Tikam Samurai Karya Makmur Hendrik Bagian 8
"Itu kopral Aman?" bisik Kapten itu. Kopral Aman itu dia suruh menyamar sebagai tukang jual kacang
goreng yang diletakkan dalam goni dan dijunjung di kepala.
"Bagaimana kalau mereka tak membeli kacangnya?"
"Mata-mata kita sudah menyelidiki. Tentara Belanda di markas ini sangat suka akan kacang goreng.
Setiap malam pasti dia membeli kacang goreng yang lewat. Dan siang tadi penjual kacang goreng yang asli telah
disilakan sakit malam ini. Dan kopral itu penggantinya. Hai, dengar, mereka sudah memanggilnya masuk?"
Penjual kacang itu memang tengah memasuki halaman markas.
"Di dalam karung kacangnya ada granat?" Kapten itu berbisik. Si Bungsu memperhatikan situasi markas
itu. Di depannya ada tiga buah jeep. Suara gitar dan nyanyian terntara Belanda itu masih terus mengalun. Meski
bahasanya tak dimengerti namun suaranya cukup merdu.
"Kenapa lambat ledakannya?" Kapten Nurdin bertanya dengan tegang. Ya, seharusnya begitu Kopral
Aman masuk ke markas itu, kopral yang berada di dekat rawa dikiri markas harus meledakkan granat
kebelakang markas. Huru-hara dan kekagetan yang ditimbulkan itulah yang akan mereka pergunakan untuk
menyerbu masuk. Beberapa detik berlalu. Tak ada ledakan. Kopral Aman sudah menerima uang pembelian kacangnya. Dan
sekarang dia harus pergi dari halaman markas itu. Tak mungkin dia berhenti disana terus menerus.
"Jahanam si Imran! Kenapa granatnya tak meledak" Ada berapa granat yang dia bawa?" dia bertanya
pada Sersan di sampingnya.
"Ada tiga pak?" Sersan itu menjawab dengan kecut.
"Gagal! Jahanam! Gagal kita!" Kapten itu mendesis melihat Kopral Aman sudah mengangkat goni
kacangnya gorengnya ke kepala.
"Kacang goreeenggg" suaranya terdengar sayu sambil melangkah menjauhi serdadu-serdadu itu.
Ledakkan yang dinanti untuk menimbulkan kekagetan dan mengalihkan perhatian itu tak juga ada. Tiba-tiba
penjual kacang itu berhenti tiga depa dari para serdadu yang membeli kacang tadi. Dia meletakkan goninya di
tanah. Kemudian berjalan kembali mendekati para serdadu itu.
"Maaf, kacang goreng saya tertinggal?" katanya agak keras. Dua orang serdadu tertawa sambil
memberikan tekong kaleng susu kepunyaan tukang kacang itu. Kapten Nurdin dan Si Bungsu menyadari bahwa
Koleksi eBook : Drs. H. Hendri Hasnam, MM. 158
adegan ini terpaksa dilakukan si Kopral untuk menambah waktu lagi bagi Kopral Imran yang granatnya tetap
saja tak meletus. Kopral Aman, membungkuk lagi, memasukkan tekong kacangnya ke goni. Granat Imran tetap tak
terdengar. Sementara teman-temannya dikebun ubi, dipadang lalang yang di depan markas diseberang jalan
menanti dengan tegang. Dan saat itulah tiba-tiba Kopral Aman yang membungkuk memasukkan kaleng tekong kacangnya berdiri
lagi dan berbalik. "Merdekaaa!" dia berteriak dan melemparkan sesuatu dari tangannya kearah serdadu Belanda yang
tengah makan-makan kacang itu! Pekikan itu mula-mula tentu saja membuat bingung serdadu Belanda itu.
Tapi hanya sebentar, granat yang dilemparkan Kopral itu meledak persis ditengah mereka. Terdengar
pekikan dan ledakan yang dahsyat.
"Serbuuuuu!" Kapten Nurdin berteriak sambil melompat dengan pistol ditangan. Sementara itu korban
pertama dari ledakan granat yang dilemparkan Kopral Aman adalah prajurit Belanda yang main gitar itu. Gitar
dan sebelah tangannya terlambung keudara. Dadanya hancur. Dia mati.
Orang kedua yang jadi korban adalah seorang prajurit yang lagi menunduk makan kacang. Kepalanya
hancur. Tapi yang lain hanya mengalami luka berat.
Letnan orang Kanada yang menyamar menjadi ahli purbakala itu cepat meraih pistolnya. Meski pahanya
luka, tapi tembakannya yang pertama tepat menghantam dada Kopral Aman. Kopral ini setelah melemparkan
granat menerjang maju dengan pisau ditangan. Dan dia terpelanting dan terlentang ditanah begitu dihantam
peluru! Saat itulah ke enam pasukan khusus Kapten Nurdin membuat pertahanan mereka kucar kacir. Dalam
waktu yang relatif singkat, tembak-menembak jarak dekat ini terjadi.
Si Bungsu melompat masuk. Dia melihat tubuh yang bergelimpangan. Kapten Nurdin mendobrak masuk
terus. Tembakan pistolnya menghancurkan kunci pintu dimana Tuang tertahan. Dia membawa Tuang keluar.
Orang tua itu kelihatan parah sekali dalam tahanan yang hanya 2 x 24 jam itu.
"Jeep ini siap!" suara Sersan yang menyiapkan Jeep itu terdengar. Mereka berlompatan ke sana. Si
Bungsu tak sempat mempergunakan samurainya. Apa yang harus diperbuat" Pertempuran selesai sebelum dia
sempat mencabut samurainya.
Namun dia berhenti ketika mendengar keluhan kecil. Dia menoleh dan melihat tubuh Kopral Aman
mengeliat. Cepat dia pangku tubuh itu. Dan saat itu tembakan dari Jeep terdengar. Si Bungsu kaget. Menoleh
kearah penjagaan. Dan dia lihat Letnan suami Emylia itu tertelungkup. Pistolnya jatuh.
(40) Kapten Nurdin telah menembaknya sesaat sebelum Letnan itu menembakkan pistolnya pada Si Bungsu
yang memangku Kopral Aman. Dia bergegas. Dan mereka melompat ke atas Jeep. Jumlah mereka lengkap tujuh
orang. Dan kini delapan dengan Tuang. Jeep itu batuk-batuk sebentar.
Dia starter lagi dengan mempertemukan kawatnya. Dan Hidup! Jeep itu seperti melompat. Keluar dari
halaman markas. Dari jauh terdengar suara deru mobil datang.
"Ke kanan!" Kapten Nurdin berteriak. Mobil itu berbelok ke kanan. Lampu truk militer kelihatan datang
dari arah kiri. Jeep mereka rasanya ada yang tak beres. Berjalan lambat.
Sersan Kadir melompat turun.
"Kadir! Naik cepat!" Kapten Nurdin berteriak.
"Saya akan menghalangi mereka pak. Teruslah bapak!" Dia berkata sambil berlari lagi ke halaman
markas. Tak ada kesempatan bagi Kapten Nurdin untuk berlalai-lalai. Dia menyuruh Jeep itu terus.
Sementara Sersan Kadir segera menaiki Jeep yang telah dikempeskan itu. Dia merenggutkan kabel
kontak. Melekatkannya diluar dengan ketenangan yang mengagumkan. Lalu menghidupkan mesin dan
meletakkan Jeep itu persis di tengah jalan yang akan dilewati truk Belanda yang baru datang itu. Tapi ketika
akan lurus Belanda menembakknya. Kadir mati di Jeep itu.
Jeep mereka melaju menuju ke arah Sail. Yaitu suatu daerah di luar kota yang masih berada dibawah
kekuasaan tentara Belanda.
Pak Tuang pemilik penginapan itu dirawat di Kampung Sail tersebut. Tubuhnya cukup parah dipermak
Belanda. Koleksi eBook : Drs. H. Hendri Hasnam, MM. 159
"Tolong kabarkan pada keluarga saya dikampung, bahwa saya masih hidup"." Pemilik penginapan itu
berkata esoknya. Sebab berita dia tertangkap oleh Belanda sudah sampai ke kampungnya. Yaitu ke Buluh Cina
melalui penjual-penjual ikan yang datang ke Pekanbaru setiap pagi dengan sepeda.
"Ya. Saya akan menugaskan seorang untuk menyampaikan hal itu ke kampung bapak.." Kapten Nurdin
berkata perlahan. "Hati-hati. Di Simpang Tiga Belanda memperketat penjagaannya. Mereka tahu bahwa pejuang-pejuang
kini banyak yang menyelusup ke kota. Dan pejuang-pejuang itu umumnya datang dari arah Taratak Buluh"."
Tuang memberi penjelasan yang berhasil dia monitor dari markas Belanda ketika jadi tahanan itu.
"Terimakasih"." Jawab Kapten Nurdin.
Dan sore itu, tiga orang pejuang yang berasal dari barisan Fisabilillah berangkat ke Buluh Cina dengan
sepeda. Sebenarnya hanya ada dua orang anggota Fisabilillah. Yang satu lagi adalah Si Bungsu.
Dia ikut ke Buluh Cina karena kapal yang dia nanti-nantikan untuk berangkat ke Singapura atau Jepang
itu tak kunjung datang. Beberapa orang malah mengatakan, untuk ke Singapura mungkin lebih baik lewat
sungai Kampar. Dari sana banyak penyelundup-penyelundup membawa getah ke Singapura.
Mereka memakai tongkang atau sampan-sampan besar menghiliri sungai Kampar. Kemudian lewat di
pulau-pulau yang ada di Laut Cina Selatan, terus menyelundup ke Singapura atau Malaya. Si Bungsu sebenarnya
kurang tertarik untuk ikut dengan para penyelundup itu. Sebab, tujuan utamanya bukan ke Singapura.
Melainkan Jepang. Namun karena di Pekanbaru tak ada pekerjaan yang akan dia lakukan, dia memutuskan untuk ikut ke
Buluh Cina. Apa lagi kampung itu adalah kampungnya Kapten Nurdin. Hanya saja Kapten itu tak ikut bersamasama mereka.
"Pergilah, disana ada sungai atau danau dimana engkau dapat menenangkan dirimu. Memancing atau
berenang".." Kapten itu membujuk Si Bungsu untuk ikut serta bersama kedua anak buahnya. Dan Si Bungsu
memang memilih untuk ikut serta. Mereka berangkat pukul dua. Kalau tak ada aral melintang, mereka akan
sampai di kampung itu sekitar jam enam. Sepanjang jalan dalam kota, kelihatan pasukan Belanda berjaga
dengan ketat. Mereka mengayuh sepeda keluar kota dengan tenang. Di Kampung Simpang Tiga, dimana terletak
sebuah lapangan udara kecil, penjagaan Belanda nampak makin banyak.
Belanda nampaknya mempergunakan kampung kecil ini sebagai basis perbatasan antara kota yang
mereka kuasai dengan kantong-kantong perjuangan yang dikuasai tentara Indonesia.
Mereka disuruh berhenti di persimpangan menuju ke Taratak Buluh. Satu-satu disuruh masuk ke sebuah
kamar kecil dimana dua orang tentara KNIL mengadakan pemeriksaan dengan ketat.
Mula-mula yang masuk adalah Si Bungsu. Dia berniat membawa samurainya. Namun Korip temannya
menggeleng perlahan. Si Bungsu menangkap isarat itu. Dia segera ingat, kalau Belanda mengetahui bahwa dia
membawa samurai, maka itu akan membahayakannya. Bukankah Belanda sudah mengetahui, bahwa temanteman mereka dibunuh oleh seorang anak muda yang membawa samurai kemana-mana"
Dengan pikiran demikian, Si Bungsu masuk ke kamar penjagaan itu tanpa membawa apa-apa.
Samurainya tetap dia tinggalkan dengan mengikatkannya ke batang sepeda yang dia bawa. Sepeda itu dia
sandarkan di pohon kelapa didepan rumah penjagaan itu.
Dengan tenang dia masuk kedalam.
"Buka pakaian"." Seorang Sersan KNIL memerintah. Si Bungsu agak tertegun. Orang yang
memerintahkannya ini kulitnya sama dengan dirinya. Meski kulit KNIL itu lebih hitam, tapi dia yakin bahwa
tentara Belanda itu pastilah orang Indonesia juga.
Perlahan dia membuka bajunya. Sersan itu memberi isyarat pada prajurit yang satu lagi. Prajurit itu
memeriksan isi kantong baju Si Bungsu. Mengeluarkan sebuah kartu keterangan diri. Kemudian sehelai
saputangan. "Mau kemana?" sergeant itu bertanya dalam aksen Melayu tinggi yang fasih.
"Ke Buluh Cina tuan?"
"Mengapa ke sana..?"
"Pulang ke kampung tuan?" dia menjawab mngikuti petunjuk Kapten Nurdin pagi tadi.
"Apa kerjamu di kampung?"
"Memotong getah tuan?"
Sergeant KNIL itu memegang tangan Si Bungsu. Si Bungsu tetap tenang. KNIL itu melihat betapa pada
pangkal jari-jari tangan anak muda itu kelihatan benjolan yang mengeras. Dan dia jadi yakin bahwa anak muda
Koleksi eBook : Drs. H. Hendri Hasnam, MM. 160
ini memang seorang penakik getah. Sebab benjolan yang mengeras ditelapak tangannya itu membuktikan
bahwa dia memang selalu memegang benda keras.
Tanda demikian itu tak terdapat pada pedagang ikan yang tiap pagi mengayuh sepeda atau pada pejuang
yang hanya memegang bedil.
"Dimana tinggal di Buluh Cina"." KNIL itu menatap wajah Si Bungsu. Seperti mencari sesuatu
diwajahnya itu. Si Bungsu hanya diam. Dan akhirnya Sersan KNIL itu menyuruhnya kembali berpakaian. Dan
menyuruhnya keluar. Si Bungsu mengambil sepedanya. Berdiri dengan memegang sepeda itu di jalan raya. Menanti kedua
temannya yang masuk ke dalam. Dia menarik nafas-nafas lega. Telapak tangannya ada benjolan mengeras
adalah karena tiap hari dia melatih dirinya dengan samurai. Tapi siapa nyana, bekas tangannya itu justru bisa
menyelamatkan dirinya saat ini.
Tiba-tiba dia kaget mendengar bentakan dari dalam kamar pemeriksaan. Dan tak lama kemudian disusul
dengan suara tamparan. Dia mulai mempelajari situasi. Kalau terjadi apa-apa, andainya kedua temannya itu
diketahui bahwa mereka adalah pejuang maka dia akan susah untuk melarikan diri.
Sebab sekitarnya ada kira-kira dua belas tentara Belanda yang menjaga dengan bedil terhunus. Mereka
memang seperti tak acuh saja. Tapi kalau kedua temannya itu tertangkap, maka dia tentu akan ditangkap pula.
Dan kalau dia berusaha melarikan diri, maka tentara Belanda yang diluar ini pasti siap untuk merajamnya
dengan semburan peluru. Dia menanti dengan tegang.
Tak lama kemudian, kelihatan kedua temannya itu keluar dengan mulut dan hidung berdarah. Mereka
mengambil sepedanya. Lalu mengangguk pada Si Bungsu. Dan ketiga orang ini, di bawah tertawaan tentara
Belanda yang ada di luar mengayuh sepeda mereka ke arah Teratak Buluh.
"Jahanam. Belanda hitam yang benar-benar jahanam" Bilal yang kena tampar itu menyumpah-nyumpah
sambil menghapus darah dari hidungnya.
"Nanti suatu saat, dia akan menerima balasan. Akan kuhancurkan kepala mereka dengan bedilku?"
Suman yang mulutnya berdarah juga menyumpah.
"Kenapa kalian sampai kena tampar?"" Si Bungsu bertanya sambil mengayuh sepedanya.
"Kami tak menyanggupi untuk mencarikan mereka perempuan" Suman menjawab.
"Belanda jahanam. Awaslah kau".!" Sambung Suman. Dan mereka terus mengayuh sepeda melewati
jalan berpasir dan berkerikil kecil dari Simpang Tiga itu menuju perhentian Marpuyan. Di perhentian
Marpuyan yang merupakan sebuah kampung kecil dimana jalan bersimpang ke Buluh Cina, mereka minum
disebuah kedai kecil. "Masih jauh dari sini Buluh Cina itu?" Si Bungsu bertanya begitu selesai meminum air kelapanya yang
terasa sejuk dan nikmat. "Dari sini delapan belas kilometer. Kita akan sampai di desa Kutik. Dari sana menurun, kalau air Batang
Kampar banjir, dari sana kita bisa naik sampan ke Buluh Cina. Kalau tidak, kita bisa naik sepeda atau jalan
kaki"." "Apakah patroli Belanda tak sampai kemari?"
"Terkadang juga sampai. Meski ini daerah Republik, tapi mereka selalu datang kemari memburu
pejuang?" "Tiap hari mereka lewat?"
"Tidak menentu?" pemilik kedai yang sejak tadi hanya mendengarkan, kini ikut bicara.
"Sudah tiga hari ini mereka selalu datang. Mereka mensinyalir didekat Bancah Litubat disana, disebuah
rumah, bersembunyi dua orang pejuang yang telah membakar pos penjagaan mereka di Simpang Tiga dua
minggu yang lalu?" "Ada yang mereka tangkap dari kampung ini?"
"Lelaki tidak" "Apa maksud bapak dengan ucapan lelaki tidak?"
"Mereka memang tak menangkap seorang lelakipun. Tetapi sebagai gantinya, mereka menangkap
seorang gadis dan ibunya. Alasannya sederhana saja. Mereka ingin meminta keterangan. Dan keterangan itu
menurut mereka diketahui oleh kedua anak beranak itu. Sebab mereka tinggal dekat rumah yang dicurigai itu.."
"Apa latar belakang yang sebenarnya?" Si Bungsu bertanya meskipun dia sudah bisa menduga.
"Latar belakangnya hanya satu. Gadis itu cantik. Itu alasan penangkapannya. Dan ketika dia ditangkap
bersama ibunya, tak seorang pun yang bisa membela. Dia tak punya ayah. Sementara kaum lelaki dikampung
ini tak berdaya. Daripada ditangkap dan disiksa Nevis lebih baik diam saja?"
Koleksi eBook : Drs. H. Hendri Hasnam, MM. 161
"Bila mereka menangkapnya?"
"Sudah dua hari"
"Tak ada yang mengetahui dimana mereka ditahan?"
Pertanyaan Si Bungsu belum terjawab, ketika dari kejauhan terdengar bunyi mobil. Semua mereka
menoleh. Dari arah Simpang Tiga kelihatan debu mengepul. Dan dari derunya diketahui bahwa kendaraan yang
mendekat itu adalah sebuah Jeep.
Mata Si Bungsu yang amat tajam mengetahui diatas Jeep itu ada enam manusia. Dua perempuan, empat
tentara. Rasa bencinya pada penjajah yang melaknati kaum wanita Indonesia itu tiba-tiba berkobar didadanya.
Sebenarnya seperti yang pernah dikatakan di Bukittinggi dahulu, yaitu ketika meolak penghargaan dari
para pejuang itu, dia tak punya sangkut paut dengan perjuangan kemerdekaan.
Kinipun sebenarnya dia tak berniat untuk jadi pejuang. Atau tak pula bertindak sok pejuang. Yang
muncul dalam hatinya adalah kebencian pada orang yang menjajah negerinya. Yang menyakiti kaum lelaki,
kanak-kanak. Dan menodai kaum wanitanya.
Rasa benci inilah yang membakar dadanya. Bukan niat untuk jadi pahlawan atau pejuang. Dan saat ini,
setelah menyaksikan betapa tadi kedua temannya ditampari hingga mulut dan hidung mereka berdarah,
kemudian mendengar cerita pemilik kedai ini tentang anak gadis yang tertangkap tanpa sebab itu,
kebenciannya jadi menyala.
Dan segara saja sebuah rencana muncul dikepalanya. Dan dia berniat melaksanakan rencana itu, empat
orang. Hmmm, jumlah mereka hanya empat orang, pikirnya.
(41) Jeep itu makin mendekat. Dan seperti sudah diatur ketika tiba di dekat kedai dimana mereka minum air
kelapa muda itu, jeep tersebut berhenti.
Si Bungsu dan kedua temannya segera mengenali dua diantara tentara KNIL itu adalah yang memeriksa
mereka tadi. Dua orang lagi adalah serdadu KL. Belanda Asli. Jeep ini nampaknya memang jeep patroli.
Sebab dibahagian belakangnya, tegak sebuah mitraliyur ukuran 12,7 dengan moncong menghadap ke
depan. Kedua serdadu KNIL itu melompat turun. Dengan sikap seperti ada peperangan dia mengacungkan
bedilnya kearah pondok. Dengan matanya yang merah kedua mereka menatap isi pondok. Kemudian menyapu
keadaan disekitarnya dengan tatapan menyelidik.
Dua orang tentara Belanda asli yang tadi masih duduk dibahagian depan lalu menyusul turun. Salah
seorang tentara KNIL memerintahkan kedua perempuan yang ada diatas jeep itu untuk turun.
Dengan kepala menunduk karena malu, yang gadis lalu turun. Si Bungsu melihat betaoa mata gadis itu
basah. Demikian pula ibunya yang tua. Dan setiap lelaki yang ada di pondok itu dapat menduga bahwa gadis
itu telah dinodai Belanda.
"Turun disini, dan awas kalau lain kali tidak memberikan keterangan yang benar".." KNIL itu berkata
dengan suara yang dibesar-besarkan. Semua yang ada dipondok hanya menatap dengan diam. Tak seorang pun
yang bicara. Tentara Belanda yang tadi memegang stir, dan berpangkat Sergeant melangkah mendekati kedai. Masuk
dan berdiri dekat Si Bungsu.
"Apakah kalian ada mendengar para ekstremis lewat disini?" dia bertanya dengan suara yang dibuat
agak ramah. "Ada".!" Salah seorang diantara yang hadir dalam kedai itu menjawab pasti. Isi kedai itu hanya tujuh
orang. Tiga diantaranya adalah Si Bungsu dan teman-temannya. Yang satu pemilik kedai. Dua lagi adalah
penduduk. Dan kedua penduduk ini memang benar-benar pejuang bawah tanah. Hanya saja tak seorangpun
mengetahui bahwa mereka pejuang. Termasuk pemilik kedai itu!
Kini terdengar bahwa ada orang yang menjawab bahwa ada ekstremis atau pemberontak Indonesia
lewat dekat situ, kedua pejuang ini jadi tegang. Semua mereka menatap pada orang yang menjawab pertanyaan
serdadu KL itu. Dan orang yang menjawab itu adalah Si Bungsu!
Semua mereka jadi heran, sebab anak muda ini tak pernah mereka kenal sebelumnya. Dan kedua teman
Si Bungsu, anggota-anggota fisabilillah itu juga merasa kaget mendengar jawaban Si Bungsu.
"Bila mereka lewat, dan apakah anda kenal dimana markasnya?" tentara Belanda itu mendesak.
Koleksi eBook : Drs. H. Hendri Hasnam, MM. 162
"Ya saya kenal semuanya. Mereka ini justru tengah menyusun suatu rencana penyerangan ke Simpang
Tiga. Mereka.." Si Bungsu berhenti bicara. Matanya memandang kepada para lelaki yang ada dalam lepau itu.
Yang juga tengah menatapnya dengan mata tak berkedip.
Si Bungsu tegak. "Ikut saya, saya akan sampaikan dimana mereka?" katanya sambil melangkah keluar. Sergeant itu
segera jadi maklum, bahwa lelaki ini pastilah tak mau laporannya didengar oleh orang dalam kedai tersebut.
Karenanya dia lalu menurut.
Tikam Samurai Karya Makmur Hendrik di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Si Bungsu berhenti, kemudian menoleh pada kedua temannya tadi. Memberi isyarat dengan mata, lalu
berkata : "Hei, mari kita tunjukkan saja tempat pejuang-pejuang itu!" Kedua temannya anggota fisabilillah itu jadi
maklum. Dan kedua mereka memberi isyarat pula pada dua orang pejuang dari Marpuyan itu dengan isyarat
mata. Sergeant itu menuruti langkah Si Bungsu dari belakang. Namun gerakan Si Bungsu berikutnya tak
terikutkan oleh tentara Belanda itu. Sambil tetap berjalan perlahan, Si Bungsu menghunus samurainya. Dan
begitu ia berbalik, samurainya membabat perut tentara KL itu. Tentara itu mengeluh. Perutnya belah dua.
Keluhannya terdengar oleh ketiga temannya yang lain. Mereka menoleh, dan melihat temannya rubuh
dengan perut berlumuran darah. Ketiganya mengangkat bedil. Namun saat itu pula ketiga pejuang yang lain
menghambur. Ketiga bedil tentara Belanda itu tak dapat meletus. Sebab tiba-tiba saja tiga pisau telah menancap
dipunggung mereka. Bedil mereka terlepas dan berusaha untuk memegang punggung yang tertikam dan sakitnya bukan main
itu. Namun beberapa tikaman lagi, ketiga Belanda itu matilah sudah. Keajadian itu teramat cepatnya. Sejak
jeep berloreng-loreng itu berhenti, sampai dengan matinya keempat Belanda itu, tak sampai dua menit!
Bahkan kedua perempuan yang mereka turunkan itu, masih belum meninggalkan jeep tersebut. Dan kini
kini mereka tertegun. Belanda itu sudah mati. Tapi apa yang akan diperbuat selanjutnya"
Mereka jadi pucat sendiri. Pemilik kedai wajahnya pucat bukan main. Mereka memang benci pada
Belanda. Tapi ketakutan setelah pembunuhan ini juga besar. Mereka takut pada pembalasan Belanda!
"Naikkan mereka ke atas jeep?"" Si Bungsu berkata sambil memandang ke arah Simpang Tiga. Dari
jauh kelihatan debu mengepul. Yang datang itu pastilah sebuah mobil. Hanya tak diketahui apakah kendaraan
itu kendaraan militer atau kendaraan sipil.
Namun kendaraan apapun yang datang itu, apakah militer atau sipil keduanya sama-sama berbahaya
bagi mereka. Bila kejadian ini diketahui Belanda maka pembalasan yang mengerikan akan menimpa penduduk
Marpuyan. "Itu power tentara Belanda!" Suman yang anggota fisabilillah, yang datang bersama Si Bungsu dari
Pekanbaru berkata. Mereka bergegas menaikkan mayat-mayat itu ke atas jeep. Menggulingkan di bak belakang.
Suara power yang merupakan sejenis truk perang itu makin menakutkan.
"Siapa yang menyetir mobil?" tanya Si Bungsu. Kedua temannya yang dari Pekanbaru menggeleng.
"Maarif"kau saja"!" Pemilik kedai bicara pada salah seorang pejuang dari perhentian Marpuyan yang
tadi ikut menikam Belanda.
"Dia biasa membawa truk!" pemilik kedai itu berkata cepat. Pejuang bawah tanah yang bernama Maarif
itu tak banyak cakap. Dia melompat ke balik stir. Kemudian menghidupkan mesin. Si Bungsu dan kedua
temannya melompat pula ke bak belakang. Demikian pula pejuang yang satu lagi, yaitu temannya si Maarif.
"Kemana kita?" Maarif berkata sambil menjalankan jeep.
"Arahkan ke Buluh Cina?" tanpa sadar sepenuhnya Si Bungsu berkata.
Jeep itu segera membelok ke kiri. Meninggalkan pemilik kedai dan kedua perempuan itu tegak di pinggir
jalan. "Katakan kepada mereka, teman mereka mengejar pejuang".!" Si Bungsu berteriak pada pemilik kedai
tersebut. Pemilik kedai hanya sempat mengangguk.
Hanya selang tiga menit, power wagon yang berisi selusin KNIL dan KL sampai pula disana.
"Hmm, sudah sampai kalian dikampung he..?" seorang Leutenant bertanya pada gadis yang baru turun
itu. Yang masih saja tegak dipinggir jalan.
Gadis cantik itu hanya menunduk. Matanya membersitkan kebencian. Dan Leutenant itu nyengir.
Pemilik kedai tegak dengan tegang. Sebab semakin lama tentara Belanda ini berhenti didepan kedainya, bisa
bocor pembunuhan yang baru saja terjadi beberapa menit yang lalu.
Koleksi eBook : Drs. H. Hendri Hasnam, MM. 163
Kalau saja ada diantar mereka yang bermata tajam, maka mereka akan melihat bercak-bercak darah
pada kerikil di jalanan. Tapi untunglah hal itu tak kejadian. Sehabis nyengir pada gadis cantik yang telah mereka
nodai itu, si Leutenant bertanya pada pemilik lepau dengan berteriak:
"He pak tua, mau kema Sergeant Rudolf dengan jeepnya itu?"
"Mengejar pejuang yang baru saja lewat disini?"
"Pejuang yang lewat"
"Ya. Ada tiga orang"!"
Para tentara Belanda di atas power itu saling pandang.
"Godverdome! Ayo kejar"!!"perintah leutenant itu mengguntur. Dan power wagon itu segera meraungraung ke kiri dan melaju ke arah Buluh Cina.
"Semoga kalian mampus semua"!"gadis cantik yang dinodai Belanda itu menyumpah.
Di atas jeep yang dikemudikan oleh pejuang dari perhentian Marpuyan itu tengah terjadi perundingan.
"Kita cegat mereka di pendakian Pasir Putih"!" kata anggota fisabilillah yang berasal dari Buluh Cina
dan bernama Bilal. Pejuang ini adalah teman Si Bungsu dari Pekanbaru yang kena tampar KNIL di Simpang Tiga
tadi. "Kita tembak mereka dengan senapan mereka sendiri?" temannya yang bernama Suman bertanya.
"Ya, agar mereka rasakan betapa senjata makan tuan?" jawab Bilal.
"Bagaimana, kita cegat mereka dimana?" Bilal bertanya pada Si Bungsu.
Si Bungsu menatap pada mitraliyur 12,7 yang tegak di bak belakang jeep. Melihat pelurunya yang
berantai panjang. "Apakah kalian mempunyai cukup peluru untuk berperang?" Si Bungsu balik bertanya. Para pejuang itu
saling bertukar pandang. "Tak begitu banyak?" Bilal menjawab jujur.
"Kalau begitu kita hajar mereka tanpa buang peluru".." Si Bungsu berkata pasti.
"Bagaimana caranya?"
Dan cara mencegat tanpa menghamburkan peluru itu diatur oleh Si Bungsu.
Sementara itu, power wagon yang memuat selusin serdadu Belanda itu meraung-raung membelah jalan
kecil menuju ke Buluh Cina itu. Tiba-tiba di depan mereka, ditengah pendakian, mereka melihat dua orang
sosok tubuh tentara Belanda. Sebab pakaian loreng yang mereka pakai menununjukkan hal itu.
Tubuh itu makin didekati makin nyata berlumuran darah.
"Jahanam! Berhenti. Mereka ternyata telah membunuh serdadu kita"." Leutenant yang memimpin
patroli itu menyumpah. Dia segera mengenali bawahannya itu sebagai serdadu KNIL yang ikut dengan Sersan
di Jeep tersebut. Kulit mereka yang hitam membuktikan bahwa mereka adalah tentara KNIL.
Power itu segera dihentikan persis ditengah-tengah pendakian didekat tubuh kedua serdadu KNIL
tersebut. Leutenant itu kemudian melompat turun.
"Ayo. Tolong angkat!" serunya.
Empat orang tentara Belanda lainnya berlompatan turun. Kemudian mengangkat tubuh teman mereka
itu. Namun begitu mereka menyentuh tubuh yang tertelungkup itu, tiba-tiba saja kedua "mayat" tersebut
melonjak. Yang pertama menjadi korban adalah seorang Kopral. Tubuh yang akan diangkat membalik. Dan sebilah
samurai menghajar dadanya. Kontan dadanya belah. Temannya seorang soldaat tertegun, dan saat itulah
dadanya juga ditembus samurai.
Dalam waktu hanya beberapa detik, keduanya rubuh dimakan samurai "mayat" yang akan mereka
angkat. "Mayat" yang satu lagi, yang ternyata adalah si Bilal, anggota fisabilillah yang berasal dari Buluh Cina itu
juga beraksi. Dia adalah seorang pesilat aliran Pangian yang tangguh. Begitu dia merasakan tangan menjamah
tubuhnya, dia segera menelentang. Dan kakinya menghujam keatas. Tumitnya mendarat persis di kerampang
sergeant yang tadi akan mengangkatnya.
Demikian kuatnya tendangan itu. Hingga tubuh sergaent itu terangkat sehasta dari tempatnya berpijak.
Kemudian terguling. Sergeant ini tak sempat menjerit. Hanya wajahnya yang menjadi kelabu tiba-tiba.
Gelandutnya pecah dan nyawanya melayang saat itu.
Saat berikutnya, tubuh Bilal ini melentik dengan manis lalu berdiri. Dan tendangannya kemudian
menghajar seorang soldaat teman si sergeant yang berniat mengangkat tubuhnya tadi.
Tendangan itu agak meleset. Sebab si soldaat sempat mundur selangkah.
Koleksi eBook : Drs. H. Hendri Hasnam, MM. 164
Bilal memburu. Dan kali ini dua buah jari tangan kanannya meluncur kedepan seperti kecepatan seekor
ular yang marah. Dan soldaat itu tak sempat mengelak lagi. Jurus tusukan dari silat Pangian itu menghujam kedua
matanya. Dan seiring dengan pekik kesakitan, kedua matanya terlompat keluar dimakan jari-jari Bilal.
(42) Perkelahian dibahagian si Bilal ini berakhir beberapa detik setelah perkelahian dipihak Si Bungsu
berakhir. Sebenarnya tak dapat disebut perkelahian. Sebab dalam suatu perkelahian senantiasa ada lawan ada
yang melawan. Sedangkan dalam peristiwa di pendakian Pasir Putih ini keempat Belanda itu tak ada yang melawan.
Katakanlah, mereka sebenarnya tak punya kesempatan untuk melawan sedikitpun. Kejadian ini tak pernah
mereka duga. Terlalu cepat kejadiannya bagi mereka.
Mereka semua menyangka yang mati tergolek di pendakian itu adalah serdadu KNIL yang tadi ikut
dengan jeep itu mengantarkan dua perempuan yang telah mereka kerjakan di Perhentian Marpuyan. Tak
tahunya dibalik pakaian loreng itu ternyata tubuh para ekstremis. Tubuh kaum perusuh dan pemberontak,
menurut istilah mereka. Dan inilah jebakan yang diatur oleh Si Bungsu itu. Yaitu jebakan yang tak mempergunakan peluru
sebagai pengganti jebakan yang direncanakan oleh Bilal yang akan mencegat Belanda di pendakian ini dengan
menghajar mereka memakai senjata 12,7.
Si Bungsu menerangkan rencananya itu sambil membukai pakaian KNIL yang tergolek di bak belakang
jeep. Kemudian memakainya. Pejuang-pejuang Indonesia lainnya jadi mengerti. Dan yang berminat ikut
bersama Si Bungsu untuk pura-pura jadi mayat adalah Bilal.
Dia disebut dengan panggilan Bilal adalah karena sehari-harinya di Buluh Cina tugasnya adalah memang
jadi Muazin dan imam di Mesjid.
Nama aslinya jarang orang yang tahu. Sebab sejak kecil, sejak pandai mengaji, dia telah jadi muazin
dikampungnya. Dan nama Bilal melekat pada dirinya.
Dia memang pesilat yang tangguh. Di Buluh Cina ada puluhan muridnya yang menjadi pendekar yang
disegani orang. Dan Si Bungsu menyetujui pendakian Pasir Putih itu sebagai tempat memasang jebakan.
Pendakian itu cukup tinggi. Di bawahnya mereka melalui sebuah sungai dangkal yang melintang di jalan.
Dasar sungai itu berpasir sangat putih dan airnya sangat jernih. Dikiri kanannya terdapat tebing yang berhutan
dan bersemak lebat. "Kita turun disini, dan antarkan jeep ini kebalik pendakian" Si Bungsu berkata sambil melompat turun.
Bilal dan kedua pejuang lainnya juga menghambur turun. Jeep itu terus ke puncak pendakian. Kemudian lenyap
dari pandangan. Tak lama kemudian sopirnya muncul. Si Bungsu dengan cepat menyuruh pejuang itu bersembunyi
ditebing kiri dan kanan tebing tersebut.
"Engkau menunggu di jeep"." Dia berkata pada Suman. Suman jadi kaget.
"Kenapa harus disana?"
"Rencana ini belum tentu berhasil seluruhnya. Kalau kami gagal, maka engkau menjadi harapan terakhir
untuk menyudahi mereka dengan mitraliyur itu.."
"Tapi,,," "Mereka bukan orang bodoh Suman. Mungkin saja kami segera mereka kenali. Nah, kalau hal itu terjadi,
maka kami akan jadi korban sia-sia. Kalau mereka mengenali kami dan mereka justru tak berhenti, mereka
tentu akan melindas tubuh kami dengan truk itu.
Yang bersembunyi di tebing itu takkan ada artinya. Nah, bila hal ini terjadi. Maka komado kami serahkan
padamu. Bila truk itu ternyata sampai ke puncak pendakian itu berarti aku dan Bilal sudah jadi mayat
dilindasnya. Engkau sambut mereka dengan mitraliyurmu"."
Suman dan yang lainnya segera jadi mengerti. Tanpa banyak tanya lagi Suman yang sama-sama datang
dari Pekanbaru itu segera berlari ke jeep dibalik pendakian itu.
Namun ternyata Belanda-Belanda itu memakan umpan yang dipasang Si Bungsu. Mereka berhenti dan
berniat mengangkat "mayat" teman-temannya. Dan disitulah kesahalan mereka.
Begitu keempat serdadu Belanda itu selesai dalam waktu yang tak sampai sepuluh hitungan, dari tebing
yang berhutan dipinggir truk melompat kedua pejuang lainnya ke atas truk.
Koleksi eBook : Drs. H. Hendri Hasnam, MM. 165
Dan sebelum para Belanda itu menyadari apa yang terjadi, mereka telah dimakan oleh tikaman pejuangpejuang itu. Bilal sendiri segera melompat ke atas truk tersebut dan kaki serta tangannya bekerja pula.
Akan halnya Si Bungsu segera berhadapan dengan Leutenant yang memimpin patroli itu. Leutenant itu
bukan main marahnya mendapatkan kenyataan tersebut.
Dia mencabut pistolnya. Si Bungsu masih membiarkan. Samurainya yang berdarah sudah disisipkan
kedalam sarungnya. Dan kini samurai itu dia pegang dengan tangan kiri. Sementara tangan kanannya
tergantung lemas. Pistol Leutenat itu keluar dari sarungnya. Kemudian terangkat tinggi. Si Bungsu masih membiarkan.
Jarak tegak mereka hanya dua depa.
Leutenat itu berteriak: "Godverdoom! Kubunuh kowe monyeeeet!!" dan telunjuknya menarik pelatuk pistol tersebut. Dan saat
itulah Si Bungsu bergerak. Tangan kanannya yang tergantung lemas bergerak seperti kilat. Mencabut samurai
dan melangkah selangkah ke depan.
Kemudian samurainya menyilang dari kiri atas ke kanan bawah. Yang dia babat pertama adalah tangan
kanan leutenat yang memegang pistol itu. Sedetik sebelum pistol meledak, tangan leutenant itu putus hingga
sikunya. Leutenant itu belum sempat memekik, sabetan samurai yang kedua menyusul pula. Membabat dadanya
dari kiri mendatar ke kanan. Dadanya belah persis dipertengahan kantong. Ada beberapa lembar uang dan
beberapa lembar foto cabul dalam kedua kantong baju leutenant itu dan semuanya terpotong dua bersama
dadanya. Dan leutenant itu memang tak pernah sempat menjerit diakhir hayatnya ini. Demikian cepatnya samurai
Si Bungsu. Akan halnya di atas truk itu, perkelahian lebih banyak menguntungkan pihak pejuang.
Mereka memang pesilat-pesilat yang telah masak seperti halnya Bilal. Maka perkelahian dalam truk
dengan jarak dekat itu memang merupakan makanan empuk bagi mereka. Sementara dipihak Belanda yang
umumnya hanya mahir mempergunakan bedil panjang, dihadapkan pada situasi yang hampir-hampir
bergumul ini jadi kalang kabut.
Maka tak heran beberapa orang lalu berusaha untuk terjun ke bawah agar bisa memanfaatkan bedil di
tangan mereka. Dan yang punya kesempatan untuk berbuat itu hanya Kopral yang jadi sopir.
Semula dia ingin terjun ke bawah dan naik ke bak belakang ikut dalam perkelahian itu. Tetapi otaknya
memang cerdas. Dari pada susah-susah turun, bukankah lebih baik menembak dari sini, pikirnya.
Power wagon yang dipergunakan itu adalah truk perang yang terbuka. Di bahagian belakang ada kursi
kayu yang dipakukan pada dinding kiri kanannya. Pada kursi kayu yang dicat hitam inilah Belanda itu duduk
berbaris. Sopir itu mengambil stengunnya. Kemudian tegak ditempat duduk. Dan suatu saat stengunnya
menyalak. Yang jadi korban adalah pejuang dari Marpuyan yang menyopiri jeep Belanda tersebut. Tengkuk dan
kepalanya dimakan empat peluru.
Kontan tubuhnya tercampak ke bawah. Kemudian suara stennya berhenti. Dia menanti kesempatan lain
untuk bisa menembak. Sebab dalam truk itu tengah terjadi pergumulan. Salah-salah dia bisa membunuh teman
sendiri. Kini Bilal tegak membelakanginya tanpa ada penghalang. Stengunnya terangkat.
Saat itu pula perkelahian antara Si Bungsu dengan Leutenant itu berakhir. Dia mendengar suara stengun
yang tadi menyudahi nyawa pejuang dari Marpuyan yang jadi sopir tadi.
Si Bungsu berbalik. Dan melihat sopir berpangkat itu membidikkan stennya. Dalam waktu yang sangat
singkat, perkelahian dengan serdadu Jepang membayang dikepalanya.
Betapa suatu subuh dia dan Datuk Penghulu mencegat truk berisi tentara Jepang setelah kematian istri
dan anak Datuk Penghulu. Keadaannya persis seperti sekarang.
Saat itu seorang perwira tengah membidikkan pistolnya dari tempat duduk depan ke arah tengkuk
Datuk Penghulu yang berada di depan truk berkelahi dengan tentara Jepang.
Si Bungsu waktu itu berada dibelakang truk. Dan untuk menolong Datuk Penghulu, samurainya dia
lemparkan dengan perhitungan yang cermat.
Samurai itu meluncur, menembus kaca pemisah antara ruang belakang dengan ruang depan truk.
Kemudian menancap ditengkuk perwira Jepang itu.
Koleksi eBook : Drs. H. Hendri Hasnam, MM. 166
Dan kini, di pendakian Pasir Putih menjelang Buluh Cina ini, tindakan itu pula lah yang diambil Si Bungsu.
Bedanya yang dulu dan yang sekarang adalah dalam soal letak. Dulu lawannya Jepang. Kini Belanda!
Dahulu dia berada di belakang. Kini di depan. Dahulu dia harus melemparkan samurainya dengan tenaga
ganda. Sebab harus menembus kaca tebal pemisah ruang belakang dengan ruang depan. Kini hal itu tak perlu.
Sebab Kopral yang memakai sten ini berdiri. Dan sebahagian badannya ke atas terbuka pula melewati
batas kaca power yang terbuka itu. Samurai Si Bungsu meluncur seperti anak panah. Dan menancap dibawah
belikat kiri Kopral itu! Namun stennya meledak juga. Hanya yang kena bukanlah Bilal, tapi nyasar entah kemana. Tubuh kopral
itu terjungkal dan mati. Di bahagian belakang truk itu, ketiga pejuang tersebut telah membunuh dua serdadu Belanda. Berarti
dengan yang dibunuh Si Bungsu dan Bilal, ditambah dengan sopir power itu, mereka telah berhasil membunuh
tujuh orang belanda tanpa sebutir pelurupun.
Dua orang lagi berhasil turun melompat dari truk. Mereka memburu ke depan. Dan didepan truk mereka
menemui Si Bungsu tanpa senjata.
"Anjing! Mati kowe!" bentak mereka sambil serentak menembak. Nyawa Si Bungsu diujung tanduk. Dia
tak bersamurai. Dan itu sama dengan bertelanjang. Satu-satunya harapan baginya adalah gerak "lompat tupai"!!
Dia bergulingan. Namun terlambat! Serentetaan tembakan sten menghajar tubuhnya. Dia jatuh
bergulingan ke tanah. Tapi bukan dengan jurus lompat tupai itu. Dia bergulingan karena dihantam peluru!
"Mati kowe!" kedua Belanda itu serentak berseru dan menembak lagi. Namun tembakannya terdengar
kalah keras dengan tembakan yang tiba-tiba datang dari puncak pendakian!
Serentetan tembakan mitraliyur terdengar merobek rimba di Pasir Putih itu. Dan kedua tentara Belanda
itu seperti dilanda Badai. Terdongak-dongak. Terpental-pental!
Di puncak pendakian berdiri Suman dengan 12,7 ditangannya! Dengan demikian sepuluh orang Belanda
telah mati. Sisanya yang tiga orang tiba-tiba mengangkat tangan.
"Maaf, eh ampun tuan. Kami menyerah" seorang KNIL berkata dalam bahasa Indonesia. Sementara dua
tentara Belanda aslinya lainnya tegak dengan menggigil.
Namun dari puncak pendakian 12,7 si Suman tak memberi keampunan. Mitraliyur menyalak lagi. Dan
ketiga Belanda yang menyerah itu terpental-pental. Menjerit dan rubuh.
"Suman!!" Bilal berteriak.
Namun teriakannya percuma. Mitraliyur ditangan Suman menyalak lagi.
Menyikat ketiga tubuh tentara Belanda itu. Dia baru berhenti ketika merasa puas.
Kemudian mencampakkan 12,7 nya lalu berlari bersama yang lain ke tubuh Si Bungsu.
Tiga peluru menghajar bahu, lengan dan perutnya. Nafasnya memburu. Darah membasahi tubuhnya.
"Bungsu?" teriak Suman tertahan.
Anak muda itu membuka mata. Merasakan linu dan sakit yang bukan main ditiga bahagian tubuhnya.
"Bagaimana yang lain?" tanyanya perlahan sekali.
"Kami selamat semua Bungsu"." Bilal menjawab.
Si Bungsu menelan ludah. Bibirnya pucat dan retak-retak.
"Kulihat Maarif kena tembak?" Si Bungsu menyanggah keterangan Bilal. Mereka jadi tertunduk.
"Bagaimana dia?""
Tikam Samurai Karya Makmur Hendrik di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Ya, dia meninggal?" Bilal berkata perlahan.
Si Bungsu menatap keliling. Menatap teman-temanya itu. Dia melihat wajah pejuang-pejuang yang
tangguh. Yang rela berkorban untuk Negaranya. Dan tiba-tiba dia jadi terharu. Terharu karena tak bisa
membantu mereka lebih banyak.
"Saya bangga, kalian pejuang yang militan. Sayang saya harus pergi jauh".sampai disini janjian saya?"
katanya. Dan air mata meleleh disudut matanya.
Suman, Bilal dan seorang pejuang dari Marpuyan lainnya, yang bernama Liyas terdiam.
"Mari kita terus ke Buluh Cina"." Bilal berkata sambil mengangkat tubuh Si Bungsu. Namun anak muda
ini menggeleng. "Pak"barangkali nyawa saya tak bisa bertahan ke kampung bapak. Jangan potong dulu pembicaraan
saya. Kalau saya mati, ambil cincin ini, kirimkanlah ke Bukittinggi. Pada seorang gadis bernama Salma, katakan
saya telah mati".hanya dia tempat saya berkabar berita. Tak ada yang lain. Semua keluarga saya telah punah.
Dialah yang telah mengobati saya dari sakit, dari resah dan rindu.."
Koleksi eBook : Drs. H. Hendri Hasnam, MM. 167
Dia terhenti. Nafasnya memburu. Dan dari mulutnya darah mengalir. Nampaknya dia memang tak lagi
bisa tertolong. Ada bahagian dalam dari tubuhnya yang terkena parah. Hingga darah tak saja keluar lewat luka,
tapi juga keluar lewat mulut.
"Saya sedih"karena dendam keluarga saya belum saya balaskan".sebelum saya mati!
"Saya rasa Liyas harus pulang ke Marpuyan. Pulang segera dengan jalan kaki. Sampaikan pada penduduk
untuk siang ini juga menghilangkan jejak kedua mobil ini. Jangan ada Belanda yang tahu bahwa kedua
kendaraan ini telah kemari. Kalau mereka tahu, maka penduduk Marpuyan dan Buluh Cina akan mereka bunuh
semua. Pulanglah, dan hilangkan jejak mobil ini. Mungkin dihapus dengan menyapu pakai daun kelapa, atau
dengan cangkul. Pokonya tak ada jejak dari Marpuyan sampai kemari.
Kalau Belanda datang bertanya ke Marpuyan katakan saja bahwa setelah mereka menurunkan gadis dan
ibunya itu, mereka meneruskan perjalanan ke Taratak Buluh. Mungkin terus ke Teluk Kuantan. Katakan saja
begitu".dan mayat-mayat yang ada ini, termasuk kendaraannya, menjadi tanggungjawab Suman dan Bilal
untuk menghilangkannya.."
Dia terhenti lagi. Ketika akan bicara, dia muntah darah. Dan jatuh terkulai. Dengan terkejut Bilal
mendengarkan detak dadanya. Kemudian membuka matanya yang terpejam. Teman-teman menanti dengan
tegang. "Dia masih bernyawa. Kita harus menyelamatkan nyawanya. Sekarang tugas kita bagi. Liyas pulanglah
ke Marpuyan. Turutkan petunjuk Si Bungsu tadi. Saya akan memakai jeep itu, semua senjata akan saya bawa
ke Buluh Cina bersama Si Bungsu. Jeep ini akan saya benamkan dalam batang Kampar.
(43) Tugas Suman adalah menghilangkan mayat dan truk ini. Kemudian menyusul saya dengan berjalan kaki
ke Buluh Cina. Semua senjata akan kita bagi di Buluh Cina nanti"." Dan tanpa menunggu jawab, Bilal segera
saja memangku tubuh anak muda itu ke atas jeep di puncak pendakian.
Kemudian dibantu kedua temannya mereka menaikkan semua bedil yang dibawa Belanda itu ke atas
jeep. Maya Bidin maarif juga, sebab mayat itu harus dikubur baik-baik.
Jeep itu segera saja dilarikan oleh Bilal. Jalannya tak menentu. Dia memang pernah membawa truk
dahulu, tapi sekarang karena sudah terlalu lama, maka jalannya melompat-lompat.
Mereka menatap jeep itu menghilang ditikungan diantara belantara di jalan kecil itu.
"Kau pulanglah ke Marpuyan Liyas?" Suman berkata.
"Ya, saya akan pergi. Merdekaa!!"
"Merdekaa!!" Liyas kemudian bergegas kembali ke arah darimana mereka tadi datang. Suman yang tinggal sendirian
lalu menaikkan mayat-mayat Belanda itu ke atas power wagon itu.
Kemudian membersihkan bekas-bekas perkelahian disana. Setelah itu dia menarik nafas panjang. Nah,
kini tugasnya adalah membawa power itu sejauh mungkin dari jalan raya. Dia memandang sekeliling. Dia kenal
sangat dengan daerah ini. Sebab dia juga adalah penduduk kampung Buluh Cina.
Dahulu sebelum masuknya tentara Jepang, dia setiap pagi mengayuh sepeda dengan keranjang penuh
ikan diboncengan belakang. Dia mengenal daerah ini seperti dia mengenal bahagian dari rumahnya.
Ketika Jepang masuk, dia bergabung dengan Kapten Nurdin di Pekanbaru. Masuk anggota fisabilillah dan
berjuang melawan fasis Jepang. Kemudian kini berganti lawan dengan Belanda.
Dia adalah bekas sopir ketika mula-mula Jepang masuk. Karena itu dengan mudah dia membawa power
wagon itu. Dia mendaki terus. Membawa truk loreng-loreng dari Perang Dunia ke II di Pasifik itu ke daerah
yang bernama Kelok Petai.
Disini dia membelokkan truk itu kedalam semak belukar. Dia tahu daerah ini tanahnya datar. Sebab
hanya ditumbuhi oleh Padang Lalang. Truknya dijalankan terus. Tak ada jalan sama sekali. Dia masuk
menyeruak semak belukar hutan ilalang setinggi rumah.
Dengan terseok-seok dia meneruskan perjalanannya. Dan setelah setengah jam, akhirnya dia sampai ke
sebuah sungai. Sungai ini tak begitu besar. Hanya selebar tiga meter dan dalamnya sekitar dua atau tiga meter
pula. Sungai ini merupakan bahagian hilir dari sungai kecil yang melintasi jalan di pendakian Pasir Putih tadi.
Dan kedalam sungai kecil ditengah belantara ilalang inilah dia membuangkan mayat-mayat Belanda itu.
Koleksi eBook : Drs. H. Hendri Hasnam, MM. 168
Dia tahu dengan persis, bahwa dari sini sungai tersebut tak lagi akan melintasi jalan raya atau jalan kecil.
Sungai ini menuju tengah hutan belantara yang belum pernah dijejak kaki manusia. Dan puluhan kilometer dari
tempatnya sekarang sungai ini akan bermuara di Batang Kampar. Yaitu jauh dihilir kampung yang bernama
Langgam. Dan dengan demikian, bangkai Belanda ini takkan pernah bertemu dengan manusia.
Sebab sebelum mencapai sungai Kampar, mayat ini mungkin telah hancur. Dimakan ikan dan cacing
disepanjang sungai dalam rimba tersebut. Atau kalaupun dia mencapai muara, maka mayat ini akan menjadi
santapan buaya-buaya besar yang sarangnya memang dimuara sungai ini di Batang Kampar sana.
Nah, dengan mengusap peluh, akhirnya mayat-mayat dari jeep dan dua belas mayat dari power itu
masuk ke sungai! Kemudian dia meninggalkan truk itu tegak begitu saja ditepi sungai dibawah pohon yang
sangat rimbun. Sepanjang jalan menuju keluar, dia membetulkan kembali letak rumput dan ilalang yang tadi dilindas
truk itu. Setibanya di jalan, tugas itu juga dia laksanakan. Nah, kini selesailah bahagian tugasnya.
Dia yakin, Belanda takkan pernah menemukan jejak lenyapnya keenam belas serdadunya ini. Dan dalam
sejarah perjuangan menegakkan Kemerdekaan di Riau, Belanda memang dibuat kalang kabut oleh lenyapnya
secara misterius serdadu dengan persenjataan mereka itu.
Dan sampai penyerahan kedaulatan secara penuh, misteri itu tetap lenyap tak berbekas.
-000Suman kini menuju ke arah Buluh Cina. Menjelang menuruni hutan ditepi Batang Kampar, dia tiba di
kampung Kutik. Kampung kecil ini adalah persimpangan ke Pangkalan dan ke Buluh Cina. Ke Pangkalan jalan
ke kiri dan Buluh Cina ke kanan.
Penghulu kampung itu segera menemuinya ketika melihat dia datang. Dan suman lalu menceritakan apa
yang telah mereka alami. "Ya. Baru sebentar ini kami melihat Bilal lewat. Nampaknya sangat terburu. Hingga kami tak sempat
bertanya?" "Kini tugas kita menghilangkan jejak jeep itu?" Suman berkata.
"Kau teruslah ke Buluh Cina, tentang jejak jeep ini serahkan pada kami disini. Jangan khawatir"
Suman jadi lega. Dia lalu melanjutkan perjalanan ke Buluh Cina. Dari desa Kutik itu dia harus meliwati
hutan belantara sejauh dua kilometer. Baru kemudian tiba dikampung Bontu yang terletak ditepi Batang
Kampar. Dari kampung ini dia dapat kabar bahwa Bilal sudah diantar menyebrang ke Buluh Cina bersama anak
muda yang luka itu. Senjata ditinggalkan disebuah rumah pejuang anggota fisabilillah di Bontu tersebut.
Dan dengan sampan, Suman diantar pula ke kampungnya. Ke Buluh Cina. Tugas utama mereka semua,
yaitu menyampaikan berita pada keluarga Pak Rajab, bahwa dia selamat, kini bertambah tugas lain. Yaitu lari
dari kejaran Belanda dan menyelamatkan nyawa Si Bungsu.
Dan sepeninggalnya, penghulu kampung segera mengumpulkan penduduk yang jumlahnya hanya
puluhan orang. Kepada mereka dia ceritakan perjuangan yang telah dilakukan pejuang-pejuang dari Buluh
Cina dan Perhentian Marpuyan itu.
Dan dengan semangat perjuangan yang tebal, penduduk ini segera turun tangan. Menghilangkan jejak
jeep yang tadi dibawa oleh Bilal. Mereka bekerja sepanjang siang, sore dan malam. Dan menjelang Isya
pekerjaan itu selesai. Mereka pulang dengan perasaan tenteram.
Kesibukan tentara Belanda segera saja meningkat karena kehilangan sebuah power wagon dengan enam
belas tentaranya itu. Malam itu juga sepasukan tentara yang terdiri sebuah truk penuh dan dua buah jeep bermitraliyur
mendatangi Perhentian Marpuyan. Penduduk segera saja diinterogasi. Ditanya apakah mereka melihat jeep
dan power wagon itu. Penduduk Marpuyan yang jumlahnya tak sampai seratus orang itu telah "diatur" oleh pemilik kedai yang
juga adalah Imam di kampung itu.
Dan semua penduduk dengan suara pasti menjawab bahwa mereka memang melihat jeep dan power
wagon itu. Jeep yang pertama setelah menurunkan gadis dan ibunya itu terus ke arah Taratak Buluh. Tak lama
kemudian datang power wagon dengan selusin tentara diatasnya.
Power wagon itu juga terus ke arah Teratak Buluh. Tentara Belanda itu meneruskan jalannya ke Teratak
Buluh dalam usaha mencari jejak patroli yang tak kembali itu. Namun mereka dibuat kaget. Sebab di Teratak
Buluh, tak satupun orang yang pernah melihat kedua kendaraan itu muncul!.
Koleksi eBook : Drs. H. Hendri Hasnam, MM. 169
Mereka lalu kembali lagi ke Simpang Tiga. Yaitu ke Pos penjagaan terjauh dari kota Pekanbaru. Mereka
hanya berani bergerak malam dengan kekuatan besar. Dan malam itu hanya sampai disana penyelidikan
mereka. Mereka tak berani bergerak dimalam hari lebih lanjut. Takut akan serangan para pejuang.
Mereka menanti hari siang untuk melanjutkan pencaharian.
Dan begitu hari siang, pasukan segera ditambah dari Pekanbaru. Kini dengan enam buah kendaraan yang
terdiri dari dua buah jeep bermitraliyur, dua buah kendaraan lapis baja, dan dua buah power wagon yang
semuanya berkekuatan empat puluh pasukan berpakaian loreng mulai bergerak meninggalkan Simpang Tiga.
Tujuan mereka hanya satu, Perhentian Marpuyan.
Hari masih subuh, ketika kampung kecil itu sudah dikepung oleh tentara Belanda tersebut.
Semua penduduk dikumpulkan dilapangan dekat sebuah sekolah. Anak-anak, lelaki perempuan, tua
muda, tak ada yang tersisa satupun. Termasuk didalamnya Liyas yang kemaren bersama Si Bungsu menyikat
Belanda di pendakian Pasir Putih itu.
Mereka dikumpulkan dilapangan dengan dikurung oleh panser dan jeep bermitraliyur yang dihadapkan
pada mereka. Seorang KNIL segera maju. Kemudian mengajukan pertanyaan.
"Kalau kalian tak menjawab, maka kalian akan ditembak?" KNIL itu menggertak. Tak ada yang
menjawab. Karena kanak-kanak malah mendekat panser dan jeep bersenjata berat. Mereka terheran-heran
melihat kendaraan itu. "He, kowe lihat jeep dan truk lewat disini?" seorang KNIL bertanya pada seorang anak yang mendekati
pansernya. Anak itu melihat dengan heran.
"Kowe lihat jeep lewat sini" Nanti kowe saya kasi bon-bon.." KNIL itu bertanya lagi dengan bujukan
sambil mengambil gula-gula dari kantongnya.
Liyas yang pejuang itu hanya melihat dengan tenang dari kejauahn. Dia tak usah khawatir bahwa rahasia
akan terbongkar dari mulut anak-anak itu.
Soalnya bukan karena anak-anak itu seorang patriot. Tidak. Tapi sebabnya adalah karena hal lain. Dan
hal lain itu segera terbukti, takkala anak yang ditanya dan disodorkan gula-gula itu menghadap pada teman
sebayanya disampingnya tegak dan bertanya.
"Apo nyie bowuok go ang..?"Apa kata monyet ini" Temannya segera menjawab :
"Inyo maagie ang gulo-gulo"(Dia memberi engkau gula-gula)
Anak itu tertawa. Mengambil gula-gula itu.
"Mokasi yo wuok" (makasih nyet)
Kemudian membuka bungkusnya dan memakannya. Lalu pergi dari sana ke arah kumpulan orang
banyak, tanpa mengacuhkan pertanyaan KNIL itu. Soalnya anak-anak dikampung itu seperti umumnya anakanak dikampung lain diseluruh Indonesia, tak pandai berbahasa Indonesia.
Bahasa mereka adalah bahasa kampung mereka sendiri. Saat itu belum berapa orang jumlah yang
mengecap bangku sekolah. Dan yang tak berapa orang itu, semuanya adalah anak-anak yang berdiam di kota.
Bukan di kampung. KNIL yang gula-gula diambil itu hanya bisa garuk-garuk kepala. Dan dari mereka, serta dari penduduk,
tak ada keterangan yang diperdapat. Jawaban tetap seperti kemaren. Yaitu kedua kendaraan itu menuju ke
Teratak Buluh. Tak lama kemudian, dua belas pencari jejak yang disebar kembali melapor pada Mayor yang memimpin
operasi pencaharian itu. Kedua belas orangnya melaporkan tak menemukan jejak apapun! Rupanya Liyas dan
penduduk Marpuyan telah bekerja dengan sempurna. Jejak kedua kendaraan itu memang berhasil dihapus
seperti yang dikatakan Si Bungsu. Demikian sempurnanya, sehingga tentara Belanda yang dalam perang Dunia
ke II yang baru lalu tugas khususnya adalah mencari jejak kini tak menemukan apa-apa.
Liyas yang menanti kembalinya pencari jejak itu dengan perasaan tegang jadi merasa lega takkala dia
lihat kedua belas pencari jejak itu melapor dengan perasaan kecewa.
Akhirnya penduduk dibubarkan dengan ancaman-ancaman. Mayor yang memimpin itu adalah Mayor
Antonius. Dalam perang Dunia ke II melawan Jepang di Pasifik dia memimpin Kompi Gerak Cepat bersama
sepasukan tentara Amerika di Pulau Guam.
Dan kali ini, firasat Mayor itu mengatakan bahwa jeep dan power yang lenyap misterius itu pastilah
melewati jalan kecil menuju Buluh Cina ini kemaren.
Tapi dia merasa heran, kenapa pencari jejak yang tangguh itu tak menemukan apa-apa"
Dia memerintahkan untuk menyelusuri jalan kecil itu terus ke pedalaman. Enam kendaraan yang siap
perang itu segera merayap mengikuti jalan yang kemaren memang ditempuh Si Bungsu dan teman-temannya.
Koleksi eBook : Drs. H. Hendri Hasnam, MM. 170
Liyas dan pejuang-pejuang lainnya menjadi tegang tatkala melihat bahwa Belanda itu meneruskan jalan
ke Buluh cina. "Bagaimana sekarang?" seorang pejuang bertanya pada Liyas.
"Kita hanya bisa berserah diri pada Tuhan?" jawab Liyas.
"Kita bisa ke Buluh Cina lewat Teratak Buluh"
"Tak mungkin lagi. Untuk kesana dibutuhkan satu jam pakai sepeda. Kemudian dengan sampan enam
jam ke buluh Cina. Sedangkan mereka dalam waktu satu jam sudah akan sampai?" Suman berkata perlahan
sambil menatap kendaraan itu lenyap di tikungan.
"Bagaimana kalau ketahuan?"
"Ada dua kemungkina. Pertama semua kita mereka tembak dan Buluh Cina mereka gempur. Kedua
mereka kita cegat ketika kembali".
"Itu berarti bunuh diri. Kita tak punya kekuatan apa-apa. Disini kita hanya ada sebelas orang dengan
empat pucuk senjata api, selebihnya hanya memakai kelewang, parang, pisau dan bambu runcing!"
"Bagaimana putusan kita?"
(44) "Saya berharap mereka tak menemukan apa-apa. Semoga lewat Bancah Limbat hujan turun malam tadi.
Dan jejak terhapus sama sekali".."
Dan memang itulah yang terjadi. Malam tadi hujan meski tak lebat, tapi turun dibahagian hutan lewat
rawa yang bernama Bancah Limbat sampai Kutik. Dan semuanya melenyapkan jejak kemaren.
Belanda meneliti tiap jengkal yang mereka lewati dalam usahanya mencari jejak patroli yang lenyap itu.
Tak lama kemudian mereka berhenti disebuah sungai kecil yang melintasi jalan.
Sungai itu jernih sekali airnya. Jernih dan sejuk dengan pasir putih didasarnya. Mayor Antonius
menyuruh berhenti jeep komandonya. Dia tegak dibangku. Memandang dengan teropong kependakian
diseberang sungai dangkal itu. Tak ada apa-apa yang mencurigakan.
Dia turun. Mencuci muka disungai kecil yang sejuk itu. Meminum airnya yang juga terasa sejuk.
Sementara dia mencuci muka dan minum itu, pasukannya siap dikedua sisi jalan dengan senjata siaga.
"Kita kembali!" perintahnya. Dan semua kendaraan itu, satu persatu berputar disungai kecil tersebut.
Daerah dibawah pendakian itu memang cukup lebar untuk berputar. Kendaraan berputar disana sambil
menambah air untuk kendaraan mereka.
Dan putusan Mayor itu termasuk hal yang menyelamatkan penduduk kampung Kutik, Buluh Cina dan
Perhentian Marpuyan!. Sebab, kalau saja Mayor itu meneruskan langkahnya agak dua puluh meter lagi kepertengahan
pendakian dari sungai kecil dimana dia mencuci muka dan minum, maka dia pasti akan menemukan jejak
pertempuran kemaren yang terkikis oleh hujan, dan tak terlenyapkan oleh penduduk Kutik.
Jejak itu berupa lobang-lobang bekas terkaman peluru 12,7 yang dimuntahkan oleh Suman! Di
pertengahan pendakian itu ada lebih dari selusin jejak peluru. Kemaren memang ditimbun baik oleh Suman
maupun penduduk Kutik. Tapi hujan yang turun malam tadi membuat timbunan itu melorot ke dalam. Dan
jejak itu justru muncul lagi. Tapi untunglah, Tuhan masih melindungi mereka semua!
Dan sebelum petang datang, pasukan Belanda itu cepat-cepat menuju ke markas kembali. Mereka
memang tak berani berada didaerah Republik itu dimalam hari meski dengan kekuatan persenjataan yang tak
tanggung-tanggung. Mereka hanya berani berpatroli disiang hari. Dan begitu malam akan turun mereka cepat-cepat menarik
diri ke markas. Besoknya pencarian dilanjutkan lagi. Namun jejak yang mereka cari semakin lenyap. Dan akhirnya
pencaharian itu dihentikan sama sekali. Sebab setelah itu, Belanda disibukkan oleh peperangan-peperangan
dengan tentara Indonesia.
--0000-Di Buluh Cina. Rumah-rumah kampung itu semuanya adalah rumah panggung dengan tiang-tiang tinggi. Kampung itu
terletak di seberang sungai Kampar, kalau datang dari arah Pekanbaru. Sungai itu senantiasa menghanyutkan
airnya yang berwarna jernih ke hilir.
Koleksi eBook : Drs. H. Hendri Hasnam, MM. 171
Hanya ada sekitar seratus rumah di kampung itu. Memanjang ditepian sungai Kampar dari Barat ke
Timur. Di bagian tengah kampung ada sebuah mesjid. Di bagian agak ke hulu ada pandam pekuburan kampung.
Kampung dipenuhi oleh rumpun kelapa. Di bawah bayang-bayang dau kelapa ini rumah-rumah
penduduk didirikan. Rumah dibuat tinggi dari tanah dengan dua maksud. Pertama menghindarkan banjir dari
sungai Kampar yang selalu datang melanda. Kedua menghindarkan diri dari serangan harimau yang sering
mengganas di kampung itu.
Mata pencaharian penduduk tak ada yang tetap. Itu bukan berarti disana banyak sekali mata
pencahariannya. Tidak. Sumber kehidupan mereka hanya tigal hal. Satu karet, kedua ikan dan ketiga berladang.
Karet dan ikan merupakan mata pencaharian yang agak tetap. Sementara hasil ladang hanya cukup
untuk keperluan anak beranak. Mereka masih menerapkan sistim berladang kaum Nomaden. Hari ini
berladang disuatu tempat yang subur. Kalau akan membuka ladang, terlebih dahulu harus menebas hutan
belantara. Kemudian dibiarkan kering. Lalu dibakar. Dan setelah itu bekas bakar dibersihkan ala kadarnya.
Kemudian langsung ditanami jagung dan padi. Selama proses ini tak kenal penggunaan cangkul atau
alat-alat pertanian lainnya. Untuk menanam padi atau jagung lobang dibuat dengan menghujamkan tuga, yaitu
sepotong kayu sebesar lengan yang diruncingkan ujungnya kebawah dan dihentakkan ke tanah. Ke lobang itu
benih jagung atau padi dimasukkan.
Dan hanya proses waktu dan alam saja yang mereka tunggu selanjutnya untuk menumbuhkan,
membesarkan dan membuat padi dan jagung itu panen. Tapi begitu panen sudah dipetik, maka ladang itu
mereka tinggalkan. Tahun depan mereka merambah hutan yang lain pula untuk berladang. Begitu terus.
Ini menyebabkan mereka tak pernah mempunyai ladang yang tetap. Tak pernah berladang dimana
tumbuh tanaman keras. Mereka pindah terus dari satu hutan ke hutan lain untuk berladang meski ladang
terdahulu tanahnya masih tetap subur untuk beberapa tahun lagi.
Kebun karet mereka umunya tak terurus. Ditumbuhi semak belukar dan dijalari rotan. Bahagian yang
baik hanyalah sedikit disekitar pohon yang akan ditakik saja. Tak heran kalau kebun karet yang mereka sebut
dengan kebun para itu menjadi sarang harimau. Dan tak heran pula banyak penakik-penakik getah itu menjadi
Tikam Samurai Karya Makmur Hendrik di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
mangsa raja hutan tersebut.
Mata pencaharian yang ketiga adalah ikan. Mereka menangkapi ikan di sepanjang batang Kampar atau
didua danau kecil yang terdapat dibalik kampung itu.
Karet dan ikan inilah mata pencaharian mereka yang agak memadai. Memadai dalam arti sekedar cukup
untuk menyambung hidup dari hari ke hari. Sebab baik memotong karet maupun menangkap ikan mereka
lakukan secara tradisionil. Bila hujan turun karet tak dapat ditakik, mereka menangkap ikan. Bila air besar dan
hujan turun pula, dimana getah dan ikan tak dapat ditangkap, mereka hanya berdiam dirumah.
Demikian kehidupan penduduk dikampung itu musim ke musim. Kampung itu merupakan salah satu
dari sekian kampung disekitarnya yang mempunyai struktur ganda. Maksudnya, dalam hal adat istiadat
mereka berkiblat ke Minangkabau. Sebab dari sanalah nenek moyang mereka berasal.
Karenanya dikampung itu dikenal juga dengan sistim Suku dan gelar seperti jamaknya dikenal di
Minangkabau. Dan sistim keluarga yang dianut juga sistim ibu sebagaimana jamaknya di Minangkabau.Namun
dalam segi pemerintahan, mereka tunduk ke Riau.
Sebagaimana jamaknya di Minangkabau, dikampung ini pemuda-pemudanya juga belajar silat. Silat yang
berkembang disini adalah silat aliran Pangian. Yaitu silat yang berasal dari negeri Pangian di Kabupaten 50
Kota dekat Lintau. Silat merupakan kebanggaan tua dan muda.
--000-Hari itu adalah hari jumat. Yaitu setiap Jumat dimana pedagang-pedagang bersampan dan berkapal
kecil-kecil singgah dalam perjalanan mereka menuju Teratak Buluh dihulu dari Langgam di hilir.
Penduduk kampung berdekatan seperti Bontu diseberang agak ke hilir, dan penduduk dari kampung
Kutik diseberang agak ke darat sudah berdatangan. Hari sekitar jam sepuluh pagi ketika tiba-tiba dari hulu
terlihat orang berlarian.
"Belanda! Tentara Belanda datang!" pekiknya. Suasana ditengah pasar itu mula-mula terbengongbenging saja. Tapi begitu tembakan pertama terdengar, suasana panik segara menjalar. Penduduk berlarian
bertemperasan. Pedagang-pedagang berusaha menyelamatkan jualannya.
Mereka berteriak meminta uang pada pembeli yang begitu panik menjalar segera saja angkat kaki. Lupa
membayar barang yang telah dia ambil.
Koleksi eBook : Drs. H. Hendri Hasnam, MM. 172
Namun penduduk yang berlarian itu tak lama kemudian kembali lagi ke pasar darurat tersebut. Mereka
dihalau kesana oleh tentara Belanda yang rupanya telah mengepung kampung itu dari hulu dan dari hilir.
Tentara yang datang tak berapa orang. Hanya enam orang. Tapi enam orang tentara Belanda dengan
senjata lengkap memang sudah cukup membuat penduduk jadi terkencing-kencing.
"Ayo kumpul semua!" bentakan terdengar dari mulut seorang Leutenant. Dan kembali serentetan
tembakan dari sten menyalak.
Anak-anak pada bertangisan. Perempuan pada terpekik dan mereka digiring ke lapangan kecil dimana
tadi seorang pedagang berjual obat.
Kaum lelaki dan perempuan segera saja dipisahkan. Ada sekitar tiga puluh orang lelaki yang terjaring.
Mereka semua disuruh duduk berjongkok di tanah.
"Periksa!" Leutenant itu memberi perintah. Dan tiga orang serdadu yang terdiri dari seorang Sersan,
seorang kopral dan seorang soldaat segera menghampiri para lelaki yang duduk mencangkung itu.
"Bagaimana, kita lawan mereka?" Si Bungsu yang terdapat diantara para lelaki itu berbisik pada Bilal
yang duduk disebelahnya. "Tunggu dulu. Nampaknya mereka bukan mencari kita" Bilal menjawab. Dan karenanya Si Bungsu hanya
diam menanti. Hari itu adalah bulan ketiga dia berada di kampung Buluh Cina ini semenjak peristiwa
penyergapan di pendakian Pasir putih itu.
Tiga peluru yang menghajar tubuhnya, ternyata tak cukup kuat untuk merenggut nyawanya. Atau
katakanlah, bahwa Bilal telah menolong nyawanya dari renggutan maut. Lelaki itu melarikan tubuh Si Bungsu
yang luka parah di Buluh Cina. Kemudian di kampung itu Si Bungsu ditolong dengan obat-obatan kampung.
Lukanya diobat dengan berbagai ramuan. Diantaranya dengan bubuk yang dibuat dari kikisan
tempurung kelapa. Pedih dan sakitnya bukan main.
Namun Tuhan masih memanjangkan umurnya. Buktinya dia berangsur sembuh. Sementara itu senjata
yang berhasil mereka rampas dari Belanda-Belanda di pendakian Pasir Putih telah dikirim ke Pekanbaru.
Kepada anggota-anggota fisabilillah dan tentara Indonesia.
Dan di kampung ini hanya ada dua pucuk bedil. Satu pada Bilal, yaitu sebuah sten, kemudian sebuah lagi
pada Badu. Yaitu sebuah jungle. Namun kini kedua bedil itu berada dirumah mereka. Dan kini Bilal, Badu dan
Si Bungsu terperangkap di Pasar Jumat tersebut.
Dengan perasaan tegang mereka menanti ketiga serdadu Belanda itu menggeledah mereka. Satu demi
satu mereka diperiksa. Diraba pinggang celana dan kantong-kantong mereka.
"Apa yang mereka cari?" Si Bungsu berbisik.
"Entahlah"!" jawab Bilal perlahan.
Dan akhirnya penggeledahan itu selesai. Tak seorangpun nampaknya yang dicari oleh tentara Belanda
tersebut. Si Bungsu menarik nafas panjang.
Ketiga serdadu yang memeriksa itu berjalan ketempat Leutenat yang memimpin mereka. Melaporkan
hasil pemeriksaan. Namun mata Leutenat itu menatap tepat-tepat pada Bilal. Bilal yang tahu bahwa dia sedang
diperhatikan mencoba untuk tak acuh. Mencoba menatap ke bawah.
Si Bungsu juga melihat kelainan tatapan mata Leutenant tersebut. Dan tiba-tiba saja Leutenant itu
melangkah mendekati mereka.
"Dia kemari"!" Si Bungsu berbisik.
"Ya, mau apa dia?" balas Bilal sambil menoleh ke tempat lain acuh tak acuh. Padahal hatinya berdebar
keras. "Apakah bapak dia kenali?" Bungsu bertanya.
"Saya tak tahu"." Jawab Bilal.
Pembicaraan itu terhenti takkala tiba-tiba saja tangan Leutenant itu menjambak rambut Bilal.
Menyentakkan ke atas sehingga kepalanya tertengadah.
Hampir saja Bilal menghantam kerampang Leutenant itu dengan lutut karena berangnya. Tapi untung
dia dapat menahan emosi. Dia sadar, kalau berbuat yang tidak-tidak, banyak penduduk yang akan jadi korban
sia-sia. Dia menahan amarahnya sambil mengikuti sentakan pada rambutnya hingga dia berdiri.
Mata Leutenant itu menatap wajahnya dengan teliti.
"Hei, bukankah ini orang yang lewat di Simpang Tiga beberapa bulan yang lalu?" Leutenant itu berseru
pada anak buahnya. Anak buahnya menatap pada si Bilal. Dan si Bilal segera ingat pada saat mereka diperiksa di penjagaan
Simpang Tiga. Yaitu ketika dia dengan Si Bungsu dan Suman. Disaat dimana dia diludahi oleh seorang tentara
KNIL. Koleksi eBook : Drs. H. Hendri Hasnam, MM. 173
Lelaki yang lain pada berkuak.
Tentara Belanda ini sebenarnya datang ke Buluh Cina bukannya mencari Bilal atau Si Bungsu. Peristiwa
lenyapnya tentara Belanda dengan sebuah Jeep dan sebuah Power Wagon tiga bulan yang lalu tak ada sangkut
pautnya dengan kedatangan mereka kini.
Mereka datang kemari dalam rangka memburu seorang pembunuh. Seorang lelaki pribumi telah
membunuh seorang pedagang di teratak Buluh. Pedagang itu orang asli Teratak Buluh yang terletak tiga jam
bermotor tempel di hulu Teratak Buluh.
Dan Belanda memburunya sampai kemari bukan tanpa alasan. Ada dua alasan kenapa tentara Belanda
memburu pembunuh yang menghiliri sungai Kampar itu. Pertama, pedagang yang dibunuh itu adalah matamata Belanda. Kedua memang menegakkan hukum dengan baik meski ditanah jajahannya.
Mereka menyangka bahwa pembunuh itu berada di Pasar Jumat ini. Makanya mereka menghentikan
motor tempel mereka dihulu. Kemudian dengan jalan kaki mengepung Pasar jumat ini. Tapi Leutenant yang
memimpin pemburuan itu ternyata mengenali Bilal.
Dan karena dia mengenal Bilal, dia segera ingat kembali akan lenyapnya teman-temannya tiga bulan
yang lalu. Yaitu persis setelah lewatnya Bilal dengan kedua temannya di Simpang Tiga!
"Benar, dialah yang kita periksa dulu. Saya ingat benar, dia saya ludahi waktu dalam pos pemeriksaan?"
"Kalau begitu dia punya hubungan dengan lenyapnya teman-teman kita tiga bulan yang lalu. Cari
temannya yang lain!" perintah leutenant itu menggelegar. Si Bungsu kaget mendengar perintah itu. Dia ingin
bertindak, namun tindakannya tinggal beberapa detik dari tindakan yang diambil oleh Bilal.
Bilal yang pesilat itu, merupakan salah seorang pejuang dari pasukan Fisabilillah, segera menyadari
bahwa bahaya yang hebat mengancam mereka bila dia tertangkap. Makanya begitu leutenant itu
memerintahkan untuk mencari temannya yang lain, yang tak lain dari Si Bungsu dan Suman, Bilal segera
bertindak. (45) Saat leutenant tersebut masih mencekal rambut dikepalanya. Dengan sebuah tendangan yang penuh
kebencian, lututnya menghantam perut leutenant itu. Leutenant itu mendelik matanya menahan sakit.
Cekalannya pada rambut Bilal lepas. Kedua tangannya segera saja memegang perut yang dimakan lutu pejuang
itu. Dan Bilal tak berhenti sampai disana, dia segera mencekik leher leutenant itu dari belakang. Kemudian
sebilah pisau yang dia simpan dibalik pinggang celananya segera saja keluar dan ditekankannya kuat-kuat ke
dada sebelah kiri si Belanda .
"Kubunuh anjing ini kalau kalian bergerak!!" dia berteriak mengancam tentara Belanda yang lain. Yang
semuanya masih tertegun kaget.
Seorang Sersan Mayor coba mengokang bedil. Namun saat berikutnya dia terhenti bersamaan dengan
pekik si leutenant. Bilal rupanya memang tak sekedar menggertak.
Begitu dia lihat Sersan itu mengokang bedil, pisau beracunnya dia tekankan. Demikian kuatnya, hingga
menembus baju loreng si Letnan dan menembus dadanya. Meski pisau itu hanya menembus kira-kira sejari,
tapi sakit dan kagetnya leutenant itu bukan alang kepalang.
Kejadian tiba-tiba jadi tegang. Semua pada terdiam. Bilal sendiri tak tahu apa lagi yang akan dia perbuat.
Dan Si Bungsu segera menangkap keraguan ini. Dia bangkit dan melangkah. Namun gerakannya justru
melindungi seorang kopral dari tatapan mata Bilal.
Kopral itu menyambar seorang anak perempuan berusia sepuluh tahun. Dan persis seperti yang
diperbuat Bilal, Kopral KNIL ini menodongkan bedilnya persis ke pelipis gadis kecil itu.
"Lepaskan leutenant itu, atau anak ini saya hancurkan benaknya!" kopral itu ganti menggertak. Bilal
membalik dan baru saja akan balas bicara ketika tiba-tiba ibu anak tersebut memekik dan menghambur ke
arah anaknya. "Biarkan dia, jangan dekati"..!" Bilal coba mengingatkan perempuan itu. Namun perempuan itu mana
mau anaknya terancam bahaya. Sambil memekik dia terus memburu kopral itu.
"Jangan dekati kesanaaa!!" Bilal berteriak lagi sementara tangannya tetap mengunci leher leutenant itu.
Tapi perempuan itu tak peduli. Dia memegang tangan anaknya. Dan kini dia saling tarik dengan kopral KNIL
itu. "Lepaskan anakku! Lepaskan anakkuuu!!" pekiknya sambil menolong-nolong.
"Anjing pigi kowe! Pigi kowe sana!!" kopral itu membentak.
Koleksi eBook : Drs. H. Hendri Hasnam, MM. 174
Dan suatu saat, kakinya terangkat. Sepatu larasnya yang berpaku menerjang perempuan tersebut.
Perempuan itu tercampak. Dadanya kena hantam. Dia muntah darah. Dan tergolek diam ditanah!
Keadaan kembali tegang. Empat serdadu Belanda yang lain tetap saja tak bisa berbuat apa-apa. Sebab
mereka melihat betapa ujung pisau Bilal tetap saja menancap di dada komandan mereka.
"Ayo lepaskan Leutenant!!" kopral KNIL itu membentak lagi.
Namun Bilal segera dapat menguasai kekagetannya.
"Kau perintahkan semuanya melemparkan bedil letnant!" Dia mendesis dipangkal telinga leutenant itu.
Dan ketika letnan itu masih berdiam diri, dia menekankan lagi ujung pisaunya.
"Perintahkan mereka melemparkan senjatanya!!".
Namun tiba-tiba saja tanpa disengaja sedikitpun, mungkin karena gugup, senjata ditangan kopral yang
mengancam gadis kecil itu meledak.
Dan bencana tak dapat dihindarkan. Kepala gadis itu rengkah dan dia mati tanpa memekik sedikitpun.
Semua jadi kaget. Semua seperti dipakukan ke tanah. Bilal lah yang pertama mengadakan reaksi.
"Anjiiing! Kubunuh kalian!! Kubunuuuuuuh!" dan dia memang membuktikan ucapannya. Dia memang
tak main-main. Dia memang siap dengan segala kemungkinan. Dia memang kental hatinya. Kental darah
pejuangnya. Dia menekankan pisaunya hingga membenam seluruh ke dada leutenant itu. Seluruhnya terbenam.
Leutenant itu memekik dan meronta-ronta mengelak dari renggutan maut. Namun pisau beracun itu
sebenarnya sudah sejak tadi beraksi ditubuhnya.
Pisau itu begitu ditekankan begitu menghujam ke jantungnya. Dan dengan mata mendelik, dia
tercampak di tanah. Kembali semua orang jadi tertegun. Kaget dan ngeri. Tentara-tentara Belanda yang lima
orang itu juga ternganga. Tertegak kaget. Tertegak ngeri.
Namun hanya sebentar. Dan setelah itu mautpun menyeringai serta merenggut nyawa disekitar pasar
itu. Yang pertama berakasi adalah sergeant. Bedil ditangannya menyalak. Yang dia tuju adalah Bilal. Tapi pesilat
itu sudah lebih dahulu arif. Dia cepat bergulingan di tanah. Dia terhindar dari terkaman maut.
Tapi orang yang berada dibelakangnya, yaitu seorang lelaki petani justru jadi korban. Lelaki itu terpekik
dan terpental lalu roboh dan mati.
Dan setelah itu tak lagi diketahui siapa-siapa yang terkena tembak. Sebab letusan telah membahana. Si
Bungsu hanya bisa bergerak menurut firasatnya saja.
Tubuhnya bergulingan, dan begitu tegak, samurainya bekerja. Kopral yang menembak mati gadis kecil
itu jadi korban pertama mata samurainya. Tangan kopral yang memegang bedil itu putus hingga lengan dekat
bahu. Kemudian samurai Si Bungsu berkelabat lagi. Dan kaki Belanda itu putus. Cukup sekian. Si Bungsu
membiarkan Belanda itu memekik-mekik tanpa tangan kanan dan tanpa kaki kiri!
Sebuah desingan dan rasa panas menyambar pelipisnya. Dia menjatuhkan diri. Bergulingan kekanan
menurut arah peluru tadi datang. Kemudian sambil bangkit, samurainya bekerja.
Sergeant yang tadi menembak, terkena makan mata samurainya. Perut sergeant itu belah. Dan tubuhnya
menggelepar-gelepar lalu diam. Lalu mati! Dan suasana tiba-tiba juga diam! Si Bungsu menyisipkan
samurainya. Memandang keliling.
Keenam serdadu Belanda itu telah tergeletak. Lima diantaranya mati! Dua orang mati ditangan Si
Bungsu. Yang lain disudahi oleh Bilal dan enam orang lelaki yang menyerang memakai pisau, parang dan golok!
Tiba-tiba semua mata memandang pada tubuh kopral KNIL yang masih tergolek dan meraung-raung itu.
Mereka beranjak dari tempat masing-masing. Mendekati tubuh kopral itu. Membuat lingkaran
mengitarinya. Dan tiba-tiba seorang lelaki menyeruak. Dia masuk ke tengah memangku mayat gadis kecil yang tadi
ditembak si Kopral. Dia adalah ayah gadis itu.
Semua pada diam menatapnya. Dia tidak anggota fisabilillah. Dia hanya seorang petani biasa. Tapi tadi
dia telah ikut menghujamkan pisaunya ke dada dua orang Belanda.
Dan kini dia tegak dengan kaki terkangkang memangku mayat anaknya. Menatap pada tentara Belanda
yang telah membunuh putrinya itu.
KNIL itu tiba-tiba terdiam pula dari raung kesakitannya. Dia menatap dengan mata terbuka lebar pada
lelaki yang memangku gadis kecil itu. Dia segera mengenali gadis berambut hitam lebat itu. Gadis yang dia
bunuh tadi. "Mengapa kau bunuh dia?" lelaki itu bertanya.
Koleksi eBook : Drs. H. Hendri Hasnam, MM. 175
Suaranya perlahan. Aneh. Pertanyaan yang jujur dari seorang lelaki jujur dan bodoh. Lelaki kampung
yang tak tahu menahu dengan peperangan atau politik.
"Mengapa kau bunuh anakku, padahal dia tak pernah menyakitimu" Kami tak pernah menyakiti kalian.
Kenapa kau bunuh anakku, kau sakiti istriku?"
Suara lelaki itu terdengar serak. Dia tatap tentara KNIL itu tepat-tepat. Dan KNIL itu tiba-tiba seperti
kehilangan seluruh rasa sakit dilengan dan dikakinya yang putus.
Dia merasa heran, merasa takjub dan sekaligus juga merasa luluh atas pertanyaan yang lugu dan polos
itu. Dan isteri lelaki itu, yang tadi kena tendang berdiri disamping suaminya. Menangis melihat mayat anaknya.
Dan tiba-tiba lelaki itu melangkah lewat disisi KNIL itu, melangkah terus memangku anaknya.
"Ampunkan saya"amupunkan saya pak?" KNIL itu bermohon. Sementara air mata penyesalan mengalir
dipipinya. Namun lelaki itu seperti tak mendengar ucapannya. Dia melangkah terus bersama istrinya.
Membawa mayat anaknya. "Ampunkan saya?" KNIL itu bermohon. Dia benar-benar merasa amat berdosa. Dan dia merasa tersiksa
atas perlakuan lelaki pribumi yang tak mau membalas sakit hatinya. Kenapa lelaki itu hanya bertanya,
kemudian pergi" Kenapa dia tak menikamnya saja"
Dan akhirnya KNIL itu menangis terisak-isak.
"Bunuhlah saya" bunuhlah saya. Saya tak layak untuk diampuni. Bunuhlah saya"bunuhlah saya".!" Dia
bermohon pada penduduk yang mengitarinya. Namun semua penduduk hanya menatapnya dengan tatapan
kosong. Kemudian satu demi satu mengurusi maya teman-temannya yang mati kena tembakan tadi. Yang
perempuan menangisi suaminya yang mati. Demikian pula kanak-kanak menangisi mayat ayahnya atau ibunya.
Dalam perkelahian yang singkat itu, selain kelima tentara Belanda yang mati itu, ternyata ada enam
penduduk yang meninggal. Empat orang lelaki dewasa, seorang perempuan dan seorang anak-anak.
Kemudian satu demi satu mayat-mayat itu mereka angkut ke rumah masing-masing. Dan kini dilapangan
bekas Pasar Jumat itu hanya ada enam tubuh tentara Belanda.
Lima diantaranya sudah jadi mayat, yang satu lagi menatap kesekitarnya dengan perasaan tak menentu.
Dia adalah tentara KNIL yang menembak anak ibu yang tangan dan kakinya dibabat Si Bungsu.
Dia menoleh keliling. Dan matanya berpapasan dengan tatapan mata Si Bungsu. Dia menatap pada
samurai di tangan anak muda itu.
"Tolonglah saya. Bunuhlah saya. Jangan biarkan saya menderita seperti ini?" mohonya.
Si Bungsu menatapnya dengan tenang. Dia teringat pada nasib seorang Datuk penyamun yang nasibnya
juga sama dengan KNIL ini.
Yaitu ketika Datuk itu bersama temannya datang ke Penginapan kecil di Aur Tajungkang untuk
membalas dendam padanya. Kemudian menista Mei-mei. Datuk itu dia babat kedua tangan dan kedua kakinya.
Kemudian dia tinggalkan berguling mengerang dan memohon-mohon untuk dibunuh di lantai
penginapan dan demikian pulalah yang dialami KNIL ini. Dia lebih suka mati daripada menanggung malu tak
bertangan dan tak berkaki.
Si Bungsu sebenarnya memang ingin membunuh KNIL jahanam ini. Tapi dia ingin memberi pelajaran
atas pembunuhan yang telah berkali-kali dilakukan si KNIL tersebut.
"Tolong bunuhlah saya?" KNIL itu memohon lagi.
"Bukan urusan saya. Orang kampung ini akan menentukan nasibmu. Engkau datang ke kampung ini
membawa bedil, membunuh kanak-kanak. Menembaki perempuan dan lelaki yang tak berdosa. Bukankah
penduduk di kampung ini tak pernah menyakiti kalian" Kenapa hari ini kalian datang membunuhi mereka"
KNIL itu tak bisa bicara.
Sementara itu, pedagang-pedagang selesai mengumpulkan jualan yang tertambat ditepian batang
Kampar itu. Lalu tanpa bicara ba atau bu, mereka segera membuka tambatan sampan.
"Harap jangan terdengar oleh Belanda di Teratak Buluh atas peristiwa yang terjadi disini. Katakan saja
bahwa kalian tak pernah bertemu dengan Belanda di kampung ini?"
Bilal berseru dari tebing kepada pedagang-pedagang itu. Sebab kalau sempat saja peristiwa ini bocor,
maka dia sudah bisa meramalkan bahwa akan ke kampung ini seluruh pasukan Belanda untuk membunuhi
mereka. Para pedagang itu tak ada yang menyahut.
"Kalau ternyata peristiwa ini bocor, maka ingatlah, kami akan mencegat kalian bila hilir ke Langgam.
Dan kita akan bermusuhan sepanjang zaman".!" Bilal berseru lagi.
Koleksi eBook : Drs. H. Hendri Hasnam, MM. 176
Sumpahnya ini membuat bulu tengkuk pedagang-pedagang yang akan berkayuh itu pada merinding.
Kalau penduduk kampung ini memang bermusuhan dengan mereka sepanjang zaman itu berarti sepanjang
zaman pula mereka tak dapat melayari sungai ini!
Dan itu berarti mereka kehabisan mata pencaharian pula. Sebab satu-satunya tempat berjualan yang
menghasilkan uang adalah ke Teratak Buluh. Dan bila dagangan disana habis, mereka bisa jalan darat membeli
Tikam Samurai Karya Makmur Hendrik di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
dagangan baru ke Pekanbaru.
"Percayalah Bilal, dari kami takkan pernah terbuka rahasia ini. Kami bangga pada kalian, yang telah
berani melawan dan membunuhi penjajah?" Pimpinan dari pedagang-pedagang itu berseru pula.
Dan mereka lalu berkayuh ke hulu satu demi satu. Ada dua belas sampan dan tongkang pedagang itu.
Bergerak seperti siput merangkak pada arus sungai Kampar ke arah hulu.
Bilal menatap sampan itu bergerak. Setelah jauh, dia membalik. Menghadap pada kopral KNIL yang
masih terbaring itu. Sementara penduduk kampung yang lain, atas petunjuk Suman mengangkati mayat-mayat
Belanda yang lain ke arah perkampungan.
Bilal melangkah mendekati KNIL itu.
"Kami takkan membunuhmu. Kematian merupakan hal yang terlalu enak bagimu. Tapi engkau akan
tetap mati kehabisan darah"
Bilal mencabut pisau yang tadi dia tikamkan ke dada leutenant. Melemparkan hingga tertancap disisi
tubuh KNIL itu. "Engkau boleh pilih, mati secara perlahan disini atau bunuh diri dengan pisau itu?"
Dan Bilal memberi isyarat pada Si Bungsu untuk meninggalkan tempat tersebut!
Bungsu melangkah mengikuti Bilal ke arah mayat-mayat Belanda tadi diangkuti. Namun beberapa
langkah mereka berjalan, KNIL tadi terdengar mengeluh. Mereka menoleh, dan melihat betapa pisau yang
diberikan Bilal tadi telah menancap didadanya. KNIL itu ternyata lebih suka bunuh diri daripada tetap
dibiarkan terguling tak berdaya disana. Dia lebih suka mempercepat kematiannya daripada harus menunggu
maut merangkak secara perlahan menyakiti nyawa dan jasadnya.
"Dia memilih jalan singkat"." Bilal berkata.
Bungsu hanya diam menatap. Bilal menyuruh dua orang penduduk untuk mengangkat mayat KNIL itu.
"Bersihkan bekas-bekas darah di tanah! Dan Asir"kau biasa membawa motor tempel. Bawa motor
tempel Belanda itu ke Danau Baru. Tenggelamkan disana?"
(46) Orang-orang yang disuruh itu melaksanakan tugas mereka.
Dan Bilal membawa Si Bungsu ke arah mayat-mayat Belanda itu diangkuti. Mayat-mayat itu teranyata
diangkuti ke belakang kampung. Ke hutan belantara yang masih perawan. Kaum lelaki berkumpul disana.
Menanti Bilal dan Si Bungsu.
Semua mereka menoleh pada Bilal dan Si Bungsu yang baru muncul. Menatap dengan diam. Guruh tibatiba menderam di angkasa. Bilal berhenti, demikian pula Si Bungsu. Para lelaki melirik ke samurai yang
terpegang ditangan kanan Si Bungsu.
Dari cerita yang pernah mereka dengar, anak muda ini mahir dan amat cepat dengan samurai Jepang itu.
Tapi dipasar Jumat tadi, beberapa orang sempat melihatnya. Itupun secara tak pasti. Sebab hampir semua
mereka terlibat dalam perkelahian yang hanya sebentar.
Hanya saja, dari mayat-mayat yang mereka bawa ini, ada dua orang tentara Belanda yang belah perut
dan dadanya. Dan itu pasti termakan samurai. Jadi dengan kopral yang putus kaki dan tangan kanannya itu,
ada tiga serdadu Belanda yang dibabat samurai tersebut.
Hanya itu sebagai bukti bagi penduduk bahwa anak muda ini memang cepat dengan samurainya. Hanya
sayangnya tak seorangpun yang sempat melihat dengan pasti bagaimana caranya dia memainkan senjata maut
itu. Kini mereka tegak membisu. Bilal yang merupakan seorang pemuka dikampung itu akhirnya bersuara.
"Asir saya suruh membawa motor tempel Belanda itu ke Danau Baru. Menenggelamkan di sana. Saya
rasa kalaupun ada pencaharian oleh pihak Belanda kemari mereka takkan menemukan jejak sedikitpun"
Dia berhenti. Para lelaki itu tak ada yang bersuara. Bilal menyambung :
"Kini kita kuburkan mayat-mayat Belanda ini. Kuburkan bersama pakaian mereka. Senjata simpan di
rumah Suman. Kita kuburkan mereka lebih ke hutan sana. Lewati paya-paya tersebut agar jejak kita tak mudah
ditemukan. Kubur yang dalam, agar mayat mereka tak digali harimau"!"
Koleksi eBook : Drs. H. Hendri Hasnam, MM. 177
Masih tanpa suara, kaum lelaki itu mulai mengangkati mayat keenam serdadu Belanda tersebut. Guruh
kembali menderam rusuh dikaki langit. Mengirimkan suasana seram ke hati mereka.
Satu demi satu mulai menyeruak rimba menuju paya-paya.
"Biar saya didepan membuka jalan"." Si Bungsu berkata sambil mendahului rombongan pemangku
mayat tersebut. Di depan dia menghunus samurainya.
Ketika dia akan menebas semak untuk membuka jalan, dia terhenti mendengar seruan Bilal.
"Jangan ditebas!"
"Tapi ini menyulitkan perjalan yang memangku mayat.."
"Ya, tapi tebasan itu juga akan memudahkan Belanda masuk untuk mencari jejak mayat temantemannya"
Si Bungsu menjadi mengerti duduk soalnya. Dia mengagumi ketajaman firasat Bilal. Oleh karena itu dia
memasukkan kembali samurainya. Kemudian dengan mempergunakan samurai bersarung itu dia menguakkan
semak-semak untuk membuat jalan bagi temannya yang di belakang.
Mereka berjalan dengan diam.
Yang terdengar hanyalah geseran tubuh dengan dedaunan. Mereka memalui rimaba yang lebat. Tak lama
kemudian, mereka tiba ketepi rawa dan bancah yang tadi disebutkan Bilal.
Si Bungsu menekankan samurainya ke dalam air. Menduga dalam bancah ini. Ujung samurainya
menekan tanah dasar air. Cukup keras. Kemudian dia mulai melangkah masuk air. Yang lain menuruti.
"Kita ke seberang sana?"" tanyanya sambil menoleh pada Bilal yang berada ditengah barisan itu. Bilal
mengangguk. Bungsu menepi memberi jalan kepada orang yang dibelakangnya. Lelaki itu lewat dengan mayat
leutenant Belanda dibahunya. Berturut-turut lewat lelaki yang lain.
Namun tiba-tiba Si Bungsu merasa dirinya jadi tegang.
Matanya menyipit. Inderanya yang sudah terlatih di rimba Gunung Sago tiba-tiba mengisyaratkan bahwa
ada bahaya mengancam. Samurainya dengan cepat berpindah ke tangan kiri. Sementara tangan kanannya
menggantung melemas. Beberapa lelaki lagi lewat dihadapannya. Dia menatap dengan tegang. Bahaya yang tercium oleh
firasatnya itu makin mendekat. Lelaki yang paling depan telah naik kembali ke tanah di seberang bancah sana.
Jaraknya dengan Si Bungsu ada sekitar dua depa.
Si Bungsu kenal benar dengan isyarat yang dia tangkap ini. Amat kenal. Hanya kini dia memastikan
dimana sumber bahaya itu. Sedetik dia memejamkan mata, inderanya yang terlatih, yang melebihi ketajaman
indera binatang buas manapun, segera mengetahui bahaya itu.
Tiba-tiba dia memekik seperti pekikan raja hutan. Pekikannya yang dahsyat itu diikuti oleh terangkatnya
tubuhnya dari tempatnya tegak. Dirinya yang tadi tegak dalam rendaman air sebatas paha, tiba-tiba
melambung dalam suatu lompa tupai yang terkenal itu.
Tubuhnya mengapung segera dari permukaan air bancah. Melambung ke arah depan dimana lelaki yang
memangku mayat leutenant itu tegak.
Tidak hanya lelaki dengan mayat leutenant itu saja yang tertegak diam. Semua anggota rombongan
pengubur mayat itu, termasuk Bilal yang berjumlah empat belas orang pada tertegak kaget, dan seperti
dipakukan ke tanah begitu mendengar pekik Si Bungsu tadi.
Dan kini dengan pandangan tak berkedip, mereka melihat tubuh Si Bungsu turun di depan sekali. Persis
disisi Soli yang memangku mayat Leutenant itu.
Tangan kanan Si Bungsu dengan kuat mendorong tubuh Soli. Karena dibahunya ada beban, Soli tak bisa
menguasai keseimbangan, tubuhnya segera saja terdorong ke samping. Tak hanya sekedar terdorong, tapi
terjatuh duduk. Belum habis kaget Soli dan semua teman-temannya melihat tindakan Si Bungsu, tiba-tiba saja dari
hadapan tempat Soli tegak tadi, melesat suatu bayangan dengan suara menggeram hebat.
Bayangan itu justru menerpa tempat Soli tegak tadi bersama mayat leutenant tersebut dibahunya. Kini
di tempat itu yang tegak bukan lagi Soli, tapi Si Bungsu. Si Bungsu tak berani menerima terkaman itu. Yang
menerkamannya tak lain daripada seekor harimau besar!
Dia melambung dengan lompat tupai ke kanan! Dan harimau itu menerpa tempat kosong! Semua lelaki
yang segera melihat harimau itu pada tegak melongo. Hanya Bilal yang mengucap istigfar. Yang lain tanpa dapat
dicegah pada menggigil. Mereka rata-rata memang pesilat. Tapi tak semua pesilat berani menghadapi harimau.
Apa lagi di siang bolong dan di dalam rimba raya!
Mayat-mayat yang tadi mereka panggul. Pada berjatuhan tanpa mereka sadari. Dan mereka pada tegak
menggigil! Koleksi eBook : Drs. H. Hendri Hasnam, MM. 178
"Tetaplah diam ditempat kalian!" Si Bungsu berteriak memperingati ketika dia lihat ada seorang dua
yang ingin ambil langkah seribu.
Semua pada tertegak. Si Bungsu memperingatkan hal itu untuk menghindarkan korban. Sebab dia telah
hidup dalam belantara Gunung sago. Telah berkelahi dengan harimau-harimau di gunung Sago tersebut untuk
mempertahankan hidupnya. Dan dia jadi sangat kenal pada sifat harimau-harimau. Mereka akan memburu orang yang
membelakanginya. Yang lari terbirit-birit! Harimau justru jadi segan dan agak gentar pada orang yang tegak
diam dan menatapnya! Dan kini harimau yang besarnya bukan main itu mengeram. Beberapa lelaki ada yang terkencing. Si
Bungsu dengan langkah ringan memutar tegak.
Dan kini dia persis dihadapan harimau itu.
Harimau itu mengais-ngaiskan kakinya ke tanah. Meninggalkan jejak kuku yang dalam pada tanah keras
tersebut. Dan tiba-tiba tubuhnya merendah. Matanya nyalang menatap Si Bungsu tak berkedip.
Si Bungsu tegak dengan tenang. Dan kedua kakinya terpentang lebar.
Dia balas menatap harimau itu dengan pandangan tak berkedip. Mereka sama-sama mengukur. Dan tibatiba tanpa memberitahu, tanpa bersuara sedesahpun, tubuh harimau itu melesat dengan kecepatan yang tak
terikutkan oleh mata. Menghambur kearah Si Bungsu.
Demikian cepatnya sergapan itu, sehingga hampir-hampir tak terikutkan oleh mata lelaki-lelaki yang
ada disana. Yang dapat melihat dengan jelas gerakan itu hanyalah Bilal yang telah masak ilmu silatnya.
Dia melihat betapa harimau itu tidak menerkam, tapi dalam lompatannya dia menampar ke arah Si
Bungsu. Dan hanya Bilal pulalah yang dapat sedikit melihat betapa dengan kecepatan yang sulit dimengerti,
tangan kanan Si Bungsu tiba-tiba telah memegang samurainya. Dan samurainya itu membabat ke arah harimau
yang menerkamnya itu. Hanya itu yang terlihat. Bilal tak tahu apakah antara kedua lawan itu ada yang kena atau tidak. Tapi dia
dan semua lelaki yang tertegak diam itu melihat betapa kini kedua mereka saling berhadapan kembali!
Harimau itu tegak mencekam tanah empat depa di belakang Si Bungsu. Tegak tanpa cedera apapun.
Sebaliknya Si Bungsu juga tegak dengan posisi seperti tadi. Dengan tubuh tegak lurus dan dengan kaki yang
terpentang lebar. Bedanya kini samurainya kembali telah tersisip dalam sarangnya ditangan kiri. Sementara
tangan kananya tergantung lemas!
Dia juga tegak tanpa luka segorespun! Semua mereka menghela nafas. Ini adalah pertarungan yang
belum pernah mereka saksikan seumur hidup. Belum pernah dan mungkin tak pernah terjadi untuk kedua
kalinya! Mereka memang banyak mendengar, bahwa pesilat-pesilat tangguh biasanya memutus kaji dengan
bertarung melawan harimau. Dan mereka juga tahu, bahwa diantara pesilat-pesilat yang tangguh itu, Bilal
konon adalah salah seorang yang telah lulus dari perkelahian seperti ini.
Entah benar entah tidak, tapi sudah menjadi rahasia umum, sudah menjadi buah bibir, bahwa Bilal telah
lulus dari ujian dengan "Niniek" belang. Mereka tak mengetahui dengan pasti karena tak melihatnya. Dan
sebaliknya Bilal pun tak pernah membantah atau mengiyakan desas-desus itu. Yang jelas dia memang seorang
pesilat tangguh yang telah masak!
Dan kini. Manusia melawan harimau! Bila ada kesempatan seperti itu" Maka meski dengan celana basah
karena kencing, mereka berusaha juga untuk tetap tegak. Berusaha agar mata mereka terbuka lebar
menyaksikan perkelahian itu. Menyaksikan dengan tubuh terguncang-guncang karena menggigil ngeri!
Tiba-tiba mereka menyaksikan sesuatu yang aneh. Di belakang sana, harimau itu kembali
mencengkamkan kaki depannya ke tanah. Matanya menatap marah pada Si Bungsu yang membelakanginya.
Membelakang! Bayangkan, ada manusia yang berani membelakanginya! Bukankah itu suatu penghinaan!
Harimau itu benar-benar berang!
Dia tak mau dihina demikain. Apalagi dihadapan tatapan sekian banyak manusia. Dan dia berniat kali ini
untuk mengoyak tubuh manusia sombong yang membelakanginya ini!
Akan halnya Si Bungsu, kelihatan memejamkan matanya. Kemudian perlahan merendahkan tubuh. Lalu
duduk bersila di tanah! Duduk dengan mata tetap terpejam! Inilah yang membuat heran dan terkejut lelakilelaki dari Buluh Cina itu. Termasuk Bilal!
Tak seorangpun yang tahu, bahwa jika dia telah berbuat demikian itu berarti disekitarnya ada maut yang
siap merengut nyawa setiap makhluk yang mendekati tubuhnya yang diam terpejam itu! Tak seorangpun yang
mengetahui itu. Koleksi eBook : Drs. H. Hendri Hasnam, MM. 179
Bahkan Bilal yang pesilat tangguh itu tak pula bisa menangkap secara penuh. Dia hanya bisa menerkanerka. Bahwa anak muda itu sebenarnya barangkali sedang memusatkan inderanya. Sedang menghimpun
segala makrifat. Tapi itu hanya dugaannya saja. Dia tetap saja cemas melihat hal itu.
Dan tiba-tiba, tanpa suara sedesahpun seperti tadi, bahkan kini seperti tak ada angin terkuat sedikitpun
oleh tubuhnya yang besar dan dahsyat itu, harimau tersebut melesat dengan kecepatan hampir-hampir tiga
kali kecepatan loncatannya yang pertama tadi. Meloncat dengan mulut yang diarahkan untuk menerkam tepattepat ke tengkuk Si Bungsu!
Bilal tak melihat gerakkan sedikitpun dari pihak Si Bungsu. Dan saat berikutnya, terlalu cepat buat
diikuti mata siapapun. Terlalu cepat! Hanya bayangan yang tak jelas!
Mereka hanya melihat betapa kelebatan bayangan yang cepat itu akhirnya berhenti dalam bancah dari
mana Si Bungsu tadi melambung ke luar.
Harimau itu tertegak dengan keempat kakinya di bancah itu. Separuh tubuhnya bahagian bawah
terendam dalam bancah. Dan dibawahnya terhimpit Si Bungsu. Yang kelihatan keluar mencuat dari bawah
perut harimau itu hanyalah tangannya!
(47) Tangan anak muda itu menggelepar dan buih air menggelembung ke atas! Gelembung air merah! Merah
darah! Tangan Si Bungsu sekali lagi kelihatan menggelepar. Harimau itu meraung panjang.
Mengejutkan dan membuat isi rimba didarat kampung Buluh Cina itu berteperasan lari. Menyurukkan
diri ketempat yang paling jauh. Raungan raja hutan itu benar-benar dahsyat. Bilal sendiri seperti dicopoti
tulang belulangnya. "Ya Allah, Bungsu"." ucapan perlahan terdengar keluar dari bibirnya yang pucat. Demikian hebatnya
terjangan harimau itu tadi. Sehingga mementalkan tubuh Si Bungsu dan dirinya ke bancah ini. Lontaran yang
jauhnya enam depa dari tempat Si Bungsu duduk bersila memejamkan mata tadi!
Semua lelaki dari kampung kecil itu tegak dengan wajah pucat dan mulut ternganga. Harimau besar itu
menoleh keliling. Dan tiba-tiba tubuhnya miring. Dan rubuh ke dalam air bancah yang telah menjadi merah
disekitarnya! Tangan Si Bungsu yang dirinya berada dalam air di bawah perut harimau itu sekali lagi seperti akan
memegang sesuatu di udara. Meregang-regang. Kemudian tenggelam ke dalam air. Terlihat gelembunggelembung air. Dan tiba-tiba kepalanya muncul! Dia menarik nafas terbatuk-batuk.
"Bungsuuu!!" Bilal berteriak dan memburu, Si Bungsu terbatuk-batuk lagi. Kemudian memuntahkan air
bancah yang terminum olehnya. Dia dibantu tegak oleh Bilal. Sementara lelaki-lelaki yang lain masih tertegak
diam. Takjub dan terpana. Untuk menegakkan Si Bungsu, Bilal terpaksa mendorong harimau itu ke pinggir.
Harimau itu ternyata mati! Samurai Si Bungsu menancap persis dijantungnya! Tembus hingga ke
punggung. Dan tiba-tiba belantara itu seperti akan robek oleh pekik dan sorak gembira lelaki-lelaki dari Buluh
Cina tersebut. Mereka melupakan celananya yang basah karena kencing. Bahkan dua orang diantaranya melupakan
kentut dan berak yang memenuhi celana mereka takkala harimau itu meraung dengan menghimpit tubuh Si
Bungsu! Mereka berlarian mengelilingi anak muda itu.
Si Bungsu membuka bajunya yang basah. Dan tiba-tiba semua lelaki dari Buluh Cina itu tertegun. Mereka
menatap punggung, dada dan perut Si Bungsu.
Tubuh anak muda itu seperti habis sembuh dari suatu penjagalan. Bekas luka lebih dari selusin simpang
siur pada tubuhnya itu. Mereka saling pandang sesamanya. Kemudian menatap pada Si Bungsu. Dan Si Bungsu
segera mengetahui bahwa perut bekas luka yang malang melintang di tubuhnya menarik perhatian lelaki-lelaki
itu. Dia memeras bajunya yang basah kuat-kuat untuk mengeringkan air bancah tadi.
"Kita kuburkan Belanda-Belanda ini" Katanya sambil menoleh pada Bilal. Bilal yang tegak didekatnya
tersenyum dan mengangguk.
Mereka lalu kembali mengangkati mayat-mayat Belanda yang tadi berjatuhan di dalam bancah.
Kemudian kembali naik ke daratan menerobos hutan diseberang bancah itu. Menggali lobang besar di tanah.
Kemudian memasukkan keenam mayat Belanda itu sekaligus ke satu lobang. Lalu menimbunnya.
"Nah, kini kita kembali ke kampung. Kita bawa bangkai harimau ini. Saya rasa ini adalah harimau yang
menangkapi kambing kita. Dan mungkin juga yang menangkap dan memakan Tuar, Karim dan Bodu dahulu"."
Bilal berkata. Koleksi eBook : Drs. H. Hendri Hasnam, MM. 180
Dan para lelaki itu lalu mengikat kaki-kaki harimau tersebut. Dan sebuah kayu besar betis ditebang. Lalu
dimasukkan diantara keempat kaki raja hutan itu. Dan dengan kayu itu, bangkai harimau besar tersebut dipikul
oleh enam orang lelaki menuju ke kampung.
Di kampung mereka berpapasan dengan penduduk yang tadi disuruh Bilal menguburkan jenazah orangorang yang meninggal dalam pertempuran di Pasar Jumat itu.
Dan penduduk segera saja jadi gempar takkala melihat mereka membawa bangkai raja hutan itu.
Raja hutan itu segera diletakkan di pekarangan mesjid di tengah kampung.
Berita bahwa ada harimau mati dan bangkainya dihalaman mesjid, segera saja menjalar ke seluruh
rumah penduduk. Penduduk yang tadinya setelah penguburan pada naik ke rumah masing-masing, takut
keluar disebabkan peristiwa dengan tentara Belanda itu, kini segera berdatangan.
Dalam waktu tak sampai lima belas menit, semua penduduk kampung yang sekitar seribu orang itu telah
berkumpul dihalaman mesjid. Mereka ternganga melihat bangkai harimau yang hampir sebesar kerbau itu.
Kemudian lelaki-lelaki yang tadi pergi bersama Si Bungsu dan Bilal, menyaksikan perkelahian itu pada
bercerita pada orang di sebelahnya. Mereka menceritakan jalan perkelahian yang belum pernah terjadi itu.
Dan bahkan ada yang menyatakan bahwa merekalah yang pertama melihat harimau itu.
"Saya lihat kepalanya diantara semak" kata lelaki yang ketika perkelahian itu terjadi, terpancar
kencingnya dalam celananya.
Empat lima orang penduduk merapatkan tegaknya.
"Lalu bagaimana" Waang lari?"
"Jangan menghina ya! Buruk-buruk begini saya pesilat. Begitu kepalanya saya lihat, saya berkata: Maaf
Inyiak, kami akan liwat" Lelaki itu berhenti dan menatap pada penduduk yang mendengakan ceritanya.
Penduduk itu pada ternganga. Sementara Bilal dan Si Bungsu dan beberapa pemuka kampung lainnya kelihatan
bicara serius di teras mesjid.
"Kemudian " lelaki itu myambung lagi
"Saya lihat harimau itu ragu. Saya menyuruh teman-teman semuanya berhenti. Saya letakkan mayat
Belanda ditanah. Saya maju dua langkah?" lelaki itu membuat gerakan seperti meletakkan sesuatu di tanah,
kemudian maju dua langkah. Penduduk mengikuti dengan tak berkedip.
"Kemudian saya baca ayat Kursi. Dan saya berkata: menghindarlah Inyiak, cucumu akan lewat.."
"Waang maju mendekati harimau ini Pudin?" seorang lelaki tua yang tahu benar Pudin ini penakut
bertanya memutuskan cerita lelaki itu. Lelaki itu mendelik, membusungkan dada.
"Ya. Tentu saja saya mendekati dan minta lewat. Bukankah begitu tata tertib dalam rimba" Saya tahu
bagaimana caranya bersikap dalam rimba?"
"Lalu apa kata harimau itu?"
"Katanya, eh, mana pula dia bisa berkata. Tapi dia mendengus. Saya membuka langkah empat. Kalau dia
menyerang saya sudah siap. Eh tahu-tahu harimau itu menyerang Si Bungsu. Mungkin dia melihat tak ada
"pintu" masuk dari pertahanan yang saya buat seperti ini?" dia menirukan langkah empat yang pernah dia
pelajari sambil lalu dahulu.
Tiba-tiba dia terhenti. Karena ketika dia menoleh ternyata tak seorang pun diantara penduduk yang
tegak mengelilinginya. Semua penduduk kini telah berkumpul dikeliling Bilal di depan teras mesjid. Pudin si
pembual itu tak jadi berakting. Dia juga membuat langkah empat menuju kerumunan orang ramai itu.
Di teras mesjid Bilal angkat bicara.
Saudara-saudara, pertama kami minta maaf atas jatuhnya korban kanak-kanak, perempuan dan
beberapa orang penduduk kampung kita ini dalam perkelahian dengan Belanda tadi. Ada sembilan orang yang
meninggal, suatu jumlah yang banyak.
Tikam Samurai Karya Makmur Hendrik di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Tapi itulah resiko perjuangan. Kami berterimakasih atas kerelaan saudara-saudara terhadap korban
yang jatuh itu. Semoga Tuhan memberikan iman yang teguh bagi keluarga yang kematian familinya hari ini.
Belanda barangkali akan mencari teman-teman mereka tadi kemari. Mungkin akan ada lagi korban yang
jatuh. Meskipun kedatangannya kemari sangat tipis, mengingat jaraknya kampung ini yang terpencil dan jauh
dari Pekanbaru, namun tak ada salahnya kita waspada.
Kita akan menempatkan setiap hari dua orang pengintai. Yang satu dibahagian hulu sana. Yaitu untuk
menjaga kalau-kalau Belanda datang lewat sungai dari Teratak Buluh seperti pagi tadi.
Yang seorang lagi akan menjaga di kampung Kutik. Yaitu untuk mengawasi kalau-kalau patroli Belanda
datang lewat darat. Hanya dua jalur itu yang akan ditempuh Belanda untuk datang ke Kampung ini.
Koleksi eBook : Drs. H. Hendri Hasnam, MM. 181
Penjagaan akan bergilir tiap hari. Kalau kelihatan mereka datang, yang bertugas harus memukul tontong
sebagai isyarat, penduduk harus segera meninggalkan kampung. Ada kesempatan satu jam untuk
menyelamatkan diri. Bersembunyilah ke hutan. Jangan takut dengan harimau. Sebab mereka juga akan lari
begitu melihat kita datang ramai-ramai.
Bersembunyilah yang jauh, agar tak tertangkap. Tentang keselamatan kampung ini, rumah dan harta
benda, jangan khawatir. Kami para anggota fisabilillah akan menjaganya. Kalau Belanda masuk kemari, mereka
akan kami sambut dengan peperangan.
Kaum lelaki akan membantu kami. Untuk sampai ke kampung ini mereka harus naik sampan atau motor
boat. Kami akan berusaha menenggelamkan mereka sebelum turun dari sampannya.
Untuk mengatur penyergapan itu nanti semua lelaki yang mau menyumbangkan bhaktinya untuk
kampung ini, silakan masuk mesjid. Yang bersedia silahkan menunjuk"
Bilal tak usah menanti terlalu lama. Sebab begitu dia selesai ngomong, semua lelaki pada mengacungkan
tangannya ke atas. Si Bungsu melihat betapa tidak hanya pemuda-pemuda yang mengacungkan tangannya ke atas. Tetapi
juga kanak-kanak dan lelaki-lelaki tua. Bahkan ada enam orang perempuan!
"Maaf kami bukan menolak yang tua-tua dan kanak-kanak. Tidak pula menganggap enteng akan
kemampuan perempuan, tapi buat sementara kita belum lagi akan berperang"
Bilal berkata atas berusaha ikut berpartisipasinya yang tua, kanak-kanak dan kaum perempuan. Dia
mencari cara yang baik untuk menolak mereka.
"Pada akhirnya bila pertempuran terjadi, tidak hanya kami, melainkan seluruh kita, seluruh yang
bernafas akan mempertahankan negeri ini dengan darah dan nyawa.
Tapi itu belum sekarang. Sekarang hanya dibutuhkan beberapa belas orang lelaki yang dewasa saja.
Kaum perempuan kami harapkan bersama anak-anak dan adik-adiknya di persembunyian.
Bapak yang tua-tua kami harapkan tak tersinggung. Berikanlah kesempatan pada kami yang muda-muda
untuk melindungi bapak"
Cara Bilal ini amat kena. Tak seorangpun yang membantah. Bilal segera saja menghimbau pada lelaki
dewasa yang jumlahnya sekitar seratus orang. Memberi beberapa petunjuk. Kemudian dia sadar, bahwa ada
sesuatu yang terlupa. Untuk itu dia lalu bicara lagi pada penduduk yang kini perhatiannya beralih pada bangkai
harimau itu. "Oh ya, Kami baru saja kembali dari rimba sana. Dan kami dicegat harimau besar ini. Kami telah
menyaksikan suatu perkelahian yang dahsyat antara harimau itu dengan saudara Bungsu"
Bilal tahu menceritakan secara lengkap bagaimana perkelahian terjadi. Semua penduduk pada
mendecah-decah. Kemudian beberapa orang lelaki pada mengguliti harimau tersebut. Perutnya dengan hatihati dibelah dengan pisau tajam.
Pekerjaan itu memakan waktu cukup lama. Hari telah senja. Mereka berhenti untuk sembahyang magrib.
Selesai sembahyang mereka melanjutkan pekerjaannya. Beberapa lelaki telah berangkat ke pos pengintaian
seperti yang dikatakan si Bilal. Tapi dalam mesjid itu seperti pasar malam. Mereka datang ke sana dengan
memakai suluh. Dua buah lampu petromaks milik mesjid dibawa keluar. Cahayanya menerangi halaman mesjid tersebut.
Tiba-tiba terdengar seruan. Orang berbondong-bondong mendekati harimau tengah dibelah itu.
Para perempuan berteriak kaget. Demikian pula lelaki. Dari dalam perut harimau itu, mereka
mengeluarkan beberapa buah gelang dan cincin emas. Ada cincin berbatu akik besar.
"Gelang Sumi! Ya, ini gelang Sumi!!" terdengar teriakan-teriakan. Orang makin banyak berkerumun.
"Nudin!Nudin! ini gelang istrimu!!" suara teriakan yang kacau balau timpa betimpa. Seorang lelaki
Sejengkal Tanah Sepercik Darah 6 Fear Street - Bulan Merah Bad Moonlight Irama Seruling Menggemparkan Rimba Persilatan 12
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama