07 Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintardja Bagian 8
"Ki Mahoni," berkata Agung sedayu, "pasermu adalah paser yang paling beracun. Aku dapat merasakannya. Tetapi darahku telah kebal akan segala jenis racun. Racun ular bandotanpun tidak akan dapat membekukan darahku. Warangon keris yang paling tajampun tidak akan berdaya. Bahkan racun gundala wereng sekalipun tidak akan mampu membunuhku.
Wajah Ki Mahoni yang kesakitan itu menegang. Tiba-tiba saja ia membentak, "Bohong. Kau berbohong."
Ki Mahoni menyeringai kesakitan pada saat kemarahannya menghentakkan wadagnya untuk berusaha bangkit. Tetapi ia sudah terlalu lemah. Sehingga iapun terjatuh kembali.
Agung Seduyu tertegun sejenak. Ia melihat Ki Mahoni sudah tidak berdaya. Namun yang membuatnya iba bukan karena Ki Mahoni mengalami kesakitan yang sangat. Dalam pertempuran. Agung Sedayu sudah sering menyaksikannya. bahkan saat itu iapun mengalami kesakitan.
Tetapi yang membuatnya tidak dapat menahan hati adalah justru pada saat terakhir ia melihat Ki Mahoni menjadi sangat marah dan kecewa. Bahkan dengan suara gemetar dan tersendat-sendat orang tua itu berkata, "Kau berbohong anak muda. Kau tentu akan mati."
Agung Sedayu berdiri tegak dengan jantung yang berdegupan. Tetapi hampir diluar sadarnya iapun melangkah maju. Kemudian brjongkok disamping Ki Mahoni yang sudah kehabisan tenaganya itu sambil berkata, "Ya Kiai. Racun pasermu memang tidak terlawan."
"He," tiba-tiba wajah Ki Mahoni menjadi terang, meskipun ia masih harus menahan kesakitan.
"Racunmu luar biasa. Tidak ada kekuatan yang dapat menahan dan melawannya," jawab Agung Sedayu.
Kekecewaan dan kemarahan yang memancar dari wajah Ki Mahoni itupun segera larut. Sambil tersenyum ia berkata, "Kau harus mengakui kenyataan itu."
"Ya Kiai," jawab Agung Sedayu.
Ki Mahoni masih tertawa pendek. Namun tiba-tiba saja tubuhnya terguling. Ketika Agung sedayu bergeser maju ia melihat orang tua itu memandanginya dengan bibir yang tetap tersenyum.
Agung Sedayu tidak sempat menjawab. Orang tua itu telah memejamkan matanya sebagaimana seseorang yang tertidur lelap. Namun bibirnya masih nampak tersenyum bangga oleh kemenangannya pada saat terakhir. Meskipun ternyata hanya kemenangan semu.
Demikian Ki Mahoni menghembuskan nafasnya yang terakhir. Agung Sedayupun segera bangkit berdiri. Meskipun tubuhnya masih terasa sakit, namun ia tidak ingin membiarkan Sekar Mirah dan orang-orang Jati Anom didalam medan pertempuran itu mengalami kesulitan yang parah.
Sementara itu. agak jauh dari arena. Raden Sutawijaya tertawa pendek. Katanya, "Meskipun lamat-lamat, tetapi bukankah kita melihat. apa yang terjadi dengan Ki Mahoni?"
"Anak iblis," geram Ki Tumenggung Prabadaru, "Aku sendiri akan membunuhnya."
Tetapi Raden Sutawijaya menggeleng. Katanya, "Jangan. Meskipun aku tidak yakin bahwa kau dapat melakukannya. Meskipun kau adalah pimpinan tertinggi. Panglima pasukan khusus Pajang yang pilih tanding, namun belum tentu kau dapat memenangkan pertempuran seorang melawan seorang dengan Agung Sedayu. Tetapi bagaimanapun juga. agaknya saat ini Agung Sedayu mengalami kelelahan yang sangat. Karena itu. agaknya tidak adil jika Ki Tumenggung turun tangan kali ini."
"Aku tidak peduli," geram Ki Tumenggung, "Ia sudah mengalahkan Ki Mahoni. Dengan demikian ia akan merusak keseimbangan seluruh medan pertempuran di tepian ini."
Raden Sutawijaya yang bergelar Senapati Ing Ngalaga itu tertawa tertahan, sambil memandang wajah Ki Tumenggung yang tegang ia berkata, "Kau harus mengakui kenyataan itu Ki Tumenggung. Orang-orang yang kau persiapkan dengan kurang cermat itu akan musna. Tetapi sebaiknya kau tidak usah ikut terjun kedalam pertempuran itu. Ibarat sulung terjun kedalam api."
"Tidak," geram Ki Tumenggung mantap, "aku akan menghancurkan Agung Sedayu yang sombong itu."
"Jangan begitu. Jangan memaksa persoalan kecil ini berkembang menjadi persoalan yang besar, yang mungkin akan membakar Pajang dalam keseluruhan. Karena jika Ki Tumenggung memaksa diri untuk turun ke arena, maka aku tidak akan membiarkannya. Bagaimanapun juga aku mengerti, bahwa Ki Tumenggung memiliki kemampuan yang sangat tinggi," berkata Raden Sutawijaya. Lalu, "Kecuali jika Agung Sedayu tidak sedang dalam keadan sangat lelah seperti itu."
Wajah Ki Tumenggung menjadi semakin tegang. Tetapi ketika terlihat olehnya kesungguhan kata-kata Raden Sutawijaya. maka iapun harus memikirkannya berulang kali. Karena sebenarnyalah bahwa Raden Sutawijaya adalah seorang yang sulit untuk diimbangi kemampuannya seperti juga Raden Benawa.
Sejenak Ki Tumenggung memperhatikan pertempuran itu. Namun kemudian katanya, "Benar-benar suatu kesalahan yang tidak dapat dimaafkan. Kegagalan itu terulang lagi untuk yang ke seribu kalinya."
Raden Sutawijaya menyahut sambil memandang pertempuran itu, "Ya. Kali ini keseribu kalinya. Lain kali keseribu-satu dan seterusnya. Kalian memang tidak akan berhasil."
"Persetan," geram Ki Tumenggung.
"Jangan bersikap terlalu kasar kepadaku," nada suara Raden Sutawijaya menjadi berat, "aku bukan prajuritmu. Aku bukan prajurit dari pasukan khususmu."
Waiah Ki Tumenggung menjadi merah. Tetapi sekali lagi ia melihat satu kenyataan tentang Raden Sutawijaya.
Dalam pada itu, Agung Sedayu yang telah mempersiapkan diri untuk turun ke arena telah meletakkan paser ditangannya dan sebuah yang lain yang telah dipungutnya pula didekat tubuh Ki Mahoni. Sekali lagi ia melihat senyum dibibir orang tua itu. Namun ia bertanya didalam hati. "Tetapi apakah jiwanya yang harus mempertanggung jawabkan tingkah lakunya semasa hidupnya akan dapat tersenyum seperti wadagnya."
Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Namun iapun kemudian melangkah meninggalkan tubuh itu sambil bergumam. "Nanti, paser itu harus dimusnahkan agar tidak meracuni orang lain. justru karena racunnya yang kuat. Sengaja utau tidak sengaja."
Sementara itu. pertempuran di tepian itu memang sudah banyak berubah. Meskipun Sekar Mirah harus bertempur mempertahankan hidupnya dengan sepenuh kemampuannya. namun dalam keseluruhan, keadaan menjadi semakin baik. Lawan Sabungsaripun telah tersisih dua orang meskipun dua orang yang lain tampil pula di arena sementara lawan Glagah Putihpun telah berganti.
Beberapa orang telah terbaring di tepian dengan luka yang parah. Namun dalam pada itu. diantara tukang satangpun ada pula yang terpaksa tidak dapat melanjutkan dan menyelesaikan tugasnya, karena luka yang memaksanya untuk berbaring diam diatas pasir tepian Kali Praga.
Namun dalam pada itu kemampuan pengamatan Ki Tumenggung. Prabadaru yang tajam telah dapat melihat satu kenyataan yang pahit dari seluruh arena pertempuran itu. Ketajaman penglihatannya mengatakan kepadanya bahwa tidak akan ada harapan lagi bagi orang-orangnya untuk dapat mengalahkan lawannya. Sepeninggal Ki Mahoni. dan setelah Sabungsari mengalahkan beberapa orang lawannya. maka akan datang saatnya, seluruh pasukannya itu akan musna.
Tetapi Ki Tumenggung masih menyaksikan beberapa saat. Ia melihat Agung Sedayu meninggalkan tempatnya dekat medan. Ia melihat sekali lagi Sabungsari melemparkan lawannya dengan darah yang memancar dari luka didadanya. Bahkan sekali lagi ia melihat Glagah Putih yang muda itu mampu memaksa lawannya untuk meletakkan senjatanya. karena sudah tidak mampu lagi untuk menggerakkan senjatanya itu.
Orang-orangnya menjadi semakin susut. Sementara itu. Orang-orangnya yang lain tidak segera dapat mengatasi keadaan. Lawan Sekar Mirah yang meskipun tidak dapat terdesak oleh tongkat baja putih yang mengerikan itu. namun orang itupun tidak segera nampak akan memenangkan pertempuran. Bahkan lawan Pandan Wangi sekali-sekali juslru harus berloncatan surut.
Yang menggetarkan hati Ki Tumenggung adalah kenyataan yang lain. bahwa Ki Sabdadadi yang terlibat dalam benturan ilmu dengan Ki Waskita benar-benar tidak dapat berbuat apa-apa selain berusaha mengundurkan dirinya sendiri. Keduanya lebih banyak bertempur dalam tataran tertinggi, meskipun kadang-kadang keduanya nampaknya hanya saling menyerang setelah merenungi lawannya masing-masing untuk waktu yang terlalu lama. Beberapa kali meloncat dan mengayunkan tangan. Kemudian berloncatan surut dan saling memandang dan bergeser beberapa langkah. Ternyata bahwa dalam keadaan yang demikian, yang saling beradu adalah kemampuan dan tingkat tataran ilmu mereka masing-masing lewat sikap yang tidak mudah dimengerti oleh orang lain.
Sementara itu. Ki Pringgajaya telah mengerahkan ilmunya yang mempunyai watak yang lain. Kiai Gringsingpun harus menyesuaikan dirinya dengan ilmu lawannya. Justru ilmu lawannya yang mampu bergerak mendahului waktu. Ujung senjata Ki Pringgajaya dapat menyayat kulit lawan meskipun nampaknya senjata itu masih berjarak beberapa jengkal.
Tetapi Kiai Gringsing telah mengenal ilmu itu dengan baik. Karena itu, maka dengan kemampuannya bergerak cepat. didorong oleh tingkat ilmunya yang tertinggi, maka Kiai Gringsing dapat mengimbangi kecepatan ilmu Ki Pringgajaya. Sehingga dengan demikian maka keduanya nampaknya bagaikan berterbangan berputaran. sehingga kadang-kadang keduanya hanya nampak bagaikan bayangan yang saling menyambar.
Namun akhirnya Tumenggung Prabadaru menjadi yakin. bahwa orang-orangnya akan mengalami kesulitan pada saat terakhir.
Tetapi sementara itu Ki Tumenegung Prabadaru pun menyadari, bahwa ia sendiri tidak akan dapat berbuat apa-apa. Kecuali disampingnya ada Raden Sutawijaya yang tentu akan mencegahnya, juga karena perhitungannya yang tajam. Seandainya ia turun ke medan, maka seperti yang dikatakan oleh Raden Sutawijaya. bahwa ia akan berhadapan dengan lawan yang sangat berat. Bahkan mungkin dua atau tiga orang akan melawannya sekaligus sehingga justru ia sendiri akan terbaring di tepian tanpa akan dapat bangkit lagi.
Karena kenyataan yang sangat pahit itu maka iaupun kemudian berkata, "Raden. Aku tidak dapat mengingkari apa yang telah terjadi. Akupun tidak akan dapat turun ke medan, karena agaknya Raden tidak menyukai sikapku yang demikian. Karena itu agaknya memang lebih baik bagiku untuk tidak ikut campur dalam pertempuran itu.
Raden Sutawijaya mengengguk-angguk. Katanya, "Itu adalah sikap yang bijaksana."
Ki Tumenggung menahan gejolak kemarahannya. Namun hampir saja ia berteriak mengumpat ketika ia melihat bahwa ternyata Ki Pringgajaya telah mengambil satu keputusan mendahuluinya. Dalam keadaan yang paling sulit. maka tidak ada pilihan lain bagi Ki Pringgajaya. Ternyata kemampuannya untuk menilai keadaan cukup tajam, sehingga ia mampu mengambil kesempatan. bahwa tidak ada gunanya lagi baginya untuk bertempur lebih lama lagi. Ia merasa bahwa ia tidak akan menang melawan Kiai Gringsing. Seluruh pasukannya itupun tidak akan menang melawan lawan mereka yang mendapat bantuan dari tukang-tukang satang itu.
Karena itulah maka ketika keduanya bertempur semakin dekat dengan arus air, maka tiba-tiba saja Ki Pringgajaya telah meloncat kedalam arus Kali Praga. seakan-akan telah hilang ditelan airnya yang sedang mengalir dengan derasnya.
Seorang tukang satang telah siap meloncat menyusulnya. Namun dengan serta merta Kiai Gringsing mencegahnya, "Jangan. Bukan karena air Kali Praga yang deras ini. tetapi karena aku tidak yakin bahwa kau akan dapat mengimbangi kemampuan Ki Pringgajaya seandainya kau dapat menemukannya."
Sedangkan Kiai Gringsing sendiri tidak menyusulnya menceburkan diri kedalam sungai yang mengalirkan air berwarna gelap itu. karena Kiai Gringsing sendiri tidak yakin. apakah ia akan dapat menemukan Ki Pringgajaya.
"Gila," geram Ki Tumenggung Prabadaru, "Pringgajaya ternyata memang sangat licik."
"Ia berusaha menyelamatkan diri. Tetapi apakah ia mampu mengatas arus Kali Praga?"
"Aku tidak peduli. Biar saja orang itu hanyut sampai ke mulut hiu di lautan Selatan," geram Ki Tumenggung Prabadaru.
"Jika demikian. alangkah buruk nasibnya," desis Raden Sutawijaya.
Ki Tumenggung Prabadaru akhirnya tidak tahan lagi melihat pertempuran yang semakin lama menjadi semakin berat sebelah. Beberapa orang dari pasukannya telah berusaha melarikan diri dengan cara seperti yang ditempuh oleh Ki Pringgajaya. karena mereka tidak akan mempunyai cara lain. Mereka yang ingin melarikan diri meninggalkan tepian kearah gerumbul-gerumbul perdu, sama sekali tidak akan mampu menghindarkan diri dari kejaran lawannya. justru karena tepian yang cukup luas.
"Tidak ada gunanya lagi aku berada disini," berkata Ki Tumenggung Prabadaru.
Sebaiknya kita memang meninggalkan tempat ini," berkata Raden Sutawijaya, "agar dengan demikian, kita tidak akan mengganggu."
Ki Tumenggung menggeretakkan giginya. Tetapi Raden Sutawi jaya justru tersenyum karenanya.
"Marilah Ki Tumenggung," ajak Raden Sutawijaya, "kita sudah dapat menebak, akhir dari pertempuran itu."
Ki Tumenggung tidak menjawab. Tetapi dengan tergesa-gesa ia meninggalkan tempatnya masuk kedalam padang perdu dan ilalang di sebelah tepian. Dibelakangnya Raden Sutawijaya mengikutinya sambil tersenyum, ia masih melihat Agung Seduyu berpaling kearahnya dan memandanginya dengan kemampuan tatapan matanya memandang kekejauhan.
"Ternyata Raden Sutawijaya juga hadir," berkata Agung Sedayu didalam hatinya.
Dalam pada itu. maka pertempuran itupun sama sekali sudah menjadi tidak seimbang. Beberapa orang benar-benar telah terjun kedalam arus Kali Praga. Sejenak mereka berusaha melawan kekuatan air yang berwarna lumpur itu. Namun kemudian mereka seolah-olah telah ditelan oleh gulungan arus yang deras.
"Mereka akan mengalami kesulitan melepaskan diri dan libatan gejolak air itu," berkata salah seorang tukang satang.
"Tetapi ada juga diantara mereka yang pandai berenang dalam arus yang kuat. dan mereka tentu akan selamat meskipun mereka akan hanyut atau sengaja menghanyutkan diri sampai jarak yang agak jauh. Tetapi jika mereka gagal meloncat ketepian. maka akibatnya akan lain. Tidak semua tepian landai seperti di tempat ini," berkata kawannya yang juga telah kehilangan lawan.
Sementara itu. masih ada beberapa orang yang bertempur. Namun mereka sama sekali sudah tidak berpengharapan lagi. Lawan Swandaru yang gemuk itupun tidak mampu melepaskan diri dari sayatan ujung cambuk anak muda yang gemuk itu. Dan ternyata bahwa nasib anak murid Ki Mahoni itu tidak berbeda dengan nasib gurunya.
Namun Swandaru tidak perlu membantu Pandan Wangi bertempur. Lawan Pandan Wangi yang terdesak itu-pun sudah terjun ke Kali Praga pula. Sementara lawan Sekar Mirahpun telah menjadi putus asa dan melakukan hal yang sama.
Yang masih bertempur diantara mereka yang tertinggal adalah Ki Sabdadadi sendiri. Namun agaknya dalam benturan ilmu yang tidak dengan mudah diketahui oleh orang kebanyakan, Ki Sabdadadi mengalami beberapa kesulitan. Ternyata bahwa Ilmu Ki Waskiia masih selapis lebih tinggi dari ilmunya.
Demikianlah akhir dari pertempuran itu memang mendebarkan jantung. Beberapa orang tergolek diatas pasir. Orang-orang yang mencegat perjalanan Agung Sedayu berdua serta pengiringnya, mutlak mengalami kegagalan.
Ki Sabdadadi yang dengan jantan tetap bertempur meskipun ia tahu bahwa kekuatan orang-orangnya telah jauh susut. akhirnya memang harus mengakui kekuatan ilmu Ki Waskita. Dengan lemah ia terkulai diatas pasir namun ternyata bahwa ia sudah mengalami kesulitan untuk mengatur pernafasannya. Dadanya rasa-rasanya menjadi sesak oleh benturan-benturan ilmu yang ternyata tidak dapat diatasinya.
Tetapi Ki Waskitapun tetap berpegang pada sikap seorang laki-laki. Meskipun beberapa orang telah terbebas dari lawannya masing-masing. tetapi Ki Waskita tetap bertempur seorang melawan seorang.
Dalam pada itu. Agung Sedayupun telah berdiri diantara mereka yang telah menyelesaikan pertempuran itu. Sejenak ia memandangi Ki Sabdadadi yang terluka parah didalam tubuhnya. Namun ia melihat orang itu sama sekali tidak mengeluh. Sampai saatnya Ki Sabdadadi terkulai di atas pasir.
Ki Waskita memandang lawannya dengan jantung yang berdegup, iapun merasa tubuhnya menjadi sangat letih dan merasa sakit dibeberapa bagian. Tangan kirinya hampir-hampir tidak dapat digerakkannya lagi.
Namun akhirnya pertempuran itu telah selesai. Pandan Wangi dan Sekar Mirah berdiri juga diantara mereka yang berkerumun di seputar tubuh Ki Sabdadadi yang terbaring diam. Sementara itu. Glagah Putih dan Sabungsaripun telah berada diantara mereka. Sedangkan Ki Demang Sengkal Putung dengan nafas yang terengah-engah bertanya, "Bagaimana dengan kau Mirah?"
"Aku selamat ayah," jawab Sekar Mirah, "demikian pula kakang Agung Sedayu, kakang Swandaru dan Pandan Wangi."
Ki Demang mengangguk-angguk. Namun dalam pada itu Kiai Gringsing telah mendekatinya sambil berkata, "Ki Demang telah terluka?"
"Ya. Sedikit. Tetapi tidak apa-apa," jawab Ki Demang.
Sekar Mirah dan Pandan Wangipun kemudian mengikutinya ketika Kiai Gringsing membawa Ki Demang bergeser beberapa langkah dan mempersilahkannya duduk.
"Aku akan mengobatinya," berkata Kiai Gringsing.
"Bukan hanya aku. Ada orang lain yang juga terluka parah," berkata Ki Demang.
Tetapi Kiai Gringsing tidak menjawab. Iapun kemudian mengobati pundak Ki Demang yang tergores senjata lawannya.
Dalam pada itu. orang-orang yang datang dari Jati Anom dan tukang-tukang satang yang telah melibatkan diri itupun segera berkumpul. Namun dalam pada itu seorang yang datang dari seberang dengan rakit itupun telah mengajak kawan-kawannya untuk meninggalkan tempat itu, katanya kepada Agung Sedayu. "Kau sudah selamat. Sebentar lagi kalian sudah akan sampai ke tanah Perdikan Menoreh. Aku akan meninggalkan tempat ini. Tugasku sudah selesai."
"Apakah sebenarnya tugas kalian disini ?" bertanya Agung Sedayu.
"Meyakinkan diri. apakah pertempuran ini akan berakhir seperti yang telah terjadi," jawab orang itu.
Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam, sementara orang itupun kemudian memberikan hormat kepada orang-orang yang ada disekitarnya.
"Kau akan mendahului kami?" bertanya seorang prajurit Pajang di Jati Anom yang bertugas mengiringi Agung Sedayu ke Tanah Perdikan.
"Ya. Tugasmu dan tugasku berbeda," jawab orang itu.
Demikianlah kedua orang itupun segera pergi ke geteknya. Bersama empat orang dan empat orang tukang satang. merekapun telah meninggalkan tepian itu. menuju keseberang.
"Aku tidak mengerti, apakah yang sebenarnya masih akan dilakukan," desis Agung Sedayu.
"Siapakah mereka?" bertanya Kiai Gringsing.
"Bukankah kau mengenalnya juga Sabungsari?" bertanya Agung Sedayu pula.
"Ya. Dan prajurit-prajurit Pajang di Jati Anom yang lainpun mengenal mereka juga," jawab Sabungsari.
"Ya. Tetapi siapakah mereka?" bertanya Glagah Putih.
Mereka adalah prajurit-prajurit Pajang di Jati Anom dalam tugas sandi mereka," jawab Agung Sedayu.
Ki Waskitapun kemudian berkata, "Beberapa hal masih belum jelas. Yang terjadi di tepian ini masih memerlukan banyak keterangan. Tetapi bagaimana dengan korban yang telah jatuh?"
Kiai Gringsingpun kemudian berkata, "Kita harus mengumpulkan mereka yang terluka. Yang telah terbunuh di pertempuran ini. sebaiknya kita kuburkan di padang perdu itu. kecuali mungkin ada satu dua orang tukang satang yang belum kita ketahui dengan pasti. Tetapi disini masih ada kawan-kawan mereka."
"Kawan-kawan kami masih utuh Kiai," jawab seorang tukang satang, "meskipun ada tiga orang yang terluka parah dan lima orang yang terluka ringan."
Kiai Gringsing memandangi orang itu sejenak. Namun kemudian iapun berkata, "Sokurlah jika memang harus dengan cepat menyelesaikan pekerjaan ini. Kita masih harus membuat perhitungan tentang kemungkinan-kemungkinan yang akan dapat terjadi kemudian.
Ki Waskitapun mengangguk-angguk. Katanya, "Ya. Kemungkinan-kemungkinan baru masih akan dapat terjadi."
Dengan demikian, maka tukang-tukang satang yang tidak terluka dibantu oleh para prajurit dari Jati Anom. para pengawal dari Sangkal Putung yang ternyata ada diantaranya mengalami luka yang cukup gawat serta para cantrik dari padepokan kecil di Jati Anom yang seorang diantaranya terluka agak parah dan dua lainnnya terluka ringan, telah mengumpulkan mereka yang terluka dari kedua belah pihak serta mereka yang terbunuh. Ternyata bahwa di pihak lawanpun tidak banyak korban yang terbunuh. Selain Ki Mahoni Ki Sadadadi yang bertempur sampai nafas terakhir, lawan Swandaru. Masih ada dua orang lain yang terbunuh dan beberapa orang terluka parah dan tidak sempat melarikan diri. Sedang empat orang tertangkap dalam keadaan utuh.
Dalam pada itu. selagi orang-orang yang berada ditepian itu bekerja dengan cepat karena mereka masih memikirkan kemungkinan-kemungkinan yang dapat terjadi kemudian, mereka telah dikejutkan oleh kehadiran sebuah iring-iringan di seberang Kali Praga. Beberapa orang berkuda dengan cepatnya menuju ke tepian diseberang.
Orang-orang yang berada di tepian yang lain, yang masih sibuk dengan mereka yang terluka dan terbunuh dipeperangan dengan tegang memandangi penunggang-penunggang kuda yang semakin lama menjadi semakin dekat itu.
"Ki Gede," desis Kiai Gringsing.
"Ya," sahut Agung Sedayu, "Ki Gede dengan para pengawal Tanah Perdikan Menoreh."
"Nampaknya Ki Gede telah mendapat laporan tentang peristiwa ini," berkata Ki Waskita.
Sebenarnyalah yang datang itu adalah Ki Gede dengan para pengawal. Demikian mereka sampai ke tepian diseberang. maka merekapun telah tertegun, karena tidak ada getek yang dapat menyeberangkan mereka, kecuali sebuah yang telah membawa prajurit Pajang di Mataram dalam tugas sandi mereka itu.
Dengan getek ymg sebuah itu. maka Ki Gede dengan beberapa orang telah menyeberang mendahului para pengawal yang menunggu di seberang.
Ketika Ki Gede sampai di bekas arena pertempuran itu. maka dengan tergesa-gesa ia menemui Agung Sedayu dan orang-orang yang mengiringinya.
"Bagaimana dengan kalian," bertanya Ki Gede dengan dada yang berdebaran.
"Sebagaimana Ki Gede saksikan. Kami selamat," jawab Agung Sedayu.
Ki Gedepun kemudian mengedarkan pandangannya. Ketika ia melihat Pandan Wangi dan Swandaru, maka iapun mendekatinya. Sambil menepuk pundak anak perempuannya iapun bertanya, "Kau juga tidak mengalami sesuatu?"
"Tidak ayah," jawab Pandan Wangi, "kami pun selamat."
Ki Gede menarik nafas dalam-dalam. Katanya, "Aku datang terlambat. Tetapi sokurlah. bahwa kalian berhasil mengatasi kesulitan ini."
"Tetapi beberapa orang kami terluka. Bahkan ada yang sangat parah," berkata Agung Sedayu kemudian.
"Marilah kita bawa mereka ke Tanah Perdikan. Lebih cepat lebih baik. Dengan demikian, kita akan dapat memberikan perawatan yang lebih layak bagi mereka," berkata Ki Gede kemudian.
"Kita akan menyelesaikan orang-orang yang terbunuh dipeperangan ini. Kemudian kita akan menyeberang," jawab Kiai Gringsing.
"Baiklah," berkata Ki Gede, "sebagian dari kita akan dapat menyeberang lebih dahulu. Baru kemudian yang lain. Bukankah tidak cukup banyak rakit yang akan dapat membawa kita serta kuda-kuda itu keseberang."
Kiai Gringsing memandang Ki Waskita sejenak. Nampaknya Ki Waskitapun sependapat, sehingga dengan demikian, maka Kiai Gringsingpun berkata, "Baiklah. Sebagian dari kita akan dapat menyeberang lebih dahulu bersama kuda-kuda kita."
Dengan demikian, maka beberapa orang termasuk Pandan Wangi dan Sekar Mirahpun telah bersiap di tepian. Tukang-tukang satang yang tidak terluka telah siap membawa mereka keseberang.
"Mereka telah bertempur dipihak kita," berkata Kiai Gringsing kepada Ki Gede yang tinggal dibekas arena pertempuran itu.
Ki Gede mengerutkan keningnya. Sementara Kiai Gringsing berkata selanjulnya, "Nampaknya mereka bukan tukang-tukang satang kebanyakan."
Ki Gede mengangguk-angguk. Katanya, "Mungkin. Kiai benar. Mereka nampaknya tidak setangkas tukang-tukang satang yang sebenarnya diatas rakit meskipun aku yakin, bahwa mereka sudah mempelajarinya dengan baik."
Ternyata persoalan tukang satang itu masih harus di pecahkan. Tetapi dalam waktu yang sempit itu. mereka tidak banyak membuang waktu untuk itu.
Sementara beberapa orang menyeberang, maka orang-orang yang tinggal telah mengubur mereka yang terbunuh. Dengan tanda-tanda sekedarnya, maka merekapun kemudian telah bersiap ditepian menunggu rakit yang akan menjemput mereka dari seberang.
Dalam kesempatan itu. Kiai Gringsing telah mengusapkan obat pada luka Agung Sedayu. Paser-paser beracun itu memang melukainya meskipun tidak seberapa. Sementara paser-paser itu sendiri telah ikut pula dikubur bersama Ki Mahoni di padang perdu, tempat orang itu menunggui iring-iringan dari Jati Anom lewat.
Sejenak kemudian, maka rakit-rakit itu telah membawa sisa mereka yang tertinggal. Perlahan-lahan rakit itu melintasi Kali Praga yang mengalir deras oleh curahan hujan di ujung sungai, didaerah pegunungan yang jauh.
Dalam pada itu Kiai Gringsing dengan saksama memandangi tukang-tukang satang yang membawanya keseberang. Ketika ia akan bertanya kepada salah seorang diantara mereka. Agung Sedayu yang ada di rakit yang sama berdesis, "Aku mengenal mereka."
"Siapa ?" bertanya Kiai Gringsing.
"Mereka adalah anak-anak dari pasuakn khusus Mataram yang berada di Tanah Perdikan Menoreh," jawab Agung Sedayu hampir berbisik.
Kiai Gringsing mengerutkan keningnya. Namun ternyata salah seorang tukang satang itu mendengarnya. Karena itu. maka iapun telah tersenyum.
"Aku kurang mengerti," desis Kiai Gringsing, "namun agaknya Ki Gede tidak mengetahuinya."
"Aku juga kurang tahu. dalam hubungan apa mereka telah menunggu kita disini," jawab Agung Sedayu. Lalu, "tetapi ternyata bahwa diantara mereka terdapat prajurit Pajang di Jati Anom dalam tugas sandi."
Kiai Gringsing menarik nafas dalam-dalam. Namun katanya, "Tetapi sebentar lagi semuanya akan jelas."
Demikianlah, akhirnya mereka sampai keseberang dengan selamat. Namun mereka masih ingin memecahkan teka-teki tentang tukang satang itu.
Meskipun demikian, orang-orang yang masih diliputi oleh berbagai pertanyaan itu. masih harus tetap bersabar. Tukang-tukang satang itu kemudian berkumpul diantara mereka. Salah seorang dari merekapun berkata, "Kami mohon agar kami mendapat waktu untuk merawat kawan-kawan kami yang terluka."
"Baiklah," jawab Kiai Gringsing, "tetapi bagaimana kalian akan membawa kawan-kawan kalian?"
"Kami akan meminjam pedati pada padukuhan terdekat," jawab salah seorang dari tukang-tukang satang itu.
"Bagus," jawab Ki Gede, "jangan hanya satu pedati. Tetapi kamipun memerlukannya.
Lalu Ki Gedepun memerintahkan pengawalnya untuk mengikuti tukang satang itu. Atas nama Ki Gede. maka orang-orang padukuhan terdekat yang memiliki pedati tidak akan berkeberatan meminjamkan pedatinya bagi kepentingan orang-orang yang terluka itu.
Untuk beberapa saat. mereka menunggu, sementara Kiai Gringsing selalu mengamati mereka yang terluka. Terutama mereka yang terluka parah.
Akhirnya mereka melihat beberapa buah pedati telah datang. Disamping pedati-pedati itu beberapa orang telah mengiringi tukang satang yang berjalan di belakang pedati-pedati itu.
"Merekalah tukang-tukang satang yang sebenarnya," berkata salah seorang tukang satang yang telah melibatkan diri kedalam pertempuran itu.
Kiai Gringsing yang mendengar keterangan itu telah bertanya, "Bagaimana mulanya maka Ki Sanak telah berada di tepian dengan mengenakan pakaian tukang satang dan juga dapat berbuat seperti tukang satang yang sebenarnya?"
"Kami hanya menjalankan perintah atasan kami." jawab tukang satang itu.
Kiai Gringsing menarik nafas dalam-dalam. Memang mungkin sekali tukang-tukang satang itu kurang mengetahui alasan yang sebenarnya, karena mereka hanya menjalankan tugas sebagaimana diperintahkan oleh atasan mereka.
Namun dalam pada itu. ternyata Agung Sedayu mengenal salah seorang diantara tukang salang itu sebagai seorang yang mungkin dapat mengatakan kepadanya, jalur perintah yang sampai kepada orang-orang yang menyamar menjadi tulkang satang itu.
Tetapi ternyata orang itupun menggeleng. Katanya, "Kami memang hanya menjalankan perinlah. Perintah yang sudah terperinci, apa yang harus kami lakukan. Karena kami harus menjadi tukang satang yang baik, maka kami telah mempergunakan waktu kami sehari sebelumnya untuk berlatih mendorong rakit dengan satang. Tetapi pekerjaan itu tidak terlalu sulit, kami memang mengenal Kali Praga dengan baik sejak masa kanak-kanak kami."
Agung Sedayu mengangguk kecil. Ia mengenal anak muda yang menjadi tukang satang itu adalah anak muda dari Mangir. sementara yang lain anak muda Tanah Perdikan sendiri yang sejak semula memang tinggal di pinggir Kali Praga. Namun mereka adalah anak-anak muda yang telah berada di lingkungan pasukan khusus yang disusun oleh Mataram.
Buku 157 "RADEN SUTAWIJAYA juga hadir dipertempuran itu," berkata Agung Sedayu kepada Kiai Gringsing.
"Ya," Kiai Gringsingpun mengangguk, "aku melihat meskipun agak jauh. Semula aku agak kurang yakin bahwa orang itu adalah Raden Sutawijaya. Tetapi karena kau juga mengenalinya maka akupun percaya bahwa orang itu adalah Raden Sutawijaya yang mengawasi Ki Tumenggung Prabadaru."
"Ya," jawab Agung Sedayu hampir berbisik. Lalu, "dengan demikian nampaknya Raden Sutawijaya sendirilah yang mengatur."
"Tetapi bagaimana mungkin Raden Sutawijaya tahu pasti. bahwa kita akan melewati jalan ini dan beberapa orang akan mencegat perjalanan kami ?" bertanya Kiai Gringsing.
Agung Sedayu tidak segera dapat menjawab. Sementara itu, tukang-tukang satang yang terluka itupun telah naik keatas pedati seorang diantara mereka berkata, "Tukang-tukang satang sebenarnya akan mengambil kembali tugas-tugas mereka. Sementara kami akan kembali ke barak kami."
"Silahkan. Aku mengucapkan terima kasih atas pertolongan kalian," jawab Agung Sedayu.
Sementara itu. Ki Gedepun berkata, "Sampaikan salam kami kepada para pemimpin kalian, serta ucapan terima kasih yang tidak terhingga."'
"Baiklah Ki Gede," jawab salah seorang diantara mereka.
Dengan demikian, maka merekapun telah berpisah. Tukang-tukang satang itupun telah membawa kawan-kawan mereka yang terluka sementara iring-iriangan dari Jati Anom dan Ki Gede serta pengawalnya telah pergi ke induk padukuhan Tanah Perdikan Menoreh.
Disepanjang jalan Ki Gede sempat berceritera tentang seorang utusan dari barak pasukan khusus yang memberitahukan bahwa iring-iringan dari Jati Anom telah terhenti di tepian Kali Praga karena sepasukan orang yang tidak dikenal telah mencegat mereka.
"Ternyata bahwa pasukan khusus itu telah mengetahui lebih dahulu," berkata Ki Gede.
"Mereka tentu mengetahui bukan baru pagi ini," jawab Ki Waskita, "ternyata sejak sehari sebelumnya mereka telah berusaha menyesuaikan diri dengan tugas tukang-tukang satang yang sebenarnya. Tetapi nampaknya mereka sengaja memberitahukan hal ini kepada Ki Gede pada saat peristiwanya telah terjadi."
"Mungkin mereka masih ragu-ragu. apakah sebenarnya hal ini akan terjadi," desis Swandaru, "karena itu. mereka akan meyakinkan dahulu bahwa keterangan yang mereka dengar itu benar-benar telah terjadi."
"Mungkin," sahut Kiai Gringsing, "tetapi mungkin juga atas perhitungan yang lain. Tetapi hal itu tentu akan dapat dipecahkan Ki Gede akan dapat bertanya kepada para pemimpin barak itu. Juga sehubungan dengan hadirnya prajurit Pajang di Jati Anom selain para pengawal yang memang berangkat bersama-sama dengan kami."
Ki Gedepun mengangguk-angguk. Tetapi untuk sementara mereka tidak memperbincangkan lagi orang-orang yang mengaku tukang satang itu.
Demikianlah perjalanan mereka menjadi lambat karena diantara mereka yang berkuda terdapat orang-orang yang terluka diatas pedati. Tetapi mereka yang berkuda tidak dapat meninggalkan pedati pedati itu dan mendahului pergi ke padukuhan induk. Karena dengan demikian bahaya masih mungkin mengancam orang-orang yang terluka itu disepanjang jalan.
Karena itu. betapapun lambatnya, namun orang-orang yang berada dipunggung kuda itupun harus mengikuti pedati-pedati yang merambat seperti siput di jalan-jalan yang panjang.
Namun akhirnya, iring-iringan itupun telah memasuki padukuhan induk. Beberapa orang telah menyongsong mereka di gerbang padukuhan. Diantara mereka adalah Prastawa yang oleh Ki Gede diperintahkan untuk tetap berada di padukuhan induk dan mengatur perintah jika terjadi kemungkinan yang lebih gawat, sementara Ki Gede dan beberapa orang pengawal menuju ke tepian.
Beberapa orang menjadi berdebar-debar ketika mereka melihat kenyataan, bahwa beberapa orang telah terluka karenanya, sehingga mereka terpaksa dibawa dengan pedati.
Sementara itu. Prastawapun menjadi berdebar-debar juga. Bukan oleh orang-orang yang terluka. Apalagi orang-orang yang terluka itu bukan orang-orang Tanah Perdikan Menareh. Tetapi justru karena didalam iring-iringan itu terdapat Sekar Mirah.
Namun dalam pada itu. Prastawapun harus melihat kenyataan. bahwa kini Sekar Mirah bukan lagi seorang gadis yang bebas. Ia adalah seorang isteri dari Agung Sedayu.
Prastawa itu menarik nafas dalam-dalam. Rasa-rasanya memang tidak ada yang dapat dilakukan. Sekar Mirah adalah seorang isteri dari Agung Sedayu yang mampu membunuh Ajar Tal Pitu.
"Kenapa ia tidak mati saja ditepian," desis Prastawa didalam hatinya.
Tetapi adalah satu kenyataan. Agung Sedayu masih tetap hidup dan nampaknya tidak mengalami cedera sama sekali.
Demikianlah. maka iring-iringan itupun kemudian memasuki rumah Ki Gede yang telah menjadi sibuk. Selain para pengawal yang bersiaga terdapat juga beberapa orang yang yang telah diperintahkan untuk menyiapkan minum dan makan bagi para pengawal yang bersiaga dan juga iring-iringan yang baru saja datang.
Namun sementara itu. orang-orang di rumah Ki Gede itupun telah sibuk pula menyiapkan gandok untuk menempatkan mereka yang terluka. Apalagi yang terluka cukup parah.
Dengan hati-hati maka orang-orang yang terluka itupun telah diangkat dari pedati yang membawa mereka ke gandok yang sudah disediakan. Sementara Kiai Gringsing tidak henti hentinya mengamati mereka seorang demi seorang. Terutama yang nampaknya mengalami kesulitan dengan luka-lukanya.
Sementara itu. pendapa rumah Ki Gede itupun telah dipersiapkan. Mereka yang tidak mengalami sesuatu telah dipersilahkan untuk duduk dipendapa. Selain Ki Gede. maka beberapa orang behahu Tanah Perdikan menoreh pun telah menerima mereka pula.
Demikiankah maka Ki Gedepun dengan resmi telah menyatakan ucapan selamat datang. Ia terpaksa minta maaf. bahwa orang-orang Tanah Perdikan Menoreh telah datang terlambat.
"Jika kami tidak terlambat, mungkin kami dapat menghindarkan mereka yang terluka dari keadaan itu," berkata Ki Gede.
"Tetapi kita sudah mengucap sukur," sahut Kiai Gringsing, "bahwa kami telah lolos dari bahaya yang lebih mengerikan. Tanpa pertolongan orang-orang yang menyebut dirinya tukang-tukang satang itu. maka keadaan kami akan benar-benar parah."
"Ya. Kita memang harus bersukur," jawab Ki Gede, "meskipun kita masih bertanya-tanya, bagaimana orang-orang di barak itu dapat mengetahui dengan pasti. bahwa iring-iringan dari Jati Anom akan lewat dan mengalami kesulitan."
"Tentu ada seseorang yang telah mengaturnya," berkata Kiai Gringsing, "dan kita harus mengucapkan terima kasih kepada orang itu. Sementara itu. kita melihat Raden Sutawijaya ada juga ditepian pada saat pertempuran berlangsung. Tetapi apakah Raden Sutawijaya atau orang lain. kita masih harus mencari keterangan lebih banyak."
"Ya Kiai," jawab Ki Gede, "aku akan dapat menghubungi para pemimpin di barak itu. Selain kenyataan bahwa mereka telah menyiapkan beberapa orang dalam ujud tukang satang, ternyata aku mendapat keterangan tentang peristiwa di tepian itu juga dari seorang penghubung dari pasukan khusus itu."
"Tetapi kita tidak terlalu tergesa-gesa," berkata Kiai Gringsing kemudian.
Sementara itu. maka beberapa orang telah menyuguhkan hidangan kepada mereka yang berada di pendapa. Orang-orang yang datang dari Jati Anom. dan yang harus bertempur di tepian itu, ternyata memang merasa sangat haus, sehingga karena itu, maka minuman panas dengan gula aren telah membuat mereka menjadi segar kembali.
Sedangkan bagi mereka yang terluka, telah disediakan hidangan khusus. Yang terluka parah harus dibantu. Beberapa orang memang merasa sangat kehausan. sehingga merekapun merasa segar ketika terasa titik-titik air minum di bibir mereka.
Dalam pada itu. selagi orang-orang yang mengiringi Agung Sedayu dari Jati Anom beristirahat sambil menikmati hidangan minuman dan makanan, Ki Tumenggung Prabadaru telah memacu kudanya meninggalkan neraka yang sangat menyakitkan hati itu.
Ketika Ki Tumenggung meninggalkan padang perdu dipunggung kudanya. Raden Sutawijaya memandangnya sambil tertawa. Namun ia masih sempat berkata, "Selamat jalan Ki Tumenggung. Lain kali kita duduk-duduk lagi sambil berbincang di tempat yang tersisih seperti ini.
Ki Tumenggung berpaling. Tetapi kudanya berpacu terus meninggalkan debu yang terhambur dibelakang kaki kudanya.
Raden Sutawijayapun kemudian meninggalkan tempat itu pula. Ternyata bahwa iapun telah meninggalkan seekor kuda tidak terlalu jauh dari tempat itu. ditunggui oleh dua orang pengawalnya.
Raden Sutawijaya masih menunggu sejenak. Ternyata bahwa masih ada beberapa orang pengawalnya. Tetapi beberapa orang itu telah memencar untuk melihat-lihat suasana.
Ternyata pada keadaan yang gawat itu. Raden Sutawijaya yang bergelar Senapati Ing Ngalaga cukup berhati-hati, ia tidak datang seorang diri sebagai kebiasaannya. karena menurut perhitungannya tempat itu cukup gawat. Dalam keadaan yang tidak diduga. ia akan dapat berhadapan dengan lawan dalam jumlah yang tidak diketahuinya lebih dahulu, sehingga betapapun tinggi ilmunya. namun Raden Sutawijaya itupun tetap menyadari, keterbatasan kemampuan seseorang.
Setelah beberapa orang pengawalnya terkumpul, maka Raden Sutawijayapun telah meninggalkan tempat itu kembali ke Mataram.
Sementara itu. maka suasana di Tanah Perdikan Menoreh ternyata masih diliputi oleh peristiwa yang terjadi atas Agung Sedayu dan orang-orang yang mengiringinya dari Jati Anom. Namun demikian, karena kehadiran Agung Sedayu dan Sekar Mirah yang diketahui sebagai pengantin baru. maka di Tanah Perdikan Menorehpun telah terjadi penyambutan yang agak khusus. Di padukuhan induk, anak-anak muda yang mengenal Agung Sedayu sebagai bagian dari mereka, berusaha untuk dapat menemui bersama isterinya yang berada di rumah Ki Gede Menoreh.
Sementara itu. Ki Gedepun telah mengatur, bagaimana mereka akan dapat bertemu dengan Agung Sedayu dan isterinya. Ki Gedepun juga mengatur. dimana tamu-tamunya dari Jati Anom termasuk Ki Demang Sangkal Putung akan menginap. disamping Ki Gede harus menyediakan tempat khusus bagi mareka yang terluka dan beberapa orang tawanan.
Karena itu. maka padukuhan Induk Tanah Perdikan Menoreh itu menjadi sibuk. Sementara suasana pertempuran di tepian itu masih tetap mencengkam. Karena itu. justru para pengawal Tanah Perdikan di setiap padukuhan telah bersiap-siap menghadapi kemungkinan-kemungkinan yang dapat terjadi. Para pemimpin pengawal menganggap bahwa pertempuran di tepian itu akan dapat berkembang. Karena ternyata bahwa orang-orang yang terlibat di pertempuran itu cukup banyak, maka tidak mustahil bahwa pertempuran itu aku merambat ke Tanah Perdikan Menoreh.
"Jika mereka datang dengan pasukan segelar sepapan. maka kita harus menyambut mereka," berkata para pemimpin pasukan pengawal Tanah Perdikan Menoreh.
Dalam pada itu. ketika para tamunya sedang beristirahat, kecuali Kiai Gringiing yang sibuk dengan orang-orang yang terluka dibantu oleh Ki Waskita, maka Ki Gedepun telah membuat bubungan dengan para pemimpin dari pasakan khusus. Ki Gede ingin mendapat keterangan yang lebih terperinci tentang pertempuran yang terjadi di tepian. Karena beberapa orang dari pasukan khusus itu ternyata telah terlibat di pertempuran itu.
Namun sementara itu. ternyata bahwa beberapa orang prajurit berkuda dari Pajang mengikuti jalan-jalan memintas disepanjang lereng Gunung Merapi.
Ketika gelap telah menjadi pekat, menjelang tengah malam, maka mereka baru memasuki Kademangan Jati Anom. karena mereka sekali-sekali harus beristirahat. Bukan saja karena keadaan mereka sendiri. tetapi kuda-kuda mereka memang memerlukan waktu untuk beristirahat, minum dan makan rerumputan selagi mereka berpacu di lambung Selatan Gunung Merapi.
Meskipun demikian. Untara yang dibangunkan dari tidurnya, memerlukan menerima mereka dan mendengarkan laporannya.
"Yang terjadi ternyata sesuai yang kita perhitungkan," berkata salah seorang prajurit itu kepada Untara.
"Jadi mereka benar-benar berada di tepian?" bertanya Untara.
"Ya. Dan orang-orang dari pasukan khusus itu telah menerima saranku." berkata prajurit itu kemudian.
"Jadi semuanya telah selamat," bertanya Untara pula.
"Ya. Semuanya selamat. Beberapa orang terluka. tetapi agaknya Kiai Gringsing masih mempunyai kesempatan untuk mengobatinya. Kecuali mereka yang kembali kedalam lingkungan pasukan khusus itu. Setelah mereka mengalami perawatan sementara dari Kiai Gringsing. maka mereka akan segera kembali ke barak mereka dan akan menerima perawatan dari petugas di barak itu."
"Kita wajib mengucap sukur," desis Untara, "ternyata bahwa perhitungan kita tidak salah. Karena jika kita salah langkah, maka akibatnya akan sangat parah bagi iring-iringan itu."
"Dalam pertempuran itu, telah hadir pula Raden Sutawijaya," Lapor prajurit itu pula.
Untara mengangguk-angguk. Katanya, "Tentu pasukan khusus itu telah melaporkan hal itu kepadanya."
"Juga Tumenggung Prabadaru," prajurit itu meneruskan.
Namun agaknya Untara telah menduga. sehingga ia tidak terkejut karenanya. Namun ternyata bahwa ia menjadi heran, ketika prajurit itu melaporkan bahwa Raden Sutawijaya dan Ki Tumenggung Prabadaru bersama-sama menonton pertempuran itu dari kejauhan.
"Jadi Ki Tumenggung itu tidak berbuat apa-apa?" bertanya Untara.
"Ki Tumenggung sendiri memang tidak berbuat apa-apa," jawab prajurit itu.
Untara mengangguk-angguk. Katanya, "Justru karena Raden Sutawijaya hadir juga ditempat itu."
"Mungkin sekali Agaknya Raden Sutawijaya yang menemukan persembunyian Ki Tumenggung itu selalu mengikutinya. agar Ki Tumenggung tidak melibatkan diri. Sebab seandainya seorang saja tetapi dalam tingkatan kemampuan ilmu Ki Tumenggung melibatkan diri. mungkin akhir dari pertempuran itu akan berbeda," lapor prajurit itu.
Untara masih saja mengangguk-angguk. Lalu katanya, "Persoalannya menjadi semakin terbuka. Tetapi bagaimana dengan pasukan khusus di Tanah Perdikan itu?"
"Secara keseluruhan, mereka masih katah selapis dengan orang-orang yang menurut perhitungan kita adalah prajurit Pajang dalam pasukan khusus yang dipimpin oleh Ki Tumenggung itu."
Untara mengangguk-angguk. Meskipun ia tidak hadir di tepian. numun ia dapat membayangkan apa yang terjadi. Prajurit yang ditugaskannya itu kemudian memberikan laporan terperinci tentang pertempuran itu sendiri.
"Tetapi nampaknya perbedaan tingkat kemampuan itu tidak dalam tingkat yang meMbahayakan," desis Untara kemudian.
"Tidak. Menurut pengamatanku perbedaan itu hanya tipis sekali, dengan demikian, maka kemajuan dari pasukan yang dibentuk oleh Mataram itu cukup pesat. Karena kita tahu bahwa pasukan yang dihimpun di Pajang dan dibawah pimpinan Ki Tumenggung Prabadaru itu adalah pada dasarnya sudah prajurit pilihan," sahut prajurit yang mendapat tugas mengamati pertempuran itu.
Untara mengangguk-angguk pula, ia harus menanggapi peristiwa itu dengan satu sikap. Ia tidak dapat melepaskan kedudukannya sebagai seorang Senapati Pajang. Tetapi iapun tidak akan dapat berbuat apa saja tanpa pertimbangan yang matang. Bahwa Tumenggung Prabadaru dapat diangkat menjadi pimpinan pasukan khusus di Pajang adalah tentu karena ada sesuatu yang kurang wajar. Panglima pasukan khusus itu tentu mempunyai kekuasaan yang luas dan kemungkinan yang paling baik bagi gerak seluruh kekuatan Pajang.
Tetapi dalam pada itu. Untarapun tidak dapat menutup mata. Menurut laporan yang diterimanya, pengaruh Pajang atas para Adipati pun telah menjadi surut pada saat-saat terakhir. Bahkan ada beberapa Kadipaten yang nampaknya sudah bersiap-siap untuk bangkit dan menyebut diri mereka sebagai pemegang kekuasaan yang tidak dibawah perintah lagi.
Dalam mengurai keadaan itu. Untara tidak boleh membutakan matanya terhadap kenyataan yang dihadapinya. Karena itulah, maka Untara itupun telah didorong untuk mengambil sikapnya sendiri.
Berdasarkan atas peristiwa di tepian. dan berdasarkan atas perhitungannya yang cermat menanggapi keadaan. maka Untara yang pada dasarnya memiliki kekuasaan atas sepasukan prajurit. telah menentukan sikapnya sendiri.
"Jika benar-benar Sultan kehilangan jalur perintah karena terpotong oleh orang-orang yang mempunyai nafsu pribadi yang berlebihan, maka aku akan mengambil sikap sendiri," berkata Untara didalam hatinya.
Namun dalam pada itu. Untarapun tulah mempunyai rencana didalam angan-angannya, bahwa pasukannya tidiak boleh berada dibawah tataran pasukan khusus yang dipimpin oleh Ki Tumenggung Prabadaru. dan pasukan khusus yang dipimpin oleh Ki Lurah Branjangan di Tanah Perdikan Menoreh.
Karena itu. Seolah-olah Untara itu berjanji kepada diri sendiri, bahwa sejak esok pagi, ia harus menempa diri bersama pasukannya agar seluruh kekuatan di Jati Anom dapat mendukung keputusan terakhir yang akan diambil.
Sementara itu. orang-orang di Tanah Perdikan Menoreh ternyata telah menilai kebijaksanaan Untara. Ki Gede yang telah menghubungi para pemimpin pasukan khusus Mataram yang berada di Tanah Perdikan Menoreh itupun telah membicarakan semua keterangan yang telah didapatkannya.
"Jika semua keterangan berasal dari Untara. maka agaknya angger Untaralah yang telah menyusun rencana ini dengan cermat," berkata Kiai Gringsing.
"Nampaknya memang demikian Kiai," sahut Ki Waskita, "angger Untara ternyata adalah seorang Senapati yang memiliki ketajaman perhitungan."
Ki Gedepun mengangguk-angguk. Katanya, "Meskipun angger Untara tidak hadir di pertempuran itu. tetapi kekuatan tangannya terasa sekali mempengaruhi segala peristiwa yang telah terjadi. Agaknya Raden Sutawijaya juga menganggapnya demikian."
Orang-orang yang datang mengiringi Agung Sedayu dan Sekar Mirah ke Tanah Perdikan Menoreh yang sampai jauh malam masih belum meninggalkan pendapa, karena masih banyak orang yang datang menemui mereka ternyata masih sempat berbincang diantara mereka setelah para tamu meninggalkan pendapa itu lewat tengah malam.
"Apakah sebenarnya yang telah dilakukan oleh kakang Untara?" bertanya Swandaru, "bukankah ia hanya sekedar memberitahukan bahwa sebuah iring-iringan akan lewat menuju ke Tanah Perdikan Menareh?"
"Jika demikian, maka pasukan khusus dari Mataram itu tidak akan dapat dengan tepat menunggu saat dan di tempat yang meyakinkan," jawab Kiai Gringsing.
"Demikianlah yang telah terjadi ngger," berkata Ki Waskita, "justru Ki Tumenggung Prabadaru nampaknya telah salah menilai tingkah laku Untara sebelumnya."
"Apa yang sudah dilakukan oleh kakang Untara?" bertanya Swandaru sekali lagi.
"Ternyata dengan sengaja angger Untara telah menyebut arah perjalanan dan waktu yang akan dipergunakan oleh Agung Sedayu berdua, dan bila semuanya menuju ke Tanah Perdikan Menoreh. Bahkan Untara pun dengan terbuka telah menceriterakan kepada orang-orang di Jati Anom siapa saja yang akan pergi ke Tanah Perdikan Menoreh. Hal itulah yang dipakai dasar oleh Ki Tumenggung Prabadaru untuk menyusun kekuatan. Bahkan ternyata kekuatan Ki Tumenuung itu terasa berlebih-lebihan. Namun dengan keterangan itu. Untara tahu pasti arah dari perjalanan iring-iringan dari Jati Anom itu yang akan dipakai sebagai dasar perhitungan oleh Tumenggung Prabadaru. Kecuali perhitungan itu. Untarapun tentu mempunyai orang yang dapat memberitahukan kepadanya apa yang telah terjadi di Pajang," berkata Ki Waskita kemudian.
Swandaru mengerutkan keningnya. Tetapi nampaknya ia masih ragu-ragu akan keterangan itu.
Namun dalam pada itu. Agung Sedayupun telah melihat dengan jelas bekas tangan Untara yang bukan saja mengatur bantuan yang dipersiapkan lewat pasukan khusus di Tanah Perdikan itu. tetapi iapun telah memancing sikap Ki Tumenggung Prabadaru. Karena Untarapun mempunyai satu keyakinan penuh. bahwa pimpinan pasukan khusus di Tanah Perdikan itu tidak akan membiarkan Agung Sedayu terjebak.
Karena itu. maka bagi Agung Sedayu. yang terjadi itu bukannya satu kebetulan. Tetapi yang terjadi itu adalah hasil perhitungan Untara yang cermat. Meskipun barang kali Untara itu secara pribadi bukan seorang yang dapat dipasang dalam tataran tertinggi, namun sebagai seorang Senapati ia memiliki perhitungan yang sangat cermat.
Dengan demikian maka dalam perang siasat, ia telah berhasil mengatasi Ki Tumenggung Prabadaru. Mungkin juga karena Ki Tumenggung sama sekali tidak memperhitungkannya. atau justru menganggap Untara terlalu kecil.
Nampaknya hal itu telah disadari pula oleh Ki Tumenggung Prabadaru. Ketika ia sampai dirumahnya di Pajang, maka iapun telah mengumpat-umpat. Semua orang yang dijumpainya telah dimarahinya tanpa sebab. Bahkan seorang pelayannya yang terlambat mengambil minuman baginya, dan justru bukan minuman hangat seperti yang disukainya, telah dipukulnya hingga pingsan.
"Untara memang gila," katanya setelah ia menarik kesimpulan dari peristiwa yang pahit itu. "Tentu ia ikut campur dalam hal ini."
Kenyataan itu menjadi semakin jelas, ketika dihari berikutnya, orang-orang yang tertawan telah dijemput oleh beberapa orang pasukan khusus di Tanah Perdikan Menoreh. Seorang pemimpin pasukan yang datang bersama beberapa orang pasukannya, telah menceriterakan. kepada beberapa orang khusus, bahwa Untara memang ikut menentukan apa yang telah terjadi. Bahkan nampaknya ialah yang telah menentukan segala-galanya.
"Untara memang seorang Senapati yang memiliki ketajaman perhitungan perang," berkata pemimpin pasukan khusus itu.
Namun dalam pada itu. ketika pemimpin dari pasukan khusus itu menanyakan kepada Agung Sedayu. apakah ia segera dapat kembali dalam tugasnya, maka ternyata ia masih menunggu waktu barang satu dua hari.
"Tamu-tamuku dari Jati Anom dan Sangkal Putung masih berada disini," berkata Agung Sedayu.
"Baiklah. Tetapi sebaiknya kau memberitahukan kepada kami, kapan tamu-tamumu akan kembali ke Jati Anom," berkata pemimpin pasukan khusus itu.
"Pesan ini juga datang dari Untara," jawab pemimpin itu.
Agung Sedayu mengangguk-angguk. Jika Untara sudah berpesan demikian, tentu bukannya tidak berarti.
Sehari itu, Agung Sedayu masih sibuk dengan tamu-tamunya. Tamu-tamu yang mengiringinya dari Jati Anom dan tamu-tamu yang datang dari Tanah Perdikan Menoreh itu sendiri. Bahkan Ki Lurah Branjanganpun telah datang menemuinya di padukuhan induk Tanah Perdikan Menoreh sebagai sambutan resminya atas kedatangan Agung Sedayu dan Sekar Mirah sebagai suami Isteri.
"Semoga kalian menemukan kebahagiaan lahir dan batin," berkata Ki Lurah Branjangan.
"Teruna kasih Ki Lurah," jawab Agung Sedayu dan Sekar Mirah hampir berbareng.
Dalam pada itu, peristiwa yang terjadi di tepian itu. dengan tidak langsung telah merupakan benturan antara pasukan khusus dan Mataram dan pasukan khusus dan Pajang Raden Sutawijaya yang mengetahui hal itu sejak semula, ternyata memang tidak berkeberatan. Seperti Untara. maka ia ingin melihat tataran kemampuan kedua pasukan itu.
Karena itulah. maka ia hadir dalam pertempuran itu iapun melihat bahwa orang-orang dari pasukan khusus Mataram secara keseluruhan masih kurang selapis meskipun tipis dari para prajurit dalam pasukan khusus di Pajang.
Dengan demikian, maka Raden Sutawijaya itu masih merasa wajib untuk menempa orang-orangnya sehingga dalam keadaan yang gawat, orang-orangnya itu tidak akan mengecewakannya.
07 Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Rasa-rasanya benturan kekerasan itu benar-benar akan terjadi," berkata Raden Sutawijaya didalam hatinya, "pada saat ayahanda telah benar-benar kehilangan kuasanya karena ulah orang-orang disekitarnya, maka aku harus mengambil sikap. Dengan sikap itu. maka aku memerlukan dukungan kekuatan pasukan khusus itu."
Penilaian itulah yang pada saat berikutnya akan diberitahukannya kepada para pemimpin pasukan khusus itu termasuk Agung Sedayu.
"Meskipun agaknya Agung Sedayu telah melihat sendiri. tetapi secara resmi ia harus diberitahu. bahwa tingkat kemampuan pasukan khusus ini harus diperbaiki," berkata Raden Sutawijaya itu pula.
Karena kesimpulan yang demikian, maka Raden Sutawijayapun telah mengerahkan para pemimpin pasukan khusus di Tanah Perdikan Menoreh untuk bertemu dan berbicara tentang kemungkinan-kemungkinan yang dapat direncanakan. Termasuk Raden Sutawijaya sendiri. Namun Raden Sutawijayapun tahu. bahwa Agung Sedayu tentu masih memerlukan waktu untuk beristirahat satu dua hari lagi.
Yang ternyata tidak menunggu siapapun lagi adalah Untara sendiri. Sebenarnyalah sejak hari berikutnya dari peristiwa itu. ia telah mulai bertindak. Ia tetah memangil para pemimpin yang dapat dipercayanya untuk menentukan sikap.
"Sejak saat ini. pasukan Pajang di Jati Anom tidak akan mengalami pergantian orang," berkata Untara kepada para pemimpin pasukannya.
"Jika perintah semacam itu datang?" bertanya seorang pemimpin pasukannya.
"Akulah yang akan menolak," jawab Untara, "jenang kepemimpinan di Pajang telah rusak. Karena itu, maka kita harus berani mengambil sikap dan mempertanggung jawabkan akibatnya. Tentu kalian tahu apa sebabnya aku berkata demikian. Kalian tahu siapa Ki Tumenggung Prabadaru. Dan kalianpun tahu. apa yang telah dilakukannya."
Para pemimpin prajurit Pajang di Jati Anom itu mengangguk-angguk.
"Karena itu. bukan salah kita disini. jika kita mengambil sikap sendiri," berkata Untara kemudian. Lalu, "Akupun yakin, bahwa kalian cukup dewasa menanggap perkembangan keadaan sekarang ini."
Demkianlah. ketika Agung Sedayu di Tanah Perdikan masih disibukkan dengan tamu-tamu yang berdatangan untuk mengucapkan selamat atas perkawinannya dengan Sekar Mirah, dan sekaligus karena ia berdua dan iring-iringannya telah terlepas dari bencana yang menunggunya di tepian Kali Praga, maka Untara telah mulai dengan rencananya.
Ia telah mengatur pasukannya dalam giliran yang berurutan. Sebagian dari mereka bertugas di daerah tugas mereka. yang lain mengikuti latihan-latihan yang dapat meningkatkan kemampuan setiap prajurit yang ada di Jati Anom. Disampang peningkatan kemampuan dan ketrampilan mereka dalam olah senjata dan olah peperangan. merekapun mendapatkan tempaan jiwani sesuai dengan sikap Untara sebagai seorang Senapati yang bertanggung jawab atas seluruh pasukan Pajang di daerah Selatan menghadapi perkembangan keadaan terakhir.
Namun dalam pada itu, sambil meningkatkan kemampuan pasukannya. Untarapun tidak melupakan dirinya sendiri. Ia sadar, bahwa seeara pribadi ia telah ketinggalan dari anak-anak muda yang menyusulnya. Ia tidak memiliki kemampuan sebagaimana dimiliki oleh Agung Sedayu. Bahkan agaknya Swandarupun telah dapat melampauinya dalam kemampuan Ilmu kanuragan. Sehingga dengan demikian maka kesadarannya akan kekurangan pada dirinya itu telah mendorong Untara untuk dengan sekuat tenaganya membajakan dirinya sendiri.
Dengan demikian Untara itupun telah menjadi sangat sibuk. Waktunya telah dihabiskannya dalam olah kanuragan. Kecuali membimbing prajurit-prajuritnya. iapun harus berlatih bagi peningkatan ilmunya sendiri.
Sementara itu. maka para pengiring Agung Sedayu dan isterinya yang berada di Tanah Perdikan Menoreh, merasa telah cukup lama meninggalkan tugas masing-masing. Terutama Ki Demang Sangkal Putung. Apalagi karena Swandaru dan Pandan Wangi telah pergi bersamanya, sehingga seolah-olah Kademangan Sangkal Putung telah menjadi kosong.
Karena itu. maka merekapun tetah merencanakan untuk kembali ke Sangkal Putung.
"Para pemimpin di barak pasukan khusus telah minta, jika waktunya telah pasti, kapan kita akan kembali, agar kita memberritahukannya," berkata Swandaru.
"Apa salahnya," berkata Kiai Gringsing, "hal itu tentu terdorong oleh sikap berhati-hati."
"Baiklah," berkata Ki Demang, "malam nanti kita akan berbicara, kapan kita akan kembali. Kemudian kita akan memberitahukannya kepada Ki Lurah Branjangan."
Sebenarnyalah malam berikutnya, pendapa rumah Ki Gede di Tanah Perdikan Menoreh masih dikunjungi oleh beberapa orang. Mereka masih menyatakan selamat kepada Agung Sedayu berdua dan kepada seluruh pengiringnya.
Namun setelah mereka meninggalkan pendapa rumah Ki Gede. maka para pengiring Agung Sedayu itu-pun mulai membicarakan diri mereka sendiri.
"Baiklah," berkata Ki Gede, "jika kalian ingin segera meninggalkan Tanah Perdikan ini. maka biarlah kalian melihat dan sekaligus merestui penggunaan rumah yang telah kami sediakan bagi keluarga baru ini. Besok kita adakan upacara kecil di rumah yang memang hanya kecil itu. agar bagi keluarga baru itu tidak terlalu letih mengurusinya. Jika rumah itu terlalu besar dan halamannya terlalu luas. maka setiap hari waktu angger Agung Sedayu dan Sekar Mirah akan dihabiskan untuk menyapu lantai dan halaman."
Yang mendengar keterangan Ki Gede itu tersenyum, Ki Demang Sangkal Putungpun kemudian menyahut, "Menarik sekali. Tetapi memang seharusnya mereka belajar mengurus diri mereka sendiri."
Malam itu mereka telah menyusul acara bagi hari-hari yang semakin pendek. Malam berikutnya mereka akan mengadakan sekedar upacara memasuki rumah baru. Baru di keesokan harinya, mereka akan meninggalakan Tanah Perdikan Menoreh.
Sementara itu. dihari berikutnya, sebelum mereka sampai saatnya melakukan upacara memasukki rumah baru. maka para tamu dari Jati Anom dan Sankal Putung itu masih sempat melihat-lihat keadaan Tanah Perdikan Menoreh, sementara Sabungsari diantar oleh seorang pengawal Tanah Perdikan dan Glagah Putih telah menyampaikan rencana keberangkatan mereka kepada Ki Lurah Branjangan sebagaimana dipesankan oleh para pemimpin barak pasukan khusus itu.
"Terima kasih," berkata Ki Lurah Branjangan, "kami akan membantu menjaga segala kemungkinan yang dapat terjadi di saat kalian kembali ke Jati Anom. Bukankah iring-iringan itu akan berkurang dengan Agung Sedayu dan isterinya serta Ki Waskita" Bukankah dengan demikian, iring-iringan itu tidak akan sekuat saat iring-iringan itu berangkat dari Jati Anom. Bahkan beberapa orang pengawal ternyata telah terluka dan diantara mereka tentu ada yang masih harus tinggal di Tanah Perdikan Menoreh."
"Aku kira memang demikian Ki Lurah," jawab Sabungsari, "sudah barang tentu kami akan mengucapkan terima kasih pula atas segala perhatian Ki Lurah terhadap kami."
"Itu adalah kewajiban kami," jawab Ki Lurah, "kami mengetahui siapakah kalian. Dan karena itu, maka kami akan membantu."
Selebihnya, sebelum Sabungsari minta diri, maka ia masih sempat memberitahukan kepada Ki Lurah, bahwa malam mendatang. Agung Sedayu dan isterinya akan memasuki sebuah rumah baru. Rumah yang tidak begitu besar yang terletak tidak jauh dan rumah Ki Gede Menoreh.
"Ada upacara sekedarnya," berkata Sabungsari.
"Aku akan datang," sahut Ki Lurah, "bahkan mungkin ada persoalan yang dapat dibicarakan dalam pertemuan sesudah upacara itu selesai."
Sebenarnyalah. Ki Lurah memang ingin bertemu dengan orang-orang tua yang akan kembali ke Jati Anom. Mungkin ia mendapat beberapa petunjuk dari Kiai Gringsing atau sebaliknya ada pesan-pesan yang dapat dititipkannya bagi Untara di Jati Anom.
Sebagaimana direncanakan, maka malam itu, di Tanah Perdikan Menoreh, telah berlangsung sebuah upacara kecil. Namun yang hadir dalam upacara itu ternyata bukan saja sekedar menghadiri upacara memasuki rumah baru. tetapi juga terjadi pembicaraan lain yang cukup penting.
Ki Lurah Branjangan yang menghadiri pertemuan itu. dapat bertukar keterangan dengan orang-orang tua yang mengiringi Agung Sedayu, Kiai Gringsing memang dapat memberikan beberapa petunjuk bagi Ki Lurah Branjangan. sementara Ki Lurah Branjanganpun dapat menyampaikan beberapa pesan kepada Kiai Gringsing.
"Kami mengucapkan terima kasih atas keterangan yang diberikan oleh Untara pada saat terakhir menjelang kedatangan angger Agung Sedayu," berkata Ki Lurah, "dengan demikan maka kami mendapat kesempatan berbuat sesuatu, sehingga kami dapat membantu kesulitan yang kalian alami."
"Kami akan menyampaikannya Ki Lurah," jawab Kiai Gringsing, "namun dalam pada itu. kamipun mengucapkan terima kasih bahwa Ki Lurah telah bertindak tepat sehingga kami dapat sampai ketujuan dengan selamat."
"Ternyata Untara mempunyai ketajaman perhitungan," berkata Ki Lurah, "karena itu. maka bukan saja kami di barak itu. tetapi Mataram pada umumnya sudah tentu juga Raden Sutawijaya. Selebihnya kami dapat mengetahui tingkat kemampuan anak-anak kami. yang menurut laporan ternyata masih berselisih satu lapis tipis dengan para prajurit Pajang dari pasukan khusus. Namun hal itu adalah wajar sekali. yang berada didalam pasukan khusus itu adalah prajurit-prajurit. Sementara yang berada dipasukan khusus di Tanah Perdikan ini adalah anak-anak muda dan para pengawal dari padukuhan-padukuhan.
"Tetapi dalam benturan kekerasan dan benturan Ilmu, hal itu tidak akan dipersoalkan Ki Lurah. Apakah mereka datang dari kota, dari padesan atau memang prajurit-prajurit pilihan," jawab Kiai Gringsing.
Ki Lurah tersenyum. Katanya, "Kiai benar. Memang tidak akan ada penggolongan, bahwa yang bukan prajurit boleh bertempur dengan sepenuh kemampuan, sementara yang prajurit pilihan tidak boleh membawa senjata. Dalam pertempuran mereka diperlakukan sama oleh ujung-ujung senjata.
Ki Gedepun tersenyum pula. Katanya, "Tetapi ada juga keuntungan kita jika kita sudah mengetahui bahwa kemampuan kita masih perlu ditingkatkan."
Sementara itu. Kiai Gringsingpun telah memberitahu rencana keberangkatan mereka dari Tanah Perdikan Menoreh. Dikeesokan harinya meskipun tidak terlalu pagi.
"Kami akan bersiap-siap," jawab Ki Lurah.
"Bersiap apa?" bertanya Kiai Gringsing.
"Kita tidak tahu. apakah Ki Tumenggung menerima kekalahannya tanpa berbuat sesuatu," jawab Ki Lurah.
"Itu tidak perlu," potong Swandaru, "seandainya Ki Tumenggung masih ingin mengulangi kegagalannya, maka kami tidak akan mengecewakannya."
Ki lurah Branjangan mengerutkan keningnya. Namun sementara itu Kiai Gringsing berkata, "Terima kasih Ki Lurah. Tetapi apakah Ki Lurah bermaksud mengantar kami sampai ke Jati Anom?"
"Tentu tidak. Kami hanya akan mengantar Kiai dan Iring-iringan yang akan kembali ke Jati Anom itu sampai ketepian," jawab Ki Lurah.
"Terima kasih Ki Lurah," Ki Gedelah yang menyahut, "aku akan mencoba bertanggung jawab atas tamu kami. Bukan berarti bahwa kami mengabaikan pertolongan yang sudah Ki Lurah berikan. Tetapi dalam keadaan bersiaga, kami akan mencoba untuk berbuat sebaik-baiknya. Jika para pengawal di setiap padukuhan bersiap-siap. maka sampai ditepian tentu tidak akan terjadi sesuatu."
Ki Lurah mengangguk-angguk. Namun kemudian katanya, "Baiklah. Jika demikian nampaknya Ki Gede sudah memperhitungkannya. Tetapi perjalanan ke Jati Anom itu masih panjang. Dari tepian Kali Praga sampai ke Jati Anom kemungkinan-kemungkinan yang pahit masih mungkin terjadi, Ki Tumenggung Prabadaru telah menempuh jalan yang sebelumnya kita anggap tidak akan dilakukannya."
"Kita akan berhati-hati," Swandarulah yang menyahut.
Ki Lurah Branjangan menarik nafas dalam-dalam iapun mengenal Swandaru. Namun demikian. Ki Lurah tidak dapat berdiam diri.
Sebenarnyalah. sejak Sabungsari memberitahukan kepada Ki Lurah bahwa dikeesokan harinya, orang-orang yang mengringi Agung Sedayu dan Isterinya akan kembali, maka Ki Lurah telah memberitahukan hal itu kepada beberapa orang pemimpin dari pasukan khusus di Tanah Perdikan Menoreh. Namun nampaknya pasukan itu tidak perlu bergerak karena Ki Gede sudah bersiap-siap pula. Ki Lurahpun mengetahui, bahwa apabila setiap padukuhan disepanjang jalan yang akan dilaluinya sampai ke tepian Kali Praga itu bersiap-siap seluruhnya, maka tentu tidak akan terjadi sesuatu. Tetapi khususnya di Tanah Perdikan Menoreh. Sementara jika Ki Tumenggung masih dendam dan akan mengerahkan pasukan yang lebih banyak. ia tentu tidak akan bertindak di sebelah Barat Kali Praga.
Namun dalam pada itu. nampaknya dalam kesempatan itu. Ki Lurahpun telah memberikan beberapa keterangan tentang anak-anak Sangkal Putung yang berada di barak pasukan khusus itu. Sementara Swandarupun dapat menanyakan beberapa hal yang ingin diketahuinya.
"Sokurlah jika mereka berbuat sebaik-baiknya," berkata Swandaru.
"Mereka memiliki dasar yang cukup baik," jawab Ki Lurah, "karena itu merekapun tumbuh sebagaimana kita kehendaki."
"Tetapi tidak seorangpun yang aku lihat ditepian pada saat itu," berkata Swandaru.
"Kami memilih anak-anak muda yang sudah mengenal tabiat Kali Praga. Diantaranya anak anak Tanah Perdikan Menoreh sendiri dan yang lain anak-anak dari Mangir," jawab Ki Lurah Branjangan, "dengan demikian mereka benar-benar dapat berbuat sebagaimana dilakukan oleh tukang-tukang satang."
Swandaru mengangguk-angguk. Namun dengan demikian ia mengerti bahwa ketidak hadiran anak-anak Sangkal Putung bukan karena mereka tidak memiliki bekal sebagaimana anak-anak muda dari tempat yang lain.
Malam itu. Ki Lurah masih sempat berbincang agak panjang sehingga jauh lewat tengah malam, ia baru minta diri.
Sepeninggal Ki Lurah Branjangan, Kiai Gringsing. Ki Widura dan Ki Demang Sangkal Putung yang esok hari akan meninggalkan Tanah Perdikan Menoreh masih sempat memberikan beberapa pesan kepada Agung Sedayu dan Sekar Mirah. Keduanya adalah orang-orang-baru dalam hidup bebrayan sehingga mereka masih harus banyak belajar dari keadaan disekitamya.
"Lelakon tentang kalian berdua belum berakhir sebagaimana terdapat dalam banyak ceritera-ceritera," berkata Kiai Gringsing, "pada umumnya ceritera-ceritera itu diakhiri dengan perkawinan. Seolah-olah setelah hari hari perkawinan itu semuanya akan berjalan rancar dengan sendirinya. Namun lelakon kalian sebagai dua orang yang hidup dalam bebrayan. barulah dimulai. Segalanya sebagian besar tergantung kepada kalian berdua. Meskipun bukan berarti bahwa kalian harus tanggap akan keadaan disekeliling kalian, sebab keadaan di sekeliling kalianpun akan dapat memberikan pengaruh pada kehidupan kalian. Pengaruh baik atau pengaruh buruk."
Agung Sedayu dan Sekar Mirah mendengarkan pesan itu dengan saksama. Sementara itu Ki Demangpun kemudian berkata kepada Ki Gede, "Aku titipkan anak dan menantuku kepada Ki Gede."
Ki Gede tersenyum sambil mengangguk-angguk. Katanya, "Aku telah menitipkan satu-satunya anakku kepada Ki Demang. Karena itu. maka aku akan menganggap anak dan menantu Ki Demang itu sebagai anak-anakku sendiri."
"Terima kasih Ki Gede. jika mereka melakukan kesalahan, aku harap Ki Gede memberi mereka peringatan. Jika nakal Ki Gede hendaknya menarik kupingnya, atau mencubit lengannya," berkata Ki Demang pula.
Ki Gede tertawa. Jawabnya, "Baiklah Ki Demang. Aku akan berbuat demikian. Tetapi agaknya Agung Sedayu tidak akan pernah merasa sakit meskipun dicubit dengan keping besi sekalipun."
Yang mendengarkan kata-kata Ki Gede itu tertawa. Tetapi Agung Sedayu sendiri hanya menundukkan kepalanya saja.
Sementara itu. Swandaru masih sempat minta kepada Agung Sedayu dikeesokan harinya, sebelum mereka kembali ke Sangkal Putung dan Jati Anom. pergi barang sejenak ke barak pasukan khusus yang disusun oleh Mataram sekedar untuk bertemu dengan anak-anak Sangkal Putung yang ada di barak itu.
Demikianlah. akhirnya ketika malam mendekati akhirnya, mereka baru meninggalkan pendapa rumah kecil yang diperuntukkan bagi Agung Sedayu dengan Sekar Mirah. Namun meskipun rumah itu tidak besar. Namun cukup lengkap dan memiliki halaman pula.
Ki Gede malam itu tidak kembali ke rumahnya. Tetapi ia tidur di rumah Agung Sedayu bersama-sama dengan beberapa orang di gandok. diatas sebuah amben yang besar. Sementara yang lain tidur di pendapa diatas tikar pandan yang putih. Bahkan masih ada juga beberapa orang muda yang tidur pula di rumah itu.
Ternyata mereka masih sempat tidur barang sejenak. Tetapi sebelum matahari terbit. mereka telah bangun. Demikian para pengawal yang tidak mengalami cedera serta mereka yang terluka ringan telah bersiap-siap untuk mengawal mereka yang akan kembali ke Jati Anom dan Sangkal Putung. Sedangkan mereka yang terluka berat untuk sementara masih harus tetap linggal di Tanah Perdikan Menoreh. Namun bagi mereka Kiai Gringsing telah menyiapkan obat-obatan yang akan dapat menyembuhkan mereka. meskipun diantara mereka ada yang memerlukan waktu yang agak lama.
Dalam pada itu. Swandaru diantar oleh Agung Sedayu telah memerlukan pergi ke barak pasukan khusus yang disusun oleh Mataram. Sabungsari dan Glagah Putih telah ikut pula bersama mereka.
Kehadiran Swandaru disambut oleh anak-anak muda Sangkal Putung yang berada didalam lingkungan pasukan khusus itu dengan gembira. Mereka merasa bahwa Swandaru yang pernah membina mereka pada tataran pertama telah memerlukan menengok keadaan mereka.
Ki Lurah memberikan kesempatan beberapa lama kepada Swandaru untuk berbicara langsung dengan anak-anak muda Sangkal Putung itu. Sebagaimana dikatakan oleh Ki Lurah, bahwa keadaan mereka memang baik. Mereka merasa kerasan berada di barak itu. Bukan saja karena mereka mendapat pelayanan yang baik dan kesempatan untuk menempa diri, tetapi setelah mereka berada di barak itu, beberapa lama merekapun menjadi semakin meyakini langkah mereka. Jika semula mereka dikirim oleh pimpinan mereka masing-masing untuk mengikuti latihan-latihan dan penempaan di Tanah Perdikan Menoreh, maka kemudian mereka telah memahami, apa yang mereka lakukan itu.
Swandaru tidak mempunyai banyak waktu. Karena itu. maka iapun kemudian minta diri kepada anak-anak muda Sangkal Putung itu dan sekaligus kepada Ki Lurah Branjangan.
"Kami akan kembali ke Sangkal Putung," berkata Swandaru.
"Ya. Kami mengucapkan selamat jalan. Mudah-mudahan diperjalanan kembali kalian tidak mengalami kesulitan apapun juga," sahut Ki Lurah Branjangan.
"Terima kasih. Pada saat lain. kami ingin berada di barak ini lebih lama lagi," berkata Swandaru kemudian.
Sejenak kemudian Swandaru sudah meninggalkan tempat itu. Demikian pula Sabungsari dan Glagah Putih disertai Agung Sedayu.
Ki Lurah yang mengantar mereka sampai keregol memandang iring-iringan itu sampai hilang ditikungan. Sambil menarik nafas dalam-dalam ia berkata didalam hati, "Swandaru mempunyai sikap seorang pemimpin yang baik. Tetapi gejolak perasaannya kadang-kadang menguasai dirinya. Tanpa dapat dikendalikan oleh nalarnya. Sedangkan saudara seperguruannya. Agung Sedayu, justru kadang-kadang dihambat oleh perasaannya."
Demikianlah, maka setelah semuanya siap. Kiai Gringsing, Ki Widura dan Ki Demang Sangkal Putungpun segera minta diri. Ki Waskita ternyata tetap tinggal di tanah Perdikan bersama Agung Sedayu dan Sekar Mirah. Namun Pandan Wangi tetah ikut pula bersama suaminya kembali ke Sangkal Putung.
Dalam satu kesempatan Glagah Putih sempat berbisik ditelinga ayahnya, "Apakah pada suatu saat aku diperkenankan ikut bersama kakang Agung Sedayu di Tanah Perdikan Menoreh ini?"
Ki Widura termangu-mangu sejenak. Namun kemudian iapun menjawab, "Tentu kau diperbolehkan tinggal disini. Tetapi tidak dalam waktu dekat. Mungkin setelah kakangmu Agung Sedayu mapan tinggal di rumahnya yang baru itu. Atau mungkin jika tugas-tugasnya di barak itu sudah berkurang."
Glagah Putih mengangguk-angguk. Sebenarnya ia ingin segera tinggal bersama Agung Sedayu ia merasakan meskipun ia tidak tahu dengan pasti. bahwa ilmu Agung Sedayu seolah-olah berkembang tidak terbatas. Jika ia dekat dengan kakak sepupunya itu. maka iapun tentu akan dapat menyadap ilmu itu sejauh dapat dilakukan.
Tetapi Glagah Putihpun mengetahui, bahwa Agung Sedayu sedang dalam saat-saat menyusun dan meniti rumah tangganya yang baru. sehingga karena itu. maka iapun tidak akan menaMbah beban kakak sepupunya itu.
Dalam pada itu. maka kemudian datang saatnya para pengiring Agung Sedayu dan Sekar Mirah dari Jati Anom dan Sangkal Putung itupun meninggalkan rumah Agung Sedayu. Bagaimanapun juga. terasa jantung Sekar Mirah menjadi berdebaran ia harus tinggal ditempat yang meskipun tidak sangat jauh. tetapi tidak didalam lingkungan yang dikenalnya sejak ia kanak-kanak.
Namun bagaimanapun juga hal seperti itu harus dialaminya. Seperti juga Pandan Wangi yang meskipun satu-satunya anak Ki Gede Menoreh, tetapi iapun meninggalkan Tanah Perdikan Menoreh dan tinggal di Sangkal Putung bersama suaminya.
Dalam pada itu. Ki Gede Menorehpun telah mengantar tamu-tamunya itu sampai keluar regol halaman rumah Agung Sedayu dan kemudian menyusuri jalan-jalan padukuhan hilang di tikungan.
Nampak betapa mata Sekar Mirah menjadi basah. Karena itu. maka Ki Gedepun berkata, "jarak antara Jati Anom. Sangkal Putung dan Tanah Perdikan ini tidak terlalu jauh."
Sekar Mirah menarik nafas dalam-dalam. Sambil mengusap matanya ia berkata, "Ya Ki Gede."
"Setiap saat perasaan rindu tidak tertahankan, kalian dapat pergi ke Sangkal Putung. Tetapi jika keadaan sudah menjadi baik. Tidak lagi seperti sekarang ini. yang nampaknya masih dibayangi oleh kemungkinan-kemungkinan yang tidak diperhitungkan sebelumnya," berkata Ki Gede.
Sekar Mirah mengangguk-angguk kecil. Namun ia tidak menjawab lagi.
Namun dalam pada itu Ki Gedepun segera minta diri pula meninggalkan rumah kecil itu. setelah ia memberikan beberapa pesan kepada Agung Sedayu dan Sekar Mirah tentang kehidupan mereka masa datang selama mereka berada di Tanah Perdikan Menoreh.
"Kami menganggap bahwa kalian adalah warga kami," berkata Ki Gede, "mereka yang bekerja untuk kepentingan Tanah Perdikan ini. mendapat imbalan kedudukan dan tanah pelungguh. Karena itu, maka bagi angger Agung Sedayupun telah disediakan tanah pelungguh. Jika sebelum kau kawin, kau dapat hidup bersama kami. tentu tidak akan demikian halnya setelah kau menyusun satu rumah tangga."
Dengan demikian, maka sebenarnyalah Agung Sedayu kemudian telah benar-benar hidup dan berdiri sendiri dengan tanah pelungguh yang diberikan oleh Ki Gede Menoreh.
"Tanah yang disediakan itu terlalu luas," berkata Agung Sedayu.
"Tidak terlalu luas," sahut Sekar Mirah, kebutuhan kitapun tentu akan menjadi semakin banyak. Untunglah bahwa kita tidak perlu membuat rumah sendiri dan membeli perabotnya. Kita sudah mendapat rumah meskipun aku sadar, bahwa rumah ini tentu sekedar dapat kita tempati selama kau masih diperlukan disini. Demikian pula tanah pelungguh itu."
Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Namun ia tidak membantah lagi ia sadar, bahwa kemudian ia akan berhadapan dengan kerja yang lebih berat. Tetapi sawah dan ladang yang diberikan sebagai tanah petungguh itu akan dapat diserahkan kepada beberapa orang untuk menggarapkan dengan pembagian hasil yang memadai.
Sebelum tanah pelungguh itu menghasilkan. Agung Sedayu dan Sekar Mirah masih akan menjadi tanggungan Ki Gede. Tetapi jika panenan yang pertama telah dipetik, maka Agung Sedayu akan dilepaskannya untuk hidup sendiri sebagai satu keluarga yang telah masak.
Sementara itu. ternyata Ki Waskita masih memilih untuk tinggal dirumah Ki Gede selama ia berada di Tanah Perdikan Menoreh ia tidak mau mengganggu Agung Sedayu dan Sekar Mirah yang baru berusaha menyusun tata kehidupan baru.
Dalam pada itu. mereka yang meninggalkan Tanah Perdikan Menoreh telah menyusuri jalan bulak menuju ketempat penyeberangan. Disepanjang jalan mereka melihat kesiagaan yang tinggi dari para pengawal Tanah Perdikan menoreh. sehingga karena itu. maka mereka tidak akan mengalami kesulitan apapun selama mereka masih berada di tlatah Tanah Perdikan Menoreh.
Beberapa lama mereka menempuh perjalanan. Akhirnya mereka mendekati tepian penyeberangan.
Kiai Gringsing tertegun ketika ia melihat sekelompok kecil orang-orang berkuda menunggu mereka ditepian. Ternyata mereka adalah Ki Lurah Branjangan dan beberapa orang pengawalnya.
"Kami akan mengucapkan selamat jalan," berkata Ki Lurah.
"Terima kasih Ki Lurah," jawab Kiai Gringsing. Sementara itu. orang-orang didalam iring-iringan itupun seorang demi seorang telah minta diri.
"Ada beberapa orang yang harus tinggal," berkata Kiai Gringsing kemudian.
"Mereka yang terluka?" bertanya Ki Lurah Lalu, "Tetapi bukankah Kiai sudah meninggalkan obat untuk mereka?"
"Ya. Juga bagi Agung Sedayu ia juga terluka didalam meskipun tidak terlalu nampak. Tetapi keadaannya sudah menjadi baik," jawab Ki Lurah Branjangan.
Sementara itu. maka merekapun telah memanggil beberapa tukang satang dengan rakit-rakitnya untuk menyeberangi Kali Praga yang arusnya masih agak deras.
Tetapi tukang-tukang satang itu adalah tukang-tukang satang yang sebenarnya. Mereka bukan lagi anak-anak dari pasukan khusus yang ditugaskan untuk membantu kesulitan yang akan dialami oleh iring-iringan yang akan menyeberangi kali Praga. Seandainya tukang-tukang satang itu melihat peristiwa seperti yang telah terjadi di tepian itu. mereka tidak akan dapat berbuat apa-apa.
Sejenak kemudian, maka iring-iringan itupun telah menyeberangi Kali Praga diatas beberapa buah rakit. Mereka masih sempat melambaikan tangan mereka kepada Ki Lurah Branjangan yang juga melambaikan tangannya sambil berdiri diatas pasir tepian.
Demikianlah, iring-iringan itupun kemudian meninggalkan tepian Kali Praga memasuki sebuah lorong yang menuju ke jalan yang lebih besar yang akan mereka ikuti menuju ke Jati Anom.
Demikianlah maka iring-iringan itupun kemudian telah berpacu meskipun tidak terlalu kencang. Beberapa orang yang berada di bulak menyaksikan beberapa ekor kuda yang menghamburkan debu yang kelabu.
Sementara itu. Kiai Gringsing dan orang-orang didalam iring-iringannya mengerutkan keningnya ketika mereka melihat empat orang berkuda yang melintas berpapasan dengan mereka.
"Pasukan pengawal Mataram," berkata Kiai Gringsing kepada Ki Widura.
"Apa yang mereka lakukan," bertanya Swandaru.
"Mereka sedang nganglang. Mereka mengamati keadaan justru karena peristiwa yang kita alami di tepian. agaknya Mataram telah meningkatkan kegiatan para pengawalnya," jawab Kiai Gringsing.
Swandaru tidak menjawab lagi. Namun dengan demikian rasa-rasanya perjalanan mereka selalu mendapat pengawasan dari para pengawal dari Mataram.
Ketika mereka sampai ke sebuah tikungan dibawah sebatang pohon munggur yang besar, mereka melihat pula ampat orang pengawal Mataram berjaga-jaga disebuah gardu. Empat ekor kuda mereka tertambat pada pohon perdu di sebelah gardu itu.
"Apakah mereka justru memang mengawasi kita?" bertanya Swandaru kepada Kiai Gringsing.
"Tentu tidak," jawab Kiai Gringsing, "mungkin mereka mendapat tugas untuk mengamati perkembangan keadaan. Tetapi tidak mustahil bahwa mereka memang mengawasi perjalanan kita. Bukan karena mereka mencurigai kita, tetapi jika kita mengalami sesuatu yang tidak kita inginkan, mereka akan dapat melontarkan isyarat. Agaknya ada diantara mereka yang membawa busur dan panah sendaren."
Swandaru menggangguk-angguk. Tetapi ia bergumam, "Sebenarnya mereka tidak perlu merasa demikian belas kasihan kepada kita. Kita dapat menjaga diri kita sendiri."
"Bukan maksudnya," sahut Ki Demang, "mereka tentu mempunyai pertimbangan yang baik. Kemungkinan-kemungkinan masih akan dapat terjadi atas kita sebagaimana terjadi di tepian itu. Jika kawan-kawan mereka yang gagal di tepian itu mengambil pembalasan dengan perhitungan kekuatan yang lebih besar, maka kita tidak usah malu mengakui bahwa kita akan mengalami kesulitan."
Swandaru memandang ayahnya sejenak. Namun kemudian ia menarik nafas dalam-dalam. Tetapi ia sama sekali tidak menjawab kata-kata ayahnya itu.
Sementara itu Pandan Wangi sebenarnya tidak mengerti sikap Swandaru. Seharusnya iring-iringan itu harus mengucapkan terima kasih kepada para pengawal yang berjaga-jaga di beberapa tempat itu. Tetapi agaknya Swandaru mempunyai sikap yang lain.
Demikianlah iring-iringan itu berpacu menyusuri jalan-jalan padukuhan dan bulak-bulak. Mereka memang tidak melalui kota Mataram yang berkembang semakin besar, karena mereka memang tidak ingin singgah. Tetapi mereka menempuh ialan sebagaimana yang mereka lalui ketika mereka berangkat mengantarkan Agung Sedayu ke Tanah Perdikan Menoreh.
Namun dalam pada itu. Iring-iringan itupun ternyata tidak mengalami hambatan sesuatu disepanjang perjalanan mereka menjelang mereka memasuki Kademangan Prambanan. Sebentar lagi mereka akan sampai ke Kali Opak yang tidak terlalu deras sebagaimana Kali Praga. meskipun pada saat-saat lain Kali Opakpun merupakan sungai yang garang. Tetapi ternyata bahwa iring-iringan itu dapat menyeberangi Kali Opak tidak usah dengan mempergunakan rakit.
Diseberang Kali Opak iring-iringan itu berhenti sejenak. Mereka memberi kesempatan kuda-kuda mereka beristirahat lebih dari kesempatan yang pernah mereka berikan pada saat-saat sebelumnya di perjalanan yang mereka berikan pada saat-saat sebelumnya di perjalanan itu. Sementara itu. para penunggangnyapun sempat pula beristirahat duduk-duduk di atas bongkah-bongkah batu yang besar di Kali Opak itu.
Namun demikian, beberapa orang pengawal dari Sangkal Putung dan prajurit Pajang di Mataram serta beberapa orang cantrik tidak pernah lengah sama sekali. Mereka sadar, bahwa kekuatan mereka telah jauh susut dibandingkan dengan saat mereka berangkat. Kecuali didalam iring-iringan itu tidak lagi ada Agung Sedayu. Sekar Mirah dan Ki Waskita. beberapa orang kawan merekapun terpaksa tinggal di Tanah Perdikan karena luka-luka mereka.
Tetapi seperti perjalanan yang sudah mereka lewatkan. sejak mereka berangkat dari Tanah Perdikan menoreh, maka mereka tidak mengalami peristiwa apapun juga.
Dalam pada itu. merekapun melanjutkan perjalanan mereka ketika kuda-kuda mereka telah cukup minum dan makan rerumputan segar di pinggir Kali Opak.
Dengan tenaga baru maka kuda-kuda merekapun beruacu.
Namun dalam pada itu. mereka yang tidak lagi bertemu dengan peronda-peronda dari Mataram itu. Telah menjadi berdebar-debar ketika mereka bertemu dengan kelompok peronda yang lain di sebuah bulak mereka berpapasan dengan ampat orang prajurit Pajang yang agaknya berada di Prambanan dibawah perintah Untara di Jati Anom.
"Mereka juga bersiaga sepenuhnya," berkata Kiai Gringsing, "diantara mereka ada juga yang membawa busur dan anak panah sendaren."
Ki Demang Sangkal Putung mengangguk-angguk. Nampaknya para peronda itu memang mengamatinya sebagaimana dilakukan oleh para pengawal di Mataram.
"Nampaknya ada jalur yang bersambung antara para prajurit dan pasukan khusus di Tanah Perdikan Menoreh, para pengawal di Mataram dan prajurit Pajang di Jati Anom dan sekitarnya," berkata Kiai Gringsing.
"Benar Kiai," sahut Wdura, "tetapi menurut pengamatanku, semuanya itu adalah ungkapan sikap yang berhati-hati."
Kiai Gringsing berpaling ketika Swandaru bertanya, "Apakah hal seperti itu perlu sekali dilakukan?"
"Kita wajib berterima kasih," jawab Kiai Gringsing.
Swandaru mengerutkan keningnya. Tetapi seperti yang pernah terjadi sebelumnya, iapun tidak menjawab lagi.
Demikianlah maka iring-iringan itupun meneruskan perjalanan mereka. Mereka bukan hanya sekali saja berpapasan dengan peronda dan para prajurit Pajang di Jati Anom dan sekitarnya. Tetapi beberapakali. Dan nampaknya mereka memang sedang mengawasi perjalanan Kiai Gringsing dan iring-iringannya dari Tanah Perdikan Menoreh.
Di bagian belakang dari iring-iringan itu Glagah Putih bertanya kepada Sabungsari, "Apakah mereka benar-benar prajurit Pajang di bawah pimpinannya kakang Untara?"
"Ya," jawab Sabungsari, "aku sudah mengenal mereka. Yang terdahulu adalah prajurit-prajurit yang bertugas di Prambanan. Yang terakhir adalah prajurit-prajurit yang bertugas di sekitar pohon Mancawarna."
Pohon yang terkenal mempunyai beberapa macam bunga ?" bertanya Glagah Putih.
"Nampaknya kitapun akan melalui jalan didekat Kademangan Mancawarna itu," berkata Sabungsari.
"Seperti saat kita berangkat ?" berunya Glagah Putih.
"Ya," jawab Sabungsari, "agaknya Ki Untara merasa perlu untuk mengamati perjalanan kita kembali. Justru karena peristiwa yang pernah terjadi di tepian Kali Praga itu. Meskipun sebagian besar dari peristiwa yang terjadi di Kali Praga itu sudah diperhitungkan dengan masak oleh Ki Untara."
Glagah Putih mengangguk-angguk. Iring-iringan itu pun merayap terus di lereng Selatan Gunung Merapi. Mengikuti lambung menuju ke Jati Anom.
Ki Demang Sangkal Putung. Swandaru dan Pandan Wangi serta pengawal-pengawal mereka tidak langsung menuju ke Sangkal Putung. tetapi mereka lebih dahulu akan singgah di Jati Anom sebagaimana mereka berangkat. Baru kemudian mereka akan menuju ke Sangkal Putung.
Ternyata mareka sama sekali tidak menemui kesulitan apapun di perjalanan. Ketika mereka lewat di sebuah padukuhan setelah mereka melewati Kademangan Mancawarna. mereka melihat beberapa orang prajurit yang beristirahat disebuah banjar padukuhan. Bukan karena prajurit itu tinggal di banjar itu tetapi nampaknya mereka sedang beristirahat. Mereka agaknya prajurit-prajurit yang sedang bertugas menilik kelengkapan dan kuda-kuda mereka yang tertambat di halaman.
Beberapa orang prajurit yang berada di halaman hanya memandang saja ketika Iring-iringan itu lewat tanpa menyapanya, meskipun mereka melihat Sabungsari ada pula diantara Iring-iringan itu selain beberapa orang prajurit.
Demikianlah Iring-iringan itupun lewat seolah-olah ia dak memperhatikan sama sekali prajurit-prajurit yang sedang berada di banjar itu. Apalagi Swandaru.
"Sebagaimana kau lihat Glagah Putih," berkata Sabungsari kemudian, "prujurit Pajang yang berada dibawah pimpinan Ki Untara memang sudah dipersiapkan. Jika terjadi sesuatu atas kita. maka mereka tentu akan bertindak."
"Jika terjadi sesuatu di tempat yang tidak diketahui oleb mereka ?" sahut Glagah Putih.
"Mereka tahu pasti arah perjalanan kita sebagaimana kita berangkat. Disepanjang jalan itu terdapat prajurit-prajurit yang meronda. Jika tertadi sesuatu, maka para peronda itu tentu akan melihatnya. Entah peronda yang mana. Bukankah kita sering bertemu dengan beberapa orang berkuda yang sedang meronda?" berkata Sabungsari. Kemudian, "Nah. dengan panah sendaren mereka memberitahukan keadaan apabila terjadi sesuatu yang gawat, karena mereka tahu pasti, dimana sekelompok pasukan beristirahat seperti yang kita lihat di banjar itu."
Glagah Putih mengangguk-angguk. Oleh kenyataan itu. iapun dapat mengerti. peranan apa yang telah dilakukan oleh Utara untuk melindungi iring-iringan dari Jati Anom itu saat mereka berangkat dan kembali, meskipun Untara sendiri tidak nampak melakukan kegiatan apa pun. Tetapi hasil ketajaman otaknyalah yang telah berlaku disepanjang jalan saat mereka berangkat dan saat mereka kembali ke Jati Anom itu.
Demikianlah, setelah mereka melingkari lambung Selatan Gunung Merapi, maka merekapun telah mendekati Kademangan Jati Anom lewat arah lain dari arah yang biasa mereka tempuh. Arah Sangkal Putung.
"Kita akan langsung menemui angger Untara," berkata Kiai Gringsing, "dengan demikian tugas kita sudah selesai. Kita membentahukan bahwa adiknya dan iparnya tetah selamat sampai ke Tanah Perdikan Menoreh serta keadaan Agung Sedayu di Tanah Perdikan itu."
"Baiklah Kiai," jawab Ki Demang, "selanjutnya kita tidak akan merasa dibebani lagi oleh peristiwa-peristiwa yang terjadi di perjalanan."
"Ayah memang tidak dibebani tugas itu," sahut Swandaru, "kitalah yang bertugas. Seandainya ayah tidak pergi, maka kitapun akan datang menghadap ayah dan melaporkan apa yang telah kita alami seperti yang akan kita beritahukan kepada kakang Untara."
Ki Demang memandang anaknya sejenak. Tetapi ia tidak menjawab.
Dengan demikian maka iring-iringan itupun kemudian mendekati rumah Untara di Jati Anom yang dipergunakan untuk tempat tinggal beberapa orang perwira dan pasukannya dan tugas-tugas lain yang berhubungan dengan kewajibannya sebagai seorang Senapati.
Seperti yang direncanakan, maka iring-iringan itu akan langsung menemui Untara dan melaporkan perjalanan mereka mengantarkan Agung Sedayu dan Sekar Mirah ke Tanah Perdikan Menoreh.
Kedatangan mereka telah disambut oleh Untara dan isterinya dengan berbagai macam pertanyaan. Setelah Untara mempersilahkan mereka duduk dipendapa. maka iapun langsung bertanya tentang perjalanan mereka itu.
Dengan singkat Kiai Gringsing menceriterakan apa yang telah terjadi. Dan iapun telah menyatakan terima kasihnya, bahwa ternyata Untara telah melakukan usaha yang tepat, sehingga mereka tidak mengalami bencana yang lebih besar lagi selama dalam perjalanan itu.
Untara menarik nafas dalam-dalam. Katanya, "Sokurlah. Aku hanya berusaha. Jika usaha itu berhasil membantu serba sedikit. maka akupun ikut menyatakan kegembiraan bahwa semuanya ternyata selamat meskipun ada yang terluka."
"Beberapa orang terpaksa tinggal di Tanah Perdikan," jawab Kiai Gringsing.
"Pada saatnya mereka akan kembali," desis Untara seolah-olah kepada diri sendiri, namun kemudian iapun bertanya kepada Widura, "Bagaimana dengan keadaan Agung Sedayu sendiri. Apakah ia akan dapat hidup sebagaimana dikehendaki oleh keluarga kecil di Tanah Perdikan itu ?"
Widura mengangguk-angguk. Katanya, "Agung Sedayu dan Sekar Mirah sudah sepenuhnya membentuk rumah tangga sendiri."
Widurapun kemudian menceriterakan. apa yang sudah disediakan oleh Ki Gede bagi keluarga yang baru itu. Rumah, halaman dan kebun yang cukup serta tanah pelungguh yang akan dapat menghasilkan bagi hidup mereka berdua.
Untara menarik nafas dalam-dalam. Dengan nada dalam ia berkata, "Agung Sedayu sudah terbiasa hidup berprihatin. Tetapi agaknya lain bagi Sekar Mirah. Dan Agung Sedayu tidak boleh memaksa isterinya untuk menjalani kehidupan sebagaimana pernah dialaminya."
Dalam pada itu Ki Demanglah yang menyahut, "Mudah-mudahan Sekar Mirahpun akan dapat menyesuaikan dirinya."
Untara mengangguk-angguk. Katanya, "Mudah-mudahan. Tetapi Agung Sedayu memang harus bekerja keras. Sudah menjadi kewajibannya dalam membangun keluarga baru."
Widuralan yang menjawab, "Agung Sedayu sudah terbiasa bekerja keras sebagaimana ia terbiasa berprihatin. Mudah-mudahan keluarga baru itu dapat menemukan keseimbangan antara kerja dan keinginan-keinginan mereka."
Untara menganggak angguk. Namun sebenarnyalah bahwa ia merasa cemas, bahwa yang dapat dicari oleh Agung Sedayu tidak akan memenuhi keinginan Sekar Mirah. Namun Untara tidak mengatakannya, agar ia tidak menyinggung perasaan Swandaru dan Ki Demang di Sangkal Putung.
Demikianlah, maka setelah mereka menikmati hidangan secukupnya serta memberitahukan hasil perjalanan mereka, Kiai Gringsmgpun minta diri untuk meninggalkan rumah Untara.
"Apakah Kiai akan pergi ke padepokan atau ke Sangkal Putung," beranya Untara.
"Kami akan pergi ke padepokan. Ki Demang agaknya akan bermalam semalam di padepokan itu," jawab Kiai Gringsing.
"O. tidak," sahut Ki Demang, "perjalanan ke Sangkal Putung adalah perjalanan yang pendek. Kami sudah terlalu lama pergi."
Kiai Gringsing tersenyum. Tetapi katanya, "Meskipun demikian kami harap Ki Demang akan singgah barang sebentar. Akupun tidak akan lama berada di padepokan itu. Mungkin dua tiga hari lagi akupun sudah berada di Sangkal Putung."
Ki Demang berpaling kepada Swandaru dan Pandan Wangi. Akhirnya merekapun setuju untuk singgah barang sebentar. Karena itu. maka Ki Demangpun berkata, "Baiklah Kiai. Kami akan singgah di padepokan itu barang sebentar."
Ternyata bahwa Ki Widura dan Glagah Putihpun akan tinggal bersama Kiai Gringsing ke padepokan itu. Sementara Sabungsari dan para prajurit yang lain akan langsung menuju ke baraknya.
"Besok aku akan datang," berkata Sabungsari kepada Glagah Putih.
Sejenak kemudian. maka sebuah Iring-iringan telah meninggalkan rumah Untara menuju kesebuah padepokan kecil disebelah Jati Anom.
Ki Demang Sangkal Putung tidak terlalu lama berada di padepokan itu, iapun kemudian minta diri untuk kembali ke Sangkal Putung bersama anak menantunya dan para pengawal yang lainnya.
Kiai Gringsing memang mempersilahkan mereka bermalam. Tetapi Ki Demang lebih senang untuk melanjutkan perjalanan ke Sangkal Putung yang sudah tidak begitu jauh lagi.
Dengan demikian. maka sejenak kemudian. Ki Demangpun minta diri untuk kembali ke Sangkal Putung bersama anak dan menantunya. Rasa-rasanya mereka telah terlalu lama meninggalkan tugas kewajiban mereka, sehingga mereka tidak akan memperpanjang perjalanan mereka lagi merekapun hanya dengan satu malam.
Karena itu, maka sejenak kemudian sebuah iring-iringan kecil telah meninggalkan Jati Anom menuju ke Sangkal Putung.
Namun dalam pada itu. agaknya Untara masih saja tidak dapat melepaskan iring-iringan itu begitu saja. Ia pun telah mengirim beberapa orang peronda untuk mengamati jalan menuju ke Sangkal Putung, meskipun ia tidak semata-mata mengirimkan pengawal yang mengantarkan Ki Demang kembali ke Kademangannya.
Demikianlah, maka Ki Demang dan anak serta menantunyapun dengan selamat telah berada di Kedemangannya kembali. Sebagaimana mereka kehendaki. Malam itu. Swandaru yang meskipun agak letih sudah berada diantara anak-anak muda Sangkal Putung yang beberapa lama sudah ditinggalkannya. Dengan tidak langsung Swandarupun telah memberitahukan kepada para pengawal di Sangkal Putung, bahwa nampaknya hubungan antara Pajang dan Mataram benar-benar telah menjadi semakin renggang.
"Setiap saat, kabut yang tebal diatas Pajang akan dapat turun menyubungi pemerintahan yang sudah tidak pasti lagi karena keadaan Kanjeng Sultan Hadiwijaya," berkata Swandaru.
Para pengawal di Sangkal Putung memang telah mendengar apa yang terjadi di Pajang Kanjeng Sultan Hadiwijaya yang sedang sakit. Sementara beberapa orang pemimpin telah melakukan tindakan yang dapat mengeruhkan keadaan. Sedangkan mereka yang lain menjadi acuh tidak acuh terhadap kemungkinan kemungkinan yang dapat terjadi. Mereka lebih banyak memperhatikan diri mereka masing-masing.
Tetapi justru karena itu. maka rasa-rasanya di Pajang bagaikan terdapat api didalam seonggok jerami. Setiap saat api itu akan dapat membakar bukan saja seonggok jerami itu. Tetapi seluruh kota dan bahkan seluruh negeri.
Karena itu. maka Swandaru tidak dapat berbuat lain kecuali mempersiapkan diri sebaik-baiknya. Apalagi Sangkal Putung terlelak diantara Pajang dan Mataram. Jika terjadi benturan antara Pajang dan Mataram. maka Sangkal Putung tidak akan dapat menghindarkan diri. Apalagi sebagian dari orang-orang Pajang telah tahu pasti. bahwa Sangkal Putung telah menyatakan dirinya berdiri di pihak Mataram.
"Kita tidak mempunyai pilihan lain," berkata Swandaru, "Kita harus menempa diri. Sebagian dari kawan-kawan kita yang terbaik telah berada di Tanah Perdikan Menoreh. Karena itu. maka kita yang tinggal harus menyusul segala kekurangan kita."
Dengan demikian, maka Swandarupun tetah merencanakan latihan-latihan yang lebih terperinci ia tidak menanganinya sendiri. Tetapi ia minta Pandan Wangi untuk membantunya.
"Mungkin terasa agak janggal," berkata Swandaru, "tetapi apaboleh buat. Kau dapat ikut menempa anak-anak muda itu dalam olah kanuragan. Mungkin mula-mula anak-anak muda itu merasa segan kau tangani langsung. Tetapi kemudian akan terbiasa. Aku memerlukan bantuanmu dalam keadaan yang panas ini. Untuk menyusun kekuatan yang terdiri dari gadis- gadis muda agaknya sudah tidak ada waktu lagi. meskipun dapat juga dicoba tidak sama sekali."
Pandan Wangi mengangguk-angguk. Iapun mengerti sepenuhnya kaadaan yang dihadapi oleh Sangkal Putung. Karena itu. maka ia tidak mengelak.
"Tetapi aku akan mencoba mengumpulkan gadis-gadis Sangkal Putung kakang," berkata Pandan Wangi, "mungkin aku masih ada waktu untuk setidak-tidaknya memperkenalkan mereka dengan keadaan yang gawat. Jika setiap laki-laki terlibat dalam kesibukan perang, maka biarlah perempuan dapat ikut membantu mengamankan keadaan dibelakang garis pertempuran."
"Cobalah. Tetapi kita tidak terlalu banyak berharap dari mereka." Jawab Swandaru, "selama ini ternyata kita tidak melihat kesempatan itu sehingga pada saat yang semakin mendesak, baru kita berusaha untuk mencobanya."
Tetapi Pandan Wangi benar-benar ingin mencoba. Dalam keadaan yang gawat, maka kadang-kadang ada pihak yang ingin memanfaatkan keadaan. Jika dalam peperangan itu terjadi kerusuhan di belakang garis perang, maka gadis-gadis itu akan dapat menyelesaikan sendiri, tanpa mengganggu mereka yang sedang bertempur.
Namun disamping rencananya itu, iapun harus melakukan sebagaimana dikehendaki oleh Swandaru. Ia harus ikut menempa anak-anak muda agar pada saatnya mereka tidak mengecewakan.
Sejak hari-hari itu, Swandaru dan Pandan Wangi bekerja semakin keras. Apa yang terjadi di pinggir Kali Praga seakan-akan merupakan satu isyarat, bahwa Pajang sudah mulai bersiap-siap untuk pada suatu saat melakukan serangan terbuka.
Dihari-hari berikutnya disamping latihan-latihan yang diberikan kepada para pengawal, maka Pandan Wangi mulai mencoba menghubungi beberapa orang gadis. Namun Pandan Wangi masih menemui banyak kesulitan untuk membuka hati mereka. Meskipun demikian, Pandan Wangi tidak mengenal lelah. Setiap kali ia berusaha untuk menarik perhatian beberapa orang gadis yang dikenalnya dengan baik.
Namun dalam pada itu. Pandan Wangi telah membagi tugas dengan Swandaru ia mendapatkan sebagian dari para pengawal disisi Barat. Sementura Swandaru harus menempa anak-anak muda dari bagian Tengah dan Timur dari Kademangannya.
Sebagaimana diperhitungkan oleh Swandaru. anak-anak muda itupun merasa janggal mendapat latihan-latihan kanuragan langsung dari seorang perempuan. Meskipun mereka sudah mengetahui. bahwa Pandan Wangi memiliki ilmu yang luar biasa, sebagaimana Swandaru sendiri. Karena Pandan Wangi adalah anak perempuan dan sekaligus murid dari Ki Gede Menoreh.
Pandan Wangi yang mengetahui keseganan itu. telah berusaha memecahkannya. Pada hari-hari pertama, Pandan Wangi telah menunjukkan pangeram-eram. Anak-anak muda itu harus yakin bahwa ia akan mampu melakukannya.
"Marilah. sebelum aku mulai melakukan tugas-tugas membantu suamiku, aku ingin tahu pasti, sampai dimana tingkat kemampuan kalian," berkata Pandan Wangi.
Anak-anak muda itu termangu-mangu. Namun Pandan Wangi telah menunjuk seorang yang dianggap paling baik diantara mereka untuk melawannya.
"Kita akan berkelahi dengan sungguh-sungguh," berkata Pandan Wangi, "jika tidak demikian, maka aku tidak akan tahu pasti, sampai dimana tataran kemampuan kalian."
Keganasan masih saja mencekam. Tetapi Pandan Wangi benar-benar telah menyakin anak muda itu untuk memancing agar ia mau bertempur dengan bersungguh-sungguh.
Akhirnya anak muda itupun terpancing untuk berkelahi dengan segenap kemampuannya. Mereka berdua telah saling melontarkan serangan dan saling bertahan. Meskipun keduanya tidak bersenjata, tetapi hentakkan tangan Pandan Wangi rasa-rasanya bagaikan meremukkan tulang.
Ternyata anak muda itu sama sekali tidak berdaya. Beberapa kali ia meloncat jauh-jauh menghindari serangan Pandan Wangi. Sehingga karena itu. maka Pandan Wangipun menghentikan perkelahian itu sambil berkata, "Marilah. Seorang lagi. Berkelahilah berpasangan."
Anak-anak muda itu saling berpandangan. Tetapi seorang diantara mereka telah melangkah maju memasuki arena.
Pandan Wangi memandangi kedua anak muda itu berganti ganti. Kemudian katanya, "Aku akan segera mulai. Sekali lagi aku peringatkan, berkelahilah dengan sungguh-sungguh. Aku ingin tahu tataran kemampuan kalian yang sebenarnya."
Kedua anak muda itupun kemudian bersiap, Pandan Wangilah yang mulai meloncat menyerang. Kedua anak muda itu menghindar sambil memencar. Kemudian keduanya menyerang bersama-sama dari arah yang berbeda.
"Bagus," desis Pandan Wangi. Tetapi serangan kedua anak muda itu tidak mengenai sasaran sama sekali, karena dengan tangkasnya Pandan Wangi telah menghindar. Bahkan, sekejap kemudian Pandan Wangi telah siap pula untuk menyerang.
Tetapi Pandan Wangi masih memperingatkan kedua anak muda itu. Sambil melejit ia berdesis, "Awas."
Kedua anak muda itu terkejut. Dengan serta merta keduanya meloncat menghindar. Namun Pandan Wangi masih berhasil mengenai seorang diantaranya pada lengannya.
Anak muda itu mengaduh tertahan. Tangan Pandan Wangi bagaikan besi menyentuh lengannya. Rasa-rasanya tulangnya menjadi retak karenanya.
Pandan Wangi meloncat surut. Katanya, "Kau kehilangan kesempatan. Justru pada saat kau dikenai. kau tercenung dan tidak berusaha untuk melakukan perlawanan."
Nggak Sekadar Ngampus 1 Pendekar Sakti Suling Pualam Karya Chin Yung Pendekar Sakti Dari Lembah Liar 7
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama