06 Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintardja Bagian 18
Glagah Putihlah yang paling banyak ingin mengetahui. Juga karena umur dan pengalamannya yang paling muda, maka ialah yang paling banyak mengajukan pertanyaan.
Tetapi sementara mereka berbincang, tiba-tiba saja terasa jantung Ki Waskita berdesir. Sejenak ia menekan dadanya dengan telapak tangannya. Namun kemudian dengan suara sendat ia berkata, "Aku menjadi berdebar-debar."
"Kenapa ?" bertanya Agung Sedayu.
Ki Waskita menarik nafas dalam-dalam. Desisnya, "Entahlah. Tetapi justru pada saat aku memikirkan perjalanan angger Untara."
"Apakah mungkin akan ada hambatan ?" bertanya Sabungsari.
"Entahlah," jawab Ki Waskita, "nampaknya aku sekarang terlalu sering menjadi berdebar-debar tanpa sebab. Mungkin aku menjadi semakin tua sehingga dengan demikian, maka penglihatanku atas isyarat yang biasanya dapat aku lihat atas perkenan Yang Maha Murah, menjadi semakin kabur adanya. Tetapi aku tidak boleh menyesali hal itu, karena sejak semula aku harus sudah mengetahui keterbatasan kemampuan seseorang."
"Kakang Untara berada dalam satu iring-iringan yang kuat," desis Glagah Putih. "Diantara mereka terdapat Kiai Gringsing, ayah dan tiga orang pengawal, selain orang-orang tua yang tentu tidak akan banyak dapat berbuat apa-apa. Tetapi iring-iringan ini tentu akan dapat mengatasi jika mereka bertemu dengan hambatan apa pun juga."
"Jika hambatan itu pasukan segelar sepapan," bertanya Agung Sedayu.
"Ah, tentu tidak mungkin," sahut Glagah Putih dengan serta merta.
Sabungsari menarik nafas dalam-dalam. Ia mengerti bahwa Agung Sedayu hanya ingin bergurau saja dengan Glagah Putih. Namun dalam pada itu, tersirat pula kecemasannya. bahwa mungkin sekali mereka bertemu dengan sekelompok orang-orang jahat, dengan alasan apapun juga.
Namun dalam pada itu, tiba-tiba saja Sabungsari merenung. Nampaknya ada sesuatu yang diingatnya. Baru kemudian ia berkata kepada Ki Waskita, "Ki Waskita. Ada sesuatu yang aku lihat. Meskipun barangkali hanya karena kecurigaanku yang tidak beralasan. Demikian Ki Untara pergi, dua orang berkuda telah meninggalkan barak sebelah rumah Ki Untara. Adalah kebetulan bahwa aku melihatnya. Kedua orang itu bukan prajurit Pajang di Jati Anom. Tetapi agaknya keduanya adalah tamu dari salah seorang prajurit yang tinggal dibarak sebelah."
Ki Waskita mengangguk-angguk. Namun nampaknya ia sedang merenungi keterangan Sabungsari. Baru sejenak kemudian ia berkata, "Memang mungkin tidak ada hubungan sama sekali antara dua orang tamu yang meninggalkan barak itu dengan kepergian Untara. Namun mungkin pula dua orang itu sengaja menunggu sampai Ki Untara berangkat."
"Menunggu untuk apa ?" bertanya Glagah Putih.
"Dengan maksud tertentu," jawab Ki Waskita. Namun kemudian, "Tetapi mudah-mudahan tidak demikian."
"Tetapi bagaimana jika demikian," desis Agung Sedayu tiba-tiba, "orang itu tentu tahu pasti, siapa sajakah yang pergi ke Sangkal Putung. Setiap prajurit tahu, bahwa kakang Untara pergi bersama tiga orang pengawal. Bukankah begitu ?"
Sabungsari mengangguk-angguk. Katanya, "Ya. Para prajurit mengetahui bahwa Ki Untara pergi ke Sangkal Putung dalam kepentingan pribadi disertai oleh tiga orang pengawal dan Kiai Gringsing."
Ki Waskitapun mengangguk-angguk pula. Lalu katanya, "Kita dapat memberikan banyak arti pada peristiwa itu. Bahwa dua orang telah meninggalkan barak prajurit disebelah rumah Untara. Tetapi apakah kita akan tetap tinggal diam " Bahwa aku tidak pergi bersama mereka yang secara resmi mengunjungi Ki Demang Sangkal Putung, karena aku harus menemani kalian dipadepokan ini. Tetapi aku kira, aku juga sebaiknya mengambil satu sikap dalam keadaan seperti sekarang."
"Ya," sahut sabungsari, "Ki Waskita wajib mengambil satu sikap. Meskipun sekedar karena kita ingin berhati-hati."
"Baiklah. Bagaimana jika kita pergi juga ke Sangkal Putung ?" bertanya Ki Waskita.
Sabungsari dan Agung Sedayu segera menangkap maksud Ki Waskita. Orang tua itu menjadi cemas bahwa perjalanan iring-iringan yang pergi ke Sangkal Putung itu akan terganggu dijalan. Karena itu, maka hampir berbareng keduanya menjawab, "Baik Ki Waskita. Kita akan pergi juga ke Sangkal Putung."
Namun Glagah Putih masih bertanya, "Tetapi bukankah itu aneh " Kiai Gringsing dan mereka yang pergi ke Sangkal Putung telah menimbang sebaik-baiknya, siapakah yang akan pergi dan siapakah yang tinggal. Apalagi jika kakang Agung Sedayu juga pergu ke Sangkal Putung, bukankah tidak seharusnya ?"
Agung Sedayu tersenyum. Jawabnya, "Aku tidak akan menyusul guru kerumah Ki Demang di Sangkal Putung. Kita hanya akan pergi ke Sangkal Putung."
Glagah Putih mengerutkan keningnya. Namun iapun kemudian mengangguk-angguk. Katanya, "Aku mengerti."
"Nah, sebaiknya kau tinggal saja dipadepokan," berkata Agung Sedayu kemudian.
"Tidak. Aku tidak mau," jawab Glagah Putih dengan serta merta, "aku ikut menyusul mereka yang pergi ke Sangkal Putung."
Ki Waskita menimbang-nimbang sejenak. Namun kemudian katanya, "Baiklah Kita bersama akan pergi ke Sangkal Putung. Tetapi kita harus berhati-hati. Jika kegelisahan kita ternyata memang beralasan, maka kita harus siap menghadapi segala kemungkinan. Termasuk Glagah Putih."
"Aku sudah siap," sahut Glagah Putih dengan serta merta.
Sabungsari tersenyum. Ia memang kagum melihat sikap anak itu. Menurut pendapatnya, meskipun Glagah Putih masih harus banyak berlatih dan mengembangkan ilmunya, namun ia sudah mempunyai bekal yang cukup untuk membela diri. Meskipun baru pada tataran mula, tetapi Glagah Putih sudah dapat memanfaatkan tenaga cadangan yang ada pada dirinya. Satu hal yang memerlukan pendalaman yang khusus. Bahkan para prajurit pada tataran pertama jarang yang sudah memiliki kemampuan yang demikian.
"Baiklah," berkata Ki Waskita kemudian, "Kita akan bersiap. Sebentar lagi kita akan berangkat."
"Aku tidak membawa seekor kuda," desis Sabungsari.
"Kau dapat mempergunakan kuda kami," jawab Agung Sedayu.
Demikianlah, maka keempat orang itupun segera mempersiapkan diri. Meskipun semuanya masih dugaan, tetapi mereka benar-benar bersiap untuk menghadapi segala kemungkinan. Sabungsari dan Agung Sedayu telah membawa senjata masing-masing. Demikian pula Glagah Putih. Meskipun ia berlatih pada Agung Sedayu, namun karena ia mengambil ilmu pada jalur Ki Sadewa, maka ia tidak mempergunakan cambuk seperti Agung Sedayu. Tetapi Glagah Putih telah membawa sebilah pedang dilambungnya.
Sejenak kemudian, maka Agung Sedayupun memanggil cantrik yang tertua di padepokan itu. Katanya, "Aku akan pergi sebentar. Awasilah padepokan ini dan jagalah sebaik-baiknya. Jika ada sesuatu yang memang tidak akan dapat kalian atasi jangan memaksa diri. Tetapi jika kalian mengamati padepokan kecil ini dengan baik, aku kira tidak akan ada sesuatu."
Cantrik itupun kemudian memanggil beberapa orang kawannya yang memang tidak banyak. Meskipun segera membagi tugas. Sementara yang akan pergi ke sawah, untuk menyalurkan air kedalam sawah mereka, tidak mendapat tugas lain lagi.
Dalam pada itu, maka keempat ekor kuda dengan para penunggangnyapun segera berderap meninggalkan padepokan kecil itu langsung menyelusuri jalan ke Sangkal Putung.
Jarak antara kedua iring-iringan memang agak panjang. Jika tidak ada gangguan apapun diperjalanan, maka iring-iringan yang pertama tentu sudah sampai pada pertengahan jarak antara Jati Anom dan Sangkal Putung. Mungkin mereka sedang menuruni tebing sungai di Macanan atau lebih sedikit. Atau mungkin pula mereka sudah mulai menyusuri jalan dipinggir hutan kecil itu.
Sementara kuda itu berderap dengan kencangnya, rasa-rasanya debar dijantung Ki Waskita menjadi semakin cepat. Rasa-rasanya memang ada isyarat bahwa sesuatu akan terjadi.
"Atau bahkan sudah terjadi," berkata Ki Waskita didalam hatinya.
Dengan demikian maka iring-iringan itu bagaikan didorong untuk berpacu semakin cepat. Glagah Putih berkuda didepan bersama Ki Waskita, sementara Agung Sedayu dan Sabungsari mengikuti mereka dibelakang.
Ujung malam terasa terlalu cepat menjadi gulita. Meskipun dilangit bintang bergayutan, namun malam rasa-rasanya memang sangat kelam.
Dalam pada itu, ternyata bahwa apa yang dicemaskan Ki Waskita memang terjadi. Seperti yang diperhitungkan, maka kedua orang berkuda yang meninggalkan barak disebelah rumah Untara, adalah orang-orang yang dengan sengaja mengamati Senapati muda itu.
Untara memang tidak merahasiakan, dengan siapa ia akan pergi ke Sangkal Putung. Beberapa orang perwira bawahannya mengetahui bahwa Untara akan pergi ke Sangkal Putung membicarakan hubungan adiknya dengan gadis Sangkal Putung bersama Kiai Gringsing dan tiga orang pengawal serta paman Agung Sedayu, Widura. Dengan demikian, maka kekuatan itu dapat diperhitungkan dengan tepat.
Bab 142 UNTARA memang tidak berprasangka buruk kepada pihak manapun juga, karena kepergiannya itu adalah persoalan hubungan yang terlalu pribadi. Meskipun demikian ia sudah membawa tiga orang pengawal terpilih yang akan dapat membantunya menyelesaikan persoalan yang mungkin timbul diperjalanan, disamping Ki Widura dan Kiai Gringsing.
"Sebuah iring-iringan yang kuat," berkata seseorang yang mendapat laporan dari kedua orang berkuda itu.
"Ya. Lalu apakah perintah Ki Partasanjaya ?" bertanya orang itu.
Orang yang dipanggil Partasanjaya itupun mengerutkan keningnya. Nampaknya ia sedang berpikir, apakah yang akan dilakukannya. Namun kemudian ia berkata, "Panggil orang-orang dungu itu. Aku sendiri akan memimpin mereka."
"Mencegat iring-iringan itu ?" bertanya orang yang melaporkannya.
"Ya. Aku akan membawa orang-orang terbaik yang ada sekarang. Bukankah kita tahu pasti, siapa saja yang berada didalam iring-iringan itu. Aku harus memperhitungkan kekuatan seorang demi seorang," Ki Pringgajaya yang sudah berganti nama dengan Partasanjaya itu menjawab. Lalu, "Dengar, aku akan menghadapi orang yang disebut Kiai Gringsing. Aku tidak yakin bahwa ia akan dapat mengalahkan aku, meskipun ia orang terbaik dipadepokan itu. Kepercayaan Ki Tumenggung yang bernama Bandung itu akan dapat dihadapkan kepada Untara, karena Bandung memiliki kemampuan khusus. sementara adiknya Dogol Legi tentu akan dapat mengalahkan paman Untara itu. Widura bukan orang yang pantas disegani. Ketika Tohpati masih berada disekitar Sangkal Putung, Widura tidak mampu berbuat apa-apa. Sementara tiga orang pengawalnya itu tidak perlu diperhitungkan. Jika mereka dihadapkan kepada lima orang, maka mereka bertiga tidak akan dapat melawannya."
"Jadi Ki Partasanjaya akan pergi dengan delapan orang ?" bertanya orang yang melaporkannya.
"Tidak. Aku baru berbicara tentang imbangan kekuatan. Tetapi aku harus meyakinkan, bahwa aku akan dapat membunuh Untara. Ia merupakan orang yang berbahaya bagiku. Agaknya ia sudah mengetahui bahwa aku belum mati. Ternyata bahwa masih ada saja orang yang mempersoalkan kuburan itu sampai hari ke ampat puluh. Setidak-tidaknya Untara curiga, bahwa aku tidak benar-benar mati. Sementara Kiai Gringsing memang sudah direncanakan. Termasuk kedua orang muridnya. Jika Widura termasuk dalam urutan nama mereka yang akan dihadapkan kepada maut, itu karena nasibnya memang buruk sekali."
Kedua orang yang datang melapor kepada Ki Partasanjaya itu mengangguk. Namun salah seorang dari merekapun masih bertanya, "Lalu. apakah yang akan kita lakukan ?"
"Aku harus membawa tiga orang lagi untuk meyakinkan, bahwa kita akan memenangkan pertempuran itu. Disamping delapan orang yang aku anggap sudah seimbang, maka aku masih akan membawa tiga orang yang disebut oleh Ki Tumenggung Prabadaru sebagai tiga ekor serigala dari Tal Pitu itu."
"O," pengikutnya mengangguk-angguk, "maksud Ki Partasanjaya tiga orang murid dari padepokan Tal Pitu itu ?"
"Ya," jawab Ki Partasanjaya.
"Apakah Ki Partasanjaya yakin akan mereka ?" bertanya pengikutnya.
"Mereka memiliki kelebihan. Jika Ki Tumenggung Prabadaru mengirimkan mereka kepadaku, apakah aku masih harus meragukan kemampuan mereka ?" bertanya Ki Partasanjaya.
Kedua orang yang melaporkan kepada Ki Partasanjaya itu mengangguk-angguk. Namun tiba-tiba saja salah seorang bertanya, "Jika Ki Partasanjaya sendiri hadir, apakah tidak justru akan menjadi semakin jelas bagi Untara, bahwa Ki Pringgajaya masih hidup ?"
Ki Partasanjaya tertawa. Katanya, "Tidak apa-apa, karena Untara sendirilah yang akan mati."
Kedua orangnya itu tersenyum pula. Lalu salah seorang dari mereka bertanya, "Kita akan mencegat mereka sekarang ?"
"Sekarang " Maksudku, saat mereka berangkat ?"
"Ya," jawab pengikutnya.
"Apakah kau bermimpi ?" bertanya Ki Partasanjaya.
Orang itu mengerutkan keningnya. Namun kemudian sambil mengangguk-angguk pula ia berkata, "Ya. Mereka sudah mendekati Sangkal Putung. Jika demikian, kita akan mencegat mereka saat mereka kembali."
Ya. Jadi masih ada waktu. Kita tidak usah tergesa-gesa. Di Sangkal Putung, Untara dan Widura akan mengatakan dengan basa-basi yang panjang lebar. Kemudian orang-orang tua akan menambah dengan beberapa pesan dan nasehat. Baru kemudian akan dihidangkan makanan dan minuman. Nah, kau dapat membayangkan, bahwa mereka akan kembali ke Jati Anom menjelang tengah malam."
"Ya. Dan kita akan bertempur sampai tengah malam," desis pengikutnya.
"Tetapi tidak akan terlalu lama. Kita mempunyai kekuatan rangkap dibanding dengan kekuatan mereka," berkata Ki Partasanjaya, "Nah, sekarang panggil mereka, dan aku akan memberikan pesan-pesan bagi mereka sebelum kita berangkat."
"Dimana kita akan mencegat mereka ?" bertanya pengikutnya.
"Tidak usah terlalu jauh dari Jati Anom. Kita akan menghadapkan para prajurit di Jati Anom yang setia kepada Untara satu kenyataan, bahwa Untara bukannya dewa yang turun dari langit. Ia akan mati terkapar di sebelah hutan di arah Lemah Cengkar.
"Kenapa tidak di Macanan ?" bertanya pengikutnya.
Ki Partasanjaya menggeleng lemah. Katanya dengan dada tengadah, "Semakin dekat dengan Jati Anom semakin baik. Biarlah Untara mati dihidung para pengawalnya yang tidur mendengkur di sarangnya. Sementara di pinggir jalan. Senapati yang diagung-agungkan mati terkapar, maka dirumahnya isterinya yang muda dan cantik mengharap kedatangannya, yang ternyata adalah harapan tanpa akhir."
Para pengikutnya hanya mengangguk-angguk saja. Mereka percaya akan kemampuan orang yang menyebut dirinya Ki Partasanjaya itu. Sementara Ki Partasanjaya itu berkata selanjutnya, "Dengan demikian, menjelang mati Untara akan melihat, bahwa aku bukan prajurit kebanyakan didalam pasukannya. Dan akhirnya ia harus mengakui, bahwa akupun mampu membunuh orang yang menyebut dirinya Kiai Gringsing. Cambuknya sama sekali tidak berarti apa-apa bagiku."
Para pengikutnya menjadi semakin yakin, bahwa mereka akan berhasil membunuh Untara. Kiai Gringsing dan bekas perwira yang bernasib malang, Widura.
Dalam pada itu, maka sejenak kemudian telah hadir beberapa orang yang akan melakukan kewajiban bersama dengan Ki Partasanjaya itu. Dengan gamblang Ki Partasanjaya memberikan beberapa petunjuk kepada mereka, agar yang mereka lakukan tidak akan gagal lagi seperti yang pernah dilakukan sebelumnya.
Ki Partasanjaya itu sadar sepenuhnya, bahwa kegagalan demi kegagalan telah terjadi. Yang terakhir, kegagalan Pringgabaya dan kemudian disusul oleh kegagalan Tandabaya yang harus membungkam Pringgabaya untuk selama-lamanya. Iapun sadar, bahwa ada betapapun kecilnya, kecurigaan seolah-olah ia telah melakukan satu perbuatan yang tidak terpuji, sehingga langsung atau tidak langsung, menyebabkan Tandabaya terjebak di Mataram.
"Aku akan membuktikan, bahwa aku mampu melakukan satu pekerjaan besar," berkala Ki Partasanjaya kepada diri sendiri.
Dalam pada itu, selagi Ki Partasanjaya menyiapkan orang-orangnya dengan perencanaan yang matang dan imbangan kekuatan yang dianggapnya berlipat, maka dijalan yang menuju ke Sangkal Putung. Ki Waskita berpacu diiringi oleh Glagah Putih, Agung Sedayu dan Sabungsari.
Namun dalam pada itu, mereka sama sekali tidak menemukan arena pertempuran yang mereka cemaskan. Bahkan bekas-bekasnyapun tidak.
"Tidak ada apa-apa," desis Glagah Putih.
"Ya. Tidak ada apa-apa," sahut Ki Waskita, "jika demikian, maka aku tidak lagi dapat mengenali isyarat yang bergetar dihatiku."
"Teiapi perjalanan kakang Untara belum selesai Ki Waskita," berkata Agung Sedayu kemudian.
"Sangkal Putung telah ada dihadapan hidung kita," jawab Glagah Putih.
"Seandainya kakang Untara selamat sampai kerumah Ki Demang Sangkal Putung bersama iring-iringannya, itu berarti bahwa ia baru menempuh separo dari perjalanannya. Bukankah ia masih harus menempuh jalan yang sama tetapi dengan arah yang berlawanan ?" bertanya Agung Sedayu.
"Kau benar ngger," sahut Ki Waskita, "kemungkinan masih dapat terjad)i diperjalanan kembali dari Sangkal Putung sampai ke Jati Anom. Karena itu, maka biarlah pekerjaan kita ini tuntas, kita akan menunggu sampai mereka kembali."
"Menunggu dimana ?" bertanya Glagah Putih.
"Dipinggir hutan itu," jawab Sabungsari sambil tersenyum.
"Ah, malas," jawab Glagah Putih, "Kita terus saja ke Sangkal Putung. Ki Demang tentu sudah menyediakan makan dan minuman yang pantas untuk menjamu kakang Untara."
"Yang dijamu adalah kakang Untara, paman Widura dan Kiai Gringsing," sahut Agung Sedayu pula, "bukan kita. Jika kita juga akan hadir, mungkin jamuan itu akan kurang."
"Ah, kakang Agung Sedayu tentu segan untuk mengunjungi Sangkal Putung sekarang, karena kakang Untara sedang berada disana," desis Glagah Putih.
Sabungsari tertawa. Katanya, "Tepat. Kau benar Glagah Putih. Tetapi Agung Sedayupun benar. Jika kita datang kesana, dan ternyata jamuan yang disediakan kurang, bukankah kita akan membuat Ki Demang menjadi bingung. Mungkin Ki Demang harus memburu seekor ayam lagi. Untuk memasaknya akan membutuhkan waktu yang lama."
Ki Waskita yang tertawa pula menengahi, "Baiklah kita menunggu. Tetapi tidak ditepi hutan. Memang menjemukan duduk diantara gerumbul-gerumliul perdu yang banyak dihuni nyamuk."
"Jadi dimana ?" bertanya Glagah Putih.
"Dipategalan yang sepi. Tempat itu tentu jauh lebih bersih dari pinggir hutan. Seandainya dipagi hari pemiliknya melihat jejak beberapa ekor kuda, biarlah merupakan teka-teki baginya. Teka-teki yang mungkin akan sangat sulit dipecahkan. Tetapi asal kita tidak merusak tanaman, maka pemiliknya tentu tidak akan mengumpati kita."
"Itu lebih baik," berkata Glagah Putih, "apalagi jika ada pohon buah-buahan dipategalan itu."
"Nah, nampaknya kaulah yang akan mengganggu pategalan itu," berkata Sabungsari.
Glagah Putih tertawa. Tetapi ia tidak menjawab.
Demikianlah, ketika mereka sudah berada didekat padukuhan yang paling ujung dari Kademangan Sangkal Putung. sementara mereka tidak menemukan bekas-bekas satu peristiwa yang mencurigakan, maka merekapun memperlambat derap kuda mereka. Demikian mereka melihat sebuah pategalan yang hanya beberapa langkah saja dari jalan- jalan yang mereka lalui, maka merekapun segera berhenti.
"Kita akan menunggu disini," berkata Ki Waskita.
Yang paling malas adalah Glagah Putih. Tetapi ia tidak dapat menolak. Ketika yang lain menuntun kuda mereka memasuki pategalan, maka Glagah Pulihpun ikut pula bersama merka.
"Tidur sajalah," berkata Agung Sedayu.
"Ini tidak adil," gumam Glagah Putih, "kakang Untara berbujana di Sangkal Putung, kita justru menjadi makanan nyamuk disini."
Sebenarnyalah pada saat Ki Waskita dan anak-anak Jati Anom itu sedang menunggu dipategalan, Untara dan para tamu dari Jati Anom lainnya yang sedang berada dipendapa Kademangan Sangkal Putung, sedang dijamu oleh Ki Demang yang memang sudah bersiap-siap untuk menerima mereka.
Segala pembicaraan berjalan dengan lancar. Untara bukannya orang yang pandai berbasa-basi. Karena itulah, maka ia justru tidak banyak berbicara tentang adiknya. Segalanya diserahkannya kepada pamannya Widura dan orang-orang tua yang datang bersamanya dari Jati Anom. Orang-orang tua yang mengenal Agung Sedayu sejak masa kanak-kanak dan mengenal dengan akrab ayah bundanya.
Dalam pada itu, Ki Demangpun telah memanggil beberapa orang-orang tua pula untuk menerima mereka. Yang dengan demikian, maka merekapun telah membicarakan segala sesuatunya yang berhubungan dengan syarat-syarat yang harus dipenuhi. Terutama hitungan hari, pekan dan hubungannya dengan tahun dan mangsa, diperhitungkan dengan hari-hari lahir kedua anak muda yang sedang dibicarakan untuk dipertemukan.
"Menurut hitungan bulan, maka keduanya memiliki saat yang baik untuk dipersandingkan pada bulan ke duabelas," berkata salah seorang dari ketiga orang tua yang datang bersama Untara dari Jati Anom.
"Tepat," jawab salah seorang tua dari Sangkal Putung, "bulan keduabelas adalah bulan yang baik bagi keduanya."
Ki Demang mengangguk-angguk. Hampir bergumam seolah-olah kepada diri sendiri ia berkata, "Sekarang bulan ketujuh. Jadi masih ada waktu lima bulan lagi."
"Ya. Masih ada waktu lima bulan lagi," desis Untara, "sementara itu segala persiapan dapat diselenggarakan."
Kedua belah pihak tidak berkeberatan, lima bulan lagi. Agung Sedayu dan Sekar Mirah akan menuusuki upacara perkawinan mereka, setelah sekian lama mereka berhubungan.
Baru setelah segala pembicaraan mengenai saat-saat perkawinan dianggap selesai, maka Ki Demangpun telah melengkapi jamuannya dengan jamuan makan malam. Ia berusaha menjamu tamunya sebaik-baiknya, karena yang datang adalah Untara, Senapati pasukan Pajang di daerah Selatan. Apalagi Untara memang pernah berada di Sangkal Putung, pada saat pasukan Tohpati masih menguasai daerah penghasil padi yang subur sebagai landasan perjuangan mereka, yang mereka rencanakan akan berlangsung lama.
Sementara itu. Glagah Putih yang duduk memeluk lututnya, menjadi semakin jemu menunggu. Dengan datar ia berkata, "Apakah kita masih akan lama menunggu disini ?"
"Sampai iring-iringan dari Jati Anom itu lewat," jawab Ki Waskita.
"Sampai berapa lama lagi," sahut Glagah Pulih sambil bersungut-sungut, "Nampaknya tidak akan terjadi sesuatu. Seandainya ada orang berniat jahat, biarlah mereka menghentikan perjalanan kita jika kita mendahului. Aku sudah mengantuk sekali."
"Tidurlah," desis Agung Sedayu, "nanti kami akan membangunkanmu jika yang kita tunggu sudah lewat."
Glagah Putih justru berdiri sambil menggeliat. Katanya, "Aku lebih senang berada dipendapa Kademangan Sangkal Putung sekarang ini. Ki Demang tentu sedang menjamu tamu-tamunya dengan wedang sekoteng. Atau barangkali wedang jahe. Kemudian nasi putih yang masih berasap, gudeg manggar dan daging ayam yang masih muda."
Sabungsari tidak dapat menahan tertawanya. Katanya, "Kau membuat aku menjadi lapar. Tidak pernah aku merasa selapar sekarang ini."
"Nah," sahut Glagah Putih, "apa kataku. Kita semuanya tentu lebih senang makan gudeg manggar."
Tetapi Agung Sedayu menjawab, "Tidurlah Glagah Putih. Mudah-mudahan dalam mimpimu, kau akan dijamu oleh Ki Demang dengan gudeg manggar dan daging ayam kemanggang."
"Ah," Glagah Putih berdesah sambil duduk kembali. Namun iapun kemudian tersenyum sambil berkata, "Besok aku minta ayah menebang sebatang pohon kelapa. Aku akan mengambil pondoh dan manggarnya. Aku menuntut ganti rugi karena malam ini aku tidak ikut ke Kademangan Sangkal Putung."
Sabungsari berusaha menahan tertawanya. Sementara Agung Sedayu mengulangi kata-katanya, "Tidurlah. Usahakan agar kau bermimpi hadir didalam bujana dipendapa Kademangan Sangkal Putung."
Glagah Putih tidak menjawab. Tetapi iapun mencari tempat yang kering dan tidak terlalu kotor. Desisnya, "Anggap saja kita sekarang dalam pengembaraan. Kita akan dapat tidur disembarang tempat dan disembarang keadaan."
Tidak ada yang menjawab, meskipun yang lain berusaha menahan suara tawanya. Mereka memandangi saja Glagah Putih yang gelisah membaringkan dirinya diatas rerumputan kering.
Dalam pada itu, ternyata pertemuan di pendapa Kademangan tidak berlangsung terlalu lama. Menjelang tengah malam, jamuan makan dan minumpun selesai. Sehingga dengan demikian, maka tamu-tamu dari Jati Anom itupun minta diri.
"Kenapa demikian tergesa-gesa," bertanya Ki Demang.
"Kami masih harus menempuh jarak yang cukup panjang," jawab Ki Widura.
"Baiklah," berkata Ki Demang, "kami hanya dapat mengucapkan terima kasih atas kunjungan ini kepada angger Untara, kepada Ki Widura, Kiai Gringsing dan tetua dari Jati Anom. Mudah-mudahan segalanya dapat berjalan lancar. Sebenarnyalah momong seorang gadis yang meningkat dewasa, rasa-rasanya seperti membawa sebutir telur didalam genggaman. Terlalu keras kita menggenggam, telur itu akan pecah. Tetapi jika terlalu longgar, telur itu akan terlepas."
"Kita akan bersama-sama berdoa," jawab Ki Widura, "mudah-mudahan semuanya dapat berlangsung seperti yang kita rencanakan. Meskipun kita tidak boleh mengabaikan keadaan disekitar kita yang kadang-kadang berpengaruh besar atas peristiwa dan rencana kita dalam hubungan pribadi seperti sekarang ini."
"Ya, ya," desis Ki Demang, "Kita akan bersama-sama berdoa."
Demikianlah, maka tamu-tamu dari Jati Anom itupun segera minta diri untuk kembali.
Ternyata malam memang sudah larut. Bintang-bintang sudah bergeser dari tempatnya, sementara angin malam bertiup dari arah laut, membawa udara yang terasa hangat dimalam hari.
Sejenak kemudian sebuah iring-iringan beberapa orang penunggang kuda telah meninggalkan Sangkal Putung. Mereka adalah Untara, Ki Widura dan Kiai Gringsing disertai oleh beberapa orang tua dari Jati Anom dan tiga orang pengiring dari pasukan pengawal terpilih.
Diperjalanan kembali, mereka sama sekali tidak memikirkan kemungkinan buruk yang dapat terjadi. Disepanjang jalan pikiran mereka masih diliputi oleh pembicaraan yang baru saja terjadi di pendapa Kademangan Sangkal Putung.
Meskipun Untara tetap berhati-hati, tetapi iapun menganggap bahwa perjalanan yang terlalu bersifat pribadi itu agaknya tidak akan mendapat perhatian dari orang-orang yang bermaksud jahat. Namun demikian ia tetap membawa tiga orang pengawal terpilih disamping ia menyadari bahwa yang pergi bersamanya adalah pamannya Widura, bekas seorang perwira dan Kiai Gringsing.
Dalam pada itu, Untara dan setiap orang didalam iring-iringannya sama sekali tidak mengerti, bahwa di dalam pategalan tidak jauh dari Kademangan Sangkal Putung, beberapa orang sedang menunggu mereka dengan gelisah. Bahkan Glagah Putih benar-benar telah menjadi jemu dan hampir saja ia memaksa untuk mengajak mendahului kembali ke Jati Anom. Namun untunglah bahwa Agung Sedayu sempat mencegahnya dengan mengatakan kepada Glagah Putih, bahwa ternyata ia masih harus menempa diri dengan latihan kesabaran.
"Menunggu memang menjemukan sekali," berkata Agung Sedayu, "dan agaknya kau masih harus banyak berlatih menunggu dalam keadaan yang berbeda-beda. Kali ini kita menunggu dalam keadaan yang paling ringan dibandingkan dengan apabila kita harus menunggu dan mengawasi seseorang tanpa mengetahui dengan pasti persoalannya. Misalnya jika kita melihat seseorang yang menarik perhatian dan pantas dicurigai. Kadang-kadang kita harus menunggu apa yang akan dilakukan. Bahkan mungkin sekali, ternyata orang itu tidak melakukan apa-apa."
Glagah Putih tidak menjawab. Namun terasa juga kebenaran kata-kata Agung Sedayu. Pada suatu saat, menunggu itupun memang harus dilakukan. Bahkan dalam keadaan yang lebih gawat dan menegangkan.
Dalam pada itu, ketika terdengar derap kaki kuda dari arah Sangkal Putung, maka Glagah Putih terlonjak sambil berdesis, "Tentu kakang Untara."
"Tunggulah disini," berkata Ki Waskita, "biarlah aku melihatnya."
Glagah Putih tidak membantah. Sementara itu, Ki Waskita dan Agung Sedayu merayap mendekati jalan yang menghubungkan Sangkal Putung dengan Jati Anom. Meskipun ada jalan lain, tetapi jalan itulah yang lebih sering dilalui, karena jalan itu lebih baik dan bahkan lebih dekat dengan jalan yang lain. kecuali jalan setapak.
"Apakah kita akan langsung bergabung dengan mereka," bertanya Agung Sedayu.
Ki Waskita menggeleng. Jawabnya, "Kita tidak perlu mengejutkan mereka. Kita akan mengikuti pada jarak yang cukup. Sokurlah jika tidak terjadi sesuatu. Iring-iringan itu tentu akan langsung menuju kerumah angger Untara. Baru kemudian Kiai Gringsing dan Ki Widura akan kembali ke padepokan. Dalam pada itu. kita tentu sudah berada dipadepokan kembali."
"Dan kita tidak mengatakan apa-apa tentang perjalanan ini ?" bertanya Agung Sedayu pula.
"Itu tidak mungkin. Angger Glagah Putih tentu berceritera kepada ayahya tentang kejemuannya. Tetapi tidak apa-apa, karena hal itu akan terjadi setelah kita semuanya berada dipadepokan," jawab Ki Waskita.
Agung Sedayu tidak bertanya lagi. Iring-iringan itu sudah menjadi semakin dekat.
Dalam pada itu, meskipun didalan gelapnya malam, namun Ki Waskita dan Agung Sedayu yang bersembunyi dipinggir jalan dapat melihat dengan pasti, bahwa iring-iringan itu benar adalah iring-iringan dari Jati Anom yang dipimpin oleh Ki Untara.
Demikian iring-iringan itu melintas, Agung Sedayu berdesis, "Kakang Untara."
"Ya. Karena itu, kitapun akan segera meninggalkan pategalan ini. Tetapi jangan terlalu dekat. Di bulak panjang, mereka akan dapat mengetahui, bahwa ada orang yang mengikuti mereka. Dalam keadaan yang demikian, mungkin mereka akan justru berhenti menunggu," berkata Ki Waskita.
Agung Sedayu mengangguk-angguk. Iapun kemudian bangkit berdiri ketika Ki Waskitapun bangkit pula. Perlahan-lahan mereka melangkah kembali ke tempat Glagah Putih dan Sabungsari menunggu.
"Bukankah mereka benar kakang Untara ?" bertanya Glagah Putih.
"Ya," jawab Agung Sedayu.
"Jika demikian, marilah, kita cepat menyusulnya," ajak Glagah Putih, "tetapi kenapa justru kakang Agung Sedayu nampaknya tidak tergesa-gesa sama sekali."
"Kita akan mengambil jarak," jawab Agung Sedayu, "jangan terlalu dekat. Ki Waskita berharap, bahwa kita tidak akan mengejutkan mereka. Jika tidak terjadi apa-apa, maka kita tidak akan menyusul mereka. Dengan diam-diam kita akan kembali ke padepokan."
Glagah Putih mengerutkan keningnya. Teiapi ia tidak membantah.
Dengan demikian, maka merekapun sama sekali tidak tergesa-gesa. Setelah mengambil kuda masing-masing, maka merekapun menuntunnya dengan hati-hati, agar tidak merusakkan tanaman di pategalan itu. Baru ketika mereka telah berada di jalan, segera mereka meloncat kepunggung kuda. Namun dalam pada itu, Ki Waskita masih berkata, "Kita akan mengambil jarak yang cukup, sehingga mereka yang mendahului kita tidak akan merasa diikuti oleh sekelompok orang yang tentu tidak mereka ketahui, siapakah kita semuanya."
"Jika kita menghentikan iring-iringan itu demikian mereka lewat tadi, maka mereka tentu tahu, bahwa kita ada disini, dan tentu tidak akan mengejutkan," potong Glagah Putih.
Yang mendengarnya tersenyum. Bahkan Sabungsari menyahut, "Baiklah. Nanti kalau iring-iringan itu lewat, kita akan menghentikannya."
"Kau hanya dapat mengganggu saja," geram Glagah Putih.
Agung Sedayu tertawa semakin panjang, meskipun ia berusaha untuk menahannya.
"Marilah," akhirnya Ki Waskita mengajak, "kita menyusul mereka. Tetapi kita tidak akan berpacu sekencang iring-iringan itu."
Keempat orang itupun mulai bergerak. Kuda-kuda mereka berlari tidak begitu kencang. Ternyata angin malam tidak terlalu dingin. Apalagi nampak awan yang hampir rata. Namun disela-sela awan yang kelabu nampak bintang berkeredipan.
Sementara itu Untara dan iring-iringannya telah berpacu semakin jauh. Mereka ingin segera sampai kerumah. Apalagi nampaknya awan menjadi semakin tebal, sementara angin bertiup dari arah laut.
Sekali-sekali orang-orang didalam iring-iringan itu menengadahkan wajahnya kelangit. Nampaknya hujan akan turun. Satu-satu bintang tenggelam dibalik awan yang pekat. Sekali-sekali bunga api meloncat dilangit, menerangi seluruh permukaan bumi meskipun hanya sekejap. Namun suaranya menggelegar mengumandang diseluruh langit.
Dalam pada itu, di tikungan disebelah Lemah Cengkar. beberapa orang telah siap menunggu. Ki Partasanjaya berdiri dengan gelisah. Sekali-sekali iapun menatap langit.
"Apa salahnya jika hujan turun," berkata seorang yang bertubuh besar dan kekar, berambut pendek sekali, dan ikat kepalanya hanya disangkutkannya di lehernya. Wajah orang itu nampak keras sekali, dan ternyata wajah itu nampak jauh lebih tua dari umurnya yang sebenarnya.
"Tidak apa-apa," jawab Ki Partasanjaya, "tetapi jika hujan itu dapat menghambat perjalanan Untara sehingga ia menunda perjalanannya kembali ke Jati Anom, maka kita tentu akan kecewa sekali."
"Apakah Senapati basar didaerah Selatan ini takut melihat lidah api meloncat dilangit ?" bertanya orang bertubuh kekar itu.
"Bukan begitu. Tetapi jika hujan turun dengan lebatnya, sementara mereka masih dihalaman, aku kira mereka tidak akan melanjutkan perjalanan. Mereka lebih senang duduk dipendapa sambil minum minuman panas."
"Tetapi agaknya mereka sudah berangkat sekarang," desis seorang yang lain, yang bertubuh tinggi dan kecil. Namun dengan demikian nampak ia seorang yang cekatan dan mampu bergerak cepat.
"Mudah-mudahan," berkata Ki Partasanjaya.
Kawan-kawannyapun kemudian justru mencari tempat untuk beristirahat. Orang yang bertubuh kekar itupun menguap sambil berkata, "Jika terdengar derap kuda, panggil aku."
"Kau tidak akan sempat memusatkan kemampuanmu. Demikian kau bangun dari tidur, demikian kau dihadapkan kepada ujung pedang," berkata yang bertubuh tinggi.
"Siapa bilang bahwa aku akan tidur," sahut orang yang bertubuh kekar.
Yang bertubuh tinggi tidak menyahut. Dipandanginya saja orang bertubuh kekar itu. Namun akhirnya ia sendiri-pun duduk bersandar pada sebatang pohon waru.
Dalam pada itu, ketiga orang berjalan hilir mudik beberapa langkah dari Ki Partasanjaya. Seorang diantara mereka berdesis, "Bandung dan Dogol Legi memang orang-orang yang sombong. Mereka mengira bahwa kemampuannya melampaui kemampuan kita."
"Aku ingin membuktikan, bahwa orang yang bernama Bandung dan Dogol Legi itu tidak lebih dari orang-orang dungu yang sombong," sahut yang lain.
Tetapi yang seorang berkata, "Aku tidak peduli. Tetapi akulah yang ingin mencoba kemampuan Senapati didaerah selatan yang terkenal itu."
Kedua orang yang lain tidak menjawab. Namun mereka bertigapun melangkah mendekati Ki Partasanjaya sambil sekali-sekali memandang Dogol Legi.
"Sampai kapan kita harus menunggu," bertanya orang tertua dari ketiga orang itu.
"Mereka tentu segera akan lewat," jawab Partasanjaya.
"Aku harap bahwa aku sempat memilin leher orang-orang Jati Anom itu. Mudah-mudahan mereka benar-benar lewat," desis yang lain.
"Aku pasti," sahut Ki Partasanjaya.
Ketiga orang dari Tal Pitu itupun kemudian beringsut menjauh. Namun mereka berjalan saja hilir mudik dalam kegelapan.
Yang berbaring beberapa langkah dari mereka adalah tiga orang pengikut Ki Partasanjaya, sedang dua orang lainnya duduk disebelah mereka yang berbaring. Ternyata mereka adalah orang-orang terpilih pula, sehingga menurut perhitungan Ki Partasanjaya, lima orang itu sudah jauh berlebihan dibanding dengan kemampuan tiga orang prajurit pengawal Untara yang terpercaya.
"Bahkan setiap orang diantara mereka, akan jauh lebih baik dari setiap orang diantara para pengawal itu," berkata Ki Partasanjaya didalam hatinya.
Menjelang tengah malam ketika kejemuan sudah mencengkam, orang-orang yang menunggu itu telah dikejutkan oleh derap kaki kuda yang lamat-lamat dibawa angin. Karena itulah maka Ki Partasanjaya segera memberi isyarat kepada orang-orangnya. Dogol Legi yang duduk bersandar pohon waru itupun telah memanggil Bandung yang berbaring didalam kegelapan, sementara tiga orang murid Padepokan Tal Pitu itupun telah bersiap pula.
"Kita menunggu didalam gelap," berkata Ki Partasanjaya, "Kita akan menghentikan mereka dengan tiba-tiba."
"Kenapa ditempai gelap ?" jawab Bandung, "aku akan berdiri di tengah jalan."
"Tidak," jawab Ki Partasanjaya, "Kita menunggu ditempai gelap."
Bandung nampaknya masih akan menjawab. Tetapi Ki Partasanjaya mendahului, "Dengar dan lakukan perintah ini. Aku sendirilah yang akan menghentikan mereka."
Bandung terdiam. Betapapun juga, pengaruh Ki Partasanjaya terasa menyusup sampai kejantungnya. Karena itu, maka iapun segera bergeser seperti orang-orang lain kedalam bayangan rimbunnya dedaunan.
Sementara itu, Ki Partasanjaya berdiri dengan gelisah dipinggir jalan. Seolah-olah iapun tidak sabar menunggu derap kaki kuda yang sangat lamban.
Ketika kilat memancar dilangit. maka Ki Partasanjaya melihat sekilas beberapa ekor kuda berpacu semakin dekat. Derap kakinyapun terdengar semakin jelas pula.
Namun dalam pada itu, disaat kilat menyambar, orang-orang yang berkudapun melihat sesosok bayangan yang berdiri dipinggir jalan. Karena itulah, maka tiba-tiba saja Untara berdesis, "Apakah paman melihat seseorang ?"
"Ya," jawab Ki Widura. Lalu iapun berpaling kepada Kiai Gringsing, "Kiai juga melihat ?"
"Ya. Akupun melihat. Seseorang berdiri dipinggir jalan ditikungan," jawab Kiai Gringsing.
Karena itulah, maka orang-orang didalam iring-iringan itupun mendapat peringatan dari Untara, agar mereka berhati-hati. Terutama ketiga orang pengawal yang menyertainya.
"Hati-hatilah," berkata Untara, "jaga orang-orang tua itu sebaik-baiknya. Mudah-mudahan yang berdiri dipinggir jalan itu bukan seseorang yang menunggu kita."
Orang-orang tua yang menyertai Untara ke Sangkal Putung itu menjadi berdebar-debar. Namun karena bersama mereka adalah Untara. Widura dan Kiai Gringsing diiringi oleh tiga orang pengawal, maka merekapun menjadi agak tenang. Namun seandainya merekapun harus membela diri, maka apaboleh buat. Meskipun mereka bukan prajurit, tetapi mereka tidak sebaiknya untuk menundukkan kepala pada saat pedang lawan siap menghentak dilehernya.
Tetapi para pengawal itu menyadari bahwa tenaga ketiga orang tua itu sama sekali sudah tidak memadai apabila benar-benar mereka harus berhadapan dengan orang-orang yang memiliki ilmu kanuragan. Karena itulah maka mereka merasa wajib untuk melindunginya.
Semakin dekat iring-iringan itu dengan tikungan, maka Untara menjadi semakin berhati-hati. Diluar sadarnya, maka ia memperlambat derap kudanya. Bahkan sekali lagi ia memperingatkan, "Kita sudah sampai ditempat orang itu berdiri."
Sebenarnyalah, sejenak kemudian, dalam keremangan malam yang gelap, Untara melihat bayangan bergerak dipinggir jalan. Dan sejenak kemudian, maka seseorang telah berdiri sambil mengangkat tangannya. Ketika sekali lagi lidah api meloncat dilangit, maka nampak jelas, ujud seseorang yang menghentikan iring-iringan itu, meskipun tidak segera dapat dikenal, siapakah orang itu.
Untara sadar, bahwa yang berada dipinggir jalan itu tentu bukan hanya satu orang. Sehingga, ia tidak justru melarikan kudanya, karena jika demikian, maka orang-orang dibelakangnya mungkin sekali akan mengalami kesulitan, termasuk tiga orang-orang tua dari Jati Anom itu.
Karena itu. maka Untarapun menarik kekang kudanya dan berhenti beberapa langkah dari orang itu.
"Selamat malam Ki Untara," terdengar orang yang berdiri dipinggir jalan itu menyapa, "apakah kau masih mengenal aku ?"
Untara terkejut. Ia memang mengenal suara itu. Dan iapun akhirnya dapat mengenali orang itu pula. Apalagi ketika kilat memancar sekilas.
"Ki Pringgajaya," desis Untara.
"Ya," jawab orang itu, "namaku sekarang adalah Partasanjaya. Ternyata ingatanmu baik Ki Untara."
"Aku masih belum pikun," jawab Untara.
"Hadapilah kenyataan ini, bahwa aku memang belum mati seperti yang disangka banyak orang," berkata Ki Partasanjaya sambil tertawa.
Tetapi jawaban Untara telah membuat kening Ki Partasanjaya itu berkerut, "Aku sudah tahu bahwa kau memang belum mati. Kuburan itu memang bukan kuburanmu. Yang belum aku ketahui adalah, siapakah orang yang telah kau korbankan, kau bunuh dan kau sebut orang bernama Pringgajaya itu."
"Jadi kau yakin bahwa Pringgajaya memang belum mati ?" bertanya Pringgajaya.
"Pertanyaan gila," desis Untara.
"Maksudku, sebelum kau jumpai aku sekarang ini ?" bertanya Ki Partasanjaya pula.
"Setiap orang mengetahui bahwa kau memang belum mati," jawab Untara.
Ki Pringgajaya mengangguk-angguk. Katanya, "Baiklah. Nampaknya kau mempunyai penciuman yang sangat tajam. Mungkin orang tua dari padepokan kecil itulah yang telah meyakinkanmu bahwa aku memang belum mati. Tetapi sebenarnyalah sebagian besar dari prajurit Pajang percaya, bahwa aku sudah mati."
"Tetapi kehadiranmu sekarang nampaknya merupakan sikap putus asamu, bahwa kau tidak akun mungkin dapat bersembunyi lagi," geram Untara.
"Kau salah anak muda," jawab Ki Pringgajaya, "aku sengaja menemuimu untuk yang terakhir kalinya, karena kau sebentar lagi akan mati. Semua orang didalam iring-iringan ini akan mati. Dengar, aku sudah memperhitungkan dengan cermat. Yang ada didalam iring-irigan Senapati muda yang sombong itu adalah Ki Widura, Kiai Gringsing. tiga orang pengawal terpilih. Selebihnya adalah orang-orang Jati Anom yang tidak perlu diperhitungkan. Sementara itu aku membawa kekuatan dua kali lipat dari kekuatan yang kau bawa. Aku sendiri, yang kali ini bukan lagi bawahan Senapati muda di Jati Anom. Tetapi aku telah bertekad untuk menunjukkan kepada Ki Untara, bahwa kemampuanku jauh melampaui kemampuanmu. Di jajaran keprajuritan Pajang aku memang berada dibawah kuasanya, tetapi ilmuku akan dengan mudah menguasaimu. Karena itu. aku akan memilih lawan yang seimbang diantara kalian. Kiai Gringsing. Selebihnya biarlah orang-orangku menyelesaikannya. Termasuk Senapati Untara yang bagi ilmuku, samasekali tidak berarti apa-apa."
"Persetan," Untara menggeram marah, "aku wajib menangkapmu betapapun tinggi ilmumu."
Jawaban Untara yang menghentak dan dilontarkan dengan kemarahan yang bagaikan meledak itu, justru disambut dengan suara tertawa oleh Ki Pringgajaya yang kemudian bernama Partasanjaya. Disela-sela suara tertawanya terdengar orang itu menjawab, "Bagaimana mungkin kau akan menangkapku kali ini, Untara. Kau akan mati. Kiai Gringsing akan mati dan Ki Widura akan mati. Bahkan semuanya akan mati. Tetapi bukankah kalian telah berbicara dengan Ki Demang Sangkal Putung tentang adikmu Agung Sedayu " Bukankah pembicaraan itu sudah menghasilkan keputusan-kuputusan yang penting " Dengan demikian, maka aku masih berbaik hati, memberikan kesempatan menyelesaikan tugasmu sebagai seorang saudara tua bagi Agung Sedayu. Adikmu yang tidak pernah sempat kau urus karena kau mempunyai gairah yang berlebihan dalam kedudukanmu, agar setiap saat kau mendapat kesempatan untuk naik pangkat dan mendapat kedudukan yang lebih baik."
Darah Untara bagaikan mendidih didalam jantungnya. Namun ia segera menyadari, bahwa ia tidak boleh bertumpu pada perasaannya saja. Karena itu, maka katanya, "Terima kasih atas peringatanmu Ki Pringgajaya. Meskipun kau adalah seorang prajurit dibawah kekuasaanku. tetapi karena umurmu yang lebih tua. maka aku kira nasehatmu tentang hubunganku dan adikku akan sangata kuhargai."
Ki Pringgajaya mengerutkan keningnya. Namun kemudian katanya, "Tetapi yang dapat kau lakukan atas adikmu tidak akan lebih banyak dari yang dapat kau lakukan sekarang."
"Itu menurut perhitunganmu," jawab Untara, "tetapi aku akan tetap sebagaimana aku sekarang. Aku akan menangkapmu, dan membawamu menghadap ke Pajang. Mungkin aku harus berhadapan dengan orang-orang yang telah berusaha melindungimu selama ini. Mungkin Ki Tumenggung Prabadaru, mungkin orang-orang lain. tetapi wibawa keprajuritan Pajang akan tetap tegak. Dan besok, setelah aku menyerahkanmu. aku akan diangkat bukan saja menjadi Senapati didaerah Selatan ini, tetapi aku akan mendapat tugas yang lebih besar, sehingga kuasaku akan bertambah-tambah."
"Kau memang seorang Senapati yang baik," desis Ki Partasanjaya, "kau selalu dapat menguasai diri. Tetapi kau tidak akan dapat menahan arus prahara yang akan menghantam kalian semuanya kali ini."
"Kau hanya pandai berbicara saja," jawab Untara, "cepat. Berbuatlah sesuatu, atau menguncupkan kedua tanganmu untuk diikat dan diseret dibelakang kuda-kuda kami."
"Luar biasa," geram Ki Partasanjaya, "aku berusaha membuat kau marah. Tetapi justru akulah yang hampir kehilangan nalar sehingga dalam pikiran yang kalut, tidak lagi dapat berpikir bening."
Untara tidak menyahut. Namun setiap orang didalam iring-iringan itu harus berhati-hati menghadapi segala kemungkinan. Karena itulah, maka merekapun kemudian berdiri tegak menghadapi kenyataan setelah mereka mengikat kuda mereka dipinggir jalan. Ternyata beberapa orang telah keluar dari dalam bayangan gerumbul-gerumbul yang gelap.
"Siapakah mereka," bertanya Untara, "prajurit-prajurit Pajang yang telah kau racuni, atau orang-orang Gunung Kendeng yang tersisa, atau orang-orang mana lagi yang sempat kau bujuk dengan janji gila itu."
"Jangan berkata begitu," potong Ki Partasanjaya, "jangan kau anggap mereka orang-orang yang tidak tahu apa yang dilakukan. Mereka berbuat sesuai dengan kata nuraninya."
Tetapi Untara justru tertawa, "Nurani apa " Sudah berapa orang kau korbankan. Sudah berapa orang berhasil kau bujuk untuk memasuki daerah maut. Bukan saja orang-orang bodoh seperti orang-orang Pesisir Endut, orang-orang Gunung Kendeng, atau dari lingkungan keprajuritan sendiri, tetapi kau lihat, Tumenggung Prabadaru sendiri, atau mungkin juga kau sendiri yang tidak tahu apa sebenarnya yang sedang kau lakukan sekarang ini."
Ki Partasanjaya mengerutkan keningnya. Kemudian katanya, "Kau benar-benar telah menjadi sangat cemas. Baiklah, marilah kita mulai dengan babak terakhir dan kebesaran nama Untara, Senapati besar yang dikagumi didaerah ini setelah kau berhasil mengalahkan Tohpati. Tetapi bagiku, Tohpati adalah kanak-kanak yang tidak berarti sama sekali."
Untara tidak menjawab. Tetapi ia sudah bersiaga. Beberapa orang yang bersamanya berdiri berjajar di tengah jalan dengan sikap yang meyakinkan. Namun diantara mereka terdapat tiga orang tua yang harus mendapat perlindungan dari para pengawal.
Sementara itu, dengan nada tinggi Ki Partasanjaya berkata, "Untara, lihatlah. Orang yang bernama Bandung itu adalah calon lawanmu. Ia akan dapat membunuhmu. Tetapi agar kau yakin, bahwa kematianmu memang sudah dekat, aku akan memperkenalkan kau dengan salah seorang murid dari padepokan Tal Pitu. Satu diantara murid-murid dari Tal Pitu itu akan membunuhmu bersama Bandung. Bukan berarti masing-masing tidak mampu melakukannya. Tetapi aku tidak mau gagal lagi kali ini. Sementara adiknya yang bernama Dogol Legi akan bersama seorang dari Padepokan Tal Pitu pula untuk membunuh Widura. Aku dan salah seorang dari mereka, akan membunuh Kiai Gringsing."
"Cukup," potong Untara, "ceriteramu tidak menarik. Bersiaplah. Aku sudah muak mendengar kau berbicara."
Ki Partasanjaya tertawa, ia masih akan berbicara lagi. Tetapi adalah diluar dugaan mereka, bahwa tiba-tiba saja Untara telah menarik pedangnya dan langsung menyerang Ki Partasanjaya.
Ki Partasanjaya terkejut. Tetapi ia masih sempat mengelak, sehingga senjata Untara tidak menyentuhnya.
Sementara itu, setiap orangpun segera bergeser. Masing-masing menempatkan diri menghadapi lawan. Namun karena Ki Partasanjaya sudah mengatur orang-orangnya, maka sejenak kemudian orang-orang itu telah mapan dihadapan lawan masing-masing. Untara, Widura dan Kiai Gringsing masing-masing memang harus menghadapi dua orang, sementara tiga orang pengawal Untara berhadapan dengan lima orang yang nampaknya sudah siap bertempur dalam satu lingkaran.
Dalam pada itu, tiga orang tua-tua dari Jati Anom itupun menjadi gelisah. Tetapi mereka merasa bahwa merekapun laki-laki. Karena itu, maka merekapun telah menarik keris mereka masing-masing. Meskipun dalam pertempuran itu, senjata mereka akan terasa terlalu pendek, tetapi itu lebih baik dari pada tidak mempergunakan sama sekali.
Kemarahan Untara telah membakar jantungnya. Tetapi ia masih tetap menyadari kedudukannya. Dengan demikian maka ia masih tetap mempergunakan nalarnya.
Menghadapi dua orang yang belum dikenalnya sama sekali Untara memang harus sangat berhati-hati. Namun Untarapun sadar, bahwa kedua orang itu tentu sudah dipersiapkan. Ki Partasanjaya yang semula bernama Ki Pringgajaya itu tentu sudah mengetahui atau setidak-tidaknya mempunyai ukuran tentang kemampuannya. Meskipun Ki Partasanjaya itu tidak tahu dengan pasti, tingkatan-tingkatan dan tataran-tataran yang dicapainya setingkat demi setingkat dalam latihan-latihan khususnya, namun bahwa dua orang yang dianggap oleh Ki Partasanjaya bahwa masing-masing akan dapat mengalahkannya itu, tentu merupakan lawan yang berat.
Demikian pula Widura yang sebelumnya pernah menjadi seorang Senapati prajurit Pajang. Iapun merasa, bahwa Ki Pringgajaya itu sudah mempunyai takaran tentang dirinya. Dan iapun telah mempunyai takaran pula tentang kedua orang yang ditempatkannya sebagai lawannya.
Dalam pada itu, Ki Partasanjaya sendiri telah menempatkan dirinya untuk melawan Kiai Gringsing bersama salah seorang dari ketiga orang murid dari Tal Pitu. Dengan nada berat Ki Partasanjaya berkata, "Maaf Kiai. Aku terpaksa memberanikan diri untuk melawan Kiai yang memiliki nama demikian besarnya sebagai seorang guru olah kanuragan. Tetapi kami memang sudah bertekad, bahwa hari ini adalah hari terakhir yang akan dapat Kiai lihat. Sebentar lagi, tengah malam akan lewat. Tetapi aku kira Kiai sudah tidak akan sempat melihat hari baru yang akan datang itu."
Kiai Gringsing mengangguk-angguk. Sekilas ia melihat orang-orang lain yang sudah mulai membuka pertempuran. Untarapun telah mulai bertempur dengan kedua lawannya. Nampaknya ia tidak mau menunda nunda waktu lagi. Apapun yang dihadapinya, maka segalanya akan menjadi kian jelas.
Demikian pula dengan Widura. Meskipun orang itu menjadi semakin tua, tetapi Widura justru menjadi semakin mantap. Senjatanya benar-benar telah menggetarkan jantung kedua orang lawannya.
"Marilah Kiai," berkata Ki Partasanjaya, "tetapi jika Kiai masih ingin melihat tiga orang pengawal Untara itu menjadi mayat, kemudian Untara dan Widura sendiri, aku tidak berkeberatan untuk memberikan waktu. Atau dengan demikian Kiai ingin melihat hari baru meskipun baru ujungnya saja, sehingga Kiai sempat menghirup udara pada hari yang baru itu."
Kiai Grmgsing mengangguk-angguk. Sambil menunjuk kepada salah seorang murid padepokan Tal Pitu ia berkata, "Kau sudah siap mengimbangi angger Pringgajaya untuk melawan aku " Kedua saudara seperguruanmu tidak akan terlalu banyak mengalami kesulitan, karena lawannya adalah orang-orang yang memiliki ilmu seimbang. Tetapi kau dan aku tidak mempunyai ilmu yang seimbang, sehingga karena itu, maka dalam pertempuran yang bakal datang, kau akan menjadi anak bawang."
"Persetan," orang Tal Pilu itu menggeram, "kau yang sudah setua itupun masih sombong sekali."
Kiai Gringsing tertawa. Katanya, "Jangan marah. Tetapi nampaknya memang demikian."
"Jangan menghina orang itu Kiai," berkata Ki Partasanjaya, "ia memiliki kesempatan yang sama dengan aku."
"Tentu tidak," jawab Kiai Gringsing, "kau adalah saudara seperguruan Ki Pringgabaya yang sekarang berada di Mataram. Ki Waskita pernah berceritera tentang orang yang bernama Pringgabaya, yang memiliki ilmu yang sangat dahsyat. Yang dapat mendahului kesatuan waktu karena ilmunya yang luar biasa itu."
06 Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Ki Pringgajaya mengerutkan keningnya. Sementara Kiai Gringsing berkata terus, "Tetapi mungkin aku keliru menyebut. Ki Pringgabaya itu mampu mendahului waktu, atau sekedar satu permainan yang dapat mengelabui penglihatan. Nampaknya dua hal itu hampir sama, tetapi mempunyai makna yang sangat berbeda."
Ki Pringgajaya yang kemudian bernama Ki Partasanjaya itu dengan serta merta menyahut, "Ternyata kau memang terlalu sombong melampaui yang aku duga. Sebelumnya aku juga menduga, bahwa orang yang bernama Kiai Gringsing itu adalah seorang pendiam. Tetapi ternyata disamping kesombongannya, kau memang banyak berbicara tentang hal-hal yang tidak kau mengerti."
Kiai Gringsing tertawa pula. Katanya, "Baiklah. Marilah kita mulai. Yang lain telah terlibat dalam pertempuran yang semakin dahsyat. Masing-masing telah bertempur dengan senjatanya. Nah. akupun akan bertempur dengan senjata."
Ki Partasanjaya bergeser setapak, katanya, "Ternyata kau juga seorang pengecut. Belum lagi kita mencoba kemampuan ilmu kita, kau sudah tergesa-gesa mengurai senjatamu."
"Aku kira lebih baik aku bersenjata menghadapi dua orang yang tidak seimbang. Tetapi aku kira juga lebih baik untuk mengatasi permainanmu yang mungkin membingungkan bagiku, karena aku belum pernah melihatnya. Untunglah bahwa aku sudah mendengar dari Ki Waskita sehingga aku tidak akan terlalu terkejut karenanya," berkata Kiai Gringsing.
Ternyata yang tidak dapat menahan kemarahannya adalah orang Tal Pitu itu. Dengan serta merta ia meloncat menyerang Kiai Gringsing. Namun, sebenarnyalah seperti yang dikatakan oleh Kiai Gringsing, bahwa kemampuan orang itu masih beberapa lapis dibawah kemampuan Kiai Gringsing. Demikian orang itu meloncat menyerang, maka cambuk Kiai Gringsing telah meledak. Hampir saja ujung cambuk itu menyambar ujung jari kakinya yang baru saja menyentuh tanah. Sehingga dengan serta merta orang Tal Pitu itu meloncat surut dengan tergesa-gesa.
"Berhati-hatilah," berkata Kiai Gringsing, "tunggulah Ki Pringgajaya memulainya. Baru kau menyesuaikan diri. Jika kau yang mengambil sikap yang pertama, maka sebelum Ki Pringgajaya mulai, maka tubuhmu tentu sudah terkoyak oleh ujung cambukku."
Orang Tal Pitu itu benar-benar menjadi marah. Tetapi ia tidak dapat mengingkari kenyataan yang baru saja terjadi. Orang yang bernama Kiai Gringsing itu memang memiliki kemampuan yang luar biasa.
Dalam pada itu, Ki Partasanjayapun menarik nafas dalam-dalam. Sebenarnyalah bahwa orang yang bernama Kiai Gringsing itu tidak akan dapat dianggap ringan meskipun ia akan bertempur berpasangan.
Di lingkaran pertempuran yang lain, jelas terlihat, betapa Untara dan Widura segera menemui kesulitan. Demikian pula tiga orang pengawal Untara yang harus melawan lima orang yang bertempur dalam satu lingkaran. Nampaknya kelima orang itu masih belum menghiraukan orang-orang tua dari Sangkal Putung yang menggenggam kerisnya. Meskipun demikian orang-orang itu tidak akan melepaskan seorangpun dari mereka untuk meninggalkan arena.
Memang tidak ada harapan sama sekali pada Untara dan Widura. Sepasang lawannya memiliki ilmu yang hampir seimbang dengan Untara dan Widura sendiri, sehingga karena itulah, maka merekapun telah terdesak. Meskipun kedua orang itu tidak berputus asa. tetapi mereka harus berloncatan dengan langkah-langkah panjang, sehingga dalam waktu pendek nafas mereka telah terasa semakin memburu.
Kiai Gringsingpun kemudian terlibat pula dalam pertempuran melawan dua orang lawannya. Namun orang tua itupun tidak segera mendapat akal. bagaimana ia akan dapat berbuat sesuatu untuk menyelamatkan iring-iringan itu. Apalagi iapun sadar, bahwa Ki Pringgajaya yang kemudian bernama Partasanjaya itupun memiliki ilmu yang akan dapat mengimbangi ilmunya, disamping seorang kawannya murid Tal Pilu itu.
Ternyata Ki Partasanjaya telah berhasil menguasai orang-orang terpenting dari Jati Anom itu. Ia memang tidak mau gagal lagi setelah beberapa kali ia kehilangan kesempatan untuk melakukan sesuatu. Meskipun ia belum berhasil membunuh Agung Sedayu dan Swandaru, namun justru gurunyalah yang akan dapat dibunuhnya lebih dahulu disamping Untara dan Widura. karena Untara baginya akan dapat merupakan hambatan yang berbahaya.
"Bukan pekerjaan yang sulit," desis Ki Partasanjaya, "aku sudah menyiapkan kekuatan dua kali lipat dari yang aku perlukan."
Namun sebenarnyalah kuasa Yang Maha Agung tidak akan dapat dipatahkan oleh rencana manusia, apalagi untuk menentukan hidup dan mati. Karena itulah, pada saat-saat Ki Partasanjaya tersenyum-senyum melihat Untara dan Widura mendekati akhir dari kemampuan pertahanannya. setiap orang dilingkaran pertempuran itu telah dikejutkan oleh derap kaki kuda.
"Setan alas," geram Ki Partasanjaya, "siapa lagi berkuda dimalam begini."
Namun Ki Partasanjayapun tersenyum. Katanya, "Dua atau tiga orang prajurit peronda. Merekapun akan kami binasakan jika mereka melalui jalan ini pula. Alangkah senangnya, melihat beberapa sosok mayat terkapar di tikungan ini." Lalu tiba-tiba saja terdengar suaranya lantang, "Cepat, lumpuhkan tiga orang prajurit itu, karena sebentar lagi kalian akan mendapat lawan baru. Sementara itu. Untara dan Widurapun harus segera kalian selesaikan pula."
Perintah itu membuat darah Untara bagaikan mendidih. Tetapi ia benar-benar tidak dapat berbuat banyak.
Dalam pada itu, lima orang pengikut Ki Pringgajaya yang bertempur melawan tiga orang prajurit itupun benar-benar telah mengerahkan kemampuannya, sehingga ketiga orang prajurit itu benar-benar telah terdesak.
Bahkan, tiba-tiba saja terdengar desah yang patah. Seorang dari ketiga pengawal Untara itu terloncat surut ketika terasa lengannya tergores oleh tajamnya pedang lawan.
"Gila," geramnya. Namun luka itu terasa betapa pedihnya.
Meskipun demikian, prajurit itu tidak meninggalkan gelanggang. Selangkah ia maju. Senjatanya masih kuat didalam genggamannya.
Namun dalam pada itu. kedua prajurit yang lainpun telah terdesak pula, sementara orang-orang tua yang menggenggam keris itupun berdiri dengan tangan bergetar. Merekapun merasakan gejolak kemarahan yang menghentak didada. Tetapi mereka merasa bingung menghadapi kenyataan yang terjadi, meskipun ditangan mereka tergenggam keris.
Sementara itu, ketika prajurit yang terluka itu memasuki kembali ke arena, kawannya yang seoranu lagi telah terdorong pula. Meskipun tidak terlalu dalam, tetapi ujung pedang lawannya telah melukai dada sebelah kawan. sehingga darahpun mulai menitik karenanya.
"Sebentar lagi mereka akan mati," teriak salah seorang dari kelima lawannya.
"Cepat sedikit," teriak Ki Pringgajaya, "derap kaki kuda itu sudah mendekat.
Kiai Gringsing tidak mampu berbuat banyak. Dihadapannya Ki Pringgajaya telah mulai menyerangnya dengan ilmunya yang sama seperti Ki Pringgabaya, saudara seperguruannya sebagaimana dikatakan oleh Ki Waskita.
Dalam pada itu, keempat orang yang berkuda di bulak panjang sudah mendengar ledakan cambuk Kiai Gringsing. Karena itu. maka Agung Sedayupun berdesis, "Guru. Mereka benar-benar terlibat dalam pertempuran."
"Dugaan kita benar," desis Ki Waskita, "orang-orang berkuda yang dilihat oleh angger Sabungsari itu tentu petugas sandi yang mengamati angger Untara."
Karena itu. maka Agung Sedayupun telah melecut kudanya agar berlari lebih cepat lagi. Dibelakangnya Sabungsari menyusul diikuti oleh Glagah Putih, sehingga karena itu, maka Ki Waskitalah yang kemudian berada dipaling belakang.
"Hati-hatilah," Ki Waskita memperingatkan Glagah Putih, "kuasailah kudamu sebaik baiknya."
Glagah Putih tidak menjawab. Tetapi ia tidak memperlambat derap kudanya.
Sebenarnyalah mereka segera melihat pertempuran ditikungan disebelah Lemah Cengkar. Karena itu, Agung Sedayu yang dipaling depan segera meloncat dari punggung kudanya. Ia tidak sempat lagi mengikat kudanya pada sebatang pohon perdu. Dibiarkannya saja kudanya lepas, dan ia sendiri berlari-lari mendekati arena pertempuran yang semakin seru. Demikian Agung Sedayu hadir, maka seorang lagi prajurit pengawal Untara telah terlempar dan jatuh berguling ditanah. Lambungnya telah terluka lebih parah dari kedua orang kawannya yang lain. Bahkan seorang yang terluka lengannya, masih harus mengeluh lagi ketika pundaknya sekali lagi tersayat oleh senjata lawannya.
Agung Sedayu segera melihat, bahwa yang terluka itu adalah prajurit-prajurit Pajang, pengawal Untara yang tidak dapat bertahan melawan lima orang lawan.
Nampaknya lima orang pengikut Ki Pringgajaya yang kemudian bernama Ki Partasanjaya itu benar-benar ingin membinasakan tiga orang lawan mereka yang memang sudah tidak berdaya itu. Meskipun mereka bertiga masih tetap hidup, namun untuk membunuh mereka, tidak akan lebih sulit dari memijat buah ceplukan.
Namun dalam pada itu, Agung Sedayu telah hadir diantara tiga orang yang sudah tidak berdaya lagi itu. Sekilas terbersit kegembiraan dihati para prajurit ketika mereka melihat Agung Sedayu. Namun para prajurit itupun segera teringat, bahwa Agung Sedayu adalah seseorang yang sedang mereka bicarakan untuk pada suatu hari akan duduk bersanding. Karena itu, tiba-tiba saja prajurit yang meskipun sudah terluka tetapi masih tetap menggenggam pedang itupun berkata, "Minggirlah. Cepat tinggalkan tempat ini. Jangan campuri persoalan kami."
Agung Sedayu tidak beringsut. Ia sadar, bahwa para prajurit itu tidak akan dapat lagi melindungi nyawanya tanpa bantuan orang lain. Karena itu, maka ia tetap berada ditempatnya. Bahkan dengan serta merta Agung Sedayu telah mengurai cambuknya untuk menghadapi lima orang pengikut Ki Pringgajaya.
Sementara itu, Sabungsaripun telah meloncat turun pula disusul oleh Glagah Putih. Seperti Agung Sedayu, Glagah Pulih tidak sempat menghiraukan kudanya yang dilepasnya begitu saja. Namun Sabungsari masih mempunyai waktu untuk mengikat kudanya pada sebatang pohon perdu.
Tetapi dalam pada itu, Ki Waskitalah yang melihat dua ekor kuda yang terlepas begitu saja. telah menyediakan sekedar waktu untuk mengikat kuda Agung Sedayu dan Glagah Putih agar kedua ekor kuda itu tidak merayap semakin jauh dari arena pertempuran.
Dalam pada itu, Ki Partasanjaya telah terkejut bukan buatan ketika ia melihat bahwa yang datang itu adalah Agung Sedayu yang disusul oleh Glagah Putih, Sabungsari dan seorang tua yang nampaknya terlalu yakin terhadap kawan-kawannya, sehingga karena itu, justru sempat menambatkan selain kudanya sendiri, juga kedua ekor kuda yang lebih dahulu dilepaskannya oleh penunggang-penunggangnya.
"Setan alas," ia menggeram, "darimana mereka mendengar bahwa aku sedang mencegatnya disini."
Namun karena yang datang hanya ampat orang termasuk Glagah Putih, sementara tiga orang prajurit pengawal Untara sudah dilumpuhkan, maka Ki Pringgajaya yang kemudian bernama Ki Partasanjaya itu masih melihat kesempatan untuk menyelesaikan pertempuran itu.
Kepada kawannya, salah seorang murid Tal Pitu ia berkata, "tinggalkan orang ini. Biarlah aku menyelesaikan. Kau akan mendapat lawan yang baru."
"Persetan, siapakah mereka " Biarlah anak-anak menyelesaikannya," sahut murid dari Tal Pitu.
"Ada yang tidak mungkin mereka selesaikan. Anak yang bercambuk itu adalah anak iblis. Ia murid orang tua ini yang terpercaya." desak Ki Pringgajaya.
Orang Tal Pitu itu menggeram, "Apa kelebihannya murid orang ini. Kau sajalah yang menghadapi muridnya, aku akan menghadapi gurunya."
"Jangan menjadi gila. Kita masing-masing harus tahu diri." geram Ki Partasanjaya.
Orang padepokan Tal Pitu tidak menjawab. Tetapi ia tidak dapat ingkar akan hal itu, sehingga karena itu maka iapun telah melepaskan Kiai Gringsing dan mendekati Agung Sedayu yang berhadapan dengan lima orang pengikut Ki Pringgajaya.
Lima orang yang baru saja berhasil melumpuhkan tiga orang lawannya itu masih saja dibayangi oleh kemenangannya. Karena itulah maka merekapun menjadi sangat marah ketika mereka melihat Agung Sedayu seorang diri berdiri menghadapi mereka. Selangkah disampingnya. seorang diri tiga orang prajurit yang masih tetap menggenggam pedangnya itu berdiri dengan kaki bergetar, sementara dua orang kawannya yang lain telah terbaring beberapa langkah dibelakang mereka. Sementara tiga orang-orang tua dari Jati Anom itu berusaha untuk menolong mereka dan mengangkatnya menjauhi arena pertempuran.
Ternyata dalam pada itu, orang Tal Pitu yang meninggalkan Kiai Gringsing itu melihat, bagaimana tiga orang tua-tua dari Jati Anom mengangkat para prajurit yang sudah tidak berdaya. Tiba-tiba saja timbul niatnya, sebelum ia membunuh orang yang telah dengan sombong menghadapkan dirinya melawan lima orang pengikut Ki Partasanjaya, maka ia akan membunuh kedua orang prajurit itu lebih dahulu. Bahkan jika perlu orang-orang tua dari Jati Anom itu sekaligus.
Namun dalam pada itu, demikian ia melangkah mendekati mereka, seorang prajurit muda telah meloncat menghalanginya sambil berkata, "Jangan begitu. Mereka telah terluka parah. Barangkali kau lebih senang berhadapan dengan aku."
"Siapa kau ?" bertanya orang Tal Pilu itu.
"Seorang prajurit pengawal seperti tiga orang yang telah dilumpuhkan itu. Namaku Sabungsari." jawab orang itu.
Orang Tal Pitu itu menggeram. Katanya, "Apakah kau ingin mati lebih dahulu dari kawan-kawanmu yang sudah tidak berdaya itu ?"
"Aku adalah kawan mereka. Apapun yang akan terjadi, aku tidak peduli. Tetapi adalah kewajibanku untuk membantunya jika mereka mengalami kesulitan," jawab Sabungsari.
Orang Tal Pitu itu tidak bertanya lebih lanjut. Ia tidak lagi menghiraukan dengan siapa ia berhadapan. Karena itu, meskipun ia tidak berhadapan dengan murid orang bercambuk itu, namun ia tidak peduli lagi.
Orang Tal Pitu itu menganggap Sabungsari tidak lebih dari prajurit-prajurit yang telah terluka itu. Karena itu, maka dengan serta merta ia telah menyerangnya dengan perhitungan bahwa prajurit itu akan dapat segera dilumpuhkannya.
Namun ternyata bahwa orang Tal Pitu itu telah terkejut bukan buatan. Ternyata Sabungsari tidak menghindari serangan itu. Sadar, bahwa lawannya menganggapnya terlalu kecil, maka ia telah membentur kekuatan lawannya itu dengan sebagian dari kekuatannya saja. Namun karena tidak menduga sama sekali, orang Tal Pitu itu telah terlempar surut.
Sabungsari masih berdiri tegak. Dipandanginya orang Tal Pitu yang kebingunngan menghadapi kenyataan yang tidak pernah diduganya, bahwa seorang prajurit mampu mengimbangi kekuatannya dan bahkan mengejutkannya.
"Jangan bingung," berkata Sabungsari, "sekali lagi aku beritahu, bahwa aku adalah kawan dari prajurit-prajurit yang terluka itu. Karena itu, maka aku akan menuntut balas atas perlakuan kalian terhadap kawan-kawanku itu."
Orang Tal Pitu itu menggeram. Namun ia tidak lagi tergesa-gesa menyerang. Ia harus memperhitungkan keadaan sebaik-baiknya.
Dalam pada itu, Glagah Putih yang melihat ayahnya bertempur melawan dua orang dengan tergesa-gesa telah mendekatinya. Namun Ki Waskita menggamitnya sambil berdesis, "Jangan kau lawan salah seorang dari lawan ayahmu."
"Kenapa ?" bertanya Glagah Putih.
"Bergabunglah dengan Agung Sedayu," berkata Ki Waskita.
"Bagaimana dengan ayah yang terdesak ?" desis Glagah Putih dengan cemas.
"Lakukanlah yang aku katakan. Aku akan bergabung dengan ayahmu," jawab Ki Waskita.
Glagah Putih tidak menjawab. Ia percaya akan pengamatan Ki Waskita, sehingga iapun kemudian mendekati Agung Sedayu yang berhadapan dengan lima orang. Sementara itu Agung Sedayu berkata kepada prajurit yang terluka, "beristirahatlah agar lukamu tidak mengeluarkan darah semakin banyak. Apakah kau tidak membawa obat."
"Ya. Aku membawa," jawab prajurit itu.
"Obati lukamu dan kawan-kawanmu," desis Agung Sedayu.
"Persetan," salah seorang dari lima orang pengikut Ki Pringgajaya itu menggeram, "kau terlalu sombong anak muda."
Agung Sedayu tidak menjawab. Ketika kelima orang itu bergeser mencari arah masing-masing, Agung Sedayupun bersiap menghadapi segala kemungkinan sementara prajurit yang terluka itu bergeser menjauh.
Tetapi seorang dari kelima orang itu tiba-tiba saja telah dihinggapi satu keinginan untuk memburu prajurit yang terluka itu dan membunuhnya. Karena itu, tiba-tiba saja ia meloncat meninggalkan Agung Sedayu dan bersiap untuk menyerang pengawal yang sudah tidak banyak mempunyai tenaga lagi itu.
Agung Sedayu terkejut melihat sikap itu. Namun iapun menarik nafas dalam-dalam, ketika orang itu terhenti karena Glagah Putih berdesis, "Biarlah ia beristirahat. Ia telah terluka."
"Anak setan. Siapa kau he " " geram orang yang ingin memburu prajurit itu.
Glagah Putih yang sudah siap menghadapinya menjawab singkat, "Aku lawanmu sekarang."
Pengikut Pringgajaya itu heran. Meskipun malam gelap, tetapi sesekali kilat memancar, sehingga nampak yang berdiri dihadapannya adalah seorang anak yang masih terlalu muda. Nampaknya senjatanya sangat meyakinkan teracu kepadanya.
Bahkan nampaknya Glagah Putih tidak ingin melepaskannya lagi. Sesaat kemudian senjatanya telah tergetar. Selangkah ia maju sehingga pengikut Ki Pringgajaya itupun harus bersiap-siap untuk melawannya dan melepaskan prajurit yang sedang menghindar dari arena pertempuran karena luka-lukanya itu.
Agung Sedayu sengaja memberi kesempatan kepada Glagah Putih untuk bertempur melawan orang itu. Namun iapun sadar, bahwa ia harus berusaha mengawasinya jika ternyata kemudian orang itu memiliki ilmu yang jauh lebih tinggi dari ilmu Glagah Putih.
Karena itu, ketika seorang lagi dari keempat orang yang menghadapinya akan beringsut mendekati kawannya yang sudah berhadapan dengan Glagah Putih, maka Agung Sedayupun tidak menunggu lagi. Seperti yang lain, yang telah mempergunakan senjatanya, maka meledaklah cambuknya dengan dahsyatnya seolah-olah mengimbangi ledakkan guntur dilangit yang sesekali terdengar. Namun dalam pada itu, ledakkan yang lainpun telah mengumandang. Kiai Gringsing yang bertempur melawan Ki Pringgajaya sekali-sekali harus mempergunakan senjatanya pula.
Ledakkan cambuk Agung Sedayu dan Kiai Gringsing serta guntur dilangit, rasa-rasanya telah membentur setiap dada para pengikut Ki Pringgajaya. Seolah-olah ada hubungan yang saling isi mengisi antara ketiganya.
Sementara itu, seperti yang dikatakan. Ki Waskita telah mendekati arena pertempuran antara Ki Widura dengan kedua orang lawannya. Nampak sekali betapa Ki Widura terdesak. Dan bahkan hampir saja ia telah kehilangan kesempatan untuk bertahan.
Karena itu kehadiran Ki Waskita telah memberikan kesempatan untuk memperbaiki kedudukannya, karena lawan-lawannya itupun harus memperhatikan kehadiran orang baru itu.
Namun dalam pada itu. Ki Waskitapun melihat, betapa Untara telah dikuasai pula oleh Bandung dan seorang dari Tal Pitu. Ruang geraknya menjadi sangat sempit karena senjata kedua lawannya telah mengurungnya.
"Mudah-mudahan yang aku lakukan tidak menyinggung perasaan Ki Widura dan Ki Untara," berkata Ki Waskita didalam hati.
Sejenak kemudian, ia telah berada dilingkaran pertempuran bersama Widura. Namun saat yang pendek itupun harus dimanfaatkan sebaik-baiknya untuk menolong Untara. Bandung benar-benar seorang yang kuat dan tangkas sementara orang Tal Pitu itupun mampu bergerak cepat sekali.
"Ki Widura," berkata Ki Waskita, "tinggalkan kedua orang ini. Lihat, apa yang terjadi dengan Ki Untara."
Widura termangu-mangu sejenak. Tetapi ia tidak sempat merenung terlalu lama. Karena itu, maka Ki Waskitapun mendesaknya, "Tidak ada waktu untuk menimbang-nimbang."
Widura sadar. Ia melihat pula bahwa Untara benar-benar tidak mempunyai kesempatan lagi. Karena itu, maka iapun segera meloncat meninggalkan arena itu. Ketika salah seorang lawannya ingin mengejarnya, maka mulailah Ki Waskita melibatkan diri langsung menyerang orang itu dengan loncatan panjang, sehingga orang itu mengurungkan niatnya dan menghindari serangan yang mendebarkan itu.
Demikianlah, maka Ki Waskitalah yang kemudian berhadapan dengan dua orang. Karena itu, maka iapun mulai mempertimbangkan untuk mempergunakan senjata pula.
Ki Waskita terbiasa mempergunakan perisai pergelangan tangannya yang dibalut dengan ikat kepalanya atau dengan ikat pinggangnya. Tetapi jika ia ingin mempergunakan ikat pinggangnya sebagai senjata, maka yang dipergunakan bagi perisainya adalah ikat kepalanya.
Demikianlah Ki Waskita kemudian mengurai ikat kepalanya dan melingkarkannya pada pergelangan tangannya, sementara ia juga mengurai ikat pinggangnya yang dipergunakannya sebagai senjata menghadapi senjata-senjata lawannya.
"Orang ini sudah gila," geram Dogol Legi, "dikiranya aku sedang bermain-main."
Sementara orang Tal Pitu yang bertempur bersamanya itupun menjadi sangat marah melihat sikap Ki Waskita yang mereka anggap sangat merendahkan.
Karena itu, maka kedua orang itupun segera mengerahkan segenap ilmunya untuk menekan lawan mereka yang baru.
Namun ternyata lawannya yang baru ini agak berbeda dengan Ki Widura. Waskita memiliki ilmu yang lebih tinggi dari Ki Widura, sehingga untuk sesaat Dogol Legi dan orang Tal Pitu itu terkejut karena serangan-serangan mereka bagaikan membentur benteng baja. Ternyata ikat kepala yang melingkar di pergelangan tangan itu mempunyai kekuatan seperti sebuah perisai baja yang tidak koyak oleh tajamnya pedang dan ikat pinggang itupun berbahaya melampaui pedang.
Sementara itu, Widura dengan tergesa-gesa telah mendekati arena pertempuran Untara yang berat sebelah. Untara yang benar-benar tidak mampu lagi bertahan, selalu berloncatan surut. Namun lawannyapun sempat memburunya dengan serangan-serangan yang garang.
Kehadiran Widura membuat kedua lawan Untara menjadi marah. Mereka terganggu, karena hampir saja merasa berhasil mengurung dan membinasakan Untara.
"Licik," geram orang Tal Pitu yang bertempur melawan Untara, "Kenapa Senapati muda yang memiliki nama besar ini memerlukan bantuan seseorang ?"
Ki Widuralah yang menjawab, "Katakan sekali lagi, bahwa kehadiranku adalah pertanda kelicikan kami. Lalu apakah artinya bahwa kalian juga bertempur berpasangan " Dengan, kami akan menempatkan diri kita masing-masing pada sikap jantan seorang laki-laki. Kita akan bertempur seorang melawan seorang."
Bandung yang merasa dirinya memiliki ilmu yang tidak terlawan berkata, "Aku terima tawaranmu. Aku akan membunuh Senapati muda ini. Dan biarlah kawanku ini membunuh bekas Senapati yang pernah dihadapkan kepada Macam Kepatihan di Jati Anom."
Widura menjawab, "Bagus. Marilah."
Orang Tal Pitu yang bertempur bersama Bandung itupun kemudian meninggalkan Untara. Dihadapinya Widura yang telah bersiap menghadapinya pula.
Untara menarik nafas dalam-dalam. Yang datang membantunya adalah pamannya. Meskipun ada juga setitik singgungan pada perasaannya, seolah-olah ia tidak dapat menyelesaikan persoalan yang sedang dihadapinya, namun karena yang datang itu adalah Widura sementara iapun tidak dapat mengabaikan kenyataan bahwa ia tidak akan mampu melawan kedua orang yang telah dipersiapkan untuk membunuhnya itu, maka iapun akhirnya berkata, "Terima kasih paman. Aku akan segera membunuh orang ini."
Demikianlah, keseimbangan pertempuran itu telah berubah. Lingkaran pertempuranpun telah berubah pula. Yang harus menghadapi lawan rangkap adalah Ki Waskita dan Agung Sedayu. Bahkan Agung Sedayu harus berhadapan dengan ampat orang lawan.
Dalam pada itu, langitpun menjadi semakin gelap. Kilat semakin sering meloncat dilangit, dan guruhpun menggelegar tidak henti-hentinya. Disebelah tikungan itu membujur jalan menuju ke Lemah Cengkar. Satu tempat yang menurut kepercayaan banyak orang, dihuni oleh seekor harimau putih yang mengerikan.
Ternyata bahwa awan yang hitam dilangit itu tergantung semakin rendah dan seolah-olah semakin berat dibebani oleh titik-titik air yang semakin banyak. Karena itulah, maka sejenak kemudian, maka titik-titik hujan-pun mulai turun. Semakin lama semakin banyak. Dan hujanpun menjadi semakin lebat.
Prajurit yang terluka dipinggir arena telah beringsut dan berusaha berlindung dibawah pepohonan. Betapa air hujan membuat luka mereka menjadi pedih. Namun serba sedikit rimbunnya dedaunan dipinggir jalan itu telah memberikan sedikit perlindungan kepada mereka.
Dalam pada itu, jika dilangit lidah api menyambar, rasa-rasanya bumi bagaikan siang. Namun hanya sekilas. Dan dalam sekilas itu dapat dilihat ujung senjata berputaran.
Ternyata Ki Pringgajaya benar-benar seorang yang luar biasa. Ia benar-benar memiliki ilmu seperti yang dikatakan oleh Ki Waskita. Bahkan sebagai saudara seperguruan, Ki Pringgajaya memiliki ilmu itu lebih mantap dan mapan.
Tetapi ilmunya tidak lagi dapat mengejutkan Kiai Gringsing yang sudah mengetahuinya. Apalagi dengan senjata cambuknya yang berjuntai dan lentur, Kiai Gringsing berusaha menyesuaikan dirinya. Ia menjaga agar arah serangan Ki Pringgajaya tidak menyusup di sela-sela putaran cambuknya, karena Kiai Gringsing sadar, serangan Ki Pringgajaya telah melampaui kecepatan waktu.
"Gila," geram Ki Pringgajaya didalam hatinya, "orang tua ini benar-benar seorang yang berilmu iblis."
Sebenarnyalah sulit bagi Ki Pringgajaya untuk menembus putaran cambuk Kiai Gringsing. Namun Kiai Gringsingpun tidak mudah untuk dapat menyentuh lawannya. Sehingga dengan demikian maka pertempuran itupun telah berlangsung dengan dahsyatnya. Bukan saja karena keduanya memiliki kecepatan gerak yang tinggi, tetapi keduanya mulai melepaskan kekuatan cadangan mereka yang tidak banyak dikuasai oleh orang kebanyakan.
Dalam hujan yang semakin deras, pertempuran itupun berlangsung semakin sengit. Air yang bagaikan dicurahkan dari langit kadang-kadang membuat malam menjadi semakin pekat. Wajah-wajah yang basah harus sekali-sekali diusap dengan tangan kiri, sementara tangan-tangan kanan menggenggam senjata masing-masing.
Salah seorang dari prajurit yang terluka paling parah telah menggigil. Bukan saja karena curahan air hujan, namun juga karena tubuhnya yang semakin lemah oleh darah yang mengalir. Meskipun para prajurit itu juga membawa obat yang dapat dipergunakan untuk sementara dimedan pertempuran seperti itu, namun nampaknya air hujan telah melarutkannya. Meskipun demikian, obat-obat itu dapat juga membantu serba sedikit dalam keadaan yang gawat itu.
Glagah Putih yang bertempur seorang melawan seorang telah menunjukkan kemampuanaya. Meskipun kekuatan lawannya masih berada diatas kekuatannya, tetapi ia memiliki kemampuan bergerak lebih cepat dan unsur-unsur gerak yang lebih lengkap. Dengan demikian, maka Glagah Putih itupun masih mampu mengimbangi lawannya dan bertempur dengan tangkasnya. Sementara lawannya kadang-kadang masih saja di bayangi oleh keheranannya, bahwa lawannya itu masih sangat muda. Jika langit menyala, nampaklah wajah remajanya yang tegang. Namun anak itu sudah mampu menggerakkan senjatanya dan bahkan kadang-kadang sangat membahayakan.
Arena pertempuran di tikungan itu semakin lama menjadi semakin meluas. Masing-masing bergeser kearah yang kadang-kadang tidak diperhitungkan. Bahkan satu dua orang telah bertempur di seberang parit, turun ke tanah persawahan yang basah dan berlumpur. Dengan demikian maka kaki mereka menjadi semakin berat dicengkeram oleh tanah yang basah sehingga gerak merekapun menjadi semakin lamban.
Bandung yang dibanggakan itu memang memiliki kemampuan yang tinggi. Dengan garangnya ia melibat Untara dalam pertempuran berjarak pendek. Ia sama sekali tidak memberi kesempatan kepada Untara untuk mengambil jarak. Demikian kawannya dari Tal Pitu harus bertempur melawan Widura, maka Bandung harus mempercayakan diri kepada kemampuannya. Dan ia memang memiliki kecermatan gerak tangan untuk bertempur pada jarak yang terlalu dekat.
Tetapi Untara memiliki pengalaman dibanyak arena dan cara untuk mempertahankan diri dan menyerang. Karena itu, maka iapun justru menyesuaikan diri dengan cara yang dipilih oleh lawannya. Bertempur pada jarak yang pendek. Bahkan Untara masih memiliki kelebihan dari lawannya yang hanya mampu menggerakkan tangannya dengan cepat. Tetapi dengan latihan-latihan yang berat pada saat-saat senggang, kaki Untarapun mampu mengumbangi kecepatan gerak lawannya, telah menempatkannya pada kesempatan yang lebih baik.
Namun ternyata bahwa Untara harus mengamati tangan kiri lawannya. Selain senjatanya ditangan kanan ternyata bertempur pada jarak yang pendek itu mempunyai kemungkinan yang lain pada lawannya. Ternyata jari-jari tangan kiri lawannya mempunyai kekuatan yang luar biasa. Sesaat Untara lengah karena ia sekedar memperhatikan senjata lawannya, maka pundaknya telah tersentuh oleh tangan kiri lawannya itu.
Semula Untara hanya merasakan pundaknya bagaikan disengat oleh rasa sakit. Namun kemudian pundaknya itu merasa pedih. Ketika ia sempat meraba pundaknya, terasa diantara basahnya air hujan, cairan yang hangat mengembun dipundaknya yang pedih. Sekilas kilat memancar, Untara menyadari bahwa pundaknya telah berdarah.
"Kukunya setajam pisau," desis Untara didalam hatinya. Dengan demikian maka Untarapun menjadi lebih berhati-hati menghadapi lawannya. Ia sadar, kenapa lawannya berusaha untuk melibatnya dalam pertempuran tanpa jarak itu.
Dengan demikian, maka Untarapun telah mengiimbangi kemampuan lawannya pada tangan kirinya dengan tekanan-tekanan kekuatan yang telah dikembangkannya pada tenaga cadangannya. Perlahan-lahan kekuatan Untara bagaikan menjadi semakin besar.
Dalam pada itu, Untara yang bertempur pada jarak yang pendek itu, memang sulit untuk mendapat kesempatan melihat arena pertempuran secara keseluruhan. Namun dengan sekali-sekali ia sempat juga melihat sekilas jika langit memancar.
Namun kehadiran adiknya bersama Ki Waskita, Sabungsari dan Glagah Putih telah terasa akibatnya. Bahkan jika ia semula harus bertempur melawan dua orang yang hampir saja merenggut hidupnya seperti yang memang dikehendaki oleh Ki Pringgajaya, maka kemudian ia tinggal berhadapan dengan seorang saja meskipun yang seorang ini memiliki kemampuan yang mendebarkan.
Sebenarnyalah Untara yang telah mendapat gambaran serba sedikit tentang kemampuan adiknya di padepokannya, tidak mencemaskannya lagi meskipun bukan berarti bahwa adiknya itu tidak akan mendapat lawan yang berat. Apalagi ketika ia melihat bahwa adiknya itu harus melawan ampat orang sekaligus. Namun yang justru lebih diperhatikan adalah kehadiran Glagah Putih diantara orang-orang yang memiliki ilmu yang tinggi.
"Untunglah ia tidak bertemu dengan lawan yang menggetarkan," berkata Untara didalam hatinya, setelah ia mengetahui bahwa Glagah Putih telah mendapat lawan salah seorang dari lima pengikut Ki Pringgajaya.
Dalam pada itu, rasa-rasanya malam menjadi semakin kelam. Hujan justru menjadi semakin lebat, dan angin bertiup semakin kencang. Pepohonan bagaikan diguncang dan bahkan kadang-kadang bagaikan diputar oleh angin yang melingkar.
Ledakan cambuk Kiai Gringsing dan Agung Sedayu masih saja bersahut-sahutan dengan guntur yang menggelegar. Sementara air mulai mengalir disepanjang jalan dan parit-paritpun mulai melimpah.
Sabungsari bergeser beberapa langkah dari kawan-kawannya. Ia mencoba untuk bertempur pada jarak yang memungkinkannya melihat pertempuran itu dalam keseluruhan. Rasa-rasanya ingin sekali ia melihat, apa yang dapat dilakukan oleh Ki Pringgajaya dihadapan Kiai Gringsing meskipun ia pernah mendengar serba sedikit tentang orang yang bernama Ki Lurah Pringgajaya, yang juga saudara seperguruan Ki Pringgabaya.
Lawan Sabungsari sendiri, bukanlah orang yang membuat prajurit muda itu silau. Meskipun orang itu memiliki bekal yang cukup, namun Sabungsari sendiri juga memiliki ilmu yang tinggi, sehingga karena itu, maka Sabungsari tidak terlalu cemas menghadapi lawannya. Namun iapun sadar, jika ia membuat satu kesalahan kecil saja, maka ia akan terjerumus kedalam keadaan yang sangat gawat.
Sambil bertempur Sabungsari mengamati Ki Pringgajaya yang pernah dikenalnya dalam lingkungan keprajuritan Pajang di Jati Anom. Ternyata seperti yang dikatakannya, ia memang mampu mengimbangi ilmu Kiai Gringsing. Kecepatannya bergerak kadang-kadang memaksa Kiai Gringsing untuk bergeser surut mengambil jarak, kemudian meledakkan cambuknya untuk menahan agar lawannya tidak menelusup memasuki daerah pertahanannya.
Tetapi malam sangat gelap. Hujan yang tercurah telah membatasi penglihatannya. Hanya jika sesekali kilat memancar, ia dapat melihat seluruh arena. Tetapi tidak lebih dari sekejap.
Agung Sedayulah yang bertempur melawan jumlah orang yang paling banyak. Meskipun mereka bukan orang terpenting didalam kelompok orang-orang yang menghadang Untara, tetapi berempat mereka merupakan lawan yang cukup berat. Apalagi mereka berusaha memencar dan mengepung Agung Sedayu dari segala arah.
Seperti Sabungsari, Agung Sedayu tidak terlalu cemas menghadapi keempat lawannya. Tetapi iapun tidak mau membuat kesalahan yang dapat menyeretnya kedalam bencana. Karena itu, maka iapun bertempur dengan sangat berhati-hati.
Keempat orang lawannya itu ternyata berusaha untuk bertempur sambil bergeser. Mereka mencoba membingungkan Agung Sedayu dengan serangan yang datang berganti-ganti, beruntun dan dalam gerak yang menggelombang.
Tetapi usaha mereka sia-sia. Agung Sedayu tidak pernah menjadi bingung dan tidak pula kehilangan pengamatan arah serangan yang datang susul menyusul itu. Ia dapat menangkis serangan dari depan, sekaligus serangan berikutnya yang menyusul dari belakang, atau bahkan kedua-duanya dalam waktu yang bersamaan.
Ternyata Agung Sedayu tidak tergesa-gesa. Menurut pengamatannya, meskipun malam gelapnya bukan kepalang, tetapi ia dapat menduga dan merasakan, bahwa Untara dan kelompoknya tidak banyak mengalami kesulitan melawan orang-orang Ki Pringgajaya termasuk Ki Pringgajaya sendiri.
"Meskipun Ki Pringgajaya adalah orang yang pilih tanding, tetapi guru bukannya orang yang mudah untuk ditaklukkannya. Semula ia yakin karena ia bertempur berpasangan. Tetapi seorang diri, ia akan memeras segenap kemampuannya. Apalagi rahasia kelebihannya sudah diketahui oleh guru, seperti yang pernah dikatakan oleh Ki Waskita," berkata Agung Sedayu didalam hatinya.
Sebenarnyalah Kiai Gringsing mendapat lawan yang sangat kuat dengan ilmunya yang dahsyat. Namun karena ia sudah mengetahuinya, maka dengan ujung cambuknya ia selalu berusaha memotong serangan Ki Pringgajaya yang seakan akan mampu melampaui kecepatan waktu.
Secara keseluruhan, maka kehadiran Ki Waskita, Agung Sedayu, Sabungsari dan Glagah Putih, membuat pertempuran itu tidak berat sebelah. Tidak lagi nampak tekanan-tekanan yang berbahaya seperti sebelumnya, yang bahkan hampir saja merenggut nyawa.
Ternyata bahwa Agung Sedayulah yang nampaknya akan mengakhiri pertempuran itu paling cepat. Dengan ujung cambuknya ia membuat keempat lawannya tidak berdaya sama sekali untuk menyerangnya. Bahkan kadang-kadang mereka menjadi bingung, dan bersama-sama berloncatan surut jika Agung Sedayu memutar cambuknya lebih cepat.
Dalam keadaan yang demikian, maka didalam gemuruhnya hujan yang tercurah dari langit, terdengar suara Agung Sedayu, "Menyerah sajalah. Kalian tidak akan dapat berbuat lebih banyak dari yang kalian lakukan ini."
"Persetan," geram salah seorang dari mereka, "dalam keseluruhan, kami akan dapat menghancurkan kalian. Seorang saja kawanmu terbunuh, berarti semuanya akan terbunuh."
"Tetapi juga sebaliknya," berkata Agung Sedayu, "seorang saja diantara kalian lumpuh, maka berakhirlah pertempuran ini dengan cepat dan pasti."
Lawannya tidak menjawab. Tetapi hampir bersamaan mereka menyerang dari segala arah. Namun putaran cambuk Agung Sedayu telah mendorong mereka untuk melangkah surut.
Ternyata Agung Sedayu tidak perlu mengerahkan segenap kemampuannya. Ia masih bertempur wajar dengan kekuatan cadangannya untuk mengatasi kecepatan gerak keempat lawannya. Tetapi ia masih belum mengerahkan kemampuan ilmu yang tertinggi, apalagi yang terpancar dari getaran didalam dirinya dalam hubungannya dengan lambaran ilmu yang mampu menyerap kekuatan alam dilingkungannya bukan saja kemampuan kewadagan.
Dalam waktu yang terhitung tidak terlalu lama, maka keempat lawannya benar-benar telah kehilangan kemampuan mereka untuk melawan. Mereka kadang-kadang menjadi bingung. Nafas mereka menjadi semakin memburu, apalagi air yang tercurah dari langit seolah-olah telah menyumbat lubang hidung mereka.
Perlahan-lahan tetapi pasti, Agung Sedayu berniat untuk menundukkan mereka, meskipun tidak ada niatnya untuk membunuh. Namun keempatnya harus dilumpuhkan dan tidak dapat mengganggu arena pertempuran itu lagi.
Namun dalam pada itu, selagi mereka terpukau dalam pertempuran melawan orang-orang tertentu, mereka sama sekali tidak menghiraukan seseorang yang mengamati pertempuran itu dari jarak yang cukup untuk tidak dengan mudah diketahui. Dengan saksama ia memperhatikan setiap orang didalam pertempuran itu. Meskipun malam kelam, namun dalam kilatan cahaya lidah api yang berloncatan, ia dapat menilai apa yang sebenarnya sudah terjadi.
"Satu kesalahan telah terjadi," berkata orang itu, "seharusnya anak-anak Tal Pitu itu tidak bertempur berpencaran. Jika mereka mendapat kesempatan bergabung, maka kemampuan mereka akan luluh menjadi satu kekuatan yang tidak terlawan."
Sebenarnyalah, bahwa orang-orang dari Tal Pitu yang harus bertempur berpasangan dengan orang lain, merasa kurang dapat luluh dalam satu kesatuan. Seolah-olah mereka tidak mampu menghentakkan ilmu mereka sampai tuntas, karena kerja sama yang kurang mapan.
Namun karena semula mereka dapat langsung menguasai lawan mereka, maka mereka tidak merasakan kesulitan dalam kerja sama. Tetapi ketika salah seorang dari mereka harus bertempur melawan Ki Waskita berpasangan dengan orang lain, barulah mereka merasa, bahwa mereka tidak dapat mengerahkan kemampuan masing-masing sampai kepuncak.
Orang yang bersembunyi itu masih menunggu sejenak. Namun ketajaman penglihatannya, segera mengetahui, bahwa orang Ki Pringgajaya tidak akan dapat memenangkan pertempuran itu. Jika keseimbangan itu tidak dirubah, maka sekali lagi akan terjadi kegagalan.
"Prabadaru memang kurang bijaksana," desis orang itu, "atau ia menyerahkan segalanya kepada Pringgajaya, sehingga dengan demikian Pringgajayalah yang kurang bijaksana."
Sebenarnyalah bahwa orang itu tidak melihat kemungkinan apapun yang menguntungkan pihak Pringgajaya. Pringgajaya sendiri yang bertempur melawan Kiai Gringsing, harus mengerahkan segenap kemampuannya. Meskipun pertempuran itu demikian dahsyatnya, sehingga cambuk Kiai Gringsing meledak berurutan bahkan kadang-kadang terdengar gaung angin putaran cambuk itu. namun tidak nampak bahwa pada saat yang pendek, bahkan pada suatu saat yang manapun, bahwa Pringgajaya akan dapat menguasai Kiai Gringsing. Keduanya memiliki ilmu yang luar biasa. Keduanya memiliki kelebihan dan kemungkinan yang seimbang.
Dalam pada itu, murid Tal Pitu yang seorang, tidak juga nampak akan segera dapat mengalahkan Sabungsari. Meskipun Sabungsari sudah sampai pada puncak kemampuannya dengan mengerahkan tenaga cadangan dan segala kemungkinan yang terlontar dari ilmunya, namun ia masih belum mempergunakan ilmu pamungkasnya. Ia masih berusaha untuk dapat menguasai lawannya dengan kemampuan sentuhan wadagnya. Dan ia memang merasa akan dapat melakukannya tanpa mempergunakan kekuatan ilmunya yang terpancar dari sorot matanya.
"Kecuali jika orang Tal Pitu ini masih mempunyai simpanan ilmu yang akan dapat mendesakku," berkata Sabungsari didalam hatinya, "barulah aku akan mempergunakan ilmu itu."
Murid Tal Pitu yang bertempur melawan Widurapun tidak berhasil mendesaknya. Memang ada kemungkinan Widura akan terdesak. Tetapi nampaknya pengalamannya yang luas berhasil menolongnya, sehingga ia masih tetap mampu bertahan.
Orang Tal Pitu yang ketiga, yang kebetulan bertempur bersama Dogol Legi melawan Ki Waskita, nampaknya tidak dapat berpasangan dengan mapan. Sekali-kali terjadi juga salah paham, dan bahkan keragu-raguan.
"Sebaiknya ia bergabung dengan saudara seperguruannya," berkata orang itu.
Orang itu tidak menghiraukan lagi orang-orang lain. Ia lebih banyak memperhatikan ketiga murid dari Tal Pitu itu. Karena itu, maka iapun berusaha bergeser lebih mendekati orang-orang Tal Pitu itu.
Tetapi ia terkejut ketika ia mendengar keluhan diantara ledakkan cambuk seorang anak muda yang bertempur melawan ampat orang sekaligus. Karena itu ia justru tertarik kepada anak muda itu. Demikian tangkas dan cekatan.
Dalam pada itu, seorang dari keempat lawannya telah berada diluar arena. Nampaknya ia sudah terluka. Pahanya telah terkoyak oleh ujung cambuk Agung Sedayu. Betapa perasaan pedih menyengat lukanya yang basah oleh curahan air hujan.
"Anak ini memang luar biasa," desis orang itu. "Namun nampaknya ia dapat memperhitungkan keadaan dengan cermat. Jika anak muda itu mendapat kesempatan bertempur lebih lama lagi, maka ketiga orang lawannya yang lainpun akan segera dipunahkannya."
Karena itu, maka ia merasa harus bertindak dengan cermat. Ia tidak peduli lagi, apakah yang akan terjadi. Namun iapun tidak ingin bahwa sekali lagi Pringgajaya yang telah berganti nama dengan Partasanjaya itu akan gagal.
Sambil meloncat dari persembunyiannya orang itu berkata lantang, "Anak-anak Tal Pitu. Kenapa kalian tidak bertempur disatu arena ?"
Suara yang lantang itu telah mengejutkan arena. Semua orang memperhatikannya. Lebih-lebih ketiga orang murid Tal Pitu. Bahkan hampir berbareng mereka menyebut, "Guru."
"Ya. Aku datang untuk melihat apa yang telah terjadi. Aku mendengar dari Prabadaru bahwa kalian telah dikirim kepada Pringgajaya. Tetapi Pringgajaya ternyata tidak bijaksana. Ia memasang kalian dalam arena yang tercerai berai. Mungkin Pringgajaya terlalu meremehkan kekuatan lawannya, sehingga ia tidak memikirkan latar belakang orang-orang yang membantunya," berkata orang itu.
"Ajar Tal Pilu," desis Pringgajaya.
"Ya. Aku memang sudah tidak percaya akan rencanamu," berkata orang yang disebut Ajar Tal Pitu. Lalu, "Kau selalu gagal dan kali inipun kau tidak mapan menempatkan orang-orangku yang aku berikan kepada Prabadaru."
"Semuanya sudah berubah," berkata Pringgajaya sambil bertempur, "ada yang hadir disini diluar perhitunganku."
Ajar Tal Pitu itu mengangguk-angguk. Lalu katanya, "Kita atur kembali orang-orang kita. Aku akan ikut melibatkan diri. Aku tertarik kepada anak yang melawan empat orang sekaligus. Aku ingin menangkapnya dan mempelajari, ilmu apakah yang dimilikinya."
"Ia anak iblis. Ia murid lawanku ini," berkata Pringgajaya.
"Ya. Justru ia anak iblis. Aku ingin memeliharanya, sekedar untuk mengerti tentang dirinya," jawab Ajar Tal Pitu.
"Jika demikian, terserah kepadamu," jawab Ki Pringgajaya.
Ajar Tal Pitu itupun kemudian berkata, "Anak-anak Tal Pitu. Berkumpullah. Lawanlah orang tua yang mempunyai lawan rangkap itu. Ia memiliki ilmu yang tinggi. Sementara lawannya yang lain, biarlah melawan bekas prajurit itu. Bukankah orang itu Widura " Sedangkan keempat prajurit ini, biarlah melawan anak muda yang seorang lagi, yang nampaknya kemampuan mereka tinggal tiga orang saja."
Untuk beberapa saat tidak terdengar jawaban. Yang terdengar adalah dentang senjata beradu dan gelegar guruh dilangit. Bahkan angin yang kencang bertiup semakin buas menerpa dedaunan yang berguncangan-guncang.
Dalam pada itu, maka orang yang disebut Ajar Tal Pitu itu melangkah mendekati Agung Sedayu. Sejenak ia mengamati pertempuran diantara Agung Sedayu dan lawannya yang tinggal tiga orang, karena yang seorang telah terluka dan nampaknya sedang berusaha untuk mengurangi penderitaannya.
"Tinggalkan lawanmu" geram Ajar Tal Pitu.
Ketiga orang itu termangu-mangu. Mereka adalah orang-orang yang berada dibawah perintah Ki Pringgajaya. Karena itu untuk beberapa saat mereka tidak beringsut dari tempatnya. Mereka masih tetap bertempur melawan Agung Sedayu.
Namun dalam pada itu, terdengar perintah Ki Pringgajaya, "Lakukan. Ajar Tal Pitu ingin turun ke arena."
Ketiga orang itupun segera berusaha menarik diri. Mereka melangkah surut. Sementara Agung Sedayu tidak mengejarnya.
"Bagus," desis Ajar Tal Pitu, "kau mengenal tatanan laki-laki jantan. Kau memberi kesempatan lawanmu untuk memperbaiki keadaannya."
Agung Sedayu sama sekali tidak menjawab. Dipandanginya orang yang disebut Ajar Tal Pitu itu dengan saksama. Sementara orang itu berkata, "Ki Sanak bertiga. Ambillah anak muda yang seorang lagi itu sebagai lawan. Biarlah murid-muridku berkumpul menjadi satu menghadapi orang tua yang nampaknya memiliki ilmu yang tinggi itu. Sementara muridku yang bertempur melawan Widura biarlah bertukar tempat."
Dalam pada itu, terdengar suara Ki Pringgajaya, diantara gemuruh air hujan, "Lakukanlah apa yang dikatakannya."
Demikianlah ketiga orang lawan Agung Sedayu itupun segera mendekati Sabungsari. Sejenak mereka mengamati pertempuran itu. Namun kemudian mereka telah mengambil alih anak muda itu, sementara murid Tal Pitu yang melawannya telah memilih lawan yang lain. Nampaknya para murid Tal Pitu itu berusaha untuk menyusun satu perlawanan yang utuh terhadap Ki Waskita. Sehingga karena itu. maka Dogol Legipun telah beralih lawan. Seperti rencana semula, ia memang dihadapkan kepada bekas prajurit yang bernama Widura.
Demikianlah arena pertempuran itu sudah berubah. Tiga orang murid Tal Pitu telah berkumpul melawan Ki Waskita, sementara Sabungsari berhadapan dengan tiga orang lawan bersama-sama.
Dalam pada itu. Kiai Gringsing, yang bertempur melawan Ki Pringgajaya menjadi berdebar debar. Ia sadar, bahwa Ajar Tal Pitu tentu bukan orang kebanyakan. Semula ia mengirimkan tiga orang muridnya. Namun ternyata bahwa ia sendiri telah hadir dipertempuran.
Selain Kiai Gringsing, Ki Waskita, Widura dan Untarapun menjadi cemas. Bahkan Sabungsari dan Glagah Putihpun ikut memikirkannya.
Ketika Untara sempat memandang sekilas ketika langit menyala sekejap, ia melihat Ajar Tal Pitu melangkah mendekati Agung Sedayu yang berdiri tegak.
Bagaimanapun juga, Agung Sedayu adalah satu-satunya adiknya. Karerti itu, maka ia tidak akan dapat melepaskannya kegelisahannya meskipun ia sendiri menghadapi lawan yang berat.
Dalam pada itu, Ajar Tal Pitu yang sudah berdiri berhadapan dengan Agung Sedayu itupun berkata, "Anak muda. Nampaknya kau memiliki kelebihan yang sulit dijangkau oleh anak anak muda sebayanya. Menilik senjatamu, kau memang murid orang bercambuk seperti yang dikatakan oleh Ki Pringgajaya."
"Ya," jawab Agung Sedayu, "aku memang murid Kiai Gringsing."
Ajar Tal Pitu mengangguk-angguk. Katanya, "Nama orang bercambuk itu memang sudah aku dengar. Ketika aku melihat, bagaimana ia bertempur melawan Ki Pringgajaya, maka akupun percaya, namanya memang besar sebagaimana kemampuannya. Bagiku Ki Pringgajaya adalah seorang yang pilih tanding. Melampaui saudara seperguruannya yang kini berada di Mataram, karena nasibnya yang malang. Jika ia tidak ketemu dengan Senapati Ing Ngalaga, atau Ki Juru Martani sendiri aku kira tidak seorangpun yang dapat menangkapnya. Dan ternyata sekarang, bahwa orang bercambuk itu mampu mengimbangi Ki Pringgajaya."
Agung Sedayu tidak menjawab. Bahkan ia sempat memandang sekilas pertempuran yang nampaknya semakin berserakan, karena setiap lingkaran pertempuran telah bergeser kearah yang berbeda.
"Anak muda," berkata Ajar Tal Pitu, "sebenarnya aku tidak ingin membunuhmu. Aku ingin menangkapmu dan jika kau bersedia bekerja bersama, maka aku akan mempergunakan pola latihan-latihan yang pernah kau lakukan bagi murid-muridku yang masih muda sehingga pada umur semuda kau, mereka akan memiliki kemampuan setingkat dengan kemampuanmu."
Agung Sedayu tidak segera menjawab. Tetapi ia sudah siap menghadapi segala kemungkinan. Meskipun juntai cambuknya masih terkulai ditanah yang basah, namun setiap saat cambuk itu akan dapat meledak.
"Nampaknya kau tidak tertarik pada tawaranku," berkata Ajar Tal Pitu, "Baiklah. Jika demikian aku akan menangkapmu. Cobalah kau berusaha membebaskan diri. Tetapi aku kira, aku perlu memberikan sedikit gambaran kepadamu, dengan siapa kau berhadapan. Dengan demikian, maka kau akan menyadari, apa yang akan kau lakukan seterusnya. Apakah yang akan kau lakukan itu akan punya arti, atau hanya sekedar kesia-siaan saja."
Betapapun juga, terasa debar jantung Agung Sedayu menjadi semakin cepat. Agaknya orang yang bernama Ajar Tal Pitu itu terlalu yakin akan kemampuannya, sehingga ia ingin memberiican sedikit gambaran tentang tingkat ilmunya.
"Anak muda," berkata Ajar Tal Pitu, "aku akan segera bermain-main. Cobalah kau ikut dalam permainan ini. Aku akan mengambil cambuk dari tanganmu. Dan kau harus mencoba mempertahankan. Kau mengerti maksudku " Meskipun seandainya aku berhasil merampas cambukmu, cambuk itu akan aku kembalikan kepadamu, karena aku hanya ingin sekedar memberikan gambaran, siapakah yang sebenarnya kau hadapi."
Dada Agung Sedayu menjadi semakin berdebar-debar. Ia tidak dapat mengabaikan kata-kata Ajar Tal Pitu itu. Jika ia tidak mempunyai bekal yang pantas maka ia tidak akan mengatakannya.
Karena Agung Sedayu tidak menjawab, maka Ajar Tal Pitu itu tertawa sambil berkata selanjutnya, "Kau tidak perlu gelisah. Apalagi jika kau mau mendengar kata-kataku. Kau ikut ke Tal Pitu dan memberi tahukan kepadaku, cara-cara yang selama ini kau tempuh sehingga kau memiliki ilmu yang tinggi pada usiamu yang muda. Jangan takut kepada gurumu, karena gurumu tidak akan dapat melihat matahari terbit esok pagi."
Kata-kata itu tidak hanya didengar oleh Agung Sedayu. Meskipun gemeresak hujan yang semakin lebat menderu bercampur suara guruh, tetapi sebagian besar dari orang-orang yang sedang bertempur itu mendengar apa yang dikatakan oleh Ajar Tal Pitu yang agaknya dengan sengaja diucapkan dengan lantang.
Sebenarnyalah bahwa orang-orang itu menjadi gelisah. Tetapi mereka memang tidak banyak mempunyai kesempatan untuk berbuat sesuatu, karena mereka masing-masing sedang sibuk menghadapi lawan yang berat.
"Agung Sedayu," berkata Ajar Tal Pitu itu kemudian. "Marilah kita akan mulai dengan permainan kita. Aku akan mengambil cambukmu, dan kau berusaha untuk mempertahankannya. Jika permainan ini selesai, kau akan dapat mengambil satu kesimpulan dan sudah tentu kau akan cukup bijaksana untuk menentukan sikap."
Agung Sedayu tetap diam. Namun dalam pada itu, kegelisahan yang merayap dijantungnya, sengaja atau tidak sengaja, telah mendesak Agung Sedayu untuk bersiap sepenuhnya menghadapi keadaan. Lambaran ilmu yang ada didalam dirinya telah bergetar sampai mendasar. Apa yang pernah dipelajarinya dari Kiai Gringsing dengan segenap unsur gerak dan tenaga cadangannya, semua yang pernah dipelajarinya tentang ilmu yang tumurun pada orang tuanya yang tidak sengaja ditemuinya pada dinding goa, kemudian beberapa unsur yang terdapat didalam kitab yang pernah dibacanya dan kemudian dipelajarinya, kekuatan yang tumbuh pada getaran yang paling dalam dari dirinya dalam hubungan timbal balik dengan alam diseputarnya yang didapatkannya di saat ia mesu diri didalam goa dan pada kesempatan-kesempatan yang lain, dalam kesempatan yang demikian, seolah-olah telah bergolak dan menggelegak didalam dirinya. Seperti air yang mendidih oleh panasnya api, maka bergejolaklah ilmu itu didalam dirinya dan mengalir kesegenap urat darahnya sampai keujung yang paling lembut.
Nurseta Satria Karang Tirta 11 Pendekar Cambuk Naga 5 Pedang Semerah Darah Lentera Maut 9
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama