Ceritasilat Novel Online

Api Di Bukit Menoreh 29

06 Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintardja Bagian 29


Namun bagaimanapun juga yang terjadi pada Agung Sedayu itu adalah satu pengalaman. Bahkan Agung Sedayu telah berusaha untuk meyakinkan dirinya sendiri, bahwa sebaiknya ia menyesuaikan diri dengan kedudukan yang dihadapinya.
^ " Seandainya bukan karena keinginanku sendiri atas satu kedudukan, namun dengan kedudukan itu aku sudah berusaha memenuhi salah satu keinginan Sekar Mirah," berkata Agung Sedayu.
Dalam keragu-raguan itu, maka tidak ada cara yang lebih baik baginya untuk mohon petunjuk kepada Ki Waskita. Jika tidak ada Kiai Gringsing, maka bagi Agung Sedayu, Waskita adalah gurunya yang ke dua. Apalagi keduanya mempunyai beberapa persamaan sikap meskipun ada juga beberapa perbedaannya.
Ketika Agung Sedayu menceriterakan persoalannya kepada Ki Waskita, maka Ki Waskita itupun tersenyum. Namun ternyata jawabnya memang agak berbeda dengan jawaban Ki Lurah Branjangan.
"Angger Agung Sedayu," berkata Ki Waskita*" angger memang tidak sesuai untuk menjadi seorang Senapati prajurit"
Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Tetapi untuk meyakinkannya ia berkata, "Tetapi Ki Lurah Branjangan berkata lain paman. Ki Lurah mengatakan, bahwa akulah yang tidak berusaha untuk menyesuaikan diri."
Ki Waskita mengangguk-angguk. Katanya, "Aku tidak dapat mengatakan dengan pasti, siapakah yang benar diantara kami berdua. Tetapi seandainya kau tidak sesuai dengan kedudukan itu, tetapi kau berusaha dengan sungguh-sungguh, memang mungkin akan terjadi pendekatan. Mungkin kau akan dapat melakukannya meskipun masih kurang selapis dari sikap seorang pemimpin yang sebenarnya dikalangan keprajuritan. Tetapi kekurangan itu akan dapat kau tutup dengan kelebihanmu yang lain. Mungkin dalam olah kanuragan. Sebab aku kira, dalam olah kanuragan kau sudah dapat meriyejajarkan diri dengan seorang Senapati.Bukan maksudku memujimu. Tetapi aku yakin, bahwa ilmu kanuraganmu secara pribadi lebih tinggi dari kakakmu Untara. Tetapi Untara mempunyai kelebihan yang lain. Ia memang seorang Senapati dalam sikap dan perbuatan. Dan iapun memiliki pengetahuan yang sangat luas dalam perang gelar dan perhitungan medan, yang sudah barang tentu kurang kau kuasai. Tetapi yang lebih nampak dari kekurangan dihidang ilmu adalah sifat-sifat jiwani. Sifat-sifatmu berbeda dengan sifat sifat Untara."
Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Kepalanya tertunduk dan pandangannya menjadi buram. Ia mengakui semua yang dikatakan oleh Ki Waskita. Namun karena itu, maka seolah-olah ia tidak mempunyai kesempatan untuk memberikan sesuatu yang diinginkan oleh Sekar Mirah.
"Apakah dengan demikian, aku akan dapat menjadi seorang suamd yang baik ?" bertanya Agung Sedayu kepada dirinya sendiri. Justru karena itu, maka rasa-rasanya Agung Sedayu menghadapi sesuatu yang amat pelik dihari kemudian.
Dalam pada itu, Ki Waskita seolah-olah melihat yang terpikirkan oleh Agung Sedayu. Meskipun anak muda itu tidak mengatakannya, tetapi sorot matanya seakan-akan memohon kepada Ki Waskita, untuk menolongnya menemukan jawaban atas kegelisahannya.
"Angger," berkata Ki Waskita, "mungkin aku mengerti kesulitan dihatimu. Tetapi apakah kau tidak akan berkecil hati jika aku salah tebak ?"
Agung Sedayu memandang Ki Waskita sejenak. Dengan nada dalam ia berkata, "Aku akan sangat berterima kasih paman."
"Agung Sedayu," berkata Ki Waskita- kau agaknya berpikir tentang Sekar Mirah. Aku tahu, bahwa Sekar Mirah mempunyai sifat yang mirip dengan sifat kakaknya, Swandaru. Itu bukan salahnya. Agaknya terpengaruh dengan sikap orang tuanya, yang memberikan keyakinan kepada anak-anaknya sejak mereka kanak-kanak bahwa keduanya adalah anak seorang pemimpin. Karena itu, maka ketika mereka menjelang dewasa, maka sikap kepemimpinan merekapun nampak semakin jelas. Tidak selamanya hal ini kurang baik. Kau lihat. Sangkal Putung menjadi maju. Tetapi memang mungkin sekali hal ini akan dapat menumbuhkan sikap yang kurang menguntungkan."
-?" Aku mengerti " Agung Sedayu mengangguk-angguk. '
"Agung Sedayu," berkata Ki Waskita, "menjadi kewajiban seorang suami untuk memenuhi keinginan isterinya sejauh dapat dijangkaunya. Tetapi jika keinginan itu melampaui batas kemampuannya, sehingga memaksa seorang suami untuk mengambil jalan memintas tanpa memperhitungkan keadaan dan kemampuannya, apalagi memilih jalan sesat, maka hal itu harus di jauhi."
Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Sementara Ki Waskita berkata, "Tetapi tidak selalu dalam hal yang demikian tidak teratasi. Jika seorang suami mampu menjelaskan, maka agaknya akan dapat dimengerti pula oleh isterinya. Kau dapat melihat banyak sekah contoh dari kehidupan ini. Dari ceritera pewayangan dan dari peredaran sejarah di negeri sendiri. Bahkan keinginan seorang isteri' akan dapat membuat suaminya mukti atau mati.
Agung Sedayu mengangguk-angguk. Katanya, "Aku mengerti Ki Waskita."
"Nah, karena itu, berusahalah. Tetapi jangan memaksa diri melampaui batas kemampuanmu dalam Kewajaran. Jika kau sudah keluar dari kewajaranmu, maka kau akan mengalami kesulitan," berkata Ki Waskita kemudian, "demikian juga tentang kedudukanmu. Kau dapat berusaha menyesuaikan diri. Tetapi dalam batas-batas kewajaran. Karena kedudukan bukanlah hanya dapat kau capai dihngkungan keprajuritan, dilingkungan pemerintahan, tetapi segala lapangan akan dapat memberi tempat kepadamu. Meskipun tidak semuanya akan dapat memberikan kepuasan kepada Sekar Mirah."
Agung Sedayu masih mengangguk-angguk " Terima kasih Ki Waskita. Pengertian yang berharga bagiku. Aku akan mencari keseimbangan diantara berusaha dan kewajaran didalam diriku."
Demikianlah, dihari-hari berikutnya. Agung Sedayu berusaha untuk menyesuaikan dirinya dengan tugasnya, meskipun ia selalu ingat kepada pesan Ki Waskita, bahwa ia harus tetap berpijak kepada kewajarannya. Ia harus tetap dalam kepribadiannya. Ia tidak akan memaksa dirinya untuk melakukan sesuatu yang sebenarnya bertentangan dengan nuraninya.
Ternyata bahwa pengalaman telah menuntunnya meskipun dalam beberapa hal ia memang tidak dapat menempatkan dirinya. Meskipun demikian, ia justru mendapat tempat yang khusus dihari anak-anak muda yang datang dari beberapa daerah itu.
Anak muda dari Pesantenan yang telah berusaha untuk melawannya itu justru telah berubah sama sekali. Ia benar-benar telah menyesal, sehingga ia menjadi murung dan menyendiri. Kadang-kadang ia nampak gelisah dan bingung.
Kawan-kawannya yang dalang dari daerah yang sama, telah berusaha untuk mendekatinya. Seorang yang berhasil mendengarkan keluhannya mencoba menenangkannya, "Agung Sedayu sudah memaafkanmu. Menurut anak-anak muda dari Sangkal Putung yang mengenalnya dengan baik, juga anak anak muda dari Tanah Perdikan Menoreh, jika ia sudah memaafkanjmu, maka ia benar-benar memaafkanmu."
"Mustahil," desis anak muda itu, "ia sekedar mempermainkan aku. Pada suatu saat, aku tentu akan dihukumnya."
"Yakinlah. Ia tidak akan berbuat seperti itu," desis kawannya yang lain.
"Tetapi aku memang sudah pasrah. Hukuman apapun yang akan aku terima, aku tidak akan ingkar," berkata anak muda itu, "mungkin ia menunggu kehadiran semua anak-anak muda yang akan memasuki barak ini dan menunjukkan kepada mereka, bahwa seseorang telah mencoba berkhianat sehingga harus dihukum.
v " Kau hantui dirimu sendiri dengan angan-angan," sahut kawannya.
Tetapi semua usaha kawan kawannya tidak banyak bermanfaat. Meskipun anak muda itu tidak pernah melalaikan kewajiban sebagaimana harus dilakukan oleh semua anak-anak muda yang lain. sesuai dengan janjinya kepada Agung Sedayu, namun semakin lama anak muda itu menjadi semakin pendiam.
Ternyata hal itu telah didengar oleh Agung Sedayu. Ia menyesal bahwa ia tidak memberikan hukuman apapun juga. Jika ia memberikan hukuman kepada anak muda itu, maka setelah hukuman itu selesai dijalani, maka anak muda itu tentu sudah terlepas dari beban penyesalan yang terlampau berat baginya. Dengan hukuman, ia akan merasa bahwa hutangnya sudah dilunasinya.
"Ia menduga bahwa pada saatu saat, kau akan menghukumnya," berkata seorang anak muda Tanah Perdikan Menoreh yang mendengar pengaduan anak-anak muda Pasantenan.
Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Lalu katanya, "Aku akan menemuinya. Ia harus yakin, bahwa aku sudah menganggap persoalan itu selesai."
"Cobalah. Ia terlalu lama menderita batin," desis anak muda dari Tanah Perdikan Menoreh itu.
Sebenarnya, pada saat yang dianggap baik. Agung Sedayu telah memanggilnya. Sementara senja turun perlahan-lahan sehingga barak itupun telah diselubungi oleh warna-warna suram.
Anak muda itu tidak menolak meskipun jantungnya menjadi berdegupan. Ia menyangka, bahwa hukuman yang selama itu tertunda, akan dilakukan oleh Agung Sedayu dengan cara yang khusus. Tetapi karena ia memang sudah merasa bersalah, maka ia tidak akan ingkar.
Dengan tegang, anak muda itu telah menghadap Agung Sedayu dalam ruang yang khusus didalam lingkungan barak itu. Tidak ada orang lain dalam ruangan itu, selain Agung Sedayu.
Nyala lampu minyak yang terayun oleh sentuhan angin senja, membuat hati anak muda itu semakin gelisah.
"Duduklah," berkata Agung Sedayu ketika anak muda itu sudah memasuki biliknya.
Anak muda itu duduk sambil menundukkan kepalanya.
Sementara itu, beberapa orang anak muda Pasantenanpun menjadi gelisah pula. Mereka tidak tahu, apa yang akan dilakukan oleh Agung Sedayu. Merekapun tidak mengerti, bahwa anak-anak Tanah Perdikan Menoreh telah menyampaikan persoalan anak muda itu kepada Agung Sedayu.
Dalam pada itu, di dalam ruangan yang khusus itu, jantung anak muda Pasantenan itu menjadi semakin berdegupan. Namun bukan saja jantungnya, tetapi Agung Sedayupun menjadi berdebar-debar pula.
"Aku harus mencoba berlaku sebagai seorang pemimpin," berkata Agung Sedayu didalam hatinya. Ia berusaha untuk membayangkan sikap Swandaru di Kade-mangan Sangkal Putung, atau Raden Sutawijaya di Mataram. Bahkan sikap Prastawa di Tanah Perdikan Menoreh.
Baru setelah Agung Sedayu menjadi tenang, iapun mulai bertanya, "Aku melihat perubahan sikapmu sehari-hari dalam beberapa hari ini. Apakah ada yang kau pikirkan?"
Ternyata anak itu tidak ingin menjawab dengan ber-belit-belit. Ia pun menjawab dengan berterus-terang " 9 Aku telah bersalah. Kapan aku akan mendapat hukuman.
"Bukankah aku sudah mengatakan, bahwa kau aku maafkan" " Bukankah kau menyesal dan minta maaf pada saat itu?" bertanya Agung Sedayu pula. Lalu " Apakah kau tidak percaya bahwa aku benar-benar memaafkanmu?"
Pertanyaan itu telah mengejutkan anak muda dari Pasantenan itu. Ia tidak menyangka. Apalagi ketika Agung Sedayu berkata lebih lanjut " Setelah kau melakukan kesalahan, minta, maaf dan aku maafkan, kau sekarang sama sekali tidak mempercayai aku. Lalu apa maksudmu?"
"Aku percaya kepadamu sepenuhnya, "jawab anak muda itu tergagap.
"Jika kau percaya, kenapa kau menjadi murung dan menganggap bahwa pada suatu saat kau masih akan mendapat hukuman dari aku" "bertanya Agung Sedayu.
Anak muda itu menundukkan kepalanya semakin dalam. Sementara Agung Sedayu kemudian berkata pula " Aku sudah memaafkanmu. Tetapi jika kau masih membuat persoalan dengan alasan apapun juga, maka aku akan mempertimbangkannya lagi."
"Aku minta maaf," desis anak muda itu.
"Dua kali kau minta maaf kepadaku - berkata Agung Sedayu, "aku masih akan memaafkannya. Tetapi kau tidak boleh menarik perhatian kawan-kawanmu dengan sikapmu. Kau harus menyadari, bahwa karena sikapmu setiap orang mulai menilai diriku. Seolah-olah aku adalah seorang pendendam. Juga para pemimpin yang tua-tua tentU menilai aku pula, justru karena aku adalah seorang pemimpin yang masih muda."
Anak muda itu mengangguk Dengan wajah tunduk ia menjawab " Aku akan mencobanya."
"Kau harus melakukannya. Kembali kepada keadaanmu semula," berkata Agung Sedayu pula.
"Ya. Aku akan berusaha," desis anak muda itu.
"Harus," desak Agung Sedayu.
"Ya. Harus. " ulang anak muda itu.
"Bagus. Sekarang kembalilah kepada kawan-kawanmu. Kau harus menunjukkan sifat-sifat sewajarnya. Sebenarnya kau mempunyai sikap seorang pemimpin diantara kawan-kawanmu. Tetapi karena kau dibekali sifat sombong, maka kau tidak dapat lagi menilai dirimu sendiri. Sekarang, kembali kepada kawan-kawanmu tanpa sifat sombong. Maka kau adalah seorang pemimpin yang baik," berkata Agung Sedayu kemudian, "nah, sekarang kau boleh kembali ke tempatmu."
Anak muda ilupun kemudian bangkit dan mengangguk hormat. Kemudian meninggalkan Agung Sedayu seorang diri dalam bilik itu.
Sepeninggal i anak muda itu Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Kemudian melepaskannya seolah-olah ingin mengosongkan seluruh isi dadanya. Ketika ia kemudian bangkit, terasa punggungnya menjadi basah. Bahkan kemudian ia tersenyum sendiri. Katanya didalam hati. " Aku tidak tahu sikap seorang pemimpin. Dan aku menyebutnya seorang pemimpin yang baik."
Namun dalam pada itu, Agung Sedayu sendirilah yang sebenarnya ingin mencoba bersikap sebagai seorang pemimpin. Pemimpin bagi sekelompok anak-anak muda itu memang jauh berbeda dari sikapnya dihadapan anak-anak muda di Tanah Perdikan Menoreh. Di Tanah Perdikan Menoreh ia bersama-sama dengan anak-anak muda itu bekerja dan melakukan kegiatan-kegiatan bagi kesejahteraan Tanah Perdikan sebagai mana masih dilakukannya meskipun waktunya 'menjadi jauh susut karena kewajiban-kewajibannya yang baru di barak itu.
Tetapi di barak itu, ia tidak hanya sekedar membe-Rikan kemungkinan-kemungkinan atas air yang naik ke parit-parit, atau memberikan contoh dalam olah kanuragan dalam latihan-latihan khusus bagi anak-anak muda Tanah Perdikan Menoreh, tetapi ia harus bersikap sebagaimana seorang pimpinan keprajuritan, dengan paugeran-paugeran yang tegas.
Sejak hari itu, berangsur-angsur anak muda Pasantenan itu berusaha menyesuaikan dirinya kembali. Ada unsur ketakutannya kepada Agung Sedayu jika ia masih tetap murung dan menyendiri. Bahkan ia menjadi cemas bahwa ia akan dikembalikan ke Pasantenan dan untuk selanjutnya tidak boleh lagi mengikuti latihan-latihan bagi seorang yang akan menjadi bagian dari satu pasukan khusus yang kuat.
Dalam pada itu, latihan-latihan yang berat telah mulai dilakukan atas sekelompok kecil anak-anak muda yang mendahului kawan-kawannya itu. Agung Sedayu yang bertekad menyesuaikan diri dengan kepemimpinan anak-anak muda itupun telah melakukan tugasnya dengan baik. Sementara Ki Lurah sendiri dan dua orang perwira pasukan pengawal dari Mataram telah membuat paugeran-paugeran yang ketat yang harus di jalankan dengan tertib dan penuh tanggung jawab. Latihan-latihan keprajuritan, perang gelar dani kemampuan secara pribadi, disamping pengetahuan secara umum beberapa macam ilmu olah senjata.
Sementara itu, maka hubungan Agung Sedayu dengan anak-anak muda Tanah Perdikan diluar barak itupun menjadi agak berkurang. Tetapi pada saat-saat tertentu ia masih tetap melakukannya sebagaimana pernah dilakukannya. Bahkan diantara anak-anak muda Tanah Perdikan diluar barak, ia merasa hidup sebagaimana dilakukannya sesuai dengan kewajarannya.
Namun setiap kah ia selalu teringat pesan Ki Waskita," berusahalah, tetapi iangan lepas dari kewaspadaanmu. Karena itu, maka setiap kali ia merenungi dirinya sendiri, maka Agung Sedayu itupun selalu berdesis " Agaknya aku lebih sesuai bergaul dengan anak-anak muda Tanah Perdikan Menoreh diluar barak itu daripada aku harus berada didalamnya."
Meskipun demikian Agung Sedayu masih tetap berusaha. Mungkin pada suatu saat, ia akan benar-benar dapat menyesuaikan diri dengan kedudukan seorang pemimpin.
Sebenarnyalah pada saat-saat selanjutnya, latihan-latihan bagi anak-anak muda itupun menjadi semakin berat. Agung Sedayu mendapat kewajiban*men-jadi salah seorang diantara mereka yang harus memberikan pengetahuan olah kanuragan secara pribadi. Namun karena anak-anak muda itu dicakup dalam satu kesatuan, maka oleh Ki Lurah Branjangan, Agung Sedayu dan kedua perwira pengawal dari Mataram dan Ki Lurah Branjangan sendiri yang juga memberikan tuntunan olah kanuragan secara pribadi, telah diberikan garis-garis tertentu. Pada umumnya seseorang yang berilmu, akan dapat mengetahui tata gerak dalam batasan secara umum, sebelum masing-masing mengkhusus dengan ciri-ciri dan rahasia-rahasia bagi perguruan masing-masing. Dalam batasan yang umum itulah, mereka harus meningkatkan kemampuan pribadi ar^ak-anak muda yang telah berkumpul, mendahului kawan-kawan mereka yang lain. Secara khusus Agung Sedayu harus meningkatkan pengetahuan olah kanuragan anak-anak muda itu tanpa bersenjata. Sementara Ki Lurah Branjangan sendiri telah memberikan petunjuk, bagaimana anak-anak muda itu mempergunakan senjata panjang. Seorang perwira yang lain mempergunakan senjata pendek dan perisai.
Demikianlah, semakin lama latihan-latihan di barak itupun menjadi semakin berat. Agung Sedayu yang berusaha menyesuaikan diripun menjadi semakin mapan. la berusaha untuk meningkatkan kemampuan anak-anak muda itu sebagaimana seharusnya. Dalam pada itu, iapur telah berusaha untuk bertindak tegas terhadap setiap pelanggaran.
Namun dalam pada itu, ketika matahari memanjat langit semakin tinggi, Agung Snljiyu irlah mniuisuUi barak itu. Sebelumnya ia masih s<'iiipiil MiiKHi"ti 'h vrhuiili padukuhan untuk melihat anak anak iihkIji ynu^ 'HMlaiiu memperbaiki banjar mereka yang Midah iinihit disrniuh rayap pada bagian bawah dindingny.i Kjim'im Ilu, ni.ilui dinding bambu yang mulai rusak ilu h.ii u*, dk^iiiili druKim yang baru.
Betapa terkejut Agung Sedayu ketika m inflilmt Ki Lurah Branjangan berdiri tegak di had.ip.m M'lu"Apa yang terjadi ?" bertanya Arung S4d.ivu didalam hatinya.
Tetapi Agung Sedayu sama sekah tidak iiiruf'.t'.aiigru Iapun kemudian berdiri disebelah kedua oianr. p"'iwh;i yang datang dari Mataram.
Jantung Agung Sedayu menjadi berdrbar drlmr Ui-tika ternyata Ki Lurah Branjangan pada saat itu "nl-itif^ marah sekah terhadap ketiga orang anak rnud^i Itu Seakan-akan kemarahan Ki Lurah Branjan/tan tid.ik d.i pat ditahankan lagi.
"Aku dapat mengusir kalian sekarang jug.i Ki Lurah Branjangan.
Ketiga anak muda itu menundukkan krpnhinvti dalam-dalam.
"Aku ingin mendengar, apakah kalian meiiyi?""Kami menyesal " hampir berbareng "fuik i"iiuk muda itu menjawab.
"Baik. Aku akan memperingan hukuman kjilltiu Tetapi setiap kesalahan harus dihukum hi-ndik KI Lurah kemudian.
Tidak seorangpun yang mengangkut w;i)uh"iva Anak-anak muda yang lain yang berdiri b"TjuiJii dahiiri barisan bersap ampat itupun seakan-ukan Irlah nurti beku.
"Kalian harus menyerahkan rontal berisi pesanku kepada Raden Sutawijaya. Senopati Ing Ngalaga," berkata Ki Lurah " kalian harus berusaha untuk dapat menghadap dan menyampaikan pesan ini. Sebagai bukti bahwa kalian sudah menghadap, maka kalian tentu akan membawa surat jawaban."
Terasa jantung anak-anak muda itu berdentangan. Apakah mungkin mereka menghadap Raden Sutawijaya yang bergelar Senopati Ing Ngalaga. Sementara orang-orang yang berkedudukanpun jarang yang mendapat kesempatan menghadapnya. Apalagi mereka.
Tetapi mereka tidak berani membantah. Karena itu, maka merekapun hanya dapat menundukkan kepalanya. Sementara itu keringat merekapun telah membasahi baju mereka bagaikan baru saja kehujanan.
"Hari ini kalian harus berangkat. Terserah kepada kalian. Pagi ini, siang nanti atau bahkan lewat senja, aku tidak peduli. Tetapi besok sebelum matahari terbit, kalian harus sudah berada ditempat ini. Aku akan mehhat apakah kalian membawa balasan dari Raden Sutawijaya yang bergelar Senopati Ing Ngalaga.
Wajah ketiga orang anak muda itu menjadi tegang. Bahkan Agung Sedayupun menjadi tegang pula Jika Raden Sutawijaya tidak ada ditempat, siapapun tentu tidak akan dapat melakukannya.
Hampir saja Agung Sedayu menyalakan pendapatnya itu. Tetapi Ki Lurah telah dahulu berkata, "Tidak ada alasan apapun untuk mengingkari perintah ini. Tidak pula ada seorangpun yang dapat membatalkannya."
Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Jika ia menyatakan pikirannya dalam keadaan yang demikian, tentu Ki Lurah akan menentangnya. Dan bahkan mungkin akan dapat timbul salah paham.
Karena itu, Agung Sedayu hanya berdiam diri saja. Tetapi dalam pada itu, seolah-olah ia tidak dapat menahan diri lagi, untuk menyertai anak-anak muda itu pergi ke Mataram. Jika Raden Sutawijaya ada, maka ia akan dapat membantu mempertemukan anak-anak itu dengannya. Jika Raden Sutawijaya tidak ada, maka ia akan dapat menjadi saksi.
Tetapi seperti setiap kali terjadi atas sikapnya, maka iapun telah dicengkam oleh keragu raguan. Justru karena itu, maka iapun tidak dapat berbuat apa-apa. Sehingga akhirnya terdengar perintah Ki Lurah " Semuanya kem bali kedalam bilik masing-masing. Tidak ada latihan apapun hari ini. Kami semuanya berkabung atas sikap ketiga orang anak muda itu."
Semua orangpun kemudian meninggalkan tempat ilii dengan kepala tunduk. Tiga orang anak muda itupun melangkah dengan lesu Namun nampaknya mereka sedang berunding, apa yang akan mereka lakukan.
Dalam pada itu, Ki Lurah Branjanganpun dengan wajah yang gelap meninggalkan tempat itu pula, mema suki bilik khususnya. Sementara itu. Agung Sedayu yang gelisahpun telah menyusulnya pula.
Demikian ia mendekati pintu bilik itu dengan ragu-ragu, maka terdengar suara Ki Lurah " Masuklah
Agung Sedayu melangkah maju. Ketika ia sudah berada di dalam pintu, dilihatnya wajah Ki Lurah Braii jangan sama sekali telah berubah. Sambil tersenyum m berkata, "Aku sudah mengira bahwa kau akan datariK kepadaku."
"Ki Lurah," berkata Agung Sedayu, "apakah KI Lurah benar-benar memerintahkan kepada nn-roka, sebagaimana yang Ki Lurah katakan ?"
"Ya. Aku memang memerintahkan demikian jawab Ki Lurah.
"Apakah mereka akan dapat melakukannya " I mm tanya Agung Sedayu, "seandainya pada hari ini Uad"ii Sutawijaya tidak ada ditempat, apakah mereka akan da pat menjalankan tugas itu sebaik-baiknya seperti yang Ki Lurah Perintahkan."
"Bukankah mereka dapat mengatakan kt*padaku, bahwa Raden Sutawijaya pergi ketempat yang lulak diketahui," jawab Ki Lurah " tetapi selama Raden Suta wijaya pergi ketempat yang dapat disebut, maka mereka memang harus menemukannya. Mungkin semalam suntuk mereka akan berkuda."
Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Ia dapat membayangkan, bahwa tugas itu akan menjadi sangat berat. Tetapi seandainya mereka menemukan Raden Sutawijaya, apakah selalu bahwa Raden Sutawijaya akan bersedia menerima mereka.
Dalam keragu-raguan itu, Agung Sedayu bertanya, "Ki Lurah. Bukankah hukuman itu akan menyangkut kesediaan Raden Sutawijaya. Bukankah dengan demikian haT ini justru akan merendahkan Raden Sutawijaya itu sendiri. Memang berbeda seandainya yang datang menghadap itu seorang perwira Tinggi Pajang atau para pemimpin Mataram sendiri. Tetapi dalam hal ini, Ki Lurah yang menjatuhkan hukuman kepada anak-anak muda itu telah melibat Raden Sutawijaya, pemimpin tertinggi di Mataram."
Ki Lurah Branjanjjan tertawa. Katanya Kau benar Agung Sedayu. Tetapi hal itu tentu bukannya tidak beralasan, sehingga aku berani melakukannya. Raden Sutawijaya sendiri pernah mengatakan kepadaku bahwa ia bersedia berhubungan dengan anak-anak yang sedang ditempa untuk menjadi pemimpin-pemimpin sebuah pasukan khusus, feahkan sejak semula Raden Sutawijaya sudah mengatakan, bahwa aku diperkenankan memberikan hukuman seperti yang aku perintahkan itu Dan dalam hal tersebut. Raden Sutawijaya akan menanggapinya sebaik-baiknya."
Agung Sedayu mengangguk-angguk kecil. Katanya, "Jika demikian apaboleh buat. Tetapi, apakah kesalahan anak-anak muda itu sehingga mereka harus menjalani hukuman yang berat itu ?"
"Kesalahan mereka memang berat Agung Sedayu," jawab Ki Lurah Branjangan " mereka memasuki barak menjelang tengah malam. Ketika aku kebetulan mehhat barak-barak itu lewat senja, ketiga anak-anak itu belum berada didalam biliknya. Kemudian aku kembali melihat bilik mereka wayah sirep bocah. Mereka juga belum kembali. Ketika sekali lagi aku datang wayah sirep uwong, mereka juga belum'datang, sehingga aku memutuskan untuk tetap berada didalam bilik itu. Nah,.baru menjelang tengah malam mereka datang."
"Tetapi bukankah mereka tidak berbuat apa-apa ?" bertanya Agung Sedayu.
"Tentu mereka mengatakan bahwa mereka tidak berbuat apa-apa. Mereka mengatakan bahwa mereka telah hadir dalam satu pertemuan sebuah keluarga yang sedang mengadakan peralatan perkawinan. Mereka tidak dapat memaksa untuk mohon diri karena keluarga yang didatanginya itu akan menjamunya makan, sehingga mereka merasa segan untuk meninggalkan pertemuan itu."
"Nah, bukankah mereka mempunyai alasan yang mapan, sehingga seharusnya Ki Lurah tidak menghukum mereka terlalu berat," berkata Agung Sedayu.
"Tetapi alasan itu tidak dapat dikemukakan dalam satu pelanggaran terhadap paugeran prajurit," jawab Ki Lurah " jika alasan-alasan yang demikian dapat kita terima dan mereka dibebaskan dari hukuman, maka kesalahan yang demikian akan (hiakukan oleh semua orang didalam pasukan ketil itu. Terutama anak-anak muda Tanah Perdikan ini sendiri. Agung Sedayu tidak menjawab. Tetapi ia mengangguk-angguk kecil. Setni-ntara itu, Ki Lurah Branjanganpun berkata pula Kecuali itu ngger. Jika mereka melakukan pelanggaran, dmgan melakukan hubungan dengan cara apapun piga ilrngan anak-anak gadis di Tanah Perdikan ini. apakah hal itu tidak akan dapat menumbuhkan per.so.ilan yang gawat. Mungkin mereka hanya berkenalan, hrilHcara k<'sana kemari atau datang kepada keluarganya ".?"bjigaiinaiia mereka mengunjungi sanak kadang. Tetapi hal yang demikian jika tidak dihen tikan akan dapat berkepati|ani{an. Jika terjadi kecela kaan diantara men'k;i illUeimahaii hari, maka persoalan nya akan bertambah i nniit
Agung Sedayu iiienijaiiKKuk angguk kecil. Tetaiji la tidak menjawab laj^i
"Karena itu ngg"'i Aku ingin memberimu perinua tan. Setiap kesalahan fllaiilaiu mereka harus dihukum. Besar atau kecil. Agar dengan demikian hukuman itu akan menjadi peringatan yang sukar terlupakan
"Aku mengerti Ki Lurah," berkata Agung Sedayu kemudian.
"Mungkin kau sendiri adalah seorang pengampun. Tetapi dalam kedudukanmu disini. maka kau harus menyesuaikan dirimu," berkata Ki Lurah kemudian sam bil tersenyum " tetapi hukuman berbeda dengan dendam seperti yang pernah aku katakan kepadamu."
Agung Sedayu mengangguk-angguk. Kembali Ki Lurah mengatakan kepadanya, bahwa ia masih harus menyesuaikan diri.
"Baiklah " Ki Lurah," berkala Agung Sedayu kemudian, "aku akan selalu berusaha. "Namun didalam hati ia berkata lebih lanjut," berusaha tanpa meninggalkan kewajaranku."
Agung Sedayupun kemudian minta diri kepada Ki Lurah Branjangan. Di depan barak khusus itu ia bertemu dengan ketiga orang anak-anak muda yang akan mengha dap Ki Lurah.
Buku 150 "KAU akan menemui Ki Lurah?" bertanya Agung Sedayu.
Ketiga anak-anak muda itu mengangguk-angguk. Salah seorang dari mereka menjawab, "Kami ingin mengambil rontal yang harus kami serahkan kepada Raden Sutawijaya yang bergelar Senapati Ing Ngalaga."
"Ki Lurah ada didalam," jawab Agung Sedayu, "apakah kalian akan berangkat sekarang ?"
"Ya," jawab anak muda itu, "agar waktu kami agak cukup."
"Bagus. Semakin cepat semakin baik," berkata Agung Sedayu, "masuklah. Ki Lurah memang menunggu kalian."
Agung Sedayupun kemudian meninggalkan mereka. Ketika ia berpaling, ia melihat ketiga orang anak itu telah memasuki barak untuk minta diri dan mengambil rontal yang harus mereka bawa.
Dalam pada itu. Agung Sedayupun masih saja merenungi sikap para pemimpin keprajuritan. Memang berbeda sekali dengan sikap seorang guru di padepokan. Gurunya sendiri hampir tidak pernah menjatuhkan hukuman apapun juga kepadanya, meskipun pada suatu saat ia melakukan kesalahan. Tetapi dengan menunjuk kesalahan-kesalahan itu maka kesalahan itu sudah dapat dibetulkan.
Tetapi Agung Sedayu bukannya tidak melihat perbedaan yang besar diantara sebuah padepokan dan sebuah barak keprajuritan.
Namun dalam pada itu, rasa-rasanya Agung Sedayu masih ingin bertemu dan berbicara dengan ketiga orang anak muda itu. Karena itu iapun justru menunggu, meskipun ditempat yang agak jauh.
Ketika ketiga orang anak muda itu memasuki bilik ditempat Ki Lurah menunggu, maka merekapun menjadi ragu-ragu untuk melangkah masuk. Beberapa saat mereka berdiri dimuka pintu. Namun kemudian salah seorang dari mereka memberanikan diri mengetuk pintu.
"Masuklah," berkata Ki Lurah Branjangan.
Ketiga orang anak muda itupun memasuki bilik khusus yang dipergunakan oleh Ki Lurah dalam tugasnya. Sejenak mereka berdiri termangu-mangu di muka pintu.
"Kapan kalian akan berangkat ?" bertanya Ki Lurah Branjangan.
Salah seorang dari ketiga orang anak muda itu menjawab, "Segera Ki Lurah, agar kami mempunyai waktu yang cukup."
"Mataram tidak terlalu jauh dari tempat ini," berkata Ki Lurah.
"Tetapi menurut pendengaran kami, Raden Sutawijaya sering menjelajahi padukuhan di sekitar Mataram atau justru pergi nenepi ketempat yang tidak diketahui," jawab anak muda itu.
"Ya. Raden Sutawijaya memang sering pergi ketempat yang tidak diketahui," jawab Ki Lurah, "sebaiknya kalian memang segera pergi."
"Apakah rontal yang harus kami serahkan kepada Raden Sutawijaya yang bergelar Senapati itu sudah siap ?" bertanya salah seorang dari ketiga anak muda itu.
"Sudah siap. Aku akan mengambilnya," berkata Ki Lurah.
Ki Lurahpun kemudian meninggalkan bilik itu sejenak. Ketika ia kembali, ia telah membawa sebuah kantong berwarna putih. Didalamnya terdapat sebuah bumbung.
"Didalam bumbung itu terdapat sepucuk nawala. Sampaikan kepada Raden Sutawijaya. Dan kau harus menunggu jawabnya," berkata Ki Lurah Branjangan.
Ketiga orang anak muda itupun kemudian mohon diri. Dengan jantung yang berdebaran, mereka harus melakukan hukuman itu. Beberapa kemungkinan dapat terjadi. Jika Raden Sutawijaya yang bergelar Senapati Ing Ngalaga itu pergi ketempat yang tidak diketahui, maka mungkin sekali mereka akan gagal. Terbayang didalam angan-angan mereka, bahwa didalam keadaan yang demikian, maka mungkin sekali mereka bertiga akan dikirim kembali, sehingga hilanglah harapan mereka untuk memasuki lingkungan pasukan khusus yang akan dibentuk. Apalagi untuk menjadi salah seorang pemimpinnya.
Dengan hati yang berdebar-debar ketiga orang anak muda itu meninggalkan barak khusus yang dipergunakan oleh Ki Lurah Branjangan itu. Namun mereka tertegun ketika mereka kemudian bertemu lagi dengan Agung Sedayu.
"Kalian sudah mendapat nawala itu," bertanya Agung Sedayu sambil memandangi kantong berwarna putih itu.
"Ya. Ini harus kami serahkan. Kemudian kami akan menunggu jawabnya," jawab salah seorang diantara ketiganya.
"Cepat sajalah. Jika Raden Sutawijaya tidak ada, kalian aku nasehatkan untuk bertanya, kemana Raden Sutawijaya itu pergi. Jika tidak seorangpun yang mengetahuinya, maka kalian harus menghadap Ki Juru Martani."
"Ki Juru Martani ?" bertanya salah seorang dari ketiga orang anak-anak muda itu.
"Ya. Ki Juru adalah penasehat Raden Sutawijaya. Ia adalah saudara seperguruan Ki Gede Pemanahan. Ayah Raden Sutawijaya," jawab Agung Sedayu.
"Terima kasih," jawab anak-anak muda itu.
"Kepada Ki Juru Martani kalian dapat minta petunjuknya. Katakan terus terang, bahwa kalian sedang menjalani hukuman yang diberikan oleh Ki Lurah Branjangan," berkata Agung Sedayu kemudian.
"Terima kasih," sekali lagi anak-anak muda itu mengucapkan terima kasih.
Sejenak kemudian maka anak-anak itupun segera membenahi dirinya dan memeriksa keadaan kuda mereka. Baru setelah mereka yakin tidak ada kekurangan pada diri mereka dan kuda-kuda mereka, maka mereka menggantungkan pedang dilambung dan segera meloncat kepunggung kuda masing-masing.
Ketika kuda itu berderap meninggalkan barak, maka anak-anak muda yang kebetulan bertugas di gardu dan diregol memandangi kawan-kawannya itu dengan penuh iba. Namun merekapun terpaksa memperingatkan diri mereka, agar tidak membuat kesalahan seperti itu.
"Agung Sedayu memaafkan kesalahan yang lebih berat," berkata salah seorang dari mereka, "anak Pasantenan itu sudah mencoba untuk membunuhnya. Jika Agung Sedayu bukan seorang yang pilih tanding, ia tentu sudah mati. Matanya yang ditaburi pasir itu tidak dapat melihat sama sekali, apa yang dilakukan oleh anak Pasantenan itu. Tetapi pisau belati itu hanya dapat mengoyak bajunya saja."
"Ki Lurah memang lain dengan Agung Sedayu," sahut yang lain.
Kawan-kawannya mengangguk-angguk. Tetapi mereka tidak mempersoalkannya lebih lanjut.
Dalam pada itu, Ki Lurah melihat dari dalam biliknya, lewat lubang pintu yang ditutupnya sebagian dan hanya tersisa setebal papan pintu itu sendiri, bagaimana Agung Sedayu menjadi gelisah menjelang keberangkatan anak-anak muda itu. Ki Lurahpun melihat, bagaimana Agung Sedayu berpesan kepada mereka. Meskipun Ki Lurah tidak mendengar apa yang dikatakan oleh Agung Sedayu, namun tentu sesuatu yang membuat Agung Sedayu itu gelisah.
"Ia seorang yang memiliki ilmu yang luar biasa," berkata Ki Lurah didalam hatinya namun ia kurang sesuai untuk menjadi seorang pemimpin dalam susunan keprajuritan. Hatinya terlalu lembut dan perasa. Sebagian dari tindakannya selalu dibayangi oleh keragu2an, sehingga kurang menguntungkan bagi kedudukan seorang pemimpin. Dengan demikian ia akan lambat mengambil keputusan yang penting dan tergesa-gesa.
Ki Lurah Branjangan menarik nafas dalam-dalam. Tetapi ia tidak kehilangan harapan, sebagaimana yang diharapkan bahwa Agung Sedayu akan dapat menjadi pemimpin dari pasukan khusus itu.
Namun dalam pada itu. Agung Sedayu sendiri semakin merasa, bahwa ia ternyata benar-benar kurang sesuai dengan kedudukan didalam lingkungan barak itu. Bagaimanapun juga ia memaksa diri, namun kadang-kadang perasaannya telah membentur kenyataan-kenyataan yang mendebarkannya. Dalam keadaan yang khusus ia dapat mencoba mengerti berdasarkan nalarnya. Tetapi untuk mencapai keseimbangan nalar dan perasaannya kadang-kadang terasa terlalu sulit. Apalagi jika ia selalu teringat akan pesan Ki Waskita, bahwa ia jangan memaksa diri sehingga lepas dari kewajaran pribadinya.
Ketika hal itu dikemukakan kepada Ki Waskita, maka Ki Waskita hanya dapat menarik nafas dalam-dalam.
"Sulit bagiku untuk menyesuaikan diri Ki Waskita," berkata Agung Sedayu, "apalagi beralaskan kewajaran pribadiku. Aku merasa gelisah menyaksikan anak-anak itu menjalani hukumannya. Lebih gelisah lagi jika aku sendiri yang dihukum."
Ki Waskita mengangguk-angguk. Katanya, "Jika kau memang merasa tidak dapat mengikuti keadaan didalam barak itu Agung Sedayu, kau dapat menempatkan dirimu pada kedudukan yang paling memungkinkan bagimu. Kau lakukan tugas-tugas yang diserahkan kepadamu sekarang. Kau dapat memberikan latihan-latihan kanuragan seperti yang diminta. Tetapi kau tidak ikut menyelenggarakan kepemimpinan didalam barak itu. Dengan demikian, maka tugasmu adalah tugas yang khusus."
Agung Sedayu mengangguk-angguk. Agaknya jalan itulah yang paling baik ditempuhnya. Ia berdiri diluar barak. Tetapi ia membantu memberikan bimbingan kepada anak-anak muda didalam barak itu.
Agaknya memang tidak ada pilihan lain. Ki Gede Menoreh yang kemudian mendengar hal itu dari Ki Waskita, sependapat bahwa sebaiknya Agung Sedayu merupakan pembimbing khusus dalam bidangnya tanpa ikut menentukan kepemimpinan di barak itu.
"Meskipun demikian, dalam kekhususan itupun kau masih tetap seorang pemimpin dengan sikap kepemimpinanmu," berkata Ki Gede Menoreh, "namun hal itu akan lebih mudah kau lakukan. Kau akan dapat melaporkan pelanggaran-pelanggaran kepada Ki Lurah Branjangan. Biarlah Ki Lurah menentukan tindakan apa yang akan diambilnya bagi anak-anak yang kadang-kadang memang perlu sedikit dicubit, agar mereka selalu ingat akan kesalahan yang pernah dibuatnya. Sudah tentu bahwa maksudnya agar mereka tidak melakukan kesalahan lagi."
"Aku akan mengatakannya kepada Ki Lurah," berkata Agung Sedayu, "bukankah dengan demikian, sikap itu tidak akan banyak berpengaruh atas terselenggaranya tempaan bagi anak-anak muda itu ?"
"Sebaiknya memang kau katakan seawal mungkin, agar dengan demikian Ki Lurah dapat mempersiapkan orang lain untuk membantunya dalam penyelenggaraan itu disamping kedua orang perwira dari Mataram itu," berkata Ki Gede.
Agung Sedayu mengangguk-angguk. Ia memang berniat untuk menemui Ki Lurah Branjangan dan mengatakan kesulitan itu. Sementara itu Ki Gedepun berkata, "Dengan demikian, kegelisahankulah yang menjadi berkurang."
"Kenapa ?" bertanya Ki Waskita.
"Sebenarnya aku sudah menjadi cemas, bahwa pada waktu yang pendek aku akan kehilangan angger Agung Sedayu," berkata Ki Gede. Lalu, "Tetapi aku tidak pernah dapat mengatakannya, karena jika kedudukan itu memang disiapkan untuk angger Agung Sedayu, maka jika aku menahannya, berarti bahwa aku sudah menjadi hambatan bagi perkembangan dirinya. Sudah tentu aku tidak akan dapat memberikan imbangan kedudukan kepada angger Agung Sedayu di Tanah Perdikan ini. Tetapi jika hal itu, karena keadaan pribadi angger Agung Sedayu sendiri, maka terserahlah."
Ki Waskita justru tertawa. Katanya, "Yang tidak pernah dapat Ki Gede katakan itu sudah Ki Gede katakan."
Ki Gedepun tertawa pula. Katanya, "Aku hanya hanyut pada keadaan yang kebetulan memberikan kemungkinan itu."
Agung Sedayupun tersenyum pula, Ia mengerti, bahwa sebenarnya Ki Gede merasa keberatan untuk ditinggalkannya, jika benar ia akan duduk didalam kepemimpinan pasukan khusus itu. Namun akhirnya Agung Sedayu sendiri menyadari, bahwa itu bukan tempat yang paling sesuai bagi dirinya.
"Bagiku, Tanah Perdikan Menoreh memberikan lebih banyak kesempatan kepadaku tanpa menyimpang dari kewajaran pribadiku," berkata Agung Sedayu kepada diri sendiri.
Ketika kemudian segalanya sudah dipertimbangkan dari berbagai sudut, maka Agung Sedayupun telah menemui Ki Lurah Branjangan. Dengan terus terang ia menyatakan dirinya kurang sesuai dengan kedudukan kepemimpinan didalam barak itu.
"Ki Lurah," berkata Agung Sedayu, "tidak akan banyak bedanya bagi anak-anak muda yang berada didalam barak itu. Yang berbeda adalah beban didalam diriku. Beban perasaanku. Aku akan tetap pada tugasku. Namun dalam hal-hal tertentu aku akan memberikan laporan saja kepada Ki Lurah, kemudian Ki Lurah atau orang yang Ki Lurah tunjuk akan mengambil sikap. Tetapi didalam tugasku. Karena itu, sekali lagi aku nyatakan, bahwa pengaruhnya yang terbesar dari keadaan ini adalah justru bagi diriku sendiri."
Ki Lurah Branjangan menarik nafas dalam-dalam. Katanya, "Angger Agung Sedayu. Baiklah aku berterus terang. Sebenarnyalah bahwa angger Agung Sedayu telah disebut-sebut menjadi salah seorang calon untuk memimpin pasukan khusus ini. Memang ada beberapa calon lain, namun sebenarnyalah kemampuan angger Agung Sedayu telah dikagumi oleh Raden Sutawijaya."
"Bukan apa-apa dibanding dengan Raden Sutawijaya," jawab Agung Sedayu.
"Tetapi menurut pertimbanganku, perbandingan antara umur angger dan tingkat kemampuan yang sudah angger capai sekarang ini, maka angger adalah orang terbaik dari segala calon yang ada," berkata Ki Lurah.
Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Namun agaknya bagi Agung Sedayu, kedudukan itu memang kurang menarik baginya. Meskipun setiap kali ia selalu teringat akan Sekar Mirah, yang tentu lebih senang melihatnya menjadi seorang pemimpin pasukan khusus daripada hidup disebuah padepokan kecil di Jati Anom. Namun kedudukan itu menuntut banyak pertanggungan jawab. Yang satu diantaranya adalah hubungannya dengan Untara, yang kebetulan adalah seorang Senapati dari Pajang.
"Tetapi kakang Untara tahu, bahwa Tumenggung Prabadaru adalah seorang yang menyimpan rahasia dalam dirinya. Usahanya menyelamatkan Ki Pringgajaya dengan menganggapnya telah mati, dan usaha-usaha yang lain yang tertuju kepadanya, memang memungkinkan Senapati Pajang di Jati Anom itu mengambil sikap sendiri terhadap pasukan khusus yang dipimpin oleh Ki Prabadaru," berkata Agung Sedayu didalam hatinya.
Namun demikian, rasa-rasanya ia tidak akan dapat memikul beban tanggung jawab itu, khususnya terhadap setiap orang yang ada didalam pasukan itu.
Ia tentu tidak akan dapat bertindak tegas seperti yang dilakukan oleh Ki Lurah Branjangan. Bahkan menghukum seseorang meskipun orang itu sudah menjadi pucat dan ketakutan karena melakukan satu kesalahan.
Tetapi dalam pada itu, Ki Lurah Branjangan masih belum mengambil keputusan untuk menggeser nama Agung Sedayu sebagai salah seorang calon. Dengan terus terang pula ia berkata, "Angger Agung Sedayu. Mungkin sampai saat ini kedudukan itu kurang menarik bagi anggie. Tapi baiklah kita melihat untuk beberapa lama. Apakah kedudukan itu masih tetap kurang menarik. Sampai saatnya barak ini akan terisi oleh anak2 muda yang lebih banyak dari beberapa daerah.
Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Katanya, "Terserahlah kepada Ki Lurah. Aku sudah menyatakan perasaanku. Namun segalanya memang masih akan berkembang."
Dalam pada itu, sebenarnyalah bahwa Agung Sedayu masih juga dicengkam oleh kegelisahan karena hukuman yang diberikan oleh Ki Lurah Branjangan kepada ketiga orang anak muda yang bersalah itu. Bahkan ketika malam menyelubungi Tanah Perdikan Menoreh, rasa-rasanya Agung Sedayu tidak dapat tidur nyenyak.
"Apakah mereka dapat melakukan tugas itu " " pertanyaan itu selalu mengejarnya. Karena menurut jalan pikiran Agung Sedayu, jika anak-anak itu gagal, maka akan datang hukuman yang lain pula. Karena jika hukuman itu tidak dijalankan dengan baik, dan tidak ada tindakan apapun juga, maka kewibawaan Ki Lurah Branjangan akan tidak dapat ditegakkan. Justru karena itu, anak-anak muda itu akan menjadi semakin ketakutan.
Malam itu Agung Sedayu tidak dapat tidur dengan nyenyak. Sampai lewat tengah malam ia masih belum dapat memejamkan matanya. Baru menjelang dini hari, untuk sesaat Agung Sedayu telah tertidur.
Pagi-pagi, Agung Sedayu telah terbangun. Iapun segera berkemas dan siap untuk pergi ke barak.
"Kau bertugas pagi ini ?" bertanya Ki Waskita.
"Tidak," jawab Agung Sedayu, "tetapi aku ingin melihat apakah ketiga anak muda itu dapat melakukan tugasnya sebaik-baiknya. Dan apakah mereka sudah kembali sebagaimana diperintahkan oleh Ki Lurah Branjangan."
Ki Waskita menarik nafas dalam-dalam. Namun kemudian sambil tersenyum ia berkata, "Semalam kau gelisah."
"Aku memikirkan anak-anak itu," jawab Agung Sedayu.
Setelah minta diri kepada Ki Waskita dan Ki Gede Menoreh, maka Agung Sedayupun tergesa-gesa berkuda ke barak meskipun ia tidak sedang bertugas pagi itu.
Ketika ia memasuki barak, ternyata barak itu sepi. Agaknya yang bertugas memberikan bimbingan pagi itu telah membawa anak-anak muda itu keluar. Lereng-lereng bukit dan tebing-tebing yang curam itupun merupakan daerah yang baik untuk memanaskan badan di pagi hari. Sekaligus untuk melatih pernafasan dan ketahanan tubuh.
Sejenak Agung Sedayu termangu-mangu. Namun tiba-tiba saja ia menjadi berdebar-debar ketika dilihatnya Ki Lurah Branjangan berdiri didepan barak khususnya.
Setelah menambatkan kudanya, maka Agung Sedayupun dengan tergesa-gesa mendekatinya.
"Bagaimana dengan anak-anak itu ?" bertanya Agung Sedayu dengan serta merta.
"Anak-anak yang mana ?" bertanya Ki Lurah.
Agung Sedayu mengerutkan keningnya. Semalam suntuk ia gelisah oleh anak-anak itu. Tetapi Ki Lurah masih bertanya, anak-anak yang mana.
Karena itu dengan ragu-ragu Agung Sedayu menyahut, "Anak-anak yang kemarin mendapat hukuman dan yang pagi ini harus sudah kembali."
"O," Ki Lurah tersenyum, "mereka sedang tidur."
"Tidur " " Agung Sedayu menjadi semakin heran.
"Ya. Mereka sudah kembali sebelum dini hari. Mereka membawa pesan balasan dari Raden Sutawijaya sebagaimana harus mereka lakukan," jawab Ki Lurah, "karena semalam suntuk mereka tidak beristirahat, maka sekarang aku suruh mereka tidur dan tidak ikut bersama kawan-kawannya yang pergi kelereng."
Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Katanya, "Sokurlah. Agaknya mereka berhasil."
"Harus berhasil," sahut Ki Lurah Branjangan, "jika tidak, maka hukuman mereka akan menjadi berlipat."
"Apakah Raden Sutawijaya kebetidau a"Tidak. Raden Sutawijaya baru beracla di (laiiiiii iin tuk bermain-main dengan kudanya. Anak anak iln harus menyusul ke Ganjur. Karena itu baru dini hari mereka kembali. Karena di Ganjur mereka tidak segera dapat menghadap," jawab Ki Lurah Branjangan.
Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Perjalanan itu tentu terasa sangat berat bagi anak-anak muda itu. Tetapi sokurlah bahwa mereka telah menyelesaikannya dengan baik, sehingga mereka tidak harus menjalani hukuman berikutnya.
Tetapi anak-anak muda di barak itu tentu masih akan melakukan kesalahan-kesalahan yang lain, sehingga merekapun tentu masih akan dihukum.
Namun akhirnya Agung Sedayu mencoba tidak menghiraukan hukuman-hukuman itu lagi, karena bukan tanggung jawabnya. Ia akan menjalani tugasnya sebaik-baiknya. Selebihnya adalah tanggung jawab Ki Lurah Branjangan.
Demikianlah Agung Sedayu telah bekerja keras bagi barak dan penghuninya yang sekelompok kecil itu, dan bagi Tanah Perdikan Menoreh. Namun setiap kali terasa jantungnya berdenyut keras. Yang kemudian terjadi di dalam barak itu benar-benar telah mendebarkan jantungnya. Rasa-rasanya Ki Lurah Branjangan dan para perwira dari Mataram itu menjadi semakin garang. Bahkan kesalahan-kesalahan yang tidak disengaja, kekurangan kemampuan untuk melakukan latihan-latihan sesuai seperti yang dikehendaki, telah cukup alasan untuk menjatuhkan hukuman.
Ketika seorang anak muda gagal berayun dan hinggap pada sebatang bambu yang merentang khusus dalam latihan tali, anak muda itu harus mengulanginya sepuluh kali. Dalam sepuluh kali itu, enam kali ia gagal dan ampat kali ia berhasil.
"Kau masih harus mengulangi," seorang perwira yang marah membentak anak yang pucat itu.
Namun Agung Sedayu berkata kepada Ki Lurah. "Sekali lagi ia mengulangi, maka ia akan jatuh karena kehabisan tenaga."
"Ia harus berhasil sampai sepuluh kali," jawab Ki Lurah Branjangan, "jika hukuman itu dirubah, maka ia akan mengulangi kesalahan itu bahkan sampai sepuluh kali, karena setiap kesalahan telah diperhitungkan."
Agung Sedayu menjadi berdebar-debar. Ternyata anak itu benar-benar harus mengulangi sampai ia berhasil sepuluh kali. Namun untuk berhasil sepuluh kali ia sudah berayun sampai dua puluh lima kali. Bahkan demikian ia dapat menyelesaikan ayunan yang kesepuluh, maka ketika ia berusaha menepi untuk berteduh, iapun jatuh pingsan.
Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Ternyata ketakutan yang sangat telah berhasil mendorong kemampuannya untuk berayun dua puluh lima kali. Suatu hal yang tidak mungkin dilakukan dalam keadaan yang wajar.
"Dorongan tenaga yang demikian yang harus dapat digali sebaik-baiknya," berkata Agung Sedayu dalam hatinya, "kemampuan itu harus dipelajari dan dikuasai, sehingga bukan saja dalam ketakutan, terpaksa dan diluar sadar. Tetapi didalam sadarpun mereka akan dapat melakukan."
Agung Sedayu sendiri sudah dapat menguasai tenaga cadangannya dengan baik bahkan hampir sempurna. Tetapi anak-anak muda itu baru menginjak dalam tataran permulaan.
Adalah menjadi kewajiban Agung Sedayu untuk menuntun mereka dalam kemampuan kanuragan tanpa mempergunakan senjata. Namun Agung Sedayu yang memang bukan seorang prajurit, tidak dapat memberikan latihan-latihan dengan keras dan dibayangi oleh hukuman-hukuman bagi setiap kesalahan.
Meskipun demikian. Agung Sedayu ingin mengimbangi kekurangannya itu dengan kerja yang keras dan bersungguh-sungguh.
Tetapi adalah juga satu pengalaman baru bagi Agung Sedayu, bahwa tidak semua anak muda yang berada didalam barak itu bekerja seperti yang dikehendakniya. Berbeda dengan Glagah Putih yang bahkan untuk beberapa hal ia harus menghambatnya. Karena dengan mengerahkan tenaga berlebihan, hasilnya justru akan sebaliknya.
Dalam keadaan tertentu, Agung Sedayu memang melihat anak-anak muda yang berusaha menghindarkan diri dari latihan-latihan yang berat, yang memerlukan ketekunan dan kerja yang sungguh-sungguh.
Tetapi Agung Sedayu mempunyai cara tersendiri, ia tidak memaksa anak-anak muda itu dengan hukuman-hukuman. Tetapi ia telah mendorong anak-anak itu dengan memberikan tataran pada mereka.
"Kalian adalah calon-calon pemimpin dalam lingkungan pasukan khusus ini," berkata Agung Sedayu, "aku adalah salah seorang yang akan ikut menentukan, siapakah yang akan berada dalam tataran tertinggi yang disediakan, tataran tengahan dan tataran di paling bawah. Karena aku mempunyai tugas khusus, maka aku akan menentukan tataran itu dari bidang yang diserahkan kepadaku."
Mula-mula hal itu memang kurang menarik. Anak-anak muda itu masih saja berusaha dengan dalih apapun juga untuk menghindarkan diri dari tugas-tugas yang berat, yang bagi orang lain telah mendorong untuk memberikan hukuman.
"Mereka menganggap bahwa aku tidak akan pernah memberikan hukuman kepada mereka," berkata Agung Sedayu kepada diri sendiri, "dan hal ini harus aku kenal sebagai salah satu kelemahanku."
Namun pada saat-saat berikutnya, setiap kali Agung Sedayu memberikan urutan tataran kepada anak-anak muda itu. Agung Sedayu membagi anak-anak muda itu menjadi tiga tataran. Tataran tertinggi, tataran menengah dan tataran terendah.
Setiap kali ia menggeser anak-anak muda itu dari satu tataran ketataran yang lain. Mungkin dari tataran yang rendah ke tataran yang lebih tinggi. Tetapi sebaliknya dari tataran yang lebih tinggi ketataran yang lebih rendah.
"Bagi mereka yang karena ketinggalan terlalu jauh, dan terpaksa tidak dapat masuk ketataran yang paling rendah sekalipun, akan terpaksa diletakkan diluar kemungkinan untuk menjadi seorang pemimpin, ia akan berada diantara kawan-kawannya yang akan datang kemudian dan akan mulai dari permulaan sekali," berkata Agung Sedayu.
Ternyata tidak ada diantara mereka yang ingin tertinggal. Bahkan mulai terasa oleh Agung Sedayu bahwa mereka telah didorong untuk saling berlomba dalam mencapai, tingkat yang lebih baik.
Demikianlah dengan caranya. Agung Sedayu telah berhasil memacu anak-anak muda itu dalam olah kanuragan. Dengan sungguh-sungguh Agung Sedayupun memimpin mereka. Namun ternyata yang dilakukan tidak lebih banyak dari yang dilakukannya atas anak-anak Tanah Perdikan Menoreh sendiri.
Sementara itu, selagi Agung Sedayu berusaha untuk menyesuaikan diri dengan kehidupan kepemimpinan didalam barak yang baru terisi sebagian kecil itu, Prastawa masih tetap dipengaruhi oleh perasaannya atas Agung Sedayu. Anak muda itu sadar, bahwa dalam olah kanuragan ia tidak berarti sama sekali bagi Agung Sedayu. Namun anak muda itu tetap merasa tidak ikhlas untuk menerimanya di Tanah Perdikan Menoreh. Karena bagaimanapun juga, Prastawa melihat kemungkinan-kemungkinan yang buram bagi masa depannya, apabila anak itu masih tetap berada di Tanah Perdikan Menoreh.
Sebenarnya Prastawapun berharap, mudah-mudahan Agung Sedayu akan mendapat kedudukan di dalam barak itu. Dengan demikian maka ia tidak akan menetap di Tanah Perdikan Menoreh. Tetapi ia akan berada bersama pasukan khusus itu. Bahkan pada suatu saat, pasukan itu akan berada di medan perang.
Tetapi ia menjadi kecewa ketika ia ternyata melihat Agung Sedayu sampai saat-saat terakhir, masih belum dapat menyesuaikan dirinya. Bahkan Prastawapun mendengar, bagaimana Agung Sedayu mengeluh dihadapan Ki Waskita dan Ki Gede Menoreh.
Meskipun demikian, Prastawa tidak dapat berbuat sesuatu. Ia tidak akan mungkin dapat berbuat sesuatu dengan kekerasan. Seandainya ia memanggil sepuluh orang gegedug perampok, penyamun dan benggol kecu yang paling garang, mereka tentu akan digilas oleh Agung Sedayu apabila keringat anak muda itu sudah terlanjur membasahi punggungnya. Apalagi apabila darah sudah menitik dari tubuhnya, sebagaimana Ki Ajar Tal Pitu yang mampu merubah diri menjadi tiga orang dalam ilmu yang paling garang.
Karena itu, maka Prastawa hanya dapat menyimpan perasaannya didalam hati. Meskipun dengan demikian, seolah-olah ia telah menyimpan api didalam sekam.
Dalam pada itu, maka anak-anak muda yang berada didalam barak itupun menjadi semakin maju. Mereka menjadi semakin trampil dalam olah kanuragan, olah senjata dan olah gelar perang. Setiap orang telah memberikan tuntunan dalam bidangnya dengan cara masing-masing.
Kedua orang perwira dari Mataram dan Ki Lurah Branjangan telah menempa anak-anak muda itu dengan keras. Setiap kesalahan tentu akan mendapat hukuman. Tidak seorangpun diantara anak-anak itu yang sempat bermalas-malas. Sehingga dengan demikian, maka anak-anak itu dengan rampak telah maju, meskipun ada juga selang satu dua lapis tipis.
Sementara itu Agung Sedayu telah mempergunakan caranya sendiri. Ia memaksa anak-anak itu untuk berlatih dengan sungguh-sungguh, karena Agung Sedayu telah menempatkan mereka pada tataran yang berbeda. Mereka yang berada di tataran terendah akan berusaha dengan sepenuh tenaga, agar mereka dapat segera meningkat ketataran berikutnya. Apalagi mereka yang terpaksa diturunkan tatarannya. Maka mereka akan bekerja dengan segenap kekuatan yang ada padanya.
Sebenarnyalah bahwa tataran-tataran itupun merupakan jenjang hukuman yang diberikan oleh Agung Sedayu. Mereka yang berada di tataran paling rendah, sebenarnyalah telah merasa mendapat hukuman yang meskipun tidak terasa berat bagi tubuh mereka, tetapi hukuman itu akan menjadi beban perasaan mereka.
"Hampir tidak ada bedanya," berkata Ki Waskita kepada Agung Sedayu.
"Tetapi tidak semata-mata," jawab Agung Sedayu, "kadang-kadang hatiku tidak dapat mengelak lagi jika aku melihat anak-anak muda itu dijemur diterik panas matahari. Dengan tongkat pendek yang berujung segumpal kapas terbalut kain itu, mereka harus berlatih dengan gemetar oleh kelelahan. Rasa-rasanya aku ingin menghentikan hukuman seperti itu. Jika mereka kurang menguasai unsur-unsur baru dalam ilmu olah senjata, maka biarlah mereka berlatih terus. Tetapi tidak dengan dipaksa oleh hukuman."
"Hukuman badan maksudmu," potong Ki Waskita.
"Ya," jawab Agung Sedayu.
"Kaupun telah menjatuhkan hukuman pula kepada mereka. Hukuman bagi perasaan mereka yang terpaksa berada di tataran yang terendah," berkata Ki Waskita selanjutnya.
Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Namun kemudian sambil mengangguk-angguk ia berkata, "Ya. Hampir tidak ada bedanya. Tetapi aku merasakan kelainan itu."
Ki Waskita tersenyum. Katanya, "Tentu ada kelainan. Juga akibatnya. Bukan maksudku menyalahkan caramu."
Agung Sedayu tidak menjawab lagi. Tetapi nampaknya cara itulah yang paling sesuai baginya untuk sementara. Mungkin pada suatu saat iapun akan terbiasa dengan cara yang keras dan bersungguh-sungguh seperti yang dilakukan oleh para pemimpin dari Mataram itu.
Dalam pada itu, Ki Lurah Branjangan yang untuk sementara mempertanggung jawabkan perkembangan anak-anak muda didalam barak itu, merasa bahwa tugasnya dapat dilaksanakan dengan baik meskipun dengan tenaga yang sangat terbatas. Namun dengan bantuan Agung Sedayu, dan kadang-kadang Ki Waskita dan Ki Gede Menoreh dalam hal-hal tertentu, anak-anak muda yang diharap akan dapat menjadi inti dan tenaga pimpinan dalam pasukan khusus itu dapat maju sebagaimana diharapkan.
Dengan selisih waktu yang meskipun tidak terlalu panjang, maka anak-anak itu akan mempunyai kelebihan dari anak-anak yang bakal datang kemudian. Meskipun dengan pengertian, bahwa mereka harus mengembangkan terus kemampuan mereka.
Karena itulah, ketika Ki Lurah memandang bahwa anak-anak itu telah memiliki bekal untuk membantu dalam kepemimpinan kemudian, maka iapun memberikan laporan kepada Raden Sutawijaya bahwa dasar pertama telah dapat diletakkan atas anak-anak muda itu.
"Aku akan melihat mereka," berkata Raden Sutawijaya kepada Ki Lurah.
Namun dalam pada itu, Ki Lurah Branjanganpun telah memberikan laporan tentang Agung Sedayu. Anak muda itu memiliki sifat dan watak yang agak kurang sesuai dengan sifat dan watak seorang pemimpin didalam lingkungan keprajuritan.


06 Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Ia adik Untara," berkata Raden Sutawijaya.
"Ternyata sifatnya jauh berbeda dengan Untara," jawab K i Lurah Branjangan, "Untara adalah seorang prajurit. Setiap langkahnya, setiap kata-katanya, solah tingkahnya, adalah seorang Senapati. Tetapi Agung Sedayu lain. Anak itu memang memiliki kemampuan olah kanuragan yang mungkin melampaui Untara. Ilmunya mapan dan bahkan anak itu telah berhasil membunuh Ajar Tal Pitu yang memiliki ilmu yang sekarang sudah jarang sekali ada duanya, Kakang Pembareb dan Adi Wuragil."
Raden Sutawijaya menarik nafas dalam-dalam. Kemudian katanya, "Apakah kau tidak dapat membantunya menyesuaikan diri dengan lingkungan keprajuritan?"
"Aku sudah mencoba Raden, tetapi aku belum berhasil," jawab Ki Lurah.
"Baiklah," berkata Raden Sutawijaya, "besok aku akan menemuinya dan berbicara serba sedikit tentang kemungkinan-kemungkinan yang dapat terjadi atas anak muda yang aneh itu."
"Silahkan Raden," jawab Ki Lurah, "agaknya memang lebih baik Raden menemuinya."
Demikianlah, maka pada hari yang sudah ditentukan. Raden Sutawijayapun telah pergi ke Tanah Perdikan Menoreh untuk melihat perkembangan anak-anak muda yang akan menjadi inti dari pasukan khususnya untuk mengimbangi pasukan yang dipimpin oleh Ki Tumenggung Prabadaru.
Namun dalam pada itu, Ki Pringgajayapun berbincang dengan Ki Tumenggung Prabadaru ditempat yang tersembunyi. Ternyata Ki Tumenggung menjadi sangat kecewa, bahwa Ajar Tal Pitu telah gagal usahanya untuk membunuh Agung Sedayu, bahkan Ajar Tal Pitu sendirilah yang telah terbunuh.
"Luar biasa. Memang luar biasa," berkata Ki Pringgajaya, "aku hampir tidak percaya bahwa Agung Sedayu mampu melakukannya."
"Semakin lama ilmunya menjadi semakin sempurna," berkata Ki Tumenggung Prabadaru, "jika anak itu tidak segera disingkirkan, maka di Mataram akan ada kekuatan rangkap yang tidak dapat kami cari bandingnya di Pajang. Raden Sutawijaya yang bergelar Senapati Ing Ngalaga dan Agung Sedayu."
"Tetapi Agung Sedayu tentu masih belum setingkat dengan Raden Sutawijaya," berkata Ki Pringgajaya.
"Sekarang," jawab Ki Tumenggung, "sebentar lagi, hal itu akan mungkin terjadi. Beberapa saat yang lalu, ketika Agung Sedayu bertempur dengan Ki Ajar Tal Pitu, ia masih terluka parah dan bahkan memerlukan waktu lama untuk sembuh. Lebih lama dari waktu yang dipergunakan oleh Ajar Tal Pitu. Setelah Ajar Tal Pitu menyempurnakan ilmunya dengan sesirik dan pati geni sebagai laku puncak dari penyempurnaan ilmunya, ia justru terbunuh oleh anak itu. Dengan demikian dapat diambil kesimpulan bahwa kemajuan Agung Sedayu ternyata lebih pesat dari kemajuan ilmu Ajar Tal Pitu."
Ki Pringgajaya mengangguk-angguk. Katanya, "Ki Tumenggung benar. Tetapi kemampuan seseorang tentu ada batasnya. Menurut pengamatanku Agung Sedayu tidak akan dapat mencapai tataran Raden Sutawijaya."
"Siapa tahu bahwa hal itu akan terjadi. Karena itu, selagi ia masih belum sampai ke tataran yang mencemaskan, maka anak itu memang harus dibinasakan. Agaknya menurut pengamatan beberapa orang petugas sandi, Mataram telah menyusun pasukan khusus untuk mengimbangi pasukanku. Agung Sedayu tentu ada didalamnya," berkata Tumenggung Prabadaru.
"Jika saja Pangeran Benawa tidak menuruti hatinya sendiri," berkata Ki Pringgajaya, "satu-satunya orang Pajang yang dapat mengimbangi Raden Sutawijaya, selain Sultan sendiri adalah Pangeran Benawa. Tetapi kini. Sultan yang sakit-sakitan itu tentu tidak lagi dapat mencapai kemampuan puncaknya. Karena betapapun tinggi ilmu seseorang, ia tidak akan dapat melawan batas-batas alaminya. Sementara Pangeran Benawa rasa-rasanya seperti kapuk yang diterbangkan angin. Tidak tentu arah sama sekali."
"Jangan berbicara tentang Pangeran Benawa," jawab Prabadaru, "orang seperti itu sama sekali tidak dapat diajak berbicara, ia justru orang yang sangat berbahaya. Apalagi Pangeran Benawa adalah seseorang yang memiliki ilmu yang setingkat dengan Raden Sutawijaya sendiri."
"Pajang akan kehilangan segala harapannya, apabila Pangeran Benawa ternyata kemudian berpihak kepada Raden Sutawijaya, sementara Agung Sedayu benar berhasil mencapai tataran mereka berdua." desis Ki Pringgajaya.
"Karena itu, kita harus mencegahnya," berkata Tumenggung Prabadaru, "sementara itu murid Kiai Gringsing yang tinggal di Sangkal Putung itu masih belum terlalu berbahaya. Adalah memang agak janggal bahwa perkembangan kedua murid Kiai Gringsing itu agak jauh berbeda."
"Apa yang dapat kita kerjakan ?" bertanya Ki Pringgajaya.
"Aku belum dapat mengatakan sekarang," jawab Ki Tumenggung Prabadaru, "tetapi kita harus mencari jalan, sementara itu, petugas sandi kita harus mengamati keadaan Mataram dan perkembangan pasukan khusus yang mereka bentuk itu dengan cermat."
Ki Pringgajaya hanya dapat mengangguk-angguk. Tetapi usaha yang rumit masih harus dijalankan untuk dapat menyingkirkan Agung Sedayu dan jika mungkin saudara seperguruannya dan bahkan gurunya.
"Aku menunggu pendapatmu," berkata Prabadaru, "sementara itu. kau cari jalan untuk mendapat keterangan tentang kekuatan pasukan khusus yang telah disusun oleh Mataram."
"Baiklah Ki Tumenggung," jawab Ki Pringgajaya, "aku akan menjalankan perintah. Tetapi apakah akan berhasil, masih merupakan sebuah teka-teki."
Tumenggung Prabadaru menarik nafas dalam-dalam. Ia mengerti, bahwa tugas yang dibebankan kepada Ki Pringgajaya adalah tugas yang berat, yang menuntut ketrampilan khusus.
Sementara itu. Raden Sutawijaya telah mengunjungi Ki Gede Menoreh di Tanah Perdikan Menoreh. Raden Sutawijaya tidak langsung pergi ke barak anak-anak muda yang telah mendahului para calon yang lain untuk dipersiapkan menjadi pemimpin pada tataran tertentu dalam pasukan khusus yang akan dibentuk. Tetapi Raden Sutawijaya lebih dahulu telah datang kepada pemimpin Tanah Perdikan itu.
Kedatangan Raden Sutawijaya telah disambut dengan sebaik-baiknya oleh Ki Gede Menoreh. Dalam pada itu Ki Waskita dan Agung Sedayupun telah menemuinya pula.
Setelah saling mengucapkan selamat, maka Ki Gedepun kemudian bertanya, "Raden, apakah kedatangan Raden ada hubungannya dengan anak-anak muda di barak itu?"
"Ya Ki Gede. Aku ingin melihat, seberapa jauh perkembangan anak-anak muda didalam barak itu. Selama ini aku baru mendengar laporan-laporan dari Ki Lurah Branjangan. Sekarang aku ingin melihat sendiri," berkata Raden Sutawijaya.
"Tentu Raden ingin melihatnya," berkata Ki Gede, "menurut penglihatanku, kemajuan anak-anak muda itu cukup baik. Tetapi mungkin Raden mempunyai penilaian tersendiri."
"Ah. Tentu tidak," sahut Raden Sutawijaya, "apa yang Ki Gede anggap baik, tentu aku menganggapnya baik juga."
Demikianlah, maka diantar oleh Ki Lurah Branjangan, bersama Ki Gede Menoreh, Ki Waskita dan Agung Sedayu mereka telah mengunjungi barak.
Anak-anak muda didalam barak itu telah dipersiapkan, bahwa mereka akan mendapat kunjungan Raden Sutawijaya. Hari itu mereka harus menunjukkan kemampuan mereka, untuk mendapat penilaian dari pemimpin tertinggi Mataram, Raden Sutawijaya yang bergelar Senapati Ing Ngalaga.
Ternyata kedatangan Raden Sutawijaya itu benar-benar telah memberikan gairah kepada anak-anak muda itu. Dengan sepenuh hati mereka telah menunjukkan hasil latihan yang mereka lakukan selama mereka berada di dalam barak itu. Mereka telah menunjukkan kemampuan mereka dalam olah kanuragan secara pribadi. Kemampuan mereka olah senjata dan kemampuan mereka dalam gelar perang.
Beberapa orang telah memamerkan ketrampilan mereka berkelahi tanpa senjata, bahkan mereka telah menunjukkan kemampuan mereka mempergunakan tenaga cadangan, sehingga mereka berhasil menunjukkan kekuatan mereka melampaui kekuatan tenaga wajar mereka. Yang lain menunjukkan kecakapan mereka bermain pedang. Bermain tombak dan mempergunakan senjata-senjata lain yang kurang dikenal. Bahkan mempergunakan senjata apa saja yang mereka ketemukan disekitar mereka. Beberapa orang telah memamerkan ketrampilan mereka sodoran diatas punggung kuda.
Raden Sutawijaya menyaksikan semuanya itu sampai mengangguk-angguk. Ternyata bahwa yang telah dilakukan oleh anak-anak muda itu dapat memenuhi harapannya. Dalam waktu yang terhitung singkat mereka telah berhasil melandasi diri mereka dengan kemampuan yang memadai.
Setelah semuanya disaksikan oleh Raden Sutawijaya, maka anak-anak muda itupun mendapat kesempatan untuk beristirahat, sementara itu Raden Sutawijaya menyaksikan bangunan-bangunan yang terdapat dalam satu lingkungan bagi pasukan khusus yang bakal disusun.
Ternyata segalanya telah memuaskannya. Kemampuan anak anak yang mendahului kawan-kawannya itu dianggapnya sudah cukup, sehingga Raden Sutawijaya telah mulai membicarakan kemungkinan yang lebih luas lagi dari pasukan khusus itu.
Setelah Raden Sutawijaya selesai menyaksikan barak yang sudah siap seluruhnya itu, maka iapun telah mulai dengan pembicaraan-pembicaraan lebih jauh dari pembentukan pasukan khusus itu dengan Ki Lurah Branjangan, Ki Gede Menoreh, Ki Waskita dan Agung Sedayu.
"Nampaknya segalanya telah siap," berkata Raden Sutawijaya, "agaknya pembentukan pasukan itu tidak mengalami kesulitan apapun juga. Ki Lurah Branjangan tentu sudah dapat menyusun jenjang kepemimpinan yang dapat di serahkan kepada anak-anak muda yang telah mendahului kawan-kawannya itu. Selain mereka telah mendapat latihan-latihan khusus sebelumnya, merekapun tentu termasuk anak-anak muda yang terpilih di daerah mereka masing-masing."
"Ya," jawab Ki Lurah, "tetapi sudah tentu mereka akan berada pada jenjang kepemimpinan yang memungkinkan."
"Maksud Ki Lurah" "bertanya Raden Sutawijaya.
"Mereka tidak akan dapat mencapai jenjang kepemimpinan yang tinggi," jawab Ki Lurah.
Raden Sutawijaya mengangguk-angguk. Katanya, "Aku mengerti Ki Lurah. Mereka akan menjadi pemimpin pada tataran menengah dan bawah. Sementara itu, aku akan menentukan sepuluh orang diluar anak-anak muda itu yang akan memegang pimpinan tertinggi dari pasukan khusus itu."
Ki Lurah Branjangan mengerutkan keningnya. Sekilas dipandanginya wajah Agung Sedayu. Namun ia tidak melihat kesan apapun diwajah itu.
Dalam pada itu, Ki Lurah itupun kemudian berkata, "Tentu Raden harus menunjuk orang-orang yang akan memegang pimpinan tertinggi dari pasukan khusus itu. Sepuluh orang akan menjadi Manggala dan Senapati, namun masih ada orang-orang diluar yang sepuluh itu yang akan dimohon untuk membantu menempa anak-anak muda di lingkungan pasukan khusus ini."
"Bagus sekali," berkata Raden Sutawijaya, "aku sependapat. Sudah waktunya kita menentukan saat bagi anak-anak muda yang lain, yang telah terlalu lama menunggu, maka segera akan dapat kami laksanakan," jawab Ki Lurah Branjangan, "sementara itu, seluruh jenjang kepemimpinan harus sudah terisi."
Raden Sutawijaya mengangguk-angguk. Ia mengerti maksud Ki Lurah Branjangan. Namun Raden Sutawijaya hanya berkata, "Aturlah diantara anak-anak muda itu. Aku akan mengatur sepuluh orang yang aku maksudkan."
Ki Lurah Branjangan menarik nafas dalam-dalam. Tetapi ia tidak menjawab lagi.
Dalam pada itu, ketika Agung Sedayu kemudian berada diantara anak-anak muda untuk berlatih bersama, maka Raden Sutawijaya telah mempergunakan kesempatan itu untuk berbicara hanya dengan Ki Gede Menoreh dan Ki Waskita. Raden Sutawijaya ingin mendapat penjelasan tentang sikap Agung Sedayu.
"Ia mempunyai Sifat yang berbeda dengan kakaknya," berkata Ki Waskita.
"Aku mengerti Ki Waskita, tetapi apakah ia benar-benar tidak dapat diserahi kepemimpinan dari pasukan khusus itu ?" bertanya Raden Sutawijaya.
"Aku kira ia kurang sesuai Raden," jawab Ki Waskita kemudian, "Agung Sedaya memang seorang yang memiliki ilmu yang tinggi, tetapi memiliki ilmu bukannya berarti bahwa ia akan dapat menjadi seorang pemimpin dibidang tertentu. Mungkin ia akan dapat melakukan tugas lain dengan tepat sesuai dengan sifat dan wataknya."
"Ki Waskita," berkata Raden Sutawijaya, "bukankah selama ia menuntut ilmu, ia juga dibebani tugas-tugas yang berat dan paugeran yang kokoh oleh gurunya " Sebagai seorang yang berilmu ia tentu memiliki ketajaman nalar dan budi."
"Raden," berkata Ki Gede, "sebenarnyalah bahwa didalam perguruan seseorang harus mengasah nalar dan budi. Tetapi pembawaan seseorang yang apalagi seperti Agung Sedayu, ia berguru pada masa menjelang dewasa, sehingga wataknya telah hampir terbentuk secara bulat. Meskipun tidak mustahil bahwa untuk seseorang dapat berkembang karena satu peristiwa yang sangat berkesan pada dirinya, namun ia masih selalu berpijak oleh wataknya yang semula. Selain Agung Sedayu, Raden dapat melihat sebuah contoh yang lebih tegas dari seorang berilmu yang sangat tinggi, tetapi kurang sesuai atau mungkin dapat disebut tidak ada minat untuk menjadi seorang pemimpin. Bahkan tahtapun tidak dikehendakinya. Pangeran Benawa."
Raden Sutawijaya menarik nafas dalam-dalam. Sambil mengangguk-angguk ia berkata, "Yang Ki Gede katakan adalah benar. Tetapi adimas Pangeran Benawa memang tidak mempunyai minat. Bukan karena ia tidak dapat melakukannya. Seandainya ia mempunyai minat, maka mungkin sekali ia akan dapat melakukan kewajiban seorang raja dengan sebaik-baiknya."
"Hampir sama dengan Agung Sedayu," jawab Ki Gede, "mungkin ia memang mempunyai minat meskipun hanya setitik didalam hatinya. Tetapi ia bukan seorang yang memiliki watak seorang pemimpin prajurit. Ia seorang yang mudah menjadi iba. Pengampun meskipun kadang-kadang justru bertentangan dengan kepentingan perkembangan sifat seseorang. Justru hatinya terlalu lembut untuk menjadi seorang Senopati. Apalagi dalam pasukan khusus seperti ini."
Raden Sutawijaya menarik nafas. Ia dapat mengerti keterangan Ki Gede Menoreh.
Namun dalam pada itu, Ki Waskita tersenyum meskipun hanya didalam hatinya. Ia mengerti, bahwa Ki Gede mempunyai kepentingan dengan Agung Sedayu. Jika Agung Sedayu benar-benar akan berada didalam lingkungan keprajuritan, apalagi memimpin pasukan khusus itu, maka Tanah Perdikan Menoreh akan kehilangan.
Meskipun demikian, sebenarnyalah Ki Gede tidak mempunyai niat dengan sengaja menghalangi Agung Sedayu. Ia akan ikut merasa berbahagia jika Agung Sedayu merasa berbahagia juga didalam kedudukannya.
Akhirnya Ki Gedepun berkata, "Tetapi Raden, Segalanya terserah kepada Agung Sedayu sendiri."
"Baiklah Ki Gede," jawab Raden Sutawijaya, "aku akan berusaha untuk mendekati hatinya. Tetapi Serba sedikit aku sudah mengetahui wataknya yang andap asor, perasaannya yang lembut dan tidak tahan melihat kesulitan orang lain. Karena itu, aku akan memberikan perhatian khusus terhadapnya."
"Silahkan Raden," berkata Ki Gede, "mudah-mudahan Raden dapat menentukan sikap yang benar terhadap anak muda itu."
"Aku akan mengamatinya dengan cermat, selama aku berada disini Ki Gede," jawab Raden Sutawijaya.
Raden Sutawijaya memang tidak hanya satu hari berada di Tanah Perdikan Menoreh. Dalam kesempatan yang tidak terlalu panjang itu, ia sudah memperhatikan, segala-galanya. Ia juga memperhatikan setiap sikap Agung Sedayu. bagaimana gejolak perasaannya jika ia melihat satu dua orang yang sedang menjalani hukuman yang cukup berat karena sesuatu kesalahan.
Meskipun ia belum mengatakan kepada siapapun juga, namun akhirnya Raden Sutawijaya memang menganggap Agung Sedayu terlalu terpengaruh oleh perasaan yang lembut. Meskipun pada saat-saat tertentu darahnya dapat mendidih dan membakar dunia seputarnya, namun pada dasarnya Agung Sedayu adalah seorang perasa.
Namun dalam pada itu, maka yang kemudian dikatakan oleh Raden Sutawijaya yang bergelar Senapati Ing Ngalaga kepada Ki Lurah Branjangan adalah, bahwa anak-anak muda yang sudah dipersiapkan di daerah-daerah yang telah menyatakan kesediaannya mengirimkan anak-anak mudanya itu, dapat segera diserahkan kepada pimpinan pasukan khusus itu. Sementara itu, iapun mendapat tugas untuk memilih anak-anak muda yang terdahulu untuk membantu memimpin anak-anak muda yang bakal datang.
"Tetapi bukan berarti bahwa mereka sudah mumpuni. Mereka harus meningkat terus, pada jarak tertentu dengan anak-anak muda yang baru akan datang nanti," berkata Raden Sutawijaya, "karena itu mereka harus berlatih terus. Aku kira Ki Lurah akan tetap berpegangan pada pertimbangan, bahwa disamping para pemimpin tertinggi pasukan khusus itu, masih akan terdapat beberapa orang pembimbing yang akan selalu meningkatkan ilmu anak-anak muda yang datang terdahulu."
Demikianlah, maka yang harus segera dilakukan oleh Ki Kurah adalah menilai anak-anak muda yang ada di barak itu. Ternyata bahwa Raden Sutawijaya yang untuk beberapa hari berada diantara mereka dapat pula membantu Ki Lurah Branjangan. Pengamatan Raden Sutawijaya yang tajam, meskipun ia hanya sempat melihat sekilas, telah banyak memberikan pertimbangan kepada Ki Lurah Branjangan. Namun dalam pada itu, Ki Lurahpun tidak meninggalkan kedua orang pembantunya dan Agung Sedayu. Bahkan Ki Waskita dan Ki Gede yang kadang-kadang berada di barak itu juga, telah diminta pertimbangannya pula.
Sementara itu. Raden Sutawijaya yang telah melihat apa yang dilakukan oleh Agung Sedayu selama ia berada di barak itu, ternyata sependapat, bahwa pimpinan pasukan khusus itu memang bukan tempatnya bagi Agung Sedayu.
Ketika ia berkesempatan bertemu dengan anak muda itu, maka Raden Sutawijayapun berkata, "Aku tidak akan menawarkan satu kedudukan yang kurang sesuai bagimu Agung Sedayu."
Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam, katanya, "Aku sudah berusaha menyesuaikan diri. Tetapi aku tidak dapat melepaskan diri dari kedirianku sendiri."
"Ya. Aku menghargai kejujuranmu terhadap dirimu sendiri," sahut Raden Sutawijaya, "aku melihat bahwa kau masih berpijak pada satu sikap yang mapan. Sementara orang lain yang sama sekali tidak mempunyai kemampuan apapun berusaha dengan segala cara untuk menjadi seorang pemimpin hanya didorong oleh satu kerinduan terhadap satu keadaan, bahwa orang lain akan menghormatinya. Yang lain berusaha untuk mendapat kesempatan karena kedudukannya untuk memperoleh keuntungan bagi dirinya sendiri. Karena itulah, maka tidak jarang terjadi, bahwa kedudukan yang dianggap penting, telah diperebutkan dengan cara yang kadang-kadang kotor dan tidak pantas."
"Jika aku tidak merasa diriku sesuai Raden, bukan karena aku orang yang bersih dari segala macam keinginan dan nafsu keduniawian semacam itu. Tetapi semata-mata karena aku merasa, bahwa aku tidak akan dapat melakukannya dengan baik sebagaimana seharusnya," jawab Agung Sedayu.
"Aku mengerti," berkata Raden Sutawijaya, "justru orang yang menyadari keadaan dirinya yang demikian itu jarang sekali ditemui sekarang. Bukan saja di Pajang, tetapi di Mataram yang baru lahir itupun terdapat orang-orang yang memaksakan dirinya untuk mendapat satu kedudukan yang baik. Bahkan jika perlu dengan mengorbankan orang lain. Karena kedudukan akan sama artinya bagi mereka dengan kehormatan, keuntungan duniawi, dan kekuasaan."
Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Tetapi ia tidak menjawab.
"Karena itu aku hormati sikapmu Agung Sedayu," berkata Raden Sutawijaya, "meskipun dengan demikian aku harus memilih diantara calon-calon yang lain. Namun dalam pada itu, aku dan Ki Lurah Branjangan masih akan tetap minta bantuanmu. Orang-orang yang datang mendahului kawan-kawannya itu, yang akan membantu keberhasilan pembentukan pasukan khusus ini, masih harus ditingkatkan terus ilmunya sebagaimana yang dilakukan sebelum kawan-kawannya datang."
Agung Sedayu mengangguk-angguk. Katanya, "Aku akan membantu sejauh dapat aku lakukan Raden. Aku akan tetap merasa terikat oleh tugas-tugasku disini."
"Terima kasih Agung Sedayu," berkata Raden Sutawijaya, "aku mengerti sepenuhnya, karena kau mengalami kesulitan untuk menjadi pemimpin pada pasukan khusus ini. Bukan sebenarnyalah bahwa tidak setiap orang akan tepat berada disetiap tempat. Kau tentu akan lebih berhasil berada ditempat yang lebih sesuai dengan sifat-sifatmu itu."
Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Sekilas terbayang wajah Sekar Mirah yang kecewa. Namun baru saja ia mendengar, sebagaimana dikatakan oleh Raden Sutawijaya, kadang-kadang orang tidak menghiraukan dirinya sendiri dalam usaha untuk mendapatkan satu kedudukan yang baik.
"Apakah aku akan termasuk orang-orang yang demikian ?" bertanya Agung Sedayu kepada diri sendiri.
Namun dalam pada itu, ternyata Agung Sedayu berhasil menguasai dirinya sendiri dan bersikap jujur. Ia mengatakan keadaan dirinya yang ternyata juga dilihat oleh Ki Lurah Branjangan dan Raden Sutawijaya. Namun dalam pada itu, ternyata Raden Sutawijaya menjadi semakin hormat kepadanya. Satu sikap yang sukar dicari duanya pada masa yang sedang dibayangi oleh gejolak ketidak pastian itu.
Dalam pada itu, maka Ki Lurah Branjanganpun telah sampai pada persiapan terakhir. Tetapi Raden Sutawijaya tidak dapat menunggui barak itu terlalu lama. Karena itu, maka iapun segera kembali ke Mataram setelah memberikan beberapa pesan kepada Ki Lurah Branjangan.
Dalam waktu yang dekat, persiapanpun telah mendekati penyelesaiannya. Pendadaran demi pendadaran telah berlangsung untuk memilih orang yang tepat pada tataran-tataran tertentu.
Ternyata bahwa keputusan terakhir Ki Lurah Branjangan telah diterima dengan baik oleh anak-anak muda itu. Tidak seorangpun yang merasa di kecewakan. Yang berada ditataran yang lebih rendahpun merasa, bahwa kemampuannya memang tidak dapat menyamai mereka yang berada di tataran yang lebih tinggi.
"Sepuluh orang di tataran tertinggi dari pasukan khusus ini akan ditentukan oleh Raden Sutawijaya yang bergelar Senopati Ing Ngalaga," berkata Ki Lurah Branjangan kepada anak-anak muda itu. Kemudian, "dalam waktu dekat, mereka sudah akan berada diantara kalian. Sementara itu, kawan-kawan kalianpun akan berdatangan pula sehingga lengkaplah pasukan yang dibentuk ini. yang akan menjadi pasukan khusus yang pilih tanding."
Terasa jantung anak-anak muda itu telah mengembang. Mereka merasa bahwa mereka pada saatnya akan ikut bertanggung jawab, untuk menyusun masa depan dari tanah tercinta ini.
Dalam pada itu, serba sedikit merekapun telah mendapat penjelasan tentang keadaan yang sedang dihadapi oleh Mataram.
Dengan demikian maka anak-anak muda itu akan dapat berjalan dengan sadar. Mereka bukan sekedar alat yang tidak mengerti, apa yang sedang mereka lakukan.
Pada saat-saat terakhir, menjelang kedatangan anak-anak muda yang lain dari daerah-daerah yang telah menyatakan kesediaannya, maka anak-anak muda yang mendahului itu telah mendapat tempaan terakhir yang berat. Dengan demikian, maka merekapun menjadi semakin mantap untuk membantu memimpin pasukan khusus yang akan dibentuk.
Dalam pada itu, para pemimpin dari pasukan khusus yang akan dibentuk itupun telah dipersiapkan. Raden Sutawijaya dengan cermat sedang memilih sepuluh orang yang akan ditempatkan di Tanah Perdikan Menoreh.
Sementara itu, latihan-latihanpun seakan-akan tidak henti-hentinya telah dilakukan di dalam atau di luar barak.
Namun, selagi kegiatan itu semakin meningkat dan mencapai puncaknya pada saat-saat terakhir, maka orang-orang yang berada di dalam barak itu mulai merasa terganggu oleh sesuatu yang kurang jelas bagi mereka. Hampir setiap anak muda yang sedang bertugas pernah melihat seseorang yang melintas di depan barak itu di saat-saat lewat senja. Beberapa kali terdapat laporan tentang seseorang yang tidak dikenal yang seolah-olah tengah mengawasi barak itu. Bahkan demikian beraninya, atau justru karena orang itu tidak mengerti sama sekali, bahwa yang dilakukan itu selalu mendapat pengawasan.
"Kalian berhak untuk bertanya kepadanya," berkata Ki Lurah Branjangan.
Anak-anak muda itu mengangguk-angguk. Salah seorang diantara mereka berkata, "Apakah kami dapat menghentikannya, dan minta orang itu singgah digardu untuk dimintai keterangan?"
"Ya. Tentu," jawab Ki Lurah.
"Apakah hal ini tidak akan menyinggung perasaan orang-orang Tanah Perdikan, seandainya orang itu sama sekali tidak bermaksud buruk," bertanya anak muda itu.
"Kalian hanya minta keterangan daripadanya," jawab Ki Lurah, "kalian tidak menangkapnya apalagi menahannya."
Keterangan itu merupaka perintah bagi anak-anak muda yang bertugas. Seandainya orang itu lewat, maka orang itu dapat dipersilahkan untuk singgah di gardu untuk memberikan keterangan. Sehingga karena itulah, maka setiap anak muda yang bertugas, justru seolah-olah menunggu orang itu lewat.
"Sebentar lagi," desis seorang anak muda yang bertubuh kecil. Lalu, "Biasanya ia muncul dari semak-semak itu. Mungkin ia seorang petani yang mengerjakan pategalan dilereng itu."
"Memang mungkin menilik pakaiannya," jawab yang lain, "tetapi sikapnya kadang-kadang memang mengundang kecurigaan."
Anak muda yang bertubuh kecil itu mengangguk-angguk. Namun bersama kawan-kawannya yang bertugas mereka memang menunggu.
Sebenarnyalah seperti yang mereka duga. Sebentar kemudian, ketika langit menjadi buram, seseorang muncul dari balik gerumbul perdu, lewat jalan setapak melintas ke jalan didepan barak. Jalan yang jarang sekali dilalui orang kebanyakan, karena jalan itu adalah jalan yang khusus dibuat bagi kepentingan barak yang terpisah dari daerah padukuhan.
"Itulah," desis orang bertubuh kecil.
"Hentikan. Bertanyalah kepadanya atau ajak orang itu singgah sebentar digardu," berkata kawannya.
Orang bertubuh kecil itupun kemudian melangkah ketepi jalan. Ia balik berusaha agar orang dalam pakaian petani yang muncul dari balik gerumbul itu tidak menjadi curiga.
Namun demikian anak muda bertubuh kecil itu telah menarik perhatiannya. Langkahnya mulai tertgun-tegun. Bahkan kemudian orang itu berhenti.
Anak muda bertubuh kecil itupun menjadi semakin curiga. Dengan demikian maka ia tidak menunggunya lagi. Tetapi justru anak muda itu telah menyongsongnya dengan tergesa-gesa.
Orang yang termangu-mangu itu tidak sempat menghindar. Karena itu maka iapun segera berkisar menepi dan berhenti dengan gelisah.
"Siapa kau ?" bertanya anak muda bertubuh kecil itu dengan serta merta.
"Aku penghuni padukuhan kecil disebelah utara itu anak muda," jawab orang itu, "nampaknya anak muda belum banyak dikenal disini."
Anak muda itu termangu-mangu sejenak. Dipandanginya orang itu dengan saksama. Meskipun langit menjadi semakin gelap, tetapi ia masih sempat mengamati wajah orang itu.
"Aku belum pernah mengenalmu," berkata anak muda bertubuh kecil itu.
"Aku seorang petani kecil di padukuhan sebelah Utara itu anak muda. Pada saat seperti ini, aku berangkat kesungai kecil disebelah untuk mencari ikan. Disungai kecil yang berlumpur itu banyak terdapat ikan lele yang besar-besar," berkata orang itu.
"Kau pencari ikan ?" bertanya anak muda bertubuh kecil itu.
"Ya anak muda. Untuk menambah penghasilan sebagai petani kecil," jawab orang itu.
"Tetapi aku belum pernah melihatmu Ki Sanak," berkata anak muda itu, "nampaknya kau keliru. Aku penghuni barak itu memang. Tetapi aku berasal dari Tanah Perdikan ini."
Orang itu nampak terkejut. Setapak ia bergeser surut.
"Berkatalah terus terang," desak anak muda itu, "jangan menyebut lagi padukuhan disebelah Utara itu. Aku kenal kepada setiap orang di Tanah Perdikan ini. Setidak-tidaknya aku mengetahuinya."
Orang itu terdiam sejenak. Namun kemudian ia berkata, "Tanah Perdikan ini tidak terlalu sempit seperti sebuah Kademangan. Tidak semua orang di Tanah Perdikan ini saling mengenal. Apalagi orang-orang yang tataran umurnya jauh berbeda. Ternyata aku tidak mengenalmu anak muda, dan kau juga tidak mengenal aku."
Anak muda itu termangu-mangu sejenak. Kecurigaannya menjadi semakin tajam terhadap orang itu. Meskipun orang itu menyebut perbedaan umur, tetapi nampaknya orang itupun bukan orang tua.
Karena itu, maka katanya, "Baiklah Ki Sanak. Siapapun Ki Sanak, aku persilahkan Ki Sanak singgah barang sebentar di barak kami. Ada beberapa orang anak muda dari Tanah Perdikan Menoreh. Mungkin satu dua diantara mereka dapat mengenal Ki Sanak, seandainya aku belum mengenalmu."
"Ah," berkata orang itu, "aku masih mempunyai banyak pekerjaan. Aku harus memasang icir. Kemudian memasang beberapa kail dan jika saatnya datang, aku harus menutup pliritan di sungai kecil itu."
"Aku juga sering mencari ikan. Aku juga sering mengail dan memasang icir pada pliridan. Tetapi waktunya masih cukup jika kau hanya singgah barang sejenak." ajak anak muda bertubuh kecil itu.
"Terima kasih," jawab orang berpakaian petani itu.
"Tetapi aku akan langsung pergi ke sungai saja."
"Baiklah aku berterus terang Ki Sanak. Kami mencurigaimu. Karena itu, kami memaksamu untuk singgah." anak muda itu mulai kehilangan kesabaran.
"Ah," desis orang itu," jangan begitu anak muda. Ki Gede Menoreh telah berbaik hati memberikan tempat bagi kalian. Bagi pasukan khusus yang akan di bentuk. Tetapi penghuni barak ini jangan berbuat sewenang-wenang dengan mencurigai dan menangkap orang-orang yang tidak disukai. Coba katakan anak muda, apa salahku ?"
"Kau memang tidak bersalah Ki Sanak," jawab anak muda itu, "sudah aku katakan. Aku dan beberapa orang kawan menjadi curiga atas sikapmu. Karena itu aku mencoba berbuat sebaik-baiknya dengan mempersilahkan kau singgah. Segalanya akan dapat diselesaikan dengan baik, dan sama sekali bukan satu tindak sewenang-wenang. Tetapi karena kau tidak memilih cara itu, maka aku terpaksa menunjukkan cara yang lain."
"Ah, aku keberatan anak muda," sahut orang itu.
"Maaf Ki Sanak. Jika demikian, aku harus memaksamu," berkata anak muda itu.
Orang itu termangu-mangu sejenak. Namun tiba-tiba saja ia bergeser surut dan bahkan berusaha menghindar dengan meloncat kedalam gerumbul dan berusaha lari.
Tetapi anak muda itu cukup tangkas. Dengan serta merta, iapun telah meloncat pula mengejarnya.
Beberapa orang kawannya yang menunggu didepan regol halaman barak mereka melihat apa yang terjadi. Karena itu, maka merekapun segera berlari-larian mendekat. Hanya seorang saja diantara mereka yang tetap berada diregol untuk berjaga-jaga.
Untuk beberapa saat anak anak muda itu saling bekejaran diantara semak-semak. Senja menjadi semakin gelap sehingga pandangan mereka menjadi semakin kabur.
Dalam pada itu, ternyata anak-anak muda itu tidak segera dapat menemukan orang yang mereka cari. Anak muda yang bertubuh kecil itu menjadi bingung. Ketika ia melihat kawan-kawannya membantunya maka katanya, "Ia tentu masih berada ditempat ini."
"Ya. Kamipun melihat, baru saja ia meloncat berlari," jawab kawannya.
Untuk beberapa saat mereka masih tetap mencari. Mereka memutari semak-semak yang tidak begitu lebat. Namun mereka tidak menemukannya. Semakin lama mereka bergeser semakin jauh dari halaman barak mereka. Tetapi jejaknyapun tidak dapat mereka ketemukan didalam suramnya ujung malam.
Namun dalam pada itu, selagi beberapa orang pengawal sibuk mencari orang yang mengaku bertempat tinggal di padukuhan sebelah Utara itu, seorang kawannya yang mereka tinggalkan di regol terkejut ketika tiba-tiba saja seseorang meloncat dari dalam semak-semak diseberang jalan didepan barak itu.
Dengan tenang orang itu mendekatinya sambil bertanya, seolah-olah tidak ada persoalan apapun juga, "Kau bertugas sendiri disini anak muda ?"
Anak muda itu termangu-mangu. Namun diluar sadarnya iapun menjawab, "Ada beberapa orang kawanku yang bertugas malam ini."
"O," orang itu mengangguk-angguk, "dimana mereka sekarang ?"
Anak muda itu termangu-mangu. Menurut pengamatannya, meskipun tidak begitu jelas, orang itu adalah orang yang sedang dicari oleh kawan-kawannya. Namun kawan-kawannya yang kemudian hilang dibalik gerumbul itu masih belum kembali, sementara orang itu telah datang dengan sendirinya ke regol halaman.
Anak muda itu tidak segera dapat menentukan sikap. Sementara itu, orang itupun bertanya dengan tenangnya, "Apakah kawan-kawanmu yang tidak sedang bertugas berada di dalam barak itu ?"
"Ya. Mereka ada didalam barak. Sebagian dari mereka sedang berlatih. Yang lain menekuni olah kajiwan," jawab anak muda itu.
"Apakah mereka juga belajar mengenali isi kitab " Apakah kitab yang berisi ilmu, berisi kisah, atau babad dan kidung pepujian ?" bertanya orang itu.
"Tentu. Ada beberapa kitab di dalam barak ini," jawab anak muda itu, "kami mendapat kesempatan untuk mengenal masa lampau, dongeng kepahlawanan dan kidung pepujian."
"Bagus," jawab orang itu, "dengan demikian pandangan hidup kalian menjadi luas. Bagaimana dengan pemeliharaan segi rohaniah kalian ?"
Anak muda itu mengerutkan keningnya. Tiba-tiba saja ia membentak, "Siapa kau he ?"
Orang itu tertegun sejenak. Lalu katanya," jangan hiraukan aku."
"He, bukankah kau orang yang dicari oleh kawan-kawanku itu ?"
"O. Mungkin. Ya, mereka mungkin sedang mencari aku. Tetapi biarlah. Mereka nanti akan mengetahui bahwa aku ada disini," jawab orang itu.
Anak muda itu menjadi termangu-mangu. Sejenak ia memandang kearah kawan-kawannya menghilang dibalik semak-semak untuk mencari orang yang bersembunyi didalamnya. Namun ternyata orang itu telah datang kepadanya, seolah-olah tidak ada persoalan tentang dirinya.
Namun anak muda itupun kemudian berkata, "Ki Sanak. Kawan-kawanku sedang mencari Ki Sanak. Sekarang Ki Sanak ada disini. Aku harap Ki Sanak tidak meninggalkan regol ini."
"Ah. Jangan begitu. Aku merasa kasihan melihat kau bertugas seorang diri menjelang malam di regol ini. Karena itu untuk sementara sebelum kawan-kawanmu datang, aku menemanimu untuk sekedar berbincang-bincang," jawab orang itu.
"Aku tahu bahwa kau bukan orang kebanyakan karena sikapmu itu," berkata anak muda yang berada diregol, "karena itu kecurigaan kami selama ini tentu beralasan."
"Maaf anak muda," jawab orang itu, "aku adalah seorang pencari ikan disamping seorang petani kecil di padukuhan disebelah Utara itu. Karena itu, aku tentu akan segera pergi ke sungai disebelah. Sungai kecil itu ternyata menyimpan ikan cukup banyak. Aku sudah menyimpan icir di rumpun-rumpun pring ori dipinggir kali itu. Sambil menunggui pliridan aku mengail. Hasilnya cukup untuk lauk pauk sehari penuh. Bahkan kadang-kadang aku dapat menjualnya ke pasar."
"Cukup Ki Sanak," potong anak muda itu, "silahkan masuk ke dalam. Aku persilahkan Ki Sanak duduk di gardu itu."
"Ah, aku mohon maaf. Sebaiknya anak muda jangan memaksa aku," berkata orang itu.
"Kau akan melawan ?" bertanya anak muda itu.
"Tentu tidak. Bukankah kalian adalah anak-anak muda yang telah dipersiapkan untuk menjadi anggauta pasukan khusus dan bahkan menjadi pemimpin pada tataran tertentu," jawab orang itu.
"Darimana kau tahu ?" bertanya anak muda itu.
"Semua orang di Tanah Perdikan Menoreh mengetahuinya. Apakah itu aneh " He, apakah anak muda yang bertubuh kecil, yang pertama-tama datang kepadaku itu benar-benar anak muda dari Tanah Perdikan Menoreh ?"bertanya orang itu.
"Ya," jawab anak muda diregol itu.
"O. Apakah masih ada yang lain. Maksudku anak-anak muda dari Tanah Perdikan Menoreh?" bertanya orang itu pula.
"Ya. Ada beberapa," jawab anak muda itu. Namun tiba-tiba ia sadar dan berkata lantang, "Cukup. Aku persilahkan kau masuk kedalam halaman barak kami. Ada beberapa hal yang harus kita bicarakan."
"Tidak anak muda. Aku sudah mengatakan bahwa aku akan mencari ikan," jawab orang itu.
"Maaf. Jika perlu aku akan memaksamu," berkata anak muda itu, "kau akan melawan ?"
"Tidak. Tidak. Sudah aku katakan tidak. Tetapi akupun tidak dapat singgah di barak ini, karena aku harus bekerja mencari lauk bagi anak -anakku besok. Mungkin aku akan menjualnya dan menukarkannya dengan garam, gula dan bumbu-bumbu yang lain, sementara isteriku dapat memetik dedaunan sebagai selingan."
Tetapi anak muda itu menggeram. Katanya, "jangan menganggap aku anak-anak yang baru pandai merengek Ki Sanak. Aku tahu, menilik sikapmu, kau tentu seseorang yang mempunyai niat tertentu dan merasa dirimu berilmu tangguh. Adalah gila jika seseorang yag melarikan diri dari kejaran beberapa orang kemudian datang dengan tenangnya menemui aku."
"Baiklah. Baiklah aku pergi saja," berkata orang itu.
"Tidak. Aku akan menangkapmu," berkata anak muda itu.
"Aku tidak akan melawan. Tetapi aku akan lari lagi kedalam semak-semak itu," jawabnya.
"Kau kira aku tidak akan dapat mengejarmu," desis anak muda yang mulai kehilangan kesabaran itu.
"Dan kau tinggalkan barak ini begitu saja " He, anak muda. Jangan sekali-sekali berbuat demikian. Jika kau mengejar aku dan kau tinggalkan regol ini, maka dapat terjadi banyak hal diluar kehendakmu. Mungkin sekali aku membawa beberapa orang kawan. Mereka akan masuk dengan leluasa, jika kau tinggalkan regol ini, sehingga mereka akan dapat mengganggu ketenangan kawan-kawanmu didalam."
Anak muda itu tidak ingin berbicara lagi. Tetapi ia sadar, bahwa ia harus berhati-hati menghadapi orang yang nampaknya di selimuti oleh rahasia yang belum terpecahkan.
Karena itu, maka iapun maju selangkah sambil berkata, "Aku akan memaksamu. Aku tahu, kau memiliki kelebihan. Tetapi aku sedang menjalankan tugas."
Tetapi orang itu beringsut surut. Jika selangkah anak muda itu maju, maka selangkah pulalah ia mundur.
Akhirnya dengan tiba-tiba saja anak muda itu telah meloncat dengan kecepatan yang tinggi menggapai tubuh orang itu untuk menyekapnya. Namun anak muda itu terkejut. Ia sama sekali tidak menyentuh orang itu, yang nampaknya tidak bergerak sama sekali.
"Nah, bukankah kau dengan sengaja ingin menunjukkan bahwa kau adalah seorang yang pilih tanding " Orang yang dapat menunjukkan ilmu yang barangkah sulit untuk digapai dengan nalar " " geram anak muda itu.
"Kau cerdik anak muda," berkata orang itu, "tetapi bukankah kau salah seorang yang akan menjadi pemimpin dari pasukan khusus yang akan terbentuk nanti " Dengan melihat kemampuanmu, bukankah aku akan dapat mengukur kemampuan pasukan khusus itu nanti."
Anak muda itu mengangguk-angguk. Katanya, "Bagus. Dan aku akan menganggap bahwa pasukan ini tidak mempunyai arti apa-apa" Ki Sanak. Jika kau utusan atau petugas sandi dari manapun juga, tentu kau adalah orang pilihan. Seandainya kau salah seorang petugas dari pasukan khusus yang terbentuk di Pajang, maka aku yakin dan pasti, tidak semua orang didalam pasukan khusus itu yang memiliki kemampuan setinggi kemampuanmu itu."
Orang itu menarik nafas dalam-dalam. Sambil mengangguk-angguk ia berkata, "Kau benar anak muda. Namun demikian, aku tetap tidak akan bersedia singgah di barakmu."
Anak muda itu memandangi orang aneh itu dengan saksama. Ia sadar bahwa orang itu adalah yang memiliki ilmu yang tinggi. Meskipun demikian, ia tidak akan membiarkan orang itu pergi.
Karena itu, maka ia berusaha untuk menahan orang itu agar tidak segera meninggalkannya, sementara kawan-kawannya akan segera kembali. Dengan demikian maka ia berharap untuk dapat berbuat sesuatu atas orang itu.
Dengan nada datar maka iapun kemudian berkata, "Ki Sanak. Apakah sebenarnya keberatanmu untuk singgah barang sejenak ?"
"Aku akan kemalaman. Ikan lele di sungai itu sudah terlanjur keluar dari sarangnya, sehingga aku tidak akan dapat menjebaknya kedalam pliridanku," jawab orang itu.
"Kenapa kau masih juga menjawab seperti itu " Kau tahu, aku bukan anak-anak lagi. Kau tahu, bahwa aku mengerti tentang kau. Kau bukan pencari ikan dari padukuhan di sebelah Utara itu," jawab anak muda itu.
Orang itu tersenyum. Katanya, "Jika demikian, kaupun tahu kenapa aku tidak mau singgah."
Anak muda itu mengangguk-angguk. Ia masih mengajukan beberapa pertanyaan lagi untuk menahan agar orang itu tidak meninggalkannya.
Namun anak muda itu terkejut ketika tiba-tiba saja orang itu berkata, "Nah, bukankah usahamu untuk tetap menahan aku disini berhasil. Kau lihat, kawan-kawanmu telah datang " Mereka memang mencari aku, tetapi aku disini."
"Kau keliru," anak muda itu mencoba mengelak, "aku sama sekali tidak ingin menahanmu, aku benar-benar ingin tahu beberapa hal tentang dirimu."
Orang itu tertawa. Katanya, "Sudahlah. Aku minta diri. Mereka tentu akan mengejar aku lagi. Tetapi ingat, regol ini jangan ditinggalkan begitu saja."
"Tidak," anak muda itu menjawab, "akan ada orang yang menjaganya. Tetapi jangan pergi."
Anak muda itu meloncat mendekat. Sekali lagi ia berusaha untuk menggapai orang itu. Sekali lagi ia tidak menyentuhnya.
Namun anak muda itu tidak membiarkannya. Sementara kawan-kawannya tentu sudah melihatnya. Meskipun malam menjadi semakin gelap, tetapi jarak kawan-kawannya menjadi semakin pendek, sementara obor di regol membantu menerangi jalan yang melintas didepan.
Anak muda itupun kemudian meloncat, berusaha untuk berdiri diseberang orang itu, sementara kawan-kawannya memang sudah melihatnya.
"Mereka telah datang," desis anak muda yang berada di regol itu.
"Mereka tidak akan dapat menangkap aku," desisnya.
Sebenarnyalah, ketika anak-anak muda itu berlari-larian mendekat, maka orang itu tidak berusaha untuk melarikan diri lewat jalan didepan regol itu. Tetapi sekali lagi ia meloncat kedalam semak-semak.
Anak muda yang berdiri beberapa langkah dari padanya itupun segera mengejarnya. Ketika tangannya terjulur, hampir saja ia berhasil menyentuh bajunya. Tetapi orang itu sempat meloncat dan berlari lebih cepat menyelinap kedalam semak-semak.
Kawan-kawannya yang lain, yang melihatnya segera memburunya pula. Sekali lagi mereka berusaha mengepung tempat itu. Anak muda yang semula tinggal diregol itu terdengar berteriak, "Disini. Orang itu berada disini."
Yang lainpun segera menghambur mendekat. Mereka mengepung tempat yang ditunjuk oleh anak muda itu. Namun ternyata mereka sekali lagi menjadi kecewa. Orang itu tidak dapat mereka ketemukan didalam gerumbul yang ditunjuk oleh anak muda itu.
"Anak setan," geram anak muda itu.
Namun tiba-tiba kawannya menyahut, "He, apakah benar orang itu anak setan, atau jin atau sebangsanya ?"
Tidak seorangpun menjawab. Namun merekapun dengan diam-diam telah meninggalkan tempat itu dan dengan tergesa-gesa pergi keregol.
Di regol, anak-anak muda itupun sibuk memperbincangkannya. Seorang kawannya yang mengejar sejak semula bertanya, "Bagaimana mungkin ia berada diregol ini ?"
"Aku tidak tahu," jawab anak muda yang berada di regol. "tiba-tiba saja ia datang mendekati aku."
"Gila," desis anak muda bertubuh kecil dari Tanah Perdikan Menoreh, "Orang itu sengaja mempermainkan kita."
"Apakah ia benar-benar orang seperti kita " Atau barangkali mahluk lain dari lereng bukit itu?" bertanya seorang anak muda yang lain.
Tidak seorangpun yang menjawab. Namun anak muda dari Tanah Perdikan Menoreh itu berkata, "Kita wajib melaporkannya."
Dua diantara anak-anak muda itupun kemudian menghadap Ki Lurah Branjangan yang memang tinggal didalam regol itu. Dengan urut dan terperinci dilaporkannya tentang orang yang aneh dan menumbuhkan teka-teki itu.
"Aku lebih condong menganggapnya seorang yang memiliki ilmu yang tingggi daripada sesosok hantu atau sebangsanya," berkata Ki Lurah Branjangan. Lalu, "Aku akan berbicara dengan Agung Sedayu. Menurut pengamatanku dan dengan jujur aku mengakui, ia adalah orang yang memiliki ilmu terbaik disini, selain Ki Gede Menoreh dan Ki Waskita. Tetapi yang paling banyak berbuat bagi kita adalah Agung Sedayu itulah."
Anak-anak muda itupun mengangguk-angguk. Salah seorang berdesis, "Ya. Mudah-mudahan teka-teki ini segera dapat dipecahkan. Tetapi mungkin orang itu tidak akan lewat lagi didepan regol."
"Belum pasti. Besok aku dan Agung Sedayu akan berada diregol. Mudah-mudahan orang itu masih akan lewat," berkata Ki Lurah Branjangan.
"Mudah-mudahan," jawab yang lain, "kami akan bersama-sama menunggu."
Demikianlah maka orang yang di selubungi rahasia itu telah membuat ketegangan tersebut. Malam itu, maka anak-anak muda didalam barak itu telah membicarakannya dengan alat pandangannya masing-masing. Namun diantara mereka ada juga yang menganggap bahwa yang rela mengganggu mereka itu adalah hantu lereng bukit, karena menurut pendengaran mereka, bukit Menoreh masih banyak dihuni oleh mahluk halus dan sebangsanya.
Tetapi pendapat itu sama sekali tidak mempengaruhi pendapat Ki Lurah Branjangan. Ia menganggap bahwa orang itu telah sengaja dikirim oleh orang-orang Pajang untuk melihat tingkah kemampuan anak-anak muda yang berada di dalam barak itu, dan sekaligus mengganggu mereka untuk menunjukkan, bahwa mereka mempunyai orang-orang yang berilmu tinggi.
Karena pandangan yang berbeda-beda itulah, maka anak-anak muda itu tidak habis-habisnya memperbincangkannya. Sehingga dengan demikian maka hampir semalam suntuk mereka tidak berbaring dipembaringan. Bahkan di regol di depan barak itu telah berkumpul beberapa orang yang seharusnya tidak bertugas. Tetapi mereka telah mengadakan persiapan khusus untuk menghadapi persoalan yang kurang jelas bagi mereka.
Dalam pada itu, ketika matahari terbit di hari berikutnya, maka Ki Lurah Branjangan telah menunggu kehadiran Agung Sedayu, yang semalam tidak berada di barak, tetapi berada di rumah Ki Gede Menoreh.
DemikianAgung Sedayu datang, maka seorang anak muda telah mendapatkannya dan berkata, "Ki Lurah Branjangan telah menunggu."
Agung Sedayu mengerutkan keningnya. Dengan ragu-ragu ia bertanya, "Apa ada sesuatu yang penting ?"
"Ya. Ki Lurah akan menyampaikan sesuatu yang kami anggap penting. Silahkan," jawab anak muda itu.
Agung Sedayupun kemudian mendapatkan Ki Lurah didalam biliknya. Sebenarnyalah, kedatangan Agung Sedayu telah disambutnya dengan sikap yang gelisah.
"Silahkan. Ada sesuatu yang ingin aku sampaikan," berkata Ki Lurah Branjangan.
Agung Sedayupun kemudian duduk dihadapan Ki Lurah Branjangan, yang kemudian menceriterakan apa yang telah terjadi di barak itu sesuai dengan laporan yang telah disampaikan oleh para petugas yang mengalami langsung peristiwa yang mendebarkan itu.
AgungSedayu mengerutkan keningnya. Dengan nada datar ia bertanya, "Tidak ada ciri-ciri yang dapat disebutkan pada orang itu?"
Raja Pedang 9 Pendekar Mabuk 044 Pusaka Bernyawa Pendekar Kidal 22

Cari Blog Ini