Ceritasilat Novel Online

Perebutan Patung Kalingga 1

Si Tolol 4 Perebutan Patung Dewi Kalingga Bagian 1


PEREBUTAN PATUNG
DEWI KALINGGA Oleh Djair Warni
Alih Versi : Danny Situmeang
Cetakan Pertama, 1991
Penerbit Rosita, Jakarta
Setting Oleh : Tryas Typesetting
Hak Cipta Pada Penerbit
Dilarang Mengutip atau Mengcopy
Sebagian atau Seluruh Isi Buku Ini
Tanpa Izin Tertulis dari Penerbit
Djair Warni Serial Si Tolol
Dalam Episode :
Perebutan Patung Dewi Kalingga
http://duniaabukeisel.blogspot.com
1 TEMPAT itu terasa sangat asing. Padang
tandus tanpa rumput apalagi pohon. Tetapi bukan padang pasir, melainkan dataran
tanah liat keras. Di beberapa tempat ada kayu-kayu tua dipancangkan, mirip
pepohonan yang mati kekeringan. Dan
agaknya yang ada di tempat itu hanya
benda-benda mati. Tak ada tanda-tanda
kehidupan. Sejauh-jauh mata memandang ke segala penjuru tak terlihat adanya
ujung padang tandus itu. Mungkin karena batasnya beratus-ratus atau bahkan
beribu-ribu kilometer, atau lantaran tertutup oleh
debu serta mega-mega.
Apa nama gurun itu dan di sebelah mana
adanya serta bagaimana pula terjadinya, tak seorang pun tahu. Dan bagaimana pula
bisa terjadi, si Tolol tiba-tiba saja
berada di tempat itu. Jangankan orang lain, si Tolol sendiri tidak tahu.
Entahlah ada yang melemparkannya beberapa saat lalu
ketika ia sedang dalam keadaan tak sadarkan diri.
Si Tolol berusaha keras memutar otak
untuk mengingat-ingat di mana sebenarnya ia berada dan sedang apa sebelum
dilemparkan ke tempat yang sangat asing baginya. Tetapi ia tak bisa ingat apaapa bahkan semakin ia berusaha
mengingat-ingat, pikirannya terasa
semakin kalut. Hampir saja si Tolol menangis karena
ketakutan atau mengira dirinya telah
berada di dunia lain. Tetapi ia belum mau putus asa. Sebab siapa tahu nanti ia
bisa dapat mencari jalan keluar. Maka ia pun berjalan lurus ke depan dengan
harapan bisa segera mengetahui rahasia padang tandus itu sekaligus dapat
menyelamatkan diri.
Kalau ia masih berada di sana dalam jangka waktu yang lama, ia tentu akan mati
kelaparan. "Entah tempat apa gerangan ini," kata hati si Tolol sambil terus melangkah.
Hampir setengah harian ia berjalan lurus ke depan, namun tak terlihat adanya
tanda-tanda bahwa ia akan bisa keluar dari padang tandus yang sangat luas itu.
Si Tolol semakin iemas, langkah
kakinya mulai gontai. Hal itu membuat
lelaki itu mulai putus asa, karena agaknya jika tidak ada pertolongan, ia akan
menemui ajalnya di Sana. Alangkah ngerinya, ia mati tanpa diketahui orang lain!
Sekonyong-konyong lelaki berkepala
botak licin itu merasa tubuhnya ringan
sekali, bahkan makin lama terasa berat
badannya mulai hilang. Kakinya
kadang-kadang terangkat, seolah-olah di tempat itu tidak ada lagi daya tarik
bumi. Tak terkatakan betapa kagetnya si Tolol. Ia berusaha menekan tubuhnya agar tetap
bisa berjalan seperti biasa, namun segala
usahanya sia-sia belaka.
Dan tiba-tiba si Tolol menjerit
panjang, karena tubuhnya melayang
seolah-olah ditarik makhluk yang tak
kelihatan terbang sampai ke angkasa. Si Tolol hampir tak bisa bernafas saking
cepatnya tubuhnya meluncur, makin ke atas dan makin ke atas. Ketinggiannya
sekarang pastiiah sudah berada di luar pemikiran orang-orang desanya di
Sumedang. Tatkala nafas si Tolol hampir putus,
tubuhnya tidak melesat lagi ke atas,
melainkan mulai melayang-layang bagaikan burung nuri terbang di angkasa.
Dari situlah si Tolol melihat ke bawah
dan menyaksikan bahwa bumi ini sebenarnya bulat bentuknya, seperti bola! Itu
merupakan suatu pemandangan yang luar
biasa bagi si Tolol. Karena selamat ini yang ia tahu dan ia yakini, bumi ini
datar adanya, tapi di manakah gerangan ujungnya, ia sendiri tak pernah tahu
bahkan memikirkannya pun tidak.
Dunia ini ternyata bulat seperti bola,
kata hati si Tolol berulang-ulang, kalau saja... si Tolol tidak sempat lagi
meneruskan pikir-nnya, karena mendadak tubuhnya terhempas jatuh. Makin lama
makin dekat ke dunia ini, sehingga akhirnya
bentuk bulat seperti bola itu perlahan
menghilang. "Tolong...!" si Tolol menjerit panjang. Sekujur tubuhnya basah oleh
keringat dingin yang membanjir karena rasa takut yang sangat mengerikan. Tiada
lagi harapan baginya untuk bisa selama jika
tubuhnya terhempas ke bumi. Mungkin
tubuhnya akan hancur lebur atau tinggal keping-keping daging serta tulang
belulang yang sangat halus. Sekali lagi si Toloi menjerit. Tetapi sebelum suara
jeritannya terhenti, tubuhnya telah terhempas ke
tanah. "Mati aku," kata si Tolol pasrah.
Tetapi tubuhnya tidak apa-apa, tidak
hancur lebur seperti yang diperkirakannya tadi. Bahkan ia pun tidak merasa
sakit. Hanya kedua matanya saja yang terasa silau.
Perlahan-lahan, pemuda itu membuka
matanya. Ternyata ia duduk bersandar pada batang pohon rindang, sementara
sekitar sepuluh anak kecil mengerumuninya sambil tertawa tergelak-gelak.
Sadarlah si Tolol bahwa ia hanya bermimpi. Rupanya karena kelelahan tadi, ia
tertidur pulas di bawah pohon rindang dan bermimpi sesuatu yang menurutnya
sangat aneh sekaligus
mengerikan. "Ha-ha-ha, orang botak ini
teriak-teriak minta tolong tadi. Ia
seperti orang sinting," ujar salah seorang di antara anak kecil yang mengerumuni
si Tolol. "Hei, hati-hati! Dia itu rajanya
tuyul," sambung yang lainnya dengan nada mencemoohkan si Tolol.
"Hai, jangan ditarik-tarik!" teriak si Tolol.
"Welah, iki arit kanggo opo to, kang"
Arit elek koyo ngene kok digowo-gowo?" ejek yang satunya lagi sambil menariknarik arit yang terselip di pinggang si Tolol.
"Lucu, kalau lagi marah dia mirip
badut. Coba lihat matanya, melotot seperti mata jengkol," kata si Gimin.
Si Tolol tidak tersinggung, karena
pikirannya tertarik pada buah manggis yang dipegang si Gimin. Buah itu
sepertinya berkaitan dengan mimpinya barusan. Dan itu bisa dijadikan sebagai contoh
membuktikan sebuah ide yang timbul dalam benaknya
setelah bermimpi.
"Hei, apa yang kau pegang itu" Lihat sebentar. Itu buah manggis, bukan" Pinjam
sebentar, aku ingin menunjukkan sesuatu kepada kalian."
"Jangan mau, Gimin! Dia pasti ingin menipu karena sangat kelaparan."
"Berani sumpah, aku cuma mau pinjam sebentar. Aku ingin menunjukkan sesuatu
kepada kalian. Percayalah, aku tidak
bermaksud menipu."
"Benar, ya" Awas kalau kau coba-coba menggarotnya. Kami akan mengeroyokmu
hingga mampus!"
Setelah si Tolol memegang buah manggis
itu, ia berkata:
"Nah, sekarang kalian dengarkanlah.
Bumi yang kita tinggali ini bentuknya
bundar seperti buah manggis ini."
"Bohong!"
"Huh, dasar kepala botak. Isi kepalamu rupanya tai kerbo. Kau macam-macam saja
ngomong. Bapakku saja sudah bilang, dunia ini datar kayak tampah."
"Ah, sudahlah," teriak anak lainnya,
"Dia itu cuma ingin menipu saja. Dia pura-pura bicara yang aneh-aneh agar bisa
memiliki buah manggis itu. Hei, botak!
Sekarang kembalikan manggis si Gimin!"
"Tunggu! Sabar sebentar! Ini ada
sebatang lidi. Aku akan menunjukkan
sesuatu pada kalian. Kalau manggis ini
diumpamakan sebagai dunia. kita bisa
menusuknya hingga tembus. Maaf, ya!
Ditusuk dulu manggisnya biar lebih jelas."
Si Tolol menusuk manggis itu dengan
sebatang lidi sehingga dari ujung yang satu ke ujuhg lainnya.
"Hei, manggisku nanti tak bisa dimakan lagi!" teriak Gimin dengan wajah merah
padam. "Jangan marah dulu! Percayalah, kalau kalian sudah mengetahui rahasia bumi ini,
kalian pasti tidak akan menyesal karena manggis ini kutusuk dengan lidi.
Umpamakan kita sekarang berada di ujung yang satu ini, sedang di ujung lainnya
pasti ada orang lain. Kalau misalnya kita menggali tanah dari sini terus saja ke dalam
bumi, kita pasti sampai ke tanah seberang. Di seberang saja banyak sekali bendabenda yang belum pernah kalian lihat selama ini."
"Ah, si botak pembohong busuk!"
"Dengarkan bajk-baik. Aku tidak
memaksa kalian percaya. Tetapi kalau
kalian sudah lihat semua yang ada di negeri seberang sana, kalian pasti kagum.
Lain sekali dengan apa yang pernah kalian lihat di sini."
"Tukang bohong!" teriak anak-anak itu sambil menjitak kepala si Tolol yang
botak. Dua orang di antaranya malah menarik-narik daun telinganya, sehingga pemuda itu
kesakitan. "Tunggu! Tunggu! Kalau kalian tidak percaya, akan kubuktikan sekarang. Aku
akan menggali bumi hingga tembus ke
seberang."
"Dasar orang tolol. Kembalikan
manggisku!" teriak Gimin, lalu merampas manggis itu kembali dari jangan si
Tolol. "Kalau kalian tidak percaya, aku akan pergi sendiri," kata si Tolol sambil
melangkah ke sebuah dataran di kaki gunung Muria, cukup jauh dari pasar Jepara.
Kebanyakan dari anak-anak itu
menertawakan si Tolol, lalu pulang ke
rumahnya masing-masing. Tetapi empat anak lainnya rupanya tertarik juga dan
ingin mengetahui apa yang hendak dilakukan si Tolol mereka membuntuti si Tolol
sambil berbisik- bisik.
*** 2 Gunung Muria termasuk gunung yang
tidak terlalu tinggi di bandingkan gunung lainnya di daerah Jawa bagian Tengah.
Namun di bagian puncak dan tengah, hutannya cukup lebat. Di lereng gunung itu
terdapat dataran-dataran kecil yang umumnya
digunakan penduduk untuk menggembalakan hewan ternak. Di gunung itu banyak
tumbuh pohon jati, yang sering digunakan penduduk sebagai bahan ukur-ukiran.
Itulah yang kemudian membuat kota Jepara sangat
terkenal dengan hasil kerajinan ukirannya.
Si Tolol sudah sampai di salah satu
dataran kecil di lereng gunung Muria.
Tempat itu sangat sepi, karena sudah sangat jauh dari kota Jepara. Si Tolol
berhenti di dekat sebuah pohon besar yang rindang.
"Di sini!" teriaknya sambil menunjuk tanah di hadapannya. "Aku akan menggali
tanah dari sini hingga nanti tembus ke negeri seberang!"
Tanpa perduli akan kehadiran keempat
anak itu, si Tolol mulai menggali tanah dengan menggunakan aritnya. Merupakan
suatu kebetulan saja, tanah di sekitar tempat itu sangat gembur sehingga mudah
digali. Di samping itu, si Tolol memiliki tenaga yang sangat kuat. Dalam waktu
yang relatif singkat, ia sudah dapat menggali tanah sedalam tinggi tubuhnya.
"Kau percaya, Curis?" tanya anak-anak yang sejak tadi mengawasi pekerjaan si
Tolol. "Ah, tidak mungkin. Tapi kerjanya
cepat sekali, ya?"
Menjelang matahari condong ke arah
Barat, lubang itu sudah mencapai dua meter lebih. Si Tolol masuk ke dalamnya dan
melemparkan tanah yang digalinya ke atas.
Tampaknya sungguh merupakan suatu
pekerjaan yang sangat bodoh dan tak ada gunanya. Menggali tanah dengan cara
seperti itu hampir sama artinya dengan bunuh diri. Seharusnya ada orang lain
yang membantu si Tolol dari atas dengan cara menarik keranjang tanah galian dengan
tali. Akhirnya keempat anak-anak yang sejak
tadi berada di lereng gunung itu merasa bosan juga. Mereka akhirnya sepakat
pulang membiarkan si Tolol bekerja sendirian di dalam lubang yang digalinya itu.
"Biarlah besok pagi saja kita balik lagi ke sini," kata si Gimin.
Si Tolol meneruskan pekerjaannya,
menggali dan terus menggali tanah.
Perlahan-lahan, lubang itu pun makin
dalam. Agaknya lelaki yang dijuluki si
Tolol itu tidak akan mau berhenti. Buktinya sekujur tubuhnya sudah dibanjiri
keringat, tetapi ia terus mengerahkan sisa-sisa
tenaganya. Bagi orang lain, pekerjaan si Tolol itu pastilah dianggap pekerjaan gila.
Menggali tanah dengan maksud membuat lubang
menembus bumi dari satu sisi ke sisi di seberangnya.
Akan tetapi bukan si Tolol lagi namanya kalau sikap dan perbuatannya hanya yang
wajar-wajar saja. Sejak dulu, ia memang sering jadi ocehan orang karena
ketololannya. Umurnya sekarang sudah
mencapai lima belas tahun lebih. Tetapi sifatnya kadang-kadang sama seperti anak
yang baru berumur lima tahun.
Kepalanya botak licin dan tampak lebih
besar dari ukuran biasa. Tubuhnya gemuk gempal, sehingga jika sedang berdiri
mirip dengan badut. Bibirnya tebal dan agak
hitam, sedangkan di kepala bagian depannya tumbuh sedikit rambut. Maka
komplitlah sudah si Tolol bagaikan patung yang diukir sedemikian rupa untuk mencerminkan
kebodohan, kelucuan dan permainan. Dan


Si Tolol 4 Perebutan Patung Dewi Kalingga di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

jika dilihat bentuk pakaiannya yang
bergaris-garis putih dan hitam dengan
lengan panjang serupa dengan celana
sebatas lutut, ia mirip menjadi boneka.
Perutnya kelihatan agak buncit, sedangkan kakinya lebih pendek dari biasanya,
sehingga ia agak cebol kelihatannya.
Namun di balik semua itu, tersimpan sebuah kelebihan luar biasa yang tidak
diketahui orang banyak. Jiwa atau rohani manusia merupakan rangkaian unsur-unsur
yang di dalamnya terkandung naluri,
indera, akal, emosi, ambisi, ilusi dan
halusinasi. Keenam unsur itu merupakan
rangkaian yang sangat erat dan saling
berkaitan satu sama lainnya.
Kalau salah satu di antaranya hilang
atau tidak berfungsi, maka orang
bersangkutan akan tumbuh menjadi manusia yang tidak normal.
Tampaknya demikianlah adanya dengan si
Tolol. Ia kehilangan unsur ketiga yakni rasio atau akal pikiran. Otaknya tidak
bisa berfikir secara normal. Itulah sebabnya ia sering berbuat hal-hal yang
dianggap sangat bodoh oleh masyarakat banyak.
Akan tetapi Sang Maha Pencipta
menunjukkan keadilannya kepada manusia.
Jika di dalam hal rasio si Tolol sangat lemah, faktor-faktor lain dalam jiwanya
justru mempunyai kemampuan yang maha
dahsyat. Kalau manusia biasa setiap kali
bermimpi atau melamun selalu memproduksi ilusi, maka impian dan lamunan si Tolol
berwujud gambaran naluri. Impian dan
lamunannya bisa menembus ruang dan waktu berabad-abad ke belakang dan berabadabad ke depan. Seperti tadi ketika ia bermimpi
terbang ke angkasa dan melihat bumi ini bundar adanya seperti bola. Padahal si
Tolol hidup pada abad ke XIX, di mana
penduduk di kampungnya belum pernah tahu mengenai bentuk bumi yang sebenarnya.
Selain itu, si Tolol sebetulnya
memiliki kekuatan luar biasa, karena
latihan-latihan silat melalui
mimpi-mimpinya. Tetapi karena ia anak yang tolol, maka ia sama sekali tidak
mengetahui bahwa dirinya memiliki kesaktian yang luar biasa.
Si Tolol sebenarnya adalah anak
Sumedang di belahan Pulau Jawa bagian
Barat. Tetapi pada waktu lalu, anak itu dalam perjalanannya yang tak tentu arah
sampai ke daerah Jepara. Di situlah ia
hidup luntang lantung bagaikan anak
gelandangan. Sekarang ia masih berada di dalam
lubang yang digalinya. Tak ada tanda-tanda bahwa anak itu akan menghentikan
pekerjaannya, sebab sambil bekerja
benaknya se-alu membayangkan lubang tembus dari ujung bumi ke ujung bumi di
seberangnya. Tiba-tiba tanpa disengaja arit si
Tolol membentur benda keras dan
menimbulkan percikan bunga api. Anak itu menjadi terkejut setelah menyadari
bahwa benda itu adalah sebuah peti. Ia mencoba untuk mengangkat peti besi itu,
ternyata berat sekali. Terpaksa ia menggali tanah di sekitar peti agar bisa
diangkat. Setelah cukup lama memeras tenaga, si
Tolol akhirnya dapat mengangkat peti
berukaran sekitar empat puluh kali tiga puluh centimeter.
"Peti apa ini" Mirip peti harta milik ibuku dulu. Coba kubuka peti ini," kata si
Tolol bicara sendirian.
Masih dengan menggunakan aritnya, si
Tolol bersusah payah membuka peti itu.
Sekeliling peti itu sudah karatan dan
berlumpur, tetapi di dalamnya masih bersih dan utuh. Begitu terbuka, tampaklah
oleh si Tolol cahaya memancar menyilaukan mata
dari dalam peti itu.
Cahaya itu ternyata memancar dari
sebuah patung area yang terbuat dari emas murni bertahtakan intan permata.
Patung itu adalah patung seorang wanita yang
sangat cantik jelita. Berdiri dengan
posisi tegak sambil mendekapkan kedua
tangan ke dada. Panjangnya sekitar tiga puluh sentimeter, dan di bagian kakinya
dibuat bundaran datar sehingga patung emas itu bisa berdiri atau lebih tepatnya
dipajang. Itulah patung Ratu Shima, peninggalan
kerajaan Kalingga berabad-abad tahun
silam. Patung itu sudah lama sekali menjadi bahan pembicaraan kalangan dunia
persilatan maupun masyarakat umum. Hampir semua orang ingin memilikinya. Bukan
karena lapisan emas serta permata intan patung itu. Namun lebih dari itu, di
dalam rongga tubuh patung itu tersimpan tulisan rahasia di atas daun lontar.
Itulah yang dianggap orang sangat berharga, sehingga apapun dipertaruhkan untuk
memiliki patung Ratu Shima.
Menurut buku Jawi kuno, karangan
pujangga zaman dahulu kala, Ratu Shima yang arif bijaksana serta cantik jelita
itu pernah menitahkan seorang empu terkenal untuk membuat patung emas yang mirip
sekali dengannya. Patung emas bertahtakan intan itu dibuat dalam ukuran kecil
namun sangat mirip Ratu Shima. Rambunya dikuncir dan ditutupi dengan tahta
keratuan, sedangkan pakaiannya terbuat dari sutera emas.
Kecantikan Ratu Shima tersohor bukan
hanya semasa hidupnya saja, tetapi juga beratus-ratus tahun kemudian setelah ia
meninggal dunia. Kecantikannya menjadi
perlambang abadi dan dikagumi orang dari masa kemasa.
Di dalam buku Jawi kuno itu selanjutnya dikatakan, Ratu Shima menitahkan agar di
dalam tubuh patung itu dibuat rongga tempat menyimpan surat wasiat tentang
rahasia kelanggengan tahta dan rahasia kecantikan.
Rahasia itulah yang selalu ingin
diketahui orang. Karena berdasarkan surat wasiat itu, seorang pemimpin akan bisa
tetap bertahta dalam tahtanya, bahkan
sebagian masyarakat menganggap orang biasa pun dapat menduduki tahta terhormat
jika mengetahui rahasia Ratu Shima. Sedangkan dari segi kecantikan, yang sudah
tua dan keriput sekalipun dapat menjadi cantik
jelita. Banyak sekali yang tergiur, terutama
orang-orang yang teramat ambisius dalam hidupnya sehingga tidak mau menerima
kenyataan apa adanya. Patung itu kemudian lenyap entah ke mana. Tetapi tak lama
kemudian timbul desas-desus bahwa patung ditanam di lereng gunung Muria. Para
pendekar, bukan hanya dari daratan Pulau Jawa tetapi juga dari daratan Tiongkok
dan teluk Parsi yang telah mendengar riwayat patung itu, sudah mulai berkeliaran
di sekitar lereng gunung Muria. Berusaha
keras untuk menemukan atau merebut patung yang sangat berharga itu. Secara
kebetulan pula, si Tolol yang hendak melubangi bumi ini menemukan patung Ratu
Shima yang telah dicari-cari para jagoan dari seantero
jagad raya. Anak itu sekarang memegang
patung Ratu Shima dengan mata melotot
saking kagum dan tertariknya.
"Hah" Ini arca yang sangat bagus!"
katanya sambil tertawa kegirangan. Dalam benaknya segera bayangan bahwa dalam
waktu yang tidak terlalu lama lagi, ia akan
memiliki barang mainan yang sangat bagus, yang bisa dibangga-banggakan kepada
anak-anak. Anak itu sama sekali tidak mengetahui
bahwa patung itu adalah patung Ratu Shima.
Dan tentu saja ia juga tidak memikirkan bahwa di dalam rongga patung itu
tersimpan surat wasiat yang sangat berharga.
Tanpa disadari oleh si Tolol, di
pinggir lubang yang digalinya, sekarang telah berdiri seorang tokoh silat yang
juga sudah cu-up lama mencari-cari Ratu Shima.
Dialah Prawiro, pendekar yang memiliki
ilmu tinggi dan cukup kesohor di daerah lereng gunung Muria.
Lelaki itu masih muda, usianya paling
sekitar tiga puluh tahun. Wajahnya tampan dan tidak dihiasi kumis. Kepalanya
ditutupi blangkon berupa kain sutera
halus. Melihat penampilan lelaki itu,
agaknya ia masih memiliki darah ningrat.
Tetapi bentuk tubuhnya yang tegap dan
otot-otot yang kekar menandakan ia seorang lelaki yang rajin berlatih ilmu silat
dan memiliki tenaga yang sangat kuat.
Di pinggang sebelah kanan Prawiro
diselipkan senjata keris yang
sewaktu-waktu dengan gerakan yang sangat cepat dapat dicabut jika berhadapan
dengan musuh. Lelaki itu tersenyum-senyum sambil menatap dengan sinar mata
mencorong ke dalam lubang yang digali si Tolol.
"He-he-he... pucuk di cinta ulam tiba.
Aku tak perlu memeras keringat untuk
menggali tanah ini, karena sekarang dengan mudah aku akan mendapatkan patung
itu," kata Prawiro sambil terkekeh- kekeh.
Pendekar itu kemudian mengambil seutas
tali yang dililitkan di pinggangnya.
Sambil mengerahkan tenaga dalam, Prawiro melemparkan tali itu ke dalam lubang
dan langsung membelit patung Ratu Shima yang sedang dipedang si Tolol, melesat
ke atas dan langsung berpindah ke tangan Prawiro.
"Patung inilah yang kucari-cari. Sekarang aku telah memilikinya!" kata Prawiro
dengan hati penuh luapan rasa gembira.
Namun walaupun wajahnya tampan dan
kelihatannya bersih dari perbuatan
tercela, Prawiro ternyata memiliki hati yang sangat kejam. Tanpa merasa kasihan
sedikitpun juga, ia menimbun lubang itu kembali sehingga si Tolol menjerit-jerit
kesakitan. "Kau sendiri yang menggali kuburanmu, kawan!" katanya sambil mengerahkan seluruh
tenaganya untuk menimbun tanah ke dalam lubang dan tanpa ampun lagi, si Tolol
terbenam di dalam lubang. Suara jeritannya tidak terdengar lagi.
Bukan itu saja, permukaan lubang yang
sudah tertutup itu diinjak-injak Prawiro supaya padat. Tampaknya lelaki itu
telah bertekad untuk menghabisi nyawa siapa saja yang mencoba menghalanginya
memiliki patung Ratu Shima.
"Selamat tinggal, kawan!" kata Prawiro, lalu melesat dengannya gerakan yang
sangat cepat meninggalkan tempat itu.
Tubuhnya berkelebat dan kadang-kadang yang tampak hanyalah bayangan saja,
menandakan betapa cepatnya gerak lari pendekar itu.
"Berhenti!" tiba-tiba terdengar bentakan nyaring.
Prawiro tersentak kaget dan tanpa
sadar menghentikan langkahnya. Di
hadapannya sekarang telah berdiri
seseorang yang rupanya telah membuntutinya sejak tadi.
"Bangsat! Aku tak bisa menangkap
gerakanmu!" bentak Prawiro geram bercampur cemas. Karena sebagai pendekar yang
memiliki ilmu tinggi, setiap gerakan orang yang cukup dekat dengan pastilah akan
di-ketahuinya. Kecuali jika orang itu
memiliki kesaktian
tinggi dan ilmu
meringankan tubuh hebat, gerakannya sulit tertangkap oleh pendengaran.
"Oh, tentu. Tak seorang pun bisa
menangkap gerakanku!"
Prawiro memperhatikan wanita di hadapannya. Baru sekarang ia menyadari bahwa wanita itu aneh luar biasa! Wanita
itu cantik dan memiliki lekak-lekuk tubuh yang sangat indah dan menggairahkan. Dan
itu terlihat dengan nyata sekali, sebab wanita yang masih muda itu sama sekali
tidak mengenakan pakaian selembar benang pun tak ada melekat di tubuhnya.
Sekujur tubuh wanita itu dirajah
(tatto), mulai dari batas leher sampai ke ujung tangan dan ujung kaki, dengan
warna yang sangat kontras, merah, hijau, hitam, putih dan entah warna apa lagi.
Gambar tatto itu dibuat seperti motif kain atau mirip pula dengan ukiran-ukiran kayu,
bergaris-garis dan pada ujungya dibuat
melingkar yang makin ke ujung makin kecil.
Sepasang buah dadanya juga tak luput
dari tatto, dibuat dengan gambar
garis-garis berupa bulatan sampai ke
bagian putingnya, demikian juga pada
bagian pantatnya. Pada baian
selangkangannya terutama pada bagian alat kemaluannya gambar tatto dibuat lebih
hitam dan garis-garisnya hampir tidak ada.
Dengan demikian, jika malam hari, wanita itu kelihatan seperti mengenakan celana
dalam. Jika wanita itu menggerak-gerakkan
badannya, tampak sepasang buah dadanya
yang montok itu bergerak turun naik.
Tidaklah berlebihan jika dikatakan
pandangan mata Prawiro jadi silau, atau bahkan ia seolah-olah tak percaya pada
penglihatannya sendiri. Seorang wanita muda dan cantik dengan sekujur tubuh
penuh tatto berdiri dihadapannya. Dalam mimpi pun Prawiro belum pernah
membayangkan dirinya akan melihat wanita seperti itu.
Sejenak mata Prawiro melirik buah dada
wanita itu, kemudian pandangan matanya
turun dan berhenti di selangkangannya.
Perasaan Prawiro pun langsung tak menentu.
Dadanya berdebar-debar lantaran gejolak yang menghentak-hentak di dalam dirinya
sebagai seorang lelaki.
Dan agaknya wanita bertatto itu memang
sudah terbiasa dengan keadaan tubuhnya
yang bugil. Ia tak tampak sedikit pun
merasa risih atau malu. Bahkan ia sengaja membuka kedua pahanya lebar-lebar dan
membusungkan dadanya dengan sikap
menantang. Prawiro sebenarnya seorang pendekar
yang memiliki ilmu silat tinggi dan sudah terbiasa pula menghadapi tipu daya
musuh. Tetapi kali ini keadaan atau pemandangan di hadapannya benar-benar telah
membuatnya lupa diri. Tubuh yang telanjang bulat itu membuatnya merasa
terpesona, seperti
terkena jampi-jampi. Kewaspadaannya pun seketika telah lenyap.
Ketika wanita itu melangkah
perlahan-lahan menghampirinya, Prawiro
tetap terpukau. Tangan kirinya memegang patung Ratu Shima sedangkan tangan
kanannya menggenggam senjata Keris yang tadi di hunus setelah mendengar bentakan
orang menyuruhnya berhenti. Tetapi Prawiro seperti sudah melupakannya. Wanita
itu makin dekat dengan langkah berlenggak


Si Tolol 4 Perebutan Patung Dewi Kalingga di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

lenggok, sehingga rambutnya yang panjang seperti menari-nari ditiup sepoi angin.
Perlahan-lahan, wanita bertatto itu
mengangkat kaki kirinya sehingga tanpa
sadar Prawiro melirik ke selangkangan
wanita yang berada persis di depan
hidungnya. Saat itulah keris Prawiro
terlempar ditendang wanita bertatto.
Kemudian menyusul kaki kanannya menendang patung Ratu Shima dari tangan kanan
Prawiro hingga terpental jauh.
Wanita bertatto meloncat menangkap
keris itu, namun tidak berhasil menangkap patung Ratu Shima karena terlempar
terlaiu jauh ke semak-semak. Dan rupanya di arena itu masih ada orang lain yang
sejak tadi mengintip dari balik semak-semak.
Kebetulan sekali patung Ratu Shima
terlempar ke arahnya dan langsung
ditangkap dengan perasaan sangat girang.
Tanpa berfikir panjang lagi, lelaki
itu segera melarikan diri. Pada detik yang bersamaan pula,
wanita bertatto itu
menghunjamkan keris ke bagian jantung
Prawiro hingga amblas sampai ke hulunya.
Sambil menjerit panjang, tubuh lelaki itu ambruk bermandikan darah segar.
Sehingga menggelepar-gelepar sejenak, ia pun
menghembuskan nafas terakhir.
Si Wanita tatto segera melangkah ke semak-semak tempat patung itu tadi terlempar. Namun alangkah terkejutnya ia
manakala menyadari bahwa patung itu telah lenyap.
"Kurang ajar! Pasti ada orang lain yang menguntitku sejak tadi. Sialan!" Wanita
bertatto itu memaki-maki dalam hati dan bersumpah akan mencari orang yang
membawa kabur patung itu sampai dapat, kemudian membunuhnya.
Siapakah sebenarnya wanita bertatto
itu" Dulunya ia biasa dipanggil Setyatun, seorang gadis cantik yang sering jadi
bahan pembicaraan kaum pemuda, bahkan termasuk duda dan lelaki yang sudah
beristri, karena kecantikan dan keindahan tubuhnya.
Akan tetapi tak seorang pun
mengenalnya karena kemunculannya begitu tiba-tiba. Selama ini penduduk maupun
kalangan pendekar belum pernah mendengar apalagi melihat seorang jago silat
wanita cantik yang dalam keadaan bugil, di mana sekujur tubuhnya penuh tatto
dengan warna kontras.
Mungkin Prawiro adalah orang yang
pertama melihatnya. Tetapi hanya beberapa saat setelah memandangi sekujur tubuh
yang tak ditutupi selembar benang itu, ia tewas di ujung senjata kerisnya
sendiri, karena sewaktu terpesona si Wanita Tatto alias Setyatun menghunjamkan
keris itu ke bagian jantungnya.
Melihat gerak-gerik Wanita Bertatto
itu, dapatlah diterka bahwa ia sudah cukup lama dan sudah terbiasa dengan
keadaan tubuhnya yang telanjang bulat. Mungkin ia sudah menganggap tatto itu
adalah bajunya sendiri, sehingga seperti ketika ketemu Prawiro ia sama sekali
tidak merasa risih atau malu. Seorang wanita, kalau
pikirannya memang masih waras, tentulah akan malu dilihat orang telanjang.
Bahkan biarpun tak ada yang melihat, misalnya di dalam kamar, gerak-geriknya
pastilah agak kaku.
Atau apakah wanita bertatto itu memang
sudah gila" Rasanya tidak mungkin.
Kata-kata maupun sikapnya, serta keadaan dirinya sama sekali tidak menunjukkan
pikirannya tidak waras lagi. Selain itu, ada satu hal yang sangat menarik dalam
diri Setyatun, yakni ilmu silatnya yang sangat tinggi. Dengan ilmunya yang
tinggi, agaknya akan jarang pendekar yang bisa
menandinginya. Apalagi karena keadaannya telanjang, setiap lelaki yang hendak
bertarung dengannya, kalau tidak terpesona sedikitnya pastilah terpengaruh.
Hal itu tentulah akan mempermudah si
wanita tatto menundukkan lawan-lawannya.
Seperti ketika Prawiro melihatnya. Lelaki itu begitu terpukau, seolah-olah tak
percaya akan penglihatannya sendiri.
Padahal seandainya ia tidak terpengaruh oleh keadaan tubuh yang telanjang itu,
ia pasti tidak semudah itu dirobohkan.
Dan agaknya, si wanita tatto
menyadarinya, sehingga dengan jelas
terlihat bahwa dalam setiap pertarungan ia selalu mempengaruhi lawannya dengan
tubuhnya. Bagi wanita, keindahan tubuhnya memang bisa jadi senjata yang sangat
ampuh untuk melumpuhkan kaum lelaki.
Melihat sepak terjang Setyatun sewaktu
menghabisi nyawa Prawiro, boleh dikatakan bahwa kejadian itu merupakan awal
munculnya seorang tokoh di dunia
persilatan yang kelak akan menjadi bahan pembicaraan para pendekar. Siapakah
sebenarnya wanita itu dan apa latar
belakang sehingga ia merajah sekujur
tubuhnya, akan terungkap dalam perjalanan waktu di masa mendatang.
*** 3 Sewaktu Wanita tatto berfikir keras
tentang patung Ratu Shima yang hilang
misterius, si pencurinya sekarang sudah semakin jauh meninggalkan tempat itu.
Lelaki itu berloncatan di sela-sela
pepohonan dengan gerakan yang sangat
ringan dan cepat.
Lelaki itu sudah setengah baya,
mungkin sudah berumur empat puluh lima
tahun. Wajahnya buruk, dengan hidung pesek dan lebar. Si samping itu, gigigiginya mencuat ke depan sehingga selalu terlihat dan membuatnya tampak selalu
menyeringai. Ada kesan licik dan kejam terpancar dari wajahnya yang jelek itu.
Akan tetapi pakaiannya terbuat dari
sutera halus yang sangat mahal harganya. Di sekitar kota Jepara orang yang bisa
memiliki kain sutera halus semahal itu masih bisa dihitung dengan jari. Pastilah
dia orang kaya.
Ya, lelaki itu memang kaya raya! Nama
sebenarnya adalah Sugimin. Tetapi setelah ia menjadi juragan kaya raya, namanya
diganti menjadi Raden Bei Kiduling Pasar.
ia memiliki warung beras dan keperluan
rumah tangga yang bisa melayani kebutuhan semua penduduk desanya dalam waktu
berbulan-bulan. Belum lagi hewan ternaknya yang jumlahnya ribuan ekor serta
sawah ladang yang juga ribuan hektar.
Raden Bei Kiduling Pasar sangat
disegani dan dihormati di desa. Karena se-lain sangat kaya, ia juga mempunyai
puluh-an tukang pukul yang tak segan-segan me-nyiksa penduduk jika berani macammacam kepada majikannya.
Lelaki itu telah jauh dari lereng bukit Muria. Ia tidak tahu bahwa di lereng itu
ter-jadi sesuatu yang luar biasa. Tanah bekas galian tempat si Tolol terkubur
hidup-hidup oleh Prawiro, mulai
bergerak-gerak. Makin lama, tanah itu
makin kuat gerakannya, seolah-olah ada
makhluk yang hendak ke luar dari dalamnya.
Tak lama kemudian, tanah timbunan itu
pun retak. Sebuah benda bulat tersembul.
Itulah dia kepala si Tolol. Setelah
kepalanya keluar, tubuhnya pun dapat
keluar dari timbunan tanah.
Luar biasa! Mungkin tak ada yang
mengira termasuk Prawiro sendiri bahwa si Tolol masih hidup, bahkan dapat keluar
dari kuburannya, tanpa pertolongan siapa pun.
Sebenarnya kalau orang mengetahui
kehebatan tersembunyi di dalam diri si
Tolol, pastilah tidak akan terlalu heran melihatnya bisa menyelamatkan diri.
Sewaktu itu dalam keadaan sekarat di dalam tanah, secara otomatis tenaga dahsyat
yang tersimpan di dalam tubuhnya
menggerak-gerakkan tubuhnya untuk
berontak. Demikian dahsyatnya tenaga yang tersimpan dalam tubuh si Tolol,
sehingga tanah itu dapat bergerak. Dan si Tolol pun selamat!
"Huh, banyak orang jahat. Sama saja seperti di Sumedang, banyak orang jahat,"
ka-ta si Tolol bicara sendiri.
Dan ketika ia menyadari bahwa keempat
anak yang tadi ikut bersamanya tidak ada lagi di dataran lereng gunung itu, ia
menjadi terkejut. "Jangan-jangan
anak-anak itu juga sudah dikubur orang jahat, atau dibawa oleh kolongwewe,"
pikir si Tolol cemas.
Maka ia pun berteriak sekeras kerasnya
memanggil anak-anak itu: "Hoi, anak-anak, ke mari! Kita batalkan saja pergi ke
negeri seberang. Ada orang jahat!"
Tetapi berapa kali pun ia berteriak
sekuat-kuat tenaga tetap tidak ada
sahutan. Akhirnya si Tolol pun menjadi
putus asa, dan berharap keempat anak itu tidak apa-apa.
"Mungkin mereka disusul orangtuanya dan disuruh pulang," kata hati si Tolol.
"Aku juga dulu sering disusul oleh Pak Kohar jika sering terlambat pulang
bermain. Tapi sekarang dia telah
meninggal, yang ada cuma aritnya saja.
Akh...." Ingat akan Pak Kohar dan pamannya
Maulana yang sangat baik, hati si Tolol jadi sedih. Hanya kedua orang itu yang
menurut si Tolol baik hati padanya.
Sedangkan yang lainnya tidak sayang
padanya. Tetapi justru kedua orang itu pula yang duluan meninggal. Si Tolol pun
merasa dirinya hidup sebatang kara. Tak ada yang menyayanginya lagi. Tak ada
yang merawatnya. Maka anak itu pun menangis
sejadi-jadinya sambil berguling gulingan diatas tanah.
Pada saat yang bersamaan, Raden Bei
Kiduling Pasar telah berada di halaman
rumah terpencil di desanya. Rumah itu cukup besar dan megah. Tiang-tiangnya
terbuat dari ukiran-ukiran kayu serta logam
berlapis perak. Lantainya terbuat dari
tegel mengkilap. Di ruang tengah ada kursi yang terbuat dari perak yang mirip
dengan kursi raja atau ratu.
Di kursi itulah seorang nenek sedang
duduk sambil memegang tongkatnya yang
bengkok. Rambut wanita itu sudah memutih dan dikuncir ke atas. Wajahnya sudah
keriputan dengan raut yang lonjong karena bagian dagunya terlihat lebih panjang
dari yang lazim terlihat. Tubuhnya kurus, namun sinar matanya masih memancarkan
sesuatu yang kuat luar biasa. Di leher wanita tua itu tergantung sebuah kalung
berupa untaian permata-permata intan.
Wanita tua itu tak lain tak bukan
adalah Nyi Peri, wanita tua namun memiliki kesaktian yang luar biasa. Wanita itu
sudah lama hidup menyendiri di rumahnya yang
seperti istana itu. Selama ini boleh
dikatakan hampir tak ada yang berani masuk ke rumah itu, bahkan sekedar bermain
di halaman rumahnya saja orang sudah takut.
Entah bagaimana kehidupan Nyi Peri
sehari-hari dan apa saja yang
dikerjakannya, hampir tak ada yang tahu.
Raden Bei tergopoh-gopoh masuk ke
ruang tengah, kemudian bersujud di hadapan Nyi Peri. Setelah mengangguk beberapa
kali, lelaki itu mengacungkan patung Ratu Shima ke arah Nyi Peri, kemudian
berkata dengan suara lantang:
"Saya sudah datang, Nyai. Inilah arca yang Nyai idam-idamkan. Ternyata memang
patung emas yang indah sekali. Sekarang aku akan mempersembahkannya kepada Nyai,
asalkan Nyai segera membuatkan ramuan
mujarab untukku."
"Aku tak pernah bicara bohong, Bei. Kalau betul itu adalah patung Ratu Shima
dari kerajaan Hindu Kalingga, pada pertengahan abad ketujuh, berikanlah padaku.
Obat yang kau minta itu sudah kusediakan," kata Nyi Peri dengan suaranya yang
parau. "Oh, pasti asli, Nyai. Boleh
periksa,kutanggung asli. Dan Nyai harus tahu, untuk mendapatkan patung itu, aku
harus berjuang mati-matian menghadapi
beberapa pendekar sakti yang juga
menginginkannya. Bahkan hampir saja
nyawaku melayang sewaktu
mempertahankannya." kata Raden Bei membual sekedar untuk lebih menarik simpatik
Nyi Peri. "Aku percaya," kata Nyi Peri setelah memeriksa patung itu sebentar, "Sekarang
aku akan memberikan ramuan obat yang kau minta. Ini, didalam pundi-pundi ini.
Namaku akan menjadi jaminan dan
taruhannya. Jangkan si Ronah, putri sultan sekalipun pasti kepelet oleh obat
ini." "Terimakasih, Nyai. Terimakasih!"
kata Raden Bei sambil mengangguk anggukkan badan beberapa kali. Setelah itu,
dengan mata berbinar-binar, lelaki kaya raya itu segera meninggalkan rumah Nyi
Peri. "He-he-he, jangankan si Ronah, putri sulta pun bisa kepelet. Opo hiya" Kalau
putri sultan bisa jadi bojoku, wah aku tambah kawentar...." kata Raden Bei
sambil tertawa-tawa.
Rupanya Raden Bei sedang kasmaran
terhadap seorang gadis di desanya. Ia ingin mempersunting gadis yang namanya
Ronahyatun itu. Tetapi selama ini, Raden Bei belum berani mengajukan lamaran,
karena ia tahu gadis cantik jelita itu
tidak senang padanya. Mungkin karena Raden Bei orangnya jelek dan sudah cukup
tua pula, di samping sudah mempunyai beberapa orang istri, atau ada alasan lainnya
sehingga membuat Raden Bei selama ini
sangat penasaran.
Berbagai cara telah ditempuhnya untuk
bisa mempersunting gadis itu. Tetapi semua usahanya selalu sia-sia. Akhirnya
Raden Bei yang terkenal memiliki sifat sangat ambisius itu meminta pertolongan
kepada Nyi Peri.
Nyi Peri menyanggupi permintaan Raden
Bei, tetapi dengan syarat Raden Bei harus mendapatkan patung Ratu Shima kemudian
memberikannya kepada nenek tua itu sebagai tebusan obat ramuan penakluk para
gadis cantik. Sungguh mujur nasib Raden Bei hari ini, karena sewaktu pergi ke lereng gunung
Muria, ia melihat dua orang sedang
bertarung memperebutkan patung Ratu Shima.
Dalam pertarungan yang sengit itu, patung Ratu Shima terpental tepat ke arah
Raden Bei. Seperti rezeki nomplok saja!
Sekarang Nyi Peri menimang-nimang
patung Ratu Shima. Wajah nenek tua itu
berseri-seri. Ia tertawa-tawa kegirangan sehingga giginya yang tinggal beberapa
buah saja kelihatan.
"Dalam waktu dekat, aku yang sudah keriputan akan kembali cantik dan muda
kembali dengan resep yang ada dalam patung ini" kata Nyi Peri kegirangan.
Perlahan-lahan, nenek tua itu meletakkan patung itu di atas meja. la lalu
membuka buku Jawi kuno yang berisikan riwayat
patung Ratu Shima.
Tanpa ia sadari, seorang lelaki asing
mengintipnya dari atap rumah. Lelaki itu kemudian membuka atap genteng tanpa
menimbulkan suara mencurigakan. Lalu
sambil mengerahkan tenaga dalamnya, pria asing itu menarik patung Ratu Shima.


Si Tolol 4 Perebutan Patung Dewi Kalingga di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Sungguh merupakan kesaktian yang luar
biasa. Dari jarak sekitar enam meter,
lelaki itu dapat menarik patung emas itu hanya dengan mengandalkan tenaga
dalamnya, dan sama sekali tidak menggunakan alat apa pun. Dalam sekejap, patung
itu telah berada di tangan lelaki yang mengintip di atas genteng.
"Bangsat! Siapa yang berani lancang pada Nyi Peri, hah?" teriak Nyi Peri ketika
me-nyadari patung itu telah lenyap dari atas meja. Sebagai orang yang memiliki
kesaktian tinggi, nenek tua itu segera
mengetahui bahwa seseorang telah
mencurinya dari atas atap. Maka Nyi Peri segera mengerahkan tenaganya, meloncat
bagaikan terbang ke atas atap rumahnya.
"Setan alas! Tunjukkan batang hidungmu kalau
kau memang bukan pengecut!"
teriakkan Nyi Peri sambil menatap liar ke sekelilingnya.
"Ha-ha-ha, jangan mulut besar, nenek peot!" Tiba-tiba terdengar suara ejekan
seorang laki-laki. Dalam sekelebatan
terlihatlah oleh Nyi Peri sebuah bayangan aneh melayang-layang di antara
pepohonan. Betapa terkejutnya Nyi Peri melihat
pemandangan yang terpampang di depan
matanya. Seorang laki-laki melesat
bagaikan terbang di atas selembar
permadani merah tak ubahnya seperti cerita dalam dongen 1001 malam.
Tetapi sebetulnya, di dunia persilatan
hal seperti itu bukanlah hal yang mustahil.
Karena bukan permadani itu yang bisa
terbang, melainkan orangnya sendiri yang memiliki ilmu meringankan tubuh yang
demikian sempurnanya. Setelah melemparkan permadani itu, pendekar asing itu
meloncat ke atasnya dan mengerahkan ilmu sehingga bisa melesat cepat sekali.
Tetapi tentu saja hanya dalam batas waktu tertentu saja.
"Hai, nenek peot! Susullah aku kalau kau memang mampu!" teriak lelaki itu lagii.
"Bangsat! Jangan kau kira ilmu seperti itu ada gunanya bagiku," teriak Nyi Peri.
Nenek tua itu pun mengerahkan tenaga
dalamnya, meloncat dari pohon yang satu ke pohon lainnya. Ilmu meringankan tubuh
Nyi Peri agaknya tidak kalah dengan pendekar asing itu. Kakinya hanya menginjak
daun-daunan sebagai pijakan untuk meloncat ke pohon lainnya.
Dalam waktu yang tidak terlalu lama,
Nyi Peri dapat menyusul lawannya. Ia
meloncat sambil menyalurkan tenaga dalam pada tongkat bengkoknya, kemudian
menusuk permadani lawan ketika keduanya masih
melayang-layang di udara.
Demikian kuatnya tenaga dalam yang
tersalur dari tongkat itu, sehingga mampu mencoblos permadani lawan, Namun
dengan sigap lawannya menghindari dengan cara
meloncat dan berjumpalitan ke udara. Maka luputlah serangan Nyi Peri. Namun
tanpa diduga-duga, dengan kecepatan luar biasa, tongkat bengkok Nyi Peri
menghantam tangan kiri lawan, sehingga patung Ratu Shima
terlempar dan jatuh melayang-layang, tepat menimpa kepala si Tolol yang saat itu
sedang tidur pulas di bawah pohon tak jauh dari arena pertarungan itu.
"Aduh kepalaku!" teriak anak itu kesakitan. Namun ketika melihat patung
itu, rasa sakit di kepalanya yang benjol tertimpa tadi segera dilupakannya. Ia
sangat gembira karena tanpa diduga-duga telah menemukan patung yang sangat
disenanginya itu.
Akan tetapi mendengar suara
ribut-ribut di atas pohon, anak itu menjadi cemas lagi. "Pasti ada orang jahat
lagi yang ingin merebut patung ini," pikir si Tolol lalu segera melarikan diri
dari hutan itu. Tubuhnya berkelebatan cepat sekali dari sela-sela pepohonan,
sedangkan patung itu disembunyikannya di balik bajunya dan didekapnya, takut
kelihatan orang lain.
Sementara itu, Nyi Peri dan lawannya
sama-sama meloncat turun dan mendarat di atas tanah dengan sangat ringannya.
"Percuma kita memperebutkan patung itu, karena sudah hilang," kata lelaki itu
sambil menatap Nyi Peri dengan nafas
ngos-ngosan. "Itu semua gara-gara kau. Seharusnya kau membayarnya dengan nyawamu sendiri.
Tetapi kali ini aku memaafkanmu. Siapakah kau sebenarnya, orang asing?"
"Namaku Husein, dari negeri Irak di kawasan Teluk Parsi. Dan kau nenek tua,
siapakah kau?"
"Huh, orang jelek seperti kau mana pantas mengetahui namaku" Masih untung
nyawamu tidak kukirim ke neraka!" kata Nyi Peri lalu segera meloncat dari tempat
itu: Lelaki yang mengaku datang dari negeri Irak itu menghela nafas dalam-dalam.
Wajahnya muram pertanda bahwa ia sangat kecewa
karena tidak berhasil memperoleh patung Ratu Shima.
"Aku bersumpah akan memperolehnya
kembali! Kalau tidak, percuma aku datang dari negeri seberang ke tempat ini,"
ujar lelaki itu sambil melangkah meninggalkan lereng gunung Muria.
Pendekar Husein sebenarnya sudah cukup
lama berada di negeri Pulau Jawa. Lelaki itu di negerinya dikenal memiliki ilmu
yang sangat tinggi. Selain itu, ia juga dikenal sebagai ahli sihir yang sangat
hebat. Senjatanya adalah permadani berukuran
sekitar dua kali satu meter. Jika ia
menyalurkan tenaga dalamnya yang sangat dahsyat, permadani itu bisa berubah jadi
keras dan menjadi senjata yang sangat
berbahaya. Dan seperti yang terlihat oleh Nyi Peri barusan, Husein bisa menggunakan
permadani itu sebagai pijakan untuk melesat cepat sekali. Jika tubuhnya hendak
turun ke tanah karena gaya tarik bumi, ia biasanya
menginjak dedaunan pohon-pohon dan kembali meloncat dengan posisi permadani
tetap sebagai pijakan. Demikianlah dilakukan
pendekar dari Irak itu hingga dapat
melayang-layang tanpa menginjak bumi
berpuluh-puluh kilometer jauhnya.
Untuk bisa melakukannya, seorang
pendekar harus memiliki ilmu meringankan tubuh yang sangat sempurna dan melalui
latihan-latihan yang sangat tekun dan
borkesinambungan. Dapatlah diketahui
bahwa pendekar asing itu memiliki ilmu
kesaktian yang tak bisa diremehkan para jagoan yang sedang memperebutkan patung
Ratu Shima. Pendekar Husein sangat berambisi
memiliki patung emas itu. Ia sama seperti pendekar lainnya, mau mengorbankan apa
saja demi ambisinya memiliki patung Ratu Shima bukan karena perhiasan emas dan
permata intannya. Tetapi ingin mengetahui rahasia surat wasiat yang tersimpan di
dalam rongga patung itu.
Setelah memiliki patung itu, Husein
bermaksud menjualnya kepada Raja Ranjit Singh dari India yang saat itu sedang
bertempur melawan penjajah Inggris.
Rupanya kemashuran patung Ratu Shima juga sampai ke negeri India. Rupanya raja
India juga percaya bahwa rahasia surat wasiat Ratu Shima juga dapat membantunya
mengusir penjajah dari negerinya. Kesempatan itulah yang hendak dimanfaatkan
Husein. Karena kalau ia dapat menyerahkan patung Ratu
Shima kepada Ranjit Singh, maka ia akan memperoleh imbalan yang sangat besar
yang bukan saja dapat membuatnya kaya raya,
tetapi dapat dinikmati anak cucunya kelak.
Sementara itu, si Tolol terus berlari
dengan kecepatan yang tidak lumrah
dimiliki manusia biasa. Karena sangat
ketakutan, maka tenaga dahsyat di dalam tubuhnya bekerja secara otomatis,
sehingga tubuhnya dapat melesat bagaikan anak
panah. "Berhenti!" Tiba-tiba terdengar suara bentakan.
Si Tolol terkejut bukan main. Anak itu
berhenti dan mempererat dekapannya, karena takut patung yang disembunyikannya
akan dirampas orang asing itu lagi.
"Ampun, Om. Ampun...." kata si Tolol ketakutan.
Lelaki yang menghadangnya itu menatap
si Tolol dengan sinar mata mencorong tajam, Ia masih muda, berusia sekitar tiga
puluh tahun. Rambutnya dikuncir ke bel-kang dan di bagian depan kepalanya,
rambutnya sudah kelimis. Dagunya penuh brewok dengan
tulang pipi yang terlihat agak menonjol.
Sedangkan matanya tampak agak sipit. Baju yang dikenakan mirip jubah, panjang
sampai ke lututnya. Sedangkan keanehan lainnya, ia tidak seperti penduduk atau
pendekar dari Jepara, karena tidak mengenakan
celana panjang. Tetapi kedua kakinya
dibungkus sepatu jenis bot tinggi yang diikat hampir sampai ke batas lututnya.
Bentuk ujung bajunya pun lain, jauh lebih lebar, dari yang biasa terlihat.
Melihat penampilannya, dapatlah
dipastikan bahwa lelaki itu bukanlah
penduduk asli dari Pulau Jawa, melainkan datangnya dari negeri seberang.
Ya, pendekar itu adalah ahli samurai
dari negeri Jepang, yang merupakan utusan shogun Tokugawa yang berkedudukan di
Yedo. Ia sengaja diutus untuk merebut patung Ratu Shima agar dapat mengetahui rahasia
surat wasiatnya demi kelanggengan kekuasaan
bangsa Tokugawa.
Sepasang pedang samurai tergantung di
pinggang kirinya. Melihat itu, si Tolol makin ketakutan, lalu duduk berlutut di
hadapan Gahito, pendekar samurai dari
negeri matahari terbit itu.
"Hei, apa yang kau sembunyikan itu?"
bentak Gahito dengan suara mengguntur. Ia menghunus samurainya, maka tampaklah
ujung senjata yang mengkilap pertanda senjata itu sangat tajam.
."Ampun... ampun, tuan! Jangan bunuh aku!" kata si Tolol memelas. Keringat
dingin membasahi sekujur tubuhnya yang
gemetaran karena rasa takut yang amat
sangat. Sambil memohon ampun, anak itu
mengangguk-angguk sehingga wajahnya
membentur tanah.
Melihat itu, Gahito menjadi tersenyum
geli, sambil mengelus-elus dagunya yang runcing.
"Hem... kukira kau seorang pendekar pribumi yang tangguh. Tapi ternyata hanya
seorang anak tolol sesuai dengan bentuk tubuhmu."
"Ya, tuan. Nama saya memang si Tolol,"
kata si Tolol makin ketakutan.
Pendekar samurai itu mengurungkan
niatnya untuk menebas si Tolol. Ia
menyarungkan samurainya. Tetapi si Tolol tetap ketakutan dan karena rasa
takutnya, yang tak terhingga, anak itu kencing dan berak di celana tanpa sadar.
Bau busuk segera menyebar ke sekitar tempat itu
hingga menyengat hidung Gahito.
"Bagero! Kurang ajar! Bau kotoran.
Rupanya kau hendak menghinaku, ya!" bentak pendekar samurai itu sambil menghunus
senjatanya kembali. Agaknya ia sangat
kesal dan bermaksud akan menghabisi nyawa si Tolol.
Tetapi ketika ia hendak menebas tubuh
. si Tolol, tiba-tiba ia mendengar suara langkah kaki berlari ke arah tempat
itu. Gahito jadi terkejut dan mengurungkan
niatnya. Dengan mengerahkan tenaganya yang dahsyat, lelaki itu meloncat ke dahan
pohon di atasnya. Ia ingin mengetahui siapa orang yang datang itu dan hendak
apa. Hanya beberapa saat setelah Gahito
berada di atas pohon, sampailah Nyi Peri ke hadapan si Tolol.
"Hei, sedang apakah kau, bocah" Apakah kau melihat seseorang lewat dari tempat
itu?" tanya Nyi Peri terheran-heran melihat si Tolol duduk berjongkok
ketakutan di atas tanah.
Akan tetapi, nenek tua itu menjadi
terkejut sekaligus kesal mencium bau
kotoran dari celana si Tolol.
"Sial! Ndasmu denggol! Uph... kenapa tak bilang kau lagi nelek" Huh, dasar bocah
tolol!" kata Nyi Peri sambil menutupi hidung dengan telapak tangan kanannya.
"Ampun, aku jangan dipukul!" kata si Tolol sambil melirik ke arah tongkat
bengkok di tangan kiri Nyi Peri.
"Bocah edan! Ambune koyo batang tikus.
Cuah!" maki Nyi Peri lalu melangkah meninggalkan tempat itu. Lalu ia meloncat
dan tubuhnya berkelebat hingga dalam
sekejap lenyap di balik pepohonan.
Belum habis si Tolol menarik nafas
lega, tiba-tiba Husien telah berdiri di hadapannya. Si Tolol kembali ketakutan
dan langsung duduk bersujud di hadapan
pendekar Irak itu.
"Ja... jangan bunuh aku, tuan.
Jangan...." kata si Tolol ketakutan.
"Hei, kacung! Apakah kau melihat
seorang lewat dari tempat ini tadi?"
"Jangan bunuh aku, tuan!"
"Heh,bangsat! Aku bertanya apakah kau melihat seseorang lewat dari sini tadi?"
"Ada, tuan...."
"Laki-laki atau perempuan?"
"Perempuan, tuan. Nenek tua, bawa
tongkat pemukul orang."
"O, bukan itu yang kumaksud. Selain dia tidak adakah orang lain lewat di sini?"
"Ada, seorang Om yang pakai kuncir di kepalanya. Senjatanya panjang dan tajam
sekali, tuan!"
"Senjatanya panjang" Ke arah mana dia pergi" Ayo, jawab! Kau tak perlu takut.
Aku tidak akan menyakitimu, asalkan kau
memberi keterangan yang benar."
"Ke atas pohon, tuan. Dia ada di atas pohon." kata si Tolol sambil mendongak ke
atas. Bersamaan dengan itu, Gahito meloncat
turun dari atas pohon, dan langsung menerjang Husein dengan serangan mautnya.
Kedua kakinya mengarah ke bagian leher dan perut Husein. Demikian kuatnya tenaga
tendangan itu, sehingga sebelum serangan itu
mengenai sasaran sudah terasa angin
dahsyat menyambar ke arah lawan.
Husein terkejut dan segera meloncat
mundur. Tepat ketika lawan mendaratkan
kakinya di tanah, jagoan dari negeri Irak itu segera menerjang. Permadaninya
menyambar dahsyat ke arah dada lawan. Untunglah pendekar samurai itu selalu
awas, sehingga walaupun diserang sangat mendadak dan
cepat, masih dapat mengelak. Ia meloncat mundur dan bersalto beberapa kali di
udara. "Kurang ajar! Rupanya ada juga orang asing di sini." kata Husein sambil menatap
Gahito dengan mata mendelik.
"Kita sama, kawan. Aku yakin kau datang dari negeri seberang, dari salah satu
kerajaan di Teluk Parsi. Aku juga datang dari negeri lain, tepatnya dari negeri
Matahari Terbit."
"Apa maksudmu datang ke daerah ini?"
"Jangan belagak bodoh, sobat. Jika kau bertanya apa maksud saya datang ke sini,
maka jawabnya adalah sama seperti alasanmu datang ke daerah ini. Kau tentu
sangat menginginkan patung itu, bukan?"
"Kurang ajar! Rupanya kau pun harus kusingkirkan dari muka bumi ini. Jangan
harap kau bisa memilikinya selama aku masih berada di sini."
"Bangsat! Rupanya kau belum kenal
siapa aku. Kucabut nyawamu biar tahu rasa kau."
"Kita sama-sama pendatang di negeri ini. Kenapa kita harus banyak omong"


Si Tolol 4 Perebutan Patung Dewi Kalingga di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Cabutlah senjatamu, aku juga sudah
mencabut senjataku. Mari kita selesaikan persoalan ini, sampai salah seorang di
antara kita roboh bermandikan darah.
Jangan kira aku mau menginjakkan kaki di negeri ini kalau menghadapi orang
seperti kau aku takut," kata Gahito sambil mencabut sebilah samurai yang
tergantung di pinggangnya. "Aku sudah cukup lama mendengar
kehebatan para samurai dari negerimu.
Sayang sekali selama ini belum pernah ada yang sanggup menghadapiku. Pendekar di
negerimu hanya pintar mengasah senjata, tapi tak mahir menggunakannya. Lebih
baik kau minta maaf padaku, aku akan
memaafkanmu."
"Tutup mulutmu, bangsat" Awas
serangan...!" Pendekar samurai itu menerjang Husein dengan dahsyat. Samurai
ditangannya diputar cepat sekali sehingga menimbulkan sinar bergulung-gulung.
Dan ketika tubuh sudah dekat ke arah lawan, samurai itu diayunkan dengan posisi
menukik dari atas mengarah ke dada lawan.
Husein segera berkelit ke kiri dan
ketika samurai lawan belum ditarik, jagoan dari Irak itu sudah mengayunkan
permadaninya, hingga menyambar ke arah
dada Gahito. Demikian cepatnya sambaran senjata lawan, hingga ujungnya masih
mengenai kulit tubuh Gahito walaupun
pendekar samurai itu sudah membantingkan tubuh.
Secepat kilat ia berdiri sambil
mengelus kulit perutnya yang terasa perih.
"Ha-ha-ha, tak kusangka ada shogun yang demikian tololnya mengutus pendekar
samurai yang kepandaiannya seperti ini untuk merebut patung Ratu Shima." kata
Husein dengan sombongnya.
"Bangsat! Demi dewa Matahati aku tidak akan menyerah di hadapanmu. Kau pasti
menyesal telah mengucapkan kata-kata
hinaan seperti itu. Dan sebagai tebusannya adalah nyawamu sendiri!"
Gahitu mencabut samurainya yang satu
lagi, hingga kedua tangannya telah
meme-gang senjata. Lalu ia memasang
kuda-kuda, dengan posisi kaki kiri di depan sedangkan kaki kanannya ditekuk.
Sepasang matanya menatap lurus ke arah lawan tanpa berkedip. Agaknya pendekar
samurai itu sedang mempersiapkan jurus-jurus mautnya.
Melihat perubahan lawan, Husien
diam-diam agak terkejut juga. Kalau tadi ia memang benar-benar anggap remeh
kepada lawan, ia kini mulai berhati-hati, karena tampaknya pendekar samurai itu
sedang mempersiapkan serangan yang sangat
berba-haya. Katika Gahito menyerang dengan kedua
senjata menyerang dari arah berlawanan, Husein segera memutar permadaninya
hingga membentuk semacam benteng pertahanan yang sangat sulit ditembus senjata
lawan, Senjata kedua pendekar yang sedang
bertarung itu berubah seperti banyak
sekali karena cepatnya gerakan mereka.
Tubuh Husein maupun Gahito pun kelihatan hanya
berupa bayang-bayangan saja,
berkelebatan di antara sela-sela ujung
senjata lawan. Orang biasa jika
menyaksikan pertarungan itu pasti tidak akan bisa membedakan mana Husein dan
mana Gahito. Pertarungan itu sudah berlangsung sampai enam puluh jurus. Namun tampaknya belum ada tanda-tanda pertarungan itu akan
segera berakhir dalam waktu singkat. Namun mulailah terlihat bahwa dalam hal
kecepatan gerak Husein sedikit kalah
dibandingkan dengan Gahito. Sebaliknya
pendekar samurai itu sedikit kalah dalam hal tenaga dalam. Itu sebabnya setiap
kali adu tenaga, Gahito selalu keteter. Namun gerakannya yang lebih cepat
memberikan keuntungan lain. Apalagi karena ia sangat mahir memainkan kedua senjatanya,
menyambar-nyambar dari segala penjuru dan mengincar bagian-bagian
yang sangat berbahaya di tubuh lawan.
Rupanya keadaan itu membuat Husein
sangat penasaran. Ia tidak sabar lagi,
terutama karena ia lihat lawannya itu
memiliki gerakan yang sangat lincah. Jalan satu-satunya baginya adalah mengadu
tenaga. Di saat lawan terdorong mundur, ia akan melanjutkan serangan maut dengan
permadaninya. Husein sengaja menunggu lawan lebih
dulu menyerang. Samurai di tangan kiri Gahito yang menyambar bagian punggungya
sengaja ia biarkan, sedangkan tangan
kanannya memutar permadani membeiit
Samurai di tangan kanan lawan. Tepat ketika ujung samurai Gahito hampir
menyentuh kulit tubuhnya, Husein bergeser sedikit dan pada saat yang hampir bersamaan,
permadaninya membeiit samurai lawan yang satu lagi.
Permadani itu kemudian ditarik sekuat
tenaga hingga tubuh Gahito terdorong ke depan. Saat itulah tangan kiri Husien
menyambar dahsyat ke arah dada lawan.
"Augh...!" Kedua pendekar itu sama-sama menjerit kesakitan. Pukulan
tangan kiri Husien mendarat cukup telak di dada Gahito, sedangkan ujung senjata
pendekar samurai itu pun berhasil merobek kulit bahu Husein.
Keduanya sama-sama meloncat mundur
dengan wajah berubah jadi pucat. Hampir saja dalam pertarungan maut itu keduanya
kehilangan nyawa.
"Rupanya kau boleh juga, pendekar
samurai. Terus terang selama ini belum
pernah ada lawanku yang selamat dari
serangan mautku. Kau boleh juga, sobat,"
kata Husein. "Sama juga, kawan. Selama ini belum pernah ada yang berhasil mengelakkan
serangan samuraiku," balas Gahito tak mau kalah.
"Benar! Dan untuk itu, kau perlu
bersyukur karena masih bisa menghirup
nafas kehidupan. Hanya beberapa saat lagi, serangan berikutnya akan membuatmu
tidak berdaya. Sekarang sebutkanlah namamu dan jika kau mati di tanganku, dengan
senang hati aku akan mengirim mayatmu ke daerah asalmu."
"Keluarkanlah semua ilmu yang kau
miliki, leleki sombong. Aku tidak takut!"
Husein mundur beberapa langkah.
Permadani yang tak pernah lepas darinya yang merupakan senjata andalannya,
dililitkan ke pinggangnya. Setelah itu, ia mengangkat kedua tangannya dan
wajahnya pun ditengadahkan ke langit. Mulutnya
komat-kamit, sehingga kumisnya yang lebat dan panjang itu bergerak-gerak, aneh
dan terasa menciptakan sesuatu kekuatan gaib yang sangat berpengaruh.
"Hei, pendekar samurai. Lihat mataku!
Ya, mataku. Kau akan menemukan sesuatu yang sangat menarik di mataku. Ya, benar!
Kau akan tunduk padaku...."
Gahito menatap mata Husein. Dadanya
berdebar tak karuan. Mata itu terasa
memancarkan kekuatan dahsyat yang
membuatnya terpesona dan menekan jiwanya untuk tidak memberikan perlawanan.
"Pendekar samurai, lihat kedua
tanganmu. Kenapa kau memegang dua ekor ular yang sangat berbisa" Lihat ular di
tanganmu sangat ganas dan siap mematuk kedua biji matamu!"
Seperti tidak sadar, Gahito melirik
senjatanya. Alangkah terkejutnya ia karena yang tergenggam di tangannya bukanlah
lagi samurai, melainkan dua ekor ular yang
sangat berbahaya. Sadarlah pendekar
samurai itu bahwa lawannya telah
menggunakan ilmu sihir yang pengaruhnya sangat kuat dan jahat.
"Pendekar samurai, ular itu telah
menyerangmu. Lihat, dia menyerang matamu.
Lihat, pendekar samurai. Lihat ular itu.
Kau akan mati dipatuknya."
Kedua ekor ular di tangan Gahito
meronta-ronta dengan kekuatan yang luar biasa. Gahito semakin terjekut, karena
ular itu seperti yang dikatakan Husein
mulai berusaha mematuk kedua biji matanya.
Pendekar samurai itu berusaha mengerahkan tenaga untuk menekan kedua ular itu
agar tidak mematuk dirinya. Namun binatang itu sepertinya memiliki kekuatan luar
biasa, sehingga Gahito harus berjuang mati-matian untuk menyelamatkan diri.
Dalam keadaan panik, Gahito masih
sempat memutar otak. Hanya dua ekor ular, kok bisa membuatku kelabakan" Sungguh
merupakan ilmu yang sangat jahat. Gahito menyadari bahwa itu adalah permainan
sihir yang dapat mencelakakan dirinya jika tidak dapat
diatasi. Ia sebenarnya tidak
menguasai ilmu sihir seperti itu, tetapi dari gurunya ia pernah mendengar caracara membuyarkan pengaruh jahat itu. Maka
Gahito segera menghimpun segenap tenaga dalamnya, kemudian berteriak nyaring.
Suara teriakannya itu melengking dan
mengandung kekuatan dahsyat sehingga
terasa menggetarkan tanah di sekitarnya.
Pengaruh sihir Husein pun buyar. Kedua
ekor ular yang ada di tangan kembali
seperti sediakala, dua batang senjata
samurai. "Bedebah! Ilmu sihirmu hampir saja mencelakakan aku," kata Gahito dengan suara
bergetar, karena masih terpengaruh oleh kejadian yang cukup mengerikan itu serta
gejolak amarah karena merasa
dipermainkan. "Hebat kau, sobat! Benar-benar hebat!
Aku salut padamu!" kata Husein dengan sungguh-sungguh.
"Kau jangan mengejekku, bangsat! Mari kita teruskan pertarungan ini sampai salah
seorang di antara kita menemui ajalnya!"
"Sudahlah, sobat! Sebenarnya apa yang kita perebutkan" Lihat bocah tolol itu
telah menghilang."
Gahito melirik ke tempat si Tolol tadi
duduk berjongkok ketakutan. Memang benar, bocah tolol itu tidak ada lagi. Dan
tadi bocah itu sepertinya menyembunyikan sesuatu di balik bajunya. Mungkin saja
yang disembunyikan itu adalah patung Ratu
Shima. "Aneh! Agaknya ia seorang pendekar yang memiliki ilmu tinggi. Tapi tadi
tampaknya ia sangat ketakutan dan aku yakin ia itu pasti bocah tolol." kata
Gahito yang rupanya setuju jika pertarungan itu tidak dilanjutkan lagi.
"Sobat, kita sama-sama pendatang di negeri ini. Tidak mustahil jika ada
pendekar yang aneh seperti itu, pura-pura bodoh dan ketakutan padahal ilmunya
tinggi." "Ya, tampaknya memang begitu. Tadi ketika aku mencegatnya, ia berlari sangat
kencang. Kalau begitu, kita sudah
ditipunya mentah-mentah."
"Ayo, kita kejar. Lihat ceceran
kotoran ini. Berarti ia lari ke arah
pantai. Kita kejar sampai dapat!" teriak Husein sambil menunjuk kotoran
berceceran yang mengarah ke pantai.
Kedua pendekar itu segera meloncat dan
melesat dengan gerakan yang sangat cepat kearah pantai. Keduanya saling
mendahului dan mengerahkan segenap kemampuan
kecepatan larinya. Agaknya pertarungan
mereka barusan masih meninggalkan rasa
penasaran di hati kedua pendekar asing itu.
Baik Husein maupu Gahito masih
penasaran dan diam-diam ingin menunjukkan kelebihannya.
*** 4 Matahari mulai condong ke Barat.
Cahaya jingga mentari di sore itu menyapu pantai.
Dedaunan bergoyang-goyang
bagaikan menari-nari dan tampak
berkilau-kilau ditimpa sinar matahari. Di seberang sana kabut mulai turun,
sehingga gugusan bukit-bukit kelihatan hanya
bayang-bayangannya saja.
Angin yang berhembus hanya sepoi-sepoi
saja dan gelombang besar tidak ada, sehingga laut di sore itu kelihatan bagaikan hamparan permadani biru. Seperti
hamparan laut itu hanya menunjukkan bahwa ia tidak selamanya ganas dengan
ombaknya yang siap menghanyutkan perahu dan nelayan. Dan
bahwasanya laut itu ganas semata-mata
hanya karena tiupan angin kencang. Kalau tidak diganggu, laut tidak akan
mengganggu! Laut menyimpan keindahan dan nafas sini yang sangat dalam, jika
makin dihayati akan semakin terasa keindahannya.
Dari situlah sering lahir inspirasi para pujangga untuk menulis karya sastra
yang sangat indah.
Dan laut tak ubahnya perlambang
perjalanan kehidupan manusia. Manusia
mengarungi perjalanan hidupnya,
kadang-kadang penuh cobaan dan rintangan.
Ibarat seorang pengembara mengarunginya dengan biduk, dipermainkan ombak ganas.
Tetapi seperti sekarang, orang dapat
mengarunginya dengan tenang sambil
menikmati indahnya hamparan laut dan
pemandangan di pantai.
Sebuah perahu kecil tampak mengarungi
laut itu dan perlahan-lahan mulai me-rapat ke dekat pantai. Perahu itu termasuk
kecil, hanya berukuran sekitar tujuh kali dua
meter. Di bagian haluan perahu tampak
ukiran ular naga yang dicat dengan
kombinasi warna merah, hijau dan hitam.
Lahirnya Sang Pendekar 1 Kisah Si Rase Terbang Soat-san Hui-hauw Karya Chin Yung Ilmu Halimun 3

Cari Blog Ini