01 Gajah Kencana Manggala Majapahit Karya S. Djatilaksana Bagian 1
MANGGALA MAJAPAHIT Gajah Kencana Oleh : S. Djatilaksana (SD. Liong)
Sumber DJVU : Koleksi Ismoyo
http://cersilindonesia.wordpress.com/
Convert, Edit & Ebook : Dewi KZ
http://kangzusi.com/ http://kang-zusi.info http://cerita-silat.co.cc/
S.DJATILAKSAHA Gajah Kencana Manggada, MAJAPAHIT Penerbit: U.P. MARGAJAYA Jl. Setabelan no. 32 B SURAKARTA.
- hak cipt a dilindungi oleh undang-undang
hiasan gambar; O E N G K I S.
Terdaftar: Np. Pol.053/Intel/26aa-54/0/1974.
Dari bumi pusaka Terik yang beralam pohon wilwa
bersimbah peluh dan darah berisi tulang dan abu Gajah,
Lembu, Mahesa, Kudi dan mereka insan2 prajurit yang
dibebani kodrat masa akan kugali k issah semasa kerangka2 itu
masih berhayat, bernafsu, berjuang melaksanakan cita luhur
membangun sebuah negara yang besar, yang jaya yang
menyatukan nuswantara menyuar keseberang benua
Walaupun kini hanya puing2 kenangan lena namun kicau
buruug mengalun gemercik air mendesir dan sepoi angin
semilir d i bumi yang pernah besar pusara insan mangsakala
menyerbak aroma ganda harum puji damba abadi dari nafas
dan jiwa yang bersenyawakan pengabdian luhur.
penulis. lamun huwus kalah nusantara i s u n amukti palapa.
I "Baginda, hamba berpendapat tindakan paduka itu pasti
akan sia-sia belaka. Ibarat petani ditit ah membaca kitab
Kut aramanawa atau brahmana diperint ah membajak sawah!
Demikian hamba tamsilkan pengangkatan Nambi sebagai patih
Amangkubhumi kerajaan Majapahit ! Pabila rakryan demang
Lembu Sora dipandang tak memenuhi syarat, tentulah diri
hamba yang layak d ipertimbangkan. Bukan Nambi yang
bodoh, lemah, rendah budi, penakut dan tak berwibawa itu.
Tanpa Lembu Sora dan Lawe, kerajaan Majapahit pasti runtuh
. . . !" Laksana halilint ar meletus ditengah hari kemarau,
menggelegarlah bingkai2 atap, jalur2 pasak dan tiang2
pendapa agung keraton Majapahit. Dan berdenyar-denyarlah
perasaan para mentri, tanda, gusti, bupati, tumenggung dan
segenap narapraja kerajaan yang tengah hadir dalam
perapatan besar di balairung pura agung. Mereka terpesona
mendengar ucapan lantang dari Rangga Lawe, Adipati Tuban.
Ketika mendengar Nambi diangkat menjadi Patih
Amangkubhumi kerajaan Majapah it, Adipati Tuban itu segera
melarikan kudanya secepat angin, menuju ke pura Majapahit.
Dihadapan sidang lengkap kerajaan, ia menentang
pengangkatan Nambi dan mencemohkannya habis-habisan.
Dan dengan berani pula, ia mencela kebijaksanaan raja.
Raja Kertarajasa Jayawardhana terkesiap.
NAMBI adalah salah seorang kadehan raden Wijaya yang
set ya dan besar jasanya. Ia ikut berjuang bersama Raden
Wijaya untuk merebut kembali pura Singasari yang diduduki
pasukan Daha sampai pada waktu Raden Wijaya yang
bersekutu dengari pasukan Tartar, menggempur kerajaan
Daha. Kemudian setelah berhasil mengalahkan Daha, Raden
Wijaya lalu menyerang orang2 Tartar itu dan mengusir mereka
dari bumi t anah air. Nambi, putera rakryan ment eri Pranaraja, itupun ikut
merasakan pahit getirnya penderitaan tatkala Raden Wijaya
dikejar oleh Kebo Mundarang, patih dari kerajaan Daha.
Anakbuah pasukan Singasari yang dipimpin Raden Wijaya
diserang oleh pasukan Daha yang dipimpin oleh Kebo
Mundarang, sehingga porak poranda dan tercerai berai. Pada
waktu itu Raden Wijaya dengan diiringi Lembu Sora, Gajah
Pangon, Medang Dangdi. Mahesa Wagal, Nambi, Banyak
Kapuk, Kebo Kapetengan, Wirota Wiragati dan Pamandana,
lari melintasi sawah yang baru terbajak. Tentara Daha tetap
mengejarnya. Hampir saja Raden Wijaya dan para
pengikutnya yang setya itu dapat ditangkap patih Kebo
Mundarang, apabila saat itu tak terjadi suatu peristiwa yang
ajaib. Pada saat hendak ditangkap, Raden Wijaya
menghunjamkan kakinya ke tanah. Tanah muncrat
berhamburan jatuh ke dada dan dahi Kebo Mundarang.
Kebo Mundarang menguak dan tersurut mundur beberapa
langkah. Dadanya serasa terhantam palu gada. Kedua biji
matanya serasa pecah tertabur percikan tanah liat. Cepat2 ia
mendekap mata dengan kedua belah tangannya. Beberapa
saat setelah rasa sakit berkurang, ia lepaskan tangannya.
Tetapi Raden Wijaya dan anakbuahnya sudah lenyap ke dalam
hutan. Mengingat jasa2 dari para kadehan yang setya itu, setelah
berhasil membangun kerajaan Majapahit dan bertahta sebagai
raja Majapahit yang pertama, Raden Wijaya yang dinobatkan
sebagai raja Kertarajasa Jayawardhana itupun membalas budi.
Rangga Lawe diangkat menjadi rnentri Amancanagara
didaerah pesisir ut ara, dengan pangkat Adipati Tuban dan
Dataran. Pengangkatan itu sesuai dengan amal jasanya yang
cemerlang. Dalam peperangan, ia selalu bersedia mempertaruhkan jiwa menjadi perisai keselamatan junjungannya dan pasukannya. Ia seorang senopati yang
pandai mengatur siasat, pemberani dan gagah perkasa.
Seorang keturunan Madura yang berwatak keras dan berdarah
panas. Lembu Sora diangkat sebagai rakryan demang. Begitu pula
mereka2 yang telah berjasa membantu perjuangan Raden
Wijaya selama ini, telah diberi pangkat dan kedudukan yang
sesuai. Diantaranya Nambi sebagai patih, Timpar sebagai
tumenggung, Gajah Biru, Emban, Semi, Lembu Peteng,
Ikalikalan Bang, Juru Demung, Pamandana, Teguh, Jangkung,
Derpana, Jabung Tarewes, Jaran Bangkai, Panji Semara,
Lasem, Windan, Lembu Pawagal, Kebo Andaka, Gajah
Lembana, Gajah Enggon, Gajah Gambura, Liman Aguling,
Panji Gagak Sumiring, Panji Anengah, Kebojampira dan lain2,
telah diberi kedudukan sesuai dengan jasa dan kecakapannya.
Para kadehan itu amat bersyukur kepada baginda. Makin
penuh kepercayaan mereka, makin meresaplah rasa set ya-raja
kedalam tulang sunsum mereka.
Tetapi tatkala baginda mengangkat Nambi sebagai patih
Amangkubumi, timbullah hal2 yang tak diharap.
Gelar Patih Amangkubumi adalah untuk patih dipusat
pemerint ahan kerajaan Majapah it. Sedang gelar Patih
diperuntukkan patih kerajaan kecil2 yang bernaung di bawah
kekuasaan Majapahit. Kahuripan, Kediri, Matahun, Wengker,
Pajang, masing2 mempunyai seorang patih. Maka kedudukan
Patih Amangkubumi itu sama dengan Mahapatih atau patih
seluruh negara. Amatya ring sanagara atau patih seluruh
negara itulah yang menjalankan roda pemerint ahan seluruh
negara. Demikian setelah beberapa jenak terpukau dalam
ketegunan, mendeburlah darah raja Kertarajasa. Selint as rasa
keagungan memancar. Rangga Lawe ber-lebih2an ulah,
bermanja kesombongan dan se-olah2 tak beraja di hati.
Dihadapan perapatan agung yang dihadiri segenap narapraja,
ia berani menghina patih Nambi, mencela raja..
Mata Kertarajasa memercik kilat berapi. Kerling matanya
berhamburan mencurah kepada Adipati lancang itu. Se-akan2
gumpal nanah dalam bisul yang tengah me-lingkar2 mencari
jalan meletup keluar. Tetapi ketika pandang mata baginda
tertumbuk pada wajah Rangga Lawe, entah bagaimana, tiba2
reduplah nyala kemarahan baginda. Baginda terhening.
Pikirannya me-layang2 ke masa yang lampau ....
' Dahulu ketika Kerajaan S ingasari d ikalahkan pasukan Daha,
pasukan Singasari yang dipimp in Wijayapun dihancurkan.
Bahkan dia sendiri hampir tertangkap Kebo Mundarang, patih
dari Daha. Setelah lolos dari kejaran musuh, Raden Wijaya
dan pengikutnya menuju ke Sumenep menemui Wiraraja
adipati Madura. W irap tetap bersikap setya pada Singarari dan
menyambut Raden Wijaya dengan baik. Wijaya terharu dan
seketika itu berjanji bahw a apabila kelak dapat merebut
kerajaan Jawa, ia bersedia membagi separoh kerajaan kepada
Wiraraja. Adipati Wiraraja mengatur rencana menyarankan agar Disamping harus Jayakatwang, raden puas dan gembira sekali. Segera ia
untuk membantu Raden Wijaya. Ia
Wijaya menyerah kepada raja Daha.
berusaha merebut kepercayaan raja
itu harus memperhatikan kekuatan Daha.
Dan apabila sudah mendapat kepercayaan raja Jayakatwang,
supaya ia mengajukan permohonan untuk membuka hut an
Terik, sebuah desa yang tandus.
Setelah segala yang direncanakan berjalan lancar dan
Wijaya pun sudah diberi idin untuk membuka hutan Terik.
Maka ia segera mengirim Banyak Kapuk dan Mahesa Pawagal
guna memberi laporan kepada Wiraraja.
Ketika kembali, kedua utusan it u disertai seorang putera
dari Adipati Wiraraja yang telah membawa pesan dari
ayahandanya. Raden Wijaya tertarik melihat sikap putera
Wiraraja yang tegas dan berani. Ia segera menanyakan
namanya. Tetapi sebelum pemuda itu menjawab, raden
Wijaya sudah mendahului memberi nama pemuda itu:
Wenang yang berarti benang atau Lawe. Kemudian diberinya
pangkat Rangga. Dan terkenallah pemuda it u sebagai Rangga
Lawe, Rangga Lawe memang gagah berani, tangkas bicara tegas
bertindak. Ia t elah berjuang mati2an membantu raden Wijaya
hingga berhasil membangun kerajaan Majapahit. Dan dia
adalah putera Wiraraja yang berjasa besar sekali kepadanya.
Hampir dapat dikatakan Wirarajalah yang membimb ing,
memberi petunjuk, mengatur rencana dan mempersiapkan
gerakan sehingga raden Wijaya berhasil mengalahkan Daha,
mengusir tentara Tartar dan mendirikan kerajaan Majapah it.
"Layakkah jasa anak dan bapak itu kuhapus begitu saja
hanya karena kuanggap dia bertindak kasar dihadapanku ... "
demikian baginda merenung dan menimang "kelakuan Lawe
itu tidak bermaksud jahat melainkan hendak meluapkan isi
hatinya yang kecewa, iri dan penasaran. Dan kut ahu dia
memang berwatak kasar berangasan tetapi sesungguhnya ia
memang tak kalah besar jasanya dengan lain2 kawannya ... "
Pikiran raja Kertarajasa masih berlarut hanyut dalam laut
kenangan masa lampau. Masa perjuangan yang penuh suka
duka. Sesaat hampir ia lena bahw a saat it u sedang dihadap
segenap mentri kerajaan. "Lawe, jangan kurang susila d ihadapan baginda!"
sekonyong-konyong terdengar suara menggelugur bagai
guruh hampir sirna kumandangnya.
Baginda tersentak dari renungan. Cepat ia mengangkat
pandang kearah suara itu. Ah, demang Lembu Sora yang
masih terikat hubungan sebagai paman dari Rangga Lawe.
Demang yang sudah menjenjang usia tua itu, seorang
senopati yang sakti, gagah perkasa, jujur dan set ya. Pada saat
menemui kesulitan pada masa perjuangan dahulu, Wijaya
selalu memint a nasehat dan petunjuk Lembu Sora, Lembu
Soralah yang menganjurkan supaya Raden Wijaya mint a
bantuan kepada Adipati W iraraja di Madura. Dalam perjalanan
ke Madura, rombongan Wijaya kemalaman di tengah sawah.
Wijaya dan puteri T ribuana amat letih tetapi karena di tengah
sawah, mereka tak dapat beristirahat. Serentak Lembu Sora
telentang di tanah dan mempersilahkan Raden Wijaya serta
puteri Tribuana duduk di atas perutnya ....
Kini kadehan yang setya itu telah diangkat sebagai Demang
dengan gelar kebangsawanan Rakryan. Suatu kedudukan yang
tinggi. Bebas keluar masuk keraton dan erat sekali
hubungannya dengan raja. Teguran Lembu Sora kepada Rangga Lawe yang masih
terikat kemenakan itu, membuat baginda tertegun. Makin jelas
betapa kesetyaan rakryan Demang itu kepada raja.
Mencelah seorang tokoh seperti Rangga Lawe, bukan hal
yang olah2. Rangga Lawe seorang adipati yang berpangkat
mentri Amancanagara. Seorang senopati yang gagah berani
dan putera dari Adipati Wiraraja yang dijanjikan raja akan
diberi separoh tanah kerajaan. Mendamprat Rangga Lawe,
lebih berbahaya dari mencabut kumis seekor harimau buas.
Sesaat tergugahlah kesan baginda. Beliau t ak menginginkan
timbul keretakan diant ara para kadehannya. Hanya karena
soal pengangkatan Nambi. Beliau masih memerlukan tenagr.
Rangga Lawe untuk menjaga keamanan daerah pesisir ut ara.
Dari pelabuhan Tuban dan Dataran, dahulu tentara Tartar
berlabuh dan menyerang raja Kertanagara dari Singasari
karena telah menghina utusan kaisar Tartar. Tetapi kala itu
Singasari sudah dikalahkan Daha. Maka dengan siasat yang
cerdik, raden Wijaya dapat mengelabui Ike Mi't se panglima
Tartar untuk diajak bersekutu menyerang Daha. Setelah Daha
dihancurkan, tiba2 raden Wijaya menyerang tentara Tartar
sehingga banyak yang mati, lari ke atas kapal dua terus
berlayar pulang kenegerinya. Karena kekalahan itu panglima
Ike Mi't se dihukum mati oleh raja T artar.
Tak sedikitpun baginda Kertarajasa melupakan peristiwa itu.
Walaupun sudah berlangsung beberapa tahun tetapi bukan
berarti sudah tiada kemungkinan bahwa raja Tartar akan
01 Gajah Kencana Manggala Majapahit Karya S. Djatilaksana di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
mengirim pasukan pula untuk menghukumnya. Dan apabila
kemungkinan itu terjadi, tentulah mereka akan mendarat di
pesisir Tuban atau Dataran. Dengan demikian jelas sudah
betapa penting arti Tuban dan Dataran itu bagi keselamatan
kerajaan Majapahit. Hanya tokoh semacam Rangga Lawelah
kiranya yang paling tepat untuk menjaga pos pertahanan
sepenting itu. Baginda mencamkan hal itu.
"Sudahlah, rakryan Sora" seru baginda sesaat menyadari
bahw a tibalah sudah waktunya ia harus bicara untuk
mengatasi suasana yang panas "tentulah engkau kenal akan
sebuah petuah yang disebut w idjna . ialah supaya kita jangan
meninggalkan kebijaksanaan, penuh hikmah dalam menghadapi kesulitan dan kegentingan yang bagaimana
gawatnya. Keberanian dan kekerasan yang meluap
berkemanjaan, akhirnya pasti akan sirna tumpas oleh
kesaktian kebijaksanaan yang agung. Memerint ah harus
dengan kebijaksanaan yang bersifat adil dan mengayomi.
Bukan dengan Kekerasan yang bersifat lalim menindas! Dalam
hal itu, banyaklah sudah kuteguk ajaran dan petunjukmu yang
berguna!" Lembu Sora terbeliak. Ia benar2 tertegun mendengar
ucapan baginda. Ternyata raja Kertarajasa masih seluhur budi
raden Wijaya dahulu. T idaklah kedudukan t inggi, menyilaukan
pandangan hidupnya. Tidaklah kekuasaan menyuburkan sifat
Keangkaraan dan Ke-akuannya. Beliau benar2 seorang raja
yang tak goyah disanjung pangkat, tak rapuh dibuai
kekuasaan. Lembu, Sora tersipu-sipu memohon maaf.
"Lawe" bergantilah tegur baginda tertuju kepada Adipati
Tuban "masih kenalkah engkau akan dirimu?"
Rangga Lawe tersentuh hatinya ketika mendengar kata2
raja kepada Lembu Sora. Diam2 ia malu dan menyesal
"Hamba tetap Lawe, kadehan paduka yang selalu siap
mempersembahkan jiwa raga kebawah duli t uanku"
Mata baginda Kertarajasa bersinar penuh gairah
"Benar, Lawe, dikau memang kadehan kesayanganku.
Dahulu dan sekarang. Bhayangkara kerajaan Majapahit yang
sekokoh dinding2 pura keraton. Tetapi kiranya engkau tentu
tak lupa juga siapa Lembu Sora, Nambi, Timpar, Gajah biru
dan lain2 itu, bukan?"
"Sekali-kali hamba tak pernah berani melupakan mereka,
gusti. Mereka adalah kawan seperjuangan hamba dan
kadehan paduka yang setya" sahut Rangga Lawe.
"Ah, kiranya engkau sudah mencamkan hal itu. Tetapi
mengapa engkau meributkan soal pengangkatan Nambi"
Bukan dikau seorang, Lawe. Bukan pula Lembu Sora maupun
para kadehan lain yang merasa wajib menjaga tegaknya
kerajaan Majapahit. Tetapi segenap kadehan dalam bentuk
sebagai kesatuanlah yang terbeban oleh tugas kewajiban itu!"
Baginda berhenti sejenak untuk meluangkan perhatian
kearah para ment ri yang hadir. Beliau hendak mengaji kesan
yang terpancar dari wajah para narapraja. Tampak segenap
mentri hulubalang dan narapraja menganggukkan kepala dan
menegakkan sikap. Sikap dari prajurit yang siap melaksanakan
perint ah. Diam2 berbesarlah hati baginda. Beliau memperoleh kesan
bahw a para mentri hulubalang itu tetap taat dan setya.
"Pengangkatan Nambi sebagai Patih Amangkubumi,
janganlah engkau tafsirkan sebagai suatu anugerah kepada
peribadi Nambi" ujar baginda kepada Lawe "tetapi hendaknya
diterima sebagai suatu kepercayaan negara kepada seluruh
kadehan " Kemudian dengan nada yang lebih tandas, baginda berseru
pula "Lawe, ucapanmu yang mencerminkan rasa ketidakpuasan tadi, sesungguhnya hanya merendahkan derajat
kesatuan kadehan secara menyeluruh. Termasuk dirimu
sendiri!" "Gusti junjungan hamba yang mulia" Rangga Lawe
bersembah kata "bahwasanya paduka mengangkat salah
seorang kadehan pada kedudukan setinggi itu, amatlah besar
hati hamba. Benar, gusti, hamba memang menganggap
tindakan paduka itu suatu kepercayaan dan penghargaan
besar kepada kami seluruh kadehan"
Ia berhenti sejenak untuk menekan gejolak darahnya yang
mendebur keras. Sesaat kemudian ia melanjutkan pula "Suatu
Kepercayaan menuntut kewajiban, karena pada galipnya
Kepercayaan itu suatu Wajib. Suatu pertanggungan jawab.
Pengangkatan Nambi sebagai Patih Amangkubumi, merupakan
suatu kepercayaan yang menuntut pertanggungan jawab
besar. Berat rasa hati hamba menyambut tanggung jawab itu.
Maka dalam rangka menanggulangi tanggung jawab itulah
maka hamba ber-gegas2 menghadap paduka. Karena pada
hemat hamba, sukarlah kiranya Nambi dapat melaksanakan
tanggung jawab sedemikian beratnya. Gagalnya Nambi dalam
mengemban tugas berat it u, akibatnya sukar hamba lukiskan.
Roda pemerintahan Majapah it pasti akan sarat dan kacau.
Kewibawaan kerajaan tentu akan menurun. Dengan demikian
paduka bagaikan menanti tumbuhnya batu yang ditanam
ditanah. Dan kedua kalinya kami seluruh kadehan pasti akan
tercontreng muka. Akan rusak binasalah seluruh amal
pengabdian kami pada masa2 yang lampau. Ibarat panas
set ahun dihapus oleh hujan sehari.... "
Raja Kertarajasa t erkesiap.
"Hm, Lawe, apakah alasanmu maka engkau t ak menyetujui
pengangkatan Nambi itu" Tidaklah Nambi sudah mengaji
pengalaman sebagai patih dan sudah pula lulus dalam ujian
kesetyaan dan pengabdiannya?"
"Gusti junjungan seluruh rakyat Majapahit" seru Rangga
Lawe nyaring "pemegang tampuk pemerint ahan sebuah
kerajaan sebesar Majapahit, tidaklah tepat jika ukurannya
dipandang dari sudut kesetyaan dan pengabdian saja. Unt uk
kesetyaan dan pengabdian, dapatlah kiranya d ianugerahi
dengan penghargaan lain yang sepadan. Tetapi Patih
Amangkubumi itu merupakan kedudukan yang maha penting.
Yang memegang kemudi roda pemerint ahan. Maka haruslah
dipilih dari tokoh yang benar2 cakap dan putus dalam
pengetahuan tatapraja. Memiliki kepandaian dan pandangan
yang luas dan tepat. Nambi hamba anggap tak memadai
persyaratan itu " "Lalu siapakah gerangan yang engkau anggap tepat
menduduki jabatan itu?"
Rangga Lawe tertegun heran. Keheranan itu lanjut
menumbuhkan rasa curiga. Bukankah baginda sudah cukup
memaklumi bahw a dikalangan kadehan raja yang set ya dan
cakap, bukan hanya Nambi seorang" Bukankah masih ada
Lembu Sora, dan ia sendiri"
Adipati Tuban itu terpukau. Sampai pada akhirnya
tertumbuklah jangkauan renungannya pada suatu kesimpulan.
Ah, mungkinkah kiranya baginda hendak menguji isi hatinya"
Sesuai dengan perangainya, Adipati Tuban itu cepat sekali
menarik kesimpulan dan keputusan "Gusti, jika paduka
berkenan menanyakan pikiran hamba. Maka menurut
pandangan hamba yang picik ini, kiranya tiada seorang
kadehan lain yang dapat menyamainya, baik dari amal
pengabdian, kesetyaan maupun pandangannya yang luas
serta keahliannya dalam soal2 ketataprajaan ... "
"Siapa?" seru sang prabu.
"Rakryan Demang Lembu Sora!"
"Hai, Lawe, jangan bermulut lancang!" serentak Lemba
Sora berteriak keras. Wajah rakryan demang yang mulai
dilanda usia lanjut itu, merah tegang.
Kemudian ia menyembah kearah raja "duh, baginda t uanku
Kertarajasa! Mohon paduka campakkan saja ocehan silancang
mulut Lawe itu! Setitikpun tiada terlint as dalam pikiran hamba
untuk menduduki jabatan Patih Amangkubumi yang maha
berat itu . . . " Baginda menatap demang it u.
"Hamba sudah tua, gusti" Lembu Sora melanjutkan
sembahnya "hambapun sudah puas menerima anugerah
paduka sekarang ini. Yang penting bagi hamba. Bukan soal
pangkat, bukan pula soal kedudukan. Tetapi soal
kesejahteraan kerajaan Majapahit dan keselamatan paduka.
Kedudukan Patih Amangkubumi, hamba seyogya akan
keputusan paduka untuk mengangkat siapa juga. Dan hamba
pandang, Nambi memang tak tercela menduduki jabatan itu . .
." "Hm, apakah alasanmu mengatakan begitu" Aku senang
mendengar sikap jujur dan tegas dari Lawe yang berani
menyanggah pengangkatan itu. Asalkan sikap dan sanggahan
itu benar2 berlandas kesucian hati, sepi ing pamrih.
Kebalikannya, aku tak senang akan sikap orang yang selalu
mengiakan saja. Sehingga karenanya aku tak mengetahui
kekurangan dan kesalahanku"
Lembu Sora berdiam diri sampai beberapa saat. Kemudian
ia berkata pula "Hamba berpendapat, Nambi sudah cukup
memenuhi syarat. Yang dicegah Rangga Lawe hanyalah
tentang kecakapannya mengatur pemerintahan. Tetapi
menurut hemat hamba, Nambi cukup memiliki kecakapan,
pengalaman, pandangan luas, kesabaran dan pengetahuan
tentang soal2 ketata-prajaan. Nambi tidaklah sejelek yang
dikata Rangga Lawe ... "
"Paman Sora!" serentak Rangga Lawe melantang
"janganlah paman meng-emaskan barang loyang. Menyebut
keledai seekor kuda tegar. Akan kubuktikan sampai dimana
derajat kecakapan dan pandangan Nambi yang paman
sanjung2 itu. pertama, tentulah paman masih ingat dikala
baginda kita hendak menyerbu Daha. Baginda memint a
pendapat para kadehan, dengan dasar alasan apakah kiranya
penyerbuan itu akan dilakukan. Karena berperang tanpa
sebab, akan menimbulkan tuduhan orang bahwa baginda t ak
kenal menerima kasih atas kebaikan raja Jayakatwang ... "
Adipati Tuban berhenti sejenak untuk mempersiapkan
uraiannya lebih lanjut. Kemudian "Saat itu kuusulkan supaya
baginda mengirim ut usan ke Daha meminta kembali puteri
Pusparasmi yang ditawan di keraton Daha. Jika ditolak, maka
kita mempunyai alasan untuk menyerbu Daha. Paman Sora
mengusulkan supaya memberontak begitu saja. Gajah Pagon
dan Lembu Peteng mendukung pendapat paman Sora. Lalu
apakah usul Nambi" Dia mengusulkan agar tentara Majapahit
berusaha memikat para mentri Daha agar berkhianat dan
memihak kita. Setelah itu baru kit a serang dan memaksa raja
Jayakatwang menyerah. Sebagai balas budi akan kebaikan
raja Jayakatwang, baginda kita harus sudah puas dengan
mendapatkan puteri Pusparasmi dan puteri Daha Ratna Kesari.
Tetapi Podang tak setuju. Dia lebih suka berterus terang.
Pendapat itu ditunjang Panji Asmarajaya, Jaran Waha dan
Kebo Bungalan. Akupun setuju juga. Karena kuanggap,
betapapun alasannya, perang adalah perang. Dan raja
Jayakatwang harus kita gempur!"
Berhenti sejenak, berkata pula Rangga Lawe dengan nada
makin tinggi "Nah, dari peristiwa penting semacam itu,
dapatlah kita mengetahui sampai dimana derajat pandangan
Nambi. Betapa liciklah buah pikirannya untuk mengusulkan
siasat memikat musuh supaya berkhianat kepada rajanya.
Bukankah cara itu mengunjuk sikap yang tidak jant an"
Bukankah cara itu mengunjuk kalau kita ini lemah dan
ketakutan" Lalu pendapat Nambi agar baginda kita membalas
budi raja Jayakatwang dengan sudah puas menerima saja
penyerahan puteri Pusparasmi dan puteri raja Jayakatwang
yang bernama Ratna Kesari itu. Disinilah makin jelas sifat2
Nambi yang aseli dan lingkar alam pikirannya."
Rangga Lawe berhenti lagi, lalu "Nambi menganggap tujuan
serangan kita ke Daha itu hanya untuk memperebutkan
puteri2 cantik belaka. Dia menilai darah dan korban2 yang
bergelimpangan dalam medan peperangan itu hanya untuk
sesaji memperebutkan wanita cantik saja. Pada hal jelas
bahw a penyerangan ke Daha itu adalah untuk mencari balas
pada Daha yang telah menghancurkan Singasari. Yang lebih
penting lagi, raden Wijaya hendak membangun kembali
kerajaan warisan dari Ken Arok atau nenek baginda Rajasa
Amurwabumi!" Suasana balairung hening lelap. Hanya desuh nafas dari
berpuluh mentri yang berhamburan deras. Dan yang paling
menderita, adalah rakryan patih Nambi. Sekiranya perasaan
itu mempunyai warna, maka tak putus2nya perasaan patih
Nambi itu berobah-robah. Sebentar merah, sebentar membesi
kelabu dan sesaat kemudian memancar warna bagai pelangi
menggagah cakrawala .... Sementara tampak dada Lembu Sora berkembang kempis
seperti orang yang habis lari keras. Sebagai orangtua yang
masih pernah paman, sebagai rakryan yang menjabat
Nayapati atau panglima besar angkatan perang Majapahit, ia
tersinggung mendengar bantahan Rangga Lawe. Ia hendak
menjawab tetapi didahului Rangga Lawe lagi.
"Dan siapakah yang telah menyabung nyawa dalam
peperangan dengan Daha itu?" seru Rangga Lawe "walaupun
dengan cerdik raja Jayakatwang telah membagi pasukannya
dalam tiga pertahanan, tetapi tetap dapat kita hancurkan. Aku
yang kebetulan memimpin serangan dari lambung kiri,
berjumpa dengan mentri Daha yang bernama Sagara W inotan
dan senopatinya yang bernama Rangga Janur. Kesempatan itu
kugunakan untuk membalas dendam karena ketika di Tarik,
Sagara W inotan telah menghina anak pasukan Madura. Dalam
pertempuran itu, terkabullah nazarku untuk menuntut balas.
Kuloncat keatas kereta perang Sagara Winotan dan berhasil
membunuhnya. Peperangan di Daha bukan kepalang
dahsyatnya. Tanah bersimbah darah, mayat menganak bukit.
Hanya dengan tekad dan keberanian yang menyala-nyalalah
maka kita berhasil mengalahkan Daha yang jauh lebih besar
pasukannya dan lebih lengkap persenjataannya. Tetapi
kemanakah gerangan Nambi saat itu" Apakah dia juga turut
menyabung nyawa" Rasanya tiada seorang anakbuah pasukan
kita yang melihat kehadiran Nambi saat itu. Dan kini set elah
kerajaan Majapahit terlaksana berdiri, ternyata Nambilah yang
diangkat sebagai Patih Amangkubumi!"
"Tutup mulut mu!" rakryan Demang Sora meledak bentakan
"memang benar kala itu Nambi tak ikut bertempur tetapi dia
01 Gajah Kencana Manggala Majapahit Karya S. Djatilaksana di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
menjalankan tugas lain yang tak kalah pent ingnya. Dia
ditugaskan sebagai penghubung pasukan kita dengan pasukan
Tartar. Disamping juga harus melindungi keselamatan
baginda!" "Paman Sora" langsung Rangga Lawe menjawab "mengapa
paman kemati-matian membelanya?"
"Seorang ksatrya wajib menghormat lain ksatrya! Jangan
memulas pada diri sendiri tetapi mencontreng arang pada
muka orang. Kemenangan pasukan Majapahit itu adalah
berkat kepemimpinan baginda yang telah direstui para
Dewata. Kemenangan itu adalah kemenangan seluruh pasukan
Majapah it. Bukan kemenangan Rangga Lawe, bukan pula
kemenangan Lembu Sora. Jangan menonjolkan jasamu sendiri
dan menghapus jasa orang lain. Setiap prajurit yang ikut
dalam peperangan itu, semua beijasa. Tanpa pengabdian
mereka, tak mungkin Rangga Lawe mencapai kemenangan!"
Wajah Adipati Tuban memburat merah. Serentak
menjawablah ia "Benar, benar, semuanya itu memang benar!
Kepemimpinan raden Wjaya dan pengabdian para prajuritlah
yang menimbulkan kemenangan itu. Dan semua yang ikut
dalam peperangan itu, dari prajurit rendah sampai pada
senopati, berjasa semua. Tetapi adakah jasa itu dapat
disamaratakan" Adakah jasa Lembu Sora sama dengan jasa
prajurit Suta" Ah, kiranya tentu tidak. Dan bagindapun telah
memahami hal itu. Painin diangkat menjadi rakryan Demang.
Nambi diangkat patih dan akupun dianugerahi pangkat adipati
mancanagara di Tuban dan Dataran. Para prajurit dinaikkan
pangkat sesuai dengan jasa masing2. Dengan tindakan
baginda itu, jelas bahwa jasa itu terbagi besar dan kecil "
Tangkisan Rangga Lawe itu agaknya mendesak Lembu
Sora. Untunglah ia seorang tokoh tua yang lama
berkecimpung dalam lautan pengalaman. Cepat ia dapat
mengelak dan susupkan pertanyaan "Hm, kiranya engkaupun
sudah mengakui bahwa baginda telah membalas jasamu.
Tetapi mengapa engkau masih kurang penerima dan t ak puas
pada Nambi?" Rangga Lawe tertawa ringan. Ia tahu bahwa Lembu Sora
sudah terdesak dalam perbantahan. Diam2 ia menyadari
bahw a Lembu Sora itu seorang tua, seorang tokoh kerajaan
yang tinggi kedudukannya. Apabila terlalu didesak, tentulah
akan malu. Rasa malu mudah membangkit kan kemarahan.
Padahal ia menyadari bahw a kedatangannya ke pura
Majapah it itu adalah untuk menggagalkan pengangkatan
Nambi. Dalam usaha itu ia harus dapat merebut simpati
sekalian menteri nayaka agar memberi dukungan. Lembu Sora
dan Nambi mempunyai pengaruh dan penganut besar dalam
kalangan kerajaan. Untuk menghadapi Nambi seorang saja, ia
sudah merasa berat. Apapula harus mencari musuh lagi tokoh
semacam Lembu Sora. Bukankah hal itu hanya menambah
beban penyakit saja"
"Paman" ujarnya setelah pikirannya agak mengendap
"harap jangan salah faham. Kedatanganku kemari in i sekalikali bukan dengan bekal iri dan dengki tetapi karena panggilan
rasa pengabdian. Kuduga bahkan kupastikan, tentu tiada
seorang pun menteri dan narapraja yang menentang
pengangkatan Nambi. Entah karena memang setuju atau
hanya karena takut akan murka baginda. Takut kehilangan
pangkat dan kedudukan. Walaupun hati tidak setuju, tetapi
mulut tak berani menyatakan. Ini memang sudah jadi penyakit
para narapraja yang mengabdi untuk kenikmatan kedudukan.
Tetapi bukan mengabdi untuk kepentingan negara.
Kemungkinan besar hanya aku Lawe seorang, yang berani
menyatakan pendapat berlainan dari keputusan raja. Karena
tindakanku itu, aku tentu dianggap lancang, berani menentang
raja. Mungkin baginda murka dan menghukum diriku.
Mencopot kedudukanku sebagai adipati mancanagara. Tetapi
kesemuanya itu sudah kuperhitungkan. Apabila jeri, tak
mungkin saat ini Lawe berada di balairung sin i. Setit ikpun aku
tak menyesal kalau harus menderita akibat itu. Tetapi Lawe
adalah seorang prajurit. Prajurit itu bhayangkara negara. Mati
bersama negara. Sebagai prajurit sejati, tak mungkin Lawe
ikhlas melihat sesuatu yang merugikan kerajaan. Matipun puas
kalau aku sudah menunaikan tugasku untuk menyelamatkan
negara. Walaupun karena pendapat itu aku harus menerima
hukuman penggal kepala, tetapi Rangga Lawe t akkan mundur
set apakpun dari pendiriannya!"
Suasana balairung makin dibenam kelelapan. Hanya napasnapas yang memburu keras bagai kuda berpacu. Diam-diam
baginda Kertarajasa memuji sikap yang jujur dan tegas dari
Adipati Tuban itu. Kata-katanya amat mengesan. Diluar
kesadaran diam2 baginda mu lai terhembus angin baru. Dan
pintu hati bagindapun mulai bergetar. Perhatiannya mulai
mengarah pada pengangkatan Nambi.
"Dalam laut mudah diduga tetapi hati manusia sukar diraba.
Tidak semua benda yang bergemerlapan itu tentu emas. Pun
tidaklah selalu ucapan yang merdu nadanya itu mengandung
tujuan suci ... " Ucapan Lembu Sora yang bernada setengah bersenandung
itu sukar dimengerti sasarannya.
"Jangan bersenandung seperti angin lalu. Bicaralah terus
terang saja, paman. Lawe sedia mendengar!"
"Kumaksudkan, manusia itu makhluk yang paling aneh,
paling bernafsu, paling angkara. Harimau buas apabila sudah
kenyang memakan seekor lembu, tentu sudah puas. Tetapi
lain hal dengan manusia. Belum punya harta, ingin mencari
harta. Tetapi setelah punya harta, ingin menumpuk sampai
set inggi gunung. Yang rendah pangkat ingin meraih
kedudukan tinggi. Setelah mendapat pangkat tinggi masih
tetap ingin merenggut kedudukan yang paling tinggi. Bahkan
kalau mungkin menjadi raja diraja ... "
"Demang Lembu Sora!" t eriak Rangga Lawe dengan w ajah
merah padam. Rupanya adipati Tuban it u sudah tak dapat
mengendalikan d iri lagi. Dipanggilnya Lembu Sora dengan
sebutan pangkatnya sebagai demang. Bukan sebagai paman.
Dengan begitu ia hendak menempatkan Lembu Sora sebagai
sesama mentri kerajaan "beleklah dada Rangga Lawe dan
periksalah hatinya berbulu atau tidak!"
Adipati Tuban itu segera membuka baju dan busungkan
dada kearah Lembu Sora, menantang.
Suasana balairung mulai berisik dengan suara bisik2 dari
segenap mentri nayaka. "Lawe, jangan berlebih-lebihan ulah!" cepat baginda
berseru "tiada seorangpun yang meragukan kesetyaanmu.
Sekarang tegaskan pendirianmu! Adakah engkau tetap pada
pendirianmu t ak menyetujui pengangkatan Nambi?"
"Mohon paduka berkenan melimpahkan kemurahan kepada
diri hamba. Sekalipun paduka menitahkan hukuman pada
hamba, hamba tetap tak rela kalau Nambi diangkat sebagai
Patih Amangkubumi. Paduka telah menyaksikan sendiri betapa
tandang tanduknya dahulu. Ia amat mengecewakan, bodoh,
lemah, rendah hati, penakut dan tak memiliki kewibawaan.
Apabila dia yang memegang tampuk pimpinan negara, pasti
akan merosotkan kedudukan negara, memudarkan kewibawaan paduka!" Balairung pura Majapahit tergetar bagai dilanda gempa
bumi. Beberapa mentri dan senopati gemetar tubuhnya.
Seandainya tidak dihadapan sang prabu mereka tentu sudah
bergerak menghajar Rangga Lawe. Baginda sudah memberi
kelonggaran amat besar tetapi rupanya Rangga Lawe tetap
kurang susila. Bahkan bersikap congkak. Karena dilanda
kemarahan, para mentri dan narapraja kabur faham sehingga
untuk beberapa jenak mereka tak tahu apa yang harus
dilakukan. "Kakang Nambi, tentulah engkau tersinggung dengan
kata2ku tadi" seru Rangga Lawe kepada Nambi yang masih
terpukau "tetapi hendaknya engkau suka menarik garis tajam
antara urusan peribadi dengan urusan negara. Kita kawan
lama, kawan seperjuangan. Kitapun t ak pernah berselisih, tak
pernah saling dendam. Sebagai kawan, Rangga Lawe bersedia
membelamu dengan segenap jiwa raga. Tetapi dengan urusan
negara, terpaksa aku harus me letakkan kepentingan negara
diatas hubungan peribadi! Betapapun pahit dan tajam kata2
yang kulontarkan tadi, namun hal itu suatu kenyataan.
Kuterima engkau sebagai kawan baik tetapi tak kurelakan
engkau menjabat Patih Amangkubumi kerajaan Majapahit!"
Rangga Lawe berhenti memperhatikan Nambi. Tampak
wajah patih Nambi pasang surut cahayanya. Sebentar merah
tegang, sebentar pucat sunyi.
"Sekiranya engkau marah atas ucapanku dan mendendam
kepadaku, aku takkan mundur setapakpun dari pertanggungan
jawab. Bila, d imana dan pada saat apa pun juga, siang atau
malam, Rangga Lawe siap menghadapimu!"
Seketika menggigillah tubuh patih Nambi mendengar
tantangan yang langsung ditujukan kepadanya itu.
Gerahamnya berderuk-deruk, wajah merah membara.
Serentak ia hendak menyambut t antangan Lawe. T etapi baru
kaki hendak diayun, suatu pertimbangan lain melint as dalam
benaknya. Pertengkaran mulut apalagi perkelahian dihadapan raja,
dianggap suatu perbuatan yang merendahkan derajat sang
prabu. Sebagai seorang patih, Nambi faham akan segala
hukum dalam undang2 kerajaan Majapahit.
Barangsiapa dalam kemarahan memaki-maki orang lain,
memperolok-olok cacat badan, kepala, makanan, tingkah laku,
kelahiran, golongan, kepandaian, pengetahuan orang lain,
maka orang itu di anggap melakukan wakparusya. Dan apabila
orang itu sejajar tingkat kelahiran dan kedudukan dengan
orang yang dihinanya itu, maka ia akan dikenakan denda
satak salawe atau uang duaratus limapuluh.
Rangga Lawe menghina dirinya, dapat dikenakan tuntutan
wakparusya. Dan karena Rangga Lawe sederajat dengan
dirinya, maka hukumnyapun hanya denda sebanyak satak
salawe. Demikian pikir Nambi. Dan serent ak bangkitlah
kemarahannya. Tidak! Ia tak puas dirinya di hina habishabisan oleh Lawe dengan hukuman denda semurah itu.
Kemanakah ia harus menyembunyikan mukanya atas cemohan
yang akan di lontarkan sekalian menteri, tanda, gusti dan
narapraja dalam kerajaan Majapahit.
Serentak Nambi hendak berbangkit untuk menjawab
tantangan Rangga Lawe. Kalau perlu ia siap membela
kehormatannya dengan senjata. Darah patih yang rambutnya
mulai berhias uban itu, mendidih.
Nambi memang memiliki kelebihan dalam menilai dan
mengadakan pertimbangan terhadap sesuatu soal. Oleh
karena sifat-sifat itulah maka ia selalu bersikap hati-hati, baik
dalam ucapan maupun t indakan. Setiap langkah dan t indakan,
tentu selalu dipertimbangkan akibatnya. Sikap hati-hati itulah
yang menyebabkan ia seperti orang penakut. Dan tak salahlah
kiranya seorang jantan seperti Rangga Lawe yang berangasan
itu menganggapnya seorang pengecut. Tetapi sesungguhnya
Nambi seorang ahli pikir yang berpandangan jauh. Seorang
yang lamban dan pela menderita hinaan maupun serangan.
Tetapi tak pernah terlambat untuk melakukan pembalasan.
Tak pernah seorang musuh dapat lolos dari jaring
cengkeramannya. Macam t angan ikan gurita yang meraih sang
korban. Pelahan, lunak tetapi mematikan.
Pada saat nafsu amarah hendak menguasai ruang hatinya,
terbetiklah secercah gagasan "Jika kulayani tantangan Lawe,
walaupun jelas dia yang mulai dulu, tetapi akupun tentu akan
terlumur kesalahan. Kalau kudiamkan saja, si congkak itu
sendiri yang bertanggung jawab. Bukan hanya melakukan
tindak wakparusya tetapi lebih dari itu. Dia tentu dianggap
menghina raja. Menghina seluruh ment ri, tanda, gusti, bupati,
senopati yang hadir. Sidang agung yang dipimpin raja,
merupakan kekuasaan tertinggi dalam kerajaan Majapah it.
Mengacau sidang, berarti mengacau negara. Hukum bagi
pengacau negara adalah mati. Demikian dengan pengangkatanku sebagai patih Amangkubumi. Menentang
keputusan raja, berarti memberontak. Hukumnya ditumpas!"
Setelah memperhit ungkan untung ruginya, akhirnya ia
batalkan niatnya. Cepat ia menghapus kecamuk amarahnya
lalu mengarahkan pandang matanya kearah baginda,
menuntut keadilan. Sekalian ment ri hulubalang makin gemetar. Ngeri mereka
mendengar ucapan Rangga Lawe yang makin mempamerkan
kecongkakan dan keliaran. Kebo Anabrang senopati seberang
laut atau yang terkenal sebagai senopati Pamalayu, menggigil
kepanasan. Tubuhnya serasa terbakar oleh api kemarahan.
Namun ia masih dapat menahan diri. Ia tak mau melanggar
tatasila. Danghyang Brahmaraja, kepala aliran agama Syiwa yang
hadir dalam pasew akan agung itu, segera melerai "Angger
Adipati, sukalah tuan bersabar. Ingatlah. Saat ini sedang
berlangsung perapatan agung yang dipimpin oleh baginda
sendiri. Apabila tuan bertindak melanggar tatasila, tuan
menghina raja. Baiklah tuan renungkan akibatnya bagi para
anggauta keluarga tuan ... "
Beberapa pembesarpun mendukung pernyataan sang
Brahmaraja. Merekapun berusaha untuk menyadarkan dan
menyabarkan Rangga Lawe. Tetapi adipati Tuban itu sudah terangsang kemarahan. Ia
tak puas karena pernyataannya mengenai Nambi, tidak
mendapat sambutan yang layak. Bahkan Nambi yang
terang2an dihina dan ditantangnya, pun tetap bersikap
membeku. Laksana bengawan Brant as dimusim hujan,
meluaplah kemarahan adipati itu. Kemarahan sering membuat
pikiran orang gelap, menghanyutkan kesadaran yang jernih.
Lerai pendeta utama Brahmaraja yang mengingatkan
tentang keselamatan keluarga Rangga Lawe, telah salah
ditafsirkan sang Adipati. Ia anggap kepala pendeta itu
memberi ancaman halus. Serentak meluaplah darah Adipati
itu. "Tuan Brahmaraja!" serunya lantang "jika tuan mengira
bahw a kedatanganku kemari ini dengan membekal angan2
01 Gajah Kencana Manggala Majapahit Karya S. Djatilaksana di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
menyelamatkan jiwa Lawe dan keluargaku, tuan khilaf! Kalau
hanya begitu tujuanku, mengapa aku perlu menghadap
kemari" Bukankah lebih enak t inggal di k adipaten saja" Tetapi
Rangga Lawe adalah seorang hamba kerajaan yang sadar.
Bahwa pangkat dan kenikmatan hidup yang kuperoleh
sekarang ini adalah berkat pengabdianku kepada perjuangan
baginda. Darahku adalah prajurit. Jiwaku adalah jiwa
perjuangan. Nafasku nafas pengabdian. Dan hidupku adalah
untuk membela dan menegakkan negara Majapahit!"
Sejenak adipati itu kicupkan mata lalu berkata pula "Rangga
Lawe tak rela kalau pimpinan pemerint ahan Majapahit yang
dibangun diatas darah, keringat dan mayat2 para prajurit dan
penganut raden Wijaya harus jatuh ditangan Nambi. Dia tak
pernah menyabung nyawa dimedan laga. Tetapi setelah
Majapah it berdiri, justeru dialah yang mendapat pangkat
tinggi. Adilkah itu" Cobalah andika pikirkan. Andaikata Sora
dan Lawe tak berhasil meruntuhkan pasukan Daha dan
menghancurkan tentara Tartar, bukankah negara Majapahit
takkan berdiri seperti saat ini" Lihatlah t uan Brahmaraja, tanda
mata yang dihadiahkan tentara Tartar kepadaku ini . . " t iba2
Rangga Lawe melolos baju.
"Luka sebesar kepal tangan dilambungku ini, adalah
tusukan tombak dari Segara Winotan, senopati Daha yang
berhasil kubelah dadanya" seru Rangga Lawe. Lalu ia berput ar
tubuh membelakangi pendeta Brahmaraja "dan gurat2 malang
melint ang macam jaring ikan pada punggungku ini, adalah
hadiah dari prajurit-prajurit Tartar yang berusaha menyelamatkan diri t etapi gagal menahan amukanku!"
Adipati Tuban menutup bajunya lagi lalu mengguman
dengan nada kesal dan geram "Tetapi jasa2 itu rupanya tak
diperhatikan lagi ... "
Gemetar t ubuh senopati Pamalayu Kebo Anabrang saat itu.
Sesaat lupalah ia akan segala pertimbangan tatasila lagi.
Serentak ia menuding dan berseru lantang "Lawe, jika engkau
convert txt : http://www.mardias.mywapblog.com
memang jantan, pulanglah dan siapkan segala senjatamu!"
Rangga Lawe marah sekali. Sejak t adi ia gelisah karena tak
menemukan tempat untuk menumpahkan kemarahannya. Kini
ada seorang yang berani menyambut tantangannya. Plak .... ia
menampar paha keras2 dan berdiri serentak. Ia kenal siapa
Kebo Anabrang. Ditatapnya senopati Pamalayu itu dengan
mata beringas. Tetapi pada saat ia hendak melontarkan kata2,
tiba2 telinganya terngiang oleh bisik suara bernada halu s
"Angger Adipati, ingatlah
kewibawaan baginda .... "
. . . jangan merendahkan Rangga Lawe tersentak. Ia tahu bahwa bisik suara selembut
ngiang nyamuk itu, merupakan pancaran dari ilmu Aji
Pameling. Iapun menyadari bahwa yang membisikkan Aji
Pameling uit adalah kepala pendeta Brahmaraja. Dan sadar
pula bahw a pendeta agung itu bermaksud baik kepadanya.
Seketika mengendaplah kemarahannya. Kesadarannyapun
timbul. Tujuannya kepura Majapahit
adalah untuk menggagalkan pengangkatan Nambi. Bukan untuk menghina
kewibawaan baginda. Apa yang diingatkan kepala pendeta itu
memang benar. Apabila hendak berkelahi, bukan di balairung
situ tempatnya. Serentak adipati Tuban itu ayunkan langkah. Ia tinggalkan
balairung tanpa pamit. Dadanya sesak, tubuhnya menggigil
panas. Tiba di balai bang, ia berhenti. Karena tak tahan
panasnya tubuh, dibukanyalah bajunya. Ia menunggu Nambi
serta Kebo Anabrang. Sementara itu baginda masih termenung-menung. Hatinya
gundah. Ia merenungkan perbuatan Rangga Lawe. Dan
tersinggunglah rasa keagungannya. Segera ia hendak
menitahkan supaya adipati itu ditangkap. Namun pada lain
saat, teringatlah beliau akan pengabdian Lawe. Beliau kuatir,
penangkapan itu akan menimbulkan akibat luas. Keret akan
sokoguru kekuatan Majapahit, perpecahan di kalangan para
menteri narapraja dan kemungkinan akan meletus huru hara
yang mengancam ketenteraman kerajaan. Sudah tentu adipati
tua Wiraraja takkan tinggal diam apabila puteranya sampai
dihukum. Dan Wiraraja itu besar sekali pengaruh dan
penganutnya. Dengan pertimbangan2 itu, risaulah hati baginda. Namun
untuk mendiamkan perbuatan Rangga Lawe, ia pun segan.
Seluruh mentri, tanda, gusti dan narapraja tampak
menundukkan kepala menunggu tit ah raja.
Raja Kertarajasa lepaskan pandang kearah para mentri
yang hadir. Akhirnya pandang baginda tertumbuk pada Lembu
Sora, rakryan demang yang biasa menjadi tebat peneguk
nasehat, sumber pengail pertanyaan. Seketika berserulah
baginda "Sora, bagaimana pendapatmu seandainya kubatalkan
pengangkatan Nambi dan kuganti dengan Lawe?"
Ucapan baginda itu bagai petir yang meletus dalam
balainung. Tampak beraneka warnalah pada wajah para
mentri. Lembu Sora merah mukanya. Kebo Anabrang
mengerut dahi dan Nambi pucat,
"Paduka junjungan yang hamba muliakan" beberapa saat
terdengar Lembu Sora berkata "hamba terpaksa tak dapat
menerima titah tuanku. Sekiranya hamba dipersalahkan,
hamba ikhlas menyerahkan jiwa raga ... "
"Apa alasanmu?" tegur raja.
"Pengangkatan Nambi sebagai Patih Amangkubumi adalah
atas titah paduka. Dalam hal itu paduka tentu sudah meneliti
sedalam-dalamnya atas diri Nambi. Dan t entulah Nambi sudah
memenuhi segala persyaratan yang berkenan pada hati
paduka ... " "Tetapi Sora" tukas baginda "kita tak boleh menutup mata
pada sanggahan yang diajukan Lawe. Dia merasa telah
berjoang mati-matian demi kebangunan Majapahit. Dan
kenyataan dia memang berjasa besar. Walaupun keputusan
telah kuambil tetapi demi kepentingan negara, hal itu dapat
kupertimbangkan lagi. Tidak ada sesuatu yang mutlak kecuali
kepentingan negara!"
Rakryan demang Sora mengerut dahi "Jika paduka
membatalkan pengangkatan Nambi dan mengganti dengan
Lawe, hamba tidak merelakan. Karena si Lawe tentu akan
makin congkak. Hamba kuatir baginda akan dicemohkan
kewibawaan paduka karena takut akan ancaman Lawe... "
"Sora, aku hanya bertit ik tolak pada kenyataan dan
berlandas pada kepentingan negara. Jauh kiranya penilaianmu
dengan pandanganku!"
Lembu Sora menghatur sembah "Ampun, duhai, junjungan
hamba. Mohon paduka limpahkan hukuman yang seberatberatnya apabila kata2 persembahan hamba itu menyentuh
duli t uanku " "Bicaralah, Sora. Bukanlah pada set iap kesulitan aku selalu
memint a pendapatmu?"
Lembu Sora tersipu-sipu mengunjuk sembah "Jika
membicarakan soal jasa, kiranya hamba tak kalah dengan
Lawe. Lawe menghadap paduka dan menyanggah
pengangkatan Nambi. Pada hal pengangkatan itu adalah atas
titah paduka. Lawe mengatakan bahwa tindakannya itu
berdasar pada rasa pengabdian dan kesetyaannya. Hamba
Lembu Sora, Nambi, Kebo Anabrang, Pamandana, Singasardula dan sekalian menteri hulubalang yang hadir
disin i, pun juga memiliki rasa pengabdian dan kesetyaan
seperti yang dikandung Lawe. Dalam pengangkatan Nambi,
kami mendukung keputusan baginda. Seperti pandangan
Lawe, kamipun memandang persetujuan kami atas
pengangkatan Nambi itu dari sudut kepentingan negara juga.
Lawe menghina Nambi sebagai seorang penakut dan tak
cakap menjabat kedudukan Patih Amangkubumi. Sudahkah
terbukti bahw a Nambi benar-benar tak cakap" Sudahkah
negara dirugikan oleh tindakan2 Nambi sebagai Patih
Amangkubumi" Adakah paduka merasa telah turun
kewibawaan karena Nambi menjadi Patih Amangkubumi"
Bukankah tindakan dan sikap Lawe it u, benar2 sudah
berkelebihan dan merendahkan kewibawaan paduka. Ah,
betapalah awam dan malu hati hamba dan sekalian menteri
apabila paduka berkenan menuruti tuntutan Lawe. Tidak
paduka! Lembu Sora dan seluruh menteri hulubalang
Majapah it tak merelakan kewibawaan paduka diinjak2 Lawe!"
Angin segar berhembus dihati baginda. Apa yang
dinyatakan Sora itu memang benar. Apabila pengangkatan
Nambi dibatalkan, rakyat tentu kecewa dan berkesan bahwa
raja takut pada Rangga Lawe. Akibat yang lebih luas lagi,
kemungkinan para menteri dan pejabat praja Majapah it yang
sekarang ini tentu akan bimbang. Mereka tentu gelisah karena
set iap saat mereka terancam dicabut pangkatnya. Apabila
keadaan berlarut sampai tataran itu, kewibawaan raja tentu
merosot. Kesetyaan rakyat berkurang.
"Tetapi bagaimana untuk menyelesaikan Lawe . ." diam2
raja merasa resah. Bukan karena takut kepada Lawe
melainkan karena baginda amat perihatin. Perpecahan harus
dicegah, kekacauan harus dihindari.
Belum baginda mengeluarkan titah lebih lanjut, di halaman
balai bang, Rangga Lawe mengamuk. Ia mengobrak-abrik
taman. Jambangan2 diangkat dan dibanting hancur. T anaman
bunga dicabutinya. Arca2 penghias taman, ditendang dan
dihantam porak poranda. Nambi tak tahan lagi. Ia malu dan marah sekali melihat
tingkah laku Lawe yang liar. Ia siap hendak keluar
menghajarnya. Demikianpun Kebo Anabrang. Gemeretak
geraham senopati Pamalayu itu karena menahan luap
amarahnya. Ia cancutkan kain, siap hendak mengadu pukulan
dengan Rangga Lawe. "Jangan, kakang Anabrang. Ingatlah baginda kita. Betapa
malu dan terhina baginda apabila kakang berkelahi dihadapan
baginda" t iba2 menteri Pamandana mencegah.
Mulut Kebo Anabrang men-desis2. Hidungnya berkembang
kempis, napas memburu keras laksana kuda yang habis lari
kencang. Namun senopati Pamalayu itu tak bergerak dari
tempat duduknya. Rupanya ia dapat menerima ucapan
Pamandana. Suasana tegang legang. Setiap saat dapat meletus hal2
yang tak diinginkan. Mungkin suatu keributan besar. Kebo
Anabrang dan Nambi dapat dicegah tetapi masih belum
diket ahui dengan lain2 menteri.
Dalam saat2 yang menggelisahkan itu, tiba2 nayaka
ketentaraan Singasardula berpaling kearah Lembu Sora
"Rakryan demang, kiranya tiada lain orang yang mampu
mengatasi keadaan ini kecuali tuan. Sebagai paman tentulah
tuan dapat membujuk Lawe!"
Lembu Sora menatap Singasardula dengan pandang geram.
Ia tak puas karena Singasardula mem-bawa2 hubungan
keluarga antara dirinya dengan Rangga Lawe.
"Akan kubereskan si Lawe. Aku adalah demang kerajaan
yang bertugas memberantas set iap pengacau t anpa pandang
bulu!" kata Lembu Sora tajam terus melangkah keluar.
Meninggalkan Pamandana yang kesima dan tak sempat
memperbaiki ucapannya. Rangga Lawe mengamuk untuk menumpahkan kemarahannya yang tak tertampung. Ia kecewa, geram dan
sakit hati. Jauh dari Tuban ia tergopoh-gopoh memacu
kudanya. Dengan hati yang tulus dan semangat menyala, ia
hendak mencegah pengangkatan Nambi sebagai Patih
Amangkubumi. Karena ia pandang tak sesuai menduduki
jabatan sepenting itu. Tetapi tiba di pura Majapahit, ia tak
mendapat sambutan yang sesuai dengan keinginannya.
Bahkan yang diterima hanya ucapan lantang dan sikap
menantang dari para menteri nara.praja. Sedang raja sendiri
tetap diam. Suatu sikap yang dapat ditafsirkan sebagai
penolakan. Habis menjebol t anaman bunga dan mencampakkannya, ia
mengangkati jambangan2 bunga dan membantingnya. Habis
sudah pohon2 bunga dan jambangan2 diamuknya. T erakhir ia
mengangkat sebuah arca batu yang berbentuk seorang
penjaga taman dengan mencekal senjata gada "Huh, tak perlu
engkau menjaga taman ini. Hayo, pulanglah engkau ketempat
asalmu!" gumannya seorang diri. Arca yang setinggi anak kecil
itu diangkat tinggi2 diatas kepalanya terus hendak
dilemparkan kemuka balairung.
Sekonyong-konyong ia t erkejut demi melihat sesosok tubuh
muncul ke halaman balai bang. Kemarahan serasa membakar
mata Rangga Lawe. Pandang matanya nanar berpudaran. Ia
duga yang muncul itu tentulah Nambi atau Kebo Anabrang
yang sedang dinant i-nantinya itu. Maka tanpa memperdatakan
lagi, segera ia campakkan patung kearah pendatang itu ... .
Yang keluar ke balai bang itu adalah Lembu Sora. Ia sudah
siaga. Dengan tangkas ia dapat menghindar. Tetapi ia tak
mau. Ia memang sengaja hendak mengunjuk kesaktian untuk
mematahkan semangat Lawe. Dengan gerak yang amat
cekatan sekali, disambut inya patung itu terus dilontarkan
kembali ke arah Lawe "Hm, Lawe, jangan kurang ajar
kepadaku!" Adipati T uban terkesiap ketika patung yang dilontarkan itu
dapat disambuti dan terus dicampakkan kembali kepadanya.
Saat itu ia tersadar siapa yang datang itu. Tetapi ia sudah
terlanjur dirangsang kemarahan. Iapun tak mau unjuk
kelemahan. Ia hendak unjuk kesaktian kepada orang
Majapah it. Pada saat patung melayang, sesaat kerahkan
tenaga, cepat ia songsongkan tinjunya, pyur.... patung batu
penjaga taman, seketika hancur berantakan berhamburan ke
01 Gajah Kencana Manggala Majapahit Karya S. Djatilaksana di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
empat penjuru! Tetapi demi mendengar suara
hardikan Lembu Sora, entah
bagaimana, mengendapkan darahnya yang mendidih. Yang
datang itu jelas Lembu Sora,
bukan Nambi atau Kebo Anabrang
yang diharapkan. "Lawe, adakah kulitmu sudah
rangkap tujuh, maka engkau
berani melawan Lembu Sora ?"
seru orang it u seraya menghampiri. Rangga Lawe terbeliak. Ia
menyadari sedalam-dalamnya d iri Lembu Sora. Ia ingat,
bahw a dalam masa2 perjuangan membantu raden Wijaya
dahulu, banyaklah ia menerima petunjuk dan bimbingan dari
pamannya. Sampai saat itu hubungannyapun tetap baik.
Kemudian kesadarannyapun makin menandaskan bahwa
bukan Lembu Sora yang menjadi sasarannya. Dan iapun
merasa segan untuk berkelahi dengan paman sendiri.
"Paman .... " Lembu Sora melangkah sambil menatapkan pandang
matanya lekat2. Langkahnya tenang sarat. Wajahnya
memantul keteguhan hati. Sikapnya segagah senopati yang
terjun dalam medan laga. Tiba2 Rangga Lawe mencabut keris lalu menyongsong
maju. Lembu Sora terkesiap. Cepat ia bersiap menghadapi
kemenakannya yang beradat berangasan itu.
Rangga Lawe berhenti dua langkah dihadapan Lembu Sora.
Dipandangnya wajah Sora dengan tajam. Lembu Sora makin
tegang perasaannya. Timbul pertentangan hebat dalam
hatinya. Ia menyadari bahw a yang dihadapinya itu adalah
putera dari Adipati Wiraraja, yang masih terikat hubungan
sebagai kakak. Betapa perasaan Wiraraja bila mendengar
puteranya terluka atau binasa dalam tangannya. Sukar
dibayangkan. Tetapi iapun tak mau meninggalkan
kewajibannya sebagai seorang menteri yang harus membela
junjungannya. Tiba2 ia teringat akan ucapan dari Pamandana tadi. Ia
marah kepada menteri Pamandana karena secara halu s
memberi peringatan kepadanya. Bahwa ia sebagai seorang
paman wajib mengatasi seorang kemanakan yang kurang
susila dihadapan baginda. Seketika hapuslah segala ot akatiknya terhadap kesedihan Wiraraja. Saat itu ia adalah
rakryan demang Lembu Sora yang berkuasa sebagai panglima
besar tentara Majapahit. Dan sadar pulalah ia bahw a prajurit
itu harus membela negara dan raja. Keputusan itu makin
dipertegas oleh kenyataan bahwa saat itu Rangga Lawe sudah
berdiri dua langkah dihadapannya dengan keris terhunus.
Suatu jarak yang mudah dijangkau apabila Rangga Lawe akan
melakukan serangan secara kilat.
"Paman .... " tiba2 Rangga Lawe gerakkan tangan yang
mencekal keris itu kemuka.
Seketika berhentilah rasanya aliran darah dalam tubuh
Sora. Hampir saja ia akan menyurut mundur karena mengira
Rangga Lawe hendak menusuk. Untunglah kesiap-siagaan dan
naluri keprajuritan yang ditempuhnya dalam pengalaman
dimedan pertempuran, melint as kesan dalam benaknya.
Cepat-cepat ia dapat menduga bahwa gerakan keris Rangga
Lawe itu tidak begitu keras dan cepat. Berbeda dengan
gerakan orang yang hendak menyerang.
Apa yang disimpulkan memang tepat. Keris yang
disongsongkan Rangga Lawe kemuka itu, masih terpaut dua
tiga jari dari tubuh Lembu Sora. Demang itu rentangkan mata
lebar2 penuh menghambur pandang tanya. Tetapi sebelum
sempat ia menegur, Rangga Lawe sudah mendahului "Paman,
bunuhlah aku . . . !"
Lembu Sora termangu. Bukankah baru saja beberapa saat
tadi, Adipati Tuban itu marah2 dan mengamuk ditaman balai
bang" Bukankah baru saja Lawe melontar arca batu
kepadanya" Mengapa saat itu tiba2 Lawe serta merta
menyerahkan diri" "Lawe, apakah maksudmu?" rakryan demang Lembu Sora
masih meneguk keterangan. Ia masih sangsi.
"Paman, pikiranku gelap. Sekali-kali bukan tujuanku
menghina baginda. Aku terangsang keinginan untuk
menentang pengangkatan Nambi . . ."
Saat itu hilanglah segala keraguan yang mengabut dihati
Lembu Sora. Ia tak sangsi lagi bahw a Rangga Lawe sudah
menyadari kesalahannya. Namun untuk memantapkan
kesadaran pada pikiran Lawe, perlulah ia memberi penjelasan
yang mendalam. "Lawe, angger" katanya agak sabar "simpanlah keris
pusakamu itu. Engkau berhadapan dengan pamanmu, bukan
dengan musuh. Dan keris pusaka itu adalah unt uk membunuh
musuh bukan untuk membunuh dirimu sendiri ... "
Rangga Lawe terpukau. "Paman takkan membunuhmu karena bukan pamanlah
yang berhak menjatuhkan hukuman. Hidup dan mati kita para
kadehan, ditangan baginda" kata Lembu Sora pula.
Masih Rangga Lawe berdiam diri,
"Lawe, kiranya engkau masih menyadari bahwa engkau
adalah kadehan yang terkasih dari bag inda. Bahkan dikau,
anakku, merupakan bulu-cumbu baginda yang paling
disayang. Bukankah sejak masih raden Wijaya h ingga bergelar
raja Kertarajasa Jayawardhana, tak kunjung putus baginda
melimpahkan budi kebaikan kepadamu?"
Lembu Sora berhenti sejenak untuk menyelidik kesan.
Sampai sejauh manakah ucapannya itu dapat meresap
kedalam hati adipati Tuban itu. Pada lain saat ia melanjutkan
pula "Kita adalah prajurit yang menganggap diri kita sebagai
ksatrya. Diantara salah suatu sifat dari seorang ksatrya yang
luhur, ialah tahu membalas budi. Tribrata, tiga laku ut ama.
Mempersembahkan puji syukur kepada Gusti Yang Maha
Kuasa atas segala berkah dan rahmitNya. Membalas budi
kepada orangtua, guru yang telah merawat dan mendidik kita.
Membalas budi kepada rfija dan negara yang telah memberi
pengayoman dan kesejahteraan hidup ... "
Kembali rakryan demang itu berhenti untuk mengatur
napas, kemudian "Salah satu cara untuk membalas budi
kepada raja adalah mematuhi segala peraturan yang telah
dituangkan dalam undang2 negara. Misalnya, karena
pengangkatan Nambi itu sudah menjadi keputusan baginda,
wajiblah kita ment aatinya. Tindakanmu menentang pengangkatan itu, disamping dapat dianggap sebagai tindak
seorang ksatrya yang tak tahu membalas budi, pun cenderung
untuk dituduh sebagai t indak menghina seorang kepala negara
... " "Paman!" tiba2 Rangga Lawe menukas nyaring "adakah
kalau seorang tua bertindak keliru dan puteranya
mengaminkan saja, dapat dianggap sebagai seorang anak
yang berbakti" Adakah kalau raja bertindak khilaf dan kita
yang merasa menerima kenikmatan hidup dari negara,
mengiakan saja. Dapat dianggap sebagai seorang ksatrya
yang tahu membalas budi" Jika demikian halnya, biarlah
Rangga Lawe dituduh sebagai manusia kasar, adipati
pemberontak dan ksatrya yang tak kenal budi! Aku tetap
menentang pengangkatan Nambi. Rawe2 rantas, malang2
putung! Biarlah karena tindakanku it u, aku harus kehilangan
pangkat, kedudukan dan bahkan jiwa raga!"
"Tetapi adakah sudah terbukti bahwa sebagai Patih
Amangkubumi, Nambi telah merosotkan kewibawaan raja dan
kerajaan?" selut uk Lembu Sora.
Rangga Lawe tertawa hambar "Barangsiapa yang makan
buah maja keliwat banyak, tentu akan keracunan. Paling t idak
tentu mabuk. Dengan dasar pengalaman, kita wajib
menasehati orang supaya jangan memakannya. Bukankah
ganjil apabila kita biarkan dulu orang itu mabuk atau mati
keracunan setelah makan maja, kemudian baru kita nasehati
supaya jangan makan" Bukankah itu sudah terlambat"
Demikian dengan diri Nambi. Berdasarkan tingkah dan
peribadinya yang sudah kit a ketahui, dapatlah kupastikan
kalau dia tentu tak mampu mengendalikan pemerint ahan
Majapah it. Soal negara bukan soal coba2. Adakah sesuai kita
baru bertindak kalau keadaan sudah rusak" Bukankah
mencegah lebih tepat daripada memperbaiki?"
Ucapan yang tajam dari Adipati T uban itu membuat Lembu
Sora t erpukau. Sumber akal pikirannya, tersibak berhamburan
oleh kata2 Lawe. Untunglah pengalaman dapat membantu
demang yang tengah terdesak dalam perbantahan itu. Sejenak
mengheningkan cipta, dapatlah ia menemukan tangkisan.
"Lawe, pengangkatan Nambi bukan suatu hadiah yang
jatuh dari langit. Melainkan hasil keputusan baginda raja yang
telah dipermusyawarahkan dengan para menteri kerajaan.
Jelas bahw a pengangkatan Nambi itu telah didukung oleh
seluruh menteri narapraja kerajaan, kecuali engkau seorang!"
sahut Lembu Sora tak kalah tajam "adakah baginda dan
segenap mantri kerajaan itu, kalah pandai dan kalah luas
pandangannya dengan engkau " Adakah kcputusan dari
kekuasaan yang tertinggi dalam kerajaan Majapahit itu harus
tunduk pada engkau seorang ?"
Merah padam wajah Rangga Lawe. Dadanya berombak
keras. Sebenarnya Lembu Sora sudah siap melontarkan kata2
yang lebih tajam lagi. Tetapi ia dapat menimang
kebijaksanaan. Jika didamprat dengan kata2 yang tajam,
Rangga Lawe tentu malu. Manusia yang berwatak seperti
Rangga Lawe tentu memilih mati daripada malu.
"Lawe, sudahlah, t ak perlu kita berbantah berkepanjangan"
akhirnya Lembu Sora berkata "pulanglah dan mint alah
pertimbangan pada kakang Wiraraja. Beliau seorang ahli
pemikir yang cerdas. Bila kakang Wiraraja menyetujui
tindakanmu, akupun akan ikut mendukungmu. Tetapi
sekiranya kakang t ak merestui, engkaupun harus tunduk .... "
Rangga Lawe tertegun. Saran Lembu Sora itu memang
jalan keluar yang terbaik. Jika ia menuruti kemarahannya
untuk mengamuk, dia tentu akan dibunuh oleh pasukan
kerajaan. Baiklah ia menuruti anjuran Lembu Sora. Pulang
dulu ke Tuban dan meminta pendapat ayahnya. Ia tetap
menentang dan akan dituduh memberontak atau akan taat
pada keputusan raja, baiklah pertimbangkan lagi. Namun
untuk mundur dari pendiriannya, rasanya ia segan.
"Jika paman tak sampai hati mengakhiri hidup Lawe,
baiklah. Aku akan pulang dan akan kupikirkan masak2 segala
peristiwa yang terjadi hari ini. Jika baginda berkenan
mengabulkan permohonanku, aku pasti tetap mengabdi dan
siap menyediakan diri sebagai tumbal negara. Namun kalau
permohonanku itu dianggap sepi, akupun akan mempertimbangkan langkah. Tetap mengabdi atau terpaksa
memberontak!" Selesai melantangkan ucapan, adipati Tuban itu terus
ayunkan langkah keluar dari balai bang. Prajurit2 penjaga
keamanan keraton, serempak bersiap.
Tetapi mereka hanya membatasi diri pada sikap kesiapsiagaan. Selama belum menerima perint ah, tak berani mereka
sekehendak hati. Diam2 prajurit itu bersyukur dan berharap
mudah2an jangan menerima perint ah. Mereka kenal siapa dan
bagaimana kesaktian adipati T uban.
Tiba diambang pura se-konyong2 Rangga Lawe berhenti,
berpaling menghadap keraton lalu berlut ut menyembah
"Baginda Kertarajasa junjungan hamba, terimalah sembah
bhakti Lawe yang terakhir. Bukan karena hamba tak tahu
membalas budi, tetapi hamba benar-benar merasa malu
karena pengabdian hamba untuk msnegakkan kewibawaan
kerajaan ternyata paduka tolak. Seorang prajurit lebih baik
mati daripada ditolak pengabdiannya .... "
Ia berbangkit lalu tegak menggagah dengan, bercekak
pinggang dan berseru lantang "Hai, orang2 Majapahit! Kalian
telah menghina Rangga Lawe. Ber-siap2lah mengasah
senjatamu tajam2 agar jangan t erbunuh oleh prajurit2 Tuban.
Rangga Lawe tak sudi menginjak keraton Majapahit lagi
sebelum menjadi mayat!"
Berlapis-lapis pasukan bhayangkara dan kalanabhaya,
tegang regang. Mereka marah atas ucapan Rangga Lawe yang
mengancam itu. Namun mereka miris juga membayangkan
akibatnya apabila mereka menerima perint ah untuk
menangkap macan dari Tuban itu.
Barisan prajurit dari pasukan yang menjaga keamanan
keraton it u tak dapat berbuat apa2 kecuali lontarkan pandang
mata kearah adipati T uban yang dengan langkah lebar keluar
dari pura, mencemplak kuda dan mencongklang sepesat
angin. Lenyapnya bayangan adipati Tuban ku segera berganti
dengan suara alunan kentongan t it ir yang riuh rendah. Suatu
pertandaan bahwa pura Majapahit sedang menghadapi
ancaman bahaya besar ....
0o-o-dw-o-o0 II "Lawe, mengapa engkau bermuram durja sedemikian
rupa?" tegur Adipati sepuh Wiraraja ketika puteranya
menghadap. Setelah Rangga Lawe diangkat sebagai Adipati Tuban dan
Dataran, adipati Wiraraja tak kembali ke Madura melainkan
tinggal bersama puteranya.
"Benarkah engkau ke Majapahit ?" Wiraraja menyusuli kata.
Rangga Lawe mengiakan. Kemudian ia menuturkan
peristiwa ia menghadap baginda Kertarajasa dan apa yang
dialaminya dipura Majapahit.
Adipati sepuh Wiraraja terdampar dalam gelombang
01 Gajah Kencana Manggala Majapahit Karya S. Djatilaksana di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
kegelisahan. Lama ia t ermenung diam. Baru ia agak t erhenyak
sadar dari lamunan, ketika pandang matanya tertumbuk
dengan tatapan Rangga Lawe. Tatapan seorang anak yang
menuntut petunjuk dari sang ayah. Wiraraja tersadar. Naluri
ke-ayahannya bangkit. Sebagai seorang ayah, ia harus
menolong puteranya yang tengah menderita kesulitan.
Wiraraja menyadari pula bahw a setiap langkah yang akan
ditindakkan Rangga Lawe it u, besar sekali akibatnya. Salah
langkah berarti suatu malapetaka yang akan membawa
kemusnahan keluarga dan huru hara yang mengganggu
keselamatan rakyat Tuban dan Majapahit.
Wiraraja kerutkan dahi. Ia merasa bahw a saat itu ia
dihadapkan dengan t antangan yang jauh lebih berat daripada
ketika dahulu raden Wijaya datang mint a bantuan kepadanya.
Karena yang dihadapi saat itu adalah persoalan gawat antara
puteranya dengan raja Kertarajasa atau raden Wijaya.
Wiraraja, adipati Madura yang terkenal sebagai ahli pikir
dan siasat yang ulung, saat itu benar2 diuji kepandaiannya. Ia
tahu perangai puteranya itu. Sejak kecil Lawe memang
beradat keras, pemberani dan berangasan. Sukar ditaklukkan
dengan kekerasan melainkan harus diendapkan dengan kata2
penyadaran yang mengena. Maka ditempuhnyalah jalan itu.
"Lawe" mulailah Adipati sepuh itu melancarkan usahanya
untuk memberi penyadaran kepada puteranya "kutahu betapa
perasaanmu. Engkau berani bertindak karena demi
memikirkan kepentingan kerajaan. Engkau telah menunjukkan
salah satu sifat dari seorang ksatrya yang mengabdi raja. ialah
yang disebut Mantri wira, sifat seorang pembela negara yang
berani dan tegas .... "
Rangga Lawe agak terkesiap. Ia tak menduga bahwa
ayahnya yang diduga tentu tak menyetujui tindakannya,
ternyata tidak bersikap demikian. Ayahnya tampak memberi
angin. Ketegangan hati Rangga Lawe agak reda. Ia
mengangguk pelahan "Benar, memang demikianlah t ujuanku"
Diam2 cerahlah hati Wiraraja karena merasa berhasil
memikat perhatian puteranya kearah lingkar pembicaraan
yang telah disiapkan. "Lawe, masih ingatkah engkau akan ajaran perilaku seorang
ksatrya yang pernah kukatakan kepadamu dahulu?" tanya
Wiraraja. "Masih ...." sahut Lawe dengan nada keragu-raguan.
Memang sejak ikut berjuang membantu raden Wijaya sampai
diangkat sebagai Adipati T uban, Lawe sudah memisahkan diri
dengan ayahnya. Dan karena sibuk dengan urusan perjuangan
dan negara, ia tak sempat lagi merenungkan ajaran2 yang
diwejangkan ayahnya semasa ia masih belum dewasa.
Wiraraja tertawa kecil "Ah, Lawe, kutahu engkau tentu
terlalu sibuk dengan tugas perjuangan dan negara sehingga
engkau tak ingat seluruhnya lagi. Baiklah, ayah akan
menguraikan lagi ajaran2 yang pernah kuresapkan dalam
sanubarimu dahulu. Lawe, apa yang telah kubekalkan
kepadamu dahulu, memang bukan harta, bukan pula ilmu
jaya-kawijayan yang sakti. Melainkan serangkaian kata2
peneguh iman, penebal keyakinan. Tujuh sifat yang wajib
dimiliki o leh seorang ksatrya seperti engkau dalam
pengabdianmu kepada negara .... "
Adipati Wiraraja berhenti sejenak, lalu "Pertama ialah
Mantriwira, selalu berani mempertaruhkan jiwa raga untuk
membela negara. Kedua, Matanggwan, berusahalah untuk
mendapat kepercayaan rakyat dan negara. Ketiga, Satya
bakty aprabu, ialah memiliki rasa set ya yang ikhlas kepada
negara. Keempat, Sardjdjawopasama, bersikap rendah hati,
ramah, tulus, lurus dan sabar. Kelima, ialah dhirotsaha,
selalu bekerja dengan rajin dan sungguh2 serta berhati teguh.
Keenam, widjanya, berlaku bijaksana penuh hikmat dalam
menghadapi kesukaran dan kegentingan. Dan yang ketujuh
ialah Anayaken musuh, memusnahkan setiap musuh yang
hendak mengganggu, merintangi dan membahayakan
negara...." "Ketujuh perilaku itulah yang kut anamkan dalam
sanubarimu. Agar engkau memperoleh hasil yang gemilang
dalam pengabdianmu kepada baginda Kertarajasa dan negara
Majapah it. Dan ternyata harapanku tak engkau sia2kan.
Baginda telah menganugerahkan kedudukan adipati kepadamu. Teruskanlah pengabdianmu yang berlambar
ketujuh perilaku itu, Lawe. Kuyakin, kelak engkau t entu dapat
mencapai ke tangga puncak kedudukan yang tertinggi"
Rangga Lawe terkesiap. Ia tak mengerti mengapa ayahnya
perlu menguraikan petuah2 lama dari beberapa tahun yang
lalu, apakah hubungannya dengan tindakannya ke Majapahit
itu" "Semua ajaran ayah pasti kujunjung khidmat" akhirnya ia
memberi sekedar pernyataan.
"Tidak cukup hanya menjunjung tetapi yang penting harus
melaksanakannya" "Baik" kata Rangga Lawe "sekarang harap ayah suka
memberi petunjuk, bagaimanakah seyogyanya sikap dan
tindakanku terhadap baginda" Rasanya baginda tentu menolak
usulku" Wiraraja menghela napas dalam. Kiranya hanya beberapa
saat ia dapat menghibur diri. Akhirnya soal yang
menggelisahkan hatinya itu, tampil juga. Rangga Lawe tetap
menuntut pendapatnya. "Sesungguhnya pandanganku sudah tertuang dalam
ketujuh wejangan tadi. Ketujuh sifat itu harus menunggal,
mengejawantah dalam sebuah wadah yang merupakan
pengabdian tulus ikhlas ..... "
"Bukankah wejangan yang terakhir itu ialah ANAYAKEN
MUSUH, tegasnya memusnakan siapa saja yang hendak
merint angi dan mengganggu kewibawaan negara" Kupandang
Nambi t ak cakap .... "
"Engkau benar, Lawe" Wiraraja menukas dengan helaan
napas pula "tetapi tak cukup engkau hanya menitik-beratkan
pada sifat yang ke tujuh dan mengabaikan lain2 sifat. Engkau
melalaikan sifat yang kedua MATANGGWAN. Adakah dengan
tindakanmu menentang pengangkatan Nambi itu engkau
merasa akan mendapat kepercayaan rakyat" Dan laku yang
ketiga SATYA BHAKTY APRABU, adakah dengan tindakanmu
itu engkau merasa setya pada keputusan raja" Begitu pula
engkau harus ingat akan laku yang keempat SARDJDJAWOPASAMA, bersikap rendah hati, ramah, tulus,
lurus dan sabar. Adakah engkau merasa apa yang engkau
lakukan dihadapan baginda itu sesuai dengan laku itu"
Kemudian adakah engkau merasa bahw a segala langkah
tindakanmu itu sudah sesuai dengan laku WIDJNYA ialah
harus bijaksana penuh hikmah dalam menghadapi kesukaran
dan kegentingan" Ah, puteraku, cobalah engkau renungkan
semasak-masaknya. Semoga para dewata memberkahi engkau
pikiran2 yang terang dan jernih . . . "
Terpukau Rangga Lawe mendengar ucapan ayahnya. Ia
merasa bahw a apa yang diungkap ayahnya itu, benar-benar
bagai Nurcahya yang menyinari kegelapan pikirannya. Hampir
pudarlah semangatnya. Tiba2 terlint as apa yang telah
dilakukan d i hadapan raja Majapahit. Betapa kokoh dan gigih
ia memperjuangkan pendiriannya dihadapan baginda. Betapa
yakin ia akan kebenaran pendiriannya itu. Dan betapa muak
perasaannya terhadap Nambi.
Bagai awan berhamburan dihembus angin pawana, seketika
memancar pulalah percikan api yang telah di perjuangkan
selama ini "Y ah, justeru karena hendak melaksanakan laku
MATANGGWAN untuk mendapatkan kepercayaan rakyat.
Justeru karena hendak mempersembahkan SATYA BHAKTI
APRABU, justeru pula untuk mengamalkan laku MANTRIWIRA
dari seorang abdi negara yang benar2 hendak membela
negara maka makin mantaplah keputusanku untuk
melaksanakan laku ANAYAKEN MUSUH, rawe2 rantas malang2
putung . . .! " seru Rangga Lawe.
"Lawe ... " "Lawe putera W iraraja haram mundur menghadapi bahaya!
Haram menghalalkan yang bathil !"
"Lawe!" teriak Wiraraja "jangan engkau lanjutkan jua
keputusanmu itu. Kokohkanlah imanmu pada laku SATYA
APRABU, anakku. Karena berhianat itu berat akibatnya dalam
akhirat dan penitisanmu yang akan datang kelak!"
Rangga Lawe tertegun. Ia menyadari kebenaran ucapan
ayahnya. Namun darahnya yang panas, cepat meledak. Ia
anggap tanpa perjuangan, setiap pendirian dan keyakinan
tentu takkan terlaksana. "Ayah telah membentuk peribadi masa kanak2ku. Tetapi
alam kedewasaanku, bermandi perjuangan. Dan kesadaran
pikiranku, terbuka oleh kebesaran alam. Adalah sudah menjadi
Kodrat Alam bahw a segala di dunia in i t ak kekal sifatnya. Yang
muda jadi tua, yang tua akan tiada. Mati merupakan kodrat
Illahi yang t ak dapat dihindari" kata Lawe dengan nada penuh
gelora" "tetapi walaupun sifatnya sama, mati itu banyak
caranya. Mati di atas tempat tidur beralas lunak dan mati di
medan juang yang bergenangan darah. Mati dalam rangkulan
wanita cantik atau mati di ujung tombak. Mati karena takut
mati, atau mati karena harus mati. Mati karena kodrat atau
mati karena memperjuangkan cit a. Ayah, dari sekian jenis cara
kematian itu, putera adipati Wiraraja in i, akan memilih
kematian sebagai seorang ksatrya. Karena kematian itulah
kematian yang luhur dan bahagia. Kematian yang akan
menjelmakan aku dalam tingkat kehidupan yang lebih baik
pada penitisanku yang akan datang ..."
"Y ah, relakanlah puteramu menjadi tumbal negara
Majapah it apabila takdir memang menghendaki begitu" tiba2
Lawe menyembah, mencium kaki W iraraja lalu mengundurkan
diri. Adipati Wiraraja menangis sedu
Rangga Lawe segera mengadakan persiapan. Ia memanggii
semua mentri, akuwu, demang dan tumenggung dalam
wilayah kekuasaannya. Ia menguraikan panjang lebar tentang
kunjungan ke pura Majapahit dan semua peristiwa yang
dialaminya mengenai pengangkatan Nambi sebagai Patih
Amangkubumi. . "Mulai .saat ini Tuban lepas dari kekuasaan Majapahit.
Karena Majapahit dipimpin oleh seorang Patih Amangkubumi
yang tidak cakap, rencah budi dan tiada berwibawa!" seru
Rangga Lawe. Kemudian ia mengakhiri pernyataan dengan
nada tekanan yang tinggi melantang "Rangga Lawe berontak
bukan karena hendak menumbangkan kekuasaan baginda
Kertarajasa. Tetapi justeru hendak membela dan menegakkan
kewibawaan baginda. Apabila Nambi sudah lenyap, Tuban
akan bernaung kembali di bawah kekuasaan Majapahit!"
Gegap gempita sorak menggelegar di alun2 kadipaten
Tuban. Bumi seolah-olah tergetar, langit seakan-akan hendak
rubuh. Seluruh mentri, akuwu, demang, tumenggung, prajurit
dan segenap lapisan rakyat Tuban serempak mengucapkan
ikrar, set ya membela Rangga Lawe dan bumi Tuban sampai
titik darah yang penghabisan.
Para pengikut Rangga Lawe yang tersebar di daerah
Majapah it, demi mendengar gerakan Rangga Lawe, serentak
berbondong-bondong menuju ke Tuban. Di bawah pimpinan
Tosan, Kidang Glatik, Siddi, Cek Munnggang dan Klabang
Curing, mereka menuju ke Tuban untuk menggabungkan diri
pada Lawe. Lolosnya Rangga Lawe dari pura Majapahit dengan
meninggalkan ancaman yang giris, menyebabkan rakyat
Majapah it : gentar dan gelisah. Raja Kertarajasa amat
perihatin sekali atas peristiwa Adipati Tuban it u. Apalagi
setelah masuk laporan bahwa Tuban telah menyatakan
melepaskan diri dari kekuasaan Majapahit, baginda makin
resah. Baginda terpaksa menitahkan diadakan rapat Balagana
ahem apupul atau rapat tentara. Bertempat di Skandhawara
Nikata atau Markas Besar kerajaan yang terletak di sebelah
barat alun2 keraton. Biasanya rapat Balagana Ahem Apupul itu diadakan tiap
tahun pada bulan Caitera ( bulan Masehi: Pebruari - Maret ).
Maksud rapat tahunan itu ialah hendak memperteguh akhlak
dan martabat para prajurit. Supaya mereka jangan melakukan
kesalahan dalam menjalankan kewajiban yang dipikulkan
negara maka haruslah mereka memperbaiki kesusilaan dan
mentaati disiplin. Diantara kejahatan prajurit yang hendak
diberant as terutama ialah supaya jangan berkelakuan TAN
LAMLAMA RING ULAH, serakah tamak atau korupsi. Mencuri
atau merampas pakaian orang lain atau WA STRADYAHARANA.
Lebih berat hukumnya apabila prajurit melakukan kesalahan
mengambil atau merusak barang suci dari apa yang disebut
DEWASWADINYA atau hak milik agama. Kesimpulan dari pada
rapat tahunan itu ialah menanamkan kesadaran dan
memperbaharui sumpah prajurit. Mentaati disiplin dan tidak
melakukan segala yang dilarang agar dapat terpeliharadengan baik.
Tetapi sidang tentara kali itu, merupakan sidang darurat
untuk membicarakan dan memutuskan sikap terhadap Adipati
Tuban. Rapat memutuskan untuk mengirim pasukan ke T uban
untuk memberi penerangan dan menyadarkan Rangga Lawe
agar jangan bertindak gerusa-gerusu. Baginda berkenan
menerima dan memperhatikan usul Rangga Lawe. Namun
karena sudah terlanjur mengumumkan pengangkatan Nambi
sebagai Patih Amangkubumi, sebagai seorang raja yang haru s
memegang kewibawaan 'sabda pandita ratu', baginda tak mau
membatalkan pengangkatan itu dan tetap akan memberi
kesempatan pada Nambi. Apabila ternyata Nambi memang tak
cakap, baginda tentu segera membebaskan kedudukannya,
sesuai dengan tuntutan Rangga Lawe.
Namun bila Rangga Lawe ternyata berkeras tak mau tunduk
pada keputusan baginda, pasukan itu diberi purbawisesa atau
wewenang untuk menindaknya. Sebagai pimpinan pasukan,
01 Gajah Kencana Manggala Majapahit Karya S. Djatilaksana di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
telah diangkat Nambi. Pertama, karena Nambilah yang
menjadi pokok penuntutan Rangga Lawe. Kedua, agar Nambi
dapat membuktikan diri bahw a dia cakap memimp in
pemerint ahan dan menjaga keamanan negara.
Tatkala mendengar gerakan para pengikut Rangga Lawe
yang meninggalkan wilayah Majapahit menuju ke Tuban,
Nambi segera melakukan pengejaran. Akhirnya dapatlah
pasukan Majapahit menyusul rombongan pengikut Rangga
Lawe itu ditepi sungai Tambak Beras. Saat itu sungai T ambak
Beras sedang meluap sehingga terhalanglah perjalanan
rombongan pengikut Lawe itu. Mereka melawan ketika hendak
dicegah pasukan Majapahit. Terjadilah pertempuran seru yang
berlangsung dari pagi sampai petang hari. Namun karena
kalah besar jumlahnya dan kalah lengkap persenjataannya,
akhirnya rombongan pengikut Rangga Lawe it u dapat di
hancurkan oleh pasukan Majapahit.
Keesokan harinya, pasukan Majapahit itu menyeberang
sungai Tambak Beras menuju ke Tuban. Saat itu air sudah
surut hingga dengan mudah pasukan Majapahit dapat
menyeberangi. Menteri Gagarangan dan Tambak Baya yang mendapat
laporan dari sandi telik atau mata2 yang ditugaskan
mengawasi gerak gerik fihak Majapah it, segera menghadap
Rangga Lawe untuk memberitahukan bahwa pasukan
Majapah it sudah bergerak menuju ke Tuban.
"Siapkan pasukan Tuban dan hancurkanlah orang2
Majapah it itu!" perint ah Rangga Lawe. Setelah kedua mentri
itu melakukan perint ah, Rangga Lawepun segera masuk
kedalam kadipaten untuk menemui kedua orang isterinya,
Mertaraga dan Tirtawati. "Duh kakangmas Adipati, junjungan yang kami muliakan,
gurulaki yang kami sujuti. Apakah sebabnya maka wajah
paduka semerah bara " Adakah paduka hendak menjatuhkan
amarah kepada kami berdua?"
Rangga Lawe tersentuh mendengar tegur sambutan kedua
isteri yang dikasih inya itu. Hampir pudarlah nyala semangat
juangnya. Betapa tidak! Sudah bertahun-tahun ia h idup
berkasih-kasihan dengan kedua isterinya yang cantik setya
kepada guru laki. Dan sudah pula dikaruniai seorang putera
kecil yang diberi nama Kuda Anjampiani. Adakah yang masih
kurang padanya" Pangkat tinggi, kedudukan mulia, harta berlimpah, isteri
cant ik dan putera mungil. Bukankah jarang di se luruh negara
Majapah it orang yang dapat menyamai kebahagiaan hidup
seperti dirinya itu"
Mengapa ia harus mempertaruhkan kenikmatan duniawi,
keselamatan jiwanya, isteri dan putera yang masih kecil itu
pada persoalan Nambi" Apa sangkut dirinya dengan
pengangkatan Nambi sebagai Patih Amangkubumi" Bukankah
ia masih tetap Adipati Amancanagara yang berkuasa penuh
atas wilayah Tuban dan Dataran" Bukankah baik buruknya
Nambi sebagai Patih Amangkubumi, pasang surutnya
kewibawaan Majapahit, bukan ia sendiri yang harus
bertanggung jawab" Segenap mentri narapraja mempunyai
tanggung jawab penuh atas keselamatan dan kewibawaan
kerajaan Majapah it. Bahkan baginda rajalah yang paling besar
tanggung jawabnya! Tiba2 pada saat2 pikiran Rangga Lawe hampir tenggelam
dalam larut pertimbangan yang berkhayal kenikmatan duniawi,
telinganya terngiang pula oleh pekik sorak gegap gempita dari
para menteri, akuwu, demang, tumenggung dan seluruh
rakyat Tuban ketika menyambut pernyataan Rangga Lawe
bahw a saat ini Tuban berdiri d i atas kedaulatan sendiri. Lepas
dan kekuasaan Majapahit. Dahi Rangga Lawe makin mengeriput tandas. Peluh
bercucuran deras dari kepalanya. Kemudian telinganya
terngiang pula akan ikrar dari segenap narapraja dan segenap
rakyat Tuban yang bersumpah setya kepadanya. Rakyat
Tuban bertekad membela bumi tumpah darahnya sampai titik
darah yang penghabisan! Api semangat Adipati Tuban yang hampir saja padam
terhembus bau harum semilir dan buaian pandang setajam
anakpanah Batara Kamajaya dari kedua isterinya, seketika
menyala pula. Adipati itu tersenyum cerah "Diajeng Mertaraga
dan Tirtawati, juwita pujaan kakang. Jangan salah faham.
Buanglah keresahan hati adinda bahwa kakang datang dengan
membawa nafsu kemarahan kepada kalian. Bukankah selama
bertahun-tahun ini kakang tak pernah marah kepada diajeng
berdua" Inginkah diajeng mengetahui betapa besar cinta
kakang kepada dikau berdua" Cint aku kepada kalian, laksana
convert txt : http://www.mardias.mywapblog.com
air bengawan Tambak Beras yang tak pernah kering
sepanjang masa. Eh, ingin benar kakang mendengar juga
pernyataan kasihmu, diajeng Mertaraga?"
"Ah, kakang mas Adipati, mengapa paduka masih
meragukan ketulusan cint a Mertaraga in i setulus persembahan
seluruh milikku kepada kakangmas ?"
Rangga Lawe tertawa "Entah bagaimana, harin i aku ingin
sekali bercumbu rayu dengan diajeng berdua. Ingin kunikmati
pula saat2 bahagia dari kesyahduan malam pengantin yang
bernafaskan keharuman bunga2 di taman Indraloka dan
bersenyawakan tetesan sari madu dari cupu manik sang
Kamajaya" Cobalah diajeng Mertaraga, engkau katakan lagi
bisikan suksma yang engkau hembuskan dikala kita memadu
kasih itu " Rangga Lawe, senopati yang terkenal gagah perkasa dan
berangasan itu, ternyata dalam menghadapi medan
perjuangan asmara, juga gagah perkasa dan tangkas seperti
sang Arjuna. "Ah, mengapa kakang Adipati hendak mengada-ada.
Baiklah, Mertaraga tak pernah menolak apa yang kakang
kehendaki. Dengarlah kakang pernyataan Mertaraga. Cint aku
kepadamu, kakangmas, bagaikan kuku hitam. Sore dipotong,
esok hari tumbuh. Pagi dikupas, Pagi dikupas, sorepun
tumbuh. Tak pernah cintaku berhenti tumbuh selama hayat
masih dikandung badan"
"Y a, ya, yayi Mertaraga" Rangga Lawe mengecup tawa
"kuingat dikala engkau membisikkan ikrarmu itu engkaupun
serahkan tubuhmu ke dalam pelukanku. Saat itu kit a serasa
terbang ke Nirwana ..."
Mertaraga tersipu-sipu malu dan mencubit lengan
suaminya. Kemudian berkatalah Rangga Lawe kepada
Tirtawati dan mint a isterinya itu melakukan seperti pernyataan
Mertaraga. "Ah, kakangmas, rasanya pagi ini masih belum hilang linu
letih tulang hamba menerima luapan kasih kakang tadi malam.
Masakan kakang masih belum puas ..." Tirtawati menyelut uk
manja. "Diajeng Tirtawati, memang takkan pernah Rangga Lawe
merasa puas meneguk air-rasa dalam sumber dirimu, yayi"
kata Rangga Lawe tertawa "karena hanya air-rasa dalam
tubuh dinda, yang menjadi sumber zat-hidupku "
Tirtawati tersenyum bahagia "Baiklah, akan kuulang i pula
ikrar cintaku kepadamu dahulu, sekarang dan selamalamanya, kakang. Cint a Tirtawati bagaikan pohon yang besar.
Walaupun tiap hari dipapas, namun bukan pohon itu mati
tetapi malah tumbuh makin subur dan makin rindang seperti
rasa cint aku" "Duh, duh yayi Tirtawati dan Mertaraga, betapa bahagialah
hidup Rangga Lawe mendapat kawan hidup puteri2 cantik dan
set ya guru laki seperti kalian in i" kata Adipati Tuban seraya
memimpin kedua isterinya masuk ke dalam peraduan.
Rangga Lawe bersama kedua isterinya segera tenggelam
dalam hanyutan gelombang keindahan hidup yang dihayati
oleh dua jenis titah Allah. Keindahan dan kenikmatan Asmara
dari nafsu Alami dan nafsu Kodrati insan2 alam fana.
Entah berapa lama maka tergoleklah mereka dalam
kekulaian bahagia. Ternyata bukan hanya pertempuran yang
menghabiskan tenaga. Tidurpun ada kalanya membuat tubuh
orang letih lunglai. Bukan hanya napas kuda lari kencang,
yang terengah-engah keras. Orang yang berpacu mencapai
puncak kenikmatan, pun nafasnya berhamburan deras bagai
gelombang laut mendampar pantai ....
Puas bermandi kemesraan kasih suami isteri, Adipati
Lawepun keluar bersama kedua isterinya ke pendapa "Yayi
Mertaraga dan Tirtawati. Tentulah yayi berdua heran mengapa
aku begitu bernafsu sekali mengajakmu bercumbu rayu. Y ayi
berdua, memang sudah menjadi tugasku sebagai suami
memberi kebahagiaan, perlindungan dan segala apa
kepadamu. Tetapi kiranya yayi berdua tentu mengerti bahwa
suamimu in i adalah seorang senopati perang yang diberi
pangkat kedudukan sebagai Adipati Tuban. Tugasku di rumah,
adalah sebagai suami dan ayah si Kuda Anjampiani. Tetapi
tugasku sebagai senopati, harus berperang dan membela bumi
Tuban. Ketahuilah yayi, bahw a mulai saat ini Tuban sudah
berdiri sendiri, lepas dari kekuasaan Majapahit . . "
"Kakangmas . . . . !" teriak Mertaraga dan Tirtawati
serempak. "Tenanglah yayi. Kita sedang
menghadapi coba Gusti yang
Maha Kuasa" kata Rangga Lawe
lalu menuturkan semua peristiwa
yang dialami ketika menghadap
baginda di Majapahit. Mertaraga
dan Tirtawati terlongong seperti
patung. "Nah, kini tibalah sudah
saatnya, aku harus memenuhi
kewajibanku sebagai senopati.
Pasukan Majapah it mulai bergerak menuju ke Tuban ...."
"Duh, kakangmas ...." serta
merta Mertaraga dan Tirtawati berlutut memeluk kaki Rangga
Lawe "mengapa kakangmas hendak bermusuhan dengan
baginda prabu Majapahit" Bukankah sang prabu itu junjungan
kakangmas yang amat kasih sayang kepada kakangmas?"
"Diajeng, justeru karena hendak memuliakan budi sang
prabu itulah maka aku terpaksa mengangkat senjata. Apabila
Nambi sudah tumbang, aku pasti akan kembali mengabdi
kepada baginda lagi. Tetapi rasanya hal itu sukar terlaksana.
Majapah it sudah mengirim pasukan ke Tuban dan kakangpun
terpaksa harus melawan "
"Duh, kakangmas" Mertaraga meratap "dinda dapat
menyelami perasaan hati kakangmas. Dan Mertaraga tetap
akan patuh setya. Rangga Lawe salah, tetap suamiku. Rangga
Lawe benar, pun tetap gurulakiku. Rangga Lawe jaya,
Mertaraga hanya nunut sorganya. Tetapi Rangga Lawe binasa,
Mertaraga pasti akan belapati!"
"Benar, kakangmas, Mertaraga dan Tirtawati adalah garwa,
sigaran nyawa paduka" kata Tirtawati pula.
"Tetapi kakangmas" kata Mertaraga pula demi melihat
Rangga Lawe termangu "apabila kakangmas sudi mendahar
kata2 Mertaraga, kiranya janganlah kakangmas lanjutkan jua
peperangan ini . . ."
"Mengapa ?" Rangga Lawe terbeliak.
"Oleh Hyang W idhi kaum wanita yang lemah jasmaniah itu
diberi tambahan indera keenam yani Naluri tajam. Dengan
Indera keenam itu kami kaum w anita, cepat dapat merasakan
getaran halus dari set iap keadaan yang akan d ihadapinya,
sekarang dan yang akan datang. Melalui sarana Indera
keenam itulah agaknya Hyang Jagatnata telah membertikkan
suatu getaran halus atau Firasat dalam bentuk impian ...."
"O, engkau bermimpi diajeng?" seru Adipati.
Mertaraga mengiakan "Benar, kakangmas. Kemarin malam
aku bermimpi buruk. Bersama kakangmas aku bercengkerama
ditaman memetik bunga. Bunga itu kumasukkan dalam
keranjang. Tetapi bila dan ent ah dari mana, tiba2 muncullah
seekor burung gagak yang menyambar keranjang it u hingga
bunga tumpah ruah ketanah. Engkau marah dan terus
mengejar gagak itu. Aku berteriak-teriak memanggilmu,
kakang. Tetapi engkau tiba2 lenyap bersama burung gagak
itu. Aku menjerit dan menangis lalu terjaga dari mimpiku . . ."
Rangga Lawe terkejut. Diam2 ia mengakui bahwa mimpi
isterinya itu memang suatu alamat jelek. Namun sebagai
seorang ksatrya, tak mungkin ia mau menyerah pada musuh
hanya karena sebuah mimpi buruk.
"Ah, diajeng" katanya tertawa cerah "mimpi itu hanya
kembangnya orang tidur. Jangan engkau mengikat
perasaanmu dengan bayang2 kecemasan sebuah impian yang
ser"m. Kuanggap mimpimu itu baik sekali. Coba dengarkanlah
uraianku. Bunga itu suatu lambang Berkah yang suci. Kita
memetik bunga berarti kita memperoleh berkah. Sekalipun
dikacau si gagak hitam lambang Kejahatan, tetapi bunga itu
tetap berhamburan ketanah. Artinya, berkah itu tetap
menumpah di bumi Tuban. Dan gagak si Jahat itu melarikan
diri karena kuhalau. Itu berarti pula bahw a bahaya yang
mengancam rakyat Tuban akan lenyap!"
"Kakangmas" tiba2 pecahlah tangis Mertaraga beriba-ib a
"betapapun kakangmas hendak menghibur hatiku tetapi naluri
kewanitaanku tetap mengatakan bahwa mimpiku itu suatu
firasat yang buruk bagi keselamatan kakangmas ...."
"Diajeng Mertaraga" Rangga Lawe berseru keras "telah
kukatakan bahwa nasib manusia itu hanya di tangan Gusti
Yang Maha Agung. Bukan dari impian. Namun jika engkau
tetap merasa bahw a mimpimu itu suatu firasat buruk, akupun
tak kuasa melarang. Tetapi hendaknya engkau harus
mencamkan hal yang sudah ber-kali2 kut anam dalam
pengertianmu. Bahwa Rangga Lawe ini adalah seorang
prajurit, seorang senopati perang. Bahwa sebagai isteri dari
seorang prajurit, haruslah engkau sudah menyadari
bagaimana nasib yang sew aktu-waktu dapat menimpa diri
suamimu. Seorang isteri prajurit yang sejati, harus tabah
menghadapinya. Berbahagialah, hai Mertaraga dan Tirtawati
bahw a engkau telah di persunting oleh Rangga Lawe, seorang
prajurit yang gugur di medan perang. Karena jarang kaummu
yang memperoleh kesempatan dan berkah seperti yang
engkau miliki ..." "Duh, kakangmas Lawe, pepunden kami" serta merta
Mertaraga dan Tirtawati menelungkupi kaki A dipati T uban dan
01 Gajah Kencana Manggala Majapahit Karya S. Djatilaksana di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
menangis beriba-iba. Sambil membelai-belai rambut kedua isterinya, Rangga
Lawe menghibur "Menangislah diajeng berdua. Kuraslah
airmatamu untuk menyiram uratbayuku agar aku memiliki
kekuatan sakti untuk menghadapi musuh. Menangislah, asal
tangis itu bukan tangis pengiring kesedihan. Melainkan
airmata keramat yang akan membuat suamimu unggul
yudanya ..." Makin sedu dan pilu isak tangis Mertaraga dan Tirtawati.
"Sudahlah diajeng" akhirnya Rangga Lawe mencegah
kesedihan berlarut -larut "jangan engkau keringkan sama sekali
sumber airmata kalian. Sisakanlah untuk kemungkinan2 yang
bakal kita hadapi. Aku hendak mandi keramas yayi. Agar
tubuhku bersih dari noda2 kotoran. Dan sediakan seperangkat
busana perang yang baru!"
Setelah selesai mandi keramas dan mengenakan busana
perang yang baru, Rangga Lawe segera melolos cincin batu
permata merah daging. Cincin itu diberikan kepada Mertaraga
"Y ayi berdua, rendamlah cincin permata ini dalam bokor air.
Apabila air masih tetap jernih, tandanya unggul yudaku. Tetapi
bila air itu berobah merah darah warnanya, maka akupun
tentu sudah gugur..."
Kemudian keluarlah Adipati itu dari pendapa. Seorang inang
pengasuh yang menggendong seorang anak laki-laki kecil
segera maju menghadap sang Adipati Rangga Lawe cepatcepat meraih anak itu, dipeluk dan diciuminya dengan penuh
kasih mesra "Ngger Kuda Anjampiani, ayah akan ke Majapahit
menghadap raja. Engkau mint a apa, kulup?"
"Belikan mainan keret a perang, yah. Aku ingin jadi senopati
seperti ayah ...." Rangga Lawe terkesiap. Pada lain kejab dibelainya kepala
Kuda Anjampiani "Syukur ngger, engkau dapat mewarisi darah
kakek dah ayahmu. Eyang buyut, eyang, ayahmu, semuanya
prajurit. Dan kelak engkaupun harus jadi...." tiba2 Rangga
Lawe berdiam. Ia t ermangu.
Terlint as dalam benaknya, alam kehidupan yang dihayati
ayah dan dirinya selama ini. Ia merasa ayahnya, Adipati
Wiraraja, dan ia sendiri, tak pernah mengenyam ketenteraman
hidup. Walaupun hal itu memang merupakan kodrat masa, di
mana ia secara kebetulan hidup dalam jaman pergolakan dan
peperangan. Namun ia benar2 merasakan bahw a hidup
seorang senopati itu tak pernah menikmati ketenangan.
Mungkin bagi sementara senopati dan prajurit menganggap
bahw a tugas kewajiban mereka yang pokok hanyalah untuk
berperang membela negara dan dalam keadaan negara sudah
aman, mereka sudah bebas dari tugas pokok. Paling banyak
mereka hanya menjaga keamanan negara. Tetapi tidak
demikian yang dirasakan Rangga Lawe. Seorang senopati
prajurit, bukan hanya bertempur dengan musuh di medan
perang. Pun juga merupakan Bhayangkara negara yang
bertanggung jawab atas keamanan, keselamatan, kewibawaan
dan kelancaran pemerint ahan negara. Dan Rangga Lawe tak
pernah berhenti sedemikian luas. memikirkan tugas kewajibannya yang "Ah" tiba2 terdengarlah rasa kecew a dalam hatinya
mengenang peristiwa yang dihadapi saat itu "akhirnya hanya
beginilah nasib yang kuderita. Baginda yang telah kubela
dengan segenap jiwa raga menganggap diriku sebagai
seorang pemberontak ...."
Pandang matanya menatap Kuda Anjampiani. Ia merasa
bangga karena puteranya mewarisi darah keprajuritan. Tetapi
bila teringat akan nasib dirinya, serentak timbullah rasa
kecemasan. Kecemasan yang bersumber pada rasa kasih
sayang sebagai ayah. Apabila kelak puteranya menempuh
jalan hidup seperti dirinya dan sampai tertimpa sesuatu yang
tak diharap, bukankah akan putus keturunan Rangga Lawe.
Rangga Lawe, senopati yang gagah berani dan entah sudah
berapa puluh kali selalu menghancurkan musuh di medan
perang. Pada hari itu, telah menderita dua kali getaran jiwa.
Pertama persembahan kata dari Dyah Mertaraga tentang
mimpinya yang buruk. Dan kedua kali, dari ucapan puteranya
kecil yang menyatakan ingin jadi prajurit. Sepanjang sejarah
kehidupannya sebagai seorang senopati, belum pernah ia
mengalami getaran jiwa seperti saat itu.
"Ah, puteraku Anjampiani" katanya mesra "prajurit itu berat
penderitaannya dam tak pernah mengenyam ketenangan ...."
"Lalu ayah suruh aku jadi apa kelak?" tiba2 Kuda
Anjampiani berseru menukas.
Rangga Lawe gelagapan menyahut "Anjampiani, puteraku,
ah ... . engkau masih kecil. Kajilah dulu ilmu dari eyangmu
Palandongan ..." Tiba2 ucapan Adipati Tuban itu terputus oleh talu
genderang yang berkumandang riuh di alun2 kadipaten.
Pasukan Tuban sudah siap menunggu perint ah Adipati.
Rangga Lawe segera mencium pula puteranya dengan penuh
kasih sayang "Nah, puteraku, ayah segera akan berangkat ...."
ia serahkan Kuda Anjampiani kepada inang pengasuh.
Rangga Lawe ayunkan langkah pelahan-lahan. Beberapa
kali ia berpaling. Hatinya amat sayu melihat kedua isterinya
mengikuti dengan pandang rawan. Tiba di alun2 ia d itahan
ayah mentuanya, Kiageng Palandongan. Namun sia2 belaka
bujukan Kiageng Palandongan agar Adipati itu batalkan
niatnya. O)ooo-d-w-ooo(O III NAMBI terkesiap. Anakbuah pasukan yang dipimpinnyapun
berdebar-debar tegang ketika melihat Rangga Lawe
menghadang di tengah jalan. Ketegangan Nambi dan pasukan
Majapah it itu bukan karena gentar berhadapan dengan
pasukan Tuban yang lengkap persenjataan dan rapi pacak
barisannya. Tetapi orang2 Majapahit itu terpesona melihat
kewibawaan Adipati T uban saat itu.
Rangga Lawe duduk di atas punggung kuda Mega Lamat.
Mengenakan busana perang serba baru. Rambut terurai lepas.
Wajahnya berseri gemilang, memantulkan rasa paserah yang
ikhlas. Pinggangnya menyanggul sebatang keris berhias
rangkaian bunga melati, menyerbak bau harum.
Yang mengherankan kesan pasukan Majapahit ialah
bahw asanya Adipati Tuban itu memakai ikat pinggang kain
cinde putih. Suatu hal yang bukan sari-sarinya d ikenakan oleh
seorang Senopati yang tampil di medan perang
"Hai, Nambi, engkau dapat menjadi patih Amangkubumi,
asal engkau dapat memenuhi syaratnya!" tiba2 Rangga Lawe
berseru menghardik. "Hm, katakanlah syarat itu !" sejenak menenangkan
ketegangan hati, Nambi menyahut.
"Mudah sekali syaratnya. Engkau harus melangkahi mayat
Rangga Lawe dulu!" seru Rangga Lawe mengejek geram
"namun bila engkau tak mampu memenuhi syarat itu,
kepalamulah yang akan kupenggal dan kuinjak-injak sebagai
keset!" Merah membara wajah patih dari Majapahit itu. Jawabnya
"Cakapmu terlalu besar, Lawe! Hayo kita! buktikan, tulang
siapa yang lebih keras. Rangga Lawe atau Nambi!"
"Aku gembira melihat keksatryaanmu!" Rangga Lawe
segera gerakkan kuda Mega Lamat berputar-putar melingkari
lawan. Nambi takkan mau tinggal diam. Berbahaya apabila
dibiarkan saja Lawe mengitari dirinya. Setiap saat dirinya
dapat ditombak Lawe. lapun mainkan kudanya Brahma Cikur
untuk mengimbangi gerak lawan.
Demikian kedua kawan lama, saat itu saling berhadapan
sebagai musuh. Memang suatu peristiwa yang cukup
menyedihkan. Bahwa dua orang kadehan dari raden Wijaya
yang selama bertahun-tahun bahu membahu dalam
perjuangan, pada saat itu saling serang menyerang, tikam
menikam. Betapapun juga, Rangga Lawe memang lebih tangkas dan
berpengalaman dalam pertempuran. Setelah berhasil memikat
lawan supaya menusuk, tiba2 Rangga Lawe menarik kendali
sekerasnya. Mega Lamat dapat menangkap maksud t uannya.
Kuda itu menyurut mundur lalu secepat kilat berputar
kebelakang lawan dan maju merapat.
"Selamat jalan, Nambi!" serentak Rangga Lawe tusukkan
tombak ke lambung Nambi. Ia yakin Nambi tentu
berhamburan ususnya. Tetapi Nambipun cukup waspada. Walaupun ia terkejut karena tak menduga
Rangga Lawe melakukan siasat penyusupan yang amat cepat, namun ia tak sampai kehilangan daya untuk menghindar. Cepat ia
cepitkan kedua kakinya ke
perut Brahma Cikur. Kuda itu
tahu perint ah. Dengan sekuat tenaga, binatang itu
loncat ke muka. Tetapi ternyata masih kalah cepat
dengan tombak Rangga Lawe. Cret.....!! ujung tombak menyusup ke pinggul Brahma Cikur, tembus keluar
dari pinggul sebelah kanan.
Brahma Cikur rubuh bagai pohon ditebang. Karena sedang
loncat ke muka tetapi tiba2 rubuh, Nambi kehilangan
keseimbangan diri. Ia seperti didorong lalu dilempar ke t anah.
Untunglah patih Majapahit itu tak menderita luka parah kecuali
sedikit pening dan senjatanya terlepas. Serentak ia melenting
bangun. Tetapi pada saat itu pula, Rangga Lawepun sudah
menerjang dengan menyongsongkan ujung tombak.
Dalam gugup karena tak bersenjata, Nambi teringat akan
peristiwa raden Wijaya dikala hendah ditangkap Kebo
Mundarang patih dari Daha dahulu. Raden Wijaya menjejak
pematang sawah. Tanah muncrat tepat mengenai muka Kebo
Mundarang. Nambi akan mengulang cara itu. Serentak ia
membungkuk, merangkum segenggam pasir lalu ditaburkan ke
arah Rangga Lawe. "Uh ...." Rangga Lawe terkejut seraya mengusap matanya
yang tertabur pasir "hai, jahanam, hendak lari kemana
engkau!" sesaat matanya dapat memandang, ia terus hendak
menyerang. Tetapi ternyata Nambi sudah menghilang.
Nambi memang meloloskan d iri lalu bersama pasukannya
mundur melint asi sungai Tambak Beras, kembali masuk
kewilayah Majapahit pula. Rangga Lawe hendak mengejar
tetapi dicegah oleh para pengikutnya. Daerah di seberang
masuk wilayah Majapahit, berbahaya. Apalagi kekuatan
Majapah it belum seluruhnya dikeluarkan. Rangga Lawe
menurut. Raja Kertarajasa menerima laporan hasil kemenangan
pasukan yang dipimpin Nambi atas para pengikut Lawe yang
hendak menggabungkan diri ke Tuban. Tetapi serempak pada
saat itu pula, lurah prajurit Hangsa Terik menghadap dan
mempersembahkan laporan bahwa pasukan Nambi yang
bergerak menuju ke Tuban it u telah diobrak-abrik Rangga
Lawe. Kini anakbuah pasukan Majapahit tercerai berai lari
mengungsi dan bersembunyi di desa2. Mereka takut dikejar
pasukan Tuban. Baginda murka sekali. Serentak menitahkan supaya
mempersiapkan pasukan besar untuk menggempur Tuban.
Lembu Sora dan Kebo Anabrang mencegah. Pasukan
Majapah it masih lelah, sukar menghadapi serangan pasukan
Tuban. Tetapi baginda Kertarajasa rupanya sudah tak dapat
dicegah lagi. Ia memutuskan "Apabila Lawe tak dapat dibasmi,
pura Majapahit lebih baik kubakar jadi karang abang!"
Lembu Sora dan Kebo Anabrang tak berani menentang
kemurkaan baginda. Baginda segera menitahkan beberapa
perwira, Kala Angerak, Setan Kobar, Buta Angasak dan Juru
Prakosa untuk berangkat mencari pasukan Majapahit yang
dipimpin Nambi itu. Keempat nayaka gagah itu ditugaskan
untuk menghimpun dan menyusun kembali kekuatan pasukan
Majapah it yang porak poranda itu. Serta diperint ahkan supaya
menyelidiki kekuatan Tuban.
Setelah mereka berangkat, sang prabupun siapkan sepuluh
ribu prajurit, dipimpinnya sendiri menuju ke Tuban.
Tiba di padang Wirakrama, sang prabu mendapat laporan
dari sandi telik yang habis menyusup ke daerah musuh. Bahwa
Tuban telah siap untuk melanjutkan peperangan. Pasukan
Majapah it yang dipimpin Nambi tercerai berai sembuyi d i
desa2. Tak berapa lama, pasukan Tuban yang dipimpin Rangga
Lawe muncul hendak menggempur bala bant uan yang
dipimpin bag inda. Rangga Lawe mengendarai kuda Nila
Ambar. Baginda termangu. Beliau menyadari betapa banyak korban
yang akan jatuh dalam pertempuran itu nanti. Melihat sang
prabu gelisah, resah. Lembu Sora segera mohon idin untuk
maju menyambut Rangga Lawe. Baginda memberi idin.
Rangga Lawe segera dikepung dari tiga jurusan. Kebo
Amibrang dari jurusan timur. Gagak Sarkara dari barat dan
Mayang Mekar dari utara. Namun Adipati T uban itu sedikitpun
tak gentar. Diantara ketiga senopati Majapahit itu, ia memilih
lawan Kebo Anabrang Ia hendak melampiaskan dendam
kepada Kebo Anabrang
01 Gajah Kencana Manggala Majapahit Karya S. Djatilaksana di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
yang tempo hari berani menantangnya. Maka berhadapanlah kedua senopati digdaya itu.
"Lawe, menyerahlah. Mungkin baginda berkenan melimpahkan ampun kepadamu. Tetapi kalau engkau tetap
membangkang, mayatmu pasti tak berkubur tanah!" seru
Kebo Anabrang. "Jangan bermulut besar, Kebo Anabrang!" sahut Rangga
Lawe "di sini bukan tanah Melayu di mana engkau dapat
mempamerkan kesaktianmu! Bukan pula pura Majapahit di
mana engkau dapat mengangakan mulut selebar-lebarnya!
Tetapi yang engkau pijak ini adalah bumi Tuban, tanah yang
akan menjadi alas kuburmu!"
Kebo Anabrang hendak menjawab tetapi tak sempat lagi
karena Rangga Lawe sudah menerjang dengan tombak lurus
tertuju ke dadanya. Senopati Pamalayu itu cepat anjakkan
kudanya kesamping lalu menangkis dengan t risula, tring . . .
terdengar dering menggerincing dahsyat disertai hamburan
bunga api. Rangga Lawe dan Kebo Anabrang sama2 terbeliak.
Namun sesungguhnya, Rangga Lawe lebih kuat. Dia hanya
tergetar tangannya dan mukanya merah sejenak lalu tenang
kembali. Tetapi Kebo Anabrang rasakan sekujur lengan sampai
ke bahu bergetar keras dan melinu sampai ke ulu hati.
Wajahnya merah padam sampai beberapa saat.
Cepat sekali Rangga Lawe sudah menyerang pula. Tombak
dimainkan makin keras. Ujung tombaknya laksana u lar
memagut-magut ke tubuh lawan. Mencari dan, menyusup
lubang pertahanan Kebo Anabrang.
Diam2 senopati Pamalayu itu harus mengakui kegagahan
lawan. Tiada lain jalan kecuali saat itu ia harus membentuk
penjagaan diri yang ketat. Setelah tenaga lawan menurun,
barulah ia akan mengadakan serangan balasan.
Namun yang diharapkan Kebo Anabrang itu tak kunjung
tiba. Makin lama Rangga Lawe bahkan makin perkasa.
Serangannya bertambah gencar. Bahkan dalam sebuah
kesempatan, sekonyong-konyong Rangga Lawe melancarkan
siasat yang tak terduga-duga. Adipati Tuban itu ayunkan
ujung tombak mengarah t enggorokan lawan. Pada saat Kebo
Anabrang gentakkan tombak untuk menyiak ke atas, tiba2 ia
mengeluh kaget "Celaka aku tertipu ... " Tombaknya menyiak
angin karena ujung tombak lawan tiba2 lenyap.
"Matilah engkau, Kebo!" teriak Rangga Lawe seraya
menombak perut lawan. Crek, tring.... Rangga Lawe
terperanjat karena ujung tombaknya menusuk benda keras di
perut lawan. Cepat ia menyadari bahw a benda keras itu
tentulah sabuk pending yang kepalanya terbuat dari pada
logam keras. Berkat kepala ikat pinggang itu maka
terhindarlah Kebo Anabrang dari kebinasaan yang ngeri.
Kebo Anabrang terkejut. Rasa nyeri pada perutnya,
mengalirkan keringat dingin. Secepat mengetahui apa yang
terjadi, secepat itu pula ia hant amkan pangkal tombaknya
pada tombak lawan, tring . . .
Rangga Lawe gemar berkelahi. Dalam set iap pertempuran
dengan musuh di medan perang, ia selalu mengingat2 tatakelahi yang d iunjuk lawan. Diambil gerak-gerakannya yang
baik untuk memperkaya kepandaiannya bertempur. Demikian
pada saat itu teringatlah ia akan gaya berkelahi dari seorang
perwira Tartar yang diternpurnya dahulu. Hampir saja ia
celaka, apabila pada w aktu itu ia tak cepat loncat menghindar.
Kini siasat yang dimainkan perwira prajurit Tartar itu, hendak
ia cobakan pada Kebo Anabrang.
Pada saat Kebo Anabrang menghantamkan pangkal
tombaknya, sengaja Rangga lepaskan tombaknya lalu
mencabut pedang dan secepat kilat ia menikam paha lawan.
Kebo Anabrang benar2 terkejut sekali. Untuk yang
keduakali, ia menyadari bahw a ia termakan t ipu siasat lawan.
Namun kali in i ia tak sempat menangkis maupun menghindar
lagi. Dalam keadaan yang tak berdaya ia masih berusaha
Pendekar Setia 7 Roro Centil 17 Pedang Asmara Gila Raksasa Gunung Bromo 2
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama