Ceritasilat Novel Online

Gajah Kencana 10

01 Gajah Kencana Manggala Majapahit Karya S. Djatilaksana Bagian 10


itu. Kedua orang itu melangkah ke Hadapan Anuraga yang
saat itu tangannya terikat dan dipegang oleh dua orang.
"Bukalah kain selubung badannya " teriak lelaki berpakaian
warna merah kepada kedua orang yang memegang tangan
Anuraga. Perintah itu cepat dilaksanakan. Kini Anuraga tegak
berdiri dengan hanya mengenakan celana. Brahmana itu
menggigil. Dadanya diguncang kemarahan yang meledak
ledak. Apakah ia harus mati ditangan kawanan penyamun
yang tak kenal peri-kernanusiaan itu" Ah, apabila ia buta,
habislah seluruh cita2 harapannya
"Sebelum kulaksanakan hukuman, engkau diberi kesempatan untuk mengajukan permintaan.
Apakah permintaanmu, brahmana" " seru orang berpakaian merah itu.
"Ya, aku seorang brahmana ksatrya. Bunuhlah aku! Seorang
ksatrya lebih baik mati daripada dihina! "
Jawaban yang gagah dari Anuraga itu menimbulkan rasa
kagum dikalangan kawanan penyamun itu. Tiba2 terdengar
jerit melengking " Jangan, jangan kalian bunuh brahmana itu!
Bunuhlah aku ....!" Suara itu dari seorang wanita. Dan tiada
lain wanita dalam ruang disitu kecuali Rara Sindura.
Anuraga cepat curahkan pandang mata kearah Sindura.
Dilihatnya Sindura tengah meronta ronta tetapi tak berdaya
karena dicengkam oleh dua orang anakbuah gerombolan.
Bahkan mulut jelita itu didekap oleh salah seorang lelaki itu.
Makin menggigillah tubuh Anuraga. Ia kerahkan seluruh
tenaga dari pusat Cakram Manipura lalu meronta sekuat2nya.
Namun tak berhasil memutuskan tali pengikatnya. Memang tali
itu terbuat daripada urat2 kerbau. Lemas tetapi kuat sekali.
"Brahmana, permintaanmu tak dapat kululuskan. Hukumanmu hanya buta mata, bukan hukum mati" kata lelaki
berpakaian merah "Jangan sia2 kan kesempatan ini, mintalah
yang engkau inginkan! "
Anuraga diam merenung. Berhadapan dengan manusia2
yang tak kenal hukum, sia-sialah ia unjuk keperwiraan. Lebih
baik ia memanfaatkan kesempatan itu sebaik-baiknya " Hm,
kalau kali ini engkau tak menepati janji, jangan pura2
bertanya lagi! " "Asal jangan minta dibunuh saja, kami tentu melaksanakan
permintaanmu " kata orang itu.
"Hm " dengus Anuraga " aku minta supaya wanita itu
dibebaskan! " Orang berpakaian merah itu kerutkan dahi. Sebelum ia
membuka mulut, tiba2 Sindura menjerit pula " Jangan kakang!
Aku tak mau pergi dari sini. Aku akan tetap mendampingimu,
menjadi penunjuk jalan apabila engkau tak dapat melihat sinar
surya! " Anuraga terkesiap. Kembali ia memandang kearah jelita itu.
Tampak Sindura menangis dan meronta-ronta. Lelaki yang
memegang bahunya, segera mendekap mulut Sindura agar
jangan menjerit jerit seperti orang kalap. Tetapi tiba2 orang
itu menjerit sendiri " Aduh . . . tanganku .... " ia menarik
tangannya lalu melonjak-lonjak kesakitan. Ternyata tangannya
berlumuran darah karena digigit Sindura. Sekalian kawankawannya malah tertawa gelak2 melihat tingkahnya itu. Bukan
convert txt : http://www.mardias.mywapblog.com
kepalang malu dan marah orang itu. Tiba2 ia menampar muka
Sindura, plak .... "Aduh .... " Sindura menjerit. Jari berdarah dari orang itu
melekat pada pipinya dan tamparan itupun menyebabkan
mulut sijelita berdarah. Sindura terhuyung huyung hampir
pingsan Menyaksikan kebiadaban anakbuah penyamun, meledaklah
kemarahan Anuraga. Brrak ... ia menendang tungku api yang
dibawa oleh orang berpakaian merah, lalu berontak lepaskan
diri dari cekalan kedua orang. Walaupun kedua tangannya
terikat tetapi kakinya masih bebas bergerak. Ia mendupak dan
menendang kedua orang itu hingga rubuh berguling-guling di
lantai! Kemudian ia lari menuju ke tempat Sindura. Orang
yang hendak melaksanakan hukuman tadi, segera bergerak
menyergapnya. Tetapi pada saat ia merentang kedua tangan,
Anuraga cepat menumbukkan kepalanya ke dada orang.
Duk .... orang itu terpelanting jatuh ke belakang!
Anuraga memiliki warisan sifat berani dari ayahnya. Ia
mengamuk laksana harimau lepas dari kandang. Beberapa
anakbuah gerombolan berhasil dirubuhkan dengan sepak dan
tendangan. Namun karena barisan lawan 'arang keranjang'
atau lebih rapat dari anyaman keranjang, akhirnya Anuraga
dapat diringkus tak berdaya.
"Langsungkan hukuman!" teriak kepala gerombolan dengan
marah sekali. Karena kedua orang berpakaian merah yang hendak
meleksanakan hukuman tadi terluka, maka sebagai gantinya,
tampillah seorang bertubuh tinggi besar. Dia diiring oleh
seorang yang membawa baki.
"Brahmana, karena alat besi panas engkau tendang
berantakan, maka akan kucukil biji matamu dengan pisau "
kata orang itu sambil mencabut sebilah belati tajam dari
pinggangnya. Saat itu Anuraga dipegang erat2 oleh empat orang
sehingga ia tak dapat bergerak. Serentak algojo
mencengkeram rambutnya kencang2 lalu mulai tujukan ujung
pisau ke mata Anuraga. Brahmana itu benar2 tak berdaya
sama sekali. Suasanapun sunyi tegang. Betapa liar kehidupan
yang mereka tuntut, namun gerombolan penyamun itu tetap
manusia. Manusia yang memiliki sepercik hati nurani baik.
Ngeri juga mereka menyaksikan hukuman cukil mata yang
akan berlangsung itu. Anuraga benar2 putus asa. Bukan karena takut mati,
melainkan kecewa dan malu karena celaka ditangan bangsa
penyamun yang tak bernama. Baginya, mati jauh lebih baik
dari pada buta Pada saat ia sedang memanjatkan doa penyerahan jiwa
raganya kepada Hyang Jagadnata, sekonyong konyong
terdengar suara teriakan yang parau "Berhenti! Berhenti . . .! "
seorang lelaki tua melangkah kemuka dan berlari larian
menghampiri ke tempat Anuraga.
Algojopun terbeliak kaget ketika bahunya disentakkan
kebelakang selangkah. Lalu ia menyiak keempat orang yang
menyekap tubuh Anuraga kesamping. Setelah itu ia berlutut
menelungkupi kaki Anuraga ....
Gemparlah sekalian orang melihat tingkah laku aneh dari
kakek itu. Dia bernama Wirun, seorang tua yang menggabung
pada gerombolan penyamun dan diserahi tugas sebagai
perawat kuda. Anuraga sendiripun tak kurang kejutnya. Rasa kejutnya
memuncak ketika kakek itu berkata dengan beriba-iba
"Maafkan kami, raden .... "
"Paman Wirun, siapakah dia?" teriak lelaki yang hendak
mencukil mata Anuraga tadi.
Sambil masih menelungkupi kaki Anuraga, kakek Wirun
palingkan majka dan menuding dengan wajah bengis kepada
algojo itu "Hai, Burangrang, apakah matamu sudah buta"
Hayo, lemparlah pisaumu dan lekas menyembah pada raden
Kuda Anjampiani, putera gusti Adipati Lawe! "
"Apa katamu?" serentak Burangrang menyurut selangkah.
"Apakah engkau tuli" Inilah
raden Kuda Anjampiani putera
gusti Adipati junjungan kita!" seru
kakek Wirun makin keras. "Ah, mungkin penglihatanmu
sudah kabur, kakek. M isakan
putera gusti Adipati Lawe seorang
brahmana?" Burangrang tak mau
lekas percaya. "Setan Burangrang!" teriak
Wirun "tak mungkin aku salah
lagi. Lihatlah, bekas luka pada kaki raden ini. Ketika masih
kecil, dia jatuh dari kuda. Hampir aku dibunuh gusti Adipati
apabila raden Kuda ini tak menjelaskan bahwa dia sendiri yang
salah karena naik kuda diluar tahuku ... "
"Oh, engkau paman Wirun ... " tiba2 Anuraga memeluk
tubuh sikakek dan diangkatnya bangun "engkau tak lupa
kepadaku" " "Walaupun hamba hanya seorang pakuda digedung
kadipaten Tuban, tetapi hamba sering momong raden. Ah,
raden sudah begini besar" kakek itu hendak membopong
Anjampiani seperti dahulu lagi..
Pada waktu Anuraga hendak dihukum, saat itu sudah
malam sehingga kakek Wirun tidur. Tetapi ketika terjadi
kegaduhan karena Anuraga mengamuk, ia terkejut bangun
dan terus lari ke pondok, semula ia masih ragu2 melihat
Anuraga, tetapi setelah memperhatikan bekas luka pada kaki
brahmana itu, serentak ia berteriak menghentikan Burangrang
dan terus lari menelungkupi kaki AnuTaga.
Setelah mendengar percakapan Wirun dengan Anuraga,
serta rnerta sekalian anakbuah gerombolan itu berlutut
memberi hormat. Demikianpun Loncang Para, pemimpin
gerombolan. "Siapakah mereka, paman" " Anuraga mulai bertanya.
"Mereka adalah rakyat Tuban yang tetap setya kepada gusti
Adipati Lawe. Ada bekas prajurit, pemuda, petani, pedagang
dan tukang. Setelah Tuban diduduki pasukan Majapahit,
mereka berhimpun dan melarikan diri ke hutan ini. Hambapun
ikut serta menggabung pada himpunan sisa2 pejuang Tuban
yang menyebut diri sebagai NILA AMBARA "
"Hai, itulah nama kuda kesayangan mendiang rama
Adipati!" Anuraga terkejut.
"Benar, raden " sahut Wirun.
"Nila Ambara adalah kuda yang dinaiki gusti Adipati dalam
pertempuran terakhir kalinya melawan Kebo Anabrang. Gusti
Adipati gugur tetapi kami akan mewajibkan diri sebadai kuda
Nila Ambara yang akan membawa warisan cita2 perjuangan
gusti Adipati melawan Majapahit. Nila Ambarapun berarti
MERAH MEMBARA. Maka kami menggunakan nama itu sebagai
lambang perjuangan kami, bagai bara api yang tak kunjung
padam, raden " tiba2 Loncang Para berseru dari tempatnya.
"Ah ... . " Anuraga mendesah dengan linangan keharuar.
Kemudian ia suruh sekalian anakbuah gerombolan yang masih
berlutut itu, bangun. "Hai, mengapa engkau masih tetap berlutut " " tegur
Anuraga kepada Burangrang.
" Hamba paling berdosa, mohon raden menghukum hamba"
kata Burangrang. Anuraga menghampiri orang itu dan menyuruhnya bangun.
Setelah itu Anuraga segera menghampiri Sindura. Ketika tiba
dihadapan wanita itu, maka bertemulah pandang mata mereka
dalam alun gelombang pancaran sinar yang amat lembut.
Mata adalah bahasa hati yang halus dan syahdu. Kedua insan
ilu seolah-olah terlepas dari selubung kabut. Kini mereka dapat
saling mengetahui hati masing2 dengan jelas. Isi hati yang
dicerminkan melalui sikap dan ucapan masing2 pada saat
menghadapi bahaya kesukaran. Anuraga rela menderita
hukuman apapun juga, asal dapat menebus keselamatan
Sindura. Sindura bersedia menjadi pengganti mata Anuraga
yang hilang. A p a t s u mitram janiyat atau. Dalam kesukaran orang
dapat mengenal sahabat. Demikian
Anuraga dan Sindura makin saling mengenal hati masingmasing.
"Sindura, apakah engkau terluka?" Anuraga memulai katakatanya.
Pada saat kakek Wirun menelungkupi kaki Anuraga hingga
seluruh anakbuah gerombolan berlutut memberi hormat pada
brahmana itu, Sindura menyaksikan dan mendengar semua
pembicaraan mereka. Ia terkejut dikala mengetahui siapa
sebenarnya brahmana muda itu. Maka tersendatlah ia
menjawab teguran Anuraga "Ah, aku tak menderita apa2,
raden . .. " "Eh, Sindura, mengapa engkau mengada-ada?""
Anuraga tertawa kecil "panggillah dengan sebutan biasa
saja " "Baik, kakang Kuda . . . "
"Ah, Sindura " Anuraga tertawa-tawa pula "aku seorang
brahmana. Sebutlah seperti biasanya engkau memanggil
Persembahkan sebutan 'kakang Kudamu untuk Kuda
Lampeyan suamimu " Sindura tersentuh Bagaikan anai-anai yang keluar dari liang.
Terbang menuju Penerangan api dan terbakar hangus.
Demikian perasaan hati si jelita.
Bermula ia gelap siapa dan bagaimana peribadi Anuraga.
Setelah mengetahui, merekahlah bunga hatinya seperti
melihat penerangan. Tetapi api itu panas dan terkatuplah sang
bunga dalam kelayuan pula. Ucapan Anuraga yang diucapkan
sccara bergurau itu telah menyentuh sendi kehalusan rasa
kewanitaannya. Seketika terungkaplah alam bawah sadarnya,
bahwa ia adalah isteri Kuda Lampeyan . . .
Anuraga tak sempat mengaji lebih mendalam, mengapa
Sindura tertegun demi mendengar ucapannya itu. Saat itu ia
dan Sindura dipersilahkan Loncang Para duduk di kursi.
Loncang dan segenap anakbuah gerombolan Nila Ambara
duduk bersila dihadapannya.
"Loncang, apakah artinya ini?" tanya Anuraga.
"Kami adalah pengikut setya dari gusti Adipati Lawe. Maka
sekarang kami serahkan pimpinan Nila Ambara kepada Raden
" kata Loncang Para "apapun perintah raden, kami pasti
melakukan perintah dengan seluruh pengabdian "
Anuraga kerutkan dahi. Beberapa saat kemudian tampak ia
tenang kembali, serunya "paman Loncang dan sekalian
saudara2, tiada kata yang mampu melukiskan betapa besar


01 Gajah Kencana Manggala Majapahit Karya S. Djatilaksana di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

rasa keharuan atas kesetyaan paman sekalian terhadap
mendiang rama Adipati. Aku pun sebagai puteranya, tak
pernah sedetikpun memudarkan api perjuangan yang
ditinggalkan rama Adipati itu. Perjuangan itu berat namun
luhur. Perjuangan itu luas pula sifatnya sehingga memerlukan
berbagai cara. Paman dan saudara2 disini telah menempuh
cara yang tegas melalui kekerasan. Aku melakukan
perjuangan menurut batas2 kemampuanku yalah secara
bersembunyi tetapi langsung mengarah pusatnya .... "
Dengan panjang lebar, Anuraga menuturkan riwayat dirinya
serta cara2 ia berjuang selama ini. Terpukaulah sekalian
anakbuah Nila Ambara mendengar kisah putera Adipati Tuban
itu. Benar2 mereka merasa kagum bahwa putera Adipati itu
rela mengorbankan segala kemewahan hidup, masa
remajanya, menjadi seorang brahmana demi perjuangan!
"Paman sekalian" kata Anuraga sejenak setelah berhenti
mengambil napas "marilah kita renungkan dan kaji, Tujuan
dan Hakekat perjuangan rama Adipati. Tujuan rama berjuang
adalah karena tak puas atas pengangkatan rakryan Nambi
sebagai mahapatih. Dan hakekat perjuangan rama itu tak lain
demi menegakkan kejayaan dan meluhurkan kewibawaan
Majapahit. Dan hal itu timbul karena rasa tanggung jawab
rama akan pengabdiannya kepada kerajaan Majapahit ....
"Rakryan Nambi adalah kawan seperjuangan rama. Yang
ditentang rama, bukanlah peribadi Nambi, tetapi kecakapan,
pengetahuan dan pengalaman Nambi, dianggap rama tak
dapat memikul tanggung jawab pada jabatan mahapatih yang
sedemikian penting artinya bagi kelangsungan kerajaan
Majapahit. Maka jelas sudah bahwa Tujuan dan Hakekat
perjuangan rama itu bukan demi kepentingan peribadi,
daerah, golongan, kasta maupun agama. Tetapi demi
kepentingan negara! "
"Maaf, paman dan saudara sekalian! Kesetyaan paman
sekalian kepada rama Adipati, memang patut di puji. Tetapi
Kesetyaan tanpa bobot Kesadaran, adalah sesat. Kesadaran
tanpa bobot Kesetyaan, adalah kosong, paman sekalian
menyalurkan kesetyaan kepada rama Adipati, dengan
berjuang membela bumi Tuban. Ini berarti masili menitik
beratkan pada kepentingan daerah dan golongan. Padahal
tidak demikianlah yang di kehendaki rama Adipati. Rama
berjuang demi kepentingan dan kejayaan negara Majapahit.
Majapahit yang besar, yang jaya, yang wilayahnya meliputi
seluruh nuswantara .... "
Dalam membawakan kata2 yang terakhir itu, sengaja
Anuraga memberi tekanan nada yang nyaring dan mantap.
Sejenak berhenti menyelidik kesan, ia melanjutkan pula
"Cobalah paman sekalian renungkan. Apabila ditiap daerah
timbul pejuang2 yang serupa tujuannya dengan paman,
bukankah negara Majapahit akan ambyar berantakan" Dengan
demikian sia sia jualah jerih payah raden Wijaya, rama dan
kawan-kawannya yang telah berjuang membangun kerajaan
Majapahit itu" "
Sekalian anggauta Nila Ambara bagai terkena pesona
mendengar uraian putera Adipati itu. Mereka seperti
disadarkan dari kegelapan. Akhirnya Loncang Para berkata
"Raden, benar2 tersingkaplah hati kami dari tabir kegelapan
selama ini. Kami persembahkan jiwa raga kami kepada raden.
Kami taat apapun perintah raden. Kalau raden menitahkan
bubar, himpunan Nila Ambara ini akan kami bubarkan! "
Anuraga tertawa " Tidak, paman, Nila Ambara jangan bubar
tetapi harus tetap dipertahankan bahkan dikembangkan
sedemikian rupa hingga sesuai dengan cita2 perjuangan rama
Adipati! " Loncang Para terlongong lalu meminta penjelasan " Raden,
kami benar tak mengerti bagaimana yang raden kehendaki"
Anuraga segera menguraikan keadaan dan suasana dalam
pura kerajaan sejak Jayanagara naik tahta. Menurut kesan
yang dirasakan, keadaan kacau yang penuh pertentangan itu,
tentu akan berlangsung lama. Dan pada puncaknya, tentu
akan timbul huru hara. "Oleh karena itu, kuminta paman tetap memimpin saudara2
di sini. Ajarkanlah kepada mereka supaya giat bercocok tanam
mengolah bumi, berbaiis dan berperang. Tanamlah kesadaran
setinggi tingginya tentang tata tertib dan arti daripada Tujuan
dan Hakekat perjuangan yang telah digariskan rama Adipati.
Aku akan tetap berada di pura kerajaan. Setiap saat yang
kupandang perlu, aku pasti datang meminta bantuan paman
dan saudara di sini! "
Pernyataan Anuraga itu telah mendapat sambutan dan
dukungan yang luas dari seluruh anakbuah Nila Ambara.
Mereka menyatakan taat dan setya pada putera Adipati itu.
Demikian selama beberapa hari Anuraga dan Sindura
tinggal di gunung bersama para sisa pejuang pengikut Adipati
Rangga Lawe. Kemudian setelah lukanya sembuh, Anuragapun melanjutkan perjalanan mengantar Rara Sindura ke daerah
Mandana 0odwo0 II "ANEH . .. benar2 aneh!" gumam buyut Mandana "manakah
terdapat diseluruh jagad, seorang suami yang tak tahu
kemana isterinya pergi !"
"Rama, saat itu aku sedang mengemban tugas baginda
berkeliling ke daerah2" sahut Kuda Lampeyan.
"Lalu kemanakah isterimu saat itu" "
"Atas titah baginda, Sindura supaya tinggal dalam keraton
agar dapat menerima bimbingan tentang adat tatacara
keraton " "Untuk" " "Agar kelak setelah baginda berkenan mengangkat diriku
sebagai piiagung, Sindura sudah dapat menyesuaikan diri "
"Dan engkau percaya" "
"Percaya " "Penuh?" buyut Mandana menegas.
Kuda Lampeyan terbeliak. "Rama buyut " sahutnya sejenak kemudian " baginda
adalah junjungan seluruh rakyat Majapahit. Baginda berkenan
menerima pengabdianku. Mana2 titah baginda, sudah tentu
harus kutaati " Buyut Mandana tertawa meloioh " Aku tak menanyakan
tentang ketaatan seorang hamba kerajaan terhadap raja. Yang
kuajukan kepadamu, adakah engkau percaya sebulat buluh
atas anugerah raja kepadamu dan kepada isterimu itu" "
Cepat Kuda Lampeyan menjawab " Sumber daripada
ketaatan adalah kepercayaan .... "
"Belum tentu!" tukas buyut Mandana "ada pula ketaatan
yang dikarenakan takut. Dan adapula karena mempunyai
pamrih atau keinginan. Semisal seorang narapraja atau
senopati yang taat melakukan titah raja, belum tentu mereka
menghayati kepercayaan bahWa titah raja itu benar. Tetapi
mereka terikat oleh wajib. Wajib yang akan membuahkan
suatu anugerah. Semisal yang terjadi dengan dirimu .... "
Kuda Lampeyan tersipu-sipu merah mukanya. Ia beserta
rombongan prajurit Majapahit, telah tiba di Mandana dan
menghadap buyut, ayah Sindura. Suasana yang dijumpainya
dalam daerah itu, benar2 menyentuh perasaannya. Sepanjang
jalan yang dilaluinya, penduduk tiada mengunjuk sikap
terkejut, apalagi memberi salam penghormatan. Mereka
bersikap acuh tak acuh. Terutama kaum mudanya. Mereka
memberi lontaran pandang lalu berpaling muka.
Lain dahulu lain sekarang. Dahulu apabila ia keluar berjalan
jalan, setiap orang yang dijumpahi, lelaki perempuan, tua
muda, besar kecil, sama memberi anggukan kepala dan tegur
sapa yang ramah. Tetapi sekarang, jauh sekali bedanya,
sejauh langit dengan bumi. Pandang mata vang dingin, sikap
yang seolah tak kenal serta kerut muka yang meliuk
kemuakan, menghias muka setiap penduduk Mandana yang
dijumpainya. Suasana sekarang itu menyebabkan Kuda Lampeyan seperti
seorang pendatang baru diwilayah kekuasaan ayah
mentuanya. Sungguh tak tahu ia apa sebabnya.
Rasa heran itu dibawanya serta ketika ia masuk ke gedung
kebuyutan desa. Apabila ada kesempatan, hendak ia mintakan
keterangan kepada ayah mentuanya.
Tetapi angan2 itu buyar bagai awan dihembus angin mana
kala ia merasakan sambutan dingin dari buyut Mandana. Oleh
buyut desa itu, ia dipcrsilahkan duduk disebuah kursi berhias
selubung kain yang indah. Sedangkan buyut itu sendiri teti'p
berdiri di hadapannya. "Rama, apakah artinya" Mengapa rama menyuruh aku
duduk sedangkan rama sendiri berdiri?" tanyanya heran.
"Engkau mengenakan pakaian kebesaran sebagai seorang
tumenggung dan aku hanya seorang buyut. Sudah pantaslah
kiranya jika engkau yang duduk di kursi dan aku menghadap
dengan berdiri " sahut buyut Mandana dengan nada berolok.
Merahlah wajah Kuda Lampeyan "Tidak
menempatkan Ku la Lampeyan setinggi
Lampeyan adalah putera menantu rama.
memberi hormat kepada rama " ia serentak
kursi dan mimpersilahkan buyut duduk.
rama! Jangan gunung. Kuda Wajiblah aku berbangkit dari Tetapi buyut Mandana menolak. Ia mengambil lain kursi
dan mempersilahkan putera menantunya tetap duduk di kursi
semula. "Rama, mengapa rama mempunyai sikap begitu kepada
putera meramu nma ini?" Kuda Lampeyan mulai membuka
pembicaraan. "Dunia berputar menurut roda Cakra Penggilingan. Semua
bergerak dan berobah, tiada yang langgeng. Keadaan,
kehidupan dan hati orang pun demikian. Apa yang kulakukan
tadi, hanyalah sekedar menyesuaikan perobahan suasana itu.
Dahulu engkau pemuda Kuda Lampeyan, sekarang engkau
Tumenggung Kuda Lampeyan. Sebagai seorang buyut yang
lebih rendah kedudukannya, layaklah kiranya penghormatan
yang kulakukan tadi "
Kuda Lampeyan tertawa mendesah " Ah, rama mengadaada yang tiada. Pemuda Kuda Lampeyan atau Tumenggung
Kuda Lampeyan tetaplah serupa, yalah putera menantu rama.
Wajibnya menantu harus menghormat kepada rama
mentuanya " Buyut Mandana tertawa sarat "Mudah-mudahan begitulah...
eh, bagaimana aku harus menyebutmu " Tumenggung atau
.... anakmas" "
"Ah, mengapa rama tetap hendak memgolok diriku " " Kuda
Lampeyan mengeluh "panggillah Kuda Lampeyan seperti
dahulu rama biasa menyebut diriku! "
Demikian pembicaraan yang berlangsung di pendapa
kebuyutan, dikala buyut Mandana menerima kedatangan Kuda
Lampeyan dengan rombongannya. Sikap dan penyambutan
buyut Mandana penuh dengan gaya perobahan baru,
ucapannya selalu bertalaran.
Setelah memerintahkan pelayan menghidangkan minuman
kepada Kuda Lampeyan dan rombongannya maka
pembicaraanpun dilanjutkan pula.
"Bagaimana keadaan rama dan ibu selama ini" " tanya Kuda
Lampeyan. "Aku dan ibumu dalam keadaan sehat tiada kurang suatu
apa " sahut buyut Mandana " lalu bagaimana dengan dirimu
sendiri " " "Terima kasih rama. Berkat doa restu rama dan ibu, kini
aku telah diterima mengabdi pada baginda dan bahkan
diangkat sebagai narapraja yang bertugas memeriksa keadaan
di daerah2 telatah Majapahit, dengan dianugerahi pangkat
tumenggung " "O, syukurlah, Kuda Lampeyan. Lalu bagaimana dengan
isterimu si Sindura " " tiba2 ki buyut beralih pertanyaan.
Wajah Kuda Lampeyan tampak redup. Penyahutannyapun
tersendat sendat " Dia . . . dia . . . sehat2 saja! "
"Mengapa dia tak ikut pulang kemari " "
"Ti . . . dak "
"Adakah ia tinggal di pura kerajaan " "
"Semula memang demikian "
"Lalu sekarang?".desak buyut Mandana.
"Entah ... " Kuda Lampeyan tersekat " menurut keterangan
baginda, Sindura telah lari bersama pria lain. Tetapi entah ke
mana! " Jawaban Kuda Lampeyan yang tidak tegas itulah yang.
menyebabkan buyut Mandana naik pitam sehingga terjadi
tanya jawab yang tajam seperti di atas tadi. Dengan
hamburan ejek dan marah, berulang kali buyut itu
menyatakan rasa anehnya karena Kuda Lampeyan tak tahu
akan kepergian Rara Sindura.
Pembicaraan berlangsung makin lama makin panas
suasananya. Apalagi setelah dengan tajam buyut itu mengejek
putera menantunya tadi menjalankan titah raja karena
mempunyai pamrih supaya mendapat pangkat kedudukan
tinggi. Kuda Lampeyanpun tersipu-sipu merah mukanya.
"Rama " akhirnya Kuda Lampeyan berseru " soal hilangnya
Sindura dari keraton, sudah di tangan baginda. Baginda telah
mengerahkan seluruh pasukan untuk mengejar Sindura dan
kawanan penjahat yang membawanya lari itu. Pun baginda
telah menjatuhkan hukuman kepada mereka yang dianggap
bersalah " "Siapa sajakah yang mendapat hukuman itu" "
"Pertama Sindura .... "
"Hai! " teriak buyut Mandana " apa salah Sindura" "
"Pertama, Sindura dianggap menghina baginda karena
berani melarikan diri dari keraton. Kedua, Sindura dianggap
sebagai seorang wanita yang tak setya kepada suaminya.
Dalam undang2 telah dijelaskan. Seorang isteri yang
ditinggalkan suaminya pergi jauh untuk belajar, menunaikan
tugas atau bertapa, wanita itu harus menunggu sampai empat
tahun baru boleh menganggap dirinya bsbas. Tetapi nyatanya
belum berapa bulan kutinggal pergi ke daerah2, Sindura sudah


01 Gajah Kencana Manggala Majapahit Karya S. Djatilaksana di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

ikut lari dengan lelaki lain. Maka baginda menitahkan, apabila
aku bertemu dengan Sindura supaya mengajaknya
menghadap baginda di pura Mijapahil. Apabila ia menolak, aku
harus membunuhnya! "
"Dan engkau sanggup melakukan titah ilu" "
Buyut Mandana lontarkan pertanyaan.
Kuda Lampeyan tertegun. Namun ia sudah menduga akan
menerima pertanyaan demikian. Sejenak menyahutlah ia "Jika
Sindura memang benar bertindak demikian, jelas dia
menyalahi tiga hal yang penting. Menghina raja, melanggar
undang2 dan curang terhadap suami. Apakah rama melarang
aku melakukan titah baginda itu" "
Buyut Mandana tertawa. Nadanya bagai burung gagak
mencari mangsa ditanah gersang "Kuda Lampeyan, buyut
Mandana seorang manusia yang hidup di atas pendirian. Jika
anakku Rara Sindura benar2 melakukan perbuatan seperti
yang engkau tuduhkan itu, tak perlu engkau Kuda Lampeyan,
tetapi tanganku ini sendiri yang akan mencabut nyawa
Sindura! " Kuda Lampeyan terkesiap "Adalah rama tak percaya akan
perbuatan Sindura itu" "
"Rama adalah ayah kandungnya. Seorang ayah yang tahu
jelas akan budi dan watak Sindura. Tak mungkin Sindura
melarikan diri dengan lelaki lain. Dan adakah engkau tahu
peristiwa2 yang telah terjadi dalam keraton sejak engkau
pergi" " "Tatkala baginda menitahkan aku pulang, akupun langsung
menghadap baginda. Saat itu baginda murka dan memberi
keterangan panjang lebar tentang perbuatan Sindura lalu
serentak menitahkan aku menemui rama disini. Adakah aku
harus menyangsikan keterangan baginda itu" "
"Menerima budi seperti kehilangan kebebasan. Dalam
keadaanmu seperti sekarang, tak mungkin engkau berani
meragukan keterangan raja. Dan memang manusia yang tipis
ni'ai keperibadiannya, mudah takut dan silau akan kekuasaan
raja. Engkau lebih percaya pada keterangan raja daripada
kesetyaan isterimu. Engkau lebih tunduk pada titah baginda
raja daripada keperribadian isterimu. Engkau telan saja
seluruh keterangan raja yang memburuk-burukkan diri
isterimu itu tanpa mau meluangkan kesempatan untuk
menyelidiki kebenarannya. Sebab utama dari sikapmu itu tak
lain karena engkau takut akan kehilangan kedudukan
pangkatmu. Tetapi engkau seolah olah buta dan peka
terhadap perbuatan2 yang dilakukan baginda kepada Sindura.
Tak mungkin raja akan berbuat kebaikan yang sedemikian
besar kepadamu, apabila tiada pamrih tertentu. Tetapi sayang,
pikiranmu sudah terbius oleh pangkat tinggi sehingga
setitikpun engkau tak mempunyai rasa cemburu. Pada hal
sudah jelas, sejelas warna burung merpati terbang disiang
hari, bahwa raja Jayanagara itu gemar sekali paras cantik. Dan
sudah terang seterang rembulan dimalam purnama, bahwa
anakku Sindura yang engkau peristeri itu, termasyhur
kecantikannya. Mengapa engkau tak dapat menduga bahwa
jika api dekat dengan minyak, tentulah terbakar" "
"Tetapi bukti menyatakan demikian " Kuda Lampeyan
berusaha membantah. "Benar, memang bukti bahwa Sindura telah melarikan diri
dari keraton, itu memang nyata. Tetapi mengapa engkau
hanya memegang bukti tanpa mengetahui sebab musabab
dari peristiwanya " Bukti itu hanya pencetusan daripada suatu
sebab musabab. Kuda Lampeyan, tak mungkin Sindura akan
berlaku serong kepadamu. Tak mungkin Sindura berani
menghina raja. Dan tak mungkin pula Sindura akan lari
dengan priya lain. Yang jelas ia tetap setya padamu, la
terpaksa menghindari tindakan raja yang dianggapnya tak
pantas. Dan dia tentu dilarikan orang yang hendak memberi
pertolongan " "Tetapi .... " "Jika sepatahpun dari penilaianku terhadap tindakan
Sindura itu sampai salah, aku bersedia menyerahkan kepalaku
untuk dipenggal raja ! " tukas buyut Mandana dengan berapiapi.
"Rama, saat ini aku hanya sebagai utusan raja. Baiklah
rama persembahkan penjelasan rama itu di hadapan baginda"
akhirnya karena terdesak, Kuda Lampeyan berusaha untuk
mengakhiri pembicaraan pertama.
Buyut Mandana tertawa sengau " Ha, ha, dahulu ketika
prabu Dasamuka ditolak rayuannya oleh dewi Shinta maka
marahlah prabu dari Alcngka itu. Walau dewi itu direbutnya
dengan susah payah dari tangan prabu Ramawijaya, namun
jika tak dapat menyampaikan maksudnya, lebih baik
dilenyapkan saja. Biar keduanya, ia dan prabu Rama, sama2
tak memiliki wanita cantik itu. Rasanya serupalah keadaan itu
dengan nasib yang diderita anakku Sindura. Jika tak berhasil
memilikinya, raja Jayanagara rela melenyapkan Sindura agar
engkaupun tak dapat memilikinya! "
Kuda Lampeyan meliuk kening.
"Lalu siapakah orang kedua yang menerima hukuman raja?"
buyut Mandana bertanya lanjut.
"Aku!" sahut Kuda Lampeyan "karena sebagai seorang
suami, aku tak mampu mengatur seorang istori. Baginda
menjatuhkan hukuman mati kepadaku "
"Amboi!" buyut Mandana menyengau "memang tak sukar
mencari kesalahan orang, apalagi seorang raja yang berkuasa.
Namun, adakah hukum juga berlaku pada raja yang
melanggar kesusilaan" "
"Adakah baginda ... " belum sempat Kuda Lampeyan
menyelesaikan kata2, buyut Mandanapun sudah menukas
"Pertama, hendak memperisteri kedua saudaranya sendiri.
Kedua, hendak mengganggu seorang wanita, isteri seorang
pemuda yang dipikatnya dengan anugerah pangkat
tumenggung . . . " "Rama! " teriak Kuda Lampeyan keras "berat nian
hukumnya orang yang memfitnah dan mencemarkan
keluhuran nama raja itu! "
"Tumenggung memang suatu pangkat yang tak mudah
diraih. Layak kiranya untuk diperjuangkan kemati-matian.
Tetapi aku yang hanya mendapat lungguh sebagai seorang
buyut, rela untuk kehilangan lungguh itu daripada harus
menutup mata, memekakkan telinga akan kenyataan2 yang
berlangsung. Kalau dilepas dari jabatan buyut, aku hanya
kehilangan lungguh yang tak berarti. Tetapi kalau aku
mengingkari kenyataan, aku kehilangan segala galanya . .."
Sikap dan ucapan buyut yang menjadi ayah mentuanya itu
menyusup dan menyibak larutan yang mengendap dalam liang
hati Kuda Lampeyan. Larutan yang berisi kepercayaan dan
ketaatan kepada raja. Gelombang kesangsian dan keraguan
mulai bertebaran dalam hatinya. Jika yang dikatakan ayah
mentuanya benar, benar2 ia harus malu kepada dirinya. Dan
seketika terbayanglah pula akan sikap seluruh rakyat Mandana
kepadanya. Ah, pandang mata dan kerut wajah mereka yang
menguak kemuakan, seolah-olah telah menghukumnya
sebagai manusia yang rendah budi ....
"Raden " tiba2 Banyak Sakurung, bekel prajurit vang
menyertai Kuda Lampeyan, membuka suara. Sejak mendengar
sikap dan ucapan buyut Mandana, diam2 ia merasa tak puas
"raden adalah duta sri nata yang wajib mendapat
penyambutan dan penghormatan sebagai mentri kerajaan.
Tetapi sikap buyut Mandana, tidaklah sesuai dengan
keharusannya. Bahkan dia pula mencemohkan baginda.
Apabila raden mengidinkan .... "
"Bekel Banyak Sakurung, aku dapat bertindak sendiri! "
Kuda Lampeyan tersentak dari lamunan dan cepat
memberantas kata2 bekel prajurit itu.
Bekel Banyak Sakurung tertegun diam. Tak berani ia
lanjutkan kata-katanya lagi. Tetapi diluar pengetahuannya,
diam2 ia telah berhasil meraih kebimbangan hati Kuda
Lampeyan dan menempatkan pula pada kedudukannya
sebagai seorang utusan raja.
"Tetapi baginda berkenan memberi kesempatan kepadaku
untuk menebus kesalahan itu " kata Kuda Lampeyan kepada
tuan rumah " pertama, aku diutus kemari untuk membawa
iama untuk menghadap banginda. Kedua, untuk mencari
kawanan penjahat yang telah melarikan Sindura. Orang itu
harus kubunuh dan Sindura supaya kubawa menghadap
baginda di pura kerajaan "
"Untuk apakah aku harus menghadap baginda" "
"Rama akan dimintai pertanggurgan jawab atas perbuatan
Sindura " "Hm, jadi akulah orang ketiga yang mendapat hukuman
raja itu" " buyut Mandana menegas.
"Begitulah " kata Kuda Lampeyan sarat " rama
dipersalahkan sebagai seorang tua tak dapat mendidik dan
membimbing anak pada laku keutamaan, kesusilaan dan
kesetyaan " Buyut Mandana tertawa nyaring. Nadanya kering kerontang
dihangus oleh kepanasan hati. Tiba2 ia hentikan tawanya dan
berseru " Aku masih ingat akan sebuah pepatah bahasa
Sanskerta, demikian: 'Asmapi yati devatvam mahadbhih
supratisthitah. Artinya: Jika ditetapkan oleh mereka yang
berkuas i, batu pun menjadi dewa.' Karena raja \ang
menjatuhkan hukuman, maka jadilah kesalahanku itu suatu
kenyataan. Memang raja berkuasa untuk menemukan mati
hidupnya seseorang, hitam putihnya keadaan. Tetapi bagiku,
Kenyataan itu satu dan Kebenaran itu tunggal . . . . "
Buyut Mandana berhenti sejenak untuk memulangkan
napas, lalu melanjutkan pula dengan sebuah pertanyaan yang
amat tajam " Kuda Lampeyan, bukankah engkau meminta
pengorbanan Sindura dan diriku untuk penebus hukumanmu
?" Kuda Lampeyan pudar cahaya mukanya. Tertumbuklah
pikirannya pada simpang kebimbangan. Penyangkalan dari
pertanyaan itu, berarti mengingkari titah raja. Namun
pengiaan dari pertanyaan itu, pun berarti membenarkan
anggapan rakyat Mandana, bahwa dia seorang pemuda yang
rendah budi. Seorang lelaki banci.
Melihat kebimbangan Kuda Lampeyan, cepat bekel Banyak
Sakurung langsung berseru kepada buyut Mandana "Ki buyut,
jangan mengalihkan persoalan pada lain arah. Kedatangan
kami ke Mandana, adalah diutus baginda untuk memanggilmu
menghadap baginda di pura Majapahit. Jadi panggilan ini
adalah titah baginda, tiada sangkut pautnya antara persoalan
raden Kuda Lampeyan dengan baginda ! "
Buyut Mandana alihkan pandang kepada bekel prajurit
Majapahit itu, katanya " Rasanya masih terngiang kumandang
kata2 Kuda Lampeyan tadi bahwa dia akan mendapat
pengampunan dari raja apabila ia dapat membawa Sindura
dan aku ke pura Majapahit. Adakah salah apabila kurangkai
kesimpulan, bahwa aku dan anakku itu akan diperuntukkan
untuk penebus hukuman Kuda Lampeyan" "
Banyak Sakurung menyahut serentak "Jangan terlalu cepat
membuat kesimpulan, ki buyut! Raden Kuda Lampeyan telah
diangkat sebagai Tumenggung oleh baginda raja. Anugerah
dan hukuman, adalah sudah layak terjadi dalam kalangan
mentri dan narapraja kerajaan. Baik anugerah maupun
hukuman, selalu melalui pertimbangan2 yang seksama.
Memang jarang terjadi peristiwa seperti yang dialami Raden
Kuda Lampeyan. Baru beberapa waktu mendapat anugerah
pangkat tinggi, lalu sudah menerima hukuman. Tetapi dalam
menjatuhkan hukuman itu, baginda berkenan memberi
pertimbangan yang bijak dan adil. Jasa dan pengabdian Raden
Kuda Lampeyan amat terpuji oleh baginda. Sedang kesalahan
Kuda Lampeyan, sesungguhnya adalah diluar kemampuannya
untuk mencegah. Oleh karenanya maka baginda berkenan
meringankan hukuman nya. Kemudian raden diberi
kesempatan pula untuk menciptakan jasa, yalah mencari
Sindura dan membawa andika ke pura kerajaan "
Buyut Mandana kerutkan dahi dan bibirnya tampak bergetar
getar. Tetapi sebelum sempat membuka suara, bekel Banyak
Sakurungpun sudah mendahului pula " Ki buyut tentu ingin
mendapat penjelasan mengapa kupakai kata2 jasa. Pertama,
mencari jejak Rara Sindura yang lenyap dari keraton itu,
bukanlah suatu pekerjaan yang mudah. Baginda sudah
menitahkan supaya menyebar pasukan untuk mengejar, tetapi
sampai saat ini belum juga berhasil. Kedua, bagandapun telah
mendengar bahwa tanah Mandana ini mempunyai seorang
buyut yang keras dan berani, pun pula bersikap menentang
pengangkatan baginda Jayanagaia. Oleh karenanya, seperti
yang tuan ketahui, Raden Kuda Lampeyan datang dengan
membawa rombongan pengawal praijurit2 pilihan "
"Karena kuatir" " sela buyut Mandana.
"Ya " sahut bekel Banyak Sakurung tegas "agar titah
baginda itu benar2 ditaati dan agar keselamatan duta sri Nata
terjamin! " "Amboi, ki bekel" seru buyut Mandana menggetar "sungguh
suatu kehormatan besar bagi diriku peribadi dan tanah
Mandana, bahwa baginda menaruh perhatian besar. Tetapi
kekuatiran baginda itu setengahnya benar, setengahnya tidak"
"Apa maksud ki buyut?" tanya Banyak Sakurung.
Buyut Mandana mengemas letak duduknya. Setelah itu baru
berkata " Walaupun dengan landasan bukti yang kuat, aku
dapat membela diri di hadapan baginda, bahkan dapat pula
kupersembahkan tuduhan kembali kepada baginda. Tetapi
kuyakin, pasti akan sia2. Karena seperti telah kukatakan, raja
adalah yang paling berkuasa. Batu sekalipun apabila raja yang
mengatakan, tentu akan menjadi dewa. Lalu kemanakah, ki
bekel, aku harus mencari keadilan" "
"Ki buyut dapat menjelaskan persoalannya dihadapan
baginda. Baginda cukup arif dan adil "
Buyut Mandana tertawa " Kata2 ki bekel itu hanya hiasan
bibir, bukan suara hati ki bekel. A pabila ki bekel mau berterus
terang, tentu ki bekel mengakui kebenaran ucapan tadi. Tetapi
seberat-berat mulut bersuara, lebih berat pula perut merasa.
Kutahu ki bekel tak berani mengatakan kebenaran itu karena
terikat pada kewajiban kedudukan. Ki bekel tentu lebih takut
kehilangan sumber pengisi perut .... "
"Buyut Mandana, jangan bermulut lancung! Katakanlah
terus terang, engkau mau mentaati titah raja supaya
menghadap ke pura kerajaan atau tidak?" bekel Banyak
Sakurung melantang merah.
"Ha, ha " buyut Mandana tertawa merenyah. "sabarlah ki


01 Gajah Kencana Manggala Majapahit Karya S. Djatilaksana di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

bekel. Karena barangsiapa yang gemar menggunakan
kekerasan dan cepat marah, tandanya dia lemah. Entah lemah
kedudukannya, pikirannya, entah jasmaninya .... "
"Kedatanganku kemari bukan untuk mendengar ocehan2
yang tiada sangkut pautnya dengan tujuanku " wajah bekel
Banyak Sakurung makin meluap marah.
"Hm, baiklah" kata buyut Mandana. Cepat ia berganti nada
lebih sarat " Aku mau menghadap baginda tetapi dengan
syarat! " Banyak Sakurung kerutkan dahi "Katakan!" serunya sesaat
kemudian. "Kumohon baginda mengadili diriku didepan persidangan
lengkap yang dihadiri oleh para mentri, gusti tanda,
dharmadyaksa dan para upapati. Apabila aku terbukti
bersalah, aku sedia menerima hukuman penggal kepala.
Tetapi kalau aku dapat menunjukkan tindakan baginda yang
tak layak, akupun mohon keadilan "
"Uah, uah, uah" mulut Banyak Sakurung mendecak-decak
"hebat benar permintaanmu ki buyut. Seolah-olah engkau
hendak minta diperlakukan sebagai seorang mentri kerajaan
yang penting. Kurasa baginda tak mungkin mengabulkan
permintaanmu itu! Persidangan lengkap semacam itu hanya
untuk memperbincangkan urusan negara yang penting, bukan
untuk mengadili seorang yang berkelungguhan sebagai
buyut!" Karena sudah beberapa kali menerima ejekan tuan rumah
maka dalam kesempatan kali itu, bekel Banyak Sakurung balas
melontarkan cemohan. "Jangan kuatir, ki bekel" seru buyut Mandana " hal kedua
yang hendak kukatakan kepadamu tadi, yalah tentang
keselamatan duta sri Nata. Betapa rendah kelungguhanku
sebagai seorang buyut itu, namun kutahu juga akan undang2
dan tata susila. Sekalipun pembicaraan kita sudah meningkat
padi ketegangan dan tugas tuan mengalami kegagalan,
namun kami tetap akan menghormati kedudukan duta dari sri
Nata. Tuan2 bebas meninggalkan kebuyutan Mandana tanpa
mengalami suatu gangguan apapun jua! "
"Buyut Mandana " seru bekel Bajnyak Sakurung dengan
nada getar. Wajahnya merah namun suaranya tetap beralun
rendah. Jelas ia sedang menekan kemarahan " belum pernah
kudengar seorang buyut berani menjamin keselamatan
seorang duta Sri Nata. Adakah engkau rasa keselamatan kami
akan terancam bila tiada jaminanmu, hai, ki buyut! "
Sahut buyut Mandana dengan sikap bersurgguh " Ki bekel,
sebagai seorang kepala tanah Mandana, sebagai seorang
buyut yang menjadi hamba kerajaan menurut tingkat susunan
ke-naraprajaan Majapahit, aku sudah berusaha keras untuk
menegakkan kewibawaan kerajaan"
"Dalam, hal apa?" Banyak Sakurung kerutkan kening.
"Menccgah huru hara! "
"Huru hara" Di mana" "
"Di tanah yang sedang tuan kunjungi ini! "
"Mandana" " Banyak Sakurung menegas.
"Ya " sahut buyut Mandana " tanah ini hampir saja terbakar
hangus dilanda api kemarahan rakyat Mandana. Mereka telah
mendengar semua peristiwa yang terjadi dalam keraton
Majapahit. Mereka tak puas akan perbuatan raja Jayanagara
terhadap Sindura. Mereka muak melihat Kuda Lampeyan yang
berjiwa kerdil. Puncak kemarahan mencapai titik terakhir
ketika mereka melihat tuan2 berkunjung kemari. Kupertaruhkan jiwa dan kewibawaanku untuk memberi
penjelasan dan untunglah dapat kucegah tindakan mereka
hendak menuruti hawa kemarahannya itu "
Sejak bekel Banyak Sakurung merebut percakapan dengan
bekel Mandana, Kuda Lampeyan tak mau ikut bicara. Tetapi
demi mendengar ucapan buyut mentuanya itu makin
melonjak, terutama yang mencemohkan dirinya berjiwa kerdil,
serentak bangkitlah kemarahannya " Rama buyut " serunya
melantang " Kuda Lampeyan adalah seorang anak manusia
yang berbapa senopati dan beribu seorang puteri utama. Kuda
Lampeyan dilahirkan dengan membawa ciri cita2 menjadi
senopati kerajaan Majapahit. Entah rajanya raja Jayanagara
atau puteri Tribuanatunggadewi atau puteri Gayatri, tiadalah
kupersoalkan. Yang paling penting adaiah pengabdianku untuk
kepentingan kerajaan Majapahit! "
Setelah sejenak menarik napas, ia melanjutkan pula
"Rakyat Mandana beserta seluruh pemudanya boleh mencerca
diriku sebagai seorang yang berjiwa kerdil. Tetapi memang
demikianlah pendirian Kuda Lampeyan. Aku lebih mengutamakan kepentingan negara Majapahit daripada
kepentingan peribadi termasuk soal wanita dan isteri. Aku tak
mau menyenangkan hati mereka yang menghendaki aku
supaya lebih mementingkan Sindura daripada negara. Sindura
memang isteriku, tetapi karena dia tak mau menurut
perintahku, karena dia ternyata melarikan diri dengan pria
lain, secantik Dewi Ratih sekalipun Sindura itu, namun aku tak
sudi bersimpuh menyembah kakinya. Aku bukan seperti anak2
muda tanah Mandana, yang karena masih mendendam
asmara terhadap Sindura, maka mereka marah kepadaku.
Tetapi siapakah yang sesungguhnya berjiwa kerdil, anak2
muda Mandana atau Kuda Lampeyan" Dan bila mereka tak
puas terhadap tindakanku, Kuda Lampeyan bersedia lepas
busana sebagai tumenggung dan bersedia menghadapi
mereka secara peribadi, di mana dan pada saat apapun juga! "
" Kuda Lampeyan .... " tiba2 buyut Mandana berseru tetapi
secepat itu pula, Kuda Lampeyanpun sudah menindih kata2
lagi " Rama buyut, untuk yang
terakhir kali, ingin kupersembahkan kata kepada
rama. Bahwa yang berhadapan
dengan rama saat ini, bukanlah
Kuda Lampeyan peribadi, melainkan Kuda Lampeyan utusan sang Nata. Maka dengan
segala rasa kasih dan hormat
kepada rama, kumohon rama
suka meluluskan permintaanku
agar bersama-sama menghadap
baginda di pura kerajaan. Soal
permintaan mana, nanti akulah
yang akan mengajukan kepada
baginda. Demikian pula tentang keselamatan rama, akulah
yang akan bertanggung jawab "
Buyut Mandana tertawa meloroh "Ho, ho, ho . . . aku tak
memerlukan jaminanmu, tumenggung Kuda Lampeyan. Mati
adalah kodrat hidup setiap insan. Dan akupun sudah tua.
Maupun sudah sewajarnya. Tetapi sudah terpateri 'dahim cita2
hatiku, agar aku mati di tanah Mandana, bumi di mana dahulu
aku pertama kali mulai bernapas dan melihat sinar matahari "
"Rama menolak" "
"Pulanglah ke pura Majapahit
permohonanku kepada baginda! "
dan persembahkan "Rama ikut bersamaku ke pura kerajaan dan nanti
kuhaturkan permohonan rama itu kepada baginda "
"Pendirianku sudah tetap, jangan coba memaksa orang
tua!" "Tetapi rama sendiripun memaksa diriku! "
"Apa katamu" Aku tak merasa memaksamu "
"Ah,.rama khilaf! Dengan penolakan rama itu berarti rama
memaksa aku supaya menggunakan hak yang telah diberikan
baginda kepadaku. Hak itu berupa kekuasaan menjalankan
purba dan wisesa apabila rama menolak perintah baginda "
Buyut Mandana tak terkejut mendengar ancaman halus dari
anak menantunya itu, bahkan malah tertawa " Tumenggung
Kuda Lampeyan, adakah engkau merasa dirimu cukup kuat
menghadapi gelombang kemarahan rakyat Mandana yang
akan melandamu apabila engkau melakukan paksaan" Lihatlah
di halaman luar itu! "
Kuda Lampeyan, bekel Banyak Sakurung dan rombongan
prajurit Majapahit serempak berpaling ke luar. Mereka
terkesiap melihat lautan manusia yang menggenangi halaman
ke-buyutan. Berjajarlah rakyat dalam kelompok2 barisan yang
rapih dan ketat. Barisan2 rakyat itu masing2 mempunyai
kelengkapan sendiri2. Ada barisan pedang, barisan tombak,
barisan gada, bindi, parang, sabit, trisula dan lain2 macam
senjata. Wajah dan sikap mereka menampil tekad dan
semangat yang menyala nyala!
Puas meneliti, tiba2 Kuda Lampeyan tertawa nyaring
"Tepatlah kiranya sebuah pepatah yang mengatakan: '
NIRVISENAPI SARPENA KARTAVYA MAHATI PHANA'.
Artinya: Ular meskipun tidak berbisa, harus juga
membesarkan lehernya. Demikianpun dengan rakyat Mandana
diluar itu. Mereka membesarkan leher untuk menakuti orang,
padahal sesungguhnya mereka itu tidak berbisa. Tetapi Kuda
Lampeyan bukan manusia yang mudah pecah nyali. Bangsa
ular, baik berbisa atau tidak, wajib diberantas! "
" Kuda Lampeyan, jangan menepuk dada!" seru buyut
Mandana "rakyat Mandana bukan bangsa ular yang suka
membesarkan leher. Tetapi ular yang benar2 akan menggigit
apabila diinjak orang "
Kuda Lampeyan tertawa mencemoh "Masakan tubuh ular
itu lebih keras dari tiang soko pendapa ini !" tiba2 ia
berbangkit, menyambar sebatang tombak dari tangan seorang
prajurit yang berdiri dibelakangnya lalu dilontarkan sekuat
tenaga kearah salah sebuah tiang soko. Grek . . . . ujung
tombak menyusul kedalam tiang hingga hampir dua kaki
dalamnya. Batangnya tergetar keras ....
Sekalian orang termasuk rombongan prajurit Majapahit
sendiri, terkejut menyaksikan kekuatan Kuda Lampeyan yang
sedemikian menakjubkan. Tiba2 buyut Mandana tertawa
"Kuda Lampeyan, jangan sembarang membuang senjata.
Kurangnya sebatang tombak berarti hilangnya sebuah senjata
untuk jaga diri" buyut itupun berbangkit lalu melangkah
menghampiri tiang soko. Dipegangnya tangkai tombak lalu
disentakkannya keluar dari tiang. Setelah berhasil mencabut
keluar, ia menghampiri prajurit pemilik tombak itu dan
menyerahkannya kembali "Ki sanak, terimalah tombakmu.
Tanpa tombak, keselamatanmu terancam bahaya! "
Kuda Lampeyan, bekel Banyak Sakurung dan para prajurit
pilihan dari Majapahit, tertegun menyaksikan perbuatan buyut
Mandana. Buyut yang sudah menjenjang setengah tua itu,
ternyata memiliki tenaga tersembunyi yang menakjubkan.
Banyak Sakurung tak puas. Ia tak percaya buyut setua itu
mampu meronta lepas dari sergapannya. Pada saat buyut
Mandana melangkah disampingnya, sekonyong-konyong ia
menyambar tubuh buyut itu lalu dicengkam pinggannya "Ki
buyut, engkau harus ikut kami ke pura Maja .... "
" Ah, ki bekel, jangan bergurau kepada seorang tua" tiba2
buyut Mandana menukas seraya bergeliat meronta. Gerakan
buyut itu, dilambari ilmu Belut-putih. Bagaikan menjaring
angin, kedua tangan bekel Banyak Sakurung hanya
mencengkam hampa. Tubuh buyut itu melenting kesamping.
Wajah bekel Banyak Sakurung semerah buah semangka
dibelah. Malunya bukan main. Secepat kilat beranjak kemuka,
ia menyambar pula tangan buyut.
Kali ini buyut Mandana tak melenting kesamping tetapi
bahkan malah menyongsong maju. Tangan kiri dibiarkan
dicengkeram orang, tetapi serempak dengan itu, tangan
kanannya menjulur kemuka, mencengkeram bahu bekel
Sakurung lalu mendorongnya kebelakang "Jangan mengharu
biru disini, bekel Sakurung. Lihatlah mereka! "
Pada saat Banyak Sakurung berhasil memegang tangan kiri
ki buyut, tiba2 ia rasakan bahunya dicengkeram buyut itu.
Cengkeraman itu kerasnya bukan alang kepalang sehingga ia
sampai meringis menahan sakit. Cengkeraman itupun
menyebabkan tenaganya seakan-akan lumpuh. Maka ketika
buyut Mandana mendorong tubuhnya kebelakang, Banyak
Sakurungpun menurut saja seperti seorang anak kecil ....
Banyak Sakurung terpukau. Mendengar kata2 buyut
Mandana, iapun cepat berpaling kebelakang. Ah . . ternyata
disekeliling pendapa besar itu, telah berpagar berpuluh-puluh
barisan pemanah rakyat Mandana yang tengah merentang
busur. Ujung anakpanah mereka tertuju kearah Banyak
Sakurung. "Apabila ki bekel masih mengganggu aku lagi, mereka pasti
akan menaburkan anakpanah ketubuh tuan! " seru buyut
Mandana pula. Banyak Sakurung gemetar pucat karena menampung
kemarahan yang tak dapat menghambur keluar. Ia. tahu kata2
buyut itu pasti akan dilaksanakan apabila ia masih tetap
menyerang. Namun ia merasa malu kalau mundur karena
ancaman itu. Dua macam kesulitan yang bertentangan,
mencetuskan kebimbangan. Dan berpalinglah ia melontar
pandang mata bertanya kepada Kuda Lampeyan.
Kuda Lampeyan dapat menanggapi gerak gerik orang
sebawahannva itu. Kegawatan suasana di pendapa ke
buyutan, tak lepas dari pengamatannya. Berlapis-lapis barisan
rakyat Mandana yang berkerumun memenuhi halaman,
menuntut pertimbangan yang mempunyai tanggung jawab.
Dapatkah rombongannya yang berjumlah duapuluh orang itu,
manghadapi beratus-ratus rakyat yang marah "
Teringatlah ia akan petuah gurunya. Seorang ksatrya yang
gagah, seorang senopati yang memimpin pasukan, harus


01 Gajah Kencana Manggala Majapahit Karya S. Djatilaksana di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

pandai melihat gelagat. Tak dibenarkan hanya bersandar
kegagahan dan keberanian secara membabi buta.
Kuda Lampeyan menganggap dirinya sebagai seorang
senopati. Ia merasa bertanggung jawab atas keselamatan jiwa
anakbuahnya. Dan menurut penilaian, suatu tindakan yang
nekad untuk menyerang rakyat Mandana yang jauh lebih
besar jumlahnya, hanya pengorbanan sia2 yang akan
diperolehnya. Maka ia memutuskan akan mundur dari tempat
itu untuk menghadap baginda dan melaporkan sikap orang2
Mandana. Ia hendak mohon kepada baginda agar
diperkenankan memimpin pasukan untuk menghancurkan
Mandana. Namun walaupun mundur, ia tetap menghendaki
mundur yang terhormat. "Rama buyut " serunya kepada buyut Mandana " suasana
dalam kebuyutan Mandana, cukup memberi kesan yang jelas.
Apalagi kalau dikaitkan dengan ucapan rama terhadap
baginda. Makin gamblang "
"Apa kesanmu " "
"Dari susunan barisan dan cara mengaturnya tak mungkin
apabila berpuluh barisan rakyat di luar halaman itu, disiapkan
dan dibentuk dalam beberapa hari menjelang kedatanganku
kemari! Bahwa tentulah jauh2 hari sudah dibentuk untuk
tujuan tertentu. Maka jelaslah sudah apa yang kuhadapi saat
ini. Bukan lagi penolakan rama untuk memenuhi panggilan
baginda, tetapi penolakan rama terhadap kekuasaan raja.
Bahkan lebih dalam pula, penolakkan terhadap pengangkatan
baginda Jayanagara sebagai raja ! "
"Jangan menjelmakan kesimpulan menurut anggapanmu
sendiri! " seru buyut Mandana.
"Betapapun rama hendak menyelubungi dengan kata2,
namun kenyataan telah menelanjangi tujuan rama " sahut
Kuda Lampeyan baiklah rama. Sebagai putera menantu, aku
tetap menganggap rama sebagai orang tua. Tetapi dalam
pendirian, ternyata kita saling bersimpang arah. Saat ini aku
berhadapan dengan rama sebagai seorang putera menantu
dan sebagai utusan sang Nata. Tetapi lain kali apab la aku
datang lagi, kita nanti saling berhadapan sebagai lawan. Rama
menyulut api, aku menyiram air "
"Itu kehendak rakyat Mandana! "
"Rama terimalah sembah bhakti putera menantu yang
terakhir " tiba2 Kuda Lampeyan berlutut menyembah buyut
Mandana. Seteli h i u ia bangun " Rama, aku hendak mohon
diri pulang ke pura kerajaan. Bukankah janji rama untuk
menghormati utusan sang Nata masih berlaku" "
"Terserah kepada rakyat!" sahut buyut Mandana " yang
jelas aku pribadi takkan mengganggu seujung lambut kalian! "
Kuda Lampeyan mengajak rombongannya keluar. Mereka
menaiki kudanya pula dan berjalan pelahan-lahan di tengah
barisan rakyat Mandana. Tiba2 beratus-ratus rakyat yang
tergabung dalam kelompok2 barisan itu mengerumuni mereka.
Kuda Lampeyan dan rombongan terpaksa hentikan kuda.
Sekelilingnya telah berpagar beratus batang tombak, lembing
pedang dan panah. "Apa maksud kalian?" tegur Kuda Lampeyan.
"Tinggilkan salah sebuah benda milik kalian! " seru mereka
dengan serempak. Kuda Lampeyan kerutkan dahi " Mau merampas" "
"Tinggalkan pedangmu! " teriak beberapa lelaki seraya
acungkan tombak. Kuda Lampeyan marah. Ia mencabut pedang dan
membentak "Pedang adalah kehormatan seorang ksatrya.
Pedang hilang, nyawapun melayang! Ayo, orang2 Mandana,
majulah kamu semua! "
Orang2 itu berhenti maka Kuda Lampeyanpun lanjutkan
langkah kudanya. Beberapa kelompok lelaki bersenjata pedang
maju mengepung "Tinggalkan kuda kalian! " teriak mereka.
" Kuda adalah ibarat baki seorang senopati. Tak mungkin
engkau minta! " hardik Kuda Lampeyan seraya mengayunayunkan pedang " rawe2 rantas, malang2 putung!" ia
terjangkan kudanya menyiak lapisan orang yang berjejal
dimuka. Banyak Sakurung dan anakbuahnyapun mengikuti
tindakan pemimpin mereka.
Beratus-ratus orang menyingkir kesamping memberi jalan.
Dan hampirlah Kuda Lampeyan dan rombongannya menembus
keluar dari lautan manusia itu. Sekonyong-konyong dua
kelompok barisan maju dari kanan dan kiri. Yang sebelah
kanan kelompok barisan pemanah. Mereka merentang busur
yang berisi anakpanah, mengancam rombongan prajurit
Majapahit. Sementara yang muncul dari samping kiri,
kelompok barisan parang. Mereka berhamburan loncat
kebelakang setiap kuda dan, cret, cret . . . terdengar bunyi
gemersik pelahan ketika parang2 itu memapas bulu ekor kuda
rombongan prajurit.. Pada saat seorang lelaki dari kelompok barisan parang itu
loncat hendak menabas bulu ekor kuda Kuda Lampeyan, Kuda
Lampeyanpun cukup waspada. Ia lonjakkan kuda kemuka
seraya berpaling kesamping kanan, menjaga apabila kelompok
barisan pemanah akan menaburkan panahnya. Tetapi sampai
ia menerjang keluar dari deret kepungan yang terakhir,
ternyata tak terjadi suatu apa. Maka hanya kuda
tunggangannyalah satu satunya yang masih utuh bulu
ekornya. Kuda Banyak Sakurung dan rombongan prajurit,
semua buntung ekornya ....
Rombongan prajurit tak menghiraukan sorak sorai bermanja
tawa dari orang2 Mandana. Setelah tiba di mulut desa, bekel
Banyak Sakurung hentikan kuda dan berputar ke belakang.
Serunya seraya mengacungkan tinju kearah rakyat Mandana
yang masih berkerumun di halaman kebuyutan itu " Hai, orang
Mandana, tunggulah pembalasanku. Akan kuratakan bumi
Mandana dengan mayatmu. . . . ! "
Sesungguhnya Kuda Lampeyan tak
kalah besar kemarahannya dengan Banyak Sakurung. Namun sebagai
pemimpin yang bertanggung jawab atas anakbuahnya,
terpaksa ia harus menekan perasaannya. Hal itu jelas
terpancar dari warna wajahnya yang merah padam.
"Bekel Sakurung, mari kita cepat pulang ke pura kerajaan
.... " serunya kepada bekel prajurit itu.
"Raden, hinaan yang kita terima dari rakyat Mandana ini,
sungguh amat menekan bathinku. Aku bersumpah akan
menyikat bersih noda kehinaan ini. Kelak apabila menyerang
Mandana, akan kubunuh semua orang lelaki di tanah itu! "
Banyak Sakurung mengomel tak berkeputusan.
" Ki bekel, akupun bersumpah " tiba2 seorang prajurit
bertubuh kekar berseru "apabila kita sudah merebut
kekuasaan tanah Mandana, setiap kaum lelaki di tanah itu
akan kupotong rambutnya! "
"Jangan kepalang tanggung, kakang! Engkau yang
memotong rambut, aku yang memangkas alisnya " seru
seorang prajurit lain. "Setuju ! " seru lain prajurit yang mukanya berlumuran
rambut lebat " asal jangan kaum wanitanya yang dipangkas
rambut dan alisnya! "
"Mengapa " " tanya seorang kawannya.
"Sayang " sahut prajurit brewok itu " wanita Mandana
cantik2. Kulitnya halus2 dan kuning langsap. Kalau kalian tak
mau, serahkian saja padaku daripada digunduli rambut dan
alisnya .... " "Setan engkau Sargula! " teriak seorang prajurit bertubuh
kurus " suaminya engkau bunuh, isternya engkau ambil.
Engkau melanggar hukum yang disebut Bahut " angeris!
Sargula prajurit bermuka btewok tertawa mencemoh
"Dalam perang, hukum tak berlaku. Yang lelaki kita bunuh,
yang perempuan kita ambil. Itu sudah jamak terjadi dalam
suasana peperangan. Prajurit2 yang menang tentu akan
menikmati wanita2 didaerah yarg didudukinya. Sudahlah Sakri,
kalau engkau tak mau, bagaianmu berikan saja kepadaku! "
Percikan sendau-gurau antara, kedua prajurit itu, agak
meredakan api kemarahan yang menyala di dada rombongan
prajurit Majapahit. Kuda Lampeyan tahu pula akan gelora
kejiwaan kaum prajurit. Maka ia tak mau menghentikan
pembicaraan mereka dan membiarkan anakbuahnya itu
meluapkan seluruh isi dendam kemarahannya.
Beberapa saat kemudian, barulah ia membuka suara " Bila
dada kalian sudah longgar, mari kita lanjutkan perjalanan "
Demikian mereka lalu mencongklangkan kuda. Kuda
Lampeyan memberi isyarat supaya Banyak Sakurung berkuda
disisinya "Ki bekel, bagaimana sambutan baginda atas
kegagalan tugas kita ini?" tanyanya.
"Kurasa baginda tentu takkan menjatuhkan hukuman
kepada kita" kata bekel prajurit itu "karena jelas bahwa
persoalan tanah Mandana itu sudah beralih sifatnya. Yang kita
hadapi bukanlah buyut Mandana sebagai ayah Rara Sindura.
Tetapi buyut Mandana sebagai pemimpin pemberontak yang
menentang kekuasaan kerajaan "
"Adakah baginda berkenan mengabulkan permohonan kita
untuk memimpin penyerangan ke Mandana?"
"Dengan dalih untuk menebus kegagalan tugas yang
baginda titahkan pada kita. Serta dengan jaminan penyerahan
batang kepala untuk dipenggal apabila kita gagal lagi, rasanya
baginda tentu akan mengabulkan permohonan kita itu" sahut
bekel Banyak Sakurung. Kuda Lampeyan mengangguk-anggukkan menyetujui pandangan bekel itu.
kepala, Dua hari kemudian, menjelang sang Surya bersiap-siap
masuk ke peraduan, tibalah rombongan Kuda Lampeyan
disebuah hutan "Bekel Sakurung, kita harus mempercepat
perjalanan agar sebelum petang dapat mencapai sebuah desa"
kata Kuda Lampeyan seraya memacu kudanya lebih kencang.
Kelengangan jalan pegunungan disenja hari, seolah-olah
diguncang kemelut deru dan drrap yang menggemuruh. Deru
menderu angin berhembus kencang, derap berderap dari kaki
kuju yang berpacu melintas jalan. Debu tersibak membubung
keatas lalu berhamburan menebar kesegenap penjuru,
mengaburkan pandangan arah. Walaupun rombongan prajurit
Majapahit itu haru" memincingkan mata untuk menghindar
dari taburan debu, namun mereka tetap memacu kudanya
sekencang angin. Mereka seolah-olah berlomba dengan sinar
matahari yang segera menghilang.
" Berhenti! " tiba2 Kuda Lampeyan berteriak memberi aba2
kepada anakbuahnya seraya mengekang kuda sekuat-kuatnya.
Sekalipun rombongan prajurit itu sudah berusaha sekuat
tenaga untuk menghentikan kuda masing2, tetapi karena amat
mendadak sekali, kuda merekapun saling berhamburan bentur
membentur. Kuda Lampeyan memutar kudanya dan larikan kembali
kejalan yang lelah dilalui dibelakang tadi. Beberapa puluh
langkah jauhnya, ia hentikan kuda dan loncat turun lalu tegak
berdiri bercekak pinggan memandang kearah sebatang pohon
tiktiki yang tumbuh tak jauh ditepi jalan.
Banyak Sakurung dan rombongan anakbuahnyapun segera
menyusul dan berhamburan loncat dari kuda lalu menghampiri
ketempat Kuda Lampeyan. Segera mata prajurit2 itu terbelalak
ketika menyaksikan sebuah pemandangan yang mendebarkan
darah. Dua orang muda, priya dan wanita tengah duduk
bersanding diatas akar pohon. Lelaki muda itu mengenakan
pakaian seorang brahmana dan si wanita berparas amat
cantik. Wanita berparas cantik itu duduk sambil merentang
sebelah matanya. Sedang brahmana muda itu sendiri
menundukkan muka, mulutnya berulang kali meniup mata
wanita itu " Sudah hilangkah pasirnya " " serunya.
Sambil mengucal-kucal kelopak matanya, akhirnya wanita
cantik itu merentang mata " Yah, sudah, terima kasih kakang
brah .... " belum selesai mengucap tiba2 ia menjerit " Hai,
kakang Lampeyan, engkau .... " serentak wanita itu melonjak
bangun terus lari menyongsong ke tempat Kuda Lampeyan.
Ternyata pada saat Kuda Lampeyan datang kemudian disusul
rombongannya, wanita itu sudah mendengar. Tetapi karena
matanya kemasukan pasir yang dihamburkan kuda rombongan
prajurit Majapahit itu, terpaksa ia lebih mementingkan
pertolongan dulu. Setelah butir pasir dapat ditiup keluar oleh
brahmana muda, sambil mengucap terima kasih ia melirik
kearah rombongan pendatang itu. Demi pandang matanya
tertumbuk akan Kuda Lampeyan yang berdiri menggagah
bercekak pinggang, terbanglah semangatnya. Ia menjerit
kejut2 girang dan lari mendapatkannya.
"O, kakang, kakang Lampeyan . . . . " ratap wanita itu
dengan nada beriba-iba. "Berhenti ! " sekonyong-konyong Kuda Lampeyan
membentak keras seraya menuding wanita yang berada pada
jarak lima langkah dari tempatnya.
Wanita itu tertegun, serunya " Kakang Kuda Lampeyan, aku
Sindura kakang. . . . ! " ia ayunkan langkah pula.
"Berhenti! " baru si cantik Sindura melangkah setapak ke
muka, Kuda Lampeyan menghardiknya pula "Ya, engkau
memang rara Sindura, aku tidak buta! "
"Kakang! " teriak Sindura terkejut " Sindura ini isterimu ! "
Kuda Lampeyan tertawa hambar" Ya, dahulu "
"Sekarangpun tetap isterimu, kakang " teriak Sindura
mengiba sedu " oh, kakang, mengapa engkau ini ... . "
"Sindura telah lari dengan gerombolan lelaki jahat. Dan
yang kusaksikan saat ini dia sedang bercumbu rayu dengan
seorang brahmana muda. Bagaimana mungkin Kuda
Lampeyan mempunyai isteri seorang wanita yang sedemikian
rendah martabatnya! "
"Duh, kakang Lampeyan, engkau salah Faham " lengking
Sindura " akan kuceritakan seluruh kisah yang menimpa diriku
.... " Kuda Lampeyan mendengus muak "Tiada perlunya
kudengar cerita kosong karena mataku lebih dapat kupercayai.
Apa yang kusaksikan saat tadi, benar2 telah membuka mata
hatiku! " "Engkau salah, kakang. Brahmana Anuraga itu adalah
penolongku. Kita harus berterima kasih kepadanya karena ia
bersedia mengantarkan aku pulang ke Mandana "
"Silahkan engkau berterima kasih habis-habisan kepadanya
dengan penyerahan jiwa ragamu. Tetapi jangan menyangkut


01 Gajah Kencana Manggala Majapahit Karya S. Djatilaksana di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

pautkan diriku kepadanya. Aku bukan Sindura dan engkaupun
bukan Kuda Lampeyan! "
Mendengar hamburan kata2 tajam yang bernada umpat
caci dan bernafas cemoh hinaan itu, kepala Sindura serasa
dihantam palu godam. Berbulan-bulan ia merindukan
kedatangan sang suami namun setelah jumpa hanya hamun
makian yang diterimanya. Saat itu Sindura merasa bumi yang
dipijaknya seperti tenggelam dan alam sekelilingnya berputar
melingkar-lingkar bagai angin lesus. Ia pejamkan mata,
tubuhnya bergetar-getar bagai tangkai bunga diayun angin.
"Kakang, bunuhlah aku! " sekonyong-konyong Sindura
menjerit dan lari menelungkupi kaki Kuda Lampeyan.
Menangis tersedu sedan ....
Karena jaraknya dekat, Kuda Lampeyan tak dapat
menghindarkan kakinya yang dipeluk oleh Sindura " Enyah
engkau, wanita hina .... " bentak Kuda Lampeyan seraya
mengangkat tangan hendak ditamparkan ke kepala Sindura.
"Jangan, raden!" tiba2 terdengar suara orang berseru
mencegah. Kuda Lampeyan terkejut. Ketika berpaling berkobarlah
amarahnya. Yang berseru itu brahmana muda tadi dan saat itu
dengan tenang berjalan menghampiri
"Engkau hendak membela " " tegurnya bengis.
Anuraga tersenyum. Wajahnya setenang air telaga,
sahutnya secerah pagi " Raden, sabarlah. Janganlah raden
mudah menurutkan nafsu Amarah. Karena nafsu Amarah itu
mengaburkan kesadaran bathin kita ... "
"Pantas, pantas " mulut Kuda Lampeyan mendecak-decak.
Anuraga terkesiap, ujarnya " Pantas bagaimana, raden " "
"Seorang brahmana yang masih muda, tampan, lemah
lembut budi bahasanya, pandai merangkai kata, fasih memberi
wejangan. Ah, ah, siapakah orangnya yang takkan terpikat " "
Alis Anuraga meliuk-liuk karena tertekan lekuk dahinya yang
mengerut kesima " Raden seorang ksatrya dan aku seorang
brahmana. Layakkah kita bersambung cakap dengan kata2
yang bernada sindir ejekan " Marilah, raden Kuda Lampeyan,
kita bicara dengan tenang dan damai "
"Ha, ha " Kuda Lampeyan tertawa mengejek "enak saja
engkau berbicara, brahmana. Engkau membawa isteri orang
lalu mengajak orang damai. Duhai brahmana, kiranya tiada
seorang lelaki yang tahu harga dini akan merelakan isterinya
dibawa berjalan oleh seorang lelaki, walaupun dia
mengenakan pakaian seorang brahmana "
"Raden, engkau salah faham " masih Anuraga menekan
kesabarannya sekuat mungkin.
"Bagi seorang yang melakukan tindak strisanggrahana,
memang harus mengatakan aku salah faham. Tetapi aku
hanya memiliki sebuah faham. Bahwa orang yang berani
membawa isteriku berarti merobek dadaku. Dia harus mati.
Salah atau benar, begitulah fahamku ! "
Anuraga meliuk mundur setapak. Ditatapnya Kuda
Lampeyan dengan tajam " Raden, kurelakan jiwaku engkau
bunuh, apabila engkau anggap aku bersalah, Tetapi
hendaknya raden suka memberi kesempatan kepadaku untuk
menjelaskan persoalan itu "
"Ah. tak mungkin maling akan mengaku perbuatannya
apabila tak dipaksa dengan kekerasan. Tak perlu engkau
berkering lidah untuk memberi penjelasan. Karena kesimpulan
dani penjelasanmu itu tentulah bersifat pembelaan untuk
membersihkan diri!" "Tetapi tidaklah adil menjatuhkan hukum:"n berdasarkan
prasangka semata mala " sanggah Anuraga.
"Apa?" teriak Kuda Lampeyan seraya menuding Anuraga
"bukan prasangka, bukan pula fitnah. Tetapi bukti yang
kusaksikan dengan mata kepala sendiri. Engkau jelas
membawa lari seorang wanita pelarangan. Engkau bercumbu
rayu dengan wanita itu di tengah hutan ysng sunyi. Ini sudah
jelas dan disaksikan oleh rombongan anakbuahku. Wahai
brahmana! Engkau gunakan baju ke-brahmanaan untuk
menyelimuti pribadimu. Engkau memanfaatkan wajahmu yang
tampan untuk memikat wanita2 cantik. Engkau gunakan
kepandaian lidahmu untuk mencumbu rayu wanita korbanmu
itu. Untuk menyelamatkan korban2 wanita yarg akan
berjatuhan di bawah telapak kakimu, br"hmr na sekotor dirimu
itu harus dilenyapkan! "
"Om awignam astu namas siddham .... " desis Anuraga
seraya menelikukan kedua tangannya ke dada.
Kuda Lampeyan menyiak tubuh Sindura lalu berseru kepada
Anuraga "Brahmana, bersiap-siaplah menerima kematianmu
.....! ?" -oo0dw0oo- MANGGALA MAJAPAHIT Gajah Kencana Oleh : S. Djatilaksana (SD. Liong)
Sumber DJVU : Koleksi Ismoyo
http://cersilindonesia.wordpress.com/
Convert, Edit & Ebook : Dewi KZ
http://kangzusi.com/ http://kang-zusi.info http://cerita-silat.co.cc/
Jilid 9 I NAFSU adalah sumber kecelakaan, Diantara benih2 Nafsu,
Amarahlah yang paling subur dan cepat tumbuh. Sesubur dan
secepat rumput tumbuh dimusim hujan. Demikian Amarah
cepat tumbuh subur apabila pikiran kita tertutup awan
kegelapan. Awan hitam dari kabut Praiangka lalu disusul
dengan mencurahnya hujan amarah.
Pikiran Kuda Lampeyanpun tertutup oleh awan prasangka.
Danprasangka itu timbul dari kebijaksanaan pikirannya yang
menyimpulkan bahwa isterinya bertindak serong dengan
brahmana Anuraga. Laksana magma yang sudah tertimbun
penuh dalam kerak bumi, meletuslah amarah Kuda Lampeyan
bagai gunung berapi memuntahkan lahar panas......
Sesungguhnya Kuda Lampeyan bukan pemuda yang mudah
terperangsang kemarahan. Bukan pula orang yang berwatak
keras kepala tak mau menerima keterangan orang. Tetapi saat
itu pikirannya memang masih mengemelut bara kemarahan
dari peristiwa yang dialamanya di Mandana.
Tugasnya memanggil buyut Mandana, gagal. Masih
ditambah pula dengan hinaan yang diterimanya dari rakyat
Mandana. Pergi dari Mandana membawa dendam kemarahan,
di tengah jalan melihat isterinya bersama seorang brahmana
muda. Ibarat api disiram minyak, seketika meledaklah
kemarahan Kuda Lampeyan. Kata orang, ada dua hal yang dapat menimbulkan
kemarahan seorang lelaki. Pertama kalau anaknya digoda dan
kedua apabila isterinya diganggu. Rupanya hal itu terjadi pada
diri Kuda Lampeyan. Amarah yang lahir dari prasangka hati
cemburu itu, membuat Kuda Lampeyan tak ubah seperti
banteng melihat darah. Ia hendak menerjang brahmana muda itu, menghantamnya
porak poranda. Tetapi pada saat kedua tumit kakinya hendak
berayun mengantar tubuh, sekonyong-konyong Banyak
Sakurung sudah mendahului loncat ke tengah gelanggang
"Raden, idinkanlah hamba yang merobek dada brahmana
cabul ini.....!" Bekel prajurit Majapahit itu tak mau melelahkan lidah adu
mulut dengan brahmana Anuraga. Ia juga menyaksikan
betapa sikap brahmana itu dikala menundukkan muka meniup
mata si jelita Sindura tadi. Dan sebagai Kuda Lampeyan, bekel
prajurit itu hampir tak tahan menampung kemarahan yang
didtritanya dari rakyat Mandana. Brahmana itu layak menjadi
tumpuan tempat penumpah ledakan dendam kemarahannya;
"Mampuslah engkau, brahmana kurang susila!" teriak bekel
itu seraya mendaratkan tinjunya yang besar ke dada A nuraga.
Tetapi ia terkesiap sendiri ketika menyaksikan brahmana muda
itu tetap tegak tak melepaskan teliku tangannya. Rasa kejut,
menghanyutkan pikirannya. Pikiran hanyut, tinjupun berhenti
di tengah jalan. "Eh, ki sanak, mengapa dika hentikan tinju dika?" tegur
Anuraga tenang rentang. "Huh ..." bekel Sakurung gelagapan "mengapa engkau diam
saja" Ketahuilah hai brahmana, bahwa tinjuku ini" ia kepalkan
genggam tinjunya makin kencang "pernah menghantam pecah
kepala kerbau gila. Mengapa engkau tak berusaha
menghindar?" Tiba2 bekel itu tertegun. Ia menyadari
ucapannya itu sesuatu yang berkelebihan. Musuh harus
dihancurkan, tak perlu diberi kasihan.
"Bagus, ki prajuiit" tiba-tiba Anuraga berseru "dadaku
memang pernah sanggup menerima pukulan gada besi. Ingin
kusaksikan, mana yang lebih keras. Tinjumu atau gada besi ?"
"Keparat, engkau berani mengolok bekel Sakurung!" kata2
itu ditutup dengan mengayunkan tinju ke dada Anuraga. Ia
tak mau mempedulikan lagi, adakah brahmana muda itu
berusaha menghindar atau tetap tegak mematung.
Sambil menyurut mundur setengah langkah
menghindari tinju bekel Sakurung, berserulah Anuraga
untuk "Ah, dika belum mengerahkan seluruh tenaga, ki bekel.
Angin pukulanmu masih belum keras!"
"Bedebah, jangan bermulut besar!" teriak bekel Sakurung
mengulang pukulan tinjunya.
"Masih belum bcrlambar tenaga penuh, ki bekel" kembali
Anuraga berseru sambil mengisar diri kesamping.
Dua kali memukul, dua kali hanya menerkam angin, benar2
membuat bekel Sakurung melonjak-lonjak seperti orang
menginjak api "Jahanam, kalau tak dapat menghancurkan
dadamu, aku tak mau pulang ke Majapahit!"
"Benar" sambut Anuraga dengan nada tenang2 menyengat
"karena sekalipun engkau ingin pulang, mungkin tak dapat!"
"Pinda liman mberot saking wantilan" atau laksana seekor
gajah meronta dari tiang tempat dirinya dirantai, maka
mengamuklah bekel Banyak Sakurung menyerang Anuraga.
Anuraga menyadari bahwa lawan yang menyerangnya itu
seorang bekel prajurit dari Majapahit. Ia tak merasa terikat
dendam permusuhan dengan bekel prajurit itu. Apalagi bekel
itu hanya seorang bawahan Kuda Lampeyan. Sedang
terhadap Kuda Lampeyan-pun ia tak terikat suatu dendam
apa2. Pula, membunuh itu suatu perbuatan terpantang bagi
seorang brahmana maupun pendeta. Yang penting, ia harus
berusaha untuk memberi penjelasan peristiwa tentang dirinya
dengan Sindura. Pemikiran2 yang memandang gerak Anuraga itu memberi
banyak peluang bagi Banyak Sakurung untuk mencurahkan
seluruh ilmu kedigdayaannya. Memang harus diakui,
kedudukan bekel atau lurah prajurit yang dinikmatinya itu,
bukan anugerah yang jatuh dari langit. Melainkan harus
ditebus melalui pengabdian bertahun2. Pengabdian dalam
kecimpung gemerincing pedang dan tombak di medan
pertempuran. Luka2 yang menghias dada dan punggungnya,
merupakan titian tangga yang menjenjangnya ke arah pangkat
bekel. Namun sampai napas memburu dan tubuh bersimbah
peluh, belum juga Banyak Sakurung mampu merubuhkan
brahmana muda itu. Jangankan merubuhkan, bahkan
menyentuh tubuh Anuraga sedikitpun bekel itu tak mampu.
Entah ilmu apa yang digunakan oleh brahmana muda itu.
Yang jelas, brahmana muda itu selalu dapat menyingkir dari
pukulan, tebasan maupun sepakan, tepat pada saatnya.
Kemarahan bekel itu makin meluap-luap. Di pura kerajaan,
ia dikagumi dan disegani sebagai seorang bekel yang berani
dan digdaya. Tetapi di Mandana, ia tak mampu menangkap
buyut Mandana yang tua. Kemudian saat itu berhadapan
dengan seorang brahmana muda, iapun diperolok seperti anak
kecil. Brahmana itu tak mau balas menyerang melainkan
hanya menghindar. "Brahmana, hayo balaslah memukul" teriaknya menantang.
"Aku tak bermusuhan padamu, mengapa engkau minta
pukulanku?" sahut Anuraga.
"Keparat, kalau engkau menghina aku, tentu ku-cincang
tubuhmu!" seru bekel Sakurung seraya mencabut pedang.
"Ki bekel" tiba2 Anuraga berseru sarat "perlu kuperingatkan
kepadamu. Dika dan aku tak bermusuhan bahkan sebelumnya
tak kenal mengenal. Sarungkanlah pedang dan dengarkanlah
penjelasanku. Salah gerak berakibat bencana ...."
"Bencana bagi manusia yang cidera tingkah, kurang susila!"
tukas Banyak Sakurung. "Dika berprasangka tanpa mau meneliti persoalannya"
"Jangan banyak cakap, brahmana!" bentak Banyak
Sakurung "agar tak dituduh aku seorang bekel prajurit
menindas seorang brahmana,
kupersilahkan engkau mengeluarkan senjatamu dan berusahalah membela dirimu!"
"Terima kasih, ki bekel" sahut Anuraga serta merta "dalam
gerhasta rumah asrama perguruanku, aku hanya diajar
tentang ilmu agama Syiwa dan aku diharuskan menjunjung
Cinta Kasih di n Budi Kebaikan. Tak pernah aku menerima
pelajaran bermain senjata, membunuh manusia"
"Pakailah apa saja yang engkau anggap dapat melindungi
dirimu, brahmana!" Sejenak memandang ke tubuh sendiri, Anuraga liukkan alis
"Yang ada pada diriku hanyalah seperangkat jubah kebrahmanaan dan seuntad kalung tasbih. Adakah benda itu
dapat menjadi senjata pelindung diri ?"
Bekel Sakurung geram2 kecewa berseru "Hm, apa yang
engkau inginkan, pedang atau tombak ?" ia berpaling
kebelakang dan meminta sebatang pedang serta sebatang
tombak dari seorang prajurit. Lalu diangsurkan kepada
Anuraga "Pilihlah yang engkau sukai!?"
Anuraga menyurut mundur selangkah "Tidak ! Aku tak
pernah menggunakan senjata untuk membunuh. Seorang
brahmana bukan seorang prajurit"
Banyak Sakurung menggentak-gentakkan kaki ke tanah dan
mengguman geram "Sial, mengapa bertemu dengan seorang
brahmana yang setolol ini...."
Rasa kecewa hampir memadamkan semangat kelahi bekel
itu. Tetapi tiba2 ia teringat akan janjinya kepada Kuda
Lampeyan untuk menghajar brahmana kurang tata itu
"Brahmana" bentaknya "sudah dua tiga kali kupersilahkan


01 Gajah Kencana Manggala Majapahit Karya S. Djatilaksana di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

engkau memakai senjata tetapi selalu engkau tolak. Apabila
engkau binasa, janganlah menjadi setan penasaran....."
"Senjata hanyalah buatan tangan manusia dan jiwaku
adalah pemberian Hyang Widhi Wisesa" sahut Anuraga
selembut angin semilir "Mungkin tubuhku, pakaianku, dapat
engkau hancurkan. Tetapi mampukah dika membasmi
jiwaku?" "Omong kosong!" teriak Banyak Sakurung "lihat sajalah
apakah pedangku ini kuasa mencabut nyawamu atau tidak!"
Banyak Sakurung menutup pembicaraan dengan sebuah
gerak menabas kepala brahmana muda itu. Sing, pedang
berkesiur menyambar, menimbulkan deru angin yang keras
sehingga rambut Anuraga tegak rebah dan meliuk-liuk bagai
batang padi yang sarat bulirnya. Tetapi tabasan bekel prajuiit
itu hanya dapat menyiak gelung rambut sang brahmana,
setitikpun tak kuasa menyentuh sekelumit kulit kepalanya.
Takut peristiwa akan berulang lagi seperti pada
pertempuran dengan pukulan tadi, bekel Sakurung tumpahkan
seluruh perhatian dan tenaga dalam tabasan yang kedua.
Pedang berkilat memancar sinar kemilauan, menyambar
pinggang Anuraga. Apabila kena, pinggang brahmana itu tentu
terbelah dua . "Uh ...." bekel Sakurung mendesah kejut ketika tabasan
yang dilancarkan dengan keyakinan penuh pasti berhasil itu,
ternyata mengalami nasib seperti yang tadi. Pedang hanya
membelah angin belaka.....
Rupanya Banyak Sakurung sudah jemu memaki-m.\ki.
Tanpa berkata sepatahpun jua, ia lanjutkan serangannya,
membabat kaki sang brahmsna. Saat itu Anuraga loncat
keatas untuk menghindar babatan pedang. Tiba2 bekel
Sakurung membuat gerakan yang tak terduga. Ia kejarkan
pedang membelah keatas. Dalam kedudukan tubuh sedang melayang di atas dan
terancam oleh tabasan pedang dari bawah, memang sukar
membayangkan bagaimana Anuraga hendak menyelamatkan
diri. Dalam detik2 ketegangan mencengkam seluruh perhatian
setiap orang yang berada di situ, sekonyong-konyong Kuda
Lampeyan terkejut ketika lengan kirinya dipeluk orang dan
serentak telinganya terngiang suara Sindura merengek
"Kakang .... jangan membunuh kakang brahmana itu, dia tak
bersalah, kakang" Saat itu Kuda Lampeyan tengah menumpahkan perhatian
mengikuti jalannya pertempuran. Ia tahu bahwa Anuraga itu
sesungguhnya memang hendak mengolok bekel Sakurung
dengan pura2 bersikap seorang yang tak mengerti ilmu tata
kelahi. Diam2 Kuda Lampeyan mengkal sekali kepada
brahmana yang telah memikat isterinya itu, namun setelah
menyaksikan ulah Anuraga dalam menghadapi serangan
pedang bekel Sakurung mau tak mau ia harus memuji
kelincahan brahmana itu. "Hm, andaikata aku yang diberi kesempatan seperti bekel
Sakurung, tak mungkin brahmana itu dapat bernapas lebih
lama dari sekejab mata baru ia membuat penilaian dalam hati,
tiba2 ia terkejut karena lengan bahunya dipeluk Sindura.
Kuda Lampeyan sudah menjatuhkan prasangka buruk
terhadap Rara Sindura. Ia anggap wanita itu sudah tak setya
padanya. Belum ia sempat melakukan gerakan untuk
membebaskan diri dari cekalan si jelita, tiba2 terdengar jelita
itu meratap-ratap memintakan pengampunan untuk brahmana
muda. Seketika meluaplah darah Kuda Lampeyan!
Jika tadi ia hanya akan membebaskan diri dari jamahan
tangan Sindura, tetapi saat itu berobahlah keputusannya
"Enyahlah engkau wanita hina, kulitku haram engkau
sentuh....." hardik bentakan itu diserempaki dengan sebuah
dorongan tangan kanan. Yang mendorong seorang senopati
muda, digdaya, bertenaga kuat dan sedang marah. Dan yang
didorong seorang jelita yang lemah dan paserah diri.
"Aduh, kakang...." Sindura menjerit dan tubuhnya pun
terpelanting beberapa langkah kebelakang lalu jatuh tertiarap
ditanah. Saat itu untuk menyelamat diri dari tabasan pedang Banyak
Sakurung, tiada lain jalan bagi Anuraga kecuali dengan cara
menekuk kedua lutut ke atas lalu didekap dengan kedua
tangan. Tenaga dekapan tangan itu memberi kekuatan
padanya untuk ayunkan tubuh melenting berjumpalitan ke
belakang dan meluncur turun ke bumi.
Pada saat ia hendak berputar tubuh menghadapi apa yang
hendak dilakukan Banyak Sakurung lagi, se-konyong2 ia
terkejut mendengar jerit mengaduh kesakitan dari mulut
Sindura. Dan terbelalaklah ia ketika melihat jelita itu
terpelanting jatuh didorong oleh Kuda Lampeyan.
Entah bagaimana, seketika lautan nuraninya seperti tersibak
prahara. Seketika timbullah gelombang rasa iba kepada wanita
itu. Hampir ia marah. Tetapi pada lain kejab, gelombang
kemarahan itu terbentur pada karang tajam yang tegak
dihadapannya yakni Kuda Lampeyan. Kuda Lampeyan adalah
suami Sindura yang berhak penuh atas diri isterinya. Seorang
suami kuasa memberi petunjuk dan meluruskan kesalahan
sang isteri. Bahkan menghajar sampaipun membunuh isteri
pun diwenangkan oleh undang2 kerajaan apabila isteri itu
bersalah besar, nyeleweng dengan lelaki lain. Tetapi jelas
Sindura tidak berlaku serong, tidak pula tepat dianggap
menghina raja. Ia dituduh oleh suaminya tanpa diberi
kesempatan menjelaskan duduk perkaranya. Tuduhan,
tindakan dan apapun yang bersifat semena-mena, adalah
lalim. Kelaliman harus dibasmi. Demikian Anuraga menaikturunkan pertimbangan hati. Dan akhirnya ia harus menyerang
pada tuntutan nuraninya agar ia menolong wanita itu dan
memintakan keadilan kepada sang suami. Memang berat nian
tindakan itu namun ia harus melaksanakan juga karena ia
sendiripun tersangkut. Apapun akibatnya, harus ia hadapi
dengan ketabahan hati. Selama merenung itu ia seolah-olah tak mengacuhkan
Banyak Sakurung. Dan setelah menentukan keputusan, ia
terus hendak beranjak kehadapan Kuda Lampeyan. Tepat
pada saat kaki hendak melangkah, tiba2 ia mendengar kesiur
angin mendera punggungnya. Ia terkejut karena tahu bahwa
angin itu bukan angin sewajarnya, melainkan angin yang
timbul dari sambaran senjata tajam. Dan serentak ia dapat
menduga, siapa yang melakukan penyerangan dari belakang.
Cepat ia loncat kesamping untuk menghindar tetapi agak
terlambat. Sing.... tahu-tahu secabik jubah keberahmanaannya terpapas beserta sekelumit dagingnya.
Walaupun hanya luka kecil, namun darah berhamburan
membasahi lengan kanannya. Cepat ia berputar tubuh
menghadap penyerangnya. Ditatapnya penyerang itu ialah Banyak Sakurung dengan
tajam lalu ditegurnya "Ki sanak, engkau curang!"
"Ha, ha, tahu jugakah engkau akan perbuatan curang,
brahmana?" Banyak Sakurung mengejek "kita sedang
bertempur. Jika engkau menghadap membelakangi aku,
adakah aku harus mengitari kemuka agar dapat berhadapan
dengan engkau" Kecuali secara tiba2 aku menyerangmu dari
belakang, itu memang curang. Tetapi bukankah engkau tahu
bahwa aku sedang menyerangmu" Bukankah salahmu sendiri
apabila engkau termangu-mangu seperti orang melamun?"
"Ki sanak" jawab Anuraga "dika memakai pedang dan aku
bertangan kosong. Seharusnya dika mau memberi
kelonggaran karena dika sudah beroleh kelonggaran juga.
Tetapi rasanya dika ini memang seorang yang hanya suka
menerima tetapi tak mau memberi. ."
"Pintar nian engkau bermain lidah" Banyak Sakurung
menyengau "tetapi setiap orang yang berada disini tentu.
mendengar jelas bahwa aku telah menawarkan senjata
kepadamu. Jika engkau menolak, haruskah kupaksa?"
"Karena aku tak merasa bermusuhan dengan dika" jawab
Anuraga. "Menghukum orang yang bersalah, tak perlu harus
mengikat permusuhan dulu dengan orang itu. Engkau merasa
atau tidak merasa bermusuhan kepadaku, aku tetap hendak
menghukummu!" "Tetapi aku tak merasa bersalah" bantah Anuraga pula.
"Itu perasaanmu sendiri" tukas Banyak Sakurung "tetapi
sekalian rombongan raden Kuda Lampeyan menyaksikan
perbuatanmu yang tak senonoh terhadap isteri raden Kuda
Lampeyan!" "Ki sanak, penjelasanku" engkau salah faham. Dengarkanlah "Sudah, jangan banyak mulut! Sambutlah pedangku ini ... ."
Banyak Sakurung terus ayunkan pedangnya menabas lagi.
Sambil menghindar, diam2 Anuraga menimang dalam hati.
Ia merssa sukar untuk menjernihkan suasana. Jelas Kuda
Lampeyan dan rombongannya tetap berkeras menolak
keterangannya. Sia2 belaka ia hendak berkering lidah.
Terlintas pada benaknya bahwa saat itu Sindura masih rebah
ditanah. Betapalah nasib wanita itu apabila Kuda Lampeyan
yang sudah seperti kesusupan setan itu, akan bertindak lebih
jsub. Bertindak yang melampaui batas2 rasa kasihan. Pada hal
wanita itu tak bersalah. Seketika nurani Anuraga dituntut oleh rara keadilan sebagai
seorang manusia. Serta diguncang oleh dharma lakunya
sebagai seorang brahmana. Seorang brahmana harus
menolorg kepada mereka yang tertimpa kesukaran dan
kemalangan. Tanpa menghasratkan pamrih dan takut akan
akibat dari pertolongan yang diberikan itu
"Besi harus ditempa dengan api, bukan dengan air. Mereka sukar
disadarkan dengan kata2, kecuali ditundukkan dengan
kekerasan" akhirnya Anuraga terpaksa menanggalkan rasa
keengganannya untuk bertindak keras.
Sebuah tabasan maut yang dilancarkan Banyak Sakurung
ke arah pinggang, dapat dihindar Anurega dengan gerak
menyurut ke belakang. Secepat pedang melayang ke samping,
secepat itu pula Anuraga maju mencengkeram tangan lawan
lalu diteliku ke belalang. Dan setelah tubuh Banyak Sakurung
berputar ke belakang, Anuragapun mendorongnya "Jangan
mengganggu aku .." Pelintiran Anuraga itu membuat Banyak Sakurung meringis
kesakitan dan terpaksa lepaskan pedangnya. Dan dorongan
brahmana itu, menyebabkan ia tertatih-tatih menjorok
beberapa langkah ke muka. Seorang prajurit cepat
menyongsong agar bekel itu tak sampai jatuh.
Kemudian tanpa menghiraukan bekel itu, Aruragapun
melangkah ke hadapan Kuda Lampeyan "Raden, jangan
engkau menyiksa isterimu. Dia tak bersalah dan tetap setya
kepadamu" "Brahmana, rupanya engkau berisi juga" kata Kuda
Lampeyan tanpa mengacuhkan soal yang dikemukakan
Anuraga "dan memang seharusnya demikianlah modal
seorang yang gemar melakukan tindak mayang tanpawwah
agar dapat menanggulangi orang yang mengetahui
perbuatannya" Wajah Anuraga menghambur warna merah ketika
mendengar ucapan itu. Mayang tanpawwah artinya mayang
yang tak berbuah yalah buah pisang yang digugurkan. Dalam
hukum adat, istilah itu digunakan untuk menunjuk kejahatan
yang melacur atau melanggar kesusilaan.
"Raden Kuda Lampeyan, tuduhan aku melakukan tindak
STRISANGGRAHANA dan MAYANG TANPAWWAH, sama sekali
tak benar!" bantah Anuraga sesaat setelah dapat
menenangkan kegoncangan hatinya "silahkan raden bertanya
kepada isteri radan. Bila selama dalam perjalanan aku
bertindak melanggar kesusilaan, semoga Dewa mengutuk
diriku dan Batara Kala mencabut nyawaku ...."
"Hm" desuh Kuda Lampeyan "sumpah takkan bertuah !
Hukum bersumber pada bukti bukan sumpah"
"Tetapi aku seorang brahmana, raden"
"Benar, tetapi bukan brahmana sesakti mpu Baradah, mpu
Gandring, mpu Parwa. Melainkan seorang brahmana muda
yang tampan, digdaya, pandai bertutur kata"
"Raden !" seru Anuraga agak gemetar nadanya "kalau aku
memang bersalah, penggallah kepalaku. Tetapi kuminta raden
mengajukan pertanyaan dulu kepada isteri raden"
"Tak perlu" sahut Kuda Lampeyan "karena jawabannya
tentu senada dengan penyangkalanmu"
Dada Anuraga bergelombang keras. Rupanya ia berusaha
untuk menekan kemarahannya "Raden Kuda Lampeyan,
dengan cara apakah yang dapat kulakukan menurut keinginan
raden ?" "Sia2 saja engkau hendak berkering lidah, brahmana" sahut
Kuda Limpeyan dengan nada dingin.
"Baiklah, raden" akhirnya putuslah kesabaran Anuraga
menghadapi Kuda Lampeyan yang sudah tak mungkin diajak
bicara secara damai itu "bila raden menuduh aku dan isteri
raden berbuat salah, maka kuminta raden menjatuhkan
hukuman itu kepada diriku. Tetapi janganlah raden menyiksa
hteri raden" "Huh" Kuda Lampeyan mendengus muak "tanpa engkau
minta, engkau memang akan kutindak sesuai dengan titah
baginda supaya menangkap orang yang telah melarikan
Sindura. Kalau melawan, orang itu supaya dibunuh. Huh,
wanita itu adalah isteriku, hendak kusiksa, kubunuh, itu hakku.
Mengapa engkau berani ikut campur mengurus dirinya"
"Demi menolong orang yang tak bersalah !"
"Atau demi melindungi orang yang engkau sayang, kiranya
lebih tepat! " ejek Kuda Lampeyan
"sudahlah, jangan berkepanjangan cakap. Serahkan dirimu
kubawa menghadap baginda!"
Semula Kuda Lampeyan hendak membunuh brahmana yang
dianggap telah mengganggu isterinya. Tetapi tiba2 ia merobah
rencananya. Dua macam tugas yang diterimanya dari raja.


01 Gajah Kencana Manggala Majapahit Karya S. Djatilaksana di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Pertama, memanggil buyut Mandana dan kedua mencari
Sindura dan membawanya ke pura kerajaan. Tugas pertama
ternyata gagal. Dan secara tak terduga, ia telah berhasil
bertemu dengan Sindura di tengah jalan. Apabila ia dapat
membawa Sindura dengan brahmana itu ke pura kerajaan,
berarti ia berhasil menunaikan tugasnya yang kedua.
Dilain fthak Anuraga terkejut mendengar kata2 itu
"Mengapa baginda ?" raden hendak membawa aku menghadap "Itu titah baginda!" sahut Kuda Lampeyan
"sekalipun aku lebih suka untuk membunuhmu sendiri,
tetapi sebagai seorang senopati wajiblah aku mentaati titah
raja" "Aku seorang diri ?"
"Tidak, bersama Sindura juga"
"Jangan" cepat Anuraga mencegah."jangan membawa isteri
raden ke pura Majapahit lagi. Biarlah aku sendiri yang
menghadap baginda" Kuda Lampeyan mendesuh geram "Aneh ! Sedangkan aku
sebagai suaminya yang berhak penuh, tidak keberatan.
Mengapa engkau, seorang brahmana dan seorang luar, berani
mencegah" Bukankah itu lebih mencerminkan dengan tegas
hubunganmu dengan wanita itu?"
"Hm, mengapa raden selalu menjuruskan setiap ucapanmu
kearah tuduhan itu" "Anuraga masih berusaha untuk menekan
perasaannya "hubunganku dengan isteri raden, hanyalah
sebagai seorang manusia terhadap lain manusia"
"Manusia lelaki dan manusia perempuan, tentunya !"
"Benar" sambut Anuraga "manusia lelaki yang menjadi
seorang brahmana dan manusia perempuan yang menderita
nasib malang akibat perbuatan suaminya"
"Apa katamu, wahai brahmana?"
Anuraga mendesis pelahan "Kiranya tak perlu kuungkapkan
hal itu karena raden tentu sudah memaklumi sendiri. Sebagai
seorang brahmana, aku wajib menolong sesama umat
manusia baik lelaki maupun perempuan, yang sedang
menderita kesusahan. Walaupun telah kukuatirkan timbulnya
salah faham dari suaminya dan tuduhan2 dari orang, namun
aku bersedia meluluskan permintaannya, mengantarkan
pulang ke Mandana" "Bohong!" bentak Kuda Lampeyan "siapa yang memberi
persetujuan ke sana.."
Belum selesai Kuda Lampeyan mengucap, tiba2 terdengar
suara seorang wanita berseru "Benar, kakang, memang akulah
yang meminta kepada sang brahmana untuk mengantarkan ke
Mandana ...." ia Kuda Lampeyan faham sekali dengan nada suara itu. Cepat
berpaling kearah Sindura dan menghardik makian
"Perempuan hina! Berani benar engkau melarikan diri dari
keraton bersama seorang brahmana cabul!"
"Bukan, bukan brahmana itu yang menculik aku dari
keraton tetapi gerombolan orang Wukir Polaman, kakang!"
teriak Sindura yang ternyata sudah menggeliat bangun. Ketika
mendengar percakapan antara Kuda Lampeyan dengan
Anuraga mencapai titik kesalahan-faham, Sindurapun tak
dapat berdiam diri lagi. "Tutup mulutmu, perempuan hina!" damprat Kuda
Lampeyan makin marah "engkau akan kubawa kepada
kerajaan untuk mempertanggung jawabkan kesalahanmu
kepada baginda" Sesungguhnya bhakti setya Sindura kepada suaminya,
amatlah besar. Adalah karena rasa setya kepada suami itu
maka berani ia menolak keinginan baginda. Dan pula karena
merasa akan terancam hancur kesuciannya maka ia nekad ikut
pada gerombolan penculik yang dikiranya akan menyelamatkan dirinya. Bahwa ternyata sang suami dengan
semena-mena menuduhnya berlaku serong dan berkeras
menolak segala keterangan dan ber-kali2 memakinya sebagai
perempuan hina. Mau tak mau membangkitkan rasa
keagungannya sebagai seorang wanita. Dahulu semasa masih
sebagai gadis, tak pernah ia dimaki orangtuanya. Tetapi saat
itu, di hadapan sekian banyak prajurit, ia telah dijadikan
tumpuan umpat caci dari suaminya. Kalau ia memang benar
seperti yang dituduh suaminya itu, jangankan dimaki, dibunuh
sekalipun ia rela. Tetapi ia merasa tak bersalah.
"Tidak, kakang!" seru Sindura "apakah engkau merelakan
isterimu menyerahkan kesuciannya kepada baginda ?"
Kuda Lampeyan tertegun tetapi pada lain kejab ia berseru
"Jangan menghina raja! Tak mungkin baginda mau
menghendaki dirimu. Engkau seorang wanita yang sudah
bersuami. Baginda dapat memperoleh gadis2 cantik yang
manapun juga" "Ah, apakah engkau tak percaya kepadaku, kakang?"
"Sudah, jangan banyak cakap. Ikut aku ke pura kerajaan. Di
hadapan baginda engkau dapat membersihkan segala
kesalahanmu" "Tidak, kakang, aku tak mau kembali ke pura kerajaan ...."
Kuda Lampeyan merah mukanya "Eh, Sindura, apakah
engkau juga akan membangkang perintah raja seperti
ayahmu?" "Apa" Apakah kakang sudah bertemu dengan rama?"
Sindura menegas. "Dua hari yang lalu aku menghadap ramamu, untuk
memanggilnya menghadap baginda. Tetapi ramamu telah
menolak bahkan telah mempersiapkan seluruh rakyat untuk
menghina aku!" Sindura terbeliak menghadap baginda?" kaget "Mengapa rama dipanggil "Untuk mempertanggung jawabkan kesalahannya aebagai
seorang tua yang tak mampu mendidik anaknya sehingga
anak itu berani minggat dari keraton!"
"Dan mengapa rama menolak ?"
"Ramamu mau memenui perintah raja apabila diadili dalam
sidang lengkap kerajaan. Kuajaknya datang ke pura kerajaan
dulu baru nanti mempersembahkan permohonannya itu.
Tetapi dia tetap menolak. Bahkan dia memperlihatkan sikap
menentang raja" "Soal diriku lolos dari keraton, sama sekali tiada sangkut
pautnya dengan rama. Rama tak tahu sama sekali hal itu,
mengapa rama diharuskan bertanggung jawab ?" Sindura
memberi bantahan "Kalau dia sebagai orangtua lepas dari tanggung jawab, lalu
siapakah yang harus bertanggung jawab?"
"Waktu masih gadis, aku memang menjadi tanggung jawab
orangtua. Tetapi setelah menikah, seharusnya suamikulah
yang mengambil alih pertanggungan jawab itu"
"Aku memang takkan mengingkari tanggung jawab itu
maka sekarang juga aku hendak membawamu kembali ke
pura kerajaan menghadap baginda"
Sindura tertawa geram "Kepada siapakah engkau merasa
akan memberikan tanggung jawab itu ?"
"Sudah tentu kepada baginda !"
"Mengapa engkau harus memberi tanggung jawab kepada
raja ?" "Karena aku seorang senopati kerajaan"
"Dan engkau lalu takut akan kehilangan pangkat itu ?" seru
Sindura "tetapi engkau lupa akan tanggung jawabmu kepada
dirimu sendiri !" "Diriku ?" Kuda Lampeyan kerutkan kening.
"Ya, dirimu sebagai seorang suami. Apakah tanggung
jawabmu sebagai seorang suami terhadap isteri" Bukankah
seorang suami wajib melindungi isterinya " Tetapi mengapa
kebalikannya malah hendak menjerumuskan isterimu ke mulut
harimau " Ketahuilah, kakang, baginda telah merayu aku dan
hendak memaksa aku menjadi permaisurinya!"
Kuda Lampeyan tertawa nyaring. Nadanya kering hambar
"Apakah dirimu itu wahai Srndura! Jangan memulas emas
pada wajahmu. Adakah baginda tak mampu mencari wanita
yang lebih cantik serta masih perawan " Mengapa baginda
bermaksud tak senonoh kepada dirimu " Bukankah baginda
telah mengangkat aku sebagai tumenggung " Mengapa
engkau balas budi kebaikan baginda dengan fitnah yang hina "
Yang jelas, engkau tentu melarikan diri dengan brahmana
muda yang tampan itu" Kuda Lampeyan berpaling dan
menunjuk kearah Anuraga. "Kakang Lampeyan" teriak Sindura bernada isak "engkau
benar2 kejam, kejam sekali. Yang loyang engkau sangka
emas, yang emas engkau sangka loyang! Adakah
pandanganmu sudah silau dengan pangkat tumenggung itu ?"
"Tutup mulutmu, perempuan
Lampeyan memberingas. hina !" bentak Kuda Sindura menangis "Kakang, rupanya engkau lebih sayang
pangkat daripada isterimu. Lebih mentaati perintah raja yang
tak senonoh daripada melindungi ke-setyaan isterimu. Tetapi
kakang, Sindura tetap setya kepadamu. Demi meluhurkan
kewibawaanmu, demi menjaga kesucian sebagai seorang
isteri, aku tak mau menghadap raja"
"Hm, engkau takut ketahuan kesalahanmu?"
"Tidak! Tetapi kutahu jelas, kepergianku ke pura Majapahit
itu hanyalah seperti masuk ke dalam mulut harimau saja"
"Jangan membangkang, engkau harus mau kuajak kembali
ke pura kerajaan!" "Bunuhlah aku atau kalau engkau sudah tak mencintai
diriku, kembalikan aku ke rumah orangtuaku. Tetapi janganlah
engkau bawa aku kepada raja lagi......."
Kuda Lampeyan terpukau. Benaknya melingkar-lingkar
mendaki dua lapis puncak yang tertutup kabut kesangsian.
Antara puncak Cinta dan puncak Cita. Bila ia memilih ke
puncak Cinta, berarti ia akan berada di seberang puncak yang
berhadapan dengan kerajaan. Penolakan buyut Mandana
untuk memenuhi panggilan baginda, penolakan Sindura untuk
dibiwa kembali ke pura kerajaan, tentu akan membangkitkan
kemurkaan baginda. Baginda tentu akan menganggap buyut
Mandana itu memberontak dan pasti akan ditumpasnya.
Kehancuran Mandana, akan menyeretnya juga pada lembah
kehancuran nama dan cita citanya. Demikian apabila ia ikut
pada ayah mentuanya itu, dikarenakan ia memilih cintanya
kepada Sindura. Adakah ia harus mengorbankan diri,
keharuman nama ayahnya dan seluruh cita2 untuk seorang
wanita....." Sejenak ia katupkan pintu hatinya lalu membukanya pula ke
arah puncak Cita. Kerajaan Majapahit adalah sebuah kerajaan
yang besar dan jaya. Beribu-ribu orang gagah, ksatrya dan
pemuda2 yang bercita-cita tinggi, ingin membaktikan diri
kepada kerajaan. Tetapi yang mendapat rejeki 'kejatuhan
pulung' seperti dirinya, rasanya hanya dia seorang.
Kelungguhan tumenggung, bukanlah mudah didapat. Biasanya
harus dicapai melalui pengabdian yang lama dan penuh derita
kese-tyaan. Tetapi sekaligus ia diangkat baginda sebagai
senopati dengan pangkat tumenggung dan ditugaskan untuk
meninjau daerah2 di seluruh telatah Majapahit. Hal itu benar2
suatu mimpi dalam kenyataan. Adakah ia harus
mencampakkan kenyataan itu untuk memburu cinta Sindura"
"Kuda Lampeyan, apabila engkau dapat melaksanakan
tugas ini dengan berhasil, bukan saja kuampuni kesalahanmu,
pun engkau akan kuhadiahi puteri mana saja yang engkau
kehendaki....." demikian terngiang pula ucapan baginda
Jayanagara ketika ia hendak berangkat ke Mandana.
"Kakang, marilah kita pulang ke Mandana menghadap rama
buyut ...." tiba2 Kuda Lampeyan tersentak sadar dari
renungannya. Dahinya mengerenyit, hidung mengembang,
bibir menyeringai "Perlu apa -pulang ke Mandana?"
"Agar rama jangan salah faham kepadamu"
"Bukan kepadaku tetapi kepada baginda"
"Apakah kakang hendak melaporkan kepada raja?"
"Aku seorang utusan Nata"
"Tetapi kakang adalah putera menantunya"
Kuda Lampeyan tertawa hambar "Menantu adalah
hubungan keluarga, tetapi utusan nata adalah tugas negara.
Kepentingan negara menghapus segala kepentingan keluarga.
Dan putera menantu itu berlaku, selama aku masih
menganggap engkau isteriku"
Sindura terbeliak "Adakah akan berobah anggapan kakang
kepada diriku?" "Tergantung dari sikap dan perbuatanmu!"
"Bagaimana sikap dan perbuatanku menurut penilaian
kakang?" "Hm, tergantung engkau mau ikut aku ke pura kerajaan
atau tidak" jawab Kuda Lampeyan dalam nada sarat.
"Kalau aku ikut?"
"Tergantung hasil keputusan baginda atas perbuatanmu
meloloskan diri dari keraton"
"Kalau aku tak mau ikut?"
"Jelas engkau memang bersalah kepada raja, curang
kepadaku!" Dada Sindura berombak keras. Wajahnya sebentar pucat
sebentar merah. Belum pernah sepanjang hidup, ia
menghadapi peristiwa yang seolah-olah mencabut akar2
kelembutan hatinya "Kakang Kuda Lampeyan, bersedia atau
tidak aku ikut ke pura kerajaan, tergantung dari jawabanmu
atas pertanyaanku ini"


01 Gajah Kencana Manggala Majapahit Karya S. Djatilaksana di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Apa pertanyaanmu?"
"Bagaimana pendirianmu
isterimu?" apabila raja akan meminta Pertanyaan itu rupanya tak pernah disangka Kuda
Lampeyan akan diajukan Sindura. Ia terbelalak. Sampai
beberapa saat tak dapat menjawab.
Sindura tertawa pelahan "Baiklah, karena tampaknya
engkau sulit menjawab pertanyaan itu, akan kuganti dengan
lain pertanyaan yang lebih ringan. Cobalah jawab kakang.
Andai engkau mendapat bukti bahwa raja telah berbuat tak
senonoh kepada isterimu, lalu bagaimanakah tindakanmu?"
Lipatan dahi Kuda Lampeyan meliuk-liuk dan makin penuh.
Beberapa saat kemudian ia berseru dengan nada keras
"Jangan mengandai-andai!"
Sindura tertawa kecil. Nadanya mengandung getar2
perasaan muak "Baik, kakang. Aku takkan mengandai-andai
tetapi dengan tegas kukatakan bahwa baginda Jayanagara
memang telah bertindak yang tak senonoh kepadaku. Baginda
bermula membujuk rayu dengan halus, kemudian menggunakan kekuasaannya untuk menekan. Adalah karena
hal itu maka aku terpaksa melarikan diri dari keraton ...."
"Tutup mulutmu, Sindura !" bentak Kuda Lampeyan
"selama belum berhadapan dengan baginda, keteranganmu itu
kuanggap suatu fitnah. Memfitnah keiuhuran nama sang
prabu, matilah hukumnya. Ketahuilah, hai Sindura, bahwa saat
ini peribadiku adalah sebagai utusan Nata, untuk memanggil
buyut Mandana dan membawarnta kepura Majapahit!"
"O, jadi engkau bukan
suamiku?"Sindura menegas.
dalam kedudukan sebagai "Jika aku menganggap diriku sebagai suamimu, saat ini
engkau dan brahmana itu tentu sudah kubunuh. Tetapi karena
menjunjung kedudukan sebagai utusan Nata, maka aku hanya
akan membawamu kepada baginda, sesuai dengan tugas yang
diberikan beliau" Tiba2 Sindura tertawa nyaring. Nadanya bercampur
kerawanan dan kekecewaan "Baiklah, tumenggung Kuda
Limpeyan, hamba Sindura, sependirian dengan ayah hamba,
buyut Mandana. Hamba dan ayah hamba hanya bersedia pergi
ke pura Majapahit apabila diadili dalam sidang kerajaan
lengkap......" "Jangan mengolok aku, Sindura. Mau tak mau, suka tak
suka, engkau tetap akan kubawa ke pura kerajaan!" seru Kuda
Lampeyan seraya melangkah ketempat Sindura.
Sindura gemetar pucat. Ia memandang wajah Kuda
Lampeyan. Makin tergetarlah hatinya. Sinar mata Kuda
Lampeyan tidak lagi selembut dahulu dikala sedang meminang
dirinya. Tetapi sinar kelembutan yang memancar keangkuhan.
Dalam keadaan, gugup dan bingung, Sindura mengalihkan
pandang matanya kearah Anuraga. Brahmana muda itu masih
tegak berteliku tangan. Sikapnya tenang, wajah cerah dan
mata menyambut dengan pancaran kejernihan.
"Ki Brahmana, aku mohon perlindungan ...."
kesadaran, tiba2 mulut Sindura merekah kata2.
diluar Kuda Lampeyan terhenti. Wajahnya merah padam dan
berpalinglah ia kepada Anuraga "Brahmana, jika engkau ingin
keringanan hukuman, janganlah engkau ikut campur urusan
ini!" "Aku tak menginginkan keringanan suatu apa, karena aku
memang tak bersalah. Tetapi kalau aku memang bersalah,
akupun takkan mengharap keringanan hukuman" sahut
Anuraga. "O, engkau bermaksud hendak
Lampeyan meminta penjelasan.
ikut campur?" Kuda "Untung tak dapat diraih, celaka tak dapat ditolak" sahut
Anuraga "kalau memang demikian kehendak keadaan,
mengapa aku harus berpeluk tangan?" kemudian ia berpaling
kepada Sindura, serunya "Tetapi nini, urusan ini adalah urusan
kalian, suami dengan isteri. Apakah aku berhak untuk
memberi perlindungan kepadamu?" "
"Benar, brahmana, memang tak pada tempatnya engkau
mencampuri urusan diantara suami dan iseri" Kuda Lampeyan
memberi tanggapan. "Ki brahmana, salahlah apabila tuan menganggap urusan ini
urusan suami dan isteri. Tumenggung Kuda Lampeyan telah
menyatakan bahwa dirinya saat ini sebagai utusan Nata,
bukan sebagai suami Sindura. Namun apabila ki brahmana
berat hati untuk melindungi diriku, akupun tak berani
memaksa ...." "Tidak nini, seorang brahmana takkan ingkar dari dharma
yoganya. Menolong orang yang membutuhkan pertolongan
itu, ia harus mengorbankan
menyusuli kata. jiwanya" cepat2 Anuraga "Ho, jadi engkau tetap hendak mencampuri urusan ini ?"
tiba2 Kuda Lampeyan berseru.
Anuraga menjawab tenang "Demikianlah seperti yang raden
nyatakan sendiri. Bahwa saat ini raden adalah dalam
kedudukan sebagai utusan Nata, bukan sebagai suami nini
Sindura" "Mengapa engkau harus menolongnya" Bukankah aku
bertindak menurut titah raja, brahmana?" tegur Kuda
Lampeyan. "Sekali-kali aku tak bermaksud menentang titah baginda"
sahut Anuraga "tetapi kurasa tak salah apabila kululuskan
permintaan wanita itu. Mereka buyut Mandana dan puterinya
ini, bukan menolak titah menghadap baginda, tetapi memohon
supaya diadili dalam sidang kerajaan yang lengkap ...."
"Tak mungkin permintaan semacam itu akan dikabulkan
baginda. Karena baginda adalah junjungan yang berkuasa
penuh untuk mengadili dan menjatuhkan hukuman kepada
rakyat yang bersalah" Kuda Lampeyan menolak.
"Ah, raden hanyalah sebagai utusan Nata. Utusan hanya
sekedar menyampaikan titah tetapi tak berhak menerima atau
menolak suatu permohonan. Maka haraplah raden suka
menyampaikan permohonan mereka itu kepada baginda. Dan
selama belum ada keputusan raja, buyut dan puterinya itu
berhak dilindungi dari setiap tindakan yang bersifat memaksa
atau semena-mena. Karena mereka belum tentu bersalah"
Pendekar Latah 19 Pendekar Naga Geni Harta Tanjung Bugel Dewi Siluman Bukit Tunggul 2

Cari Blog Ini