Ceritasilat Novel Online

Gajah Kencana 16

01 Gajah Kencana Manggala Majapahit Karya S. Djatilaksana Bagian 16


jiwaku." Setelah Ra Tanca memantabkan janjinya lagi maka Kebo
Taruna pun lalu menuturkan tugas yang sedang dilakukan saat
itu. Dan untuk tugas itulah maka patih Aluyuda menjanjikan
imbalan yang paling berharga baginya yalah dara ayu
Damayanti. " Oh," tak kunjung bebas Ra Tanca dari rasa kejut yang tak
kepalang setelah mendengar penuturan Kebo Taruna "sampai
disitukah tindakam patih Aluyuda untuk melenyapkan
saingannya" Baginda telah diikat hatinya dengan seorang dara
ayu dan rakryan Nambi beserta kawan-kawannya akan
dilenyapkan dengan cara sekeji itu. Hm, Aluyuda, entah
hukuman apa yang kelak akan engkau terima karena
perbuatanmu itu?" "Paman, kuharap paman menepati janji paman!" seru Kebo
Taruna was was. Ra Tanca tcrtawa datar "Jangan kuatir Kebo Taruna. Aku
tentu memikirkan keselamatan jiwamu."
"Menurut pendapat paman, bagaimanakah
langkah yang akan kuambil" " tanya Kebo Taruna.
sebaiknya Ra Tanca tak lekas menjawab melainkan merenung diam.
Beberapa saat kemudian baru ia berkata "Kebo Taruna,
persoalan yang engkau bawa itu, sungguh diluar dugaanku.
Kuduga isi surat dari patih Aluyuda kepadamu itu tentulah
bcrisi rencana bagaimana engkau harus melaksanakan
pembunuhan itu. Tetapi sungguh masih kabur dalam
pengertianku, bagaimana mungkin engkau seorang diri
mampu melakukan hal itu " Benar surat untuk, buyut
Kedungpeluk itu tentu berisi perintah supaya membantu
usahamu. Tetapi sampai di manakah kekuatanmu dibantu
buyut dan rakyat Kcdungpeluk menghadapi rombongan
mahapatih Nambi yang terdiri dari senopati2 perang ternama
itu?" "Paman patih telah menyerahkan dua buah bungkusan kcpadaku. Yang satu berisi uang dan
satu entah berisi apa, aku
tak tahu. Karena sebelum tiba di Kedungpeluk bungkusan itu tak boleh kubuka." "0 " Ra Tanca terbeliak
"cobalah engkau beikan
kcpadaku bungkusan itu."
Semula Kebo Taruna masih agak meragu tetapi karena sudah terlanjur memberikan rahasia tugasnya itu kepada Ra Tanca, terpaksa
ia menyerahkan juga bungkusan kecil itu. Selekas
menyambuti, Ra Tanca segera membukanya. Ternyata
bungkusan itu berisi bubuk tepung putih. Diciumnya untuk
membau. Seketika wajah tabib itu berobah lesi "Racun .... !
Kebo Taruna, engkau tentu diperintah untuk meracuni rakryan
mahapatih dan rombongannya."
Walaupun sudah terisi dengan dugaan semacam itu, namun
dikala diucapkan oleh Ra Tanca dengan nada gemetar,
tergetar jugalah hati Kebo Taruna. Ra Tanca tak mengacuhkan
perobahan wajah pemuda itu. Ia menjemput bubuk tepung
putih itu sedikit lalu ditebarkan pada sebatang tanaman kecil.
Seketika tanaman itu mengerenyit dan mengeluntung
daunnya. Batangnya pun layu dalam beberapa saat.
"Hebat! Benar2 racun yang ganas. Lihatlah Kebo Taruna,
betapa ccpat tanaman itu mati karena terkena racun itu.
Demikianpun halnya dengan rakryan Nambi dan rombongannya. Dalam beberapa kejab saja, mereka tentu
sudah putus jiwanya. Dan engkau, anakku, akan menerima
ganjaran puteri ayu Damayanti yang engkau idam idamkan
itu, ha, ha!." Kcbo Taruna merah bereampur biru mukanya. Rasa ngeri
membayangkan pembunuhan yang ganas dan rasa malu
karena dikelabuhi patih Aluyuda dengan janji memberikan
Damayanti, dara yang sudah dimiliki raja. "Paman, janganlah
paman mengejek diriku dengan mengaitkan diri Damayanti.
Yang kuperlukan dari paman yalah bagaimanakah sebaiknya
aku harus bcrtindak ?"
Ra Tanca kembali berdiam diri sambil memeriksa bubuk
racun itu. Beberapa saat kemudian ia berkata dengan tenang
"Lanjutkan tugasmu yang diperintahkan patih Aluyuda itu!"
"Paman menyuruh aku tetap melakukan peracunan pada
rakryan mahapatih dan rombongannya itu?" Kebo Taruna
menegas, seolah-olah tak pereaya akan pendengarannya.
"Ya " sahut Ra Tanca, "karena kalau tidak, engkau tentu
akan dibunuh patih Aluyuda. Sekurang-kurangnya engkau
tentu sukar membuktikan sampai dimana kebenaran janji
Aluyuda yang hendak memberikan Damayanti kepadamu."
"Dengan begitu bukankah rakryan Nambi dan rombongannya akan binasa semua ?" Kebo Taruna setengah
berteriak. "Tidak," jawab Ra Tanca penuh kepereayaan, "rakryan
Nambi dan rombongannya belum saatnya harus disingkirkan.
Tenaganya masih di butuhkan kerajaan."
"Lalu kalau kuberi racun ini, bukankan mereka jelas tentu
binasa?" Ra Tanca tersenyum "Pada saat itu, akan ada orang yang
menolong dengan obat pertawar racun yang kuberikan."
"Jadi paman yang akan mengatur pertolongan itu" " Kebo
Taruna mengulang penegasan.
"Amankan perasakan hatimu, Kebo Taruna." Ra Tanca
bersenyum urung "akan kuatur segalanya, demi keselamatanmu. Engkau harus tetap melaksanakan perintah
patih A luyuda itu agar engkau bebas dari kecurigaan dan kelak
engkau dapat menuntut janji patih itu ?""
"Apabila paman Aluyuda ingkar janji?" tukas Kebo Taruna
dengan dada mengembang tegang.
"Engkau akan terbuka pikiranmu betapa culas patih itu".."
"Tidak, paman. Bila dia ingkar, akan kubunuh!" teriak Kebo
Taruna dengan meluap-luap.
Ra Tanca gelengkan kepala "Jangan, anakku. Berbahaya
sekali tindakanmu itu. Bukan melainkan patih Aluyuda yang
engkau hadapi, pun baginda lah yang akan engkau tentang.
Engkau tentu cclaka."
"Paman, Kebo Taruna tak gentar menghadapi paman
Aluyuda bahkan bila perlu baginda sekalipun," makin keras
nada Kebo Taruna. Diam2 Ra Tanca tertawa dalam hati namun ia tetap berkata
tenang, "Apakah engkau benar2 tak gentar menghadapi patih
Aluyuda dan baginda?"
"Ya! "Sama2 menanggung bahaya, engkau pilih kehilangan
Damayanti atau tidak?"
"Sudah tentu tidak," kata Kebo Taruna agak sabar "kalau
mungkin"." "Mengapa tak mungkin?" balas RaTanca, "coba katakan
bagaimana hubunganmu dengan dara ayu itu. Engkau hanya
bertepuk sebelah tangan atau cintamu bersambut dalam
hatinya juga?" "Dia jnga menyambut kasihku, paman," seru Kebo Taruna
dalam gelombang nada yang tegang pula "tunjukkanlah pada
Kebo Taruna, kemungkinan yang paman sebut itu. Kebo
Taruna takkan melupakan budi pertolongan paman selama
lamanya." "Mudah saja," Ra Tanca mengulas senyum.
"Bagaimana "!"
"Gondol!" ucap Ra Tanca singkat dan tegas. Namun cukup
membuat Kebo Taruna tertegun "bawalah dara tambatan
hatimu itu lari dari gedung kepatihan dan pergilah engkau
bersembunyi ke pedalaman gunung belantara. Hiduplah
sebagai suami isteri yang bahagia dan tenteram, jauh dari
segala debu kekotoran dunia."
Tiba2 Kebo Taruna berlutut mencium kaki tabib itu. "Duh,
paman, terimalah sembah sujud Kebo Taruna yang sedalamdalamnya. Paman telah menunjukkan jalan yang tepat bagiku,
Baiklah, akan kulaksanakan titah paman itu."
Ra Tanca mempersilahkan Kebo Taruna bangkit. "Aku
hanya mengajukan saran. Betapa bahayanya, hanya engkau
sendiri yang akan menderita. Sesungguhnya. aku harus malu
kepada diriku karena dapat memberi usul tetapi tak mampu
memberi perlindungan kepadamu, Kebo Taruna. Tak lain, aku
hanya dapat mendoakan semoga Hyang Jagadnata
mengabulkan dan merestui langkahmu," berhenti sejenak
tabib itu berkata pula, "masih ada sebuah permintaanku
kepadamu anakku." "Katakanlah, paman."
"Untuk membuat ramuan penawar racun dari patih Aluyuda
itu, terpaksa aku harus minta sedikit bubuk racun itu agar
dapat kuselidiki sifatnya. Mudah-mudahan dalam waktu
singkat aku sudah dapat membuat ramuan penawarnya."
Serta merta Kebo Taruna memberikan sejemput bubuk
racun itu kepada Ra Tanca. Setelah itu Ra Tancapun berkata,
"Nah, kiranya pertemuan kita sudah cukup. Lanjutkanlah
perjalananmu dan akupun masih harus mencari daun2 ramuan
obat lagi, nak." Kebo Taruna memberi sembah lalu minta diri diantar
dengan pandang mata kemenangan oleh Ra Tanca. Tabib itu
terseayum simpul "Seorang tangan kanan patih Aluyuda
berhasil dapat kupatahkan dari tuannya "."
0odwo0 MAHAPATIH NAMBI BERONTAK Rombongan mahapatih Nambi telah meninggalkan pura
Tikta Sripala. Di sepanjang jalan rakyat berbondong keluar
untuk mengantarkan keberangkatan patih amangkubhumi itu.
Tiap desa yang dilalui selalu disambut dengan elu dan
penerimaan yang hangat. Mahapatih Nambi dan rombongan
adalah tonggak2 pembangun, penegak dan pembela kerajaan
Majapahit. Mereka adalah senopati2 tua yang telah mengabdi
kepada negara sejak jaman Raden Wijaya atau Seri baginda
Kertarajasa. Sudah selayaknya mereka mendapat penghormatan dan penghargaan besar.
Rakryan Nambi merasakan suatu perbedaan besar antara
suasana kerajaan dengan daerah di luar. Serasa nafas
longgar, semangat timbul dan pikiran pun segar. Bukan karena
terlepas dari himpitan kesibukan tugas2 pekerjaan, pun karena
sambutan yang diterimanya dari rakyat di daerah2.
"Adi Wiranagari " kata rakryan Nambi kepada Panji
Wiranagari, senopati yang selalu mempesonakan musuh di
medan perang, "betapa haru rasa hatiku menyaksikan sikap
rakyat kepada kita."
"Ah, mereka amat menghargai mahapatih,"ahut Panji Wiranagari.
kepada kakang "Bukan, Wiranagari, bukan hanya kepadaku seorang,
melainkan kepada kita semua," rakryan Nambi merendah,
"apa arti seorang Nambi bila tiada bantuan dari adi2 sekalian.
Mudah-mudahan kesetyaan rakyat itu, menjadi alas lambaran
kerajaan Tiktawilwa menuju ke puncak kemegahan dan
kejayaan, Wiranagari."
Wiranagari tidak menyahut melainkan menghela napas
pelahan, hampir tiada bersuara. Namun walaupun tua, telinga
mahapatih itu masih amat tajam, penglihatannya awas dan
pikirannya terang. Ia cepat dapat menduga apa yang
tersembunyi di balik hembusan napas Wiranagari. "Wiranagari,
kita adalah narapraja dan senopati. Tugas utama dari
narapraja dan senopati yalah mengabdi kepentingan negara
dan rakyat. Kepentingan negara di atas segala kepentingan
pribadi, kekecewaan dan perasaan hati. Wiranagari, kutahu
apa sebab engkau menghela napas."
"Maaf, kakang mahapatih," tersipu Wiranagari mengunjak
ucap memang demikianlah selayaknya kita bersikap dan
bertindak. Kerajaan Majapahit adalah darah dan napas kita.
Majapahit runtuh, napas kitapun berhenti, nyawa hilang.
Tetapi ah, kakang mahapatih ..... " kembali senopati yang
sudah berumur itu menelan napas yang hendak berhembus
keluar lagi. "Mengapa Wiranagari " "
"Berbelas tahun Wiranagari mengabdi dalam perjuangan
untuk membangun dan menegakkan kerajaan Majapahit.
Wiranagari pernah tidur di dalam sebuah kubangan lumpur
pematang sawah ketika dikejar oleh pasukan kerajaan Daha.
Pun pernah rebah dalam genangan darah ketika bertempur
melawan pasukan Tartar. Derita yang paling menderita, sudah
pernah kukenyam. Bukannya karena hendak membanggakan


01 Gajah Kencana Manggala Majapahit Karya S. Djatilaksana di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

jasa maupun akan menonjolkan diri. Tetapi sesungguhnya
kerajaan Majapahit yang megah itu dibangun dengan darah
dan keringat kita. Oleh karena itu, sungguh takkan kurelakan
sekali apabila kerajaan Majapahit runtuh di dalam tangan tak
bertanggung jawab!" Rakryan Nambi tertawa rawan "Adalah karena pertanggungan jawab itu maka kita harus dapat mewajibkan
diri untuk bersabar dengan tujuan tunggal yalah demi
Majapahit yang kita cintai, Wiranagari."
"Kakang mahapatih," tiba2 terdengar selutuk seorang
"mengapa dalam waktu terakhir ini sikap baginda terhadap
kakang mahapatih, agak berbeda ?"
Rakryan Nambi berpaling menjelang orang itu "Ah,
anengah, aku dan kita semua ini adalah hamba kerajaan,
narapraja Majapahit. Sudah jamak lumrahnya apabila kita ini
menjadi tumpuan kemarahan, makian dan kesalahan. Baginda
masih muda belia, kita sebagai narapraja tua harus dapat
menyelami hati junjungan kita dan memomongnya."
"Ah, kakang mahapatih terlalu sabar," kata pula Panji
Samara, mendukung pernyataan Panji Anengah "sebagai
seorang mahapatih, patih amangkubumi, kiranya kekuasaan
kakang hanyalah dibawah baginda seorang. Tetapi dalam
banyak persoalan pemerintahan ternyata baginda lebih mau
menerima usul dari lain2 menteri, termasuk patih Aluyuda
yang paling mendapat hati. Bukankah hal itu dapat
menyinggung kewibawaan kakang mahapatih ?"
Rakryan Nambi alihkan perhatian kcpada Panji Samara.
Katanya tenang "Ucapanmu, memang benar, Samara.
Memang banyak nian mentri dan narapraja yang berusaha
keras untuk mendapat kepereayaan baginda. Diantaranya
yang paling mendapat angin yalah Aluyuda. Telah kukatakan
bahwa baginda masih berusia muda, pendiriannya masih
muda tertiup angin. Namun adalah ibarat pagar kayu yang
harus tetap tegak dengan kokok agar angin itu jangan dapat
menumbangkan pohon maja suci itu atau merusakkan.
Demikianlah halnya, Samara. Apabila kita yang sudah diusang
badai masa dan diubani kelapukan usia, juga memiliki pikiran
yang masih mudah terangsang seperti anak muda, bukankah
akan goyah barisan bhayangkara itu " Bukan aku taktahu,
Samara, akan keadaan dalam pura kerajaan dan suasana yang
berlangsung dalam dewan pemerintah kerajaan. Namun aku
berpendirian, kepentingan dan kewibawaan peribadi itu harus
dikesampingkan demi kepentingan menjaga tegaknya
Majapaint. Apabila aku, ikut-ikutan bergolak, bukankah
pemerintahan akan goyah jalannya ?"
"Rakryan mahapatih benar," tiba2 Jaran Bangkal yang ikut
hadir dalam pembicaraan itu, membuka suara, "tetapi sayang
kurang sempurna." Nambi alihkan pandang mata kepada senopati yang
terkenal keras itu. "Bagaimana jelasnya ucapanmu itu, Jaran
Bangkal?" "lbarat membuat rumah, rakryan mahapatih hanya
mementingkan keindahan dan kemegahan bangunannya tetapi
tak memperhatikan landasannya. Atau jelasnya tuan hanya
mementingkan luarnya, tidak dalamnya. Tetapi belum tentu
buah mangga yang kuning masak itu disuka orarg apabila
dalamya sudah membusuk karena dimakan ulat. Belum tentu
pula bangunannya indah megah itu akan kuat dilanda angin
karena landasannya rapuh."
Sejenak mahapatih Nambi terkesiap. Kemudian pada lain
saat mengulum senyum "Ah, pandai juga engkau berbicara
secara bertalaran, Jaran Bangkal. Bukankah maksudmu
hendak menyanggah tindakanku itu lemah ?"
"Benar, rakryan mahapatih," sahut Jaran Bangkal dengan
terus terang. "Orang hanya kuatir bahwa jalannya
pemerintahan kerajaan yang kacau apabila tuan ikut bergolak.
Oleh karena itu, tuan tetap mengambil sikap diam dan tenang.
Tetapi ah, kiranya sejak baginda Jayanagara tampil
memegang tampuk pimpinan kerajaan, keadaan pura Tikta
Sripala sudah ibarat api dalam sekam, di luar tampak tenang
tetapi di dalam sudah mengemelut. Menurut hematku, apabila
rakryan mahapatih bertindak untuk menyapu ulat2 itu,
memang akan timbul badai pergolakan tetapi setelah itu
pemerintah kerajaan akan mengalami ketenangan dan
kelancaran yang lebih mantap."
Rakryan Nambi termenung. Ucapan Jaran Bangkal memang
sudah menjadi pemikirannya selama ini. Namun karena
waktunya habis dimakan kcsibukan tugas yang menimbun, ia
belum sempat merenungkan lebih dalam. Maka ketika hal itu
diungkap Jaran Bangkal, ia memang belum siap.
"Jaran Bangkal, apa yang engkau ungkapkan itu memang
tak salah. Hanya sayang engkau kurang dapat menyelami
peribadi rakryan mahapatih," tiba2 terdcngar sebuah suara
baru. Dan ketika Jaran Bangkal berpaling ternyata yang buka
suara itu adalah ra Jangkung, seorang hulu balang yang
sesuai dengan namanya, bertubuh tinggi jangkung.
"0, cobalah engkau jelaskan, kakang Jangkung," pinta Jaran
Bangkal. "Sesuai dengan pembawaannya, rakryan mahapatih itu
selalu tenang. Suatu sikap yang diperlukan bagi seorang
negarawan dan ahli pikir seperti beliau. Tidak suka grusagrusu dan selalu bertindak dengan perhitungan matang," kata
ra Jangkung, "masakan kita akan mengatakan bahwa rakryan
mahapatih tak tahu akan persoalan itu" Dan mengapa beliau
belum mau bertindak, tentu telah diperhitungkannya. Mungkin
karena belum waktunya atau mungkin karena sesuatu yang
dipandang belum cukup menjadi alasan bertindak," ia berhenti
srjenak untuk menyelidiki kesan pada wajah kawan2 terutama
Jaran Bangkal, "menurut homatku, yang penting kita harus
lebih menggalang persatuan. Apabila kelompok golongan
rakryan mahapatih itu bersatu kokoh, tentu mati kutu lah
golongan2 yang hendak merongrong kewibawaan kerajaan itu.
Kemudian langkah kcdua, serahkan saja pada pertimbangan
rakryan mahapatih untuk memberi perintah bilamana kita
harus bergerak !" "Itu benar," sambut Panji Wiranagari, "tetapi akupun
mendukung usul Jaran Bangkal bahwa suatu ketika, apabila
saatnya sudah tiba, kita harus melakukan pembersihan ke
dalam seluruh tubuh pemerintah kerajaan."
"Setuju," sambut Panji Anengah pula, kemudian diikuti Panji
Samara dan Teguh yang berpangkat tumenggung. Kini
pandang mata mereka tereurah kepada mahapatih Nambi.
Nambi tahu apa arti pandang mata para senopati kawan2
perjuangannya itu. Mereka tak dapat menahan kesabaran
hatinya lagi melihat suasana dalam pemerintah kerajaan
dipura Tikta Sripala. Ia pun tahu bahwa tujuan mereka itu
adalah demi meregakkan kembali kewibawaan kerajaan.
Apabila semangat mereka dipadamkan, tentu akan timbul rasa
tak puas. Namun iapun menyadari bahwa apabila ia menuruti
anjuran mereka, tentu akan timbul peristiwa yang cukup
menggoncangkan kerajaan. Pengetahuan dan kesadaran itu
akhirnya tertampung dalam suatu kenyataan bahwa ia adalah
seorang patih amangkubumi. Apabila bertindak ceroboh,
akibatnya tentu akan menimbulkan akibat yang tak diinginkan.
"Baiklah, kawan2 sekalian," akhirnya setelah melalui
renungan yang mendalam, ia membuka pernyataan, "nanti
apabila sudah tiba saatnya, aku tentu akan memberitahu
tindakan apa yang harus kalian lakukan. Tetapi yang penting,
sejak saat ini kita harus lebih menggalang persatuan dan
menggalakkan pemawasan. Jangan mudah tergelincir dalam
pancing kecuhan fihak yang memusuhi kita. Nanti sesudah kita
pulang kembali ke pura, tentu akan kupikirkan soal itu dengan
sungguh." Demikian pereakapan yang terjadi antara rakryan Nambi
dengan senapati2 rombongannya ketika bermalam di rumah
buyut desa Rabut Carat. Desa pertama yang disinggahi sejak
kcluar dari pura Tikta Sripala. Esok mereka akan melanjutkan
perjalanan ke selatan dan akan bermalam di desa Kapulungan.
Setelah Kapulungan barulah desa yang ketiga yani desa
Kedungpeluk. Walaupun dalam cuti, namun pikiran mereka
tetap tak lepas dari urusan pemerintahan.
Demikian pada hari itu menjelang surya rembang, tibalah
rombongan mahapatih Nambi di desa Kedungpeluk. Buyut dan
seluruh rakyat Kedungpeluk menyambut dengan upacara adat
yang meriah. Buyut Kedungpeluk yang sudah menjelang
usianya yang keempatpuluh masih tetap gagah. Wajahnya
yang berhias sepasang kumis lebat, tampak menghapus kesan
ketuaan. Kedungpeluk merupakan daerah lalu lintas darat yang
penting. Keselatan dapat mencapai Singosari, ke timur
Pasuruan, ke barat berdinding gunung Pananggungan dan
barisan gunung2 Welirang, Anjasnatra dan Arjuna.
Perdagangan amat ramai, hasil bumi, sayur mayur dan ternak
berlimpak ruah. Rakyat dapat mengenyam penghidupan yang
tenteram. Agama berkembang luas.
Malam itu di pendapa agung kebuyutan yang cukup luas
dan dihias permai dengan seni rangkai janur yang indah.
Lampu2 yang bereorak ukir-ukiran berbagai bentuk,
memancarkan sinar yang terang benderang. Kursi kehormatan
untuk rombongan tamu agung itu diselubungi dengan kain
sutera warna warni menurut tinggi rendah kedudukannya.
Sebuah meja panjang membujur di hadapan kursi2 tetamu.
Ketika mahapatih Nambi dan rombongan memasuki
pendapa kebuyutan diam2 ia tertegun melihat persiapan yang
dilakukan buyut Kedungpeluk untuk menghormat kedatangannya. Demikian setelah rombongan tamu agung
duduk maka buyut dan para dharmatiyaksa serta segenap
pamong kebuyutan hadir, maka dimulailah buyut Kedungpeluk
menyampaikan kata2 penyambutan yang resmi kemudian
dilanjutkan dengan laporan tentang keadaan desanya.
Amat girang mahapatih Nambi mendengar laporan buyut
itu. Ia memberi pujian, "Bagus, ki buyut, demikianlah
hendaknya, lanjutkan usahamu memajukan desa ini dengan
cara-caramu yang baik itu. Memang demikian, ki buyut. Setiap
daerah, desa hams mampu mengembangkan kekayaan
daerahnya dan mengerahkan kemampuan rakyatnya untuk
menanggulangi parsoalan2 setempat dalam rangka memajukan pembangunan desanya. Janganlah membatasi
ruang gerakmu dengan ketergantungan pada pemerintah di
pusat kerajaan." Buyut Kedungpeluk tersipu-sipu menghaturkan terima
kasih. Tiba2 seorang pegawai kebuyutan datang menghadap
dan melapor pada buyut bahwa diluar pendapa dataug
seorang tetamu yang ingin berjumpa dengan rakryan
mahapatih Nambi. "Siapa?" buyut itu agak terperanjat. Tetapi pesuruh
kebuyutan itu hanya menggeleng kepala "Entah ki buyut.
Tetamu itu hanya mengatakan datang dari pura kerajaan dan
mohon berjumpa dengan gusti mahapatih karena ada urusan
yang amat panting." "Aneh," guman buyut itu sambil merenung. Kemudian ia
berkata "baik, akan kujumpainya."
Ia memohon maaf kepada mahapatih Nambi karena hendak
meninggalkan perjamuan untuk menyambut tetamu. Tetapi
mahapatih Nambi mencegahnya "Tak usah ki buyut yang
menyambut. Karena dia hendak menghadap aku, maka aku
sajalah yang keluar menemuinya."
"Jangan gusti mahapatih," buyut itu berdatang sembah pula
"apabila gusti mahapatih yang keluar tentu perjamuan ini akan
hiruk. Para gusti senopati tentu akan mengawal paduka,
termasuk hamba juga. Tetapi kalau hamba yang keluar,
perjamuan ini tetap berlangsung seperti adanya tanpa
terganggu." Setclah merenung, akhirnya mahapatih Nambi mengangguk
dan memperkenankan buyut itu yang keluar menyambut.
Sekalipun setelah buyut itu tinggalkan pendapa, masih
suasana perjamuan agak sunyi. Diam2 mahapatih Nambi dan
rombongan mencurahkan dugaan kepada tetamu baru itu.
Untunglah tak berapa lama kamudian, tampak buyut
Kedungpeluk masuk ke dalam pendapa dengan mengiring
seorang lelaki setengah tua, bertubuh kurus, berpakaian
sebagai narapraja kerajaan yang sejajar pangkatnya dengan
demang. Selekas berada pada jarak beberapa langkah dari
tempat duduk mahapatih Nambi, mahapatih serentak berseru
gembira "0, kiranya kakang Semi" ia berbangkit dan maju
menyongsong tetamu itu lalu membawanya duduk di sebuah
kursi tak jauh dari tempat letak duduknya.
Setelah dipersilahkan minum, maka mahapatih Nambipun
bertanya akan maksud kedatangan ra Semi menyusul
rombongannya. Ra Semi termasuk salah seorang dari ketujuh
Dharmaputera yang diangkat baginda. Walaupun tak menjabat
suatu tugas tertentu dalam pemerintahan tetapi ra Semi
mempunyai kcdudukan yang sama dengan seorang mentri
karena Dharmaputera itu adalah orang kepereayan raja.
"Rakryan mahapatih," ajar ra Semi sesaat kemudian, "dapat
kumaklumi betapa kejut tuan atas kedatanganku kemari.
Tetapi sesungguhnya, kedatanganku ini tidak membawa suatu
berita ataupun titah baginda, melainkan dari kehendakku
sendiri. Pertama aku kenal baik dengan paman Pranaraja yang
boleh kuanggap sebagai orangtuaku. Karena dari beliau
banyaklah aku menerima petunjuk2 yang amat berharga.
Maka sudah layak sebagai kewajiban apabila aku ikut melawat
ke Lumajang menjenguk bcliau yang sedang menderita sakit
keras ?"" "Terima kasih kakang ra Semi," sahut mahapatih membatasi
jawabannya karena ia pereaya kedatangan ra Semi itu bukan
hanya soal itu saja. "Disamping itu, kebetulan pula aku bertemu dengan ra


01 Gajah Kencana Manggala Majapahit Karya S. Djatilaksana di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Tanca. Sebenarnya ra Tanca ingin sekali ikut ke mari agar
dapat memeriksa dan memberi pertolongan kepada paman
Pranaraja. Tetapi sayang benar ia sedang sibuk membuat
ramuan obat yang dititahkan baginda. Apapula dewasa ini
banyak sekali orang yang datang kepadanya meminta obat
sampai2 ia tak dapat istirahat."
"Ah, ra Tanca memang seorang tabib yang pandai dan
ringan tangan terhadap siapapun yang membutuhkan
pertolongan," sambut mahapatih Nambi.
"Hanya sebagai tanda ikut perihatin atas sakitnya paman
Pranaraja, ra Tanca pun memikirkan keselamatan perjalanan
rakryan mahapatih ke Lumajang. Dia telah memberikan
sebuah goci besar berisi obat minum agar dipersembahkan
kepada rakryan mahapatih. Khasiat obat itu dapat
menawarkan segala keracunan, misalnya digigit ular berbisa
atau terkcna senjata beracun dan lain2 penyakit perut."
"0, mengapa ra Tanca perlu sedemikian sibuk memikirkan
diriku?" seru mahapatih Nambi "kelak apabila kembali ke pura
Tikta-Sripala aku tcntu menghadapnya untuk menghaturkan
terima kasih." Ketika mendengar pembicaraan itu, wajah sekalian
rombongan mahapatih berserl cerah. Hanya seorang di antara
hadirin yang tampak muram dan masam. Dia bukan lain yalah
tuan rumah sendiri atau buyut Kedungpeluk. Pada saat
mahapatih menerima guci yang dipersembahkan ra Semi,
mata buyut itu tampak berkilat-kilat memperhatikan. Apabila
kebetulan ada salah seorang yang berpaling, tentu dia akan
terkejut melihat perobahan airmuka buyut itu. Untunglah saat
itu tiada seorang pun yang menaruh perhatian kepadanya
karena sekalian hadirin sedang menumpahkan perhatian pada
mahapatih Nambi. Setelah memperhatikan dengan seksama rakryan mahapatih menyerahkan guci itu kepada seorang pengawal
yang berdiri di belakangnya, buyut Kedungpeluk pun segera
menghaturkan maaf kepada ra Semi atas penyambutannya
yang kurang hormat tadi. "Ah, tak apa, ki buyut," sahut ra
Semi tertawa, "aku malah senang dengan sikapmu itu yang
tak lekas pereaya pada setiap tetamu yang hendak
menghadap pada seorang mentri yang amat tinggi
kedudukannya seperti rakryan mahapatih Nambi."
Selesai penyambutan maka perjamuan pun segera
dihidangkan. Makanan dan minuman serta buah2an segar
bagaikan air Bengawan yang tak henti2nya mengalir ke meja,
dibawakan oleh berpuluh perawan dan jejaka. Selama
perjamuan berlangsung rombongan tetamu agung itu dihibur
dengan beberapa tarian yang dibawakan oleh penari2 ayu.
Perjamuan dilangsungkan sampai malam. Rombongan tamu
agung tampak gembira dan puas atas penyambutan yang
diberikan buyut Kedungpeluk. Selama acara tari- tarian
berlangsung, tampak buyut mondar-mandir masuk ke dalam
gedung kebuyutan, sibuk mengatur dan memberi perintah
kepada pelayan2. Saat itu menjelang tengah malam, tiba2 tampak sesosok
tubuh menyelinap keluar ke belakang halaman. Dari balik
batang pohon, muncul pula sesosok tubuh menyambut
kcdatangannya. Mereka bersembunyi di belakang pohon itu,
"Ki buyut, apakah saatnya sudah tiba?" seru orang yang
menyambut itu kepada yang menyelinap keluar dari pendapa
tadi. Dan ternyata orang itu adalah buyut Kedungpeluk sendiri.
"Perjamuan hampir selesai, kurasa kita harus bertindak.
Akan kupersembahkan minuman tuak sebagai pengantar tidur
dan penutup perjamuan," kata buyut tetapi adakah bubuk itu
dapat diandalkan, raden ?"
"Jangan kuatir, paman buyut," sahut orang yang disebut
raden itu "setelah minum persembahan tuak itu, mereka tentu
akan tidur pulas selamalamanya "."
"Hm, bagus," buyut tertawa girang "dengan demikian
dapatlah kita membuat laporan bahwa mereka terlalu banyak
sekali makan dan minum tuak sehingga perutnya tak kuat."
"Ah, jangan mengemukakan alasan paman buyut. Itu masih
kurang kuat dan mencurigai. Pemerintah pusat tentu akan
mengirim rombongan tabib antara lain tabib termasyhur ra
Tanca untuk menyelidiki. Karma seluruh rombongan mati
semua, tentulah akan dianggap kejahatan besar, peristiwa
keracunan atau peracunan."
Buyut tertegun "Lalu bagaimana kita harus bertindak
raden?" katanya paserah.
Orang yang disebut raden itu tampak tenang sekali
jawabannya "Betapapun halnya, kita tak mungkin hindar dari
tanggung jawab. Maka satu-satunya jalan untuk terbebas dari
hukuman yalah harus mengakui bahwa peristiwa itu suatu
keracunan." "Keracunan?" buyut Kedungpeluk tcrbeliak.
"Ya, keracunan tetapi bukan peracunan. Keracunan karena
makan atau minum yang tak diketahui mengandung racun.
Sebaliknya peracunan adalah hal yang disengaja atau
pembunuhan dengan menggunakan racun."
"O" buyut menghela napas panjang seolah-olah ketegangan
syarafnya itu amat keras "lalu raden Taruna sudah mempunyai
persiapan menghadapi soal itu" "
Raden Taruna itu bukan lain yalah Kebo Taruna. Dengan
pertimbangan bahwa tampaknya dirinya dalam perjamuan itu
akan cepat menarik perhatian rombongan mahapatih, maka ia
tak mau unjuk Bahkan untuk leblh mengamankan jejaknya,
orang2 kebuyutan tak tahu juga akan kedatangannya di desa
situ. Ia mengadakan pertemuan secara rahasia dengan buyut.
Buyut Kalung-peluk, setelah membaca surat dari patih Aluyuda
tampak terkejut. Ia hampir tak pereaya bahwa patih Aluyuda
akan mengadakan tindakan yang sedemikian hebat. Dan
sejalan dengan rasa kejut, hampir pula ia tak berani
melaksanakan perintah itu. Namun Kebo Taruna memberi
tekanan "Ki Buyut, kutahu perasaan ki buyut dan dapatlah
kuselami bagaimana pikiran tuan saat ini. Tetapi memang
demikian tanggung jawab dari orang2 yang bekerja sama
dengan patih Aluyuda, termasuk diriku dan ki buyut." Kebo
Taruna berhenti sejenak, lalu "Kedudukan kita serba sulit dan
berbahaya. Melakukan perintah, besar bahaya. Menolak
perintah, pun amat berbahaya. Rakryan patih tentu dengan
mudah akan mencari alasan untuk menghapus kedudukan ki
buyut, bahkan akan menimbulkan kesalahan ki buyut agar
dapat dihukum. Kiranya ki buyut tentu sudah maklum akan
pengaruh rakryan patih, bukan?"
Dengan suara terpancang dalam kerongkongan, buyut itu
mengiakan. Kebo Taruna lalu menerangkan, "setelah
dipertimbangkan, diantara kedua bahaya itu, melakukan
perintah rakryan patih, lebih berkurang bahayanya. Ia lalu
menuturkan tentang suana pura kerajaan dan sikap baginda
terhadap mahapatih Nambi. "Sekalipun begitu, kita tak boleh,
bekerja secara ngawur. Oleh karenanya aku sudah
mempersiapkan rencana untuk mengatasi kemungkinan
bahaya yang akan mengancam kita." Kebo Taruna
menambahkan pula. "Katakanlah raden, agar hati paman segera lapang," buyut
bergegas mendesak. "Begini, paman," kata Kebo Taruna "bubuk racun ini boleh
paman campurkan dalam minuman sebagai penutup
perjamuan. Dan apabila esok hari rombongan tamu agung itu
binasa, paman harus segera kirim utusan menghadap rakryan
patih Aluyuda untuk menyampaikan laporan peristiwa itu. Di
samping itu paman, harus pura2 memanggil orang2 kebuyutan
dan memarahi mereka. Suruh mereka periksa sisa2 makanan
dan minuman. Kemudian paman pura2 pula mengatakan
bahwa minuman yang terakhir dalam perjamuan itu
mengandung racun ular yang amat berbisa. Lalu paman
kerahkan orang2 untuk mencari ular beracun itu di sumur2,
sungai dan suniber air. Nah, malam ini aku sudah
mempersiapkan seekor bangkai ular beracun yang yang akan
kumasukkan ke dalam sebuah lubang di bagian aliran alias
dari sumber air. Carilah, tentu akan paman ketemukan
bangkai uar itu. Ambillah bangkai ular itu sebagai bukti bahwa
kematian rombongan tamu agung dari pura kerajaan itu
adalah akibat keracunan dalam minuman perjamuan.
Walaupun hal itu tetap dianggap salah, tetapi karena
kesalahan yang tak disengaja, hukumannya tentu ringan. Aku
akan berusaha mendesak rakryan patih agar menggunakan
pengaruhnya untuk membebaskan atau sekurang kurangnya.
memperingan hukuman paman."
Buyut Kedungpeluk mengucurkan keringat dingin. Walaupun rencana yang dikemukakan Kebo Taruna itu cukup
baik, tetapi dalam hati ia masih tetap mengeluh. Karena
apabila dihukum, jelas ia tentu hilang kedudukannya sebagai
buyut desa Kedungpeluk. Namun apabila ia membayangkan
betapa hebat tindakan patih Aluyuda terhadap dirinya nanti
apabila ia menolak melakukan perintah itu, maka
meremanglah bulu kuduknya.
Rupanya Kebo Taruna memperhatikan jugs perobahan
muka buyut itu. Kesangsian yang masih mengabut pada wajah
buyut itu dapat disingkapnya. "Soal paman buyut akan
kehilangan kedudukan sebagai buyut, janganlah terlalu
dipikirkan. Rakryan patih sudah mienjanjikan suatu kedudukan
yang lebih tinggi bagi paman."
Buyut menatap Kebo Taruna lekat2 "Dapatkah janji itu
paman pereaya, raden ?"
"Aku sebagai saksinya, paman. Apabila beliau tak menetapi
janji, kelak kita bongkar rahasia ini. Bukankah rahasia ini
hanya kita yang tahu ?"
Mendengar itu serasa hapuslah awan keraguan dalam
pikiran buyut Kedungpeluk. Ia menerima perintah itu.
Demikian menjelang perjamuan selesai, ia mengadakan
pertemuan pula dengan Kebo Taruna di belakang halaman.
Kebo Taruna pun segera menyerahkan bungkusan berisi
bubuk beracun itu kepada buyut. Kemudian mereka berpisah.
Buyut bergegas kembali ke pendapa. Ia menuju ke belakang.
Setelah memberi perintah kepada orang yang bertugas soal
minuman, cepat2 ia memasukkan bubuk beracun itu ke dalam
jambangan tuak. Kemudian ia cepat2 pula ia menuju keluar
melayani tetamu agung. Tak berapa lama ia memberi isyarat agar supaya hidangan
tuak sebagai penutup perjamuan segera dikeluarkan "Gusti
mahapatih dan sekalian gusti2 senopati, perkenankaniah
hamba mempersembahkan hormat dan bakti seluruh rakyat
Kedungpeluk dengan tuak buatan rakyat desa ini. Tuak ini
berkhasiat menghilangkan lebih dan gusti2 sekalian tentu
dapat beradu dengan nyenyak ?""
Kata2 buyut itu diucapkan dengan nada agak gemetar
tetapi dikarenakan mahapatih dan rombongan merasa puas
akan pcnyambutan buyut itu, merekapun tak menaruh
perhatian kepada nada suara buyut itu. Pertama-tama rakryan
mahapatih Nambi lalu para senapati. Setiap penegukan, tentu
terdengar ucap pujian akan tuak yang manis dan nikmat itu.
Selesai para senopati, buyut mengedarkan minuman itu
kepada para pengawal, terutama pengawal peribadi dari
rakryan mahapatih Nambi. Tampak ra Semi yang duduk di sebelah Jaran Bangkal
segera membisiki beberapa patah kata kepada senopati itu.
Jaran Bangkal yang terkenal pemberani dan jujur itu serentak
berbangkit. "Buyut, jangan diberikan jua tuak itu kepada
pengawal rakryan mahapatih!"
Buyut Kedungpeluk tertegun, berpaling dan mengerut dahi.
"Mengapa, gusti?" tadi ia menghadap kearah pengawal itu
sehingga tak tahu siapa yang bicara itu. Yang dilihatnya
ternyata Jaran Bangkal dan tak diketahuinya bahwa beberapa
saat tadi ra Semi lah yang membisiki senopati.
"Pengawal bertugas untuk mengawal keselamatan gusti
mahapatih dan sekalian rombongan. Apabila kami tidur
nyenyak dan para pengawalpun demikian, lalu siapakah yang
akan menjaga keselamatan gusti mahapatih ?" seru Jaran
Bangkal. Buyut pun cepat menghapus keriput keheranannya. "Ah,
mengapa gusti senopati menyangsikan kesetyaan rakyat
Kedungpeluk " Baiklah, gusti, hamba buyut Kedungpeluk yang
akan bertanggung jawab akan keselamatan gusti mahapatih
dan segenap gusti senopati."
Hampir Jaran Bangkal tergagap. Sebagai seorang kasar
yang jujur, ia anggap pernyataan buyut itu dapat diterima.
Tetapi saat itu juga Ra Semi menyelutuk, "Ki buyut, janganlah
melampaui hak dan kewajiban seseorang. Para prajurit
pengawal rakryan mahapatih dan rombongan senopati ini
memang berkewajiban untuk melindungi keselamatan
tuannya. Teristimewa keselamatan dari gusti mahapatih
Nambi, pejabat pemerintah yang paling tinggi dalam
pemerintahan Majapahit setelah baginda Jayanagara. Bila
terjadi sesuatu atas diri gusti mahapatih, tentu akan
menimbulkan akibat yang besar. Bahkan bencana perangpun
mungkin dapat timbul karena hal itu. Bagaimana mungkin
engkau seorang buyut berhak untuk mengambil alih tugas
seberat itu" Bukankah pengawal2 itu tetap akan di hukum
mati oleh kerajaan bila mereka bersedia menyerahkan
tanggung jawab mereka kepadamu, buyut" "
Kata2 Ra Semi itu bagaikan kilat yang menyambar porak
poranda perasaan buyut Kedungpeluk. Ra Semi seolah-olah
memberi gambaran betapa akibat dan hukuman yang akan
diterimanya karena melakukan peracunan kepada rakryan,
mahapatih dan rombongannya itu. Gemetarlah tangan buyut
Kedungpeluk membayangkan akan kangerian nasib yang akan
di terimanya. Hukuman pancung kepada bagi dirinya dan
seluruh keluarganya Hihh tiba2 buyut itu mendesis dan
hendak melarikan diri. "Hai, ki buyut, mengapa engkau itu" Mengapa wajahmu
sedemikian pucat dan gerahamnya kedengaran

01 Gajah Kencana Manggala Majapahit Karya S. Djatilaksana di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

menggemerutuk berderuk deruk" Dan hendak beringsut
kemanakah engkau?" tegur Jaran Bangkal melihat gerak- gerik
buyut Kedungpeluk yang ketakutan seperti anjing bereawat
ekor." "Ti ".. dak kemana ".. mana, gusti," buyut itu menyahut
tersekat-sekat dengan nada getar.
Ra Semi menatap tajam2 wajah buyut itu, "Buyut, rupanya
engkau terserang penyakit mendadak ?" ia melangkah maju
menghampiri dan sebelum buyut itu sempat membuka mulut,
secepat kilat ra Semi merebut piala berisi tuak dari tangan
buyut itu, yalah tuak yang hendak disuguhkan kepada
pengawal rakryan mahapatih tadi. Dan sebelum buyut itu
sempat mengetahui apa yang akan terjadi, tangan kiri ra Semi
pun sudah mencengkeram mulut buyut, menekannya sehingga
ternganga lalu meminumkan tuak itu ke dalam mulutnya
"Minumlah tuak ini, ki buyut, agar penyakitmu hilang"..."
Sepintas pandang tindakan ra Semi itu memang dapat
dianggap sebagai tindak untuk menolong buyut itu dari
penyakit yang datangnya mendadak. Bahkan setelak
meminum tuak itu, ra Semi masih tampak mengurut2 dahi dan
kening buyut itu, sehingga orang berkesan bahwa tamu agung
itu benar2 memberi pertolongan.
Sesaat buyut itu kehilangan faham. Tetapi pada lain saat,
timbullah kesadaran pikirannya pula dan tahulah ia apa yang
akan menimpa pada dirinya setelah meneguk tuak itu. "Ah,
matilah aku," keluhnya dalam hati. Dengan tabah ia
mencampurkan bubuk racun ke dalam tuak dan dihidangkan
kepada rakryan mahapatih serta para senopati. Bagaimana
akibat dari peracunan itu, ia tak gentar menghadapi. Tetapi
pada waktu ia sendiri meminum tuak beracun itu, suatu hal
yang sama sekali tak pernah diduganya, pecahlah nyalinya.
Jelas bahwa seorang pembunuh yang berhati dingin, tetap
akan ketakutan apabila ia sendiri menghadapi maut .....
Rasa takut sering mangaburkan ketenangan pikiran. Karena
dicengkeram oleh rasa takut, buyut itu kehilangan pegangan
diri dan kalap seperti kerbau gila. Tanpa menghiraukan para,
tamu agung yang masih berada di medan perjamuan, buyut
itu bangkit, loncat dan lari keluar daripendapa.. .
"Eh, mergapakah buyut itu ?" seru mahapatih N ambi heran.
Namun dari sekian senopati dalam rombongan tamu agung
itu, hanya ra Semi yang dapat menjawab "Ah, mungkin dia
mengidap suatu penyakit itu kambuh."
"Ah, kalau benar demikian, sungguh kasihan benar. Kelak
sehabis dari Lumajang, akan kuajak dia ikut ke pura kerajaan
berobat pada ra Tanca," kata mahapatih Nambi.
Demikian karena tiada lagi yang dibicarakan, rombongan
tamu agung itupun segera tinggalkan medan perjamuan dan
beristirahat ke dalam gedung yang telah disiapkan tuan rumah
nntuk bermalam. Pada saat para tamu agung itu sedang beradu melepaskan
lelah adalah buyut Kedungpeluk masih lari pontang panting
menyusup kegelapan malam. Ia merasa dirinya pasti akan
mati karena minum tuak yang jelas dicampurnya dengan
bubuk racun. Satu- satunya penumpah kemarahannya yalah
Kebo Taruna "Kebo Taruna ! Kebo Taruna ! Di mana engkau
.... !" ia berteriak-teriak sambil berlari-lari sehingga tak
disadarinya bahwa saat itu ia sudah berada di luar telatah
desa dan berada dalam sebuah hutan. Ia tak tahu di mana
Kebo Taruna berada. Pokok, dengan bertcriak-teriak
memanggil namanya, tentulah pemuda itu akan mendengarnya dan muncul. Kepadanya ia hendak minta obat
penawar. Tanpa disadari ia telah tiba di tepi saluran air. Tiba2
sesosok tubuh muncul menyongsong kedatangannya "Ki buyut
! Engkau .... ?" seru orang itu terkejut.
"Ho, engkau raden Taruna, celaka, raden, aku dipaksa
minum tuak beracun itu oleh rakryan Semi," buyut cepat
menjawab dengan nada gemetar
"berikanlah obat penawarnya, raden." Kebo Taruna menyurut selangkah "Mengapa
dipaksa minum tuak itu ?"
engkau Singkat dan tepat buyut itu menuturkan apa yang
berlangsung di medan perjamuan tadi "Lekas, raden,
berikanlah obat penawar itu, kalau tidak aku . . . aku tentu . . .
mati, uh ".." buyut itu menekan kerongkongannya. Ia merasa
kerongkongannya mulai gatal.
Kebo Taruna terpukau, "Ah, bagaimana aku harus
menerangkan kepadanya " " ia mulai menimang-nimang. "Jika
kuterangkan bahwa bubuk itu sesungguhnya tidak
mengandung racun yang berbahaya dan hanya membuat
perut sakit saja, rahasiaku mengganti bubuk beracun itu tentu
akan terbongkar. Buyut itu tentu akan membcri laporan
kepada paman patih Aluyuda. Namun bila tidak kukatakan hal
itu, dia tentu akan merengek-rengek minta obat penawar
kepadaku. Pada hal aku tak mempunyai obat penawar itu. Ah,
sial benar buyut ini ..... "
",Raden, mengapa engkau diam saja ?" tiba2 buyut itu
mengulang permintaannya pula karena tak sabar lagi melihat
Kebo Taruna termenung diam "adakah engkau benar2 tak
mau memberikan obat penawar itu kepadaku" Adakah engkau
memang hendak mencelakai aku " Bukankah aku sudah
membantu usahamu tetapi mengapa engkau tak mau balas
menolong jiwaku" Lekas, berikanlah, raden . . . . buyut itu
melangkah maju seraya angsurkan tangannya ke hadapan
Kebo Taruna. Kebo Taruna menyurut pula setengah langkah "Ki buyut,
aku henar2 tak mempunyai obat penawarnya...."
" Oh, engkau tak mau menolong jiwaku ?"
"Jangan salah faham, ki buyut. Aku sungguh tak
mempunyai obat penawarnya." Kebo Taruna terpaksa
menandaskan. Tiba2 wajah buyut itu merah padam. Sepasang matanya
berkilat- kilat memancarkan api "Kebo Taruna, jika engkau tak
mau memberikan obat penawar itu, engkau benar2 membalas
air susu dengan air tuba. Karena engkau kejam, terpaksa
akupun kejam juga kepadamu ....."
" Ki buyut; sebenarnya ?".." maksud Kebo Taruna hendak
mencari keterangan bahwa bubuk itu sebenarnya tidak
mengandung racun ganas. Tetapi rupanya buyut Kedungpeluk
sudah tak mau mendengar suatu apa lagi kecuali penyerahan
obat penawar. Menyangka pcmuda itu hanya hendak memberi
jawaban penolakan, buyut itu tak dapat menguasai diri lagi.
Serentak ia menerjang Kebo Taruna, kedua tangannya
direntang hendak mencekik leher pemuda itu.
Kebo Taruna terkejut namun ia tak mau dirinya menjadi
korban kekalapan buyut itu. Sebuah gerak menyurut lalu
mengisar ke kanan, dapat membuat buyut itu menerpa angin
"Buyut, jangan kurang ajar " tetapi Kebo Taruna tak sempat
pula menyelesaikan kata-katanya karena saat itu dengan
gerak pcmutaran tubuh yang gesit, buyut sudah menghadap
ke arah Kebo Taruna dan kali ini tidak mencengkeram
melainkan mendaratkan tinjunya ke dada Kebo Taruna
"Engkau, pemuda hianat, mampuslah".... "
Untuk yang kedua kalinya, Kcbo Taruna pun hanya
menghindar setelah itu lalu hendak memberi penjelasan.
Tetapi kembali ia tak mendapat kesempatan bicara. Buyut
Kedungpeluk menyerangnya makin gencar dan kalap. Bukan
melainkan terbatas dengan tangan, pun digunakan juga kaki
untuk menjatuhkan pemuda itu. Pikirnya, setelah pemuda itu
rubuh, akan ia geledah tubuhnya dan tentulah ia akan
mendapatkan obat penawar racun.
Menghadapi buyut yang sudah kehilangan akal sehat itu,
Kebo Taruna akhirnya kewalahan juga. Semula ia masih tak
mau melayani dan hanya main mundur menghindar saja.
Tetapi saat itu ia sudah berada di tepi saluran air. Tak
mungkin ia mundur lagi. Dan pula saat itu ia sudah hilang
sabar melihat tingkah laku buyut yang tak mau memherinya
kesempatan bicara. Akhirnya ia memutuskan untuk
merubuhkan buyut itu lebih dulu baru nanti akan ia beri
penjelasan. Sekonyong-konyong buyut menerjang pula dengan gerak
loncatan menerkam. Dan kali ini disertakanlah seluruh
tenaganya. Ia geram dan marah benar terhadap pemuda itu.
Bila perlu, suatu pembunuhan akan ia lakukan juga asal bisa
mendapatkan obat penolong jiwanya. Jari jemarinya yang
meregang-regang tampaknya hampir berhasil mencapai
sasaran ketika tiba2 muka Kebo Taruna yang sudah berada
dalam lingkungan cengkeramannya itu lenyap. Ia menerpa
angin pula bahkan karena seluruh tenaga telah dicurahkan
gerak cengkeraman itu maka tubuhnya pun ikut terdorong
kemuka dan byur ".. ia terlempar kedalam anak sungai.
Walaupun tidak berapa lebar, tetapi saluran air itu cukup
lapang untuk menerima tubuh seseorang kedalamnya. Karena
tak pandai berenang, buyut itupun meneguk air cukup banyak.
Anak sungai itu terletak dibagian aliran bawah dari sumber
air desa Kedung Peluk. Menyadari hal itu Kebo Taruna
melonjak kejut dan cepat2 berusaha untuk menarik tubuh
buyut itu dari dalam saluran air. Betapa cemasnya ketika
menyaksikan tubuh buyut itu mengejang kaku, mukanya
merah kebiru-biruan dan matanya mendelik "Buyut, ki buyut,
sadarlah ... " ia mengguncang-guncang tubuh buyut itu
supaya tersadar "jangan kuatir ki buyut, tuak yang engkau mi.
minum itu tidak mengandung bubuk beracun . . . "
Namun, buyut itu diam saja. Kebo Taruna sibuk menguruturut tubuh buyut itu. Beberapa jenak kemudian tampak buyut
itu membuka mata " Ki buyut .. . . . . " demi melihat Kebo
Teruna berada di sampingnya, belum pemuda itu sempat
bicara, buyut itu sudah meronta dan mencengkeram baju
Kebo Taruna Kebo Taruna, lekas berikan obat penawar racun
atau kuremas hancur lehermu ..... "
Kebo Taruna tak dapat menghingar lagi. Lefler bajunya
tereengkeram olch buyut "Ki buyut, dengarkanlah omonganku
".." "Berikan dulu obat penawar, baru bicara lagi," bentak buyut
itu seraya memperkeras cekikan pada leher Kebo Taruna
sehingga pemuda itu sesak napasnya. "Tetapi tuak itu tak
mengandung racun ?". uh ?". " baru Kebo Taruna berkata
sampai di situ lehernya terasa makin tereekik keras. Rupanya
buyut itu benar2 tak mau menerima keterangan Kebo Taruna
kecuali penyerahan obat "Hm, buyut ini benar2 gila. Kalau
kudiamkan salah2 aku bisa mati tereekik," pikir Kebo Taruna.
Cepat Kebo Taruna gerakkan kedua tangannya untuk
mencengkeram kedua bahu buyut Kedungpeluk. Dengan
sekuat tenaga ia meremasnya " Huh . . . buyut itu mendesuh
kesakitan dan lepaskan cekikannya. Sekali Kebo Teruna
mendorong, tubuh buyut itupun terhempas ke tanah pula,
kepalanya terantuk pada tanah keras dan pingsan pulalah dia.
Kebo Taruna menghela napas seraya geleng2 kepala Entah
bagaimana caraku menghadapi buyut yang kalap dan keras
kepala ini?" gumamnya seorang diri.
Sejenak merenung tiba2 ia mendapat akal "Ah, mengapa
tak kubohonginya saja dengan ".. " ia memandang ke
sekeliling tempat itu " ya, benar, dengan daun kering yang
kuremas-remas halus dan kukatakan kalau obat penawar.
Apabila dia minum remasan daun kering itu tentu akan
sembuh karena sesungguhnya dia tak minum tuak beracun."
Kebo Taruna serentak berbangkit mencari daun kering.
Setclah diremas-remas sampai halus lalu dibungkus dengan
kertas sampul dari patih Aluyuda lalu ia kembali ke tempat
buyut itu pula. Diguncang-guncang dan digolak-golakkannya
tubuh serta kepala, namun buyut itu tetap terkulai tak
sadarkan diri. Ia mengurutnya lagi. Akhirnya beberara waktu
kemudian baiklah buyut itu membuka mata dan berkata
dengan suara lemah "Engkau pembohong, penghianat ?".
tuak itu beracun"."
"Minumlah obat penawarnya ini " Kebo Taruna segera
mengangakan mulut buyut dan terns hendak memasukkan
bubukan daun kering. Tetapi buyut merentang mata penuh
dendam "Sia-sia ... aku .. aku tak".." belum sempat
menyelesaikan kata2, kepala buyut itu sudah terkulai melentuk
dan napasnyapun berhenti "..
Kebo Taruna berulang-ulang meneriaki buyut itu namun
sia2. Buyut itu sudah mati dalam keadaan yang mengenaskan.
Wajahnya kebiru-biruan, tubuh mengejang kaku "Ah, buyut,
cngkau salah faham." Kebo Taruna menghela napas penuh
sesal sesungguhnya memang telah kuganti bubuk beracun itu
dengan bubuk yang tak mengandung racun. Tctapi mengapa
engkau ketakutan dan tak mau mendengar penjelasanku" Ah .
engkau meninggal bukan karena minum tuak beracun itu
melainkan terminum air anak sungai yang mengandung racun
ular berbisa yang kutaruh dialiran atas dari sumber air. Ki
buyut, walaupun kematianmu itu karena kekerasan kepalamu,
tetapi secara tak langsung. akulah yang menjadi penyebab
kematianmu. Ki buyut, maafkanlah aku. Kelak apabila aku
dapat mencapai pangkat tinggi, aku tentu akan datang ke
desa ini untuk membuatkan makam yang indah untukmu
sebagai balas budi"."
Setelah meletakkan mayat buyut itu ditempat yang mudah
diketemukan orang, Kebo Taruna segera tinggalkan desa itu
kembali ke pura kerajaan "Suatu tugas yang berbahaya dan
rumit telah dapat kuatasi dengan baik. Kepada patih Aluyuda
akan kulaporkan apa yang terjadi dalam desa Terutama akan
kedatangan ra Semi membawa obat penawar racun. Dengan
demikian paman patih tentu akan membebaskan aku dari
tudahan tak melaksanakan perintahnya dan menumpahkan
kemarahan kepada ra Semi dan ra Tanca. Sekali dayung
dapatlah kucapai dua tepian. Dapat menghindarkan diri dari
tugas membunuh rakryan mahapatih Nambi tetapi tetap akan
mendapat ganjaran dari patih Aluyuda. Hm, aku benar2 tak
sampai hati membunuh paman Nambi "
Ketika patih Aluyuda menerima laporan dari Kebo Taruna
bukan kepalang kejut dan marahnya. "Bagaimana mungkin
secara begitu kebetulan sekali ra Semi dapat datang
membawa obat untuk mahapatih, Kebo Taruna ?" mulailah ia


01 Gajah Kencana Manggala Majapahit Karya S. Djatilaksana di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

memeriksa pemuda itu. "Entahlah paman."
"Mustahil, Kebo Taruna. Betul2 suatu peristiwa yang
mustahil apabila tiada terjadi penghianatan !"patih Aluyuda
lontarkan tuduhan tajam. Wajah Kebo Taruna berobah seketika "Paman menuduh aku
penghianat " Mengapa aku harus berhianat " Apakah upah
dari penghianatanku itu " Adakah rakryan Nambi mampu
memberi imbalan yang berharga seperti yang paman janjikan
itu " Paman, aku tak naik pangkat atau kedudukan, harta
maupun benda. Tetapi yang penting bagi hidup Kebo Taruna
yalah nini Damayanti !"
"Rakryan mahapatih dapat memberi puluhan gadis yang
lebih cantik dari Damayanti " sanggah Aluyuda,
Dengan tegas Kebo Taruna menyahut "Sekalipun bidadari
dari kahyangan, Kebo Taruna takkan goyah kesetyaannya
terhadap Damayanti. Hanya Damayanti seorang yang menjadi
pelita hidup Kebo Taruna!"
"Memang demikian setiap pria yang ingin mendapatkan
wanita tujuannya. Sebelum mendapat, tentu akan mengucap
seribu janji yang indah didengar. Tetapi setelah
mendapatkannya, hm, habis manis sepah pun tentu disia
siakan." "Paman, dengarkanlah Kebo Taruna bersumpah. Jika aku
mensia- siakan Damayanti, kelak biarlah aku dikutuk olch para
dewata. Dan bila aku berhianat, aku relakan tubuhku mati
dicincang." "Hm, tetapi mengapa ra Semi dapat mengetahui rencana itu
?" ulang patih Aluyuda.
"Ada dua kemungkinan dalam hal itu," kata Kebo Taruna
"pertama, terjadi penghianatan. Dan apabila benar demikian,
tentu bukan lain orang melainkan orang dalam. Kiranya
orang2 seperti rakryan mahapatih dan para Dharmaputera itu
tentu mempunyai mata2 yang menyelundup kemana-mana.
Dan kemungkinan kedua, memang ra Semi dan ra Tanca itu
hcndak mengambil muka rakryan mahapatih dengan
menghaturkan obat penjagaan diri. Maklumlah, perjalanan dari
pura kerajaan ke Lumajang itu melalui hutan rimba yang
masih penuh dengan binatang2 ular berbisa. Dan kebetulan
pula ra Semi dapat menyusul rombougan mahapatih didesa
Kcdungpeluk." "Hm" patih Aluyuda mendesuh "kedua kemungkinan itu
memang mungkin. Kedua-duanya sama berbahayanya. Tetapi
akhirnya, pasti akan kuketahui juga hal itu. Apabila berasal
dari penghianatan tentu akan kubunuh. Apabila karena hal
yang kebetulan dari tindakan para Dharmaputera untuk
merebut hati mahapatih, rencana itu pasti akan kugagalkan.
Hm, jangan kira kegagalan ini merupakan kekalahan bagi
Aluyuda. Aluyuda takkan mundur setapakpun dan pasti akan
berhasil!" Hati Kebo Taruna bergetar-getar mendengar sumbar patih
itu. Dan ia kenal siapa patih Aluyuda itu. Namun dismpannya
perasaan itu rapat2 dengan ulasan senyum. "Aku pereaya,
paman bahwa paman pasti dapat mengatasi mereka dan
mencapai yang paman cita-citakan itu," ia berhenti sejenak
memandang ke arah patih Aluyuda, "paman patih,
bagaimanakah janji yang paman katakan kepadaku itu ?"
"Janji apa, Kebo Taruna ?" patih Aluyuda muram durja.
"Bahwa paman akan mengusahakan pangkat Tumenggung
dan memberikan nini Damayanti kepadaku."
"Hm" patih A luyuda mendesah geram "adakah pekerjaanmu
itu berhasil, Kebo Taruna ?"
Kebo Taruna terbeliak "Aku sudah melakukan tugas dengan
sebaik-baiknya menurut rencana yang paman berikan. Bahwa
ternyata telah timbul suatu peristiwa yang tak terduga- duga
sehingga mereka dapat lolos dari kematian, itu diluar
jangkauanku. Adakah paman anggap tugasku belum selesai ?"
"Isi perintahku, bunuhlah mahapatih dan rombongannya.
Sudahkah mahapatih binasa " Bahwa terjadi rintangan yang
diluar dugaan, tidaklah dapat menutup kenyataan bahwa
mahapatih dan rombangannya saat ini masih hidup. Dan
selama masih hidup, jiwa daripada perintahku itu masih belum
terlaksana !" "Apakah harus kulakukan lagi" "
"Selama mereka belum binasa, tugas itu masih berlaku!"
seru patih Aluyuda tegas2.
Kebo Taruna tertegun. Tak disangkanya bahwa ia harus
berhadapan dengan sikap keras dari patih itu. Lamunannya
untuk menerima hadiah puteri cantik, hanyut terbawa
kemarahan patih Aluyuda. Ia tak menduga bahwa tuntutannya
akan porak poranda dilanda alasan yang dikemukakan patih
itu. Memang kenyataannya perintah untuk membunuh
mahapatih dan rombongannya itu belum terlaksana. "Lalu
bagaimana kehendak paman. Apakah paman tetap
menugaskan aku melanjutkan pcmbunuhan itu ?"
"Tentu, Kebo Taruna," nada patih Aluyuda agak menurun
"tetapi bukan saat ini. Aku akan mempersiapkan rencana dan
pada waktunya tentu engkau akan kupanggil."
"Bukankah janji paman tetap berlaku?"
"Betapa tidak, Kebo Taruna. Pangkat, kedudukan, harta dan
puteri cantik." "Aku tak milih pangkat tak temaha harta, hanya Damayanti
yang kukehendaki. A pabila paman ingkar janji soal Damayanti,
hm ....." "Ha, engkau hendak mengancam aku?"
Kebo Taruna tersipu menyahut "Maaf paman aku hanya
ingin menyatakan betapa besar rasa kasihku pada dara itu.
Sehingga kegagalan dalam hal itu mungkin menimbulkan
mataku gelap." Aluyuda tertawa dengan aneh yang aneh. Kemudian ia
suruh Kebo Taruna pulang.
Patih Aluyuda menghadap baginda Jayanagara dan dengan
ketajaman lidah, dapatlah ia mempengaruhi baginda supaya
mengijinkan ia dan rakryan Pamandana melawat ke Lumajang
"Walaupun gusti tak senang kepada kakang mahapatih tetapi
rakryan paman Pranaraja itu seorang mentri kerajaan yang tua
dan mengabdi pada kerajaan sejak masa pemerintahan
rahyang rumuhun Seri baginda Kertarajasa. Layak kiranya
paduka berkenan mengirim utusan untuk mengabarkan
keadaannya yang menderita sakit keras itu sebagai tanda
pernyataan dari ikut perihatinnya kerajaan Majapahit. Kedua
kali, sekalian mentri narapraja tentu akan bersyukur atas
kebijaksanaan paduka terhadap seorang mentri kerajaan.
Hamba pastikan, kesetyaan para mentri narapraja kerajaan
akan makin meningkat. Kcmudian yang ketiga kalinya, rakyat
tentu akan memuji tindakan paduka yang bijak bestari itu."
Baginda Jayanagara termakan juga akan pernyataan patih
itu. Diam2 ia menimbang, apa salahnya kalau ia mengirim
utusan untuk ikut menyatakan perihatin atas sakitnya mentri
tua itu " Ketika baginda meminta pendapat dari para Dharmaputera,
ra Kuti sebagai jurubicara dari Dharmaputera itu menyatakan
setuju. Maka akhirnya baginda memutuskan untuk mengirim
patih Aluyuda dan Pamandana ke Lumajang. Sesungguhnya,
sejak meninggalkan pura kerajaan, mahaptih Nambi telah
menyerahkan tugas2 peketjaannya kepada rakryan Pamandana. Maka agak resahlah hati Pamandana ketika
menerima titah baginda untuk melawat ke Lumajang bersama
patih Aluyuda. Sebenarnya ada maksud terselubung dalam rencana patih
Aluyuda untuk mengajak Pamandana itu. Dengan kepergian
Pamandana, patih Aluyuda mengusulkan supaya pekerjaan
mahapatih dijabat oleh patih Emban. Tetapi baginda lebih
cenderung menerima usul dari rakryan Kuti agar tugas-tugas
pemtrintahan untuk sementara waktu, dipegang oleh baginda
sendiri dengan dibantu oleh Dharmaputera. Terpaksa patih
Aluyuda menggigit jari, menggeram hati.
Sebelum berangkat, patih Aluyuda meninggalkan pesan
kepada Kebo Taruna agar pemuda itu menjaga keselamatan
gedung kepatihan. "Tetapi ingat, Kebo Taruna, janganlah
engkau melanggar batas2 kesusilaan yang belum kurestukan
kepadamu. Jagalah baik2 adikmu Dhyani yang sedang remaja
puteri serta Damayanti. Segala sesuatu dalam rumahtanggaku
dan puteriku Dhyani serta Damayanti itu kupertanggung
jawabkan kepadamu, Kebo Taruna."
"Akan kulaksanakan perintah paman sebaik-baiknya," kata
Kebo Taruna dengan suara mantap.
"Dan awaskanlah gerak gerik seri baginda apabila
berkunjung ke, gedung kepatihan. Engkau tentu sudah
maklum, anakku, betapa perangai baginda itu terhadap gadis2
ayu," kata patih A luyuda pula.
Demikian setelah selesai mengatur kepatihan, lalu
berangkatlah ia dengan rakryan Pamandana, mahesa Pawagal,
Emban, Lasem dan Jaran Lejong.
Selama dalam perjalanan tiada terjadi suatu penistiwa
maupun gangguan dan tibalah rombongan patih itu ke
Lumajang. Kedatangan patih Aluyuda dan Pamandana
disambut dengan rasa kejut oleh rakryan mahapatih Nambi.
"Kakang Pamandana dan patih Aluyuda, adakah sesuatu yang
terjadi di pura Tikta-Sripala ?"
"Ah, harap rakryan mahapatih suka membuang rasa
kecemasan tuan. Dibawah pimpinan sang patih Amangkubhumi rakryan Nambi, siapakah yang berani akan
mengacau Majapahit ?" patih Aluyuda menyahut penuh nada
kecemasan "kerajaan aman, negara tenteram, rakyat
sejahtera." Rakryan Nambi mengalihkan pandang mata kepada
Pamandana dan menteri tua itupun cepat dapat menanggapi.
"Memang benar tutur patih Aluyuda itu, kakang mahapatih.
Pura kerajaan aman sejahtera dan kami hanya berkunjung
kemari dengan membawa berita keselamatan."
Rakryan Nambi menghela napas longgar, "Ah syukurlah
".." "Tetapi sinar kecerahan itu sayang tertutup oleh segumpal
kabut keperihatinan kerajaan karena geringnya paman rakryan
Pranaraja," patih Aluyuda mulai merangkai kata "Baginda ikut
perihatin dan mengutus kami untuk menjenguk keadaan
rakryan Pranaraja." "Oh " mahapatih Nambi terkesiap dan ketegunan "keadaan
sakit ayah memang parah dan dikarenakan usianya yang
sudah lanjut, maka kuserahkan saja kepada Hyang Widdhi
apapun yang akan dilimpahkan kepadaku."
"Memang manusia tak luput dari sakit dan kematian adi
mahapatih," sambung rakryan Pamandana, "namun kita wajib
berusaha untuk mengupayakan pengobatan."
"Ya, kakang Pamandana," sambut mahapatih Nambi penuh
kerawanan tak kurang2 obat yang kuusahakan namun sampai
saat ini belum juga sakit ayah itu tampak berkurang. Beliau
telah menderita sakit napas yang parah."
"Adakah kakang mahapatih sudah memintakan obat kepada
ra Tanca yang termasyhur pandai itu?" selutuk ra Lasem.
"Ya, benar," sambung patih Aluyuda "ra Tanca amatlah
sakti dalam ilmu pengobatan sehingga baginda menaruh
kepereayaan penuh kepadanya. Mengapa kakang mahapatih
tak minta obat kepadanya" "
Mahapatih Nambi menghela napas "Ah, ra Tanca terlalu
sibuk dengan pekerjaan. Pada akhir2 ini dalam pura kerajaan
banyak penderita sakit yang memerIukan pertolongannya.
Bagaimana aku sampai hati untuk mengganggunya. Apa pula
penyakit ayah itu sudah menahun, rasanya sukar diobati."
"Tetapi wajib manusia itu harus berdaya dan berusaha.
Dikabulkan atau tidak usaha kita itu, hanya Hyang
Murbenggesang yang berkuasa menentukan," sanggah patih
Aluyuda "maka sekiranya kakang mahapatih setuju, kuusulkan
begini. Sesuai dengan titah baginda, hendaknya kakang
mahapatih jangan ter-buru2 kembali ke pura kerajaan dulu
sebelum ayahanda kakang berkurang penyakitnya. Nanti
kepada ra Tanca akan kuminta obat dan akan kukirim utusan
untuk nenghaturkan obat itu kemari."
Mahapatih Nambi tak lekas menjawab melainkan
termenung diam. Sakit ayahnya itu memang parah, tetapi
belum dapat dipastikan bila akan sembuh atau akan makin
memburuk. Jika ia terlalu lama berada di Lumajang, bukankah
pekerjaan di pura kerajaan akan ter bengkalai "
"Ah, kutahu apa yang kakang mahapatih pikirkan," patih
Aluyuda menyusuli pula soal pekerjaan di pura kerajaan, "saat
ini langsung dipegang oleh baginda sendiri, dibantu para
Dharmaputera?""
"0" mahapatih Nambi mendesuh kejut. Tetapi cepat ia diam
lagi. Patih Aluyuda tertawa ringan. "Dalam hal itu hendaknya
kakang mahapatih benar2 dapat lepaskan pikiran dan
curahkan perhatian saja kepada paman rakryan Pranaraja
bagaimana beliau lekas dapat sembuh dari geringnya. Soal
urusan dalam pura kerajaan, sekalipun berada ditangan
baginda dibantu para Dharmaputera, tetapi aku tentu takkan
berpeluk tangan. Dalam hal2 tertentu, aku akan mengutus
orang untuk memberi laporan kepada kakang mahapatih disini
agar kakang dapat selalu mengikuti perkembangan di pura
kerajaan itu. Pernyataan patih Aluyuda memang tepat mengena dalam
kalbu mahapatih Nambi. Sesungguhnya ia memang terkejut
mendengar perobahan alih kekuasaan pcmerintah oleh
baginda sendiri. Memang ia tak dapat berbuat suatu apa
karena soal itu adalah kcputusan baginda. Tetapi yang
dicemaskan tak lain yalah pengaruh Dharmaputera yang akan
ikut campur dalam kemudi pemerintahan itu. Dan ia tahu
siapa2 ra Kuti, ra Semi, Banyak, Wideng, Yuyu, Pangsa dan
Tanca itu. "Ah, kiranya tentu tak sedap juga apabila kakang mahapatih
menolak ke lapangan hati baginda yang telah berkenan


01 Gajah Kencana Manggala Majapahit Karya S. Djatilaksana di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

memberi kebebasan kepada kakang agar dapat berbhakti
merawat paman rakryan Pranaraja. Pada hemat kita, baiklah
kakang mahapatih menuruti kehendak baginda agar baginda
legah hati. Kita tahu betapa perangai junjungan kita yang
masih muda usia itu."
Mahapatih Nambi tak ambil kcputusan sendiri. Ia meminta
pendapat kepada rakryan Pamandana, Mahesa Pawagal, ra
Semi dan beberapa orang mentri dan senopati yang menyertai
rombongannya. Kata rakryan Pamandana "Adi mahapatih,
ucapan patih Aluyuda itu memang beralasan. Kita hanyalah
abdi2 kerajaan. Apabila junjungan kita menitahkan demikian,
tiada lain jalan kecuali harus mentaati. Kita sudah tua, adi
mahapatih, seharusnya sudah mengundurkan diri dari
pemerintahan. Maka aku sendiri misalnya, sudah tiada
mempunyai selera untuk meraih kedudukan tinggi kekuasaan
besar. A ku ingin hidup tcnang menghabiskan sisa hidupku."
" Ah, kakang Pamandana," sanggah mahapatih Nambi "titik
tolak pemikiran kita hendaknya jangan tertuju kepada pangkat
dan kekuasaan melainkan kepada rasa pengabdian kita
kepada kerajaan Majapahit. Kita kakang Pamandana, termasuk
mentri golongan tua yang mempunyai kesadaran tanggung
jawab kepada Majapahit karena kerajaan itu hasil perjuangan
kita di bawah pimpinan rahyang ramuhun Seri baginda
Kertarajasa. Dengan berdirinya kerajaan Majapahit bukan
berarti tanggung jawab kita sudah selesai tetapi bahkan lebih
berat lagi yakni tanggung jawab untuk menjaga dan
menegakkan kelangsungan kerajaan Majapahit. Dari sudut
itulah titik tolak pemikiranku mengapa seolah-olah aku berat
hati untuk meninggalkan tugas2 di pura kcrajaan sampai
lama." "Aku setuju dengan pendapat
rakryan mahapatih" seru Jaran
Bangkal senopati yang berangasan
tetapi jujur "pengabdian kita ini
adalah demi kesetyaan kita kepada
negara Majapahit bukan demi
pangkat kedudukan." "Maksud ra Bangkal hendak
mengatakan bahwa kewibawaan
kerajaan dan pemerintahan negara
akan terganggu apabila pimpinan
berada di tangan baginda Jayanagara?" tiba2 patih A luyuda menyetutuk pertanyaan.
Jaran Bingkal mengerling panjang, sejenak terkesiap lalu
balas bertanya "Adakah rakryan patih menganggap
kewibawaan kerajaan dan pemerintahan akan lebih meningkat
baik apabila dipegang baginda sendiri dari pada rakryan
mahapatih Nambi." Patih Aluyuda tertegun tetapi cepat pula ia tertawa datar
"Dalam pertanyaan ki senopati ra Bangkal itu sudah tersirat
jawaban bahwa tuan menganggap pimpinan baginda dibantu
Dharmaputera itu lebih baik dari pada rakryan mahapatih,
bukankah demikian?" Tangkas pula Jaran Bangkal mengembalikannya, "Seperti
halnya dengan rakryan patih yang menganggap bahwa
pimpinan baginda dan Dharmaputera itu tentu lebih baik dari
pada pimpinan rakryan mahapatih Nambi."
Melihat suasana agak tegang karena terjadi perbantahan
mulut antara patih Aluyuda dengan senopati Jaran Bangkal,
rakryan Pamandana segera menengahi, "Patih Aluyuda dan ki
Jaran Bangkal., hendaknya tak perlu kita tarik urat panjang
lebar. Kutahu bagaimana pendirian adi rakryan mahapatih
Nambi terhadap kerajaan demikian pun dengan lain2 mentri
senopati di sini. Tetapi kitapun wajib mentaati titah baginda.
Oleh karena sifatnya hanya sementara waktu yang tak lama
maka tak perlulah kiranya dipersoalkan tentang masalah di
bawah pimpinan siapakah kewibawaan dan pemerintahan
Majapahit akan lebih meningkat. Bukankah begitu, rakryan
mahajaatih?" "Ya, benar kakang Pamandana," tersipu pula mahapatih
Nambi memberi pernyataan. Iapun tak menghendaki suasana
pembicaraan yang makin meningkat runcing.
Demikian setelah bermalam tiga hari di Lumajang maka
patih Aluyuda segera minta diri kembali ke pura kerajaan.
Mahesa Pawagal, patih Emban, Lasem ditinggal dengan alasan
untuk membantu kesibukan mahapatih merawat ayahandanya
serta untuk menghibur kegelisahan mahapatih itu. Mengingat
bahwa rakryan Pamandana sebagai menteri dan kawan
perjuangan, karena usianya lebih tua dari mahapatih Nambi,
dapat memberi pengaruh akan pandangan mahapatih Nambi,
maka dimintalah mereka supaya tinggal saja di Lumajang dan
kelak kembali ke pura kerajaan bersama mahapatih dan
rombongannya. Patih Aluyuda hanya bersama senopati Jaran Lejong dan
beberapa pengawal kembali ke pura kerajaan dan menghadap
baginda untuk memberi laporan "Hamba rasa penyakit dari
paman rakryan Pranaraja itu tidaklah seberat yang hamba
bayangkan." "Penyakit apakah yang dideritanya?" ujar baginda.
"Ah, penyakit batuk sesak seperti yang lazim diderita oleh
orang setua usia paman rakryan Pranaraja. Apalagi
penyakitnya sudah menahun, tidak berbahaya tetapi lama
sekali." "Lalu mengapa paman mahapatih tak pulang saja ke pura
kerajaan" Bukankah pekerjaan kemahapatihan itu amat
banyak dan, penting?"
"Ampun, gusti," sembah patih Aluyuda "telah hamba
ingatkan hal itu kepada rakryan mahapatih tetapi rupanya
rakryan mahapatih Nambi enggan cepat kembali ke pura
kerajaan. Dengan alasan, sudah bertahun-tahun ia tak pulang
dan bertemu dengan ayahandanya. Apalagi ayahanda
mahapatih sedang menderita sakit yang amat gawat. Kedua
kalinya, rakryan mahapatih merasa sudah berbelas tahun tak
pernah beristirahat dari tugas2 pemerintakan. Maka berkenaan
dengan sakitnya rakryan Pranaraja, gusti mahapatih ingin
mendampingi ayahbundanya untuk beberapa waktu sehingga
ayahnya sembuh." Sungguh di luar dugaan bahwa di hadapan rakryan
mahapatih Nambi, patih Aluyuda mengatakan bahwa
bagindalah yang menitahkan supaya mahapatih tinggal saja
sampai beberapa waktu di Lumajang, tetapi di hadapan
baginda ternyata patih itu baru hendak menyampaikan
keinginan mahapatih untuk beristirahat agak lama di
Lumajang. Sungguh beda sekali ucapan patih itu di hadapan
mahapatih Nambi dengan di hadapan baginda. Benar2 tidak
satunya mulut patih itu dengan perbuatannya !
"0, apakah demikian permohonan paman mahapatih?" tegur
baginda. "Demikianlah gusti yang hamba persembahkan ke hadapan
duli tuanku," kata patih Aluyuda.
"Hm baginda mendesuh "jika menurut pendapatmu,
dapatkah permohonan itu kukabulkan, paman patih ?"
Patih Aluyuda terdiam sejenak seolah-olah hendak
merenungkan dahulu persoalan itu. Sesaat kemudian ia
berkata, "Permohonan rakryan mahapatih itu memang dapat
tuanku perkenankan. Karena tuanku sudah meluluskan
rakryan mahapatih untuk pulang menjenguk ayahnya yang
sakit keras. Tetapi ijin itupun harus mengenal batas waktu.
Bila terlalu lama memang mengganggu roda pemerintahan
kerajaan, gusti. Pun menambah beban paduka sendiri karena
harus menghadapi pekerjaan2 yang berat."
"Hm, kira2 berapa lamakah ijin itu layak kuperkenankan,
paman" " tanya baginda.
"Hamba rasa satu candra sudah cukup gusti. Selewatnya
waktu itu, seharusnya rakryan mahapatih wajib ingat akan
tugas2 kemahapatihan yang amat penting itu."
Baginda Jayanagara mengangguk "Ya, memang satu candra
bukan waktu yang sedikit. Kiranya dalam waktu itu sudahlah
cukup untuk mengetahui perkembangan seorang sakit, makin
memburuk atau sembuh."
Kemudian patih Aluyuda menemui ra Tanca untuk
memintakan obat kepada penyakit rakryan Pranaraja. Kepada
tabib patih A luyuda mengatakan bahwa panyakit yang diderita
Pranaraja itu adalah penyakit orang tua yalah batuk sesak dan
tulang2 linu. Maka obatnya pun tak perlu yang keras. Cukup
asal dapat melonggarkan napasnya yang sesak itu.
Patih Aluyuda mengutus Kebo Taruna untuk menyerahkan
surat dan obat kepada mahapatih Nambi. Dalam surat, patih
Aluyuda manyampaikan titah baginda agar Nambi menjaga
dulu di Lumajang sampai ayahnya sembuh. Dan obat itu
adalah permintaannya kepada ra. Tanca. Kepada Kebo
Taruna, Aluyuda menyelipkan bisik2 siasat bagaimana
menghadapi mahapatih Nambi.
Singkatnya, Kebo Taruna pun telah tiba di Lumajang dan
menghadap rakryan mahapatih Nambi di tempat kediaman
rakryan Pranaraja "Paman mahapatih, paman patih Aluyuda
amat perihatin sekali atas sakit yang didarita eyang Pranaraja.
Bagaimanakah keadaan eyang sekarang ini ?"
Rakryan Nambi menghela napas kecil "Ah, beliau sudah
lanjut usia, keadaannya pun makin lama makin buruk.
Mungkin raganya sudah tak kuat lagi untuk menampung
keinginan hidupnya."
Kebo Taruna peribadi menyatakan ikut belasungkawa atas
penderitaan rakryan Pranaraja. Kemudian ia menyerahkan
surat dan obat kepada rakryan mahapatih,
"Ah, tak kira kalau baginda begitu memperhatikan sekali
keadaan ayah," habis membaca surat, rakryan mahapatih
menghela napas, "budi kemurahan hati baginda itu harus
kubalas dengan pengabdian yang lebih besar."
Kesempatan itu tak disia-siakan Kebo Taruna yang segera
mulai menebarkan jarum2 siasat dari patih Aluyuda. "Menurut
paman patih A luyuda, baginda Jayanagara itu walaupun masih
muda, tetapi sudah menampakkan sifat2 dari seorang
junjungan yang amat memparhatikan negara. Baginda bereitacita hendak membangun negara Majapahit menjadi sebuah
kerajaan yang besar wilayahnya dan besar pula pengaruhnya.
Untuk itu, manurut paman patih Aluyuda, baginda hendak
membangun suatu angkatan perang yang kuat, meliputi
pasukan darat yang besar dan pasukan laut yang kuat?"
Kebo Taruna berhenti sejenak untuk menyelidik kesan.
Tampak rakryan mahapatih Nambi mulai menaruh perhatian
atas kata-katanya "Maka paman patih menyarankan apabila
paman mahapatih berkenan menerimanya."
"Apakah yang hendak patih A luyuda sarankan?"
"Paman patih Aluyuda menyarankan demikian?" Kebo
Taruna mulai marangkai pesan Aluyuda "Pajarakan merupakan
suatu tempat yang bagus letaknya dan memiliki daerah2 tanah
datar yang luas. Dalam menunggu sakit eyang Pranaraja,
kiranya dapatlah paman mahapatih melakukan usaha untuk
melaksanakan cita2 baginda itu."
"0, lalu bagaimana caranya" " mahapatih Nambi mulai
tertarik. "0leh karena penyakit eyang Pranaraja itu masih belum ada
ketentuannya dalam beberapa waktu ini, mumpang beberapa
senopati berada di sini., dapatlah keluangan itu dimanfaatkan
untuk memanggil dan mengumpulkan para pemuda dari
telatah Lumajang dan sekitarnya menjadi prajurit. Kepada
mereka seraya dilatih ilmu berbaris dan keprajuritan. Apabila
kelak paman mahapatih kembali ke para kerajaan dan
menghaturkan prajurit yang sudah terlatih itu kepada baginda,
baginda tentu merasa gembira. Dengan demikian bukankah
paman mahapatih dan paman2 seropati yang berada di sini
dapat menuju apa yang dikehendaki baginda ?"
Rakryan mahapatih Nambi terkesiap mendengar ucapan
Kebo Taruna "Benarkah hal itu, Kebo Taruna?" mahapatih
Nambi menegas dengan tandas.
"Ah, paman mahapatih, mengapa pula Kebo Taruna harus
berbohong kepada paman mahapatih" Bukankah dahulu
paman mahapatih yang memperjuangkan terbunuhnya paman
Lembu Sora yang telah membunuh mendiang ayahku" "
Di luar dugaan, wajah rakryan mahapatih tampak berobah
lesi "Kcbo Taruna, jangan mengungkat peristiwa itu pula.
Ayahmu, Kebo Anabrang memang sahabatku, tctapi kakang
Lembu Sora itupun kawanku yang berjuang dan membagi
suka- duka pada masa membantu raden Wijaya. Aku
membunuh kakang Lembu Sora dengan hati yang tersayat
kepiluan. Hanya karena titah baginda dan menegakkan
hukumlah maka dengan amat terpaksa sekali kuperintahkan
prajurit2 untuk membinasakan kakang Sora. Namun dalam
perasaan hatiku, kakang Sora itu tetap sahabatku yang amat
baik ....." "0, maafkan paman mahapatih, apabila kata-kataku tadi
menyentuh perasaan paman mahapatih. Maksudku hanyalah
hendak mencerminkan betapakah isi hatiku kepada paman
mahapatih." "Tak apalah, Kebo Taruna " nada mahapatih Nambipun
mulai datar pula "bahwa aku perlu untuk meminta penegasan
kcpadamu tak lain karena kuanggap hal itu bukan suatu hal
yang sederhana tetapi amat gawat sekali kalau sampai terjadi
kekhilafan." "Apakah yang paman mahapatih maksudkan?" kata Kebo
Taruna yang meminta penjelasan.
"Begini, Kebo Taruna " kata mahapatih Nambi
"mengumpulkan pemuda dan melatih mereka menjadi prajurit,
memang suatu langkah yang baik untuk membantu cita2
baginda yang hendak membentuk angkatan perang yang
besar dan kuat. Tetapi apabila baginda tak mau menerima
persembahan itu bukankah baginda dapat melontarkan
tuduhan bahwa aku dan para senopati yang berada di
Lumajang ini sedang mempersiapkan pasukan " Bukankah
sebagai kelanjutan dari titik tolak kekhilafan itu akan menjurus
tuduhan aku hendak memberontak ?"
Diam2 Kebo Taruna terkejut dalam hati. Kini benar2 ia
dapat membuktikan bahwa rakryan mahapatih Nambi itu
sungguh seorang mentri yang cermat dan jauh pandangannya.
Tetapi tak kurang kagumnya tcrhadap patih Aluyuda yang
sebelumnya sudah menduga akan tanggapan mahapatih
Nambi semacam itu. Maka Kebo Taruna pun sudah mendapat


01 Gajah Kencana Manggala Majapahit Karya S. Djatilaksana di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

pesan dari patih Aluyuda menghadapi pernyataan mahapatih
yang sedeinikian itu. "Ah, paman mahapatih terlampau jauh merangkai
kekuatiran," katanya tenang, "paman patih Aluyuda pcsan
kepada hamba bahwa saran yang dikemukakan itu tidak
mengikat. Artinya, paman mahapatih
bebas untuk memutuskan sendiri. Paman patih Aluyuda hanya sekedar
memikirkan kepentingan paman mahapatih dan sekalian
paman senopati di sini. Memang baginda sudah berkenan
mengidinkan paman mahapatih beristirahat sementara waktu
sampai penyakit eyang Pranaraja sembuh. Tetapi alangkah
tepatnya apabila selama dalam peristirahatan di Lumajang ini
apabila paman mahapatih dapat memaafkan apa2 yang
berguna demi kepentingan negara. Dengan tindakan yang
disarankan paman patih tadi, bulankah tak ubah paman
mahapatih dapat membalas budi kebaikan yang baginda
limpahkan kepada paman mahapatih " Dan kcdua kali pula,
sudah tentu paman patih Aluyuda akan menjelaskan hal
pembentukan prajurit di Pajarakan itu kepada baginda agar
baginda tak salah faham. Namun apabila paman mahapatih
tak suka mendahar saran paman Aluyuda itu, paman Aluyuda
pun hanya meyogyakan kepada keputusan paman mahapatih
sendiri" Sejenak merenung, rakryan mahapatih Nambi menjawab
"Kebo Taruna, silahkan engkau beristirahat. Akan kurundingkan soaI ini dengan para mentri dan senopati yang
berada di sini. Kebo Taruna memberi hormat lalu tinggalkan kediaman
rakryan Pranaraja menuju ke gedung yang telah disediakan
untuknya. Malam itu ia masih terjaga. Matanya seolah-olah tak
mau dibawa tidur. Timbul suatu medan perbantahan dalam hatinya, antara
hati nurani dan pikiran. Nurani yang terisi budi dari mahapatih
Nambi terhadap mendiang ayahnya, Kebo Anabrang. Dan
pikiran yang berisi keinginan agar mendapat ganjaran seorang
dara ayu yang amat diidam-idamkan. Namun akhirnya ia
tertumbuk pada kenyataan. Betapa rasa sesal mengabut
dalam hati, namun kenyataan telah terjadi bahwa ia telah
menghaturkan anjuran2 patih Aluyuda kepada rakryan
mahapatih. Tak mungkin ia akan menariknya kembali. Ia
menyadari bahwa dirinya telah menghamba kepada Keinginan.
Di saat Kebo Taruna sedang mengalami peperangan bathin,
adalah mahapatih Nambi sedang bermusyawarah dengan para
mentri dan senopati yang berada di Lumajang. Kepada
mereka, dituturkannya surat dari patih Aluyuda dan
anjurannya tentang gerakan membentuk pasukan yang kelak
akan dipersembahkan kepada baginda Jayanagara. "Layakkah
kita menerima anjuran patih Aluyuda itu?" rakryan mahapatih
menghidangkan pertanyaan sebagai bahan yang dimintakan
pendapat para hadirin. Pertama-tama raktyan Pamandana yang menyatakan
pendapat, "Persoalan ini walaupun tampaknya sederhana
tetapi tidak sederhana. Bahwa mengandung kemungkinan2
yang apabila salah penempatannya, akan menimbulkan mara
bahaya." "Dengan dasar apakah kakang menanggapi demikian?"
rakryan mahapatih meminta keterangan.
"Pengalaman memberi pelajaran kepadaku bahwa tiap2 soal
itu harus dinilai dari sudut orang atau fihak yang
mengemukakan. Dalam beberapa hal, sukar pikiranku
diyakinkan untuk mempereayai patih Aluyuda, kecuali kita
mendengar atau mendapat titah dati baginda sendiri. Apa
yang dicemaskan adi rakryan mahapatih tentang kemungkinan
kita dituduh akan memberontak, memang bukan suatu hal
yang mustahil." Pada saat sekalian hadirin menganggukkan kepala
mendengar pandangan mentri tua itu, tiba tiba senopati Jaran
Bangkal melantang, "Para gusti rakryan sekalian, maafkan
Jaran Bangkal hendak mengemukakan pendapat. Apa yang
diucapkan rakryan Pamandana memang senafas dengan gusti
mahapatih. Memang dalam segala tindakan, diperlukan suatu
penilaian yang hati2. Hati2 itu memang suatu sikap yang
paling baik. Tetapi acap kali pula karena terlalu hati2, maka
segi2 yang harus kita pertimbangkan makin meluas lebar
sehingga pada akhirnya kita tak berani bertindak. Dalam soal
yang dianjurkan rakryan patih Aluyuda, kita sesungguhnya
menganggap hal itu baik. tetapi karena menilik sikap patih itu
selama ini, maka meragulah hati kita. Keraguan itu
berkembang lanjut menjadi suatu kecurigaan," senopati Jaran
Bangkal berhenti sejenak untuk menyelidik suasana.
Didapatinya para hadirin tampak tertegak mencurahkan
perhatian. "Merturut hemat hamba," ia melanjutkan pula, "karena
anjuran itu kita anggap bertujuan baik maka kita laksanakan.
Untuk mengamankan langkah kita dari tuduhan2 yang
berbahaya, kita sudah mempunyai pegangan yalah yang
berupa surat dari patih Aluyuda itu. Pun semua gusti dan
rakryan yang hadir di sini akan menjadi saksi. Di samping itu
agar lebih aman lagi, kita mengirim utusan untuk menghadap
baginda dan memohon keterangan baginda mengenai hal itu.
Apabila benar, kita langsungkan tentu pembentukan pasukan
itu. Tetapi apabila tidak, kitapun dapat segera membubarkannya." "Bagus, Jaran Bangkal ! Mahesa Pawagal memuji, diikuti
pula oleh beberapa hadirin antara lain Panji Anengah, Panji
Wiranagari dan ra Semi. Mereka menyatakan mendukung
pendapat senopati itu. Rakryan mahapatih Nambipun anggap pendapat Jaran
Bangkal itu mempunyai landasan yang baik maka akhirnya
diputuskan untuk bertindak dcmikian.. Ketika kcesokan harinya
Kebo Taruna menghadap rakryan mahapatih pula, mahapatih
memberitahukan keputusannya yalah, bahwa ia akan
melakukan seperti yang dianjurkan patih Aluyuda. Untuk lebih
memantapkan pekerjaan itu, akan dikirim utusan untuk
menghadap dan memohon petunjuk pada baginda,"
mahapatih melengkapi keterangannya. Ia menganggap Kebo
Taruna itu putcra dari sahabatnya Kebo Anabrang sehingga
tak menaruh kecurigaan suatu apa kepada pemuda itu.
Ketika Kebo Taruna kembali ke pura kerajaan dan
melaporkan hasil pertemuannya dengan mahapatih Nambi,
patih Aluyuda tertawa memujinya. "Bagus anakku Kcbo
Taruna, engkau telah menunaikan tugasmu dengan baik."
"Dan tentulah paman tak ingkar janji?" Kebo Taruna
tertawa, menyinggung persoalan Damayanti.
"Ah, tentu tidak " patih Aluyuda menghiburnya, "engkau
harus dapat bersabar sampai nanti mereka sudah tersapu
binasa, barulah hadiah itu akan kuberikan kepadamu. Jangan
memikirkan soal hadiah dulu, tugas2 yang harus engkau
lakukan masih banyak dan berat."
Setelah menyuruh Kebo Taruna pulang, patih Aluyuda pun
menuju ke tempat kediaman ra Kuti, kepala Dharmaputera
kerajaan. Agak terkejut juga ra Kuti menerima kanjungan
patih itu sebagai suatu hal yang agak luar biasa. Tetapi patih
Aluyuda mengatakan hanya sekedar kunjungan biasa untuk
meminta pendapat2 ra Kuti dalam rangka meningkatkan
keamanan pura kerajaan. Sebagai patih, Aluyuda bertugas
sebagai seorang wali kota yang bertanggung jawab akan
keselamatan pura kerajaan.
"Dewasa ini rakryan mahapatih dan beberapa mentri serta
senopati berada di Lumajang. Dengan demikian pura TiktaSripata seolah-olah kosong. Andaikata terjadi serangan dari
luar atau huru hara dari dalam, bukankah kita yang akan
menanggung beban" " kata patih Aluyuda.
Ra Kati mengiakan dengan hati2 "Kurasa waktu yang
diberikan kepada rakryan mahapatih untuk menjenguk
ayahandanya di Lumajang, sudah menjelang habis. Dalam
beberapa hari lagi mahapatih dan rombongannya tentu sudah
kembali ke pura kerajaan."
"Semoga demikian," Aluyuda tersenyum semu "mudahmudahan mereka ingat bahwa meninggalkan pekerjaan
sampai berlarut sekian lama, bukanlah suatu tindakan yang
terpuji. Eh, apabila tak salah, bukankah tuanku ra Semi pun
ikut berada juga di Lumajang" Bukankah saat ini baginda amat
memerfukan tenaga dari para Dharmaputera dalam
menghadapi pekerjaan-pekerjaan kerajaan" Mengapa tuanku
ra Semi malah berada di Lumajang" Adakah baginda tak
mengetahui hal itu?"
Ra Kuti tertawa datar "Setiap memerlukan pendapat dari
Dharmaputera, baginda selalu menghendaki keputusan yang
bulat. Tidak setiap kali harus meminta pendapat para
Dharmaputera itu satu demi satu. Dalam hal itu aku selalu
mendapat kcpereayaan sebagai wakil Dharmaputera. Tentang
beradanya ra Semi di Lumajang entah baginda sudah
mengetahui atau behun . . ."
"Apakah tuan tak mencemaskan tentang kemungkinan
baginda akan bcrtanya diri tuanku ra Semi" Dan apakah
baginda tak murka apabila mengetahui ra Semi ikut
menggabung pada rombongan mahapatih di Lumajang?"
Dengan masih tcrtawa ra Kuti menyahut "Ah, belum sempat
kupikirkan hal itu, ki patih."
"O, hal itu dapat digolongkan sebagai suatu rahasia," desuh
patih Aluyuda "adakah rahasia itu belum diketahui orang?"
"Belum," sahut ra Kuti "kecuali engkau."
"Terima kasih," tuan patih Aluyuda menyambuti, "rasanya
rahasia itu cukup panting dan berharga bagi para
Dharmaputera agar jangan sampai diketahui baginda."
"Ya," ra Kuti tcrtawa lapang.
Patih Aluyuda belum menaruh syak wasangka mengapa ra
Kuti selalu tertawa menghadapi persoalan yang gawat bagi
Dharmaputera. Ujarnya pula, "Menurut penilaian tuan,
betapakah harga dari rahasia yang harus ku simpan itu " "
Kening ra Kuti mengerut lipat "Hm, bedebah, dia hendak
memeras aku ...." katanya dalam hati.
Namun cepat pula ia menyelimuti geram hatinya dengan
alas senyum "Tak ternilai harganya karena rahasia itu
menyangkut keselamatan Dharmaputera."
Diam2 Aluyuda bersorak dalam hati. Telah ditelitinya dari
segala sudut kemungkinan, tiada sesuatu yang dapat
merintang langkahnya untuk menekan ra Kuti dengan
kelompok Dharmaputeranya. Ia punt menafsirkan bahwa sikap
ra Kuti yang tenang dan selalu berkulum senyum itu, tentulah
hanya untuk menutupi kegelisahan hatinya "Rakryan Kuti,"
katanya ramah, "kita adalah sama2 mengabdi kepada baginda.
Soal setiap mentri narapraja mempunyai keinginan dan cita2
untuk meniti ke tangga kedudukan yang lebih tinggi, itu soal
peribadi masing2. Dan rasanya keinginan serupa itu, bukanlah
suatu tindak yang buruk. Bahkan dengan memiliki keinginan
demikian, timbullah daya rangsang yang lebih menggelora
dalam pengabdian kita. Pada hemat Aluyuda, kita ini adalah
kawan sejawat dan sepengabdian. Oleh karena itu seharusnya
kita merangkai kerjasama yang rukun, bukan saling
bermusuhan dan jatuh menjatuhkan."
"Artinya kita harus bersekutu, bukan?" tukas ra Kuti yang
cepat dapat tnenanggapi tujuan orang.
"Benar, rakryan Kuti," sambut patih A luyuda.
"Bagus, suatu persekutuan antara harimau dengan ular,"
seru ra Kuti dengan lepas.
"Tidak, rakryan Kuti," sanggah patih Aluyuda, "bukan
persekutuan harimau dengan ular, melainkan persekutuan
antara "Dua ular dalam satu liang' , semisal antara Rangga
Wuni dengan Mahesa Campaka dahulu sehingga prabu
Tohjaya tak dapat tidur dengan nyenyak."
Agak terkesiap ra Kuti mendengar tamsil yang dikemukakan
patih A luyuda "Siapa yang engkau maksudkan Tohjaya saat ini
" Bukankah putera Ken Angrok dengan Ken Umang itu telah
naik takhta untuk menggantikan kakandanya tiri yalah
Anusapati putera Ken Dedes dengan Tunggul Ametung "
Adakah yang engkau maksud sekarang ini junjungan. . . ."
"Rakryan Kuti " cepat pula patih Aluyuda menukas "ada
kalanya sesuatu itu hanya dapat dikenyam dalam hati, tak
dapat dikecapkan." "Rahasia ?" ra Kuti menegas.
"Tidak, rakryan," sahut patih Aluyuda "dalam alam pikiranku
tiada terlintas Tohjaya itu raja yang dipertuan, melainkan
seorang Tohjaya yang berkedudukan lebih tinggi dari kita,
andai kita ini Rangga Wuni dan Mahesa Campaka."
"Mahapatih Nambi, maksudmu?"
Patih Aluyuda mengangguk.
"Dan siapakah Rangga Wuni dalam angan-angan. mu "
Engkau sendiri ?" "Tuan dan para Dharmaputera Campakanya," Aluyuda menghindar gesit.
adalah Mahesa Ra Kuti mendesuh "Hm, kalau aku yang menghendaki
sebagai Rangga Wuni dan engkau Mahesa Campaka saja ?"
"Ingat rakryan Kuti. Rahasia keselamatan Dharmaputera
berada dalam tangan Aluyuda."
Ra Kuti tertawa inengejek. "Masih ada sebuah rahasia dari
Dharmaputera yang layak engkau ketahui, Aluyuda. Lihatlah,
apa sosok2 hitam yang memagari sekeliling gedung ini ?"
Aluyuda terkejut memandang ke luar .....
0o-0dw0-o0 JILID 14 I SOSOK2 hitam yang memagar gedung kediaman ra Kuti,
kepala Dharmaputera itu, bukan lain yalah pengawal2 yang
bersenjata lengkap. Sebagai kepala dari Dharmaputera, tujuh


01 Gajah Kencana Manggala Majapahit Karya S. Djatilaksana di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

orang kepercayaan baginda yang langsung diangkat oleh raja
sebagai penasehat, ra Kuti diperkenankan untuk mendapat
pengawalan dari prajurit-prajurit kerajaan. Prajurit2 itu
bertugas menjaga kesdamatan para Dharmaputera.
Di samping beberapa bekas prajurit bhayangkara itu, ra Kuti
peribadi pun memiliki sekelompok pengawal istimewa.
Kelompok pengawal itu berpakaian seperti abdi biasa. Ketika
penjaga pintu masuk menghatur laporan tentang kunjungan
patih A luyuda, diam2 ra Kuti memberi perintah rahasia kepada
kelompok pengawal pribadinya supaya menjaga ketat gedung
kediamannya. Selama tiada perintahnya, jangan dibiarkan
patih A luyuda dan rombongannya ke luar dari gedung itu. Dan
ternyata Aluyuda hanya datang seorang diri.
Cepat pula Aluyuda dapat mengetahui apa gerangan sosok2
tubuh bersenjata itu. Dan cepat lah menyadari kedudukannya
saat itu. Dalam berbagai sifat perangainya, hanya sebuah sifat
dari Aluyuda yang dapat digolongkan aneh tetapi baik.
Terhadap lawan yang dapat menyiasati dirinya, ia bahkan
kagum dan memuji. Demikian pun terhadap ra Kuti. Berlalunya
badai kemarahan segera timbul kecerahan pada wajahnya.
Dan kecerahan itu pun segera dilengkapi dengan senyum
merekah. "Ah, ra Kuti terlalu memanjakan kehormatan bagiku," kata
patih itu "adakah layak Aluyuda mendapat kehormatan
pengawal yang begitu ketat ?"
Ra Kuti tersenyum lebar. Ia tahu bahwa patih itu telah
terpojok dalam kedudukan yang sulit. Namun disadarinya pula
bahwa lawan yang sudah tersudut, tak boleh didesak. Karena
tindakan itu tentu akan menimbulkan kenekadan lawan. Ra
Kuti mengimbangi kelepasan sikap patih itu, "Tidak, tidak
berkelebihan, ki patih. Tuan layak mendapat pengawalan yang
sedemikian. Keselamatan jiwa tuan amat penting sekali oleh
karenanya telah kuperintahkan kepada pengawal2 itu, tanpa
seijinku, jangan lah dibiarkan orang masuk keluar dari gedung
ini." Patih Aluyuda tertawa cerah. Nadanya mengerontang
laksana bulir2 padi diayun dalam penampi. Setitik pun patih itu
tak mengunjukkan sikap gentar atau gelisah.
"Setan, mengapa ia masih ketawa senyaring burung
kutillang?" diam2 ra Kuti heran melihat tingkah patih itu
mustahil dia tak tahu arah jatuhnya perkataanku !"
"Ah, maafkan, ra Kuti," tiba2 patih Aluyuda hentikan tawa
dan berkata, "andaikata aku tahu akan perhatian tuan
kepadaku, tentu lah tak perlu aku meninggalkan pesan."
"Meninggalkan pesan" Kepada siapa ?" ra Kuti menegas.
Patih Aluyuda tersenyum "Telah kupesan kepada lurah
prajurit pengawal kepatihan, apabila sampai Surya turun ke
balik gunung, aku tetap belum puling, supaya mereka
menjemput aku kemari."
Ra Kati terkesiap. Tampak patih Aluyuda masih membekasi
mulutnya dengan senyum penuh kepercayaan pada dirinya. Ra
Kuti cepat mendapat rangkaian kata2 "Ki patih, tetapi saat ini
sang Surya masih menjenjang di puncak gunung. Untuk
membenam diri di dasar gunung, paling tidak harus
memerlukan waktu sepengunyah sirih lamanya. Dan engkau
tentu sependapat dengan aku bahwa waktu sepengunyah sirih
itu cukup lah untuk menyelesaikan sesuatu."
Diam2 patih Aluyuda terkejut lagi. Memang diakuinya
bahwa waktu sepengunyah sirih itu cukup sudah untuk
melakukan pembunuhan atau yang disebut ra Kuti dengan
istilah halus menyelesaikan sesuatu. "Aku seorang diri dan
pengawal2 itu berjumlah banyak serta bersenjata lengkap.
Seorang berhati serigala seperti ra Kuti tentu sampai hati juga
untuk membuktikan ancamannya. Hm, baik lah aku mengalah
saja?"" Setelah mendapat kebulatan dalam penimangannya,
berkata lah patih Aluyuda. "Tetapi ra Kuti, kurasa tuan tentu
takkan bertindak apa2. Bukankah kita ini sudah bertahuntahun bersahabat dan sama2 meagabdi kepada kerajaan" Kita
masing2 mempunyai cita2 dan cara sendiri. Rasanya tak perlu
harus saling memaksakan kehendak kepada lain orang. Yang
penting kita tak saling merugikan. Bukankah demikian, ra
Kuti?" "Hm, sebuah rayuan harimau," dengus ra Kuti dalam hati.
Kemudian ia menjawab dengan sebuah penegasan "ki patih
setuju menjadi Mahesa Cempaka dan aku Rangga Wuni"
"Sudahlah, ra Kuti," kata patih Aluyuda dalam nada ramah
"tak usah kita ulangi pembicaraan itu pula."
"Maksud ki patih membatalkan hal itu"
"Kurasa lebih baik begitu daripada timbul keretakan di
antara kita dengan kita sendiri."
Ra Kuti tertawa datar, "Ah, hapus lah kecemasan ki patih
dalam soal itu. Retak atau utuh, adalah kita sendiri yang
membuat. bila kita menginginkan damai, bersekutu dan
bersatu, mengapa tak mungkin" Jika kita menghendaki
perpecahan dan permusuhan, juga amat mudah. Baik buruk,
buruk baik tergantung pada diri kita sendiri."
"Memang benar," sambut patih Aluyuda "tetapi lebih benar
lagi kalau kita hapus saja persoaian tadi dan kita tetap
bersahabat seperti sediakala."
"Apakah engkau percaya?"
"Maksucl tuan, percaya pada apa ?" tanya patih Aluyuda.
"Bahwa rencanamu itu dapat lenyap dari ingatanku setelah
engkau batalkan soal itu ?"
"Ah, kalau sudah kucabut, rencana itu berarti sudah hapus."
"Memang rencana hapus tetapi kesan bahwa ki patih
mempunyai rencana untuk menjatuhkan mahapatih Nambi,
tentu masih melekat di benakku," kata ra Kuti "bukankah
demikian?" "Tuan maksudkan tuan telah mengetahui rahasia hatiku
semisal aku mengetahui rahasia kehadiran ra Semi di
Lumajang itu?" "Tepat ki patih," seru ra Kuti tertawa "kini kita masing2
memegang rahasia. Ki patih tahu rahasia tentang ra Semi dan
aku tentang rencana ki patih hendak menjatuhkan rakryan
Nambi." "Apa yang tuan kehendaki" " seru patih Aluyuda secara
langsung. "Jika ki patih setuju, kita dapat mengadakan tukar menukar
janji." Patih Aluyuda cepat dapat menanggapi. "Tuan berjanji
takkan membocorkan rahasiaku dan aku pun berjanji takkan
menyiarkan rahasia ra Semi itu, bukan ?"
"Tepat sekali," sambut ra Kuti "itu pun kalau ki patih setuju.
Kalau tidak, kita pun bebas bertindak menurut sekehendak
hati kita masing2." Sejenak merenung, patih Aluyuda segera ulurkan tangan,
"Aku setuju, tuan ra Kuti. Mari lah kita perteguh janji itu
dengan berjabat tangan."
"0, mengapa ki patih bersikap begitu resmi" Bukankah
cukup kita pateri janji itu dengan ikrar perkataan saja. Yang
panting bukan soal peneguhan janji secara resmi tetapi
kesetyaan hati kita terhadap janji itu?" namun karena tangan
Aluyuda sudah menyongsong kehadapannya, ra Kuti terpaksa
menyambuti dan berjabatan tangan.
"Eh, ki patih," seru ra Kuti pula "bagaimana hukumnya fihak
yang melanggar janji itu?"
"Di bunuh !" seru patih Aluyuda menggelora.
"Bagus, aku setuju " sambut ra Kuti tersenyum puas
sehingga membua Aluyuda tertegun dalam hati. Patih itu
seorang yang penuh akan kecurigaan. Senyum ra Kuti pun
ditafsirkan mengandung sesuatu. Ia menjelajah dalam lubuk
hatinya untuk mencari-cari sesuatu yang mungkin terdapat
pada diri ra Kuti. Tiba2 ia melihat sesuatu namun belum
sempat ia menyatakan, ra Kuti sudah melanjutkan kata
katanya pula "oleh karena ki patih begitu bersungguh minat
dalam hal itu, aku pun akan mengamankan perjanjian itu
secara resmi. Harap tunggu sebentar," ra Kuti terus masuk ke
dalam dan tak lama keluar pula dengan membawa kertas dan
alat tulis. "Ki patih mari lah kita masing2 menulis sehelai surat
pernyataan tentang apa yang kita sepakatkan tadi."
"0, mengapa tuan sekarang berbalik begitu bersungguh2
sekali ?" tanya Aluyuda. Tetapi ra Kuti tak menyahut
melainkan mulai menulis pada sehelai kertas.
Setelah selesai dan dibubuhi tanda tangan lalu diserahkan
kepada Aluyuda "harap ki patih juga memberikan surat
pernyataan semacam ini kepadaku."
Patih Aluyuda membaca surat itu. Bunyinya menyatakan
bahwa ra Kuti akan menyimpan rahasia patih Aluyuda dan
patih Aluyuda akan meuyimpan rahasia ra Kuti. Barangsiapa
yang melanggar, akan dibunuh. Terpaksa Aluyuda menulis
surat pernyataan sedemikian untuk ra Kuti.
"Nah, persoalan ini sudah selesai. Untuk menghindari
kecemasan para pengawal kepatihan, apabila ki patih ?"
belum selesai ra Kuti mengucap, Aluyuda sudah menukas
"maaf. ra Kuti, masih ada sedikit hal yang perlu kujelaskan
kepada tuan." Ra Kuti kerutkan ails " 0, katakanlah."
"Perjanjian kita ini mengikat pernyataan kita untuk tak
membocorkan rahasia masing2" patih Aluyuda berhenti
sejenak. Setelah melihat, ra Kuti mengangguk, ia berkata pula
"tetapi tidak mengikat kita untuk menghentikan kegiatan
masing2." "0 " desuh ra Kuti "termasuk apa yang terpampang dalam
rahasia itu?" "Demikianlah, ra Kuti," sambut patih Aluyuda, "kita tak
saling membocorkan rahasia masing2 dan tak mengganggu
apa yang dilakukan oleh salah satu fihak."
Ra Kuti terdiam. Beberapa jenak kemudian ia tertawa,
"Balk, baik lah ki patih. Aku setuju dengan pernyataanmu itu.
Hanya ada sedikit tambahan yalah asal kegiatan fihak yang
satu tidak merugikan kepentingan fihak yang lain."
Demikian pembicaraan yang dilakukan antara patih Aluyuda
dengan ra Kuti di petang hari itu. Walaupun Aluyuda
mengalami kegagalan untuk menekan fihak ra Kuti karena
salah seorang anggauta Dharmaputera yani ra Semi berada di
Lumajang, tetapi sekurang-kurangnya patih Aluyuda dapat
menyisihkan golongan Dharmaputera itu supaya tak ikut
campur dalam masalah pendongkelan mahapatih Nambi yang
direncanakan itu. Setelah mengantar patih Aluyuda, ra Kuti pun masuk ke
dalam pula. Tiba2 ia tertawa "Ha, ha, ha, lucu benar si
Aluyuda itu. Dia hendak menelan aku tetapi akhirnya dia
sendiri yang harus makan getahnya. Huh, persetan dengan
perjaajian itu! Ha, ha, ha?" ia tertawa gembira "Semi di
Lumajang itu suatu rahasia" Ha, ha, ha ........ biarlah dia
mengadu kepada baginda, tak mungkin baginda sudi
mempercayainya. Karena beradanya Semi di Lumajang itu
memang kutugaskan untuk memata-matai gerak gerik Nambi
dan kawan- kawannya. Apabila kulaporkan hal itu, baginda
tentu akan berkenan menyetujui. Ha, ha, kebalikannya rahasia
Aluyuda hendak menjatuhkan Nambi sudah berada dalam
tanganku. Apabila tiba saatnya dan suasana yang tepat, tentu
akan kuhaturkan hal itu kepada baginda. Bila perlu, akan
kuadu domba patih itu dengan rakryan Nambi. Aku tinggal
turun tangan membantu fihak mana yang lebih kuat, ha, ha,
ha .... " Pada suatu hari patih Aluyuda menghadap baginda untuk
menghaturkan laporan bahwa waktu yang diperkenankan
baginda kepada mahapatih Nambi melawat sakitnya rakryan
Pranaraja di Lumajang telah habis. "Hm, apabila dalam satu
dua hari, paman mahapatih tak pulang, akan kutitahkan orang
untuk memanggilnya gumam baginda apabila dia tak menurut
titah?"" Tersipu-sipu patih Aluyuda berdatang sembah "Ampun
tuanku, mohon paduka suka melimpahkan kemurahan pada
rakryan mahapatih yang sedang bingung memikirkan gering
ayahnya itu. Dapat dimaklumi betapa resah hati rakryan
mahapatih saat ini sehingga seorang mentri wreddha yang
sudah berpuluh tahun menjalankan tugas pemerintahan,
sampai lupa pada tugasnya."
"Hm, adakah masih kurang cukup lama waktu yang
kuberikan kepadanya" kalau ayahnya sampai barbulan-bulan
belum ada ketentuannya, adakah paman mahapatih juga tetap
menungguinya?" Diam2 Aluyuda girang karena baginda sudah mulai merasa
kesal terhadap rakryan mahapatih Nambi. Namun cepat patih
yang licin itu mengabut perasaan hatinya dengan sebuah
helaan napas, "Ah, mengenai diri rakryan mahapatih masih
dapat dimaklumi keadaannya. Tetapi yang aneh, mengapa
beberapa narapraja dan senopati yang ikut dalam rombongan
rakryan mahapatih itu belum kembali ke pura kerajaan "
Bukankah yang berkepentingan itu rakryan mahapatih, bukan
mereka. Mengapa mereka tak mau pulang lebih dahulu ?"
"Murtad!" Jayanagara mendamprat "tak perduli siapa,
mereka akan kupecat!"
Patih Aluyuda terkejut, "Gusti junjungan yang hamba
muliakan," ia menghatur sembah "hamba mohon menghaturkan pandangan ke bawah duli tuanku."
"Hm, apa yang hendak engkau katakan lagi, paman
Aluyuda ?" dengus baginda.
Setelah mengunjuk sembah pula maka mengalun lah
rangkai demi rangkai kata-kata dari mulut patih Aluyuda,
"Titah paduka, selalu bersemayam di atas ubun2 kepala
hamba, gusti. Memang para narapraja dan senapati itu pantas
dihukum karena telah melalaikan kewajiban. Tetapi hendaknya
paduka menggunakan kebijaksanaan dalam melaksanakan
hukuman itu." "Apa sebab"," baginda menegas.
"Sudah hampir secandra mereka berkumpul di Lumajang.
Merekapun berjumlah banyak, berkedudukan tinggi dan sakti.
Apabila amanat paduka tiba di Lumajang, apakah tidak
mungkin akan timbul tanggapan yang tak diharap."
"Mungkinkah hal itu, paman?"
"Acapkali rasa takut menimbulkan kenekadan. Belum tentu
seorang yang mengamuk itu karena terdorong oleh


01 Gajah Kencana Manggala Majapahit Karya S. Djatilaksana di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

keberanian, gusti. pun karena terdesak oleh rasa takut, dapat
pula orang bertindak keras. Demikian hamba cemaskan pada
mereka. Mereka adalah senopati2 yang terlanjur bermanjakan
kemenangan di medan laga, bertaburkan jasa2 dan
bermandikan sanjung pujian. Apabila sekaligus mereka
menerima hukuman, dilorot kedudukan dan bahkan dihukum,
bukankah mereka akan terkejut dan tersentuh perasaannya"
Bukan mustahil gusti, rasa nekad dan kalap itu timbul dari
gejolak hati yang menderita tekanan itu."
"Hm " baginda Jayanagara mendesuh dan berdiam diri.
Rupanya termakan juga kata2 patih itu dalam hatinya.
Melihat sikap baginda, patih Aluyuda, menyusuli kata2 pula
"Menurut pengawasan hamba, memang sejak peristiwa
Mandana, suasana dalam pura kerajaan masih dicengkam oleh
rasa kegelisahan dan kecemasan yang tiada menentu. Hawa
dalam pura kerajaan masih penuh dengan nafas2 dendam
campur deru pertentangan. Apabila senopati2 di Lumajang itu
sampai nekad menentang paduka, bukankah mudah menjalar
ke pura kerajaan, gusti?"
"Hm, lalu apakah aku harus membiarkan saja senopati2 itu
berbuat sekehendak hati mereka ?"
"Tidak, gusti. Paduka harus tetap menguasai kewibawaan
dan kekuasaan," cepat Aluyuda memberi tanggapan, "yang
hamba maksudkan hanya pelaksanaannya. Apabila kita
menangkap ular, hendaknya jangan terburu menyiak rumput
sehingga ular itu terkejut dan melarikan diri. Demikian pun
dengan para senopati di Lumajang itu."
"Lalu bagaimana perhatian. caranya?" baginda mulai menaruh Sejenak patih Aluyuda mengatur napas, kemudian
berdatang sembah "Menurut hemat hamba, apabila kita
hendak mematahkan sapu lidi, jangan lah sapu lidi itu masih
merupakan ikatan tetapi harus diorak dan dipatahkan satu
demi satu. Tentu mudah dan cepat. Demikian pun dengan
kelompok senopati di Lumajang itu. Mereka harus dicerai
beraikan dulu ditangkap dan dihukum. Dalam hal itu mohon
baginda suka memanggil mereka seorang atau dua tiga
menyusul dua tiga orang lagi hingga keseluruhannya
berdatangan di pura kerajaan dan ditangkap."
"Benar," sambut baginda
Jayanagara "dan cara penangkapan serta hukuman itu harus dilakukan sedemikian
rapa hingga tak menimbulkan kegoncangan para mentri
narapraja kerajaan."
Pada saat pembicaraan itu berlangsung, tiba2 bekel
bhayangkara yang menjaga keraton masuk menghadap dan
melaporkan tentang kedatangan ra Jangkung salah seorang
senopati yang ikut dalam rombongan mahapatih Nambi ke
Lumajang. Baginda menitahkan supaya ra Jangkung masuk.
"Gusti, rencana yang telah paduka berkenan menyetujui tadi,
hendaknya dapat dimulai atas diri ra Jangkung," dengan lincah
patih Aluyuda cepat mengunjuk kata.
Ra Jangkung menghadap dengan menghatur sembah di
bawah duli baginda, "Gusti junjungan hamba yang mulia,
mohon paduka berkenan memberi ampun atas kelancangan
hamba menghadap pada petang hari ini."
"Hm " baginda hanya mendesuh.
"Hamba diutus rakryan mahapatih untuk mengunjukkan
warta duka dari gusti mahapatih bahwa ayahnya telah
meninggal dunia?"." ra Teguh berhenti untuk memperhatikan tanggapan baginda. Ternyata dingin saja
tampaknya baginda Jayanagara mendengar berita kematian
itu. "Hm, jamak lah kalau seorang yang sudah lanjut usia
seperti rakryan Pranaraja itu harus kembali kepada asalnya.
Apalagi dia menderita sakit parah," sahut baginda.
Ra Jangkung cepat mengunjuk sembah pula "Benar, gusti.
Dan rakryan mahapatih Nambi menghaturkan sembah syukur
yang tak terhingga alas kemurahan hati yang tuanku
limpahkan selama ini. Di samping berita duka itu, gusti
mahapatih pun ingin ?"."
Rupanya naluri patih Aluyuda yang tajam cepat dapat
mencium bau yang tak menguntungkan baginya. Serentak ia
mendahului "Jangan kuatir ra Jangkung, baginda tentu
berkenan mengirim utusan untuk melayat ke Lumajang."
"Bukan demikian, ki patih," ra Jangkung terkesiap kejut.
"Eh, masakan ra Jangkung hendak membicarakan lain2 soal
di tempat dan saat seperti sekarang ini" Bahwa baginda sudah
berkenan menerima tuan pada saat ini, sudah lah suatu
kemurahan besar. Jangan lah tuan melampaui batas. Baginda
akan menitahkan suatu kebijaksanaan kepada diri tuan, ra
Jangkung ! " Perkataan patih Aluyuda itu dimalsud untuk mengingatkan
baginda akan apa yang telah disetujui tadi. Rupanya baginda
yang masih muda itu cepat terangsang oleh kemurkaan
"Senopati Jangkung," titah baginda "laporan sudah kuterima.
Dan sekarang dengarkanlah keputusanku kepadamu !"
Si Rajawali Sakti 2 Goosebumps - Masalah Besar 2 Budi Kesatria 7

Cari Blog Ini