Ceritasilat Novel Online

Api Di Bukit Menoreh 17

06 Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintardja Bagian 17


Raden Sutawijaya masih tetap pada sikapnya. Bahkan kemudian katanya, "Sudah aku katakan. Aku tidak mempunyai kepereayaan lagi kepada siapapun juga di Pajang, karena justru keadaan yang tidak menentu. Jika aku minta satu atau dua orang dari para pemimpin di Pajang untuk datang dan berbicara langsung dengan kedua orang yang kini berada dibawah pengawasan para pengawal di Mataram adalah karena aku masih menghormatinya, sehingga aku akan dapat mengambil kesimpulan sikap apakah yang akan ditujukan oleh para pemimpin Pajang terhadap orang-orangnya yang bersalah. Tetapi kini justru Ki Tumenggung datang dengan membawa perintah yang tidak masuk akal. Ia melakukan kesalahan di Mataram atau orang-orang Mataram. Bukanlah wajar sekali bahwa ia harus diadili di Mataram."
"Raden sudah dengan tegas menyebut Mataram," berkata Ki Tumenggung, "seolah-olah bahwa Mataram tidak lagi berada dibawah lingkup keadilan Kangjeng Sultan di Pajang."
Darah Raden Sutawijaya yang telah panas itu rasa-rasanya hampir mendidih. Namun sebelum berkata sesuatu, terdengar pintu pringgitan berderit dan Ki Jurulah yang muncul dari ruang dalam.
Sambil tertawa Ki Juru berkata, "Ah, nampaknya ada pembicaraan penting. Ternyata bahwa Ki Tumenggung Jayawigunalah yang harus datang ke Mataram."
Tumenggung Jayawiguna mengangguk dalam-dalam. Katanya, "Ki Juru. Ternyata aku hanya sekedar utusan, justru karena aku bukan orang penting di Pajang."
Ki Jurupun kemudian duduk diantara mereka. Sikapnya yang ringan dan senyumnya yang selalu nampak dibibirnya, telah merubah suasana pertemuan yang tegang itu. Seolah-olah tidak tahu pembicaraan sebelumnya Ki Juru bertanya, "Bagaimana dengan Kangjeng Sultan " Apakah Kangjeng Sultan masih selalu dibayangi oleh penyakitnya itu sehingga tidak lagi sempat berbuat sesuatu ?"
"Ya Ki Juru," jawab Ki Tumenggung, "setiap orang menjadi prihatin atas keadaan Kangjeng Sultan. Segala macam obat telah dicobanya, tetapi keadaannya masih belum menjadi lebih baik."
Ki Juru mengangguk-angguk. Lalu katanya, "Mudah-mudahan dalam waktu dekat Kangjeng Sultan dapat segera baik kembali. Pajang akan segera bangkit seperti saat Pajang lahir dalam kancah pergolakan yang sengit pada waktu itu, karena sikap yang saling bertentangan diantara mereka yang merasa dirinya berhak atas tahta."
Wajah Ki Tumenggung Jayawiguna menegang sejenak. Namun karena Ki Juru masih saja tersenyum, maka Ki Tumenggungpun kemudian mengangguk-angguk pula, sementara Ki Juru berkata selanjutnya, "Tetapi keadaan memang cepat berubah. Umur Pajang terlalu pendek dibandingkan dengan panjangnya sejarah."
"Ki Juru," Ki Tumenggung tiba-tiba telah memotong, "apakah benar umur Pajang terlalu pendek?"
"Maksudku, jika Kangjeng Sultan tidak segera bangkit dan membenahi pemerintahan yang sekarang nampaknya menjadi buram ini," jawab Ki Juru, "karena itu. sebenarnyalah bukan salah orang lain jika kepercayaan terhadap Pajangpun telah jauh menurun."
Ki Tumenggung menarik nafas dalam-dalam. Sambil mengangguk-angguk ia berkata, "Aku mengerti Ki Juru. Apakah hal ini menyangkut pula tugasku sekarang ini ?"
"Aku sudah mendengar apa yang harus Ki Tumenggung lakukan," berkata Ki Juru, "dan akupun sudah mendengar sikap dari Raden Sutawijaya yang bergelar Senopati Ing Ngalaga."
"Jadi Ki Juru ingin mempertegas sikap Raden Sutawijaya ?" bertanya Tumenggung Jayawiguna.
"Bukan begitu. Aku tidak akan mempertegas sikap itu, karena sikap itu sendiri sudah cukup tegas," jawab Ki Juru, "namun sebenarnyalah kami di Mataram, mohon sekedar pengertian bahwa kami akan mengalami kesulitan untuk menuntut keadilan atas tingkah laku kedua orang itu."
Ki Tumenggung Jayawiguna menarik nafas dalam-dalam. Katanya kemudian, "Aku memang sekedar utusan. Bukan Duta ngrampungi. Karena itu, maka aku tidak akan mengambil sikap apapun sebelum aku menyampaikan persoalan ini kepada para pemimpin di Pajang. Mungkin Ki Patih atas nama Kangjeng Sultan akan mengambil sikap, atau orang-orang lain yang mendapat limpahan wewenang."
"Ki Tumenggung," berkata Ki Juru kemudian, "aku mohon Ki Tumenggung dapat mengenyam kata-kata sehingga persoalannya dapat dimengerti oleh orang-orang Pajang, sehingga tidak akan menimbulkan salah paham. Kami sama sekali bukannya tidak percaya bahwa keadilan dapat pula di tegakkan di Pajang, tetapi bahan-bahan untuk mempertimbangkan sikap yang paling adil itu terdapat lengkap disini. Jika kami mengundang beberapa orang pemimpin dari Pajang, itu adalah karena kami merasa Pajang adalah induk kami pula. Dalam pada itu, jika saatnya keadilan akan dijatuhkan atas kedua orang itu. maka kamipun masih tetap akan mengundang satu dua orang perwira dari Pajang apabila mereka ingin menyaksikan, bahwa keadilan tidak akan disia-siakan disini."
Ki Tumenggung itupun mengangguk-angguk. Ketika ia sekilas memandang Raden Sutawijaya, nampak betapa Senopati Ing Ngalaga itu berusaha menahan hatinya.
Sebenarnyalah bahwa Ki Tumenggug Jayawiguna itupun merasa tersinggung atas penolakan para pemimpin Mataram atas tugas yang dilaksanakannya. Tetapi seperti yang dikatakan, ia tidak mempunyai wewenang untuk bertindak lebih jauh, karena ia sekedar seorang petugas yang mempunyai kewajiban khusus, sehingga betapapun jantungnya bergejolak, ia tidak akan dapat berbuat lebih jauh lagi.
Karena itu, setelah ia meyakini sikap para pemimpin di Mataram, Ki Tumenggung itupun segera minta diri.
"Kenapa tergesa-gesa ?" bertanya Ki Juru Martani.
"Aku sedang mengemban kewajiban Ki Juru," jawab Ki Tumenggung Jayawiguna, "mungkin pada kesempatan lain, aku akan datang atas nama pribadi, sehingga aku tidak akan dengan tergesa-gesa minta diri."
"Baiklah," jawab Ki Juru, namun kemudian, "tetapi apakah Ki Tumenggung benar-benar tidak ingin bertemu dengan Ki Lurah Pringgabaya dan Ki Tandabaya ?"
"Aku tidak mendapat tugas yang demikian Ki Juru," jawab Ki Tumenggung, "sebaiknya aku tidak melakukannya. Tugasku membawa mereka ke Pajang. Jika aku tidak dapat melakukannya, maka sebaiknya aku tidak melakukan yang lain diluar tugasku."
"Tetapi apakah secara pribadi Ki Tumenggung tidak mengenal Ki Lurah Pringgabaya " Atau mungkin pengawal Kepatihan yang bernama Ki Tandabaya itu?" bertanya Ki Juru.
Ki Tumenggung menarik nafas dalam-dalam. Namun ia tetap pada jawabannya, "Tidak Ki Juru. Aku tidak ingin bertemu dengan mereka, kalau aku gagal melaksanakan tugasku."
Ki Juru tidak memaksanya untuk menemui kedua orang itu. Karena itu. maka Ki Tumenggung itupun segera minta diri kepada Ki Juru dan kepada Raden Sutawijaya yang bergelar Senapati Ing Ngidaga untuk kembali ke Pajang tanpa membawa dua orang yang sedang dalam pengawasan para pengawal di Mataram.
"Hal ini terpaksa kami lakukan," berkata Ki Juru ketika Ki Tumenggung meninggalkan regol halaman.
Ki Tumenggung tersenyum. Kemudian bersama pengawalnya ia memacu kudanya kembali ke Pajang.
Ki Juru memandangi kuda yang berlari itu sejenak. Ketika ia berpaling kearah Raden Sutawijaya, maka nampak wajah itu masih tetap buram. Karena itu, maka Raden Sutawijaya tidak banyak berbicara lagi kepada Ki Tumenggung Jayawiguna, sampai saatnya Ki Tumenggung itu meninggalkan rumahnya.
Untuk beberapa saat kemudian. Raden Sutawijaya masih berbincang dengan Ki Juru di pendapa. Betapa kesalnya hati Raden Sutawijaya menghadapi sikap orang-orang Pajang.
"Sebenarnya aku ingin melihat, bagaimanakah sikap Ki Tumenggung terhadap kedua orang tawanan itu," berkata Ki Juru.
"Aku tidak dapat mempereayainya lagi paman," sahut Raden Sutawijaya, "mereka dapat berpura-pura."
"Memang nggcr, tetapi pada ungkapan pertama, kita akan dapat menduga," jawab Ki Juru.
"Mungkin paman, tetapi aku kira tidak ada gunanya lagi. Nampaknya orang-orang Pajang sudah benar-benar ingin bersikap kasar. Agaknya ayahanda tidak lagi mendapat perhatian, bahkan mungkin sebagian dari para pemimpin di Pajang telah berusaha untuk menyingkirkannya," geram Raden Sutawijaya.
Ki Juru justru terdiam. Ia tidak mempunyai pendapat yang lebih baik daripada suatu sikap, agar Raden Sutawijaya bersedia datang menemui Kangjeng Sultan dan menerima perintahnya. Mungkin perintah itu akan berbunyi, "Selamatkan Pajang. Bimbing Benawa agar ia bersedia naik tahta."
Tetapi jarak antara Raden Sutawijaya dengan Pajang nampaknya sudah sulit untuk ditautkan kembali. Salah paham antara Kangjeng Sultan dan ayahanda Raden Sutawijaya nampaknya mempunyai akibat yang menentukan.
Karena itu, Ki Juru justru hanya berdiam diri. Bahkan iapun mulai merenungi dirinya sendiri. Kenapa ia tidak berani mengatakan perasaannya kepada Raden Sutawijaya.
Tetapi sebagai orang tua. Ki Juru yang sudah mengetahui sikap Raden Sutawijaya merasa tidak perlu untuk mengusiknya. Ialah yang harus berusaha menyesuaikan diri. Bahkan kemudian iapun tidak dapat ingkar lagi atas sikap batinnya, apabila sebenarnyalah Pajang yang rasa-rasanya menjadi semakin tua dalam usianya yang terhitung masih sangat muda didalam perjalanan sejarah itu, memang perlu mengalami perubahan yang mendasar. Pajang. Mataram, Jipang atau Madiun dan Kediri atau tempat-tempat lain, bukannya alasan mutlak bagi perkembangan masa baru. Yang penting adalah sikap pembaharu yang akan berakibat baik bagi seluruh rakyat Pajang atau daerah Demak lama. Bahkan batas bayangan dari Kerajaan Majapahit, yang sudah menjadi semakin kabur.
"Mungkm karena pandanganku terlalu picik," berkata Ki Juru didalam hatinya, "atau barangkali aku sudah dipengaruhi oleh kesetiaanku terhadap ayahanda Raden Sutawijaya yang disebut Ki Gede Pemanahan itu, sehingga menurut pengamalanku, pikiran yang paling jernih untuk melahirkan sikap yang baru adalah Mataram."
Dan karena itulah, maka Ki Juru berada di Mataram yang diharapkannya akan dapat melaksanakan gagasan-gagasan baru yang berguna bagi Pajang meskipun dilakukannya di Mataram.
"Pajang atau Mataram sebagai tempat tidak penting," berkata Ki Juru itu didalam liatinya. Tetapi gagasan yang baik dan bermanfaat akan memancar kesegenap penjuru."
Dalam pada itu, Ki Juru yang sedang merenung itupun mengangkat wajahnya ketika Raden Sutawijaya kemudian berkata, "Paman. Nampaknya kita tidak boleh terlalu lamban. Kita harus berbuat lebih cepat untuk mengimbangi kecepatan gerak orang-orang yang terlalu bernafsu untuk mempercepat beredarnya matahari. Pajang nampaknya telah didorong untuk segera terbenam. Mereka dengan tergesa-gesa menunggu terbitnya satu masa baru yang sesuai dengan citra mereka. Citra sekelompok manusia yang sekedar didorong oleh keinginan pribadi dengan segala macam cara. Terhormat atau tidak terhormat."
Ki Juru hanya dapat mengangguk-angguk. Tetapi hatinya memang terasa pahit. Hubungan yang tersendat-sendat itu benar-benar akan terputus sama sekali.
"Tetapi," katanya didalam hati, "sulit untuk menemukan cara yang lain untuk mambersihkan Pajang dari orang-orang yang telah terbius oleh satu mimpi yang hitam itu. Jika yang harus terjadi itu justru akan dapat membersihkan mereka, maka apaboleh buat, meskipun dengan demikian akan jatuh korban yang sangat mahal."
Dalam pada itu. maka Raden Sutawijayapun berkata, "Nampaknya Pajang tidak akan mengirimkan seorang-pun yang akan bertemu dengan Ki Lurah Pringgabaya dan Ki Tandabaya. Sikapku nampaknya akan mendapat tanggapan tersendiri dari mengirimkan utusan itu."
"Ya ngger. Aku kira memang demikian," jawab Ki Juru.
"Karena itu paman, aku tidak dapat sekedar menunggu. Aku harus berbuat sesuatu," desis Raden Sutawijaya.
"Apa yang akan angger lakukan ?" bertanya Ki Juru.
"Aku akan pergi ke Jati Anom," sahut Raden Sutawijaya.
Ki Juru mengangguk-angguk. Ia sudah mengerti, apakah yang akan dibicarakan oleh Raden Sutawijaya dengan Kiai Gringsing dan kedua muridnya. Sementara itu, Raden Sutawijaya melanjutkan, "Besok aku akan mengirimkan utusan ke Tanah Perdikan Menoreh. Aku akan pergi bersama dengan Ki Gede Menoreh ke Jati Anom."
Ki Juru mengangguk-angguk. Rencana Raden Sutawijaya itu nampaknya akan memberikan arti bagi Mataram. Jika Tanah Perdikan Menoreh menjadi kuat, Maka Tanah Perdikan itu akan dapat membantu tegaknya Mataram jika yang memimpin Tanah Perdikan itu dapat mengerti tujuan perjuangan Mataram menghadapi masa depan."
Seperti yang direncanakan, maka dihari berikutnya Raden Sutawijaya telah mengirimkan dua orang pengawal ke Tanah Perdikan Menoreh. Keduanya mendapat perintah untuk menyampaikan pesan kepada Ki Gede Menoreh, bahwa Raden Sutawijaya sudah siap pergi ke Jati Anom kapan saja sesuai dengan waktu yang dapat diberikan oleh Ki Gede Menoreh sendiri.
Kedua utusan itu telah diterima di Tanah Perdikan Menoreh langsung oleh Ki Gede. Namun Ki Gede tidak dapat berangkat pada hari itu juga. Ia masih harus memberikan beberapa pesan kepada kemanakannya yang akan menunggui Tanah Perdikan itu.
"Kapan saja Ki Gede sempat," berkata utusan itu.
"Baiklah," berkata Ki Gede, "besok aku akan datang ke Mataram. Mudah-mudahan aku sudah dapat menyerahkan tugas-tugasku disini kepada Prastawa."
"Segala-galanya akan kami sampaikan kepada Raden Sutawijaya yang bergelar Senapati Ing Ngalaga," jawab utusan itu, yang kemudian mohon diri untuk kembali ke Mataram.
Sepeninggal utusan itu, maka Ki Gede Menorehpun segera memanggil Prastawa. Iapun segera memberitahukan bahwa ia akan pergi ke Mataram.
"Untuk apa ?" bertanya Prastawa.
"Kami akan pergi ke Jati Anom dan Sangkal Putung," jawab Ki Gede.
"Menyenangkan sekali," tiba-tiba saja Prastawa menjadi gembira, "Apakah maksud paman memberitahukan kepadaku bahwa aku harus ikut serta ?"
Namun anak muda itu menjadi sangat kecewa ketika Ki Gede kemudian menjawab, "Tidak Prastawa. Maksudku, aku ingin memberikan beberapa pesan kepadamu selama aku pergi. Agaknya akan kurang bijaksana jika kita pergi bersama-sama. Tanah Perdikan ini akan menjadi kosong sama sekali."
"Banyak orang yang akan dapat diserahi. Bukankah paman hanya akan pergi untuk beberapa hari ?" bertanya Prastawa.
"Ya. Tetapi yang beberapa hari itu, sebaiknya justru kaulah yang mengawasi Tanah Perdikan ini sebaik baiknya," jawab Ki Gede.
Prastawa menarik nafas dalam-dalam. Sebenarnya iapun mengerti, bahwa sebaiknya ia tidak ikut pamannya ke Jati Anom dan Sangkal Putung. Namun rasa-rasanya, ada keinginan yang sulit untuk ditahannya sendiri.
Meskipun demikian, ia tidak akan dapat memaksa. Karena itu betapapun ia merasa kecewa, iapun kemudian berkata, "Baiklah paman. Aku akan tinggal dan mengawasi Tanah Perdikan ini selama paman pergi."
Ki Gede mengangguk-angguk. Katanya, "Hati-hatilah. Meskipun pada saat terakhir Tanah Perdikan ini nampaknya tenang dan tidak terjadi sesuatu, itu bukan berarti bahwa kalian akan dapat melepaskan kewaspadaan. Barangkali ada baiknya kau ketahui, bahwa persoalan antara Pajang dan Mataram nampaknya menjadi semakin hangat. Karena itu, kaupun harus berhati-hati menghadapi perkembangan keadaan itu."
"Baiklah paman," jawab Prastawa, "aku akan berhati-hati."
Ki Gedepun kemudian telah menunjuk dua orang pengawal terpilih untuk mengikutinya pergi ke Mataram. Ia sudah mendengar berita apa yang telah terjadi di Kali Praga, sehingga karena itu. maka kemungkinan yang buruk itu dapat saja terjadi atas dirinya.
Dihari berikutnya. Ki Gedepun telah bersiap pagi-pagi benar. Sudah cukup lama Ki Gede tidak meninggalkan Tanah Perdikannya. Terutama sejak keadaan kakinya menjadi semakin buruk. Untunglah bahwa pada saat ia pergi ke Mataram, kakinya tidak sedang kambuh. Karena itu, maka sama sekali tidak ada kesan, bahwti Ki Gede Menoreh telah mendapat cacat kaki.
Meskipun demikian, Ki Gede Menoreh adalah tetap seorang yang pilih tanding. Pada saat-saat kakinya menjadi semakin buruk, maka Ki Gede yang sudah menjadi semakin tua itu, masih sempat menyesuaikan diri dan ilmunya, dengan keadaan kakinya. Ki Gede telah mempersiapkan satu perkembangan ilmu sesuai dengan keadaannya, sehingga apabila keadaan memaksa. ia akan dapat bertempur dengan baik. Ki Gede sudah berhasil menitik beratkan gerak dan ungkapan ilmunya dengan tangannya dan sedikit sekali menggerakkan kakinya.
"Mudah-mudahan kakiku tidak kambuh diperjalanan," desisnya ketika ia meninggalkan padukuhan induk.
Demikian Ki Gede diiringi oleh dua orang pengawalnya menempuh perjalanan yang sebenarnya tidak terlalu jauh. Dengan selamat mereka menyeberang Kali Praga. dan kemudian menuju ke Mataram.
Di Mataram, Raden Sutawijaya sudah menunggunya. Rasa-rasanya segalanya menjadi terlalu lamban. Kedatangan Ki Gede Menorehpun rasa rasanya sudah ditunggunya terlalu lama.
Demikianlah Ki Gede Menoreh datang, maka Raden Sutawijayapun dengan tergopoh-gopoh telah menyambutnya dan mempersilahkannya naik kependapa. Demikian pula Ki Juru Martani dan beberapa orang pemimpin yang lain telah menerima mereka pula di pendapa.
Betapapun gejolak hati Raden Sutawijaya untuk segera berangkat ke Jati Anom. namun ia sama sekali tidak menampakkannya pada sikap dan kata-katanya. Bahkan mengingat keadaan kaki Ki Gede Menoreh, maka agaknya lebih baik Ki Gede dipersilahkan untuk bermalam barang satu malam sebelum mereka dihari berikutnya berangkat ke Padepokan kecil di Jati Anom.
Beberapa saat lamanya mereka saling mengucapkan selamat. Para pelayanpun segera menghidangkan tamunya bagi para tamu dari Tanah Perdikan Menoreh. Serabi dan emping melinjo, serta beberapa jenis makanan yang lain.
Dalam pada itu, maka Ki Gede Menorehpun bertanya, "Apakah angger Sutawijaya berniat untuk pergi ke Jati Anom hari ini juga ?"
Raden Sutawijaya tersenyum. Jawabnya, "Sebenarnya aku memang ingin Ki Gede. Tetapi aku kira Ki Gede lebih baik beristirahat barang satu hari disini."
"Ah," desis Ki Gede," itu tidak perlu Raden. Semakin cepat persoalan ini selesai, akan semakin baik bagiku. Karena dengan demikian aku akan dapat segera kembali ke Tanah Perdikan Menoreh."
"Tetapi Ki Gede perlu beristirahat. Jika Ki Gede terlalu lelah, maka kaki Ki Gede akan dapat kambuh kembali justru pada saat Ki Gede sedang dalam perjalanan."
"Tetapi bukankah aku tidak mempergunakan kakiku Raden," jawab Ki Gede, "aku tinggal duduk saja dipunggung kuda. Kaki kuda itulah yang akan menjadi letih. Tetapi jika kuda-kuda itu diberi kesempatan untuk beristirahat, maka aku kira kuda-kuda itupun tidak akan terlalu letih."
Tetapi Ki Jurulah yang berkata kemudian, "Tetapi sebaiknya Ki Gede bermalam satu malam disini. Besok pagi-pagi benar Ki Gede akan menempuh perjalanan dibawah sinar matahari pagi yang segar."
Ki Gede Menoreh tersenyum. Katanya, "Terserahlah kepada Raden Sutawijaya. Tetapi jika dikehendaki, aku sudah siap untuk berangkat sekarang."
Raden Sutawijaya termangu-mangu sejenak. Namun agaknya Ki Juru yang mengetahui kegelisahan itu justru berkata, "Sebaiknya Raden memang berangkat besok pagi."
Raden Sutawijaya menarik nafas dalam-dalam. Kata-kata itu memang dapat menolongnya mengambil keputusan setelah ia diombang-ambingkan oleh kebimbangan beberapa saat lamanya.
"Ki Gede," berkata Raden Sutawijaya kemudian, "sebenarnyalah aku memang ragu-ragu. Apakah aku akan berangkat sekarang, atau besok. Aku memang dibayangi oleh kegelisahan hati, sehingga rasa-rasanya aku ingin berangkat sekarang. Tetapi adalah tidak sepantasnya jika aku mempersilahkan Ki Gede dengan tergesa-gesa, apalagi aku tahu bahwa kaki Ki Gede tidak lagi wajar seperti semula."
"Tidak apa-apa Raden," desis Ki Gede sambil tersenyum, "tetapi baiklah, aku tidak akan menumbuhkan lagi kebimbangan dihati Raden itu. Aku berterima kasih bahwa aku mendapat kesempatan untuk bermalam semalam disini."
Malam itu, Ki Gede bermalam di Mataram. Dari Raden Sutawijaya dan Ki Juru, Ki Gede Menoreh mendengar apa yang dilakukan oleh para pemimpin di Pajang. Mereka tidak mengirimkan utusan seperti yang dikehendaki oleh Raden Sutawijaya, tetapi mereka justru mengirimkan utusan untuk mongambil kedua orang tawanan itu.
"Bukankah itu tidak mungkin," geram Raden Sutawijaya.
Ki Gede Menorehpun mengangguk-angguk. Iapun menyadari, betapa gawatnya hubungan antara Pajang dan Mataram. Tentu bukan hubungan antara Raden Sutawijaya dan ayahanda angkatnya, tetapi justru karena orang-orang yang berada disekilar Kangjeng Sultan Hadiwijaya yang sebagian sudah dipengaruhi oleh mereka yang menyebut diri mereka pewaris kejayaan Majapahit.
"Mereka yang tidak tergolong lingkungan itu. seakan akan tidak mendapat tempat lagi," berkata Raden Sutawijaya.
Ki Gede mengangguk-angguk. Karena itulah, agaknya Raden Sutawijaya seakan-akan menjadi semakin tergesa-gesa untuk membentuk satu kekuatan yang tangguh di Mataram, untuk mengimbangi orang-orang yang ingin membuat Pajang dan Mataram hancur bersama-sama dan yang kemudian diatas reruntuhan itu membangun satu lingkungan yang sesuai dengan keinginan mereka.
Ketika malam kemudian larut semakin malam, maka Ki Gedepun dipersilahkan untuk beristirahat. Raden Sutawijaya sudah menawarkan, apakah Ki Gede Menoreh ingin bertemu dengan kedua orang yang tertawan di Mataram itu. Tetapi Ki Gede menggeleng sambil menyahut, "Aku kira aku tidak usah bertemu dengan keduanya Raden. Aku belum mengenal keduanya. Apalagi yang seorang adalah pengawal Kepatihan. Mungkin kehadiranku di bilik mereka, akan dapat mereka anggap sebagai satu kesengajaan untuk menyinggung perasaan mereka."
Raden Sutawijayapun dapat mengerti, sehingga karena itu ia tidak mempersilahkan lagi.
Sementara itu di pagi-pagi benar. Raden Sutawijaya telah siap untuk berangkat. Demikian pula Ki Gede Menoreh dan pengawal-pengawalnya. Untuk sesaat mereka masih sempat makan pagi. Kemudian, begitu matahari telah melontarkan sinar paginya. Raden Sutawijaya diiringi oleh seorang pengawalnya, telah meninggalkan Mataram bersama-sama Ki Gede Menoreh dan kedua pengawalnya. Seperti biasanya. Raden Sutawijaya tidak mengenakan pakaian dan tanda-tanda kebesarannya. Ia mengenakan pakaian orang kebanyakan seperti yang dikenakan pula oleh Ki Gede Menoreh.
Namun demikian mereka sampai keluar regol kota Mataram, Ki Gede mulai dibayangi oleh keragu-raguan. Kemana mereka akan singgah lebih dahulu.
"Aku jadi bingung," berkata Ki Gede Menoreh, "apakah sebaiknya kita pergi langsung ke Jati Anom atau kita akan singgah lebih dahulu ke Sangkal Putung."
"Kenapa Sangkal Putung ?" bertanya Kaden Sutawijaya, "jika kita sudah berada di Jati Anom, maka kita tinggal memanggil Swandaru dan Pandan Wangi. Kita dapat menyuruh satu dua orang pengawal kita untuk pergi ke Sangkal Putung."
Ki Gede Menoreh menarik nafas dalam-dalam. Katanya, "Mungkin bagi Raden tidak ada persoalan apapun juga. Tetapi bagiku hal ini akan mengundang pertanyaan Pandan Wangi adalah anakku, jika aku lebih dahulu singgah ditempat orang lain. baru kemudian memanggil anak dan menantuku, agaknya akan menimbulkan pertanyaan dihati mereka. Juga pada Ki Demang Sangkal Putung."
Raden Sutawijaya mengerutkan keningnya, ia pun sadar, bahwa Ki Gede Menoreh adalah ayah Pandan Wangi dan mertua Swandaru. Sedang dengan orang-orang yang tinggal dipadepokan kecil itu di Jati Anom. ia tidak mempunyai sambungan kekeluargaan sama sekali.
Karena itu, maka katanya kemudian, "Jika demikian. baiklah aku menurut saja. mana yang baik bagi Ki Gede. Agaknya memang lebih pantas jika Ki Gede lebih dahulu singgah di Sangkal Putung. Baru kemudian kila pergi ke Jati Anom bersama-sama dengan Swandaru dan Pandan Wangi."
Ki Gede mengangguk-angguk. Desisnya, "Baiklah Raden. Kita pergi ke Sangkal Putung."
Demikianlah, maka iring-iringan kecil itupun segera memacu kudanya menuju ke Sangkal Putung. Di Prambanan. mereka sempat beristirahat sejenak untuk memberi kesempatan kepada kuda-kuda mereka minum dan makan rerumputan dipinggir Kali Opak. sementara penunggang-penunggangnya duduk dibawah sebatang pohon yang rindang.
Tanpa disengaja Raden Sutawijaya memandangi sekelompok Candi yang berdiri dipinggir Kali Opak. Sekilas terbayang kebesaran masa lampau. Bagaimana sekumpulan manusia bekerja keras untuk membuat candi yang besar dan tinggi dari tumpukan-tumpukan batu berukir lembut.
Namun dalam pada itu. Raden Sutawijaya yang duduk bersama Ki Gede itupun telah tertarik perhatiannya kepada dua orang berkuda yang tiba-tiba saja telah berhenti dan meloncat turun mendekati pengawal-pengawal Ki Gede dan Raden Sutawijaya yang duduk terpisah.
"Apakah yang kalian lakukan disini ?" bertanya salah seorang dari kedua orang itu.
Pengawal itu termangu-mangu sejenak. Namun salah seorang dari mereka menyahut, "Kami beristirahat disini Ki Sanak."
"Kalian dari mana dan mau kemana ?" bertanya orang itu pula.
"Kami sedang dalam perjalanan kerumah seorang kawan kami di Kumuda," jawab salah seorang pengawal itu dengan serta merta, "kenapa " Apakah kalian juga ingin bertanya, kenapa kami mengunjungi kawan kami itu ?"
Kedua orang itu menegang sejenak. Namun salah seorang kemudian berkata, "Jarang sekali kami melihat orang-orang yang duduk beristirahat dipinggir Kali Opak ini."
"Apakah kalian setiap hari mengamati orang-orang lewat " " salah seorang pengawal yang lain bertanya.
Kedua orang itu tidak segera menyahut. Namun sekilas mereka memandang Raden Sutawijaya dan Ki Gede yang duduk beberapa langkah dari para pengawalnya.
"Apakah kedua orang itu kawan kalian ?" bertanya salah seorang dari kedua orang itu.
Para pengawal itu termangu-mangu sejenak. Namun salah seorang dari mereka tiba-tiba saja menjawab, "Kita berpapasan jalan. Kami akan ke Kumuda, namun agaknya mereka akan menempuh jalan ke Cupu Watu atau Temu Agal atau mungkin ke Tambak Baya atau malahan pergi ke Mataram. Bertanya sajalah kepada mereka."
Kedua orang itu menggeram. Yang satu berdesis, "Kau sengaja berteriak agar mereka mendengar. Tidak ada gunanya lagi aku bertanya kepada mereka."
"Siapa sebenarnya kau berdua " Prajurit " Petugas sandi atau apa ?" bertanya salah seorang pengawal.
"Bukan apa-apa," jawab salah seorang dari kedua orang itu.
"Sikap kalian sangat aneh. Jarang sekali orang bertanya dengan serta merta kepada orang yang belum dikenalnya seperti yang kalian lakukan ini," desis pengawal yang lain.
Tetapi kedua orang itu hampir bersamaan menjawab, "Tidak ada apa-apa."
Pengawal pengawal itu tidak bertanya lagi ketika kemudian kedua orang itu meninggalkan mereka. Keduanya kemudian meloncat kepunggung kuda masing-masing dan berlari ke arah Barat.
Ketiga orang pengawal itu saling berpandangan sejenak. Namun kemudian merekapun mendekati Raden Sutawijaya dan Ki Gede. Salah seorang dari mereka bertanya, "Apa pendapat Ki Gede tentang mereka ?"
"Belum jelass," jawab Ki Gede, "tetapi nampaknya daerah yang berada digaris lurus antara Pajang dan Mataram ini selalu mendapat pengawasan. Baik oleh Pajang maupun oleh Mataram. Bukankah begitu Raden ?"
Raden Sutawijaya tersenyum. Jawabnya, "Agaknya memang begitu Ki Gede. Tetapi keduanya tentu bukan dari Mataram."
"Jika demikian kemungkinan terbesar, mereka adalah orang-orang Pajang. Untunglah mereka belum mengenal Raden dengan baik. Dan sudah barang tentu bahwa Senapat Ing Ngalaga tidak akan duduk dibawah sebatang pohon dipinggir Kali Opak seperti ini. Setidak-tidaknya menurut anggapan mereka," berkata Ki Gede.
Raden Sutawijaya tertawa. Namun kemudian iapun bangkit sambil berkata, "Bukankah kita sudah cukup lama beristirahat. Marilah kita akan melanjutkan perjalanan. Kuda-kuda kita tentu sudah tidak letih lagi."
Kelima orang itupun kemudian bersiap-siap untuk meneruskan perjalanan ke Sangkal Putung.
Tidak ada hambatan apapun disepanjang perjalanan mereka. Dengan aman mereka memasuki padukuhan-padukuhan yang termasuk dalam lingkungan Kademangan Sangkal Putung.
"Bukan main," desis Ki Gede Menoreh, "kemajuan yang dicapai oleh Sangkal Putung memang dapat membuat Tanah Perdikan menjadi iri."
"Swandaru memang tangkas," sahut Raden Sutawijaya, "ia mampu membuat Kademangannya menjadi semakin baik. Dari hari kehari ia mendorong Kademangannya untuk tumbuh terus dalam segala segi."
"Sementara Tanah Perdikan Menoreh menjadi semakin lama semakin mundur." gumam Ki Gede.
"Ah. tentu tidak sejauh yang Ki Gede cemaskan," jawab Raden Sutawijaya, "aku memang melihat kemunduran di Tanah Perdikan Menoreh. tetapi Ki Gede tidak perlu menjadi sangat cemas. Kemunduran itu tidak separah yang Ki Gede sangka. Selama ini Ki Gede telah berjuang untuk meningkatkan tataran hidup rakyat Tanah Perdikan Menoreh seperti yang dilakukan oleh Swandaru sekarang. Pada saat Ki Gede berhenti, maka rasa-rasanya kemunduranlah yang telah mencengkam dengan cepat atas seluruh Tanah Perdikan itu."
Ki Gede menarik nafas dalam-dalam. Katanya, "Mungkin demikian. Tetapi kemungkinan yang lain adalah, bahwa Tanah Perdikan Menoreh telah mengalami satu masa yang parah sekarang ini. Sebaiknya kita tidak usah berusaha untuk menenangkan hati sendiri. Karena dengan demikian kita justru akan mendapat gambaran yang salah. Yang mundur itu akan kita sangka sekedar berhenti."
Raden Sutawijaya tidak menjawab lagi. Tetapi ia mengangguk-angguk kecil. Anak muda yang bergelar Senapati Ing Ngalaga itu ternyata berpikir cukup dewasa. Ia mengerti perasaan Ki Gede yang kecewa dan sepi. Rasa-rasanya ada semacam kerinduan pada suatu masa yang lewat. Namun yang dirasakannya pada suatu keinginan bagi masa mendatang.
"Harapan bagi masa mendatang itu harus mendapat tanggapan sebaik baiknya," berkata Raden Sutawijaya didalam hatinya, "jika tidak maka perasaan kecewa akan semakin menekan hatinya yang semakin pepat. Ia akan menjadi semakin cepat tua dan masa depan baginya adalah kegelapan justru ia sendiri sudah tidak mempunyai kemampuan untuk berbuat banyak. Satu tataran keturunan berikut memang harus bangkit di Tanah Perdikan Menoreh."
Namun ternyata bahwa yang ada di Tanah Perdikan Menoreh dari tataran harapan itu adalah Prastawa yang kurang tanggap terhadap panggilan jamannya.
Tetapi sebenarnyalah Ki Gede telah meletakkan harapan kepada rencana perjalanan mereka. Jika disetujui oleh Swandaru. Pandan Wangi dan Agung Sedayu sendiri, maka ia akan mengundang satu kekuatan yang mungkin akan dapat membantu membangunkan Tanah Perdikan Menoreh yang sebenarnya cukup menyimpan kemampuan didalam dirinya itu.
Namun demikian, Prastawapun akan tetap menjadi satu masalah. Ia harus mengerti, apa yang sebenarnya terjadi diatas Tanah Perdikannya. karena iapun tentu merasa memiliki hak pula atas Tanah itu.
Namun bagi Ki Gede, bahwa Tanah Perdikan harus tumbuh sejalan dengan masa yang mendatang, adalah tuntutan mutlak yang tidak dapat ditunda lagi.
Demikianlah iring-iringan itupun semakin lama menjadi semakin dekat dengan padukuhan induk. Ketika kemudian iring-iringan itu memasuki regol, maka semakin terasa oleh Ki Gede bahwa Kademangan Sangkal Putung telah menjadi sebuah Kademangan yang besar, sehingga dengan demikian adalah tidak mustahil, bahwa Swandaru akan berkeberatan untuk meninggalkan Kademangannya. meskipun kedudukan sebuah Tanah Perdikan lebih kuat dari kedudukan sebuah Kademangan.
Disepanjang perjalanan Ki Gede sempat melihat sawah yang subur karena air yang mengalir teratur. Pande besi yang bekerja keras untuk membuat alat-alat pertanian, serta pedati yang hilir mudik membawa barang-barang yang akan dijual belikan dari padukuhan yang satu kepadukuhan yang lain. atau bahkan dibawa keluar masuk Kademangan dalam hubungannya dengan daerah-daerah lain. Gardu-gardu peronda yang bersih dan tidak terlalu kecil, sehingga nampak jelas, bahwa gardu-gardu itu mempunyai arti dalam kehidupan sehari-hari kademangan Sangkal Putung.
Ada sepercik kebanggaan dihati Ki Gede atas menantunya yang agak gemuk itu. Namun yang ternyata memiliki ketangkasan berpikir dan bekerja.
Ketika iring-iringan itu menwsuki regol halaman Kademangan, maka beberapa orang yang berada di Kademangan itupun menjadi sibuk. Sejenak, mereka tidak segera mengetahui, siapakah tamu-tamu yang datang itu. Namun ketika Pandan Wangi menengok dari antara pintu pringgitan yang sedikit terbuka diluar sadarnya iapun telah memekik, "Ayah. Ayah dari Tanah Perdikan Menoreh."
Suaranya didengar oleh Ki Demang dan Sekar Mirah, yang kemudian dengan tergopoh-gopoh telah ikut pula menyongsong mereka.
Dan sebenarnyalah mereka menjadi semakin terkejut ketika mereka kemudian mengetahui, bahwa seorang yang lain adalah Raden Sutawijaya yang bergelar Senapati Ing Ngalaga di Mataram, tetapi tanpa tanda-tanda kebesarannya sama sekali.
Demikianlah, maka dengan serta merta. Ki Demang-pun telah mempersilahkan mereka untuk naik kependapa, sementara Pandan Wangi telah menyuruh seseorang untuk memanggil Swandaru yang agaknya baru berada di padukuhan sebelah dalam rangka kewajibannya.
Kademangan Sangkal Putung itupun telah disibukkan karena kehadiran tamu-tamu yang tidak mereka sangka sebelumnya. Ki Demang di pendapa telah menerima tamu-tamunya dengan ucapan selamat dan saling menanyakan keadaan masing-masing.
Sejenak kemudian, para pelayanpun telah menghidangkan jamuan bagi para tamu itu. sementara Swandarupun dengan tergesa-gesa memacu kudanya memasuki halaman rumahnya.
Demikian ia meloncat dari kudanya dan menyerahkan kuda itu kepada seorang pelayannya, maka iapun dengan tergesa-gesa pula telah naik kependapa menemui tamu-tamu dari Mataram dan Tanah Perdikan Menoreh itu.
Ketika di pendapa terjadi percakapan yang riuh, maka didapurpun Pandan Wangi dan Sekar Mirah menjadi sibuk pula. Bukan saja karena tamu yang datang itu adalah ayah Pandan Wangi sendiri, tetapi bersamanya adalah Raden Sutawijaya yang bergelar Senapati Ing Ngalaga.
Tetapi agaknya Pandan Wangi dan Sekar Mirah tidak dapat berada didapur saja dengan kesibukannya sendiri, karena Ki Gedepun ingin segera bertemu.
Karena itu, maka Pandan Wangi dan Sekar Mirah itupun telah menemui para tamu itu pula dipendapa atas permintaan Ki Gede.
Untuk beberapa saat mereka berbicara tentang keadaan masing-masing. Tentang Tanah Perdikan Menoreh, tentang Mutaram dan tentang Kademangan Sangkal Putung. Ternyata bahwa di saat-saat terakhir daerah-daerah itu tidak lagi diganggu oleh peristiwa-peristiwa yang dapat mengguncang ketenangan.
Tetapi kemudian Ki Demangpun bertanya, "apakah kedatangan Ki Gede Menoreh dan Raden Sutawijaya ini mempunyai maksud tertentu atau hanya sekedar singgah atau karena sesuatu hal yang lain ?"
Raden Sutawijaya dan Ki Gede saling berpandangan sejenak. Namun kemudian Raden Sutawijayalah yang menjawab, "Aku hanya sekedar singgah Ki Demang. Sebenarnya aku sedang melihat-lihat keliling daerah Mataram ketika Ki Gede singgah di Mataram dan berniat untuk pergi ke Sangkal Putung. Adalah sudah biasa kerinduan orang tua kadang-kadang tidak dapai ditunda-tunda lagi. Begitu tiba-tiba sangat mendesak. Adalah kebetulan bagiku, bahwa sudah lama pula aku tidak mengunjungi Sangkal Putung dan barangkali Ki Gede juga akan pergi ke Jati Anom."
Ki Demang mengangguk-angguk. Jawabnya, "Sokurlah, jika tidak ada persoalan yang penting apalagi gawat. Jika demikian, maka aku akan mempersilahkan Ki Gede dan Raden Sutawijaya untuk berada di Kademangan ini unluk beberapa lama."
Tetapi Raden Sutawijaya tertawa kecil sambil menjawab, "Mungkin Ki Gede akan tinggal disini beberapa hari. Tetapi tentu tidak mungkin bagiku, karena aku mempunyai kewajiban-kewajiban tertentu yang tidak dapat aku tinggalkan terlalu lama."
"Tetapi bukankah Ki Juru ada ?" sahut Swandaru.
Raden Sutawijaya masih tertawa. Jawabnya, "Memang paman Juru Martani ada. Tetapi paman Juru Martani lebih senang jika ia sempat beristirahat."
"Tetapi untuk satu dua hari, aku kira tidak akan berpengaruh," berkata Ki Demang.
Raden Sutawijaya tidak menjawab. Tetapi suara tertawanya sajalah yang terdengar, sementara ia memandangi Ki Gede yang tersenyum pula. Tetapi Ki Gede tidak segera mengatakan sesuatu. Rasa-rasanya ia masih belum siap untuk mengatakan bahwa mereka akan pergi ke Jati Anom untuk satu kunjungan yang bukan saja sekedar menengok keselamatan penghuni padepokan kecil itu. Tetapi karena ada sesuatu yang penting.
Karena itu. maka pereakapan mereka kemudian sama sekali tidak mengarah kepada rencana kunjungan Ki Gede dan Raden Sutawijaya ke Jati Anom.
Dalam pada itu ketika dalam kesibukannya masing-masing. Raden Sutawijaya dan Ki Gede Menoreh sudah duduk beberapa saat lamanya, maka Ki Demang dan Swandaru kadang-kadang beringsut pula meninggalkan mereka untuk menyiapkan segala sesuatu. Pandan Wangi dan Sekar Mirahpun kemudian minta diri untuk membantu kesibukan didapur, sementara para pengawal lebih senang berada dihalaman yang sejuk daripada duduk dipendapa. Dihalaman mereka sempat menggeliat dan bahkan berjalan hilir mudik dan berbicara dengan pwgawal Kademangan di sebelah regol.
Dalam pada itu, Ki Gede yang kemudian duduk berdua saja dengan Raden Sutawijaya sempat berdesah, "Aku tidak dapat segera minta diri untuk meneruskan perjalanan ke Jati Anom."
"Ki Gede akan bermalam disini ?" bertanya Raden Sutawijaya.
"Inilah contohnya seorang tua. Raden," berkata Ki Gede, "Raden sudah dapat menyebut, bahwa kerinduan orang tua kadang-kadang tidak dapat ditunda-tunda lagi. Dan jika orang tua sudah berada diantara anak-anaknya, tentu tidak akan dapat dengan serta merta minta diri. Nampaknya akan janggal karena justru begitu tergesa-gesa."
"Jadi kita akan menunda perjalanan ke Sangkal Putung sampai besok ?" bertanya Raden Sutawijaya, "bukankah lebih cepat lebih baik, sehingga persoalan kita akan segera menjadi mantap."
"Kita sudah terlanjur mengatakan, bahwa perjalanan ini tanpa maksud. Dan bukankah Ki Demang akan menjadi sangat kecewa, jika seolah-olah lebih penting bagiku untuk mengunjungi orang lain daripada berada dirumah kadang sendiri ?" berkata Ki Gede.
Raden Sutawijaya menarik nafas dalam-dalam. Namun kemudian ia bergumam, "Agaknya memang demikianlah yang sebenarnya. Ki Gede masih belum dapat melepaskan rindu Ki Gede kepada anak dan menantu."
Ki Gede tertawa. Katanya, "Agaknya memang demikian Raden. Aku mohon maaf."
Tetapi Raden Sutawijayapun tertawa pula.
Karena itulah, maka ketika Ki Demang kemudian menunjukkan bilik-bilik mereka, maka mereka tidak menolak.
Tetapi pengawal Raden Sutawijayalah yang kemudian bertanya kepada anak muda itu, "Kita bermalam disini Raden ?"
Raden Sutawijaya mengangguk. Jawabnya, "Ya. Kita terpaksa bermalam disini. Mudah-mudahan kita besok tidak terpaksa bermalam lagi di Jati Anom, meskipun barangkali Ki Gede akan tinggal."
Demikianlah, maka merekapun telah bermalam di Sangkal Putung untuk satu malam. Sebenarnyalah bahwa Ki Gede memang ingin bermalam di tempat tinggal anak dan menantunya itu.
Ternyata di malam hari Ki Gede sempat melihat kesiagaan anak-anak muda Sangkal Putung. Karena itulah, maka ia merasa semakin cemas tentang Tanah Perdikannya yang semakin surut. Dimalam hari, anak-anak muda tidak lagi berada di gardu-gardu, selain para pengawal yang sedang bertugas meronda. Itupun kadang-kadang ada satu dua diantara mereka yang malas dan tidak hadir dengan seribu macam alasan.
"Tanah Perdikan Menoreh memang harus dibangunkan dengan segala macam cara," berkata Ki Gede didalam hatinya.
Karena angan-angannya tentang Tanah Perdikannya itulah, maka Ki Gede tidak dapat segera tertidur, ia masih mendengar suara kentongan dengan nada dara muluk ditengah malam. Namun akhirnya. Ki Gede itupun dapat juga tidur dengan nyenyak.
Dipagi hari berikutnya, maka Ki Gede tidak dapat menunda lagi perjalanannya ke Jati Anom. Karena itu, maka iapun telah minta diri untuk pergi ke Jati Anom. Namun ia ingin mengajak Swandaru dan Pandan Wangi menyertainya.
"Apakah tidak dapat ditunda saja sampai besok atau lusa ?" bertanya Ki Demang.
Ki Gede tertawa. Katanya, "Besok aku sudah berada disini lagi."
Swandaru yang tidak mengetahui maksud mertuanya itupun tidak berkeberatan untuk mengikutinya ke Jati Anom. Bahkan karena Pandan Wangi akan mengikuti pula. Sekar Mirahpun telah minta untuk pergi juga ke Jati Anom.
"Bagaimana Ki Gede, apakah Ki Gede tidak berkeberatan jika Sekar Mirah pergi bersama kita ?" bertanya Swandaru.
"Tentu tidak. Jika ia ingin pergi, biarlah ia pergi bersama kita," jawab Ki Gede.
Ki Demang tidak dapat mencegah lagi. Namun Swandaru masih harus menyiapkan beberapa orang pengawal khusus di Kademangan, selama ia berada di Jati Anom.
Sejenak kemudian, maka sebuah iring-iringan kecil lelah berangkat dari Sangkal Putung. Tiga orang dari Tanah Perdikan Menoreh, dua orang dari Mataram dan tiga orang dari Kademangan Sangkal Putung.
Namun dalam pada itu. diperjalanan Kaden Sutawijaya berkata, "Jangan memberikan kesan bahwa aku adalah Senapati Ing Ngalaga dari Mataram, karena kedatanganku tanpa memberitahukan kepada Untara. Ia akan dapat tersinggung atau barangkali merasa bahwa aku tidak tahu diri. karena aku tidak memberitahukan kepadanya."
"Apakah harus begitu ?" bertanya Swandaru.
"Ia adalah Senapati di Daerah ini. Seharusnya memang demikian," jawab Raden Sutawijaya, "apalagi jika kedatangan itu ada hubungannya dengan tugas-tugas keprajuritan."
Swandaru mengangguk-angguk. Tetapi iapun kemudian bergumam, "Tidak perlu Raden memberitahukan kepadanya. Raden adalah tamuku."
Raden Sutawijayalah yang kemudian termangu-mangu mendengar sikap Swandaru. Namun iapun kemudian sadar, bahwa sifat Swandaru memang berbeda dengan sifat Agung Sedayu.
Tetapi Raden Sutawijaya tidak mempersoalkannya lagi. Ia berkuda diantara para pengiring dari Tanah Perdikan Menoreh dan Mataram, sehingga tidak akan ada seorangpun yang menyangka, bahwa diantara mereka didalam iring-iringan itu terdapat Senapati Ing Ngalaga yang berkedudukan di Mataram.
Karena itulah, ketika mereka berpapasan dengan dua orang prajurit Pajang yang meronda, maka yang mereka kenal pertama-tama adalah Swandaru dari Sangkal Putung yang mengaku mengantarkan mertuanya menengok Kiai Gringsing.
"Aku kurang begitu mengenal anak Ki Demang Sangkal Putung itu," desis yang seorang dari kedua prajurit Pajang di Jati Anom itu.
"Aku mengenalnya. Tetapi jika tidak, kedua perempuan itu adalah ciri yang paling mudah dikenal. Seorang yang gemuk dan berkuda bersama dua orang perempuan dalam pakaian laki-laki, adalah anak Ki Demang Sangkal Putung. Kedua perempuan itu adalah isteri dan adiknya." jawab kawannya.
"Aku hanya pemah mendengar ceritera tentang kedua perempuan itu," berkata yang lain, "tetapi mengenal dengan baik, agaknya memang belum."
"Kau belum terlalu lama disini," desis kawannya.
Keduanya tidak membicarakannya lagi. Keduanya melanjutkan perjalanan mereka, meronda daerah Jati Anom yang kadang-kadang masih dikejutkan oleh peristiwa-peristiwa yang tidak terduga."
Namun sebenarnyalah Untara memang meningkatkan kewaspadaan. Ia tidak dapat menutup mata, bahwa terjadi pergolakan yang seolah-olah menjadi semakin tajam antara Mataram dan Pajang. Namun Unrarapun tahu, bahwa ada beberapa orang yang mempunyai sikap tersendiri di Pajang. Untarapun tahu, bahwa ada satu jalur yang diantara bulir-bulir untaiannya adalah Ki Pringgajaya dan Ki Tumenggung Prabadaru.
Tetapi Untara adalah seorang prajurit. Kecuali sikap yang tumbuh pada diriuya sendiri, maka iapun harus menyesuaikan diri dengan perintah-perintah yang diterima dari Pajang, meskipun ia sadar, bahwa ia mempunyai wewenang untuk menyaring perintah-perintah itu. justru karena di Pajang telah tumbuh perbedaan sikap diantara para pemimpinnya meskipun dengan diam-diam.
Dalam pada itu. iring-iringan dari Sangkal Putung itupun telah menjadi semakin dekat dengan Padepokan kecil yang dihuni oleh Kiai Gringsing dan muridnya.
Sementara itu, Ki Gede Menorehpun telah menjadi berdebar-debar. Ia berharap bahwa jika persoalannya itu disampaikan kepada Agung Sedayu dan Swandaru, hendaknya keduanya atau salah seorang daripadanya tidak akan tersinggung karenanya. Ki Gede yakin, bahwa Pandan Wangi sendiri tentu tidak akan berkeberatan, jalan manapun yaug akan dipilihnya. Namun, ia tidak tahu bagaimana tanggapan Swandaru dan Agung Sedayu sendiri. Sementara Ki Gede merasa, bahwa Prastawa akan dapat diberinya pengertian tentang cara yang telah dipilihnya itu.
Ketika iring-iringan itu mendekati regol padepokan. maka seorang cantrik yang melihatnya, telah dengan tergesa-pesa memberitahukan kehadiran iring-iringan itu kepada Kiai Gringsing.
"Siapa ?" bertanya Kiai Gringsing.
"Tidak jelas," jawab cantrik itu, "tetapi diantara mereka terdapat Swandaru dari Sangkal Putung dengan isteri dan adik perempuannya."
"O," Kiai Gringsingpun mengangguk-angguk. Tetapi ia tidak menjadi gelisah, karena yang hadir itu adalah muridnya sendiri. Meskipun demikian iapun ingin segera mengetahui, apakah mereka sekedar datang untuk menengoknya atau ada kepentingan yang lain.
Karena itulah, maka Kiai Gringsingpun kemudian dengan tergesa-gesa telah keluar kependapa. sementara ia telah menyuruh cantrik itu untuk memberitahukan kepada orang-orang yang berada dipadepokan itu. bahwa Swandaru. isteri dan adiknya telah datang.
Yang segera terlintas didalam angan-angan Ki Gede, kedatangan mereka itu justru atas keinginan Sekar Mirah. Bagaimanapun juga. hubungannya dengan Agung Sedayu kadang-kadang telah memaksanya untuk sekali-sekali bertemu apapun alasannya.
Namun Kiai Gringsing itupun tiba-tiba telah tertegun ketika ia melihat, siapa saja yang telah memasuki regol padepokannya. Dan ternyata kehadiran tamu-tamunya itu telah membuat oreng tua itu menjadi berdebar-debar.
Kiai Gringsing tidak saja menyambut tamunya dipendapa. Tetapi ia telah turun kehalaman dan berjalan tergesa-gesa mendekati tamu-tamunya, yang ternyata antara lain adalah Raden Sutawijaya yang bergelar Senapati Ing Ngalaga dan Ki Gede Menoreh dari Tanah Perdikan Menoreh.
"Kehadiran Raden dan Ki Gede benar-benar telah membuat jantungku berdebar-debar," berkata Kiai Gringsing.
Raden Sutawijaya dan Ki Gede Menoreh tersenyum. Sambil membungkuk hormat. Raden Sutawijaya menyahut, "Maaf Kiai, mungkin kedatangan kami memang mengejutkan. Tetapi sebenarnyalah kami tidak mempunyai kepentingan yang akan dapat membuat Kiai terkejut, karena kami hanya sekedar singgah dari sebuah perjalanan."
"O," Kiai Gringsing mengangguk-angguk, "Raden baru saja menempuh perjalanan yang panjang bersama semuanya ini ?"
"Tidak," jawab Raden Sutawijaya, "hanya aku dan Ki Gede. Kami telah singgah di Sangkal Putung dan mengajak Swandaru. isteri dan adiknya untuk datang kemari."
"Sokurlah," Kiai Gringsing mengangguk-angguk, "marilah. Aku persilahkan Raden, Ki Gede dan anak-anak dari Sangka Putung ini untuk naik kependapa."
Setelah menyerahkan kuda-kuda mereka kepada para cantrik, maka para tamu itupun segera naik kependapa.
Sejenak kemudian, dipendapa itu telah duduk pula selain para tamu dan Kiai Gringsing, Ki Widura yang kebetulan sedang berada di padepokan itu pula. Ki Waskita yang telah terlibat kedalam satu pergumulan ilmu dengan Agung Sedayu. Agung Sedayu sendiri dan prajurit muda yang bernama Sabungsari, yang menghabiskan sebagian waktunya dipadepokan itu. Sementara Glagah Putih telah sibuk membantu para cantrik menyiapkan jamuan bagi tamu-tamu mereka.
Setelah mereka saling mempertanyakan keselamatan masing-masing, maka Kiai Gringsingpun telah bertanya, "Mudah mudahan kedatangan para tamu ini benar-benar tidak akan mengejutkan aku."
"Benar Kiai," sahut Raden Sutawijaya, "kami benar-benar hanya sekedar berkunjung dan karena sudah lama kami tidak bertemu, maka rasa-rasanya kami menjadi sangat rindu kepada padepokan ini dan seisinya."
"Padepokan yang sepi," desis Kiai Gringsing, "tetapi kami sangat berterima kasih, bahwa Raden dan Ki Gede telah sudi datang berkunjung."
Raden Sutawijaya dan Ki Gede Menoreh tertawa. Sambil memandang berkeliling, Ki Gede berkata, "Padepokan yang manis. Tanaman-tanaman itu tumbuh subur. Bahkan pohon buah-buahan itu rasa-rasanya sudah tertanam puluhan tahun. Berapa sebenarnya umur padepokan ini ?"
Kiai Gringsing tersenyum. Katanya, "Sebelum tanah ini menjadi padepokan. Tanah ini adalah pategalan milik keluarga angger Agung Sedayu. Dalam pategalan itu sudah terdapat beberapa jenis pohon buah-buahan. Bahkan sudah ada pula yang berbuah. Ketika tanah ini menjadi sebuah padepokan kecil, maka pohon buah-buahan itu sama sekali tidak kami usik."
Ki Gede Menoreh mengangguk-angguk. Dari pendapa nampak pula sebuah bangunan yang terpisah, yang agaknya adalah sanggar tempat penghuni padepokan itu berlatih olah kanuragan. Namun ditempat lain Ki Gede Menoreh membayangkan bahwa tentu ada sanggar tempat penghuni padepokan itu melakukan olah kajiwan.
Namun dalam pada itu. padepokan itu benar-benar merupakan satu tempat yang sejuk. Pepohonan yang rimbun, pohon-pohon perdu yang mapan dan beberapa jenis pohon-pohon bunga. Sementara itu, sebuah kolam yang cukup luas dengan ikan peliharaan yang berenang hilir mudik didalam air yang jernih.
Dalam pada itu, Ki Gede tidak segera menyampaikan maksud kedatangannya. Bahkan seolah-olah ia memang tidak mempunyai satu kepentingan apapun juga, kecuali sekedar singgah seperti yang dikatakan oleh Raden Sutawijaya. Karena itu setelah duduk dipendapa beberapa saat, maka iapun dipersilahkan oleh para penghuni padepokan itu untuk melihat-lihat berkeliling.
Swandaru dan Pandan Wangi yaug sudah terbiasa berada di padepokan itu, telah mengantarkan tamu-tamu dari Mataram dan Tanah Perdikan Menoreh itu berkeliling. Dibelakang mereka, berjalan sambil menundukkan kepalanya. Sekar Mirah dan Agung Sedayu.
Dipendapa, Ki Waskita masih duduk bersama Kiai Gringsing dan Ki Widura sejenak, sebelum merekapun kemudian menyusul tamu-tamunya. Dengan wajah bersungguh-sungguh, Ki Waskita berkata, "Hatiku menjadi berdebar-debar."
"Jika yang mengatakannya bukan Ki Waskita, aku kira kita tidak usah memikirkannya," sahut Kiai Gringsing.
"Tetapi semakin tua, aku menjadi semakin sering mengalami kegelisahan. Tetapi nampaknya kehadiran tamu-tamu itu mempunyai satu kepentingan khusus," desis Ki Waskita kemudian. Lalu, "Hal itu terasa bukan saja karena isyarat didalam getaran perasaan. Tetapi menilik kehadiran mereka yang tiba-tiba dan bersama-sama, aku memang menduga, bahwa ada kepentingan bersama antara Mataram. Tanah Perdikan Menoreh, Sangkal Putung dan Padepokan kecil ini."
Kiai Gringsing dan Ki Widura mengangguk-angguk. Katanya hampir bersamaan, "Aku sependapat."
Ki Waskita mengangguk-angguk. Namun kemudian ia berkata, "Silahkan Kiai Gringsing mengantar tamu-tamu itu. Aku akan pergi kebelakang kandang yang masih kotor itu. Agaknya perlu sedikit dibersihkan."
Kiai Gringsing tidak mencegah Ki Waskita yang langsung akan pergi ke belakang kandang. Sejak kehadirannya di padepokan kecil itu, sebagaimana kehadirannya yang terdahulu, Ki Waskita menganggap dirinya berada ditempat sendiri, sehingga iapun melakukan berbagai macam kerja seperti yang dilakukan oleh para penghuni padepokan itu sendiri.
Sementara itu Kiai Gringsing dan Ki Widurapun telah turun dari pendapa dan menyusul tamu mereka diikuti oleh Sabungsari.
Dikebun yang sejuk, para tamu itu berhenti. Sebatang pohon jambu air yang buahnya lebat sekali nampaknya sangat menarik perhatian Ki Gede Menoreh.
Dalam pada itu. Swandaru yang melihat perhatian Ki Gede atas buah yang bergayutan itu bertanya, "Apakah Ki Gede mengingininya?"
Ki Gede tersenyum. Sementara Agung Sedayu telah mendekatinya dengan tergesa-gesa, "Biarlah aku mengambilnya."
Para tamu itupun kemudian duduk dibawah pohon jambu yang berdaun rimbun itu. sementara Agung Sedayu yang siap untuk memanjat telah mengurungkan niatnya karena Glagah Putihlah yang kemudian naik dengan cepatnya keatas dahan-dahan yang digayuti oleh buahnya yang lebat dan berwarna merah segar.
Ternyata para tamu itu lebih senang duduk dibawah pohon jambu itu daripada dengan segera kembali ke pendapa. Suasananya yang sejuk segar dan buah jambu air yang manis membuat mereka merasa nyaman berada ditempat itu.
Ketika kemudian Kiai Gringsing dan Ki Widura berada diantara mereka. maka semakin riuhlah pembicaraan dibawah pohon jambu itu. Namun ternyata Raden Sutawijayalah yang dengan hati-hati telah mengaarahkan pembicaraan itu justru kepada maksud kedatangannya bersama Ki Gede ke padepokan itu.
Ki Gede Manoreh yang menyadarinya menarik nafas dalam-dalam. Tetapi iapun mengerti, bahwa Raden Sutawijaya tidak akan dapat meninggalkan Mataram terlalu lama, sehingga ia ingin segera menyelesaikan masalah yang mereka bawa. Bahkan nampaknya waktu yang satu malam, yang mereka pergunakan bermalam di Sangkal Putung itupun telah menggelisahkan Raden Sutawijaya yang bergelar Senapati Ing Ngalaga itu.
Bagaimanapun juga akhirnya pembicaraan itupun sampai juga pada satu pembicaraan tentang Tanah Perdikan Menoreh yang semakin lama semakin mundur. Tidak seperti padepokan kecil yang bangkit itu dan apalagi dibandingkan dengan Sangkal Putung.
Swandaru menarik nafas dalam-dalam. Ketika ia memandang isterinya sekilas, dilihatnya Pandan Wangipun menunduk dalam-dalam. Meskipun tidak berterus terang, namun terasa, bahwa ayahnya menjadi sangat prihatin atas keadaan ini.
Hal itu terasa juga oleh Kiai Gringsing dan Ki Widura. sehingga keduanyapun telah mengangguk-angguk diluar sadarnya.
"Keadaan Tanah Perdikan sekarang ini telah menjadi semakin parah," berkata Ki Gede.
Swandaru termenung sejenak. Lalu hampir diluar sadarnya ia berdesis, "Kita harus mencari jalan keluar."
"Tepat," berkata Ki Gede, "kita harus menemukan satu jalan keluar yang dapat menyelamatkan Tanah Perdikan Menoreh itu dari kesulitan yang semakin dalam."
Tetapi Swandaru tidak dapat berkata apa-apa lagi. Ia tidak mengerti, jalan keluar yang manakah yang paling baik dilakukan. Namun rasa-rasanya sangat berat baginya. apabila ia sendiri harus meninggalkan Sangkal Putung yang dibinanya itu, dan tinggal untuk sementara di Tanah Perdikan Menoreh, meskipun itu juga kewajibannya. Kecuali bahwa dengan demikian ia adalah seorang laki-laki yang mengikut isterinya, namun yang penting baginya, Sangkal Putung yang baru tumbuh itu harus berkembang terus. Jika ia berada di Tanah Perdikan Menoreh, mungkin ia dapat menghentikan kemunduran yang semakin berlarut-larut di tanah Perdikan itu, tetapi Sangkal Putunglah yang akan mengalami masa surut.
Dalam pada itu. dalam kebimbangan yang mencengkam, maka Ki Gede itupun tiba-tiba bertanya kepada Pandan Wangi, "Apa pikiranmu Pandan Wangi. Atau barangkali angger Swandaru mempunyai satu pemecahan yang baik bagi kita semuanya."
Pandan Wangi menjadi semakin tunduk. Tetapi iapun mengerti bahwa Tanah Perdikan itu tidak akan dapat diterbengkelaikan lebih lama lagi. Seperti ayahnya, maka Pandan Wangi tidak terlalu percaya terhadap kemampuan Prastawa.


06 Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Tiba-tiba saja dengan betapapun ragunya. Ki Gede berkata, "Angger Swandaru. Sebelumnya aku minta maaf. apakah aku boleh mengajukan satu pendapat tentang jalan keluar itu. Tetapi sebelumnya sekali lagi aku minta maaf, mudah-mudahan hal itu tidak menyinggung perasaan segala pihak."
Swandaru dan Pandan Wangi termangu-mangu sejenak. Namun kemudian keduanya mengangguk kecil. Swandarulah yang menjawab, "Silahkan Ki Gede. Semua usaha yang baik dapat ditempuh."
Ki Gede mengangguk-angguk. Sekilas dipandanginya Raden Sutawijaya yang duduk tepekur. Ditangannya masih digenggam sebuah jambu air yang merah. Sementara Glagah Putih yang sudah turun dan duduk pula beberapa langkah dari mereka yang sedang berbincang itu masih membawa sekeranjang kecil buah jambu yang masak.
"Agung Sedayu dan anakku Pandan Wangi," berkata Ki Gede kemudian dengan bersungguh-sungguh, "jika boleh aku ingin menyatakan perasaanku, bahwa aku iri terhadap perkembangan Kademangan Sangkal Putung. Jika di Tanah Perdikan Menoreh aku merasa sendiri dan kesepian, ternyata disini memiliki kemampuan yang melimpah. Di Sangkal Putung terdapat angger Swandaru yang sudah jelas berhasil membuat Sangkal Putung menjadi semakin maju. Namun di Sangkal Putungpun terdapat angger Sekar Mirah yang sebentar lagi akan terlibat kedalam satu masa hidup kekeluargaan."
"Ah," desis Sekar Mirah.
"Nampaknya hal itu akan segera terjadi," berkata Ki Gede, "Jika demikian, aku akan merasa menjadi semakin sepi di Tanah Perdikan Menoreh."
Sekar Mirah menunduk dalam-dalam. Agung Sedayupun menjadi berdebar-debar, sementara Swandaru dan Pandan Wangi tersenyum sambil memandang kedua anak-anak muda itu.
Namun dalam pada itu. Kiai Gringsing sudah mulai melihat dengan mata hatinya, arah pembicaraan Ki Gede Menoreh. Bahkan didalam hati ia berkata, "Inilah yang dikatakan oleh Ki Waskita. Tetapi, agaknya akan menyangkut masalah yang akan memberikan ketegasan warna pada Sangka Putung dan Tanah Perdikan Menoreh."
Sementara itu Ki Gede Menorehpun meneruskannya. Karena itu, maka aku akan merasa sangat berbahagia bahwa Sangkal Putung akan menjadi semakin berkembang lahir dan batin," Ki Gede berhenti sejenak, lalu. "tetapi seperti yang aku katakan. Tanah Perdikan Menoreh justru akan menjadi semakin susut."
Swandaru dan Pandan Wangi menarik nafas panjang. Merekapun mulai mengerti maksud pembicaraan ayahnya. Keluhan semacam itu memang bukan yang pertama mereka dengar. Meskipun pada saat itu Ki Gede mengatakan kepada mereka, "Soalnya tidak terlalu tergesa-gesa."
Tetapi kini Ki Gede itu datang bersama Raden Sutawijaya. Ki Gede itu seolah-olah telah mengulangi apa yang pernah dikatakannya pada saat Swandaru dan Pandan Wangi datang menengoknya di Tanah Perdikan Menoreh.
Sementara itu, Ki Gedepun berkata selanjutnya, "Swandaru, masalahnya memang tidak tergesa-gesa. Tetapi juga tidak dapat dilupakan dan ditunda sampai waktu yang tidak terbatas. Karena itu, maka aku telah datang kemari, adalah kebetulan bahwa Raden Sutawijaya yang bergelar Senapati Ing Ngalaga juga berkenan datang ke padepokan kecil ini. Dengan demikian, maka apa yang aku katakan ini telah didengar baik oleh Raden Sutawijaya, maupun oleh gurumu. Kiai Gringsing."
Swandaru menjadi tegang. Demikian pula Pandan Wangi. Bahkan Sekar Mirah dan Agung Sedayupun telah tertarik pula kepada pembicaraan itu. Karena itulah maka merekapun telah mendengarkannya pula dengan saksama.
"Angger Swandaru," berkata Ki Gede lebih lanjut, "bagaimana pendapatmu, jika dalam keadaan yang paling menggelisahkan ini, kau dapat memberikan sekedar jalan keluar meskipun hanya bersifat sementara."
Debar jantung Swandaru menjadi semakin cepat. Ia tidak menduga, bahwa tiba-tiba saja ayah mertuanya itu bertanya langsung kepadanya. Beberapa saat lampau, ketika ia berada di Tanah Perdikan Menoreh. Ki Gede itu berkata, bahwa ia tidak memerlukan jawab segera. Tetapi hal itu dikatakannya beberapa waktu yang lampau.
"Apakah Ki Gede menganggap bahwa waktuku untuk berpikir telah cukup " " pertanyaan itu timbul dihati Swandaru.
Dalam pada itu. Kiai Gringsing, Ki Widura dan Agung Sedayu merasa tidak akan dapat memberikan pendapat mereka, karena masalahnya menyangkut persoalan yaug sangat khusus. Tanah Perdikan Menoreh itu sendiri.
Namun Swandaru sendiri juga tidak segera dapat menjawab. Beberapa saat ia termenung. Namun kemudian ia berkata, "Pertanyaan ini terasa begitu tiba-tiba. Aku sama sekali tidak bersiap untuk menghadapinya. Karena itu. aku memang merasa terlalu sulit untuk menjawab."
Ki Gede menarik nafas dalam-dalam. Dipandanginya Raden Sutawijaya sejenak. Namun kemudian katanya, "Swandaru. Memang sulit untuk mengambil satu sikap. Aku minta maaf, bahwa aku ingin bertanya kepadamu, sementara aku minta kau menjawab seperti yang kau katakan didalam hatimu. Aku ingin melihat satu sikap yang sebagaimana adanya, sehingga aku akan dapat mengambilnya sebagai bahan untuk mengusulkan satu pemecahan kepadamu dan Pandan Wangi."
Dada Swandaru menjadi berdebar-debar. Namun akhirnya iapun mengangguk sambil menjawab, "Aku akan mencoba menjawabnya Ki Gede."
Ki Gede termangu-mangu sejenak. Narnun katanya kemudian, "Swandaru, Aku ingin mendapat satu kepastian, apakah dalam waktu dekat ini kau akan dapat berada di Tanah Perdikan Menoreh " Pertanyaan ini adalah pertanyaan yang biasa. Kau dapat menjawabnya atau tidak yang tidak akan mempunyai akibat apapun juga. selain sebagai bahan yang akan dapat aku pakai untuk mengusulkan satu sikap kepadamu. Jika kau dapat berada di Tanah Perdikan Menoreh, aku merasa gembira sekali. Tetapi jika tidak, akupun dapat mengerti. Kau sedang membangun Kademangan. Dan kita tidak akan ingkar, bahwa justru digaris antara Pajang dan Mataram, diperlukan satu sikap yang mapan menghadapi perkembangan terakhir ini. Karena itu. aku minta kau memberikan jawaban sesuai dengan kata hatimu."
Bagaimanapun juga jantung Swandaru tergetar pula oleh pertanyaan itu. Sementara itu. Pandan Wangipun menjadi gelisah, karena pertanyaan ayahnya itu. Pandan Wangipun menjadi gelisah. Namun dalam pada itu Ki Gede meneruskan, "Sebenarnyalah bahwa aku sudah mempunyai satu usul meskipun segala sesuatunya tergantung kepadamu dan kepada Pandan Wangi, apapun jawab yang akan kau katakan."
Swandaru menarik nafas dalam-dalam. Dipandanginya Pandan Wangi sejenak. Tetapi yang nampak diwajah Pandan Wangi adalah kebimbangan hatinya.
"Ki Gede," berkata Swandaru kemudian, "sulit sekali bagiku untuk memberikan jawabnya sekarang. Sebenarnya aku merasa sangat berat untuk meninggalkan Sangkal Putung, yang seperti Ki Gede katakan, justru pada saat sekarang ini. Tetapi akupun mengerti, bahwa keadaan Tanah Perdikan Menoreh memerlukan penanganan yang segera pula. Semakin lama Tanah Perdikan itu akan menjadi semakin parah. Mungkin kelambatan satu dua bulan, akan berakibat sangat buruk bagi Tanah Perdikan itu."
Ki Gede mengangguk-angguk. Ia melihat kesempatan yang ditunggunya. Karena itu, maka katanya, "Angger Swandaru. Kau benar-benar sudah berpikir dewasa. Seperti yang pernah kau katakan di Tanah Perdikan Menoreh. Karena kau sudah berpikir dewasa itulah, maka aku ingin menyampaikan satu pendapat yang terserah kepadamu dan kepada Pandan Wangi, apakah pendapat ini dapat kalian terima."
Swandaru menegang sejenak. Namun kemudian iapun mengangguk kecil sambil berkata, "Ki Gede. Mungkin pendapat itu sangat bermanfaat."
Ki Gede menarik nafas dalam-dalam. Bagaimanapun juga ia merasa ragu-ragu untuk menyampaikan pendapatnya kepada Swandaru. Ia merasa ragu-ragu. Apakah Swandaru tidak merasa tersinggung karenanya, seolah-olah Swandaru telah diperbandingkan dengan saudara seperguruannya. Tetapi mungkin justru Agung Sedayulah yang merasa tersinggung. Dengan demikian, maka ia akan berkedudukan sekedar sebagai pelaksana dari kekuasaan yang seharusnya berada ditangan Swandaru.
Swandaru ternyata menunggu pendapat itu dengan hati yang berdebar-debar. Demikian pula orang-orang lain yang berada ditempat itu.
"Swandaru," desis Ki Gede, "sekali lagi aku minta maaf. Juga kepada segala pihak yang berkepentingan. Yang akan aku katakan itu adalah sekedar satu pendapat, karena aku menganggap bahwa kemampuan dan kecerahan pikiran disini berlebihan dan di Sangkal Putung benar-benar mengalami kekeringan. Dengan demikian, bagaimanakah pendapatmu dan juga pendapat Pandan Wangi dan Kiai Gringsing. jika satu diantara kemampuan yang melimpah itu aku persilahkan sementara berada di Tanah Perdikan Menoreh sambil menunggu. Maksudku, sampai angger Swandaru dan Pandan Wangi mengambil satu keputusan yang mantap."
Swandaru mengerutkan keningnya. Tetapi ia masih belum tahu pasti apakah yang dimaksud oleh Ki Geda Menoreh itu.
Ki Gede melihat kebimbangan di sorot mata Swandaru. Karena itu, maka katanya kemudian, "Tegasnya Swandaru. Jika kau masih terlalu sibuk dengan Kademangan Sangkal Putung, dan apalagi seperti yang aku mengerti sekarang ini. dalam hubungan antara Pajang dan Mataram, bagaimanakah pendapatmu jika untuk sementara aku persilahkan saudara seperguruanmu untuk berada di Tanah Perdikan Menoreh."
Swandaru mendengarkan setiap kalimat yang diucapkan oleh Ki Gede dengan jantung yang berdegup. Ia memang terkejut mendengar pendapat Ki Gede itu. Namun iapun kemudian mencoba merenunginya. Bahkan diluar sadarnya ia telah berpaling kepada Pandan Wangi.
Pandan Wangi sendiri menundukkan kepalanya. Ia mendengar dan mengerti sepenuhnya pendapat ayahnya. Tetapi yang terasa dihatinya justru debar yang menggelora. Ia tidak mengerti, kenapa tiba-tiba saja jantungnya serasa berdenyut semakin cepat.
Agung Sedayulah yang benar-benar terkejut, ia sadar, bahwa yang dimaksud adalah dirinya. Ki Gede Menoreh minta agar Agung Sedayu untuk sementara berada di Tanah Perdikan Menoreh sebelum Swandaru menentukan satu keputusan tertentu tentang Tanah Perdikan itu.
Agung Sedayu tidak mengerti, perasaan apakah yang kemudian bergejolak didalam hatinya. Tetapi bagaimanapun juga ia merasa. bahwa ia akan mendapat tempat yang baginya tidak mapan. Ia akan berada di satu tempat atas nama Swandaru. Ia akan berada di suatu tempat yang seharusnya menjadi tempat kedudukan Swandaru sebagai suami Pandan Wangi. Karena Swandaru sudah mendapat tempat sendiri yang justru memberatinya, maka ia diminta untuk melakukan tugas-tugas adik seperguruannya itu atas namanya.
Bagaimanapun juga, perasaan Agung Sedayu telah tersentuh. Tetapi ujud sentuhan itu justru adalah suatu panalangsa. Agung Sedayu tidak mengangkat wajahnya dengan sorot mata yang menyala. Tetapi Agung Sedayu justru menunduk melihat kedalam kekecilan diri. Bahkan ia merasa dirinya semakin kecil justru dihadapan Sekar Mirah. Jika hal itu terjadi, adalah karena ia mempunyai kaitan perasaan dengan Sekar Mirah. Adik Swandaru yang seharusnya mempunyai wewenang atas Tanah Perdikan Menoreh. Karena itu jika memang demikian seperti yang dikatakan oleh Ki Gede, maka ia akan menjadi seorang yang menjalankan kewajiban sebagai calon adik ipar Swandaru yang menjalankan kewajiban atas hak isterinya.
"Ah," desah Agung Sedayu didalam halinya. "Apakah kata Sekar Mirah tentang diriku. Ia sudah terlalu sering menyatakan perasaanku tentang kekecilan diriku. Kini, ia langsung mendengar, betapa orang lain menganggap diriku memang terlalu kecil."
Tetapi ternyata tanggap Sekar Mirah agak berbeda. Ia menangkap semuanya itu pada kulitnya. Bahkan ia merasa, bahwa Agung Sedayu akan berada di Tanah Perdikan Menoreh dengan kedudukan yang tidak ada bedanya dengan Swandaru sendiri, karena ia akan memerintah atas namanya. Yang mula-mula terbayang di angan-angannya, bahwa Agung Sedayu akan mempunyai kekuasaan yang penting di Tanah Perdikan Menoreh, sehingga sehari-hari, ia adalah orang tertinggi di Tanah Perdikan itu.
Justru karena tanggapan yang berbeda-beda itulah maka keadaannyapun telah dicengkam oleh keheningan. Kiai Gringsing yang menjadi berdebar-debar memandangi wajah Agung Sedayu dan Swandaru berganti-ganti. Sebagai seorang guru, maka hatinyapun tersentuh pula ia merasa apa yang dirasakan oleh Agung Sedayu. Muridnya yang seorang ini adalah anak muda yang luar biasa. Tetapi justru karena sikap hidupnya, ia adalah seorang anak muda yang seakan-akan hanya sekedar pelengkap didalam satu lingkungan hidup.
Raden Sjitawijaya yang bergelar Senapati Ing Ngalaga adalah seorang anak muda yang berpendangan titis. Ia melihat jauh kedalam pusat jantung Agung Sedayu. Karena itu, maka iapun kemudian berkata, "Swandaru, soalnya memang tidak terlalu sederhana. Ki Gede memang berbicara atas nama Kepala Tanah Perdikan Menoreh, yang merasa dirinya sudah tidak dapat berbuat seperti saat mudanya, sehingga Ki Gede perlu bantuan seseorang. Tetapi baiklah aku berkata jujur dihadapan Ki Gede Menoreh, dihadapan Kiai Gringsing. dihadapan Ki Widura dan barangkali nanti akan didengar pula oleh Ki Waskita, bahwa sebenarnya segalanya itu ada sangkut pautnya dengan perkembangan keadaan yang lebih luas. Jika Swandaru merasa dirinya terikat di Kademangan Sangkal Putung, justru karena hubungan yang semakin rumit antara Pajang dan Mataram, maka persoalan yang sangat mendesak di Tanah Perdikan Menoreh itupun ada hubungannya pula dengan masalah itu. Jika aku berbicara tentang hubungan Pajang dan Mataram, maka aku berbicara dengan sadar. Aku adalah orang yang paling berkapentingan dengan hubungan antara Pajang dan Mataram itu. Dalam keadaan yang demikian itulah, maka Ki Gede menganggap bahwa Tanah Perdikan Menoreh harus dibina. Dan aku akan menipu diriku sendiri jika aku mencoba mengingkari, bahwa akupun sangat berkepentingan dengan Tanah Perdikan itu."
Kiai Gringsing menarik nafas dalam-dalam mendengar pengakuan yang jujur dari Raden Sutawijaya. Namun pengukuan itu baginya merupakan satu sikap yang memang penting bagi perasaan Agung Sedayu seperti yang dimaksud oleh Raden Sutawijaya sendiri.
Karena itulah, maka Kiai Gringsing yang lebih banyak mendengarkan itu kemudian berusaha untuk membantu menenangkan hati Agung Sedayu yang diketahuinya telah bergejolak.
"Agung Sedayu. Persoalannya dapat dilihat dari banyak segi. Kau dapat melihat persoalan ini dari segi hubungan keluarga. Tidak ada orang lain diantara keluarga Swandaru yang pantas untuk melakukannya. Kau adalah saudara seperguruannya dan pada saatnya kau adalah keluarga dekat baginya. Namun kau akan dapat memandangnya dari segi yang lain pula. Segi yang barangkali mempunyai hubungan dengan sikap seseorang atas tanah ini. Bukan sekedar Tanah Perdikan Menoreh, tetapi lingkungan Pajang dalam keseluruhan sebagai penerus pemerintahan Demak. Dan sebagaimana kau ketahui. Demak lahir setelah Majapahit tidak dapat diselamatkan lagi. Karena itu, jika kau menangkap masalah ini dengan pandangan yang luas, maka kau akan mendapat kesan yang lain. Yang kau lakukan adalah satu usaha untuk menegakkan suatu keadaan yang lebih baik dari sekarang bagi tanah ini. Bukan sekedar karena Swandaru tidak dapat melakukan kewajibannya diatas Tanah Perdikan Menoreh, sehingga menunjukmu untuk melakukannya atas namanya. Tetapi dengan sadar, mengingat kedudukan Sangkal Putung dan Tanah Perdikan Menoreh yang terletak berseberangan diantarai oleh Mataram."
Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Yang dikatakan oleh gurunya itu agak menenangkan hatinya. Dengan demikian ia mempunyai satu sudut pandangan yang lebih luas tentang kewajiban yang disebut-sebut akan diserahkan kepadanya itu.
Dalam pada itu. Raden Sutawijayapun berkata, "Agung Sedayu. Gurumu sudah menjelaskan masalahnya. Tegasnya, Mataram memerlukan bantuan Sangkal Putung dan Tanah Perdikan Menoreh didalam banyak hal. Mungkin didalam hal persediaan makanan dalam keadaan yang khusus, bahkan nnungkin bantuan yang lebih berarti lagi. Namun semuanya itu tentu tidak akan dapat kalian katakan apa-apa sekarang ini, karena sebenarnya kalianpun masih harus merenungi keadaan lebih dalam. Namun aku agaknya telah dibayangi oleh harapan-harapan yang baik bagi masa datang yang dekat.
Tidak ada masalah lagi yang disembunyikan oleh Raden Sutawijaya. Mataram memerlukan Sangkal Putung dan Tanah Perdikan Menoreh untuk menghadapi Pajang yang tidak menentu. Sudah tentu tidak untuk menghadapi ayahanda angkat, Sultan Hadiwijaya. Tetapi tidak mustahil bahwa karena orang-orang disekitar Sultan Hadiwijaya yang semakin berkuasa, dan keadaan Sultan sendiri yang tidak menguntungkan, bahwa perkembangan hubungan Mataram dan Pajang akan sampai kepuncak keretakan, sehingga keduanya harus memilih jalan masing-masing yang justru akan menghadapkan yang satu kepada yang lain.
Namun soalnya bagi Agung Sedayu, apakah dalam kemelut antara Pajang dan Mataram, ia akan memilih pihak "
Ki Gede Menoreh melihat wajah Agung Sedayu yang tertunduk. Ia sudah mendengar penjelasan Raden Sutawijaya yang bergelar Senapati Ing Ngalaga. Iapun sudah mendengar pendapat Kiai Gringsing yang langsung menghunjam kesasaran. Karena itu, ia tidak akan memberikan penjelasan lagi akan sikapnya. Ia tinggal menunggu, apakah yang akan dikatakan oleh Swandaru, Pandan Wangi atau Agung Sedayu.
Tetapi anak-anak muda itu untuk beberapa saat hanya tertunduk diam. Nampaknya mereka sedang merenungi kemungkinan-kemungkinan yang akan terjadi diatas Tanah Perdikan Menoreh, di Kademangan Sangkal Putung dan sudah tentu dalam hubungannya dengan persoalan Pajang dan Mataram.
Seperti yang sudah diduga. Agung Sedayupun segera teringat akan kakak kandungnya. Untara.
Ia adalah seorang Senapati Pajang yang berkedudukan di Jati Anom. Jika ia kemudian terlibat kedalam satu persoalan yang langsung dalam hubungannya dengan persoalan Pajang dan Mataram, dan apalagi jika ia berdiri di pihak Mataram, maka bagaimanakah hubungannya dengan kakak kandungnya.
Tetapi kemudian timbul pula pertanyaan, "Apakah kakang Untara tidak dapat melihat, apakah yang sebenarnya terjadi di Pajang ?"
Diluar sadarnya ia memandang kearah Sabungsari yang duduk sambil menunduk dalam-dalam. Ia adalah prajurit Pajang. Meskipun ia tidak duduk terlalu dekat dengan mereka yang sedang berbincang, namun ia mendengar sebagian besar dari percakapan itu. Dan iapun mengerti apa yang sedang mereka perbincangkan dalam hubungannya dengan Pajang dan Mataram.
Namun Agung Sedayu sama sekali tidak mencemaskannya, bahwa ia akan mengadukan persoalan itu kepada Senapati Pajang di Jati Anom, atau kepada orang lain dari lingkungan keprajuritan Pajang, ia percaya bahwa Sabungsari bersikap baik kepadanya dan mengerti segala persoalannya. Seandainya ia tidak sependapat dengan pembicaraan itu, maka prajurit muda itu tentu akan langsung berkata kepadanya dengan jujur, sehingga ia akan dapat menentukan sikap yang lebih baik.
Sejenak suasana memang menjadi sepi. Tetapi degup jantung masing-masing terasa semakin cepat dan semakin keras.
Dalam keheningan itu, tiba-tiba saja terdengar Raden Sutawijaya berkata, "Segalanya memang tidak dapat diputuskan sekarang. Mungkin kalian memerlukan waktu sampai sore nanti, atau bahkan sampai esok pagi. Kalian mungkin masih ingin membicarakan beberapa persoalan sampingan yang dapat terjadi, atau kalian masih akan memperbincangkan beberapa masalah yang tidak dapat kalian katakan dihadapanku, karena masalahnya sudah menyangkut sikap dan pendirian kalian mengenai hubungan antara Pajang dan Mataram. Karena itu, silahkan kalian memperbincangkannya tanpa aku. Ambillah satu keputusan yang paling baik sesuai dengan nurani kalian."
"Lalu, apakah yang akan Raden lakukan ?" bertanya Ki Gede Menoreh.
"Ki Gede. Waktuku tidak terlalu banyak," jawab Raden Sutawijaya.
Ki Gede Menoreh mengerutkan keningnya. Tetapi ia mengerti maksud Raden Sutawijaya. Namun kecuali maksud Raden Sutawijaya untuk memberikan kesempatan kepada Agung Sedayu dan Swandaru mempelajari masalah itu tanpa kehadirannya, sebenarnyalah bahwa Raden Sutawijaya tidak akan dapat terlalu lama meninggalkan Mataram justru pada saat yang gawat ini. Apalagi di Mataram ada dua orang Pajang yang berada dibawah pengawasan para pengawal karena tingkah laku mereka.
Dalam pada itu. Raden Sutawijayapun berkata, "Aku sudah mengutarakan masalah yang harus aku katakan. Terserah kepada segala pihak. Aku akan menunggu dengan sabar. Segala keputusan akan aku terima dengan senang hati, apakah keputusan itu sesuai atau tidak dengan kepentinganku, karena sebenarnyalah aku tidak akan dapat berbuat apa-apa atas Tanah Perdikan Menoreh dan Kademangan Sangkal Putung."
"Kami mohon Raden bersedia bersabar sebentar untuk tinggal semalam saja dipadepokan kecil ini," berkata Kiai Gringsing.
"Terima kasih Kiai," jawab Raden Sutawijaya, "seharusnya tidak dapat meninggalkan rumahku sama sekali karena keadaan yang gawat. Tetapi justru karena aku menganggap masalah yang akan disampaikan oleh Ki Gede ini menyangkut kepentinganku yang menentukan, maka akupun telah memerlukan untuk ikut serta membicarakannya. Aku mohon maaf, bahwa aku telah berani mencampuri masalah yang sebenarnya adalah masalah keluarga, karena aku menganggap masalah yang sebenarnya akan menyangkut kepentingan yang jauh lebih luas dari sekedar kepentingan keluarga."
"Jadi Raden benar-benar akan segera kembali ke Mataram ?" bertanya Kiai Gringsing.
"Ya Kiai," jawab Raden Sutawijaya, "kelak, pada saatnya Ki Gede kembali ke Tanah Perdikan Menoreh, aku mohon Ki Gede bersedia singgah dan memberitahukan, apakah kalian sudah mengambil satu keputusan."
"Aku akan singgah Raden," berkata Ki Gede. Namun dalam pada itu. Kiai Gringsingpun berkata, "Baiklah Raden, Kami dapat mengerti, bahwa Raden mempunyai tugas-tugas yang tidak dapat Raden tinggalkan berlama-lama. Memang agak berbeda dengan kami yang dapat pergi untuk waktu yang tidak ditentukan tanpa dituntut oleh satu kewajiban apapun."
"Ah setiap orang mempunyai kewajibannya masing-masing Kiai," jawab Raden Sutawijaya.
"Namun demikian Raden, kami masih mohon Raden tinggal sebentar. Hanya untuk sekedar makan dipadepokan ini." minta Kiai Gringsing.
Raden Sutawijaya tersenyum. Jawabnya, "Tentu aku tidak akan menolak. Terima kasih. Aku akan menunggu saatnya akan dijamu makan dipadepokan ini."
"Tetapi baiklah, kita kembali kependapa," Kiai Gringsing mempersilahkan.
"Ah, kami belum tuntas mengelilingi halaman dan kebun dipadepokan ini," sahut Raden Sutawijaya, "kami akan menunggu nasi masak sambil melihat-lihat. Disini kami menemukan sebatang pohon jambu air. Mungkin dibagian lain kami akan menemukan sebatang pohon manggis yang berbuah lebat."
"Jika demikian silahkan," berkata Kiai Gringsing, "tetapi yang ada bukannya buah manggis, karena belum musimnya. Namun disamping pohon manggis ada sebatang pohon srikaya yang barangkali cukup lebat buahnya."
"O. menyenangkan sekali," sahut Raden Sutawijaya.
Sementara itu. merekapun segera bangkit dan meneruskan langkah mereka memutari kebun dipadepokan yang cukup luas itu.
Ketika saatnya makan telah tiba, maka dipersilahkannya para tamu dan penghuni padepokan itu, termasuk Ki Waskita untuk berada dipendapa. Para pengawal dari Mataram dan dari Tanah Perdikan Menorehpun telah makan bersama pula.
Baru setelah beristirahat sejenak. Raden Sutawijayapun mohon diri untuk kembali ke Mataram.
"Sekali lagi aku berpesan, bahwa kedatanganku di Jati Anom tidak setahu Senapati Pajang yang berkedudukan di Jati Anom ini," berkata Raden Sutawijaya, "karena kedatanganku memang bukan satu kunjungan resmi. Namun karena itu. maka aku kira kedatanganku ini tidak perlu diberitahukan kepada Senapati muda itu."
Penghuni padepokan itupun mengangguk-angguk. Mereka memang tidak merasa perlu untuk melaporkan kehadiran Raden Sutawijaya, sementara Ki Gede Menoreh nampaknya memang tidak terlalu menarik perhatian seperti kehadiran Raden Sutawijaya. sehingga kehadiran Ki Gede yang sekedar menengok anak menantunya di Sangkal Putung dan yang sekedar singgah di Jati Anom itu tidak perlu memberitahukan kepada Untara.
Demikianlah, maka Raden Sutawijaya dan seorang pengawalnya telah meninggalkan padepokan kecil itu dengan meninggalkan beberapa masalah yang berhubungan dengan kepentingan Ki Gede Menoreh.
Karena itu, sepeninggal Raden Sutawijaya, maka Kiai Gringsing telah minta Swandaru, Pandan Wangi, Agung Sedayu dan Sekar Mirah untuk membicarakannya dengan sungguh-sungguh, ditunggui oleh orang-orang tua yang berada dipadepokan itu.
Agung Sedayu yang mulai menelusuri latar belakang dari penunjukkan atas dirinya, mencoba untuk mengerti, bahwa yang penting bukannya sekedar karena ia adalah bakal ipar Swandaru, tetapi justru dihubungkan dengan perkembangan Mataram dalam hubungannya dengan Pajang.
"Memang tidak ada orang lain," desis Ki Gede Menoreh.
Swandaru mencoba merenungi baik dan buruknya. Tetapi iapun kemudian berdesis, "Memang tidak ada orang lain. Namun karena Pandan Wangilah yang langsung berada dalam garis keturunan Menoreh, maka iapun justru ikut menentukan."
"Sudah tentu," berkata Ki Gede Menoreh, "iapun wajib menyatakan pendapatnya."
Kiai Gringsing beringsut setapak. Lalu katanya. "Angger Pandan Wangi. Bagaimana pendapat angger tentang hal ini " Angger sudah mendengar segala sesuatunya. Sebab dan pertimbangannya serta segala kemungkinan yang bakal terjadi."
Pandan Wangi menundukkan kepalanya. Sebenarnyalah baginya memang tidak ada orang yang lebih baik dan dapat dipercaya dari Agung Sedayu. Apakah ada hubungan keluarga atau tidak. Agung Sedayu bagi Pandan Wangi adalah seorang anak muda yang sangat baik. Baginya Agung Sedayu telah banyak berbuat sesuatu yang menuntut pengorbanan dan bahkan mempertaruhkan nyawanya tanpa pamrih pribadi.
Tetapi Pandan Wangi tidak dapat mengatakannya, ia tidak akan dapat memuji Agung Sedayu dengan jujur seperti apa yang tersirat didalam hatinya.
Karena itu. maka katanya kemudian, "Kiai, disini ada ayah dan kakang Swandaru. Aku kira apa yang baik bagi ayah dan kakang Swandaru akan baik juga bagiku."
Ki Gede Menoreh menarik nafas dalam-dalam. Katanya, "Tetapi bukankah seharusnya kau ikut menentukan."
"Dengan demikian, aku sudah ikut menentukan," jawab Pandan Wangi.
"Baiklah Pandan Wangi," berkata Ki Gede Menoreh. Lalu katanya kepada Kiai Gringsing, "Kiai, menurut pendapatku, jawab Pandan Wangi itu menyatakan bahwa ia tidak berkeberatan pula seperti Swandaru."
Kiai Gringsing mengangguk-angguk. Sementara Ki Gede Menoreh itupun meneruskan, "Nah, aku ingin mendengar jawab Agung Sedayu sendiri."
Jantung Agung Sedayu terasa berdenyut semakin cepat. Namun ia harus menjawab pertanyaan itu. Ketika ia memandang wajah Sekar Mirah sekilas, justru ia menjadi bertanya-tanya. Ia melihat mata itu bagaikan memancarkan harapan.
"Apakah Sekar Mirah menerima penyerahan kewajiban ini dengan gairah ?" bertanya Agung Sedayu kepada diri sendiri. Namun sekilas ia melihat sifat Sekar Mirah dan keinginan-keinginannya yang pemah dikatakannya tentang hari depan, maka agaknya Sekar Mirah memang mempunyai minat atas tugas yang dibebankan kepadanya itu. Karena bagi Sekar Mirah, hal itu akan berarti, bahwa ia akan menjadi seorang yang memerintah Tanah Perdikan Menoreh betapapun landasannya.
Namun karena itu, maka rasa-rasanya Agung Sedayu memang tidak akan dapat mengelak lagi. Yang masih tetap menjadi persoalan baginya adalah sikap kakaknya. Apakah Untara akan dapat menyetujuinya. Apakah yang harus dilakukannya jika Untara tidak mengijinkannya.
Agung Sedayu benar-benar merasa berdiri dijalan simpang.
Karena Agung Sedayu tidak segera menjawab, maka Kiai Gringsing yang seolah-olah mengetahui kesulitannya berkata, "Agung Sedayu. Kau adalah seorang adik bagi angger Untara. Sudah seharusnya kau minta pertimbangannya. Tetapi sebelum datang menghadap, kau harus sudah bersikap. Kau sudah cukup dewasa, sehingga aku kira, kakakmu akan menghargai sikapmu."
Agung Sedayu menundukkan kepalanya. Tetapi ia tidak segera menjawab.
"Cobalah melihat kedalam dirimu. Baru kau pertimbangkan apakah yang akan kau lakukan sehubungan dengan sikap angger Untara," berkata Kiai Gringsing lebih lanjut.
Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Katanya, "Aku masih sangat ragu-ragu untuk menentukan sikap."
Adalah diluar dugaan, ketika tiba-tiba saja Sekar Mirah berdesis seolah-olah tidak sengaja, "Kapan kakang Agung Sedayu tidak ragu-ragu menghadapi satu masalah. Apalagi masalah yang cukup besar."
Ki Gede Menoreh berpaling kepadanya sejenak. Namun orang tua itu hanya dapat menarik nafas dalam-dalam, sementara Swandarulah yang menyahut, "ia perlu mempertimbangkan segala kemungkinan Sekar Mirah."
"Aku mengerti," jawab Sekar Mirah, "tetapi akupun mengenal kakang Agung Sedayu. Hampir tidak pernah terjadi, bahwa kakang Agung Sedayu mengambil satu sikap yang mantap menghadapi masalah-masalah penting dalam hidupnya. Ia selalu ragu-ragu, dan karena itulah, maka banyak masalah yang tidak dapat diselesaikan. Selama ia membuat pertimbangan yang tidak berujung pangkal, maka masalah-masalah itu berjalan tanpa berhenti dan menunggunya. Dengan demikian, maka kakang Agung Sedayu banyak ditinggalkan oleh kesempatan-kesempatan baik yang tidak dapat ditangkapnya justru karena ia sibuk dengan pertimbangan-pertimbangan dan keragu-raguan."
Agung Sedayu tidak membantahnya. Meskipun Sekar Mirah mengucapkannya dengan nada rendah dan perlahan-lahan, namun terasa betapa perasaan yang tertahan selama itu bagaikan meledak tanpa dapat dikendalikan.
Namun bahwa Sekar Mirah menyetujui untuk menerima tugas itu, membuatnya agak mantap. Nampaknya ia memang tidak boleh melepaskan harapan gadis itu lagi. Jika ia menolak, apapun alasannya, maka Sekar Mirah akan menjadi sangat kecewa dan bahkan mungkin akan berakibat kurang baik.
Akhirnya Agung Sedayu itupun menjawab, "Ki Gede Menoreh. Agaknya memang tidak ada alasan lagi bagiku untuk menolak. Namun bagaimanapun juga, aku harus mengatakannya kepada kakang Untara. Aku berharap bahwa kakang Untara tidak akan menghalangiku."
"Aku akan mengantarkanmu," sahut Kiai Gringsing dengan serta merta.
Agung Sedayu mengangguk.-angguk. Katanya, "Terima kasih guru. Mudah-mudahan semuanya dapat berlangsung tanpa hambatan apapun."
Ki Gede Menoreh mengangguk-angguk sambil berkata, "Tentu sudah sewajarnya bahwa kau akan berbicara dengan angger Untara. Namun agaknya anggar Untara-pun akan menghargai sikapmu sebagai seorang anak muda yang telah dewasa. Meskipun aku tahu, bahwa mungkin Untara mempunyai pertimbangan yang berkaitan dengan sikapnya sebagai seorang prajurit Pajang menghadapi Mataram. Namun kau akan dapat meyakinkannya."
"Aku akan mencoba meyakinkannya," berkata Kiai Gringsing, "mudah-mudahan aku dan angger Agung Sedayu tidak harus bersikap keras atas pendirian ini. Tetapi justru akan mendapat restu dan ijinnya karena pengertiannya."
"Mudah-mudahan. Namun bagaimanapun juga, rasa-rasanya Tanah Perdikan itu sudah akan mulai hidup lagi. Seolah-olah setelah mengalami musim kering yang panjang, diatas tanah itu telah jatuh hujan yang segar dan membasahi seluruh batang dan akar pepohonan."
Demikianlah, maka pembicaraan itu nampaknya sudah sampai pada satu kesimpulan. Meskipun masih dibayangi oleh kabut yang tipis, namun sudah dapat dilihat, bahwa Agung Sedayu akan berada di Tanah Perdikan Menoreh tidak lama lagi. Ki Gede Menoreh merasa bahwa dirinya menjadi semakin lama semakin lemah. Bukan saja tubuhnya, tetapi juga jiwanya. Cacat kakinya membuatnya semakin sepi di Tanah Perdikan yang luas. Apalagi jika senja mulai membayang dan lampu-lampu minyak sudah mulai menyala. Rumah yang besar di Tanah Perdikan Menoreh itu tidak ubahnya bagaikan kuburan. Ia terlalu merasa sepi dalam kesendiriannya.
Meskipun di Tanah Perdikan itu ada Prastawa, tetapi jarang ia berada dirumah disenja hari. Ada saja alasannya. Dan Ki Gedepun tidak dapat mencegahnya, karena Prastawa selalu mengatakan, bahwa ia akan pergi kegardu perondan, atau akan nganglang mengelilingi Tanah Perdikan, atau akan melihat bagaimana para petani mentaati waktu pembagian air atau alasan-alasan lain yang memaksa Ki Gede Menoreh tidak menahannya untuk tinggal dirumah mengawaninya.
Sementara itu, maka Kiai Gringsinglah yang telah menutup pembicaraan itu, katanya, "Ki Gede, nampaknya kita sudah sampai pada pokok masalahnya. Meskipun belum berarti bahwa segalanya akan berjalan rancak, namun kita akan dapat membicarakannya disaat-saat berikutnya. Biarlah pembicaraan seterusnya kita tunda, karena aku yakin bahwa Ki Gede tidak akan dengan tergesa-gesa meninggalkan padepokan ini."
Ternyata Ki Gedepun tidak berkeberatan. Bahkan katanya, "Aku akan berada disini sampai saatnya aku yakin, bahwa aku kembali ke Tanah Perdikan Menoreh dengan satu kepastian sikap bagi Tanah Perdikan itu."
"Baiklah," berkata Kiai Gringsing, "karena itu, maka kami ingin mempersilahkan Ki Gede untuk sekedar beristirahat. Mungkin malam nanti kita masih akan berbicara lagi tentang masalah ini."
Ki Gede tersenyum. Jawabnya, "Terima kasih. Sebenarnyalah aku memang ingin beristirahat. Agaknya akan lebih senang beristirahat di kebun yang sejuk dibelakang padepokan ini."
Kiai Gringsingpun tersenyum pula sambil mengangguk-angguk. Katanya, "Ki Waskita akan menemani Ki Gede. Mungkin juga Glagah Putih yang akan dapat mengambil buah-buahan didahan jika Ki Gede menginginkan."
Demikianlah,maka Ki Gede diantar oleh Ki Waskita dan Glagah Putih telah meninggalkan pendapa. Sementara itu Agung Sedayupun telah mengambil kesempatan tersendiri untuk berbicara dengan Sabungsari.
"Aku mengerti, bahwa tidak seharusnya aku menyampaikan hal ini kepada Senapati Pajang di Jati Anom," berkata Sabungsari, "terserah kepadamu, apakah yang akan kau lakukan."
"Aku berada dalam kebimbangan," berkata Agung Sedayu, "jika aku menerima hal ini seperti yang sudah aku katakan, tentu akan mempunyai akibat yang jauh. Kakang Untara adalah prajurit Pajang, dan kaupun seorang prajurit Pajang yang baik."
Sabungsari menurik nafas dalam-dalam. Lalu katanya, "Kalau aku berbicara tentang Mataram, rasa-rasanya aku melihat satu kepastian sikap dan cita-cita, tetapi jika aku berbicara tentang Pajang, maka yang nampak adalah kekaburan. Namun aku percaya kepada Senapati Pajang di Jati Anom. Ki Untara bagiku adalah seorang prajurit. Karena itu, aku akan menerima segala perintahnya."
Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Karena itu katanya, "Terima kasih atas sikapmu Sabungsari. Mudah-mudahan aku mendapat terang untuk menentukan sikapku dikemudian hari."
"Kau memang harus bersikap. Aku kira apa yang dikatakan oleh Sekar Mirah sebagian memang benar. Meskipun sebagian yang lain, nampaknya Sekar Mirah kurang mengerti akan sikapmu," berkata Sabungsari.
"Aku akan mencoba tidak mengecewakannya kali ini." Jawab Agung Sedayu, "mungkin keinginan inilah yang telah mendorongku untuk menerima permintaan Ki Gede Menoreh."
"Memang mungkin. Tetapi dengan demikian bukannya berarti bahwa kau telah terlibat langsung dalam masalah yang gawat dalam kemelut antara Pajang dan Mataram," berkata Sabungsari.
"Ya. Aku mengerti," desis Agung Sedayu.
"Baiklah. Sementara kita akan menunggu perkembangan keadaan. Tetapi bukankah yang akan kau lakukan itu masih akan terjadi dalam waktu yang tidak terlalu singkat. Maksudku, tidak besok atau pekan mendatang ?" bertanya Sabungsari.
"Mungkin tidak," jawab Agung Sedayu, "tentu akan ada beberapa persiapan."
"Baiklah. Selama ini aku tidak akan berkata apapun kepada siapapun sebelum kau sendiri mengatakannya. Khususnya kepada Ki Untara. Dan akupun akan berbuat seperti yang biasa aku lakukan. Aku mendapat ijin khusus untuk berada ditempat ini sejak aku terluka, dan ijin itu sampai sekarang belum pernah dicabut. Karena itu, maka aku akan banyak mempergunakan waktu seperti sekarang ini meskipun pada saat-saat tertentu aku akan berada dibarakku."
Agung Sedayu mengangguk-angguk. Ia percaya sepenuhnya kepada Sabungsari meskipun anak muda itu pernah merencanakan untuk membunuhnya. Tetapi perkembangan jiwanya telah meyakinkan bagi Agung Sedayu, bahwa ia akan berbuat baik untuk seterusnya.
Dalam pada itu, ternyata Swandaru dan Pandan Wangi yang berada diserambi berdua saja, telah terlibat kedalam pembicaraan yang sungguh-sungguh. Betapapun beratnya, namun Swandaru telah menyampaikan perasaannya tentang adik sepupu Pandan Wangi yang mempunyai perhatian yang agak menarik perhatian terhadap Sekar Mirah.
"Maaf kakang," sahut Pandan Wangi, "sebenarnyalah akupun akan mengatakannya kepada kakang, bahwa aku melihat sesuatu yang kurang wajar pada Prastawa. Karena itu, terserahlah kepada kakang, kebijaksanaan apakah yang akan diambil, karena jika Agung Sedayu ada di Tanah Perdikan Menoreh, nnaka Sekar Mirahpun tentu akan sering berada disana pula. Sebenarnyalah bahwa hal itu harus mendapat perhatian seperlunya dari segala pihak."
Swandaru menarik nafas dalam-dalam. Ternyata isterinya juga mempunyai perabaan yang sama. Jika semula ia ragu-ragu. dan bahkan cemas bahwa Pandan Wangi akan tersinggung, ternyata dugaan itu keliru.
Karena itu, maka Swandarupun justru berkata lebih lanjut, "Meskipun kakang Agung Sedayu dalam kedudukannya sebagai murid Kiai Gringsing lebih tua dari aku, tetapi didalam hubungan itu, maka aku adalah kakak Sekar Mirah."
Pandan Wangi mengangguk-angguk. Katanya, "Memang dalam hal ini, kita adalah orang tua dan wajib memberikan bimbingan. Apalagi Prastawa adalah adik sepupuku yang itu sudah aku anggap adikku sendiri."
"Kita harus berbicara dengan guru." berkata Swandaru, "apakah yang baik kita lakukan. Jika kita membiarkan hal itu berkepanjangan, sementara ternyata kelak menimbulkan sesuatu yang tidak diinginkan. maka kita termasuk orang-orang yang bersalah, karena kita tidak berusaha mengambil tindakan pencegahan."
"Apakah aku jusa harus berbicara dengan ayah" Jika ayah mengetahuinya, maka setidak-tidaknya ayah akan dapat membantu memberikan beberapa petunjuk meskipun tidak langsung kepada Prastawa. justru sebelum kakang Agung Sedayu berada di Tanah Perdikan Menoreh."
Swandaru menjadi ragu-ragu. Katanya, "Tetapi jika hal itu sudah terlanjur kita sampaikan kepada Ki Gede. padahal hal ini hanya tumbuh karena prasangka semata-mata, apakah hal itu tidak akan berpengaruh ?"
"Memang mungkin hanya satu prasangka," jawab Pandan Wangi, "Tetapi kita mempunyai prasangka yang sama. Karena itu, hal ini akan dapat kita pertanggung jawabkan bersama. Sementara yang akan kita katakan kepada ayahpun tentu akan kita lambari dengan pengantar, bahwa ini hanya suatu dugaan."
"Aku tidak berkeberatan Pandan Wangi, tetapi bagaimana jika hal ini kita bicarakan dahulu dengan guru sebelum kita menyampaikannya kepada Ki Gede" Mungkin guru dapat membantu memberikan arah pembicaraan kepada kita, jika kita akan menyampaikannya nanti kepada Ki Gede," berkata Swandaru kemudian.
Pandan Wangi tidak berkeberatan, karena itu maka merekapun menunggu kesempatan yang baik untuk dapat berbicara dengan Kiai Gringsing tanpa orang lain.
Demikianlah untuk beberapa saat dipadepokan kecil itu telah terjadi pembicaraan yang terpisah-pisah. Masing-masing menurut kepentingan mereka sendiri. Sementara itu, Ki Gede bersama kedua pengawalnya dan Ki Waskita berada di kebun belakang. Nampaknya udara dipadepokan itu terasa sangat segar bagi Ki Gede. Karena itulah, maka ia telah berbaring diatas sehelai tikar dibawah sebatang pohon kemuning yang rindang, sementara Ki Waskita yang duduk disebelahnya kemudian mempersilahkannya untuk beristirahat karena ia sendiri akan menemui Kiai Gringsing diruang dalam.
"Silahkan," berkata Ki Gede, "aku akan beristirahat disini bersama angger Glagah Putih."
Ki Waskitapun kemudian meninggalkan Ki Gede yang sedang berbaring ditemani oleh Glagah Putih dan para pengawalnya.
Namun dalam pada itu. Ki Waskita tidak langsung masuk keruang dalam untuk menemui Kiai Gringsing. Seolah-olah diluar sadarnya ia telah pergi kesanggar. Ketika ternyata bahwa sanggar itu sepi maka Ki Waskita pun telah menutup dan menyelarak pintu dari dalam.
Ada semacam kegelisahan yang mengusik hatinya, ia tidak tahu apakah sebenarnya yang telah mengganggu perasaan itu, sehingga karena itulah ia ingin melihat kedalam alam isyarat yang kadang-kadang justru dapat membingungkannya sendiri.
Beberapa saat kemudian Ki Waskita itu telah duduk diatas tikar dilantai sanggar yang sepi itu. Kemudian ia telah bersungguh-sungguh ingin melihat sesuatu yang mungkin akan dapat diurainya dalam hubungannya dengan rencana-rencana yang baru saja didengarnya tentang Tanah Perdikan Menoreh.
Sebenarnyalah, dalam kegelisahan itu Ki Waskita telah melihat satu isyarat yang kabur. Bukan Tanah Perdikan Menorehnya, tetapi justru pada Agung Sedayu.
Dengan hati yang berdebar-debar Ki Waskita berusaha untuk melihat lebih jauh lagi. Bayangan-bayangan yang kabur itu justru bagaikan terurai dalam garis-garis warna yang berbeda. Kemudian cahaya yang berterbangan melintas dengan cepat. Sementara itu. kabutpun menjadi semakin gelap. Namun bayangan Agung Sedayu dibelakang kabut itu justru nampak semakin jelas.
Ki Waskita menarik nafas dalam-dalam. Ia melihat satu isyarat. Dan ia harus mengurai isyarat itu. Sebagaimana yang sering dilakukannya.
Namun dalam pada itu, kelemahan manusiawi telah mencengkam jantungnya. Justru karena yang dilihatnya itu adalah satu peristiwa yang menyangkut seorang anak muda yang menjadi pusat perhatiannya didalam pewarisan ilmunya. Agung Sedayu adalah satu-satunya anak muda yang pernah mendapat ijinnya untuk melihat isi kitabnya. Sehingga karena itulah, maka ia melihat isyarat itu tidak lagi dengan pandangan yang tanpa kepentingan.
Tetapi Ki Waskita menyadari keadaannya. Karena itu, maka katanya kepada diri sendiri, "Aku akan berbicara dengan Kiai Gringsing. Meskipun Kiai Gringsing tidak terbiasa melakukan pekerjaan seperti ini. tetapi aku yakin, bahwa pandangan mata batinnya akan cukup tajam untuk membantu aku mengurai isyarat ini. Mungkin aku mempunyai kepentingan yang sama dengan Kiai Gringsing atas anak muda yang bernama Agung Sedayu itu. Namun dengan memperbincangkannya, maka akan aku dapat bahan-bahan lain kecuali isyarat yang sudah aku lihat. Mungkin peristiwa yang sudah terjadi, atau sedang terjadi dalam hubungan antara Pajang dan Mataram."
Karena itulah, maka Ki Waskitapun kemudian mengakhiri usahanya untuk melihat masa depan Tanah Perdikan Menoreh dalam isyarat seperti yang sering dilakukannya atas beberapa hal yang penting. Dengan gelisah ia ingin segera menemui Kiai Gringsing untuk menyampaikan penglihatannya itu.
Namun dalam pada itu, ketika ia memasuki ruang dalam, dilihatnya Kiai Gringsing sedang sibuk berbicara dengan Swandaru dan Pandan Wangi.
Ki Waskita yang melihat pembicaraan yang sungguh-sungguh itu tidak ingin mengganggunya. Karena itu, maka iapun telah menunda rencananya untuk bertemu dengan Kiai Gringsing. Dibiarkannya Swandaru dan Pandan Wangi berbicara sampai tuntas dengan Kiai Gringsing.
Karena itulah, maka Ki Waskitapun kemudian justru beringsut dan meninggalkan ruang dalam. Ia ingin menunggu pembicaraan itu selesai di longkangan.
Dalam pada itu. Kiai Gringsing yang terlibat dalam pembicaraan yang sungguh-sungguh dengan Swandaru dan Pandan Wangi, menjadi berdebar-debar juga mendengarkan keterangan kedua orang suami isteri itu. Jika benar seperti yang mereka katakan, bahwa sikap Prastawa memang pantas mendapat perhatian, seharusnyalah bahwa hal itu tidak dapat diabaikan begitu saja.
"Jadi menurut pendapatmu, apakah sikap Prastawa itu benar-benar akan dapat mengganggu?" bertanya Kiai Gringsing.
"Maaf Kiai," sahut Pandan Wangi, "ia adalah adik sepupuku. Menurut pendengaranku. Prastawa memang mempunyai kelemahan. Ia tidak boleh berdekatan barang sebentar saja dengan perempuan-perempuan cantik. Apalagi seorang gadis yang riang dan peramah seperti Sekar Mirah. Ia akan mudah tertarik dan bahkan mungkin akan dapat kehilangan pertimbangan-pertimbangan nalar yang bening."
Kiai Gringsing menarik nafas dalam-dalam. Ternyata pendapat Pandan Wangi itu dikuatkan oleh pengamatan Swandaru. Katanya, "Mungkin aku hanya berprasangka saja guru. Tetapi aku berkepentingan dengan kedua-duanya. Kakang Agung Sedayu adalah saudara seperguruanku, sementara Sekar Mirah adalah adik kandungku. Jika terjadi sesuatu pada hubungan antara keduanya, maka akupun akan merasakan akibatnya pula."
Orang tua itu mengangguk-angguk. Tiba-tiba saja hampir diluar sadarnya ia berkata, "Jika demikian, apakah sebaiknya hubungan antara Agung Sedayu dan Sekar Mirah itu ditegaskan saja dalam waktu dekat."
Swandaru mengangkat wajahnya. Dipandanginya Kiai Gringsing dengan tajamnya. Namun ketika ia berpaling memandang Pandan Wangi, maka iapun telah mengangguk kecil sambil berkata, "Aku kira jalan itu adalah jalan yang paling baik."
Kiai Gringsing tersenyum. Katanya, "Kita akan dapat memikirkannya ngger. Alangkah baiknya jika Agung Sedayu hadir di Tanah Perdikan itu tidak lagi sebagai seorang yang masih belum berkeluarga. Mungkin ia dapat berada di Tanah Perdikan itu sebelumnya. Tetapi pembicaraan tentang hari-hari perkawinannya harus sudah masak lebih dahulu. Jika ia berada di Tanah Perdikan itu. maka Prastawapun sudah tahu dengan pasti, bahwa Agung Sedayu itu akan menjadi suami Sekar Mirah, yang karena itu, maka ia akan mengesampingkan semua perasaan yang akan menyangkut gadis Sangkal Putung itu."
"Jika demikian ngger, kita akan merintis pembicaraan tentang hal itu. Namun aku minta agar kau berdua tidak menyampaikan masalah ini kepada Ki Demang, sebelum aku membicarakannya dengan masak. Aku masih harus berbicara dengan Agung Sedayu sendiri dan akupun harus berbicara dengan orang yang paling berhak disebut pengganti ayah-bundanya, yaitu angger Untara.
(Bersambung ke Jilid 141?"")
Agung Sedayu tidak pernah berkeberatan jika Glagah Putih berlatih dengan Sabungsari. Agung Sedayu mengerti, bahwa Sabungsari tidak akan mempengaruhi landasan ilmu Glagah Putih. Yang mereka lakukan adalah saling mengasah diri, seakan-akan mereka benar-benar telah bertempur. Namun karena Sabungsari memiliki kelebihan dari anak-anak muda sebayanya, justru ia menempa diri dalam dorongan dendam yang menyala. Tetapi ia kagum melihat kemajuan yang dicapai oleh Glagah Putih.
Sementara itu hari yang dijanjikan telah tiba, bahwa Untara dan Widura sebagai keluarga terdekat dan Kiai Gringsing sebagai guru Agung Sedayu akan datang ke Sangkal Putung diiringi oleh beberapa orang tua.
Menjelang senja. Kiai Gringsing dan Widura telah berada dirumah Untara. Tiga orang-orang tua tetangga Untara telah hadir pula. Mereka akan bersama-sama pergi ke Sangkal Putung.
Seperti yang mereka rencanakan, demikian senja turun, maka sebuah iring-iringan meninggalkan rumah Untara. Selain mereka yang termasuk keluarga dan orang-orang tua dari Jati Anom, Untara juga membawa tiga orang pengawal. Bagaimanapun juga, ia merasa wajib untuk berhati-hati. Segala sesuatunya akan dapat terjadi dalam keadaan yang kurang mapan itu.
Sementara iring-iringan itu dalam perjalanan, Ki Waskita berada di Padepokan bersama Agung Sedayu dan Glagah Putih. Dalam pada itu, Sabungsaripun telah datang pula kepadepokan itu seperti kebiasaannya, apabila ia tidak sedang bertugas.
Seperti biasa pula mereka berbincang tentang berbagai macam persoalan yang kadang-kadang hilir mudik tidak menentu. Namun dalam pada itu, nampaknya mereka terikat oleh penghayatan mereka didalam olah kanuragan, sehingga sebagian besar dari pembicaraan mereka berkisar pada persoalan kanuragan.
Anak Pendekar 7 Dendam Empu Bharada Karya S D Djatilaksana Memburu Nyawa Pendekar 3

Cari Blog Ini