06 Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintardja Bagian 20
Ledakkan cambuk Agung Sedayu dan Kiai Gringsing serta guntur dilangit, rasa-rasanya telah membentur setiap dada para pengikut Ki Pringgajaya. Seolah-olah ada hubungan yang saling isi mengisi antara ketiganya.
Sementara itu, seperti yang dikatakan. Ki Waskita telah mendekati arena pertempuran antara Ki Widura dengan kedua orang lawannya. Nampak sekali betapa Ki Widura terdesak. Dan bahkan hampir saja ia telah kehilangan kesempatan untuk bertahan.
Karena itu kehadiran Ki Waskita telah memberikan kesempatan untuk memperbaiki kedudukannya, karena lawan-lawannya itupun harus memperhatikan kehadiran orang baru itu.
Namun dalam pada itu. Ki Waskitapun melihat, betapa Untara telah dikuasai pula oleh Bandung dan seorang dari Tal Pitu. Ruang geraknya menjadi sangat sempit karena senjata kedua lawannya telah mengurungnya.
"Mudah-mudahan yang aku lakukan tidak menyinggung perasaan Ki Widura dan Ki Untara," berkata Ki Waskita didalam hati.
Sejenak kemudian, ia telah berada dilingkaran pertempuran bersama Widura. Namun saat yang pendek itupun harus dimanfaatkan sebaik-baiknya untuk menolong Untara. Bandung benar-benar seorang yang kuat dan tangkas sementara orang Tal Pitu itupun mampu bergerak cepat sekali.
"Ki Widura," berkata Ki Waskita, "tinggalkan kedua orang ini. Lihat, apa yang terjadi dengan Ki Untara."
Widura termangu-mangu sejenak. Tetapi ia tidak sempat merenung terlalu lama. Karena itu, maka Ki Waskitapun mendesaknya, "Tidak ada waktu untuk menimbang-nimbang."
Widura sadar. Ia melihat pula bahwa Untara benar-benar tidak mempunyai kesempatan lagi. Karena itu, maka iapun segera meloncat meninggalkan arena itu. Ketika salah seorang lawannya ingin mengejarnya, maka mulailah Ki Waskita melibatkan diri langsung menyerang orang itu dengan loncatan panjang, sehingga orang itu mengurungkan niatnya dan menghindari serangan yang mendebarkan itu.
Demikianlah, maka Ki Waskitalah yang kemudian berhadapan dengan dua orang. Karena itu, maka iapun mulai mempertimbangkan untuk mempergunakan senjata pula.
Ki Waskita terbiasa mempergunakan perisai pergelangan tangannya yang dibalut dengan ikat kepalanya atau dengan ikat pinggangnya. Tetapi jika ia ingin mempergunakan ikat pinggangnya sebagai senjata, maka yang dipergunakan bagi perisainya adalah ikat kepalanya.
Demikianlah Ki Waskita kemudian mengurai ikat kepalanya dan melingkarkannya pada pergelangan tangannya, sementara ia juga mengurai ikat pinggangnya yang dipergunakannya sebagai senjata menghadapi senjata-senjata lawannya.
"Orang ini sudah gila," geram Dogol Legi, "dikiranya aku sedang bermain-main."
Sementara orang Tal Pitu yang bertempur bersamanya itupun menjadi sangat marah melihat sikap Ki Waskita yang mereka anggap sangat merendahkan.
Karena itu, maka kedua orang itupun segera mengerahkan segenap ilmunya untuk menekan lawan mereka yang baru.
Namun ternyata lawannya yang baru ini agak berbeda dengan Ki Widura. Waskita memiliki ilmu yang lebih tinggi dari Ki Widura, sehingga untuk sesaat Dogol Legi dan orang Tal Pitu itu terkejut karena serangan-serangan mereka bagaikan membentur benteng baja. Ternyata ikat kepala yang melingkar di pergelangan tangan itu mempunyai kekuatan seperti sebuah perisai baja yang tidak koyak oleh tajamnya pedang dan ikat pinggang itupun berbahaya melampaui pedang.
Sementara itu, Widura dengan tergesa-gesa telah mendekati arena pertempuran Untara yang berat sebelah. Untara yang benar-benar tidak mampu lagi bertahan, selalu berloncatan surut. Namun lawannyapun sempat memburunya dengan serangan-serangan yang garang.
Kehadiran Widura membuat kedua lawan Untara menjadi marah. Mereka terganggu, karena hampir saja merasa berhasil mengurung dan membinasakan Untara.
"Licik," geram orang Tal Pitu yang bertempur melawan Untara, "Kenapa Senapati muda yang memiliki nama besar ini memerlukan bantuan seseorang ?"
Ki Widuralah yang menjawab, "Katakan sekali lagi, bahwa kehadiranku adalah pertanda kelicikan kami. Lalu apakah artinya bahwa kalian juga bertempur berpasangan " Dengan, kami akan menempatkan diri kita masing-masing pada sikap jantan seorang laki-laki. Kita akan bertempur seorang melawan seorang."
Bandung yang merasa dirinya memiliki ilmu yang tidak terlawan berkata, "Aku terima tawaranmu. Aku akan membunuh Senapati muda ini. Dan biarlah kawanku ini membunuh bekas Senapati yang pernah dihadapkan kepada Macam Kepatihan di Jati Anom."
Widura menjawab, "Bagus. Marilah."
Orang Tal Pitu yang bertempur bersama Bandung itupun kemudian meninggalkan Untara. Dihadapinya Widura yang telah bersiap menghadapinya pula.
Untara menarik nafas dalam-dalam. Yang datang membantunya adalah pamannya. Meskipun ada juga setitik singgungan pada perasaannya, seolah-olah ia tidak dapat menyelesaikan persoalan yang sedang dihadapinya, namun karena yang datang itu adalah Widura sementara iapun tidak dapat mengabaikan kenyataan bahwa ia tidak akan mampu melawan kedua orang yang telah dipersiapkan untuk membunuhnya itu, maka iapun akhirnya berkata, "Terima kasih paman. Aku akan segera membunuh orang ini."
Demikianlah, keseimbangan pertempuran itu telah berubah. Lingkaran pertempuranpun telah berubah pula. Yang harus menghadapi lawan rangkap adalah Ki Waskita dan Agung Sedayu. Bahkan Agung Sedayu harus berhadapan dengan ampat orang lawan.
Dalam pada itu, langitpun menjadi semakin gelap. Kilat semakin sering meloncat dilangit, dan guruhpun menggelegar tidak henti-hentinya. Disebelah tikungan itu membujur jalan menuju ke Lemah Cengkar. Satu tempat yang menurut kepercayaan banyak orang, dihuni oleh seekor harimau putih yang mengerikan.
Ternyata bahwa awan yang hitam dilangit itu tergantung semakin rendah dan seolah-olah semakin berat dibebani oleh titik-titik air yang semakin banyak. Karena itulah, maka sejenak kemudian, maka titik-titik hujan-pun mulai turun. Semakin lama semakin banyak. Dan hujanpun menjadi semakin lebat.
Prajurit yang terluka dipinggir arena telah beringsut dan berusaha berlindung dibawah pepohonan. Betapa air hujan membuat luka mereka menjadi pedih. Namun serba sedikit rimbunnya dedaunan dipinggir jalan itu telah memberikan sedikit perlindungan kepada mereka.
Dalam pada itu, jika dilangit lidah api menyambar, rasa-rasanya bumi bagaikan siang. Namun hanya sekilas. Dan dalam sekilas itu dapat dilihat ujung senjata berputaran.
Ternyata Ki Pringgajaya benar-benar seorang yang luar biasa. Ia benar-benar memiliki ilmu seperti yang dikatakan oleh Ki Waskita. Bahkan sebagai saudara seperguruan, Ki Pringgajaya memiliki ilmu itu lebih mantap dan mapan.
Tetapi ilmunya tidak lagi dapat mengejutkan Kiai Gringsing yang sudah mengetahuinya. Apalagi dengan senjata cambuknya yang berjuntai dan lentur, Kiai Gringsing berusaha menyesuaikan dirinya. Ia menjaga agar arah serangan Ki Pringgajaya tidak menyusup di sela-sela putaran cambuknya, karena Kiai Gringsing sadar, serangan Ki Pringgajaya telah melampaui kecepatan waktu.
"Gila," geram Ki Pringgajaya didalam hatinya, "orang tua ini benar-benar seorang yang berilmu iblis."
Sebenarnyalah sulit bagi Ki Pringgajaya untuk menembus putaran cambuk Kiai Gringsing. Namun Kiai Gringsingpun tidak mudah untuk dapat menyentuh lawannya. Sehingga dengan demikian maka pertempuran itupun telah berlangsung dengan dahsyatnya. Bukan saja karena keduanya memiliki kecepatan gerak yang tinggi, tetapi keduanya mulai melepaskan kekuatan cadangan mereka yang tidak banyak dikuasai oleh orang kebanyakan.
Dalam hujan yang semakin deras, pertempuran itupun berlangsung semakin sengit. Air yang bagaikan dicurahkan dari langit kadang-kadang membuat malam menjadi semakin pekat. Wajah-wajah yang basah harus sekali-sekali diusap dengan tangan kiri, sementara tangan-tangan kanan menggenggam senjata masing-masing.
Salah seorang dari prajurit yang terluka paling parah telah menggigil. Bukan saja karena curahan air hujan, namun juga karena tubuhnya yang semakin lemah oleh darah yang mengalir. Meskipun para prajurit itu juga membawa obat yang dapat dipergunakan untuk sementara dimedan pertempuran seperti itu, namun nampaknya air hujan telah melarutkannya. Meskipun demikian, obat-obat itu dapat juga membantu serba sedikit dalam keadaan yang gawat itu.
Glagah Putih yang bertempur seorang melawan seorang telah menunjukkan kemampuanaya. Meskipun kekuatan lawannya masih berada diatas kekuatannya, tetapi ia memiliki kemampuan bergerak lebih cepat dan unsur-unsur gerak yang lebih lengkap. Dengan demikian, maka Glagah Putih itupun masih mampu mengimbangi lawannya dan bertempur dengan tangkasnya. Sementara lawannya kadang-kadang masih saja di bayangi oleh keheranannya, bahwa lawannya itu masih sangat muda. Jika langit menyala, nampaklah wajah remajanya yang tegang. Namun anak itu sudah mampu menggerakkan senjatanya dan bahkan kadang-kadang sangat membahayakan.
Arena pertempuran di tikungan itu semakin lama menjadi semakin meluas. Masing-masing bergeser kearah yang kadang-kadang tidak diperhitungkan. Bahkan satu dua orang telah bertempur di seberang parit, turun ke tanah persawahan yang basah dan berlumpur. Dengan demikian maka kaki mereka menjadi semakin berat dicengkeram oleh tanah yang basah sehingga gerak merekapun menjadi semakin lamban.
Bandung yang dibanggakan itu memang memiliki kemampuan yang tinggi. Dengan garangnya ia melibat Untara dalam pertempuran berjarak pendek. Ia sama sekali tidak memberi kesempatan kepada Untara untuk mengambil jarak. Demikian kawannya dari Tal Pitu harus bertempur melawan Widura, maka Bandung harus mempercayakan diri kepada kemampuannya. Dan ia memang memiliki kecermatan gerak tangan untuk bertempur pada jarak yang terlalu dekat.
Tetapi Untara memiliki pengalaman dibanyak arena dan cara untuk mempertahankan diri dan menyerang. Karena itu, maka iapun justru menyesuaikan diri dengan cara yang dipilih oleh lawannya. Bertempur pada jarak yang pendek. Bahkan Untara masih memiliki kelebihan dari lawannya yang hanya mampu menggerakkan tangannya dengan cepat. Tetapi dengan latihan-latihan yang berat pada saat-saat senggang, kaki Untarapun mampu mengumbangi kecepatan gerak lawannya, telah menempatkannya pada kesempatan yang lebih baik.
Namun ternyata bahwa Untara harus mengamati tangan kiri lawannya. Selain senjatanya ditangan kanan ternyata bertempur pada jarak yang pendek itu mempunyai kemungkinan yang lain pada lawannya. Ternyata jari-jari tangan kiri lawannya mempunyai kekuatan yang luar biasa. Sesaat Untara lengah karena ia sekedar memperhatikan senjata lawannya, maka pundaknya telah tersentuh oleh tangan kiri lawannya itu.
Semula Untara hanya merasakan pundaknya bagaikan disengat oleh rasa sakit. Namun kemudian pundaknya itu merasa pedih. Ketika ia sempat meraba pundaknya, terasa diantara basahnya air hujan, cairan yang hangat mengembun dipundaknya yang pedih. Sekilas kilat memancar, Untara menyadari bahwa pundaknya telah berdarah.
"Kukunya setajam pisau," desis Untara didalam hatinya. Dengan demikian maka Untarapun menjadi lebih berhati-hati menghadapi lawannya. Ia sadar, kenapa lawannya berusaha untuk melibatnya dalam pertempuran tanpa jarak itu.
Dengan demikian, maka Untarapun telah mengiimbangi kemampuan lawannya pada tangan kirinya dengan tekanan-tekanan kekuatan yang telah dikembangkannya pada tenaga cadangannya. Perlahan-lahan kekuatan Untara bagaikan menjadi semakin besar.
Dalam pada itu, Untara yang bertempur pada jarak yang pendek itu, memang sulit untuk mendapat kesempatan melihat arena pertempuran secara keseluruhan. Namun dengan sekali-sekali ia sempat juga melihat sekilas jika langit memancar.
Namun kehadiran adiknya bersama Ki Waskita, Sabungsari dan Glagah Putih telah terasa akibatnya. Bahkan jika ia semula harus bertempur melawan dua orang yang hampir saja merenggut hidupnya seperti yang memang dikehendaki oleh Ki Pringgajaya, maka kemudian ia tinggal berhadapan dengan seorang saja meskipun yang seorang ini memiliki kemampuan yang mendebarkan.
Sebenarnyalah Untara yang telah mendapat gambaran serba sedikit tentang kemampuan adiknya di padepokannya, tidak mencemaskannya lagi meskipun bukan berarti bahwa adiknya itu tidak akan mendapat lawan yang berat. Apalagi ketika ia melihat bahwa adiknya itu harus melawan ampat orang sekaligus. Namun yang justru lebih diperhatikan adalah kehadiran Glagah Putih diantara orang-orang yang memiliki ilmu yang tinggi.
"Untunglah ia tidak bertemu dengan lawan yang menggetarkan," berkata Untara didalam hatinya, setelah ia mengetahui bahwa Glagah Putih telah mendapat lawan salah seorang dari lima pengikut Ki Pringgajaya.
Dalam pada itu, rasa-rasanya malam menjadi semakin kelam. Hujan justru menjadi semakin lebat, dan angin bertiup semakin kencang. Pepohonan bagaikan diguncang dan bahkan kadang-kadang bagaikan diputar oleh angin yang melingkar.
Ledakan cambuk Kiai Gringsing dan Agung Sedayu masih saja bersahut-sahutan dengan guntur yang menggelegar. Sementara air mulai mengalir disepanjang jalan dan parit-paritpun mulai melimpah.
Sabungsari bergeser beberapa langkah dari kawan-kawannya. Ia mencoba untuk bertempur pada jarak yang memungkinkannya melihat pertempuran itu dalam keseluruhan. Rasa-rasanya ingin sekali ia melihat, apa yang dapat dilakukan oleh Ki Pringgajaya dihadapan Kiai Gringsing meskipun ia pernah mendengar serba sedikit tentang orang yang bernama Ki Lurah Pringgajaya, yang juga saudara seperguruan Ki Pringgabaya.
Lawan Sabungsari sendiri, bukanlah orang yang membuat prajurit muda itu silau. Meskipun orang itu memiliki bekal yang cukup, namun Sabungsari sendiri juga memiliki ilmu yang tinggi, sehingga karena itu, maka Sabungsari tidak terlalu cemas menghadapi lawannya. Namun iapun sadar, jika ia membuat satu kesalahan kecil saja, maka ia akan terjerumus kedalam keadaan yang sangat gawat.
Sambil bertempur Sabungsari mengamati Ki Pringgajaya yang pernah dikenalnya dalam lingkungan keprajuritan Pajang di Jati Anom. Ternyata seperti yang dikatakannya, ia memang mampu mengimbangi ilmu Kiai Gringsing. Kecepatannya bergerak kadang-kadang memaksa Kiai Gringsing untuk bergeser surut mengambil jarak, kemudian meledakkan cambuknya untuk menahan agar lawannya tidak menelusup memasuki daerah pertahanannya.
Tetapi malam sangat gelap. Hujan yang tercurah telah membatasi penglihatannya. Hanya jika sesekali kilat memancar, ia dapat melihat seluruh arena. Tetapi tidak lebih dari sekejap.
Agung Sedayulah yang bertempur melawan jumlah orang yang paling banyak. Meskipun mereka bukan orang terpenting didalam kelompok orang-orang yang menghadang Untara, tetapi berempat mereka merupakan lawan yang cukup berat. Apalagi mereka berusaha memencar dan mengepung Agung Sedayu dari segala arah.
Seperti Sabungsari, Agung Sedayu tidak terlalu cemas menghadapi keempat lawannya. Tetapi iapun tidak mau membuat kesalahan yang dapat menyeretnya kedalam bencana. Karena itu, maka iapun bertempur dengan sangat berhati-hati.
Keempat orang lawannya itu ternyata berusaha untuk bertempur sambil bergeser. Mereka mencoba membingungkan Agung Sedayu dengan serangan yang datang berganti-ganti, beruntun dan dalam gerak yang menggelombang.
Tetapi usaha mereka sia-sia. Agung Sedayu tidak pernah menjadi bingung dan tidak pula kehilangan pengamatan arah serangan yang datang susul menyusul itu. Ia dapat menangkis serangan dari depan, sekaligus serangan berikutnya yang menyusul dari belakang, atau bahkan kedua-duanya dalam waktu yang bersamaan.
Ternyata Agung Sedayu tidak tergesa-gesa. Menurut pengamatannya, meskipun malam gelapnya bukan kepalang, tetapi ia dapat menduga dan merasakan, bahwa Untara dan kelompoknya tidak banyak mengalami kesulitan melawan orang-orang Ki Pringgajaya termasuk Ki Pringgajaya sendiri.
"Meskipun Ki Pringgajaya adalah orang yang pilih tanding, tetapi guru bukannya orang yang mudah untuk ditaklukkannya. Semula ia yakin karena ia bertempur berpasangan. Tetapi seorang diri, ia akan memeras segenap kemampuannya. Apalagi rahasia kelebihannya sudah diketahui oleh guru, seperti yang pernah dikatakan oleh Ki Waskita," berkata Agung Sedayu didalam hatinya.
Sebenarnyalah Kiai Gringsing mendapat lawan yang sangat kuat dengan ilmunya yang dahsyat. Namun karena ia sudah mengetahuinya, maka dengan ujung cambuknya ia selalu berusaha memotong serangan Ki Pringgajaya yang seakan akan mampu melampaui kecepatan waktu.
Secara keseluruhan, maka kehadiran Ki Waskita, Agung Sedayu, Sabungsari dan Glagah Putih, membuat pertempuran itu tidak berat sebelah. Tidak lagi nampak tekanan-tekanan yang berbahaya seperti sebelumnya, yang bahkan hampir saja merenggut nyawa.
Ternyata bahwa Agung Sedayulah yang nampaknya akan mengakhiri pertempuran itu paling cepat. Dengan ujung cambuknya ia membuat keempat lawannya tidak berdaya sama sekali untuk menyerangnya. Bahkan kadang-kadang mereka menjadi bingung, dan bersama-sama berloncatan surut jika Agung Sedayu memutar cambuknya lebih cepat.
Dalam keadaan yang demikian, maka didalam gemuruhnya hujan yang tercurah dari langit, terdengar suara Agung Sedayu, "Menyerah sajalah. Kalian tidak akan dapat berbuat lebih banyak dari yang kalian lakukan ini."
"Persetan," geram salah seorang dari mereka, "dalam keseluruhan, kami akan dapat menghancurkan kalian. Seorang saja kawanmu terbunuh, berarti semuanya akan terbunuh."
"Tetapi juga sebaliknya," berkata Agung Sedayu, "seorang saja diantara kalian lumpuh, maka berakhirlah pertempuran ini dengan cepat dan pasti."
Lawannya tidak menjawab. Tetapi hampir bersamaan mereka menyerang dari segala arah. Namun putaran cambuk Agung Sedayu telah mendorong mereka untuk melangkah surut.
Ternyata Agung Sedayu tidak perlu mengerahkan segenap kemampuannya. Ia masih bertempur wajar dengan kekuatan cadangannya untuk mengatasi kecepatan gerak keempat lawannya. Tetapi ia masih belum mengerahkan kemampuan ilmu yang tertinggi, apalagi yang terpancar dari getaran didalam dirinya dalam hubungannya dengan lambaran ilmu yang mampu menyerap kekuatan alam dilingkungannya bukan saja kemampuan kewadagan.
Dalam waktu yang terhitung tidak terlalu lama, maka keempat lawannya benar-benar telah kehilangan kemampuan mereka untuk melawan. Mereka kadang-kadang menjadi bingung. Nafas mereka menjadi semakin memburu, apalagi air yang tercurah dari langit seolah-olah telah menyumbat lubang hidung mereka.
Perlahan-lahan tetapi pasti, Agung Sedayu berniat untuk menundukkan mereka, meskipun tidak ada niatnya untuk membunuh. Namun keempatnya harus dilumpuhkan dan tidak dapat mengganggu arena pertempuran itu lagi.
Namun dalam pada itu, selagi mereka terpukau dalam pertempuran melawan orang-orang tertentu, mereka sama sekali tidak menghiraukan seseorang yang mengamati pertempuran itu dari jarak yang cukup untuk tidak dengan mudah diketahui. Dengan saksama ia memperhatikan setiap orang didalam pertempuran itu. Meskipun malam kelam, namun dalam kilatan cahaya lidah api yang berloncatan, ia dapat menilai apa yang sebenarnya sudah terjadi.
"Satu kesalahan telah terjadi," berkata orang itu, "seharusnya anak-anak Tal Pitu itu tidak bertempur berpencaran. Jika mereka mendapat kesempatan bergabung, maka kemampuan mereka akan luluh menjadi satu kekuatan yang tidak terlawan."
Sebenarnyalah, bahwa orang-orang dari Tal Pitu yang harus bertempur berpasangan dengan orang lain, merasa kurang dapat luluh dalam satu kesatuan. Seolah-olah mereka tidak mampu menghentakkan ilmu mereka sampai tuntas, karena kerja sama yang kurang mapan.
Namun karena semula mereka dapat langsung menguasai lawan mereka, maka mereka tidak merasakan kesulitan dalam kerja sama. Tetapi ketika salah seorang dari mereka harus bertempur melawan Ki Waskita berpasangan dengan orang lain, barulah mereka merasa, bahwa mereka tidak dapat mengerahkan kemampuan masing-masing sampai kepuncak.
Orang yang bersembunyi itu masih menunggu sejenak. Namun ketajaman penglihatannya, segera mengetahui, bahwa orang Ki Pringgajaya tidak akan dapat memenangkan pertempuran itu. Jika keseimbangan itu tidak dirubah, maka sekali lagi akan terjadi kegagalan.
"Prabadaru memang kurang bijaksana," desis orang itu, "atau ia menyerahkan segalanya kepada Pringgajaya, sehingga dengan demikian Pringgajayalah yang kurang bijaksana."
Sebenarnyalah bahwa orang itu tidak melihat kemungkinan apapun yang menguntungkan pihak Pringgajaya. Pringgajaya sendiri yang bertempur melawan Kiai Gringsing, harus mengerahkan segenap kemampuannya. Meskipun pertempuran itu demikian dahsyatnya, sehingga cambuk Kiai Gringsing meledak berurutan bahkan kadang-kadang terdengar gaung angin putaran cambuk itu. namun tidak nampak bahwa pada saat yang pendek, bahkan pada suatu saat yang manapun, bahwa Pringgajaya akan dapat menguasai Kiai Gringsing. Keduanya memiliki ilmu yang luar biasa. Keduanya memiliki kelebihan dan kemungkinan yang seimbang.
Dalam pada itu, murid Tal Pitu yang seorang, tidak juga nampak akan segera dapat mengalahkan Sabungsari. Meskipun Sabungsari sudah sampai pada puncak kemampuannya dengan mengerahkan tenaga cadangan dan segala kemungkinan yang terlontar dari ilmunya, namun ia masih belum mempergunakan ilmu pamungkasnya. Ia masih berusaha untuk dapat menguasai lawannya dengan kemampuan sentuhan wadagnya. Dan ia memang merasa akan dapat melakukannya tanpa mempergunakan kekuatan ilmunya yang terpancar dari sorot matanya.
"Kecuali jika orang Tal Pitu ini masih mempunyai simpanan ilmu yang akan dapat mendesakku," berkata Sabungsari didalam hatinya, "barulah aku akan mempergunakan ilmu itu."
Murid Tal Pitu yang bertempur melawan Widurapun tidak berhasil mendesaknya. Memang ada kemungkinan Widura akan terdesak. Tetapi nampaknya pengalamannya yang luas berhasil menolongnya, sehingga ia masih tetap mampu bertahan.
Orang Tal Pitu yang ketiga, yang kebetulan bertempur bersama Dogol Legi melawan Ki Waskita, nampaknya tidak dapat berpasangan dengan mapan. Sekali-kali terjadi juga salah paham, dan bahkan keragu-raguan.
"Sebaiknya ia bergabung dengan saudara seperguruannya," berkata orang itu.
Orang itu tidak menghiraukan lagi orang-orang lain. Ia lebih banyak memperhatikan ketiga murid dari Tal Pitu itu. Karena itu, maka iapun berusaha bergeser lebih mendekati orang-orang Tal Pitu itu.
Tetapi ia terkejut ketika ia mendengar keluhan diantara ledakkan cambuk seorang anak muda yang bertempur melawan ampat orang sekaligus. Karena itu ia justru tertarik kepada anak muda itu. Demikian tangkas dan cekatan.
Dalam pada itu, seorang dari keempat lawannya telah berada diluar arena. Nampaknya ia sudah terluka. Pahanya telah terkoyak oleh ujung cambuk Agung Sedayu. Betapa perasaan pedih menyengat lukanya yang basah oleh curahan air hujan.
"Anak ini memang luar biasa," desis orang itu. "Namun nampaknya ia dapat memperhitungkan keadaan dengan cermat. Jika anak muda itu mendapat kesempatan bertempur lebih lama lagi, maka ketiga orang lawannya yang lainpun akan segera dipunahkannya."
Karena itu, maka ia merasa harus bertindak dengan cermat. Ia tidak peduli lagi, apakah yang akan terjadi. Namun iapun tidak ingin bahwa sekali lagi Pringgajaya yang telah berganti nama dengan Partasanjaya itu akan gagal.
Sambil meloncat dari persembunyiannya orang itu berkata lantang, "Anak-anak Tal Pitu. Kenapa kalian tidak bertempur disatu arena ?"
Suara yang lantang itu telah mengejutkan arena. Semua orang memperhatikannya. Lebih-lebih ketiga orang murid Tal Pitu. Bahkan hampir berbareng mereka menyebut, "Guru."
"Ya. Aku datang untuk melihat apa yang telah terjadi. Aku mendengar dari Prabadaru bahwa kalian telah dikirim kepada Pringgajaya. Tetapi Pringgajaya ternyata tidak bijaksana. Ia memasang kalian dalam arena yang tercerai berai. Mungkin Pringgajaya terlalu meremehkan kekuatan lawannya, sehingga ia tidak memikirkan latar belakang orang-orang yang membantunya," berkata orang itu.
"Ajar Tal Pilu," desis Pringgajaya.
"Ya. Aku memang sudah tidak percaya akan rencanamu," berkata orang yang disebut Ajar Tal Pitu. Lalu, "Kau selalu gagal dan kali inipun kau tidak mapan menempatkan orang-orangku yang aku berikan kepada Prabadaru."
"Semuanya sudah berubah," berkata Pringgajaya sambil bertempur, "ada yang hadir disini diluar perhitunganku."
Ajar Tal Pitu itu mengangguk-angguk. Lalu katanya, "Kita atur kembali orang-orang kita. Aku akan ikut melibatkan diri. Aku tertarik kepada anak yang melawan empat orang sekaligus. Aku ingin menangkapnya dan mempelajari, ilmu apakah yang dimilikinya."
"Ia anak iblis. Ia murid lawanku ini," berkata Pringgajaya.
"Ya. Justru ia anak iblis. Aku ingin memeliharanya, sekedar untuk mengerti tentang dirinya," jawab Ajar Tal Pitu.
"Jika demikian, terserah kepadamu," jawab Ki Pringgajaya.
Ajar Tal Pitu itupun kemudian berkata, "Anak-anak Tal Pitu. Berkumpullah. Lawanlah orang tua yang mempunyai lawan rangkap itu. Ia memiliki ilmu yang tinggi. Sementara lawannya yang lain, biarlah melawan bekas prajurit itu. Bukankah orang itu Widura " Sedangkan keempat prajurit ini, biarlah melawan anak muda yang seorang lagi, yang nampaknya kemampuan mereka tinggal tiga orang saja."
Untuk beberapa saat tidak terdengar jawaban. Yang terdengar adalah dentang senjata beradu dan gelegar guruh dilangit. Bahkan angin yang kencang bertiup semakin buas menerpa dedaunan yang berguncangan-guncang.
Dalam pada itu, maka orang yang disebut Ajar Tal Pitu itu melangkah mendekati Agung Sedayu. Sejenak ia mengamati pertempuran diantara Agung Sedayu dan lawannya yang tinggal tiga orang, karena yang seorang telah terluka dan nampaknya sedang berusaha untuk mengurangi penderitaannya.
"Tinggalkan lawanmu" geram Ajar Tal Pitu.
Ketiga orang itu termangu-mangu. Mereka adalah orang-orang yang berada dibawah perintah Ki Pringgajaya. Karena itu untuk beberapa saat mereka tidak beringsut dari tempatnya. Mereka masih tetap bertempur melawan Agung Sedayu.
Namun dalam pada itu, terdengar perintah Ki Pringgajaya, "Lakukan. Ajar Tal Pitu ingin turun ke arena."
Ketiga orang itupun segera berusaha menarik diri. Mereka melangkah surut. Sementara Agung Sedayu tidak mengejarnya.
"Bagus," desis Ajar Tal Pitu, "kau mengenal tatanan laki-laki jantan. Kau memberi kesempatan lawanmu untuk memperbaiki keadaannya."
Agung Sedayu sama sekali tidak menjawab. Dipandanginya orang yang disebut Ajar Tal Pitu itu dengan saksama. Sementara orang itu berkata, "Ki Sanak bertiga. Ambillah anak muda yang seorang lagi itu sebagai lawan. Biarlah murid-muridku berkumpul menjadi satu menghadapi orang tua yang nampaknya memiliki ilmu yang tinggi itu. Sementara muridku yang bertempur melawan Widura biarlah bertukar tempat."
Dalam pada itu, terdengar suara Ki Pringgajaya, diantara gemuruh air hujan, "Lakukanlah apa yang dikatakannya."
Demikianlah ketiga orang lawan Agung Sedayu itupun segera mendekati Sabungsari. Sejenak mereka mengamati pertempuran itu. Namun kemudian mereka telah mengambil alih anak muda itu, sementara murid Tal Pitu yang melawannya telah memilih lawan yang lain. Nampaknya para murid Tal Pitu itu berusaha untuk menyusun satu perlawanan yang utuh terhadap Ki Waskita. Sehingga karena itu. maka Dogol Legipun telah beralih lawan. Seperti rencana semula, ia memang dihadapkan kepada bekas prajurit yang bernama Widura.
Demikianlah arena pertempuran itu sudah berubah. Tiga orang murid Tal Pitu telah berkumpul melawan Ki Waskita, sementara Sabungsari berhadapan dengan tiga orang lawan bersama-sama.
Dalam pada itu. Kiai Gringsing, yang bertempur melawan Ki Pringgajaya menjadi berdebar debar. Ia sadar, bahwa Ajar Tal Pitu tentu bukan orang kebanyakan. Semula ia mengirimkan tiga orang muridnya. Namun ternyata bahwa ia sendiri telah hadir dipertempuran.
Selain Kiai Gringsing, Ki Waskita, Widura dan Untarapun menjadi cemas. Bahkan Sabungsari dan Glagah Putihpun ikut memikirkannya.
Ketika Untara sempat memandang sekilas ketika langit menyala sekejap, ia melihat Ajar Tal Pitu melangkah mendekati Agung Sedayu yang berdiri tegak.
Bagaimanapun juga, Agung Sedayu adalah satu-satunya adiknya. Karerti itu, maka ia tidak akan dapat melepaskannya kegelisahannya meskipun ia sendiri menghadapi lawan yang berat.
Dalam pada itu, Ajar Tal Pitu yang sudah berdiri berhadapan dengan Agung Sedayu itupun berkata, "Anak muda. Nampaknya kau memiliki kelebihan yang sulit dijangkau oleh anak anak muda sebayanya. Menilik senjatamu, kau memang murid orang bercambuk seperti yang dikatakan oleh Ki Pringgajaya."
"Ya," jawab Agung Sedayu, "aku memang murid Kiai Gringsing."
Ajar Tal Pitu mengangguk-angguk. Katanya, "Nama orang bercambuk itu memang sudah aku dengar. Ketika aku melihat, bagaimana ia bertempur melawan Ki Pringgajaya, maka akupun percaya, namanya memang besar sebagaimana kemampuannya. Bagiku Ki Pringgajaya adalah seorang yang pilih tanding. Melampaui saudara seperguruannya yang kini berada di Mataram, karena nasibnya yang malang. Jika ia tidak ketemu dengan Senapati Ing Ngalaga, atau Ki Juru Martani sendiri aku kira tidak seorangpun yang dapat menangkapnya. Dan ternyata sekarang, bahwa orang bercambuk itu mampu mengimbangi Ki Pringgajaya."
Agung Sedayu tidak menjawab. Bahkan ia sempat memandang sekilas pertempuran yang nampaknya semakin berserakan, karena setiap lingkaran pertempuran telah bergeser kearah yang berbeda.
"Anak muda," berkata Ajar Tal Pitu, "sebenarnya aku tidak ingin membunuhmu. Aku ingin menangkapmu dan jika kau bersedia bekerja bersama, maka aku akan mempergunakan pola latihan-latihan yang pernah kau lakukan bagi murid-muridku yang masih muda sehingga pada umur semuda kau, mereka akan memiliki kemampuan setingkat dengan kemampuanmu."
Agung Sedayu tidak segera menjawab. Tetapi ia sudah siap menghadapi segala kemungkinan. Meskipun juntai cambuknya masih terkulai ditanah yang basah, namun setiap saat cambuk itu akan dapat meledak.
"Nampaknya kau tidak tertarik pada tawaranku," berkata Ajar Tal Pitu, "Baiklah. Jika demikian aku akan menangkapmu. Cobalah kau berusaha membebaskan diri. Tetapi aku kira, aku perlu memberikan sedikit gambaran kepadamu, dengan siapa kau berhadapan. Dengan demikian, maka kau akan menyadari, apa yang akan kau lakukan seterusnya. Apakah yang akan kau lakukan itu akan punya arti, atau hanya sekedar kesia-siaan saja."
Betapapun juga, terasa debar jantung Agung Sedayu menjadi semakin cepat. Agaknya orang yang bernama Ajar Tal Pitu itu terlalu yakin akan kemampuannya, sehingga ia ingin memberiican sedikit gambaran tentang tingkat ilmunya.
"Anak muda," berkata Ajar Tal Pitu, "aku akan segera bermain-main. Cobalah kau ikut dalam permainan ini. Aku akan mengambil cambuk dari tanganmu. Dan kau harus mencoba mempertahankan. Kau mengerti maksudku " Meskipun seandainya aku berhasil merampas cambukmu, cambuk itu akan aku kembalikan kepadamu, karena aku hanya ingin sekedar memberikan gambaran, siapakah yang sebenarnya kau hadapi."
Dada Agung Sedayu menjadi semakin berdebar-debar. Ia tidak dapat mengabaikan kata-kata Ajar Tal Pitu itu. Jika ia tidak mempunyai bekal yang pantas maka ia tidak akan mengatakannya.
Karena Agung Sedayu tidak menjawab, maka Ajar Tal Pitu itu tertawa sambil berkata selanjutnya, "Kau tidak perlu gelisah. Apalagi jika kau mau mendengar kata-kataku. Kau ikut ke Tal Pitu dan memberi tahukan kepadaku, cara-cara yang selama ini kau tempuh sehingga kau memiliki ilmu yang tinggi pada usiamu yang muda. Jangan takut kepada gurumu, karena gurumu tidak akan dapat melihat matahari terbit esok pagi."
Kata-kata itu tidak hanya didengar oleh Agung Sedayu. Meskipun gemeresak hujan yang semakin lebat menderu bercampur suara guruh, tetapi sebagian besar dari orang-orang yang sedang bertempur itu mendengar apa yang dikatakan oleh Ajar Tal Pitu yang agaknya dengan sengaja diucapkan dengan lantang.
Sebenarnyalah bahwa orang-orang itu menjadi gelisah. Tetapi mereka memang tidak banyak mempunyai kesempatan untuk berbuat sesuatu, karena mereka masing-masing sedang sibuk menghadapi lawan yang berat.
"Agung Sedayu," berkata Ajar Tal Pitu itu kemudian. "Marilah kita akan mulai dengan permainan kita. Aku akan mengambil cambukmu, dan kau berusaha untuk mempertahankannya. Jika permainan ini selesai, kau akan dapat mengambil satu kesimpulan dan sudah tentu kau akan cukup bijaksana untuk menentukan sikap."
Agung Sedayu tetap diam. Namun dalam pada itu, kegelisahan yang merayap dijantungnya, sengaja atau tidak sengaja, telah mendesak Agung Sedayu untuk bersiap sepenuhnya menghadapi keadaan. Lambaran ilmu yang ada didalam dirinya telah bergetar sampai mendasar. Apa yang pernah dipelajarinya dari Kiai Gringsing dengan segenap unsur gerak dan tenaga cadangannya, semua yang pernah dipelajarinya tentang ilmu yang tumurun pada orang tuanya yang tidak sengaja ditemuinya pada dinding goa, kemudian beberapa unsur yang terdapat didalam kitab yang pernah dibacanya dan kemudian dipelajarinya, kekuatan yang tumbuh pada getaran yang paling dalam dari dirinya dalam hubungan timbal balik dengan alam diseputarnya yang didapatkannya di saat ia mesu diri didalam goa dan pada kesempatan-kesempatan yang lain, dalam kesempatan yang demikian, seolah-olah telah bergolak dan menggelegak didalam dirinya. Seperti air yang mendidih oleh panasnya api, maka bergejolaklah ilmu itu didalam dirinya dan mengalir kesegenap urat darahnya sampai keujung yang paling lembut.
Diluar sadarnya, tiba-tiba tangan Agung Sedayu yang menggenggam cambuknya itu menjadi bergetar. Jika benar apa yang dikatakan oleh Ajar Tal Pitu, bahwa ia akan mengambil cambuk itu dari tangannya, maka genggaman tangannya itu bagaikan membatu dan mengeras menjadi satu dengan tangkai cambuknya itu.
Dalam pada itu, terdengar suara tertawa Ajar Tal Pitu diantara kata-katanya, "Bersiaplah Agung Sedayu. Kau tidak usah menjadi gemetar, apalagi ketakutan. Aku tidak akan bersungguh-sungguh seperti yang aku katakan pada taraf permulaan. Tetapi jika kemudian kau menjadi keras kepala, maka mungkin aku akan mengambil sikap lain.
Agung Sedayu tetap diam. Namun kekuatan berbagai ilmu yang luluh didalam dirinya itu seakan-akan telah membuat hujan yang semakin lebat dan angin prahara yang mengguncang pepohonan itu tidak menyentuh tubuhnya lagi.
Tetapi Ajar Tal Pitu tidak sempat melihatnya. Ia terlalu bangga akan dirinya dan sekaligus ia menganggap lawannya adalah kanak-kanak yang betapapun tinggi ilmunya, namun masih belum pantas untuk diperhitungkan.
Namun Ajar Tal Pitu memang ingin mengejutkan Agung Sedayu. Dalam kesempatan pertama, ia memang ingin menunjukkan kepada anak muda itu, siapakah dirinya dan betapa tinggi ilmunya.
Karena itu, secepat lidah api yang menyala dilangit, hampir tidak dapat dilihat dengan tatapan mata kewadagan, Ajar Tal Pitu telah bergerak. Tangannya terjulur menggapai ujung cambuk Agung Sedayu kemudian menghentak merenggutnya dengan satu loncatan panjang.
Teiapi yang terjadi, benar-benar diluar dugaan Ajar Tal Pitu. Hentakkan tangannya bagaikan ledakan yang dahsyat didalam dirinya. Sebuah teriakan nyaring telah mengejutkan orang-orang yang sedang bertempur di tikungan sebelah Lemah Cengkar itu. Sekilas didalam kilatan cahaya tatit, mereka melihat Ajar Tal Pitu itu bagaikan terlontar. Sekali ia berputar diudara. Kemudian beberapa langkah dari Agung Sedayu itu terjatuh tepat pada kedua kakinya yang bagaikan menancap diatas tanah yang basah.
Pertempuran yang semakin seru itu bagaikan terhenti sejenak. Dengan jantung yang berdebar-debar mereka melihat Ajar Tal Pitu berdiri tegak dengan kaki renggang. Namun beberapa langkah daripadanya, mereka melihat Agung Sedayupun berdiri tegak dengan kaki yang renggang pula. Sementara itu, cambuknya masih tetap berada ditangannya.
"Anak iblis," geram Ajar Tal Pitu, "darimana kau memiliki ilmu dari dasar neraka itu."
Agung Sedayu masih tetap berdiri tegak. Ia merasa renggutan yang kuat menghentak tangannya. Namun genggaman tangannya memang mengeras menyatu dengan tangkai cambuknya sehingga hentakkan tangan lawannya rasa-rasanya telah memutuskan urat nadinya sendiri.
Namun Ajar Tal Pitu adalah orang pilihan. Betapapun ia terkejut dan tersentak, namun ia berhasil menyelamatkan dirinya sendiri. Ia sempat melepaskan juntai cambuk Agung Sedayu sehingga urat nadi pada pangkal lengannya tidak benar-benar putus karenanya.
Orang-orang Jati Anom yang terlibat dalam pertempuran itu menarik nafas dalam-dalam. Meskipun sekejap kemudian mereka sudah terlibat lagi dalam pertempuran yang sengit, namun mereka melihat satu kenyataan bahwa Agung Sedayu telah memenangkan permainan permulaan dengan orang yang disebut Ajar Tal Pitu itu.
"Anak muda," berkata Ajar Tal Pitu, "kau benar-benar luar biasa. Kau memiliki ilmu yang jauh lebih tinggi dari yang aku duga. Kau mampu mempertahankan cambukmu. Hampir saja kau justru akan melumpuhkan tanganku yang tidak berhasil merenggut cambuk dari tanganmu. Tetapi ketahuilah. Bahwa hal itu bukan ukuran terakhir."
Seluruh arena pertempuran itu diliputi oleh suasana yang sulit dimengerti. Kegelisahan, keheranan dan keharuan. Namun juga kemarahan dan dendam yang membara.
Orang-orang tua yang mengikuti Untara pergi kerumah Ki Demang Sangkal Putung untuk membicarakan hari-hari yang dinanti oleh Agung Sedayu dan Sekar Mirah, tiba-tiba telah melihat Agung Sedayu dalam suasana yang tidak dapat mereka mengerti.
Debar jantung mereka yang tidak menentu, bukan saja karena mereka tidak mengerti kemungkinan apa yang dapat terjadi didalam pertempuran yang bagi mereka terlalu kisruh, juga karena deru hujan dan angin serta basah kuyup yang bagaikan merendam mereka. Keris ditangan mereka bergetar oleh tangan-tangan mereka yang menggigil kedinginan. Sementara tangan-tangan mereka seolah-olah telah membeku.
Dalam pada itu, diantara deru air hujan dan gemuruhnya angin yang kencang, terdengar suara Ajar Tal Pitu yang marah, "Anak muda. Agaknya kau sama sekali telah mengeraskan hatimu. Apalagi dengan satu kebanggaan bahwa kau berhasil mempertahankan cambukmu. Tetapi ketahuilah, bahwa justru karena itu, maka kau benar-benar telah membakar hatiku. Jika semula aku hanya ingin menangkapmu, maka kini aku ingin mengetahui sampai dimana daya tahan tubuhmu yang kau lambari dengan ilmu iblismu. Menarik sekali untuk dapat mengetahui batas kemampuan seorang anak muda seperti kau. Batas antara kemampuan daya tahan ilmumu dan saat-saat kau harus berhadapan dengan saat-saat terakhir dari hidupmu."
Agung Sedayu sama sekali tidak menjawab. Tetapi darahnya yang bagaikan mendidih itu masih saja memanasi seluruh urat nadinya sampai keujung-ujung rambut.
Ketika Ajar Tal Pitu bergeser, Agung Sedayupun bergeser pula. Sementara Ajar Tal Pitu yang mulai menyadari, bahwa lawannya yang masih muda itu mempunyai ilmu yang tinggi, telah memperhatikan setiap gerak anak muda itu dengan saksama.
Ketika terpandang olehnya cambuk Agung Sedayu yang berjuntai di tanah, dan yang telah gagal direnggutnya, maka Ajar Tal Pitu itupun mulai memikirkan kemungkinan untuk mengimbangi senjata itu dengan senjata.
Ada keragu-raguan didalam hatinya. Sebagai seorang yang telah menempatkan dirinya sendiri dalam jajaran orang-orang terpandang, maka agak segan juga rasanya untuk mempergunakan senjata melawan anak-anak seperti yang dihadapinya itu. Namun ia tidak dapat ingkar bahwa yang dihadapinya itu adalah anak muda yang lain dari anak muda kebanyakan.
Karena itulah, maka ternyata kemudian Ajar Tal Pitu itu tidak lagi mengikuti perasaannya. Ia mencoba untuk mempergunakan nalarnya menghadapi Agung Sedayu. Ia tidak dapat mengabaikan kenyataan tentang kemampuan anak muda itu.
Agung Sedayu menjadi berdebar-debar melihat Ajar Tal Pitu itu menggeser ikat pinggangnya. Ketika kilat memancar, maka ketajaman matanya dapat melihat, disebelah pedang yang tergantung dipinggang, maka pada ikat pinggang itu terdapat pisau-pisau kecil yang tentu merupakan senjata lontar yang berbahaya.
Dengan demikian, maka Agung Sedayupun segera mempersiapkan diri melawan senjata-senjata yang akan meluncur dari tangan Ajar Tal Pitu yang mampu bergerak secepat kilat itu.
Dalam pada itu, pertempuran yang terjadi diarena yang semakin meluas itupun menjadi semakin seru. Sabungsari yang kemudian bertempur melawan tiga orang pengikut Ki Pringgajayapun telah bertempur dengan garangnya. Meskipun ia tidak memiliki ilmu setinggi Agung Sedayu, tetapi ia mampu mengimbangi ketiga lawannya dalam tingkat kemampuan yang sama seperti yang dilakukan oleh Agung Sedayu. Apalagi jumlah orang itu telah berkurang dengan seorang. Maka ketiga orang itu tidak berhasil menguasai Sabungsari. Seorang prajurit Pajang yang menurut jenjang kepangkatannya, masih berada pada tataran terendah, meskipun beberapa orang perwira telah menaruh perhatian dan mulai membicarakan kemungkinan untuk mempercepat kenaikan pangkatnya.
Bahkan dalam pada itu, Sabungsari masih sempat melihat, apa yang dapat dilakukan oleh Ki Pringgajaya. Ternyata bahwa Ki Pringgajaya tidak sekedar membual dengan ilmunya. Ketika ia menakut-nakuti seorang prajurit yang menurut pengamatannya, tentu pengikut Ki Pringgajaya dengan membunuh seekor kambing dengan tatapan matanya, maka Ki Pringgajaya sama sekali tidak menjadi cemas.
Dan ternyata bahwa berhadapan dengan Kiai Gringsing, Ki Pringgajaya masih mampu untuk bertahan. Ilmunya yang terpercaya adalah kemampuannya bergerak seolah-olah mendahului waktu. Dengan demikian maka serangan-serangannya menjadi sangat berbahaya. Namun karena Kiai Gringsing sudah mengetahui sebelumnya, maka ia telah mampu menyesuaikan diri.
Namun sementara itu, Sabungsari masih sempat membuat pertimbangan. Bahkan orang yang disebut Pringgabaya yang tertawan di Mataram, mampu mengimbangi ilmu Ki Waskita. Sehingga dengan demikian, maka wajarlah bahwa Ki Pringgajaya itu mampu menempatkan dirinya sebagai lawan Kiai Gringsing yang tangguh. Bahkan seandainya Kiai Gringsing belum mengetahui kemampuan ilmu Ki Pringgajaya, maka pada bagian-bagian pertama dari pertempuran itu. Kiai Gringsing tentu akan terdesak, meskipun kemudian ia akan berhasil memperbaiki kedudukannya. Tetapi jika ia terlambat menyadari keadaan, maka ia tentu akan berada pada keadaan yang gawat.
Sementara itu, Ki Waskita berhadapan dengan tiga orang murid dari Tal Pitu yang telah bergabung. Dengan demikian, maka mereka memang dapat menyusun kekuatan dalam kerja sama yang mantap, sehingga seakan-akan mereka itu terdiri dari satu kehendak yang terungkap dalam tiga wadag.
Tetapi sayang bahwa yang dihadapi adalah Ki Waskita. Karena itu meskipun ketiganya seolah-olah telah luluh menjadi satu, namun mereka ternyata telah membentur kekuatan yang mengejutkan. Jika semula mereka menganggap, bahwa setelah mereka berhasil bertempur dalam satu lingkaran, maka mereka akan menyapu lawannya, ternyata mereka harus melihat satu kenyataan yang lain.
Sementara itu kedudukan Untara dan Widura tidak mencemaskan. Senapati muda di daerah Selatan itu ternyata memiliki kemampuan yang mengejutkan bagi Bandung, yang menganggap kedudukan Untara hanyalah karena nasibnya yang baik saja. Namun ternyata bahwa apa yang dimiliki Untara sudah jauh meningkat daripada saat ia berhasil mengalahkan Macan Kepatihan. Meskipun dalam kesibukan tugasnya sehari-hari, Untarapun masih selalu berusaha meningkatkan ilmunya sebagaimana dituntut oleh tugasnya itu sendiri. Sedangkan Widura yang meskipun menjadi semakin tua, namun berlandaskan ilmu yang ada padanya, serta pengalaman dan hatinya yang sudah mengendap, maka ia berhasil mengimbangi lawannya.
Yang menarik adalah betapa Glagah Putih bertempur melawan seorang pengikut Pringgajaya yang menyebut dirinya Partasanjaya itu. Lawannya sama sekali tidak menyangka, sebagaimana Ajar Tal Pitu tidak menyangka, bahwa lawannya yang sangat muda itu telah memiliki bekal ilmu yang mengejutkan. Glagah Putih yang dengan sungguh-sungguh dan tidak mengenal lelah menempa diri itu, ternyata telah memiliki bekal yang cukup untuk turun ke arena.
Dalam benturan-benturan yang dahsyat antara kedua belah pihak, maka Agung Sedayu benar-benar menghadapi lawan yang mendebarkan. Ajar Tal Pitu adalah orang yang menganggap dirinya melampaui kemampuan kebanyakan orang.
Karena itu, maka ia masih tetap merasa dirinya,tidak akan terlalu banyak mengalami kesulitan untuk mengalahkan Agung Sedayu meskipun tidak akan semudah yang diduganya semula.
"Anak muda," berkata Ajar Tal Pitu, "senjata bagiku adalah pelengkap yang tidak menentukan didalam pertempuran. Karena betapapun baiknya senjata ditangan kita, akhirnya kita jugalah yang menentukan apakah senjata itu akan berarti atau tidak."
Agung Sedayu masih tetap diam. Tidak ada minatnya sama sekali untuk berbicara dengan Ajar Tal Pitu. Namun dalam pada itu, ia telah memperhatikan benar-benar. apa yang akan dilakukan oleh lawannya yang sedang marah itu.
Agung Sedayu menjadi berdebar-debar ketika perlahan-lahan tangan Ajar Tal Pitu itu menarik sebilah pisau belati kecilnya. Sambil mengangkat pisau itu perlahan-lahan ia berkata, "Sekali lagi aku ingin melihat, siapakah lawanku kali ini. Kau telah menunjukkan kepadaku, betapa kuat tanganmu, sehingga aku tidak berhasil merenggut cambukmu dan tidak mematahkan tanganmu. Sekarang aku ingin melihat, apakah kau juga mampu bergerak secepat sambaran pisau kecilku ini." orang itu berhenti sejenak, lalu," bersiaplah. Aku masih berbaik hati memberimu peringatan. Dalam pertempuran yang sebenarnya hal ini tidak akan dilakukan oleh siapapun. Dan ketahuilah, bahwa aku akan dapat melakukannya beruntun sampai lebih dari sepuluh lontaran, hanya dalam sekejap.
Agung Sedayu masih tetap diam. Namun sebenarnyalah bahwa Agung Sedayu adalah seseorang yang memiliki kurnia ketepatan bidik yang jarang dicari bandingnya. Tetapi, ia sama sekali tidak ingin mengimbangi lawannya dengan lontaran-lontaran senjata apapun juga, meskipun ia akan mampu juga melakukannya. Bahkan seandainya hanya sekedar mempergunakan batu-batu kerikil.
Yang dilakukan oleh Agung Sedayu kemudian adalah bersiap menghadapi segala kemungkinan. Ajar Tal Pitu itu nampaknya benar-benar akan mengujinya. Apa yang akan dilakukan, jika Ajar Tal Pitu itu menyerangnya dengan lontaran-lontaran. Bahkan Agung Sedayupun sudah memperhitungkan, jika ia berhasil menghindari lontaran pertama, maka akan segera disusul oleh lontaran-lontaran berikutnya.
"Aku akan mengambil cara lain untuk melawannya," berkata Agung Sedayu didalam hatinya.
Demikianlah, maka Agung Sedayupun segera bersiap. Tangan Ajar Tal Pitu telah terangkat tinggi. Namun dengan nada tinggi ia masih memberi peringatan lawannya, "berhati-hatilah. Jangan mati pada lontaran pertama. Aku tentu akan menjadi sangat kecewa."
Sejenak kemudian, maka tangan Ajar Tal Pitu itupun terayun dengan cepatnya, namun dengan daya lontar yang luar biasa. Jika pisau itu mengenai dada seseorang, maka pisau kecil itu akan menghunjam masuk sampai ke jantung.
Tetapi sekali lagi Ajar Tal Pitu terkejut bukan buatan. Ia tidak berhasil melihat, bagaimana Agung Sedayu meloncat menghindari serangannya. Bahkan Ajar Tal Pitu itulah yang kemudian meloncat beberapa langkah surut sambil mengumpat.
Ternyata Agung Sedayu telah memotong serangan itu. Demikian tangan Ajar Tal Pitu terayun, maka Agung Sedayu telah meloncat maju sambil menggerakkan cambuknya dengan kecepatan yang tidak kalah dengan kecepaan gerak tangan Ajar Tal Pitu. Dengan juntai cambuknya Agung Sedayu seolah-olah langsung memungut pisau kecil yang demikian terlepas dari tangan Ajar Tal Pitu. Sehingga dengan demikian, maka pisau itupun telah terkibaskan dan terlempar jauh keluar arena.
"Kau benar-benar anak iblis," geram Ajar Tal Pitu dengan kemarahan yang memuncak. Katanya kemudian, "sekarang aku sudah dapat menjajagi ilmumu, kekuatanmu dan kecepatanmu bergerak dan berpikir. Aku menyatakan sekali lagi kekagumanku terhadap anak yang masih semuda kau. Namun kelebihanmu itu pulalah yang akan menyebabkan kau mati muda, karena tidak ada pilihan lain daripada membunuhmu sekarang. Dengan membunuhmu, maka pertempuran ini akan segera berakhir. Dan aku akan minta pertanggungan jawab Prabadaru, bahwa ia telah menyesatkan anak-anakku kedalam pertempuran seperti ini. Untunglah bahwa ada firasat yang menuntunku mengikuti anak anakku itu. Jika tidak, maka mereka tentu akan mengalami bencana, karena ilmu iblismu itu."
Agung Sedayu masih tetap diam. Namun ia sadar, bahwa ia akan segera mulai dengan pertempuran yang sebenarnya. Ajar Tal Pitu itu tentu tidak akan menjajaginya lagi, tetapi benar-benar akan membunuhnya.
Karena itulah, maka Agung Sedayu tidak sekedar menunggu. Demikian Ajar Tal Pitu bersiap, maka cambuk Agung Sedayupun mulai berputar. Ada diluar sadarnya, dan sama sekali bukan satu sikap sombong seperti lawannya, namun terdorong oleh gejolak perasaannya. Agung Sedayu telah meledakkan cambuknya. Tidak terlalu keras seperti yang sudah dilakukannya saat-saat ia melawan empat orang pengikut Ki Partasanjaya, tetapi ternyata bahwa getar juntai cambuknya yang dihentakkan dengan lambaran getar dari dasar kemampuannya itu telah menggetarkan jantung lawannya.
Ajar Tal Pitu seakan-akan telah mendapatkan gambaran yang semakin jelas tentang anak muda yang dihadapinya. Ia tidak saja memiliki kekuatan dan kecepatan gerak kewadagan. Tetapi ternyata bahwa Agung Sedayu benar-benar memihki lambaran yang kokoh tangguh.
Karena itu, maka untuk menghadapi cambuk Agung Sedayu, Ajar Tal Pitu telah menarik pedangnya. Tidak terlalu besar dan tidak terlalu panjang. Namun pedang itu tidak terbuat dari besi baja seperti kebanyakan pedang yang tajam mengkilat. Tetapi pedang itu adalah seperti sebuah luwuk yang berwarna kelam. Seperti sebilah keris yang besar dengan pamornya yang menyala kemerah-merahan didalam gelapnya malam dan basahnya air hujan.
Agung Sedayupun menyadari bahwa keris yang besar ditangan Ajar Tal Pitu itu tentu mempunyai kekuatan yang terpercaya. Karena itu, maka ia benar-benar harus berhati-hati. Apalagi Ajar Tal Pitu itu sendiri adalah seorang yang memiliki ilmu yang tinggi.
Ketika Ajar Tal Pitu beringsut setapak, maka Agung Sedayupun beringsut pula. Keduanya bergeser saling mendekati, sementara cambuk Agung Sedayu berputar perlahan-lahan ditangannya, dan Ajar Tal Pitu pun menggenggam pedangnya erat-erat. Kedua-duanya dengan cermat mengamati setiap gerak lawannya dengan hati-hati. Meskipun malam menjadi semakin gelap, namun daya pengamatan mereka yang tajam, bukan saja dengan mata wadagnya, maka masing-masing seakan-akan dapat melihat setiap gerak lawannya sampai keujung jarinya.
Sekejap kemudian, maka Ajar Tal Pitu telah mulai meloncat sambil menjulurkan ujung pedangnya. Ia sadar, bahwa cambuk Agung Sedayu akan segera bergetar, karena itu, ketika benar-benar terjadi demikian, ia sudah siap menarik serangannya. Tetapi dengan cepat Ajar Tal Pitu merubah serangannya mendatar. Agung Sedayu bergeser setapak surut. Namun dalam pada itu, cambuknya telah meledak, tidak terlalu keras bagi telinga sawantah.
Namun sebenarnyalah, mereka yang bertempur itu dapat mengetahui betapa besarnya kekuatan yang terlontar pada cambuk yang meledak tidak terlalu keras itu. Dalam pada itu, air hujan yang memercik dari hentakkan ujung cambuk itu telah menyentuh tubuh Ajar Tal Pitu, dan membuatnya menarik nafas dalam-dalam karena air itu seakan-akan telah menjadi air yang mendidih.
"Dengan kekuatannya, jika anak itu meledakkan cambuknya dengan sasaran air di dulang, maka air itu tentu benar-benar akan mendidih," berkata Ajar Tal Pitu didalam hatinya.
Tetapi dengan demikian, maka Ajar Tal Pitu itupun tidak tanggung-tanggung menghadapi Agung Sedayu. Getar ilmunya yang menyala dalam hubungannya yang luluh dengan kekuatan pedangnya, maka seolah-olah telah menimbulkan kekuatan yang luar biasa pula. Pamor pedang yang nampak kemerah-merahan itu menjadi semakin menyala, sehingga dalam puncak kemampuannya yang bagaikan minyak menyiram bara pada mata pedangnya, maka lembaran pedangnya itu benar-benar bagaikan berubah menjadi lidah api yang menyembur dari hulunya yang tergenggam ditangan.
Dalam pada itu, ternyata didalam hujan yang lebat, angin yang kencang dan hati yang bergelora, telah terjadi pertempuran yang dahsyat antara dua kekuatan yang pilih tanding. Seorang yang telah menyebut dirinya Ajar Tal Pilu, melawan anak muda yang bernama Agung Sedayu, yang sebenarnya malam itu harus tinggal dirumah dengan hati yang berdebar-debar menunggu keluarganya dan orang-orang tua pergi melamar seorang gadis bagi jodohnya.
Namun ternyata bahwa Agung Sedayu itu telah bertemu dengan kekuatan yang luar biasa, yang tidak diduganya semula.
Ajar Tal Pitu, yang mula-mula hanya tertarik melihat kemampuan Agung Sedayu bertempur melawan ampat orang, sehingga tumbuh keinginannya untuk menangkap anak itu sebagaimana ia ingin menangkap seekor kelinci untuk memberi mainan kepada anak-anak muridnya, ternyata harus menghadapi anak itu sebagai lawan yang mendebarkan.
Dengan tangkasnya Ajar Tal Pitu telah bergerak dan bergeser diseputar Agung Sedayu. Ujung pedangnya benar-benar bagaikan nyala api yang menyembur semakin panjang mematuk tubuh lawannya. Sentuhan lidah api itu tentu akan dapat membakar kulitnya dan membuatnya tercengkam dalam perasaan panas dan pedih.
Karena itu, maka Agung Sedayu benar-benar telah mengerahkan kekuatan dan kemampuannya pada juntai cambuknya. Dengan kekuatan ilmunya yang tinggi, maka ujung cambuknya itu seolah olah dapat membuat air hujan menjadi mendidih dan memercik berhamburan.
Namun dalam pada itu, ternyata bahwa lidah api ditangan Ajar Tal Pitu itu tidak mampu membakar juntai cambuk Agung Sedayu. Dalam saat-saat tertentu. Agung Sedayu merasa ujung juntai cambuknya menyentuh senjata Ajar Tal Pitu yang bagaikan semburan api itu.
Namun sentuhan juntai cambuk anak muda itu merasakan sentuhan lembaran pedang, dan bukan sentuhan lidah api yang menyala dan menyembur dari tangannya.
Karena itu dengan kemampuannya. Agung Sedayu masih dapat melawan lidah api itu sebagaimana ia melawan selembar pedang.
Benturan kedua senjata yang telah dijalari ilmu yang mendebarkan itu benar-benar telah membakar air hujan yang tercurah dari langit, hingga melontarkan bunyi seperti desis seekor ular raksasa yang kelaparan.
Dalam pada itu. Ajar Tal Pitu yang bergerak dengan cepat mengelilingi lawannya, berusaha untuk dapat menyelinapkan ujung lidah apinya melintasi sambaran ujung cambuk lawannya. Namun nampaknya pertahanan Agung Sedayu menjadi sangat rapat. Sehingga dengan demikian maka Ajar Tal Pitu masih belum berhasil menyusupkan ujung senjata kedalam lingkaran putaran cambuk lawannya.
Meskipun demikian, kekuatan lidah api ditangan lawannya itu mulai terasa. Meskipun pedang itu sendiri tidak mampu menyusup putaran cambuknya, namun lidah api itu benar-benar bagaikan menyembur, sehingga panasnya mulai terasa menyentuh tubuhnya.
"Luar biasa," desis Agung Sedayu didalam hatinya. Dengan demikian iapun sadar, bahwa ia harus memelihara jarak antara dirinya dengan lidah api yang bagaikan menyembur menjilatnya itu.
Dalam pada itu, maka Agung Sedayupun menjadi semakin berhati-hati. Iapun mengerti, bahwa semakin lama Ajar Tal Pitu itu justru menjadi semakin berbahaya. Ilmunya seakan-akan mengalir semakin lancar menjalari tangannya yang luluh dengan kekuatan pedangnya, sehingga dengan demikian kekuatan yang terpancar daripadanya merupakan kekuatan yang luar biasa.
Sebenarnyalah justru karena itu, maka seolah-olah api yang bagaikan terpancar dari senjata Ajar Tal Pitu itupun menjadi semakin panas. Sentuhan-sentuhannya terasa semakin tajam ditubuh Agung Sedayu. Meskipun hujan masih turun dengan derasnya, namun semburan panasnya kekuatan Ajar Tal Pitu yang luluh dengan pedangnya itu, sama sekali tidak menyusut karenanya.
Bahkan semakin lama airpun rasa-rasanya menjadi panas pula.
Agung Sedayu menghadapi keadaan yang gawat. Jika ia mendekati lawannya, panas itu terasa semakin tajam. Tetapi jika ia memberi jarak akan berarti memberi kesempatan Ajar Tal Pitu semakin leluasa mengetrapkan ilmunya.
Karena itulah, maka Agung Sedayupun berusaha untuk bertempur pada jarak yang tidak tetap. Sekali waktu ia meloncat menjauh karena perasaan panas yang bagaikan membakar. Namun tiba-tiba ia melejit mendekat sambil mengayunkan cambuknya dan menghentakkan dengan segenap kekuatannya.
Bagaimanapun juga, hentakkan ujung cambuk Agung Sedayu itu dapat menggoyahkan kekuatan Ajar Tal Pitu. Arus yang mengalir dari dalam dirinya, seolah-olah telah terganggu oleh getar tangannya yang mempertahankan pedangnya, karena sentakan ujung cambuk Agung Sedayu.
Namun dalam sekejap kemudian. Ajar Tal Pitu telah mampu memperbaiki keadaannya, dan panaspun bagaikan membakar udara disekelilingnya.
Udara dan air yang menjadi panas itu benar-benar telah mengganggu Agung Sedayu. Rasa-rasanya ia tidak dapat bertahan oleh panas yang semakin panas. Meskipun ia sadar, bahwa panas itu adalah pancaran ilmu lawannya, tetapi panas itu menurut tanggapan Agung Sedayu, bukannya sekedar perasaannya saja, seperti goncangan bumi oleh Carang Waja. Tetapi panas itu benar-benar panasnya lontaran ilmu yang luar biasa.
Karena itu, maka panas itu tentu akan selalu mengejarnya sesuai dengan usaha Ajar Tal Pitu untuk membinasakannya.
Dalam pada itu, bagaimanapun juga Agung Sedayu berusaha, namun panas itu tidak dapat disingkirkannya. Setiap kali ia telah menyusup kedalam panasnya udara dan air hujan yang tercurah sambil menyerang lawannya dengan dahsyatnya, namun panas itu masih saja membakar udara disekelilingnya.
Karena itulah, maka untuk sesaat Agung Sedayu telah mulai terdesak. Setiap kali ia harus meloncat mengambil jarak, jika panas itu tidak tertahankan lagi olehnya.
"Bukan main," desah Agung Sedayu, "panas itu seperti panasnya api neraka."
Dalam pada itu. Kiai Gringsingpun mulai melihat keadaan muridnya. Dari jarak yang tidak terlalu dekat. Kiai Gringsing tidak merasakan panasnya udara. Yang dilihatnya, hanyalah bahwa Agung Sedayu selalu terdesak surut. Sekali-sekali ia melihat Agung Sedayu meloncat dengan cepat menyerang. Namun sejenak kemudian, Agung Sedayu itupun telah meloncat pula menjauh.
Dengan demikian maka hati Kiai Gringsing menjadi berdebar-debar. Menurut pengamatannya, ilmu Agung Sedayu sudah meningkat dengan pesatnya, sehingga ia merasa, bahwa ia tidak akan dapat lagi menuntunnya untuk meningkatkan lebih jauh lagi. Agung Sedayu hanya dapat meningkat atas sikap dan pengamatannya sendiri atas ilmu yang telah dimilikinya. Namun demikian Kiai Gringsingpun menyadari, bahwa anak muda itu tentu kalah luas pengamatannya dan kurang pengalamannya dibanding dengan orang yang menyebut dirinya Ajar Tal Pitu itu.
Namun dalam pada itu, ternyata Ki Pringgajaya yang juga menamakan dirinya Ki Partasanjaya itupun memiliki ilmu yang tinggi. Kemampuannya seakan-akan mendahului waktu, kadang-kadang memang membuat Kiai Gringsing terkejut. Namun dengan cambuknya iapun segera menguasai keadaan kembali. Meskipun demikian, seperti juga Ki Waskita, yang tidak segera dapat mengalahkan Ki Pringgabaya, maka Kiai Gringsingpun harus berjuang dengan sepenuh kemampuannya untuk berusaha mendesak lawannya.
"Aku harus berpacu dengan waktu," berkata Kiai Gringsing, "jika aku tidak dapat mengalahkan orang ini sebelum Agung Sedayu tidak mampu lagi bertahan, maka segalanya akan menjadi sangat gawat. Agung Sedayu yang sedang menunggu hari-hari yang mendebarkan dalam kehidupan dewasanya itu, akan tidak sempat melihat hari esok. Apalagi untuk duduk dipersandingkan dengan Sekar Mirah."
Yang menjadi gelisah, bukan saja Kiai Gringsing. Tetapi Ki Waskitapun menjadi berdebar-debar. Ketiga lawannya masing-masing memang belum memiliki ilmu yang mendekati kemampuan Ki Waskita. Tetapi bertiga mereka harus diperhitungkan. Mereka sempat membuat Ki Waskita berloncatan menghindari serangan mereka yang datang beruntun dan saling mengisi.
Tetapi kesempatan Ki Waskita memang lebih baik dari Kiai Gringsing. Jika semula Ki Waskita masih memperhitungkan segala kemungkinan ketiga lawannya, maka karena keadaan Agung Sedayu, ia tidak lagi mempertimbangkan kemungkinan yang dapat menjadi terlalu buruk bagi ketiga lawan-lawannya.
Karena itulah, maka anak-anak Tal Pitu itu kemudian merasakan, bahwa tekanan Ki Waskita menjadi semakin berat. Dengan ikat pinggangnya Ki Waskita berusaha untuk dengan cepat mengakhiri pertempuran sebelum Agung Sedayu mengalami cidera. Bukan hanya tekanan-tekanan wadag, namun karena kegelisahan yang mendesak jantungnya, Ki Waskita telah membuat ketiga murid Tal Pitu itu menjadi bingung, karena dalam bayangan hujan yang lebat, tiba-tiba saja mereka seolah-olah melihat beberapa orang yang datang berlari-lari dan mengelilingi arena itu sambil berjongkok. Mereka telah melihat pertempuran itu seperti melihat arena sabung ayam tanpa menghiraukan hujan dan angin yang bertiup berputaran.
Ketiga orang murid Tal Pitu yang kebingungan itu telah terdesak sehingga berloncatan memencar. Dengan demikian mereka berusaha untuk memecah perhatian Ki Waskita. Jika Ki Waskita memberikan tekanan kepada salah seorang diantara mereka, maka keduanya yang lain menyerang dari arah yang berbeda.
Namun orang-orang yang menonton itu benar-benar telah mengganggu mereka. Bahkan beberapa orang dian tara mereka yang menonton pertempuran itu telah bersorak-sorak sambil meloncat-loncat. Tepat seperti orang-orang yang menyaksikan sabung ayam.
Dalam pada itu, ternyata Ajar Tal Pitu yang memiliki ketajaman penglihatan batin, telah melihat pula apa yang terjadi atas ketiga muridnya. Karena itu, maka tiba-tiba saja ia berteriak diantara gemuruhnya air hujan dengan getar suara yang membahana, "Jangan takut anak-anak. Yang kau lihat itu adalah permainan licik dari lawanmu yang memiliki ilmu yang tinggi. Orang itu ternyata memiliki kemampuan membuat ujud-ujud dan peristiwa-peristiwa semu untuk mempengaruhi perlawanan kalian. Jangan hiraukan perbuatan licik itu."
Suara Ajar Tal Pitu itu bergetar didalam jantung ketiga orang murid-muridnya. Suara itu ternyata telah berpengaruh atas mereka, sehingga perlahan-lahan penglihatan semu mereka itupun menjadi semakin kabur. Sejenak kemudian yang mereka lihat diseputar mereka adalah air hujan yang tercurah dari langit. Sekali-kali kilat memancar menyilaukan.
Ki Waskita menarik nafas dalam-dalam. Ternyata sekelompok orang-orang Jati Anom itu menjumpai lawan yang benar-benar tangguh. Kiai Gringsing yang sudah bertempur dengan segenap kemampuannya, masih belum berhasil menguasai lawannya yang memiliki kecepatan gerak, yang seolah-olah melampaui kecepatan waktu.
Untara yang bertempur melawan Bandungpun telah mengerahkan segenap ilmunya. Senapati itupun melihat, bahwa adiknya memang sudah terdesak. Semakin lama ia melihat. Agung Sedayu semakin kehilangan kesempatan dan ruang gerak. Sementara Widura juga terlalu sibuk melayani lawannya.
Dalam pada itu, udara yang panas rasa-rasanya telah memburu Agung Sedayu kemana ia pergi. Bahkan rasa-rasanya suara teriakan Ajar Tal Pitu kepada murid-muridnya itupun telah menggetarkan udara dengan gelombang panas yang menyerangnya beruntun. Bahkan ternyata kemudian, orang yang bernama Ajar Tal Pitu itu telah menghentak selain dengan serangan-serangannya, tetapi juga dengan teriakan-teriakan nyaring.
Karena itulah, maka Agung Sedayu menjadi ragu-ragu untuk menentukan jenis ilmu lawannya. Dengan cemas ia berkata kepada diri sendiri tentang ilmu lawannya. "Gelap Ngampar atau Sangga Dahana."
Sebenarnyalah bahwa keduanya tidak mempunyai perbedaan yang jauh. Tetapi bentakan-bentakan yang nampak pada Ajar Tal Pitu itu, seolah-olah ia memang sedang melontarkan ilmu Gelap Ngampar. Ilmu yang menjadi semakin dahsyat jika terjadi sentuhan-sentuhan dengan cuasa yang seolah-olah mendukungnya. Lidah api dilangit seakan-akan telah disadap panasnya dan membakar udara disekitar anak muda itu. Namun seandainya Ajar Tal Pitu itu memiliki ilmu Sangga Dahana, maka bumilah yang bagaikan membara sehingga udarapun bagaikan panasnya nyala api.
Untuk beberapa lamanya Agung Sedayu mengalami serangan-serangan yang menggelisahkan. Gulungan panas yang melibatnya dan serangan-serangan pedang ditangan Ajar Tal Pitu sendiri yang bagaikan semburan lidah api.
Namun dalam pada itu. Agung Sedayu tidak ingin membiarkan dirinya terbakar oleh panasnya api yang terlontar dari ilmu lawannya. Apakah Gelap Ngampar atau Sangga Dahana. Karena itu, maka iapun mulai menelusuri kemungkinan yang terdapat pada dirinya.
Yang mula-mula ditrapkan oleh Agung Sedayu adalah ilmu yang dapat melindungi dirinya dari getaran yang menyentuhnya dari luar dirinya. Ia sudah mulai menjelajahi ilmu yang terdapat pada kitab Ki Waskita, dan mempelajarinya beberapa bagian daripadanya. Diantaranya adalah ilmu kebal. Meskipun belum sempurna, namun ilmu itu akan dicobanya ditrapkan untuk melawan panas yang bagaikan membakar kulit.
Sejenak Agung Sedayu yang menjauhi lawannya untuk mengambil kesempatan itupun menghentakkan getaran didalam dirinya dalam sentuhan dengan lontaran ilmu kebalnya. Dari pusat jantungnya, serasa ilmu itu mulai menjalar mengikuti arus darahnya keseluruh permukaan kulitnya.
Dalam pada itu, dengan ilmu yang masih belum sempurna itu. Agung Sedayu berusaha untuk melindungi dirinya dari perasaan panas karena ilmu lawannya.
Agung Sedayu mengerutkan keningnya. ketika terasa kulitnya mulai mendingin. Ketika ia bergeser maju mendekat, mulailah ia yakin bahwa ilmu kebalnya berhasil melapisi kulitnya dari panasnya api yang terpancar dari kemampuan lawannya, meskipun belum sempurna. Namun panas yang dirasanya membakar kulitnya telah jauh susut setelah anak muda itu menerapkan ilmu kebalnya.
Namun Agung Sedayu tidak tergesa-gesa merasa bahwa ilmu lawannya itu tidak berbahaya lagi baginya. Ia yakin, selama langit masih kadang-kadang menyala, maka ilmu lawannya itu akan menjadi semakin dahsyat. Panas apinya akan semakin tajam sehingga kemampuannya menembus Ilmu kebalnyapun akan menjadi semakin besar.
Tetapi perlindungan yang meskipun belum sempurna itu sebenarnya sudah lebih banyak memberikan keleluasaan Agung Sedayu untuk menyerang lawannya dengan ujung cambuknya.
Dengan demikian pertempuran antara kedua orang itu-pun menjadi semakin lama semakin sengit. Agung Sedayu masih nampak terdesak, sementara Ajar Tal Pitu masih tetap menyerang anak muda itu dengan gulungan udara panas. Dan seolah-olah Agung Sedayupun merasa panasnya api itu membakar kulitnya. sehingga karena itu. maka ia masih saja berloncatan menjauh.
36Buku 143 NAMUN dalam pada itu, datang saatnya Agung Sedayu mempergunakan kesempatan. Selagi lawannya yang merasa, bahwa anak muda itu tidak akan mampu mendekatinya, tiba-tiba saja Agung Sedayu telah menyerangnya dengan cambuknya yang menggelepar dengan dahsyatnya. Sambil meloncat mendekat, Agung Sedayu menghentakkan cambuknya mendatar menyerang lambung.
Lawannya terkejut. Namun ia masih sempat meloncat surut. Ia menganggap bahwa Agung Sedayu tidak akan berani memburunya karena udara yang panas.
Tetapi dugaannya ternyata salah. Agung Sedayu ternyata meloncat mengejarnya, tanpa menghiraukan udara yang bagaikan membakar. Ketika sekali lagi cambuknya meledak, maka terasa ujung cambuk itu memercikkan air. Justru yang terasa panas oleh Ajar Tal Pitu.
Ajar Tal Pitu terkejut. Dicobanya menghentakkan ilmunya untuk menyemburkan panas diseputarnya. Namun Agung Sedayu yang disangkanya masih dipengaruhi oleh udara yang panas itu, telah mendesaknya dengan gerakan-gerakan yang cepat dan berbahaya.
"Anak setan," Ajar Tal Pitu itu mengumpat. Sambil meloncat mundur ia berteriak, "Kau benar-benar memiliki ilmu iblis."
Agung Sedayu tidak menjawab. Ia justru menyerang semakin dahsyat. Cambuknya berputaran dan sekali-sekali meledak menggetarkan darah di jantung lawannya.
Dengan demikian maka pertempuran itu telah berubah. Ajar Tal Pitu yang merasa hampir menguasai lawannya sepenuhnya, ternyata harus melihat kenyataan. Udara yang panas itu, seakan-akan tidak terasa oleh Agung Sedayu yang mengetrapkan ilmu kebalnya.
Meskipun demikian Agung Sedayu tidak melepaskan kewaspadaan. Ia masih menduga. bahwa kemungkinan lain akan dapat terjadi. Jika lawannya masih memiliki ilmu yang lain, yang akan dapat mengejutkannya. maka ia harus bersiap menghadapinya.
Sejenak kemudian, ternyata Agung Sedayulah yang telah berhasil mendesak lawannya. Meskipun kekebalannya masih belum sepenuhnya dapat menghindarkannya dari udara yang dibakar oleh ilmu lawannya, namun ia mampu mengatasi perasaan panas yaug menembus ilmunya itu.
Dengan cambuknya yang meledak melampaui dahsyatnya ledakan cambuk gurunya, Agung Sedayu berusaha mengurung kebebasan gerak lawannya. Putaran yang cepat dan ayunan tegak, benar-benar bagaikan memagari loncatan-loncatan lawannya yang cepat.
Tetapi lawannya ternyata benar-benar seorang yang tangguh. Pedang ditangannya kadang-kadang terjulur lurus mengarah jantung. Meskipun ujung pedang itu tidak menyentuh kulitnya, tetapi rasa-rasanya jilatan api telah menyentuh tubuhnya, menembus ilmu kebalnya.
" Pedang ini sangat berbahaya," berkata Agung Sedayu didalam hatinya.
Sebenarnyalah Agung Sedayupun kemudian berusaha untuk merampas pedang lawannya. Dengan tidak menghiraukan sentuhan api yang seakan-akan menyambar dari senjata lawanwa. Agung Sedayu mempergunakan ujung cambuknya untuk mengejar tangan lawannya yang menggenggam pedang.
"Anak ini memang gila," geram Ajar Tal Pitu yang kemudian telah terdesak.
Perubahan keseimbangan itupun dapat dilihat pula oleh orang orang Jati Anom yang lain. Kiai Gringsing telah menarik nafas dalam-dalam. Kegelisahannya bagaikan larut oleh curahan air hujan dari langit. Sementara Ki Waskita jantungnya tidak lagi terasa berdentangan didalam dadanya. Untara dan Widurapun melihat, bahwa Agung Sedayu telah berhasil menguasai keadaan. Bahkan Kiai Gringsing merasa bahwa jika perlu, Agung Sedayu masih akan mampu meningkatkan perlawanannya karena ia masih belum mempergunakan salah satu ilmunya yang dahsyat, ilmu yang memancar pada sorot matanya.
Namun dalam pada itu, timbul pertanyaan pada Kiai Gringsing, "Kenapa ia tidak mempergunakannya ?"
Sebenarnyalah, pada saat-saat sebelumnya. Agung Sedayu tidak mempunyai kesempatan untuk melakukannya. Jika ia berusaha untuk memaksa diri, memusatkan kemampuannya untuk melepaskan ilmunya, maka tubuhnya tentu akan menjadi hangus karena panasnya ilmu lawannya sebelum ia sempat meremas jantung lawannya. Namun dengan mengetrapkan ilmu kebalnya, maka meskipun sesaat tubuhnya bagaikan membara, namun demikian ia berhasil mengetrapkan ilmunya, tubuhnya justru terasa menjadi semakin dingin.
06 Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Karena itu, setelah ia dapat mengatasi udara panas diseputarnya, maka memang timbul niatnya untuk sekaligus menghancurkan pertahanan lawannya dengan ilmunya yang mendebarkan.
Ternyata dalam pada itu. Sabungsari yang bertempur melawan tiga orang sekaligus itupun mulai mempertimbangkan untuk melakukannya. Ternyata ia tidak setangkas Agung Sedayu dengan cambuknya dalam lambaran ilmu yang telah luluh didalam dirinya. Karena itu, untuk dengan cepat mengatasi ketiga orang lawannya, maka Sabungsari mulai memperhitungkan untuk mempergunakan ilmunya yang mirip dengan ilmu Agung Sedayu namun dalam tataran yang semakin ketinggalan.
Namun dalam pada itu. Agung Sedayu yang telah mulai mempertimbangkan untuk melepaskan ilmunya yang serupa, mulai diganggu oleh kemampuan lain dari Ajar Tal Pitu. Karena ia tidak mampu lagi mempengaruhi anak muda itu dengan ilmunya yang mampu membakar udara, maka Ajar Tal Pitu itu mulai dengan serangan-serangannya yang lain yang tidak kalah dahsyatnya.
Dalam keadaan yang gawat bagi Ajar Tal Pitu itu, maka mulailah ia menyebut nama dirinya. Berbeda dengan kemampuan Ki Waskita yang dapat menciptakan ujud dan peristiwa semu, maka Ajar Tal Pitu itu seakan-akan dapat melakukan sesuatu yang tidak masuk akal dengan wadagnya.
Namun Agung Sedayu sudah memperhitungkannya. Pisau-pisau kecil itu tentu bukan tidak berarti dalam keadaan yang sulit.
Ternyata bahwa Ajar Tal Pitu itu memiliki kemampuan bergerak dengan kecepatan yang sulit untuk dimengerti. Seperti yang dikatakannya, ia dalam sekejap dapat melontarkan beberapa buah pisau beruntun. Susul menyusul seperti pancaran air.
Tetapi sebagaimana Ajar Tal Pitu dapat melakukannya, maka Agung Sedayupun dapat melakukan sesuatu yang sulit dimengerti pula oleh Ajar Tal Pitu. Demikian tangan Ajar Tal Pitu itu mulai melepaskan pisau-pisaunya, maka ujung cambuk Agung Sedayupun mulai menggelepar, seakan-akan telah berubah menjadi cambuk yang berjuntai bercabang-cabang yang mampu bergerak sendiri-sendiri memungut pisau-pisau kecil yang begitu terlepas dari tangan lawannya.
"Iblis, gendruwo, thethekan," Ajar Tal Pitu itu mengumpat-umpat. Ternyata anak muda itu benar-benar menguasai medan. Ia tidak hanya sekedar dapat menjadi sasaran pengamatannya. Tetapi anak muda itu benar-benar mampu mengimbangi ilmunya.
Karena itulah, maka Ajar Tal Pitu itu menjadi bagaikan telah kepanjingan. Kemarahannya benar-benar tidak terbendung lagi. Tangan kirinya yang mampu bergerak, seperti tangan kanannya, telah menggenggam pedangnya. Kemudian sekali lagi dari tangannya menghambur beberapa buah pisau. Namun yang sekali lagi pisau-pisau itupun telah terpelanting karena sentuhan ujung cambuk Agung Sedayu demikian pisau itu lepas dari tangan.
Namun Ajar Tal Pitu masih belum puas. Iapun tiba-tiba saja telah meloncat surut. Disarungkannya pedangnya. Kemudian kedua belah tangannya telah bergerak bersama-sama melontarkan pisau-pisau kecil yang bagaikan tidak habis-habisnya itu.
Tetapi sekali lagi Ajar Tal Pitu kecewa. Ujung cambuk Agung Sedayu berputar dengan cepatnya, sehingga seolah-olah telah berubah menjadi sebuah perisai yang bulat dan tidak tertembus oleh lontaran-lontaran pisaunya dari kedua belah tangannya.
Sekali lagi Ajar Tal Pitu mengumpat-umpat. Ia harus mengakui kenyataan yang dihadapinya. Seorang anak yang masih muda, namun yang memiliki ilmu yang tiada taranya.
Ajar Tal Pitu yang sudah menjajagi kemampuan Agung Sedayu dengan ilmunya yang wadag maupun yang halus, menyadari bahwa anak muda itu mampu mengatasinya.
Karena itu, maka Ajar Tal Pitu itupun tidak mempunyai pilihan lain kecuali mempergunakan ilmunya yang terakhir. Ilmu yang jarang ada bandingnya, karena untuk menguasai ilmu itu diperlukan syarat yang sangat berat, yang hanya satu dua orang sajalah yang akan mampu melakukannya meskipun banyak orang yang berusaha.
Dalam keadaan yang pahit menghadapi anak muda yang bernama Agung Sedayu itu, tiba-tiba saja Ajar Tal Pitu meloncat jauh surut. Ia memang berusaha untuk mengambil jarak, agar ia mampu mengetrapkan ilmunya.
Agung Sedayu yang melihat lawannya mengambil jarak, tertegun sejenak. Ketajaman panggraitanya sudah menangkap, bahwa lawannya akan mengetrapkan ilmu yang terakhir karena usahanya dengan ilmu yang masih belum dimengertinya, apakah Gelap Ngampar atau Sangga Dahana, namun yang dapat diatasinya dengan ilmu kebalnya. Kemudian dengan kecepatan gerak wadagnya dengan lontaran-lontaran pisau yang mampu pula diimbanginya.
Dalam pada itu, seperti diduga oleh Agung Sedayu, Ajar Tal Pitu itupun berdiri tegak sambil menyilangkan tangannya. Hanya sekejap.
Dalam pada itu Agung Sedayu terkejut melihat Ajar Tal Pitu itupun seolah-olah mekar dan tumbuh dari dirinya, ujud yang serupa benar dengan dirinya dalam sikap yang sama. Seorang disebelah kiri dan seorang disebelah kanan.
"Bukan main," geram Agung Sedayu, "inilah ilmu Kakang Pembareb dan Adi Wuragil."
Sekejap Agung Sedayu justru terpukau oleh ujud itu. Dan iapun pernah mendengar akan kemampuan ilmu itu. Dengan demikian ia benar-benar berhadapan dengan kelipatan tiga dari kemampuan lawannya, karena kedua ujud itu akan mampu melakukan seperti apa yang dilakukan oleh Ajar Tal Pitu itu sendiri. Mereka tidak hanya ujud semu yang dapat membingungkan. Tetapi ilmu itu memiliki kelebihan dari ujud-ujud dan peristiwa-peristiwa semu karena ujud-ujud itu benar-benar akan mampu berbuat sesuatu dengan akibat kewadagan. Ujud-ujud itu akan dapat berdiri pada jarak terpisah dan bersama-sama melontarkan pisau-pisaunya. Jika pisau-pisau itu mengenainya, maka pisau-pisau itu mempunyai akibat yang sama dari pisau Ajar Tal Pitu yang sewajarnya.
Agung Sedayu sejenak menjadi ragu-ragu. Ilmu yang manakah yang paling baik dipergunakan untuk melawan kemampuan lawannya yang ternyata sangat menggetarkan jantung itu.
"Apakah ilmu kebal yang masih belum mapan ini akan dapat melawan kekuatan daya lontar tangan Ajar Tal Pitu ?" pertanyaan itu tumbuh dihati Agung Sedayu. Untuk melawan seorang Ajar Tal Pitu ia mampu memungut pisau-pisau itu seolah-olah langsung dari tangannya. Tetapi untuk melawan tiga orang Ajar Tal Pitu yang mampu bergerak dengan kecepatan yang sama, maka ia akan mengalami kesulitan.
Dalam pada itu. bukan saja Agung Sedayu yang menjadi berdebar-debar melihat ilmu lawannya. Namun orang-orang lain yang hadir di arena pertempuran itupun menjadi gelisah. Jika semula mereka merasa, bahwa Agung Sedayu akan dapat menguasai keadaan, maka mereka mulai ragu-ragu kembali. Bahkan mereka mulai dibayangi oleh kekhawatiran.
Ki Pringgajaya yang kemudian menyebut dirinya Ki Partasanjaya itupun menjadi berdebar-debar. Diluar sadarnya iapun berdesis, "Kakang Pembarep dan Adi Wuragil. Jarang orang yang dapat melawannya. Ternyata iblis Tal Pitu itu memiliki ilmu yang dahsyat itu."
Dalam pada itu, Ki Waskitapun menjadi sangat cemas. Ia tidak akan mampu membantu Agung Sedayu dengan ujud-ujud semunya, karena ketiga ujud Ajar Tal Pitu dalam ilmunya yang dahsyat itu memiliki ketajaman penglihatan yang sama, sehingga ketiganya akan dapat dengan mudah membedakan ujud-ujud semu dan ujud sebenarnya.
Namun dalam pada itu. Agung Sedayu tidak akan menyerah terhadap kenyataan itu. Apapun yang terjadi, ia harus melawannya dengan ilmu yang ada padanya.
Karena itu. Agung Sedayupun mulai mempertimbangkan segala kemungkinan. Perlahan-lahan ia tidak akan melepaskan ilmu kebal yang sudah ditrapkannya, agar ia tidak terbakar oleh ilmu Gelap Ngampar atau Sangga Dahana yang akan menjadi berlipat. Bahkan ia ingin mencoba untuk mengetahui, apakah ilmu kebalnya cukup kuat untuk melawan lontaran pisau Ajar Tal Pitu dalam ujud yang manapun juga. Baru kemudian ia akan menentukan cara yang lain yang akan dapat dipergunakannya untuk melawan ketiganya.
Namun dalam pada itu, satu hal yang justru dapat menjadi petunjuk bagi Agung Sedayu. Ketika ketiga ujud Ajar Tal Pitu itu mulai bergerak, maka merekapun berusaha untuk membaurkan diri, sehingga dengan demikian lawannya akan sulit untuk mengetahui, yang manakah Ajar Tal Pitu yang sebenarnya, dan yang manakah ujud-ujud yang hadir kemudian karena kemampuan ilmunya.
Sementara itu, Kiai Gringsing yang gelisah berdesis didalam hatinya, "Jadi inikah Ajar Tal Pitu itu ?"
Ternyata ilmu yang terakhir dari Ajar Tal Pitu itu telah memperkenalkan orang itu kepada Kiai Gringsing, atau jika bukan Ajar Tal Pitu itu sendiri, juga perguruannya, karena Kiai Gringsing juga pernah mengenal jenis ilmu itu. Sehingga dengan demikian, maka Agung Sedayupun pernah mendengarnya pula dari Kiai Griigsing dan juga dari Ki Waskita, karena keduanya merasa perlu untuk memperkenalkan Agung Sedayu dengan jenis-jenis ilmu untuk melengkapi pengalamannya.
Justru karena itulah, maka Kiai Gringsing benar-benar menjadi gelisah. Karena sebenenarnyalah ilmu itu memiliki kemampuan tiada taranya. Seakan-akan orang yang memiliki ilmu itu akan dapat melipatkan kemampuannya menjadi tiga kali, seperti ujud yang kemudian nampak seolah-olah menjadi tiga orang.
Namun dalam pada itu, Agung sedayu yang telah basah oleh keringatnya dibawah curahan air hujan itu. seakan-akan telah memanaskan darahnya. Karena itulah, maka rasa-rasanya segalanya telah berjalan lancar didalam dirinya. Demikianlah dengan ilmu-ilmunya. Ia hanya memerlukan waktu sekejap untuk mengetrapkan ilmu yang pernah dipelajarinya dengan caranya.
Usaha ketiga ujud lawannya untuk membaurkan diri ternyata telah menjadi petunjuk bagi Agung Sedayu, bahwa ketiga ujud itu menganggap perlu untuk menyembunyikan siapakah yang asli diantara mereka. Dengan demikian, maka Agung Sedayu harus berusaha untuk dapat menemukannya.
Dalam pada itu, ketika ketiga orang lawannya mulai menyerangnya, maka Agung Sedayu mulai mencoba, apakah lontaran-lontaran pisau dari lawannya itu dapat ditangkisnya dengan ilmu kebalnya, seperti panas yang mereka lontarkan.
Ketika pisau meluncur menyambarnya, maka Agung Sedayupun berusaha menangkis dan kadang-kadang, karena datang dari tiga arah, ia harus berloncatan menghindar. Namun dengan hati-hati ia telah dengan sengaja berusaha untuk menyentuh satu dari pisau-pisau itu dengan lengannya, yang telah dilambarinya dengan ilmu kebalnya.
Ternyata bahwa Agung Sedayu berhasil menyelamatkan kulitnya. Namun ia dapat merasa hentakkan pada bagian dalam tubuhnya, meskipun tidak terlalu keras.
Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Dengan demikian, maka ia mengerti, bahwa ilmunya yang telah meningkat itu mampu melindunginya, meskipun tidak mutlak, sehingga ia masih harus berusaha untuk menghindari sejauh mungkin sentuhan-sentuhan pisau-pisau kecil yang terlontar seperti derasnya hujan dari langit.
"Tanpa ilmu ini, aku akan menjadi lumat," desis Agung Sedayu.
Sementara itu, ternyata Ajar Tal Pitu itupun melihat, bahwa pisau-pisaunya tidak dapat melukai Agung Sedayu meskipun pada lontaran-lontarannya dapat dilihat dengan pasti, bahwa pisau itu telah menyentuh tubuh anak muda itu. Karena itu, maka iapun menggeram. "Kau memiliki ilmu kebal anak muda. Tetapi jangan terlalu bangga dengan ilmu itu. Aku mengerti watak dari ilmu kebal. Meskipun kulitmu tidak terluka, tetapi daging dan tulangmu akan dapat diremukkan oleh ujung-ujung pisauku yang nampaknya tidak melukai kulitmu."
Agung Sedayu menggeram. Yang dikatakan oleh Ajar Tal Pitu itu memang benar. Kulitnya tidak terluka. Tetapi setiap sentuhan pisau yang dilemparkan dengan kekuatan yang tiada taranya itu memang terasa nyeri pada daging dan tulangnya.
Karena itu, maka Agung Sedayu harus mengambil sikap. Ia tidak akan dapat menangkis dan menghindari semua pisau yang terlontar tidak henti-hentinya, seakan-akan pisau itu tidak akan dapat habis dari persediaan ketiga ujud lawannya.
"Selagi aku masih dapat menahan diri dari patukan pisau-pisau itu," berkata Agung Sedayu.
Sejenak kemudian, maka Agung Sedayu itupun meloncat menjauhi lawannya. Sejenak ia berdiri tegak. Kemudian, rasa-rasanya airpun mulai menyibak dari wajahnya. Dan sorot matanyapun mulai menyala.
Agung Sedayu telah mempergunakan sorot matanya untuk melawan ketiga ujud Ajar Tal Pitu yang mengerikan itu.
Bersamaan dengan itu, ternyata Sabungsaripun telah memutuskan untuk melakukan hal yang serupa melawan ketiga orang pengikut Ki Pringgajaya. Ia ingin dengan cepat menyelesaikan perlawanannya, karena iapun menjadi cemas melihat nasib Agung Sedayu menghadapi ilmu lawannya yang sangat dahsyat itu.
Berbeda dengan Sabungsari yang dapat memilih lawan yang manapun juga sebagai sasarannya. Agung Sedayu harus menemkcan Ajar Tal Pitu yang sebenarnya diantara ketiga lawannya. Baru dengan demikian ia dapat memadamkan sumber ilmu lawannya yang dahsyat itu, sehingga ilmu itu akan dapat kehilangan kekuatannya.
Namun dalam pada itu, Sabungsaripun ternyata tidak semudah yang diduganya untuk membinasakan lawannya. Sabungsari tidak memiliki ilmu kebal sebagaimana Agung Sedayu. Karena itu. maka ia harus membuat perhitungan yang sangat cermat menghadapi ketiga lawannya. Sehingga serangan-serangannyapun harus disesuaikan dengan kedudukan ketiga orang lawannya.
Tetapi pada dasarnya Sabungsari memiliki jenis ilmu yang melampaui kemampuan lawannya. Meskipun ia harus berusaha mengambil jarak, namun demikian ia berhasil, maka iapun telah meluncurkan serangan lewat sorot matanya. Meskipun hanya sepintas, karena Sabungsari harus menghindari serangan lawannya yang lain, namun yang sepintas itu telah menyusut tenaga dan kemampuan lawannya.
Dengan demikian, ketika Sabungsari mengulanginya dengan seleret serangan menyentuh lawannya, maka kemampuan lawannya itupun mulai terasa semakin lemah, karena yang seleret sentuhan serangan dari sorot mata anak muda itu seakan-akan telah meremas isi dada.
Karena itulah, maka dengan pasti, Sabungsari akan dapat mengalahkan lawannya meskipun perlahan-lahan.
Glagah Putih ternyata tidak sia-sia menempa dirinya dengan sungguh-sungguh dipadepokan. Meskipun ia masih sangat muda, tetapi ternyata bahwa ia telah mempunyai kemampuan melampaui lawannya yang garang, sehingga dengan demikian, maka iapun telah mendesak lawannya itu.
Dalam pada itu. Agung Sedayupun harus mengambil sikap yang tepat untuk tidak terjerumus kedalam kesulitan menghadapi ilmu lawannya.
Namun Agung Sedayu yang dilindungi oleh ilmu kebalnya itupun. mencoba untuk membuat perhitungan. Ia harus mencari satu diantara ketiga orang lawannya itu. Ajar Tal Pitu yang sebenarnya. Tetapi iapun sadar, bahwa dalam pada itu. lawannya tentu akan menyerangnya dengan kemampuan yang tiada taranya itu. Ketiganya tentu akan membakarnya dengan panas yang dapat dipancurkan lewat ilmunya dan lontaran-lontaran pisau-pisau kecil dengan ketrampilan tangannya dan kekuatan daya lontar yang luar biasa.
Setelah beberapa kali Agung Sedayu dikenai oleh pisau-pisau kecil lawannya didalam selubung ilmu kebalnya, maka akhirnya ia memutuskan untuk melakukan bagian yang paling berbahaya dari benturan ilmu yang garang itu. Meskipun ia akan merasa sakit dan panas, tetapi jauh lebih ringan dari rasa sakit dan nyeri itu sendiri karena ia memiliki ilmu kebal. Sementara itu, ia haras dapat mencari dan menemukan Ajar Tal Pitu yang sebenarnya. Agung Sedayupun sadar, bahwa ia harus berpacu dengan waktu. Jika ia terlambat, maka akibatnya akan parah baginya.
Atas dasar perhitungan itulah, maka sorot matanya yang mulai menyalakan ilmunya itupun mulai memancar kearah lawannya. Sambil berdiri tegak dengan tangan bersilang, ia memandang dengan lontaran ilmunya yang dahsyat lewat sorot matanya.
Serangannya itu diarahkan kepada salah seorang ujud Ajar Tal Pitu yang seakan-akan paling garang diantara ketiga ujud itu. Ujud yang paling dekat berdiri disebelahnya dengan lontaran-lontaran pisau yang seakan-akan tidak terhitung jumlahnya.
Dalam pada itu, Agung Sedayu telah melepaskan usahanya untuk menghindar dan menangkis serangan-serangan itu, karena ia sedang memusatkan kemamputan lahir batin pada ilmu kebalnya dan pada serangan lewat sorot matanya.
Sejenak kemudian, barulah Agung Sedayu menyadari, bahwa ia telah menyerang ujud yang salah. Ajar Tal Pitu itu seakan-akan tidak merasa sama sekali sentuhan serangan sorot matanya. Bahkan ujud itu berdiri semakin dekat dan melontarkan pisaunya pada jarak yang sangat pendek, sehingga lontaran itu benar-benar terasa sakit oleh Agung Sedayu yang dilindungi oleh ilmu kebal itu, meskipun pisau-pisau itu tidak menembus kulitnya.
Menyadari kesalahan itu, maka Agung Sedayupun telah memindahkan serangannya pada ujud yang kedua. Namun seperti yang pertama maka ujud yang kedua ini seakan-akan tidak terpengaruh sama sekali oleh serangan sorot matanya. Seperti ujud yang pertama-tama. maka ujud yang kedua ini justru merasa leluasa untuk menyerangnya. Bahkan ternyata ujud itu telah melakukan sesuatu yang sangat berbahaya bagi Agung Sedayu, karena ujud itu telah menarik pedangnya yang seolah-olah menyala.
Sejenak Agung Sedayu disambar oleh keragu-raguan. Apakah lawannya juga memiliki kekebalan sehingga sorot matanya tidak mampu menyentuhnya.
Tetapi Agung Sedayu masih tetap berusaha. Ia melihat ujud yang ketiga. Ujud yang agak kurang garang dari kedua ujud yang lain.
Namun panggraita Agung Sedayu cukup tajam untuk justru menduga bahwa ujud ketiga itu adalah Ajar Tal Pilu yang sebenarnya. Karena itu, maka iapun berasaha menyerangnya pula dengan sorot matanya sambil berdiri tegak dengan tangan bersilang didada.
Dalam pada itu, kedua ujud yang lain itupun menyerangnya pula dengan garangnya. Yang satu telah melemparinya dengan pisau-pisau kecil kearah jantungnya, sementara yang lain justru dengan pedangnya yang bagaikan menyala.
Terasa betapa serangan-serangan itu bagaikan meretakkan tulang-tulang ditubuh Agung Sedayu. Meskipun kulitnya tidak terluka, namun kekuatan lawannya hampir tidak tertahankan lagi. Hampir saja Agung Sedayu terdorong oleh serangan-serangan lawannya. Namun ia mencoba bertahan untuk tetap berdiri tegak, sambil memandang ujud ketiga. Sorot matanya yang memancarkan ilmunya yang dahsyat itu telah menyentuh dan langsung menyusup meremas jantung.
Terasa oleh Agung Sedayu, bahwa serangannya yang terakhir telah menyentuh sasaran. Ia merasa betapa ujud itu berusaha untuk meloncat mengelak. Namun Agung Sedayu tidak melepaskannya. Bahkan ia telah menghentakkan kekuatannya mengikuti setiap gerak lawannya.
Dalam pada itu, kedua ujud yang lain telah menyerangnya dengan sangat dahsyatnya. Yang melemparinya dengan pisau itupun telah menarik pedangnya pula. Namun sementara itu. Agung Sedayu seakan-akan tidak menghiraukannya. Tetapi ia tidak mau melepaskan cengkeraman sorot matanya kepada lawannya.
Agung Sedayu melihat dan merasa, ujud yang satu itu berusaha untuk menjauhinya. Ujud itu meloncat dengan langkah-langkah panjang, sementara kedua ujud yang lain masih tetap menyerangnya dengan kekuatan yang sangat tinggi sehingga seakan-akan tulang-tulang Agung Sedayupun menjadi retak dan patah-patah. Kulitnya yang tidak terluka itu sama sekali tidak berhasil melindungi dagingnya yang menjadi lumat.
Namun dalam pada itu. serangan sorot mata Agung Sedayu yang memiliki kekuatan yang tiada taranya itu ternyata telah mencapai sasaran yang sebenarnya. Ujud itu adalah ujud yang sebenarnya dari Ajar Tal Pitu. Dengan tidak diduganya sama sekali, ia telah mendapat serangan Agung Sedayu yang sangat dahsyat. Betapapun ia berusaha untuk mematahkan serangan itu dengan kedua ujudnya yang lain yang dilontarkan lewat ilmunya Kakang Pembarep dan Adi Wuragil, namun masih terasa serangan lewat sorot mata Agung Sedayu itu mengejarnya dan mencengkam isi dadanya.
"Benar anak iblis," geramnya. Serangan itu tidak dapat dilawannya. Betapapun kuat daya tahan tubuhnya, namun terasa isi dadanya teremas.
Tetapi ia masih tetap berusaha. Ia berharap bahwa pengaruh jarak akan terasa pada serangan sorot mata Agung Sedayu itu, sementara kedua ujud yang terlontar dari ilmunya itu akan dapat mematahkan pemusatan serangan dari sumbernya. Kedua ujud itu berusaha untuk menghancurkan Agung Sedayu itu sendiri, sementara Ajar Tal Pitu yang sebenarnya berusaha untuk mengambil jarak.
Tetapi Agung Sedayu berusaha untuk tidak melepaskan lawannya. Karena itu maka iapun berusaha untuk mengikutinya. Sambil memandang lawannya dalam lontaran ilmunya, maka Agung Sedayupun melangkah maju. Namun dalam pada itu. kedua ujud Ajar Tal Pitu yang lain telah menyerangnya dengan dahsyatnya. Serangan pedang yang tidak berhasil melukai kulit itu bagaikan telah meremukkan tulangnya.
Kedua orang yang sedang bertempur dengan ilmu masing-masing itu berusaha langsung memadamkan serangan lawannya dengan melumpuhkan sumbernya. Serangan Agung Sedayu lewat sorot matanya itupun tidak kalah dahsyatnya dengan serangan kedua ujud Ajar Tal Pitu itu.
Dalam pada itu, ternyata bahwa kemampuan daya tahan Agung Sedayu yang dillambari dengan ilmu kebalnya itupun masih juga terbatas. Serangan lawannya yang dilontarkan lewat kedua ujud yang selalu menyerangnya itu akhirnya berhasil menghentikan. Langkah Agung Sedayu menjadi semakin berat, sehingga karena itu, maka iapun mulai terhuyung-huyung.
Tetapi sementara ia masih dapat melihat lawannya, maka dihentakkannya ilmunya yang dilontarkan lewat sorot matanya itu.
Ternyata ilmu yang sudah mapan itu. benar-benar memiliki kekuatan tiada taranya. Lawannya yang berusaha untuk melarikan diri dan berlindung dari tatapan mata Agung Sedayu itu masih sempat mempergunakan sisa tenaganya yang terakhir. Namun ternyata hentakkan kekuatan Agung Sedayu bagaikan menghantam jantungnya, sehingga orang itupun bagaikan kehilangan kekuatannya. Sejenak ia tertatih-tatih. Namun kemudian iapun terjatuh. Tetapi ternyata bahwa ia masih bernasib baik. Demikian ia terjatuh, maka ia telah berada dibalik sebongkah batu padas sehingga Agung Sedayu tidak dapat melihatnya lagi.
Sementara itu, Agung Sedayu yang telah menghentakkan kekuatannya itupun seakan-akan lelah kehabisan tenaga. Tulangnya bagaikan telah diremukkan dan dagingnya menjadi lumat. Karena itu, maka rasa-rasanya ia tidak mampu lagi melangkah mengejar lawannya.
Telapi dalam pada itu, daya lontar Ilmu Kakang Pembarep dan Adi Wuragil yang dahsyat dari Ajar Tal Pilu itupun telah pudar. Tubuhnya yang terkulai dibalik batu padas itu, justru saat Agung Sedayu kehilangan keseimbangannya, ilmu itu bagaikan telah padam.
Ketika Agung Sedayu kemudian terduduk dengan lemahnya, maka ujud Ajar Tal Pilu itupun menjadi semakin kabur. Perlahan-lahan ujud itu berubah menjadi asap dan seakan-akan telah terhisap oleh sumbernya dibalik batu-batu padas.
Agung Sedayu mengetahui, bahwa lawannya berada dibalik batu padas. Tetapi ia tidak mampu lagi untuk bangkit dan berjalan mendekatinya.
Dalam pada itu. Ajar Tal Pitupun menjadi terengah-engah. Tetapi ia tidak mau jatuh ketangan orang-orang Jati Anom. Karena itu. maka dengan sisa tenaganya, iapun merayap meninggalkan tempatnya, masuk kedalam semak-semak dan merangkak semakin lama semakin jauh. Dipaksanya sisa tenaganya yang lemah untuk menyeret tubuhnya diantara pohon-pohon perdu. Sementara beruntunglah Ajar Tal Pitu karena hujan yang tercurah itu seakan-akan memberikan sedikit kesegaran kepadanya.
Sementara Ajar Tal Pitu merangkak diantara pohon-pohon perdu, maka Agung Sedayu telah duduk sambil menyilangkan tangannya didadanya. Matanya seolah-olah terpejam dan dipusatkannya segenap sisa kemampuannya untuk bertahan. Dicobanya memperbaiki pernafasannya yang memburu dan menenangkan gejolak darahnya didalam jantungnya.
Agung Sedayu telah mengheningkan diri untuk menolong keadaannya sendiri yang gawat.
Sementara itu, ternyata Sabungsaripun telah berusaha secepatnya untuk mengakhiri pertempuran. Dengan sorot matanya, ia seakan-akan tidak memberi kesempatan lagi kepada lawannya. Seorang demi seorang, ketiga orang lawannya itupun jatuh terkulai tidak berdaya menahan hempasan ilmu yang seakan-akan telah meremas jantung.
Namun dalam pada itu, yang mengejutkan adalah sikap Ki Pringgajaya yang menyebut dirinya Partasanjaya. Ia melihat apa yang telah terjadi atas Ajar Tal Pitu, sehingga dengan demikian ia dapat menduga akhir dari pertempuran itu. Sementara Sabungsaripun telah berhasil melumpuhkan pengikutnya seorang demi seorang, sementara Bandung dan Dogol Legi masih bertempur dengan sengitnya, sehingga masih belum dapat dilihat satu kemungkinan untuk menang.
Karena itu, maka ia telah mengambil satu keputusan. Ia sendiripun sadair, betapa tinggi ilmunya. Kemampuannya bergerak sangat cepat, sehingga seolah-olah melampaui kecepatan waktu itupun tidak memberikan harapan untuk dapat mengalahkan orang bercambuk itu.
Demikian perhatian Kiai Gringsing sejenak ditujukan kepada Agung Sedayu yang terduduk lemah, maka Ki Pringgajaya itu telah mempergunakan kesempatan sebaik-baiknya. Tanpa memberikan pertanda apapun juga kepada orang-orang yang dibawanya maka iapun telah meloncat kedalam gelap dan langsung berlari memasuki lebatnya hujan dan gemuruhnya petir.
"Gila," geram Kiai Gringsing.
Dengan serta merta, maka iapun berusaha untuk mengejarnya. Namun gelap malam, pohon-pohon perdu dan batu-batu padas yang berserakkan, telah memberikan kemungkinan bagi Ki Pringgajaya yang juga memiliki ilmu yang tinggi itu untuk melarikan diri dan hilang bagaikan terhisap bumi.
Kiai Gringsing memang kehilangan waktu sekejap. Seperti Ki Waskita di pinggir Kali Praga telah kehilangan Ki Lurah Pringgabaya, maka Kiai Gringsing itupun telah kehilangan Ki Pringgajaya pula.
Akhirnya Kiai Gringsing menyadari, bahwa ia tidak akan berhasil mencari Ki Pringgajaya, sementara ia menjadi cemas atas nasib Agung Sedayu. Karena itu. maka iapun segera berlari kembali langsung mendekati Agung Sedayu yang duduk sambil memejamkan matanya dengan tangan bersilang didada.
Ketika kiai Gringsing mendekatinya. Sabungsaripun telah selesai pula dengan ketiga orang lawannya yang terkapar ditanah yang basah. Sementara itu, maka iapun dengan tergesa-gesa telah mendekati Agung Sedayu pula dan kemudian berjongkok disamping Kiai Gringsing.
"Ia akan berhasil," desis Kiai Gringsing.
Sabungsari mengangguk-angguk kecil. Sementara Kiai Gringsing berkata, "Tungguilah. Jangan diganggu."
Sekali lagi Sabungsari mengangguk. Sementara itu Kiai Gringsingpun kemudian bangkit dan meninggalkan Agung Sedayu yang sedang berusaha untuk membenahi diri, ditunggui oleh Sabungsari.
Dalam pada itu. Kiai Gringsing sempat melihat bahwa ternyata Glagah Putih sudah cukup mampu menyelamatkan diri sendiri. Ia justru berhasil mendesak lawannya, seseorang yang telah memiliki pengalaman yang cukup dilingkungan kerasnya olah kanuragan.
Karena itu, maka Kiai Gringsing tidak ingin mengganggunya. Ia tidak akan membuat Glagah Putih kecewa. Sementara iapun akan dapat melihat, sikap Glagah Putih terhadap lawannya yang dikalahkannya.
Yang masih bertempur dengan sengitnya adalah Untara melawan Bandung yang memang sudah dipersiapkan untuk membunuhnya. Di putaran pertempuran yang lain, Widura bertempur pula dengan serunya. Seperti Bandung, Dogol Legipun memang dipersiapkan untuk melawan Widura. Bekas prajurit yang dianggap sudah menjadi semakin tua.
Namun ternyata penilaian Pringgajaya terhadap Untara dan Widura masih kurang cermat. Ki Pringgajaya menduga, bahwa justru karena kewajibannya, Untara tidak sempat berbuat bagi dirinya sendiri, apalagi berusaha untuk meningkatkan ilmunya. Tetapi ternyata bahwa Untara jauh melampaui dugaannya, sehingga Bandung tidak dapat mengalahkannya, apalagi membunuhnya.
Demikian Dogol Legi yang berhadapan dengan Widura. Rasa-rasanya ia memang dijerumuskan kedalam putaran kekuatan yang tidak diduganya.
Sementara itu, ketiga lawan Ki Waskita justru sudah kehilangan gairah untuk bertempur. Apalagi mereka menyadari, bahwa gurunya telah meninggalkan mereka begitu saja, sehingga mereka benar-benar menjadi kecewa. Merekapun tidak akan dapat mengingkari kenyataan, bahwa yang akan menjadi lawan mereka adalah orang-orang yang pilih tanding, yang memiliki kemampuan setingkat dengan gurunya. Jika semula mereka bertiga yang dianggap oleh Ajar Tal Pitu sebagai murid terbaik yang memiliki kekuatan yang dapat dibanggakan, karena segala macam ilmu gurunya telah tertumpah kepada mereka, namun yang masih harus dikembangkan, tetapi yang ternyata ketiganya tidak berdaya berhadapan dengan Ki Waskita.
Sejenak Kiai Gringsing termangu-mangu. Ia menjadi bimbang, apakah yang harus dilakukannya. Jika ia membantu salah seorang dari antara mereka yang bertempur, apakah tidak justru menyinggung perasaan.
Namun dalam pada itu. sebelum Kiai Gringsing bertindak lebih jauh, maka ia melihat, lawan Untara lelah terdesak sehingga tidak lagi sempat menyerang. Dengan sisa kemampuannya ia mencoba bertahan. Namun keadaan tidak menguntungkannya sama sekali. Ki Pringgajaya begitu saja meninggalkannya, seperti Ajar Tal Pitu yang lari tanpa menghiraukan murid-muridnya.
Karena kenyataan itulah, maka pertempuran itu semakin lama menjadi semakin kendor. Bandung dan Dogol Legi merasa tidak perlu lagi mempertaruhkan nyawanya bagi orang-orang yang mereka anggap justru telah menjerumuskannya.
Dengan demikian, maka tidak ada pilihan lain lagi bagi mereka kecuali mengambil jalan yang paling pendek untuk menyelamatkan diri. Mereka yakin bahwa mereka tidak akan mampu melarikan diri dari arena itu, justru beberapa orang yang memiliki ilmu yang tinggi telah bebas dari lawan-lawan mereka.
Karena itu, maka Bandunglah yang mula-mula berani mengambil sikap. Ketika ia sempat meloncat menjauhi lawannya, maka iapun telah melemparkan senjata sambil berkata, "Aku menyerah."
Untara tertegun sejenak. Dipandanginya lawannya dengan sorot mata kemarahan. Namun ternyata bahwa Untara masih tetap seorang Senapati. Demikian lawannya menyerah, betapapun kemarahan membakar jantungnya, maka iapun kemudian telah menahan diri untuk tidak berbuat sesuatu.
Karena Bandung menyerah, maka yang lainpun telah mengambil sikap serupa. Sepeninggal Ki Pringgajaya yang menyebut dirinya Partasanjaya itu. maka tidak akan ada artinya lagi, apapun yang mereka lakukan. Juga ketiga orang murid Tal Pitu yang telah kehilangan gurunya itupun tidak lagi berniat untuk melawan lebih lama lagi.
Dengan demikian, maka satu demi satu, mereka yang masih bertempur beberapa saat itupun telah menyerah. Bahkan lawan Glagah Putihpun telah menyerah pula.
"Pengecut," teriak Glagah Putih, "lawan aku sampai akhir."
"Aku menyerah," jawab lawannya yang telah melepaskan senjatanya.
"Ambil senjatamu," geram Glagah Putih. Tetapi lawannya sama sekali tidak melakukannya. Sementara itu, Kiai Gringsing sama sekali tidak berusaha mempengaruhinya. Sedangkan Widura sendiri masih sibuk dengan lawannya yang juga menyerah.
Kiai Gringsing menarik nafas dalam-dalam, ketika ia melihat Glagah Pulih itu tidak berbuat lebih jauh lagi. Bahkan ia berkata, "Kau mengecewakan aku. Kau tidak bertempur sampai perlawanan yang terakhir seperti ketiga orang kawanmu yang bertempur melawan Sabungsari itu."
Beruang Salju 14 The Devil's Dna Karya Peter Blauner Pengabdian Dokter Perempuan 2
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama