Tikam Samurai Karya Makmur Hendrik Bagian 14
memegang sebuah tongkat. Ketika hampir mendekati taksi mereka, orang asing yang memegang tongkat itu
mengeluarkan tongkatnya makin panjang. Dan dia melihat tongkat itu adalah moncong senjata. Kemudian dia
menunduk. Terdengar tembakan. Nurdin terkulai. Namun wajah orang asing itu tak pernah lekang dari
ingatannya. Dia ingat benar. Berambut pirang dengan mata biru.
Dan kini, dihadapannya, orang asing yang menembak Nurdin itu, duduk di depannya tanpa baju. Di
tangannya terpegang sebuah pistol otomatik. Dan Si Bungsu seperti mendengar suara anak Nurdin sesaat
sebelum dia meninggalkan gedung Konsulat untuk pindah ke Hotel Sam Kok.
"Dia telah melukai ayah. Orang itu harus paman lukai pula. Paman bunuh saja. Ya paman" Paman mau
berjanji akan membunuh orang yang melukai ayah?""
"Ya, paman akan membunuhnya. Percayalah?"
Dan perjanjiannya dengan anak sahabatnya itu seperti menyentak jantungnya.
Koleksi eBook : Drs. H. Hendri Hasnam, MM. 309
"Hmmm, kamu mau berlagak di depan saya he" Ayo maju koe kemari anjing!" dan sambil berkata begitu
orang Inggris itu melepaskan sebuah peluru. Peluru itu menerpa pelipis Si Bungsu. memutus puluhan helai
rambutnya. Sebuah tembakan yang amat terlatih. Tak melukai kulit sedikitpun.
"Majulah kemari anjing! Kalau tidak, peluru ini akan menyudahi nyawamu?" Inggris itu ngomong lagi.
Si Bungsu masih tegak dengan diam. Semburan peluru ketika di daerah pelabuhan dahulu masih membayang
dikepalanya. Namun saat itu orang Inggris tersebut memang membuktikan ucapannya. Pistol di tangannya menyalak
dan peluru diarahkan ke jantung Si Bungsu. Namun mata Si Bungsu yang waspada melihat gerak jarinya ketika
akan menarik pelatuk. Sebelum dentuman berbunyi, dia melemparkan tubuhnya ke samping. Seiring dengan
itu, samurai panjangnya melayang dalam kecepatan kilat!
Samurai itu menancap di sandaran kursi si Inggris. Persis di tentang jantungnya! Namun orang Inggris
itu ternyata juga sudah matang dalam perkelahian begini. Kalau tidak, mustahil dia menduduki tempat yang
cukup tinggi dalam sindikat. Karena begitu samurai Si Bungsu menancap di kursinya, dia tak lagi ada disana!
Dia sudah duluan menghindar. Si Bungsu segera tegak. Dan jadi kaget melihat samurainya hanya menerkam
sandaran kursi. Dan lebih kaget lagi dia, ketika menoleh kesamping. Orang Inggris itu tegak di sana dengan
sikap petenteng-petentengan. Memandang padanya dengan sikap seorang jagoan menatap penjahat kelas teri!
"Hmm, ayolah berlagak lagi kau monyet"!" suaranya mendesis. Si Bungsu tegak lurus. Menatap diam ke
arah orang Inggris yang sejak tadi sudah memakinya sebagai anjing dan monyet ini.
Sebuah letusan bergema. Dan pelurunya menerkam paha Si Bungsu. anak muda itu terpental ke
belakang. Terguling di lantai.
"Ayo, bangkitlah. Coba berlagak jagoan padaku"!" dan sebuah letusan bergema lagi. Pelurunya
menerkam lengan kanan Si Bungsu.
(87) Anak muda itu terguling untuk kedua kalinya. Empat kali tembakan. Berarti kini masih tersisa satu
peluru lagi. "Bangkitlah. Kau seorang jagoan bukan" Dan seorang jagoan biasanya sok perkasa. Kalau akan ditembak
suka tegak lurus dan menantang dengan dada terbuka dengan mata menatap tegas seperti mata anjing. Kau
tegaklah dan cobakanlah sikap gagah perkasa konyolmu itu"! Kalau tidak kepalamu akan keremukkan ketika
menelungkup itu"."
Orang itu nampaknya memang tak main-main. Dan Si Bungsu memang berusaha untuk tegak. Darah
sudah berceceran di lantai. Dia menggigit bibir. Kepalanya mulai pusing. Kebanyakan mengeluarkan darah bisa
membahayakan dirinya. Dia tahu benar akan hal itu. Namun dia teringat lagi pada permintaan Eka, gadis kecil
Overste Nurdin. "Paman berjanji akan membunuh orang yang melukai ayah, ya paman?"
"Ya, paman berjanji.."
Dan dia bangkit. Tegak dengan tangan tergantung lemah keduanya. Lengan kanan dan paha kirinya telah
berlumur darah. Sakitnya hanya Tuhan yang tahu.
"Nah, kini kau datang kesini sambil merangkak. Cepaat..!" perintah orang Inggris itu menggeledek. Si
Bungsu menurut. Dia membungkuk. Tangan kirinya bergoyang. Dua buah samurai kecil yang diikat di lengan
kirinya itu melosoh turun. Disambut jari-jarinya. Terlindung dari penglihatan si Inggris oleh punggung
tangannya. Dan kini terpaksa mempergunakan samurai yang dilengan kiri. Sebab tangan kananya sudah lumpuh.
Ini adalah kesempatannya yang terakhir. Kalau kesempatan ini tak dia pergunakan, maka tamatlah riwayatnya.
Dia membungkuk terus untuk memenuhi perintah si Inggris agar dia merangkak. Tapi begitu tubuhnya
membungkuk itu, tubuhnya berputar. Dia pikir orang itu pening dan akan jatuh ke lantai.
Namun Si Bungsu berputar sambil melemparkan kedua samurai kecil itu di tangan kirinya. Dan kedua
samurai itu menancap di tenggorokkan si Inggris. Masuk hingga hulu samurai itu hanya nampak satu senti.
Yang satu menancap di leher si Belanda yang tadi mengalahkan Cina gendut itu. Samurai yang satu itu hanya
menancap separohnya. Namun Belanda itu seperti orang dicekik setan. Matanya juling dan lidah terjulur. Dia
berusaha untuk mencabut samurai itu dari lehernya.
Namun usahanya itu alangkah sulitnya dia lakukan. Darah meleleh di sela batang samurai kecil itu.
Akhirnya yang mampu dia lakukan adalah jatuh. Belum mati. Yang sudah mati adalah si Inggris yang memegang
Koleksi eBook : Drs. H. Hendri Hasnam, MM. 310
pistol otomatik itu. Ujung samurai kecil itu menyembul sedikit di tengkuknya. Dia merasakan nafasnya sesak.
Jantungnya seperti akan pecah. Dia mengangkat pistol. Berusaha menarik pelatuknya.
Namun itulah usahanya yang terakhir. Pelatuk pistol itu tak pernah mampu di tarik. Yang tertarik justru
pelatuk nyawanya. Dan nyawanya melompat ke luar dari tubuhnya yang laknat itu. Nyawanya melayang justru
ketika tubuhnya masih tegak.
Dan tubuh yang tak bernyawa itu, jatuh dengan bunyi bergedubrak ke atas tubuh Cina gemuk yang tadi
ketika mereka masih sama-sama hidup adalah anak buahnya. Kini setelah mereka mati, maka tak ada
perbedaan mana yang bos dan mana yang buruh. Ketika sudah mati, yang buruh dan yang majikan jasadnya
sama-sama jadi bangkai! Si Belanda itu masih mengejang-ngejang ketika bosnya sudah mati. Tubuhnya meregang-regang.
Suaranya gemuruh seperti kerbau disembelih. Lalu tiba-tiba diam. Matanya memandang pada Si Bungsu dan
juga sekaligus memandang pada bosnya. Kenapa bisa begitu" Memang begitulah, karena matanya jadi juling!
Si Bungsu juga jatuh terduduk. Darah sudah cukup banyak mengalir dari dua luka di paha dan di lengan
kanannya. Dia terduduk dengan lemah. Matanya memandang ke meja. Ada surat kabar dan ada majalah dengan
gambar wanita-wanita telanjang. Dan ada dokumen yang tadi dirampas oleh Cina gendut itu darinya di hotel
Sam kok. Dia bangkit dengan susah payah. Untung saja di rumah ini hanya empat orang itu saja yang ada. Kalau
ada seorang lagi, maka tamatlah riwayatnya. Bagaimana dia akan melawan dengan tubuh luka demikian"
Dia lalu memunguti dokumen itu. Memasukkan ke balik baju di sebelah kiri. Kemudian mengitari kamarkamar di rumah itu dalam usahanya mencari kotak obat-obatan. Dan kotak obat itu dia temukan di ruang
makan. Dia buka tutupnya. Mengambil sejenis alkohol. Menyiramkannya ke kapas. Lalu dia merobek kaki
celana dan lengan bajunya di tentang luka tertembak tadi. Untung kedua peluru itu menembus langsung kaki
dan tangannya. Dengan demikian dia tak begitu menderita.
Yodium itu dihapuskan ke lukanya. Pedihnya bukan main. Namun dengan teguh dia bersihkan terus.
Setelah itu dia mengambil sejenis obat lalu membalutkan ke lukanya. Dia masih belum pergi dari rumah itu.
Sidik jarinya bertebaran di rumah ini. Polisi Singapura bisa dengan mudah membekuknya dengan alasan
pembunuhan. Sebab sidik jarinya diambil ketika dia mula pertama mendarat di lapangan udara.
Pembunuhan anggota sindikat itu di rumah Nurdin yang terletak di jalan Brash Basah memang tak
diusut sebagai sebuah pembunuhan. Karena pihak Konsulat Indonesia melakukan protes dan menyatakan
sindikat-sindikat itu datang dengan niat merampok.
Maka untuk menghilangkan jejak, Si Bungsu lalu mengambil derigen minyak yang dia temukan di garasi.
Lalu dia siramkan ke luruh ruangan.
Nah, kini tinggal mengambil korek api. Dan benda itu ada di atas meja. Dekat majalah dengan gambar
perempuan telanjang. Dia mengambil korek api. Lalu membakar majalah dan koran di meja itu. Api menyala.
Koran dan majalah itu dia lemparkan ke minyak yang tadi telah dia siramkan. Dan api segera menjilat dan
membakar keseluruhan ruangan.
Si Bungsu masih menanti beberapa saat. Kemudian setelah yakin rumah itu bakal dilahap api
seluruhnya, dia lalu berjalan keluar dengan tenang. Membuka pintu pagar. Kemudian dia masih harus berjalan
beberapa ratus meter baru sampai di jalan Gagak Selari Timur. Di jalan itu baru ada taksi lewat. Dia menyetop
taksi. Kemudian kembali ke hotelnya.
Gadis Cina pemilik hotel Sam Kok di daerah Anting itu kaget melihat dia muncul. Dari kaget wajahnya
berobah sangat gembira. Dia lantas meninggalkan buku dan tamunya yang akan menginap. Berjalan bergegas
ke arah Si Bungsu. Tamunya dua orang dari Australia, menganga saja ditinggalkan gadis itu.
"Hei, kami bagaimana, ada kamar atau tidak.." kedua orang Australia itu berseru. Tanpa menoleh gadis
cantik dengan lesung pipit di kedua pipinya itu balas pula berseru :
"A Bun! Layani orang itu?"
Dari belakang muncul seorang lelaki Cina yang lain. Dialah A Bun yang di panggil gadis itu.
"Tuan ingin menginap disini?" tanya A Bun. Tapi kedua orang Australia itu masih memandang pada gadis
cantik yang telah meninggalkannya itu.
"Itu suaminya?" salah seorang bertanya sambil memonyongkan mulutnya ke arah Si Bungsu. A Bun
menggeleng. "Tunangannya?" A Bun menggeleng. "Pacarnya?""
Koleksi eBook : Drs. H. Hendri Hasnam, MM. 311
A Bun menggeleng. "Apakah orang itu adalah orang yang menginap disini?"
Kali ini A Bun mengangguk.
"Kalau demikian, nona itu harus melayani kami juga. Dia harus adil melayani tamu. Jangan berat
sebelah?" "Tuan mau menginap disini atau tidak..?" A Bun bertanya kesal.
"Yes. Yeslah. Yeslah?"
A Bun lalu mencatat nama mereka. Tapi mata kedua orang Australia itu tak pernah lepas dari tubuh gadis
Cina cantik itu. Pada pinggulnya yang sintal. Pada dadanya yang ranum. Pada lesung pipit dan senyumnya yang
membuat kepala pusing tujuh keliling.
"Anda luka?" suara gadis itu terdengar perlahan begitu dia tegak di depannya. Si Bungsu menatap pada
lukanya. Kemudian pada gadis itu. Lalu mengangguk perlahan.
"Anda berkelahi dengan mereka..?"
Si Bungsu menggeleng. "Lalu kenapa kaki dan tangan anda luka begini..?"
"Digigit kerbau?"
Gadis itu menatap heran pada Si Bungsu. Si Bungsu menatap pula padanya. Akhirnya gadis itu
tersenyum. Manis sekali dengan lesung pipit di pipinya.
"Kenapa senyum. Ada yang lucu?"
"Ya.." "Apa..?" "Tentang kerbau itu"
"Apanya yang lucu?"
"Bukankah kerbau yang menanduk anda itu adalah kerbau yang datang kemari pagi tadi?"
Dia melangkah masuk. Gadis itu mengiringkan. Tapi sampai di loby, kedua lelaki Australia tadi
memegang tangan gadis itu. Gadis itu menyentakkan tangannya.
"Hei, kamu harus menunjukkan mana kamar kami, nona.."
"Ngomong ya ngomong. Tapi tangannya jangan getayangan ya!"
"Oho-ho! Galak benar si cantik ini. Siapa namamu upik?"
Yang berjambang lebat dan bermata coklat berkata sambil mencowel pipi gadis itu tentang lesung
pipitnya. Namun gadis itu mengelak. Dan orang Australia itu mencowel angin.
"Tuan kalau tidak sopan, silahkan meninggalkan hotel ini.."
Kedua orang itu berpandangan. Kemudian tertawa.
"Ah, maafkan. Kami adalah orang yang paling sopan upik. Tentu kami berbaik-baik. Nah, kini tunjukkan
dimana kamar kami?" Gadis itu memberi tanda pada A Bun, dan A Bun membawa kunci berjalan ke belakang lewat gang yang
dialas perlak berwarna merah. Kedua lelaki itu mengikuti sambil melemparkan senyum cengar-cengirnya pada
gadis tersebut. Gadis itu menoleh pada Si Bungsu. Tapi anak muda itu sudah tak ada lagi. Dia sudah sampai di kamarnya
di lantai dua. Disana dia membuka pakaian. Kemudian dengan kelelahan yang tak tertanggungkan dia
membaringkan diri setelah meletakkan dokumen tentang sindikat perdagangan wanita itu di dalam kopernya
di lemari. Sesaat setelah dia membaringkan diri, kepalanya terasa berdenyut. Lelah dan kantuk menyerang dengan
hebat. Rasa sakit menghentak-hentak. Dan entah mana yang datang duluan, entah tidur entah pingsan. Yang
jelas, sepuluh atau sebelas detik setelah dia meletakkan kepalanya di bantal diapun tak sadar diri.
Dan dalam tak sadar dirinya, Salma dan Mei-mei seperti datang merawatnya. Kemudian Hannako dan
Michiko. Dia sangat gembira atas gadis-gadis itu. Namun itulah mimpi yang paling buruk seumur hidupnya.
Dia tersadar. Membuka mata perlahan. Yang membuat dia bangun adalah rasa lapar yang tak
tertanggungkan. Kepalanya masih terasa berat. Ada bayangan samar-samar. Kemudian ketika dia
membiasakan matanya dari cahaya terang. Dia jadi kaget melihat siapa yang di depannya. Dia berusaha bangkit.
Namun tangan halus dari gadis yang duduk disisinya mencegahnya dengan halus. Dan gadis itu tersenyum. Dua
lesung pipit segera saja membayang dipipinya yang montok.
"Anda harus banyak istirahat".tetaplah tenang?"
Si Bungsu menggelengkan kepala perlahan. Mencoba mengusir rasa pening dan bayangan mimpi yang
tak menentu. Koleksi eBook : Drs. H. Hendri Hasnam, MM. 312
Dia memandang ke jendela.
"Hari sudah sore?" katanya perlahan.
"Ya. Dua kali sore. Anda bermimpi banyak sekali?" gadis itu tersenyum lagi. Si Bungsu menarik nafas,
kemudian ketika ingat pada lukanya, dia melihat ke pahanya. Namun pahanya tertutup selimut. Dia buka
selimut tentang bahunya. Bahunya telah terbalut kain.
"Obatnya telah diganti ayah saya. Ayah punya obat tradisional yang ampuh. Hari ini anda sudah bisa
bangkit dan bisa ditanduk kerbau lagi. Lihatlah"!" berkata begitu, gadis tersebut menusuk luka di bahu Si
Bungsu. Si Bungsu yang semula kaget, jadi terheran-heran. Bekas luka di bawah balutan kain itu tak merasa
apa-apa lagi. Dia menatap gadis itu. "Ya. Sudah sembuh. Kami memiliki obat-obatan yang dibawa ayah dari daratan Tinggoan di Tiongkok.
Kampung kami terkenal dengan tabib-tabib yang masyhur. Ayah saya termasuk salah seorang diantara tabib
yang masyhur itu".nah, anda pasti lapar. Dua hari tak makan bukan?"
Si Bungsu akhirnya menyerahkan dirinya pada kehendak gadis itu. Dia disuapkan oleh gadis dengan
bubur ayam yang bukan main nikmatnya terasa.
Pada sendokan kedua puluh empat, Si Bungsu berhenti. Dia menatap gadis itu tepat-tepat.
"Ada apa" Ayo, tinggal lima atau enam sendok lagi?"
"Anda baik sekali nona. Kenapa anda mau bersusah-susah membantu saya?"
"Ah, sudah kewajiban saya membantu tamu yang menginap di hotel saya bukan" Anda tamu saya.."
"Anda berbuat baik pada setiap tamu?"
"Ya. Harus begitu bukan?"
Si Bungsu mengangguk. Dia tersenyum.
"Kenapa tersenyum segala, ada yang lucu?" tanya gadis itu.
"Tidak. Hanya saya sedang memikirkan, alangkah repotnya anda waktu menyuapkan kedua tamu orang
asing yang mencowel pipi anda tempo hari?"
Muka gadis itu bersemu merah. Dia menunduk malu. Benar-benar gadis yang cantik.
"Apakah anda menyuapkan semua tamu anda?" Si Bungsu menggoda lagi.
"Ya. Kami menyuapkan mereka semua. Tapi bukan saya yang bertugas. Untuk menyuapkan tamu-tamu
yang lain, saya menyuruh a Bun, pembantu saya?"
Dan Si Bungsu tertawa mendengar gurau ini. Gadis itu juga tertawa. Aneh, mereka seperti sudah menjadi
teman akrab. "Hei, nama saya telah anda ketahui. Tapi saya belum mengenal nama anda. Apakah anda punya nama?"
Si Bungsu bertanya lagi setelah menelan bubur yang disendokkan gadis itu.
"Apakah itu perlu?"
"Tentu. Bagaimana saya akan memanggil nona. Apakah cukup dengan si lesung pipit saja?"
Gadis itu tersipu lagi. Menunduk, dan menatap pada Si Bungsu dengan matanya yang indah. Rasanya Si
Bungsu ingin sakit seratus tahun lagi.
"Nama saya Mei-mei?" suara gadis itu terdengar perlahan.
Namun ditelinga Si Bungsu suara menyebutkan Mei-mei itu bukan main dahsyatnya. Dia terbatuk.
Wajahnya jadi pucat. Gadis itu kaget. Memegang kepala Si Bungsu. Menyangka panas dan penyakit anak muda
itu kambuh lagi. Ketika kepala anak muda itu tak apa-apa, dia mendekapkan telinganya kepada Si Bungsu yang
tak dapat berbuat apa-apa selain membiarkan saja gadis itu seperti dokter memeriksa pasiennya.
"Hei. Jantung anda tak normal. Terlalu kencang degupnya. Ada apa?"
(88) Si Bungsu tak dapat menjawab sekalimatpun. Dia menatap gadis itu dengan tatapan tak menentu. Gadis
itu bangkit. Mengambil sebuah tablet berwarna coklat di meja.
"Nah, minumlah ini, tablet ini bisa menenangkan anda. Degup jantung begitu bisa membuat anda sakit
jantung?" gadis itu berkata sambil menoyongkan tablet itu kedekat mulut Si Bungsu.
Busyet! Si Bungsu menggeleng. "Saya memang telah sakit jantung nona. Kalimat-kalimat anda membuat saya putus-putus.."
Gadis itu mengerutkan kening. Tersenyum. Dia tak mengerti apa yang diucapkan Si Bungsu.
Koleksi eBook : Drs. H. Hendri Hasnam, MM. 313
"Saya tak begitu mendengar anda menyebutkan nama anda tadi. Dapatkah nona ulangi kembali?" Si
Bungsu meminta dengan harapan bahwa dia salah dengar.
"Nama saya Mei Ling. Tapi panggilan saya Mei-Mei.."
Si Bungsu terbatuk lagi. Kemudian matanya terpejam. Nafasnya memburu. Dan lagi-lagi gadis itu meraba
kepalanya. Mendekapkan telinganya ke dada Si Bungsu. Waktu dia berbuat begitu, tubuhnya dibahagian atas
menelungkup diatas tubuh Si Bungsu. Terang saja debur darah dan detak jantung Si Bungsu seperti deru
lokomotif yang mendaki lembah Anai.
"Hei. Anda sakit jantung?"
"Tidak. Jantung saya tak sakit. Tapi sudah pecah!"
Gadis itu tertawa dan mencubit tangan Si Bungsu. Dan mau tak mau, anak muda itu terpaksa ikut
nyengir. "Nah, untuk merekat kembali jantung anda yang pecah itu, minumlah obat ini" gadis itu menyorongkan
tablet itu lagi. Karena Si Bungsu tetap saja tak membuka mulut, maka tablet itu disumbatkannya ke bawah bibir
Si Bungsu! Si Bungsu seperti orang memakai sugi. Bibir atasnya membengkak. Dan dia merasa lucu. Mau tak mau
dia tertawa lagi. Gadis itu juga ikut tertawa renyai. Kemudian meminumkan Si Bungsu air dari cawan putih.
"Bagaimana kalau saya memanggil dengan Mei Ling saja?" Si Bungsu menawarkan kemungkinan lain
pada gadis itu. Sebab bagaimana dia akan bisa menyebut nama Mei-Mei sementara nama itu adalah gadis yang
dia cintai buat pertama kalinya. Dan gadis itu mati sebelum mereka menikah di mesjid kecil di Tarok dahulu.
"Seharusnya orang memanggil saya dengan sebutan itu. Tapi karena sejak kecil saya dipanggil Mei-Mei,
Tikam Samurai Karya Makmur Hendrik di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
maka saya seperti tak mengenal lagi nama Mei Ling itu. Jadi kalau anda memanggil saya dengan nama itu,
barangkali saya takkan menyahut"
Aduh mak, mati awak, Si Bungsu mengeluh.
"Apakah anda tak menyukai nama Mei-Mei?" tiba-tiba gadis itu bertanya. Dan pertanyaan ini terang saja
membuat jantung Si Bungsu rengkah-rengkah. Seperti tanah sawah dihantam panas terik bertahun-tahun.
"Tidak. Ya. Eh, anu"suka. Suka, kenapa tidak. Mei-Mei"hmm, bukankah itu nama yang indah. Namanya
indah, orangnya cantik?" Si Bungsu ngomong asal ngomong saja. Soalnya hatinya tak menentu.
Mei-Mei tersenyum lagi. Lalu tegak membereskan meja dan piring mangkuk bekas makan Si Bungsu.
"Hei, anda banyak sekali memiliki Samurai. Ada yang besar dan enam buah yang kecil. Lalu ini, dalam
kopor anda ada enam buah lagi samurai kecil. Nampaknya anda seperti bersiap untuk sebuah pertempuran.."
Suara gadis itu mengejutkan Si Bungsu. Dia melihat tangan kiri dan kanannya. Dua hari yang lalu, ketika
akan berbaring, dia lupa membuka ikatan samurai-samurai kecil di lengannya. Kini samurai itu tak ada lagi
ditangannya. Dan tidak hanya itu, bajunya juga sudah ditukar. Pastilah gadis itu yang telah menukarkan
bajunya, dan membuka samurai kecil-kecil itu.
"Dimana anda letakkan samurai kecil-kecil itu?""
"Ada di bawah bantal. Saya rasa anda memerlukannya?" gadis itu kemudian meninggalkan kamar itu
setelah melemparkan sebuah senyum.
Si Bungsu menarik nafas. Alangkah panjang dan berlikunya jalan yang dia tempuh.
Mei-Mei! Mei-Mei nama gadis itu. Mana mungkin ada orang yang serupa. Dan mana mungkin dia bisa ketemu lagi
dengan orang yang memiliki nama yang sama dengan nama kekasihnya yang mati diperkosa Jepang itu"
Mei-Mei gadis cina yang nyaris kawin dengannya dahulu adalah gadis yang juga merawat luka-luka yang
dia derita tatkala usai dari perkelahian dengan Jepang di sebuah rumah pelacuran di Payakumbuh.
Kini, Mei-Mei yang ini juga merawat luka-luka yang dia derita dari sebuah perkelahian. Ah, dia seperti
berulang-ulang menikam lagi jejak yang telah dia lalui.
Perlahan dia coba untuk bangkit. Luka bekas tembakan di paha dan dilengannya tak terasa lagi.
Namun ada yang terasa, yaitu rasa penat yang menyerang.
Dia ingin tidur, ingiin sekali. Namun diantara rasa kantuknya yang menyerang. Lambat-lambat dia
mendengar suara langkah. Suara pintu ditutupkan. Kemudian suara bergumul. Dia tengah berbaring ketika
pikirannya berjalan dan memikirkan apakah yang tengah terjadi. Suara apakah itu" Pikirnya.
Dan dirinya terserang oleh dua keinginan yang saling tindih. Antara keinginan untuk tidur dengan
keinginan untuk mengetahui ada apa di luar. Tapi ini hotel, apa saja bisa terjadi, pikirnya pula sambil coba
memicingkan mata. Namun suara perempuan yang tertahan, seperti sedang disekap mulutnya, membuat Si Bungsu tertegak
tiba-tiba. Suara Mei-Mei kah itu, pikirnya. Dan dengan pikiran demikian dia segera saja menuju ke luar. Pintu
Koleksi eBook : Drs. H. Hendri Hasnam, MM. 314
kamarnya dia buka. Memandang ke lorong di depan kamar-kamar yang berderet di tingkat dua hotel itu.
Lengang! Tak ada apa-apa. Namun suara apakah sebentar ini yang terdengar olehnya" Dia tatap lagi lorong di
depan kamar-kamar hotel itu. Lengang!
Perlahan dia masuk lagi. Menutupkan pintu. Kemudian tegak dibalik pintu itu dengan diam. Dia
berkonsentrasi. Kalau dahulu di rimba gunung Sago, dia selalu dapat mendengarkan bunyi ular yang menjalar
sekitar dua puluh meter dalam hutan dari dirinya, mengapa kini konsentrasi yang sama tidak dia lakukan"
Beberapa detik setelah dia konsentrasi, dia segera saja dapat mendengar suara orang bergumul. Tiga
kamar di sebelah kiri kamarnya memang tengah terjadi pergumulan. Dan yang bergumul adalah ketiga orang
Australia yang menginap disana. Yang datang ketika Si Bungsu kembali dalam keadaan luka-luka tiga hari yang
lalu. Ke tiga orang Australia itu, adalah bekas tentara Sekutu dalam perang Dunia ke II yang baru saja
berakhir. Mereka bekas anggota Raider Divisi III yang bertugas di India ketika Kemerdekaan RI
diproklamirkan. Dan sebagai bekas tentara, bekas raiders pula, mereka adalah orang-orang yang mahir dalam
perkelahian. Tadi ketika Mei-Mei berada dalam kamar Si Bungsu, mereka sudah mengintai di luar kamar. Dan begitu
gadis itu keluar serta menutupkan pintu, merekapun menyergapnya. Menyeretnya ke kamar mereka. Gadis itu
coba meronta. Menggigit. Menjerit. Namun mulutnya tak pernah bisa sempat untuk menjerit. Yang keluar
hanyalah suara-suara tertahan. Dia langsung dibawa ke kamar ketiga bekas Raiders itu. Dibaringkan di tempat
tidur. Tangannya dipegangi. Mulutnya disekap. Dia meronta, dan akibatnya pakaiannya tersingkap hingga ke
perut. Ketiga bekas tentara itu melotot matanya melihat paha dan perut Mei-Mei yang alangkah mulus dan
putihnya. Yang seorang tak sabar lagi. Dia menerkam mencium Mei-Mei. Gadis itu menerjangnya. Kena kepala. Dia
terpental ke bawah tempat tidur. Lelaki itu menyeringai. Senang juga dia kena hantam jidatnya. Dia bangkit
lagi. Sementara kedua temannya yang lain sudah menggerayangi tubuh gadis itu dengan tangan mereka.
Pakaian gadis itu sudah sempurna terbuka. Kini yang membalut tubuhnya hanya sehelai celana dalam yang
amat kecil. Sementara tubuh bagian atasnya tak tertutup sedikitpun. Dan kesanalah tangan ketiga bekas
serdadu perang dunia ke II itu menggerayang silih berganti.
Gadis Cina itu menerjang-nerjang. Mencakar-cakar. Dia tidak bisa bersuara. Karena mulutnya disekap
oleh salah seorang diantara mereka. Namun terjang dan rontaan tubuhnya justru membuat menaiknya nafsu
ketiga bekas serdadu Australia itu. Karena meronta ingin melepaskan diri, pinggul gadis itu naik turun.
Menggeliat kekiri dan kekanan. Dan gerakkan itu merangsang ketiga lelaki tersebut.
Mereka tengah menikmati gerak merangsang pinggul gadis yang hanya tertutup celana kecil itu ketika
pintu tiba-tiba terbuka. Ketiga bekas serdadu itu menoleh. Dan mereka melihat dipintu berdiri anak muda yang
beberapa hari yang lalu dilayani dengan baik oleh gadis Cina itu.
"Hei! Giliranmu sudah cukup lama bukan" Engkau sudah cukup puas. Kini giliran kami. Nah, pergilah.
Jangan mengganggu.." suara yang pakai brewok dan bermata coklat terdengar serak. Sementara tangannya tak
pernah lepas dari dada gadis itu.
Si Bungsu, yang tegak di pintu itu, tiba-tiba merasa perutnya mual melihat tingkah ketiga orang ini.
"Lepaskan dia"!" suaranya terdengar datar dengan wajah tenang seperti danau yang tak beriak.
Namun mama mau ketiga orang itu melaksanakan perintahnya. Mereka justru melanjutkan pekerjaan
tangan mereka. "Lepaskan dia. Atau kalian saya bunuh"!" ketiga lelaki itu benar-benar terhenti. Bukan karena takut
dibunuh, tidak. Bagaimana mereka akan takut kena gertak meski gertak bunuh sekalipun" Ah, mereka sudah
kenyang akan pembunuhan. Bukankah mereka bekas balatentara sekutu yang bergelimang elmaut di India"
Ah, mereka tak pernah takut menghadapi maut.
Tapi mereka terpaksa berhenti karena nada suara anak muda itu. Nadanya dingin dan menegakkan bulu
roma. Tidak besar mengguntur. Tidak pula diucapkan dengan nada marah. Namun dalam nada yang perlahan
itu tersimpan bahaya yang alangkah mengerikannya. Dan itulah yang menyebabkan mereka berhenti.
Mereka tak mengenali siapa anak muda ini. Namun ada firasat yang membisiki diri mereka, bahwa yang
mereka hadapi sekarang ini adalah bahaya yang luar biasa.
Koleksi eBook : Drs. H. Hendri Hasnam, MM. 315
Perlahan mereka melepaskan gadis itu. Perlahan mereka tegak. Perlahan mereka turun dari
pembaringan. Namun ketika Mei-Mei akan berlari dari tempat tidur itu ke arah anak muda tersebut, yang
brewok menamparnya keras sekali. Gadis itu terjerembab pingsan.
Namun lelaki brewok itu dengan perbuatannya itu telah menentukan saat kematiannya. Karena begitu
selesai menampar Mei-Mei, dia lalu berputar menghadap pada Si Bungsu. Dan saat itu pula tangan Si Bungsu
menyerang. Samurai dilengannya lepas, jatuh dan disambut oleh jari-jarinya. Kemudian dengan sebuah ayunan
yang sangat cepat, samurai kecil itu terbang ke arah si Brewok.
Tak seorangpun yang tahu persis apa yang telah terjadi. Sebab tahu-tahu si brewok mengeluh. Kemudian
jatuh terlentang ke lantai. Dan persis diantara kedua matanya yang coklat itu, tertancap hulu samurai kecil.
Darah mengalir sedikit membasahi matanya yang terbuka. Mulutnya ternganga. Nyawanya terbang mengirap!
Kedua temannya terbelalak. Menatap pada Si Bungsu. Anak muda itu masih tegak dengan diam dan
menatap pada mereka dengan tatapan mata yang dingin. Kedua lelaki ini adalah tentara yang telah terbiasa
dengan bahaya. Namun menghadapi ketenangan anak muda yang satu ini, dalam keadaan damai pula, mereka
tak bisa menyembunyikan rasa kaget dan takut.
Tapi itu hanya sesaat. Dan saat berikutnya, terdorong oleh rasa superior orang-orang barat, merasa diri
mereka lebih mampu dan lebih kuat dari orang-orang Melayu yang dianggap ketinggalan dalam segala hal, yang
bertubuh besar dengan otot kekar, mirip tukang jagal, maju menyerang Si Bungsu.
Dia menyerang dengan pukulan. Namun Si Bungsu sudah waspada. Dia mengelak tepat pada waktunya.
Pukulan bekas tentara Australia itu menerpa pintu dimana tadi kepala Si Bungsu berada. Pintu itu berdebrak.
Dan anjlok sebesar kepalan tangan orang itu!
Bekas tentara itu menarik tangannya kembali. Dan tanpa membayangkan rasa sakit sedikitpun, dia
menyerang lagi! Si Bungsu mengelak. Tapi orang Australia yang satu lagi, yang tadi hanya tegak diam, tiba-tiba
mendorong Si Bungsu dari belakang. Akibatnya elakan Si Bungsu tak terkontrol. Pukulan maut itu mendarat di
wajahnya! Prakk!! Ada rasa asin dimulutnya. Ada cairan hangat meleleh dihidungnya.
Dia membuka mata. Aneh, tiba-tiba saja dia mendapatkan dirinya diatas tempat tidur. Melingkar diujung
sebelah ke dinding. Tiga depa dari bekas serdadu yang tadi memukulnya! Kalau demikian, ternyata dia telah
terpental sejauh itu akibat pukulan tersebut. Dan Si Bungsu tak merasa heran. Dia memang yakin bahwa
demikianlah kejadiannya, makanya dia sampai ke pembaringan ini!
Dia menggelengkan kepala. Merangkak di pembaringan.
"Babi, sok jago koe disini"!" yang memiliki kepalan seperti godam itu menyumpah sambil mendekat
ketempat tidur. Dia menjangkaukan tangannya yang berotot besi bertulang kawat itu kearah tengkuk Si
Bungsu. namun saat itu pula, Si Bungsu bertelekan ke kasur. Lalu kakinya menyorong kebawah perut, langsung
ke dada bekas tentara itu.
(89) Tendangan dengan jurus silat ini menerpa dada tentara tersebut.
Dan tubuhnya besar terjajar kedinding. Sebelum dia sadar sepenuhnya Si Bungsu melompat turun. Kini
mereka tegak berhadapan. Bekas tentara itu maju lagi dan cepat mengirimkan sebuah pukulan beruntun ke
kepala dan ke dada Si Bungsu.
Secara reflek, Si Bungsu menjatuhkan tangannya ke lantai. Dan secara reflek pula kaki kanannya
menerjang ke belakang dalam bentuk sebuah cuek yang kuat sekali.
Orang Australia itu seperti dihantam kerbau besar. Perutnya kena sepak belakang yang telak. Matanya
juling. Dia melosoh ke lantai. Yang satu lagi menyerang dari samping. Namun Si Bungsu menyambutnya dengan
sebuah tendangan telak menyamping. Sebuah tendangan mirip-mirip Kekomi dari jurus karate. Bekas tentara
itu tersentak kebelakang. Namun dia menyerang lagi dengan sebuah pukulan. Si Bungsu mengelak, dan saat
berikutnya dia balas memukul dengan cepat. Kepalannya masuk ke bawah hidung tentara itu. Terdengar suara
berderak. Hidung orang itu remuk. Darah mengucur.
Tapi tanpa dia sadari, si kekar besar yang tadi melosoh ke lantai bangkit diam-diam. Dan disuatu
kesempatan, dia memiting leher Si Bungsu dari belakang secara tiba-tiba. Nafas Si Bungsu jadi sesak. Melihat
anak muda ini tersekap begitu, yang kena hantam hidungnya tadi segera mendekat dan mengirimkan sebuah
pukulan ke perut Si Bungsu. Si Bungsu merasa perutnya akan pecah.
Koleksi eBook : Drs. H. Hendri Hasnam, MM. 316
Namun ketika orang itu akan melancarkan pukulan kedua, kakinya dia hantamkan ke kerampang bekas
tentara itu. Suara tak sedap terdengar dan bekas tentara itu melolong sambil kedua tangannya memegang
kerampangnya. Dia meringkuk dan melingkar di lantai.
Pada saat itu pula, dengan menghimpun sisa tenaganya, Si Bungsu membungkuk dengan cepat. Karena
tubuhnya membungkuk tiba-tiba itu, bekas serdadu yang memitingnya dari belakang jadi terangkat tubuhnya.
Si Bungsu meneruskan gerakan itu. Dan tanpa dapat dikontrol, orang Australia bertubuh kekar itu
terbanting ke lantai di depan Si Bungsu. Si Bungsu menarik nafas panjang. Mengatur lagi pernafasannya yang
seperti akan meledak dipiting tadi.
Lalu ketika orang itu tengah merangkak bangkit, dia menendang pelipisnya dengan kuat. Bekas tentara
itu tercampak lagi ke lantai. Namun dia benar-benar ulet, dia merangkak lagi bangkit. Si Bungsu
membiarkannya untuk coba bangkit. Ketika lelaki itu belum begitu sempurna tegaknya, dia menendang
kerampang tentara Australia itu.
Terdengar suara berderak. Mata bekas tentara itu membelalak. Tangannya seperti tangan temannya
tadi, memegang kerampangnya. Mulutnya mengeluh. Dan tubuhnya rubuh. Ketika dia rubuh, temannya yang
kena tendang duluan tengah berusaha bangkit. Namun Si Bungsu menendang rusuknya. Dan lelaki ini rubuh
lagi. Kini keduanya tak bergerak. Pingsan!
Si Bungsu tegak. Menghapus darah yang masih meleleh dari hidung dan bibirnya akibat pukulan tadi.
Lalu menoleh pada Mei-Mei yang masih terbaring pingsan. Tubuh gadis itu hampir telanjang. Dia
mengambil selimut. Menutupkannya ke tubuh gadis itu. Kemudian mengangkatnya keluar.
Peritiwa itu segera saja membuat heboh. Polisi datang memeriksa. Mei-Mei dan beberapa saksi yang
kebetulan mengintip ketika kejadian itu menceritakan bahwa bekas tentara Australia itu mati karena akan
memperkosa Mei-Mei. Yang membunuhnya adalah seorang anak muda dari Indonesia.
Tapi ketika pintu kamar anak muda itu dibuka, dia tak ada lagi disana. Si Bungsu tahu bahwa
pembunuhan di kota besar seperti Singapura ini tak akan didiamkan begitu saja. Makanya dia cepat-cepat
menyingkir dari hotel Sam Kok itu. Di meja dia tinggalkan uang sewa penginapan.
Mei-Mei merasa matanya basah begitu mengetahui bahwa anak muda itu telah meninggalkan hotelnya.
Dan peritiwa itu ternyata dipeti-eskan. Sebab, bagi pejabat Singapura, adalah rumit juga menuntut kedua
bekas tentara Sekutu yang masih hidup itu ke pengadilan.
Namun Si Bungsu tak pergi jauh. Hanya berjarak seratus meter di kiri hotel Sam Kok itu ada lagi hotel
bernama International. Hotel itu kecil saja, meski mereknya International namun di dalamnya serba brengsek.
Si Bungsu memilih hotel itu hanya karena letaknya yang strategis. Berada tepat di depan jalan yang menuju
dermaga di pelabuhan. Dari balik jendela kamarnya dia bisa langsung melihat ke dermaga. Melihat orang-orang yang lalu lalang.
Melihat mobil yang keluar masuk. Dan di hotel International yang brengsek itulah dia mempelajari lagi
dokumen tentang sindikat perdagangan wanita-wanita itu.
Dari dokumen itu dia melihat bahwa di Jakarta ada beberapa nama dengan jabatan-jabatan resmi di
beberapa departemen. Ada pula beberapa nama yang kerjanya adalah pedagang. Overste Nurdin nampaknya
telah menyelidiki hal ini sampai mendetail.
Hanya saja, ketika dia akan mulai bertindak tubuhnya diberondong peluru. Dan ingatan itu segera
menyadarkan Si Bungsu pada keadaan Nurdin. Bagaimana temannya itu kini" Sudah beberapa hari ini dia tak
datang ke gedung Konsulat untuk menengoknya.
Dia segera berkemas. Menyimpan dokumen itu dan mengunci kamar. Kemudian dengan sebuah taksi dia
berangkat ke Konsulat. Di Konsulat dia mendapatkan Nurdin masih terbaring diam. Tubuhnya masih dipenuhi balutan. Salma
menemani disana. Duduk dengan diam disisi pembaringan suaminya. Sementara Eka, anak mereka, duduk
dipangkuannya. "Sudah banyak angsurannya?" Si Bungsu bertanya perlahan. Salma mengangguk.
"Sudah bisa makan?"
Salma mengangguk. Kemudian mereka sama-sama terdiam.
"Paman, apakah paman telah menangkap orang yang melukai ayah?" tiba-tiba gadis kecil itu bertanya.
Si Bungsu menatap gadis kecil itu.
"Sudah. Mereka telah paman bunuh?"
"Betul?" "Betul.." "Paman bunuh pakai apa" Pakai pistol seperti punya ayah?"
Koleksi eBook : Drs. H. Hendri Hasnam, MM. 317
"Tidak" "Lalu pakai apa?"
"Mereka"mereka.." Si Bungsu terhenti. Akankah dia ceritakan terus terang pada gadis kecil ini" Dan dia
menoleh pada Salma. Salma juga tengah menatap padanya. Dan Salma yakin bahwa Si Bungsu memang telah membunuh orang
yang menembak suaminya itu. Dia yakin benar akan hal itu.
Dan dia tahu, Si Bungsu pasti lah membunuhnya dengan samurai kecil itu. Dan Salma juga tahu bahwa
Si Bungsu kesulitan dalam menjawab pertanyaan anaknya itu.
"Dengan pisau" Si Bungsu berkata perlahan.
"Dengan pisau..?" gadis kecil itu mengerutkan keningnya.
"Ya. Dengan pisau."
"Apakah orang bisa mati karena pisau?"
"Bisa" "Ah. Tapi orang jahat itu matinya tentulah tak sesakit yang diderita ayah.."
"Sakit. Malah dia jauh lebih menderita dari ayah Eka.." Si Bungsu menjelaskan.
"Benar?"" "Benar!" Wajah anak itu berseri. "Terimakasih paman. Eka akan ceritakan pada ayah kalau dia bangun nanti, bahwa orang jahat itu telah
paman bunuh. Paman tidur disini saja malam ini ya" Kami selalu ketakutan. Malam tadi ada orang yang
memanjat jendela. Ibu sampai berteriak ketika orang itu memecahkan jendela. Lihatlah, jendela itu masih
pecah?" gadis kecil itu menunjuk ke jendela yang menghadap ke belakang.
Si Bungsu kaget mendengar cerita anak itu. Dia menoleh ke arah jendela yang disebutkan gadis kecil itu.
Dan benar saja, kaca jendela itu kelihatan ompong. Dia menatap pada Salma.
"Ya. Malam tadi ada orang masuk. Sekitar jam satu. Saya tak pernah tidur sebelum jam tiga. Saya duduk
disini. Mendengar saya memekik, orang itu kaget sebentar. Kemudian nampaknya ingin masuk terus. Mungkin
karena tahu saya sendirian disini. Tapi begitu penjaga yang berada di ruang sebelah masuk, dia lalu melompat
lari. Penjaga tak sempat memburunya. Orang itu melarikan diri dengan sebuah mobil yang tak sempat pula
dikenali penjaga. Mobil itu parkir di lorong belakang konsulat ini.."
Salma mengakhiri ceritanya. Si Bungsu masih menatap dengan diam. Ada semacam ketegangan menjalar
di pembuluh darah anak muda ini mendengar cerita itu.
"Barangkali orang itu berniat mencuri?" Salma berkata perlahan. Namun naluri Si Bungsu tak berkata
demikian. Ada sesuatu yang tak beres di gedung konsulat ini. Ucapan Nurdin seperti melintas lagi ketika overste
itu baru kena tembak : "Saya harap engkau meminta dokumen itu pada Salma. Bawa ke Jakarta. Jangan sampai tahu orang di
konsulat bahwa dokumen itu ada padamu Bungsu. Bukannya saya tak percaya pada rekan-rekan di konsulat.
Tapi".tapi"saya lebih suka dokumen itu berada padamu?"
Ada misteri dan rahasia yang terpendam dalam ucapan Ocerste Nurdin itu. Kenapa dia tak mempercayai
dokumen itu pada seseorang di konsulat ini" Apakah ada diantara orang di konsulat yang ikut terlibat dalam
sindikat perdagangan wanita internasional itu"
Tak ada petunjuk tentang hal itu dalam dokumen tersebut. Si Bungsu mengulangi membaca dokumen
itu berkali-kali di hotelnya. Dia coba mencari petunjuk meski amat kecil sekalipun tentang keterlibatan orang
di konsulat itu. Namun usahanya sia-sia.
Dalam dokumen itu hanya ada beberapa nama orang Melayu, Inggris, Keling dan Cina. Namun alamat
mereka tak tertera jelas. Empat orang diantara mereka telah mati. Yaitu Cina gemuk seperti kerbau dan orang
Inggris yang mati dimarkasnya empat hari yang lalu.
Lelah mencari petunjuk itu, Si Bungsu akhirnya memutuskan untuk mengintai gedung konsulat
Indonesia itu malam ini. Siapa tahu, malam ini ada lagi orang yang berniat datang ke sana seperti malam
sebelumnya. Tak begitu sulit baginya untuk menemukan lorong di belakang gedung konsulat itu.
Tikam Samurai Karya Makmur Hendrik di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Di mulut lorong itu dia melihat seorang Melayu tengah menyapu jalan. Orang itu memakai topi lebar dari
bambu, dengan baju dinas berwarna biru. Si Bungsu melewati orang itu.
Berjalan terus ke lorong yang cukup untuk dilewati sebuah sedan.
Koleksi eBook : Drs. H. Hendri Hasnam, MM. 318
Tiba-tiba dia melihat sebuah gudang kosong. Dia masuk kesana. Lalu bersiul panjang. Tukang sapu itu
menoleh. Si Bungsu melambainya. Tukang sapu itu datang.
"Encik mau apak?"" tanyanya.
"Di dalam sana ada perempuan cantik tidur.." Si Bungsu berkata sambil menunjuk ke dalam. Tukang
sapu itu mengerutkan kening. Kemudian berjalan ke arah yang ditunjukkan Si Bungsu.
Sampai di dalam dia mencari-cari. Tapi tak seorangpun yang dia lihat. Usahkan perempuan cantik,
cacingpun tak ada yang tidur disana. Merasa dipermainkan, dia lalu menoleh pada Si Bungsu.
"Hei, encik jangan main-main ya. Mana perempuan cantek yang encik katakan itu?"
Si Bungsu yang tegak sedepa darinya hanya tersenyum.
"Jangan senyum-senyumlah?" bentaknya berang.
Namun berangnya hanya sampai disitu. Sebab sebuah pukulan dengan sisi tangan tiba-tiba mendarat di
tengkuknya. Tukang sapu itu melosoh jatuh.
"Maaf kawan. Saya ingin meminjam pakaianmu. Jadi engkau harus jadi perempuan cantik itu. Tidur
disini?" Si Bungsu berguman sendiri sambil membukai pakaian dinas tukang sapu itu.
Kemudian tukang sapu itu dia ikat. Nah, kini dia mirip tukang sapu dengan segenap peralatannya.
Dengan pakaian itu, dia bebas berada di lorong tersebut. Dia berjalan terus hingga melewati belakang gedung
konsulat. Dia melihat jendela yang pecah itu kini telah diganti kacanya.
Dan dia melihat pula, bahwa gedung itu memang mudah untuk dipanjat dari belakang ini. Modelnya yang
kuno, yang banyak variasi jendelanya, banyak bendul dan bahagian-bahagian yang menonjol membuat gedung
itu mudah untuk dinaiki tanpa tangga pembantu. Artinya mudah bagi kaum pencuri.
Si Bungsu meneruskan langkahnya sambil sekali-sekali melayangkan sapunya ke sampah yang ada
dilorong itu. Seratus meter dari gedung konsulat itu lorong tadi tembus ke jalan besar. Jadi dari ujung dia masuk tadi
ada jarak lima puluh meter baru sampai ke konsulat. Kemudian seratus meter dari konsulat sampai pula ke
jalan besar. Lorong ini merupakan jalan pintas dan bahagian belakang dari gedung-gedung besar lagi kuno yang ada
di daerah itu. Merasa sudah cukup mengenal situasi. Si Bungsu balik lagi ke gedung kosong dimana tukang sapu
tadi dia pukul sampai pingsan.
Tukang sapu itu masih meringkuk dengan kaki dan tangan terikat.
Tapi ternyata orang ini tidak pingsan lagi. Hal itu segera diketahui oleh Si Bungsu lewat suara
dengkurnya yang berirama.
Ternyata pingsannya dia sambung dengan tidur lelap. Mungkin karena lelah bekerja, makanya tukang
sapu ini tertidur. Di luar gedung, hari berangkat gelap. Begitu lampu-lampu mulai menyala, Si Bungsu segera keluar
gedung itu. Dia memperhatikan lorong belakang itu dari ujung ke ujung sepi.
Apakah akan ada orang datang malam ini" Firasatnya mengatakan ada! Cuma dia ragu, apakah orang itu
akan datang lewat pintu belakang ini atau lewat"
Dia seperti tersentak. Lewat pintu depan, pikirnya. Ya, kalau benar ada orang konsulat yang terlibat
dalam sindikat ini, maka bukannya tak mustahil bahwa orang yang akan membunuh Overste Nurdin itu masuk
dari pintu depan. Karena bukankah orang dalam, yaitu pegawai konsulat takkan dicurigai untuk masuk"
Dia mendekati dinding belakang itu. Kemudian tak begitu sulit baginya untuk memanjat dinding itu
ketingkat dua dimana Nurdin masih terbaring.
Dia sampai ke jendela ditingkat dua itu. Mengintip ke dalam. Di dalam di bawah penerangan lampu neon
kelihatan Salma duduk menyuapi suaminya. Disisinya, diatas sebuah kursi, duduk Eka, gadis kecil mereka.
Sebelah tangan Nurdin membelai kepala anaknya itu. Sementara mulutnya tetap melulur perlahan bubur yang
disuapkan oleh isterinya.
Dia masih menunggu sesaat ketika tiba-tiba dia lihat Salma menoleh ke pintu. Nampaknya ada yang
mengetuk pintu. Sebelum Salma berdiri, pintu kamar itu terbuka. Dan tiba-tiba saja muncul dua orang lelaki.
Yang satu tak lain daripada Polisi Singapura yang siang tadi bertugas menjaga di depan konsulat. Dan
polisi ini menodongkan pistolnya ke arah Overste Nurdin yang terbaring itu begitu dia masuk ke kamar
tersebut. (90) Koleksi eBook : Drs. H. Hendri Hasnam, MM. 319
Disamping Polisi ini, adalah seorang lelaki yang dikenal Si Bungsu sebagai seorang staf konsulat! Ya, dia
adalah orang Indonesia yang menduduki tempat penting pada staf konsulat itu.
Lelaki itu tersenyum. Kedua tangannya berada dalam kantong. Senyumnya lebih mirip seringai.
"Tetap sajalah duduk di sana tenang-tenang nyonya?" lelaki itu bicara sopan dan masih tersenyum pada
Salma yang akan bangkit. Suaranya terdengar perlahan ketelinga Si Bungsu.
Salma bukan main kagetnya melihat kejadian ini. Sebab dia tahu benar lelaki ini Staf Konsulat, teman
sejawat suaminya. Akan halnya Nurdin yang terbaring sakit itu tetap saja bersikap tenang. Dia mengunyah makanan dalam
mulutnya perlahan. "Selamat malam Overste?" lelaki itu berkata dengan senyum tetap menghias bibirnya.
"Selamat malam?" jawab Nurdin.
"Hmm, nampaknya anda tak terkejut dengan kehadiran saya"." Staf konsulat itu berkata. Nurdin tak
segera menjawab. Dia meminta air pada isterinya. Minum beberapa teguk. Lalu kembali menatap pada
rekannya itu. "Kenapa saya harus terkejut. Saya sudah menduga anda terlibat dalam sindikat ini. Lagipula dalam
sebuah negeri penghianat-penghianat merupakan kejadian yang lumrah?"
Muka lelaki itu jadi merah. Senyumnya lenyap. Namun dia masih tetap tegak di tempatnya. "Saya datang
untuk menawarkan kerjasama Overste?"
"Hmm, menarik juga. Kerjasama bagaimana?""
"Anda ikut dalam sindikat kami. Dan anda akan mendapat perlindungan berikut seluruh keluarga anda.
Itu dari segi keamanan. Dari segi materi anda dapat memiliki apa saja. Dari segi jabatan, anda bisa kami angkat
menjadi Panglima Tentara di Indonesia.."
"Tawaran yang menarik. Tapi anda mempergunakan kalimat "kami". Siapa yang lainnya?"
"Itu akan overste ketahui kelak"
"Bagaimana kalau saya tak mau.."
"Tak soal. Anda bisa memilih. Dan kami tinggal melaksanakan pilihan anda itu. Kalau anda menerima,
maka serahkan dokumen yang anda susun itu pada kami, dan anda akan menerima imbalan sesuai dengan yang
saya ucapkan tadi. Kalau anda tak mau menerima, maka anda tak perlu susah-susah lagi bekerja. Kami datang
untuk menyudahi hidup anda.."
Salma jadi pucat. Dia memeluk anaknya. Pembicaraan kedua lelaki itu nampaknya biasa-biasa saja.
Namun siapapun bisa mengetahui, bahwa pembicaraan mereka adalah mengenai soal hidup atau mati. Soal
sebuah sindikat dan sebuah negara.
Si Bungsu masih tetap diam bergelantungan di luar jendela. Dia ingin tahu apa kelanjutannya. Kini jelas
olehnya "orang dalam" yang terlibat dalam sindikat perdagangan wanita ini. Hanya dia ingin melihat
bagaimana Nurdin keluar dari saat yang genting ini. Sementara Polisi Singapura itu tetap saja menodongkan
pistolnya ke arah Nurdin.
Sementara itu Nurdin bicara lagi.
"Kalaupun saya anda bunuh, namun anda takkan pernah mendapatkan dokumen itu. Dan anda takkan
pernah selamat. Saya sudah mengirimkan nama anda ke Jakarta"."
Lelaki itu tertawa perlahan.
"Apa artinya bagi saya pengiriman nama itu ke Jakarta. Di Jakarta laporan anda itu akan diterima oleh
teman saya. Dan kalaupun jatuh ketangan orang lain, saya juga tak usah khawatir. Saya tak perlu kembali ke
Indonesia. Seluruh keluarga saya?"
"Sudah di Tiongkok?" overste Nurdin memutus ucapannya.
"Hmm, anda mempunyai pengamatan yang tajam juga?"
"Ah. Siapapun akan bisa menebak, bahwa anda adalah orang Komunis. Setelah gagal dengan
pemberontakan Madiun kalian menyelusup ke seluruh departemen?"
Lelaki itu tertawa lagi. "Bukankah itu suatu bukti, bahwa pemerintah berada di pihak kami" Buktinya, meski kami telah
memberontak, kami diterima lagi Departemen-departemen. Bahkan menduduki posisi kunci. Nah, kita tak usah
berpanjang lebar lagi Overste" kini serahkan dokumen itu dan bekerja sama dengan kami, atau kalian bertiga
kami sudahi di sini.."
Lelaki itu mengeluarkan tangannya yang sejak tadi tersimpan dalam kantong celananya. Dan kalau tadi
dia selalu tersenyum ramah, kini wajah aslinya kelihatan. Mukanya berkerut masam.
Koleksi eBook : Drs. H. Hendri Hasnam, MM. 320
"Tak satupun yang akan anda peroleh?" jawab overste itu tenang. Sementara tangan kanannya tetap
membelai kepala anaknya yang berada dipangkuan isterinya.
"Kami tidak main-main Overste?" berkata begini, tangannya segera merenggutkan tangan Salma.
Perempuan itu tertegak oleh renggutan kasar itu.
"Hajar dia..!" kata lelaki itu pada Polisi Singapura yang nampaknya merupakan bahagian dari sindikat
itu. Polisi itu maju setapak dan bersiap menarik picu pistolnya. Si Bungsu sudah menggebrak kaca jendela,
ketika tiba-tiba terdengar letusan. Terlambat, pikirnya. Dan seiring dengan letusan itu tubuhnya menghantam
kaca jendela. Hanya beberapa detik, dia sudah tegak dalam kamar itu. Dan tangannya yang telah menggenggam
dua samurai kecil terayun.
Namun gerakannya terhenti. Dia melihat Polisi Singapura itu rubuh dengan dada berlumur darah.
Sementara staf konsulat yang tadi menyentakkan tangan Salma tegak kaget memandang ke jendela dan juga
pada Overste Nurdin. Lalu tiba-tiba tangannya bergerak ke balik jasnya. Sepucuk pistol kecil muncul dan sebuah letusan lagi
bergema. Gema letusan itu berasal dari bawah selimut overste Nurdin. Staf konsulat itu terputar. Bahunya
dihantam peluru. Dan ketika Nurdin mengeluarkan tangan kirinya, dia menggenggam sebuah revolver enam
silinder. Si Bungsu masih tetap tegak diam. Nurdin teranyata berhasil keluar dari saat kritis itu dengan baik.
Nurdin dan Si Bungsu bertatapan. Kemudian overste itu tersenyum.
"Terimakasih. Anda telah menjaga diriku dari balik jendela kaca itu?" kata Nurdin sambil tersenyum.
Si Bungsu tak sempat menjawab, sebab Salma dan gadis kecilnya telah memeluk Nurdin. Lalu saat itu
pintu terbuka. Dan dipintu tegak Konsul Indonesia bersama tiga orang petugas keamanan.
"Saya dilaporkan ada tembakan disini?" kata konsul itu.
"Ya. Dan yang kena tembak adalah dia. Yang menembak saya?" Nurdin berkata sambil menunjuk pada
staf konsulat yang saat itu tengah duduk dilantai. Bersandar kedinding sambil memegang bahunya
mengalirkan darah. Konsul itu menatap pada stafnya itu. Lalu menatap pula pada Nurdin.
"Ya. Dialah orangnya?" kata Nurdin.
Konsul itu melihat pada staf seniornya itu dengan berang.
"Komunis jahanam! Kau akan mendapat ganjaran, laknat!" kemudian memerintahkan untuk
mengangkat mayat polisi singapura itu. Menyerahkannya pada pihak penguasa disertai laporan lengkap
tentang sindikat perdagangan wanita tersebut. Sementara staf senior konsulat Indonesia itu dijebloskan ke
dalam tahanan. Nampaknya Nurdin telah melaporkan soal sindikat itu pada Konsul. Namun satu hal yang pasti. Nurdin
tetap tak pernah mengatakan soal dokumen yang ada pada Si Bungsu.
"Engkau harus ke Jakarta Bungsu. Saya punya firasat bahwa apa yang dikatakan staf senior konsulat itu
memang benar. Bahwa setiap laporan tentang sindikat yang saya kirim ke Jakarta, jatuh ketangan komplotan
itu sendiri. Artinya, di departemen yang menangani kasus ini juga terdapat orang-orang Komunis yang menjadi
dalang sindikat ini di Indonesia.
Karena itu engkau berangkat ke sana. Meski pun saya sembuh, namun saya tak bisa bertindak drastis.
Ada peraturan yang harus saya taati sebagai seorang militer. Tapi sebaliknya saya tak ingin mengampuni
sindikat perdagangan wanita ini. Dan saya tak mau toleransi pada Komunis. Keduanya, sindikat dan Komunis
itu sama jahanamnya. Mereka telah gagal dalam pemberontakan di Madiun. Namun saya yakin, suatu saat nanti,
cepat atau lambat, mereka akan memberontak lagi. Mungkin korban yang jatuh akan lebih banyak. Bagi mereka
menjual wanita, membunuh orang tak ada artinya sama sekali. Mereka tak mengenal Tuhan.
Saya ingin mereka dibunuh saja semua. Bayangkan betapa menderitanya sanak famili dari perempuanperempuan yang dijual oleh sindikat itu. Saya tak tahu dengan pasti berapa orang sudah perempuan dari
Indonesia yang berhasil mereka bujuk dan mereka jual sampai ke Eropah sana untuk dijadikan penghuni
rumah lacur. Namun menurut catatan selama saya bertugas disini, tak kurang dari seratus wanita telah dibawa
dari Indonesia. Sindikat ini harus digulung. Anggotanya harus dibunuh. Ya, itu hukuman yang patut buat mereka. Namun
saya tak bisa melaksanakan itu. Makanya engkau yang saya minta Bungsu?"
Si Bungsu duduk dengan diam disisi pembaringan Nurdin. Mendengarkan ucapan Overste itu dengan
tenang. Pembicaraan itu sepekan setelah penembakan terhadap staf senior konsulat itu.
Koleksi eBook : Drs. H. Hendri Hasnam, MM. 321
Si Bungsu tak segera bisa memberikan jawab atas permintaan Nurdin. Sebab dihatinya semula telah ada
rencana untuk pulang ke kampungnya. Dia terlalu rindu pada harumnya bau padi dan bunga jagung. Dia rindu
pada kesejukan angin yang bertiup dari kaki Gunung Sago.
Ah, siapa yang takkan rindu pada kampung halamannya" Siapa yang takkan rindu pada kampung dimana
mereka berlarian mengejar layang-layang sewaktu kecil. Mengendap-endap mengintai burung balam. Bermain
dan berlari di jalan yang membelah kampung. Meskipun jalan kampung tak pernah diaspal, namun kerinduan
padanya tak pernah padam.
Kini akan kemanakah dia" Pulang ke kampung dahulu baru kemudian ke Jakarta. Atau ke Jakarta dahulu
baru ke kampung setelah tugasnya selesai"
Keduanya mempunyai resiko.
Kalau dia ke Jakarta dahulu, lalau baru pulang ke kampung, apakah dia akan selamat dalam tugasnya itu.
Kalau tidak, maka kampungnya takkan pernah dia pijak lagi. Dia tahu, sindikat ini adalah sindikat yang
berbahaya. Memiliki tukang bunuh bayaran. Memiliki manusia-manusia yang siap mengerjakan apa saja demi
uang. Tapi kalau dia pulang dulu ke kampung, itu berarti memberi kesempatan bagi sindikat itu untuk
beroperasi terus. Selama ia berada di kampung, berapa orang gadis dan perempuan akan jadi korban pula.
Lama Si Bungsu memikirkan kedua kemungkinan ini di hotelnya. Dia tak menyangka bahwa dirinya akan
terlibat dalam urusan serius seperti ini.
Dia tengah tegak menatap ke pelabuhan lewat jendela kaca di hotelnya itu ketika dia lihat di depan hotel
sebuah sedan berhenti. Dari dalamnya turun dua orang Barat. Kedua orang itu langsung masuk ke hotel. Si Bungsu tak begitu
memperhatikan kedua orang itu. Pikirannya tengah melayang. Memikirkan kemungkinan untuk pulang ke
kampung atau langsung ke Jakarta.
Kalau saja pikirannya tak tengah menerawang, dia pasti segera mengenali kedua orang Barat itu. Mereka
tak lain dari bekas tentara Australia yang terlibat baku hantam dengannya di hotel Sam Kok sebulan yang lalu.
Mereka baku hantam karena soal Mei-Mei. Anak gadis pemilik hotel itu. Bekas tentara sekutu
berkebangsaan Australia itu semula berjumlah tiga orang. Dan mereka berniat memperkosa Mei-Mei. Si Bungsu
yang datang sesaat sebelum gadis itu dinistai, berhasil membunuh salah seorang diantaranya.
Si Bungsu masih tegak di depan jendela ketika kedua orang Australia itu sampai di depan pintu
kamarnya. Dia baru sadar ketika pintu kamarnya diketuk dari luar. Dia mengalihkan pandangannya dari kapalkapal di tengah laut ke pintu kamar.
"Siapa?"" "Saya, pelayan?"
Tanpa curiga dia berjalan ke pintu. Membukanya. Pintu itu baru saja terbuka sedikit, ketika tiba-tiba
ditendang dengan keras dari luar.
Pelayan yang diminta mengetukkan pintu itu kaget. Dia tak menyangka bahwa tamu ini akan main
tendang. Padahal mereka tadi minta tolong tunjukkan kamar orang Indonesia ini dengan sikap yang sopan. Kok
sekarang pakai tendang segala.
Dia sebenarnya ingin marah. Sebab pintu hotelnya ditendang. Induk semangnya bisa berang. Namun
bekas tentara Australia itu telah mengirimkan sebuah bogem mentah ke kepala Si Bungsu. Anak muda itu
terpental ketempat tidur.
(91) Dan melihat keadaan gawat begini, pelayan yang orang Cina itu cepat-cepat berlalu.
"Awas jangan lu telepon Polisi"!" ancam orang Australia yang satu lagi padanya. Pelayan itu menggeleng
sambil angkat langkah seribu.
Mereka lalu masuk ke kamar Si Bungsu. Menutupkan pintu!
Si Bungsu yang tadi terlempar ke tempat tidur kena pukul, kini mulai bangkit. Karena kedua orang itu
telah berada dalam biliknya, dia terpaksa tegak di atas tempat tidur.
Kedua lelaki itu menatap padanya dengan wajah sadis. Dan dipinggang mereka tersembul gagang pisau
komando. Rupanya mereka masih ingat bahwa salah seorang teman mereka mati ditangan anak muda ini karena
lemparan sebuah pisau kecil. Makanya kini mereka membawa pisau komando. Yaitu pisau pengganti sangkur
yang sangat mahir mereka mempergunakannya ketika dalam perang dunia ke II dahulu. Betapa mereka takkan
Koleksi eBook : Drs. H. Hendri Hasnam, MM. 322
mahir, sebab mereka berada dalam pasukan Green Barets. Pasukan Komando tentara Inggris yang tersohor
itu. "Monyet, dulu kau mempergunakan pisau kecilmu untuk membunuh teman kami. Sekarang mari kita
coba siapa yang lebih cepat melemparkan pisau?"
Salah seorang diantara kedua lelaki itu, yang memakai kaos oblong berwarna merah darah buka suara.
Dan pisau komando yang kuning, runcing berkilat itu telah berada ditangannya. Tergantung ke bawah dengan
ujung yang runcing terjepit diantara telunjuk dan jarinya.
Pisau itu siap untuk dilemparkan.
Si Bungsu masih tegak diam di atas kasur. Kedua tangannya juga terjuntai kebawah. Ada enam samurai
tersisip di kedua tangannya. Tersembunyi dibalik lengan bajunya yang panjang.
Dia yakin, melihat gerakan kedua lelaki ini ketika mengambil pisau, kemudian melihat caranya
memegang ujung pisau komando itu, kemudian menggantungnya dengan tangan lemas disisi badan, kedua
orang ini adalah pelempar pisau yang tangguh.
Tapi apakah dia akan melayani mereka" Dia terlibat perkelahian dengan kedua orang ini hanya soal MeiMei. Mereka akan memperkosa anak pemilik hotel Sam Kok itu. Dan dia datang menolong. Hanya soal itu
mereka berkelahi. Sudah jatuh korban nyawa. Apakah masih perlu ditambah"
Kalau saja kedua orang ini adalah bahagian dari sindikat perdagangan wanita itu, maka dia pasti sudah
membereskannya sejak dahulu. Tapi karena mereka bukan anggota sindikat yang dia benci itu, makanya kedua
orang ini tak dia bunuh dahulu. Hanya dia tendang kerampangnya sekdar untuk melumpuhkan.
Tak dinyana, kedua orang ini ternyata menaruh denadam. Dendam karena teman mereka dibunuh. Dan
dendam karena kerampang mereka kena tendang.
Kedua lelaki itu memencar. Yang satu berada dibahagian kiri. Yang satu dibahagian kanan. Jarak antara
mereka ada sekitar empat depa. Dan jarak masing-masing mereka dengan Si Bungsu yang masih tegak di
tempat tidur itu sekitar tiga depa lebih.
Dengan demikian mereka menghindarkan diri dari kena serangan yang amat cepat. Mereka bukannya
tak yakin bahwa anak muda ini seorang pelempar yang cepat. Itu sudah dibuktikan dengan kematian teman
mereka di hotel dulu. Demikian cepatnya kejadian itu. Mereka tak melihat bagaimana anak muda itu mencabut dan
melemparkan samurainya. Itulah sebabnya kini mereka bertindak hati-hati. Dan dengan tegak agak terpisah
satu dengan yang lain dalam jarak yang empat depa itu, mereka yakin akan susah diserang sekaligus.
Tikam Samurai Karya Makmur Hendrik di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Anak muda itu harus membuat dua gerakan. Dan harus berputar untuk menyerang mereka berdua.
Sementara itu, Si Bungsu yang mendengar tantangan lelaki Australia itu, menarik nafas. Lalu suaranya
terdengar perlahan. "Saya rasa tak ada gunanya perkelahian ini?"
"Babi! Tak ada gunanya katamu, setelah teman kami engkau bunuh, setelah perlakuanmu terhadap diri
kami di hotel itu?" "Saya berharap hal itu bisa berakhir. Dan saya bersedia minta maaf pada tuan-tuan?"
Kedua orang Australia itu berpandangan. Namun mereka tetap tegak dengan kaki terpentang dan tangan
memegang ujung pisau komando.
"Apakah engkau takut melihat pisau kami anak muda?"
Si Bungsu tersenyum lembut. Menatap ke pisau di tangan kedua bekas pasukan Komando itu.
"Ambillah pisaumu. Mari kita pertahankan nyawa kita sebagai seorang jantan?" suara tentara Asutralia
itu kembali terdengar menantang.
"Maafkan saya. Saya tak bermaksud meremehkan kalian berdua. Saya yakin tuan-tuan sangat cepat
mempergunakan pisau Komando itu. Cepat menurut ukuran tentara?"
Kedua bekas tentara sekutu itu tak begitu faham dengan ucapan Si Bungsu. Namun mereka tetap tegak
dengan waspada. "Saya menantang anda untuk mempertahankan nyawa dengan kecepatan melemparkan pisau anak
muda?" lelaki yang berada di sebelah kanannya berkata.
Si Bungsu menggerakkan tangan kananya perlahan. Suatu gerakan yang benar-benar tak mencurigakan
kedua bekas tentara sekutu itu. Demikian pula tangan kirinya. Sistim menjepitkan samurai di kedua tangannya
itu dibuat sedemikian rupa menurut petunjuk Tokugawa. Sehingga ikatannya seperti bersatu dengan saraf.
Bisa diatur kapan meluncur turun meski dengan gerakkan yang amat halus. Sebaliknya, meski dengan gerakan
kuat seperti memukul misalnya, jika tidak dikehendaki, samurai itu takkan lepas.
Koleksi eBook : Drs. H. Hendri Hasnam, MM. 323
Sistim ini sulit diuraikan menurut ilmu logika atau menurut sistim simpul buhul. Namun bagi orangorang yang mahir mempergunakan pisau, semacam senjata rahasia di Tiongkok, atau samurai kecil di Jepang,
sistim itu mudah dimengerti. Meski tak mudah mempergunakannya. Sebab untuk mempergunakannya
diperlukan latihan dan kemahiran yang jarang orang bisa mencapainya.
Si Bungsu masuk yang beruntung dan menguasai pada taraf sangat mahir.
Kini, tanpa diketahui oleh kedua bekas tentara sekutu itu, anak muda itu telah memegang dua buah
samurai. Masing-masing ditiap tangannya. Dan kedua bilah samurai itu terlindung dari penglihatan kedua
tentara sekutu itu oleh punggung tangannya. Hulunya berada di pergelangan, sementara ujungnya terjepit
antara jari tengah dan jari telunjuk.
"Bagaimana caranya tuan menghendaki pertarungan ini berlangsung?" Si Bungsu bertanya perlahan.
"Engkau dapat melempar pisaumu pada kami setiap saat engkau suka, dan kami akan menandinginginya
dengan kecepatan?" Demikian yakinnya kedua tentara itu akan kemahiran mereka. Mereka memang mendapat brefet
pelempar pisau komando. Dan kini mereka mempraktekkannya pada anak muda ini.
"Setiap saat saya suka?" tanya Si Bungsu.
"Ya. Setiap saat?" yang dikiri Si Bungsu berkata sambil matanya waspada melihat tangan Si Bungsu. Si
Bungsu mengangkat kedua tangannya. Kedua tentara itu jadi tegang dan amat waspada. Tapi Si Bungsu
ternyata hanya menyisir rambutnya dengan kesepuluh jari tangannya. Lalu menurunkan tangannya kembali.
Kedua bekas tentara itu menatap tajam pada Si Bungsu. Ada suara berdetak perlahan disisi mereka.
Namun mereka tak mau menoleh. Sebab tak mau kehilangan pengawasan dari anak muda yang masih tegak di
pembaringan itu. "Mulailah.." suara orang Autralia yang dikanan bergema. Sementara pisau komandonya sudah siap sejak
tadi. "Maafkan saya. Anda telah kalah?" kata Si Bungsu. Kedua tentara itu menatap tajam padanya.
"Apa yang anda maksudkan bahwa kami telah kalah?"
"Ya. Kalau saya mau, tuan berdua sudah mati seperti teman tuan di hotel itu. Mati dengan samurai
menancap di antara dua mata, atau menancap persis di jantung?"
Kedua tentara itu tersenyum tipis.
"Anda punya mental yang cukup tangguh anak muda. Tapi kalau anda bermaksud menggertak, maka
bukan kami orangnya?"
"Saya tidak menggertak. Lihatlah ke lantai. Di antara kedua sepatu tuan?"
Tanpa dapat ditahan, kedua mereka melihat ke bawah. Dan demi Yesus yang mereka agungkan, mereka
hampir tak percaya. Betapa mereka akan percaya, kalau diantara kedua kaki mereka kini tertancap sebilah samurai kecil
hingga hampir separoh tertanam di lantai"
Mereka tak melihat bila anak muda itu melemparkannya. Apakah sudah sejak tadi samurai itu ada di
sana, dan mereka tak melihatnya" Mustahil. Mereka melihat lagi pada Si Bungsu.
Dan saat itu tangan anak muda itu bergerak perlahan.
"Kini ada dua samurai diantara kaki tuan?" katanya perlahan. Dan kedua mereka melihat lagi. Dan demi
Tuhan, ya Nabi dan ya Malaikat! Memang benar ada dua samurai kecil diantara kaki mereka!
Mereka menatap pada Si Bungsu. Si Bungsu mengangkat tangan kanannya. Membuka lengan bajunya.
Dan disana nampak sebuah samurai tersisip.
"Jika saya mau, tak terlalu sulit untuk membunuh tuan. Tapi apakah itu ada gunanya?"
Si Bungsu berkata perlahan. Dan kedua bekas tentara itu segera sadar, bahwa mereka berhadapan
dengan seorang lelaki yang ketangguhannya melempar pisau ada puluhan, barangkali ratusan lebih cepat dan
lebih mahir dari diri mereka yang sudah termasuk jagoan di pasukan komando dahulu.
Anak muda ini tidak membual ketika berkata bahwa dia sanggup membunuh mereka dengan mudah.
Buktinya, sama sekali mereka tidak melihat bagaimana caranya anak muda ini melemparkan pisaunya. Tahutahu telah tertancap saja!
Mereka berpandangan satu dengan yang lain. Muka mereka jelas sebentar pucat sebentar merah.
Kini anak muda itu tegak menatap pada mereka dengan tenang. Dengan kedua tangan tergantung disisi
tubuhnya. Dan tangan itu, kalau dia mau, memang sanggup menyebar maut. Diam-diam kedua bekas tentara
Australia itu pada merinding bulu tengkuknya.
Tapi, yang seorang lagi, yang berdiri di bahagian kiri Si Bungsu, tetap saja merasa kurang puas. Dia
bergerak ke arah meja. Di meja itu terletak gelas, piring dan bekas kaleng minuman.
Koleksi eBook : Drs. H. Hendri Hasnam, MM. 324
Dia memungut kaleng minuman yang telah kosong itu. Lalu berjalan ke sudut ruangan. Menyeret sebuah
kursi kesana. Kemudian meletakkan kaleng bekas itu di kursi tersebut.
Dan dia tegak lagi ketempatnya semula. Si Bungsu menatap saja dengan diam.
"Nah, anak muda. Kini kita buktikan siapa yang lebih cepat mempergunakan pisau. Engkau atau kami.
Jarak antara kaleng itu dengan ketiga kita, sama-sama sekitar empat depa. Pisau saya bertanda merah. Pisau
teman saya kuning hulunya. Dan samurai kecilmu jelas berbeda dengan milik kami. Saya akan melemparkan
kotak korek api ke atas. Begitu kotak itu jatuh di lantai, kita lempar kaleng itu dengan pisau. Yang dituju adalah
lingkaran huruf O yang ada di tengah kaleng itu. Dengan demikian kita akan ketahui siapa yang cepat.."
Bekas tentara itu memandang pada temannya. Temannya mengangguk. Kemudian mereka sama-sama
memandang pada Si Bungsu. Si Bungsu masih diam. Dia bukannya tak tahu, banyak orang-orang yang licik.
Apakah tak mungkin ini adalah suatu jebakan" Apakah tak mungkin, disaat dia melemparkan kaleng
bekas minumannya itu dengan pisau, saat itu pula kedua bekas tentara itu melemparkan pisaunya. Tapi bukan
ke arah kaleng, melainkan kearah dirinya!
Itulah sebabnya dia memandang saja dengan diam dan tak segera menjawab tantangan itu. Dan
barangkali kedua bekas tentara itu mengerti jalan pikirannya.
"Jangan khawatir anak muda. Kami takkan berbuat curang. Yang punya sifat curang biasanya adalah
kalian, orang-orang Melayu. Kami menjunjung tinggi nilai-nilai sportif. Kami tahu engkau cepat dengan
pisaumu. Dan kalau kau mau, kau bisa menghabisi kami sejak tadi. Nah, kami menghargai sikapmu itu. Kini
kami ingin menguji sampai dimana ketangguhan kami sebagai bekas tentara komando. Yang amat mahir
mempergunakan pisau. Kami ingin membandingkan dengan dirimu?"
Kembali Si Bungsu menarik nafas panjang.
"Baiklah, kalau itu yang tuan-tuan kehendaki" akhirnya dia berkata.
Yang meletakkan kaleng bekas minuman tadi segera merogoh kantong dengan tangan kirinya. Dari
dalam kantongnya dia mengeluarkan kotak korek api.
"Siap?" tanyanya. Temannya mengangguk. Si Bungsu juga mengangguk perlahan. Kedua bekas serdadu
itu bersiap. Tangan kanan mereka yang memegang hulu pisau komando itu tadi mengeras. Sementara tangan
Si Bungsu melemas. Sebuah gerakkan kecil lengan kanannya membuat samurai terakhir di sebelah kanan itu
meluncur turun. Korek api itu dilambungkan keatas. Ujung-ujung jari Si Bungsu menjepit ujung samurai kecil yang
meluncur dari lengannya. Kotak korek api itu rupanya terlalu kuat dilemparkan. Dia membentur loteng. Dan benturannya
menyebabkan korek itu cepat pula terpukul ke bawah. Ketiga mereka tak melihat kotak itu. Hanya
mempertajam pendengaran. Menanti suara jatuhnya korek api itu menyentuh lantai kamar.
Kedua bekas serdadu sekutu itu memang cepat luar biasa dengan lemparannya. Dan lemparannya juga
tepat. Buktinya, kedua pisau komando mereka menancap saling dempet di dinding!
Ya, kedua pisau komando itu menerkam dinding di belakang kaleng bekas minuman tadi. Sementara
kaleng minuman itu sendiri sudah terpental dan terpaku ke dinding sedikit ke bawah dari kedua pisau
komando itu. Kedua bekas tentara sekutu itu menatap dengan mata tak berkedip pada kaleng bekas minuman itu.
Selain takjub pada kecepatan anak muda itu, mereka dengan kaget juga melihat bahwa pada huruf O yang
menjadi sasaran lemparan tersebut, tertancap tidak hanya sebilah samurai kecil melainkan dua bilah! Dua bilah
samurai kecil pada sasaran yang amat kecil dan dalam kecepatan yang sama dengan ketepatan yang fantastis!
(92) Lalu mereka menoleh pada Si Bungsu.
"Ada dua samurai. Anda hanya memiliki sebuah tadinya?" kata salah seorang diantara mereka dengan
heran. Si Bungsu tak menjawab. Dia membuka lengan baju kirinya dan disana kelihatan kulit pengikat samurai
seperti yang berada di tangan kanannya.
Kedua bekas tentara sekutu itu benar-benar takjub. Dengan demikian berarti anak muda ini tadi
melempar dua bilah samurai dengan tangan kiri dan kanannya.
Dan kedua lemparan itu sama cepatnya, sama tepatnya.
"Anda memang seorang Master anak muda. Anda tak berbohong ketika mengatakan bahwa anda dengan
mudah bisa membunuh kami bila saja anda kehendaki.
Koleksi eBook : Drs. H. Hendri Hasnam, MM. 325
Ternyata anda tak melakukan hal itu meski telah kami tantang dan telah kami pukul. Terima kasih atas
kebaikan anda. Kami takkan melupakan pertemuan ini?"
Berkata begitu kedua bekas serdadu itu mengulurkan tangan pada Si Bungsu. Si Bungsu turun dari
tempat tidur dimana dia tegak sejak tadi. Kemudian menerima jabatan tangan dari kedua orang Australia itu.
Kedua orang itu menyalaminya dengan sikap penuh persahabatan yang akrab dan penuh kekaguman.
Kemudian mereka mengambil pisau komandonya yang tertancap di dinding. Lalu mengambil samurai Si
Bungsu yang memakukan kaleng bekas itu di bawah pisau komando mereka.
Mereka mengamati model samurai kecil itu.
"Benar-benar senjata yang ampuh. Tapi jika dibanding dengan pisau komando kami, rasanya pisau kami
lebih baik buatan dan mutunya. Hanya saja senjata ini berada ditangan seorang ahli?" mereka lalu
mengembalikan samurai itu pada Si Bungsu.
"Diluar sana ada sebuah restoran. Kami ingin mengundang anda untuk minum dan merayakan
perkenalan ini?" yang berbaju kaos oblong merah berkata.
"Mari kita minum, anda tidak keberatan bukan?" yang bercelanan jean menguatkan ajakan temannya.
"Terimakasih atas undangan anda. Saya tak suka minuman keras?"
"Restoran itu tak hanya menjual minuman keras. Disana juga dijual teh atau susu es. Ayolah.."
Akhirnya Si Bungsu tak dapat mengelak ajakan kedua bekas serdadu itu. Dia ikuti kedua orang itu.
Pelayan yang tadi kena tendang pantatnya dan diancam untuk tak menelpon polisi menjadi ketakutan melihat
kedua orang Australia itu muncul.
Dan rasa takutnya segera berobah jadi rasa heran takkala melihat diantara kedua orang itu ada Si
Bungsu. Dan ketiga orang itu berjalan dengan wajah berseri. Pelayan itu menganga mulutnya.
Ketiga orang tersebut melangkah keluar. Menyebrangi jalan raya. Dua buah taksi lewat. Mereka berhenti
membiarkan taksi itu lalu dengan kencang.
Restoran itu terletak di dermaga, yaitu ditempat dimana Si Bungsu dan Nurdin minum-minum dahulu.
Jalan itu kosong kini. Ada sebuah taksi, tapi masih agak jauh dan jalannya perlahan. Mereka lalu
menyebrang. Mereka tetap beriringan, yang pakai kaos oblong merah di kanan, yang pakai jeans, yaitu yang
agak muda dikiri dan Si Bungsu di tengah.
Ketika mereka berada persis di tengah jalan, sedan merah yang tadi berjalan perlahan tiba-tiba menekan
gas. Sedan itu seperti disentakkan meluncur maju. Ketiga orang itu kaget. Mereka tengah berada ditengah jalan.
Dengan cepat mereka berlari keseberang sana. Namun sedan itu seperti sengaja dihadapkan pada mereka.
Jaraknya sudah demikian dekat, dan saat itulah bekas tentara yang memakai jeans menolakkan tubuh Si
Bungsu. Dalam keadaan berlari demikian, tentu saja Si Bungsu kehilangan keseimbangan. Tanpa dapat ditahan,
dia jatuh bergulingan ke pinggir parit. Dan begitu dia jatuh, serentetan tembakan terdengar. Dan sedan itu
meninggalkan asap putih di tentang mereka.
Si Bungsu kaget ketika dia dengar keluhan. Demikian juga orang Australia yang memakai kaos oblong
itu. Mereka menoleh, dan dengan terkejut mereka melihat betapa si celana jeans itu tertelungkup mandi darah.
Yang memakai kaos oblong, yang nampaknya berusia sedikit lebih tua segera memburu. Dia memangku
tubuh temannya itu dan membawanya ke pinggir jalan.
Orang-orang segera berkerumun.
"Robert"! Robert"!" yang pakai oblong itu mengguncang tubuh temannya itu. Lelaki bercelana jeans itu
perlahan membuka matanya. Perlahan darah mengalir dari sela bibirnya. Si kaos oblong menoleh pada orang
yang berkerumun. "Saya bekas Kapten tentara Inggris. Tolong telponkan Rumah sakit Militer untuk mengirimkan mobil
dan dokter kemari?" seorang yang tegak menonton segera berlari ke toko di pinggir dermaga.
"Kapten?" yang tertembak itu berkata perlahan.
"Robert?" "Ingat".ketika kita memasuki Bombay?" Ketika kita menghadapi tentara Ghurka yang memberontak"
ingat..?" si celana jeans bertanya. Bibirnya tersenyum tipis. Nampaknya ada kisah nostalgia dalam pertanyaan
itu. "Saya ingat Robert. Saya ingat".engkau terjebak di jalan raya. Dikepung oleh enam Ghurka. Tapi engkau
berhasil membunuh mereka semua. Tiga orang engkau sudahi dengan pisau komandomu. Tiga orang lagi
dengan pistol Lucer. Engkau harusnya sudah berpangkat Kapten sepertiku. Tidak letnan seperti sekarang?"
Yang muda yang bercelana jeans itu tersenyum.
"Mana anak muda tangguh itu?"" tanyanya.
Koleksi eBook : Drs. H. Hendri Hasnam, MM. 326
Si Bungsu tahu, dialah yang ditanyakan bekas tentara itu.
"Saya disini, terimakasih tuan menyelamatkan nyawa saya?"
"Nampaknya ada orang yang menginginkan nyawamu di kota ini"samurai?"
Si Bungsu tak menjawab. Dia ingat betapa tadi dia ditolakkan dengan kuat oleh bekas tentara ini. Ketika
dia menduga orang ini akan mencelakakannya.
"Ketika deru mobil itu melaju, saya sempat memandang sekilas. Saya lihat ada moncong bedil"sebagai
bekas tentara yang telah kenyang dalam pertempuran, saya tahu, bedil itu diarahkan padamu, makanya engkau
saya dorong hingga jatuh?"
"Terimakasih. Saya berhutang nyawa pada tuan, saya takkan melupakan budi tuan?"
Bekas tentara itu tersenyum. Kemudian menatap temannya. Letnan itu muntah darah. Dari kejauhan
terdengar sirene. Polisi Militer yang ditelepon segera datang bersama ambulance.
"Dokter datang".Robert?" si kaos oblong yang berpangkat Kapten itu berkata. Namun si celana jeans
telah terkulai. Tubuhnya dingin. Matanya layu. Meninggal.
Ketika orang berkuat, ketika Polisi Militer turun, ketika tandu diletakkan, ketika petugas rumah sakit
militer itu akan mengambil mayat si Letnan, bekas Kapten yang masih memangkunya itu masih terduduk
menatap bekas Letnan itu dengan diam. Tak percaya dia akan yang telah terjadi.
Seorang Polisi Militer berpangkat letnan mendekat dan memberi hormat pada bekas Kapten itu ketika
mayat telah diambil dan dimasukkan ke Ambulance.
"Apakah kami dapat tahu apa penyebab pembunuhan ini?" Tanya letnan polisi militer itu.
"Perang?" desis bekas Kapten berkaos oblong itu.
"Perang?" Polisi Militer itu mengerutkan kening. Tak faham dia apa yang dimaksud.
"Ya. Perang! Akan ada perang di kota ini antara bekas Baret Hijau dengan bajingan yang telah membunuh
Robert?" suara Kapten itu mendesis perlahan. Kemudian dia bangkit. Menoleh pada Si Bungsu yang tegak
disisinya dengan diam. "Maafkan, saya terpaksa tak jadi mengundang anda untuk minum.."
Si Bungsu yang perasaannya tak menentu, tegak mematung. Menatap pada mayat Robert yang telah
menyelamatkan nyawanya. Orang-orang Australia bekas serdadu perang dunia ke II itu, benar-benar
membuktikan ucapannya tentang nilai sportifitas.
"Jangan khawatir anak muda. Kami takkan berlaku curang. Yang suka berbuat curang biasanya adalah
kalian. Orang-orang Melayu. Kami menjunjung tinggi nilai-nilai sportifitas" ucapan Robert ketika menantang
dia di kamar tadi masih terngiang ditelinganya.
Sementara itu di Ambulance, pihak perawat dan dokter mencatat segala sesuatu.
"Kapten"ini barang-barang miliknya?" dokter tentara itu menyerahkan rantai dan plat nama yang
terbuat dari perak, yang senantiasa tergantung dilehernya. Rantai dan plat nama begitu dimiliki oleh setiap
prajurit yang terjun ke kencah peperangan.
Bekas Kapten itu menerima barang-barang tersebut. Dompet, uang dan sapu tangan.
Polisi Militer sibuk pula mencatat keterangan-keterangan para saksi. Kemudian mereka menuju rumah
sakit. Ketika segala urusan di rumah sakit selesai, mereka menuju ke markas tentara.
Di kota itu masih ada suatu badan perwakilan tentara sekutu. Yaitu badan yang mengurusi segala
sesuatu kepentingan bekas tentara sekutu di Asia Tenggara ini.
Dan Kapten itu nampaknya selain cukup dikenal, juga disegani di sana. Hal itu jelas terlihat oleh Si
Bungsu pada sikap para tentara yang menerima mereka.
Kapten itu memang sorang komandan Kompi dari pasukan Baret Hijau Inggris yang terkenal itu.
"Jenazah Robert bisa dikuburkan setiap saat tuan kehendaki?" seorang Mayor yang mengurus kejadian
itu berkata. "Dia takkan dikubur disini Mayor. Saya minta kalian menerbangkan mayatnya ke Australia. Disana ada
anak dan isterinya. Disana jenazahnya harus dimakamkan?"
"Kami akan melaksanakan permintaan tuan. Ini ada telegram dari induk pasukan tuan di Inggris.
Menyampaikan duka cita yang dalam atas meninggalnya Letnan Robert.."
Mayor itu memberikan telegram tersebut. Kapten tersebut menerimanya. Tapi tak membacanya.
Telegram itu dia simpan dalam kantongnya.
"Kapan tuan kehendaki kami menerbangkan jenazah Robert ke Australia..?"
"Saya akan beritahu dalam waktu dekat?" sambil berkata begitu Kapten tersebut berdiri. Dia memberi
isyarat pada Si Bungsu untuk ikut.
Mereka menuju sebuah restoran di jantung kota Singapura.
Koleksi eBook : Drs. H. Hendri Hasnam, MM. 327
"Saya sangat menyesal atas kematian Robert, Kapten"kalau saya tidak ikut dengan anda, saya rasa dia
masih hidup?" Si Bungsu berkata ketika mereka duduk dan memesan minuman.
"Jangan menyesali diri Bungsu. Kita percaya pada takdir Tuhan bukan" Nah, memang takdirnya sudah
harus mati di kota ini. Hanya saja, saya akan membuat perhitungan dengan orang yang membunuhnya. Saya
akan mencari jejaknya, dan saya akan menemukan mereka. Dan saya akan membunuh mereka. Saya yakin,
Tikam Samurai Karya Makmur Hendrik di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
mereka berada dalam satu komplot. Dan jika perlu, saya akan berperang dengan mereka. Saya masih punya
pasukan di kota ini. Bekas pasukan Baret Hijau yang telah mengundurkan diri seusai perang dunia yang laknat
itu?" "Ini bukan peperangan anda Kapten"ini peperangan saya. Mereka sebenarnya menghendaki nyawa
saya. Mereka adalah anggota sebuah sindikat perdagangan wanita?"
Dan Si Bungsu menceritakan segala kejadian yang dia alami sehubungan dengan sindikat itu. Mulai dari
dia bertemu dengan Nurdin sampai pada detik terakhir mereka ditembak dijalan yang menyebabkan kematian
Robert. "Dan Overste Nurdin ditembak persis ditempat Robert kena tembak. Dia ditembak juga dari sebuah taksi
yang dilarikan dengan kencang"." Si Bungsu mengakhiri ceritanya.
Bekas Kapten berbaju kaos oblong itu meneguk wiskinya. Kemudian menatap pada Si Bungsu.
"Kini persoalan ini bukan hanya persoalan dirimu Bungsu. juga jadi persoalan saya. Selain disebabkan
orang itu telah membunuh Robert, kita telah mengikat persahabatan. Kami memang orang kasar. Umumnya
bekas tentara yang keluar dari kencah perang dunia seperti kami memang berperangai kasar. Tapi kami adalah
orang-orang yang memuliakan persahabatan. Ah, kalau saja Robert masih hidup, kita bertiga akan bersamasama menyikat sindikat itu. Jangan khawatir Bungsu, saya masih punya pasukan. Saya akan sebar mereka
untuk mencari dimana markas sindikat itu. Selain membalas perlakuan mereka pada dirimu dan pada
temanmu yang bernama Nurdin itu, sindikat perdagangan wanita itu memang harus dibinasakan"kita akan
bahu membahu"nah habiskan minumanmu. Kita akan segera mulai?"
Si Bungsu tercengang dan merasa haru yang amat dalam mendengar ucapan Kapten itu. Banyak hal-hal
yang tak dia duga yang pernah dia temui dalam hidupnya. Antara lain, dia tak pernah menduga bahwa Michiko,
gadis yang ditolongnya di Asakusa dan yang sekereta dengannya menuju Kyoto itu, dan yang dia cintai itu,
adalah anak Saburo Matsuyama. Anak musuh besarnya!
Dan kini, orang yang akan membunuhnya karena persoalan Mei-Mei di hotel Sam Kok itu. Bekas serdadu
perang dunia ke II, tiba-tiba saja beralih menjadi sahabat yang bersedia mati untuk membantunya.
"Terimakasih, Kapten?" katanya perlahan.
Mereka segera saja menyelesaikan minum disana. Kemudian Kapten itu menuju telepon. Kelihatan dia
bicara dengan seseorang. Lalu menuju kembali pada Si Bungsu.
"Apakah dokumen sindikat itu ada padamu..?"
"Ada. Di hotel.."
"Mari kita lihat.."
Dengan sebuah taksi mereka menuju hotel didepan pelabuhan dimana mereka hampir bertarung
dengan pisau kemaren. (93) Si Bungsu memperlihatkan dokumen itu. Bekas Kapten itu mempelajari sejenak. Dokumen itu
mempunyai sebuah peta darurat. Sebagai seorang bekas perwira dari pasukan Komando, tak begitu sulit bagi
Kapten itu untuk membaca peta rahasia itu.
Dia kemudian bicara lagi pada seseorang lewat telpon di hotel itu.
"Nah, sahabat. Tinggallah dahulu. Anda istirahatlah. Malam ini kita akan bergerak. Anda akan saya
jemput sekitar jam delapan nanti malam.."
Mereka bersalaman. Kemudian bekas perwira baret hijau itu berlalu. Si Bungsu seperti bermimpi saja.
Alangkah banyaknya pengalaman yang dia timba dari kehidupan yang dua hari ini.
Dia tengah duduk termenung di kamarnya ketika pintu kamar diketuk. Ketika pintu dia buka, seorang
lelaki Barat, mungkin dari Amerika masuk dengan sebuah tas.
"Saya Donald. Mac Donald dari pasukan Green Barets. Saya disuruh Kapten Fabian untuk menemui anda
disini?" orang yang baru masuk itu langsung saja bicara dan menyalami Si Bungsu.
"Saya Si Bungsu. Apa yang bisa saya perbuat?".
Koleksi eBook : Drs. H. Hendri Hasnam, MM. 328
Serdadu yang bernama Donald itu tak bicara. Dia membuka ritsleting tas kulitnya. Dari dalamnya dia
mengeluarkan sepucuk thompson. Sejenis senjata otomatis bermagazine bundar.
"Anda bisa mempergunakan besi tua ini?"
Si Bungsu menggeleng. Dia memang tak pernah melihat bedil seperti itu.
"Nah, caranya mudah saja"begini" dan anak buah Kapten Fabian itu memberikan petunjuk selama
beberapa saat pada Si Bungsu tentang penggunaan senjata otomat itu.
Lalu setelah dia merasa Si Bungsu bisa, diapun berlalu. Senjata itu dia bawa kembali dengan tas kulitnya
yang usang. Dan kembali Si Bungsu tinggal dalam biliknya sendirian.
Dan tanpa terasa haripun malamlah. Di luar terdengar mobil berhenti. Si Bungsu bersiap.
Tak lama setelah mobil itu berhenti, terdengar suara langkah masuk. Makin lama makin dekat ke
kamarnya. Dia sudah bermaksud membukakan pintu, ketika firasatnya yang amat tajam, firasat yang terlatih
di rimba Gunung Sago mengirimkan denyut peringatan.
Hanya beberapa detik, dia segera merasa ada sesuatu yang tak beres. Tangannya cepat memadamkan
lampu. Lalu dalam dua loncatan dia sampai dekat jendela.
Ketika tubuhnya melambung dalam loncatan ketiga, pintu ditendang dengan sangat kuat. Pintu itu
tanggal dengan engsel-engselnya.
Ketika daun pintu tercampak menerpa tempat tidur, tubuh Si Bungsu menerpa kaca jendela. Kaca itu
hancur berderai. Tubuhnya jatuh bergulingan di halaman hotel. Dan saat itu terdengar enam deram tembakan
di dalam kamar. Sepi. Suara langkah kaki memburu ke jendela yang pecah.
Seseorang mengintai lewat jendela itu dengan bedil otomatis di tangannya. Dia melihat bayangan. Dekat
sekali. Orang itu mengulurkan senapannya, dan menarik kepalanya masuk. Tapi terlambat. Bayangan sekilas
yang dia lihat itu tak lain dari berkelabatnya pedang samurai.
Si Bungsu memang menanti diluar jendela. Dan dia tak peduli lagi, siapapun orangnya yang menembaknembak dalam kamarnya pastilah menghendaki nyawanya. Dan orang itu harus mendapat ganjaran yang
setimal. Dalam sekali ayun, samurai panjang yang dia bawa dari Situjuh Ladang Laweh, yang telah membunuh
banyak manusia, termasuk ayah, ibu dan kakaknya, memakan leher orang berbedil di jendela itu.
Leher orang itu putus. Seperti membabat batang pisang saja. Kepalanya jatuh keluar jendela. Tubuhnya
terkulai di jendela itu. Senepannya masih tergenggam di tangan. Tak ada suara pekikan. Tak ada keluhan.
"Ada dia disana?" terdengar pertanyaan dari dalam kamar. Suaranya jelas beraksen asing. Seperti suara
orang eropah. Mirip suara Kapten Fabian siang tadi!
"Ada, dia lari keseberang jalan?" Si Bungsu berkata sambil mendekatkan dirinya ke mayat di jendela.
Dadanya berdebar kencang. Dia ingin tahu siapa orangnya yang di dalam itu.
Langkah mendekat ke jendela. Nampaknya orang itu tertegun kaget melihat temannya tak berkepala.
Dan waktu itulah Si Bungsu berdiri. Tegak persis di depan jendela. Menatap dalam ke arah orang yang kaget
itu. Orang itu, teman sipenembak yang telah putus kepalanya itu tersurut begitu melihat ada orang yang
tegak tiba-tiba di depannya. Dia memang orang barat. Tapi bukan Kapten Fabian seperti dugaan Si Bungsu.
Orang itu nampaknya seperti orang Teksas. Tinggi besar dan bermata coklat. Mereka bertatapan sejenak
sebelum keduanya sama-sama bergerak untuk saling membunuh. Orang teksas itu, sebagaimana lazimnya
orang-orang dari Amerika, amat mengandalkan kecepatannya menggunakan pistol.
Si Teksas mengangkat pistol yang memang telah dia genggam sejak tadi. Si Bungsu masih tetap tegak
menatapnya. Ketika pelatuk pistol ditarik, Si Bungsu menghayunkan samurai. Ujung samurainya memang tidak
ditujukan pada tubuh si Teksas. Melainkan memukul ujung pistolnya ke bawah.
Pistol itu menekur. Dan meledak. Pelurunya menghujam ke punggung mayat temannya yang tergantung
di jendela. Sementara orang ramai mulai berkerumun. Namun semuanya melihat saja dari kejauhan.
Ketika si Teksas itu akan mengangkat pistolnya lagi, Si Bungsu menghujamkan samurainya lurus ke
depan. Samurai itu masuk ke leher si Teksas. Si Teksas kaget dan kesakitan luar biasa, dia berusaha terus
mengangkat pistolnya. Namun Si Bungsu menekankan lagi samurainya yang luar biasa runcing dan luar biasa
tajamnnya itu. Bilah samurai itu masuk mengenai tulang leher. Mecong sedikit kekiri. Kemudian tembus ke tengkuk.
Teksas itu masih berdiri. Matanya mendelik. Darah tak setetespun keluar dari lehernya yang luka. Darah justru
menyembur lewat tengkuknya.
Si Teksas menarik pelatuk pistol. Sebuah ledakan bergema. Tapi pelurunya sudah kelantai arahnya. Si
Bungsu menarik samurainya dengan cepat. Si Teksas menggelepar. Jatuh ke tempat tidur. Kemudian kejang.
Mati! Koleksi eBook : Drs. H. Hendri Hasnam, MM. 329
Si Bungsu melompat lagi ke dalam lewat jendela. Menyambar dokumen yang terletak diatas meja.
Kemudian ketika orang-orang mulai heboh, dia menyelinap keluar.
Begitu dia tiba diluar, mobil polisi datang.
"Tuan saya tahan?" kata seorang polisi berpangkat letnan ketika seseorang berkata bahwa anak muda
itulah yang telah membantai kedua orang dikamar tersebut.
Si Bungsu berniat melawan, tapi tahu-tahu saja tiga orang polisi Singapura telah memegangnya. Dan
borgol segera pula dilekatkan ketangannya.
Dia masih ingin memberikan penjelasan. Tapi dia telah dinaikkan ke sebuah jeep berpengawal dan
berdinding baja. Jeep spesial membawa tawanan berbahaya. Dan jeep itu segera dilarikan ke markas polisi.
Si Bungsu heran kenapa Kapten Fabian yang berjanji akan datang jam delapan itu tak kunjung tiba.
Perjalanan didalam jeep Polisi itu terasa amat lama.
Ketika akhirnya Jeep itu berhenti, dengan terkejut Si Bungsu menyadari bahwa dia tak dibawa ke markas
Polisi Singapura. Tidak. Gedung dimana mereka berhenti ini adalah sebuah gedung tua di luar kota. Keadaannya
sepi saja. Suatu perasaan tak enak menyelusup kehatinya.
Apakah polisi yang membawanya adalah anggota komplotan sindikat itu" Dia segera di suruh turun.
Kemudian dengan tangan terborgol, dibawa masuk. Dia dibawa masuk lewat sebuah lorong yang panjang. Dan
sebuah ruangan terbuka. Dia tertegak dengan tubuh kaku menatap siapa didepannya. Seorang lelaki tinggi besar duduk di sebuah
kursi. Di depannya sebuah meja yang penuh oleh bedil. Dan selain lelaki tinggi itu ada tiga orang lagi lelaki yang
lain. Yang membuat tubuhnya terasa kaku adalah lelaki tinggi besar itu. Dia tak lain daripada Kapten Fabian!
Orang Australia yang mengatakan menjunjung tinggi nilai-nilai sportifitas itu. Yang berjanji akan
membantunya menumpas sindikat perdagangan wanita itu. Kini apa kerjanya disini" Dan ternyata dia pula
yang menyuruh keempat polisi Singapura itu menangkap dirinya!
Begitu dia masuk, Kapten itu menoleh.
"Hai. Sangat tidak enak diangkut dengan tangan terbogrol bukan..?" suara Kapten itu terdengar ramah
dengan senyum di bibirnya. Si Bungsu tak menjawab. Hanya menatap dengan diam.
Kapten itu memberi isyarat pada anak buahnya. Dan Polisi yang tadi memborgolnya segera membuka
borgol itu. Kapten itu berdiri. "Nah, Bungsu, ini teman-teman saya ketika di Komando dulu. Itu Sony, Sersan spesialis alat peledak. Itu
Tongky, negro yang ahli menyelusup kemana saja. Itu Fred, ahli karate. Dan keempat Polisi yang menyergapmu
ini adalah empat anggota Green Barets yang ahli dalam pertempuran" tuan-tuan, inilah saudara Bungsu yang
saya katakan itu. Seorang anak Indonesia yang ahli dengan samurai. Tidak hanya sekedar ahli, tapi dia memiliki
predikat Grand Master dalam hal itu. Selama beberapa pekan di Singapura ini dia sendirian memerangi sindikat
perdagangan wanita. Silahkan tuan-tuan berkenalan.."
Si Bungsu jadi malu pada persangkaannya tadi. Dia sangka Kapten inilah komandan sindikat itu. Dia
punya alasan untuk berprasangka demikian. Sebab dia dibawa kemari dengan tangan terborgol. Ke tujuh bekas
anggota baret hijau itu tegak dan menyalami Si Bungsu. Tubuh mereka rata-rata kekar. Ada yang berwajah
sadis, ada yang berwajah murung, ada yang biasa-biasa saja. Namun satu hal yang dirasakan Si Bungsu tentang
orang-orang ini. Mereka semua adalah individu-individu yang tangguh dan kelompok kecil yang sanggup
menaklukan satu bataliyon tentara.
Selesai mereka berkenalan, Kapten itu membawa mereka ke ruang sebelah. Di sana ada sebuah kertas
besar dengan peta yang dibuat darurat sekali. Mereka segara duduk di kursi yang tersedia.
"Sebelum saya mulai menerangkan detail penyerangan malam ini, kepada saudara Bungsu ingin saya
sampaikan sesuatu. Kami telah mengetahui bahwa ada yang akan menyerang saudara ke hotel jam delapan
tadi. Ada maksud kami untuk memberitahukan saudara. Tapi ternyata kami harus berpacu dengan waktu.
Akhirnya diambil keputusan bahwa saudara akan kami jemput setelah pertarungan itu selesai. Kami
yakin saudara yang akan keluar sebagai pemenang. Untuk mengelabui, maka keempat anggota yang
menjemput saudara saya suruh berpakaian polisi.
Dan kalau ternyata saudara yang kalah dalam pertarungan tadi maka keempat polisi ini bertugas
menyudahi kedua penyerang itu. Mereka berempat sebenarnya saya beri dua alternatif. Pertama membantu
saudara dalam perkelahian itu, atau "menangkap" saudara setelah perkelahian usai.
Koleksi eBook : Drs. H. Hendri Hasnam, MM. 330
Ternyata mereka memilih alternatif kedua. Mereka ingin membuktikan apakah engkau memang seorang
master dengan samurai seperti yang kukatakan sebelum mereka berangkat menjemputmu"
Kapten itu menoleh pada keempat "polisi" Singapura yang tadi menangkap Si Bungsu. Keempat mereka
tersenyum. "Ya, kami menonton saja kejadian itu tadi. Kami datang setelah kedua orang itu turun dari kendaraannya.
Kami sudah diberi tahu, bahwa akan ada serangan pada anda. Kami lalu memarkir kendaraan sejauh sepuluh
meter. Dan kami melihat anda melompat dengan memecah jendela kaca. Kemudian membunuh kedua orang
itu. Nah, ketika orang ramai itulah kami datang menangkap anda?" Polisi gadungan berpangkat letnan yang
tadi menyarungkan borgol pada Si Bungsu bercerita.
Si Bungsu hanya menarik nafas. Bagi orang-orang sisa perang dunia ini, pertarungan hidup dan mati
seseorang rupanya merupakan tontonan yang mengasyikan.
"Nah. Saya rasa perkelanan itu sudah cukup sekian. Kini silahkan lihat detail pada peta ini. Peta ini
merupakan gabungan dengan dokumen yang dibuat Overste Nurdin dari Konsulat Indonesia yang saya peroleh
dari saudara Bungsu dengan hasil penyelidikan selama 12 jam terakhir.
Malam ini mereka menanti pengiriman dua belas wanita dari Indonesia. Dan delapan orang dari Siam,
enam orang dari Hongkong. Semua wanita ini akan dibawa ke Eropah dan Afrika. Di kedua negeri itu, wanitawanita Asia berharga tinggi.
Menurut rencana mereka, yang sempat diselidiki oleh Tongky, wanita itu akan didaratkan serentak"
Kapten Fabian berhenti. Dia menatap anggotanya. Juga menatap pada Si Bungsu. Tak seorangpun yang bicara. Dan Kapten itu
melanjutkan lagi : "Sekarang perhatikan ini. Ini peta bahagian Selatan dari pulau Singapura. Ini gugusan pulau di selatan
yang masih belum berpenghuni. Pulau yang terletak paling barat ini bernama pulau Pesek.
Barangkali mereka telah mengetahui bahwa gerakkan mereka telah tercium oleh Overste Nurdin. Itulah
kenapa sebabnya sejak sebulan terakhir ini, perempuan-perempuan itu tak lagi diturunkan lewat pelabuhan
resmi sebagai turis atau sebagai pencari kerja sebagaimana biasanya.
Mereka diturunkan dimalam hari di pulau Pesek ini. Nah, sekarang markas dimana kita berada ini
terletak di daerah Bukit Timah. Dari sini kita akan naik jeep sekitar sepuluh menit ke tepi sungai Jurong. Dari
muara sungai itu kita akan naik sampan layar sekitar dua jam menuju pulau itu.
Jika angin berhembus kencang, dan malam ini menurut Minguel yang ahli meteorologi dalam pasukan
kami dahulu, malam ini memang akan bertiup angin utara. Berarti kita akan dibantu sangat banyak.
Sengaja tidak kita gunakan mesin boat, karena kita tak ingin kedatangan ini diketahui mereka. Nah,
sampai disini ada pertanyaan?"
(94) Tak ada yang bertanya. Bekas anak buahnya semua pada menatap diam. Mereka seperti mesin-mesin
yang siap bergerak bila kenopnya ditekan.
"Jika tak ada yang bertanya, kita bersiap?"
Dan segera saja ruangan itu berisik. Semua anak buah Kapten Fabian kelihatan menukar pakaian,
termasuk juga Kapten itu sendiri.
"Bungsu, hari ini engkau kami terima menjadi pasukan Baret Hijau. Hanya orang-orang dengan
kemahiran istimewa dapat menjadi anggota pasukan kami. Kami memang telah berhenti dari pasukan itu. Tapi
kebanggaan korp tetap kami pegang. Nah, pakailah pakaian dan baret ini. Engkau layak memakainya, karena
kemahiranmu bersamurai dan melempar pisau melebihi anggota Baret Hijau manapun jua!"
Kapten itu memberikan sebuah ransel berisi pakaian pasukan komando pada Si Bungsu.
Si Bungsu kaget. Dia menatap pada Kapten itu. Kemudian pada tujuh anggotanya. Dan semua bekas
anggota Green Barets dari Inggris Raya itu dengan pakaian lengkap mereka yang loreng-loreng, tegak dengan
diam. Menatap padanya. Bulu tengkuk Si Bungsu merinding menerima penghargaan ini.
Perlahan dia terima ransel itu.
"Saya, saya tak tahu harus mengatakan apa atas penghargaan tuan-tuan. Saya harap kemampuan saya
yang seujung kuku itu, takkan menjatuhkan nama besar pasukan Baret Hijau yang kesohor itu?" dia berkata
perlahan. Semua anggota pasukan Kapten Fabian masih tetap tegak dengan diam.
Si Bungsu membuka bajunya. Memakai pakaian tersebut. Ternyata pakaian itu adalah pakaian bekas.
Meski masih baru, tapi dia tahu, pakaian yang dia pakai ini adalah milik seseorang.
Koleksi eBook : Drs. H. Hendri Hasnam, MM. 331
Kapten Fabian mengulurkan tangan. Menjabat tangannya dengan hangat.
"Bungsu. pakaian yang engkau pakai adalah pakaian Letnan Robert yang terbunuh di jalan raya ketika
kita bersama tiga hari yang lalu. Ternyata ukuran tubuh kalian sama besar. Pakaian ini sengaja kami berikan
padamu, demikian juga pangkatnya. Engkau sekarang adalah seorang Letnan Baret Hijau Kerajaan Inggris,
Bungsu. Atau tepatnya, engkau adalah anggota Komandan Baret Hijau. Oleh karena kami sudah tak lagi dalam
pasukan itu, maka kami sama-sama pencinta pasukan itu. Nah, selamatlah?"
Dan ketujuh anggota bekas Pasukan Baret Hijau di perang dunia ke dua itu memberi salam pada Si
Bungsu. Demi Muhammad dan Malaikat, Si Bungsu tak tahu bagaimana perasaannya saat itu. Dia menjadi
anggota dari suatu pasukan yang kesohor dalam perang dunia ke II. Ah, alangkah mustahilnya. Namun
begitulah sejarah berkehendak.
Mereka segera mempersiapkan senjata. Dan Sersan Donald yang tadi siang mengajarinya
mempergunakan Tomygun, segera memberikan senjata otomatis itu padanya. Si Bungsu memegang bedil itu.
Menatapnya beberapa menit.
"Maaf, saya tak pernah mempergunakan mainan ini. Apakah dalam pasukan Green Barets ada
kekecualian. Maksud saya apakah boleh memakai samurai saja?"
Kedelapan anggota bekas pasukan baret hijau itu saling pandang mendengar ucapan Si Bungsu. dan
akhirnya mereka sama-sama tertawa. Si Bungsu juga ikut-ikut tertawa.
"Boleh" jawab Kapten Fabian. "Pasukan ini pasukan istimewa. Karenaya angggotanya juga mendapat
perlakuan istimewa. Anda boleh memakai samurai?" Si Bungsu merasa lega.
Dia memberikan kembali senjata otomatis itu pada Donald. Nah, kini semuanya siap berpakaian dan
memiliki perlengkapan yang utuh.
Aba-aba bersiap terdengar dari mulut Kapten Fabian. Semua anggota pasukan itu, termasuk Si Bungsu,
tegak dengan tegap ditempat masing-masing. Menatap pada Kapten tersebut.
Sebuah pasukan komando di tepi Kota Singapura. Lengkap dengan peralatan perangnya. Sejarah seperti
ditarik kembali menikam jejak yang telah dia lalui. Ada yang aneh terasa oleh Si Bungsu. kenapa pasukan ini
masih menyimpan perlengkapan mereka. Padahal mereka telah berhenti dari pasukan itu setelah perang dunia
ke II usai. Mereka telah bertempur di daratan eropah melawan pasukan Hitler. Terakhir mereka berada di
Vietnam dan Indocina melawan pasukan Jepang. Kenapa kini mereka seperti membentuk suatu regu
tersendiri" Pertanyaan itu menyelusup dipikiran Si Bungsu. Namun dia merasa kurang tepat waktunya sekarang
untuk bertanya. Sementara itu Kapten Fabian memberikan komando terakhir.
"Saudara. Ada dua hal kenapa kita menghadang perang malam ini. Pertama karena membalas kematian
Letnan Robert. Kedua karena membantu saudara Bungsu untuk menumpas perdagangan wanita. Kedua tugas
ini sama pentingnya. Perdagangan wanita sama artinya dengan menghidupkan kembali perbudakan. Wanita-wanita yang
dijual itu malah jauh lebih hina ketimbang seorang budak. Dan hal ini harus kita cegah.
Amerika telah mengorbankan ratusan ribu nyawa putra-putranya dalam perang saudara demi
menghapus perbudakan. Pasukan baret hijau ini, dan pasukan sekutu lainnya, termasuk bangsa Indonesia telah mengorbankan
jutaan nyawa untuk menghapus penjajahan dipermukaan bumi. Penjajahan adalah bentuk lain yang lebih
Tikam Samurai Karya Makmur Hendrik di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
kejam daripada perbudakan. Itulah sebabnya hari ini kita kembali berpakaian Baret Hijau ini.
Kepada anda, Bungsu, karena anda telah menjadi anggota kami, dapat saya sampaikan, bahwa bekas
pasukan baret hijau ini, yang kini berkumpul disini adalah juga sebuah sindikat!"
Kapten itu berhenti sejenak.
"Maksud saya" sambungnya, "kami berhenti dari pasukan baret hijau karena memang tak mau lagi
berperang. Banyak perwira-perwira dan orang-orang sipil yang mempergunakan kesempatan perang untuk
memperkaya diri mereka. Bayangkan, ketika kami bertempur di garis depan, meninggalkan anak isteri menghadang maut, saat itu
pula orang-orang sipil mengeruk kekayaan. Mereka menjerit minta tolong pada tentara dikala musuh datang.
Tapi begitu negeri aman, mereka menjadi orang-orang sombong dan pongah.
Kami punya daftar perwira-perwira yang korup. Yang mempergunakan pangkatnya untuk memerintah
anak buahnya guna kepentingan diri mereka. Merampas harta rakyat. Kami juga punya daftar pejabat-pejabat
sipil atau orang swasta yang bekerja sama dengan pihak musuh sekutu, yang juga menghimpun kekayaan untuk
pribadi mereka. Koleksi eBook : Drs. H. Hendri Hasnam, MM. 332
Karena kami tergabung dalam tentara Sekutu, maka kami punya daftar lengkap tentang penghianat dan
koruptor ini diberbagai negara anggota Sekutu. Mulai dari Amerika sampai ke Inggris dan negara-negara
eropah. Nah, kami akan menumpasnya. Kami juga bertekad menumpas bandit-bandit di negeri Sekutu itu. Kami
tidak lagi orang pemerintah. Kami sekarang menjadi semacam pasukan gelap. Kami akan muncul disaat perlu.
Dan bila tidak beroperasi, kami akan kembali menjadi orang-orang sipil biasa.
Engkau boleh memilih Bungsu. Apakah ingin ikut dengan kami untuk seterusnya, atau akan
mengundurkan diri setelah ini. Nah, saya rasa cukup sekian. Barangkali engkau heran kenapa kami memakai
seragam ini. Padahal kami sudah pensiun dari pasukan Baret Hijau. Kiranya penjelasan saya tadi dapat
menjawab keherananmu itu.."
Si Bungsu menarik nafas. Semua anggota pasukan itu kemudian memberi hormat pada Kapten Fabian.
Lalu mereka keluar rumah. Jumlah mereka kini sembilan orang. Sembilan orang yang memilki ketangguhan
luar biasa. Sembilan manusia yang barangkali sanggup melumpuhkan sebuah kota yang dipertahankan
pasukan lengkap. Jeep yang dipakai untuk "menangkap" Si Bungsu tadi sudah menanti. Mereka berlompatan ke atas.
Sersan Donald yang mengajar Si Bungsu mempergunakan Tomygun siang tadi bertindak sebagai sopir.
Disampingnya duduk Kapten Fabian. Dibelakang duduk Si Bungsu dan enam orang temannya yang lain.
Mobil itu bergerak. Si Bungsu seperti berangkat menuju medan perang dunia. Dalam cahaya lampu jalan
yang mereka lintasi tiap sebentar, Si Bungsu menatapi temannya dalam Jeep itu satu persatu.
Miguel yang orang Spanyol, ahli meteorolgi. Sony, orang Inggris yang ahli alat peledak, Tongky, Negro
Amerika ahli menyamar dan menyelusup ke daerah musuh. Licin bagai belut. Fred Williamson, orang
Scotlandia yang ahli karate, Jhonson, berpangkat kopral berasal dari Inggris selatan, ahli renang dan berkelahi
dalam air. Di depan duduk Sersan Donald yang ahli dalam soal-soal bedil dan mesiu. Kini dia pegang kemudi Jeep.
Kemudian Kapten Fabian, orang Australia yang tak dia ketahui apa keahlian spesifiknya.
Tapi melihat keseganan anak buahnya, melihat wibawanya jelas dia punya banyak kelebihan. Jeep bekas
perang dunia ke II itu meluncur dalam gelapnya malam. Barangkali memang persis sepuluh menit seperti
perkiraan Kapten Fabian tadi. Mobil itu berhenti mendadak.
Tanpa menimbulkan suara mereka berlompatan turun. Jeep itu kemudian dibelokkan ke dalam semaksemak sepuluh meter dari jalan.
Didahului oleh Tongky yang negro itu, mereka mulai berjalan. Selang lima menit, mereka sampai di
pinggir sebuah sungai. Nampaknya mereka berada di daerah muara. Sebab sungai itu kelihatan amat lebar. Dan
di Selatan sana kelihatan muara samar-samar menganga memuntahkan air sungai ke laut lepas.
Mereka berada di sungai Jurong. Sungai yang tadi dikatakan oleh Kapten Fabian dalam penjelasannya.
Sebuah perahu karet yang cukup besar segera ditarik bersama ke air. Mereka lalu naik. Dan masih belum
sepatahpun ucapan yang keluar sejak mereka berangkat dari markas tadi. Enam orang kecuali Katen Fabian, Si
Bungsu dan Tongky, segera mendayung sampan karet tersebut ke Muara.
Ketika tiba di mulut muara, Tongky dan Donald mengangkat sebatang aluminium sebesar lengan.
Aluminium itu terlipat-lipat. Ketika dibuka dan disambungkan lagi dengan beberapa baut, aluminium yang
semula hanya sepanjang dua meter itu berobah menjadi tiang layar setinggi empat meter.
Dengan kerjasama yang cepat dan masih tanpa suara, layar yang nampaknya dibuat dari kain parasut
pasukan komando itu dipasang. Miguel si Spanyol yang ahli meteorologi itu memang tak omong kosong ketika
mengatakan bahwa malam ini angin akan berhembus dari utara.
Tak lama setelah layar terkembang, angin bagaikan dipanggil saja. Layar yang terbuat dari kain parasut
tipis berwarna merah darah itu segera saja menggelembung. Dan sampan karet itu tiba-tiba seperti
Pendekar Pengejar Nyawa 20 Sherlock Holmes - Kacamata Berwarna Keemasan Rahasia Chimneys 4
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama