Ceritasilat Novel Online

Tikam Samurai 12

Tikam Samurai Karya Makmur Hendrik Bagian 12


Keenam lelaki yang baru datang itu saling pandang. Salah seorang diantaranya, yang berkumis tebal,
yaitu yang tertua diantara mereka, maju dua tindak.
Suara terompa kayunya terdengar berdetak di atas semen di halaman belakang kuil itu.
"Kami dari organisasi Kumagaigumi. Kami datang"."
"Hmm, Kumagaigumi, kelompok biruang gunung yang sejak dahulu hanya mengacau"." Suara Zato Ichi
memutus ucapan lelaki itu.
"Itu urusan kami. Kami tak pernah mencampuri urusan Zato Ichi. Harap jangan ikut campur urusan
kami?" lelaki itu membentak.
Terdengar suara tawa Zato Ichi perlahan.
"Bagaimana aku takkan ikut campur, kalau urusan kalian itu justru merampok dan memperkosa wanitawanita Jepang" Apa tak lebih baik kalian memperkosa ibu kalian sendiri?"
Muka lelaki yang baru datang itu jadi merah padam.
"Zamanmu sudah lewat Zato Ichi. Lebih baik hari-hari tuamu ini kau lewatkan dengan berdoa dalam kuil.
Menghindarlah dari sana. Kami ada urusan dengan anak muda jahanam itu?"
Zato Ichi terdiam. Mukanya terangkat. Matanya yang buta seperti menatap langit yang gelap. Kemudian
menunduk. Dan terdengar suaranya perlahan :
"Ya, saya harusnya berdoa"selesaikanlah urusan kalian?"
Dan sehabis berkata begitu, perlahan mengetuk-ngetuk lantai semen, mencari jalan ke arah kanan
rumah. Tak jauh dari sana, ada sebuah bangku-bangku dari semen. Dan dengan tenang Zato Ichi duduk di
bangku tersebut. Kini di depan rumah itu tegak Si Bungsu sendiri menghadapi keenam lelaki anggota Kumagaigumi itu.
"Nah, anak muda. Kami datang untuk membawamu pergi. Engkau harus mempertanggung jawabkan
perbuatanmu. Membunuh anggota kami di kota Gamagori dan di hotel tiga hari yang lalu.."
"Yang, di hotel itu, saya ikut membunuhnya tiga orang?" suara Zato Ichi memutus.
Pimpinan Kumagaigumi itu menoleh. Tapi jelas dia tak ingin pahlawan Samurai itu ikut campur. Kalau
dia campur tangan, jelas keadaan akan gawat. Karena itu dia lalu berkata :
"Urusan dengan engkau akan kami bereskan kemudian. Kami berurusan dengan orang asing ini?"
Zato Ichi tertawa berguman. Jelas bahwa dia mengetahui akal licik anggota Kumagaigumi ini. Namun
demikian, dia tetap duduk dengan tenang.
"Nah, kau ikutlah kami?" suara lelaki berkumis tebal itu berdengung. Si Bungsu hanya tersenyum tipis.
"Bukan salah saya kalau teman-temanmu yang di hotel itu mati. Telah saya katakan saya tak mau
persoalan diperlarut-larut. Buata apa kita saling bunuh" Saya sudah bosan dengan pekerjaan membunuhi
orang"." Ucapan Si Bungsu ini sebenarnya keluar dari hati yang ikhlas. Dia memang tak lagi berniat jadi tukang
jagal. Dan itu sudah dia buktikan di hotel ketika anggota Kumagaigumi itu datang tiga hari yang lalu.
Dia tak mau melawan mereka. Dan hal itu hampir saja menyebabkan nyawanya melayang. Keempat
lelaki yang memasuki kamar hotelnya itu benar-benar tak berperikemanusiaan. Untunglah di saat yang sangat
gawat Zato Ichi datang membantu.
Dan kali inipun, seperti halnya keempat anggota Kumagaigumi di hotel tiga yang lalu, keenam lelaki ini
salah duga akan ucapan Si Bungsu.
Koleksi eBook : Drs. H. Hendri Hasnam, MM. 260
Kalau yang datang ke hotelnya dulu menganggap bahwa anak muda ini takut, maka keenam lelaki ini
justru menganggap dengan ucapannya itu Si Bungsu tengah menggertak mereka.
Dengan ucapan "Saya sudah bosan jadi tukang bunuh", mereka menganggap bahwa anak muda ini
seakan-akan berkata : " dengan mudah saya bisa membunuh kalian. Tapi saya sudah bosan?"
Nah, salah duga biasanya mendatangkan malapetaka. Dan itulah yang akan terjadi di kuil ini.
"Jangan menyombong buyung. Apakah kau sangka dengan kemenanganmu melawan anggota Jakuza di
Tokyo, kemudian menang lagi melawan anggota kami di Gamagori, lalu terakhir menang lagi melawan pendeta
di kuil Shimogamo, engkau menyangka bahwa dirimu sudah hebat?"
"Tidak. Saya tidak bermaksud menyombong. Saya memang tak berniat untuk berkelahi"
"Baik. Kalau begitu engkau harus ikut kami ke markas.."
"Itu juga tak saya inginkan?"
"Heh, berkelahi tak mau. Ikut kami juga tak mau. Lalu apa maumu?"
"Saya tak ingin apa-apa. Lupakan saja peristiwa yang lalu?"
"Itu bukan menginginkan apa-apa buyung. Meminta kami melupakan perbuatanmu di masa lalu sudah
merupakan suatu keinginan yang laknat. Lebih baik kau cabut samuraimu, dan lawan kami?"
Zato Ichi terdengar bersiul kecil. Siulnya menyanyikan lagu Musim Dingin. Suara siulnya lembut dan
bergetar. Si Bungsu tersenyum. Tersenyum mendengar tantangan itu dan tersenyum mendengar siul Zato Ichi.
Dan senyumannya membuat hati pimpinan Kumagaigumi ini jadi berang. Dia memberi isyarat pada tiga
anak buahnya. Ketiga orang itu segera maju dengan menghunus samurai mereka.
Mereka mengatur posisi. Siul Zato Ichi makin jelas terdengar dalam suitan angin musim dingin di luar Kyoto itu. Dan tiba-tiba
salah seorang menggebrak maju membabat perut Si Bungsu. Yang dua lagi dengan cepat menghantam kepala
dan kakinya. (71) Serangan itu demikian cepatnya. Namun Si Bungsu tak mencabut samurainya. Dia mengelakkan ketiga
serangan itu dengan memiringkan tubuh, membungkuk dan mengangkat kaki kanan yang dibabat samurai!
Lalu melangkah ke depan dua langkah. Ketiga serangan itu lewat tanpa mengenai sasaran. Siul Zato Ichi
masih terdengar. Mendayu dan kadang-kadang terhenti pada puncak nada yang tinggi. Tiga serangan lagi
menggebu ke arahnya. Si Bungsu mempergunakan sarung samurainya untuk menangkis serangan itu. Dia sengaja tak mencabut
samurai dari sarungnya. Dan sarung samurai yang terbuat dari kayu keras itu dia pergunakan sedemikian rupa
hingga ketika membentur samurai lawan jadi mencong arah serangannya.
Dua kali serangan seorang. Berarti Si Bungsu sudah menggagalkan enam jurus serangan ketiga lawannya
tanpa menjatuhkan korban.
Ketiga orang itu saling pandang. Demikian juga tiga temannya yang belum turun tangan ikut kaget
melihat kehebatan anak muda ini.
Kemudian seperti dikomandokan, mungkin karena ingin cepat menyelesaikan perhitungan ini, keenam
mereka tiba-tiba maju serentak.
Enam samurai dari penjahat-penjahat Kumagaigumi yang terkenal, menggebu-gebu ke tubuh Si Bungsu.
keenam mata samurai itu menyerang enam tempat yang berbahaya ditubuhnya.
Sebenarnya, bagi mata samurai, bahagian manapun di tubuh manusia tetap saja merupakan bahagian
yang berbahaya. Karena meskipun mengenai tempat yang tak mematikan, mengenai kaki atau tangan misalnya,
tapi serangan itu bisa membuat orang lumpuh seketika. Bayangkan saja kalau tangan atau kaki putus.
Maka kini, nasib itulah yang sedang di hadapi Si Bungsu. Namun kali ini dia tak mau anggap enteng.
Bermain samurai baginya kahir-akhir ini memang bukan merupakan suatu "kerja" yang mendatangan rasa
susah. Gerak tangannya mempergunakan samurai itu hampir-hampir merupakan gerak yang tak
diperhitungkan. Merupakan sesuatu kewajaran yang mutlak dan sangat berperhitungan.
Begitu gebrakan keenam samurai itu menderu mengurung dirinya, tangan kanannya bergerak pula.
Samurai tercabut tak sampai sekerdipan mata. Dan saat berikutnya, suara beradunya baja terdengar mengoyak
suitan angin dingin. Beberapa bunga api memercik dari pertemuan samurai itu.
Koleksi eBook : Drs. H. Hendri Hasnam, MM. 261
Kemudian terdengar seruan-seruan tertahan dan rasa kaget. Keenam anggota Kumagaigumi itu tersurut
setindak begitu samurai mereka dihantam samurai anak muda itu.
Tangan mereka terasa sakit dan tergetar hebat takkala samurai mereka beradu tadi. Hampir saja
samurai di tangan mereka berpentalan ke udara kalau mereka tak cepat-cepat mundur.
Dan kini Si Bungsu tegak dengan diam dan dengan samurai tersisip kembali dalam sarangnya!
"Sudahlah, kita akhiri saja pertikaian ini"." Dia ingin berkata demikian. Namun ucapannya belum
sempat keluar takkala keenam lelaki itu dengan didahului sebuah pekik Banzai menggebrak lagi maju!
Enam samurai kembali bersuitan dengan kecepatan luar biasa. Namun saat berikutnya hanya pekik
kaget dan sakit yang terdengar. Keenam samurai di tangan anggota Kumagaigumi itu mental ke udara.
Tercampak jauh dan menimbulkan bunyi yang berisik ketika menimpa lantai batu di halaman belakang kuil tua
itu. Dan keenam lelaki itu merasakan betapa tangan atau rusuk mereka jadi pedih dan mengalirkan darah!
Siul Zato Ichi terhenti seketika. Kepalanya tertegak.
Si Bungsu masih tetap tegak. Dan kali ini perlahan dia menyarungkan kembali samurainya. Dan keenam
lelaki itu, termasuk Zato Ichi, segera sadar sepenuhnya, bahwa anak muda ini benar-benar telah bermurah hati
mengampuni nyawa mereka. Kalau saja dia mau, maka dengan mudah dia bisa menghabisi mereka semua.
Tapi buktinya tak seorangpun di antara mereka berenam yang luka parah. Luka di tangan dan rusuk
mereka saat ini hanyalah semacam "pemberitahuan".
"Saya tak suka kekerasan. Saya berharap pertikaian kita selesai disini. Dan saya maafkan kalian. Namun
saya peringatkan, setelah kejadian ini jika masih ada anggota Kumagaigumi yang menghadang jalan yang saya
tempuh, maka saya akan membunuhnya disaat pertama"
Suara anak muda ini terdengar amat dingin. Mengatasi udara dingin di musim dingin saat itu. Dan tak
seorangpun di antara mereka yang hadir disana, termasuk Zato Ichi yang menganggap bahwa anak muda ini
hanya tukang bual dengan ucapannya barusan.
Semua mereka yakin, bahwa anak muda itu akan mampu membuktikan ucapannya itu. Bukan hanya
sekedar gertak sambal! Dengan didahului oleh pimpinannya yang bertubuh kekar berkumis lebat, keenam anggota Beruang
Gunung itu segera angkat kaki tanpa memungut samurai mereka yang bertebaran di halaman kuil itu.
"Ck"ck"ck! Benar-benar ilmu samurai yang luar biasa?"
Si Bungsu menoleh dan melihat Zato Ichi masih duduk di kursi batu enam depa dari tempatnya tegak.
Zato Ichi bukan hanya sekedar memuji. Dia sengaja tak ikut membantu anak muda itu karena ingin
"melihat" bagaimana caranya orang asing ini mempergunakan samurai.
Dia "melihat" dengan indera pendengarannya yang tajam luar biasa itu. Ya, meski matanya buta, Zato
Ichi bisa "melihat" dengan jelas melalui indera pendengaran, penciuman dan tangannya.
Dari bau yang tercium oleh hidungnya dia segera mengetahui ada manusia, hewan atau benda lain yang
tak bergerak disekitarnya. Kegelapan merupakan kawan utamanya sepanjang hidup. Bayangkan hidup tanpa
mata. Itulah yang selalu dilawan oleh Zato Ichi.
Dan perkelahian Si Bungsu dengan keenam anggota Kumagaigumi itu dengan jelas bisa dia "saksikan".
Dia tahu dengan pasti, betapa samurai anak muda itu menghantam samurai-samurai anggota Kumagaigumi itu.
Dia tahu pula dengan pasti, bahwa anak muda itu menghantam samurai keenam lelaki itu dengan
punggung samurainya. Pukulan dengan punggung samurai itu sangat keras. Dan itulah sebabnya keenamnya
terpental. Kekuatan yang dikombinasikan dengan perhitungan dan tekhnik yang hampir-hampir sempurna.
"Nampaknya engkau memiliki banyak musuh anak muda. Setiap orang di negeri ini menghendaki
nyawamu?" suara Zato Ichi kembali bergema.
Si Bungsu menarik nafas panjang. Seperti sebuah keluhan yang dalam. Ya, setiap orang seperti
menghendaki nyawanya. Termasuk Michiko!!
"Apakah mereka akan datang lagi?" Si Bungsu bertanya perlahan.
"Barangkali. Tapi meskipun mereka tak datang kemari, mereka akan tetap menghadang jalanmu.."
"Bila itu terjadi, maka aku akan membuktikan kata-kataku tadi.."
"Ya. Engkau harus. Sebab mereka memang menghendaki nyawamu. Barangkali engkau ingin tetap
mengalah. Tapi sampai bila engkau mampu bertahan" Suatu saat, engkau akan sampai pada titik, dimana
engkau harus memilih antara membunuh atau dibunuh"
Si Bungsu termenung. "Apa yang kau alami hari ini dan hari-hari mendatang, persis seperti yang kualami di zaman yang lalu
Bungsu-san. Engkau memiliki sesuatu yang tak dimiliki orang lain.
Koleksi eBook : Drs. H. Hendri Hasnam, MM. 262
Engkau mempunyai kelebihan, dan orang jadi iri. Orang berusaha menjatuhkanmu. Engkau seorang yang
tangguh, dan orang jadi ingin menguji sampai dimana ketangguhanmu.
Menjatuhkan dirimu merupakan kebanggan bagi orang yang iri atau musuhmu. Sebab dengan bangga
mereka bisa berkata : aku telah menjatuhkan dan menghancurkan jagoan itu. Maka jalan yang akan kau
tempuh, akan selalu berkuah darah"
Si Bungsu termenung. "Negeri ini memang jauh berbeda kini Bungsu-san. Kini banyak mobil. Banyak listrik dan modernisasi.
Tapi satu hal yang tak berobah. Yaitu kekerasan watak penduduknya. Di zaman saya dahulu, saya harus
menjaga leher saya untuk tidak ditebas orang. Padahal yang saya perbuat tak lebih dari sekedar membela orang
yang teraniaya. Menolong orang yang tertindas dari kesewenang-wenangan penguasa dan orang kaya. Saya
memang tak mengharapkan balasan. Tapi musuh saya jadi terlalu banyak. Orang-orang miskinpun ikut
memburu dan menghendaki nyawa saya?"
Si Bungsu jadi kaget. "Ya. Merekapun ikut memburu saya. Karena penguasa dan orang kaya yang pernah saya gagalkan niat
jahatnya, membayar mereka untuk itu. Maka uang segera saja mengalahkan hati nurani manusia. Namun
mustahil saya bisa mengalah terus menerus. Ada kalanya saya terpaksa menurunkan tangan kejam.
Beberapa orang, atau tepatnya sekian ratus orang, ya Tuhan saya tak ingat lagi berapa jumlah yang pasti,
telah saya bunuh. Ya, itulah yang terpaksa saya lakukan. Sampai akhirnya saya memutuskan untuk membuang
samurai saya. Tapi itu berarti bunuh diri. Saya menghindar ke hutan. Dapat kau bayangkan Bungsu-san" Kita harus
menghindarkan diri ke rimba hanya untuk tidak membunuh manusia.
Peradaban ternyata lebih tinggi di rimba raya daripada di kota yang dihuni manusia. Di sana, dibelantara
itu saya menemukan kedamaian. Tak ada dengki dan khianat. Tak ada penindasan. Dan sejak itulah saya
dianggap lenyap dari bumi Jepang?"
Keadaan jadi sunyi. Hanya suitan angin dingin yang terdengar. Si Bungsu terdiam, karena dalam
ucapannya tadi dia menangkap nada yang luka dihati Zato Ichi.
Dia tak menyangka, bahwa seorang pahlawan rakyat Jepang, yang namanya menjadi legenda yang amat
dicintai orang, ternyata memendam duka hidup yang alangkah pedihnya.
"Lalu, kenapa kini Ichi-san muncul ke kota?"
"Ada suatu tugas yang harus saya lakukan?"
"Kenapa hari itu justru muncul di kamar saya dan persis ketika nyawa saya terancam?" Zato Ichi tak
menyahut. Dia menunduk. "Saya sangat bersyukur dan berhutang budi pada Ichi-san. Kalau Ichi-san tak datang saat itu, saya pasti
sudah mati?" Zato Ichi menarik nafas panjang dan berat.
"Kehadiran saya itu, termasuk bahagian dari tugas saya?" suaranya terdengar perlahan.
"Tentulah tugas besar. Dan saya akan sangat gembira kalau bisa membantu Ichi-san?"
"Tak seorangpun yang dapat membantu saya Bungsu-san?"
"Tugas apa itu yang tak mungkin dibantu?"
"Saya sendiri tak yakin, apakah saya bisa melaksanakannya?" suara Zato Ichi terdengar getir.
"Kalau boleh saya tahu, apakah tugas itu?"
"Membunuh seseorang.."
"Membunuh seseorang?"
"Ya?" Si Bungsu menatap tak mengerti pada Zato Ichi. Padahal baru sebentar ini pahlawan itu berkata, bahwa
dia terpaksa harus lari menyembunyikan diri ke rimba untuk menghindar dari orang-orang bayaran yang
diupah untuk membunuhnya.
Tapi justru hanya beberapa detik setelah itu Zato Ichi sendiri mengakui bahwa dia "disuruh" seseorang
untuk membunuh seseorang. Atau tugasnya, disuruh untuk membunuh orang lain. Sesuatu yang menurut
ceritanya sangat dia benci.
Dan Zato Ichi nampaknya mengerti apa yang tengah dipikirkan Si Bungsu.
"Saya tidak dibayar Bungsu-san. Tak ada yang bisa membayar samurai saya. Samurai saya tak pernah
berlumur darah orang-orang yang tak berdosa?"
"Tapi, kenapa kali ini Ichi-san mau disuruh membunuh" Siapa yang menyuruh, dan siapa yang harus
Ichi-san bunuh?" Koleksi eBook : Drs. H. Hendri Hasnam, MM. 263
"Saya diminta membunuh seseorang. Dan saya tak mungkin menolak. Sebab jika saya menolak, maka
saya akan dianggap tidak membalas budi. Saya tak mau dianggap tak berbudi. Karena saya menjunjung budi
pekerti "." "Saya tak mengerti apa yang Ichi-san maksudkan.."
"Ya, saya sendiri juga sulit memikirkannya Bungsu-san".hampir dua puluh tahun yang lalu, saya dalam
perjalanan melarikan diri dari kejaran penjahat-penjahat di daerah Tanjung Noto.
Saya menyangka nyawa saya takkan tertolong lagi. Saya dalam keadaan sekarat karena luka yang saya
perdapat dari tembakan bedil dua orang penjahat. Waktu itulah seseorang menyelamatkan saya". Dapat
Bungsu-san mengerti betapa saya berhutang budi padanya?"
Si Bungsu mengangguk. Betapa tidak, cerita itu mirip dirinya, dia telah diselamatkan dalam keadaan luka
parah, diambang maut, oleh Zato Ichi.
Kalau kelak Zato Ichi meminta dia melakukan sesuatu, maka dia pasti tak pula bisa menolak.
"Ya, saya dapat mengerti sekarang?" kata Si Bungsu. Zato Ichi tetap diam. Masih tetap duduk di bangku
batunya. Sementara Si Bungsu juga duduk di kursi batu dua depa dihadapannya.
"Dia yang menugaskan Ichi-san membunuh seseorang itu?"
"Tidak. Dia sudah mati. Yang menugaskan saya adalah adiknya".adiknya mencari saya dan
menceritakan kematian abangnya. Dan meminta saya mencari pembunuh abangnya itu untuk membalaskan
dendam. Yaitu membunuh pembunuh abangnya yang telah membantu saya dahulu?"
Ya. Saya mengerti sekarang. Ichi-san harus melakukannya. Dan kenapa pula saya tak bisa membantu
Ichi-san" Bukankah kita bisa pergi bersama mencari orang itu, dan bersama pula membunuhnya?"
Zato Ichi manarik nafas panjang.
Dan Si Bungsu dapat melihat, betapa dalam diri pahlawan Jepang itu berperang rasa yang sulit untuk
diduga. Si Bungsu mengerti. Dalam hidupnya, seperti yang dikatakannya tadi. Zato Ichi tak pernah melumuri
samurainya dengan nyawa orang yang tak bersalah. Kalau Zato Ichi tentu merasa berat untuk melakukan
pembunuhan itu. Dan Si Bungsu merasa kinilah saatnya dia membantu Zato Ichi. Yang penting bagi Zato Ichi tentulah
orang yang dia cari itu mati. Tak perduli melalui tangan siapapun. Kalau Zato Ichi keberatan bukankah dia dapat
menggantikan tugas ini"
Dia akan kembali ke Indonesia tak lama lagi. Apa salahnya sebelum pergi, sebagai tanda terimakasih, dia
menolong Zato Ichi membunuh lawannya"
"Saya dapat membantumu Ichi-san. Tunjukkan siapa orangnya, dan Ichi-san tak perlu melumuri tangan
Ichi-san dengan dosa, biar saya yang melakukannya?"
Si Bungsu terhenti takkala dia melihat airmata Zato Ichi mengalir dipipi.
"Tak apa-apa Ichi-san. Saya dengan rela menggantikan tugas Ichi-san. Saya dapat mengerti perasaan
Ichi-san. Ini adalah negeri Ichi-san. Ichi-san sudah lama meninggalkan dunia bunuh membunuh ini. Dan Ichisan akan tetap disini. Sementara saya, setelah tugas itu selesai, akan kembali ke negeri saya. Dan orang akan
melupakan peristiwa itu?"
Zato Ichi tak menyahut. Dia tetap tenang dan duduk memegang samurainya.
"Kalau Ichi-san tak keberatan, tunjukkan saja pada saya siapa orang yang harus dibunuh itu?"
"Dia orang asing?"
Si Bungsu tertegun. Orang asing! Pastilah tentara Amerika. Ya, siapa lagi yang membuat kekacauan di
negeri ini selama lima-enam tahun ini kalau tidak tentara pendudukan.
Tentara Amerika itu pastilah telah membunuh orang yang pernah menolong Zato Ichi. Dan kini Zato Ichi
harus membunuhnya. Patutlah Zato Ichi merasa tak enak hati untuk melakukan tugas itu.


Tikam Samurai Karya Makmur Hendrik di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Tentara Amerika?" tanya Si Bungsu.
Zato Ichi menggeleng. "Siapa?" "Engkau Bungsu-san"!"
(72) Suara Zato Ichi terdengar getir tapi pasti! Si Bungsu tertegun. Dia hampir tak percaya pada
pendengarannya. Zato Ichi menarik nafas panjang. Dan suaranya terdengar perlahan :
"Ya, engkaulah orangnya yang harus saya cari dan harus saya bunuh Bungsu-san?"
Koleksi eBook : Drs. H. Hendri Hasnam, MM. 264
Si Bungsu masih tetap tak berbicara. Tak kuasa bicara. Kalau benar dia yang harus dibunuh lelaki ini,
kenapa dia menolongnya dari ancaman maut di hotel dulu" Kenapa dia juga mengobati lukanya"
Ada hal-hal yang tak masuk akal!
"Saya tak berdusta Bungsu-san. Lelaki yang menolong saya dua puluh tahun yang lalu itu adalah Saburo
Matsuyama?" Kalau ada petir yang menyambar, mungkin Si Bungsu takkan seterkejut ini.
"Ya. Dialah yang menolong nyawa saya Bungsu-san. Waktu itu dia belum memasuki dinas ketentaraan.
Setahun setelah peristiwa itu dia baru jadi tentara kekaisaran Tenno Heika.
Dan beberapa hari yang lalu, saya dengar dia meninggal di kuilnya Shimaogamo. Saya ada disana ketika
upacara penguburan itu. Dan saya mendengarkan apa yang terjadi antara puterinya Michiko-san dengan
Bungsu-san. Saya mengetahui semuanya. Itulah kenapa saya datang ke hotel Bungsu-san?"
"Kalau begitu".yang menyuruh Ichi-san membunuh saya pastilah"pastilah puterinya, Michiko!"
Zato Ichi menggeleng beberapa kali.
"Tidak Bungsu-san. Gadis itu sangat mencintai dirimu. Dia melukai dirimu pagi itu di Shimogamo hanya
karena pukulan bathin yang dahsyat. Kini dia sakit. Yang menyuruhku untuk membunuhmu adalah adik
Saburo. Doku Matsuyama. Dia seorang pegawai pemerintah di kota Kyoto"."
Dan mereka sama-sama terdiam. Angin bersuit perlahan. Bagi Si Bungsu, ini adalah sesuatu yang teramat
dahsyat. Bagaimana dia bisa mempercayai bahwa orang yang akan membunuhnya adalah orang yang
menyelamatkan nyawanya"
"Kalau begitu".kenapa Ichi-san menolong saya dari kematian di hotel itu" Bukankah hari itu saya
harusnya sudah mati dan Ichi-san tak usah susah-susah turun tangan sendiri?""
Zato Ichi menarik nafas lega.
"Itulah malangnya Bungsu-san. Saya paling tak bisa melihat ketidakadilan terjadi. Kelurgamu
dibunuhnya semua. Dan saya juga akhirnya tahu, bahwa Saburo-san bukan engkau yang membunuhnya.
Meskipun engkau sanggup melakukan itu padanya. Saya tahu, Saburo-san harakiri. Dan sebelumnya dia telah
meminta kepada para pendeta di kuil itu untuk tidak memperpanjang soal ini.
Sebenarnya soal itu sudah selesai sampai disana. Tapi, adik Saburo meminta saya untuk melakukan
pembalasan padamu. Engkau barangkali akan bertanya, kenapa aku harus mematuhi permintaan adiknya,
padahal saya tidak berhutang apa-apa pada adiknya bukan"
Seharusnya demikian. Tapi adiknya ternyata ikut membantu saya. Meskipun secara tidak langsung.
Doku Matsuyamalah yang setiap hari membawa obat dan makanan bagi saya di kebun persembunyian itu.
Karenanya, saya ikut berhutang budi padanya. Dan kini dia meminta saya untuk membayar hutang budi
itu?" Si Bungsu duduk terdiam. Zato Ichi juga. Dia tatap lelaki itu. Tokoh legenda yang dicintai rakyat Jepang
itu. Kelihatan tua dan lelah. Alangkah kasihannya, pikir Si Bungsu, sudah setua ini masih harus dibebani oleh
hutang budi yang alangkah mahalnya.
Dia tiba-tiba membayangkan bahwa Zato Ichi itu adalah dirinya yang sudah tua. Bagaimana kalau dia
mengalami hal yang dialami Zato Ichi saat ini"
"Lakukanlah apa yang ingin kau lakukan Ichi-san?" akhirnya Si Bungsu berkata perlahan.
Zato Ichi mengangkat kepala. Dia menoleh pada Si Bungsu. meski matanya buta, tapi dia seperti menatap
wajah anak muda itu tepat-tepat.
Dan tiba-tiba Zato Ichi berdiri. Berjalan ke arahnya. Dia menanti dengan tegang. Sedepa di depannya,
lelaki buta perkasa itu berhenti.
Si Bungsu tak bisa menatap matanya. Kalau orang biasa dengan menatap matanya bisa menebak apa
gerakan yang akan dia lakukan, maka terhadap Zato Ichi yang buta ini tak bisa dipakai teori demikian.
Si Bungsu justru menatap ke bahu lelaki itu. Dia akan perhatikan gerakannya melalui bahunya. Dan tibatiba Zato Ichi bergerak. Melangkah maju. Dan memegang bahu Si Bungsu.
"Barangkali kita akan bertarung Bungsu-san. Bukan sebagai orang yang bermusuhan, tapi sebagai dua
lelaki yang menjunjung tinggi harkat kemanusiaan. Sebagai dua lelaki yang berjiwa samurai sejati. Tapi itu
tidak sekarang. Kita perlu istirahat?"
Dan terompa kayunya terdengar berdetak-detak masuk kembali ke rumah kecil di halaman belakang
kuil tua itu. Si Bungsu menarik nafas panjang.
Dia tahu, istirahat yang dimaksud oleh Zato Ichi itu adalah khusus untuk dirinya. Sebab dia baru saja
sembuh sakit. Baru saja memeras tenaga melawan enam anggota Kumagaigumi tadi.
Koleksi eBook : Drs. H. Hendri Hasnam, MM. 265
Jadi, dialah yang dimaksudkan istirahat tadi. Zato Ichi ingin memberi kesempatan padanya untuk
memulihkan kesehatan. Baru nanti menantangnya berkelahi.
Si Bungsu jadi terharu. Lelaki itu benar-benar seorang satria sejati. Dia patut menjadi pujaan seluruh
rakyat Jepang. Dia menatap keliling. Melihat enam samurai yang berserakan malang melintang. Yang tadi dia pukul
terpental dari tangan anggota Kumagaigumi itu.
Kemudian dia melangkah masuk ke rumah kecil itu mengikuti langkah Zato Ichi. Di dalam dia disambut
oleh bau panggang ikan yang harum.
"Hm, Bungsu-san, mari makan. Ini saya punya ikan kering, dan sudah saya bakar"ini ada sedikit roti?"
Si Bungsu tegak di pintu. Menatap betapa lelaki buta itu mengulurkan ikan bakar padanya.
"Ambilah. Bungsu-san. Kita masih tetap sahabat. Kini dan sampai kapanpun?" suara lelaki buta itu
terdengar jujur dan mengharukan.
Si Bungsu melangkah. Memegang ikan bakar itu. Kemudian duduk di sisi Zato Ichi. Menyenduk bubur di
panci. Memasukkannya ke dalam mangkuk. Memberikannya ke tangan si Zato Ichi.
"Arigato?" kata si buta itu perlahan.
Si Bungsu menyenduk semangkuk lagi untuknya. Kemudian mereka makan dengan berdiam diri.
Selesai makan siang itu, Zato Ichi kembali meramu obat-obatan. Cukup lama dia meramu obat itu. Si
Bungsu menatapnya dengan diam dari pembaringan. Betapapun jua, dia belum pulih seratus persen.
Entah berapa lama Zato Ichi meramu obat tersebut. Si Bungsu tak begitu pasti. Tapi yang jelas dia jatuh
tidur setelah makan siang itu.
Barangkali hari sudah sangat sore ketika dia terbangun. Rumah kecil itu kosong. Tapi dari luar terdengar
bunyi suling yang merawankan hati.
Dia segera tahu bahwa yang meniup suling itu adalah Zato Ichi. Dia pernah mendengarkannya ketika dia
dirawat dua hari yang lalu.
Suling dimanapun nampaknya sama. Dia juga punya sebuah suling yang bernama bansi. Dan dia
membawanya. Bansinya sering dia tiup kalau hatinya sedang gundah. Kalau dia sedang sepi sendiri.
Dan kini dia dengar Zato Ichi meniup sulingnya. Lelaki buta itu adalah lelaki yang menjalani lorong sepi
yang tak berujung. Yang hidup dari magma sepi yang satu ke pusat sepi yang lain.
Perlahan dia bangkit. Dipan kayu dimana dia berbaring berdenyit halus ketika dia turun. Suara suling di
luar berhenti. Kemudian terdengar suara Zato Ichi :
"Minumlah obat di dalam mangkuk itu Bungsu-san. Itu adalah obat terakhir untukmu. Kalau obat selama
tiga hari ini merawat lukamu dari luar, maka di mangkuk obat itu akan memulihkan peredaran darahmu dari
dalam. Minumlah"."
Si Bungsu menarik nafas. Zato Ichi rupanya mendengar bunyi denyit tempat tidurnya ketika dia turun.
Dan dari sana, dapat diterka, betapa tajamnya pendengaran pendekar buta itu. Si Bungsu jadi terharu.
Ternyata Zato Ichi masih meramu obat untuknya.
Si Bungsu yakin, bahwa obat ini memang obat. Takkan mungkin seorang berhati mulia seperti Zato Ichi
akan memperdayakan dirinya dengan obat tersebut.
Dia mengangkat mangkuk itu. Memang ada kelaianan bau. Tapi dengan keyakinan penuh dia meminum
obatnya. Tapi pada teguk pertama saja, celaka sudah menjemput pemuda dari Gunung Sago ini.
Seharusnya dia sudah bisa menebak dari bau obat yang amat keras itu. Bahwa ada sesuatu yang luar
biasa dalam obat tersebut. Dan mangkuk obat itu segera saja jatuh ke lantai. Pecah dan isinya tumpah.
Tubuh Si Bungsu menggetar. Rasa panas yang amat luar biasa menyerang jantungnya!
"Racun"!" bisiknya.
Di luar, suara suling Zato Ichi terdengar berbunyi kembali. Lembut dan menimbulkan perasaan haru.
Namun Si Bungsu mendengarkannya dengan penuh penderitaan. Dia tengah berjuang dengan maut.
Dia merangkak ke pembaringan, menggapai ke atas. Mengambil samurainya. Kemudian tangannya
menyentuh gelas. Jatuh pecah! Suara dentingnya membuat suling Zato Ichi terhenti.
Si Bungsu muntah darah. Tapi dia menahannya sekuat mungkin. Jahanam itu pasti menanti bunyi
muntah atau tubuh yang jatuh. Dan dia akan masuk menyudahi nyawaku, pikir Si Bungsu.
Tak dia duga sedikitpun. Lelaki yang jadi legenda Jepang itu berhati pengecut seperti ini. Dia tak berani
menghadapinya dengan samurai secara terang-terangan. Dan dia memakai racun!
Jahanam yang benar-benar pengecut, sumpah Si Bungsu. dia tahan muntahnya sedapat mungkin agar
tak terdengar keluar. Koleksi eBook : Drs. H. Hendri Hasnam, MM. 266
Namun suara suling itu terhenti lagi. Si Bungsu menahan nafas. Dia tak ingin telinga si buta yang tajam
itu mendengar bahwa nafasnya memburu.
"Sudah engkau minum obat itu Bungsu-san?" terdengar suara Zato Ichi perlahan. Si Bungsu kembali
menyumpah. Benar-benar seorang pemain watak yang jahanam sumpahnya. Kalau dia jawab "sudah" si buta itu tentu
akan masuk dan menonton betapa dia menyudahi lawannya.
"Belum".!" Jawabnya berusaha bersuara dengan wajar. Dan sehabis mengucapkan itu, kembali darah
segar muncrat dari bibirnya.
"Minumlah agar engkau pulih kembali seperti biasa"." Suara Zato Ichi terdengar lagi. Si Bungsu
menggertakkan gigi. Dan dia mulai melangkah menuju pintu. Betapapun jua, sebelum mati, dia harus menghajar si buta itu.
Dia tak mau mati terkapar seperti anjing yang terminum racun.
Tiba di pintu tubuhnya menggigil. Panasnya sudah tak tertahankan lagi. Dia meminum obat itu hanya
setengah teguk. Tapi akibatnya sangat fatal. Seluruh wajahnya berobah jadi hitam. Tangannya juga!
Dia sudah banyak mengenal jenis racun ketika berada di Gunung Sago. Tapi dia tak mengetahui racun
apa yang dipakai Zato Ichi kali ini. Dan dia pasti takkan sempat membuat obat untuk memunahkan serangan
racun ini. Sudah terlambat!
Dia tegak di pintu. Dia ingin bersandiwara. Ingin pura-pura jatuh. Zato Ichi tentu masuk. Dan saat dia
muncul dipintu, akan dia hantam dengan samurai!
Namun dia bukan seorang pengecut. Hatinya memprotes sikap demikian. Tidak, dia harus menghadapi
lelaki itu secara jantan. Namun engkau telah dianiaya. Dia tak jujur. Bikin apa dihadapi secara jujur pula, bantah
pikiran panasnya. Biar dia tak jujur. Tapi ketidakjujuran buat apa dibalas dengan ketidak jujuran pula" Hanya kaum
pengecut yang membalas ketidakjujuran dengan ketidakjujuran, bisik hati jernihnya. Dan dengan sikap
demikian, dia melangkah ke luar.
Angin dingin menyambutnya. Dan di luar enam depa di depan rumah itu, di atas kursi batu tadi, Zato Ichi
duduk meniup sulingnya! Amat tenang!
Dia muntah darah lagi! "Zato Ichi!" bentaknya dengan keras mengatasi rasa panas dan denyut jantungnya yang alangkah
pedihnya! Zato Ichi terhenti. Ada sesuatu yang tak beres dalam nada suara Si Bungsu itu.
Dia tak menoleh, tapi mengarahkan telinga kanannya ke arah pintu rumah dimana Si Bungsu tegak.
"Bungsu-san"!" katanya heran.
"Ya, saya disini Ichi-san! Saya telah minum obatmu. Tapi saya belum mampus. Saya bukan seorang
pengecut seperti engkau! Kini cabut samuraimu!"
Berkata begini Si Bungsu melangkah. Dia hampir rubuh. Namun dia yakin bisa melawan Zato Ichi. Dan
itu harus dia lakukan demi kejahanaman yang dilakukan Zato Ichi padanya.
Zato Ichi wajahnya tiba-tiba jadi mengeras. Kelihatan dia jadi tegang. Dia menyisipkan sulingnya
kepinggang. Kemudian mengambil samurai yang dia letakkan disisinya.
Lalu dengan wajah keras sekali, dia melangkah dengan pasti ke arah Si Bungsu! Si Bungsu
memperhatikan bahu dan tangan si buta itu.
"Jahanam! Benar-benar jahanam busuk!" Zato Ichi menyumpah dengan wajah yang tiba-tiba berobah
bengis! "Kau lah yang jahanam busuk Zato Ichi! Tak kusangka engkau pahlawan rakyat Jepang memiliki hati
sebusuk engkau! Kenapa tak kau tantang saja aku berkelahi secara jantan. Kenapa kau pilih memasukkan racun
keminuman yang kau katakan obat itu" Begitukah sikap satria dan samurai sejati yang tadi kau katakan?"
Si Bungsu terhenti bicara. Dia sudah demikian lemah. Zato Ichi tegak sedepa didepannya. Tegak dengan
kaki terpentang dan sikap yang kaku serta wajah yang amat membiaskan amarah!
Dan kalau biasanya Si Bungsu menanti orang lain yang menyerang, kali ini tidak. Kini dialah yang
membuka serangan! Dia mencabut samurainya secepat yang bisa dia lakukan. Dan dengan sisa tenaganya dia
menghayunkan samurai panjang itu kearah Zato Ichi!
Namun gerakannya hanya sampai separoh jalan. Tenaganya lenyap. Dan dia rubuh ke lantai batu dengan
mulut kembali menyemburkan darah segar! Dia rubuh dengan tangan tetap menggenggam samurai!
(73) Koleksi eBook : Drs. H. Hendri Hasnam, MM. 267
Setengan depa dari kepalanya, Zato Ichi pendekar samurai Jepang yang tersohor itu tegak dengan kaku!
Wajahnya tetap saja menggambarkan kemarahan yang luar biasa.
"Benar-benar jahanam yang tak tahu budi, telah diampuni nyawanya, masih saja berlaku kotor!" suara
pahlawan samurai itu terdengar penuh kebencian.
"Heh"he..heh"!!" suara tawa terdengar menyahuti ucapan Zato Ichi. Dan seiring dengan tawa itu, tiga
orang lelaki segera saja muncul dari balik pohon sepuluh depa dari pondok itu.
Dan mereka adalah anggota Kumagaigumi. Di antara yang bertiga itu, seorang diantaranya ternyata yang
memimpin serangan terhadap Si Bungsu pagi tadi!
Kini dia muncul lagi dengan dua temannya yang lain. Yang nampaknya jauh lebih andal dari dirinya.
Kalau tidak, mana berani dia datang kemari.
"Heh-heh".Ichi-san. Antara kita sebenarnya ada persoalan hutang nyawa. Kau telah membunuh tiga
anggota kami di hotel empat hari yang lalu. Tapi biarlah, yang mati tak mungkin hidup lagi. Kini kami hanya
ingin membunuh orang Indonesia ini. Dia sudah terlalu banyak membuat susah kita. Orang asing yang sok jago
dengan senjata tradisionil kita. Nah, kami datang selain untuk melihat kematiannya, juga mengambil samurai
yang kami tinggalkan tadi pagi"."
Wajah Zato Ichi jadi merah padam.
"Kalian yang memasukkan racun ke dalam obat yang diminum Bungsu-san?" suaranya terdengar
bergetar menahan marah yang dahsyat.
"Ah, tak usah dipikirkan benar Ichi-san. Kami hanya sekedar memberi bubuk penyedap ke dalam obatmu
yang kurang sedap itu. Sebetulnya kami ingin meminta persetujuanmu. Membawamu ikut serta dalam
membunuh lelaki jahanam itu. Bukankah engkau juga menghendaki kematiannya" Bukankah engkau harus
menuntut balas atas kematian Saburo Matsuyama, orang yang telah menolongmu 20 tahun yang lalu"
Kami yakin engkau pasti mau kerjasama untuk melenyapkan jahanam ini. Tapi siang tadi Ichi-san
sembahyang terlalu lama dalam kuil. Makanya kami masuk saja. Kami lihat orang itu tidur terlalu nyenyak.
Kami ingin menyudahinya dengan samurai, tapi kabarnya lelaki ini firasatnya amat tajam. Dan samurainya
amat cepat. Makanya kami mencari jalan aman yang tak mengandung resiko. Kami hanya memasukkan racun
pembunuh ikan paus kedalam obatmu itu.
Dan buktinya, kerja kami selesai, tugasmu untuk melenyapkan orang itu juga selesai. Ichi-san hanya
tinggal melapor pada Doku Matsuyama bahwa orang itu telah mati oleh samuraimu. Beres bukan" Hehe.."
Zato Ichi tak bergerak. Tubuhnya tetap tegak diam. Setelah meramu obat tadi, dia pergi sembahyang ke
kuil di depan rumah itu. Cukup lama dia sembahyang. Dan di saat itulah kiranya jahanam ini masuk.
Dan dia benar-benar menyesal meninggalkan Si Bungsu sendirian di dalam rumah itu.
"Jangan khawatir Ichi-san. Kami tidak akan menganiaya mayatnya. Kami hanya menginginkan
samurainya sebagai bukti, bahwa dia sudah mati. Sekaligus juga sebagai kenang-kenangan bukan" Nah,
mundurlah agar kami bisa mengambil samurainya"."
Wajah Zato Ichi membersitkan amarah yang amat hebat.
"Datanglah kemari, ambil samurainya setelah kalian melangkahi mayatku"." Suaranya terdengar
mendesis. Pahlawan samurai Jepang ini benar-benar merasa muak melihat tingkah laku anggota Kumagaigumi
itu. Dia jadi sangat marah, karena Si Bungsu menyangka bahwa dialah yang meletakkan bubuk racun itu ke
dalam obat tersebut. Dia sangat membenci sikap licik begitu. Kini meski Si Bungsu adalah orang yang harus dia bunuh demi
membalas hutang budi pada Saburo, namun dia tak mau mempergunakan sikap licik. Kalaupun dia harus
membunuh Si Bungsu, maka itu akan dia lakukan dengan sikap satria. Menantangnya bertarung dengan
samurai. "Heh".he. Zamanmu telah berlalu Zato Ichi, kini minggirlah"." Suara pimpinan Kumagaigumi itu
terdengar memerintah. Dan mereka lalu mengurung tubuh Zato Ichi.
Mereka kini mengurung Zato Ichi dalam jarak yang sangat ketat. Meski pahlawan samurai itu sudah
kelihatan tua, namun ketiga mereka yakin bahwa Zato Ichi masih tetap Zato Ichi yang dahulu.
Cepat dan sangat mahir dengan samurai. Itulah kenapa sebabnya kini mereka agak ragu untuk membuka
serangan. Lelaki buta itu menunduk. Tangan kanannya tergantung lemas di sisi tubuh. Tangan kirinya memegang
samurai yang diangkat agak tinggi. Setinggi pinggang. Yang mula membuka serangan adalah yang tegak di
belakang Zato Ichi. Lelaki itu mempergunakan gerak tipu. Dia melempar Zato Ichi dengan sarung samurainya.
Koleksi eBook : Drs. H. Hendri Hasnam, MM. 268
Telinga Zato Ichi yang sangat tajam mendengar desiran angin. Dan samurainya membabat sangat cepat.
Saring samurai itu putus tiga! Namun saat itu pula lelaki yang tegak di sisi kanan dan di belakangnya bergerak
tak kalah cepatnya. Samurai mereka berkelabat! Namun suatu hal yang di luar dugaan terjadi pula. Tubuh Si Bungsu yang
tadi rubuh muntah darah, pada saat yang sangat tak terduga bergerak.
Tangannya yang masih menggenggam samurai terhayun. Dan lelaki yang tegak disisi Zato Ichi, yang
menyerang lelaki buta itu, tak sempat berbuat apa-apa.
Bahkan untuk kagetpun dia tak sempat. Sebab gerakan dari orang yang sudah diduga "mati" itu tak
pernah dia bayangkan. Dari bawah samurai anak muda itu membelah ke atas. Kerampang Jepang itu belah. Ikut pula terbelah
beberapa alat peraga di kerampangnya itu.
Matanya mendelik, dan dia mengejang-ngejang. Lalu rubuh mati! Si Bungsu duduk bertelekan di kedua
lututnya. Namun saat itu pula Zato Ichi yang tadi ditipu dengan lemparan sarung samurai itu kena babat perutnya.
Terdengar dia mengeluh. Tubuhnya terhuyung, yang dibelakangnya memburu.
Namun dia masih tetap Zato Ichi yang mampu bergerak cepat. Begitu anggota Kumagaigumi melangkah
dua langkah memburunya, dia menjatuhkan diri di lutut kanan. Kemudian samurai di tanggannya memancung
ke belakang. Anggota Kumagaigumi itu seperti pisang kena tebang. Perutnya dimakan samurai Zato Ichi.
Berkelonjotan sebentar. Kemudian mati!
Dan kini yang tinggal hanya seorang. Dengan terkejut dia memandang pada Zato Ichi dan Si Bungsu
bergantian. Dan yang masih hidup ini adalah lelaki yang memimpin penyergapan pagi tadi.


Tikam Samurai Karya Makmur Hendrik di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Telah kukatakan pagi tadi, bahwa siapa saja yang menghalangi jalanku, akan kubunuh pada kesempatan
pertama"." Suara Si Bungsu terdengar bergema dingin.
Dia masih duduk di atas kedua lututnya. Samurainya tergenggam di tangan kanan. Nampaknya dia sudah
lemah sekali. Dia bertelakan untuk tetap seperti itu pada sarung samurainya yang dia tekankan kuat-kuat ke
lantai batu. Pimpinan Kumagaigumi ini berfikir. Kedua lawannya ini amat berbahaya. Tapi kini keduanya tidak
dalam keadaan normal. Zato Ichi terluka perutnya. Si Bungsu terminum racun. Tapi kenapa lelaki asing itu tak
segera mampus" Apakah racun yang mereka taruh dalam obatnya tadi kurang keras" Padahal seingatnya,
jumlah racun yang dimasukkan ke obat anak muda itu sanggup untuk membunuh sepuluh ekor anjing
sekaligus" Kini akan dia serangkah kedua orang yang tak berdaya ini" Atau lebih baik kabur" Kedua pilihan ini
dipertimbangkannnya. Dia memang mencintai organisasinya. Tapi sudah tentu dia lebih mencintai nyawanya.
Kalau dia mati, bagaimana dengan dua orang isterinya yang muda-muda dan cantik itu" Tentu akan
diambil alih oleh teman-temannya yang lain. Ih, mengingat ini, dia benar-benar tak mau mati.
Dan satu-satunya jalan untuk menghindar dari kematian adalah minggat dari tempat ini! Kedua
lawannya ini takkan tertandingi olehnya dalam berkelahi. Meskipun mereka dalam keadaan sekarat. Hal itu
sudah dia buktikan dengan anak muda asing ini.
Makanya, setelah ucapan Si Bungsu tadi dia nyengir. Kemudian berkata:
"Bikin apa aku susah-susah melawan kalian. Cepat atau lambat, kalian akan mati disini.
He".he"tinggallah"he..he.."
Dan dia berbalik. Namun Si Bungsu sudah berkata, bahwa dia akan membunuh lelaki itu. Dan itu dia buktikan.
Dengan mengerahkan sisa tenaganya, anak muda ini bergulingan dua kali. Pimpinan Kumagaigumi
wilayah Kyoto itu terkejut dan berpaling ke belakang. Saat itulah sambil bangkit dari duduk, Si Bungsu
melemparkan samurainya. Dan dalam saat yang bersamaan, tangan Zato Ichi bergerak pula. Semula pimpinan Kumagaigumi ini
hanya merasa heran melihat anak muda itu bergulingan.
Tapi melihat dia menghayunkan tangan, dia segera menyadari bahaya. Sebagai salah seorang pimpinan
Kumagaigumi, komplotan bandit yang ditakuti, dia tentu punya kepandaian yang tak dapat dianggap enteng.
Dia segera mencabut samurai untuk memukul jatuh lemparan Si Bungsu. Namun saat itu pula dia melihat
tangan Zato Ichi yang terduduk tiga depa disampingnya bergerak.
Koleksi eBook : Drs. H. Hendri Hasnam, MM. 269
Untuk sesaat, dia menoleh. Tapi waktu yang hanya sesaat itu adalah kesalahannya yang paling fatal.
Paling fatal dan paling akhir. Sebab setelah itu, tak ada lagi kesalahan-kesalahan yang bisa dia perbuat.
Samurai kecil yang dilemparkan Zato Ichi meleset karena dia berputar. Meleset dari sasaran yang
mematikan. Zato Ichi membidik dadanya, tapi yang kena hanyalah bahunya.
Namun lemparan samurai Si Bungsu justru menancap di lehernya yang berpaling ke arah Zato Ichi itu!
Demikian kuatnya lemparan dalam jarak dua depa itu. Samurai tersebut menancap hampir separoh.
Tembus ke samping lehernya yang kiri.
Urat nadi besar di lehernya putus keduanya. Dan lelaki ini mati sebelum tubuhnya jatuh ke lantai batu!
Si Bungsu menoleh pada Zato Ichi. Zato Ichi menunduk.
"Lemparanmu sangat cepat dan mahir sekali Bungsu-san?" katanya pelan.
"Engkau tak apa-apa Ichi-san?"
Zato Ichi menggeleng lemah.
Namun begitu geleng kepalanya selesai, tubuhnya rubuh. Perutnya yang luka terlalu banyak
mengeluarkan darah. Si Bungsu tak segera dapat membantu. Buat sesaat dia masih bertelekan ke sarung samurainya. Dia
masih jongkok di atas kedua lututnya. Memejamkan mata. Mengatur konsentrasi. Kemudian mengatur
pernafasan menurut methode Silek Tuo Pariangan!
Dan sebenarnya, sistim pernafasan inilah kembali yang menyelamatkan nyawanya. Begitu tadi dia
terminum racun, dia memang segera menyangka bahwa Zato Ichilah yang berbuat laknat itu.
Dia benar-benar tak menyangka bahwa pahlawan rakyat Jepang itu mau berbuat serendah itu. Meracuni
orang yang sedang sakit. Karena itu, dia segera mengatur pernafasan. Pernafasan secara silat Tuo Pagaruyung itu menghentikan
denyut darah merah ke arah jantungnya.
Dia tak menghirup nafas dengan hidung, melainkan dengan mulut. Demikian juga ketika
menghembuskannya keluar. Dengan menahan nafas sebisanya, dia berhasil mencegah masuknya racun itu ke
jantung. Dengan tetap mempertahankan sistim pernafasan begitu, dia berjalan keluar. Dan menantang Zato Ichi.
Ketika dia bicara, sistim pernafasan itu sudah tentu tak bisa dia pertahankan, dan saat itulah dia muntah darah.
Namun segera setelah muntah darah hitam itu, dia mendapatkan dirinya agak lebih segar sedikit. Ketika
Zato Ichi mendekatinya tadi, dan di saat dia bersiap untuk mencabut samurai melawannya, saat itu pulalah
telinganya yang tajam itu mendengar nafas beberapa orang di belakangnya.
Firasatnya bekerja cepat sekali. Suara nafas itu pastilah berasal dari beberapa orang yang sedang
bersembunyi. Kalau ada orang yang bersembunyi, tentulah ada hal yang tak beres.
Dia mencabut samurainya, dan berpura-pura rubuh! Dan kejadia selanjutnya, yaitu munculnya ketiga
anggota Kumagaigumi itu, kemudian dialok Zato Ichi dengan mereka, membuat persoalan jadi jelas bagi Si
Bungsu. Sambil tetap telungkup, pura-pura mati, dia mendengarkan pembicaraan mereka. Tapi sekaligus dia juga
mengatur pernafasannnya. Dia memang dibuat seperti akan lumpuh oleh pengaruh racun yang terminum
dalam obat itu. Untung saja racun itu hanya sedikit yang dia minum. Obat itu tak dia teguk semua karena firasatnya
berkata bahwa ada yang tak beres dengan obat tersebut.
Lalu dia bangkit menebaskan samurainya pada saat yang tepat sekali. Yaitu ketika ketiga orang itu akan
mengeroyok Zato Ichi. Kini dia mengatur pernafasannya. Memang tak pulih seperti sediakala. Racun itu masih menggerogoti
tubuh dan darahnya. Namun keadaan sudah jauh lebih baik. Dia membuka mata, dan melihat tubuh Zato Ichi
terbaring diam. Dengan mengumpulkan tenaganya Si Bungsu melangkah mendekati Zato Ichi. Dari gelombang
didadanya, dia tahu lelaki itu masih hidup.
Dia tak mungkin mengangkat tubuh Zato Ichi ke dalam. Satu-satunya jalan adalah menyeret tubuhnya
ke rumah kayu itu. Namun perkelahian di depan rumah di belakang kuil itu bukan merupakan perkelahian yang terakhir
bagi Si Bungsu. Empat hari setelah itu, sekawanan anggota Kumagaigumi mengepung tempat itu kembali. Jumlah
mereka tak kurang dari sepuluh orang. Si Bungsu yang memang telah waspada, mendengar kedatangan mereka
sebelum mereka sampai ke rumah tersebut.
Koleksi eBook : Drs. H. Hendri Hasnam, MM. 270
Dia tengah meramu obat sesuai dengan petunjuk Zato Ichi ketika langkah kaki kesepuluh orang itu
tertangkap oleh telinganya.
Dia menatap pada Zato Ichi, pendekar Jepang itu, yang terbaring lemah, yang juga mendengar suara kaki
mengitari rumah dimana mereka tinggal itu, berusaha untuk bangkit.
Tapi dia segera terbaring lagi dengan meringis. Luka di perutnya tak segera bisa sembuh. Meskipun obat
yang diramu Si Bungsu sama dengan yang dia ramu untuk mengobati luka Si Bungsu dahulu.
Meski kemujaraban obatnya sama, tapi perbedaan usia mereka membuat daya kerja obat itu berbeda
pula kemanjurannya. Pada tubuh Si Bungsu, lukanya cepat sekali jadi sembuh oleh obat itu, sebab usianya masih muda. Karena
itu rekasi jaringan darahnya bekerja cepat begitu dibubuhi obat.
Lain halnya pada tubuh Zato Ichi. Usianya yang telah amat tua menyebabkan reaksi jaringan darah
ditubuhnya bekerja lebih lambat. Makanya lukanya jadi lambat pula untuk sembuh.
Zato Ichi ingin menghadapi orang yang mengepung rumah ini bersama dengan Si Bungsu. namun
lukanya tak mengizinkan. "Tidak usah khawatir Ichi-san. Berbaringlah dengan diam. Saya akan membereskan mereka?" suara Si
Bungsu terdengar perlahan.
Zato Ichi menatap padanya dengan perasaan menyesal.
"Pergilah Bungsu-san. Tinggalkan tempat ini. Engkau masih bisa menyelamatkan dirimu?"
Si Bungsu tersenyum. "Kenapa harus lari dari mereka" Tidak, mereka menginginkan saya, dan itu akan mereka peroleh?"
"Saya terlalu lemah Bungsu-san. Saya tak bisa membantumu?"
"Tetaplah disini Ichi-san. Saya akan menghadapi mereka?"
Dan Si Bungsu meraih samurainya. Tubuhnya kini memang sudah sembuh benar.
Angin menerpa wajahnya ketika dia tegak di pintu rumah kayu di belakang kuil tua itu. Dan kesepuluh
orang Kumagaigumi itu tegak membentuk setengah lingkaran dihadapannya.
Mereka semua diam. Si Bungsu juga diam. Mereka saling tatap dan saling mengukur.
(74) Si Bungsu dapat menduga, bahwa yang datang ini tentulah bukan sembarangan orang.
"Engkau yang bernama Si Bungsu dari Indonesia?"
Seorang lelaki berkepala botak, yang mirip pendeta di kuil Shimogamo, bertanya dengan suara datar dan
dingin. Si Bungsu tak segera menjawab. Dia menyapu kesepuluh orang itu dengan tatapan mata menyelidik.
Bagaimana dia harus menghadapi orang sebanyak ini"
Tapi akhirnya dia mengangguk ketika orang gemuk itu kembali bertanya tentang namanya.
"Dimana Zato Ichi?"" kembali si kepala botak itu bertanya setelah Si Bungsu mengangguk.
"Dia ada di dalam?" jawabnya.
"Suruh keluar dia?"
"Dia tak bisa keluar. Dia sakit?"
"Dia harus keluar. Katakan bahwa pimpinan Kuil Kofukuji dari Nara datang menuntut balas?"
"Tidak. Apapun urusan kalian dengannya kini harus melalui tanganku?"
"Hmm, anak muda asing. Sejak kapan kau mencampuri urusan orang lain di negri ini?"
"Sejak kalian mencampuri urusanku?"
Lelaki gemuk itu tertawa berguman.
"Sejak kapan saya mencampuri urusanmu anak muda?"
"Bukankah kalian datang untuk mencabut nyawaku?"
Lelaki gemuk itu tertawa lagi perlahan. Suaranya seperti berguman rendah. Nampak bahwa dia sangat
tenang sekali. Dan itu membuat Si Bungsu jadi waspada. Orang gemuk ini tentulah orang yang sangat berisi.
"Siapa bilang bahwa kami menghendaki nyawamu" Tak ada urusan kami denganmu anak muda. Engkau
boleh pergi kemanapun engkau suka. Kami hanya berurusan dengan Zato Ichi"
Koleksi eBook : Drs. H. Hendri Hasnam, MM. 271
Si Bungsu tertegun. Benarkah lelaki ini bukan dari Kumagaigumi" Dan benarkah mereka bukan
menghendaki nyawanya" Ketika dia tengah berfikir itu, dia mendengar suara dengus nafas perlahan di
belakangnya. Dia menoleh. Dan Zato Ichi berdiri di sana sambil menahan sakitnya.
"Ichi-san".!" Katanya kaget.
Zato Ichi menatap pada lelaki botak itu.
Dia coba mengenalinya. Namun dia benar-benar tak mengenal lelaki itu.
"Saya dengar anda mencari saya?" katanya. Lelaki botak yang mengaku dari Kuil Kofukuji di kota Nara
itu menatap tajam pada Zato Ichi. Pendekar buta itu seperti menatap padanya dengan matanya yang buta. Aneh
dan agak menyedihkan memang.
"Ya. Saya mencari anda".masih ingat kuil Kofukuji di Nara?"
Zato Ichi menarik nafas panjang. Menghembuskannya seperti menghembuskan masa lalu yang pahit.
"Ya. Saya masih ingat. Siapa anda?" tanyanya perlahan.
"Saya dahulu pernah mengepalai pendeta di kuil itu. Nama saya Zendo?"
"Zendo?" Zato Ichi mengulang menyebut nama itu seperti berfikir.
"Zendo".maafkan saya tak bisa mengingat"
"Ya, engkau takkan pernah mengingat nama itu Zato Ichi. Karena ketika pemimpin Kuil Kofukuji yang
bernama Akira engkau bunuh, empat puluh tahun yang lalu, aku masih kecil. Masih berusia sepuluh tahun?"
Zato Ichi kembali menarik nafas panjang.
"Akira".." katanya perlahan.
"Ya. Akira dari Kofukuji adalah abangku yang paling tua?"
Zato Ichi jadi sangat terkejut.
"Engkau adik Akira?"
"Ya. Dan kini aku datang untuk menuntut pembantaian yang sudah empat puluh tahun itu?"
"Ah, sudah lama sekali?" suara Zato Ichi terdengar perlahan. Sementara dia mengangsurkan dirinya ke
samping. Kemudian perlahan duduk di kursi batu. Tiga depa dari Si Bungsu.
"Ya. Sudah lama sekali. Sudah empat puluh tahun. Dan selama itu pula saya menanti kesempatan ini Zato
Ichi. Kesempatan untuk membalaskan dendam kematian abang saya?"
"Apakah engkau mengerti apa yang sebenarnya terjadi antara saya dengan abangmu itu Zendo" Maksud
saya, apakah engkau mengerti sepenuhnya kenapa kami bertarung, dan menyebabkan kematiannya?"
"Kenapa tidak. Suatu malam seorang buta datang ke kuil, kelak saya ketahui bahwa orang buta itu adalah
engkau, abang saya nampaknya bersahabat dengan anda. Dia menerima anda dengan baik. Tapi esok paginya,
dia telah terbujur jadi mayat dengan seorang imam kuil, sementara engkau tak ada lagi disana.
Menurut penuturan imam yang lain, kalian bertengkar perkara sumbangan keluarga Kendo pada kuil.
Dan sumbangan yang merupakan wakaf itu adalah milik kuil. Kenapa engkau ikut campur urusan abangku yang
menjadi pemimpin Kuil itu" Tapi kini persoalannya adalah hutang nyawa di bayar nyawa. Kami datang untuk
menuntut balas" Sehabis berkata begini, tanpa menunggu reaksi dari Zato Ichi, kesepuluh orang itu segera saja mendekat.
"Tunggu"." Pendekar buta itu masih coba menghindarkan pertumpahan darah.
Zendo memberi isyarat. Dan kesembilan temannya yang bergerak maju menghentikan langkah.
"Harapkan dengarkan dahulu Zendo-san. Saya tak ingin kesalahpahaman itu terulang lagi?"
"Apakah engkau akan berkata bahwa yang bersalah dalam hal itu adalah abangku?"
"Dengarlah dulu?"
Tapi Zendo tak mendengarkan. Nampaknya dendam selama 40 tahun itu merupakan dendam yang harus
dibalaskan hari ini. Namun mereka terhenti lagi ketika anak muda yang bernama Bungsu itu maju tegak antara mereka dan
Zato Ichi. "Anak muda, sudah kukatakan, kami tak ikut campur urusanmu, maka jangan ikut campur urusanku?"
Suara Zendo terdengar perlahan mengingatkan.
"Maafkan. Saya berhutang nyawa pada Zato Ichi. Maka kalau ada orang lain yang menghendaki
nyawanya, maka saya harus membantunya"."
"Apakah negerimu tak beradat anak muda. Sehingga engkau bisa demikian saja ikut campur urusan
orang lain?" Muka Si Bungsu jadi merah padam. Negerinya dikatakan tak beradat. Amboi! Dia teringat pada
Minangkabau. Negeri yang adatnya tak lapuk dek hujan. Tak lekang dek panas.
Koleksi eBook : Drs. H. Hendri Hasnam, MM. 272
Negeri leluhur dimana darahnya tumpah ketika dilahirkan. Negeri bergunung megah berlembah indah
yang melantunkan rasa rindu. Negeri yang telah mengorbankan ribuan nyawa untuk mempertahankan adat
istiadatnya dari jajahan Jepang, kini dikatakan oleh Jepang Gemuk Botak dihadapannya sebagai negeri yang tak
beradat! Dia tersenyum. Tapi jelas senyumnya bukanlah senyum tanda suka hati. Senyumnya jelas
membayangkan luka dan amarah yang besar. Barangkali dia takkan semarah itu benar, kalau si gemuk itu
memaki dirinya yang tak beradat. Tidak, dia takkan seberang itu benar.
Tapi kini negerinya yang dikatakan tak beradat. Meskipun dia seperti telah dibuang oleh orang
kampungnya, oleh anak negeri, namun rasa cinta kampung, cinta negeri di lubuk hatinya tak dapat dipupus
hanya karena kebencian orang kampung padanya.
Tidak. Kebencian pada orang kampung, yaitu kalaupun ada kebencian dihatinya, merupakan hal yang
terpisah dari rasa cintanya pada negerinya.
"Jangan diulang lagi ucapan yang mengatakan negeri tak beradat"." Suaranya terdengar perlahan.
Pendeta yang bernama Zendo itu masih akan melanjutkan seringainya. Namun seringai ejekannya itu dia telan
cepat-cepat begitu mendengar suara anak muda itu. Dia jadi tertegun melihat ekspresi muka anak muda itu.
Dan dia tahu suara anak muda yang mirip bisikan itu merupakan suatu peringatan yang berbahaya. Dia
menatap wajah anak muda itu. Anak muda itu juga menatapnya dengan wajah yang dingin.
Si Bungsu teringat lagi pada negerinya yang baru sebentar ini dikatakan tak beradat oleh pendeta itu.
Meskipun di negerinya itu kini banyak kaum cerdik pandai dan ninik mamak yang mempergunakan adat untuk
kepentingan pribadi mereka, namun dia tetap tak bisa menerima negerinya dicerca.
Kesepuluh orang yang ternyata bukan anggota Kumagaigumi itu menatap anak muda tersebut dengan
diam. Mereka sudah mendengar tentang kehebatan anak muda ini. Mereka dengar dari cerita di kuil
Shimogamo. Mereka dengar dari anggota bandit Kumagaigumi. Mereka menatap dengan perasaan takjub dan
ingin tahu. Apakah anak muda ini memang hebat seperti yang diceritakan itu"
Dan ketika mereka tengah berfikir begitu, anak muda itu berkata lagi:
"Di Negeri saya, untuk mau didengarkan orang, maka kita harus mau mendengarkan kata-kata orang.
Apa salahnya tuan mendengarkan penjelasan Ichi-san tentang peristiwa itu?"
Zendo tertawa. Untuk pertama kalinya sejak kehadiran mereka di sekitar kuil itu, lelaki ini tertawa.
Tawanya merupakan guman perlahan saja. Dan dia sebenarnya adalah lelaki yang berwibawa.
"Apa artinya mendengarkan atau tidak. Sebab apapun yang dia ceritakan saya tak pernah merobah niat
untuk membunuhnya. Menuntut balas kematian abang saya?"
"Apakah itu suatu penyelesaian?"
"Ya. Itulah satu-satunya penyelesaian?"
"Tak perduli apakah abang tuan bersalah atau tidak"
"Anak muda, tak perlu segala omong kosongmu itu. Saya tahu dengan pasti apa yang akan saya perbuat.
Kini menghindarlah dari sana"!" dan tanpa menunggu reaksi Si Bungsu dia memberi isyarat kepada sembilan
orang temannya. Kesembilan orang itu serentak mencabut samurainya dan berjalan menghampiri Zato Ichi. Yang terakhir
ini masih tetap duduk dengan tenang dan kepala tunduk di kursi batu tiga depa dari Si Bungsu.
Namun Si Bungsu melangkah menghampiri Zato Ichi. Dan tatapan matanya serta ekspresi wajahnya
kembali membuat kesembilan lelaki itu terhenti.
Anak muda ini nampaknya tak main-main.
"Kalian dengar dulu apa sebabnya perkelahian itu terjadi?" desisnya tajam.
"Kalau saya tak mau?" Zendo balas mengancam dengan muka merah.
"Kalau tuan tak mau, maka tuan harus menyabung nyawa dengan saya?" suara Si Bungsu tegas. Dia tak
mau Zato Ichi dikeroyok secara tak adil begini. Dia tahu kesehatan pahlawan samurai Jepang itu belum pulih.
Barangkalai dia masih akan mampu menewaskan empat atau lima orang. Tapi tak lebih dari itu, setelah itu
nyawa tokoh legenda Jepang itu sudah bisa diramalkan. Dibantai oleh bangsanya sendiri.
Nampaknya pertumpahan darah memang tak terhindarkan. Salah seorang bawahan Zendo yang tegak
di belakang Si Bungsu menjadi berang melihat anak muda ini berlancang mulut menghalangi pimpinannya.
Lelaki itu tinggi kurus. Memegang samurai yang berhulu pendek terbungkus oleh sutera merah.
Nampaknya dia seorang pesolek juga.
Tanpa menunggu isyarat, tanpa mengacuhkan Si Bungsu yang tenagh bicara, dia menghayunkan
samurainya yang sejak tadi telah terhunus. Hayunan samurai ini mengarah ke leher. Memancung dari atas
kanan ke bawah kiri.

Tikam Samurai Karya Makmur Hendrik di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Koleksi eBook : Drs. H. Hendri Hasnam, MM. 273
Zato Ichi yang duduk mengangkat kepala. Dia mendengar suitan samurai itu. Dan dia tahu, bahwa suara
itu bukan berasal dari suara samurai Si Bungsu. Dan firasatnya mengatakan bahwa anak muda itu dibokong
dari belakang. Dia berteriak memperingatkan Si Bungsu.
"Bungsu-san di belakangmu"!" teriakannya belum berakhir ketika dia dengar suara mengeluh. Lalu
diam. Zato Ichi tertegak! Suitan angin yang kencang di musim dingin ini membuat pendengarannya sebentar
ini kurang jelas. Siapakah yang mengeluh"
Tak ada gerakan sedikitpun yang tertangkap oleh telinganya. Dia tegak diam. Aneh, kemana lelaki yang
sepuluh orang itu" Kenapa tak terdengar mereka menghela nafas"
"Bungsu-san".!" Dia menghimbau dengan nada khawatir. Dia tak berani bergerak. Sebab dia tak mau
terperangkap oleh kesalahan yang kecil sekalipun. Kalaupun Si Bungsu cedera, maka itu berarti dia harus
mempertahankan dirinya sendirian!
"Saya disini, Ichi-san"tetaplah duduk di sana. Biar saya menyelesaikan soal ini?" terdengar suara Si
Bungsu perlahan. Zato Ichi menarik nafas lega. Perlahan degup jantungnya yang tak teratur tadi jadi tenang kembali. Ah,
dia memang telah tua. Ketuaan telah membuat dirinya terlalu cepat khawatir.
"Syukurlah"." Katanya perlahan sambil melangkah dan mencari-cari bangku kayu itu dengan
tongkatnya. Ketika ujung tongkatnya kembali menyentuh bangku kayu itu, dia lalu duduk perlahan.
Seluruh gerakannya diperhatikan oleh ke sembilan lelaki yang mengurung mereka. Ya, mereka kini
hanya tinggal sembilan orang.
Orang kesepuluh, yaitu si kurus bersamurai dengan hulu sutera merah itu, yang tadi membokong Si
Bungsu dari belakang, kini tertelungkup di lantai batu!
Dari bawah tubuhnya yang tertelungkup itu, merembes darah merah. Membasahi kimono musim
dinginnya yang berwarna gelap.
Tatkala tadi si kurus itu menyerang dengan sabetan samurai sambil melangkah maju, tak seorangpun
diantara kesembilan temannya yang melihat anak muda itu bergerak.
Mereka melihat betapa samurai si kurus membabat maju. Bahkan sejengkal lagi samurai itu akan
mencapai lehernya, anak muda asing itu tak tahu sedikitpun akan bahaya yang mengancam di belakangnya.
Namun entah kapan saatnya bergerak, tiba-tiba saja anak muda itu melangkah surut selangkah. Dan
disaat yang hampir-hampir fantastis ketepatannya, dia menjatuhkan diri di lutut kanannya. Lalu samurainya
tercabut. Dan ditikamkan kebelakang tanpa menoleh sedikitpun!
(75) Akibatnya bukan main. Tidak saja sabetan samurai si kurus itu luput dari batang lehernya, bahkan si
kurus itu sendiri tertikam oleh samurainya hingga separoh lebih!
Si Kurus itu tertahan seperti disentakkan tenaga raksasa. Tangannya masih memegang samurai. Dan
tiba-tiba sambil bergerak bangkit, Si Bungsu menarik samurainya. Dan saat itulah si kurus ini mengeluh. Lalu
terputar setengah lingkaran. Jatuh tertelungkup.
Diam. Mati! Dan kesembilan temannya, termasuk Zendo dari kuil Kofukuji di kota Nara itu, pada tertegak diam. Zato
Ichi tak mendengar dengus nafas mereka sebab tak seorangpun diantara mereka yang tak menahan nafas
melihat adegan yang alangkah fantastisnya itu.
Dan kini anak muda itu tegak dengan tenang. Dengan tenang dia menghapus darah yang membasahi
samurainya dengan telapak tangan. Kemudian dengan tenang pula dia menyarungkan samurai itu kembali.
Lalu menatap pada Zendo. "Sungguh suatu demonstrasi yang mengagumkan"." Suara Zendo bergema perlahan. Dan dari nada
suaranya, dia tak hanya sekedar memuji. Tapi ucapannya memang jujur. Tapi dalam nada ucapannya itu juga
dapat segera diketahui, bahwa dia tak merasa gentar sedikitpun akan kecepatan dan kehebatan anak muda itu!
Zendo justru memberi isyarat pada dua orang anggotanya. Kedua anggota yang diberi isyarat itu
bergerak! Mereka bergerak amat cepat. Menyerang ke arah Zato Ichi! Namun Si Bungsu sudah menanti disana! Dua
buah serangan beruntun berhasil dia gagalkan dengan samurainya.
"Tahan!!" hampir berbarengan terdengar suara Zato Ichi dan Zendo. Kedua anak buah Zendo segera
bergerak mundur. Zendo maju dua langkah. Di saat yang bersamaan, Zato Ichi tegak dari duduknya.
Koleksi eBook : Drs. H. Hendri Hasnam, MM. 274
"Anak muda" Zendo berkata, " sudah saya katakan bahwa saya tak pernah ikut campur urusanmu. Kini
engkau nyata-nyata mencampuri urusan saya. Maka apa boleh buat, saya akan menghadapimu?"
Sebelum Si Bungsu dapat menjawab tantangan itu, suara Zato Ichi terdengar pula :
"Kenapa harus melibatkan orang lain dalam urusan kita" Engkau berurusan denganku Zendo-san. Dan
aku akan menghadapimu"
Bukan main terkejutnya Si Bungsu mendengar ucapan Zato Ichi ini. Dia tahu benar, bahwa tubuh
pahlawan samurai ini masih sangat lemah. Tak mungkin dia mampu berhadapan dengan Zendo dan anak
buahnya. Dia berniat memprotes putusan itu. Tapi Zato Ichi nampak mengangkat tangan. Memberi isyarat
padanya untu menepi. "Ini urusanku anak muda. Menyingkirlah"." Suara tuanya terdengar perlahan. Dan Si Bungsu tahu,
bahwa ini soal harga diri bagi Zato Ichi. Makanya dia tak berani menyanggah.
Namun meski tak bisa ikut campur dalam urusan Zendo dan Zato Ichi, anak muda ini masih punya cara
lain untuk menolong Zato Ichi.
Dia tak ingin perkelahian berlaku curang. Menghadapi Zendo saja Zato Ichi pasti kewalahan. Bukan
karena kepandaiannya, tapi karena tubuhnya yang lemah. Karena itu anak muda dari gunung Sago ini lalu
bicara : "Baik, saya takkan ikut campur urusan kalian. Tapi tak seorangpun selain tuan Zendo yang boleh ikut
campur. Jika ada, maka saya akan ikut serta pula?"
Zato Ichi menarik nafas panjang. Dia sangat terharu atas sikap anak muda ini. Dia tahu anak muda itu
berusaha menolong nyawanya. Dia memang harus mengakui, bahwa pertarungannya kali ini merupakan
perjudian melawan elmaut.
Tapi kini dia agak lega, sebab dia tak usah khawatir menghadapi keroyokan. Lawannya hanya satu orang.
Dan Si Bungsu mengawasi hal itu!
Si Bungsu melangkah menghindar dari hadapan kedua orang itu. Matanya menyapu pada delapan orang
anak buah Zendo yang masih tetap tegak mengurung Zato Ichi.
Si Bungsu hanya menghindar dua langkah. Yaitu sekdar tak menghalangi kedua musuh bebuyutan itu
berhadapan muka. Namun jarak yang dia buat, memustahilkan kedua orang itu untuk bertarung.
"Menyingkirlah dari sana"." Zendo berkata. Si Bungsu menatapnya. Tersenyum tipis.
"Sudah saya katakan, perkelahian ini hanya untuk tuan berdua. Yang lain tak boleh ikut campur".." suara
Si Bungsu mengingatkan. "Ya. Tak ada orang lain yang ikut campur" suara Zendo terdengar gusar. Dia gusar karena telah dijebak
anak muda ini. Dijebak dengan kata-kata bahwa pertarungan ini hanya untuk mereka berdua. Berarti tak satu
pun diantara anak buahnya yang bisa ikut campur.
Padahal dia membawa anak buahnya kemari mencari Zato Ichi dalam rangka memudahkan penuntutan
dendam kematian abangnya.
Tapi apa boleh buat. Meskipun dia tak gentar pada anak muda ini, namun dia harus jaga gengsi.
"Saya akan menyingkir dari sini kalau anak buah tuan juga menyingkir. Kami akan membuat lingkaran
sepuluh depa"." Si Bungsu kembali berkata.
Dan kali ini tak ada jalan lain bagi Zendo selain harus menuruti kehendak anak muda itu. Dia memberi
isyarat pada anak buahnya. Dan dengan perasaan yang benar-benar kurang senang, kedelapan orang itu lantas
mundur. Mereka berkutat, dan tegak sedemikian rupa hingga membentuk suatu lingkaran berjari-jari sepuluh
depa seperti diminta oleh Si Bungsu. Si Bungsu tegak di salah satu sisinya.
Kini kedua lelaki itu berhadapan. Zato Ichi yang lemah, tegak menunduk. Dia seperti tak ingin
memperlihatkan bahwa dirinya sedang sakit. Hanya Si Bungsu merasa sangat khawatir. Dia tahu benar tenaga
dan kesehatan Zato Ichi sangat tak mengizinkan untuk berkelahi. Usahkan untuk berkelahi, untuk tegak agak
lama saja dalam cuaca dingin begini sudah sangat sulit.
Namun bagaimana dia harus membantunya. Bukankah ini sudah permintaan Zato Ichi sendiri"
Dan untungnya, Zendo tak mengetahui bahwa Zato Ichi demikian parah keadaannya. Ada beberapa saat
kedua musuh ini berhadapan. Tegak dengan diam.
Zendo lah yang pertama kali menghunus samurainya. Suara samurainya ketika keluar dari sarungnya,
terdengar berdesir perlahan. Zato Ichi masih diam. Kepalanya masih menunduk. Samurainya masih ditangan
kanan di dalam sarungnya. Samurai itu masih dia pegang seperti memegang tongkat. Ujungnya mencecah lantai
batu. Koleksi eBook : Drs. H. Hendri Hasnam, MM. 275
Tak sedikitpun kelihatan bahwa dia siap untuk berkelahi. Zendo melemparkan sarung samurainya ke
samping. Dan disambut oleh salah seorang anak bauhnya. Kemudian perlahan dia melangkah maju. Bergeser
di lantai batu. Satu setengah depa dihadapan Zato Ichi dia berhenti.
Zato Ichi masih menunduk diam. Samurainya masih dia pegang seperti tadi. Perlahan Zendo mengangkat
samurainya. Mengarahkan ujungnya ke atas sebelah kanan dirinya.
Dan dengan perlahan pula tangan kirinya memegang hulu samurai di bawah pegangan tangan kanannya.
Dan dia menahan nafsu. Kini dia benar-benar siap tempur! Namun Zto Ichi masih tetap diam seperti patung.
Zendo menghela nafas. Dan saat itulah terdengar suara Zato Ichi :
"Saya dengan abangmu Akira memang berkelahi malam itu di kuil Kofukuji?" suaranya perlahan.
Namun Zendo tak ambil peduli. Dia konsentrasi penuh. Zato Ichi menyambung ucapannya. Seperti tak perduli
dengan maut yang mengintai lewat samurai Zendo :
"Kami memang bertengkar karena uang yang disumbangkan oleh keluarga Kendo".!"
Lalu saat itulah Zendo memekik dan samurainya memancung. Tapi lelaki buta itu sungguh perkasa. Dia
tak mencabut samurainya. Melainkan membungkuk dan melangkah dua langkah ke belakang! Serangan maut
itu menerpa tempat kosong. Dan begitu dia berhenti melangkah suaranya terdengar lagi :
"Kami bertengkar soal penggunaan uang itu?" suaranya terputus oleh serangan beruntun dari Zendo.
Kali ini dia mencabut samurainya dan menangkis. Lalu melangkah menghindar dan suaranya terdengar lagi :
"Keluarga Kendo mewariskan uangnya dalam bentuk uang emas. Hal ini dia lakukan karena seluruh
keluarganya punah. Dia tak punya turunan lagi. Kendo Sansui adalah keturunan terakhir. Dan sebelum mati dia
menyerahkannya ke kuil Kofukuji dengan maksud digunakan untuk mengembangkan agama serta untuk amal
sosial lainnya" Kali ini Zendo tak menyerang. Meski dengan samurai tetap teracung tinggi di atas kepala, dia menjawab
omongan Zato Ichi : "Ya itu jelas. Tapi kenapa engkau datang mencampuri urusan kuil?"
"Karena saya adalah salah seorang dari pendiri kuil itu?"
Zendo tertegun. Si Bungsu juga.
Zendo berputar ke belakang Zato Ichi dengan samurai tetap siap menyerang. Namun dia belum
menyerang. Suaranya terdengar lagi :
"Meski engkau pendiri, tapi yang memimpin kuil saat itu adalah abangku. Dan engkau datang minta
bahagian dari harta wakaf itu bukan?"
"Barangkali begitulah yang disiarkan orang. Namun saya tidak sejahat dan sehina itu. Buat apa uang bagi
saya" Tak ada perempuan yang mau jadi isteri saya untuk saya berikan uang. Bahkan pelacur-pelacur pun
menghindar dari saya. Untuk menghidupi tubuh buruk dengan mata buta ini, saya masih punya tangan untuk
bisa mencari nafkah. Tak usah mengambil harta dan hak kuil?"
Kali ini samurai Zendo perlahan turun ke bawah. Dia menatap dengan tatapan yang sulit diartikan pada
Zato Ichi. Lama. Kemudian suaranya bertanya :
"Lalu kenapa terjadi pertumpahan darah malam itu?" Zato Ichi tak segera menjawab. Dia menarik nafas.
Panjang dan berat. Akhirnya dengan kepala menunduk dalam dia bicara perlahan :
"Abangmu menginginkan uang itu untuk keperluan lain"."
Zendo mengerutkan kening.
"Saya tak mengerti"." Katanya.
"Maafkan saya. Bukankah ayahmu berasal dari daerah Tionggoan di daratan Tiongkok?"
"Ya?" "Nah, itulah soalnya?"
"Saya tak mengerti?" desak Zendo.
"Maafkan saya kalau harus menceritakan hal ini dihadapan orang banyak. Saat itu perang berkecamuk
antara Jepang dengan Tiongkok. Tiongkok ingin memerdekakan negerinya dari jajahan Jepang. Abangmu ingin
mengirimkan uang itu ke Tiongkok untuk membantu pemberontakan melawan Jepang?"
"Bohong!!" bentakan Zendo memecah dan dia mebuka serangan. Kali ini serangannya bertubi-tubi. Tadi
Zato Ichi memang sengaja tak melawannya. Sebab dia menghemat tenaga. Tapi kini dia harus mengerahkan
tenaganya itu. Dua kali serangan berhasil dia elakkan. Namun pancungan keempat terlambat dia tangkis. Tak ampun
lagi, pahanya seperti akan belah dimakan samurai Zendo.
Koleksi eBook : Drs. H. Hendri Hasnam, MM. 276
Tapi setelah itu Zendo menghentikan serangannya. Si Bungsu menatap dengan cemas darah yang
mengalir dari paha Zato Ichi.
"Kalau kau tak hentikan omong kosongmu tentang abangku, kucencang tubuhmu saat ini?" suara Zendo
terdengar terengah-engah. Dia nampaknya benar-benar tak ingin keluarganya dicap menghianati Jepang.
Sambil menahan sakit dan sambil tetap bertahan tegak, Zato Ichi yang luka parah itu berkata :
"Itulah kisah sebenarnya Zendo-san. Malam itu, hadir utusan yang akan dia kirim ke Tionggoan. Yaitu
pendeta yang sama-sama mati dengannya. Ketika saya menghalangi niatnya, dia jadi berang. Takut rahasianya
akan terbongkar, dia lalu menyerang saya bersama pendeta itu. Namun saya mengalahkan mereka. Sematamata untuk membela negeri ini dari penghianatan. Meski untuk itu saya terpaksa membunuh seorang
sahabat?" Zendo kembali menyerang. Kali ini nyawa Zato Ichi memang diujung tanduk. Dia tak menangkis.
Melainkan mengelak dengan mundur. Suatu saat tubuhnya membentur tubuh anak buah Zendo yang tegak
melingkar. Dan anak buah Zendo ini menolakkan tubuh Zato Ichi yang lemah itu ke depan. Ke arah Zendo! Namun
Si Bungsu tak membiarkan kesempatan itu.
Dia segera menghunus samurai dan meloncat ke tengah gelanggang. Zendo yang akan segera
memancungkan samurainya dia hantam. Dan samurai mereka beradu. Zendo kaget dan mundur. Kedelapan
anak buahnya kaget dan merapatkan kepungan. Si Bungsu segera tegak dihadapan Zato Ichi yang telah jatuh
berlutut. "Anak muda, jangan ikut campur urusan kami?" Zendo berkata dengan marah. Dia sudah bermaksud
akan menghabisi nyawa Zato Ichi. Menyudahi dendam selama 40 tahun ini. Kini saatnya hanya tinggal
melaksanakan. Zato Ichi yang kesohor itu sudah berhasil dia lukai. Bukankah itu suatu prestasi yang bukan main yang
akan memasyhurkan namanya ke segenap penjuru Jepang"
Halangannya kini hanya tinggal sediki. Yaitu anak muda dari Indonesia ini. Wajar saja kalau dia merasa
berang takkala babatan samurainya dihalangi oleh samurai Si Bungsu.
Namun Si Bungsu tetap tegak di depannya. Menghalangi jarak antara dia dengan Zato Ichi.
"Saya sudah katakan, bahwa saya akan ikut campur bila anak buahmu ikut campur dalam perkelahian
ini"." Suara Si Bungsu terdengar dingin.
"Ya. Kau boleh ikut campur kalau anak buahku ikut. Tapi kau lihat sendiri, tak seorangpun diantara
mereka yang ikut membantuku?"
Si Bungsu tertawa berguman.
"Tak seorangpun! Tapi bukankah sebentar ini yang berjambang seperti monyet itu menolakkan tubuh
Ichi-san ke arahmu?"
(76) "Apa salahnya, bukankah dia tak ikut secara langsung?"
"Dia telah ikut menolongmu Zendo! Dan saya akan menolong Zato Ichi. Adil bukan?"
"Apakah menolakkan ke dalam itu bisa dianggap sebagai pertolongan?" tanya Zendo.
"Kenapa tidak. Maka sekarang, majulah"!!"
"Hmm. Anak muda sombong. Kau sangka kami takut padamu" Jangan menyesal kalau hari ini nyawamu
kusudahi.." Dan sehabis kalimatnya dia menyerang Si Bungsu, dan anak buahnya juga ikut menyerang. Kali ini Zato
Ichi benar-benar tak bisa membantu. Tenaganya yang sangat lemah, ditambah darah banyak mengalir dari
pahanya yang menganga, membuat dia terduduk tak bisa bergerak.
Namun Si Bungsu sudah bertekad untuk membela Zato Ichi. Dia bertekad untuk membelanya sampai
tetes darah yang terakhir.
Karenanya, begitu Zendo menyerang, dia tak mau kasih hati. Dia melangkah dua langkah. Dan
samurainya bekerja. Yang kena justru tiga orang anak buah Zendo yang tadi mengetatkan kepungannya.
Mereka tak menduga kalau anak muda ini melangkah surut dan memutar samurai sehingga memakan
diri mereka. Kemudian Si Bungsu melangkah lagi kedepan. Tegak kembali di depan Zato Ichi. Zendo kembali kaget
dengan kecepatan anak muda asing ini. Namun dia terlalu bernafsu untuk menyudahi perkelahian ini.
Koleksi eBook : Drs. H. Hendri Hasnam, MM. 277
Bukankah dalam jumlah mereka lebih banyak" Meski tiga orang sudah tumbang, kini mereka masih tinggal
lima orang. Dengan tenaga lima orang mustahil mereka tak bisa menyudahi anak bawang ini.
Dengan pikiran begini, dia berteriak memberi isyarat pada anak buahnya yang empat orang lagi untuk
menyerbu bersama. Keempat orang anak buahnya segera mendesak maju. Sementara Zendo sendiri sambil menyerang Si
Bungsu tetap saja mencari kesempatan untuk membabatkan samurainya kearah kepala Zato Ichi yang
tertunduk lemah. Bukan main tersiksanya Zato Ichi saat itu. Belum pernah seumur hidupnya merasa tertekan bathin
seperti saat ini. Bayangkan, musuhnya datang dalam jumlah banyak. Tapi saat itu pula dia tak berdaya. Usianya
yang tua membuat dirinya lekas lelah. Dan di depan matanya, anak muda yang harus dia bunuh untuk
membalas budi orang lain, kini berjuang membela nyawanya.
Dia menunduk. Dia bukannya tak tahu bahwa Zendo berusaha mencelakainya. Tapi kalaupun itu terjadi
dia takkan coba buat melawan. Hatinya sangat terpukul.
Namun di pihak yang berkelahi, meski dikeroyok lima orang, Si Bungsu bukannya tak tahu bahwa Zendo
mencari kesempatan untuk menyudahi nyawa Zato Ichi. Karena itulah pertarungan ini agak seret.
Dia tak bisa segera menyudahinya karena dia harus membagi perhatiannya antara menyerang dengan
mempertahankan Zato Ichi.
Dan akibatnya segera terlihat, yaitu suatu saat samurai Zendo memakan rusuk Si Bungsu. darah
mengalir. Telinga Zato Ichi yang tajam mendengar suara kain dimakan mata samurai.
Darah membasahi kimono Si Bungsu. Namun hal itu menyebabkan dia seperti singa yang luka. Dengan
menggertakkan gigi, dia menggeram, dan terdengar dia membentak.
Bentakkannya demikian keras. Begitu suara bentakkannya terdengar tubuhnya berputar amat cepat.
Mula-mula berputar dua kali. Lalu bergulingan di lantai batu, sebelum kelima orang itu sadar apa yang akan
diperbuat anak muda ini, dia sudah bangkit persis di dekat dua orang penyerangnya.
Dia bangkit dengan bertumpu di lutut kanan. Dan samurainya terhayun setengah putaran ke atas. Itulah
loncat tupai yang tersohor itu. Kelima orang itu masih melongo ketika samurainya bekerja.
Kedua anak buah Zendo yang ada dijangkauan ujung samurainya terpekik. Meraba dada dan rubuh. Si
Bungsu tak hanya sampai disana, dia menggebrak lagi. Tapi ketiga lawannya termasuk Zendo sudah melompat
mundur empat langkah. Mereka bertatapan. Zendo seperti tak yakin akan yang dia lihat. Perlahan dia menyarungkan samurainya kembali.
Tindakannya ini diikuti oleh kedua temannya yang masih hidup.


Tikam Samurai Karya Makmur Hendrik di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Benar-benar luar biasa. Cerita orang tentang dirimu ternyata bukan semata bualan, Indonesia-jin.
Engkau memang hebat. Baik, kali ini kami mengaku kalah. Dan kami akan pergi. Tapi urusan saya dengan Zato
Ichi tak hanya sampai disini. Suatu saat kita akan bertemu lagi. Percayalah?"
"Tunggu".!" Si Bungsu memcoba menahannya. Tapi Zendo sudah membungkuk memberi hormat.
Kemudian memberi isyarat pada kedua temannya. Mereka lalu cepat-cepat meninggalkan tempat itu.
Angin masih bersuit kencang. Rambut Si Bungsu yang gondrong berkibar diterpa angin. Samurainya
masih terhunus. Menghadap ke bawah dengan darah menetes diujungnya.
Tujuh mayat bergelimpangan lagi.
Dan tiba-tiba Si Bungsu sadar pada keadaan Zato Ichi.
"Ichi-san?" katanya sambil membantu Zato Ichi bangkit. Pendekar tua itu tak bicara. Dan Si Bungsu tak
sempat melihat, betapa pipi pahlawan Samurai Tua itu basah oleh air mata.
Lelaki buta itu menangis. Dia dibawa Si Bungsu kembali ke rumah papan di belakang kuil tua itu.
Dan semalam itu Si Bungsu meramu kembali obat-obatan untuk Zato Ichi. Dia juga memasak bubur dan
memanggang kembali dendeng kering untuk makan.
Dua hari dia merawat Zato Ichi dengan tekun. Dan selama dua hari itu pula Zato Ichi tak pernah bicara
sepatahpun. Si Bungsu tahu, lelaki itu amat terpukul perasaannya. Tapi dia tak tahu dengan pasti apa benar
yang memukul perasaan lelaki tua itu.
Dan hari ketiga dia agak terlambat bangun. Ketika dia bangkit, ternyata Zato Ichi sudah bangun lebih
dulu. Tempat tidurnya sudah kosong. Si Bungsu bangkit.
Menggeliat. Membuka jendela. Kemudian berjalan ke pintu. Dan saat itulah dia merasa keanehan menyelusup.
Rumah ini terlalu sepi terasa. Dia coba menperhatikan dengan seksama. Apakah yang ganjil"
Koleksi eBook : Drs. H. Hendri Hasnam, MM. 278
Dia tatap ruangan itu dengan cermat. Tak ada sesuatu yang harus dicurigai. Tapi kenapa perasaannya
tak sedap" Sekali dia mengamati kamar itu. Selain ketidak hadiran Zato Ichi, tak ada yang harus dia curigai. Tapi"
Zato Ichi! Kemana dia" Suatu firasat tak sedap menjalari pembuluh darahnya. Merayap ke sudut jantungnya. Dia segera ke
pintu. Namun sudut matanya menangkap sesuatu di meja. Dia berbalik lagi.
Melangkah perlahan ke meja dan di sana ada sepucuk surat. Sebenarnya tak dapat dikatakan surat.
Sebab yang terlihat adalah secarik kain putih dengan coretan merah. Dan dia segera mengetahui bahwa tulisan
itu ditulis dengan darah manusia.
Bulu tengkunya merinding.
Tulisan itu jelas ditujukan untuknya. Perlahan dia mendekat tanpa meraihnya dia dapat mebaca dengan
jelas: Bungsu-san, Sebagai orang Jepang saya merasa hina berdiri di sisimu. Sebagai Zato Ichi saya tak pantas berhadapan
muka dengan engkau. Engkau korbankan segalanya dalam membela orang Jepang. Kau lupakan dendammu. Kau lupakan
dendam terhadap bangsa yang telah menjahanamkan negeri dan keluargamu.
Engkau pertaruhkan nyawamu untuk membela anak-anak Jepang yang teraniaya.
Engkau bela orang yang engkau ketahui dengan pasti akan membunuhmu. Ah, saya tak ada harga untuk
terus bersamamu anak muda.
Engkau membalas kejahatan dengan kebaikan yang ikhlas. Seharusnya saya harakiri. Tapi usia saya yang
renta ternyata membuat saya jadi pengecut. Barangkali masih ada gunanya saya hidup. Yaitu untuk mengetahui
lebih banyak tentang perobahan zaman.
Hari-hari terakhir saya bersamamu membuat saya sadar, bahwa dunia telah jauh berbeda. Saya pergi
tanpa mengucapkan Sayonara padamu. Itu bukan berarti saya tak menyukaimu. Tidak. Soalnya saya, tak kuasa
bicara dihadapanmu. Saya pergi. Biarlah saya dikatakan orang tak membalas budi karena tak membunuhmu. Membunuhmu"
Apakah Zato ichi, perantau samurai Jepang yang kini telah tua renta harus berhadapan dengan seorang
pemuda Indonesia bernama Si Bungsu"
Ah, dunia akan mentertawakan diriku.
Saya bangga, engkau memiliki kemahiran bersamurai. Memiliki kepandaian leluhurku. Meskipun
kepandaian itu kau peroleh melalui darah keluarga dan dendam yang membara.
Tapi saya banggsa. Percayalah, untuk saat ini tak ada seorangpun manusia di Jepang ini yang mampu
menandingi kecepatan dan kehebatan samuraimu anak muda. Tidak juga sepuluh Zato Ichi!
Saya pergi. Barangkali saya harus mengembara lagi dari hutan ke hutan mencari kedamaian seperti
puluhan tahun terakhir ini. Di kota manusia telah berobah menjadi buas. Kota telah menjadi rimba raya yang tak
bersahabat dengan manusia seperti saya. Rimba justru tetap bertahan dalam damai.
Bungsu-san. Ada seorang gadis yang saat ini mencarimu. Dia sangat mencintaimu. Saya yakin itu. Dan saya juga yakin
engkau mencintainya. Saya berdoa kalian dijodohkan Tuhan. Gadis itu adalah Michiko. Anak Saburo Matsuyama.
Dia sangat menderita karena kematian ayahnya. Tapi penderitaannya yang paling uatama adalah karena dia
engkau tinggalkan. Ah, saya akan puas untuk mati kalau kelak mendengar kalian menikah.
Sayonara. Zato Ichi. Si Bungsu tertegak diam. Tanpa dapat dia tahan, matanya jadi basah. Dia teringat pada Zato ichi selama
dua hari ini. Betapa pahlawan samurai itu tak sepatahpun mau bicara sejak dia menyelamatkan nyawanya
dalam pertarungan melawan Zendo.
Kini dia telah pergi. Perlahan Si Bungsu membuka pintu. Angin musim dingin menerpa masuk. Meniup rambutnya yang
gondrong. Menerpa mukanya yang urung.
Seorang sahabat telah pergi. Dia merasa sepi. Tak pernah dia mimpikan akan bisa bertemu muka dengan
pahlawan samurai yang kesohor itu. Dan tak pula terbayangkan olehnya, bahwa dia seorang anak dusun dari
Koleksi eBook : Drs. H. Hendri Hasnam, MM. 279
gunung Sago, suatu saat akan ditakdirkan membela nyawa pahlawan samurai dari negeri yang tentaranya
pernah merobek-robek kampung halamannya.
Dia menarik nafas panjang. Kini dia sendiri lagi. Perlahan dia berbalik, masuk lagi ke kamar. Mengambil
buntalan kainnya. Mengambil samurainya. Menatap kamar itu sekali lagi. Lalu melangkah keluar. Di luar dia
menutupkan pintu. Lalu melangkah menjauh. Di halaman dia menoleh sekali lagi kerumah tua dibelakang kuil itu. Seperti
menatap untuk terakhir kalinya. Kemudian berbalik. Melangkah di jalan berkerikil. Terus ke jalan raya.
(77) Sore itu udara sangat indah. Musim bunga. Tak jauh dari Budokan berhenti sebuah mobil. Seorang lelaki
turun. Memandang ke gedung Budokan. Kemudian memandang ke arah rumah Hanako.
Rumah itu kelihatan banyak berobah. Sudah semakin mentereng dan terawat indah. Perlahan lelaki yang
turun dari mobil itu berjalan ke arah rumah tersebut.
Dia kelihatan ragu-ragu. Sudah lama sekali dia tak datang kemari. Betulkah masih orang yang dahulu
penghuni rumah ini" Pikirnya.
Dia berhenti di persimpangan jalan besar dengan jalan setapak menuju ke rumah. Ada seorang lelaki
tengah membersihkan beberapa rumpun bunga. Dia coba memperhatikannya. Tak dia kenal lelaki itu.
Dia melangkah masuk. Lelaki itu masih asik bekerja. Dia batuk kecil. Lelaki itu menoleh. Mereka
bertatapan. Lelaki yang bekerja itu mengerutkan kening. Dia tak pernah mengenal lelaki ini.
"Maafkan saya?" kata lelaki yang baru datang itu.
"Ya. Ada yang bisa saya bantu?"
"Saya mencari rumah seorang sahabat. Kalau tak salah dahulu dia tinggal di rumah ini"."
"Siapa namanya?"
"Barangkali dia sudah pindah".namanya Kenji?"
Lelaki itu tegak. Menatap pada yang baru datang itu. Dan tiba-tiba dia seperti menemukan sesuatu.
"Anda"anda pastilah Si Bungsu dari Indonesia?" katanya hampir hampir berbisik. Tapi lelaki yang baru
datang itu mendengarnya. Dia heran dari mana orang itu mengetahui namanya.
"Benar".saya Si Bungsu"." ucapannya belum berakhir ketika lelaki itu berseru ke arah rumah.
"Hanako-san"..Hanako-san"." Himbaunya. Dari dalam rumah muncul seorang perempuan cantik
dengan tergesa. Dia kaget mendengar seruan lelaki yang lain dari Waseda itu.
"Ada apa".?" Tanyanya.
"Lihatlah siapa yang datang ini?" Waseda berkata pada isterinya. Hanako baru menyadari bahwa
dihadapan suaminya ada seorang lelaki. Dia menatap pada lelaki itu. Lelaki itu, yang memang Si Bungsu
menatap pula padanya. Tiba-tiba sebuah gigilan menyerang tubuh Hanako. Dia tegak seperti patung. Mulutnya bergerak
memanggil nama Si Bungsu. namun tak ada suara yang keluar. Yang keluar justru air matanya.
"Hanako-san?" suara Si Bungsu terdengar bergetar.
Dan tiba-tiba gadis Jepang itu menghambur ke pelukan Si Bungsu.
"Bungsu-san"..Bungsu-san?" desahnya diantara tangis yang tak terbendung. Dia memeluk anak muda itu.
Membenamkan wajahnya di dada Si Bungsu yang bidang. Dan Waseda, suami Hanako, menatap pertemuan itu
dengan terharu. "Hanako, engkau sehat-sehat"..?" suara Si Bungsu kembali terdengar perlahan. Hanako merenggangkan
pelukannya. Menghapus air matanya. Menatap wajah Si Bungsu. dan tiba-tiba dia menangis lagi.
Pemuda itu kelihatan kurus. Rambutnya tak terurus. Demikian pula pakaiannya. Dan hal itu membuat
hati Hanako jadi luluh. "Mana Kenji-san?"" tanya Si Bungsu.
"Kenji-san pergi ke tempat kawannya.
Dan yang menjawab ini adalah Waseda. Dan Hanako segera sadar bahwa disana ada suaminya. Dia
kembali merenggangkan dekapannya dari Si Bungsu. Menoleh pada suaminya.
"Inilah".inilah Bungsu-sa yang telah menyelamatkan kami Waseda-san?" katanya pada suaminya. Dan
kemudian dia menoleh pada Si Bungsu, lalu berkata :
"Bungsu-san"ini Waseda Tokugawa, suamiku?" Si Bungsu tak merasa kaget. Dia sudah bisa menebak.
Namun tetap saja ada segores luka dan kecewa di lubuk jantungnya yang amat dalam. Dia membungkuk
memberi hormat pada lelaku itu. Dan Waseda membalas hormatnya dengan membungkuk dalam-dalam pula.
Koleksi eBook : Drs. H. Hendri Hasnam, MM. 280
"Saya doakan kalian bahagia"." Kata Si Bungsu.
"Saya banyak mendengar tentang diri saudara. Saya ikut berutang budi atas pertolongan saudara Bungsu
pada Hanako dan seluruh saudaranya?"
Suara Waseda terdengar jujur.
"Marilah kita ke rumah, sementara menunggu Kenji-san pulang?" suara Waseda terdengar lagi. Dan Si
Bungsu mengikuti langkah Waseda. Sementara Hanako masih memegang tangannya.
Di pintu Si Bungsu tertegak. Memandang kearah kamar Kenji. Di sana dahulu Hanako diperkosa ketika
dia dan Kenji tak dirumah. Dan di ruang tengah ini dia berkelahi dengan anggota Jakuza, menolong nyawa Kenji.
Hanako mengerti apa yang dipikirkan Si Bungsu. Gadis itu menangis lagi terisak. Rumah itu sudah jauh
sekali berobah. Peralatannya sangat indah. Dan rumah itu sendiri tersusun dengan rapi.
Waseda ternyata lelaki yang benar benar berjiwa luhur. Dia sama sekali tak merasa cemburu atau sakit
hati melihat Hanako tak mau lepas-lepasnya dari sisi Si Bungsu. Gadis itu nampaknya memang sangat
merindukan Si Bungsu. Hanya Si Bungsu yang merasa kikuk karenanya.
Dan ketika Kenji pulang, pertemuan itu benar-benar mengharukan.
"Engkau kurus sekarang Bungsu-san. Darimana saja engkau selama ini?"
"Ah, saya telah berkelana. Dimana engkau bekerja kini Kenji-san?"
"Saya di pelabuhan. Sebenarnya saya ingin bekerja di kapal kembali. Tapi saya tak ingin berpisah dengan
adik-adik. Dengan modal yang engkau tinggalkan, ditambah oleh Waseda-san, saya mendirikan perusahaan
perkapalan. Berkantor di pelabuhan. Saya senang engkau kembali Bungsu-san. Engkau tak usah kemana-mana
lagi. Disini saja?" Si Bungsu menarik nafas panjang.
"Saya senang dan berterimakasih atas tawaranmu Kenji-san. Tapi saya akan pulang ke Indonesia"." Si
Bungsu menjawab perlahan.
Sudah tentu jawabannya ini mengagetkan mereka yang ada disana. Hanako mulai lagi menangis. Saat itu
Waseda tak dirumah. Dia pergi ke kantornya.
Dan tak lama setelah itu, terdengar suara mobil berhenti di depan. Lalu ketika Hanako membuka pintu,
Waseda muncul bersama ayahnya, Tokugawa.
Si Bungsu tertegak melihat kehadiran orang tua itu. Demikian pula Tokugawa. Dia diberi tahu anaknya
atas kedatangaaan Si Bungsu. Dan malam ini dia memerlukan datang menemuinya.
Si Bungsulah yang pertama membungkuk memberi hormat. Tokugawa membalasnya dengan
membungkuk pula dalam-dalam.
Waseda maklum bahwa anak muda ini sangat disegani ayahnya.
Sebab ayahnya tak pernah berlaku demikian hormatnya pada orang lain. Keluarga Tokugawa memang
memiliki kesombongan tersendiri. Bukan karena angkuh atas kekayaan atau garis keturunan yang melahirkan
para pahlawan, tapi karena demikianlah sikap para samurai.
Kini dia melihat betapa ayahnya berlaku pada anak muda ini. Dan dari sana dia dapat mengetahui
semakin banyak, bahwa anak muda ini pastilah telah banyak sekali berbuat dalam kehidupan ayahnya. Dia tak
mengetahui dengan pasti apa yang telah diperbuat anak muda itu dalam kehidupan ayahnya. Tapi meski tak
mengetahui, dia dapat merasakannya.
"Saya dengar engkau kembali nak?" suara Tokugawa terdengar perlahan sambil bersalaman.
"Ya, saya kembali?"
Tokugawa kemudian melangkah masuk. Mengambil tempat duduk di atas tikar. Mereka duduk
mengelilingi sebuah meja kecil. Duduk bersimpuh di lantai. Hanako menuangkan sake ke cawan kecil.
"Saya dengar engkau telah bertemu dengan orang yang engkau cari selama ini"." Suara Tokugawa
terdengar kembali setelah berdiam diri beberapa saat selesai meneguk sakenya.
"Ya, saya telah bertemu?" jawab Si Bungsu perlahan. Dia khawatir kalau soal itu ditanyakan lebih lanjut
oleh Tokugawa. Tapi orang tua yang arif itu ternyata hanya bertanya sampai disitu.
"Waseda anak saya, dia menikah dengan Hanako enam bulan yang lalu?"
Si Bungsu jadi gugup. Dia dapat menangkap bahwa dalam kalimat Tokugawa itu, orang tua tersebut arif
akan perasaan Hanako terhadap dirinya.
Tokugawa mengetahui bahwa gadis itu mencintai Si Bungsu, dan demikian pula sebaliknya. Dan
kalimatnya sebentar ini semacama permintaan maaf. Namun Si Bungsu harus mengakui secara jujur, bahwa
dia sangat terharu atas tindakan Tokugawa.
Orang tua itu jelas ingin melindungi Hanako dan saudara-saudaranya sepanjang hidup. Tindakannya
menyetujui pernikahan anaknya dengan Hanako ini semacam tindakan menebus hutangnya.
Koleksi eBook : Drs. H. Hendri Hasnam, MM. 281
"Saya sangat berterimakasih dan bahagia sekali tuan mau menikahkan anak tuan dengan adik saya?"
katanya perlahan. "Terimakasih"Bungsu-san?" suara Waseda terdengar sambil membungkukkan badan.
Dan malam itu mereka berbincang tentang hal-hal lain. Tentang kota Tokyo. Tentang tentara Amerika
yang makin banyak di Jepang. Tentang berbagai hal.
Tapi tiga hari kemudian mereka harus berpisah. Si Bungsu sudah bertekad untuk pulang ke Indonesia.
Dan ketika niatnya tak bisa ditawar lagi, Tokugawa lalu membelikannya tiket pesawat udara.
Dia akan pulang ke Indonesia lewat Singapura dengan kapal terbang.
Di pelabuhan udara Haneda, ketika panggilan untuk penompang sudah terdengar melalui pengeras
suara, Hanako kembali menangis.
Yang lain tegak agak jauh. Hanako memeluk Si Bungsu.
"Bungsu-san, aku mencintaimu. Aku mencintaimu. Jawablah untuk kali yang terakhir".apakah engkau
mencintaiku?" Hanako berbisik diantara isak tangisnya.
Si Bungsu jadi kaget. Apa yang harus dia jawab" Kalau dia katakan TIDAK, apakah itu takkan melukai
hati gadis ini" Kalau dikatakan YA, apakah itu masih ada artinya"
Namun bagaimana dia akan mendustai suara hatinya" Dan dia tahu Hanako akan terluka kalau dia
berkata tidak. Akhirnya dia berkata perlahan.
"Ya"aku mencintaimu Hanako-san. Aku akan selalu mendoakan kebahagiaanmu.." Hanako berhenti
menangis. Dia menatap wajah Si Bungsu. Dan dari bibirnya bergetar suaranya perlahan :
"Terimakasih Bungsu-san. Akan kubawa mati cintamu itu?"
"Hiduplah dan mengabdilah pada suamimu Hanako. Dia lelaki yang berbudi"."
"Terimakasih Bungsu-san. Setelah engkau pergi memang tak ada lelaki lain yang mengisi hatiku selain
dia?" Perlahan Si Bungsu mencium kening Hanako.
"Bungsu-san?" suara Waseda terdengar. Si Bungsu menoleh.
"Kelak kalau anak kami lahir lelaki, kami akan memberinya nama Si Bungsu. Engkau izinkan bukan?"
Si Bungsu benar-benar terharu.
Lama baru dia menjawab. "Terimakasih Waseda-san. Saya akan bangga sekali, kalau ada anak Jepang yang memakai nama saya,
nama dari Minangkabau?"
Dan Si Bungsu tak dapat menahan air matanya tatkala dia harus bersalaman dengan Kenji. Dia teringat
akan perkenalannya di kapal ketika bersama Kenji dahulu.
Kenji memeluknya dengan linangan air mata.
"Suatu saat, aku akan datang ke kampungmu Bungsu-san. Engkau adalah saudaraku. Saudara kami?"
Tak ada yang mampu diucapkan Si Bungsu. Semua kalimat tersekat dikerongkongannya.
Akhirnya dia melangkah menaiki tangga pesawat. Dan ketika dia menoleh, dia lihat Waseda, Hanako,
Kenji dan Tokugawa melambai. Dia balas melambai. Dan ketika pesawat udara menggebu lepas landas. Hanako
rubuh pingsan. Untung suaminya menyambut tubuhnya. Dan Si Bungsu yang duduk ditengah, tak melihat
kejadian itu. Hari itu dia bertolak meninggalkan negeri Sakura. Meninggalkan negeri dendamnya. Meninggalkan
negeri dimana hatinya juga seperti ikut tertinggal bersama Hanako dan Michiko!
Koleksi eBook : Drs. H. Hendri Hasnam, MM. 282
Episode III (Ketiga) (78) Singapura! Kota ini berkembang dengan cepat. Dari sebuah pulau yang selama ini lebih banyak dikenal sebagai
tempat persinggahan kaum pedagang atau tempat pelarian penjahat-penjahat, tiba-tiba muncul sebagai sebuah
kota yang paling penting setelah Kuala Lumpur di semenanjung Malaya.
Tapi pulau yang tiba-tiba berobah jadi kota besar ini juga menjadi sarang kegiatan spionase. Disana juga
secara diam-diam atau terang-terangan berlangsung kegiatan politik untuk berbagai negara. Baik negaranegara eropah, terutama Inggris, Perancis, Belanda, Portugis dan Spanyol yang memiliki tanah jajahan di lautan
pasifik dan lautan hindia.
Juga terutama kegiatan-kegiatan politik untuk kepentingan negara-negara Asia yang baru dan akan
merdeka. Negara-negara Asia yang pernah dijamah kekejaman balatentara Jepang mengurus kepentingan
pampasan perang di Singapura ini.
Berbagai jenis manusia makin hari makin memenuhi kota di pulau kecil tersebut. Dan diantara
berseliwerannya manusia-manusia, pencopet dan penodong juga ikut beraksi. Berbeda dengan Jepang dimana
para penjahatnya terorganisir rapi dalam berbagai kelompok seperti Jakuza, Kumagaigumi, atau yang kecilkecil seperti kelompok Shiba, maka di kota singa ini para penjahat, pencopet, penodong dan pemeras
beroperasi sendiri-sendiri.
Karena negeri ini negeri baru, maka organisasi apapun nampaknya belum sempat membenahi diri.
Kalaupun ada yang terorganisir, maka itu hanyalah sindikat-sindikat penyelundup. Mulai dari penyelundup
emas, timah, kayu bakau sampai pada kopra, karet dan bedil.


Tikam Samurai Karya Makmur Hendrik di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

---000--Hari itu sangat panas. Tengah hari terik. Seorang anak muda kelihatan keluar bersama puluhan kaum
muslim lainnya dari sembahyang Lohor di Mesjid Sultan tak jauh dari Arab street.
Dia tak lain daripada Si Bungsu. Masih ingat padanya bukan" Dahulu dia diantar oleh Kenji, Hanako dan
suaminya serta Tokugawa ke lapangan terbang Haneda. Dia akan pulang ke Indonesia. Karena waktu itu tak
ada hubungan antara Indonesia dan Jepang, maka setiap orang yang akan atau kembali ke Indonesia dari
Jepang, harus mempergunakan Singapura sebagai pelabuhan transit.
Nah, nampaknya dia belum kembali ke Indonesia. Siang itu, sehabis sembahyang lohor di Mesjid Sultan
itu, dia menuju ke sebuah kedai nasi Padang yang tak jauh dari mesjid tersebut.
Kedai nasi itu terletak persis di pinggir jalan. Sebuah tenda dibentangkan sebagai atap. Sebuah meja
besar terletak di bawahnya. Di meja besar itu lah terletak panci-panci bersisi nasi, gulai, goreng ikan, goreng
ayam, sambal lado sampai rebus daun ubi. Sesekali kelihatan petai mentah dan gulai jengkol. Pokoknya spesifik
makanan orang Padang lah.
Dan warung ini kabarnya milik orang Kapau. Sebuah desa kecil di luar Bukittinggi. Untuk menanak nasi
mereka mempergunakan kompor pompa. Dan warung mereka ramai terus. Mulai dari pagi buta sampai malam
hari. Tapi warung itu segera tutup sebelum jam 9 malam. Soalnya nasi berikut lauk pauknya sudah keburu
habis. Nah, kesanalah Si Bungsu pergi.
Dia terpaksa menanti beberapa saat. Warung dengan jumlah kursi sepuluh buah itu sudah penuh sesak.
Bersamanya ikut menanti beberapa lelaki lainnya.
Yang makan disini bukan hanya orang Padang saja. Tapi juga orang-orang Batak, Cina dan Jawa. Itu
karena dari omong mereka ketika makan.
Waktu Si Bungsu tegak menanti itulah, di ujung jalan sebuah sedan kelihatan berhenti. Dari dalamnya
turun seorang lelaki berpakaian cukup parlente.
Lelaki itu melangkah juga ke arah warung Padang itu. Si Bungsu yang pertama melihat lelaki itu. Dia jadi
kaget. Lelaki itu juga menatapnya. Tapi tak begitu acuh. Nampaknya mereka seperti tak mengenal satu dengan
yang lain. Namun Si Bungsu mana bisa melupakan orang itu. Hanya dia tak yakin, apakah benar ini orangnya"
Karena merasa ditatap terus menerus, lelaki yang baru turun dari sedan itu kembali menatap pada Si Bungsu.
Mereka saling pandang sejenak.
Dan tiba-tiba : Koleksi eBook : Drs. H. Hendri Hasnam, MM. 283
"Ya Tuhan, engkau Bungsu!" lelaki gagah itu seperti bicara buat dirinya sendiri.
"Nurdin".!" Kata Si Bungsu tak kalah kagetnya. Dan hanya beberapa detik setelah itu, mereka
bersalaman dan berpeluk. "Hai Si Bungsu! apa yang membawamu kemari. Apa engkau sudah bertemu dengan Jepang yang
membunuh keluargamu"..?" lelaki itu bertanya.Si Bungsu tentu saja tak menjawab. Beberapa lelaki dan
perempuan yang duduk makan, menatap pada mereka.
Ada yang mengerutkan kening. Yang datang dari Padang serasa pernah mendengar nama Si Bungsu itu
dahulu. Akhirnya mereka duduk di kedai itu. Memesan nasi, dan makan dengan lahap. Mereka sengaja
mengundurkan pembicaraan karena di sana banyak orang.
Selesai makan, Nurdin membayar rekeningnya, lalu mereka naik ke sedan Nurdin yang menanti di ujung
jalan. Seorang sopir juga orang Indonesia menjalankan mobil itu.
"Nah, sekarang kau cerita Bungsu, kenapa sampai nyangkut di kota ini?"" Nurdin bicara ketika mobil
mulai berjalan. Si Bungsu menatap temannya ini. Keadaannya sudah jauh berobah. Nurdin yang dahulu seorang Kapten
TKR di Pekanbaru, yang bertubuh kurus kini kelihatan gagah berpakaian necis dengan dasi segala.
"Sudah lama sekali kita tak jumpa"." Kata Si Bungsu.
"Ya. Sudah lama sekali?"
"Apa kabar Buluh Cina?"
"Masih tetap seperti dahulu. Batang Kampar masih berwarna kuning. Kanak-kanak masih mengayuh
sampan mencari ikan. Penduduk masih menabang rimba untuk dijadikan ladang. Tahun depan jika sudah
panen, ladang itu mereka tinggalkan untuk mencari hutan lain. Ditebas, dibakar dan dijadikan ladang pula".
Ah, saya juga sudah rindu pada Buluh Cina Bungsu?"
"Pak Bilal masih hidup?"
"Masih. Oh ya, masih ingat Nuri?"
Si Bungsu berdebar. Bagaimana dia takkan ingat gadis cantik ditepian sungai Kampar itu" Bukankah dia
yang merawatnya ketika sakit di Buluh Cina dahulu"
"Ya, saya masih ingat. Apakah dia ada sehat-sehat?"
"Tiga tahun yang lalu, yaitu ketika saya akan meninggalkan Pekanbaru, dia menikah dengan seorang
pedagang dari Teluk Petai Bungsu, saya tahu, dan semua penduduk kampung tahu, bahwa Nuri mencintaimu.
Tapi".engkau entah dimana. Ada dia nanti kabar berita darimu. Setahun dua. Tapi kampung itu terlalu miskin.
Seorang gadis betapapun dia mencintai seorang pemuda, namun dia harus lebih mencintai keluarganya.
Keluarganya butuh makan. Dan itulah yang dilakukan oleh Nuri. Dia ingin mengabdi pada keluarganya yang
miskin. Dia menerima lamaran seorang pedagang dari kampung Teluk Petai. Bukan karena dia mata duitan,
tapi semata-mata demi keluarganya. Engkau dapat mengerti Bungsu".?"
Si Bungsu tertunduk. Tak mejawab. Hatinya amat terharu mendengar cerita Nurdin.
"Saya mengerti"Nurdin. Saya bangga pada gadis itu. Dia gadis yang berhati mulia. Saya ingin Tuhan
melimpahkan kebahagiaan padanya"." Suara Si Bungsu terdengar bergetar. Nurdin diam, Si Bungsu juga diam.
Sedan itu meluncur diantara ratusan modil yang berseliweran di kota Singa itu.
Lama mereka terdiam. Ketika kahirnya sedan itu berhenti di sebuah taman di pinggir laut. Nurdin
membawa Si Bungsu duduk dikursi batu yang terdapat di bawah pohon-pohon.
Si Bungsu menceritakan secara ringkas tentang pertemuaannya dengan musuh besarnya, Saburo
Matsuyama. Dia juga menceritakan tentang Obosan yang bunuh diri itu. Tapi dia tak menceritakan tentang
anaknya yang bernama Michiko. Yang menaruh dendam dan ingin menuntut balas padanya. Karena itu dia
anggap tak perlu amat buat diceritakan pada orang lain.
"Nah, engkau sudah tahu kisahku Nurdin. Kini, giliranmu. Sejak bila engkau berada di kota ini?"
"Saya bertugas disini?"
"Bertugas?" "Ya. Pemerintah kita telah membuka Konsulat disini. Saya ditugaskan sebagai salah seorang atase
militer. Mengurus kepentingan-kepentingan untuk negeri kita"..Nah, sudah tiba saatnya kita kerumahku. Hei,
engkau dimana tinggal Bungsu?"
"Saya tinggal bersama seorang teman. Nanti lah saya kerumahmu Nurdin. Saya tak mau
menyibukkanmu?" "Ah tidak. Engkau harus kerumahku. Kita pergi mengambil pakaianmu. Engkau harus pindah ke
rumahku Bungsu. Jangan menolak. Kecuali kalau engkau tak menganggap aku sebagai saudaramu lagi?"
Koleksi eBook : Drs. H. Hendri Hasnam, MM. 284
Si Bungsu memandang terharu pada temannya itu. Akhirnya dia terpaksa menyerah. Mereka mengambil
barang-barangnya dari sebuah rumah di jalan Arab. Kemudian mereka menuju ke rumah dinas yang ditempati
Nurdin yang kini berpangkat Letnan Kolonel.
Mobil itu memasuki sebuah halaman rumput yang luas di pinggir jalan Bras Basah yang teduh oleh
pohon-pohon. Sebuah rumah terletak persis di tengah sebuah lapangan rumput itu. Berwarna putih dengan
atap dari kayu sirap berwarna coklat tua.
"Nah, itu isteri saya. Dia akan senang mengenalmu Bungsu. Dia juga orang Minang?" Nurdin menunjuk
ke pintu rumah ketika mobil berbelok ke sana.
Seorang perempuan cantik dengan rambut tergerai hingga bahu tegak di depan pintu dengan baju
kembang berwarna biru. Mobil itu berhenti tak jauh dari nyonya rumah tersebut tegak.
Si Bungsu turun mengikuti Nurdin.
"Bawa koper dibelakang ke rumah Madin?"
Nurdin berkata pada sopirnya.
"Nah, Bungsu kenalkan ini isteriku. Bu, ini teman seperjuangan saya ketika di Pekanbaru. Dia juga dari
Minangkabau"." Si Bungsu mengangguk hormat pada wanita cantik itu. Lalu mengulurkan tangan. Perempuan itu
tersenyum dan juga mengulurkan tangan.
"Ke kamar tamu yang ditengah pak?"" suara Madin si sopir itu mengalihkan perhatian Nurdin dari
isterinya dan Si Bungsu. "Ya. Kekamar tamu yang besar?" kata Nurdin sambil berjalan menutupkan bagasi di belakang mobil.
Dan untunglah dia melakukan gerakan itu. Sebab pada saat yang sama Si Bungsu tertegak seperti patung
menatap isteri temannya yang tegak di depannya itu.
Dia seperti bermimpi. Wajahnya tiba-tiba jadi pucat. Menatap dengan tatapan tak percaya pada wanita
cantik di depannya. Dan wanita cantik itu, isteri Letnan Kolonel Nurdin itu, yang kata Nurdin juga berasal dari Minangkabau
itu, tak kalah kagetnya dari Si Bungsu.
Wanita itu justru merasakan darahnya terhenti mengalir. Merasa jantungnya seperti berhenti berdetak.
Tangan mereka masih sama-sama terulur. Namun tak bersentuhan.
"Salma".?" Suara Si Bungsu mirip desahan.
"Uda"." Suara nyonya cantik itu, terdengar seperi dari alam mimpi.
(79) Buat sesat mereka masih bertatapan. Dan ketika bagasi belakang mobil berdentam ditutupkan Nurdin,
Si Bungsu cepat menguasai diri.
Dia menyambar tangan Salma. Menyalaminya. Dan dengan suara yang jelas dipaksakan untuk gembira
dan wajar, dia berkata : "Senang berkenalan dengan ibu. Saya dari Situjuh Ladang Laweh. Ibu dimana di Minangkabau?"
Si Cantik Dalam Guci 2 Si Pedang Tumpul Karya Kho Ping Hoo Sumpah Palapa 27

Cari Blog Ini