Ceritasilat Novel Online

Tikam Samurai 27

Tikam Samurai Karya Makmur Hendrik Bagian 27


menunduk di bawah rumah menuju dirinya. Karena arahnya dari sisi kanan rumah, dia menyangka yang datang adalah temannya sendiri. Ketika orang itu
sudah dekat, dia berbisik. "Hek hok hek"."
Tentu saja dia memakai bahasa Vietnam Utara, yang tak dimengerti oleh Si Bungsu. Padahal orang itu
bertanya "Mengapa meninggalkan posmu?" Si Bungsu mana peduli. Dia terus saja mendekat. Dan pura-pura
ingin berbisik. Orang itu memiringkan kepala untuk mendengarkan apa yang akan dibisikkan "kawannya" itu.
Namun ketika jarak kepala mereka hanya tinggal sejengkal, tiba-tiba dia terkejut. Orang yang ingin "berbisik"
dengannya itu ternyata bukan kawannya. Orang asing yang tak pernah dia kenal. Dia berusaha mengangkat
ujung bedilnya. Namun tangan Si Bungsu yang memegang samurai kecil sudah sampai di leher lelaki itu. Samurai kecil
itu membenam di bawah jakun tentara Vietkong tersebut sampai ke gagangnya. Lelaki itu sebenarnya ingin
berteriak. Namun mulutnya segera dibekap oleh Si Bungsu. Suaranya tertahan di tenggorokan. Tubuhnya
berkelojotan, dan perlahan dibaringkan Si Bungsu di tanah, di balik rumpun bambu. Masih dalam posisi
berjongkok menaruh tubuh lelaki yang sudah mati itu, Si Bungsu menolehkan kepala karena mendengar suara
tangga dinaiki. Dia melihat ke bahagian depan.
Kedua lelaki yang di depan rupanya naik beriringan ke rumah Duc Thio. Si Bungsu segera mengendapngendap ke depan. Dia mendengar suara perintah membuka pintu. Namun tak ada sahutan. Orang yang di
kepala jenjang itu kembali mengetuk pintu agak keras dan bicara dalam bahasa Vietnam kepada yang berada
di dalam rumah. Si Bungsu ikut naik tangga. Lelaki yang berada di anak tangga ketiga menoleh dan merasa
jengkel. Dia menyangka yang ikut naik adalah salah seorang temannya yang disuruh menjaga di samping
rumah. "Pim pommm" pommmm?" ujar orang itu sedikit menyergah kepada Si Bungsu.
Gelap yang kental menyebabkan dia tak tahu bahwa yang ditanyainya itu bukan temannya. Dia baru
merasa kaget ketika orang yang di bawah itu menyentakkan kakinya. "Heei, ini pekerjaan mancirik namanya"!"
Mungkin itulah serapah yang diucapkannya pada Si Bungsu. Namun karena bahasanya tak difahami Si Bungsu,
maka Si Bungsu diam saja. Sambil menyentakkan kaki sehingga lelaki itu tergerajai, tangannya bekerja. Lelaki
yang tergerajai dan terlempar ke bawah itu merasa hulu jantungnya amat linu. Dia meringis, dan berkelojotan,
dan mati! Dia tak tahu apa benda yang menyebabkan jantungnya demikian linu yang membuat dia tak bisa
bernafas. Dia tak tahu, jantungnya sudah ditembus sebuah pisau kecil yang amat tajam, yang ditusukkan oleh
lelaki yang menariknya. Bahkan dia juga tak tahu, bahwa bedil yang tadi dia pegang sudah berpindah ke tangan lelaki yang
menariknya dengan sangat kuat lagi kasar, sehingga tubuhnya tergerajai dan jatuh terjelapak ke tanah.
Kawannya yang sudah dua kali mengetuk pintu heran mendengar ada yang tergerajai dan jatuh. Dia menoleh
ke belakang. "Cincong cincau cincai?"!" sergahnya.
Tentu saja dia bicara dalam bahasa Vietnam Utara, namun di telinga Si Bungsu yang tak mengerti bahasa
langit itu, suara yang sampai yang seperti "cincong cincau, cincai" saja. Dalam kegelapan malam si Vietkong tak
tahu bahwa bahaya mengancam dirinya. Sebelum pertanyaannya usai, Si Bungsu mengulurkan popor bedil
kepada tentara yang ada di atas itu. Cuma cara mengulurkannya memang beda. Pangkal bedil itu dia ulurkan
dengan amat kuat dan amat cepat, tidak ke tangan si tentara, melainkan ke selangkangannya. Terdengar suara
berderuk, Vietkong di depan pintu itu melenguh.
Hantaman pangkal bedil itu teramat sangat kuatnya menghajar selangkangannya. Gelandutnya mungkin
pecah. Tentara itu tidak hanya melenguh. Mulutnya kontan berbuih. Kedua tangannya segera bergerak ke
selangkangannya, yang sakitnya bukan main. Namun gerakannya terhenti sampai di situ. Tubuhnya yang
membungkuk langsung rubuh dan terjungkal ke bawah jenjang. Matanya juling dan lidahnya terjulur. Tentara
itu sudah mati sebelum tubuhnya mencapai tanah. Si Bungsu menarik nafas. Dia menaiki tangga. Mengambil
bedil yang tertinggal di depan pintu, kemudian memanggil Han Doi yang masih berbaring pura-pura tidur. "Kita
harus segera berangkat?" ujar Si Bungsu sambil melangkah masuk.
Duc Thio dan Thi Binh sudah bangkit pula dari pura-pura tidurnya. Si Bungsu membagikan empat pucuk
bedil otomatis yang dia rampas dari keempat Vietkong yang sudah mati di luar. Satu dia sandang sendiri, satu
untuk Duc Thio, satu untuk Han Doi dan satu lagi dia berikan pada Thi Binh. "Mereka Tuan bunuh semua?"
tanya Thi Binh saat menerima bedil itu, sambil matanya nanap menatap Si Bungsu. "Kita berangkat?" ujar Si
Bungsu, setelah mengangguk mengiyakan pertanyaan Thi Binh. Duc Thio mendahului melangkah ke pintu
depan, kemudian Han Doi, Thi Binh dan terakhir Si Bungsu. Mereka turun ke halaman.
Kentalnya gelap malam itu menyembunyikan pelarian mereka. Thi Binh masih sempat melihat dua
tubuh tentara Vietkong yang terkapar di dekat tangga. Dari depan rumah, melalui jalan raya di tengah kampung,
Koleksi eBook : Drs. H. Hendri Hasnam, MM. 593
mereka dibawa Duc Thio ke hulu kampung. Kemudian mereka membelok ke kiri memasuki hutan dan mendaki
sebuah bukit. Melangkah perlahan dalam gelap yang amat kental. Setelah beberapa jauh masuk ke hutan, Duc
Thio menghidupkan senter. "Tunggu?" ujar Si Bungsu setelah beberapa lama mereka menerobos hutan.
Rombongan kecil itu berhenti dan tegak saling ber dekatan. "Ada apa?"" bisik Han Doi. Si Bungsu tak
menjawab. Dia menunduk dan tangannya meraba tanah lembab di bawah. Kemudian dia mengangkat kepala.
Memejamkan mata dan hidungnya seperti mencoba mencium aroma belantara.
Dalam Neraka Vietnam -bagian-569
"Kalau tak salah, agak jauh di sebelah kiri ada rawa. Kita harus ke sana?" ujarnya Si Bungsu sambil
berdiri. Han Doi, Duc Thio dan Thi Binh saling menatap. Mereka takjub pada tebakan orang asing ini. Memang
di bahagian kanan mereka ada rawa yang sangat luas, tapi juga sangat berbahaya karena ada pasir apung, ular
dan buaya. "Rawa itu sangat berbahaya. Selain itu, jika kita ke sana, kita akan menempuh jalan memutar untuk
sampai ke sekitar bukit batu tempat penyekapan tentara Amerika itu?" ujar Duc Thio, sambil mendahului
melangkah ke arah rawa. "Siang tadi saya melihat jejak anjing yang cukup besar di tengah kampung. Saya yakin
itu bukan anjing peliharaan penduduk. Itu pasti anjing pelacak milik tentara Vietnam. Ada berapa ekor anjing
pelacak itu?" tanya Si Bungsu. Duc Thio kembali bertukar pandangan dengan Han Doi. Ketajaman penglihatan
orang asing ini sehingga dapat membedakan jejak anjing pelacak dengan anjing kampung, sungguh luar biasa.
"Kami hanya pernah melihat empat ekor. Kebetulan anjing itu tiba di desa dengan truk sore hari?" ujar
Duc Thio sambil menyeruak belukar untuk tempat lewat. "Di tanah daratan ini jejak kita akan mudah
ditemukan anjing pelacak. Mereka tak berdaya kalau orang yang dia lacak masuk ke air, apalagi masuk ke rawa
yang sangat besar. Itulah sebabnya kita harus melewati rawa itu agar tak mudah diburu anjing pelacak?" papar
Si Bungsu. Mereka berhenti, karena langkah Duc Thio terhambat oleh sebuah pohon besar yang tumbang. Han Doi
mengarahkan cahaya senternya ke bahagian ujung. Cukup jauh. Lalu ke bahagian pangkal. Juga cukup jauh,
pohon tumbang itu terlalu besar untuk dinaiki agar bisa melintas ke sebelah. "Boleh saya yang di depan?" tanya
Si Bungsu. Duc Thio mengangguk, sambil menyerahkan senter. "Barangkali Tuan dan Thi Binh bisa memakai
senter itu. Saya sudah terbiasa berjalan dalam belantara?" ujar Si Bungsu.
Dia mulai melangkah ke kanan, ke arah ujung kayu tumbang itu. Ketiga orang Vietnam anak beranak itu
segera menemukan bukti atas ucapan orang asing di depan mereka ini, bahwa dia sudah "terbiasa" berjalan
dalam belantara. Lelaki muda itu, dalam gelap yang amat kental, dengan cepat menemukan lorong dan celah
untuk melangkah cepat di antara rimbunan semak belukar. Ketika sampai ke bahagian ujung pohon tumbang
itu, di mana tingginya pohon itu tinggal sebatas pinggang, Si Bungsu segera meloncat naik. "Ayo" kita seberangi
pohon ini?" ujar Si Bungsu sambil mengulurkan tangan pada Han Doi.
Beberapa detik kemudian mereka sudah berada di sebelah pohon besar yang tumbang itu. Si Bungsu
berhenti. Menunduk dan mendekapkan telinga kanannya ke tanah. Ketiga orang Vietnam itu menatapnya
dengan diam. "Belum ada tanda-tanda bahwa kita sudah mulai dikejar. Kita harus cepat sampai ke rawa
tersebut?" ujar Si Bungsu sambil berdiri. Kembali ketiga Vietnam itu hanya bisa saling menatap. Mereka
pernah mendengar cerita, bahwa ada tentara yang ahli mendengarkan kedatangan musuh dengan
mendekapkan telinga ke tanah. Tapi kini mereka tidak hanya sekedar mendengar cerita, tapi melihat sendiri
buktinya. "Mari kita terus?" ujar Si Bungsu sambil melangkah duluan.
Mereka berjalan dalam jarak sejangkauan tangan. Bagi Si Bungsu aroma belantara berikut
pepohonannya yang menjulang dan semak belukar adalah tempat yang dirindukannya. Bagi dia, dan juga bagi
beberapa perimba, belantara di mana pun tempatnya, memiliki sifat yang hampir sama. Dia hafal akan hal
tersebut. Dia seolah-olah "pulang ke rumah". Dengan nalurinya yang amat tajam dengan mudah dia mencari
jalan, kendati malam dipagut gelap yang amat kental. Dia menunjukkan ke mana harus melangkah,
Koleksi eBook : Drs. H. Hendri Hasnam, MM. 594
menghindari semak berduri atau pohon tumbang yang tak mudah dilewati. "Saya lelah, dapatkah kita istirahat
sebentar?" tiba-tiba terdengar suara Thi Binh.
Gadis itu bicara dengan nafas sesak, sementara tangannya menjangkau ke depan, bergantung pada
tangan Si Bungsu. Si Bungsu menghentikan langkahnya. Tiga orang lainnya juga berhenti. Ternyata nafas
mereka juga pada sesak semua. Namun yang paling lelah tentu saja Thi Binh. Gadis itu belum pulih benar dari
sakitnya. Si Bungsu duduk berlutut dengan lutut kiri di tanah. Kemudian kembali dia mendekatkan telinga ke
bumi. Ada beberapa saat dia berlaku demikian. Kemudian dia mengangkat kepala. Lalu membersihkan dengan
dedaunan kering, sehingga terlihat tanah dimana mereka berada.
Ke tanah itu Si Bungsu kembali mendekapkan telinganya. Sementara ketiga orang Vietnam itu menatap
dengan diam. Lalu dia berdiri. Menatap kepada tiga orang temanya itu dengan diam. "Mereka sudah mulai
memburu kita. Saya tak tahu berapa jumlahnya. Namun mereka membawa anjing pelacak. Masih cukup jauh,
belum sampai ke pohon besar yang tumbang itu. Kita bisa istirahat sebentar, tapi setelah itu kita harus
menambah kecepatan dua kali lipat"." "Tidak kita terus saja. Saya bisa berjalan?" ujar Thi Binh.
Si Bungsu menatap gadis itu. Jarak mereka hanya setengah depa. Kendati malam amat gelap. Namun
dalam jarak yang demikian dekat, mereka bisa saling tatap. "Kita terus atau istirahat?" tanya Si Bungsu pada
ayah Thi Binh dan Han Doi. "Sebaiknya kita terus?" ujar Han Doi. "Kalau terus, harus ada yang menggendong
Thi Binh?" ujar Si Bungsu. Tak ada yang bersuara.
Dalam Neraka Vietnam -bagian-570
"Saya bisa" berjalan?" ujar Thi Binh sambil mengencangkan pegangan tangannya ke lengan Si Bungsu.
"Baik kita akan maju terus. Saya rasa rawa itu tak berapa jauh lagi." "Itu suara salak anjing?" tiba-tiba suara
Han Doi memutus ucapan Si Bungsu.
Mereka semua pada memasang telinga. Dan sayup-sayup terdengar salak anjing sahut bersahut. Suasana
tegang segera saja menyergap ketiga orang Vietnam tersebut. "Kita harus berjalan cepat. Maukah engkau
kugendong, Nona?"" ujar Si Bungsu pada Thi Binh.
Gadis itu tak menjawab, saking kagetnya. Bagaimana mungkin orang asing ini mau menggendong
seorang yang jelas-jelas kena spilis, pikirnya. Namun, dia tak sempat berfikir banyak Si Bungsu bergerak cepat.
Tiba-tiba gadis itu sudah berada dalam pangkuannya. Dan dia segera mulai melangkah.
Han Doi dan Duc Thio terpana melihat gerak lelaki dari Indonesia yang berjalan di depan mereka itu.
Kendati memangku tubuh Thi Binh namun kecepatan geraknya tak berkurang sedikit pun dibanding saat dia
tak membawa beban tadi. Thi Binh melingkarkan kedua tanganya ke leher Si Bungsu. Sementara kepalanya dia
sandarkan ke dada lelaki tersebut. Kendati dia yakin bahwa suatu saat pasti bertemu dengan lelaki yang selalu
datang ke dalam mimpinya ini, namun tak pernah terlintas dalam fikirannya bahwa dia juga akan berada dalam
pelukan lelaki perkasa ini.
Apalagi lelaki ini tahu bahwa dia adalah penderita spilis. Ingat pada penyakitnya dan keikhlasan lelaki
ini menggendong tubuhnya, tanpa dapat ditahan air matanya mengalir perlahan. "Jangan menangis, Thi Binh.
Penyakitmu akan sembuh, dan kecantikanmu akan kembali seperti biasa?" bisik Si Bungsu sambil menyeruak
belantara. Thi Binh kaget separoh mati bagaimana lelaki ini tahu bahwa dia menangis" Dia menangis tanpa
bersuara sedikit pun. Dan kagetnya semakin menjadi-jadi, tatkala Si Bungsu kembali berbisik. "Tak sulit untuk
mengetahui bahwa engkau menangis Dik, kendati tak ada isak tangismu. Air matamu menembus baju, terasa
hangat di dadaku"."
Thi Binh merasa terharu. Dia pererat pelukannya ke leher Si Bungsu, dan dipejamkannya matanya. Dia
merasa amat tentram berada dalam pelukan lelaki tersebut. Tak lama kemudian mereka sampai ke tepi rawa
yang amat luas. Rawa itu, sebagaimana diceritakan Han Doi, selain amat luas, juga dipenuhi hutan belantara.
Perlahan Si Bungsu menurunkan tubuh Thi Binh.
Dia meminta senter dari Duc Thio. Menyoroti rawa berwajah hitam itu beberapa saat kemudian
melangkah memasuki air. Sekitar sedepa memasuki rawa, dia mematah kan sebuah kayu yang sebahagian
daunnya yang berwarna merah terendam dalam air. Di pinggir rawa, dipetiknya belasan daun kayu berwarna
merah itu, kemudian diremasnya beberapa saat.
Koleksi eBook : Drs. H. Hendri Hasnam, MM. 595
"Lumurkan getah daun ini ke sekujur tubuh kalian. Selain mampu menghangatkan tubuh, getahnya juga
bisa menyelamatkan kita dari hisapan lintah dan nyamuk?" ujarnya sambil membagikan daun yang sudah
diremas itu pada ketiga orang Vietnam tersebut. Tak seorang pun yang membantah. Mereka menuruti perintah
Si Bungsu. Mengoleskan daun yang sudah diremas itu ke sekujur kaki, tangan dan bahagian tubuh lainnya. Saat
mereka sedang mengoleskan daun ke tubuh masing-masing itu Si Bungsu menurunkan bedil yang
disandangnya sejak tadi. Sebuah tembakan menggelegar. Membuat semua mereka terkejut, terutama Thi Binh. Sebab peluru itu
seolah-olah hanya berjarak seinci dari telinganya, artinya, tembakan itu seolah-olah memang diarahkan ke
kepalanya. Gadis itu menatap pada Si Bungsu. Dan saat itu dia mendengar bunyi menggelosoh sedepa di
belakangnya. Dia menoleh, tak ada apapun yang terlihat dalam gelap itu. Si Bungsu menghidupkan senter,
menyorot ke belakang gadis itu.
Thi Binh terpekik dan melompat memeluk ayahnya tatkala melihat seekor ular belang merah hitam
sebesar betis lelaki dewasa menggeliat-geliat meregang nyawa di tanah. Ular itu, sebelum peluru Si Bungsu
menghabisi nyawanya, berada persis di dahan rendah sedepa di belakang Thi Binh!
"Engkau membawa parang?" tanya Si Bungsu pada Han Doi. Han Doi, yang juga seperti terbang
semangatnya mendengar tembakan dan melihat ular yang panjangnya tak kurang dari lima depa itu,
mengangguk. "Bawa kemari?" ujar Si Bungsu. Han Doi mencabut parang yang dia sisipkan di bahagian belakang
tubuhnya. Si Bungsu memberikan senter kepada Duc Thio. Di bawah sorotan cahaya senter, Si Bungsu
memotong ular itu menjadi dua bahagian. Kemudian membelah tubuh ular tersebut.
"Han Doi, seret yang sepotong ini ke arah sana sekitar lima puluh meter, dan letakkan saja di tanah. Saya
akan menyeret sisanya ini kebahagian sana?" ujar Si Bungsu. Dia sendiri segera menyeret bangkai ular itu ke
arah yang berlawanan dari arah yang ditunjuknya untuk Han Doi. Sepanjang jalan yang ditempuh saat menarik
bangkai ular itu, darah ular tersebut berserakan di dedaunan kering di tanah.
Dalam Neraka Vietnam -bagian-571
Tak lama kemudian mereka berkumpul lagi. Si Bungsu kembali menghidupkan senter. Menerawangi
rawa itu sekali lagi beberapa saat kemudian. Saat gonggongan anjing pelacak mulai agak jelas terdengar, dia
memberi isyarat kepada ketiga temannya.
Dengan Si Bungsu dibahagian depan, mereka mulai memasuki rawa tersebut. Mula-mula sekitar dua
puluh meter dari tempat mereka masuk, airnya sebatas lutut. Ketika air mulai mencapai pinggang, Si Bungsu
membawa rombongannya berbelok kebagian kiri, sejajar dengan tepi rawa.
Sekitar lima puluh meter, dia kembali berbelok kearah tengah rawa. Mereka memasuki air setinggi
pinggang, makin ketengah makin dalam. Kemudian mencapai batas leher. Si Bungsu membawa rombongannya
ke dalam sebuah palunan belukar.
Saat itulah mereka mendengar suara anjing menyalak sahut-sahutan ditepi rawa, disusul cahaya lima
atau enam senter dengan cahaya yang amat terang, berseliweran menerangi beberapa pelosok rawa gelap
tersebut. Suara tembakan Si Bungsu membunuh ular tadi mempercepat pencarian tentara Vietkong tersebut.
Di antara salak anjing dan terkaman cahaya senter kesetiap sudut, terdengar teriakan-teriakan tentara
Vietkong itu. Kemudian salak anjing hilang seperti ditelan hantu. Yang tersisa adalah teriakan tentara dan
cahaya senter yang simpang siur. "Mengapa anjing-anjing itu berhenti menyalak?" bisik Duc Thio yang tetap
saja merasa was-was. "Mereka sedang berpesta dengan daging ular tadi. Untuk sementara anjing itu tidak akan bergerak
sebelum daging ular itu habis. Kita harus bergerak sejauh mungkin, sebelum anjing-anjing itu memburu.
Tetaplah bergerak dijalan yang saya tempuh. Senjata jangan sampai basah. Di air berhati-hati terhadap batang
yang bergerak mungkin saja itu buaya. Di pohon, hati-hati melihat dahan yang bergerak, bisa saja itu adalah
ular"." ujar Si Bungsu mulai melangkah.
Di pinggir rawa yang baru saja mereka tinggalkan, sekitar dua lusin tentara Vietkong yang memburu
pelarian itu tegak dengan tak sabar melihat anjing-anjing itu makan bangkai ular itu. Komandan mereka, yang
merasa tak sabar, segera memerintahkan lima orang anggotanya untuk mengarungi rawa tersebut. Salah satu
diantaranya di kenal mahir mencari jejak.
Kelima orang itu segera memasuki rawa yang airnya sebatas betis. Dengan pertolongan senter, dengan
mudah mereka mengikuti jejak yang ditinggalkan Si Bungsu dan kawan-kawannya. "Nampaknya mereka tetap
dalam satu kelompok, tidak berpencar. Dari sini mereka menuju ketengah rawa?" ujar si pencari jejak pada
Koleksi eBook : Drs. H. Hendri Hasnam, MM. 596
empat temannya yang lain. "Mereka menuju ketengah rawa"!" seru Sersan dalam rombongan beranggotakan
lima orang dirawa itu kepada komandannya, yang masih tegak sekitar dua puluh meter di tepi rawa sana.
Beberapa tentara di tepi rawa tersebut, yang tegak didekat si komandan, menerangi kelima tentara di
rawa itu dengan cahaya senter. Saat itu si pencari jejak merasa ada yang ganjil di air. Dia sorot sesuatu yang
ganjil yang membuatnya tidak tentram. Di air rawa ada cairan lain yang tak senyawa. Dia raba cairan yang
kehitam-hitaman di sekitar mereka tegak itu, yang berbeda dari air di bahagian lain.
Ketika air itu dia sauk dengan telapak tangan, kemudian membawanya keatas dan menyorotinya dengan
cahaya senter, tiba-tiba bulu kuduknya merinding. "Darah?" Desisnya. Bagi keempat temannya yang lain, yang
sama-sama berada di air setinggi paha mereka, ucapan si pencari jejak tak begitu menarik. "Darah apa?"" tanya
Sersan yang tadi berteriak.
Namun si pencari jejak tak menjawab. Bulu tengkuknya merinding. Dia sudah pernah kerawa ini sekali.
Dan dia tahu persis, rawa ini merupakan sarang buaya. Di dalam air, buaya mampu mencium kehadiran darah
dari jarak ratusan meter. "Jebakan! ini sebuah Jebakan!" bisik hatinya dengan mata nyalang menatap semaksemak di sekitarnya. Si pencari jejak ini segera arif, bahwa salah satu dari empat orang yang mereka buru ini
pastilah orang yang sangat mengenal hutan belantara, rawa dan seluruh penghuninya.
Itu bisa di buktikan, pertama jejak mereka yang sulit di cari di dalam hutan tadi. Jika tanpa bantuan
anjing pelacak dan suara tembakan, belum tentu mereka sampai di tepi rawa ini. Mungkin mereka masih
berputar-putar didalam hutan. Sebab jejak yang ditinggalkan pelarian itu sangat susah untuk di temukan.
Kemudian cara orang ini menjebak anjing-anjing pelacak dengan daging ular yang amat gurih dan harum itu.
Tak sembarang orang bisa mengetahui hanya dengan daging ular yang bisa menahan seekor anjing pelacak.
Kemudian darah dirawa ini. Dia yakin, darah ini bukan darah salah seorang pelarian. Ini adalah darah
yang sengaja diserakkan untuk memancing kedatangan mereka. Dan darah ini disebar ditempat ini, bukan di
pinggir rawa tentulah dengan maksud tertentu. Kalau di pinggir rawa, tak kan ada yang celaka. Sebab, orang
bisa dengan mudah lari kedarat. Tapi tempat ini sudah sekitar dua puluh meter dari tepi rawa. Air sudah
setinggi paha. Sudah tak mudah untuk berlari kencang.
Si pencari jejak yang faham bahwa mereka sedang di jebak menyorotkan senternya ke air. Apa yang dia
takutkan benar-benar terjadi. Di bahagian kirinya ada dua batang yang bergerak, makin lama makin cepat.
"Awas, buaya! Lari"!!" serunya sambil ambil langkah seribu.
Namun terlambat sudah, tempat mereka berdiri sudah di kepung oleh lima atau enam buaya yang
memang datang ketempat itu karena mencium darah. Pencari jejak itu tak bisa mengelak tatkala seekor buaya
menyambar pahanya dengan cepat dan menariknya kedalam air.
Empat temannya yang tadi tak begitu terkejut, namun karena melihat si pencari jejak lenyap, mereka
mulai panik. Sebelum mereka tahu penyebab si pencari jejak lenyap, giliran si Sersan yang tadi berteriak-teriak
tiba-tiba tersentak tubuhnya, dia meraung. Tubuhnya di tarik ketengah rawa. "Tolooong" tembakkk"..!!
Tembak buaya iniii..!!" pekik si Sersan.
Tangan kanannya yang berbedil menggapai-gapai. Bedil itu tak bisa dipergunakan. Tangan kirinya yang
memegang senter yang masih menyala di pukul-pukulkan kekepala buaya besar yang mencengkram pahanya.
Namun ketiga temannya hanya terlongo-longo. Mereka masih dicekam rasa kaget dan terkesima. Dan saat itu
pula dua buaya menyambar dua tentara yang masih menatap ketubuh si Sersan, yang sedang timbul tenggelam
di seret buaya ketengah rawa sana. Kedua mereka tadi sudah memegang bedil terkokang.
Begitu kakinya disambar buaya telunjuknya tertarik picu bedil. Rentetan tembakan diiringi lolong dan


Tikam Samurai Karya Makmur Hendrik di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

pekik panjang segera memecah kesunyian malam. Pekik dan tembakan itu menyebabkan belasan teman
mereka yang masih berada di tepi rawa pada berkerumunan dan menatap ketengah rawa di mana mereka
berada. "Lari! lari! Ayo kembali kemari"!" ujar para tentara itu pada satu-satunya teman mereka yang masih
tegak di tengah rawa tersebut. Si tentara yang seorang ini segera sadar, bencana yang menimpa temantemannya segera bisa menimpa dirinya pula. Mendengar teriakan temannya, dia segera menghambur berlari
kedalam air setinggi paha itu.
Dalam Neraka Vietnam -bagian-572
Koleksi eBook : Drs. H. Hendri Hasnam, MM. 597
Malangnya dia salah dalam memilih tempat menghambur. Dia memutar badan ke arah belakang,
bermaksud lari ke arah dari mana mereka tadi datang. Tapi itulah kesalahannya. Sebab di belakangnya seekor
buaya besar sudah sejak tadi menanti dengan mengangakan mulutnya lebar-lebar.
Si tentara yang sudah memutar badan, dan sudah mengayunkan langkah lebar untuk kabur, pada detik
terakhir baru tahu bahwa di belakangnya ada neraka yang amat menakutkan. Padahal langkah sudah
diayunkan sekuat tenaga untuk lari. Dia mencoba merubah arah ke kanan, agar langkahnya tak langsung
menuju ke mulut buaya itu. Namun karena sudah dicekam takut kakinya yang berada di dalam air tergelincir.
Dia kehilangan keseimbangan.
Tanpa ampun tubuhnya justru jatuh ke dalam mulut buaya yang sedang ternganga lebar itu. Mulut
bergigi seperti gergaji itu segera terkatup dengan kepala si tentara persis berada di dalam! Dalam waktu
sekejap rawa itu sepi. Ada tiga buah senter yang tenggelam ke dasar danau yang dangkal. Cahayanya nampak
menari-nari dalam air yang bergelombang akibat pergumulan manusia dengan hewan.
Pergulatan kelima orang itu dengan buaya, disaksikan oleh komandannya dan belasan teman-temannya
yang lain dari tepi rawa. Tak satu pun bantuan yang bisa mereka berikan. Mereka mahir menembak. Tapi ke
arah mana tembakan harus diarahkan"
Sungguh suatu pemandangan yang tak bisa dibayangkan betapa dahsyat dan mengerikannya, tatkala
melihat teman-teman sepasukan lenyap satu demi satu ke dalam air, diseret buaya untuk dijadikan
santapannya! Matinya si pencari jejak tersebut sangat menguntungkan pelarian Si Bungsu dan teman-temannya. Kalau
mereka selamat, mereka pasti melaporkan kepada komandannya bahwa ada jebakan di dalam rawa tersebut.
Namun dengan matinya si pencari jejak bersama empat temannya yang lain di rawa maut itu, tidak
hanya memudahkan pelarian mereka, tetapi sekaligus juga menyebabkan pemburuan diakhiri.
"Tak seorang pun yang bisa selamat memasuki rawa ini. Mereka yang kita buru itu juga pasti sudah
terlebih dahulu menjadi santapan buaya atau ular?" ujar si komandan yang memimpin pengejaran itu, setelah
menyenter permukaan rawa belantara tersebut beberapa saat.
Ketika subuh hampir turun, dia memerintahkan seluruh pasukan pemburu itu segera meninggalkan
pinggir rawa, kembali ke markas mereka. Saat itu, di tengah rawa sana, hanya sekitar dua ratus meter dari
tempat belasan tentara Vietnam itu menarik diri, para pelarian tersebut sedang berada di dahan kayu, sekitar
semeter dari permukaan air. Namun mereka hanya bertiga.
Si Bungsu tak ada di sana. Rawa itu sudah mulai terang-terang tanggung oleh cahaya subuh yang mulai
datang. Pandangan mereka hanya mampu menembus beberapa meter ke depan. Kabut akibat uap air nampak
menggantung rendah di permukaan air rawa.
Mereka sungguh dibuat takjub oleh ramuan yang malam tadi disuruh Si Bungsu agar diusapkan ke tubuh
mereka. Semula mereka menuruti perintah itu dengan perasaan antara percaya dan tidak. Ternyata apa yang
dikatakan lelaki dari Indonesia itu benar belaka adanya. Usapan getah daun berwarna merah, yang diambil Si
Bungsu dari dalam air rawa, yang kemudian diremasnya, ternyata tidak hanya menyebabkan mereka tak
didekati nyamuk atau lintah, bahkan mereka tak merasa kedinginan sedikit pun.
Awalnya, ketika masih dalam perjalanan mengarungi danau, rombongan Si Bungsu dikejutkan oleh
suara pekik dan tembakan dari pinggir danau. Si Bungsu berhenti sesaat, orang-orang di belakangnya juga
berhenti. Dalam gelap dan suasana mencekam mereka menanti dengan diam. "Tadi, saat akan memutar arah,
untuk apa Tuan melemparkan kepala ular yang terpotong lehernya itu ke dalam rawa?" bisik Thi Binh yang
masih berada dalam bopongan Si Bungsu.
"Darah amat merangsang penciuman buaya. Mereka mampu mencium bau darah di dalam air dari jarak
dua ratus sampai tiga ratus meter. Mereka pasti akan memburu ke sana. Dengan demikian, kita bisa aman bisa
buat sementara, karena perhatian dan selera mereka tersedot ke arah darah dari kepala ular itu. Mudahmudahan tentara yang memburu kita juga menuruti jejak kita tadi. Mereka ke tempat kepala ular itu, baru
kemudian melihat arah kita berbelok. Jika itu yang terjadi, mereka sesungguhnya sedang memasuki sarang
buaya?" bisik Si Bungsu.
"Apakah danau ini memang banyak buaya?" bisik Thi Binh. "Barangkali ada dua atau tiga ratus ekor?"
ujar Si Bungsu. Thi Binh merasa merinding mendengar jawaban itu. Dia menyurukkan mukanya ke dada anak
muda itu. Dalam cahaya senter Si Bungsu melihat tiga depa di kanan ada pohon bercabang banyak, yang
dahannya sekitar semeter dari permukaan air. Dia memperhatikan pohon itu dengan seksama. "Tunggu di sini
saya periksa pohon itu. Barangkali bisa tempat beristirahat sementara?" bisik Si Bungsu pada Thi Binh sambil
akan menurunkan gadis itu.
Koleksi eBook : Drs. H. Hendri Hasnam, MM. 598
"Saya ikut?" ujar gadis itu. "Di sana ada ular"." bisik Si Bungsu. "Biarin"." ujar gadis itu. "Di sana ada
buaya?" "Biarin, biariiin!! Pokoknya aku ikut kemana Tuan pergi?" ujar Thi Binh.
Namun ucapan itu disampaikan Thi Binh tetap dalam berbisik, dan tangannya tetap memeluk leher Si
Bungsu. Si Bungsu mengalah. Dalam posisi membopong Thi Binh itu Si Bungsu beringsut perlahan mendekati
pohon tersebut. Sesampainya di pohon, tangan kirinya meraba-raba dahan pohon itu. Memegang dahan itu
beberapa saat, dan menatap ke rimbunan daun di atasnya.
Dalam Neraka Vietnam -bagian- 573
"Oke, tempat ini aman. Kau naik ke atas?" ujar Si Bungsu. Sebelum Thi Binh faham benar apa yang
dimaksud Si Bungsu, dia merasa pinggulnya ditekan oleh kedua tangan lelaki dari Indonesia itu. Detik
berikutnya tubuhnya sudah terangkat dan didudukkan di dahan rendah itu. "Hei".!" protesnya. "Diam di sini
bersama abang dan ayah mu?" bisik Si Bungsu, sambil memberi isyarat pada Duc Thio dan Han Doi agar
mendekat. "Naik ke dahan itu. Pohon ini aman, tak ada ular atau binatang berbisa lainnya. Tunggu saya di
sini"." Sebelum kedua lelaki itu naik ke dahan, Si Bungsu sudah melangkah. Dia kembali mengikuti jejak
darimana mereka tadi datang. Tak lama kemudian, sekitar lima puluh meter dari pohon yang mereka naiki,
mereka mendengar pekikan dan rentetan tembakan dari tentara Vietnam yang disambar buaya itu. Si Bungsu
tak berapa jauh dari sana. Setelah tentara yang memburu mereka balik kanan, dia kembali ke tempat kawankawannya. Dalam perjalanan menuju pohon di mana kawan-kawannya menunggu, dia mendengar desir dan
kecipak air. Dia hafal, kecipak air itu muncul akibat buaya melahap mangsanya.
Dia bergegas. Mereka harus menjauhi tempat ini, sejauh yang bisa mereka lakukan. Sebab, buaya-buaya
yang lain dari berbagai penjuru rawa kini sedang menuju ke daerah penjagalan tentara Vietnam itu. Mereka
datang karena terangsang oleh bau darah yang membanjir di dalam rawa, yang tumpah dari tubuh beberapa
manusia yang kini tengah dilahap buaya-buaya tersebut. "Naiklah ke dahan yang lebih tinggi?" ujarnya kepada
Thi Binh dan Han Doi, sesampainya dia di pohon di mana teman-temanya itu menanti. Dia sendiri ikut naik dan
duduk berjuntai di dahan sekitar dua meter di atas air. Akan halnya Thi Binh, begitu Si Bungsu duduk, dia segera
meninggalkan cabang dimana dia berada. Dia duduk di belakang Si Bungsu, kemudian memeluk pinggang anak
muda itu dari belakang. Tak berapa menit kemudian, rawa itu sudah agak terang karena pagi sudah datang. Si Bungsu memberi
isyarat kepada Duc Thio dan Han Doi. Dia menunjuk ke bawah, dimana tadi mereka berdiri. Air di bawah dahan
dimana mereka kini berada mereka lihat bergerak. Dari gerigi yang muncul di permukaan air, mereka segera
tahu, bahwa gerak air itu disebabkan buaya besar yang tengah menuju ke arah dimana malam tadi mereka
datang. Si Bungsu kembali memberi isyarat dengan telunjuk ke arah kanan dari pohon tempat mereka berada.
Dengan terkejut Han Doi dan Duc Thio melihat betapa ada sekitar lima sampai tujuh ekor buaya sedang
meluncur ke arah yang sama. "Ya Tuhan. Rawa ini ternyata memang sarang buaya?" ujar Han Doi. "Bagaimana
kita meninggalkan tempat ini?" bisik Thi Binh dari belakang. "Kita tunggu berapa saat lagi. Mereka pasti
memperebutkan bangkai tentara Vietnam yang terjebak tadi. Perebutan itu juga akan menyebabkan dua
sampai empat ekor buaya itu akan mati berkelahi sesamanya. Mereka akan menyantap bangkai teman mereka
sendiri. Itulah saatnya kita meninggalkan tempat ini. Dan dalam cuaca yang agak terang, kita bisa lebih bebas
mencari jalan yang aman dalam rawa maut ini?" ujar Si Bungsu.
Bisikannya yang cukup keras itu tak hanya di dengar Thi Binh di belakangnya, tetapi juga didengar Han
Doi dan Duc Thio. Mereka masih nanap melihat buaya-buaya yang meluncur cepat ke arah hilir sana. Tak lama
kemudian, ketika tak ada lagi gerakan air di permukaan rawa, dan ketika rawa itu sudah cukup terang oleh
terobosan cahaya matahari, Si Bungsu memperhatikan rawa tersebut dari utara ke barat, dari selatan ke timur.
Semua mereka terpana melihat rawa dahsyat itu. Sesayup-sayup mata memandang kemana pun tatapan
diarahkan, yang terlihat hanyalah air merah ke hitam-hitaman di antara belantara yang tegak mematung. Di
Koleksi eBook : Drs. H. Hendri Hasnam, MM. 599
permukaan air rawa, di sela-sela belukar maupun pohon-pohon raksasa yang tegak menjulang, mengapung
kabut tipis. Kabut itu seolah-olah ingin menutupi misteri yang tersembunyi di bawah permukaan air merah
kehitam-hitaman tersebut. Air merah kehitam-hitaman itu nyaris tak bergerak, tak beriak sedikitpun. Air gelap
itu baru beriak jika ada daun atau buah kayu yang jatuh. Setelah riak-riak bundar akibat sesuatu yang jatuh ke
air itu, yang makin lama makin besar dan kemudian lenyap, air rawa itu akan kembali rata. Diam seolah-olah
membeku, seperti lantai batu marmer berwarna gelap dan dingin. "Sampai kapan kita di sini?" tiba-tiba Thi
Binh bertanya lagi. Si Bungsu menoleh ke belakang. Kepada Thi Binh yang duduk dan masih saja memeluk tubuhnya. Gadis
itu menatap padanya dari jarak hanya sekitar sejengkal. "Kalau lapar?" ujar Si Bungsu. Thi Binh menatap lelaki
Indonesia itu beberapa jenak. Kemudian mengangguk. "Saya lapar sekali?" desah Thi Binh sambil
menyandarkan wajahnya ke bahu Si Bungsu. Duc Thio segera membuka tas kerunjut kain yang dia sandang.
Dari dalamnya dia mengeluarkan ayam yang biasanya digantung di atas tungku. Ayam itu setelah dipotong
direbus, kemudian diberi bumbu, lalu dikeringkan di atas tungku.
Duc Thio menyayat daging ayam itu dengan pisau yang dia bawa. Kemudian menyerahkan sayatan
terbesar kepada Thi Binh. Sayatan kedua diserahkannya kepada Si Bungsu. Lalu kepada Han Doi. Kemudian dia
menyayatnya untuk dirinya sendiri. Sisanya dia masukkan kembali ke dalam tas kain, bercampur dengan dua
potong pakaiannya dan pakaian Thi Binh. "Engkau tinggal di sini bersama ayahmu. Kami akan pergi mencari
sesuatu untuk dijadikan sampan?" ujar Si Bungsu kepada Thi Binh. Gadis remaja itu menatap Si Bungsu sambil
mengunyah dendeng ayamnya, kemudian mengangguk. Kemudian melepaskan pelukan tangan kirinya dari
pinggang Si Bungsu. "Tetap sajalah di sini. Pergunakan senapan ini jika ada bahaya. Saya akan pergi bersama
Han Doi?" ujar Si Bungsu kepada Duc Thio.
Dengan berbekal dua buah parang milik Duc Thio dan Han Doi, kemudian masing-masing sebuah bedil,
Si Bungsu dan Han Doi turun dari kayu tersebut. Di dalam air setinggi dada, mereka bergerak perlahan ke arah
utara, yaitu ke arah pinggir rawa. Namun Si Bungsu mengambil jalan memutar, yang berlawanan arah dengan
tempat buaya-buaya memangsa tentara Vietkong itu. "Engkau pernah bertempur di rawa seperti ini, Han Doi?"
tanya Si Bungsu, tatkala mereka berenang, karena rawa yang mereka lewati airnya sudah sangat dalam. "Tidak.
Dahulu saya hanya bertugas di desa-desa sekitar Da Nang. Hanya dua tahun bertugas sebagai tentara saya
direkrut untuk menjadi mata-mata oleh Ame?" suara Han Doi tersekat di tenggorokan, setelah dia menoleh ke
belakang karena mendengar ada suara aneh di belakangnya.
Matanya mendelik. Dia lupa di tangannya ada bedil. Si Bungsu yang kemudian ikut menoleh ke belakang,
segera membekap mulut Han Doi kuat-kuat. Bekapan itu menyebabkan pekik orang Vietnam itu tertahan di
tenggorokan. "Jangan bersuara, jangan bergerak?" bisik Si Bungsu dengan suara hampir menggigil. Semula,
tatkala berjarak sekitar dua puluh depa dari tepi rawa, mereka terhalang oleh sebuah batang kayu panjang,
yang nampaknya sudah lama mati dan terendam di rawa tersebut.
Sambil tetap bercerita mereka melewati batang kayu yang mungkin besarnya sebesar paha lelaki
dewasa, dan panjangnya sekitar belasan depa itu, dengan cara menyelam dan muncul di sebelahnya. Ternyata,
kayu itu adalah seekor ular raksasa yang bahagian kepalanya melilit ke sebuah kayu besar. Mungkin ketika
mereka menyelam di bawah tubuh ular itu, si ular merasa terusik, dan menggeliat bangun!
Ular raksasa itulah yang pertama tertatap oleh Han Doi saat menolehkan kepala ke belakang. Ujung
"kayu" itu seperti segi tiga pipih, yang lebarnya tak kurang sedepa. Dari mulutnya yang pipih lancip itu tiap
sebentar menjulur lidahnya yang bercabang. Si Bungsu masih tetap membekap mulut Han Doi, dan tubuh
mereka tetap mengapung diam mematung di permukaan air rawa. Menatap dengan jantung menggigil pada
monster raksasa penunggu rawa dahsyat itu.
Dalam Neraka Vietnam -bagian-574
Setelah menggeliat, raksasa itu meluncur ke arah tengah rawa. Mereka masih tak mampu bergerak dari
tempatnya, kendati bahagian ekor monster menakutkan itu sudah lama lenyap ke dalam kabut di bahagian
tengah rawa. "Kita harus segera bergerak?" ujar Si Bungsu tanpa dapat menyembunyikan suaranya yang
menggigil. "Iy" iya?" ujar Han Doi yang tak mampu menahan kencingnya untuk tak terpancar sesaat setelah
melihat raksasa dahsyat itu tadi. Mereka bergerak cepat ke tepi rawa.
"Mencari apa kita kemari?" tanya Han Doi setelah mengikuti Si Bungsu berputar-putar beberapa saat di
dalam hutan di pinggir rawa tersebut. "Mencari kayu itu?" ujar Si Bungsu sambil menunjuk batang kayu kuning
keputih-putihan sebesar dua kali pelukan manusia dewasa. "Kayu ini besar daya apungnya di air. Bisa kita
Koleksi eBook : Drs. H. Hendri Hasnam, MM. 600
jadikan rakit untuk menerobos rawa ini ke hulunya," ujar Si Bungsu tatkala mereka mulai menebang kayu besar
tersebut. Han Doi merasa takjub pada pengetahuan lelaki Indonesia ini tengah rimba belantara dan jenis kayu
yang tumbuh di dalamnya. Sebab, ketika menebang kayu besar itu parangnya seperti memakan kayu gabus.
Dalam waktu yang tak begitu lama, dan tanpa harus membuang tenaga banyak, kayu itu segera tumbang arah
ke danau. "Potong-potong sepanjang tiga depa, sebatang kayu ini bisa dapat tiga potong. Saya akan mencari
sesuatu?" ujar Si Bungsu sambil meninggalkan Han Doi. "Hei, jangan tinggalkan saya. Nanti monster di rawa
itu datang lagi kemari?" ujar Han Doi. "Kalau dia datang, suruh tunggu saya sebentar?" ujar Si Bungsu sambil
menyelinap ke dalam hutan.
Han Doi menggerutu panjang pendek, sembari tiap sebentar menoleh ke arah rawa, di mana tadi dia
baru saja melihat monster yang teramat dahsyat. Setelah kayu itu terpotong menjadi tiga bahagian, Han Doi
mencari rotan dan mengapitnya dengan kayu sebesar-besar betis. Si Bungsu tiba dengan memikul nangka
hutan, pisang dan empat buah durian.
"Hei dari kebun mana kau panen buah-buahan itu?" ujar Han Doi berseloroh. "Kau makanlah, saya akan
merampungkan rakitmu ini?" ujar Si Bungsu. Dia mendekati rumpun bambu kuning yang tumbuh tak jauh dari
tepi rawa. Memotongnya belasan batang. Kemudian dengan cepat mengikatnya menjadi lantai di bahagian atas
rakit tersebut. Han Doi terkesima ketika melihat betapa bagusnya rakit itu kini. "Mari kita apungkan ke air?"
ujar Si Bungsu. Dengan mudah mereka berdua memikul rakit itu ke air. Ketika diletakkan di air, rakit itu mengapung
dengan bagusnya. "Ayo ambil buah-buahan tadi, kita jemput Thi Binh dan ayahnya?" ujar Si Bungsu sambil
membersihkan tiga batang bambu, masing-masing sepanjang sepuluh depa, untuk galah menjalankan rakit
tersebut. Mereka naik ke rakit itu. Kemudian perlahan Si Bungsu yang tegak di bahagian depan rakit menancapkan
bambu panjang itu ke dasar rawa. Dengan menekan bambu tersebut Si Bungsu berjalan sepanjang pinggir rakit
tiga meter itu ke belakang. Rakit itu segera meluncur di atas air.
Si Bungsu kemudian mencabut bambu itu, lalu berjalan ke depan. Menancapkan kembali, dan
menekannya sambil berjalan ke belakang. Dengan cara demikian rakit itu meluncur cepat ke depan. Hanya
sekitar lima belas menit bergalah, mereka sampai ke pohon yang dimana Thi Binh dan ayahnya menunggu.
Kedua anak beranak itu tercengang melihat rakit berlantai bambu kuning, yang terlihat amat elok tersebut.
"Kita akan memulai perjalanan ke selatan. Kita akan bergantian bergalah. Saya duluan. Namun yang lain
harus memperhatikan dengan seksama setiap dahan dan cabang yang menggantung, serta setiap pohon atau
dahan yang mengapung di air. Dalam rawa angker ini, benda-benda itu bisa saja bukan cabang, dahan atau
pohon melainkan ular, buaya atau makhluk berbahaya lainnya, yang mungkin belum pernah kita temui?" ujar
Si Bungsu tatkala Thi Binh dan Duc Thio sudah berada di rakit tersebut.
Ketika Si Bungsu bergalah, dan rakit itu bergerak maju di antara pepohonan rakasa, Thi Binh melahap
durian dan nangka hutan yang amat harum dan nikmat rasanya itu. Setelah beberapa saat bergalah, dan melihat
Thi Binh masih saja memakan buah-buahan itu dengan nikmat, Si Bungsu tiba-tiba ikut merasa amat lapar. Dia
menyerahkan galah kepada Han Doi.
"Hindari lewat di bawah cabang-cabang kayu, hindari menerobos belukar. Hindari kayu-kayu besar yang
mengapung. Hindari kabut yang terlalu tebal. Tetaplah pertahankan posisi ke arah matahari terbenam," ujar Si
Bungsu pada Han Doi, saat dia akan duduk bersila di bahagian belakang rakit berhadap-hadapan dengan Thi
Binh. Si Bungsu segera ikut melahap durian yang isinya sebesar-besar lengannya itu. Dalam sebuah ruang
hanya ada seulas atau sebuah isi durian. Bijinya tak sampai sebesar jempol tangan. Isi durian itu liat seperti
ketan. Rasanya nikmat luar biasa. "Di Indonesia ada buah seperti ini?" tanya Thi Binh ketika melihat betapa Si
Bungsu melahap buah yang kulitnya berduri itu seperti orang kalap.
Si Bungsu hanya mengangguk setelah menelan ulas ke empat, kemudian sendawa. Kemudian menatap
ke depan. Han Doi yang tegak di sisi kanan rakit sedang menancapkan galahnya.
Dari bahagian galah yang tersisa di bahagian atas, Si Bungsu tahu rakit mereka kini berada di tempat yang tak
begitu dalam airnya. Paling-paling hanya sebatas paha. Sekitar lima depa di bahagian kiri mereka ada belukar
lebat yang memanjang ke depan.
Di depan, sekitar sepuluh depa dari rakit mereka, terdapat kumpulan kabut tebal. Han Doi tengah
menggalah rakit menuju arah kabut tersebut. Si Bungsu mencuci tangannya ke air rawa. Matanya nanap
menatap kabut tebal yang mengapung di atas pepohonan di permukaan rawa di depan sana.
Koleksi eBook : Drs. H. Hendri Hasnam, MM. 601
Thi Binh yang sejak tadi menatap Si Bungsu melihat sikap aneh lelaki Indonesia tersebut. Kening lelaki
itu berkerinyit. matanya disipitkan seolah-olah ingin menembus ketebalan kabut di depan sana, yang makin
lama makin didekati rakit. "Ada apa?" tanya Thi Binh perlahan.
Si Bungsu menggeleng. Namun tatapan matanya yang tajam tetap diarahkan ke depan. Sesaat dia
mengalihkan tatapannya ke kiri. Kemudian ke kanan, kemudian ke kabut tebal itu. Dia berdiri. "Berpegang eraterat ke bambu lantai rakit?" ujarnya perlahan pada Thi Binh. Kemudian kepada Han Doi yang sedang bergalah
dia berbisik. "Han Doi" Hentikan rakit"."
Dalam Neraka Vietnam -bagian-575
Han Doi tak perlu bertanya lagi kenapa rakit harus dihentikan. Dia yakin, bahwa Si Bungsu pasti
mempunyai alasan yang kuat sekali untuk menyuruh menghentikan rakit. Dia lihat Si Bungsu mengambil bedil
yang terletak di samping Thi Binh. Sementara Duc Thio segera pula paham, lelaki Indonesia ini mencium
bahaya. Dia juga menyiapkan bedilnya serta matanya berusaha menatap keliling.
Si Bungsu menatap kepepohonan tinggi diatas kabut itu. Tak ada gerak apapun. Dia menatap ke kanan,
dan disana ada beberapa burung di dahan. Ada kupu-kupu di permukaan rawa. Tapi di pohon-pohon di atas
kabut itu, seperti tak ada kehidupan apapun.
Si Bungsu dengan cepat mencoba menaksir, berapa jauh sudah jarak yang mereka tempuh dari tempat
mereka tersobok ular besar ketika akan membuat rakit tadi, dengan tempat mereka berada sekarang. Mungkin
sudah jauh. Ular besar itu pun bergerak ketempat yang berlawanan dengan posisi mereka sekarang. Namun
apa yang ada di balik kabut itu"
Dia yakin ada bahaya. Nalurinya membisikkan, bahaya itu adalah ular raksasa tadi. "Belokkan rakit
kearah kanan.. perlahan?" bisik Si Bungsu kepada Han Doi. Han Doi mengangkat galahnya, menancapkannya
kedasar rawa. Kemudian menekannya. Haluan rakit berputar beberapa derajat. Kemudian bergerak ke arah
kanan, menjauhi kabut tebal yang tinggal hanya beberapa meter dari depan mereka. Dalam kesunyian yang
amat mencekam rakit itu bergerak perlahan.
Si Bungsu berjongkok, kemudian menatap ke air rawa yang merah kehitam-hitaman itu. Ada beberapa
daun kayu tua mengapung. Dia mencoba menemukan sesuatu di dalam air tersebut. Tidak ada yang dapat
dilihat di karenakan kentalnya air. Si Bungsu kembali menatap ke arah pepohonan besar yang kini berada di
sebelah kiri mereka, yang dipenuhi kabut.
"Han Doi, Duc thio, duduklah berjongkok" jangan berdiri"." bisik Si Bungsu sambil menatap tajam
kedalam kabut. Han Doi dan Duc Thio kembali tak membantah. Perlahan mereka menurunkan tubuh, Duc thio
tetap memegang bedilnya erat-erat. Tapi sebelum kedua orang itu sempurna berjongkok tiba-tiba bencana
yang diduga Si Bungsu segera menampakkan wujud!
Dari balik kabut, sekitar dua depa dari air, dari palunan dedaunan yang tak terlihat dari rakit, tiba-tiba


Tikam Samurai Karya Makmur Hendrik di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

meluncur sebuah benda berbentuk pipih segi tiga dengan bahagian depan ternganga lebar dan
memperlihatkan taring-taring besar dan lidah bercabang! Dengan suara mendesis tajam, kepala monster
raksasa itu menyambar dengan tajam cepat ke arah rakit. "Tiarap".!!" teriak Si Bungsu.
Bersama dengan teriakan itu, bedil yang sudah ditangan kanannya memuntahkan peluru. Dalam detik
yang sama pula, tangan kirinya merangkul tubuh Thi Binh saat dia menjatuhkan diri kelantai rakit.
Duc Thio dan Han Doi memekik histeris melihat besarnya kepala monster dengan panjang moncong
lebih dari dua meter itu menyapu dengan cepat kearah mereka. Senjata Duc Thio juga menyalak. Namun
pelurunya menghujam kedalam rawa, Duc Thio tanpa sadar menembak ketika dia sudah menelungkup dirakit.
Namun kemudian kepala ular itu lenyap kembali masuk kedalam palunan dedaunan dua meter diatas
permukaan air, yang memutih dipagut kabut tebal. Si Bungsu segera memuntahkan peluru kearah palunan
dedaunan ke mana makhluk itu lenyap.
Dalam Neraka Vietnam -bagian-576
Han Doi yang segera dapat menguasai diri juga memungut bedil, lalu ikut memuntahkan peluru ke arah
yang sama. Demikian juga dengan Duc Thio. Sepi ! "Ada apa?" bisik Thi Binh yang terlungkup di bawah pelukan
tangan kiri Si Bungsu di lantai rakit. Thi Binh sangat beruntung karena tak sempat melihat wujud monster yang
menyerang rakit mereka sebentar ini. "Ada bahaya?" bisik Si Bungsu sambil matanya menatap ke dedaunan
dalam arah kabut yang sudah mereka siram dengan peluru bedil itu.
Koleksi eBook : Drs. H. Hendri Hasnam, MM. 602
"Tetaplah menelungkup, pejamkan mata dan berpegang erat-erat, Thi Binh?" bisik Si Bungsu, kemudian
berbisik ke arah Han Doi. "Han Doi" potong dua galahmu itu. Kayuh rakit ini terus, namun posisimu harus
tetap menelungkup?" Han Doi tak perlu diberitahu sampai dua kali. Sambil tetap menelungkup dia memotong
galahnya. Lalu potongan galah itu dia tancapkan ke air, dan menekannya. Rakit bergerak perlahan menjauhi
kabut tersebut. Si Bungsu bangkit. Dia berdiri dan menatap ke arah pepohonan berkabut itu sambil mengerenyitkan
kening. Dia yakin monster itu masih menatap ke arah mereka dan menunggu kesempatan. Tak ada sesuatu
yang bergerak di dalam kabut itu. Si Bungsu mengangkat bedil dan menembak. Namun baru peluru pertama
yang menyembur, tiba-tiba kepala monster itu muncul secepat kilat dan mendesis dengan mulut menganga
lebar, menyambar ke arah rakit.
Duc Thio menembak, namun gerakan melengkung kepala ular itu dari arah kanan ke kiri, seperti gerakan
sabit, amat cepat. Bahkan Si Bungsu sendiri tak sempat beraksi. Pelurunya dan peluru dari bedil Duc Thio tak
mengenai sasaran sebuah pun. Tragisnya, moncong ternganga dengan taring yang panjangnya hampir setengah
meter itu kini menyapu ke arah Si Bungsu yang dalam posisi tegak. Si Bungsu tak sempat lagi menembak.
Kepala monster yang menganga lebar itu, dengan dua biji mata merah sebesar tinju di kepalanya, hanya tinggal
semeter di bahagian kanannya. Dengan gerakannya yang amat cepat, tubuh Si Bungsu hanya tinggal hitungan
detik untuk masuk ke dalam moncong makhluk dahsyat itu.
Si Bungsu tidak menunduk, dia mencoba berkelit dengan memajukan kaki dan menundukkan badan.
Namun sambaran kepala itu sampai sudah. Kendati dia tidak kena terkam, namun tubuhnya kena sabet ular
dahsyat itu. Saat itu Si Bungsu melihat bahwa kepala ular besar ini memiliki dua tanduk yang panjang masingmasingnya sejengkal, tertancap tak jauh di atas kelompak matanya. Hanya itu yang sempat dia ingat. Sebab
setelah itu tubuhnya tercampak amat jauh ke air akibat terkena senggolan kepala ular raksasa tersebut. Hanya
dalam hitungan detik, kepala raksasa itu kemudian lenyap ke dalam kabut. "Kayuh rakit itu terus, Han Doi"!"
pekiknya sesaat sebelum tubuhnya tercemplung ke air.
Han Doi berhenti mengayuh rakit itu. Dia menatap ke arah Si Bungsu yang tercampak sekitar sepuluh
depa dari rakit. Thi Binh memekik. "Menjauh dari sini, Han Doi"!" teriak Si Bungsu, yang sudah tegak di dalam
air sebatas pinggang. Namun saat itu pula kepala naga raksasa itu muncul. Kali ini kepalanya menyapu rendah
di atas permukaan air, dengan tubuh yang nampaknya melilit ke kayu besar di dalam kabut, moncongnya yang
menganga lebar menyabet seperti lengkung sabit ke arah tubuh Si Bungsu.
Kali ini Si Bungsu juga tetap tak bisa menembak. Waktunya sangat singkat, namun dengan tubuh tegak
di dalam air, dia menghadap ke arah datangnya sambaran moncong kepala bertanduk yang amat menjijikkan,
sekaligus mengerikan itu. Baik Duc Thio, Han Doi maupun Thi Binh hanya bisa menatap dengan terpaku di rakit
mereka, melihat moncong ular besar itu menganga lebar menyambar ke arah Si Bungsu. Menjelang moncong
ular besar itu sampai, Si Bungsu menegakkan posisi bedilnya lurus-lurus dan merentangkan tangan kanannya
yang berbedil itu ke arah datangnya sambaran moncong ular itu.
Thi Binh terpekik, Duc Thio dan Han Doi merasa dilumpuhkan tatkala melihat tubuh Si Bungsu disambar
ular itu dan terangkat tinggi ke udara. Namun hanya sesaat, tubuh Si Bungsu kemudian terlempar kembali ke
air. Sementara kepala raksasa itu kelihatan meliuk di udara. Liukannya kemudian makin keras, menghempas
dan membanting serta membuncah kabut, pohon dan dedaunan di mana tubuhnya melilit kukuh. Kini kabut di
selingkar pohon kayu besar dimana tubuhnya melilit, terkuak. Ular besar itu tetap menghempas dan mulutnya
tetap ternganga. Ternyata mulutnya tak bisa dikatupkan. Tersekang oleh bedil Si Bungsu.
Ternyata itulah jalan yang diambil Si Bungsu. Dia tak punya kesempatan untuk menembak. Kendati
badannya demikian besar, namun gerakan makhluk raksasa ini demikian cepat. Satu-satunya yang terlintas di
otak Si Bungsu adalah menyekang moncong ular itu dengan bedilnya.
Maka ketika moncong menganga lebar itu menyambar ke arahnya, dia menegakkan bedilnya. Dan siasat
serta perangkapnya mengena. Moncong ular itu menyambar dengan cepat, sekaligus bedil di tangan Si Bungsu
masuk ke moncongnya dan terhenti dengan posisi tegak pada bahagian pangkal moncongnya. Merasa tubuh Si
Bungsu sudah berada di moncongnya, ular itu mengatupkan mulutnya, kemudian meliukkan kepala ke atas.
Tubuh Si Bungsu ikut terangkat karena dia masih memegang bedilnya dengan kuat. Tubuhnya baru terlepas
dan tercampak setelah kepala ular itu menghempas-hempas di udara.
Makhluk raksasa itu nampaknya menjadi berang karena tak bisa mengatupkan mulutnya. Tersekang
oleh bedil yang masih tertegak di bahagian pangkal kerongkongannya. Dalam keadaan menghempas itu
terdengar suara aneh keluar dari moncong makhluk raksasa itu. Perpaduan seperti suara pekik ayam jantan
dan pekik monyet. Koleksi eBook : Drs. H. Hendri Hasnam, MM. 603
Si Bungsu dengan cepat berenang kembali ke arah rakit. Duc Thio menolongnya naik. Begitu dia sampai
di atas rakit, Thi Binh memeluknya dengan erat. Gadis itu menyurukkan mukanya di dada Si Bungsu sambil
menangis terisak-isak. "Jangan tinggalkan aku" demi Tuhan, jangan tinggalkan aku?" bisiknya di antara isak
tangis. Duc Thio menyemburkan peluru ke arah makhluk raksasa yang seolah-olah membuncah hutan
belantara di dalam kabut sekitar dua puluh meter dari rakit mereka.
Dalam Neraka Vietnam -bagian-577
"Jangan habiskan peluru. Jika bedil di mulutnya tak terlepas, dia akan mati sendiri. Mungkin dalam
sebulan, mungkin dalam dua bulan"." ujar Si Bungsu sambil meraih galah. "Han Doi ambil galah. Kita harus
segera menyingkir dari sini. Raksasa ini bukan yang bertemu dengan kita tadi pagi. Ini yang jantannya,
kepalanya bertanduk. Yang pagi tadi betinanya. Dia pasti tak jauh dari sini?" ujar Si Bungsu. "Thi Binh".
duduklah, ya. kita harus bergerak cepat?" ujar Si Bungsu membujuk gadis itu agar mau melepaskan pelukan
dari tubuhnya. Thi Binh memang melepaskan pelukannya namun tak jauh-jauh. Dia menyelosoh duduk di lantai rakit.
Namun kedua tangannya masih memeluk kaki Si Bungsu. Si Bungsu dan Han Doi mulai menancapkan galah ke
dasar rawa, kemudian menekannya sehingga rakit itu menjauhi neraka yang masih saja membuncah hutan di
belakang mereka. "Makhluk itu ada dua ekor?"" tanya Duc Thio yang masih berlutut di rakit sambil memegang bedil dan
menatap kepala ular besar itu yang sebentar-bentar muncul dari dalam kabut. "Ya. Tadi pagi ketika akan
membuat rakit ini saya dan Han Doi bertemu dengan yang betina dalam jarak yang amat dekat?" ujar Si Bungsu
sambil menekan galah ke arah ke belakang kuat-kuat.
Dengan dua orang lelaki dewasa yang menggalah, rakit itu meluncur dengan cepat menyeruak di antara
pepohonan besar, menembus kabut dan dedaunan, menjauh dan meninggalkan tempat yang amat menakutkan
itu. Rawa ini sungguh-sungguh rawa maut. Nampaknya memang tak seorangpun yang pernah menerobosnya.
Mungkin juga tidak pernah dijejak tentara Amerika atau Vietnam Utara maupun Selatan dalam pertempuran
dahsyat selama belasan tahun.
"Han, arahkan rakit ke kayu besar itu?" ujar Si Bungsu tatkala menjelang sore dia melihat sebuah pohon
yang sebahagian daunnya berwarna kuning dan sebahagian lagi berwarna merah di tengah rawa yang maha
luas itu. Han Doi mengarahkan rakit tersebut ke arah kayu yang dimaksud Si Bungsu. Di bawah pohon yang
tegak tinggi menjulang itu mereka berhenti. Si Bungsu menatap ke daun-daun kayu yang berserakan dan
mengapung di permukaan air. Kemudian memperhatikan bahagian batangnya yang berada di permukaan air.
Batang pohon berwarna putih itu dipenuhi lumut, mulai semeter di atas air sampai ke bahagian bawah
yang terendam ke air. Si Bungsu meraih beberapa lembar daun kayu yang mengapung di air itu. Kemudian
mendekatkan rakit ke pohon. "Pinjam saya parangmu?" ujar pada Han Doi.
Dengan parang dia kikis lumut yang tumbuh di pohon tersebut sampai dua genggam. Kemudian dia tatap
pohon itu dua kali. Dari bekas tetakan parang kelihatan mengalir getah berwarna kehijau-hijauan dan
menyebarkan bau agak harum. Si Bungsu kembali mengambil lumut pohon itu, lalu mengapungkan lumut di
genggamannya ke getah yang menetes perlahan. Setelah merasa cukup, dia menyuruh Han Doi kembali
menjalankan rakit. Dia lalu duduk dan meremas-remas daun kayu yang tadi dia ambil dengan lumut yang sudah
dilumur getah pohon tersebut. Semua perbuatannya dilihat dengan diam oleh Thi Binh dan Duc Thio.
Kemudian ketika rakit melewati sebuah pohon yang agak rendah, dia memetik sehelai daunnya yang
lebar. Ramuan yang dia remas tadi dia letakkan di daun tersebut. Membuatnya merata di seluruh lebar daun,
kemudian meletakkanya di bahagian belakang rakit. "Saya tak tahu apa nama pohon itu tadi. Namun pohon itu
amat langka. Bahkan di negeri saya pun tak ada. Dari bentuk batang dan daun, dari bau yang disebarkannya,
orang yang ahli meramu obat akan tahu bahwa bahagian-bahagian pohon itu amat bermanfaat untuk ramua
obat, guna menyembuhkan berbagai bentuk penyakit dan luka?" paparnya sambil menatap pada Duc Thio.
Duc Thio dan Han Doi segera teringat pada ramuan yang diminumkan Si Bungsu kepada Thi Binh
kemarin malam. Ingat pada ramuan yang diminumkan itu, baik Han Doi maupun Duc Thio menatap pada Thi
Binh. Mereka baru menyadari, bahwa luka mirip kudis berair yang beberapa hari lalu muncul di sudut bibir Thi
Binh, kini sudah lenyap sama sekali. Hanya tersisa sedikit seperti bekas luka yang sudah mengering. Dan
kondisi Thi Binh sendiri kelihatan amat sehat. Wajahnya yang kemarin pucat, kini kembali bersemu merah.
Kecantikannya seperti pulih.
Dalam Neraka Vietnam -bagian-578
Koleksi eBook : Drs. H. Hendri Hasnam, MM. 604
"Seperti obat yang diberikan pada Thi Binh?" tanya Han Doi sambil menancapkan galah didasar rawa.
"Ya, tapi jauh lebih manjur?" ujar Si Bungsu. "Anda mempelajarinya di Indonesia?" tanya Duc Thio. "Mula-mula
ya. Namun dalam bentuk yang amat sederhana. Pengetahuan yang paling berharga tentang flora yang amat
manjur dibuat obat saya pelajari ketika saya di Jepang dan Amerika?" "Di Jepang dan Amerika?" tanya Duc
Thio. "Ya.." "Dari para dokter?" "Tidak, dari seorang Jepang yang bernama Zato Ichi dan Indian bernama
Yoshua. Ilmu tentang tumbuh-tumbuhan yang bermanfaat untuk obat-obatan ini sudah sulit di temukan.
Orang-orang yang punya ilmu meramunya lebih sulit lagi di temukan?" tutur Si Bungsu. Dia lalu menuturkan
tentang Kina, yang rasa getahnya amat pahit, yang tidak hanya bermanfaat menyembuhkan demam tetapi juga
malaria. Obat yang berasal dari tetumbuhan di Indonesia itu kini sudah dikenal di seluruh dunia. "Bukankah
tadi anda bilang, pohon tadi tak anda temukan di Indonesia?" kembali Duc Thio bertanya.
"Ya"." "Apakah tumbuhan itu Anda temukan di Jepang dan Amerika?" "Juga tidaak?" "Lalu, dimana kayu
seperti itu pernah anda temui?" tanya duc Thio lagi. "Tidak pernah, baru di rawa ini?" "Baru dirawa ini?" "ya."
"Apakah anda yakin kayu tadi memang punya manfaat untuk menyembuhkan segala penyakit, termasuk luka?"
"Ya?" "Bagaimana anda mengetahuinya, padahal baru kali ini anda melihat pohon itu..?" Si Bungsu menarik
napas. Dia duduk bersila di rakit. "Itulah yang saya maksud ilmu mengenal tumbuhan dan pohon yang
bermanfaat untuk obat-obatan. Ada beberapa orang yang ahli untuk mengenal bentuk bentuk tetumbuhan dan
pepohonan yang berkhasiat itu. Pertama dari baunya, bau pohon yang berkhasiat itu tidak berbau oleh hidung
orang awam. Kalaupun mereka mencium bau dari pepohanan itu tapi tak tahu arti bau itu untuk obat-obatan.
Mungkin mereka tahu pohon itu untuk obat tapi dengan apa diramu dan apa bahan peramunya.." papar Si
Bungsu. "Maaf. Anda baru pertama kali menemukan pohon itu. Katakan lah anda tahu pohon itu berkhasiat buat
obat, dan anda juga tahu meramunya. Namun bagaimana anda tahu bahwa obat yang anda ramu itu "jauh lebih
baik" untuk berbagai bentuk penyakit, di banding obat yang anda berikan pada Thi Binh?" ujar Duc Thio.
Duc Thio sama sekali tidak meragukan kemampuan Si Bungsu dalam mengetahui pohon yang berkhasiat
untuk obat dan cara untuk meramunya dia yakin benar anak muda ini mahir. Namun, karena Si Bungsu
mengatakan baru pertama kali menemukan pohon itu dia memang ingin sekali mengetahui, apa ukuran jauh
lebih manjur sebagaimana diucapkan Si Bungsu. Si Bungsu juga tahu, tak ada maksud Duc Thio meragukan apa
yang dia jelaskan. Dia tahu, orang Vietnam ini bertanya karena didorong rasa ingin tahunya yang luar biasa.
"Pertama saya tak bisa menjelaskan apa yang menyebabkan saya begitu yakin. Barangkali karena naluri
yang kuat tentang belantara dan penghuninya. Saya pernah hidup tanpa bekal di belantara lebat selama lebih
dari dua tahun dalam keadaan luka parah. Secara alami hewan-hewan mengajarkan kepada saya. Melalui apa
yang mereka lakukan dan saya perhatikan, tentang bagaimana harus bertahan di belantara yang ganas.Baik
bertahan dari sergapan musuh yang lebih besar dan ganas, maupun bertahan hidup dari luka-luka yang mereka
alami dalam perkelahian. Sejak itu hutan itu sudah menjadi rumah saya. Di hutan saya seperti mengenal setiap
lekuk-likunya. Mengenai jaminan khasiat pohon yang baru pertama kali saya lihat itu, juga berdasarkan
naluri?" Si Bungsu kemudian mengambil parang yang terletak dekat Thi Binh. Sebelum ketiga orang Vietnam itu
memperhatikannya dengan seksama itu paham apa yang akan dia lakukan dengan parang yang amat tajam itu,
dengan cepat Si Bungsu menyayatkan parang itu kebetisnya!
Duc Thio dan Han Doi terkejut. Thi Binh terpekik. Darah mengalir dengan deras dari luka yang menganga
yang panjangnya sekitar sepuluh senti di betis Si Bungsu. Si Bungsu meletakkan parang dan meraih ramuan
obat yang dia taruh diatas daun yang berada di belakangnya.
Di ambilnya secubit daun dan lumut kayu yang sudah dicampur dengan getah pohon tersebut. Dia
masukkan kedalam luka yang menganga. Kemudian diratakannya sampai menutupi semua bahagian yang luka.
Tidak hanya ketiga orang Vietnam itu saja, Si Bungsu sendiri tercengang oleh akibat yang ditimbulkan oleh
ramuan tersebut. Darah yang semula mengalir deras tiba-tiba berhenti. Dan yang lebih dahsyat lagi, ramuan
tersebut seperti tersedot kedalam dagingnya. Kemudian luka yang menganga sekitar dua inchi itu perlahan
menutup. Hanya dalam hitungan beberapa menit betis Si Bungsu kembali bertaut. Di bekas luka itu hanya garis
putih memanjang. "Ya Tuhan". Ya Tuhan! Khasiat obat itu ternyata sepuluh kali lebih dahsyat dari dugaanku semula?"
ujar Si Bungsu sambil menolehkan mata ke arah pohon yang dia ambil daun, lumut dan getahnya.
Koleksi eBook : Drs. H. Hendri Hasnam, MM. 605
Dalam Neraka Vietnam -bagian-579
Namun, mereka sudah terlalu jauh bergerak. Pohon itu sudah lenyap di balik ribuan pohon-pohon lain
jauh di belakang sana. Ketiga orang Vietnam itu ternganga. Kalau saja mereka hanya mendengar orang
bercerita tentang khasiat ramuan itu, mereka pasti akan menganggapnya sebagai bualan kosong belaka.
Namun, bagaimana mereka bisa tak percaya, kalau kini mereka menyaksikan dengan mata kepala mereka
sendiri" Ya, jika Si Bungsu saja yang mengenal amat banyak pohon yang berkhasiat tinggi sudah terkejut melihat
demikian cepat reaksi penyembuhan ramuan dari pohon tersebut, tentu saja ketiga orang Vietnam itu jauh
lebih terkejut lagi. Si Bungsu menatap keliling. Ke pohon-pohon yang memenuhi rawa tersebut. Ke airnya yang
hitam kemerah-merahan. "Hutan di rawa ini sangat kaya dengan bahan obat-obatan. Mungkin suatu hari kelak,
orang yang mendirikan pabrik obat akan mencari bahan bakunya kemari?" ujar Si Bungsu perlahan.
Si Bungsu terkejut ketika merasa air membasahi kakinya. Ketika dia menoleh, dia lihat Thi Binh menyauk
air dari rawa dengan tangannya, kemudian membasuhkan darah di betis Si Bungsu, yang tadi mengalir dari
luka yang menganga itu. "Hei, terimakasih?" ujar Si Bungsu sambil memegang tangan Thi Binh.
Kemudian dia mencelupkan kakinya ke rawa. Membersihkan sisa darah yang masih melekat di sana.
Ketika malam hampir turun, Si Bungsu memetik dedaunan beberapa kayu yang tumbuh seperti semak di rawa
tersebut. Kemudian membawa rakit ke tepi. Dia memilih tempat untuk beristirahat di bawah sebuah pohon
yang rindang, sekitar sepuluh depa dari tepi rawa. Ketiga orang Vietnam itu tak perlu bertanya apakah tempat
itu aman atau tidak. Mereka yakin, nyawa mereka berada di bawah perlindungan lelaki asing yang luar biasa
ini. "Kita istirahat di sini menjelang subuh datang?" ujar Si Bungsu.
Di bawah pohon rindang itu tanahnya datar dan bersih. Tak ada semak atau rumput yang tumbuh.
Bersama Han Doi, dia menenteng rakit yang terbuat dari kayu gabus itu ke bawah pohon tersebut. "Lebih
nyaman tidur di atas lantai bambu ini daripada di atas dedaunan kayu?" ujar Si Bungsu. Duc Thio dan Thi Binh
ternganga heran melihat betapa ringannya rakit besar itu ditentang hilir mudik. Ukuran rakit itu memang
cukup luas untuk tempat tidur bagi lima atau enam orang dewasa. Si Bungsu kemudian berjalan ke tepi rawa,
membawa dedaunan yang tadi dia petik. Daun-daun itu dia remas, kemudian mencampurnya dengan sedikit
lumpur yang dia ambil dari rawa. Kemudian dia kembali ke bawah pohon.
Dedaunan yang sudah diremas dengan sedikit lumpur itu dia tebarkan dua depa di sekeliling rakit.
Kemudian dia menatap pada agas dan nyamuk yang semula bertebaran di bawah pohon itu. Hanya beberapa
detik setelah "ramuan" itu dia sebar, sebagian dari agas dan nyamuk itu berjatuhan menggelepar-gelepar mati.
Sebagian besar lainnya pada berhamburan terbang menjauh. "Mujarab obat nyamuk tradisional ini kan?" ujar
Si Bungsu sambil tersenyum.
Duc Thio dan Han Doi tak bisa berbuat lain, kecuali kagum. Mereka tak mengerti, kenapa nyamuknyamuk itu pada meregang nyawa. Padahal ramuan yang ditebar lelaki dari Indonesia ini baunya tidak seperti
berbagai obat nyamuk yang mereka kenal. Ramuan basah yang disebar Si Bungsu justru berbau agak harum.
Tapi bukan soal harum atau tak harumnya itu yang membuat mereka kagum. Yang membuat mereka tak habis
pikir adalah bagaimana lelaki asing ini demikian hafalnya pada bentuk-bentuk semak dan pepohonan yang
memiliki khasiat untuk obat atau racun. "Han Doi, kumpulkan dahan dan ranting kayu kering. Buat api unggun
agar kita bisa memasak sesuatu untuk makan malam ini?" ujar Si Bungsu.
Dia meraih salah satu galah bambu yang panjangnya sekitar sepuluh depa itu. Kemudian berjalan ke
rawa. Namun sebelum mencapai bibir rawa dia berhenti. Menoleh kepada Thi Binh, yang duduk di rakit dan
juga sedang menatap ke arahnya. Sambil meruncingkan bahagian ujung bambu itu dia bertanya. "Hei, adik kecil,
engkau suka makan ikan bakar?"
Thi Binh yang tak mengerti kemana arah pembicaraan itu hanya mengangguk. Si Bungsu melambaikan
tangan. Menyuruh Thi Binh datang padanya. Gadis itu segera bangkit dan berjalan mendekati Si Bungsu.
Sementara ayahnya dan Han Doi sedang mengumpulkan dahan-dahan dan ranting kering, sebagaimana tadi
diminta Si Bungsu. Mereka menyusun dahan kering itu antara rakit dengan pohon besar yang rindang tersebut.
"Engkau pernah menombak ikan?" tanya Si Bungsu yang baru selesai meruncingkan ujung galah bambu
kepada Thi Binh yang sudah tegak di dekatnya. Thi Binh menggeleng. "Pernah makan ikan bakar?" Thi Binh
mengangguk. "Suka?" Thi Binh mengangguk, bibirnya tersenyum. "Dari sungai di belakang rumah?" jawah
gadis itu. "Berapa besar sungai itu?" "Cukup besar"." "Dalam?" "Tidak begitu dalam. Batu-batu besar banyak di
sungai tersebut. Sungai itu baru dalam airnya jika musim hujan". "Berapa besar ikan pernah didapat orang di
sana?" "Sebesar paha"." "Paha orang dewasa..
Koleksi eBook : Drs. H. Hendri Hasnam, MM. 606
Dalam Neraka Vietnam -bagian-580-581
"Paha orang dewasa atau paha belalang?" Thi Binh tertawa dan mencubit lengan Si Bungsu. "Sebesar
pahamu?" ujar gadis itu. "Haw, cukup besar. Ayo kita cari ikan sebesar itu?" ujar Si Bungsu sambil melangkah
ke tepi rawa. Thi Binh mengikuti dari belakang. "Tunggu saja disini. Jangan ikut masuk ke air"." ujar Si Bungsu
ketika akan melangkah memasuki air.
Senja sebenarnya belum turun utuh. Namun karena rawa itu dikepung belantara lebat, cuaca disana
sudah cukup gelap. Dua depa melangkah ke air sudah setinggi betis Si Bungsu. Dia tegak sambil menatap ke air
didepannya. Tangan kanannya mengangkat galah yang sudah diruncingkan itu setinggi bahu. Thi Binh menatap
dengan tegang. Begitu juga dengan Han Doi dan Duc Thio di bawah pohon sana. Tiba-tiba Si Bungsu
menghunjamkan galah bambu itu ke sebelah kanan. Galah itu meluncur sekitar empat depa, kemudian
tertancap. Si Bungsu melangkah dua depa, meraih galah itu, dan mengangkatnya. Namun galah itu kosong!
"Waw, ikan-ikan itu malu padamu. Nona kecil?" ujar Si Bungsu pada Thi Binh. Gadis itu tersenyum,
melepaskan nafas yang tadi tertahan. Dan saat itu tiba-tiba Si Bungsu menghunjamkan lagi galah yang runcing
itu ke air, tetap kearah kanannya! Kali ini galah itu tidak di hunjamkannya sambil di lepaskan seperti tadi.
Bahagian ujung galah yang sepuluh depa itu tetap dia pegang. Ujung galah itu kelihatan menggeletar. Dan ketika
di angkat Si Bungsu, terlihat seekor ikan yang agak putih, besarnya tak kurang dari sebesar paha Thi Binh,
beratnya barangkali sekitar 10 kilo, tersate, menggelepar-gelepar. "Dapat! Waw, dapat".!" teriak Thi Binh
sambil melangkah ke air.

Tikam Samurai Karya Makmur Hendrik di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Si Bungsu menyerahkan galah itu padanya. Thi Binh lalu membawa ikan besar itu ke darat. "Tunggu.
Ikan itu harus kita buang isi perutnya?" ujar Si Bungsu sambil mencabut parang yang dia sisipkan di pinggang.
Thi Binh menyerahkan kembali galah itu kepada Si Bungsu. Si Bungsu mencabut ikan itu dari galah.
Meletakkanya di tanah, kemudian membelah perutnya, mengeluarkan isi perut ikan itu dan melemparkannya
ke rawa. "Hei, ikan ini bertelur" ujar Si Bungsu memperhatikan bagian di atas rongga perut ikan itu. Telurnya
banyak sekali. "Pernah makan telur ikan?" tanya Si Bungsu. Thi Binh yang duduk mencangkung di samping Si
Bungsu menggeleng. "Nah, nantikan rasakan betapa nikmatnya rasa telur ini.." ujar Si Bungsu sambil mencuci
ikan itu di rawa. Namun ketika mereka sampai ke bawah pohon di mana dahan-dahan kering sudah di susun bersilang,
masalah segera muncul. "Tidak membawa korek api?" tanya Si Bungsu. Han Doi menggeleng. "Maafkan, saya
lupa membawanya. Korek itu terletak di atas tungku?" ujar Duc Thio dalam nada bersalah. Thi Binh menatap
pada Si Bungsu. Si Bungsu mengerdipkan mata kepada gadis itu. "Anda membawa korek api kan?" ujar gadis
itu tersenyum. Sambil membalas kerdipan Si Bungsu. Si Bungsu menggeleng.
"Anda bohong. Pasti ada?" ujar Thi Binh. "Sungguh mati, saya tidak merokok. Untuk apa saya membawa
korek api?" ujar Si Bungsu sambil meyerahkan ikan besar itu pada Han Doi "Cari kayu hidup sekitar satu depa,
runcingkan dan tusuk ikan ini dari ekor sampai mulutnya, agar mudah di bakar. Kita coba menghidupkan
apinya.." ujar Si Bungsu.
Dia menatap keliling. Mencoba menembus kegelapan untuk melihat kalau-kalau di sekitar itu ada batu.
Namun dari struktur tanah dan pepohonan rawa ini sebenarnya dia sudah tahu, tidak akan ada batu walau
sebesar kelingking di areal ratusan meter di sekitar mereka. "Kau benar-benar ingin makan ikan besar itu?"
ujar Si Bungsu pada Thi Binh. "Ya, saya lapar sekali. Tapi bukan karena lapar itu, saya ingin menikmati
bagaimana benar enaknya telur ikan?" ujar Thi Binh. Si Bungsu menggelengkan kepala.
"Kenapa menggeleng?" "Ada keinginanmu yang lebih besar dari sekedar mencicipi rasa telur ikan itu.."
ujar Si Bungsu. "Apa?" ujar Thi Binh. "Yang sangat kau ingin tahu, Nona kecil, adalah bagaimana cara aku
membakar ikan itu tanpa korek api, bukan?" ujar Si Bungsu. Thi Binh ternganga. Sungguh, itulah yang memang
paling di inginkannya. Perutnya memang lapar. Dia memang ingin sekali merasakan bagaimana enaknya telur
ikan itu. Namun yang paling di inginkannya adalah bagaiman lelaki hebat yang selalu datang dalam mimpinya
ini bisa menghidupkan api.
"Iya, kan?" tanya Si Bungsu. Thi Binh mencibir. Kemudian menggeleng dua kali. "Syukurlah kalau
memang tidak. Kita makan daging ikan mentah saja?" Ucapan Si Bungsu belum berakhir, segera di potong oleh
cubitan Thi Binh ke lengannya. "Lho, kok mencubit" Benar kan yang aku katakan.."
Thi Binh kembali mencibir, kemudian menggeleng. Namun cubitan tangannya semakin kuat ketika ia
lihat Si Bungsu akan menjawab seperti tadi. "Baik, Baik.. kau memang tak ingin melihat. Aku yang ingin pamer
bagaimana nenek moyang kita dulu menghidupkan api, bukan?"ujar Si Bungsu. "Ya, harus begitu?" ujar Thi
Binh sambil kembali menguatkan cubitannya, sehingga Si Bungsu terpekik.
Koleksi eBook : Drs. H. Hendri Hasnam, MM. 607
Thi Binh mengikuti Si Bungsu ketika melangkah ke arah dahan-dahan kering yang sudah tersusun itu.
Berjongkok dan mengambil sebuah dahan sebesar lengan yang cukup keras. Dengan parang dia potong dahan
itu. Yang sepotong dia belah dua. Dari dahan yang terbelah dua itu, yang sebelah dia potong hingga panjangnya
tinggal sejengkal. Kemudian dia raut hingga sebesar jari, lalu ujungnya dia runcingkan. Yang sepotong lagi, yang masih
utuh sebesar lengan, dia tetak, sehingga pada dahan itu itu tercipta lobang sebesar ibu jari dengan kedalaman
sekitar tiga centimeter. Dahan kering sebesar lengan itu dia letakkan di tanah dekat dahan-dahan kering yang
sudah tersusun rapi itu. "Pegang ini.." ujar Si Bungsu menyerahkan kayu sebesar ibu jari yang ujungnya sudah agak runcing itu.
Kemudian dia membuka jam tangannya. Menekan jam tangan itu beberapa kali. Tiba-tiba dari badan jam itu
melenting kawat baja halus sepanjang lebih kurang satu meter. Kawat itu dia gelungkan dengan kuat beberapa
kali ke kayu Thi Binh. Kemudian Si Bungsu mengumpulkan segenggam semak kering. Kemudian dia atur semak
kering itu agak menutupi lobang di dahan yang dia buat tadi, kemudian berjalan kearh rakit dan mengambil
sebuah handuk kecil dari tasnya.
"Baik, berdoalah, semoga api ini bisa hidup?" ujarnya sambil membelah handuk itu menjadi dua
bahagian, masing-masing dia lilitkan ke tangannya. Kemudian dia ambil kayu kecil yang di pegang Thi Binh.
"Saya akan memutar dahan kecil ini, jika saya beri tanda, terjadi gesekan ketika kayu ini berputar, anda yang
menekannya, Nona kecil. Jika saya katakan keras, tekan dengan keras oke?" ujar Si Bungsu pada Thi Binh. Gadis
itu mengangguk sambil meraih dahan yang dibelah Si Bungsu tadi.
Mereka berempat berlutut mengitari dahan kering berlobang yang ditutupi rumput kering halus itu. Si
Bungsu memasukan ujung kayu runcing yang dia lilit dengan kawat baja tersebut ke lobang kecil itu. Kemudian
dia mulai menarik kawat baja yang sebelah kanan dengan mengendurkan yang sebelah kiri. Hanya sesaat, kini
giliran kawat sebelah kiri yang dia tarik dan sebelah kanan yang dia kendurkan. Dalam beberapa tarikan, kayu
itu mulai berputar. Makin lama putarannya makin kencang seperti gasing. "Yap, tekan!!"ujar Si Bungsu
perlahan ketika kayu kecil itu mulai berputar laju.
Thi Binh menekankan belahan kayu di tangannya kebahagian atas kayu yang berputar ligat itu. Terjadi
gesekan antara ujung kayu yang agak runcing itu dengan tepi lobang di dahan kayu kering yang di bawahnya.
"Agak keras?" ujar Si Bungsu. Thi Binh menekan agak keras. Gesekan kayu yang berputar kencang itu
menimbulkan panas. Makin lama makin kencang. Makin lama gesekan itu meningkatkan panas di dua kayu
yang bergesekan tersebut. Tiba-tiba asap mengepul sedikit dari gesekan kedua kayu kering itu. "Hidup"!"
sorak Thi Binh sambil melepaskan tekanannya pada kayu itu.
Dalam Neraka Vietnam -bagian-582-583
Namun saat itu pula sorak gadis itu terhenti. Karena begitu tekanan dilepaskan Thi Binh, ujung kayu
yang berputar itu terangkat dan lepas dari lobang kecil tersebut. Asap pun lenyap dan Si Bungsu menarik nafas.
Wajahnya berpeluh. "Apanya yang hidup?"ujar Si Bungsu sambil tersenyum. Thi Binh terdiam. "Biar saya yang
menekannya?"ujar Han Doi.
"Tidak, biar Thi Binh. Agar dia punya andil dan belajar bagaimana menghidupkan api. Anda dekatkan
rumput-rumput halus itu ke lobang kayu jika berasap?" ujar Si Bungsu sambil kembali menarik-narik baja di
dua tangannya. "Siap?"" ujarnya pada Thi Binh setelah kayu itu mulai berputar kencang. Thi Binh mengangguk.
Si Bungsu kembali memutar "gasing" panjang itu. "Yap, tekan"!" ujarnya. Thi Binh menekan. Beberapa saat asap
kembali kelihatan sedikit. Makin lama makin banyak. "Han Doi"rumputnya".!" ujar Si Bungsu.
Han Doi mendekatkan rumput kering dan halus itu ke sekitar ujung kayu yang berputar ligat di
permukaan lobang dahan kayu kering itu. Asap semakin banyak, Si Bungsu semakin kuat memutar kayu
tersebut. Panas yang timbul akibat gesekan yang amat kuat antara dua kayu kering itu menimbulkan panas
yang makin tinggi. Lalu, tiba-tiba ada percik api memakan rumput kering tersebut. Lalu lagi, api menyala kecil.
Lalu lagi, Han Doi menambah rumput keringnya. Si Bungsu sampai berpeluh memutar kayu itu. Lalu.
Wwwwussss! "Nyala"!" seru Thi Binh takjub. "Nyala"!" seru Duc Thio dan Han Doi hampir bersamaan. Si Bungsu
terduduk di tanah bermandi peluh. Kemudian dia membuka gulungan kawat baja tersebut dari kayu kecil itu.
Kemudian menekan tombol di jam tangannya. Wuuuut! Kawat baja itu segera tergulung dan masuk kebahagian
bawah plat jam tersebut. Dengan mengeluarkan suara "klik" yang halus, sisi jam itu kembali menutup. Kawat
baja halus itupun lenyap dari pandangan.
Koleksi eBook : Drs. H. Hendri Hasnam, MM. 608
Han Doi cepat menambahkan rumput dan dedaunan kering. Api pun menyala, makin lama makin besar.
Duc Thio, menyusun hati-hati, ranting-ranting kecil ke api yang memakan ranting-ranting dan dedaunan
kering. Api itu segera memakan ranting-ranting kering tersebut. Han Doi dan Duc Thio secara hati-hati
memindahkan susunan dahan kering tadi ke atas api yang menyala itu. Hanya dalam waktu tak begitu lama,
tempat mereka di bawah pohon besar itu sudah terang benderang oleh api unggun.
Si Bungsu berdiri, berjalan ke belukar sekitar sepuluh depa dari pohon itu. Memotong dua buah dahan
kayu sebesar lengan. Menyisik ranting-rantingnya, meninggalkan sebuah cabang dan memotong cabang itu
sekitar sejengkal. Dia kembali kedekat api unggun. Menancapkan kedua dahan itu masing-masing disisi yang
berlawanan pada api unggun tersebut. "Taruh ikannya, Han?" ujar Si Bungsu.
Han Doi mengambil ikan yang sudah dia tusuk dengan kayu sebesar ibu jari kaki dan panjangnya hampir
sedepa. Kemudian meletakkannya pada dua cabang pendek dan sudah tersedia di dahan yang tadi ditancap Si
Bungsu. Kini ikan itu tepat berada di tengah api unggun yang semarak itu. Terdengar bunyi berdesis ketika
lidah api menjilati tubuh ikan besar tersebut. "Han Doi cari dahan-dahan kayu kering yang lebih besar. Agar
apinya tetap meyala sampai pagi. Nona kecil, kau jaga baik-baik ikan itu agar tak jadi arang. Nanti kau tak jadi
menikmati telur ikanmu. Saya akan cari garam, agar ikan itu tak hambar.." ujar Si Bungsu sambil berdiri.
Dia mengambil sebuah puntung yang agak besar dan masih menyala. Kemudian melangkah ke rawa.
Menyuluhi beberapa pohon perdu yang tumbuh di air sebatas paha itu. Kemudian mengambil lima sampai
sepuluh lembar pucuk daun dari tiga pohon yang berbeda. Di lemparkannya suluh puntung menyala tersebut
ke dalam air. Kemudian dengan kedua tangannya dia remas daun-daun tersebut, kemudian dia celupkan ke
dalam air. Kemudian mencicipi air remasan tiga jenis pohon tersebut. "Hmmmm, masih banyak rasa
asamnya?" ujarnya perlahan.
Kemudian dia melangkah lagi kesalah satu jenis pohon semak-semak yang salah satu daunnya yang dia
ambil tadi. Kemudian dia kembali meremas dengan daun yang sudah dia ambil tadi, setelah itu dia kembali dia
cicipi air remasan tersebut. "Lumayan?" bisiknya sambil melangkah ke darat. Di dekat api unggun Duc Thio
dan Han Doi tengah memasukkan kayu-kayu kering ke api. Mereka yang sejak tadi sudah memperhatikan Si
Bungsu di rawa, melihat anak muda itu membawa segenggam dedaunan. "Coba cicip, apa rasanya?" ujar Si
Bungsu pada Duc Thio. Duc Thio menadahkan telapak tangannya. Si Bungsu meremas daun itu perlahan. Air menetes ke telapak
tangan lelaki tersebut. Han Doi yang ingin tahu juga berbuat hal yang sama. Thi Binh juga tak mau ketinggalan,
menampungkan telapak tangannya. Mereka sama-sama mencicipi air perasan dedaunan tersebut dengan
menjilati tangan masing-masing. Dan ketiga orang Vietnam itu merasa heran, kendati agak sepat-sepat sedikit,
namun air remasan daun itu memang asin, sebagai mana jamaknya rasa garam. "Serasa garam..?" tanya Si
Bungsu. Duc Thio menggangguk, Han Doi mengangguk. Hanya Thi Binh yang menggeleng sambil mencibirkan
bibirnya. "Tidak asin?" tanya Si Bungsu pada gadis itu. Gadis itu menggeleng. "Lalu rasa apa, asam?" "Juga
tidak" "Lalu rasa pahit?" "Tidak?" jawab Thi Binh. "Lalu rasa apa?" "Memang ada sedikit rasa asin. Tapi aku
rasa bukan karena dedaunan itu. Rasa asin itu pasti dari keringat tangan mu?" ujar Thi Binh. Duc Thio ingin
marah pada anaknya, yang dia anggap kelewatan. Tapi melihat Si Bungsu tersenyum, dan malah kemudian
tertawa renyah atas kebandelan Thi Binh, dia ikut tersenyum.
"Han Doi, sayat-sayat ikan ini, agar tetesan air asin ini bisa merasuk ke dagingnya?" ujar Si Bungsu.
Setelah ikan itu di sayat di beberapa bagian, Si Bungsu meneteskan air remasan kayu tersebut. "Putar ikannya
Han Doi?" ujar Si Bungsu. Han Doi memutar kayu pemanggang ikan tersebut. Bahagian atas dia putar ke bawah,
ke arah api yang menyala. Kemudian kembali menyayatkan mata parangnya yang amat tajam pada ikan
tersebut. Si Bungsu kembali meneteskan remasan dedaunan tadi, bau harum segera merebak di bawah kayu
yang rindang tersebut. Ketika saatnya ikan tersebut akan diangkat, Si Bungsu meletakkan di atas beberapa daun lebar yang
disatukan. Kemudian membelah perutnya. Mengeluarkan telur ikan tersebut, yang besarnya sekitar selengan
lelaki dewasa. Kemudian kembali dia ambil daun yang tadi dia remas. Dia teteskan air remasan daun tersebut.
Lalu di potong-potongnya, bagian terbesar dia berikan pada Thi Binh. "Ini untukmu, Nona kecil. Nikmatilah"!"
Thi Binh meniup-niup telur ikan bakar tersebut, menghilangkan panasnya. Kemudian mencicipi sedikit.
Kemudian sedikit lagi. Lalu di suapnya besar-besar. Mulutnya penuh sesak, matanya mendelik-delik saking
enaknya. "Enak?"" tanya Si Bungsu sambil mengunyah daging ikan tersebut. Thi Binh menggelengkan kepala. Duc
Thio mendelikkan mata pada anaknya. "Kalau tak enak kenapa habis semua?" ujar Si Bungsu acuh tak acuh.
Koleksi eBook : Drs. H. Hendri Hasnam, MM. 609
"Karena saya lapar, karena tidak ada yang mau dimakan?" jawab Thi Binh tak mau kalah. "Rasa apa telur ikan
itu?" "Sebenarnya enak, kalau saja?" dia sengaja menggantungkan kata-katanya.
Si Bungsu tahu sambungan kata -kata Thi Binh yang tak mau kalah tersebut. Dan dia pura-pura tidak
tahu, dia tetap bertanya, karena dia ingin Thi Binh melanjutkan kedegilannya. "Kalau saja apa?" "Yah, kalau saja
tak bercampur dengan air telapak tangan mu. Jadi air telapak tanganmu yang membuat telur ikan ini tidak
enak?" ujar Thi Binh, ucapannya yang memang sudah diduga Si Bungsu akan di lontarkan gadis itu. Semua
tertawa. Mereka memakan daging ikan sebesar paha orang dewasa itu, rasanya teramat sangat nikmatnya,
sampai ludes. Kemudian dengan di terangi cahaya api unggun, mereka mempelajari peta daerah rawa tersebut.
"Hei lihat! Tempat kita ini sebuah pulau di tengah danau, bahagian berlawanan dengan yang memburu
kita kemaren malam"." ujar Si Bungsu, sambil menunjuk sebuah titik kecil di peta. Duc Thio dan Han Doi
memoloti peta itu. "Anda yakin tempat kita berada ini sebuah pulau?"" tanya Han Doi.
Dalam Neraka Vietnam -bagian-584-585
"Ya, saya yakin itu. Struktur tanah dan pepohonannya, struktur lumpur dalam air tadi, mengindikasikan
secara kuat bahwa tempat kita ini sebuah pulau di tengah danau. Lagi pula, sebelum kita tadi menepi saya
sudah menduga ini sebuah pulau. Ada bahagian daratan yang seolah-olah menghilang di ujung kanan sana, ini
berarti bahagian ujung pulau ini. Jarak pulau ini ketepi kanan, kesisi kita di buru kemaren malam, menurut peta
ini sekitar satu kilometer, jarak ketepi kiri hanya seratus meter"." ujar Si Bungsu, sambil menunjuk ke
beberapa bagian di peta tersebut.
Mereka sama-sama terdiam setelah itu, sampai akhirnya Si Bungsu kembali bicara perlahan. "Dari peta
ini, jika tetap memakai rakit, kita baru bisa mencapai ujungnya, yaitu tempat terdekat ke bukit-bukit batu ini,
di mana para tawanan Amerika di sekap, sekitar sore besok"." ujar Si Bungsu menunjuk bukit-bukit di maksud,
setelah memperhatikan peta itu dengan seksama.
Baik Duc Thio maupun Han Doi hanya diam mendengarkan. Mereka paham kemana arah ucapan si
Bugsu. Thi Binh lah yang kemudian bicara. "Maksud tuan dengan jalan darat, setelah melintasi bagian danau
yang seratus meter ini, tempat ini lebih cepat di capai?" Si Bungsu menatap gadis itu kemudian mengangguk.
"Maksud tuan, agar lebih cepat sampai di sana, Tuan seorang yang akan pergi, dan kami bertiga menanti
di sini sampai Tuan membawa tawanan itu kemari?" Duc Thio dan Han Doi terkejut mendengar ucapan Thi
Binh, namun Si Bungsu menatap gadis itu dengan nanap-nanap. "Engkau cerdas sekali, Adikku.." "Aku bukan
adikmu,"..!" sergah Thi Binh. Sergahannya yang kuat itu membuat Duc Thio dan Han Doi kaget bukan mainnya.
"Thi-thi".!" ujar ayahnya dengan nada menahan marah.
Namun kemarahan Duc Thio itu di lerai Si Bungsu dengan tatapan sambil menggelengkan kepala kepada
Duc Thio. Si Bungsu menatap gadis itu tepat-tepat. Thi Binh balas menantang tatapan Si Bungsu. "Kau kira aku
anak-anak?" kembali Thi Binh menyergah dengan suara tajam.
Dan untuk kesekian kalinya ayahnya serta sepupunya di buat kaget dan heran. Yang tak kaget dan heran
adalah Si Bungsu. Dia faham benar apa yang ada di dalam hati gadis cantik di depannya ini. Namun dia tak ingin
gadis ini terseret perasaan yang amat di luar kontrol fikiran warasnya.
"Engkau ingin tetap ikut, Thi-thi?"" ujarnya perlahan tanpa melepaskan tatapannya dari mata Thi Binh,
yang juga masih saja nanap menatapnya. "Aku tak ingin belas kasihan mu"!" kembali gadis itu bersuara ketus.
Si Bungsu mengulurkan tangannya bermaksud membelai kepala gadis itu. Namun gadis itu menepis tangan Si
Bungsu dengan kasar. Namun, mana mau Si Bungsu di tepis begitu. Dengan gerakan yang amat cepat
menyambar bahu Thi Binh. Kemudian merenggutkannya sehingga gadis itu jatuh di pelukannya.
Thi Binh meronta. Memukul dan mencakar. Namun Si Bungsu tak melepaskan dekapannya dari tubuh
gadis itu, sembari memberi isyarat pada Duc Thio dan Han Doi agar tak bersuara. Dan akhirnya Thi Binh
membalas memeluk Si Bungsu, kemudian terdengar tangisnya. "Aku tak mau kau tinggalkan, Bungsu. Aku akan
bunuh diri jika kau tinggalkan.." ujarnya di antara tangis.
Han Doi ternganga mendengar ucapan adik sepupunya itu. Duc Thio seperti tak percaya dengan apa yang
di dengarnya, untuk kemudian menunduk. Matanya berkaca-kaca. "Aku takkan meninggalkanmu,
percayalah?" ujar Si Bungsu perlahan sambil membelai kepala gadis itu. "Engkau akan meninggalkan aku,
karena diri ku terlalu kotor untukmu?" isak Thi Binh. "Jangan berkata begitu, Thi Binh, jangan berkata
begitu?" ujar Si Bungsu. "Jangan panggil lagi aku "Adik", aku seorang wanita?" bisik Thi Binh.
Duc Thio tiba-tiba merasa luluh melihat nasib anaknya. Dia faham benar,anak gadisnya yang baru
berusia lima belas tahun ini belum pernah jatuh hati. Dia lalu teringat cara anak gadisnya itu menatap lelaki
dari Indonesia ini sepanjang perjalanan di atas rakit. Bahkan ketika dia berada dalam pelukan Si Bungsu di
Koleksi eBook : Drs. H. Hendri Hasnam, MM. 610
belantara, saat awal melarikan diri. Duc Thio tiba-tiba arif, anak gadisnya jatuh hati pada lelaki dari Indonesia
itu. Dia merasa sesuatu tersekat di tenggorokannya. Dia tak tahu harus berbuat apa.
"Baik, engkau akan pergi bersamaku, Thi-thi. Engkau akan bersama dengan ku ke bukit-bukit itu. Kita
bersama-sama membebaskan tawanan itu, oke?" ujar Si Bungsu menghibur. Thi Binh mengangguk dalam
pelukan Si Bungsu. Sementara Han Doi bangkit, dia memberi isyarat akan ke rakit. Si Bungsu mengangguk. Duc
Thio memasukan dua potong kayu kering ke api unggun. Kemudian dia juga memberi isyarat pada Si Bungsu
bahwa dia akan pergi ke rakit yang jaraknya hanya beberapa depa dari api unggun.
Si Bungsu menyandarkan punggungnya ke pohon besar itu, kemudian melunjurkan kaki. Lalu perlahan
dia lepaskan pelukannya pada tubuh Thi Binh. Menatap ke mata gadis itu tepat-tepat. "Tidakkah engkau dapat
menerima ku sebagai abangmu..?" bisiknya perlahan. Kendati dia berusaha agar ucapannya sangat perlahan,
namun ucapannya itu tetap terdengar Duc Thio dan Han Doi, yang ternyata belum tidur. "Thi-thi, karena saya
seusia dengan abangmu, anggap aku ini abangmu, oke?" Thi Binh menatap tepat-tepat kemata Si Bungsu. "
Engkau mencintai gadis yang di kapal perang itu?" ujar Thi Binh perlahan sambil menatap kemata Si
Bungsu. Si Bungsu di buat kaget oleh pertanyaan itu. Dia tahu, yang di maksud Thi Binh pastilah Ami Florence,
adik Le Duan. Ditatapnya mata Thi Binh, kemudian dia menggeleng. "Dia lebih cantik dari aku?" ujar Thi Binh.
Bulu tengkuk Si Bungsu di buat merinding oleh pertanyaan ini. Dia menggeleng dan gelengannya
memang jujur. "Engkau lebih menyukai dia dari aku, karena aku bekas diperkosa puluhan ten?" ujar Thi Binh
terhenti. Di hentikan oleh tamparan Si Bungsu. Duc Thio mendengar ucapan anaknya. Han Doi mendengar
ucapan sepupunya, mereka juga mendengar tamparan. Mereka yakin yang menampar Si Bungsu. Sebab,
bersamaan dengan suara tamparan itu kata-kata Thi Binh terputus.
Baik Duc Thio maupun Han Doi ingin bangkit dari berbaringnya. Namun mereka sama-sama tak
melakukan hal itu. Mereka tetap berbaring diam. Sementara itu mereka kembali mendengar suara Thi Binh,
yang diucapkan perlahan namun dengan nada mendesak.
"Katakan. Kau tak suka padaku karena aku"." gadis itu menghentikan ucapannya, karena dia lihat
tangan Si Bungsu siap-siap menempelengnya. Mereka bertatapan seperti akan berbunuhan. Namun akhirnya
Si Bungsu mengulurkan tangan. Dan Thi Binh kembali menyandarkan dirinya ke dada lelaki dari Indonesia itu.
"Jangan pernah kau sebut lagi, engkau bekas di perkosa puluhan tentara Vietnam itu. Jika engkau sendiri
tak mau melupakannya, maka tak seorangpun yang bisa menolongmu untuk sembuh dari trauma itu. Engkau
berusaha melupakannya, salah satu cara untuk itu adalah dengan tak lagi menyebut-nyebut peristiwa itu,
mengerti engkau Thi Binh?" Gadis itu menangis terisak. Kemudian mengangguk. Dalam posisi berpelukan itu,
mereka saling berdiam diri, lama sekali.
"Engkau mencintai gadis di kapal perang itu?" tiba-tiba Thi Binh mulai lagi. Si Bungsu menarik nafas
panjang. Di ciumnya rambut gadis itu perlahan. Kemudian dia berbisik.
"Aku memang menyukainya, Thi Binh. Kami bertemu dan bersama-sama selama beberapa hari. Amatlah
tidak wajar kalau orang bisa jatuh cinta padahal baru beberapa hari saling mengenal, bukan?" ujar Si Bungsu.
"Yang kau maksud dirimu atau diriku?" ujar Thi Binh yang merasa tersindir oleh ucapan Si Bungsu. Si Bungsu
tersenyum. Untung saja Thi Binh tidak sedang menatap padanya, sehingga gadis itu tak tahu kalau dia
tersenyum. Si Bungsu tersenyum karena gadis itu ternyata peka dan tajam sekali perasaannya. Dia memang
tak bermaksud menyindir, namun sekedar menasehati, bahwa amatlah tak baik kalau orang cepat jatuh hati.
"Kau menyindirku, bukan?" ujar Thi Binh perlahan, namun dengan nada menyerang. Si Bungsu di buat
gelagapan. "Tidak menyindir, hanya menasehati. Umurku jauh lebih tua darimu, seusia abangmu. Wajar kalau
aku memberi nasehat bukan?" "Ya, tapi kau bukan abangku"." ujar Thi Binh.
Si Bungsu kembali menarik nafas panjang. Dia belum pernah bertemu dengan gadis berhati keras seperti
ini dan degilnya juga seperti ini. Dia tak habis pikir, kenapa gadis secantik Thi Binh ini juga mempunyai sikap
sekenyal ini. "Betul engkau belum mencintai gadis Indo itu?"
Kembali Si Bungsu dikagetkan dan di buat jengkel dengan oleh serangan pertanyaan Thi Binh, yang
masih saja menyandarkan kepala ke dadanya. Dia jadi jengkel atas "belum" yang di ucapkan gadis ini. Kata yang
sepatah itu pasti menyindirnya. "Apa maksud mu dengan kata "belum" itu" Kenapa pertanyaan mu tak berbunyi
: "betul engkau tidak mencintai gadis indo itu?" Kenapa harus pakai "belum?"" cecar Si Bungsu.
Thi Binh tertawa renyah. Alamaak! jengkel hati Si Bungsu mendengar tawa renyah itu. Sebenarnya tawa
itu sangat merdu, kalau saja mereka dalam kondisi dan situasi biasa. Tapi kini, kondisi dan situasi memang
tidak biasa. Dia sedang berusaha agar gadis itu tidak tersesat mencintainya. Dan ketika dia berusaha seperti


Tikam Samurai Karya Makmur Hendrik di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

itu, dia di tertawakan. Oo, alangkah jengkelnya.
Koleksi eBook : Drs. H. Hendri Hasnam, MM. 611
"Apa yang kau tertawakan?" ujar Si Bungsu berusaha manahan sabar, dengan tetap memeluk bahu Thi
Binh. "Yang mana yang harus ku jawab duluan" Pertanyaan yang pertama tadi atau kenapa aku tertawa..?" ujar
Thi Binh sambil kembali memperdengarkan tawa renyahnya.
Alamaaak!. Pertanyaan dan tawa itu seperti menusuk-nusuk puncak kada Si Bungsu. Saking jengkelnya,
tawa renyah yang indah dan menyenangkan yang keluar dari bibir gadis itu sampai ke telinga Si Bungsu seperti
tertawa kuntilanak. Dengan bibirnya yang merah bak delima, yang bentuknya amat sensual, gadis itu mendesah
perlahan. "Yang mana harus di jawab dulu, yang?"
Ketika dia dalam keadaan di puncak jengkel itu, tiba-tiba pula Thi Binh mengangkat kepala. Menatap
dari jarak hanya sejengkal ke mata Si Bungsu. Mungkin gadis itu tahu benar hati Si Bungsu sedang di puncak
jengkel. Tapi dia bukannya berusaha meredakan, malah makin menambah-nambah bensin. Alamaaaak
oooooiiiiii! Dalam Neraka Vietnam -bagian-586-587
Si Bungsu hampir terlambung saking kaget dan jengkel yang tak tertahankan, mendengar gadis itu
menyebutnya dengan kata "yang" dan bibirnya tersenyum pula. Tapi dia cepat sadar. Puncak kadanya sedang
ditusuk-tusuk gadis ini. Dia memutuskan untuk membalas, tak mau berdiam diri lagi.
"Maksudmu dengan kata "yang" itu adalah"." "Singkatan dari kata "sayang" ?" sergah Thi Binh dengan
cepat. Alaaamak ooooiiii"! Sakitnya hati Si Bungsu. "Bukan, bukan singkatan "sayang" tapi singkatan "Eyang",
bukan?" serang Si Bungsu, berusaha membalikkan serangan. "Eyang artinya adalah Mbah, dalam bahasa
kampungku artinya inyiak atau datuk. Itu yang kau maksud kan?" sambung Si Bungsu. Thi Binh kembali
menyandarkan kepalanya ke dada Si Bungsu. Mati kau, ujar Si Bungsu dalam hati, yang merasa kemenangan di
pihaknya. "Ooo, itu artinya di kampungmu. Di kampungku ini, Eyang itu artinya "kekasih tercinta". Itu pula
maksudku?" ujar Thi Binh perlahan.
Ondeh mak oiii!! Suara perlahan gadis itu sampai ke telinga Si Bungsu seperti gergaji kayu memotong batu. Kata-kata Thi
Binh yang membelok-belokkan arti kata, yang sekaligus membelokkan serangan menjadi berbalik pada Si
Bungsu, membuat Si Bungsu merasa ingin berkentut-kentut saking jengkelnya.
Buat sesaat Si Bungsu kehilangan kata-kata untuk membalas balik. Dia kehilangan kata karena hatinya
di balut rasa jengkel yang amat sangat, tersebabkan dikalahkan secara telak dalam perang kata-kata barusan
ini. "Jika engkau "belum" mencintai gadis indo di kapal perang itu, tentunya engkau masih mencintai Michiko"!"
Kalau saja petir menyambar kepalanya, Si Bungsu takkan kaget seperti ini. Suara Thi Binh masih perlahan,
kepalanya masih menyandar. Namun ucapan gadis itu memang mendatangkan akibat yang luar biasa. Si
Bungsu menjadi menggigil. Thi Binh mengangkat kepala. Menatap pada Si Bungsu.
"Ada apa?" tanyanya perlahan sembari jarinya meraba wajah Si Bungsu. "Upik, darimana kau
mendapatkan nama Michiko itu?" tanya Si Bungsu perlahan tapi bernada tajam. "Beberapa kali dia juga datang
ke dalam mimpiku?" ujar Thi Binh sembari kembali berniat menyandarkan kepalanya ke dada Si Bungsu.
Namun Si Bungsu menahan bahunya agar bisa menatap gadis itu dengan jelas. "Tak pernah kau sebutkan
sebelum ini tentang dia. Yang kau sebutkan hanya gadis di kapal perang itu?" ujar Si Bungsu dengan wajah
berkeringat. "Saya baru menyebutkannya?" ujar Thi Binh sembari membalas menatap Si Bungsu. "Dia juga pernah
datang ke dalam mimpimu?"" tanya Si Bungsu perlahan. Thi Binh mengangguk. "Dua kali. Pertama dua hari
sebelum aku di keluarkan dari sekapan Vietnam. Kedua ketika engkau sudah datang kerumahku, dalam tidurku
setelah aku di beri obat?" tutur Thi Binh perlahan. "Bagaimana rupanya orang yang bernama Michiko itu?"
tanya Si Bungsu menyelidik. Penyelidikan yang tak diperlukan. Karena pertama, Thi Binh memang belum
pernah mengenal Michiko, dan tak tahu hubungan orang-orang yang datang ke dalam mimpinya. Kedua, tak
ada urusannya membuat-buat cerita yang tak dia mengerti. Thi Binh lalu menceritakan ciri-ciri Michiko yang
datang ke dalam mimpinya.
"Dia mengatakan sesuatu padamu?" ujar Si Bungsu dengan persaan yang nyaris tak percaya bahwa
orang-orang yang tidak saling mengenal bisa bertemu di dalam mimpi. "Dia bercerita panjang"." ujar Thi Binh.
"Apa yang dia ceritakan?" ujar Si Bungsu mulai berkeringat. "Dia ceritakan bahwa engkau adalah lelaki yang
sangat dia cintai. Bahkan sampai kini. Kendati dia menikah dengan lelaki lain di Amerika. Dia menikah karena
putus asa, menyangka kalian tak akan pernah lagi bertemu. Dan dia berpesan, agar menjagamu baik-baik.
Selain itu?" Thi Binh menghentikan ceritanya. Si Bungsu menatapnya dengan nanap-nanap.
Koleksi eBook : Drs. H. Hendri Hasnam, MM. 612
"Engkau ingin tahu apa yang dia katakan terakhir padaku?" ujar Thi Binh. "Katakanlah?" "Dia
mengatakan.. dia mengatakan, bahwa dia yakin, aku bisa membahagiakan mu?" Mereka sama-sama berdiam
diri. Si Bungsu tak habis pikir, bagaimana mungkin gadis ini melihat begitu banyak tentang dirinya di dalam
mimpinya. Sementara Thi Binh berdiam diri menanti jawaban Si Bungsu atas ucapannya yang terakhir. "Tidak
sepatah pun bohong terdapat dalam semua ucapan yang ku katakan menyangkut mimpiku itu, Bungsu?" ujar
Thi Binh lirih. Si Bungsu menatapnya. Kemudian memeluk bahu gadis itu.
"Aku yakin, tak sepatah pun engkau berbohong, Thi-thi?" ujar Si Bungsu perlahan. "Engkau yakin akan
semua yang ku katakan?" Si Bungsu mengangguk. Kendati Thi Binh tak melihat dia mengangguk, tapi dari
dalam dekapan dia tahu Si Bungsu mengangguk. "Juga yakin aku juga bisa membahagiakan mu?" "Aku yakin,
Thi-thi. Aku yakin engkau bisa membahagiakanku. Dengan menganggap aku abang atau pamanmu, aku akan
sangat bahagia?" Thi Binh mengangkat kepala. Menatap pada Si Bungsu. "Tidakkah kau bisa menerima aku
sebagai wanita, bukan sebagai anak-anak?"
Mereka bertatapan. Si Bungsu harus mengakui bahwa dia amat terpesona pada kecantikan gadis belia
ini. Namun terpesona dan mengagumi, bukan berarti mencintai. Ada jarak yang amat jauh dan jelas antara
mengagumi dengan mencintai. "Berapa usiamu kini, Thi-thi?" "Apakah usia menjadi hal yang penting untuk
saling bisa mencintai?" Si Bungsu kembali menarik nafas. Dia tak tahu harus keluar dari benang kusut yang
tiba-tiba muncul antara dia dengan keluarga Han Doi ini.
"Apakah setiap lelaki membenci setiap gadis yang telah ternoda?" ucap Thi Binh terhenti ketika
dekapan tangan Si Bungsu di mulutnya. "Engkau harus melupakan itu, Thi-thi. Engkau seorang gadis yang
cantik. Jika kelak kita bisa keluar dari belantara ini dengan selamat, akan banyak lelaki yang amat pantas,
berpangkat dan kaya, yang bisa kau pilih untuk suamimu?" bisik Si Bungsu mencoba memberi pengertian
kepada Thi Binh. "Apakah kau tak jadi menikah dengan Michiko karena tidak berpangkat dan kaya?" ujar Thi
Binh memburu. Si Bungsu gelagapan. "Dalam kasus saya dengan Michiko ada faktor nasib yang bermuara
dengan takdir yang amat luar biasa, yang tak mampu kami merubahnya?" ujar Si Bungsu.
Thi Binh mengungkai pelukan Si Bungsu dari bahunya. Dia menggeser diri kedekat api unggun.
Kemudian kembali dia merebahkan kepalanya di dada Si Bungsu yang masih bersandar di pohon besar itu.
"Dalam hubunganmu dengan Michiko, engkau baru menyerah setelah nasib jatuh menjadi takdir yang tak
terelakkan, barulah Michiko meninggalkan dirimu, dan kau meninggalkan dia. Begitu Bungsu?" tanya Thi Binh
dari dalam pelukan Si Bungsu. "Ya..Begitulah,.." jawab Si Bungsu perlahan.
"Aku juga ingin begitu, Bungsu! Aku mencintaimu sejak engkau memperlihatkan diri pertama kali dalam
mimpiku. Dan aku takkan menyerah hanya karena nasib, aku akan berjuang untuk mendapatkan untuk
mendapatkan kebahagian yang tak pernah ku peroleh. Kecuali engkau memang tak menginginkan diriku.
Sekarang engkau yang harus memberikan jawaban, apakah engkau menginginkan diriku untuk menjadi
kekasihmu atau tidak?" ujar Thi Binh sambil mengangkat wajah menatap Si Bungsu.
Si Bungsu sudah terlalu lelah. Dia juga tak ingin melukai perasaan gadis ini. Jika dia katakan "tidak" gadis
ini akan remuk, bukan karena jawaban "tidak" yang dia berikan.Tetapi oleh aib besar yang menimpanya selama
dalam sekapan tentara Vietkong. Hanya dia tak bisa mengerti, mengapa gadis ini begitu tajam perasaannya.
Bagaimana mungkin dia tahu secara persis apa yang ada di pikiran orang lain" Namun sebelum dia menjawab,
Thi Binh kembali menyambung perkataannya.
"Di negeri lain yang tak pernah atau tak lagi dilanda perang, anak-anak barangkali menjalani kehidupan
mereka secara wajar. Di negeri kami ini, Bungsu, tak satupun yang bisa engkau harapkan secara wajar. Semua
peristiwa di tentukan oleh kejadian sesaat. Benar, usia ku masih muda. Namun dalam usia semuda ini, saya
sudah melihat tidak hanya demikian banyak orang terbunuh, saya bahkan jadi saksi mata kekejaman dan
pembunuhan yang dialami abang dan ibu saya. Saya tak pernah memimpikan akan melihat begitu banyak
peristiwa berdarah dan begitu banyak ketakutan, namun itulah takdir saya. Dalam usia yang begini belia, saya
sudah harus jadi korban kebuasan seks banyak lelaki?" Thi Binh berhenti. Dia kembali menyandarkan
kepalanya ke dada Si Bungsu.
"Kini jawab pertanyaanku, Bungsu. Apakah engkau tak ingin menjadi lelaki yang akan kukasihi, dan
membagi kasihmu agak sedikit?" Ujung suara gadis itu tak hanya lirih tapi juga bergetar oleh isak. Si Bungsu
menjadi benar-benar terharu. Di peluknya gadis itu dengan erat. "Jika engkau tak malu mencintai seorang lelaki
yang jauh lebih tua darimu, jika engkau tahan hidup menderita, karena aku tak berpendidikan dan tak punya
apa-apa, Thi Binh, aku berdoa semoga yang kau inginkan akan kau peroleh.." ujar Si Bungsu. Thi Binh
mengangkat wajah. Menatap pada Si Bungsu. "Aku mencintaimu,Bungsu. Maukah engkau menciumku?"
Si Bungsu menarik nafas. Dia tak tahu apakah yang dia ucapkan tadi benar, dan apakah yang akan dia
lakukan saat ini juga benar. Jauh di lubuk hatinya, dia tetap tak bisa menerima kenyataan betapa jauhnya jarak
Koleksi eBook : Drs. H. Hendri Hasnam, MM. 613
usia yang membedakan dirinya dengan gadis ini. Namun dia benar-benar tak mau melukai gadis di depannya
ini, perlahan dengan lembut di raihnya wajah Thi Binh dengan kedua telapak tangannya. Kemudian dengan
lembut di ciumnya mata gadis itu. Lalu di ciumnya keningnya, pipinya dan..bibirnya. Di ciumnya dengan lembut
dan lama. Dan dirasakannya airmata gadis itu mengalir di pipinya. Di peluknya Thi Binh dengan erat-erat.
"Jangan menangis"aku akan selalu menjagamu.." bisiknya perlahan. "Aku menangis karena baru kali ini
mencintai dan dicintai seorang lelaki, aku sangat bahagia?" bisik Thi Binh sembari mempererat pelukannya di
tubuh Si Bungsu. Si Bungsu menarik nafas. Matanya menatap kearah rawa. Seperti mencoba menembus kegelapan kental
ditengah rawa sana. Dia akhirnya memutuskan, selama dalam pelarian ini, dia akan mengasihi gadis itu. Dia
yakin, jika kelak sampai di kota, dan gadis ini bisa kembali bersekolah serta hidup secara normal lagi, fikirannya
pasti akan berubah. Dia yakin akan hal itu. Sekali lagi dia menikamkan tatapan matanya ketengah rawa sana.
Dukun Dari Tibet 2 Pendekar Rajawali Sakti 11 Jago Jago Bayaran Iblis Pulau Hantu 1

Cari Blog Ini