjaya.
Karena itu, maka Partasanjaya itupu harus bersiap-siap jika sesuatu yang dicemaskannya itu terjadi. Mataram adalah satu tempat yang sangat gawat. Jika Tandabaya memasukinya, maka kesempatan untuk keluar tinggal separo. Sedangkan separo kemungkinan lagi, ia akan tertangkap.
"Persetan," geram Partasanjaya, "aku masih mempunyai kerja yang lebih penting dari mengamati Tandabaya. Sementara aku menunggu hasil perjalanannya, aku dapat berbuat sesuatu atas isi padepokan itu. Tetapi tentu aku tidak bersalah, jika sekali-sekali aku menengok perempuan yang dikatakan oleh Tandabaya bukan isteri Pringgabaya itu."
Partasanjaya tertegun ketika ia mendengar seseorang melangkah dibelakangnya. Ketika ia berpaling, dilihatnya orang berwajah muram itu berdiri tegak sambil memandanginya dengan tajamnya.
"Kau jangan mengganggu tugas Tandabaya," berkata orang berwajah muram itu.
Wajah Partasanjaya menegang. Selangkah ia mendekat sambil bertanya, "Kenapa kau berkata begitu ?"
"Nampaknya kau tidak ikhlas dengan keputusanku." jawab orang berwajah muram itu.
"Apakah kau pernah melihat aku berbuat demikian ?" bertanya Partasanjaya pula.
"Segala kemungkinan dapat terjadi karena kekecewaan. Tetapi ingat, kau jangan bermain-main dengan kami," orang itu memperingatkan.
"Kau jangan membuat perkara," geram Partasanjaya, "aku bukan kanak-kanak lagi. Aku berada dilingkungan ini dengan penuh kesadaran bahwa kemungkinan-kemungkinan yang tidak terduga-duga dapat terjadi. Juga akupun menyadari bahwa pemanfaatan kedudukan dan hubungan pribadi antara kita seorang demi seorang akan dapat mempengaruhi segala macam keputusan. Tetapi aku sudah meletakkan dasar perjuanganku. Dan kau jangan mengada-ada."
Orang berwajah muram itu menegang. Dengan nada berat ia berkata, "Kau harus tetap menyadari pula urutan kekuasaan yang ada diantara kita."
"Aku mengerti. Tetapi itu bukan berarti bahwa kita dapat mengorbankan perjuangan ini bagi kepentingan seseorang hanya karena urutan kekuasaan dan wewenang," jawab Partasanjaya, "kaupun harus ingat, bahwa orang terpenting diantara kita akan dapat menilai kita masing-masing atas pertimbangan-pertimbangan yang wajar. Bukan sekedar atas urutan wewenang. Sebagimana kegagalanku menyelesaikan penghuni padepokan itu. Ternyata kegagalan itu dapat dimengerti. Bahkan Tumenggung Prabadaru telah bersedia menghapus jejakku dari antara pasukan Pajang di Jati Anom yang dipimpin oleh anak muda yang tidak memiliki pandangan jauh itu."
"Banyak pertimbangan yang memaksa mereka mengambil sikap itu. Kenapa kau harus dinyatakan mati dengan mengorbankan orang dungu yang tidak berguna sama sekali itu," jawab orang berwajah muram itu, "karena itu kau jangan salah paham. Jangan merasa dirimu terlalu penting."
"Tidak. Aku memang tidak merasa demikian. Tetapi ada cara lain yang dapat dipergunakan untuk memutuskan jejak dan sebagai hukuman atas kegagalanku. Kenapa kau perhitungkan. Aku tidak akan melangkahi urutan wewenang. Tetapi kaupun jangan menjadi tekebur."
Orang berwajah muram itu menjadi semakin tegang. Namun nampaknya Ki Partasanjaya tidak ingin melayaninya lebih lama lagi. Iapun kemudian melangkah mengambil kudanya yang diikatkannya dihalaman samping, dibelakang seketheng.
Sejenak kemudian terdengar kudanya berderap meninggalkan halaman rumah yang tersembunyi dari pengamatan beberapa pihak di Pajang dan Mataram.
06 Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Orang berwajah muram itu tidak dapat berbuat banyak atas Ki Pringgajaya yang kemudian bernama Partasanjaya itu. Bukan saja karena orang itu memiliki kemampuan yang disegani. Tetapi iapun termasuk orang-orang yang diperlukan karena pengetahuannya yang cukup luas mengenai masalah-masalah keprajuritan. Agak berbeda dengak adik seperguruannya. Ia adalah seorang yang mempunyai ilmu setingkat dengan Pringgajaya. Tetapi pengetahuannya dan pengaruhnya tidak sebesar Pringgajaya yang kemudian bernama Partasanjaya itu.
Tetapi orang berwajah muram itupun tidak mengabaikan kemungkinan, bahwa Partasanjaya akan berusaha menurut caranya, untuk membebaskan adik seperguruannya. Khususnya dari perintah untuk membunuhnya saja jika ia gagal mendapat pertolongan untuk dibebaskan.
"Tetapi ia tidak akan sempat berbicara dengan kakang Panji," gumam orang berwajah muram itu.
Meskipun demikian, ia tidak dapat mengabaikan nama-nama Tumenggung Prabadaru dan Tumenggung Giripura dan beberapa orang lain dilingkungan keprajuritan Pajang.
Partasanjaya yang semula bernama Ki Pringgajaya itu memang ingin membicarakan masalah itu dengan Tumenggung Prabadaru. Seorang Tumenggung yang agaknya dapat mengerti persoalan yang dihadapinya dan mempunyai perhatian yang besar terhadapnya.
"Mungkin aku akan dapat berbicara tentang adik seperguruanku itu," berkata Ki Pringgajaya yang sudah beralih nama itu.
Tetapi Ki Partasanjaya tidak dapat segera pergi kerumah Ki Tumenggung Prabadaru. Ia harus menyesuaikan waktu, karena orang tentu masih ada yang mengenalinya meskipun ia berusaha untuk menyamar wajah dan pakaiannya.
Karena itulah, maka Partasanjaya itu menunggu senja turun diatas Pajang. Dalam keremangan ujung malam, Partasanjaya dalam pakaian orang kebanyakan berjalan menyusuri jalan yang sudah meremang menuju kerumah Ki Tumenggung Prabadaru.
Kedatangan Partasanjaya memang mengejutkan. Untuk menghilangkan kecurigaan orang-orang dirumahnya, maka Partasanjaya yang memakai pakaian orang kebanyakan itupun telah diterima diserambi samping.
"Apakah ada yang penting ?" bertanya Tumenggung Prabadaru.
"Ki Partasanjaya memandang berkeliling. Sebelum ia bertanya. Tumenggung Prabadaru sudah mendahuluinya, "katakan. Tidak ada orang yang dapat mendengar pembicaraan kita, asal kau tidak berteriak."
Partasanjaya beringsut sejenak. Katanya kemudian, "Aku datang dari sebuah pertemuan dengan Ki Racik."
"Racik yang berwajah gelap seperti wajah kuburan itu ?" bertanya Tumenggung Prabadaru.
"Ya," jawab Partasanjaya.
"Aku tahu. Ia mendapat wewenang cukup dari kakang Panji," desis Tumenggung Prabadaru, "ia tentu berbicara tentang laporan terakhir, bahwa adik seperguruanmu tidak kembali pada saat yang dianggap cukup. Apalagi beberapa orang melihat, Pringgabaya terlibat dalam pertempuran yang sulit. Justru seorang diri."
"Ya. Orang-orang dungu itu sama sekali tidak berusaha membantunya. Mereka telah meninggalkan Pringgabaya sendiri dalam kesulitan," jawab Partasanjaya.
"Orang-orang itu memang tidak diwajibkan untuk bekerja bersama dengan Ki Lurah Pringgabaya. Tetapi bukan berarti bahwa mereka tidak boleh membantunya." jawab Prabadaru. Lalu, "Aku sudah mendengar laporan itu. Akupun tahu, apakah jawab Raden Sutawijaya atas nawala yang diberikan kepadanya. Agaknya ia mengetahui, bahwa nawala itu tidak berasal dari ayahanda angkatnya."
Partasanjaya mengangguk-angguk. Namun kemudian ia berkata, "Ki Tumenggung. Apakah menurut perhitungan Ki Tumenggung, Pringgabaya itu jatuh ketangan Senapati Ing Ngalaga ?"
Ki Tumenggung mengerutkan keningnya. Katanya, "Kemungkinan terbesar memang demikian."
Partasanjayapun kemudian mengatakan, keputusan apakah yang sudah diambil oleh orang berwajah muram itu terhadap Pringgabaya.
"Jika ia tidak mungkin dibebaskan, maka ia harus mati," berkata Partasanjaya.
"Keputusan yang terlalu umum di dalam hubungan peristiwa seperti ini," berkata Ki Tumenggung Prabadaru.
"Ya. Tetapi cara Ki Racik memilih orang yang ditugaskan untuk melakukan hal itulah yang tidak adil," berkata Ki Partasanjaya.
"Kenapa ?" bertanya Tumenggung Prabadaru.
Partasanjayapun kemudian menceriterakan alasan yang tidak imbang dari orang yang ditugaskan oleh Ki Racik menyelesaikan maisalah Ki Pringgabaya di Mataram, apabila benar ia berada disana.
Ki Tumenggung mendengarkan keterangan Partasanjaya itu dengan saksama. Namun kemudian iapun menarik nafas dalam-dalam. Katanya, "Ki Partasanjaya. Sebenarnya Ki Partasanjaya tidak dapat menuduh Ki Racik itu tidak adil."
"Ia memanfaatkan kepentingan pribadi seseorang untuk menyelesaikan tugas ini. Dan kita tahu, bahwa sikap yang diambil oleh Tandabaya itu tentu berat sebelah. Ia tidak akan berusaha membebaskan Ki Pringgabaya. Tetapi ia lebih senang membunuhnya, meskipun seandainya kesempatan untuk membebaskan itu ada," jawab Ki Partasanjaya.
"Tetapi ia sudah memberi kesempatan kepadamu, meskipun kaupun akan dapat memanfaatkan hubungan antara saudara seperguruan. Jika kau bersedia melakukannya, maka kau tentu akan berusaha jauh lebih baik dari Tandabaya, karena kau tentu tidak akan sampai hati untuk membunuhnya. Mungkin kau akan melakukan usaha berlipat dari jika usaha itu kau lakukan untuk kepentingan orang lain," sahut Tumenggung Prabadaru.
Wajah Ki Pringgajaya yang kemudian bernama Partasanjaya itu menjadi tegang. Namun kemudian ia menarik nafas dalam-dalam. Katanya, "Ki Tumenggung. Mungkin tanggapan Ki Tumenggung itu benar. Tetapi aku mempunyai keyakinan, bahwa Pringgabaya tidak akan berkhianat. Meskipun ia mengalami apapun juga didalam bilik tawanan, tetapi ia akan tetap pada sikapnya sebagai seorang prajurit yang baik. Karena itu. sebenarnya keputusan untuk membunuhnya itu tidak perlu. Betapapun sulit dan memerlukan waktu, sebaiknya usaha membebaskannya itulah yang harus dilakukan."
"Aku tidak yakin," jawab Ki Tumenggung Prabadaru, "seseorang mungkin akan dapat bertahan. Tetapi untuk batas waktu tertentu. Sementara itu, orang-orang di Mataram, bukan orang yang tidak mempunyai akal untuk memancing keterangan dari Pringgabaya. Mungkin dengan kasar. Tetapi mungkin dengan sikap yang justru sebaliknya."
Partasanjaya menggeretakkan giginya. Seolah-olah ia sudah tidak mempunyai cara apapun untuk membebaskan adik seperguruannya. Namun iapun tidak dapat ingkar, bahwa kemungkinan yang demikian itu memang dapat saja terjadi atas siapapun. Mungkin atas dirinya pula pada suatu saat. Bukan saja namanya yang dikubur. Tetapi benar-benar dengan tubuhnya.
Namun agaknya Ki Tumenggung Prabadaru tidak membiarkannya dibakar oleh kegelisahan. Karena itu, maka katanya kemudian, "Meskipun demikian Partasanjaya, aku akan memperingatkan Ki Racik, agar ia memerintahkan kepada Tandabaya untuk berusaha membebaskan Pringgabaya sejauh dapat dilakukan."
Partasanjaya tidak menjawab. Agaknya pernyataan itulah yang paling mungkin didapatkannya dalam hubungannya dengan adik seperguruannya. Iapun harus mulai merasa, bahwa dirinya bukan lagi Pringgajaya yang sangat diperlukan. Kegagalannya di Jati Anom membuat orang orang yang semula mempercayainya dengan sepenuh hati, menjadi kecewa. Adalah satu keuntungan, bahwa Tumenggung Prabadaru mendapat akal untuk membebaskannya dari tangan Untara. Meskipun secara pribadi mungkin Untara tidak dapat mengalahkan Partasanjaya. tetapi dengan kekuasaannya ia akan dapat menangkap Pringgajaya dan memeras keterangan dari mulutnya.
Tetapi ternyata yang hilang dari lingkungan mereka adalah justru Pringgabaya.
"Mudah-mudahan ia tidak diketemukan di Mataram. Lebih baik ia mati dalam pertempuran didekat Sangkal Putung itu, atau mengalami nasib yanglaindaripada ditangkap oleh orang Mataram," berkata Partasanjaya didalam hatinya.
Setelah sekali lagi Ki Tumenggung Prabadaru menyatakan kesanggupannya untuk menghubungi Ki Racik, maka Ki Partasanjayapun kemudian minta diri dari rumah Ki Tumenggung.
Sebenarnyalah, bahwa Ki Tumenggung Prabadaru-pun kemudian menghubungi Ki Racik untuk menyampaikan pesannya, agar Tandabaya tidak menyalah gunakan tugasnya untuk kepentingan pribadi.
Pesan itu merupakan satu pertanda, bahwa Partasanjaya telah melibatkan Tumenggung Prabadaru kedalam masalah yang sedang dihadapinya. Betapapun ia merasa tersinggung, tetapi ia tidak dapat mengabaikan pesan itu.
Tetapi tanggapan Tandabaya sendiri ternyata jauh berbeda dengan sikap Ki Racik. Ketika ia mendengar pesan itu dari seorang pesuruh Ki Racik yang menemuinya, maka iapun menyatakan kesediaannya. Tetapi demikian orang itu pergi, maka terdengar ia tertawa terbahak-bahak.
"Ada apa?" bertanya Dugul.
"Ki Racik memang aneh," jawab Tandabaya, "ia begitu mudah di pengaruhi oleh Pringgajaya yang kemudian bernama Partasanjaya itu. Tetapi aku tidak peduli. Kita semuanya tidak memerlukan Pringgabaya lagi. Ia harus dibunuh sebelum ia membuka rahasia yang tersembunyi disekitar kita. Bahkan seharusnya Pringgajaya itupun mengerti, jika Pringgabaya tidak dibungkam untuk selamanya, pada suatu saat ia akan mengatakan pula, bahwa sebenarnyalah Pringgajaya masih hidup dan bernama Partasanjaya."
Dugul mengangguk-angguk. Dengan nada tinggi ia berkata, "Pringgajaya memang dungu. Tetapi, bagaimana kita mengetahui bahwa Pringgabaya benar-benar berada di Mataram."
"Kita akan memasang jaring-jaring. Untuk mengetahui hal itu nampaknya tidak begitu sulit. Jika benar Pringgabaya tertangkap, maka aku kira namanya akan banyak disebut-sebut oleh para prajurit atau pengawal di Mataram," berkata Tandabaya.
"Jika kita sudah mengetahui bahwa ia berada di Mataram ?" bertanya Dugul.
"Kau memang dungu. Tentu aku belum dapat mengatakan apa-apa sekarang," jawab Tandabaya, "tetapi sudah pa.sti bahwa kita akan mencari tempat penyimpanannya. Kemudian datang ketempat itu dengan alat pembunuh yang paling baik."
"Apa ?" bertanya Dugul.
"Bodoh. Kita akan menunggu sampai kita mengetahui dengan pasti keadaannya. Mungkin kita dapat mempergunakan beberapa ekor ular berbisa. Mungkin dengan senjata kecil beracun atau apapun juga," jawab Tandabaya, "tetapi mungkin aku akan mengumpankanmu pula."
"Ah," desah Dugul.
Tandabaya tertawa. Katanya, "Jangan ributkan sekarang. Kita akan menyuruh dua tiga orang untuk mengetahui apakah Pringgabaya memang berada di Mataram. Itu bukan pekerjaan yang sulit."
Dugul mengangguk-angguk. Betapapun dungunya, tetapi ia dapat membayangkan bahwa mencari keterangan tentang hal itu memang tidak terlalu sulit. Tertangkapnya seorang yang mempunyai pengaruh seperti Ki Lurah Pringgabaya itu tentu akan diketahui oleh banyak pengawal. Mereka tentu tidak akan dengan tertib merahasiakannya, jika hal itu memang dianggap sebagai satu rahasia. Tentu ada satu dua mulut yang berbicara tentang tawanan itu dan menyebut namanya.
Seperti yang direncanakan, maka Ki Tandabaya lewat seorang kepercayaannya telah memerintahkan dua orang untuk mencari keterangan ke Mataram. Dua orang yang menyatakan kesediaan mereka, karena mereka memang mempunyai sanak kadang di Mataram.
Dengan bekal uang yang cukup dan janji yang meng ikat, maka kedua orang itupun telah pergi ke Mataram.
Seperti yang diduga, memang tidak sulit untuk mengetahui, apakah Ki Pringgabaya memang berada di Mataram. Bahkan rasa-rasanya hal itu sama sekali tidak dirahasiakannya. Baru dua hari dua orang itu berada di Mataram, maka mereka sudah mendengar dari dua orang pengawal yang dengan sengaja dijumpainya disebuah kedai, ketika keduanya sedang tidak bertugas.
"Mereka selalu datang kemari," berkata pemilik warung itu.
Kedua orang petugas Ki Tandabaya itu mengangguk-angguk. Dengan acuh tidak acuh salah seorang dari mereka bertanya, "Kau juga pernah mendengar nama Pringgabaya seperti yang dikatakannya itu ?"
"Sekali-sekali ia memang pernah mengatakan seperti yang baru saja dikatakannya. Di dalam dinding halaman rumah Senapati Ing Ngalaga ada seorang tawanan khusus. Namanya Ki Lurah Pringgabaya," jawab pemihk kedai itu.
"Siapa orang itu ?" bertanya salah seorang dari kedua petugas itu.
"Ah, tentu aku tidak tahu. Hanya nama itulah yang pernah aku dengar," jawab pemilik warung itu.
Kedua orang yang ditugaskan oleh Ki Tandabaya itu mengangguk-angguk. Merekapun mengerti, bahwa pemilik warung itu tentu tidak akan tahu terlalu banyak. Jika ia mendengar nama orang yang tertawan itu, tentu karena satu dua orang pengawal yang makan dikedainya pernah berbicara tentang tawanan itu.
Namun keterangan itu sudah cukup bagi mereka. Jika mereka sempat, maka mereka akan dapat mencari keterangan yang lebih jelas. Jika tidak, maka keterangan yang didedangarnya itu sudah cukup bagi mereka untuk disampaikan kepada Ki Tandabaya.
Meskipun demikian keduanya masih tinggal beberapa lama di Mataram. Ternyata seperti saat mereka berada dikedai itu, merekapun mendengar hal yang serupa dari orang lain. Bahkan saudaranya yang tinggal di Mataram, telah mempertemukannya dengan seorang pengawal yang telah dikenalnya dengan baik.
"Ya," jawab pengawal itu ketika kepadanya ditanyakan, "apakah ada seorang tawanan yang bernama Ki Pringgabaya." Katanya selanjutnya, "Orang menyebutnya Ki Lurah Pringgabaya."
"Kenapa ia ditawan ?" bertanya salah seorang dari kedua orang yang ditugaskan oleh Ki Tandabaya.
Pengawal itu menggeleng. Katanya, "Aku tidak tahu. Tidak seorangpun yang tahu kecuali Senapati Ing Ngalaga. Mungkin Ki Juru dan satu dua orang Senapati. Yang lain, sama sekali tidak mengetahui alasan penahanan itu."
"Bukankah Ki Lurah Pringgabaya itu prajurit Pajang ?" bertanya pengikut Ki Tandabaya itu.
"Ya. Tetapi agaknya ia telah melakukan kesalahan ditlatah kekuasaan Senapati Ing Ngalaga di Mataram," jawab pengawal itu.
Kedua orang petugas yang dikirim oleh Ki Tandabaya itu tidak bertanya lebih banyak lagi. Tugas mereka adalah mengetahui kebenaran dugaan, apakah Ki Pringgabaya ada di Mataram atau tidak. Jika tugas itu sudah diselesaikan dengan baik, maka itu sudah cukup. Mereka sudah berhak menerima upah yang dijanjikan dan menyimpan harapan-harapan bagi masa depan, jika perjuangan mereka berhasil.
Karena itu, maka keduanyapun kemudian dengan hasil yang mereka anggap cukup, segera kembali ke Pajang untuk menyampaikan laporannya kepada kepercayaan Ki Tandabaya yang memberikan tugas langsung kepada kedua orang itu.
"Kau yakin akan kebenaran berita yang kau dengar ?" bertanya kepercayaan Tandabaya itu.
"Ya. Aku yakin," jawab salah seorang dari keduanya, "aku mendengar bukan dari satu pihak saja. Tetapi dari beberapa pihak."
"Baiklah. Laporan ini akan aku teruskan kepada 'orang yang memberikan tugas ini kepadaku."
"Terserahlah. Tetapi laporan ini dapat dipercaya," sahut seorang yang lain.
Demikianlah, maka Ki Tandabaya agaknya mempercayai laporan itu. Katanya, "Sesuai dengan perhitungan kami. Orang yang hadir dipertempuran sesuai dengan laporan itu tentu Raden Sutawijaya itu sendiri. Ialah yang telah menangkap Ki Lurah Pringgabaya dan membawanya ke Mataram. Tidak ada orang lain yang akan dapat melakukannya, selain Raden Sutawijaya atau Pangeran Benawa. Mungkin ada orang lain yang dapat mengalahkannya. Tetapi mereka hanya akan dapat menangkap mati Ki Lurah yang keras kepala itu."
"Agaknya memang demikian," jawab orang yang dipercayanya itu.
"Tetapi akhirnya Ki Pringgabaya itu akan mati juga. Agaknya itu lebih baik bagi dirinya. Terutama bagi kita. Dengan demikian ia tidak akan dapat berbicara tentang siapapun juga yang pernah dikenalnya diantara kita semuanya," berkata Ki Tandabaya.
"Tentu ia sudah mengatakannya."
"Mungkin belum. Ia masih dapat bertahan barang satu dua pekan atau lebih. Tetapi lebih dari satu bulan, keadaannya tentu sudah gawat. Ki Lurah itu tentu sudah mulai dijamah oleh kejemuan dan perasaan muak terhadap pertanyaan-pertanyaan yang setiap saat didengarnya. Apalagi apabila kejemuan itu mulai mengganggu syarafnya, sehingga ia tidak akan dapat mengendalikan diri lagi," sahut Ki Tandabaya lebih lanjut.
"Lalu, apakah yang akan kita lakukan ?" bertanya kepercayaannya itu.
"Kita akan membantunya, melepaskannya dari penderitaan itu," jawab Ki Tandabaya, lalu, "namun agar ia ikhlas menerima nasibnya tanpa hambatan, maka ia harus yakin bahwa isterinya tidak akan mengalami nasib buruk sepeninggalnya. Ia harus diyakinkan bahwa isterinya akan mendapat tempat yang baik."
Pangikut Tandabaya itu mengerutkan keningnya. Namun iapun kemudian tertawa berkepanjangan ketika Ki Tandabaya sendiri tertawa keras-keras.
"Kapan kita membunuhnya ?" bertanya kepercayaannya itu kemudian.
"Kau kira kita akan membunuh cengkerik dipadang rumput ?" jawab Ki Tandabaya, "dengar. Yang akan kita bunuh adalah seseorang seperti Ki Lurah Pringgabaya. Kemudian, yang lebih rumit lagi, ia berada dibawah pengawasan para pengawal di Mataram. Kau kira para pengawal itu akan membungkukkan kepalanya, mempersilahkan kita mendekati bilik penyimpanan itu, kemudian melepaskan dua atau tiga ekor ular berbisa kedalam bilik itu, atau lewat lubang dinding atau membuka satu dua genting, melepaskan paser beracun ?"
Kepercayaannya mengangguk-angguk pula. Ia mengerti, bahwa tugas itu bukan tugas yang terlalu mudah dilakukannya. Tugas itu harus dilakukan dengan penuh tanggung jawab dan dengan sangat cermat, sehingga rencana itu tidak dapat diketahui oleh orang-orang Mataram.
"Aku akan memanggil beberapa orang tertentu. Tentu saja yang dapat aku percaya. Aku akan membicarakan, bagaimana tugas itu dapat aku lakukan sebaik-baiknya," berkata Ki Tandabaya.
Kepercayaannya mengangguk-angguk. Tetapi terbersit juga senyum dibibirnya, karena ia tahu pasti, bahwa ada hubungan yang terjadi antara Ki Tandabaya dengan perempuan yang disebut isteri Pringgabaya.
Di hari-hari berikutnya, Tandabaya telah bekerja dengan cermat. Ia memanggil beberapa orang kawan-kawannya yang dipercayai sepenuhnya. Mereka membicarakan cara yang dapat ditempuh untuk melenyapkan sama sekali Pringgabaya yang sebenarnya memang berada di Mataram.
"Kita harus mengetahui, dimana ia disimpan," berkata salah seorang dari kawan-kawan Tandabaya itu.
"Menurut laporan yang aku terima," jawab Tandabaya, "ia berada didalam lingkungan halaman rumah Senapati Ing Ngalaga."
Kawannya menarik nafas dalam-dalam. Katanya, "Itu kesulitannya. Pagar dinding halaman rumah Raden Sutawijaya itu seolah-olah mempunyai mata dan telinga."
"Dan apakah kita tidak mempunyai kemampuan untuk menutup mata dengan telinga itu?" bertanya kawannya yang lain.
"Kita harus menemukan cara," berkata Ki Tandabaya, "aku akan pergi ke Mataram. Aku akan mencari cara yang pahng baik untuk memasuki halaman rumah itu. Mungkin aku akan menemukannya."
"Segalanya harus diperhitungkan sebaik-baiknya," desis salah seorang dari mereka, "yang kita hadapi adalah Raden Sutawijaya yang bergelar Senapati Ing Ngalaga. Orang aneh yang memiliki kemampuan tidak terbatas."
"Omong kosong," potong Ki Tandabaya, "tentu kemampuannya ada batasnya. Kau kira orang seperti Senopati Ing Ngalaga itu demikian sempurna sehingga tidak ada cara untuk mengalahkannya atau bahkan hanya sekedar mencari kelengahannya saja?"
"Tentu tidak ada orang yang sempurna," jawab kawannya, "tetapi apa yang telah dikerjakannya benar-benar menakjubkan. Kadang-kadang sama sekali tidak dapat dijangkau dengan nalar. Bagaimana ia berhasil mencengkam keris-keris kulit yang tertancap pada tiang-tiang pendapanya, sehingga orang yang dengan kekuatan yang luar biasa berhasil menancapkan keris dari kulit itu menghunjam pada sebatang kayu yang terpancang sebagai saka guru, tidak berhasil mencabutnya. Tetapi kemudian seolah-olah dengan acuh tidak acuh, ia mencabut keris-keris kulit itu dengan jepitan dua buah jarinya saja."
Yang lainpun menyahut, "Nampaknya iapun dengan mudah dapat menangkap Pringgabaya."
"Tetapi bagaimanapun juga, aku akan mencobanya," berkata Tandabaya, "kitapun bukan anak-anak kecil yang baru belajar melangkah. Kitapun orang-orang yang cukup makan pahit asinnya kehidupan dan menjelajahi luasnya padang olah kanuragan."
Kawan-kawannya mengangguk-angguk. Mereka percaya bahwa Ki Tandabaya itupun memiliki kemampuan yang cukup sebagai bekal untuk melakukan tugasnya. Sudah barang tentu, ia tidak akan dapat langsung berhadapan dengan Senopati Ing Ngalaga. Tetapi sekedar mencari kelengahannya saja. Sehingga dengan demikian, maka Tandabaya harus memperhitungkan dengan sebaik-baiknya saat-saat yang dicarinya itu.
Demikianlah, maka Ki Tandabaya mulai mengatur orang-orangnya. Mereka akan pergi ke Mataram. Yang pertama-tama mereka lakukan adalah sekedar melihat keadaan dan mencari kemungkinan disela-sela kesiagaan orang-orang Mataram.
"Tidak banyak orang-orang Mataram yang memiliki ilmu yang tinggi," berkata Ki Tandabaya kepada orang-orangnya, "Raden Sutawijaya memang orang luar biasa. Tetapi selebihnya, adalah orang-orang yang memiliki kemampuan jauh dibawah tatarannya, kecuali Ki Juru Martani. Apa yang dapat dilakukan oleh orang-orangnya yang tidak memiliki kemampuan cukup untuk melawan kami ?"
Namun untuk melihat-lihat keadaan itupun Ki Tandabaya tidak boleh lengah. Orang-orangnya yang ditunjuk untuk pergi bersamanya telah mendapat pesan khusus dalam tugas mereka masing-masing.
Pada saat yang ditentukan, maka merekapun telah berada di Mataram. Perjalanan dari Pajang ke Mataram memang bukan jarak yang amat jauh. Karena itu, maka bagi Ki Tandabaya, jarak itu akan dapat dicapainya hilir mudik. Satu hari di Mataram, dan dihari berikutnya ia sudah akan berada di Pajang.
"Kenapa ia memilih cara yang demikian," bertanya seorang kawannya, "bukankah dengan demikian, kita-kita inilah yang harus dengan cermat mengawasi keadaan dan mencari kemungkinan untuk memasuki dinding halaman rumah Raden Sutawijaya, sementara Ki Tandabaya itu hanya akan menunggu dan mendengar laporan kita."
"Bukankah itu biasa " Ia adalah seorang yang menganggap dirinya pemimpin kita. Ia berhak berbuat demikian," jawab kawannya, "tetapi persoalannya bukan sekedar karena ia seorang pemimpin yang mempercayakan tugas-tugas yang dianggapnya tidak begitu berat dan tidak begitu menarik kepada orang-orangnya, namun sudah barang tentu, ia mempunyai kepentingan-kepentingan yang lain."
"Apa ?" bertanya yang lain.
"Perempuan itu," desis kawannya.
Yang mendengar jawaban itu mengangguk-angguk. Merekapun mengerti, bahwa ada hubungan antara Ki Tandabaya dengan perempuan yang disebut isteri Ki Lurah Pringgabaya, yang menurut beberapa orang perempuan itu belum isteri Ki Pringgabaya yang sah, disamping dua isteri Ki Lurah yang lain.
Demikianlah, maka orang-orang yang berada di Mataram dengan menyamar diri itu berusaha untuk mengetahui beberapa hal tentang kebiasaan Raden Sutawijaya. Mereka mulai usaha mereka dengan mengenal kebiasaan Raden Sutawijaya meninggalkan rumahnya, dan berada di pasanggrahannya. Kadang-kadang ia memang berada di Ganjur atau di tempat lain untuk beristirahat. Tetapi sebenarnyalah bahwa ia terlalu senang bermain-main dengan kudanya.
"Hari-harinya tidak menentu," berkata salah seorang pengikut Tandabaya itu.
"Tetapi tentu ada saat-saat yang dapat kau kenali," jawab Ki Tandabaya, "mungkin sepekan sekali. Mungkin sepuluh hari sekali. Atau ia mengambil hari-hari tertentu dalam sepekan."
"Aku akan menelitinya lebih lanjut. Mungkin ada saat-saat yang dapat diperhitungkan, sehingga kita akan dapat menentukan saat yang paling baik."
Dengan demikian, maka para pengikut Ki Tandabaya itu harus bekerja lebih cermat lagi. Mereka harus benar-benar memperhitungkan, saat-saat Raden Sutawijaya pergi. Meskipun kepergian Raden Sutawijaya ke pasanggrahan untuk kepentingan-kepentingan khusus, terutama bermain-main dengan kuda-kudanya yang banyak jumlahnya dan juga meningkatkan ketrampilan-nya bermain senjata diatas punggung kuda, namun kepergiannya itu tidak pernah dirahasiakan. Bahkan hampir setiap orang mengetahui, bahwa Raden Sutawijaya memang sering meninggalkan istananya. Yang sebagian besar malahan tidak untuk beristirahat, tetapi justru untuk mesu diri, meningkatkan ilmunya yang sudah terlalu sulit untuk dimengerti oleh orang lain itu.
"Ia pergi, kapan saja ia ingin pergi," desis salah seorang dari pengikut Ki Tandabaya itu.
"Sulit untuk diperhitungkan," jawab kawannya.
"Tetapi marilah kita mencobanya memperhatikan sekali lagi. Tetapi tentu memerlukan waktu paling sedikit dua pekan," berkata pengikut itu.
"Apa ?" bertanya kawannya.
"Dimalam Jum'at Raden Sutawijaya itu tentu pergi. Entah kemana. Meskipun baru sehari ia berada dirumahnya, tetapi malam Jum'at berikutnya ia tentu pergi," berkata pengikut Ki Tandabaya itu, "ia memang pergi untuk waktu yang tidak menentu. Tetapi tentu melalui malam Jum'at. Mungkin hari pertama, mungkin menjelang ia datang kembali, atau saat-saat apapun juga, namun mesti termasuk malam Jum'at."
"Jika demikian, menurut pengamatanmu, disetiap malam Jum'at Raden Sutawijaya tentu tidak ada dirumahnya," bertanya kawannya.
"Ya. Kecuali pada sat-saat yang penting. Misalnya ada tamu, atau ada upacara apapun juga yang menuntut Raden Sutawijaya itu berada dirumahnya. Karena itu, didalam ketidak tentuan itu, kita memang dapat melihat, hari-hari yang hampir dapat dipastikan."
"Katau demikian, hari itu akan menjadi patokan," desis kawannya, "meskipun pada saat terakhir, kita masih harus melihat, apakah benar Raden Sutawijaya meninggalkan rumahnya."
"Kita harus cepat bertindak. Kita sudah terlalu lama kehilangan waktu untuk menghitung saat-saat Raden Sutawijaya pergi. Jika kita berlarut-larut tanpa berbuat apapun juga, maka kita akan terlambat. Ki Pringgabaya sudah tidak dapat menahan kepahitan badani lagi, sehingga ia akan berbicara tentang apa saja yang diketahuinya tentang Pajang dengan segala macam isinya."
Demikianlah, maka ketika Ki Tandabaya datang lagi ke Mataram, maka pengikutnya itupun telah dapat menentukan saat-saat yang hampir pasti, bahwa Raden Sutawijaya tidak berada dirumahnya.
"Kau tidak salah hitung ?" bertanya Ki Tandabaya.
"Demikianlah menurut pengamatan kami. Sebenarnyalah kami ingin Ki Tandabaya bersama kami disini, sehingga jika ada sedikit kesalahan dan kekurangan hitungan, Ki Tandabaya dapat ikut mempertanggung jawab-kannya," sahut pengikutnya.
"Bodoh," geram Ki Tandabaya, "buat apa aku mempergunakanmu, jika aku masih harus bekerja sendiri " Apalagi untuk tugas-tugas semacam itu, jika kalian tidak berhasil mengerjakan dan menyelesaikan, aku kira kalian sudah tidak berguna lagi bagiku."
Para pengikutnya saling berpandangan sejenak. Tetapi mereka tidak menyahut.
"Ketahuilah," berkata Ki Tandabaya, "Ki Racik sudah menganggap tugas ini terlalu lama belum dapat kita selesaikan. Aku sudah ditegurnya. Bahkan ia mulai ragu-ragu terhadap kemampuanku, seolah-olah aku tidak akan dapat menyelesaikan tugas ini, seperti tugas-tugas yang dibebankan kepada Pringgajaya yang kemudian bernama Partasanjaya itu."
"Kita memang harus segera bertindak," desis pengikutnya.
"Sekarang hari apa ?" desis Ki Tandabaya.
"Malam Jum'at," jawab pengikutnya.
"Malam Jum'at," ulang Ki Tandabaya, "jadi hari ini Raden Sutawijaya tidak berada dirumahnya ?"
"Ya. Aku sudah mencari keterangan. Sudah dua hari Raden Sutawijaya pergi. Hari ini ia masih belum kembali. Biasanya besok ia baru akan kembali," desis pengikutnya.
"Kenapa kau pernah mengatakan, bahwa hari-hari kepergiannya tidak menentu?" desak Ki Tandabaya.
"Memang tidak menentu. Baru setelah kami meneliti sekali lagi, maka hari-hari yang tidak menentu itu tentu memuat hari Jum'at. Mungkin hari pertama saat ia meninggalkan rumahnya. Mungkin hari terakhir sebelum ia kembali."
Ki Tandabaya mengangguk-angguk. Katanya, "Baiklah. Kita akan mencari keterangan sekali lagi. Jika kita sudah pasti, bahwa ia tidak ada dirumah, maka kita akan mencoba menyelidiki, apakah mungkin kita memasuki halaman rumahnya. Jika mungkin, kita akan mencari dimana ia disimpan. Baru setelah kita mendapat kepastian, maka kita akan mengatur cara yang paling baik untuk membunuhnya."
"Apakah kita tidak berusaha untuk membebaskannya ?" bertanya pengikutnya.
"Kau gila," geram Tandabaya, "jika kau sudah tahu jawabnya, kenapa kau masih bertanya ?"
Pengikutnya hanya tersenyum saja. Namun senyumnya itupun segera larut ketika Ki Tandabaya membentak, "Kita harus bertindak cepat. Cari keterangan sekali lagi. Aku sendiri akan melihat kedalam batas dinding halaman itu."
Para pengikutnya itupun segera bangkit dan meninggalkan Ki Tandabaya, untuk meyakinkan, apakah benar Raden Sutawijaya tidak berada dirumahnya.
Dengan cara yang tidak menarik perhatian, mereka mendapat keterangan dari seorang pengawal yang bertugas diregol, bahwa Raden Sutawijaya memang sedang pergi.
"Kami ingin menawarkan seekor kuda yang paling baik yang pernah kita miliki," berkata salah seorang peligikut Ki Tandabaya itu.
"Raden memang seorang penggemar kuda. Tetapi sayang, sudah dua hari ini ia meninggalkan rumahnya. Mungkin ia berada di Ganjur. Ia memiliki seekor kuda yang baru pula," jawab pengawal itu.
Para pengikut Ki Tandabaya itu pura-pura menjadi sangat kecewa, bahwa mereka tidak dapat segera menawarkan kuda yang dikatakannya paling baik yang pernah dimilikinya Namun akhirnya salah seorang diantara mereka berkata, "Baiklah Ki Sanak. Kami mohon diri. Jika kami tidak mepunyai seekor kuda yang benar-benar baik. Maka kami tidak akan berani datang untuk menawarkannya kepada Senapati Ing Ngalaga."
"Datanglah besok," berkata Pengawal itu, "mungkin Raden Sutawijaya itu sudah kembali."
"Terima kasih," jawab pengikut Ki Tandabaya itu yakin, bahwa sebenarnyalah Raden Sutawijaya tidak berada dirumahnya.
Ketika hal itu disampaikan kepada Ki Tandabaya, maka iapun mengangguk-angguk. Tetapi pertanyaannya telah mengejutkan para pengikutnya, "Senapati Ing Ngalaga tidak ada dirumahnya. Tetapi bagaimana dengan Ki Juru ?"
"Ki Juru Martani ?" bertanya para pengikutnya.
"Ya. Ki Juru Martani. Siapa lagi ?" geram Tandabaya.
Para pengikutnya termangu-mangu. Mereka tidak mengetahui tentang Ki Juru Martani, karena mereka memang tidak memperhitungkannya.
"Kalian memang bodoh," suara Ki Tandabaya datar, "seharusnya kalian juga mengetahui apakah Ki Juru mengikuti Raden Sutawijaya atau tidak."
"Kami tidak mencari keterangan tentang Ki Juru Martani. Tetapi menurut perhitungan kami, Ki Juru tidak meninggalkan Mataram, justru karena Raden Sutawijaya pergi. Meskipun mungkin dalam keadaan khusus kedua-duanya meninggalkan Mataram, tetapi pada saat-saat Raden Sutawijaya berada dipasanggrahannya atau justru sedang mesu diri berkeliling menuruni lembah dan menelusuri sungai, biasanya ia pergi seorang diri dan menyerahkan pimpinan Mataram kepada Ki Juru," berkata pengikutnya.
"Dari mana kau tahu ?" bertanya Ki Tandabaya.
"Menurut ceritera orang yang aku dengar selama ini. Tetapi kali ini kami tidak mengetahuinya," jawab pengikutnya.
Ki Tandabaya mengangguk-angguk kecil. Namun masih terdengar ia bergumam, "Kalian benar benar dungu. Kalian hanya mengerjakan apa yang diperintahkan tanpa mengingat hubungan persoalannya yang satu dengan lain. "Ki Tandabaya berhenti sejenak. Kemudian katanya, "Baiklah. Aku akan menyelidiki keadaannya. Melihat kemungkinan-kemungkinannya dan aku akan mengambil satu sikap yang akan kita kerjakan bersama. Mungkin pekan yang akan datang, atau selambat-lambatnya dua pekan mendatang, agar Ki Racik tidak salah menilai kita semuanya."
Para pengikut Ki Tandabaya kemudian memberikan beberapa keterangan yang mungkin diperlukan tentang para penjaga yang mereka ketahui berada disekitar rumah Raden Sutawijaya.
"Pada dasarnya, rumah itu tidak terlalu ketat dijaga. Mungkin disekitar bilik yang mereka pergunakan untuk menawan Ki Lurah Pringgabaya. ada penjaga khusus yang sudah diperhitungkan. Bukankah Ki Lurah itu memiliki ilmu yang tinggi pula."
Demikianlah, ketika malam turun, Ki Tandabayapun telah menyiapkan dirinya. Diikuti oleh kepercayaannya yang bernama Dugul, ia mendekati rumah Raden Sutawijaya.
Mataram yang sedang tumbuh itu ternyata menjadi sepi lewat matahari terbenam. Demikian malam menyelubungi kota, maka jalan-jalanpun menjadi lengang, meskipun disimpang-simpang jalan terdapat lampu-lampu minyak yang menyala.
Ki Tandabaya serba sedikit telah mengetahui keadaan rumah Raden Sutawijaya. Ditambah dengan beberapa keterangan dari para pengikutnya. Karena itu, maka iapun langsung menuju ketempat yang menurut perhitungannya tidak berada dibawah pengawasan para pengawal.
"Kita menunggu sejenak," berkata Ki Tandabaya kepada Dugul, "jika malam menjadi semakin sepi, kita akan memasuki halaman. Kau dapat mencari jalan yang paling aman."
"Jangan cemas," berkata Dugul, "lebih dari duapuluh tahun aku melakukan pekerjaan seperti ini. Bahkan orang percaya bahwa aku seolah olah dapat menghilang karena aji penglimunan."
"Aku percaya bahwa kau adalah seorang benggol pencuri yang berpengaruh. Karena itu, maka aku memerlukan kau pada saat-saat semacam ini. Meskipun aku yakin akan ilmuku, asal saja aku tidak bertemu dengan Raden Sutawijaya atau Ki Juru Martani. Tetapi adalah lebih baik jika kita dapat memasuki halaman tanpa diketahui oleh para pengawal."
Dugul tidak menjawab. Tetapi iapun kemudian berkata, "Tunggulah disini. Aku akan mendekati dinding halaman itu."
Untuk beberapa saat Dugul meninggalkan Ki Tandabaya. Dengan pengalamannya yang luas Dugul mulai mengenali medan yang akan ditempuhnya bersama Ki Tandabaya. Dengan pendengarannya yang tajam ia berhasil mengetahui, tempat tempat yang palin lemah pengawasannya.
Ketika tengah malam telah lewat, maka Dugulpun memberikan isyarat kepada Ki Tandabaya untuk mengikutinya.
Lewat sebatang pohon yang tumbuh diluar dinding halaman belakang rumah Raden Sutawijaya yang luas. mereka mulai memanjat. Dengan sangat berhati-hati. akhirnya keduanya meloncat keatas dinding dan melayang turun setelah mereka yakin, tidak ada seorang pengawalpun yang melihatnya.
Sejenak mereka mengatur pernafasan dan perasaan. Kemudian Ki Tandabaya itu berbisik, "Kita mencari tempat yang paling kuat penjagaannya. Kita harus dapat mempelajari keadaan sebaik-baiknya, sehingga jika disaat lain kita memasuki halaman ini dengan perlengkapan yang cukup, kita akan dapat segera melakukannya. Mungkin kita memerlukan dua atau seorang lagi untuk melakukan tugas itu dalam keseluruhan."
Dugul mengangguk-angguk. Ia mengerti maksud Ki Tandabaya. Karena itu, maka merekapun segera bergeser dari balik sebuah gerumbul kebahk gerumbul yang lain.
Sekali-sekali mereka harus bersembunyi sambil menahan nafas, jika mereka melihat satu dua orang pengawai yang lewat dari regol yang satu keregol penjagaan yang lain pada dinding diseputar halaman yang luas itu."
Untuk beberapa saat keduanya mengalami ketegangan. Selain menghindari para pengawal, terutama yang sedang nganglang mengitari halaman, mereka masih harus mencari tempat yang dipergunakan oleh orang-orang Mataram untuk menahan Ki Lurah Pringgabaya.
Ternyata mencari tempat penahanan itu tidak semudah saat mereka memasuki halaman. Tidak ada tanda-tanda khusus yang dapat mereka kenal. Bahkan, merekapun telah memperhitungkan, bahwa tempat itu tentu di jaga oleh beberapa orang pengawal terpilih, karena Ki Lurah Pringgabaya termasuk seseorang yang memiliki kemampuan yang tinggi.
Namun setelah mereka mengitari seluruh halaman, barulah mereka mencoba mengambil kesimpulan, bahwa penjagaan yang paling kuat dari seluruh isi halaman itu, ada pada sebuah pintu butulan diserambi gandok sebelah kanan.
"Apakah mungkin Ki Lurah Piinggabaya berada disalah satu bilik digandok sebelah kanan ?" bertanya Dugul.
Ki Tandabaya menarik nafas dalam-dalam. Kemudian katanya, "Kemungkinan terbesar adalah demikian."
"Kita akan melihat," desis Dugul.
"Bagaimana mungkin ?" bertanya Ki Tandabaya.
"Aku akan memanjat atap. Aku akan mendekati setiap bilik digandok itu lewat sebelah bumbungan bagian dalam, sehingga aku tidak akan terlibat dari bagian timur luar rumah ini," berkata Dugul.
"Tetapi orang dilongkangan akan dapat melihatmu," desis Ki Tanabaya.
"Memang ada kemungkinan. Tatapi jarang sekali ada seseorang dilongkangan disaat semacam ini. Mungkin para pengawal akan lewat. Dimalam yang gelap ini, aku tidak akan nampak jika aku bertiarap melekat atap yang hitam itu," desis Dugul.
"Tetapi hati-hatilah," desis Ki Tandabaya.
"Jika terjadi sesuatu," berkata Dugul, "tinggalkan aku. Cepat menyingkirlah."
Ki Tandabaya menarik nafas dalam-dalam. Kemudian katanya, "Aku harap tidak akan terjadi sesuatu."
Dugul tersenyum. Sambil beringsut ia berkata, "Doakan saja agar aku berhasil."
Ki Tandabaya tidak menjawab. Ia melihat Dugul berkisar. Namun kemudian seolah-olah Dugul itu hilang ditelan gelap malam.
"Setan," desis Ki Tandabaya, "orang menyangka ia mempunyai aji panglimunan."
Namun sejenak kemudian mata Ki Tandabaya yang tajam dapat melihat sekilas tubuh Dugul melekat dinding ditempat yang terlindung, sekejap lagi tubuh itupun telah hilang pula.
"Ia sangat cekatan dan trampil," desis Ki Tandabaya, "kelebihannya agaknya justru pada kepandaiannya memiliki ilmu yang panglimunan."
Untuk beberapa saat Ki Tanabaya menunggu. Ketegangan terasa menekan jantungnya. Diluar sadarnya, iapun telah berdoa, agar Dugul dapat melakukan tugasnya dengan selamat.
Tetapi ketika ia menyadarinya, ia menjadi ragu-ragu. Apakah untuk melakukan perbuatan seperti yang dilakukan oleh Dugul itu, ia dapat berdoa dan apakah doa itu akan didengar.
Dalam pada itu, ternyata Dugul benar-benar seorang yang berpengalaman. Meskipun demikian ia harus melakukan perbuatannya itu dengan sangat hati-hati, karena menyadari, bahwa disekitar bilik tahanan itu tentu terdapat orang-orang yang memiliki ilmu yang tinggi.
"Asal Raden Sutawijaya benar-benar tidak ada dirumah, dan Ki Juru Martani tidak bermain digandok ini pula," katanya.
Dengan kemampuannya, Dugul berhasil memanjat atap rumah tanpa diketahui oleh para pengawal, ia memilih sudut gandok yang dibayangi oleh dedaunan pepohonan yang rimbun. Dalam gelap malam, maka sudut itu rasa-rasanya menjadi semakin gelap.
Beberapa lama Ki Tandabaya menunggu dalam ketegangan. Rasa rasanya semua urat dan syarafnya menjadi tegang pula. Jantungnya berdegup semakin lama semakin keras, sehingga Ki Tandabaya menjadi cemas, bahwa para pengawal akan dapat mendengar degup jantungnya itu.
Ketika kesabaran Ki Tandabaya hampir habis, sementara Dugul masih belum nampak, timbullah niatnya untuk menyusul. Meskipun ia tidak berpengalaman seperti Dugul, tetapi iapun merasa memiliki kemampuan, sehingga ia akan mengerjakannya dengan landasan kemampuannya. Ia memiliki pendengaran yang cukup tajam, kecepatan bergerak dan tenaga yang besar.
Namun selagi ia beringsut, tiba-tiba ia mendengar desir lembut dari arah samping. Karena itu, maka iapun segera menahan nafasnya dan bersiap-siap menghadapi segala kemungkinan.
Tetapi dalam keremangan malam, iapun kemudian melihat bayangan mendekatinya sambil berdesis, "Aku, Dugul."
Ki Tandabaya menarik nafas dalam-dalam. Kemudian dengan tergesa-gesa ia bertanya, "Bagaimana ?"
"Aku menemukannya. Aku berhasil mengintip dari atap gandok itu. Ki Lurah Pringgabaya ada didalam salah satu bilik yang berdinding kayu. Nampaknya dinding bilik itu telah dibuat khusus, sementara para pengawal yang berada dipintu butulan itu benar-benar khusus mengawasi bilik itu," jawab Dugul hampir berbisik.
"Aneh," desis Ki Tandabaya, "apakah tidak ada usaha Ki Lurah untuk melarikan diri. Bukankah ia dengan mudah dapat memecah dinding bilik itu ?"
"Tentu ia menganggap tidak ada gunanya," jawab Dugul, "ia akan segera diketahui oleh para pengawal jika mereka mendengar dinding kayu itu berderak. Kehadiran Raden Sutawijaya akan memaksanya untuk kembali kedalam bilik itu lagi setelah diperbaiki."
"Bukan disaat-saat ini raden Sutawijaya tidak ada ?" sahut Ki Tandabaya.
"Tetapi Ki Lurah tentu tidak mengerti, kapan Raden Sutawijaya tidak berada dirumahnya."
Ki Tandabaya mengangguk-angguk. Ia mengerti, bahwa dihadapan Raden Sutawijaya dan Ki Juru Martani, KiLurah Pringgabaya tentu akan mengalami kesulitan untuk melarikan diri.
Namun tiba-tiba ia berkata, "Dugul. Jika Ki Lurah itu memecah dinding, memang akan dapat mengundang perhatian para penjaga. Tetapi bagaimana jika ia mempergunakan cara seperti yang kau katakan. Melarikan diri lewat atap ?"
Tetapi Dugul menggeleng. Katanya, "Sulit. Ternyata bilik itu benar-benar telah dipersiapkan bagi orang-orang kuat seperti Ki Pringgabaya. Rusuk atap itupun terlalu rapat. Memang aku dapat mengintip lewat atap, tetapi untuk keluar, Ki Lurah harus memecah beberapa rusuk yang akan dapat didengar pula oleh para penjaga."
Ki Tandabaya menarik nafas dalam-dalam. Namun kemudian katanya, "Baiklah. Kita keluar sekarang. Kita menunggu untuk mendapat kesempatan serupa. Mungkin pada malam Jum'at yang akan datang. Atau kapanpun jika kita mengetahui bahwa Raden Sutawijaya tidak ada di rumahnya."
Dugul tidak menjawab. Keduanyapun kemudian bergeser meninggalkan tempat mereka bersembunyi, merayap mendekati dinding. Ketika mereka melihat dua orang pengawal yang sedang mengelilingi halaman itu lewat, maka keduanya telah berjongkok dibalik segerumbul perdu diantara pertamanan dihalaman samping.
Ketika kedua orang itu telah hilang, maka Ki Tandabaya dan Dugulpun segera merangkak kedinding. Sejenak mereka melihat keadaan. Setelah mereka yakin, tidak ada seorang pengawalpun yang akan melihat mereka, maka keduanyapun segera meloncat dinding.
Ternyata bahwa malam itu, Ki Tandabaya telah mendapatkan banyak hasil yang akan dapat menjadi bekal usahanya melakukan perintah Ki Racik untuk melepaskan atau mengakhiri saja hidup Ki Lurah Pringgabaya yang dikawatirkan akan dapat membocorkan rahasia orang-orang Pajang yang terlibat dalam perjuangan untuk menegakkan kembali satu masa silam yang perkasa menurut citra mereka.
Dengan bekal itulah, maka Ki Tandabaya telah merencanakan untuk melakukan tugasnya pada hari yang akan ditentukan, setelah ia yakin bahwa Raden Sutawijaya tidak ada dirumahnya.
"Kita akan mempergunakan beberapa cara," berkata Ki Tandabaya, "aku sama sekali tidak akan mempertimbangkannya untuk mencari jalan keluar dari bilik itu. Yang akan aku lakukan adalah membunuhnya."
"Bagaimana ?" bertanya seorang pengikutnya.
"Kita akan melemparkan beberapa ekor ular kedalam biliknya. Tentu saja dengan diam-diam sehingga Ki Pringgabaya sendiri tidak akan mengetahuinya. Ular-ular berbisa itu pada suatu saat yang tidak terlalu lama akan mematuk dan membunuhnya," jawab Ki Tandabaya.
"Tetapi Ki Lurah itu tentu mempunyai cara tersendiri untuk membunuh ular-ular itu," jawab pengikutnya.
"Jika ia sempat melihat ular itu. Tetapi mungkin sekali satu diantara beberapa ekor ular itu akan lepas dari pengamatannya."
"Mungkin sekali. Tetapi hal itu tentu sangat meragukan. Bagaimana jika kita membunuhnya langsung dengan senjata beracun?"
Ki Tandabaya merenung sejenak. Namun kemudian katanya, "Mungkin sekali. Itupun akan kita coba."
"Serahkan kepadaku," berkata Dugul. Lalu, "Aku akan dapat membunuhnya dengan cara itu. Lewat atap aku akan dapat meluncurkan anak panah beracun. Mudah sekali seperti saat aku mengintipnya."
"Kenapa tidak kau lakukan saat itu sama sekali ?" bertanya salah seorang pengikut Ki Tandabaya.
"Pertanyaan yang bodoh," Ki Tandabayalah yang menyahut, "saat itu kami belum tahu pasti, apakah ia benar-benar ada dirumah itu atau ditempat lain. Jika dirumah itu, dibilik yang mana dan kemungkinan apa yang dapat kita lakukan."
Pengikutnya mengangguk-angguk. Namun dengan demikian, maka agaknya mereka tidak akan banyak berperan jika hal itu akan dapat dilakukan oleh Dugul sendiri.
Ketika hal itu dilaporkannya kepada Ki Racik, ternyata tanggapannya diluar dugaan Tandabaya. Ki Racik nampaknya tidak mengacuhkannya. Bahkan katanya, "Yang kau lakukan terlalu lamban. Aku hampir kehilangan kesabaran sehingga hampir saja aku memerintahkan kepada orang lain untuk melakukannya."
"Pekerjaan itu termasuk pekerjaan yang sangat sulit," jawab Tandabaya.
"Jika bukan pekerjaan yang sulit, aku tidak akan menunjukmu," jawab Ki Racik.
Ki Tandabaya menarik nafas dalam-dalam. Sementara Ki Racik berkata, "Laporan resmi telah datang. Justru Senopati Ing Ngalaga telah memberikan laporan kepada pimpinan Keprajuritan di Pajang, bahwa seorang Lurah prajurit telah ditangkap, ketika orang itu sedang melakukan satu kejahatan yang tercela."
"Apa katanya ?" bertanya Ki Tandabaya.
"Tuduhannya sangat keji. Perampokan dan pembunuhan di tlatah Mataram," jawab Ki Racik, "karena itu, maka ia perlu ditahan."
Ki Tandabaya menarik nafas dalam, sementara Ki Racik berkata, "Persoalannya menjadi lebih rumit. Jika kau dapat berbuat lebih cepat, maka Senopati tidak akan sempat membuat pengaduan itu, karena orang yang diadukannya tidak ada."
"Aku akan segera membnuhnya," geram Ki Tandabaya, "dengan demikian, maka pengaduan itu akan merupakan pengaduan palsu karena mereka tidak dapat membuktikan bahwa benar Ki Lurah ada di Mataram."
"Tetapi Senopati Ing Ngalaga telah mengundang pimpinan keprajuritan Pajang untuk melihat keadaan Ki Lurah Pringgabaya," Ki Racik tiba-tiba saja hampir membentak.
Ki Tandabaya menjadi tegang. Dengan gagap ia berkata, "Jadi, apakah para pemimpin itu benar-benar akan berangkat?"
"Kau memang bodoh tetapi keras kepala. Kau harus dapat melakukan tugasnya sebelum Pajang mengirimkan satu atau dua orang yang mungkin akan memenuhi undangan itu, karena hal itu telah didengar oleh Kangjeng Sultan pribadi," jawab Ki Racik.
Wajah Ki Tandabaya menegang. Dengan suara bergetar ia berkata, "Atur sebaik-baiknya. Jangan datang ke Mataram sebelum malam Jum'at mendatang."
Ki Raciklah yang kemudian menegang. Dengan nada-nada marah ia bertanya, "Kenapa harus malam Jum'at mendatang ?"
"Sudah aku katakan, bahwa setiap malam Jum'at, Senopati Ing Ngalaga tidak berada dirumahnya, kecuah pada saat-saat yang khusus," jawab Ki Tandabaya.
"Apakah kau tidak dapat mengerjakan jika Senopati Ing Ngalaga ada dirumahnya ?" bertanya Ki Racik.
"Sulit sekali. Mungkin aku akan gagal," jawab Ki Tandabaya.
Ki Racik termangu-mangu sejenak. Namun kemudian katanya, "Aku akan mencoba berhubungan dengan beberapa orang pimpinan keprajuritan di Pajang, agar mereka tidak mengirimkan seorangpun sebelum lewat hari yang kau tentukan. Tetapi jika kau gagal sampai batas waktu yang ditentukan, maka untuk seterusnya aku tidak akan dapat mempertanggungjawabkannya lagi."
"Aku tidak akan gagal. Justru aku bekerja dengan sangat cermat, sehingga aku memerlukan waktu agak panjang," berkata Ki Tandabaya.
Dengan demikian, maka Ki Tandabaya benar-benar hanya mempunyai waktu sampai hari yang disebutkan. Ia tidak boleh gagal pada hari yang sudah disebutkannya itu apapun yang terjadi. Seandainya pada hari itu Raden Sutawijaya tidak pergi meninggalkan rumahnya, maka Ki Tandabaya tidak akan dapat menunggu lagi.
Dengan berdebar-debar Ki Tandabaya menunggu hari-hari yang sudah ditentukannya. Dalam ketegangan, rasa-rasanya hari-hari menjadi semakin panjang. Yang sehari, rasa-rasanya lebih dari sepekan. Sementara orang-orangnyapun menunggu pula dengan tidak sabar.
Namun akhirnya, hari-hari itupun merayap perlahan-lahan. Siang, malam, siang dan kemudian malam, sehingga akhirnya yang ditunggu itupun menjadi semakin dekat.
Dalam pada itu, untuk melepaskan kejemuannya menunggu hari-hari yang panjang, Ki Tandabaya telah mempergunakan waktunya untuk pergi kerumah seorang perempuan muda yang cantik, yang beberapa saat lagi akan ditinggal mati oleh laki-laki yang disebut suaminya. Sah atau tidak sah. Justru karena perempuan itulah, maka Ki Tandabaya lebih senang berusaha langsung membunuh Ki Lurah Pringgabaya daripada berusaha melepaskannya.
Tetapi dadanya bagaikan dihentak oleh gumpalan batu padas, ketika ternyata dirumah itu terdapat seorang laki-laki lain yang datang lebih dahulu daripadanya. Ki Pringgajaya yang kemudian bernama Partasanjaya.
"Gila, apa kerjamu disini ?" bertanya Ki Tandabaya.
"Bertanyalah kepada perempuan itu," desis Ki Partasanjaya.
Ki Tandabaya memandang perempuan yang cantik itu. Sebelum ia bertanya sesuatu, perempuan itu mendekatinya sambil tersenyum. Katanya, "Duduklah. Kenapa kau menjadi tegang " Bukankah kau sudah mengenal Ki Pringgajaya."
"Sebut namaku," potong Ki Pringgajaya yang sudah berganti nama itu.
"O, ya. Maksudku, Ki Partasanjaya," desis perempuan itu.
Ki Tandabaya tidak menyahut. Tetapi iapun tidak menolak ketika tangan perempuan itu kemudian menggandengnya dan membawanya duduk disebuah amben yang besar, beberapa langkah disebelah Ki Partasanjaya yang datang lebih dahulu daripadanya.
"Ia datang beberapa saat sebelum kau datang, kakang," berkata perempuan itu.
06 Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Untuk apa ?" bertanya Ki Tandabaya.
"Untuk apa ?" perempuan itupun ganti bertanya, "bukankah ia saudara seperguruan kakang Pringgabaya " Bukankah dengan demikian ia sudah mengunjungi saudaranya yang sedang kesepian karena ditinggal oleh suaminya."
"Persetan," geram Ki Tandabaya, "aku tidak senang melihat kunjungannya itu."
"Kenapa kau menjadi tidak senang" Ia tidak mengganggu aku. Ia tidak berbuat apa-apa. Ia datang karena ia saudara suamiku. Apakah itu salah ?"
"Sudah aku katakan, Bahwa aku tidak senang melihat kedatangannya." sekali lagi Ki Tandabaya menggeram.
"Kau memang aneh. Kau sendiri juga datang kemari. Aku menerimamu dengan senang hati. Apakah aku tidak dapat menerima kakang Partasanjaya " Justru ia masih mempunyai sangkut paut dengan kakang Pringgabaya, karena ia adalah saudara tua seperguruannya."
Wajah Ki Tandabaya menjadi tegang. Dipandanginya perempuan cantik itu dengan sorot mata membara. Katanya, "Jadi kau samakan aku dengan Partasanjaya. bahkan kau menganggap bahwa ia lebih berhak datang ketempat ini daripada aku ?"
Bergaya Sebelum Mati 2 Pendekar Cambuk Naga 7 Dendam Darah Tua Pendekar Aneh Naga Langit 40
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama