Tikam Samurai Karya Makmur Hendrik Bagian 13
Nurdin saat itu sudah berjalan kembali ke arah mereka. Salma buat sesaat masih tergagau. Namun dia
juga cepat menguasai diri. Dia tersenyum meski hatinya menggigil.
"Saya dari Bukittinggi?" katanya lemah.
"Jauh kota itu dari kampungmu Bungsu?" suara Nurdin memutus. Si Bungsu melepaskan salamnya.
Menoleh pada Nurdin. Dan sungguh mati, tak sedikitpun Nurdin menangkap bayangan lain pada wajahnya.
Entah belajar dari mana, tapi saat ini baik Salma, lebih-lebih lagi Si Bungsu adalah pemain sandiwara yang
alangkah sempurnanya. "Cukup jauh. Saya pernah datang ke Bukittinggi. Tapi hanya sebentar?"
Mereka lalu masuk. Rumah itu alangkah besarnya. Berisi perabotan yang mewah.
Seorang anak perempuan tiba-tiba berlarian dari kamar belakang. Mukanya belepotan bedak dan lipstik.
"Ayaaah"!" anak yang berusia sekitar tiga tahun itu berlari dan tanpa memperdulikan pakaian ayahnya
yang mentereng, dia lantas saja menghambur kepelukan ayahnya. Dan Nurdin mencium anak perempuan yang
mungil itu. Hingga wajahnya ikut berlepotan bedak dan lipstik.
Si Bungsu menatapnya dengan rasa tak menentu. Salma menatap anak dan suaminya dengan mata
berbinar. Namun hatinya, jelas tak kesana. Hatinya sedang bergemuruh.
"Hei, Eka, salam sama paman Bungsu, ayo?" Nurdin berkata sambil menurunkan anaknya dari
pangkuan. Anak kecil hitam manis dengan tubuh montok itu melangkah mendekati Si Bungsu.
Koleksi eBook : Drs. H. Hendri Hasnam, MM. 285
Sesaat dia tegak menengadah keatas, menatap Si Bungsu. Si Bungsu berjongkok. Gadis kecil yang mungil
itu mengulurkan lidahnya. Menjilat bibir. Matanya berbinar-binar. Kemudian mengulurkan tangan.
Si Bungsu menyambut tangan anak itu. Menyalaminya.
"Siapa namanya?""
"Eka"." Jawab gadis kecil itu.
Si Bungsu mencium pipinya yang berlepotan bedak. Kemudian memangkunya. Salma mengundurkan
diri dari ruangan itu. Dia pergi ke kamar yang diperuntukkan bagi Si Bungsu. membenahi kamar itu baik-baik.
Ada gigilan aneh ketika dia membereskan tempat tidur di kamar itu. Dan tiba-tiba dia teringat sesuatu.
Dia teringat, ketika akan berangkat dari Bukittinggi dahulu, dia memberikan sebuah cincin bermata berlian
pada Si Bungsu. Apakah cincin itu masih ada"
Perlahan dia meninggalkan kamar. Berjalan ke tengah. Melihat Si Bungsu masih menggendong Eka.
Suaminya barangkali ada di kamar depan.
Dan Si Bungsu tiba-tiba juga terpandang pada Salma yang tegak antara ruang depan dengan ruang
tengah. Mereka bertatapan. Salma mencari-cari. Dan tiba-tiba dia melihat cincin di jari manis tangan kiri Si
Bungsu. Si Bungsu tanpa sengaja mengikuti pandangan mata Salma ke jarinya. Dan dia terpandang pada cincin
yang telah bertahun-tahun menemaninya itu.
Ketika dia melihat lagi pada Salma, perempuan itu telah berbalik. Yang kelihatan hanyalah punggungnya
yang berjalan ke kamar belakang. Nurdin muncul.
"Hei, masih gendong terus. Ayo, turun Eka. Paman lelah. Bungsu, mari saya tunjukkan bilikmu. Engkau
harus disini. Saya merasa sepi di kota ini. Rindu terus ke kampung?"
Nurdin yang berkata sambil membimbing tangan puterinya dan menunjukkan Si Bungsu ke kamarnya.
Di kamar itu, Salma tengah melipatkan selimut wool berbunga merah jambu. Meletakkannya ke atas tempat
tidur. "Nah, inilah kamarnya. Seadanya. Kami harap uda betah di sini"." Nyonya rumah berkata perlahan
sambil tersenyum. Bagi Nurdin ucapan itu adalah ucapan biasa. Namun tidak demikian di telinga Si Bungsu.
Dan tidak demikian juga di hati Salma.
"Ah, saya"saya barangkali tak bisa tertidur ditempat sebagus ini nyonya?" jawabnya.
"Jangan sebut saya dengan sebutan nyonya. Panggil nama saya saja"." Salma berkata.
Nurdin telah berada lagi diluar kamar mengejar anaknya yang berlari ke ruang tengah. Sesaat Salma dan
Si Bungsu bertatapan lagi. Dan Si Bungsu melihat betapa mata perempuan cantik itu berkaca-kaca.
"Udaaa"." Suara Salma seperti desahan.
"Saya bahagia, bisa bertemu lagi dengan engkau Salma?"
"Maafkan saya,".Udaaa.."
Si Bungsu menggeleng. "Tak ada yang harus dimaafkan Salma. Saya ikut bahagia dengan kebahagianmu. Nurdin sahabat saya.
Saya banyak berhutang budi padanya?"
Suara terputus. Langkah-langkah kaki terdengar mendekati kamar. Salma tak berusaha menghapus
matanya yang basah. Nurdin muncul dipintu kamar menggendong anaknya. Si Bungsu merasa marah pada
dirinya sendiri. Kenapa kejadian ini bisa terjadi, pikirnya. Dan dia pura-pura sibuk meletakkan koper ke atas
meja. Membukanya dan memasukkan beberapa potong pakaian kain ke lemari.
"Bersiaplah Bu, kita ke Konsulat sore ini. Bungsu, engkau juga ikut kami. Di Konsulat ada pertemuan
keluarga Indonesia, kita kesana ya?"
"Maafkan saya Nurdin. Saya terlalu lelah. Saya ingin sekali berkenalan dengan orang-orang se bangsa di
kota ini. Tapi barangkali lain kesempatan. Saya ingin istirahat?"
Nurdin sebenarnya ingin membawa Si Bungsu dan memperkenalkannya pada teman-temannya di
Konsulat. Dia agak kecewa memang. Sebab dia benar-benar ingin membanggakan Si Bungsu pada temantemannya.
Dan ketika suami isteri itu berangkat bersama puteri mereka, tinggallah Si Bungsu terbaring di
kamarnya yang mewah. Ada kipas angin besar berputar di loteng kamar. Membuat udara dalam kamar itu jadi
sejuk. Namun tubuh Si Bungsu tetap saja mengalirkan keringat dingin.
Siang tadi, ketika akan makan di restoran padang dekat Arab Street, dia sangat merasa bahagia bertemu
dengan sahabatnya Nurdin. Betapa tidak, Nurdinlah yang membantunya ketika di Pekanbaru. Nurdin yang saat
itu adalah Komandan Gelirya untuk Pekanbaru dan sekitarnya, yang berasal dari kampung Buluh Cina, juga
telah menolongnya untuk bisa menuju ke Jepang.
Koleksi eBook : Drs. H. Hendri Hasnam, MM. 286
Nurdin menompangkannya ke sebuah kapal yang menuju Singapura ini dahulu. Kapal kecil yang
menyelundupkan senjata. Tapi, siapa sangka pertemuan itu menyeretnya ke situasi yang begini sulit.
Tanpa sadar, dia memainkan jarinya di cincin emas bermata berlian di jari manis tangan kirinya.
Bertahun-tahun cincin pemberian Salma ini tak pernah tanggal dari jarinya. Dan bertahun-tahun dia
menyimpan kerinduan pada gadis itu.
Dia telah berniat untuk segera pulang ke Minangkabau. Ingin bertemu dengan Salma. Dan kalau gadis
itu belum menikah, dia ingin melamarnya. Ingin sekali!
Tapi, ya Tuhan. Siapa sangka bahwa nasib akan begini jadinya. Dahulu, ketika dia akan berangkat dari
rumah gadis itu, dia memberikan oleh-oleh berupa sebuah cincin, gelang dan liontin. Kemudian sehelai kain
bekal baju dan sehelai kain batik.
"Ini bukan sebagai pembalas budimu Salma. Tidak. Budimu takkan bisa kubalas. Ini hanya sebagai
kenang-kenangan. Guntinglah kain ini. Buat kebaya panjang dan kebaya pendek. Saya bahagia, kalau kelak
engkau menikah, engkau memakai kain dan perhiasan ini?"
Begitulah dia berkata dahulu. Ya, dahulu!
Dan tadi, ketika akan pergi ke Konsulat itu, Salma memakai seluruh yang dia berikan dahulu. Kebaya
panjang berwarna biru. Kain batik buatan Jawa. Cincin dan gelang serta liontin pemberiannya dahulu. Mereka
berpapasan di ruang tengah. Salma nampaknya seperti sengaja memakai pakaian itu hari ini. Untuk
memperlihatkan pada Si Bungsu, bahwa dia mengabulkan permintaan Si Bungsu dahulu. Dan Si Bungsu
merasakan tubuhnya menggigil melihat perempuan itu. Kenangan masa lalunya menikam amat dalam hulu
jantungnya. Salma menatap padanya tanpa bicara, tanpa berkedip. Si Bungsu menghela nafas panjang di
pembaringan. Berguling ke kanan. Merasa gelisah. Berguling ke kiri. Merasa tak betah. Menelentang. Merasa
resah. Duduk. Berdiri dan berjalan ke tepi jendela besar dan tinggi. Memandang ke taman yang luas dengan
rumput hijau. Dan pikirannya merangkak lagi ke masa lalunya.
Ketika dia akan berangkat meninggalkan Bukittinggi, Salma mencegatnya di pintu. Menatapnya dengan
mata basah. Kemudian berkata lembut :
"Terimakasih atas pemberian Uda kemarin. Tak ada yang bisa saya berikan sebagai tanda terimakasih.
Tapi". Saya berharap uda mau menerima ini".sebagai kenang-kenangan dari saya. Dimanapun uda berada
lihatlah cincin ini, dan ingatlah bahwa pemiliknya selalu mendoakan semoga uda selamat dan bahagia selalu?"
Gadis itu menanggalkan cincin emas bermata berlian dari jari manisnya. Kemudian perlahan memegang
tangan kiri Si Bungsu, memasukkan cincin itu ke jari manis si pemuda. Lalu mereka bertatapan. Mata gadis itu
basah. Air mata merembes perlahan ke pipinya. Si Bungsu menghapus air mata itu perlahan dengan jarinya.
Sesaat, Salma ingin mendekap pemuda itu erat-erat. Namun yang dia lakukan hanyalah berlari ke biliknya.
Menghempaskan diri ke pembaringan dan menangis terisak. Si Bungsu turun ke halaman. Menyalami Kari Basa,
ayah Salma. Kemudian meninggalkan Bukittinggi.
Si Bungsu yang hari ini tegak dalam sebuah rumah besar dan mewah di bilangan Bras Basah Road
Singapura, melihat bayangan masa lalunya itu berlarian di taman rumah.
Dan tiba-tiba, dia merasa menyesal kenapa harus bertemu dengan Nurdin siang tadi. Dan yang lebih
disesalkannya, kenapa ketika diperkenalkan tadi dia tak berterus terang saja bahwa dia sudah mengenal
Salma" Dia tak mengerti kenapa tiba-tiba saja dia ingin menyembunyikan pada Nurdin bahwa dia telah
mengenal gadis itu. Bukan hanya sekedar kenal, tapi dia malah mencintai gadis itu. Kenapa dia
merahasiakannya" Apakah itu karena pertimbangan bahwa dia tak mau membuat hati Nurdin jadi kecewa"
Kini keadaan jadi rumit sekali. Bagaimana dia akan bersikap terhadap Salma dihadapan Nurdin" Akan
bersandiwara teruskah" Dan dia juga jadi tak mengerti kenapa keinginan untuk menyembunyikan bahwa
mereka telah saling mengenal itu juga dilakukan oleh Salma siang tadi.
Ini adalah situasi yang sangat tidak baik. Benar dia mencintai gadis itu. Tapi dia tak boleh mengganggu
rumah tangga mereka. Tidak. Lalu bagaimana" Dia harus pergi dari rumah ini secepat mungkin. Harus! Ya,
itulah satu-satunya jalan yang harus dia tempuh.
Dia harus berani menerima kenyataan bahwa situasi telah berobah. Dan kalau selama ini dia selalu kuat
menerima kenyataan, selalu tabah dalam tiap cobaan yang bagaimanapun kerasnya datang menerpa, kenapa
kini tidak" Dan akhirnya dia mengambil ketetapan. Dia harus pergi. Hatinya jadi tenteram setelah ketetapan itu dia
putuskan. Dia memang mencintai gadis itu. Merindukannya. Kini gadis itu telah dia temukan. Dan dia dapati
Koleksi eBook : Drs. H. Hendri Hasnam, MM. 287
kenyataan bahwa gadis itu berbahagia. Lagi pula, suaminya adalah seorang lelaki yang dia hormati pula.
Sahabat yang dia kenal baik semasa perjuangan fisik dahulu.
Dan ketika keluarga yang dia tompangi itu pulang malam hari, dia bisa menanti mereka dengan senyum
menghias bibir. Gadis kecil anak suami isteri itu berlari mendapatkannya.
"Paman sudah makan?"" tanyanya begitu dia dipangku Si Bungsu. Si Bungsu tak segera dapat
menjawab. Sudut matanya melirik, menyambar cepat sekali ke arah Salma yang tegak di jenjang. Perempuan
itu menatap padanya. Ada tikaman halus menyelusup ke lubuk Si Bungsu. Pertanyaan gadis kecil ini, pastilah ibunya yang
menyuruh. Dan pertanyaan itu, adalah pertanyaan yang selalu diucapkan Salma ketika dia di Bukittinggi
dahulu. Pertanyaan masa lalunya yang berbekas.
Anak itu dia cium sambil membawanya naik ke rumah.
"Paman sudah makan".?" Gadis kecil itu kembali bertanya.
"Sudah".sudaah".!" jawab Si Bungsu. Gadis kecil itu tersenyum. Dan senyumnya membuat wajahnya
kelihatan lucu. "Engkau harusnya ikut tadi Bungsu. Ada beberapa teman dari Jakarta yang ingin mengenalmu. Mereka
mengenal namamu sejak lama. Dari teman-teman yang pernah berjuang di Minangkabau. Ah, mereka
menganggapmu sebagai seorang tokoh dongeng?" Nurdin berkata ketika mereka duduk di ruang tengah.
Si Bungsu hanya tersenyum.
Malam itu mereka lewatkan sambil bercerita tentang masa lalu mereka. Nurdin yang duduk di sebelah
Salma menceritakan pula mula awal dia bertemu dengan isterinya itu.
Ternyata setelah Agresi ke II di tahun 49 Nurdin dipindahkan ke Bukittinggi. Dan disinilah dia bertemu
dengan Salma. Dua tahun dia tinggal di kota itu. Dan ketika dia akan dipindahkan ke Jakarta, dia melamar Salma.
Namun Salma menolak dengan halus. Setahun di Jakarta, Nurdin cuti. Dia kembali ke Bukittinggi dan kembali
melamar Salma. Ayah Salma, Kari Basa tahu betapa anaknya mencintai Si Bungsu. Namun kemana harus mencari anak
muda itu" Dan bagi Salma, sampai bila dia harus menanti" Usianya bertambah juga tahun demi tahun. Temanteman seusianya sudah pada menikah semua. Bahkan ada yang sudah punya anak empat. Saat itu usianya sudah
dua puluh dua tahun. Dan bagi gadis sebayanya, usia demikian sudah bukan main tuanya.
Dan akhirnya, karena desakan keluarga, ditambah pertimbangan-pertimbangan lain, Salma menerima
lamaran Nurdin. Pemuda itu memang seorang yang menarik hati wanita. Seorang yang sopan dan berbudi.
Kalau saja belum ada Si Bungsu dalam hidupnya selama ini, maka Salma tak usah malu untuk mengakui, bahwa
dia sebenarnya juga terpikat pada Nurdin.
Nah, mereka menikah. Memang bukan proses yang mudah. Tapi waktu membuat yang jauh jadi dekat.
Waktu juga menjalin kehidupan keluarga mereka jadi bahagia. Nurdin membawa Salma pindah ke Jakarta. Dan
setahun setelah pernikahan mereka, Nurdin ditugaskan menjadi atase militer di Konsulat RI di Singapura.
Si Bungsu mendengarkan cerita itu sambil mengangguk sekali-sekali. Namun esok paginya ketika dia
bangun tidur, hari telah siang sekali. Dan dia mendapatkan dirinya hanya berdua di rumah itu dengan Salma.
Lewat jendela yang dia buka lebar, dia melihat Eka, gadis kecil anak Nurdin berlarian di taman bersama
pembantu rumah tangga mereka.
Selesai mandi dia keluar ke ruang tengah. Begitu kakinya tiba di luar kamar, Salma kebetulan juga tengah
menuju ke ruang itu. Mereka berpapasan di depan kamar. Sama-sama tertegak. Diam. Memandang. Si Bungsu
sudah bertekad untuk berlaku wajar dan menghormati keuarga ini sebagai keluarganya sendiri. Dia harus
bersikap wajar seolah-olah tak pernah ada apa-apa antara mereka.
Dan saat begini, Nurdin tak ada di rumah. Dia telah pergi ke konsulat. Alangkah tak baiknya kalau dia
justru mempergunakan kepercayaan kawannya itu untuk berlaku tak sopan.
Namun mereka masih tetap tegak diam. Dan tiba-tiba saja, entah siapa yang memulai diantara mereka,
tahu-tahu mereka telah saling peluk. Dan dengan terkejut Si Bungsu mendapatkan Salma menangis dalam
pelukannya. "Udaaa"kenapa begini jadinya"." Perempuan cantik itu berkata diantara isaknya yang tertahan.
(80) Si Bungsu tak berkata. Tak ada kata yang mampu dia ucapkan. Dia ingin memeluk perempuan itu
selamanya. Ingin untuk tak melepaskannya. Tapi pada saat yang sama dia mengutuk dirinya. Mengutuk
ketidakjujuran pada temannya. Alangkah akan aibnya kalau Nurdin tahu peristiwa ini.
Koleksi eBook : Drs. H. Hendri Hasnam, MM. 288
Namun itulah hal hal yang tak terhindarkan. Barangkali memang bukan dosa mereka. Mereka memang
tak hendak menyengaja kejadian ini. Nasib jua yang membuat dan memaksa mereka demikian.
"Udaaa".kenapa kita harus bertemu dalam keadaan begini?"
"Tenanglah Salma"tenanglah"."
"Oh Tuhan. Engkau masih memakai cincin yang kuberikan dahulu. Aku juga masih memakai cincin yang
engkau berikan sesaat sebelum engkau pergi meninggalkan rumahku di Panorama Bukittinggi dahulu"."
Si Bungsu tak menjawab. Perlahan dia renggangkan pelukannya dari tubuh Salma. Menatap wajah
perempuan itu. Salma memejamkan matanya. Tak berani dia menatap wajah Si Bungsu. Perlahan, Si Bungsu
mengusap matanya yang basah. Pipinya yang basah. Namun itu justru menambah luluh hati Salma.
"Ayahmu adakah sehat-sehat Salma?"
Salma mengangguk. "Demikian juga kakak-kakakmu?"
Salma mengangguk. Dan akhirnya mereka melangkah ke kamar tengah. Di meja, pembantu telah menyiapkan sarapan pagi.
Mereka duduk berhadapan. Bertatapan. Dan Si Bungsu merasa betapa makin tak mungkin dia tinggal di rumah
ini lebih lama. Salma juga merasakan hal yang sama. Dia telah coba melenyapkan kenangannya terhadap Si Bungsu
selama ini. Sebagai seorang iteri dia adalah isteri yang baik. Tak sekali juga dia bertengkar dengan suaminya.
Mereka sama-sama pandai menenggang perasaan.
Dan kemaren serta hari ini, sejak bertemu kembali dengan Si Bungsu, hati Salma sebenarnya tak
tergoyahkan. Dia tetap seorang isteri yang setia dan mencintai suami dan anaknya. Tapi salahkah dia, kalau dia
tak dapat melenyapkan sama sekali kenangan masa lalunya dengan pemuda yang pertama dia cintai"
Mereka sarapan dengan diam. Sesekali mereka bertatapan. Salma melihat, betapa pemuda
dihadapannya itu kini telah berobah banyak sekali.
Pemuda itu bukan lagi seorang "Pemuda". Dia telah berobah jadi seorang lelaki. Wajahnya tetap murung
dan matanya tetap bersinar lembut seperti dahulu. Namun gurat pada wajahnya yang murung itu, terlihat
keteguhan dan keperkasaan seorang lelaki perkasa. Lelaki dihadapannya ini, seperti gunung Merapi di
kampungnya. Yang tegak diam tapi keras.
Dan pikiran Salma melayang pada masa lalu. Pada saat dia merawat Si Bungsu yang luka setelah disiksa
Jepang dalam terowongan bawah tanah yang tersohor itu.
Berhari-hari, baik ketika ayahnya Kari Basa ada dirumah atau tidak, dia merawat Si Bungsu dengan
telaten. Menyendokkan bubur ke bibirnya yang pecah-pecah dihantam pukulan Kempetai. Mengganti balut dan
obat dari luka-luka disekujur tubuh Si Bungsu yang disayat Kempetai dengan Samurai.
Merawat jari-jarinya yang patah. Dipatahkan dengan kakak tua oleh Jepang dalam rangka memaksa anak
muda itu agar mau membuka rahasia dimana markas pejuang-pejuang Indonesia yang melawan Jepang. Jika
menggantikan bajunya, untuk bisa duduk, anak muda itu berpegang ke bahunya. Dia juga memegang bahu Si
Bungsu dan mendudukkannya perlahan.
Dan setelah anak muda itu sembuh, dia menolongnya kembali berlatih mempergunakan samurai dengan
melempar-lemparkan putik jambu perawas yang tumbuh dibelakang rumahnya di bilangan Panorama. Dan
ketika Si Bungsu latihan itulah, ada sesuatu yang amat berkesan dan membahagiakan dirinya terjadi.
Waktu itu Si Bungsu meminta Salma tegak dalam jarak lima depa. Di dekat gadis itu ada panci yang
penuh oleh putik jambu perawas yang baru dipetik Si Bungsu. Si Bungsu memintanya untuk melempar putik
perawas itu. Salma bersiap. Si Bungsu tegak pula bersiap. Tangannya terkepal. Yang kiri memegang samurai. Dia
nampaknya coba melemaskan otot tangannya yang sudah lama sekali tak mempergunakan samurai. Dan saat
itulah Salma berteriak : Awas!
Seiring dengan teriakan peringatannya ini, tangan Salma terayun. Dua buah putik perawas terbang
bergantian ke arah Si Bungsu. Si Bungsu agak terkejut. Tangan kanannya cepat menyambar samurai disebelah
kiri. Namun sebelum samurai itu sempat dia tarik, kedua putik perawas itu telah menhantam tubuhnya.
Salma jadi kaget. Anak muda itu terlalu lemban.
"Udaa! Kenapa".?" Tanyanya sambil mendekat pada Si Bungsu. Si Bungsu hanya menggelang. Salma
tegak disisinya. "Kenapa. Tangan uda sakit lagi?" tanyanya sambil memegang tangan kanan anak muda itu dengan
lembut. Si Bungsu tambah menunduk. Menarik nafas panjang. Kemudian menatap pada Salma yang tegak hanya
sehasta di sisinya. Koleksi eBook : Drs. H. Hendri Hasnam, MM. 289
"Ya, terasa sakit. Tapi tidak hanya tangan. Tubuh saya juga terasa lumpuh?" katanya perlahan. Salma
jadi pucat. "Kenapa".?" Tanyanya perlahan sambil menatap Si Bungsu dengan cemas.
"Karena matamu"." Jawab Si Bungsu. Salma terbelalak.
"Ya. Saya jadi lumpuh karena engkau tatap bergitu Salma?" jawab Si Bungsu perlahan. Tiba-tiba Salma
tertunduk. Hatinya berdebar kencang. Kakinya menggaris-garis tanah. Dadanya gemuruh. Mukanya merona
merah. Namun perlahan matanya jadi basah. Pipinya juga basah. Si Bungsu kini yang jadi kaget.
"Salma" Saya menyakiti hatimu?"" tanyanya gugup.
Salma tetap menunduk. Kakinya tetap menggaris-garis tanah. Lalau dia menggeleng.
"Lalu kenapa?" "Uda mempermainkan saya"." Jawabnya sambil coba mencuri pandang pada Si Bungsu. Gadis itu
sebenarnya amat bahagia atas kata-kata Si Bungsu tadi. Bukankah pernyataan Si Bungsu bahwa dirinya jadi
Tikam Samurai Karya Makmur Hendrik di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
lumpuh karena tatapan matanya sebagai suatu pernyataan rasa hatinya yang terpikat pada Salma" Ah, meski
anak muda itu tak menyatakannya terus terang, namun dia dapat merasakan. Bukankah cinta itu tak perlu
diucapkan dengan kata-kata"
Bukankah yang lebih indah itu adalah pernyataan yang disampaikan secara isyarat dan sindiran" Ah,
siapa yang tak tahu di Minang ini tentang Kias. Dan sungguh mati, Salma sangat bahagia saat itu. Namun pada
saat yang sama dia juga merasa sedih. Sebab bukankah ketika dia merawat Si Bungsu, ketika anak muda itu
menggigau dalam tidurnya, berkali-kali dia menyebut nama Mei-Mei" Siapa gadis itu, pikirnya. Itulah yang
selalu menghantui hati Salma. Di hati Si Bungsu ada gadis lain yang sampai dibawanya ke dalam mimpi. Dan
gadis itu, jika menilik namanya, pastilah gadis Cina.
Dan kali ini Si Bungsulah yang kaget karena dituduh Salma mempermainkannya.
"Mempermainkan".?" Tanyanya sambil mengerutkan kening. "Sungguh mati, saya berkata sebenarnya
Salma. Saya jadi lumpuh dan gugup melihat sinar matamu Salma".tapi, maafkanlah saya kalau ucapan saya tadi
menyinggung perasaanmu"."
Salma mengangkat kepala. Kemudian tersenyum. Mereka bertatapan. Perlahan Si Bungsu menghapus
airmata di pipi gadis itu. Salma amat bahagia.
"Tidak marah?" bisik Si Bungsu. Salma menggeleng. Kemudian senyumnya mekar lagi. Si Bungsu
menarik nafas. Lalu balas tersenyum. Kemudian Salma berjalan kembali ketempatnya tadi tegak. Tegak dalam
jarak lima depa dari Si Bungsu. dia mengambil putik perawas dari dalam baskom disisinya.
Mereka bertatapan. Lama. Kemudian sama-sama tersenyum.
"Siaaap".?" Suara Salma bergema.
Dia telah bersiap dengan dua buah putik perawas di tangannya.
"Ya, tapi jangan sihir dengan matamu. Tangan saya bisa tak bergerak"." Si Bungsu bergurau. Salma
tersenyum lagi. Lalu tanpa peringatan dia melemparkan kedua putik perawas di tangannya. Dan anak muda itu
kaget lagi. Tangannya bergerak ke samurai. Yang satu berhasil dia babat. Belah dua. Tapi yang satu lagi
mengenai pipinya. "Hei, engkau mencido"!" teriak Si Bungsu. Salma tersenyum. Dan tanpa dia sadari, kinipun ketika
berhadapan di meja makan di Singapura ini, Salma juga tersenyum mengingat masa lalu yang alangkah
indahnya itu. Bibirnya tersenyum, namun matanya basah.
Si Bungsu yang duduk di depannya, jadi heran atas senyum Salma.
"Ada sesuatu yang lucu?"" tanyanya perlahan. Salma menggeleng.
"Saya teringat masa lalu"." Keluhnya. Si Bungsu tak berani menanyakan masa lalu yang mana yang
teringat nyonya rumah ini.
"Ingat ketika di Bukittinggi?" Si Bungsu mendesak sambil menghirup kopi di cangkirnya. Salma
mengangguk. "Ketika Uda meminta saya melempar Uda dengan putik perawas"." Salma mengingatkan lagi. Si Bungsu
jadi tak sedap hati. Kalau dia perturutkan cerita ini, maka bisa bisa luka hatinya akan bertambah meroyak. Tapi
bagaimana dia harus menyuruh nyonya ini berhenti ngomong" Sebagai seorang tamu, tak sedap juga bila tak
melayani bicara tuan rumah bukan"
Dan karena alasan itulah, Si Bungsu kembali mengangguk. Tapi Salma tak melanjutkan ceritanya. Mereka
lebih banyak berdiam diri. Situasi yang alangkah jauhnya berbeda dibanding mereka berpisah dahulu membuat
pembicaraan mereka jadi kaku. Tak tahu apa yang harus dimulai.
Satu hal yang pasti adalah : kerinduan. Siapa pun diantara mereka tak dapat mengelak kenyataan bahwa
mereka saling merindukan. Salma meskipun dia seorang wanita yang telah bersuami dan mempunyai puteri,
Koleksi eBook : Drs. H. Hendri Hasnam, MM. 290
namun sebagaimana hanya setiap wanita, dia tetap saja tak mampu menolak kodrat bahwa dia tak mampu
melupakan lelaki pertama yang menyentuh hatinya. Yang menyentuh tubuhnya.
Betapapun setia dan berbaktinya seorang wanita pada suaminya, namun jika suaminya itu bukan
cintanya yang pertama, maka jejak cinta itu berbekas jauh di dasar hatinya.
Hanya saja barangkali karena kodratnya pada setiap wanita pandai menyimpan rahasia. Demikian juga
halnya dengan Salma. Dia mencintai suaminya. Mencintai anaknya. Dan dia telah membuktikan bahwa dia telah
mengabdikan dirinya dengan segenap hati dan cintanya pada suaminya. Tapi, kini".ah!
Si Bungsu merasa tak betah berada di rumah besar itu tanpa Nurdin. Dia menjadi serba salah. Akhirnya
dia memutuskan untuk pergi jalan-jalan. Dan itulah yang dia lakukan. Salma menatap kepergiannya dari balik
tirai jendela. Si Bungsu menolak ketika Salma menyuruh sopir mengantarkannya dengan mobil.
"Tidak, saya ingin jalan kaki. Rasanya amat penat tidur seharian ini"." Katanya menolak tawaran Salma.
Dan kini anak muda itu melangkah di jalan dalam taman rumah itu menuju ke jalan raya. Salma menatap
punggungnya. Alangkah jauhnya berbeda.
Dahulu ketika anak muda ini meninggalkan rumahnya di Bukittinggi untuk menuju Pekanbaru
keadaannya tak seperti sekarang. Dahulu dia hanya membawa sebuah buntal. Tapi yang jauh berbeda adalah
pakaiannya. Anak muda dari gunung Sago ini dahulu memakai baju gunting Cina dengan pentalon lusuh dan selop
jepit dari kulit. Sehelai kain sarung melintang dari bahu kanan ke pinggang kiri. Kini dia kelihatan berpakaian
necis. Bersepatu dan berbaju kemeja dari kain sutera berlengan panjang.
Dia telah berobah, dari seorang pendekar klasik menjadi seorang lelaki yang hidup di kota besar.
Masih cintakah Salma dengannya"
Tak ada yang bisa menjawab. Bahkan Salma sendiri tak bisa menjawab pertanyaan itu dengan kata
putus. Namun ada perasaan lain yang barangkali bisa jadi jawaban.
Salma kini membandingkan diri anak muda itu dengan kehidupannya. Kehidupan para Diplomat. Sudah
tentu sangat jauh bedanya. Dia hidup sebagai seorang pejabat tinggi. Dan dia mencintai suami dan anaknya.
Dan selain mencintai, dia juga hidup bahagia. Kini dia jumpa dengan Si Bungsu. Alangkah jauhnya berbeda sisi
tempat mereka berpijak kini. Seperti langit dan bumi. Dan dia jadi kasihan pada Si Bungsu. Kasihan pada lelaki
yang pernah dia cintai itu.
Nah, jawabannya apakah dia masih mencintai Si Bungsu atau tidak, kini jadi jelas. Dia hanya kasihan!
Salahkah dia" Ah tidak. Tak ada yang salah. Bukankah setiap orang berhak memilih jalan hidupnya sendiri" Dan
siapapun wanitanya, barangkali akan menempuh jalan seperti yang di tempuh nyonya Atase Militer ini. Ah,
perempuan. ---000--Dan barangkali firasat halus jua yang membisikkan pada Si Bungsu, agar dia segera meninggalkan rumah
sahabatnya itu. Hanya tiga hari dia tinggal di sana. Dan hari ketiga itu, sore harinya, ketika dia dibawa oleh
Nurdin melihat pelabuhan, dia lalu menceritakan, bahwa dia sebenarnya telah mengenal Salma sebelum ini.
Dia berharap Nurdin jadi kaget. Namun justru dialah yang kaget.
Nurdin hanya menatap padanya sebentar. Namun air mukanya tak berobah. Mereka tengah duduk di
sebuah restoran di daerah pelabuhan. Daerah Anting yang selalu ramai oleh kapal-kapal yang datang dari
Indonesia. "Saya mengenalnya ketika saya di Bukittinggi"." Kata Si Bungsu menyambung ketika temannya itu tetap
diam. Nurdin masih tetap tenang.
"Dan saya tidak hanya sekedar mengenalnya Nurdin?" Si Bungsu jadi merasa tak sedap karena Nurdin
diam saja. "Ya. Saya tahu. Kalian pernah saling mencintai bukan?"
Kalau saja ada petir, Si Bungsu barangkali takkan sekaget ini.
Dia menatap tak percaya pada Nurdin.
"Saya mengetahuinya Bungsu?"
"Dari Salma?""
(81) Koleksi eBook : Drs. H. Hendri Hasnam, MM. 291
"Ya. Dari Salma. Dan bahkan ketika mulai pertama kalian saya pertemukan, ketika saya berjalan
kebelakang mobil menutupkan bagase, saya sempat mendengar engkau setengah berbisik karena kaget
menyebut nama Salma. Dan saya juga mendengar Salma memanggilmu "Uda". Saya gembira kalian saling kenal.
Tapi saya jadi kaget takkala saya datang lagi ketempat kalian berdiri, kalian justru bersandiwara seperti tak
saling kenal. Maka tak ada jalan lain yang bisa saya ambil selain mengikuti permainan kalian. Tidak, saya tidak
berprasangka buruk. Engkau sahabatku. Salma isteriku. Dan kedua kalian sama-sama saya hormati. Sama-sama
saya cintai. Saya menanti perkembangan. Dan malam harinya, Salma bercerita pada saya. Dia ceritakan segalanya.
Saya jadi terharu"saya harus minta maaf padamu. Karena saya tak pernah menyangka, bahwa saya akan
memperisteri gadis yang dicintai sahabat saya?"
Nurdin terhenti. Si Bungsu merasakan dirinya dibasahi peluh. Dia jadi pucat. Namun akhirnya menaik
nafas dan menunduk. Dia jadi merasa sangat hormat pada Salma. Ternyata dia isteri yang jujur.
"Apa saja yang diceritakan Salma?"" tanyanya perlahan. Dia berharap, bahwa gadis itu hanya becerita
garis besarnya saja. "Dia menceritakan semuanya. Tentang pakaian dan perhiasan yang engkau berikan. Yang dia pakai
malam itu. Saya yang menyuruhnya memakai pakaian itu. Bukan dengan niat menyiksamu. Tapi saya ingin
melihat isteri saya menghargai pemberian orang yang pernah dia cintai. Dan dia juga bercerita tentang cincin
ini?" Nurdin menunjuk pada cincin di jari manis Si Bungsu. "Cincin ini dia berikan sesaat sebelum engkau
meninggalkannya dahulu bukan" Dan Salma juga mengakui dengan jujur, bahwa dia masih tetap mencintaimu.
Sampai anak kami lahir. Saya tak merasa cemburu Bungsu. Tidak. Saya malah merasa berdosa. Kalau saja
dahulu saya tahu?" Nurdin terhenti dan memandang laut.
Si Bungsu menarik nafas panjang. Dia merasa bulu tengkuknya merinding. Ternyata tak ada lagi rahasia
antara dia dengan Salma dimata sahabatnya ini.
Namun Si Bungsu merasa lega. Sebab sebelum dia minta diri untuk pergi, dia telah ceritakan hal
sebenarnya pada temannya ini. Kalau saja dia tak menceritakannya, tentu Nurdin akan berprasangka yang
tidak-tidak selamanya. Sebaliknya Nurdin benar-benar tidak berbohong ketika tadi dia berkata bahwa baik terhadap Si Bungsu,
maupun terhadap isterinya, dia sama-sama mencintainya. Ucapan itu tidak sekedar pemanis. Itu memang
keluar dari lubuk hatinya yang paling dalam.
Dia memang mencintai isterinya itu sepenuh hati. Betapa dia takkan mencintainya, perempuan itu
mencintai lelaki lain, namun itu adalah masa lalunya. Bukankah yang penting bukan masa lalu. Melainkan masa
sekarang dan yang akan datang"
Nurdin berpendirian, dia tak kawin dengan masa lalu isterinya. Dia kawin dengan isterinya saat dia
temui. Dan kalaupun isterinya punya masa lalu yang indah dengan lelaki lain, buat apa dia cemburui" Bukankah
dia juga punya masa lalu yang indah dengan seorang dua gadis, yang tak sampai dia nikahi karena tak jodoh"
Masih untung isterinya hanya punya masa lalu yang indah. Bagaimana kalau masa lalu isterinya adalah
hitam dan berlumur dosa" Kalaupun hal itu terjadi, Nurdin tetaplah Nurdin. Dia adalah lelaki yang fragmatis.
Dia akan tetap mencintai isterinya itu. Sebab, baginya memilih isteri bukan untuk menggali lagi masa lalu. Kalau
lelaki telah memilih isteri, dan perempuan telah menetapkan seorang suami baginya, maka mereka hendaklah
kawin secara utuh baik fisik maupun rohaninya.
Kalau masa lalu pasangannya indah, maka kewajibannya untuk berbuat lebih indah, atau sekurangkurangnya sama indahnya dengan masa lalu isteri atau suaminya itu. Barangkali kadar keindahan dan
kebahagian itu berbeda. Namun kebahagiaan bukankah tidak hanya berstandar pada materi"
Dan kalau masa lalu pasangannya hitam dan bernoda, maka dia hendaklah berusaha sekuat mungkin
untuk membersihkannya. Itulah konsekuensi sebuah pernikahan bagi Nurdin. Konsekuensi logis dari sebuah
pilihan. Dan itulah yang dia lakukan terhadap isterinya. Yang kebetulan dalam hal ini adalah Salma. Perempuan
yang punya masa lalu yang indah dengan seorang pemuda. Dan pemuda itu justru adalah Si Bungsu. Seorang
lelaki yang telah bertanam budi padanya, pada perjuangan kemerdekaan dan pasukannya di Pekanbaru dahulu.
Dia memang mencintai kedua orang ini, seperti dia mencintai diri dan tugasnya. Nurdin memang tak
munafik dalam hal ini. Dan dia tak khawatir bahwa Salma akan meninggalkan dirinya. Dia tak khawatir karena
dia tahu akan kesetiaan perempuan itu. Selain itu, dia tak khawatir karena dia tahu bahwa dia telah berusaha
sekuat dayanya untuk membahagiakan perempuan itu. Baik lahir maupun bathinnya. Dan dia juga tak khawatir
Koleksi eBook : Drs. H. Hendri Hasnam, MM. 292
karena dia orang yang beriman. Artinya, kalau Salma tetap juga meninggalkan dirinya, maka dia yakin hal itu
semata karena Takdir! Dan siapa orangnya yang akan mampu menolak datangnya Takdir. Demikian Nurdin berpendapat.
Dalam hal ini, tentu saja Si Bungsu jauh tertinggal. Sebab dia tak pernah sempat berfikir kesana. Selama ini dia
hanya memikirkan bagaimana membalas dendamnya. Dan dia juga berfikir bagaimana menolong orang dari
aniaya dan perbuatan sewenang-wenang pihak lain.
Dia lebih banyak memikirkan orang lain. Sehingga tak punya kesempatan untuk memikirkan dirinya
sendiri. Dan ketika dia mulai memikirkan dirinya, ternyata dia dinanti oleh kekecewaan. Itulah dirinya kini.
Seorang pahlawan samurai yang menundukkan puluhan ahli samurai lainnya. Seorang pahlawan dihati rakyat.
Namun hidupnya sepi. Dia tersadar ketika tangan Nurdin memegang tangannya di atas meja.
"Betapapun Bungsu, engkau tetap sahabat saya"dan tetap pulalah menjadi sahabat Salma. Sebuah
perkawinan hendaknya menjadi tali pengikat untuk memperbanyak kenalan, sanak famili dan keluarga.
Perkawinan tidak menjadi kampak pemutus hubungan antara yang satu dengan yang lain. Barangkali ini
mudah saya ucapkan, karena bukan saya yang disakiti. Melainkan engkau. Namun, demi Tuhan, kalaupun saya
yang disakiti saya akan bersikap begitu".sekali lagi maafkan saya karena tak mengetahui bahwa engkau
mencintai Salma. Dan tetaplah jadi sahabat kami"."
Dan Nurdin memang bersungguh. Kedua lelaki ini memang bukan sembarang lelaki. Banyak
pertempuran telah mereka lalui. Bahkan sampai kini mereka juga sedang bertempur. Bertempur dengan
perasaan. Dan justru terkadang pertempuran tanpa bedil inilah yang lebih berat.
Si Bungsu balas menggenggam tangan sahabatnya itu.
"Engkau banyak mengajar saya tentang hidup ini kawan. Insya Allah, dalam hidup saya tak pernah ada
rasa benci dan dendam. Sedang pada orang lain saya mengalah. Apalagi pada seorang sahabat. Namun kepada
engkau saya tak perlu mengalah Nurdin. Karena engkau tak pernah berbuat apa-apa menyakiti hatiku. Tentang
Salma, bukankah itu soal takdir" Saya bangga dia telah menceritakan segalanya padamu. Saya tahu sejak dulu,
dia gadis yang jujur dan berhati mulia. Engkau adalah saudaraku. Dan dia juga"
"Terimakasih, sahabat"!"
Hanya itu yang bisa diucapkan oleh Nurdin. Dan alangkah lega dan lapangnya perasaan mereka setelah
itu. Beberapa kelasi turun dari motor tempel ke dermaga. Beberapa perempuan mengikutinya. Ada Cina
yang menanti di luar dermaga, kemudian masuk ke mobil yang menanti. Kapal-kapal berlabuh jauh dari
dermaga. Membuang jangkar agak ditengah teluk. Kelasi yang turun naik ke kapal harus memakai sampan atau
dengan motor tempel. "Kita pulang?" kata Nurdin setelah melirik pada beberapa lelaki yang turun menggandeng beberapa
perempuan muda. Si Bungsu tegak mengikuti Nurdin. Mereka memanggil sebuah taksi. Masuk, dan pulang!
Namun begitu taksi itu akan membelok keluar dari pelabuhan, serentetan tembakan bergema. Kaca
samping taksi yang mereka tumpangi berderai hancur. Terdengar pekik tak menentu. Ada suara deru mesin
mobil menjauh. Ada rintihan di samping Si Bungsu. Segalanya begitu cepat terjadi. Hampir-hampir tak ada
waktu untuk berfikir. Dan Si Bungsu merasakan darah meleleh di bahunya. Tapi dia yakin, darah itu bukan darahnya. Takkala
mobil itu tadi akan membalik, yaitu beberapa detik saja sebelum peluru memberondong, ada firasat tak sedap
menyelusup ke hati Si Bungsu.
Naluri yang amat tajam terhadap bahaya yang mengancam, segera saja secara otomatis. Hanya saja,
dalam mobil dengan Nurdin begini dia tak tahu bahaya apa yang akan menyerangnya. Perasaan tak sedap itu
menyebabkan dia menoleh ke belakang. Ada sebuah mobil datang dari belakang. Firasatnya jua yang
menyuruhnya untuk membungkuk. Namun saat itulah berondongan peluru itu menghantam mobil mereka.
Dan dia tahu, darah yang membasahi bahunya adalah darah Nurdin. Dia Bangkit. Nurdin terkulai.
Tubuhnya berlumur darah. Orang-orang di restoran dekat dermaga pada tegak kaget. Tak ada yang berani
mendekat. Nampaknya mereka takut terlibat.
"Ke Konsulat".antarkan saya ke Konsulat Indonesia.." Nurdin berkata sambil tetap terguling di
pangkuan Si Bungsu. Sopir taksi itu menjalankan taksinya.
"Apakah tidak ke hospital?" tanya sopir sambil melarikan mobil.
"Tidak. Ke Konsulat saja?" kata Nurdin terengah.
"Nurdin" ada apa.." Si Bungsu yang memegang kepala temannya dipangkuannya itu bertanya kaget.
Nurdin menghela nafas. Nampaknya dia sangat kesakitan.
Koleksi eBook : Drs. H. Hendri Hasnam, MM. 293
"Kau"kau lihat perempuan dan Cina-cina yang turun dari kapal tadi..?" Nurdin balik bertanya sambil
menahan rasa sakit. Si Bungsu mengangguk. Dia ingat semuanya.
Nurdin memegang bahu Si Bungsu.
"Bungsu, dengarlah"." Dia coba mengumpulkan tenaga, "Kalau nyawa saya tak bisa ditolong, ada dua
hal yang saya minta engkau melakukannya untuk saya, Bungsu. Maukah engkau?""
Si Bungsu mengangguk. Dia tak perlu bertanya apa permintaan temannya itu. Apapun yang diminta
sahabatnya ini pasti akan dia lakukan demi menyenangkan hatinya. Nurdin kelihatan agak lega melihat
angguknya itu. "Terimakasih. Saya senang engkau mau melakukannnya untuk saya. Pertama, engkau lindungi Salma
dan anak saya. Hanya pada engkau mereka saya percayakan"." Nurdin terhenti, nampaknya dia berusaha
mengumpulkan sisa tenaganya. Mobil dilarikan kecang menuju konsulat Indonesia. Meliuk-liuk dan berusaha
mencari jalan pendek. Namun pada saat itu, Si Bungsu jadi kaget mendengar permintaan temannya itu.
Tapi suara Nurdin segera memintas kekagetannya :
"Jangan menolak Bungsu. Kalau engkau tidak mau menikahi Salma, maka anggaplah dia sebagai adikmu.
Namun percayalah, aku akan sangat berterima kasih, kalau engkau mau menikahinya. Percayalah, dia seorang
perempuan berhati mulia". Dan, permintaanku yang kedua, ini sebenarnya bukan tugasmu, " ini merupakan
tugas konsulat dan pemerintah Indonesia?"
Nurdin terhenti lagi. Agak lama baru dia menyambung.
"Saya sengaja membawamu ke daerah pelabuhan itu tadi, dan saya sengaja tak memakai mobil konsulat,
sebab kedatangan kita kesana merupakan rangkaian tugas rahasia. Perempuan-perempuan Indonesia yang kau
lihat turun dari kapal tadi Bungsu, adalah perempuan-perempuan yang diselundupkan dari Indonesia. Dan
Cina-Cina yang menyertai mereka, adalah agen-agennya. Ada sebuah sindikat Internasional yang
mengorganisir perdagangan wanita-wanita. Yang juga melakukan jual beli wanita dari Indonesia. Bungsu,
sudah setahun kami mengintai langkah mereka. Jakarta telah berkali-kali mengintai, tapi mereka selalu lolos.
Dan saya sudah hampir bisa mencium jejak mereka di Singapura ini. Namun datanya belum saya kirim
ke Jakarta. Bungsu, padamu saya minta tolong, kalau engkau ke Jakarta, bawa dokumen tentang sindikat itu.
Saya bukan tak percaya pada beberapa petugas di Konsulat Indonesia disini, namun saya lebih percaya
padamu. Saya yakin, dokumen rahasia itu akan aman di tanganmu. Bungsu, jangan sampai orang di konsulat
tahu, bahwa dokumen itu ada padamu".minta dokumen itu pada".pada Salma?" suara Nurdin lenyap.
"Nurdin"!"
Tak ada jawaban. "Nurdin!" Si Bungsu mengguncang bahu Letnan Kolonel itu. Namun tubuhnya tak bergerak. Saat itu
sedan membuat tikungan tajam. Kemudian berhenti mendadak.
(82) Gedung yang dijadikan untuk Kantor Konsulat Republik Indonesia itu tak lebih dari sebuah bangunan
bertingkat yang sudah tua. Seorang penjaga dari kepolisian Singapura bergegas membukakan pintu. Dan dia
kaget ketika melihat bahagian kanan taksi itu remuk dimakan peluru. Dan makin terkejut lagi dia. Ketika
diketahuinya bahwa atase militer dari konsulat yang dia jaga terluka parah.
Dia segera berlari ke pintu konsulat. Memijit sebuah bel dan berlari ke box telepon. Hanya selang
semenit setelah itu, halaman konsulat itu sudah dipenuhi oleh Polisi, ambulan dan dokter-dokter. Nurdin
dinaikkan ke tandu. Tapi ketika dia akan dimasukkan ke ambulan yang akan membawanya ke hospital, Si
Bungsu mencegahnya. Dia mengatakan bahwa Nurdin meminta agar dia dirawat di konsulat saja.
Konsul Republik Indonesia untuk Singapura yang juga datang menatap Si Bungsu.
"Apakah anda yang bernama Bungsu?"
Tikam Samurai Karya Makmur Hendrik di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Si Bungsu mengangguk. Konsul itu menjabat tangan Si Bungsu.
"Overste Nurdin banyak bercerita tentang anda, sayang kita bertemu dalam saat seperti ini?" dia
menoleh pada tubuh Nurdin yang masih tergeletak dalam pandu, " : Bawa dia ke dalam. Didalam ada ruang
khusus untuk perawatan. Panggilkan dokter konsulat.."
Dan konsul itu memberikan perintah-perintah.
Dan dokter konsulat yang memeriksa Nurdin menyatakan bahwa meskipun sangat gawat, namun
Overste itu mungkin masih bisa ditolong.
Koleksi eBook : Drs. H. Hendri Hasnam, MM. 294
"Harus dioperasi. Ada dua peluru yang bersarang di tulang dekat jantungnya. Dan untuk operasi harus
di hospital?" kata dokter itu. Si Bungsu kembali menerangkan bahwa Nurdin menolak ketika akan dibawa oleh
taksi ke Hospital tadi. Konsul kembali menatap Si Bungsu.
"Kalau demikian dia mempunyai alasan-alasan khusus. Minta saja agar operasi diadakan di konsulat
ini?" Dan permintaan konsul Indonesia itu dikabulkan oleh Pemerintah Singapura. Seperangkat alat-alat
operasi segera dipindahkan ke konsulat tersebut.
Konsul Indonesia itu memutuskan untuk memberi tahu isteri Nurdin melalui telepon.
"Bu Salma?" "Ya, ini dari siapa?""
Konsul itu menyebutkan namanya.
"Oh, bapak. Apa kabar pak, ibuk di rumah?"
"Ya. Ya, dia ada dirumah"tapi?"
"Bapak ingin bicara dengan Pak Nurdin?"
"Tidak. Tidak. Dia ada di sini. Eh, maksud saya ya, ya dia ada di konsulat sekarang ini. Ada pertemuan
penting. Saya harap ibu juga bisa hadir di sini sekarang?"
Salma memang tak punya prasangka. Dia segera saja bersiap dan berangkat ke konsulat dengan mobil
dinas suaminya yang memang ditinggal di rumah. Sebagai isteri seorang diplomat, bagi Salma bukanlah hal
yang baru kalau tiba-tiba diminta datang kesuatu tempat dan acara dengan mendadak. Apalagi yang memanggil
ini adalah Konsul sendiri. Salma berpendapat, pastilah ada pertemuan yang penting sekarang. Sehingga ibukibuk pejabat teras konsulat diperlukan untuk hadir.
Namun segala pendapatnya itu segera saja buyar ketika mobil memasuki halaman konsulat. Konsulat itu
dipenuhi oleh mobil polisi yang nampaknya siap siaga.
Dan kagetnya segera berobah jadi pekik tangis ketika dia tiba di dalam. Ketika padanya diberitahu
tentang malapetaka yang menimpa suaminya. Untunglah konsul Indonesia itu dan isterinya juga datang
menahan Salma. Kalau tidak, perempuan itu pasti telah memeluk suaminya yang tengah menjalani operasi.
"Tenanglah Salma. Tenanglah, overste pasti selamat. Tenanglah?" nyonya konsul membujuk. Salma
menangis memeluk perempuan separoh baya yang telah dia anggap sebagai ibunya itu.
"Apa yang terjadi bu" Apa yang terjadi dengan suami saya?"
"Barangkali ada kekeliruan. Dia kena tembak di pelabuhan?" suara konsul menjelaskan. Salma menatap
pada pejabat tinggi Republik Indonesia itu.
"Di pelabuhan?""
"Ya. Dia bersama saudara Bungsu?"
Dan Salma baru ingat akan anak muda itu. Dia menoleh pada arah yang juga ditoleh oleh konsul tersebut.
Disana ditentang bahu Nurdin, dalam jarak dua depa, tegak anak muda itu dengan diam. Ketika tadi Salma
masuk, dia ingin menemuinya. Tapi anak muda ini segera tahu diri. Tempat ini adalah tempa para pejabat.
Bukan tempatnya. Dan dia merasa kurang pantas kalau harus dia menemui Salma. Apa benar jabatannya hingga
berani mendekati isteri seorang atase militer dari sebuah Negara"
Ah, dia merasa tak pantas. Dan karenanya dia mengundurkan diri diam-diam. Lalu tegak di balik tali
yang dibuat secara darurat untuk membatasi dokter-dokter yang tengah mengoperasi itu dengan para pejabat
konsulat yang hadir disana.
Barulah ketika namanya terdengar disebut dia menolehkan kepala. Salma tengah menatap padanya. Dia
mengangguk pada isteri atase militer itu. Dalam cahaya listrik, Salma melihat bercak darah memenuhi kemeja
dan kaki celana Si Bungsu. dan dapat dia duga, suaminya pastilah rebah ke tubuh anak muda itu tadi. Dan
ingatannya hanya sampai disana. Tubuhnya doyong. Dan perempuan muda itu lalu rubuh tak sadar diri. Dia
sangat mencintai suaminya. Mencintai ayah dari anaknya. Dan malapetaka ini adalah cobaan pertama selama
perkawinan mereka yang selalu berbunga bahagia. Dan setiap goncangan yang pertama meskipun tak begitu
kuat, akan terasa melumpuhkan. Apakah goncangan kuat seperti yang dialaminya saat ini!
Salma lalu digotong ke kamar yang ada di kantor itu. Dan operasi terhadap Nurdin berlanjut terus.
Menjelang tengah malam, sudah ada delapan dokter berkumpul disana. Dan Nurdin masih tetap tak
sadar diri. Lewat tengah malam. Dari dua peluru yang bersarang dekat jantung Nurdin, belum satupun yang bisa
dikeluarkan. Mereka baru sampai pada taraf penghentian pendarahan secara total.
Koleksi eBook : Drs. H. Hendri Hasnam, MM. 295
Mereka memerlukan beberapa kali konsultasi untuk mencabut kedua peluru itu dari sela jantung
Nurdin. Sebab letaknya amat berbahaya. Sedikit saja bergeser atau mengenai tempat lain, maka akibatnya fatal.
Mungkin tidak mematikan. Tapi bisa melumpuhkan overste itu secara total seumur hidupnya. Tabung
zat asam dan infus darah dilakukan terus menerus.
Menjelang pagi, barulah kedua peluru itu bisa diangkat dan dibuang. Namun pekerjaan berbahaya masih
belum selesai. Penjahitan kembali dua liang tempat peluru itu terbenam memerlukan kehati-hatian yang tak
kalah dari saat mengangkat perluru itu tadi.
Seluruh operasi yang menegangkan untuk menyelamatkan nyawa atase militer dari Indonesia itu baru
selesai takkala siang telah datang.
"Dia selamat. Tapi diperlukan waktu yang amat lama baginya untuk istirahat?" dokter konsulat yang
memimpin operasi itu berkata sambil membuka tutup mulut dan sarung tangan karetnya.
Salma yang sudah sejak tadi sadar diri, menangis tersedu-sedu. Dan dia tercenung ketika didengarnya
orang sembahyang dari kamar sebelah. Dari bacaan ayatnya dia segera mengenal bahwa yang sembahyang
adalah Si Bungsu. Salma dan keluarga konsul Republik Indonesia itu sama-sama tercenung. Mereka semua orang Islam.
Tapi karena alasan kesibukan tugas negara, mereka amat jarang sholat. Bahkan boleh dikata mereka tak pernah
melakukannya. Demikian juga Salma. Padahal dahulu dia adalah gadis yang soleh. Bekas pelajar Diniyah Puteri
Padang Panjang. Dan tanpa dapat ditahan, air mata perempuan muda itu merembes turun. Konsul sendiri bergegas ke
kamar mandi. Mengambil udhuk. Kemudian ikut sembahyang. Ah, meskipun dia seorang pejabat tinggi, namun
dia tak malu untuk belajar dari yang lebih muda.
Kenapa harus malu memulai sholat, pikirnya. Dan dia sholat dibelakang Si Bungsu tegak. Untuk
keamanan, Nurdin tetap tak dirawat di hospital ataupun di rumahnya.
Konsul menyuruh agar dia dirawat di konsulat itu saja. Kantor Konsulat itu cukup besar. Konsul Jenderal
itu sendiri dahulu tinggal di gedung Konsulat tersebut bersama anak isterinya.
Kini kamar itu ditempati oleh Salma dan suaminya yang sakit.
Dokter datang tiga kali sehari mencek keadaannya.
---000--Hari keempat setelah operasi itu.
Nurdin masih belum sadar. Namun keadaannya tak lagi begitu mengkhawatirkan. Makanannya
diinfuskan melalui pembuluh darah berupa zat cair berwarna putih. Di kamar tamu, Si Bungsu menceritakan
pada Salma tentang peristiwa di pelabuhan tersebut.
"Dia mengatakan tentang dokumen yang ada padamu. Salma?"
"Dokumen?" "Ya. Ada sebuah map biru berbungkus kertas minyak berwarna kuning?"
Salma coba mengingat. "Oh ya. Ya, saya ingat. Dia berikan sebulan sebelum kejadian ini.."
"Engkau mengetahui isinya?"
"Tidak. Saya hanya menyimpannya.."
"Dia meminta saya mempelajari dokumen itu"
"Apakah tak lebih baik diserahkan pada Konsul?"
Dia tak berkata begitu. Barangkali dia tak ingin memberitahukannya sebelum dia usut secara
menyeluruh. Ada dokumen itu sekarang?""
"Ada. Di rumah di jalan Brash Basah. Kita bisa mengambilnya sekarang?"
Salma lalu berdiri. Namun telinga Si Bungsu yang amat tajam dapat menangkap suara langkah kaki
bergeser halus dibalik pintu ruang tamu dimana mereka berada.
Langkah itu jelas sekali diinjakkan secara amat hati-hati. Semula Si Bungsu berniat memburu. Tapi dia
segera sadar. Ini adalah gedung konsulat. Dan statusnya sendiri hanyalah sebagai tamu. Dia tak mau bertindak
gegabah. Namun peringatan Nurdin ketika menuju ke konsulat ini terngiang ditelinganya :
"Kalau engkau ke Jakarta, bawa dokumen tentang sindikat itu. Saya bukannya tak percaya pada beberapa
petugas di konsulat Indonesia di kota ini. Namun saya lebih percaya padamu. Bungsu, jangan sampai orang di
konsul tahu, bahwa dokumen itu ada padamu?"
Koleksi eBook : Drs. H. Hendri Hasnam, MM. 296
Masih dia ingat pesan itu. Dan hatinya jadi tak sedap mengingat langkah menjauh di balik pintu tadi.
Kalau demikian, gerak gerik mereka di gedung ini telah diawasi dengan cermat. Hanya pihak manakah yang
mengamati itu" Saat itu Salma muncul setelah bertukar pakaian. Mereka segera menuju ke rumah kediaman Salma di
jalan Brash Basah. "Uda, apakah Bang Nurdin ada berpesan sesuatu padamu sebelum dia jatuh pingsan dahulu..?"
Tiba-tiba saja bertanya ketika mobil telah berjalan. Si Bungsu jadi kaget. Dia teringat pada pesan Nurdin
yang meminta dia menjaga dan bahkan mengawini Salma jika Nurdin meninggal dunia.
Dan sampai saat ini, overste itu belum juga sadar diri. Nyawanya masih dalam kritis. Akan dia ceritakan
permintaan Nurdin itu"
"Ya. Dia berpesan tentang dokumen itu.."
"Tak ada yang lain?"
"Tidak.." Salma menarik nafas panjang. Si Bungsu juga meraik nafas panjang. Tapi nafas mereka seperti terhenti
tatkala mereka sampai di rumah kediaman Salma di jalan Brash Basah.
Isi rumah itu seperti sudah diaduk aduk ribuan kerbau.
(83) Meja kursi dan tempat tidur bertempetasan. Kain-kain dan laci-laci semua terbongkar habis. Dan lebih
kaget lagi, diruang tengah, seorang polisis Singapura yang bertugas menjaga rumah itu kelihatan terbaring
berlumur darah. Salma terpekik dan memeluk Si Bungsu.
"Tenanglah. Tenang. Dimana engkau simpan dokumen itu?"
Namun Salma tak bisa segera tenang. Keadaan suaminya dan ditambah dengan situasi rumah ini
menambah kesan yang amat kuat dihatinya. Betapa sebenarnya suaminya berada dalam bahaya besar. Hal itu
menggoncangkan hati Salma.
Namun akhirnya Salma berhasil juga ditenangkan. Dan dia menunjukkan dimana dia menyimpan
dokumen tersebut. Ternyata dia cukup pandai menyimpan dokumen itu, karena dikatakan suaminya amat
penting dia simpan dalam lemari yang tertanam ke dalam dinding. Dan di bahagian depan dinding yang
menyimpan lemari itu, terletak kaca lebar.
Takkan ada orang yang menyangka bahwa dia menyimpan dokumen atau benda apapun dibelakang kaca
itu. Bahkan kalaupun kaca itu dihancurkan, lemari dalam dinding itu tak pula segera kelihatan.
Salma sendiri mengetahui lemari itu ketika dahulu serah terima dengan penghuni sebelumnya. Nyonya
rumah yang akan pindah itu, seorang nyonya Inggris, membawa Salma keliling kamar. Kemudian menunjukkan
lemari rahasia tersebut. Dan ternyata kinipun orang yang menggeledah rumahnya tak menemukan lemari rahasia tersebut.
Dokumen dalam map biru yang dibungkus kertas minyak kuning itu masih utuh bersama beberapa dokumen
lainnya berikut perhiasan-perhiasan Salma.
Tiba-tiba Si Bungsu tertegak. Salma merasa heran atas sikapnya itu.
"Ada apa?" "Tetaplah tenang disini. Pegang dokumen ini. Jangan pergi sebelum saya datang di sini. Tutup pintu
kamar ini?" berkata demikian Si Bungsu lalu menyelinap. Namun berbalik lagi cepat.
"Ada telepon disini?"
"Ada" Salam bergegas ke kamar tengah. Di sana ada telepon yang diengkol untuk mempergunakannya.
Tapi tali telepon itu ternyata telah putus. Mereka bertatapan.
"Kembali ke kamar tadi!" kata Si Bungsu.
Salma bergegas ke kamar tersebut. Dia tak tahu ada apa sebenarnya. Namun dari sikap Si Bungsu dia
dapat merasakan bahwa ada bahaya.
Hanya bahaya apa sesiang ini hari"
Si Bungsu bergegas ke ruang depan dimana terbaring mayat polisi Singapura tadi. Dia memeriksa
pinggangnya, namun ternyata senjata polisi itu telah lenyap. Dan telinganya yang tajam menangkap suatu gerak
di depan. Dia menoleh, dan seorang Cina berambut pendek bertubuh gemuk kelihatan muncul. Di tangannya
tergenggam sebuah senapan mesin.
Cina itu menyeringai pada Si Bungsu yang masih berjongkok dekat mayat polisi Singapura itu.
Koleksi eBook : Drs. H. Hendri Hasnam, MM. 297
Cina itu bicara dalam bahasa nenek moyangnya. Si Bungsu tak mengerti apa yang dibicarakannya.
Namun dia tetap berjongkok. Cina itu berada di sebelah kananya dalam jarak empat depa. Cina itu mulai
membentak. Si Bungsu tetap diam. Cina itu melihat Si Bungsu tak memiliki senjata. Dia lalu bergerak mendekat.
Saat itu Si Bungsu mendengar pekikan Salma dari kamar sebelah. Cina itu makin menyeringai. Dan saat
itulah tangan kanan Si Bungsu bergerak. Tangannya terayun menyamping. Dan samurai kecil yang selalu
diikatkannya secara khusus di lengan kanannya, dan tertutup oleh lengan bajunya, meluncur dengan cepat.
Cina itu tak menyangka sedikitpun. Samurai kecil itu menancap diantara dua matanya. Mulutnya masih
memperlihatkan seringai buruk. Namun ada rasa heran dan sakit pada sinar matanya. Kedua bola matanya
berputar. Lalu rubuh. Mati!
Dari kamar dimana Salma memekik tadi tak terdengar lagi suara apa-apa. Si Bungsu berjalan ke jendela.
Di luar kelihatan sebuah sedan.
Berapa orang mereka di rumah ini sekarang, pikirnya.
Dia lalu berjingkrat ke kamar dimana Salma tadi memekik. Mendorong pintunya, dan mengintai ke
dalam. Dan saat itu dia melihat punggung Salma lenyap di pintu samping sana. Bersama seorang Melayu yang
menyeret tangannya. Ke samping! Si Bungsu berlari ke samping. Masuk ke kamar yang menghubungkan dengan taman samping. Dan dia
segera menyeret tangan Salma. Orang Melayu itu tertegak menatapnya. Tangan kanannya menodongkan pistol
otomatis. Si Bungsu tetap tegak. Dia tak bersenjata sama sekali. Dan lelaki Melayu itu melihat hal tersebut.
"Hei, awak menelungkup di lantai!" perintah si Melayu itu.
Si Bungsu mematuhinya. Dia menunduk. Tangan kanannya bergetar perlahan. Samurai kecil yang
diikatkan secara khusus menurut petunjuk Tokugawa dahulu jatuh dan turun ke telapak tangannya. Ketika
tangan kanannya hampir mencecah lantai, dia menghayunkannya kuat-kuat ke depan.
Orang Melayu yang memegang tangan Salma itu tak menyangka apa-apa. Tapi tiba-tiba saja jantungnya
terasa amat pedih. Dia mengangkat pistolnya. Tapi pistol otomatik yang biasa dia pergunakan itu terasa
alangkah beratnya. Dia jatuh berlutut. Salma menjauh segera.
Mata si Melayu itu menatap heran pada Si Bungsu. Si Bungsu bangkit perlahan. Si Melayu itu menatap
heran pada Si Bungsu. Si Bungsu itu jatuh terlentang. Pistol masih ditangannya. Matanya masih terbuka. Dari
mulutnya ada keluhan perlahan. Dia lihat anak muda itu melangkah kearahnya. Membungkuk diatas tubuhnya.
Dan mencabut samurai kecil yang tertancap di jantungnya. Si Melayu itu hanya bisa melihat sementara
mulutnya terasa kering. Dan nafasnya akhirnya juga kering. Mengirap ke langit. Mati dengan mata masih
terbuka, dengan wajah keheran-heranan.
Si Bungsu menghapuskan darah di samurai yang panjangnya tak lebih dari sejengkal itu ke lengan di
balik lengan baju panjangnya.
Salma melihat di lengan kanan anak muda itu ada semacam kulit selebar tiga jari yang melilit tangannya.
Dan pada kulit hitam itu tersisip tiga buah samurai-samurai kecil dengan hulunya menghadap ke bawah.
"Sulong, A Cong! Sudah selesai?" tiba-tiba terdengar suara dari kamar tamu. Suara itu jelas dengan aksen
India. Salma menatap Si Bungsu. Si Bungsu memegang tangan Salma kemudian membawanya lewat ke pintu
belakang. "Sulong, A?" suara India itu seperti terputus. Dan Si Bungsu dapat menduga, India itu pastilah menemui
mayat Cina yang bernama Acong itu di kamar tengah dekat mayat polisi Singapura.
Dan memang benar. India itu berhasil menemui mayat temannya. Dia menyumpah-nyumpah dalam
bahasa Urdu yang tak dimengerti oleh Si Bungsu maupun oleh Salma.
India itu mulai membuka pintu demi pintu, dia tertegun. Di tengah ruangan, terlihat temannya yang
bernama Sulong itu tergolek dengan mata terbuka. Dia maju selangkah, dan saat itulah dari samping sebuah
tendangan mendarat di kerampangnya. Tendangan itu amat kuat. Dilakukan oleh seorang anak muda yang
telah melatih diri bertahun-tahun.
Ada suara tak sedap takkala punggung kaki Si Bungsu melanda kerampang India itu. India bertubuh
tinggi besar itu tertegak disana. Matanya jadi juling. Senapan otomatiknya terjatuh. Kedua tangannya segera
memegang instrumen di kerampangnya yang baru saja diterpa kaki Si Bungsu.
Dia melenguh. Dan nampaknya, ada beberapa instrumennya yang fatal kena tendang itu. Dia melosoh
turun dengan mulut berbuih.
Pingsan! Nah, kini tinggal membereskan sopir di halaman sana.
Tapi bagaimana caranya" Mereka harus keluar dari rumah ini secepat mungkin.
Koleksi eBook : Drs. H. Hendri Hasnam, MM. 298
Sopir sedan yang parkir jauh di halaman sana menanti dengan mata terkantuk-kantuk. Lalu dia
mendengar suitan. Di pintu rumah besar itu dia lihat seorang perempuan tegak dengan leher ditekuk oleh
temannya. Temannya yang tegak dibelakang perempuan itu melambaikan tangannya. Sopir Cina itu
menjalankan mobil dan membawanya ke dekat rumah.
Tapi saat itu pula Si Bungsu melihat lain dibangku belakang sedan tersebut. Dia cepat menarik Salma ke
dalam. "Masih ada yang lain di dalam sedan itu. Tak ada jalan keluar yang lain?" tanya Si Bungsu.
"Ada. Lewat belakang. Tapi harus meloncati pagar"
"Kita harus coba. Kemana jalan itu tembusnya?"
"Ke jalan raya"
"Bagus. Ayo cepat"
Mereka berlarian sepanjang rumah. Sementara sedan terhenti di depan.
Mereka mencapai pintu belakang ketika yang seorang lagi dari komplotan yang tak diketahui siapa
mereka oleh Si Bungsu itu turun.
Dengan pistol di tangan dia membuka pintu. Dan matanya terbelalak melihat mayat temannya si Cina
yang bernama Acong. "Mereka lolos!!" teriak orang itu dalam bahasa Melayu.
Sopir Cina itu turun dan mengambil pistol dari laci sedannya. Berdua mereka lalu masuk hati-hati ke
rumah besar tersebut. Menyelinap ke kamar demi kamar. Tapi rumah itu kosong!
"Ke belakang!" serunya. Mereka berlari ke belakang. Dan saat itu di pagar belakang Si Bungsu tengah
menahan kaki Salma yang memanjat tembok.
"Berhenti!!" si Melayu itu berteriak. Saat itu Salma telah melompat ke jalan raya disebelah tembok. Dan
kini tinggal Si Bungsu. Perlahan dia membalik. Dia melihat dua orang, satu Melayu dan satu lagi Cina tegak
dengan bedil siap ditembakkan padanya.
"Kemari kau!!!" bentak si Melayu.
Tikam Samurai Karya Makmur Hendrik di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Yang melayu ini agak tenteram juga hatinya. Sebab ternyata lelaki di depannya ini tak bersenjata sama
sekali. Si Bungsu melangkah menuruti perintah kedua orang itu.
Ketika telah dekat, si Melayu itu menghantamnya dengan sebuah pukulan. Kena mulutnya. Berdarah.
Sebuah tendangan ke perut. Si Bungsu terbungkuk. Terputar. Dan saat berputar itu tangannya terayun ke
belakang. Dua bilah samurai kecil. Dengan keahlian yang sulit untuk dipercaya, meluncur dari balik lengan
bajunya. Dan kedua samurai yang sejengkal panjangnya itu, menancap di leher kedua lelaki tersebut! Menancap
hingga ke gagangnya! Kedua lelaki itu tersentak. Melemparkan senjata ditangan mereka.
Sebelum kedua lelaki itu jatuh ke tanah. Si Bungsu berbalik. Kemudian memanjat tembok. Dan melompat
ke sebelah. Salma menanti dengan wajah pucat.
Mereka menghentikan sebuah taksi.
Salma menyebutkan alamat konsulat. Taksi itu meluncur kesana. Di konsulat, Salma melaporkan pada
Konsul tentang peristiwa yang dialami dirumahnya. Menceritakan tentang sopir konsulat yang mati terbunuh.
Namun dia tak menceritakan tentang dokumen yang sekarang ada pada Si Bungsu. konsul segera saja
menelpon pihak yang berwenang di Singapura. Menyampaikan protes keras atas lemahnya perlindungan
keamanan bagi anggota korp diplomatik Indonesia.
Pihak pemerintah kota Singapura minta maaf dan berjanji akan menyelidiki dan mengusut peristiwa itu
sampai ke akar-akarnya. ---000--Si Bungsu kini tidak lagi tinggal di konsulat. Meski Konsul berkeras menahannya untuk tetap tinggal
disana, namun anak muda ini berkeras pula untuk pindah.
"Kenapa tidak disini saja Uda tinggal?"
Salma bertanya ketika Si Bungsu membenahi pakaiannya untuk pindah.
"Demi keamanan Nurdin dan kalian semua, Salma. Dokumen ini nampaknya mengundang bahaya. Kalau
saya dan dokumen ini berada disini, saya bisa membayangkan bahwa akan ada saja orang yang akan berusaha
Koleksi eBook : Drs. H. Hendri Hasnam, MM. 299
mengambilnya dengan cara apapun. Saya tak mau kalian celaka karena ini. Biarkan saya mencari tempat lain.
Dari sana saya bisa bebas bergerak"
"Kemana uda akan pindah?"
"Lebih baik engkau tak mengetahuinya Salma. Tapi percayalah, saya akan selalu kemari melihat kalian".
Dia lalu melangkah ke pembaringan Nurdin. Overste itu sudah sadar dari dua hari yang lalu. Namun dia
belum bisa bicara. Belum bisa mengingat apa-apa.
Memang benar apa yang dikatakan dokter dahulu. Bahwa diperlukan waktu yang amat panjang buat
istirahat bagi Overste ini.
Si Bungsu menatap temannya itu dengan diam. Nurdin kelihatan menatap padanya. Namun tak ada
tanda-tanda bahwa dia mengenal mereka. Si Bungsu memegang tangannya.
"Saya harus pindah dari sini Nurdin. Demi keselamatanmu. Saya tak banyak mengerti tentang tugastugas spionase. Tapi saya akan berusaha sekuat mungkin, sebisa saya, untuk membongkar komplotan jual beli
wanita ini. Saya akan lanjutkan tugasmu" Si Bungsu berkat perlahan. Meskipun dia tahu, ucapannya barangkali
takkan dimengerti oleh Nurdin.
Salma menangis terisak. Nurdin menatap Si Bungsu dengan diam.
Kemudian Si Bungsu memutar tegak. Memandang pada Salma yang menangis terisak disisi pembaringan
suaminya. Sementara Eka, gadis kecil mereka tetap tegak menatap disamping ibunya.
Dia tatap wanita itu. Perempuan yang pernah dia cintai sepenuh hati. Dia pegang bahunya.
"Tenangkan hatimu. Nurdin akan sembuh" lalu dia membungkuk. Mengangkat eka kegendongannya.
"Eka jaga ayah baik-baik ya.."
"Paman akan kemana?"
"Paman akan pindah kerumah teman.."
"Apakah kami tidak lagi teman paman?"
Jantung Si Bungsu berdegup mendengar tanya gadis kecil ini.
"Kenapa tidak, Eka. Kita tetap berteman bukan?"
"Lalu, kenapa paman pergi?"
"Paman akan mencari orang yang menembak ayah Eka?"
(84) Gadis kecil itu menoleh ke pembaringan ayahnya. Menatap ayahnya yang masih diam tak bergerak.
Ketika dia menoleh pada Si Bungsu, dimatanya kelihatan linangan air.
"Ayah Eka orang baik kan Paman..?"
"Ya. Ayah Eka orang baik?"
"Lalu, kenapa ada orang yang melukainya?"
"Yang melukai orang jahat.."
"Kenapa ayah tak membalas, bukankah ayah juga punya pistol?"
Si Bungsu hampir kehilangan jawab. Anak ini ternyata cerdas sekali.
"Ayah eka tak mau menyakiti orang, meskipun dia bisa berbuat begitu. Nah, karena orang itu jahat, biar
paman yang mencarinya"
"Paman akan memukulnya?"
"Ya. Pasti. Paman pasti memukulnya"
"Jangan dipukul paman"
"Kenapa?" "Dia telah melukai ayah. Orang itu harus pamai lukai pula. Paman bunuh saja, ya paman?"
"Ya?" "Paman berjanji..?"
"Ya, paman berjanji"
"Akan membunuh orang yang melukai ayah?"
"Ya. Paman akan membunuhnya, percayalah"
Tanpa dia sadari, dia memang berjanji berbuat seperti yang diminta oleh gadis kecil itu.
"Terimakasih paman, terima kasih?" dan anak kecil itu mencium pipi Si Bungsu. Yang kiri. Kemudian
yang kanan. "Paman akan sering melihat kami kemari bukan?"
"Ya, paman kan sering kemari"
Koleksi eBook : Drs. H. Hendri Hasnam, MM. 300
"Eka dan ibu akan sunyi kalau paman tak kemari"ayah sakit dan tak bisa bermain dengan Eka"sering
kemari ya paman?""
Si Bungsu mengangguk berkali-kali. Kemudian mencium pipi gadis kecil itu. Lalu memberikannya pada
Salma. Dan diapun berlalu.
Dia menginap di Sam Kok Hotel di daerah pelabuhan Anting. Yaitu sekitar tempat dimana Nurdin kena
berondong peluru tempo hari.
Seperti yang dia katakan, dia memang tak mengetahui sedikitpun tentang dunia spionase. Tak tahu.
Benar-benar tak tahu dia akan dunia yang banyak belitnya itu. Namun dia memang bertekad untuk
melanjutkan penyelidikan dan menjalankan pesan Nurdin sesaat setelah dia kena berondong peluru senapan
mesin. Meski tak punya pengetahuan tentang dunia spion itu, anak muda ini memiliki modal yang amat besar
untuk menjadi seorang spion.
Yaitu memiliki daya ingat dan firasat yang tajam sekali. Firasatnya sudah merupakan indera keenam.
Yang hampir-hampir bisa memastikan setiap bahaya yang mengintai dirinya.
Dari firasatnya yang amat tajam itu pula yang mengisyaratkan padanya, bahwa sejak dia meninggalkan
gedung konsulat, dia telah diikuti orang. Dalam perjalanan menuju ke hotel dia menoleh ke belakang. Tak ada
yang mencurigakan. Banyak mobil yang seiring jalan dengan mereka. Selintas lihat segalanya wajar-wajar saja.
Namun tidak demikian perasaan Si Bungsu.
Di antara puluhan mobil yang searah dengan taksi yang dia tumpangi, dia yakin ada satu mobil yang
sengaja membuntuti taksi yang dia tompangi. Barangkali mobil berwarna merah darah yang berjalan persis
setelah taksi ini. Atau barangkali taksi berwarna hitam di belakang mobil merah darah ini" Dia tak tahu dengan
pasti. Namun dia ingin mengujinya.
"Berhenti dibawah pohon di depan sana?" katanya pada sopir taksi yang orang melayu. Mobil itu
melambat. Kemudian berhenti.
Mobil merah darah itu lewat. Di dalamnya ada tiga orang lelaki. Tak satupun yang menoleh ke arahnya.
Kemudian taksi hitam gelap itu juga lewat. Di dalamnya ada seorang Cina bertubuh gemuk. Kegemukannya
jelas kelihatan pada wajahnya yang membengkak dan lehernya yang sebesar leher gergasi.
Cina gepuk itu juga tak menoleh padanya. Kemudian dia menoleh ke belakang. Tak ada mobil yang
berhenti. Hmm, dia tak yakin.
"Terus?" katanya pada sopir. Dan dia tetap berkeyakinan ada bahaya mengintainya. Taksi itu berhenti
di depan hotel Sam Kok. Sebuah hotel bertingkat dua dengan bangunan beton yang kokoh bekas bangunan di
zamannya Rafles berkuasa.
Seorang gadis Cina cantik menerimanya dibahagian penerimaan tamu.
"Mau kamar tuan?" tanya gadis itu.
Si Bungsu mengangguk. Meletakkan koper kecilnya di atas meja resepsionis. Gadis Cina itu tersenyum
manis padanya sambil mencatat dibuku tamunya. Senyumnya memperlihatkan dua buah lesung pipit di
pipinya. "Nah, mari saya antar. Kamar tuan di tingkat atas" gadis itu berkata sambil mengangkat koper Si Bungsu.
"Tidak usah. Biar saya yang membawa koper ini?"
Gadis itu kembali tersenyum. Dan kembali lesung pipi dipipinya kelihatan. Dia melangkah mendahului
Si Bungsu. Dan dia tetap juga dahulu ketika menaiki sebuah tangga batu menuju ke tingkat atas. Si Bungsu yang
semula tak menyadari apa-apa karena fikirannya tengah melayang pada orang yang membuntutinya tadi, tak
memperhatikan gadis itu. Namun ketika dua tangga sudah terlangkahi tanpa sengaja dia menoleh ke atas. Gadis itu berada tiga
anak tangga di depannya. Dan mukanya menjadi merah takkala terpandang pada betis dan paha gadis Cina itu.
Gadis bertubuh indah itu memakai rok yang tak begitu dalam. Si Bungsu cepat-cepat menundukkan
kepala. Menatap anak tangga saja.
Dia seorang lelaki. Bujangan lagi. Betapapun imannya dia, namun dalam saat-saat tertentu, darahnya
gemuruh juga melihat hal-hal demikian.
Namun tunduknya yang terus-terusan itu akhirnya membuat dirinya tambah jadi malu. Dia tak tahu
gadis itu sudah berhenti. Dia masih melangkah. Gadis itu memutar tubuh menghadap. Dan saat itu Si Bungsu
menabraknya. Celakanya, wajahnya justru mengenai wajah gadis Cina yang cantik itu. Dia gelapapan.
"Faam, fa".eh maaf, maaf sorry. Maaf sorry" katanya gugup. Sungguh mati kejadian itu benar-benar tak
dia sengaja. Koleksi eBook : Drs. H. Hendri Hasnam, MM. 301
Gadis itu juga bersemu merah mukanya. Perlahan dia berbalik dan membuka pintu kamar.
"Silakan, ini kamar tuan" kata gadis itu sambil mendahului masuk. Si Bungsu menurut seperti kerbau
yang dicocok hidungnya. Gadis itu membuka jendela. Di depan sana, kelihatan laut membentang dan puluhan kapal berayun-ayun
dimainkan ombak. "Kalau panas, kipas angin ini bisa tuan hidupkan. Dan kalau tuan perlu sesuatu, tuan bisa menekan bel
itu untuk memanggil pelayan. Untuk ke kamar mandi dan WC tuan terpkasa berjalan ke ujung gang di luar
kamar. Tak ada kamar mandi khusus di dalam kamar di hotel ini?"
Gadis itu menatap Si Bungsu. Si Bungsu meletakkan koper kecilnya di tempat tidur.
"Ada yang tuan perlukan?"
"Buat sementara tidak. Terimakasih"
Gadis itu mengangguk, kemudian melangkah keluar. Menutupkan pintu dan sesaat masih sempat
menatap pada Si Bungsu yang juga tengah menatap padanya.
Kemudian gadis itu lenyap ketika pintu ditutupkan. Si Bungsu masih tetap tegak sesaat. Kemudian
membuka sepatu. Membuka baju. Lalu berjalan ke jendela. Menatap ke laut. Menatap pelabuhan yang ramai
dan hinggar bingar. Menatap kapal yang membuang sauh di kejauhan.
Kapal-kapal tak satupun yang merapat ke dermaga. Laut di sekitar dermaga nampaknya terlalu dangkal
untuk dirapati. Karenanya kapal-kapal terpaksa buang jangkar sekitar setengah mil di teluk tersebut. Di bawah,
dilihatnya jalan raya membentang dengan mobil yang berseliweran. Dan itu di sana, sekitar lima ratus meter
dari hotelnya, dia lihat jalan ke daerah pelabuhan itu.
Di sanalah mobil mereka diberondong peluru. Ingat akan Nurdin yang terbaring di gedung konsulat itu,
Si Bungsu ingat pula pada dokumen yang ada padanya. Dia membiarkan jendela tetap terbuka. Kemudian
berjalan ke tempat tidur. Mengambil koper kecilnya. Dalam koper kecil itulah semua miliknya tersimpan. Mulai
dari beberapa stel pakaian, termasuk dokumen yang mereka ambil dari rumah Nurdin di Brash Basah Road.
Dokumen itu dia letakkan di tempat tidur. Kemudian memasukkan kopernya ke lemari. Sebelum
berbaring dia mengunci pintu kamar. Kemudian membuka samurai-samurai kecil yang terikat secara khusus
di lengan kanannya. Dan dia segera ingat pada Tokugawa. Bekas kepala Jakuza itulah yang mengajarnya mempergunakan
samurai-samurai kecil ini.
"Ada saatnya kelak, dimana engkau tak mungkin membawa-bawa samurai panjang kemana engkau pergi
Bungsu-san. Namun demikian, bukan berarti bahaya meninggalkan kita pula. Orang seperti engkau, akan tetap
saja banyak musuh. Saya yakin, permusuhan datangnya bukan dari dirimu. Tapi dari pihak orang lain. Mungkin karena niat
jahatnya engkau halangi. Mungkin karena dia iri padamu. Tapi yang jelas, engkau akan tetap punya musuh.
Sebab apa yang engkau jalani saat ini, telah kulalui ketika muda.
Nah, disaat seperti itu Bungsu-san, engkau memerlukan senjata khusus untuk membela dirimu. Ada
berbagai cara orang membela dirinya. Ada yang belajar Karate dan Yudo, barangkali dinegerimu orang belajar
silat. Ada pula yang memakai senjata api. Dan di tiongkok maupun di negeri Jepang ini, tak sedikit yang
mempergunakan samurai-samurai kecil ini sebagai pelindung dirinya.
Samurai ini sangat efektif. Tak menimbulkan bunyi. Dan kalau dia diikatkan secara khusus di lengan,
ditutup dengan lengan baju, maka tak seorangpun yang menyangka bahwa engkau memiliki senjata ampuh"
Dan Tokugawa memang mengajarkan Si Bungsu mempergunakan samurai yang panjangnya tak sampai
sejengkal dengan besar sekitar sejari. Selain itu dari Kenji dia belajar dasar-dasar Yudo dan Karate.
Dia kurang tertarik pada Yudo dan Karate. Sebab dahulupun ketika ayahnya menyuruh belajar silat, dia
juga sangat tak tertarik. Ternyata samurai-samurai kecil itu telah menolongnya sangat banyak ketika melawan
komplotan penjual wanita beberapa hari yang lalu di jalan Brash Basah.
Samurai-samurai kecil itu dia letakkan diatas meja. Lalu dia berbaring. Membalik-balik dokumen itu.
Untung saja dokumen itu tertulis dalam bahasa Indonesia. Dia melihat beberapa peta. Beberapa foto. Beberapa
alamat dan nama-nama. Peta kota Singapura yang ditandai. Kemudian peta kota Jakarta yang juga ditandai di
beberapa bahagian. Dan saat itu pula pintu kamarnya terbuka dengan paksa. Dia terlonjak bangun. Namun pada saat yang
sama, seorang lelaki yang lebih mirip babi gemuk, sudah tegak disisinya. Cina gemuk yang tadi berada dalam
taksi hitam pekat! Koleksi eBook : Drs. H. Hendri Hasnam, MM. 302
Aneh, segemuk ini tubuhnya, kenapa dia tak mendengar langkah Cina itu ketika naik. Dan lagi pula, bukubuku tangannya nampak membengkak. Tak pelak lagi, ketika tadi dia mendapatkan pintu kamar anak muda ini
terkunci, dia telah mempergunakan buku tangannya memukul hancur pintu tersebut.
Sebelum Si Bungsu dapat berbuat lebih banyak, tangan Cina itu yang besarnya lebih kurang sebesar paha
Si Bungsu, terayun. Si Bungsu menunduk. Namun tangan gemuk seperti perut babi itu alangkah cepatnya
bergerak. Kepala Si Bungsu kena gebrak. Anak muda itu segera terbanting. Pukulan itu bukan main dahsyatnya.
Tubuh Si Bungsu terangkat, terlambung dan menabrak lemari. Kaca lemari hancur. Tubuh Si Bungsu terpuruk
kedalamnya. Terlipat dan tak bergerak!
Cina gemuk itu benar-benar yakin pada pukulannya. Dia tak acuh saja pada Si Bungsu. Dengan tenang
dia mengumpulkan dokumen yang tadi di baca Si Bungsu yang kini berserakan di lantai. Ketika beberapa orang
yang menginap di kamar sebelah menyebelah melihat ke kamar itu, Cina gemuk itu menoleh pada mereka.
Tersenyum dan senyumnya memperlihatkan giginya yang kuning. Mungkin ada sekitar dua kilo taik gigi
bersarang digiginya yang setengah gondrong itu.
"Tak ada apa-apa la. Hanya sikit gelut-gelut. We punya kawan bobok dalam lemali"he"he" Cina itu coba
menjelaskan pada pengunjung di pintu kamar. Para pengunjung tak diundang itu cepat-cepat menarik diri.
Masuk ke kamar mereka. Takut dibawa serta pula dalam "gelut-gelut" seperti yang dikatakan raksasa sipit itu.
Dan takut kalau disuruh tidur pula dalam lemari. Hih!
Selesai membenahi dokumen, Cina gemuk itu pula berjalan kepintu tanpa menoleh pada tubuh Si Bungsu
yang entah hidup entah sudah berpulang ke akhirat. Dia melangkah sambil mulutnya dimonyongkan. Lalu
terdengar siulnya perlahan seperti bunyi peluit kapal pecah.
Dan mungkin karena siul maut itu pula Si Bungsu yang "tidur" dalam lemari itu mulai menggoyangkan
kepala. Cina gemuk itu turun ke jenjang. Si Bungsu keluar dari lemari. Bahunya luka dimakan kaca. Kepalanya
berdenyut-denyut. Sempat dua kali aku dihantam Cina itu, maka akupun sampailah di jembatan Siratol
Mustaqim, pikirnya. Cina itu berpapasan dengan gadis yang tadi mengantar Si Bungsu ke kamarnya.
Ternyata dia mendengar suara ribut. Karena masih ada tamu, dia tak sempat ke atas. Kini baru bisa. Dan
dia berpapasan dengan Cina gemuk itu. Cina gemuk itu menghentikan siulnya yang mirip kapal retak tersebut.
Tersenyum, ah lebih tepat dikatakan nyengir, kepada gadis cantik itu.
"Ada apa ribut di atas?" tanya gadis itu sambil tetap melangkah ke atas. Namun tiba-tiba tubuhnya
tersentak. Cina gemuk itu menyentakkan tangan si gadis, dan tubuh gadis itu jatuh kepelukannya. Si gemuk
hanya memeluknya dengan sebelah tangan. Tangan kiri. Seperti memeluk boneka kecil dari plastik saja.
"Tak ada libut. Hanya sikit gelut-gelut.." sehabis berkata begini, si gemuk mengirimkan sebuah sun kepipi
gadis cantik ini. Bukan main murka dan berangnya gadis itu, dia meludahi muka si gemuk yang kayak babi itu. Ludahnya
mendarat dihidung si Cina. Tapi cina gemuk itu tak berang. Malah tertawa senang. Dia lepaskan gadis itu.
Kemudian menghapus ludah di hidungnya. Lalu menjilatnya. Gila!
Gadis itu berlari ke atas. Melihat pintu kamar anak muda tadi hancur. Lalu masuk, dan saat itu dia hanya
melihat punggung anak muda itu saja ketika yang terakhir ini melompat dari jendela tingkat dua itu ke jalan di
depan hotel di bawah sana!
Gadis itu memburu, melihat ke bawah kelihatan parkir taksi hitam pekat yang tadi ditompangi babi
gemuk itu. Tapi anak muda yang baru melompat ke bawah itu tak dia lihat. Dia balik lagi ke bawah.
Sementara itu, si gemuk itu sudah sampai di Lobby hotel. Dengan gerakkan seperti babi bunting, dia
menuju ke pintu. Di pintu ada tamu yang masuk dan berjalan ke arahnya. Dan tiba-tiba Cina itu tertegak. Dia
mengernyitkan kening. Salah lihatkah dia"
Tamu yang baru masuk ini mirip sekali dengan anak muda yang tadi dia gelut-gelut dan dia suruh tidur
dalam lemari. Salahkah dia"
(85) Tamu itu tersenyum padanya. Dan tak salah lagi, memang anak muda tadi! Tapi demi perutnya yang
gendut, kenapa anak muda itu bisa berada disini"
Dan saat itu gadis anak pemilik hotel itu sampai pula di sana. Dia menatap pada anak muda yang tegak
menghadang di tengah pintu. Kedua orang itu mirip seperti perbandingan kerbau dengan kambing!
Koleksi eBook : Drs. H. Hendri Hasnam, MM. 303
Tapi nampaknya Cina gemuk itu memiliki saraf baja dan rasa humor yang tinggi juga. Dia segera saja
mendahului menegur Si Bungsu.
"He, ketemu lagi! Tadi tidul dalam lemali. Cekalang cudah mangun. Haiyya, cincaila.."
Tumbung juga si gendut ini, sumpah Si Bungsu dalam hati. Dan si gendut itu berjalan ke arahnya.
Si Bungsu tiba-tiba menyerang. Dia tak ingin didahului oleh si gendut itu. Dia sudah merasakan
akibatnya. Untung saja yang kena adalah dirinya. Yang sudah terlatih bertahun-tahun. Kalau orang lain, dia
yakin sudah tiba di akhirat.
Tikam Samurai Karya Makmur Hendrik di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Makanya kini dia membuka serangan. Dia hantam perut gendut itu dengan pukulan karate yang dia
pelajari dari Kenji. Hop! Mendarat persis tentang pusat. Cina itu tetap tegak. Malah tersenyum. Pukulannya
seperti menerpa karet yang kenyal. Memantul kembali.
Sebuah lagi pukulan, kini menuju tempat yang mematikan. Yaitu tentang jantung. Bukankah menurut
Kenji, dada bahagian jantung adalah tempat yang paling lemah dalam tubuh" Tempat itu bisa mematikan kalau
dipukul dengan kuat dan dengan kecepatan yang penuh perhitungan.
Ah tentang kekuatan, cepat dan penuh perhitungan, dia tak usah malu. Dia sudah ahli. Maka pukulan
itupun mendarat. Tepat di tentang jantung Cina gendut itu. Dan laknatnya, pukulannya memental lagi. Dan
jahanamnya, Cina itu ngomong setelah kena pukul :
"Haaayaaa, jangan gelut-gelut dimuka olang lamailah kawaaan. Malu kita dilihat olaang. Masak sudah
besal masih gelut-gelut"
Syetan. Benar-benar syetan Cina gemuk ini. Dia sudah memukul dengan jurus mematikan, dengan penuh
perhitungan dan penuh kecepatan, ternyata dicemoohkan sebagai gelut-gelut saja. Muka Si Bungsu jadi merah
padam. Dan Cina itu berjalan terus ke pintu.
Ketika Si Bungsu akan maju lagi, Cina itu mengibaskan tangan kanannya. Dan seperti tadi, Si Bungsu lagilagi terlambat menghindar. Tangan babi gemuk itu bukan main cepatnya. Tamparan sambil lalu itu mendarat
di pipi Si Bungsu. Tubuh si Bungsu terangkat setengah jengkal dari lantai, kemudian terpental!
Dan dia terpental justru ke tubuh gadis yang tadi mengantarnya ke kamar. Kedua tubuh mereka
terguling ke lantai. Untung Si Bungsu masih sadar. Dia segera memeluk tubuh gadis itu agar kepalanya tak
membentur lantai. Dan gadis itu dalam kagetnya juga memeluk Si Bungsu erat-erat.
Cina gemuk itu sambil melangkah menoleh ke belakang. Langkahnya terhenti. Dia melihat kedua anak
muda itu saling peluk di lantai.
"Haayyaaa! Kalau mau pole-pole jangan sinilah. Masuk kamal saja" Ya tuhan, ya Rabbi! Muka Si Bungsu
jadi merah padam. Dia cepat bangkit dan menolong gadis Cina cantik itu bangkit. Kemudian melangkah ke
depan. "Tunggu!" katanya.
Cina gemuk itu berhenti melangkah. Kali ini Si Bungsu benar-benar menghadapi lawan yang tak
tanggung-tanggung. Pimpinan sindikat perdagangan wanita ini memang tak tak salah pilih.
"Apa lagi kawan". Mau gelut lagi?" Cina gemuk itu menyindir. Demi malaikat, Si Bungsu benar-benar
mati kutu dibuat orang ini. Tapi sebuah pikiran lain masuk ke kepalanya. Karena itu, dia tak menjawab sindiran
Cina gemuk itu. Dan Cina gemuk itu tahu benar akan ketangguhannya, dia melambaikan tangan :
"Bay-bay. Sampai ketemu lagi kawan.." katanya sambil cengar cengir. Dan kali ini, mau tak mau Si Bungsu
terpaksa nyegir kuda. Si gemuk itu memang memiliki rasa humor yang hebat. Hingga dia tak memilih tempat dan waktu untuk
bergurau. Dan tak pula memilih lawan. Tak peduli sedang berkelahi atau sedang makan, nampaknya dia suka
benar bergurau. Guraunya gurau kuda pula.
Si Gemuk itu masuk ke taksi hitam yang sejak tadi menanti di depan.
"Dapat?" tanya Keling yang jadi sopirnya.
"Dapatlaah?" jawab si gemuk itu santai.
"Tak ada perlawanan?"
"Ada. Tapi hanya sekedar coba-coba"
"Lalu?" "Lalu ya lalu. We gertak dia. Keluar dia punya kentuk. We tempeleng dia, keluar dia punya taik. Kini dia
sedang belak, we pigi"
Orang Keling yang pegang stir itu tertawa seperti burung gagak.
Kemudian sedan itu berangkat meninggalkan hotel tersebut.
Taksi itu melaju membelah jalan-jalan di kota Singa tersebut.
Koleksi eBook : Drs. H. Hendri Hasnam, MM. 304
Dengan rangkaian kejadian itu, bahkan sejak perkelahian di rumah Nurdin dengan sindikat perdagangan
wanita beberapa hari yang lalu, Si Bungsu telah terlibat langsung dalam lingkaran kontra sindikat itu. Namanya
segera saja masuk dalam daftar orang-orang yang harus dilenyapkan.
Dan si Cina gemuk yang meninggalkan Si Bungsu dalam keadaan hidup di hotel Sam Kok itu ternyata
telah membuat kekeliruan. Dan kekeliruan itu segera harus dia bayar begitu sampai di markasnya.
Markas mereka terletak di sebuah taman yang mirip hutan yang bernama Bukit Merah. Sebuah rumah
yang terletak lima puluh meter dari jalan Henderson, kelihatan angker. Dari jalan rumah itu tak kelihatan.
Hanya nampak sebuah jalan masuk yang dipenuhi pohon-pohon serta pinang merah. Berpagar tinggi.
Kesanalah taksi hitam leham itu meluncur.
Sedan tersebut berhenti persis di teras di depan rumah berwarna putih itu. Seekor anjing herder hampir
sebesar harimau menggonggong dua kali. Lalu ketika Cina gemuk itu keluar dari mobil, anjing itu terdiam.
Mengibaskan ekornya ke bawah perut, lalu duduk diam-diam. Cina dan orang keling itu masuk.
Di ruang tamu mereka segera saja membungkuk memberi hormat pada seorang bule berambut merah
yang duduk dengan dada telanjang.
"Beres?" tanyanya dengan suara sengau.
"Beles bos" jawab si Cina. Sambil menyerahkan dokumen yang tadi dia rampas dari Si Bungsu.
Bule itu menerima dokumen tersebut. Namun dia tak segera membukanya.
"Apakah dia kau bereskan?"
"Dia bukan apa-apa bos. Anak kemalin yang menangis kena geltak"
"Saya tidak bertanya apakah dia anak kemaren atau anak besok. Yang saya tanya apakah dia telah kau
bunuh" Cina itu ragu-ragu. Temannya yang Keling itu menunduk diam. Nampaknya orang Inggris yang berdada
telanjang itu cukup berkuasa. Di belakangnya tegak seorang bule lain, yang bertubuh atletis. Si Bule yang satu
ini tetap saja tegak. Diam tak bergerak. "Jawab pertanyaan saya, babi gemuk!" orang Inggris itu membentak.
"Ya. Ya, saya segera akan membereskannya bos" si gemuk itu menjawab dengan lemah. Orang Inggris
itu mengerutkan kening. "Engkau memang babi. Engkau terlalu membanggakan kekuatanmu. Tapi hari ini engkau telah
meninggalkan jejak. Dan ini bukan kali yang pertama engkau berbuat kesalahan. Engkau boleh mengukur
sampai dimana kehebatanmu"
Sehabis berkata, orang Inggris itu memberi kode ke belakangnya dengan goyangan telunjuk kanannya.
Dan orang Belanda yang tadi tegak diam seperti patung maju. Si Gemuk itu kaget. Namun dia kelihatannya tak
begitu takut. Sebab dalam organisasi ini, bila dia menang dalam perkelahian maka kesalahannya akan
diampuni. Tapi bila dia kalah, maka nyawanya memang takkan pernah tertolong.
Ruang tamu dimana mereka berada itu cukup luas. Si Belanda besar itu mengirimkan sebuah pukulan
swing yang amat cepat. Namun lebih cepat lagi Cina gemuk itu menangkap tangannya. Dan segera saja Cina itu
memutar tangan yang tertangkap itu disertai sebuah bentakkan. Itu adalah gerakan Yui Yit Su yang amat mahir.
Mematahkan dan membanting sekaligus.
Tubuh Belanda itu segara saja terputar diudara. Namun ketika tubuhnya persis berada di atas,
menjelang gerakan jatuh ke lantai, tangan kirinya meluncur turun dalam bentuk pukulan. Dan Cina gemuk itu
tentu saja tak pernah menduga akan adanya serangan ini.
Tak ampun lagi, jidatnya kena hantam. Pletakk!!
Cina itu terpekik. Pegangannya lepas. Dan tubuh Belanda itu berputaran di udara. Membentuk gerakkan
salto dua kali. Dan turun dengan ringan di atas kedua kakinya!
Kening Cina gemuk itu benjol sebesar buah mangga. Bengkaknya merah kehitam-hitaman. Ini adalah
pertarungan yang bukan main. Dia melangkah perlahan dengan mata berapi mendekati Belanda itu.
Kembali Belanda itu mengirimkan sebuah pukulan cepat ke rusuk. Dan disusul lagi dengan sebuah
pukulan dari bawah ke kerusuk. Namun kali ini Cina itu sudah sangat waspada. Dia mengelak dengan
memiringkan tubuh. Benar-benar patut dikagumi, dengan tubuhnya yang gemuk tambun seperti kerbau
bunting itu Cina ini masih dapat bergerak amat lincah. Sambil mengelak ke samping tangannya mengirimkan
sebuah tusukkan dengan dua jari tangannya ke leher Belanda itu.
Serangannya amat cepat. Dan Belanda itu nampaknya anggap enteng.
Barangkali karena serangan itu adalah serangan hanya dengan jari-jari tangan, makanya Belanda itu tak
begitu mengacuhkannya. Namun dia segera saja menyadari kekeliruannya ketika ketiga jari Cina gemuk itu
Koleksi eBook : Drs. H. Hendri Hasnam, MM. 305
menyentuh tenggorokkannya. Serangan itu ternyata bukan sembarangan serangan. Melainkan serangan
seorang ahli Kuntau! Leher Belanda itu, "dimakan" ketiga jari Cina tersebut. Mata Belanda itu medelik. Wajahnya segera saja
jadi pucat. Dari lehernya darah mengalir! Ada tiga bekas luka di lehernya! Dia tersurut. Tapi serangan itu
nampaknya tak mematikan. Belanda itu memang punya otot dan daya tahan yang luar biasa. Itulah sebabnya
tadi dia anggap enteng saja.
Kini ternyata dia berhasil dilukai. Namun Cina itu juga kaget. Biasanya serangan tiga jarinya itu, tak
pernah tidak merenggut nyawa. Tapi kini, Belanda itu kelihatan masih tegak. Justru dengan wajah beringas
berang dan siap untuk balas menyerang.
Mereka berhadapan. Saling pandang dan saling intai. Anjing Helder diluar menggonggong. Sekali, kemudian diam.
Belanda itu maju dengan kedua tangan terkepal. Cina itu berputar dengan kedua tangan terbuka. Si
Keling dan si Inggris yang jadi Bos di rumah itu melihat dengan diam. Tapi diamnya bos itu berlainan dengan
diamnya si Keliang. Si Bos diam dengan suatu kenikmatan melihat pertarungan itu. Sementara si Keling dia
dengan peluh bercucuran. Dia berharap agar si Gemuk itu keluar sebagai pemenang.
Sebab, dia termasuk dalam rangkaian tugas untuk melenyapkan anak Indonesia di hotel Sam Kok itu.
(86) Meski dia tak ditugaskan untuk turun tangan langsung, namun dia ikut bertanggungjawab. Maka kalau
si gemuk itu kalah nanti, dia akan ikut jadi korban. Harapannya tinggal satu kini, yaitu agar si gendut itu
menang. Perkelahian berlanjut lagi. Suatu saat si gemuk berhasil mendekap tubuh Belanda itu. Dia dekap dengan
kuat ke tubuhnya seperti memeluk kekasih. Dengan kedua tangannya yang masih bebas. Belanda besar itu
menghantam pelipis dan pangkal telinga Cina itu. Namun dia jadi kaget. Cina itu tak mengubris serangan itu
samasekali. Dan kini tubuhnya dipiting dengan kuat oleh Cina gendut itu keperutnya yang besar. Dengan perlahan,
tapi pasti, Belanda itu mulai kehabisan nafas. Dekapan Cina itu alangkah luar biasa kuatnya. Muka Cina itu
mulai merah dan berpeluh karena dia mengerahkan tenaganya. Belanda itu berusaha meronta untuk
membebaskan diri. Namun pagutan Cina itu seperti pagutan gurita raksasa. Tak tergoyahkan.
Belanda itu mengangkat tangannya kembali. Memukulnya dengan kuat ke pelipis Cina itu. Cina itu
menyeringai. Pukulan itu seperti tak dia rasakan. Belanda itu sudah pucat. Nafasnya sudah sejak tadi tertahan
oleh kepitan raksasa itu.
Dan tiba-tiba matanya terpandang pada mata sipit Cina gemuk itu. Ya, mata Cina ini adalah bahagian
terlemah yang tak terlindung. Cuma apakah bahagian matanya juga kebal" Belanda itu akhirnya menyerang
dengan harapan terakhir. Dia memang tak pernah belajar tusuk menusuk dengan jari. Dia hanya tahu main
boksen dan gulat. Tapi kini kedua ilmunya itu punah.
Dipunahkan oleh kekuatan Cina yang luar biasa ini. Dengan menggertakkan gigi dan mengerahkan sisa
tenaganya, dia menusukkan kedua jari telunjuk dan jari jari tengahnya yang kanan ke mata Cina tersebut. Cina
itu sebenarnya sudah akan meremukkan tulang belulang si Belanda. Tapi tiba-tiba matanya jadi gelap. Pedih.
Dan sakit bukan main. Dia meraung. Lalu menghempaskan tubuh Belanda itu ke lantai!
Belanda itu meraung pula begitu tubuhnya tercampak. Dia seorang pegulat, jatuh terhempas merupakan
hal kecil. Tapi kali ini, dengan hempasan Cina gemuk ini, sakitnya terasa amat melinukan jantung.
Cina itu menutup matanya dengan tangan. Matanya berdarah. Tusukkan jari tangan Belanda itu bukan
main kuatnya. Untung saja matanya tak copot keluar. Tapi meski tak copot keluar, tusukan itu cukup membuat
matanya tak bisa melihat.
Dan Cina itu tahu, bahaya tengah mengintainya. Karena itu, begitu dia mendengar lawannya memekik di
lantai, dia segera maju kesana. Dia hanya memakai perkiraan saja, dan kakinya terangkat. Lalu dia hujamkan
kebawah. Ketempat dimana kepala belanda itu dia perkirakan terletak. Perkiraannya tak meleset, hanya
perhitungannya agak meleset. Belanda itu sudah menelentang. Begitu dia lihat Cina itu menghantamkan
kakinya ke bawah, dia berguling menyelamatkan nyawa.
Lalu sambil tegak dia putar kakinya dalam bentuk sapuan yang amat kuat ke kaki Cina itu. Cina yang tak
melihat apa-apa itu tersapu kakinya. Tubuhnya jatuh berdembum ke lantai. Saat berikutnya adalah peristiwa
yang mengerikan. Belanda yang bertubuh besar kekar itu melambung tinggi. Dan dalam suatu gerakan gulat
Koleksi eBook : Drs. H. Hendri Hasnam, MM. 306
profesional tubuhnya meluncur turun dengan kedua kaki menghujam ke arah dada Cina yang terbaring
menelentang itu. Terdengar suara tulang patah. Cina itu meraung lagi. Darah menyembur dari mulut dan hidungnya.
Merasa masih belum puas, Belanda itu mengalihkan tegak. Lalu kakinya terayun dalam bentuk sebuah
tendangan yang amat kuat. Tendangan mendarat di selangkang Cina itu. Cina itu tak lagi meraung. Mulutnya
ternganga. Mukanya berkerut. Tangannya yang tadi mendekap mata, dalam gerak perlahan sekali berusaha
memegang selangkangnya. Namun gerakkannya terhenti setengah jalan. Gerakkan itu tak sampai. Karena
nyawanya sudah terbang. Cina itu segara saja beralih status dari seorang manusia gemuk menjadi seorang
almarhum. Belanda itu berhenti dengan nafas terengah. Menatap pada bosnya dengan peluh membanjiri muka.
Bosnya tersenyum. Baginya sama saja siapa yang menang atau siapa yang kalah. Tak peduli dia. Bos ini menoleh
pada si keling yang tegak dengan lutut gemetar. Lalu memberi isyarat dengan gerakkan kepala. Dan si keling
jadi ngerti. Dia berjalan ke arah almarhum gemuk itu. Memegang tangannya, dan menyeretnya. Tapi malang,
tubuh Cina bukan main beratnya. Tak bergerak di tarik, meski Keling itu tubuhnya juga berdegap besar.
Dia beranjak dari arah tangan. Berjalan ke arah kaki. Kini dia pegang kaki Cina itu. Lalu menariknya. Tak
bergerak! Cina ini nampaknya bukan hanya karena gemuknya saja, tapi karena dosanya juga maka tubuhnya berat
setelah dia mati. Menurut orang meski seseorang bertubuh besar, tapi kalau dia banyak beramal dan baik, maka
kalau dia mati, tubuhnya jadi ringan. Dan kata orang pula, kalau banyak dosa, meski badan kurus kerempeng,
maka mayatnya akan terasa amat berat.
Nah, Cina yang satu ini, sudahlah tubuhnya kayak kerbau bunting dua puluh bulan, ditambah dosanya
yang sudah delapan belas gerobak, kini tubuhnya tak bisa bergerak sedikitpun ditarik kawannya. Dan yang
menderita adalah temannya ini. Dengan ketakutan, keling itu coba lagi menarik mayat temannya. Tapi sungguh
mati, mayat itu tak bergerak. Sedang untuk mengangkat sebelah kakinya saja, Keling besar itu harus
mengerahkan seluruh tenaganya"
"Tak bisa?" Bos yang orang Inggris itu bertanya. Keling itu menunduk dengan putus asa.
"Lalu mengapa saja kau yang bisa?"
Keling itu menunduk dengan wajah yang patut dikasihani. Dia menatap mayat temannya. Dan dia
merasakan kini, temannya ini justru lebih beruntung dari dirinya. Sekurang-kurangnya, mayat ini sekarang tak
lagi merasakan ketakutan, pikirnya.
Perlahan tangan bos itu bergerak ke meja. Menyingkirkan koran dan majalah dengan gambar telanjang
di depannya. Dan dibawah majalah dengan gambar wanita-wanita cantik bertelanjang itu, dia mengambil
sepucuk pistol otomatis. "Mau ini?" tanyanya. Keling itu mengangkat kepala. Menatap pada moncong pistol yang mengarah ke
arahnya. Dia mengangguk perlahan. Tapi pada saat yang sama dia menyadari, bahwa bosnya itu bukan mau
memberikan pistol itu padanya, melainkan mau memberikan timah panasnya. Makanya dia cepat menggeleng
dan berkata. "Nehi. Nehilah bos. Kita orang nehi maulah.."
Bosnya menatap dengan mata dingin. Mengangkat pistol setinggi kepala si Keling. Keling itu mengangkat
tangannya seperti menutup wajahnya dari mulut pistol yang seperti menyeringai kearahnya itu.
"Nehi. Nehii?" katanya sambil mundur. Dan pistol itu memang tak menyalak. Bos yang orang Inggris itu
menatap ke arah si Keling. Si Keling yang merasa nyawanya selamat, memandang pada bosnya yang kelihatan
memandang padanya dengan heran.
Keling itu juga jadi heran. Dan ikut-ikutan mengerutkan kening. Lalu melihat ke belakang, dan dia jadi
kaget. Ternyata bosnya memandang kebelakangnya. Bukan pada dirinya. Di belakangnya, entah kapan
datangnya, telah tegak seorang lelaki asing. Di tangan kirinya terpegang sebuah tongkat panjang. Orang asing
itu masih muda. Dan keling ini bisa menerka, orang itu pastilah orang Melayu atau orang Indonesia. Dia
menyingkir dari tempat tegaknya. Memberikan keleluasaan pada bosnya untuk menatap orang itu.
Keling itu bersukur atas kehadiran orang asing itu. Sebab dengan kehadirannya, nyawanya telah
selamat. Meskipun untuk sementara. Dan orang asing itu tak lain daripada Si Bungsu.
Kenapa dia bisa hadir disana, dikandang singa itu" Padahal tadi dia berada di penginapan Sam Kok
setelah ditempeleng dan jatuh bergulingan bersama gadis cantik anak pemilik hotel itu"
Ceritanya. Semula dia ingin membuat perhitungan disana juga. Dia ingin membabat habis si gendut itu. Dia yakin,
sekali dia mengayunkan tangan, ketiga samurai kecil itu akan melayang dan menyudahi nyawa si gendut. Tapi
Koleksi eBook : Drs. H. Hendri Hasnam, MM. 307
secara tiba-tiba ketika si gendut itu melambai dan mengucapkan bai-bai padanya di pintu hotel, sebuah pikiran
lain menyelinap di kepalanya.
Kalau dia babat di hotel, maka dia takkan tahu dimana markas mereka. Lagipula dia takkan tahu siapasiapa di belakang sindikat jual beli perempuan ini. Makanya Si Bungsu mengikuti si gendut dengan taksi.
Taksi Si Bungsu berhenti di luar. Si Bungsu membayar sewanya. Dia sendiri lalu mencari jalan untuk bisa
masuk. Rumah ini ternyata berpagar tinggi. Si Bungsu terpaksa memanjat pohon mahoni lalu melompat ke
pagar, baru terjun ke halaman. Untung saja pengalaman di gunung Sago dahulu memudahkan pekerjaannya
sekarang ini. Dia lalu mengendap-endap ke dekat rumah tersebut. Sedan hitam itu dia lihat parkir di depan teras. Dan
dari dalam terdenar suara orang bicara perlahan. Ketika dia akan mendekati lagi, dia dikejutkan oleh salak
anjing. Ketika dia menoleh, anjing besar itu siap untuk menerkamnya. Tak ada jalan lain bagi anak muda ini
selain mengayunkan tangan. Dan dua buah samurai kecil terbang dengan kecepatan kilat. Lalu menancap di
leher anjing besar itu. Dan anjing itupun tamatlah riwayatnya. Gonggongannya yang dua kali itu sebenarnya
adalah gonggong yang tadi terdengar oleh orang-orang yang ada dalam rumah tersebut.
Tapi karena saat itu si Belanda tengah bertarung dengan Cina gendut itu, maka gonggongan tersebut tak
diacuhkan. Kalau saja mereka memperhatikan gonggongannya, dan melihat keluar, mungkin Si Bungsu takkan
sempat masuk rumah. Dan Si Bungsu masih sempat mengintai perkelahian seru antara si Belanda dengan si
Cina lewat kaca jendela. Dia merasa ngeri juga melihat pertarungan itu berlangsung. Kalau saja dia yang dipagut
Cina gendut itu, maka dia yakin nyawanya sudah melayang dengan seluruh tulang ditubuhnya patah-patah.
Dan bulu tengkuknya berdiri semua melihat Belanda itu menyudahi nyawa si Cina gendut.
Hih, ini memang bukan pekerjaan main-main pikirnya. Dan dia masuk ketika si Keling kena ancam dikala
tak berhasil menyeret mayat Cina gendut itu. Dan kini, orang Inggris yang tak berbaju itu melihat kedatangan
anak muda tersebut dengan heran. Kenapa orang asing ini bisa masuk, kemana si Bleki, anjing besar itu,
pikirnya. Dia bersiul. Siulnya melengking tinggi. Siulnya memanggil anjingnya. Namun anjing itu memang sudah
mati kok. Tentu saja tak pernah datang.
Bos itu memberi isyarat pada si Keling. Dan seperti seekor anjing pula, si Keling itu berlalri ke luar. Dan
di halaman, dekat pohon pinang merah, dia melihat anjing itu ditidurkan malaikat maut. Darah mengenang
dekat lehernya. Dia berlari lagi masuk.
"Mati?" katanya.
Orang inggris itu menatap pada Si Bungsu.
"Kamu bunuh anjing itu he?" suara sengau seperti suara kepinding terdengar dari mulut orang Inggirs
itu. "Tidak. Saya tak minta izin padanya untuk masuk kemari. Dia lalu bunuh diri?" Si Bungsu menjawab
seenaknya. Inggris itu mengeluarkan suara menggeram. Namun dia suka juga mendengar guyon anak muda ini
"Nah, kalau begitu, engkau harus minta izin pada anjing yang satu ini"." Inggris itu menunjuk pada si
Keling. Dan bagi si Keling, ini adalah perintah untuknya. Perintah untuk menyudahi nyawa anak muda itu. Dan
Tikam Samurai Karya Makmur Hendrik di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
perintah itu sekaligus juga sebagai keringanan hukuman baginya. Artinya, kalau saja dia bisa menyudahi anak
muda ini, maka nyawanya akan bisa pula selamat.
Nah, diapun bersiaplah. Dia bersiap dengan suatu keyakinan bahwa dia bisa menyudahi anak ingusan
ini. Bukankah temannya, Cina gendut yang telah mati itu tadi berkata, bahwa anak muda ini terberak-berak
ketika digertak" Keling itu maju. Si Bungsu tegak dengan diam. Dia tak tahu apa kepandaian orang yang satu ini. Kalau si
gendut Cina itu mahir Kuntau dan Yiu Yit Su, dan si Belanda mahir dengan boksen dan gulat, maka apa pula
kemahiran si Keling ini"
Dia coba mengingat-ngingat, apa kemahiran orang India dalam berkelahi. Seingatnya tak pernah ada
yang menonjol. Orang India seingatnya hanya mahir bermain suling untuk menjinakkan ular atau mahir
menyanyi dalam film-film. Apakah Keling ini akan memainkan sulung atau akan menyanyi, pikirnya.
Tapi Keling yang satu ini bukan sembarang orang pula. Memang tak sembarang orang bisa masuk jadi
anggota sindikat Internasional penjual wanita di kota Singa ini. Keling itu mengayunkan kakinya. Kakinya
panjang seperti umumnya orang keling yang lain. Ayunan kakinya berisi juga. Namun Si Bungsu tak usah
banyak bergerak kalau hanya sekedar menghindarkan tendangan model demikian.
Samurainya dia ayunkan kebawah. Pletok!!
Koleksi eBook : Drs. H. Hendri Hasnam, MM. 308
Sarung samurai itu menggetok lutut orang keling itu. Keling itu menyeringai. Matanya juling seketika.
Namun dia tak mau kalah. Sebab kekalahan baginya berarti maut. Ini adalah kesempatan akhir baginya untuk
menyelamatkan nyawa yang tinggal diujung tanduk.
Dengan memekik ala kingkong mabuk dia menyerang dengan sebuah tinju. Tinjunya mirip tinju dalam
film koboi. Dan Si Bungsu kembali menghantamkan samurainya. Kena tepat disiku Keling itu. Keling itu juling
lagi matanya. Sakit menyerang hulu hatinya. Namun dia tak pernah mau mundur. Bukankah ini kesempatan
terakhir baginya" Dia maju, dan kali ini ditangannya ada sebuah belati!
Kali ini Si Bungsu tak mau main-main. Begitu tangan si Keling terayun, tangannya juga terayun. Si Bungsu
ingin menyelesaikan persoalan ini dengan cepat. Betapapun, dia harus kembali jadi tukang bantai. Menjual
wanita! Bukankah itu sebuah pekerjaan yang alangkah jahanamnya/ apalagi yang diperjualbelikan adalah
wanita-wanita dari Indonesia.
Dalam dokumen yang sempat dia baca sebelum Cina gemuk itu datang ke hotel Sam Kok, dia ketahui,
bahwa banyak diantara gadis-gadis Indonesia yang ditipu. Anggota-anggota sindikat datang kebeberapa
rumah, dikampung-kampung. Mencari gadis atau janda, bahkan isteri orang yang cantik untuk ditawari
pekerjaan ringan bergaji besar. Yang mau segera dibawa. Yang tak mau dibujuk dengan berbagai cara. Dan jika
sudah berhasil, lalu dibawa ke kantor atau ke tempat pekerjaan yang mereka harapkan.
Mereka langsung dibawa ke kapal. Dan disekap dalam ruangan bawah. Jika jumlah yang dikehendaki
sudah terpenuhi, maka kapalpun berangkat. Langsung ke Singapura. Kaum sindikat ini tak pernah khawatir
akan kepergok dengan patroli lautan dari pihak Indonesia. Ada tiga penyebab kenapa mereka tak takut.
Pertama, kapal patroli Indonesia saat itu memang tak berapa buah. Kedua, kalaupun kepergok, mereka
cukup mengatakan bahwa mereka membawa getah. Kalau diperiksa, mereka cukup memberikan sejumlah
uang. Biasanya dengan uang segalanya jadi beres. Tentang uang mereka tak usah cemas. Cukup banyak uang
tersedia guna menjalankan operasi itu. Ada uang dollar ada uang rupiah. Tapi yang terbanyak adalah rupiah
palsu. Namun dimata aparat Indonesia, perbedaan uang palsu dengan yang tak palsu tak mereka ketahui. Dan
ditahun-tahun lima puluhan ini, uang palsu bukan main banyaknya beredar di Indonesia.
Itu baru dua hal kenapa mereka tak takut menghadapi aparat hukum di Indonesia. Kalaupun kedua hal
itu gagal, artinya kalau kepergok kapal patroli, lalu aparatnya disogok, tapi masih tetap gagal karena mental
dan pengabdian aparatnya kukuh, meski biasanya mental aparat Indonesia yang bertugas di laut saat itu
kebanyakan bobrok, tapi mereka tetap saja tak kehilangan akal.
Akal ketiga adalah Bedil!
Ya, mereka memiliki bedil. Mulai dari pistol sampai ke mitraliur ukuran ringan. Senjata-senjata itu
tersimpan dengan rapi, namun bisa diambil dan dipergunakan setiap saat diperlukan.
Dalam dokumen yang dibuat Overste Nurdin itu juga Si Bungsu membaca bahwa di kapal saja
perempuan itu sudah dijadikan pemuas nafsu binatang para awaknya. Dan jangan lupa, masih dalam dokumen
yang sama tertulis bahwa awak kapal dan anggota sindikat yang di Jakarta, adalah orang Indonesia asli!
Tapi untuk uang, persamaan Bangsa dan Tanah Air ternyata tak berguna dalam menyelamatkan
kehormatan seseorang. Dan Si Bungsu memang berniat menebas seluruh anggota sindikat yang dia jumpai!
Dan Keling itu memang malang. Dia tak tahu apa yang menyebabkan dirinya lumpuh. Jatuh. Dan mati.
Si Bungsu kini memandang tepat-tepat pada orang Inggris yang masih memegang pistol itu.
Bayangan sepuluh hari yang lalu melintas lagi di kepalanya. Yaitu ketika dia bersama Nurdin akan keluar
dengan taksi dari daerah Pelabuhan di Anting. Sesaat sebelum taksi mereka dimakan peluru, ia menoleh ke
belakang. Di belakangnya sebuah taksi mendekat.
Di depannya kelihatan duduk dua orang asing. Yaitu satu memegang kemudi. Yang satu kelihatan
Pendekar Pedang Sakti 5 Sherlock Holmes - Pasien Rawat Inap Kisah Pedang Bersatu Padu 3
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama